BAB I PENDAHULUAN
Sektor pertanian telah memberikan sumbangan yang nyata dalam perekonomian nasional yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, mempercepat pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, menyediakan lapangan kerja, dan menyeimbangkan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Sebagai sektor ekonomi, pertanian mempunyai fungsi yaitu: menghasilkan bahan pangan, pakan, agroindustri dan bioenergi; meningkatkan kapabilitas petani dan keluarganya; menghasilkan devisa, pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian, serta membantu menjaga keseimbangan lingkungan dengan praktek usahatani yang ramah lingkungan. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (Ditjen PPHP) sebagai salah satu unit kerja eselon I di bawah Kementerian Pertanian juga telah memberikan sumbangannya di bidang pengolahan dan pemasaran hasil pertanian antara lain penurunan tingkat kehilangan (losses) dan peningkatan rendemen hasil pertanian, perbaikan mutu dan nilai tambah produk pertanian, pengembangan jaringan pemasaran dan pemberdayaan petani dalam pemasaran, stabilisasi harga dan pasokan, serta peningkatan ekspor dan pengendalian impor hasil pertanian. Sesuai PP No. , Ditjen PPHP mengemban salah satu tugas Kementerian Pertanian yakni merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Dihadapkan pada berbagai perubahan dan perkembangan lingkungan yang sangat dinamis seperti meningkatnya populasi penduduk; meningkatnya impor produk pertanian; tekanan globalisasi dan liberalisasi pasar; pesatnya kemajuan teknologi dan informasi; makin terbatasnya sumberdaya lahan, air dan energi; banyaknya jaringan infrastruktur pertanian yang rusak; menurunnya minat kaum muda pada usaha pertanian, serta perkembangan dinamis sosial budaya masyarakat, maka pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian di Indonesia ke depan menghadapi berbagai macam tantangan. Tantangan tersebut antara lain bagaimana meningkatkan ketersediaan bahan pangan, pakan, bioenergi dan agroindustri produk dalam negeri; memperbaiki sistem distribusi dan meningkatkan diversifikasi konsumsi dan keamanan
pangan; meningkatkan nilai tambah, mutu dan daya saing produk pertanian di pasar domestik dan internasional, regulasi dan deregulasi peraturan dan perundangan bidang pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian ini merupakan dokumen perencanaan yang berisikan visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, strategi, program dan kegiatan Ditjen PPHP yang akan dilaksanakan selama lima tahun ke depan (2010-2014). Dokumen ini disusun berdasarkan analisis strategis atas potensi, peluang, tantangan dan permasalahan termasuk isu strategis terkini yang dihadapi dalam pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian selama lima tahun ke depan. Dokumen Renstra ini sebagai acuan dan arahan bagi Jajaran Birokrasi di Ditjen PPHP sendiri, di unit kerja lingkup pertanian pusat dan daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian tahun 2010-2014 secara menyeluruh, terintegrasi, efisien dan bersinergi. Reformasi perencanaan dan penganggaran tahun 2010-2014 mengharuskan Kementerian/Lembaga dan unit-unit kerja di dalamnya untuk merestrukturisasi program dan kegiatan dalam kerangka performance based budgeting. Untuk itu, dokumen ini dilengkapi dengan indikator kinerja sehingga akuntabilitas pelaksana beserta organisasinya dapat dievaluasi selama periode tahun 2010-2014. 1.1.
KONDISI UMUM PEMBANGUNAN PPHP TAHUN 2005-2009
Pada era Kabinet Indonesia Bersatu tahun 2005-2009, pertanian telah memperlihatkan berbagai capaian pembangunan yang cukup membanggakan. Dalam kurun waktu tersebut, krisis pangan yang menjadi salah satu dampak yang sangat dikhawatirkan oleh banyak negara selama krisis ekonomi dunia, namun syukur Alhamdulillah Indonesia bisa terhindar dari krisis pangan tersebut bahkan berhasil berswasembada beras. Ini semua merupakan kerja hasil keras para petani, penyuluh, dan pelaku usaha di bidang pertanian bersama dengan Pemerintah (pusat dan daerah). Sumbangan Ditjen PPHP dalam capaian pembangunan pertanian khususnya ketahanan pangan adalah menurunnya tingkat kehilangan hasil (losses) yang cukup signifikan khususnya dalam penanganan pasca panen padi dari 20,51 % pada tahun 1998 menjadi 10,82 % pada tahun 2008 (BPS, 2008). Hasil tersebut diyakini merupakan dampak dari
fasilitasi peralatan pasca panen hasil pertanian terutama padi yang diberikan dalam kurun waktu tahun 2006 - 2008. Untuk komoditas non padi yang lain,( jagung, kedelai, hasil perkebunan, hortikultura) diyakini juga terjadi penurunan kehilangan hasil yang cukup signifikan meskipun tidak diukur sebagaimana halnya padi mengingat fasilitasi peralatan penanganan pasca panen dan pengolahan juga diberikan untuk komoditas-komoditas tersebut. Secara keseluruhan kondisi pembangunan PPHP tahun 2005-2009 adalah sebagai berikut: 1.1.1. Pasca Panen Pasca panen hasil pertanian adalah semua kegiatan yang dilakukan sejak proses pemanenan hasil pertanian sampai dengan proses yang menghasilkan produk setengah jadi (produk antara/ intermediate). Kegiatan pasca panen meliputi panen, pengumpulan, perontokan/ pemipilan/ pengupasan, pencucian, pensortiran, pengkelasan (grading), pengangkutan, pengeringan (drying), penggilingan dan atau penepungan, pengemasan dan penyimpanan. Kondisi penanganan pasca panen komoditas pertanian sampai tahun 2009 adalah sebagai berikut: Tanaman Pangan; untuk komoditas tanaman pangan telah terjadi penurunan kehilangan hasil padi yang cukup signifikan sebagaimana telah disebut terdahulu. Untuk komoditi jagung selain penurunan losses juga terjadi peningkatan kualitas (penurunan kadar aflatoxin) dengan adanya fasilitasi sarana pemipilan, pengeringan dan penyimpanan (corn sheller, lantai jemur, drier dan silo) khususnya di kabupaten sentra jagung. Untuk kedele dan ubikayu juga telah difasilitasi dengan peralatan pasca panen. Fasilitasi pengembangan kelembagaan petani (tanaman pangan) telah dilakukan dengan Pengembangan Kecamatan Pasca Panen. Pengembangan Kecamatan Pasca Panen merupakan upaya strategis dalam rangka rekayasa social dan teknologi penanganan pasca panen di daerah. Dalam periode 20052009 telah terbentuk Kecamatan Pasca Panen di kabupaten-kabupaten sentra padi. Hortikultura; untuk komoditas hortikultura diperkirakan juga terjadi penurunan losses dan perbaikan mutu karena adanya fasilitasi sarana penanganan pasca panen dan pengolahan hasil hortikultura, berupa: gudang penyimpan bawang
merah, grading dan packaging unit untuk buah dan sayuran serta peralatan pengolahan seperti vacuum drying, vacuum sealer, vacuum frying, juicer, mesin pembungkus, alat press tutup gelas plastik dll. Perkebunan; tingkat kehilangan pasca panen produk perkebunan belum diukur sebagaimana pada padi, namun diperkirakan terjadi penurunan kehilangan hasil dan perbaikan mutu hasil perkebunan karena adanya fasilitasi/bantuan sarana penanganan pasca panen yang telah diberikan. Pada kegiatan perbaikan mutu hasil perkebunan, permasalahan yang dihadapi adalah bahwa petani masih melakukan usahanya secara individu, belum dalam skala usaha yang lebih besar misalnya dalam suatu Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sehingga jumlah (volume) produk berkualitas baik yang dihasilkan petani relatif masih sedikit atau belum memenuhi skala ekonomi, sebagai akibatnya pembeli sulit memberikan harga yang pantas untuk produk berkualitas yang jumlahnya sedikit tersebut. Permasalahan tersebut terjadi pada komoditi perkebunan seperti kopi, kakao, karet, dan lada. Fasilitasi peralatan pasca panen hasil perkebunan yang pernah diberikan pada periode 2005-2009 antara lain adalah alat pasca panen kakao, kopi, karet, mete, minyak atsiri, gambir, dan alat pengolahan kelapa terpadu, kacang mete, gula kelapa dan tebu. Bantuan peralatan yang diberikan kepada petani (kelompok tani) tersebut masih banyak belum dimanfaatkan yang disebabkan berbagai hal antara lain ketersediaan listrik yang tidak mencukupi, spesifikasi alat yang kurang sesuai dengan kebutuhan setempat, kurangnya kemampuan petani mengoperasikan dan merawat alat, kurangnya modal usaha petani/kelompok tani untuk membeli bahan baku. Peternakan; tingkat kehilangan pasca panen produk peternakan belum diukur sebagaimana pada padi, namun diperkirakan terjadi penurunan kehilangan hasil dan perbaikan mutu hasil peternakan karena adanya fasilitasi sarana penanganan pasca panen yang telah diberikan. Dari tahun 2006 hingga tahun 2008, Ditjen PPHP Deptan telah melaksanakan kegiatan fasilitasi perbaikan/penyempurnaan sarana RPH/TPH di 70 Kabupaten/Kota di 41 Provinsi dan sarana RPU di 66 Kabupaten/Kota di 33 Provinsi (lihat tabel berikut). Selanjutnya mulai tahun 2009 kegiatan pengembangan dan pembangunan RPH dan RPU diserahkan ke Ditjen Peternakan. Kegiatan Pengembangan Pengolah Pakan Skala Kecil (P3SK) yang bertujuan meningkatkan kemampuan kemandirian peternak dalam penyediaan pakan bagi
ternaknya baru dimulai pada tahun 2007. Kegiatan yang telah dilakukan adalah fasilitasi pengadaan Sarana P3SK di 14 Kabupaten/Kota di 8 Provinsi. Sedangkan pada TA 2008 telah disebarkan Sarana P3SK di 40 Kabupaten/Kota di 25 Provinsi. (Rincian fasilitasi sarana pasca panen dan pengolahan hasil pertanian dapat dilihat dalam lampiran, tabel 1).
1.1.2. Mutu dan Standarisasi Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi pengembangan mutu melalui penerapan sistem standarisasi pertanian yang telah dilakukan sampai saat ini masih belum optimal. Demikian juga penerapan system jaminan mutu masih belum berjalan dengan baik meskipun penyiapan perangkat system ini sudah diupayakan. Lemahnya pengembangan dan penerapan system jaminan mutu serta sistem standarisasi di sektor pertanian mengakibatkan kondisi usaha pertanian kurang tangguh sehingga kurang dapat berkompetisi untuk menangkal tekanan yang terjadi baik dalam perdagangan domestik maupun internasional. Standar Nasional Indonesia (SNI) bidang pertanian hingga tahun 2009 berjumlah 452 SNI terdiri dari standard produk segar dan olahan primer, standar metoda pengujian, benih dan bibit, alat mesin pertanian dan sistem. Banyaknya standar bidang pertanian tersebut merupakan modal dasar yang kuat untuk mengembangkan sistem jaminan mutu kearah sistem jaminan mutu terpadu. Standar tersebut dapat berfungsi sebagai pedoman dalam penentuan batas kritis (critical point). Sistem jaminan mutu terpadu untuk pangan yang diakui secara internasional adalah system HACCP (Hazzard Analysis Critical Control Points). Sedangkan untuk non pangan adalah system mutu ISO 9000-2000 serta system manajemen lainnya (ISO 17025, ISO 17020, ISO 17011, Pangan Organik). System Jaminan Mutu Terpadu menuntut penerapan Good Practices (Good Agriculture Practices =GAP, Good Handling Practices= GHP, Good Manufacturing Practices=GMP, Good Distribution Practices= GDP) terlebih dahulu.
Jabatan fungsional pengawas mutu telah ditetapkan mulai tahun 2006 dan upaya sosialisasi serta rekruitmen aparat fungsional pengawas mutu telah dilakukan pada tahun yang sama. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian yang diberi tugas sebagai Satuan Administrasi Pangkal (Satminkal) jabatan fungsional mutu di tingkat Pusat sampai tahun 2009 telah melatih dan meluluskan pengawas mutu sebanyak 217 orang terdiri dari tenaga pengawas mutu trampil 68 orang dan tenaga pengawas mutu ahli 149 orang. Idealnya jumlah pengawas mutu diseluruh Indonesia adalah sebanyak 5.000 orang. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan telah memberi kewenangan kepada Menteri Pertanian untuk mengatur, membina dan/atau mengawasi kegiatan atau proses produksi pangan dan peredaran pangan segar. Untuk melaksanakan kewenangan tersebut, sesuai tugas pokok dan fungsinya maka Ditjen PPHP telah ditetapkan sebagai otoritas yang berwenang menangani keamanan pangan produk segar pertanian di Indonesia atau Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Pusat (OKKP-P). Sedangkan Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKP-D) adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang mempunyai tugas pokok dan fungsi tersebut di atas (Mengatur, membina dan/atau mengawasi kegiatan atau proses produksi pangan dan peredaran pangan segar) yang ditetapkan oleh Pimpinan Daerah (Gubernur). Selama ini, Ketua OKKPD yang ditunjuk oleh Gubernur sebagian adalah Kepala Dinas Pertanian dan sebagian Kepala Badan Ketahanan Pangan Propinsi. Sampai tahun 2009, perkembangan dalam pembentukan dan aktivitas OKKPD di seluruh Indonesia (sampai dengan bulan Juni 2009) adalah sebagai berikut: 1)
Telah dilakukan Sosialisasi OKKPD di 33 propinsi.
2)
Telah dibentuk 27 OKKPD dengan Keputusan Peraturan Gubernur.
3)
Sudah diverifikasi 6 (Jateng, DIY, Jatim, Kalsel, Sulsel, dan Bangka Belitung) OKKPD oleh OKKP –Pusat
4)
Sudah ada 1 OKKPD yang melakukan sertifikasi (DIY).
Agar PP No. 28 tahun 2004 dapat dilaksanakan, maka OKKPD di semua propinsi harus sudah terbentuk , diverifikasi dan melaksanakan tugas dan fungsinya.
1.1.3. Pengolahan Hasil Pertanian Pada masa awal pembangunan pertanian, masalah utama yang dihadapi adalah kesulitan dan kekurangan produksi serta penawaran komoditaskomoditas pertanian. Dalam kondisi tersebut, prioritas pembangunan pertanian diarahkan kepada peningkatan produksi dan pemenuhan serta pencapaian kecukupan bahan panga, terutama beras. Namun, peningkatan produksi saja ternyata sulit untuk meningkatkan kesejahteraan petani di pedesaan. Oleh karena itu, sejak tahun 1994 paradigma pembangunan pertanian mengalami perubahan dari pendekatan produksi menjadi pembangunan pertanian berorientasi agribisnis. Permasalahan mendasar bangsa ternyata sebagian besar berada pada petani dan masyarakat perdesaan yaitu kemiskinan, keterbelakangan, ketidakberdayaan dan pengangguran. Lebih lanjut disampaikan sebuah tawaran untuk pemecahan masalah mendasar bangsa tersebut yaitu dengan mengupayakan profit center berada pada petani. Prinsip tersebut seyogyanya merupakan paradigma pembangunan pertanian pada saat ini dan di masa depan yang harus dihayati dan menjadi acuan operasional bagi seluruh pemangku kepentingan. Pembangunan agribisnis selama ini belum sepenuhnya menempatkan profit center pada petani. Petani hanya menerima bagian terkecil dari suatu system usaha agribisnis. Maka, salah satu implementasi system tersebut adalah mengembangkan Agroindustri Perdesaan dengan pendekatan paradigma baru seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Bidang-bidang agroindustri dimaksud meliputi: (1). Industri yang terintegrasi dengan usaha budidaya pertanian, termasuk pemanfaatan limbah/hasil samping pertanian, (2). Industri primer, dan (3). Industri yang dilakukan oleh petani di perdesaan. Sampai saat ini komoditas ekspor hasil pertanian masih didominasi produk primer, walaupun ekspor komoditi olahan hasil pertanian sudah semakin besar. Dengan mengekspor produk primer, maka nilai tambah yang terbesar akan berada di luar negeri, padahal apabila Indonesia mampu mengekspor produk olahannya, maka nilai tambah terbesarnya akan berada di dalam negeri.
Dalam kerangka pengembangan agroindustri, maka pengembangan agroindustri perdesaan merupakan pilihan strategis dalam meningkatkan pendapatan dan sekaligus membuka lapangan pekerjaan. Selama ini masyarakat perdesaan cenderung menjual produk dalam bentuk mentah (primer), karena lokasi industri umumnya berada di daerah urban (semi-urban). Akibatnya, nilai tambah produk pertanian lebih banyak mengalir ke daerah urban, hal mana termasuk sebagai penyebab terjadinya urbanisasi. Faktor-faktor internal yang dominan mempengaruhi kemampuan petani dalam meningkatkan kesejahteraannya antara lain adalah masalah penguasaan sumberdaya, terutama: (1). Sumberdaya alam, (2). Teknologi, khususnya teknologi pasca panen dan pengolahan hasil, (3). Modal dan (4). Informasi, khususnya informasi pasar, akses kepada teknologi dan modal. Sedangkan faktor eksternal antara lain menyangkut: (1). System pembinaan, (2). Kebijakan ekonomi makro, (3). Kebijakan khusus, seperti kebijakan perdagangan menyangkut komoditas tertentu, dan (4). Perubahan lingkungan strategis yang potensial menjadi tantangan dan menimbulkan permasalahan bagi petani. Dari permasalahan yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa peluang bagi petani di perdesaan untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui perolehan nilai tambah hasil pertanian dapat terlaksana apabila petani di perdesaan dapat menguasai proses pengolahan dan pemasaran komoditas yang diusahakan, atau penerapan system agribisnis secara utuh. Untuk mengembangkan kegiatan pengolahan hasil pertanian yang terfokus dan terintegrasi, maka pada tahun 2005 telah dibangun suatu model program terpadu yang dinamakan Pengembangan Komoditas Strategis Nasional (PKSN) antara lain pengembangan susu sapi, jeruk dan ubi kayu. Dalam pelaksanaannya dilakukan bekerjasama dengan institusi yang kompeten, seperti perguruan tinggi terkait dengan lokasi pengembangan dan Dinas terkait. Unit Pengolahan Hasil (UPH) adalah industri pengolahan hasil pertanian skala kecil dan rumah tangga yang berbasis di perdesaan. Unit Pengolahan Hasil (UPH) Pertanian merupakan program terobosan dalam mempercepat penumbuhan pendapatan masyarakat petani dan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Sebagai program terobosan, Unit Pengolahan Hasil (UPH) Pertanian dikembangkan dengan mengacu pada skala usaha yang ekonomis,
sehingga fungsi pelayanan dapat berkembang ke arah peningkatan kualitas, kuantitas dan kontinyuitas produksi untuk memasok pasar. Sejak tahun 2005 hingga tahun 2009 telah berhasil dikembangkan UPH Tanaman Pangan sebanyak 51 UPH di 51 kabupaten, UPH Hortikultura sebanyak 67 UPH, UPH Perkebunan sebanyak 40 UPH, dan UPH peternakan sebanyak 90 UPH-Pakan Ternak dan pengelolaan lingkungan (pengolahan kompos dan biogas) sebanyak 2598 unit dengan komoditi unggulan kelapa sawit (768 UPH), kelapa (kopra 7.188 UPH, minyak kelapa 1.200 UPH), karet (crumb rubber 567 UPH, sheet 1.479 UPH, lateks pekat 69 UPH), kakao (841 UPH), kopi (2.604 UPH), mete (82 UPH), tebu (207 UPH), dan teh (teh hijau 1.002 UPH, teh hitam 291 UPH).
1.1.4. Pemasaran Domestik 1.1.4.1.
Prasarana/Sarana
Pasar
dan
Pengembangan
Kawasan
Hortikultura Saat ini beberapa prasarana/sarana pasar seperti Terminal/Sub terminal Agribisnis (TA/STA), Pasar Tani, Pasar Lelang, dan Pasar Ternak/Hewan telah tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat baik atas inisiatif masyarakat maupun atas fasilitasi pemerintah (Kementerian Pertanian). Namun hanya sebagian kecil (umumnya yang dibangun atas inisiatif masyarakat) yang sudah berfungsi dalam mendukung kelancaran pemasaran komoditi pertanian. Prasarana/sarana pasar, sistem /jaringan informasi yang dibangun, dan kebijakan stabilisasi pemasaran yang telah dilaksanakan adalah sebagai berikut: 1)
Sub Terminal dan Terminal Agribisnis (STA dan TA) Pada akhir tahun 2009 sudah dibangun 58 STA dan 2 TA, tersebar di beberapa kabupaten di hampir seluruh propinsi Indonesia, namun demikian yang sudah berfungsi sebagai agen pasar (umumnya masih terbatas transaksi jual-beli) komoditas pertanian baru sebanyak 25 STA (41,66 %). Beberapa permasalahan mendasar yang mengakibatkan belum berfungsinya prasaranan/sarana tersebut antara lain adalah lokasi
prasarana/sarana yang kurang strategis, SDM pengelola, kelembagaan diantara pelaku usaha yang belum tumbuh/diberdayakan dalam mendukung beroperasinya suatu sarana pasar secara efektif. 2)
Pasar Tani Pasar tani muncul atas prakarsa Ditjen PPHP yang melihat bahwa pemasaran hasil pertanian yang ada saat ini belum menemukan sistem pemasaran yang terbaik khususnya yang menguntungkan bagi petani. Dalam sistem pemasaran yang ada, petani memiliki peluang yang rendah dalam meraih pangsa pasar serta terdapat selisih harga yang besar antara harga di tingkat petani dan yang dibayar konsumen. Pasar tani merupakan sarana untuk mendekatkan petani (produsen) kepada pembeli (konsumen). Dengan demikian keberadaan pasar tani diharapkan dapat memperpendek rantai pemasaran dan menekan biaya-biaya transaksi sehingga margin keuntungan petani bisa ditingkatkan. Pasar tani telah diuji coba pertama kali di Kantor Pusat Kementerian Pertanian pada tahun 2007 dan telah berjalan dengan baik hingga saat ini. Pada tahun 2007 juga telah dilakukan ujicoba pasar tani di kawasan Monas Jakarta Pusat dan telah berjalan beberapa saat, namun kemudian berhenti karena terhalang oleh masalah perijinan. Untuk tahun-tahun selanjutnya diharapkan kegiatan ini dapat dikembangkan di daerah. Sampai dengan tahun 2009 telah difasilitasi pembangunan pasar tani di 16 propinsi di 32 lokasi.
3)
Pasar Ternak dan Pasar Lelang Keberadaan pasar ternak yang umumnya tumbuh dan berkembang atas inisiatif masyarakat, kondisinya masih tradisional. Fasilitasi pemerintah untuk perbaikannya masih sangat terbatas karena sumber dana yang terbatas. Sementara itu pasar lelang komoditi pertanian yang diharapkan dapat meningkatkan akses pasar petani juga belum tumbuh dan berperan secara optimal seperti yang diharapkan karena pada umumnya yang mendapat manfaat langsung hanyalah para pedagang pengumpul dan pedagang besar, sedangkan petani produsen karena lemahnya
kelembagaan petani belum mampu memanfaatkannya. Sampai dengan tahun 2009 telah difasilitasi sarana dan rehabilitasi pasar ternak di kabupaten dan pasar lelang di kabupaten. 4)
Kawasan Pengembangan Hortikultura Di tengah kekhawatiran munculnya disinkronisasi pembangunan ekonomi antar daerah akibat pelaksanaan undang-undang otonomi daerah maka pembangunan agribisnis hortikultura yang dilakukan dengan pendekatan kawasan yang melibatkan sentra produksi dan sentra pemasaran sebagai basis kegiatan merupakan langkah strategis. Pendekatan kawasan agribisnis sangat diperlukan untuk menghindari fluktuasi harga akibat disinkronisasi produksi antara daerah sentra produksi yang selanjutnya dapat memberikan dampak luas bagi perkembangan agribisnis daerah yang bersangkutan. Forum Kerjasama Kawasan Hortikultura adalah salah satu model pengembangan agribisnis di bidang hortikultura yang berbasis kawasan yang mencakup beberapa propinsi di Indonesia. Forum Kerjasama Kawasan Hortikultura dibentuk berdasarkan potensi di masing-masing kawasan, yaitu potensi sebagai kawasan sentra produsen maupun sebagai sentra konsumen. Pendekatan kawasan agribisnis sangat diperlukan untuk menghindari fluktuasi harga akibat disinkronisasi produksi antara daerah sentra produksi yang selanjutnya dapat memberikan dampak luas bagi perkembangan agribisnis daerah yang bersangkutan. Forum Kerjasama Kawasan Agribisnis Hortikultura yang telah terbentuk adalah: (1) Kawasan Agribisnis Hortikultura Sumatera (KAHS) yang mencakup propinsi-propinsi di Pulau Sumatera kecuali Lampung; (2) Kawasan Agribisnis Hortikultura Krakatau yang mencakup daerah/Propinsi DKI Jakarta, Lampung, Jawa Barat, Banten, dan Kalimantan Barat; serta (3) Kawasan Agribisnis Hortikultura Jabalsukanusa yang mencakup daerah/Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Bali, Propinsi di pulau Kalimantan kecuali Kalimantan Barat, Propinsi-Propinsi di Pulau Sulawesi dan Nusa Tenggara. Untuk meningkatkan peran Forsama Kahorti, kawasan sentra dan pelaku pemasaran perlu dibina secara terpadu dengan melibatkan semua pelaku
usaha agribisnis, sehingga mampu meningkatkan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif wilayah. 1.1.4.2. Jaringan Informasi Pasar dan Kebijakan Stabilisasi Harga 1)
Jaringan dan Informasi Pasar Informasi pasar sangat diperlukan sejalan dengan upaya pemerintah dalam pergeseran paradigma dari orientasi produksi ke orientasi pasar. Informasi pasar merupakan sarana penunjang agar signal pasar menjadi dasar bagi penentuan jenis produk yang akan dihasilkan oleh petani. Tersedianya sistem informasi pasar akan menjembatani supply di sentra produksi dan demand di sentra pasar (konsumen). Oleh karena itu pola pengembangan informasi pasar secara tidak langsung akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani yang pada gilirannya mengurangi kemiskinan. Pengembangan sistem informasi pasar agribisnis melalui jaringan internet memerlukan keterlibatan aktif dari semua pihak yang terkait. SINGOSARI merupakan salah satu sistem informasi yang memanfaatkan teknologi internet berbasis Web yang telah dikembangkan oleh Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian yang menyajikan informasi secara lengkap berkaitan dengan pengolahan dan pemasaran beberapa rumpun komoditas pilihan. Sistem informasi yang berjalan saat ini, masih menghadapi hambatan dalam mendapatkan input/informasi terkini (up to date) khususnya di tingkat produsen sebagai akibat dari keterbatasan kemampuan SDM Pelayanan Informasi Pasar ( PIP) di daerah. Pada saat ini telah dibangun jaringan PIP di 105 kabupaten dengan 16 komoditi pertanian yang dimonitor harganya yakni: gabah/beras, ubukayu, jagung, kedelai, cabai merah, bawang merah, jeruk siam, kakao, karet, kopi, kelapa, daging ayam broiler, telur ayam ras, susu, pakan ternak dan daging sapi. Pembinaan yang telah dilakukan terhadap SDM pengelola PIP adalah berupa pelatihan PIP dan Analisa Pasar bagi 150 orang petugas. Juga telah dilakukan fasilitasi hardware dan software (komputer dan programnya) untuk input data harga melalui SMS.
2)
Stabilisasi Harga
Dalam hal stabilisasi harga, kebijakan yang telah diterapkan antara lain adalah:
3)
a.
Kebijakan Harga Pokok Pemerintah (HPP) Kebijakan HPP untuk gabah/beras telah diberlakukan secara nasional. Sasaran kebijakan HPP gabah/beras ini adalah untuk mempertahankan harga gabah/beras di atas biaya produksi gabah/beras oleh petani; apabila harga di bawah HPP maka pemerintah melalui Bulog akan membeli gabah petani dengan harga sama dengan HPP. Namun demikian karena keterbatasan dana maka kemampuan Bulog membeli gabah petani juga terbatas, sehingga kebijakan ini kurang efektif. Untuk jagung tidak berlaku HPP secara nasional. Propinsi Gorontalo adalah propinsi yang menetapkan HPP untuk jagung melalui SK Gubernur. Pemerintah Propinsi Gorontalo akan membeli jagung petani apabila harganya jatuh di bawah HPP-nya. Kebijakan propinsi Gorontalo ini efektif mempertahankan harga jagung di tingkat yang menguntungkan petani. Itu terbukti karena hingga saat ini harga jagung setempat tidak pernah berada di bawah HPPnya.
b.
Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Dengan Peraturan Menteri Pertanian Kebijakan Penetapan harga TBS ini telah berlaku sejak tahun 1998 (SK Menhutbun) dan tarakhir telah direvisi dengan Peraturan Menteri Pertanian nomor 395 tahun 2005 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Kebun. Tujuan penetapan harga TBS Kelapa sawit ini adalah untuk memberikan jaminan harga TBS kelapa sawit produksi kebun yang wajar serta menghindari adanya persaingan tidak sehat di antara Pabrik Kelapa Sawit. Kebijakan ini telah membantu pekebun dalam memperoleh harga yang layak bagi TBS yang dihasilkannya. Revisi Peraturan Menteri Pertanian nomor 395 tahun 2005 ini sedang dalam proses, diharapkan selesai akhir tahun 2009.
Kebijakan Fiskal
a.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN); Kebijakan PPN untuk komoditi pertanian sebaiknya diterapkan hanya untuk barang jadi hasil olahan pertanian. Untuk produk primer pertanian sebaiknya PPN ditiadakan guna merangsang berkembangnya agribisnis dan agroindustri dalam negeri.
b.
Pajak Ekspor; mengenai pajak ekspor (PE) hasil pertanian diupayakan seminimal mungkin tanpa mengganggu proses penyediaan bahan baku industri dalam negeri. Besarnya pajak ekspor hasil pertanian mengikuti peraturan Menteri Keuangan yang menetapkan besarnya pajak ekspor atas dasar harga komoditas tertentu di pasar internasional. Sebagai contoh pajak ekspor untuk CPO pernah turun dari 3 % menjadi 1,5 % pada waktu yang lalu (pada harga CPO di pasar internasional sekitar 600 US dollar per metric ton). Tetapi akhir-akhir ini meningkat menjadi sekitar 20 % dikarenakan meningkatnya harga CPO di pasaran dunia hingga 1200 dolar AS per metric ton. Namun kondisi paling akhir (akhir tahun 2008) harga CPO di pasar internasional jatuh kembali pada tingkat yang sangat rendah sehingga perlu dilakukan penyesuaian pajak ekspornya.
1.1.5. Pemasaran Internasional Hal yang menggembirakan dari data empat tahun terakhir (2005-2008) devisa perdagangan dari produk pertanian semakin membaik, hal ini menggambarkan dari segi nilai, mutu dan kuantitas produk ekspor Indonesia di pasar dunia semakin membaik. Jika dilihat per subsektor, ternyata subsektor perkebunan merupakan penyumbang 94 persen terhadap total devisa yang diperoleh dari kegiatan ekspor produk pertanian di tahun 2007 yang mencapai US$ 19.964,870 juta. Sedangkan sub sektor lainnya yaitu hortikultura, tanaman pangan dan peternakan jauh ketinggalan dibanding perkebunan. Komposisi ini tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini memberikan gambaran bahwa hingga saat ini produk perkebunan masih menjadi primadona ekspor produk pertanian Indonesia. Produk utama yang menjadi andalan ekspor ini antara lain minyak sawit, karet, kakao, dan kopi.
Perkembangan Ekspor Impor; berdasarkan analisa ekspor-impor produk pertanian (segar dan olahan) tahun 2003-2008, diketahui bahwa secara umum nilai ekspor tersebut mengalami peningkatan sebesar 28,5 persen per tahun. Sementara itu nilai impornya juga meningkat lebih besar yakni 49,95 persen per tahun. Ekspor produk pertanian tahun 2003 bernilai US$ 7,536 milyar, dan terus meningkat hingga pada tahun 2007 mencapai US$ 21,257 milyar. Sedangkan nilai impor tahun 2003 US $ 4.54 milyar meningkat hingga US $ 8,597 milyar pada tahun 2007. Realisasi neraca perdagangan hasil pertanian selama tahun 2005-2009 tumbuh sangat mengesankan. Pada tahun 2005 surplus perdagangan baru mencapai US $ 6.447,51 juta, namun pada tahun 2008 telah meningkat 3 kali lipat menjadi US $ 17.979.58 juta (data tahun 2009 masih bersifat sementara). Kebijakan yang telah dilaksanakan; untuk mencapai target-target tersebut maka kebijakan utama yang telah dilakukan adalah membuka akses pasar seluas-luasnya melalui negosiasi, promosi dan kerjasama pemasaran baik di tingkat global, regional maupun bilateral. Di tingkat regional dilaksanakan kesepakatan ASEAN-KOREA, sedangkan di tingkat bilateral akan tercapai penerapan IJEPA secara kondusif. Beberapa kesepakatan yang sedang intensif dibahas adalah ASEAN-ANZ serta bilateral Indonesia-India yang diharapkan disepakati pada akhir tahun 2009. Untuk beberapa komoditi yang sangat potensial untuk diekspor namun kinerja ekspornya belum maksimal akan dilakukan kegiatan fasilitasi percepatan ekspor seperti untuk mangga, manggis dan tanaman hias.
1.2
POTENSI, PERMASALAHAN DAN TANTANGAN
1.2.1
POTENSI
1)
Indonesia memiliki biodiversity nomor 2 terkaya di dunia (Brazil no.1).
2)
Indonesia merupakan produsen utama dunia beberapa komoditas pertanian antara lain: sawit nomor satu (1), karet nomor tiga (3), kakao nomor empat (4), kopi nomor empat (4) dan beras nomor tiga (3).
3)
Tenaga kerja di sektor pertanian yang sangat besar (40 juta) yang bisa menopang agroindustri.
4)
Permintaan produk agroindustri meningkat sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dunia (Income Elastic Demand).
5)
Produk agroindustri memiliki nilai tambah dan pangsa pasar yang sangat besar sehingga kemajuan di bidang agroindustri dapat mempengaruhi pertumbuhan perekonomian nasional secara keseluruhan.
6)
Memiliki keterkaitan yang besar ke hulu, on-farm maupun ke hilir (forward and backward linkages), sehingga mampu menarik kemajuan sektorsektor lainnya.
7)
Memiliki kemampuan untuk menstransformasikan struktur ekonomi nasional dari pertanian ke industry.
1.2.2. PERMASALAHAN 1)
Lambatnya Proses Industrialisasi Perdesaan Proses industrialisasi perdesaan di Indonesia sangat lambat. Hal ini terlihat antara lain dari semakin senjangnya ekonomi desa-kota. Dualisme ekonomi desa-kota telah mengakibatkan kota menjadi pusat segala-galanya dan ekonomi perdesaan hanyalah pendukung ekonomi perkotaan. Lebih-lebih apabila dikaitkan dengan kebijakan dimasa lalu yang lebih mendorong pengembangan industri yang kurang berbasis pada bahan baku lokal, menyebabkan potensi yang ada kurang dapat dioptimalkan. Dalam jangka panjang apabila industrialisasi perdesaan dan dualisme ekonomi desa-kota tidak dapat diatasi maka dapat dipastikan akan muncul masalah lain yang lebih rumit, seperti; urbanisasi besarbesaran, rusaknya kultur asli bangsa seperti gotong royong dan kekeluargaan, kriminalitas yang meningkat serta yang tidak kalah pentingnya semakin senjangnya pendapatan dalam masyarakat. Masyarakat kaya pemilik modal akan semakin kaya sementara penduduk miskin semakin bertambah besar.
2)
Keterbatasan Informasi dan Penerapan Teknologi Pasca Panen dan Pengolahan Hasil
Ke depan daya saing suatu komoditas akan ditentukan oleh muatan teknologi dalam komoditas tertentu dan kemampuan dalam merespon preferensi konsumen. Untuk itu perlu dikembangkan produkproduk pertanian yang sesuai dengan preferensi konsumen. Saat ini, pelaku usaha khususnya petani pengolah masih belum optimal dalam penguasaan teknologi pasca panen dan pengolahan hasil pertanian, karena selama ini konsentrasi lebih pada teknologi budidaya, khususnya padi. Pada akhir tahun 2014 diharapkan penguasaan teknologi pasca panen dan pengolahan hasil pertanian para pelaku usaha sudah cukup optimal untuk mendukung kemampuan produksi dalam merespon preferensi konsumen. Penerapan teknologi pasca panen dan pengolahan hasil pertanian saat ini masih belum merata di masyarakat pertanian, hal ini disebabkan antara lain karena penyebaran informasi tentang teknologi pasca panen dan pengolahan tersebut masih belum dilakukan secara intensif. Perhatian pemerintah terhadap peningkatan nilai tambah produk pertanian di perdesaan selama ini masih relatif kecil jika dibandingkan dengan upaya peningkatan produksi hasil pertanian. Sehingga perkembangan penanganan pasca panen dan pengolahan hasil hingga dewasa ini masih berjalan lambat dan masih belum sesuai dengan harapan. Perkecualian terjadi pada komoditi tanaman pangan. Teknologi pasca panen dan pengolahan untuk tanaman pangan khususnya padi dan jagung telah cukup banyak diintrodusir. Bantuan sarana dan peralatan pasca panen baik yang mekanis atau semi mekanis cukup banyak diberikan kepada Gapoktan/Poktan dan pengolah. Sabit bergerigi, terpal, thresher (pedal dan power thresher) adalah sarana pasca panen yang telah diberikan kepada Gapoktan/ Poktan disentra-sentra padi dan jagung yang dapat memberikan dampak bagi penurunan kehilangan pasca panen padi dan jagung yang sangat signifikan serta peningkatan kualitas jagung. Selain itu juga diberikan bantuan penggilingan padi (RMU) kepada Gapoktan untuk memperbaiki/ meningkatkan rendemen penggilingan padi. Sedangkan untuk komoditas perkebunan dan hortikultura sarana dan peralatan pasca panen dan pengolahan yang diberikan masih belum
tepat sasaran baik dari segi jenis yang dibutuhkan maupun jumlahnya. Dampak yang terlihat antara lain mutu hasil olahan yang masih rendah, tingkat efisiensi dan efektifitas hasil yang masih rendah, nilai jual yang kurang kompetitif dan penampakan hasil (keragaan hasil) yang belum memuaskan (terutama masalah pengemasan, pewarnaan, pengawetan dan pelabelan) serta lemahnya pencitraan “brand image”. Lambatnya penyerapan maupun penerapan teknologi pasca panen dan pengolahan hasil tersebut berimplikasi pada industri perdesaan yang kurang berkembang antara lain disebabkan oleh faktor teknis, sosial maupun ekonomi sebagai berikut: a.
Permasalahan Teknis Dari segi teknis beberapa hal yang menjadi penyebab antara lain : -
-
-
-
-
Tingkat pengetahuan dan kesadaran petani akan pentingnya penerapan teknologi pasca panen dan pengolahan serta penerapan sistem jaminan mutu hasil masih sangat terbatas. Kurangnya tenaga yang terampil (Technical Skill) dalam mengoperasikan alat dan mesin pasca panen dan pengolahan. Dukungan perbengkelan dalam perbaikan, perawatan dan penyediaan suku cadang alat mesin masih rendah karena kemampuan permodalan bengkel alsintan masih lemah dan kesulitan dalam memperoleh permodalan. Introduksi beberapa teknologi belum sesuai dengan kebutuhan petani dan belum bersifat lokal spesifik. Belum cukup memadainya infrastruktur seperti jalan yang memadai sehingga menyulitkan petani/kelompok dalam memasarkan produk olahannya. Penyebaran alsin pasca panen dan pengolahan masih terbatas. Belum cukup tersedianya rumah kemas “packing house”. Kurangnya tenaga pembina yang terampil dalam bidang pasca panen dan pengolahan dibanding tenaga pembina pada kegiatan-kegiatan pra panen.
b.
Permasalahan Sosial Dari segi sosial beberapa hal yang menjadi penyebab antara lain: Introduksi teknologi pasca panen dan pengolahan pada daerah-daerah yang padat penduduknya ada kecenderungan menimbulkan gesekan/friksi sosial. Kebiasaan petani dalam melakukan kegiatan pasca panen dan pengolahan secara tradisional menyulitkan dalam penerapan teknologi yang baik dan benar dalam skala luas. Beberapa pilot proyek untuk meningkatkan mutu dan nilai jual produk pertanian disertai fasilitasi kemitraan dalam pemasarannya telah menunjukan hasil yang menggembirakan. Sebagai contoh adalah pengembangan pasca panen dan pemasaran kakao dan kopi di sejumlah kabupaten di provinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur. Daerah-daerah tertentu yang mempunyai budaya pasca panen dan pengolahan hasil yang teknologinya diterima secara turun temurun, sehingga mereka sering mempunyai sifat tertutup terhadap introduksi teknologi. Terbatasnya kemampuan akses informasi masyarakat tentang teknologi pasca panen dan pengolahan. Masih rendahnya pendidikan/pengetahuan dan keterampilan SDM pertanian dan pelaku usaha pada umumnya.
c.
Permasalahan Ekonomi Dari segi ekonomi beberapa hal yang menjadi penyebab antara lain: -
-
Daya beli petani terhadap teknologi pasca panen dan pengolahan rendah, sehingga permintaan alsin juga relatif rendah. Harga alsin pasca panen dan pengolahan relatif tinggi sehingga kurang mampu dimiliki. Belum tersedianya skim kredit khusus atau skim pembiayaan alternatif untuk pengadaan alsin untuk usaha pasca panen dan pengolahan hasil.
3)
Kurangnya Pembiayaan Masyarakat Tani
Usaha
Pertanian
dan
Pemberdayaan
Sebagian besar usaha pertanian bergerak dengan memanfaatkan dana masyarakat sendiri yang sangat terbatas dan relatif kecil. Hal ini tentu disebabkan karena sebagian besar petani yang menggerakkan usaha pertanian adalah golongan penduduk yang miskin. Implikasinya karena investasi yang sangat minim, output dan pertumbuhan yang dihasilkan juga rendah, akibatnya peningkatan pendapatan yang diharapkan juga tidak akan signifikan. Kondisi ini sungguh ironis bila dibandingkan dengan sektor-sektor lain yang sebagian besar sumber pendanaan usaha dibiayai oleh perbankan yang dananya bersumber dari masyarakat luas. Masalah aksesibilitas petani dan pelaku agribisnis pada sumber-sumber permodalan adalah masalah klasik yang di Indonesia hingga saat ini belum sepenuhnya terpecahkan. Masalah aksesibilitas ini seringkali terkendala oleh masalah ketiadaan jaminan / agunan, banyak dan luasnya nasabah yang tidak dapat dijangkau oleh jaringan perbankan dan tidak adanya bantuan dan bimbingan teknis yang diberikan. Oleh karena itu diperlukan upaya terobosan untuk mengatasi masalah tersebut. Terbukanya akses petani kepada sumber permodalan dan kemampuannya memanfaatkan permodalan tersebut dengan dukungan dari perbankan sendiri, pemerintah dan LSM adalah bagian strategis dalam upaya pemberdayaan masyarakat tani.
4)
Permasalahan Harga, Inefisiensi Pemasaran dan Sistem Pemasaran yang Belum Adil Fluktuasi permintaan dan penawaran produk pertanian dunia juga berakibat pada fluktuasi harga produk pertanian yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti kekurangan pasokan pada musim tertentu atau kelebihan pasokan pada musim panen raya. Untuk beberapa produk pertanian tertentu menurunnya daya saing di pasar internasional karena faktor harga. Hal ini disebabkan tingginya inefisiensi di semua subsistem dalam rangkaian sub-sistem agribisnis. Inefisiensi tersebut terjadi mulai
dari pengadaan sarana produksi, budidaya, pengolahan panen dan pasca panen serta biaya transportasi. Namun demikian apabila ditelaah lebih jauh inefisiensi pemasaran menempati peringkat tertinggi. Hal ini terkait erat dengan masalah infrastruktur pascapanen yang masih lemah dan kelembagaan pemasaran yang belum cukup efektif. Inefisiensi pemasaran yang dicerminkan dengan panjangnya rantai pemasaran berakar dari kondisi infrastruktur perdesaan yang kurang memadai seperti : ketersediaan informasi, sarana transportasi dan jalan desa. Sistem pemasaran yang tidak adil terkait dengan keterbatasan permodalan yang menyebabkan petani banyak terjebak dalam sistem ijon yang melemahkan posisi tawar mereka. Disamping itu, sarana pasar bagi petani dan kemampuan petani terbatas dalam menyimpan produknya, sehingga seringkali hasil panen harus segera dijual sesaat sesudah panen. Kondisi ini diperburuk dengan membanjirnya produk impor di pasar domestik sebagai akibat dari liberalisasi perdagangan. Upaya pemerintah memberikan jaminan harga terkendala oleh dana dan kemampuan, sehingga hanya beras dan gula yang mendapat perlindungan harga dari pemerintah. 5)
Permasalahan Liberalisasi Perdagangan.
Pasar
Global
dan
Ketidak-adilan
Petani Indonesia saat ini menghadapi pasar persaingan yang tidak adil dengan petani dari negara lain yang dengan mudah mendapatkan perlindungan tarif dan subsidi langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, kedepan pemerintah akan mencari instrumen kebijakan perlindungan inovatif tidak saja berupa tarif tetapi juga perlindungan non tarif maupun dukungan domestik lainnya dalam rangka memperkuat daya saing produk pertanian, namun diakhir tahun 2025 semua jenis proteksi sudah tidak ada lagi. Selain hal di atas, pembentukan ekonomi kawasan seperti North American Free Trade Area (NAFTA), European Union (EU), ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan yang lebih luas lagi Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) perlu mendapat perhatian karena akan dapat menimbulkan ketimpangan ekonomi baru yang bukan lagi dalam
hubungan antar negara namun dalam cakupan yang lebih luas lagi antar kawasan/regional. Ketimpangan antar kawasan ini dapat terjadi karena adanya proses pematangan kawasan ekonomi yang berbeda satu dengan lainnya. Salah satu kawasan ekonomi yang diperkirakan akan sangat kuat adalah Uni Eropa (European Union). Kawasan ini sudah mencapai suatu tahapan penyatuan mata uang, yaitu suatu tahapan yang paling maju dalam implementasi integrasi ekonomi. Kondisi tersebut akan semakin menyulitkan ekspor produk pertanian Indonesia dan negaranegara lain di luar Eropa, karena sudah pasti akan mendapat perlakuan yang berbeda dengan negara-negara yang berada di kawasan yang sama. Untuk menghadapi masalah ini, dalam jangka panjang Indonesia harus mulai mengembangkan produk pertanian olahan dan mengutamakan pangsa pasar dalam negeri yang potensinya juga sangat besar. 6)
Permasalahan Sanitari dan Phytosanitari (SPS). Sebuah contoh permasalahan SPS yang menarik bahwa Amerika Serikat memberikan penalti dalam bentuk diskon/reduksi harga secara otomatis kepada produk asal Indonesia untuk komoditas-komoditas kakao, lada, udang dan jamur dengan alasan antara lain terkontaminasi serangga, salmonella, logam berat dan antibiotik. Dalam hal ini Indonesia tidak bisa mengadu ke Komisi SPS WTO karena AS bisa membuktikan secara ilmiah dan Indonesia memang belum bisa mengatasinya. Jepang menolak masuknya beberapa buah-buahan Indonesia seperti pisang dan beberapa jenis buah-buahan lainnya dengan alasan lalat buah. Dalam hal ini Indonesia tidak mengajukan protes ke Komisi SPS WTO karena kenyataannya memang terjadi di Indonesia dan sejauh ini belum mampu mengatasinya. Selain itu, Jepang juga menolak masuknya pucuk tebu asal Indonesia dengan alasan penyakit mulut dan kuku (PMK). Untuk kasus ini Indonesia mengadukannya ke Komisi SPS WTO karena Indonesia dalam daftar OIE merupakan salah satu negara yang dinyatakan bebas PMK. Taiwan belakangan ini telah menerapkan SPS di mana paprika kita dan buah lainnya ditolak masuk Taiwan karena alasan Indonesia belum bebas lalat buah tertentu.
7)
Permasalahan Technical Barriers to Trade (TBT).
Hampir serupa dengan perjanjian Sanitary & Phytosanitary (SPS) adalah TBT (Technical Barriers to Trade). Perjanjian ini mengatur standarisasi baik yang bersifat mandatory (wajib) maupun yang bersifat voluntary yang mencakup karakteristik produk; metode dan proses produk; terminologi dan simbol; serta persyaratan kemasan (packaging) dan label (labeling) suatu produk. Ketentuan ini ditetapkan untuk memberikan jaminan bagi kualitas suatu produk ekspor, memberikan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan hidup. Perjanjian TBT ini mewajibkan para anggotanya untuk menggunakan standar penetapan standar, seperti ISO dan lainnya.
internasional
sebagai
dasar
Untuk mencegah terjadinya penolakan (claim) atas komoditas ekspor yang sangat merugikan itu, diperlukan upaya peningkatan mutu yang ditopang dengan sistem pembinaan mutu dan dikembangkan secara terus-menerus. Untuk itu, pembinaan mutu terhadap komoditas ekspor unggulan, perlu dilakukan secara menyeluruh dari tingkat produsen pertama sampai tingkat eksportir, terutama dalam menindaklanjuti kesepakatan EPA (Economic Partnership Agreement). 8)
Permasalahan Tarif Ekspor CPO Indonesia ke negara India mengalami diskriminasi tarif yaitu adanya perbedaan penetapan tarif yang cukup besar antara minyak nabati atau vegetable oil yang berasal dari Indonesia dan yang berasal dari Amerika. Sementara itu tarif bea masuk impor komoditi pertanian sudah sangat rendah, bahkan untuk beberapa komoditi seperti buah-buahan, palawija, produk ternak, bea masuk yang rendah menyebabkan banjirnya produk impor di dalam negeri dan mengancam kelangsungan produksi petani di dalam negeri. Perjuangan Indonesia di forum WTO untuk melindungi produkproduk dalam negeri yang menyangkut isu pengurangan kemiskinan, ketahanan pangan dan pembangunan masyarakat perdesaan, masih belum mencapai hasil yang diinginkan.
1.2.3. TANTANGAN
Pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian menghadapi berbagai tantangan seperti: 1.
2.
Perubahan lingkungan ekonomi regional dan internasional, baik karena pengaruh liberalisasi ekonomi maupun karena perubahan-perubahan fundamental dalam pasar produk pertanian global. Sebagai tuntutan pasar atas efisiensi usaha, maka diperlukan adanya upaya adopsi teknologi yang terus mengarah pada efisiensi pada industrialisasi pertanian dan perdesaan.
3.
Kecenderungan penurunan harga dan permintaan pasar internasional untuk komoditi pertanian ekspor akibat krisis keuangan global.
4.
Perubahan pada sisi permintaan yang menuntut kualitas tinggi, kuantitas besar, ukuran seragam, ramah lingkungan, kontinuitas produk dan penyampaiannya tepat waktu serta harga yang kompetitif.
5.
Perlunya mengetahui perkembangan preferensi pasar (permintaan konsumen), trend konsumen yang akan datang termasuk meningkatnya tuntutan konsumen akan informasi nutrisi serta jaminan kesehatan dan keamanan produk-produk pertanian.
6.
Terdapat kecenderungan pemberlakuan non-tariff barrier dan tariff escalation bagi produk olahan sebagai persyaratan impor oleh negaranegara maju yang kuat.
7.
Telah diterapkannya persyaratan ”green products” atau penolakan terhadap komoditi yang dalam proses produksi (budidayanya) dianggap tidak mengindahkan kelestarian alam dan lingkungan serta hak-hak asasi manusia khususnya oleh negara Uni Eropa dan negara maju lainnya .
8.
Munculnya negara-negara pesaing (competitors) yang menghasilkan produk-produk hasil pertanian yang sejenis dan pada musim yang sama serta produk-produk substitusi merupakan tantangan bagi pengembangan produk pertanian Indonesia, baik di dalam negeri maupun di negaranegara tujuan ekspor tradisional maupun negara-negara tujuan ekspor baru.
BAB II VISI, MISI, DAN TUJUAN
2.1
Visi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian
Mengacu kepada visi Kementerian Pertanian yakni ” Terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor dan kesejahteraan petani ”, maka visi Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian adalah ” Menjadi institusi yang peduli dan memiliki komitmen tinggi untuk mewujudkan masyarakat pertanian sejahtera, handal dan berdaya saing di bidang pengolahan dan pemasaran hasil pertanian melalui penyelenggaraan birokrasi yang profesional dan berintegritas ”. 2.2.
Misi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian
Untuk mencapai visi tersebut di atas, diemban misi yang harus dilaksanakan yaitu: (1)
Menumbuh kembangkan kelembagaan usaha petani yang merupakan basis ekonomi perdesaan, sebagai wadah peningkatan peran dari petani produsen menjadi petani pemasok melalui penerapan manajemen, teknologi dan permodalan secara profesional.
(2)
Mengembangkan sistem agroindustri terpadu di perdesaan melalui, keterpaduan sistem produksi, penanganan pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, sehingga mampu memberikan peningkatan pendapatan petani, kesempatan kerja di perdesaan dan peningkatan nilai tambah produk pertanian secara adil serta profesional.
(3)
Mengembangkan penerapan sistem jaminan mutu hasil pertanian secara efektif dan operasional untuk meningkatkan daya saing produk segar dan olahan, baik di pasar domestik maupun internasional.
(4)
Meningkatkan daya serap pasar domestik dan ekspor hasil pertanian melalui kebijakan promosi dan proteksi produk pertanian yang efektif dan efisien.
(5)
Mengembangkan kapasitas institusi Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian yang profesional dan berintegritas moral tinggi.
2.3
Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam periode 2010-2014 adalah:
2.4 1)
1)
Membangun system manajemen pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian
2)
Meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian.
3)
Memantapkan ketahanan dan keamanan pangan.
4)
Meningkatkan daya serap pasar domestik dan ekspor melalui peningkatan daya saing dan nilai tambah hasil pertanian, proteksi, promosi dan kerjasama internasional.
5)
Menumbuh kembangkan usaha pengolahan dan pemasaran hasil pertanian yang memacu pertumbuhan ekonomi perdesaan.
Target Utama dan Sasaran Strategis Target Utama Selama lima tahun ke depan Kementerian Pertanian telah mencanangkan 4 target utama yaitu (1) Pencapaian Swasembada dan Swasembada berkelanjutan, (2) Peningkatan Diversifikasi Pangan, (3) Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing dan Ekspor, dan (4) Peningkatan Kesejahteraan Petani. Dari ke empat (4) target utama tersebut, target utama ke tiga yakni Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing dan Ekspor adalah target yang menjadi tanggung jawab Ditjen PPHP untuk pencapaiannya. Peningkatan Nilai Tambah; upaya ini akan difokuskan pada dua hal yakni peningkatan kualitas dan jumlah olahan produk pertanian untuk mendukung peningkatan daya saing dan ekspor. Peningkatan kualitas produk pertanian (bahan mentah dan olahan) diukur dari peningkatan jumlah produk pertanian yang mendapat sertifikasi jaminan mutu. Pada akhir tahun 2014 semua produk pertanian organik, kakao fermentasi, bahan olah karet (bokar) sudah harus tersertifikasi dengan pemberlakuan sertifikasi wajib. Peningkatan jumlah olahan diukur dari rasio produk mentah dan olahan. Saat ini 80 % produk pertanian diperdagangkan dalam bentuk bahan mentah dan 20 % dalam bentuk olahan. Pada akhir
tahun 2014 ditargetkan bahwa 50 % produk pertanian diperdagangkan dalam bentuk olahan. Peningkatan Daya Saing; upaya ini akan difokuskan pada pengembangan produk berbasis sumberdaya lokal yang (1) bisa meningkatkan pemenuhan permintaan untuk konsumsi dalam negeri; dan (2) bisa mengurangi ketergantungan impor (substitusi impor). Ukurannya adalah besarnya pangsa pasar (market share) di pasar dalam negeri dan penurunan net impor. Upaya peningkatan daya saing akan difokuskan pada peningkatan produksi susu yang selama ini impornya mencapai 73% untuk memenuhi kebutuhan domestik. Untuk mengurangi besarnya impor gandum/terigu yang mencapai 6,7 juta ton per tahun akan dikembangkan tepung-tepungan berbasis sumberdaya lokal, yang ditargetkan pada akhir 2014 sudah bisa mensubstitusi 10 % impor gandum/terigu. Untuk kakao, ditargetkan pada akhir 2014 kebutuhan kakao fermentasi bermutu untuk industri coklat dalam negeri bisa dipenuhi semua dari produksi dalam negeri. Peningkatan Ekspor; upaya ini akan difokuskan pada pengembangan produk yang punya daya saing di pasar internasional, baik segar maupun olahan, yang kebutuhan di pasar dalam negeri sudah tercukupi. Indikatornya adalah pertumbuhan volume ekspor.
2)
Sasaran Strategis Sasaran strategis pengembangan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian yang ingin dicapai dalam periode 2010-2014 adalah: 1)
Meningkatnya kapasitas, kemampuan dan kemandirian petani dan pelaku bisnis lainnya dalam usaha agroindustri.
2)
Menurunnya tingkat kehilangan hasil pertanian.
3)
Tercapainya kemandirian dan ketahanan pangan dengan harga yang terjangkau.
4)
Meningkatnya nilai tambah dan daya saing produk pertanian.
5)
Meningkatnya daya serap pasar domestik dan devisa negara dari ekspor produk pertanian.
6)
Meningkatnya keragaman produk olahan hasil pertanian.
7)
Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani.
BAB III STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERTANIAN
3.1.
PENUGASAN RPJM 2010-2014 (ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL)
3.1.1. PRIORITAS NASIONAL Dalam Rancangan RPJM 2010-2014 (Buku I) terdapat 11 prioritas nasional. Diantara 11 prioritas nasional tersebut yang terkait dengan Kementerian Pertanian adalah prioritas ke 5 (lima) yakni “Ketahanan Pangan”. Dalam Rancangan RPJM tersebut tema prioritas ketahanan pangan adalah “ Peningkatan ketahanan pangan dan lanjutan revitalisasi pertanian untuk mewujudkan kemendirian pangan, peningkatan daya saing produk pertanian, peningkatan pendapatan petani, serta kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam ”. Selain prioritas nomor 5 (lima) Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian juga mendapat amanah untuk terlibat dalam pelaksanaan prioritas nomor 1 yaitu Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola, nomor 8 Energy, dan Nomor 9 Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana. Disamping terlibat dalam pencapaian Prioritas Nasional (RPJMN 2010-2014, Buku I), pembangunan pertanian ditempatkan pada kelompok pembangunan Bidang SDA dan Lingkungan Hidup (RPJMN 2010-2014, Buku II) dengan 7 prioritas bidang. Dari 7 prioritas bidang tersebut yang terkait dengan Kementerian Pertanian adalah prioritas nomor 1, yaitu “ Peningkatan Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan”. 3.1.2. ARAH KEBIJAKAN STRATEGIS NASIONAL Adapun arah kebijakan strategis nasional adalah: 1)
Peningkatan produksi dan produktivitas pangan, pertanian, perikanan dan kehutanan terus dilakukan untuk menukung peningkatan ketersediaan pangan dan bahan baku industri.
3.2.
2)
Peningkatan efisiensi distribusi pangan untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu, dengan harga yang terjangkau.
3)
Peningkatan pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan menjadi kebijakan dan strategi pembangunan ketahanan pangan yang perlu memperoleh perhatian yang memadai agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalan.
4)
Peningkatan nilai tambah, daya saing dan pemasaran produk pertanian, perikanan, dan kehutanan.
5)
Peningkatan kapasitas masyarakat pertanian, perikanan dan kehutanan.
ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI KEMENTERIAN PERTANIAN
3.2.1 Arah Kebijakan Kementerian Pertanian Terkait Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian
Pembangunan
1)
Pengembangan bio-energy berbasis bahan baku lokal terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energy masyarakat khususnya di perdesaan dan mensubstitusi BBM.
2)
Pengembangan industri hilir pertanian di perdesaan yang berbasis kelompok tani untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, membuka lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan keseimbangan ekonomi desa kota.
3)
Pembangunan kawasan komoditas unggulan terpadu secara vertikal dan/atau horizontal dengan konsolidasi usaha tani produktif berbasis lembaga ekonomi masyarakat yang berdaya saing tinggi di pasar lokal maupun internasional.
4)
Berperan aktif dalam melahirkan kebijakan makro yang berpihak kepada petani seperti perlindungan tarif dan non tarif perdagangan internasional, penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP), dan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi.
5)
Peningkatan dan penerapan manajemen pembangunan pertanian yang akuntabel dan good governance.
3.2.2. Strategi Kementerian Pertanian Terkait Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Strategi pembangunan pertanian selama 2010-2014 akan dilakukan melalui Tujuh (7) Gema Revitalisasi dan yang terkait erat dengan pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian adalah: Revitalisasi Infrastruktur dan Sarana, Revitalisasi Kelembagaan Petani , dan Revitalisasi Teknologi dan Industri Hilir . 1)
Revitalisasi Infrastruktur dan Sarana Untuk mengarah ke pertanian industrial penggunaan alat mesin pertanian mutlak diperlukan untuk meningkatkan efisiensi usaha pertanian. Untuk menyediakan peralatan mesin pengolahan hasil pertanian yang tepat dan memenuhi persyaratan teknis yang baik beberapa upaya yang perlu dilakukan adalah:
2)
•
Memperkuat kelembagaan Alat Mesin di Pusat untuk membuat kebijakan dan regulasi berkaitan dengan pembuatan penyebaran dan penggunaan alsin di tingkat petani secara bertanggung jawab. Terkait dengan upaya tersebut Ditjen PPHP memiliki UPT Balai Pengujian Mutu Alsintan yang berfungsi menguji mutu dan kelayakan alsin pengolahan hasil yang diproduksi oleh masyarakat.
•
Mendorong swasta untuk mendesain, memproduksi dan menyebarkan alsin sesuai dengan standard kualitas nasional.
•
Bekerjasama dengan sektor terkait untuk mendorong terbentuknya fasilitas bengkel-bengkel alsin.
Revitalisasi Kelembagaan Petani Kondisi organisasi petani saat ini lebih bersifat budaya dan sebagian besar berorientasi hanya untuk mendapatkan fasilitas pemerintah, belum sepenuhnya diarahkan untuk memanfaatkan peluang ekonomi melalui pemanfaatan aksesibilitas terhadap berbagai informasi teknologi, permodalan dan pasar yang diperlukan bagi pengembangan usahatani dan usaha pertanian. Di sisi lain, kelembagaan usaha yang ada di pedesaan, seperti koperasi belum dapat sepenuhnya mengakomodasi
kepentingan petani/kelompok tani sebagai wadah pembinaan teknis. Berbagai kelembagaan petani yang sudah ada seperti Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, Perhimpunan Petani Pemakai Air dan Subak dihadapkan pada tantangan ke depan untuk merevitalisasi diri dari kelembagaan yang saat ini lebih dominan hanya sebagai wadah pembinaan teknis dan sosial diharapkan menjadi kelembagaan yang juga berfungsi sebagai wadah pengembangan usaha yang berbadan hukum atau dapat berintegrasi dalam koperasi yang ada di pedesaan. 3)
Revitalisasi Teknologi dan Industri Hilir •
Mendorong pengembangan industri pengolahan pertanian di perdesaan secara efisien guna peningkatan nilai tambah dan daya saing di pasar dalam negeri dan internasional; cakupan industri yang akan dikembangkan adalah industri pengolahan makanan dan minuman, industri biofarmaka, industri bio-energi, industri pengolahan hasil ikutan (by-product).
•
Meningkatkan jaminan pemasaran dan stabilitas harga komoditas pertanian; jaminan pemasaran produk dan harga yang diterima petani adalah permasalahan yang sering dihadapi sehingga upaya-upaya intervensi stabilisasi harga perlu dilanjutkan (untuk beras) oleh Bulog; melanjutkan dan menerapkan secara intensif system pembelian dengan resi gudang; memberikan perlindungan petani produsen melalui kebijakan tariff khususnya komoditi impor agar produksi dalam negeri tidak jatuh (seperti pada susu, bawang); membentuk jaringan informasi pasar dan menyebarkan ke seluruh wilayah; melakukan promosi pemasaran terhadap komoditi ekspor.
•
Meningkatkan dan menjaga mutu dan keamanan pangan pada semua tahapan produksi mulai dari hulu sampai hilir; peningkatan mutu hasil pertanian ditempuh melalui penerapan system jaminan mutu dan keamanan pangan dengan memperkuat (a) Kelembagaan Otoritas Kempeten Keamanan Pangan Daerah, (b) SDM inspector, auditor, fasilitator dan pengawas, (c) system dan prosedur. Standardisasi produk pertanian mulai dari hulu sampai hilir perlu dilakukan untuk komoditas yang mempunyai prospek pasar di luar negeri.
3.3.
STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERTANIAN
3.3.1. Fokus Komoditi Fokus komoditi pembangunan PPHP 2010-2014 terdiri dari 3 (tiga) kelompok komoditas utama yakni: 1)
Pangan Utama
2)
Orientasi Ekspor :
3)
: Beras, jagung dan kedelai.
-
Utama : Kakao, kopi, sawit, rempah dan teh.
-
Emerging : Buah tropika, biofarmaka, tanaman hias tropika, beras specialty, mete
Subsitusi Impor
: Susu, Tepung, jeruk, daging ayam dan telur.
Blue Print “ Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk Pertanian dengan Pemberian Insentif Bagi Tumbuhnya Industri Perdesaan Berbasis Produk “ telah disusun. Fokus komoditasnya adalah komoditas utama tersebut di atas. Matrik strategi pengembangan masing-masing komoditas dapat dilihat pada lampiran 2. 3.3.2. Strategi
3.3.3.
1)
Mengupayakan payung hukum tentang kewenangan yang lebih besar dari Kementerian Pertanian untuk menyelenggarakan pembinaan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian.
2)
Penyesuaian kebijakan ekspor dan tariff untuk ekspor bahan mentah hasil pertanian dan impor bahan olahan hasil pertanian.
3)
Penerapan system jaminan mutu dan keamanan pangan.
4)
Kebijakan insentif untuk pengembangan agroindustri.
5)
Pengembangaan kelembagaan PPHP di tingkat petani.
6)
Pengembangan petani produsen menjadi petani pemasok. Kebijakan
Mengacu kepada arah kebijakan Kementerian Pertanian dan tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal PPHP, maka kebijakan pengembangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian ditetapkan sebagai berikut: 3.3.3.1. Kebijakan Penanganan Pasca Panen Tuntutan masyarakat dunia akan produk yang bermutu telah menjadi hal yang mutlak untuk diperhatikan baik untuk produk jadi maupun produk bahan baku/setengah jadi. Pemenuhan mutu yang sesuai permintaan pasar tidak terlepas dari dukungan sektor yang saling terkait mulai sektor hulu hingga hilir. Di sektor hilir penerapan Good Handling Practices (GHP) adalah salah satu persyaratan yang harus dilakukan dalam penerapan system jaminan mutu dan keamanan pangan. Penanganan pasca Panen yang baik (GHP) bertujuan untuk menurunkan kehilangan hasil pertanian yang pengaruhnya sangat signifikan dalam penyediaan pangan dan pasokan bahan baku untuk industry. Penerapan penanganan pasca panen yang baik dilaksanakan dengan didukung oleh sarana dan prasarana untuk menghasilkan produk yang bermutu yang spesifik lokasi dan meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan petani. Untuk mencapai hal tersebut kebijakan penanganan pasca panen yang dilaksanakan adalah: 1) 2)
Pengembangan system Penanganan pasca panen Pengembangan insentif usaha (fasilitasi sarana prasarana pasca panen).
3.3.3.2. Kebijakan Mutu dan Standarisasi Dalam sistem perdagangan komoditas pangan hasil pertanian di era pasar global ini, aspek keamanan pangan dan mutu produk merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memenangkan persaingan. Sistem keamanan dan mutu terpadu produk pangan hasil pertanian dengan demikian harus sudah mulai
diterapkan sejak awal dan pada akhir periode diharapkan sudah berjalan dengan baik. Karena di era pasar bebas ini industri pangan Indonesia mau tidak mau sudah harus mampu bersaing dengan derasnya arus masuk produk industri pangan negara lain yang telah mapan dalam sistem manajemen mutunya. Sistem standar mutu merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari pembinaan mutu hasil pertanian sejak proses produksi bahan baku hingga produk di tangan konsumen. Penerapan sistem standarsasi secara optimal sebagai alat pembinaan mutu hasil pertanian bertujuan untuk meningkatkan efisiensi proses produksi maupun produktivitas di bidang pertanian yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing dan mendorong kelancaran pemasaran komoditi pangan serta mendorong berkembangnya investasi di sektor pertanian. Kebijakan mutu dan standarisasi yang dilaksanakan adalah: (1)
Pengembangan system jaminan mutu dan keamanan pangan.
(2)
Penyusunan dan penerapan standar (SNI).
3.3.3.3. Kebijakan Pengolahan Dalam upaya pengembangan pengolahan hasil pertanian, dengan karakteristik usaha yang berskala kecil dengan berbagai keterbatasannya, memerlukan kebijakan pengembangan yang memiliki keunggulan. Salah satu pendekatan terintegrasi yang dipandang sesuai, adalah pendekatan kelompok yang memiliki jaringan usaha yang terkait. Pendekatan pengembangan aktifitas usaha pengolahan secara berkelompok dalam kegiatan usaha yang sejenis, tentunya dapat meningkatkan kapasitas serta dayasaing usaha, yang kemudian dapat dikembangkan beberapa usaha yang cakupannya berbeda tetapi masih saling terkait menjadi bentuk klaster (inti dan plasma). Keunggulan pola klaster ini, mengacu pada argumentasi bahwa sulit bagi usaha berskala kecil secara individual untuk bersaing dengan usaha berskala besar dalam suatu aktifitas usaha yang sama (economic of scale). Pengembangan suatu usaha dengan pendekatan klaster, dimana kelompok usaha yang saling terakit dari berbagai jenis usaha dan
beroperasi dalam wilayah yang saling berdekatan, terbukti memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang. Usaha pengolahan yang berbasis klaster di beberapa negara, menunjukkan kemampuannya secara berkesinambungan untuk mampu menembus pasar ekspor, menghasilkan nilai tambah yang memadai, mampu menyerap tenaga kerja dan sangat responsif terhadap pemanfaatan inovasi teknologi. Dengan demikian, pengembangan agroindustri perdesaan, dengan karakter dan kondisi yang ada, pola pengembangan klaster (inti plasma) merupakan pilihan yang tepat, karena pelaku usaha pengolahan dapat meningkatkan aksesibilitasnya terhadap sumberdaya produktif, meningkatkan kapasitas produksi, meningkatkan akses pasar dan efisiensi usaha sebagai dampak dari aktifitas usaha yang saling bersinergi. Secara teknis usaha agroindustri terpadu adalah unit usaha yang telah memperhatikan dan mengembangkan aspek-aspek penyiapan bahan baku yang bermutu, menerapkan prinsip-prinsip Good Manufacturing Practices (GMP), menerapkan sistem jaminan keamanan dan mutu hasil pertanian khususnya pangan, serta telah memanfaatkan dan mengelola limbah dengan baik (zero waste). Usaha Agroindustri tersebut merupakan industri pengolahan hasil pertanian skala kecilmenengah dan skala rumah tangga yang pada umumnya berada dan dimiliki warga di perdesaan yang bergerak dalam usaha pengolahan makanan minuman, biofarmaka, bioenergy, dan pengolahan hasil samping. Agroindustri terpadu ini dikembangkan dengan tujuan: (a) Meningkatkan nilai tambah hasil panen di pedesaan, baik untuk konsumsi langsung, maupun untuk bahan baku agroindustri lanjutan; (b) Memberikan jaminan mutu dan harga sehingga tercapai efisiensi agribisnis; (c) Mengembangkan diversifikasi produk sebagai upaya penanggulangan kelebihan produksi atau kelangkaan permintaan pada periode tertentu; (d) Sebagai wahana pengenalan, penguasaan, pemanfaatan teknologi tepat guna dan sekaligus sebagai wahana peran serta masyarakat pedesaan dalam sistem agribisnis, dan (e) menjaga kelestarian lingkungan. Kebijakan pengembangan dilaksanakan adalah:
pengolahan
hasil
pertanian
yang
1)
Pengembangan pengolahan hasil pertanian melalui konsep agribisnis yang berkelanjutan di sentra-sentra produksi pertanian
2)
Meningkatkan inovasi dan diseminasi teknologi pengolahan
3)
Meningkatkan efisiensi usaha pengolahan hasil pertanian melalui optimalisasi dan modernisasi sarana pengolahan
4)
Meningkatkan kemampuan dan memberdayakan SDM pengolahan dan penguatan lembaga usaha pengolahan hasil di tingkat petani
5)
Meningkatkan upaya pengelolaan lingkungan usaha pengolahan.
3.3.3.4. Kebijakan Pemasaran Domestik Pengembangan pemasaran dalam negeri diarahkan bagi terciptanya mekanisme pasar yang berkeadilan, sistem pemasaran yang efisien dan efektif, meningkatnya posisi tawar petani, serta meningkatnya pangsa pasar produk lokal di pasar domestik, dan meningkatnya konsumsi terhadap produk pertanian Indonesia, serta terpantaunya harga komoditas hasil pertanian di seluruh provinsi. Untuk mencapai hal tersebut maka kebijakan yang dilaksanakan adalah: (a) Pengembangan jaringan pemasaran domestic, (b) Pengembangan pasar petani, (c) Kebijakan stabilisasi harga dan pasokan. 3.3.3.5. Kebijakan Pemasaran Internasional dan Kegiatannya Pengembangan pemasaran internasional dimaksudkan untuk percepatan peningkatan ekspor hasil pertanian, baik dalam bentuk segar maupun olahan, sehingga dapat meningkatkan pangsa pasar produk lokal di pasar internasional dan sekaligus meningkatkan perolehan devisa negara. Disamping itu, pengembangan pemasaran internasional juga dimaksudkan untuk melindungi produk pertanian dalam negeri. Untuk mencapai hal tersebut maka kebijakan pemasaran internasional yang dilaksanakan adalah: (a) Pengembangan Market Intelegence dan perluasan pasar internasional, (b) Pengembangan kebijakan proteksi komoditas dan produk pertanian seperti perlakuan
tarif yang rendah untuk ekspor dan tinggi untuk komoditas impor pesaing. 3.4.
PROGRAM DAN KEGIATAN
3.4.1.
Program Sesuai Pedoman Reformasi Perencanaan dan Penganggaran, maka sebagai salah satu unit kerja Eselon I di Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian memiliki satu program yang mendukung Kementerian Pertanian dalam pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, yaitu “Program Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, Industri Hilir, Pemasaran dan Ekspor Hasil Pertanian”. Program tersebut dijabarkan dalam kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan tugas fungsi Eselon II di dalamnya meliputi kegiatan: (1) Pengembangan Penanganan pasca Panen Hasil Pertanian, (2) Pengembangan Pengolahan Hasil Pertanian, (3) Pengembangan Mutu dan Standarisasi Pertanian, (4) Pengembangan Pemasaran Domestik, (5) Pengembangan Pemasaran Internasional, (6) Dukungan Manajemen dan Teknis lainnya pada Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Indikator keberhasilan (outcome) dari program Program Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, Industri Hilir, Pemasaran dan Ekspor Hasil Pertanian adalah sebagai berikut: 1)
Penurunan kehilangan/kerusakan hasil pertanian antara 0.2- 5 % per tahun.
2)
Peningkatan jumlah dan jenis produk olahan hasil pertanian yang bermutu untuk ekspor dan substitusi impor minimal 5 % per tahun.
3)
Peningkatan produk pertanian yang mendapatkan setifikat jaminan mutu minimal 5 % per tahun.
4)
Peningkatan jumlah lembaga pemasaran petani penyerapan pasar hasil pertanian di pasar domestik.
5)
Peningkatan ekspor dan surplus perdagangan hasil pertanian minimal 15 % per tahun dan 30 % per tahun.
dan
3.4.2.
Kegiatan
3.4.2.1. Kegiatan Pengembangan Usaha Penanganan Pasca Panen; 1)
Kegiatan di Pusat dan Daerah Pembagian tugas pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanakan kegiatan pengembangan usaha penanganan pasca panen hasil pertanian adalah sebagai berikut: Kegiatan di Pusat a. b. c. d. e. f. g.
Penyusunan kebijakan pasca panen Pertemuan koordinasi Penyusunan Layanan Publik Penyusunan Pedoman Teknis Penyusunan Pedoman Jaminan Mutu Bimbingan teknis dan Manajemen Penanganan Pasca Panen Monitoring Pelaksanaan Teknis Penanganan Pasca Panen.
Kegiatan di Daerah a. Koordinasi b. Pembinaan kepada kelompok/Gabungan Kelompok Tani. c. Fasilitasi Peralatan Mesin Pasca Panen d. Penguatan kelembagaan dan SDM e. Pendampingan (oleh Site Manajer) f. Bantuan Modal Usaha g. Kemitraan Usaha dan Pemasaran h. Pengawalan i. Monitoring dan Evaluasi kegiatan di Kab./Kota 2)
Sasaran Kegiatan a. Penurunan kehilangan hasil (losses) padi 0.2 % per tahun( tahun 2009 losses sebesar 10.82 %). b. Penurunan kehilangan hasil (losses) jagung 2.5 % per tahun (tahun 2009 losses sebesar 25-30 %) c. Penurunan kehilangan hasil (losses) hortikultura 2-5 % per tahun (tahun 2009 losses dalam shipping and handling 20-40 %) d. Penurunan kehilangan hasil (losses) perkebunan 3-5 % per tahun (tahun 2009 losses sebesar 10-15 %).
e. Penurunan kehilangan hasil (losses) peternakan 2 % per tahun (tahun 2009 losses sebesar 10-12 %). 3)
Indikator Keberhasilan (output): a.
Terevitalisasinya kelembagaan pasca panen padi di semua kabupaten sentra padi untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan kualitas.
b.
Beroperasinya secara efektif kelembagaan pengeringan dan penyimpanan hasil tanaman pangan (jagung) di kabupaten sentra jagung.
c.
Meningkatnya mutu kakao fermentasi untuk ekspor di seluruh kabupaten sentra kakao.
d. Meningkatnya mutu bokar di seluruh kabupaten sentra karet. e. Meningkatnya mutu kopi biji di seluruh kabupaten sentra kopi. f.
Meningkatnya hortikultura.
mutu
hasil
hortikultura
di
kabupaten
sentra
g. Meningkatnya mutu pakan ternak dan hasil ternak di kabupaten sentra ternak. 3.4.2.2. Kegiatan Pengembangan Pengolahan hasil Pertanian 1.
Kegiatan di Pusat dan daerah Pembagian tugas pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanakan kegiatan Pengembangan Pengolahan Hasil Pertanian sebagai berikut: Kegiatan di Pusat: a. b.
Pertemuan koordinasi teknis Analisa kelayakan usaha industri serta penyusunan pedoman /petunjuk teknis pengembangan agroindustri berbasis komoditas/produk unggulan tanaman pangan, perkebunan dan peternakan dan analisa kelayakan system klaster (inti plasma) beberapa komoditas strategis
c.
Penyusunan pedoman pengembangan agroindustri berbasis tanaman pangan (Ubikayu dan sagu), perkebunan (kakao, kopi, kelapa terpadu, mete dan minyak atsiri), dan peternakan
d.
Penyusunan pedoman ekspor komoditas unggulan
e.
Penyusunan system Jaminan Mutu dan ISO 9001/2008, Manajemen Mutu penggilingan padi dll.
f.
Updating data dan pengembangan layanan informasi teknis pengolahan hasil pertanian.
g.
Fasilitasi sosialisasi/promosi/pemberian penghargaan kepada Gapoktan/ pelaku usaha pengolahan hasil pertanian.
h.
Pengembangan informasi layanan teknis pengolahan hasil pertanian
i.
Penyusunan hortikultura
j.
Bintek pasca hortikultura
k.
Fasilitasi kemitraan pemasaran hortikultura
l.
Bimbingan teknis manajemen agroindustri perdesaan
m.
Bimbingan teknis dan pengawalan
n.
Monev
o.
Pembinaan dan pengawalan.
kebijakan
(Pedum,
Juknis)
untuk
komoditas
panen dan penerapan jaminan mutu hasil
Kegiatan di Daerah a.
Pengembangan agroindustri pedesaan berbasis pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan.
tanaman
b.
Pembinaan kemitraan.koordinasi, pelatihan
c.
Fasilitasi sarana pasca panen dan pengolahan (minyak atsiri, kopi, kelapa terpadu, karet, beras untuk ekspor, hortikultura),
d.
Fasilitasi penerapan GHP (minyak atsiri, kopi, kelapa terpadu, karet, beras untuk ekspor, hortikultura).
e.
Pembinaan mutu
f.
Fasilitasi pemasaran
g.
Bantuan PMUK dan penguatan modal ( Kopi, Hortikultura,
h.
Penguatan kelembagaan dan SDM (Pabrik Pakan SK, karet, )
i.
Bimbingan Gapoktan (hortikultura,
j.
Sosialisasi & Pelatihan teknis
k.
Koordinasi
l.
Pengembangan informasi layanan teknis pengolahan hasil pertanian.
2)
3)
m.
Dukungan administrasi (Rapat, honor, site manajer/supervisor, PPK , ATK dll)
n.
Kegiatan penunjang lain (Penguatan kelembagaan, Bimtek /Binwal), kemitraan pemasaran, pembinaan mutu monev, PMUK).
o.
Perjalanan dinas.
Sasaran Kegiatan a.
Peningkatan produksi kakao fermentasi bermutu tinggi sebesar 50 % pada akhir tahun 2014 ( tahun 2009 sebesar 20 %)
b.
Peningkatan prosentase karet (bokar) yang sesuai SNI sebesar 50 % ( tahun 2009 sebesar 30 %).
c.
Pengembangan jumlah produk tepung-tepungan berbahan baku lokal untuk substitusi impor sebesar 20 % (tahun 2009 sebesar 5 %).
d.
Peningkatan CPO yang diolah menjadi produk turunannya sebanyak 50 % (tahun 2009 sebesar 20 %).
e.
Peningkatan produk mete yang diolah dan diekspor dalam bentuk cashew nut dan mulai pengolahan CSNL sebesar 50 % (tahun 2009 sebesar 0 %).
f.
Peningkatan produksi susu domestik sebesar 50 % (tahun 2009 sebesar 26 %).
Indikator Keberhasilan (output) Terbangun dan beroperasinya secara efektif usaha agroindustri terpadu (di pedesaan) berbasis: a.
Pengolahan hasil tepung singkong , sagu dll. di seluruh kabupaten sentra.
b.
Pengolahan beras untuk ekspor di 30 lokasi.
c.
Pengembangan hasil kabupaten/kota).
d.
Perbaikan mutu bokar (bahan olah karet) di kabupaten sentra karet.
hortikultura
di
31
kawasan
(90
3.4.2.3 1)
e.
Perbaikan mutu Kopi dan pengembangan Mete dan minyak atsiri di untuk ekspor di kabupaten kopi, sentra mete dan minyak atsiri.
f.
Pengolahan hasil peternakan: pengolahan susu di 10 kab dan pakan ternak di 15 kabupaten.
Kegiatan Pengembangan Mutu dan Standarisasi Kegiatan di Pusat dan Daerah Pembagian tugas pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanakan kegiatan pengembangan Mutu dan Standarisasi: Kegiatan di Pusat : a. b. c.
Penyusunan Pedoman Teknis Mutu Kakao Fermentasi. Penyusunan Layanan Informasi Publik. Bimbingan Teknis Penerapan Pasca Panen Kakao dan Sistem Jaminan Mutu.
d. e. f. g. h. i. j. k. l. m.
Monitoring pelaksanaan kegiatan teknis. Pengembangan pengelolaan pengujian alsintan. Pengembangan sertifikasi alsintan. Analisis dan evaluasi metode pengujian. Pemantauan dan evaluasi hasil pengujian. Penyusunan Rencana Teknis. Pengelolaan laboratorium. Sosialisasi pengujian dan sertifikasi alsintan. Pengembangan sistem mutu produsen alsintan. Pengadaan sarana dan prasarana, bangunan kantor LS Pro Alsintan.
Kegiatan di Daerah : a. b. c. d.
Perjalanan konsultasi, koordinasi, pelatihan, pertemuan, monitoring dan evaluasi Site Manager Fasilitasi sarana dan prasarana pasca panen kakao Bangunan (tempat peralatan dan gudang penyimpanan)
e. f. g. h. 2)
3)
Penguatan modal usaha kelompok Fasilitasi Penerapan GHP dan sistem jaminan mutu Fasilitasi kemitraan Penguatan kelembagaan
Sasaran Kegiatan a.
Peningkatan produk organik bersertifikat sebanyak 300 produk pada akhir 2014 ( tahun 2009, ada 40 produk tersertifikasi).
b.
Peningkatan jumlah pelaku usaha mendapat sertifikasi Jaminan Varietas sebanyak 10 orang pada akhir tahun 2009 (tahun 2009, ada 2 pelaku usaha nendapat sertfikasi jaminan varietas)
c.
Peningkatan jumlah pelaku usaha yang mendapat sertifikat Jaminan Keamanan Pangan sebanyak 825 orang (tahun 2009 ada 41 pelaku usaha mendapat sertifikat).
d.
Penerapan SNI wajib bagi produk kakao dan karet.
Indikator Keberhasilan (output) a.
Meningkatnya mutu kakao fermentasi untuk ekspor di 100 lokasi
b. c.
Beroperasinya OKKPD di seluruh propinsi. Beroperasinya secara efektif UPT BPMA ( Balai Penguji Mutu Alsin) di Pusat.
3.4.2.4. Kegiatan Pengembangan Pemasaran Domestik Fokus kegiatan pemasaran domestik yang akan dilakukan adalah: (a) pengembangan kelembagaan pasar dalam bentuk Sub Terminal Agribisnis (STA) komoditas tanaman pangan dan hortikultura, pasar lelang perkebunan, pasar tani, dan pasar ternak; (b) pengembangan kelembagaan kemitraan yang saling menguntungkan dan mampu mendistribusikan nilai tambah secara adil terutama kemitraan antara kelompok petani dengan pelaku usaha; (c) pengembangan sistem informasi pemasaran, terutama untuk pemantauan dan analisis harga pangan strategis (d) peningkatan promosi dalam negeri; (e) Penerapan HPP gabah/beras, (f) pengembangan kebijakan pemasaran domestik hasil pertanian.
1)
Kegiatan di Pusat dan Daerah Pembagian tugas pemerintah pusat dan daerah untuk kegiatan pengembangan pemasaran domestik adalah: Kegiatan di Pusat a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Bimbingan teknis dan pembinaan. Pengawalan Fasilitasi Pertemuan teknis Monitoring pelaksanaan kegiatan Pertemuan koordinasi PIP Pengembangan jaringan PIP Penyebaran Informasi Analisis Pasar komoditi pertanian strategis Pengembangan data base informasi pasar Pengembangan PIP Biofarmaka
Kegiatan di Daerah a.
Pendampingan manajemen pasar tani, STA/pasar lelang, pasar tenak, pasar lelang perkebunan.
b.
Pengawalan manajemen pasar tani,
c.
Promosi pasar tani
d.
Bimbingan teknis pemasaran dan kemitraan , pasca panen dan mutu di pas ar tani dan pasar lelang
e.
Bantuan sarana dan lelang.
f.
Study banding untuk pengelola pasar tani ke psar tani Mega, Kuala Lumpur dll.
g.
Fasilitasi system informasi pasar di pasar tani, STA, Pasar ternak, dan pasar lelang perkebunan.
h.
Fasilitasi kemitraan di STA, pasar tenak dan pasar tani.
i.
Penguatan modal STA
j.
Fasilitasi pelaksanaan lelang
k.
Bimbingan teknis manajemen pasar ternak ,
operasional pasar tani, STA dan pasar
2)
3)
l.
Rehab sarana pasar ternak
m.
Penanganan limbah ternak
n.
Sosialisasi dan fasilitasi uji coba lelang ternak.
o.
Sosialisasi system lelang perkebunan
p.
Operasinalisasi pengumpulan dan pengiriman data pemasaran.
q.
Analisa, pengiriman dan penyebaran data pemasaran.
r.
Adm, Monitoring dan Evaluasi dan laporan.
s.
Perjalanan konsultasi dan bimbingan
Sasaran Kegiatan a.
Peningkatan jumlah lembaga pemasaran sebanyak 365 unit (tahun 2009 sebanyak 264 unit).
b.
Penyerapan sebanyak mungkin produk domestik.
c.
Pengembangan Pusat Informasi Pasar di kabupaten/kota seluruh Indonesia (tahun 2009 baru di 150 kabupaten/kota).
Indikator Keberhasilan (Output) a.
Terbangunnya kemitraan pemasaran hasil pertanian antara kelompok tani dengan industri pengolahan di seluruh kabupaten.
b.
Terbangunnya kelembagaan pasar tani di seluruh kabupaten.
c.
Terevitalisasinya STA dan Pasar lelang + kemitraan serta sarana pemasaran tanaman hias di 100 lokasi/ Kab.
d.
Terevitalisasinya pasar ternak di 100 lokasi.
e.
Terbangunnya pasar lelang hasil perkebunan di 25 lokasi/Kab.
f.
Berkembangnya kabupaten/kota.
sistem
informasi
pasar
di
seluruh
3.4.2.5. Kegiatan Pemasaran Internasional Fokus kegiatan yang akan dilakukan adalah: (a) Pengembangan kerjasama perdagangan internasional, baik secara Government to Government (G to G), maupun di regional, sub-regional, dan
multilateral; (b) Pengembangan kebijakan promosi dan proteksi; (c) Penguatan market intelligence; (d) Peningkatan fasilitas perdagangan, angkutan, dan penyimpanan komoditi ekspor hasil pertanian.
1)
Kegiatan Pusat dan Daerah Kegiatan di Pusat : a. b. c.
Pengembangan Sistim Informasi Pemasaran (Internasional) Penyusunan Pedoman Ekspor-Impor Produk Pertanian Penyusunan langkah-langkah implementasi kesepakatan kerja sama internasional bidang pertanian
d.
Kerjasama perdagangan/komoditi dalam forum bilateral/intra regional /multilateral
e.
Kajian tataniaga teh Indonesia
f.
Kajian peluang peningkatan pasar ekspor terkait dengan penghapusan TRQ kopi
g.
Penyusunan dan pencetakan hasil negosiasi forum regional ASEAN
h.
Akselerasi ekspor komoditi perkebunan kakao dan hortikultura
i.
Monitoring implementasi IJ-EPA, RI-China dan RI Korsel
j.
Pemantauan operasional cool storage dalam rangka ekspor hasil pertanian
k.
Pelatihan ekspor bagi GAPOKTAN
l.
Fasilitasi promosi dan pameran produk pertanian dalam negeri
m.
Rapat koordinasi untuk sub kegiatan Green Campaign
n.
Workshop/Dialog Sustainable Palm Oil
o.
Penghargaan pelaku agroindustri di bidang pasca panen, mutu, pengolahan dan pelaku pasar
Kegiatan di Daerah : Fasilitasi promosi dan pameran dalam negeri
2)
3)
Sasaran Kegiatan a.
Pertumbuhan ekspor kakao 15 % (volume) per tahun (tahun 2009 tumbuh 10.66 %).
b.
Pertumbuhan ekspor karet 10% (volume) 2009 tumbuh 5.16 %).
c.
Pertumbuhan ekspor sawit 2009 tumbuh 18.15 %).
d.
Pertumbuhan ekspor kopi 15 % (volume) per tahun(tahun 2009 tumbuh 11.48 %).
e.
Pertumbuhan ekspor beras 100.000 ton per tahun (tahun 2009 sebesar 20 ton).
f.
Pertumbuhan ekspor buah tropis tahun(tahun 2009 tumbuh 19.2 %).
g.
Pertumbuhan ekspor biofarmaka dan minyak atsiri 20 % (volume) per tahun(tahun 2009 tumbuh 12.53 %).
h.
Neraca Perdagangan tumbuh 50 % per tahun.
per tahun (tahun
25 % (volume) per tahun (tahun
25
%
(volume)
per
Indikator Keberhasilan (output): a. Diplomasi, Misi Dagang, Eksibisi/Promosi dan akselerasi ekspor produk pertanian di sejumlah negara yang potensial. b. c. d.
Green Campaign produk pertanian. Promosi Dalam Negeri. Penghargaan kepada pelaku agroindustri (gapoktan PPHP).
3.4.2.6. Kegiatan Mendukung Manajemen dan Kepegawaian Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kegiatan dalam rangka mendukung manajemen dan kepegawaian di Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian adalah: a.
Pembinaan perencanaan kegiatan pengolahan dan pemasaran di pusat dan daerah.
b. c.
Pembinaan monitoring, evaluasi dan pelayanan informasi. Pembinaan pengelolaan keuangan dan perlengkapan di pusat dan daerah.
d.
1)
Pengelolaan ketatausahaan, kepegawaian, kehumasan, dan peraturan perundaang-undangan.
Kegiatan di Pusat dan daerah Pembagian tugas pemerintah pusat dan daerah untuk kegiatan mendukung manajemen dan kegiatan teknis lainnya di Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian adalah: Kegiatan di Pusat a. b. c. d.
Penyusunan Pedoman-pedoman dan Petunjuk Teknis Sosialisasi Program dan Anggaran PPHP Tahunan Sosialisasi Pelaporan Keuangan Sosialisasi Pedoman Umum Pelaksanaan Kegiatan Pembangunan PPHP Tahunan
e. f. g.
Sosialisasi Pedoman Penyusunan Proposal Kegiatan Daerah. Evaluasi proposal dan penetapan proposal yang akan dibiayai. Pertemuan Koordinasi Program dan Penganggaran.
h.
Pertemuan Monev.
i.
Pertemuan dan Koordinasi lainnya.
Kegiatan di Daerah
2)
a.
Menyusun proposal usulan kegiatan.
b.
Melaksanakan kegiatan .
c.
Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan, keuangan, dan barang inventaris.
d.
Melakukan Monitoring dan evaluasi.
e.
Menghadiri pertemuan-pertemuan koordinasi dll.
Sasaran Kegiatan a.
Meningkatnya pengelolaan keuangan.
b.
Meningkatnya layanan publik.
c.
Meningkatnya Akuntabilitas Kinerja Instansi.
d.
Meningkatnya perencanaan program/kegiatan dan anggaran.
3)
e.
Meningkatnya pengelolaan kepegawaian, kehumasan dan peraturan perundang-undangan.
f.
Meningkatnya pelaksanaan Monev, pelaporan dan penyediaan data informasi.
Indikator Keberhasilan (output) a.
Nilai peta kerawanan penyimpangan.
b.
Nilai LAKIP.
c.
Nilai laporan Keuangan.
BAB IV PENUTUP Sebagai bagian dari perencanaan pembangunan pertanian Kementerian Pertanian 2010-2014 , tujuan dan sasaran pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian 2010-2014 akan diwujudkankan melalui program Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, Industri Hilir, Pemasaran dan Ekspor Hasil Pertanian”. Lebih lanjut program tersebut dijabarkan dalam kegiatan-kegiatan utama meliputi (1) Pengembangan Penanganan pasca Panen Hasil Pertanian, (2) Pengembangan Pengolahan Hasil Pertanian, (3) Pengembangan Mutu dan Standarisasi Pertanian, (4) Pengembangan Pemasaran Domestik, (5) Pengembangan Pemasaran Internasional, (6) Dukungan Manajemen dan Teknis lainnya pada Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Untuk mempercepat pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian perlu melibatkan berbagai komponen masyarakat selaku stake holder dan meningkatkan sinergi seluruh potensi sumber daya sehingga pemerintah lebih berperan dalam memfasilitasi, mendorong, dan memberdayakan masyarakat. Lebih lanjut kerjasama antara Eselon I lingkup Depertemen Pertanian, antara Depertemen terkait dan antara pusat dan daerah perlu dijalin dalam rangka mengatasi berbagai masalah dan kendala yang dihadapi. Kerjasama antara para aparat pelaku pembangunan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian baik internal maupun eksternal Kementerian di pusat atau daerah sangat dibutuhkan mengingat kompleksnya permasalahan sehingga membutuhkan pelibatan berbagai fungsi dan kebijakan. Dalam program Pembangunan Pertanian 2010-2014, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian melalui program ” Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, Industri Hilir, Pemasaran dan Ekspor Hasil Pertanian ” diharapkan dapat mendukung pencapaian tujuan dan sasaran Kementerian Pertanian. Setiap unit kerja Eselon II pada Ditjen PPHP mempunyai satu kegiatan yang menghasilkan output yang merupakan indicator kinerja Eselon II tersebut dan gabungan output Eselon II akan menjadi outcome bagi Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Resultante dari beberapa outcome Eselon I akan menjadi dampak yang merupakan indikator dari kinerja Kementerian Pertanian. Indikator kinerja (outcome) Ditjen PPHP adalah meningkatnya mutu, jumlah dan
jenis produk olahan pertanian; meningkatnya volume dan nilai net ekspor-impor produk pertanian.
Lampiran 1
STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERTANIAN
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Dr. Ir. Zaenal Bachruddin, M.Sc
Sekretariat Direktorat Jenderal
Direktorat Penanganan Pasca Panen
Ir. Banun Harpini, M.Sc
Ir. Agustin Zein Karnaen, M.Sc
Subbag Program Ir. Basuki Dwi Pamono, M.Sc Bagian Perencanaan Ir. Ananto Kusuma Seta, M.Sc, PhD
Bagian Keuangan dan Perlengkapan Ir. Gunawan Wibisono, M.Si
Subbag Anggaran Dr. Prayudi Syamsuri, SP.M.Si
Subbag Kerjasama Ir. Andi Arnida Massusungan Subbag Perbendaharaan Drs. Wiyono
Drs. Suprihartono
Direktorat Pemasaran Internasional
Ir. Chairul Rachman, MM
Dr. Ir. Nyoman Oka Tridjaja, M.Sc
Dr. Ir. Gardjita Budi, M Agr. St
Dr. Suryadi Abdul Munir, M.Sc
Subbag Tata Usaha Waluyo Hudiati, SH
Subdit Pasca Panen Tanaman Pangan Ir. Katrun Nida, MM
Subdit Pasca Panen Hortikultura
Seksi Teknologi Ir. Budi Irianta
Seksi Sarana Ir. Afrizul
Seksi Teknologi Ir. Siti Bibah Indrajati, MM
Subbag Tata Usaha Ir. Ahmad Djunaedi
Subdit Pengolahan Hasil Tanaman Pangan
Seksi Teknologi Ir. RR. Retno Pudjiastuti
Ir. Andrizal, MM
Seksi Sarana Ir. Budi Lestari
Subdit Pengolahan Hasil Hortikultura
Seksi Teknologi Ir. Rosita Anggraini, MM
Subdit Standardisasi Drh. Theatty Gumbirawati R, MM
Subdit Penerapan dan Pengawasan Jaminan Mutu Ir. Andjar Rochani, MM
Subdit Pasca Panen Perkebunan
Seksi Teknologi Ir. Ari Agung
Subdit Pengolahan Hasil Perkebunan
Seksi Teknologi Ir. Lucyanti
Subdit Akreditasi dan Kelembagaan
Ir. Pither Noble, MS
Seksi Sarana Ermia Soffiyessi, STP, M.Agr
Ir. Akhmad Suhardiyanto, MSc
Seksi Sarana Ir. Suharto
Mulyadi Benteng, Dipl.K
Subbag Hukum & Humas Asri Wasponingsih, SH. ME
Subbag Evaluasi Nur Asti Sumanti, S.Pi
Subbag Pelaporan dan Tindaklanjut Ir. Maria Nunik Sumartini
Subdit Pasca Panen Peternakan Ir. Efi Sofyadi, M.Sc
Seksi Sarana Ir. Nurul Farida, MM
Seksi Teknologi Ir.Freddy Abidin
Seksi Sarana Ir. Judiarso
Ir. Jamil Musanif
Subdit Pengolahan Hasil Peternakan Ir. Agus Amran, SU
Subdit Pengelolaan Lingkungan Ir. Susanto, MM
Seksi Sarana Ir. Alfiansyah
Seksi Teknologi Ir. Bambang Kuncoro, MM
Seksi Sarana Ir. Ahmad Syaripudin, SP
Seksi Tan. Pangan dan Hortikultura Dede Sulaiman, ST. M.Si Seksi Perkebunan dan Peternakan Ir. Woro Palupi
Subbag Tata Usaha Andi M. Idil Fitri, SE, MM
Subbag Tata Usaha Drs. Koesyono, MM
Subbag Perlengkapan Drs. Sudarwanto, MM
Subbag Data dan Informasi Ahmad Wiroi, S.Kom
Ir. Nazaruddin, MM
Direktorat Pemasaran Domestik
Ir. Viva Satriana, M.Eng
Subbag Tata Usaha dan Rumah Tangga Harjono, SH
Bagian Evaluasi dan Pelaporan
Direktorat Mutu dan Standardisasi
Subag Akuntansi dan Verifikasi Dra. Rini suminar
Subbag Kepegawaian Dra. Dwi Heriati
Bagian Umum
Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian
Subdit Kerjasama dan Harmonisasi Ir. Sri Sulasmi, M.Sc
Kepala Balai Pengujian Mutu Alsintan Ir. Wahyu Subandrio
Seksi Tan. Pangan dan Hortikultura Ir. Siti Pudjiarti, SP Seksi Perkebunan dan Peternakan Ir. Lili Darwita, MM Seksi Tan. Pangan dan Hortikultura Siti Noor Janah, SP Seksi Perkebunan dan Peternakan Ir. Emma Edyarti, SKM Seksi Tan. Pangan dan Hortikultura Ir. Supriyadi, MM
Seksi Perkebunan dan Peternakan Ir. Ita Istiningdiah M, MP Seksi Tan. Pangan dan Hortikultura Yusdianta, SP
Seksi Perkebunan dan Peternakan Ir.Azril Bahri
Kasubbag Tata Usaha Drs. Triyono, MM
Seksi Layanan Teknis Ir. Edy Trijono, MM
Subdit Analisis dan Informasi Pasar Ir. Wenny Astuti, MM
Subdit Promosi dan Pengembangan Pasar Ir. Maruli Indra, MSc
Subdit Pemantauan & Pengawasan Pasar Ir. Mahpudin, MM
Subdit Sarana dan Kelembagaan Pasar Ir. RN. Nurnaidah, MM
Subdit Kerjasama Pemasaran Domestik Ir. Octa Muchtar M.Econ
Seksi Tan. Pangan dan Hortikultura Ir. Mochammad Amir Seksi Perkebunan dan Peternakan Ir. Ofi Nadausoleha, SP.M,Si Seksi Tan. Pangan dan Hortikultura Ir. Sitti Aminah, Seksi Perkebunan dan Peternakan Ir. Jogarini Pramati, M.Sc
Seksi Tan. Pangan dan Hortikultura Rini Indrayani, SP Seksi Perkebunan dan Peternakan Tardi Toyib, SP. MM
Seksi Tan. Pangan dan Hortikultura Ir. Novi Suryani
Seksi Perkebunan dan Peternakan Ir. Sadaruddin
Seksi Tan. Pangan dan Hortikultura Ir. Yuliastuti Purwaningsih Seksi Perkebunan dan Peternakan Ir. Dwina Sudjayanti, M.Si
Subbag Tata Usaha Ir. Krisna Yuwana, MM
Subdit Analisis dan Informasi Pasar Ir. Tri Widjajanti, M.Ec
Subdit Promosi dan Pengembangan Pasar Ir. Gayatri K. Rana, MSc
Subdit Pemantauan dan Pengawasan Pasar Ir. Mesah Tarigan, M.Sc
Subdit Kerjasama Pemasaran Internasional Ir. Ferial Lubis, MM
Seksi Tan. Pangan dan Hortikultura Ir. Akbarsyah R. Saad, M.Sc Seksi Perkebunan dan Peternakan Ir. Resfolidia Seksi Tan. Pangan dan Hortikultura Ir. I Nyoman Gede Widhi Adnyana, MM Seksi Perkebunan dan Peternakan Ir. Aman Rachman
Seksi Tan. Pangan dan Hortikultura Komarudin, SE, M.Sc Seksi Perkebunan dan Peternakan Drh. Erlina Suyanti, M.App.Sc
Seksi Kerjasama Bilateral dan Regional Ir. Dedi Junaedi, M.Sc Seksi Multilateral Ir. Aderina Uli Panggabean, M.Agr.Sc
Lampiran 2. Matrik Strategi Pengembangan Komoditas Komoditas Beras (penurunan kehilangan hasil 0,2%/thn)
Tepung lokal (20% substitusi impor)
Jagung (Penurunan kehilangan hasil 2,5%/thn)
Rencana Aksi dan Sasaran • Pengembangan alsintan dan sertifikasi beras organik dan beras aromatik (100 ribu ton/thn) • Mempertahankan beras dalam SP • Peningkatan Promosi, misi dagang, kerjasama dengan kedutaan/ATPC • Pengembangan alsintan panen, revitalisasi RMU dan sistem pergudangan (termasuk sistem tunda jual) • Pengembangan sistem informasi pasar • Kebijakan stabilisasi harga • Pengolahan tepung cassava, sagu, ganyong • Penyusunan Kebijakan bea masuk impor terigu • Kebijakan investasi tepung (pembebasan PPH utk investor, fasilitasi sertifitasi halal dan HACCP) • Pengembangan sistem informasi pasar • Pengembangan SDM (pelaku usaha tepung) melalui SL-PPHP • Penerapan SNI wajib untuk tepung • Penerapan SNI wajib jagung
• Revitalisasi silo jagung (14 unit)
• Pembangunan silo jagung (30 unit/thn) • Pengembangan indusri pakan ternak skala kecil (60 unit/thn)
Lokasi Beras organik: OKU Timur, Lampung Tengah, Karawang, Subang, Jombang, Tasikmalaya, Pinrang, Sidrap, Bone, Sragen, Cianjur, Temanggung, Sidoarjo Beras konsumsi dalam negeri: NAD, Sumut, Sumbar, Sumsel, Lampung, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, NTB, Sulsel, Kalsel, Bali, Banten Indragiri Hilir, Seram Bagian Barat, Waropen, Riau, Trenggalek, Gunungkidul, Lampung, Garut, Pacitan, Malang, Tulungagung
Musi Banyuasin, Lombok Tengah, Tanah Laut, Bulukumba, Takalar, Maros, Soppeng, Sinjai, Bone, Pinrang, Jeneponto, Tojo Una-una, Pahuwato, Bolmong Prop prioritas: Sumut, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, NTT, Sulsel, Sulut, Gorontalo Prop prioritas: Sumut, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, NTT, Sulsel, Sulut, Gorontalo
Kedele
Buah tropika (penurunan kehilangan hasil 25%/thn, Pertumbuhan ekspor 15%/thn)
• Pengembangan pengolahan pangan (kering dan basah), tepung jagung, beras jagung, pati jagung, minyak jagung, dextrim dan asam organik dari jagung skala kecil menengah • Kebijakan kelembagaan penyangga harga, kebijakan bea masuk, SPS • Pengembangan kemitraan • Pengembangan sistem informasi pasar • Pengembangan SDM melalui SL-PPHP • Sosialisasi dan penerapan SNI kedele • Mesin perontok multi guna • Pengembangan pengolahan makanan fermentasi dan nonfermentasi(tahu, tempe), minyak kedele, tepung konsentrat, pakan skala kecil dan menengah. • Pengembangan sistem informasi pasar • Kebijakan bea masuk, SPS • Peningkatan SDM melalui SL-PPHP • Penataan rantai pasokan • Peningkatan indeks panen, metode dan waktu panen • Penangan sortasi, grading, packing, dan penyimpanan. • Pengembangan sistem rantai pendingin (Cool Chain Management) • Pengembangan sarana dan peningkatan efisiensi transportasi • Pengembangan teknologi pascapanen untuk peningkatan daya saing produk segar (minimali proses) • Pengembangan unit pengolahan hasil (nata, puree, sari buah, selai, jelli, pati/tepung, dodol, squash) skala kecil dan menengah • Penerapan GAP, registrasi/sertifikasi kebun dan packing house, GHP, GMP. • Pengembangan sistem informasi pasar • Penerapan kebijakan SPS, tarif bea masuk • Peningkatan SDM melalui SL-PPHP
Prop prioritas: Sumut, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, NTT, Sulsel, Sulut, Gorontalo
NAD, Lampung, Sumbar, Jabar, Jateng, Jatim, NTB.
Jateng, Jatim, DIY, Banten, Kalbar, Sulsel, Lampung, Kaltim,
Biofarmaka (peningkatan ekspor 20%/thn)
Sawit (25% peningkatan ekspor CPO dan produk olahannya)
Kakao (100% kakao fermentasi, 50% dlm bentuk olahan)
Karet (70% penerapan SNI, 10% peningkatan ekspor)
• Penataan rantai pasokan • Sosialisasi dan penerapan SNI • Penerapan GAP, GHP, GMP. • Pengolahan biofarmaka kering, granule, tepung, minuman, jus, nata, jelli, dan bahan baku obat. • Pengembangan kemitraan • Pengembangan sistem informasi pasar • Kebijakan pembiayaan • Peningkatan SDM melalui SL-PPHP • Pengembangan produk turunan CPO, biodiesel, arang tempurung, minyak goreng, pakan ternak skala keci dan menengah. • Kebijakan tarif bea keluar • Penerapan GMP, HACCP • Advokasi pembangunan pelabuhan CPO dan sarana transportasi • Pengembangan kemitraan • Kebijakan advokasi negative campaign • Penerapan RSPO • Peningkatan SDM melalui SL-PPHP • Penerapan SNI wajib fermentasi • Kebijakan untuk insentif industri pengolahan dalam negeri • Kebijakan bea keluar • Pengembangan pengolahan bubuk, lemak, pasta. • Pengembangan sistem informasi pasar • Pengembangan sistem tunda jual • Pengembangan promosi • Pengembangan kemitraan • Kebijakan registrasi untuk importir • Peningkatan SDM melalui SL-PPHP • Penerapan SNI wajib • Gerakan nasional bahan olah karet (bokar) bersih • Pengolahan lateks pekat, remah/crumb rubber, slab, lump dan sheet berkelanjutan
Jabar, Jateng, Jatim, Bangka Belitung, Sumatera Barat, Maluku
Sumut, Riau, Sumsel, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Papua
Sulsel, Sulbar, Sultra, Sulteng, Sumbar, Gorontalo, Bali, NTT, Papua, Kalbar, Jatim
Sumsel, Bengkulu, Kalsel, Kalteng, Kaltim, Papua
Kopi (100% sertifikasi kopi specialty dan organik, 15% peningkatan ekspor)
Tebu (mendukung swasembada gula industri)
Susu (50% substitusi impor)
Kebijakan pembiayaan Kebijakan Insentif industri dalam negeri Pengembangan kemitraan Pengembangan sistem tunda jual Pengembangan promosi Pengembangan sistem informasi pasar Pengembangan SDM melalui SL-PPHP Penerapan SNI wajib Sertifikasi GI Pengembangan kopi specialty, dan organik Pengolahan kopi (bubuk kopi) Kebijakan pembiayaan Kebijakan Insentif industri dalam negeri Pengembangan kemitraan Pengembangan sistem tunda jual Pengembangan promosi Pengembangan sistem informasi pasar Pengembangan SDM melalui SL-PPHP Penerapan SNI wajib Pengembangan olahan (gula pasir, tetes, pakan ternak) Revitalisasi pabrik gula Kebijakan pembiayaan Kebijakan Insentif industri dalam negeri Pengembangan kemitraan Pengembangan sistem tunda jual Pengembangan promosi Pengembangan sistem informasi pasar Pengembangan SDM melalui SL-PPHP Penerapan SNI wajib Pengembangan pengolahan susu pasteurisasi, UHT, yoghurt, susus bubuk, susu kental manis, makanan olahan dari susu dan keju) • Penerapan HACCP, GHP, GMP. • Kebijakan importasi susu • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
NAD, Sumut, Lampung, Jatim, Jabar, Jateng, Bali, Sulsel.
Jabar, Jateng, Jatim, DIY, Lampung, Sulsel, Papua, Kalbar
Bengkulu, Jabar, DIY, Jateng, Jatim, Sulsel
• • • • • •
Kebijakan pembiayaan Kebijakan Insentif industri dalam negeri Pengembangan kemitraan dengan pola cluster Pengembangan promosi Pengembangan sistem informasi pasar Pengembangan SDM melalui SL-PPHP
Lampiran 3.
NO 7.
7.1
7.2
7.3
PROGRAM/KEGIATAN PRIORITAS Program Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, Industri Hilir, Pemasaran dan Ekspor Hasil Pertanian
Pengembangan penangangan pasca panen pertanian (Prioritas Nasional dan Bidang)
Matrik Target dan Pendanaan Program Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, Industri Hilir, Pemasaran dan Ekspor Hasil Pertanian SASARAN Meningkatnya usaha pengolahan dan pemasaran hasil pertanian berkelanjutan
Meningkatnya penanganan pasca panen hasil pertanian
Pengembangan pengolahan hasil pertanian Berkembangnya pengolahan hasil (Prioritas Nasional dan Bidang) pertanian yang berkelanjutan
Pengembangan mutu dan standardisasi pertanian (Prioritas Nasional dan Bidang)
Meningkatnya mutu dan keamanan pangan hasil pertanian
2010
2011
2012
2013
2014
► % penurunan kehilangan/kerusakan hasil tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan
Menurun 0,2 – 5% /thn
Menurun 0,2 – 5% /thn
Menurun 0,2 – 5% /thn
Menurun 0,2 – 5% /thn
Menurun 0,2 – 5% /thn
► % peningkatan produk dan jenis olahan hasil pertanian yang bermutu untuk ekspor dan substitusi impor
5%/thn
5%/thn
5%/thn
5%/thn
5%/thn
► % peningkatan jumlah lembaga pemasaran petani dan penyerapan pasar hasil pertanian di pasar domestik
5%/thn
5%/thn
5%/thn
5%/thn
5%/thn
► % peningkatan ekspor dan surplus neraca perdagangan hasil pertanian
15%/thn
15%/thn
15%/thn
15%/thn
15%/thn
► Jumlah kelompok tani yang menerapkan penanganan pasca panen sesuai GHP dan standar mutu
1800 poktan/ gapoktan
1980 poktan/ gapoktan
2178 poktan/ gapoktan
2396 poktan/ gapoktan
► % Peningkatan produksi kakao fermentasi, karet bokar, mete
10 %/thn
10 %/thn
10 %/thn
► % Peningkatan produksi pakan ternak berbahan baku lokal
10 %/thn
10 %/thn
► Jumlah usaha pengolahan hasil pertanian yang bernilai tambah dan berdaya saing
1200 unit
► % Peningkatan agroindustri susu segar ► % Peningkatan produksi tepung cassava fermentasi ► % Peningkatan produksi gula rakyat non tebu. ► Jumlah usaha pasca panen dan pengolahan yang menerapkan sistem jaminan mutu.
Pengembangan pemasaran domestik (Prioritas Bidang)
Meningkatnya pemasaran hasil pertanian
7.5
Pengembangan pemasaran internasional (Prioritas Nasional dan Bidang)
Meningkatnya pemasaran internasional hasil pertanian
7.6
Dukungan manajemen dan dukungan teknis Meningkatnya manajemen pengolahan dan pemasaran hasil lainnya pada Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian pertanian
ALOKASI ANGGARAN BASELINE KEGIATAN (Milyar Rp) 2010 2011 2012 2013 2014 326,81
431,06
569,03
751,75
993,89
2636 poktan/ Gapoktan
5,50
7,21
9,44
12,36
16,20
10 %/thn
10 %/thn
16,60
21,75
28,49
37,32
48,89
10 %/thn
10 %/thn
10 %/thn
13,20
17,29
22,65
29,67
38,87
1200 unit
1200 unit
1200 unit
1200 unit
111,13
148,91
199,54
267,39
358,30
10 %/thn
10 %/thn
10 %/thn
10 %/thn
10 %/thn
9,50
12,73
17,06
22,86
30,63
5 %/thn
5 %/thn
5 %/thn
5 %/thn
5 %/thn
4,70
6,30
8,44
11,31
15,15
10 %/thn
10 %/thn
10 %/thn
10 %/thn
10 %/thn
0,50
0,67
0,90
1,20
1,61
19,07
25,93
35,27
47,96
65,23
330 unit
330 unit
330 unit
330 unit
330 unit
+ 54 unit organik
+ 54 unit organik
+ 54 unit organik
+ 54 unit organik
+ 54 unit organik
42 sertifikat
42 sertifikat
42 sertifikat
42 sertifikat
42 sertifikat
3,50
4,76
6,47
8,80
11,97
► Jumlah kelembagaan pemasaran bagi petani
186 pasar
195 pasar
205 pasar
214 pasar
223 pasar
43,48
57,40
75,76
100,01
132,01
► Jumlah hasil pertanian yang diserap pasar dalam negeri
0%
2%
3%
4%
5%
12,00
15,84
20,91
27,60
36,43
► % Peningkatan kerjasama pasar modern dan tradisional
10 %/thn
10 %/thn
10 %/thn
10 %/thn
10 %/thn
2,50
3,30
4,36
5,75
7,59
► % Peningkatan jaringan informasi harga antar Kab/Kota
10 %/thn
10 %/thn
100 kab/thn
100 kab/thn
100 kab/thn
6,50
8,58
11,33
14,95
19,73
33,46
44,84
60,09
80,52
107,89
3,76
4,62
5,69
6,99
8,60
41,41
50,93
62,64
77,05
94,77
653,61
862,11
1138,06
1503,50
1987,78
► Jumlah pengujian mutu alat mesin pertanian 7.4
TARGET
INDIKATOR
Jumlah ekspor dan surplus neraca perdagangan hasil pertanian
Meningkat 15% Meningkat 15% Meningkat 15% Meningkat 15% Meningkat 15% dan meningkat dan meningkat dan meningkat dan meningkat dan meningkat 30% 30% 30% 30% 30%
► Nilai peta kerawan penyimpangan
Putih
Putih
Putih
Putih
Putih
► Nilai laporan akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)
Gold
Gold
Gold
Gold
Gold
WTP
WTP
WTP
WTP
WTP
► Nilai laporan keuangan ► Nilai layanan publik
Meningkat 25% Meningkat 25% Meningkat 25% Meningkat 25% Meningkat 25%
► Perencanaan, Keuangan dan kepegawaian
peningkatan peningkatan peningkatan peningkatan peningkatan kualitas SDM & kualitas SDM & kualitas SDM & kualitas SDM & kualitas SDM & manajemen manajemen manajemen manajemen manajemen
TOTAL = Rp.6145.07 Milyar (Rp.6,14507 Trilyun)
98