1.
RINGKASAN EXECUTIVE Kabupaten Kubu Raya terdiri atas 9 kecamatan, empat diantaranya mempunyai wilayah pesisir, sehingga mempunyai potensi sebagai penghasil ikan, baik melalui penangkapan maupun budidaya. Ke empat kecamatan tersebut adalah Kecamatan Batu Ampar, Kecamatan Kubu, Kecamatan Teluk Pakedai, dan Kecamatan Sungai Kakap. Berdasarkan pertimbangan potensi yang ada, ditentukan 3 kecamatan yang dikembangkan melalui proyek CCDP-IFAD, yaitu Kecamatan Batu Ampar, Kecamatan Kubu dan Kecamatan Teluk Pakedai. Survei pemasaran ini dilakukan di lima desa, yakni Desa Padang Tikar I dan Desa Nipah Panjang Kecamatan Batu Ampar, Desa Dabong dan Desa Kubu Kecamatan Kubu serta Desa Sungai Nibung Kecamatan Teluk Pakedai. Kajian value chain usaha perikanan di Kabupaten Kubu Raya, dilakukan dengan tujuan, antara lain: 1) Identifikasi komoditas utama; 2) Identifikasi pelaku utama, peranan dan aliran kegiatan/produk, dan 3) Analisis biaya, penerimaan, keuntungan dan marjin dari pelaku utama, terutama pada aktivitas utama, diantara pensuplai peralatan dan bahan, pembudidaya ikan, nelayan, pengolah ikan, dan pedagang (termasuk eksportir). Survei pemasaran dilakukan pada bulan November 2013, mendasarkan pada data sekunder, observasi lapang dan wawancara dengan responden berbagai latar belakang, seperti rumah tangga pelaku usaha perikanan, tokoh masyarakat, dan pengambil kebijakan. Hasil survei memutuskan 5 komoditas unggulan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan, yaitu Kepiting bakau, Rajungan, udang Jerbung, udang Krosok dan udang rebon, udang Windu dan udang Vanname. Pengembangan usaha dan inovasi yang terkait dengan ke lima komoditas tersebut pada tingkat Kabupaten adalah: 1) Mendirikan industri pengolahan chitin dan chitosan untuk mengolah cangkang rajungan, kepiting dan kulit/karapas udang. Cangkang rajungan dan ketiping (serta karapas udang) merupakan sumber chitin dan chitosan yang belum dimanfaatkan dengan baik, bahkan menjadi limbah. Sesuai dengan konsep blue economy, maka pengolahan cangkang rajungan dan kepiting menjadi penting. 2) Mengkoordinasikan dengan Kementerian Kehutanan terkain dengan status hutan mangrove sebagai hutan lindung. Hutan mangrove sebagai hutan lindung sangat menguntungkan bagi perikanan, terutama berfungsi sebagai reservat bagi kepiting, rajungan, udang dan berbagai jenis ikan yang siklus hidupnya tergantung pada kawasan hutan mangrove. 3) Pemerintah Daerah agar meningkatkan infrastruktur jalan menuju kawasan pedesaan pesisir untuk memacu perkembangan perekonomian daerah berbasis komoditas perikanan. Pengembangan dan inovasi pada tingkat desa adalah memperkuat kelembagaan kelompok nelayan menjadi kelompok usaha bersama (KUB) untuk mengelola berbagai usaha bersama, antara lain: 1) Membuat usaha miniplant (agen dan pengolah rajungan) di Desadesa yang memiliki potensi produksi rajungan. Dengan 10 anggota setiap kelompok, maka pada setiap desa dapat dibuat sati miniplant. 2) Budidaya kepiting soka. Budidaya kepiting soka mempunyai prospek yang baik, karena margin sangat besar, dan wilayah studi mempunyai potensi kepiting yang baik. Mengingat modal usahanya cukup besar, maka setiap satu kelompok dapat mengembangkan satu usaha budidaya soka. 3) Mengembangkan usaha pemasaran produk olahan ikan, antara lain dengan membuat rumah pamer agar lebih higienis dan menarik. 4) Membuat gudang bersama untuk menampung udang Rebon yang telah dikeringkan sebagai bahan baku pembuatan trasi dan 5) mengembangkan usaha pengadaan SAPRODI bagi nelayan kecil. Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 1
Pengembangan dan inovasi pada tingkat individu yang dilakukan adalah 1) Diversifikasi usaha, nelayan trammel net menambah alat pancing rawai, sehingga saat tidak musim penangkapan udang menggunakan pancing. Dengan demikian maka masa paceklik akan berkurang. 2) Mengembangkan usaha pembuatan kerupuk udang. Usaha ini sebagai upaya pemanfaatan udang krosok yang berukuran kecil. 3) Mengembangkan usaha pembuatan trasi berbahan dasar udang Rebon yang produksinya sangat melimpah pada saat musim penangkapan dan 5) Pengembangan usaha ikan asap menggunakan asap cair, agar memiliki daya awet lebih panjang.
2. PENDAHULUAN Kabupaten Kubu Raya terletak di Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, dengan posisi pada 0013’ 27’’ Lintang Utara – 1000’15’’ Lintang Selatan dan 1090 02’47’’- 1090 58’17’’Bujur Timur. Kabupaten Kubu Raya berbatasan dengan Kabupaten Pontianak di sebelah Utara, Kabupaten Kayong Utara di sebelah Selatan, Laut Natuna di sebelah Barat, serta Kabupaten Landak dan Kabupaten Sanggau di sebelah Timur. Luas wilayah Kabupaten Kubu Raya sekitar 6.985,24 Km2. Wilayah Kabupaten Kubu Raya terbagi dalam 9 kecamatan, yaitu Batu Ampar, Terentang, Kubu, Teluk Pakedai, Sungai Kakap, Rasau Jaya, Sungai Raya, Sungai Ambawang dan Kuala Mandor B. Sebagian wilayah Kabupaten Kubu Raya merupakan pulau-pulau kecil, yaitu terdapat 39 pulau yang tersebar di 5 kecamatan (Batu Ampar, Kubu, Sungai Kakap, Sungai Raya dan Sungai Ambawang). Kabupaten Kubu Raya mengalami dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni sampai dengan bulan September. Sedangkan musim penghujan biasa terjadi pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret. Keadaan ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April – Mei dan Oktober – November. Kabupaten Kubu Raya memiliki potensi perikanan yang besar. Beberapa usaha perikanan yang telah berkembang antara lain perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Daerah utama penghasil ikan adalah Kecamatan Batu Ampar, Kecamatan Sungai Kakap, Kecamatan Kubu dan Kecamatan Teluk Pakedai. Tabel 1 menjelaskan tentang produksi perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya, untuk masing-masing kecamatan. Terlihat bahwa Kecamatan Sungai Kakap dan Kecamatan Batu Ampar merupakan daerah penghasil ikan laut tertinggi, disusul Kecamatan Kubu. Kecamatan Sungai Kubu juga
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 2
merupakan penghasil ikan budidaya tertinggi, disusul Kecamatan Kubu dan Kecamatan Batu Ampar. Tabel 1. Produksi Perikanan Kabupaten Kubu Raya (Ton) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kecamatan Batu Ampar Terentang Kubu Teluk Pakedai Sungai Kakap Rasau Jaya Sungai Raya Sungai Ambawang Kuala Mandor B Jumlah 2009 Jumlah 2008
Perikanan Tangkap Budidaya Laut Perairan Umum 4.782,5 1,4 83,1 4,5 2.980,6 33,5 171,9 1.495,1 5,1 51,88 5,657,2 7,3 639,32 6,4 55,88 1,9 134,44 0,3 17,44 0,2 6,6 14.915,4 61,6 1.160,24 21.158,8 132,56 985,6
Jumlah 4.868 4,5 3.186 1.552,08 6.303,82 62,28 136,02 17,74 6,8 16.137,24 22.249,96
Sumber: BPS Kab. Kubu Raya (2010)
Perikanan tangkap Kabupaten Kubu Raya masih didominasi oleh perahu berukuran kurang dari 5 GT dan perahu mesin kecil. Hasil tangkapan ikan laut relatif beragam, meulai dari ikan demersal seperti ikan Manyung, Bawal Hitam, Bawal Putih, Ekor Kuning, ikan pelagis kecil seperti: Kembung, Selar, Layang, ikan pelagis besar seperti: ikan Tongkol Cakalang, Tenggiri, Mata Besar, Krustasea seperti: Udang Dogol, Udang Putih/Jerbung, Udang Krosok, Udang Windu, Kepiting, dan Rajungan, serta moluska seperti: kekerangan, Cumi-Cumi, dan Sotong. Beberapa jenis ikan laut tersebut memiliki nilai ekonomi yang relatif tinggi, di antaranya Rajungan, Kepiting, Udang, Cumi-Cumi, Kerapu dan Kakap Merah. Produksi ikan laut Kabupaten Kubu Raya pada tahun 2012 adalah 22.000,8 ton dengan nilai produksi Rp. 170.608.250.000,-. Sedangkan produksi perikanan tangkap perairan umum Kabupaten Kubu Raya pada tahun 2012 sebesar 237,8 ton dengan nilai produksi Rp. 2.893.800.000,-. Beberapa jenis ikan yang tertangkap di perairan umum, antara lain: Betok, Tapah, Siam, Gabus, Toman, Nila, Lele, Nilem, Paray, Betutu, Belida, Patin Jambal, Lais, Ikan Sumpit, Udang Grago, Udang Galah, Remis, dan Siput. Terdapat 15 unit pangkalan pendaratan ikan (PPI)/tempat pelelangan ikan (TPI) di Kabupaten Kubu Raya, diantaranya 4 unit terletak di Kecamatan Batu Ampar, 3 unit di Kecamatan Kubu, 3 unit di Kecamatan Teluk Pakedai, 3 unit di Kecamatan Sungai Kakap, 1 unit di Kecamatan Sungai Raya, dan 1 unit di Kecamatan Sungai Ambawang. Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 3
Perikanan budidaya di Kabupaten Kubu Raya dikembangkan dengan beberapa metode budidaya, antara lain: budidaya kolam, keramba jaring apung, karamba jaring tancap, tambak, dan laut. Produksi pada tahun 2012 sekitar 2.039,53 ton dengan nilai produksi Rp. 33.725.309.770,-. Budidaya di Kabupaten Kubu Raya terdiri dari ikan Nila, Lele, dan Patin untuk air tawar, untuk air payau terdiri dari ikan Bandeng, Kakap, udang Windu, udang Vanname dan Kepiting. Unit pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di Kabupaten Kubu Raya memproduksi sebesar 848 ton. Unit pengolahan terdiri dari penggaraman/pengeringan, fermentasi, dan penanganan segar. Sedangkan untuk pemasaran hasil perikanan terdiri dari pengumpul, pedagan besar /distributor, pengencer, rumah makan dan catering. Nilai produksi untuk pengolahan hasil perikanan sebesar Rp. 16.562.281.567,-. Berdasarkan data yang ada dan didukung hasil observasi lapang dapat disebutkan bahwa komoditas ikan budidaya air payau (tambak) yang potensi untuk dikembangkan di daerah studi adalah udang windu, udang vaname, ikan Bandeng dan Kepiting Bakau (penggemukan dan soka). 3. KEGIATAN DAN METODOLOGI Kajian survei pemasaran perikanan telah dilakukan di Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Penentuan lokasi survei pemasaran mempertimbangkan berbagai aspek, terutama potensi usaha perikanan dan pengembangannya, serta keterlibatannya dengan program CCDP-IFAD. Berdasarkan hal tersebut telah ditetapkan lima desa sampel, yaitu Desa Padang Tikar I dan Desa Nipah Panjang (Kecamatan Batu Ampar), Desa Dabong dan Desa Kubu (Kecamatan Kubu) serta Desa Sungai Nibung Kecamatan Teluk Pakedai. Survei pemasaran dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder dari instansi terkait dan pustaka. Data primer dikumpulkan dengan melakukan pengamatan lapang atau observasi, wawancara dengan responden, dan focus group discussion (FGD). Responden yang diwawancarai sebanyak 9 orang setiap desa, yang terdiri dari para pelaku usaha perikanan dan masyarakat pesisir, seperti nelayan, pembudidaya, pedagang pengumpul, dan pengolah ikan. Disamping itu juga dilakukan diskusi dan wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, penyuluh dan pendamping desa serta pegawai instansi terkait.
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 4
3.1.
SASARAN DAN TUGAS Beberapa sasaran yang ingin dicapai dalam survei pemasaran antara lain adalah: 1) Mengidentifikasi komoditas perikanan dan kelautan yang telah berkembang di Kabupaten Kubu Raya. 2) Menyusun profil pasar komoditas perikanan dan kelautan yang telah berkembang di Kabupaten Kubu Raya. 3) Mengidentifikasi komoditas perikanan dan kelautan yang potensial dikembangkan di Kabupaten Kubu Raya. 4) Mengidentifikasi value chain dari beberapa komoditas utama perikanan dan kelautan yang perlu diprioritaskan untuk dikembangkan, meliputi identifikasi pelaku kunci, peranan masing-masing pelaku, aliran produk, suplai dan permintaan pasar, potensi pertumbuhan dalam volume penjualan dan nilai produk, komponen value chain, harga dan marjin per tahap value chain, potensi perbaikan value chain, serta hambatan dan resiko.
3.2.
PENDEKATAN VALUE CHAIN Konsep value chain dipopulerkan oleh Michael Porter dalam bukunya “Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance”. Meskipun pada awalnya konsep value chain berasal dari bisnis, namun pada saat ini aplikasi value chain telah diadopsi di bidang ekonomi dan industri. Dalam value chain, rantai aktivitas dari suatu perusahaan atau industri berperan dalam mengantarkan produk atau jasa yang bernilai pasar. Value chain melihat semua aktivitas perusahaan atau industri sebagai suatu sistem, mulai dari input, proses serta output. Pada value chain, aktivitas perusahaan diklasifikasikan dalam 2 aspek, yaitu aktivitas primer dan aktivitas pendukung. Aktivitas primer antara lain meliputi: inbound logistics, operasi, outbound logistics, pemasaran dan penjualan, serta jasa. Sedangkan aktivitas pendukung antara lain meliputi: firm infrastructure, manajemen SDM, teknologi dan pengadaan. Antar komponen dalam aktivitas primer dan pendukung saling terkait untuk menghasilkan marjin.
3.3.
METODOLOGI VALUE CHAIN Pada prinsipnya, aktivitas dalam industri perikanan di Kabupaten Kubu Raya dapat dibedakan dalam 2 kelompok, yaitu aktivitas utama dan aktivitas pendukung (Gambar 1). Aktivitas utama di antaranya meliputi pensuplai peralatan dan bahan, produksi Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 5
primer (pembudidaya ikan, dan nelayan), pengolah ikan, dan perdagangan perikanan (pedagang ikan segar/hidup, pedagang ikan olahan, dan eksportir). Aktivitas pendukung di antaranya meliputi pemerintah (pembuat dan penegak regulasi, penyedia infrastruktur, dan pembina usaha perikanan), lembaga peneliti (penyedia IPTEK perikanan), perguruan tinggi (penyedia IPTEK perikanan dan pensuplai tenaga kerja perikanan terdidik), penyedia jasa transportasi, dan lembaga keuangan (penyedia modal). Antara komponen aktivitas utama dan aktivitas pendukung saling berkaitan untuk menyediakan komoditas perikanan kepada konsumen (baik lokal, nasional maupun internasional), dimana aktivitas industri perikanan tersebut menghasilkan marjin atau tingkat nilai keuntungan. Aktivitas Pendukung Pemerintah
Lembaga Peneliti
Perguruan Tinggi
Penyedia Jasa Transportasi
Konsumen Lokal
Lembaga Keuangan
Petani Ikan
Pedagang Perikanan & Eksportir
Pengolah Ikan
MARJIN
Pensuplai Peralatan & Bahan untuk Usaha Perikanan
Konsumen Nasional
Konsumen Internasional
Nelayan
Aktivitas Utama
Gambar 1. Value Chain Perikanan Kajian value chain industri perikanan di Kabupaten Kubu Raya, dilakukan tahapan proses, antara lain: 1) Identifikasi komoditas utama 2) Identifikasi pelaku utama, peranan dan aliran kegiatan/produk. 3) Analisis biaya, penerimaan, keuntungan dan marjin dari pelaku utama, terutama pada aktivitas utama, diantara pensuplai peralatan dan bahan, pembudidaya ikan, nelayan, pengolah ikan, dan pedagang (termasuk eksportir). 4) Estimasi pasar (suplai dan permintaan) dan proyeksi pertumbuhan bisnis 5) Penyusunan rekomendasi pengembangan value chain industri perikanan 6) Identifikasi kendala, resiko dan solusinya. Metode pengumpulan data dilakukan melalui beberapa cara, yaitu: Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 6
1) Pengumpulan data sekunder, yaitu data terkait industri perikanan yang disediakan oleh lembaga yang berwenang. 2) Studi pengamatan di lapangan. 3) Wawancara dan diskusi dengan para pemangku kepentingan yang relevan. Beberapa data bersifat kuantitatif dan dianalisis untuk mendukung analisis value chain secara komprehensif. Beberapa variabel kuantitatif yang diamati adalah keuntungan /marjin. 4. KERANGKA KEBIJAKAN, REGULASI DAN KELEMBAGAAN Kabupaten Kubu Raya merupakan pemekaran dari Kabupaten Pontianak. Pembentukan Kabupaten Kubu Raya disyahkan dengan UU Nomor 35 Tahun 2007 tanggal 10 Agustus 2007, yang kemudian dicatat dalam Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 101 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 475. Regulasi yang berlaku dalam industri perikanan di Kabupaten Kubu Raya merupakan gabungan dari regulasi tingkat nasional maupun Daerah. Kegiatan perikanan di Indonesia memiliki payung hukum pada UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang selanjutnya direvisi dengan UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Pada tahun 2001, Pemerintah menetapkan revitalisasi perikanan dengan tiga komoditas yaitu udang, ikan dan rumput laut. Selain itu, terdapat pula beberapa regulasi teknis bidang kelautan dan perikanan, misalnya UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2002 tentang Karantina Ikan, Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, Permen No. 20 Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya, Permen No. 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, Permen No. 30 Tahun 49 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.14/Men/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap, Permen No. 16 Tahun 2006 tentang Pelabuhan Perikanan. Pada tingkat kabupaten terdapat Peraturan Bupati Kubu Raya No. 23 Tahun 2011 Tentang Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kabupaten Kubu Raya. Di samping ketentuan perundangan tersebut, pada tahun 2009, Kabupaten Kubu Raya juga telah melakukan Identifikasi Pengembangan Kawasan Perikanan Budidaya Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 7
Kabupaten Kubu Raya, Kedua produk akademik tersebut dapat dijadikan sebagai bahan dan acuan dalam melaksanakan kegiatan yang terkait dengan proyek IFAD. Di Kabupaten Kubu Raya terdapat beberapa lembaga yang terkait dengan kegiatan perikanan antara lain Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kubu Raya, serta Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat. Perguruan tinggi yang terletak tidak jauh dari Kabupaten Kubu Raya seperti Universitas Tanjungpura Pontianak dan beberapa perguruan tinggi swasta antara lain: Universitas Muhammadiyah Pontianak, Pontianak Universitas Panca Bhakti (UPB), Pontianak Politeknik Putra Bangsa (POLPUBANG), Pontianak Politeknik Tonggak Equator (POLTEQ), Pontianak Selain universitas dan politeknik, di Kota Pontianak juga masih terdapat sekolah tinggi dan akademi. Beberapa institusi tersebut dapat bersinergi untuk optimalisasi pembangunan perikanan Kabupaten Kubu Raya. Berdasarkan hasil kajian dan identifikasi pengembangan kawasan perikanan budidaya di Kabupaten Kubu Raya yang dilakukan tahun 2009, disimpulkan bahwa budidaya laut yang sangat sesuai untuk dikembangkan di daerah pesisir laut Kabupaten Kubu Raya diantaranya adalah jenis ikan Kakap, Kerapu, dan Bandeng. Hal ini karena jenis ikan tersebut tergolong mudah untuk memperoleh bibit dan mudah pemeliharaannya. Ikan Kakap (Lutianus argentimaculatus), Kerapu (Plectropomus Sp, Cromileptus altivelis, Epinephelus malabaricus, Chromileptes altivelis, dan Epinephelus fuscoguttatus) dan Bandeng (Chanos chanos) dapat dipelihara di karamba jaring apung (KJA) atau keramba jaring tancap (KJT). Pola pemeliharaan yang sesuai dilakukan di Kabupaten Kubu Raya adalah Tradisional dan Semi intensif. Kegiatan budidaya laut tersebut dapat dikembangkan di Kecamatan Sungai Kakap, Teluk Pakedai, Kubu dan Batu Ampar. Di samping budidaya laut, di empat kecamatan tersebut juga sesuai untuk pengembangan budidaya tambak, dengan kultivan ikan Bandeng (Chanos chanos), Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei), dan Kepiting Bakau (Scylla sp).
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 8
5. PROFIL PASAR Produksi perikanan Kabupaten Kubu Raya bersumber dari kegiatan penangkapan dan budidaya ikan. Sebagian dari produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya diolah menjadi produk ikan olahan, seperti penggaraman/pemindangan, fermentasi, krupuk udang, dan ikan kering. Produksi perikanan Kabupaten Kubu Raya dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat local, dan sebagian dijual melalui Kota Pontianak. Produksi perikanan dari Kabupaten Kubu Raya tersebut dikonsumsi masyarakat Kota Pontianak dan sebagian dijual ke daerah lain, seperti Jakarta dan Surabaya. Dari Jakarta dan Surabaya, beberapa jenis komoditas, seperti rajungan juga diekspor terutama ke Amerika Serikat. Masyarakat pesisir di daerah studi, masih ditemukan adanya pola hubungan pratronclient. Terjadi pola hubungan ekonomi yang menggambarkan adanya pelapisan sosial, digambarkan oleh pola hubungan antara Juragan/Tengkulak/Tauke dan pandega (nelayan pelaku/ABK). Tauke sebagai pemilik modal, tidak hanya berfungsi finansial bagi nelayan,
tetapi
juga
berfungsi
sebagai
penyedia
faktor/
sarana
produksi
penangkapan/budidaya ikan, fungsi pemasaran (Tauke membeli dan menyalurkan ikan) serta fungsi sosial (memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di musim paceklik). Pada posisi yang demikian, maka nelayan sebagai produsen posisi tawarnya menjadi lemah. Keadaan tersebut, disamping akibat keterbatasan modal dari nelayan dan pembudidaya, juga didukung oleh keterbatasan akses jalan ke desa, yang hanya dapat dijangkau melalui jalur air dan mahal yang berimplikasi pada keterbatasan kepada akses pasar, akses lembaga keuangan belum tersedianya lembaga keuangan yang dapat diakses oleh nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan. Ikan hasil tangkapan nelayan, pembudidaya dan ikan hasil olahan dari para pengolah dibeli oleh pedagang pengumpul yang dikenal dengan Tauke atau juragan. Para pedagang pengumpul tersebut selanjutnya memasarkan ke Kota Pontianak. Di Kota Pontianak, terdapat beberapa pasar sebagai pusat pemasaran ikan, diantaranya yang terbesar adalah Pasar ikan Plamboyan. Pasar ikan Plamboyan merupakan pusat pasar ikan, yang menampung produk perikanan dari berbagai daerah di sekitar Pontianak. Di pasar ikan Plamboyan, ikan dibeli langsung oleh konsumen, pedagang pengecer, pemilik warung/rumah makan/restoran, serta Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 9
pedagang besar untuk dipasarkan ke luar kota dan luar provinsi seperti Surabaya dan Jakarta, serta pengolah ikan. Untuk komoditas rajungan, hasil tangkapan nelayan dibeli oleh Miniplant (Agen). Miniplant rajungan ini adalah agen dari perusahaan eksportir daging rajungan (PT. Borneo), yang berada di Kota Pontianak. Miniplant juga melakukan pengolahan awal terhadap rajungan berupa pencucian, perebusan, pengupasan dan pembekuan. Daging rajungan yang diperoleh dipisahkan antara daging yang berasal dari capit dan bagian tubuh rajungan, karena masing-masing mempunyai harga yang berbeda. Dari proses pengolahan awal ini menghasilkan limbah cangkang rajungan, yang menimbulkan bau tidak sedap. Cangkang rajungan sebenarnya dapat diolah menjadi chitin dan chitosan, yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Bahan dan alat/sarana produksi (SAPRODI) seperti jaring, pancing, pakan ikan dan lainlain dapat diperoleh melalui para juragan atau langsung dari Kota Pontianak (jika memiliki modal). Ketergantungan masyarakat Kubu Raya dalam memenuhi kebutuhan perekonomiannya terhadap Kota Pontianak demikian tinggi. Hal ini terjadi karena infrastruktur Kabupaten Kubu Raya masih belum berkembang, sehingga pasokan barangbarang kebutuhan masih lebih banyak dari Kota Pontianak. 6. PELUANG BISNIS KELAUTAN DAN PERIKANAN BERBASIS KOMODITAS Budidaya ikan di Kabupaten Kubu Raya dilakukan dengan beberapa metode budidaya, antara lain budidaya kolam/ tambak, dan karamba (apung/ tancap). Tabel 2. Data Perikanan Budidaya Kabupaten Kubu Raya 2012 No 1
Uraian
RTP (RTP)
Luas (M2) 716,00 25.613,00
Pembesaran di Kolam /Freshwater 2 Pembesaran di Karamba / Cage 0,00 11.600,00 3 Pembesaran di Karamba Jaring 616,00 9.792,00 Apung / FloatingCage 4 Pembesaran di Karamba Jaring 1.298,00 Tancap 5 Pembesaran di Tambak / 405,00 1.627,00 Brackishwater 6 Pembesaran di Laut / Marine 125,00 1.530,00 Jumlah Sumber : DKP Kalimantan Barat (2013)
Volume Nilai / Value (Ton) (Rp. 1000) 613,51 6.932.474,42 0,00 265,32
0,00 7.486.970,00
273,13
4.728.964,35
865,82 13.544.421,00 21,75 1.032.480,00 2.039,53 33.725.309,77
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 10
Volume produksi paling besar adalah budidaya di tambak yaitu 865,82 ton, dengan nilai produksi sebesar Rp. 33.725.309,-. Total volume produksi dan nilai produksi yang dihasilkan dari perikanan budidaya adalah sebesar 2.039,53 ton dan Rp. 33.725.309,.Jenis ikan yang banyak dibudidayakan antara lain: ikan Mas, Nila, Lele, Bandeng, udang Windu dan Vanname. Gambaran produksi perikanan budidaya di Kabupaten Kubu Raya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Produksi Perikanan Budidaya Kabupaten Kubu Raya tahun 2012 No Jenis Usaha Produksi (kg) Nilai Produksi 1 Mas 112,37 3.515.450,2 Nila 591,90 11.474.679,89 3 Lele 410,69 1.194.917,30 4 Patin 37,00 479.084,5 Bandeng 693,93 8.733.990,6 Kakap 15,20 456.076,7 U.windu 114,31 3.389.395,8 U.vanamei 20,02 460.790,9 Kepiting 22,36 504.170,10 Kerapu 9,93 741.000,11 Bawal 8,82 123.480,Jumlah 2036,53 31.073.032,19 Sumber : DKP Kalimantan Barat (2013) Jumlah produksi tertinggi adalah ikan Bandeng, mencapai 693,93 ton atau
nilai
produksinya sebesar Rp. 8.733.990,-. Di samping itu, komoditas yang secara ekonomi cukup menonjol adalah ikan Kerapu, udang Windu dan udang Vanamei. Komoditas yang cukup menonjol yang dhasilkan dari budidaya air tawar adalah ikan Lele, Mas dan Nila. Di Lokasi penelitian dijumpai budidaya kepiting soka dalam skala yang masih terbatas. Budidaya kepiting soka dilakukan untuk memanfaatkan kepiting hasil tangkapan yang berukuran kecil (1 kg berisi 12-14 ekor) yang mempunyai nilai ekonomi masih rendah. Potensi budidaya di Kabupaten Kubu Raya disajikan pada Tabel 4. Dari ke empat kecamatan pesisir, Kecamatan Batu Ampar dan Kecamatan Kubu memiliki potensi budidaya air laut yang paling besar. Kecamatan Batu Ampar mempunyai ± 450 Ha perairan laut dan 2.621,33 Ha tambak. Sedangkan Kecamatan Kubu mempunyai potensi budidaya air payau (tambak) seluas ± 6.212,89 Ha dan perairan laut untuk budidaya ± 170 Ha. Total luas tambak Kabupaten Kubu sebesar ± 14.587,79 Ha, namun pemanfaatannya hanya sebesar 1.627 Ha (lihat Tabel 4) atau hanya sebesar 11,15 %.
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 11
Tabel 4. Potensi Perikanan Budidaya Kabupaten Kubu Raya per Kecamatan Potensi Budidaya Potensi Potensi Air Tawar Budidaya Payau No Kecamatan Budidaya / tambak Lahan Sungai Laut (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) 1 Batu Ampar ± 450 ± 2.621,33 ± 300 3 Kubu ± 170 ± 6.212,89 ± 250 4 Teluk Pakedai ± 150 ± 1.968,73 ± 50 ± 5 5 Sungai Kakap ± 3.784,84 ± 50 ± 14 6 Rasau Jaya ± 150 ± 30 7 Sungai Raya ± 100 ± 75 8 Sungai ± 300 ± 20 Ambawang 9 Kuala Mandor B ± 100 ± 10 Jumlah ± 770 ± 14.587,79 ± 1.500 ± 169 Sumber: DKP Kab. Kubu Raya (2010) Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 88,85 % luas tambak yang belum dimanfaatkan. Perikanan tangkap Kabupaten Kubu Raya masih didominasi oleh perahu berukuran kurang dari 5 GT dan perahu mesin kecil (Tabel 5). Tabel 5. Armada Perikanan Tangkap Kabupaten Kubu Raya (Unit) Jenis Jumlah Jenis Jumlah Perahu Tanpa Mesin Perahu Kapal Motor Jukung 723 0-5 GT 902 Perahu Kecil 735 5-10 GT 165 Perahu Sedang 621 10-20 GT 19 Perahu Besar 84 20-30 GT 5 Motor Tempel 1.550 Diatas 30 GT 0 Jumlah Armada 4.804 Sumber : DKP Kalimantan Barat (2013) Kabupaten Kubu Raya memiliki jumlah rumah tangga produksi penangkapan ikan di laut sebanyak 2.886 dengan armada sebanyak 4.064 unit dan penangkapan di perairan umum sebanyak 507 rumah tangga produksi dengan 740 unit armada. Total volume dan nilai produksi yang di dapatkan dari perikanan tangkap adalah sebesar 22.000,80 ton dan Rp. 170.608.250,- Gambaran kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Kubu Raya seperti pada Tabel 6.
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 12
Tabel 6. Data Perikanan Tangkap Kabupaten Kubu Raya 2012 No
Uraian
1 2
RTP Armada (RTP) (Unit) 2.886 4.064 507 740
Penangkapan di Laut Penangkapan di Perairan Umum Jumlah Sumber : DKP Kalimantan Barat (2013)
Volume (Ton) 21.763,00 237,80
Nilai / Value (Rp. 1000) 167.714.450,2.893.800,-
22.000,80
170.608.250,-
Alat tangkap di perairan laut memiliki fishing based di Kabupaten Kubu Raya bervariasi, diantaranya: pukat tarik udang ganda, payang, dogol, pukat cincin/purse seine, jaring insang hanyut/nylon, bubu, dan alat penangkap kepiting. Tabel 7. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap di Kabupaten Kubu Raya Jenis alat Jumlah (unit) Pukat tarik udang ganda 45 Pukat tarik berbingkai 281 Pukat tarik ikan 16 Payang 765 Dogol 1.380 Purse seine 473 Jaring insang hanyut/nylon 113 Jaring klitik/pukat plastik 340 Jaring insang tetap 1.438 Bagan perahu/rakit 70 Bagan tancap 51 Rawai hanyut 36 Rawai tetap 54 Pancing tonda 108 Pancing cumi 5 Pancing lainnya 1.068 Sero 565 Jermal 125 Bubu dan perangkap lainnya 1.980 Alat penangkap kerang 704 Alat penangkap kepiting 4.886 Muroami 112 Jala tebar 558 Sumber : DKP Kalimantan Barat (2013) Nelayan Kabupaten Kubu Raya sebagian besar melakukan operasi penangkapan bersifat one day fishing. Pengolahan ikan yang dijumpai di daerah penelitian adalah pengeringan (ebi), pembuatan trasi, pembuatan krupuk dan pembekuan skala kecil (daging rajungan) menggunakan freezer. Berdasarkan observasi selama penelitian, dipilih enam komoditas yang Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 13
dipertimbangkan mempunyai potensi untuk dikembangkan usahanya, dan diurakan sebagai berikut. 6.1.
KOMODITAS KEPITING BAKAU (SCYLLA SP). Kepiting bakau merupakan komoditas penting dan mempunyai nilai ekonomis tinggi. Produksi kepiting bakau cukup tinggi karena perairan di daerah studi masih didukung kawasan hutan bakau di sepanjang muara, pantai dan sungai.
6.1.1. Suplai Pasar Kepiting bakau (Scylla sp.) ditangkap menggunakan bubu lipat, bersifat one day fishing. Nelayan bubu lipat diantaranya terdapat di Desa Nipah Panjang, Desa Kubu, Desa Dabong dan Sungai Nibung. Penangkapan kepiting bakau dilakukan sepanjang tahun, pada saat air pasang, di kawasan hutan bakau. Produksi rata-rata kepiting bakau adalah 5 kg per trip. Satu nelayan rata-rata memiliki 60 unit bubu lipat. Jumlah bubu lipat yang tercatat di Kabupaten Kubu Raya adalah 2.504 unit dengan jumlah bubu per trip sebanyak 60 buah. Produksi kepiting bakau di Kabupaten Kubu Raya menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat sebanyak 239 ton atau setara dengan Rp, 2.547.250,-. Secara nasional, komoditas kepiting merupakan salah satu dari sepuluh komoditas utama dan unggulan yang ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Produksi kepiting dari hasil tangkapan di laut dan budidaya pada umumnya mengalami peningkatan. Total produksi kepiting Indonesia tahun 2008 mencapai jumlah 26.628 ton, kemudian semakin naik hingga 39.433 ton pada tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa potensi perikanan Indonesia cukup besar untuk menjadi salah satu negara produsen kepiting dunia. Kenaikkan produksi kepiting nasional salah satunya dikarenakan produksi di Provinsi Kalimantan Barat juga meningkat, sebagaimana terlihat pada Tabel 8. Tabel 8. Produksi Kepiting Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008-2011 Tahun
2008 2009 2010 2011
Produksi Nasional (ton) 26.628 28.822 30.605 39.433
Produksi Provinsi Kalimantan Barat (ton) 260 455 586 625
Kontribusi Kalimantan Barat terhadap produksi nasional (%) 0.98 1.58 1.91 1.58
Sumber: KKP ( 2012) Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 14
6.1.2. Kebutuhan dan Potensi Pertumbuhan Pasar Kepiting bakau banyak diminati oleh masyarakat lokal di Kabupaten Kubu Raya, maupun masyarakat Indonesia pada umumnya. Kepiting bakau merupakan satu diantara komoditas laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi di pasaran dunia. Tercatat dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, ekspor kepiting dan rajungan Indonesia naik rata-rata 14,06% per tahun. Komoditas kepiting bakau sangat digemari konsumen luar negeri dan menjadi salah satu makanan bergengsi. Amerika Serikat tercatat sebagai negara penyerap komoditas kepiting dan rajungan terbesar, yaitu hampir 55% produksi kepiting dan rajungan dunia. Beberapa negara lain yang juga memiliki permintaan tinggi antara lain negaranegara di kawasan Eropa, Australia, Jepang, Hongkong, Taiwan, Singapura, dan Korea Selatan. (Tabel 9). Tabel 9. Perkembangan Konsumsi Kepiting Dunia Tahun 1990-2007 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Total Konsumsi (Kg/Kapita/Tahun) 0.92 1.00 1.02 1.06 1.13 1.20 1.25 1.27 1.32
Tahun 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Total Konsumsi (Kg/Kapita/Tahun) 1.34 1.40 1.43 1.49 1.46 1.52 1.53 1.55 1.62
Sumber: FAO ( 2007)
Selama semester pertama tahun ini, volume ekspor kepiting melonjak 25,76 persen menjadi lebih dari 19 ribu ton senilai US$ 198 juta. Volume ekspor kepiting ke Cina tercatat mengalami lonjakan tertinggi, yakni sekitar 94 persen. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ekspor kepiting dan produk olahannya mencapai 19.786 ton pada Januari-Juni 2013. Volume ekspor ini meningkat 25,76 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yakni 15.733 ton. Peningkatan nilai ekspor kepiting juga didukung oleh kenaikan harga. Nilai ekspor kepiting tercatat naik 7,82 persen dari US$ 183,7 juta atau setara Rp 2,09 triliun (kurs Rp 11.400) pada semester I tahun 2012 menjadi 198,0 juta (Rp 2,25 triliun) pada semester I tahun 2013. Amerika Serikat menjadi pasar ekspor kepiting terbesar dengan volume ekspor 5.711 ton senilai US$ 104,7 juta atau Rp 1,193 triliun Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 15
Pada 2010, volume ekspor kepiting ke Cina tercatat baru 967 ton senilai US$ 2,1 juta (Rp 23,9 miliar). Sejak 2011, volumenya melonjak 350 persen menjadi 4.379 ton senilai US$ 16,0 juta (Rp 182 miliar). (http://www.tempo.co/read/news/2013 /09/18/092514527/Indonesia-Ekspor-Rp-2-Triliun-Kepiting). Tabel 10. Produksi dan Nilai Produksi Kepiting Nasional Tahun
Produksi (ton) Nilai Produksi (US$)
2007 2008 2009 2010 2011
21.510 20.713 18.673 21.537 23.089
179.189.000 214.319.000 156.993.000 208.424.000 262.321.000
Sumber: KKP (2012)
Permintaan ekspor kepiting bakau terus meningkat dan telah menjadikan komoditas ini sebagai salah satu andalan ekspor non migas yang pada tahun 2011 meraup devisa US $ 262.321.000. Namun kebutuhan ekspor kepiting bakau selama ini masih mengandalkan hasil penangkapan di muara sungai/ kawasan bakau. Apabila eksploitasi kepiting bakau ini semakin intensif dan tidak terkendali akan mengancam kelestarian sumber daya tersebut. Oleh karena itu, guna memenuhi kebutuhan konsumsi domestik maupun kebutuhan ekspor yang terus meningkat diperlukan upaya alternatif melalui usaha budidaya. 6.1.3. Deskripsi Value Chain Kepiting Bakau a. Deskripsi Produk Berbagai jenis kepiting hidup di ekosistem mangrove, menggali tanah sampai permukaan air sebagai adaptasi terhadap pasang surut perairan dan juga terhadap predator. Beberapa jenis kepiting dapat menggali lubang hingga 5 meter keluar dari sisi tebing sungai masuk ke mangrove. Pada kondisi lingkungan yang cocok, kepiting dapat bertahan hidup hingga mencapai umur 3-4 tahun dan mencapai ukuran lebar karapas maksimum lebih dari 200 mm (Perrine; Heasman dalam Bonine et al. 2008). Scylla sp betina matang gonad ukuran lebar karapas antara 80-120 mm (Hill; Heasman et al. dalam Bonine et al. 2008). Scylla sp jantan matang secara fisiologis ketika lebar karapas berukuran 90-110 mm. Kepiting bakau yang tertangkap ukuranya bervariasi. Berdasarkan ukuran dan harganya, kepiting hasil tangkapan nelayan dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu : Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 16
-
Kepitng A : adalah kepiting dengan isi 2 sampai kurang 5 ekor/kg harga berkisar antara Rp.35.000,- sampai dengan Rp. 45.000,-/kg.
-
Kepiting B: adalah kepiting dengan isi 6 sampai 10 ekor/kg harga berkisar antara Rp.20.000,- sampai dengan Rp. 35.000,-/kg.
-
Kepiting C adalah kepiting dengan isi lebih dari 10/kg harga berkisar antara Rp.12.000,- sampai dengan Rp. 17.000,-/kg.
Harga kepiting bakau yang berukuran kecil relatif murah. Guna meningkatkan harga, maka kepiting kecil tersebut dibudidayakan sampai kepiting moulting. Kepiting bakau berukuran kecil, dipelihara dalam karamba sekitar dua minggu. Pada saat menjelang moulting, kepiting dipindahkan ke bak bersirkulasi dan ditunggu hingga moulting. Setelah moulting, dipanen dan dicuci dengan air tawar, kemudian disimpan dalam freezer (beku). Penangkapan kepiting bakau menggunakan bubu lipat dan one day fishing, antara lain dapat dijumpai di Desa Nipah Panjang, Desa Kubu, Desa Dabong dan Sungai Nibung. Bubu merupakan alat penangkap ikan yang bersifat pasif, sebagai perangkap, yakni kepiting mudah masuk namun sulit untuk keluar. Keberhasilan penangkapan menggunakan bubu tergantung konstruksi bubu, lama perendaman (soaking time) dan jenis umpan. b. Pelaku Utama dan Peranan Dalam value chain kepiting bakau di Kabupaten Kubu Raya, terdapat beberapa pihak yang menjadi pelaku utama (key market players), yaitu: 1) Penangkap
ikan
(Nelayan),
berperan
sebagai
produsen,
melakukan
penangkapan kepiting bakau dengan alat tangkap bubu lipat. Kegiatan penangkapan dilakukan di perairan sekitar hutan bakau. 2) Pembudidaya kepiting soka, yaitu pihak yang melakukan pembudidaya kepiting soka. Bibit berasal dari hasil tangkapan kepiting bakau berukuran kecil (kelas C, berukuran sekitar 80 gram/ekor atau lebih kecil). Kepiting ukuran kecil tersebut dibudidaya dalam karamba. Kepiting soka tersebut selanjutnya dijual ke Kota Pontianak, khususnya rumah makan/restauran. 3) Tauke atau Juragan atau Tengkulak, yaitu pedagang pengumpul hasil tangkapan nelayan, yang selanjutnya menjual kepiting ke agen di Kota Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 17
Pontianak. Tauke juga tempat para nelayan memperoleh pinjaman, baik untuk keperluan alat produksi (saprodi) maupun pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan tempat memasarkan kepiting hasil tangkapan. 4) Agen, yaitu pihak yang menerima kepiting bakau hidup atau kepiting soka beku untuk dijual ke konsumen lokal melalui hotel/rumah makan. 5) Konsumen merupakan rantai terakhir dari rangkaian pemasaran komoditas kepiting bakau, terutama konsumen di wilayah Kabupaten Kubu Raya, Kota Pontianak maupun beberapa kota besar di luar provinsi Kalimantan Barat, seperti Makasar, Surabaya, Jakarta dan Bali. c. Aliran Produk, Harga dan Marjin Suplai Input Bibit kepiting soka. Bibit untuk budidaya kepiting soka adalah kepiting hasil tangkapan nelayan yang berukuran kecil, yaitu antara 12 – 15 ekor per kilogram. Sebelum ada kegiatan budidaya kepiting soka, kepiting kecil ini seringkali tidak dimanfaatkan karena tidak laku dijual. Sarana produksi. Sarana produksi untuk kegiatan budidaya kepiting soka, seperti jaring, pompa air, aerator, pipa, freezer diperoleh dari Kota Pontianak. Tabel 11. Biaya Investasi Budidaya Kepiting Soka No Biaya 1 Bak 2 Keramba apung a. Blong b. Kayu 3 Freezer (50 kg) 4 Pompa air 5 Aerator 6 Pipa 7 Listrik 8 Ikan rucah 9 Kepiting bakau
Volume 4 1
Satuan Set Set
1 1 1 10 1 60 40
Buah Buah Buah Batang Bulan Kg/bulan Kg
Harga Jumlah 2.500.000 10.000.000 5.000.000 5.000.000
11.600.000 500.000 750.000 40.000 500.000 1.500 12.000 Jumlah Biaya per trip (Rp) Produksi per trip (kg) Biaya per kg (Rp)
11.600.000 500.000 750.000 400.000 500.000 900.000 480.000 29.650.000 2.254.167 30 s.d 50 kg 56.354
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 18
Sarana produksi untuk penangkapan, seperti bahan-bahan pembuat bubu juga didapatkan dari Kota Pontianak. Hal ini karena ketersediaan barang-barang produksi di Kota Pontianak lebih lengkap, sehingga masyarakat cenderung berbelanja ke Kota Pontianak. Di samping barang-barang tersebut, untuk bahan bangunan pembuatan bak, dapat diperoleh di Kubu Raya. Teknologi Produksi Penangkapan kepiting bakau di Kabupaten Kubu Raya menggunakan alat tangkap bubu lipat. Penangkapan dapat dilakukan sepanjang tahun, terutama pada saat air pasang, sehingga sampan bisa masuk ke hutan bakau. Dalam satu bulan, jumlah hari penangkapan rata-rata 14 trip. Bubu adalah alat tangkap yang umum dikenal di kalangan nelayan, berupa jebakan, dan bersifat pasif. Alat ini berbentuk kurungan, seperti ruangan tertutup, sehingga kepting tidak dapat keluar. Bubu terbuat dari bambu, rotan, kawat, besi, jaring, kayu, dan tali plastik yang dijalin sedemikian rupa sehingga ikan yang masuk tidak dapat keluar. Alat tangkap bubu cocok dioperasikan di perairan dangkal, berkarang dan berpasir dengan kedalaman 2-7 m. Pengoperasian semua jenis bubu sama, yaitu dipasang di daerah penangkapan yang sudah diperkirakan adanya kepiting. Pemasangan bubu ada yang dipasang secara tunggal dan juga ada yang beruntai. Pengangkatan bubu dilakukan setelah dipasang selama kurang lebih 10 jam. Dalam satu tahun penangkapan dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Desember atau hampir sepanjang tahun, dengan musim puncak pada bulan November sampai Maret dan musim paceklik bulan April sampai Oktober. Satu trip memasang 60 bubu, dengan produksi kurang lebih 5 kg/trip. Penangkapan dilakukan di perairan sekitar hutan mangrove. Kepiting soka adalah kepiting cangkang lunak atau disebut juga shoft shell. Bibit kepiting yang digunakan adalah kepiting berukuran sekitar 12 ekor/kg. Kepiting dipotong kaki-kakinya agar tidak bisa berjalan dan tidak merusak karamba. Kepiting selanjutnya dimasukkan ke dalam karamba untuk dibudidayakan. Lama pemeliharaan kepiting dalam karamba sekitar 15 hari. Pada saat akan moulting kepiting tersebut dipindahkan ke bak bersirkulasi dan ditunggu hingga moulting.
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 19
Kepiting yang moulting dipanen, sedangkan yang belum moulting dipelihara kembali. Kepiting yang telah moulting secepatnya dimasukkan ke dalam freezer agar segera membeku dan cangkangnya masih tetap lunak, untuk selanjutnya dijual ke Kota Pontianak. Perdagangan Nelayan menjual kepiting hasil tangkapannya kepada tauke/juragan. Tauke akan mengumpulkan kepiting dari para nelayan sampai dengan jumlah yang cukup. Setelah terkumpul, kepiting akan dijual kea gen atau ke rumah makan. Harga kepiting dibedakan menjadi 3 (tiga) kelas, sesuai dengan ukuran, yaitu kelas A (super, ukuran besar), B (ukuran sedang) dan C (ukuran kecil). Kepiting kelas C, karena masih kecil tidak dijual kea gen, tetapi dibudidaya menjadi kepiting soka. Kepiting kelas A dan B di jual ke agen atau langsung ke rumah makan atau hotel. Processing Penanganan kepiting bakau pasca penangkapan relatif sederhana. Kepiting bakau dibiarkan dalam kondisi hidup dan kaki-kakinya diikat agar tidak dapat bergerak. Kepiting bakau tersebut dikumpulkan dalam basket dalam posisi terlentang, untuk dibawa ke Kota Pontianak. Kepiting soka setelah dipanen dicuci bersih dan segera dimasukkan ke dalam freezer untuk dibekukan. Hal ini harus segera dilakukan, karena apabila terlambat maka cangkang kepiting segera mengeras dan tidak laku dijual sebagai kepiting soka. Pemasaran Pemasaran kepiting selama ini hanya tersebar di Kabupaten Kubu Raya dan Kota Pontianak. Nelayan menjual kepiting soka hasil tangkpaannya ke Tauke. Tauke mengelompokkan kepiting bakau berdasarkan ukuran (grading). Kepiting berukuran besar dijual ke agaen, restaurant/rumah makan atau hotel yang tersebar di Kubu Raya dan Kota Pontianak atau bahkan dipasarkan ke Kuching Malaysia, dengan harga dua kali lipat. Kepiting kecil (12 ekor/kg) dipelihara menjadi kepiting soka, yang selanjutnya dijual ke rumah makan atau hotel. Gambaran mengenai value chain kepiting bakau dapat dilihat pada Gambar 2.
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 20
Nelayan Bubu Lipat: Kepiting Hidup. Biaya produksi Rp. 19.500
Tauke: Kepiting Hidup Harga Rp. 12.00045.000/Kg
Agen Pontianak Kepiting Hidup Harga Rp 65.000 – Rp.70.000 /Kg
Pembudidaya kepiting soka . Biaya prod: Rp.56.354/kg
Agen Pontianak/ Restaurant Seafood Rp. 80.000/kg
Rumah Makan: Rp. 170.000,/kg
Gambar 2. Value chain Kepiting Bakau di Daerah Survei Harga kepiting bakau di tingkat nelayan bervariasi antara Rp. 12.000,- sampai dengan Rp 45.000,-/kg tergantung ukuran. Pada tingkat agen di Kota Pontianak, harga kepiting bakau hidup berukuran besar (Kelas A), dapat mencapai Rp. 65.000,- 70.000,-/kg.
Kepiting bakau asal Kabupaten Kubu Raya selanjutnya dijual ke
restoran atau hotel. Hasil perhitungan biaya produksi kepiting disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Biaya Investasi dan Operasional Penangkapan Kepiting Bakau No
Pengeluaran
1
biaya investasi perahu motor: Sampan Bubu biaya operasional Bensin, 4 liter @ Rp. 9.000,perbekalan
a b c 2 a b
Total (Rp) 8.600.000,6.000.000,500.000,3.100.000,46.000,36.000,10.000,-
Jumlah trip per bulan adalah 14 trip, dikalikan 12 bulan, sehingga jumlah trip dalam setahun adalah 168 trip. Biaya produksi per trip diperoleh dari biaya investasi trip dan biaya operasional/trip. Jumlah biaya investasi per trip adalah Rp. 51.200,- dan biaya operasional per trip adalah Rp.46.000,-, sehingga jumlah biaya per trip produksi Rp. 97.200,-. Produksi kepiting per trip sebanyak 5 kg, maka biaya produksi per kilogram adalah Rp. 97.200,-/5 kg atau sebesar Rp. 19.500,-. Investasi untuk usaha budidaya kepiting soka adalah bak, karamba, freezer, pompa air, aerator dan instalasi air, besarnya sekitar Rp. 28.250.000,Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 21
Harga jual kepiting soka pada tingkat agen adalah Rp. 80.000,-/kg. Dari agen kepiting soka dijual ke Kota Pontianak, diantaranya ke restauran seafood dan hotel. Produksi kepiting soka dapat dilakukan sepanjang tahun, dengan kapasitas produksi sekitar 30 kg-50 kg/pembudidaya sekali siklus (15 hari). Berdasarkan biaya investasi dan biaya operasional, didapatkan biaya produksi budidaya kepiting soka. Total biaya investasi sebesar Rp. 28.250.000,-. Investasi bak mempunyai umur ekonomis 5 tahun atau 60 bulan, kecuali freezer mempunyai umur ekonomis 10 tahun atau 120 bulan. Total biaya investasi per kg adalah Rp. 9.354,-, sedangkan untuk biaya operasional per kg adalah Rp. 47.000,-, sehingga total biaya produksi Rp. 56.354,-/kg. 6.1.4. Sistem Pendukung Sistem pendukung sebagai penunjang pengembangan komoditas di Kabupaten Kubu Raya adalah sebgai berikut: a.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kubu Raya dan Provinsi Kalimantan Timur bertugas membina dan membantu pengembangan sarana dan infrastruktur yang dibutuhkan untuk pengembangan usaha perikanan.
b.
Beberapa perguruan tinggi yang dapat melakukan penelitian dan pengembangan terhadap komoditas Kepiting bakau, mulai dari teknologi pembenihan, budidaya kepiting soka, pengolahan hasil sampai pengolahan limbah cangkang dari usaha pengolahan budidaya kepiting soka. Adapun lembaga pendidikan tersebut di antaranya: a) Universitas Muhammadiyah Pontianak, Pontianak b) Universitas Panca Bhakti (UPB), Pontianak c) Universitas Tanjungpura, Pontianak d) Politeknik Putra Bangsa (POLPUBANG), Pontianak e) Politeknik Tonggak Equator (POLTEQ), Pontianak.
c.
Fasilitas jasa keuangan yang terdapat di Kabupaten Kubu Raya terdiri atas 8 bank dan 143 lembaga non perbankan. Akan tetapi dengan jarak yang relatif dekat dengan Kota Pontianak, akses perbankan juga mudah diperoleh di Kota Pontianak.
d.
Infrastruktur jalan dan listrik sudah ada di lokasi. Listrik yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan selama 24 jam setiap harinya karena menggunakan tenaga Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 22
disel. Kondisi jalan darat hanya dapat digunakan untuk sepeda motor, sehingga akses ke desa banyak ditempuh melalui sungai. 6.1.5. Kendala Utama dan Kemungkinan Solusi Berdasarkan hasil survei pemasaran, dapat dikemukakan beberapa permasalahan perikanan kepiting bakau di Kabupaten Kubu Raya dan kemungkinan solusinya. Tabel 13. Kendala Utama dan Kemungkinan Solusi Komoditas Kepiting Kendala
Kemungkinan solusi
Fasilitator
Intervensi yang mungkin dilakukan
Biaya transportasi pemasaran ke Kota Pontianak yang tinggi
Pemasaran kolektif oleh Kelompok Usaha Bersama (KUB), sehingga efesiensi biaya transportasi
Dinas Kelautan dan Perikanan
Penguatan kelompok membentuk KUB
Nelayan memiliki keterbatasan modal usaha
Perlunya lembaga keuangan non bank yang mudah diakses nelayan dan pembudidaya
Dinas Kelautan dan Perikanan
Penguatan kelompok membentuk KUB, sehingga dapat menyediakan modal usaha
Budidaya kepiting Melakukan soka dilakukan dengan pelatihan dan cara budidaya yang pendampingan tidak baik pengembangan usaha kepiting soka
Dinas Kelautan dan Perikanan
Dinan Koperasi UKMM
Menyiapkan tenaga pendamping yang kompeten
Perguruan Tinggi
6.1.6. Perbaikan Value Chain dan Pendapatan a. Level Kabupaten 1) Penyediaan mode transportasi hasil perikanan yang murah. Persoalan kendala transportasi dalam mengangkut hasil perikanan dirasakan oleh seluruh penggiat usaha perikanan, sehingga diperlukan mode transportasi yang murah dan mudah, sehingga dapat memicu pertumbuhan ekonomi lokal.
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 23
2) Perlu ditetapkan zona reservat agar kelestarian rajungan di Kabupaten Kubu Raya dapat terjaga, dan pembentukan stok rajungan berkelanjutan. 3) Keberadaan koperasi nelayan perlu dioptimalkan dengan cara mensinergikan koperasi (KUD) di desa/negeri. Oleh karenanya KUD perlu dibina agar mampu menunjang kegiatan pengembangan perikanan di Kabupaten Kubu Raya. b. Tingkat Desa 1) Pembentukan dan penguatan kelembagaan nelayan, dengan pembentukan KUB. Kelembagaan KUB dapat dibentuk untuk optimalisasi pengadaan sarana produksi, proses pembelajaran bersama dan pemasaran kepiting bakau. KUB diharapkan meningkatkan posisi tawar pelaku usaha perikanan rakyat dalam proses negosiasi harga sehingga lebih kuat. 2) Mengembangkan budidaya kepiting soka. Sebagian hasil tangkapan kepiting adalah kepiting berukuran kecil, yang nilai jualnya rendah. Untuk meningkatkan harga kepiting kecil, nelayan (melalui kelompok) agar melakukan usaha budidaya kepiting soka. Kelompok Budidaya Kepiting Soka
Nelayan Bubu
KUB
Agen RM/ Hotel
KONSUMEN :
Gambar 3. Perbaikan Value chain Kepiting Bakau di Daerah Survei c. Tingkat Individu Pengembangan usaha penangkapan kepitin bakau. Kendala utama adalah modal usuha, sehingga perlu adanya bantuan untuk meningkatkan skala usaha nelayan kepiting bakau. Untuk menjamin keberlanjutan usaha, maka nelayan perlu bergabung dalam kelompok, sehingga bersama-sama dapat membentuk KUB.
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 24
6.2.
KOMODITAS RAJUNGAN
6.2. 1 Supplai Pasar Rajungan merupakan salah satu jenis komuditas yang mempunyai potensi besar untuk menjadi komoditas ekspor, sebagai penghasil devisa negara dari sektor non migas. Gambaran tentang produksi dan nilai produksi rajungan di Provinsi Kalimantan Barat adalah sebagai berikut (Tabel 14). Tabel 14. Produksi dan Nilai Produksi Rajungan di Provinsi Kalimantan Barat Tahun
2008 2009 2010
Kalimantan Barat Nasional Produksi Nilai Produksi Produksi Nilai Produksi (ton) (Rp) (ton) (Rp) 258 3.764.480.000 38.838 704.002.436.000 583 7.922.000.000 35.010 675.568.777.000 636 8.431.600.000 42.998 779.532.566.000
Sumber: KKP (2011)
Produksi rajungan di Provinsi Kalimantan Barat mempunyai kecenderungan naik dari tahun ke tahun. Berdasarkan data statistik perikanan tangkap Kementerian Perikanan dan Kelautan Republik Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun 2008 jumlah produksi rajungan sebanyak 258 ton naik pada tahun 2010 produksi mencapai 636 ton. Kenaikkan produksi rajungan di Provinsi Kalimantan Barat diikuti dengan kenaikkan nilai produksi yaitu tahun 2008 sebesar Rp. 3.764.480.000,- menjadi Rp. 8.431.600.000,-.. Produksi rajungan nasional mengalami fluktuasi. Tahun 2008 jumlah produksi sebesar 38.838 ton dan pada tahun 2011 sebesar 42.411 ton. Fluktuasi produksi berimbas pada nilai produksi rajungan secara nasional. Tahun 2008 nilai produksi sebesar Rp. 704.002.436.000,-, sedangkan pada tahun 2010 naik menjadi Rp. 779.532.566.000,-. 6.2. 2 Kebutuhan Pasar dan Potensi Pertumbuhan Permintaan terhadap komoditas rajungan, baik dari dalam maupun luar negeri, mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data periode tahun 1993 – 2002, volume ekspor rajungan mengalami peningkatan rata-rata 16,72 % per tahun, yaitu dari 6.081 ton pada tahun 1993 meningkat menjadi 11.226 ton pada tahun 2002. Nilai ekspor rajungan juga mengalami peningkatan pada periode yang sama, yaitu Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 25
sebesar 29,98 % pertahun dari US $ 14.901.000 pada tahun 1993 meningkat menjadi US $ 90.349.000 pada tahun 2002 (Yusuf, 2007). Amerika Serikat adalah pasar terbesar bagi ekspor kepiting dan rajungan Indonesia, lebih dari setengah dari total produksi. Pada tahun 2011, volume total ekspor senilai $ 262.000.000. Beberapa Negara pesaing eksportir rajungan ke Amerika Serikat antara lain China, Vietnam, Filipina dan Thailand. Dalam tahun 2012, ekspor masing-masing negara yaitu sebagai berikut Indonesia £ 16.200.000, diikuti oleh China 7,9 juta pound, Vietnam sebesar 3,5 juta poundsterling dan Filipina dan Thailand pada 3,3 juta dan 3,1 juta pound (http://www.seafoodbusiness.com/articledetail.aspx?id=21259). Di Indonesia rajungan merupakan komoditas perikanan yang diekspor terutama ke negara Amerika, yaitu mencapai 60% dari total hasil tangkapan rajungan. Rajungan juga diekspor ke berbagai negara dalam bentuk segar yaitu ke Singapura dan Jepang, sedangkan yang dalam bentuk olahan diekspor ke Belanda. Komoditas ini merupakan komoditas ekspor urutan ketiga dalam arti jumlah setelah udang dan ikan. Beberapa spesies rajungan yang memiliki nilai ekonomis antara lain Portunus trituberculatus, P.gladiator, P. sanguinus, P. hastatoides dan P. Pelagicus Linn, sementara yang banyak dipelihara saat ini adalah P. pelagicus Linn. dan P.trituberculatus.(Tanti dan Sulwartiwi, 2010). 6.2. 3 Diskripsi tentang Value Chain a. Deskripsi Produk Jumlah jenis rajungan di perairan Indonesia diperkirakan melebihi 1000 jenis. Portunidae adalah salah satu famili rajungan dan kepiting yang memiliki pasangan kaki jalan di mana pasangan kaki kelimanya berbentuk pipih dan melebar pada ruas yang terakhir (distal). Famili portunidae sebagian besar hidup di laut, perairan bakau atau perairan payau (Soim, 1999). Habitat rajungan adalah pada pantai bersubstrat pasir, pasir berlumpur, dan di pulau berkarang. Rajungan berenang di dekat permukaan laut (sekitar 1 m) sampai kedalaman
56
meter.
Rajungan
banyak
menghabiskan
hidupnya
dengan
membenamkan tubuhnya di permukaan pasir dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu ikan dan jenis invertebrata lainnya yang mencoba mendekati untuk diserang atau dimangsa. Rajungan mempunyai karapas yang sangat menonjol Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 26
dibandingkan dengan abdomennya. Lebar karapas pada rajungan dewasa dapat mencapai ukuran 18,5 cm. Produksi rajungan merupakan hasil penangkapan nelayan menggunakan alat tangkap bubu. Penangkapan pada dasarnya dilakukan sepanjang tahun, tetapi musim penangkapan terjadi pada bulan Oktober sampai dengan April. Pada saat musim penangkapan, nelayan melakukan penangkapan sampai dengan 20 trip per bulan. Sekali trip penangkapan, nelayan memasang 60 unit bubu dengan lama waktu perendaman satu hari. Produksi rajungan dengan 60 unit bubu sebesar 5 kg/trip, dengan komposisi rajungan yang beragam, baik jenisnya maupun ukurannya. Ukuran rajungan yang dapat diterima oleh miniplant adalah minimal 60 gram. APRI menetapkan lebar karapas yang dapat di terima adalah lebih dari 8 cm. b. Pelaku Usaha Beberapa pelaku usaha rajungan adalah sebagai berikut: 1) Nelayan, sebagai produser, yang melakukan penangkapan rajungan, merupakan ujung tombak dalam usaha rajungan. 2) Miniplant berperan mengumpulkan rajungan hasil tangkapan nelayan. Sebagian miniplant mendapatkan modal kerja dari perusahaan. Kepiting diseleksi ukurannya dengan cara disortir, jika berat kurang dari 60 gr ditolak serta kepiting bertelur juga ditolak. Daging rajungan dipisahkan berdasarkan asalnya, seperti daging kaki dan tubuh rajungan, kemudian dimasukan freezer untuk selanjutnya disetorkan ke perusahaan eksportir rajungan (PT. Borneo). Setiap miniplant rajungan dapat menyerap tenaga kerja sekitar 15 – 20 orang. 3) Perusahaan eksportir rajungan, menerima rajungan dari miniplant di desa-desa nelayan, kemudian diproses dengan pengalengan (canning), untuk selanjutnya dieksport. 4) Konsumen, merupkan rantai terakhir dari komoditas rajungan, adalah masyarakat negara tujuan eksport, terutama Amerika Serikat, Belanda dan Singapore. c. Aliran Produk, Harga dan Margin Input Supply Rajungan merupakan hasil tangkapan nelayan menggunakan bubu lipat. Oleh karenanya sarapa produksi yang dibutuhkan untuk usaha penangkapan Rajungan Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 27
adalah perahu, mesin perahu, bubu, dan bahan bakar. Sedangkan untuk pengolahan paska panen dibutuhkan peralatan seperti freezer, dandang, kompor, dandang dan peralatan dapar. Bahan dan sarana produksi seperti perahu, mesin perahu dan bahan – bahan pembuat bubu selama ini dapat diperoleh dari Kota Pontianak. Peralatan perebusan dan freezer juga diperoleh dari Kota Pontianak. Teknologi Produksi Bubu merupakan alat tangkap yang banyak digunakan nelayan untuk menangkap rajungan dan kepiting. Bubu merupakan salah satu alat tangkap yang diklasifikasikan sebagai perangkap. Perangkap alat penangkap statis, umumnya berbentuk kurungan, dimana rajungan akan mudah dan sulit untuk keluar atau lolos. Trap (perangkap) ini dipasang secara tetap di dasar perairan untuk jangka waktu tertentu. Subani dan Barus dalam Fauziah (2008) mengklasifikasikan bubu menjadi bubu dasar, bubu apung, dan bubu hanyut. 1) Bubu apung (floating fish pots) Berbeda dengan bubu dasar, bubu apung biasanya dilengkapi dengan pelampung dari bambu/rakit yang diletakkan di permukaan perairan. 2) Bubu dasar Bubu jenis ini bisa dioperasikan secara tunggal atau berangkai di perairan berkarang. Dalam pengoperasiannya, bubu biasanya diikat dengan tali yang diberi pelampung untuk memudahkan dalam pengambilannya. 3) Bubu hanyut (drifting fish pots) Beberapa daerah bubu hanyut disebut dengan nama “patorani”, karena sasaran dari alat tangkap ini adalah torani (ikan terbang). Sementara ada juga yang menyebut “pakaja”. Metode pengoperasian untuk semua jenis bubu pada umumnya hampir sama, yaitu dipasang di suatu perairan yang diperkirakan banyak ikannya (ikan dasar, kepiting, udang, keong, lindung, cumi-cumi, gurita) yang akan dijadikan target spesies. Pemasangan bubu dapat dipasang satu satu (pemasangan sistem tunggal), dan secara berantai (pemasangan sistem rawai). Waktu pemasangan (setting) dan pengangkatan (hauling) dapat dilakukan pada waktu pagi hari, siang hari dan sore hari sebelum Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 28
matahari
terbenam
atau
malam
hari,
tergantung
dari
nelayan
yang
mengoperasikannya. Perdagangan Rajungan dari nelayan dijual ke miniplant. Rajungan yang terkumpul, kemudian direbus dan dikupas cangkangnya. Daging dipisahkan berdasarkan jenis, kemudian dikemas dan dijual ke perusahaan pengalengan rajungan (PT. Borneo) di Kota Pontianak. PT. Borneo merupakan industry pengalengan rajungan dan eksportir rajungan. Negara tujuan terutama Amerika Serikat dan Jepang. Processing Proses pengolahan di miniplant untuk menghasilkan produk rajungan meliputi: 1) Penerimaan, rajungan yang datang segera disortir untuk memilih antara rajungan yang segar busuk atau rusak serta ukuran. 2) Penimbangan, rajungan ditimbang untuk mengetahui jumlah bahan baku yang masuk dan biaya pembelian yang harus dikeluarkan. 3) Pencucian dan perebusan, rajungan dicuci dengan cara menyemprotkan air bersih. Perebusan dilakukan dalam dandang dengan cara penguapan selama kurang lebih 30 menit tergantung banyaknya bahan baku yang direbus. 4) Pendinginan, rajungan yang telah direbus didinginkan dengan cara dianginanginkan atau dengan menggunakan kipas angin selama 15 menit. 5) Pengambilan daging, sebelum dilakukan pengambilan daging terlebih dahulu dilakukan pelepasan karapas, kaki jalan, kaki renang dan capit dari bagian tubuh rajungan. Cara melepaskan karapas adalah dengan cara membuka bagian alat kelaminnya terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan dengan cara manual menggunakan alat bantu pisau. Daging yang diperoleh dimasukkan dalam toples plastik sesuai dengan jenisnya. 6) Penimbangan, penimbangan dilakukan sesuai jenis daging untuk mengetahui masing-masing jenis daging yang dihasilkan sehingga dapat ditentukan perkiraan hasil penjualan dan menentukan pengeluaran untuk pembayaran pekerja pengupas rajungan. 7) Pengepakan, toples plastik yang berisi daging rajungan disusun dalam blong dan diberi es curai sebagai pendingin, dalam satu blong berisi 28 toples dengan Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 29
susunan: bagian dasar toples diberi lapisan es setebal 2 cm, diatasnya ditaruh 9 toples -lapisan es setebal 2 cm- 10 toples – es setebal 2 cm- 9 toples dan terakhir dilapisi dengan es hingga memenuhi blong pada bagian atas kemudian ditutup. 8) Setelah selesai, rajungan dibawa ke perusahaan pengalengan. Pemasaran Pemasaran rajungan dari nelayan langsung dijual ke miniplant yang terdapat di lokasi tersebut. Setelah melalui proses pengolahan oleh miniplant di desa, rajungan selanjutnya dikirim ke perusahaan eksportir (PT. Borneo) yang berada di Kota Pontianak. Pasar utama rajungan adalah Amerika Serikat. Gambaran tentang aliran produk, harga dan margin antara pelaku usaha rajungan adalah sebagai berikut:
Nelayan: Rajungan Biaya Produksi Rp. 20.200
Perusahaan Pengalengan: (rata-rata Rp. 130.000/kg) 1. Spesial Rp. 60.000/Kg 2. Clow Meat Rp. 30.000/Kg 3. Rp. 130.000/Kg 4. Jumbo Rp. 220.000/Kg 5. Collosal Rp. 280.000/Kg 6. Lump Rp. 90.000/Kg 7. Back fine Rp. 180.000/Kg 8. Flower lump Rp. 220.000/Kg
Miniplant Rajungan: Rp.30.000,- Rp.45.000,-
Konsumen Masyarakat Negara pengimport
Gambar 4. Value Chain pada Rantai Pemasaran Rajungan Biaya produksi untuk menghasilkan rajungan berasal dari biaya investasi, yaitu pembelian satu unit perahu seharga Rp. 6.000.000,-, pengadaan 60 unit bubu per unit seharga Rp. 35.000,- dan biaya operasional (Tabel 15). Tabel 15. Biaya Investasi dan Operasional Usaha Perikanan Rajungan No 1
2
Uraian Investasi Perahu Bubu Operasional BBM Perbekalan
volume
Harga satuan (Rp)
1 unit 60 unit
6.000.000 35.000
4 liter 4 orang
9.000 5.000
Total (Rp) 8.100.000 6.000.000 2.100.000 56.000 36.000 20.000
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 30
Untuk mendapatkan biaya produksi per trip penangkapan rajungan, maka biaya investasi dibagi 180, (berasal dari jumlah trip perbulan rata-rata 15 kali, dalam setahun (12 bulan)). Biaya produksi per trip yang berasal dari biaya investasi didapatkan sebesar Rp. 45.000,-. Jika biaya investasi dan biaya operasional per trip dijumlahkan maka didapatkan biaya produksi sebesar Rp. 101.000,- per trip. Hasil tangkapan per trip rata-rata adalah 5 kg, sehingga biaya produksi per kg sebesar Rp. 20.200,-. Harga jual rajungan pada tingkat nelayan adalah Rp. 25.000,- - Rp. 45.000,/Kg. Investasi untuk mendirikan usaha miniplant (pengumpul dan pengolah rajungan) memerlukan biaya investasi sebesar Rp. 20.400.000,- (Tabel 16). Tabel 16. Kebutuhan Peralatan dan Investasi Usaha Pengolahan Rajungan No 1 2 3 4 5 6 7
Biaya Miniplant Dandang Kompor Meja Nampan Pisau Freezer (25 kg)
Volume 1 1 1 1 1 1 1
Satuan Unit Unit Set Set Set Set Unit
Harga Jumlah 15.000.000 15.000.000 700.000 700.000 400.000 400.000 500.000 500.000 1.000.000 1.000.000 300.000 300.000 2.500.000 2.500.000 Jumlah 20.400.000
Biaya operasional untuk transportasi kapal ke Rasau adalah Rp. 10.000,- per 30 kg,. Biaya transportasi darat dari Rasau ke Kota Pontianak sebesar Rp. 250.000,- per 250 kg atau Rp. 1.000,- per satu kg. Usaha pengolahan rajungan (miniplant) mempunyai tenaga kerja untuk mengupas rajungan, tiap miniplan membutuhkan 15 sampai 20 orang dan 3 orang perebus dengan upah per kg Rp. 11.000,-. Berdasarkan gambaran tersebut maka setiap kelompok yang terdiri dari 10 orang dengan skim bantuan Rp. 40.000.000,- dapat mendirikan miniplant pengolahan rajungan. Setiap miniplant didampingi seorang Quality Control dari perusahaan exportirnya utnuk memastikan bahwa jenis, mutu dan ukuran minimum rajungan yang diolah. Harga rajungan olahan di tingkat miniplant sebagai berikut: 1. Spesial 2. Claw Meat 3. Root
: Rp. 60.000/Kg : Rp. 30.000/Kg : Rp. 130.000/Kg Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 31
4. 5. 6. 7. 8.
Jumbo Collosal Lump Backfin Flower lump
: Rp. 220.000/Kg : Rp. 280.000/Kg : Rp. 90.000/Kg : Rp. 180.000/Kg : Rp. 220.000/Kg
6.2. 4 Sistem Pendukung Sistem pendukung sebagai penunjang pengembangan komoditas Rajungan di Kabupaten Kubu Raya adalah sebgai berikut: 1) Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kubu Raya dan Provinsi Kalimantan Timur bertugas membina dan membantu pengembangan sarana dan infrastruktur yang dibutuhkan untuk pengembangan usaha perikanan rajungan. 2) Beberapa perguruan tinggi yang dapat melakukan penelitian dan pengembangan terhadap komoditas Rajungan, mulai dari penangkapan, ukuran yang sebaiknya boleh ditangkap, pengolahan limbah cangkang dari miniplant dan manajemen usaha perikanan. Adapun lembaga pendidikan tersebut di antaranya: a) Universitas Muhammadiyah Pontianak, Pontianak b) Universitas Panca Bhakti (UPB), Pontianak c) Universitas Tanjungpura, Pontianak d) Politeknik Putra Bangsa (POLPUBANG), Pontianak e) Politeknik Tonggak Equator (POLTEQ), Pontianak. 3) Fasilitas jasa keuangan yang terdapat di Kabupaten Kubu Raya terdiri atas 8 bank dan 143 lembaga non perbankan. Akan tetapi dengan jarak yang relatif dekat dengan Kota Pontianak, akses perbankan juga mudah diperoleh di Kota Pontianak. 4) Infrastruktur listrik sudah ada di lokasi. Listrik yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan selama 24 jam setiap harinya karena menggunakan tenaga disel. 5) Infrastruktur jalan. Kondisi jalan darat hanya dapat digunakan untuk sepeda motor, sehingga akses ke desa banyak ditempuh melalui sungai. Dinas PU perlu memprogramkan pembukaan akses jalan ke desa-desa pantai/sungai yang memiliki potensi ekonomi cukup besar. 6.2. 5 Kendala Utama dan Kemungkinan Penyelesaiannya Kendala utama dan kemungkinan penyelesaiannya pengembangan rajungan di Kabupaten Kubu Raya seperti pada Tabel 17. Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 32
Tabel 17. Kendala Utama dan Kemungkinan Penyelesaiannya Pengembangan Rajungan Kendala
Kemungkinan solusi
Fasilitator
Intervensi yang mungkin dilakukan
Keterbatasan modal bagi nelayan penangkap rajungan untuk mengembangkan usahanya,
Perlunya penguatan kelembagaan pelaku perikanan rajungan melalui Kelompok Usaha Bersama (KUB)
Munculnya limbah cangkang rajungan hasil dari miniplant rajungan.
Pengolahan limbah Dinas Memberikan cangkang rajungan Kelautan dan pelatihan pengolahan yang menghasilkan Perikanan limbah rajungan. tepung cangkang. Dinas Perindustrian Pengolahan limbah cangkang rajungan menghasilkan chitin & chitosan.
Kecenderungan penurunan hasil tangkapan rajungan
Pengembangan kawasan reservat hutan mangrove
Dinas Menetapkan suatu Kelautan dan kawasan menjadi Perikanan kawasan reservat.
Transportasi yang mahal
Perlunya penguatan kelembagaan nelayan
Dinas Membentuk KUB Kelautan dan Pembangunan Perikanan infrastruktur jalan Dinas pengembangan Perhubungan transportasi yang mudah dan murah
Mengembangkan mode transportasi yang lebih murah
Dinas Memberikan paket Kelautan dan bantuan permodalan Perikanan untuk mengembangkan Dinas usaha penangkapan Koperasi dan agar skala usahanya UKMM semakin mensejahterakan
6.2. 6 Rekomendasi spesifik untuk memperbaiki Value Chain dan peningkatan pendapatan Berdasarkan uraian di atas maka rekomendasi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan adalah sebagai berikut. a. Level Kabupaten 1) Pengembangan infrastruktu jalan dan penyediaan mode transportasi hasil perikanan yang murah. Persoalan kendala transportasi dalam mengangkut hasil perikanan dirasakan oleh seluruh penggiat usaha perikanan, sehingga diperlukan Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 33
mode transportasi yang tidak memberatkan, sehingga dapat memicu pertumbuhan ekonomi lokal. 2) Perlu ditetapkan zona reservat agar kelestarian rajungan di Kabupaten Kubu Raya dapat terjaga, dan pembentukan stok rajungan berkelanjutan. 3) Mendirikan usaha pengolahan cangkang rajungan, cangkang kepiting dan kulit udang untuk menjadi chitin dan chitosan. b. Level desa Beberapa rekomendasi terkait untuk perbaikan value chain dan peningkatan pendapatan: 1) Penguatan kelembagaan nelayan dan pembentukan KUB, diorientasikan untuk: a) Usaha pengadaan sarana produksi untuk mendukung kegiatan penangkapan ikan, b) Pengolahan cangkang rajungan dan kepiting untuk menjadi produk antara yang dapat diproses oleh pabrik chitin dan chitosan. c) Pemasaran bersama hasil perikanan untuk menekan biaya pemasaran d) Mendirikan miniplant sehingga nelayan mendapatkan kepastian harga dan memperbesar margin. e) Sarana pembinaan oleh dinas terkait dan stakeholder lain, terutama terkait dengan pemberdayaan nelayan dan peningkatan kapasitas kelompok, antara lain untuk menghasilkan kualitas dan ukuran rajungan yang ditangkap agar sesuai dengan kebutuhan pasar dan dapat menjamin kelestarian stok rajungan di alam. 2) Pelatihan dan pendampingan usaha pengolahan cangkang rajungan dan kepiting, sehingga dapat mengurangi pencemaran lingkungan dan menambah pendapatan masyarakat desa. Nelayan Rajungan
Miniplan Rajungan
KUB Pengolah Cangkang Rajungan dan kepiting
Perusahaan Pengalengan Rajungan
Ekspor
Perusahaan Pengolah Chitin dan Chitosan
Gambar 5. Perubahan Value Chain pada Usaha Rajungan
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 34
c. Level Individu 1) Pengembangan usaha penangkapan kepiting, dengan penguatan modal untuk menambah jumlah bubu, sehingga usahanya semakin memiliki skala ekonomi yang mensejahterakan 2) Menambah jenis alat tangkap (multi gear), misalnya disamping bubu, juga memiliki pancing atau gillnet, sehingga pada saat tidak musim rajungan dapat menangkap ikan atau udang.
6.3.
KOMODITAS UDANG JERBUNG DAN UDANG KROSOK
6.3.1. Suplai Pasar Produksi udang Jerbung/Putih (Penaeus merguiensis) di Porvinsi Kalimantan Barat mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010. Tahun 2008 produksi udang Jerbung sebanyak 3.057 ton mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi 2.744 ton dan tahun 2010 produksi turun lagi menjadi 2.446 ton. Penurunan produksi udang Jerbung di Provinsi Kalimantan Barat tidak disertai dengan penurunan nilai produksi dimana tahun 2008 mempunyai nilai produksi paling besar yaitu Rp. 49.628.430.000,. Sedangkan untuk produksi nasional mengalami fluktuasi, pada tahun 2008 sebesar 73.870 ton mengalami penurunan tahun 2009 menjadi 71.993 ton, kemudian tahun 2010 naik kembali menjadi 76.419 ton. Nilai produksi nasional mengalami fluktuasi sesuai dengan produksi. Tabel 18. Produksi dan Nilai Produksi Udang Jerbung Nasional dan Provinsi Kalimantan Barat Tahun
2008 2009 2010
Kalimantan Barat Produksi Nilai Produksi (ton) (Rp) 3.057 49.628.430.000 2.744 36.639.400.000 2.446 48.465.950.000
Nasional Produksi Nilai Produksi (ton) (Rp) 73.870 2.013.529.415.000 71.993 1.807.006.633.000 76.419 2.077.705.935.000
Sumber: KKP (2011)
Di samping udang Jerbung, hasil tangkapan lain adalah udang Krosok (Metapenaeus affinis dan M. ensis). Produksi udang Krosok di Provinsi Kalimantan Barat antara tahun 2008 sampai 2010 mengalami pasang surut, tahun 2009 produksi udang krosok
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 35
mengalami penurunan tajam sebanyak 656 ton, jika di bandingkan pada tahun 2008 dan 2010 yaitu sebanyak 2.830 ton dan 2.901 ton. Produksi nasional udang krosok mengalami kenaikkan terutama dari tahun 2009 ke 2010 dari 6.003 ton naik menjadi 15.116 ton. Kenaikkan produksi pada tahun 2008 ke 2009 dari 5.922 ton menjadi 6.003 ton tidak di imbangi dengan nilai produksi. Nilai produksi tahun 2008 sebesar Rp. 75.248.186.000,- menurun menjadi Rp. 69.911.295.000,- pada tahun 2009. Tabel 19. Produksi dan Nilai Produksi Udang Krosok Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2008 2009 2010
Kalimantan Barat Nasional Produksi Nilai Produksi Nilai Produksi Produksi (ton) (ton) (Rp) (Rp) 2.830 23.706.500.000 5.922 75.248.186.000 656 3.079.000.000 6.003 69.911.295.000 2.901 24.289.100.000 15.116 153.879.572.000
Sumber: KKP (2011)
6.3.2. Kebutuhan Pasar dan Potensi Pertumbuhan Udang merupakan komoditas unggulan perikanan Indonesia karena tingginya nilai ekonominya. Permintaan udang baik di pasar domestik maupun di pasar internasional cenderung terus meningkat. Hal ini karena menguatnya keyakinan masyarakat internasional terhadap keunggulan nutrisi ikan termasuk udang dan keamanannya dilihat dari aspek kesehatan. Jenis udang yang banyak tertangkap dan bernilai ekonomis tinggi di Kabupaten Kubu Raya adalah udang Jerbung (Penaeus merguiensis de Man) dan udang Krosok (Metapenaeus affinis dan M. ensis). Pada tahun 2013, pemerintah menargetkan produksi udang nasional mencapai 608.000 ton, terdiri dari udang windu 148.500 ton dan 459.500 ton udang vanname dengan 90% berorientasi ekspor. Kubu Raya banyak restaurant dan rumah makan seafood. Saat ini produk perikanan, termasuk udang Jerbung dan udang Krosok, terserap oleh pasar lokal, dan pasar Kota Pontianak, maupun ekspor. Tujuan ekspor yang paling banyak adalah Malaysia, karena harganya dapat mencapai dua kali lipat dibanding dengan harga lokal.
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 36
6.3.3. Gambaran tentang Value Chain a. Diskripsi Produk Udang Jerbung (Penaeus merguiensis de man) umumnya hidup di dasar perairan dengan substrat lumpur, berpasir dan lumpur berpasir. Hal ini erat hubungannya dengan makanan dan cara makan udang. Makanan udang terdiri dari detritus dan binatang-binatang yang terdapat di dasar perairan. Udang muda hidup pada kedalaman 5-10 meter, sedangkan udang dewasa dan induk pada kedalaman 10-40 meter (Naamin et al, 1992). Berdasarkan
pemahaman
habitat
udang
Jerbung
tersebut,
maka
teknologi
penangkapan yang dikembangkan untuk menangkap udang Jerbung adalah alat tangkap trammel net. Trammel net merupakan jaring lapis tiga, dioperasikan di dasar perairan pada perairan dengan kedalaman 10 - 30 meter, dengan target tangkapan utama adalah udang. Penangkapan udang Jerbung bersifat one day fishing dan dijumpai di Desa Nipah Panjang, Desa Padang Tikar I, Desa Dabong dan Desa Sungai Nibung. Nelayan berangkat melaut sekitar pukul 06.00 dan pulang pukul 16.00. Penangkapan udang berjalan sepanjang tahun, dengan puncaknya pada bulan Oktober-April. Pada saat musim penangkapan, rata-rata trip penangkapan per bulan adalah 20 hari/trip, sedangkan pada bulan lainnya, rata-rata hanya mencapai 10 trip penangkapan per bulan. Hasil tangkapan sekitar 10 Kg/trip, terdiri dari udang Jerbung dan udang Krosok serta ikan sebagai bycatch. Sebagaimana dijelaskan terdahulu, penangkapan udang Jerbung menggunakan trammel net dan bersifat one day fishing. Nelayan berangkat melaut sekitar pukul 06.00 hingga pukul 16.00. Penangkapan udang sepanjang tahun, dengan puncaknya pada bulan Oktober-April. Rata-rata trip per bulan adalah 20 hari/trip. Hasil tangkapan sekitar 10 Kg/trip, terutama udang Jerbung dan udang Krosok. Udang Krosok yang berukuran besar biasanya diikutkan pada udang Jerbung, sehingga harganya naik seperti udang Jerbung. Penerimaan kotor setiap trip sekitar Rp. 300.000,-, dengan asumsi persentase udang jerbung 30 % dan udang krosok 70%. b. Pelaku utama Pelaku terkait dengan usaha perikanan udang Jerbung dan udang Krosok adalah:
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 37
1) Nelayan, sebagai produsen dalam usaha penangkapan udang jerbung dan udang krosok dengan menggunakan trammel net. 2) Pengolah, merupakan masyarakat yang mengolah udang kecil (udang krosok) menjadi kerupuk udang dan ebi, sehingga mendapatkan nilai tambah dari hasil tangkapan udang. 3) Tauke, pemilik modal, orang yang menerima hasil tangkapan nelayan, yang selanjutnya menjual udang jerbung dan udang Krosok ke agen di Pontianak. 4) Agen, pedagang besar, merupakan tempat pemasok dan penjual udang Jerbung maupun udang Krosok di Pontianak. Udang dengan kualitas baik dijual ke restaurant dan hotel di Pontianak atau ke kota besar seperti Makasar, Surabaya dan Jakarta atau bahkan untuk ekspor. 5) Konsumen merupkan rantai terakhir dari komoditas udang jerbung dan udang krosok. Mereka adalah pengunjung restaurant sea food dan hotel di kota-kota besar, di dalam atau di luar negeri. c. Aliran Produk, Harga dan Margin Input Supply Sarana Produksi. Peralatan yang dibutuhkan untuk usaha penangkapan udang adalah jaring trammel net, mesin kapal, dan perahu. Trammel net diperoleh dari Kota Pontianak. Perahu dan mesin dapat diperoleh di Pontianak. Peralatan pengolah untuk membuat trasi dan krupuk udang, berupa peralatan dapur pada umumnya, diperoleh di toko-toko kelontong yang ada di Kabupaten Kubu Raya dan Kota Pontianak. Bahan Bakar Minyak (BBM). BBM diperoleh dari para pengecer bahan bakar terdekat yang dapat dijangkau, dengan harga eceran yaitu Rp. 9.000,- per liter. Teknologi Produksi Trammel net merupakan salah satu jenis alat penangkap ikan yang banyak digunakan oleh nelayan. Hasil tangkapannya sebagian besar berupa udang, terutama udang Jerbung dan udang krosok. Trammel net sering disebut juga "Jaring kantong", "Jaring Gondrong" atau "Jaring Udang". Trammel net dapat dioperasikan dengan cara dipasang menetap di dasar perairan ataupun dihanyutkan. Udang dan ikan tertangkap secara terjerat atau terpuntal pada mata jaring. Alat ini dapat juga dioperasikan dengan ditarik lurus kedepan melalui kedua sisinya atau ditarik menelusuri dasar perairan melalui salah satu sisinya, yang akan membentuk seperti lingkaran dengan ujung sisi yang pertama kali diturunkan sebagai pusat Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 38
dengan tujuan untuk mendapatkan area cakupan penangkapan seluas mungkin (sweeping trammel net) (Subani dan Barus, 1981). Perahu yang digunakan adalah perahu tanpa motor atau motor tempel, dengan tenaga kerja antara 3 - 4 orang. Setelah ditunggu selama 1/2 - 1 jam, kemudian dilakukan penarikan dan pengambilan ikan atau udang yang tertangkap. Proses ini diulang beberapa kali sampai mendapatkan jumlah tangkapan yang dianggap cukup, sesuai dengan perbekalan yang ada. Perdagangan Hasil tangkapan trammel net yang berupa udang Jerbung dan udang Krosok selama ini di jual ke Tauke atau Pengumpul. Udang tersebut oleh Tauke dikelompokkan berdasarkan ukuran (grading), kemudian disimpan dengan pengawet es. Setelah terkumpul sampai jumlah tertentu, selanjutnya dijual ke agen dan rumah makan di Kota Pontianak menggunakan perahu sampai ke Rusau. Dari Rusau perjalanan dilanjutkan menggunakan transportasi darat (mobil) ke Kota Pontianak, untuk dijual ke agen / pedagang besar. Para pengumpul pada umumnya sudah memiliki agen / pedagang besar masing-masing, sehingga pemasarannya tidak mengalami hambatan. Processing Pembuatan Kerupuk Udang. Di Desa Sungai Nibung, terdapat usaha pengolahan kerupuk udang dan terasi. Biaya untuk menghasilkan kerupuk udang sebanyak 4 kg adalah Rp. 174.000,- atau Rp. 43.500/kg (Tabel 20). Tabel 20. Biaya Operasional dan Peralatan Pembuatan Kerupuk Udang. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Biaya Udang Tepung kanji Garam Merica Penyedap rasa Dandang Kompor Pisau Baskom
Volume 5 5 1 1 1 1 1 1 1
Satuan Kg Kg Kantong Kantong Saset Unit Unit Unit Unit
Harga 25.000 8.000 2.000 5.000 2.000 100.000 400.000 10.000 20.000 Jumlah
Biaya per trip Produksi per trip Biaya per kg
Jumlah 125.000 40.000 2.000 5.000 2.000 100.000 400.000 10.000 20.000 704.000 174.000 4 kg 435000
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 39
Harga kerupuk udang yang dihasilkan adalah Rp. 18.000,- (lewat agen) s.d Rp. 20.000,- (langsung) dengan berat satu bungkus 3 ons (300 gr) atau Rp. 67.000/kg. Pendapatan kotor dari usaha pembuatan krupuk adalah Rp. 240.000,-/4kg atau Rp. 60.000,-/kg, sehingga keuntungan bersih pembuatan krupuk adalah Rp. 66.000,-/4 kg atau per kg adalah Rp. 16.500,-. Biaya operasional agen dalam satu tahun sebesar Rp. 530.000,-, atau sekitar Rp. 1.500,- per hari. Dengan asumsi kapasitas produksi kerupuk per hari 4 kg, maka untuk 1 kg, biaya investasi yang dikeluarkan agen adalah Rp. 400,-. Usaha Pembuatan Terasi. Pembuatan terasi basah menggunakan bahan baku udang Rebon. Udang Rebon produksinya sangat melimpah ketika musim. Udang Rebon ditangkap oleh nelayah menggunakan alat tangkap Jermal di Muara Kubu Padang Tikar. Muara Kubu adalah salah satu muara terbaik yang ada di Provinsi Kalimantan Barat dengan hutan mangrove yang masih terjaga keasliannya dan tidak tercemar karena jauh dari kawasan industri. Lebatnya hutan mangrove yang berada di sekeliling muara anak sungai Kapuas ini adalah habitat yang sangat baik bagi udang rebon. Hasil tangkapan utama alat tangkap ikan jermal adalah udang rebon. Hasil tangkapan udang rebon per malam dapat mencapai 1 s/d 3 ton pada saat musim penangkapan, yakni sekitar Desember-Februari. Pada saat musim penangkapan, harga udang rebon sangat jatuh, karena produksinya berlimpah. Udang biasanya dikerangkan dengan panas sinar matahari. Tetapi karena pada saat itu musim penghujan, sehingga sering tidak dapat kering dengan baik. Biasanya menimbulkan bau yang kurang sedap bagi pendatang. Udang Rebon merupakan bahan baku yang sangat baik untuk pembuatan terasi, dan menghasilkan terasi yang berkualitas baik. Pembuatan terasi menggunakan teknologi sederhana, dengan peralatan memasak yang biasa digunakan sehari-hari. Investasi dan biaya operasional pembuatan terasi disajikan pada Tabel 21. Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 40
Tabel 21. Biaya Pembuatan Trasi No Biaya Volume Satuan Harga Jumlah Biaya Operasional Pembuatan Terasi Basah 1 Udang 8 Kg 10.000 80.000 2 Garam 2 Kantong 2.000 4.000 3 Penyedap 1 Saset 2.000 2.000 4 Minyak dkk 1 Set 20.000 20.000 Jumlah 106.000 Biaya operasional Pembuatan Terasi Bubuk 1 Terasi Basah 3,2 Kg 50.000 160.000 2 Garam 1 Kantong 2.000 2.000 3 Cabai 0,2 Kg 22.500 4.500 4 Bawang 1 Set 5.000 5.000 Jumlah 171.500 Asumsi Bahan baku udang akan menyusut menjadi terasi sampai 40%, sehingga didapatkan terasi basah sebanyak 3,2 kg. Biaya operasional pembuatan terasi basah Rp. 106.000,- atau per kg Rp. 33.125,- dengan harga jual 1 ons Rp. 5.000,- atau Rp. 50.000,- / kg, sehingga pendapatan kotor sebesar Rp. 160.000,-, keuntungan bersih Rp. 54.000,-. Pembuatan terasi bubuk dilakukan dengan bahan baku terasi basah. Terasi basah akan menyusut sampai 40%. Menghasilkan 1,28 kg atau setara dengan Rp. 217.600,dengan asumsi harga per kg Rp. 170.000,-. Pemasaran Harga udang Jerbung berkisar antara Rp. 20.000,- sampai dengan Rp. 68.000,-/Kg, tergantung ukuran. Di Desa Sungai Nibung, harga udang jerbung ukuran kurang dari 30 ekor/kg (Kelas A) adalah Rp. 68.000,-/kg, ukuran 30-40 ekor/kg (Kelas B) harganya Rp. 42.000,- dan ukuran di atas 40 ekor/kg (Kelas C) harganya Rp. 32.000,/Kg. Di Desa Nipah Panjang, harga udang jerbung Kelas A adalah Rp. 44.000,-/kg, Kelas B harganya Rp. 30.000,- dan Kelas C harganya Rp. 20.000,-/Kg. Harga udang di tingkat Kota Pontianak dapat mencapai Rp. 80.000,-/Kg untuk kelas A. Harga udang krosok Rp 24.000,- - Rp.25.000,-/Kg. Sedangkan untuk Hasil sampingan alat tangkap trammel net adalah ikan rucah dengan harga Rp. 10.000,-/Kg. Pada tingkat agen, harga udang Jerbung yang kelas A dapat mencapai harga Rp. 150.000,-, sedangkan udang ukuran sedang dapat mencapai harga Rp. 80.000,-. Agen menjual ke rumah makan, lokal, dan sebagian di jual ke Malaysia. Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 41
Gambaran tentang investasi dan biaya operasional penangkapan udang menggunakan trammel net di sajikan pada Tabel 22. Terlihat bahwa biaya operasional penangkapan udang Jerbung menggunakan trammel net per trip sekitar Rp. 185.000,-. Hasil tangkapan per trip trammel net, terdiri dari udang Jerbung 3 kg dan udang Krosok 7 kg. Harga udang Jerbung Rp. 50.000,-/kg atau sama dengan Rp. 150.000,dan harga udang Krosok Rp. 24.000,-/kg sama dengan Rp. 168.000,-. Total pendapatan dari udang Jerbung dan Krosok adalah Rp. 318.000,-. Biaya operasional tauke Rp. 2.000,-/kg, yang terdiri dari biaya angkut kapal ke Rasau per 30 kg sebesar Rp. 10.000,- dan biaya angkut mobil ke pasar ikan Flamboyan Rp. 250.000,-untuk 250 kg (Rp. 1.000,-/kg). Tabel 22. Investasi, Biaya Operasional dan Biaya Per Trip Trammel Net No
Jenis Investasi
1
Perahu sopek
2
Trammel net
3
Operasional a. Perbekalan b. Makan c. BBM
Uraian Masa pakai 3 tahun, setiap tahun 9 bulan, per bulan 20 trip 16 piece, harga per piece: Rp.225.000 – Rp.350.000 30 kg es, @ 1500 7 liter, @ 9000 Total biaya per trip
Harga (Rp)
Biaya per trip (Rp)
6.000.000
11.111
5.600.000
56.000
45.000 10.000 63.000
45.000 10.000 63.000 185.111
Penjualan kerupuk udang, ebi dan terasi selama ini pangsa pasarnya ada di pasar lokal (Kabupaten Kubu Raya) dan pasar Distrik (Kota Pontianak). Pemasaran dilakukan melalui agen atau toko. Berikut merupakan value chanin dari usaha mulai dari penangkapan udang dengan trammel net, pengolahan krupuk.
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 42
Nelayan trammel net: Biaya produksi: Rp.18.500/kg
Tauke: Udang Jerbung: Rp.32.000 – 68.000/kg Udang Krosok: Rp.24.000 – 25.000/kg
Pembuat krupuk: Biaya produksi: Rp.43.500,-/Kg
Pengolah trasi basah: biaya produksi Rp.33.125
Pengolah trasi basah: biaya produksi Rp.33.125
Pengolah trasi bubuk: Biaya produksi: Rp.134.000,-/Kg
Agen: Biaya operasional: Rp. 1.500/kg
Agent: Udang Jerbung: Rp.80.000/kg Udang Krosok: Rp.35.000/kg 50.000,-
Agen: Rp. 60.000,-/kg Biaya operasional: Rp.1500,-/Kg
Agen: Biaya operasional: Rp. 1.500/kg
Rumah makan / hotel: Udang Jerbung: Rp.140.000 – 150.000/tkg Eksport Malaysia: Udang Jerbung: Rp.250.000 – 300.000/tkg
KONSUMEN Rp.67.000,-/Kg
KONSUMEN Trasi basah Rp. 70.000,-/kg Trasi bubuk: Rp.190.000,-/Kg
KONSUMEN Trasi basah Rp. 70.000,-/kg
Gambar 6. Valae Chain Usaha Perikanan Udang Jerbung dan Krosok 6.3.4. Kendala Utama dan Kemungkinan Pemecahannya Kendala utama dan kemungkinan penyelesaiannya dalam usaha pembuatan terasi dan krupuk udang di daerah studi seperti pada Tabel 23: 6.3.5. Rekomendasi untuk Meningkatkan Value Chain dan Pendapatan a. Tingkat Kabupaten 1) Perlu ditetapkan zona reservat agar kelestarian udang Jerbung dan udang Krosok di Kabupaten Kubu Raya dapat terjaga. 2) Perlu dibangun outlet pemasaran ikan dan produk-produk olahan perikanan di Kubu Raya. 3) Memperbaiki infrastruktur jalan agar akses transportasi lebih mudah dijangkau dari desa pantai/sungai penghasil ikan ke pasar di kota.
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 43
Tabel 23. Kendala Utama dan Kemungkinan Penyelesaian Pengembangan Komoditas Udang Jerbung dan Udang Krosok. Kendala
Kemungkinan solusi
Keterbatasan modal bagi nelayan penangkap udang
Perlunya penguatan kelembagaan pelaku perikanan udang
Kecenderungan penurunan hasil tangkapan udang
Pengembangan kawasan reservat hutan mangrove
Transportasi yang mahal
Perlunya penguatan kelembagaan nelayan Mengembangkan mode transportasi yang lebih murah
Fasilitator
Intervensi yang mungkin dilakukan
Dinas Kelautan dan Perikanan Dinas Koperasi dan UKMM Dinas Kelautan dan Perikanan
Memberikan paket permodalan untuk mengembangkan usaha agar lebih ekonomis Menetapkan suatu kawasan menjadi kawasan reservat.
Dinas Kelautan dan Perikanan
Membentuk KUB
Dinas Perhubungan
Pembangunan infrastruktur jalan pengembangan transportasi yang mudah dan murah
b. Tingkat Desa Penguatan kelembagaan/kelompok nelayan melalui KUB, untuk pengadaan sarana produksi, pemasaran produk perikanan dan proses pembelajaran bersama. Dengan adanya KUB, maka posisi tawar pelaku perikanan rakyat dalam proses pemasaran hasil dapat lebih kuat. Pengolah udang / ikan (wanita nelayan)
Nelayan trammel net
KUB KONSUMEN
Agen / toko / pasar
KONSUMEN
Gambar 7. Perbaikan Value Chain pada Rantai Pemasaran Udang 6.4.
Udang Windu (Penaeus monodon)
6.2. 1 Supplai Pasar Udang windu secara alami merupakan udang yang banyak dibudidayakan, dapat tumbuh dengan baik di perairan tambak. Produksi dan nilai produksi dari udang Windu di Kalimantan Barat cenderung semakin bertambah (Tabel 25). Tahun 2009 produksi dan nilai produksi dari udang Windu 526 ton dengan nilai Rp. Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 44
17.730.100.000,-. Pada tahun tahun 2011 produksi sebesar 1.230 ton, dan nilai produksi Rp. 76.230.240.000,-.
Tabel 24. Jumlah Produksi dan Nilai Produksi Udang Windu Provinsi Kalimantan Barat dan Nasional Tahun
2009 2010 2011
Kalimantan Barat Produksi (Ton) 526 855 1.230
Nilai Produksi Produksi (Rp) (Ton) 17.730.100.000 124.564 55.575.000.000 125.521 76.230.240.000 156.875
Nasional Nilai Produksi (Rp) 5.502.679.164.000 6.957.866.745.000 7.236.862.478.000
Sumber: KKP (2012)
Produksi udang Windu secara nasional mengalami kenaikkan yaitu pada tahun 2009 sebanyak 124.564 ton, naik tahun 2011 menjadi 156.875 ton. Kenaikkan produksi udang windu juga di ikuti nilai produksi yaitu dari tahun 2009 sebesar Rp. 5.502.679.164.000,- naik menjadi Rp, 7.236.862.478.000,- pada tahun 2011. 6.2. 2 Kebutuhan Pasar dan Potensi Pertumbuhan Pemerintah, dalam hal ini Dirjen Perikanan Budidaya telah mencanangkan Protekan 2003, sebagai upaya meningkatkan devisa dari subsektor perikanan. Melalui program ini, budidaya udang tambak diharapkan dapat menyumbangkan lebih dari 67% pendapatan sektor perikanan. Peningkatan produksi tersebut diperoleh melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pertambakan. Namun dengan memperhatikan pencapaian produksi udang budidaya terlihat hingga kini terjadi penurunan produksi. Penurunan produksi udang Windu hasil budidaya terjadi akibat kegagalan budidaya tambak di pusat-pusat budidaya tambak, seperti di Pantai Utara Jawa, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Lampung dan sebagainya. Kegagalan budidaya udang Windu tersebut mengharuskan pemerintah mencari alternatif komoditas, dan kemudian dikembangkan udang Vanamme. Total ekspor udang kecil dan udang biasa (Shrimps and prawns) pada tahun 2011 sebanyak 110.247.803 ton atau setara dengan US$ 999.671.201.000 (KKP, 2012).
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 45
6.2. 3 Deskripsi Value Chain a. Diskripsi Produk dan Teknologi Udang windu memiliki kulit tubuh yang keras terbuat dari bahan chitin disebut exoskeleton, kecuali pada sambungan antar ruas, sehingga udang tetap mudah bergerak dan membungkuk. Tubuh udang windu dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian cephalotorax yang terdiri dari kepala dan dada, serta bagian abdomen yang terdiri dari perut dan ekor. Udang windu berwarna hijau kebiru-biruan dan berloreng-loreng besar. Penaeus monodon yang hidup di laut, panjang tubuhnya bisa mencapai 35 cm, dengan berat sekitar 260 gram. Udang yang dipelihara dalam tambak panjang tubuhnya hanya dapat mencapai 20 cm, dengan berat sekitar 140 gram. Udang windu mempunyai nilai ekonomis tinggi dan potensial untuk dibudidayakan dalam tambak, terutama karena udang jenis ini memiliki daya tahan yang tinggi untuk hidup di dalam air payau yang memiliki kisaran salinitas 3-35 permil (Murtidjo 1991). Udang Windu di daerah studi berasal dari hasil budidaya tambak. Teknologi budidaya udang Windu yang digunakan adalah budidaya tradisional yang dikembangkan penambahan. Budidaya udang diberi pakan tambahan berupa ikan rucah, tidak ada pengolahan lahan, dan tidak ada kincir air. Petak tambah yang ada di Kabupaten Kubu Raya umumnya sangat luas, dapat mencapai 1 hektar atau lebih. Lingkungan tambak masih didukung oleh hutan mangrove yang lebat. b. Pelaku Utama Beberapa pelaku usaha budidaya udang windu adalah sebagai berikut: 1) Pembenih udang Windu, pembenihan merupakan tahap awal dari usaha budidaya. Keberhasilan usaha budidaya sangat tergantung pada kualitas benur. Kegiatan pembenih menghasilkan benih udang atau benur, yang selanjutnya dibudidayakan di tambak-tambak di Desa Dabung dan Desa Padang Tikar Satu. Benur berasal dari pembeihan yang berasal dari Jakarta dan Lampung. 2) Pembudidaya, adalah penduduk Desa Dabung dan Desa Padang Tikar Satu yang kegiatannya melakukan budidaya pembesaran udang windu. Lama pemeliharaan sekitar 4 bulan. Hasil budidaya dijual kepada pedagang pengumpul.
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 46
3) Pedagang, adalah orang yang membeli udang windu hasil budidaya, yang kemudian memproses menjadi beku dan memasarkan ke luar negeri. 4) Konsumen merupkan rantai terakhir dari komoditas udang windu, terutama masyarakat negara-negara pengimpor udang, terutama Jepang dan AS. c. Aliran Produk, Harga dan Margin. Input Supply Benih udang Windu (benur) merupakan asupan utama dalam proses budidaya. Benur yang berkualitas sangat menentukan keberhasilan budidaya itu sendiri. Bibit yang dibutuhkan oleh pembudidaya di Kabupaten Kubu Raya selama ini berasal dari Jakarta, dengan harga Rp. 40,-/ekor (sampai di lokasi). Peralatan maupun kebutuhan selain benur dapat diperoleh dari Kota Pontianak. Pakan tambahan untuk berupa ikan rucah yang berasal dari hasil tangkapan nelayan. Ikan tersebut di peroleh dari TPI terdekat. Teknologi Produksi Budidaya udang windu sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia, sejak awal dekade 1970. Pada kisaran tahun (1970-1990) produksi udang Windu dari budidaya meningkat dengan pesat, namun seiring dengan berjalannya waktu sampai sekarang budidaya udang windu mengalami kemunduran. Hal ini dikarenakan usaha budidaya dilakukan tanpa mempertimbangkan daya dukung perairan, sehingga banyak usaha budidaya udang mengalami kegagalan. Akibat menurunnya kualitas lingkungan perairan di kawasan pertambakan, maka udang windu mengalami kematian massal, yang disebabkan kondisi lingkungan yang buruk dan terserang penyakit. Banyak pembudidaya udang windu beralih usaha ke budidaya ikan (Bandeng atau Nila) dan sebagian lain menelantarkan tambak akibat kerugian. Pengelolaan tambak udang Windu harus dilaksanakan dengan baik, mulai dari persiapan tambak sampai kegiatan panen. Kegiatan pokok dalam pengelolaan tambak udang windu menurut Suyanto dan Mujiman (2005) adalah sebagai berikut: 1) Mempersiapkan petak tambak. Kegiatan ini meliputi perbaikan saluran pintu air, pemasangan saringan, meratakan dasar petakan tambak dan memperbaiki tanggul, memberantas hama dengan cara pemberian kapur pada dasar tambak, pemupukan (hanya untuk tambak semi-intensif), dan pengisian air ke dalam tambak. Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 47
2) Aklimatisasi dan penebaran benur. Aklimatisasi artinya penyesuaian terhadap keadaan lingkungan yang berbeda. Kegiatan ini berguna untuk mencegah terjadinya shok pada suatu organisme apabila organisme itu dipindahkan dari satu lingkungan ke dalam lingkungan lain yang berbeda sifatnya. Penebaran benur sangat baik apabila dilakukan pada pagi hari atau sore hari ketika udara tidak terlalu panas. 3) Pemberian pakan dan pengaturannya. Pada tambak semi-intensif, benur dapat memperoleh pakan alami selama satu bulan sampai dua bulan, tergantung pada kesuburan tambak dan keberhasilan teknik pemupukan. 4) Pemasangan kincir. Kincir biasanya dipasang setelah masa pemeliharaan 1,5-2 bulan, karena pada masa itu udang sudah cukup kuat terhadap pengadukan air. Pemasangan kincir pada tambak berguna untuk menambah daya kelarutan oksigen dalam air. 5) Mengadakan pemantauan terhadap pertumbuhan, derajat kehidupan udang, kualitas air, adanya hama yang mungkin masuk, dan pergantian air sehari-hari. 6) Panen dan memasarkannya. Kegiatan panen biasanya dilakukan setelah masa pemeliharaan selama 4-5 bulan. Budidaya udang Windu di Desa Dabung dan Padang Tikar Satu menggunakan sistem budidaya tradisional. Sistem budidaya tradisional hanya mengandalkan pakan alami, sehingga produksinya relatif rendah. Peningkatan produksi dilakukan dengan menambah perlakuan tertentu, seperti pemberian pakan, pengapuran, dan pemupukan. Jumlah benur yang ditebar pada budidaya teknologi sederhana atau budidaya ekstensif di bawah 20.000 ekor/ha/musim. Makanan yang diberikan berasal dari pakan alami yang tumbuh dari hasil pemupukan. Selain itu, udang Windu juga mendapat pakan tambahan seadanya. Pemanenan dilakukan setelah 4 sampai 5 bulan pemeliharaan. Jika jumlah benur yang ditebar sekitar 20.000 ekor/ha/musim, maka hasil yang diperoleh sekitar 400 kg (Hanum, 2008). Keberhasilan budidaya udang ditentukan oleh tingakat produksi persatuan luas yang tinggi. Menurut Hirono (1992) dari tambak udang seluas 0,2 sampai 1 ha dengan kedalaman 1,4 sampai 2,5 m, berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, pemakaian aerator, kepadatan 30 sampai 80 ekor/m2 diproduksi udang sebanyak 5 sampai dengang 18 ton/ha dengan lama pemeliharaan 4 sampai 6 bulan. Sedangkan Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 48
Hopkin dan Villalon (1992) mengatakan bahwa pada tambak seluas 1,3 ha dan 14 ha dengan padat penebaran masing-masing 20 ekor/m2 dan 40 ekor/m2, pada waktu panen dihasilkan tingkat kelangsungan hidup 70% dan 60%, ukuran udang 31 gr dan 18 gr, serta produksi 3,0 dan 73,7 ton/ha. 1) Lokasi budidaya udang Windu secara tradisional terdapat di Desa Dabong dan Padang Tikar Satu. 2) Siklus budidaya 4 bulan, produksi dapat sepanjang tahun. 3) Luas lahan budidaya satu ha/petak. Dengan pemberian pakan satu kali/hari. Biaya produksi, arus pergerakan produk, harga dan margin antar pelaku usaha udang Windu dapat disajikan sebagai berikut. Biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi udang Windu, terdiri dari biaya investasi dan biaya operasional. Secara rinci biaya usaha budidaya udang Windu disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Biaya Investasi dan Biaya Operasional Budidaya Udang Windu No
1
Biaya Biaya Investasi Persiapan lahan tambak (tahan 3 tahun) Jaring (umur 1 tahun) Biaya Operasional Biay Operasional Pakan ikan rucah
2 3
Benih (termasuk biaya kirim) Gaji karyawan (4 bulan)
4 5 6 7 8
Biaya panen Pupuk Kapur Saponin Transport kapal (Rp. 60.000/100 kg) Transport mobil
1 2
9
-
Volume
Satuan
Harga
1
Kali
15.000.000
15.000.000
1
Set
250.000
250.000
1.000
Kg
1.000
1.000.000
15.000 1
Ekor Orang
40 2.000.000
600.000 2.000.000
5 50 300 25 257
Orang Kg Kg Kg Kali
500.000 10.000 2.000 250.000 600
2.500.000 500.000 600.000 6.250.000 15.200
250.000 Jumlah
250.000 27. 104.200
1
Kali
Jumlah
Perhitungan biaya produksi berasal dari biaya perbaikan atau persiapan tambak, dan pembelian peralatan budidaya, seperti jaring.
-
Tambak yang telah diperbaiki diasumsikan mempunyai masa pakai selama 3 tahun, sehingga didapatkan biaya pembuatan lahan per siklus budidaya (4 bulan) sebesar Rp. 2.000.000,-.
-
Produksi budidaya udang windu dengan rincian di atas diperkirakan menghasilkan udang sekitar 300 kg/siklus budidaya, dengan asumsi survival rate 60%, dan Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 49
ukuran panen size 30 ekor/kg. Dengan demikian biaya investasi untuk produksinya adalah Rp. 6.667,-/kg. -
Jaring dengan umur pakai 1 tahun harga Rp. 250.000,-, sehingga biaya penggunaan jaring per periode sebesar Rp. 100.000,-. Masa budidaya udang windu dalam satu tahun diasumsikan dapat dilakukan 2,5 kali (antar masa budidaya jeda sekitar 20 hari untuk persiapan budidaya selanjutnya), maka biaya produksi per kilogram udang Windu adalah Rp. 7.000,-.
-
Biaya operasional satu kali siklus budidaya untuk memproduksi udang Windu adalah Rp. 11.854.200,- (Tabel 25). Apabila budidaya tersebut menghasilkan 300 kg, maka biaya operasional produksinya adalah Rp. 39.854,-/kg.
-
Total biaya produksi untuk menghasilkan udang Windu per kg adalah Rp. 6.667 (biaya pembuatan tambak) ditambah Rp.333,- (biaya pengadaan peralatan jaring) ditambah Rp. 32.854,- (biaya operasional) adalah Rp. 39.854,-/kg.
-
Harga udang windu pada tingkat agen/pedagang pengumpul adalah Rp. 70.000,/Kg, sehingga margin antara hasil penjualan dan biaya produksi per kilogram adalah Rp.10.153,-/Kg,-.
-
Keuntungan usaha budidaya per siklus adalah Rp. Rp.3.045.000,- atau per bulan sebesar Rp. 761.000,-.
Usaha budidaya tambak udang Windu sebagaimana dijelaskan di atas adalah gambaran tentang kondisi yang biasa dilakukan. Pendapatan tersebut masih dapat ditingkatkan dengan menambah padat penebaran, mengingat petakan tambaknya sangat luas dengan rata-rata minimal satu hektar. Perdagangan Udang Windu hasil budidaya yang terdapat di Desa Dabung dan Padang Tikar Satu saat ini dijual ke perusahaan eksportir yang terdapat di Kota Pontianak. Processing Pengolahan udang Windu di Kabupaten Kubu Raya khususnya di Desa Dabung dan Padang Tikar Satu sampai saat ini belum ada. Ada peluang besar dalam inovasi pengolahan limbah cangkang udang yang berbasis bioindustri perikanan dan kelautan. Sebab, limbah tersebut merupakan sumber potensial pembuatan kitin dan khitosan,
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 50
yakni biopolimer yang secara komersial potensial dalam berbagai bidang dan industri (Prasetiyo 2006). Limbah kulit udang ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai industri, seperti industri farmasi, kosmetik, pangan, dan tekstil. Salah satu kandungan kulit udang yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku industri adalah Chitin dan Chitosan (senyawa turunan dari kitin). Kulit udang mengandung chitin 22-25% dari berat keringnya. Kulit udang mengandung chitin 22-25% dari berat keringnya. Pasar utama chitin di dunia adalah Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman (Dahuri 2001). Pemasaran Pasar dari udang windu mayoritas diekspor keluar negeri, khususnya Malaysia, Singapura, Jepang, Korea dan Amerika Serikat, melalui perusahaan eksportir yang ada di Kota Pontianak.Gambaran tentang aliran produk, harga dan pelaku usaha udang Windu adalah sebagai berikut. Pembudidaya udang: biaya produksi: Rp. 40.000,-
Restauran/ hotel: Rp. 70.000,-
Agen : Rp. 70.000,-
Eksport Malaysia: Rp. 140.000,-
Gambar 8. Value Chain Usaha Budidaya Udang Windu di Kabupaten Kubu Raya 6.2. 4 Kendala Utama dan Kemungkinan Penyelesaian Terkait dengan pengembangan budidaya udang Windu, kendala utama dan kemungkinan penyelesaian adalah seperti pada Tabel 26. Tabel 26. Kendala Utama dan Kemungkinan Penyelesaian Pengembangan Budidaya Udang Windu Kendala
Kemungkinan solusi
Fasilitator
Intervensi yang mungkin dilakukan
Penetapan kawasan hutan lindung
Mensegerakan koordinasi dengan Kementerian Kehutanan untuk mencari solusi penyelesaian permasalahan hukum
Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah koordinasi dengan Pemerintah Provinsi dan Pusat
Penyakit white spot
Pelatihan dan pendampingan usaha budidaya udang Windu
Dinas
Dinas memberikan pelatihan mengenai CBIB.
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 51
6.2. 5 Rekomendasi spesifik untuk memperbaiki Value Chain dan Peningkatan Pendapatan a. Level Kabupaten 1) Pemerintah Daerah Kabupaten Kubu Raya seyogyanya mensegerakan koordinasi dengan Kementerian Kehutanan untuk mencari solusi penyelesaian permasalahan hukum terkait penetapan kawasan hutan lindung di Desa Dabong dan Desa Sungai Nibung. 2) Perlu peningkatan penyuluhan dan pendampingan usaha budidaya tambak dalam upaya untuk meningkatkan produksi tanpa membahayakan kelestarian lingkungan perairan di kawasan pertambakan, penanggulangan hama dan penyakit serta manajemen usaha, baik dalam perspektif usaha sendiri maupun usaha bersama (kelompok) b. Level Desa Rekomendasi terkait perbaikan value chain dan dapat berimplikasi pada peningkatan pendapatan adalah penguatan dan peningkatan kapasitas kelompok pembudidaya. Oleh karena itu perlu ada pendampingan dan pelatihan teknis budidaya dalam rangka meningkatkan ketrampilan teknis budidaya, penanggulangan hama dan penyakit, manajemen usaha budidaya dan membangun sinergi dan kerjasama dalam suatu kelompok usaha bersama. 6.5.
Udang Vaname
6.5.1. Supplai Pasar Jumlah produksi antara tahun 2009 sampai 2011 mengalami fluktuasi dimana produksi tahun 2009 sebesar 2.035 ton kemudian naik hingga 443% pada tahun 2010 yaitu sebanyak 9.018 ton. Akan tetapi pada tahun 2011 turun kembali menjadi 5.272 ton. Nilai produksi udang Vaname di Provinsi Kalimantan Barat juga mengalami fluktuasi antara tahun 2009 sampai dengan 2011 yaitu sebesar Rp. 61.045.770.000,-, Rp. 586.170.000.000,- dan Rp. 221.442.060.000,-.
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 52
Tabel 27. Jumlah Produksi dan Nilai Produksi Udang Vaname Provinsi Kalimantan Barat dan Nasional Tahun
Kalimantan Barat
Produksi Nilai Produksi Produksi (Ton) (Rp) (Ton) 2009 2.035 61.045.770.000 170.971 2010 9.018 586.170.000.000 206.577 2011 5.272 221.442.060.000 120.258 Sumber: KKP (2012)
Nasional Nilai Produksi (Rp) 5.022.045.853.000 8.185.751.578.000 10.241.302.894.000
6.5.2. Kebutuhan Pasar dan Potensi Pengembangan Udang Vaname Litopenaeus vannamei merupakan salah satu komoditas perikanan yang sedang dikembangkan dalam usaha budidaya di tambak, karena dianggap lebih tahan dari pada udang Windu. Produksi udang Vanname pada tahun 2009 sebesar 203,9 ton meningkat menjadi 5.272 kg pada tahun 2010 sebanyak 273 ton. Berdasarkan data Statistik Ekspor Perikanan Indonesia, nilai ekspor udang Indonesia ke mancanegara mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, pada tahun 2004 sebesar US$ 773.523.632, dan tahun 2008 sebesar US$ 824.434.585 dengan kenaikan ratarata per tahun sebesar 1,47 % atau US$ 12.181.213 (DKP, 2009). Hal ini berarti peluang untuk mengembangkan udang vaname semakin tinggi, apalagi Indonesia pada tahun 2014 menargetkan produksi perikanan disektor budidaya mencapai 353% dengan produksi untuk udang sebesar 7,51% (699.000 ton). Menurut KKP (2012), total ekspor udang kecil dan udang biasa/Shrimps and prawns pada tahun 2011 sebanyak 110.247.803 ton atau setara dengan US$ 999.671.201.000.
6.5.3. Deskripsi Value Chain a. Deskripsi Produk dan Teknologi Nama umum udang vaname adalah Pasific white shrimp, West Coast white shrimp, Camaron blanco, Langostino. (Elovaara 2001; Rosenberri 2006). Udang Vanname di Desa Dabung dan Padang Tikar Satu dihasilkan dari budidaya di tambak dengan sistem budidaya semi intensif. Padat penebaran 60.000 ekor/ha dengan pemberian pakan tambahan satu ton untuk satu siklus budidaya (empat bulan).
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 53
Hasil panen sekitar 840 kg dengan ukuran 50 ekor/kg. Harga jual udang Vanname dengan ukuran tersebut sekitar Rp. 60.000,-/kg pada tingkat agen atau perusahaan ekspor. b. Pelaku Usaha Budidaya Udang Vanamme Beberapa pelaku usaha budidaya udang vaname adalah sebagai berikut: 1) Pembenih udang vaname merupakan tahap awal dari usaha budidaya, pembenih tersebut menghasilkan benih udang atau benur, benur tersebut yang kemudian dibesarkan di Desa Dabung dan Desa Padang Tikar Satu berasal dari Jakarta. 2) Pembudidaya pembesaran udang vaname merupakan pengusaha yang membeli benur kemudian dibudidayakan kira-kira 4 bulan dan dijual kembali setelah berukuran konsumsi. 3) Perusahaan merupakan penerima hasil budidaya yang kemudian memproses menjadi beku dan dipasarkan ke luar negeri. 4) Konsumen, merupkan rantai terakhir dari komoditas udang vaname. c. Aliran Produk, Harga dan Margin Suplai Input Benih Udang Vaname. Benih udang Vanamme didatangkan dari Lampung dan Jakarta. Pakan dan sarana produksi lainnya diperoleh dari Kota Pontianak Kalimantan Barat. Teknologi Produksi Pembesaran udang Vanname merupakan suatu kegiatan budidaya yang bertujuan untuk menghasilkan udang vannamei ukuran konsumsi. Pembesaran udang Vanname didorong untuk tumbuh secara maksimum hingga mencapai ukuran panen atau sesuai ukuran pasar. Tahapan kegiatan proses produksi udang Vanname adalah sebagai berikut. 1) Persiapan tambak Sebelum kolam digunakan pertama tama kolam dibersihkan dengan cara menyemprot air bertekanan dengan selang guna membersihkan dari lumpur, kemudian ditaburi dengan kapur dan kaptan (sejenis kapur kasar) lalu didiamkan selama 2 hari, setelah itu di aliri dengan air yang telah mengalami proses penyaringan. Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 54
2) Penebaran benur Penebaran benur adalah menempatkan benur udang dalam wadah budidaya dengan padat penebaran tertentu. Benur berasal dari balai benur yang telah memproduksi benur vannamei dengan ukuran berbeda-beda. Berikut uraian kegiatan yang berhubungan dengan penebaran benur. a) Cara memperoleh Benur Benur vannamei berasal dari Jakarta. Harga Benur Vanname Rp. 50,- per ekor b) Syarat benur Benur Vanname yang dipilih harus benar-benar baik dan sehat. Benur yang tidak baik gampang sekali terkena penyakit dan pertumbuhannya kurang optimal. Adapun syarat benur yang digunakan adalah sehat dan tidak mengandung virus. c) Penebaran Benur Penebaran benur merupakan salah satu faktor yang menentukan dari kegiatan awal pemeliharaan Udang di tambak. Kesalahan dalam penebaran udang, baik cara maupun waktunya dapat menyebabkan benur stress dan akhirnya mati. Benur vannamei dapat ditebar jika kondisi tambak telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. • Persiapan Lahan Kering • Kolam dalam keadaan steril • Strerilisasi tanpa kepiting, udang liar dan hewan pengganggu lainnya • Kualitas air sudah memenuhi syarat untuk budidaya • Kantong berisi benur diturunkan kedalam kolam dan didiamkan selama 30 menit sampai benur bisa beradaptasi kemudian kantong dilepas secara perlahan d) Padat penebaran benur Padat penebaran benur yaitu banyaknya jumlah udang yang ditebarkan persatuanluas atau volume. Semakin tinggi padat penebaran benur, semakin intensif tingkat pemeliharaannya. Padat tebar benur untuk setiap hektar yaitu 15.000 ekor 3) Pengelolaan air Pengelolaan air, baik kualitas maupun kuantitas merupakan kegiatan yang sangat penting diperhatikan, udang akan hidup sehat dan tumbuh maksimal apabila kualitas airnya sesuai dengan kriteria untuk pertumbuhan udang yang dipelihara. Jadi Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 55
pengelolaan air ini bertujuan untuk menyediakan lingkungan yang optimal bagi udang agar tetap bisa hidup dan tumbuh maksimal. Prinsip dalam pengelolaan air adalah sirkulasi dan penambahan air yang telah disaring disebabkan karena tingginya tingkat penguapan dan resapan air, system penyaringan air dimulai dari air laut yang dipompa kemudian masuk resepoan diendapkan untuk sterilisasi dalam kolam penampungan yang disebut Tandom, lalu dialiri ke tiap tambak budidaya. 4) Pemberian Pakan Menurut Djarijah (2001), pemberian makanan cukup untuk mensuplai kebutuhan energy dalam mempertahankan kelangsungan hidup benur. Pakan merupakan komponen biaya produksi terbesar dalam budidaya udang vannamei. Kebutuhan pakan mutlak mengandalkan pakan buatan pabrik (pelet), pakan buatan pabrik lebih terjamin kualitasnya serta kandungan nutrisinya lengkap. Pemberian pakan diberikan semenjak ditebar dan adapun dosis yang diberikan yaitu: • Umur 1-15 hari =3x1 kali • Umur 15-30 hari =4x1 kali • Umur 30-panen =5x1 kali Perdagangan Rantai penjualan udang Vanname sangat singkat, yaitu dari pembudidaya langsung di jual ke agen dan ke perusahaan tanpa melalui penggepul atau tauke. Processing Pemrosesan udang vanname selama ini di tingkat masyarakat dilakukan dengan mencuci menggunakan air, kemudian dilakukan pendinginan menggunakan es. Pada tingkat perusahaan exportir, dilakukan pembekuan menjadi produk udang beku untuk diekspor. Pemasaran Pemasaran utama udang vanname adalah perusahaan eksportir di Kota Pontianak. Udang Vanamme produksi Kubu Raya umumnya diekspor, terutama ke Malaysia dan Singapura.
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 56
Udang Vanname banyak dibudidayakan di Desa Dabung dan Padang Tikar Satu dengan harga Rp. 60.000/Kg, untuk ukuran 50 ekor/kg. Perhitungan biaya produksi berasal dari biaya investasi sebesar Rp. 15.250.000,- dengan perincian untuk persiapan atau perbaikan tambak (umur manfaat 3 tahun), didapatkan biaya perbaikan tambak per periode (4 bulan) sebesar Rp. 138.889,- atau Rp. 165,-/kg (dengan asumsi produksi udang vaname per siklus adalah 840 kg). Jaring dengan umur pakai satu tahun harga Rp. 250.000,-, biaya penggunaan jaring per siklus sebesar Rp. 100.000,-, dengan asumsi periode penggunaan jaring adalah 2,5 kali per tahun. Biaya operasional adalah sebesar Rp. 27.604.000 per siklus atau senilai dengan Rp 32.361,-/kg (dengan asumsi hasil panen 840 kg/siklus). Total biaya produksi dari biaya investasi dan biaya operasional adalah sebesar Rp. 35.361,-/kg. Tabel 28. Biaya Investasi dan Operasional Budidaya Udang Vanname No A 1
2 B
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Biaya Biaya Investasi Persiapan lahan membuat lubang tambak (tahan 3 tahun) Jaring (umur pakai 1 tahun) Biaya Operasional
Volume
Satuan Harga
1
Kali
1
Set
Pakan pelet Benih (termasuk biaya kirim) Gaji karyawan (2 orang) Biaya panen Pupuk Kapur Saponin Transport kapal (Rp. 60.000/100kg) Transport mobil
1.000 100.000 1 5 50 300 25 840 1
Kg
Jumlah
15.000.000
15.000.000
250.000
250.000
12.000 12.000.000
Ekor
50
5.000.000
OB Orang Kg Kg Kg
2.000.000 500.000 10.000 2.000 250.000
2.000.000 2.500.000 500.000 600.000 6.250.000
600
504.000
Kg Kali
250.000 250.000 Jumlah 42.854.000
1) Perhitungan biaya produksi berasal dari biaya investasi sebesar Rp. 15.250.000. dengan perincian untuk persiapan lahan, mempunyai perkiraan kapasitas umur penggunaan lahan selama 3 tahun (satu tahun 2,5 kali siklus tanam), didapatkan biaya pembuatan lahan per siklus budidaya (4 bulan) sebesar Rp. 2.000.000,-. 2) Pembelian jaring seharga Rp. 250.000,- dengan masa pakai satu tahun atau Rp. 100.000,-/siklus
sama dengan Rp. 2.100.000,- per siklus atau Rp.2.500,-/kg
produksi udang. Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 57
3) Biaya operasional adalah sebesar Rp. 27.604.000 per siklus atau senilai dengan Rp 32.361,-/kg. Total biaya produksi dari biaya investasi dan biaya operasional adalah sebesar Rp. 44.886,-/kg. 4) Harga udang vaname pada tingkat pembudidaya ikan Rp. 60.000,-/Kg size 50 ekor/kg. Penerimaan kotor pembudidaya adalah 840 kg x Rp. 60.000,- = Rp. 50.400.000,- per siklus budidaya. 5) Keuntungan bersih per siklus budidaya adalah penerimaan kotor (Rp. 50.400.000,) dikurang biaya produksi (investasi dan operasional, Rp. 35.604.000,-+ Rp.2.100.000,- = Rp.37.704.000,-) = Rp. 12.700.000,-
6.5.4. Kendala Utama dan Kemungkinan Penyelesaian Terkait dengan pengembangan budidaya udang Vanname, kendala utama dan kemungkinan penyelesaian adalah seperti pada Tabel 29. Tabel 29. Kendala Utama dan Kemungkinan Penyelesaian Pengembangan Budidaya Udang Vanname Kendala Penetapan kawasan hutan lindung
Kemungkinan solusi Koordinasi dengan Kementerian Kehutanan untuk mencari solusi hutan lindung
Akses transportasi Penyelenggaraan mode terbatas dan transportasi yang mudah mahal dan murah
Fasilitator
Intervensi yang mungkin dilakukan
Pemerintah Pemerintah daerah Daerah koordinasi dengan Pusat Dinas Terkait
Pengembangan infrastruktur transportasi ke desa pesisir
6.5.5. Rekomendasi spesifik untuk memperbaiki Value Chain dan Peningkatan Pendapatan a. Level Kabupaten 1) Pemerintah Daerah Kabupaten Kubu Raya seyogyanya mensegerakan koordinasi dengan Kementerian Kehutanan untuk mencari solusi penyelesaian permasalahan hukum terkait penetapan kawasan hutan lindung di Desa Dabong dan Desa Sungai Nibung.
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 58
2) Penyediaan mode transportasi yang murah. Persoalan kendala transportasi dalam mengangkut hasil perikanan dirasakan oleh seluruh penggiat usaha perikanan, sehingga diperlukan mode transportasi yang tidak memberatkan pengeluaran b. Level Desa Perlu peningkatan penyuluhan dan pendampingan usaha budidaya tambak dalam upaya untuk meningkatkan produksi tanpa membahayakan kelestarian lingkungan perairan di kawasan pertambakan, penanggulangan hama dan penyakit serta manajemen usaha, baik dalam perspektif usaha sendiri maupun usaha bersama (kelompok).
6.6.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil kajian dalam penelitian ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Komoditas perikanan dan kelautan yang telah berkembang dan mempunyai potensi dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan nelayan adalah Kepiting Bakau (Scyla sp), Rajungan (Potunus sp), udang Jerbung (Penaeus merguiensis), Krosok (Metapeneus sp) dan udang rebon (Acetes sp), dan ikan Sembilang. 2. Pengembangan usaha dan inovasi yang terkait dengan ke lima komoditas tersebut adalah: a. Tingkat Kabupaten 1) Mendirikan industri pengolahan chitin dan chitosan untuk mengolah cangkang rajungan, kepiting dan kulit/karapas udang. Pendirian industri ini sejalan dengan pengembangan miniplant di desa-desa pantai perikanan yang mempunyai hasil tangkapan rajungan cukup besar, dan membudidayakan kepiting soka. Cangkang rajungan dan ketiping (serta karapas udang) merupakan sumber chitin dan chitosan yang belum dimanfaatkan dengan baik, bahkan menjadi limbah. Sesuai dengan konsep blue economy, maka pengolahan cangkang rajungan dan kepiting menjadi penting. 2) Mengkoordinasikan dengan Kementerian Kehutanan terkain dengan status hutan mangrove sebagai hutan lindung. Hutan mangrove sebagai hutan lindung sangat menguntungkan bagi perikanan, terutama berfungsi sebagai Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 59
reservat bagi kepiting, rajungan, udang dan berbagai jenis ikan yang siklus hidupnya tergantung pada kawasan hutan mangrove. Untuk itu, perlu batasbatas wilayah yang jelas agar kegiatan budidaya tambak masih dapat berjalan, tanpa melakukan ekstensifikasi dan tidak merusak lingkungan hutan mangrove. 3) Pemerintah Daerah agar meningkatkan infrastruktur jalan menuju kawasan pedesaan pesisir untuk memacu perkembangan perekonomian daerah berbasis komoditas perikanan.
b. Tingkat Desa Memperkuat kelembagaan kelompok nelayan menjadi kelompok usaha bersama (KUB) untuk mengelola berbagai usaha bersama, antara lain: a) Membuat usaha miniplant (agen dan pengolah rajungan) di Desa-desa yang memiliki potensi produksi rajungan. Dengan 10 anggota setiap kelompok, maka pada setiap desa dapat dibuat sati miniplant. b) Budidaya kepiting soka. Budidaya kepiting soka mempunyai prospek yang baik, karena margin sangat besar, dan wilayah studi mempunyai potensi kepiting yang baik. Mengingat modal usahanya cukup besar, maka setiap satu kelompok dapat mengembangkan satu usaha budidaya soka. c) Memproduksi asap cair untuk mendukung pengembangan usaha anggota dalam membuat produk ikan asap menggunakan asap cair. d) Mengembangkan usaha pemasaran produk olahan ikan, antara lain dengan membuat rumah pamer agar lebih higienis dan menarik. e) Membuat gudang bersama untuk menampung Udang Rebon yang telah dikeringkan sebagai bahan baku pembuatan trasi. f) Mengembangkan usaha pengadaan SAPRODI bagi nelayan kecil
c. Tingkat Individu Pada tingkat individu yang perlu diperkuat dan dikembangkan antara lain: 1) Diversifikasi usaha, nelayan trammel net menambah alat pancing rawai, sehingga saat tidak musim penangkapan udang menggunakan pancing. Dengan demikian maka masa paceklik akan berkurang. Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 60
2) Mengembangkan usaha pembuatan kerupuk udang. Usaha ini sebagai upaya pemanfaatan udang krosok yang berukuran kecil. 3) Mengembangkan usaha pembuatan trasi berbahan dasar udang Rebon yang produksinya sangat melimpah pada saat musim penangkapan. 4) Pengembangan usaha ikan asap menggunakan asap cair, agar memiliki daya awet lebih panjang.
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 61
APPENDIX A: Key Informants Details (Includes private businesses) Daftar Responden untuk Market Study No. Nama / Institusi Jenis Narasumber 1. Mustafa Perikanan Tangkap 2. Sunding Perikanan Tangkap 3. Kamal Perikanan Tangkap 4. Taufik Perikanan Tangkap 5. Saharuddin Pegawai 6. Usman Perikanan Tangkap 7. Oliyasi Pemasaran Perikanan 8. Mutiara Perikanan Tangkap 9. Nandy Perikanan Tangkap 10. Ar-Rasyid Perikanan Tangkap 11. Rosita Pemasaran Perikanan 12. Abdul Latif Perikanan Budidaya (Tambak) 13. Sahrani Perikanan Budidaya (Tambak) 14. Umardhani Perikanan Budidaya (Tambak) 15. Iwan Wahyudi Perikanan Tangkap 16. Abdul Malik Perikanan Tangkap 17. Musa Pengolahan Hasil Perikanan 18. Yusnani Pengolahan Hasil Perikanan 19. Sarita Pengolahan Hasil Perikanan 20. Asnawati Pengolahan Hasil Perikanan 21. Abdul Hamid Perikanan Tangkap 22. Ma'ruf Perikanan Tangkap 23. Haerani Perikanan Tangkap 24. Muhammad Jamil Perikanan Tangkap 25. Achis M. Siregar, S.Pi, M.Si. Pemberdayaan &Pengelolaan SDA 26. Ir. Sigit Sugiardi, MP Pemasaran & Value Chain 27. Topik Tim Pendamping Desa 28. Rian Tim Pendamping Desa 29. Mahyudi Penyuluh 30. Kusnadi Penyuluh 31. Basuki Penyuluh 32. Erwan Tim Pendamping Desa 33. Andi DKP Kabupaten Kubu Raya 34. Sarifah Pengolahan Hasil Perikanan 35. Ani Kusumawati Pengolahan Hasil Perikanan 36. Suhaida Pengolahan Hasil Perikanan
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 62
APPENDIX B: District Priority Value Chain Financial Profiles (3) Untuk penguatan kelembaggan perikanan rakyat pada level kabupaten, maka perlu didirikan suatu unit usaha yang berorientasi tidak hanya pada pencairan profit, namun juga pemberdayaan ekonomi pelaku perikanan tradisional yang dapat berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan dari pelaku usaha perikanan tradisional serta pertumbuhan ekonomi berbasis perikanan. Kelembagaan yang sresuai dengan tujuan tersbut adalah koperasi atau badan usaha milik negara/bdan usaha milik daerah. Koperasi dapat dioptimalkan untuk penyediaan peralatan dan bahan produksi perikanan, rumah pamer produk perikanan, dan unit pengolahan ikan yang menampung produksi dari para pelaku perikanan tradisional. Dalam kajian ini direkomendasikan koperasi perikanan di Kabupaten Kubu Raya dapat mendirikan industri pengolahan chitin dan chitosan. Industri chitin dan chitosan lebih tepat dilakukan oleh koperasi/BUMD dibandingkan oleh KUB atau individu karena mempertimbangkan aspek kapasitas produksi, efisiensi dan kemampuan modal. Hasil proyeksi keuangan Industi chitin chitosan dapat dilihat sebagi berikut : 1. Rekomendasi Industri Chitin dan Chitosam Bahan baku yang digunakan adalah kulit udang kering. Kulit udang tersebut dihancurkan hingga menjadi serbuk. Kemudian dilakukan proses deproteinasi. Proses ini dilakukan pada suhu 75-80°C, dengan menggunakan larutan NaOH 1 M dengan perbandingan serbuk udang dengan NaOH = 1 : 10 (gr serbuk/ml NaOH ) sambil diaduk konstan selama 60 menit. Kemudian disaring dan endapan yang diperoleh dicuci dengan menggunakan aquadest sampai pH netral. Proses ini dilanjutkan dengan proses demineralisasi pada suhu 2530°C dengan menggunakan larutan HCl 2 M dengan perbandingan sampel dengan larutan HCl = 1 : 10 (gr serbuk/ml HCl ) sambil diaduk konstan selama 120 menit. Kemudian disaring dan endapan yang diperoleh dicuci dengan menggunakan aquadest sampai pH netral. Hasil dari proses ini disebut chitin. Chitin kemudian dimasukkan dalam larutan NaOH dengan konsentrasi 20%W pada suhu 90-100°C sambil diaduk konstan selama 60 menit pada proses deasetilasi. Hasil yang berupa slurry disaring, lalu dicuci dengan aquadest sampai pH netral lalu dikeringkan.
Asumsi Analisis Finansial Pembuatan Chitosan Biaya investasi Kondensator Rp. 50.000.000 dengan umur ekonomis 10 tahun Biaya investasi Oven Listrik Rp. 220.000 dengan umur ekonomis 10 tahun Biaya investasi Timbangan Rp. 12.000.000 dengan umur ekonomis 10 tahun Biaya investasi Glasware Rp. 1.000.000 dengan umur ekonomis 10 tahun Biaya Operasional Serbuk Cangkang Rp. 18.000.000 dengan produksi 300 kg/bulan Biaya Operasional Larutan NaOH Rp. 878.400.000 Biaya Operasional Larutan HCL Rp. 540.000.000 Biaya Operasional Aquades Rp. 158.400.000 Biaya Operasional Kertas Whaatman Rp. 4.092.000 Biaya Operasional Listrik Rp. 12.000.000
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 63
Analisis Finansial Pembuatan Chitin dan Chitosan Biaya Investasi Kondensor Destilasi Oven Listrik Timbangan Glasware
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
50.000.000 220.000 12.000.000 1.000.000
Biaya Operasional Serbuk Cangkang
18.000.000
19.845.000
20.838.000
21.880.000
22.974.000
24.122.000
25.328.000
26.595.000
27.924.000
29.321.000
Larutan NaOH
878.400.000
968.436.000
1.016.858.000
1.067.701.000
1.121.086.000
1.177.141.000
1.235.998.000
1.297.797.000
1.362.687.000
1.430.822.000
Larutan HCL
540.000.000
595.350.000
625.118.000
656.374.000
689.193.000
723.652.000
759.835.000
797.826.000
837.718.000
879.604.000
Aquades
158.400.000
174.636.000
183.368.000
192.537.000
202.163.000
212.272.000
222.885.000
234.029.000
245.731.000
258.017.000
4.092.000
4.512.000
4.738.000
4.974.000
5.223.000
5.484.000
5.758.000
6.046.000
6.349.000
6.666.000
12.000.000
13.230.000
13.892.000
14.587.000
15.316.000
16.082.000
16.886.000
17.730.000
18.616.000
19.547.000
1.674.112.000
1.776.009.000
1.864.812.000
1.958.053.000
2.055.955.000
2.158.753.000
2.266.690.000
2.380.023.000
2.499.025.000
2.623.977.000
2.430.000.000
2.551.500.000
2.679.075.000
2.813.029.000
2.953.681.000
3.101.366.000
3.256.435.000
3.419.257.000
3.590.220.000
3.769.731.000
2.430.000.000
2.551.500.000
2.679.075.000
2.813.029.000
2.953.681.000
3.101.366.000
3.256.435.000
3.419.257.000
3.590.220.000
3.769.731.000
755.888.000
775.491.000
814.263.000
854.976.000
897.726.000
942.613.000
989.745.000
1.039.234.000
1.091.195.000
1.145.754.000
Discount factor 16%
1,00
0,86
0,74
0,64
0,55
0,48
0,41
0,35
0,31
0,26
PV Laba (Rugi) 16%
755.888.000
668.526.724
605.130.054
547.746.935
495.806.078
448.790.318
406.233.169
367.711.678
332.842.253
301.279.429
penerimaan (16%)
2.430.000.000
2.199.568.966
1.990.989.150
1.802.188.615
1.631.291.722
1.476.600.718
1.336.578.524
1.209.834.097
1.095.108.496
991.262.000
Total Biaya (16%)
1.674.112.000
1.531.042.241
1.385.859.096
1.254.441.680
1.135.485.644
1.027.810.400
930.345.354
842.122.419
762.266.242
689.982.572
Kertas Whaatman Listrik Total biaya Penerimaan Hasil Produksi Sisa aset Total penerimaan Laba (Rugi)
NPV IRR Payback periode
276.597.136 885,65% 35 bulan 7 hari
B/C ratio kenaikan harga (5%)
1,26 5%
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 64
APPENDIX C: Village Priority Value Chain Financial Profiles (3) Para pelaku ussaha perikanan tradisional di Kab Kubu Raya disarankan memperkuat kelembagaan melalui penguatan kelembagaan melalui Kelompok Usaha Bersama (KUB). KUB dapat dioptimalkan untuk beberapa kegiatan sebagai berikut: 1) Saling berbagi pengalaman dan keterampilan, baik yang bersifat teknis maupun manajemen usaha perikanan; 2) Usaha distribusi dan pemasaran perikanan, sehingga dapat meningkatkan daya tawar dari anggota KUB. Terkait dengan distribusi maka melalui KUB dapat diupayakan penampungan dan cold storage, serta pemasaran bersama yang dapat dilakukan dengan perusahaan / eksportir. 3) KUB dapat dioptimalkan untuk melakukan beberapa usaha bersama, pada jenis-jenis usaha tertentu dimana jika usaha tersebut dilakukan secara individual menjadi kurang efisien dan tinggi resikonya. 1. Rekomendasi Peranan, Estimasi Penerimaan, Dan Keuntungan KUB Udang Krosok POLA INDIVIDU (20 individu) Pola Pemasaran dan Harga A
Nelayan (Rp 20.000,-)
Tauke
Agen (Rp 50.000)
POLA KUB (anggota 20 orang) Nelayan (Rp 35.000,-)
Keterangan
KUB
Agen (Rp50.000)
Asumsi : 980 Kg/orang
B Produksi per Tahun
19.600 Kg
19.600 Kg
C Transportasi Asumsi Harga Jual D Nelayan Penerimaan E nelayan per Tahun Marjin KUB
--
Rp 41.533.333/tahun
Rp 20.000,-
Rp 35.000,-
Rp 392.000.000
Rp 686.000.000
B*D
Rp 644.446.667
(Marjin A*B)-C
Kesimpulan
Penerimaan pendapatan tambahan Pembudidaya Rp 1.225.000, KUB mendapat marjin Rp 12.700.000
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 65
2. Rekomendasi Peranan, Estimasi Penerimaan, dan Keuntungan Kepiting Bakau POLA INDIVIDU (20 individu) Pola Pemasaran dan Harga A
Nelayan (Rp 26.000,-)
Tauke
Agen (Rp 65.000)
POLA KUB (anggota 20 orang) Nelayan (Rp 45.500,-)
Keterangan
KUB
Agen (Rp65.000)
Asumsi : 840 Kg/orang
B Produksi per Tahun
16.800 Kg
16.800 Kg
C Transportasi Asumsi Harga Jual D Nelayan Penerimaan E nelayan per Tahun Marjin KUB
--
Rp 40.600.000/tahun
Rp 26.000,-
Rp 45.500,-
Rp 438.800.000
Rp 764.400.000
B*D
Rp 723.800.000
(Marjin A*B)-C
Kesimpulan
Penerimaan pendapatan tambahan Pembudidaya Rp 1.365.000, KUB mendapat marjin Rp 16.380.000
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 66
APPENDIX D: Individual Priority Value Chain Financial Profiles (3) 1. Rekomendasi Diversifikasi Usaha Perikanan Tangkap Multigear Disarankan nelayan tidak hanya mengandalkan perikanan tangkap single gear (Trammel Net), tetapi bergeser menjadi perikanan tangkap Multi gear (kombinasi Rawai dan Trameel net), sehingga usaha perikanan tangkap lebih produktif dan efisien. Biaya Investasi
1
2
Trammel Net
11.200.000
Perahu Motor
6.000.000
3
12.348.000
4
12.966.000
5
13.614.000
6
14.295.000
7
15.010.000
7.294.000
15.760.000
8
9
10
16.548.000
17.375.000
18.244.000
8.443.000
9.774.000
Biaya Operasional Solar
6.048.000
6.668.000
7.002.000
7.352.000
7.719.000
8.105.000
8.511.000
8.936.000
9.383.000
9.852.000
Perbekalan
1.680.000
1.853.000
1.945.000
2.043.000
2.145.000
2.252.000
2.364.000
2.483.000
2.607.000
2.737.000
150.000
166.000
174.000
183.000
192.000
202.000
212.000
222.000
233.000
245.000
25.078.000
21.035.000
22.087.000
30.486.000
24.351.000
25.569.000
35.290.000
28.189.000
29.598.000
40.852.000
42.000.000
44.100.000
46.305.000
48.621.000
51.053.000
53.606.000
56.287.000
59.102.000
62.058.000
65.161.000
Perawatan kapal Total biaya Penerimaan Hasil panen Sisa aset
6.516.000
Total penerimaan
42.000.000
44.100.000
46.305.000
48.621.000
51.053.000
53.606.000
56.287.000
59.102.000
62.058.000
71.677.000
Laba (Rugi)
16.922.000
23.065.000
24.218.000
18.135.000
26.702.000
28.037.000
20.997.000
30.913.000
32.460.000
30.825.000
Discount factor 16%
1,00
0,86
0,74
0,64
0,55
0,48
0,41
0,35
0,31
0,26
PV Laba (Rugi) 16%
16.922.000
19.883.621
17.997.919
11.618.327
14.747.277
13.348.781
8.618.056
10.937.932
9.901.126
8.105.526
penerimaan (16%)
42.000.000
38.017.241
34.412.158
31.149.417
28.196.117
25.522.514
23.102.563
20.912.033
18.929.270
18.847.681
Total Biaya (16%)
25.078.000
18.133.621
16.414.239
19.531.090
13.448.841
12.173.734
14.484.507
9.974.101
9.028.143
10.742.155
NPV IRR Payback periode
132.080.564 B/C ratio Sangat Besar kenaikan harga (5%) 19 bulan 23 hari
1,89 5% Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 67
Usaha produksi komoditi perikanan udang Jerbung dan udang Krosok adalah dengan penangkapan menggunakan alat tangkap Trammel net. Usaha perikanan dengan komoditas udang Jerbung dan udang Krosok didukung oleh pengolahan menjadi kerupuk udang dan terasi. Perhitungan kelayakan usaha alat tangkap Trammel net berdasarkan asumsi sebagai berikut: Trip nelayan sebanyak 140 trip setahun Pendapatan rata-rata per trip Rp 300.000 Umur ekonomis perahu motor 3 tahun alat tangkap Trammel Net 1 tahun Pembelian solar pertrip Rp 63.000 Perbekalan Rp 10.000 per trip Perawatan Kapal Rp 150.000 pertahun Kenaikan 5% per tahun
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 68
Analisis Kelayakan Usaha Rawai Biaya Investasi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Rawai
4.000.000
4.863.000
5.629.000
6.516.000
Perahu Motor
6.000.000
7.294.000
8.443.000
9.774.000
Biaya Operasional Bensin
4.800.000
5.292.000
5.557.000
5.835.000
6.127.000
6.433.000
6.755.000
7.092.000
7.447.000
7.819.000
ES
4.800.000
5.292.000
5.557.000
5.835.000
6.127.000
6.433.000
6.755.000
7.092.000
7.447.000
7.819.000
Perbekalan
6.000.000
6.615.000
6.946.000
7.294.000
7.658.000
8.041.000
8.443.000
8.865.000
9.308.000
9.774.000
150.000
166.000
174.000
183.000
192.000
202.000
212.000
222.000
233.000
245.000
25.750.000
17.365.000
18.234.000
31.304.000
20.104.000
21.109.000
36.237.000
23.271.000
24.435.000
41.947.000
127.800.000
134.190.000
140.900.000
147.945.000
155.343.000
163.111.000
171.267.000
179.831.000
188.823.000
198.265.000
Perawatan kapal Total biaya Penerimaan Hasil Rawai Sisa aset
10.860.000
Total penerimaan
127.800.000
134.190.000
140.900.000
147.945.000
155.343.000
163.111.000
171.267.000
179.831.000
188.823.000
198.265.000
Laba (Rugi)
102.050.000
116.825.000
122.666.000
116.641.000
135.239.000
142.002.000
135.030.000
156.560.000
164.388.000
156.318.000
Discount factor 16%
1,00
0,86
0,74
0,64
0,55
0,48
0,41
0,35
0,31
0,26
PV Laba (Rugi) 16%
102.050.000
100.711.207
91.160.820
74.726.952
74.691.296
67.609.000
55.422.018
55.395.551
50.142.525
41.104.284
penerimaan (16%)
127.800.000
115.681.034
104.711.653
94.782.100
85.794.556
77.659.270
70.295.214
63.629.518
57.595.822
52.134.373
Total Biaya (16%)
25.750.000
14.969.828
13.550.832
20.055.148
11.103.260
10.050.270
14.873.196
8.233.967
7.453.297
11.030.089
NPV IRR Payback periode B/C ratio kenaikan harga (5%)
713.013.653 Sangat Besar 12 bulan 8 hari 6,20 5%
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 69
Perhitungan kelayakan usaha alat tangkap Trammel net berdasarkan asumsi sebagai berikut: Trip nelayan sebanyak 120 trip setahun Pendapatan rata-rata per trip Rp 1.065.000 Umur ekonomis perahu motor 3 tahun alat tangkap Rawai 3 tahun Pembelian solar pertrip Rp 40.000 Perbekalan Rp 50.000 per trip Perawatan Kapal Rp 150.000 pertahun Kenaikan 5% per tahun
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 70
Analisis Kelayakan Usaha Multigear Biaya Investasi
1
2
3
6.174.000
4
6.483.000
5
6.807.000
6
7.148.000
7
7.505.000
8
7.880.000
9
8.274.000
10
Trammel Net
5.600.000
8.688.000
9.122.000
Rawai
4.000.000
4.863.000
5.629.000
6.516.000
Perahu Motor
6.000.000
7.294.000
8.443.000
9.774.000
Biaya Operasional Bensin
8.820.000
9.725.000
10.211.000
10.721.000
11.257.000
11.820.000
12.411.000
13.032.000
13.683.000
14.367.000
ES
6.300.000
6.946.000
7.294.000
7.658.000
8.041.000
8.443.000
8.865.000
9.308.000
9.774.000
10.263.000
Perbekalan
7.000.000
7.718.000
8.104.000
8.509.000
8.934.000
9.381.000
9.850.000
10.343.000
10.860.000
11.403.000
150.000
166.000
174.000
183.000
192.000
202.000
212.000
222.000
233.000
245.000
37.870.000
30.729.000
32.266.000
46.035.000
35.572.000
37.351.000
53.290.000
41.179.000
43.238.000
61.690.000
127.800.000
134.190.000
140.900.000
147.945.000
155.343.000
163.111.000
171.267.000
179.831.000
188.823.000
198.265.000
42.000.000
44.100.000
46.305.000
48.621.000
51.053.000
53.606.000
56.287.000
59.102.000
62.058.000
65.161.000
Total penerimaan
169.800.000
178.290.000
187.205.000
196.566.000
206.396.000
216.717.000
227.554.000
238.933.000
250.881.000
263.426.000
Laba (Rugi)
131.930.000
147.561.000
154.939.000
150.531.000
170.824.000
179.366.000
174.264.000
197.754.000
207.643.000
201.736.000
Discount factor 16%
1,00
0,86
0,74
0,64
0,55
0,48
0,41
0,35
0,31
0,26
PV Laba (Rugi) 16%
131.930.000
127.207.759
115.144.917
96.438.840
94.344.575
85.398.487
71.525.309
69.971.205
63.336.401
53.047.082
penerimaan (16%)
169.800.000
153.698.276
139.123.811
125.931.516
113.990.673
103.181.784
93.397.777
84.541.551
76.525.092
69.268.652
Total Biaya (16%)
37.870.000
26.490.517
23.978.894
29.492.676
19.646.099
17.783.297
21.872.468
14.570.346
13.188.691
16.221.569
Perawatan kapal Total biaya Penerimaan Hasil Rawai Hasil Trammel Sisa aset
10.860.000
NPV
908.344.574
IRR
Sangat Besar
Payback periode B/C ratio kenaikan harga (5%)
13 bulan 7 hari 5,11
Perikanan multigear adalah kegiatan menangkap ikan dengan menggunakan lebih dari satu alat tangkap. Melalui perikanan multigear ini nelayan bisa mengoperasikan Rawai sembari menunggu immersing alat tangkap Trammel net. Diharapkan hasil pendapatan dengan perikanan multigear ini meningkat jika dibandingkan dengan hanya mengoperasikan satu alat tangkap saja.
5% Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 71
Perbandingan Perikanan single gear dengan multi gear Biaya Tahun Pertama Penerimaan Tahun Pertama Laba / (Rugi) Tahun Pertama NPV (10 Tahun) IRR Payback Periods
Trammel Net Rawai Multi gear 25.078.000 25.750.000 37.870.000 42.000.000 127.800.000 169.800.000 16.922.000 102.050.000 131.930.000 132.080.564 713.013.653 908.344.574 Sangat Besar Sangat Besar Sangat Besar 19 bulan 23 hari 12 bulan 8 hari 13 bulan 7 hari
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 72
2. Rekomendasi Diversifikasi Usaha Tepung Cangkang Rajungan, Kepiting dan kulit udang. 1
Biaya Investasi Mesin Penggiling
2
3
4
3.900.000
Para-para
5
6
7
4.741.000
8
9
5.488.000
10 6.353.000
120.000
133.000
139.000
146.000
154.000
161.000
169.000
178.000
187.000
196.000
50.000
56.000
58.000
61.000
64.000
68.000
71.000
74.000
78.000
82.000
Listrik
1.200.000
1.323.000
1.390.000
1.459.000
1.532.000
1.609.000
1.689.000
1.773.000
1.862.000
1.955.000
Kulit udang, rajungan dan kepiting
1.200.000
1.323.000
1.390.000
1.459.000
1.532.000
1.609.000
1.689.000
1.773.000
1.862.000
1.955.000
Total biaya
6.470.000
2.835.000
2.977.000
7.866.000
3.282.000
3.447.000
9.106.000
3.798.000
3.989.000
10.541.000
4.200.000
4.410.000
4.631.000
4.863.000
5.107.000
5.363.000
5.632.000
5.914.000
6.210.000
6.521.000
Ember Biaya Operasional
Penerimaan Hasil Produksi Sisa aset
4.235.333 4.200.000
4.410.000
4.631.000
4.863.000
5.107.000
5.363.000
5.632.000
5.914.000
6.210.000
10.756.333
(2.270.000)
1.575.000
1.654.000
(3.003.000)
1.825.000
1.916.000
(3.474.000)
2.116.000
2.221.000
215.333
Discount factor 16%
1,00
0,86
0,74
0,64
0,55
0,48
0,41
0,35
0,31
0,26
PV Laba (Rugi) 16%
(2.270.000)
1.357.759
1.229.191
(1.923.895)
1.007.931
912.233
(1.425.876)
748.703
677.462
56.623
penerimaan (16%)
4.200.000
3.801.724
3.441.587
3.115.518
2.820.551
2.553.394
2.311.611
2.092.548
1.894.208
2.828.410
Total Biaya (16%)
6.470.000
2.443.966
2.212.396
5.039.413
1.812.619
1.641.162
3.737.487
1.343.845
1.216.747
2.771.787
Total penerimaan Laba (Rugi)
NPV IRR Payback periode B/C ratio Kenaikan Harga
370.130 21,50% 4 bulan 9 hari 1,01 5%
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 73
Asumsi
Kapasitas Produksi 100 kg/bulan Biaya investasi mesin dengan harga Rp. 3.900.000 umur ekonomsi 3 tahun Biaya investasi para-para dengan harga perset Rp. 60.000 umur ekonomis 1 tahun Biaya investasi ember Rp. 50.000 dengan umur ekonomis 1 tahun Biaya operasional Listrik perbulan Rp. 100.000 Biaya pembelian cangkang dan rajungan Rp. 1.000/kg Harga penjualan Rp. 3.500/kg
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 74
DAFTAR PUSTAKA Ardyaning Estrida Jayanti. 2009. Pemanfaatan Flavor Kepala Udang Windu (Penaeus monodon) dalam Pembuatan Kerupuk Berkalsium Dari Cangkang Rajungan (Portunus portunus sp.) Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut pertanian bogor Ayodhoya. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Penerbit: Yayasan Dewi Sri. Bogor Cochrane KL. 2002. A Fishery Managers Guide Book. Fisheries Technical Paper. No.424. Rome : FAO. Dahuri. 2001. Strategi Pemasaran Udang Windu (Penaeus monodon) di Kabupaten Wajo. www.indoskripsi.com. [2 September 2008]. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2001a. Statistik perikanan budidaya Indonesia 1999. Departemen Kelautan Dan Perikanan : 104 p Direktorat Jenderal Perikanan. 2000. Statistik Perikanan. Departemen Pertanian Republik Indonesia. Fauziah, Farah E. 2008. Analisa Usaha Perikanan Bubu Bambu dan Bubu Kawat di Kepulauan Karimunjawa Kabupaten Jepara. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang, 98 hlm. Hopkins, J.S, and Villalon, J. 1992. Synopsis of Industrial Panel Input on Shrimp Pond Management. In Wyban, J . (Editor): Proceeding of the Special Session on Shrimp Farming. Word Aquaculture Society, Baton Rounge, L.A., USA. P: 138-143. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2008. Statistik ekspor perikanan. Jakarta Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2009. Statistik ekspor perikanan. Jakarta Lovaara AK. 2001. Shrimp farming manual: practical technology for intensive shrimp production. Caribean Press, LTD, USA. Mawardi, M.M. 2001. Pengaruh Penggunaan Jenis Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Karang pada Alat Tangkap Bubu (Trap) di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. 63 hlm. Miller RJ. 1990. Effectiveness of Crab and Lobster Trap. Marine Fisheries Research Journal.No. 47: 12281249. Murtidjo BA dan A Mujiman. 1989. Tambak Air Payau (Budidaya Bandeng dan Udang). Yogyakarta: Kanisius Murtidjo BA. 1991. Tambak Air Payau, Budidaya Udang dan Bandeng. Yogyakarta: Kanasius. Nurdjana. 1994. Menanggulangi Permasalahan Budidaya Udang. Suatu Pengalaman Lapangan. BBAP. Jepara. Prasetiyo K. 2006. Pengolahan Limbah Cangkang Udang. www.kompas.com. [2 September] Sadhori, N. 1985. Teknik Penangkapan Ikan. Angkasa, Bandung. Saparinto,, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Semarang: Effhar dan Dahara Prize Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 75
Saragih, B., 2001. Pengembangan agribisnis berbasis perikanan. Dalam Pambudy R, T Sipayung, JR Saragih, FBM Dabukke dan Burhanuddin (Editor) : Agribisnis paradigma baru pembangunan ekonomi berbasis pertanian. Kerjasama antara Yayasan Persada Indonesia dan PT. Suveyor Indonesia dengan Pusat StudiPembangunan IPB dan USESE Foundation. Penerbit Pustaka Wirausaha Muda, Bogor : 243 p. Subani, W dan H.R. Barus. 1999. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Deptan. Jakarta. Suyanto S. Rachmatun dan A Mujiman. 2005. Budidaya Udang Windu. Jakarta : Penebar Swadaya Syahid, M. Subhan, A. dan Armando, R. 2006. Budidaya Udang Organik Secara polikultur. Penebar swadaya: Jakarta. Umy Kholifah, Ninis Trisyani , Is Yuniar. Pengaruh Padat Tebar yang Berbeda terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan pada Polikultur Udang Windu (Penaeus Monodon Fab) dan Ikan Bandeng (Chanos Chanos) pada Hapa di Tambak Brebes Jawa Tengah. Neptunus, Vol. 14, No. 2, Januari 2008: 152 - 158 United Nation Comodity Trade Statistics Database. www.un.comtrade.org Wyban JA, Sweeney JN. 1991. Intensive shrimp production technology. The Ocean Institute Honolulu, Hawai. Yusuf, F. 2007. Kajian Pemasaran dan Pengembangan Value Added Product dengan Pemanfaatan Rajungan Menjadi Produk Olahan. [Tesis]. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang
Survei Pemasaran Kabupaten Kubu Raya | 76