1 Soft tissue profile changes after treatment of class iii malocclusion without surgery (Case report) Drg. I Dewa Gde Budijanana, SpOrt. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRACT The purpose of this study was to evaluate the chephalometric changes that occurred during the correction of Class III malocclusion. A 13-years- old girl patient presented with a 2 mm anterior crossbite, 1 mm anterior openbite, and concave fasial profile. After treatment, dramatic overjet and overbite change was noted. The SNA angle increased 1° whereas SNB decreased 3°. A remarkable soft tissue change was noted after the treatment, and concave fasial profile changed to straight profile. Key words : Class III malocclusion; soft tissue changes Korespondensi : Drg. I Dewa Gde Budijanana, SpOrt., Bagian Ortodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11 A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701, Fax. (0361) 261278.
PENDAHULUAN Estetik merupakan alasan utama penderita maloklusi Klas III Angle untuk mencari perawatan orthodonsia, dan perubahan jaringan lunak profil merupakan salah satu indikator keberhasilannya. Hal ini disebabkan karena penderita maloklusi Klas III lebih mementingkan profil daripada oklusi. Diagnosa yang tepat tentang komponen dental dan skeletal yang mempengaruhi terjadinya maloklusi adalah penting untuk menentukan rencana perawatan yang tepat1, Elsenhauer et al mengatakan bahwa analisa Wits appraisal dapat digunakan secara efektif untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan tindakan bedah pada perawatan maloklusi Klas III. Disampaikan bahwa nilai Wits appraisal untuk kelompok non bedah adalah -4,61 ± 1,70 sedangkan nilai untuk kelompok bedah adalah -12,21 ± 4,25.2 Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengevaluasi perubahan jaringan lunak profil penderita maloklusi Klas III skeletal yang dirawat tanpa bedah. Hasil perawatan ini memberikan imformasi bahwa dengan diagnosa dan rencana perawatan yang tepat, perawatan maloklusi Klas III tanpa bedah dapat memberikan hasil yang cukup efektif. LAPORAN KASUS Penderita perempuan umur 13 tahun hadir dengan gigitan silang anterior dengan overjet -3 mm, gigitan terbuka dengan overbite -1 mm, serta berdesakan anterior rahang atas dan profil cekung. Pada kedua sisi memperlihatkan relasi molar pertama dan caninus mesioklusi. Profil cekung disebabkan oleh retrusi maksila. Hasil analisa cephalometri terangkum pada tabel 1.
2
Gambar 1. Foto-foto fasial dan dental sebelum perawatan
DIAGNOSA Maloklusi Klas III Angle dengan gigitan silang anterior, gigitan terbuka, berdesakan anterior rahang atas, dan profil cekung. RENCANA PERAWATAN 1. Koreksi gigitan silang 2. Koreksi gigitan terbuka 3. Koreksi berdesakan 4. Fase retensi PERAWATAN Standard edgewise technic digunakan selama perawatan. Setelah pencabutan molar pertama kiri bawah, dilakukan banding dan bonding pada gigi-gigi. Unravelling dan levelling dengan kawat stainless steel .014 dan .016. Selanjutnya protraksi anterior rahang atas dan lingual root torque gigi-gigi anterior rahang bawah dengan kawat rectangular .019 x .025. Diastema sebagai hasil protraksi rahang atas ditutup dengan mesialisasi gigi-gigi posterior sekaligus untuk memperoleh relasi molar dan kaninus yang netroklusi. Elastik Klas III dan elastik vertikal digunakan untuk menyempurnakan relasi gigi-gigi. HASIL PERAWATAN Foto fasial memperlihatkan perbaikan profil fasial yang cukup menonjol. Relasi molar dan kaninus netroklusi dengan overjet dan overbite yang normal. Hasil analisa cephalometri sebelum dan sesudah perawatan (tabel 1) memperlihatkan beberapa perubahan yang positif. Titik “A” bergeser anterior sedangkan titik “B” bergeser ke lingual. Hal ini akan meningkatkan kecembungan muka.
3
Gambar 2. Foto-foto fasial dan dental setelah perawatan.
Tabel 1. Analisa cephalometri sebelum dan sesudah perawatan SNA SNB ANB NAP Wits 1 - RA 1 - RB ∟ Facial ∟ Nasolabial Protrusi bibir atas Protrusi bibir bawah Tinggi muka tengah Tinggi muka bawah Lip taper Interlabial gap
Sebelum 77 79 -2 -3 -2 107 76 0 87 6 6 21 48 12/14 2
Sesudah 78 76 2 1 2 111 85 7 85 6 4 23 52 13/14 1
DISKUSI Untuk memperoleh estetik fasial yang optimum pada perawatan kasus ini harus dilakukan peningkatan sudut fasial, peningkatan sudut nasolabial, perbaikan protrusi bibir, dan menurunkan jarak interlabial. Sesuai dengan pendapat Lin dan Gu 2006, perbaikan kontur fasial yang terjadi setelah perawatan kasus ini berhubungan dengan adanya perubahan pada posisi gigi dan bibir. Pergerakan bibir atas kedepan karena adanya protraksi gigi-gigi insiciv rahang atas dan pergerakan kebelakang pada bibir bawah karena adanya retraksi (lingual root torque) gigigigi insiciv rahang bawah. Hal ini juga memperbaiki relasi rahang atas terhadap rahang bawah karena adanya pergerakan titik “A” ke anterior dan sebaliknya pergerakan titik “B” ke lingual.3 Peneliti sebelumnya menyatakan bahwa retraksi gigi insiciv rahang atas secara klinis dapat menyebabkan panjang bibir bawah bertambah yang selanjutnya berperanan atas terjadinya penurunan jarak interlabial dan peningkatan komponen jaringan lunak bagian bawah. Jarak interlabial dapat dikoreksi melalui retraksi gigi-gigi anterior. Retraksi gigi insicif menyebabkan bibir bergerak ke lingual mengikuti pergerakan gigi, bibir bertambah panjang sehingga selanjutnya bibir dapat menutup dengan baik. Setiap pergerakan 1 mm gigi insicif rahang atas diikuti oleh pergerakan bibir 3 mm, sedangkan pergerakan 1mm gigi insicif rahang bawah diikuti pergerakan bibir bawah 1mm.4 Para ahli sepakat bahwa sudut nasolabial dapat berubah karena adanya pergerakan gigi akibat perawatan ortodonti. Besar sudut nasolabial hampir tidak berubah akibat pertumbuhannya. Melalui perawatan ortodonsia terjadi peningkatan sudut nasolabial yang cukup signifikan bila dilakukan retraksi insicif rahang atas. Peningkatan ini disertai bertambahnya tinggi muka bagian bawah. Sudut nasolabial digunakan untuk mengevaluasi posisi anteroposterior dari maksila dan pada umumnya meningkat karena adanya peningkatan posisi hidung atau karena adanya perubahan posisi bibir yang cenderung miring kebelakang. Pada sudut nasolabial yang tajam (lebih kecil dari normal) dapat dikoreksi dengan retraksi insicif RA atau memundurkan maksila melalui operasi. Sebaliknya pada sudut nasolabial yang tumpul (lebih besar dari normal) dapat dikoreksi dengan protraksi insicif RA atau memajukan maksila. Perubahan sudut nasolabial 90 % disebabkan oleh perubahan posisi bibir sebagai akibat dari retraksi insicif.
4 Relasi basis mandibula dan maksila, derajat kecembungan skeletal, dan relasi gigi dengan basis apikalnya akan berpengaruh terhadap jaringan lunak profil. Subtelny, melaporkan bahwa perawatan ortodonti dan pertumbuhan dapat mempengaruhi posisi bibir. Disimpulkan bahwa posisi bibir sangat berhubungan dengan struktur dari tulang alveol dan gigi yang ada disekitarnya.1Salah satu perawatan maloklusi Klas III untuk memperoleh profil fasial yang maksimal, adalah melalui rotasi mandibula kebawah dan kebelakang. Hal ini salah satunya dapat diperoleh pada penggunaan elastik Klas III.4 Dari perawatan kasus ini dapat diinformasikan bahwa diagnosa dan rencana perawatan harus ditetapkan dengan tepat sebelum memutuskan perlu tidaknya tindakan bedah pada perawatan maloklusi Klas III DAFTAR PUSTAKA 1. Kilicoglu H, Kirlic Y. Profile changes in patients with class III malocclusions after Delaire mask therapy. Am J Orthod Dentofacial Orthop 1998;113:453-62. 2. Elsenhauer AS, Lux CJ, Schulster G. Treatment decision in adult patient with Class III malocclusion: orthodontic therapy or orthognatic surgery. Am J Orthod Dentofacial Orthop 2000;122:27-38. 3. Lin J, Gu Y. Lower second molar extraction in correction of severe skeletal Class III malocclusion. Angle Orthod 2006;76:217-225. 4. Burstone CJ, Marcotte MR. Goal oriented treatment strategies. In : Problem Solving in Orthodontics. Quintessecense Publishing Co, 2000:19-23. 5. Burstone CJ. The integumental profile. In : Elsenhauer AS, Lux CJ, Schulster G. Treatment decision in adult patient with Class III malocclusion : orthodontic therapy or orthognatic surgery. Am J Orthod Dentofacial Orthop 2000;122:27-38.
Masalah gigi mulut dan penatalaksanaan pada anak penderita sindroma down Eko Sri Yuni Astuti, Putu Yetty Nugraha dan Lidya Yasi Pilimon Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRAK Sindroma down merupakan suatu kondisi keterbelakangan perkembangan mental dan fisik anak karena adanya perkembangan kromosom 21 yang terjadi secara abnormal. Kelainan genetik tersebut berdampak pada kondisi kesehatan umum dan pertumbuhan dentokraniofasial penderita. Masalah gigi dan mulut yang timbul akibat kelainan genetik pada penderita sindroma down, seperti : kelainan gigi dalam hal bentuk, ukuran dan jumlah, keterlambatan erupsi gigi, karies gigi, kebiasaan bernafas melalui mulut, maloklusi dan penyakit periodontal. Berbagai macam penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk masalah gigi dan mulut pada penderita sindroma down adalah dengan melakukan tindakan konservasi gigi, perawatan ortodontik, prostodontik, pencabutan gigi, skeling dan root planning. Kata Kunci : Sindroma Down, Masalah Gigi dan Mulut, Penatalaksanaan Korespondensi : Eko Sri Yuni Astuti, Bagian IKGA, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11 A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701, Fax. 261278
PENDAHULUAN Sindroma down pertama kali dikenalkan oleh Dr. John Langdon Down tahun 1866. 1 Oleh para ahli dari Amerika dan Eropa pada tahun 1970, nama ”mongoloid” direvisi menjadi ”down’s syndrome” sesuai dengan nama penemu pertama kali.2 Masih ada yang beranggapan bahwa sindroma down merupakan penyakit menular dan keturunan yang disebabkan oleh kekurangan gizi, akan tetapi anggapan tersebut tidaklah benar.3 Penderita sindroma down sering mengalami gangguan pada kondisi kesehatan mental dan fisik, terutama masalah pada gigi geliginya.4 Brown melaporkan bahwa sebanyak 90% penderita sindroma down memerlukan tindakan perawatan gigi.5 Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana ciri – ciri fisik, kondisi kesehatan anak penderita sindroma down secara umum, dan kondisi gigi geligi serta penatalaksanaannya. SINDROMA DOWN Sindroma down adalah suatu kelainan pada perkembangan mental dan fisik seseorang pada saat dilahirkan akibat adanya abnormalitas perkembangan kromosom 21, seperti terjadinya retardasi mental berat, kranium kecil, jembatan hidung datar, ruas – ruas jari pendek antara jari tangan dan kaki yang pertama serta kedua.6,7 Sindroma down dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu: trisomi 21, sindroma down tipe translokasi dan sindroma down tipe mosaik.5 Trisomi 21 terjadi karena adanya ekstra kromosom pada rantai nomor 21 dan disebabkan karena pembelahan sel secara abnormal selama perkembangan sel sperma atau sel telur, kasus ini terjadi sebanyak 94%8. Sindroma down tipe translokasi merupakan suatu kelainan kromosom yang terjadi karena lengan pada rantai kromosom 21 melekat pada rantai kromosom 14, sedangkan pada sindroma down tipe mosaik terjadi pembelahan sel dengan tidak tepat sementara sel lainnya tetap bereproduksi secara normal sehingga beberapa sel memiliki jumlah kromosom 46 dan sel lainnya 47 kromosom.1 Secara umum penderita sindroma down memiliki kekhasan fisik, seperti : bentuk kepala relatif kecil dengan bagian belakang agak mendatar (brachycephaly) dan bentuk wajah bulat (rounded face), hidung datar dan kecil (flattened nasal bridge), lidah sering terjulur keluar (protruding tongue), berat badan kurang seimbang pada bayi baru lahir namun pada usia remaja penderita mengalami obesitas, tangan dan jari – jari pendek, jari kelingking melingkar ke dalam dan terdapat satu garis melintang pada telapak tangan, serta hipotonia (otot yang lemah) yang menyebabkan pertumbuhan terganggu dan sang anak menjadi lebih lambat dalam belajar berjalan dan berbicara.9,3 Kelainan kromosom pada penderita sindroma down dapat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan fisik anak, yaitu : hipotonia, penyakit jantung bawaan, infeksi telinga bagian tengah atau dalam dan infeksi saluran pernafasan kronis. Selain mengakibatkan gangguan dalam kesehatan fisik, kelainan perkembangan kromosom 21 dapat mempengaruhi kondisi psikis penderita sindroma down yakni menyebabkan terjadinya keterbelakangan mental.10
1
MASALAH GIGI DAN MULUT PADA ANAK PENDERITA SINDROMA DOWN Abnormalitas pertumbuhan dentokraniofasial pada penderita sindroma down menyebabkan terjadinya beberapa masalah yang kompleks pada gigi dan rongga mulut, adapun kelainan tersebut adalah : 1). Kelainan Gigi Jenis kelainan gigi pada penderita sindroma down meliputi kelainan bentuk, ukuran dan jumlah.11 Kelainan gigi yang terjadi dalam hal ukuran adalah mikrodonsia, sedangkan dalam hal bentuk yaitu mahkota gigi berbentuk konus.12 Kelainan gigi dalam hal jumlah yang dialami penderita sindroma down adalah anodonsia sebagian dan gigi supernumerari.13 2). Keterlambatan Erupsi Gigi Keterlambatan erupsi gigi pada anak dengan sindroma down dipengaruhi oleh faktor genetik dan aktivitas otot.11 Salah satu faktor genetik yang mempengaruhi keterlambatan erupsi gigi pada anak dengan sindroma down adalah penyakit hipofosfatasia dan kelainan aktivitas otot orofasial.2 3). Karies Gigi Karies gigi merupakan penyakit jaringan gigi yang ditandai dengan kerusakan jaringan, dimulai dari permukaan gigi dan dapat meluas ke pulpa gigi.14 Penderita sindroma down memiliki karies gigi yang lebih sedikit dibandingkan dengan anak – anak dan orang dewasa yang normal, hal ini disebabkan keterlambatan erupsi gigi sulung dan gigi permanen, tidak adanya benih gigi permanen dan ukuran gigi kecil dengan jarak diantara gigi – gigi tersebut lebar sehingga plak mudah dibersihkan.4 4). Bernafas Melalui Mulut Penderita sindroma down juga memiliki kebiasaan bernafas melalui mulut. Hal ini disebabkan oleh bentuk hidung yang kecil dan datar, sinus maksilaris sempit serta protrusi lidah.4 5). Maloklusi Kebiasaan bernafas melalui mulut pada anak dengan sindroma down dapat menyebabkan terjadinya maloklusi yaitu gigitan terbuka anterior, hal ini dipengaruhi oleh mulut pasien yang kecil dengan lidah tebal dan pangkal mulut cenderung dangkal sehingga lidah sering terjulur keluar.15 Gigitan terbuka anterior didefinisikan sebagai ketiadaan kontak antara gigi insisif rahang atas dan bawah dalam relasi sentris, disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara otot lidah dan bibir.16 Kasus gigitan terbuka anterior pada penderita sindroma down dapat mengakibatkan kelainan fonologik yaitu mengakibatkan terjadinya gangguan mastikasi dan kesulitan dalam mengucapkan huruf vokal.13,8 6). Penyakit Periodontal Penyakit periodontal yang dialami oleh 90 - 96% penderita sindroma down disebabkan oleh faktor lokal dan sistemik.3,5 Salah satu faktor lokal penyebab terjadinya penyakit periodontal pada penderita sindroma down adalah kebersihan rongga mulut kurang karena adanya plak atau kalkulus.5 Faktor sistemik yang menjadi penyebab penyakit periodontal, antara lain : kelainan genetik pada penderita sindroma down dan leukemia yang menyertai kondisi kelainan genetik tersebut.17 PEMBAHASAN Sindroma down merupakan suatu kelainan pada perkembangan mental dan fisik seseorang pada saat dilahirkan karena adanya abnormalitas perkembangan kromosom 21.6 Abnormalitas perkembangan kromosom 21 dipengaruhi oleh adanya kegagalan pembelahan sel, kondisi ini akan menghasilkan tambahan kromosom pada rantai 21 sehingga berjumlah tiga, yang seharusnya masing – masing rantai hanya terdapat dua kromosom sehingga jumlah total 46, namun pada penderita sindroma down kromosomnya menjadi 47.7 Kelainan perkembangan kromosom pada penderita sindroma down dapat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan fisik anak, yaitu : 1). Hipotonia terjadi karena menurunnya tonus otot rangka yang membantu mempertahankan postur, kondisi ini berdampak pada perkembangan motorik (anak menjadi sulit bergerak) dan terjadi kelainan wicara, kesulitan mengunyah, menelan, mulut terbuka serta lidah sering terjulur keluar.6 2). Kelainan genetik pada penderita sindroma down menyebabkan terjadinya abnormalitas perkembangan struktur jantung sehingga sirkulasi darah ke jantung menjadi terganggu, hal ini mengakibatkan sang anak mengalami penyakit jantung bawaan.10 3). Gangguan pendengaran pada penderita sindroma down disebabkan oleh ukuran telinga yang lebih kecil dan terletak lebih rendah dibandingkan dengan anak – anak normal sehingga mereka mudah mengalami infeksi telinga bagian tengah atau dalam.18 4). Terjadinya kelainan perkembangan kromosom 21 menyebabkan sistem pertahanan tubuh anak menjadi tak normal karena adanya defisiensi sel – sel hematologik (neutrofil dan monosit) sehingga menurunkan pertahanan tubuh dan respon hospes terhadap infeksi, menyebabkan anak mudah terkena infeksi, seperti infeksi saluran pernafasan kronis.13 Selain mengakibatkan gangguan dalam kesehatan fisik, kelainan perkembangan kromosom 21 dapat mempengaruhi kondisi psikis penderita sindroma down yakni menyebabkan terjadinya keterbelakangan mental. Keterbelakangan mental pada anak sindroma down dapat mempengaruhi tingkat inteligensinya sehingga menyebabkan keterlambatan perkembangan motorik dan kemampuan bicara.10 Secara umum
2
kemampuan intelektual penderita sindroma down termasuk dalam klasifikasi ringan sampai sedang, bahkan beberapa di antaranya mempunyai IQ lebih dari 60 jika didukung oleh pendidikan, latihan dan perhatian yang intensif .19 Abnormalitas pertumbuhan dentokraniofasial juga terjadi pada kelainan perkembangan kromosom 21 sehingga mengakibatkan timbulnya beberapa masalah gigi dan mulut, yaitu : kelainan pada gigi, keterlambatan erupsi gigi, karies gigi, kebiasaan bernafas melalui mulut dan maloklusi serta penyakit periodontal.20 Pemeriksaan gigi dan mulut dilakukan untuk dapat mengenali bentuk dan pola erupsi gigi geligi, kelainan gigi dapat terjadi dalam hal bentuk (mahkota gigi berbentuk konus) dan ukuran (mikrodontia).4 Salah satu contoh kelainan jumlah gigi pada penderita sindroma down adalah anodonsia sebagian yang dapat terjadi pada gigi sulung dan permanen. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk kasus anodonsia sebagian pada gigi sulung adalah dengan menggunakan space maintener, sedangkan pada gigi permanen dilakukan perawatan prostodontik yang bertujuan menggantikan gigi yang hilang.21,22 Keterlambatan erupsi gigi pada penderita sindroma down dipengaruhi oleh faktor genetik dan aktivitas otot, salah satu faktor genetik yang mempengaruhi keterlambatan erupsi gigi adalah penyakit hipofosfatasia. Hipofosfatasia adalah suatu kondisi autosomal resesif yang terjadi secara herediter dengan gejala abnormalitas pertumbuhan tulang dan hiperkalsemia (kelebihan kalsium dalam darah) sehingga mengakibatkan pertumbuhan gigi menjadi terlambat.22 Keterlambatan erupsi gigi juga dipengaruhi oleh adanya kelainan aktivitas otot (hipotonia) yang menyebabkan gangguan pada pertumbuhan rahang sehingga erupsi gigi geligi menjadi terganggu.1 Penatalaksanaan untuk kasus keterlambatan erupsi gigi adalah tidak melakukan tindakan apapun yang bersifat klinis hingga proses pertumbuhan gigi terjadi secara normal.3 Penderita sindroma down memiliki karies gigi yang lebih sedikit dibandingkan dengan anak – anak dan orang dewasa yang normal, hal ini disebabkan keterlambatan erupsi gigi sulung dan gigi permanen, tidak adanya benih gigi permanen dan ukuran gigi kecil sehingga jarak diantara gigi – gigi lebar menyebabkan plak mudah dibersihkan.4 Karies gigi dapat dicegah dengan menganjurkan kepada pasien untuk lebih sering minum air mineral dan merekomendasikan penggunaan pasta gigi berfluoride serta obat kumur yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan penderita. Tindakan menumpat / merestorasi karies gigi yang masih dapat dirawat dan mencabut untuk karies gigi yang tidak dapat dirawat atau sudah mengenai seluruh mahkota gigi.4 Sebanyak 90% anak dengan sindroma down lebih memilih untuk bernafas melalui mulut disebabkan oleh bentuk hidung yang kecil dan datar, sinus maksilaris sempit serta protusi lidah.16,4 Kondisi ini perlu dikonsultasikan dengan ahli THT (telinga, hidung dan tenggorokan) untuk mengetahui penyebab terjadinya hal tersebut dan menentukan rencana perawatan yang akan dilakukan.23 Salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk kasus bernafas melalui mulut yang disebabkan oleh kebiasaan buruk adalah dengan menggunakan lem kertas (paper tape) dengan tujuan mempertahankan bibir dalam keadaan tertutup.24 Kebiasaan bernafas melalui mulut dapat menyebabkan terjadinya maloklusi pada penderita sindroma down yaitu gigitan terbuka anterior, hal ini disebabkan mulut pasien kecil dengan lidah tebal dan pangkal mulut cenderung dangkal sehingga lidah sering terjulur keluar. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk kasus gigitan terbuka anterior pada penderita sindroma down adalah dengan perawatan ortodontik yang bertujuan mengembalikan fungsi oklusi gigi.22 Sebanyak 90-96% penderita sindroma down akan mengalami penyakit periodontal yang disebabkan oleh faktor lokal dan sistemik.3,5 Salah satu faktor lokal yang menjadi penyebab adalah adanya plak dan kalkulus dalam rongga mulut sehingga menyebabkan kebersihan rongga mulut kurang, sedangkan faktor sistemik antara lain kelainan genetik dan leukemia.17 Kelainan genetik yang parah (sindroma down) akan menimbulkan efek buruk terhadap jaringan mulut dan periodontal, kerena terjadinya defisiensi sel – sel hematologik (neutrofil dan monosit) sehingga menurunkan pertahanan tubuh dan respon hospes terhadap infeksi.9 Kelainan periodontal pada penderita sindroma down yang mengalami penyakit leukemia seperti pembesaran gingiva, diakibatkan oleh adanya infiltrasi sel – sel leukemik ke jaringan dan inflamasi yang diinduksi oleh plak.11,17 Penatalaksanaan penyakit periodontal yang dialami penderita sindroma down adalah dengan melakukan pemeriksaan rongga mulut secara berkala, skeling dan root planing, penggunaan obat kumur klorheksidin serta terapi antibiotik sistemik dengan tetap memperhatikan kondisi pasien tersebut.8 SIMPULAN Penderita sindroma down memiliki kelainan perkembangan kromosom 21 yang berdampak pada perkembangan dentokraniofasial sehingga menimbulkan masalah gigi dan mulut seperti : kelainan gigi dalam hal bentuk, ukuran dan jumlah, keterlambatan erupsi, karies gigi, penyakut periodontal serta maloklusi. Berbagai perawatan dilakukan untuk mengatasi masalah gigi dan mulut, seperti perawatan konservasi gigi, prostodonsi, periodonsi, bedah mulut serta ortodonsi. Perawatan-perawatan tersebut dilakukan dengan
3
mempertimbangkan keadaan penderita sindroma down serta kerjasama antara orang tua dan dokter gigi agar perawatan dapat berhasil dengan baik. DAFTAR PUSTAKA 1. Akhiruddin. Sindrom Down. Homepage of google [Online] 2008–Last Update. Available from: http://www.fkuii.org/tiki-downloadwikiattachment.php?. Accessed August 22, 2008 2. Wahyuni, Tri. 2008, Down Syndrome – The Special Angel, [Homepage of google], [Online], Available: http://matahariku2008.multiply.com/journal/item/1 [11 Agustus 2008] 3. Finn, Sidney B. 2003, Clinical Pedodontics, Fourth Edition, W.B.Sanders Company, Philadelphia 4. Chin, Mae. Fenton, Sanford J. Lyons, Ray. Miller, Christine. and Periman, Steven P. 2007, Juli – Last Update, Practical Oral Care For People With Down Syndrome, [Homepage of google], [Online], Available: http://www.nidcr.nih.gov [14 Agustus 2008] 5. Brown, R.H. 2007 – Last Update, Down Syndrome – A Review For Dental Professionals, [Homepage of google],[Online],Available:http://www.saiddent.org/modules/11_module3.pdf [22 Agustus 2008] 6. Guyton, Arthur C. and Hall, John E. 1997, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9, Buku Kedokteran EGC, Jakarta 7. Anonim1. 2008 – Last Update, How Does Down Syndrome Occur?, [Homepage of google], [Online], Available:http://www.dsawa.asn.au/trisomy21.htm [22 Agustus 2008] 8. Pilcher, Elizabeth S. – Last Update, [Homepage of google], [Online], Available:http://www.angle.org/angloline/?request=get-document&issn=00033219&volume=078&issue=02&page=0221 [29 November 2008] 9. Roeslan, Budi Utomo. 2002, Imunologi Oral, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta 10. Encyclopedia Britannica. 2006, Congenital Heart Disease, Britannica Online 11. Harjono, dkk. 1996, Kamus Kedokteran Dorland Edisi 26, p. 495, 898, 1010, 1164, 1806, 1901, 1949, Buku Kedokteran EGC, Jakarta 12. Isman, Beverly. 2002, Oral Condition In Young Children And Developmental Disabilities, [Homepage of google], [Online], Available:http://www.dentalcare.com/soap/patient/chairsde/rediref/page3.htm [26 Februari 2009] 13. Pueschel, Siegfried M. 2008 – Last Update, Down Syndrome, [Homepage of google], [Online], Available: http://www.caihand.com/ds.htm [22 Agustus 2008] 14. Tarigan, Rasinta. 1990, Karies Gigi, Hipokrates, Jakarta 15. Khan, R. and Abdallah, Abdallah I. and Antony, Verdine V. 2009, Down Syndrome – A Case Report, [Homepage of google], [Online], Available:http://www.ocj.com/jan09/Down/pdf [26 Februari 2009] 16. Mueller, Elizabeth. 2007 – Last Update, Dentistry For Children With Down’s Syndrome – More Important Than You Know!!, [Homepage of google], [Online], Available: http://www.mvdsa.org/JimS/DentistryforChildrenwithDowns.pdf [11 Agustus 2008] 17. Fedi, Peter F. Vernino, Arthur R. and Gray, John L. 2004, Silabus Periodonti, Buku Kedokteran EGC, Jakarta 18. Chen, Harold. 2007, 13 Agustus – Last Update, Down Syndrome, [Homepage of google], [Online], Available:http://www.emedicine.com/ped/topic615.htm [22 Agustus 2008] 19. McDonald, RE. and Avery, DR. 1994, Dentistry For The Child And Adolescent, p. 32 – 36, 205 – 207, 605 – 610, Mosby Company, St.Louis 20. Suharsini, Margaretha. 2001, Pengaruh Latihan Otot Mulut Terhadap Tonus Otot Pengunyah Pada Penderita Sindroma Down, JKGUI, Vol. 8, no. 1, hlm. 14 – 18 21. McNamara, Clare. Foley, Tim. and McNamara, Catherine M. 2006, Oktober – Last Update, Clinical Practice Multidisiplinary Management Of Hypodontia In Adolescents, [Homepage of google], [Online], Available: http://www.linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0031395505702546 [12 Desember 2008] 22. Wei, Stephen H.Y, 1988, Pediatric Dentistry – Total Patient Care, p. 325, Lea & Febringer, Philadelphia 23. MedClick, 2008 – Last Update, Mouth Breathing And Facial Deformity, [Homepage of google], [Online], Available:http://www.capitolent.net/mouth.htm [12 Desember 2008] 24. Anonim2. 2008 – Last Update, Mouth Breathing, [Homepage of google], [Online],Available:http://en.wikipedia.org/wiki/Mouth_breathing [12 Desember 2008]
4
Efektifitas pemakaian hidrogen peroksida dan karbamid peroksida sebagai bahan pemutih pada pasien anak yang mengalami diskolorasi tetrasiklin Soesilo Soeparmin, Eko Sri Yuni Astuti, Adrian Octovindo Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRAK Gigi sehat dan indah biasanya diidentik dengan gigi putih yang bersih dan cemerlang tetapi tidak banyak orang yang beruntung memiliki warna gigi yang sempurna salah satunya adalah karena diskolorasi. Penyebab diskolorasi pada gigi antara lain yaitu faktor ekstrinsik dan intrinsik. Melalui kajian pustaka, maka penulisan di sini bertujuan untuk membandingkan efektifitas bahan pemutih gigi hidrogen peroksida dan karbamid peroksida. Seiring perkembangan jaman dan keinginan pasien untuk mendapatkan gigi yang putih dan senyum yang indah, maka perawatan pemutihan gigi (bleaching) merupakan salah satu alternatif perawatan yang dapat dilakukan. Bahan hidrogen peroksida dan karbamid peroksida merupakan bahan yang sering dipergunakan dalam proses pemutihan gigi tetapi diantara bahan tersebut, bahan karbamid peroksida lebih memiliki keunggulan dibanding bahan hidrogen peroksida. Kata Kunci : Diskolorasi, Bahan pemutih gigi, Bleaching Korespondensi : Soesilo Soeparmin, Bagian Pedodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11 A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701, Fax. (0361) 261278.
PENDAHULUAN Senyuman adalah alat komunikasi terpenting yang pernah dikenal pada peradaban manusia. Senyum yang disertai deretan gigi sehat, putih dan cemerlang adalah senyum yang menguatkan citra positif seseorang dalam berkomunikasi dan bersosialisasi.1 Senyuman yang manis bisa membuat seseorang senang dan bisa memberikan kebahagiaan kepada siapa saja yang melihatnya. Faktor yang paling penting untuk memiliki senyuman yang bagus adalah gigi yang putih dan bercahaya.2 Masyarakat saat ini bukan saja mendambakan kesehatan gigi yang dimilikinya, tetapi sudah mulai berkembang kepada keindahan senyuman. Kesadaran masyarakat terhadap keindahan senyuman untuk mendapatkan sederetan gigi yang putih lebih didasarkan pada kebutuhan dalam penampilan yang akan menambah rasa percaya diri dalam kehidupan sehari-hari.1 Pemutihan gigi (Bleaching) adalah suatu proses yang akan membuat gigi tampak lebih putih. Perawatan pemutihan gigi pada dasarnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan estetik, banyak individu yang mengalami perubahan warna pada giginya sehingga menjadi lebih gelap atau tidak cemerlang, Mereka merasa tidak puas dengan penampilan senyumnya sehingga melakukan berbagai cara untuk mendapatkan senyum yang lebih baik.3 Indikasi klinik untuk memutihkan gigi anak diantaranya pada kasus perubahan warna gigi karena trauma yang dapat menyebabkan nekrosis pulpa, perubahan warna intrinsik oleh karena fluorosis dan obat tetrasiklin.3 Laporan penggunaan bahan pemutih gigi umumnya dilakukan pada orang dewasa, meskipun penelitian yang membahas pemutihan gigi pada anak masih sedikit tetapi kepustakaan mengindikasikan pemutihan gigi boleh dilakukan pada anak tanpa memandang umur.4 Bahan pemutih gigi pada umumnya mengandung bahan dasar peroksida, diantaranya yaitu hidrogen peroksida dan karbamid peroksida yang dapat membantu menghilangkan stain dalam gigi (intrinsik) dan permukaan gigi (ekstrinsik). Kedua bahan pemutih gigi diatas masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.5,6 Jadi yang menjadi masalah apakah ada perbedaan efektifitas antara bahan hidrogen peroksida dan karbamid peroksida sebagai bahan pemutih gigi anak yang mengalami diskolorasi akibat tetrasiklin. Kajian pustaka ini bertujuan untuk menelaah perbedaan efektifitas antara bahan hidrogen peroksida dan karbamid peroksida sebagai bahan pemutih gigi anak. DISKOLORASI AKIBAT TETRASIKLIN Menurut Dharma, dkk. diskolorasi gigi adalah perubahan warna gigi akibat bertambahnya usia, geligi menjadi lebih gelap dan diperberat oleh pewarnaan yang dihasilkan secara kumulatif dari penumpukan pewarnaan makanan dan minuman.1 Menurut Grossman dkk. diskolorasi ada 2, yaitu: 1) diskolorasi ekstrinsik adalah perubahan warna pada permukaan luar gigi dan biasanya berasal dari faktor lokal seperti pelekatan warna makanan, minuman ataupun rokok; 2) diskolorasi intrinsik adalah perubahan warna gigi akibat noda yang terdapat di dalam email atau perubahan warna gigi yang terjadi semasa pembentukan struktur gigi pada dentin yang disebabkan oleh penumpukan tetrasiklin di dalam struktur gigi.4 Penyebab diskolorasi intrinsik bisa juga disebabakan oleh kongenital, sistemik, metabolik, traumatik, fluorosis, dan antibiotik tetrasiklin. Dari beberapa faktor yang menyebabkan diskolorasi pada gigi, didapatkan bahwa faktor antibiotik tetrasiklin yang paling banyak menyebabkan diskolorasi pada gigi sekitar 67% kasus.7,8,9 Antibiotik tetrasiklin dapat menyebabkan perubahan warna pada gigi biasanya terjadi pada masa pembentukan gigi, dimana jaringan bukan hanya menyerap kalsium tapi juga menyerap
1
2 senyawa tetrasiklin dan senyawa tersebut mengendap serta tertimbun di dalam email maupun dentin yang menyebabkan warna gigi menjadi keabu-abuan. Hal ini paling rentan terjadi pada saat trimester kedua hingga anak berusia 8 tahun.4,10,11 Perubahan warna gigi memberikan dampak psikologi yang cukup besar, seperti rasa rendah diri yang berlebihan pada penderita, pasien jadi malas berbicara dan bahkan juga malas untuk tersenyum. Rasa rendah diri yang berlebihan pada pasien mengakibatkan komunikasi dengan lingkungan sekitar terganggu. Keinginan pasien untuk mendapatkan senyum yang lebih cerah dan gigi yang lebih putih menyebabkan kebutuhan pelayanan gigi kosmetik meningkat, salah satu bentuk pelayanan gigi kosmetik adalah memutihkan gigi.6 Pemutihan gigi sekarang menjadi populer dilakukan karena dengan gigi yang putih, seseorang relatif terlihat lebih muda dan lebih menarik senyumnya sehingga menambah rasa percaya diri. 12 PEMUTIHAN GIGI (BLEACHING) Pemutihan gigi (bleaching) menurut Dharma, dkk. adalah upaya untuk mendapatkan warna gigi menjadi lebih cerah dengan menggunakan bahan pemutih gigi.1 Tarigan mengatakan bahwa perawatan pemutihan gigi adalah suatu cara pemutihan kembali gigi yang berubah warna sampai mendekati warna gigi yang asli dengan proses perbaikan secara kimiawi, tujuannya untuk mengembalikan estetis pada penderita yang mengalami diskolorasi.11 Grossman, dkk. mengemukakan hal serupa bahwa perawatan pemutihan gigi merupakan suatu tindakan pemutihan pada gigi dengan tujuan memperbaiki warna normal gigi yang mengalami diskolorasi dengan mengubah warna noda menggunakan bahan reduksi atau oksidasi berkekuatan tinggi. 8 Menurut Poderella, dkk. perawatan pemutihan gigi salah satu prosedur yang dapat ditawarkan sebagai suatu alternatif atau pilihan kedua pada perawatan estetik selain veneer atau crown pada kasus perubahan warna gigi dengan tujuan mengatasi noda yang terdapat pada permukaan gigi.13 Perawatan pemutihan gigi dianjurkan hanya dilakukan pada gigi tetap. Banyak praktisi mengatakan bahwa perawatan yang dianggap aman, dilakukan pada pasien yang telah selesai masa pertumbuhannya, sedangkan batas usia tidak ada masalah. Pada perawatan pemutihan gigi memiliki indikasi dan kontraindikasi yang harus diketahui oleh dokter ataupun pasien. Indikasi pemutihan pada gigi vital, diantaranya: perubahan yang ringan dan merata, tanpa kelainan periodontal atau karies gigi, tidak ada resesi aktual dari gusi yang lebih dari 5 mm di setiap permukaan gigi, ketebalan email yang cukup, tidak ada riwayat hipersensitif pada gigi, gigi vital yang sudah dilakukan penumpatan sementara dengan baik, dimana sebelumnya terdapat kebocoran tumpatan, tumpatan pada email, atau karies sekunder.1,3 Kontraindikasi pemutihan pada gigi vital, diantaranya: diskolorasi pada sepertiga daerah gingiva, adanya tumpatan yang besar, gigi yang kehilangan jaringan enamel secara luas, adanya riwayat hipersensitif dengan bahan-bahan yang digunakan, ruang pulpa yang masih luas, pewarnaan gigi yang sangat ekstrim, pada seorang perokok atau peminum alkoho.1,3,6 Teknik yang dilakukan pada prosedur pemutihan gigi sangat bervariasi. Secara umum teknik pemutihan gigi dapat dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Pemutihan gigi di rumah. Merupakan tipe perawatan yang juga kerap disebut “tray bleaching” dapat dilakukan sendiri oleh pasien menggunakan mouthguard atau tray. Perawatan pemutihan yang dilakukan sendiri di rumah dapat menggunakan beberapa cara/metode yaitu menggunakan tray, point-on, atau strip (Lihat gambar 1,2, dan 3).4
Gambar 1. Penggunaan tray .4
Gambar 2 . Penggunaan strip. 4
Gambar 3. 4
2. Pemutihan gigi di klinik. Perawatan pemutihan yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik pada prinsipnya sama dengan yang dilakukan sendiri di rumah tapi durasinya lebih singkat, perawatan pemutihan yang dilakukan di klinik biasanya menggunakan bahan hidrogen peroksida 35% dan jenis perawatan ini memerlukan kunjungan pasien ke dokter gigi selama perawatan. Gigi pasien diisolasi dan diaplikasikan pasta peroksida yang diaktivasi menggunakan laser atau cahaya. Perawatan pemutihan gigi di klinik memiliki 3 teknik, yaitu aplikasi hidrogen peroksida 35% dengan pemanasan (Thermocatalytic technique), aplikasi hidrogen peroksida 35% dengan
3 pemanasan dan penyinaran (Thermo-Photocatalytic technique) dan aplikasi hidrogen peroksida 35% tanpa penyinaran maupun pemanasan (Lihat gambar 4).4
4
Gambar 4. Pemutihan di klinik.
Bahan pemutih yang sering digunakan pada perawatan pemutihan gigi adalah hidrogen peroksida dan karbamid peroksida, dimana memiliki mekanisme kerja yang sama yaitu mengikis lapisan gigi khususnya email yang mengalami diskolorasi dengan cara masuk melalui perantara enamel ke tubuli dentin dan mengoksidasi pigmen pada dentin sehingga akan menyebabkan warna gigi lebih terang. 1,2 Keuntungan penggunaan hidrogen peroksida yaitu tidak diperlukan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil pemutihan yang optimal, karena menggunakan konsentrasi yang tinggi. Kerugian penggunaan bahan hidrogen peroksida, antara lain: bisa menyebabkan perubahan persepsi pengecapan, mengganggu penelanan dan menimbulkan kelainan pada saluran pencernaan bila tertelan, serta bisa menyebabkan efek samping seperti hipersensitif pada gigi, iritasi pada jaringan lunak, dan nyeri tenggorokan.1,2 Karbamid peroksida dalam pemutihan gigi memiliki keuntungan, diantaranya: ketidaknyamanan penderita dan efek samping yang ditimbulkan tidak terlalu berbahaya, serta tidak menimbulkan kelainan pada saluran pencernaan bila tertelan. Beberapa kerugian penggunaan bahan karbamid peroksida adalah memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil pemutihan yang optimal karena menggunakan konsentrasi yang rendah.1,2 PEMBAHASAN Cara pemutihan gigi dahulu dilakukan dengan menggunakan cairan hidrogen peroksida yang dikombinasikan dengan pemanasan, sehingga dengan metode seperti ini akan menyebabkan gigi menjadi sensitif. Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini dijumpai bermacam-macam bahan pemutih gigi dengan bahan dasar hidrogen peroksida yang sudah disempurnakan, diantaranya dikenal yaitu karbamid peroksida yang merupakan gabungan antara urea dan hidrogan peroksida yang lebih memiliki keunggulan dibandingkan bahan hidrogen peroksida. 6 Beberapa praktisi telah melakukan penelitian terhadap bahan pemutih gigi hidrogen peroksida dan bahan karbamid peroksida. Haywood telah melakukan perawatan pemutihan gigi dengan membandingkan bahan hidrogen peroksida 30% dan karbamid peroksida 10% (urea 7% dan hidrogen peroksida 3%), yang didapatkan hasilnya bahwa bahan karbamid peroksida 10% lebih efektif dibanding bahan hidrogen peroksida 30%. Hal ini dikarenakan bahan karbamid peroksida hanya memerlukan kadar hidrogen peroksida 3% yang lebih rendah jika dibanding bahan hidrogen peroksida 30% dan efek samping yang ditimbulkan seperti iritasi pulpa dapat diminimalisir, sedangkan hasil pemutihan yang diperoleh tidak berbeda.6,7 Pernyataan di atas didukung oleh Mommies yang menjelaskan bahwa bahan karbamid peroksida lebih efektif karena mengandung urea yang berperan sebagai stabilisator pada proses pemutihan gigi sehingga dapat meminimalisir efek samping yang terjadi saat proses pemutihan gigi.4 Kusmier seorang ortodontist yang juga menyatakan bahwa karbamid peroksida lebih efektif dibanding hidrogen peroksida, karena bahan karbamid peroksida selain dapat memutihkan gigi juga dapat meningkatkan kesehatan gingiva karena karbamid peroksida mengandung bahan antiseptik yang dapat meredakan peradangan pada gingiva.6,7 Karbamid peroksida mengandung bahan lain sebagai campuran yaitu polimer karboksipolimetilen (karpol) yang berfungsi sebagai penambah kekentalan sehingga daya lekat terhadap gigi lebih lama. Kekentalan yang tinggi sangat menguntungkan dalam proses pemutihan gigi karena mempunyai daya lekat yang baik pada permukaan gigi sehingga reaksi pemutihan akan berlangsung dengan lebih optimal dibandingkan dengan bahan yang kekentalannya rendah.6,7 Miller mengemukakan pada penelitiannya bahwa bahan hidrogen peroksida sangat berbahaya jika tertelan karena dalam bahan tersebut mengandung zat hidrogen peroksida yang mudah bereaksi dan korosif sekaligus memilki sifat disinfektan yang berbahaya bila mengenai jaringan hidup, sedangkan bahan karbamid peroksida tidak bersifat toksik sehingga apabila tertelan selama proses pemutihan gigi tidak akan menimbulkan efek samping yang signifikan seperti gangguan pencernaan.14 Penggunaan bahan pemutih pada perawatan pemutihan gigi sebaiknya dilakukan oleh seorang dokter gigi, karena mereka mengerti tentang efek samping yang dapat terjadi akibat penggunaan bahan tersebut dan dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap efek samping yang akan timbul.10 SIMPULAN Perawatan pemutihan gigi dengan menggunakan hidrogen peroksida hasil pemutihannya sangat cepat tapi harus menggunakan konsentrasi yang tinggi yaitu 30-35% namun sering menimbulkan efek samping berbahaya seperti mudah mengiritasi jaringan lunak. Sedangkan penggunaan karbamid peroksida hasil pemutihannya lambat karena menggunakan konsentrasi yang rendah yaitu 10% dengan efek samping sangat minimal, tidak bersifat toksik dan dapat meningkatkan kesehatan gingiva karena mengandung bahan antiseptik, serta merupakan bahan yang stabil karena terdapat urea sebagai stabilisator pada proses pemutihan gigi. Jadi, bahan karbamid peroksida dalam penggunaanya pada perawatan pemutihan gigi lebih efektif bila dibanding bahan hidrogen peroksida.
4
DAFTAR PUSTAKA 1. Dharma RH, Dewayani I, Rismanto DY. Dental whitening. Jakarta : PT Dental Lintas Mediatama, 2005. 2. Subur. Sekilas tentang bleaching teeth. Homepage of google.co.id [Online] September 4, 2007-Last Update. Available from: http://www.drgsubur.wordpress.com/2007/09/04/pemutih-gigi-bleaching-teeth/htm. Accessed July 10, 2008. 3. Irmawati, Herawati. Perawatan pemutih gigi pada anak. Indonesian Journal of Dentistry 2005;12:85-88. 4. Mommies. Mengenal metode dental bleaching untuk memutihkan gigi. Homepage of google.co.id [Online] Agustus 6, 2008-Last Update. Available from: http://www.klikdokter.comarticledetail72.htm. Accessed July 10, 2008. 5. Armilia M, Hidayat T. Bleaching dan direct composit veneer pada gigi anterior yang mengalami perubahan warna. Indonesian Journal of Dentistry 2002;14:37-43. 6. Meizarini A, Rianti D. Bahan pemutih gigi dengan sertifikat ADA/ISO. Majalah Kedokteran Gigi 2005; 38:73-6. 7. Suprastiwi. Perubahan pada gigi. Homepage of google.co.id [Online] June 8, 2005-Last Update. Available from: http://www.one.indoskripsi.com. Accessed July 10, 2008. 8. Grossman LI, Oliet S, Del Rio C. Ilmu Endodontik Dalam Praktek. Ed. ke-11. A Rafiah (penerjemah), Jakarta: EGC, 1995. 9. Dale BG. Bleaching and related agent. In: Esthetic Dentistry A Clinical Approach to Technique and Material, London: Lea & Febiger, 1993. 10. Maulani, Chaerita. May 4, 2004-Last Update. Pemutihan gigi, berbahayakah? Homepage of google.co.id [Online]. Available from: http://www.kompascetak/0405/04/ilpeng/1000708.htm. Accessed July 10, 2008. 11. Tarigan, Rasinta, 2004, Perawatan Pulpa Gigi (Endodonti), Ed, Ke-2, EGC, Jakarta. 12. Purwanti, 2008, 25 Juni – Last Update, Memutihkan Gigi? Lakukan saja Dirumah, [Homepage of google.co.id],[Online]. Available from: http://www.lawalangy.wordpress.com/2007/06/25/memutihkan-gigilakukan-saja-dirumah/htm. Accessed July 10, 2008. 13. Pedorella CA, Meyer RD, Woollard GW. Whitening of endodontically untreated calcified anterior teeth. Esthetics Dentistry Feature Article Mei-Juni, 1999: 252-255. 14. Miller BM. Power bleaching-does it work or is it marketing hyper? J Reality Check 2002;14 : 636.
Fenomena wajah cantik pada wanita Jepang dan wanita Jawa (Studi komparasi menggunakan fenomena kaidah √2) Wiwekowati Fa ku lta s Ked ok tera n Gigi Uni ver sita s Ma ha sa ra swa ti Denpa sa r
ABSTRAK Fenomena kaidah pada bangsa Jepang sudah amat melekat erat se jak jaman kuno. Sudah dibuktikan bahwa wajah wanita cantik Jepang berkaitan dengan fenomena kaidah √2 yang dianut bangsa Jepang tersebut. Dilakukan penelitian penerapan kaidah √2 pada wajah wanita Jawa. Penelitian dilakukan dengan mengukur 7 parameter horisontal dan 7 vertikal dari foto wajah 27 sampel wanita Jawa. Selanjutnya dilakukan penghitungan prosentase prediksi pengukuran. Hasilnya ternyata terdapat tiga variabel dengan besar prosentase di bawah 90% sehingga kaidah √2 tidak dapat diterapkan pada wanita Jawa. Kata kunci : wanita Jepang, kaidah √2, wanita Jawa. Korespondensi: Wiwekowati, drg., M.Kes., Bagian Ortodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl.Kamboja 11A Denpasar, Telp.(0361)7424079, 7462701. Fax. (0361)261278
PENDAHULUAN Masalah estetik muka merupakan suatu subyek yang penting dan menarik untuk semua bangsa. Sudah banyak dilakukan penelitian mengenai topik tersebut pada berbagai ras di dunia ini. Yuen dan Hiranaka1 melakukan penelitian pada 42 profil muka orang Cina dewasa laki dan wanita dengan menggunakan foto muka dari depan dan dari samping. Thomas2 meneliti profil jaringan lunak muka wanita kulit hitam di Amerika Utara. Sushner3 meneliti dengan memperbandingkan muka antara orang Negro dengan orang Kaukasia. Sedangkan Wiwekowati4 meneliti profil muka wanita Jawa di FKG Universitas Airlangga sebanyak 27 mahasiswi. Jepang adalah suatu bangsa di negara timur yang berperadaban tinggi, mempunyai kekayaan budaya yang melekat kuat sehingga mempengaruhi ke berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contohnya adalah adanya fenomena kaidah √2 , sehingga membuat Nakajima5 menjadi tertarik untuk meneliti pengaruh kaidah √2 pada wajah wanita cantik Jepang. Schwidetzky membagi ras di dunia menjadi 6, yakni ras Europoid, Asia (dan Oseania). Mongolid, Amerika, Negrid, dan Oseania. Glinka menyatakan bahwa pada penyebaran ras Mongoloid meliputi Tungid, Sirid, Palemongolid, dan Sibirid. Penyebaran Palemongoloid meluas dari pegunungan Tiongkok Selatan, Indonesia, Philpina, Taiwan, sampai ke Jepang Utara dengan komponen utamanyas adalah orang Jepang dan Melayu. Sedangkan suku Jawa dalam penelitian ini adalah merupakan bagian dari rumpun bangsa Melayu, sehingga di sini masih ada keterkaitan yang dekat secara rasiologis antara orang Jepang dengan orang Jawa.8 FENOMENA KAIDAH √2 Fenomena kaidah √2 pada kebudayaan Jepang.5 Kaidah √2 dibawa masuk ke Jepang pada awal jaman Budha dan mempengaruhi terhadap pembangunan kuil pada masa itu . Hal tersebut tampak pada pembangunan kuil besar seperti kuil Asuka dan kuil-kuil pada periode Nara misalnya Shitennoji, serta kuil Horyuji pada periode Yamato. Lantai dasar kuil Shitennoji dibangun membentuk √2 segi empat yang membentang dari arah utara sampai selatan (gambar 1). Sedangkan pada kuil Horyuji, lebar gold hall pada lantai satu dan dua juga mempunyai perbandingan √2 : 1 (gambar 3) dan perbandingan lebar sayap pagoda menunjukkan 1 : √2 ( gambar 2). Hubungan seperti ini nampak juga dilihat pada karya lukis masa itu. Pada lukisan potret raja Shotoku, hubungan tinggi badan raja dengan ratu-ratu disampingnya menunjukkan suatu kaidah √2 yakni √2 :1.
Gambar 1. Kaidah √2 pada rancangan rekonstruksi lantai dasar pembangunan kuil Shitennoji oleh Hasegawa Teruo5
Gambar 2. Kaidah √2 pada siluet tingkat 5 pagoda kuil Horyuji5
Gambar 3. Kaidah √2 pada siluet gold hall kuil Horyuji5
Kaidah √2 pada wajah cantik wanita Jepang.5 Nakajima dkk.5 meneliti hubungan pada wajah cantik wanita Jepang. Sampel diambil dari 7 buah foto frontal wajah wanita cantik yang berasal dari berbagai majalah komersial dan diperbesar sesuai dengan ukuran aslinya. Selanjutnya dilakukan pengukuran parameter – parameter pada foto secara horizontal dan vertikal masing-masing sebanyak 8 buah ( gambar 4 dan 5 ). Hasil pengukuran parameter (8 buah), prediksi pengukuran EYE, dan % prediksi pengukuran pada 7 model dicantumkan pada tabel 1 untuk pengukuran analisis horisontal; dan untuk analisis vertikalnya dicantumkan pada tabel 2. Cara memperoleh perhitungan prediksi pengukuran EYE pada tabel 1 dan tabel 2, dengan jalan mengalikan lebar EYE ( lebar maksimum iris mata kiri ) dengan √2 pangkat n (n adalah bilangan 1 sampai dengan 7, dipakai sesuai dengan ketentuan parameter ukurnya). Selanjutnya, parameter hasil pengukuran dibagi dengan prediksi pengukuran EYE dikalikan 100% adalah prosentase prediksi pengukuran. Hasilnya menunjukkan bahwa besar prosentase prediksi pengukuran pada semua variabel horisontal dan vertikal berada di atas 90% sehingga dapat disimpulkan bahwa wajah cantik pada wanita Jepang memenuhi. Tabel 1. Prosentase prediksi pengukuran analisis horisontal pada model wanita Jepang5 Parameter pengukuran
Prediksi Pengukuran EYE
Pengukuran fotogram ( 7 model )
Rata-rata
A
B
C
D
E
F
G
% Prediksi Pengukuran
1. EYE
10,0
10,0
10,0
10,0
10,0
10,0
10,0
10,0
10,0
-
2. Center LN
10,0 x √2 = 14,1
13,8
13,5
14,4
14,4
14,1
14,1
14,1
13,8
97,9%
3. AL-AL
10,0x (√2 )² = 20,0
19,4
19,0
20,8
18,7
18,6
18,6
18,6
19,0
95,0%
27,7
26,9
28,9
26,7
28,1
28,1
28,1
27,6
97,5%
4. LN LN-
10,0 x (√2 )³ = 28,3 4
5. CH-CH
10,0 x (√2 ) = 40,0
39,2
43,0
42,6
37,2
37,6
36,9
36,9
39,3
98,3%
6. EN-EX
10,0 x (√2 )5 = 56,6
55,0
53,7
55,4
52,6
54,3
52,9
52,9
53,9
95,2%
6
7. EX-EX
10,0 x (√2 ) = 80,0
81,2
80,3
83,2
78,0
81,5
80,5
80,5
80,6
99,3%
8. TS-TS
10,0 x(√2 )7 = 113,1
114,4
117,9
116,7
116,0
116,3
114,8
114,8
116,0
97,4%
Tabel 2. Presentase prediksi pengukuran analisis vertikal pada model wanita Jepang5 Parameter pengukuran
Prediksi Pengukuran EYE
1.
EYE
10,0
2.
LS-LI
10,0x √2
Pengukuran fotogram ( 7 model ) A
B
C
D
E
F
G
Rata-rata
% Prediksi Pengukuran
10,0
10,0
10,0
10,0
10,0
10,0
10,0
10,0
-
= 14,1
13,6
14,2
13,6
14,2
13,6
13,9
14,8
14,0
99,3%
2
3.
AL-ST
10,0x (√2 ) =20,0
19,9
21,8
22,1
21,7
21,3
18,8
21,5
21,0
95,0%
4.
AL-LI
10,0x(√2 )3=28,3
28,1
30,0
29,2
29,6
28,9
27,3
29,7
29,0
97,5%
4
5.
LS-ME
10,0x (√2 ) =40,0
38,9
41,6
36,3
39,6
39,8
38,5
36,3
38,7
96,8%
6.
AL-ME
10,0x (√2 )5 = 56,6
55,5
57,5
52,1
54,6
55,0
52,0
51,1
53,7
94,9%
6
7.
ES-LI
10,0x (√2 ) =80,0
78,5
80,1
82,8
81,9
77,5
80,7
81,6
80,4
99,5%
8.
TR-ST
10,0x (√2 )7= 113,1
115,5
116,1
124,9
112,3
111,3
116,6
118,6
116,5
97,0%
Kaidah √2 pada wajah wanita Jawa. 4 Wiwekowati4 meneliti wajah wanita Jawa sebanyak 27 mahasiswi dari 202 mahasiswa di FKG Universitas Airlangga yang diseleksi sesuai dengan kriteria sebagai berikut : orang Jawa asli 2 keturunan; relasi gigi molar neutroklusi; muka proporsional; gigi permanen tumbuh sempurna, lengkap, dan teratur dari molar dua kiri sampai dengan molar dua kanan; belum pernah mendapat perawatan ortodonsi. Tehnik sampling yang dipakai adalah Purposive sampling. Pada semua sampel dilakukan pemotretan dari arah frontal dan hasil pemotretan diperbesar sesuai dengan ukuran aslinya (1:1). Selanjutnya dilakukan pengukuran 8 parameter horisontal dan 8 vertikal sesuai kriteria Nakajima.5 Parameter horisontal5 yang diukur (gambar 4) sbb: (1) EYE : lebar maksimum iris mata kiri (2) Center - LN : jarak bidang sagital ke titik ala nares (3) AL-AL : jarak paling lateral dari titik nares (4) LN – LN : lebar hidung (5) CH - CH : lebar mulut (6) EN – EX : jarak antara inier dan outer canthi (7) EX - EX : jarak antara outer canthi (8) TX – TX : lebar muka
Gambar 4. Delapan parameter pengukuran horisontal pada foto wajah5
Parameter pengukuran vertikal5 (gambar 5) adalah sbb: (1) EYE : lebar maksimum iris mata kiri (2) LS-LI : jarak vertikal bibir atas dengan bibir bawah (3) AL-ST : jarak antara nares dengan titik pusat bibir atas dan bawah (4) AL-AI : jarak antara nares dengan titik bawah bibir (5) LS-ME : jarak antara bibir atas dengan submental (6) AL- ME : jarak antara nares dengan submental (7) EB-LI : jarak antara alis mata dengan bibir bawah (8) TR-ST : jarak antara garis rambut dengan titik pusat bibir atas dan bawah
Gambar 5. Delapan parameter pengukuran vertikal pada foto wajah 5
Prosentase (%) prediksi pengukuran dihitung dengan menggunakan rumus sesuai dengan ketentuan Nakajima sebagai berikut : x Z= x 100% y Z= X= Y=
5
prosentase prediksi pengukuran pada foto prediksi pengukuran EYE = EYE x (√2 )n dengan n adalah bilangan 1 sampai dengan 7
HASIL PENELITIAN Adapun hasil perbandingan prosentase prediksi pengukuran pada wanita Jawa hasil penelitian Wiwekowati4 dengan wanita Jepang penelitian Nakajima5 tercantum pada tabel 3. Tabel 3. Perbandingan % prediksi pengukuran wanita Jawa4 dengan wanita Jepang5 % Prediksi Pengukuran Macam Variable Wanita Jawa4 ( n = 27 ) Wanita Jepang5 ( n = 7) Horisontal : 1. EYE 2. Center – LN 87,25 * 97,9 3. LN-LN 91,23 95,0 4. AL – AL 88,68* 97,5 5. CH-CH 99,36 98,3 6. EN-EX 90,91 95,2 7. EX-EX 93,72 99,3 8. TS-TS 96,47 97,4 Vertikal : 1. EYE 2. LS-LI 3. AL-ST 4. AL-LI 5. LS-ME 6. AL-ME 7. EB-LI 8. TR-ST * % prediksi pengukuran < 90%
85,49* 95,79 91,80 94,06 98,71 99,51 92,55
99,3 95,0 97,5 96,8 94,9 99,5 97,0
Ternyata perhitungan % prediksi pengukuran pada wanita Jawa, terdapat 3 variabel dengan besar prosentase di bawah 90%, yakni jarak Center - LN ( 87,25 % ), jarakLN-LN ( 88,68 % ), dan jarak LS-LI (85,49%). Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk dapat membantu menentukan ciri fisik wanita Jawa, sedangkan tujuan khususnya adalah untuk meneliti apakah penerapan kaidah √2 dapat diterapkan pada wajah wanita Jawa apa tidak; dengan jalan memperbandingkan besar prosentase prediksi pengukuran.
DISKUSI Berdasarkan penelitian Nakajima dkk.5,6,7 tentang kaidah √2 pada wajah wanita cantik Jepang; bahwa antara lebar hidung (LN-LN), lebar mulut (CH-CH) dan jarak antara outer canthi (EX-EX) mempunyai perbandingan 1 : √2 : 2√2 atau 1:1,41:2,83. Hal yang dijumpai dari hasil rata-rata penelitian pengukuran pada wajah wanita Jawa 4 adalah 38,15 : 48,15 : 89,71 atau 1 : √1, 6 : 1,86 √1,6. Sedangkan perbandingan antara jarak vertikal bibir atas dengan bibir bawah (LS-LI) dan jarak antara nares dengan titik pusat bibir atas dan bawah (AL-ST) dan jarak antara nares dengan titik bibir bawah (AL-LI) adalah 1 : √2 : 2 atau 1 : 1,412 : 2. Sedangkan hasil yang diperoleh pada wanita Jawa adalah 2,43 : 1 : 4,53 atau √5,6 : 1 : 1,86 √5,9. Dari kedua analisis ini juga dapat dilihat bahwa kaidah √2 titik tidak dapat diterapkan pada wanita Jawa. Subyek penelitian penerapan kaidah √2 ini adalah wanita Jawa dengan ukuran wajah proporsional. Wajah proporsional di sini mengandung arti bahwa secara visual terdapat hubumgan yang harmonis dan seimbang antara satu bagian wajah dengan bagian wajah yang lain atau dengan keseluruhan wajah. Sedangkan subyek penelitian Nakajima dkk.5 adalah wanita berwajah cantik. Salah satu sebab tidak dapat diterapkannya kaidah √2 pada wanita Jawa dimungkinkan antara lain karena pengertian wajah proporsional dan wajah cantik tidak identik; pengertian wajah wanita cantik pasti mempunyai wajah proporsional, tetapi hal ini tidak berlalu untuk sebaliknya. Selain mempunyai ukuran wajah proporsional, wajah yang cantik menurut Stoner9 mempunyai makna terdapatnya kandungan muatan unsur ekspresif yang indah dari suatu emosi atau perasaan. Penyebab lain sehingga kaidah √2 ini tidak dapat diterapkan pada wanita Jawa dimungkinkan terdapatnya keanekaragaman Homo Sapiens; atau dengan kata lain adanya pendapat yang mengatakan bahwa terdapat 10-40% gamet setiap generasi berisi gen-gen yang akan mengalami mutasi. Dalam hal ini lingkungan memainkan peranan cukup penting yakni sebagai mutagen atau modifilator atau selektor. Faktor lingkungan ini salah satu misalnya adalah faktor kebudayaan yang didifinisikan merupakan keseluruhan dari ilmu pengetahuan, kepercayaan, hukum moral, serta kebiasaan - kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat turut mempengaruhi. Kemungkinan penyebab lainnya adalah karena metode penelitian yang dipakai oleh Nakajima dkk5 ini tidak dijelaskan secara lengkap, yakni bagaimana cara mendapatkan sampel foto wanita cantik dari majalah tidak dijelaskan kriterianya dan juga tidak dijelaskan dengan detail bagaimana cara mendapatkan gambar dengan perbandingan 1:1. SIMPULAN DAN SARAN Bahwa wajah cantik wanita Jepang berkaitan dengan kaidah √2 yang merupakan suatu fenomena yang sudah berlaku sangat lama pada berbagai sisi kebudayaan bangsa Jepang. Suku Jawa mempunyai kaitan yang dekat secara rasiologis dengan bangsa Jepang tetapi tenyata fenomena kaidah √2 wajah cantik wanita Jepang tidak dapat diterapkan pada wanita Jawa. Dari penelitian ini dapat dikembangkan dengan menggunakan metode sejenis atau dengan menggunakan metode yang lain untuk dapat menciptakan suatu kaidah (rule) yang bisa diterapkan pada muka wanita Jawa DAFTAR PUSTAKA 1. Yuen SWH, Hiranaka DK. A photographic of the facial profiles of southern chinese adolescents. Quitessence Int. 1989;20:665-676. 2. Thomas RG. An evaluation of the soft-tissue facial profile in the-north american black woman. Am.J.Orthod 1979;76:8594. 3. Sushner NI. Photographic study of the sort-tissue profile of the negro population. Am.J.Orthod 1977;72:373-385 4. Wiwekowati. Fotometrik jaringan lunak muka suku Jawa (kajian fotometrik dari arah frontal dan lateral pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga). (Tesis). Surabaya: Pascasarjana Ilmu Kesehatan Gigi Universitas Airlangga, 1995. 5. Nakajima E, Maeda T, Yanasigawa M. The japanese sense of beauty and facial proportions II : the beautiful face and the √2 rule. Quintessence Int 1985;16:629-637. 6. Nakajima E, Yanasigawa, M. The japanese sense of beauty and facial proportions I: the facial characteristics of people with malocclusion. Quintessence lnt 1985;6:553-637. 7. Anonim. The japanese sense of beauty and facial proportions III: the facial proportion check sheet. Quintessence Int 1985;S l6:7l5-72l. 8. Glinka J. Antropologi ragawi. (Hand-out mahasiswa). FISIP UNAIR Surabaya, 1987:25-34.
Pengelolaan infeksi oportunistik akibat AIDS di dalam rongga mulut IGAAP Swastini Poltekkes Denpasar Jurusan Kesehatan Gigi
ABSTRAK Pengelolaan infeksi oportunistik akibat AIDS di dalam rongga mulut yang dapat dilakukan oleh seorang dokter gigi pada dasarnya bersifat simtomatik, suportif, mencegah timbulnya infeksi sekunder, dan mencegah penularan virus kepada dokter gigi yang merawatnya atau kepada penderita lainnya. Studi pustaka ini bertujuan untukmenggambarkan pengelolaan infeksi oportunistik akibat AIDS di dalam rongga mulut. AIDS merupakan masalah kesehatan yang sangat penting pada banyak negara di dunia. Timbulnya infeksi oportunistik di dalam rongga mulut disebabkan oleh reaktivasi endogen dari mikroorganisme yang memang sudah ada di dalam tubuh, tetapi karena melemahnya sistem kekebalan tubuh maka fenomena tersebut dapat terjadi. Gangguan imunitas seluler tersebut cenderung akan meningkatkan kepekaan seseorang terhadap berbagai infeksi mikroorganisme yang bersifat oportunistik seperti jamur dan virus. Individu – individu yang terinfeksi HIV secara aktif akan berkonsultasi dan mengusahakan perawatan kesehatan mulut. Sering penderita tersebut tidak menyadari dirinya dalam keadaan terinfeksi. Sampai saat ini pengobatan yang efektif untuk penyakit AIDS belum berhasil dengan baik. Setelah diagnosis penyakit infeksi oportunistik ditegakkan melalui rangkaian pemeriksaan dalam menelusuri penyebab penyakit, selanjutnya peran dokter gigi dalam menanggulangi dan mencegah terjadinya risiko penularan merupakan tindakan yang paling bijaksana. Upaya pengelolaan infeksi oportunistik akibat AIDS di dalam rongga mulut dan pencegahan penularannya adalah dengan jalan pemberian obat spesifik seperti obat anti jamur, obat antiviral, pengobatan secara topikal, pengobatan non spesifik, obat anti septik dan lain sebagainya. Kata kunci : manajemen, rongga mulut, infeksi oportunistik, AIDS Korespondensi: IGAAP Swastini, Politeknik Kesehatan Denpasar Jurusan Kesehatan Gigi Jl. P. Moyo no. 33 Denpasar 80222, telp. 0361 720084
PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara terbuka sangat sulit mencegah kemungkinan masuknya wisatawan mancanegara pengidap AIDS ke Indonesia khususnya Bali. Penyakit ini telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu yang relatif singkat terjadi peningkatan jumlah penderita, serta sampai saat ini belum ditemukannya obat atau vaksin yang efektif terhadap virus penyebab AIDS. Praktek dokter umum atau dokter gigi sering dijumpai kelainan-kelainan atau infeksi oportunistik dalam rongga mulut, yang tampaknya bersifat lokal, namun kalau diperiksa secara seksama, maka kelainan ini mungkin merupakan manifestasi oral penyakit AIDS.1 Penyebab dari AIDS berupa sebuah Retrovirus yang kemudian dinamakan Human T cell lymphocytotrophic virus III (HTVL III) oleh National Cancer Institute Bethesda atau Lymphadenopathy Associated Virus /Immunodeficiency Associated Virus (LAV /IDAV) oleh Pasteur institute Paris.2 Acquired Immune Deficiency Syndrome disingkat AIDS merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya kelainan yang kompleks dalam system pertahanan seluler tubuh dan menyebabkan korban menjadi sangat peka terhadap infeksi mikro organisme sehingga terjadi infeksi oportunistik. Tdak tertutup kemungkinan dokter gigi tertular infeksi oportunistik akibat AIDS dalam rongga mulut oleh karena itu penulis ingin mengetahui pengelolaan infeksi oportunistik akibat AIDS di dalam rongga mulut. Pengelolaan infeksi oportunistik akibat AIDS di dalam rongga mulut yang dapat dilakukan oleh seorang dokter gigi pada dasarnya bersifat simtomatik, suportif, mencegah timbulnya infeksi sekunder, dan mencegah penularan virus kepada dokter gigi yang merawatnya atau kepada penderita lainnya.3 TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan infeksi oportunistik akibat AIDS di dalam rongga mulut merupakan pertimbangan penting bagi dokter gigi yang merawat penderita AIDS untuk memperkecil kemungkinan terinfeksi virus penyebab AIDS maupun virus oportunistik terhadap dirinya sendiri, perawat, maupun penderita lainnya.4 Infeksi oportunistik adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme dimana pada orang normal tidak ganas tetapi pada orang yang mengalami penurunan kekebalan tubuh menjadi sangat ganas. Misalnya : Radang paru yang disebabkan oleh Pneumocystis carini, peradangan otak yang disebabkan oleh Cytomegalovirus. Etiologinya adalah adanya gangguan imunitas seluler yang cenderung akan meningkatkan kepekaan seseorang terhadap berbagai infeksi mikroorganisme yang bersifat oportunistik seperti jamur, virus, protozoa
dan bakteri penyebab AIDS yang diberi nama LAV (Lymphoadenopathy Assosiated Virus) dikaitkan dengan terjadinya pembengkakan kelenjar limfa di seluruh tubuh. Diagnosis yang paling spesifik adanya infeksi HIV adalah membuktikan secara langsung adanya virus HIV dalam jaringan penderita melalui isolasi. Akan tetapi cara isolasi HIV saat ini masih kurang sensitif dan belum tersedia. Untuk keperluan kesehatan masyarakat, penderita dengan hasil tes penyaringan antibodi HIV positif berulang, (misalnya dengan cara ELSA) yang pada tes konfirmasi (misalnya Western Blot, Imunofluoresensi) juga positif harus dianggap sebagai terinfeksi dan dapat menginfeksi. Pada umumnya, timbulnya infeksi oportunistik di dalam rongga mulut disebabkan oleh reaktivitas endogen dari mikroorganisme yang memang sudah ada di dalam tubuh, tetapi karena melemahnya sistem kekebalan tubuh, maka fenomena tesebut dapat terjadi. AIDS adalah sejenis penyakit dimana terjadi kerusakan sistem imunitas tubuh, sehingga menyebabkan penderita tak mampu menangkis infeksi tertentu, seperti pneumonia, ataupun infeksi fatal lainnya.5 Pemeriksaan laboratorium terhadap infeksi HIV dan AIDS dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu : Uji yang membuktikan adanya antibodi anti-HIV, dasar cara ini adalah mereaksikan antigen (HIV) yang dilekatkan pada benda padat (tabung atau butir pasir ) dengan serum, apabila di dalam serum terdapat anti HIV, akan terjadi ikatan antigen-antibodi. Pemeriksaan ini merupakan uji penjaringan pertama, yang bila positif dilanjutkan dengan uji lanjutan untuk konfirmasi seperti uji Western Blot. Uji yang memperlihatkan adanya penurunan imunitas tubuh. Pemeriksaan laboratorium sederhana berupa pemeriksaan kadar hemoglobin, sediaan apus darah tepi, jumlah leukosit, jumlah limfosit dan jumlah trombosit dapat membantu diagnosis AIDS. Pada penderita AIDS dijumpai anemia, leukopenia,limfopenia dan trombositopenia.Pemeriksaan yang menunjukkan adanya infeksi oportunistik dan keganasan Pemeriksaan biakan atau serologi, mungkin pula berupa pemeriksaan histopatologis, diagnosis juga dibuat secara klinis yang ditunjang oleh hasil – hasil pengujian tadi. Manifestasi Infeksi Oportunistik Akibat AIDS pada seorang penderita akan secara aktif berkonsultasi dan mengusahakan perawatan kesehatan mulut, sering tidak menyadari dirinya dalam keadaan terinfeksi HIV. Perawatan yang diberikan berulang-ulang keluhan-keluhan dan penemuan-penemuan oral sering merupakan tanda – tanda atau gejala-gejala infeksi HIV. Sering kali lesi-lesi oral yang menyertai infeksi HIV cukup mengganggu, sehingga perlu dirawat secara terus menerus,dari berbagai infeksi oportunistik di dalam rongga mulut paling banyak ditemukan adalah infeksi jamur kandidiasis mulut merupakan salah satu infeksi oportunistik yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh dan dapat terjadi pada setiap stadium dari infeksi HIV, walaupun ada 4 bentuk namun kandidiasis pseudomembranosa merupakan bentuk yang paling sering dijumpai pada penderita AIDS. Secara klinis, kandidiasis ditandai oleh timbulnya bercak putih yang dikenal sebagai pseudomembran, Infeksi – Infeksi Virus, sampai saat ini belum terdapat bukti bahwa virus AIDS (HIV) langsung menyebabkan infeksi virus oral, biarpun protein HIV telah dilaporkan ditemukan pada beberapa sel-sel epitel mulut. Virus herpes simpleks, (HVS – 1), dan kadang-kadang juga HVS-2, sering dijumpai pada individu pengidap HIV. Ekspresi utama tampak dalam bentuk reaktivitas HSV-1 yang mengenai bibir (herpes labialis). Virus Epstein-Barr dan Hairy Leukoplakia (EBV) dapat sebagai kofaktor pada serangan lymphoma non hodgkin, dan dapat juga berperan sebagai promotor bagi lesi-esi rongga mulut lain. Virus Varicella (Zoster,Shingles),pada penderita yang terganggu kekebalannya, risiko untuk kembali aktifnya virus chicken pox yang laten tetap ada, bila hal ini terjadi, penyakitnya akan berbentuk Varicella Zoter, yang lebih umum dikela sebagai Herpes Zoster atau Shingles. Cytomegalovirus, individu yang terserang HIV, antibodi terhadap CMV hampir selalu ditemukan, dan dalam jumlah besar, sebenarnya virus ini dapat dibiakkan. Pada para penderita yang kekebalannya terganggu, CMV dapat mengakibatkan retinitis, leukopenia, hepatitis, luka gastrointestinal dan pneumonitis. Lesi mukosa oral karena CMV jarang dikenal atau dilaporkan dan belum didokumentasikan dengan baik. Papilomavirus manusia ada berbagai tipe (HPV), lebih dari 55. Virus tersebut sedemikian umum ditemukan, hubungan virus tersebut dengan berbagai penyakit sering sulit didokumentasi, yaitu sebagai penyebab, kofaktor, atau passenger, peranan HPV relatif terhadap lesi oral lain, seperti leukoplakia dan karsinoma, masih terus diselidiki. Infeksi bakteri, beberapa tahun yang lampau jelaslah bahwa lesi gusi dan periodontal yang tidak lazim, dengan frekuensi yang tidak terduga, menyerang pria homoseks muda yang terinfeksi virus AIDS. Infeksi Opportunistik yang bukan Flora Oral. Telah dilaporkan adanya infeksi oral yang bukan periodontal, buka bakterial dental. Beberapa dari infeksi ini berhubungan dengan pertumbuhan yang berlebihan dari mikroorganisme yang masuk melalui mulut, tetapi biasanya tidak termasuk komponen flora oral. Keganasan yang menyertai HIV; Sarkoma Kaposi, keganasan yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS ialah Sarkoma Kaposi (SK). Diagnosis SK pada penderita yang berusia kurang dari 60 tahun sesuai dengan difinisi AIDS dari CDC, jenis lymfoma yang paling sering dijumpai pada penderita AIDS adalah lymfoma non Hodgkin (NHL) sebagai bentuk yang paling umum. Kofaktor, yang memperbesar penekanan kekebalan, tidak diketahui, biarpun diperkirakan adanya virus Epstein barr. Karsinoma skuamosa rongga mulut terutama terjadi setelah melewati usia empat puluh tahun. Pada pria homoseks muda yang terinfeksi HIV dijumpai karsinoma skuamosa lebih sering dari yang diperkirakan dapat terjadi pada golongan usia ini. Semua data dewasa ini menunjukkan bahwa manifestasi lain yang menyertai HIV, stomatitis aphtosa yang kambuh berulang-ulang atau Recurent Aphtous Stomatitis (RAS) merupakan manifestasi otoimun yang abnormal. Hipersensitivitas, Reaksi Lichenoid, seperti telah diketengahkan sebelumnya,
setidaknya 40% dari individu yang terinfeksi HIV, sistem syaraf pusatnya terganggu. Hal ini bertambah menjadi 75% pada tahap terakhir dari infeksi. Trombositopenia, orang yang terinfeksi HIV memproduksi antibodi yaitu suatu protein yang ditujukan terhadap trombositnya sendiri. Sialoadenitis, Xerostomia, para penderita HIV mengeluh mulut mereka kering. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berkurangnya curahan saliva. Penyebabnya tidak diketahui, mungkin karena reaksi otoimun atau infeksi cytomegalovirus (CMV) yang diikuti inflamasi kelenjar saliva. Lesi oral yang tidak diklasifikasikan, bila penderita yang terinfeksi HIV berkonsultasi karena tanda dan gejala yang tidak menunjukkan suatu diagnosis jelas atau indikasi terhadap suatu agen penyebab.6 PEMBAHASAN Masalah dental atau oral pada penderita AIDS menyebabkan masalah kesehatan mulut yang serius dan dapat melemahkan kondisi pasien, memelihara kesehatan mulut merupakan bagian perawatan medis yang utama dalam menurunkan resiko infeksi oral, menghilangkan rasa sakit, penderitaan, dan meningkatkan kesehatan umum pada pasien dengan AIDS.7 Pengelolaan infeksi oportunistik akibat AIDS di dalam mulut yang dapat dilakukan oleh seorang dokter gigi pada dasarnya bersifat simptomatik, suportif, mencegah timbulnya infeksi sekunder dan mencegah penularan virus kepada dokter gigi yang merawatnya atau kepada penderita lainnya.4 Terapi suportif yang dianjurkan adalah pemberian diet atau makanan lunak yang mengandung tinggi protein dan tinggi kalori. Pemberian vitamin B1 dosis tinggi vitamin B kompleks dan vitamin C dosis tinggi Untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dapat diberikan antibiotika spektrum luas dosis tinggi peroral dan aplikasi pada kulit wajah dengan pemberian salep antibiotik yang dioleskan 2-4 kali sehari di atas lesi yang sakit. Pemberian obat kumur antiseptik seperti larutan hidrogen peroksida 3% atau povidon iodion dikumur selama 30 detik dan diulang setiap 2-3 jam kemudian.8 Penderita AIDS sangat rentan terhadap berbagai macam mikroorganisme sebagai akibat defisiensi imunnya, jadi perlu diciptakan sistem yang mengandung langkah-langkah atau prosedur untuk melindungi penderita itu sendiri, baik dari infeksi endogen maupun eksogen, setelah diagnosis ditegakkan melalui rangkaian pemeriksaan penyaring dalam menelusuri penyebab penyakit selanjutnya peranan dokter gigi dalam menanggulangi dan mencegah terjadinya resiko penularan. Konsultasi medik sangat diperlukan sebelum dokter gigi mengelola berbagai infeksi oportunistik di dalam mulut yang menyertai AIDS misalnya pengobatan spesifik untuk infeksi oportunistik di dalam rongga mulut yang menyertai AIDS pemberian obat anti jamur untuk kandidiasis mulut dan antiviral untuk infeksi virus. Resiko tertular oleh virus penyebab AIDS melalui kontak langsung dengan penderita AIDS akhir-akhir ini muncul sebagai masalah kesehatan kerja yang penting, beberapa tenaga kesehatan masih menunjukkan ketakutan yang berlebihan, walaupun bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa HIV merupakan patogen nosokomial dengan resiko penyebaran yang lebih kecil dibandingkan dengan resiko penularan oleh virus hepatitis B kepada tenaga kesehatan. Satu-satunya faktor yang dihubungkan dengan resiko penularan ini adalah inokulasi dengan darah yang tercemar HIV pada suatu kecelakaan alat-alat kedokteran gigi yang tajam. Pertimbangan penting bagi dokter gigi yang merawat penderita AIDS adalah memperkecil kemungkinan terinfeksi virus penyebab AIDS maupun virus oportunistik ke dirinya sendiri, perawat maupun penderita lainnya, dengan tindakan pencegahan yang dianjurkan melalui pemakaian sarung tangan steril, pemakaian alatalat sekali pakai, disinfeksi dan sterilisasi semua alat yang terkontaminasi dan senantiasa menggunakan masker serta kacamata pelindung, walaupun saliva penderita AIDS tidak terbukti dapat menularkan HIV, namun dalam prosedur perawatan gigi yang menimbulkan resiko perdarahan bercampur saliva ini dapat berfungsi sebagai sumber penularan, adanya luka tergores pada jari tangan dokter gigi dapat menjadi port d’ entry yang berasal dari campuran darah dan saliva, partikel dan saliva yang memercik mengenai mata selama prosedur perawatan gigi dapat juga menjadi port d’ entry virus penyebab AIDS. Resiko timbulnya perdarahan pasca bedah atau tindakan kedokteran gigi yang menimbulkan perdarahan pada penderita AIDS sangat tinggi. Kecenderungan terjadi perdarahan ini dikarenakan adanya trombositopenia seperti pada penderita gangguan imunologi, atas dasar itulah dokter gigi dianjurkan untuk menggunakan sarung tangan steril dan menghindarkan terjadinya perlukaan pada jari tangan akibat tertusuk jarum injeksi dan alat-alat kedokteran gigi yang tajam, dan tangan harus dicuci dengan antiseptik sebelum dan sesudah melakukan perawatan gigi pada setiap penderita. Tindakan kedokteran gigi seperti tindakan pencabutan gigi, pembedahan yang luas, perawatan endodontik maupun tindakan bedah periodontal, sebaiknya dilakukan di Rumah Sakit mengingat daya tahan tubuh penderita AIDS yang sangat rendah dan resiko terjadinya perdarahan yang hebat.9 Banyak prosedur desinfeksi yang dikenal dan dianut saat ini seperti merebus dalam air yang mendidih efektif bagi mikroorganisme yang lebih resisten terhadap virus hepatitis dan spora , virus penyebab AIDS sendiri akan mati bila kontak dengan etil alkohol, isopropil alkohol, yodium pembersih rumah tangga, paraformaldehid, dan hidrogen peroksida. Virus penyebab AIDS akan mati bila dipanaskan misalnya dalam air mendidih 1000C selama 30 menit dan autoclave 121 0C selama 15 menit. Bagian luar virus (envelope, selubung) terdiri atas lemak yang tidak tahan terhadap panas atau bahan kimia, tetapi lemak itu pulalah yang melindungi virus terhadap kekeringan, hal itu berarti apabila cairan yang mengandung virus mengering dalam suhu kamar, virus tersebut akan tetap hidup selama beberapa jam bahkan hari, atas dasar itulah setiap permukaan meja dan
alat-alat kedokteran gigi yang terkena cairan yang tercemar virus harus didisinfeksi agar alat-alat kedokteran gigi tidak berpotensi sebagai sumber penularan HIV.10 DAFTAR PUSTAKA 1. Semendra W. Nyeri invasi virus AIDS. Semiloka IDI cabang Denpasar, 1985:55-8 2. Joerban Z. Virus penyebab AIDS ”Human Immuno Deficiency Virus HIV”. Jakarta: Medika, 1987:179-182. 3. Tjokronegoro A, Zubairi Djoerban, Corry S Matondang. Seluk beluk AIDS yang perlu anda ketahui. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992:31-32. 4. Cluneck N. Opportunistic infection and their management HIV expert. JWT Health Care, 1994. 5. Kulstad R. The etiology of AIDS in papers from sciene. The American Association For The Advencement of Science, 1985:3-5. 6. Hutapea ND. Manifestasi klinis infeksi HIV. Ed. Khusus. Cermin Dunia Kedokteran 1992:119-120. 7. Fonseca R, Cardoso Abel S, Pomarico I. A preliminary investigation of dental disease with HIV infection. Journal Oral Patholl Med. 2001;30:548. 8. Phelan JA. Oral finding in patient with acquired immunodeficiency syndrome. Ed Oral Surgery. 1987:5051. 9. Kerti Praja. Pedoman penatalaksanaan penyakit menular seksual ( PMS ). Bali. 1995. 10. Lowry WS. Management of opportunistic infection with AIDS HIV expert. JWT Helth Care. 1994.
Peran imunisasi pada proses pencegahan karies gigi Tri Purnami Dewi R. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
ABSTRAK Karies gigi merupakan penyakit jaringan keras gigi yang terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Streptococcus mutans merupakan agen utama penyebab terjadinya karies gigi sehingga pembentukan karies gigi dapat dicegah melalui pendekatan imunologi. Belakangan ini berkembang beberapa metode baru untuk mencegah terjadinya karies gigi salah satunya adalah melalui metode imunisasi. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana peranan imunisasi dalam mencegah terjadinya karies gigi. Imunisasi berperan dalam pencegahan karies gigi dengan cara menghambat kerja dari glukosiltransferase sehingga dapat mencegah pembentukan plak gigi dan kolonisasi Streptococcus mutans pada permukaan email gigi sehingga dapat menurunkan resiko terjadinya karies gigi. Kata Kunci : Imunisasi, karies gigi, Streptococcus mutans. Korespondensi : Tri Purnami Dewi R, drg, M.Kes, Bagian Biologi Oral, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jl. Kamboja 11 A Denpasar, Telp. (0361) 7424079, 7462701, Fax. (0361) 261278.
PENDAHULUAN Karies gigi merupakan penyakit yang masih menjadi masalah utama di seluruh dunia, tanpa memandang umur, bangsa maupun keadaan ekonomi. Di Amerika Serikat, umumnya anak-anak usia 5-9 tahun mempunyai paling sedikit satu lesi karies pada mahkota giginya dan hampir 50% lansia menderita karies pada permukaan akar gigi.1 Negara berkembang terutama negara miskin prevalensi karies gigi mencapai di atas 90%. Hal ini merupakan suatu tantangan dalam ilmu kedokteran gigi dan menunjukkan bahwa masih perlunya dikembangkan tindakan pencegahan yang lebih efektif untuk mengatasi masalah tersebut.2,3 Beberapa penelitian menjelaskan bahwa Streptococcus mutans merupakan penyebab utama karies gigi, sehingga secara teoritis penyakit ini kemungkinan dapat dicegah melalui pendekatan imunologi yaitu dengan metode imunisasi. Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui dan memberi gambaran yang lebih jelas bagaimana peranan imunisasi dalam proses pencegahan terbentuknya karies gigi. Karies gigi didefinisikan sebagai penyakit jaringan keras gigi yang dimulai pada lokasi tertentu pada bagian gigi, dan diikuti oleh proses kerusakan atau pembusukan gigi secara cepat.4 Ada empat hal utama yang mempengaruhi proses terjadinya karies yaitu : permukaan gigi, mikroorganisme kariogenik (penyebab karies), karbohidrat yang difermentasikan, dan waktu.5,6,7 Daerah pits dan fissure pada permukaan oklusal gigi merupakan daerah yang paling sering terkena karies.8 Hal ini karena pada permukaan oklusal banyak terdapat lekukan yang dalam dan mudah terselip sisa makanan sehingga dapat menjadi lokasi perkembangan karies gigi. Mulut merupakan tempat berkembang berbagai mikroorganisme, beberapa diantaranya merupakan mikroorganisme kariogenik, antara lain Streptococcus mutans dan Lactobacilus. Streptococcus mutans paling berperan dalam terjadinya karies gigi karena memiliki kemampuan untuk mengubah karbohidrat menjadi asam dan polisakarida.3,9,10,11 Metabolisme sukrosa ekstraseluler oleh Streptococcus mutans dengan produk glukan atau dekstran ikatan α(13) yang tidak larut di dalam air, sangat berperan dalam mekanisme pembentukan plak gigi dan peningkatan kolonisasi kuman di dalam plak. Koloni Streptococcus mutans yang dilapisi glukan dapat menurunkan sifat air liur sebagai pelindung dan antibakteri sehingga terjadi lokalisasi produk asam dengan konsentrasi yang tinggi pada permukaan email gigi.10 Menurut Kidd dan Bechal, sukrosa merupakan gula yang paling kariogenik karena sintesa polisakharida ekstra sel dari sukrosa lebih cepat dibandingkan dengan glukosa dan fruktosa.5 Glukosa, fruktosa, dan sukrosa diubah menjadi asam laktat melalui sebuah proses glikolisis yang disebut fermentasi dalam waktu sekitar 20 menit oleh Streptococcus mutans pada plak. Asam dapat melarutkan kristal apatit sehingga terjadi demineralisasi pada email diikuti dekalsifikasi dentin sehingga terbentuk lubang yang merupakan tempat tersangkutnya sisa-sisa makanan dan sangat mendukung pertumbuhan
1
2
mikroorganisme kariogenik.5,10 Akibatnya produksi asam meningkat dan proses demineralisasi gigi akan berlangsung terus-menerus. Demineralisasi dapat terjadi setelah 2 jam jika keadaan asam ini terusmenerus berlangsung. Proses sebaliknya yaitu remineralisasi dapat terjadi bila pH telah dinetralkan. Untuk dapat kembali ke pH normal dibutuhkan waktu sekitar 30-60 menit.7 Adanya kemampuan saliva untuk menetralkan pH dalam rongga mulut menjadi normal kembali setelah terjadi penurunan pH sebagai akibat dari proses metabolisme karbohidrat menjadi asam menandakan bahwa proses karies tidak terjadi dalam hitungan hari atau minggu, melainkan dalam hitungan bulan atau tahun.5
Gambar 1.Faktor Etiologi Karies Gigi.6
Perkembangan karies dimulai dengan adanya mikroorganisme kariogenik yang berperan dalam proses fermentasi dengan bantuan enzim glukosiltransferase. Enzim glukosiltransferase merupakan protein permukaan bakteri gram positif yang berperan sebagai adhesin.12,13 Glukosiltransferase disebut juga sebagai adhesin selektif Streptococcus mutans karena perannya dalam proses sintesis glukan dari sukrosa dan sebagai inisiator kolonisasi Streptococcus mutans pada plak yang disebabkan oleh adanya perlekatan dan akumulasi dari Streptococcus mutans pada permukaan gigi.14 Glukan yang disintesis dari sukrosa membentuk plak gigi yang berpotensi sebagai faktor resiko karies.15 Patogenesis karies melibatkan plak yang diawali dengan perlekatan glukan pada permukaan gigi dan diikuti oleh kolonisasi bakteri.14 Interaksi ini diperantarai oleh antigen pada permukaan sel golongan Streptococcus mutans dan reseptor (glikoprotein) yang terdapat pada plak gigi.13 Interaksi tersebut menghasilkan pembentukan asam dan mengakibatkan demineralisasi email.16 PENCEGAHAN KARIES GIGI Pencegahan karies gigi bertujuan untuk mempertahankan keadaan gigi yang sehat di dalam mulut. Lesi karies yang masih kecil lebih mudah mengalami remineralisasi dibandingkan dengan lesi yang lebih besar.7 Pencegahan karies gigi dapat dilakukan pada saat pra erupsi maupun pasca erupsi. a. Tindakan Pra Erupsi Beberapa ahli berpendapat bahwa mineralisasi gigi dimulai tepat sebelum anak lahir dan berakhir pada usia 5-6 tahun.17 Pada ibu hamil pemberian diet makanan yang bergizi tinggi seperti daging, ikan, sayur-sayuran, mineral (terutama Ca, P, F, Mg) dan vitamin (A, C, D) sangat penting. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan kesempurnaan pembentukan struktur enamel dan dentin.5 Saat ini mulai dikembangkan suatu metode imunisasi untuk mencegah terjadinya karies gigi selain pemberian diet seimbang pada ibu hamil. Beberapa penelitian menunjukkan, bahwa mikroorganisme kariogenik adalah faktor yang paling bertanggungjawab terhadap terjadinya karies gigi sehingga secara teoritis karies gigi dapat dicegah dengan imunisasi.3,5,10,18,19 Upaya yang dilakukan saat ini adalah dengan mengembangkan suatu vaksin untuk mikroorganisme kariogenik yaitu Streptococcus mutans. Vaksinasi karies adalah bentuk imunisasi buatan yang secara teori dapat mencegah penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri.3 Pendekatan imunologik menunjukkan bahwa vaksinasi Streptococcus mutans merupakan antigen yang dapat menimbulkan respon imun dalam tubuh.3,10 Vaksin ini oleh tubuh dikenal sebagai antigen sehingga apabila terjadi kontak baru dengan antigen yang sama maka antibodi yang ada dalam tubuh akan meningkat dan kekebalan seseorang terhadap suatu penyakit akan meningkat pula.20,21 Tindakan imunisasi bekerja melalui proses penginduksian antibodi yang akan menghambat kerja enzim glukosiltransferase dalam pembentukan glukan, akibatnya tidak terjadi perlekatan Streptococcus mutans pada pembentukan plak gigi.13,14 Menurut
3
Roeslan, imunisasi tidak mengakibatkan perubahan mikroflora rongga mulut karena antibodi IgAs yang ditimbulkan sifatnya spesifik hanya pada antigen tertentu.10 Kadar IgAs akan meningkat bila terjadi stimulasi lokal oleh antigen dan produksinya terjadi pada tempat yang sama dengan tempat stimulasi. Selama perkembangan karies, antibodi IgAs ditemukan pada air liur, cairan pulpa gigi, dan dentin. Hal ini menunjukkan, bahwa air liur, dentin dan pulpa gigi memberikan respon imunologik terhadap antigen kuman penyebab karies gigi. IgAs ditemukan di dalam dentin sehat maupun yang mengalami karies.10
Gambar 2.2 Efek saling menguatkan antara produksi asam oleh Streptococcus mutans dan terjadinya karies gigi.10
Menurut Lehner, vaksin diberikan sebelum gigi sulung erupsi dan dapat diberikan dalam waktu yang bersamaan dengan vaksin anti tetanus atau difteria.22 b. Tindakan Pasca Erupsi Tarigan menyebutkan bahwa tindakan pencegahan karies gigi pasca erupsi meliputi pemeliharaan kebersihan mulut dan gigi, melakukan pemeriksaan berkala 6 bulan sekali, dan mengkonsumsi makanan yang sehat.17 Menurut Kidd dan Bechal, beberapa hal yang sering dilakukan untuk mengurangi aktivitas karies gigi antara lain : pengaturan diet, plak kontrol, dan penggunaan sediaan fluor.5 Makanan yang mengandung karbohidrat seperti roti, kentang, nasi akan dipecah menjadi maltosa. Karbohidrat dengan molekul rendah seperti sakrosa, glukosa, fruktosa, dan maltosa dalam makanan merupakan substrat untuk bakteri pada plak, yang akan dirubah menjadi asam dan polisakarida.7 Mengkonsumsi karbohidrat yang mudah dipecah akan mempercepat terjadinya proses demineralisasi dari jaringan keras gigi, sehingga frekuensi dari konsumsi makanan yang mengandung gula harus sangat dikurangi yaitu dengan mengurangi makan makanan kecil di antara jam-jam makan.5 Resiko kerusakan jaringan mulut yang berkaitan dengan karbohidrat akan berkurang bila secara teratur permukaan gigi dibersihkan dari plak.23 Plak kontrol merupakan tindakan pencegahan menumpuknya dental plak dan deposit-deposit lainnya pada permukaan gigi dan sekitarnya, contohnya menjaga kebersihan rongga mulut dengan menggunakan sikat gigi.5 Keparahan penyakit periodontal dan kerusakan gigi dipengaruhi oleh keberadaan plak.10 Penggunaan fluor untuk membantu remineralisasi dan pencegahan karies dapat dilakukan dengan cara berkumur fluor setiap hari, aplikasi topikal gel fluor oleh dokter gigi setiap tiga bulan dan menggunakan pasta gigi yang mengandung fluor.5 Kandungan dari pasta gigi yang mempunyai sifat anti karies adalah natrium monofluorophosfat (NaMFP) karena kemampuan dari senyawa MFP untuk bertukar tempat dengan kelompok fosfat yang ada dalam kristal apatit sehingga nantinya akan mengeluarkan ion fluor.17
IMUNISASI Imunisasi adalah salah satu cara untuk meningkatkan kekebalan tubuh seseorang secara aktif terhadap suatu antigen.2 Imunisasi dapat bersifat alami atau buatan (vaksinasi). Vaksinasi karies adalah bentuk imunisasi buatan berupa mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung antigenesitasnya.20,21 Menurut
4
Judarwanto, cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian, ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin dapat menentukan keberhasilan suatu vaksinasi serta mempengaruhi respon imun yang timbul.2 Pemberian vaksin secara oral akan menimbulkan imunitas lokal, sedangkan vaksin parenteral akan memberikan imunitas sistemik.20 Dosis yang terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan, sedangkan dosis terlalu rendah tidak memberikan respons imun yang diinginkan. Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji coba, jadi harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.20 Pemberian ulang (booster) sebaiknya sesuai anjuran berdasarkan hasil uji coba. Bila vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten, bahkan dapat terjadi reaksi Arthus yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal.2 Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun terhadap antigen.24 Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan cara mempertahankan antigen pada tempat suntikan, dan mengaktivasi sel penyaji antigen (Antigen-Presenting Cell) untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel imunokompeten lainnya. Vaksin hidup dapat membangkitkan respons imun lebih baik dibandingkan vaksin mati (killed), vaksin yang diinaktivasi (inactivated), atau komponen dari mikroorganisme.20 Aktivasi sel Tc memori membutuhkan suatu sel yang terinfeksi sehingga dibutuhkan vaksin hidup. IMUNISASI TERHADAP KARIES GIGI Upaya pencegahan karies gigi yang dilakukan adalah dengan pendekatan imunologik mengingat bahwa Streptococcus mutans dapat menimbulkan respon imun sehingga secara teoritis karies gigi dapat dicegah melalui imunisasi.10,18 Menurut Pintauli, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk pengembangan vaksin pencegah karies gigi yaitu aman digunakan pada manusia, mengandung antigen Streptococcus mutans yang dapat meningkatkan antibodi, pemberiannya harus melalui prosedur yang tepat sehingga dapat meningkatkan respon yang diinginkan, mempunyai komposisi yang efektif, serta harga yang terjangkau sehingga dapat digunakan oleh masyarakat luas.3 Imunisasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif.3 Imunisasi Aktif. Imunisasi aktif diperoleh dengan terbentuknya antibodi sendiri sebagai respon terhadap antigen.20 Biasanya terjadi secara alami selama terjadi infeksi dan dapat diperoleh secara buatan dengan vaksinasi.3 Menurut Pintauli, beberapa bahan yang dapat digunakan pada imunisasi aktif yaitu peptida sintetik Streptococcus mutans, antigen Streptococcus mutans digabung dengan sub unit toksin kolera, antigen Streptococcus mutans digabungkan dengan Salmonella, serta liposom Streptococcus mutans.3 Imunisasi Pasif. Imunisasi pasif diperoleh dari pemberian antibodi.3 Perlindungan yang diberikan terjadi secara cepat tetapi singkat dan biasanya bersifat sementara serta hanya dapat bertahan dalam waktu empat bulan sehingga diperlukan aplikasi berulang.20,21 Menurut Pintauli (2003), beberapa bahan yang dapat digunakan pada imunisasi pasif yaitu antibodi monoklonal yang diaplikasikan secara topikal, antibodi bovine colostrum dalam bentuk obat kumur, antibodi kuning telur, serta antibodi tanaman transgenik.3 Menurut Koga dkk. prosedur imunisasi pasif merupakan tindakan yang lebih aman dilakukan pada manusia dibandingkan dengan imunisasi aktif. 25 Penelitian yang dilakukan oleh Smith dkk dan Wibawa melaporkan, bahwa penggunaan antibodi kuning telur terhadap enzim glukosiltransferase Streptococcus mutans menunjukkan adanya hambatan terhadap pembentukan lesi karies.1,26 Hal tersebut didukung oleh penelitian Rawendra bahwa antibodi kuning telur yang digunakan pada imunisasi pasif mampu mencegah terjadinya karies gigi dengan cara menghambat perlekatan dan kolonisasi Streptococcus mutans.27 PEMBAHASAN Faktor utama dalam proses terbentuknya karies gigi dimulai dari adanya asam sebagai hasil pemecahan karbohidrat melalui proses fermentasi oleh mikroorganisme kariogenik dalam mulut.3 Lokalisasi produk asam dengan konsentrasi tinggi pada permukaan email gigi dengan frekuensi waktu yang terus-menerus akan menyebabkan terjadinya demineralisasi email pada gigi, diikuti dengan dekalsifikasi dentin oleh mikroorganisme kariogenik ke dalam dentin.10 Soejoedono dkk. menyebutkan, mikroorganisme sebagai agen utama penyebab karies gigi pada manusia adalah Streptococcus mutans.14 Mikroorganisme ini berperan dalam patogenesis karies gigi karena dapat memproduksi glukan yang disintesis dari sukrosa untuk membentuk plak gigi yang berfungsi sebagai faktor resiko karies.13 Banyak cara atau metode yang telah dilakukan untuk mencegah terjadinya karies gigi. Salah satu upaya terkini yang telah dilakukan yaitu melalui imunisasi. Dari segi imunologi, Streptococcus mutans merupakan antigen sehingga akan membangkitkan respon imun dalam tubuh, yaitu dengan meningkatkan antibodi dalam tubuh.10 Tujuan dari imunisasi adalah menginduksi respon imun di dalam rongga mulut
5
untuk mencegah pembentukan plak gigi dan kolonisasi Streptococcus mutans pada permukaan gigi.10 Upaya pengembangan vaksin pencegah karies gigi difokuskan pada mikroorganisme kariogenik tersebut dengan memanfaatkan antibodi terhadap glukosiltransferase Streptococcus mutans.13,28 Imunisasi akan menghambat kerja dari glukosiltransferase dengan reseptor pada permukaan gigi sehingga glukan tidak terbentuk, akibatnya tidak terjadi perlekatan kuman pada pembentukan plak gigi.14 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Smit juga menunjukkan bahwa imunisasi mampu menghambat pembentukan plak gigi dengan cara menghambat perlekatan dan kolonisasi Streptococcus mutans pada permukaan email gigi.1 Beberapa penelitian terakhir lainnya menunjukkan bahwa pembentukan karies gigi membutuhkan karbohidrat yang menempel pada permukaan gigi dan aksi dari mikroorganisme kariogenik yang akan menurunkan pH rongga mulut menjadi asam. Penurunan pH yang berlangsung terus-menerus dalam kurun waktu tertentu akan mengakibatkan demineralisasi pada permukaan gigi sehingga proses karies pun dimulai.5 Jika pembentukan plak gigi terhambat oleh imunisasi, maka aksi mikroorganisme kariogenik dalam proses fermentasi akan terhambat pula, sehingga tidak terjadi pembentukan asam yang dapat menurunkan pH rongga mulut. Hal tersebut tentu saja menyebabkan terhambatnya proses demineralisasi, sehingga tidak akan terjadi pembentukan karies. Saliva mengandung komponen imunitas tidak spesifik seperti lisozim, laktoferin, perioksidase serta komponen imunitas spesifik yaitu IgAs untuk menghadapi aksi Streptococcus mutans.10,29 Antibodi IgAs secara alamiah merupakan respon imun seluler terhadap bakteri plak yang ada di permukaan gigi dan dekat gusi saliva.3,30,31 Pada keadaan normal, akumulasi IgAs disebabkan oleh flora mikrobial dan antigen dari makanan. Imunisasi menyebabkan kadar antibodi IgAs meningkat. Sel B diaktivasi sehingga mengalami diferensiasi menjadi sel B memori dan membentuk sel plasma. Sel plasma ini akan memproduksi immunoglobulin, salah satunya adalah IgAs yang disekresikan melalui kelenjar saliva dan cairan sulkus gingiva ke rongga mulut dan permukaan gigi.3,29 Antibodi IgAs mampu mencegah perlekatan Streptococcus mutans pada permukaan email gigi dengan cara menghambat kerja glukosiltransferase sehingga glukan/dekstran ikatan α(13) tidak terbentuk. Glukan adalah hasil metabolisme ekstraseluler Streptococcus mutans yang tidak larut dalam air dan sangat berperan dalam mekanisme pembentukan plak gigi serta peningkatan kolonisasi bakteri dalam plak. Glukan sangat efisien dalam membentuk plak gigi. Peningkatan kolonisasi bakteri terjadi karena adanya agregasi antara Streptococcus mutans, Streptococcus sanguis dan Actinomyces viscosus. Glukan bertindak sebagai mediator agregasi dari bakteri tersebut.10 Jika tidak terbentuk glukan, maka tidak akan terjadi peningkatan kolonisasi bakteri sehingga asam yang terbentuk tidak akan melekat erat pada permukaan email gigi dan dalam waktu yang singkat asam akan pecah. Hal ini akan menyebabkan tidak terjadinya proses demineralisasi pada email sehingga karies gigi dapat dicegah. SIMPULAN Imunisasi berperan dalam pencegahan karies gigi dengan cara menginduksi respon imun IgAs dalam menghambat kerja glukosiltransferase Streptococcus mutans. Efek dari penghambatan ini menyebabkan glukan tidak terbentuk sehingga dapat mencegah pembentukan plak gigi dan penurunan kolonisasi bakteri pada permukaan email gigi sehingga dapat menurunkan resiko terjadinya karies gigi. DAFTAR PUSTAKA 1. Smith DJ. Caries vaccines for the twenty-first century. Journal Dental Education 2003; 67(10):11301138. 2. Judarwanto W. Imunologi imunisasi. homepage of clinical [online] Mei 2-last update , 2009. Available from: http://imunologi imunisasi_CHILDREN ALLERGY CLINIC.htm. Accessed May 16, 2009. 3. Pintauli S. Imunisasi untuk karies gigi. Dentika dental Journal 2003; 8(1):47-53 4. Koswara N. Penyakit Infeksi. Ed. ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009. 5. Kidd AM, Edwina, Bechal SJ. Dasar-Dasar Karies, Penyakit dan Penanggulangannya. Ed. ke-2. NSumawinata (penterjemah), Jakarta: EGC, 1992. 6. Anonim. 2009b, Maret 7-last update, Karies Gigi, [homepage of Wikipedia], [online], Available:http://karies_gigi wikipedia.htm[17 Juni 2009] 7. Susanto AJ. Dental karies. Dentika Dental Journal 2009; 3(1):91-95. 8. Lestari S, Boesro S. Pencegahan karies gigi dengan berkumur-kumur larutan fluor di SDN. Grogol 01, 03, dan 09 Jakarta Barat. Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi FKG Usakti 1999; Edisi Khusus FORIL VI:77-83.
6
9. 10. 11. 12. 13.
Boel T. Daya antibakteri kombinasi triclosan dan zinc sitrat dalam beberapa konsentrasi terhadap pertumbuhan Streptokokus mutans. Dentika Dental Journal USU 2000; 5(1):7-10. Roeslan BO. Imunologi Oral 2002. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Yuliarsih Y. Perbandingan pertumbuhan Streptococcus mutans INA 99 pada berbagai media perbenihan padat. Jounal Kedokteran Gigi Indonesia 2003; 10(edisi khusus KPPIKG XIII):329-330. Kriswandini IL. Protein spesifik Streptococcus mutans 1(c) lokal sebagai protein imunogenik. Dentika Dental Journal 2000; 4(3):4-9. Bachtiar B, Fatma D, Gani B. Protein permukaan sel Streptococcus mutans yang dapat dideteksi dengan immunoglobulin Y. Dentika Dental Journal 2006;11(2):188-193.
14. Soejoedono R, Farida R, Chrismirina S, Wibawan W. Efek immunoglobulin kuning telur ayam (IgY) spesifik pada pembentukan biofilm Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus. Dentika Dental Journal, 2006; 11(2):161-165. 15. Russell MW. Caries vaccines. JADA 2004; 38(4):230-235. 16. Edward JS. Cariology : the lesion, etiology, prevention, and control. In: Art and Science of Operative Dentistry. Ed. ke-5. United States of America: Mosby Inc., 2002. 17. Tarigan R. Karies. Jakarta: ECG, 1990. 18. Amerogen AVN. Ludah dan Kelenjar Ludah. Ed. ke-2. R. Abyono (penterjemah). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1992. 19. Irhamsyah. Agustus-1last update, 2008. Peran mikroorganisme terhadap terjadinya karies gigi., homepage of Journal [online]. Available from: http:// digilib.usu.ac.id/index.php/component.htm. Accessed August 15, 2009. 20. Markum AH. Pengertian Dasar Imunisasi. Ed ke-2. Jakarta; Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000. 21. Anonim. Imunitas. Homepage of Wikipedia [online] Januari 3-last update 2009a. Available from: http://imunitas.htm. Accessed March 7, 2009. 22. Lehner T. Imunologi pada Penyakit Mulut. Ed. ke-3. Farida R. Suryadhana NG (penterjemah). Jakarta: EGC, 1995:61-68. 23. Soedarmanto T. Reseptor Perlekatan Streptococcus Mutans pada Pelikel Gigi. Edisi Khusus Temu Karya Ilmiah Nasional 11-13 Agustus 2003. Majalah Kedokteran Gigi Dent. 2003:118-120. 24. Harty FJ, Ogston R. 1995, Kamus Kedokteran Gigi. Narlan Sumawinata (penterjemah). Jakarta: EGC, 1995. 25. Koga T, Oho T, Shimazaki Y. Immunization against dental caries. Journal of America Dental Association 2002; 20(16):27-38. 26. Wibawa IWT. Pemanfaatan telur ayam sebagai pabrik biologis Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan IPB, 2005. 27. Rawendra R. Imunoglobulin Y (IgY) Water Soluble Fraction (WSF) kuning telur kering beku anti enteropathogenic Escherichia coli (EPEC). Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2005. 28. Keys H, Filler S J, Gregory R L, Michalek SM, Katz J, McGehee JR. Effect Immune bovine milk on Streptococcus mutans in human dental plaque. Oral Biology 2002; 36(1):41-48. 29. Roeslan BO. Imunologi kelainan di dalam rongga mulut bagian III, Journal Of The Indonesian Dental Association 2003; 12(3):51-53. 30. Markum MS, Suharjono, Susalit E, Roesma J. Nefropati immunoglobulin A. Cermin Dunia Kedokteran 2000; 47:7-9 31. Yuliati A. Identifikasi epitop dari Streptococcus mutans terhadap sekretori immunoglobulin A saliva. Dentika Journal 2005; 38(3):103-107.