SIMULASI KOMPUTER PENGARUH RELOKASI KERAMBA JARING APUNG TERHADAP KANDUNGAN NITRAT DI DALAM AIR WADUK JATILUHUR COMPUTER SIMULATION ON THE EFFECT OF FISH CAGE RELOCATION TO NITRATE CONTENT IN JATILUHUR RESERVOIR Amallia Ashuri1 dan Priana Sudjono2 Program Studi Magister Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha No. 10, Bandung 40132 Email:
[email protected],
[email protected] Abstrak: Kegiatan keramba jaring apung yang dikembangkan di Waduk Jatiluhur berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pangan. Namun, akibat pertumbuhannya yang cepat dan tidak terkendali maka kegiatan keramba jaring apung telah menjadi sumber pencemar utama, termasuk nitrat, dalam Waduk Jatiluhur. Nitrat sebagai salah satu nutrien yang dapat digunakan langsung oleh biota air merupakan salah satu pemicu terjadinya eutrofikasi dalam waduk. Degradasi kualitas air akibat eutrofikasi dapat mengganggu fungsi waduk sebagai pembangkit listrik dan penyedia pasokan air baku air minum serta irigasi pertanian. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan merelokasi keramba jaring apung dari daerah disekitar outlet waduk menuju lokasi yang lebih jauh dari outlet waduk. Untuk melihat sejauh mana pengaruh kegiatan keramba jaring apung dalam waduk maka dilakukan simulasi konsentrasi nitrat dalam air waduk dengan menggunakan pendekatan segmentasi vertikal. Simulasi konsentrasi nitrat juga dilakukan dengan menerapkan skenario perbaikan berupa relokasi keramba jaring apung. Simulasi terhadap skenario perbaikan dilakukan sebagai suatu langkah optimasi dalam rangka mereduksi konsentrasi nitrat di outlet waduk. Hasil simulasi menunjukkan bahwa upaya pengelolaan dengan merelokasikan keramba jaring apung menuju lokasi yang lebih jauh dari outlet wasuk telah berhasil menurunkan konsentrasi nitrat di segmen terakhir waduk. Dari hasil simulasi didapat bahwa reduksi konsentrasi nitrat tertinggi didapatkan dengan cara merelokasi keramba jaring apung dari segmen kedelapan menuju segmen kedua. Dengan merelokasikan keramba jaring apung menuju segmen kedua sebanyak 20%, 50%, dan 100% dari jumlah keramba jaring apung di segmen kedelapan masing-masing telah berhasil menurunkan konsentrasi nitrat sebesar 16,67%, 41,52%, dan 82,37% pada segmen terakhir waduk. Kata kunci: keramba jaring apung, nitrat, Waduk Jatiluhur, kualitas air.
Abstract: Fish cages in Jatiluhur reservoir are developed in order to meet the food demands. However, due to its rapid and uncontrollable growth, fish cages turn to be the major pollutant source in Jatiluhur reservoir. Nitrate, as one of nutrient that can be use directly by aquatic biota, is one of the factor that trigger eutrophication in a reservoir. Water quality degradation caused by eutrophication can hinder reservoir function as a hydro-electric generation and water resources that provided raw water for drinking water and irrigation. An effort that is possibly done to overcome the problem was by relocating the fish cages to upstream site. The simulation of nitrate concentration that approached by vertical segmentation then being done to see to what extent fish cage number affected the nitrate concentration in reservoir. The simulation was also being done by implementing improved scenario. The simulation with improved scenario carried out as an optimization measure in order to reduce the nitrate concentration in reservoir outlet. The results of the simulation indicated that by relocated the fish cage to further location from reservoir outlet has been successful reduce nitrate concentration in the last segment of the reservoir. The highest nitrate concentration reduction was obtained when the fish cage was relocated from the eighth segment to the second segment of the reservoir. By relocate the fish cage as much as 20%, 50%, and 100% of the number of fish cage in the eighth segment the nitrate concentration reduction in the last segment is 16.67%, 41.52%, and 82.37% respectively. Keywords: fish cage, nitrate, Jatiluhur reservoir, water quality.
3-1
PENDAHULUAN Budidaya ikan dengan keramba jaring apung (KJA) merupakan salah satu strategi yang banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan. Namun, budidaya perikanan ini dapat menyebabkan berbagai dampak lingkungan pada badan air (Demetrio et al., 2011). Begitu pula dengan yang terjadi dengan kegiatan budidaya perikanan di Waduk Jatiluhur. Jumlah KJA yang meningkat dengan pesat dan tidak terkendali mengakibatkan degradasi kualitas air Waduk Jatiluhur. Salah satunya adalah peningkatan kandungan nutrien, seperti nitrogen (N) dan fosfor (P), dalam air yang berasal dari pakan ikan yang tidak termanfaatkan. Konsentrasi nutrien yang tinggi dapat memicu terjadinya eutrofikasi. Dampak eutrofikasi dari setiap badan air dapat bervariasi secara spasial dan temporal yang disebabkan oleh terdapat perbedaan kondisi hidrodinamika badan air (Boegman et al., 2001; Xu et al., 2010; Dingguo et al., 2011). Sudjono (2003) juga menyatakan bahwa pada waduk panjang (elongated reservoir), seperti Waduk Jatiluhur, kualitas air tidak akan seragam di sepanjang waduk yang disebabkan oleh perbedaan proses fisika dan biokimia di setiap bagian waduk. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kedalaman, karakteristik pergerakan air, penetrasi cahaya, dan adanya stratifikasi suhu terutama di daerah outlet. Garno (2002) mengungkapkan bahwa waduk Jatiluhur telah mengalami eutrofikasi. Penyebab terjadinya eutrofikasi di Waduk Jatiluhur diakibatkan oleh kegiatan di hulu dan sekitar waduk meliputi pemukiman, peternakan, pertanian, dan industri serta kegiatan di dalam waduk yaitu budidaya ikan keramba jaring apung (KJA) (Garno, 2003). Kegiatankegiatan tersebut menyebabkan asupan limbah sebesar 0,88 mg-N/L dan 0,06 mg-P/L dimana keduanya telah melebihi batas konsentrasi rawan eutrofikasi yakni 0,3 mg-N/L dan 0,01 mgP/L. Sementara, beban nutrien yang hanya berasal dari kegiatan budidaya perikanan keramba jaring apung adalah sebesar 3,1 ton-N/tahun dan 128 kg-P/tahun (Abery, et al., 2005). Sejalan dengan itu, Tjahjo dan Purnamaningtyas (2008) menyatakan bahwa waduk Jatiluhur telah mengalami perubahan dari kondisi eutrofik menjadi hipereutrofik. Walaupun nitrat bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan eutrofikasi namun bila dilihat dari potensinya dalam menyebabkan gangguan terhadap fungsi Waduk Jatiluhur maka dibutuhkan suatu upaya untuk mengurangi konsentrasi nitrat dalam waduk. Oleh karena itu, pelaksanaan penelitian kali ini dimaksudkan untuk mengkaji strategi pengurangan konsentrasi nitrat dengan cara merelokasi keramba jaring apung menuju lokasi yang lebih jauh dari outlet waduk. Simulasi pengaruh dampak relokasi terhadap konsentrasi nitrat dalam air Waduk Jatiluhur akan dilakukan dengan pendekatan segmentasi vertikal.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dibagi menjadi dua langkah utama yakni simulasi limpasan permukaan dan simulasi konsentrasi nitrat dalam air waduk. Lokasi Studi Lokasi yang menjadi daerah studi penelitian adalah Waduk Jatiluhur yang terletak pada 6031’ LS dan 107023’ BT. Posisi Waduk Jatiluhur dalam DAS Citarum dapat dilihat pada Gambar 1. Waduk Jatiluhur merupakan waduk multiguna yang berfungsi diantaranya untuk menyediakan pasokan air baku air minum, pembangkit listrik, prasarana budidaya perikana air tawar, pemenuh kebutuhan irigasi, dan pemenuh kebutuhan air untuk industri.
3-2
Gambar 1. Waduk Jatiluhur dalam DAS Citarum.
Simulasi Limpasan Permukaan Simulasi limpasan permukaan diawali dengan segmentasi daerah tangkapan. Daerah tangkapan waduk terbagi menjadi dua yakni daerah tangkapan sisi barat waduk dan sisi timur waduk. Daerah tangkapan sebelah barat dinamakan daerah tangkapan I sedangkan daerah tangkapan sebelah timur dinamakan daerah tangkapan II. Daerah tangkapan waduk kemudian akan dibagi kedalam daerah-daerah yang disebut baris (array). Pembagian daerah tangkapan menjadi baris atau array dilakukan berdasarkan topografi daerah tangkapan. Kemudian setiap baris akan dibagi kembali menjadi segmen-segmen yang lebih kecil (Gambar 3). Pembagian jumlah segmen dalam baris dilakukan dengan asumsi panjang setiap segmen kurang lebih sama. Pembagian daerah tangkapan menjadi baris dan segmen dilakukan untuk memudahkan perhitungan debit air limpasan setiap satuan waktu. Setelah segmentasi dilakukan langkah selanjutnya adalah prediksi debit limpasan permukaan yang dilakukan dengan menggunakan model ISTFM (Integrated System Tropical Flow Model) yang dikembangkan oleh Sudjono (1995). Model ISTFM dikembangkan dengan menerapkan prinsip kekekalan masa dengan asumsi bahwa kecepatan aliran air dan aliran limpasan adalah konstan selama terjadi hujan. Dalam suatu segmen, sebagian air hujan akan terinfiltrasi mengisi pori tanah, bila kondisi saturasi terpenuhi maka air hujan akan menjadi air limpasan permukaan. Segmen daerah tangkapan merupakan sepotong tanah dengan panjang l, dan lebar b. Dengan mengimplementasikan prinsip konservasi masa maka kesetimbangan masa dalam segmen akan tampak seperti pada Gambar 2. Kesetimbangan masa air dalam segmen daerah tangkapan dapat dilihat pada Persamaan 1. ΔVrw + ΔVbi + ΔVoi + ΔVri = ΔVv + ΔVbo + ΔVr + ΔVo (Persamaan 1)
Gambar 2. Kesetimbangan Masa Air dalam Segmen Daerah Tangkapan. 3-3
Simulasi Konsentrasi Nitrat dalam Waduk Dalam penelitian kali ini akan dilakukan tiga simulasi konsentrasi nitrat. Simulasi pertama ialah simulasi kondisi aktual konsentrasi nitrat dalam waduk. Kondisi aktual diwakili melalui informasi atau data, seperti curah hujan dan jumlah keramba aring apung, pada tahun 2010. Sebagai pembanding dilakukan pula simulasi kedua yakni pada kondisi jika di dalam waduk tidak terdapat keramba jaring apung. Sementara simulasi ketiga adalah simulasi perbaikan kualitas air waduk yang dilakukan dengan merelokasikan keramba jaring apung yang terletak di segmen kedelapan menuju segmen yang lokasinya lebih jauh dari outlet waduk. Simulasi perbaikan kualitas air waduk melalui usaha relokasi keramba jaring apung tersebut dilakukan dengan beberapa skenario yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Skenario Relokasi. Skenario A B
Lokasi Relokasi Segmen 2
E
20 Segmen 3
H
50 100
F G
50 100
C D
% relokasi KJA 20
20 Segmen 4
50 100
I
Bentuk waduk Jatiluhur yang memanjang (elongated) mengikuti bentuk dasar sungai menyebabkan kondisi tercampur sempurna hanya berlaku dalam cakupan yang terbatas. Oleh karena itu, agar hasil pemodelan yang dilakukan sedapat mungkin mendekati kondisi yang sebenarnya maka dilakukan segmentasi vertikal (Gambar 3). Segmentasi waduk dilakukan secara vertikal searah dengan arah aliran. Arah kecepatan air di Waduk Jatiluhur diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Arifin (2011) dengan menggunakan model hidrodinamika dengan bantuan software MIKE21 yang dikembangkan oleh DHI Water & Environment. Adapun penentuan jumlah segmen dilakukan dengan pertimbangan bahwa setiap segmen harus mempunyai volume yang kurang lebih sama. Selanjutnya, dilakukan simulasi konsentrasi nitrat di dalam waduk dengan menggunakan model TREM (Tropical Reservoir Eutrophication Model) yang dikembangkan oleh Sudjono (2003).
Gambar 3. Segmen Waduk dan Daerah Tangkapan Waduk. 3-4
Model TREM dikembangkan untuk waduk yang memiliki bentuk memanjang (elongated reservoir) dengan asumsi bahwa kondisi dalam suatu segmen adalah steady state. Asumsi lain yang digunakan adalah air di dalam waduk tercampur sempurna (completely mixed). Dalam penerapan model TREM, waduk dibagi menjadi m segmen vertikal (Gambar 4) dimana air dalam suatu segmen akan tinggal selama time step (Δt) tertentu sebelum berpindah sesuai dengan arah aliran menuju segmen berikutnya. Input ke badan air dibagi menjadi dua macam yaitu input yang berasal dari aliran sungai utama (mainstream) dan input limpasan air dari daerah tangkapan yang masuk ke dalam segmen.
Gambar 4. Segmentasi Vertikal Waduk.
Segmen pertama menerima input dari aliran sungai utama dan limpasan air dari daerah tangkapan segmen pertama. Segmen kedua dan seterusnya menerima limpasan air dari daerah tangkapan di sepanjang segmen dan air dari segmen sebelumnya. Volume air yang keluar, selain dari debit outlet dari segmen yang terakhir, juga diperhitungkan pengambilan air oleh penduduk setempat atau intake PDAM dan laju evaporasi. Khusus untuk segmen terakhir dimana terdapat weir atau bendung, maka air akan tertahan (tidak mengalir ke segmen selanjutnya) sebanyak daya tampung bendung tersebut. Selama time step Δt, nitrat dapat mengalami proses fisika dan biokimia di dalam segmen sehingga konsentrasi nitrat di dalam segmen mengalami penurunan. Salah satu persamaan yang dapat dipakai untuk memperkirakan konsentrasi nitrat tersebut adalah persamaan reaksi orde pertama yang dapat dilihat pada Persamaan 2. (Persamaan 2)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil simulasi (Gambar 5) menunjukkan fluktuasi konsentrasi nitrat yang cukup tinggi di sepanjang waduk. Secara spasial, terjadi peningkatan konsentrasi nitrat di dalam waduk namun terjadi pula penurunan konsentrasi nitrat seperti yang terjadi pada segmen ketiga dan segmen ketujuh. Sementara secara temporal, konsentrasi nitrat dipengaruhi oleh faktor cuaca. Konsentrasi nitrat pada musim kemarau diwakili oleh hasil simulasi hari ke171-180 sedangkan musim hujan diwakili oleh hasil simulasi hari ke- 351-360. Secara umum, konsentrasi nitrat pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan konsentrasi nitrat pada musim hujan. Hal ini dapat terjadi karena pada musim kemarau volume air dalam waduk cenderung lebih sedikit jika dibandingkan dengan volume ketika musim penghujan, sehingga dengan beban yang sama konsentrasi nitrat di musim kemarau menjadi lebih tinggi. Fluktuasi konsentrasi nitrat dalam waduk, baik secara temporal maupun spasial, disebabkan oleh adanya input beban dari sumber pencemar internal dan eksternal. Sumber pencemar eksternal berasal dari kegiatan-kegiatan di sekitar daerah tangkapan waduk, terutama bila daerah tangkapan didominasi oleh kegiatan pertanian dimana fluks nitrogen dalam tanah akibat kegiatan pertanian meningkat sebesar 10 – 25% (Li et al., 2012). Sedangkan sumber pencemar beban internal berasal dari kegiatan budidaya perikanan keramba jaring apung dalam waduk. Selain peningkatan input, terjadi pula proses yang dapat
3-5
menyebabkan turunnya konsentrasi nitrat yaitu proses biokimia yang menyebabkan transformasi senyawa nitrogen dalam kolom air waduk serta proses fisika seperti sedimentasi. Kegiatan keramba jaring apung di Waduk Jatiluhur terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan jumlah keramba jaring apung di dalam waduk menyebabkan terjadinya peningkatan beban nitrat ke dalam air secara langsung. Sejak awal, kegiatan keramba jaring apung di Waduk Jatiluhur telah diperkirakan dapat menyebabkan pencemaran air yang berasal dari sisa pakan dan kotoran ikan (Soemarwoto, 2005). McDonald et al. (1996) menyatakan bahwa 30% pakan tidak termanfaatkan oleh ikan dan 25-30% dari pakan yang dikonsumsi akan diekskresikan. Untuk melihat sejauh mana pengaruh kegiatan budidaya perikanan keramba jaring apung terhadap konsentrasi nitrat di dalam air waduk maka dilakukan pula simulasi konsentrasi nitrat dengan kondisi waduk tanpa keramba jaring apung (KJA).
Gambar 5. Konsentrasi Nitrat berdasarkan Data Aktual Tahun 2010.
Hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 6(a) dan Gambar 6(b) yang masingmasing mewakili musim kemarau dan musim penghujan. Ketika waduk berada dalam kondisi tanpa keramba jaring apung, input nitrat hanya berasal dari sumber pencemar eksternal saja yaitu input beban nitrat yang berasal dari dalam tanah yang terbawa oleh limpasan permukaan dan konsentrasi nitrat yang berasal dari aliran sungai utama. Dalam kondisi tanpa keramba jaring apung, diketahui bahwa konsentrasi nitrat tertinggi pada musim kemarau adalah sebesar 0,007 mg/L dan pada musim penghujan sebesar 0,006 mg/L, sementara ketika di dalam waduk terdapat kegiatan keramba jaring apung konsentrasi nitrat tertinggi saat musim kemarau adalah sebesar 0,201 mg/L dan pada musim penghujan sebesar 0,115 mg/L. Konsentrasi nitrat tertinggi, baik pada musim hujan maupun kemarau, terjadi pada segmen kedelapan dimana segmen tersebut merupakan segmen dengan jumlah keramba jaring apung terbanyak (Gambar 7). Dari hasil simulasi tersebut telah terbukti bahwa kegiatan budidaya keramba jaring apung merupakan sumber pencemar utama dalam Waduk Jatiluhur.
(a) Hari ke- 171-180
(b) Hari ke- 351-360
Gambar 6. Perbandingan Konsentrasi Nitrat Tahun 2010 dengan Kondisi Waduk Tanpa Keramba Jaring Apung. 3-6
Gambar 7. Jumlah Keramba Jaring Apung Tahun 2010.
Telah banyak upaya yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas air dari air waduk diantaranya adalah dengan membangun kolam retensi, wetland, perbaikan tataguna lahan, dan perbaikan kualitas air sungai utama (Bo, 2008; Ham et al., 2010; Lindim et al.,2011). Namun dalam penelitian kali ini, upaya yang dilakukan guna memperbaiki kualitas air Waduk Jatiluhur adalah dengan merelokasikan petak-petak keramba jaring apung dari segmen kedelapan yang berlokasi di dekat oulet waduk menuju segmen lain yang letaknya lebih jauh dari outlet. Hal ini dilakukan karena pada segmen kesembilan terdapat turbin pembangkit listrik dan pada segmen kedelapan waduk terdapat intake air baku air minum sehingga kualitas air pada kedua segmen tersebut harus terjaga. Gambar 8 menunjukkan seluruh hasil simulasi skenario perbaikan melalui upaya relokasi keramba jaring apung. Hasil simulasi yang dilakukan menunjukkan bahwa setelah dilakukan relokasi, konsentrasi nitrat dalam segmen sasaran relokasi mengalami peningkatan akibat penambahan beban nitrat dari kegiatan keramba jaring apung yang berasal dari segmen kedelapan. Beban nitrat yang diterima oleh segmen sasaran relokasi jika hanya 20% keramba dari segmen kedelapan yang direlokasikan adalah sebesar 2,1 ton/hari. Sementara bila jumlah keramba yang direlokasikan sebesar 50% maka beban nitrat yang diterima adalah 5,26 ton/hari dan bila seluruh keramba dipindahkan maka beban yang akan diterima adalah sebesar 10,52 ton/hari. Pada skenario dimana keramba jaring apung direlokasikan menuju segmen kedua, rata-rata peningkatan konsentrasi nitrat yang terjadi di segmen kedua adalah masing-masing sebesar 1,40%, 3,49%, dan 6,98% jika jumlah keramba jaring apung yang direlokasikan sebanyak 20% dari jumlah keramba di segmen kedelapan, 50%, dan 100% (Gambar 8(a)). Sementara 2,86%, 7,17%, dan 14,35% pada saat keramba direlokasikan menuju segmen ketiga (Gambar 8(b)). Ketika keramba dipindahkan menuju segmen keempat rata-rata peningkatan konsentrasi nitrat yang terjadi pada segmen tersebut adalah sebesar 0,57%, 1,43%, dan 2,86% (Gambar 8(c)).
(a) Relokasi ke Segmen 2
(b) Relokasi ke Segmen 3
3-7
(c) Relokasi ke Segmen 4 Gambar 8. Perbandingan Rata-Rata Konsentrasi Nitrat untuk Setiap Skenario Relokasi.
Dinamika konsentrasi nitrat di lokasi sekitar outlet waduk ditunjukkan oleh Gambar 9. Dari hasil simulasi diketahui bahwa dengan merelokasikan keramba jaring apung menuju lokasi lain yang lebih jauh dari outlet waduk telah memberikan hasil yang positif bagi penurunan konsentrasi nitrat pada lokasi di segmen kesembilan (segmen terakhir) yang berada paling dekat dengan outlet waduk. Dapat dilihat bahwa setelah relokasi keramba jaring apung dilakukan konsentrasi nitrat pada lokasi di sekitar outlet menurun dengan drastis hingga hampir mendekati kondisi waduk tanpa keramba jaring apung. Hal ini terjadi karena walaupun pada lokasi relokasi konsentrasi nitrat akan meningkat setara dengan beban yang diterimanya namun konsentrasi nitrat akan terus menurun secara spasial akibat adanya proses biokimia dan proses fisika di sepanjang aliran waduk.
(a) Relokasi ke Segmen 2
(b) Relokasi ke Segmen 3
(c) Relokasi ke Segmen 4 Gambar 9. Konsentrasi Nitrate di Segmen Terakhir.
Persen reduksi konsentrasi nitrat pada segmen terakhir yang disebabkan oleh upaya relokasi keramba jaring apung dari segmen delapan menuju segmen dua, tiga, dan empat dapat dilihat pada Gambar 10. Dengan merelokasikan keramba jaring apung sebanyak 20% 3-8
dari jumlah keramba yang terdapat di segmen kedelapan (skenario A, skenario D, dan skenario G) menghasilkan reduksi konsentrasi nitrat dalam rentang 16,47% – 16,67%. Bila jumlah keramba yang direlokasikan adalah sebanyak 50% dari jumlah keramba di segmen kedelapan (skenario B, skenario E, dan skenario H) maka reduksi konsentrasi nitrat di segmen terakhir berada dalam rentang 40,94% - 41,52%. Sementara bila seluruh keramba jaring apung dari segmen kedelapan direlokasikan maka reduksi konsentrasi nitrat pada segmen terakhir berada dalam rentang 81,5% - 82,37%.
Gambar 10. Persentase Reduksi Konsentrasi Nitrat di Segmen Terakhir.
Dari seluruh simulasi yang telah dilakukan diketahui bahwa skenario yang menghasilkan reduksi konsentrasi nitrat optimum adalah skenario C atau skenario dimana keramba dari segmen kedelapan direlokasikan seluruhnya menuju segmen kedua.
KESIMPULAN Kegiatan budidaya perikanan keramba jaring apung merupakan sumber pencemar utama dalam Waduk Jatiluhur. Hasil simulasi menunjukkan bahwa tanpa adanya kegiatan budidaya perikanan keramba jaring apung konsentrasi nitrat dalam waduk berkisar antara 0,001 mg/L – 0,007 mg/L pada musim kemarau dan 0 – 0,006 mg/L pada musim penghujan. Sementara dengan adanya kegiatan perikanan konsentrasi nitrat berkisar antara 0,01 mg/L – 0,201 mg/L pada musim kemarau dan 0,008 mg/L – 0,115 mg/L pada musim penghujan. Diketahui pula bahwa peningkatan konsentrasi nitrat tertinggi terjadi pada segmen kedelapan dimana pada segmen inilah terdapat jumlah keramba jaring apung terbanyak dalam waduk. Untuk meningkatkan kualitas air waduk, terutama dalam menjaga fungsinya sebagai pembangkit listrik tenaga air, penyedia air baku air minum, dan irigasi pertanian maka dilakukan strategi penanganan berupa relokasi keramba jaring apung dari segmen kedelapan menuju segmen lain yang lebih jauh dari outlet waduk. Dari hasil simulasi didapat bahwa hasil optimum didapatkan bila keramba jaring apung direlokasikan menuju segmen kedua. Setelah merelokasikan keramba jaring apung menuju segmen kedua sebanyak 20%, 50%, dan 100% dari jumlah keramba jaring apung di segmen kedelapan masing-masing telah berhasil menurunkan konsentrasi nitrat sebesar 16,67%, 41,52%, dan 82,37% pada segmen terakhir waduk.
Daftar Pustaka Abery, N.W., Sukadi, F., Budhiman, A.A., Kartamihadja, E.S., Koeshendrajana, S., Buddhiman, dan de Silve, S.S. 2005. Fisheries and Cage Culture of Three Reservoirs in West Java, Indonesia; A Case Study of Ambitious Development and Resulting Interaction. Fisheries Management and Ecology (2005): 315-330 Arifin, Z.M. 2011. Tesis: Penyebaran Ammonium, Nitrit, dan Nitrat di Waduk Jatiluhur, Purwakarta. Bandung: Institut Teknologi Bandung
3-9
Bo, L.X. 2008. A Coupled Model of Hydrodynamics and Water Quality for Yuqiao Reservoir in Haihe River Basin. Journal of Hydrodynamics, Vol.20 (2008): 574-582 Boegman, L., Loewen, M.R., Hamblin, P.F., dan Culver, D.A. 2001. Application of a Two-Dimensional Hydrodynamic Reservoir Model to Lake Erie. Canada Journal Fish Aquatic Science, Vol.58 (2001): 858869 Demetrio, J.A., Gomez, L.C., Latini, J.D., dan Agostinho, A.A. 2011. Influence of Net Cage Farming on the Diet of Associated Wild Fish in a Neotropical Reservoir. Aquaculture 330-333 (2012): 172-178 Dingguo, Huichao, J.D., dan Wei, L. 2011. Influence of Thermal Density Flow on Hydrodynamics of Xiangxi Bay in Three Georges Reservoir, China. Procedia Environmental Science, Vol.10 (2011): 1637-1645 Garno, Y.S. 2002. Beban Pencemaran Limbah Perikanan Budidaya dan Yutrofikasi di Perairan Waduk pada DAS Citarum. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.3 (2002): 112-120 Garno, Y.S. 2003. Status Kualitas Perairan Waduk Juanda. Jurnal Teknologi Lingkungan, P3TL-BPPT, Vol.4 (2003): 128-135 Ham, J., Yoon, C.G., Kim, H.J., dan Kim, H.C. 2010. Modeling the Effects of Constructed Wetland on Nonpoint Source Pollution Control and Reservoir Water Quality Improvement. Journal of Environmental Science, Vol. 22: 834-839 Li, Z.G., Lin, L., Sagisaka, M., Yang, P., dan Wu, W.B. 2012. Global-Scale Modelling of Potential Changes in Terrestrial Nitrogen Cycle from a Growing Nitrogen Deposition. Procedia Environmental Sciences, Vol.13 (2012): 1057-1068 Lindim, C., Pinho, J.L., dan Vieira, J.M.P. 2011. Analysis of Spatial and Temporal Patterns in a Large Reservoir Using Water Quality and Hydrodynamic Modeling. Ecological modeling, Vol.222 (2011): 2485-2494 McDonald, M.E., Tikkanen, C.A., Axler, R.P., Larsen, C.P., dan Host, G. 1996. Fish Simulation Culture Model (FISH-C): A Bioenergetics Based Model for Aquacultural Wasteload Application. Aquaculture Engineering, Vol.15 (1996):2433-259 Soemarwoto, O. 2005. Pengelolaan Jaring Apung. Prosiding Seminar Pengelolaan Waduk dan Danau 12 Oktober 2004 Sudjono, P. 1995. A Mathematical Concept of Runoff Prediction Model for Small Tropical Catchment Areas. Water Science Technology, Vol. 31 (1995): 27-36 Sudjono, P. 2003. Preliminary Development of Horizontal Segmentation Model for Water Quality Prediction in Elongated Reservoirs. Jurnal Teknik Sipil Universitas Tarumanagara, Vol.9 (2003): 1-15 Tjahjo, D.W.H. dan Purnamaningtyas, S.E. 2008. Kajian Kualitas Air dalam evaluasi Pengembangan Perikanan di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. Jurnal Litbang Perikanan, Vol.14 (2008): 15-29 Xu, J., Yin, K., Liu, H., Lee, J.H.W., Anderson, D.M., Ho, A.Y.T., dan Harrison, P.J. 2010. A Comparison of Eutrophication Impacts in Two Harbours in Hong Kong with Different Hydrodynamics. Journal of Marine Systems, Vol.83 (2010): 276-286
3-10