100 Hari Pemerintahan SBYBoediono: Timpangnya Kebijakan Makroekonomi dengan Kesejahteraan Rakyat
Jakarta, 31 Januari 2010
Catatan INFID atas program 100 Hari SBY-Boediono
Program 100 Hari, Kejar Setoran, Sulit Diukur dan Tidak Menjawab Persoalan Mendasar Æ Kejar setoran: pemulangan buruh migran Indonesia bermasalah dan pengembalian sukarela WNI asal Papua & Papua Barat ke wilayah NKRI sebanyak 302 orang Æ Sulit Diukur: Peningkatan kesehatan lingkungan berupa pembangunan sarana air minum di 1.379 lokasi/kawasan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan pembangunan sanitasi masyarakat di 61 lokasi, penyelesaian penyediaan akses telepon di 32 provinsi, mencakup 25.000 desa (Desa Berdering), penyediaan Internet bagi pendidikan dasar 9 tahun di 17.500 sekolah dan peningkatan pelayanan pada 76,4 juta penduduk miskin dalam sistem jaminan kesehatan, dengan anggaran sebesar 4,6 triliun Æ Tidak Menjawab Persoalan Mendasar: Matriks Program 100 hari tidak mencerminkan kehendak untuk membangun pondasi kebijakan untuk menjawab persoalan kemerosotan kualitas hidup manusia Indonesia dan ancaman kegagalan Indonesia dalam pencapaian MDGs pada tahun 2015
Cont’
Menurunnya Kualitas Hidup Manusia Indonesia Æ
Æ
Dalam human development report UNDP tahun 2009, Indonesia berada pada peringkat 111, lebih buruk ketimbang Srilanka dan Palestina yang masih diguncang perang. Indikasi buruknya kualitas hidup manusia Indonesia dibuktikan dengan adanya peningkatan angka kematian ibu melahirkan dari 307/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002 menjadi 420/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2009 Peringkat kualitas hidup manusia Indonesia (yang tercermin dari Human Development Index yang dikeluarkan UNDP) makin merosot dari tahun ke tahun, kalau pada tahun 2006 berada di peringkat 107, tahun 2007-2008 berada di peringkat 109, maka pada tahun 2009 makin merosot ke peringkat 111
Cont’
Status Pencapaian MDGs Indonesia Masih off the track Æ
Æ
Situasi pencapaian MDGs di Indonesia yang masih berada pada posisi “off the track” terutama untuk bidang kesehatan balita, penanganan HIV-AIDS, kematian ibu melahirkan, pelayanan sanitasi dan air bersih, kerusakan hutan dan kontribusi bagi pemanasan global Durasi waktu pemerintahan SBYBoediono berada dalam 5 tahun terakhir tahapan MDGs, namun ternyata tidak memiliki roadmap untuk (percepatan) pencapaian MDGs untuk mengejar ketertinggalan dari situasi “off the track” selama sepuluh tahun terakhir (20002010)
Cont’
Tidak Terpenuhinya Kebutuhan Pangan Penduduk Æ
Æ
Æ
Pemerintah membiarkan melonjaknya harga pangan pokok. Padahal hampir 50% penduduk Indonesia berpendapatan di bawah 2 USD (dua dollar). Pemerintahan SBY-Boediono juga abai terhadap kewajibannya untuk memenuhi hak rakyat atas pangan yang layak dan aman sebagaimana diatur dalam Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Menurut Laporan FAO mengenai “Food Crisis”, Indonesia berpotensi mengalami “silent tsunami”, kematian massal akibat kelaparan. Situasi ini telah terjadi di Yahukimo (Papua) dan gejala busung lapar di NTT dan beberapa wilayah Indonesia lainnya. Kelaparan juga menjadi ancaman bagi daerah-daerah di Indonesia yang mengalami kebencanaan dan kerusakan ekologi Keterikatan Indonesia dalam WTO yang membawa konsekuensi politik anti proteksionisme, juga membawa implikasi buruk pada kesejahteraan kaum petani yang tak bisa lagi berharap memperoleh kesejahteraan dari prosuk pertanian, karena membanjirnya impor produk-produk pertanian
Cont’
Bertambahnya Beban Utang Luar Negeri Æ
program-program pengentasan kemiskinan seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) akan terus dilanjutkan tetapi dengan biaya utang luar negeri. Selama 100 hari pertama pemerintahan SBY-Boediono terus menambah beban utang luar negeri. Bank Pembangunan Asia (ADB) telah mengalokasikan dana sebesar 200 juta USD dan Bank Dunia 600 juta USD untuk program yang sama yaitu Development Policy
Support Program.
Æ
Æ
Æ
Di dalam pertemuan puncak perubahan iklim (COP 15 UNFCCC) di Kopenhagen pertengahan Desember 2009, delegasi Indonesia yang dipimpin langsung oleh Presiden SBY juga telah mendapatkan komitmen utang baru untuk perubahan iklim. Total keseluruhan utang pemerintah pusat sampai tahun 2009 mencapai Rp 1.618 triliun. Selama 100 hari pertama pemerintahan SBY-Boediono, diplomasi ekonomi yang dilakukan adalah semakin menambah utang, bukan diplomasi untuk mengurangi beban utang
Cont’
Kebijakan makroekonomi berbasis finansial, mengabaikan program sosial ¾ ¾
¾
¾
Kebijakan makroekonomi berbasis kinerja finansial Bercermin pada sistem ekonomi pasar bebas negara-negara maju ini didukung oleh kebijakan perdagangan dan investasi Terikat pada kesepakatan Cina-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) yang kemungkinan besar akan melibas produkproduk lokal, membangkrutkan industri-industri nasional dan berpotensi menciptakan jutaan penganggur baru Kebijakan makroekonomi berpotensi menjauhkan diri dari pencapaian MDGs pada tahun 2015
Cont’
Praktek Hukum yang Tidak Adil Æ Berbagai persoalan hukum yang mengusik rasa keadilan masyarakat secara berturut-turut terjadi antara lain kasus Prita, Mbah Minah, mafia peradilan/hukum, kasus korupsi dan berbagai bentuk kriminalisasi pada kelompok masyarakat sipil dan jurnalis Æ Meningkatnya kekerasan berbasis gender dan kekerasan terhadap anak, penggusuran dan pengusiran terhadap masyarakat miskin kota dan pekerja sektor informal serta kelompok masyarakat minoritas dan termarginal justru terjadi pada awal pemerintahan SBY-Boediono. Sebagian besar tindak kekerasan yang terjadi, didukung oleh aparat keamanan
CATATAN KEGAGALAN PROGRAM 100 HARI 1.
2. 3.
4.
Gagal mewujudkan kedaulatan negara dalam bidang ekonomi yang juga berimbas pada kedaulatan politik Æterlihat dari ketergantungan Indonesia dalam pembiayaan pembangunan yang bersumber dari utang luar negeri Gagal mengimplementasikan instrumen-instrumen pokok HAM di Indonesia Gagal memberikan jaminan rasa aman dan perlindungan bagi warga negara Indonesia, terutama bagi kaum perempuan, anak-anak, masyarakat adat, buruh migran dan kelompok minoritas berdasar agama dan orientasi seksual Gagal membangun fundamen ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat
Menanggapi pernyataan Presiden SBY
Program 100 hari adalah bagian kecil dari program pemerintah hingga lima tahun mendatangÆ meskipun dikatakan sebagai program 100 hari, tapi pemerintah sekarang sama dengan pemerintahan sebelumnya karena pemimpin pemerintahannya sama. Bahkan beberapa menteri yang sebelumnya menjabat di KIB I, sekarang duduk di KIB II. Keberhasilan program 100 hari KIB II adalah klaim sepihak pemerintahan SBY-Boediono. Kritik atas program 100 hari yang meluas dalam bentuk demonstrasi di berbagai wilayah di Indonesia adalah bukti adanya ketidakpercayaan atas klaim tersebut. Program yang dikatakan berhasil dilakukan dalam 100 hari, yakni: Pembentukan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum Æ hanya semacam kosmetik belaka karena kalau pemerintah mau serius, pemerintah harus jujur dengan aliran dana bailout century), Perbaikan pelayanan publik (masalah trasportasi sampai sekarang belum mampu diatasi pemerintah. Jakarta kelebihan kendaraan bermotor yang menyebabkan kemacetan sementara daerah miskin tidak memiliki sarana transportasi yang memadai) Pembenahan infrastruktur (infrastruktur masih berpusat di kota-kota besar terutama Jakarta, sementara kota-kota kecil masih jauh tertinggal) Pemulangan TKI bermasalah (masalah buruh migran tidak akan selesai hanya dengan memulangkan TKI bermasalah, masih banyak masalah fundamental lainnya seperti diplomasi perlindungan buruh migran, belum diratifikasinya Konvensi Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, kebijakan-kebijakan penempatan buruh migran yang diskriminatif dan korupsi menggurita dalam proses penempatan buruh migran)
Terima kasih