TUGAS AKHIR
Disusun Oleh :
Nama
: Riswanto Bacharudin
NIM
: 11.12.5783
Kelompok
: SOSIAL
Program Study
: Pendidikan Pancasila
Jurusan
: S1 ( sistem informasi )
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA 2011
“NASIONALISME” ABSTRAK Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara ataugerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya,keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teorinasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut. NASIONALISME merupakan suatu bentuk ideologi, demikian pendapat James G.Kellas (1998: 4). Sebagai suatu ideologi, nasionalisme membangun kesadaran rakyatsebagai suatu bangsa serta memberi seperangkat sikap dan program tindakan. Tingkahlaku seorang nasionalis didasarkan pada perasaan menjadi bagian dari suatu komunitas bangsa. Nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai jawaban atas kolonialisme. Pengalaman penderitaan
bersama
sebagai
kaum
terjajah
melahirkan
semangat
solidaritassebagai satu komunitas yang mesti bangkit dan hidup menjadi bangsa merdeka. Semangattersebut oleh para pejuang kemerdekaan dihidupi tidak hanya dalam batas waktu tertentu,tetapi terus-menerus hingga kini dan masa mendatang. pada masa sekarang ini satu hal yang perlu dibenahi oleh bangsa Indonesia adalahmentalitas warga masyarakatnya. Sikap mental yang kuat dan konsisten serta mampumengeksplorasi diri adalah salah satu bentuk konkrit yang dibutuhkan bangsa Indonesia pada saat ini. Saat ini memang bangsa Indonesia sedang mengalami massamasaketerpurukanya dalam dunia intetrnasional. Krisis multidimensi yang di barengi dengankrisis
ekonomi
yang
berkepanjanganlah
danketerpurukan mental Indonesia.
yang
menyebabkan
kegoncangan
Latar Belakang Masalah Dewasa ini sering terdengar kata nasionalisme, banyak orang yang mengatakan tentang rasa nasionalisme. Tetapi kita sendiri tidak tahu apa makna rasa nasionalisme itu. Nasionalisme banyak di gandeng-gandengkan dengan sebuah negara tentang rasa cinta tanah air dan kesetiaan terhadap negara. Melihat rasa nasionalisme yang begitu kurang pandangannya bagi anak-anak muda jaman sekarang, yang menganggap rasa cinta tanahair yang tidak harus dibuktikan dengan kata-kata. Maka saya akan menjelaskan tentang makna dan arti dari rasa nasionalisme.
Rumusan Masalah Arti dan makna rasa Nasionalisme Kasus Nasionalisme yang terjadi di Indonesia Nasionalisme dalam perspektif islam
Pendekatan Historis Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ali dkk., 1994:89), kata bangsa memiliki arti: (1) kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri; (2) golongan manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal-usul yang sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; dan (3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Beberapa makna kata bangsa diatas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah kesatuan yang timbul dari kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan, dan tempat. Pengertian ini berkaitan dengan arti kata suku yang dalam kamus yang sama diartikan sebagai golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan; golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar (ibid, 1994:970). Beberapa suku atau ras dapat menjadi pembentuk sebuah bangsa dengan syarat ada kehendak untuk bersatu yang diwujudkan dalam pembentukan pemerintahan yang ditaati bersama. Kata bangsa mempunyai dua pengertian: pengertian antropologis-sosiologis dan pengertian politis. Menurut pengertian antropologis-sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan persekutuan-hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota masyarakat tersebut merasa satu kesatuan suku, bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadat. Pengertian ini memungkinkan adanya beberapa bangsa dalam sebuah negara dan— sebaliknya—satu bangsa tersebar pada lebih dari satu negara. Kasus pertama terjadi pada negara yang memiliki beragam suku bangsa, seperti Amerika Serikat yang menaungi beragam bangsa yang berbeda. Kasus kedua adalah sebagaimana yang terjadi pada bangsa Korea yang terpecah menjadi dua negara, Korea Utara dan Korea Selatan. Sementara dalam pengertian politis, bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa (nation) dalam pengertian politis inilah yang kemudian menjadi pokok pembahasan nasionalisme (Nur dalam Yatim, 2001:57—58). Istilah nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran
keanggotan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan menngabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu (Op. cit, 1994:684). Dengan demikian, nasionalisme berarti menyatakan keunggulan suatu afinitas kelompok yang didasarkan atas kesamaan bahasa, budaya, dan wilayah. Istilah nasionalis dan nasional, yang berasal dari bahasa Latin yang berarti “lahir di”, kadangkala tumpang tindih dengan istilah yang berasal dari bahasa Yunani, etnik. Namun istilah yang disebut terakhir ini biasanya digunakan untuk menunjuk kepada kultur, bahasa, dan keturunan di luar konteks politik (Riff, 1995: 193—194). Di Indonesia, nasionalisme melahirkan Pancasila sebagai ideologi negara. Perumusan Pancasila sebagai ideologi negara terjadi dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Di dalam badan inilah Soekarno mencetuskan ide yang merupakan perkembangan dari pemikirannya tentang persatuan tiga aliran besar: Nasionalisme, Islam, dan Marxis. Pemahamannya tentang tiga hal ini berbeda dengan pemahaman orang lain yang mengandaikan ketiganya tidak dapat disatukan. Dalam sebuah artikel yang ditulisnya dia menyatakan, “Saya tetap nasionalis, tetap Islam, tetap Marxis, sintese dari tiga hal inilah memenuhi saya punya dada. Satu sintese yang menurut anggapan saya sendiri adalah sintese yang geweldig (Soekarno dalam Yatim, 2001:155). Dalam artikel itu, dia juga menjelaskan bahwa Islam telah menebalkan rasa dan haluan nasionalisme. Citacita Islam untuk mewujudkan persaudaraan umat manusia dinilai Soekarno tidak bertentangan dengan konsep nasionalismenya. Dan sesuai dengan konsep Islam, dia menolak bentuk nasionalisme yang sempit dan mengarah pada chauvinisme. Dia menambahkan, Islam juga tidak bertentangan dengan Marxisme, karena Marxisme hanya satu metode untuk memecahkan persoalan-persoalan ekonomi, sejarah, dan sosial. Soekarno menghendaki agar dalam negara Indonesia agama dan negara dipisahkan. Pemisahan itu tidak berarti menghilangkan kemungkinan untuk memberlakukan hukumhukum Islam dalam negara, karena bila anggota parlemen sebagian besar orang-orang yang berjiwa Islam, mereka dapat mengusulkan dan memasukkan peraturan agama dalam undangundang negara. Itulah cita ideal negara Islam menurut Soekarno (ibid, 2001:156). Dengan dasar pemikiran itulah, Soekarno mengusulkan lima asas untuk negara Indonesia merdeka. Kelima asas itu adalah: (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau peri kemanusiaan, (3) Mufakat atau demokrasi, (4) Kesejahteraan sosial, dan (5) Ketuhanan. Usulan ini menimbulkan perbedaan pendapat antara nasionalis sekuler dan nasionalis Islam
dan mendorong pembentukan sub panitia yang terdiri dari empat orang wakil nasionalis sekuler dan empat orang wakil nasionalis Islam serta Soekarno sebagai ketua sekaligus penengah. Pertemuan sub panitia ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Usulan Soekarno menjadi inti dari Piagam Jakarta dengan beberapa perubahan: urutan kelima sila dan penambahan anak kalimat pada sila ketuhanan. Tambahan anak kalimat yang kemudian diperdebatkan itu adalah “Dengan kewajiban melaksanakan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Pada saat itu, Soekarno dan Agus Salim berusaha mengakhiri diskusi tentang Piagam Jakarta dalam bentuk yang telah disepakati bersama. Namun setelah Jepang mengalami kekalahan dan BPUPKI ditingkatkan stasusnya menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), beberapa anggota BPUPKI—khususnya dari kalangan Islam—yang aktif dan bersuara lantang tidak muncul dalam PPKI. Kondisi tersebut memberi kesempatan kepada para nasionalis sekuler untuk merubah Piagam Jakarta yang merupakan hasil keputusan BPUPKI. Usaha yang dilakukan untuk meyakinkan pihak nasionalis Islam bahwa hanya konstitusi sekuler yang bisa diterima mayoritas rakyat berhasil. Akhirnya anak kalimat yang tercantum dalam Piagam Jakarta diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang kemudian menjadi bentuk akhir Pancasila—dasar bagi nasionalisme Indonesia yang sekuler religius.
Pembahasan KASUS NASIONALISME YANG TERJADI DI INDONESIA Bahasa dan bangsa adalah dua hal tak terpisahkan. Bagi sebuah bangsa, bahasa adalah wujud identitas yang menunjukkan jati dirinya. Dalam tataran kebangsaan, sebuah bahasa memiliki makna sebagai simbol nasionalisme yang memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat penting secara politis. Bahasa sebagai simbol dan sarana utama dalam berkomunikasi antarmanusia. Oleh karena itu perkembangan bahasa akan sangat dipengaruhi oleh kebudayaan sebuah masyarakat. Keberagaman masyarakat Indonesia dengan suku dan bahasa yang bermacam-macam, menyebabkan bahasa Indonesia menerima begitu banyak pengaruh. Bila dirujuk secara historis, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dirujuk dari bahasa Melayu Riau. Pada perkembangannya, ada begitu banyak bahasa daerah maupun asing yang turut mewarnai perkembangan bahasa nasional kita. Terbentuknya bahasa Indonesia menjadi sebuah bahasa nasional melewati kurun waktu yang tidak sebentar. Ketika bahasa Indonesia secara resmi menjadi bahasa nasional, melalui lembaga atau perangkat kebahasaan yang dimilikinya, pemerintah terus melakukan upaya-upaya penyempurnaan, pembakuan, dan standardisasi sejak Suwandi tahun 1947 hingga sekarang. Upaya-upaya penyempurnaan, pembakuan, dan standardisasi bahasa Indonesia tersebut, tentunya sangat penting meski berdampak pada semakin terpinggirkannya bahasa daerah. Memahami bahasa dan semangat nasionalisme saat ini tentunya beda dengan dulu. Meski gejala yang dihadapi sesungguhnya hampir sama. Jika dulu bahasa merupakan alat pemersatu untuk menghalau kolonialisme, kini untuk menghadapi musuh berupa serbuan budaya asing. Karena masuknya budaya asing, maka banyak masyarakat Indonesia yang kehilangan rasa bangganya terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Dalam hal ini, contoh cukup representatif tentang hilangnya rasa bangga sebagian masyarakat terhadap bahasa Indonesia adalah tampak banyaknya penggunaan kosakata bahasa Inggris dalam dunia bisnis di tanah air, mulai dari penamaan kompleks perumahan, swalayan, ruko, merk dagang, nama jabatan di perusahaan, periklanan dsb. Malahan sekarang tema seminar di perguruan tinggi, festival kesenian, program pemda, slogan dsb ikut-ikutan menggunakan bahasa Inggris.
Yang menarik untuk ditelusuri adalah mengapa masyarakat kita suka hal-hal yang berbau asing atau Inggris? Tidak dapat diingkari bahwa Inggrisisasi dalam dunia bisnis antara lain untuk mengundang kesan eksklusif, gengsi dan kesan mewah dari produk yang dipasarkan. Ini sesuai dengan pola kehidupan kelompok masyarakat kelas menengah yang biasanya suka hal-hal yang bersifat eksklusif, glamor dan mewah. Pola hidup, selera, mental kebarat-baratan merupakan cara paling mudah untuk meningkatkan status menjadi kelas menengah. Kemana rasa nasionalisne kita untuk tetap menggunakan bahasa Indonesia? Sebagai warga bangsa kita harus terus bahu-membahu bekerja sama membangun bangsa yang kita cintai ini. Kemauan kita untuk terus belajar tak kenal lelah, mengakui kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan serta memperbaikinya, meningkatkan kepedulian, dan rasa solidaritas kepada sesama adalah sebagian bentuk dari ekspresi nasionalisme kita. Marilah sama-sama kita tingkatkan rasa nasionalisme kita dengan cinta berbahasa Indonesia.
Nasionalisme dalam Perspektif Islam Islam bagi pemeluknya bukan saja menjadi agama—dalam pengertian studi Barat— namun ia juga sistem yang melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam bukunya, Marcel Boisard (1980:183) menilai bahwa universalitas Islam sebagai agama dan sistem sosial dapat dibuktikan dari empat segi: segi metafisik, segi agama, segi sosiologis, dan segi politik. Sebagai keimanan terhadap keesaan Tuhan yang dituangkan dalam keyakinan yang sangat kuat, Islam adalah ideologi universal yang tidak bisa disamakan dengan ideologi dan agama apapun. Di samping aspek fundamental ini, konsepsi Islam tentang manusia membantu kepada universalitas manusia. Manusia adalah makhluk merdeka dan bertanggung jawab. Namun, dia tidak terpencil karena dia hidup di lingkungan sosial dan dia akan menerima akibat dari setiap perbuatannya. Konsepsi ganda Islam tentang individu sesuai dengan konsep universalitas yang diterima oleh filsafat Barat modern. Islam juga mengajarkan universalitas moral. Merupakan fakta yang tidak diragukan bahwa ajaran Islam dapat memasuki dan berkembang di daerah geografis dan lingkungan kultural yang berbeda-beda. Wahyu ilahi ditujukan kepada semua manusia agar mereka memeluk Islam dan ditujukan—pada tingkat lain—secara khusus kepada kaum beriman untuk mematuhi aturan-aturannya. Mematuhi ajaran yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. berarti
memutuskan hubungan dengan orde sosial kesukuan dan mengidentifikasikan dirinya dengan kesatuan baru (Dault, 2005:160). Namun afiliasi dan loyalitas kepada komunitas yang berdasarkan keimanan tidak berarti bahwa Islam melarang ikatan-ikatan lain selain ikatan berdasar keimanan. Alih-alih, Islam menganjurkan bentuk-bentuk ikatan lain, seperti ikatan keluarga, selama tidak bertentangan dengan Islam (Umari dalam Dault, 2005:162). Studi tentang hubungan Islam dan nasionalisme bermula dari kawasan Timur Tengah. Seperti di Indonesia, sejumlah pelajar Timur Tengah yang belajar di Eropa kembali dengan membawa konsep nasionalisme yang dipelajari di Barat. Konsep Barat tentang patria (tanah air) memengaruhi kata wathan dalam bahasa Arab dengan memberi pengertian politik padanya. Mereka percaya bahwa kemajuan yang dicapai Eropa dipengaruhi oleh kuatnya patriotisme individu dan masyarakat terhadap negara. Hal ini tergambar dari pernyataan Al-Tahtawi, seorang teoritisi nasionalisme Arab berpengaruh, bahwa “Patriotisme adalah sumber kemajuan dan kekuatan, sarana untuk mengatasi jarak antara wilayah Islam dengan Eropa” (Azra dalam Dault, 2005:186). Perkembangan pemikiran nasionalisme sekular berdampak pada tatanan politik umat Islam. Bentuk negara-bangsa— yang diadopsi dari Barat—dijadikan sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah dalam pergaulan internasional. Kenyataan ini berdampak pada terpecah-belahnya dunia Islam menjadi banyak negara-bangsa yang tidak lagi berdasar pada ajaran Islam yang baku. Basis material negara-bangsa yang hanya berpatok pada etnisitas, kultur, bahasa, dan wilayah dan mengabaikan kategori religius (keimanan). Absennya keimanan dari rumusan nasionalisme menimbulkan kritik dari sebagian tokoh Islam. Mereka meyakini bahwa hal ini menyebabkan lemahnya kesatuan dunia Islam. Ali Muhammad Naqvi, misalnya, menyatakan bahwa Islam tidak sesuai dengan nasionalisme karena keduanya berlawanan secara ideologis. Kriteria nasional sebagai basis bangunan komunitas ditolak Al-Quran, karena ia hanya bersifat nasional-lokal sementara Islam mempunyai tujuan universal. Alasan lain adalah spirit sekular dalam nasionalisme yang menghendaki pemisahan tegas antara agama dan politik (Naqvi dalam Dault, 2005:188). Kritik yang dilontarkan memosisikan Islam vis a vis nasionalisme. Namun dalam konteks Indonesia, sila-sila dalam Pancasila—sebagai ideologi negara—tidak satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan Kuntowijoyo (1997:85) berpendapat bahwa
Pancasila adalah obyektifikasi Islam. Meskipun dia mengingatkan bahwa Islam adalah agama dan Pancasila adalah ideologi. Bagi Kunto, ideologi dan agama dibedakan berdasarkan motif. Ideologi tanpa agama dapat berjalan karena dalam diri manusia terdapat apa yang disebut Immanuel Kant sebagai categorical imperative, seperti nilai-nilai disiplin, setia kawan, kedermawanan, dan nilai etika yang lain. Dalam agama terdapat sistem dosa-pahala, surganeraka, dan halal-haram yang semuanya berdasar keimanan dan kemudian menggiring seseorang untuk bertindak sesuai dengan kategori-kategori yang dia yakini. Categorical imperative—sebagai sistem sekular—juga memiliki sanksi yang bersifat personal, berupa rasa bersalah, dan sanksi institusional yang terwujud dalam hukum formal. Pancasila menggabungkan konsep tentang kekuasaan (ketuhanan dan kedaulatan rakyat), konsep tentang proses (kemanusiaan dan kebangsaan), dan konsep tentang tujuan (keadilan sosial). Keunikan Pancasila adalah bahwa kekuasaan diletakkan di bawah Tuhan dan rakyat—teodemokrasi. Istilah ini tersusun dari dua istilah: teokrasi dan demokrasi. Teokrasi (teosentrisme)—dengan menghilangkan konotasi negatif ala Barat—bagi umat Islam sama dengan istilah tawhid, yaitu menjadikan Tuhan sebagai pusat. Ini berarti bahwa kekuasaan Tuhan ada di atas kekuasaan negara. Dalam pelaksanaannya kekuasaan dilaksanakan dengan memerhatikan prinsip-prinsip agama, seperti syura dan keadilan. Sementara demokrasi adalah sistem kekuasaan dengan kedaulatan berada sepenuhnya di tangan rakyat, tanpa harus terikat pada hukum-hukum Tuhan. Dengan demikian, teodemokrasi adalah konsep tentang kekuasaan negara yang dibatasi oleh hukum Tuhan di satu sisi dan oleh rakyat di sisi lain. Dapat pula dirumuskan bahwa ia adalah kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat dengan keyakinan bahwa sumber kekuasaan adalah Tuhan. Sebelum konsep demokrasi dikenal, tanggung jawab kekuasaan dilaksanakan hanya kepada Tuhan, sehingga sering disalahgunakan. Dalam sejarah Jawa misalnya, seorang raja memakai gelar khalifatullah dan dalam sistem kesadaran rakyat kekuasaan raja dianggap sebagai kekuasaan Tuhan yang tidak bisa di ganggu gugat. Hal ini yang kemudian memberi konotasi negatif terhadap sistem teokrasi dalam kajian politik di Barat (Kuntowijoyo, 1997:62; Burhan dan Muhammad (eds.), 2001:29). Diagram berikut memperjelas perbedaan ketiga sistem kekuasaan di atas:
1. Teodemokrasi 2. Demokrasi 3. Teokrasi Nasionalisme Indonesia yang berbentuk negara-bangsa dan menggunakan demokrasi sebagai sistem politik tidak bertentangan dengan Islam sepanjang ia tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam agama. Abul A’la Maududi (2004:54) menyatakan bahwa setiap individu dalam masyarakat Islam memiliki hak dan kekuasaan sebagai khalifah Allah dan dalam hal ini semua individu adalah sama. Institusi yang menangani urusan negara dibentuk sesuai dengan kehendak individu-individu dalam masyarakat. Pendapat mereka menentukan bentuk, pemimpin, dan segala sesuatu yang terkait dengan pemerintahan sesuai prinsip-prinsip Islam. Dalam hal ini, sistem politik Islam merupakan demokrasi yang sebenarnya.
Kesimpulan Dan Saran
Setelah membaca makalah ini, sekarang kita dapat menyimpulkan bawha Nasionalisme itu adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Tetapi saya kurang puas dengan kondisi di negara kita ini, masih banyak orang yang kurang mensyukuri dan mempraktekan bahasa indonesia dengan baik. Kebanyakan anak muda jaman sekarang memakai bahasa-bahasa yang menurut mereka itu gaul di bandingkan dengan bahasa indonesia yang baik dan benar. Seharusnyan konsep berbahasa indonesia yang baik dan benar harus di mulai sejak kecil, agar suatu saat kita bisa mengerti bahasa yang baik itu seperti apa.
Referensi Ali, Lukman. Dkk. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Anderson, Benedict. 1991. Imagined Community: Komunitas-Komunitas Terbayang. Terjemahan oleh Omi Intan Naomi. 2002. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Boisard, Marcel A. 1979. Humanisme Dalam Islam. Terjemahan oleh M. Rasjidi. 1980. Jakarta: Bulan Bintang. www.scribd.com http://robbani.wordpress.com