Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 2 (2015) 1-16
PENGARUH KERAPATAN KERAMBA JARING APUNG (KJA) TERHADAP KUALITAS PERAIRAN WADUK WAY TEBABENG KABUPATEN LAMPUNG UTARA
Erwinsyah Putra1, Henrie Buchari2, Tugiyono2 1 2
Mahasiswa Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Lampung Dosen Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Lampung Email :
[email protected]
Abstrak: Waduk Way Tebabeng terletak di Desa Jagang, Kabupaten Lampung Utara. Tahun 2014 waduk tersebut memiliki kerapatan KJA yang tinggi dengan jumlah total 214 KJA. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh persentase kerapatan KJA terhadap kondisi kualitas perairan dan mendeskripsikan aktivitas pengelolaan budidaya ikan pada KJA oleh pembudidaya ikan di Waduk Way Tebabeng. Penelitian ini menggunakan metode purpoesive random sampling. Terdapat 6 stasiun pengamatan yaitu, inlet waduk, kerapatan KJA 25 %, kerapatan KJA 50 %, kerapatan KJA 75 %, kerapatan KJA 100 %, dan outlet waduk. Periode pengamatan dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu pada hari ke-0, ke-15, ke-30, dan hari ke-45. Parameter kualitas air yang diamati yaitu parameter fisika (suhu, kecerahan, TSS), parameter kimia (pH, DO, BOD, COD, NO3, NO2, NH3, PO4, H2S), dan parameter mikrobiologi (total coliform). Penentuan kualitas perairan waduk berdasarkan nilai indeks pencemaran. Indeks pencemaran ditentukan dari perhitungan parameter kualitas air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan persentase kerapatan keramba jaring apung (KJA) tidak berpengaruh terhadap peningkatan indeks pencemaran. Indeks pencemaran ke 6 stasiun pada pengamatan hari ke-45 berkisar antara 10-28-14,19. Nilai indeks pencemaran ke 6 stasiun termasuk kategori tercemar berat. Nilai korelasi kerapatan KJA terhadap indeks pencemaran adalah berkorelasi negatif senilai r = -0,085 (sangat lemah). Pengaruh persentase kerapatan KJA terhadap indeks pencemaran senilai R = 0,7 %. Budidaya ikan di Waduk Way Tebabeng masih tradisional dengan menggunakan jaring tunggal. Kata kunci :indeks pencemaran, keramba jaring apung,kerapatan, korelasi, Waduk Way Tebabeng.
PENDAHULUAN Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan dan berbentuk pelebaran alur atau badan atau palung sungai (PerMenLH No 28 Tahun 2009).Waduk merupakan salah satu perairan yang memiliki potensi sumberdaya hayati. Keberadaan ekosistem waduk memberikan fungsi
yang menguntungkan bagi kehidupan manusia, antara lain keperluan rumah tangga, industri, pertanian, dan perikanan. Fungsi penting waduk antara lain sebagai sumber plasma nutfah terutama jenis-jenis ikan dengan tingkat endemisitas yang tinggi, penyimpan air, kebutuhan air minum, irigasi, pendukung sarana transportasi, budidaya perikanan, pariwisata dan pembangkit listrik.
1
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 2 (2015) 1-16
Waduk Way Tebabeng terletak di Kecamatan Blambangan Pagar, Kabupaten Lampung Utara. Waduk tersebut berfungsi untuk kegiatan pariwisata, irigasi pertanian, dan perikanan. Dewasa ini waduk tersebut hanya berfungsi untuk kegiatan irigasi pertanian yaitu mengaliri sawah di sekitar waduk, dan perikanan yaitu budidaya ikan menggunakan KJA. Saat ini terdapat lebih dari 250 KJA dan keramba jaring tancap di perairan Waduk Way Tebabeng, dengan jarak kerapatan bervariasi dari 2,5 - 5 m. Jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan nila, ikan mas, ikan lele dan ikan patin. Kegiatan budidaya ikan menggunakan KJA telah dilakukan masyarakat sekitar tahun 1980-an hingga sekarang. Budidaya ikan menggunakan KJA merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan dengan menyebabkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan dan berdampak negatif terhadap kondisi lingkungan perairan. Demetrio et al (2011) menyatakan budidaya ikan menggunakan KJA dapat menyebabkan berbagai dampak lingkungan pada badan air. Dampak negatif tersebut berupa sedimentasi, umbalan, dan eutrofikasi yang dapat menurunkan kualitas perairan waduk. Menurut Simarmata (2007) penurunan kualitas perairan danau atau waduk disebabkan oleh aktivitas budidaya ikan pada KJA yang berlebihan. Permasalahan yang selalu muncul dengan adanya budidaya ikan adalah terjadinya kematian
masal ikan, terjangkitnya penyakit dan bahkan turunnya produksi ikan budidaya. Eutrofikasi (penyuburan perairan) dan sedimentasi merupakan dampak awal yang timbul dari kegiatan budidaya ikan dengan KJA. Eutrofikasi merupakan proses pengayaan nutrien dan bahan organik dalam perairan (Irianto dan Triweko, 2011). Fauzi dkk. (2013) menyebutkan bahwa Eutrof adalah status air danau atau waduk yang memiliki kadar unsur hara yang tinggi. Status tersebut menunjukkan air telah tercemar karena naiknya kadar Nitrogen dan Fosfor. Hasil studi kasus budidaya ikan di Waduk Cirata, Jawa Barat yang menerima beban nutrien total Nitrogen dan total Fosfor baik yang berasal dari limbah sisa pakan budidaya ikan maupun yang masuk dari inlet waduk cenderung meningkat. Peningkatan beban nutrien memperburuk ketersediaan oksigen terlarut dan meningkatnya bahan toksik berupa amonia di perairan. Hasil identifikasi logam berat jenis kadmium (Cd) juga telah melebihi baku mutu (Sudrajat dkk., 2010). Hal tersebut juga didukung oleh kejadian yang selalu berlangsung setiap tahun yaitu terjadinya kematian ikan secara mendadak. Hal ini diduga terjadi karena adanya kasus pembalikan massa air yang biasa disebut arus balik atau umbalan (up welling). Sedimentasi (pendangkalan waduk) terdapat pada Waduk Way Tebabeng. Hasil komunikasi dengan pembudidaya ikan di Waduk Way Tebabeng menyebutkan terdapat kedalaman waduk yang bervariasi mulai dari inlet waduk, bagian tengah waduk, pinggiran waduk dan bagian outlet waduk. Bagian inlet waduk masih memiliki kedalaman berkisar 2-3 m. Bagian perairan waduk dengan
2
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 2 (2015) 1-16
jumlah kerapatan KJA tinggi dan pinggiran waduk sebelah utara memiliki kedalaman berkisar 1-3 m. Bagian perairan waduk dengan jumlah kerapatan KJA sedang 3-4 m. Sedangkan bagian outlet waduk memiliki kedalaman berkisar antara 5-7 m. Waduk Way Tebabeng juga pernah mengalami kekeringan. Hal tersebut mengakibatkan sawah di sekitar waduk tidak dapat dialiri.Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan studi dampak kerapatan KJA terhadap kualitas perairan Waduk Way Tebabeng. Hasil studi dampak kerapatan KJA ini diharapkan dapat memberi masukan dalam pemanfaatan dan pengelolaan waduk sebagai tempat budidaya ikan. Waduk tetap mengaliri sawah pertanian dan kegiatan budidaya ikan tetap berlangsung dengan kondisi perairan Waduk Way Tebabeng yang lestari.
Tujuan Penelitian Menganalisis pengaruh persentase kerapatan KJA terhadap kondisi kualitas perairan dan mendeskripsikan aktivitas pengelolaan budidaya ikan pada KJA oleh pembudidaya ikan di Waduk Way Tebabeng. METODE PENELITIAN
metode purpoesive random sampling artinya bahwa pemilihan didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai hubungan yang erat dengan obyek penelitian (Hadi, 2005; Fachrul, 2007). Pada masing-masing stasiun dilakukan pengamatan parameter langsung di perairan waduk (in-situ) yaitu suhu air, suhu udara, kecerahan, pH air, dan kedalaman air. Pengambilan sampel air untuk parameter yang dianalisis di laboratorium (ex-situ) yaitu TSS, BOD5, COD, NO3, NO2, NH3, PO4, H2S, dan total coliform. Lokasi pengambilan sampel air terdapat pada beberapa stasiun di perairan Waduk Way Tebabeng. Jumlah stasiun pengamatan sebanyak 6 (enam) stasiun.Jumlah stasiun pengamatan tersebut sudah memenuhi syarat penelitian di lapangan dengan jumlah perlakuan 6 (enam) dan diamati sebanyak 4 (empat) kali periode pengamatan (Cochran, 1977). Penentuan stasiun pengamatan berdasarkan jumlah persentase (%) kerapatan atau tutupan KJA/ha. Karakteristik setiap stasiun disajikan pada Tabel 2. sebagai berikut:
Penelitian ini dilakukan pada bulan September-November 2014 di Perairan Waduk Way Tebabeng Desa Jagang, Kecamatan Blambangan Pagar, Kabupaten Lampung Utara dan di Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Lampung. Penelitian dilakukan dengan menggunakan 3
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 2 (2015) 1-16
Tabel 1. Karakteristik Stasiun Pengamatan Stasiun Kerapatan KJA Jumlah (Perlakuan) KJA I Inlet 0 % 0 II
25 %
33
III
50 %
45
IV
75 %
58
V
100 %
78
VI
Outlet 0 %
0
Kedalaman Titik air (cm) koordinat 290 S 04.55’37.4” E 104.58’39.1” 390 S 04.55’39.0” E 104.48’4” 385 S 04.55’22.9” E 104.58’54.6” 490 S 04.55’26.9” E 104.59’08.6” 170 S 04.55’30.4” E 104.59’07.2” 470 S 04.55’22.9” E 104.59’16.3”
Keterangan : SI = 0 % kerapatan KJA (inlet), SII = 25 % kerapatan KJA, SIII = 50 % kerapatan KJA, SIV = 75 % kerapatan KJA, SV = 100 % kerapatan KJA, SVI = 0 % kerapatan KJA (outlet). Gambar 1. Peta lokasi penelitian (sumber :Pencitraan google earthTahun 2014) (Lokasi Waduk Way Tebabeng S 4o55’33.54’’ dan T104o58’57.08’’ Elevasi 47 m)
4
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 2 (2015) 1-16
Analisis data tingkat kualitas pencemaran perairan (IP). Penentuan tingkat kualitas pencemaran perairan dengan Indeks Pencemaran (IP) berdasarkan KepMen LH No 115 Tahun 2003.
IP =
(C / L) 2 M (C / L) 2 R 2
Keterangan : L = Konsentrasi parameter kualitas air dalam baku mutu. C = Konsentrasi parameter kualitas air hasil pengukuran. Indeks Pencemaran (IP) Kualitas perairan Waduk Way Tebabeng ditentukan dengan menggunakan indeks pencemaran (IP). IP digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan. Indeks pencemaran ditentukan untuk suatu peruntukan, kemudian dapat dikembangkan untuk beberapa peruntukan bagi seluruh badan air atau sebagian dari suatu sungai. Metode dapat langsung dihubungkan dengan tingkat pencemarandan dapat ditentukan layak atau tidaknya perairan dipakai untuk penggunaan tertentu. Menurut KepMenLH (2003) evaluasi terhadap nilai IP adalah sebagai berikut: 0 ≤ IP ≤ 1,0 = memenuhi baku mutu (kondisi baik) 1,0 < IP ≤ 5,0 = tercemar ringan 5,0 < IP ≤ 10 = tercemar sedang IP > 10 = tercemar berat
Analisis hubungan antara persentase kerapatan KJA dengan peningkatan nilai IP Analisis hubungan antara persentase kerapatan KJA dengan nilai IP dianalisis dengan menggunakan analisis korelasi linier sederhana (r). Pengaruh persentase kerapatan KJA terhadap nilai IP ditentukan dengan nilai R (determinasi), menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 16. Menurut Sugiyono (2010) hubungan (korelasi) antara variabel X dan Y dapat ditentukan dengan melihat nilai keeratan koefisien korelasi (r). Kemudian pengaruh variabel X terhadap variabel Y diketahui dengan melihat nilai determinasi (R) dari r2 x 100 %. Interpretasi nilai r adalah sebagai berikut : 0,80 – 1,000 = Sangat kuat (erat) 0,60 – 0,799 = Kuat (erat) 0,40 – 0.599 = Cukup kuat (erat) 0,20 – 0,399 = Rendah (tidak erat) 0,00 – 0,199 = Sangat rendah (tidak erat)
5
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 2 (2015) 1-16
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai rata-rata parameter kualitas air setiap stasiun pengamatan dibandingkan dengan baku mutu disajikan pada Tabel 2
Parameter Fisika : 1. Suhu air Suhu udara 2. Kecerahan 3. TSS Parameter Kimia : 1. pH 2. DO 3. COD 4. BOD5 5. NH3 6. NO2 7. NO3 8. PO4 9. H2S Parameter Mikrobiologi : 1. Total coliform Kedalaman Arah angin Arah arus
Satuan
Baku mutu
C o C
28o-32o C 28o-32o C
mg/L
20
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
6–9 3 50 6 ≤ 0,02 0,06
6,02 3,44 34,39 22,75 0,7 0,01
7,32 4,52 49,54 31,75 0,56 0,01
7,17 4,45 47,84 24 0,93 0,01
7,25 3,92 66,09 23,75 1,03 0,01
7,37 4,37 54,14 25,75 0,91 0,01
6,97 4,37 46,79 22 0,84 0,01
mg/L mg/L mg/L
20 1 0,002
0,81 0,073 1,02
1,06 0,093 1,34
0,61 0,063 1,52
0,64 0,023 0,73
0,43 0,028 1,42
0,42 0,025 1,31
Jumlah /100 ml cm
10000
136,5
312,75
181,5
82,25
144,25
177,2
194,32 barat laut barat laut
287,5 barat laut barat laut
317,5 barat laut barat laut
330 barat laut barat laut
315,25 barat laut barat laut
410,2 barat la barat la
o
II (25 % KJA) 31,75 34,25 44,5 19,75
Stasiun III (50 % KJA) IV (75 % KJA) 32 31,75 34 34 40,87 41,62 22,75 30,87
I (0 % KJA) 32 33,25 40,5 17
V (100 % KJA) 31,75 33,5 40,62 27
Tabel 2 Nilai rata-rata parameter kualitas air setiap stasiun pengamatan dibandingkan dengan baku mutu Keterangan : Sumber Data Primer 2014. Stasiun I (0 % tutupan KJA di inlet) dan Stasiun VI (0 % tutupan KJA di outlet). Kecepatan arus dan angin lambat
6
VI (0 % K 31,25 33,75 49,5 22
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 2 (2015) 1-16
Nilai indeks pencemaran tiap-tiap stasiun dari pengamatan hari ke-0 sampai hari ke-45 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai indeks pencemaran (IP) pada setiap stasiun pengamatan. Stasiun pengamatan Pengamatan hari keTotal Rata-rata 0 15 30 45 SI 7,04 6,95 11,3 11,45 36,74 9,19 SII 11,2 9,98 11,35 10,28 42,81 10,70 SIII 11,46 9,02 11,2 14,19 45,87 11,47 SIV 7,1 6,79 10,67 11,05 35,61 8,90 SV 7,14 8,34 11,75 12 39,23 9,81 SVI 11,41 9 10,76 11,08 42,25 10,56 Keterangan : Sumber : KepMenLH (2003) Kategori nilai indeks pencemaran (IP) 0 ≤ IP ≤ 1,0 = memenuhi baku mutu Hubungan Kerapatan KJA dengan (kondisi baik) nilai IP 1,0 < IP ≤ 5,0 = tercemar ringan Hubungan kerapatan KJA setiap stasiun 5,0 < IP ≤ 10 = tercemar sedang pengamatan dengan nilai indeks IP > 10 = tercemar berat pencemaran disajikan pada Gambar 2
r = 0,085, r2 = 0,007, R kerapatan KJA dengan IP = r2 x 100 % = 0,007 x 100% = 0,7 % Gambar 2. Hubungan kerapatan KJA dengan nilai indeks pencemaran (IP)
7
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 2 (2015) 1-16
Indeks pencemaran (IP) merupakan nilai yang digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan (KepMenLH, 2003). Berdasarkan Tabel 3. nilai IP dari stasiun I – VI dari pengamatan hari ke 0-45 cenderung fluktuatif. Indeks pencemaran (IP) ke enam stasiun tersebut termasuk kategori tercemar sedang - tercemar berat. Hal tersebut menandakan perairan Waduk Way Tebabeng telah tercemari oleh kegiatan budidaya ikan menggunakan KJA. Pencemaran perairan Waduk Way Tebabeng berkaitan erat dengan beban pencemaran yang telah melebihi baku mutu. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau air limbah (PerMenLH No 28 Tahun 2009). Unsur pencemaran tersebut berasal dari pakan ikan dan faeces ikan budidaya serta kegiatan di dalam dan di sekitar waduk. Manajemen pakan yang buruk dalam budidaya ikan dan kondisi di sekitar perairan waduk akan berkontribusi terhadap peningkatan pencemaran perairan waduk. Stasiun II memiliki indeks pencemaran (IP) pada hari ke45 paling rendah. Hal tersebut disebabkan stasiun II memiliki persentase kerapatan KJA yang paling rendah yakni 25 % dan konsentrasi amonia paling rendah 0,56 mg/l. Hal tersebut menyebabkan bahan organik sebagai salah satu sumber pencemar memberikan kontribusi yang rendah. Sedangkan pada stasiun IV memiliki indeks pencemaran yang cenderung rendah. Nilai tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi hidrogen sulfida (H2S) senilai 0,73 mg/l dan fosfat (PO4) senilai 0,023 mg/l pada stasiun IV yang cenderung rendah.
Pada stasiun III pengamatan hari ke-45 nilai IP paling tinggi. Hal tersebut disebabkan dekomposisi bahan organik di stasiun III lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Kemudian stasiun V pada pengamatan hari ke-45 termasuk yang memiliki IP tertinggi kedua. Hal itu disebabkan stasiun V memiliki persentase kerapatan (tutupan) KJA paling tinggi yakni 100 %. Hal tersebut menyebabkan bahan organik yang terdapat juga tinggi. Stasiun I merupakan perairan dengan tutupan enceng gondok. Menurut Yuningsih dkk. (2014) perairan dengan tutupan enceng gondok memiliki kandungan bahan organik lebih tinggi dibandingkan dengan perairan terbuka. Stasiun VI memiliki kedalaman air paling tinggi, namun merupakan daerah outlet tempat terakumulasinya limbah, sehingga IP juga termasuk tinggi. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan persentase kerapatan (tutupan) KJA tidak berbanding lurus dengan peningkatan nilai IP pada setiap stasiun pengamatan, tetapi cenderung berbanding terbalik dengan penurunan kualitas perairan. Kegiatan budidaya ikan menjadi faktor utama terjadinya pencemaran perairan. Limbah dari pakan dan faeces ikan akan terakumulasi dan menurunkan kualitas perairan. TSS, COD, dan BOD5 termasuk parameter pencemar pada perairan (Marganof dkk., 2007). Peningkatan jumlah aktivitas budidaya ikan menggunakan KJA, mengakibatkan peningkatan jumlah beban cemaran yang akan dibuang ke perairan. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh jarak antar KJA, jumlah padat tebar ikan, dan manajemen pemberian pakan (Erlania 8
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 2 (2015) 1-16
dkk., 2010). Jumlah padat tebar ikan yang tinggi dengan manajemen pakan yang buruk mengakibatkan perairan menjadi keruh dan tercemar. Penelitian ini berlangsung pada bulan September - November 2014 periode musim kemarau. Pada musim kemarau padat tebar ikan yang dibudidayakan berkurang dengan waktu pemeliharaan yang lebih cepat. Berkurangnya ketinggian air waduk dan kedalaman KJA menjadi alasan budidaya ikan mas dan nila yang umumnya selama 3 - 4 bulan, hanya dibudidayakan selama 2 - 3 bulan. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya penggunaan pakan, sehingga bahan organik yang terdapat di sekitar KJA pun berkurang. Yuningsih dkk. (2014) menyebutkan bahwa perairan dengan KJA memiliki bahan organik lebih tinggi dibandingkan dengan perairan terbuka, dan kawasan yang terdapat enceng gondok.Hal tersebut didukung dengan tingkat kecerahan air dan kedalaman air waduk. Peningkatan nilai kecerahan dan penurunan kedalaman air waduk menyebabkan peningkatan bahan organik. Menurut Barus dkk. (2008) cahaya matahari yang masuk ke perairan menyebabkan cepat terjadinya proses fotosintesis. Proses fotosintesis mempengaruhi peningkatan produktivitas primer di perairan yang ditandai dengan peningkatan unsur hara (bahan organik), menunjukkan perairan tersebut telah tercemar. Unsur hara yang terkandung dalam buangan pakan terutama adalah unsur nitrogen (N) dan fosfat (P). Schimittou (1991) menyebutkan bahwa salah satu sumber pencemaran lingkungan budidaya ikan diakibatkan
oleh pelepasan nitrogen (N) dan fosfor (P) dari pakan ikan. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pengkayaan bahan organik. Parameter kualitas air yang mewakili unsur N dan P adalah nitrat, nitrit, amonia dan fosfat. Tingginya konsentrasi parameter kualitas air tersebut berbanding lurus dengan tingkat pencemaran perairan. Menurut Widyastuti dkk.(2010) pemberian pakan fermentasi dengan penambahan probiotik dapat mengurangi rasio konversi pakan, sehingga jumlah cemaran N dan P dari pakan berkurang dan lebih efektif untuk budidaya ikan system KJA. Menurut Badruddin (2010) tingkat pencemaran air waduk dapat diturunkan dengan mengurangi jumlah KJA. Pengurangan jumlah KJA akan mengurangi jumlah beban cemaran nitrogen dan fosfor ke perairan waduk. Hal tersebut menyebabkan eutrofikasi dan pencemaran biologis (akumulasi enceng gondok) dapat dikurangi. Berdasarkan Gambar 3 nilai regresi linier dari hubungan persentase kerapatan (tutupan) KJA dengan peningkatan indeks pencemaran adalah senilai r = 0,085. Hubungan persentase kerapatan (tutupan) KJA dengan peningkatan indeks pencemaran adalah sangat rendah (lemah sekali). Pengaruh persentase kerapatan (tutupan) KJA terhadap tingkat pencemaran diperairan Waduk Way Tebabeng senilai r2 = 0,007. Nilai pengaruh atau determinasi (R) kerapatan (tutupan) KJA terhadap indeks pencemaran didapatkan sebesar R = r2 x 100 % senilai 0,7 %. Hal tersebut menunjukkan pengaruh kerapatan (tutupan) KJA terhadap tingkat pencemaran perairan Waduk Way Tebabeng sangat rendah. Selanjutnya nilai determinasi (R) 9
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 2 (2015) 1-16
pengaruh dari faktor lain terhadap tingkat pencemaran di perairan Waduk Way Tebabeng adalah senilai R = 100 % - 0,7 % = 99,3 %. Faktor lain tersebut dapat dipengaruhi atau disebabkan oleh musim, aktivitas di dalam perairan waduk, dan aktivitas di luar perairan Waduk Way Tebabeng. Oleh karena itu, terdapat banyak faktor penyebab tingkat pencemaran di perairan waduk dengan budidaya ikan menggunakan KJA. Konsentrasi parameter kimia yaitu COD, BOD5, NH3, dan H2S menjadi indikator utama kegiatan budidaya ikan di KJA telah mencemari perairan Waduk Way Tebabeng. Konsentrasi ke empat parameter tersebut telah melebihi baku yang diizinkan sesuai PP No 82 Tahun 2001. Konsentrasi ke empat parameter yang melebihi baku mutu meyebabkan pengurangan DO, perairan menjadi keruh, dan meracuni organisme air (ikan budidaya). Parameter kimia tersebut bersumber dari proses dekomposisi bahan organik berupa sisa pakan, mikroba mati, faeces, dan kegiatan di sekitar waduk. Amonia bersumber dari dekomposisi bahan organik berupa nitrogen dari sisa pakan yang tidak termakan dan faeces ikan (Marganof, 2007). Hidrogen sulfida (H2S) dan amonia (NH3) berasal bahan organik berupa sisa pakan, faeces ikan, padatan tersuspensi dan terlarut dalam perairan. Proses pengurairan bahan organik tersebut memerlukan jumlah oksigen yang tinggi. Hal tersebut mengakibatkan kondisi di dasar perairan menjadi anaerobik, sehingga DO mengalami penurunan. Kondisi anaerobik akan menghasilkan senyawa toksik yaitu H2S dan amonia (Demetrio
et.al, 2011). Jadi, diperlukan manajemen pemberian pakan, jenis pakan yang diberikan, dan frekuensi pemberian pakan guna mengurangi bahan organik yang terbuang di perairan. Perairan yang tergolong sangat subur (hipereutrofik) termasuk penyebab pencemaran perairan. Tingkat kesuburan tersebut dipengaruhi dekomposisi N dan P dalam pakan ikan. Menurut Nurdin dkk. (2011) frekuensi pemberian pakan sebanyak 3 kali sehari termasuk efektif untuk pertumbuhan dalam pembesaran ikan mas di KJA. Frekuensi pemberian pakan lebih dari 3 kali sehari dapat meningkatkan FCR (feed conversion ratio) pakan, sehingga meningkatkan penumpukan limbah N dan P didasar perairan waduk. Menurut Kartamiharja (2013) pemberian pakan ikan secara ad libitum harus diatur dengan baik.Pakan harus habis terlebih dahulu baru diberikan kembali, jangan sampai meninggalkan pakan yang tidak termakan dalam jumlah banyak. Pakan yang tidak termakan akan terurai di perairan dengan meninggalkan konsentrasi fosfat yang tinggi. Selain itu jenis pakan tenggelam dalam pemeliharaan ikan. Penggunaan kombinasi pakan tenggelam dan terapung, atau pakan terapung dengan kadar fosfat yang rendah baik untuk dilakukan. Hal tersebut akan menekan jumlah fosfat di perairan, sehingga tingkat pencemaran dapat dikurangi. Menurut Utomo dkk. (2005) padat tebar dan cara pemberian pakan mempengaruhi FCR (feed conversion ratio) pakan. Perbedaan padat tebar pada KJA menyebabkan perbedaan jumlah pakan yang diberikan. Hal 10
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 2 (2015) 1-16
tersebut menyebabkan FCR (feed conversion ratio) pakan berbeda. Padat tebar tinggi menyebabkan peningkatan nilai FCR (feed conversion ratio). FCR (feed conversion ratio) adalah rasio jumlah pakan yang diberikan untuk menghasilkan 1 kg daging ikan. FCR (feed conversion ratio) pakan yang diberikan pada ikan mas telah melebihi 1. Nilai FCR (feed conversion ratio) tersebut termasuk tinggi. Peningkatan nilai konversi pakan mengakibatkan peningkatan limbah hara N dan P yang dibuang ke perairan (Yosmaniar, 2010). Hal tersebut pula menjadi indikator tingginya tingkat pencemaran. Konsentrasi bahan organik yang tinggi dengan tingkat kecerahan yang rendah menjadi penyebab peningkatan pencemaran perairan waduk. Menurut Priyanto dkk. (2008) perairan waduk dengan konsentrasi amonia, COD, sulfat, nitrat yang melebihi baku mutu dengan kecerahan < 45 cm termasuk perairan tercemar. Konsentrasi bahan organik yang tinggi menggambarkan kandungan logam berat di perairan waduk tersebut cukup tinggi. Arah angin dan arah arus menjadi salah satu penyebab pengaruh kerapatan (tutupan) KJA terhadap indeks pencemaran sangat rendah. Arus air mengikuti pergerakan dari arah angin (Shaw et.al, 2004). Arah angin dan arah arus sama-sama mengarah ke barat laut. Selain itu arus dapat bergerak ke segala arah dalam perairan waduk (Goldman dan Horne, 1983). Pergerakan arus didukung dengan adanya turbulensi (pergerakan air secara vertikal) dan gaya laminar (pergerakan air secara horizontal). Pergerakan arus tersebut membawa nutrien, bahan organik, dan plankton ke
semua bagian waduk. Hal itu menyebabkan air yang mengandung nutrien, bahan organik, dan plankton menjadi tercampur dan homogen di semua stasiun pengamatan. Hal tersebut mengakibatkan semua stasiun pengamatan tingkat pencemarannya cenderung termasuk tercemar berat. Berdasarkan pengamatan makroskopis di perairan Waduk Way Tebabeng arus air waduk cenderung lambat. Menurut Kawara et.al (2002) cit. Harsono (2011) arus air yang lambat membuat konsentrasi fitoplankton di perairan mengalami peningkatan jumlah. Jumlah fitoplankton yang tinggi tersebut dipengaruhi oleh laju pertumbuhannya yang cepat dan gaya transportasi dari arus tersebut. Hasil penelitian Harsono (2011) di Waduk Jatiluhur menunjukkan terjadinya akumulasi fitoplankton pada perairan dengan kecepatan arus < 15 cm/s dibandingkan dengan kecepatan arus air > 15 cm/s. Kegiatan tersebut berpotensi menimbulkan blooming alga. Blooming alga termasuk indikator terjadinya pencemaran. Pendangkalan merupakan salah satu indikator terjadinya pencemaran perairan (Sudrajat dkk., 2010). Pendangkalan erat kaitannya dalam pengelolaan waduk. Ketinggian Waduk Way Tebabeng telah mengalami pendangkalan. Hal itu dilihat dengan variasi ketinggian Waduk Way Tebabeng. Pendangkalan waduk disebabkan oleh sedimen dari bahan organik yang terdapat di dasar perairan. Hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan ketinggian masing-masing stasiun pengamatan. Peningkatan pendangkalan pada waduk juga disebabkan oleh perubahan musim. Menurut Piranti dkk.(2008) 11
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 2 (2015) 1-16
pendangkalan waduk dipengaruhi oleh adanya perubahan iklim. Perubahan musim hujan kemarau dan sebaliknya menyebabkan terjadinya perubahan sedimen yang ada di dasar perairan waduk.Menurut Harsono (2011) perubahan iklim menyebabkan peningkatan klorofil-a yang berpotensi terjadinya blooming alga. Faktor lain tersebut juga dapat diduga berasal dari kegiatan di sekitar perairan Waduk Way Tebabeng. Menurut Badruddin (2010) kegiatan di sekitar waduk berpotensi mencemari perairan waduk. Kegiatan tersebut antara lain kegiatan pertanian, perkebunan, persawahan, erosi humus hutan, dan kegiatan peternakan. Hal tersebut sesuai dengan kondisi disekitar Waduk Way Tebabeng yang terdapat perkebunan singkong, jagung, karet, dan peternakan ayam. Menurut Joorgensen dan Vollenweider (1988) cit. Koswara (2011) pengelolaan waduk harus dilakukan dengan mengendalikan variabel eksternal (hujan, angin, intensitas matahari) dan variabel internal (beban limbah masukan dan keluaran air, nutrien dan zat-zat beracun). Pengelolaan kedua variabel tersebut akan meminimalkan pencemaran di perairan waduk. Intensitas cahaya matahari pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan dengan musim hujan. Hal tersebut sesuai dengan pengamatan suhu udara yang cenderung tinggi. Menurut Barus dkk. (2008) intensitas cahaya matahari yang tinggi masuk keperairan menyebabkan terjadinya proses fotosintesis. Proses fotosintesis mempengaruhi produktivitas primer di perairan. Produksi primer tersebut ditandai dengan adanya kesuburan perairan (pengkayaan unsur hara).
Kesuburan perairan terjadi karena adanya cahaya matahari dan bahan organik. Kesuburan perairan menandakan telah terjadi pencemaran biologis. Hal tersebut terlihat dari pengurangan tingkat kecerahan, blooming alga dan fitoplankton, akumulasi tanaman enceng gondok di perairan Waduk Way Tebabeng. Aktivitas Budidaya Ikan di Waduk Way Tebabeng Budidaya ikan menggunakan KJA di Waduk Way Tebabeng masih tradisional. Peningkatan kerapatan (kepadatan) KJA mulai terjadi Tahun 2004 - sekarang. Saat ini tidak terdapat organisasi pengelola pembudidaya ikan di Waduk Way Tebabeng. Jumlah KJA yang terdapat di waduk yaitu > 217 KJA. Ukuran setiap KJA bervariasi mulai 6 x 6 m dan 6 x 12 m dan kedalaman KJA 1-2 m dengan menggunakan jaring tunggal. Ikan mas dan ikan nila adalah jenis ikan yang banyak dibudidayakan. Ikan mas berasal dari daerah Pringsewu, Lampung dan dari Jawa Barat. Sedangkan ikan nila merupakan hasil penangkapan lokal di perairan Waduk Way Tebabeng. Padat tebar ikan setiap KJA bervariasi. Stasiun II dan stasiun III memiliki padat tebar 4000-5000 ekor/KJA. Stasiun IV memiliki padat tebar 3000-5000 ekor/KJA. Waktu pemeliharaan ikan selama 3 - 4 bulan. Waktu pemeliharaan tersebut bisa lebih singkat dalam waktu 2 - 3 bulan. Kedalaman setiap stasiun cenderung kurang memenuhi untuk budidaya ikan menggunakan KJA yaitu 194,32 - 410,25 cm. Menurut Hanif dkk. (2011) kedalaman minimal untuk budidaya ikan menggunakan KJA adalah 10 m. Hal tersebut berkaitan 12
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 2 (2015) 1-16
dengan fluktuasi air dan naiknya bahan organik ke permukaan waduk. Sudrajat dkk.(2010) menyebutkan bahwa pada bagian dasar KJA sering terjadi arus balik atau umbalan. Peristiwa pembalikan massa air tersebut mengangkat bahan-bahan beracun seperti NH3 dan H2S ke permukaan air. Kedalaman KJA yang terlalu rendah mengakibatkan ikan akan terkena peristiwa alam tersebut. Oleh karena itu, letak KJA harus memperhatikan kedalaman air waduk dan arus air. Pakan ikan yang diberikan adalah pakan buatan (pelet). Pemberian pakan secara ad libitum. Frekuensi pemberian pakan mulai dari 3 - 5 kali/hari. Pemberian pakan secara ad libitum harus ditunggu sampai pakan benarbenar habis termakan oleh ikan. Hal tersebut untuk menghindari banyaknya sisa pakan yang tidak termakan. Sisa pakan akan masuk keperairan manjadi bahan organik yang akan mencemari perairan. Menurut Roy et. al (2013) bahan organik merupakan sumber untuk pertumbuhan dan penambahan jumlah mikrorganisme. Adanya mikrorganisme akan menyuburkan perairan memicu terjadinya eutrofikasi. Menurut Komarawidjaja dkk. (2005) perairan yang subur (eutrofik) mempengaruhi fisiologis dan nafsu makan ikan mas, menyebabkan pertumbuhan ikan mas pada budidaya KJA menjadi kurang normal. Menurut Utomo dkk. (2005) cara pemberian pakan secara ad libitum mempengaruhi FCR (feed conversion ratio) pakan. FCR (feed conversion ratio) pakan yang diberikan pada ikan mas telah melebihi 1. Nilai FCR tersebut termasuk tinggi. Peningkatan nilai konversi pakan mengakibatkan peningkatan limbah unsur hara N dan P
yang dibuang keperairan (Yosmaniar, 2010). Hal tersebut pula menjadi indikator tingginya tingkat pencemaran. Kegiatan monitoring kualitas air, pergantian jaring, dan pemindahan letak KJA secara rutin tidak ada. Kegiatan pengontrolan kualitas air hanya dilakukan oleh instansi perikanan sekitar setahun sekali. Hal tersebut hanya dilakukan pada beberapa titik pengamatan. Satu atau dua titik yang belum mewakili keseluruhan wilayah perairan Waduk Way Tebabeng. Pergantian jaring hanya dilakukan dengan indikator sudah banyak ikan yang stress dan apabila memungkinkan diakhir bulan kemarau dilakukan pergantian jaring. Tidak terdapat pengantian jaring secara rutin. Menurut Hanif dkk. (2011) terdapat hal-hal yang harus dilakukan dalam manajemen budidaya ikan menggunakan KJA. Hal-hal tersebut diantaranya adalah pemeliharaan KJA, manajemen pakan yang baik, monitoring kualitas air, manajemen kesehatan ikan, ikan yang mati dibuang kedaratan bukan disekitar waduk dan manajemen lingkungan sekitar KJA. Manajemen pengelolaan KJA lain yang dilakukan adalah pergeseran letak KJA secara rutin, meletakkan posisi KJA pada bagian aliran sungai utama dengan kedalaman minimal 2 m dari dasar perairan, pengurangan jumlah KJA, pengurangan padat tebar ikan/KJA pada musim kemarau, penjemuran dan pergantian jaring secara rutin, pengaturan jarak antar KJA, pemberian pakan dengan cara yang efektif dan jenis pakan yang diberikan merupakan kombinasi pakan terapung dan tenggelam.
13
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 2 (2015) 1-16
SIMPULAN Peningkatan kerapatan (tutupan) KJA tidak berpengaruh terhadap peningkatan IP setiap stasiun pengamatan. Hubungan persentase kerapatan KJA dengan peningkatan IP adalah berkorelasi negatif senilai r = 0,085 (sangat lemah). Pengaruh kerapatan KJA terhadap IP waduk senilai R = 0,7 %. Budidaya ikan di Waduk Way Tebabeng masih tradisional yaitu menggunakan jaring tunggal dengan kepadatan 3000-5000 ekor ikan/KJA.
DAFTAR PUSTAKA Badruddin, M. 2010. Model Perhitungan Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan Waduk. Jurnal Sumber Daya Air Vol 6 No 2 November 2010 : 103-204. Barus, T.A., S.Sayrani, T. Rosalina. 2008. Produktivitas Primer Fitoplankton dan Hubungan dengan Faktor Fisika Kimia di Perairan Parapat, Danau Toba. Jurnal Biologi Sumatera, 3(1):11-16. Cochran, W. G. 1977. Sampling Techniques Third Edition. Harvard University, United State of America. Demetrio, J.A., L.C. Gomez, J.D. Latini, A.A.Agostinho. 2011. Influence of Net Cage Farming on The Diet of Associated Wild Fish in a Neotropical Reservoir. Journal Aquaculture 330333 (2012): 172-178.
Erlania, Rusamedi, A. B. Prasetio, J. Haryadi. 2010. Dampak Manajemen Pakan dari Kegiatan Budidaya Ikan Nila (Oreochromis niloticus) di Keramba Jaring Apung Terhadap Kualitas Perairan Danau Maninjau. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara, Jakarta. Fauzi, A., D. Darnaedi, L.B. Prasetyo, B. Gunawan, Driejana, I.M. Kamil, H. D. Ariesyadi, H. Yulinawati, A. Herwana, D. Gardera, E. Hamonangan, D. Ratnaningsih, Jetro. 2013. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2012. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta. Goldman, C. R. and A. J. Horne. 1983. Limnology International Student Edition. McGrawHill Book Company, Japan. Hadi, S. 2005. Metode Penelitian Sosial : Kuantitatif, Kualitatif, dan Kaji Tindak. Program Magister Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro. Semarang. Hanif, S., B. K. Setyo, B. Syahputra, J. Hotajulu. 2011. Best Management Practices : Panduan Budidaya Ikan Nila Sistem Keramba jaring Apung. Tim Perikanan WWF-Indonesia. Harsono, E. 2011.Kajian Hubungan Antara Fitoplankton dengan Kecepatan Arus Air Akibat Operasi Waduk Jatiluhur. Jurnal Biologi Indonesia 7 (1): 99-120 Tahun 2011. 14
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 2 (2015) 1-16
Irianto, E.W. Dan R. W. Triweko. 2011. Eutrofikasi Waduk dan Danau Permasalahan, Pemodelan dan Upaya Pengendalian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pekerjaan Umum. Jakarta. Kartamiharja, E. S. 2013. Fenomena Dampak Upwelling Pada Usaha Budidaya Ikan dengan KJA di Danau dan Waduk.Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan.Workshop Pengelolaan Lingkungan Perikanan Budidaya di Perairan Umum. Bogor, 2-4 Oktober 2013. KepMenLH. 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 115 Tahun 2003 Tentang Penentuan Status Mutu Air dengan Metoda Indeks Pencemaran Komarawidjaja, W., S. Sukimin, E. Arman. 2005. Status Kualitas Air Waduk Cirata dan Dampaknya Terhadap Pertumbuhan Ikan Budidaya. Jurnal Teknik Lingkungan P3TL-BPPT.6 (1) : 268-273. Koswara, B. 2011. Restorasi Waduk Saguling Melalui Aplikasi Metode Ekoteknologi. Jurnal Akuatika Volume II Nomor 2 September 2011. Marganof. 2007. Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatra Barat. Laporan hasil
penelitian Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Marganof, L.K. Darusman., E. Riani, B. Pramudya. 2007. Analisis Beban Pencemaran, Kapasitas Asimilasi dan Tingkat Pencemaran dalam Upaya Pengendalian Pencemaran Perairan Danau Maninjau. Jurnal Perikanan dan Kelautan 12, I (2007) : 8-14. Nurdin, M., A. Widiyati, Kusdiarti, I. Insan. 2011. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan Terhadap Produksi Pembesaran Ikan Mas (Cyprinus carpio) di Keramba Jaring Apung Waduk Cirata. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011. Peraturan Pemerintah No 82 Tahun 2001 Tentang Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Baku Mutu Air Kelas III. PerMenLH. 2009. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 28 Tahun 2009 Tentang Daya Tampung Beban Pencemaran Air Danau dan atau Waduk. Piranti, A. S., E. Widyastuti, D. R. U. S. Rahayu. 2008. Penyusunan Komponen Model Dalam Pendekatan Sistem Pengelolaan Waduk Wadaslintang Suatu Upaya Menghadapi Perubahan Iklim. Prosiding Seminar Nasional Limnologi IV 2008. Priyanto, N., Dwiyitno, F. Ariyani. 2008. Kandungan Logam Berat (Hg, Pb, Cd, dan Cu) 15
Jurnal Sains dan Pendidikan Vol. 2 No. 2 (2015) 1-16
Pada Ikan, Air, dan Sedimen di Waduk Cirata, Jawa Barat. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 3 No. 1 Bulan Juni 2008. Roy, K., M.S. Chari, S.R. Gaur. 2013. Eutrophication In Lentic Systems and Its Impact on Fisheries. International Journal of Research In Fisheries and Aquaculture 2013; 3(4): 170-175. Schimittou, H. R. 1991. Cage Culture, a Method of Fish Production In Indonesia. Central Research Institute of Fisheries, Jakarta. Shaw, B., C. Mechenich, L. Klessig. 2004. Understanding Lake Data. University of Wisconsin. USA. Simarmata, A.H. 2007. Kajian keterkaitan antara kemantapan cadangan oksigen dengan beban masukan bahan organik di Waduk Ir. H. Juanda Purwakarta Jawa Barat. Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sudradjat, A., H. Supriyadi, A. Saputra. 2010. Evaluasi Perairan Waduk Cirata Sebagai Kawasan Budidaya Ikan Dalam Mendukung Penigkatan Ketahanan Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan Budidaya. Jakarta. Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta, Bandung Utomo. N.B. P., P. Hasanah, I. Mokoginta. 2005. Pengaruh Cara Pemberian Pakan yang Berbeda Terhadap Konversi Pakan dan Pertumbuhan Ikan Mas (Cyprinus Carpio) di Keramba Jaring Apung. Jurnal Akuakultur Indonesia, 4(2): 49–52 (2005). Widyastuti, E., Sukanto, S. Rukayah. 2010. Penggunaan Pakan Fermentasi pada Budidaya Ikan Sistem Keramba Jaring Apung untuk Mengurangi Potensi Eutrofikasi di Waduk Wadaslintang. Jurnal Limnotek (2010) 17 (2) : 191-200. Yosmaniar.2010. Hubungan Konversi Pakan dengan Beban Limbah Hara N dan P yang dibuang ke Air Pemeliharaan.Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Bogor. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010. Yuningsih, H.D., P. Soedarsono, S. Anggoro. 2014. Hubungan Bahan Organik Dengan Produktivitas Perairan pada Kawasan Tutupan Eceng Gondok, Perairan Terbuka dan Keramba Jaring Apung di Rawa Pening Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Diponegoro Journal of Maquares.Volume 3, Nomor 1, Tahun 2014.
16