2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pertanian Organik Prinsip
pertanian
organik
yaitu
ramah
lingkungan,
tidak
mencemarkan, dan tidak merusak ligkungan hidup dengan menggunakan bahan kimia berbahaya yang dapat berupa pupuk, pestisida, hormon pertumbuhan dan sebagainya (Pracaya 2010). Pertanian organik menurut Saragih
(2008)
adalah
sistem
manajemen
produksi
holistik
yang
meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Sistem pertanian organik menurut BSN (2010) adalah sistem manajemen produksi holistik untuk meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agro-ekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah, sedangkan menurut pakar pertanian Barat merupakan “hukum pengembalian (low of return)” yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan pada tanaman (Sutanto 2002a). Tujuan jangka panjang yang akan dicapai melalui pengembangan pertanian organik (Sutanto 2002b) adalah : 1. Melindungi dan melestarikan keragaman hayati serta fungsi keragaman dalam bidang pertanian. 2. Memasyarakatkan kembali budidaya organik yang sangat bermanfaat dalam mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan, sehingga menunjang kegiatan budidaya pertanian berkelanjutan. 3. Membatasi terjadinya pencemaran lingkungan hidup akibat residu pestisida dan pupuk, serta bahan kimia pertanian lainnya. 4. Mengurangi ketergantungan petani terhadap masukan dari luar yang berharga mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan. 5. Mengembangkan dan mendorong kembali menculnya teknologi pertanian organik yang telah dimiliki petani secara turun-temurun dan merangsang
kegiatan penelitian pertanian organik oleh lembaga penelitian dan universitas. 6. Mengembangkan dan mendorong kembali menculnya teknologi pertanian organik yang telah dimiliki petani secara turun-temurun dan merangsang kegiatan penelitian pertanian organik oleh lembaga penelitian dan universitas. 7. Membantu meningkatkan kesehatan masyarakat dengan cara menyediakan produk-produk pertanian bebas pestisida, residu pupuk dan bahan kimia pertanian lainnya. 8. Meningkatkan peluang pasar produk organik, baik domestik, maupun global dengan jalan menjalin kemitraan antara petani dan pengusaha yang bergerak dalam bidang pertanian. Secara teknis, menurut Agustina dan Syekhfani (2002), praktek pertanian organik diharapkan dilakukan dengan cara : 1. Menghindari penggunaan benih/bibit hasil rekayasa genetik dan mikroorganisme yang belum tepat guna. 2. Menghindari penggunaan kimia sintetik, baik dalam pengendalian gulma, hama dan penyakit. 3. Menghindari penggunaan zat pengatur tumbuh dan pupuk kimia sintetik. 4. Menghindari penggunaan bahan pengawet dan penyedap rasa sintesis selama pengolahan hasil. 5. Menghindari penggunaan hormon tumbuh dan bahan sintetis baik dalam makanan, ternak, ikan maupun produk olahan lainnya. 2.2 Produk Pertanian Organik Organik adalah istilah pelabelan yang menyatakan bahwa suatu produk telah diproduksi sesuai dengan standar sistem pangan organik dan disertifikasi oleh lembaga sertifikasi organik yang telah terakreditasi (BSN 2010). Produk pertanian organik di Indonesia ditetapkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) Pertanian Organik yang disahkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) SNI 01-6729-2002. Standar ini bersumber pada kesepakatan antar negara yang tertuang dalam Codex Alimentarius Guidelines for the Production, Processing, Labelling and Marketing of Organically
Produced Foods (Saragih 2008). Pada tahun 2010 BSN merevisi SNI 016729-2002 menjadi SNI 01-6729-2010 dengan merevisi dua (2) poin standarisasi dalam standar pangan organik. Menurut Winarno et al (2002), pangan organik adalah pangan yang dihasilkan dari sistem pertanian organik, baik dalam bentuk mentah, setengah jadi maupun produk jadi. Produk pertanian organik tidak mudah diklaim sebagai produk organik, karena produk pertanian tersebut harus mendapatkan label atau sertifikat dari lembaga sertifikasi pemerintah. Di Indonesia terdapat delapan (8) Lembaga Sertifikasi Organik yang telah terakreditasi oleh KAN, lembaga-lembaga tersebut antara lain PT. Sucofindo, PT. Mutuagung Lestari, Inofice, Sumatera Barat, LeSOS, BIOCert Indonesia, Persada dan SDS Jember. Selain tersertifikasi, produk pertanian organik juga harus mempunyai atribut aman untuk dikonsumsi masyarakat (food safety attributes), memiliki kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (ecolabelling attributes). Dengan adanya peraturan tersebut, tidaklah mudah menjual produk pertanian organik ke pasar (Saragih 2008). Label-label produk organik (Saragih 2008) dibagi menjadi empat (4) jenis, yaitu : 1. Label Biru. Label ini mengindikasikan bahwa proses produksi yang dilakukan sudah bebas dari pestisida sintetik 2. Label Kuning. Label ini mengindikasikan bahwa proses produksi sedang mengalami masa transisi dari cara bertani yang selama ini menggunakan bahan kimia sintetik ke cara bertani yang tidak menggunakan sama sekali bahan kimia sintetik. 3. Label Hijau Organik. Label ini mengindikasikan bahwa proses produksi yang sudah setara dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). 4. Label Hijau Organically Grown. Label ini mengindikasikan produk pertanian yang tumbuh secara organik dengan sendirinya. Adanya label dan sertifikat tersebut akhirnya para petani harus dapat menjaga mutu produk organiknya. Menurut Agustina (2006), mutu produk organik harus memenuhi enam (6) kriteria berikut :
1. Mutu terjamin, mulai dari teknik budidaya sampai produk sampai pada konsumen tidak tercemar secara fisik, kimia dan biologi. 2. Daya tahan produk lebih lama : pengolahan, penyimpanan dan kemasan. 3. Kemasan dan desain : tidak mudah rusak, sesuai dengan produk, dan menarik. 4. Label dan sertifikat sesuai peraturan produk organik, untuk tahap awal sebutkan apabila produk belum 100 persen organik, maka produk masuk kategori bebas pupuk dan pestisida kimia sintetik. 5. Jalur distribusi dan pemasaran yang tepat. 6. Produsen
memperhatikan
Undang-Undang
(UU)
Pangan,
UU
Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah (PP) Label dan Iklan, PP Keamanan, Mutu dan Gizi, serta PP Ketahanan Pangan. 2.3 Penjaminan Pangan Organik Terdapat 5 (lima) cara yang dapat dilakukan oleh produsen pangan organik untuk memberikan jaminan terhadap produk organik yang dihasilkannya (Sulaeman 2009), yaitu : 1. Self-Claim Penjamin yang dilakukan oleh produsen produk organik mengenai status organik produk yang dihasilkannya. Penjamin seperti ini memiliki keterbatasan dalam menumbuhkan tingkat kepercayaan konsumen dan keluasan distribusi produk. Produk yang dijamin dengan pola self-claim ini tidak dapat mencantumkan logo organik Indonesia. Biasanya hanya menuliskan kata “organik” pada kemasan produk tersebut. 2. Second-Party Certification Penjamin dilakukan oleh pihak kedua, misalnya perusahaan perdagangan melakukan perjanjian dengan petani organik untuk memasarkan produk yang
dihasilkannya
dan
menyatakan
bahwa
produk
yang
diperdagangkannya adalah produk organik. Pola second-party certification pihak penjamin biasanya menerbitkan surat pernyataan atau klaim bahwa produk tersebut organik. Produk dikemas dengan menggunakan suatu merek tertentu dan dicantumkan kata “organik”.
3. Third-Party Certification Pola sertifikasi yang dilakukan oleh pihak ketiga berupa lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan sertifikasi pangan organik. Proses sertifikasi yang dilakukan sudah terstandarisasi dan pihak produsen harus menyiapkan sejumlah dokumen pendukung untuk proses tersebut. Sertifikat yang dikeluarkan tidak berlaku selamanya, namun perlu perlu diperbaharui dalam kurun waktu tertentu. Produk yang telah tersertifikasi berhak mencantumkan logo “organik” sesuai dengan lembaga sertifikasi atau afiliasi lembega sertifikasi tersebut. 4. Group certification dan Internal Control System Group certification merupakan pola sertifikasi yang telah dikembangkan 10-15 tahun yang lalu didunia. Pola ini ditujukan untuk mensertifikasi kelompok
petani
organik
yang
menjalankan
pola
bertani,
atau
menghasilkan pangan organik yang tersistematis mengikuti aturan ICS yang ada. ICS ini dijadikan sistem standar yang dibuat oleh kelompok petani organik untuk dijadikan rujukan dalam memproduksi pangan organik. Dalam ICS dimuat tata cara mengenai aspek teknis, manajerial, dokumentasi, pelaporan, dan lain-lain. 5. Participatory Certification atau Participatory Guarantee System (PGS) Sistem jaminan partisipatif adalah sistem serifikasi yang menekankan partisipasi para pemangku kepentingan. Pada pola PGS keseluruhan pemangku kepentingan yang dapat terdiri dari produsen, poktan, konsumen, pendamping, lembaga swadaya (LSM), dan/atau distributor terlibat secara aktif untuk membangun dan memberdaya diri dalam proses produksi, pemasaran, dan distribusi sesuai sistem pangan organik. 2.4 Sistem Produksi Pertanian Organik Produk pertanian dikatakan organik jika produk tersebut berasal dari sistem pertanian organik yang menerapkan praktek manajemen yang berupaya untuk memelihara ekosistem yang mencapai produktivitas berkelanjutan dan menyediakan pengendalian gulam, hama dan penyakit melalui berbagai bentuk seperti pendaurulangan residu tanaman dan hewan,
rotasi dan seleksi pertanaman, manajemen air dan pengolahan tanah (Winarno 2002). Persyaratan teknis yang harus dipenuhi dan dilakukan dalam memproduksi sayuran organik terdiri dari enam (6) teknis (OKPO 2008) yaitu : 1. Lahan dan Penyiapan Lahan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah catatan riwayat penggunaan lahan, periode konversi lahan, tidak menyiapkan lahan dengan cara pembakaran, termasuk pembakaran sampah. 2. Benih dan Bibit Hal-hal yang harus diperhatikan adalah tidak menggunakan benih atau bibit dari hasil rekayasa genetika, benih dan bibit berasal dari tumbuhan yang ditumbuhkan dengan cara-cara SNI, dapat menggunakan benih, atau bibit tanpa perlakuan jika benih yang disyaratkan tidak tersedia. 3. Sumber Air dan Irigasi Hal-hal yang harus diperhatikan adalah air yang digunakan berasal dari sumber mata air langsung dan memenuhi syarat yang ditentukan, jika tidak berasal dari mata air langsung harus telah mengalami perlakuan, tidak diizinkan mengekploitasi secara berlebihan. 4. Manajemen Kesuburan Tanah Hal-hal yang dapat dilakukan dan harus diperhatikan seperti penanaman kacang-kacangan, penggunaan pupuk kandang yang sesuai dengan persyaratan SNI, penambahan mikroorganisme yang berbasis tanaman, tidak menggunakan pupuk kimia sintesis, tidak menggunakan kotoran hewan secara langsung, tidak menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk. 5. Pengelolaan Hama, Penyakit, Gulma dan Pemeliharaan Tanaman Hal-hal yang harus diperhatikan adalah tidak menggunakan pestiida yang sifatnya sintesis, tidak melakukan proses pembakaran, hama penyakit dan gulma dikendalikan dengan cara kombinai seperti pemilihan varietas yang sesuai, program rotasi, pengolahan tanah, penggunaan serasah sebagai mulsa dan lain-lain.
6. Penanganan Pasca Panen, Penyimpanan dan Transportasi Hal-hal yang harus diperhatikan adalah pencucian produk organik segar dilakukan dengan air yang disyaratkan, tidak mencampur produk organik dengan produk non organik, tidak menggunakan bahan kimia sintetis dalam proses penanganan pasca panen, tidak menggunakan pembungkus yang menimbulkan kontaminasi produk dan lain-lain. 2.5 Rantai Pasok Pertanian Menurut kamus APICS (American Production and Inventory Control Society) dalam Lummus dan Vokurka (1999), rantai pasok adalah (1) rangkaian proses dari bahan-bahan baku menuju konsumsi akhir produk jadi yang terhubung antara pemasok dan perusahaan, (2) fungsi-fungsi perusahaan yang
memungkinkan
rantai
nilai
untuk
membuat
produk
dan
menyediakan/memberikan layanan kepada pelanggan. Sedangkan menurut Mentzer et al (2001), rantai pasok merupakan serangkaian entitas yang terdiri atas tiga atau lebih entitas (baik individu maupun organisasi) yang terlibat secara langsung dari hulu ke hilir dalam aliran produk, jasa, keuangan, dan/ atau informasi dari sumber kepada pelanggan. Menurut Van der Vorst dalam Setiawan (2009) rantai pasok lebih ditekankan pada seri aliran bahan dan informasi. Manajemen rantai pasok menekankan pada upaya memadukan kumpulan rantai pasok. Pada tingkat agroindustri, manajemen rantai pasok memberikan perhatian pada pasokan, persediaan dan transportasi pendistribusian. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Marimin dan Maghfiroh (2010) bahwa manajemen rantai pasok (supply chain management) produk pertanian mewakili manajemen keseluruhan proses produksi secara keseluruhan dari kegiatan pengolahan, distribusi, pemasaran, hingga produk yang diinginkan sampai ke tangan konsumen. Dalam hal ini dapat didefinisikan bahwa sistem manajemen rantai pasok adalah satu kesatuan sistem pemasaran terpadu, yang mencakup keterpaduan produk dan pelaku, guna memberikan kepuasan pada pelanggan. Ada beberapa pemain utama yang memiliki kepentingan dalam manajemen rantai pasok pertanian, yaitu petani/pemasok (supplier), agroindustri (pengolah), distributor, konsumen/pelanggan (Van der Vorst
dalam Setiawan 2009). Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2002), hubungan organisasi dalam rantai pasok sebagai berikut : a. Rantai 1 adalah Supplier, merupakan sumber penyedia bahan pertama, mata rantai penyaluran barang akan dimulai. b. Rantai 1-2 adalah Supplier Æ Manufacturer. Manufaktur yang melakukan pekerjaan membuat, mempabrikasi, merangkai, merakit, mengonversikan, ataupun menyelesaikan barang. c. Rantai 1-2-3 adalah Supplier ÆManufacturer ÆDistributor. Barang yang sudah jadi dari manufaktur disalurkan kepada pelanggan. d. Rantai 1-2-3-4 adalah Supplier ÆManufacturer ÆDistributor Æ Retail. Pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gedung sendiri, atau dapat juga menyewa dari pabrik lain. e. Rantai 1-2-3-4-5 adalah Supplier ÆManufacturer ÆDistributor Æ Retail ÆPelanggan. Pengecer menawarkan barangnya kepada pelanggan atau
pembeli. 2.6 Analisis Lingkungan Perusahaan Lingkungan perusahaan dibagi menjadi dua (2), yaitu lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Lingkungan eksternal terdiri dari peubahpeubah ancaman dan peluang yang berada di luar kontrol manajemen perusahaan. Lingkungan internal terdiri atas peubah-pebuah yang merupakan kekuatan dan kelemahan perusahaan dan berada dalam kontrol manajemen perusahaan (Wheelen dan Hunger 2010). 2.6.1 Analisis Lingkungan Internal Analisis internal adalah kegiatan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan organisasi atau perusahaan dalam rangka memanfaatkan peluang dan mengatasi ancaman. Hal ini menjelaskan bahwa analisis internal sangat berkaitan erat dengan penilaian terhadap sumber daya organisasi (Wheelen dan Hunger 2010). Kekuatan dan kelemahan internal menurut David (2010) merupakan aktivitas terkontrol suatu organisasi yang mampu dijalankan dengan sangat baik, atau buruk. Hal tersebut muncul dalam manajemen, pemasaran, keuangan/akuntansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan, serta
aktivitas sistem informasi manajemen suatu bisnis. Faktor-faktor internal dapat ditentukan dengan sejumlah cara termasuk menghitung rasio, mengukur kinerja dan membandingkan dengan pencapaian masa lalu dan rataan industri. Kekuatan adalah sumber daya, keterampilan, atau keunggulankeunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar yang dilayani atau ingin ditangani oleh perusahaan. Kelemahan adalah keterbatasan dan kekurangan sumber daya, keterampilan yang menghalangi kinerja efektif suatu perusahaan (Pearce dan Robinson 1997). 2.6.2 Analisis Lingkungan Eksternal Tujuan dilakukannya analisis eksternal adalah untuk mengembangkan sebuah daftar terbatas dari peluang yang dapat menguntungkan sebuah perusahaan dan berbagai ancaman yang harus dihindari. Peluang dan ancaman eksternal ini meliputi berbagai tren dan kejadian ekonomi, sosial, budaya, demografis, lingkungan hidup, politik, hukum, pemerintahan, teknologi dan kompetitif yang secara nyata menguntungkan, atau merugikan suatu organisasi di masa yang akan datang (David 2010). Sejalan dengan pernyataan dari Jauch dan Glueck (1988), lingkungan perusahaan terdiri dari lingkungan umum yang terdiri dari faktor ekonomi, faktor sosial, faktor teknologi, dan faktor pemerintah. Selain lingkungan umum, lingkungan industri juga mempengaruhi lingkungan perusahaan, seperti tingkat persaingan dalam industri, ancaman dari pendatang baru, kekuatan tawar menawar pemasok, kekuatan tawar menawar pembeli dan ancaman produk pengganti. 2.6.3 Analisis Perumusan Strategi Teknik-teknik perumusan strategi yang penting menurut David (2010) dapat diintegrasikan ke dalam kerangka pengambilan keputusan tiga (3) tahap yaitu : a. Tahap Input Tahap ini terdiri dari : 1) Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE). Matriks ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor eksternal yang menjadi peluang dan ancaman bagi perusahaan
2) Matriks Evaluasi Faktor Internal (IFE). Matriks ini digunakan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan. b. Tahap Pencocokan Tahap pencocokan dari kerangka perumusan strategi terdiri atas : 1) Matriks Strength, Weakness, Opportunities and Threats (SWOT). Matriks ini merupakan sebuah alat pencocokan yang penting yang membantu manajer mengembangkan empat (4) jenis strategi, yaitu (1) Strategi SO (kekuatan-peluang) memanfaatkan kekuatan internal perusahaan untuk menarik keuntungan dari peluang eksternal; (2) Strategi WO (kelemahan-peluang) bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal dengan cara mengambil keuntungan dari peluang eksternal; (3) Strategi ST (kekuatan-ancaman) menggunakan kekuatan sebuah perusahaan untuk menghindari, atau mengurangi dampak ancaman eksternal; (4) Strategi WT (kelemahan-ancaman) merupakan taktik defensif yang diarahkan untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal. 2) Matriks Internal-Eksternal (IE). Matriks ini memosisikan berbagai divisi suatu organisasi dalam tampilan sembilan sel yang didasarkan pada dua dimensi kunci: skor bobot IFE total pada sumbu x dan skor bobot EFE total pada sumbu y. Matriks IE dapat dibagi menjadi tiga bagian besar besar yang mempunyai implikasi strategik yang berbedabeda, yaitu : (1) Divisi-divisi yang masuk dalam sel I, II, atau IV dapat digambarkan sebagai Tumbuh dan Membangun (grow and build); (2) Divisi-divisi yang masuk ke dalam sel III, V, atau VII dapat ditangani dengan baik melalui strategi Menjaga dan Mempertahankan (hold and maintain), (3) Divisi yang masuk ke dalam sel VI, VIII, atau IX adalah Panen, atau Divestasi (harvest or divest). c. Tahap Keputusan Menurut David (2010) pada tahap keputusan dapat menggunakan Matriks Perencanaaan Strategis Kuantitatif atau Quantitative Strategic Planning
Matrix
(QSPM).
Namun,
dalam
penelitian
ini
tidak
menggunakan QSPM, tetapi menggunakan Analisis AHP (Analytical Hierarchy Process). 2.7 Analisis AHP Terdapat tiga (3) prinsip dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, yaitu penyusunan hirarki, penetapan prioritas dan konsistensi logis (Marimin dan Maghfiroh 2010). a. Penyusunan Hirarki dan Penilaian Setiap Level Hirarki Penyusunan tersebut dimulai dari permasalahan yang kompleks yang diuraikan menjadi unsur pokok, unsur pokok ini diuraikan lagi ke dalam bagian-bagiannya lagi secara hirarki. Susunan hirarkinya terdiri dari goal, kriteria dan alternatif. Penilaian dilakukan melalui perbandingan berpasangan, skala 1-9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Nilai level hirarki Keterangan
Nilai 1
Faktor Vertikal sama penting dengan Faktor Horizontal
3
Faktor Vertikal lebih penting dari Faktor Horizontal
5
Faktor Vertikal jelas lebih penting Faktor Horizontal
7
Faktor Vertikal sangat jelas lebih penting dari Faktor Horizontal Faktor Vertikal mutlak lebih penting dari Faktor Horizontal
9 2,4,6,8
Apabila ragu-ragu antara dua nilai unsur yang berdekatan
1/ (2-9)
Kebalikan dari keterangan nila 2 – 9
Sumber: Marimin dan Maghfiroh 2010 b. Penentuan Prioritas Untuk setiap level hirarki, perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons) untuk menentukan prioritas. Proses perbandingan berpasangan dimulai pada puncak hirarki (goal) digunakan untuk melakukan pembandingan yang pertama lalu dari level tepat di bawahnya
(kriteria), ambil unsur-unsur yang akan dibandingkan. Contoh matriks perbandingan kriteria ada pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Matriks perbandingan kriteria Goal
K1
K2
K3
K1 K2 K3 Sumber: Marimin dan Maghfiroh 2010 Dalam matrik ini, bandingkan unsur K1 dalam kolom vertikal dengan unsur K1, K2, K3 dan seterusnya. c. Konsistensi Logis Konsistensi sampai batas tertentu dalam menetapkan prioritas sangat diperlukan untuk memperoleh hasil-hasil yang sahih dalam dunia nyata. Nilai rasio konsistensi harus 10% atau kurang, jika lebih dari 10%, maka penilaiannya masih acak dan perlu diperbaiki. 2.8 Penelitian Terdahulu Yang Relevan Penelitian terdahulu mengenai strategi pengembangan pertanian organik dan rantai pasok pertanian sekarang ini telah banyak ditemukan. Terdapat dua penelitian mengenai pertanian organik yang dilakukan oleh Suwantoro (2008) dan Palupi (2010). Kedua penelitian ini menggunakan analisis deskriptif untuk mendapatkan gambaran umum mengenai pertanian organik yang berada di Bogor dan juga Magelang. Selain menggunakan analisis deskriptif, beberapa penelitian mengenai produk pertanian juga menggunakan analisis rantai pasok khusus produk pertanian yang bertujuan untuk mendapatkan informasi mendalam mengenai proses rantai pasok mulai dari mendapatkan bahan baku hingga saluran distribusi. Penelitian mengenai rantai pasok dilakukan oleh Setiawan (2009), Prasetya
(2010),
Fatahilah
(2010)
dan
Marimin
et
al
(2010).
Judul
Tabel 2.3 Ringkasan peneltian terdahulu yang relevan Metode/Analisis Hasil Penelitian
No
Pengarang
1.
Palupi W (2010)
Strategi Pemasaran Pangan Organik pada Poktan Mega Surya Organik, Megamendung, Bogor
Analisis IFE dan EFE, Analisis IE, Analisis SWOT dan Analisis QSPM
Strategi pemasaran prioritas yang dihasilkan adalah mempertahankan dan meningkatkan mutu, serta citra produk yang baik untuk mempertahankan konsumen yang ada saat ini dan menarik konsumen baru untuk mengatasi persaingan usaha.
2.
Suwantoro AA (2008)
Analisis Pengembangan Pertanian Organik Di Kabupaten Magelang, Studi Kasus di Kecamatan Sawangan
Analisis Deskriptif Induktif dan Teknik Triangulasi
Pengembangan pertanian organik menghadapi berbagai kendala, yaitu : pertanian organik dipandang sebagai sistem pertanian yang merepotkan, keterampilan petani kurang, persepsi berbeda mengenai hasil, petani mengalami saat kritis, lahan pertanian organik belum terlindungi, pembangunan pertanian belum terintegrasi dengan pembangunan perternakan, kegagalan menjaga kepercayaan pasar dan dukungan pemerintah masih kurang.
Perbedaan Dengan Penelitian Ini Penelitian ini tidak menggunakan QSPM tetapi menggunakan AHP dan menambahkan analisis deskriptif mengenai kondisi rantai pasok
Penelitian ini tidak hanya menggambarkan kondisi umum pertanian sayuran organik, namun juga menyusun strategi pengembangan usaha sayuran organik yang tepat untuk dilakukan.
Lanjutan Tabel 2.3 No Pengarang
Judul
Metode
3.
Setiawan A (2009)
Studi Peningkatan Kinerja Manajemen Rantai Pasok Sayuran Dataran Tinggi Terpilih di Jawa Barat
Analisis Kinerja Rantai Pasok, Analisis Nilai Tambah, Analisis TOWS dan AHP
4.
Prasetya, A (2010)
Strategi Peningkatan Kinerja Rantai Pasok Agroindustri Pada PT Momenta Agrikultura
Analisis Manajemen Rantai Pasok, Analisis MPE dan AHP
Hasil Penelitian
Perbedaan Dengan Penelitian Ini Pengukuran kinerja rantai pasok sayuran Penelitian ini hanya lettuce head dengan pendekatan DEA menggambarkan kondisi menunjukkan efisiensi relatif masingumum rantai pasok dan masing petani dan potential improvement tidak menganalisis kinerja yang harus dilakukan untuk mencapai rantai pasok. efisiensi relatif 100 persen. Salah satu strategi yang dapat dirumuskan adalah optimasi sistem penjadwalan, peningkatan kinerja responsifitas dan fleksibilitas untuk pemenuhan pesan, perlunya implementasi sistem manajemen mutu (SMM), atau lingkungan. Strategi yang dihasilkan adalah membuat strategi cara kemitraan, sumber daya petani, peningkatan alat untuk petani, standarisasi mutu produk dan kepedulian sosial.
Penelitian ini menggunakan analisis perumusan strategi dan tidak menggunakan analisis MPE.
Lanjutan Tabel 2.3 No Pengarang 5.
6.
Judul
Fatahilah,
Analisis Kinerja
Pendekatan rantai pasok
Terdapat beberapa hambatan pada
Perbedaan Dengan Penelitian Ini Penelitian ini
YH (2010)
Rantai Pasok
menggunakan APO (Asian
pelaksanaan rantai pasok sapi potong
menggunakan metode
Agribisnis Sapi
Productivity Organization),
antara lain ketidakpastian jaminan
pendekatan SCM namun
Potong (Studi Kasus
Metode Hayami, serta
pasokan Sapi bakalan, kerjasama antar
tidak menganalisis nilai
pada PT. Kariyana
Fuzzy AHP dan Model
pelaku usaha yang masih kurang dan arus
tambah dan kinerja SCM
Gita Utama, Jakarta
BSC(Kinerja)
informasi yang tidak lancar.
Marimin et
Added Value and
Metode APO, Metode
Kegagalan dalam kuantitas pemesanan
Penelitian ini tidak
al (2010)
Performance Analyses Hayami (nilai tambah),
dan jadwal pengiriman merupakan
melakukan analisis nilai
of Edamame Soybean
Analisis Kinerja Rantai
beberapa faktor utama yang menurunkan
tambah dan analisis
Supply Chain: A Case
Pasok (DEA-AHP)
efisiensi Poktan. XCo sebagai anggota
kinerja rantai pasok
Study
Metode
Hasil Penelitian
rantai pasok bersama-sama dengan anggota Poktan harus dapat berkolaborasi dan bekerjasama dalam penjadwalan penanaman dan pemanenan.