Yusbhi Kris Sayputra
Sebuah Novel
Tokyo, Love, Stories
Tokyo, Love, Stories Oleh: Yusbhi Kris Sayputra Copyright © 2011 by Yusbhi Kris Sayputra
Penerbit Sayputra Art
[email protected]
Desain Sampul: Abi Sayputra
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com 2
SPECIAL THANKS TO Puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa, karena telah menganugerahkan semua pemikiran ini. Sehingga saya dapat menyelesaikan karya pertama saya. Tak lupa saya ucapkan beribu-ribu terima kasih kepada nulisbuku.com yang telah memberi saya kesempatan untuk menuangkan apa yang harusnya saya lakukan sedari dulu. Hingga kini mimpi saya akan segera menjadi nyata, dan mudah-mudahan karya-karya yang telah saya buat dapat diterima sebagai bentuk inspirasi untuk kita semua. Untuk semua teman-teman saya yang telah memberikan dorongan dan motivasi. Love you all. Terlebih seseorang yang sangat menginspirasi saya, seseorang yang saya kagumi dan sayangi. Dia memberikan warna tersendiri. Dan di novel ini pula, mimpi saya terlukis untuknya. Semoga dia mengerti.
3
DAFTAR ISI Mentari Pagi…5 Jalan-jalan Mimpi…14 Kejutan…20 Panggung Kecil…26 Sebuah Awal…31 Dai Ichi Gaijin…51 Spesial…58 Mimpi…68 Ujian…79 Jejak Mimpi…101 Kepastian…130 Awal Kisah…136 Sebuah Hari Untuk Kita…167 Cinta…187 Kehilangan…274 Kisah Klasik…295 Kosakata…309
4
MENTARI PAGI
Bandung, Agustus 2008 Bib bib bib bib… Bunyi alarm memenuhi kamar yang gelap dan terlihat berantakan itu, seakan membangunkan jiwa-jiwa yang haus akan segarnya air kehidupan. Seperti pagi ini, saat sinarnya hangat menyentuh dinding kamar itu. Mengirimkan semangat baru bagi siapa saja yang memahami dahsyatnya sihir sang mentari pagi. Arya yang masih tertidur dengan damai di tempat tidur di kamar kostnya. Tak ingin ia segera membuka mata, masih terlalu malas untuk itu. Kemudian ia matikan kembali bunyi alarm yang hanya mengganggu tidurnya. Benar-benar malas. Waktu sudah menunjukkan jam 9 pagi, tapi tetap tak bisa mengubah pikirannya untuk tak secepat itu membuka mata dan mengawali pagi ini dengan banyak kisah yang memang ia sendiri pun tak tahu akan seperti apa. Ia masih larut dalam buaian mimpi yang belum juga ingin ia turunkan dari dinding langit pengharapannnya di dalam mimpi. Namun kali ini ia benar-benar harus terjaga, membuka mata perlahan. Handphone yang ia letakkan di samping telinganya itu berbunyi, telepon masuk. Tak sertamerta melihat siapa yang meneleponnya sepagi ini (itu menurut Arya), langsung diangkatnya. “Haloo..Arya berbicara di sini. Ada yang perlu disampaikan? Silahkan bicara setelah bunyi tut tut tut..” Ujarnya asal. Memang sebagian pikirannya masih menarinari di atas langit sana, belum sepenuhnya sadar dari tidurnya kini. 5
“Heh..ngomong apa loe? Cepet ke kampus! Kuliah nggak loe?” Jawab Bimo di telepon. Kemudian Arya melirik jam dinding di kamarnya, dan alangkah kagetnya ia lupa kalau harus kuliah pagi. “Wah..gue lupa, Mo. Loe dimana sekarang? Gue siap-siap dulu lah ya.” “Gue udah di kampus, cepet udah mau masuk dodol!” “Iye, gue berangkat.” Trek… Seraya itu Arya menutup telepon, dan langsung bergegas ke kamar mandi hanya untuk sekedar cuci muka, sikat gigi, plus tanpa mandi. Sebuah pemandangan yang biasa ditemui para mahasiswa. Harus bisa menyesuaikan dengan keadaan, dan harus bisa menempatkan diri di segala situasi. Seperti Arya sekarang contohnya, entah itu disebut kreatif atau karena malas. Beberapa saat kemudian, Arya kembali dengan persiapannya. Ia sibuk memilih-milih baju yang ada di lemari di sudut sebelah kanan kamarnya. Sangat berantakan. Arya memang paling tidak bisa jika harus disuruh untuk beresberes kamarnya sendiri, kamar yang menurutnya sangat nyaman. Tapi tidak dengan teman-temannya saat datang ke kamar kostnya. Jika menilik apa yang Bimo katakan padanya, bahwa Arya memang sangat memerlukan “Sentuhan Wanita”. Bukan dalam arti sebenarnya, tapi lebih mengarahkan Arya lewat keindahan seorang wanita. Supaya Arya terpacu untuk berbuat sesuai dengan selera wanita pada umumnya, tidak urakan seperti itu. Kondisi kamar yang sangat jauh dikatakan layak huni, dindingnya dipenuhi sedikit banyak sarang laba-laba, juga banyaknya kertas-kertas dan buku-buku kuliah yang ia biarkan begitu saja berhamburan di atas meja belajar, beberapa pakaian ia gantung di balik pintu tanpa memikirkan bahwa hal itu bisa saja menjadi biang nyamuk, dan belum 6
lagi dengan kondisinya yang lembab karena posisi kamar Arya sendiri berada pada tempat yang kurang strategis, di ujung sisi kost yang sama sekali tidak terkena cahaya matahari. Entah kenapa Arya bisa sampai hati memilih kostan ini sebagai tempatnya berlindung selama berkuliah, hanya orang seperti Arya yang mau menerima tanpa berfikir panjang. Padahal masih banyak tempat kost lain yang jauh lebih layak dari kostnya saat ini. Tengok saja suasana kost Arya, terbilang kumuh. Halaman depan banyak ditumbuhi rumput-rumput liar yang jarang sekali dirapihkan, bangunannya pun merupakan tipe bangunan tempo dulu yang tidak pernah sekalipun di renovasi. Sangat usang. Tapi jika ada yang menanyakan langsung pada Arya tentang alasan dia sebenarnya memilih tempat ini, sangatlah wajar bagi seorang mahasiswa seperti Arya. Murah meriah, dan tidak perlu repot-repot membayar biaya tambahan ini-itu. Seperti tempat kost yang lain. Entah ia terlalu pintar atau terlalu malas mencari. Arya telah siap berangkat, waktu menunjukkan jam setengah 10. Kuliahnya dimulai jam 9.50, artinya masih ada waktu untuk Arya bersantai sejenak. Ia pun duduk di sebuah kursi di tengah-tengah kostnya, sembari ditemani segelas teh hangat untuk sekedar menjaganya dari rasa kantuk yang kadang menyerang. Tak lupa ia pandangi langit di atas sana, mencoba merenungkan hal-hal yang memang harus ia renungkan. Apa saja. Jam 9.40. Akhirnya Arya memutuskan untuk berangkat. Kampus tempat semua pemuda sepertinya menggantung mimpi. Sebuah kampus di tengah-tengah area kampung pelajar di salah satu daerah di kota Bandung, Universitas Padjadjaran. Lebih tepatnya Jurusan Sastra Jepang, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran. Arya memang selalu menyebutkan itu, jika ada yang menanyakan tentang kampusnya. Karena itu sudah menjadi kebiasaan
7
Arya menuliskan hal itu saat tengah mengerjakan laporan tugas kuliahnya. Kini Arya bergegas menuju kampus yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih 5 menit berjalan kaki, karena tempat kost Arya sangat dekat dengan kampus. Jadi Arya tidak harus terburu-buru jika ingin berangkat kuliah. Lengkap dengan kemeja andalan, jeans kesayangan, dan juga tak luput sepatu kets abu-abu yang menjadi teman setianya kemana pun ia pergi. Sangat pas dengan gaya mahasiswa “sederhana” kini. Rambut pendek ala Brian O’Connor dalam film 2 fast 2 furious. Salah satu film favourite-nya. Arya sangat percaya diri. Langkah kakinya mantap menyusuri jalan setapak yang berujung menuju gerbang kampus, jalan setapak yang dikelilingi berbagai pemukiman tempat kost-kostan mahasiswa. Dilihatnya banyak sekali berlalu-lalang para mahasiswa, bermacam-macam tipenya. Sebagian merupakan mahasiswa “teladan” dengan pakaian rapih lengkap dengan tas yang mengembung di balik punggungnya, entah apa isi di dalamnya. Sebagian lagi tipe mahasiswa necis yang banyak berkeliaran di kampus-kampus, seperti memberi warna tersendiri. Sementara Arya, ia bingung harus menamakan dirinya mahasiswa yang seperti apa. Arya tak serta-merta memikirkan hal semacam itu. ia hanya melakukan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Seperti itulah dia, sangat memegang teguh apa yang hatinya yakini. Kini tapak kakinya sudah ia letakkan di depan sebuah kampus tempatnya menimba ilmu, di sana lah ia menaruh semua mimpinya yang masih terkubur damai. Lalu ia pandangi sejenak sebuah papan nama tepat di gerbang kampus, “FAKULTAS SASTRA”. Itulah yang terpampang jelas, sebuah nama yang bagi sebagian orang selalu dibanggakan. Bagi Arya? Hanya Arya yang tahu. Kembali ia langkahkan kaki menuju ruang kelas kuliahnya, melewati beberapa orang di sana yang tengah 8
berkumpul atau bercengkarama satu sama lain. Tidak ada yang ia kenal. Sungguh mengherankan memang. Hanya beberapa saja yang ia tahu dari seluruh mahasiswa sastra. Memang ada 9 jurusan di fakultasnya, tapi entah kenapa ia begitu susah untuk berkenalan dengan yang lain. Apakah karena ruang kuliahnya yang terpisah jauh dari ruang kuliah jurusan lain di Sastra? Memang sebenarnya lingkungan kuliah Arya itu sedikit terpisah dari lingkungan mahasiswa sastra pada umumnya. Baik ruang kuliah, kantin kampus, perpustakaan, ruang dosen, maupun toilet. Bahkan ada juga aula yang memang dikhususkan. Pusat Studi Bahasa Jepang, atau yang biasa disingkat PSBJ. Nama itu lah yang menjadi penghalang semua aktivitas yang berhubungan dengan sosialisasi para mahasiswa Sastra Jepang dengan mahasiswa Sastra yang lain. Masih ingat dalam pikiran Arya bagaimana temannya dari Sastra Jerman menyebut mahasiswa Sastra Jepang itu seperti punya kehidupan sendiri, dan arogan. Atau bahasa kasarnya “autis”. Sepertinya Arya memang membenarkan perkataan temannya itu, ia lantas tidak menyalahkan temanteman satu jurusannya yang lain. Hanya saja sungguh disayangkan, dengan banyaknya makhluk bernama mahasiswa di kampusnya itu justru seperti ada jurang pemisah. Tapi sudahlah, tidak usah terlalu dipermasalahkan. Batin Arya. Kakinya telah ia injakkan di mulut kampus yang di atasnya dengan jelas tertulis tegas “PUSAT STUDI BAHASA JEPANG”. Dilihatnya banyak orang duduk bergerombol membentuk kelompok-kelompok kecil. Kemudian ia berjalan melewati ruang-ruang kuliah yang sangat bergaya “jepang” itu. Karena memang bangunan kampusnya itu merupakan hibah dari pemerintah Jepang, sehingga setiap detail sudut dari semua bangunan yang ada memberikan nuansa ala Jepang. Mulai dari ruang kelas dan segala isinya, termasuk meja kursi bahkan papan tulis pun 9
layaknya ruang kelas di sekolah-sekolah Jepang pada umumnya. Kayu-kayu yang membentuk jendela, pintu, atapnya pun sangat mirip dengan rumah-rumah di Jepang. Lantai yang mengelilingi sekitar bangunan kampus Arya bak jalanan muka di kantor-kantor yang ada di Jepang sana. Tak lupa sebuah bangunan serba guna, Aula. Tempat menyelenggarakan acara apapun, bukan hanya dari Sastra saja tapi dari semua kampus-kampus yang ada di UNPAD pun kadang memakai aula PSBJ untuk acara-acara mereka. Serta dengan kantin yang ada di tengah-tengah seluruh bangunan kampus Arya, lengkap dengan kolam ikan dan taman-taman kecil, menambah kental suasana “Jepang”. Kantin yang banyak orang bilang dengan sebutan shokudou, yang jika dibahasa Indonesiakan artinya tempat makan itu seperti “pengasingan” yang sebenarnya. Karena letaknya yang terpisah jauh dari hingar-bingar suasana kampus jurusan lain, membuat mahasiswa Sastra Jepang enggan untuk bersantai ria di kantin Sastra yang ada di samping gerbang sana. Jelaslah itu menjadikan bahwa kampus Sastra Jepang dikenal dengan sebutan ekslusif. Bagi Arya sendiri, itu tak menjadi soal. Asalkan ia bisa hidup damai selama berkuliah di kampus ini. Arya berjalan menuju ruang kelas yang memang ada di depan mata, hanya berjarak 2 ruang kuliah saja dari tempatnya kini. Tapi ia sempat terheran saat melihat suasana dari depan ruang kelasnya tak nampak suara riuh temantemannya yang selalu terdengar paling nyaring seantero kelas-kelas yang lain. Kali ini begitu sunyi senyap. Sejenak ia terdiam saat telah sampai langkahnya di depan ruang kelas itu, ia tengok dari balik jendela. Tak ada satu pun teman-temannya di situ. Lalu secara spontan ia keluarkan handphone dari saku jeans-nya, ia cari nomor Bimo. Trek
10