9
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Sipuncula Dari morfologinya biota kekuak tergolong Filum Sipuncula yang lebih dekat dengan genus Sipuncula dan Xenosiphon. Sipuncula dideskripsikan sepintas sebagai hewan laut mirip cacing tapi tanpa segmen (Gambar 2), tubuhnya terbagi menjadi badan utama (trunk) dan belalai (introvert) yang bisa ditarik ke dalam atau belakang, perbandingan panjang kedua bagian itu bervariasi untuk tiap-tiap jenis (Cutler 1994). Sipuncula merupakan filum minor dalam kelompok besar hewan bilateria (Gambar 3), yaitu kelompok hewan yang bersifat tripoblastik, tubuhnya simetris bilateral dan terbentuk dari tiga macam lapisan benih (endodermis, mesodermis dan ektodermis).
introvert
trunk
10 mm
Sipunculus nudus
Xenosiphon branchiatus
Gambar 2 Sipunculus nudus dan Xenosiphon branchiatus (Sumber: Anonimª 2009 & Kawauchi 2011)
Meskipun
bentuk fisiknya mirip cacing, namun hipotesis filogenetik
terbaru menunjukkan Sipuncula tidak ada jejak ciri penting Annelida seperti adanya segmentasi dan chaetae (seta). Ciri bersama seperti berbentuk “cacing”, adanya introvert dan larva trochophore, tidak membatasi mereka secara unik. Hipotesis kedua menempatkannya lebih dekat ke Mollusca minimal secara fisik (Gambar 3), beberapa ciri keduanya sama pada saat perkembangan dini, contohnya setelah fertilisasi dan pembelahan telur, susunan ciri sel keduanya dalam embrio disebut ‘simpang Mollusca’.
Dan hipotesis ketiga, berkenaan
dengan ciri bersama Mollusca dan Sipuncula, dijadikan ciri primitif kelompok lebih besar yang disebut Trocozoa dimana Annelida juga termasuk di dalamnya (Cutler 1994).
10
Filum ini secara khusus belum dipelajari dengan baik, dilaporkan baru sekitar 300 jenis yang telah dideskripsi secara formal, semua di laut dan umumnya perairan dangkal (Kozloff 1990). Ada yang meliang semipermanen dalam pasir dan lumpur, ada yang di celah karang, dalam kerang kosong, bahkan mengebor ke dalam karang. Merekapun tidak meninggalkan lubang di permukaan pasir atau lumpur untuk menunjukkan kehadiran mereka, sehingga relatif sulit untuk ditemukan dan ditangkap (Romimohtarto dan Juwana 2001).
Porifera Cnidaria Ctenophora Platyhelminthes Aschelminthes Nemertea Mollusca Sipuncula Annelida Pogonophora Bilateria
Echiura Onychophora Arthropoda Chaetognatha Lophophorates Echinodermata Hemichordata Chordata
Gambar 3 Kedudukan Filum Sipuncula diantara filum-filum lain (Anonimb 2009) Berbagai sumber melaporkan perkiraan jumlah jenisnya secara beragam (147-320), terdapat di berbagai habitat bentik laut dingin, sedang dan tropik pada semua kedalaman, dari zone intertidal sampai 6.860 m.
Hasil revisi Cuttler
(1994), baru 144 spesies yang telah teridentifikasi valid dari 17 genus, 6 famili, 4 ordo dan 2 kelas (Tabel 1), tapi setelah filogeninya direkonstruksi menjadi 147 spesies (Schulze et al. 2005).
Hubungan filogenetik antar-genusnya seperti
diusulkan Cutler dan Gibbs (1985) tampak pada Gambar 4, dari kedekatannyha diperkirakan kekuak adalah salah satu anggota dari Sipunculus atau Xenosiphon.
11
Gambar 4 Hubungan filogenetik antar-genus dalam filum (Cutler & Gibbs 1985) Sebagian besar bagian yang bisa dikenali dari sipuncula adalah mulut, yang dikelilingi massa tentakel dan semuanya bisa dikembalikan (dimasukkan) ke dalam badan (badan utama). Saluran pencernaan sipuncula mulai dari mulut hingga ke akhir posterior badan, kemudian berbalik arah dengan cara berpelinganda dan berakhir di anus pada sisi dorsi-ventral badannya, Gambar 5 memperlihatkan skema anatomi (struktur organ dalam) salah satu anggotanya. Sipuncula mempunyai sebuah coelom (rongga).
Meskipun tidak mempunyai
sistem pembuluh darah, cairan interstitial mengangkut oksigen dan nutrien ke sekeliling tubuh. Sebuah ruang terpisah berisi tentakel-tentakel berlubang, yang mengalirkan oksigen dari tentakel ke coelom. Dinding tubuhnya kuat dan berotot, jika terancam sebagian tubuhya ditarik masuk ke dalam menyerupai buah kacang sehingga dinamai ‘cacing kacang’ (Edmonds 2000). Perilaku sipuncula relatif sedikit yang diketahui, sebagian besar jenis menarik tentakel dan introvert secara cepat mengikuti rangsangan taktil. Banyak jenis sifatnya fototaksis negatif dan sembunyi ke dalam sedimen atau karang jika diganggu.
Cara meliang dan menjalarnya dengan kait-kait introvert sebagai
12
jangkar dan perototan introvert untuk menarik tubuh ke depan.
Phascolion
strombus, penghuni cangkang kerang, bisa mengairi cangkangnya untuk menaikkan kandungan oksigen dengan kontraksi perototan dinding tubuh. Berenang cuma dilaporkan ada pada Sipunculus yaitu dengan ‘membanatkan’ badan utama secara tidak terarah (Edmonds 2000). nephridium ventral nerve chord retractor muscles
mouth
anus
esophagus
intestine
Gambar 5 Sipunculus nudus, tubuh bagian dalam (Anonima 2009) Sebagian besar sipuncula termasuk Sipunculus dan Xenosiphon dilihat dari cara makan bersifat sebagai deposit feeder dengan tentakel yang sederhana, kecuali angota Themiste sebagai filter feeder dengan tentakel bercabang rumit. Jenis-jenis penghuni pasir mencerna sedimen dan campuran biomassa yang dikumpulkan dengan tentakel-tentakel. Tentakel jarang tampak di atas dasar laut selama siang hari, mungkin dijulurkan pada malam hari untuk memeriksa dan mengambil sedimen di sekeliling sebagai partikel makanan. Jenis penghuni karang memakai kait-kait introvertnya, sebagian besar pada malam hari, untuk mengikis sedimen dan organisme epifauna dari permukaan karang sekelilingnya (Cutler 1994). Dilaporkan oleh Jeuniaux (1969) bahwa pada usus halus Sipunculus nudus ada aktivitas kitinolitik tertentu (kitinase dan kitobiase). Umumnya sipuncula berumah dua, cuma sejenis diketahui hermafrodit yaitu Nephasoma minutum.
Themiste lageniformes bersifat partenogenesis
fakultatif. Aspidosiphon elegans dilaporkan bereproduksi aseksual dengan tunas. Selain itu pada sipuncula tidak diketahui ada dimorfisme seksual. Gonad cuma lazim selama periode reproduktif. Gamet dilepaskan ke dalam coelom tempat pematangan berlangsung. Gamet matang diambil nefridia dan dilepaskan ke air melalui nefridiofor (Rice 1993).
13
Sampai kini belum ada jenis sipuncula yang termasuk daftar merah IUCN. Karena fase larvanya yang panjang, kebanyakan jenisnya tersebar luas. Tingkat kemelimpahan dari jarang sampai amat umum (kerapatan Themiste lageniformes bisa sampai 2.000 ekor lebih tiap m²). Perusakan habitat seperti mangrove dan dasar rumput laut bisa mengancam populasi regionalnya (Rice 1976). Tabel 1 Klasifikasi anggota Filum Sipuncula - 144 spesies revisi Cutler (1994) Kelas Sipunculidea
Ordo Sipunculiformes
Familia Sipunculidae (24)
Genus Sipunculus (10)
Subgenus Sipunculus (8) Austrosiphon (2)
Xenosiphon (2) Siphonosoma (10) Siphonomeccus (1) Phascolopsis (1) Golfingiiformes
Golfingiidae (36)
Golfingia (10)
Golfingia (9) Spinata (1)
Nephasoma (23)
Nephasoma (22) Cutlerensis (1)
Thysanocardia (3) Phascolionidae (29)
Phascolion (25)
Phascolion (11) Isomya (6) Montuga (2) Lesenka (5) Villiophora (1)
Onchnesoma (4) Themistidae (10)
Themiste (10)
Phascolosomatidae (23)
Phascolosoma (18)
Themiste (5) Lagenopsis (5)
Phascolosomatidea
Phascolosomatiformes
Phascolosoma (16) Fisherana (2)
Apionsoma (4)
Apionsoma (3) Edmonsius (1)
Antillesoma (1) Aspidosiphoniformes
Aspidosiphonidae (22)
Aspidosiphon (19)
Akrikos (5) Aspidosiphon (7) Paraspidosiphon (7)
Lithacrosiphon (2) Cleosiphon (1)
2.2 Pemanfaatan Sipuncula Di luar sipuncula sudah banyak jenis poliket (polichaeta) yang dimanfaatkan masyarakat lokal di berbagai belahan dunia, baik untuk umpan dan pakan ikan maupun pangan lezat bagi manusia (Romimohtarto & Juwana 2001).
14
Di Samoa dan Fiji setiap Oktober dan November sejenis polychaeta yang disebut palolo (mbalolo), biasa ditangkap untuk dijadikan makanan. Di Lombok dan sekitarnya setiap Pebruari ada acara bau nyale, yaitu tradisi masyarakat setempat menangkap nyale, yaitu sejenis poliket dari marga Neanthes (Nereis). Di Maluku sejenis poliket serupa yang disebut laor muncul dan ditangkap setiap Maret, juga dijadikan makanan oleh masyarakat setempat (Romimohtarto & Juwana 2001). Masih sedikit sekali laporan ilmiah yang menulis tentang pemanfaatan jenis-jenis sipuncula oleh masyarakat lokal, beberapa informasi menyebutkan diantaranya meskipun tanpa menyebutkan jenisnya yang mana saja. Di beberapa bagian dunia para nelayan memakai sipuncula sebagai umpan, sebagian besar merupakan penghuni pasir yang ukurannya lebih besar. Di Jawa dan bagian barat Carolina serta beberapa bagian Cina, sipuncula juga dimakan oleh masyarakat lokal. Romimohtarto dan Juwana (2001) menulis,
Phascolosoma lurco yang
dilaporkan paling banyak ditemukan di Malaysia dan Singapura, biasa dijadikan sebagai makanan bebek. Di Sukolilo, Jawa Timur seperti dilaporkan oleh Subani dan Barus (1989), masyarakat nelayan setempat memanfaatkan biota sejenis sipuncula yang disebut terung sebagai makanan yang enak. Di Pulau Nusalaut, Maluku Tengah, sejenis sipuncula yang disebut sia-sia dilaporkan juga dimakan masyarakat setempat (Pamungkas 2010). Khusus tentang kekuak, jenis sipuncula ini biasa digunakan sebagai umpan oleh para nelayan Kepulauan Seribu, seperti di Pulau Pari.
Informasi lain
mengatakan bahwa beberapa tahun menjelang kemerdekaan, di kota Dabo, Singkep kekuak dijual sebagai makanan ringan di warung-warung kopi. Ada juga informan mengatakan bahwa kekuak merupakan salah satu makanan hasil laut yang sering dijual di pasar Kota Palembang, yang kemungkinan dibawa dari Bangka.
Terakhir, Pratomo (2005) melaporkan bahwa uwa-uwa (wak-wak)
dipakai masyarakat nelayan di Pulau Kemujan (Kepulauan Karimunjawa) sebagai umpan untuk memancing. Romimohtarto dan Juwana (2001) menulis bahwa Phascolosoma lurco setelah ditangkap ditaruh dulu semalaman di air tawar, baru kemudian diberikan kepada bebek.
Sedangkan Subani dan Barus (1989) menulis bahwa sejenis
sipuncula yang disebut terung di daerah Sukolilo diproses secara sederhana untuk
15
dijadikan kerupuk terung, yaitu dengan cara mejemur (mengeringkan) dan menggorengnya. Sejenis sipuncula lainnya dilaporkan menjadi makanan lezat di kota Xiamen provinsi Fujian, Cina yang dibuat jeli (Edmonds 2000). Kekuak yang dijual di warung-warung kopi di Dabo, Singkep, merupakan kekuak kering yang dipanggang sebagai makanan ringan. Di Palembang kekuak pun dijual di pasar sebagai makanan, sebelum disajikan juga dipanggang dulu lalu dipukul-pukul dan dinikmati dengan sambal asam, seperti makan cumi atau ikan juhi kering, merupakan makanan ringan khas warga etnik Tionghoa di Indonesia. Pemanfaatan anggota Sipuncula sebagai umpan oleh nelayan atau pemancing ikan, khususnya kekuak seperti di Kepulauan Seribu, tidak jauh berbeda dengan pemanfaatan anggota poliket, namun kiranya perlu dikajikembangkan lebih lanjut terkait potensinya, terutama potensi komersialnya. Sebagaimana ditulis oleh Romimohtarto dan Juwana (2001), di Inggris hobi mancing adalah olahraga yang mewah, sehingga usaha budidaya cacing untuk umpan, atau lebih tepatnya industri umpan, bisa membuka lapangan kerja baru yang berpotensi menguntungkan dan menggembirakan berbagai pihak. Informasi ilmiah (literatur) tentang bagaimana cara mengolah jenis-jenis sipuncula yang dimanfaatkan, baik untuk umpan dan makanan (pakan) hewan piaraan maupun terutama untuk makanan (pangan) manusia belum ada. Informasi tentang kandungan gizinya, sebagai produk pangan dan tinjauan ilmiah mengenai teknik pengolahannya pun belum pernah ada.
Begitupun literatur tentang
kelebihan dan kekurangan sipuncula sebagai umpan dan potensinya sebagai pakan, juga belum pernah ada.
Apalagi tentang kekuak yang belum pernah
diteliti, belum jelas spesies dan kedudukannya dalam taksonomi, karena itu penelitian ini merupakan rintisannya. 2.3 Metode Penangkapan Informasi ilmiah tentang cara tangkap anggota Sipuncula yang dimanfaatkan
masih sangat sedikit. Romimohtarto dan Juwana (2001) cuma
menulis bahwa Phascolosoma lurco yang dipakai untuk pakan bebek, ditangkap dengan menggalinya di rawa mangrove, tanpa menyebutkan dengan alat apa. Namun, Subani dan Barus (1989) sudah menulis bahwa para nelayan Sukolilo menangkap terung sejenis Sipuncula di perairan sekitar Kenjeran (Selat Madura)
16
dengan garu atau garit dari bambu dan dioperasikan beberapa orang dalam satu perahu (Gambar 6). Alat itu merupakan satu-satunya jenis alat tangkap terung di Indonesia. Masyarakat Pulau Nusalaut menangkap sia-sia sejenis Sipuncula di perairan pantai Maluku Tengah menggunakan linggis (Pamungkas 2010). Sementara itu, nelayan di Pulau Pari (Kepulauan Seribu) menangkap wak-wak (kekuak) dengan penusuk sederhana yang terbuat dari sebilah rotan. Pratomo (2005) juga melaporkan bahwa masyarakat nelayan di Pulau Kemujan (Kepulauan Karimunjawa) menangkap uwa-uwa (kekuak) dengan pacucu’an dari rotan.
Gambar 6 Cara menangkap terung di Selat Madura (Subani & Barus 1989) Dengan kategorisasi metode penangkapan ikan yang dirangkum oleh Brandt (2005), penggunaan alat penusuk dari rotan untuk menangkap kekuak di Kepulauan Seribu (Pulau Pari) bisa dikategorikan sebagai metode penangkapan dengan pelukaan (taken by wounding), karena rotan masuk dari mulut ke dalam rongga tubuh kekuak hampir sepanjang ukurannya. Penggunaan alat garu dan garit untuk menangkap terung di Sukolilo belum ada keterangan lebih lanjut, tetapi dari bentuk alat dan cara menggunakan, termasuk metode pengambilan tanpa pelukaan (without wounding). Menurut Hutabarat (2001), teknik tangkap tradisional harus memenuhi empat syarat yaitu: (1) relatif sederhana dan tanpa mesin atau alat elektronik; (2) tanpa bahan peledak atau senyawa sintetik yang beracun atau membius; (3) sudah
17
cukup lama diterapkan (minimal 30 tahun); dan (4) dilakukan secara turuntemurun. Teknik tangkap kekuak di Kepulauan Seribu dan Karimunjawa, juga teknik tangkap terung di Selat Madura memenuhi semua syarat tersebut. Terkait sumberdaya atau keanekaragaman hayati lokal, keberadaan teknik-teknik lokal menurut Alcorn (1996) adalah salah satu wujud tindakan konservasi masyarakat asli (lokal), tetapi pendapat ini cuma berlaku jika satu jenis alat tangkap cuma bisa menangkap satu jenis biota saja yang ukuran tubuhnya juga tertentu saja. Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang berkelanjutan harus dilakukan dengan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab melalui teknologi berwawasan lingkungan, yang misinya diterjemahkan lagi ke dalam bentuk teknologi ramah lingkungan (Sudirman 2003). Asian Productivity Organization (2002) menyatakan bahwa kriteria perikanan berkelanjutan adalah bagaimana bekerja secara maksimal dan kontinu membantu para nelayan, sehingga dapat melakukan pemanfaatan yang ramah lingkungan, secara teknik bisa dilakukan (efektif) dan secara ekonomi (komersial) menguntungkan, termasuk mendukung penyediaan ketahanan pangan.
Menurut Gopankumar
(2002), prinsip pengelolaan perikanan berkelanjutan adalah penggunaan sumberdaya perikanan jangka panjang yang memperhatikan karakteristik biologi, ekologi termasuk konservasi dan adanya sharing keuntungan. Terkait pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab, Pasal 7 (7.1.1) dari Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO 1999) menyebutkan: Negaranegara dan semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan perikanan, melalui suatu kerangka kebijakan hukum dan kelembagaan yang tepat, harus mengadopsi langkah konservasi jangka panjang dan pemanfatan sumberdaya perikanan berkelanjutan. Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan pada tingkat lokal, nasional, subregional dan regional, harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik dan tersedia serta dirancang untuk menjamin kelestarian jangka panjang sumberdaya perikanan pada tingkat yang dapat mendukung pencapaian tujuan pemanfaatan optimum, dan mempertahankan ketersediaan untuk generasi kini dan mendatang: pertimbangan-pertimbangan jangka pendek tidak boleh mengabaikan tujuan ini. Menurut Baskoro (2006) suatu alat tangkap dikatakan ramah lingkungan bila setidak-tidaknya memenuhi sembilan kriteria: (1) selektivitasnya tinggi; (2)
18
tidak merusak habitat; (3)
menghasilkan ikan berkualitas tinggi;
(4) tidak
membahayakan nelayan; 5) produksi tidak membahayakan konsumen; (6) bycatch rendah; (7) dampak terhadap biodiversitas rendah; (8) tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi; dan (9) dapat diterima secara sosial. Semua kriteria ini ditentukan lebih rinci dengan empat subkriteria penilaian yang berturut-turut semakin meningkat, namun berlaku pada penangkapan ikan-ikan target umum. Kriteria tradisional ataupun ramah lingkungan tadi sebenarnya jika dipakai untuk menilai berbagai jenis alat/teknik tangkap kekuak di lapangan (yang diterapkan masyarakat lokal dalam kegiatan penangkapan), kemungkinan belum tentu juga cocok dengan kondisi yang ada, tetapi minimal sebagai acuan pertama dalam menilai, untuk kemudian disempurnakan (dikembangkan) dengan kriteria lain yang lebih sesuai fakta di lapangan. Pola-pola pengelolaan tradisional yang sebagian belum/tidak bisa terbukti secara ilmiah tetapi hasilnya telah terbukti efektif menjamin keberlanjutan pemanfaatan selama puluhan/ratusan tahun, perlu dihargai/dihormati (jika tidak bisa diadopsi) karena hal itu merupakan wujud kepedulian (tangungjawab) masyarakat lokal, yang lebih dulu hadirnya ketimbang hegemoni kaidah ilmiah modern yang kini mendominasi (banyak diadopsi). Paradigma klasik dalam perikanan tangkap tradisional adalah bagaimana agar pemanfaatan sumberdaya perikanan bisa berkesinambungan (sustainabilitas produksi) sebagai prioritas, barulah kemudian pendapatan yang cukup (cenderung minimalis). Namun, paradigma dalam perikanan tangkap modern prioritasnya adalah bagaimana agar kemudian
produksi dan keuntungan bisa maksimal, barulah
keberlanjutannya.
Pada
paradigma
perikanan
tangkap
yang
bertanggungjawab CCRF (FAO 1999) ada istilah ‘hasil tangkap optimum’, ‘efektivitas penangkapan’ dan ‘selektivitas alat tangkap’, atau dengan kata lain optimalisasi produksi sekaligus keberlanjutannya, pada sisi ini tampak hal ini lebih mendekati paradigma perikanan tangkap tradisional. Selama ini orientasi perikanan tangkap tradisional pada prakteknya cenderung ‘kesinambungan hasil yang cukup’ (penggunaan seperlunya demi hari ini dan esok) sebagai prinsip kegiatan produksi sistem ekonomi subsisten (bertahan). Hal itu tergambar dari peribahasa Melayu: “Selagi ada jangan dimakan, sudah tak ada baru dimakan”, “Sedikit - cukup, banyak - habis” atau
19
“Tinggalkan (sebagian) untuk ular”. Sementara itu, orientasi perikanan tangkap modern pada prakteknya cenderung ‘aji mumpung’ (oportunis) dan ‘dengan modal dan risiko besar, untung jauh lebih besar’, sebagai prinsip kegiatan produksi sistem ekonomi industrial (komersial-kapitalistik). Terkait hal ini Charles (2001) mengklasifikasi penangkap (nelayan) menjadi empat kelompok utama yaitu: subsisten, native (indigenus), komersial, dan rekreasional; untuk yang komersial dibagi lagi menjadi: skala kecil (artisanal) dan skala besar (industrial). 2.4 Kearifan Lokal dan Pengetahuan Tradisional Kata kearifan berasal dari kata ‘arif yang berarti tahu dan ma’rifat yang berarti
pengetahuan
(knowledge),
tingkatannya
masih
di
bawah
fahm
(pemahaman) dan fiqh (pengertian) (Jazairy 2001), sehingga kearifan lokal sama saja maknanya dengan pengetahuan lokal (local knowledges). Namun demikian, telah terjadi proses ‘ameliorasi’ (perluasan) makna kata ‘kearifan’ menyamai makna
wisdom
(kebijaksanaan),
sebaliknya
terjadi
proses
‘peyorasi’
(penyempitan) makna kata ‘kebijakan’ menyamai makna policy (keputusan politis), yang sebenarnya berasal dari kata bijak/bijaksana (wise) yang juga diartikan arif (makna peyoratif). Oleh karena itulah, kata local wisdom lebih populer diterjemahkan sebagai ‘kearifan lokal’ daripada ‘kebijaksanaan lokal’ yang sebetulnya secara bahasa adalah lebih tepat. Pengetahuan tradisional merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat setempat, merupakan hasil interaksi manusia dengan alam dan lingkungannya yang berlangsung lama dan turun-temurun (Solihin 2006). Menurut Soekanto (2000), kebudayaan merupakan kompleks yang mencakup pengetahuan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan lain-lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Pengetahuan tradisional adalah sistem terpadu antara kepercayaan dan praktek khusus dalam kelompok budaya berbeda (Posey 1996). Pada tradisi ilmiah Barat, pengetahuan (knowledge) dibedakan dengan science (sains, ilmu), pengetahuan tradisional pun masih bagian dari wisdom (kearifan/kebijaksanaan). Menurut Soedjito dan Sukara (2006), selayaknya sistem pengetahuan dunia tidak cuma dimonopoli pengetahuan formal (sains didikan sekolahan), karena masih ada pengetahuan tradisional dan kearifan lokal yang tidak diajarkan dalam kelas.
20
Tabel 2 Perbedaan epistemologis antara science dan wisdom (Villoro 1982) SCIENCE
WISDOM
Societal Universal General Unpersonal Abstract Theoretical Specialized
Individual Local Particular or singular Personal Concrete Practical Global
Toledo (1992) dengan mengutip pendapat Villoro (1982), menjelaskan perbedaan epistemologis antara science dan wisdom (Tabel 2). Melihat karakteristik wisdom, sebenarnya ‘kearifan’ (kebijaksanaan) lokal cikal-bakalnya adalah berbagai bentuk ‘kearifan’ (wisdom, kebijaksanaan) dan pengetahuan (ma’rifat, knowledge) dari seseorang, beberapa individu ataupun sekelompok warga dalam suatu komunitas masyarakat dengan lokalitas tertentu, yang seiring perjalanan waktu melembaga sebagai kesepakatan bersama ataupun ditetapkan sebagai aturan adat/lokal. Jadi kearifan (kebijaksanaan) lokal adalah hasil pelembagaan kejeniusan masyarakat lokal, yang prosesnya telah, sedang dan akan terjadi nanti, sebagai pertanda mereka pun belajar dari alam dan pengalaman (berubah sikap menjadi lebih baik daripada sebelumnya). Hal itu tergambar dari dua peribahasa Melayu yang kini sudah menjadi umum yaitu “Alam terkembang menjadi guru” dan “Pengalaman adalah guru yang terbaik”. Salah
satu
ciri
masyarakat
tradisional
adalah
ketergantungan
(keterbatasan) yang tinggi terhadap lingkungan dan sumberdaya alamnya, terlebih pada masyarakat tradisional di pesisir dan pulau-pulau terpencil. Ketergantungan manusia terhadap alam tetumbuhan misalnya, diketahui sudah ada sejak zaman prasejarah dari bukti-bukti paleoetnobotani (Smith 1986), sebaliknya karena itu pula peran manusia atau kelompok etnik dengan segala tata-aturan kehidupannya amat menentukan nasib lingkungannya. Ketergantungan itu mengharuskan mereka hidup menyatu dengan alam sekitar, atau berusaha agar seimbang antara kehidupannya dan lingkungannya. Dengan begitu sebisa mungkin mereka hidup tanpa menimbulkan kerusakan bagi alam, supaya kerusakan tersebut tidak berbalik menimbulkan kesulitan bagi mereka.
21
Terkait fenomena tadi Lovelock (1979) pernah mengusulkan hipotesis GAIA, bahwa bumi berfungsi sebagai organisme tunggal, mengatur diri-sendiri dalam membuat keadaan-keadaan optimum demi kelangsungan hidupnya dengan keberadaan kehidupan itu sendiri. Implikasinya sebagai ide ilmiah Barat amat mendekati pemahaman masyarakat asli umumnya, termasuk orang Cina purba, dimana hubungan manusia dengan alam sepatutnya sebagai partisipan dalam sebuah sistem kehidupan yang lebih besar (Reichel-Dolmatoff 1976). Strategi konservasi keragaman hayati mencakup kegiatan memanfaatkan, mempelajari dan menyelamatkan (Wilson 1995). Sudah jadi kebiasaan masyarakat lokal, selama masih mau terus memanfaatkan suatu sumberdaya hayati di lingkungannya, selama itu pula mereka tetap menjaga/menyelamatkannya. Seiring berjalannya kedua kegiatan itu, proses pembelajaran terkait sumberdaya itu pun berlangsung, termasuk mekanisme transfer pengetahuannya dalam masyarakat, antar anggota, generasi, kelompok atau daerah berbeda. Ellen et al. (2000) menyatakan, pengetahuan dan tradisi masyarakat lokal sering dianggap statis (tidak berubah) tetapi faktanya berubah (dinamis). Tentang pandangan skeptis ilmuwan terhadap pengetahuan lokal terkait dilupakannya dan kesalahpahaman terhadap sistem pengetahuan/pengelolaan lokal, Neis (1992) mengatakan bahwa pemakaian metode ilmiah adalah suatu keganjilan karena pengetahuan tradisional punya begitu banyak informasi tidak terucapkan, tetapi metoda ilmiah berusaha mengurangi, mengujinya dan mengontrol seluruh variabel lain. Kini pengetahuan tradisional pemanfaatan tumbuhan dan hewan oleh masyarakat lokal dan pribumi kian banyak menghilang sebelum sempat dicatat/ diketahui para peneliti, padahal informasi itu amat penting bagi kelestarian pemanfaatan keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam lokal. Selama ini pengetahuan tradisional terkait kegiatan masyarakat lokal memanfaatkan keanekaragaman hayati di lingkungannya, telah banyak dikaji dalam etnobiologi. Sejalan dengan itu cabang-cabang kajian etnobiologi seperti etnobotani (pengetahuan botanik tradisional/lokal) dan etnoekologi dikembangkan dalam biologi sebagai disiplin dengan metode tersendiri. Toledo (1992) termasuk biolog yang berperan mengembangkan etnoekologi sebagai disiplin dengan metodologi tersendiri, melalui pendekatan interdisiplin (lintas-bidang).
22
Menurut Subedi (1996), kelompok pengetahuan indigenus (pribumi) yang khusus mempelajari aspek teknis yang dipakai masyarakat lokal (tradisional) dalam memanfaatkan sumberdaya disebut pengetahuan teknis indigenus. Terkadang disebut ‘teknologi indigenus’ (lokal), istilah ‘salah-kaprah’ dimana teknologi diartikan sebagai ‘ilmu pengetahuan’ teknis (cara memproduksi), namun masih bisa dibenarkan jika diartikan sebagai ‘produk’ dari ilmu pengetahuan (pengetahuan ilmiah/formal) atau pengetahuan (informal) saja. Pemakaian kata ‘lokal/tradisional’ dibelakang istilah biologi, botani, ekologi dan lain-lain tanpa didahului kata ‘pengetahuan’, tidak akan terjadi jika konsisten dengan perbedaan posisi antara ilmu dan pengetahuan. Sering pula terjadi campur-aduk istilah tradisional, indigenus (pribumi), native (asli) dan lokal, yang jika dicermati sebetulnya pengetahuan lokal mencakup semuanya. Berarti ada pengetahuan lokal non-tradisional (belum sempat atau sedang mentradisi), bukan dari penduduk asli/pribumi tapi murni dari pendatang (bukan yang dibawa) atau akulturasi dan asimilasinya, ada pula pengetahuan lokal yang sudah menjadi milik komunitas, sekelompok ataupun cuma individu-individunya. Kata ‘teknologi’ dipakai Phillips dan Gentry (1993), Fakhrurrozi (2001) dan Banilodu (1998) sebagai kategori manfaat pada kajian inventarisasi penggunaan keanekaragaman nabati oleh masyarakat lokal. Pada kajian ilmu pangan, Rahayu (2000) memakai istilah ‘teknologi pangan tradisional’ bahkan ‘bioteknologi
pangan indigenus’.
Nazarea-Sandoval (1996) pada kajian
etnobiologinya pun memakai istilah ‘teknologi indigenus’. Sementara di kalangan antropologi seperti Adimihardja (1999) dan Mamar (1999) memakai istilah ‘sistem teknologi lokal’, mengacu pada pendapat Koentjaraningrat (1990) bahwa ‘sistem teknologi’ meliputi unsur kebudayaan fisik yang dipakai dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, antara lain alat-alat produktif. ‘Teknologi’ semula cuma merupakan salah satu kategori manfaat pada kajian etnobotani selain beberapa manfaat lainnya. Lalu, pengetahuan yang amat teknis dan lebih jauh tidak lagi terkait langsung dengan biologi pun dikaji terpisah, seperti aspek teknis penangkapan, penanganan dan pengolahan oleh orang lokal. Pada konteks penelitian ini, studi pengetahuan teknis indigenus dan teknologi lokal (tradisional) diberi istilah ‘etnoteknologi’, analog munculnya
23
istilah etnobotani, etnoekologi dan lain-lain, meski pendekatannya relatif sama. Penelitian etnoteknologi didekati secara interdisiplin seperti Toledo (1992) mengembangkan etnoekologi. Semua itu adalah upaya kombinasi pengetahuan formal
(etik)
dengan
pengetahuan
tradisional
(emik)
yang
selalu
mempertimbangkan keunikan dan kekhasan, sehingga diperoleh solusi tepat untuk pengelolaan lestari sumberdaya alam (Soedjito dan Sukara 2006). 2.5 Kepulauan Bangka-Belitung Kepulauan Bangka-Belitung ditetapkan menjadi provinsi dengan UndangUndang No.27 tahun 2000 tanggal 21 November 2000 dan disahkan 9 Pebruari 2001, ibukotanya Pangkalpinang. Wilayah administrasinya dimekarkan menjadi 6 kabupaten dan 1 kotamadya yaitu: Bangka, Bangka Barat, Bangka Tengah, Bangka Selatan, Belitung, Belitung Timur; dan Pangkalpinang (Prov Babel 2010). Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung secara geografis terletak pada 104º50’ sampai 109º30’ Bujur Timur dan 0º50’ sampai 4º10’ Lintang Selatan, wilayahnya dibatasi oleh: Selat Bangka di sebelah Barat, Selat Karimata di sebelah Timur, Laut Natuna di sebelah Utara dan Laut Jawa di sebelah Selatan. Wilayah provinsi ini terbagi menjadi wilayah daratan dan laut dengan luas total 81.725,14 km², luas daratan 16.424,14 km² (20,10 %) dan luas laut 65.301 km² (79,90 %). Total panjang pantainya kira-kira 1200 km (Prov Babel 2010). Kepulauan Bangka Belitung merupakan gugusan Pulau Bangka, Pulau Belitung dan pulau-pulau kecil sekitarnya, kedua pulau utamanya dihubungkan Selat Gaspar. Ada 470 pulau yang telah bernama dan cuma 50 pulau yang sudah berpenghuni. Pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Bangka antara lain: Nangka, Penyu, Burung, Lepar, Pongok, Gelasa, Panjang dan Tujuh. Dan pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Belitung antara lain: Lima, Lengkuas, Selindung, Selanduk, Seliu, Nadu, Mendanau, Batudinding dan Sumedang (Prov Babel 2010). Kepulauan ini beriklim tropis, dipengaruhi angin musim, mengalami bulan basah selama tujuh bulan tiap tahun dan bulan kering selama lima bulan terusmenerus. Alamnya sebagian besar berupa dataran rendah, lembah dan sebagian kecil pegunungan/perbukitan. Rata-rata pH tanahnya dibawah 5 (masam) dengan kadar aluminium amat tinggi. Banyak terkandung bijih timah dan bahan galian seperti: pasir kuarsa, batu granit, kaolin dan tanah liat (www. babelprov.go.id).
24
Daerah kepulauan ini dihubungkan oleh perairan laut dan pulau-pulau kecil. Secara keseluruhan daratan dan perairannya merupakan satu kesatuan dari bagian Dataran Sunda, sehingga perairannya termasuk Dangkalan Sunda, kedalamannya kurang dari 30 m. Jenis perairan laut ‘terbuka’ ada di sebelah utara, timur dan selatan Pulau Bangka dan umumnya di Pulau Belitung); sedangkan yang ‘semitertutup’ di Selat Bangka dan Teluk Kelabat di Bangka Utara (BPS Babel 2007). Pada tahun 2007 jumlah penduduknya 1.106.657 jiwa dengan kepadatan 67 jiwa/km². Penduduknya berasal dari suku: Melayu (71,89%), Tionghoa (11,54%), Jawa (5,82%), Madura (1,11%) dan lain-lain (6,95%). agamanya:
Jumlah penganut
Islam (81,83%), Budha (8,71%), Konghucu (5,11%), Protestan
(2,44%), Kaholik (1,79%) dan Hindu (0,13%). Bahasa sehari-hari mereka adalah: Melayu Bangka, Melayu Belitung, Tionghoa, dan Indonesia (BPS Babel 2007). Pada 2007 jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas (Penduduk Usia Kerja, PUK) sebanyak 766.428 jiwa atau 69.25%. Sebesar 66.28% dari PUK termasuk penduduk angkatan kerja (bekerja dan atau pencari kerja), sisanya 33.72% bukan angkatan kerja (sekolah, mengurus rumahtangga dan lainnya). Tingkat partisipasi angkatan kerjanya sebesar 66.28% artinya sebesar 66% penduduk usia kerja aktif secara ekonomi. Tingkat pengangguran terbukanya sebesar 6.49, berarti dari 100 penduduk yang termasuk angkatan kerja rata-rata 5-6 orang diantaranya pencari kerja. Penduduk usia kerja 34.4% bekerja di sektor pertanian, 20,9% di sektor pertambangan dan 18,7% di sektor perdagangan (BPS Babel 2007). Pulau Bangka terkenal keindahan pantainya, berpasir putih dan halus, ada juga yang kuning-keemasan seperti bulir padi. Pantainya landai dengan ombak cukup besar dikelilingi batu vulkanik yang unik dan indah. Pulau Belitung pun terkenal pemandangan indahnya, pantai pasir putihnya berhiaskan batu-batu granit artistik dan air laut sejernih kristal, merupakan salah satu tempat dengan pantai terunik dan terindah di Indonesia (Prov Babel 2010). Sebagai gugusan dua buah pulau besar dan banyak sekali pulau-pulau kecil yang terbentuk secara oceanic, hamparan pasir putih yang mendominasi dasar (sedimen) perairan lautan menjadi tipe dominan perairan pantainya, terkait tipe lokasi tangkap kekuak yang berupa pantai pasir putih, maka diperkirakan daerah ini memiliki potensi pemanfaatan kekuak yang amat besar.