2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Letak Geografis dan Kondisi Umum Perairan Mentawai Secara geografis Mentawai adalah suatu gugusan kepulauan yang membujur dari utara ke selatan sepanjang pantai barat Sumatera Barat dari Air Bangis hingga mendekati Bengkulu. Secara administratif kepulauan Mentawai yang terletak di wilayah pantai barat Sumatera ini termasuk ke dalam tingkat II Kabupaten Padang Pariaman. Kepulauan Mentawai terdiri atas empat pulau besar yaitu Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan serta didampingi oleh hampir 319 pulau-pulau kecil dengan luas daratan 7.089,19 km2 yang dikelilingi oleh lautan Samudera Hindia, terletak antara 90-120 mil dari daratan Sumatera Barat (Dinas Perikanan Sumatera Barat, 2001). Secara alami kepulauan Mentawai seakan-akan ditempatkan sebagai gugusan pulau penyangga dari hempasan gelombang laut Samudera Hindia terhadap pantai barat pulau Sumatera. Secara geografis letaknya menguntungkan sekali karena hempasan ombak deras tidak langsung menerjang ke pantai pulau Sumatera.
Dengan
demikian,
pantai
barat
Sumatera
Barat
sedikitnya
terselamatkan dari kikisan gelombang Samudera Hindia yang ganas. Dengan kata lain kepulauan Mentawai menjadi pagar laut di sebelah barat pantai Sumatera Barat mulai dari Pasaman hingga ke ujung selatan Pesisir Selatan. Kondisi umum perairan Mentawai, Sumatera Barat dicirikan oleh tingginya curah hujan. Rata-rata curah hujan cukup tinggi terjadi pada bulan April sampai bulan Oktober, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November. Sedangkan rata-rata curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari dan Juni. Arah pergerakan angin di perairan Sumatera Barat dipengaruhi oleh angin muson (Herunandi, 1998). Selanjutnya Herunandi mengatakan bahwa Perairan Sumatera Barat merupakan daerah yang dipengaruhi oleh sistem arus khatulistiwa dan arus musim. Arus balik khatulistiwa membawa massa air tropis dari pantai timur Afrika sedangkan pada bulan-bulan tertentu arus musiman India membawa massa air dari Teluk Benggala. Kedua arus ini bertemu di dekat Mentawai sehingga diduga akan membentuk front. Kedua arus selanjutnya mengalir ke selatan,
sebagian menyusuri pantai Sumatera dan meneruskan perjalanannya hingga ke selatan Banyuwangi membentuk arus Selatan Jawa. Sebagian lagi membelok ke selatan di dekat Bengkulu lalu bergabung dengan arus khatulistiwa Selatan.
2.2 Biologi dan Tingkah Laku Ikan Cakalang Klasifikasi ikan cakalang menurut Matsumoto et.al (1984) adalah sebagai berikut : Phylum : Vertebrata Sub-phylum : Craniata Super-kelas : Gnathostomata Kelas : Teleostomi Sub-kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Sub-ordo : Scombridei Famili : Scombridae Sub-famili : Scombrinae Genus : Katsuwonus Spesies : Katsuwonus pelamis Tubuh cakalang berbentuk torpedo (fusiform), memanjang dan bulat, memiliki tapis insang (gill raker) 53-62 buah. Terdapat dua sirip punggung yang terpisah, pada sirip punggung pertama terdapat 14-16 duri keras, pada sirip punggung kedua diikuti oleh 7-8 finlet. Sirip dada pendek dan pada sirip perut diikutu oleh 7-8 finlet. Terdapat sebuah rigi-rigi yang lebih kecil pada masingmasing sisi dan sirip ekor. Ciri lain cakalang pada bagian punggung berwarna biru agak violet hingga dada, sedangkan perut berwarna keputihan hingga kuning muda. Terdapat 4-9 garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada bagian samping badan. Mempunyai 12-16 duri lemah pada sirip punggung kedua, serta mempunyai 7-9 finlet pada bagian perut (Gambar 1). Panjang ikan cakalang dapat mencapai 100 cm dengan berat 25 kg dan panjang umumnya berkisar antara 40-60 cm. Ikan cakalang mulai memijah ketika panjang sekitar 40 cm dan setiap kali memijah dapat menghasilkan sekitar satu juta sampai dua juta telur. Cakalang memijah sepanjang tahun di perairan khatulistiwa antara musim semi sampai awal musim gugur di daerah subtropik dan waktu pemijahan akan semakin pendek dengan semakin jauh dari khatulistiwa. Pemijahan cakalang sangat dipengaruhi oleh perairan panas, sebagian besar larva cakalang ditemukan di perairan dengan
suhu di atas 24oC (Matsumoto, et.al., 1984). Musim pemijahan cakalang ditentukan berdasarkan tingkat kematangan gonad dan ditemukannya larva di perairan tersebut. Perbedaan ukuran cakalang pertama kali matang gonad dibedakan oleh ketersediaan makanan, suhu perairan, letak lintang dan bujur serta kecepatan pertumbuhan (Nikolsky, 1963). Ikan cakalang menyukai suhu permukaan laut berkisar antara 16-30oC dan untuk perairan Indonesia mempunyai suhu optimum 28-29oC (Gunarso, 1985). Hela dan Laevastu (1970) menyatakan bahwa penyebaran ikan cakalang di suatu perairan adalah 17-23oC dan suhu optimum untuk penangkapan adalah 20-22oC. Ikan cakalang sensitif terhadap perubahan suhu, khususnya waktu makan yang terikat pada kebiasaan-kebiasaan tertentu. Ikan cakalang dapat tertangkap secara teratur di Samudera Hindia bagian timur pada suhu 27-30oC (Blackburn, 1965). Cakalang termasuk ikan perenang cepat dan mempunyai sifat makan yang rakus. Ikan jenis ini hidup secara bergerombol (schooling) dan secara bersamaan melakukan ruaya di sekitar pulau maupun jarak jauh. Cakalang mempunyai kebiasaan makan secara aktif pada pagi hari dan kurang aktif pada siang hari. Mulai aktif lagi pada sore hari dan hampir tidak makan sama sekali pada malam hari (Matsumoto, et.al., 1984).
Gambar 2 Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis). Penglihatan ikan cakalang sangat berkurang pada waktu air keruh dan pada waktu ini jarang muncul ke permukaan, sehingga operasi penangkapan pada waktu air keruh sering mengalami kegagalan. Di daerah tropis ikan cakalang dapat menyelam sampai lebih kedalaman 40 meter, karena tingkat transparansi air laut yang tinggi dan perubahan temperatur yang tidak terlalu besar. Hal ini akan terjadi di daerah lintang tinggi karena perbedaan temperatur yang terlalu mencolok (Matsumoto, 1974).
2.3 Parameter Oseanografi Kelimpahan dan distribusi ikan sangat dipengaruhi oleh kondisi parameter oseanografi baik fisik, kimia dan biologi suatu perairan (Nikolsky, 1963 ; Laevastu dan Hela, 1970). Cakalang sebagai ikan pelagis memiliki karakteristik oseanografi yang lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi perairan di bagian permukaan, sehingga kajian suhu permukaan laut dan klorofil-a akan lebih relevan untuk menjelaskan secara lebih spesifik lingkungan perairan yang didiaminya (Nontji, 1993 ; Mann and Lazier, 1996). 2.3.1 Suhu perairan Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya aliran panas yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari. Daerahdaerah yang paling banyak menerima bahang sinar matahari adalah daerah-daerah yang terletak pada daerah khatulistiwa. Dengan demikian suhu permukaan air laut yang tertinggi akan ditemukan di daerah khatulistiwa (Hutagalung, 1988). Suhu adalah salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut. Hewan laut misalnya, hidup dalam batas-batas suhu yang tertentu, ada yang mempunyai tolerasi yang besar terhadap perubahan suhu yang disebut euriterm. Sebaliknya ada pula yang toleransinya kecil yang disebut stenoterm. Suhu laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah sinar yang didapat dari matahari (Nontji, 1987). Selanjutnya Nontji (1987) menyatakan bahwa suhu air permukaan di perairan Nusantara umumnya berkisar antara 28-310C. Suhu air di dekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi dari pada yang di lepas pantai. Secara alami suhu air permukaan memang merupakan lapisan hangat karena mendapat radiasi matahari pada siang hari. Laevastu dan Hayes (1981) mengemukakan bahwa perubahan suhu perairan yang sangat kecil (sekitar 0,02oC) dapat menyebabkan perubahan densitas populasi ikan di suatu perairan (daerah sub tropis). Lebih lanjut dikatakan bahwa ikan-ikan pelagis akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi atau
mencari daerah yang kondisi suhunya lebih rendah. Suhu lingkungan juga mempunyai pengaruh terhadap sifat meristik ikan misalnya jumlah tulang punggung bertambah, sirip ikan juga bertambah sebagai akibat turunnya suhu. Suhu juga menyebabkan perbedaan penyebaran ikan dewasa dan anak ikan karena mereka cenderung memilih suhu yang cocok bagi mereka masing-masing. Perbedaan suhu perairan juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi migrasi dan besarnya gerombolan ikan. Beberapa jenis ikan pelagis akan berenang lebih dalam apabila suhu perairan di permukaan lebih hangat. Kedalaman gerombolan ikan sangat tergantung luasnya lapisan tercampur di permukaan pada malam hari (Hela dan Laevastu, 1970). Selanjutnya Hela dan Laevastu (1970) mengatakan bahwa untuk meramalkan berhasil tidaknya suatu penangkapan ikan harus memperhatikan suhu optimum dari semua jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan dan pengamatan terhadap hidrografi dan meteorologi untuk memberikan keterangan mengenai isothermal permukaan. Kisaran suhu optimum untuk penangkapan ikan cakalang adalah 28-29oC. Khusus untuk perairan Indonesia yang merupakan perairan tropis pengaruh suhu permukaan laut terhadap penyebaran ikan pelagis sangatlah kecil karena suhu relatif sama (konstan) sepanjang tahun. Walaupun demikian, suhu dapat menandakan adanya batasan arus dan penyebaran ikan pelagis sering mengikuti penyebaran atau sirkulasi arus. Garis konvergensi diantara suhu dingin dan suhu panas merupakan daerah yang kaya organisme dan diduga daerah tersebut merupakan fishing ground untuk perikanan cakalang. 2.3.2 Klorofil-a Klorofil-a berkaitan erat dengan produktivitas primer yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan-ikan kecil yang kemudian akan menjadi makanan bagi ikan-ikan besar termasuk ikan pelagis seperti ikan cakalang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa klorofil-a mempunyai pengaruh terhadap keberadaan ikan cakalang. Produktifitas primer parairan pantai umumnya lebih tinggi dari produktifitas primer perairan laut terbuka. Menurut Valiela (1984) produktifitas primer perairan pantai melebihi 60% dari produktifitas yang ada di laut.
Laju produktifitas primer di laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produktifitas primer yaitu pencampuran vertikal, arus dan turbulensi, efek biologi dari masukan air tawar di daerah pesisir dan pergerakan dari perairan pesisir. Laju produktifitas
primer di laut juga
dipengaruhi oleh sistem angin muson. Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada Muson Tenggara, dimana pada saat tersebut terjadi upwelling dibeberapa perairan Indonesia bagian timur. Sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada Muson Barat Laut (Mann & Lazier, 1991). Pada saat ini di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil. Perbedaan konsentrasi klorofil-a pada kedua muson tersebut dikemukakan oleh beberapa peneliti. Nontji (1987) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia kira-kira 0,19 mg/m3 dan 0,16 mg/m3 selama musim barat dan 0,21 mg/m3 selama musim timur. Konsentrasi klorofil-a di lautan memiliki nilai yang berbeda secara vertikal, dimana hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi seperti suhu permukaan laut, angin, arus dan lain-lain. Fluktuasi nilai tersebut bisa diamati dengan melakukan pengukuran secara langsung (in-situ) atau dengan penggunaan teknologi inderaja. Konsentrasi klorofil-a di suatu perairan dapat memberikan rona laut yang khas, sehingga melalui metode inderaja yang menggunakan wahana satelit, konsentrasi pigmen tersebut bisa diduga. 2.3.3 Upwelling (umbalan) Upwelling adalah istilah yang digunakan oleh ahli oseanografi untuk menggambarkan situasi dimana air yang dingin tapi kaya unsur hara dari lapisan yang lebih dalam, naik menuju permukaan (Robinson, 1991). Sedangkan Nontji (1987) mengatakan bahwa gerakan naik ini membawa serta air yang bersuhu dingin, salinitas yang tinggi dan unsur-unsur hara yang kaya phosfat dan nitrat ke permukaan. Oleh karena itu daerah air naik (umbalan) ini selalu disertai dengan produktivitas plankton yang tinggi, ini menyebabkan ikan-ikan kecil akan mencari makan pada daerah upwelling tersebut dan ikan-ikan kecil itu menjadi makanan bagi ikan-ikan besar termasuk ikan pelagis seperti ikan cakalang. Dengan
demikian terjadinya upwelling dapat dikatakan berpengaruh terhadap keberadaan ikan cakalang. Proses upwelling adalah suatu proses dimana massa air didorong ke arah atas dari kedalaman sekitar 100 sampai 200 meter yang terjadi di sepanjang pantai barat di banyak benua. Aliran lapisan permukaan air yang menjauhi pantai mengakibatkan massa air yang berasal dari lapisan dalam akan naik menggantikan kekosongan tempat ini. Massa air yang berasal dari lapisan yang dalam ini belum berhubungan dengan atmosfir dan karena itu mengandung kadar oksigen yang rendah. Akan tetapi kaya akan larutan nutrien seperti nitrat dan fosfat, karena itu cenderung mengandung banyak fitoplankton. Sejak fitoplankton merupakan dasar dari rantai makanan di lautan, maka area-area upwelling merupakan suatu tempat yang subur bagi populsi ikan (Hutabarat dan Evans, 1984). Konsentrasi unsur hara yang tinggi di lokasi upwelling meningkatkan kesuburan perairan sehingga mendukung kelimpahan dan pertumbuhan plankton. Oleh sebab itu, lokasi upwelling merupakan daerah yang ideal bagi ikan-ikan kecil untuk memperoleh pakan, yang kemudian memberikan daya tarik bagi ikan-ikan yang berukuran besar untuk mencari makanan. Proses upwelling ini dapat dideteksi melalui teknologi penginderaan jauh dari perubahan suhu yang muncul di permukaan perairan. 2.3.4 Thermal front Front adalah daerah pertemuan dua massa air yang mempunyai karakteristik berbeda, misalnya pertemuan antara massa air dari Laut Jawa yang agak panas dengan massa air dari Samudera Hindia yang lebih dingin. Front merupakan salah satu kriteria dalam menentukan daerah penangkapan ikan yang potensial. Daerah yang memiliki massa air dingin dibandingkan massa air sekelilingnya mempunyai perbedaan suhu mencapai 1-2o C, maka daerah dengan massa air yang berbeda ini disebut daerah front (Mann dan Lazier, 1991). Adanya thermal front dapat ditandai dengan adanya pertemuan dua massa air yang bersuhu tinggi dengan massa air yang bersuhu rendah, dimana gradien suhu permukaan laut terlihat jelas (suhu berubah cepat pada jarak yang pendek). Thermal front yang terbentuk mempunyai produktifitas yang tinggi karena merupakan perangkap bagi zat hara dari kedua massa air yang bertemu sehingga
merupakan feeding ground bagi ikan pelagis dan merupakan fising ground bagi para nelayan (Hela dan Laevastu, 1970). Robinson (1991) menyatakan bahwa front penting dalam hal produktifitas perikanan laut jika cenderung membawa bersama-sama air dingin yang kaya akan nutrien. Kombinasi dari temperatur dan peningkatan kandungan zat hara yang timbul dari pencampuran ini akan meningkatkan produktifitas plankton, menyebabkan ikan-ikan kecil akan mencari makan di daerah terjadinya thermal front dan ikan-ikan kecil tersebut akan menjadi makanan dari ikan-ikan besar termasuk ikan pelagis seperti ikan cakalang. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya stok ikan disekitar perairan tersebut. Selain itu front atau pertemuan dua massa air yang berbeda karakteristiknya merupakan penghalang bagi migrasi ikan karena pergerakan air yang cepat dan ombak yang besar. 2.4 Citra Satelit Citra satelit dapat digunakan untuk pengamatan kondisi oseanografi suatu perairan secara multi temporal dan multi spasial di suatu wilayah perairan yang cukup luas dan waktu yang bersamaan. Kondisi oseanografi yang dapat diamati menggunakan citra satelit antara lain suhu permukaan laut, kandungan klorofil-a dan arus laut. Citra suhu permukaan laut diperoleh dari sensor thermal, kandungan klorofil-a dari sensor optik sedangkan arus dari sensor radar. 2.4.1 Citra suhu permukaan laut Citra suhu permukaan laut (SPL) dapat dihasilkan dari berbagai sensor thermal yang dibawa oleh berbagai satelit penginderaan jauh seperti NOAAAVHRR, Landsat dan MODIS. Untuk mendapatkan nilai estimasi SPL dari data NOAA-AVHRR dikembangkan metode multi kanal, dengan menggunakan kombinasi data dari tiga kanal yaitu kanal 3, 4 dan 5 (Triple window) dan metode kombinasi dua kanal yaitu kanal 4 dan 5 (Split window). Metode split window dapat diterapkan untuk estimasi SPL siang dan malam hari sedangkan metode triple window hanya dapat digunakan pada pengamatan malam hari (Robinson, 1991). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Selanjutnya Robinson (1991) mengatakan bahwa pengukuran spektrum infra merah yang dipancarkan oleh permukaan bumi hanya dapat memberikan
informasi suhu pada lapisan permukaan sampai kedalaman 0.1 m. Walaupun demikian, pada sebagian besar permukaan laut kecuali perairan kutub, kedalaman 0-20 m merupakan lapisan tercampur (Mixed layer) dimana suhu cukup homogen. Tabel 1 Karakteristik Spektral NOAA-AVHRR Nomor Band 1 2 3
Panjang Gelombang [µm]
Deskripsi
0,58-0,68 0,725-1,10 3,55-3,93
Sinar tampak [merah] Inframerah dekat Inframerah menengah [hybrida inframerah pantulan dan termal] 4 10,30-11,30 Inframerah termal 5 11,30-12,50 Inframerah termal Sumber : Richards (1993), Kidwell (1995), Howard (1996) dalam Halim (2005). Suhu permukaan laut yang dapat dipantau oleh satelit merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh dominan bagi keberadaan sumberdaya hayati laut. Menurut Widodo (1999), pengamatan dan monitoring fenomena oseanografi dan sumberdaya hayati laut mengharuskan penggunaan banyak data dalam selang waktu observasi tertentu (harian, mingguan, bulanan atau tahunan). Citra suhu permukaan laut dari suatu perairan yang luas dapat digunakan untuk mengetahui pola distribusi SPL, arus di suatu perairan dan interaksinya dengan perairan lain serta fenomena upwelling dan front di perairan tersebut yang merupakan daerah potensi penangkapan ikan. 2.4.2 Citra kesuburan perairan Sensor ocean color yang dibawa satelit dapat menyediakan data kuantitatif tentang global ocean bio-optical properties yang dapat memberikan data atau informasi tentang adanya variasi warna perairan (Ocean color) sebagai implementasi dari adanya perbedaan konsentrasi klorofil-a dalam perairan. Apabila sebaran produktifitas primer dapat diketahui akan menjadi indokator yang lebih tepat untuk penentuan fishing ground (Susilo, 1997). Pendeteksian klorofil-a dalam suatu perairan adalah dengan pengukuran radiansi warna perairan pada spektrum 433-520 nm dari kanal 2, 3 dan 4 dari sensor SeaWIFS. Dengan menggunakan sensor dari satelit SeaStar ini maka tingkat kandungan klorofil dari suatu perairan dapat diketahui.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan data lapangan berupa hasil tangkapan, posisi penangkapan, upaya penangkapan cakalang dan kondisi daerah penangkapan dilakukan di perairan Mentawai dengan koordinat mulai 98o31’00”-101o40’00” BT dan 00o 55’00”-03o20’00” LS (Gambar 2). Pengambilan data in-situ ini dilakukan pada bulan Maret-Mei 2007. Selanjutnya data eks-situ berupa citra SPL dan klorofil-a diperoleh dari LAPAN mulai bulan Juni-September 2007. PETA KABUPATEN MENTAWAI PROPINSI SUMATERA BARAT
N
W
E
S
Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian.
3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Perangkat komputer. 2. Termometer untuk pengukuran suhu air laut di lapangan. 3. Perangkat pengolah data satelit (software) yaitu Er Mapper 6.4 untuk pengolahan citra SPL dan citra SeaWIFT, adobe photoshop untuk mengedit data citra klorofil-a.
4. Peta perairan Mentawai, Sumatera Barat skala 1:2000.000 untuk menentukan lokasi penelitian. 5. Kamera photo untuk dokumentasi penelitian. 6. GPS dan atau peta DPI. 3.3 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : 1. Data hasil tangkapan diperoleh dari kegiatan penangkapan di lapangan bulan Maret sampai Mei 2007. 2. Data SPL dari hasil pengukuran citra AVHRR yang bebas awan dari satelit NOAA/AVHRR selama satu tahun yaitu dari bulan Juni 2006 sampai Mei 2007. Data tersebut diperoleh dari LAPAN. 3. Data citra klorofil-a hasil pengukuran citra Fengyun yang bebas awan dari satelit Fengyun selama satu tahun yaitu dari bulan Juni 2006 sampai Mei 2007. Data tersebut diperoleh dari LAPAN.
3.4 Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai yang meliputi survai data lapangan (in-situ) dan analisis visual citra satelit (eks-situ). Data in-situ berupa data waktu dan lokasi penangkapan serta komposisi hasil tangkapan diperoleh melalui observasi langsung dalam penangkapan ikan dan melalui wawancara dengan nelayan. Data kegiatan penangkapan yang meliputi waktu operasi, posisi DPI, jumlah dan ukuran panjang (size) hasil tangkapan cakalang diperoleh dari pengukuran secara langsung pada saat operasi penangkapan berlangsung. Posisi DPI cakalang ditentukan melalui GPS dan atau peta DPI. Nelayan yang dijadikan responden dipilih secara sengaja dari anak buah kapal sampel dengan pertimbangan bahwa nelayan mampu berkomunikasi untuk memberikan informasi yang dibutuhkan (purposive sampling). Data eks-situ berupa data citra SPL hasil deteksi satelit NOAA/AVHRR diperoleh dari Instalasi Lingkungan dan Cuaca, Lembaga Antariksa Nasional (LAPAN) Pekayon, Jakarta Timur. Data eks-situ berupa data kandungan klorofil-a juga diperoleh dari LAPAN. Data pendukung lain berupa kondisi umum lokasi
penangkapan dan data lain yang terkait erat dengan tempat penelitian diperoleh dari PPS Bungus dan instansi terkait serta melalui studi pustaka.
3.5 Analisis Data 3.5.1 Citra suhu permukaan laut Citra yang dipilih untuk diolah haruslah citra yang bebas awan dan merupakan data bulanan selama satu tahun yaitu mulai bulan Juni 2006 sampai Mei 2007 dan dikelompokkan berdasarkan musim yaitu musim barat, musim peralihan barat-timur, musim timur dan musim peralihan timur-barat. Data sebaran SPL secara horizontal dihitung menggunakan data citra SPL yang telah dikoreksi baik secara atmosferik maupun geometrik, kemudian dipelajari (diinterpretasikan) berdasarkan karakteristik variasi menurut kenampakannya. Langkah-langkah pengolahan citra SPL menjadi berbentuk kontur suhu adalah sebagai berikut : 1. Pemilihan citra yang bebas awan 2. Pemotongan citra (cropping) dan penajaman citra Cropping citra adalah suatu pemotongan data dari satu sel data untuk mendapatkan data yang sesuai daerah yang dikehendaki. Cropping data ini dilakukan pada semua data kanal yang akan digunakan dalam proses data citra satelit. Penajaman citra bertujuan untuk menghilangkan gangguan noise (inherent noise) agar tidak terdapat suatu titik gelap (spotting effect) dan untuk mendapatkan gambar yang jelas dan tegas dari fenomena oseanografi yang terlihat pada citra. Penajaman yang digunakan adalah melalui warna dimana setiap kelas nilai digital yang berbeda diberi warna yang berlainan. 3. Penghitungan nilai SPL Penghitungan suhu permukaan laut berdasarkan metode McMillin dan Crosby (1984) yaitu : SPL (oC) = T4 + 2,702 (T4 - T5) – 0,582 – 273,0 Dimana T4 (suhu kecerahan kanal 4) dan T5 (suhu kecerahan kanal 5) yang dinyatakan dalam bentuk energi elektromagnetik yang diterima oleh antena penerima NOAA-AVHRR dalam bentuk paket energi. Formula dasar ini
kemudian dimodifikasi dalam bentuk algoritma Er Mapper untuk pemisahan darat, laut dan awan, dimana nilai SPL adalah nilai suhu dominan yakni nilai suhu yang mendominasi cakupan daerah yang dipotong (cropping), dalam hal ini nilai suhu yang frekuensi kemunculannya paling banyak dibanding nilai suhu yang lain pada daerah cropping tersebut. 4. Klasifikasi nilai SPL ; dilakukan dengan membagi antara nilai SPL terendah sampai tertinggi ke dalam interval suhu tertentu. 5. Koreksi geometrik ; koreksi ini bertujuan untuk menyamakan koordinat citra ke dalam sistem koordinat bumi dengan menggunakan peta perairan Sumatera Barat. 6. Pembuatan kontur SPL ; nilai suhu pada kontur SPL dibuat dalam kisaran 0,5oC untuk masing-masing kelas suhu dan setiap kelas suhu diwakili oleh warna tertentu yang sama dengan warna citra SPL. 7. Penggabungan kontur SPL dengan digitasi daratan ; proses overlay menghasilkan peta distribusi SPL perairan Sumatera Barat, proses ini dilakukan dengan bantuan program Er Mapper 6.4. 8. Perhitungan SPL rata-rata; rata-rata SPL perairan Mentawai dihitung dari penghitungan rataan nilai SPL dominan setiap citra pada setiap wilayah. 3.5.2 Citra klorofil-a Citra klorofil-a digunakan untuk mengetahui kesuburan perairan Mentawai. Penghitungan kesuburan perairan didasarkan pada analisis kandungan klorofil-a yang diukur sensor SeaWiFS. Penghitungan konsentrasi klorofil-a didasarkan pada analisis visual dari citra yang ada dengan menggunakan skala batang (scale bar) standar. Citra klorofil-a yang dihasilkan belum tervalidasi untuk perairan Indonesia, sehingga nilai kandungan klorofil-a yang tampak pada citra lebih bersifat kuantitatif dari pada kualitatif. Besarnya
konsentrasi
klorofil-a
dinyatakan
dengan
mg/m3
dan
direpresentasikan dengan warna, sebagaimana diperlihatkan Gambar 5 berikut :
Gambar 3 Scale Bar Konsentrasi Klorofil-a.
Penentuan distribusi klorofil-a dengan menggunakan sensor ocean color dilakukan pada daerah visible sinar biru dan sinar hijau. Sinar hijau yang dipantulkan dari permukaan laut (membawa informasi mengenai konsentrasi klorofil) yang dapat dideteksi oleh sensor. Semakin banyak sinar hijau yang diterima sensor, maka semakin banyak pula kandungan klorofil-a tersebut. Untuk mengetahui nilai spektral dari pixel, maka dilakukan perbandingan (rasio) dengan kombinasi kanal 9 dan 12. Kemudian untuk mendapatkan nilai konsentrasi klorofil-a dilakukan perhitungan dengan menurunkan algoritma-algoritma yang selanjutnya diterapkan pada persamaan regresi (Susilo, 1997). 3.5.3 Pendugaan thermal front Daerah thermal front ditentukan dengan menggunakan kriteria bahwa gradien suhu horizontal antara dua massa air 1-2oC dengan pola konvergen (Mann&Lazier, 1991). Pengamatan terhadap perubahan suhu pada daerah front ini dilakukan secara visual terhadap pola spasial kontur SPL pada daerah yang berdekatan. 3.5.4 Pendugaan upwelling Upwelling diidentifikasi melalui analisis visual terhadap sebaran SPL dari citra satelit NOAA-AVHRR, sebaran klorofil-a dari satelit Fengyun. Fenomena upwelling ini dilengkapi dengan pengkajian terhadap penelitian yang telah ada sebelumnya. 3.5.5 Hasil tangkapan Hasil tangkapan dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui komposisi jumlah dan ukuran (size) cakalang yang tertangkap pada setiap posisi daerah penangkapan ikan. Hasil olahannya disajikan dalam bentuk grafik. Selanjutnya komposisi jumlah hasil tangkapan dikelompokkan menjadi tiga yaitu sedikit, sedang dan banyak. Frekuensi ukuran panjang cakalang yang tertangkap dikelompokkan menjadi dua yaitu ukuran kecil dan ukuran besar. Ukuran ikan dikelompokkan berdasarkan ikan yang sudah dewasa yaitu mulai ukuran 40 cm (Matsumoto, 1984).
3.5.6 Hubungan antara kondisi oseanografi dengan hasil tangkapan Untuk melihat hubungan antara parameter oseanografi (SPL dan klorofila) dengan hasil tangkapan cakalang, maka dilakukan analisis deskriptif yang disajikan dalam bentuk grafik dan peta tematik melalui overlay data hasil tangkapan terhadap data oseanografi. Dengan demikian, kecenderungan hasil tangkapan dapat ditentukan sesuai dengan profil parameter oseanografi yang dianalisis. Keeratan hubungan antara masing-masing parameter oseanografi dengan hasil tangkapan juga dapat diketahui berdasarkan nilai koefisien korelasi (r). Sedangkan kontribusi masing-masing parameter oseanografi terhadap hasil tangkapan diketahui dari nilai koefisien determinasi (R2). 3.5.7 Prediksi daerah penangkapan ikan potensial Untuk menentukan daerah penangkapan potensial digunakan beberapa indikator yaitu hasil tangkapan (berat), ukuran ikan (cm) dan SPL optimum, keberadaan upwelling dan thermal front. Masing-masing indikator tersebut dievaluasi secara parsial dan diberi nilai (scor). Selanjutnya hasil evaluasi indikator menurut kategori tersebut akan digunakan untuk menentukan daerah penangkapan ikan yang potensial, sedang dan kurang potensial. Jumlah hasil tangkapan cakalang, ukuran panjang cakalang serta profil suhu permukaan laut dan klorofil-a selanjutnya digunakan untuk memprediksi daerah penangkapan potensial. Pada ketiga indikator tersebut diberi nilai bobot dengan teknik scoring dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Jika pada suatu DPI diperoleh hasil tangkapan yang masuk dalam kategori tinggi (>10.001 kg/trip) diberi bobot 5, hasil tangkapan sedang (5.001-10.000 kg/trip) diberi bobot 3 dan hasil tangkapan rendah (≤5.000 kg/trip) diberi bobot 1. Pengelompokan nilai ini didasarkan pada penyebaran cakalang selama tiga bulan penangkapan. 2. Jika cakalang yang tertangkap pada suatu DPI masuk dalam kategori ukuran besar (≥40 cm/ekor) diberi bobot 3, sedangkan ukuran kecil (<40 cm/ekor) diberi bobot 1. Pengelompokan ikan ukuran besar/kecil ini mengacu pada pendapat Matsumoto et al (1984).
3. Jika SPL didominasi oleh SPL optimum untuk penangkapan, maka DPI tersebut dapat dikategorikan sebagai DPI yang baik diberi bobot 3 dan jika tidak didominasi oleh SPL optimum diberi bobot 1. Setelah diperoleh nilai bobot untuk masing-masing indikator pada suatu DPI tertentu, selanjutnya bobot tersebut dijumlahkan. Dalam hal ini, ketiga indikator diasumsikan mempunyai pengaruh yang sama terhadap penilaian DPI. Langkah
terakhir
dalam
penentuan
DPI
adalah
dengan
cara
mengelompokkan nilai bobot gabungan yang merupakan penjumlahan ketiga indikator menjadi tiga, yaitu : 1. Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran tertinggi, maka DPI tersebut dikategorikan sebagai DPI potensial. 2. Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran menengah, maka DPI tersebut dikategorikan sebagai DPI sedang. 3. Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran terendah, maka DPI tersebut dikategorikan sebagai DPI kurang potensial. Ketiga nilai bobot gabungan di atas untuk memudahkan dalam memilih atau menentukan daerah yang potensial, sedang dan kurang potensial, seperti disajikan pada Lampiran 3. Untuk lebih jelasnya mengenai penelitian yang dilakukan, maka dapat dilihat pada diagram alir penelitian (Gambar 5).