MODEL PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI PERUSAHAAN MIGAS DALAM RANGKA MENDUKUNG MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (STUDI KASUS LAPANGAN EKSPLOITASI MIGAS TUGU BARAT, INDRAMAYU, JAWA BARAT)
ZULKIFLI RANGKUTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Model Pemanfaatan Gas Ikutan
di
Perusahaan
Migas
dalam
Rangka
Mendukung
Mekanisme
Pembangunan Bersih (Studi Kasus Lapangan Eksploitasi Migas Tugu Barat, Indramayu, Jawa Barat)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, April 2009
ZULKIFLI RANGKUTI P062059434
ABSTRAK ZULKIFLI RANGKUTI. 2009. Model Pemanfaatan Gas Ikutan di Perusahaan Migas dalam Rangka Mendukung Mekanisme Pembangunan Bersih (Studi Kasus Lapangan Eksploitasi Migas Tugu Barat, Indramayu, Jawa Barat). Dibimbing Oleh BAMBANG PRAMUDYA. N sebagai Ketua Komisi Pembimbing, SURYONO HADI SUTJAHJO, ETTY RIANI dan IMAM SANTOSO sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Keberadaan PT. SDK sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di sektor minyak dan gas bumi yang bekerjasama dengan PT. Pertamina memegang peran penting dalam penyediaan energi gas dan peningkatan pendapatan daerah di dalam negeri. Penelitian bertujuan untuk mengembangkan model pemanfaatan gas ikutan dalam kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam mendukung mekanisme pembangunan bersih di Lapangan Tugu Barat. Penelitian menggunakan metode analisisi deskriptif yang didukung dengan metode triangulasi, metode analisis kelayakan ekonomi (Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Pay Back Period (PBP), dan analisis Profitability Index, sistem dinamik dengan bantuan software Powersim Constructor versi 2.5, Analitycah Hierarchy Process (AHP) dan Interpretatif Structural Modeling (ISM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lapangan minyak Tugu Barat memiliki cadangan minyak sebesar 43.423 milyar barrel. Cadangan yang telah terambil sebesar 12.485,50 milyar barrel dan cadangan gas ikutan (flare) sebanyak 35,7 BSCF dan 23,1 BSCF dalam bentuk probable. Kilang LPG Plant Tugu Barat selama ini mendapatkan pasokan gas dari stasiun pengumpul Tugu Barat. Kilang ini terdiri dari kilang CO2 removal dan kilang LPG. Pemanfaatan produksi minyak dan gas bumi Lapangan Tugu Barat meliputi (1) minyak untuk keperluan kilang (proses extraksi) Balongan dan untuk memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri (2) gas alam (non associated) diigunakan untuk keperluan semburan buatan (gas lift) pada Lapangan Bongas Blok Jatibarang, ke kilang Mundu untuk diproses (stripping) menjadi gas LPG, dan untuk konsumen industri seperti PT.PGN, Tbk Cabang Cirebon dan Pabrik Kapur Palimanan, Cirebon, dan (3) gas alam (associated) dimanfaatkan melalui PT.SDK untuk bahan baku (feed stock) pada proses Mini LPG Plant. Industri gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Indramayu secara ekonomi layak untuk dikembangkan Hasil simulasi sub model penduduk Jawa Barat dan DKI menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial. Ini menunjukan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk baik sebagai akibat dari tingginya tingkat kelahiran maupun tingginya penduduk pendatang. Hal yang sama ditunjukkan pada sub model pengolahan gas ikutan sub model ekologi dan sub model ekonomi. Namun karena keterbatasan sumberdaya yang tersedia seperti ketersediaan lahan dan deposit gas maka pada suatu saat kurva akan menuju pada suatu titik keseimbangan tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami penurunan. Dalam hal ini di dalam model terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative feedback) melalui proses balancing. Fenomena ini dalam sistem dinamik disebut mengikuti pola dasar (archetype) “Limit to Growth”. Alternatif kebijakan pengelolaan gasi ikutan yang perlu dikembangkan di adalah pemanfaatan Liquified Petroleum Gas (LPG). Kata kunci : Model, gas ikutan. Migas, mekanisme pembangunan bersih.
ABSTRACT
ZULKIFLI RANGKUTI. 2009. Flaring Gas Utilization Model in Oil and Gas Company to support Clean Development Mechanism (Case Study on Oil and Gas Exploitation Field, Tugu Barat, Indramayu, West Java). Supervised by BAMBANG PRAMUDYA. N as Promotor, SURYONO HADI SUTJAHJO, ETTY RIANI, IMAM SANTOSO as CO Promotor
The existence of PT. SDK as one of the peripatetic Company in oil and gas sector which work with PT. Pertamina hold important role in ready to supply gas and improvement of earning of area in home affairs. Research aim to develop model of utilization of associated gas activity of petroleum exploitation in supporting clean development mechanism in Tugu Barat oil field. Big potential of gas production in Indonesia and decreasing the production of oil as fuel production in Indonesia, make Indonesian government to change policy from utilized oil fuel to gas fuel as alternative energy a cheap and environmentally friendly. On the other hand, production of oil and gas be produced flaring gas. Based on that, need to find utilization of flaring gas modeling on oil and gas company to support clean development mechanism, such as on Tugu Barat Oil and Gas Exploitation Field, Indramayu, West Java. This research use descriptive analysis method with triangulation method, Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Pay Back Period (PBP), and profitability Index Analysis with software Powersim Constructor version 2.5, Analytical Hierarchy Process (AHP) and Interpretative Structural Modeling (ISM). The analysis result indicated that flaring gas produced from Tugu Barat Field potential to processed, because profitable and could decrease global warming so that it can support clean development mechanism (CDM). Alternative policy that could develop on Tugu Barat Oil Field is process flaring gas to liquefied petroleum gas (LPG), beside profitable, it can protect environment quality to clean development mechanism (CDM). To achieve this, most influential factor is government policy and other influential factors are human resources, natural resources (flaring gas availability), funding, technology, facilities and infrastructure. Therefore to manage flaring gas on Tugu Barat Field needs government policy and high quality human resources. Flare gas industry on Tugu Barat Oil Production Field, economically good to develop. The result of West Java and Jakarta society sub model ecology , sub model simulation and economic sub model indicated the preference of positive growth curve establishment which follow exponential curve, same result indicate on migrants. But because of resource limitedness, at one time the curve go to stable equilibrium through balancing process which at dynamic system said for following archetype “limit to growth”. Alternative policy management of associated gas which need to be developed in Liquified Petroleum Gas (LPG). Key words: model, policy, associated gas management, oil and gas, greenhouse gases, global warming, clean development mechanism, AHP, ISM
RINGKASAN Krisis energi global khususnya yang berasal dari bahan bakar minyak, membuat pemanfaatan gas sangat memegang peranan penting dalam mendukung penyediaan energi sebagai salah satu sumberdaya energi elaternatif. Untuk mendukung penyediaan energi tersebut, PT. SDK bekerja sama dengan PT. Pertamina (Persero) mengembangkan industri pengolahan gas di Lapangan Tugu Barat, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Penelitian bertujuan untuk mengembangkan model pemanfaatan gas ikutan dalam kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Lapangan Tugu Barat. Untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa kegiatan yang dilakukan sebagai tujuan khusus, antara lain : 1. Mengetahui kondisi sistem pengolahan gas ikutan yang ada saat ini dan potensi pemanfaatannya 2. Mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan dalam eksploitasi migas. 3. Mengembangkan disain model pengelolaan gas ikutan dalam kegiatan eksploitasi minyak bumi yang bersifat site spesific. 4. Menentukan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan yang menguntungkan Penelitian dilaksanakan di dalam areal Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP) PT Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi) Region Jawa Area Operasi Timur dan Wilayah Kerja (WK) PT.Sumber Daya Kelola (SDK) Kelurahan/Desa Amis, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terletak pada koordinat 107°51°-108°36° bujur timur dan 6°15°-6"40° lintang selatan. Penelitian dilakukan mulai bulan Februari 2008 sampai dengan Januari 2009 terhitung sejak pengambilan data di lapangan sampai penyusunan disertasi. Penelitian menggunakan metode analisis data yang meliputi : 1. Mengetahui kondisi sistem pengolahan gas ikutan yang ada saat ini dan potensi pemanfaatannya menggunakan metode deksriptif. Untuk mendukung metode analisis deskriptif ini, terlebih dahulu dilakukan pengumpulan datadata sekunder yang berkaitan dengan topik yang dikaji. Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan triangulasi yang merupakan suatu pendekatan dengan memanfaatkan beberapa macam teknik pengumpulan data yang antara lain kegiatan studi pustaka terhadap hasil-hasil kajian terdahulu, yang
dilanjutkan dengan pengamatan (observasi) langsung di wilayah studi, dan wawancara dengan masyarakat setempat. 2. Mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan dalam eksploitasi migas
menggunakan
metode
analisis
kelayakan
ekonomi
dengan
menggunakan pendekatan Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Pay Back Period (PBP), dan analisis Profitability Index. 3. Mengembangkan disain model pengelolaan gas ikutan dalam kegiatan eksploitasi minyak bumi yang bersifat site spesific menggunakan metode analisis data sistem dinamik dengan bantuan software Powersim Constructor versi 2.5 4. Menentukan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan yang menguntungkan menggunakan metode analisis data Analitycal Hierarchy Process (AHP) untuk menyusun strategi arahan kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat. Sedangkan untuk mengetahui kendala utama yang dihadapi dan kebutuhan program dilakukan analisis Interpretatif Structural Modeling (ISM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lapangan minyak Tugu Barat di Indramayu mulai dieksploitasi oleh Pertamina pada tahun 1970. Produksi tertinggi dicapai pada tahun 1973-1994 sebesar 28.000 barrel oil per day (BOPD). Lapangan minyak Tugu Barat memiliki areal seluar 920,328 ha dengan cadangan minyak sebesar 43.423 milyar barrel. Cadangan yang telah terambil sebesar 12.485,50 milyar barrel dan cadangan gas ikutan (flare) sebanyak 35,7 BSCF dan 23,1 BSCF dalam bentuk probable. Kilang LPG Plant Tugu Barat selama ini mendapatkan pasokan gas dari stasiun pengumpul Tugu Barat. Kilang ini terdiri dari kilang CO2 removal dan kilang LPG. Pemanfaatan produksi minyak dan gas bumi Lapangan Tugu Barat meliputi (1) minyak untuk keperluan kilang (proses extraksi) Balongan dan untuk memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri (2) gas alam (non associated) diigunakan untuk keperluan semburan buatan (gas lift) pada Lapangan Bongas Blok Jatibarang,
ke kilang
Mundu untuk diproses (stripping) menjadi gas LPG, dan untuk konsumen industri seperti PT.PGN, Tbk Cabang Cirebon dan Pabrik Kapur Palimanan, Cirebon, dan (3) gas alam (associated) dimanfaatkan melalui PT.SDK untuk bahan baku (feed stock) pada proses Mini LPG Plant. Industri gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Indramayu secara ekonomi layak untuk dikembangkan. Hal ini dilihat dari keuntungan bersih
yang diperoleh bernilai positif dengan tingkat keuntungan bersih (NPV) sebesar US$ 1.148.174,00 dengan kemapuan mengembalikan modal pinjaman bank yang besar yaitu lebih besar dari tingkat suku bunga bank sampai pada batas waktu yang ditetapkan dengan rata-rata IRR berkisar 14,42 % (IRR total). Dilihat dari nilai payback investment perusahaan di lokasi studi diperoleh nilai sebesar 5,080 tahun untuk payback investment dan 3,537 tahun untuk payback loan yang berarti
bahwa
waktu
yang
diperlukan
oleh
perusahaan
untuk
dapat
mengembalikan modal yang dikeluarkan lebih cepat dari masa kontrak dan untuk tahun kelima dan seterusnya perusahaan akan memperoleh keuntungan dari selisih antara hasil penjualan dengan biaya atau modal yang dikeluarkan. Hasil simulasi sub model penduduk Jawa Barat dan DKI menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial. Ini menunjukan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk baik sebagai akibat dari tingginya tingkat kelahiran maupun tingginya penduduk pendatang. Hal yang sama ditunjukkan pada sub model pengolahan gas ikutan sub model ekologi dan sub model ekonomi. Namun karena keterbatasan sumberdaya yang tersedia seperti ketersediaan lahan dan deposit gas maka pada suatu saat kurva akan menuju pada suatu titik keseimbangan tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami penurunan. Dalam hal ini di dalam model terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative feedback) melalui proses balancing. Fenomena ini dalam sistem dinamik disebut mengikuti pola dasar (archetype) “Limit to Growth”. Alternatif kebijakan pengelolaan gasi ikutan yang perlu dikembangkan di adalah pemanfaatan Liquified Petroleum Gas (LPG). Tujuan yang diharapkan dalam pengembangan pemanfaatan LPG adalah terpeliharanya kualitas lingkungan dalam rangka menuju clean development mechanism (CDM). Untuk mencapai tujuan
tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah kebijakan
pemerintah dan sumberdaya manusia. Oleh karena itu diperlukan kebijakan pemerintah dan peningakatan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan Tugu Barat.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009. Hak Cipta dilindungi Undang-undang. 1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
MODEL PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI PERUSAHAAN MIGAS DALAM RANGKA MENDUKUNG MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (STUDI KASUS LAPANGAN EKSPLOITASI MIGAS TUGU BARAT, INDRAMAYU, JAWA BARAT)
ZULKIFLI RANGKUTI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Disertasi
:
Model Pemanfaatan Gas Ikutan di Perusahaan Migas dalam Rangka Mendukung Mekanisme Pembangunan Bersih (Studi Kasus Lapangan Eksploitasi Migas Tugu Barat, Indramayu, Jawa Barat)
Nama
:
Zulkifli Rangkuti
NIM
:
P062059434
Program Studi
:
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya. N. M.Eng Ketua
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo. MS Anggota
Dr. Ir. Etty Riani. MS Anggota
Dr. Ir. Imam Santoso. MS Anggota Diketahui
Ketua Program Studi PSL
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS NIP. 131 471 836
Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS NIP. 130 891 386
Tanggal Ujian 20 April 2009
Tanggal Lulus: ............................
PRAKATA Penulis sangat bersyukur kepada Allah SWT, karena berkat dan kekuatan yang daripadaNya sehingga draft disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini dapat diselesaikan berkat arahan dan bimbingan dari para komisi pembimbing: Prof. Dr. Ir. BAMBANG PRAMUDYA N, M.Eng. (ketua); Prof.Dr. Ir. SURJONO H. SUTJAHJO. MS (anggota); Dr. Ir. ETTY RIANI M.S (anggota) dan Dr. Ir. IMAM SANTOSO M.S (anggota). Ucapan terima kasih yang paling tulus disampaikan untuk semua nama tersebut di atas. Akomodasi yang diterima pada program studi PSL di bawah Ketua Program Studi: Prof. Dr. Ir. SURJONO H SUTJAHJO, M.S. yang selalu mendorong penyelesaian studi; Dr. Ir. ETTY RIANI. M.S (Eks.Sekretaris Eksekutif Program Studi PSL) yang telah berkenan mengakomodasi ujian kualifikasi doktor dan kegiatan-kegiatan administratif lainnya. Terima kasih penulis ucapkan kepada Baringin Panggabean, Ph.D sebagai Konsultan keuangan PT.SDK yang memberi kesempatan kepada penulis dalam penulisan disertasi, serta kepada Dewan Direksi PT.SDK, Arief Susilo Wiranto. B.Eng dan Ir. Pandu Wiweko dan Ir.Edwargo. S dan Nugroho BA Field Manager di lapangan yang mengijinkan dan berdiskusi kepada kami sehingga selesai dalam penulisan disertasi kami, merupakan catatan tersendiri bagi penulis. Untuk itu juga disampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh anggota keluarga (istri dan anak-anak penulis : Siska Pratiwi, Fadhillah A.Z Rangkuti dan Fahriz Z. Rangkuti; Bapak dan Ibu mertua : Asmuni dan Sunarni. Juga kepada teman-teman angkatan VI (Dr.Albert Napitupulu SE. MSi, Betty Setianingsih, Budiono, Hermanus, Dr. Ir. Hazaddin Tende Sitepu MM, Hairul Sitepu, Henry Paranginangin, Mulyo Handono, Petrus Tampubolon, Walter Gultom dan sahabat saya Bambang Mulyana Candidate Doktor, seluruh staf administrasi Sekolah Pascasarjana IPB dan Staf Administrasi PSL (Mbak Ririn, Mbak Herlin, Mbak Suli) dan mereka yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya. Walaupun disertasi ini telah disiapkan dengan sebaik-baiknya, kekurangan dan kesalahan sangat mungkin terjadi. Untuk perbaikan ke depan dan demi menambah khasanah keilmuan, tanggapan dan saran-saran sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin
Bogor, April 2009 Zulkifli Rangkuti
Riwayat Hidup
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 20 Desember 1967 sebagai anak ketiga dari 5 bersaudara dari pasangan M.A Rangkuti (Alm) dan Siti C. Rangkuti. Penulis menikah dengan Siska Pratiwi pada tahun 2002 dan telah dikaruniai dua orang putra, Fadhillah A.Z Rangkuti dan Fahriz.Z Rangkuti. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Akutansi pada Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya dan lulus pada tahun 1994, pada tahun 1995 lulus sebagai Sarjana Ekonomi jurusan Ekonomi Manajemen Pemasaran pada Fakultas Ekonomi UPN “Veteran” Cabang Jawa Timur. Pada tahun 1999 tahun ajaran 1998/1999, dengan bantuan biaya pendidikan dari PT.Bank Asia Pasific (ASPAC), penulis diterima di Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana dan menamatkannya pada tahun 2000. Program Penyetaraan Magister (S2) di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Institut Pertanian Bogor tahun 2005 – 2006. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor dari sumber pembiayaan yang mandiri pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan diperoleh pada tahun 2006. Pengalaman kerja antara lain pernah sebagai Kepala Divisi Pembiayaan (Vice President) pada PT.Bank Syariah Bukopin memimpin pemberian pembiayaan skala besar (wholesale), April – Juli 2008, Kepala Divisi (Vice President) UUS PT.Bank Century Tbk Mei 2006-September 2007 dan Marketing Manager Pembiayaan Korporasi (Asistant Vice President) PT.Bank Syariah Mandiri Juli 2003-Mei 2006. Saat ini penulis bekerja sebagai Senior Advisor (Asset Backed Financing) pada PT. Sumber Daya Kelola (PT.SDK) yang bergerak pada Gas Processing Plant dengan memanfaatkan gas ikutan menjadi Produk LPG, Kondensat, Lean Gas dan CO2, serta aktif kegiatan social di lingkungan penulis tinggal sebagai Wakil Ketua (Sekretaris) RT. di Perumahan Permata Mediterania Kelurahan Srenseng Kecamatan Kembangan Jakarta 11630.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................
ii
DAFTAR TABEL.........................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
viii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2. Tujuan Penelitian............................................................................
5
1.3. Kerangka Pemikiran .......................................................................
5
1.4. Perumusan Masalah.......................................................................
7
1.5. Manfaat Penelitian .........................................................................
10
1.6. Novelty (Kebaruan).........................................................................
11
BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
12
2.1. Minyak Bumi .................................................................................
12
2.1.1. Eksploitasi Minyak Bumi ...................................................
12
2.1.2. Pengelolaan Reservoir Minyak dan Gas Bumi .................
14
2.2. Sistem Produksi dan Pemanfaatan Minyak dan Gas Bumi ..........
18
2.2.1. Sistem Produksi Minyak Bumi ..........................................
20
2.2.2. Pemisahan Minyak Gas Air...............................................
20
2.3. Gas Alam (Natural Gas) ...............................................................
21
2.3.1. Kandungan Energi (Pengukuran Gas Alam).....................
23
2.3.2. Pemanfaatan Gas Alam....................................................
23
2.3.3. Gas Alam di Indonesia......................................................
24
2.4. Gas Ikutan (Associated Gas atau Flaring Gas) ............................
24
2.4.1. Gas Ikutan (associated Gas atau Flaring Gas) di Indonesia
26
2.5. Proses Gas Ikutan Menjadi LPG ..................................................
26
2.6. Potensi Sumber Daya Migas Indonesia........................................
29
2.7. Kegiatan Eksploitasi Minyak Bumi Indonesia ...............................
29
2.8. Pengelolaan Lingkungan Kegiatan Ekploitasi Minyak Bumi .........
34
2.9. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan ...........
35
2.10. Pembangunan Berkelanjutan ......................................................
35
2.11. Produksi Besih..............................................................................
37
2.12. Clean Development Mechanism (CDM) .......................................
38
2.13. Ekonomi Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan ..................
45
2.14. Pengelolaan Lingkungan Sosial ...................................................
47
ii
2.15. Pendekatan Sistem ......................................................................
50
2.15.1.
Sistem Dinamik ..............................................................
51
2.15.2.
Pengertian Model dan Permodelan ...............................
53
2.15.3.
Jenis-jenis Model ...........................................................
54
2.15.4.
Proses Permodelan .......................................................
55
BAB III. METODE PENELITIAN ...............................................................
61
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................
61
3.2
Rancangan Penelitian.................................................................
62
3.2.1. Jenis dan Sumber Data .....................................................
62
3.2.2. Teknik Penetapan Responden ..........................................
65
3.2.3. Pengambilan Sampel Udara..............................................
66
3.2.4. Metode Analisis Data.........................................................
66
3.3. Defenisi Operasional ....................................................................
66
BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN...........................
72
4.1. Letak Geografis dan Administratif ................................................
72
4.2. Iklim .............................................................................................
72
4.3. Penggunaan Tanah ......................................................................
72
4.3.1. Ekonomi ............................................................................
73
4.3.2. Sosial dan Budaya ............................................................
73
4.3.3. Sumber Daya Alam............................................................
75
4.4. Profil Industri Pengolahan Gas Ikutan Objek Penelitian ..............
78
BAB V. STUDI KONDISI SISTEM PENGOLAHAN GAS IKUTAN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA ..................................................
80
Abstrak ..................................................................................................
80
5.1. Pendahuluan ................................................................................
80
5.2. Metode Analisisi Kondisi dan Sistem Pengolahan Gas Ikutan dan Potensi Pemanfaatannya .....................................................
85
5.3. Hasil dan Pembahasan Studi Kondisi dan Sistem Pengolahan Gas Ikutan dan Potensi Pemanfaatannya ....................................
85
5.3.1. Kondisi Sistem Pengolahan Gas Ikutan ............................
85
5.3.2. Potensi Pemanfaatan Gas Ikutan (Flare Gas) di Lapangan Produksi Munyak Tugu Barat...........................
103
5.3.3. Kualitas Lingkungan..........................................................
112
iii
5.4. Kesimpulan ..................................................................................
116
Daftar Pustaka........................................................................................
117
BAB VI. KELAYAKAN EKONOMI PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI LAPANGAN MINYAK TUGU BARAT, INDRAMAYU................... Abstrak ..................................................................................................
119 119
6.1. Pendahuluan ................................................................................
119
6.2. Metode Analisis Kelayakan Ekonomi Pemanfaatan Gas Ikutan ............................................................................................
121
6.3. Hasil dan Pembahasan Analisis Kelayakan Ekonomi Pemanfaatan Gas Ikutan...............................................................
123
6.4. Kesimpulan ..................................................................................
131
Daftar Pustaka........................................................................................
133
BAB VII. DISAIN MODEL PEMANFAATAN GAS IKUTAN (INTERAKSI EKOLOGI, TEKNO-EKONOMI DAN SOSIAL) ............................
134
Abstrak ..................................................................................................
134
7.1. Pendahuluan ................................................................................
134
7.2. Metode Analisis Disain Model Pemanfaatan Gas Ikutan..............
135
7.3. Hasil dan Pembahasan Model Pemanfaatan Gas Ikutan Di Lapangan Tugu Barat, Indramayu ...........................................
145
7.3.1. Simulasi Model Pemanfaatan Gas Ikutan...........................
145
7.3.2. Validasi Model Pemanfaatan Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat .........................................................
160
7.4. Kesimpulan ..................................................................................
161
Daftar Pustaka........................................................................................
163
BAB VIII. STRATEGI ARAHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN GAS IKUTAN YANG MENGUNTUNGKAN SECARA EKONOMI, EKOLOGI DAN SOSIAL....................................................................
164
Abstrak ..................................................................................................
164
8.1. Pendahuluan ................................................................................
164
8.2. Metode Analisis Strategi Kebijakan Pemanfaatan Gas Ikutan .....
166
8.3. Hasil dan Pembahasan Penyusunan Strategi Kebijakan Pemanfaatan Gas Ikutan..............................................................
173
8.4. Kesimpulan ..................................................................................
194
Daftar Pustaka........................................................................................
195
iv
BAB IX. PEMBAHASAN UMUM ...............................................................
196
BAB X. REKOMENDASI KEBIJAKAN ....................................................
205
10.1. Kebijakan Umum .........................................................................
205
10.2. Kebijakan Operasional..................................................................
206
BAB XI. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................
207
11.1.
Kesimpulan ...............................................................................
207
11.2.
Saran-Saran ..............................................................................
208
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
209
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
xi
v
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Lapangan minyak on shore yang dikelola PT. Pertamina .................
33
2.
Potensi dampak lingkungan kegiatan ekploitasi minyak bumi............
34
3.
Karakteristik gas rumah kaca utama .................................................
40
4.
Teknologi rendah emisi disektor energi, industri, dan transportasi.....
44
5.
Format pengumpulan data lapangan Tugu Barat ...............................
65
6.
Rangkuman tujuan, pendekatan, dan analisis data............................
67
7.
Estimasi perbandingan penggunaan bahan bakar 2005 pada perusahaan listrik negara ...................................................................
8.
Sejarah produksi dan profil cadangan minyak dan gas di Lapangan Tugu Barat..........................................................................................
9.
88
Sejarah produksi dan profil cadangan minyak dan gas di Lapangan Pasir Catang.......................................................................................
10.
83
89
Potensi produksi gas di Lapangan Tugu Barat Kompleks (dalam MMSCFD) Kabupaten Indramayu ........................................ ..
105
11.
Analisa komposisi gas di Lapangan Tugu Barat, Indramayu .............
108
12.
Kualitas Udara di Lokasi Penelitian.....................................................
115
13.
Parameter keekonomian proyek pengembangan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu ......................................................
14.
126
Perkembangan penduduk Jawa Barat dan DKI tahun simulasi 2002 – 2025........................................................................................
149
15.
Perkembangan hasil olahan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat ......
152
16.
Simulasi proyeksi perkembangan gas polutan dengan tanpa pengolahan gas ikutan tahun simulasi 2002-2025 .............................
17.
Simulasi proyeksi perkembangan gas polutan dengan pengolahan gas ikutan tahun simulasi 2002-2025 .................................................
18.
156
Simulasi proyeksi pendapatan dari pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu tahun simulasi 2004-2025............
19.
154
159
Hasil analisis uji validasi kinerja terhadap komponen jumlah penduduk di Jawa Barat dan DKI Jakarta ..........................................
160
20.
Skala penilaian perbandingan berpasangan ......................................
166
21.
Nilai indeks random untuk mengetahui nilai consistency ratio ...........
168
vi
22.
Structural self interaction matrix (SSIM) awal elemen ........................
171
23.
Hasil reachability matrix (RM) final elemen ........................................
171
24.
Hasil analisis AHP strategi kebijakan pemanfaatan gas ikutan ..........
173
25.
Perbandingan subsidi minyak tanah dibandingkan dengan LPG .......
186
vii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Bagan alir kerangka pemikiran penelitian...........................................
8
2.
Bagan alir perumusan masalah ..........................................................
10
3.
Diagram alir kajian reservoir secara terintegrasi ................................
17
4.
Proses pengelolaan reservoir migas ..................................................
18
5.
Aliran produksi dan pemanfaatan minyak dan gas bumi ....................
19
6.
Proses pengolahan minyak bumi keluaran sumur..............................
20
7.
Produksi minyak dunia dan gas ikutan ...............................................
25
8.
Kondisi Gas Ikutan (Flare Gas) di sektor Hulu dan Hilir......................
26
9.
Peta Lokasi Gas Flare.........................................................................
27
10.
Skema ilustrasi kegiatan proyek LPG plant dengan memanfaatkan gas ikutan ...........................................................................................
26
11.
Peta penyebaran cadangan minyak bumi Indonesia..........................
27
12.
Peta penyebaran cadangan dan Indonesia berdasarkan sumber gas......................................................................................................
27
13.
Kondisi saat ini Indonesian-oil products supply & demand balance ...
30
14.
Tiga sasaran pokok pembangunan berkelanjutan..............................
34
15.
Hubungan antara jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan eksploitasi migas ................................................................................
44
16.
Intersepsi dunia model dengan dunia nyata .......................................
51
17.
Transformasi kualitatif - kuantitatif ......................................................
52
18.
Jenis-jenis model ................................................................................
53
19.
Sekuen proses permodelan................................................................
54
20.
Loop permodelan................................................................................
55
21.
Tahap-tahap pembuatan simulasi model ...........................................
56
22.
Peta lokasi penelitian di Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu...........................................................................................
60
23.
Diagram alir tahapan penelitian ..........................................................
61
24.
Potensi cadangan migas di Kabupaten Indramayu ............................
75
25.
Kondisi Gas Ikutan (Flare Gas)............................................................
78
26.
Perkembangan produksi dan konsumsi minyak di Indonesia sejak tahun 2000-2006 .......................................................................
81
27.
Indonesian gas production and consumption in 2000-2006 ...............
82
28.
Kondisi pemanfaatan gas berdasarkan penggunaan………………….
82
29.
Rencana pemanfaatan gas ikutan untuk saat ini dan di masa yang akan datang.................................................................................................
viii
94
30.
Proses block diagram pada amine unit di Lapangan Tugu Barat .......
96
31.
Rancangan PFD-process flow diagram – MDEA sweetening unit......
99
32.
Rancangan piping dan instrumentation diagram (P & ID) amine unit.
100
33.
Tahapan gas kompresi inlet ...............................................................
101
34.
Gas ikutan (flaring) yang akan di manfaatkan oleh PT.SDK ..............
104
35.
Rencana jalur distribusi dan pemasaran gas kilang Tugu Barat ........
111
36.
Diagram sebab akibat (causal loop) model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas .........................................................................
37.
Diagram input-output model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung CDM ..............................................
38.
145
Struktur model dinamik pertumbuhan penduduk Jawa Barat dan DKI Jakarta ................................................................................................
40.
140
Struktur model dinamik pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu .......................................................................
39.
139
147
Simulasi pertumbuhan penduduk Propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta periode 2002-2025.................................................................
148
41.
Struktur model dinamik pengelolaan gas ikutan .................................
150
42.
Simulasi perkembangan produksi gas olahan di Lapangan Minyak Tugu Barat Indramayu tahun 2004-2025............................................
43.
Struktur model dinamik perkembangan gas polutan dalam proses produksi gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu ..................
44.
158
Pertumbuhan jumlah penduduk aktual dan hasil simulasi model di Jawa Barat dan DKI Jakarta periode 2002-2006 ............................
49.
157
Simulasi perkembangan pendapatan dari hasil pengolahan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu tahun 2004-2025 ......................
48.
155
Struktur model dinamik sub model ekonomi dalam proses produksi gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu.................................
47.
153
Simulasi perkembangan produksi gas ikutan, gas olahan, dan gas terbakar di Lapangan Tugu Barat periode 2004-2025 .................
46.
153
Simulasi perkembangan produksi gas ikutan dan terbakar serta gas polutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu ..............................
45.
151
161
Hierarkhi pengambilan keputusan model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme
50.
pembangunan bersih ..........................................................................
169
Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor ...........................
173
ix
51.
Prioritas faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu ..................................................
52.
Prioritas stakeholder yang berperan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat .....................................................................
53.
59.
188
Matriks driver power – dependence untuk elemen kebutuhan pengelolaan gas ikutan.......................................................................
58.
188
Struktur hierarkhi sub elemen kendala program pengelolaan gas ikutan di Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat, Indramayu ............
57.
185
Matriks driver power – dependence untuk elemen dendala dalam pengelolaan gas ikutan.......................................................................
56.
180
Prioritas alternatif kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu .......................................................................
55.
177
Prioritas tujuan yang diharapkan tercapai dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu .......................................
54.
175
190
Struktur hierarkhi sub elemen kebutuhan program pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu .......................................
193
Salah satu contoh fasilitas produksi industri pengolahan gas ............
199
x
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Minyak dan gas bumi (migas) adalah sumber daya alam tidak terbarukan
yang bernilai ekonomis dan strategis. Sampai saat ini migas masih merupakan sumber energi yang menjadi pilihan utama bagi industri, transportasi dan rumah tangga. Selain
itu, pemanfaatan berbagai produk akhir atau produk turunan
(derivative) minyak bumi juga semakin meningkat sehingga peningkatan akan permintaan minyak dan gas bumi di seluruh dunia telah mengakibatkan pertumbuhan dan ekspansi pada kegiatan eksplorasi dan pengolahan minyak mentah di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Salah satu daerah yang
melakukan kegiatan eksploitasi dan pengolahan minyak mentah cukup tinggi di Indonesia adalah Propinsi Jawa Barat yang menempati peringkat kelima terbesar setelah Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Lampung, dengan volume produksi mencapai 4,31 % dari produksi total Indonesia. Sedangkan untuk
gas
alam,
Jawa
Barat
yang
mempunyai
84
lapangan
migas
(www.pertamina-javacrb.co.id/wilayah.php) menempati peringkat ketiga dengan produksi 11,27 % dari produksi total gas alam Indonesia. Produksi migas tahunan Jawa Barat pada tahun 2004 sebesar 18.902 barrel oil perday (BOPD) dan 468 million matric standard cubic feet perday (MMSCFD). Kegiatan produksi minyak dan gas bumi merupakan suatu rangkaian proses yang kompleks dengan melibatkan berbagai kegiatan industri minyak bumi, mulai dari hulu (upstream) sampai hilir (downstream).
Kegiatan hulu
(Upstream) meliputi kegiatan eksplorasi (pencarian), eksploitasi (pengangkatan) melalui kegiatan pengeboran dan penyelesaian sumur, sarana pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan minyak mentah untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan minyak. Kegiatan hilir (downstream) meliputi kegiatan prosessing (pengolahan) melalui kegiatan kilang minyak (refinery) untuk memproduksi bahan bakar beserta turunannya dan marketing serta distribusi melalui kegitan penyimpanan (storage). Minyak bumi di lapangan minyak (oilfields) umumnya diproduksi dari beberapa sumur minyak (oilwell). Sumur-sumur minyak ini menghasilkan fluida yang mengandung campuran minyak bumi, gas bumi dan air. Fluida yang dihasilkan dari beberapa sumur minyak ini dikumpulkan ke pusat pengolahan yang memiliki berbagai fasilitas produksi yang disebut sebagai stasiun
2 pengumpul (gathering station atau GS) untuk memisahkan produk minyak bumi dari komponen-komponen lain yang terdapat di dalam fluida, yaitu gas bumi dan air. Pada saat fluida di permukaan, gas yang terlarut di dalam fluida akan terpisahkan
lebih
dahulu
karena
tekanan
di
dalam
reservoir
(tempat
terkumpulnya dan terjebak minyak dan gas bumi secara alami di bawah tanah) lebih tinggi dibandingkan di bubblepoint (suhu pertama kalinya suatu cairan terbentuk gelembung gas, yang menandakan cairan itu mulai mendidih). Gas yang terlarut dalam fluida ini disebut sebagai associated gas, yang lebih dikenal dengan nama gas ikutan (flaring gas). Gas ikutan atau associated gas (flaring gas) ini terproduksi pada lapangan minyak (oil field), pada waktu pengeboran (drilling) atau pada pekerjaan lanjutan (workover), kilang minyak (refinery) pada waktu proses pengolahan minyak mentah, pabrik kimia (chemical plant) dan lahan sampah (landfill). Gas ikutan yang dibahas pada penelitian ini adalah gas ikutan yang terproduksi pada lapangan minyak. Gas ikutan tersebut pada umumnya digunakan sendiri untuk keperluan operasi produksi di lapangan (own use) atau di recovery (ditangkap) sisanya biasanya dibakar (flare) atau di buang keatmosfer (venting) berdampak pada pencemaran udara. Kegiatan
industri
minyak
dan
gas
bumi
umumnya
berpotensi
menimbulkan dampak pada lingkungan. Baik pada proses produksi, pengolahan minyak bumi, penyimpanan maupun industri yang menggunakan minyak bumi, akan dihasilkan bahan-bahan yang merupakan salah satu sumber pencemar lingkungan (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.128 Tahun 2003 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi secara Biologis; dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.129 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi).
Bahan-bahan pencemar ini pada akhirnya
akan masuk ke dalam lingkungan sehingga jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah pada lingkungan. Jumlah gas ikutan yang dihasilkan dari kegiatan industri migas sektor hulu (Upstream) di Indonesia relatif tinggi. Sebagai gambaran jumlah gas ikutan yang dibakar (flare gas) di Indonesia adalah sebesar 3,7 % (300,5 mmscfd) dari total gas yang diproduksi (Yunus, 2005). Padahal dengan masih potensialnya gas ikutan, maka gas ikutan dalam jumlah yang memenuhi syarat (cukup), dapat digunakan kembali untuk berbagai keperluan. Pemanfaatan ini bisa dilakukan
3 setempat atau di industri lainnya yang lokasinya jauh dari lokasi gas tersebut diproduksi, dengan jalan memipakan gas (pipe line) yang dikompresikan terlebih dahulu. Kelebihan gas ikutan yang tidak dapat digunakan untuk keperluankeperluan tersebut dapat digunakan untuk gas lift, direinjeksikan kembali ke dalam sumur, dibakar (gas flaring), atau dibuang langsung ke atmosfer (venting). Pembakaran gas ikutan dan venting dilakukan untuk alasan (i) safety mengingat di dalam gas ikutan ini masih terdapat senyawa-senyawa yang mudah terbakar, yang apabila terlepas secara langsung di sekitar fasilitas pengolahan minyak dan gas bumi akan mudah terbakar, (ii) ketidakekonomisan melakukan recovery gas di fasilitas produksi, sehingga dibutuhkan unit pembakar dan vent stack. Adanya pembakaran gas ikutan ini selain akan menimbulkan pencemaran lingkungan, juga secara tidak langsung mengakibatkan terbuangnya potensi sumberdaya yang sebenarnya masih sangat potensial untuk dimanfaatkan. Padahal jumlah yang dihasilkan seharusnya sudah dapat memasok bahan baku industri seperti pada industri petrokimia. Hal ini sesuai dengan laporan Pusdatin ESDM (2006) yang mengatakan bahwa gas yang digunakan untuk bahan baku industri petrokimia (termasuk pupuk) besarnya 7,3 % (591,0 mmscfd). Oleh karena itu Badan Pengatur Minyak dan Gas (BP Migas) (08 May 2007) melalui program zero flaring berupaya untuk meminimalkan gas ikutan dengan cara memanfaatkan gas ikutan yang berada di lapangan produksi minyak bumi yang terbuang percuma dalam upaya pemanfaatan sebagai energi alternatif karena selain memiliki nilai ekonomis juga memiliki nilai strategis dan sekaligus mendukung program pengurangan pemanasan global (global warming). Berkaitan dengan hal tersebut pada telah diluncurkan Global Gas Flaring Reduction
Public-Private
Partnership
(GGFR)
pada
World
Summit
on
Sustainable Development di Bulan Agustus 2002. GGFR beranggotakan negaranegara penghasil minyak (OPEC), perusahaan minyak baik yang dimiliki negara maupun perusahaan multi nasional lainnya. Tujuan GGFR adalah memfasilitasi dan mendukung penurunan gas ikutan di dunia dengan cara bersama-sama untuk memanfaatkan gas ikutan sebagai energi yang bersih dan mencairkan hambatan-hambatan dalam pemanfaatan gas ikutan tersebut. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) juga sudah mencanangkan program penurunan cemaran gas ikutan dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan, yang tercermin pada rencana aksi kebijakan energi nasional 2003 – 2020 secara terpadu. Salah satu
4 kebijakan untuk mendukung hal tersebut tertuang pada Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 – 2025 yang memuat program-program utama pengelolaan energi nasional.
Salah satu program utama yang tertuang pada blueprint
tersebut adalah melakukan pemanfaatan kembali (reutilization) gas ikutan yang dihasilkan dari proses produksi minyak bumi (program utama ke enam) menjadi bahan yang bernilai ekonomis sehingga akan menguntungkan secara finansial. Hal ini juga sudah ditindak lanjuti oleh Direktorat Jenderal (Ditjend) Minyak dan Gas (Migas) yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang minyak dan gas bumi melalui program GOGII (Green Oil Gas Industry Initiative) (25 Juli 2008) untuk menjadikan industri migas yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan program zero flare, zero discharge, clean air and go renewable. Walaupun sudah ada kebijakan dari Dirjen MIGAS melalui Program GOGII namun hingga saat ini kajian yang ada kaitannya dengan pengurangan dan pemanfaatan kembali gas ikutan yang dihasilkan dari proses produksi bahan bakar fossil (BBF) masih sangat terbatas, bahkan penelitian ke arah pemanfaatan gas ikutan yang akan memberikan dampak terbesar pada sektor ekonomi, ekologi dan sosial hingga saat ini belum pernah dilakukan.
Oleh
karena itu dalam rangka melaksanakan clean development mechanism (CDM) untuk
mendukung
pembangunan
berkelanjutan,
maka
penelitian
model
pemanfaatan gas ikutan di perusahaan MIGAS secara terpadu dan holistik sangat penting untuk dilakukan. Pada saat ini gas ikutan di beberapa lokasi produksi minyak dan gas bumi sudah mulai dimanfaatkan menjadi LPG, bahan pembangkit tenaga listrik (power generator) atau sebagai kondensat.
Selain itu juga telah dilakukan kajian
terhadap gas ikutan, yakni oleh Indriani (2005) yang melakukan studi secara komprehensif mengenai potensi clean development mechanism (CDM) ditinjau secara teknik dan ekonomi penurunan gas ikutan di Indonesia pada sektor minyak dan gas.
Peneliti lainnya adalah Dewi dan Chandra (2007) yang
melakukan kajian tentang pemanfaatan gas ikutan dari fasilitas produksi minyak untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK) di bawah mekanisme pembangunan bersih (CDM). Penelitian tentang pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam mendukung pembangunan berkelanjutan, belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, maka perlu dikaji
pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam
5 mendukung pembangunan berkelanjutan yang mempunyai manfaat maksimal dengan dampak negatif pada lingkungan yang minimal serta dapat menjadikan perusahaan
hidup
berdampingan
secara
harmonis
dengan
masyarakat
sekitarnya. Juga dilakukan penelitian model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih, sehingga
dari
sini
akan
dapat
diketahui
strategi
mana
yang
paling
menguntungkan secara ekologi, ekonomi dan sosial. Dalam hal ini apakah gas ikutan tersebut dijadikan LPG, bahan bakar (lean gas) power generator atau menjadi kondensat. Dalam rangka mendapatkan kebijakan pengelolaan gas ikutan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, maka penelitian model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan MIGAS perlu segera dilakukan.
1.2.
Tujuan Penelitian Penelitian ini, secara umum bertujuan untuk mengembangkan suatu
model pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih. Penelitian difokuskan pada pemanfaatan kembali gas ikutan sebagai energi yang ramah lingkungan. Untuk membangun model pengelolaan eksploitasi minyak, beberapa tujuan spesifik yang ingin dicapai dalam penelitian adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui kondisi sistem pengolahan gas ikutan yang ada saat ini dan potensi pemanfaatannya 2. Mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan dalam eksploitasi migas. 3. Mengembangkan disain model pengelolaan gas ikutan dalam kegiatan eksploitasi minyak bumi yang bersifat site specific. 4. Menentukan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan yang menguntungkan secara ekonomi, ekologi dan sosial. Hasil
penelitian
ini,
diharapkan
dapat
dijadikan
standar
dalam
pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi dalam mendukung mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism in oil industry). 1.3.
Kerangka Pemikiran Kegiatan ekploitasi migas merupakan salah satu bagian pengelolaan
sumberdaya
alam
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.
Namun demikian, selain dihasilkan minyak dan gas, kegiatan
6 ekploitasi tersebut selalu menghasilkan gas ikutan dan limbah yang berpotensi menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan. Gas
ikutan
yang
dihasilkan
pada
umumnya
langsung
dibakar.
Pembakaran gas ikutan ini akan menghasilkan gas-gas emisi yang akan terlepas ke udara dan sebagian gas-gas emisi ini (CO2, CH4, dan H2O) akan terakumulasi di atmosfer bumi yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya efek rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global (global warming). Demikian pula halnya dengan gas yang dilepas melalui vent stack (cerobong) berupa gas CH4 (methan) yang merupakan salah satu dari komponen gas-gas rumah kaca. Selain mengakibatkan efek rumah kaca, kelebihan gas ikutan yang pada saat ini tidak digunakan dan kemudian dibakar atau venting (dibuang langsung ke atmosfer) juga merupakan salah satu kegiatan inefisiensi mengingat gas ikutan yang dibakar masih memiliki kandungan energi yang cukup untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar atau kandungan komponen-komponen gas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku LPG, kondensat, feed stock industri petrokimia (petrochemical), dan lain-lain. Hal ini juga dinyatakan pada Protokol Kyoto yang mendorong dunia untuk mengupayakan pengurangan gas-gas emisi rumah kaca dalam rangka mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim, terutama oleh negara-negara industri (developed countries) yang termasuk dalam Annex-I countries pada Protokol Kyoto. Protokol Kyoto juga memungkinkan negaranegara berkembang (developing countries) yang bukan termasuk negara-negara yang wajib menurunkan emisi rumah kaca (non-Annex I countries) untuk dapat ikut serta dalam pelaksanaan pengurangan dampak perubahan iklim dan pemanasan global melalui mekanisme pembangunan bersih atau yang dikenal dengan clean development mechanism (CDM). Sejalan dengan Protokol Kyoto dan implementasi dari Protokol Kyoto tersebut, BP Migas telah berusaha untuk melakukan pembangunan bersih melalui anjuran pengurangan emisi gas ikutan dengan melakukan pengolahan dan pemanfaatan gas tersebut. Aplikasi CDM pada pengurangan gas ikutan di lokasi proses produksi minyak
akan
mendorong
perusahaan-perusahaan
yang
mengusahakan
pengolahan migas untuk melakukan pengurangan gas ikutan, mengingat aplikasi CDM memberikan keuntungan tambahan berupa revenue dari penjualan certified emission reduction (CER) yang dihasilkan dari kegiatan reduksi gas ikutan yang berkontribusi pada peningkatan dampak pemanasan global. Kegiatan reduksi
7 gas flaring yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan gas ikutan sebelum gas ini dibakar atau dibuang langsung ke atmosfer (venting) atau menginjeksikannya kembali (reinjection) dan menyimpannya di dalam formasi minyak bumi. Hal ini mengandung arti bahwa gas ikutan yang hendak dibakar, dimanfaatkan menjadi bahan baku produksi LNG, LPG, kondensate, atau produk-produk petrokimia atau sebagai bahan bakar pembangkit listrik dan steam melalui pemipaan gas yang telah dikompresikan terlebih dahulu (CNG= compessed natural gas), sehingga dapat memberikan keuntungan secara finansial yang cukup menarik. Melalui pengolahan gas ikutan menjadi produk LPG, kondensat dan lean gas maka akan diperoleh dampak positif secara ekonomi, ekologi dan sosial. Secara ekonomi, produk yang dihasilkan merupakan bahan bakar yang memiliki nilai ekonomi tinggi yang dapat meningkatkan pendapatan perusahan dan PDRB daerah.
Pengolahan gas ikutan juga akan mereduksi jumlah gas ikutan yang
dibakar, yang berarti menurunkan pencemaran udara yang dihasilkan dalam proses pembakaran tesebut. Selain itu, usaha pengolahan gas ikutan tersebut akan membuka kesempatan kerja bagi masyarakat dan masyarakat sekitar berpeluang
mendapatkan
pembinaan
melalui
kegiatan
corporate
social
responsibility dari perusahaan pengolah gas ikutan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian pengembangan model pengelolaan gas ikutan yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomi, ramah lingkungan dan dapat meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat sekitar. Model tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai arahan dalam merumuskan kebijakan eksploitasi minyak dan gas bumi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Secara ringkas kerangkan pemikiran tersebut di atas dapat dilihat pada bagan alir Gambar 1.
1.4.
Perumusan Masalah Sampai saat ini pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak di Indonesia
belum memperhatikan kaidah-kaidah pengelolaan lingkungan secara holistik, baik kaidah lingkungan binaan dan lingkungan alam, maupun kaidah lingkungan sosial. Konsep pengelolaan lingkungan masih sebatas secara fisik saja, sehingga kurang memperhatikan aspek ekologi dan sosial. Pengelolaan kegiatan eksploitasi minyak bumi sebagai hanya terfokus kepada komoditas minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam yang
8 memiliki nilai ekonomi tinggi, padahal disisi lain kegiatan eksploitasi minyak bumi juga menghasilkan gas ikutan. Gas ikutan tersebut jika tidak dimanfaatkan
Gas Alam (Natural Gas)
Pengelolaan SDA
Protokol Kyoto
Eksploitasi Migas
Penurunan Gas Rumah kaca
Minyak Mentah mengandung gas ikutan
Minyak Mentah
Flare (di Bakar)
Clean Development Mechanism (CDM)
Pengolahan (Utilization)
Pencemaran Udara
Dampak Positif
Sosial
Ekonomi
Ekologi
Model Pengelolaan Gas Ikutan
Kebijakan Eksploitasi Minyak Bumi Ramah Lingkungan dan Berkelanjutan
Gambar 1.
Bagan alir kerangka pemikiran
9 kembali akan masuk ke lingkungan (atmosfir) untuk selanjutnya akan mencemari udara. Produksi gas ikutan di Indonesia menduduki rangking empat setelah Nigeria, Angola, Irak di antara negara penghasil minyak anggota GGFR (Global Gas Flaring Reduction) yakni organisasi yang tidak mencari keuntungan (nirlaba) bernaung di bawah Bank Dunia yang beranggotakan negara penghasil minyak (OPEC) dan perusahaan minyak milik negara maupun perusahaan minyak multinasional lainnya. Saat ini sudah dilakukan studi pemanfaatan kembali gas ikutan menjadi bahan dan sumber energi baru yang menguntungkan secara ekonomi.
Kajian tersebut meliputi konversi dari gas ikutan
menjadi bahan bakar (lean gas) pembangkit listrik
menjadi LPG,
(power generator) atau
sebagai kondensat. Dalam rangka membangun model pemanfaatan gas ikutan guna mendukung pelaksanaan mekanisme produksi bersih pada kegiatan eksploitasi minyak dan gas sebagai landasan penyusunan rekomendasi kebijakan pengelolaan migas yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, ada beberapa pertanyaan yang perlu dipecahkan, yaitu: 1. Bagaimana kondisi sistem pengolahan gas ikutan yang ada saat ini dan bagaimana potensinya untuk dapat dimanfaatkan ? 2. Bagaimana kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan dalam eksploitasi migas? 3. Bagaimana disain model pengelolaan gas ikutan dalam kegiatan eksploitasi minyak bumi yang bersifat site spesific?. 4. Bagaimana
strategi
kebijakan
pengelolaan
gas
ikutan
yang
menguntungkan secara ekonomi, ekologi dan sosial. Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan kajian ilmiah dengan menggunakan pendekatan sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkan yang setiap kajian terkait satu sama lain sebagai satu kesatuan. Secara ringkas perumusan masalah penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
10
EKSPLOITASI MIGAS
PENGOLAHAN GAS IKUTAN
Kajian kondisi existing system pengolahan dan potensi pemanfaatan gas ikutan
CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM
Studi kelayakan Ekonomi pemanfaatan gas ikutan
Pengembangan desain model pengelolaan gas ikutan
Perumusan arahan kebijakan dan strategi pengelolaan migas ramah lingkungan yang berkelanjutan
Gambar 2. 1.5.
Bagan alir perumusan masalah
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini memiliki kontribusi dalam pengembangan ilmu
lingkungan berupa konsep model pengelolaan eksploitasi minyak bumi dalam mendukung pembangunan berkelanjutan secara ekologi, ekonomi dan sosial dengan pemanfaatan kembali gas ikutan. Selain itu, penelitian ini secara praktis bermanfaat sebagai: 1. masukan tentang pemanfaatan gas ikutan yang menguntungkan secara ekologi, ekonomi dan sosial. 2. alternatif model pemanfatan gas ikutan dalam eksploitasi migas. 3. alternatif kebijakan yang bersifat operasional dalam pengelolaan gas ikutan yang berwawasan lingkungan dalam pola pembangunan berkelanjutan. 4. referensi dalam pengelolaan gas ikutan di industri migas.
11 1.6.
Novelty Kajian tentang pemanfaatan gas ikutan telah dilakukan oleh beberapa
peneliti terdahulu, antara lain: -
Indriani (2005) melakukan studi secara komprehensif mengenai potensi clean development mechanism (CDM) ditinjau secara teknik dan ekonomi penurunan gas ikutan pada sektor minyak dan gas di Indonesia.
-
Dewi dan Chandra (2007) melakukan kajian tentang pemanfaatan gas ikutan dari fasilitas produksi minyak untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK) dibawah mekanisme pembangunan bersih (CDM). Kebaruan penelitian ini adalah applicability CDM pada pemanfaatan
associated gas (flaring gas) di lapangan PT Pertamina EP yang memiliki karakteristik cadangan (reservoir) berlapis dan sangat terbatas (site spesific) sehingga harus dikembangkan dengan hati-hati terutama dalam penetapan target serta tingginya kandungan karbon dioksida (CO2) dan hydrogen sulfide (H2S). PT Pertamina EP belum pernah membuat kajian tentang pengelolaan gas ikutan pada lapangan minyak, sehingga srategi konversi gas ikutan
yang
berwawasan lingkungan dan model pemanfaatan gas ikutan yang bersifat holistik, yang menggambarkan hubungan antar sub sistem
ekologi, tekno-
ekonomi dan sosial pada kegiatan eksploitasi minyak bumi yang bersifat site specific secara dinamis serta model kebijakan dan pengelolaan eksploitasi minyak bumi yang nantinya dapat dijadikan sebagai arahan dalam merumuskan rekomendasi kebijakan dan strategi pengelolaan migas berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Kebaruan dari penelitian ini gas ikutan yang selama ini langsung dibuang ke lingkungan atau dibakar dapat dimanfaatkan menjadi LPG, sehingga dapat mendatangkan keuntungan secara “ekonomis” karena LPG nya dapat dijual secara langsung dan “dijual” melalui mekanisme perdagangan karbon (carbon trade mechanism) serta dapat memberikan keuntungan pada lingkungan karena dapat meminimalkan terjadinya pencemaran udara (air pollution), hujan asam (acid rain) dan pemanasan global (global warming) serta menguntungkan secara sosial (social benefit) karena dapat menyerap tenaga kerja dan meningkatkan kemakmuran rakyat secara berkeadilan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Minyak Bumi Menurut teori pembentukannya minyak bumi, senyawa-senyawa organik penyusun minyak bumi merupakan hasil alamiah proses dekomposisi tumbuhan selama berjuta-juta tahun (Hofer, 1966). Oleh karena itu, minyak bumi juga dikenal sebagai bahan bakar fosil, selain batubara dan gas alam. Menurut Hofer (1966) semua bahan bakar fosil dihasilkan oleh senyawa karbohidrat dengan rumus kimia Cx(H2O) yang memfosil. Karbohidrat tersebut dihasilkan oleh tumbuhan dengan mengubah energi matahari menjadi energi kimia melalui proses fotosintesis. Kebanyakan bahan bakar fosil diproduksi kirakira 325 juta tahun yang lalu, yaitu pada abad Carboniferous dalam era Paleozoic bumi. Setelah tumbuhan mati, maka karbohidrat dapat berubah menjadi senyawa hidrokarbon dengan rumus kimia CxHy akibat tekanan dan temperature yang tinggi serta tidak tersedianya oksigen (anaerob). Hal yang sama dikemukakan pula oleh Chartor dan Somerville (1978) yang menjelaskan bahwa minyak bumi merupakan salah satu produk minyak mentah alami yang dihasilkan dari konversi biomassa pada temperatur dan tekanan yang tinggi secara alami di lingkungan aerob. Senyawa hidrokarbon dapat dirombak oleh berbagai macam mikroba. Perombakan ini membutuhkan waktu yang lama sehingga tidak sebanding dengan dampak yang akan ditimbulkannya bila minyak bumi tersebut terakumulasi dalam tanah. Kumpulan dari minyak dan gas tersebut membentuk reservoir-reservoir minyak dan gas (BP MIGAS 2004).
2.1.1. Eksploitasi Minyak Bumi Eksploitasi atau produksi minyak dan gas bumi adalah kegiatan industri minyak dan gas bumi yang menghasilkan minyak dan gas sehingga siap untuk diolah lebih lanjut (PPPTMGB Lemigas, 1999). Setelah mengetahui kapasitas lapangan minyak, sumur berikut yang dibor disebut sumur pengembangan atau sumur produksi. Suatu kandungan kecil mungkin bisa diciptakan dengan menggunakan satu atau lebih sumur appraisal. Kandungan yang lebih besar memerlukan pemboran sumur produksi tambahan (Lemigas,1999). Beberapa sumur produksi sering dibor dari satu pad yang sama (sistem kluster) untuk mengurangi pemakaian lahan dan biaya prasarana secara keseluruhan. Jumlah sumur yang diperlukan untuk mengeksploitasi kandungan
13 hidrokarbon bervariasi, tergantung besarnya kandungan dan kondisi geologinya. Ladang minyak bumi yang luas memerlukan seratus atau lebih sumur bor (production well). Setiap sumur yang dibor harus siap berproduksi sebelum rig pemboran dipindahkan (E & P Forum,1997) Pada tahap awal umumnya minyak bumi dapat mengalir sendiri secara alamiah ke permukaan (natural flowing). Apabila tekanan formasi sudah berkurang, pengangkatan minyak ke permukaan dapat dibantu dengan pompa. Namun demikian, seringkali kegiatan ekspolitasi minyak bumi dari sumur-sumur minyak belum berhasil memperoleh secara maksimal keseluruhan kandungan minyak bumi yang ada. Perolehan minyak bumi dengan metode konvensional hanya mampu menghasilkan minyak sekitar 30 - 40% kandungan minyak secara keseluruhan (Gaffen, 1975 dalam Forbes, 1980). Secara umum, kegiatan eksploitasi minyak bumi meliputi 3 tahap utama, yaitu : a. Tahap produksi primer (primary recovery), yaitu suatu tahapan memperoleh minyak dimulai dengan mencari dan atau menemukan sumber minyak bumi, penggunaan energi alami dengan memanfaatkan tekanan awal reservoir dan volume air yang dapat menggerakan minyak. b. Tahapan produksi sekunder (secondary recovery), yaitu tahapan perolehan minyak bumi yang dilakukan dengan menginjeksikan cairan (water flooding) atau gas (steam flooding) ke dalam reservoir dengan tujuan menambah energi reservoir. c. Tahapan produksi tersier (tertiary recovery), yaitu tahapan perolehan minyak bumi yang dilakukan karena perolehan minyak sebelumnya belum maksimal. enhanced oil recovery (EOR) adalah suatu mekanisme yang digunakan pada tahapan tertiary recovery untuk meningkatkan produksi minyak setelah tahapan primary dan second recovery. Salah satu teknik EOR yang dikembangkan saat ini adalah dengan memanfaatkan mikroba yang dikenal dengan
microbial
enhance
oil
recovery
(MEOR).
Mikroba
tersebut
diinjeksikan ke dalam reservoir dengan harapan akan diperoleh senyawasenyawa yang mempunyai fungsi sama dengan senyawa kimia yang digunakan pada teknik chemical flooding secara insitu seperti biosurfaktan, biopolymer, biomassa, pelarut, asam dan gas. Senyawa-senyawa ini akan meningkatkan perolehan minyak bumi hingga mencapai 60% karena secara sinergis dapat mengubah porositas batuan penyusun reservoir, menurunkan
14 tegangan permukaan atau menurunkan viskositas minyak bumi sehingga dapat merangsang pelepasan minyak dari reservoir. Kemampuan ini dapat berubah jika terjadi modifikasi di dalam sel mikroba. Modifikasi faktor lingkungan di luar (adanya mutagen) dan di dalam sel mikroba (rekombinasi DNA) secara langsung dapat menghilangkan atau mengubah fraksi hidrokarbon dan mengurangi viskositasnya, sehingga dapat digunakan untuk teknologi MEOR. Penggunaan bakteri untuk pelepasan minyak dari reservoir ini adalah hasil penelitian yang dilakukan Zobell antara tahun 19431955.
Aplikasi MEOR lebih ekonomis dan aman mengingat penggunaan zat
kimia sintetik membutuhkan biaya yang lebih tinggi serta menimbulkan resiko pencemaran lingkungan (Sublett, 1993).
2.1.2. Pengelolaan Reservoir Minyak dan Gas Bumi Teori antiklinal (anticlinal theory) adalah teori tentang akumulasi minyak, gas dan air pada lapisan cembung dalam tatanan tertentu (air paling bawah) asalkan strukturnya mengandung batuan reservoir, yang berhubungan baik dengan bantuan induk dan ditutupi dengan batuan tudung. Perangkap antiklin (anticlinal trap) adalah lapisan dalam struktur antiklin tempat akumulasi hidrokarbon. Cadangan (reserves) adalah jumlah minyak atau gas bumi yang ditemukan didalam batuan reservoir dan dapat diproduksi.
Reservoir adalah
tempat terkumpul dan terjebaknya minyak dan gas bumi secara alami di bawah tanah. Tekanan reservoir (reservoir pressure) adalah tekanan yang mendorong fluida ke lubang bor yang menembus reservoir minyak dan gas bumi. Batuan reservoir (reservoir rock) adalah batuan bawah tanah yang berpori dan permeable yang dapat menyimpan minyak dan atau gas (Pusat data dan Informasi, DESDM, 2006). Pengelolaan dan penanganan reservoir (reservoir management) sejak dini adalah penting, khususnya pada reservoir yang memiliki karakteristik yang unik. Perbedaan cara penanganan terletak pada rencana pengembangannya (plan of development, POD), terutama untuk mengoptimalkan peroleh minyak dan gas. Reservoir reservoir
secara
management didefinisikan sebagai sebuah terencana,
konsisten
dan
pengelolaan
berkesinambungan
untuk
memaksimalkan keuntungan (benefit) dari suatu reservoir migas (Satter dan Thakur, 1994). Selanjutnya dikatakan bahwa pada tahap implementasi, hal ini
15 akan sangat tergantung dari pemanfaatan sumberdaya manusia (SDM), teknologi, peralatan dan finansial untuk memaksimalkan keuntungan (profit) dengan cara mengoptimalkan produksi dan meminimalkan biaya operasi dan investasi. Reservoir management harus dilakukan sejak aktivitas eksplorasi, sampai dengan reservoir tersebut ditemukan, dikembangkan, diproduksikan, hingga akhirnya ditinggalkan (setelah dinilai tidak ekonomis lagi). Dalam prakteknya tentu harus menganut kaidah teknik perminyakan atau petroleum engineering yang baku dan benar, meliputi proses-proses;
perencanaan;
implementasi dari rencana-rencana tersebut; pemantauan terhadap unjuk kerja; penilaian dan revisi terhadap rencana atau strategi bilamana diperlukan (Satter dan Thakur, 1994). Suatu pendekatan sinergi dalam petroleum reservoir management banyak dibahas oleh Satter dan Thakur (1994), dan Thakur dan Satter (1998). Hal yang berkali-kali ditekankan adalah pentingnya sebuah team work antar personel dari berbagai displin ilmu yang terlibat aktivitas perminyakan, yakni : geophysicist, geologist, petroleum engineers dan lain-lain. Selain hal tersebut juga diperlukan adanya interaksi yang efektif dan efisien diantara management, engineering, geoscience dan fungsi penunjang. Suatu contoh, data geologi dan keteknikan reservoir atau produksi akan digunakan oleh ahli geofisika untuk menyakinkan
adanya
perkembangan
reservoir
yang
memungkinkan
penambahan pemboran baru. Di lain pihak, hasil interpretasi data seismik dapat digunakan oleh ahli reservoir untuk menilai cadangan, spasi sumur, unjuk kerja sumur dan lain-lain. Interpretasi awal suatu survei seismik 3-D, misalnya, akan sangat mempengaruhi rencana awal pengembangan suatu lapangan. Namun, dengan bertambahnya engineering data dan informasi, suatu interpretasi dapat direvisi dan disempurnakan terus menerus.
Adalah bukan hal yang
mengejutkan, apabila ternyata dalam plan of futher development (POFD) banyak berubah dari rencana awal. Untuk pengelolaan dan penanganan reservoir karbonat, terlebih dahulu kita harus mengetahui karakteristik batuan karbonat itu sendiri. Keheterogenan karakter yang melekat pada sifat batuan karbonat yang dibawanya sejak awal pembentukannya, dan sepanjang pengembangannya, menyebabkan
kita
harus
ekstra
hati-hati
dalam
menyusun
rencana
pengembangan, memproduksikannya, merawatnya dan mengelolanya. Berdasarkan kekhasan karakteristik batuan karbonat atau batuan pasir, yang
selanjutnya
berpotensi
sebagai
reservoir
migas,
maka
dalam
16 mengembangkan suatu lapangan (field development) semacam ini memerlukan pengelolaan reservoir (reservoir management) dengan perhatian dan pendekatan tertentu. Berbeda dengan reservoir batuan pasir, heterogenitas karakter reservoir karbonat bisa sangat kompleks. Bukan saja karena proses dan lingkungan pembentukannya yang sangat berbeda, namun juga adanya kemungkinan perkembangan yang jauh dari kondisi origin-nya karena proses diagenesis (litifikasi, dolomitisasi) dan perekahan yang diakibatkan oleh adanya patahan maupun pelipatan (Satter dan Thakur, 1994). Dari sisi reservoir management, kehati-hatian dalam menyusun plan of development (POD) maupun plan of further development (POFD) haruslah berangkat dari analisis geologi dan melibatkan reservoir engineering’s sense yang terintegrasi dalam merekonstruksi depositional enviroments (Satter dan Thakur, 1994). Menurut Satter dan Thakur (1994) dalam membuat rekonstruksi lingkungan pengendapan batuan karbonat atau pasir, sebagai awal dari kajian yang dilakukan, pertama adalah menganalisa sifat fisik batuan (petrophysical analysis), seperti porositas, permeabilitas horizontal dan vertikal, densitas batuan, kurva tekanan kapiler dan lain-lain. Kedua, melakukan analisis petrographic yang akan memberi data lebih detail lagi mengenai jaringan pori, tekstur, komposisi kimia, mineral dan lain-lain untuk dapat memperkirakan proses-proses diagenesis yang terjadi. Hasil-hasil ini akan diintegrasikan dengan hasil interpretasi data seismik, data logging, PVT dan data sumuran lainnya (seperti : tekanan dan produktivitas). Untuk selanjutnya, membuat model geologi, model reservoir dan akhirnya dapat menentukan skenario produksi. Proses kerja (workflow) dari kajian ini dapat dilihat pada Gambar 3. Dari aspek reservoir management, diantara tahapan managemen yang terdapat pada Gambar 4, hal yang terpenting adalah pada proses perencanaan dan
penyusunan strategi sebagai langkah awal untuk menentukan kerja
berikutnya. Pada tahap ini segala faktor yang berhubungan dengan karakteristik yang khas pada reservoir karbonat harus diakomodasi dan dikajikan secara detail dengan mengantisipasi berbagai kemungkinan yang ada. Dengan simulasi reservoir, beberapa skenario produksi dapat dibuat dengan mempertimbangan beberapa faktor tadi (Satter dan Thakur, 1994).
17
Seismic Data Well Data Processing Petrophysic Analysis Interpretation
Cross Correlation
Inversion Correlation Matching
Geostatistics Geology Modeling
Reservoir Modelling Reservoir Simulation
Production Plan
Gambar 3.
Diagram alir kajian reservoir secara terintegrasi (Satter dan Thakur, 1994)
Selanjutnya, penyiapan fasilitas produksi, baik dari segi desain maupun implementasinya harus mengikuti kajian reservoir yang telah dibuat. Perubahan data baru selalu diinformasikan dan di-update untuk dapat segera merevisi hasil simulasi. Realisasi produksi yang ada kadang-kadang tidak sesuai dengan prediksi hasil simulasi reservoir. Apabila hal ini terjadi, revisi strategi pengembangan lapangan harus segera dilakukan (Satter dan Thakur, 1994). Dari rangkuman rencana tidak lanjut berdasarkan simulasi reservoir, dapat diambil keputusan apakah pembangunan fasilitas injeksi menjadi prioritas utama dalam pengembangan lapangan selanjutnya. Hal ini merupakan langkah penyelamatan kondisi tekanan reservoir yang sudah berada di bawah titik gelembung, yang umum dikenal dengan pressure maintenance.
Dengan
menginjeksi air ke dalam reservoir minyak akan naik kembali dan akan
18 terproduksi lebih lama sehingga perolehannya (recovery factor, RF) bertambah. Apabila hal ini terlambat dilakukan, walaupun telah dilakukan penutupan sumur, gas akan tetap keluar sebagai gelembung dan membentuk secondary gas cap. Kalau hal ini terjadi, maka sekian juta barrel minyak yang semula diprediksi dapat terangkat kepermukaan akan gagal (Satter dan Thakur, 1994).
Setting Strategi
Developing Plan
Implementation
Revising Monitoring
Evaluating
Completing
Gambar 4.
Proses pengelolaan reservoir migas (Satter dan Thakur, 1994)
2.2. Sistem Produksi dan Pemanfaatan Minyak dan Gas Bumi Selain pemanfaatan utama sebagai bahan bakar, minyak dan gas bumi juga dapat dimanfaatkan dalam bentuk lain seperti bahan baku industri. Secara sederhana laju pemanfaatan gas dan minyak bumi disajikan pada Gambar 5. Minyak bumi yang keluar dari sumur minyak tidak dapat secara langsung dimanfaatkan sebagai bahan bakar maupun bahan baku tanpa melalui proses pemurnian dan pemisahan terlebih dahulu. Hal ini didasarkan atas masalah teknis dan ekonomis. Secara teknis minyak bumi diharapkan memiliki karakteristik yang stabil tidak korosif dan bebas dari senyawa-senyawa bawaan lainnya. Sedangkan secara ekonomis akan memperoleh nilai tambah yang tinggi bila produk memiliki kemurnian yang tinggi. Proses pengolahan minyak bumi
19 diawali dengan proses pemisahan minyak dari komponen bawaan dan pengotornya. Minyak mentah hasil pengolahan awal ini kemudian diangkut atau dialirkan menuju kilang untuk proses pengolahan minyak dibatasi hanya sampai tahap produk minyak mentah atau
proses sebelum pengilangan (Pandjaitan,
2005). Industri ekspor pembangkit listrik
Pabrik Pengolahan Gas
Sumur Gas
Pabrik Gas
Gas, air dan Pengotor
Gas alam
Pabrik NGL
LNG
ekspor
Pasar Domestik Ekspor
Pemisahan awal (C3,C4) LPG,C5+
Kilang Minyak mentah
Sumur Minyak Gambar 5.
Aliran produksi dan pemanfaatan minyak dan gas bumi (Pandjaitan, 2005)
Seperti halnya minyak bumi, gas bumi tidak dapat digunakan secara langsung tanpa melewati tahapan pemisahan dan pemurnian terlebih dahulu. Tahapan pemisahan awal ditujukan untuk menghilangkan kandungan pengotor dan komponen bawaan lainnya. Selanjutnya proses pemisahan dilakukan untuk memisahkan komponen gas berat (C6+) dari komponen ringan. Selanjutnya gas bumi dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam operasi produksi dari Industri atau dipasarkan secara langsung dalam bentuk LPG, LNG maupun NGL (Pandjaitan, 2005). Pemanfaatan gas bumi pada industri dapat terjadi dalam beragam bentuk baik sebagai bahan bakar maupun bahan baku. Pada industri jasa pembangkit listrik tenaga gas, gas bumi bersifat sebagai bahan baku sekaligus bahan bakar. Gas bumi dimanfaatkan untuk pembakaran dengan udara menjadi fluida kerja yang kemudian digunakan untuk memutar sudu turbin menghasilkan daya listrik.
20 Sedangkan pada industri pupuk, peran gas bumi berperan sebagai bahan baku (feedstock) dan bahan bakar terjadi pada dua unit pemrosesan yang berbeda yaitu unit produksi dan unit utilitas.
Dalam unit produksi gas bumi berperan
sebagai bahan baku yang akan diubah menjadi produk, sedangkan pada unit utilitas gas bumi berperan sebagai bahan bakar untuk menghasilkan panas yang digunakan untuk menghasilkan steam. Selain kedua contoh tersebut, banyak industri yang melakukan pemanfaatan gas bumi banyak sekali seperti industri polimer, methanol, pengolahan baja dan lain-lain (Pandjaitan, 2005).
2.2.1 Sistem Produksi Minyak Bumi Minyak bumi keluaran sumur minyak tidak dalam keadaan murni, tetapi membawa komponen lain seperti air, lumpur (pasir) dan gas terlarut. Supaya minyak bumi tersebut dapat diproses di kilang, minyak bumi keluaran sumur memerlukan
beberapa
proses
pemisahan
fisik
menyingkirkan pasir, air dan gas yang terlarut.
yang
bertujuan
untuk
Rincian proses pengolahan
minyak bumi keluaran sumur diperlihatkan dalam Gambar 6
Gas Pemisahan Minyak-GasAir
Pemisahan Minyak dan air air
Crude Oil (minyak Mentah) Storage
Desander Sumur Minyak (terdapat Minyak, Gas dan Air) Gambar 6.
Pasir
Proses pengolahan minyak bumi keluaran sumur (Pandjaitan, 2005
2.2.2. Pemisahan Minyak Gas Air Pemisahan minyak-gas-air bertujuan untuk memisahkan gas dan air (padatan/pasir) dari crude oil. Prinsip pemisahan berdasarkan densitas. Aliran campuran crude oil masuk ke kolom pemisahan mengalami penurunan tekanan sehingga gas yang terlarut dalam minyak densitasnya turun yang mengakibatkan gas dapat keluar dari minyak. Waktu yang dibutuhkan gas untuk melepaskan diri dari minyak sekitar 30-60 menit.
Untuk mengefisienkan pemisahan gas dan
21 minyak, pada bagian atas kolom dipasang mist extractor yang berfungsi untuk menangkap tetesan-tetesan cairan yang terbawa gas. Tetesan-tetesan tersebut jatuh kembali kebawah. Air yang memiliki densitas besar akan mengendap ke bagian bawah kolom. Waktu yang dibutuhkan air supaya dapat terpisah dari minyak sekitar lima menit. Kolom pemisah tiga fassa paling sederhana terbentuk kolom tertutup vertikal/horizontal (Pandjaitan, 2005). Lumpur atau pasir yang terbawa aliran minyak bumi keluaran sumur akan terbawa oleh air dari unit pemisahan minyak-gas-air. Prinsip kerja mirip dengan pemisahan minyak-gas-air yaitu berdasarkan perbedaan densitas dengan memanfaatkan gravitasi. Kadangkala unit desander ini tidak berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari pemisahan minyak-gas-air yang dimodifikasi dengan menambah sand cone (bagian bawah kolom pemisah berbentuk kerucut). Selain kolom tertutup, hydrocyclone merupakan peralatan yang digunakan untuk memisahkan padatan dari cairan. Efisiensi pemisahan hydrocyclone lebih tinggi daripada kolom settling konvensional karena ada pertambahan gaya sentrifugal yang menyebabkan laju pemisahan meningkat (Padjaitan, 2005). Minyak bumi hasil dari keluaran unit pemisah minyak-gas-air masih mengandung kadar air yang cukup tinggi. Air tersebut disingkirkan dari aliran minyak. Untuk meningkatkan efisiensi pemisahana air dari minyak umumnya ditambahkan unit pemanas sehingga air dapat lebih mudah terpisahkan dari minyak. Pemisahan minyak-air dilakukan antara lain pada kolom tertutup, hydrocyclone dan lain-lain (Pandjaitan, 2005).
2.3. Gas Alam (Natural Gas) Gas alam sering juga disebut sebagai gas bumi atau gas rawa, adalah bahan bakar fosil berbentuk gas yang terutama terdiri dari metana CH4. Gas ini dapat ditemukan di ladang minyak atau gas alam yang didapat dari dalam sumur di bawah bumi, biasanya bergabung dengan minyak bumi. sebagai
associated gas (gas ikutan).
Gas ini disebut
Ada juga sumur yang khusus
menghasilkan gas, sehingga gas yang dihasilkan disebut gas non associated (http://www.pertamina.com) dan juga terjadi pada tambang batu bara. Ketika gas yang kaya dengan metana diproduksi melalui pembusukan oleh bakteri anaerobik dari bahan-bahan organik selain dari fosil, maka ia disebut biogas. Sumber biogas dapat ditemukan di rawa-rawa, tempat pembuangan akhir sampah, serta penampungan kotoran manusia dan hewan.
22 Komponen utama dalam gas alam adalah metana (CH4), yang merupakan molekul hidrokarbon rantai terpendek dan teringan. Gas alam juga mengandung molekul-molekul hidrokarbon yang lebih berat seperti etana (C2H6), propana (C3H8) dan butana (C4H10), selain juga gas-gas yang mengandung sulfur (belerang). Gas alam juga merupakan sumber utama untuk sumber gas helium. Metana adalah gas rumah kaca yang dapat menciptakan pemanasan global ketika terlepas ke atmosfer, dan umumnya dianggap sebagai polutan ketimbang sumber energi yang berguna. Meskipun begitu, metana di atmosfer bereaksi dengan ozon, memproduksi karbon dioksida dan air, sehingga efek rumah kaca dari metana yang terlepas ke udara relatif hanya berlangsung sesaat. Sumber metana yang berasal dari makhluk hidup kebanyakan berasal dari rayap, ternak (mamalia) dan pertanian (diperkirakan kadar emisinya sekitar 15, 75 dan 100 juta ton
per
tahun
secara
berturut-turut
(www.naturalgas.org/
overview/
background.asp) Nitrogen, helium, karbon dioksida (CO2), hidrogen sulfida (H2S), dan air (H2O) dapat juga terkandung di dalam gas alam. Merkuri dapat juga terkandung dalam jumlah kecil.
Komposisi gas alam bervariasi sesuai dengan sumber
ladang gasnya. Campuran organosulfur dan hidrogen sulfida adalah kontaminan (pengotor) utama dari gas yang harus dipisahkan. Gas dengan jumlah pengotor sulfur yang signifikan dinamakan sour gas dan sering disebut juga sebagai "acid gas (gas asam)". Gas alam yang telah diproses dan akan dijual bersifat tidak berasa dan tidak berbau. Akan tetapi, sebelum gas tersebut didistribusikan ke pengguna akhir, biasanya gas tersebut diberi bau dengan menambahkan thiol, agar dapat terdeteksi bila terjadi kebocoran gas. Gas alam yang telah diproses itu sendiri sebenarnya tidak berbahaya, akan tetapi gas alam tanpa proses dapat menyebabkan tercekiknya pernafasan karena ia dapat mengurangi kandungan oksigen di udara pada level yang dapat membahayakan.
Gas alam dapat berbahaya karena sifatnya yang sangat
mudah terbakar dan menimbulkan ledakan. Gas alam lebih ringan dari udara, sehingga cenderung mudah tersebar di atmosfer.
Akan tetapi bila ia berada
dalam ruang tertutup, seperti dalam rumah, konsentrasi gas dapat mencapai titik campuran yang mudah meledak, yang jika tersulut api, dapat menyebabkan ledakan yang dapat menghancurkan bangunan.
Kandungan metana yang
berbahaya di udara adalah antara 5% hingga 15%. Ledakan untuk gas alam terkompresi di kendaraan, umumnya tidak mengkhawatirkan karena sifatnya
23 yang lebih ringan, dan konsentrasi diluar rentang 5-15% yang dapat menimbulkan
ledakan
menurut
(www.naturalgas.org/overview/background.
asp/page2).
2.3.1. Kandungan Energi (Pengukuran Gas Alam) Gas alam dapat diukur dalam sejumlah cara, sebagai gas, ia dapat diukur melalui volume pada temperature dan tekanan normal, dinyatakan dalam cubic feet (CF), yang umum dipakai dalam ribuan cubic feet (MCF), jutaan cubic feet (MMCF), atau trilliun cubic feet (TCF).
Gas alam juga sering diukur dan
dinyatakan dalam British thermal unit (BTU). Satu BTU adalah sejumlah gas alam yang akan menghasilkan energi yang cukup untuk memanaskan satu pound air dengan satu derajat pada tekanan normal. Satu cubic feet gas alam mengandung sekitar 1.027 BTU. Gas alam yang dikirim melalui pipa di USA, diukur dalam satuan therms untuk menggunakan pembayaran. adalah
ekuivalen
dengan
100.000
BTU
atau
sekitar
97
Satu therm SCF
gas
alam.(www.pertamina.com/index.php?option=com_content).
2.3.2. Pemanfaatan Gas Alam Secara garis besar pemanfaatan gas alam dibagi atas 3 kelompok yaitu : (1). Gas alam sebagai bahan bakar, antara lain sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga gas/uap, bahan bakar industri ringan, menengah dan berat, bahan bakar kendaraan bermotor (BBG/NGV), sebagai gas kota untuk kebutuhan rumah tangga hotel, restoran dan sebagainya. (2). Gas alam sebagai bahan baku, antara lain bahan baku pabrik pupuk, petrokimia, metanol, bahan baku plastik (LDPE = low density polyethylene, LLDPE = linear low density polyethylene, HDPE = high density polyethylen, PE= poly ethylene, PVC=poly vinyl chloride, C3 dan C4-nya untuk LPG, CO2-nya untuk soft drink, dry ice pengawet makanan, hujan buatan, industri besi tuang, pengelasan dan bahan pemadam api ringan. (3). Gas alam sebagai komoditas energi untuk ekspor, yakni liquefied natural gas (LNG). Teknologi mutakhir juga telah dapat memanfaatkan gas alam untuk air conditioner (AC=penyejuk udara), seperti yang digunakan di Bandara Bangkok, Thailand dan beberapa bangunan gedung perguruan tinggi di Australia (Wikipedia, 2007).
24 2.3.3.
Gas Alam di Indonesia Pemanfaatan gas alam di Indonesia dimulai pada tahun 1960-an yakni
produksi gas alam dari ladang gas alam PT Stanvac Indonesia (sekarang JOB Pertamina-Medco) di Pendopo, Sumatera Selatan dikirim melalui pipa gas ke Pabrik Pupuk Pusri IA, PT Pupuk Sriwidjaja (Persero) di Palembang. Perkembangan pemanfaatan gas alam di Indonesia meningkat pesat sejak tahun 1974, setelah PT.Pertamina (Persero) mulai memasok gas alam melalui pipa gas dari ladang gas alam di Prabumulih, Sumatera Selatan ke pabrik pupuk Pusri II, Pusri III dan Pusri IV di Palembang. Karena sudah terlalu tua dan tidak efisien, pada tahun 1993 Pusri IA ditutup dan digantikan oleh Pusri IB yang dibangun oleh putera-puteri Bangsa Indonesia sendiri. Pada masa itu Pusri IB merupakan pabrik pupuk paling modern di Kawasan Asia, karena menggunakan teknologi tinggi.
Di Jawa Barat, pada waktu yang bersamaan (1974), PT. Pertamina
(Persero) juga memasok gas alam melalui pipa gas dari ladang gas alam di lepas pantai (off shore) Laut Jawa dan Kawasan Cirebon untuk pabrik pupuk PT. Pupuk Kujang (Persero) dan industri menengah dan berat di Kawasan Jawa Barat dan Cilegon Banten.
Pipa gas alam yang membentang dari Kawasan
Cirebon menuju Cilegon, Banten memasok gas alam antara lain ke pabrik semen, pabrik pupuk, pabrik keramik, pabrik baja dan pembangkit listrik tenaga gas dan uap. Selain untuk kebutuhan dalam negeri, gas alam di Indonesia juga diekspor dalam bentuk LNG (liquefied natural gas) (Wikipedia, 2007).
2.4.
Gas Ikutan (Associated Gas atau Flaring Gas) Menurut Johnston (2003) ada dua macam gas yang terakumulasi dalam
tempat penyimpanan minyak, yakni gas ikutan yang larut dalam minyak mentah ke dalam suatu formasi dan gas ikutan di dalam tempat cadangan minyak mengalami penjenuhan dan terjadi penyumbatan sehingga tekanan dan temperatur tekanan gas di bawah batas maksimum, karena tekananan tersebut membuat gas terdorong ke atas. Pada kondisi tertentu, hydrocarbon terhadap gas ikutan (associated gas) minyak mengalami perubahan menjadi minyak, gas atau pengembunan. Pada produksi minyak, secara alami terjadi pemisahan antara gas dan minyak mentah, pertama-tama yang harus dilakukan pada tahap produksi menjaga tekanan reservoar. Pada tahap kedua tekanan hidrokarbon harus pada batas maksimum antara 25% - 35%. Pada tahap kedua ini dilakukan penyulingan
25 gas ikutan dengan menggunakan mesin proses. Tekanan (pressure) gas ikutan masih dibutuhkan dalam proses penyaringan, juga tekanan gas dibutuhkan bilamana terjadi penurunan garis batas tekanan dalam reservoir. Masalahnya, penyulingan gas ikutan bisa merusak aliran minyak mentah serta mempengaruhi faktor produksi. Alasan perusahaan minyak tidak mengolah langsung minyak mentah tersebut karena ketika gas ikutan didaur ulang akan memberikan pengaruh negatif terhadap kandungan minyak mentah itu sendiri dan juga biaya operasional yang dikeluarkan sangatlah besar (Johnston, 2003). Menurut Haugland (2002) setiap hari di seluruh dunia mengeluarkan berbagai macam gas ikutan sekitar 10-13 bcf.
Hanya dua Negara yang
mengeluarkan gas ikutan melebihi jumlah tersebut yakni USA dan Russia. Sebelumnya pada tahun 1980 di Eropa Barat pembuangan gas ikutan sangat tinggi dimana jumlahnya tidak sebanding dengan yang terpakai.
Produksi
minyak di dunia dan gas ikutan sejak tahun 1980 berdasarkan Gambar 7.
Gambar 7.
Produksi minyak dunia dan gas ikutan (Haugland, 2002)
Gas ikutan mengeluarkan emisi karbon monoksida, nitrous oxides dan methane, total emisi yang dikeluarkan diperkirakan 1% - 4%.
Emisi yang
dikeluarkan mengganggu masyarakat setempat dan terutama sekitar area tumbuhan dan hewan karena gas ikutan mengeluarkan cahaya dan hawa panas serta menimbulkan bunyi yang gaduh.
Efek yang sangat berbahaya bagi
lingkungan tersebut dapat dikurangi dengan cara menggurangi teknik ledakan. Bagaimanapun juga, sisa gas ikutan walau yang tidak berbahaya sekalipun dapat menimbulkan masalah di waktu mendatang bagi masyarakat (Petrosyan, 2007)
26 2.4.1 Gas Ikutan (Associated Gas atau Flaring Gas) di Indonesia Menurut data dari Ditjend Migas (2008) kondisi gas ikutan (flare gas) di sektor usaha minyak dan gas hulu (up stream) sebesar 109,50 mmscfd (juta kaki kubik perhari), pada sektor usaha minyak dan gas hilir (down stream) sebesar 1,17 mmscfd (juta kaki kubik perhari) berdasarkan gambar 8.
Gambar 8. Kondisi Gas ikutan (flare gas) di sektor migas hulu dan hilir (Ditjend Migas, 2008) Sektor hulu (up stream) merupakan penyumbang terbesar gas ikutan (flare gas), sektor tersebut adalah dimana minyak mentah di cari (eksploration)
dan di
angkat ke permukaan (production) guna diproses menjadi minyak mentah yang siap (feedstock) di gunakan untuk bahan baku proses pengilangan (refinery). Sumber (sources) dari
gas ikutan (flare gas) pada sektor hulu (up stream)
tersebut berasal dari beberapa lapangan minyak (oil fields) di seluruh Indonesia. Berdasarkan gambar 9, Ditjend Migas (15 Juli 2008) mempersiapkan rancangan kebijakan Green Oil and Gas Industry Initiative (GOGII) untuk menjadikan industri migas yang ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan program zero flare, zero discharge, clean air and go renewable. 2.5.
Proses Gas Ikutan Menjadi LPG
LPG (liquified petroleum gas) adalah campuran dari berbagai unsur hidrokarbon yang berasal dari gas alam yang diproses melalui kilang minyak bumi (refining of crude oil) atau ekstraksi yang berasal dari gas ikutan dari lapangan minyak (crude oil field). Dengan menambah tekanan dan menurunkan suhunya, gas berubah
menjadi
cair.
Komponennya
didominasi
propana
(C3H8)
27
Gambar 9. Peta lokasi gas flare (Ditjend Migas, 2008) dan butana (C4H10). Elpiji juga mengandung hidrokarbon ringan lain dalam jumlah kecil, misalnya etana (C2H6) dan pentana (C5H12).
Dalam kondisi
atmosfer, elpiji akan berbentuk gas. Volume elpiji dalam bentuk cair lebih kecil dibandingkan dalam bentuk gas untuk berat yang sama. Karena itu elpiji dipasarkan dalam bentuk cair dalam tabung-tabung logam bertekanan. Untuk memungkinkan terjadinya ekspansi panas (thermal expansion) dari cairan yang dikandungnya, tabung elpiji tidak diisi secara penuh, hanya sekitar 80% - 85% dari kapasitasnya. Rasio antara volume gas bila menguap dengan gas dalam keadaan cair bervariasi tergantung komposisi, tekanan dan temperatur, tetapi biasaya sekitar 250:1. Tekanan dimana elpiji berbentuk cair, dinamakan tekanan uapnya, juga bervariasi tergantung komposisi dan temperatur; sebagai contoh, dibutuhkan tekanan sekitar 220 kPa (2.2 bar) bagi butana murni pada 20 °C (68 °F) agar mencair, dan sekitar 2.2 MPa (22 bar) bagi propana murni pada 55°C (131 °F).
Menurut spesifikasinya, elpiji dibagi menjadi tiga jenis yaitu elpiji
campuran, elpiji propana dan elpiji butana.
Spesifikasi masing-masing elpiji
tercantum dalam keputusan Direktur Jendral Minyak dan Gas Bumi Nomor: 25K/36/DDJM/1990. Elpiji yang dipasarkan PT.Pertamina (Persero) adalah elpiji campuran (Wikipedia, 2007). LPG plant dalam memproses (ekstraksi) gas ikutan sebagai bahan baku (feed stock) yang berasal sumur minyak yang diangkut melalui pipa minyak (pipeline) berupa gas ikutan (associated gas) melalui stasiun pengumpul (gathering station) pada fasilitas produksi minyak (production fasilities)
28 www.unfcc.org/cdm/pdd/flare/schematic.
Gas ikutan diproses dengan cara
mekanisme sistem teknologi pendinginan dengan melalui beberapa komponen proses: booster compressor, cooling and separation unit, liquid extraction unit, refrigerant re-circulation system, hot oil circulation system, fuel gas system, glycol circulation system, lpg storage and unloading facilities, electric power generation Cara kerja dari pada LPG plant yang memanfaatkan gas ikutan (flaring gas) adalah sebagai berikut : •
Gas (feedstock) diperoleh dari lapangan minyak dan ditransportasikan melalui pipa ke LPG plant (diproses), dengan hasil berupa produk LPG, condensate dan lean gas.
•
Energi yang dipakai untuk mengangkut dan memproses gas ikutan menggunakan lean gas (hasil proses) untuk membangkitkan tenaga listrik (power plant).
Untuk lebih jelasnya ilustrasi kegiatan proyek LPG plant yang memanfaatkan gas ikutan dapat dilihat pada Gambar 10. CO2
LPG
Flaring
Recovery
Residu Gas
LPG Plant
Konde sat
Gas Ikutan (associated Gas)
Ke Oil Stror age
Fasilitas Produksi Minyak Dari Sumur Minyak (oil well)
Gambar 10.
Skema ilustrasi kegiatan proyek LPG memanfaatkan gas (www.unfcc.org/cdm/pdd/flare/schematic)
plant
dengan ikutan
29 2.6.
Potensi Sumber Daya Migas Indonesia Di Indonesia terdapat 60 cekungan hidrokarbon namun 22 cekungan
diantaranya belum diekplorasi, sehingga hanya 38 cekungan yang telah diekplorasi (15 cekungan telah berproduksi, 11 cekungan belum berproduksi dan 12 belum terbukti).
Cadangan minyak bumi Indonesia cenderung menurun
secara alami (decline) dan pada saat ini jumlah cadangan yang ada diperkirakan mencapai 8,4 milyar barrel (3,9 milyar barrel terbukti dan 4,4 milyar barrel potensial) atau dapat diproduksi selama 20 (dua puluh) tahun.
Sebaran
cadangan minyak bumi Indonesia dan jumlah cadangannya dapat dilihat pada Gambar 11.
Sedangkan jumlah cadangan gas bumi Indonesia terbukti dan
potensial mengalami kenaikan dengan ditemukannya lapangan-lapangan baru selama dua tahun terakhir ini dan pada saat ini jumlah cadangan yang ada mencapai 164,99 trilyun kaki kubik (106,1 TCF terbukti dan 58,98 TCF potensial) atau dapat diproduksi untuk waktu 64 tahun (Yusgiantoro, 2007) dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 11. Peta penyebaran cadangan (http://www.migas.esdm.go.id/)
minyak
bumi
Indonesia
2.7. Kegiatan Eksploitasi Minyak Bumi Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara dengan industri hulu migas tertua di dunia, dengan ditandai penemuan secara komersial di Kabupaten Langkat, Telaga Said, di Sumatera Utara pada tahun 1883. Sebagai anggota Organization Petroleum
Exporting
Countries
(OPEC),
produksi
minyak
bumi di
30
Gambar 12. Peta penyebaran cadangan gas Indonesia berdasarkan sumber gas (Indonesia Associated Gas Survey – Screening & Economic Analysis Report (Final), Pendawa, 2006) Indonesia diatur oleh alokasi kuota yang ditetapkan oleh OPEC sebesar 1,445 juta barrel perhari dan masih berlaku sampai saat ini. Jatah kuota produksi sebesar itu hanya dapat dicapai sebelum tahun 2000. Pada tahun 1980, sekitar 70% dari produksi minyak bumi diekpor, tetapi konsumsi domestic meningkat secara mantap dan mencapai 50 % dari produksi minyak bumi pada tahun 1990 (Country Data, 1992). Produksi minyak yang dimiliki oleh PT.Pertamina EP Jawa Bagian Barat sejak tahun 1970 mulai dilakukan eksploitasi dengan melakukan penggalian sejumlah sumur. Dari ratusan sumur yang dibor, daerah-daerah yang berhasil memproduksi adalah Jatibarang, Cemara, Kandanghaur Barat dan Timur, Tugu Barat dan lepas pantai. Daerah PT.Pertamina EP Jawa Bagian Barat ini termasuk daerah operasi yang cukup besar yang dimiliki PT.Pertamina EP. Produksi tertinggi dari daerah ini terjadi pada tahun 1973-1974 mampu mencapai 28.000 barrel oil perday (BOPD). Pada tahun 2000, produksi mengalami penurunan hingga menyentuh angka 7.000-7.500 BOPD. Pada tahun 2001 PT. Pertamina EP Jawa Bagian Barat mampu meningkatkan produksi minyak sebesar 14.294 BOPD dan gas alam 404,8 MMSCFD (Laporan Akhir, Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Barat, 2003). Disadari bahwa produksi minyak Indonesia selama 5 tahun terakhir ini cenderung mengalami penurunan secara alami. Oleh karena itu, selama periode
31 2002-2004, BP Migas dan Kontraktor Kerja Sama telah berhasil menemukan cadangan minyak bumi sebesar 1 milyar barrel untuk mengatasi masalah tersebut. Sebaiknya produksi gas terus meningkat sejalan dengan cadangan gas yang semakin hari semakin meningkat. Peningkatan gas ini diperoleh oleh dari penemuan-penemuan sumber baru seperti Tangguh di Papua, Natuna Barat di Laut Natuna, Donggi/Senoro di Sulawesi, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Blok Cepu (Banyu Urip) di Jawa Timur dan Lapangan lainnya. Seluruh lapangan minyak dan gas bumi tersebut masih dalam taraf penyusunan rencana pengembangan (Plan of Development), WP&B (Work Program and Budget) mulai
melakukan
kegiatan
konstruksi
dan
AFE
(Authourize
Financial
Expenditure) dalam rangka untuk cost recovery (BP.Migas, 2008). Produksi rata-rata harian minyak bumi Indonesia cenderung menurun terus, saat
ini (2008) tingkat produksi harian rata-rata
adalah 844.850,444
barrel.(www.esdm.go.id). Pada tahun 2003 produksi rata-rata harian minyak bumi Indonesia adalah 1,265 juta barrel (World Oil, 2003), penurunan tersebut disebabkan kondisi lapangan minyak sudah tua (mature), penemuan dan pengembangan lapangan baru tidak secepat yang kita harapkan.
Estimasi
cadangan minyak bumi Indonesia adalah 9,692 milliar Barrel atau 0,6 % dari cadangan minyak dunia (DitJend Migas, 1999). Produksi minyak mentah dimulai dengan mengalirkan minyak secara alami (naturalflow) dari area tekanan tinggi yang ada dipermukaan bumi. Produksi alami ini disebut produksi primer, yang bergantung pada tekanan reservoir dan mekanisme pengendalian alami. Mekanisme pengendalian ini merujuk sumber-sumber energi didalam reservoir yang akan
membantu
produksi, bergantung aspek fisik reservoir dan sifat-sifat minyak, gas dan air yang ditemukan dalam proporsi relatif dan lokasinya (Gibbon, 1980). Produksi sekunder adalah prosedur lainnya yang digunakan untuk meningkatkan hasil dari satu reservoir. Prosedur ini terdiri atas menginjeksi gas ikutan atau air untuk mempertahankan reservoir.
Pada zaman dulu, teknik
produksi sekunder diikuti penggunaan teknik produksi primer; sekarang teknik ini mungkin digunakan secara simultan untuk meningkatkan produksi total (Gibbon, 1980).
Masih terdapat ceruk pasar LPG yang dapat dipenuhi oleh KPS dan
PERTAMINA dengan jumlah minimum 200.000 ton per tahun dan permintaan tersebut diperkirakan akan meningkat 15% setiap tahunnya (Gambar 13).
32 Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah penghasil migas terbesar di Indonesia.
Dalam hal volume produksi minyak bumi, Jawa Barat
menempati peringkat kelima terbesar setelah Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Lampung, dengan volume produksi mencapai 4,31 % dari produksi total Indonesia (Pertamina, 2003).
Untuk gas alam, Jawa Barat menempati
peringkat ketiga dengan produksi 11,27 % dari total gas alam Indonesia. Produksi tahunan Jawa Barat pada tahun 2002 adalah 15,78 juta barrel minyak bumi dan 222,6 milyar kaki kubik gas alam (mmscf).
Gambar 13.
Kondisi saat ini Indonesia – Oil Products Supply & Demand Balance (2006-2015) (Sumber : Facst, 2007 & Pertamina analysis)
Potensi migas Jawa Barat tersebar di beberapa daerah penghasil, yaitu Kabupaten Indramayu, Karawang, Majalengka, Subang, Bekasi, wilayah 4-12 mil laut dan wilayah di luar 12 mil laut, meliputi tidak kurang dari 75 lapangan minyak bumi dan gas alam.
33 Tabel 1. Lapangan minyak ‘on shore’ yang dikelola oleh PT.Pertamina EP Region Jawa area operasi timur : Lapangan Sistem Ciputat : - Jatinegara - Jatirarangon - Tambun - Cikarang - Cicauh Sistem Cipunegara : - Tugu Barat - Haurgeulis - Sukatani - Kandang Haur Barat - Pasir Catang Sistem Pasir Bungur: - Pegaden - Pamanukan Selatan - Pasirjadi - Pasirjadi Naik - Gambarsari - Katomas - Sindangsari - Bojongraong Sistem Jatibarang : - Jatibarang - Sindang - Gantar - Randengan - Kandang Haurtimur - Cemara - Cemara Timur - Cemara Selatan - Waled Selatan - Sindang Blok turun - Sambidoyong - Kapetakan
Tahun Mulai Operasi
Cadangan Minyak (x1 juta Barrel)
Cadangan Gas (x1 juta milyar kaki kubik)
1989 1982 1992 1993 1988
1 2 -
20 20 1 50 40
1979 1982 1983 1984 1992
11 1 -
50 50 75 100
1975 1980 1985 1987 1989 1990 1990 1993
10 5 -
5 50 60 2 30 1 50 75
1969 1970 1973 1973 1974 1976 1976 1977 1978 1981 1985 1986
130 10 5 2 8 7 1 0 1 -
150 50 400 20 100 600 200 10 1 0 50
Sumber : PT.Pertamina EP Region Jawa Bagian Barat, 2004
Formasi batuan yang mengandung minyak dan gas bumi adalah formasi Cibulakan (Jatiluhur) terdiri dari lempung dan gamping bersisipan batupasir dengan ciri laut dangkal, formasi Jatibarang terdiri dari batuan vulkanik berumur (Eosen-Oligosen), formasi parigi berupa batu gamping. Formasi ini termasuk
34 blok Dataran Jakarta-Cirebon (Martodjojo, 1975). Sebaran lapangan minyak dan gas bumi yang telah dilakukan eksplorasi dan eksploitasi hingga saat ini dapat dilihat pada Tabel 1 (PT.Pertamina EP Region Jawa, 2004).
2.8. Pengelolaan Lingkungan Kegiatan Eksploitasi Minyak Bumi Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi sebagai industri hulu migas adalah suatu mata rantai kegiatan yang diawali dengan kegiatan survey seismik (geologi, graviti, seismik dan lainnya), pemboran eksplorasi, ekploitasi dan dilanjutkan dengan kegiatan pengembangan lapangan, produksi (termasuk enhanced oil recovery) dan transportasi (pemasaran). Semua kegiatan tersebut, selain menghasilkan devisa kepada negara dan kesempatan kerja, dapat pula menimbulkan dampak negatif pada lingkungan, apabila tidak dikelola dengan baik. Dampak negatif Tabel 2. No 1
dalam bentuk
perubahan tatanan lingkungan yang
Potensi dampak lingkungan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi
Kegiatan Survey Seismik
Jenis Kegiatan • Peledakan Bahan Peledak • Transportasi alat-alat
2
Pemboran Eksplorasi
• • • •
3
Pengembangan Lapangan
•
4
5
• • •
Produksi
• •
Transportasi
• • • • • • • • • • •
Sumber : Soegiarto, 2007
Penyerapan tenaga kerja Ganti rugi lahan Ceceran bahan kimia Pembuangan lumpur bor bekas Penyerapan tenaga kerja dan jasa setempat Ganti rugi lahan Ceceran bahan kimia Pembuangan lumpur bor bekas Emisi gas buang Penyerapan tenaga kerja dan jasa setempat Ceceran bahan kimia Air terproduksi Oil Sludge Penggunaan B3 Ceceran minyak mentah Limbah domestik Kebocoran pipa Emisi gas buang (flare) Kebocoran pipa penyalur minyak Kebocoran tangki penampung Emisi gas buang (flare)
Potensi Dampak Lingkungan • Kerusakan Sarana dan Prasarana • Kebisingan dan debu • Terjadi ceceran minyak • Ada peluang kerja • Spekulasi ganti rugi • Pencemaran air • Terganggu flora & fauna • • • • •
Ada peluang kerja Spekulasi ganti rugi Pencemaran air Terganggunya kehidupan flora dan fauna Pencemaran udara
•
Ada peluang kerja
•
Pencemaran tanah dan air Terganggunya kehidupan flora dan fauna Pencemaran udara
• •
• • •
Pencemaran tanah dan air Terganggunya kehidupan flora dan fauna Pencemaran udara
35 menyangkut aspek-aspek biologi, geologi, hidrologi, fisik, kimia, sosial, ekonomi dan budaya.
Potensi dampak lingkungan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
minyak bumi dapat dilihat Tabel 2.
2.9. Pengelolaan SumberDaya Alam (SDA) dan Lingkungan Ada lima prinsip pokok yang perlu kita integrasikan dalam setiap pengelolaan lingkungan hidup, terlepas dari masalah lokasi, sektor maupun pihak yang melakukannya (Keraf, 2000). Kelima prinsip tersebut adalah: 1) sumberdaya alam harus dimanfaatkan untuk tujuan kemakmuran rakyat secara terus-menerus dari generasi ke generasi. 2) sumberdaya alam harus dimanfaatkan dan dialokasikan secara adil dan jujur di kalangan inter maupun antargenerasi. 3) dalam proses pemanfaatan sumberdaya alam harus mampu tercipta kohesivitas masyarakat di kalangan berbagai lapisan dan kelompok masyarakat serta mampu mempertahankan eksistensi budaya lokal. 4) pengelolaan sumberdaya alam harus dilakukan dengan pendekatan sistem untuk mencegah terjadinya praktek-praktek pengelolaan sumber daya alam yang bersifat parsial, ego sektoral atau ego-daerah dan tidak terkoordinasi. 5) kebijakan dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam harus bersifat spesifik lokasi dan disesuaikan dengan kondisi ekosistem dan masyarakat sekitar. Kelima prinsip dasar tersebut satu sama lain saling terkait dan pengaruh mempengaruhi, sebagai satu-kesatuan mengandung makna bahwa kemakmuran rakyat harus dicapai secara berkelanjutan dan berkeadilan. Pesan penting dari prinsip ini adalah, jangan sampai kebijakan eksploitasi sumberdaya alam bersifat sentralistik sehingga memacu kerusakan tanpa kendali, menimbulkan masalah kemiskinan, menindas hak-hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat, memudarkan budaya lokal dan bahkan kemudian memacu disintegrasi kelompok-kelompok masyarakat dan Bangsa Indonesia (Keraf, 2000).
2.10.
Pembangunan Berkelanjutan Komisi Dunia Untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commission
on Environment and Development - WCED, 1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan hari kini
36 tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan mempunyai tujuan jangka panjang, yaitu memikirkan pula kepentingan anak-cucu dalam generasi yang akan datang. Pembangunan yang berkelanjutan menggabungkan tiga bidang penting yaitu lingkungan, sosial dan ekonomi ke dalam sebuah perspektif tunggal yang terpadu (Bebbington, 2001; Van Dieren, 1995). Integrasi/perpaduan kelompokkelompok dari tiga dari buah pilar pembangunan berkelanjutan membawa kepada konsep-konsep efisiensi ekologi, keadilan ekologi dan efisiensi sosial (Gambar 12). Konsep pembangunan berkelanjutan muncul ketika terjadi ‘kegagalan’ pembangunan, saat proses yang terjadi bersifat top-down (arus informasi yang terjadi hanya satu arah dari atas ke bawah) dan jika ditinjau dari sisi lingkungan, sosial, dan ekonomi proses pembangunan yang terjadi ternyata tidak berkelanjutan. Pelaksanaan konsep ini diperkuat lagi dengan kesepakatan para pemimpin bangsa yang dinyatakan dalam hasil-hasil negosiasi internasional, antara lain Deklarasi Rio pada KTT Bumi tahun 1992, Deklarasi Millennium PBB tahun 2000, dan Deklarasi Johannesburg pada KTT Bumi tahun 2002 (Pelangi, 2003).
Keberlanjuta n Sosial Efisiensi sosial
Keadilan ekologi Pembangunan Berkelanjutan
Keberlanjuta n ekonomi
Gambar 14.
Efisiensi ekosistem
Keberlanjutan lingkungan
Tiga sasaran pokok pembangunan berkelanjutan
Oleh karena itu maka sustainable development is more than ecological. Bukan sekadar pencemaran, air bersih. It goes deeper, yaitu kebhinekaan. Inilah prinsip pembangunan berkelanjutan. Kebhinekaan itu, meliputi berbagai aspek dalam kehidupan. Semakin beraneka ragam dimensi ekologi, politik, ekonomi, budaya, sosial, semakin stabil sistem itu (Salim, 1994).
37 2.11.
Produksi Bersih Penerapan produksi bersih pada industri dapat dilakukan dengan aplikasi
minimisasi limbah dan teknologi bersih. Penerapan teknologi bersih merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kinerja perusahaan yang nantinya akan terkait dengan penilaian program PROPER (environmental performance rating) yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup (Dana Mitra Lingkungan, 2005). Pengelolaan lingkungan berdasarkan end-of-pipe treatment terbukti hanya menambah biaya produksi dan tidak dapat menyelesaikan permasalahan buangan atau limbah produksi. Produksi Bersih merupakan strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang dapat diterapkan oleh perusahaan karena menggunakan pendekatan win-win antara bisnis dan lingkungan. Pendekatan produksi bersih ini akan menurunkan biaya produksi, meningkatkan efisiensi dan produktivitas serta memperbaiki citra (image) lingkungan dan hubungan dengan stakeholders lainnya.
Dengan demikian
tujuan perusahaan yaitu laba (profit), pertumbuhan (growth) dan keberlanjutan usaha (sustainable business) akan tercapai (Dana Mitra Lingkungan, 2005). Beberapa hal yang menyebabkan penerapan produksi bersih di indonesia tidak bergaung, antara lain: a. Pengertian produksi bersih yang belum sepenuhnya dipahami dengan baik sehingga terkesan kurang menarik karena keuntungan dan kesempatan potensial perbaikan belum diidentifikasi b. Piranti dan insentif keuangan terhadap penerapan produksi bersih belum tersebarluaskan. c. Akses terhadap teknologi & keahlian produksi bersih di Indonesia masih terbatas pada komunitas tertentu. d. Kurangnya kebijakan yang mendukung penerapan produksi bersih dan pemberian penghargaan bagi perusahaan maupun lembaga yang telah berhasil melaksanakannya (Dana Mitra Lingkungan, 2005). Produksi bersih (cleaner production) bertujuan untuk mencegah dan meminimalkan terbentuknya limbah atau bahan pencemar lingkungan pada seluruh tahapan produksi.
Di samping itu, produksi bersih juga untuk
meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku, bahan penunjang, dan energi. Dengan demikian, diharapkan sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan (Kompas, 2004) .
38 Bila kita melihat berbagai strategi yang diperlukan dalam pengelolaan lingkungan terutama dalam hal meminimasi maupun menghilangkan limbah maka terlihat ada empat strategi yakni pencegahan, daur ulang, perlakuan serta pembuangan.
Pencegahan
(prevention
strategy),
merupakan
strategi
pengurangan limbah yang terbaik karena telah dilakukan berbagai usaha secara dini untuk mengurangi terbentuknya limbah selama proses produksi berlangsung. Daur ulang (recycle strategy), strategi ini diimplementasikan bila terbentuknya limbah sudah tidak dapat dihindarkan lagi sehingga salah satu strategi untuk meminimasi terbentuknya limbah adalah dengan melakukan daur ulang maupun pemanfaatan kembali. Dalam beberapa kasus, pemanfaatan limbah ini dapat memberikan nilai komersial karena limbah dapat dijadikan produk yang bernilai ekonomi (Sriharjo, 2001). Perlakuan (treatment strategy), apabila limbah tidak dapat diminimisasi maupun dikurangi dengan strategi daur ulang maupun pemanfaatan kembali maka perlakuan terhadap limbah harus dilakukan dengan mengurangi baik secara kualitas maupun kuantitas dari limbah yang terbentuk. Namun demikian, implementasi strategi yang berdasarkan pada paradigma akhir pipa (end pipe paradigm) telah berhasil dalam mereduksi kuantitas limbah namun tidak seefektif bila menggunakan paradigma dalam pipa (in pipe paradigm).
2.12.
Clean Development Mechanism (CDM) Isu perubahan iklim masih menjadi bahan perdebatan banyak pihak
karena adanya perbedaan pemahaman tentang hal tersebut. Secara umum iklim diartikan sebagai kondisi rata-rata suhu udara, curah hujan, tekanan udara, arah angin, kelembaban udara serta parameter lainnya dalam jangka waktu yang panjang antara 50-100 tahun. Perubahan iklim ini terjadi akibat adanya proses pemanasan global, yaitu meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat akumulasi panas yang tertahan di atmosfer yang terjadi akibat adanya efek rumah kaca di atmosfer bumi. Efek rumah kaca itu sendiri merupakan suatu fenomena gelombang pendek radiasi matahari menembus atmosfer dan berubah menjadi gelombang panjang ketika mencapai permukaan bumi.
Setelah
mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang tersebut dipantulkan kembali ke atmosfer.
Akan tetapi hanya sebagian yang dilepaskan ke angkasa luas
karena sebagian akan dipantulkan kembali oleh lapisan gas rumah kaca di atmosfer ke permukaan bumi. Proses ini dapat berlangsung berulang kali,
39 sementara gelombang yang masuk juga bertambah terus sehingga akan terjadi akumulasi panas di atmosfer. Menurut Protokol Kyoto, gas rumah kaca terdiri dari enam jenis, yaitu karbondioksida (CO2), nitriksida (N2O), methane (CH4), sulfurheksaflourida (SF6), perflurokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon (HFC). Secara alami, efek rumah kaca telah terjadi sejak terbentuknya atmosfer bumi sehingga menjadikan suhu bumi menjadi hangat dan layak huni. Para ahli mengatakan tanpa adanya atmosfer dan efek rumah kaca, suhu bumi akan 33o C lebih dingin dibandingkan saat ini. Adanya kegiatan manusia (anthropogenic) terutama sejak adanya revolusi industri, telah meningkatkan emisi GRK dengan laju yang sangat tinggi sehingga efek rumah kaca di atmosfer semakin kuat. Pemanfaatan energi yang berlebihan, terutama energi fosil, merupakan sumber utama emisi GRK. Hutan yang semakin rusak, baik karena kejadian alam maupun pembalakan liar akan menambah jumlah GRK yang diemisikan ke atmosfer dan akan menurunkan fungsi hutan sebagai penghambat perubahan iklim.
Demikian pula dengan kegiatan peternakan dan pertanian yang
merupakan penyumbang gas metana yang kekuatannya 21 kali lebih besar daripada gas karbondioksida. Data emisi GRK tahun 1990 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia dalam First National Communication to The UNFCCC pada tahun 1997 memberikan gambaran bahwa kegiatan perubahan lahan dan kehutanan memberikan kontribusi terbesar bagi emisi GRK yaitu sekitar 63%. Adapun sektor energi menempati urutan kedua, yakni kurang lebih 25% dari total emisi. Akumulasi peningkatan emisi GRK antropogenik secara umum telah meningkatkan konsentrasi GRK seperti terlihat dalam Tabel 3.
Uap air
merupakan GRK, tetapi tidak diperhitungkan sebagai GRK yang efektif dan tidak dipergunakan dalam prediksi perubahan iklim karena keberadaan atau masa hidup (life time) H2O sangat singkat (9,2 hari). Sementara itu CO2, CH4 dan N2O masa hidupnya di atmosfer berturut-turut adalah 100, 15 dan 115 tahun, sehingga meskipun emisinya dihentikan dengan segera, tetapi dampak dari akumulasi GRK tersebut akan tetap dirasakan sampai puluhan bahkan ratusan tahun. Dari Tabel 3, dapat dilihat pula bahwa meskipun konsentrasi dan laju pertumbuhan CH4 dan N2O relatif rendah, tetapi kemampuan memperkuat radiasi (radiative forcing) gelombang pendek menjadi gelombang panjang yang bersifat lebih panjang dan lebih panas jauh lebih besar dibanding CO2 yang konsentrasi dan pertumbuhannya jauh lebih besar.
Kedua GRK tersebut masing-masing
40 mampu memperkuat radiasi sekitar 20 dan 200 kali kemampuan CO2. Hal ini berarti bahwa kenaikan yang sekecil apapun dari kedua GRK tersebut harus tetap dikendalikan (Murdiarso, 2003). Tabel 3. Karakteristik gas rumah kaca utama (Murdiarso, 2003) Karakteristik
CO2
CH4
N2O
Konsentrasi pada pra-industri
290 ppmv
700 ppbv
275 ppbv
Konsentrasi pada 1992]
3550 ppmv
1714 ppbv
311 ppbv
Konsentrasi pada 1998
360 ppmv
1745 ppbv
314 ppbv
Laju pertumbuhan per tahun
1,5 ppmv
7 ppbv
0,8 ppbv
0,4
0,8
0,3
5-200
12-17
114
1
21
206
Persen pertumbuhan per tahun Masa hidup (tahun) Kemampuan memperkuat radiasi
Keterangan: ppmv = part per million by volume, ppbv = part per billion by volume
Menurut Murdiarso (2003) sumber-sumber GRK baik yang bersifat alami seperti interaksi lautan dan atmosfer, input energi matahari, atau letusan gunung berapi, maupun yang bersifat antropogenik seperti pembakaran bahan bakar fosil dan alih guna lahan, dapat menyebabkan terjadinya peningkatan suhu secara global. Hal tersebut berakibat pada terjadinya perubahan iklim yang memberikan dampak terhadap kehidupan makhluk hidup di bumi. Mengingat perubahan iklim ini bersifat global, maka dampaknya pun bersifat global pula. Tidak ada daerah yang akan luput dari dampak perubahan iklim ini, yang berbeda hanya tingkat adaptasi masing-masing wilayah terhadap perubahan iklim tersebut. Perubahan iklim dapat menyebabkan terjadinya pencairan lapisan es baik di daerah kutub, tapi juga di beberapa puncak gunung yang biasanya terselimut lapisan es. Sejak dekade 1960-an, lapisan es yang menyelimuti bumi diperkirakan telah berkurang sebanyak 10 persen (Pelangi, 2003). Lapisan es yang mencair akan menimbulkan peningkatan volume air di permukaan bumi secara keseluruhan terutama volume air laut yang pada akhirnya akan menyebabkan peningkatan ketinggian muka air laut. Studi yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan permukaan air laut setinggi 10 cm - 25 cm dan diperkirakan pada tahun 2100 peningkatan muka air laut akan mencapai 15 cm - 95 cm dibandingkan saat ini. Kondisi seperti itu
41 dapat mengakibatkan banyak pulau-pulau serta wilayah pesisir tenggelam dan mengakibatkan sekitar 46 juta orang yang hidup di pesisir pantai harus mengungsi ke daerah yang lebih tinggi.
Perubahan iklim juga berpengaruh
terhadap pergeseran musim, yaitu semakin panjangnya musim kemarau serta semakin pendeknya musim hujan, sehingga akan timbul bencana kekeringan yang memberikan dampak terhadap kegagalan panen serta krisisi air bersih. Musim hujan meskipun lebih pendek, tetapi akan mempunyai intensitas yang sangat tinggi, sehingga kondisi ini dapat menyebabkan semakin seringnya terjadi bencana banjir, badai dan tanah longsor.
Ketidakpastian musim akan
mengganggu para petani dalam menjalankan kegiatannya karena akan menyebabkan musim tanam yang tidak menentu, sehingga dapat menurunkan produksi pangan.
Diperkirakan kerugian pada sektor pertanian di Indonesia
dapat mencapai US$ 6 miliar per tahun (Pelangi, 2003). Terjadinya kenaikan permukaan air laut, dapat mengakibatkan pulaupulau kecil dan daerah landai di Indonesia tenggelam. Diperkirakan sekitar 2000 pulau akan hilang dari wilayah Indonesia (Pelangi, 2003). Akibatnya, masyarakat nelayan yang tinggal di sepanjang pantai akan semakin terdesak.
Selain itu
kenaikan air laut akan merusak ekosisten hutan bakau (mangrove) serta mengubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir. Masalah lain yang timbul akibat naiknya muka air laut adalah memburuknya kualitas air tanah di perkotaan akibat adanya intrusi air laut yang dapat merusak infrastruktur kota akibat salinitas air laut. Perubahan iklim ini akan berpengaruh juga terhadap sektor kehutanan, karena tidak semua jenis flora dan fauna mampu beradaptasi sehingga menyebabkan terjadinya perubahan komposisi ekologi hutan. Spesies yang tidak mampu beradaptasi akan punah, sedangkan yang lebih kuat akan berkembang tidak terkendali. Panjangnya musim kemarau dapat pula memacu peningkatan terjadinya kebakaran hutan. Selain itu, dampak perubahan iklim di Indonesia dapat meningkatkan frekuensi penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah. Pada akhirnya dampak negatif dari perubahan iklim ini akan dirasakan dari segala bidang kehidupan. Secara ekonomi pada tahun 2000 kerugian akibat banjir, kebakaran hutan, topan serta musim kemarau di seluruh Wilayah Indonesia berjumlah US$150 miliar dan menelan korban jiwa sebanyak 690 jiwa. Sementara studi yang dilakukan memperkirakan kerugian tahunan di sektor pertanian sebesar Rp 23 miliar, di sektor pariwisata sebesar Rp 4 miliar
42 dan dana perbaikan infrastruktur pesisir yang di perlukan sekitar Rp 42 miliar (Pelangi, 2003). CDM atau mekanisme pembangunan bersih merupakan satu-satunya mekanisme
dalam
Protocol
Kyoto
yang
memungkinkan
peran
negara
berkembang untuk membantu Negara Annex I dalam upaya mitigasi GRK. Tujuan CDM seperti tertera dalam Artikel 12 Protokol Kyoto adalah : 1. membantu negara berkembang yang tidak termasuk dalam Annex I untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan serta menyumbang pencapaian tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi GRK dunia pada tingkat yang tidak akan menggangu system iklim global 2. membantu negara-negara Annex I atau negara maju dalam memenuhi target penurunan jumlah emisi negaranya CDM memungkinkan negara Annex I untuk menurunkan emisi GRK secara lebih murah dibandingkan dengan mitigasi di dalam negerinya sendiri (domestic action). Dalam pelaksanaannya, komoditi yang diperjualbelikan dalam CDM adalah reduksi emisi GRK tersertifikasi atau yang dikenal dengan CER (certified emission reduction). CER ini diperhitungkan sebagai upaya Negara Annex I dalam memitigasi emisi GRK dan nilai CER ini setara dengan nilai penurunan emisi yang dilakukan secara domestik dan karenanya dapat diperhitungkan dalam pemenuhan target emisi GRK Negara Annex I seperti yang disepakati dalam Annex B Protokol Kyoto (Murdiarso, 2003). Menurut Murdiarso (2003) pada dasarnya CDM dapat dilakukan dengan tiga cara (dikenal dengan CDM architecture), yaitu : 1. Bilateral CDM, yaitu pelaksanaan CDM antara satu Negara Annex I dan satu negara berkembang. Pada umumnya dilakukan dalam bentuk investasi asing yang besarnya setara dengan potensi reduksi emisi GRK yang dapat dihasilkan oleh kegiatan tersebut.
Investasi asing yang dihitung sebagai
CDM hanya berdasarkan pada CER yang dapat dihasilkan 2. Multilateral CDM, yaitu dengan mekanisme serupa dengan bilateral CDM, tetapi berlangsung antara beberapa negara Annex I dengan beberapa negara berkembang melalui sebuah lembaga “clearinghouse”. 3. Unilateral CDM, yaitu pelaksanaan kegiatan yang memiliki potensi reduksi emisi GRK yang dibiayai dengan investasi domestik.
Pada gilirannya,
investor dalam negeri ini akan mendapatkan CER yang dapat dijual kepada negara Annex I
43 Proyek-proyek CDM harus memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal dalam hal lingkungan, sosal dan ekonomi.
Sebagai jaminan adanya
dampak positif proyek CDM bagi masyarakat lokal, maka diharuskan adanya partisipasi dari masyarakat di sekitar proyek CDM. Partisipasi masyarakat yang merupakan proses publik yang menjadi salah satu syarat CDM ini harus dilakukan sejak tahap awal perencanaan kegiatan CDM hingga proses monitoringnya.
Pemilik proyek diharuskan mengadakan proses publik yang
transparan dan obyektif untuk mendapatkan opini-opini dari masyarakat mengenai kegiatan proyek tersebut. Proses publik tidak hanya dilakukan oleh pemilik proyek, tapi juga oleh badan eksekutif CDM (CDM executive board, CDM-EB) yang dilakukan saat proyek didaftarkan dengan mempublikasikan dokumen proyek CDM dan meminta publik untuk memberikan opini atau komentar mengenai kegiatan proyek tersebut dalam jangka waktu 30 hari (Murdiarso, 2003). Kegiatan CDM dapat dibedakan atas kegiatan yang menurunkan emisi GRK pada sumber dan kegiatan yang menyerap GRK dari atmosfer. Kegiatan yang menurunkan emisi dari sumber biasanya terfokus pada sektor yang memanfaatkan energi, sementara kegiatan untuk menyerap GRK dari atmosfer dikenal juga dengan carbon sequestration seperti kehutanan (Pelangi, 2003). Sumber utama emisi GRK di sektor energi adalah pembakaran bahan bakar minyak dalam proses produksi dan prosesing sumber energi primer terutama minyak dan gas, pembangkit tenaga, dan proses pembakaran di industri-industri lainnya.
Umumnya sektor ini masih banyak menggunakan
teknologi yang tidak menghasilkan emisi GRK lebih rendah.
Berdasarkan
catatan KLH (2000) banyak teknologi rendah emisi GRK yang tersedia di pasaran untuk sector energi, namun demikian, karena berbagai sebab sebagian besar masih sulit diterapkan. Menurut IGES (2007) pengurangan emisi GRK di sektor energi umumnya didasarkan pada prinsip-prinsip berikut : •
Mengurangi penggunaan bahan bakar berbasis karbon dengan bahan bakar non-karbon atau kandungan karbon rendah,
•
Meningkatkan efisiensi pembakaran,
•
Meminimalkan kebocoran metan dan dekarbonisasi. Studi nasional di bidang energi (KLH, 2001) telah mengidentifikasi
kegiatan potensial untuk mengurangi emisi GRK (Tabel 4). Studi ini mengkaji
44 potensi berbagai opsi berdasarkan potensi teknis, biaya pengurangan emisi GRK (marginal abatement costs) menggunakan pendekatan top-down (MARKALbased) dan project-based.
Pada pendekatan berikutnya marginal abatement
costs dihitung dengan membagi perbedaan biaya antara dua opsi teknologi (base case dan mitigation technology) dengan perbedaan emisi GRK pada opsi teknologi yang sama. Biaya (dalam hal ini biaya per unit energi yang dihasilkan) ditaksir dengan memperhitungkan biaya investasi, biaya bahan bakar, biaya operasi dan pemeliharaan yang diperlukan dalam implementasi teknologi yang bersangkutan (IPCC CHG inventory method, 1996). Tabel 4. Teknologi rendah emisi pada industri minyak dan gas sektor hulu Industri
Kondisi Saat Ini
Minyak dan gas mentah/Hulu
Pembakaran gas bertekanan Rendah dan Sejenisnya
Opsi Teknologi mitigasi GRK potensial Penggunaan gas bakaran dari gas alam untuk substitusi dalam memproduksi minyak dan gas. Meminimalkan pembakaran gas pada lading minyak didaratan
Potensi Pengurangan GRK Sedikit atau tanpa memerlukan biaya (1,5 US$/t/CO2 Pengurangan CO2 pertahun : 10,5 juta ton Total Potensi pengurangan GRK 84 juta ton.
Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup 2000,2001
Lebih lanjut, telah diketahui bahwa pengurangan emisi dari pembakaran gas dan produksi batu bara serta penggunaan energi terbarukan merupakan proyek yang potensial untuk CDM di Indonesia.
Departemen ESDM telah
mengadakan inventarisasi potensi energi terbarukan di Indonesia, demikian juga potensi produksi minyak dan batu bara di seluruh propinsi menunjukkan potensi volume proyek CDM energi di Indonesia. Sebagai contoh, perkiraan saat ini menunjukkan bahwa Indonesia membakar sekitar 4.6 milyar m3 (meter kubik) gas per tahun, yang menghasilkan sekitar 11 juta ton emisi CO2 per tahun. Pemerintah Indonesia yakin bahwa gas bakaran dapat dimasukkan ke dalam pembangkit tenaga listrik skala kecil dalam rangka memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat, dan pada saat yang sama menghasilkan pengurangan emisi GRK (KLH 2001). Selain itu, potensi energi terbarukan juga sangat besar. Banyak teknologi rendah emisi di sektor energi telah tersedia di pasar dunia, tetapi banyak pula diantara teknologi tersebut intensif modal dan seringkali
45 sangat khas untuk kondisi lokal tertentu, sebagai contoh, dengan teknologi penghambat emisi metan misal capturing dan menggunakan atau memompa kembali residu dan purge gases, penggunaan pneumatic devices untuk mengendalikan atau menghilangkan kebocoran, perbaikan dan penggantian pipelines, dan penggunaan shut-off valves otomatis (KLH, 2001). Kendala dari kebijakan juga umum dijumpai, misalnya, kebijakan pemberian subsidi bagi bahan bakar fosil tidak mendorong pengalihan ke sumber energi terbarukan. Namun demikian Pemerintah Indonesia secara perlahan mengurangi subsidi bahan bakar fosil, yang mengakibatkan harga minyak meningkat dari Rp 1.400 per liter pada tahun 2001 menjadi Rp 2.400 per liter pada awal tahun 2005, dan kenaikan yang tajam pada akhir tahun 2005. Hal ini dapat meningkatkan daya saing energi terbarukan. Kendala kebijakan dan regulasi lain yang membatasi implementasi proyek gas flaring adalah kontrak bagi hasil. Ketentuan yang ada hanya mengatur bagi hasil untuk produksi minyak dan gas tetapi tidak ada kebijakan bagaimana pengaturan atas sertifikat CDM (certified emissions reduction/CERs) karena isu ini masih dalam tahap diskusi di instansi terkait. Kendala lain adalah tingginya investasi
yang
diperlukan
untuk
memecahkan
masalah
teknis,
seperti
peningkatan dan pemeliharaan sistim pipeline untuk mengurangi kebocoran. Studi yang dimaksudkan untuk menangani masalah ini sedang berjalan yaitu Indonesia's Carbon Finance Development for Gas Flaring Reduction, yang didanai Bank Dunia (IGES, 2007).
2.13.
Ekonomi Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan Model produksi neoklasik mengasumsikan kapital dan tenaga kerja
(labor) sebagai input primer untuk produksi, Konsisten dengan asumsi ini, model neoklasikal mengasumsikan kelangkaan (scarcity) diasumsikan sebagai harga nyata SDA atau biaya-biaya ekstraksi kapital (K) – labor (L) sesuai dengan indikator-indikator empiris kelangkaan (scarcity) (Cleveland, 1991). Hasil penelitian Barnett dan Morse (1963) menyatakan bahwa biaya K – L per unit output ekstraktif cenderung menurun, suatu kecenderungan yang mereka sebut sebagai sebagai self generating perubahan teknologi. Suatu model biofisik proses ekonomi mengasumsikan bahwa K dan L adalah input antara yang dihasilkan dari hanya faktor produksi primer: energi dan bahan yang rendah entrophy (low entrophy energy and matter). Model biofisik
46 kelangkaan SDA: biaya energi langsung dan tidak langsung dari ekstraksi SDA akan meningkat dengan adanya penurunan stok (akibat deplesi), karena deposit dengan kualitas rendah memerlukan lebih banyak energi untuk diekstraksi, ditingkatkan kualitasnya dan diubah menjadi bahan-bahan mentah yang berguna (Cleveland, 1991). Peranan SDA sebagai lingkungan alam adalah sumber bahan mentah (barang sumber daya) dan sebagai pengolah dan penampung limbah (Suparmoko, 1995). Fungsi produksi adalah hubungan input dan output, secara matematis digambarkan dengan persamaan (Suparmoko, 1995). Y = f (K, L, R, T, S) dengan Y, K, L, R, T, dan S berturut-turut adalah jumlah produksi, kapital, tenaga kerja, jumlah barang SDA, teknologi, dan faktor sosial. Produksi barang dan jasa merupakan hasil positif, sedangkan limbah / sampah adalah hasil negatif. Dengan demikian justru hasil yang negatif itulah yang
harus
mendapatkan
perhatian
lingkungan (Suparmoko, 1995). pembangunan
ekonomi
dan
dalam
pembangunan
berwawasan
Terdapat hubungan yang positif antara pencemaran
lingkungan.
Semakin
giat
pembangunan ekonomi semakin tinggi pula derajat pencemaran lingkungan (Suparmoko, 1995).
Kegiatan produksi migas menghasilkan sesuatu yang
berguna untuk meningkatkan kesejahteraan hidup penduduk, tetapi di lain pihak karena adanya pencemaran lingkungan akan merupakan faktor yang menekan kesejahteraan hidup penduduk, seperti dapat dilihat pada Gambar 15. (+)
Eksploitasi Migas Pertumbuhan Ekonomi
Penduduk (-)
Pencemaran Lingkungan Menipisnya Cadangan Migas
Gambar 15.
Hubungan antara jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi dan eksploitasi migas (dimodifikasi dari Suparmoko, 1995).
47 Dengan meningkatnya jumlah penduduk, perekonomian harus lebih banyak menyediakan barang/jasa (dalam hal ini contohnya produk migas) untuk mempertahankan taraf hidup suatu bangsa. Namun peningkatan produksi migas akan menuntut eksploitasi SDA yang harus diambil dari persediannya (reservoir/cadangan). Sebagai akibatnya SDA migas akan semakin menipis (depleted) dan pencemaran lingkungan akan meningkat pula sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi (Suparmoko, 1995).
Jadi pembangunan ekonomi
menghasilkan pertumbuhan ekonomi disertai dengan dua macam dampak, yaitu dampak positif berupa tersedianya barang migas yang penting dalam pembangunan ekonomi dan dampak negatif berupa pencemaran lingkungan serta menipisnya SDA migas. nyamannya
kehidupan,
Pencemaran lingkungan berupa kurang
gangguan
kesehatan,
dan
kerusakan
SDA.
Berkurangnya cadangan migas: mengurangi kemudahaan dalam eksploitasi migas, harus menjelajahi daerah-daerah terpencil dan sulit (remote area) (Suparmoko, 1995).
2.14. Pengelolaan Lingkungan Sosial Tidak bisa dipungkiri bahwa aspek sosial dalam pengelolaan lingkungan, khususnya dalam pemanfaatan SDA, kurang mendapat perhatian (KLH, 2002). Kemudahan memperoleh akses dalam pemanfaatan SDA berkorelasi dengan terjadinya penumpukan kekayaan pada sebagian kecil orang dan pemodal asing. Sementara sebagian besar warga masyarakat masih tetap berada pada garis kemiskinan. Krisis ekonomi juga menambah persoalan dalam kaitannya dengan pengelolaan SDA, yaitu adanya kecenderungan berupaya membawa bangsa ini keluar dari krisis ekonomi, dengan menguras SDA. Pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan SDA masih belum memperhatikan secara sungguh-sungguh aspek sosial (KLH, 2000). Kelompok masyarakat (komunitas) yang selama ini mengembangkan potensi SD sosial yang terbukti efektif bagi pelestarian lingkungan hidup, merupakan
mitra
pengelolaan
lingkungan
hidup
yang
perlu
difasilitasi.
Banyaknya keluhan dari berbagai pihak tentang keterbatasan pemahaman tentang lingkungan sosial dalam kerangka pengelolaan lingkungan hidup (KLH, 2002).
48 Perusahaan minyak bumi cenderung membangun infrastruktur dan tinggal di dalam dunianya sendiri yang secara alamiah merupakan lokasi enclave (Lindblad dalam Cleary dan Eaton, 1992).
Mereka membangun perumahan
pegawai yang dilengkapi dengan fasilitas lengkap di dalam kompleks. Keadaan yang demikian akan menimbulkan gap yang besar antara perusahaan dan masyarakat lokal. Gap ini akan semakin besar jika perusahan tidak berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat di sekitarnya (Hilarius, 2000). Perusahaan migas memang sudah berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat lokal tetapi hal ini belum seimbang jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh selama ini. Masyarakat selalu menuntut agar perusahaan migas mau berpartisipasi lebih besar dalam pembangunan. Masalah lain yang menimbulkan kecemburuan sosial adalah penerimaan tenaga kerja.
Menurut pengakuan masyarakat selama ini perusahaan migas tidak
mengutamakan orang lokal dalam penerimaan tenaga kerja (Hilarius, 2000). Ketika eksploitasi minyak dan gas berlangsung, tuntutan masyarakat di daerah sekitar semakin keras untuk menghentikan polusi dan mendapatkan kompensasi yang adil. Tuntutan mereka mencakup kerusakan tanah, kehilangan mata pencaharian dan perlakuan adil di tempat bekerja serta pembagian keuntungan sampai tuntutan agar perusahaan-perusahaan tersebut hengkang dari wilayah mereka (Down To Earth, 2001).
Tidak dipungkiri bahwa aspek
sosial, ekonomi dan budaya dalam pengelolaan lingkungan, khususnya dalam pemanfaatan sumber daya alam (SDA), kurang mendapat perhatian.
Masih
begitu banyak persoalan sosial yang dihadapi bangsa. Indonesia akhir-akhir ini, mengalami berbagai konflik, khususnya konflik atau friksi sosial yang berkaitan dengan benturan kepentingan pemanfaatan SDA, kesenjangan ekonomi dan akses pada pemanfaatan SDA (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2000). Krisis ekonomi juga menambah persoalan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA), yaitu adanya kecenderungan berupaya membawa bangsa ini keluar dari krisis ekonomi, dengan menguras sumber daya alam secara berlebihan. Dengan demikian, bukan tidak mungkin pengelolaan SDA kembali akan mengabaikan kepentingan sosial (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2000).
Sebagian kelompok masyarakat (komunitas) yang
selama ini mengembangkan potensi sumber daya sosial yang terbukti efektif bagi pelestarian fungsi lingkungan, adalah mitra pengelolaan lingkungan hidup yang perlu difasilitasi. Pemerintah diharapkan lebih giat mendorong masyarakat agar
49 semakin memiliki kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dirinya dalam mengelola lingkungan hidup.
Sehubungan dengan itu, selain diperlukan
profesionalitas dari pihak-pihak terkait yang mengelola lingkungan hidup, juga diperlukan
dukungan
panduan
tentang
pengelolaan
lingkungan
sosial
(Budhisantoso, 2002). Kegiatan
pertambangan
migas
selalu
terkait
dengan
komunitas
masyarakat sekitarnya (Warnika, 2006). Komunitas masyarakat yang terjangkau kegiatan operasi migas ini selalu diberi penjelasan dan sosialisasi sejak dini mengenai konsekuensi kegiatan hulu migas, dengan harapan dapat membangun rasa saling percaya terhadap masalah-masalah yang dikawatirkan akan timbul. Keterlibatan masyarakat dalam mendukung kelangsungan kegiatan eksploitasi migas sangat berperan penting bagi kelangsungan dan keberhasilan industri migas yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Hubungan timbal balik tersebut dituangkan dalam bentuk keterbukaan yang nyata antara pihak masyarakat dan perusahaan migas termasuk penyebarluasan informasi tentang kegiatan program pengelolaan lingkungan dan program pengembangan masyarakat (Warnika, 2006). Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) oleh korporasi besar, khususnya di sektor industri ekstraktif (minyak, gas, dan pertambangan lainnya), saat ini sedang disorot tajam (Wibowo, 2004). Kasus Buyat yang terjadi tahun 2004 dan Lapindo Brantas yang sekarang menjadi EMP Brantas (2006) adalah contoh terbaru, tentang bagaimana realisasi tanggung jawab sosial itu atas terjadinya pencemaran lingkungan. CSR berkaitan dengan peran aktif masyarakat sipil dalam memaknai dan turut membentuk konsep kemitraan yang merupakan salah satu kondisi yang dibutuhkan dalam mewujudkan CSR. Dalam artikel How Should Civil Society (and The Government) Respond to Corporate Social Responsibility? Hamann dan Acutt (2003) menelaah motivasi yang mendasari kalangan bisnis menerima konsep CSR. Telaah Hamann dan Acutt (2003) sangat relevan dengan situasi implementasi CSR di Indonesia dewasa ini.
Khususnya dalam kondisi keragaman pengertian konsep dan
penjabarannya dalam program-program berkenaan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Keragaman
pengertian
konsep
CSR
adalah
akibat
logis
dari
sifat
pelaksanaannya yang berdasarkan prinsip kesukarelaan (Wibowo, 2004). Tidak
50 ada konsep baku yang dapat dianggap sebagai acuan pokok, baik di tingkat global maupun lokal. Secara internasional saat ini tercatat sejumlah inisiatif code of conduct implementasi CSR.
Inisiatif itu diusulkan, baik oleh organisasi internasional
independen (Sullivan Principles, Global Reporting Initiative), organisasi negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), juga organisasi nonpemerintah (Caux Roundtables), dan lain-lain.
Di Indonesia,
acuannya belum ada. Jika CEO memiliki kesadaran moral bisnis berwajah manusiawi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang layak.
Sebaliknya, jika orientasi CEO-nya hanya pada kepentingan
kepuasan pemegang saham (produktivitas tinggi, profit besar, nilai saham tinggi) serta pencapaian prestasi pribadi, boleh jadi kebijakan CSR sekadar kosmetik (Wibowo, 2004).
Selanjutnya dikatakan bahwa sifat CSR yang sukarela,
absennya produk hukum yang menunjang dan lemahnya penegakan hukum telah menjadikan Indonesia sebagai negara ideal bagi korporasi yang memang memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Dalam hal ini yang lebih dipentingkan adalah show dari buku laporan tahunan, sehingga Laporan Sosial Tahunannya tampil mengkilap, lengkap dengan tampilan foto aktivitas sosial serta dana program pembangunan komunitas yang telah direalisasi. Salah satu bentuk kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan adalah kegiatan pengembangan masyarakat (community development).
Kontribusi
Kontraktor KKS bagi pengembangan masyarakat telah lama dan terus dilakukan. Program
pengembangan
masyarakat
bukan
sekadar
“pemberian”
tetapi
merupakan bentuk kepedulian sosial BPMIGAS-KKKS dan keinginan mendukung pemerintah untuk membangun masyarakat yang lebih maju dan sejahtera (Warnika, 2006). Program pengembangan masyarakat (community development, CD) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi Indonesia. Selama kurun waktu dua tahun, 2002 hingga saat ini berbagai program pengembangan masyarakat telah dilaksanakan dengan difokuskan terhadap ekonomi masyarakat, pendidikan & kebudayaan, kesehatan, fasilitas sosial & fasilitas umum dan lingkungan (Sudibyo, 2004). 2.15.
Pendekatan Sistem Sistem analisis adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mulai
dikembangkan kurang lebih pada tahun 1968. Sistem sendiri diartikan sebagai
51 suatu gugus atau kumpulan dari suatu elemen yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama secara holistik.
Hal sesuai dengan pendapat
Manetsch dan Park (1977) yang mengatakan bahwa sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai tujuan. Menurut O’Brien (1999) sistem merupakan bentuk atau struktur yang memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional. Dengan demikian, maka setiap sistem harus memiliki komponen atau elemen yang saling berinteraksi (terkait) dan terorganisir dengan suatu tujuan atau fungsi tertentu. Sistem mencakup bagian fisik dan manusia yang hidup di dalamnya. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan sistem adalah salah satu cara
penyelesaian
masalah
yang
dimulai
dengan
mendefinisikan
atau
merumuskan tujuan dan hasilnya adalah sistem operasi yang secara efektif dapat
digunakan
untuk
menyelesaikan
permasalahan
(Eriyatno,
1998).
Selanjutnya dikatakan bahwa pendekatan sistem juga akan memberikan penyelesaian masalah dengan metode dan alat yang mampu mengidentifikasi, menganalisis, mensimulasi dan mendesain sistem dengan komponen-komponen yang saling terkait, yang diformulasikan secara lintas-disiplin dan komplementer untuk mencapai tujuan yang sama. Pada pendekatan sistem ditekankan perlunya pendekatan lintas disiplin guna memahami dunia nyata secara efektif. Pendekatan sistem ini diperlukan terutama untuk memahami dan menyelesaikan masalah lingkungan.
Hal ini
disebabkan permasalahan yang ada di lingkungan pada umumnya merupakan permasalahan yang kompleks dan saling kait-mengkait serta berinteraksi satu sama lain, oleh karenanya, maka diperlukan berpikir lintas disiplin sehingga pemahaman dan penyelesaian dari masalah dapat dilakukan secara totalitas, mendalam dan terstruktur. Struktur dalam sistem juga harus merupakan struktur yang terintegrasi agar informasi sistem dapat dipahami secara utuh dan bukan informasi parsial, sehingga struktur informasi yang diperoleh akan terintegrasi yang mudah untuk dipelajari (Forrester, 1972).
2.15.1. Sistem Dinamik Salah satu alat yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks melalui pendekatan sistem adalah menggunakan konsep model simulasi
sistem
dinamis.
Adanya
simulasi
ini
memungkinkan
untuk
mengkomputasikan jalur waktu dari variabel model untuk tujuan tertentu dari
52 input sistem dan parameter model.
Berdasarkan hal tersebut, maka model
simulasi diharapkan dapat memberikan penyelesaian dunia riil yang kompleks (Eriyatno, 2003). Adapun yang dimaksud dengan sistem dinamis adalah sistem yang memiliki variabel yang dapat
berubah sepanjang waktu, sebagai akibat dari
perubahan input dan interaksi antar elemen-elemen sistem. Menurut Forrester (1961) dalam Coyle (1955) dalam Atmoko (2001), sistem dinamik merupakan investigasi karakteristik umpan balik informasi dari sistem (yang dikelola) dan penggunaan model-model untuk meningkatkan disain bentuk organisasional dan pedoman kebijakan.
Menurut Djojomartono (2000) nilai output dari sistem
dinamis sangat tergantung pada nilai sebelumnya, terutama yang berasal dari variabel input. Dalam menyusun model sistem dinamis, hal pertama yang harus dilakukan adalah menentukan struktur model.
Struktur model pada dasarnya
akan memberi bentuk pada sistem dan akan mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku sistem itu sendiri terbentuk dari kombinasi perilaku simpal umpan balik (causal loops) yang menyusun struktur model. Perilaku model ini selanjutnya disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari masukan, proses, keluaran. Berdasarkan perilakunya, memperlihatkan bahwa unjuk kerja (level) dari model sistem dinamis, berkerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis. Menurut De Greene (1982) dalam Schoderbek et al. (1985) dan Atmoko (2001) karakteristik sistem dinamik ada empat, yaitu : i.
Sistem tertutup, pada sistem tertutup ini, sebenarnya sistem tidak benarbenar tertutup, karena masalah dan energi masuk ke dalam sistem dari lingkungannya. Namun karena feedback loop tidak dapat melintasi batasan sistem maka sistem dapat dipertimbangkan sebagai sistem tertutup.
ii. Feedback loops. Pada dasarnya di dalam sistem ada dua umpan balik, yakni pertama umpan balik positif yang menunjukan naik/turunnya akibat dengan sebab-akibat searah. Kedua umpan balik negatif yakni naik/turunnya penyebab mengakibatkan pengaruh sebaliknya yaitu menurunkan atau menaikkan akibat. iii. Variabel state dan rate (variabel state) yang mengindikasikan kondisi atau akumulasi dari sistem pada waktu tertentu. Adapun yang dimaksud dengan variabel rate adalah aliran yang mengatur ‘kuantitas’ dalam state.
53 iv. Rate mengontrol melalui kebijakan (perilaku sistem dikontrol oleh rate).
2.15.2. Pengertian Model dan Permodelan Menurut Fauzi dan Anna (2005) model tidak lain adalah representasi suatu realitas dari seorang pemodel. Hal ini mengandung arti bahwa model adalah jembatan antara dunia nyata (real world) dengan dunia berpikir (thinking) untuk memecahkan suatu masalah. Proses penjabaran atau merenprentasikan ini disebut modelling atau permodelan yang tidak lain merupakan proses berpikir melalui sekuen yang logis. Secara skematis, proses permodelan tersebut dapat digambarkan pada Gambar 16.
Ditampilkan melalui indra persepsi Dunia Nyata Permodel Dunia Model Ditampilkan kembali sebagai hasil proses berpikir Gambar 16. Intersepsi dunia model dengan dunia nyata (Fauzi dan Anna, 2005) Dari Gambar 14 terlihat bahwa model dibangun atas proses berpikir (melalui indra fisik) dari dunia nyata yang kemudian diinterprestasikan melalui proses berpikir, sehingga menghasilkan pengertian dan pemahaman mengenai dunia nyata. Pemahaman ini tidak bisa sepenuhnya menggambarkan realitas dunia nyata (daerah irisan antara dunia nyata dengan dunia model), sehingga di dalam permodelan dikenal istilah “there is no such thing as one to one maping” (tidak ada peta satu banding satu). Selain itu, model dirancang bukan untuk memecahkan masalah sekali untuk selamanya (once and for all) atau memecahkan semua masalah. Di dalam model tidak ada istilah “there is no such thing as solution for the real life problem”yang menjadi kunci dari semua masalah, sehingga dalam permodelan, penting untuk merevisi dan mengupgrade strategi. Secara umum segala sesuatu berubah, mengalir dan tidak ada yang tetap, oleh karena itu maka permodelan juga dapat dikatakan sebagai
54 proses menerima, memformulasikan, memproses dan menampilkan kembali persepsi dunia luar Fauzi dan Anna (2005). Di dalam proses interprestasi dunia nyata tersebut ke dalam dunia model, berbagai proses transformasi atau bentuk model bisa dilakukan.
Ada model
yang lebih mengembangkan interprestasi verbal (seperti bahasa), ada yang diterjemahkan kedalam bahasa simbolik, seperti bahasa matematika, sehingga menghasilkan model kuantitatif. Untuk menjembatani dunia nyata yang dalam persepsi manusia bersifat kualitatif menjadi model yang bersifat kuantitatif yang kokoh. Tom Peters (dalam Fauzi dan Anna, 2001), seorang ahli permodelan pernah mengatakan bahwa “if you can’t measure it, you can’t manage it”, dengan kata lain pengukuran dalam membangun model sangat penting, sebab dapat menentukan seberapa jauh model yang dibangun bisa dikendalikan dan dikelola (Fauzi dan Anna, 2005). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 17.
Persepsi Kualitatif Dunia Nyata
Measuring Tools & Decision Process
Model kuantitatif untuk pengambil keputusan
The need for a measurable & numirical scale system Gambar 17. Transformasi kualitatif-kuantitatif (Fauzi dan Anna, 2005) Berdasarkan Gambar 17 terlihat bahwa boks di sebelah kiri dan boks di sebelah kanan merupakan “esensi seni” dari permodelan, sementara boks di tengah merupakan esensi pemecahan dari model.
Oleh karena itu, dalam
permodelan dikenal istilah “modeling is an art, solving is a science” (permodelan adalah seni, sementara memecahkan model adalah sains) (Fauzi dan Anna, 2005). 2.15.3. Jenis-Jenis Model Secara umum model dapat dikatagorikan berdasarkan skala waktu dan tingkat kompleksitas yang dicerminkan dari aspek ketidakpastian. Jika model tidak mempertimbangkan aspek waktu, model tersebut kita sebut model statis. Jika aspek waktu (intertemporal) dipertimbangkan, model tersebut kita sebut model dinamik. Jika kemudian model yang dibangun mempertimbangkan aspek ketidakpastian yang lebih menggambarkan realitas dunia nyata, model tersebut kita sebut model yang bersifat deterministic. Jika ketidakpastian dimaksudkan ke
55 dalam model, model tersebut kita sebut model yang bersifat stochastic. Interaksi antara skala waktu dan ketidak pastian akan menghasilkan model yang lebih kompleks lagi, seperti model yang dinamis-stochastic. Menurut Fauzi dan Anna (2005) jenis-jenis model tersebut secara digrafis dapat dilihat pada Gambar 18. Pada Gambar 18 arah panah dari kiri ke kanan menggambarkan derajat kompleksitas model. Hal ini menunjukkan bahwa semakin jauh panah bergerak ke kanan, semakin rumit model yang dibangun. M odel
S k a la W a k t u ( t im e s c a la )
T in g k a t K e p a s tia n
D ip e r tim bangkan?
Y
D im a s u k kan?
N
N
S t a t ik
Y
D in a m ik
S ta tik D e te r m in is tik
D in a m ik D e t e r m in is tik
Sederhana
S to c h a s tic
D in a m ik S to c h a s tic
Kompleks
Gambar 18 Jenis-jenis model (Sumber: Fauzi dan Anna 2005) 2.15.4. Proses Pemodelan Dalam membangun sebuah model diperlukan beberapa tahapan agar dihasilkan model yang reliable. Secara umum tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat pada Gambar 19. Dari Gambar 19 terlihat bahwa tahapan identifikasi, khususnya identifikasi masalah yang dibangun dari berbagai pertanyaan, menjadi sangat penting untuk membangun suatu model.
Kelemahan mengidentifikasi
masalah sering menjadi penyebab tidak validnya suatu model karena menjadi semacam tautology. Setelah identifikasi masalah dilakukan, langkah berikutnya dalam membangun model adalah membangun asumsi-asumsi.
Hal ini diperlukan
karena sebagaimana dikemukakan sebelumnya, model adalah penyederhanaan realitas yang kompleks. Oleh karena itu, setiap penyederhanaan memerlukan asumsi, sehingga ruang lingkup model berada dalam koridor permasalahan yang akan dicari solusi atau jawabannya (Fauzi dan Anna 2005). Setelah asumsi
56 dibangun, langkah berikutnya adalah membuat kontruksi dari model itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan baik melalui hubungan fungsional dengan cara membuat diagram, alur, maupun persamaan-persamaan matematis. Konstruksi model ini dapat dilakukan baik dengan bantuan computer software maupun secara analitis. Tahapan berikutnya yang cukup krusial dalam membangun model adalah menentukan analisis yang tepat. Tahapan ini adalah mencari solusi yang sesuai untuk menjawab pertanyaan yang dibangun pada tahap identifikasi.
Dalam
pemodelan, analisis ini biasanya dilakukan dengan dua cara, pertama dengan melakukan optimisasi, kedua dengan melakukan simulasi. Optimisasi dirancang untuk mencari solusi “what should happen”
(apa yang seharusnya terjadi),
sementara simulasi dirancang untuk mencari solusi “what would happen” (apa yang akan terjadi). Masing-masing analisis tersebut di atas memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga keduanya dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan permasalahan yang harus dijawab (Fauzi dan Anna, 2005). Tahap selanjutnya dalam pengembangan model adalah melakukan interpretasi atas hasil yang dicapai dalam tahap analisis. Interpretasi ini penting dilakukan untuk mengetahui apakah hasil tersebut memang masuk akal atau tidak. Interpretasi juga diperlukan untuk mengkomunikasikan keinginan si pemodel dengan hasil analisis yang dilakukan menggunakan komputer atau alat pemecah model lainnya (solver). Tahapan ini diperkuat dengan tahapan Id e n tifik a s i
M e m b a n g u n A s u m s i K o n s tru k s i M o d e l A n a lis is
In te rp re ta s i
N
V a lid a s i Y
Im p le m e n ta s i
Gambar 19. Sekuen proses pemodelan (Sumber: Fauzi dan Anna 2005)
57 berikutnya, yaitu validasi model, yang tidak hanya menginterpretasikan model, tapi juga melakukan verifikasi atas keabsahan model yang dirancang dengan asumsi yang dibangun sebelumnya. Model yang valid tidak saja mengikuti kaidah-kaidah teoritis yang sahih, namun juga memberikan intrepretasi atas hasil yang diperoleh mendekati kesesuaian dalam hal besaran, uji-uji standar seperti statistik, dan prinsip-prinsip matematik lainnya, seperti first order condition, second order condition, dan sebagainya. Jika sebagian besar standar verifikasi ini dapat dilalui, model dapat diimplementasikan. Namun, jika sebaliknya, maka konstruksi model harus dirancang ulang (Fauzi dan Anna, 2005). Proses membangun model dapat juga diikuti melalui loop permodelan sebagaimana digambarkan pada Gambar 20 meski secara prinsip langkah pemodelan yang dijabarkan Gambar 20 tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diuraikan sebelumnya (Gambar 19). Pada Gambar 20 ada beberapa langkah spesifik yang harus ditempuh, seperti validasi dan verifikasi, misalnya implementasi komputer. Sama
halnya
dengan sekuen permodelan, pada
Analysis Stage
Decision Problem
Mathematical Model No
Control Stage Validated? Implementation No Yes Design Stage
Yes Verified?
Interpreted Solution
Computer Implementation
Gambar 20. Loop permodelan (Sumber: Fauzi dan Anna, 2005)
langkah looping pemodelan, penentuan masalah merupakan titik awal sekaligus akhir dari membangun model.
Setelah masalah diidentifikasikan, selanjutnya
dilakukan tahapan analisis yang tidak lain dari membangun model “matematik” atau mental modeling.
Hasil dari langkah ini harus divalidasi terlebih dahulu
berdasarkan kaidah-kaidah teori dan permasalahan yang akan dipecahkan. Jika
58 tidak memenuhi syarat validasi, pemodel harus kembali memformulasikan masalahnya secara benar. Jika hasil validasi memenuhi syarat, baru kemudian dilakukan implementasi komputer, baik melalui optimisasi maupun simulasi, harus
diverifikasi
terlebih
dahulu
sebelum
diinterpretasikan
dan
diimplementasikan. Keseluruhan proses tersebut baru dapat digunakan untuk mengimplementasikan permasalahan awal yang telah dibangun sebelumnya (Fauzi dan Anna 2005).
Tahapan simulasi model sebagai alat bantu dalam
analisis kebijakan dapat dilihat pada Gambar 21. a. Pembuatan Konsep Tahap pertama adalah mengenali permasalahan, mencari siapa yang menanganinya, dan mengapa masalah tersebut terjadi. Salah satu yang menarik dari system dynamics
ini adalah mempelajari ulang permasalahan untuk
mendapatkan solusi. Pada tahap ini suatu kejadian dipelajari sehingga mendapatkan suatu pola. Setelah mendapatkan suatu pola maka merumuskan suatu permasalahan.
dapat
Pola tersebut dinamakan mental model
(Muhammadi et al., 2001).
Masalah Tidak Valid
Pembuatan Konsep
Valid Validasi
Diagram Simpal Kausal
Uji Sensitivitas Analisis Kebijakan
Grafik/Tabel
Pembuatan Model
Uji Simulasi
Data
Model
Gambar 21.
Tahap-tahap pembuatan simulasi model (Sumber: Muhammadi et al., 2001)
Setelah memahami permasalahan, maka mental model yang dihasilkan dijabarkan dalam sebuah model diagram yang disebut dengan diagram simpal
59 kausal atau causal loop diagram (CLD).
Causal loop diagram adalah
pengungkapan tentang kejadian hubungan sebab-akibat ke dalam bahasa gambar tertentu.
Panah yang menggambarkan hubungan, saling mengait
sehingga membentuk sebuah causal loop, dimana hulu panah mengungkapkan sebab dan ujung panah mengungkapkan akibat (Muhammadi et al., 2001).
b. Pembuatan Model Setelah CLD terbentuk, kemudian dibangun sebuah model komputer yang disebut dengan diagram alir atau stock flow diagram (SFD). Pada tahap ini dapat dipilih satu dari beberapa perangkat lunak yang tersedia misalnya Powersim 2.5. CLD diterjemahkan lebih luas dengan menggunakan simbolsimbol komputer sesuai dengan perangkat lunak yang dipilih. Simbol-simbol tersebut meliputi simbol yang menggambarkan stock (level), flow (rate), auxiliary, dan konstanta (Muhammadi et al., 2001).
c. Memasukkan Data Ke Dalam Model (Data Input) Untuk dapat menganalisis sebuah model, maka data yang diperoleh dari observasi lapangan (baik data primer maupun data sekunder) diinput ke dalam diagram alir (SFD). Metode memasukkan data ke dalam model sangat bergantung pada jenis data dan sebagai unsur apa data tersebut dimasukkan. Data dapat dimasukkan ke dalam model sebagai stock, sebagai flow, sebagai auxiliary, dan dapat pula sebagai konstanta (Muhammadi et al., 2001).
d. Simulasi Model Berdasarkan model/diagram alir/struktur yang telah dimasukkan data, dilakukan simulasi untuk mendapatkan hasil. Sebelum simulasi dilakukan terlebih dahulu ditentukan spesifikasi simulasi yang meliputi kurun waktu simulasi (time range), metode integrasi (integration method), dan inkremen waktu (time step). Keluaran hasil simulasi dapat berupa grafik perilaku waktu (time graph) atau tabel perilaku waktu (time table) (Muhammadi et al., 2001). e. Validasi Model Validasi model adalah kegiatan membandingkan hasil simulasi dengan karakteristik patron serta data empirik, sehingga model ini dapat dinyatakan sebagai model yang valid dan dapat digunakan untuk menirukan keadaan dunia nyata.
Validasi utama yang dilakukan adalah uji
60 konsistensi dimensi dan validasi output dengan menggunakan metode statistik sederhana yaitu menghitung AME (absolute mean error) atau AVE (absolute variation error) antara data hasil simulasi dengan data empirik (Muhammadi et al., 2001).
f. Uji Sensitivitas untuk Intervensi Model dan Analisis Kebijakan Kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan.
Sebelum menentukan kebijakan
yang akan diambil, maka berdasarkan model yang telah dinyatakan valid ditentukan variabel yang memiliki sensitivitas tinggi, dengan melakukan uji sensitivitas.
Tujuan uji sensitivitas adalah untuk mendapatkan titik
pengungkit (leverage point) yang digunakan sebagai titik intervensi kebijakan.
Penentuan kebijakan yang optimal dapat ditempuh melalui
intervensi ini (Muhammadi et al., 2001).
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dalam areal wilayah kuasa pertambangan (WKP) PT Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi) Region Jawa area operasi timur dan wilayah kerja (WK) PT.Sumber Daya Kelola (SDK) Kelurahan/Desa Amis, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terletak pada koordinat 107°51°-108°36° bujur timur dan 6°15°-6"40° lintang selatan (Gambar 20). Beberapa pertimbangan dalam pemilihan lokasi penelitian ini, diantaranya adalah: 1. Merupakan daerah penghasil minyak mentah (crude oil) terbesar di wilayah kuasa pertambangan (WKP) dari PT Pertamina EP, produksinya sekitar 18.092 barrel perhari (BOPD) dengan mengandung cukup besar gas ikutan atau gas ikutan yang dimanfaatkan dengan cara mengekstraksi menjadi LPG (liquid petroleum gas), lean gas dan condensate oleh PT.SDK. 2. Kandungan gas ikutan atau gas ikutan (flaring gas) cukup besar, terutama mengandung karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (NOx), dan sulfur dioksida (SO2). 3. Sejalan dengan target pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri akan minyak mentah (crude oil) sebesar 1 juta barrel perhari (BOPD) serta mencukupi kebutuhan akan LPG untuk konsumsi rumah tangga dan industri, maka Manajemen PT. Pertamina EP Region Jawa melalui program NFG (no flare gas) menargetkan kenaikan produksi minyak mentah (crude oil) yang diikuti dengan turunnya gas ikutan agar tercapai pelaksanaan mekanisme pembangunan bersih dan kemandirian dalam ketahanan di bidang energi. 4. Pemanfaatan gas ikutan itu bersifat site spesific, tergantung lokasi stasiun pengumpul utama (gathering station) dan keadaan dari lapangan minyak (oil field) sehingga setiap lapangan minyak akan memberikan hasil yang berbeda 5. Daerah tersebut merupakan lokasi yang terkait langsung dengan penyediaan prasarana proses pemanfaatan gas ikutan yang dilaksanakan oleh perusahaan PT. Sumber Daya Kelola (SDK) yang berdampak pada pengurangan gas rumah kaca (GRK). Penelitian dilakukan mulai bulan Februari sampai dengan Desember 2008.
Pada saat dilakukan pengambilan data di lapangan, pada saat yang
bersamaan juga dilakukan pengolahan data dan penyusunan disertasi.
62
Lapangan Migas Tugu Barat,
Gambar 22.
Peta lokasi penelitian di Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (PT. SDK, 2008)
3.2. Rancangan Penelitian Penelitian dirancang dalam empat tahapan kajian, yaitu 1) kajian kondisi eksisting sistem pengolahan dan potensi pemanfaatan gas ikutan, 2) studi kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan, 3) pengembangan desain model pengelolaan gas ikutan, dan 4) perumusan arahan rekomendasi kebijakan dan strategi pengelolaan migas yang ramah lingkunan dan berkelanjutan. Tahapan penelitian secara sederhana dapat dilihat seperti diagram alir pada Gambar 23. 3.2.1. Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari hasil survai lapangan terutama data sosial-ekonomi dan persepsi masyarakat, serta hasil analisis kualitas gas terproduksi olahan di laboratorium. Sedangkan data sekunder seperti data penduduk, produksi minyak bumi, air terproduksi, data pengelolaan lingkungan, biaya produksi, limbah cair dan lain-lainnya.
63
Gambar 23. Diagram alir tahapan penelitian a. Data Primer Data primer aspek fisik kimia yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data eksisting kualitas udara terutama karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (NOx), dan sulfur dioksida (SO2) yang merupakan polutan untuk udara (atmosfir), data ruang hijau terbuka, data hidrologi, data ekologi, data sosial ekonomi, data persepsi stakeholder terhadap pemanfaatan gas ikutan dan pencemaran akibat adanya gas ikutan yang tidak dimanfaatkan, data teknologi, data fisik lingkungan, pengolahan gas ikutan, kapasitas instalasi pengolah gas ikutan, volume gas ikutan per satuan waktu, quality controll terhadap gas ikutan, produk olahan gas ikutan, zonasi peruntukan lahan serta data hukum dan kelembagaan.
Data ini diperoleh melalui pengambilan secara
langsung di lapang (pengukuran di lapang dan di laboratorium). Selain itu juga dilakukan perhitungan terhadap konsentrasi CO2, metana (CH4) dan nitrogen oksida (NOx) yang didasarkan pada perhitungan yang terdapat pada Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories (IPCC, 2006).
64 Sedangkan data primer sosial ekonomi pada penelitian ini dilakukan melalui observasi lapang dan wawancara dengan masyarakat, pengusaha dan para pakar dengan bantuan kuesioner di sekitar Wilayah Operasi Lapangan Tugu Barat. Secara garis besar data primer sosial ekonomi yang akan diambil pada penelitian ini antara lain adalah struktur ekonomi, jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan penduduk, pengeluaran keluarga, laju pertumbuhan ekonomi, pendapatan/
produktivitas
per
kapita,
pengeluaran
keluarga,
sektor
pembangunan unggulan, pemerataan pendapatan dan penyebaran aktifitas ekonomi di sekitar lokasi penelitian. b. Data Sekunder Data sekunder yang diambil adalah data saat ini dan data pada tahuntahun sebelumnya (time series) yang diambil dari instansi terkait seperti dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat, Badan Meteorologi dan Geofisika berupa data kualitas udara, data kualitas gas ikutan dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) QQ Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (DitJend Migas) dan perusahaan lokasi penelitian, data hidrologi yang meliputi debit air, pola drainase, neraca air, temperatur udara, curah hujan, penyinaran matahari, sarana dan prasarana pengolahan gas ikutan, sarana dan prasarana lingkungan di lokasi penelitian.
Selain itu juga
dikumpulkan data mengenai dokumen amdal, kinerja lingkungan (RKL dan RPL). Data sekunder diperoleh dari beberapa sumber, yaitu: a. Studi literatur tentang eksploitasi gas bumi, pembangunan berkelanjutan, pengelolaan air terproduksi, pengelolaan gas-gas kontaminan dan pengelolaan lingkungan fisik, sosial dan ekonomi. b. Sistem manajemen lingkungan dan hasil studi lingkungan: AMDAL, UKLUPL, environmental baseline study, studi sosial, ekonomi dan budaya dan lain-lainnya yang pernah dilakukan. c. Hasil pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Data tersebut adalah hasil pengukuran kualitas air (air limbah), dan flora dan fauna darat. d. Laporan Program Peringkat Kinerja Pengelolaan Lingkungan (PROPER). e. Data ekonomi dan sosial, diperoleh dari BPS, Departemen Keuangan dan BPS Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten Indramayu.
65 Adapun format pengumpulan data yang dilakukan pada saat mengumpulkan data primer dan sekunder dapat dilihat pada Tabel 5: Tabel 5. Format pengumpulan data Lapangan Tugu Barat. No.
Uraian Data
Satuan
1 2 3 4 5
Produksi gas bumi Jumlah sumur produksi Limbah cair – air terproduksi Limbah padat non-B3 Limbah B3
MMSCFD Buah BOPD/hari m3/ tahun m3/ tahun
6
Limbah padat
m3/ tahun
7
Jumlah cerobong (stack)
8
Emisi udara NOx (Hasil pengukuran)
Ton/tahun
9 10 11 12 13
Gas Rumah Kaca CO2 Gas Rumah Kaca NOx (Hsl perhitungan) Biaya pengelolaan lingkungan Biaya pengelolaan lingkungan sosial Luas areal fasilitas operasi produksi
Ton/tahun Ton/tahun Rp/tahun Rp/tahun Hektar
Keterangan
buah
Data sekunder sosial ekonomi akan diperoleh dari berbagai instansi terkait yang meliputi jumlah dan komposisi penduduk, jumlah keluarga, tingkat kesehatan, tingkat pendidikan, pola pekerjaan, kesempatan kerja, jumlah tenaga kerja, kegiatan sosial, luas wilayah, kondisi perumahan, status pemilikan lahan, tingkat aksesibilitas masyarakat di lokasi penelitian.
3.2.2. Teknik Penetapan Responden Dalam rangka menggali informasi dan pengetahuan atau pendapat pakar digunakan metode expert judgment. Untuk keperluan ini pakar ditentukan secara purposive sampling. Dalam menentukan pakar mana yang dijadikan responden ada beberapa persyaratan yang diberlakukan yakni keterjangkauan dan kesediaan responden untuk diwawancarai, mempunyai reputasi, kedudukan dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai pakar pada bidang yang diteliti, dan telah berpengalaman di bidangnya, minimal dalam waktu dua tahun. Responden pakar mewakili sebagian stakeholders seperti Manajemen Perusahaan, Kepala Bagian Pengembangan di Depperindag, Ketua Bapedalda, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Kepala Dinas Pertambangan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, pengusaha, akademisi, dan LSM. Dengan demikian maka
66 pakar yang terpilih diharapkan dapat mewakili unsur birokrasi, akademisi, pelaku usaha, dan organisasi yang peduli terhadap lingkungan
3.2.3. Pengambilan Sampel Udara Pengambilan sampel udara dilakukan pada titik-titik tertentu yang dianggap mewakili lokasi penelitian, dan akan dilakukan tiga kali ulangan (bulan I, II dan III). Adapun lokasi pengambilan sampel udara dilakukan pada sekitar tempat proyek berada, yakni: 1. Desa Amis, Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu. 2. Desa Cemara, Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu. 3. Desa Losarang, Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu.
3.2.4. Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif dan kuantitatif melalui studi kasus dengan menggunakan pendekatan sistem. Metode deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran kondisi dan keragaman pembangunan subsektor pertambangan gas bumi di Provinsi Jawa Barat dan di Lapangan Tugu Barat, PT. Pertamina EP - PT. SDK.
Metode
analisis kuantitatif digunakan untuk menentukan apakah sektor pertambangan gas bumi termasuk basis ekonomi serta bagaimana dampaknya terhadap pembangunan wilayah di Kabupaten Indramayu. Metode yang akan digunakan untuk analisis tersebut adalah NPV, IRR, PBP dan Probability Index (PI) . Metode analisis data disesuaikan dengan pendekatan dan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Secara keseluruhan, tujuan, jenis dan sumber data dan analisis data serta alat bantu analisis yang digunakan dirangkum dalam Tabel 6. 3.3. Definisi Operasional 1. Kebijakan adalah serangkaian keputusan yang diambil oleh seorang aktor atau kelompok aktor yang berkaitan dengan seleksi tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut dalam situasi tertentu, dimana keputusan tersebut berada dalam cakupan wewenang para pembuatnya (William Jenkins, 1978)
67 Tabel 6. Rangkuman tujuan, pendekatan dan analisis data No 1
Kegiatan Penelitian Kajian kondisi existing sistem pengolahan dan potensi pemanfaatan gas ikutan
Jenis Data fisik, kimia, sosial, dan ekonomi pengolahan gas ikutan dalam ekploitas migas
2
Studi kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan
data ekonomi biaya manfaat pemanfaatan gas ikutan
3
Pengembangan desain model pengelolaan gas ikutan
4
Perumusan arahan kebijakan dan strategi pengelolaan migas ramah lingkungan dan berkelanjutan
fisik, kimia, sosial, dan ekonomi pengolahan gas ikutan data hasil survey pakar
Metode Analisis Deskriptif, dibandingk an dengan bakumutu lingkungan,
Analisis ekonomi, IRR, NPV, PBP, Probability index Sistem dinamik
AHP dan ISM
Alat Bantu Output Analisis - informasi kondisi Program existing aplikasi pengolahan gas worksheet ikutan Excell informasi potensi pemanfaatan gas ikutan - informasi Program kelayakan aplikasi ekonomi worksheet pengolahan gas Excell ikutan Powersim constructor versi 2.5
model sistem pengelolaan gas ikuta yang ramah lingkungan
Criterium decission plus (CDP) 9.5 dan ISM
prioritas kebijakan dan strategi pengelolaan migas ramah lingkungan, permasalahan dan kebutuhan
2. Pembangunan berkelanjutan dapat juga didefinisikan sebagai “upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan” (UU No. 23, 1997). Pembangunan berkelanjutan dapat juga didefenisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan demikian pembangunan berkelanjutan mempunyai tujuan jangka panjang, yaitu memikirkan pula kepentingan anak cucu dalam generasi yang akan datang. 3. Pengelolaan penataan,
lingkungan
adalah
pemeliharaan,
upaya
pengawasan,
terpadu
dalam
pengendalian,
pemanfaatan,
pemulihan
dan
pengembangan lingkungan hidup. 4. Kegiatan
usaha
hulu
migas
(upstream)
adalah
kegiatan
eksplorasi
(pencarian), eksploitasi (pengangkatan) melalui kegiatan pengeboran dan
68 penyelesaian sumur, sarana pengangkutan, penyimpanan (storage) dan pengolahan minyak mentah untuk pemisahan serta pemurnian minyak dan gas di lapangan minyak dan gas. Sedangkan Kegiatan usaha Hilir Migas (downstream) adalah kegiatan prosessing atau pengolahan melalui kegiatan kilang (refinery) untuk memproduksi bahan bakar minyak berserta turunannya dan pemasaran (marketing) serta distribusi melalui kegiatan penyimpanan (storage). 5. Gas bumi adalah semua jenis hidrokarbon yang berada dalam fase gas (gas alam) atau larutan bersama minyak yang dihasilkan dari sumur (gas ikutan); campuran gas atau uap hidrokarbon yang terjadi secara alamiah yang komponen utamanya metane, etana, propane, butane, pentane dan heksane ditambang dari dalam reservoir secara langsung atau gas ikutan (associated gas) dalam penambangan minyak. 6. Clean development mechanism (CDM) atau mekanisme pembangunan bersih merupakan salah satu mekanisme di bawah Protokol Kyoto yang memperbolehkan negara-negara berkembang “menjual” penurunan emisi melalui berbagai proyek kepada negara-negara maju. 7. Gas alam cair (liquefied natural gas, LNG) adalah komponen hidrokarbon ringan dari gas alam, dengan kandungan terbanyak berupa metana yang telah dicairkan (Khoiroh, 2008). LNG dapat juga didefinisikan sebagai gas alam yang telah diproses untuk menghilangkan ketidakmurnian dan hidrokarbon berat dan kemudian dikondensasi menjadi cairan pada tekan atmosfer dengan mendinginkannya sekitar 160°C (Anonim dalam Wales, 2008). LNG dapat juga disebut sebagai gas yang terdiri atas metana yang dicairkan pada suhu sangat rendah (-160°C) dan dipertahankan dalam keadaan cair untuk mempermudah transportasi dan penimbunan. 8. Gas ikutan merupakan gas yang diperoleh dari proses pemisahan antara minyak mentah dan gas bumi melalui proses tekanan hydrocarbon yang diberikan dengan batas maksimum antara 25 % – 30 %.
Terdapat dua
macam gas yang terakumulasi dalam tempat penyimpanan minyak, yakni (1). gas ikutan yang larut dalam minyak mentah ke dalam suatu formasi dan (2). gas ikutan di dalam tempat cadangan minyak mengalami penjenuhan dan terjadi penyumbatan sehingga tekanan dan temperatur tekanan gas di bawah batas maksimum, membuat tekananan tersebut membuat gas terdorong ke atas (Johnston, 2003).
69 9. Compress natural gas (CNG) adalah pengganti untuk bensin, bahan bakar diesel dan bahan bakar propana. CNG ini dipertimbangkan sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan dibandingkan dengan bahan bakar diatas. Lebih ringan dari udara sehingga mudah menyebar dengan cepat ketika bocor ataupun tumpah. Dibuat dengan memberi tekanan pada LNG, didistribusikan menggunakan kontainer (cylindrical atau spherical) dengan tekanan normal 200–220 bar. 10. Liquified petroleum gas (LPG) adalah produk pengolahan gas alam dengan kandungan utama berupa propana (C3) dan butana (C4) serta sejumlah kecil etana (C2) (Khoiroh, 2008). hidrokarbon
yang
dicairkan
LPG dapat juga didefinisikan sebagai gas dengan
tekanan
untuk
memudahkan
penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya, yang terdiri atas propane, butane atau campuran keduanya. 11. Lean gas adalah yang sangat sedikit mengandung senyawa propana (C3) dan yang lebih berat dari itu, atau juga termasuk aliran gas yang keluar dari unit absorbsi (Khoiroh, 2008). 12. Condensate adalah fraksi hidrokarbon cair yang diperoleh dari aliran gas yang memiliki kandungan penting berupa pentane (C5) (Khoiroh, 2008). 13. Flare (associated gas) adalah membakar gas bumi yang terproduksi terdapat bersama-sama dengan minyak bumi di dalam reservoir yang berlebihan di menara suar bakar (cerobong), alat untuk membakar gas-gas hidrokarbon dan gas beracun yang keluar dan dikeluarkan dari peralatan unit operasi seperti compressor, vessel, karena kelebihan tekanan supaya aman terhadap peralatan dan lingkungan. 14. Million standard cubic feet per day (MMSCFD) adalah satuan umum yang biasa digunakan untuk energi adalah MMBTUD dan BBTU. Sebagai informasi, gas alam tidak dijual berdasarkan nilai volume atau molar flow nya. Gas alam dihargai berdasarkan nilai energi atau heating value-nya (US$/MMBTU). 15. British termal unit (BTU) adalah satuan panas yang besarnya 1/180 dari panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu satu pound (0.4536 kg) air dari 32°F (0°C) menjadi 212°F (100oC) pada ketinggian permukaan laut. Biasanya dianggap sama dengan jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu satu pound air dari 63°F (17,2°C) menjadi 64°F (17,8°C).
70 16. Plan of development (POD) adalah rencana pengembangan lapangan migas secara terpadu untuk mengembangkan cadangan hidrokarbon secara optimal, sehingga menjadi realistis, sesuai dengan aspek teknis, ekonomis, dan lingkungan yang sehat dan aman (SHE). 17. Barrel oil per day (BOPD) adalah jumlah barrel minyak per hari yang diproduksi oleh sumur, lapangan atau perusahaan minyak. Satu barrel sama dengan 42 US gallon atau setara dengan 159 liter. 18. Associated gas adalah gas alam yang diporoleh dari wells dimana terdapat kandungan crude oil pada sumur tersebut. 19. Non-associated gas adalah gas alam yang diporoleh dari sumur dimana tidak terdapat kandungan crude oil pada sumur tambang tersebut 20. Minyak bumi (crude oil) adalah campuran berbagai hidrokarbon yang terdapat dalam fase cair dalam reservoir di bawah permukaan tanah dan yang tetap cair pada tekanan atmosfir setelah melalui fasilitas pemisahan diatas permukaan. 21. Sumur pengembangan (development well) adalah sumur yang dibor didaerah yang
telah
terbukti
mengandung
minyak
atau
gas
dengan
tujuan
mendapatkan produksi yang diinginkan. 22. Bahan bakar fosil (BBF) adalah juga dikenal sebagai bahan bakar mineral, adalah sumber daya alam yang mengandung hidrokarbon seperti batu bara, petroleum, dan gas alam. Pembakaran bahan bakar fosil oleh manusia merupakan sumber utama dari karbon dioksida yang merupakan salah satu gas rumah kaca yang dipercayai menyebabkan pemanasan global. Sejumlah kecil bahan bakar hidrokarbon adalah bahan bakar bio yang diperoleh dari karbon dioksida di atmosfer dan oleh karena itu tidak menambah karbon dioksida di udara. 23. Gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktifitas manusia (antropogenic). Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbondioksida adalah gas terbanyak kedua. Ia timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan vulkanik; pernafasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida); dan pembakaran material organik (seperti tumbuhan).Karbondioksida dapat berkurang karena
71 terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah karbondioksida dan melepaskan oksigen ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya.
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1.
Letak Geografis dan Administratif Kabupaten Indramayu, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa
Barat, yang membentang sepanjang pesisir pantai utara P.Jawa, dengan pemerintahan yang berpusat di Kecamatan Indramayu.
Kabupaten ini
berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kabupaten Cirebon di tenggara, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Sumedang, serta Kabupaten Subang di sebelah barat. Kabupaten Indramayu terdiri atas 31 kecamatan, yang terdiri dari 313 desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan Kabupaten Indramayu berada di Kecamatan Indramayu, yang berada di pesisir Laut (www.indramayukab.go.id, 2008) Secara geografis, Kabupaten Indramayu terletak pada 107° 52° - 108° 36° bujur timur dan 6° 15° - 6° 40° ls. Berdasarkan topografinya sebagian besar Kabupaten
Indramayu
merupakan
dataran
atau
daerah
landai
dengan
kemiringan tanahnya rata-rata 0 % – 2 %. Kondisi ini berpengaruh terhadap drainase, dan bila curah hujan cukup tinggi, maka di daerah-daerah tertentu akan terjadi genangan air.
4.2. Iklim Suhu udara Kabupaten Indramayu cukup tinggi yaitu berkisar antara 18o 28° C.
Rata-rata curah hujan Kabupaten Indramayu sepanjang tahun 2006
adalah sebesar 61,06 mm, dengan curah hujan tertinggi di Kecamatan Kertasemaya kurang lebih sebesar 70 mm dengan jumlah hari hujan 2491 hari, sedang curah hujan terendah terjadi di Kecamatan Pasekan kurang lebih sebesar 55 mm dengan jumlah hari hujan 683 hari (www.indramayukab.go.id, 2008)
4.3. Penggunaan Tanah Berdasarkan
data
www.indramayukab.go.id
(2008)
luas
wilayah
Kabupaten Indramayu mencapai 204.011 Ha yang terdiri dari 110.877 Ha tanah sawah (54,35%). Dari jumlah tersebut tanah sawah dengan irigasi teknis luasnya mencapai 72.591 Ha, dan 11.868 Ha diantaranya merupakan tanah sawah dengan irigasi setengah teknis, 4.365 Ha mendapatkan irigasi sederhana PU dan 3.129 Ha irigasi non PU sedang 18.275 Ha diantaranya adalah sawah tadah
73 hujan. Selain sawah juga terdapat tanah kering yang luasnya mencapai 93.134 Ha atau sebesar 45,65%. Bila dibandingkan dengan luas areal tanah sawah di tahun 2005 yang luasnya 110.548 Ha (54,19% dari luas wilayah), maka di Kabupaten Indramayu cenderung terjadi perubahan penggunaan lahan.
4.3.1 Ekonomi Nilai PDRB Kabupaten Indramayu tahun 2006 atas dasar harga berlaku sebesar 31.895,39 milyar rupiah dan tanpa migas sebesar 10.813,76 milyar rupiah
(www.indramayukab.go.id,
2008).
PDRB
tahun
2006
mengalami
peningkatan dari tahun sebelumnya menjadi 8.304,132 milyar rupiah dan tanpa migas Rp 1.931,228 milyar.
Jika dibandingkan tahun sebelumnya, PDRB
mengalami peningkatan masing-masing sebesar 35,20 persen dengan minyak dan gas bumi dan 21,74 persen tanpa minyak dan gas. Untuk kontribusi PDRB, sektor yang paling banyak memberikan kontribusi terhadap total PDRB 2006 adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor pertanian, sektor perdagangan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor jasa-jasa, sektor keuangan, sektor persewaan dan jasa perusahaan, sektor bangunan dan terakhir sektor listrik, gas dan air bersih. Berdasarkan perhitungan PDRB atas dasar harga konstan 2000, laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Indramayu sebesar 5,10 persen. Dari sembilan
sektor
yang
ada
pada
PDRB,
semua
sektor
menghasilkan
pertumbuhan yang positif. Sektor yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah sektor konstruksi/bangunan dengan kenaikan sebesar 14,20 persen. Dilanjutkan oleh kenaikan yang lebih kecil terletak pada sektor perdagangan, hotel & restoran; industri pengolahan; listrik, gas & air bersih; pengangkutan & komunikasi; jasa-jasa; sektor keuangan, persewaan,
jasa
perusahaan; dan pertanian, maka terjadinya kenaikan tersebut adalah berturutturut 11,59; 8,59; 6,63; 5,56; 2,69; 2,05 dan 0,68 persen. Sedangkan kenaikan paling kecil terjadi pada sektor pertambangan dan penggalian yang angka kenaikan 0,30 persen www.indramayukab.go.id (2008).
4.3.2 Sosial dan Budaya Keadaan sosial budaya suatu masyarakat dapat dikatakan merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan yang dapat dilihat secara kasat mata.
Pada tulisan ini keadaan sosial budaya Kabupaten Indramayu
74 dikemukakan dalam beberapa indikator, yakni indikator pendidikan, kesehatan dan keluarga berencana, serta agama. Agama Kehidupan beragama diatur dalam UUD 1945 Pasal 29 dan sila pertama Pancasila.
Kehidupan
beragama
dikembangkan
dan
diarahkan
untuk
peningkatan ahlak demi kepentingan bersama untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten dengan mayoritas penduduknya memeluk Agama Islam. Pada tahun 2006 penduduk yang beragama Islam tercatat sebanyak 1.686.244 jiwa, sedangkan sisanya tersebar pada empat agama lain seperti Protestan tercatat sebesar 2.719 jiwa, Katolik 1.710 jiwa, Hindu 132 jiwa, Budha 282 jiwa dan Konghucu sebanyak 23 jiwa.
Jumlah tempat peribadatan umat Islam pada tahun 2006
tercatat sebanyak 804 Masjid, 3.734 Langgar dan 279 Mushola. Selain tempat peribadatan, di Kabupaten Indramayu juga terdapat pondok pesantren yang tersebar hampir di seluruh kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Indramayu, kecuali di Kecamatan Pasekan. Adapun jumlah pondok pesantren pada tahun 2006 tercatat sebanyak 120 dengan jumlah santri sebanyak 36.010 orang.
Selain tempat peribadatan umat Islam, di Kabupaten Indramayu juga
terdapat tempat peribadatan lainnya, yakni 17 Gereja Protestan, 10 Gereja Katolik dan 2 Vihara (www.indramayukab.go.id, 2008). Pendidikan Salah satu indikator keberhasilan pembangunan manusia adalah kemajuan di bidang pendidikan. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Indramayu pada tahun 2006 untuk tingkat Sekolah Dasar jumlah sekolah tercatat sebanyak 878 dan murid sebanyak 195.087 orang. Kemudian di tingkat SMP jumlah sekolah tercatat sebanyak 131 dan murid sebanyak 57.379 orang. Sedangkan di tingkat SLTA jumlah sekolah tercatat sebanyak 45 dan murid sebanyak 15.172 orang. Dan untuk Sekolah Menengah Kejuruan jumlah sekolahnya sebanyak 37 sekolah dengan jumlah murid 12.380 orang (www.indramayukab.go.id, 2008). Jumlah guru yang terdapat di Kabupaten Indramayu sebanyak 12.888 orang guru. Dari jumlah tersebut sebanyak 7.535 orang (58,47%) mengajar di institusi pendidikan dasar, sedangkan sisanya yakni 5.352 orang (41,53%) mengajar di sekolah lanjutan (SLTA dan SMK) (www.indramayukab.go.id, 2008).
75
4.3.3 Sumber Daya Alam (SDA) Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang merupakan daerah sentra pertanian. Oleh karenanya maka sektor pertanian merupakan penyumbang kedua terbesar produk domestik regional bruto setelah sektor industri (migas), dengan besar sumbangan 13,37 persen dari total produk domestik regional bruto Kabupaten Indramayu. Hal ini juga tercermin dari sektor usaha utama penduduk Kabupaten Indramayu yang memperlihatkan bahwa 51,46 persen penduduk yang berusia diatas 10 tahun, bekerja
di
sektor
pertanian
(BPS,
SAKERNAS
2005
dalam
www.indramayukab.go.id, 2008). Dari luas wilayah Kabupaten Indramayu yang tercatat seluas 204.011 Ha, 54,35 persennya merupakan tanah sawah. Tanaman Pangan Beberapa jenis tanaman pangan yang diusahakan di Kabupaten Indramayu,
antara lain padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan
kedelai. Produksi terbesar adalah padi sawah sebanyak 1.211.350,95 ton pada tahun 2006 yang berarti mengalami penurunan sebanyak 4,22% dari 1.264.685,81 ton di tahun 2005. Luas lahan tanaman pangan mengalami kenaikan dari 195.254 Ha di tahun 2005 menjadi 198.749 Ha pada tahun 2006; namun produktivitasnya mengalami penurunan dari 64,77 kwintal/Ha ditahun 2005 menjadi 60,95 kwintal/ Ha di tahun 2006. Keadaan ini dapat dipahami karena luas areal untuk tanaman padi cukup luas jika dibandingkan dengan luas areal yang ditanami tanaman pangan lainnya yaitu seluas 110.877 Ha, sedangkan luas areal untuk tanaman pangan lainnya berkisar antara 100 hingga 3.000 ha. Tanaman palawija ubi kayu merupakan komoditas dengan produksi tertinggi, diikuti oleh kedelai, jagung, kacang hijau, kacang tanah dan ubi jalar. Disamping tanaman pangan dengan padi sebagai primadonanya, Kabupaten Indramayu juga memiliki tanaman unggulan lainnya seperti mangga, pisang cabe merah, bawang merah, jagung serta kedelai. Selain tanaman pangan, di Kabupaten Indramayu juga dibudidayakan tanaman perkebunan seperti kelapa, kelapa hibrida, kapuk, cengkeh, jambu mete, kopi, tebu dan melinjo.
76 Peternakan Berdasarkan jenisnya peternakan dibedakan atas ternak besar, ternak kecil dan ternak unggas. Jenis ternak besar yang cukup dominan di Kabupaten Indramayu adalah sapi sebanyak 5.419 ekor, kerbau 1.747 ekor dan kuda sebanyak 152 ekor. Adapun ternak kecil yang cukup dominan adalah domba sebanyak 130.007 ekor dan kambing sebanyak 54.000 ekor.
Jenis ternak
unggas yang paling banyak dipelihara adalah ternak ayam kampung, yang pada tahun 2006 jumlahnya mencapai 2.095.100 ekor, disusul itik sebanyak 829.791 ekor dan ayam ras 610.178 ekor.
Perikanan Seperti halnya wilayah pesisir pada umumnya, maka Kabupaten Indramayu merupakan salah satu Kabupaten penghasil ikan. Produksi ikan laut segar
selama
tahun
2006
mencapai
71.579,11,
walaupun
mengalami
peningkatan produksi dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 67.359,10 ton, namun nilai produksi saat ini mengalami penurunan dari 129.686.808,79. Kehutanan Realisasi pendapatan Kabupaten Indramayu dari sektor kehutanan dan perburuan KPH Indramayu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2006 pendapatan dari sektor kehutanan dan perburuan mencapai nilai Rp. 17.225.028.641,- sedangkan pada tahun 2005 mencapai Rp. 16.303.371.000,Adapun nilai terbesar dihasilkan dari kayu perkakas jati yang nilainya mencapai Rp. 15.634.194.326,- diikuti dari minyak kayu putih sebesar Rp. 1.450.937.813. Sedangkan sisanya disumbang oleh kayu perkakas rimba, kayu bakar jati dan kayu bakar rimba.
Potensi minyak dan gas Sebagai salah satu Kabupaten penghasil minyak dan gas, Kabupaten Indramayu mempunyai potensi minyak dan gas yang tersebar di beberapa wilayah. Peta potensi migas Kabupaten Indramayu dapat dilihat pada Gambar 24.
77
Lokasi Penelitian Di Lapangan Migas Tugu Barat
Gambar 24. Potensi cadangan migas Kabupaten Indramayu (Sumber : Laporan akhir Pemanfaatan Sumur-Sumur Migas Non Ekonomi Di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Majalengka, Dinas Pertambangan dan Energi Jawa Barat-LPPM ITB, 2003) Kabupaten Indramayu memiliki cadangan awal (initial oil in place) terbesar di Propinsi Jawa Barat sebesar 903.768 MSTB (million standard barrel atau juta standard barrel), dengan cadangan gas sebesar 1.428.744,50 mmscf (million matric standart cubic feed atau juta kaki kubik), (Data Migas Kab. Indramayu, 2003). Kabupaten Indramayu sebagai salah satu penghasil migas di Jawa Barat memiliki cadangan minyak bumi di tempat sebesar 904 juta barrel dan gas alam ditempat sebesar 1.429 milyar kaki kubik (mmscf). Hingga 1 Januari 2003, telah diproduksi sejumlah 133 juta barrel minyak dan 610 milyar kaki kubik (mmscf). Sehingga, cadangan migas yang tersisa yang terdapat di Kabupaten Indramayu adalah 92 juta barrel minyak bumi dan gas alam sebesar 477 milyar kaki kubik (mmscf). (www.distamben-jabar.go.id).
Potensi gas ikutan (flare gas) Meningkatnya eksploitasi migas di Kabupaten Indramayu guna memenuhi kebutuhan dalam negeri, pada dasarnya akan menyebabkan dua masalah utama. Pertama adalah dampak lingkungan seperti emisi debu, SOx dan NOx dan
yang
kedua
adalah
mempersiapakan
sarana
dan
prasarana
penanggulangan dampak lingkungan akibat eksploitasi minyak bumi. Pada Gambar 25 terlihat foto satelite gas ikutan (flare gas) di Kabupaten Indramayu yang jumlahnya cukup besar. Mengingat jumlahnya cukup besar, maka dampak lingkungan yang berhubungan dengan eksploitasi migas di Kabupaten
78 Indramayu khususnya lapangan Tugu Barat Desa Amis Kecamatan Cikedung juga akan cukup besar. Adapun dampak tersebut antara lain berupa emisi CO2 yang cukup besar mencapai ± 40 % (Dinas Pertambangan Jawa barat – LPPM ITB, 2003)
Lapangan Tugu Barat, Kabupaten Indramayu
Gambar 25. Kondisi gas ikutan (flare gas) (Sumber : NOAA, 2004) 4.4. Profil Industri Pengolah Gas Ikutan Objek Penelitian Jumlah kandungan gas di Indonesia yang sangat besar dan semakin meningkatnya kebutuhan gas domestik khususnya penggunaan LPG di Indonesia, telah mendorong masyarakat untuk lebih memanfaatkan LPG sebagai alternatif energi yang murah dan ramah lingkungan. Peran sektor swasta (private sector) untuk memberikan kontribusi kepada pemerintah dalam memenuhi kebutuhan domestik LPG juga semakin dibutuhkan. Hal ini dipengaruhi oleh semakin meningkatnya permintaan LPG sebesar 5-10% per tahun dengan total kebutuhan domestik 1.000.000 ton sampai 1.200.000 ton per tahun. Maka apabila kebutuhan LPG domestik ini dipenuhi diharapkan terjadi alih penggunaan pemanfaatan Bahan Bakar Minyak (BBM) kepada penggunaan gas sebagai energi dan kelangkaan BBM juga turut dapat dikurangi. Sehingga pemerintah juga mampu untuk mengurangi subsidi BBM dan beban subsidi tersebut dapat dialokasikan kepada sektor lain yang lebih membutuhkan, misalnya pendidikan dan kesehatan. Pengembangan investasi di sektor minyak
79 dan gas tentunya akan membantu meningkatkan penyerapan tenaga kerja di daerah operasi. Kebutuhan akan tenaga terlatih dan terdidik yang diserap dari daerah
sekitar,
juga
turut
membantu
meningkatkan
pengalaman
dan
kesejahteraan mereka. Hal ini juga turut membantu sektor ekonomi formal dan non-formal yang berada di daerah sekitar untuk dapat berkembang melalui suplai kebutuhan logistik dan makanan. Selain itu keberadaan investasi ini juga turut membantu meningkatkan tingkat perolehan pendapatan daerah sehingga turut membantu pemerintah daerah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun rincian proyek yang diperlukan untuk melakukan pengolahan gas ikutan adalah sebagai berikut : •
PT.SDK mengoperasikan LPG plant yang ada pada saat ini dan akan menambah peralatan baru guna memproses kelebihan gas yang belum dimanfaatkan selama ini.
•
Penambahan peralatan dan alat tersebut akan melipatgandakan hasil produksi, LPG, kondensat dan lean gas.
•
Keseluruhan hasil produksi sepenuhnya menjadi milik PERTAMINA dan atas pengolahan gas tersebut diperkirakan PT.SDK akan memperoleh jasa pengolahan atas masing-masing produksi sebagai berikut : ¾ LPG sebesar US$ 150/Ton. ¾ Kondensat sebesar US$ 15/Bbl. ¾ Lean Gas sebesar US$ 1.20/MMBTU.
•
PERTAMINA dapat menyalurkan gas dengan jumlah tertentu tanpa biaya kepada PT.SDK guna diproses di Kilang LPG Tugu Barat.
•
Pada masa konstruksi sampai pada saat selesainya pembangunan instalasi peralatan tambahan, maka PT.SDK dapat memperoleh imbalan jasa pengolahan sesuai dengan hasil produksi kilang saat ini, sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari jasa pengolahan termaksud.
•
Masa kontrak bisa dalam waktu 10 tahun dan selanjutnya dapat dilakukan perpanjangan setiap 10 (sepuluh) tahun sejak pembangunan instalasi baru selesai, yang dapat dilaksanakan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak kontrak kerja sama ditandatangani.
V. STUDI KONDISI SISTEM PENGOLAHAN GAS IKUTAN DAN POTENSI PEMANFAATAN Abstrak Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat di Indramayu memiliki potensi yang besar dalam menghasilkan gas ikutan dalam rangka mendukung penyediaan energi nasional ditengah krisis energi yang terjadi saat ini. Dalam pemanfaatan gas ikutan tersebut berpeluang mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem pengolahan gas ikutan Lapangan minyak Tugu Barat, dan pemanfaatan serta dampaknya terhadap lingkungan. Penelitian menggunakan metode analisis deskriptif dengan menggunakan data-data deskriptif hasil penelusuran berbagai pustaka. Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan triangulasi melalui studi pustaka, penyebaran kuisioner, dan survey langsung di lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lapangan Minyak Tugu Barat di Indramayu mulai dieksploitasi oleh Pertamina pada tahun 1970. Produksi tertinggi dicapai pada tahun 1973-1994 sebesar 28.000 barrel oil per day (BOPD). Lapangan Minyak Tugu Barat memiliki areal seluar 920,328 ha dengan cadangan minyak sebesar 43.423 milyar barrel. Cadangan yang telah terambil sebesar 12.485,50 milyar barrel dan cadangan gas ikutan (flare) sebanyak 35,7 BSCF dan 23,1 BSCF dalam bentuk probable. Gas ikutan di Lapangan Tugu Barat mengandung 40% CO2, 50% gas metan 1,94% nitrogen sehingga jika dibuang langsung akan mengakibatkan terjadinya pencemaran udara, terjadinya pemanasan global dan terjadinya hujan asam. Pada pengolahan gas ikutan, CO2 yang tinggi akan menurunkan tekanannya, sehingga untuk meningkatkan tekanannya, CO2 harus dipisahkan dari gas ikutan. Kilang LPG Plant Tugu Barat mempunyai potensi untuk melakukan pemanfaatan gas ikutan karena cadangannya cukup banyak (GOR >1) dan sudah dapat dirancang rencana-rencana pemanfaatannya di Lapangan Tugu Barat. Berdasarkan perhitungan memperlihatkan bahwa pengolahan gas ikutan di lokasi ini layak secara ekonomi dan secara lingkungan, begitupun halnya dengan CO2 yang terdapat pada gas ikutan dapat dimanfaatkan untuk minuman ringan (food grade), sehingga bernilai ekonomis. Kondisi eksisting di PT SDK memperlihatkan bahwa perusahaan ini tidak mencemari udara, namun penanganan limbah cairnya relatif masih belum terlalu baik. Kata kunci : Pengolahan, gas ikutan, CO2 pemanfaatan, layak lingkungan 5.1.
Pendahuluan Industri minyak dan gas sebagai sektor usaha yang strategis dan
produktif dalam sektor formal di Indonesia telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap roda perekonomian. Keputusan pemerintah untuk memanfaatkan energi gas bagi penggunaan domestik dan bahan bakar minyak untuk ekspor telah mempengaruhi besarnya jumlah beban pemerintah atas subsidi yang harus dipenuhi akibat meningkatnya harga minyak dunia. Hal ini semakin diperburuk dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Bersamaan dengan menurunnya jumlah produksi minyak (Gambar 26) dan besarnya jumlah
81 pemanfaatan minyak untuk digunakan sebagai bahan bakar, membuat pemanfaatan gas sebagai bentuk diversifikasi energi perlu dimanfaatkan lebih banyak lagi untuk digunakan sebagai bahan bakar yang lebih murah dan ramah lingkungan.
Gambar 26. Perkembangan produksi dan konsumsi minyak di indonesia tahun 2000 – 2006 (Sumber : Indonesia Energy Statistics, Pusdatin Kementerian ESDM, 2008) Kebutuhan gas bumi di kawasan Asia, Eropa dan Atlantik diperkirakan akan semakin besar, bahkan di Amerika Utara pertumbuhan konsumsi gas bumi lebih cepat dari pasokan, sehingga makin meningkatkan import LNG. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, sehingga walaupun Indonesia selalu berupaya untuk terus meningkatkan ekspor gas bumi dalam bentuk LNG maupun melalui pipa, namun di lain pihak konsumsi gas di dalam negeri juga mengalami peningkatan.
Kedua kebutuhan tersebut pada akhirnya
akan makin
meningkatkan eksploitasi gas bumi. Produksi gas Indonesia pada tahun 2004 sebesar 8.6 BSCFD (billon standard cubic feet per day) dengan kontribusi produksi PERTAMINA sebesar 0.9 BSCFD dan 7.7 BSCFD oleh PSC (production sharing contract). Meskipun jumlah ini mengesankan tetapi hanya 42% yang dikonsumsi di Indonesia sedangkan selebihnya atau lebih dari 5 BSCFD di ekspor sebagai LPG, LNG, condensate dan gas piped. Permintaan domestik pada tahun 2004 sebesar 2025 MMSCFD, sedangkan suplai hanya mampu memenuhi kebutuhan sebesar 1910 MMSCFD, di lain pihak kebutuhan Pulau Jawa saja sudah mencapai 1250
82 MMSCFD, namun suplai gas ke Pulau Jawa masih terbatas pada 1000 MMSCFD. Berdasarkan peningkatan permintaan gas terutama di Pulau Jawa dan Sumatra Selatan tersebut, maka PERTAMINA memproyeksikan bahwa pada tahun 2010-2020 permintaan nasional akan mencapai 2.75-5 BSCFD. Adapun perkembangan dan konsumsi gas di Indonesia seperti pada Gambar 27.
Gambar 27. Indonesian gas production and consumption in 2000-2006 (Sumber : Indonesian energy statistics, Pusdatin Kementerian ESDM, 2008) Krisis energi yang melanda Indonesia semenjak harga minyak dunia bergerak naik melewati $ US 40 per barrel pada bulan April 2005, membuat alternatif pemanfaatan gas sebagai bahan bakar menjadi kebutuhan yang sangat
Gambar 28. Kondisi Pemanfaatan Gas Berdasarkan Penggunaan (Sumber : CCOP WorkShop,Beijing-China, Lemigas Juni, 2006)
83 penting bagi industri-industri strategis, ataupun untuk kepentingan infrastruktur negara. Efisiensi pemanfaatan gas yang digunakan sebagai bahan bakar sangat membantu mengurangi beban operasional bagi industri-industri yang sedang bangkit, terutama bagi pembangunan di Indonesia.
Sebagai contoh estimasi
perbandingan penggunaan bahan bakar di perusahaan listrik negara (PLN) pada tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 7. Pemakaian gas bumi dalam bentuk LPG dan lean gas di Indonesia selain digunakan untuk PLN, sebagian juga dimanfaatkan untuk industri pupuk, dengan prosentase yang menyamai keperluan pembangkit listrik, yakni masing-masing sekitar 35% dari total pemakaian dalam negeri. Sisanya sekitar 30% digunakan untuk industri lain. Keperluan gas untuk sektor rumah tangga ternyata jauh lebih kecil. Tabel 7.
Estimasi perbandingan penggunaan bahan bakar di Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada tahun 2005 BBM (MFO dan HSD)
Gas Alam
Pemakaian
9.357.000 liter
185 MMSCF
Harga
Rp.2.266/liter
2,56 Dollar AS/MMSCF
Produksi Listrik
34.692 Gwh (36%)
20.092 Gwh (21%)
Biaya Energi
Rp.21.204 Miliar
Rp.4.228 Milar
68%
14%
Rp.611/Kwh
Rp.210/Kwh
Sumber : Kompas, 8 Juli 2005. Keterangan : HSD (high speed diesel = minyak Solar) MMSCF (million standard cubic feet) MFO (marine fuel oil = minyak Bakar) GWh (giga watt x jam) Produksi PERTAMINA untuk penjualan LPG di Indonesia sudah mencapai 1.000.000 ton per tahun. Sedangkan kebutuhan LPG Kota Jakarta saja sudah mencapai 1300-1700 ton per hari atau 474.000-620.500 ton per tahun atau setengah dari kebutuhan nasional 800.000 ton per tahun. Permintaan LPG meningkat 20% dari 83.000 ton pada tahun 2002 menjadi 100.000 ton pada tahun 2003 dan diperkirakan akan terus meningkat 15% setiap tahunnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut pada saat ini pemerintah telah melakukan import. Walaupun demikian kemampuan suplai Pertamina hanya 800.000 ton per tahun, sedangkan permintaan sudah mencapai 1.200.000 ton per tahun.
84 Seperti kita ketahui bersama, bahwa pada lapangan produksi minyak PT.Pertamina EP khususnya di Jawa Barat, gas ikutannya tidak pernah dimanfaatkan, namun gas ikutan tersebut dihilangkan dengan cara dibakar. Dilakukannya pembakaran gas tersebut karena gas ikutan dianggap kurang memiliki nilai ekonomis, selain itu juga gas tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara langsung karena kendala operasi. Dalam hal ini penyebabnya antara lain karena di dalamnya mengandung CO2 dalam jumlah yang tinggi, tidak tersedia flow line (jalur pipa), bersifat marginal dan remote area (terpencil). Keterbatasan ini pada akhirnya menjadi sangat berpengaruh terhadap hilangnya nilai manfaat ekonomi yang diterima oleh perusahaan, oleh karena itu maka gas ikutan terpaksa harus dibakar. Di sisi lain jika gas ikutan ini diolah lebih lanjut, akan mempunyai nilai ekonomis dan sekaligus dapat meningkatkan ketersediaan energi gas yang saat ini kebutuhannya semakin meningkat. Pemanfaatan gas ikutan juga diharapkan akan meningkatkan volume gas yang terproduksi untuk dapat dimanfaatkan, sehingga diharapkan dapat memenuhi permintaan pasar, baik nasional maupun internasional.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang konversi minyak
tanah (Mitan) ke LPG (liquid petroleum gas) dengan target menghemat konsumsi minyak tanah yang subsidinya sangat mahal, yakni mencapai Rp 25 Triliun (US $ 3 Milyard) per tahun. Oleh karenanya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengestimasi penghematannya mencapai Rp 30 Triliun. Sebuah nilai yang sangat fantastis bila digunakan untuk meningkatkan pendidikan dan kesehatan. Hal ini disebabkan dalam memproduksi minyak tanah sama mahalnya dengan memproduksi Avtur (bahan bakar pesawat terbang), sehingga mengimport minyak tanah dan dibagikan secara murah merupakan pemborosan yang sangat tinggi. Di lain pihak dari konsumen sendiri bila beralih ke LPG akan terjadi penghematan pengeluaran uang sebesar 32% setiap bulannya. Realisasi program pengalihan minyak tanah ke LPG tahun 2007 hingga 2008 (4 November 2008) untuk wilayah Jabodetabek, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali sudah mencapai 14.443.832 kepala keluarga, usaha mikro 614.703 dengan volume LPG 449.748 MT (metrik ton). Hingga akhir 2008 diproyeksikan 20 juta KK (kepala keluarga) degan volume LPG 1.144.020 MT. Sedangkan 2009 proyeksi konversi untuk 18.044.211 KK dengan volume LPG 1.600.000 MT (Migas, 2008).
Selain hal tersebut di atas, konversi gas
85 ikutan menjadi LPG juga akan mengurangi pencemaran lingkungan akibat dari pembakaran tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang peluang pemanfaatan gas ikutan tersebut dan kelayakan ekonomi serta kelayakan
secara
lingkungan,
sekaligus
menjajaki
kemungkinan
sistem
pengolahan gas ikutan dan potensi pemanfaatannya, mengingat gas ikutan ini sangat melimpah pada setiap lapangan minyak, seperti di PT. SDK.
5.2.
Metode Analisis Kondisi dan Sistem Pengolahan Gas Ikutan dan Potensi Pemanfaatannya Untuk merancang kondisi sistem pengolahan gas ikutan dan potensi
pemanfaatannya penelitian ini menggunakan metode deksriptif. Analisis deskriptif dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran awal tentang objek penelitian secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang menjadi objek penelitian.
Sasaran analisis
deskriptif yaitu status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir, 1999).
Selain untuk tujuan di atas hasil analisis ini juga akan memberikan
gambaran perkiraan kriteria dan indikator yang digunakan untuk menentukan model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih. Untuk mendukung metode analisis deskriptif ini, terlebih dahulu dilakukan pengumpulan data-data sekunder yang berkaitan dengan topik yang dikaji. Pengumpulan data dilakukan melalui pendekatan triangulasi yang merupakan suatu pendekatan dengan memanfaatkan beberapa macam teknik pengumpulan data yang antara lain kegiatan studi pustaka terhadap hasil-hasil kajian terdahulu, yang dilanjutkan dengan pengamatan (observasi) langsung di wilayah studi, dan wawancara dengan masyarakat setempat. 5.3.
Hasil dan Pembahasan Studi Kondisi Sistem Pengolahan Gas Ikutan, dan Potensi Pemafaatannya
5.3.1. Kondisi Sistem Pengolahan Gas Ikutan a. Sejarah dan Profil Cadangan Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Sejarah migas di daerah operasi hulu (DOH) Jawa Bagian Barat (JBB) diawali dengan eksplorasi minyak pertama oleh Jan Reering dan Van Hoevel di Desa Cibodas, Kecamatan Maja, Majalengka, Jawa Barat sekitar tahun 1817.
86 Disusul kemudian dengan pemboran ekplorasi di daerah Indramayu, Karawang dan Majalengka yang dilakukan pada rentang waktu 1932 – 1941. Sejak tahun 1970, migas mulai kembali diekploitasi oleh PERTAMINA melalui pengeboran sejumlah sumur. Setelah melalui pemboran ratusan sumur, daerah-daerah yang berhasil memproduksi adalah Jatibarang, Cemara, Kandanghaur Barat dan Timur, Tugu Barat, dan Lepas Pantai. Lalu pada tahun 1980 PERTAMINA mendirikan Kilang Minyak Balongan yang berlaku juga sebagai terminal untuk menyalurkan bahan bakar minyak (BBM). Kilang ini dibangun pada tahun 1990 dan mulai beroperasi pada tahun 1994. Daerah operasi
Explorasi Produksi (EP) yang kini
bernama PT.
Pertamina EP Region Jawa Bagian Barat ini termasuk Daerah Operasi Hulu besar yang dimiliki PT. PERTAMINA (Persero). Produksi tertinggi daerah ini terjadi
pada tahun 1973-1994 mampu mencapai 28.000 barrel oil per day
(BOPD). Pada tahun 2000, produksi mengalami penurunan hingga menyentuh angka 7.000 – 7.500 BOPD. Pada tahun 2001 PT. Pertamina EP Region Jawa Bagian Barat mampu meningkatkan produksi minyak sebesar 14.294 BOPD dan gas 404.8 MMSCFD. Melalui pengelolaan PERTAMINA Unit Pengolahan (UP) VI Balongan, produksi kilang BBM ini memiliki kapasitas 125.000 BPSD (barrel per stream day) dengan keseluruhan produksi disalurkan untuk DKI Jakarta. Sedangkan produksi gas atau LPG yang dikelola Kilang LPG Mundu VI dengan kapasitas 37,3 MMSCFD (juta kaki kubik per hari) di Kecamatan Karangampel, disalurkan untuk Jawa Barat dan DKI Jakarta. Berdasarkan data yang diperoleh, menunjukkan terjadinya peningkatan produksi minyak dan kondensat serta gas sejak tahun 1992 sampai dengan tahun 2001 dari cadangan yang tersedia di Lapangan Tugu Barat C (Dinas Petambangan dan Energi Jawa Barat, 2002). Dari IOIP telah ditetapkan yaitu sebesar 8.175,90 dan cadangan terambil sebesar 3.147,70 MSTB per tahun, memperlihatkan peningkatan produksi dari 68,67 MSTB pada tahun 1992 naik menjadi 149,80 MSTB pada tahun 2001 dengan produksi kumulatif sebesar 68,47 MSTB pada tahun 1991 menjadi 1.152,75 pada tahun 2001. Sementara sisa cadangan dari 3.079,23 MSTB pada tahun 1992 mengalami penurunan menjadi 1.362,85 MSTB pada tahun 2001. Sedangkan untuk gas, dari IGIP sebesar 37,44 BSCF dan cadangan terambil sebesar 28,46 BSCF per tahun, memperlihatkan peningkatan produksi pertahun yaitu dari 0,07 BSCF pada tahun 1992 mengalami peningkatan sampai pada tahun 1998 sebesar 1,48 BSCF dan
87 selanjutnya menurun pada tahun 1999 dan 2000 yaitu menjadi 0,83 dan 0,41 BSCF. Adapun profil cadangan dan sejarah minyak dan kondensat di Lapangan Produksi Tugu Barat secara rinci disajikan pada Tabel 8. Produksi minyak dan gas di Lapangan Pasir Catang, memperlihatkan hal yang sama dengan di Lapangan Tugu Barat C yaitu terjadi fluktuasi peningkatan produksi dengan bertambahnya waktu ekploitasi. Tabel 8 memperlihatkan ratarata IOIP, cadangan terambil, produksi dan produksi kumulatif per tahun. Ratarata IOIP di Lapangan Pasir Catang sebesar 26.273,90 MSTB dan cadangan terambil untuk minyak dan kondensatnya sebesar 10.115,40 MSTB. Sedangkan produksi minyak dan kondensat mengalami penurunan secara tajam dari 48,98 MSTB pada tahun 1996
menjadi 3,42 MSTB pada tahun 1999, namun
selanjutnya mengalami peningkatan pada tahun 2000 menjadi 26,60 MSTB dan menurun lagi pada tahun 2001 menjadi 18,00 MSTB. Fenomena ini mencerminkan bahwa kegiatan produksi minyak dan kondensatnya di Lapangan Pasir Catang sangat tergantung pada deposit yang tersedia di ladang minyak tersebut. Namun jika dilihat dari produksi kumulatif, terlihat adanya peningkatan produksi setiap tahun. Pada tahun 1996, produksi kumulatif minyak dan kondensat sebesar 48,98 MSTB dan terus meningkat menjadi 160,90 MSTB pada tahun 2001. Untuk produksi gas, dengan jumlah IGIP dan cadangan terambil rata-rata sebesar 81,59 dan 61,79 BSCF, memperlihatkan produksi yang berfluktuasi. Sebagai contoh pada tahun 1996 produksinya sebesar 0,54 BSCF namun nilai ini terus mengalami kenaikan hingga tahun 1998 yang jumlahnya mencapai 1,27 BSCF, kemudian menurun lagi pada tahun 1999 menjadi 0,64 BSCF dan selanjutnya mengalami peningkatan lagi pada tahun 2000 menjadi 1,17 BSCF. Sementara produksi kumulatifnya mengalami peningkatan dan sisa cadangan mengalami penurunan. Pada tahun 1996, produksi kumulatif gas di lapangan Pasir Catang 0,54 BSCF dan meningkat menjadi 5,31 BSCF pada tahun 2000, sementara sisa cadangan menurun dari 61,25 BSCF menjadi 56,66 BSCF tahun 2000.
Adapun profil cadangan dan sejarah gas di Lapangan Produksi Pasir
Catang secara rinci di sajikan pada Tabel 9.
Tabel 8. Sejarah produksi dan profil cadangan minyak dan gas di Lapangan Tugu Barat
Minyak + Kondensat Gas Cadangan Produksi Produksi Sisa IGIP Cadangan Produksi Produksi Sisa Tahun IOIP Terambil Pertahun Kumulatif Cadangan Terambil Pertahun Kumulatif Cadangan MSTB MSTB MSTB MSTB BSCF BSCF BSCF BSCF BSCF LAPANGAN TUGU BARAT C 1992
8,175.90 3,147.70
68.47
68.47
3,079.23
37.44
28.46
0.07
0.07
28.39
1993
8,175.90 3,147.70
127.24
195.71
2,951.99
37.44
28.46
0.10
0.17
28.29
1994
8,175.90 3,147.70
106.69
302.40
2,845.30
37.44
28.46
0.12
0.29
28.17
1995
8,175.90 3,147.70
148.88
451.28
2,696.42
37.44
28.46
0.20
0.49
27.97
1996
8,175.90 3,147.70
187.62
638.90
2,508.80
37.44
28.46
1.20
1.69
26.77
1997
8,175.90 3,147.70
91.00
729.90
2,417.80
37.44
28.46
2.09
3.78
24.68
1998
8,175.90 3,147.70
49.00
778.90
2,368.80
37.44
28.46
1.48
5.26
23.20
1999
8,175.90 3,147.70
98.65
877.55
2,270.15
37.44
28.46
0.83
6.09
22.37
2000
8,175.90 3,147.70
125.40
1,002.95
2,144.75
37.44
28.46
0.41
6.50
21.96
8,175.90 2,515.60
149.80
1,152.75
1,362.85
2001
Sumber : Distamben dan LPPM ITB, 2003.
88
Tabel 9. Sejarah produksi dan profil cadangan minyak dan gas di Lapangan Pasir Catang Minyak + Kondensat Cadangan Tahun
IOIP
Terambil MSTB
Produksi
Produksi
Gas Sisa
IGIP
Pertahun Kumulatif Cadangan MSTB
MSTB
Cadangan Terambil
Produksi
Produksi
Sisa
Pertahun Kumulatif Cadangan
MSTB
BSCF
BSCF
BSCF
BSCF
BSCF
LAPANGAN PASIR CATANG
1996
26,273.90 10,115.40
48.98
48.98
10,066.42
81.59
61.79
0.54
0.54
61.25
1997
26,273.90 10,115.40
44.00
92.98
10,022.42
81.59
61.79
1.51
2.05
59.74
1998
26,273.90 10,115.40
19.90
112.88
10,002.52
81.59
61.79
1.27
3.32
58.47
1999
26,273.90 10,115.40
3.42
116.30
9,999.10
81.59
61.79
0.64
3.96
57.83
2000
26,273.90 10,115.40
26.60
142.90
9,972.50
81.59
61.79
1.17
5.13
56.66
2001
4,365.50
18.00
160.90
1,295.50
1,456.40
Sumber : Distamben dan LPPM ITB, 2003.
89
90 b. Kondisi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat Industri migas di Lapangan Tugu Barat Kabupaten Indramayu dikelola oleh PT. PERTAMINA E&P Region Jawa. Industri ini termasuk dalam wilayah Desa Amis, Kecamatan Cikedung, Jawa Barat. Industri dibangun pada tahun 1979 di atas tanah seluas 920,328 ha dengan tipe lapangan termasuk lahan darat. Cadangan minyak dan kondensatnya sekitar 43.423 milyar barrel dan cadangan yang sudah dieksploitansi mencapai 12.485,50 milyar barrel. Selain minyak dan kondensatnya, di Lapangan Tugu Barat juga dihasilkan gas ikutan yang selama ini langsung dibuang ke lingkungan atau langsung dibakar karena dianggap tidak bernilai ekonomis. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa cadangan gas ikutan di lapangan Tugu Barat mencapai 35,7 BSCF (proven) ditambah 23,1 BSCF (probable). Cadangan gas ikutan tersebut selama ini belum dimanfaatkan untuk kepentingan komersial.
Dalam hal ini gas ikutan langsung dihilangkan dengan
cara dibakar. Kondisi ini sudah barang tentu akan sangat mengkhawatirkan mengingat gas ikutan yang dibakar dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, padahal gas ikutan masih dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan yakni dapat diolah menjadi LPG, kondensat, lean gas atau sekedar dimanfaatkan karbon dioksidanya (CO2) guna berbagai keperluan seperti untuk keperluan industri minuman ringan. Gas ikutan yang tidak dimanfaatkan, namun dihilangkan dengan cara dibakar juga akan menjadi masalah tersendiri. Dalam hal ini gas ikutan yang terbuang ke lingkungan akan mencemari lingkungan karena di dalam gas ikutan yang diperoleh dari industri migas manapun di dalamnya terkandung gas rumah kaca seperti CO2, gas metan, nitogen oksida, dsb. Kondisi ini akan sangat merugikan karena adanya CO2, gas nitrogen merupakan bahan pencemar udara yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran udara dan terjadinya hujan asam. Selain itu CO2, nitrogen dan metan juga merupakan gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global.
Kondisi
yang sama juga akan terjadi manakala gas ikutan tersebut dihilangkan dengan cara dibakar, karena pada pembakaran akan dihasilkan gas rumah kaca yang didominasi oleh karbon dioksida. Hal ini sesuai dengan pendapat Murdiyarso (2003) yang mengatakan bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O) dan uap air (H2O) dapat mengakibatkan terjadinya perubahan fisik atmosfer bumi (suhu, kelembaban,
91 angin, distribusi curah hujan) dimana dalam jangka waktu yang relatif panjang (50-100 tahun) dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Berdasarkan hasil analisis terhadap gas ikutan yang terdapat di lokasi penelitian memperlihatkan bahwa pada gas ikutan yang dihasilkan di Lapangan Tugu Barat terdapat CO2 yang jumlahnya mencapai 40%.
Kondisi ini
memperlihatkan bahwa pada gas ikutan terdapat gas rumah kaca dalam jumlah yang cukup tinggi, sehingga jika gas ikutan ini langsung dibuang ke lingkungan akan semakin meningkatkan GRK karena konsentrasi gas CO2, nitrogen dan metan yang semakin meningkat di atmosfir akan semakin memperburuk kondisi lingkungan. Hal ini disebabkan CO2 dan gas-gas rumah kaca (GRK) lainnya akan mengakibatkan sebagian radiasi infra merah ditahan di lapisan atmofer. Pada kondisi alami proses tersebut akan sangat baik karena GRK akan menjaga suhu bumi tetap hangat (efek tumah kaca atau green house effect), sehingga menjadi nyaman bagi kehidupan di bumi.
Namun untuk saat ini
dengan alam semakin terdegradasi akibat dari banyaknya kehilangan hutan sebagai akibat penebangan yang tidak bertanggung jawab serta tingginya konversi lahan menjadi bangunan, akan mengakibatkan bumi semakin panas. Hal ini sesuai dengan pendapat Folay (1993) yang mengatakan bahwa akumulasi GRK di atmosfer akan mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu atmofer bumi, dan selanjutnya dapat dikatakan bahwa peningkatan suhu global mencapai 0.5 oC. Walaupun hingga saat ini belum ditemukan literatur yang menyebutkan secara spesifik tentang sumbangan GRK atau besarnya peningkatan GRK akibat pembuangan ataupun pembakaran gas ikutan yang dihasilkan dari industri migas, namun perhitungannya dapat dilakukan dengan menggunakan formula dari Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories (IPCC, 2006) seperti berikut. Dengan mengetahui produksi minyak 500 barrel perhari dan produksi gas ikutan 11 mmscf perhari yang ada di Lapangan Tugu Barat, maka pada produksi minyak di Lapangan Tugu Barat yang koefisien emisi dari pemakaian energi dalam ton/TJ 71,77 dan koefisien gas 56,1 (IPCC,
2006), maka CO2
yang akan dihasilkan dari produksi minyak dan dari gas ikutan adalah sebagai berikut. 1. Minyak = 500 barrel perhari Î berapa TJ (terra Joule) ? Konstanta = 0.00573534246575343Jadi 500 x 0.00573534246575343 = 2.867671232876715 x koefisien emisi (71,77) = 205,97 ton perhari.
92 2. Gas ikutan = 11 mmscf/d (perhari) Æ berapa TJ (terra joule) ? Konstanta = 1.03006750720118 Jadi 11 x 1.03006750720118 = 11.33074257921298 x koefisien emisi (56,1) = 635,613 ton perhari 3. Total CO2 di Lapangan Tugu Barat 205,97 + 635,613 = 841,583 ton/hari (40%) Sedangkan kandungan gas metane (CH4) per hari dan nitogen yang akan dikeluarkan dari gas ikutan yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat adalah sebagai berikut. •
Jumlah CH4 pada gas ikutan = (50 %) x 2103,9575 = 1051,97 ton perhari
•
Jumlah N2 pada gas ikutan = (1,94 %) x 2103,9575 = 40,8167 ton perhari Berdasarkan hitungan tersebut terlihat bahwa Lapangan Tugu Barat akan
menyumbang CO2 841,583 ton/hari dan 635,613 ton diantaranya berasal dari gas ikutan, maka jika gas ikutan dari Lapangan Tugu Barat dibuang langsung atau dibakar, setiap harinya akan menyumbangkan CO2
635,613 ton/hari.
Sebuah angka yang fantastik untuk mempercepat terjadinya hujan asam (acid rain) dan pemanasan global (global warming). Hal yang sama juga terjadi pada gas metane (CH4), dalam hal ini jika gas ikutan langsung dibuang ke lingkungan akan dihasilkan 1051,97 ton perhari.
Kondisi ini akan sangat mengkhawatirkan, karena menurut Killeen
(1996) GRK tidak hanya berhenti pada terjadinya pemanasan global semata, namun juga akan dapat merubah siklus air global, sehingga menyebabkan perubahan pola presipitasi global yang tidak merata.
Dalam hal ini pada
daerah-daerah tertentu akan mendapat intensitas hujan yang meningkat, sedangkan di daerah lainnya intensitas hujan akan menurun.
Kondisi ini
selanjutnya akan merubah pola sumber daya air, mempengaruhi ekosistem, bahkan menurut Parmesan (2000) dan Pounds (2000) akan dapat menurunkan keanekaragaman hayati. Kandungan nitrogen yang terdapat pada gas ikutan dan akan dilepaskan ke atmosfir adalah 40,8167 ton perhari.
Kondisi ini sangat membahayakan
karena menurut Koestoer (1990) pencemar SOx dan NOx dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan tanaman dalam bentuk partikel (deposisi kering). Selanjutnya dikatakan bahwa nitrogen yang terdapat di udara juga dapat terjadi dalam bentuk hujan asam (deposisi basah).
Terjadinya hujan asam dapat
93 membahayakan terhadap berbagai hal, seperti terhadap tanaman yang terjadi melalui tanah, terutama hujan asam yang berlangsung dalam waktu yang lama, sehingga kapasitas penyangga tanah tidak dapat menahan turunnya pH tanah. Selain itu adanya hujan asam akan mengakibatkan tercucinya kation-kation di dalam tanah yang sebenarnya sangat berguna untuk pertumbuhan, sehingga tanah akan kekurangan hara yang diperlukan oleh tanaman (Kennedy, 1992). Selain itu adanya hujan asam juga akan mengakibatkan cepat rusaknya berbagai bangunan (Saeni, 1989) Mengingat gas ikutan yang tidak dimanfaatkan akan menimbulkan masalah pada lingkungan yang mengakibatkan pemanasan global, pencemaran lingkungan dan dapat mengakibatkan terjadinya hujan asam, maka perusahaan migas seperti PT SDK harus berupaya untuk melakukan proses produksi bersih (nirlimbah) dengan cara meminimalkan atau bahkan memanfaatkan gas ikutan tersebut untuk bahan baku produksi dan menjadikan hasil produk yang bersifat lebih komersial.
Strategi minimisasi limbah melalui produksi bersih ini, pada
dasarnya mempunyai arti yang sangat luas karena di dalamnya termasuk upaya pencegahan pencemaran melalui pemilihan bahan baku yang murah dan aman, jenis proses yang ramah lingkungan, analisis daur hidup serta teknologi akrab lingkungan (Surna, 2001). Dalam keadaan ini, strategi yang dilakukan oleh PT SDK adalah minimalisasi limbah melalui pemanfaatan gas ikutan menjadi barang yang bernilai ekonomis. Adanya pemanfaatan gas ikutan untuk dijadikan barang
yang
bernilai
ekonomis
ini
sudah
barang
tentu
akan
sangat
menguntungkan, baik ditinjau dari sisi ekonomi maupun ditinjau dari aspek lingkungan.
Dalam hal ini perusahaan akan mendapatkan keuntungan
tambahan, di lain pihak juga akan meminimalkan terjadinya perubahan iklim global (global climate change) akibat kegiatan pembuangan gas ikutan (venting of associated gas) di perusahaan migas. Selain itu adanya pemanfaatan gas ikutan juga akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya dan dapat meminimalisasi kerusakan lingkungan (KLH,
2003).
Hal ini sesuai dengan
pernyataan Allenby (1999) yang mengatakan bahwa industri yang tidak memperhatikan aspek lingkungan pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Dalam melakukan komersialisasi terhadap suatu bahan, sudah barang tentu tidak hanya sekedar melihat ada atau tidaknya barang yang akan dikomersialkan tersebut. Salah satu hal yang harus diperhatikan adalah potensi
94 dari gas ikutan yang dikenal dengan istilah cadangan (reserve) gas ikutan pada industri migas.
Berdasarkan data sekunder didapatkan informasi bahwa
cadangan gas ikutan di lapangan Tugu Barat mencapai 35,7 BSCF (proven) ditambah 23,1 BSCF (probable). Melihat jumlah tersebut, maka gas ikutan di Lapangan Tugu Barat sangat berpotensi untuk dikomersialkan. Berdasarkan hasil wawancara di lokasi penelitian juga diperoleh hasil bahwa kapasitas gas ikutan yang nantinya dapat menjadi gas pasokan di Stasiun Pengumpul Tugu Barat jumlahnya mencapai 4.5 MMSCFD dan dapat ditingkatkan menjadi 11 MMSCFD. Menurut beberapa literatur gas ikutan ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Mengingat konsentrasi CO2 pada gas ikutan di Lapangan Tugu Barat jumlahnya mencapai 40%, maka CO2 yang terdapat pada gas ikutan dapat dipisahkan untuk selanjutnya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, diantaranya untuk minuman ringan. Selain itu gas ikutan juga dapat dimanfaatkan untuk diproses kembali menjadi produk sampingan (tambahan) industri migas seperti LPG, kondensat dan lean gas.
Adapun
ilustrasi rencana pemanfaatan gas ikutan untuk saat ini dan di masa yang akan datang diilustrasikan pada Gambar 26.
KILANG MINI LPG TUGU BARAT CO2 4.5 MMSCFD
AMINE UNIT KOMPRESSOR 1 unit @ 1200 hp
LPG PLANT
REFRIGERATION & GLYCOL SYSTEM
LPG KONDENSAT LEAN GAS
70% Sales
30% Own use
NEW INVESTMENT Gas From Tugu Barat Complex (NEW) 6.5 MMSCFD
SWEET GAS 5 MMSCFD
AMINE UNIT KOMPRESSOR 2 unit @ 1400 hp
Gambar 29.
Rencana pemanfaatan gas ikutan untuk saat ini dan di masa yang akan datang
95 Rencana pemanfaatan gas ikutan pada saat ini bisa dimulai dengan memanfaatkan gas ikutan yang berasal dari Lapangan Tugu Barat, yang mempunyai pasokan sebanyak 4,5 MMSCFD.
Namun demikian pada masa
yang akan datang pasokannya dapat ditingkatkan lagi, karena pasokan gas ikutannya dapat diperbanyak bukan hanya dari Lapangan Tugu Barat, namun bisa ditambah dengan pasokan gas ikutan yang berasal dari sumur Pasir Catang dan beberapa sumur lain yang ada di Tugu Barat Kompleks. Adanya tambahan pasokan ini diperkirakan dapat meningkatkan total pasokan gas ikutan ke fasilitas ini menjadi kurang lebih sebesar 6.5 MMSCFD. Dengan demikian maka adanya upaya pemanfaatan gas ikutan seperti yang direncanakan tersebut di atas, akan dapat menambah pasokan gas ikutan ke Kilang LPG Tugu Barat, sehingga akan dapat meningkatkan hasil produksinya, dan meningkatkan nilai ekonomisnya. Karakteristik gas ikutan yang dihasilkan dari setiap lokasi bersifat spesifik (site specific). Dalam hal ini gas ikutan yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat Kompleks mengandung gas CO2 dengan jumlah yang mencapai 40%. Kondisi ini sudah barang tentu akan sangat merugikan karena akan menurunkan tekanan gas ikutan. Atau dengan kata lain adanya CO2 akan mengganggu. Untuk itu maka gas CO2 yang terdapat pada gas ikutan harus dipisahkan dari gas lainnya. Untuk itu, dalam rangka pengembangan pengolahan gas ikutan pada masa yang akan datang. CO2 yang kandungannya mencapai 40% akan dipisahkan. Mengingat CO2 merupakan gas rumah kaca yang banyak ditakuti berbagai kalangan karena dapat meningkatkan pemanasan global (IPCC, 2005) maka gas CO2 yang sudah dipisahkan tidak mungkin langsung dibuang ke lingkungan, karena CO2 tersebut dapat semakin mempercepat terjadinya kenaikan panas bumi (Syahrial dan Bioletty, 2007). Hal ini sesuai dengan pendapat Panjiwibowo et al. (2003) yang mengatakan bahwa gas-gas yang mampu menghasilkan efek rumah kaca diantaranya adalah karbondioksida (CO2), nitroksida (N2O), methana
(CH4),
sulfurheksafluorida
(SF6),
perflurokarbon
(PFC)
dan
hidrofluorokarbon (HFC). Untuk itu maka gas CO2 yang sudah ditangkap ini harus disimpan atau dimanfaatkan untuk keperluan lain, dan akan jauh lebih baik bisa dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, sehingga bisa mendatangkan nilai ekonomi. Selanjutnya rencana masa yang akan datang ini disebut sebagai Amine Unite.
96
c.1. Block Diagram Proses pada Amine Unit Pada penelitian ini dibuat rancangan Amine Unite, dalam rangka mengantisipasi gas ikutan yang jumlahnya akan semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya eksploitasi dan kebutuhan masyarakat nasional dan lokal terhadap gas. Berdasarkan perkiraan potensi yang ada dan kebutuhan di masa yang akan datang, diperkirakan gas ikutan yang berasal dari stasiun pengumpul Tugu Barat Complex sebesar 6.5 MMSCFD dengan tekanan 5 psig, hendaknya dapat dikirim melalui pipa berdiameter 4” ke stasiun pengumpul Tugu Barat. Namun untuk keperluan ini, dalam rangka menghindari rendahnya tekanan akibat adanya karbondioksida sebelum masuk ke sistem Amine Unit, tekanannya sebaiknya dinaikkan dulu menjadi 450 psig, setelah tekanannya naik, baru masuk ke sistem Amine Unit Tugu Barat. Mengingat CO2 merupakan GRK (IPCC, 2005), maka gas CO2 diupayakan untuk dimanfaatkan (dikomersialkan). Untuk itu pada sistem ini, CO2 yang telah dipisahkan hendaknya dapat dialirkan ke CO2 Plant perusahaan yang nantinya bertindak sebagai pembeli.
Setelah gas CO2 nya dipisahkan,
selanjutnya gas sisanya dialirkan ke LPG Plant Tugu Barat, untuk kemudian diproses menjadi lean gas, LPG dan Kondensat. Berdasarkan literatur yang ada maka perencanaan proses yang dapat dilakukan di block diagram diilustrasikan pada Gambar 30 di bawah ini.
CO2 To CO2 Plant Feed Gas from ; Tugu Barat Complex
EXISTING FACILITY Sweet
PRODUCT : -LPG -LEAN GAS -KONDENSAT
KOMPRESOR
AMINE PLANT
LPG PLANT
AMINE PLANT (EXISTING)
Gambar 30. Proses block diagram pada amine unit di Lapangan Tugu Barat
97
c.2. Deskripsi Proses Amine Unit System Berdasarkan hasil analisis dan pengamatan didapatkan hasil bahwa gas ikutan (flare gas) yang ada di Lapangan Tugu Barat komplek berasal dari beberapa stasiun pengumpul di Tugu Barat dan Pasir Catang dengan kandungan CO2 sekitar 40 %. Menginat tingginya kandungan karbondioksida pada gas ikutan yang berasal dari Lapangan Tugu Barat, maka jika gas ikutan tersebut akan dimanfaatkan, CO2 harus dipisahkan terlebih dahulu. Hal ini disebabkan gas ikutan yang di dalamnya mengandung CO2 dalam jumlah yang cukup tinggi akan memiliki tekanan yang rendah, begitupun dengan kalori yang dikandungnya. Dalam hal ini gas ikutan dari Lapangan Tugu Barat yang mengadung 40% CO2 hanya akan memiliki kalori 750 Btu per satu kaki kubik (BTU/SCF).
Kondisi
tersebut akan menyebabkan gas ikutan tidak dapat dijual atau dimanfaatkan secara langsung. Seperti telah dijelaskan di depan bahwa pada masa yang akan datang jumlah gas ikutan akan meningkat sesuai dengan semakin meningkatnya kebutuhan dalam dan luar negeri yang berimbas pada semakin meningkatnya eksploitasi. Mengingat gas ikutan yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat mengandung karbon dioksida hingga 40%, maka material tersebut harus dipisahkan. Dalam melakukan pemisahan karbon dioksida ini ada dua proses yang dapat dilakukan yakni melalui kompresi gas inlet dan melalui sistem amine. Adapun kedua cara tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut 1). Kompresi Gas Inlet Pada kompresor gas inlet dapat didisain sedemikian rupa misalnya dibuat menjadi 3 stage (tahap) dan didesign sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan tekanan gas dari 5 psig menjadi 450 psig secara bertahap. Adapun cara-cara yang dapat dilakukan di sini adalah: •
Gas umpan masuk ke suction scrubber stage 1, pada tahap ini cairan dipisahkan dan dikirim ke slop tank. Dari scrubber ini gas dialirkan ke silinder kompresor stage 1 sehingga tekanan gas akan di tingkatkan dari 5 psig akan menjadi 45 psig, dan selanjutnya dialirkan ke suction scrubber stage 2. Di dalam scrubber
gas dan liquid yang terbentuk dipisahkan sebelum gas
mengalir kesilinder kompresor stage 2. •
Di kompresor stage 2 gas dinaikan kembali tekanannya dari bahanya 45 psig seperti di sebut di atas ke 150 psig. Selanjutnya gas dialirkan ke interstage
98 cooler 2, pada interstage ini gas harus didinginkan menjadi 100 – 120ºF dan selanjutnya dialirkan ke suction scrubber stage 3. Di dalam scrubber akan terpisah gas dan cairan. Selanjutnya gas dan cairan ini dipisahkan terlebih dahulu, untuk kemudian dialirkan ke silinder kompresor stage 3, pada stage ini gas akan meningkat tekanannya menjadi 450 psig. •
Selanjutnya gas tersebut harus didinginkan kembali.
Pendinginan gas ini
dapat dilakukan di after cooler sehingga sebelum masuk ke inlet separator di amine plant, temperaturnya turun menjadi 1000-120ºF. Gas yang berasal dari deethanizer reflux accumulator selanjutnya dinaikan kembali tekanannya hingga menjadi 450 psig dengan cara gas tersebut dimasukkan ke inlet dari suction scrubber stage 3. Untuk lebih jelasnya rancangan process flow diagram – MDEA sweetening unit yang dapat dijadikan acuan untuk hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 31 sedangkan untuk rancangan Piping & instrumentation diagram (P&ID) amine unit
99
99
Gambar 31. Rancangan PFD - process flow diagram – MDEA sweetening unit
100
Gambar 32. Rancangan piping & instrumentation diagram (P&ID) amine unit
100
101
1st stage Suction
2nd stage
3rd stage Discharge
Gambar 33. Tahapan gas kompresi inlet
dapat diilustrasikan pada Gambar 32.
Adapun rencana tahapan proses
pemisahaan gas CO2 dilakukan melalui proses kompresi inlet, dengan rencana tahapan penulis gambarkan secara skematis pada Gambar 33. 2). Sistem Amine Pada sistem amine, rancangan yang dapat dikemukakan di sini adalah sebagai berikut. Gas dari kompresor gas inlet terlebih dahulu dimasukan ke skid amine dan dialirkan ke bagian bawah dari amine absorber (T-110). Bagian bawah dari amine absorber ini akan didisain sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk memisahkan cairan hidrokarbon atau air dari aliran gas. Untuk mendapatkan level cairan yang tepat, maka level cairan di bagian bawah amine absorber akan dikontrol oleh LC-111, dan pengontrolan ini akan mendapat signal dari LT-111 yang diletakkan di bagian bawah absorber. Pada rancangan ini hal yang penting dan perlu untuk diperhatikan adalah mencegah agar cairan tidak mengalir ke bagian atas amine absorber, karena kondisi ini dikhawatirkan dapat menyebabkan terjadinya foaming.
Foaming ini dapat terjadi karena adanya
cairan asing yang tercampur dengan larutan MDEA seperti lube oil, corrosion inhibitor, hidrokarbon berat dan bahan-bahan kimia yang digunakan disumursumur gas. Gas yang telah bebas dari cairan selanjutnya dialirkan dari bagian bawah absorber ke bagian atas melalui pipa yang menghubungi bagian bawah dan atas
102 absorber. Bagian atas dari absorber ini hendaknya terdiri dari 20 tray nutter dan spacing 24”.
Gas selanjutnya dialirkan ke atas melalui tray sedang larutan
MDEA mengalir ke bawah. Larutan MDEA ini selanjutnya akan mengabsopsi gas karbondioksida (CO2).
Selanjutnya larutan rich amine (larutan yang
mengandung CO2) akan keluar dari bagian bawah absorber melalui LCV-110. Level transmitter LT-110 selanjutnya akan memberikan signal ke level control. Vessel ini akan didisain mempunyai waktu tinggal 5 menit bagi amine sehingga akan terjadi pemisahan gas dari larutan amine. Gas yang mengalir dari bagian atas absorber, selanjutnya akan bergabung dengan cairan yang dikeluarkan dari bagian bawah absorber dan selanjutnya akan dialirkan ke inlet separator.
Larutan rich amine selanjutnya
akan dialirkan ke lean rich exchanger E-170, dan larutan rich ini dipanaskan sampai 200ºF oleh larutan lean amine dari stripper atau dari pemanas kolom. Larutan rich amine selanjutnya akan dimasukkan ke bagian atas dari stripper (T210) dan dialirkan kembali ke bawah melalui 17 buah tray nutter yang mempunyai spacing 24”. Larutan rich amine ini selanjutnya akan dipanaskan oleh uap air yang dihasilkan oleh amine reboiler. Larutan amine dari bagian bawah stripper selanjutnya akan dipompakan ke skid amine heater tempat larutan amine dipanaskan menjadi 235ºF dan dialirkan kembali ke bagian bawah stripper.
Untuk keperluan tersebut akan
digunakan pompa P-190 dan P-200 (hot amine pump) dalam mensirkulasikan larutan amine menuju dan kembali ke amine heater. Laju alir yang melalui heater akan didisain untuk selalu mengalir sebanyak 300 gallon per menit dengan harapan agar dapat menjaga turbulensi di tube dan mengurangi korosi yang disebabkan oleh gas CO2 yang terlepas di heater.
Sebagian dari dischange
pompa booster ini, yakni sebanyak 300 gpm, akan dialirkan ke shell side dari lean/rich exchanger. Untuk keperluan tersebut, maka digunakan sebuah flow transmitter FT-190 yang terletak dischange dari pompa booster yang menuju ke amine heater. Flow trasmitter dan 2 control valve LCV-211 dan LCV-210 akan digunakan untuk tujuan menjaga flow yang melalui heater. LCV-210 akan diletakkan di pipa yang menuju heater, sedang LCV-211 diletakkan di pipa yang menuju ke lean/rich exchanger. Untuk itu aliran yang menuju ke heater harus selalu dijaga agar senantiasa tetap setiap saat. Pada rancangan ini dibuat agar pada saat signal tidak ada flow dari transmitter, maka controller fisher ROC akan
103 mematikan fuel gas yang menuju heater, sehingga dapat melindungi heater dari over heating dan terbakarnya larutan amine. Pada rancangan ini larutan rich amine yang masuk dari bagian atas stripper, diupayakan agar turun ke bawah melalui trays, dan selanjutnya diupayakan menjadi panas, sehingga gas CO2 akan dilepaskan dari larutan. Gas CO2 ini selanjutnya dialirkan ke bagian atas, dan akan keluar dari bagian atas stripper. Gas selanjutnya akan dialirkan ke stripper overhead condenser (AE23), dan pada bagian ini dirancang sedemikian rupa sehingga aliran ini sekaligus dapat mendinginkan gas menjadi 1000 - 110ºF dan selanjutnya akan terjadi kondensasi uap air. Pada rancangan ini selanjutnya campuran dari CO2 dan air dipompakan oleh P-250 atau P-240, sehingga dapat bergabung dengan larutan rich amine yang menuju stripper. Level dari stripper reflux condenser dirancang agar selalu dapat dikontrol oleh LC-220, dengan terlebih dahulu memperoleh signal dari LT-220 yang sengaja diletakkan di stripper reflux accumulator. Selanjutnya akan dirancang menjaga flow yang melalui pompa P-240/P-250, untuk keperluan itu, maka sebuah bypass line dari discharge pompa dialirkan kembali ke suction pompa, tempat line tersebut terpasang sebuah orifice. Selanjutnya gas CO2 yang mengalir dari stripper reflux accumulator ini akan selalu dijaga tekanannya pada kisaran 8 - 12 psig dengan menggunakan PCV220.
5.3.2. Potensi Pemanfaatan Gas Ikutan (Flare Gas) di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Berdasarkan hasil pengamatan selama di lapangan, pemanfaatan gas ikutan dan potensi yang dimiliki oleh Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat adalah sebagai berikut. a. Pemanfaatan Produksi Minyak dan Gas Lapangan Tugu Barat Komplek menghasilkan produk berupa minyak dan gas bumi, dengan perincian sebagai berikut: ¾ Minyak. Minyak yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat Komplek dimanfaatkan untuk keperluan Kilang (proses extraksi) Balongan dan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri, dengan cara dikirim ke Stasiun Pengumpul Utama (SPU) Tugu Barat melalui pipa trunk line (pipa
104 utama) bersama-sama minyak mentah hasil dari Lapangan Mundu, Blok Jatibarang. ¾ Gas alam (non associated), Gas alam yang dihasilkan dari Lapangan Tugu Barat Komplek digunakan untuk berbagai keperluan, yakni: 1. Untuk keperluan semburan buatan (gas lift) pada Lapangan Bongas Blok Jatibarang. 2. Untuk memasok Kilang Mundu untuk selanjutnya diproses (stripping) menjadi gas LPG. 3. Untuk memasok keperluan gas konsumen industri yakni memasok PT.PGN, Tbk Cabang Cirebon dan Pabrik Kapur Palimanan, Cirebon. ¾ Gas alam (associated), dimanfaatkan
melalui PT.SDK untuk bahan baku
(feed stock) pada proses mini LPG plant. b. Potensi Produksi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat Hingga saat ini gas ikutan merupakan gas yang keluar ke lingkungan dari reservoar
gas
bumi
pada
saat
dilakukan
produksi
gas,
dan
untuk
menghilangkannya biasanya dilakukan dengan cara membakar gas ikutan tersebut, seperti yang terlihat pada Gambar 31. Pada dasarnya pemanfaatan gas ikutan (flare gas) seperti yang dirancang di atas ini, akan sangat menguntungkan ditinjau dari berbagai aspek, karena dengan dimanfaatkannya gas ikutan ini akan dapat menambah pasokan gas alam (lean gas) dan menambah pasokan LPG dalam negeri, khususnya di Jawa Barat yang saat ini permintaan (demand) untuk berbagai keperluannya semakin meningkat.
Gas Ikutan (Flaring Gas ) yang akan di manfaatkan
Gambar 34. Gas ikutan (flaring) yang akan di manfaatkan oleh PT.SDK
105 Berdasarkan hasil perhitungan potensi gas ikutan (flare gas) yang ada di Lapangan Tugu Barat dan sekitarnya diperkirakan berjumlah 10 juta sampai 11 juta kaki kubik per hari (MMSCFD), dan hingga saat ini masih belum termanfaatkan. Pada saat dilakukan penelitian ini terindikasi bahwa potensi gas ikutan yang belum termanfaatkan tersebut mempunyai potensi yang sangat besar untuk dimanfaatkan karena Lapangan Tugu Barat dan sekitarnya mampu menyediakan gas ikutan yang nantinya dapat dijadikan sebagai bahan baku (feed stock) dalam jumlah 10 sampai dengan 11 MMSCFD untuk jangka waktu 10 tahun (2009 s/d 2019). Hal ini di dukung oleh hasil reservoir studi cadangan yang dilakukan oleh PT SDK yang memperlihatkan bahwa produksi cadangan gas ikutan diperkirakan lebih dari 11.5 MMSCFD, dan jumlah tersebut akan relatif konsisten untuk kurun waktu lebih dari 15 tahun (PT SDK, 2007). Hal ini sesuai dengan kajian yang dilakukan oleh PT.Pertamina EP Region Jawa, (2008) bahwa potensi gas ikutan mulai tahun 2005 hingga tahun 2015 di Lapangan Tugu Barat Komplek dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10.
Potensi produksi gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Kompleks (dalam MMSCFD) Kabupaten Indramayu
Lokasi TGB-A TGB-B TGB-C Tudung 2005 3,36 2,52 2006 3,19 1,95 3,50 2007 3,03 1,50 3,50 2008 2,90 1,16 3,50 2009 2,08 0,90 3,50 2010 1,20 0,70 3,50 2011 0,68 0,54 3,50 2012 0,60 0,43 3,50 2,90 2013 0,58 0,43 3,50 2,90 2014 0,58 0,43 3,50 2,90 2015 0,58 0,43 3,50 2,90 Keterangan : TGB-A = Lapangan Tugu Barat Komplek A TGB-B = Lapangan Tugu Barat Komplek B TGB-C = Lapangan Tugu Barat Komplek C TGB-D = Lapangan Tugu Barat Komplek D PCT = Lapangan Pasir Catang Tahun
TGB-D 1,50 1,50 1,50 1,50 1,50 1,60 1,60 1,60 1,60
PCT 1,86 1,47 4,73 4,49 4,25 4,04 3,82 2,52 2,50 2,49 2,49
Total 7,74 10,11 14,26 13,55 12,23 10,94 10,04 11,55 11,51 11,50 11,50
Sumber : PT.Pertamina EP Region Jawa, 2008 Selain dilihat dari jumlah seperti tersebut di atas, kondisi gas ikutan di Lapangan Tugu Barat juga dapat dilihat dari kecukupan cadangan gas tersebut, yang dapat dilihat dari nilai GOR (gas to oil ratio)-nya. Adapun nilai GOR ini
106 didapat berdasarkan volume gas ikutan yang terkandung dalam reservoir minyak, yang dihitung dengan perhitungan persamaan Darcy untuk aliran multi fasa, adapun cara menghitungnya volume gas (cubic feet) dibagi volume oil (barrel), sebagai berikut: Input gas = 11 mmscf -Æ berapa barrel oil equivalent (BOE)? = 11 x konstanta (179,6000000135) = 1975,6 barrel oil equivalent GOR
= 1975,6 / 500 = 3,95
Dalam hal ini jika nilai GOR lebih dari 1 mengandung arti bahwa nilai tersebut bagus, dalam arti cadangan gas tersebut cukup). Dari perhitungan GOR yang ada di Lapangan Tugu Barat seperti tersebut di atas, memperlihatkan bahwa nilai GOR Lapangan Tugu Barat adalah 3,95. Kondisi ini memperlihatkan bahwa cadangan gas yang terdapat di Lapangan Tugu Barat masuk pada kategori cukup.
Hal ini mengandung arti bahwa berdasarkan cadangan gas
tersebut, maka industri pengolahan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat mempunyai potensi yang baik untuk dilaksanakan dan dikembangkan, sehingga akan bermanfaat secara ekonomi karena gas ikutan akan diolah menjadi LPG dan CO2 yang bernilai ekonomis bahkan LPG-nya dapat mengganti minyak tanah yang subsidinya sangat tinggi. Pemanfaatan gas ikutan menjadi LPG juga akan mengurangi lepasnya GRK ke atmosfir dalam jumlah yang sangat banyak, yakni gas CO2 sebanyak 635,613 ton CO2 perhari dan lepasnya gas metan sebanyak 1051,97 ton perhari; serta akan mengurangi bahan pencemar udara berupa nitrogen sebanyak 40,8167 ton perhari. Pemanfaatan gas ikutan juga sekaligus dapat membuka lapangan
pekerjaan
baru,
sehingga
dapat
meningkatkan
kemakmuran
masyarakat. Mengingat cukup melimpahnya gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, sehingga sangat berpotensi untuk dimanfaatkan dalam rangka memaksimalkan produksi dan ekonomi sekaligus meminimalkan pencemaran lingkungan, maka PT.Pertamina harus berupaya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuannya (reasonable endavour) untuk menyalurkan gas kepada PT.SDK sebesar 11.5 mmscfd dengan komposisi apa adanya yang diproduksi dari Lapangan milik PERTAMINA di komplek Tugu Barat dan Pasir Catang. Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa Lapangan Tugu Barat mempunyai potensi yang tinggi dalam menghasilkan gas ikutan. Jika gas ikutan tersebut hanya hilang ke udara atau
107 dibakar seperti yang saat ini terjadi (Gambar 34), berpengaruh jiwa manusia pada dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (mengeksploitasi gas) akan mengakibatkan konsentrasi GRK di atmosfir mengalami penambahan yang signifikan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Murdiarso (2003) dan CCSP (2003), bahwa konsentrasi GRK selalu meningkat akibat pola hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karenanya dalam rangka mengurangi hal tersebut, maka lepas atau dibakarnya gas ikutan harus diminimalkan. Upaya pemanfaatan gas ikutan ini harus segera diwujudkan mengingat gas ikutan tidak hanya akan dihasilkan di Lapangan Tugu Barat, namun akan dihasilkan dari seluruh reservoar minyak dan gas bumi yang ada di seluruh Indonesia, bahkan di seluruh belahan bumi.
Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Hidayati (2001) yang mengatakan bahwa berdasarkan data historis rata-rata, suhu udara di Indonesia meningkat sebesar 0.30C per tahun sejak tahun 1900 dan telah mengakibatkan curah hujan berkurang 2 % hingga 3 % terutama pada bulan Desember – Februari. Sejalan pula dengan hasil penelitian Hidayati (1990); Rozari, Hidayati dan Manan (1992); Hidayati, Abdullah dan Suharsono (1999) yang mengatakan bahwa suhu di sebagian besar wilayah Indonesia terutama siang hari meningkat, namun curah hujannya tidak menunjukkan pola yang sama.
Berdasarkan hal tersebut, maka
dengan
banyaknya gas ikutan yang dibuang atau dibakar, dikuatirkan akan semakin mempertinggi perubahan suhu dan semakin menurunkan curah hujan.
Dan
berdasarkan pendugaan iklim dengan menggunakan model sistem iklim untuk menduga iklim dunia pada masa yang akan datang, yang merupakan model sirkulasi udara global GCMs (Global Circulation Models) yaitu : CCCM (Canadian Climate Cetre Model), GISS ( NASA’s Goddard Institute for Space Studies), GFDL (NOAA’s Geophysical Fluid Dynamics Laboratory) dan UKMO (United Kingdom Meteorological Office); diprediksi bahwa suhu global akan naik sebesar 2,80 hingga 5,20C dan presipitasi global akan naik sebesar 7 % hingga 16 % jika konsentrasi CO2 menjadi 2 kali lipat (Indonesian Country Study Team on Climate Change, 1998). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka gas ikutan yang jumlahnya banyak dengan kandungan CO2-nya yang bervariasi pada setiap lapangan minyak (Syahrial dan Bioletty, 2007), apalagi eksploitasi minyak dan gas bumi semakin meningkat;
harus segera dimanfaatkan dan dijadikan produk yang
108 bernilai ekonomis. Jika gas ikutan tersebut dapat dimanfaatkan kembali, maka perusahaan migas tersebut dapat dikatakan sudah melakukan produksi bersih atau sudah menciptakan mekanisme pembangunan bersih. Namun demikian karena sifatnya spesifik pada setiap lokasi, maka dalam pemanfaatannya, harus dilakukan teknologi yang spesifik sesuai dengan sifat gas ikutan di lokasi tersebut. c. Komposisi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat Pada dasarnya gas dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu feed gas, sweet gas, dan CO2. Berdasarkan hasil analisis terhadap komposisi pada ketiga jenis gas tersebut, ternyata ketiga gas tersebut memiliki komposisi yang berbeda antara jenis yang satu dengan yang lainnya.
Adapun komposisi ketiga gas
tersebut secara rinci disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Analisa komposisi gas di Lapangan Tugu Barat Kabupaten Indramayu Composition
Feed Gas (%)
CO2 Methane Ethane Propane i-Butane n-Butane i-Pentane n-Pentane n-Hexane n-Heptane n-Octane Nitrogen Water MDEA Temperature Pressure Mass Flow Std Vapor Volumetric Flow Sumber : Corelabs, 2007
F Psia lb/h MMSCFD
Process Streams Sweet Gas (%)
C02 (%)
39,73* 50,14* 3,69* 2,44* 0,45* 0,73* 0,21* 0,19* 0,49* 0,00* 0,00* 1,94* 0,00*
0,26 82,66 6,08 4,03 0,74 1,21 0,35 0,31 0,81 0,00 0,00 3,20 0,34
90,79 0,57 0,04 0,02 0,002 0,003 0,0005 0,0004 0,0012 0,00 0,00 0,0130 8,56
0,00*
8,33
5,16
110,00* 190,00* 21.161,80
120,49 507,00 8.722,15
119.,99 20,00 12.946,20
6,50*
3,92
2,83
109 Tabel 11 memperlihatkan bahwa gas ikutan baik yang masuk pada kategori feed gas maupun sweet gas mempunyai kandungan karbondioksida dan metan yang tinggi, padahal baik karbondioksida maupun gas metan merupakan gas rumah kaca yang jumlahnya paling dominan diantara gas rumah kaca lainnya yang dapat mengakibatkan munculnya efek rumah kaca (Abrahamson, 1989). Pada Tabel 12 juga terlihat bahwa kandungan CO2 pada feed gas kurang lebih 39,73%, pada sweet gas hanya 0,26%, dan pada gas karbon dioksida, kurang lebih 90,79%.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa jika feed gas akan
dimanfaatkan, maka karbondioksida yang terdapat pada feed gas tersebut harus dipisahkan terlebih dahulu, karena jika di dalamnya terdapat karbondioksida sejumlah itu, maka selain kalorinya menjadi rendah, juga akan mengakibatkan tekanan yang rendah, sehingga menyulitkan dalam mengkonversi feed gas tersebut. Namun demikian karbon dioksida tersebut masih dapat dimanfaatkan. Berbeda dengan pada feed gas, kandungan CO2 pada sweet gas sangat rendah, sehingga sweet gas dapat langsung diolah. Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa kandungan gas methane pada sweet gas lebih tinggi dari pada feed gas dan CO2 yaitu mencapai 82,66 % sedangkan feed gas dan CO2 hanya bernilai masing-masing 50,14 % dan 0,57 %. Hal yang sama ditunjukkan pada kandungan ethane, propane, i-butane, nnutane, i-pentane, n-pentane dan n-hexane lebih tinggi pada sweet gas dibandingkan dengan feed gas dan CO2. Kandungan n-heptane dan n-oktane tidak ditemukan baik pada feed gas, sweet gas dan CO2, demikian juga halnya dengan air dan MDEA tidak ditemukan pada feed gas sedangkan pada sweet gas dan CO2 terdapat air dan MDEA dengan komposisi masing-masing 0,34 % dan 8,33 % untuk sweet gas dan 8,56 % dan 5,16 % untuk CO2. Hasil analisis terhadap ketiga gas ini juga memperlihatkan adanya perbedaan temperatur. Sweet gas memiliki temperatur yang lebih tinggi yaitu sebesar 120,49 oF dibandingkan dengan feed gas dan CO2 dengan temperatur masing-masing sebesar 110,00 oF dan 119,00 oF, namun perbedaan temperatur ini tidak terlalu nyata. Selain adanya perbedaan temperatur, ketiga gas tersebut juga mempunyai perbedaan tekanan (pressure),
yaitu sweet gas memiliki
tekanan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan feed gas dan CO2. Tekanan pada sweet gas mencapai 507,00 Psia sedangkan pada feed gas dan CO2 hanya mencapai 190,00 Psia dan 20,00 Psia.
110 Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa baik proses streams feed gas, sweet gas dan CO2 terdapat gas nitrogen dengan konsentrasi berturut-turut 1,94%;
3,2% dan 0,0130%.
Hal ini juga perlu mendapatkan perhatian
mengingat CO2 dan nitrogen yang lepas ke atmosfir akan berubah menjadi NOx yang jika hujan akan berubah menjadi asam karbonat (H2CO3) dan nitogen akan berubah menjadi asam nitrat. Hal ini sesuai dengan pendapat Finley (2001) yang mengatakan bahwa hujan asam (acid rain) adalah turunnya derajat kemasaman (pH) air hujan karena terjadinya reaksi antara zat-zat pencemar dengan air di udara membentuk suatu komposisi baru di udara yang bersifat asam dan turun bersama air hujan, sehingga air hujan yang turun mempunyai nilai pH yang rendah. Air hujan pada kondisi normal mempunyai nilai pH 5,6. Hujan asam biasa terjadi di daerah industri yaitu merupakan efek dari pelepasan zat-zat pencemar SOx dan NOx ke udara dengan konsentrasi yang besar. Pengaruh hujan asam tidak selalu langsung mematikan tanaman (Anonim, 2003) d. Penyaluran dan Pemasaran Produksi Gas Kilang Tugu Barat Mengingat tingginya potensi gas rumah ikutan di Kilang Tugu Barat dan dalam rangka melakukan proses produksi bersih sekaligus akan mendatangkan keuntungan ekonomi dan melindungi lingkungan, maka gas ikutan disarankan untuk diolah kembali menjadi lean gas, kondensat atau LPG dan CO2-nya juga dipisahkan untuk tujuan komersial. Selanjutnya hasil pengolahan gas ikutan ini menjadi milik PERTAMINA, sehingga selanjutnya PERTAMINA memasarkan hasilnya. Dalam pemasaran hasil olahan gas ikutan ini, produk berupa LPG dan kondensat sebaiknya dijual ke perusahaan lain atau yang biasa dikenal dengan istilah mitra usaha lain (bisa melalui penunjukkan atau pola lain), untuk itu ada baiknya perusahaan pembeli (mitra usaha lain) diikat dengan kontrak kerja sama jangka panjang.
Namun untuk produksi lean gas, ada baiknya PT SDK
menyalurkannya ke transmisi gas utama PERTAMINA misalnya ke PERTAMINA Cemara. Untuk itu PT SDK idealnya membangun jalur instalasi pipa gas terlebih dahulu yang mempunyai diameter 4 inch sepanjang 22.7 km dari Kilang Tugu Barat ke jalur transmiisi gas utama PERTAMINA di Cemara. Untuk keperluan tersebut, maka mitra usaha lain yang sebaiknya ada adalah :
111 1. Penyalur / Transporter LPG Yakni pembeli LPG yang memiliki kontrak dengan PERTAMINA dan melakukan pengambilan LPG dengan menggunakan truk tangki (bulk). 2. Pembeli / Pengangkut Kondensat Yakni pembeli kondensat yang memiliki kontrak dengan PERTAMINA dan melakukan pengambilan kondensat dengan menggunakan truk tangki (bulk). 3. Pembeli lean gas / jalur instalasi pipa Yakni pembeli lean gas yang membeli melaui PT. SDK yang disalurkan melalui pipa instalasi dari kilang Tugu Barat ke jalur transmisi gas utama milik Pertamina di Cemara, di salurkan oleh PT.PGN, Tbk Cabang Cirebon Ke Customer (enduser) 4. Pembeli / Pengangkut CO2
:
Pembeli CO2 yang memiliki kontrak dengan PERTAMINA dan tidak berafiliasi dengan PT.SDK atas CO2 yang akan dimurnikan (purification facility) yang terletak di dalam area MMGP.
Untuk lebih jelasnya rencana jalur distribusi dan pemasaran gas ikutan Kilang Tugu Barat dapat dilihat pada Gambar 35. Kilang Mini PT. SDK
PERTAMINA
CO2 Processing
Pengguna CO2
LPG
PT. B Kondensat PT. C Lean Gas
Gambar 35. Rencana jalur distribusi dan pemasaran gas ikutan Kilang Tugu Barat
112 5.3.2. Kualitas Lingkungan Kondisi
eksisting
kualitas
lingkungan
lapangan
Tugu
Barat
memperlihatkan bahwa kualitas air limbah relatif kurang baik, karena hasil analisis terhadap air limbah di beberapa titik (lokasi) memperlihatkan bahwa suhu air limbah berkisar 27,20 – 48,0ºC.
Suhu tertinggi terjadi di Mundu yang
mencapai 48ºC, sedangkan di tempat lain masih relatif baik yakni 27,20 – 30,4 ºC. Khusus Mundu, air limbah yang dihasilkan tersebut dimasukkan ke dalam saluran yang berkelok-kelok
sehingga pada saat bersatu dengan badan air
suhunya sudah turun menjadi 31ºC. Kondisi ini tidak terlalu mengkhawatirkan mengingat menurut Nybakken (1992) suhu 28-31 ºC merupakan suhu alami dan dapat mendukung kehidupan dalam ekosistem perairan dengan baik. Pada penelitian ini juga diamati konsentrasi oksigen terlarut (DO) dalam air.
Hasil analisis terhadap DO memperlihatkan hasil yang
bervariasi yakni
mulai dari tidak terdeteksi hingga sangat jenuh (8,3 mg/l), dengan DO tertinggi di stasiun Bongas yakni 8,3 mg/l dan dan terendah di stasiun Pamanukan yakni tidak terdeteksi, sedangkan di stasiun lainya mempunyai DO 4,99 sampai 5,86mg/l.
DO yang ada di stasiun Bongas yang tidak terdeteksi sangat
mengkhawatirkan karena Oksigen terlarut merupakan senyawa yang sangat penting dalam kehidupan di ekosistem perairan, dan sangat esensial bagi pernapasan dan metabolisme organisme yang hidup di dalamnya
Selain itu
oksigen terlarut juga berguna untuk penghancuran bahan organik atau bahan pencemar yang terdapat dalam ekosistem perairan (Saeni, 1988) Tidak terdeteksinya oksigen terlarut pada air limbah yang terdapat di sungai Pamanukan, diduga karena bahan organik yang terdapat pada limbah yang terdapat di stasiun Pamanukan sangat tinggi, sehingga dibutuhkan jumlah oksigen yang sangat banyak untuk menguraikannya menjadi bahan anorganik. Hal ini sesuai dengan pendapat Das dan Acharya (2003) yang mengatakan bahwa rendahnya konsentrasi oksigen terlarut pada perairan salah satunya disebabkan oleh penggunaan oksigen terlarut tersebut untuk dekomposisi bahan organik.
Kondisi ini akan memberi dampak negatif terutama pada beberapa
spesies yang sensitif terhadap oksigen. Pada pengamatan yang dilakukan di lokasi penelitian juga terdeteksi adanya amoniak dengan konsentrasi yang bervariasi.
Pada stasiun selain
stasiun Mundu kandungan amonianya tidak terdeteksi, sedangkan di Stasiun Pamanukan konsentrasinya mencapai 1,16mg/l.
Kondisi ini sesuai dengan
113 kandungan oksigen yang terdapat di Stasiun Pamanukan yang tidak terdeteksi. Hal ini memperkuat kenyataan bahwa di limbah yang terdapat di Stasiun Pamanukan bahan organiknya banyak. Limbah yang dihasilkan di lokasi penelitian rata-rata mempunyai salinitas 15 permil. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena air limbah ini mempunyai kadar garam yang cukup tinggi, sehingga akan mengganggu kehidupan mahluk hidup yang ada pada sungai yang pada umumnya airnya tawar. Kandungan minyak di beberapa stasiun pada umumnya rendah, hanya di Stasiun Bongas yang konsentrasinya mencapai 6,06mg/l, namun setelah limbah tersebut masuk ke dalam perairan umum konsentrasinya menurun menjadi 0,54mg/l. Berdasarkan persyaratan KLH bahwa kandungan minyak pada limbah diperbolehkan hingga10mg/l. Berdasarkan hal ini maka limbah yang dihasilkan dari stasiun penelitian masih cukup aman untuk dibuang ke lingkungan (badan air).
Namun demikian adanya minyak pada ekosistem perairan ini perlu
diwaspadai, karena minyak akan melapisi/menutup
permukaan air, sehingga
akan mengganggu proses fotosintesa dan akan menurunkan estetika perairan. Selain itu menurut Holcomb (1969) walau dampaknya terhadap organisme laut sulit diketahui karena pengaruhnya lama sekali, namun keberadaannya perlu diwaspadai.
Hal ini sesuai dengan pendapat Mitcell et al. (1970) bahwa
pengaruh kontaminasi minyak terhadap komunitas organisme perairan dapat bervariasi dari pengaruh yang kecil sekali (negligible) hingga pada terjadinya kemusnahan (catastrophic). Hasil analisis juga memperlihatkan bahwa pH air limbah di lokasi penelitian rata-rata netral yakni 7,1 – 7,4. Kondisi ini tidak mengkhawatirkan karena menurut NTAC (1968) pH air yang berkisar antara 6,5 – 8,5 akan mendukung kehidupan organisme akuatik yang ada di dalamnya. Pada penelitian ini juga teridentifikasi bahwa kandungan fenol, sianida, sulfida, amonia, minyak mineral Hg, Pb, Cd, Cr, Zn dan Mn sangat rendah sehingga tidak terdeteksi pada limbah yang dihasilkan di Lapangan Tugu Barat. Hasil analisis terhadap sumur penduduk memperlihatkan bahwa air sumur penduduk mempunyai salinitas 15 permil.
Tingginya kadar garam di
sumur penduduk diduga karena adanya intrusi air laut, mengingat di wilayah tersebut hutan mangrovenya relatif sedikit.
Kondisi ini cukup menkawatirkan
mengingat air sumur tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk air minum, dan dari hasil wawancara dengan masyarakat setempat juga mengatakan bahwa air
114 sumur tersebut hanya digunakan untuk kegiatan mencuci, mandi dan kakus (MCK). Air sumur penduduk mempunyai amonia 0,47 – 0,88mg/l, dengan konsentrasi tertinggi di Stasiun Bongas yakni 0,88mg/l. Kondisi ini juga cukup menghawatirkan mengingat secara estetika sudah kurang baik dan kandungan amonia yang tinggi ini mengakibatkan air sumur tidak layak konsumsi. Hal ini disebabkan amonia yang bersifat sangat labil akan sangat mudah berubah menjadi nitrit.
Jika perubahan menjadi nitrit terjadi, selanjutnya nitrit akan
berikatan dengan hemoglobin, membentuk methemoglobin.
Oleh karenanya
Horne dan Goldman (2002) mengatakan bahwa nitrit (NO2-) merupakan pencemar berbahaya terutama dalam konsentrasi yang tinggi. Manahan (1977) dan Saeni (1988)
Menurut
nitrit dalam tubuh manusia akan bereaksi
dengan hemoglobin dalam darah, sehingga darah tidak dapat mengangkut oksigen; dan menurut Alaert et al. (1983) akan mengakibatkan keracunan pada bayi dan dapat menimbulkan nitrosamin pada air buangan yang nantinya dapat menjadi bahan pencetus kanker. pH air sumur juga tinggi (bersifat basa), hal ini dapat dimaklumi mengingat kandungan mineral yang tercermin air sumur juga tinggi.
Namun
demikian kekeruhan, BOD, fenol, sianida, sulfida yang terdapat pada air sumur tidak terdeteksi, sehingga tidak mengkhawatirkan. Namun demikian mengingat tingginya salinitas dan amoniak pada air sumur, maka tidak direkomendasikan untuk memanfaatkan air sumur karena pada akhirnya dapat membahayakan penduduk. Air sungai tempat membuang limbah mempunyai pH 7,1 - 7,2, kondisi ini tidak mengkhawatirkan karena menurut NTAC (1968) ekosistem perairan dengan pH air berkisar 6,5 – 8,5 ideal bagi kehidupan akuatik.
Salinitas air di stasiun
Sungai Singaraja 15 permil, kondisi ini memperlihatkan bahwa Sungai Singaraja kadar garamnya tidak hanya dipengaruhi oleh limbah dari industri migas, namun diduga ada pengaruh dari air laut.
Kadar garam di stasiun lainnya yakni di
Sungai Kartasemaya dan Betokan 0 permil.
Hal ini memperlihatkan bahwa
kedua stasiun ini kurang terpengaruh oleh air laut. Kekeruhan di semua sungai yang diteliti cukup tinggi yakni rata-rata 590 NTU. Kondisi ini diduga bukan terpengaruh oleh air limbah dari lokasi penelitian, namun berasal dari bagian hulunya yang pada umumnya mengalami erosi yang membawa partikel tanah dan lumpur baik berupa koloid maupun yang
115 tersuspensi. Hal ini sesuai dengan pendapat Pescod (1973) yang mengatakan bahwa tingkat kekeruhan suatu perairan dipengaruhi oleh padatan tersuspensi dan koloid yang terkandung di dalam perairan tersebut. DO air sungai di semua stasiun cukup tinggi yakni rata-rata 4,5 mg/l;. Kondisi ini memperlihatkan bahwa air sungai cukup baik untuk kehidupan biota yang ada di dalamnya. Tingginya DO pada semua stasiun ini juga disebabkan oleh tingginya agitasi pada sungai akibat adanya aliran air yang cukup deras. Tingginya aliran air ini mengakibatkan tingginya pergantian air, sehingga tidak memungkinkan bahan organik mengendap dalam jumlah yang banyak, oleh karenanya maka BOD dalam air sungai juga cukup rendah yakni hanya berkisar 3,21 – 6,70mg/l Kandungan minyak pada sungai di dua stasiun sangat rendah sehingga tidak terdeteksi namun pada Sungai Singaraja minyaknya cukup tinggi bahkan tertinggi diantara tiga sungai yakni mencapai 7,6mg/l. Ditinjau dari kandungan minyak dalam air sungai walaupun masih dibawah baku yang diperbolehkan, namun juga harus diwaspadai karena kurang baik untuk perikanan yang tersebar di sepanjang pesisir Indramayu dan Pamanukan. Hasil analisis terhadap udara dan kebisingan memperlihatkan bahwa secara umum baik dilihat dari debu, SO3, NOx, Ox, H2S dan CO2 di semua stasiun memperlihatkan nilai yang ada dibawah baku mutu yang sudah ditetapkan (Tabel 12).
Hal ini memperlihatkan bahwa pada saat dilakukan
penelitian ini PT SDK memperlihatkan tidak mencemari udara yang ada di sekitarnya. Tabel 12. Kualitas udara di lokasi penelitian No Lokasi 1 2 3 4 5 6 7 8
Debu (m/m3) SPU Mundu A 55,6 SPU Mundu B 23,9 SPU Balongan 61,3 Desa Kedokan Bunder 149 SPU Cemara 25,6 Pmk Bongas Barat 125 SPU Bongas 103,0 PMK sumberdaya 136,0 (perkapuran 260
SO3 (ppm) 0,005 ttd 0,010 ttd 0,009 0,005 ttd 0,006
NOx (ppm) 0,042 0,032 0,034 0,023 0,034 0,012 0,042 0,070
Ox (ppm) 0,008 0,071 0,053 0,033 0,069 0,011 0,059 0,060
H2S (ppm) 0,022 0,005 0,041 0,019 0,046 Ttd 0,220 0,004
CO2 (ppm) 4976 4895 5000 4900 7500 1200 5100 5300
0,100
0,050
0,100
0,030
-
116 5.4. Kesimpulan Eksplorasi di Lapangan minyak dan gas Tugu Barat di Kabupaten Indramayu dari tahun 1932 hingga saat ini cenderung terus meningkat, dengan produksi minyak tertinggi terjadi pada tahun 1973-1994 sebesar 28.000 barrel oil per day (BOPD), namun sisa cadangannya mengalami penurunan (tahun 1992 sebesar 3.079,23 MSTB menjadi 1.362,85 MSTB pada tahun 2001). Sedangkan untuk gas mengalami peningkatan produksi hingga tahun 1998, dan selanjutnya mengalami penurunan. Selain produksi tersebut, Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat juga mempunyai cadangan gas ikutan (flare) sebanyak 35,7 BSCF dan 23,1 BSCF dalam bentuk probable. Jumlah bahan pencemar yang terdapat pada gas ikutan yang dibuang langsung ke lingkungan CO2-nya mencapai 841,583 ton perhari, jumlah gas metane 1051,97 ton perhari serta jumlah nitrogen 40,8167 ton perhari, sehingga jika dibiarkan akan mengakibatkan terjadinya pencemaran udara, hujan asam (acid rain), pemanasan global (global warming) dan pada akhirnya ikut menyumbang terjadinya perubahan iklim global (global climate change). Gas ikutan yang ada di Lapangan Tugu Barat mempunyai potensi untuk dimanfaatkan dengan cadangan yang cukup banyak (GOR >1) dan dapat dimanfaatkan baik gas metannya maupun CO2-nya, sehingga sudah dapat dirancang rencana pemanfaatannya, rancangan procesc diagramnya, rencana pemipaannya serta pengerjaannya di Lapangan Tugu Barat. Kondisi eksisting di PT SDK memperlihatkan bahwa perusahaan ini tidak mencemari udara, namun penanganan limbah cairnya relatif masih belum terlalu baik.
117
Daftar Pustaka
Allenby, B.R. 1999. Industrial Ecology. Policy Framework and Implementation. Prentice-Hall Inc. New Jersey. USA. Berita Negara. 2007. Wakil Presiden (Jusuf Kalla). Estimasi Penghematan Subsidi Minyak Tanah Program Konversi Minyak Tanah (Mitan) ke LPG. Corelabs. 2007. Analisa Komposisi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Indramayu Jawa Barat.
Barat
Des Jardins, JR. 1993. Evironmental Ethics, An Introduction To Enviromental Philosophy. Belmont, California. 272p. Departemen ESDM. 2008. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Minyak di Indonesia Tahun 2000-2006, Indonesia Energy Statistick. Pusdatin ESDM. ________________. 2008. Indonesia Gas Production and Consumption In 20002006, Indonesia Energy Statistick. Pusdatin ESDM Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Barat dan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) ITB. 2003. Laporan Akhir Pemanfaatan Sumur-Sumur Migas Non Ekonomis di Kabupaten Indramayu dan Majalengka. Estimasi Perbandingan Penggunaan Bahan Bakar di Perusahaan Listrik Negara (PLN). 2005. Kompas 8 Juli 2005. Jakarta. Hanley, N.; J.F. Shogren; and B.White. 2002. Environmental Economics. In Theory and Practice. Palgrave Macmillan. Bristol, UK. 464p. IPCC. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories Indonesia Country Study on Climate Change. 1998. Vulnerability and Adaptation Assessments of Climate Change in Indonesia. The Ministry of Environment the Republic of Indonesia. Jakarta Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001 : Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for Policymakers and Technical Summary of the Working Group II Report. WMO-UNDP. Kementrian Lingkungan Hidup. 2003. Pemanfaatan Gas Ikutan Meminimalkan Kerusakan Lingkungan. Lemigas. 2006. Kondisi Pemanfaatan Gas Berdasarkan Penggunaan. CCOP Workshop, Beijing China.
118
Murdiyarso D, 2003, Sepuluh Tahun Perjalanan Konvensi Perubahan Iklim, PT. Kompas Media Nusantara.Jakarta. PT. Pertamina EP Region Jawa. 2008. Potensi Produksi Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat Kompleks (dalam mmscfd) Kabupaten Indramayu- Jawa Barat. [PT.SDK] PT. Sumber Daya Kelola. 2005. Penjelasan Umum Proyek Kilang Mini LPG – Tugu Barat. PT. Sumberdaya Kelola. Indramayu Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
VI. KELAYAKAN EKONOMI PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI LAPANGAN MINYAK TUGU BARAT, INDRAMAYU Abstrak Pengembangan industri gas ikutan di Lapangan produksi minyak Tugu Barat Indramayu memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat dan pemerintah setempat baik manfaat langsung maupun manfaat tidaklangsung. Namun demikian dalam pengembangannya, investasi yang dilakukan secara ekonomi belum tentu layak untuk dikembangkan. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian untuk mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu. Penelitian menggunanak metoda analisis kelayakan ekonomi dengan pendekatan Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Pay Back Period (PBP), dan analisis Profitability Index. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa industri gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Indramayu secara ekonomi layak untuk dikembangkan. Hal ini dilihat dari keuntungan bersih yang diperoleh bernilai positif dengan tingkat keuntungan bersih (NPV) sebesar US$ 1.148.174,00 dengan kemapuan mengembalikan modal pinjaman bank yang besar yaitu lebih besar dari tingkat suku bunga bank sampai pada batas waktu yang ditetapkan dengan rata-rata IRR berkisar 14,42 % (IRR total). Dilihat dari nilai payback investment perusahaan di lokasi studi diperoleh nilai sebesar 5,080 tahun untuk payback investment dan 3,537 tahun untuk payback loan yang berarti bahwa waktu yang diperlukan oleh perusahaan untuk dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan lebih cepat dari masa kontrak dan untuk tahun kelima dan seterusnya perusahaan akan memperoleh keuntungan dari selisih antara hasil penjualan dengan biaya atau modal yang dikeluarkan. Artinya perusahaan akan memperoleh keuntungan selama sisa kontrak karena periode payback lebih pendek daripada masa kontrak perusahaan yaitu selama 10 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar daripada nilai sekarang investasi sehingga perusahaan memperoleh keuntungan. Adapun biaya-biaya perlindungan lingkungan dan biaya social yang perlu dikeluarkan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya dalam penelitian ini belum diperhitungkan. Kata kunci : Kelayakan ekonomi, pemanfaatan gas ikutan, NPV, IRR, PBP
6.1.
Pendahuluan Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten di pesisir utara
Jawa Barat yang memiliki potensi sumberdaya alam tidak dapat pulih seperti minyak dan gas bumi yang cukup besar. Pada tahun 1977 telah diresmikan kilang LPG Mundu di Kecamatan Karangampel, Indramayu. Kapasitas terpasang mengolah bahan baku natural gas sebesar 1.000.000 NM3/hari (37 MMSCFD). Bahan baku non assosiated gas sebesar 600.000 NM3/hari dan assosiated gas sebesar 400.000 NH3/hari. Produk yang dihasilkan adalah produk utama LPG (100 ton/hari), minasol-M (56 Kl/hari), lean gas ( 656.00 N3M/hari dan propane).
120 Dalam
rangka
tersedianya
bahan
bakar
minyak
(BBM),
Pertamina
mengoperasikan kilang minyak di Kecamatan Balongan. Kilang UP VI Balongan dapat memenuhi kebutuhan BBM untuk DKI Jakarta (40%) dan sebagian Jawa Barat (Bapeda Jabar, 2007). Selanjutnya PT. Pertamina (Persero) Direktorat Hulu bekerjasama dengan PT. Sumber Daya Kelola (PT. SDK) dengan menandatangani kontrak untuk pengembangan industri gas ikutan (flare gas) dalam rangka mendapatkan nilai tambah di lapangan produksi minyak Tugu Barat Jawa Bagian Barat (DOHPERTAMINA JBB). Kontrak telah berjalan selama 10 tahun yang dimulai pada tahun 1995 dan berakhir pada tahun 2005. Dalam menjalankan usahanya, PT.Sumber Daya Kelola sebagai perusahaan “pionir” dalam industri pengolahan gas berskala mini dan menengah telah terbukti berhasil dan mampu melaksanakan kontrak pembangunan, operasi dan pengelolaan dan konsep “membangun, mengoperasikan dan menyerahkan atau disebut build operating and transfer (BOT)”. Atas prestasi dan kinerja tersebut, serta terdapatnya peluang untuk menggandakan kinerja peralatan yang akan diserahkan kepada Pertamina, maka PT Sumber Daya Kelola mengajukan tambahan dan perpanjangan masa kontrak dengan menambah peralatan utama kilang ( Amine Unit 1 (satu) unit, booster compressor 2 (dua) unit dan peralatan penunjang lainnnya). Rencana ini di dukung pula oleh adanya potensi gas ikutan tambahan sebesar 6 juta sampai 7 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) di Lapangan Tugu Barat dan sekitar yang belum termanfaatkan. Proses pemanfaatan gas ikutan Lapangan Tugu Barat ini agak berbeda dengan konsep kilang mini LPG lainnya, karena gas yang diproses adalah gas yang mengandung CO2 sebesar 40%, sehingga tanpa menggunakan peralatan pemisah CO2, gas tersebut akan memiliki tekanan yang rendah dan hanya memiliki kalori 750 Btu per satu kaki kubik (BTU/SCF) yang menyebabkan gas tersebut tidak dapat dijual atau dimanfaatkan langsung. Berdasarkan kajian teknik dan perundingan dengan pihak Pertamina, maka kontrak kerja sama diperpanjang, dengan menambah investasi baru dan mengoperasikan keseluruhan Plant Tugu Barat untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak pembangunan investasi baru tersebut selesai dan tanggal berakhirnya kontrak pertama PT SDK, akan memperoleh imbalan jasa pengolahan menurut jumlah produksi kilang saat ini yaitu dalam bentuk LPG, kondensat dan lean gas. Proyek ini merupakan proyek yang cukup penting untuk
121 menambah pasokan gas alam (lean gas) dan menambah pasokan LPG dalam negeri sekaligus mengurangi terjadinya pencemaran udara, hujan asam, pemanasan global dan perubahan iklim global. Di sisi lain keberadaan industri ini dapat memberikan manfaat sosial dan ekonomi terhadap masyarakat khususnya di Jawa Barat. Namun demikian, pembangunan investasi dalam pengelolaan gas ikutan yang berskala mini dan menengah ini oleh PT. SDK ini sebelum dipertimbangkan secara lingkungan juga perlu dipertimbangkan apakah secara ekonomi layak untuk dikembangkan atau malah tidak layak. Untuk mengetahui sejauhmana
resiko,
manfaat
dan
kelayakan
suatu
perusahaan
dalam
pemanfaatan gas ikutan, maka perlu dilakukan penelitian tentang kelayakan ekonomi sehingga perusahaan dapat mengantisipasi resiko yang akan terjadi atau dijadikan alat pengambilan keputusan bagi perusahaan untuk berinvestasi. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kelayakan ekonomi pemanfaatan gas ikutan, khususnya di lapangan produksi minyak Tugu Barat Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
6.2.
Metode Analisis Kelayakan Ekonomi Pemanfaatan Gas Ikutan. Metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui kelayakan
ekonomi pemanfaatan gas ikutan di areal Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP) PT Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi) Region Jawa Area Operasi Timur dan Wilayah Kerja (WK) PT.Sumber Daya Kelola (SDK) Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu adalah analisis kelayakan ekonomi dengan menggunakan pendekatan net present value (NPV), internal rate of return (IRR), pay back period (PBP), dan analisis profitability index. a. Net Present Value (NPV) Analisis NPV digunakan untuk menilai manfaat investasi dengan ukuran nilai kini (present value) dari keuntungan bersih proyek.
Adapun rumus untuk
mengetahui nilai NVP adalah sebagai berikut (Hufschmidt et. al., 1996):
Keterangan : NPV
= net present value
Bt
= Benefit (manfaat) untuk tahun ke-t
Ct
= Cost (biaya) untuk tahun ke-t
122 r
= Interest rate (suku bunga)
n
= Cakrawala perencanaan
t
= Tahun
Jika NPV > 0, maka proyek dapat diteruskan Jika NPV = 0, maka proyek mengembalikan sebesar tingkat bunga Modal Jika NPV < 0, maka proyek tidak dapat dilanjutkan
b. Analisis Internal Rate of Return (IRR) IRR = DfP +
(PVP) x (DfN - DfP (PVP) – (PVN)
Keterangan : DfP
= Discounting factor yang digunakan yang menghasilkan preset value positif
DfN
= Discounting factor yang digunakan yang menghasilkan preset value negative
PVP
= Present value positif
PVN
= Present value negative
Jika nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku (IRR . i), maka proyek dapat dilanjutkan, dan Jika nilai IRR < i, maka proyek tidak dapat dilanjutkan c. Analisis Pay Back NPeriod (PBP) PBP = - P +
∑
At ( P / F )
t=1
Keterangan : At = Aliran kas yang terjadi pada periode t P = Nilai sekarang dan F = Nilai yang akan datang N = Periode pengembalian yang akan dihitung Jika PBP > N, maka investasi dari proyek tersebut adalah layak Jika PBP < N, maka investasi tersebut tidak layak
123
e. Analisis Profitability Index n
∑
Bt − C t
t =1 n
PI/K =
∑
t =1
Kt
Keterangan:
6.3.
PI/K
= Profitability Indeks
Kt
= cost (biaya) modal untuk tahun ke-t
Ct
= Cost (biaya) rutin untuk tahun ke-t
n
= Umur ekonomis dari proyek
Bt
= Benefit (manfaat) untuk tahun ke-t
Hasil dan Pembahasan Analisis Kelayakan Ekonomi Pemanfaatan Gas Ikutan Sumber daya alam tidak dapat terbarukan atau sering juga disebut
dengan sumber daya terhabiskan (depletable) adalah sumber daya alam yang tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis. Selain itu, sumber daya alam ini dibentuk melalui proses geologi yang memerlukan waktu sangat lama untuk dapat dijadikan sebagai sumber daya alam yang siap diolah atau siap pakai. Salah satu contohnya adalah tambang minyak yang memerlukan waktu ribuan bahkan jutaan tahun untuk terbentuk kembali karena ketidakmampuan sumber daya tersebut untuk melakukan regenerasi. Sumber daya alam ini sering kita sebut juga sumber daya alam yang memiliki stok tetap. Sifat-sifat tersebut di atas menyebabkan masalah eksploitasi sumber daya alam tidak terbarukan (non renewable) akan sangat berbeda dengan ekstrasi sumber daya terbarukan (renewable). Pengusaha perminyakan tidak saja harus memutuskan kombinasi yang tepat dari berbagai faktor produksi untuk menentukan produksi yang optimal, namun harus pula memikirkan seberapa cepat stok harus diekstraksi dengan kendala stok yang terbatas (Fauzi, 2006). Beberapa perbedaan pokok antara pengelolaan sumber daya alam dan model ekonomi konvensional, antara lain adalah:
124
1. Dalam model ekonomi kompetetif, maksimisasi keuntungan ditentukan pada saat penerimaan marginal sama dengan biaya marginal.
Dalam model
sumber daya alam tidak terbarukan, stock yang tidak terekstraksi memiliki nilai yang dicerminkan dari biaya oportunitasnya.
Dengan demikian,
ekstraksi optimal sumber daya alam tidak hanya ditentukan oleh harga dan marginal tetapi juga oleh biaya oportunitas.
2. Ektraksi sumber daya alam merupakan masalah investasi karena nilai rente sumber daya yang diperoleh terkait oleh waktu, sehingga penentuan rente atau keuntungan (benefit) tidak saja dihitung untuk masa kini tetapi juga sepanjang waktu.
3. Berbeda dengan ekstraksi produk lainnya, ekstraksi sumber daya alam tidak terbarukan menghadapi kendala stock. Artinya, karena tidak adanya proses regenerasi, maka pada waktu tertentu (terminal period), stock tersebut akan habis. Dari beberapa ciri di atas terlihat bahwa ekstraksi sumber daya alam tidak terbarukan seperti halnya yang terjadi pada industri migas di Lapangan Tugu Barat berkaitan erat dengan aspek intertemporal yang dalam hal ini, peranan waktu sangat krusial untuk diperhatikan. Investasi dalam mengekstraksi sumber daya tidak terbarukan diharapkan memberikan manfat ekonomi yang sangat signifikan bagi pelaku ekstraksi (industri). Untuk mengetahui manfaat ekonomi dari investasi pengolahan gas khususnya pengolahan gas ikutan mini dan menengah di Lapangan produksi minyak Tugu Barat yang dikelolan oleh PT. Sumber Daya Kelola selanjutnya dilakukan perhitungan. Berdasarkan data yang didapat dari penelitian dan hasil perhitungan, memperlihatkan bahwa pengembangan industri gas di Lapangan Tugu Barat oleh PT. SDK akan menghasilkan produk berupa : liquid petroleum gas (LPG) sebesar 34 ton/hari, lean gas @ 1050 Btu/Scf sebesar 3.99 MMSCF/hari, dan kondensat sebesar 360 Bbl/hari.
Mengingat PT. SDK mengembangkan
usahanya melalui kontrak kerjasama dengan PT. Pertamina (Persero), maka berdasarkan perhitungan kemungkinan biaya investasi dengan menggunakan data kondisi exising maka PT. Pertamina akan memberikan imbalan jasa kepada PT. SDK sebagai imbalan jasa pengolahan (processing fee) untuk masingmasing jenis produk kurang lebih sebesar US$ 150/ton untuk liquid petroleum gas (LPG), US$ 1.20/MMBTU untuk lean gas @ 1050 Btu/Scf, dan US$ 15/Bbl untuk kondensat.
125 Adapun estimasi potensi volume metric gas ikutan yang dilakukan dengan pengukuran laju volume metric di jalur pipa menuju menara gas ikutan yang di bakar didasarkan pada persamaan estimasi potensi gas ikutan adalah sebagai berikut : Potensi gas ikutan (m3)= laju produksi minyak (barrel) X GOR = 500 X 3,95 = 1975 m3.perhari
Dalam rangka memperoleh produksi dengan besaran tersebut, maka PT. Sumber Daya Kelola harus mengeluarkan biayai untuk keseluruhan investasi, sehingga PT SDK dapat meningkatkan produksi LPG, kondensat dan lean gas. Adapun investasi yang harus dikeluarkan bukan hanya dalam proses pengolahan dari gas ikutan, namun termasuk investasi untuk keperluan: 1. Rekayasa dan rancang bangun. 2. Membuat studi kelayakan. 3. Pembelian dan konstruksi seluruh peralatan. 4. Pengoperasian dan pemeliharaan selama 10 (sepuluh) tahun. 5. Penambahan lahan apabila diperlukan. Mengingat evaluasi kelayakan ekonomi pengembangan industri gas ikutan dalam penelitian ini didasarkan pada masa kontrak antara antara PT. SDK dengan PT. Pertamina selama 10 tahun, maka jangka waktu penghitungan kelayakan ekonomi mengacu pada masa kontrak yang telah disepakati yaitu selama 10 tahun dengan waktu operasi kilang pertahun adalah 340 hari. Dalam perhitungan kelayakan ekonomi ini, waktu kilang operasi tersebut hanya dihitung hari operasi, sehingga masa libur yang jumlahnya kurang lebih 25 hari tidak dimasukan ke dalam perhitungan. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan didapatkan nilai debit to equity ratio sebesar 70/30 dengan alokasi masing-masing 70% untuk bank loan dan 30% untuk equity.
Berdasarkan hasil perhitungan yang dibuat berdasarkan
prediksi harga-harga yang berlaku saat ini untuk kebutuhan investasi tersebut di atas diperlukan biaya investasi (total project cost) sebesar US$ 6.488.659,04. Untuk keperluan dana diperkirakan tingkat inflasinya (inflation rate) antara 3% – 3,5% (US$ terms), dan tingkat suku bunga yang dihitung di sini adalah tingkat suku bunga pinjaman nominal (nominal interest rate) yang berlaku di perbankan yakni kurang lebih 8%. Berdasarkan perhitungan tersebut didapat extended cost
126 benefit analysis dengan menggunakan discount rate sebesar 8 %. Dari hasil perhitungan tersebut juga diperoleh nilai internal rate of return (IRR) sebesar 14,42% dan net present value (NPV) sebesar US$ 1.148.174,00 dengan payback investment 5,080 tahun; payback loan sebesar 3,537 tahun index 1,41.
dan profitability
Untuk mempermudah membandingkan nilai-nilai parameter
keekonomian proyek pengembangan industri gas ikutan di Lapangan Tugu Barat secara rinci dinyatakan pada Tabel 13. Tabel 13. •
Parameter keekonomian proyek pengembangan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu (hasil perhitungan)
IRR
14,42%
• Payback Investment
5,080 Tahun
•
3,537 Tahun
Payback Loan
•
NPV
US$ 1.148.174,00
•
Profitability Index
1,41
Internal rate of return (IRR) merupakan ukuran tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh kegiatan ekonomi dalam hal ini PT. SDK dalam pengembangan industri gas di Lapangan Tugu Barat untuk sumberdaya yang digunakan karena kegiatan ekonomi tersebut membutuhkan dana lagi untuk membiayai kegiatan operasi dan investasi serta kegiatan ekonomi sampai pada tingkat pulang modal.
Atau dengan kata lain IRR merupakan metode untuk
menghitung tingkat bunga yang menyamakan nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di masa-masa akan datang. Hasil perhitungan IRR Total menunjukkan nilai sebesar 14,42% pada pengembangan usaha gas ikutan oleh PT SDK menunjukkan bahwa nilai ini juga dianggap layak karena memiliki nilai IRR yang lebih besar dari bunga investasi di bank sebesar 8 % dengan selisih yang cukup signifikan. Hal ini mengandung arti bahwa jika perusahaan (PT.SDK) memanfaatkan dana pinjaman bank dengan tingkat suku bunga sebesar 8%, maka perusahaan tersebut masih memiliki kemampuan untuk mengembalikan modal pinjaman sampai pada batas waktu yang telah disepakati bersama antara pihak peminjam dengan pihak pemilik modal. Dalam hal ini antara PT. SDK dan perbankan. NPV merupakan ukuran nilai sekarang dari arus pendapatan yang ditimbulkan dari suatu kegiatan penggunaan sumberdaya. Kriteria formal dari penggunaan NPV adalah bahwa jika NPV bernilai positif, maka kegiatan ekonomi layak dilakukan, sebaliknya jika NPV bernilai negatif, maka kegiatan ekonomi
127 tidak layak dilakukan atau dilanjutkan. Berdasarkan hasil analisis ekonomi yang hasil perhitungannya tertera pada Tabel 13 menunjukkan bahwa pengembangan industri gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat, Indramayu yang dikelola oleh PT. SDK memperlihatkan penampilan yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari nilai NPV yang bernilai positif serta nilai IRR yang lebih besar dari nilai suku bunga bank. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, maka perusahaan akan mendapatkan keuntungan bersih sebesar US$ 1.142.174,00 selama jangka waktu analisis 10 tahun pada faktor diskonto (suku bunga nominal) sebesar 8 %. Kondisi ini menunjukkan bahwa berdasarkan perhitungan yang didasarkan pada nilai saat ini, maka penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang akan lebih besar daripada nilai investasi, sehingga perusahaan memperoleh keuntungan. Nilai payback investment adalah nilai yang digunakan untuk mengukur seberapa cepat investasi bisa kembali dimana satuan hasilnya bukan persentase, tetapi satuan waktu (bulan atau tahun). Berdasarkan hasil perhitungan nilai payback investment perusahaan di lokasi studi diperoleh nilai sebesar 5,080 tahun untuk payback investment dan 3,537 tahun untuk payback loan. Hal ini mengandung arti bahwa waktu yang diperlukan oleh perusahaan untuk dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan berkisar antara masa tiga sampai empat tahun.
Dengan kata lain
bahwa perusahaan dapat
mengembalikan modalnya dalam waktu yang lebih cepat, sebelum masa kontrak berakhir.
Dengan demikian maka pada tahun
kelima dan seterusnya
perusahaan akan memperoleh keuntungan sebesar selisih antara hasil penjualan dengan biaya atau modal yang dikeluarkan.
Artinya perusahaan akan
memperoleh keuntungan selama sisa kontrak karena periode payback lebih pendek daripada masa kontrak perusahaan yaitu selama 10 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa penerimaan-penerimaan kas bersih di masa yang akan datang akan lebih besar daripada nilai sekarang (pada saat dilakukan investasi), dengan demikian maka PT SDK akan memperoleh keuntungan jika mau memanfaatkan gas ikutan dan mengolahnya menjadi lean gas, kondensat atau LPG. Hasil perhitungan juga memperlihatkan nilai profitability index sebesar 1,41 (lebih besar dari 1). Berdasarkan nilai-nilai parameter kelayakan keekonomian proyek seperti telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa pengembangan industri gas ikutan di Lapangan Minyak Tugu Barat layak secara
128 ekonomis.
Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan gas ikutan akan
mempunyai dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi perusahaan dan pembangunan daerah. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut di atas, maka pengembangan industri gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu akan memberikan dampak positif bukan saja untuk perusahaan, namun juga terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar.
Dalam hal ini, gas ikutan yang tadinya tidak dapat
dimanfaatkan dan seolah tidak berguna, dengan diolah menjadi barang lain, menjadi bernilai ekonomis sehingga akan menguntungkan pada perusahaan pengolahnya (Tabel 13). Selain itu dengan dimanfaatkannya gas ikutan, maka akan menambah jumlah gas yang jumlah persediaannya semakin menipis, sementara kebutuhannya semakin meningkat. mempunyai
dampak
positif
pada
Pemanfaatan gas ikutan juga
masyarakat,
karena
dengan
adanya
pemanfaatan gas ikutan, sudah barang tentu dibutuhkan pekerja, sehingga akan menjadi peluang membuka lapangan kerja baru. Adanya pengolahan gas ikutan menjadi LPG merupakan keuntungan ekonomi yang tidak bisa hanya dilihat dengan sebelah mata. Hal ini disebabkan adanya konversi dari minyak tanah yang subsidinya sangat tiggi menjadi LPG, mengakibatkan kebutuhan gas LPG saat ini sangat tinggi. Namun keuntungan yang didapat bukan sekedar memenuhi kebutuhan LPG akibat dari konversi minyak tanah menjadi gas LPG, namun juga secara ekonomi akan sangat menguntungkan, karena untuk memenuhi kebutuhan minyak tanah, pemerintah harus mengeluarkan subsidi yang begitu besar. Oleh karena itu adanya konversi minyak tanah ke LPG, akan meminimalisasi subsidi pemerintah dalam pemenuhan energi di dalam rumah tangga.
Selain itu adanya konversi minyak
tanah ke LPG juga mempunyai dampak positif pada berkurangnya biaya kebutuhan rumah tangga, dan sekaligus mendatangkan keuntungan ekonomi karena gas ikutan yang biasanya langsung dibuangke lingkungan atau dibakar dapat bernilai ekonomis karena gas metan dan CO2-nya dapat menjadi sumberdaya yang bernilai ekonomis. Dampak positif lainnya juga akan terjadi pada lingkungan. Dalam hal ini gas ikutan yang biasanya dibuang ke lingkungan atau dibakar sehingga akan menyumbang bahan pencemar di udara dan sekaligus dilepaskannya gas rumah kaca (GRK), dengan dimanfaatkan, maka gas ikutan tidak mengakibatkan terjadinya pencemaran udara dan tidak menyumbang GRK ke atmosfir.
129 Mengingat GRK akan berdampak terhadap perubahan iklim global, dan secara perlahan akan mempengaruhi kehidupan, maka berbagai negara maju membuat kesepakatan untuk mengurangi emisi yang diwujudkan dalam Protokol Kyoto dengan tujuan utama untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer. Protokol ini telah menjadi dasar bagi negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca paling sedikit 5 % dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008 sampai 2012.
Protokol Kyoto juga mengatur mekanisme
kerjasama antar negara maju dan negara berkembang dalam melakukan pembangunan
berkelanjutan
dengan
cara
melaksanakan
mekanisme
pembangunan bersih (CDM) yang menawarkan win-win solution antara negara maju dengan negara berkembang dalam rangka pengurangan emisi GRK (Appenzeller, 2005).
Menurut Murdiarso (2003) CDM juga bertujuan untuk
memberi kesempatan kepada negara berkembang yang tidak wajib mereduksi emisi agar dapat berperan dalam pengurangan GRK, sekaligus memungkinkan negara Annex I untuk menurunkan emisi GRK secara lebih murah dibandingkan dengan mitigasi di dalam negerinya sendiri (domestic action). Oleh karenanya, CDM beserta dengan dua mekanisme lainnya dikenal sebagai mekanisme fleksibilitas (flexibility mechanisms). Dalam praktek pelaksanaan CDM, terdapat komoditi yang diperjualbelikan, yakni reduksi emisi GRK tersertifikasi yang biasa dikenal sebagai CER (certified emission reduction).
CER merupakan upaya
negara Annex I dalam memitigasi emisi GRK dengan nilai yang setara dengan nilai penurunan emisi yang dilakukan secara domestik dalam rangka pemenuhan target penurunan emisi GRK negara Annex I seperti yang disepakati dalam Annex B Protokol Kyoto. Berdasarkan hal tersebut, maka bukan angan-angan jika pemanfaatan gas ikutan menjadi produk yang bernilai ekonomis ini juga dapat diajukan dalam skema CDM/menjadi proyek CDM (dapat diikutkan dalam perdagangan karbon internasional), karena masuk pada kegiatan menurunkan karbon pada sumbernya (Saloh dan Clogh, 2002). Berdasarkan hal tersebut, maka seperti halnya hutan sebagai penyimpan karbon (Granda, 2005), maka pemanfaatan gas ikutan yang bermanfaat untuk menurunkan karbon pada sumbernya akan semakin meningkatkan keuntungan perusahaan.
Selain hal
tersebut, pemanfaatan gas ikutan juga diharapkan dapat ikut mewujudkan tujuan kebijakan energi yakni menjadikan energi menjadi komoditi yang terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia dan secara nasional berguna untuk menunjang pembangunan (Agenda 21 Sektor Energi, 2001).
130 Dimanapun dilakukan pembangunan, sudah barang tentu akan ada dampak negatif terhadap lingkungan, begitupun halnya dengan pemanfaatan gas ikutan yang dilakukan oleh PT SDK. Dalam hal pemanfaatan gas ikutan ini, maka dampak negatif yang dapat terjadi adalah munculnya pencemaran lingkungan baik lingkungan perairan, maupun lingkungan udara di sekitar kawasan industri.
Pencemaran ini pada umumnya akan terjadi akibat dari
limbah-limbah cair yang dihasilkan oleh aktivitas industri (proses pengolahan) yang setelah diolah ataupun tidak mengalami pengolahan terlebih dahulu masuk ke dalam ekosistem perairan. Selain pencemaran air masalah lain yang mungkin timbul dari kegiatan tambahan berupa pemanfaatan gas ikutan adalah adanya pencemaran udara yang berasal dari proses industri, baik berupa pencemaran bahan kimia yang berasal dari pembakaran BBM untuk keperluan produksi maupun munculnya kebisingan. Pencemaran badan air akibat pembuangan limbah cair yang dihasilkan dari proses industri ini akan mengganggu kehidupan yang terdapat pada ekosistem perairan penerima limbah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil tangkapan nelayan yang melakukan penangkapan di lokasi tersebut. Jika hasil tangkapan semakin berkurang, maka yang selanjutnya terjadi adalah munculnya konflik-konflik sosial di masyarakat, yang pada umumnya muncul dalam bentuk tekanan dari masyarakat terhadap aktivitas industri. Kondisi yang sama juga akan terjadi jika terjadi pencemaran udara baik yang berasal dari bahan kimia maupun dari kebisingan.
Padahal menurut Hung (2005)
pencemaran secara tidak langsung akan menyebabkan penurunan produktivitas kerja yang pada akhirnya akan menyebabkan berkurangnya pendapatan, baik pada para pekerja maupun pada masyarakat sekitar industri. Berdasarkan hal tersebut, maka hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya pencemaran adalah melakukan perencanaan yang matang pada saat investasi, dalam hal ini pada saat perencanaan bukan hanya sekedar melakukan investasi terhadap kelima hal tersebut di atas, namun juga dari awal harus sudah direncanakan untuk membuat instalasi pengolah air limbah (IPAL) sehingga dapat memperbaiki kinerja manajemen lingkungan. Khusus untuk pencemaran udara, hal yang harus dilakukan adalah memasang alat peredam suara
sehingga
akan
sangat
menurunkan
pemasangan filter pada cerobong asap.
kebisingan
dan
melakukan
Selain melakukan minimalisasi
pencemaran, hal yang tidak kalah pentingnya untuk dilakukan adalah perbaikan
131 hubungan dengan masyarakat sekitar dan perusahaan juga diharapkan dapat melakukan program-program corparate social responsibility (CSR). Adanya pemanfaatan gas ikutan di PT SDK yang diikuti dengan melakukan pengelolaan terhadap lingkungan, akan berdampak positif bagi seluruh sektor. Hal ini disebabkan kehadiran industri pengolahan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu, Jawa Barat bukan hanya akan memberikan keuntungan pada perusahaan, namun juga akan memberi manfaat bagi masyarakat dan pemerintah setempat baik manfaat langsung maupun manfaat tidaklangsung. Berbagai manfaat yang dapat diperoleh masyarakat maupun pemerintah dalam pengembangan industri gas ikutan ini seperti penyerapan tenaga kerja lokal, pemberian bantuan
melalui community development
(comdev) atau biasa juga disebut corporate social responsibility (CSR), pemasukan bagi pemerintah daerah melalui pembayaran pajak dan restribusi, dan
pengembangan
ekonomi
masyarakat,
serta
peningkatan
kualitas
sumberdaya manusia melalui kegiatan pelatihan dan kegiatan lainnya. Walaupun pada pemanfaatan gas ikutan terdapat pencemaran yang akan mengganggu kualitas lingkungan, namun pada penelitian ini, tidak mengukur secara langsung biaya yang digunakan dalam perbaikan kualitas lingkungan dan biaya-biaya sosial lainnya yang sebenarnya dapat ditanggung oleh perusahaan akibat dampak negatif yang ditimbulkan oleh industri (PT. SDK) dalam menjalankan usahanya (memanfaatkan gas ikutan). Tetapi jika dilihat dari keuntungan bersih yang diperoleh perusahaan berdasarkan hasil analisis di atas menunjukkan bahwa jika perusahaan mengeluarkan biaya-biaya lain untuk mendukung
perbaikan
lingkungan
dalam
rangka
menuju
mekanisme
pembangunan bersih (CDM) dan perbaikan biaya sosial, mencerminkan perusahaan masih mendapatkan keuntungan yang besar.
6.4. Kesimpulan Berdasarkan
hasil
penelitian
dapat
disimpulkan
bahwa
industri
pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Indramayu secara ekonomi layak untuk dikembangkan, karena keuntungan bersih yang diperolehnya bernilai positif dengan tingkat keuntungan bersih (NPV) sebesar US$ 1.148.174,00 dengan kemampuan mengembalikan modal pinjaman bank yang besar yaitu lebih besar dari tingkat suku bunga bank sampai pada batas waktu yang ditetapkan dengan rata-rata IRR berkisar 14,42 % ( IRR total).
132 Dilihat dari nilai payback investment perusahaan di lokasi studi diperoleh nilai sebesar 5,080 tahun untuk payback investment dan 3,537 tahun untuk payback loan yang berarti bahwa waktu yang diperlukan oleh perusahaan untuk dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan lebih cepat dari masa kontrak; atau dengan kata lain perusahaan akan memperoleh keuntungan selama sisa kontrak karena periode payback lebih pendek daripada masa kontrak perusahaan yaitu selama 10 tahun. Namun demikian biaya-biaya perlindungan lingkungan dan biaya sosial yang perlu dikeluarkan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya dalam penelitian ini belum diperhitungkan.
133
Daftar Pustaka
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 259 hal. Hufschmidt dalam Supranto. J. 2007. Statistik : Teori dan Aplikasi. Jilid I Penerbit Erlangga. Jakarta-Indonesia. IPCC. 2006. Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories [PT. SDK] PT. Sumberdaya Kelola. 2005. Profil Bisnis LPG Indonesia. Sumberdaya Kelola. Indramayu
PT.
_______2005. Penjelasan Umum Proyek Kilang Mini LPG – Tugu Barat. PT. Sumberdaya Kelola. Indramayu.
VII. DISAIN MODEL PEMANFAATAN GAS IKUTAN (INTERAKSI EKOLOGI, TEKNO-EKONOMI DAN SOSIAL) Abstrak Keberadaan PT. SDK sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di sektor minyak dan gas bumi yang bekerjasama dengan PT. Pertamina memegang peran penting dalam penyediaan energi gas dan peningkatan pendapatan daerah di dalam negeri. Untuk mengetahui besarnya produksi gas ikutan dan sumbangannya terhadap PAD, serta pengaruhnya terhadap lingkungan dibangun suatu model pemanfaatan gas ikutan. Penelitian bertujuan untuk membangun model pemanfaatan gas ikutan di lapangan minyak Tugu Barat, Kabupaten Indramayu. Penelitian menggunakan metode analisis data sistem dinamik dengan bantuan software powersim constructor versi 2.5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil simulasi sub model penduduk Jawa Barat dan DKI menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial. Hal ini menunjukan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk baik sebagai akibat dari tingginya tingkat kelahiran maupun tingginya penduduk pendatang. Hal yang sama ditunjukkan pada sub model pengolahan gas ikutan sub model ekologi dan sub model ekonomi. Namun karena keterbatasan sumberdaya yang tersedia seperti ketersediaan lahan dan deposit gas, maka pada suatu saat kurva akan menuju pada suatu titik keseimbangan tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami penurunan. Dalam hal ini di dalam model terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative feedback) melalui proses balancing. Fenomena ini dalam sistem dinamik disebut mengikuti pola dasar (archetype) “Limit to Growth”. Pengolahan gas ikutan untuk menghasilkan gas hasil olahan seperti LPG, CNG, dan lean gas akan menurunkan jumlah polutan udara seperti CO2, NOx, dan polutan lainnya. Sebaliknya jika tidak dilakukan pengolahan gas ikutan, akan memperbesar polutan udara. Dilihat dari tingkat pendapatan total dan pendapatan asli daerah (PAD) menunjukkan adanya peningkatan setiap tahun dengan meningkatnya produksi gas ikutan. Pada tahun 2025 diproyeksikan pendapatan total perusahaan dalam memproduksi gas ikutan (LPG, CNG, lean gas, dan CO2) akan mencapai nilai sebesar Rp. 658.221.255.663,00 Kata kunci : Model, gas ikutan, sistem dinamik, PAD
7.1. Pendahuluan Pemanfaatan gas ikutan sebagai salah satu sektor usaha yang strategis dan produktif dalam pembangunan di Indonesia memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap penyediaan energi nasional ditengah krisis energi yang terjadi saat ini. Di sisi lain pemanfaatan gas ikutan sangat membantu pemerintah dalam rangka menggalakkan program diversifikasi energi dan penghematan bahan bakar minyak (BBM). Selain lebih harga gas lebih murah dibandingkan dengan bahan bakar minyak dan ramah lingkungan, serta dapat menghemat devisa negara. Menurut Suzeta (2007), kebijakan diversifikasi energi dengan memanfaatkan sumber energi alternatif seperti gas dapat menghemat devisa
135 negara sekitar Rp.30 triliun per tahun karena adanya pengurangan subsidi minyak. Berdasarkan hasil perhitungan pada tahun 2006, bahwa jika kebijakan diversifikasi minyak berhasil dengan baik, maka anggaran subsidi yang sedianya dianggarkan sebesar Rp 54 triliun akan turun menjadi Rp.24 triliun. Keberadaan PT. SDK bekerjasama dengan PT. Pertamina turut memegang andil yang besar dalam penyediaan sumberdaya energi yang berasal dari gas. Saat ini, melalui perpanjangan kontrak kerjasama dengan pihak PT. Pertamina, PT. SDK bermaksud untuk memperluas usahanya dalam rangka meningkatkan produksi gas di Indonesia baik untuk kepentingan dalam negeri maupun untuk kepentingan ekspor. Jika dilihat dari cadangan gas di Indonesia diproyeksikan bahwa reserve to production ratio untuk gas masih dapat memenuhi sekitar 68 tahun ke depan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa sampai saat ini, Indonesia masih mengimpor gas untuk memenuhi kebutuhan akan gas dalam negeri apalagi dengan keluarnya kebijakan pengalihan penggunaan bahan bakar minyak ke gas untuk kebutuhan rumah tangga semakin mempertinggi kebutuhan impor akan gas. Melihat besarnya potensi cadangan gas Indonesia dan besarnya kebutuhan akan gas, memberi peluang PT. SDK dan industri lainnya untuk mengembangkan industri gas di Indonesia. Pengembangan industri gas tersebut seperti PT. SDK, selain berdampak pada peningkatan stok gas di dalam negeri, juga dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap pendapatan asli daerah (PAD) dan keuntungan bagi perusahaan itu sendiri. Di sisi lain, pengembangan industri gas juga akan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar yaitu dengan adanya gas buang yang dihasilkan sebagai hasil pembakaran dari proses produksi yang sedang berlangsung. Untuk melihat kemampuan produksi gas khususnya PT. SDK dalam memproduksi gas ikutan di lapangan produksi minyak Tugu Barat Indramayu dan dampaknya terhadap pendapatan total perusahaan, serta pendapatan asli daerah (PAD) dan lingkungan sekitar, perlu dibangun suatu model pemanfaatan gas ikutan. Penelitian bertujuan untuk membangun model pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu
7.2. Metode Analisis Disain Model Pemanfaatan Gas Ikutan Disain model pengelolaan eksploitasi gas bumi yang berkelanjutan akan dibangun dengan menggunakan metode analisis sistem dinamik
dengan
bantuan software powersim constructor versi 2.5. Analisis sistim dinamik
136 digunakan
untuk mengetahui potensi perilaku
variabel-variabel indikator
keterpaduan dan keberlanjutan seperti disebutkan di atas dalam kurun waktu ke depan. Analisis ini dibangun dengan mengembangkan model simulasi. Prinsip model dinamik adalah mengembangkan dua atau lebih variabel yang berkaitan secara dinamik dan simultan sebagaimana digambarkan pada persamaan order satu berikut ini.
dx = f ( x, y ) − g ( x, y ) dt dy = g ( x, y ) y& = dt
x& =
Persamaan di atas mengandung dua variabel yaitu x dan y yang bergerak secara simultan dan berinteraksi sata sama lain melalui persamaan derivative terhadap waktu (ordinary differential equation). Kedua persamaan di atas dapat dipecahkan untuk menentukan trajectory atau lintasan variabel terhadap waktu dengan mencari solusi homogen dimana diasumsikan sistim dalam kondisi keseimbangan melalui x& = 0, y& = 0 . Kedua solusi x dan y tersebut kemudian dapat dilihat keseimbangan nya dengan cara melakukan linierisasi. Linearisasi pada titik keseimbangan X * dan dx& ditulis sebagai berikut :
⎡ dx& ⎢ ⎡ x& ⎤ ⎢ dx ⎢ y& ⎥ = ⎢ dy& ⎣ ⎦ ⎢ ⎣ dx
dx& ⎤ dy ⎥⎥ ⎡ x* ⎤ ⎢ ⎥ dy& ⎥ ⎣ y * ⎦ ⎥ dy ⎦
Dalam model sistim dinamik, variabel x dan y bisa saja variabel ekonomi dan lingkungan maupun infrastruktur yang saling berinteraksi satu sama lain. Ketika lebih dari dua varibel berinteraski, maka model menjadi kompleks sehingga umumnya model dinamik diimplementasikan ke dalam model simulasi. Disain model dilakukan dengan dengan tahapan-tahapan analisis kebutuhan, formulasi masalah, identifikasi sistem, simulasi model, dan validasi model. a. Analisis kebutuhan (Needs Analysis) Model pengelolaan gas ikutan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dalam operasionalisasinya harus dapat memenuhi kebutuhan stakeholders secara optimal. Adapun pelaku/stakeholders yang terlibat dalam perencangan model pemanfaatan gas ikutan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan adalah sebagai berikut:
137 1.
Pengelola
industri
areal
Wilayah
Kuasa
Pertambangan
(WKP)
PT.Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi) Region Jawa Area Operasi Timur
dan
Wilayah
Kerja
(WK)
PT.Sumber
Daya
Kelola
(SDK)
Kelurahan/Desa Amis Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat, yaitu manajemen kawasan industri pengolahan gas ikutan yang bertanggung jawab secara teknis terhadap kelancaran operasi industri dan kualitas lingkungan. 2.
Pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, yaitu: lembaga otoritas lokal dan nasional yang memegang kebijakan di dalam areal Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP) PT.Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi) Region Jawa Area Operasi Timur dan Wilayah Kerja (WK) PT.Sumber Daya Kelola (SDK)
Kelurahan/Desa Amis Kecamatan
Cikedung Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat. 3.
Pengusaha
yang
menginvestasikan modal di areal Wilayah Kuasa
Pertambangan (WKP) PT.Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi) Region Jawa Area Operasi Timur dan Wilayah Kerja (WK) PT.Sumber Daya Kelola (SDK) Kelurahan/Desa Amis Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu Propinsi Jawa Barat 4.
Masyarakat, baik sebagai karyawan maupun masyarakat yang berdomisili di sekitar lokasi penelitian.
5.
LSM yang memperhatikan masalah-masalah lingkungan.
6.
Perbankan atau lembaga keuangan bukan bank yang akan membiayai proyek pemanfaatan gas ikutan menjadi barang yang bernilai ekonomis.
b. Formulasi Masalah (Problem Formulation) Pemanfaatan gas ikutan pada industri minyak dan gas bumi selain memiliki dampak negatif yang dapat mencemari lingkungan, juga memiliki potensi
konflik
kepentingan
didalam
pemanfaatannya.
Adanya
konflik
kepentingan ini, jika tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan sangat bijaksana dapat menimbulkan berbagai dampak negatif yang dapat merugikan baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi.
Oleh karena itu, dalam mendisain model
pemanfaatan gas ikutan pada industri minyak dan gas bumi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjuta, dapat diformulasikan beberapa permasalahan berdasarkan hasil evaluasi dari adanya keterbatasan sumberdaya yang dimiliki dan
konflik
kepentingan
diantara
stakeholders.
Adapun
permasalahan
pemanfaatan gas ikutan di lokasi penelitian diformulasikan sebagai berikut :
138 1. Keterbatasan kepemilikan, keterbatasan lahan dan akses permodalan untuk kegiatan operasi dan pengembangan usaha dalam menyediakan lahan 2. Keterbatasan sumberdaya manusia
dalam pengetahuan peralatan dan
teknologi konversi/pengolahan gas ikutan yang berdampak pada rendahnya inovasi dan kreativitas pengolahan gas ikutan. 3. Keterbatasan kemampuan investor menerapkan teknologi berwawasan lingkungan pada setiap proses produksi yang masih tetap berakibat pada tingginya tingkat pencemaran. 4. Perencanaan saat ini yang masih bersifat sektoral dan parsial, belum dapat mengakomodisasi kebutuhan
stakeholders, sehingga kerjasama lintas
sektoral masih rendah. 5. Tekanan penduduk dan tuntutan perkembangan ekonomi daerah yang semakin
dinamis,
serta
tingginya
permintaan
konsumsi
barang,
mengakibatkan permintaan terhadap lapangan kerja dan jumlah angkatan kerja. 6. Hukum dan kelembagaan yang saat ini masih belum bersifat operasional dan dalam pelaksanaannya yang belum konsisten 7. Masih adanya keterbatasan
infrastruktur
usaha
seperti : perijinan,
komunikasi, perpajakan, retribusi berdampak kurang kondusifnya iklim usaha.
c. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem pada dasarnya merupakan hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan pernyatan khusus dari masalah yang akan diselesaikan dalam rangka mencukupi kebutuhan dan digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat untuk perancangan model dari sistem yang dikaji. Identifikasi sistem model pemanfaatan gas ikutan yang berwawasan lingkungan direpresentasikan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop) dan kotak hitam (black box). C.1. Diagram Lingkar Sebab Akibat (Causal Loop Diagram) Diagram
lingkar
sebab
akibat
adalah
bahasa
gambar
yang
mengungkapkan kejadian hubungan sebab akibat, yang dibuat dalam bentuk garis panah yang saling mengait, sehingga membentuk sebuah diagram lingkar sebab akibat. Pangkal panah yang terdapat pada diagram ini menyatakan penyebabnya sedangkan ujung panahnya menyatakan akibatnya.
139 Hubungan sebab akibat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hubungan positif dan hubungan negatif. Hubungan positif adalah hubungan sebab akibat dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin besar pula nilai faktor akibat, sedangkan hubungan negatif adalah hubungan sebab akibat dimana makin besar nilai faktor penyebab akan makin kecil nilai dari faktor akibat. Dampak atau akibat dari suatu sebab dapat mempengaruhi balik sebab tersebut, sehingga terdapat hubungan sebab akibat yang memiliki arah berlawanan dengan hubungan sebab akibat yang lain. Dalam hal ini terbentuk suatu umpan balik tertutup, yang sering kali disebut sebagai loop. Loop adalah suatu akibat yang dibalikkan ke penyebabnya, sehingga terbentuk apa yang dinamakan umpan balik atau feed back loop (Aminullah, et al. 2001). Umpan balik dapat dibedakan atas dua macam yaitu umpan balik positif dan umpan balik negatif. Suatu umpan balik disebut positif bila perkalian tanda dari hubungan sebab akibat yang membentuknya adalah positif, sedangkan bila hasilnya negatif maka umpan balik tersebut disebut umpan balik negatif. Umpan balik dapat terjadi secara alamiah maupun karena adanya suatu kebijakan yang diterapkan pada sistemnya. Suatu umpan balik menyatakan mekanisme perubahan nilai faktor secara otomatis. Umpan balik positif memberikan penguatan terhadap perubahan yang terjadi, sehingga nilai perubahan tersebut makin lama makin besar. Sebaliknya umpan balik negatif memberikan pelemahan terhadap perubahan yang terjadi, sehingga nilai perubahan tersebut makin lama makin kecil dan akhirnya hilang.
Adapun diagram sebab akibat
seperti pada Gambar 36. Pencemaran lingkungan
+
-
Flare
-
Penduduk
+ +
+
Eksploitasi migas Pengolahan gas ikutan
+
+
PAD +
Pendapatan Perusahaan
Gambar 36. Diagram sebab akibat (causal loop) model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas.
140
Pada model pemanfaatan gas ikutan yang berwawasan lingkungan ini keterkaitan hubungan antar faktor yang saling berinteraksi dalam penyusunan model dibuat berdasarkan variabel kombinasi dari hasil analisis kondisi saat ini dan dari analisis kebutuhan stakeholders. c.2. Diagram Input-Output (Black Box) Diagram input-output menggambarkan hubungan antara
peubah
masukan dan keluaran melalui proses tranformasi yang digambarkan sebagai kotak hitam.
Pada diagram ini terdapat dua macam input yakni input yang
terkendali dan input yang tidak terkendali. Selain input juga terdapat output yang juga terdiri dari dua macam output atau keluaran yang dikehendaki dan keluaran yang tidak dikehendaki. Untuk lebih jelasnya diagram input-output ini dapat dilihat pada Gambar 37.
1. 2.
Input Lingkungan : Peraturan/perundangan migas Peraturan/perundangan LH
Input Tak Terkendali : 1. Permasalahan lingkungan global 2. Terjadinya gas rumah kaca 3. Persediaan migas dalam perut b u mi 4. Mobilitas Penduduk
Output Yang Dikehendaki : 1. Adanya kebijakan pemanfaatan gas suar bakar 2. Penurunan Emisi 3. Terpeliharanya kualitas lingkungan 4. Bertambahnya keuntungan perusahaan 5. Penyerapan tenaga kerja 6. Gas ikutan menjadi bernilai ekonomis 7. Pematuhan hukum UULH
Model pengelolaan gas suar bakar yang berkelanjutan
Output Yang Tidak Dikehendaki : Input Terkendali : 1. Potensi gas suar bakar 2. Teknologi pengolahan 3. Modal pengembangan 4. Tenaga kerja yang terserap 5. Managemen dan pengawasan gas 6. proporsi produk olahan gas ikutan 7. Kapasitas unit produksi 8. Sarana dan prasarana
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Investasi industri berkurang Gas suar bakar terbuang ke lingkungan Peningkatan biaya operasional Menurunnya keuntungan perusahaan Terjadinya pencemaran lingkungan Tingginya tingkat pengangguran Terjadi konflik (land use & stakeholders) Inefisiensi infrastruktur
Manajemen Pengendalian (feed back) Gambar 37.
Diagram input - output model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih.
141 d.
Simulasi Model Simulasi merupakan proses penggunaan model untuk meniru perilaku
secara bertahap dari sistem yang dipelajari (Grant et al., 1997). Simulasi merupakan eksperimentasi yang menggunakan model suatu sistem dengan analisis sistem tanpa harus mengganggu atau mengadakan perilaku terhadap sistem yang diteliti dan kegagalan seperti yang terjadi pada eksperimen biasa. Siswosudarmo et al., (2001), menjelaskan bahwa simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Ada beberapa fase dalam analisis simulasi model seperti yang dikemukakan oleh Purnomo (2005), sebagai berikut : 1. Identifikasi indikator/isu/masalah, tujuan dan batasan Identifikasi indikator/isu atau masalah dan batasan dilakukan untuk mengetahui dimana sebenarnya pemodelan perlu dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menetukan indikator hipotetikal sebanyak 10 indikator. Setelah isu ditentukan, selanjutnya menentukan tujuan pemodelan menyangkut metode pemodelan, ketelitian model dan jenis model yang dinyatakan secara eksplisit. Setelah isu dan masalah berikutnya menentukan batasan terhadap permodelan yang dilakukan. 2. Konseptualisasi model dengan menggunakan ragam metode seperti diagram kotak dan panah, diagram sebab-akibat, diagram stok (stock) dan aliran (flow) atau diagram klas dan diagram sekuens. Tahapan ini dimulai dengan mengidentifikasi semua komponen yang terlibat atau dimasukan dalam pemodelan. Jika melalui komponen tersebut banyak maka dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori. Komponenkomponen tersebut kemudian mencari hubungannya satu sama lain dengan menggunakan diagram kotak dan panah Dalam
konseptualisasi
model
ini,
perlu
diperhatikan
bahwa
komponen-komponen yang membentuk sistem harus dinamis, sensitif terhadap hubungan
perubahan
serta
sebab-akibat.
keterkaitannya
Identifikasi
dalam
keterkaitan
sistem
membentuk
komponen
tersebut
didasarkan pada keadaan nyata agar hasil yang digambarkan model tersebut mendekati keadaan sebenarnya. 3. Spesifikasi model dengan merumuskan makna diagram, kuantifikasi dan atau kualifikasi komponen indikator yang diperlukan
142 Spesifikasi model kuantitatif, bertujuan untuk membentuk model kuantitatif dari konsep model yang telah ditetapkan dengan memberikan nilai kuantitatif terhadap masing-masing variabel/indikator dan menterjemahkan hubungan atau keterkaitan antar 10 variabel/indikator dan komponen penyusunan
model
sistem
tersebut
kedalam
persamaan
matematika.
Persamaan tersebut dapat diperoleh dari hasil regresi terhadap data yang ada, hasil rujukan atau berdasarkan rekaan yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara rinci tahapan dalam spesifikasi model kuantitatif terdiri dari : ¾ Memilih dan menentukan struktur kuantitas model ¾ Menentukan satuan waktu dalam simulasi ¾ Identifikasi bentuk-bentuk fungsional dan persamaan model 4. Evaluasi model yaitu mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model yang serupa jika ada dan diperlukan Evaluasi model bertujuan untuk mengetahui keterhandalan model untuk mendikripsikan keadaan sebenarnya. Proses pengujian dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan membandingkan dengan dunia nyata atau model andal yang serupa jika ada. Setelah setiap dari model diamati apakah relasi-relasi yang ada logis atau tidak, maka selanjutnya diamati logis tidaknya keterkaitan antar bagian sebagai model yang utuh. Logis dalam hal ini berarti bahwa semua persamaan sesuai dengan apa yang dipercayai orang atau dengan kata lain sesuai dengan paradigma yang ada. Tahapan kedua dari evaluasi model ini adalah mengamati apakah perilaku model sesuai dengan harapan atau perkiraan yang digambarkan pada tahapan konseptualisasi model. Model dijalankan atau dieksekusi pada sebuah komputer, dan diamati hasilnya apakah beberapa komponen yang diamati atau menjadi fokus perhatian sesuai dengan pola perilaku perilaku yang diharapkan. Tahapan ketiga adalah membandingkan periaku model dengan data yang diperoleh dari sistem atau dunia nyata. Jika dalam model terdapat fungsi-fungsi bilangan acak, maka model harus dieksekusi sebanyak 30 kali untuk mengamati keragaman hasil pemodelan tersebut. e. Validasi Model Validasi model dapat dilakukan dua pengujian yaitu uji validasi struktur dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran, sedangkan uji validasi kinerja lebih menekankan pemeriksaan kebenaran yang taat data empiris. Model yang
143 baik adalah yang memenuhi kedua syarat tersebut yaitu logis-empiris (logicoempirical). e.1. Uji validitas struktur Uji ini dilakukan untuk mengetahui struktur model dengan konsep teori empirik. Secara empirik, perkembangan permukiman dipengaruhi oleh jumlah penduduk, sarana dan prasarana, interaksi sosial budaya, perkembangan ekonomi dan aktivitas dan mobititas masyarakat. e.2. Uji validitas kinerja Uji validitas kinerja ini dilakukan untuk mengetahui apakah model yang dikembangkan dapat diterima secara akademik atau tidak. Pengujian dilakukan dengan cara memvalidasi output model, yaitu dengan membandingkan output model dengan data empirik. Ada beberapa teknik uji statistik yang dapat digunakan antara lain AME (absoulte mean error) dan AVE (absolut variation error). Batas penyimpangan yang dapat ditolerir adalah 5% - 10%. f. Uji Sensivitas Model Uji sensivitas model merupakan respon model terhadap suatu stimulus. Respon ini ditunjukkan dengan perubahan perulaku dan/atau kinerja model. Stimulus diberikan dengan memberikan perlakuan tertentu pada unsur atau struktur model. Berikut ini langkah-langkah penerapan uji sensitivitas terhadap indikator-indikator pengelolaan hutan alam produksi ada lima yaitu : -
Identifikasi alternatif intevensi, yaitu melihat intervensi apa perlu dilakukan untuk mencapai kinerja model yang diinginkan pada waktu mendatang. Untuk itu perlu dilihat dulu hasil simulasi tanpa intervensi, yaitu mengamati apakah kecendurangan kinerja model masih terkendali dan mantap, atau justru memperlihatkan kecendurangan melampaui batas (overshot) dan/atau bergejolak (oscillation). Jika kejadiannya adalah kecenderungan kinerja model masih terkendali dan mantap, bukan berarti tidak diperlukan intervensi, karena lingkungan sistem masa datang terus berubah dengan cepat.
-
Uji sensitivitas intervensi terhadap penggunaan paramater input dan intervensi struktur model sehingga menghasilkan output dengan intervensi atau normal.
-
Analisis dampak intervensi, yaitu melihat secara kuantitatif berapa besar dan kapan dampak intervensi menunjukkan hasil.
144 -
Hasil uji parameter/indikator kemudian dievaluasi dengan maksud memilih tiga diantara yang paling sensitif dari sepuluh indikator pada langkah identifikasi indikator/masalah maupun atau isu-isu.
-
Selanjutnya mensimulasikan dan mengamati hasil dan dampaknya pada keseluruhan kinerja unsur dalam sistem. Perubahan sifat dampak bersifat dinamis yang dinyatakan dalam prosentase fungsi waktu dan pola kecanderungan hasil dan dampak intervensi adalah bersifat non-linier. Hal tersebut akan di uji dengan fasilitas uji sensitivitas variabel/indikator dengan menggunakan perangkat lunak powersim constructor 2,5, hal ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan parameter yang mungkin terjadi dalam dunia nyata.
-
Kemudian menentukan dua sampai tiga indikator/variabel yang paling sensitiv terhadap respon intervensi.
-
Menguji hasil model yang telah dikembangkan (mensimulasikan) di lapangan dengan mengukur nilai normal indikator dan melakukan intervensi serta mengamati perbahan nilai indikator. Penggunaan model yaitu membuat skenario-skenario ke depan atau
alternatif kebijakan kemudian mengevaluasi ragam skenario atau kebijakan tersebut dan pengembangan perencanaan dan agenda kedepan. Model yang telah dibentuk digunakan untuk mencapai tujuan pembentukannya. langkah pertama adalah membuat daftar panjang semua skenario yang mungkin dapat dibuat dari model yang dikembangkan. Semua skenario tersebut disimulasikan, kemudian hasil simulasi tersebut dicoba untuk dipahami. Dari hasil simulasi tersebut kemudian dibuat daftar pendek yang memenuhi tujuan pemodelan. Dari daftar pendek tersebut dilakukan penajaman untuk mendapatkan hal-hal yang diinginkan, seperti makna yang lebih rinci dari skenario tersebut dan bagaimana hubungannya dengan komponen-komponen yang diubah-ubah untuk memenuhi skenario tersebut. Langkah kedua adalah menganalisis hasil simulasi skenario tersebut. Hasil analisis simulasi tiap skenario akan dipakai untuk membuat peringkat skenario skenario tersebut yang mencerminkan urutan skenario yang lebih cocok untuk diterapkan sesuai dengan model yang dikembangkan. Tahapan terakhir adalah merumuskan skenario tersebut menjadi opsi atau pilihan kebijakan.
145 7.3. Hasil dan Pembahasan Model Pemanfaatan Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat Kabupaten Indramayu 7.3.1.
Simulasi Model Pemanfaatan Gas Ikutan Simulasi model pemanfaatan gas ikutan dilakukan untuk mengetahui
respon tingkat pertumbuhan penduduk Kabupaten Indramayu yang disebabkan oleh aktivitas industri pemanfaatan gas ikutan, dan dampak terhadap keuntungan perusahaan dan lingkungan sekitar. Simulasi model dinamik ini dibangun melalui logika hubungan antara komponen yang terkait dan interaksinya. Komponenkomponen yang terkait adalah pertumbuhan penduduk, jumlah gas ikutan, jumlah gas hasil pengolahan gas ikutan seperti LPG, lean gas, kondensat, dan CO2, pendapatan terhadap daerah (PAD), dan dampaknya terhadap lingkungan. Sumilasi model yang dibangun terdiri atas empat sub model yaitu (1) sub model pertumbuhan penduduk, (2) sub model pengolahan gas ikutan (3) sub model ekologi (lingkungan) dan (4) sub model ekonomi. Adapun perilaku model dinamik pemanfaatan gas ikutan di Lapangan minyak Tugu Barat dianalisis dengan menggunakan program powersim constructor versi 2.5 dengan struktur model seperti pada Gambar 38 dan formula pada Lampiran 2.
status_pencmr_udara_sumber_lain
status_pencemaran_lain laju_imigrasi
laju_kelahiran
fr_immigrasi
status_pencmr_udara_akibat_flare
faktor_klhr_krn_pencmr fr_lahir JML_PDDK
status_pencmr_lingk status_pencmr_udara
umur_rata2
fr_emigrasi
total_cemaran_flare
faktor_umur_krn_pencmr lj_emigrasi
lj_kematian
jumlah_KK
pol_CO2
pol_H2S fr_KK fr_LPG_KK
kekurangan_pasok_LPG kebutuhan_LPG_RT
pol_lain fr_CO2
fr_H2S exploitasi_minyak
LPG
fr_pol_lain
fr_ind_pengguna_LPG gas_ikutan
Total_Pasokan_LPG
laju_pertambahan_gas_ikutan
kebut_LPG_Tot kebut_LPG_ind
fr_gas_ikutan
LPG_dari_industri
laju_pengurangan_gas_pol
fr_flare Laju_pengolahan proporsi_diolah
fr_olahCO2
fr_LPG_industri
gas_terbakar laju_flare
fr_prespitasi
fr_kebut_LPG_ind CO2
Lean_Gas
Gas_olahan laju_prod_CO2
laju_prod_lean fr_lean
IINDUSTRI laju_pertumbuhan_industri fr_kebut_CNG_per_ind
laju_pengurangan_industri
kap_prod_CO2 kap_prod_Lean_Gas
fr_ind_pengg_CNG
laju_prod_CNG
laju_prod_LPG
fr_pertamh_ind fr_pengurangan_ind industr_pengguna_CO2
kap_prod_CNG
kap_prod_LPG
industr_pengguna_CNG
fr_kebut_CO2_per_ind
fr_ind_pengg_CO2
kebutuhan_CNG
CNG
LPG
pendapatan_dari_prod_CO2 kekurangan_pasok_CNG
pendapatan_dari_Lean_Gas harga_CNG
CO2 kebutuhan_CO2
industr_pengguna_Lean_Gas fr_ind_pengg_Lean_Gas kekurangan_pasok_Co2 fr_kebut_Lean_per_ind
harga_LPG
harga_produk_CO2
harga_lean_gas
pendapatan_dari_CNG
pendapatan_dari_LPG
Lean_Gas kekurangan_pasok_Lean_Gas
kebutuhan_Lean_Gas
Gambar 38.
fr_LPG
fr_CNG
CNG
pajak_industri pendapatan_total
PAD
Struktur model dinamik pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu.
146
Peningkatan jumlah penduduk berimplikasi pada peningkatan kebutuhan akan bahan bakar minyak untuk kebutuhan hidup masyarakat sehingga menyebabkan peningkatan eksploitasi migas. Dalam operasional konvensional, peningkatan eksploitasi migas menyebabkan peningkatan aktivitas flare yang selanjutnya meningkatkan bahan cemaran bagi lingkungan.
Peningkatan
pencemaran lingkungan akan menurunkan aktivitas eksploitasi migas dan kesehatan masyarakat yang lebih lanjut menurunkan laju pertambahan jumlah penduduk. Dengan adanya teknologi pengolahan gas ikutan, eksploitasi migas akan meningkatkan aktivitas pengolahan gas ikutan.
Pengolahan gas ikutan
selanjutnya akan menurunkan aktivitas flare dan meningkatkan pendapatan perusahaan. Dampak selanjutnya adalah peningkatan PAD dan kesejahteraan masyarakat yang cenderung memperpanjang harapan hidup dan angka kelahiran sehingga meningkatkan jumlah penduduk.
Asumsi yang digunakan dalam
pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Minyak Tugu Barat Indramayu antara lain: 1. Laju kelahiran normal di Jawa Barat dan DKI Jakarta adalah 1.2% 2. Ada pengaruh tingkat pencemaran lingkungan terhadap angka kelahiran 3. Laju imigrasi normal adalah 3,5% 4. Harapan hidup rata-rata penduduk di Jawa Barat dan DKI Jakarta adalah 80 tahun 5. Ada pengaruh tingkat pencemaran lingkungan terhadap harapan hidup masyarakat 6. Angka emigrasi normal adalah 1% 7. Tingkat pencemaran lingkungan dipengaruhi oleh aktivitas flare pada eksploitasi migas 8. Pengolahan gas ikutan akan menambahkan tingkat pendapatan perusahaan dan menurunkan tingkat pencemaran lingkungan 9. Proporsi gas ikutan yang diolah dipengaruhi oleh kemampuan mengolah yang ditentukan oleh tingkat pendapatan perusahaan.
a. Sub Model Pertumbuhan Penduduk Analisis model dinamik pemanfaatan gas ikutan dilakukan untuk 24 tahun yang akan datang dimulai pada tahun 2002 sampai pada tahun 2025. Jumlah penduduk Jawa Barat dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penduduk dan komponen migrasi penduduk. Laju pertumbuhan penduduk dipengaruhi oleh
147 angka kelahiran dan kematian penduduk.
Angka kelahiran ditentukan oleh
tingkat fertilitas pasangan usia subur, yang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di mana pasangan tersebut tinggal. Angka kematian ditentukan oleh umur rata-rata masyarakat yang tinggal di sekitar perusahaan. Pada lingkungan dengan kandungan CO2 tinggi berpeluang memperpendek umur penduduk yang tinggal di kawasan tersebut sebaliknya pada komposisi CO2 yang lebih rendah berpeluang memperpanjang usia harapan hidup akibat terciptanya lingkungan yang lebih baik.
Pada model yang yang dibangun memperlihatkan adanya
keterkaitan negatif antara tingkat pencemaran lingkungan dengan angka kelahiran, dan keterkaitan positif antara tingkat pencemaran lingkungan dengan angka kematian. Selain itu, angka kelahiran dan kematian juga dipengaruhi oleh tingkat kepadatan penduduk.
Kepadatan yang semakin tinggi menyebabkan
angka kelahiran semakin rendah, tetapi harapan hidup menjadi semakin singkat. Hubungan pertumbuhan penduduk ini merupakan hubungan timbal balik negatif (negative feedback) melalui proses balancing dan hubungan timbal balik positif melalui proses reinforcing. Pertumbuhan penduduk Jawa Barat juga dipengaruhi tingkat imigrasi dan emigrasi. Tingginya laju imigrasi penduduk dipengaruhi oleh aktivitas industri di sekitar kawasan. Adanya industri di suatu kawasan maka orang akan datang ke kawasan tersebut baik untuk berusahan di sekitar industri ataupun datang karena bekerja di perusahaan yang bersangkutan.
Hubungan antar komponen yang
membangun sub model pertumbuhan penduduk di Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 39.
laju_imigrasi laju_kelahiran
faktor_klhr_krn_pencmr
fr_immigrasi status_pencmr_lingk JML_PDDK
fr_lahir umur_rata2
fr_emigrasi
faktor_umur_krn_pencmr lj_emigrasi
lj_kematian
Gambar 39. Struktur model dinamik pertumbuhan penduduk di Jawa Barat Pertumbuhan populasi penduduk Jawa Barat sepeti pada Gambar 37 menunjukkan kecenderungan pertumbuhan mengikuti kurva eksponensial pada
148 tahun simulasi 2002 sampai tahun 2025. Pertumbuhan eksponensial terjadi akibat dari pertumbuhan positif penduduk (positive growth) yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan negatif (negative growth) dengan laju peningkatan yang semakin berkurang. Hal tersebut disebabkan laju pertumbuhan penduduk yang berasal dari angka kelahiran dan penduduk pendatang jauh lebih besar dari pertumbuhan tingkat kematian penduduk dan laju perpindahan penduduk keluar dari Provinsi Jawa Barat.
JML_PDDK
60,000,000
50,000,000
40,000,000 2,005
2,010
2,015
2,020
2,025
Time Gambar 40.
Simulasi pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta periode 2002 – 2025
Pada Gambar 40 terlihat bahwa pertumbuhan penduduk Jawa Barat pada tahun simulasi 2002 sampai 2025 yang terus meningkat.
Namun karena
keterbatasan sumberdaya terutama sumberdaya lahan yang semakin sempit dan menjadi faktor pembatas terhadap pertumbuhan penduduk, maka pada suatu saat pertumbuhan penduduk di Jawa Barat akan menuju pada suatu titik keseimbangan tertentu (stable equilibrium). Hal ini sesuai dengan konsep limit to growth dan dalam model dinamik disebut mengikuti pola dasar “archetype” limit to growth (Muhammadi et al., 2001). Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat pada tahun 2001 adalah sebesar 36.914.883 jiwa dan pada tahun 2025 diproyeksikan akan meningkat menjadi 66.076.041,2 jiwa. Adapun simulasi pertumbuhan penduduk Jawa Barat seperti pada Tabel 14. Tingginya tingkat pertumbuhan di Jawa Barat disebabkan oleh tingginya laju tingkat kelahiran dan imigrasi yang datang ke Jawa Barat. Hal ini terlihat
149 pada tahun 2002, laju kelahiran penduduk hanya sekitar 416.585,93 dan terus meningkat menjadi 700.555,91 pada tahun 2025. Hal yang sama diikuti oleh laju imigrasi penduduk. Pada tahun 2002 laju imigrasi baru mencapai 1.292.020,91 dan terus mengalami peningkatan sampai pada tahun 2025 yang mencapai 2.312.661,44.
Hal sebaliknya terjadi pada tingkat kematian dan emigrasi
penduduk sebagai penyebab berkurangnya pertumbuhan penduduk. Namun laju pengurangan penduduk akibat kematian dan emigrasi tersebut lebih kecil dibandingkan dengan tingkat kelahiran penduduk. Hal ini yang menyebabkan bentuk kurva mengikuti kurva pertumbuhan eksponensial. Pada tahun 2002 laju kematian penduduk sekitar 404.111,83 dan terus meningkat sampai pada tahun 2025 yang mencapai nilai 627.292,61. Laju emigrasi, pada tahun 2002 mencapai nilai 369.148,83 dan terus naik sampai pada tahun simulasi 2025 sebesar 660.760,41. Tabel 14. Perkembangan penduduk Jawa Barat dan DKI (tahun simulasi 2002 – 2025)
150 b. Sub Model Pengolahan Gas Ikutan Stock flow diagram (SFD) sub model pengolahan gas ikutan yang menggambarkan hubungan beberapa komponen seperti jumlah gas ikutan, gas olahan, CO2, lean gas, CNG, dan LPG, serta gas bakar sebagai komponen utama dan selanjutnya diikuti oleh komponen lainnya disajikan pada Gambar 41. gas_terbakar
gas_ikutan laju_pertambahan_gas_ikutan
laju_flare
laju_pengurangan_gas_pol
exploitasi_minyak fr_gas_ikutan
fr_flare Laju_pengolahan proporsi_diolah
fr_olahCO2
CO2
Lean_Gas
Gas_olahan laju_prod_CO2
fr_prespitasi
laju_prod_lean fr_lean
kap_prod_CO2 kap_prod_Lean_Gas laju_prod_CNG
laju_prod_LPG
kap_prod_CNG
kap_prod_LPG
fr_CNG pendapatan_dari_prod_CO2
fr_LPG pendapatan_dari_Lean_Gas
CNG
harga_CNG pajak_industri
LPG
harga_LPG harga_produk_CO2
harga_lean_gas
PAD
pendapatan_dari_CNG
pendapatan_dari_LPG
pendapatan_total
Gambar 41. Struktur model dinamik pengelolaan gas ikutan
Pada gambar terlihat bahwa besarnya gas olahan yang diperoleh sangat tergantung pada produksi gas ikutan yang diperoleh. Hasil pengolahan gas ikutan akan diperoleh berbagai jenis gas olahan seperti CNG, LPG, lean gas, dan CO2. Selain jenis-jenis gas yang dihasilkan seperti disebutkan, dalam pengolahan gas ikutan ini juga dihasilkan gas bakar yang sangat berpengaruh
151 terhadap pencemaran lingkungan. Jumlah gas ikutan yang diperoleh sangat tergantung dari besarnya kegiatan eksploitasi minyak disamping rata-rata fraksi gas ikutan. Demikian pula dengan produksi gas olahan sangat tergantung dari kapasitas produksi masing-masing jenis gas olahan gas ikutan disamping kapasitas produksi gas ikutan. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa semakin besar produksi gas ikutan, maka peluang untuk mendapatkan gas olahan juga akan semakin besar. Adapun perkembangan produksi gas olahan baik CO2, lean gas, CNG, dan LPG dapat dilihat pada Gambar 42.
Gambar 42. Simulasi perkembangan produksi gas olahan di Lapangan Minyak Tugu Barat Indramayu tahun 2004 – 2025. Pada Gambar 42 memperlihatkan kurva peningkatan produksi gas olahan mengikuti pola pertumbuhan kurva sigmoid (sigmoid curve). Ini berarti bahwa peningkatan produksi gas olahan di Lapangan Minyak Tugu Barat Indramayu mengalami peningkatan yang cukup tajam dengan bertambahnya tahun eksploitasi minyak. Namun perlu diingat bahwa pemanfaatan gas ikutan ini merupakan sumberdaya alam yang tidak terbarukan sehingga pada suatu saat akan menuju suatu titik keseimbangan (stable equilibrium) yang tidak bisa ditingkatkan lagi melainkan mengalami penurunan produksi sebagai akibat dari menurunya deposit minyak yang tersedia. Hasil simulasi produksi gas ikutan di lapangan produksi minyak Tugu Barat oleh PT. SDK (Tabel 15) memperlihatkan bahwa perkembangan
152 peningkatan gas hasil olahan.
Pada tahun 2004 terlihat gas CO2 dihasilkan
sebesar 0,0345 ton, gas CNG sebesar 0,0496 ton, lean gas 0,0134 ton dan LPG 0,0549 ton. Selanjunya mengalami peningkatan dengan meningkatnya produksi gas ikutan. Pada tahun 2025 terlihat gas CO2 meningkat menjadi 137.729,41 ton, CNG 192.821,18 ton, lean gas 52.337,18 ton, dan LPG sebesar 213.480,59 ton. Tabel 15. Perkembangan hasil olahan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat
Peningkatan pengolahan gas ikutan menjadi produk gas lainnya akan berpengaruh terhadap peningkatan gas terbakar dimana gas terbakar ini sangat besar pengaruhnya terhadap lingkungan (ekologi) karena dapat menimbulkan pencemaran. Dampak gas bakar terhadap lingkungan secara rinci dibahas pada sub model sistem ekologi. c. Sub Model Ekologi Komponen-komponen yang saling berhubungan dalam sub model sistem ekologi ini adalah jumlah gas ikutan, jumlah gas terbakar, tingkat pencemaran
153 CO2, NOx, dan polutan lainnya yang dihasilkan dari pembakaran gas.
Laju
peningkatan bahan pencemar lingkungan (polutan udara) ditentukan oleh laju peningkatan pembakaran gas yang sejalan dengan peningkatan pengolahan gas ikutan.
Pada peningkatan laju CO2, NOx, dan poluan lain terjadi proses
reinforcing akibat kebutuhan akan gas ikutan semakin meningkat dan proses balancing akibat keterbasan sumberdaya gas ikutan. Model perkembangan gas polutan dalam proses produksi gas ikutan seperti pada Gambar 43.
tatus_pencmr_udara_sumber_lain
status_pencmr_udara_akibat_flare
tatus_pencemaran_lain
total_cemaran_flare
status_pencmr_udara status_pencmr_lingk pol_NOx
pol_CO2 pol_lain
fr_CO2
fr_NOx exploitasi_minyak
fr_pol_lain
gas_ikutan laju_pertambahan_gas_ikutan
gas_terbakar laju_flare
laju_pengurangan_gas_pol fr_flare
Laju_pengolahan
fr_prespitasi
proporsi_diolah pendapatan_total
fr_gas_ikutan Gas_olahan
Gambar 43. Struktur model dinamik perkembangan gas polutan dalam proses produksi gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu. Gambar 44 memperlihatkan kurva perkembangan gas ikutan, gas olahan, dan gas terbakar, serta produksi gas polutan tanpa dilakukan pengolahan gas ikutan tahun simulasi 2002-2025. a
b
Gambar 44. Simulasi perkembangan produksi gas ikutan, gas olahan, dan gas terbakar (a), serta produksi gas polutan (b) di Lapangan Minyak Tugu Barat Indramayu Tahun 2004 – 2025 Tanpa Pengolahan.
154 Pada Gambar 44 terlihat bahwa apabila tidak dilakukan pengolahan gas ikutan, maka jumlah gas terbakar yang dihasilkan akan sangat besar (Gambar a) yang dapat berdampak pada tingginya gas polutan (Gambar b). Peningkatan gas terbakar dan gas olahan merupakan fungsi dari gas ikutan. Apabila tidak dilakukan pengolahan gas ikutan maka peluang dihasilkannya gas terbakar sangat besar. Pada awal tahun simulasi terlihat jumlah gas ikutan, gas olahan, dan gas terbakar memperlihatkan jumlah yang relatif sama.
Karena dalam
simulasi ini tidak dilakukan pengolahan gas ikutan, maka akan mempercepat laju peningkatan gas terbakar yang sangat berpengaruh terhadap tingginya gas polutan yang dihasilkan.
Pada tahun 2002 jumlah gas CO2 yang dihasilkan
sekitar 2,43 ton dan naik menjadi 1.822.745,31 ton pada tahun 2025. Hal yang sama ditunjukkan pada gas polutan NO2 dan polutan lainnya mengalami peningkatan dengan bertambahnya tahun simulasi.
Pada pada tahun 2002
produksi gas NOx hanya sebesar 0,025 ton dan pada tahun 2025 diproyeksikan menjadi 18.716,32 ton, sedangkan polutan lainnya dari 4,00 ton pada tahun 2002 terus mengalami peningkatan sampai pada tahun 2025 menjadi 2.994.611,75 ton. Adapun proyeksi perkembangan gas polutan di lapangan produksi minyak Tugu Barat Indramayu dengan tanpa pengolahan gas ikutan secara rinci disajikan pada Tabel 16. Tabel 16.
Simulasi proyeksi perkembangan gas polutan dengan tanpa pengolahan gas ikutan tahun simulasi 2002-2025
155 Gambar 45 memperlihatkan kurva perkembangan gas ikutan, gas olahan, gas terbakar, dan gas polutan dengan melakukan pengolahan gas ikutan. Pada gambar terlihat bahwa apabila dilakukan pengolahan gas ikutan, peluang dihasilkannya gas olahan sangat besar, sementara gas terbakar yang dihasilkan sangat kecil. Akibatnya gas polutan yang dihasilkan juga akan semakin kecil walaupun pada awal tahun simulasi menunjukkan peningkatan yang cukup tajam, tetapi menjelang tahun 2005 memperlihatkan kecenderungan kurva yang semakin datar. Hal ini disebabkan karena gas ikutan diolah untuk menjadi produk gas olahan seperti LPG, CNG, dan lean gas, walaupun gas polutan juga dihasilkan tetapi dengan proporsi yang sangat kecil.
Gambar 45.
Simulasi perkembangan produksi gas ikutan, gas olahan, dan gas terbakar (a), serta produksi gas polutan (b) di Lapangan Minyak Tugu Barat Indramayu tahun 2004 – 2025 dengan pengolahan.
Pada tahun 2002, jumlah gas CO2 yang dihasilkan sama seperti gas CO2 yang dihasilkan dengan tanpa pengolahan gas ikutan yaitu sekitar 2,43 ton. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh gas NOx dan gas polutan lainnya yaitu masingmasing 0,025 ton dan 4,00 ton. Selanjutnya mengalami peningkatan dengan bertambahnya tahun simulasi namun peningkatan tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan tanpa pengolahan gas ikutan. Pada tahun 2025 jumlah CO2 diproyeksikan akan mencapai nilai 252.652,87 ton. Sedangkan NOx dan polutan lainnya di proyeksikan hanya sekitar 2.594,29 ton dan 415.086,65 ton. Perkembangan gas polutan dengan pengolahan gas ikutan di Lapangan Minyak Tugu Barat Indramayu secara rinci disajikan pada Tabel 17.
156 Tabel 17. Simulasi proyeksi perkembangan gas polutan dengan pengolahan gas ikutan tahun simulasi 2002-2025
d. Sub Model Ekonomi Komponen-komponen yang saling berhubungan dalam sub model ekonomi adalah jumlah CO2, jumlah CNG, jumlah LPG, dan jumlah lean gas yang akan berpengaruh terhadap komponen pendapatan dari masing-masing gas dan pendapatan total yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Indramayu. Adapun model ekonomi dalam proses produksi gas ikutan seperti pada Gambar 46.
157
CO2
Lean_Gas
Gas_olahan laju_prod_CO2
laju_prod_lean fr_lean
kap_prod_CO2fr_olahCO2 kap_prod_Lean_Gas laju_prod_CNG
laju_prod_LPG
kap_prod_CNG
kap_prod_LPG
fr_CNG
fr_LPG
pendapatan_dari_prod_CO2
CNG
LPG pendapatan_dari_Lean_G harga_CNG harga_LPG
harga_produk_CO2
harga_lean_gas
pendapatan_dari_LPG pendapatan_dari_CNG
pendapatan_total
Gambar 46.
pajak_industri PAD
Struktur model dinamik sub model ekonomi dalam proses produksi gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu.
Pada Gambar 46 terlihat bahwa peningkatan PAD merupakan fungsi dari pendapatan total perusahaan dalam proses produksi gas ikutan. Semakin tinggi total pendapatan maka peluang peningkatan PAD juga akan semakin besar. Sedangkan pendapatan total merupakan fungsi dari peningkatan pendapatan yang diperoleh dari masing-masing gas hasil pengolahan gas ikutan dan besarnya produksi masing-masing gas olahan (CO2, CNG, LPG dan lean gas) merupakan fungsi dari jumlah total gas olahan yang berasal dari jumlah total gas ikutan.
Adapun perkembangan pendapatan masing-masing jenis gas olahan
disajikan seperti pada Gambar 47.
158
Gambar 47. Simulasi perkembangan pendapatan dari hasil pengolahan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu tahun 2004 – 2025. Pada Gambar 47 terlihat kurva pertumbuhan pendapatan yang diperoleh dari hasil pengolahan gas ikutan menjadi LPG jauh lebih tajam dibandingkan dengan pendapatan dari hasil pengolahan gas ikutan jenis lainnya.
Kurva
peningkatan pendapatan yang berasal dari CNG juga terlihat mengalami peningkatan,
namun
peningkatan
yang
terjadi
dibandingkan dengan pendapatan dari LPG.
masih
jauh
lebih
kecil
Sedangkan pendapatan yang
berasal dari lean gas dan CO2 terlihat jauh lebih kecil.
Berdasarkan hasil
simulasi tersebut dapat disimpulkan bahwa PT. SDK dalam pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu, pengembangan usahannya lebih diarahkan pada produksi LPG dibandingkan dengan jenis produksi gas ikutan lainnya. Hal ini penting dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah dalam penyediaan energi nasional yang berasal dari bahan bakar gas. Berdasarkan hasil simulasi menunjukkan bahwa pendapatan yang berasal dari produksi LPG telah menyumbangkan sebesar Rp 153.607,02 pada tahun 2004 yang merupakan nilai yang lebih besar dibandingkan pendapatan yang berasal dari jenis gas olahan lainnya. Pada tahun yang sama, hasil olahan CNG menyumbangkan pendapatan sekitar Rp 14.856,20, lean gas sebesar Rp 295,89, dan CO2 sebesar Rp 379,77. Dengan proses produksi gas ikutan yang berjalan terus sepanjang tahun, akan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan.
Pada tahun 2025, pendapatan yang berasal dari LPG
diproyeksikan akan mencapai nilai sebesar Rp 597.745.648.141,50. Sementara
159 pendapatan yang berasal dari CNG, lean gas, dan CO2 diproyeksikan akan memberikan sumbangan pendapatan masing-masing Rp57.846.353.045,95; Rp 1.151.417.884,44; dan Rp 1.477.836.590,91. Dari seluruh jenis gas olahan tersebut akan memberikan sumbangan pendapatan yang besar baik terhadap perusahaan maupun terhadap pemerintah daerah setempat dalam bentuk pendapatan asli daerah (PAD).
Pada tahun 2004, pendapatan total dari
pemanfaatan gas ikutan diperoleh sebesar Rp 169.147,87 dan terus mengalami peningkatan sampai pada tahun 2025 apabila proses produksi berjalan terus dan prospek pemasaran berlangsung dengan baik. Pada tahun 2025 pendapatan total dari memanfaatan gas ikutan diproyeksikan akan diperoleh sebesar Rp 658.221.255.663. Adapun perkembangan pendapatan dalam pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu seperti pada Tabel 18. Tabel 18.
Simulasi proyeksi pendapatan dari pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat Indramayu tahun simulasi 2004-2025
160 7.3.2. Validasi model Pemanfaatan Gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat Kenyataan menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk Jawa Barat dan DKI mengalami peningkatan secara signifikan setiap tahun. Hal ini menunjukkan bahwa proses reinforcing terjadi jauh lebih besar jika dibandingkan dengan proses balancing. Berdasarkan data Propinsi Jawa Barat dalam Angka (2007) jumlah penduduk pada tahun 2002 adalah 3.6914.883 jiwa dan pada tahun 2006 menjadi 40.737.594
jiwa (Tabel 19).
Terdapat kecenderungan bahwa
pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat yang kemungkinan disebabkan oleh faktor migrasi ke dalam wilayah Jawa Barat dan DKI. Pola pertumbuhan penduduk secara aktual seperti pada Gambar 48. Tabel 19. Hasil analisis uji validasi kinerja terhadap komponen jumlah penduduk di Jawa Barat dan DKI Jakarta No
Tahun
1
Jumlah Penduduk Jawa Barat dan DKI Jakarta Aktual
Simulasi
2002
36.914.883
36.914.883
2
2003
38.132.356
37.850.229
3
2004
39.140.812
38.809.845
4
2005
39.960.869
39.794.457
5
2006
40.737.594
40.804.735
Rata-rata
38.977.302
38.834.829
Varian
2.26507E+12
2.3644E+12
AME (Average Mean Error)
0.004 (0,4%)
AVE (Average Variance Error)
0.04 (4%)
Berdasarkan hasil simulasi model dinamik dari struktur model yang telah dibangun sesuai dengan konsep teori empirik seperti uraian di atas, maka model pengelolaan gas ikutan dapat dikatakan valid secara empirik.
Berdasarkan
analisis validasi kinerja terhadap komponen jumlah penduduk di Jawa Barat dan DKI Jakarta diperoleh nilai AME sebesar 0,4 % dan nilai AVE 4% sehingga dapat disimpulkan bahwa model tersebut memiliki kinerja yang baik, relatif tepat, dan dapat diterima secara ilmiah karena nilai kedua parameter lebih kecil dari 10% (Tabel 19). Trend pertumbuhan penduduk Jawa Barat dan DKI Jakarta sejak tahun 2002 hingga tahun 2006 antara data simulasi dengan data aktual relatif sama.
161 Jika dilihat dari nilai AME dan AVE yang sangat rendah, maka dapat dikatakan bahwa dinamika pertumbuhan jumlah penduduk Jawa Barat dan DKI Jakarta dalam model telah dapat menggambarkan dinamika pentumbuhan penduduk secara aktual di lapangan.
Oleh karena itu, model pengolahan gas ikutan
berdasarkan validasi kinerja terhadap jumlah penduduk dapat dikatakan valid.
42000000
jiwa
40000000
aktual
38000000
simulasi
36000000 34000000
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun Gambar 48. Pertumbuhan jumlah penduduk aktual dan hasil simulasi model di Jawa Barat dan DKI Jakarta periode 2002 – 2006
7.4.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa hasil simulasi sub model penduduk Jawa Barat dan DKI menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial. Ini menunjukan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk baik sebagai akibat dari tingginya tingkat kelahiran maupun tingginya penduduk pendatang. Hal yang sama ditunjukkan pada sub model pengolahan gas ikutan sub model ekologi dan sub model ekonomi. Namun karena keterbatasan sumberdaya yang tersedia seperti ketersediaan lahan dan deposit gas maka pada suatu saat kurva akan menuju pada suatu titik keseimbangan tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami penurunan. Dalam hal ini berarti terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) pada modal melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative feedback) melalui
162 proses balancing. Fenomena ini dalam sistem dinamik disebut mengikuti pola dasar (archetype) “limit to growth”. Pengolahan gas ikutan untuk menghasilkan gas hasil olahan seperti LPG, CNG, dan lean gas akan menurunkan jumlah polutan udara seperti CO2, NOx, dan polutan lainnya. Sebaliknya jika tidak dilakukan pengolahan gas ikutan, akan memperbesar polutan udara. Dilihat dari tingkat pendapatan total dan pendapatan asli daerah (PAD) menunjukkan adanya peningkatan setiap tahun dengan meningkatnya produksi gas ikutan. Pada tahun 2025 diproyeksikan pendapatan total perusahaan dalam memproduksi gas ikutan (LPG, CNG, lean gas, dan CO2) akan mencapai nilai sebesar Rp. 658.221.255.663,00
163
Daftar Pustaka
Suzeta, P. 2007. Minyak Tanah : Konversi ke Gas Elpiji. http://www.pikiranrakyat.com. Dikunjungi tanggal 06 Januari 2009. Aminullah. 2001. dalam Fauzi A dan Anna A, Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisa Kebijakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Grant. 1997. dalam Fauzi A dan Anna A, Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisa Kebijakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Siswosudomo. 2001. dalam Fauzi A dan Anna A, 2005, Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisa Kebijakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Purnomo. 2005. dalam Fauzi A dan Anna A, Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisa Kebijakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
VIII. STRATEGI ARAHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN GAS IKUTAN YANG MENGUNTUNGKAN SECARA EKONOMI, EKOLOGI DAN SOSIAL Abstrak Besarnya potensi gas yang dimiliki Indonesia dan semakin menurunnya produksi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia, telah mendorong pemerintah untuk mengubah kebijakannya yang semala ini diarahkan pada pemanfaatan BBM menjadi bahan bakar gas (BBG) sebagai alternatif energi yang murah dan ramah lingkungan. Berdasarkan hal tersebut dilakukan penelitian untuk menentukan strategi arahan kebijakan pengelolaan gas ikutan. Penelitian menggunakan metode analisis data analitycal hierarchy process (AHP) untuk menyusun strategi arahan kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat. Sedangkan untuk mengetahui kendala utama yang dihadapi dan kebutuhan program dilakukan analisis interpretatif structural modeling (ISM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa alternatif kebijakan pengelolaan gasi ikutan yang perlu dikembangkan di Lapangan Minyak Tugu Barat adalah pemanfaatan liquified petroleum gas (LPG). Tujuan yang diharapkan dalam pengembangan pemanfaatan LPG adalah terpeliharanya kualitas lingkungan dalam rangka menuju clean development mechanism (CDM). Untuk mencapai tujuan tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah kebijakan pemerintah disamping sumberdaya manusia yang tersedia, sumberdaya alam (ketersediaan gas ikutan), permodalan, teknologi, dan sarana dan prasarana. Oleh karena itu diperlukan kebijakan pemerintah dan peningkatan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam pengelolaan gas ikutan di lapanagn Tugu Barat. Saat ini kebijakan pemerintah khususnya terkait dengan pengelolaan gas ikutan belum ada, sehingga dalam pengelolaannya masih lebih mengacu pada kebijakan tentang pengembangan sumberdaya energi secara umum. Sedangkan sumberdaya manusia yang berkualitas yang dimaksud adalah selain memiliki keterampilan dalam mengelola manajemen industri tetapi memiliki pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dimana SDM tersebut dimanfaatkan. Di sisi lain perlunya kebijakan pengelolaan gas ikutan agar dalam pengembangannya dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan. Kata kunci : Kebijakan, pengelolaan gas ikutan, AHP, ISM 8.1. Pendahuluan Ditengah meningkatnya kebutuhan minyak dan semakin menurunnya jumlah produksi minyak dalam negeri membuat pemerintah mencari sumberdaya energi lainnya untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat. Salah satu sumberdaya energi yang memiliki peran besar dalam rangka memenuhi kebutuhan energi dalam negeri selain minyak dan dalam rangka diversifikasi energi adalah pemanfaatan gas dimana dalam pemanfaatannya harganya lebih murah dan ramah lingkungan. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah mengubah kebijakannya yang selama ini lebih diarahkan pada pemanfaatan
165 minyak seperti minyak tanah dan solar sebagai sumber bahan bakar beralih pada pemanfaatan gas. Bersamaan dengan menurunnya jumlah produksi minyak dan besarnya jumlah pemanfaatan minyak yang selama ini dilakukan untuk digunakan sebagai bahan bakar, membuat pemanfaatan gas sebagai bentuk diversifikasi energi perlu dimanfaatkan lebih banyak lagi untuk digunakan sebagai bahan bakar yang lebih murah dan ramah lingkungan. Hal ini penting dimana pemanfaatan gas dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk menuju pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM) dalam pengelolaan minyak dan gas di Indonesia dalam rangka mendukung pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan, melaporkan bahwa pemanfaatan gas baik dalam kegiatan rumah tangga, industri, dan transportasi sangat sedikit menimbulkan gas buang yang dapat berbahaya bagi lingkungan seperti gas rumah kaca (GRK) dibandingkan dengan penggunaan minyak terutama minyak tanah dan solar. Di sisi lain, pemanfaatan gas dalam berbagai kegiatan pembangunan, diharapkan akan memberikan keuntungan yang besar baik dilihat dari manfaat ekologi (lingkungan), ekonomi, dan sosial. Namun demikian keputusan pemerintah untuk memanfaatkan energi gas yang lebih murah dan ramah lingkunganini bagi penggunaan domestik telah mempengaruhi besarnya jumlah beban pemerintah untuk menyediakan gas dalam jumlah yang besar. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa ketersediaan gas dalam negeri belum cukup untuk memenuhi kebutuhan gas domestik yang cukup besar. Pada tahun 2002, suplai gas oleh pertamina baru mencapai 800.000 ton per tahun sementara permintaan telah mencapai 1.200.000 per tahun (http://strategis.ic.gc). Dari data tersebut mencerminkan bahwa kebutuhan akan gas dalam negeri masih kekurangan sekitar 400.000 ton per tahun. Untuk menutupi kekurangan akan gas tersebut, maka Pertamina meningkatkan impor gas disamping mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan akan gas yang besar tersebut. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pemanfaatan gas ikutan yang terkandung dalam minyak mentah. Keberadaan gas ikutan dalam industri minyak dan gas bumi sangat memegang peran penting dalam mendukung ketersediaan energi nasional khususnya yang berasal dari bahan-bahan fosil, sehingga proses penyediaan pemanfaatan gas ikutan yang ada di dalam proses produksi minyak mentah
166 sangat diperlukan. Saat ini proses produksi gas ikutan masih jarang dilakukan. Hal ini disebabkan selain masih kurangnya dukungan pemerintah dalam produksi gas ikutan tersebut, juga dalam proses produksi juga dibutuhkan investasi yang besar. Di sisi lain cadangan minyak dan gas yang semakin berkurang yang menyebabkan pengelolaan gas ikutan dapat menjadi tidak ekonomis. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disusun suatu strategi sebagai arahan kebijakan dalam rangka pengelolaan gas ikutan yang menguntungkan. Penelitian bertujuan untuk
menentukan
strategi
kebijakan
pengelolaan
gas
ikutan
yang
menguntungkan secara ekonomi, ekologi dan sosial 8.2. Metode Analisis Strategi Kebijakan Pemanfaatan Gas Ikutan Metode analisis yang digunakan dalam menganalisis strategi kebijakan gas ikutan sekaligus menggali kendalah dan kebutuhan dalam pengelolaan gas ikutan adalah analytical hierarchy process (AHP) dan interpretatif structural modeling (ISM). a. Analytical Hierarchy Process (AHP) AHP ini
digunakan untuk menentukan elemen-elemen kunci untuk
ditangani. Dalam analisis AHP didasarkan pada hasil pendapat pakar (expert judgment) untuk mengetahui kendala-kendala dan kebutuhan utama serta menjaring berbagai informasi dari beberapa elemen-elemen yang berpengaruh dalam penyusunan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan. Skala penilaian oleh pakar didasarkan pada skala nilai yang dikeluarkan oleh Saaty (1993) yang berkisar antara nilai 1 – 9, seperti pada Tabel 20. Tabel 20. Skala penilaian perbandingan berpasangan (Saaty, 1993) Tingkat Keterangan Kepentingan 1 Kedua elemen sama pentingnya 3 5 7 9
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen lainnya Elemen yang satu sedikit lebih cukup daripada elemen lainnya Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen lainnya Satu elemen mutlak
Penjelasan Kedua elemen mempunyai pengaruh yang sama pentingnya Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas elemen lainnya Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas lainnya Satu elemen yang kuat disokong dan dominannya telah terlihat dalam praktek Bukti yang menyokong elemen
167 penting daripada elemen lainnya 2,4,6,8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Sumber : Saaty, 1993
yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai ini diberikan jika ada dua kompromi diantara dua pilihan
Menurut Saaty (1994) bahwa tahapan analisa data dengan AHP adalah sebagai berikut : 1. Mendefinisikan dan menentukan solusi masalah; 2. Membuat struktur hierarki yang dimulai dengan penentuan tujuan umum, subsub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkat kriteria yang paling bawah. Penyusunan hierarki dilakukan melalui diskusi mendalam dengan pakar yang mengetahui persoalan yang sedang dikaji. 3. Membuat
matriks
perbandingan
berpasangan
yang
menggambarkan
pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya, perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya, Untuk mengkuantifikasi data kualitatif digunakan nilai skala 1-9, Skala perbandingan secara berpasangan seperti Tabel 20 di atas 4. Melakukan pengolahan perbandingan berpasangan. Pengolahan dilakukan untuk menyusun prioritas setiap elemen dalam hierarki terhadap sasaran utama. Jika NPpq didefenisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-p pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama, maka : S
NPpq =
∑ NPHpq(t , q − 1) xNPTt (q − 1) t −1
Keterangan : p T NPpq
= 1,2,....,r = 1,2,.....,s = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-p pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama NPHpq = Nilai prioritas elemen ke-p pada tingkat ke-q NPTt = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat q-1 5. Mengisi konsistensi judgment stakeholder dengan menghitung consistency ratio, Nilai konsistensi yang dianggap baik adalah < 0,1 Jika tidak konsisten
168 (nilainya > 0,1) maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi, consistency ratio merupakan parameter yang digunakan untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan yang dilakukan oleh pakar telah dilakukan dengan konsekuen atau tidak (Marimin, 2004). Nilai consistency ratio dihitung dengan rumus : CR = CI
RI Keterangan : CI = Indeks konsistensi CI = (p – n) / (n – 1) RI = Indeks Random p = rata-rata Consistensy Vector n = Banyak alternatif Sedangkan RI merupakan nilai random indeks sebagaimana yang ditetapkan oleh Oarkridge laboratory (Marimin, 2004) seperti pada Tabel 21 Tabel 21. Nilai indeks random untuk menghitung nilai consistency ratio N
1
2
3
4
5
6
7
8
9
RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45
10 1,49
11
12
1,51 1,48
13 1,56
169
Fokus
Faktor
Stakeholders
Model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Sumberdaya manusia
Sumberdaya alam
Pengelola/Pertamina
Pemerintah
Terpeliharanya Kualitas lingkungan menuju CDM
Tujuan
LPG
Alternatif
Gambar 49.
Modal
Perluasan lapangan kerja
KONDENSAT
Teknologi
Sarana dan prasarana
Perbankan
Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan
LEAN GAS (POWER GENERATOR)
Kebijakan pemerintah
Masyarakat
Peningakatn Pendapatan Asli Daerah
CO2
Hierarki pengambilan keputusan model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih 169
170 b. Interpretatif Structural Modeling (ISM) Pada penelitian ini akan dibuat teknik permodelan interpretasi struktural (interpretatif structural modelling) dalam rangka merumuskan alternatif kebijakan di masa yang akan datang. Tahapan ISM akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hirarki dan klasifikasi subelemen (Eriyatno, 2003). Adapun tahapantahapan dalam analisis ISM secara rinci dijelaskan sebagai berikut: 1. Penyusunan Hierarki (a) Program yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen, dan setiap elemen akan diuraikan menjadi sejumlah subelemen. (b) Menetapkan hubungan kontekstual antara subelemen yang terkandung adanya suatu pengarahan (direction) dalam terminologi subordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan (oleh pakar). Jika jumlah pakar lebih dari satu maka dilakukan perataan. Penilaian hubungan kontekstual pada matriks perbandingan berpasangan menggunakan simbol VAXO dimana : ¾ V jika eij = 1 dan eji = 0; V = subelemen ke-i harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-j ¾ A jika eij = 0 dan eji = 1; A = subelemen ke-j harus lebih dulu ditangani dibandingkan subelemen ke-i ¾ X jika eij = 1 dan eji = 1; X = kedua subelemen harus ditangani bersama ¾ O jika eij = 0 dan eji = 0; O = kedua subelemen bukan prioritas yang ditangani Pengertian nilai eij = 1 adalah ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j, sedangkan nilai eji = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara subelemen ke-i dan ke-j. (c) Hasil olahan tersebut tersusun dalam structural self interaction matrix (SSIM). SSIM dibuat dalam bentuk tabel reachability matrix (RM) dengan mengganti V, A, X dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Adapun tabel SSIM seperti di bawah ini.
171 Tabel 22. Structural self interaction matrix (SSIM) awal elemen 12
11
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Setelah Structural self interaction matrix (SSIM) terisi sesuai pendapat responden, maka simbol (V, A, X, O) dapat digantikan dengan simbol (1 dan 0) sesuai dengan ketentuan sehingga dari situ akan dapat diketahui nilai dari hasil reachability matrix (RM) final elemen. Bentuk pengisian hasil reachability matrix (RM) final elemen disajikan pada Tabel 23 Tabel 23. Hasil reachability matrix (RM) final elemen 1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 D L Keterangan : DP R D L
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
DP R
= driver power = rangking = dependence = level/hierarki Berdasarkan Tabel 23 dapat diketahui nilai driver power, dengan
menjumlahkan nilai subelemen secara horizontal; untuk nilai rangking ditentukan
172 berdasarkan nilai dari driver power yang diurutkan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil; nilai dependence diperoleh dari penjumlahan nilai subelemen secara vertikal; untuk nilai level ditentukan berdasarkan nilai dari dependence yang diurutkan mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil. 2. Klasifikasi subelemen Secara garis besar klasifikasi subelemen digolongkan dalam 4 sektor yaitu: (a)
Sektor 1, weak driver-weak dependent variabels (Autonomous). Subelemen yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Subelemen yang masuk pada sektor 1 jika: Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X, X adalah jumlah subelemen.
(b)
Sektor 2; weak driver-strongly dependent variabels (Dependent). Umumnya subelemen yang masuk dalam sektor ini adalah subelemen yang tidak bebas. Subelemen yang masuk pada sektor 2 jika : Nilai DP ≤ 0.5 X dan nilai D > 0.5 X, X adalah jumlah subelemen.
(c)
Sektor 3;
strong driver- strongly dependent variabels (Lingkage).
Subelemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara elemen tidak stabil.
Setiap tindakan pada
subelemen akan memberikan dampak terhadap subelemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Subelemen yang masuk pada sektor 3 jika : Nilai DP > 0.5 X dan nilai D > 0.5 X, X adalah jumlah subelemen. (d)
Sektor 4;
strong driver-weak dependent variabels (Independent).
Subelemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.
Subelemen yang masuk pada
sektor 4 jika : Nilai DP > 0.5 X dan nilai D ≤ 0.5 X, X adalah jumlah subelemen. Adapun analisa matrik dari klasifikasi subelemen disajikan pada Gambar 50.
173
Independent Variable Sektor IV
Lingkage Variablel Sektor III
Autonomous Variable Sektor I
Dependent Variable Sektor II
Daya Dorong (Drive Power)
Ketergantungan (Dependence)
Gambar 50.
Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor (Marimin, 2004)
8.3. Hasil dan Pembahasan Penyusunan Strategi Kebijakan Pemanfaatan Gas Ikutan Sebagaimana telah diuraikan pada Bab III, bahwa untuk mengetahui strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan digunakan analisis AHP (analytical hierarchy process) berdasarkan hasil diskusi dengan pakar dan penelitian di lapangan ada 5 level hirarki yang terkait secara nyata mempengaruhi strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan yaitu: (1) level fokus; (2) level faktor; (3) level stakeholder; (4) level tujuan dan (5) level alternatif seperti yang terlihat pada Gambar 49 di atas. Hasil analisis AHP secara terperinci seperti pada
Tabel
24. Tabel 24. Hasil analisis AHP strategi kebijakan pemanfaatan gas ikutan No
ELEMEN PENGELOLAAN GAS IKUTAN
I. II 1. 2. 3. 4. 5. 6. III. 1. 2. 3. 4. IV. 1. 2. 3.
Strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan Faktor SDM SDA Modal Teknologi Sarana dan Prasarana Kebijakan Pemerintah Stakeholder Pemerintah Pengelola/Pertamina Perbankan Masyarakat Tujuan Terpeliharanya Kualitas Lingkungan Menuju CDM Perluasan Lapangan Kerja Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan
PENDAPAT PAKAR
0,212 0,185 0,095 0,131 0,106 0,270 0,292 0,321 0,250 0,137 0,323 0,194 0,310
174 4. V. 1. 2. 3. 4.
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Alternatif LPG Kondensat Lean Gas (Power Generator) CO2
0,173 0,382 0,204 0,317 0,097
1. Level Fokus Peran masing-masing stakeholder dan strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan difokuskan pada pengelolaan gas ikutan.
karena besaran (size) dan
kompleksitas permasalahan dan ketergantungan masing-masing sektor dan pihak yang terkait dalam pengelolaan gas ikutan merupakan salah satu alat yang berpengaruh untuk efisiensi pencapaian tujuan pelaksanaan kebijakan baik oleh pemerintah maupun perusahaan yang berperan sebagai pengelola sehingga alternatif yang dihasilkan berdampak positif dan mengurangi resiko selama berlangsungnya kegiatan.
2. Level Faktor Berdasarkan hasil survey pakar yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat 6 (enam) faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan gas ikutan antara lain : (1) sumberdaya manusia, (2) sumberdaya alam, (3) modal, (4) teknologi, (5) sarana dan prasarana, dan (6) kebijakan pemerintah. Hasil analisis pendapat pakar terhadap 6 (enam) faktor tersebut diperoleh bahwa faktor yang sangat berpengaruh terhadap pengelolaan gas ikutan adalah kebijakan pemerintah dengan skor tertinggi 27,0 % dan selanjutnya diikuti oleh factor lainnya yaitu factor
sumberdaya manusia dengan skor 21,2 %,
sumberdaya alam 18,5 %, teknologi 13,1 %, sarana dan prasarana 10,6 %, dan modal 9,5 %. Tingginya nilai skor faktor kebijakan pemerintah dibandingkan faktor lainnya menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah sangat penting dalam pengelolaan gas ikutan sebagai pedoman dalam bentuk undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengatur pengelolaan gas ikutan dimulai dari perencanaan, proses produksi, pemasaran, penentuan kerjasama, subsidi dan program-program pengelolaan lingkungan industri yang dapat dilaksanakan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, baik bagi industri maupun masyarakat. Adanya kebijakan pemerintah diharapkan mampu menjamin ketersediaan energi yang berasal dari gas ikutan secara berkelanjutan. Adapun
175 nilai scoring pada setiap factor yang berpengaruh dalam pengelolaan gas ikutan dapat dilihat seperti pada Gambar 51.
27,0%
30%
Persentasi (%)
25%
21,2% 18,5%
20%
13,1%
15%
9,5%
10,6%
10% 5% 0%
SDM
SDA
Modal
Teknologi
Sarana dan Kebijakan Prasarana Pemerintah
Faktor
Gambar 51. Prioritas faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu Dengan adanya kebijakan pemerintah akan mampu mengawasi dan mengontrol penggunaan sumberdaya yang tidak terpebaharui ini sehingga pengelolaannya dapat berjalan secara transparan artinya bahwa tidak ada pihak yang akan dirugikan baik pihak pengelola, pemerintah maupun masyarakat sebagai pemakai atau konsumen terakhir. Dengan adanya kebijakan pemerintah eksploitasi sumberdaya gas tidak dimonopoli oleh satu pihak dan memaksa industri untuk memperhatikan aspek lingkungan terhadap dampak yang akan ditimbulkan. Kebijakan pemerintah mampu mengakomodir dan menjembatani semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan gas ikutan terutama merangkul pihak swasta untuk berinvestasi dalam pengelolaan gas ikutan. Kebijakan pemerintah juga berperan dalam mengontrol dan mengawasi seluruh kegiatan industri sehingga kegiatan yang dilakukan tidak memberikan dampak negatif baik untuk lingkungan maupun industri. Kebijakan pemerintah mampu mengatur dan menentukan apa saja kegiatan industri yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta memuat dengan jelas tentang sanksi-sanksi bagi industri yang tidak menjalankan aturan yang diberlakukan dalam kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah dalam bidang industri minyak dan gas dapat berupa aturan tentang subsidi, kebijakan mengenai konversi minyak tanah ke gas, penentuan harga migas dan lain-lain.
176 Adanya kebijakan pemerintah akan mampu memberikan perlindungan kepada konsumen maupun pelaku industri sehingga pemenuhan kebutuhan akan energi bagi masyarakat dapat terpenuhi secara efektif dan efisien. Kebijakan pemerintah untuk memanfaatkan energi gas bagi penggunaan domestik dan bahan bakar minyak untuk ekspor telah mempengaruhi besarnya jumlah beban pemerintah atas subsidi yang harus dipenuhi akibat meningkatnya harga minyak dunia, yang juga semakin diperburuk dengan melemahnya nilai tukar akan sangat membantu daya beli terhadap kebutuhan energi masyarakat terutama masyarakat ekonomi lemah. Kebijakan pemerintah berperan untuk mengantisipasi perdagangan energi terutama gas sehingga terciptanya kondisi yang lebih kondusif dan memberikan kesempatan bagi pihak swasta atau investor untuk mengelola energi alternatif secara swadaya melalui bantuan finansial maupun penyediaan sumberdaya manusia yang berkualitas dan potensial dalam pengelolaan sumberdaya alam baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak terbaharui. Untuk keberhasilan pengelolaan gas ikutan diperlukan komitmen dan tanggungjawab moral pembangunan dari pihak yang terkait terutama pemerintah dalam bentuk kebijakan, sehingga pengelolaan gas ikutan
dapat dilakukan
secara efektif, efisien, terintegrasi, dan sinkron dengan sistem kelembagaan dan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak yang terlibat. Kebijakan dapat berupa peraturan peraturan yang mengikat dan memaksa perusahaan untuk ikut terlibat secara langsung dalam pengelolaan lingkungan salah satunya adanya peraturan-peraturan yang mewajibkan industri untuk mengurangi dan bahkan menghilangkan limbah yang dihasilkan melalui pengelolaan yang ramah lingkungan sehingga tidak melabihi baku mutu lingkungan yang ditetapkan. Artinya pihak industri yang merusak lingkungan akan diberikan sanksi atau denda sehingga menimbulkan efek jera bagi pihak industri yang tidak mematuhinya. Sedangkan bagi industri yang mampu mengurangi dan mengelola limbahnya dengan baik akan diberikan insentif baik dalam bentuk pajak maupun kemudahan dalam hal regulasi dan pengawasan. Namun demikian, keberhasilan pengelolaan gas ikutan tidak saja ditentukan oleh faktor kebijakan pemerintah, tetapi perlu didukung oleh faktor-faktor lainnya seperti ketersediaan sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sarana dan prasarana, teknologi dan modal. Pengelolaan gas ikutan dapat melakukan sistem kemitraan atau kerjasama dengan investor lain yang bergerak dibidang industri sejenis, dengan masyarakat
177 maupun dengan pihak swasta secara simbiosis dimana masing-masing pihak memiliki tugas, tanggung jawab dan wewenang yang jelas yang tertuang dalam perjanjian
kerjasama
sehingga
dalam
menjalankan
tugas
tidak
terjadi
ketimpangan. Kebijakan pemerintah juga dapat berupa keputusan pembentukan komisi khusus yang mengawasi dan mengontrol seluruh kegiatan industri yang dilakukan oleh pengusaha dan kebijakan yang memberikan sanksi yang berat terhadap perusahaan yang tidak menjalankan aturan yang ditetapkan dalam kebijakan pemerintah sebaliknya memberikan penghargaan (apresiasi) terhadap industri yang secara nyata memberikan konstribusi positif terhadap peningkatan kualitas perusahaan secara ekonomi maupun lingkungan yang diatur dalam peraturan perundangan, dan adanya pedoman-pedoman pengelolaan gas ikutan yang mudah diakses dan diterapkan oleh masyarakat.
3. Level Stakeholder Untuk mencapai tujuan dari strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan di lapangan Tugu Barat Indramayu, stakeholder yang paling berperan adalah pengelola yaitu Pertamina dengan nilai skor tertinggi yaitu 32,1 %, selanjutnya pemerintah dengan nilai skor 29,2 %, perbankan 25,0 % dan masyarakat 13,7 %. Adapun nilai skoring pada setiap stakeholder yang berperan dalam pengelolaan gas ikutan dapat dilihat seperti pada Gambar 52.
Stakeholder yang Berperan 13,7% 29,2%
25,0% 32,1% Pemerintah
Pengelola/Pertamina
Perbankan
Masyarakat
Gambar 52. Prioritas stakeholder yang berperan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu
178 Pakar menilai bahwa Pertamina selaku pengelola memiliki nilai skor tertinggi karena selama ini pertamina dianggap memiliki pengalaman, konstribusi dan andil besar dalam pengelolaan dan pertumbuhan ekonomi dalam industri minyak dan gas. Pertamina sebagai pengelola merupakan pihak yang memiliki modal besar atau padat modal sehingga mampu melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya mineral termasuk pemanfaatan gas ikutan yang menguasai perdagangan minyak dan gas di Indonesia baik dari segi proses produksi sampai pada tahap distribusi. Peran
Pertamina/pengelola
sangat
penting
dalam
pengembangan
kawasan industri minyak dan gas, oleh karena itu pemerintah wajib menjaga iklim kondusif dan persaingan yang sehat dalam dunia usaha sehingga pemilik modal tetap menanamkan modalnya pada perusahaan yang ada di wilayahnya sehingga dampak merosotnya ekonomi dapat dihindarkan. Pertamina/pengelolan dan manajemen sangat berpengaruh dalam hal pengelolaan perusahaan dari segi manajemen. Dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan sampai produk dihasilkan serta distribusi ke pihak konsumen. Manajemen bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan perusahaan atau industri oleh karena itu dibutuhkan tenaga yang profesional dan memiliki keahlian dibidangnya. Selanjutnya peran pemerintah tidak saja dilihat dari kebijakannya dalam menetapkan sistem pengelolaan gas ikutan dengan mengeluarkan surat keputusan atau peraturan-peraturan, tetapi juga menfasilitasi setiap kegiatan industri dalam bentuk program-program
pengelolaan industri yang dapat
dilaksanakan dalam jangka pendek maupun jangka panjang baik bagi industri maupun masyarakat sekitar misalnya kegiatan penyuluhan, pelatihan dan pemberdayaan masyarakat sekitar sehingga masyarakat mendapat manfaat baik secara pendidikan maupun ekonomi. Pemerintah juga berperan dalam mengontrol dan mengawasi seluruh kegiatan industri sehingga kegiatan yang dilakukan tidak memberikan dampak negatif baik untuk lingkungan maupun industri. Pemerintah memiliki wewenang dan kapasitas dalam menentukan apa saja kegiatan industri yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dalam pengelolaan industri gas ikutan tentunya didukung oleh para stakeholder lain yang terkait seperti perbankan dan masyarakat. Peran perbankkan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi perusahaan baik dari segi modal maupun tingkat suku bunga yang akan berpengaruh terhadap pemberlakuan pajak dan penerimaan perusahaan. Peran masyarakat
179 baik sebagai konsumen maupun sebagai pelaku dan yang terkena dampak akibat adanya industri pengelolaan gas sangat penting diperhatikan. Misalnya masyarakat
sebagai
konsumen,
Pertamina/pengelola
diharapkan
mampu
menyediakan dan mencukupi kebutuhan energi khususnya gas dengan harga murah yang dapat dijangkau oleh masyarakat serta adanya jaminan keamanan dalam penggunaan produk. Sedangkan masyarakat sebagai pelaku adalah bahwa masyarakat sekitar mampu diberdayakan dan dilibatkan dalam kegiatan pengeloaan industri gas ikutan sehingga kualitas SDM harus ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan yang difasilitasi oleh perusahaan. Masyarakat yang terkena dampak keberadaan industri harus mendapatkan kompensasi misalnya melalui
kegiatan pemberdayaan
ekonomi sehingga
pendapatan mereka
meningkat dan secara langsung meningkatkan kesejahteraan rakyat.
4. Level Tujuan yang Diharapkan dalam Pengelolaan Gas Ikutan Hasil diskusi dengan pakar dan pihak terkait dalam penelitian penyusunan kebijakan pengelolaan gas ikutan di lapangan, diperoleh 4 (empat) tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan gas ikutan. Keempat tujuan tersebut meliputi : (1) Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM (2) Perluasan lapangan kerja (3) Peningkatan nilai guna gas ikutan (4) Peningkatan pendapatan asli daerah Hasil analisis pendapat pakar terhadap 4 (empat) tujuan tersebut diperoleh bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam strategi kebijakan pengelolaan gas ikutan adalah terpeliharanya kualitas lingkungan menuju menuju mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM) karena memiliki nilai skor paling tinggi yaitu 32,3 %, selanjutnya peningkatan nilai guna gas ikutan, perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan asli daerah dengan nilai skor masing-masing adalah 31,0 %, 19,4 % dan 17,3 %. Tingginya nilai skor tujuan terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM dibandingkan dengan tujuan lainnya menunjukkan bahwa terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM menjadi perhatian utama pengelola industri minyak dan gas, hal ini sangat penting dimasukkan ke dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan industri. Karena terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM sebagai parameter dan asset utama perusahaan dalam menjamin
180 ketersediaan sumberdaya energi secara berkelanjutan
untuk memenuhi
kebutuhan manusia akan energi. Adapun nilai skoring pada setiap tujuan yang diharapkan tercapai dalam pengelolaan gas ikutan dapat dilihat seperti pada Gambar 53. Tujuan yang Diharapkan 17,3% 32,3%
31,0% 19,4% Terpeliharanya Kualitas Lingkungan Menuju CDM
Perluasan Lapangan Kerja
Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah
Gambar 53. Prioritas tujuan yang diharapkan tercapai dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu Mekanisme pembangunan bersih (CDM) atau clean development mechanism (CDM) merupakan salah satu mekanisme Protokol Kyoto dalam kerangka konvensi PPB mengenai perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC). Protokol tersebut mengikat negaranegara industri (Pihak-pihak Annex-1) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai target yang telah ditentukan. Target batas emisi yang ditentukan adalah beberapa persen dibawah tingkat emisi. Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto melalui UU No. 17/2004, yang merupakan langkah pertama partisipasi Indonesia dalam CDM. Lebih lanjut, pembentukan Komisi Nasional CDM pada tahun 2005 menjadikan Indonesia siap sepenuhnya untuk implementasi kegiatan-kegiatan CDM. (World Bank, 2007) Protokol Kyoto yang ditandatangani tahun 1997 akhirnya mulai berlaku sejak 16 Februari 2005. Sejak penandatanganan Persetujuan Marrakesh tahun 2001, yang menetapkan aturanaturan dasar bagi mekanisme Kyoto – Clean Development Mechanism (CDM)/Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB), Joint Implementation (JI)/Implementasi Bersama,
dan Emission Trading (ET)/
181 Perdagangan emisi. Walaupun minat untuk melaksanakan CDM cukup tinggi dan perbaikan dalam aturan-aturan terus berlanjut, banyak investor dan pengembang proyek yang masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan proyek CDM. Salah satu faktor yang menjadi penghalang penerapan CDM adalah masalah kemampuan suatu negara untuk menarik investor asing. Faktor penghalang lain yang langsung berkenaan dengan keefektifan penerapan CDM adalah belum siapnya negara berkembang untuk menjadi tuan rumah proyek CDM. Penyebabnya antara lain belum matangnya perkembangan institusi, kompleksnya sistem untuk pengesahan suatu proyek, kurangnya pengalaman para pegawai pemerintah, dan kurangnya koordinasi diantara Kementerian dan institusi pemerintah lainnya yang relevan (KLH et al., 2005). Sumber utama emisi GRK di sektor energi adalah pembakaran bahan bakar minyak dalam proses produksi dan prosesing sumber energi primer terutama minyak dan gas, pembangkit tenaga, dan proses pembakaran di industri-industri lainnya (Abrahamson, 1989). Umumnya sektor ini masih banyak menggunakan teknologi yang tidak menghasilkan emisi GRK lebih rendah. Berdasarkan catatan KLH (2000) banyak teknologi rendah emisi GRK yang tersedia di pasaran untuk sektor energi, namun demikian, karena berbagai sebab sebagian besar masih sulit diterapkan. World Bank (2007) melaporkan bahwa sektor minyak dan gas Indonesia memiliki peluang yang signifikan untuk memperoleh keuntungan dari kredit karbon dalam penerapan CDM. Hal ini dilihat dari potensi pengurangan gas ikutan dan pemanfaatan dari gas ikutan (associated gas) pada beberapa lapangan produksi minyak bumi Indonesia cukup besar. sekitar 110 BSCF gas ikutan dibakar.
Pada tahun 2005,
Berdasarkan Kajian Strategi Nasional
(National Strategic Study, NSS) CDM yang disusun untuk sektor energi Indonesia pada tahun 2000-2001, implementasi proyek-proyek pengurangan gas ikutan berpotensi mengurangi emisi GRK sebesar 10,5 juta ton CO2 per tahun. Potensi proyek-proyek pengurangan gas ikutan termasuk penangkapan dan penjualan/pemanfaatan gas ikutan, pemanfaatan gas ikutan dalam fasilitas produksi minyak, dan re-injeksi ke dalam reservoir. Sebagai mekanisme baru, CDM memerlukan perangkat baru berupa prosedur teknik dan non-teknik serta peraturan yang perlu diikuti oleh pihak-pihak manapun yang tertarik dalam mengembangkan proyek-proyek CDM atau terlibat dalam proses CDM.
182 Menurut KLH (2005) pengurangan emisi dari pembakaran gas ikutan merupakan proyek yang potensial untuk CDM di Indonesia.
Bahkan adanya
pemanfaatan gas ikutan merupakan salah satu upaya untuk melakukan CDM dengan cara mengurangi karbon dioksida dari sumbernya (Saloh dan Clogh, 2002). Hasil perhitungan, menunjukkan bahwa Indonesia membakar sekitar 4.6 milyar m3 gas ikutan per tahun, yang menghasilkan sekitar 11 juta ton emisi CO2 per tahun. Pemerintah Indonesia yakin bahwa gas bakaran dapat dimasukkan ke dalam pembangkit tenaga listrik skala kecil dalam rangka memenuhi kebutuhan energi yang semakin meningkat, dan pada saat yang sama menghasilkan pengurangan emisi GRK dibandingkan penggunaan sumber energi lainnya yang berasal dari energi yang tidak terbarukan. Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM akan berpengaruh terhadap penurunan dampak atau resiko terhadap kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi karena lingkungan menyediakan sistem pendukung kehidupan untuk mempertahankan keberadaan manusia dan keberlanjutan suatu aktivitas ekonomi jangka panjang.
Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM
industri mempunyai masa guna yang panjang, dan dapat memanfaatkan gas ikutan melalui proses daur ulang (recycle) menjadi bahan baku oleh industri lain yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dalam proses produksi dan pemanfaatan sumberdaya tersedia sehingga kebutuhan materi dan energi dapat ditekan sampai seminimum mungkin. Terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM dalam kegiatan industri mempunyai implikasi yang luas dalam rangka memperpanjang daur guna (use cycle) materi, sehingga disamping mengurangi pencemaran, juga mampu mengurangi laju deplesi sumberdaya (Soemarwoto, 2001).
Oleh karena itu perlu adanya kerjasama dan hubungan simbiosis
berbagai industri minyak dan gas dalam rangka mendukung terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM menjamin semua sumberdaya yang tersedia maupun sisa produksi untuk dapat dimanfaatkan menjadi sumberdaya yang memiliki nilai ekonomi sehingga secara tidak langsung pengelola mampu menyediakan sumberdaya cadangan dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi
untuk
masyarakat
secara
berkelanjutan.
Terpeliharanya
kualitas
lingkungan menuju CDM diharapkan mampu menghasilkan produk yang kompetitif dan mampu bersaing dalam pasar global.
Terpeliharanya kualitas
lingkungan menuju CDM bertujuan bahwa dalam setiap proses produksi tidak menghasilkan limbah artinya limbah yang dihasilkan akan menjadi sumberdaya
183 yang terbarukan dan bermanfaat dalam meningkatkan pertumbuhan dan keberlanjutan ekonomi dan ekologi perusahaan. Berdasarkan uraian di atas bahwa dalam pengelolaan gas ikutan terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM akan mampu meningkatkan nilai guna gas ikutan sehingga membuka dan memperluas lapangan kerja bagi sumberdaya manusia yang berkualitas melalui pengembangan industri gas ikutan yang belih besar dan kompetitif. Pengelolaan industri gas ikutan yang ramah lingkungan dapat memberikan pengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan sosial masyarakat sekitar kawasan industri. Industri
harus
mampu
memberikan
dampak
positif
terhadap
tingkat
kesejahteraan masyarakat sekitar melalui program-program pemberdayaan dan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam kegiatan industri dengan menciptakan lingkungan yang baik bagi masyarakat yang ada disekitarnya. Hal ini akan mampu meminimalisasi konflik dan kesenjangan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat sekitar kawasan industri, sehingga menjamin stabilitas penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar dan mengurangi angka kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat lokal, memperhatikan keanekaragaman budaya dan hayati dengan mengakui dan menghargai sistem ekologi, sistem sosial dan kebudayaan yang berlaku, mendorong partisipasi masyarakat lokal sehingga mampu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya melalui pemberian tanggung jawab kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan hidup mereka. Selain tujuan utama yaitu terpeliharanya kualitas lingkungan menuju CDM dalam pengelolaan gas ikutan, tujuan lain seperti perluasan lapangan kerja, peningkatan nilai guna gas ikutan, dan peningkatan PAD yang berasal dari pengelolaan gas ikutan juga perlu mendapat perhatian. Saat ini tingkat pengangguran tenaga kerja cukup besar, apalagi ditengah krisis global yang menyebabkan perusahaan banyak merumahkan karyawannya akan menambah tingginya tingkat pengangguran di Indonesia.
Pengembangan industri gas
ikutan, setidaknya sangat membantu pemerintah untuk menurunkan tingkat pengangguran mengingat pengembangan industri gas ikutan di Indonesia masih cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa masih banyak ladangsumur baru yang potensial untuk dikembangkan.
184 Dalam proses produksi gas ikutan, peningkatan nilai guna gas ikutan selayaknya menjadi prioritas utama agar produk gas ikutan yang berkualitas ini memiliki nilai jual yang tinggi baik di pasar domestik maupun di pasar global. Di sisi lain, nilai pemanfaatan gas ikutan ini akan sangat baik dari sisi lingkungan, karena kandungan gas buang dari pengolahan gas ikutan potensi untuk meningkatkan pencemaran lingkungannya sangat kecil. Apabila pengembangan industri gas ikutan ini berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sangat membantu dalam penyediaan stok gas dalam negeri baik untuk kepentingan rumah tangga maupun untuk kegiatan industri. Tentunya juga akan memberikan sumbangan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) di tempat industri tersebut berada.
5. Level Alternatif Kebijakan dalam Pengelolaan Gas Ikutan Berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai serta peran para aktor dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan Tugu Barat seperti diuraikan di atas, berbagai alternatif pengelolaan gas ikutan lapangan Tugu Barat seperti pengelolaan dan pemanfaataan LPG, Kondensat, lean gas (power generator) dan CO2. Gas ikutan tersebut diperoleh dari proses pemisahan antara minyak mentah dan gas bumi. Gas ikutan diperoleh melalui proses tekanan hidrokarbon yang diberikan dengan batas maksimum antara 25 % – 30 %. Dalam proses produksi minyak mentah, biasanya dilakukan tidak bersamaan dengan penyaringan gas ikutan (associated gas/flaring gas) karena hal ini sangat berpengaruh terhadap kandungan minyak mentah dan gas yang dihasilkan serta biaya operasional yang diperlukan dalam proses pemisahaan juga besar. Di sisi lain keempat gas ikutan tersebut memiliki niali ekonomi dan dampak terhadap lingkungan yang berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan analisis untuk menentukan alternatif dalam pengembangannya sebagai salah satu kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan. Alternatif-alternatif kebijakan tersebut, dianalisis berdasarkan pendapat pakar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alternatif
pengelolaan dan
pemanfaatan LPG menduduki prioritas pertama yang perlu dikembangkan. Hal ini terlihat dari hasil penilaian para pakar
dengan memberikan nilai sebesar
38,2% dan selanjutnya diikuti oleh lean gas dengan nilai skor 31,7 %, kondensat 20,4 % dan CO2 dengan skor 9,7 %.
185 Adapun nilai skoring pada setiap alternatif kebijakan dalam dalam pengelolaan gas ikutan dapat dilihat seperti pada Gambar 54.
40,0%
38,2% 31,7%
Persentasi (%)
35,0% 30,0%
20,4%
25,0% 20,0%
9,7%
15,0% 10,0% 5,0% 0,0%
LPG
Kondensat
Lean Gas
CO2
Alternatif Kebijakan
Gambar 54.
Prioritas alternatif kebijakan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu
Tingginya nilai skoring yang diberikan oleh pakar terhadap alternatif kebijakan pengembangan LPG dibandingkan dengan alternatif lainnya adalah menunjukkan bahwa penggunaan LPG selain dapat meningkatkan efisiensi penggunaan energi yang cukup besar karena nilai kalor efektif LPG lebih tinggi dibandingkan jenis bahan bakar lainnya, dan juga mempunyai kandungan gas buang yang lebih bersih dan ramah lingkungan.
Pengembangan kebijakan
pemanfaatan LPG ini juga sangat membantu meringankan beban pemerintah dalam mengatasi permasalahan penyediaan energi di dalam negeri, khususnya bahan bakar minyak dengan subsidi yang sangat tinggi. Di sisi lain kebijakan pemanfaatan LPG ini akan mendukung kebijakan diversifikasi energi untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak khususnya minyak tanah dengan mengalihkan ke penggunaan LPG. Potensi
gas yang dimiliki Indonesia yang sangat besar dan dengan
semakin meningkatnya kebutuhan gas domestik khususnya penggunaan LPG di Indonesia, telah mendorong masyarakat untuk lebih memanfaatkan LPG sebagai
186 alternatif energi yang murah dan ramah lingkungan. Produksi LPG Indonesia pada tahun 2006 mencapai 1.428 ton, sedangkan angka konsumsi hanya mencapai 1.100 ton sehingga masih mempunyai kuota untuk ekspor sebesar 289
ton (Departemen ESDM, 2007). Apabila kebutuhan LPG domestik ini
dipenuhi dapat terpenuhi dengan baik dan mendukung terjadinya alih penggunaan pemanfaatan bahan bakar minyak (BBM) kepada penggunaan gas sebagai energi, sehingga dapat membantu mengurangi kelangkaan BBM. Kebijakan konversi minyak tanah bersubsidi ke LPG mempunyai maksud untuk mengurangi subsidi. Perhitungan pengurangan subsidi melalui program konversi minyak tanah bersubsdi ke LPG berdasarkan perhitungan seperti Tabel 25 berikut. Tabel 25. Perbandingan subsidi minyak tanah dibandingkan dengan LPG MINYAK TANAH PERBANDINGAN Kesetaraan Harga Jual ke Masyarakat Pengalihan Volume Minyak Tanah Subsidi Asumsi Harga Keekonomian Harga Jual Besaran Subsidi Total Subsidi Selisih
1 Liter Rp. 2.500 /Ltr 10.000.000 Kiloliter Rp. 5.665 /Liter Rp. 2000 /Liter Rp. 3.665 /Liter Rp. 36.65 Triliun/Tahun Rp. 20.12 Triliun/Tahun
LPG 0.57 Kg Rp. 4.250/Kg 5.746.095 MT/Tahun Rp. 7.127 /Kg Rp. 4.250 /Kg Rp. 2.877 /Kg Rp.16.53 Triliun/Tahun
Dari Tabel 25 di atas terlihat bahwa Pemerintah Indonesia dapat menghemat subsidi sebesar Rp 20 triliun/ tahun dari pengalihan penggunaan minyak tanah dengan LPG. Perhitungan penghematan subsidi sebesar itu dengan asumsi seluruh volume minyak tanah bersubsidi dikonversi ke LPG 3 kg. Hal ini akan mengurangi beban pemerintah dalam menyediakan subsidi yang besar dan beban subsidi tersebut dapat dialokasikan kepada sektor lain yang lebih membutuhkan, seperti pendidikan dan kesehatan.
8.3.2. Kendala dan kebutuhan dalam Pengelolaan gas ikutan a. Kendala dalam Pengelolaan gas ikutan Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengelolaan gas ikutan di wilayah lapangan minyak dan gas Tugu Barat, Indramayu. Berdasarkan hasil pendapat
187
pakar, ditemukan 10 sub elemen kendala yaitu: (1) Belum ada pengembangan pasar gas domestik, (2) Terbatasnya kebijakan gas ikutan, (3) Sistem fiskal yang rumit, (4) Harga gas ikutan yang masih rendah, (5) Terbatasnya sarana dan prasarana pemanfaatan gas ikutan, (6) Akses pengelolaan gas yang terbatas, (7) Modal usaha terbatas, (8) Kebijakan otonomi daerah, (9) Kualitas SDM yang masih rendah, (10) Mutu hasil olahan gas ikutan masih rendah. Hasil analisis dengan menggunakan metode ISM, memperlihatkan sebaran setiap sub elemen kendala menempatkan tiga sektor masing-masing sektor I, II, dan IV seperti terlihat pada Gambar 51. Pada Gambar 51 terlihat bahwa sub elemen kendala terbatasnya kebijakan gas ikutan (2) dan masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia (9), terletak pada sektor IV yang merupakan sub elemen kunci yang sangat berpengaruh dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat. Sub elemen tersebut memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang besar dalam pengembangan kawasan dengan tingkat ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap sub elemen kendala lainnya. Apabila kedua sub elemen ini tidak ditangani dengan baik akan menjadi faktor penghambat utama dalam pengelolaan gas ikutan. Sub elemen seperti (1) Belum ada pengembangan pasar gas domestik, (3) Sistem fiskal yang rumit, (4) Harga gas ikutan yang masih rendah, (7) Modal usaha terbatas, dan (10) Mutu hasil olahan gas ikutan masih rendah menempati kuadran II yang berarti sub elemen tersebut memiliki kekuatan pendorong yang rendah tetapi tingkat ketergantungannya terhadap sub elemen lainnya tinggi. Sub elemen (8) Kebijakan otonomi daerah menempati kuadran I dimana sub elemen ini memiliki kekuatan pendorong dan ketergantungan yang rendah. Kedelapan sub elemen kendalah tersebut dapat diartikan bahwa apabila kendala kebijakan pengelolaan gas ikutan dan sumberdaya mansuai dapat teratasi dengan baik, maka penyelesaian kedepalan kendala dapat dengan mudah untuk diatasi. Adapun posisi masing-masing sub elemen kendala yang dihadapi dalam pengelolaan gas ikutan seperti pada Gambar 55.
188
10 2, 9
9 8
Driver Power
Sektor IV Indepencence
Sektor III Linkage
7 66 5
0
1
2
3
8
4
4
5
3
Sektor I Autonomous
52
1
1
3
6
7
Sektor II Depencence 7, 10 4
0
Dependence
Gambar 55
Matriks driver power – dependence untuk elemen kendala dalam pengelolaan gas ikutan
Struktur hierarkhi hubungan antara sub elemen kendala program pengelolaan gas ikutan di lapangan minyak dan Tugu Barat secara rinci dapat dilihat pada Gambar 56 di bawah ini.
Level 4
Level 3
3
4
1
5
Level 2
Level 1
7
10
8
6
2
9
Gambar 56. Struktur hierarkhi sub elemen kendala program pengelolaan gas ikutan di Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat, Indramayu. Pada Gambar 56 terlihat bahwa penanganan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan tugu barat dapat dilakukan melalui empat tahap.
Pada tahap pertama yang diperlukan dalam pengelolaan gas
ikutan adalah perlunya kebijakan pengelolaan gas ikutan (2) dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (9). Selanjutnya pada tahap kedua adalah
189
memudahkan dalam akses pengelolaan gas yang terbatas (6). Pada tahap tiga yang perlu dilakukan
adalah pengembangan pasar gas domestik (1),
peningkatan sarana dan prasarana pemanfaatan gas ikutan (5), penetapan kebijakan otonomi daerah (8). Pada tahap terakhir (keempat) yang dapat dilakukan dalam rangka penanganan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan gas ikutan adalah mempermudah sistem fiskal yang rumit (3), meningkatkan harga gas ikutan yang masih rendah (4), penyediaan modal usaha terbatas (7), dan meningkatkan mutu hasil olahan gas ikutan masih rendah (10).
b. Kebutuhan Program Pengelolaan gas ikutan Berdasarkan hasil pendapat pakar, ditemukan 10 sub elemen kebutuhan yang diperlukan dalam pengelolaan gas ikutan di Lapangan Minyak dan Gas Tugu Barat Indramayu. Adapun sub elemen tersebuat yaitu (1) Tersedianya pasar gas ikutan dalam dan luar negeri, (2) Sistem fiskal yang lebih mudah, (3) Harga gas ikutan yang lebih tinggi, (4) Sarana dan prasarana pemanfaatan gas ikutan, (5) Akses pengelolaan gas ikutan yang lebih mudah, (6) Kemudahan dalam memperoleh modal usaha, (7) Tersedianya kebijakan pengelolaan gas ikutan, (8) Kualitas SDM yang terampil dan siap pakai, (9) Mutu hasil olahan gas ikutan yang lebih baik, (10) Keamanan dalam berinvestasi. Semua sub elemen tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan metode ISM untuk mendapatkan sub elemen kunci yang merupakan kebutuhan utama program pengelolaan gas ikutan. Hasil analisis ISM seperti disajikan pada Gambar 57.
190
11 7, 10 8, 10 9
Sektor IV Indepencence
Sektor III Linkage
8 7 6
0
1
2
3
Sektor I Autonomous
5
4
5
4
9
3
2, 5
6
7
Sektor II Dependence
2 1
1
3, 4, 6
0
Gambar 57.
Matriks driver power – dependence untuk elemen kebutuhan pengelolaan gas ikutan.
Berdasarkan
hasil
analisis
seperti
pada
Gambar
57
tersebut
memperlihatkan bahwa ada tiga sub elemen terpenting dalam rangka pemenuhan kebutuhan pengelolaan gas ikutan, yaitu: tersedianya kebijakan pengelolaan gas ikutan (7) kualitas SDM yang terampil dan siap pakai (8), keamanan dalam berinvestasi (10). Ketiga sub elemen ini terletak pada sektor IV yang merupakan sub elemen kebutuhan program yang perlu mendapat perhatian serius karena merupakan sub elemen yang mempunyai kekuatan penggerak (driver power) yang besar dalam pengelolaan gas ikutan, dan memiliki ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap program.
Ketiga sub
elemen ini menjadi sub elemen kunci pada kebutuhan program. Sub elemen yang terletak pada sektor IV yang merupakan sub elemen kebutuhan program yang perlu mendapat perhatian serius karena merupakan sub elemen yang mempunyai kekuatan penggerak (driver power) yang besar dalam pengelolaan gas ikutan, dan memiliki ketergantungan (dependence) yang rendah terhadap program. Sub elemen ini menjadi sub elemen kunci pada kebutuhan program pengelolaan gas ikutan di lapangan minyak dan gas Tugu Barat. Seperti diketahui sampai saat ini kebijakan yang khusus berkaitan dengan pengelolaan gas ikutan belum ada, sehingga dalam pengembangannya masih menggunakan kebijakan-kebijakan pengembangan industri minyak dan gas bumi secara umum. Adapun kebijakan-kebijakan yang selama ini digunakan dalam pengelolaan gas ikutan di Indonesia antara lain :
191 1. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 2. UU Nomor 18 Tahun 2006 tentang APBN tahun 2007. 3. Peraturan Pemerintah 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan usaha hilir Migas 4. Pperaturan Menteri (PERMEN) No. 0007 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perizinan Hilir Migas. 5. Keputusan Dirjen migas No. 25K/36/DDJM/1990 yang mngatur yang mengatur tentang spesifikasi LPG yang beredar di dalam negeri. Selain perlunya kebijakan pengelolaan gas ikutan yang merupakan kebutuhan utama dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan minyak dan gas Tugu Barat, keamanan berinvestasi dalam pengembangan gas ikutan di Indonesia juga merupakan kebutuhan yang perlu segera ditangani dengan baik. Adanya keengganan para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia terutama dalam pengembangan industri gas ikutan diantaranya disebabkan oleh lemahnya keamanan dalam berinvestasi. Sumberdaya manusia dalam suatu industri termasuk industri pengolahan gas ikutan juga sangat memegang peran penting terhadap kelangsungan usaha. Banyak industri yang mengalami kebangkrutan atau gulung tikar disebabkan kesalahan manajemen dan kesalahan manajemen disebabkan salah satunya adalah ketidakmampuan sumberdaya manusia yang dimiliki untuk mengelola usaha dengan baik. Terkait dengan sumberdaya manusia dalam pengelolaan industri gas ikutan, dimaklumi bahwa sumberdaya manusia yang potensial dan terampil dibidang tersebut masih sangat terbatas, sehingga untuk memenuhinya masih lebih banyak memanfaatkan tenaga-tenaga asing.
Sementara tenaga
kerja lokal lebih banyak dimanfaatkan pada pekerjaan-pekerjaan yang kasar. Oleh karena itu, dalam rangka pengembangan industri gas ikutan ke depan melalui pemberdayaan sumberdaya manusia lokal, maka peran lembaga pendidikan sangat dibutuhkan untuk menyediakan sumberdaya manusia yang berkualitas. Menurut Suhariadi (2007) bahwa pada era saat ini, kepemilikan modal, sumberdaya alam, tenaga kerja yang murah, mesin, dan teknologi tidak lagi menjamin bahwa suatu organisasi seperti industri bukan lagi sebagai driver organisasi/industri untuk mampu berkiprah dengan baik dalam suatu populasi organisasi/industri. Namun yang sangat dipentingkan adalah pemilikan dan penguasaan pengetahuan para karyawan industri, sehingga driver utama bagi kelangsungan
hidup
industri
adalah
kepemilikan
pengetahuan
para
192 karyawannya.
Pengetahuan para karyawan ini perlu dikelola lebih baik yang
dikenal sebagai knowledge management. Nonaka dalam Suhariadi (2007) membagi pengetahuan yang dimiliki organisasi menjadi dua yaitu tacit knowledge dan explicit knowledge. Tugas para pengelola organisasi adalah menjadikan tacit knowledge yang dimiliki anggota anggotanya menjadi explicit knowledge yang dimiliki bersama. Organisasi dalam era ini membutuhkan knowledge workers. Untuk dapat survive, organisasi sebaiknya mengubah pola pengelolaan sumberdaya manusia dalam organisasi, karena knowledge ini dimiliki oleh para anggota organisasi, dan akan keluar bersama anggota tersebut kalau dia meninggalkan organisasi.
Bukan seperti mesin yang tetap tinggal dalam
organisasi meskipun operatornya keluar dari organisasi. Saat
ini
para
pemimpin
atau
manajer
organisasi/instansi
harus
berhadapan dengan arus perubahan yang cepat dan terus-menerus. Para pimpinan/manajer harus bekerja dengan pengambilan keputusan yang vital yang tidak dapat mengacu pada arah-arah pengembangan di masa yang lalu. Teknikteknik manajemen harus secara berkesinambungan memperhatikan perubahan di lingkungan dan organisasinya, mengukur perubahan dan mengelolanya. Mengelola perubahan tidak hanya berarti mengendalikan saja namun juga mengadaptasinya atau bahkan mengarahkan sebagaimana mestinya. Tentu saja hal ini membuat para pimpinan/manajer tidak dapat menguasai seluruh metode pemecahan masalah atau sumber daya bagi setiap situasi. Hal yang seringkali terjadi, manajemen sumberdaya manusia dalam suatu organisasi tidak menempatkan manusia sebagai objek yang harus dimiliki untuk kepentingan apapun, melainkan bagaimana menempatkan manusia sebagai bagian yang ikut berkembang selaras dengan alam semesta, dan tidak mengobrak abrik alam untuk kepentingan sendiri. Paradigma ini disebut sebagai ”deep ecology” seperti yang dikemukakan Capra dalam Suhariadi (2007). Manusia dalam paradigma deep ecology adalah manusia yang berproses bersama alam semesta, dan berevolusi bersama untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi. Manusia sebagai bagian dari alam semesta bukanlah aset seperti pandangan organisasi, melainkan manusia yang utuh, yang memiliki berbagai dimensi, seperti dimensi fisik, biologis, psikologis, sosial, budaya, dan spiritual.
Pengelolaan sumberdaya manusia dengan paradigma
semacam ini menghendaki organisasi benar benar memperlakukan manusia sebagaimana adanya, dan mengembangkan potensi-potensinya agar dapat
193 berkarya dengan baik dalam organisasi, baik untuk kemajuan organisasi maupun untuk perkembangan pribadinya. Pengelolaan sumberdaya manusia dalam organisasi seyogyanya menghasilkan Manusia yang berkarya, bukan manusia yang bekerja. Untuk membentuk sumberdaya manusia yang bukan saja sebagai pekerja tetapi dalam pekerjaannya dapat bersahabat dengan lingkungan, maka peran pendidikan baik pendidikan sarjana maupun pascasarjana tidak saja membekali sumberdaya manusia dalam pengelolaan suatu organisasi tetapi pemahanan dan peningkatan kesadaran akan kelestarian lingkungan perlu ditingkatkan. Struktur hierarkhi hubungan antara sub elemen kebutuhan program pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat secara rinci dapat dilihat pada Gambar 58 di bawah ini.
1
3
2
7
4
5
8
6
9
10
Gambar 58. Struktur Hierarkhi Sub Elemen Kebutuhan Program Pengelolaan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu. Pada Gambar 58 memperlihatkan bahwa ada tiga tahap yang dapat ditempuh dalam rangka pemenuhan kebutuhan program pengelolaan gas ikutan. Pada tahap pertama adalah tersedianya kebijakan pengelolaan gas ikutan (7), kualitas SDM yang terampil dan siap pakai (8), keamanan dalam berinvestasi (10). Pada tahap kedua yang perlu dilakukan adalah Sistem fiskal yang lebih mudah (2), Akses pengelolaan gas ikutan yang lebih mudah (5) dan Mutu hasil olahan gas ikutan yang lebih baik (9). Sedangkan pada tahap terakhir (ketiga) adalah Tersedianya pasar gas ikutan dalam dan luar negeri (1), Harga gas ikutan yang lebih tinggi (3), Sarana dan prasarana pemanfaatan gas ikutan (4), Kemudahan dalam memperoleh modal usaha (6).
194
8.4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa alternatif kebijakan pengelolaan gasi ikutan di Lapangan Minyak Tugu Barat adalah pemanfaatan liquified petroleum gas (LPG). Pemanfaatan LPG ini selain dapat meningkatkan efisiensi penggunaan energi yang cukup besar karena nilai kalor efektif LPG lebih tinggi dibandingkan jenis bahan bakar lainnya, dan juga mempunyai kandungan gas buang yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Tujuan yang diharapkan dalam pengembangan pemanfaatan LPG adalah terpeliharanya kualitas lingkungan dalam rangka menuju mekanisme pembangunan bersih atau clean development mechanism (CDM). Untuk mencapai tujuan tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah kebijakan
pemerintah
disamping
sumberdaya
manusia
yang
tersedia,
sumberdaya alam (ketersediaan gas ikutan), permodalan, teknologi, dan sarana dan prasarana. Hal ini sesuai juga dengan hasil analisis interpretatif structural modeling (ISM) bahwa kebijakan pemerintah dan peningkatan sumberdaya manusia terkait pengelolaan gas ikutan terutama dalam pemanfaatan LPG. Oleh karena itu diperlukan kebijakan pemerintah dan peningakatan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan Tugu Barat. Saat ini kebijakan pemerintah khususnya terkait dengan pengelolaan gas ikutan belum ada, sehingga dalam pengelolaannya masih lebih mengacu pada kebijakan tentang pengembangan sumberdaya energi secara umum. Sedangkan yang di maksud dengan sumberdaya manusia yang berkualitas yang adalah selain memiliki keterampilan dalam mengelola manajemen industri tetapi memiliki pengetahuan
dan
kesadaran
terhadap
pentingnya
menjaga
kelestarian
lingkungan dimana SDM tersebut dimanfaatkan. Di sisi lain perlunya kebijakan pengelolaan gas ikutan agar dalam pengembangannya dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan.
IX. PEMBAHASAN UMUM Minyak dan gas bumi merupakan salah satu sumberdaya energi tak terbarukan yang memiliki peran strategis dan sangat berpengaruh terhadap perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari besarnya kontribusi sektor minyak dan gas bumi (migas) terhadap Gross Domestic Product (GDP) Indonesia. Di sisi lain peran migas juga terlihat sangat
besar terhadap
sumbangannya sebagai bahan baku untuk industri, sumber energi kelistrikan, angkutan, dan untuk kepentingan rumah tangga. Sumbangan minyak dalam perekonomian indonesia semakin besar dengan adanya peningkatan jumlah penemuan minyak bumi terutama di daeah-daerah lepas pantai dan semakin tingginya harga minyak dunia beberapa tahun terakhir ini. Sebagaimana diketahui hingga akhir tahun 2008, harga minyak dunia pernah mencapai pada US$ 120 per barrel. Hal ini sangat memberikan keuntungan yang besar bagi Indonesai sebagai salah satu negara penghasil minyak dan gas. Untuk meningkatkan nilai tambah dari sektor minyak dan gas bumi ini, maka segmen pengolahan merupakan langkah strategis yang perlu dilakukan untuk mengolah minyak mentah menjadi produk-produk lain untuk dipergunakan oleh konsumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Sanusi (2002) bahwa minyak mentah yang dihasilkan dari berbagai sumur minyak produktif belum dapat dimanfaatkan tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu seperti pengolahan minyak menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk kebutuhan kendaraan bermotor dengan berbagai jenis, maka minyak mentah tersebut harus melalui proses pengolahan dalam kilang minyak. Berdasarkan hal tersebut, PT. Pertamina mengembangkan berbagai kilang minyak untuk melakukan eksplorasi dan produksi minyak di Indonesai dan salah satunya adalah di Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP) PT. Pertamina Eksplorasi dan Produksi (PT. Pertamina EP) Region Jawa di Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Thai Oil Company Limited (2000) melaporkan bahwa produk olahan minyak mentah pada dasarnya dapat dibedakan atas dua kategori, yaitu produk bukan jenis bahan bakar dan produk jenis bahan bakar. Adapun produk yang tidak termasuk dalam kategori seperti pelumas, lilin, gemuk, aspal, solven, petroleum,dan beberapa produk petrokimia dasar lainnya seperti kelompok olefin, aromatik, ataupun kelompok benzena dan turunannya. Sedangkan produk olahan yang berupa bahan bakar minyak seperti LPG, avgas, avtur, solar,
197 kerosin, dan gasoline, kondensat, dan lean gas. Produk yang tidak termasuk bahan bakar tersebut diperoleh melalui hasil pengolahan sekunder atau pengolahan yang lebih lanjut, sementara produk olahan dalam bentuk bahan bakar minyak diperoleh secara langsung dari hasil pengolahan primer. Krisis energi yang melanda Indonesia semenjak harga minyak dunia bergerak naik melewati
US$ 40 pada tahun 2005 dan mencapai nilai US$ 120
pada akhir tahun 2008, membuat alternatif pemanfaatan gas sebagai bahan bakar hasil olahan menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi industri-industri strategis dan rumah tangga. Hal ini yang mendasari pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan pengalihan penggunaan bahan bakar minyak terutama minyak tanah ke penggunaan gas dalam rangka mengurangi subsidi BBM yang semakin besar. Dengan pengalihan tersebut diharapkan terjadi penurunan anggaran subsidi BBM, mengingat subsidi LPG lebih rendah dibanding dengan subsidi minyak tanah. Disamping itu, LPG adalah energi yang bersih dan ramah lingkungan. Pemakaian gas bumi dalam bentuk LPG dan Lean Gas di Indonesia sebagian besar untuk industri pupuk dan pembangkit listrik dengan masingmasing sekitar 35% dari total pemakaian dalam negeri. Sisanya sekitar 30% digunakan untuk industri lain. Sedangkan sektor rumah tangga persentase penggunaannya semakin kecil (PT. SDK, 2008) Mengingat industri gas memegang peran penting dalam industri perminyakan di Indonesia, maka PT. SDK bekerjasama dengan PT. Pertamina melalui kontrak kerjasama yang dimulai pada tahun 1993 dan diperpanjang pada tahun 2005 untuk mengembangkan proyek industri pengolahan minyak mentah untuk menghasilkan gas ikutan dalam bentuk LPG, lean gas, kondensat, dan CO2 di Lapangan minyak Tugu Barat, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Proyek ini merupakan proyek yang cukup vital untuk segera menambah pasokan gas alam (Lean Gas) dan menambah pasokan LPG dalam negeri, khususnya di Jawa Barat. Pemanfaatan produksi minyak dan gas bumi Lapangan Tugu Barat Komplek adalah (1) minyak, untuk keperluan kilang (proses extraksi) Balongan dan untuk memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam Negeri, dengan cara dikirim ke Stasiun Pengumpul Utama (SPU) Tugu Barat melalui pipa trunk line (pipa utama) bersana-sama minyak mentah hasil dari Lapangan Mundu, Blok Jatibarang, (2) gas alam (non associated), Gas alam ini digunakan untuk :
198 a. Digunakan untuk keperluan semburan buatan (gas lift) pada Lapangan Bongas Blok Jatibarang. b. Digunakan ke kilang Mundu untuk diproses (stripping) menjadi gas LPG. c. Untuk konsumen industri : PT.PGN, Tbk Cabang Cirebon dan Pabrik Kapur Palimanan, Cirebon. (3)
Gas alam (associated), dimanfaatkan melalui PT.SDK untuk bahan baku (feed stock) pada proses Mini LPG Plant. PT. SDK (2008) melaporkan bahwa lapangan Tugu Barat mempunyai 6
formasi yaitu formasi BRF, Z-16, MA, MB, O dan P1 dengan kandungan CO2 sekitar 40 %. Adapun penjelasan enam formasi tersebut adalah : 1. Formasi BRF Formasi BRF merupakan reservoar migas dengan lithologi limestone. Tipe jebakan adalah antiklin. Kedalaman lapisan datum adalah 1.783 mbpl, kontur tutupan tertinggi pada kedalaman 1.740 mbpl dan kontur tutupan terbawah pada kedalaman 1.880 mbpl. Reservoir ini mengandung minyak dan tudung gas dimana batas gas minyak berada pada kedalaman 1.783 mbpl dan batas minyak-air terdapat pada 1.826 mbpl. Formasi BRF mulai diproduksikan pada bulan Mei 1992 . Reserfoar mempunyai porositas efektif rata-rata sebesar 29% dan saturasi air rata-rata sebesar 36% serta permeabilitas rata-rata 20.7 mD. 2. Formasi Z-16 Formasi Z-16 merupakan reservoir migas dengan lithologi sandstone dengan tipe jebakan adalah antiklin. Kedalaman lapisan datum adalah 1,729 mbpl, kontur tutupan tertinggi pada kedalaman 1.700 mbpl dan kontur tutupan terbawah pada kedalaman 1,840 mbpl. Reservoir ini mengandung minyak dan tudung gas dimana batas gas-minyak berada pada kedalaman 1,729 mbpl. Reserfoar mempunyai porositas efektif rata-rata sebesar 12% dan saturasi air rata-rata sebesar 40%. 3. Formasi MA Reservoar pada formasi MA mempunyai porositas efektif rata-rata sebesar 20% dan saturasi air rata-rata sebesar 30% 4. Formasi MB Reservoar pada formasi MB mempunyai porositas efektif rata-rata sebesar 8% dan saturasi air rata-rata sebesar 60%.
199 5. Formasi O Reservoar pada formasi O mempunyai porositas efektif rata-rata sebesar 12% dan saturasi air rata-rata sebesar 30%. 6. Formasi P1 Reservoar pada formasi P1 mempunyai porositas efektif rata-rata sebesar 15% dan saturasi air rata-rata sebesar 50%. Untuk melakukan pengolahan minyak mentah menjadi produk olahan seperti gas ikutan, PT. SDK pada tahap awal membangun fasilitas kilang yang disebut Fasilitas Existing Kilang LPG Plant Tugu Barat. Fasilitas ini mendapatkan pasokan gas dari Stasiun Pengumpul Tugu Barat. Kilang Existing ini terdiri dari Kilang CO2 removal & Kilang LPG. Kapasitas gas pasokan dari Stasiun Pengumpul Tugu Barat ini adalah sebesar 4.5 MMSCFD dengan kandungan CO2 sekitar 40% dan setelah di proses di kilang existing ini akan dapat menghasilkan produk tambahan berupa : LPG, Kondensat, Lean Gas, dan CO2. Selanjutnya PT. SDK mengembangkan fasilitas kilang baru untuk lebih meningkatkan produksi gas ikutan. Fasilitas Kilang Investasi baru disebut Kilang CO2 Removal yang akan mendapatkan pasokan gas dari sumuran Pasir Catang dan beberapa sumur lain di Tugu Barat Kompleks. Total pasokan gas ke fasilitas ini sebesar 6.5 MMSCFD, dan gas yang telah terproses akan dikirim untuk menambah pasokan gas ke Kilang LPG Tugu Barat, sehingga akan dapat meningkatkan hasil produksi kilang existing (PT. SDK, 2008).
Gambar 59..Salah satu contoh Fasilitas Produksi Industri Pengolahan Gas
200 Dalam pengembangan fasilitas industri gas ikutan ini, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti daya beli pasar, dimana tidak semua jenis produk yang dihasilkan dapat diserap oleh pasar, deposit tersedia untuk pengolahan menjadi gas ikutan secara ekonomi tidak menguntungkan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah penggunaan teknologi. Teknologi yang digunakan untuk menghasilkan berbagai jenis gas ikutan yang diinginkan biasanya tidak memungkinkan untuk membuat konfigurasi-konfigurasi pengolahan yang tepat agar dapat menghasilkan semua jenis produk yang diinginkan yang disebabkan oleh komposisi produk-produk yang dihasilkan oleh sebuah kilang biasanya menghasilkan
beberapa
jenis
yang
sebenarnya
secara
ekonomi
tidak
menguntungkan baik karena sulit dipasarkan ataupun karena memiliki nilai jua yang terlalu rendah. Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi dalam pengembangan industri gas ikutan, maka sebaiknya sebelum memulai suatu usaha terlebih dahulu dihitung kelayakan eknomi dari pengembangan usaha tersebut apakah usaha yang dinginkan untuk dikembangkan memberikan keutungan ekonomi yang berkelanjutan atau akan menimbulkan kerugian. Berkaitan dengan hal tersebut, PT SDK telah melakukan perhitungan kelayakan ekonomi dalam rangka pengembangan usaha pengolahan minyak menjadi gas ikutan di Lapangan minyak Tugu Barat, Kabupaten Indramayu. Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa pengembangan industri gas ikutan di lapangan Tugu Barat oleh PT. SDK secara ekonomi yakin untuk dikembangkan sesuai dengan target yang telah ditetapkan yaitu selama 10 tahun menurut kontrak kerjasama dengan PT. Pertamina. Hal ini terlihat dari nilai keuntungan bersih yang diperoleh bernilai positif dengan tingkat keuntungan bersih (NPV) sebesar US$ 1.148.174,00 dengan kemapuan mengembalikan modal pinjaman bank yang besar yaitu lebih besar dari tingkat suku bunga bank sampai pada batas waktu yang ditetapkan dengan rata-rata IRR berkisar 14,42 %. Dilihat dari nilai payback investment perusahaan di lokasi studi diperoleh nilai sebesar 5,080 tahun untuk payback investment dan 3,537 tahun untuk payback loan yang berarti bahwa waktu yang diperlukan oleh perusahaan untuk dapat mengembalikan modal yang dikeluarkan lebih cepat dari masa kontrak dan untuk tahun kelima dan seterusnya perusahaan akan memperoleh keuntungan dari selisih antara hasil penjualan dengan biaya atau modal yang dikeluarkan. Artinya perusahaan akan memperoleh keuntungan selama sisa kontrak karena
201 periode payback lebih pendek daripada masa kontrak perusahaan yaitu selama 10 tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa nilai sekarang penerimaanpenerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar daripada nilai sekarang investasi
sehingga perusahaan memperoleh keuntungan. Adapun
biaya-biaya perlindungan lingkungan dan biaya social yang perlu dikeluarkan oleh perusahaan dalam menjalankan usahanya dalam penelitian ini belum diperhitungkan. Walaupun secara ekonomi layak untuk dikembangkan, namun hal yang perlu mendapat perhatian utama adalah bagaimana di dalam menjalankan kegiatan, industri tidak menimbulkan dampak negatif yang besar terhadap lingkungan sekitar yang merupakan ekosistem yang dimanfaatkan bersama antara perusahaan dengan mayarakat sekitar. Agar lingkungan sekitar dapat terjaga dengan baik, maka pihak perusahaan dituntut untuk senantiasa meningkatkan manajemen
kinerja
sistem
lingkungan
manajemen
merupakan
lingkungannya
manajemen
yang
(SML).
dinamis
Sistem sehingga
diperlukan adaptasi atau penyesuaian apabila terjadi perubahan di perusahaan, yang mencakup sumberdaya, proses dan kegiatan perusahaan. Diperlukan pula penyesuaian seandainya terjadi perubahan diluar perusahaan, misalnya peraturan
perundangan
dan
desain
peralatan
yang
disebabkan
oleh
perkembangan teknologi. Penanganan efektif dari isu lingkungan merupakan suatu proses yang berjalan dan secara berkelanjutan mengalami peningkatan sejalan dengan perubahan operasional industri dan perubahan dari waktu kewaktu. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat tiga tujuan utama dari program lingkungan yang perlu dikembangkan oleh PT. SDK dalam pengembangan industri gas ikutan yaitu : 1. Manajemen resiko yang efektif. Manajemen resiko yang efektif diperlukan dalam semua jenis kegiatan. Dampak signifikan kepada lingkungan harus diperkecil dengan memperkirakan dan mengukur dampak yang akan terjadi 2. Sesuai peraturan dimana semua kegiatan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan 3. Eko-efisiensi. Pemakaian bahan-bahan mentah secara efisien baik dalam bentuk penghematan pemakaian bahan baku dan energi serta pemakaian kembali dan mendaur ulang dalam semua aspek kegiatan industri Untuk memastikan bahwa Sistem Manajemen Lingkungan berjalan dengan baik, PT.SDK secara rutin mengadakan audit baik yang bersifat internal seperti
202 Environmental Internal Audit dan SMIT (Senior Management Inspection Team) yang masing-masing dilaksanakan 2 kali tiap tahunnya, maupun yang bersifat eksternal seperti Environmental External Audit dilakukan oleh ERM-CVS, suatu badan standarisasi internasional yang berkompeten untuk memberikan sertifikat ISO 14001. Untuk
melihat
besarnya
potensi
pemanfatan
gas
ikutan
yang
dikembangkan oleh PT. SDK, faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pengembangannya, dan dampaknya terhadap lingkungan, maka dibangun suatu model pengelolaan gas ikutan di Lapangan produksi minyak Tugu Barat, Kabupaten Indramayu. Dalam model terlihat bahwa penduduk Jawa Barat dan DKI menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth) naik mengikuti kurva eksponensial. Ini menunjukan tingginya tingkat pertumbuhan penduduk baik sebagai akibat dari tingginya tingkat kelahiran maupun tingginya penduduk pendatang. Hal yang sama ditunjukkan pada pengolahan gas ikutan sub model ekologi dan sub model ekonomi. Namun karena keterbatasan sumberdaya yang tersedia seperti ketersediaan lahan dan deposit gas maka pada suatu saat kurva akan menuju pada suatu titik keseimbangan
tertentu
(stable
equilibrium)
dan
selanjutnya
mengalami
penurunan. Terlihat bahwa di dalam model terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative feedback) melalui proses balancing. Fenomena ini dalam sistem dinamik disebut mengikuti pola dasar (archetype) “Limit to Growth”. Pengolahan gas ikutan untuk menghasilkan gas hasil olahan seperti LPG, CNG, dan lean gas akan menurunkan jumlah polutan udara seperti CO2, NOx, dan polutan lainnya. Sebaliknya jika tidak dilakukan pengolahan gas ikutan, akan memperbesar polutan udara. Dilihat dari tingkat pendapatan total dan pendapatan asli daerah (PAD) menunjukkan adanya peningkatan setiap tahun dengan meningkatnya produksi gas ikutan. Pada tahun 2025 diproyeksikan pendapatan total perusahaan dalam memproduksi gas ikutan (LPG, CNG, lean gas, dan CO2) akan mencapai nilai sebesar Rp. 658.221.255.663,00 Mengingat besarnya potensi pemanfaatan gas ikutan di lapangan Tugu Barat Indramayu serta banyaknya faktor yang berpengaruh dan aktor yang berperan,
maka
perlu
disusun
suatu
arahan
kebijakan
agar
dalam
pengembangannnya dapat lebih terarah dan dimanfaatkan secara optimal. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa alternatif kebijakan pengelolaan
203 gasi ikutan di Lapangan Minyak Tugu Barat yang perlu dikembangkan adalah pemanfaatan Liquified Petroleum Gas (LPG). Hal ini penting mengingat pemanfaatan LPG selain dapat meningkatkan efisiensi penggunaan energi yang cukup besar karena nilai kalor efektif LPG lebih tinggi dibandingkan jenis bahan bakar lainnya, juga mempunyai kandungan gas buang yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Dalam pengelolaan gas ikutan ini, tujuan utama yang diharapkan dalam pengembangan pemanfaatan LPG adalah terpeliharanya kualitas lingkungan dalam rangka menuju mekanisme pembangunan bersih atau clean development mechanism (CDM). Namun demikian tujuan lain seperti perluasan lapangan kerja, peningkatan nilai guna gas ikutan, dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga perlu mendapatkan perhatian serius. Saat ini Indonesia menghadapi tantangan yang berat yaitu semakin tingginya tingkat pengangguran. Apalagi krisis global yang terjadi saat ini semakin mengancam tingginya angka pengangguran di tanah air akibat banyaknya tenaga kerja yang dirumahkan oleh perusahaan. Melalui pengembangan industri gas ikutan, tentunya akan membuka lapangan pekerjaan baru bagi sebagian besar tenaga kerja Indonesia yang sersedia. Dalam pengembangan industri gas ikutan tersebut, peningkatan nilai guna dari gas ikutan yang dihasilkan perlu diperhatikan dalam rangka menjamin kepuasan para konsumen baik di dalam maupun di luar negeri. Melalui pengembangan industri gas ikutan tentunya juga akan berdampak pada peningkatan terhadap pendapatan daerah (PAD). Untuk mencapai tujuan tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah kebijakan
pemerintah
disamping
sumberdaya
manusia
yang
tersedia,
sumberdaya alam (ketersediaan gas ikutan), permodalan, teknologi, dan sarana dan prasarana. Hal ini sesuai juga dengan hasil analisis Interpretatif Structural Modeling (ISM) bahwa kebijakan pemerintah dan peningkatan sumberdaya manusia terkait pengelolaan gas ikutan terutama dalam pemanfaatan LPG. Oleh karena itu diperlukan kebijakan pemerintah dan peningakatan sumebrdaya mmanusia yang berkualitas dalam pengelolaan gas ikutan di lapangan Tugu Barat. Saat ini kebijakan pemerintah khususnya terkait dengan pengelolaan gas ikutan belum ada, sehingga dalam pengelolaannya masih lebih mengacu pada kebijakan tentang pengembangan sumberdaya energi secara umum. Sedangkan sumberdaya manusia yang berkualitas yang dimaksud adalah selain memiliki keterampilan dalam mengelola manajemen industri tetapi memiliki pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dimana
204 SDM tersebut dimanfaatkan. Di sisi lain perlunya kebijakan pengelolaan gas ikutan
agar
dalam
pengembangannya
dipertanggung jawabkan.
dapat
lebih
terarah
dan
dapat
X. REKOMENDASI KEBIJAKAN
10.1. Kebijakan Umum Kenaikan harga minyak mentah, net oil importer, kenaikan harga BBM dan pembengkakan subsidi merupakan fenomena yang terjadi beberapa tahun terakhir ini. Kenyataan menunjukkan bahwa minyak bumi memang masih menjadi idola sebagai sumber penyedia energi terbesar di negeri ini. Tingginya konsumsi masyarakat akan BBM, tidak mampu diimbangi oleh produksi dan ketersediaan cadangan minyak bumi yang ada di perut bumi negara kita. Sebagai dampak dari konsumsi BBM tersebut adalah tingginya tingkat pencemaran lingkungan melalui emisi yang dihasilkan, seperti CO2, NOx, SOx.. Hal ini terkait langsung dengan isu dunia mengenai pemanasan global sebagai akibat dari efek rumah kaca. Sebagai bangsa yang dianugerahi oleh beragam SDA, sudah saatnya bagi bangsa ini untuk mulai melirik sumberdaya alam (SDA) lain, seperti gas alam, untuk diolah sehingga dapat mengurangi porsi minyak bumi, baik sebagai sumber energi maupun bahan baku industri lainnya. Untuk itu, diversifikasi dan penguasaan teknologi merupakan yang faktor penting disamping kesadaran akan kelestarian lingkungan. Teknologi Gas-To-Liquid (GTL) merupakan salah satu teknologi yang saat ini tengah berkembang di dunia karena kemampuannya dalam mengolah gas alam guna menghasilkan bahan bakar cair sintetis yang mirip dengan produk-produk turunan minyak bumi, bahkan dengan kualitas yang lebih baik. Mengingat
besarnya
peran
pemanfaatan
gas
dalam
mendukung
ketersediaan energi nasional ditengah krisis energi yang terjadi saat ini, PT. SDK bekerjasama dengan PT. Pertamina mengembangkan industri pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Kabupaten Indramayu, provinsi Jawa Barat. Dalam pengolahan gas ikutan, terdapat empat produk turunan yang dihasilkan yang meliputi LPG, lean gas, kondensat, dan CO2. Dari keempat jenis turunan gas ikutan tersebut, LPG memiliki kandungan gas bakrr yang lebih tinggi dan ramah lingkungan dalam pemanfaatannya. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam rangka pengembangan gas ikutan ke depan, alternatif kebijakan yang dapat dikembangkan adalah “Pengembangan LPG” sebagai salah satu alternatif pemanfaatan gas ikutan mendukung mekanisme pembangunan bersih dalam rangka menunjang pembangunan berkelanjutan.
206 10.2. Kebijakan Operasional Dalam rangka pengembangan industri LPG yang merupakan salah satu bentuk pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu disamping hasil olahan gas ikutan lainnya, maka terdapat beberapa kegiatan atau programprogram yang merupakan kebijakan operasional antara lain : 1. Perumusan dan pemberlakuan peraturan dan perundangan yang secara khusus mengatur pengembangan industri gas ikutan di Indonesia dan secara khusus lagi terkait dengan pengembangan LPG sebagai salah satu produk dari hasil olahan gas ikutan. 2. Pemerintah setidaknya memberikan akses yang lebih besar bagi industri dalam pemanfaatan gas ikutan dan memfasilitas penyediaan infrastruktur terutama infrastruktur pengolahan gas ikutan dan pemasaran baik domestik maupun mancanegara, termasuk perangkat peraturan perundangannya 3. Membentuk konsorsium pendanaan baik dalam maupun luar negeri untuk pengembangan industri pemanfaatan gas ikutan seperti LPG. 4. Perusahaan (PT. SDK dan PT. Pertamina) dalam kegiatan produksi LPG dan hasil olahan gas ikutan lainnya harus pro aktif dengan memprioritaskan pada perlindungan dan pengendalian lingkungan hidup, dengan tetap memberikan ruang keterlibatan partisipasi masyarakat, berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat yang akan terkena dampak suatu kegiatan pembangunan suatu kawasan industri dalam rangka menuju pembangunan bersih (Clean Development Mechanism/CDM). 5. Menjalin kerjasama antara pemerintah daerah, PT. Pertamina, dan pihak lainnya untuk lebih menjamin keberlanjutan pengembangan industri gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, maupun di lapangan produksi minyak lainnya. 6. Peningkatan pendidikan dan keterampilan sumberdaya manusia yang dimiliki oleh perusahaan dengan menyelenggarakan pendidikan, pelatihan dan kursus baik secara formal maupun informal. Di sisi lain perusahaan juga memiliki tanggung jawab sosial untuk meningkatkan pendidikan dan persepsi masyarakat sekitar industri
XI. KESIMPULAN DAN SARAN 11.1. Kesimpulan Secara umum tujuan penelitian telah berhasil mengembangkan suatu model pemanfaatan gas ikutan yang mendukung mekanisme pembangunan bersih dengan substitusi pemanfaatan gas ikutan. Fokus pemanfaatan tidak hanya pada minyak dan gas bumi saja, tetapi melakukan pemanfaatan gas ikutan yang terproduksi untuk dapat dimanfaatkan secara ekonomi sekaligus dapat meminimalkan pencemaran lingkungan, sehingga kegiatan sosial ekonomi masyarakat dapat berlangsung secara berkelanjutan (sustainable). Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan khusus, sebagai berikut : 1. Lapangan minyak Tugu Barat memiliki areal seluar 920,328 ha dengan cadangan minyak sebesar 43.423 milyar barrel. Cadangan minyak yang telah terambil sebesar 12.485,50 milyar barrel dan cadangan gas ikutan (flare) sebanyak 35,7 BSCF dan 23,1 BSCF dalam bentuk probable. Kondisi sistem pengolahan gas ikutan cukup berpotensi untuk dapat di manfaatkan dan potensi gas ikutan yang dapat dimanfaatkan adalah 11 MMSCFD. Pengolahan gas ikutan menjadi LPG, CNG dan lean gas akan menurunkan jumlah polutan udara seperti CO2, NOx, dan polutan lainnya. 2. Industri gas ikutan di Lapangan Produksi Minyak Tugu Barat Indramayu secara ekonomi, layak untuk dikembangkan. Hal ini dilihat dari keuntungan bersih yang diperoleh bernilai positif dengan tingkat keuntungan bersih (NPV) US$ 1.148.174,00, kemapuan mengembalikan modal pinjaman bank lebih besar dari tingkat suku bunga bank sampai pada batas waktu yang ditetapkan, rata-rata IRR total 14,42 %. Nilai payback investment 5,080 tahun dan untuk payback loan 3,537 tahun (waktu yang diperlukan untuk mengembalikan modal lebih cepat dari masa kontrak dan untuk tahun kelima dan seterusnya perusahaan akan memperoleh keuntungan dari selisih antara hasil penjualan dengan biaya atau modal yang dikeluarkan), sehingga akan memperoleh keuntungan selama sisa kontrak karena periode payback lebih pendek daripada masa kontrak perusahaan yaitu selama 10 tahun. 3. Hasil simulasi sub model penduduk Jawa Barat dan DKI menunjukkan kecenderungan membentuk kurva pertumbuhan positif (positive growth)
208 naik mengikuti kurva eksponensial. model ekologi dan ekonomi.
Hal yang sama terjadi pada sub
Adanya keterbatasan sumberdaya yang
tersedia seperti lahan dan deposit gas maka, suatu saat kurva akan menuju pada keseimbangan tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami penurunan. Dalam hal ini pada model terjadi hubungan timbal balik positif (positive feedback) melalui proses reinforcing dan timbal balik negatif (negative feedback) melalui proses balancing mengikuti pola dasar (archetype) “limit to growth”. Jika terjadi peningkatan produksi gas ikutan, maka tingkat pendapatan total dan pendapatan asli daerah (PAD). akan meningkat setiap tahun, pada tahun 2025 pendapatan total perusahaan yang mengolah gas ikutan menjadi LPG, CNG, lean gas, dan CO2) diproyeksikan akan mencapai Rp. 658.221.255.663,00 4. Alternatif kebijakan pengelolaan gasi ikutan di Lapangan Minyak Tugu Barat adalah memanfaatkannya menjadi liquified petroleum gas (LPG).. Untuk mencapai tujuan tersebut, faktor yang paling berpengaruh adalah kebijakan pemerintah disamping sumberdaya manusia yang tersedia, sumberdaya alam (ketersediaan gas ikutan), permodalan, teknologi, dan sarana dan prasarana.
11.2. Saran-Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut khususnya terkait penilaian kelayakan keekonomian pemanfaatan gas ikutan di Lapangan Tugu Barat, Indramayu ataupun pada lapangan minyak lainnya yang tidak saja menghitung biaya dan manfaat investasi tetapi juga memperhitungkan biaya sosial dan biaya perlindungan lingkungan. 2. Melakukan studi potensi pemanfaatan gas ikutan di lapangan-lapangan minyak lainnya, khususnya lapangan dengan potensi gas ikutan cukup besar dengan kajian potensi aplikasi teknologi yang dapat mereduksi gas ikutan. 3. Disarankan
kepada
Regulator
(Pemerintah)
untuk
memungkinkan
pengusahaan terhadap gas ikutan oleh perusahaan lain (outsourcing), bila proyek tersebut tidak menarik secara keekonomian maka di masukkan kedalam skema CDM (Clean Development Mechanism).
Daftar Pustaka
Adelman, M.A. 1990. Mineral Depletion, with special reference to petroleum. Review of Economics and Statistics 72:1-10. Adimihardja, K. 1993. Kebudayaan dan Lingkungan, Studi Bibliography. PT.Ilham Jaya, Bandung. 101 hal. Adimihardja, K. and M. Clemens (ed.), 1999. "Indigenous Knowledge Systems and Development", (Proceedings: "Indigenous Knowledge Systems and Development", Bandung, September 14, 1998). UPT.INRIK-UNPAD. Bandung. Afsah, S., B. Laplante, and N. Makarim. 1996. "Program-Based Pollution Control Management: The Indonesian PROKASIH Program." Policy Research Working Paper 1602. World Bank, Policy Research Department, Washington, DC. Allenby, B.R. 1999. Industrial Ecology. Policy Framework and Implementation. Prentice-Hall Inc. New Jersey. USA. Aldrian, E and Y.S. Djamil. 2008. Spatio Temporal Climate Change of Rain Fall in East Java Indonesia. Int J. Climatology: 23: 435 – 448 American Petroleum Institute. 1995. Report on the Best Available Technology for Produced Water Management and Treatment. API Publication. _______________________. 1999. Fate Of Spilled Oil In Marine Waters: Where It Does It Go?, What Does It Do? How Do Dispersants Affect It? Health And Environmental Sciences Dept. Publication No. 4691. Scientific And Environmental Associates, Inc. Cape Charles, Virginia. 43p. _______________________, 2005. Oil and Gas Industry Guidance on Voluntary Sustainability Reporting Using Enviromental, Health & Safety, Social and Economic Performance Indicators. Amstrong, S.J. & R.G. Botzier. 1993. Environmental Ethics, Divergence and Convergence. McGraw-Hill Inc. New York. 570p. ANSI. 1996. ISO 14001 Environmental Management Systems – Specification with guidance for use. Geneve, Switzerland. 16p. Ardiputra, I.K. 2002. PROPER - Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Pertambangan, Energi dan Migas. Deputi Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan Sumber Institusi, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta. 29 hal. Arif, I. dan P. Prodjosumarto. 2000. Pengusahaan Pertambangan dan Tanggung Jawab Sosial. Dalam Mencari Model Pemecahan Masalah Hubungan Industri Pertambangan Dengan Masyarakat Sekitar. P3PK Universitras Gadjah Mada, hal:43-57.
210 Asian Development Bank. 1999. Policy on Indigenous Peoples. ADB. Manila. Bailey, J. 1997. Environmental Impact Assessment and Management: An Underexplored Relationship. Environmental Management 21 (3): 317327. Baker, M.B. and M. McKiel. 1998. ISO 14000 Question & Answer. CEEM with American Society For Quality. Virginia, USA. 52p. Ball, J. 2002. Can ISO 14000 and eco-labelling turn the construction industry green? Building and Environment 37: 421-428. Balisacan, A.M., E.M. Pernia, A. Asra. 2003. “Revisiting Growth and Poverty Reduction: What Do Subnational Data Show?”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 39 (3): 329-351. Bansal, K.M. 1992. Produced water treatment technologies. Technical Professional Forum of MIGAS, BAPEDAL, BPPT and PERTAMINA. Jakarta. 28p. BAPEDAL, 1998. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Jakarta. 60 hal. Barnett, H. and C. Morse. 1963. Scarcity and Growth: The economics of natural resources availability. John Hopkin University Press. Baltimore 356p. Bellamy, J.A.; D. H. Walker; G.T. McDonald and G.J. Syme. 2001. A systems approach to the evaluation of natural resource management initiatives. Journal of Environmental Management 63 (4): 407-423. Blomquista, G.C.; M. A. Newsomeb and D.B. Stonec. 2003. Measuring principals’ values for environmental budget management: an exploratory study. Journal of Environmental Management 68 (3):83–93. Boiral, O. and J.M. Sala. 1998. Environmental Management: Should Industry Adopt IS0 14001? Business Horizon, January-February:57-64. Booth, A. 1999. “Survey of Recent Development”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 35 (3): 3-38. _______. 2000. “Poverty and Inequality in the Soeharto Era: An Assessment”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 36 (1): 73-104. BP. 2006. Making More Energy. Sustainability Report 2005. BP PLC. www.bp.com. 73p. BPMIGAS. 2004. BPMIGAS Website. http://www.bpmigas.com BPMIGAS, 2006. Empat Tahun Kiprah BPMIGAS. Eksternal, BPMIGAS, Jakarta. 282 h
Dinas Hupmas, Divisi
211 BPMIGAS dan KLH. 2003. Hasil Rumusan Workshop Bimbingan Teknis Pelaksanaan PROPER Kegiatan Usaha Hulu Minyak & Gas Bumi. BPMIGAS – KLH, Bandung, 25 – 26 September 2003. BPS-Bappenas-UNDP. 2001. Indonesia Human Development Report 2001. __________________. 2004. Indonesia Human Development Report 2004. BPS. 2004. Statistik Indonesia (Statistical Yearbook of Indonesia) 2003. Katalog BPS:1401. BPS Jakarta. 610 hal. ___. 2004. Neraca Energy (Energy Balance) 1998 - 2002. Katalog BPS:6401. BPS Jakarta. 76 hal. ___. 2005. Survei Tahunan Perusahaan Pertambangan. Statistik Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Mining Statistics of Petroleum And Natural Gas) 2003 2004. Katalog BPS:6301. BPS Jakarta. 63 hal. ___. 2002. Survei Tahunan Perusahaan Pertambangan. Statistik Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Mining Statistics of Petroleum And Natural Gas) 2000. Katalog BPS:6301. BPS Jakarta. 80 hal. ___. 1999. Survei Tahunan Perusahaan Pertambangan. Statistik Pertambangan Mining Statistics of Petroleum And Natural Gas) 1997. Katalog BPS:6301. Minyak dan Gas Bumi (BPS Jakarta. 102 hal. Brata, A.G. 2004. Analisis Hubungan Imbal Balik Antara Pembangunan Manusia dan Kinerja Ekonomi Daerah Tingkat II di Indonesia. Lembaga Penelitian, Universitas Atmajaya, Yogyakarta. 11hal. __________. 2005. Investasi Sektor Publik Lokal, Pembangunan Manusia, dan Kemiskinan. Lembaga Penelitian, Universitas Atmajaya, Yogyakarta. 22hal. Brata, A. G. dan Z. Arifin. 2003. “Alokasi Investasi Sektor Publik dan Pengaruhnya Terhadap Konvergensi Ekonomi Regional di Indonesia”. Media Ekonomi 13 (20): 59-71. Budhisantoso, S. 2001. Pengolahan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Perspektif Antropologi. Makalah Seminar Sehari: Eksploitasi Sumberdaya Alam Dalam Konteks Kebudayaan Lokal dan Otonomi Daerah. FISIP UI, Depok. 6p. _____________. 2002. Masalah Ketahanan Dan Keamanan Nasional. PASKAL, Hankam, Jakarta. 4p. Business Council for Sustainable Development-Gulf of Mexico, 1998. By-product synergy; A strategy for sustainable development. A primer. Radian International LLC, Austin, Texas, USA. Business News. 1994. Menghadapi Dampak Lingkungan Dari Industri Migas. Bussiness News 5534:1-4.
212 Callicot, J.B. 1993. Earth’s Insight, A Survey of Ecological Ethics, California Press. Candler, J.R., and A.J.J. Leuterman. 1997. Effectiveness of a 10-Days Amphipod Sediment Test to Screen Drilling Mud Base Fluids for Benthic Toxicity. Society of Petroleum Engineers (SPE). SPE Paper No.37890:35-64. Canter, L.W. 1977. Environmental Impact Assessment. McGraw Hill Book Co. New York, USA. 331p. Carter,T.R. 1996. Assessing Climate Change Adaptation. The IPCC guidelines in Adapting to Climate Change : Assessment ang Issues. Springer . pp:27-43. Carter, A. 1999. Integrating Quality, Environment, Health and Safety Systems with Customers and Contractors. Green Management International 28: 59-68. Christie, M. 2001. A comparison of alternative contingent valuation elicitation treatments for the evaluation of complex environmental policy. In Journal of Environmental Management 62 (3):255-269. Choukri, N. 1981. International Energy Futures: Petroleum Prices, and Power. MIT Press. Cambridge, Massachuset. 87p. Chua, T.E. ; S.A. Ross and H. Yu. 1997. Malacca Strait Environmental Profile. GEF/UNDP/IMO Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East Asia Seas. Quezon City, Philippines. 259p. Cleary, M. and P. Eaton. 1992. Borneo: Change and Development. Oxford University Press, Oxford New York. 355p. Clemens, B. 2001. Changing environmental strategies over time: An empirical study of the steel industry in the United States. Journal of Environmental Management 62 (2):221-231. Cleveland, C.J. 1991. Natural resource scarcity and economic growth revisited: economic and biophysical perspectives. In R.Contanza. Ed. Ecological Economics: the science and management of sustainability, p.289-317. Columbia University Press. New York. 525p. Connel DW dan Miller GJ, 2006, Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, Universitas Indonesia Press, Jakarta Cochran, W.G. 1977. Sampling Technique. John Wiley & Sons Inc. New York. 488p. ConocoPhillips. 2007. Sustainable Development Report-Baseline, Performing Today, Preparing for Tomorrow.
213 Costanza, R. and M. Ruth. 1998. Using Dynamic Modeling to Scope Environmental Problems and Build Consensus. Environmental Management 22 (2): 183–195. Daly, H.E. 1990. Toward Some Operational Principles of Sustainable Development. Ecological Economics, 2(1): 1-6. Daly, H. and R. Goodland. 1993. An Ecological-Economic Assessment of Deregulation of International Commerce Under GATT. World Bank. 14p. Dana Mitra Lingkungan. 2005. Seminar Produksi Bersih. Clean Technology to Increase Company Profitability. Jakarta. 23 Maret 2005. Dasgupta, O. and G. Heal. 1974. The Optimal Depletion of Exhaustible Resources. Review of Economics Studies. Symposium on the Economics of Exhaustible Resources. Edinburgh. Scotland, UK. Davidsen, P.I.; J.D. Sterman and G.P. Richardson. 1990. A petroleum life cycle model for the United States with endogenous technology, exploration, recovery, and demand. System Dynamics Review 6(1):66-93 Davis, R.A., Jr. 1990. Oceanography An Introduction to The Marine Environment. 2nd Edition. Wm.C.Brown Publishers. Dubuque, Iowa. 307p. Dewi dan Chandra. 2008. Applicability of Clean Development Mechanism (CDM) In The Utilization of Associated Gas from Oil Production Facilities That Would Otherwise be Flared. Departemen ESDM. 2006. Statistik Energi. Profil Energi Ringkas Indonesia. Dep.ESDM, Jakarta. 62 hal. Departemen ESDM. 2007. Program Pengalihan Minyak Tanah ke LPG (Dalam Rangka Mengurangi Subsidi BBM 2007-2012). Dep.ESDM, Jakarta. 96 hal. Des Jardins, JR. 1993. Evironmental Ethics, An Introduction To Enviromental Philosophy. Belmont, California. 272p. Dinas Hupmas Pertamina. 1994. Mengenal Potensi Dampak Lingkungan Dan Pengelolaannya Di Sektor Migas dan Panas bumi Dalam menunjang Pembangunan Berkelanjutan. Pertamina. Jakarta. 24p. Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Barat dan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) ITB. 2003. Laporan Akhir Pemanfaatan Sumur-Sumur Migas Non Ekonomis di Kabupaten Indramayu dan Majalengka. Djajadiningrat, S.T. 2003. Community Development Dalam Paradigma Pembangunan Berkelanjutan hal.3-32 In Rudito, B; A. Prasetijo dan Kusaeri. 2003. Akses Peran Serta Masyarakat, Lebih Jauh Memahami
214 Community Development. Indonesia Development (ICSD), Jakarta. 347p.
Center
for
Sustainable
Down to Earth. 2001. Sengketa Hak Rakyat dan Lingkungan Semakin Membara. Down To Earth No.48. 11 hal. http://dte.gn.apc.org/48iog.htm Ehrenfeld, J., N. Gertler, 1997. Industrial ecology in practice. The evolution of interdependence at Kalundborg. J. Industrial Ecology 1 (1): 67-79. Ekins, P.; R.Vanner dan J. Firebrace. 2005. Management of Produced Water On Offshore Oil Installlations: A Comparative Assessment Using Flow Analysis. Final Report. Policy Study Institute. UK Offshore Operators Association. 75p Elliot, R. 1995. Environmental Ethics. Oxford University Press, New York. 255p. Engel, J.R. & J.G. Engel. 1990. Ethics of Environmental Development, Arizona Press, Tuscon. ENN Home Page. 2000. Environmental News Network. (http://www.enn.com) E&P Forum. 1994. Methods For estimating Atmospheric Emissions from E&P Operations. Report No.2.59/197:1-87. Escobar, A. 1999. Mengkonstruksi Alam: Menegakkan Ekologi Politik. Paskastruktural. Dalam Masyarakat Sipil. Jurnal Ilmu Sosial Transformatif Edisi 1. Vol. 1, 1999. Epstein,
M. and Roy, M.J. 1998. Managing Corporate Environmental Performance: A Multinational Perspective. European Management Journal 16 (3): 284-296.
Eomorfologi Lingkungan Pesisir Jawa Barat Bagian Utara, http://www.bplhdjabar.go.id/kategori/laut/altlas-utara/Bab-IV.pdf (dikunjungi 9 September 2007). Fane, G. 2000. “Survey of Recent Developments”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 36 (1): 13-44 Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingungan. Teori dan Aplikasi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 259 hal. Fauzi A dan Anna A, 2005, Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisa Kebijakan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Feldman, D. Lewis; R. A. Hanahan and R. Perhac. 1999. Environmental PrioritySetting Through Comparative Risk Assessment. Environmental Management 23 (4): 483-493. Folay, G. 1993. Pemanasan Global. (Alih Bahasa. Hira Jhamtani). Yayasan Obor Indonesia. Jakrta.
215 Friedman, J. 2003. How Responsive is Poverty to Growth? A Regional Analysis of Poverty, Inequality, and Growth in Indonesia, 1984-99. UNU-WIDER Discussion Paper No. 2003/57. August 2003. Fryxell, G.E. and Agnes Szeto. 2002. The Influence of Motivation for Seeking ISO 14001 Certification: An Empirical Study of ISO 14001 Certified Facilities in Hong Kong. Journal of Environmental Management 65 (3): 223-238. Funston, R.; R. Ganesh; and L.Y.C. Leong. 2002. Evaluation of Technical and Economic Feasibility of Treating Oilfield Produced Water to Create a “New” Water Resource. Kennedy/Jenks Consultant. Bakerfield, California. 14p. Gelber, M. 1998. EMS Standards Update. Industrial Environmental Management (IEM), Vol. 7(4):9. _________. 2000. There’s A Kind of Push... Industrial Environmental Management (IEM), Vol. 8(3):14-15. _________. 2002. Slave To the Standard? Management (IEM), Vol. 11(5):10.
Industrial Environmental
Gibbons, J.H. 1980. World Petroleum Availability 1980-2000. A Technical Memorandum. U.S. Central Intelligence Agency. Washinton, D.C. 77p. Gilbert, J.T.E. 1982. Environmental Planning Guidelines For Offshore Oil and Gas Development. East West Center. Hawaii, USA. 63p. Goudie, A. 1990. The Human Impact on the Natural Environment. Basil Blackwell. Oxford. UK. 388p. Gralla, P. 1994. How the Environment Works. California. USA. 201p.
Ziff-Davis, Emeryville,
Greer, J. dan K. Bruno. 1999. Kamuflase Hijau. Membedah Ideologi Lingkungan Perusahaan-Perusahaan TransNasional. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Jakarta. 295 hal. Gerner F, Svensson B dan Djumena S, Gas Flaring and Venting : A regulatory Framework and incentive for Gas utilization http://www.worldbank.org/publicpolicy/journal/summary.aspx?id=279 (dikunjungi 17 Agustus 2007). Gas, http://en.wikipedia.org/wiki/gas (dikunjungi 13 Agustus 2007). Gas
Alam, http://pertamina.com/index.php?option=com (dikunjungi 6 September 2007).
content&task=view
Gas Flare, http://en.wikipedia.org/wiki/Gas flare (dikunjungi 13 Agustus 2007). Global Climate Change and Energy Project, http://gcep.stanford.edu/ (dikunjungi 12 February 2007)
216
Gas
Flaring Reduction Projects Framework for Clean Development Mechanism(CDM)BaselineMethodologies, http://www.worldbank.org/ggfr/report (dikunjungi 10 Februari 2007).
Gas
Flaring Reduction Projects Framework for Clean Development Mechanism(CDM)BaselineMethodologies, http://www.worldbank.org/ggfr/report (dikunjungi 10 Februari 2007).
Hanley, N.; J.F. Shogren; and B.White. 2002. Environmental Economics. In Theory and Practice. Palgrave Macmillan. Bristol, UK. 464p. Harian Kompas. 2004. KLH Membentuk Pusat Produksi Bersih Nasional. Harris, J.M. 2000. Basic Principles of Sustainable Development. Global Development and Environment Institute. Tuft University. Medford, M.A. Heal, G. 1998. Valuing the Future: Ecomic Theory and Sustainability. Columbia Univeristy Press. New York. Hidayati.R, Abdullah, S.E.A. dan Suharsono, H. 1999. Perubahan Iklim di Bogor (studi kasus 5 Kecamatan) hubungannya dengan perubahan pemanfaatan lahan. Makalah pada Simposium Internasional PERHIMPI. Bogor 18-20 Oktober 1999. Hidayati.R. 1990. Kajian Iklim Kota Jakarta, Perubahan dan Perbedaan dengan daerah Sekitarnya. Thesis Program Studi Agroklimatologi. FPS-Institut Pertanian Bogor. Hilarius, K.O. 2000. Dampak Operasi Perusahaan Minyak Unocal Di Marangkayu, Kalimantan Timur, Indonesia. Jaringan Advokasi Tambang Kaltim dan Community Aid Abroad. Victoria University of Technology, Melbourne. 23hal. Holahan, W.L. and C.O. Kroncke. 2004. Teaching the Economics of Nonrenewable Resources to Undergraduate. International Review of Economics Education, Vol. 3(77-87). Hubbert, M.K. 1975. Hubbert’s Estimates from 1956 to 1974 of US Oil and Gas. In Models for Assessing Energy Resources, ed. M. Grenon, 370-383. Oxford Press. Hufschmidt, M.M.; D.E. James, A.D.Meister, B.T. Lingkungan, Sistem Alami, Dan Environmental, Natural Systems, and Valuation Guide, oleh Rekshadiprodjo, Press. Yogyakarta. 483hal.
Bower and J.A. Dixon. 1996. Pembangunan. Terj. Dari Development, An Economic S. Gadjah Mada University
Indriani Gustya. 2005. Gas Flaring Reduction in the Indonesian Oil and Gas Sector - Technical and Economic Potential of Clean Development Mechanism (CDM) Projects.
217 Irianto, A. 1992. Menekan Ketidakpastian Dampak Sosekbud. Makalah Seminar Nasional Metodologi Prakiraan dampak dalam AMDAL. PPLH IPB, Bogor. 10p. Iskandar, J. 2001. Manusia Budaya Dan lingkungan. Kajian Ekologi Manusia. Humaniora Utama Press. Bandung. 184p. Indonesia Country Study on Climate Change. 1998. Vulnerability and Adaptation Assessments of Climate Change in Indonesia. The Ministry of Environment the Republic of Indonesia. Jakarta Institute for Global Enviromental Strategis (IGES),2006, CDM Country Guide for Indonesia, Ministry of The Enviromental, Japan. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2005. Special Report on Carbon Capture and Storage. Edited by B. Metz, O. Devidson. H. De connick, M. Loos, L. Meyer. Cambirdge University. Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001 : Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for Policymakers and Technical Summary of the Working Group II Report. WMO-UNDP.
IUCN and E&P Forum. 1993. Oil and Gas Exploration and Production in Mangrove Areas. E&P Forum, London, UK. 47p. Jackson, L.M., and J.E. Myers, 2003. Design and Construction of Pilot Wetlands for. Produced-Water Treatment. SPE 84587, presented at the SPE Annual Technical Conference and Exhibition. Denver, CO, Oct.5-8. Jenkins, W. 1978, Policy Analysis: A Political and Organizational Perspective (New York, St. Martin's Press). Johnston, 2003 Wha Are The Contraints On Associated Gas Utilization ? http://www.dundee.ac.uk/cepmlp/car/html/car8_article19.pdf (dikunjungi 13 Agustus 2007). Jurnal Tentang Minyak & Gas (JTMGB), november 2007, Peranan Manajemen Reservoir, IATMI (Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia). Hal 25, Jakarta Kadariah, L.K. dan C.Gray. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. 181hal. Kadlec, R.H. and R.L. Knight. 1996. Treatment Wetlands. Lewis Publishers, Inc. New York. 456p. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 111 tahun 2003 Tentang Pedoman Mengenai Syarat Dan Tata Cara Perizinan Serta Pedoman Kajian Pembuangan Air Limbah Ke Air Atau Sumber Air. Jakarta.
218 Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2000. Pedoman Umum Pengelolaan Lingkungan Sosial. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta. 67hal. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup , 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta. _______, 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Indonesia, Jakarta. 156hal.
KLH dan Yayasan Obor
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2003. Homepage Kementerian Lingkungan Hidup. http://www.menlh.go.id/proper/html Kementerian Lingkungan Hidup, Institute for Global Environmental Strategies (IGES), Kementerian Lingkungan Hidup Jepang, dan CER Indonesia. 2001. Panduan kegiatan MPB di Indonesia (Clean Development Mechanism). Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta. 134 hal. Killeen. 1996. Ozone and Greenhouse Gases in Introduction to Climate change I. Lecture Notes. University of Michigan. USA. Khoiroh, I. 2008. Natural Gas Processing (Introduction). http://www.esdm.go.id. Diakses pada Tanggal 06 januari 2009. Kapoor, I. 2001. Towards participatory environmental management? Journal of Environmental Management 63 (3):269-279. Katz, L. 2003. Treatment of Produced Water Using Surfactant Zeolite/ Vapor PhaseBioreactor System. The University of Texas, Austin, USA, 78p. Kertell, K. and R.L. Howard. 1997. Environmental Auditing: Impoundment Productivity in the Prudhoe Bay Oil Field, Alaska: Implications for Waterbirds. Environmental Management 21 (5):779-792. Keith, L.H. 1988. Principles of Environmental Sampling. American Chemical Society Professional Reference Book. Washington D.C., USA. 458p. Keraf, A.S. 2000. Eksploitasi Sumberdaya Alam Dalam Konteks Budaya Lokal dan Otonomi Daerah. Pra-Simposium International Jurnal Antropologi Indonesia ke2. FISIP UI, Jakarta. 5p. Keraf, A.S. Tanpa Tahun. Manusia Dan Lingkungan Hidup: Mencari Model Etika Lingkungan. Diktat Kuliah Etika Lingkungan. 18p. Koentjaraningrat, 1987. Bunga Rampai Kebudayaan, Pembangunan. PT.Gramedia, Jakarta. 151p.
Mentalitas
Dan
Kebijakan Energi Nasional 2003-2020, Kebijakan Energi Yang Terpadu untuk mendukung Pembangunan Nasional Berkelanjutan, 2004, Departemen Energi Sumber Daya Mineral Indonesia, Jakarta.
219 Lanjauw, P., M. Pradhan, F. Saadah, H. Sayed, R. Sparrow. 2001. Poverty, Education and Health in Indonesia: Who Benefits from Public Spending?. World Bank Working Paper No. 2739. December 2001. Lathrop, K.W. and T.J. Centner. 1998. Eco-Labeling and ISO 14000: An Analysis of US Regulatory Systems and Issues Concerning Adoption of Type II Standards. Environmental Management 22 (2):163-172. Leccraft, J. 1983. A dictionary of petroleum Terms. 3rd edition. The University of Texas at Austin , Texas. 177p. Ledgerwood, G., 1997. Corporate environmental governance. In: Greening the boardroom, Ledgerwood, G., ed., pp. 11-16. Greenleaf Publishing, Sheffield, UK. Lemigas. 1999. Kamus Minyak Dan Gas Bumi. Edisi keempat. PPPTMGB Lemigas. 435 hal. Lewis, B.D. dan J. Chakeri. 2004. “Central Government Spending In the Regions Post-Decentralisation”. Bulletin of Indonesian Economic Studies 40 (3): 379-394. Li, K. and R.N. Horne. 2003. A Decline Curve Analysis Model Based on Fluid Flow Mechanisms. SPE 83470. SPE Western Regional/ AAPG Pacific Section Joint Meeting, Long Beach, California. 9p. Lin Li. 2001. Encouraging Environmental Accounting Worldwide: A Survey of Government Policies and Instruments. Corporate Environmental Strategy 8 (1): 55-64. Liquefied Petroleum Gas, http://en.wikipedia.org/wiki/Liquefied Petroleum Gas, (dikunjungi 13 Agustus 2007). MacKenzie, J.J., R.C. Dower, D.D.T. Chen, 1992. The going rate: What it really costs to drive. World Resources Institute, Washington, D.C. Maloringan, M.; J.R.G. Djopari dan Sugiarto. 1997. Referensi Manual Untuk Tugas Diskusi Dan Kelompok Environmental Awareness Course II. Kursus KKSD Pertamina BPPKA July 9-10 1997. Jakarta. 110hal. Mateu, J. 1997. Methods of Assessing and Achieving Normality Applied to Environmental Data. Environmental Management 21 (5):767-777. Mawarni, A., 2001. Community Development dalam Perusahaan Pertambangan. Suara Pembaruan Daily, 3 Oktober 2001. Media Indonesia. 2007. Dua Pertiga Dunia Kekeringan pada 2050. Harian Media Indonesia, 21 Maret 2007. http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=127951
220 Meiviana
A, Sulistiowati DR, Soejachmoen MH, Bumi Makin http://www.pelangi.or.id/publikasi/2007/bumi_makin_panas.pdf (dikunjungi 17 Agustus 2007).
Panas,
Meadows, D.H., D.L. Meadows. J. Randers and William Behrens III. 1972. The Limit to Growth. Universe Book. New York. Mitchell, B.; B. Setiawan & D.H. Rahmi, 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada Univ.Press., Yogyakarta. Hal: 297-331. Moersidik, S.S. 2001. Minimalisasi Limbah dan Produksi Bersih. Dampak Pada Aspek Sosial Budaya. Pelatihan Dasar-Dasar AMDAL Angkatan LXXXVII, 5-17 Februari 2001. PPSML – UI dengan dukungan BAPEDAL, Jakarta. Moore, C. and M.A. Santosa. 1995. "Developing Appropriate Environmental Conflict Management Procedures in Indonesia." Cultural Survival Quarterly, Vol. 19, Issue 3. Muhammadi, E.Aminullah, dan B. Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis – Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press. Jakarta. Muhammadi, M.Tasrif, A.T. Pabeta, E.Pudjiastuti, E.Aminullah, dan S.Dolant. 1995. Analisis Lingkungan Hidup dengan Dinamika Sistem. PP-PSL. Ditjen Dikti – Dep. Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Murdiyarso D, 2003, Sepuluh Tahun Perjalanan Konvensi Perubahan Iklim, PT. Kompas Media Nusantara.Jakarta. Murdiyarso D, 2003, CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta. Murdiyarso D, 2003, Protokol Kyoto Implikasi bagi Negara Berkembang, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta Myung Kwon, D.; M. Seok Seo and Y. Chil Seo. 2002. A Study of Compliance with Environmental Regulation of ISO 14001 Certified Companies in Korea. Journal of Environmental Management 65 (4): 347-353. Nagarajan, N.R., M.M. Honarpour and K. Sampath. 2007. Reservoir-Fluid Sampling and Characteriztion – Key to Efficient Reservoir Management. Journal Petroleum Technology, in press (August 2007). Naill, R.F. 1973. The Discovery Lifecycle of a Finite Resource: A Case Study of Natural Gas. In D.L. Meadows and D.H. Meadows. Toward Global Equilibrium. MIT Press. Cambridge, Massachuset. Nash, J., and J. Ehrenfeld, 1997. Codes of environmental management practice: Assessing their potential as a tool for change. Annual Review Energy and Environment 22: 487-535. Natural Gas, http://.en.wikipedia.org/wiki/Natural Gas, (dikunjungi 13 Agustus 2007)
221
Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. 622 hal. New Logic Research Inc. 2007. To Treat Desalter Effluent. An Effective and Economical Solution. California. 64p. Nybakken J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. (Diterjemahkan oleh M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo, S. Sukardjo tahun 1998). PT Gramedia. Jakarta. 459 hal Nugroho, H. 2005. Ratifikasi Protokol Kyoto, Mekanisme Pembangunan Bersih dan Pengembangan Sektor Energi Indonesia: Catatan Strategis. Bappenas. Jakarta. 21hal. NUS Home Page 1999. South Chinese Sea Remote Sensing for Marine Pollution (http://www.crisp.nus.edu.sg/) OSPAR Commission. 2002. Background Document Concerning Techniques for The Management of Produced Water from Offshore Installations. Offshore Industry Series. 70p. Oey-Gardiner, M. 2000. “The Value of Education and The Indonesian Economic Crisis”. Ekonomi dan Keuangan Indonesia 48 (2): 143-173. Olishisfski Julian. 1985. B., P.E, C.S.P, editor in chief. Fundamental of Industrial Hygiene, National Safety Council, second edition, North Michigan
Parmesan, C. 2000. Effect of Climate Change on Butterfly Distribution in : Green, R.E., Harley, M., Spalding, M., and Zockler, C. Impact of Climate Chane on Wildlife. UNEP. UK. Partney, P.R., 2000. Environmental problems and policy: 2000-2005. Resources for the Future: 6-10. Winter 2000, Issue 138. Pearce, D. and E.B. Barbier. 2000. Blueprint for Sustainable Economy. Earthscan Publication, London. UK. 273p. Pandjaitan M, 2006, Industri Petrokimia dan Dampak Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogjakarta. Petrosyan K, Journal Petroleum Economic, What the constraints on associated gas utilization ?, http://www.ftnetwok.com. (dikunjungi 14 Maret 2007). Pedenaud, P. 2006. TOTAL Experience To Reduce Discharge of Hydrocarbons Through Produced Water. SPE 98490. HSE in Oil and Gas Exploration and Production. 8p. Perman, R. Yue Ma and J.McGilvray. 1996. Natural Resource & Environmental Econimics. Longman. Singapore.
222 Pertamina. 1997. Pengelolaan Lindungan Lingkungan, Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Migas. Penerbit HUPMAS Pertamina, Jakarta. 58hal. Pertamina. 2001. Pedoman Program Community Development Di Lingkungan Pertamina Dit. MPS – KPS/JOB. Hasil Community Development Workshop, Bandung, 24-26 Oktober 2001. 7hal. Pezzey, J. 1992. Sustainability: An Interdisciplinary Guide. Values 1(4):321-362.
Environmentalk
P3PK-UGM, 2000. Mencari Model Pemecahan Masalah Hubungan Industri Pertambangan dengan Masyarakat Sekitar. Prosiding Lokakarya. P3PKUGM, Yogyakarta. 151hal. PPPTMGB Lemigas. 1999. Kamus Minyak dan Gas Bumi. Edisi Keempat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi Lemigas. Jakarta. 436hal. PT. RMT. 1974. Glossary of Petroleum Terms. (Indonesian-English). Publication No.7503 D. 70 al. [PT. SDK] PT. Sumberdaya Kelola. 2005. Profil Bisnis LPG Indonesia. Sumberdaya Kelola. Indramayu
PT.
_______2005. Penjelasan Umum Proyek Kilang Mini LPG – Tugu Barat. PT. Sumberdaya Kelola. Indramayu Purba, J. 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Yayasan Obor Indonesia. Diterbitkan atas kerjasama dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Purnomo, Y. 2006. Workshop On Enabling Framework to Support Implementing of GHG Emission Reduction Project in Oil and Gas Sector. Departemen Energi Sumber Daya Mineral. Jakarta. Pusat Data Statistik, 2006. Buku Pegangan Statistik Energi Ekonomi Indonesia. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Jakarta. 65hal. Rabke, S. and J. Candler. 1998. Development of acute benthic toxicity for monitoring synthetic-based muds discharged offshore. IBC Conference on Minimising the Environmental Effects of Offshore Drilling, Houston, Texas. 32p. Rafinus, B. H., R. Lukman, dan K. Djaja. 2000. “Tinjauan Triwulan Perekonomian Indonesia”, Ekonomi dan Keuangan Indonesia 48 (3): 189-214. Raines, S.S., 2002. “Implementing ISO 14001 - An International Survey Assessing the Benefits of Certification”. Corporate Environmental Strategy, Vol.9 (4):418-426. Ramanathan, R. 2001. A note on the use of the analytic hierarchy process for environmental impact assessment. Journal of Environmental Management 65 (1):27-35.
223 Ramirez, A., G. Ranis, dan F. Stewart. 1998. “Economic Growth and Human Capital”. QEH Working Paper No. 18. Rasidin, Y. 2004 Personal Communication. Rapat Kerja PROPER Kegiatan E&P Migas antara KLH, BPMIGAS dan KPS. Bandung. Reith, C. 2001. Applying Environmental Management Strategies to the Agricultural Sector: Louisiana’s Model Sustainable Agricultural Complex. Corporate Environmental Strategy 8 (1):75-83. Reyes, J.L.P., K. Li and R.N. Horne. 2004. A New Decline Curve Analysis Method Applied to the Geysers. Stanford Geothermal Program. Stanford University, CA. 8p. Richards, D.J., and R. A. Frosch, 1997. The industrial green game: Overview and perspectives. In: The industrial green game. Implications for environmental design and management, Richards, D. J., ed., pp. 1-34. National Academy of Engineering, Washington, D.C. Rich, B. 1994. Mortgaging the Earth: The World Bank, Environmental Impoverishment and the Crisis of Development. Beacon Press, Boston, Massachusetts, USA. 376p. Roderick P, Gas Flaring In Negeria (A Human Right, Enviromental and Economic Monstrosity, http://www.climatelaw.org. (dikunjungi 14 July 2007). Rogers, M.F.; J.A. Sinden and T. De Lacy. 1997. The Precautionary Principle for Environmental Management: A Defensive Expenditure Application. Journal of Environmental Management 51 (4): 343-360. Rozari, M.B. Hidayati, R dan Manan, E. 1992. Perubahan Iklim di Indonesia. Jurnal Perhimpi Vol : VIII No:1, pp : 1-8 Rukeh AR, GO Ikiafa, PA Okokoyo, Global Journal of Enviromental Science, Monitoring air pollutants due to gas flaring using rain water http://www.ajol.info/viewarticle.php?id=24369 (dikunjungi 18 Agustus 2007) Rooney-Char, A.H., P.L.Coutrier, J.A. Galt, R. King Jr., J. Robinson, and R.B. Wheeler. 1982. Technical Guidelines for Offshore Oil and Gas Development, Contingency Planning For Offshore Oil And Gas Development. The Environment and Policy Institute (EAPI), East West Center. Hawaii, USA. 118p. Russel, S. 1994. Selamatkan Laut Kita. WWF, Gland, Switzerland. 24p. (Pencarian minyak sering melibatkan penggunaan bahan peledak yang menghancurkan lingkungan lokal. Pengeboran minyak merusak dasar laut, dan sementara minyak disedot, zat-zat kimia beracun tumpah ke dalam laut, p.12 Richard wolfson and Stephen H, Schneider, 2007. Understanding Climate Science, WorldBank
224 Saeni, M.S. 1989. Kimia Lingkungan. PAU Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sadiq, R. and T. Husain. 2005. A fuzzy-based methodology for an aggregative environmental risk assessment: a case study of drilling waste. Environmental Modelling & Software 20:33-46. Said, U.
2001. Pencemaran Lingkungan Oleh Kegiatan Pertambangan dan Energi. Teknologi Pengendalian Pencemaran Dan Pemulihan Kerusakan Lingkungan. Diktat Kuliah PSIL-UI, Jakarta. 36hal.
Saifuddin, A.F. 2007. Kemiskinan di Indonesia: Realita Dibalik Angka. Pidato ilmiah sebagai guru besar Antropologi FISIP, Universitas Indonesia. Jakarta, 24 Januari 2007. Sageev, A. G.D. Prat and H.J. Ramey Jr. Decline Curne Analysis for Infinitive, Double Porosity Systems without Wellbore Skin. Workshop on Geothermal Reservoir Engineering, Stanford University. California. Sajogyo, 1978. Garis Kemiskinan dan Kebutuhan Minimum Pangan. Harian Kompas. Jakarta. Salim, E. 1987. Pembangunan Berkelanjutan. PPSML, Universitas Indonesia, Jakarta. 17hal. _______. 1991. Analisis Kebijakan Ekonomi Yang Berkelanjutan. PPSML, Universitas Indonesia. Jakarta. 23p. _______. 1994. Pola Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia Jangka Panjang Kedua. Jurnal Ekonomi Lingkungan Edisi Ke-lima:1-10. Proyek EMDI – KLH, Jakarta. _______. 1994. Ketegangan Akibat Tekanan Sumber Alam dan Kependudukan. Harian Kompas, 19 April 2004. Jakarta. 8hal. _______. 2001. Keberlanjutan Pembangunan Dengan Pembangunan Berkelanjutan. Diskusi : Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan di dalam Era Desentralisasi dan Tantangan Global. KLH Jakarta. 5hal. _______. 2003. Riau Jangan Terlalu Andalkan Minyak dan Gas Bumi. Harian Kompas, Senin 28 Juli 2003. http://www.kompas.com/kompascetak/0307/28/daerah/456726.htm dikunjungi (13 Agustus 2007) _______. 2003. Closing The Gap. Guest Speaker during IPA – Annual Convention. Indonesian Petroleum Association (IPA). Jakarta. 4p. _______. 2005. From Commitment to Realization of Sustainable Development. Sustainable Development Forum, ConocoPhillips Indonesia. Jakarta, April 6, 2005. 18p.
225 _______. 2006. Mengarustengahkan Sustainabilitas Pembangunan. Jurnal Lingkungan I(1):1-4. Sari
dalam
Kebijakan
AP, Kehidupan Tanpa Minyak : Masa Depan yang Nyata, http://www.pelangi.or.id/publikasi/2007/kehidupan tanpa minyak.pdf (dikunjungi 17 Agustus 2007).
Sascha T.Djumena, 2007. Reducing Gas Flaring and Venting:How a Partnership can Help Achieve Success, GGFR, worldBank/IFC, Oil, Gas Mining and Chemicals Departement. Satter, A., and Thakur, G.C. 1994. Integrated Petroleum Reservoir Management: A Team Approach. PennWell Books. Tulsa. Schaltegger, S. and T. Synnestevedt. 2002. The Link Between “Green” and Economic Success: Environmental Management as The Crucial Trigger Between Environmental and Economic Performance. Journal of Environmental Management 65 (4): 339-346. Schaltegger. S; R. Burritt and H. Petersen. 2003. An Introduction to Corporate Environmental Management, Striving for Sustainability. Greenleaf Publishing Limited. Sheffield, UK. 384p. Schmidheiny, S., 1992. Changing course. MIT Press, Cambridge, MA, USA. Siddayao, C.M. and L.A. Griffin. 1993. Energy Investment and The Environment. Economic Development Institute of The World Bank. Washington D.C. 253p. Silalahi, M.D. 1992. Pengaturan Hukum Lingkungan Laut Indonesia dan Implikasinya Secara Regional. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 328p. Simarmata, A. 1991. Teori Pengambilan Keputusan. 11hal.
PPSML – UI. Jakarta.
Simmons, W.R. 2006. The World’s Giant OilFields. How many exist? How much do they produce? How fast are they declining? Simmons & Company International. 65p. Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1994. Metode Penelitian Survai. LP3ES, Jakarta. 210 hal. Smith, J. Fielding. 1998. Does Decentralization Matter in Environmental Management? Environmental Management 22 (2):263-276. Soemarwoto, O. 2000. Menindaklanjuti Emil Salim. Dalam rangka HUT ke -70. Harian Kompas Jakarta 8 Juni 2000. ____________. 2001. Atur Diri Sendiri. Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembangunan Ramah Lingkungan: Berpihak Pada Rakyat, Ekonomis, Berkelanjutan. Gadjah Mada Univ.Press., Yogyakarta. 261p.
226 Soetaryono, R. 1989. Penentuan Rona Awal Komponen Lingkungan Sosial, Ekonomi dan Budaya. Widyapura No.3, hal 48. ____________. 2000. Dimensi Operasional Konsep Lingkungan Hidup Sosial dalam Kisi-Kisi Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pusat Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. 16p. Soetrisno, L.; M.Maksum; Susetiawan; dan D. Ismowati. 2000. Mencari Model Pemecahan Masalah Hubungan Industri Pertambangan Dengan Masyarakat Sekitar. Prosiding Lokakarya. P3PK-UGM, Yogyakarta. 151hal. Somantri, R.A. 1998. Peranan nilai budaya daerah dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Bagian Proyek P2NB Jawa Barat, Bandung. Spangenberg, J.H.; S. Pfahl and K. Deller. 2002. Towards indicators for institutional sustainability: lessons from an analysis of Agenda 21. Ecological Indicators 2: 61–77. Sriharjo, S. 2001. Sinergi Produksi Bersih Pada Peningkatan Daya Saing Industri . Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, Vol.3, No.4 (Juli 2001). BPPT, Jakarta. Hal.47-52. http://www.iptek.net.id/ind/jurnal/jurnal_idx.php?doc=V3.n4.07.htm Sterman, J.D. and G.P. Richardson. 1985. An experiment to Evaluate Methods for Estimating Fossil Fuel Resources. Journal of Forecasting 4:197-226. Strickland, J.D.H. and T.R. Parsons. 1968. A Practical Handbook of Sea Water Analysis. Fish. Res. Board Canada, Bull. 167:1-311. Sudibyo, R. 2004. Laporan Kegiatan BPMIGAS Periode 2002 – 2004. Jakarta. 34 hal. http://www.bpmigas.com/Laporan.asp Suhariadi, F. 2007. Paradigma Pengelolaan Manusia di Dalam Organisasi: Bidang Ilmu Manajemen Sumberdaya Manusia. Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia pada Fakultas Psikologi Universitas Airlangga di Surabaya pada hari Sabtu Tanggal 25 Agustus 2007. Surabaya. 23 hal. Sumantojo, R.W. 1992. Minimisasi Limbah. Program Pascasarjana, Universitas Pembangunan, 12 (4): 242-257.
Pusat Studi Ilmu Lingkungan, Indonesia. Lingkungan &
Suparlan, P. 1980. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Perspektif Antropologi Budaya. Yang tersirat dan yang tersurat. Fak. Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta. Suparmoko, M. 1995. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis). BPFE Yogyakarta. 411p. Surna T.D. 2001. Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Penerbit Studi Tekno Ekonomi, departemen Teknik Industrifakultas teknik Industri ITB Bandung.
227 Suryahadi, A., W. Widyanti, D. Perwira, S. Sumarto. 2003. “Minimum Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Formal Sector”, Bulletin of Indonesian Economic Studies 39 (1): 29-50.
Suzeta, P. 2007. Minyak Tanah : Konversi ke Gas Elpiji. http://www.pikiranrakyat.com. Dikunjungi tanggal 06 Januari 2009. Syahrial E. dan Bioletty L. 2007. Kajian potensi CO2 dan EOR dalam Menciptakan Mekanisme Pembangunan Bersih di Indonesia. Jurnal Lemigas M & E Vol. 5 No. 3 September 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi. Jakarta p. 33-55 Syaifudin, A. 1993. Proses Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak Bumi, Flotation Cell dan Vortoil Hydrocyclone. Departemen Teknik Perminyakan ITB. Bandung. 19hal. Sustainable Development Report-Baseline, Performing Today Preparing Tomorrow,http://www.conocophilips.com/sustainable/report (dikunjungi 20 February 2007). Tarras-Wahlberg, N.H. 2002. Environmental Management of Small-Scale and Artisanal Mining: The Portovelo-Zaruma Gold Mining Area, Southern Ecuador. Journal of Environmental Management 65 (2):165-179. Taylor, P.W. 1986. Respect for Nature, A Theory of Environmental Ethics, Princeton, New Jersey. Teknik Lingkungan ITB. 2004. Pencemaran Lingkungan On Line Website. http://www.tlitb.org/plo/model.html Thampapillai, D.J.; C. Hanf; Thangavelu, S.M.; and E.T. Quah. 2003. The Environmental Kuznets Curve Effect and the Scarcity of Natural Resources: A Simple Case Study of Australia. National University of Singapore. 23p. Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. 2005. Kemiskinan Di Indonesia: Perkembangan Data dan Informasi Mutakhir. TKPK, Jakarta. 120hal. Timoney, K. and P. Lee. 2001. Environmental management in resource-rich Alberta, Canada: first world jurisdiction, third world analogue? Journal of Environmental Management 63 (4):387-405. Tietenberg, T. 1996. Environmental and Natural Resources Economics. Fourth Edition. HarperCollinsCollege Publishers. New York. 614p. Turner, R.K.; R. Salmons and A. Craighill. 1998. Green Taxes, Waste Management and Political Economy. Journal of Environmental Management 53 (2): 121-136. The EPA Natural Gas Star Program, Intented to reduce methane emission from the oil and gas industry, http://www.epa.gov/gasstar/. (dikunjungi 13 Agustus 2007).
228
The
Natural Gas Industry and the http://www.naturalgas.org/enviroment/ng industry (dikunjungi 13 Agustus 2007).
environment, enviroment.asp
The Enviroment, Statoil and Sustainable, http://www.statoil.com/ (dikunjungi 15 Agustus 2007). The
Oil and Gas Industry and Sustainable Development, http://www.totalfinaelf.com/ (dikunjungi 15 Agustus 2007).
Undang-Undang RI No.23 Tahun 1997. Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang RI No.25 Tahun 2000. Tentang Program Pembangunan Nasional Propenas) Tahun 2000 – 2004. UNDP dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2000. Agenda 21 Sektoral. Agenda Energi Untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Jakarta. 227p. UNEP. 1996. Cultural and Spiritual Values of Biodiversity. UNEP, Intermediate Technology Publications. 731p. UNEP and E&P Forum. 1997. Environmental Management in Oil and Gas Exploration & Production. E&P Forum. London, UK. 68p. US-EPA. 2000a. Development document for final effluent limitations guidelines and standards for synthetic-based drilling fluids and other non-aqueous drilling fluids in the oil and gas extraction point source category, US Environmental Protection Agency, Washington DC, EPA-821-00-013. _______ 2000b. Environmental assessment of final effluent limitations guidelines and standards for synthetic-based drilling fluids and other non-aqueous drilling fluids in the oil and gas extraction point source category, US Environmental Protection Agency, Washington DC, EPA-821-00-014. Wark, AC and TL Warner 1981: Threshold Limit Values for Chemical Substances and Physical Agent and Biological Exposure Indices, ACGIH Worldwide, Cincinati Wales, J. 2008. Gas Alam Cair. http://www.eia.doe.gov. Diakses pada tanggal 06 januari 2009. Wariyanto, A. 2002. Antara Eksploitasi Alam dan Pendapatan Daerah. Harian Suara Merdeka 22 Maret 2002. http://www.suaramerdeka.com/harian/0203/22/kha2.htm. Warnika, K. 2006. Operasi Kegiatan Hulu Migas Yang Efisien, Efektif dan Ramah Lingkungan. BPMIGAS. Jakarta. 38hal. Watterberg, A., Sumarto, S., dan Prittchett, L.. 1999. “A National Snapshot of the Social Impact of Indonesia’s Crisis”. Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol 35 No 3, 145-152.
229
Wawolumaya, C. 2001. Metodologi Riset Kedokteran, Survei Epidemiologi Sederhana. Bidang Perilaku Kedokteran/Kesehatan. Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas. Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Jakarta. 112p. Wenten, I.G. dan Adityawarman, D. 1999. Prospek Pemanfaatan Teknologi Membran dalam Bidang Biuoteknologi Kelautan. ITB. Bandung. Westmacott, S. 2001. Developing decision support systems for integrated coastal management in the tropics: Is the ICM decision-making environment too complex for the development of a useable and useful DSS? Journal of Environmental Management 62 (1):55-74. Wheeler, D. and S.Afsah. 1996. "Going Public on Polluters in Indonesia's: BAPEDAL’s Proper Prokasih Program. New Public Disclosure Program." East Asian Executive Reports. International Executive Reports, Washington DC. 5p. Wibowo, P. 2004. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan Masyarakat. Majalah Tempo. http://www.pdat.co.id/hg/opinions_pdat/2004/09/28/opn,2004092803,id.html Wibowo, R.S. dan E. Hafild. 2005. Studi Awal Transparansi Ekonomi Ekstraktif Di Indonesia. Transparency International Indonesia dan Yayasan Tifa Jakarta. 33 hal WIMPOL. 1987. Environmental Impact Assesment For The Onshore Oil And Gas Industry. Wiltshire, UK. 32p. Wiyono,
2001. Pengelolaan Sumber Daya Hutan Dalam Rangka Otonomi Daerah. http://www.arupa.or.id/papers/32htm. 5p.
World Bank, 1990. Indonesia. Sustainable development of water. The World Bank, Washington, DC, USA.
forests, land and
__________. 1991. Environmental Assessment Sourcebook. Volume I: Policies, Procedures, and Cross-Sectoral Issues. World Bank Technical Paper No.139. The World Bank. Washington D.C. 227p. __________. 1991. Environmental Assessment Sourcebook. Volume II: Sectoral Guidelines. World Bank Technical Paper No.140. The World Bank. Washington D.C. 282p. __________. 1994. Indonesia. Environment and development. The World Bank, Washington, DC, USA. __________. 2006. Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Ikhtisar. The World Bank, Office Jakarta. 40 hal.
230 World Bank. 2007. buku panduan MPB (Mekanisme Pembangunan Besih) untuk sektor minyak dan gas di indonesia. Ikhtisar. The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank, Sofreco in Collaboration With, Natsource, dan Cerindenesia. Jakarta. 72 hal. Wisaksono W, Sanusi B, Nugrahanti A, Oetomo RG, Situmorang B, Abduh S, Pribadi IGOS, Sediadi ER, Amran TG, Prayitno, 2004, Bunga Rampai World Commission on Environment and Development (WCED). 1987. Common Future. Oxford University Press, Oxford.
Our
World Oil, 2003. Special Focus. International Outlook: Far East. Energy demands spur oil/gas developments. World Oil, The Oilfield Information Source. August 2003 Edition. 6p. World Business Council for Sustainable Development, undated. Collection of case studies in eco-efficiency. http://www.bcsd.ch/eedata Yusgiantoro, P. 2007. Penerimaan Sektor Migas Rp 228,97 Triliun. http://www.bpmigas.com/w1.asp Zanten, W.V. 1994. Statistika Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. PT. Gramedia, Jakarta. 494hal.
231
Lampiran 1. Perhitungan IRR, NPV dan PBP
232
Lampiran 2.
init flow doc init flow doc init flow doc init flow doc init flow doc init flow doc init flow doc init flow doc init flow doc aux doc aux doc unit aux doc aux doc aux doc aux
Formula Model Pemanfaatan Gas Ikutan di Lapangan Minyak Tugu Barat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
CNG = 0 CNG = +dt*laju_prod_CNG CNG = total produksi CNG CO2 = 0 CO2 = +dt*laju_prod_CO2 CO2 = produksi gas CO2 olahan gas_ikutan = 10000 gas_ikutan = -dt*Laju_pengolahan-dt*laju_flare+dt* laju_pertambahan_gas_ikutan gas_ikutan = produksi gas ikutan Gas_olahan = 0 Gas_olahan = +dt*Laju_pengolahan-dt*laju_prod_CO2 -dt*laju_prod_LPG-dt*laju_prod_CNG-dt*laju_prod_lean Gas_olahan = total gas olahan gas_terbakar = 1000 gas_terbakar = -dt*laju_pengurangan_gas_pol+dt*laju_flare gas_terbakar = jumlah gas ikutan yang dibakar IINDUSTRI = 1000 IINDUSTRI = -dt*laju_pengurangan_industri+dt* laju_pertumbuhan_industri IINDUSTRI = jumlah industri di wilayah jawa barat JML_PDDK = 36914883 JML_PDDK = -dt*lj_kematian-dt*lj_emigrasi+dt*laju_kelahiran +dt*laju_imigrasi JML_PDDK = jumlah penduduk jawa Barat pada tahun 2002 Lean_Gas = 0 Lean_Gas = +dt*laju_prod_lean Lean_Gas = produksi Lean gas hasil olahan LPG = 0 LPG = +dt*laju_prod_LPG LPG = total produksi LPG laju_flare = gas_ikutan*fr_flare laju_flare = laju gas ikutan yang dibakar per tahun laju_imigrasi = JML_PDDK * fr_immigrasi laju_imigrasi = Number of new individuals born into a population per time laju_kelahiran = JML_PDDK * fr_lahir*faktor_klhr_krn_pencmr laju_kelahiran = Number of new individuals born into a population per time unit Laju_pengolahan = gas_ikutan*prop_olah Laju_pengolahan = laju gas ikutan yang diiolah setiap tahun laju_pengurangan_gas_pol = gas_terbakar*fr_prespitasi laju_pengurangan_gas_pol = laju pengurangan gas polutan laju_pengurangan_industri = IINDUSTRI*fr_pengurangan_ind
233
doc aux doc aux doc aux doc aux doc aux doc aux doc aux doc unit aux doc unit aux
laju_pengurangan_industri = laju pengurangan industri laju_pertambahan_gas_ikutan = exploitasi_minyak*fr_gas_ikutan* fr_konversi*fr_hari_operasi laju_pertambahan_gas_ikutan = laju pertambahan gas ikutan per tahun laju_pertumbuhan_industri = IINDUSTRI*fr_pertamh_ind laju_pertumbuhan_industri = laju pertumbuhan industri laju_prod_CNG = Gas_olahan*fr_CNG*kap_prod_CNG laju_prod_CNG = laju produksi CNG laju_prod_CO2 = Gas_olahan*fr_olahCO2*kap_prod_CO2 laju_prod_CO2 = laju produksi gas CO2 hasil olahan laju_prod_lean = Gas_olahan*fr_lean*kap_prod_Lean_Gas laju_prod_lean = laju produksi lean gas laju_prod_LPG = Gas_olahan*fr_LPG*kap_prod_LPG laju_prod_LPG = laju produksi LPG lj_emigrasi = JML_PDDK*fr_emigrasi lj_emigrasi = Number of individuals that die out of a population per time lj_kematian = JML_PDDK / umur_rata2*faktor_umur_krn_pencmr lj_kematian = Number of individuals that die out of a population per time
exploitasi_minyak = GRAPH(TIME,2002,2,[463,541,538,507,496,465, 454,435,407,379,359,320,289,224,115"Min:0;Max:600"]) doc exploitasi_minyak = eksploitasi minyak bumi aux faktor_klhr_krn_pencmr = GRAPH(status_pencmr_lingk,0,1,[1,0.97,0.91,0.84,0.77"Min:0;Max:1"]) doc faktor_klhr_krn_pencmr = faktor kelahiran karena pencemaran lingkungan aux faktor_umur_krn_pencmr = GRAPH(status_pencmr_lingk,0,1,[1,0.93, 0.82,0.66,0.42"Min:0;Max:1"]) doc faktor_umur_krn_pencmr = faktor harapan hidup karena pengaruh pencemaran lingkungan aux fr_flare = 1-prop_olah doc fr_flare = fraksi gas ikutan yang dibakar melalui flare aux industr_pengguna_CNG = IINDUSTRI*fr_ind_pengg_CNG doc industr_pengguna_CNG = jumlah industri yang menggunakan CNG aux industr_pengguna_CO2 = IINDUSTRI*fr_ind_pengg_CO2 doc industr_pengguna_CO2 = jumlah industri pengguna CO2 aux industr_pengguna_Lean_Gas = IINDUSTRI*fr_ind_pengg_Lean_Gas doc industr_pengguna_Lean_Gas = jumlah industri pengguna lean gas aux jumlah_KK = JML_PDDK/fr_KK doc jumlah_KK = jumlah KK aux kebut_LPG_ind = IINDUSTRI*fr_ind_pengguna_LPG*fr_kebut_LPG_ind doc kebut_LPG_ind = kebutuhan LPG oleh industri aux kebut_LPG_Tot = kebut_LPG_ind+kebutuhan_LPG_RT doc kebut_LPG_Tot = kebutuhan LPG total di wilayah Jabar & Jakarta aux kebutuhan_CNG = industr_pengguna_CNG*fr_kebut_CNG_per_ind doc kebutuhan_CNG = kebutuhan CNG oleh industri aux kebutuhan_CO2 = industr_pengguna_CO2*fr_kebut_CO2_per_ind doc kebutuhan_CO2 = kebutuhan CO2 olahan untuk industri
234
aux doc aux doc aux doc aux doc aux doc aux doc aux
doc aux doc aux doc aux doc aux doc aux doc aux doc aux
doc aux doc aux doc aux doc aux doc aux doc aux
kebutuhan_Lean_Gas = industr_pengguna_Lean_Gas* fr_kebut_Lean_per_ind kebutuhan_Lean_Gas = jumlah kebutuhan lean gas oleh industri kebutuhan_LPG_RT = (jumlah_KK*fr_LPG_KK)/1000 kebutuhan_LPG_RT = kebutuhan LPG DKI per tahun kekurangan_pasok_CNG = kebutuhan_CNG-CNG kekurangan_pasok_CNG = kekurangan pasok CNG kekurangan_pasok_Co2 = kebutuhan_CO2-CO2 kekurangan_pasok_Co2 = kekurangan pasok CO2 pd industri kekurangan_pasok_Lean_Gas = kebutuhan_Lean_Gas-Lean_Gas kekurangan_pasok_Lean_Gas = kekurangan pasok Lean gas kekurangan_pasok_LPG = kebut_LPG_Tot-Total_Pasokan_LPG kekurangan_pasok_LPG = kekurangan pasokan LPG di wilayah Jabar & DKI kemamp_olah = GRAPH(pendapatan_total,1000000,1000000,[0.29, 0.454,0.568,0.69,0.774,0.829,0.866,0.883,0.892,0.896,0.896"Min:0; Max:0.9"]) kemamp_olah = proporsi gas yang diolah terkait kemampuan keuangan perusahaan LPG_dari_industri = kebut_LPG_Tot*fr_LPG_industri LPG_dari_industri = pasok LPG dari industri migas PAD = pajak_industri*pendapatan_total PAD = pendapatan asli daerah dari produksi olahan gas ikutan pendapatan_dari_CNG = CNG*harga_CNG pendapatan_dari_CNG = pendapatan kotor dari CNG pendapatan_dari_Lean_Gas = Lean_Gas*harga_lean_gas pendapatan_dari_Lean_Gas = pendapatan kotor dari Lean gas pendapatan_dari_LPG = LPG*harga_LPG pendapatan_dari_LPG = pendapatan kotor dari LPG pendapatan_dari_prod_CO2 = CO2*harga_produk_CO2 pendapatan_dari_prod_CO2 = pendapatan kotor dari CO2 pendapatan_total = pendapatan_dari_CNG+ pendapatan_dari_Lean_Gas+pendapatan_dari_LPG+ pendapatan_dari_prod_CO2 pendapatan_total = total pendapatan dari gas olahan pol_CO2 = gas_terbakar*fr_CO2*fr_CO2_per_gas pol_CO2 = produksi gas polutan CO2 pol_lain = gas_terbakar*fr_pol_lain*pol_lain_per_gas pol_lain = produksi gas polutan lain pol_NOx = gas_terbakar*fr_NOx*NOx_per_gas pol_NOx = produksi polutan H2S prop_olah = kemamp_olah*fr_olah prop_olah = proporsi gas yang diolah status_pencemaran_lain = GRAPH(TIME,2002,4,[1.51,1.64,1.85, 2.02,2.21,2.37,2.54,2.75,2.92,3.05,3.18"Min:0;Max:4"]) status_pencemaran_lain = status pencemaran lingkungan dari faktor selain udara status_pencmr_lingk = (0.5*status_pencemaran_lain)+(0.5*
235
doc aux doc aux
doc aux aux doc aux doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc const const doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc const
status_pencmr_udara) status_pencmr_lingk = status pencemaran lingkungan status_pencmr_udara = (0.9*status_pencmr_udara_sumber_lain)+(0.1* status_pencmr_udara_akibat_flare) status_pencmr_udara = status pencemaran udara status_pencmr_udara_akibat_flare = GRAPH(total_cemaran_flare,0, 1000000,[0,0.24,0.43,0.71,0.97,1.29,1.76,2.17,2.77,3.31,3.98"Min:0; Max:4"]) status_pencmr_udara_akibat_flare = pencemaran udara akibat gas yang dihasilkan dari flare status_pencmr_udara_sumber_lain = GRAPH(TIME,2002,4,[1.64,1.7, 1.83,1.91,2.09,2.26,2.41,2.58,2.77,2.92,3.08"Min:0;Max:4"]) total_cemaran_flare = pol_CO2+pol_NOx+pol_lain total_cemaran_flare = total akumulasi gas yang dihasilkan dari proses flare Total_Pasokan_LPG = LPG+LPG_dari_industri Total_Pasokan_LPG = total pasokan LPG yaitu dari PT SDK dan dari industri lain, termasuk dari industri pengolahan LPG dari migas fr_CNG = 0.25 fr_CNG = proporsi olahan CNG fr_CO2 = 0.97 fr_CO2 = fraksi CO2 fr_CO2_per_gas = 2510/1000000 fr_CO2_per_gas = jumlah CO2 yang dihasilkan per m3 gas flare fr_emigrasi = 1% fr_emigrasi = rata-rata proporsi emigrasi normal fr_gas_ikutan = 5.7/550 fr_gas_ikutan = fraksi gas ikutan dari eksploitasi migas per barrel fr_hari_operasi = 340 fr_hari_operasi = jumlah hari operasi per tahun fr_immigrasi = 3.5% fr_ind_pengg_CNG = 1% fr_ind_pengg_CNG = fraksi industri yang menggunakan CNG fr_ind_pengg_CO2 = 1% fr_ind_pengg_CO2 = fraksi industri pengguna CO2 fr_ind_pengg_Lean_Gas = 1% fr_ind_pengg_Lean_Gas = fraksi industri pengguna Lean Gas fr_ind_pengguna_LPG = 30% fr_ind_pengguna_LPG = proporsi industri pengguna LPG fr_kebut_CNG_per_ind = 500 fr_kebut_CNG_per_ind = penggunaan CNG per industri per tahun fr_kebut_CO2_per_ind = 500 fr_kebut_CO2_per_ind = kebutuhan CO2 per industri per tahun fr_kebut_Lean_per_ind = 500 fr_kebut_Lean_per_ind = fr kebutuhan lean gas per industri per tahun fr_kebut_LPG_ind = 150000 fr_kebut_LPG_ind = fraksi kebutuhan LPG per industri per tahun fr_KK = 5
236
doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc const const doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc const doc const
fr_KK = jumlah jiwa per KK fr_konversi = 0.035937*1000000 fr_konversi = konversi dari mmscf ke m3 fr_lahir = 1.2% fr_lahir = Birth fraction in a population, i.e., the number of new individuals born per individual in a population per time unit. fr_lean = 0.25 fr_lean = proporsi olahan lean gas fr_LPG = 0.25 fr_LPG = proporsi olahan LPG fr_LPG_industri = 0.8 fr_LPG_industri = proporsi LPG yang dipasok dari industri fr_LPG_KK = 15*12 fr_LPG_KK = kebutuhan LPG per KK per tahun fr_NOx = 0.01 fr_NOx = frfaksi H2S fr_olah = 1 fr_olah = dilakukan atau tidaknya pengolahan gas ikutan fr_olahCO2 = 0.25 fr_olahCO2 = proporsi gas olahan menjadi CO2 fr_pengurangan_ind = 0.005 fr_pertamh_ind = 0.01 fr_pertamh_ind = pertambahan industri fr_pol_lain = 002 fr_pol_lain = fraksi gas polutan lain fr_prespitasi = 0.05 fr_prespitasi = fraksi presipitasi gas polutan oleh air hujan harga_CNG = 30*10000 harga_CNG = harga CNG per satuan harga_lean_gas = 2.2*10000 harga_lean_gas = harga lean gas harga_LPG = 280*10000 harga_LPG = harga LPG per satuan harga_produk_CO2 = 1.073*10000 harga_produk_CO2 = harga CO2 per satuan kap_prod_CNG = 14/(5.7*1000000*0.035937) kap_prod_CNG = jumlah CNG yang dihasilkan oleh setiap satuan gas yang diolah kap_prod_CO2 = 10/(5.7*1000000*0.035937) kap_prod_CO2 = jumlah CO2 yang dihasilkan oleh setiap satuan gas yang diolah kap_prod_Lean_Gas = 3.8/(5.7*1000000*0.035937) kap_prod_Lean_Gas = jumlah Lean Gas yang dihasilkan oleh setiap satuan gas yang diolah kap_prod_LPG = 15.5/(5.7*1000000*0.035937) kap_prod_LPG = jumlah LPG yang dihasilkan oleh setiap satuan gas yang diolah NOx_per_gas = 2500/1000000
237
const doc const const doc
pajak_industri = 0.01 pajak_industri = pajak pol_lain_per_gas = 2000/1000000 umur_rata2 = 80 umur_rata2 = Average lifetime in a population
238
Lampiran 3. Hasil Analisis Pendapat Pakar dalam Mendisain Kebijakan Pemanfaatan gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat, Kabupaten Indramayu LEVEL FAKTOR
SUB LEVEL SDM SDA Modal Teknologi Sarana dan Prasaran Kebijakan Pemerintah
STAKEHOLDER
Pemerintah Pengelola/Pertamina Perbankan Masyarakat
TUJUAN
ALTERNATIF
Terpeliharanya Kualitas Lingkungan Menuju CDM Perluasan Lapangan Kerja Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah LPG Kondensat Lean Gas (Power Generator) CO2
Pakar I 0,139 0,093 0,144 0,258 0,127 0,24
Pakar II 0,136 0,077 0,186 0,186 0,186 0,23
Pakar III 0,147 0,491 0,071 0,043 0,025 0,224
Pakar IV 0,130 0,104 0,150 0,244 0,122 0,250
Pakar V 0,130 0,104 0,150 0,244 0,122 0,250
Pakar VI 0,298 0,261 0,022 0,041 0,072 0,307
Pakar VII 0,452 0,253 0,024 0,044 0,08 0,146
Rata Geometrik 0,180843 0,158483 0,080855 0,11204 0,090734 0,230565 0,853521 0,264346 0,290653 0,225785 0,123565 0,904349
Ratarata 0,211879 0,185682 0,094731 0,131268 0,106306 0,270134
0,204 0,206 0,423 0,167
0,241 0,318 0,315 0,126
0,484 0,303 0,15 0,062
0,155 0,289 0,398 0,159
0,161 0,202 0,470 0,167
0,310 0,426 0,127 0,138
0,490 0,355 0,063 0,092
0,250 0,250
0,247 0,226
0,352 0,063
0,250 0,250
0,250 0,250
0,422 0,208
0,444 0,158
0,306575 0,184622
0,322817 0,194404
0,250
0,301
0,477
0,250
0,250
0,278
0,306
0,294217
0,309805
0,250
0,226
0,108
0,250
0,250
0,092
0,092
0,164271
0,172974
0,373 0,268 0,287 0,072
0,314 0,29 0,31 0,086
0,248 0,077 0,426 0,249
0,370 0,271 0,290 0,068
0,370 0,271 0,290 0,068
0,475 0,158 0,275 0,092
0,475 0,158 0,275 0,092
0,367026 0,195645 0,3042 0,093038 0,959909
0,382355 0,203816 0,316905 0,096924
0,292305 0,321395 0,249666 0,136634
239
Lampiran 4. Kuisioner Disain Kebijakan Pemanfaatan gas Ikutan di Lapangan Tugu Barat, Kabupaten Indramayu dengan AHP
KUESIONER MODEL PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI PERUSAHAAN MIGAS DALAM RANGKA MENDUKUNG MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH EXPERT SURVEY
Oleh: ZULKIFLI RANGKUTI NPM.P062059434
PENELITIAN PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
240
PETUNJUK PENGISIAN I.
Tata Cara Pengisian Kuesioner
Isilah perbandingan antara masing-masing atribut seperti tertera pada Tabel 2 dengan Skala Saaty seperti yang tertera pada Tabel 1. Misalnya pada Tabel 2, bila Atribut B lebih penting dari pada Atribut A maka nilai Skala Saaty = 5 diberikan pada Atribut B yang terletak disisi kanan angka-angka pertbandingan itu. Sebaliknya, bila Atribut A sangat penting maka nilai Skala Saaty = 7 diberikan pada Atribut A yang terletak disisi kiri angka-angka pertbandingan itu. Dimohonkan pengisian ini dilakukan secara konsisten. Sebagai contoh, apabila Atribut A lebih baik dari Atribut C, dan Atribut B lebih baik dari Atribut C maka Atribut A harus lebih baik dari Atribut C. Tabel 1. Penilaian tingkat kepentingan (skor) antar masing-masing atribut Nilai Skor 1 3 5 7 9 2, 4, 6, 8
Keterangan Kriteria yang satu dengan yang lainnya sama penting Kriteria yang satu sedikit lebih penting (agak kuat) dibanding Kriteria yang lainnya. Kriteria yang satu sifatnya lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding Kriteria yang lainnya Kriteria yang satu sangat penting dibanding Kriteria yang lainnya Kriteria yang satu ekstrim pentingnya dibanding Kriteria yang lainnya Nilai tengah di antara dua nilai skor penilaian diatas
CONTOH PENILAIAN : Tabel 2. Berilah Tanda (X) pada kolom skor yang paling sesuai terhadap penilaian tingkat kepentingan masing-masing atribut. Kolom Kiri
Atribut A Atribut A Selanjutnya
Diisi jika Kriteria di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Kriteria di kolom sebelah kanan 9 8 7 6 5 4 3 2 X
Diisi Bila Sama Penting 1
Diisi jika Kriteria di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Kriteria di kolom sebelah kanan 2 3 4 5 6 7 8 9 v
Kolom Kanan
Atribut B Atribut C Selanjutnya
241
Fokus
Faktor
Stakeholders
Tujuan
Alternatif
Model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Sumberdaya manusia
Pemda
Sumberdaya alam
Pengusaha
Terpeliharanya Kualitas lingkungan menuju CDM
LPG
Modal
Pengelola/Pertamina
Perluasan lapangan kerja
KONDENSAT
Sarana dan prasarana
Teknologi
Pempus
Perbankan
Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan
LEAN GAS (POWER GENERATOR)
Kebijakan pemerintah
LSM
Masyarakat
Peningakatn Pendapatan Asli Daerah
CO2
Gambar 1. hierarki pengambilan keputusan model pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
242
PEMBOBOTAN FAKTOR
1.
Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap FAKTOR yang berpengaruh dalam PEMANFAATAN GAS IKUTAN DI PERUSAHAAN MIGAS
DALAM RANGKA MENDUKUNG MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH Kolom Kiri
Diisi jika Faktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Faktor di kolom sebelah kanan 9
8
77
6
55
4
3
2
Diisi Bila Sama Penting 1
Diisi jika Faktor di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Faktor di kolom sebelah kiri 2 33 4 5 6 7 8 9
Sumberdaya Manusia Sumberdaya Manusia Sumberdaya Manusia Sumberdaya Manusia Sumberdaya Manusia Sumberdaya Alam Sumberdaya Alam Sumberdaya Alam Sumberdaya Alam Modal Modal Modal Teknologi Teknologi Sarana dan Prasarana
Kolom Kanan
Sumberdaya Alam Modal Teknologi Sarana dan Prasarana Kebijakan Pemerintah Modal Teknologi Sarana dan Prasarana Kebijakan Pemerintah Teknologi Sarana dan Prasarana Kebijakan Pemerintah Sarana dan Prasarana Kebijakan Pemerintah Kebijakan Pemerintah
B. PEMBOBOTAN STAKEHOLDER
2.
Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam Peningkatan SDM terkait pemanfaatan gas perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih Kolom Kiri
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor di kolom sebelah kanan
Diisi Bila Sama
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Aktor di kolom
Kolom Kanan
ikutan di
243
9
8
77
6
55
4
3
2
Penting 1
2
33
sebelah kiri 4 5 6 7
8
9
Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pengelola/Pertamina Pengelola/Pertamina Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengusaha Pengusaha Perbankan Perbankan LSM
3.
Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pengusaha Perbankan LSM Masyarakat Pengelola/Pertamina Pengusaha Perbankan LSM Masyarakat Pengusaha Perbankan LSM Masyarakat Perbankan LSM Masyarakat LSM Masyarakat Masyarakat
Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam Pengelolaan SDA terkait pemanfaatan gas perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih Kolom Kiri
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor di kolom sebelah kanan 9
Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat
8
77
6
55
4
3
2
Diisi Bila Sama Penting 1
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Aktor di kolom sebelah kiri 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina
ikutan di
244
Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pengelola/Pertamina Pengelola/Pertamina Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengusaha Pengusaha Perbankan Perbankan LSM
4.
Pengusaha Perbankan LSM Masyarakat Pengelola/Pertamina Pengusaha Perbankan LSM Masyarakat Pengusaha Perbankan LSM Masyarakat Perbankan LSM Masyarakat LSM Masyarakat Masyarakat
Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam penyediaan Modal terkait pemanfaatan gas perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih Kolom Kiri
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor di kolom sebelah kanan 9
Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat
8
77
6
55
4
3
2
Diisi Bila Sama Penting 1
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Aktor di kolom sebelah kiri 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pengusaha Perbankan LSM Masyarakat
ikutan di
245
Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pengelola/Pertamina Pengelola/Pertamina Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengusaha Pengusaha Perbankan Perbankan LSM
5.
Pengelola/Pertamina Pengusaha Perbankan LSM Masyarakat Pengusaha Perbankan LSM Masyarakat Perbankan LSM Masyarakat LSM Masyarakat Masyarakat
Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam penyediaan Teknologi terkait pemanfaatan gas perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih Kolom Kiri
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor di kolom sebelah kanan 9
Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah
8
77
6
55
4
3
2
Diisi Bila Sama Penting 1
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Aktor di kolom sebelah kiri 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pengusaha Perbankan LSM Masyarakat Pengelola/Pertamina Pengusaha Perbankan LSM
ikutan di
246
Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pengelola/Pertamina Pengelola/Pertamina Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengusaha Pengusaha Perbankan Perbankan LSM
6.
Masyarakat Pengusaha Perbankan LSM Masyarakat Perbankan LSM Masyarakat LSM Masyarakat Masyarakat
Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam penyediaan Sarana dan Prasarana terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih Kolom Kiri
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor di kolom sebelah kanan 9
Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pengelola/Pertamina Pengelola/Pertamina
8
77
6
55
4
3
2
Diisi Bila Sama Penting 1
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Aktor di kolom sebelah kiri 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pengusaha Perbankan LSM Masyarakat Pengelola/Pertamina Pengusaha Perbankan LSM Masyarakat Pengusaha Perbankan LSM
247
Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengusaha Pengusaha Perbankan Perbankan LSM
7.
Masyarakat Perbankan LSM Masyarakat LSM Masyarakat Masyarakat
Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap AKTOR yang berperan dalam penyusunan Kebijakan terkait pemanfaatan gas perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih Kolom Kiri
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Aktor di kolom sebelah kanan 9
Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pengelola/Pertamina Pengelola/Pertamina Pengelola/Pertamina Pengusaha Pengusaha Pengusaha
8
77
6
55
4
3
2
Diisi Bila Sama Penting 1
Diisi jika Aktor di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Aktor di kolom sebelah kiri 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Pemerintah Daerah Pengelola/Pertamina Pengusaha Perbankan LSM Masyarakat Pengelola/Pertamina Pengusaha Perbankan LSM Masyarakat Pengusaha Perbankan LSM Masyarakat Perbankan LSM Masyarakat
ikutan di
248
Perbankan Perbankan LSM
LSM Masyarakat Masyarakat
C. PEMBOBOTAN TUJUAN
8.
Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Pemerintah Pusat terkait pemanfaatan gas perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih Kolom Kiri
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan 9
8
77
6
55
4
3
2
Diisi Bila Sama Penting 1
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kiri 2 33 4 5 6 7 8 9
Penciptaan Lapangan Kerja Penciptaan Lapangan Kerja Penciptaan Lapangan Kerja Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
9.
Kolom Kanan
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Pemerintah Daerah terkait pemanfaatan gas perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih Kolom Kiri
ikutan di
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan
Diisi Bila Sama Penting
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kiri
Kolom Kanan
ikutan di
249
9
8
77
6
55
4
3
2
1
2
33
4
5
6
7
8
9
Penciptaan Lapangan Kerja Penciptaan Lapangan Kerja Penciptaan Lapangan Kerja Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
10. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Pengelola/Pertamina terkait pemanfaatan gas perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih Kolom Kiri
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan 9
Penciptaan Lapangan Kerja Penciptaan Lapangan Kerja Penciptaan Lapangan Kerja Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
8
77
6
55
4
3
2
Diisi Bila Sama Penting 1
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kiri 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
ikutan di
250
11. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Pengusaha terkait pemanfaatan gas perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih Kolom Kiri
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan 9
8
77
6
55
4
3
2
Diisi Bila Sama Penting 1
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kiri 2 33 4 5 6 7 8 9
Penciptaan Lapangan Kerja Penciptaan Lapangan Kerja Penciptaan Lapangan Kerja Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Kolom Kanan
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
12. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Perbankan terkait pemanfaatan gas perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih Kolom Kiri
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan 9
Penciptaan Lapangan Kerja
ikutan di
8
77
6
55
4
3
2
Diisi Bila Sama Penting 1
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kiri 2 33 4 5 6 7 8 9
ikutan di
Kolom Kanan
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM
251
Penciptaan Lapangan Kerja Penciptaan Lapangan Kerja Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
13. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh LSM terkait pemanfaatan gas migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih Kolom Kiri
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan 9
Penciptaan Lapangan Kerja Penciptaan Lapangan Kerja Penciptaan Lapangan Kerja Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan
8
77
6
55
4
3
2
Diisi Bila Sama Penting 1
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kiri 2 33 4 5 6 7 8 9
ikutan di perusahaan
Kolom Kanan
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
252
14. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap TUJUAN yang ingin dicapai oleh Masyarakat terkait pemanfaatan gas perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih Kolom Kiri
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan 9
Penciptaan Lapangan Kerja Penciptaan Lapangan Kerja Penciptaan Lapangan Kerja Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan
8
77
6
55
4
3
2
Diisi Bila Sama Penting 1
Diisi jika Tujuan di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kiri 2 33 4 5 6 7 8 9
ikutan di
Kolom Kanan
Kualitas lingkungan terjaga menuju CDM Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Peningkatan Nilai Guna Gas Ukitan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
D. PEMBOBOTAN ALTERNATIF 15. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap ALTERNATIF yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai Tujuan Penciptaan Lapangan Kerja terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
253
Kolom Kiri
Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan 9 8 77 6 55 4 3 2
Diisi Bila Sama Penting 1
Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Alternatif di kolom sebelah kiri 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
LPG
KONDENSAT
LPG
LEAN GAS (POWER GENERATOR) CO2
LPG KONDENSAT
LEAN GAS (POWER GENERATOR) CO2
KONDENSAT LEAN GAS (POWER GENERATOR)
CO2
16. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap ALTERNATIF yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai Tujuan Kualitas Lingkungan Terjaga Menuju CDM terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
Kolom Kiri
Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan 9 8 77 6 55 4 3 2
Diisi Bila Sama Penting 1
Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Alternatif di kolom sebelah kiri 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
LPG
KONDENSAT
LPG
LEAN GAS (POWER GENERATOR) CO2
LPG KONDENSAT
LEAN GAS (POWER GENERATOR)
254
KONDENSAT
CO2
LEAN GAS (POWER GENERATOR)
CO2
17. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap ALTERNATIF yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai Tujuan Peningkatan Nilai Guna Gas Ikutan terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih Kolom Kiri
Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan 9 8 77 6 55 4 3 2
Diisi Bila Sama Penting 1
Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Alternatif di kolom sebelah kiri 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
LPG
KONDENSAT
LPG
LEAN GAS (POWER GENERATOR) CO2
LPG KONDENSAT KONDENSAT LEAN GAS (POWER GENERATOR)
LEAN GAS (POWER GENERATOR) CO2 CO2
18. Berilah skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap ALTERNATIF yang dapat dilakukan dalam rangka mencapai Tujuan Peningkatan Pendapatan Asli Daera (PAD) terkait pemanfaatan gas ikutan di perusahaan migas dalam rangka mendukung mekanisme pembangunan bersih
255
Kolom Kiri
Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kiri lebih penting dibanding Tujuan di kolom sebelah kanan 9 8 77 6 55 4 3 2
Diisi Bila Sama Penting 1
Diisi jika Alternatif di kolom sebelah kanan lebih penting dibanding Alternatif di kolom sebelah kiri 2 33 4 5 6 7 8 9
Kolom Kanan
LPG
KONDENSAT
LPG
LEAN GAS (POWER GENERATOR) CO2
LPG KONDENSAT KONDENSAT LEAN GAS (POWER GENERATOR)
LEAN GAS (POWER GENERATOR) CO2 CO2
Terima Kasih atas partisipasi Bapak/Ibu, semoga menjadi amal baik bapak/ibu untuk turut memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya berkaitan dengan Penyusunan Model Pemanfaatan Gas Ikutan di Perusahaan Migas dalam rangka mendukung Pembangunan Bersih. 12 Nopember 2008 Hormat kami,
ZULKIFLI RANGKUTI.
256
Lampiran 5. Peta Sumur Migas di Desa Amis, Kecamatan Cikedung Kabupaten Indramayu