II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Banjir Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering terjadi di berbagai
wilayah. Richard (1995 dalam Suherlan 2001) mengartikan banjir dalam dua pengertian, yaitu : 1) meluapnya air sungai yang disebabkan oleh debit sungai yang melebihi daya tampung sungai pada keadaan curah hujan tinggi, 2) genangan pada daerah dataran rendah yang datar yang biasanya tidak tergenang. Banjir dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor antara lain faktor iklim dan faktor fisik wilayah tersebut. Faktor utama terjadinya banjir adalah faktor iklim, yaitu hujan. Hujan merupakan sumber air untuk terjadinya banjir. Banjir tidak akan terjadi bila permukaan yang terkena hujan mampu meresapkan air dengan baik, sehingga menurunkan jumlah air hujan yang langsung mengalir melalui permukaan (Adiningsih, 1998 dalam Sariwulan et al., 2000). Ini menunjukkan bahwa selain faktor utama berupa faktor iklim, faktor fisik wilayah juga mempengaruhi. Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam serta persoalan banjir yang disebabkan oleh aktifitas penduduk. Kondisi dan peristiwa alam yang dimaksud, antara lain curah hujan yang tinggi; jumlah aliran permukaan yang besar; melimpasnya air sungai; dan pembendungan muara sungai akibat air pasang dari laut. Faktor aktifitas penduduk berpengaruh terhadap kejadian banjir, seperti tumbuhnya daerah budidaya di daerah dataran banjir; penimbunan daerah rawa/situ atau reklamasi pantai; menyempitnya alur sungai akibat adanya pemukiman di sepanjang sempadan aliran sungai; dan pengendalian pemukiman di sepanjang sempadan sungai tidak dilaksanakan dengan baik.
2.2
Tipologi Kawasan Rawan Banjir Tipologi kawasan rawan banjir merupakan pengelompokan kawasan yang
sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana banjir, sesuai dengan karakteristik penyebab banjir. Adapun tipologi kawasan budidaya rawan bencana banjir menurut Dirjen Penataan Ruang (2003) dibagi menjadi 4 kawasan, yaitu :
4
a.
Daerah Pesisir Pantai Daerah pesisir pantai merupakan daerah yang rawan banjir. Hal tersebut
dikarenakan daerah pesisir merupakan dataran rendah yang elevasi permukaan tanahnya lebih rendah atau sama dengan elevasi air laut pasang rata-rata (mean sea level/ MSL) dan tempat bermuaranya sungai. b.
Daerah Dataran Banjir Daerah dataran banjir adalah daerah dataran rendah di sisi sungai yang
memiliki elevasi sangat landai dan relatif datar. Aliran air menuju sungai yang lambat akibat dataran banjir ini, mengakibatkan daerah tersebut rawan terhadap banjir baik oleh luapan air sungai maupun karena hujan lokal. Bencana banjir umumnya terjadi terutama pada daerah yang dilalui sungai besar dengan debit banjir yang besar. c.
Daerah Sempadan Sungai Daerah ini merupakan daerah rawan banjir, namun daerah ini sering
dimanfaatkan sebagai tempat hunian dan kegiatan usaha. Akibatnya, apabila terjadi banjir akan menimbulkan dampak bencana yang membahayakan jiwa dan harta benda. d.
Daerah Cekungan Daerah cekungan merupakan daerah yang relatif cukup luas baik di dataran
rendah maupun di dataran tinggi (hulu sungai). Daerah cekungan dapat menjadi daerah rawan bencana banjir, bila penataan kawasan atau ruang tidak terkendali dan mempunyai sistem drainase yang kurang memadai.
2.3
Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh adalah ilmu, teknik, dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kieffer, 1994). Data Penginderaan Jauh dapat berupa citra, grafik, dan data numerik. Data tersebut dianalisis untuk mendapatkan informasi tentang objek, daerah, atau fenomena yang diindera atau
5
diteliti. Proses penerjemahan data menjadi informasi disebut analisis dan interpretasi data. Analisis data Penginderaan Jauh memerlukan data rujukan seperti peta tematik, data statistik, dan data lapangan. Hasil analisis yang diperoleh berupa informasi mengenai bentang lahan, jenis penutup lahan, kondisi lokasi, dan kondisi sumberdaya daerah yang diindera (Purwadhi, 2001). Informasi jenis penutupan lahan didapatkan dengan melakukan interpretasi terhadap citra satelit maupun foto udara. Jenis penutupan lahan merupakan parameter fisik yang banyak membantu berbagai analisa dan evaluasi dalam aplikasi penginderaan jauh. Penutupan lahan secara mudah didapatkan dari data Penginderaan Jauh sehingga lebih menghemat waktu dan biaya. Salah satu bentuk data Penginderaan Jauh adalah citra satelit. Citra dari satelit Landsat merupakan salah satu citra satelit yang banyak digunakan dalam aplikasi Penginderaan Jauh karena cukup baik dalam interpretasi penutupan lahan daerah yang luas dan mudah didapatkan. Misi satelit Landsat yang terakhir diluncurkan ke orbit adalah Landsat 7 ETM+. Citra Landsat terdiri dari beberapa saluran yang memiliki kegunaan tertentu (Tabel 1). Terhitung sejak tanggal 31 Mei 2003, Satelit Landsat-7 ETM+ dioperasikan dengan mode SLC-off akibat kerusakan pada salah satu instrument sensor yaitu Scan Line Corrector (SLC) secara permanen (Julimantoro, 2004). Pada citra satelit Landsat-7 SLC-off ini, terdapat gap (bagian yang terlewat oleh sapuan sensor) pada data citra seluas 22% dari luasan citra. Koreksi terhadap gap ini dapat dilakukan salah satunya dengan menggunakan produk gap-filled (frame and fill) dari USGS. Produk ini memungkinkan koreksi citra utama dengan mengunakan citra kedua (pengisi) untuk mengisi wilayah gap. Koreksi dapat dilakukan dengan mengunakan citra pengisi SLC-on (SLC off to SLC-on) atau dengan citra pengisi SLC-off (SLC off to SLC-off).
6
Tabel 1 Band Landsat 7 dan Kegunaanya Saluran
Kisaran Panjang Gelombang
Kegunaan Utama
1
0,45-0,52 Gelombang Biru
Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. Pembedaan vegetasi dan lahan
0,52-0,60 Gelombang Hijau
Pengamatan puncak pantulan vegetasi pada saluran hijau yang terletak diantara dua saluran penyerapan. Pengamatan ini dimaksudkan untuk membedakaan jenis vegetasi dan untuk membedakan tanaman sehat dan tidak sehat
3
0,63-0,69 Gelombang Merah
Saluran terpenting untuk membedakan jenis vegetasi. Saluran ini terletak pada salah satu daerah penyerapan korofil dan memudahkan pembedaan antara lahan terbuka terhadap lahan bervegetasi
4
0,76-0,90 Gelombang Inframerah Dekat
Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi. Juga untuk identifikasi jenis tanaman, memudahkan pembedaan tanah dan tanaman serta air
5
1,55-1,75 Gelombang Inframerah Pendek
Saluran penting untuk penentuan jenis tanaman, kandungan air tanaman, kondisi kelembaban tanah
6
10,40-12,50 Gelombang Inframerah Termal
Klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisahan kelembaban tanah, dan sejumlah gejala lainnya yang berhubungan dengan panas
2
Untuk membedakan formasi batuan dan 2,085-2,35 pemetaan hidrotermal Inframerah Pendek 0,50-0,90 Saluran ini digunakan untuk meningkatkan 8 Pankromatik resolusi spasial Sumber : Lillesand dan Kieffer,1994 7
2.4
Sistem Informasi Geografis SIG menurut Aronof (1989 dalam Prahasta 2002) adalah sistem yang
berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Prahasta (2002) menyebutkan bahwa SIG dapat merepresentasikan dunia nyata di atas monitor komputer sebagaimana lembaran peta dapat merepresentasikan dunia nyata di atas
7
kertas. Tetapi SIG memiliki kekuatan lebih dan fleksibelitas dari pada lembaran peta kertas. SIG menyediakan kemampuan analisis yang luas dalam menganalisa topologi atau aspek spasial dan atribut-atributnya. (Burrough 1986 dalam Maji et al., 1998). SIG mampu menyimpan, menyusun, menganalisa, dan menampilkan sumber data untuk menyediakan manajemen informasi atau untuk membangun pemahaman yang lebih baik tentang hubungan aspek-aspeknya. (McCloy, 1995 dalam Maji et al., 1998). SIG dapat mengintegrasikan data spasial dan nonspasial dengan mengedit via poligon. Hasilnya adalah data yang terkonversi yang secara mudah dapat diterjemahkan sebagai informasi (Maji et al., 1998). Shamsi (2005) menyebutkan bahwa pengaplikasian SIG memiliki beberapa keuntungan. SIG meningkatkan efisiensi waktu, menghemat dana, dan memudahkan
pekerjaan.
SIG
juga
menawarkan
kemampuan
dalam
mengintegrasikan informasi sehingga menciptakan komunikasi yang lebih baik diantara beragam pengguna informasi. Hal-hal tersebut membuat SIG mampu dimanfaatkan dan diaplikasikan dalam berbagai bidang.
2.5
Integrasi Penginderaan Jauh dan SIG Wilkinson (1996) dalam Weng (2010) menyimpulkan tiga jalan utama
Penginderaan Jauh dan SIG dapat diintegrasikan, yaitu : 1) Penginderaan Jauh digunakan sebagai alat pengumpul data untuk digunakan dalam SIG, 2) Data SIG digunakan sebagai informasi penunjang untuk memperbaiki hasil yang didapatkan dari Penginderaan Jauh, 3) Penginderaan Jauh dan SIG digunakan bersama untuk pemodelan dan analisa. Weng (2010) kemudian menjabarkan bahwa data Penginderaan Jauh dapat digunakan untuk memperoleh informasi tematik dan perbaharuan data SIG. Informasi tematik digunakan untuk membuat layer dalam SIG. Informasi tematik tersebut berupa hasil interpretasi terhadap citra satelit baik secara otomatis maupun manual. Pembaharuan data SIG dengan data Penginderaan Jauh misalnya digunakan untuk memperbaharui data penggunaan lahan. Pembaharuan data SIG dengan data Penginderaan Jauh menjadi lebih efektif dan efisien dari segi waktu dan biaya.
8
Data SIG sebagai informasi penunjang data Penginderaan Jauh digunakan dalam klasifikasi citra, dan pra penggolahan citra. Informasi penunjang tersebut memberikan nilai lebih terhadap klasifikasi citra. Sebagai contoh, informasi penunjang seperti data topografis dapat digunakan untuk memperbaiki akurasi penutupan lahan terutama di daerah bergunung. Peran data SIG dalam pra pengolahan citra satelit misalnya digunakan dalam koreksi geografis citra dan pembatasan wilayah amatan/ pemotongan citra satelit (Weng, 2010).
2.6
Aplikasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk Pemetaan Kerawanan Banjir Salah satu aplikasi teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis adalah dapat digunakan untuk memetakan daerah rawan bencana. Penginderaan Jauh menyediakan input data untuk SIG sedangkan SIG menyusun dan membantu tahap analisis data hingga informasi yang diinginkan bisa didapatkan. Penggunaan data Penginderaan Jauh dan SIG dalam pemetaan kerawanan banjir baik secara terpisah maupun terintegrasi telah dilakukan oleh banyak pihak. Penggunaan data DEM SRTM, citra Landsat ETM dan integrasinya dengan SIG dalam pemetaan rawan banjir dievaluasi oleh Willege (2007) dalam tulisanya berjudul “Flooding Risk of Java, Indonesia”, yaitu mengenai resiko banjir Pulau Jawa, Indonesia. Penelitian ini mengulas penggunaan data DEM SRTM dan citra Landsat ETM dalam pemetaan rawan banjir. Data dari SRTM dapat menyediakan informasi topografi spesifik mengenai daerah amatan secara mudah. Kemiringan lereng dan ketinggian merupakan informasi yang dapat diambil dari data SRTM dan digunakan dalam pemetaan rawan banjir. Gambaran kemiringan lereng dan ketinggian wilayah amatan dapat dijelaskan dengan adanya informasi ini. Willage (2007) menyebutkan bahwa pemetaan kerawanan bencana secara umum dengan pendekatan yang mengitegrasikan data inderaja, fisik lahan, topografi, dan data kejadian bencana dapat dilakukan dengan SIG. Rahardjo (2008) membahas tentang “Pemetaan Rawan Banjir berdasarkan Kondisi Fisik Lahan secara Umum Pulau Jawa”. Penelitian ini menggunakan parameter berupa data curah hujan, kemiringan lereng, dan jenis tanah. Hasil yang
9
didapatkan membagi Pulau Jawa dalam empat kelas kerawanan banjir, yaitu kerawanan tinggi, rawan, kerawanan rendah, dan tidak rawan. Sukiyah et al. (2004) menggunakan parameter litologi, kemiringan lereng, curah hujan, penggunaan lahan, dan perkembangan orde sungai dalam analisis penentuan lokasi rawan banjir. Penelitian “Aplikasi SIG dalam Penetapan Kawasan Rawan Banjir di Kabupaten Bandung Selatan” ini, membagi wilayah penelitian menjadi empat kelas rawan banjir, yaitu daerah rawan banjir, daerah berpotensi banjir, daerah agak aman, dan daerah aman dari banjir.
2.7
Parameter Pemetaan Kerawanan Banjir Penelitian-penelitian sebelumnya telah memetakan kerawanan banjir suatu
wilayah dengan berbagai parameter. Parameter yang umum digunakan adalah curah hujan dan parameter fisik wilayah. Parameter fisik yang umum digunakan adalah lereng, tanah, bentuk lahan, sungai, dan penutupan lahan. Tiap-tiap parameter terbagi atas beberapa kelas yang diberi nilai skor sesuai dengan besar kecilnya pengaruh terhadap kejadian banjir. Pembagian kelas ini dapat berbeda-beda. Pembagian kelas dari setiap parameter yang digunakan secara umum disesuaikan dengan kelas parameter yang dimiliki oleh daerah yang diamati. Kombinasi
parameter
yang
digunakan
pada
penelitian-penelitian
sebelumnya berbeda-beda. Perbedaan jenis parameter dan jumlah parameter yang digunakan pada pemetaan kerawanan banjir menyebabkan proporsi atau pembobotan dari tiap-tiap parameter menjadi berbeda. Hal tersebut dikarenakan besarnya nilai bobot disesuaikan dengan jumlah parameter yang digunakan dan pengaruh parameter tersebut terhadap kejadian banjir. Tabel 2 adalah contoh pembagian kelas dari parameter banjir beserta nilai skor yang diberikan dan nilai bobot dari tiap parameter itu sendiri.
10
Tabel 2 Contoh Pembagian Kelas Parameter Banjir Beserta Nilai Skor dan Nilai Bobot untuk Tiap Parameter. No Kelas Tebal Hujan 1 > 450 mm 2 425 mm -450 mm 3 400 mm - 425 mm 4 375 mm - 400 mm 5 350 mm - 375 mm 6 325 mm - 350 mm 7 300 mm - 325 mm 8 275 mm - 300 mm 9 250 mm - 275 mm 10 225 mm - 250 mm 11 < 225 mm No Kelas Kemiringan Lereng 1 Datar (0 - 3%) 2 Landai (3 - 8%) 3 Agak curam (8 - 15%) 4 Curam (15 - 25%) 5 Sangat curam (25 - 40%) 6 Terjal (> 40%) No Kelas Ketinggian 1 < 500 m 2 500 m - 1000 m 3 1000 m - 1500 m 4 1500 m - 2000 m 5 > 2000 m No Kelas Penutupan Lahan 1 Sawah 2 Industri 3 Perumahan 4 Tanah berbatu 5 Tegalan 6 Kebun campuran 7 Perkebunan 8 Padang rumput 9 Hutan sejenis 10 Hutan belukar 11 Hutan lebat No Kelas Tekstur Tanah 1 Halus 2 Sedang 3 Kasar Sumber : Suherlan (2001)
Skor 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 1 Skor 100 80 60 40 20 1 Skor 100 75 50 25 1 Skor 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 1 Skor 100 50 1
Bobot
30
Bobot
20
Bobot
30
Bobot
10
Bobot 10
11
2.7.1 Kriteria Parameter Kerawanan Banjir 1.
Curah Hujan Curah hujan adalah faktor non-fisik lahan yang sangat mempengaruhi
kejadian banjir. Curah hujan yang tinggi, akan memperbesar kemungkinan terjadinya banjir. Puslitbang DPU (2007) menyebutkan bahwa curah hujan merupakan input penyebab dalam sistem lahan. Curah hujan berinteraksi langsung terhadap karakteristik fisik lahan, berproses menghasilkan suatu keluaran sebagai respon permukaan lahan, dalam hal ini adalah banjir. Richard (1955) dalam Suherlan (2001) menyebutkan bahwa penggunaan peta isohyet pada puncak hujan didasarkan alasan bahwa semakin tinggi tebal hujan dalam periode pendek (tiga bulan) akan lebih memungkinkan terjadi banjir dibandingkan dengan isohyet tahunan atau isohyet pada musim hujan. Hal ini disebabkan pada masalah banjir tidak memperlihatkan tebal hujan tahunan atau tebal hujan periode panjang. Adapun penelitian sebelumnya yaitu Suherlan (2001) dan Utomo (2004) yang menggunakan tebal hujan tiga bulan puncak di musim hujan dalam memberikan skor kelas curah hujan. Namun, Nurjanah (2005) dan Primayuda (2006) menggunakan tebal hujan tahunan dalam memberikan skor kelas curah hujan (Lampiran 1). 2.
Lereng Arsyad (2006) menyebutkan bahwa kemiringan lereng merupakan salah satu
sifat topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan. Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Kemiringan lereng yang landai memiliki kerentanan banjir lebih tinggi dari lereng yang curam. Hal ini dikarenakan laju air pada kemiringan datar/ landai lebih lambat bila dibandingan pada lereng yang curam. Dengan kata lain, semakin kecil kemiringan suatu wilayah, maka semakin rentan wilayah tersebut mengalami genangan air/ banjir. Penelitian sebelumnya yaitu Suherlan (2001), Utomo (2004), Primayuda (2006), dan Purnama (2008) menggunakan pembagian kelas kemiringan lereng yang sama. Adapun perbedaan yang ada hanya berupa kisaran nilai skor yang diberikan (Lampiran 1).
12
3.
Kelas Drainase Drainase merupakan parameter penentuan banjir yang terkait dengan tekstur
tanah. Tekstur tanah dapat menggambarkan kemampuan tanah dalam meresapkan air. Tanah bertekstur halus lebih lambat dalam meresapkan air ke dalam namun, mampu mengikat air lebih lama bila dibandingkan tanah bertekstur kasar. Hal ini mendasari pemikiran bahwa tanah bertekstur halus lebih cepat jenuh sehingga aliran permukaan dan genangan air lebih cepat terjadi. Kondisi ini menunjukkan drainase yang buruk. Sehingga pada tanah yang bertekstur halus memiliki drainase yang buruk dan mudah terjadi genangan. Semakin buruk drainase maka kemungkinan terjadinya genangan air atau banjir semakin tinggi. Penelitian tentang pemetaan kerawanan, seperti Suherlan (2001) dan Utomo (2004) membagi kelas tekstur tanah dalam pemberian nilai skor, sedangkan Wiujianna (2005) dan Purnama (2008) menggunakan kelas drainase dalam pemberian nilai skor. Raharjo (2008) membagi kelas berdasarkan nama tanah (klasifikasi USDA) untuk pemberian nilai skor (Lampiran 1). 4.
Bentuk Lahan Bentuk lahan merupakan salah satu wahana tempat berlangsungnya proses
air mengalir yang berasal dari input hujan sampai ke laut. Bentuk lahan dari permukaan yang berbeda memberikan arti bahwa permukaan tersebut terkena suatu tenaga yang prosesnya berulang-ulang sehingga memberikan ciri dan karakter yang berbeda (Raharjo, 2008). Bentuk lahan yang berbeda memiliki respon yang berbeda dalam merespon air. Pemberian skor terhadap bentuk lahan dilakukan berdasarkan respon bentuk lahan tersebut terhadap air hujan. Bentuk lahan yang lebih landai hingga cekung memiliki kemungkinan terjadi banjir lebih besar karena aliran air akan bergerak lambat sehingga kemungkinan terjadinya genangan atau banjir lebih tinggi. Utomo (2004) mengelompokkan 15 kelas bentuk lahan dengan nilai skor berbeda. Raharjo (2008) mengelompokkan 16 kelas bentuk lahan (Lampiran 1). Utomo (2004) memberi berbeda terhadap tiap kelas bentuk lahan. Nilai terbesar diberikan pada kelas bentuk lahan yang dianggap paling berpengaruh terhadap kejadian benjir. Sedikit berbeda dengan Raharjo (2008) yang memberi nilai skor yang sama untuk bentuk lahan yang dianggap memiliki respon yang sama
13
terhadap air hujan dan nilai yang berbeda terhadap bentuk lahan yang dianggap memiliki respon berbeda terhadap air hujan. 5.
Penutupan Lahan dan Buffer Sungai Penutupan lahan atau penggunaan lahan untuk suatu fungsi tertentu
mempengaruhi terjadinya kejadian banjir di suatu wilayah. Penutupan lahan yang dianggap rentan terhadap banjir adalah penutupan lahan yang mempengaruhi laju masuknya air ke dalam tanah dan penggunaan lahan dengan kemungkinan aliran permukaan yang cukup besar bila terjadi hujan. Buffer adalah batas dengan jarak tertentu yang dibuat mengelilingi suatu titik, garis, atau poligon. Buffer sungai dan badan air merupakan penentuan jarak tertentu dari sungai atau badan air tersebut yang memungkinkan terjadinya banjir. Skor diberikan berdasarkan kedekatan terhadap sungai atau badan air tersebut. Semakin dekat dengan sungai atau badan air tersebut, maka kemungkinan terjadinya genangan atau banjir yang berasal dari luapan sungai lebih besar. Primayuda (2006) membagi penutupan lahan menjadi 10 jenis dalam enam kelas (Lampiran 1). Kelas penutupan lahan dengan kerawanan banjir yang dianggap rentan mengalami banjir diberi skor yang lebih tinggi. Pemberian nilai skor pada kelas buffer sungai didasari oleh kedekatan jarak sungai. Semakin dekat dengan sungai, maka semakin besar nilai skor yang diberikan pada kelas tersebut.
2.7.2 Pembobotan Parameter Kerawanan Banjir Pembobotan adalah pemberian bobot pada peta digital masing-masing parameter
yang
berpengaruh
terhadap
banjir,
dengan
didasarkan
atas
pertimbangan seberapa besar masing-masing parameter banjir berpengaruh terhadap banjir. Parameter-parameter yang digunakan dapat berbeda-beda sesuai dengan tujuan penulisan, data yang dimiliki, atau pertimbangan logis penulis. Penelitian-penelitian sebelumnya menggunakan jumlah parameter berbeda dengan besar bobot tiap parameter yang juga berbeda. Suherlan (2001) menggunakan lima parameter banjir yaitu tebal hujan, lereng, ketinggian, penggunaan lahan, dan tekstur tanah. Nilai bobot terbesar dalam penelitian tersebut adalah parameter tebal hujan sebesar 30%. Primayuda (2006) menggunakan enam parameter penyebab banjir, yaitu kemiringan lahan, bentuk
14
lahan, curah hujan, tekstur, penggunaan lahan, dan buffer sungai. Bobot terbesar diberikan terhadap parameter curah hujan, kemiringan lereng, dan bentuk lahan dengan besar nilai adalah 0,25. Purnama (2008) menggunakan tujuh parameter, yaitu kemiringan lahan, kelas ketinggian, tektur tanah, drainase tanah, curah hujan, penggunaan lahan, buffer sungai. Bobot terbesar adalah parameter kelas tektur dan drainase dengan total bobot 0,3 (Lampiran 2).