2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Kebijakan
Kebijakan pengelolaan (policy management) merujuk pada upaya atau tindakan yang sedemikian rupa (deliberate way) untuk menangani isu kebijakan dari awal hingga akhir. Analisis kebijakan merupakan bagian yang ti& terpisahkan dari kebijakan pengelolaan (De Coning, 2004). Selanjutnya Abidin
(2004) menyatakan bahwa kebijakan yang dianggap resmi adalah kebijakan pemerintah yang mempunyai kewenangan dan dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya dimana dibuat sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Partisipasi masyarakat dapat mempengaruhi keseluruhan proses kebijakan dimulai dari perurnusan, pelaksanaan sampai pada penilaian kebijakan. Lebih lanjut Thomas Dye dalam Abidii (2004) menyatakan bahwa kebijakan merupakan-pilihan pemerintah untuk melakukan atau ti&
melakukan sesuatu
(whatever government chooses to do or not to do). Menurut Weimer et.al. (1998) produk dari analisis kebijakan adalah berupa saran (advice). Kebijakan secara
umum dapat dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu kebijakan mum, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis. Kebijakan umum antara lain mengambil bentuk Undang-undang atau Keputusan Presiden. Kebijakan p e l h a a n adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan umum antara lain berupa Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah. Sedangkan kebijakan teknis adalah kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan tersebut. Secara m u m dapat disebutkan bahwa kebijakan
umum adalah kebijakan tingkat pertama, kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan tingkat kedua dan kebijakan teknis adalah kebijakan tingkat ketiga atau yang terbawah. Selain dari perbedaan cakupan, juga terdapat perbedaan isi atau tekanan masing-masing kebijakan. Kebijakan umum lebii banyak berkenaan dengan isuisu strategis dan sedikit unsur teknis. Kebijakan pelaksanaan memiliki unsur strategis dan teknis yang berimbang. Kebijakan teknis, yang dominan adalah unsur teknis dan sedikit isu strategis. Strata kebijakan publik menurut Abidin
(2004)diilustrasikao pada Gambar 1 berikut:
Garnbar 1. Strata kebijakan publik (Weimer and Vining, 1998)
Weimer and Vining (1998) menyatakan bahwa analisis kebijakan menghasilkan saran yang berorientasi pada pengguna berkaitan dengan
keputusan-keputusanpublik bedasarkan nilai-nilai sosid. Lebih Ianjut dinyatakan b&wa analisis k e b i j h dapat didekati dengan lima perspektif yang berbeda: Academic social science research, Policy research, Classical planning, The
"Old"public adminisiration, Journalism, d an Policy analysis seperti pada TabeI 1 berikut ini :
Tabel 1. Policy Analysis berdasarkan perspektif Major Objraive
"Clial"
Common Slyk
Thne Conrminb
I C o n s m thmriw I Truth" m defined I Rigorous mefhodli I Rarely extcmal A d m i c S0ci.l S c h aRaartb
for "&astanding
by the disciplines;
society
other d o I a n
time comtnintr
for consrmcfing and t&ng
Geaenl WUha,
I OAcn inclevant to information nad todkirionmalc
thwria: usually rempstivc Prrdia impacB of changes in variables that can
Poliq R a a m b
Aeton in Ur
Application of
Sometima
Difficulty in
policy amw the related dirciplina
formal
deadline p a s u n ,
mlating
memodolw to
perhaps mitigated
findrngr into
be almed by
policy- rcl-t
by i n w
govmurmt &o
public palicy
qucstiom:
rceurrcncc
prediction of conscquenca Dcfining and
"public i n h a "
Establ'bhed rules
achieving
aspmfusiaully
andpmfasianal
fimeprpsun
in p l m whcn
Cluaial
kinbkfutun
ddvKd
n m ;
kauscdea* with
political p c e s e
Phmbg
smteofsocisty
rpsifiution of
long-tmn fume
iwnd
Little immsdilte
Wishful thinking
gmls and objdvc
TLe "OW h b l k Admtaktntiw
Efficient
'public i n m a r
Managerial and
sxaution of
m anbodied in
legal
Time pressure tied
Exclusion of
m mutine dceiiim
almativcs
pmgrana
making such as
memal to
caablirhcd by political pacssa
budgst cycles
pogram
Focusing public Jaortulirm
OaKI.l public
atfention on
Dcscripcrika~n
Sbong dcadlinc
Lack oflnalylical
tangkapive
pressure-mikc
deprikm
whik iuue is
tan&ph and bahlcc
~~poblanr
Pollcyhlysir
.
System&
Spsific p e m or
Synthesis of
topical S k n g deadline
com@onmd ~ a l & of
inni(ufions,
cxidngraearch
pprm
han client
decision maker
and theory to
mpletion of
orisntstion Md
pndict mnscquenca of
~faroiving
alternative polieia
@is usually lidto specific dabion
time p a s u n
aVILil.Mc m public
allmmthw
Myopia resulting
social p o b h
Sumber :Weimer and Vining (1998)
Berdasarkan Tabel 1 tersebut di atas, Weimer and Vining (1998) mendefinisikan analisis kebijakan sebagai proses atau kegiatan mensintesa informasi, termasuk hasil-hasil penelitian, untuk menghasilkan rekomendasi opsi disain kebijakan publik. Menurut Weimer and Vining (1998), analisis kebijakan
(policy analysis) berbeda dengan penelitian kebijakan (policy research). Perbedaan utama terletak pada obyek tujuan, klien, metode, penyajian dan jadwal
perbedaan ini terutama terletak pada klien, yang mana klien analisis kebijakan adalah pengambil keputusan spesifik perorangan dan organisasi (spesijic client
oriented), sedangkan klien penelitian kebijakan tidak bersifat spesifik, yaitu semua pihak yang berkepentingan baik pengambil keputusan, ilmuwan, maupun masyarakat umum. Tabel 2. Perbandingan karakteristik penelitian dan analisis kebijakan
iterjemahkan kedalam "bahasa" pengambil kebijakan dan tidak ada
engambil kebijakan, hasilnya sesuai kebutuhan pengguna
hubungan langsung peneliti pengguna
Dengan menggunakan dikotomi Laswell (1970) dalam Abidin (2004), penelitian kebijakan berorientasi kepada pengetahuan mengenai perumusan kebijakan (knowledge of policy making), sedangkan analisis kebijakan lebih berorientasi pada pengetahuan dalarn perumusan kebijakan (knowledge in policy
making). Selanjutnya menurut klasifikasi Johnson (1986) dalam Abidin (2004), ourput penelitian kebijakan adalah pengetahuan deskriperikanan tangkapif (descripfive knowledge) yang bersifat obyektif, sedangkan output analisis kebijakan adalah pengetahuan preskriptif (prescriptive knowledge) yang bersifat
normatif mengenai kebijakan publik, gabungan dari ilmu pengetahuan "tentang" dan "dalam" perumusan kebijakan ini disebut ilmu kebijakan (policy science). Hogwood clan Gunn (1984) membagi dua proses perumusan suatu kebijakan, yaitu: studi kebijakan (policy sfudies) dan analisis kebijakan (policy analysis). Studi
kebijakan dipergunakan untuk
menggambarkan proses
pengetahuan tentang suatu kebijakan atau proses kebijakan itu sendiri. Didalam studi kebijakan terdapat beberapa aktivitas yaitu: studi isi kebijakan (policy content), studi proses kebijakan (policy process), studi output kebijakan (policy output), dan studi evaluasi kebijakan I
Information for policy making
Advocacy content
process
Advocacy
output -
I I
I
I
Policy studies (knowledge of policy and the policy process)
Analyst as political actor
Political actor as analyst
Policy Analysis (knowledge in policy process)
Gambar 2. Bentuk-bentuk penyusunan kebijakan publik (Hogwood and Gunn, 1984)
Content analysis mempakan teknik penelitian guna memperoleh
pemahaman secara sistimatik dan obyektif dalam melakutan identifikasi karakter tertentu dalam suatu kebijakan (Content analysis is any research technique for making inferences by systematically and objectively identzfLing speczped characteristics within text). Tahapan yang dilakukan meliputi: (1) Menyeleksi
topik dan membuat kategori, (2) Mengkaji dan memberi kode pada topik yang di seleksi sesuai dengan tujuan perumusan masalah penelitian, (3) Melakukan pengecekan terhadap validitas dan reabilitas dari topik, bila diperlukan kembali ke tahap sebelumnya, ( 4 ) Mengkaji dan mebuat kode atau pengelompokan dari semua topik, (5) Melakukan analisis, (6) Melakukan perbandingan dengan fakta lain dan (7) Melakukan interpretasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa landasan pokok
waktu sebagaimana terlihat pada Tabel 2. Secara umum dapat dikatakan bahwa dari content analysis adalah melakukan pemfokusan secara selektif (selective
; ;
;
reduction) kedalam beberapa kategorikelompok yang terdiri dari kata, sekumpulan kata-kata atau h e dimana peneliti &pat mendalami. Kata-kata spesifik atau pola dikaitkan dengan pertanyaan penelitian dan menentukan tingkat analisis serta kesimpulan umum (Palmquist, 2004). 2.2 Kebijakan Desentralistik
Ditinjau dari etimologi, kata desentralistik berasal dari bahasa latin, yaitu
"dewdan "cenhum". "De" artinya "Lepas" dan "centrum"artinya "pusat". Dengan demikian arti kata desentralistik adalah melepaskan dari pusat. World Bank (2001) memberi batasan desentralistik adalah p e n g a l i i kewenangan dan tanggung jawab fungsi publik dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal atau organisasi pemerintah independen semua. Sedangkan berdasarkan pada ketentuan
urnum UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralistik adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom daiam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya yang dimaksud daerah otonom dalam ketentuan umum tersebut adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut pmkarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebijakan desentralistik setidaknya membawa berbagai implikasi penting diantaranya adalah terhadap kelembagaan, pengelolaan sumberdaya perikanan
serta partisipasi masyarakat. Melalui otonomi diharapkan lembaga pemerintah mampu merumuskan tugas, h g s i dan kewenangannya dengan baik sehingga mampu melayani masyarakat dengan baik. Selain itu, melalui desentralistik diharapkan juga terjadi pengelolaan perikanan tangkap secara berkelanjutan. World Bank (2001) melihat bahwa desentralistik dapat memberikan manfaat dalam bentuk peningkatan partisipasi masyarakat dan kualitas pelayanan publik. Partisipasi masyarakat akan tejadi apabila masyarakat nelayan dapat memainkan W
y
a (role) secara jelas, memperoleh k e a d i h (equityl, akses dan kontrol
terhadap sumberdaya. Menurut Osborne dan Gaebler (2001) terdapat 4 (empat) manfaat desentralistik ditinjau dari segi kelembagaan, yaitu: (1) Lembaga yang terdesentralistik jauh lebih fleksibel dari pada yang tersentralistik. Artinya
lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berbeda, (2) Lembaga yang terdesentralistik jauh lebih efektif dari pada tersentralisasi. Artinya pegawai atau organisasi yang terdesentralistik paling dekat masalah dan peluang publik yang dapat mencirikan perikanan tangkap dengan solusi terbaik, (3) Lembaga yang terdesentralistik jauh lebih inovatif dari pada lembaga yang tersentralisasi, dan (4) Lembaga yang terdesentralistik menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi.
World Bank (2001) melihat manfaat desentralistik dari segi paiisipasi masyarakat dan kualitas pelayanan publik, seperti :(1) Partisipasi luas masyarakat dalam aktivitas sosial, ekonorni dan politik, (2) Memotong prosedur birokrasi yang kompleks dan meningkatkan sensitivitas aparatur pemerintah terhadap kondisi lokal, (3) Melibatkan partisipasi yang luas berbagai pemakilan masyarakat dari berbagai kelompok etnis, agama dan budaya dalam proses pengambilan keputmap publik, (4) menghasilkan program pelayanan publik yang lebih kreatif, inovatif dm responsif karena melibatkan partisipasi masyarakat, (5) memberi peluang pa& masyarakat dalam mengawasi program publik dan (6) pelayanan p u b l i yang lebih efisien, merata dan efektif.
2 3 Evaluasi Efektivitas Kebijakan Efektivitas menduduki posisi sentral dalam evaluasi kebijakan. Pertanyaan pokok yang sering muncul dalam evaluasi kebijakan adalah "Apakah kebijakan
ini atau itu bejalan dengan baik?". Gysen (2002) mengelompokkan pertanyaanpertanyaan yang terkait dengan efektivitas suatu kebijakan kedalam tiga kategori, yaitu:
-
Pertama, pertanyaan dapat berbentuk desbiperikanan tangkqiif. P m y a a n ini berkenaan atau berhubungan dengan apa yang terjadi.
-
Kedua, m y a a n yang terkait dengan asal muasal. Pada kategori ini, pertanyaannya tidak hanya terkait dengan apa yang terjadi, tetapi juga
berusaha untuk memahami latar belakang terjadinya, pe~bahan-pembahan yang muncul dan lain-lain sebagai akibat dari munculnya suatu kebijakan.
-
Ketiga, pertanyaan dapat berbentuk normatij: Pertanyaan dalam kategori ini berkutat disekitar kepuasan terhadap suatu kebijakan, seperti apakah implementasi kebijakan memberikan hasil yang memuaskan? Sedangkan menurut Sprinz dalam Joos et al. (2004), efektivitas dapat
dinilai dengan membandingkan pencapaian saat ini dengan pencapaian kondisi idealnya. Secara umurn kriteria-kriteria evaluasi kebijakan publik digambarkan pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Kriteria evaluasi kebijakan Tipe Kriteria
Pertanyaan
Ilustrasi
Efektivitas
Apakah hasil yang diinginkan telah Unit pelayanan dicapai
Efisiensi
Seberapa banyak usaha diperlukan Unit biaya, Manfaat bersih, untuk mencapai basil yang diinginkan Rasio cost-benefir
Kecukupan
Seberapa jauh pe~capaianbasil yang Biaya tetap diinginkan memecahkan masalah tetap
Perataan
I Apakah biaya manfaat didistribusikan
Efekivitas
Kriteria Pareto, Kriteria
dengan merata kepada kelompok- Kaldor-Hicks, kelompok yang berbeda. Rawls Responsivitas
I
Kriteria
Apakah hasil kebijakan memuaskan Konsistensi dengan survei kebutuhan, preferensi, atau nilai warga negara
I
kelompok-kelompok tertentu Ketepatan
Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan Program publik benar-benar berguna atau bernilai merata dan efisien
hams
Sumber :Durn, 1994
2.4 Pelayanan Publii Menurut World Bank (2001) terdapat tiga prinsip utama yang melandasi
good governance, yaitu ( 1 ) Akuntabilitas, (2) Transparami, dan (3) Partisipasi Masyarakat. Akuntabilitas merupakan prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan karena pengambilan keputusan di dalam organisasi-organisasi publik melibatkan banyak pihak. Oleh sebab itu, wajar apabila rumusan kebijakan
1
merupakan hasil kesepakatan antara warga pemilih (constituency), para pemimpin politik, teknokrat, birokrat atau administrator, serta para pelaksana di lapangan. Selanjutnya untuk menilai akuntabilitas, maka alat ukur yang digunakan meliputi: Job
description
mekanismelstandar
(acuan
pelayanan),
pelayanan,
informasi
produk-produk
tingkat
kebijakan
pelayanan,
daerah
(proses
pembuatan keputusan), Renstra-Repetada, sistem dan mekanisme perencanaan, serta pengendalian pembangunan daerah. Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang
untuk
memperoleh
informasi
mengenai
penyelenggaraan
pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Keterbukaan pemerintah atas berbagai aspek pelayanan publik, pada akhimya akan membuat pemerintah menjadi bertanggung jawab kepada semua stakeholder yang berkepentingan dengan proses maupun kegiatan &lam sektor publik. Alat -ukur untuk menilai transparansi adalah melalui laporan tahunan. Sedangkan partisipasi adalah prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan di setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Indikator partisipasi melalui adanya forum untuk menampung partisipasi masyarakat yang representatif. Dimana, alat ukur yang digunakan untuk menilai partisipasi masyarakat adalah melalui pertemuan kelompok masyarakat (stakeholder meeting).
2.5 Partisipasi Masyarakat Hernandes (1999) dalam Abidii (2004) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah satu ha1 yang sangat penting (critical one) dalam pemerintahan yang demokratis, apalagi dalam praktek pemerintahan daerah. Antoft dan Novack (1998) dalam Abidin (2004) mengartikan partisipmi masyarakat sebagai keterlibatan secara terus-menerus dan aktif dalam pembuatan keputusan yang dapat mempengaruhi kepentingan mum. Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat, Pretty (1995) mengemukakan bahwa partisipasi dapat dibagi kedalam tujuh tipe yaitu manipulative parficipation, passive participafion, participation by
consultation, participation for material incentives, finctional participation, interactive participation dan self-mobilization. Tipe partisipasi dan karakteristik dari masing-masing tipe dijelaskan pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Tipologi partisipasi masyarakat Tipologi
Karakteristik
1. Partisipasi pura-pura
Partisipasi hanya diwujudkan dalam bentuk pura-pura,
(manipulative
dimana keberadaan suatu kelompok dalam oraganisasi
participation)
hanya diwakili oleh orang yang tidak memiliki kekuatan dan tidak mewakili kelompok yang harus diwakilinya
2. Partisipasi pasif (passive
participation)
Bentuk partisipasi dimana masyarakat hanya diberitahu mengenai apa yang sudah diputuskan atau apa yang telah terjadi. Respons masyarakat tidak ditindaklanjuti dengan baik
3. Partisipasi dalam bentuk
Pihak luar mindefiniskkan problem dan proses
konsultasi (participation peng~mpulaninformasi, sementara masyarakat
by consultation)
berpartisipasi dalam bentuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Dalam bentuk partisipasi ini tidak ada sharing dalam pengambilan keputusan
4. Partisipasi karena adanya
Masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan
iming-iming material
kontribusi, misalnya tenaga, sebagai imbal baik atas
(participationfor
pemberian uang tunai atau material lain sebagai insentif.
material incentives)
Pengalaman menunjukkan bahwa tidak ada jaminan bahwa masyarakat akan menerapkan teknologi arau pendekaatan yang diperkenalkan jika insentif yang diberikan telah berakhir.
5. Partisipasi fungsional
Partisipasi dipandang oleh pihak eksternal sebagai media
finctional
agar tujuan proyek dapat dicapai khususnya dalam bentuk
participation)
pengurangan biaya. Masyarakat berpartispasi melalui pembentukan kelompok untuk mencapai tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelumnya. Keterlibatan bisa dalam bentuk sharing pada saat pengambilan keputusan, tetapi peran pihak ekternal dalam pengambilan keputusan ini lebih kuat.
-
Masyarakat terlibat dalam proses analisis secara bersama,
6. Partisipasi interaktif
I
(interactive participation)
I membuat rencana kerja serta membentuk atau menguatkan / lembaga lokal. Partisipasi tidak hanya dilihat sebagai alat
1 mencapai tujuan. Proses melibatkan berbagai metode untuk menangkap perbedaan pandangan, serta menggunakan cara 1
7.Partisipasi mandiri (SeF
mobilization)
yang tersruktur dan sistematis dalam proses pembelajaraan. Masyarakat berpartisipasi dengan jalan mengambil inisiatiatif secara independen untuk merubah sistem:Mereka menjalin kontak dengan pihak luar untuk mendapatkan sumberdaya atau nasihat teknis yang dibutuhkan, tetapi mereka tetap mengontrol penggunaan sumberdaya tersebut.
Sumber :Pretty (1995)
2.6 Pengelolaan Perikanan Tangkap Ikan adalah sumberdaya alam yang bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulihldapat memperbaharui diri, namun demikian sumberdaya ini bukannya tidak tak terbatas. Untuk itu, sumberdaya yang terbatas tersebut h a s dikelola secara baik, sebab ( 1 ) Tanpa adanya pengelolaan akan menirnbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employment); (2) Perlu adanya
pengaturan terhadap hak pemanfaatan (use rights) dan hak kepemilikan @roperv rights). Dimana menurut Charles (2001), use rights dan property rights dapat
diklasifikasikan sebagaimana pada Gambar 3 dan 4.
I (
Use tight
a Harvest right
1
"'7i"o~.-y:
7.
r
.?.,'.>->Lb
.
<"+
" - A .
Z ~ m t e denw': . . . WS) AK&S right -A
JnputleZort
Outputlcatch
right
I
1-
Annual quotas
Garnbar 3. Pengaturan use rights daIam pengelalaan perikanan tangkap
b Alienation right
P=='
Exclusion right
W <.
A
,
+
Common property-
6 Management right
Use Right
Gambar 4. Klasifikasi Pmperfy rigkfs (Charles 2001)
SeFanjutnya Charles (200 1) mengemukakan tiga paradigma dalam pemanfaatan
PT yang operikanan tangkapimal, yaitu konservasi, rasionalisasi dan sosiall komunitas. Hubungan ketiga paradigma tersebut sebagaimana Gambar 5 berikut :
&
Instrumen:
Insrrhi(iunnJ agreemenfs, commagement
Instrumen: TAC. TechnicalMwsure.
Insirurnen. l m p s ~ n gproperp rtght.~.economic muns io r e h c e capacrly
Gambar 5. Paradigma pengelolaan sumberdaya perilanan 2.6.1 Paradigma konservasi
Paradigma ini didasarkan pada pengelolaan biologis sumberdaya perjkanan yang mampu mernberikan hasil ikan yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Dalam konsep ini distorsi dalarn pengelolaan diukur dari seberapa besar penyimpangan jurnllah yang dieksploitasi dibandinglcan dengan MSY-nya.
Berdasarkan pendekatan ini, jumlah ikan yang ditangkap saat ini hams dikurangi dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang rnaksimum pada rnasa yang akan datang. Jumlah yang bisa dieksploitasi didasarkan pada hasil evaluasi ilmiah dan
tidak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sosial atau ekonomi. Dalam ha1 ini jumlah yang dapat dieksploitasi lebih ditujukan untuk kepentingan konservasi. Instrumen utama yang digunakan untuk mengontrol jumlah yang dapat dieksploitasi antara lain adaIah Jumlah Taogkapan yang Diperolehkan (JTB)lTotul
Allowable Catches (TACs), ukuran minimum ikan yang boleh ditangkap dan ukuran mata jaring.
2.6.2 Paradigma rasional Paradigma ini didasarkan pada model bio-economic dalam eksploitasi sumberdaya perikanan yang tujuannya adalah memaksimumkan kesejahteraan ekonomi. Besarnya kemgian akibat kegagalan pasar diukur dari kerugian ekonomi yang muncul dibandingkan dengan economic-rent mmimum dalam jangka panjang. Paradigma ini dikembangkan berdasarkan premis bahwa tujuan masyarakat adalah memaksimumkan economic rent dalarn jangka panjang. Instrument yang digunakan dalam pendekatan paradigma rasional adalah: (1) Mengurangi tingkat eksploitasi sampai ke tingkat fishing effort yang operikanan tangkapimal, dan (2) Mentransformasikan penkanan dari kondisi dimana tidak seorangpun memiliki hak atas sumberdaya perikanan menjadi private property, dengan demikian kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya yang tidak menguntungkan dapat dihilangkan (Charles, 2001). Ditinjau
dari perspektif
antar
wilayah,
paradigma rasionalisasi
membutuhkan kerja sama clan k o o r d i i i antar wilayah. Alasannya, sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang bergerak (mobile) yang dapat melewati batas-batas antar wilayah. Sehingga manfaat ekonomi tambahan dapat diperoleh apabila masing-masing daerah telah sepakat untuk mengkesploitasi sumberdaya
ikan sampai batas usia tettentu sehingga nilainya menjadi lebih tinggi. 2.63 Paradigma sosiaVkomunitas Paradigma ini dibangun berdasarkan spektrum pengelolaan perikanan yang lebih luas. Paradigma ini melihat bahwa paradigma konservasi dan paradigma rasionalisasi dalam upaya menghindari kondisi lebih tangkap (overjshing) temyata kurang melibatkan partisipasi masyarakat termasuk didalamnya kondisi sosial dan kultural masyarakat. Bukti empirik menunjukkan bahwa masyarakat dapat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan dalam pengelolaan perikanan. Dalam rangka mengembangkan eksploitasi sumberdaya perikanan yang berkelanjutan, maka kerangka institusi yang
berlangsung dalam masyarakat harus juga dipertimbangkan (Ostrom, 1990 dalam Charles ,2001). Aspek lain yang kurang diperhitungkan dalam paradigma konsewasi dan rasional adalah masyarakat perikanan sangat tergantung pada industri yang berbasis perikanan. Oleh karenanya konsekuensi pemerataan (distribusi) seperti unemployment yang disebabkan karena instrumen biologis maupun ekonomi sebagai akibat digunakannya paradigma konsewasi atau rasionalisasi tidak mampu dijawab oleh kedua paradigma ini (Charles, 2001). Karena kelemahan tersebut maka direkomendasikan untuk menggunakan instnunen yang mampu mewadahi kepentingan sosial dan masyarakat. Dengan demikian paradigma sosial/komunitas dinilai mampu menjamin tercapainya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dengan tidak mengesampingkan kepentingan sosial dan masyarakat. Jensen (1999) menyatakan bahwa apapun paradigma pengelolaan perikanan yang dianut oleh suatu negara atau wilayah perlu diikuti dengan kebijakan struktural dan kebijakan pengawasan (kontrol). Kebijakan struktural terkait dengan kelembagaan dan mekanisme koordinasi antar lembaga yang mampu memfasilitasi aktivitas pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Sementara kebijakan pengawasan lebih menekankan pada upaya monitoring dan evaluasi yang harus dilakukan dalam menjamin tidak terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Menurut Pomeroy (1997) terdapat 5 (lima) anak tangga dalam co management yang dimulai dari pengelolaan yang sentralistik (sentralised management) hingga pengelolaan yang diatur oleh masyarakat itu sendiri (self regulation)
sebagai berikut:
(1)
Instructive dimana pemerintah yang
mengendalikan, (2) Consultative d i i a pemerintah mengambil keputusan setelah mendapat masukan dari masyarakat, (3) Cooperative dimana keputusan diambil bersama oleh pemerintah dan masyarakat, (4) Advisory dimana keputusan diambil oleh masyarakat (users) dan dikomunikasikan ke pemerintah untuk mendapat saran lanjutan serta (5) Informative dimana segala keputusan diambil oleh masyarakat dan pemerintah sekedar diinformasikan mengenai keputusan tersebut. Dimana secara lengkap tangga tersebut disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6. Tangga comanagement (ladder of co management) Pengeloran sumberdaya ikan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan infonnasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber dan implementasinya, dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan (FAO, 1995). 2.7. Maximum Sustainable E e I M S Y
Pengelolaan sumberdaya perilcanan umumnya didasarkan pada konsep "hasil maksimum yang lestari" (Maximum Sustainable Yield) atau juga disebut dengan "MSI"'.Konsep MSY herangkat dari model pertumbuhan biologis yang dikembangkan oleh seorang ahli Biologi bernama Schaefer pada tahun 1954. Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu recruitment, pertumbuhan, mortalitas dan hasil tangkapan. Model yang diperkenalkan Schaefer untuk menentukan MSY adalah metode produksi surplus, yang mana model ini merupakan hasil pengembangan model dari Graham (1935).
Pada dasamya model Schaefer ini memberikan
cfx
gambaran bahwa tingkat biomas antar waktu (-) sangat dipengaruhi oleh tingkat dt pertumbuhan intrinsik biomas (r), biomas itu sendiri (x), serta daya dukung
maksirnurn liigkungan (K). Dimana tingkat biomas antar waktu ini sebanding dengan fungsi pertumbuhan sumberdaya (f (x)). Secara m u m hubungan antara tingkat biomas antar waktu dan tingkat pertumbuhan dapat dinotasikan sebagai berikut:
"--dt
f (x) ............................................................................................................. (1)
salah satu fungsi m b u h a n sumberdaya yang biasa digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik yang dinotasikan sebagai berikut:
Adapun laju pertumbuhan sumberdaya dapat ditentukan dengan mengintroduksi penangkapan (h) ke dalam model dan apabila diasumsikan bahwa penangkapan (h) berkolerasi linear terhadap biomas (x) dan input produksi atau upaya (E) atau
h =qEx (q adalah koefisien daya tangkap). Laju pertumbuhan tersebut dapat
d i n o t a s h sebagai berikut:
Dengan mengasumsikan bahwa tingkat biomass antar waktu sama dengan no], maka fungsi pertumbuhan akan sama dengan fungsi penangkapan, sehingga dapat diperoleh tingkat biomas operikanan tangkapimal secara biologi yang secara matematik dapat dinotasikan sebagai berikut:
Kemudian dengan mengsubstitusi persarnaan (4) ke dalam fungsi penangkapan, maka dapat diperoleh persamaan berikut:
Selanjutnya, dengan menyederhanakan persamaan
(9,yaitu membagi kedua sisi
persamaan dengan upaya Q, maka MSY Schaefer dapat diestimasi dengan menggunakan teknis regreasi linear sederhana:
dimana a = qK dan
q2K ,sehingga tingkat upaya dan MSY dari model P =r
Schaefer dapat ditentukan dengan menggunakan formula sebagai berikut:
Gambaran tentang hubungan antara produksi lestari dan tingkat upaya yang berbentuk parabola secara umum terlihat pada gambar di bawah ini.
Hubungan Produksi Lestaridan Upaya
Gambar 7. Hubungan produksi lestari dan upaya
sedangkan untuk mengestimasi tingkat upaya Q dan tingkat produksi lestari
(MSY) ditentukan dengan menggunakan kerangka estimasi Clark (1985), yaitu:
h'MY
rK =4 .....................................................................................................................
(9b)
Namun demikian, MSY barulah merupakan penggambaran suatu keseimbangan berdasarkan faktor biologi saja, padahal sistem perilcanan mengenal adanya faktor ekonomi. Oleh karena itu, Gordon (1955) kemudian mengintroduksi parameter
ekonomi seperti harga dari output (p) per satuan berat dan biaya dari input (c) ke dalam model Schaefer untuk menghasilkan keseimbangan bio-ekonomi. Keseimbangan bio-ekonomi ini dikenal dengan keseimbangan statik GordonSchaefer.
-
Gambar 8. Hubungan manfaat dan biaya dengan upaya Pada dasarnya keseimbangan bio-ekonomi terjadi pada saat ZR = TC , yaitu pada saat tingkat upaya beradii pada level upaya open access. Pada saat ZR = TC, maka keuntungan sama dengan no1 (x=O). Bilamana ZR = phdan
h= qEk, maka ZR = pqEk, sedangkan bilamana TC = cE, maka hngsi keuntungan adalah:
MEY akan terjadi pada tingkat keuntungan yang maksimal, artinya bahwa
ax
keuntungan maksimal akan terjadi bilamana - = 0 aE
atau dengan kata lain
keuntungan maksimum akan terjadi pada saat tingkat biomas (x) sebanding
dengan nilai biaya ekstraksi per unit upaya (c) dibagi dengan harga ikan per satuan berat (p) dan koefisien daya tangkap (q) atau dapat dinotasikan sebagai:
Sehingga untuk kondisi open access dengan mengsubstitusi persamaan (1 1) ke dalam persamaan (2), maka dapat tingkat produksi akses terbuka dapat diketahui sebagai berikut:
sedangkan tingkat upaya pada kondisi akses terbuka dapat diietahui bilamana persamaan (1 1) disubstitusikan ke dalam persamaan (4), sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut:
Adapun estimasi untuk MEY dan upaya pada kondisi MEY dapat diketahui dengan beberapa penyederhanaan matematis sebagai berikut: bilamana h(x) = f ( x ) ,maka
sehingga dapat disederhanakan menjadi :
atau juga dapat dinotasikan sebagai
8P(x) = 0, sehingga dan untuk mendapatkan x perikanan tangkap optimal, maka -
ax
menghasilkan persamaan sebagai berikut:
dan secara matematis persamaan tersebut akan menghasilkan:
dengan mensubstitusi persamaan (13e) ke dalam persamaan (2), maka dapat dihasillcan tingkat produksi lestari secara ekonomi sebagai berikut:
sedangkan jika persamaan (13e) disubstitusikan ke persamaan (4), maka dapat diperoleh tingkat upaya pada kondisi MEY adalah sebagai berikut
Namun demikian, hal lain yang perlu diperhatikan pengkajian potensi lestari sumberdaya ikan adalah keberadaan beberapa zone penangkapan yang kondisi sumberdaya ikannya cukup memprihatinkan dan sudah melampaui potensi lestarinya (over fishing), termasuk perairan Laut J a m Lebii lanjut dinyatakan bahwa pada perairan tersebut, terdapat kelompok ikan ikan demersal di Laut Jawa yang masih mungkin untuk dikembangkan eksploitasinya. Oleh karena itu, pada
perairan yang kondisi pemanfaatan sumberdaya ikannya telah mendekati dan atau melampaui potensi lestarinya, maka perlu kiranya mendapatkan perlakuan khusus agar sumberdaya ikan yang ada tidak "collapse".
2.8 Pendekatan Bio-Ekonomi dalam Analisis Perikanan Tangkap Nelayan dengan menggunakan perahu atau kapal dan sejumlah masukan hanya dapat secara langsung mengendalikan produksi upayanya (effort), sedangkan hasil tangkapannya (harvest) tidak dapat dikendalikan secara langsung. Hal ini disebabkan karena jumlah hasil tangkapan disamping tergantung pada tingkat upaya penangkapan juga akan ditentukan oieh besamya sediaan (stock) ikan (Anderson, 1976). Untuk dapat merebut bagian yang lebih besar dari sediaan
ikan yang tersedia, nelayan berusaha meningkatkan waktu penangkapannya dan lebih mengefisienkan teknologi penangkapannya. Peningkatan teknologi, dengan tujuan untuk efisiensi usaha penangkapan, antara lain dilakukan nelayan dengan cara: mengganti alat tangkapnya dengan yang lebih efisien, memperbesar ukuran kapal, menggunakan alat bantu untuk mendeteksi tingkat kelimpahan sediaan ikan ataupun alat bantu untuk mengumpulkan gerombolan ikan, dan lain-lainnya. Secara m u m , dari sisi teknis produksi, pe~ngkatanteknologi penangkapan &an diiarapkan akan meningkatkan efisiensi teknis penangkapan, sedangkan dari sisi ekonomi, peningkatan teknologi dapat menurunkan biaya penangkapan. Mengingat peningkatan teknologi penangkapan ikan akan berkaitan dengan masalah kelimpahan sumberdaya perikanan,
produksi
dan
karateristik
ekonominya, maka untuk penelitian ini digunakan pendekatan bio-ekonomi. Sebagaimana dimaklumi, h a i l tangkapan nelayan (harvest) akan tergantung pada tingkat upaya penangkapm (elfort) dan besarnya popnlasi atau sediaan ikan fish stock), namun demikian meningkatnya upaya penangkapan tidak selalu meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Karena semakin banyak nelayan yang meningkatkan upaya penangkapannya, berdampak pada semakin sedikit populasi ikan yang tersedia. Hal ini ditunjukkan dengan ilustrasi pada Gambar 7. Pada tingkat upaya penangkapan yang tinggi (Y(E4)), &an yang ditangkap secara lestari diperkirakan sama rendahnya dengan tingkat upaya penangkapan yang rendah pada populasi ikan yang banyak (Y(E0)).
Gambar 9. Hubungau upaya penangkapan ikan terhadap populasi ikan
2.9 Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) terhadap laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta surnberdaya dam yang terdapat didalamnya.pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem dam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi. Selanjutnya dalam setiap sistem pengelolaan pembangunan, termasuk pengelolaan perikanan tangkap, memerlukan indikator kinerja (performance indicators). Indikator kinerja digunakan sebagai tolok ukur, apakah segenap kebijakan dan program pengelolaan perikanan tangkap sesuai dengan tujuan atau malah menyimpang. Karena tujcmn pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia adalah untuk mencapai kondisi pemanfaatan perikanan tangkap secara berkelanjutan (sustainable) bagi kesejahteraan seluruh rakyat, maka indikator kinerja yang digunakan juga seharusnya mengacu pada indikator pembangunan berkelanjutan. Dimana indikator pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumberdaya minimal haruslah meliputi empat dimensi, yaitu: (1) ekonomi, (2) sosial, (3) ekologi, dan (4) pengaturan (governance) (Dahuri, 2003). Secara lengkap contoh indiiator pembangunan berkelanjutan untuk pengelolaan sumberdaya perikanan disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Indikator pembangunan berkelanjutan sumberdaya perikanan tangkap ( Dahuri, 2003) INDIKATOR
DIMENSI 1. Ekonomi
.
volume dan nilai produksi volume dan nilai ekspor (dibandingkan dengan nilai total ekspor nasional) kontribusi sektor perikanan terhadap PDB pendapatan nelayan nilai investasi dalam bentuk kapal ikan dan pabrik pengolahan
2. Sosial
penyerapan tenaga kerja budaya kerja
.
tingkat pendidikan tingkat kesehatan distribusi jender dalam proses pengamhilan keputusan (gender distribution in decision-making) kependudukan (demography)
3. Ekologi
komposisi hasil tangkap basil tangkap per satuan upaya (CPUE) kelimpahan relatif spesies target dampak langsung alat tangkap terhadap spesies non target dampak tidak langsung penangkapan seperti sbuktur trofik dampak langsung alat tangkap terhadap habitat perubahan luas area d m kualitas habitat penting perikanan
4. Governance
hak kepemilikan @rope@ rights) ketaatan terhadap peraturan perundangan (ompliance regime) transparansi dan partisipasi