BUAH PIR Sebuah Novel
Mirza Jaka Suryana
Untuk Ibu dan Bapak lautan luas hanya semalam perjalanan kasih sayang sampai di mana batasnya?
Satu
AKHIR DESEMBER mendekat. Geliat tahun baru siap mengukir cerah pagi. Matahari tak mau absen. Menerobos tebal kaca yang terpampang pada jendela tanpa gordin satu kamar kecil pengap di lantai dua sebuah rumah. Sebelumnya, hujan mengguyur malam cukup deras. Jalanan sempat basah. Seorang lelaki tidur motah, bermimpi kematian ibunya. Dia bangun dengan badan teriris. Kepalanya pusing. Mimpi buruk itu seolah nyata ketika dia teringat ibunya yang sampai pagi ini masih dirawat di rumah sakit karena terjatuh saat berada di kamar mandi. Darah banyak bersemburan dari kepala ibunya. Mengingat itu, dia meringis. Kasur busa bersprei biru itu masih setia menampung tubuh tipisnya. Dia belum beranjak, meski mata sudah membuka. Jiwanya dirundung gelisah. Firasatnya seakan mengatakan, waktu kebersamaan dengan ibunya kian sedikit. Dinding-dinding lembap kamar kecilnya semakin mengukuhkan kesedihan. Air mata leleh. Seekor kucing liar melintas lewat pintu kamarnya yang selalu terbuka. Matanya bertemu dengan mata kucing itu. Dan seperti sudah saling mengenal, mereka sama-sama menyeringai. Kucing itu menatap tajam ke arahnya. Memperlihatkan gigi-gigi runcing mengerikan. Semakin lama seringai itu semakin membuat dia muak. Diraihnya sebuah buku yang tergeletak di sisi kanan tangannya dan dilemparnya. Tapi kucing itu tidak terbirit. Pergi tanpa rasa takut, meninggalkan ledekan gelap di wajahnya. Agitatif. Ingin dia mengejar kucing itu dan memukul, tapi dibiarkannya berlalu. Kucing itu melangkah keluar melalui jalan masuknya. Hari meninggi. Dia butuh udara segar. Badannya penuh keringat setelah lelah tidur semalam. Kucing sial dengan seringai yang juga sial itu semakin
membuatnya kesal. Dia bangkit menuju balkon. Jalanan depan rumahnya sepi. Tak ada tanda-tanda riuh pagi ini. Orang-orang hanya sedikit lalu lalang. Semua berjalan dalam gerak lambat. Dan dia menjadi spektator sementara, sebelum kemudian membalikkan badan. Diliriknya kaca jendela kamar yang muram. Tangannya meraba debu. Ditiup dan terbang, menyerang wajahnya. Debu bergerak terlalu cepat. Tangannya menutup hidung, menahan bersin yang menerjang. Dia diam. Berpikir untuk membersihkan kaca jendela penuh debu itu, tapi kakinya sudah bergerak masuk ke dalam kamar. Dari dalam kamar, jendela dia buka. Sebatang bambu kecil berukuran panjang enam puluh sentimeter digunakan sebagai penahan. Lebar ruang jendela cukup untuk menerima tubuhnya. Dia pun duduk dan merenung. Diingatnya kembali bentuk air mata yang sempat menetes tadi. Semilir angin mengantarkan dia ke satu masa dalam perjalanan hidupnya. Kini, dua puluh delapan usianya. Dari jumlah itu, hampir setengahnya dia habiskan tanpa orangtua. Dia tinggal di Bandung, sedang kedua orangtuanya tinggal di Jakarta. Dia sendiri. Benar-benar sendiri. Tanpa kehadiran ibu dan bapak. Usianya lima tahun saat dia berpisah dengan mereka. Bukan tanpa alasan. Sebagai anak pertama dari keluarga muda, dia perlu mendapat pendidikan. Sementara orangtuanya waktu itu belum mampu mencukupi kebutuhan hidup. Bandung adalah tempat kakek dan neneknya dari pihak bapak tinggal. Dia dititipkan di sana karena kakek dan neneknya dari pihak ibu sudah tak ada. Ibunya yatim piatu, jauh sebelum dia lahir. Di kota ini, sepuluh tahun dia habiskan. Sepuluh tahun kenangan pahit kehilangan dan kekecewaan. Dia merindu, terutama pada sosok ibunya. Kenangan membekas di benaknya bagai ceceran cokelat pada kain putih. Tak hilang meski dicuci puluhan kali. Dia ingat bahwa setiap pertemuan dengan ibu di masa kanaknya hanya menerbitkan lebih banyak lagi kecewa. Sia-sia. Siasia karena ibunya datang tidak untuk selamanya. Ibunya hanya datang, satu atau dua hari, setelah itu pergi. Dia kecewa. Tanpa terasa air matanya menderas.
“Kenapa manusia harus hidup, bu?” tanyanya di suatu kali masa kecilnya. “Karena manusia harus punya pengalaman,” jawab ibunya. “Untuk apa pengalaman itu?” “Sebagai bekal di hari nanti.” “Bekal untuk apa?” tanyanya tak puas. “Bekal ketika nanti kita mati.” “Kenapa kita harus mati, bu?” inkuisitif sekali dia. “Setelah kita mati, kita ke mana, bu?” kembali bertanya sebelum ibunya sempat menjawab pertanyaan pertama. “Kita akan ke surga,” sahut ibunya seraya lebar tersenyum. Dengan penuh keyakinan lidah ibunya mengucap jawab atas pertanyaan tersebut. Keyakinan yang terus berlanjut hingga kemudian dia bertanya, “Jika kita sudah di surga, apakah kita saling bertemu?” dan jawaban hilang. Tenggorokan ibunya tercekat. Kemudian dia menangis sambil kembali melontarkan pertanyaan tak bersahut, “Apakah sama seperti sekarang, bu, ibu datang lalu pergi dan aku ditinggal sendiri? Seperti itukah surga, meninggalkan anak tanpa ibu dan bapak?” kali ini ibunya yang menangis. “Kalau begitu aku tidak mau ke surga!” teriaknya. Rangkaian kata yang biasa tersusun rapi dari mulut ibunya lamat-lamat menghilang. Ibunya tak tahu harus menjawab apa. Sementara dia semakin menderaskan air di lekuk wajah kecilnya, ibunya melontar tanya. “Kenapa kamu mengatakan semua itu, nak?” “Kata guru agamaku, di surga tidak ada orangtua, semuanya sama. Bagaimana bisa aku mengingat ibu di sana?” Dan mereka saling berpelukan. Ibunya tidak lagi mau menjawab pertanyaan. Ibunya hanya ingin memeluknya dalam diam. Dan dia diam dalam tangis. *** Hari semakin tinggi. Hujan sepertinya kehilangan energi. Sudah lama dia duduk-duduk di jendela. Matanya tersadar. Dia tak mau lagi memikirkan masa-
masa kecilnya. Dia ingin pergi. Satu kakinya turun dari kusen jendela, diikuti kaki berikutnya. Dan dia berjalan. Melangkah menuruni tangga. Di lantai bawah, tidak dia temukan sesiapa. Rumahnya hening. Bapaknya ada di luar kota. Sebagian adiknya menjaga ibu. Sebagian lagi sekolah. Dia merasakan bunyi perutnya. Dan makanan tak bersisa. Satu hal biasa, bahkan di waktu-waktu ibunya ada di rumah. Dia buka bajunya dan mandi. Setelah itu keluar. Meninggalkan rumah dalam keadaan kosong. *** Langkah-langkah kakinya berhenti di depan sebuah warung langganannya. Warung Melati. Letaknya di sebuah gang yang berdekatan dengan rumah dan kampus tempat dia menghabiskan masa kuliah dulu. Sudah lewat dua tahun dia selesaikan studinya dari kampus ini. Di warung Melati dia sering makan dan berkumpul bersama teman-temannya. Ada dari mereka yang masih mahasiswa, alumni dan para penganggur kronis. Dia dan mereka seringkali bercengkerama di warung ini. Di sini, baginya, adalah tempat pertemuan ingatan. Warung kenangan dekat kampus kenangan. Untuk ukuran sebuah warung makan sederhana, Melati terbilang cukup besar. Ruangannya terbagi dua. Masing-masing disekat tembok batu. Ruang pertama etalase ragam masakan, berdimensi tiga kali empat meter. Ada sebuah bangku kayu panjang tempat orang duduk dan makan. Kapasitas ruang ini kecil. Paling banyak menampung lima orang. Ruang lainnya berdimensi empat kali enam meter. Di tempat ini, dia dan teman-temannya biasa berkumpul, makan dan diskusi. Ada satu bangku panjang, tiga meja triplek putih tak beralas dan kursi-kursi plastik di dalamnya. Dia senang datang kemari, lebih dari semua hal, karena ada Rihani dan Raina, kakak beradik penjaga warung ini. Dua perempuan pelayan ini cantikcantik. Wajah Rihani ayu, lembut dan selalu murah senyum. Dia selalu senang melontarkan godaan hanya untuk meminta pesanan. Sedang Raina bagai Aphrodite, sang dewi cantik dalam mitologi Yunani. Sosok ini membuatnya tak sanggup memalingkan mata. Dan siang ini, seperti biasa, dia sudah berada di warung tempat dua dewi
itu siap melayani kebutuhan perutnya. Langsung saja dia memesan makanan. Disantapnya lahap. Segelas teh manis dingin di samping kiri piringnya. Perutnya benar-benar kosong. Sebentar saja semua hidangannya lenyap. Dia istirah di satu sudut ruang setelah selesai makan. Tidak meniatkan diri untuk langsung pergi. Secangkir kopi mengepulkan asap panas terlihat di depan matanya. Dengan senyum mengembang, Rihani membawanya. Dia menjadi sesegar pagi ketika kopi itu datang. *** Sambil menikmati kopi pesanannya, dia duduk sendiri. Berpura-pura membaca buku sambil sesekali memperhatikan gerak Rihani dan Raina. Alunan musik didengarnya lewat radio setengah rusak kepunyaan pemilik warung. Satu tangannya memegang buku, satu lainnya mengetukkan jari di atas meja. Suasana tampak sepi. Sebatang rokok kretek dia nyalakan. Kepalanya bergoyang-goyang. Rokok kretek baru itu dihisapnya dalam-dalam. Beberapa saat kemudian, buku yang sedang dibacanya dia letakkan. Matanya melirik jam dinding. Tak ada temannya datang. Dia benar-benar sendiri. Dipegangnya lagi buku tadi. Buku berjudul Kalam fi an Nafs, „Pembahasan Tentang Jiwa‟, karya Al Kindi, filsuf besar muslim belasan abad lalu. Buku yang telah berulang kali dia baca, tanpa sepenuhnya dimengerti. Buku ini dia baca karena dia selalu tertarik untuk mengetahui hubungan jiwa dan kematian. Suatu subjek bahasan yang selalu dekat dalam benaknya. Kadang dia merasakan dorongan membuat buku soal itu, tapi belum pernah dilakukannya. Jika pun ada, hanya cerita-cerita fiksi superfisial yang dia tulis. Dan, sampai sekarang, dia baru menghasilkan satu buku cerita, yang tidak juga lengkap. Dua jam lewat dan tidak ada satu orang pun temannya muncul. Kembali dia melihat jam dinding. Dan telepon berdering. Dia harus pergi. Telepon itu mengingatkannya akan sebuah janji. *** Di depan pintu masuk kaca sebuah plasa, dia berdiri. Sedikit ragu untuk masuk. Tapi janji adalah janji. Dia harus menemui orang, benefaktornya selama beberapa bulan ini. Seandainya tak harus, malas sekali dia datang. Apalagi datang
ke tempat yang hampir tidak pernah disukainya. Janji adalah janji. Beragama atau tidak, orang harus menepatinya. Maka masuklah dia ke dalam plasa yang disesaki tanda. Sesaat setelah masuk dilihatnya poster besar bergambar seperti alat pengering rambut dan tanda panah berwarna kuning yang dia tidak mengerti maksudnya, sebelum membaca tulisan di bawahnya: SALON IKE. Dan sedikit huruf-huruf kecil di bawahnya lagi bertuliskan: Kami ada di kanan Anda. Dia menengok kanan kiri, meski tahu arah tujuan. Ke salon itulah dia mengadakan pertemuan. Namun dia ragu. Tidak ingin masuk ke tempat yang tidak pernah dimasukinya kecuali sekali. Tapi janji adalah janji. Beragama atau tidak tetap saja janji adalah janji. Ingin sekali dia pulang dan membatalkan janji yang tadi terlanjur dibuat. Tapi dia sudah di sini. Ada di dekat orang yang akan ditemuinya. Kembali dia menengok kanan kiri. Satu dua langkah ke depan sebelum akhirnya berhenti. Ragu lagi. Padahal dia hanya perlu sebentar bertemu untuk kemudian langsung pergi. Dia melangkah, satu dua tiga kaki lagi, dan berhenti. Di situlah dia melihat perempuan itu. Perempuan pujaannya. Perempuan itu berbaju hitam dengan rok jins selutut. Berambut panjang, berwajah oval dengan gigi berbehel. Paras cantiknya sedikit hilang karena selipan besi di giginya. Behelnya telah membuat kecantikan wajah perempuan itu menjadi tersembunyi. Dan ya, selip besi memang suatu kekurangan. Tapi, meski demikian, dia tetap melihat perempuan rambut panjang itu sebagai yang termanis dari perempuan lainnya. Dia kenal perempuan itu dan perempuan itu kenal dia. Saling pagut tatapan menyimpulkan bahwa mereka memang mengenal satu sama lain. Dia ingin menyapanya. Perempuan itu juga. Tapi kaki-kaki mereka hilang gerak. Hanya mata mereka yang mendekat. Ada suara ingin disampaikan. Namun kemudian telepon berdering. Dan dia ada janji. Wajahnya menunduk sedikit ketika berbicara di gagang telepon genggamnya. Seakan takut diperhatikan. Seakan malu atas sesuatu. Dia menundukkan wajah lebih dalam. Ketika selesai dia kembali melihat arah perempuan itu berdiri, tapi tak dilihatnya lagi. Perempuan itu pergi. Mungkin sempat mengirim tanda, namun
tidak ditangkapnya. Dengan kecewa dia berjalan masuk menuju salon. “Panjang sekali perjalanan untuk sampai ke tempat yang hanya dua puluh menit jaraknya, ya?” Lelaki setengah baya itu berbicara padanya. Dingin. “Maaf,” jawabnya. Lelaki itu tampak sedang menjalani perawatan wajah. Kuku-kukunya terlihat sangat cerah, seperti habis dikikir dan dikilapkan. Lelaki metroseksual. “Sudah selesai semua?” Dia mengangguk pada pertanyaan lelaki itu sebagai jawaban. Dari tas punggung berwarna biru miliknya, dikeluarkan kertas-kertas berisi gambar. Lelaki itu membolak-balik gambar yang diberikan kepadanya sambil memberi anggukan. Sesekali wajahnya terlihat mengerut. Mungkin kesakitan akibat alat penghilang komedo yang menjepit hidungnya. “Aku tidak suka yang ini. Punya gambar lain, yang lebih jernih...Seperti ini?” kata lelaki itu menunjuk kertas bergambar. Satu disukanya, satu lagi tidak. Dia menggelengkan kepala. Mulutnya mengucap, “Saya buat lagi nanti.” Lelaki di depannya mengangguk dan berkata, “Oke. Aku ingin kamu buat yang baru. Ini untukmu.” Kemudian melanjutkan, “Kita bertemu seminggu lagi,” sambil menyodorkan amplop berisi sejumlah uang. Cukup banyak. Dia tidak membantah lagi. Diterimanya amplop berisi uang dalam diam. Sedikit resah. Dia tidak ingin berlama-lama. Dan lelaki di hadapannya itu juga tidak ingin berlama-lama. Lelaki itu ingin tenang melakukan perawatan tubuh, tanpa diganggu olehnya. Maka dia pun pergi. Di depan pintu salon Ike, sesaat setelah dia keluar dari dalamnya, dia berpikir. Menentukan arah. Ada dorongan untuk mencari kembali perempuan yang tadi dilihatnya. Dia berharap perempuan itu belum beranjak. Diputuskannya berkeliling dalam plasa. Dia melangkahkan kaki. Namun baru sekitar sepuluh langkah, dibatalkannya niat semula. Hatinya meragu dapat menemukan perempuan pujaannya tadi. Dia pun keluar dari plasa dan menghentikan sebuah mobil angkutan umum. Berangkat kembali menuju warung Melati. Di dalam sebuah angkutan umum yang menjadi tumpangan menuju
warung Melati, pikirannya dipenuhi rasa sesal. Dia teringat perempuan berbaju hitam dengan rok jins selutut yang baru ditemuinya di plasa. Perempuan itu seorang mahasiswi, berkampus sama dengannya. Sekarang perempuan itu menginjak tahun ketiga. Perkenalannya dengan perempuan itu berlangsung tanpa sengaja. Kira-kira dua bulan lewat. Berawal dari sebuah buku. Waktu itu, dia melihat seorang perempuan sedang berjalan melintasinya yang duduk di teras warung Melati. Di tangannya tergenggam sebuah buku mengenai Daniel Bell, seorang filsuf pascaindustrialis. Karena dia yakin perempuan itu membawa buku miliknya, dia menghentikan langkahnya. “Hei, itu punyaku, bukan?” tanyanya seraya menunjuk buku yang menutup sebatas dada dan leher bawah perempuan itu. Merasa tidak mengenalnya, perempuan itu balik bertanya, “Memangnya kamu siapa? Ini buku kupinjam dari Wishnu.” Dia langsung tertawa mendengar jawaban itu. Wishnu, salah seorang temannya, memang pernah meminjam buku itu darinya. Dia tidak menyangka kalau ternyata buku yang dipinjamkannya itu dipinjamkan lagi buat orang lain. “Ya. Wishnu meminjamnya dariku!” tukasnya. “Oh, maaf. Kamu mau buku ini kembali?” tanya perempuan itu. Setelah berpikir sesaat, dia menggelengkan kepala. Perempuan itu berlalu sambil mengucapkan nama tak terlupa. Kayla. Perkenalan singkat penuh kesan. “Suatu saat akan kupinjam buku dari Wishnu untuk kupinjamkan lagi padamu,” ungkapnya di sela-sela langkah tergesa Kayla. Dan Kayla memutar kepala, menyungging senyum. Buku itu, hingga sekarang belum dikembalikan. Di plasa tadi, kesempatan bersapa sebenarnya ada. Tapi itu tidak dilakukannya. Dadanya sesak sesal. Punggungnya sandar di sudut bangku panjang. Dicobanya menghentikan penyesalan. Ditahannya pikiran agar tidak lagi keluar. Namun, tanpa diminta, sebentuk kurva menyeruak dari kepalanya. Berloncatan. Menghadang dan duduk di pangkuan orang-orang. Semua orang di angkutan umum sejurusannya menerima kurva-kurva loncat itu. Dan mereka membaca jelas huruf, yang tersusun membentuk sebuah nama. Wajahnya
mengungu malu. Seseorang yang dipikirkannya menjadi bahan lelucon orang asing. Kayla, Kayla, ucap mereka lalu terkekeh-kekeh. Ah, dia harus cepat-cepat sampai ke tempat tujuannya, sebelum semua orang menertawakannya keras-keras. *** Di bangku warung Melati, dia melihat teman lamanya duduk. Ali, nama sahabat karibnya itu. Di depan meja hidang ada secangkir kopi hitam. Dia sudah hapal betul kopi itu pahit rasanya. Tiga sendok makan kopi dan satu sendok teh gula. Itu ukuran kopi Ali. Dari dulu, sejak dia mengenalnya, porsi hidangan kopi Ali seperti itu. sahabatnya ini memang orang aneh. Meminum kopi pahit lima kali sehari. Wajahnya keras sebagai petunjuk kerasnya hidup yang dia jalani. “Minumanku sepahit hidupku,” ucap Ali suatu kali. Tapi tidak ada sedikit pun rasa sesal telah menjadi bagian hidup di dunia ini. Baginya, susah atau senang hanya masalah perbedaan kata. Dia jalani dengan sangat biasa. Orang-orang bernasib sama seperti Ali mungkin akan menjadikan keluhan bagian sehari-hari hidupnya. Tapi Ali tidak. Ini yang membuat dia sangat menyayanginya. Tidak ada sesuatu pun yang akan membuatnya berpaling untuk kemudian membenci sahabat tercintanya ini. Di warung ini, Ali tak berkawan. Di sekelilingnya tidak tampak seseorang yang dia kenal. Maka duduklah dia, di depan Ali. Hening. Tak ada kata terucap. Matanya melirik-lirik kepulan asap kopi di depannya. “Menurutmu apa itu jiwa?” tanyanya kepada Ali tiba-tiba. Ali tak segera menjawab. “Bagaimana kita tahu jiwa itu ada sedang kita tidak pernah bisa melihat?” tanyanya lagi, seolah yang pertama sudah tuntas. “Pertanyaan kuno,” jawab Ali singkat. Dia termenung. Tak disangkanya jawaban itu. Setelah beberapa saat, Ali berbicara. Mencoba menjelaskan jawaban singkatnya. Dalam pandangannya, bertanya seperti itu sama seperti bertanya soal eksistensi angin sedang angin juga tidak dapat dilihat. Dia mengangguk. Sadar pertanyaan pembuka tadi tidak berguna jika harus ditanyakan kepada sahabatnya. “Apa pentingnya jiwa bagi manusia?” tanya dia kemudian.
“Apa bedanya manusia dengan binatang?” Ali menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. Dia sedikit tersinggung, tapi Ali cepat-cepat menjelaskan. Jiwa, kata Ali, selalu memiliki arti khusus dalam hubungannya dengan manusia. Menurutnya, binatang dan tumbuhan hanya memiliki nyawa. Karenanya mereka hanya memiliki hak hidup. Sedang manusia memiliki nyawa dan jiwa, yang membuat mereka berbeda. Dari dua unsur itu, selain punya hak, manusia juga punya kewajiban. Kata Ali, ini yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya. Dia kagum. Raut-raut kecerdasan itu terpancar dalam kesederhanaan Ali. Persoalan rumit mampu disampaikannya dengan sangat lancar. Elokuen. Dia semakin kagum. Ali sederhana dalam kecerdasan. Menjelaskan masalah kusut dengan sangat ringkas. “Lalu kenapa kita melihat dengan cara berbeda tentang jiwa? Maksudku, banyak orang, filsuf terutama, mendefinisikan jiwa secara berbeda. Apa pentingnya cara pandang berbeda bagi kita untuk memahami sesuatu?” tanyanya kembali, semakin intim. Kali ini Ali enggan menjawab. Alih-alih, dia mengeluarkan spidol warna hitam dan selembar kertas putih kosong. Dicoret-coretnya kertas itu. Dicoretcoretnya sampai rapi. Setelah itu ditunjukkannya kertas hasil coretan. Dan dia mengernyitkan alis. Tak mengerti maksud temannya. Dalam kebingungannya, Ali senyum-senyum. Tangannya meraih cangkir kopi hitam pahitnya. Dinyalakannya api. Disundutnya sebatang rokok yang dari tadi tergeletak lemah menanti untuk dijamah. Sambil menghisap rokoknya, Ali masih senyum-senyum. Seakan sedang bermain dengan permainan yang diciptakannya sendiri. Dimengerti hanya oleh dirinya sendiri. Dia tahu, dia sedang diperolok permainan pikiran Ali. Dia tidak sanggup mencerna.
Diperhatikannya
kertas
yang
disodorkan
Ali
kepadanya.
Diperhatikannya seksama. Tidak mengerti juga. Dia lihat Ali. Lihat lagi kertas di tangannya. Menggeleng-geleng. Meminta dengan mata agar cukup sudah bermain logika. “Apa yang kau lihat?” tanya Ali kepadanya. Dia menggeleng.
“Apa beda kertas ini?” tanya Ali lebih jelas. “Yang di sini hitam belakangnya lagi putih.” “Persamaannya?” tanya Ali lagi. “Ada tulisan jiwa di tengah-tengahnya. Apa ini?” Ali tertawa-tawa, seolah ada yang salah pada pernyataan terakhir. “Begini Bib, kalau kita melihat sesuatu berdasarkan warna, ada yang berbeda, kan? Nah, kalau melihat dua hal yang sama dalam cara pandang yang juga sama, apa yang kita dapat? Apa signifikansi perbedaan itu?” “Tidak ada,” jawab dia lugas. “Tentu tidak ada, karena kita melihat dengan cara sama, seperti yang biasa dilakukan orang lain. Kalau kita melihatnya dengan cara berbeda, tentu perbedaan itu signifikan. Kita membedakan dan dengan pembedaan itu membuat semuanya menjadi berbeda pula!” Ali menerangkan. Bib, begitulah nama panggilan Ali kepadanya, diam penuh perhatian. “Aku ilustrasikan saja dengan satu cerita soal asal-usul perbedaan warna. Orang bilang semua kekacauan berawal dari perbedaan bahasa manusia. Ketika itu orang-orang Babilonia ingin membangun menara yang tinggi menjulang agar bisa mencapai Tuhan lebih cepat. Ya, menara Babel. Karena kesombongan mereka, Tuhan mengutuk dengan mengacaukan bahasa. Mereka tidak saling mengerti dan akhirnya menara itu tidak jadi dibuat. Ketidaksalingmengertian ini berlanjut sampai tingkat mengkhawatirkan. Orang jadi saling bermusuhan karena salah paham. Nah, untuk membuat pengertian di antara mereka, satu-satunya pembeda yang dapat mereka pahami adalah lewat warna. Mungkin dari sini konsep rasisme berasal. Membedakan warna untuk memahami. Orang mulai membedakan hitam dan putih, biru dan hijau, merah dan kuning dan semua mengerti meski bahasa yang digunakan untuk memaknai setiap warna di antara mereka berbeda. “Jadi, waktu itu, setiap orang menunjukkan berbagai warna ketika mereka berbicara agar orang lain memahaminya. Dari warna, orang-orang mulai dapat berkomunikasi meski dalam taraf yang sangat sederhana. Kemudian dari pembedaan warna itu, komunikasi manusia berkembang melalui gambar, lalu
tulisan dan pada akhirnya, manusia yang beragam bahasanya itu dapat berinteraksi tanpa kesulitan setelah ditemukannya sistem koding. Sistem ini sangat berguna dalam memahami setiap buku yang ada di zaman kita sekarang. Para petugas perpustakaan misalnya, akan sangat sulit mencari buku-buku yang tersimpan tanpa memahami sistem koding mereka. Memang ada teknologi yang memudahkan untuk pencarian itu sekarang. Tapi intinya orang harus tahu sistem kodingnya sendiri. “Betul sekali, koding berbeda-beda dan hanya dipahami oleh satu masyarakat tertentu yang menjadi bagian di dalamnya. Dengan cara itulah perbedaan menjadi sesuatu yang alami dan dimengerti. Pertanyaan kenapa setiap orang memahami sesuatu secara berbeda aku pikir lebih disebabkan oleh adanya sistem koding yang berbeda. Hanya orang-orang tertentu yang menerapkan sistem koding tertentu memahami sesuatu yang tertentu itu. Kita contohkan saja Aristoteles dan Plato. Kedua filsuf ini berbeda pemahaman karena mereka memang mengakses sistem yang berbeda. Kau mungkin bertanya, bukankah Plato adalah guru Aristoteles, jadi bagaimana mungkin mereka mengakses sistem berlainan? Kita ibaratkan saja sebuah jaringan yang menyediakan informasi beragam jika kita akses dalam waktu bersamaan, seperti itulah perbedaan kedua filsuf murid dan guru tersebut. Dan, ketika kita berbicara masalah akses juga akan berbicara masalah jalan. Dalam perkara para ilmuwan, begitu pun filsuf, di saat tertentu jalan yang mereka lalui mungkin sama, dengan begitu pasti ada persamaan dalam hasil capaian pemikiran mereka. Namun di saat lainnya lagi jalan mereka mungkin bersimpang, sehingga mau tidak mau, hasilnya pun berbeda. Ini yang perlu diingat: penyimpangan itu tidak terjadi secara sengaja. Dia ada dengan sendirinya.” Sampai di sini Ali jeda. Sayup-sayup suara musik dan mulut orang berbicara di depan dan belakang mereka terdengar. “Kalau kita mengambil gagasan Thomas Kuhn,” lanjut Ali, “kita tahu bahwa anomali atau penyimpangan yang dia maksudkan itu adalah sesuatu yang tidak diharapkan. Sesuatu yang terjadi dengan begitu saja. Jadi, dari sesuatu yang tidak diharapkan ini kemudian muncul penemuan. Ini maksudku dengan kertas
tadi. Hitam di satu baliknya dan putih di balik lainnya.” Ali jeda lagi, menyeruput kopinya dengan nikmat. “Aku kurang paham bicaramu?” kata Bib sambil menggerakkan tangan dan kepala. “Menurutku, mereka yang memahami konsep jiwa secara berbeda itu disebabkan penggunaan sistem koding berlainan. Semua ini diawali dari perbedaan jalan yang mereka tempuh. Logikanya, jika mereka menempuh jalan bercabang, maka kemungkinan terjadinya penyimpangan akan selalu ada. Pada akhirnya, dari penyimpangan-penyimpangan itu, terbuka jalan bagi berbagai penemuan baru. Nah, dari penemuan-penemuan baru ini, kemudian mereka menciptakan sistem-sistem koding baru. Dan, dalam konteks pemahaman filsuf tentang jiwa, mereka mendefinisikannya sesuai versi mereka setelah melalui tahapan-tahapan yang kusebutkan tadi.” Bib, menatap penuh perhatian. Bibirnya bergerak-gerak. Sebenarnya dia masih belum mengerti. Ada begitu banyak pertanyaan tapi satu yang terungkap. “Bukankah tidak pernah ada satu pun penemuan yang benar-benar baru?” “Sistem di dalam satu masyarakat berlaku, selama masih ada yang menganutnya. Kita bayangkan saja begini. Sebelum Copernicus, orang meyakini bumi sebagai pusat, dikelilingi berbagai planet termasuk matahari. Lalu, jika kemudian orang percaya bumi dan matahari itu pusat semesta sekaligus, bagaimana?” Ali bertanya balik. “Kita membalik cara pandang lama dengan cara pandang yang benarbenar baru!” jawab Bib cepat. “Ya, dan penemuan baru diawali oleh kesadaran akan anomali. Penemuan itu merupakan proses panjang dari penyingkapan, dan penciptaan. Diskoveri dan invensi fakta-fakta atau teori-teori baru. Kau bilang tidak ada penemuan yang benar-benar baru. Menurutmu kloning itu sudah pernah tercipta dalam sejarah pengetahuan manusia?” Bib tertegun. Kepalanya mendongak. Berpikir jawaban mungkin atas pertanyaan Ali. “Maksudmu kloning merupakan hasil anomali?” Ali menganggukkan kepalanya.
“Apa kau juga mengatakan koding itu sama dengan paradigma?” “Paradigma menghasilkan koding dan krisis satu paradigma akan menghasilkan anomali. Orang yang melakukan eksplorasi berkelanjutan di wilayah anomali, akan membuang paradigma mereka sebelumnya jika anomali itu merupakan sesuatu yang diharapkan menjadi teori baru. Kupikir, fakta baru tidak dapat disebut sebagai fakta ilmiah sebelum ada asimilasi cara pandang baru seorang ilmuwan terhadap alam. Jika cara pandang ilmuwan terperbarui, maka teori baru pun akan tercipta.” Ali berhenti, menghisap rokoknya. “Untuk menghasilkan penemuan baru jelas kita memerlukan pola. Dan pola
itu,
jika
harus
merujuk
Kuhn,
dinamakan
destruktif-konstruktif.
Mengingatkanmu pada sesuatu, Bib?” lanjutnya diakhiri dengan tanya. “Seperti dikatakan Derrida. Begitu?” kata Bib sedikit ragu. “Ya. Dalam hal ini Kuhn dan Derrida sama,” jelasnya seraya mengepulkan asap tebal dari mulut. Tidak puas sampai di situ, Ali menambahkan. “Pengetahuan orang zaman dulu disebut mitos sekarang. Sedang pengetahuan orang sekarang disebut ilmiah. Ini pemahaman salah, menurutku, karena jika kita mencoba untuk melakukan penelitian mendalam mengenai pengetahuan manusia terdahulu, katakanlah, dinamika Aristoteles atau lampung besi Archimedes, kita akan semakin teryakinkan bahwa pandangan yang pada suatu saat berlaku itu, secara keseluruhan tidak kurang ilmiah dan menjadi produk istimewa manusia ketimbang yang berlaku hari ini. Pertanyaannya, jika kepercayaan usang, katakanlah ilmu pengetahuan manusia zaman dulu itu akan disebut sebagai mitos, samakah hasilnya dengan pengetahuan kita sekarang di masa-masa depan? Aku pikir, ya! Jika pengetahuan manusia dulu disebut mitos, dengan memakai metode dan penalaran ilmiah yang diakui sekarang, hampir pasti akan menghasilkan pengetahuan yang sama seperti pengetahuan orang terdahulu. Namun, masalahnya, semua kepercayaan terdahulu itu ternyata sudah usang dan sangat bertentangan dengan apa yang diakui para ilmuwan hari ini. Aku pikir, jika harus memilih yang mana harus diyakini sebagai cara pandang, maka…”
“Alternatif terakhirlah yang harus dipilih.” Bib memotong sebelum Ali meneruskan kalimatnya. Ali tersenyum. Bib kembali berkata. “Sebab teori usang secara prinsip tidak berarti kurang ilmiah hanya karena teori tersebut telah dicampakkan. Oke, aku mengerti. Hasilnya sama cara pandangnya berbeda. Tapi ilmu pengetahuan berkembang secara akumulatif, bukan?” “Ya, betul. Sejarah memang harus dibongkar. Kita perlu revolusi untuk menghilangkan keraguan. Bahwa sejarah selalu berpihak pada para pemenang, itu tidak diragukan. Aristoteles tidak akan mendapatkan pengetahuan baru jika tidak serius mendalami pola-pola yang ditetapkan Plato, sampai akhirnya dia menemukan suatu penyimpangan di dalamnya. Menurutku, dengan membongkar sejarah, mendekonstruksinya, mungkin kita akan menemukan citra baru ilmu pengetahuan. Kita menghancurkan dulu untuk kemudian kembali membangun.” “Aku membaca Al Kindi. Dia bilang kalau jiwa itu penyempurna fisik. Kau mengerti apa yang dikatakannya?” tanya Bib, kembali lagi pada pembahasan awal mereka. Suara jawaban Ali terhenti oleh bunyi telepon genggam Bib. Wajah tegang meliputinya. Dia tinggalkan Ali tiba-tiba. Secangkir teh manis hangat pesanannya lupa dibayar. *** Dari Rifa, salah satu adik perempuannya, Bib mendapat kabar ibunya kembali nausea. Dia bergegas. Rumah sakit ditujunya. Sebuah rumah sakit swasta lumayan mahal di bilangan Perdatam, Jakarta Selatan. Hati Bib dipenuhi gelisah. Degup-degup jantungnya berlari. Kencang. Sekencang burung gagak ketika meneriakkan peringatan kematian. Sampai di sana, Bib melihat dua adiknya menangis. “Ibu sempat tak bergerak tadi,” kata Rifa. Matanya leleh. Seakan ingin meledak dari tadi, mata Rifa tak lagi tahan menampung kepungan air. Serbuan pasukan kesedihan sudah merangsek dan mengalahkannya dalam perang panjang menahan rasa. Wajah tirusnya basah. Bib diam. Tangannya ingin bergerak.
Mungkin memeluk adiknya, tapi tidak. Sedikitpun dia tak dapat menggerakkan tangan. Rifa mendekat dan mencium dadanya. Namun seperti terkejut sengatan listrik, tangan Bib menahan wajah Rifa dan didorongnya ke belakang. Dia menjauh. Ke satu sudut rumah sakit terkutuk itu. Suara-suara mulut, tangan dan kaki tak dihiraukannya. Di sudut ruang itu dia sendiri. Memejamkan mata dan tidur. Tak ingin. Tak ingin dia mengingat kelam yang mungkin segera datang. Dia tertidur lelap. Sementara adiknya menangis lebih keras dari biasa. *** Sebuah suara membangunkan Bib. Rifa berdiri di depan mata. Wajahnya tampak lebih tenang, meski suaranya terdengar serak. Bib langsung bangkit dan berjalan menuju ruangan dokter. “Ibu Anda kehilangan banyak darah. HB ibu Anda rendah sekali. Beliau perlu melakukan transfusi. Malam ini, setelah kondisinya membaik,” jelas dokter itu ketika Bib ada di ruangannya. Dokter itu menerangkan kondisi badan ibunya masih panas sehingga belum mungkin untuk memasukkan darah tambahan. Bib hanya mengangguk. Dia tidak tahu apa-apa soal pengobatan jadi dia serahkan saja semua kepada ahlinya. Pembicaraan selesai dan Bib masuk ke kamar tempat ibunya berada. Kamar rawat lantai tiga. Di sana, dia saksikan dua adik perempuannya, Rifa dan Ifta sedang bercengkerama. Di samping mereka tergeletak ibu Bib. Kepalanya dibebat kain kasa. Tampak lemah tapi senyumnya tak terbendung melihat anak lelaki kesayangannya datang. Bib mendekat dan mencium dahi ibunya. Mulut ibu Bib bergerak-gerak, seakan ingin mengatakan sesuatu tapi keluar hanya gumaman. Bib mengangguk-angguk seperti mengerti. Seolah tahu kalau ibunya hanya berkata, “Tak apa. Tak apa.” Bib kembali mencium kening ibunya. Dia tak lagi memikirkan sosok ibunya yang jahat, yang telah meninggalkannya selama sepuluh tahun bersama orang lain di kota lain. Dia hanya tahu kalau saat ini dia sangat mencintai ibunya, tanpa syarat. Sebentar atau lama waktu kebersamaan mereka, dia tetap mencintai ibunya. Dan hari mulai gelap. Segelap wajah Bib. Dan lampu-lampu jalanan saling
pandang. Mata demi mata mereka bertemu. Ibunya ada di ranjang bersprei putih. Tidur tanpa pejam. Adik-adiknya berpegangan tangan. Membagi lelah. Seorang suster datang: Fitria. Nama itu tertera di dadanya. Bib terpana melihat ke kedalaman mata suster itu. Jika bidadari diharuskan memiliki sayap, tidak untuk yang satu ini. Fitria. Bidadari tak bersayap ini merawat ibunya dengan lembut. Bib tahu Fitria tahu dia memperhatikannya. Suster ini juga tahu kenakalan Bib, yang tidak hanya melihat ke arah wajahnya. Dia tahu bahwa gerakan mata Bib terlalu refleks. Tertambat di bulatan apel manis miliknya. Sesaat, titik awal penciptaan tersingkap. Bib menjadi Adam. Dan Fitria diharuskan menjadi Hawa. “Jangan kau dekati pohon ini,” sabda Tuhan. Tapi Adam membiarkan dirinya terlempar dari surga. Dan penyesalan itu berbuah kesenangan. Di sini, Bib statik. Momen keindahan nyata. Tertangkap dalam satu kilatan mata. Biarkan dia terlempar jika ternyata surga itu membosankan. Bagi Bib saat ini, melihat Fitria seperti melihat dirinya dalam cermin. Hening. Benaknya meyakinkan, jika Adam tanpa Hawa, maka tidak akan ada dunia. Sedang tanpa Fitria, dunia ini hermaprodit. Menghasilkan anak dengan tubuh sendiri. Bercinta dengan kelamin sendiri. Tidak termaafkan. “Kalau suhu tubuhnya panas lagi, hubungi saya.” Perkataan Fitria menghilangkan keheningan Bib. “Ya,” adiknya menjawab. Ifta. Dan Bib tak mampu bersuara. Adik kecilnya itu berkata sambil meliriknya, kemudian tertawa pelan. Entah apa maksudnya. Bib seperti manekin. Fitria berlalu meninggalkan punggung untuk dijadikan bahan renungan. *** Tengah malam ibu Bib memanggil. Setengah lirih. Bib yang belum tidur langsung mendekatkan kepala ke wajah ibunya. “Ibu lapar,” katanya. Bib bingung karena dilihatnya di meja tak tersedia hidangan. “Aku cari makanan di luar, ya?” tanpa menunggu jawaban Bib keluar kamar. Di depan meja perawat jaga, Fitria tertawa-tawa dengan temannya.
Tampak mereka sedang menghabiskan waktu sebelum tiba giliran pulang. Bib agak ragu mendekati mereka, namun didekatinya juga. “Apa tidak ada makanan di sini? Ibu saya lapar.” Bib bertanya kepada Fitria. “Maaf bapak, kantinnya sudah tutup malam-malam begini.” Dengan tegas Fitria menjawab. Kemudian dilanjutkan oleh perawat satunya lagi. “Kantin di bawah juga tutup. Bapak harus cari ke luar.” Sedikit kecewa Bib melangkah pergi meninggalkan mereka. Saat dia menuruni tangga, dia membalikkan badan dan melihat Fitria yang juga menatapnya. Ingin Bib kembali dan berbincang lagi dengannya, tapi dia merasa tidak untuk kali ini. Bib harus pergi, mencari makanan untuk ibunya. Mungkin Bib tidak tahu, bahwa saat itulah kali terakhir dia melihat Fitria. Malam yang lewat setengah tidak menyediakan kebutuhan Bib. Tak ada warung di depan rumah sakit sialan ini. Dia kelilingi kampung di belakang rumah sakit dan tidak ada tempat makan buka. Bib lelah. Dia memutuskan pergi, ke Pasar Minggu. Di jalan depan rumah sakit, Bib menunggu kendaraan lewat. Sepi. Gerimis mulai rintik. Bib masih menunggu angkutan. Cukup lama sampai kemudian datang juga. Dia pun sampai di Pasar Minggu. Disaksikannya keramaian dini hari yang menyeruak bagai rombongan demonstran. Teriak demi teriak menggema bak orator sesungguhnya. Suara kondektur angkutan umum besar dan kecil berebut dengan penjual sayur dan makanan. Memantulkan gelombang magis pada caloncalon klien mereka. Segala keperluan Bib terpenuhi, akhirnya. Bib membeli pesanan ibunya dan kembali ke rumah sakit. Diingatnya Fitria. Kriuk tawanya renyah terasa dalam kepala Bib. Sementara hujan menderas. Senyum banal Bib membentang. Rumah sakit tampak. Dan, Fitria tak lagi ada di meja perawat jaga. Langkah lemah Bib tersaruk menuju kamar ibunya. Matanya lelah. Dua adiknya pulang sedari tadi. Punggungnya layu pada kursi besi menyakitkan. Dibukanya bungkus makanan. Menaikkan posisi ranjang agar ibunya dapat sandar. Suapan tangan-tangan tanpa tenaga Bib dimakan lahap
ibunya. Sampai selesai. Bib hektik. Fitria tak lagi ada. Matanya menutup. Lidahnya mengucap desis. Fitria. Tak lagi. Ada. Tak ada. Fitria. *** “Sudah waktukah?” “Psst…jangan keras-keras! Kau akan membangunkannya. Lihat, wajahnya tetap sama. Seperti dulu. Tidakkah begitu? Tubuh dewasa berjiwa anak-anak. Dengar, dengarkan, dengkurnya pun sama. Masih ingatkah kau saat dia mengajakmu pergi? Ha ha, pasti kau ingat. Perjalanan mengagumkan, bukan? Kau tertawa lagi. Aku iri karena dia tidak mengajakku, tapi ya sudah.” “Hei, hei! tidakkah kau lihat dia sedikit kecewa?” “Kenapa? Karena perawat itu, atau perempuan rambut panjang bergigi behel? Biarkan saja. Dia tidak akan menemukan kesenangan selain dengan kita, tahukah kau?” “Kita sudah mati buat dia, bukan?” “Tidak. Kita tidak pernah mati. Kitalah kegembiraannya. Tidak mungkin dia membiarkan kita mati!” “Apa kau selalu seyakin ini?” “Lihat saja!” “Apa sekarangkah waktunya?” “Sudahlah. Nanti kita tahu sendiri. Ayo pergi sebelum dia bangun. Ayo!” *** Bib terbangun dalam hektik. Sinar perak matahari menerjang pagi. Ibunya tidur nyaman. Bib bangkit mendekati sisi ranjang. Dia perhatikan garis-garis wajah hitam manis perempuan tua di ranjang bersprei putih itu. Kesejukan senja. Harum lili. “Tidak lama lagi,” pikirnya, “ibu akan segera pulang.” Sinar perak menembus gordin. Seorang dokter berwajah tampan dengan kumis seiris bawang datang. Jas putih khasnya terang. Menyala. Dokter yang sama ditemuinya sore kemarin. Bib berharap Fitria menemaninya. Tapi tidak.
Suara ribut pagi hari membangunkan ibunya. “Bagaimana tidurnya ibu, enak?” tanya dokter itu setelah melihat ibu Bib membuka mata. Ibunya mengangguk lemah. Botol antibiotik mengganti plastik darah yang mengering. “Kita periksa dulu, ya,” ucap dokter itu seraya mengeluarkan stetoskop. Dada ibunya bergerak naik turun. Stetoskop dokter itu meningkahinya. Bib tak sabar meminta penjelasan. Sementara dokter berwajah tampan berkumis seiris bawang itu memeriksa kepala ibunya. Mengganti kain kasa dan kemudian berbicara. “Ibu Anda membaik. Saya janjikan tiga sampai lima hari lagi beliau boleh pulang,” tutur dokter berkumis seiris bawang itu. Wajah Bib melekuk-lekuk riang. Di tengah keriangan, Sid, adik laki-lakinya datang. Sid sengaja datang tidak terlalu siang karena sore nanti dia harus menghadiri kuliah. Adik lelakinya ini duduk di bangku semester dua sebuah akademi teknik komputer. Perangkat keras dan lunak keahliannya. Sid juga pandai reparasi. Sejak Sid di bangku sekolah menengah, segala hal yang berhubungan dengan elektronika selalu jadi bahan uji cobanya. Dokter peralatan rumah tangga, begitu sebutan Bib untuk adiknya ini. Bib kabarkan keadaan ibu mereka. Dan dua wajah serupa itu membagi senyum lega. Mereka berpelukan. “Siang ini bapak datang dari Bangka,” umum adiknya. Bib merasa sudah waktu untuk pulang. Berita kedatangan bapaknya dari luar kota menenangkannya. Dia cium pipi ibunya dan pergi. Keluar kamar, Bib melewati meja perawat jaga, tempat intermeso Fitria dan temannya malam tadi. Diperhatikannya suster-suster di meja perawat jaga itu, tapi tak dilihatnya Fitria. Bib melangkah menuruni tangga tanpa menengok lagi. Di pinggir jalan raya depan rumah sakit, Bib berdiri. Menunggu tumpangan pulang. Sinar matahari bagai jarum. Menelusuk mata. Jalanan hektik. Sehektik Bib. Hidungnya panas. Sedikit berair karena kurang tidur. Diingatnya mimpimimpi. Dua sosok aneh yang tidak terasa asing. Kenal di mana, dia lupa. Dia tak juga mau menduga.
Di pinggir jalan itu Bib masih berdiri. Sebuah bus berwarna putih mendekat dalam laju. Tangannya diangkat dan derit besi-besi tua beradu. Bising. Tanpa menunggu berhenti, dia meloncat naik. Kakinya bertumpu pada kaki kondektur kurus berkacamata tebal. Suara kerasnya menyaingi deru-deru gas. Memekak telinga. Kondektur kurus itu sempat mengumpat, tapi tidak lama. Bib melangkah masuk dengan mulut tertutup. Di ruang tengah bus dilihatnya bangku kosong. Dan dia terlalu lelah bahkan untuk mengucap syukur. Di bangku kosong itu matanya mencoba pejam. Tapi waktu tidurnya sudah lewat dua jam lalu, di rumah sakit. Direnunginya jalan sepanjang laju. Dua puluh menit berlalu dan bus semakin dekat arah rumah. Dia pun turun di perhentian berlatar taman. Di seberang jalan tempatnya baru turun dari sebuah bus berwarna putih, tampak gedung kampus tempatnya dulu menghabiskan waktu lima tahun. Sebuah kampus yang berdekat jarak dengan rumahnya. Kenyataan ini menjadi bahan tertawaan teman-temannya. Mereka selalu meledeknya sebagai orang yang tidak tahu jalan lain selain sekitar tinggalnya. Bersekolah dan mencari nafkah hanya di dekat rumah. Sungguh penghematan yang terlalu, kata mereka. Ditatapnya lurus-lurus kampus di seberang jalannya itu. Langit mulai suram. Sebuah spanduk ucapan selamat tahun baru Masehi terpampang di antara dua pohon. Tinggi dan gagah. Tak terkalahkan. Sedang huruf-hurufnya mengalah. Mempersilahkan angka dalam tanggal berlarian. Pemenang sebenarnya. Matanya terus memindai sampai kemudian berkilat bayang yang sangat dikenalnya. Di sana, di seberang jalan itu, berdiri seorang perempuan rambut panjang dengan behel gigi. Kayla! Perempuan itu ada di depan gerbang kampus. Terpancang tegak di antara puluhan lelaki dan perempuan yang berjalan di kanan kiri depan dan belakangnya. Andai saja suaranya sampai, ingin dia memanggilnya. Diseberanginya jalan cepatcepat. Sedikit tak melihat. Klakson berbagai bunyi menghadangnya. Sesaat dihentikannya langkah. Sebuah mobil menghalang pandang. Dan Kayla menghilang. Bib menepuk-nepuk kepala. Dia kehilangan lagi Kayla. Mulutnya menggumam. Seperti doa orang sakit berharap cepat sembuh. Gumam berubah desah berubah lenguh berubah pekik. Pandemonium. Pikirannya hilang tata.
Keyos. Orang-orang di sampingnya berhenti. Maladi. Melirik sedikit. Tertawa sedikit. Kemudian mereka berlalu. Spektator minimalis. Bib tenggelam dalam Solilokui. Aktor minus audiens. Meditasi megafon. Melarut dalam imla. Debar jantungnya seakan mengeja: K-A-Y-L-A. Kenapa cepat pergi? Tanya terungkap kepada perempuan pujaan hati. Dan perempuan itu tak lagi ada dalam pandang. Hilang. Begitu saja bagai gerak angin. Bib berjalan terus melewati warung Melati. Sambut sorak seorang kawan tidak dia hiraukan. Bib melaju langsung menuju rumah. Ingin cepat-cepat meneduh dalam perahu kecilnya. Hujan rintik berubah deras. Kapan kita bersentuh, Kayla? Bib meminta dalam tanya.
Dua
PEKERJAAN MENUMPUK membuat Bib mengasingkan diri. Teman-temannya tidak dia temui seminggu belakangan. Tenggat waktu perbaikan gambar sampai pula hari ini. Setahun terakhir Bib memang bekerja sebagai ilustrator lepas sebuah perusahaan pembuat kalender kreatif. Kalender itu dimaksudkan sebagai alternatif atas kalender-kalender membosankan yang tersebar di pasaran selama ini. Benefaktor Bib pemilik perusahaan. Namanya Kaas. Disebut benefaktor, karena dia memberi Bib uang cukup sebagai balasan atas pekerjaannya. Dia juga kadang membiayai proyek-proyek pribadi Bib, tanpa meminta balasan apa pun. Bib berkenalan dengannya pada pameran poster jalanan setahun lalu. Saat pertama berkenalan, Bib menyangka Kaas seorang keturunan Belanda. Postur tubuhnya tinggi besar, ditambah lagi namanya, yang secara fonetik, mengingatkan Bib pada sebutan keju dalam bahasa orang pirang bekas penjajah itu. Tapi ternyata sangkaannya salah, karena Kaas adalah peranakan Jawa-Manado yang lahir di Maluku. Sudah lebih lima belas tahun dia tinggal dan membuat usaha di Jakarta. Dalam pameran poster tersebut, Bib salah satu pesertanya. “Kau mengingatkanku pada Frank Sephard Fairey,” kata Kaas sembari mengenalkan diri. “Karya-karyamu eksepsional,” lanjutnya memberi sanjungan. Bib menyungging senyum. Senang sekaligus segan. Fairey itu legenda dalam semesta pembuatan poster. Pada 1986, bersama Blaize Blouin, Alfred Hawkins dan Mongo Nikol, Fairey menciptakan banyak poster dan stiker bergambar pegulat raksasa André the Giant, pseudonim dari André René Roussimoff. Poster-poster ini menandai sebuah gerakan seni perkotaan OBEY GIANT di Amerika Serikat. Karya-karya OBEY semakin mendunia sebagai
gerakan parodi politik dan korporasi. Sambil menatap Kaas dalam-dalam, Bib kembali mendengarnya bicara. “Sebuah gerakan yang hebat, OBEY. Fairey benar-benar seorang jenius,” ujar Kaas menerawang. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya tiba-tiba. Bib diam beberapa saat, kemudian membuka perdebatan. “Benar. Tapi OBEY bukanlah gerakan baru. Loesje telah memulainya di Arnheim. Bagi saya, keduanya sama-sama kritis dan humoris pula.” Merasa bersambut, Kaas menjadi lebih bersemangat. “Ada sedikit perbedaan antara Loesje dan OBEY. Pada gerakan Loesje, meski nuansa humornya terasa, kita lebih banyak disuguhi persoalan serius. OBEY, menurutku, melihat parodi sebagai kekuatan utamanya. Gerakan ini mirip gerakan pamflet pendeta itu. Siapa namanya…?” perkataan Kaas terputus sebab dia melupakan sebuah nama. “Ivan Stang?” tebak Bib ragu. “Ya! Ivan Stang. Church of the SubGenius. Kalau kuingat gerakan ini aku selalu terbahak. Mereka komedian sejati. Bukan begitu?” tanya Kaas meminta afirmasi. Bib memberi seringai. “Bagaimana tidak?” lanjutnya. “Sebagai gerakan keagamaan mereka menganjurkan humor, komedi, parodi dan satir di dalam gereja. Suatu hal berbeda dari apa yang diajarkan institusi agama establis. Cynisacreligion…” suara Kaas tercekat lalu lepas. “Kau tahu apa yang paling membuatku tertawa? Bayangkan, di setiap devival mereka menggabungkan khotbah keagamaan, komedi panggung dan konser musik rock. Benar-benar luar biasa. Sungguh menarik diikuti...Kupikir OBEY GIANT lebih seperti itu. Sebuah jukstaposisi parodik antara politik propaganda
dan
komersialisme
perusahaan
multinasional!”
tutur
Kaas
bersemangat. Pendapat-pendapat Kaas terasa lugas, namun belum membuat Bib terpuaskan. Maka dia pun bertanya. “Sebenarnya apa yang hendak disampaikan Fairey dari sebuah poster berbunyi „André the Giant Has a Posse‟?” “Jelas saja! André the Giant itu kan pegulat profesional. Dia juga ikon dari
sebuah produk perusahaan olahraga besar di Amerika. Kehadiran gambargambarnya di berbagai tempat tentu menjadi seperti sebuah kampanye iklan. Bedanya, poster-poster besar OBEY ini tidak mengiklankan produk apa pun, meski wajah André terpampang di sana. Fairey jenius, karena dia seolah mengejek ide penyebaran nama dengan membuat merek bohongan ciptaannya sendiri. Di saat yang sama dia mengangkat citra André the Giant ke semacam status ikonik!” jawab Kaas. Seolah belum cukup, dia melanjutkan. “Di sisi lain, poster-poster ini menjadi subversif, karena orang digiring untuk sadar bahwa komersialisme massif perusahaan multinasional dapat membuat orang berlaku konsumtif. Setiap kali kita melihat iklan. Setiap kali itu pula keinginan kita ditimbun, satu persatu hingga menumpuk, sampai kita tidak lagi sempat berpikir selain untuk membeli! Dan…dengan membuat gambar André, OBEY menjadikan posternya sebuah kampanye iklan tanpa produk, karena memang tidak ada produk yang perlu mereka jual.” “Oke. Tapi OBEY, seperti juga Loesje, terkadang membuat pesan jelas. Dalam poster Loesje kita dapat temukan kata-kata seperti „jika demokrasi tak bekerja, maka rakyatlah yang akan‟. Sama seperti ketika OBEY mengatakan „buat seni jangan perang‟. Seingat saya, Fairey membuat parodi atas propaganda pemerintah dengan mengutip bahasa Orwellian dan gaya artistik poster-poster propaganda Soviet. Gaya ini berhubungan erat dengan penyebaran misinformasi, dan ketika digabungkan dengan citra André the Giant, maka akan menghadirkan gurauan alami pada pesannya. Poster seperti ini seakan ingin menyampaikan pesan bahwa pemerintah di mana pun, memang punya cara-cara untuk menyebarkan informasi salah. Apa bedanya dengan Loesje? Parodi, menurut saya, dapat berimplikasi sangat serius. Tanda tangan Samo pada grafiti Basquiat atau gambar „Kilroy was Here‟ semasa Perang Dunia II, bagi saya, kritis sekaligus humoris di saat bersamaan. Saya, lebih suka Loesje, sebab di Arnheim, tempat lahirnya gerakan ini, ada klub sepakbola kesayangan saya, Vitesse FC!” tutur Bib sedikit bercanda. Kaas tersenyum.
“Semua merujuk pada satu hal Bib…Gerakan-gerakan ini sama-sama mengejek ide penamaan. Iklan, bagi mereka, sesuatu yang inferior. Dan memang, iklan berlaku hanya untuk orang-orang kerdil!” ujar Kaas menutup perdebatan sambil sedikit melupakan guyonan Bib barusan. Bib mengangguk setuju. Perbincangan mereka beralih pada persoalan lain. Saat itulah Bib mengetahui Kaas seorang pengusaha. Pada kesempatan pembicaraan mereka, Kaas mengungkapkan ide pembuatan kalender alternatif. Bib mendengarkan seksama. “Selama ini kalender hanya dipenuhi gambar perempuan cantik, tapi sama sekali tidak berharga. Setelah tahun berlalu, kalender itu pasti dibuang. Aku ingin membuat kalender yang tidak dilupakan orang. Kalender abadi.” Kaas kemudian menawarkan Bib menjadi ilustrator kalendernya. Tanpa memakan waktu lama, Bib menerima tawaran tersebut. Menurut Bib, ide itu menarik. Lagi pula dia memang belum memiliki pekerjaan tetap. Terlebih, dalam kesepakatan mereka, Bib tidak diwajibkan datang ke kantor menyerahkan karya ilustrasinya. Kaas akan mengambil sendiri atau meminta Bib mendatanginya di suatu tempat. Seperti pertemuan rahasia. Benar-benar lepas. Dari segi ide, kalender abadi Kaas sebenarnya sederhana. Bukan pula yang pertama. Gerakan Tong-Tong, yang merupakan gerakan Indo-Belanda pada 1960an, banyak pula membuat kalender-kalender kreatif dengan berbagai ilustrasi mulai dari kuliner hingga kalender ulang tahun astrologis. Jenis kalender ini dipopulerkan Rogier Boon dan kawan-kawan. Ilustrasi kalender astrologis termasuk fenomenal, terdiri dari gambar lambang horoskop Barat dan Batak. Pada bagian bawah terdapat hiasan parang rusak, menjadikan kalender ini luar biasa. Banyak orang menjadi penikmat kalender buatan gerakan Tong-Tong ini. Sedang kalender Kaas menjadi istimewa bukan karena kebaruannya, melainkan ide dasarnya yang ingin menjadi alternatif kalender biasa. Sekaligus menghidupkan kembali gairah kreatif seni grafis kalender. Kalender Kaas tercetak di atas selembar kanvas berukuran seratus dua puluh kali delapan puluh sentimeter. Setiap satu lembar berisi tanggal-tanggal dalam satu bulan. Ada dua versi rancangan kalender yang biasa diproduksi.
Rancangan pertama menampilkan angka-angka tanggal dengan cetakan besar namun tidak beraturan. Kadang di tengah kadang di pojok kanan kadang juga di pojok kiri. Di setiap angka terdapat catatan berhubungan dengan hari-hari besar. Ilustrasi Bib memenuhi ruangan kanvas bercampur dengan susunan angka dan huruf. Rancangan lainnya hanya memuat gambar Bib. Di sudut kecil gambar itu terdapat angka dan huruf yang hampir tidak terlihat. Persis seperti tanda tangan pelukis pada karyanya. Beban terberat Bib adalah membuat ilustrasinya tidak membosankan. Dia dituntut untuk menjadikan kalender itu abadi melalui gambar-gambarnya. Imaji dalam kalender itu harus ditangkap dan dikentalkan waktu. Dengan begitu, kapan saja orang melihatnya, mereka akan memiliki perasaan yang sama seperti baru saja memandangnya untuk pertama kali. Secara teknis, pekerjaan Bib selesai ketika Kaas menyetujui ilustrasi buatannya. Setelah ilustrasi selesai dikerjakan Bib, kolase komputer menjadi sentuhan akhir kalender. Kaas akan menyepakati rancang isinya, untuk kemudian kalender kanvas tersebut dicetak. Tak ayal, mesin cetak digital berkualitas tinggi siap mengerjakannya. Setiap bulan kalender alternatif ini diproduksi kemudian dijual dalam bentuk satuan. Untuk jangka satu tahun, Bib harus membuat dua belas ilustrasi. Sebenarnya, pembuatan ilustrasi dapat dilakukannya dengan cara mencicil satusatu. Namun, supaya produksi tak terhambat, Bib selalu merasa lebih baik untuk menyelesaikannya sekaligus. Ini adalah tahun kedua produksi kalender abadi Bib dan Kaas. Dan sekarang tahun baru semakin dekat. Tersisa tinggal seminggu. Tapi hal itu bukan masalah karena rancangan kalender alternatif mereka sudah tersedia hingga pertengahan tahun depan. Kaas sengaja meminta tenggat waktu sebab dia ingin membuat edisi khusus untuk dipamerkan bulan Maret nanti. Pameran ini rencananya akan digelar di sebuah galeri seni di Jakarta. Sudah empat bulan proyek khusus ini berjalan. Dengan begitu, Bib memiliki pekerjaan tambahan. Meski tidak terlalu antusias dengan proyek ini, Bib tidak merasa berat hati mengerjakannya. Dia tahu Kaas membuat edisi khusus ini dengan alasan jelas:
memperkenalkan pekerjaan mereka kepada kalangan berdedikasi dalam dunia seni grafis. Bukan sekadar promosi perusahaan yang sedikit menggelikan buat Bib. Di mata Bib, Kaas adalah defiansi dari kebanyakan orang sejenisnya. Satu kakinya berpijak sama kuat dengan kaki lain yang berada di dunia berbeda: idealisme seni dan bisnis risiko tinggi. Jika kebanyakan orang kaya hanya menjadikan seni sebagai selingan untuk memuaskan hasrat konsumtif mereka, maka Kaas menjadi pelaku yang terlibat langsung dengan berbagai suasana emosional di dalamnya. Ini menjadikannya suatu anomali. Di satu sisi Kaas membuat kalender sebagai pemenuhan daya kreatif relung batinnya, dan di sisi lain dia juga seorang pengusaha pengiriman barang ekspor-impor sukses. Tidak diragukan bahwa dia orang berlimpah. Di Marina Ancol, dia punya dua buah kapal fiberglas berukuran dua belas meter dan dua puluh dua meter. Kapal ukuran dua belas meter berlambung runcing membentuk huruf V. Bentuk kapal seperti ini disebut V-hull. Jenis kapal balap. Kaas sering memakainya lomba atau sekadar memacu adrenalin. Sedangkan ukuran dua puluh dua meter kapal katamaran, berlambung dua. Kapal ini biasa digunakan untuk memancing dengan keluarga atau melakukan transaksi bisnis. Bib pernah diajak Kaas memancing menggunakan kapal katamarannya ke Binuangeun. Di tempat ini sering diadakan turnamen memancing dengan hadiah ratusan juta rupiah. Kaas memang baru sekali menjuarai turnamen, tapi selebihnya dia hanya menjadi penggembira. Bib tahu Kaas sangat senang memancing dan dia pun riang sekali ketika diajaknya ikut serta waktu itu. Ketika memasuki ruangan kapal, Bib melihat perlengkapan navigasi elektronik terbaru: sistem penjejak posisi, sonar dan pencari ikan. Galei dan dinet kapalnya terbuat dari kayu mahoni dipernis halus. Salon kapal itu luas dan nyaman, dilengkapi dengan peranti sistem suara supercanggih untuk menikmati berbagai musik kesayangan. Luas salon dapat juga digunakan sebagai tempat tidur tambahan jika kabin sudah dipenuhi orang. Bib benar-benar merasa termanjakan. Katamaran Kaas sungguh elegan. Kenyamanannya membuat Bib selalu menunggu kesempatan untuk kembali berada di dalam kapal tersebut. Pagi ini telepon genggam Bib mendering berkali-kali. Kaas sibuk menanyai pekerjaannya di ujung sana. Siang hari dia meminta Bib menemuinya.
Dia semakin tidak sabar karena seminggu berlalu dari rencana awal pertemuan mereka. Bib telah siap sedia. Pekerjaan menggambarnya telah dia selesaikan. Dan dia merasa puas dengan hasilnya. Dia pun keluar rumah membuat langkahlangkah tegas. Saat melewati warung Melati dia berhenti. Tadinya dia tidak ingin mampir tapi diputuskannya sejenak di sana, karena sekilas dia melihat dari luar, Raina duduk di satu sudut ruang. Wajahnya terlihat murung. Matanya seperti baru saja menjatuhkan kaca. Rihani tak tampak menemaninya. “Kenapa menangis?” tanya Bib kepada Raina. “Tidak,” jawabnya sedikit tersedak. “Mau pesan apa, Mas?” Raina mencoba alihkan perhatian. Bib tidak ingin melanjutkan dan berkata singkat, “Kopi.” Warung Melati pagi ini belum disambangi pelanggan. Bib duduk sendiri di sebuah kursi plastik berhadapan dengan jalan sempit yang dibatasi tembok bekas kampusnya. Tidak diperhatikannya lagi Raina. Sedang perempuan cantik ini, yang melihat Bib seorang diri, kemudian duduk di depannya. Wajah manisnya menyimpulkan senyum akrab. Bib membalas senyum itu dan mereka berbincang cair. “Kamu menangis kenapa?” tanya Bib beberapa saat berselang. Raina diam. Tak mau menjawab. “Ada masalah?” tetap diam. “Dimarahi ibu?” perempuan ini mulai tersenyum. Tangannya bergerak mengisyaratkan kata tidak. “Banyak yang belum bayar utang?” kali ini dia tertawa kecil. Kepalanya menggeleng-geleng. “Kangen sama aku?” Raina terkekeh. Menggeleng lagi. Bib tetap tidak menyerah. “Diputus pacar?” “Tidak!” suara Raina meninggi. “Terus kenapa?” tanya Bib putus asa. “Tadi ada ondel-ondel. Aku takut,” jawabnya bergidik. Dan Bib terbahak. “Sudah besar kok takut ondel-ondel, sih?” kata Bib.
“Habis, mukanya kayak setan,” jawabnya bergidik lagi. Kali ini Bib hanya dapat tersenyum. Waktu kecil dia juga takut ondel-ondel, tapi sekarang tidak lagi. Ketakutan itu sudah teratasi jauh-jauh hari. Ungkapan ketakutan Raina mengingatkannya pada masa kecil dulu. Sambil sedikit menggoda dia pun kembali bertanya. “Terus kamu takut sama apa lagi?” “Kecoa.” “Terus?” “Mas, kok terus-terusan terus sih,” ucap Raina seraya membuang muka. Dan mereka tertawa bersama. “Ibu bagaimana, Mas?” Raina bertanya kemudian. “Sudah ada di rumah. Tiga hari lalu pulang. Tapi ibu masih harus berobat jalan,” tutur Bib. Di tengah perbincangan, mata Bib menjalar. Dia merasakan ada seseorang yang sedang memperhatikannya. Dan memang saja, persis di belakang Raina, di balik kaca pembatas ruang dalam dan ruang luar warung, dia melihat seorang lelaki bertubuh gemuk yang tersenyum ke arahnya. Dia tidak ingin berpura-pura kenal atau tidak sopan, maka dia tersenyum balik kepada lelaki itu. Sekejap saja lelaki gemuk itu berjalan tanpa mengucap kata-kata perpisahan. Hanya lambaian tangannya memaksa Bib untuk menganggukkan kepala. “Mas, kenapa?” tanya Raina melihat tingkah Bib. “Tidak, itu tadi di belakangmu ada orang,” ujar Bib. Raina menengok ke arah belakang, tapi tak dilihatnya sesiapa. “Siapa, Mas?” tanyanya lagi. “Itu, aku lupa mengenalnya di mana, tapi dia tersenyum ke arahku. Baru saja pergi,” jawabnya. “Oh…,” singkat Raina berkata. “Mas, kemarin Kayla datang tanya-tanya soal Mas,” kata Raina lagi. Bib memandangnya inkuisitif. Seolah tak percaya perempuan pujaan datang menanyakan kabarnya. Sesaat wajah Bib mengungu. Gelisah meliputinya. Raina melihat Bib tergetar, tapi dia berpura-pura tidak tahu dan berkata penuh
semangat. “Sungguh, Mas,” ucapnya seraya berdiri dan melangkah menuju rak kecil di pojok ruang. Raina meraih sebuah buku. “Dia titip ini buat Mas,” tangannya menyodorkan buku tersebut kepada Bib. Bib terbata sambil menilik buku yang sekarang ada di genggamannya. “Daniel Bell…” Bib berkata lagi, “Maukah kamu…?” tapi kalimatnya tak mampu selesai. Raina mendesak. “Apa?” Bib terdiam cukup lama. Dikeluarkannya pensil dan sebuah buku tulis dari tas biru bututnya. Gerak mata Raina mengikuti sapuan pensil pada buku tulis itu. Selesai membuat guratan pada ruas-ruas kertas putih bergaris, Bib menyobeknya menjadi hanya selembar. Dilipatnya baik-baik kertas itu, lalu diserahkan ke tangan Raina. “Kalau Kayla ke sini lagi, tolong sampaikan ini?” penjaga warung cantik ini mengangguk dan tersenyum. Bib melirik jam yang tersangkut di dinding. Siang menjelang. Kini waktu pertemuan dengan Kaas menuntut untuk dilakukan. Rihani datang membawa tentengan plastik berisi entah apa. Dan, satu persatu, para pelanggan Melati bermunculan. Setelah membayar semua pesanan dan tunggakan teh manis hangat beberapa hari lalu, Bib pergi meninggalkan Raina dengan para pelanggan yang bersesakan datang ke warungnya. Sambil berjalan perlahan, wajah Bib tertekuk. Kepalanya rungsing. Kayla semakin dirindukannya saja. *** “Kemarin aku bertemu Farid, seorang pemilik galeri,” tutur Kaas menghilangkan kesunyian. “Kutunjukkan karya-karyamu. Kutunjukkan kalender buatan kita,” tambahnya. Bib tidak bereaksi. Kaas bersemangat sekali ingin menceritakan sesuatu. Rona wajahnya binar-binar. Pendar-pendar cahayanya memenuhi satu ruangan kedai kopi bergaya Amerika pada siang yang sedikit muram ini. Kepala Bib masih rungsing, tapi bukan itu alasan dia tidak menanggapi keriangan Kaas.
“Kami pernah sama-sama pergi ke festival seni biennale Gwangju beberapa tahun lalu. Dia karibku, tinggal di Surabaya. Kebetulan sekarang dia kesini,” kembali Kaas berkata. Bib tetap hening. “Sebentar lagi dia datang. Ingin sekali bertemu denganmu,” lanjutnya. Sudah satu jam Bib dan Kaas di kedai kopi. Seperti biasa, di hadapan lelaki metroseksual ini Bib sedikit sekali mengeluarkan suara. Dari sejak awal Kaas mendominasi percakapan dan Bib membiarkannya menang begitu saja. Tanpa mempedulikan keheningan Bib, Kaas terus bercerita mengenai Farid. Bib mendengarkan hidmat. Tidak berapa lama, orang yang diceritakan datang juga. Tinggi badannya rata-rata. Tampak sangat necis dengan menggunakan kemeja biru lengan panjang. Orang ini sama parlentenya dengan Kaas. Kumis dan janggut memenuhi seluruh wajahnya tapi kesan kotor tidak tampak dari wajah penuh bulu itu. Rautnya berseri ketika dia menyapa mereka berdua. Bib mengurai senyum seraya
menganggukkan
kepala,
menatapnya
lurus-lurus,
namun
tidak
menunjukkan gairah yang terlalu. Farid duduk di samping kiri Kaas. Ada yang khas dalam cara duduk Farid, membuat Bib tertarik memperhatikan. Sebelum dia menempelkan bokongnya ke kursi, tangannya bergerak ke atas seperti ingin meninju sesuatu. Kepalanya mendoyong ke kiri, dan mulutnya mengeluarkan gumaman yang tidak dimengerti Bib. Setelah itu, bukannya diam, alih-alih dia berdiri, berjalan mengitari kursinya dan akhirnya duduk dengan tenang. Kaas sedikit terkekeh melihat tingkah laku sahabatnya ini. Setelah ritual itu barulah Farid berkata-kata. Dia menanyai Bib berbagai hal dengan suara menggelegar. Aksen Surabaya Farid kental terdengar. “Aku mau tanya sama kau,” kata Farid kepada Bib. “Apa yang kau pikir tentang seni? Apakah benar ada seni Indonesia?” Bib merasa Farid hanya ingin mengujinya. Nada pertanyaan ini sama sekali tidak dia sukai. Bahu Bib bergerak malas. Farid memaksa sebuah jawaban. Bib balik bertanya. “Kenapa bapak menanyakan itu?” “Ya, karena aku mau tahu. Bukankah kau ini seniman?” Farid sedikit mengejek. Senyumnya membuat Bib meledak. Dia berkata.
“Seni Indonesia? Di sinilah titik cair seluruh pusat kebudayaan dunia. Seni Indonesia itu tidak ada, karena berbagai bentuk kesenian masuk ke ranah ini,” tutur Bib. “Menurut saya seni Indonesia adalah seni dunia. Seni Arab, India, Cina dan Barat bercampur di sini!” tegasnya dengan intonasi tinggi. “Jadi tidak ada identitas dalam seni Indonesia, menurutmu?” “Identitas hanya label. Seiring pengetahuan manusia kita akan semakin merasa bahwa identitas hanyalah sebuah konsep imajiner,” tukas Bib. “Maksudmu?” tanya Farid mendesak. “Membicarakan
identitas
seakan
melupakan
bahwa
dunia
itu
multidimensi. Identitas sering dijadikan alasan sebagai pembeda, padahal ada banyak keragaman. Segala bentuk rasa dan semua aspirasi tidak lagi dihormati karena kita merasa perlu mempertahankan identitas. Kita di Timur merasa berbeda dengan Barat dan begitu pun sebaliknya. Padahal Timur atau Barat, ke mana saja memandang, sama saja!” Bib berkata dengan tatapan jijik. Seolah dia tidak percaya dapat mengatakannya. Di sela-sela ledakan emosinya, dia mengulang ucapan Ali pada percakapan mereka lebih seminggu lalu. “Perbedaan itu ada dalam pikiran. Saya rasa seharusnya kita membangun babel-babel baru, agar bahasa kita tidak lagi beragam,” Bib menegaskan pendapatnya lalu diam. Farid mengernyitkan alis dan menggumam. “Babel-babel baru?” Nada suara Bib menunjukkan bahwa dia tidak ingin melanjutkan perdebatan. Baginya, memperdebatkan identitas dalam kesenian sudah sangat anakronistik. Cukup sudah jawaban yang diberikan orang lain. Dia tidak harus menambahkan jawaban apa-apa. Kaas merenungi wajah-wajah dua orang di samping kanan kirinya. Farid sepertinya masih ingin berdebat. Dia ceritakan kembali soal-soal estetika dan segala hal berkaitan dengan seni sebagai representasi keindahan yang berasal dari dalam jiwa. Mendengar ini, Bib semakin kesal. Seketika darahnya memanas. Udara di ruang temaram kedai membuatnya sesak. Diliriknya Kaas dengan kecewa. Dalam hati dia berkata, “Aku tidak perlu
perdebatan purba ini!” Dia mengutuk Kaas karena telah membawa orang yang hanya pandai menilai. Tapi dia menahan diri. Matanya bergerak-gerak, sesekali menatap kedua lawan bicaranya. Sementara itu di satu sudut ruang kedai ada mata yang memperhatikan Bib. Mata bulat berkesan kanak-kanak. Di satu kesempatan Bib akhirnya menemukan mata bulat kanak-kanak itu. Seorang pemuda tanggung, dengan rambut lurus sebahu memperhatikannya seksama. Tubuhnya agak kurus tapi wajahnya tampan seperti kanak-kanak baru beranjak dewasa. Secangkir kopi dan sepotong roti tergeletak di mejanya. Pemuda tanggung ini duduk seorang diri. Tatapan mereka saling beradu. Menatapnya, sulur-sulur nadi Bib seakan terkunci. Aliran darahnya tidak lagi sampai ke dadanya. Dia terintimidasi oleh pandangan tajam pemuda tanggung berambut lurus panjang sebahu itu. Suara gelegar Farid dan kelakar Kaas tidak lagi dia pedulikan. Beberapa pertanyaan Farid lewat di kupingnya. Tatapannya sibuk pada pemuda tanggung yang sedang menatapnya di sudut ruang. Selang beberapa waktu, pemuda itu kemudian pergi, meninggalkan kopi dan rotinya utuh di atas meja. Sebelum pergi, Bib sempat membaca gerakan bibirnya mengucap, “Ingat aku.” Kepala Bib rungsing lagi. Hektik selayaknya jalan raya. Pikirannya terintimidasi. Dia tidak merasa kenal pemuda tanggung itu. Sentuhan tangan Farid ke bahu membuatnya terkejut. Perbincangan mereka telah memasuki akhir. Dia melihat Farid dan Kaas berdiri, bergegas keluar kedai. Mengikuti langkah mereka, Bib pun berjalan. Di luar, Farid menjabatkan tangan dan mengatakan ingin lagi bertemu dengannya. Bib mengangguk sambil tersenyum. Sedikit reluktan. Mereka berpisah jalan. Sendiri, Bib melangkah menuju tempat perhentian angkutan umum tidak jauh dari kedai. Benaknya masih dipenuhi kejadian tadi, di kedai kopi itu. Bus kota berwarna hijau lewat, berhenti sebentar kemudian jalan lagi. Bib menumpangi bus kota tersebut tanpa tahu tujuan. Lantunan suara Bob Dylan terdengar dari sebuah pemutar kaset di dalam bus. Meski samar-samar, suara itu merasuk kuping. Kerungsingan Bib sedikit terobati oleh lagu yang sangat dikenalnya. Sebuah lagu penoreh sejarah kebesaran
nama satu kelompok musik tenar hingga hari ini. Saat itu pula dia melupakan pandangan tajam pemuda tanggung di kedai kopi. Intimidasi dari tatap itu tidak lagi dia rasakan. Namun lama-lama, alunan suara mendayu di pemutar kaset itu terekam dalam benaknya. Kini ada perasaan lain hinggap di hatinya. Sebuah kesepian kronis. Kesepian yang tidak dapat disembuhkan dengan bertemu banyak orang. Di relung jiwanya, Bib kembali mengulang syair lagu itu. Dan dia semakin merasa, tak berkawan. Berada di lingkungan penuh manusia tidak membuatnya ramai. Dia tetap saja sendiri. Dilecehkan begitu saja seakan hanya gulingan batu, terinjak kaki-kaki di jalan penuh debu. Rungsing kepalanya menjadi-jadi setelah lagu itu berlalu. *** Bus melaju dari arah Depok dan melintas di jalan Kemang. Satu setengah jam sudah Bib duduk di bangku fiber keras bus tersebut. Seolah ada instruksi, mata Bib menengok ke sisi kanan jalan. Dan di sana, di depan sebuah kafe, dia melihat Kayla dengan wajah terarsir. Garis-garis hitam putih menyelimuti wajah manis perempuan pujaannya. Perempuan kecil berambut panjang berbehel gigi itu berdiri mematung dekat sebuah tiang. Di belakangnya tegak bangunan kafe berarsitektur gaya Belanda lawas. Sebuah tempat hasil senggama ilisit bersama jejak-jejak penjajahan. Menggelikan, sebab sebuah spanduk terbentang di depan pintu masuknya: “Kami menyajikan masakan tradisi dan kolonial.” Demikian tulis spanduk itu. Tampakan eksotika penuh percik pikiran orang asing. Bus bergerak lambat. Terhambat lampu menjelang merah. Langsung saja Bib melompat turun dari bus. Langit menggurat jingga. Memantulkan siluet tubuh bagai manekin yang menanti sesuatu. Pelan-pelan Bib merangsek. Perempuan itu tetap diam. Tatapan bulat matanya menuju entah. Bib merasa inilah saat untuk menyapanya. Berkata padanya, apa saja. Dengan perasaan membuncah Bib mendatangi perempuan itu. Sedikit lagi sampai. Dalam bus tadi dia melihat Kayla meski hanya selintasan. Matanya menjadi terlalu awas jika sudah berurusan dengan perempuan satu ini. Dia tidak
ingin lagi menghilangkan kesempatan. Kayla ada di sana entah untuk apa. Dan dia tidak peduli. Dia turun untuk menemui perempuan ini. Perempuan pujaan yang telah mengganggu ketenangan hari-harinya. Dia dan Kayla perlu bicara, walau hanya sepatah. Setelah itu terserah. Jalanan riuh. Klakson bercampur deru gas membuat pekak telinga. Seorang tukang parkir meniup peluit sambil berteriak maju mundur banting stop. Bib tetap berjalan pelan. Dilihatnya seorang lelaki berbadan gemuk mendatangi Kayla. Bib berhenti melangkah. Lelaki gemuk itu meraih pinggang perempuan pujaan diikuti dengan sambut cium. Bibir-bibir mereka bertemu. Keramaian jalan tidak menjadi penghalang pertemuan itu. Bib kebas. Matanya tak henti memandang. Kejutan ini tidak dia harapkan. Lelaki gemuk itu mengurai senyum sial. Bib tak bergerak. Menatap lurus ke arah mereka. Lelaki gemuk dengan senyum sial itu melambaikan tangan, menghentikan sebuah taksi biru langit, sedang Kayla di belakangnya mengikuti. Bib tak beranjak. Menatap perempuan pujaan pergi, dengan seorang lelaki entah siapa. Bib tahu, senyum wajah gempal itu telah memunculkan kesialan. Kematian dini. Di bangku samping sebuah kios rokok, Bib duduk. Kerinduannya teraborsi. Sementara perempuan behel gigi berwajah oval senyumnya bagai penjara.
Panopticon.
Menatap
angka-angka
berlarian
pada
kalender.
Meninggalkan tubuh telanjang tanpa malu di balik jeruji besi cintanya. Bib tenggelam, bergumam merangkai lara, berharap cepat-cepat dapat menggeser batu, yang kini terasa menghimpit bidang dadanya.
Tiga
HUJAN TURUN merintik lewat selokan. Saling gelitik dengan ikan. Sepakat jalan bersama menuju lautan. *** Hujan menderas hari-hari belakangan. Membuyarkan benih sambut kematian datang. *** Hujan menenggelamkan ikan dalam-dalam. Napas-napas gelembungnya enggan sampai di permukaan.
Empat
TAHUN BARU Masehi lewat beberapa minggu. Riuh rendah perayaan tidak dirasakan Bib. Peristiwa hari lalu di depan sebuah kafe berarsitektur gaya kolonial masih membekas di hatinya. Terlalu mudah dia jatuh cinta dan semudah itu pula bunga-bunganya patah. Sepanjang hari setelah kejadian itu Bib hanya mengurung diri dalam kamar kecil pengapnya. Tidurnya akhir-akhir ini semakin motah. Wajah lelaki gemuk yang memadu bibir perempuan behel gigi pujaannya selalu terbayang. Setiap kali mengingatnya dia merasa katastropik. Benar-benar tak berdaya. Kamar kecilnya terlihat sangat berantakan. Puluhan buku, film dan baju berserak. Cangkir-cangkir kopi membentuk kerak-kerak. Putih oleh jamur. Belasan puntung rokok bermacam merek tersebar antara karpet dan kasur. Abunya berbagi ruang. Tubuhnya melemah. Jiwanya ranggas. Minggu-minggu pertama tahun baru dilaluinya dengan penyakit. Baru beberapa hari saja dia sembuh, namun badannya belum terlalu segar. Pagi ini dia bangun dari tempat tidur. Dihidupkannya komputer. Duduk di depan layar monitor, tapi tak tahu harus berbuat apa. Ingin dia menulis, tapi huruf-huruf seperti pergi meninggalkan kebuntuan. Kuldesak. Ingin juga dia membuat gambar, tapi tetap saja komputer tuanya tidak mau membantu. Komputer bodohnya tidak mampu merestorasi otaknya yang bocor, tercecer di jalan hutan liar. Terinjak babi dan dijilat anjing sampai haram dipungut lagi. Setengah jam, Bib merenungi layar. Tanpa kerja. Kuldesak. Sorot matanya tajam menyobek rentang kroma. Biru putih coklat, bercampur jingga. Psikedelik. Sebatang rokok dia nyalakan. Asap mengepul memedihkan mata. Setitik air keluar dari bulatan hitam putih jendela dunianya. Dia bangkit sambil mengucek. Diperhatikannya buku-buku terpampang dalam rak kayu setengah reyot. Terbitan
lama. Debu menyelimuti pinggirannya. Dilihatnya kian menebal hari ke hari. Tak pernah terpikir baginya membersihkan. Percuma. Bersih sekarang kotor lagi nanti. Jadi biar saja. Karena kotor yang sudah, tidak mungkin untuk kembali disebut kotor. Meniup, mulutnya pada debu. Beterbangan mencium hidungnya. Dia bersin. Selangkah mundur ke belakang dan duduk di sudut ruang kamar. Berjauhan dengan layar monitor. Bersin tak henti. Semburan demi semburan lendir membuat matanya kembali berair. Hidung panjangnya ditempeli ingus. Punggung tangannya menyeka. Dia berjalan keluar kamar untuk membuang rehak. Bersinnya sedikit demi sedikit reda. Dia pun masuk kembali ke dalam kamar ketika mendengar ibunya memanggil dari ruang bawah. Dua suara alto dan bass saling bertukar. Ringkikan tawa juga terdengar. “Bib, Ali datang!” Bib menengok dan dilihatnya ibu berdiri di pijakan tangga terbawah kamarnya. Kain kasa di kepala ibunya sudah dicopot. “Langsung saja ke atas, bu!” kata Bib bindeng. Kemudian dia duduk di atas kasur bersprei biru yang belum sempat digantinya sejak satu bulan lalu. Ali memasuki kamar dengan wajah bersenyum tebal. Sahabatnya ini memang dikenal baik oleh seluruh anggota keluarga, sehingga setiap kali datang, dia selalu disambut dengan antusiasme sama. Wajah Bib masih sedikit layu sebab baru sembuh sakit, namun ini tidak menghalanginya untuk memberi sambutan seperti biasa. Dia berdiri seraya membalas senyum Ali dengan anggukan. Mereka pun saling berpelukan. Mata Ali menginspeksi sudut-sudut kamar. Selayaknya lupa sesuatu, tangannya menepuk keras kening. “Kamarmu berantakan sekali?” katanya menunjuk sebaran puntung rokok dan cangkir-cangkir kopi. Bib tak menyahut. Dia duduk lagi di atas kasur, membiarkan lontaran demi lontaran kata Ali terlempar begitu saja. “Kau tidak cerah hari ini, kenapa? Ya, ya, aku tahu! Tertawa hanya menyembunyikan kesedihan mendalam. Ini yang membawamu pada seklusi? Kau tahu Bib, pengasingan itu seperti mencari perca di balik tumpukan baju-baju
mewah. Bizar. Aku tidak pernah melihatmu seperti ini. Apa yang terjadi? Jawablah, jangan diam. Aku kawanmu, bukan?” Bib hening. Mengumbar sedikit senyum, namun tidak disahutnya rentetan pertanyaan itu. Mulutnya kehilangan suara. Upaya sahabatnya tidak ditanggapi dengan baik. Dia duduk tak bergeming. Akhirnya Ali menyerah. Dan diam. Dalam keheningan, tiba-tiba Bib teringat pembicaraan mereka sebelumnya yang sempat terputus. Bib membuka suara. “Hei, terakhir aku bertanya soal Al Kindi, bukan? Masih ingat? Sepertinya waktu itu kau akan memberi jawaban. Bagaimana?” “Al Kindi bilang apa, ya?” Ali balik bertanya. Bibirnya mengerut. “Jiwa adalah penyempurna fisik. Kau mengerti maksudnya?” Bib menyegarkan ingatan. “Aku kurang mengerti, tapi mungkin yang ingin Al Kindi sampaikan adalah, tanpa jiwa manusia tidak mungkin sempurna!” jawab Ali. “Tapi bukankah fisik membuat jiwa mendapat tempat sebenarnya. Kesempurnaan itu terejawantah di dalam tubuh manusia. Aku pikir hubungan fisik dan jiwa bersifat mutual,” Bib mendebat. “Ya, bisa jadi. Tapi begini, manusia hadir setelah Tuhan meniupkan ruhnya, betul bukan? Dan kita tahu, ruh sama sekali tidak berbentuk badani,” tutur Ali. Lalu dia melanjutkan. “Nah, ketika manusia membuat dosa, fisik dibutuhkan sebagai ladang penyiksaan. Maaf, pembersihan, maksudku.” Bib merenungi kata-kata sahabat tercintanya. Merasa kurang paham, dia pun bertanya. “Jadi fisik diciptakan sebagai balasan atas dosa asal kita?” “Legenda menyebut, setelah kita mati, kita tidak lagi merasakan kesakitan seperti dialami fisik selama kita hidup,” sahut Ali. “Tapi legenda juga menyebutkan bahwa setelah kita mati, kita dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan kita di dunia. Siksaan bagi yang jahat, keberkahan bagi yang baik!” kata Bib.
“Jiwa tak mungkin merasakan kesakitan. Di surga, Adam hanya mendapat kenikmatan,” tukas Ali. “Ya, Tuhan juga menciptakan neraka!” Bib balik menyergah. Sergahan Bib tidak membuat Ali terhenti. Kembali dia menegaskan. “Justru itu semakin membuatku yakin, neraka hanya sebuah tempat bagi fisik! Jiwa tidak bertempat di sana.” “Maksudmu, kau ingin mengatakan bahwa tidak ada neraka?” tanya Bib penasaran. “Selain menebus „dosa asal kita‟ seperti katamu tadi, untuk apa lagi kita hadir di dunia!” Sebuah gestur mengiringi jawaban Ali yang diucapkannya lantang. Bib sedikit tidak senang nada tinggi ini. Dengan membuat penekanan pada setiap kata, dia melesakkan pertanyaan. “Oh, kau ingin mengatakan dunia kita saat ini adalah neraka? Apa kau tidak percaya hidup setelah mati?” “Aku sangat percaya kematian datang berkali-kali!” Ali menyahut tanpa sedikit pun tergetar. Bib mengernyitkan alis. Dia mengangkat tangan ke udara dan berucap pelan. “Aku tidak paham?” “Aku percaya kematian datang berkali-kali sama halnya seperti aku percaya kehidupan juga hadir berkali-kali!” Mulut Bib bergerak-gerak seakan meminta lebih banyak penjelasan, namun tidak ada suara keluar kali ini. Matanya menatap Ali yang kini merogohkan tangan ke dalam tas selempang kecil warna coklat tua yang dibawanya. Sebuah buku berhalaman tebal dia keluarkan. Sampulnya keras. Sesaat kemudian Ali sibuk membolak-balik halaman. Pada satu halaman dia berhenti. “Aku ingin kau dengar ini, Bib. „Telah kualami seribu bentuk kehidupan, namun tak ada yang pernah kusukai‟,” ujarnya mengutip kalimat penyair mistik Persia abad dua belas.
“Memangnya kenapa dengan pernyataan tersebut?” tanya Bib, masih belum mengerti maksud sahabatnya. “Rumi melihat kehidupan dan kematian sebagai ilusi. Datang berkalikali.” Ali menjawab tanpa ragu. Sedang Bib berbalik peran. Saat ini dia menjadi inkuisitor. “Apa kau mengatakan mistikus ini meyakini reinkarnasi? Bagaimana kau menjelaskannya?” “Begini saja, menurutmu kenapa sejarah selalu berulang?” “Aku tidak suka ini! Kau menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.” Bib kesal. Ali cepat-cepat menjelaskan, sebelum kekesalan Bib menumpuk. Katakatanya terdengar seperti sermon seorang pendeta yang kehilangan gereja. Bib mendengarkan dalam diam. “Sejarah itu seperti pohon yang menghasilkan buah. Kemudian buah itu kita makan, menjadi tinggal biji. Dan biji itu kita tanam kembali ke dalam tanah. Lalu setelah beberapa waktu, kita melihat biji yang kita tanam menghasilkan akarakar baru, membuat batang-batang pohon baru, mengeluarkan ranting-ranting baru dan akhirnya memberi kita, buah-buah yang baru. Begitu seterusnya sampai buah itu matang lalu kita makan dan kembali menjadi biji-biji mati yang baru. Seperti itulah sejarah. Berulang karena memang sudah menjadi hukum alam.” “Lalu bagaimana kalau buah yang kita makan tidak punya biji? Dia akan berakhir hanya di perut kita, bukan?” tanya Bib setelah Ali menyelesaikan khotbahnya. Pertanyaan Bib terdengar sebagai ejekan di kuping Ali. Seketika dia gusar dan mengubah intonasinya menjadi semakin tinggi. “Baca kitab sucimu! Di situ tertulis, „Waktu itu kamu mati, dan Dia menghidupkanmu, kemudian mematikanmu dan menghidupkanmu kembali‟. Apa kau benar-benar ignoran, Bib?” Bib tertegun. Kalimat terakhir Ali merasuk ke dalam benaknya. Mengganggunya. Dia memang bukan seorang taat, tapi tidaklah sepenuhnya
ignoran seperti yang disangka sahabatnya. Dilihatnya Ali mengatur napas, lelah menahan gusar. Bib diam. Untuk sementara, pertukaran kata antara mereka tidak berlanjut. Seseorang di lantai bawah mengencangkan suara TV. Sebuah berita tentang perayaan hari besar agama terdengar mengikuti volume kerasnya. “Kau dengar itu?” ujar Bib lebih mirip pengumuman dibanding pertanyaan. Ali menganggukkan kepala. Suara terdengar semakin keras saja. Bib dan Ali saling pandang. Kemudian diam. Tidak lagi melanjutkan percakapan. Larut dalam lahan pikiran masing-masing. Berita yang didengar Bib dan Ali merupakan sebuah tradisi memukul diri sendiri sambil meraung-raung sedih. Orang-orang muslim Syiah melaksanakan tradisi ini di hari peringatan Assyura. Hari raya yang jatuh pada tanggal sepuluh Muharam, bulan pertama dalam penanggalan Islam. Meski Bib bukan penganut taat, tapi hari-hari besar agamanya dia tahu. Bahkan cara menghitung tanggal bulan pun dia ingat. Dulu, di pengajian, dia pernah diajar itu. Di hari Assyura biasanya Bib melakukan renungan. Mengingat kembali kisah-kisah di baliknya. Biasanya pula, setiap tahun hari Assyura, dia memiliki tradisi membaca cerita yang dikarangnya sendiri. Cerita karangannya ini dibuat pada sebuah buku tulis dengan tinta merah hitam di usianya delapan belas. Dan dia membacakan cerita hanya untuk dirinya. Sekarang sudah hampir lima tahun, dia lupa tradisi hari Assyura ciptaannya. Cerita karangan Bib sepuluh tahun lalu mengisahkan seorang anak masa kini yang terjebak dalam lorong waktu. Nama anak dalam ceritanya Azra, pemuda jenius yang punya obsesi membalikkan sejarah dunia. Azra digambarkan sebagai anak penguasa sebanyak dua ribu bahasa yang dikenal manusia. Azra juga sangat memahami filologi dan fisika kuantum. Tentang dua kata terakhir, Bib baru menambahkannya pada usia dua puluh, ketika dia masuk kuliah dan baru berkenalan dengan istilah. Cinta setengah gila pada nomenklatura. Dia akan bicara dan tulis apa saja untuk membuatnya dapat terlihat pintar di mata temantemannya. Mengumpulkan nomenklatura, menjadi cara agar dia dikagumi. Seiring
tambahan pengetahuannya, cerita Azra selalu mengalami revisi. Pada cerita awal karangannya itu, Bib menulis, karena Azra jenius, Azra berhasil menciptakan mesin waktu. Dengan mesin buatannya itu dia pun pergi ke seluruh pelosok dunia menerobos ruang dan waktu. Di setiap persinggahan, Azra akan menyalin buku-buku kemudian mengubah isinya agar sesuai dengan keinginannya. Setelah selesai disalin, buku-buku aslinya dia bakar. Hingga yang tersisa hanya buku yang ditulisnya sendiri. Dengan demikian, sejarah dunia pun akan berubah menjadi sejarah Azra. Sebenarnya, dalam cerita Bib, Azra hanya mengubah isi buku yang mengandung keterangan tentang perang. Karakter Azra adalah anak peka dengan obsesi mulia untuk menghapus darah dalam sejarah. Dia merupakan karakter fenomenal, dalam cerita karangan Bib. Nama Azra sendiri dibuatnya pada usia lima belas. Pada saat Azra lahir, dia belum mendapat peran dalam cerita apapun. Bib sangat menyukai namanya. Saking sukanya sampai-sampai dia bertekad untuk memakai nama itu sebagai tokoh utama, jika suatu hari nanti dia buat cerita. Baru tiga tahun kemudian, cerita lorong waktu mampu diselesaikannya. Dan Azra pun mendapatkan pengukuhan. Ada kisah menarik di balik kemunculan karakter Azra dalam dunia Bib. Kisah ini dapat ditelusuri hingga ke masa-masa kecilnya. Sejak Bib berusia tiga tahun dia seorang pengkhayal. Banyak sekali tokoh-tokoh imajiner diciptakannya. Namun hanya satu yang masih dia ingat sampai hari ini. Tokoh itu diciptakannya pada usia lima setengah, tahun-tahun pertama dia tinggal di Bandung. Bib yang kesepian menciptakan teman imajiner bernama Hardin. Dalam bayangan Bib, Hardin adalah seorang Indian bertubuh gempal yang tersesat dan kelaparan. Kebetulan dia bertemu Bib. Dan Bib memberinya makan. Sebagai balasan, Hardin menjadi sahabat setia Bib dan berjanji datang kapan pun Bib butuh. Hardin banyak membantu Bib menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah dari sekolah. Karena Hardin teman khayalan, dia menjadi sahabat setia Bib, yang selalu bersedia mengobrol apa saja, kapan saja dan di mana saja. Bersama Hardin pula, Bib melakukan perjalanan fantasi ke masa di mana dunia akan mengalami kehancuran. Hardin sebenarnya seorang Indian sakti, tapi
tentu saja lebih sakti Bib karena dia penciptanya. Pada saat dunia kiamat, dengan bantuan kesaktian Hardin, Bib tercegah dari kematian, padahal seluruh mahluk hidup di dunia waktu itu musnah. Hanya saja, setelah berhasil mencegah kematian Bib, Hardin kehilangan kekuatannya dan jatuh sakit. Sakitnya berlanjut sampai akhirnya dia mati. Dan Bib kembali seorang diri. Ketika itu usianya sepuluh tahun. Dia kehilangan Hardin, teman terbaik sepanjang masa-masa kecilnya. Saat Hardin sakit, Bib selalu merawatnya dengan segala ketekunan yang dimiliki anak kecil. Selama hampir sebulan, Bib mengurung diri dan sedikit sekali makan, ketika Hardin meninggal. Selama sebulan itu pula dia tidak bersekolah. Kehilangan semangat. Kakek dan neneknya selalu membujuk dia kembali sekolah. Namun Bib berkeras. Kakek dan neneknya tidak tahu alasan. Sesaat sebelum kematiannya, Hardin mengucapkan kata-kata yang masih diingat Bib hingga sekarang. “Hari ini aku berhenti untuk membuatmu berjalan.” Baru lima tahun setelahnya Bib mengerti, Hardin mati untuk membuatnya hidup. Azra menjadi figur pengganti Hardin setelah Bib besar. Sebagai figur pengganti Hardin, seharusnya pula Azra menjadi tokoh yang tidak pernah mati. Tokoh yang hidup terus meski tanpa kesaktian seperti dimiliki Hardin. Dan benarlah. Duaduanya memang sakti meski dalam kapasitas berbeda. Semua merujuk pada kesaktian penciptanya. Ya, Hardin menjadi tokoh gambaran kesaktian Bib di dunia imaji. Mitos dan tradisi. Sedang Azra tokoh gambaran kesaktian Bib di dunia rasional. Moderen dan sistemik. Memang tetap sureal. Baik cerita Azra maupun tokoh imajinernya Bib berkolase antara mimpi dan kenyataan. Duaduanya menunjukkan bahwa Bib kecil dan Bib besar itu masih saja surealis. Karangan pertama Bib sangat didasari pada pengalaman masa kecilnya bersama Hardin, teman imajinernya. Dalam cerita itu, Azra, yang punya obsesi menghilangkan buku-buku sejarah berisi darah, akhirnya terjebak di satu peperangan besar. Peperangan paling berdarah dan menyedihkan sepanjang sejarah hidup manusia. Melalui mesin waktu, dia berniat mengubah buku yang menuliskan perang terbesar itu. Bukunya buku ramalan. Menyebut tentang pertempuran antara kebaikan dan keburukan. Dan, pertempuran ini tidak dapat
dicegah oleh siapa pun. Ketika dia menelusur jejak-jejak buku itu, ternyata sang peramal tidak pernah menuliskannya. Ramalan ini dibukukan jauh setelah perang berlangsung. Bukunya pernah dibaca Azra di salah satu persinggahan lorong waktunya. Di dalamnya, sang peramal menujum kematian cucunya sendiri. Cucu yang sangat dicintainya. Sang peramal mengatakan, kematian cucunya akan mengawali berbagai sejarah kelam dalam dunia setelahnya. Ini membuat Azra bimbang karena satu-satunya cara mencegah perang adalah dengan menghabisi peramal atau nenek moyang pembunuh cucunya. Pilihan ini sulit. Bagi Azra, membunuh bukanlah pekerjaannya. Karena jika dia melakukannya, maka semulia apapun niatnya pasti terkotori. Bagaimana pun Azra harus memilih. Azra tahu peramal itu sangat dihormati, bahkan oleh nenek moyang pembunuh cucunya. Di masanya, sang peramal kerap pula dipanggil nabi. Lalu dihidupkanlah mesin waktu. Tapi sayang, mesinnya mengalami kerusakan. Azra terjebak. Mesin waktu bobroknya tidak mampu membawanya kembali. Bukannya muncul ke masa nabi itu hidup, Azra memasuki waktu di mana perang terjadi. Di sana, dilihatnya perang besar itu. Dilihatnya kematian cucu sang peramal. Dilihatnya pula wajah-wajah pembunuhnya. Dan dia diliputi kesedihan mendalam. Misi besarnya gagal. Kemudian dia tidak dapat lagi memaafkan diri. Sebilah belati ditusukkan ke dadanya. Dia pun mati. Tidak ada lagi Azra. Tidak ada lagi mesin waktu. Dan sejarah darah terus berlanjut. Tanpa sadar Bib menggumam, “Semua teman terbaikku selalu saja mati.” Ali mendengar gumaman itu, tapi dia tidak mengerti maksudnya. Dia lalu menyergap sebuah tanya. “Kau bilang apa?” Bib tersadar. Di hadapannya Ali menggerakkan tangan. Tergagap dia menjawab. “Tidak, tidak! Tidak apa-apa.” Jawaban Bib cukup membuat Ali untuk tidak melanjutkan. Mereka
kembali diam. Sudut-sudut kamar mengumbar hawa panas. Padahal siang bermuram hati. Dua bulir keringat menetes di kening Bib. Bagian atas bibirnya memunculkan juga bulir-bulir air. “Orang-orang itu semakin keras saja, ya?” Ali berkata tiba-tiba. Bib mendongak. Bibirnya membuka. Ali menjelaskan bahwa dia sedang merujuk pada tradisi menyakiti diri di peringatan Assyura. “Mengingat…,” katanya lagi sambil menghembuskan napas berat. “Mengingat kepedihan itu sama saja dengan melanggengkan permusuhan.” Bib
menggelengkan
kepala
cepat-cepat.
Tangannya
bergoyang
mengisyaratkan ketidaksetujuannya dengan pendapat Ali. “Bukan melanggengkan permusuhan. Bukan. Bukan itu! Ini hanya persoalan rekoleksi sejarah yang kadang sengaja kita lupakan!” tegas Bib tidak bersepakat. Bibir Ali sedikit mencibir. “Sejarah memang tak pernah bisa berubah. Tapi kita dapat memotongnya dengan menghilangkan kebencian. Semua terjadi karena alasan…” “Apa lagi alasan perang Karbala selain rebutan kuasa?” potong Bib keras. “Aku rasa kita harus melihat dari dua sisi.” “Baik! Mari kita bicara soal permusuhan berabad Sunni-Syiah tanpa prejudis. Apakah pantas seorang yang sudah mati setelah dipenggal, kepalanya dipermainkan? Ini gurauan laknat, menurutku. Orang-orang yang melakukannya ingkar pada janji untuk tidak berbuat berlebihan!” Bib menaikkan suara. “Aku juga menangis ketika mengingat kepala Husein yang agung itu ditendang-tendang bagai bola setelah dipenggal. Tapi itulah sejarah manusia Bib. Teror dan horor,” Ali bersikukuh. “Pertanyaannya, apakah kita akan melanjutkan rentang sejarah kebencian itu?” lanjutnya menutup kalimat. Bib
terhenyak.
Raganya
tak
mampu
bergerak.
Pertanyaan
Ali
dibiarkannya lolos. Diingatnya kembali sejarah yang terbaca dalam buku entah benar atau tidak. Sejarah tentang Karbala. Orang-orang Syiah memperingati kematian Husein di perang itu. Sebuah peperangan tak berguna yang menjadi
puncak permusuhan dua kelompok Islam: Sunni dan Syiah. Perang demi kuasa dan hak untuk menentukan kebenaran. Bib merangkai-rangkai puisi seketika. Diucapkannya pelan-pelan. Tak berniat memperdengarkannya pada Ali.
Putus sudah kepala agung Jiwa ranggas dipermainkan orang-orang sinting Tapi raung-raung ini akan selalu mengingatkan.
Bib kemudian meracau. Diceritakannya peristiwa Karbala dengan rinci. Tentang bagaimana pasukan Husein yang kalah jumlah habis dibabat. Tentang bagaimana orang agung itu dipenggal bersama anak-anaknya satu persatu dan hanya menyisakan seorang yang memang tidak ikut berperang karena sakit. Satusatunya keluarga yang selamat pada perang keji itu. Dia juga menceritakan peristiwa paling menyedihkan dalam sejarah penuh darah itu. Kepala putus Husein yang dijadikan sebagai permainan. Ditendang-tendang bak gurauan laknat para pengingkar agama. Hanya demi memuaskan napsu. Bib menangis sedu. Seolah peristiwa itu baru dilihat dengan matanya sendiri. Dia bayangkan kepala agung Husein itu pasti memar. Dipermainkan ribuan kaki serakah orang-orang bodoh haus kekayaan, dan kekuasaan. Matanya yang indah juga tentu lepas dari kelopaknya. Tak akan lagi orang dapat menangis diperlakukan sekejam itu. Bahkan setelah dia mati. Sebagai kepala yang mati dia pasti pasrah. Tidak. Tidak akan lagi dapat dia menangis. Bibir lebamnya hanya bisa menciumi kaki-kaki penendangnya dengan maksud mengampuni. Bagaimana mungkin mereka tega menjadikan kepala Husein, cucu penyebar agama yang mereka yakini, sebagai bola. Bagaimana mungkin? Bib semakin tersedu. Yazid mungkin tidak dapat disalahkan atas perlakuan prajuritnya pada
kepala Husein. Kabarnya dia ikut menangis ketika mendengar kematian pemimpin besar ini. Dia juga begitu murka saat tahu prajuritnya mempermainkan kepala cucu kesayangan nabi agama yang diyakininya. “Aku akan dimurka Allah,” ucap Yazid. Mungkin Yazid sadar, dia telah menusuk langit hingga berdarah dan mati. Kemudian darah langit itu mengotori tubuh dan jiwanya. Dan orang-orang Syiah mulai memanggilnya, “Yazid yang dikutuk Allah.” Bib lalu mengingat tentang seorang anak kecil yang ingin ikut berperang membela Husein dalam perang Karbala. Usianya baru sekitar sepuluh tahun. Saat anak itu ikut berperang Husein bertanya. “Apa yang kau lakukan di sini?” “Aku ingin ada di samping pemimpin orang beriman dalam peperangan ini,” jawab anak itu. “Kenapa kau ikut berperang, kau masih terlalu kecil untuk berkenalan dengan darah?” Husein menyergahnya. “Aku diutus ibuku. Katanya, lebih baik ibu tidak punya anak lelaki daripada menjadi pembangkang pemimpin suci,” jawab anak itu lagi. “Kembalilah, ini bukan peperanganmu. Kau tidak pantas untuk cepat berkenalan dengan darah,” ucap Husein kepada anak lelaki tampan itu. “Bapakku ada di samping bapakmu. Aku juga ingin ada di sampingmu. Engkaulah pemimpin kami,” kata anak kecil tak berbapak itu. Dan Husein menangis. Dan mereka mati berdampingan. Kepala-kepala mereka dipenggal. Sekarang Bib tak lagi dapat mengeluarkan air mata. Sejarah kelam. Teror dan horor. Itulah sejarah manusia. Dan dari setiap keping emas, ada perasan darah yang keluar. Huh! Bib sudah cukup mengingat tragedi. Kini dia ingin membuat komedi. Seperti selalu dilakukan banyak orang. Sebagai penghiburan. Penutup kesedihan sempurna. Tragedi. Komedi. Komedi. Tragedi. Bib tertawa sendiri layaknya orang gila. Ali memandangnya dengan getir seorang sahabat yang terluka.
Lima
“AKU INGIN cepat mengakhiri ini!” “Kenapa? Kenapa tidak pernah ada sedikit kesabaran dalam dirimu?” “Tidak. Ini harus diakhiri!” “Ah, tidakkah kau rasakan semua ini menjadi terlalu mudah untuknya. Bergerak sendiri ke arah yang dia inginkan?” “Ayolah.
Kita
datangi
saja
dia.
Jangan
biarkan
dia
semakin
menenggelamkan kita dalam kesunyian pikirannya.” “Hei, hei, dengar! Kau dengar sendiri tadi dia bercerita. Kenapa kau tidak ingin mengerti! Bersabarlah, waktu kita segera tiba.” *** Hari-hari hilang dan datang tanpa gurat keriangan Bib. Dia terjebak dalam manisnya keterasingan. Wajah-wajah lewat dan tidak satu pun yang dikenalnya. Kamar dengan buku, komputer, film, gelas kopi dan puntung-puntung rokok menjadi saksi Bib belakangan ini. Dalam kesendirian Bib selalu mengirimkan surat-surat imajiner kepada kekasih hatinya. Surat-surat tak terkirim karena tak tahu alamat. Kadang juga dia mengirim puisi dan Kayla menerimanya tanpa penolakan. Tapi lama kelamaan, surat khayalan pun tak cukup menggantikan kerinduan. Dan dia berpaling pada dunia mimpi-mimpi. Dunia di mana dia dapat hidup tanpa harus mengalami beban perjalanan. Internet. Selusur Bib pada dunia ini semakin menggila. Direguknya air asin pantai dunia maya. Direguknya sampai habis. Sampai tak tersisa dan kebosanan kembali meradang. Bib merasa lengas dan haus. Lenguh napasnya seakan mengingatkan kematian. Sebuah fase yang selalu coba dihindarinya. Kadang, di satu waktu, Bib akan melihat gambar-gambar biru. Segala lelaki dan perempuan dalam busana tak
kasat mata dengan berbagai ukuran kelamin dan payudara yang tampak luar biasa. Dicicipinya kenyataan-kenyataan baru. Betapa dunia semakin menyempit hanya sebatas pandangan matanya dengan layar monitor. Kadang juga, Bib menyaksikan perang-perang, orang-orang lapar dan berbagai penyakit. Sebuah dunia baru telah hadir. Dunia imajiner. Satu-satunya kenyataan demokrasi, yang minim sekali intervensi. Untuk beberapa saat, Bib menemukan cara baru melampiaskan keresahan hatinya pada seorang kekasih yang jauh. Dia pun memutuskan untuk menulis surat-surat di dunia itu. Dunia dengan berjuta alamat dan setiap orang boleh mengaksesnya tanpa harus bepergian atau membayar mahal. Dan Bib pun mulai menggerakkan jari. Tuts-tuts papan kunci komputer gemeretak. Satu dua kata dihapusnya. Tiga empat kalimat ditambahinya. Begitu seterusnya sampai selesai. Sampai akhirnya dia berada di persimpangan antara pembatalan dan penyimpanan. Gerak jari Bib terhenti pada pembuatan keputusan. Pikirannya melayanglayang di tengah larik-larik kata yang bersimpulan jadi satu. Baru saja Bib akan memutuskan, ketika tiba-tiba dia mendengar suara gelegar tawa. Suara tawa yang begitu dikenalnya entah di mana. Tawa itu begitu dekat. Bib melongok kanan kiri tapi tak ditemuinya sesiapa. Tawa akrab itu masih saja terdengar, bahkan semakin dekat dan membisikkan ejekan. “Apa yang kau tulis itu?” Bib meradang. Jantungnya berdegup kencang. Mulutnya tak sanggup meracap. “Ha ha, Kayla.....” Mata Bib semakin liar. Suara tanpa wujud itu mengintimidasinya. Suara itu mengatakan kalau ia ingin membaca surat yang baru saja dibuat oleh Bib. Dan Bib tidak boleh menolaknya, karena biar
bagaimana,
ia akan terus
membacakannya. Tak kuasa, Bib pun membiarkannya. Lambat, suara itu membaca. Sesekali jeda. Meminta perhatian Bib. “Kayla. Sejak kita tak pernah punya kesempatan untuk saling terbuka maka aku merasa di sinilah satu-satunya cara bagiku mendekatimu. Aku tahu
segala bentuk kesusahan adalah hal terwajar yang dialami pencinta. Mungkin jika kamu pernah membaca Schopenhauer kamu akan sedikit mengerti apa yang sedang kutuliskan ini. Gairah ini tak bisa tidak semakin memuncak. Tapi aku sadar betul, seperti juga disadari Schopenhauer, jika setiap gairah terpuaskan seketika setelah ia muncul, bagaimana mungkin kita bisa menjalani hidup.” Suara itu mengalun penuh getaran mistis. Lambat sekali suara itu membaca surat Bib. Suratnya kepada Kayla, yang diniatkan publikasinya di dunia tanpa batas negara. “Sejoli yang menemukan satu sama lain tanpa ada penundaan dan menjaga pasangannya tanpa kesulitan pastilah akan cepat bosan. Mereka bakal terburu mati atau menggantung diri…” Suara itu jeda. Bib menunggu kelanjutan. Diam-diam Bib juga membaca. Suratnya kepada Kayla, yang kini dibaca keras-keras oleh suara tanpa wajah kasat mata. “Segala kemudahan hanya akan menimbulkan kesengsaraan lebih besar ketimbang apa yang telah ditetapkan alam. Aku ingin kita cepat bersama, tapi aku sadar kesulitan ini harus kujalani.” Suara yang membaca itu terdengar begitu merdu. Bib terdorong ingin mengikutinya. Membacakannya juga keras-keras. Sebuah kalimat terakhir mereka resitasi bersama. “Kutunggu kamu di tempat tidur kita yang indah bertaburan bunga-bunga bakung.” Dan Bib tergerak untuk tertawa bersama suara yang membaca suratnya itu. Tiba-tiba mereka menjadi akrab. Seakrab kawan yang tidak pernah bertemu lagi sejak puluhan tahun berlalu. Bib mulai berani menanyakan muasal suara itu. Dari mana ia, bagaimana mengenalnya, dan berapa lama sudah ia memperhatikan tingkah-tingkah Bib selama menuliskan surat. Tidak diingatnya lagi bahwa suara itu tak berwujud. Tidak diingatnya pula ketakutannya yang lawas. “Kenapa kau begitu ingin menjadi pengantar suratku?” tanya Bib di selasela percakapan. “Aku mengenalmu. Aku juga mengenal Kayla. Kenapa tidak?”
“Lalu bagaimana aku yakin semua bisa sampai di tangannya?” “Bahkan surat terdahulumu, yang kau berikan kepada gadis pelayan cantik itu saja, sudah kubaca.” Bib tercengang. “Bagaimana kau...?” “Sebelum bibirmu bergerak lambat menuju bibirku, izinkanlah kuresapi indah dadamu. Biar tegang tubuh ini. Biar bisa kulesakkan di sela-sela rupawannya kembang mawarmu. Itu bukan bunyi suratmu?” “Aku tak percaya. Siapa kau sebenarnya?” “Aku tahu masa lalu, masa kini dan masa depanmu!” “Tunjukkan dirimu, kalau begitu!” Suara itu menghilang. Bib hampir tidak percaya kalau suara tak terpahami itu sudah menjauh. Mulutnya masih memanggil-manggil dan akhirnya dia yakin kalau suara tanpa wajah itu benar-benar pergi. Bib melenguh. Badannya panas. Matahari siang membuat perutnya keroncongan. Tiga hari belakangan, hujan tak juga mau turun. Bib memerlukan mandi. Dia menuruni tangga kamar busuknya. Semua orang menghilang dari rumah. Dan dia sendiri. Dirogohnya kantong celana. Tak menemu apa-apa. Bib kemudian mencari-cari uang dalam lemari ibunya. Beberapa lembar uang kertas diambilnya. Dimasukkannya ke kantong dan bergegas keluar setelah mandi. *** Ada yang ganjil di warung Melati, ketika Bib melangkah masuk. Dua orang lelaki tampak bercakap-cakap di sudut ruang. Satu gemuk dan satu lagi kurus. Wajah lelaki gemuk itu tampak keras, rambut panjangnya diikat ekor kuda. Tangannya tak henti-henti bergerak kala ia berbicara. Sedang lelaki kurus itu tampan dan tampak muda. Lebih muda dari usia sebenarnya. Dia duduk tenang sambil memperhatikan kawan bicaranya berapi. Dua gelas kopi saling berhadapan. Hampir mencium muka ke muka. Sebungkus rokok tergeletak, tapi asbak masih kosong dari abu dan puntung. Mereka begitu asyik berbincang sampai Bib masuk ke dalam. Pandangan mereka tertuju ke satu arah. Bib sama sekali tidak melihat gejala perhatian yang diberikan baginya. Tanpa duduk, Bib
langsung ke ruang belakang dan mencari Raina. Ditemukannya Rihani. Berbalutkan sebuah mukena, Rihani muncul dari bilik doa-doa. “Raina mana?” kata Bib menanyakan Aphrodite warung itu. “Mungkin belanja, Mas.” “Ada titipan tidak?” “Apa, ya?” “Oh, ya sudah. Aku makan dong!” Dengan masih mengenakan mukenanya, Rihani menuju etalase makanan diikuti Bib yang perutnya semakin melilit. Dua orang lelaki itu terus menatap. Bib belum juga sadar. Dua lelaki itu menghilang di balik tebalnya tembok pemisah warung. “Makan apa, Mas?” “Aku hitung duitku dulu, ya...Segini cukup tidak?” tanya Bib sambil mengeluarkan uang empat ribu rupiah, menunjuk tempe, telur dadar dan ikan teri. “Kurang tiga ribu, Mas.” “Tiga ribu, ya.” Bib tampak berpikir. Sementara Rihani berkata. “Tidak apa-apa, Mas. Kalau kurang, bisa besok bayarnya.” “Ya, tapi aku belum dapat uang akhir-akhir ini.” “Besoknya lagi juga tidak apa-apa,” Rihani memotong cepat. Bib masih menimbang-nimbang. Sedang perutnya bukan timbangan. Kali ini dia merasakan perihnya kemiskinan. Tidak pernah dalam hidupnya dia berutang, kecuali lupa membayar tagihan. Dan laparnya tidak boleh hanya dipuaskan dengan makanan biasa yang tidak akan terasa nikmat di lidah. Baginya, makan itu harus enak. Bukan murah. Maka timbangan dalam kepalanya melebihi timbangan lapar perutnya. Bib semakin meringis. Badannya giris. Luka-luka kemiskinan itu tampak dari wajah kurus hitamnya. Luka dari hasil biadabnya penjajahan. Derap-derap kolonialisme silam itu membentang di cakrawala keningnya. Tak kuasa bibir Bib berucap, “Aku berutang hari ini, ya?” Rihani mengulas senyum. Tangan halusnya menyendok telur dadar, tempe dan ikan teri yang sebelumnya ditunjuk Bib. Disodorkannya piring untuk diterima Bib dengan
ragu. Hari ini dia merasa begitu kalah. Tapi langkah-langkah kakinya tak bisa dihalangi. Bib pun menuju meja triplek panjang tak beralas dan makan. Tanpa suara. Pelan sekali tangannya mengasup. Dua pasang mata milik dua lelaki kurus dan gempal memandangi Bib. Suara-suara mereka bagaikan risik gelombang radio salah kanal. Mengiung di udara dan sampai di kuping Bib. Suara itu tidak jelas diterima, tapi cukup untuk menghentikan suapan Bib. Matanya mengarah dua lelaki di depan. Suara risik gelombang radio salah kanal itu tercabut dari frekuensi. Tak terdengar lagi. Hanya tiga pasang mata saling tatap. Bib merasa sangat tersinggung dengan tatapan dua lelaki itu. Diraihnya gelas air putih. Diangkat sebelum disorongkan ke bibirnya. Matanya masih menatap mata kedua lelaki kurus dan gempal itu. Sedang yang ditatap enggan bergeming. Bib menyeringai dan dibalas seringai dua lelaki di depannya. “Apa yang kalian lihat?” Bib akhirnya tak kuasa menahan tanya. Tapi dua lelaki di hadapannya terus menyeringai. “Apa aku kenal kalian?” tanya Bib selanjutnya yang masih dibalas dengan seringai sial dua orang lelaki kurus dan gempal itu. Seolah terpaksa, Bib mengumpat. “Mahluk laknat!” Kedua lelaki itu berdiri. Berjalan mendekati Bib yang bersiap dengan gelas berisi air putih di tangannya. Langkah-langkah kedua lelaki itu terasa begitu lamban. Bib tak mampu membandingkan jarak antara dekatan dan jauhan. Bib hanya merasakan perjalanan kedua lelaki itu memang bertujuan ke arahnya. Umpatan yang sempat keluar tadi dianggap sebagai tanda pertikaian. Lama Bib menunggu tapi dia bosan. Langkah-langkah kedua lelaki kurus dan gempal itu seperti tidak pernah sampai. Kembali dia mengumpat. “Sayuran basi! Kalau kalian mau bergerak ke arahku, datanglah!” Suara Bib begitu lantang, sampai membuat Rihani yang ada di samping tembok warung setengah berlari. “Kenapa, Mas?” tanyanya cemas. “Tidak apa. Kamu diam saja di situ!” Bib sedikit membentak.
“Ya, tapi ada apa?” tanya Rihani semakin cemas. “Aku bilang biar saja. Dua bangsat ini mengejek kemampuanku menginjak-injak batok kepala mereka!” tukas Bib bertegas diri. Rihani mundur ke belakang. Pandangannya balau. Mulutnya ingin bertutur tapi tak sepatah pun kabur. Mata Bib nanar. Berubah kirmizi. Tangannya mengayun. Seketika air yang ada di dalam gelas bergolak dan terbang. Mendarat di lantai kotor yang belum tersempat tersapu. Senyatanya terkejut. Sebab dalam perkiraan Bib, air itu seharusnya menyentuh dua orang lelaki kurus dan gempal yang melangkah mendatanginya. Tapi mereka tampak begitu jauh. Bahkan tidak sedikit pun siraman Bib mengena. Dalam jarak pandangnya, kedua lelaki itu terasa semakin jauh saja. Padahal mereka berjalan menuju ke arahnya. Sadar usaha pertamanya hilang hasil, Bib membuat gerakan baru. Dijejakkannya kaki dan berdiri. Bangku plastik tempat duduknya ditendang ke belakang. Tanpa ragu Bib melempar gelas yang kini kosong ke arah salah seorang dari dua lelaki pengejeknya. Suara jeritan Rihani terdengar. Dua pasang mata itu kini dirasakan Bib hanya sebatas dua pasang mata saja. Dua pasang mata hilang wajah. Rihani kembali menjerit. Dua pasang mata hilang wajah itu seperti guyu. Meledak-ledak dalam ledekan gelap. Bib merangsek ke depan. Bergerak cepat untuk menghantam dua pasang mata hilang wajah guyu yang meledak-ledak dalam ledekan gelapnya. Jeritan Rihani semakin keras. Beberapa tubuh berdatangan. Menghentak-hentak. Menghentak dan membentak. Bib semakin kerasuk. Gerakannya bertambah cepat menghantam-hantamkan tangan ke arah dua pasang mata hilang wajah guyu yang meledak-ledak dalam ledekan gelap kepadanya. Mulutnya mengucap umpat. Tak terbendung. “Anjing! Kemari kalian, babi impoten! Kemari!” Sebuah tangan menghantam Bib dari belakang. Badannya terhuyung ke depan. “Apa ini! Menusuk dari belakang. Di mana kalian. Di mana!” Bib hilang sadar. Hantaman tangan itu batu. Membentur keras punuk. Badan tipisnya tersungkur. Menelungkup cium lantai. Kaki Bib mengejang-ngejang. Mencoba menendang-nendang. Namun angin. Jerit Rihani seperti ringkik kuda cemas.
Sedang suara-suara orang di belakang gemuruh. Dua kaki menahan punggung Bib. Bersama sisa kekuatannya, Bib meronta. Hingga tak bisa. Hingga tak bisa meregang. Dan, regang kejang Bib melemah, pada akhirnya. Jeritan Rihani berubah tanya. “Mas ini kenapa?” Bib hilang dengar. Pertanyaan Rihani dijawabnya dengan teriakan. Kakikaki yang menginjak punggungnya semakin mengencangkan tekanan. Satu suara meruak. “Kau kenapa Bib? Apa masalahmu, kenapa teriak-teriak seperti orang kerasuk?” “Dua orang sial di depan itu. Mereka mengejekku!” jawab Bib. “Dua orang apa?” tanya seseorang di belakang. Suara itu dikenal Bib. Wishnu. Suara itu milik Wishnu. “Apa matamu buta. Di depan sana.” “Siapa maksudmu?” “Mereka masih ada di depanku. Dua orang, satu kurus satu gempal.” “Dudu dan Irwan, maksudmu? Dudu memang gempal. Irwan juga kurus. Mereka yang mengejekmu?” tanya Wishnu tak paham. Bib menengok ke belakang. Melihat wajah Wishnu dan orang-orang di belakangnya. Baru dia sadar penginjak punggungnya. Abel dan Wishnu. Bib meminta mereka melepaskan kaki-kaki dari punggungnya. Tanpa pikir panjang Abel dan Wishnu pun melepaskan tekanan dan Bib terbebas. “Apa mereka yang kau maksud, Bib?” tanya Wishnu sembari menunjuk Dudu dan Irwan. Bib menegaskan pandangan. Dilihatnya dua orang lelaki kurus dan gempal di depan. Dua orang teman. Dudu dan Irwan. Mereka memang kurus dan gempal, tapi bukan mereka yang ada dalam pandangan Bib sebelumnya. Dudu seorang lelaki gempal tapi sama sekali tidak berambut panjang ekor kuda. Bahkan, rambutnya pun hampir tak ada. Sedang Irwan kurus kering, tapi sama sekali tidak berambut rapi. Panjang terurai. Bib kembali menegaskan pandangan. Kemudian bertanya. “Apa dari tadi kalian ada di depanku?”
“Kami baru saja sampai. Kenapa Bib?” jawab Dudu sambil bertanya. “Jadi siapa tadi? Mana bangsat-bangsat itu!” Bib kembali menaikkan suara. Orang-orang di sekitarnya mulai siaga. Tak ada yang bergerak. Bib memperhatikan seisi ruang. Berantakan. Lantai warung kotor tersiram air dari gelas Bib. Sebuah kaca retak terlempar gelas. Bangku-bangku plastik berhamburan. Wajah-wajah cemas mengelilingi riak amarah Bib. Diraihnya pinggir meja dan lalu dia duduk di bangku kayu panjang. Menghela napas. Tangan Bib mengibas baju. Debu-debu lantai menempel erat di kaos oblong putih yang dipakainya. Debu menggumpal tercampur air tumpah di lantai. Mata Bib masih liar. Mencari-cari dua mahluk yang membuatnya seperti orang tolol di hadapan banyak temannya. Mulutnya menggumam. Gumaman berubah desah keruh. “Sepertinya kau kurang sehat, Bib. Pulang saja. Istirahatlah!” Abel bersaran. Mendengar itu mata Bib menusuk tajam Abel. Tergetar pandangan tak bersahabat, Abel mundur setengah langkah. Bib berdiri. Kemudian bergerak. Abel kembali mundur. Orang-orang di sekitarnya ikut mundur. Langkah Bib semakin tegas. Menuju luar warung. Dari luar, Bib sentuh kaca yang retak. Pecah bergemprangan. Orang-orang sigap. Mata-mata mereka memperhatikan setiap gerak-gerik Bib. Tapi Bib hilang gairah. Tak dihiraukannya lagi orang-orang. Dia bergerak ke arah rumah. Bergerak hingga tak terlihat. Teman-temannya di dalam warung gemirisik. Membicarakan kejadian yang baru lewat. Ketegangan sudah hilang. Mereka kembali tertawa. Makan, minum dan juga diskusi. Rihani seliweran di antara mereka. Membersihkan sisa-sisa kericuhan. Kaca jendela warung yang berhamburan disapunya hati-hati. Dan orang-orang, sama sekali tak berniat membantu. Mereka sibuk tertawa, makan, minum dan berbicara. Tanpa aksi. Bib yang sudah kembali ke rumah kini berdiam diri. Merenungi apa yang telah terjadi di kamar kecil kotor miliknya seorang. Direbahkannya badan tipis hitam itu di atas kasur bersprei biru yang sudah tak pernah lagi diganti. Direbahkannya sambil menutup mata. Dia pun lelap. *** Suara azan membangunkan Bib. Magrib. Angin ribut. Hujan melukai atap
kamar. Merembes. Luruh di wajah Bib. Tetes-tetes air itu menimpa bagai dentum meriam, membebat Bib dalam rentet keterkejutan. Bib bangun bergegas. Disapunya tetesan air hujan. Pandangannya ke arah atas. Gelap. Lampu belum dinyalakan. Bib tak bergeming. Dibiarkannya rembesan hujan menetesi ruang kamarnya. Angin dari pintu kamar yang selalu terbuka itu masuk dan menampar. Bib gigil. Tapi tak ada yang dilakukannya kecuali diam. Kembali dia merenung. Apa yang terjadi hari ini tidak bisa termaafkan. Padahal dia yakin, dia sama sekali tidak salah. Segala umpatan yang mengundang kericuhan itu terucap tanpa diatur. Begitu saja. Hatinya bertanya-tanya, apa benar dua orang lelaki kurus dan gempal itu tak ada? Benarkah tidak seorang pun dari sebanyak manusia di warung Melati melihat mereka? Apakah manusia-manusia itu hanya sekadar bambungan yang tidak mengerti apa pasal kecuali senang bergerombol? Lalu siapakah dua orang jadah itu? Siapakah mereka? Bib merasa segala peristiwa saat itu nyata. Begitu nyata hingga hampir mustahil jika Bib mengalami delusi. Hari ini dia merasa sangat sehat. Tidak seperti hari-hari awal tahun baru ketika dia banyak menderita demam. Ketika delirium seringkali melandanya. Tapi elasi itu tidak sampai mengarah pada tindak berlebih. Tak satupun barang di rumahnya, atau lebih khusus, di dalam kamarnya, yang dia hancurkan hanya sebab disorientasi kebugarannya. Bagaimana bisa itu terjadi di tempat ramai? Di tempat yang seharusnya dia bisa mengendalikan diri. Bagaimana bisa itu terjadi di warung Melati, warung yang selama ini menjadi tempat singgahnya mengisi perut dan bercandatawa bersama teman-teman baiknya. Bagaimana bisa? Bib terus merenung, ketika suara Pengantar Surat mampir di kupingnya. “Sudah pahamkah, kau?” tanya suara itu. Bib tak pernah begitu resles seperti saat ini. Dia hanya berpikir suara itu menggodanya lagi. “Aku tanya, sudah pahamkah, kau?” desak suara itu. Bib masih hening. Dibiarkannya suara tanpa wajah itu bicara dan terus bicara. “Sekali lagi aku tanya, sudah pahamkah, kau?” Kemudian senyap. Beberapa lama, tidak ada lagi suara mengiang di kupingnya. Kesepian itu membuat Bib gundah. Tak betah, dia mengajukan tanya. “Apa yang terjadi sebenarnya?”
Suara di kuping Bib kembali terdengar. “Tak perlu kau tahu apa yang terjadi. Yang terpenting adalah, apa pemahamanmu soal kejadian?” “Tapi bagaimana aku paham kejadian, kalau aku sendiri tidak tahu apa yang harus dipahami?” “Itu sebabnya. Tak perlu kau tahu kejadian hanya untuk kau pahami. Ini bukan masanya kuliah!” suara itu terdengar begitu tegas. Bib terpaku. Perutnya bergolak. Ada suara teriak yang ingin dia sampaikan, tapi tertahan di tenggorokan. “Aku terima surat balasan Kayla. Kau mau dengar?” Bib kembali meradang. Bibirnya tak mampu berucap selain, “Apa?” “Kayla hanya mengirim surat pendek. Terlalu pendek. Yakin kau mau dengar?” suara itu seakan meledek. Kali ini Bib setengah membentak. “Kau pengantar suratku, bukan! Bacakanlah apa yang telah dikirim!” “Ha ha…Itu dia! Bagai tak pernah sembuh dari luka, kau selalu meradang garang!” “Sudah, bacakan saja!” “Baiklah. Dengar ini: „Mana kau pilih, tubuh atau jiwa?‟ Itu saja yang ditulisnya.” “Apa
bukti
dia
menuliskannya?
Sedang
aku
saja
tak
bisa
menyaksikanmu?” tanya Bib ketus. Suara itu menjawab. “Apa perlunya aku tunjukkan diri, sedang aku tahu apa yang akan kau perbuat?” suara itu balik bertanya. “Sampaikan ini, Aku tidak memilih keduanya sebab semua pasti sama dalam dirimu!” Bib meracap gusar. “Akan kusampaikan. Secepat itu pula kau akan terima balasan,” ucap suara Pengantar Surat, tanpa menunggu jeda. Suara itu kemudian hilang. Bib sepi di kamar. Lampu-lampu malam sudah dinyalakan. Dan kamarnya belum. Bib berdiri, meraih steker. Kamarnya kini terang. Disaksikannya selipan kertas di halaman sebuah buku. Diambilnya. Dan terbaca tulisan. Betapa terkejutnya Bib saat tahu isi tulisan itu sama seperti yang
disampaikan suara tanpa wajah tadi. Bagaimana ini? Bib kembali bertanya. Diperhatikannya tulisan tangan yang bukan miliknya. Inikah guratan Kayla? Bib tak pernah bisa menduga. Sampai sekarang tidak sekalipun dia pernah melihat gurat tangan Kayla. Ataukah ini memang bukan tulisan Kayla? Mungkin Ali? Ya, hanya dia yang mungkin. Sebab merujuk yang lalu-lalu, persoalan tubuh dan jiwa selalu membingkai percakapan mereka. Tapi Bib kenal betul tulisan tangan Ali. Dan ini jelas bukan tulisannya. Cepat-cepat dia mengingat suara tanpa wajah itu. Memanggil-manggil seakan suara itu dekat. “Bisakah kau sampaikan ini juga, wahai suara tanpa wajah. Sampaikan suratku ini?” Bib memohon. “Aku sudah sampaikan suratmu. Dan Kayla sama sekali hilang jawab. Kutunggu dia, tapi aku bosan. Apa yang ingin kau sampaikan?” suara itu kembali. Bib tak menduga. Dia belum siap. “Sampaikan ini…„Aku tak bisa pungkiri hitam mataku. Bukan coklat bukan biru bukan pula hijau. Tak bisa kupungkiri itu. Tapi dari mata hitamku bisa kulihat putih, kulihat jingga, kulihat ungu, kulihat visi dalam beragam warna, seperti juga matamu. Adakah kau mengerti, Kayla? Dari dua butir mata, mana butiran kasih sayangmu?‟ Itu saja, pengantar suratku yang baik hati. Sampaikanlah?” Bib berucap resah setelah berhasil mengatasi keterbataan. “Pasti. Berdiamlah di sini.” Jawaban suara pengantar surat itu menenangkan. Membuat Bib tidak lagi berbicara. Dalam benak Bib, kini tak ada lagi curiga. Selayaknya meyakini, sang Pengantar Surat itu benar adanya. Selayaknya meyakini, sang Pengantar Surat pasti mampu menjalankan tugas dengan baik. Pikiran Bib lalu tenggelam, dalam selusur-selusur hutan makna. Terbenam dan larut. Tak bersisa. Dalam hati dia berzikir, „terimakasih, terimakasih‟.
Enam
BIB TERBENAM dalam satipatana. Ditunggu dan ditunggunya jawaban. Belum juga hinggap. Matanya pejam tapi tidak pikirannya. Pohon bodi hampir sampai. Hatinya harus ditundukkan. Dia menunggu dan menunggu jawaban. Belum juga jelang. Hatinya harus ditaklukkan, tapi bagaimana dengan pikiran. Bib melarut dalam satipatana. Berlari dan terus berlari di jalur hutan bodi. Tak dijumpainya pula Gautama. Apa benar ini jalannya? Satipatana Bib berada di persimpangan. Pikirannya tak rela tunduk. Gautama saja ditinggalkan Sidarta, meski sangat dihormatinya. Apa mungkin dia harus berlari, sebab Nirwana hanya akan tercapai jika bersandar pada Sidarta. Seperti juga tidak akan sempurna jalan menuju Bapa tanpa melalui Yesus. Dan sampai kapanpun, Allah akan jauh dari pandangan jika tidak bertalikan Muhammad. Satipatana Bib berpadu zikir dan tafakur. Mengingat dan memakna. Ataukah harus sebaliknya. Memakna lalu mengingat. Ditunggu dan ditunggunya jawaban. Belum juga singgah. Bib hanya bisa melarut dalam kolam lumpur satipatana yang menggelagap membenam tubuhnya jauh ke dalam. Diingatnya peristiwa. Diingatnya seluruh kata. Tapi makna itu belum juga singkap. Pikiran Bib terbata-bata, dalam alur rentang kroma. Merah. Putih. Biru. Hitam. Kuning. Jingga. Hijau. Psikedelik. Dilihatnya lambaian. Secepat kilat Bib datang. Duduk dalam siram kasih keagungan. “Berhentilah berjalan.” Bib masih saja hilang akal. “Naiklah, ke puncak dunia.” Puncak dunia yang mana? Sedang tempat paling dasar saja, Bib tak tahu. “Awal itu akhir. Begitu sebaliknya.” Tapi di manakah rahim, kalau Bib harus kembali kepada muasal.
“Bukankah sudah kukatakan seharusnya kau mengalami mati di saat hidupmu.” Bagaimana bisa, sementara percik-percik kenyataan itu selalu masih bisa dirasa. “Kenyataan hanya ada melalui pembenaran orang lain.” Ya, tapi apalah kita tanpa orang lain. “Petunjuk sudah disebarkan.” Bib pahami itu. “Tidak. Tidak pernah sedikitpun kau pahami. Bukankah sudah kukatakan, semua petunjuk bermula dan berakhir pada dirimu.” Apalah Bib, selain ikan yang bernapas gelembung dalam air. “Satu hari kubiarkan tubuh ini terpaku.” Bagai layang dia datang. Membentangkan tangan. “Aku sedang meratapi ilusi saat dipanggil kembali. Kubiarkan tubuh ini terpaku agar bisa kau pahami. Aku harus berpijak di bumi demi melanggengkan tawa.” Tapi bagaimana jika tubuh itu tidak terpaku. “Sudah sejak lama aku terbang meninggalkan mereka dalam kesedihan.” Ah, selama ini Bib hanya memaku tubuh di bawah pusar perempuan. “Menempatkan burung pada sangkar, bisa dimaklumi. Tapi ingatlah, ular dan buah apel itu fiksi, seperti tidak abadinya ereksi.” Satipatana Bib kembali berada di persimpangan. Berenang-renang dalam kolam lumpur keagungan. Diingatnya peristiwa. Diingatnya seluruh kata. Tapi makna yang satu itu belum juga singkap. “Tundukkan pikiranmu!” Serentak jawaban menggema. “Tundukkan pikiranmu!” Bib gelagapan di kolam lumpur satipatana. Meloncat keluar. Perintah itu tegas. Tapi dia hilang arah. Alur-alur selusur hutan bodi bercabang. Saruk-saruk langkahnya tertahan rambat akar. Menariknya. Ke dalam. Dan semakin ke dalam. Bib megap-megap. Di dalam kolam. Ditunggu dan ditunggunya tarikan. Belum
juga sambang.
Tujuh
BIB TERBANGUN oleh suara telepon genggamnya. Malam masih bersemayam. Diangkatnya suara dering itu. Tapi hilang. Tak ada suara di ujung sana. Nomor tak dikenal. Bib melangkah keluar kamar. Dilihatnya langit. Suram. Bintang bersembunyi di balik awan. Rintik-rintik hujan masih berjatuhan. Telepon genggamnya di tangan. Desis-desis angin membujuk Bib singgah sejenak. Menyambangi beberapa pesan singkat yang belum sempat terbaca. Batal seketika. Bib memasukkan telepon ke saku celana. Desis angin masih mengajak untuk tetap berdiri di luar kamar. Bib merogoh saku. Dia perhatikan penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jam dua pagi. Sesekali, pintu kamar tergampar. Derit engsel menjerit. Tiga puluh menit lewat dari jam dua. Bib masih berdiri di depan pintu, di luar kamar. Langit masih kelam. Rintik hujan mulai menyerah. Tapi angin terus berdesis. Menusuk tubuh Bib. Menyerangnya pada bagian terlemah. Hidungnya menyembur bersin. Ayam-ayam mulai berkokok. Seruak bersin Bib tak tertahan. Kini waktu lewat setengah dari jam tiga. Bib masih saja bertahan. Menunggu siapa entah. Kokok ayam semakin memekak telinga. Seperti sedang melakukan konferensi, ayam-ayam itu berebut ingin berlaku sebagai pembicara. Tak satupun dari mereka yang mau jadi pendengar. Semuanya ingin didengar. Sidang organisasi mereka, biasanya tidak menghasilkan apa-apa. Karena setelah selesai berbicara, serentak mereka diam dan keputusan ditangguhkan, hingga pagi-pagi berikutnya. Begitu seterusnya. Ayam-ayam itu selalu melakukan konferensi, lalu semuanya bersuara, kemudian keputusan kembali ditangguhkan. Pada satu kesempatan, Bib memutuskan untuk melangkah ke dalam kamar. Badannya terasa lunglai. Teleponnya masih di genggaman. Dia berharap
suara dering itu kembali. Sekadar memastikan alat komunikasinya berfungsi. Tak ada. Bib meneruskan pejam. Wajah-wajah yang diumpatnya di warung Melati kemarin masih terbayang. Bib penasaran. Direkamnya wajah-wajah itu. Direkamnya tapi gagal. Matanya kembali membuka, menelusur pesan singkat yang masih belum terbaca pada telepon genggamnya. “Aku bertemu Hadra hari ini. Dia memaki kegagalanku mengemas hidup. Kau mau dengar dia bilang apa?” sebuah pesan singkat terbaca. “Katanya, kau terlalu banyak bergaul dengan para penggemar kontol. Kau tahu tukang hisap kontol itu! Kalaupun mereka suka perempuan, mereka suka perempuan yang tempeknya
hancing.
Jangankan
membersih
diri,
membersihkan tempek
hancingnya itu saja mereka tidak mampu,” seloroh pesan singkat yang terbaca Bib. “Sungguh, kata-kata itu membuatku merasa dilecehkan,” keluh pesan dalam layar telepon genggam. “Aku tak tahu apa yang ada di kepalanya, tapi jelas, katakatanya itu, menyakitkan,” lanjut pesan tersebut. Irwan. Pesan singkat yang terbaca Bib berasal dari Irwan. Terlalu panjang bagi sebuah pesan bernama singkat. Bib menggerakkan mata pelan-pelan. Membaca sembari mengingat. Irwan, pengirim pesannya, mengingatkan Bib pada kejadian di warung Melati. Batin Bib meyakinkan, bukan Irwan orang yang dilihat menghinanya. Memang di saat-saat tertentu Irwan meledak-ledak tapi Bib begitu percaya kalau temannya yang satu ini tidak pernah memperhatikan orang dengan tatapan menjijikkan. Bib beralih pada pesan berikutnya. “Aku perlu uang, bisakah kau pinjamkan?” Dudu meminta dalam kotak pesan telepon genggamnya. Dudu memang berbadan besar, tapi jelas sekali dia bukan orang yang dilihat Bib merendahkannya. Lagipula, Dudu sama sekali tidak memiliki rambut kepala. Meski suaranya menggelegar, tapi pandangan matanya sama sekali tidak pernah menghinakan orang. Apa yang harus disimpulkan. Bib merasa sangat bersalah. Terutama pada Rihani. Saat itu dia sempat membentaknya, dan pastinya Rihani begitu terkejut, sebab Bib dikenal sebagai orang yang gemar sekali tertawa. Tak pernah sekali pun selama Rihani mengenal Bib, pernah mendengarnya berbicara kasar. Bib kembali memejamkan mata. Riuh angin semakin terasa. Pintu kamarnya terbanting-
banting, tapi dibiarkan saja. Mata Bib semakin pejam. Kini bayangan dua orang itu memaksanya tunduk dalam alur putus asa. “Buah pir itu punya dua rasa. Asam-manis. Kau tahu sebabnya?” sebuah suara mengiang di kuping Bib. “Kalau kau tahu, pastilah kau mengerti sebab-akibat.” Bib membuka mata pejamnya. Lalu bertanya. “Apa sebab dua rasa buah pir?” “Jawablah, coba!” “Aku tidak sedang bernapsu memainkan teka-teki.” “Jawablah, coba!” kembali suara itu. “Dua rasa itu dari sananya. Sudah. Pergilah saja!” “Jawablah, coba!” desak suara itu. “Asamnya mengingatkan kehidupan. Manisnya mengingatkan kematian!” tegas jawab Bib terdengar. Suara itu terdiam. Sekian lama. Bib mencoba kembali pejam. Tapi kemudian ngiang itu membatalkan. “Kau memang pintar. Sayang kurang akal.” Bib meraih telepon genggamnya. Dilemparnya ke arah entah. Menjeduk pintu. Seharusnya orang-orang di rumahnya bangun mendengar suara jedukan keras itu, tapi hening. Bantingan telepon genggam Bib seolah dianggap bebunyi biasa. Suara itu kembali menggerantang. “Apakah asam kehidupan? Apa pula manis kematian?” Bib mendesah. Rasanya sudah berat beban yang harus ditanggungnya. “Pergilah. Aku hilang gairah pada teka-teki!” “Tapi terlambat. Kau baru saja menjawab satu hal penting,” tukas suara itu. “Ya. Bukankah kau bilang sendiri aku ini kurang akal. Apakah jawabanku terlalu verbal?” “Sama sekali tidak.” Bib menumpu tangan. Duduk bersandar pada tembok kamar. “Jadi itu jawabannya?”
Suara itu hilang. *** Dua minggu berlalu. Hari-hari keputusasaan. Bib, kini hampir tak berkawan. Langkah-langkahnya tersendat. Hujan menderas tak henti-henti. Nasib buruk. Sebuah surat tiba. Tak pasti dari mana. Amplopnya terbakar. Tandatangan kematian menyembul di akhir kata-kata. Ternyata surga tak ada. Tuhan berlayar di sendi-sendi huruf. Hanya sebuah kata sandi pertolongan tertera. Bib membaca kata demi kata, tak mengerti, seraya amini airmata. Benarkah kehidupan muncul setelah hujan? *** Februari meregang nyawa. Maret bersiap dilahirkan. Hujan terus menderas. Semakin deras saja. Sungai di belakang rumah Bib meluap. Lantai rumahnya tergenang. Beberapa pakaiannya terendam. Banjir itu kemudian meninggi. Mendekati satu pinggang orang dewasa. Bib sulit sekali bergerak. Keluarganya panik dan mengungsi ke rumah-rumah terdekat. Bib sendiri harus pergi. Sebab jika dia masih bertahan di rumah, seluruh pekerjaannya bisa jadi berantakan. Hari-hari rumahnya kebanjiran, Bib menumpang tinggal untuk mandi dan mencuci pakaian di rumah kontrakan beberapa teman. Kadang, Bib tinggal di rumah kontrakan Abel. Kadang juga berpindah ke rumah kontrakan Irwan atau Dudu atau pula Wishnu. Bib gerah. Tidak pernah sekalipun dia tinggal lama di rumah teman-temannya itu. Setiap kali Bib mampir, mereka selalu mengusik peristiwa di warung Melati, ketika dia dianggap gila, berteriak-teriak bagai orang kerasuk. Bib enggan berkomentar. Dia tahu, apapun jawabannya tidak akan mempengaruhi sikap mereka kepadanya. Dia juga tahu, dirinya sama sekali tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi. Setiap hari selama air masih membanjiri rumahnya, Bib akan singgah di rumah teman-temannya pagi-pagi saat mereka baru memulai aktivitas keseharian dan pergi ketika mereka hendak kembali. Kaca pecah di warung Melati sudah digantinya. Tapi kemudian, Melati juga bukan lagi tempat yang nyaman. Setiap kali dia mampir, setiap kali itu pula, Rihani dan Raina menanyakan keadaannya. Seolah Bib selalu sakit. Seolah dia tidak pernah punya kesempatan memperbaiki
diri. Maka seringkali Bib tidak terlihat di warung Melati. Beberapa orang sempat bertanya tentang dirinya, termasuk juga Kayla. Itu diketahui Bib saat dia kebetulan singgah di warung tempat dua dewi ini menyebarkan senyum kepada para pelanggan. Bib merasa begitu muak. Bahkan kabar tentang Kayla yang menanyakan dirinya pun, tidak lagi dia tanggapi. Sudah cukup masalah Bib. Tidak perlu lagi ditambah hasrat rindunya kepada perempuan pujaan. Perempuan yang mungkin juga tidak pernah benar-benar merindukannya. Rasa penasaran Bib terhadap Kayla terkikis oleh genangan air hujan, yang kini membanjiri rumah tercintanya. Rumah dengan kamar kotor di dalamnya. Miliknya seorang. Kamar dengan buku, film, komputer, gelas kopi dan puntung rokok bertebaran di antara kasur dan karpet. Kamar dengan berjuta kenangan sejak dia menempatinya. Hubungan
Bib
dengan
dunia
luar
terdegradasi.
Kalaupun
dia
berkomunikasi, dia hanya melakukannya dengan Kaas. Uang di kantongnya menipis. Kepada Kaas, Bib menceritakan masalah keuangannya. Meminta bantuan Kaas mengatasinya. Dan Kaas memang benefaktor sejati. Seperti yang sudah-sudah, dia tidak pernah keberatan membantu Bib mengatasi segala kesulitan yang dialaminya. Sebenarnya Bib menanggung beban malu. Tapi permohonan harus dilakukan. Sebab ini menyangkut pembayaran kebutuhan. Sebab ini menyangkut kelanjutan langkah-langkahnya. Bib memantapkan diri. Setidaknya, hari-hari seklusi Bib tidak terlalu menyusahkan. Setidaknya, Bib masih bisa makan. Dengan uang pemberian Kaas, yang lebih dari cukup, Bib mencari rumah inap kecil jauh dari rumahnya. Terutama, Bib mencari rumah inap kecil yang jauh dari warung Melati. Warung tempat teman-temannya, dan mungkin juga Kayla, sering singgah di kala senggang. Dia tidak ingin selalu terkenang peristiwa, yang belakangan ini mengganggu. Mengganggu dan menyedihkan hatinya. Bib lengas pada celotehceloteh minus makna teman-temannya. Bib juga ingin menghindar dari kejaran bayang-bayang kerinduan pada Kayla. Maka, diputuskannya pula mengganti nomor telepon genggam. Dia kabarkan nomor barunya hanya kepada Kaas. Dengan membawa beberapa helai baju, juga buku-buku yang selalu ada di dalam tas biru kumal miliknya, Bib tempati rumah inap itu. Perlengkapan gambar dan
komputer dia tinggal. *** Sebuah suara bernyanyi saat Bib membuka pintu rumah inapnya. Langit menggema. Gemuruh guntur dan kilat menyambar bersambungan. Angkasa pekat. Bib kembali menutup pintu. Nyanyian itu terlanjur dia dengar. Begitu akrab. Kemudian Bib ingat, baris lagu itu berasal dari sebuah naskah drama, Shuji Terayama. Peti mayat, peti mayat… penginapan termurah Bayarlah tagihanmu dengan darah… Saat kau mati!
Bib mencermati nyanyian yang ditujukan padanya. Tak terhenyak. Batin Bib sama sekali tidak tergetar saat mendengarnya. Suara penyanyi itu sangat dihapal Bib. Pengantar Surat. Ia pasti ingin mengatakan sesuatu. Dengan perlahan Bib melangkah ke sudut ruang dan berdiam. Menenang diri. Berharap suatu kepastian. Adakah Kayla mengabarkan sesuatu? Ataukah sang Pengantar Surat hanya datang untuk menggodanya? Bib tetap diam sambil mencoba mengurai senyum. Badannya gigil. Hujan bercampur angin. Namun suara Pengantar Surat yang sangat ditunggu belum juga kunjung. Bib tak tahan. Dia pun meresitasi rangkai kata. “Tahukah kau, wahai pengantar suratku yang bijaksana? Dari semua angka, tujuh yang kusuka. Tidak sempurna, tidak juga terlalu jelek. Sedangsedang saja. Kau tahu kenapa aku mencintai angka tujuh? Alasannya sederhana. Seluruh hidupku selalu berhubungan dengan angka tujuh. Nomor rumah yang pertama kukenal adalah tujuh, aku pernah bersekolah di sekolah berangka tujuh, aku jatuh cinta pada gadis bertanggal lahir tujuh. Di bulan tujuh pula. Kayla orangnya. Gadis bertanggal lahir tujuh itu.” Sampai di sini Bib jeda, sebelum kemudian berucap. “Kau paham darimana aku tahu tanggal lahirnya? Tanpa sengaja aku
melihat Kayla di dunia maya. Internet. Buku wajah-wajah. Segala macam wajah. Bahkan yang tanpa wajah sekalipun. Aku sambangi data pribadinya. Memang kurang ajar. Tapi tak kuasa aku melakukannya. Sebab, dunia yang satu ini tak pernah mengenal tata susila. Apa ini berkah? Aku pikir, ya. Tapi mungkin juga tidak. Kemudian aku sampai pada kesimpulan, gadis bertanggal lahir tujuh ini sungguh menggangguku. Ya, memang dulu pernah ada yang delapan, tapi dia terlalu sempurna. Pernah pula yang bertanggal lahir limabelas, tapi gadis satu ini berlebihan. Dan, Kayla, gadis bertanggal tujuh ini begitu menyiksaku. Menyingkirkanku dari dunia nyata. Membuatku terlepas dari rangka sosial, sedang dia cuma gadis biasa. Sama sekali tidak istimewa.” Lama Bib melakukan monolog. Tak ada timpalan. Sang Pengantar Surat hilang suara. Bib putus asa. Kembali berkata. “Tidakkah kau dengar keluh kesahku? Senandungmu itu, mengingatkanku akan kematian.” Ruangan hening. Bib selesai berbicara. Sang Pengantar Surat pun tidak menghembuskan kata-kata. Langit semakin deru. Pintu rumah inap Bib tergampar-gampar. Angin menyelipkan air hujan ke dalam ruang kamar. Menyiprat wajah Bib, seiring dengan keluarnya suara sang Pengantar Surat. “Apa yang kau tahu soal mati?” Seolah ada yang menggerakkan bibirnya, Bib menjawab seketika. “Mesin-mesin berkuasa melebihi tangan. Keterbatasan telinga dan mata. Kesunyian.” “Tapi bukankah selalu ramai di jalur ini? Jalur yang kau sebut maya itu. Sebab kau selalu bisa berbicara dengan banyak orang tanpa kenal dinamika wajah. Tanpa harus berusaha terlihat pintar melalui senyum yang dipaksakan?” suara itu menghamburkan rentetan tanya. “Ah, pengantar suratku yang luar biasa, apalah wajah? Pertunjukan sosial. Interaksi palsu,” jawab Bib datar tanpa gemetar. “Di jalur ini kita dapat menghargai kehidupan tanpa bentuk. Mati hanya sebatas simulasi ketakutan!” lanjutnya semakin tegar.
“Ya, maut mengabarkan kita keindahan tak terkira. Kita hanya tidak tahan untuk melihatnya!” ucap Pengantar Surat menutup percakapan. Bib masih ingin melanjutkan. Suara itu tak diizinkannya pergi. “Semalam aku bermimpi jadi batu. Hari ini kepalaku seperti ditumbuk oleh hadirmu.” Suara itu menderai tawa. “Kau hanya merasakan, tidak melihat, bukan?” “Apalah mata, jika rasa saja sudah cukup untuk meyakini kebenaran.” “Sepertinya sekarang kau sudah siap.” “Apa aku harus terus berlari, sementara jalan mendekati ujung?” “Baiklah, akan kuperlihatkan sesuatu. Tunggulah!” Suara Pengantar Surat pergi meninggalkan Bib sendiri. Dalam keheningan satipatana. *** Kaas menelepon untuk mengingatkan jadwal pameran yang sudah mendekat. Bib hampir lupa kalau pameran karya kalender abadi hasil kolaborasinya dengan Kaas memasuki tenggat. Tapi Bib tak terbeban. Seluruh pekerjaan memang sudah dilaksanakan. Tidak ada satupun yang terlewat. Jika pun ada, hanya masalah-masalah perizinan. Untuk hal ini, Kaas menanganinya dengan cukup trengginas. Bib sekadar diminta mempersiapkan tampilan karya di ruang pamer nanti. Itu pun sehari sebelum waktu pameran dimulai. *** Bib terlihat lebih santai. Hari-hari sebelum waktu pamerannya dimulai, dia punya banyak kesempatan membaca. *** Menyoal pertanyaan. Apa dan yang mana. Bib menimbang-nimbang. Merasa berutang pada Plato. Di lembar-lembar buku yang kini dibacanya, Plato banyak bertanya. Terlalu banyak seolah semuanya ditujukan buat Bib. “Apa itu keindahan?” tanya Plato. “Keindahan itu seperti gadis kecil beranjak dewasa dan bermain hujan tanpa sehelai pakaian,” jawab Bib begitu saja. Plato tidak memuaskan.
Pertanyaannya terlalu mudah diatasi. Karena bosan, Bib beralih pada Nietzsche. Tapi Nietzsche bungkam. Tak sepatah pun bertanya. Bib harus menunggu sampai kemudian meradang. Sepertinya dia yang harus mengajukan tanya pada orang gila satu ini. “Apakah itu, Nietzsche?” tanya Bib. “Yang Mana?” Nietzsche malah balik bertanya. “Kehendak!” ujar Bib lagi. “Kehendak yang mana?” Nietzsche terus balik bertanya. “Kehendak manusia.” Dan Nietzsche diam. Seperti diamnya Dionysius, sebelum memulai bicara. “Kehendak itu mencipta. Kehendak itu penggembira. Kehendakku datang sebagai pembebas juga pembawa bahagia,” tutur Nietzsche dalam akhir bacaan Bib. Ditutupnya buku dengan senyuman. *** “Sudah kau baca petunjukmu?” tanya Pengantar Surat di sela kesenyapan. Bib lelap. Tak terhenyak. Senyuman menggurat. Lebih lebar dari bibirnya. Semakin lebar, senyum itu berubah kekeh berubah tawa berubah bahak. Suara Pengantar Surat Bib menghilang lagi. *** “Masuklah! Aku tahu kalian berdua di sana, memperhatikanku sejak tadi.” Dua wajah muncul. Badan mereka satu kurus satu lagi gempal. “Kemarilah! Sudah lama kita tidak bertemu. Kabar kalian bagaimana?” Dua tubuh mendekat. Duduk di depan Bib. “Hardin. Azra. Bagaimana mungkin aku lupa?” Dua pasang mata saling tatap. Senyum mereka kembang bagai kapal layar. Namun tetes-tetes air berselancar di liuk lekuk wajah mereka.
Delapan
TIGA SOSOK itu saling bertatap. Hadap menghadap. Penuh rindu. Titik-titik air masih merembesi wajah ketiganya. “Aku sudah hilang semangat, sahabat!” Bib memulai percakapan. “Hei, bukankah burung tidak akan menjadi burung hanya sebab mereka punya sayap?” Hardin membalas kata. “Benar! Bahkan sayap-sayap burung dikatakan sayap hanya saat burung itu hendak terbang,” Azra melanjutkan. Sambil tetap melelehkan tangis, Bib berucap. “Itulah sebab, sahabat, aku berpikir untuk menciptakan sepasang sayap.” “Buatlah sayap dari kata-kata kecilmu sendiri,” sahut Hardin. “Langit di atasku terlalu luas tak berujung. Kata-kataku jadi terlalu lemah, miskin dan rendah. Itulah sebab aku gagal menciptakan sepasang sayap,” ujar Bib. “Ciptakanlah dari lamunanmu,” tukas Azra. “Saat aku duduk di atas awan, aku melongok bumi di bawah kakiku. Begitu kotor hingga aku cuma bisa mendesah!” Bib menyergah. “Tapi setidaknya bisa terbang, menanjak bersama buka lebarnya tangantanganmu. Menuju puncak gedung,” Azra tak mau kalah. “Di atap itu senja ketaksadaran meruak bagai pasang, sahabat. Aku tahu bisa jatuh sewaktu-waktu, dalam sekejap mata,” keluh Bib. “Ah, Bib. Setidaknya kau jatuh ke bawah!” tegas Hardin. “Ya, sementara aku merasa layaknya orang terasing di dunia, kalian bergelantungan di surga. Meninggalkanku sendiri dalam kebiadaban gila ini!” Bib mengoceh.
“Kaulah yang menelantarkan kami!” jawab Hardin sinis. “Kini kalian berusaha menyalahkanku. Aku yang sekarang terkurung dalam dunia mimpi-mimpi. Ah, apa guna sahabat, jika hanya pandai berdebat?” tanya Bib. “Seharusnya, kau mencoba berseimbang!” kata Azra. “Berseimbanglah dengan beratan mimpimu. Hanya itu satu-satunya jalan!” Hardin menyambutnya. “Bangunlah!” teriak Azra dan Hardin bersamaan. *** Pembukaan pameran kalender abadi Bib dan Kaas tiba hari ini. Semua bergerak seperti yang diharapkan. Wajah-wajah penuh tawa hambur dalam kehangatan ruang berpengatur udara. Tangan-tangan bersambut. Pipi-pipi beradu. Tubuh-tubuh berpeluk. Suara-suara berkoar. Bisik-bisik berkeliar. Ruang pamer penuh sesak. Pengatur udara tidak mampu mengendalikan hawa. Satu persatu, makanan dan minuman menghilang dari meja hidang. Tandas. Beberapa mata bergerak pada gantungan-gantungan bingkai penuh gambar. Satu tangan mereka memegang gelas minuman. Satu tangan lainnya menataki piring kecil kudapan. Kepala-kepala bergerak dalam anggukan, disertai tunjukan jari. Semua tampak riang. Tidak ada kecewa terpampang di wajah-wajah mereka. Pada satu sudut, di luar ruang pamer itu, Bib menyendiri sambil menghisap rokok kreteknya. Tak seorang pun menghampiri. Bahkan tidak Kaas. Tidak juga Farid, yang memang sengaja datang jauh-jauh dari Surabaya sekadar untuk melihat pameran. Sibuk sosialisasi. Kaas begitu girang. Sementara Bib hanya
mencoba
bersenang-senang.
Tanpa
mengikuti eforia pesta.
Bib
menyaksikan wajah-wajah ceria para pengunjung. Ricuh dan riuh. Tapi keriuhan membuat Bib semakin merasa sepi. Begitu terasing hingga dia hanya bisa menikmati kesendirian di luar ruang bersama kepulan-kepulan asap rokok kreteknya. Tangan Bib meningkahi batang rokok. Ke kiri dan ke kanan. Keluar masuk sela-sela dua jarinya. Nyala rokok Bib mendekati akhir. Batas keputusannya pergi. Maka dia pun melangkah. Menyusuri jalan-jalan kota.
Bayi Maret beranjak remaja. Hujan masih berupaya mempertahankan diri. Kejaran kemarau merangsek. Malam ini mendung berkuasa. Merintik kemudian deras. Debur-debur guntur berdentum. Kilat saling sergap. Bib terus melangkah, menjengkali ruas-ruas jalan. Semburan deras hujan tak dipusingkannya. *** Di sebuah halte, tampak banyak orang berteduh. Kendaraan-kendaraan roda dua terparkir di depannya. Seorang pengamen mendekat. Cipratan-cipratan air hujan meningkahi punggung dan mukanya. Seluruh pakaiannya basah. Pengamen itu enggan berlari. Sudah terlanjur kuyup. Tangannya menenteng satu botol plastik air mineral yang digepengkan. Saat sampai di halte penuh manusia, pengamen
itu
memulai aksinya:
bernyanyi
sambil tangannya
berayun
memperagakan genjrengan gitar pada botol plastik air mineral yang dibawanya. Dua orang lelaki dan perempuan berdiri agak ke tengah menghindari hujan. Mulut-mulut mereka mencibir, mungkin terganggu suara pengamen yang memang tak enak didengar itu. Saat pengamen mendekat, kedua orang lelaki dan perempuan tadi mundur ke belakang. Pengamen itu berteriak-teriak, tidak jelas lagu atau umpatan. Dia merangsek maju mendekati mereka. Lelaki dan perempuan tadi tampak risih, kemudian menghentikan satu mobil angkutan umum. Mereka lalu masuk ke dalamnya. Sang pengamen masih tetap mengikuti mereka ke mobil angkutan. Tanpa diduga, pengamen ini melayangkan tinju. Tepat mengena ke wajah lelaki yang tidak menghiraukannya barusan. Malang, lelaki itu duduk di sudut bangku dengan jendela terbuka. Perempuannya menjerit, sang lelaki meringis sakit. Orang-orang di halte hanya bisa tertawa. Tak seorang pun berusaha menghentikan. Sementara pengamen sinting berlalu dengan menebar senyum puas. Melangkah tenang, sampai tak terlihat lagi. Bib menyaksikan seluruh kejadian. Dia ada sejauh seratus meter dari tempat pengamen meninju lelaki dalam mobil angkutan kota. Sempat berhenti sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Mengayunkan kaki kemana entah. Bib tak hirau. Terus berjalan dan terus berjalan. Bib hanya tahu, malam ini dia ingin berjalan dan terus berjalan. Satu dua mobil melintas di sampingnya. Memuncratkan genangan air. Bajunya kuyup. Basah dan kotor oleh air bercampur debu. Tapi Bib terus berjalan.
Tak hirau. Tangannya mengibas sebentar. Mulutnya tak punya kuasa bahkan untuk melontar kutukan. Mobil-mobil itu melaju tanpa peduli. Telepon genggamnya bergetar beberapa kali. Tak diangkatnya. Dia tahu telepon itu dari Kaas, menanyakan posisinya sekarang. Dia tahu, saat ini dia tak ingin lagi berurusan dengan hiruk pikuk perayaan. Bib terus berjalan sampai tiba di sebuah persimpangan. Tak sadar dia telah sampai di pusat jajanan jalan kawasan Blok M. Kakinya terasa lunglai. Dia sudah berjalan dari galeri yang terletak di Palmerah. Dia telah berjalan dari arah barat menuju selatan. Selayaknya perjalanan suci, langkah-langkah Bib jadi semacam retret. Langkah kembali ke dunia primitif setelah muak dengan peradaban moderen. Perjalanan dari dunia asing menuju alam primordial. Bib tidak memikirkan analogi. Dia juga enggan menerka pertanda. Bib hanya berjalan dan terus berjalan. Di persimpangan itu Bib berhenti. Merasakan detak jantungnya tidak lagi mampu memompa. Waktu urung bergerak saat dia menyaksikan di lurusan matanya, kehadiran sosok Kayla. Bib menghempas air hujan yang singgah di kelopak jendela dunianya. Mencoba memastikan, di depannya benar-benar menyata sang gadis pujaan. Gadis pujaan yang lama tak dijumpainya sejak kejadian di depan kafe berarsitektur gaya kolonial kawasan Kemang. Gadis yang dia tahu pernah menanyakannya saat singgah di warung Melati usai peristiwa memalukan delusi dirinya. Gadis yang mengisi hari-hari kehampaannya. Gadis biasa yang sama sekali tidak istimewa namun begitu mengganggunya. Kayla sedang bersimpuh, di sebuah warung leseh. Di hadapannya satu meja. Beralaskan karpet plastik warna coklat. Segelas air dan piring bekas makanan tergeletak. Tulang-tulang berserakan di atas piring itu. Warna hitam kecap teroles pada piring. Sendok sedikit kemerahan tercampur sambal. Kayla duduk termenung sembari menikmati sebatang rokok putih rasa mentol. Wajahnya dingin. Sedingin rokok yang dihisapnya. Tidak ada teman di samping dan depan tubuhnya. Kayla sunyi. Meratapi cercah-cercah abu yang berguliran dari batang rokok putih mentolnya. Dia menyandar pada sebuah tembok di belakang meja makan warung leseh itu. Meluruskan kaki. Menatap semarak kendaraan lalu lalang di depan matanya. Suara-suara klakson bercampur deru gas
dan teriakan tukang parkir. Para pedagang menampakkan senyum khas magis mereka. Bib memandangi gadis pujaannya tidak jauh dari situ. Memanggilmanggil dalam hati. Tapi yang dipanggil hilang dengar. Dingin. Sedingin rokok yang dihisapnya. Langit semakin kelam. Bib menimbang. Haruskah dia datang menghampiri gadis pujaannya. Ataukah dia hanya berdiri terpaku, sampai gadis itu pergi dari pandangan matanya. Angin menderu terpa wajahnya. Hujan semakin menguyupi baju kotornya. Seluruh tubuhnya terasa gigil. Hujan begitu ganas, tak menyisakan sedikit pengampunan. Gigi-gigi Bib gemeretak. Tangan kanannya memegang tangan kiri. Gemetar. Menggeletar. Matanya menekuri Kayla yang duduk tak berkawan. Saling silang manusia luput dari hiraunya. Kayla sendiri. Benar-benar sendiri. Langit gelap. Sedang jalanan terang oleh lampu. Tiba-tiba sebuah keberanian meliputi Bib. Disambanginya Kayla yang terkejut melihat sosok kuyup berdiri di depannya. Berdiri dengan pandangan mata lurus ke arah matanya. Tidak sedikitpun kata terucap dari mulut Kayla. Bahkan ungkapan basa-basi pun tak. Mata Bib tetap melurusi mata Kayla. Bibirnya mulai lancar berbicara. Menyeruakkan kalimat yang terdengar bagai rangkuman sermon kitab suci. Kayla mendengarkan sambil memandang keheranan. Tapi dia tak mampu memotong. “Pada awalnya kata-kata itu tiada. Tindakan menjadi satu-satunya hal yang bisa dibenarkan. Saat seorang lelaki berjalan menuju sebuah toko buku agama membeli satu salib baru, seketika Kristus hadir dalam pandangannya. Seketika itu pula atribut melekat pada dirinya. Aku membaca sebuah esai, saat kau membeli sesuatu sesungguhnya kau telah memberi atribut untuk dirimu sendiri. Dunia kita adalah dunia penuh tanda. Salib bisa saja setara sebuah arloji mahal. Perlambang sosial porselen Cina sama halnya swastika Nazi. Kehebatan kita membuat pernyataan politik, religius maupun sekular, sulit buat diabaikan. Aku harus mengajukan tanya ini: Apa yang kita cari dari dunia kekinian? Aku melihat objek-objek politik sekarat. Termakan hewan-hewan pengerat. Lebih penting mana, menjual senjata atau membagikan makanan sisa? Apakah kenyataan, jika sebuah film juga menghadirkan dunianya sendiri? Bahkan
omongan orang gila, dapat pula dianggap nyata dalam dunia mereka sendiri. Di manakah posisi kita? Kenapa begitu tersesat dalam labirin-labirin makna ini? Aku menyangkal
teknologi
sekaligus
menyembahnya
sebagai
hal
suci.
Monodimensional, pasif, lemah secara intelektual, alamat kematian, penjara super ketat Jeremy Bentham. Superfisial. Tapi di lain sisi juga menggerakkan. Tidak satupun di dunia kita sekarang yang mampu menahan kuasa teknologi. Gabungan sempurna antara yang silam dan yang kini. Masa depan selalu tercipta dalam hitungan detik. Bahkan nanodetik. Dan kita semakin merasa kalau memang Tuhan telah mati. Tuhan telah mati sebab kita sendiri sudah membunuhnya. Lalu setiap saat kita selalu bertanya, siapakah penggantinya? Sedang kemampuan kita menjadi unggul begitu meragukan! Kita ini mahluk seremonial. Terjebak dalam begitu banyak ritual. Makan, minum, pakaian dan senggama pun diatur seragam. Kita adalah korban gaya hidup. Kenyataan itu sekadar penyesuaian para penguasa. Melingkar hanya di keramaian pasar. Aku terkungkung. Kamu juga terkungkung. Kita semua terkungkung menjadi sebatas komoditas. Lihat saja anak-anak muda itu. Mereka bicara banyak soal politik, ujung-ujungnya cuma memampang wajah-wajah penggerak revolusi dalam kaos-kaos oblong, stikerstiker, emblem-emblem. Kemana tindakan, jika kata-kata akhirnya lebih berkuasa? “Kayla, apakah kamu tahu kalau buah pir begitu manis sekaligus asam. Saking sempurnanya campuran rasa dalam buah itu, kita hanya merasakan hambar saja. Tidak mampu lagi membedakan mana nyata mana mimpi. Ah, mungkin kamu bingung celotehku ini. Tapi dengarlah. Aku ingin bercerita. Duapuluh empat jam lalu, sehari sebelum pembukaan pameran kalender grafisku, entah kamu tahu atau tidak, aku terjebak di stasiun kereta. Hujan deras tak henti-henti. Dua jam lamanya aku mondar-mandir di sana. Meningkahi hujan. Menatap puluhan pedagang asongan berlomba menghabiskan sisa-sisa beban hidup mereka hari ini. Mendengarkan pengumuman kepala stasiun pada sebuah pengeras suara yang kalah saing dengan ribut hujan. Menghabiskan berbatang-batang rokok buat mengusir rasa bosan. Dan kereta belum juga tiba. Aku kemudian mematung pada satu pilar besi di stasiun itu, saat kulihat di seberang peron tempatku berdiri,
seorang bocah berteriak sambil berlari. Tiba-tiba teriakannya berubah lengking. Aku tersadar, ternyata bocah itu jatuh. Terpeleset jalan licin. Kudengar lengkingannya tidak berlangsung lama. Dan bocah itu terkulai tanpa suara. Darah meniduri genangan hujan di bawah kepalanya yang pecah. Orang-orang berhamburan. Seorang perempuan berkerudung meraung-raung. Aku berdiri diam sambil menatap giris. Meringis. Tapi tindakan hilang makna. Aku hanya bisa berkata-kata dalam hati: betapa kasihan bocah itu. Dan kenyataannya, kata-kata hanyalah kata-kata. Tidak lebih. Hari ini aku putuskan bertindak, Kayla. Menghampirimu. Mengungkap isi hati agar tidak ada lagi sesak di dadaku. Agar kita juga tidak terlibat dalam salah paham sial yang tak perlu. Aku ingin kamu tahu, buku-buku yang kubaca tidak lagi berarti sebab aku tidak pernah bisa membacamu. Maka dengarlah kata-kataku ini, Kayla. Camkan: „Dan bunga-bunga aster itu berharap jadi edelweis buruk rupa, namun tak lekang waktu. Sabtu, memang membahagiakan.‟ Itu saja. Sampai jumpa.” Bib menyudahi ucapannya. Dia pun berlalu, meninggalkan Kayla dalam samudera kebingungan. Langkah-langkahnya mantap. Hujan perlahan reda. Undur diri sementara. Bintang gemerlapan di langit yang mulai riang. Segurat senyum tersungging dari bibir Bib. Dia merasakan, ya, dia merasakan hujan malam ini begitu hangat. Sehangat pelukan ibunya, yang kini pasti merindukannya. Sudah lebih satu bulan, dia tidak menemui ibu. Sudah lebih satu bulan pula, dia tidak mengetahui kabar apapun soal ibunya. Kini, Bib merasa perjumpaan dengan pengantar kehidupannya mendesak dilakukan. Hatinya dipenuhi rasa rindu. Waktunya buat pulang, ungkap Bib penuh ketegasan.
Sembilan
“KAU TAHU soal kegilaan, Bib?” tanya Pengantar Surat dalam kesunyian dini hari di kamar kotor penuh buku, film, puntung-puntung rokok dan cangkircangkir kopi berkerak milik Bib. “Tahu apa penyebabnya?” kembali tanya Pengantar Surat. “Kegilaan
paling
sering
disebabkan
hal-hal
bawaan.
Statistik
membuktikan, penyakit ini banyak disebabkan faktor turunan. Tapi lebih jauh, kegilaan muncul karena dukungan lingkungan!” jawab Pengantar Surat pada pertanyaannya sendiri. “Kegilaan itu hadir saat kita berkelompok. Individu sinting hanyalah imbas dari tekanan massa. Apakah kau tahu itu? Sudahkah kau dengar cerita orang gila yang tidak pernah mau meminum air hujan hasil kumpulan warga desa? Dulunya, orang gila ini menganggap seluruh warga desa sudah hilang akal sehat sebab meminum air hujan yang sama sekali tidak bersih. Dia adalah satusatunya manusia yang tidak pernah meminum air hujan itu. Dia dianggap gila karena begitu berbeda. Kemudian, warga desa menantang orang gila ini untuk meminumnya. Jika dia tidak sembuh maka anggapannya soal warga desa yang gila itu benar adanya. Tapi jika dia sembuh, maka memang selama ini dialah yang gila dan seluruh warga desa dengan begitu adalah orang-orang waras. Tadinya, orang gila ini tidak mau menanggapi tantangan warga, namun dia terus didesak hingga akhirnya minum juga air hujan hasil kumpulan mereka. Sesaat setelah dia meminum air hujan itu, tiba-tiba pandangannya menjadi sama dengan pandangan warga desa lainnya. Dia tidak lagi merasakan perbedaan. Keunikannya menghilang seketika. Berbaur dengan kewarasan bambungan. Betapa kita tidak lagi punya waktu memiliki pikiran sendiri. Bukankah begitu?” lanjut Pengantar
Surat diakhiri dengan tanya. Bib bungkam. Menghisap rokok kreteknya dalam diam. Sang Pengantar Surat melanjutkan ucapan. Sementara Bib mematikan puntung. “Seorang lelaki yang tidak mampu mengendalikan napsu, sama halnya seperti perempuan. Homoseksual bukanlah garis pemisah antara lelaki jantan dan banci. Perbedaannya dimaknai oleh perilaku orang-orang pada kesenangan. Kita terlalu diliputi tanda-tanda tradisional. Malas, tidak suka kerja keras, menolak olahraga, gemar parfum dan wangian, sama sekali tidak menunjukkan keabsahan tanda lelaki banci. Harusnya kau tahu, banci itu orang yang tidak pernah menikmati pagi dalam semangat kecintaan pada semesta. Bangunlah, Bib. Biar kau paham rasanya dicintai alam!” Lamat-lamat suara Pengantar Surat menghilang, seiring dengan pejamnya mata Bib. *** Pagi datang begitu cerah. Bib sudah mandi dan menghirup kesegaran cuaca. Dengan wajah terang, Bib melangkah keluar rumah menuju warung Melati. Burung-burung berkicauan, mengabarkan hari baik. Anak-anak berlarian mengenakan seragam sekolah. Beberapa tetangganya menyapa. Dan Bib menebar senyum girang. Sambutan pagi ini betul-betul melegakan. Lima langkah lagi, dia akan sampai di warung Melati. Kayla sedang menikmati segelas susu saat Bib datang. Sepi. Pagi ini warung Melati tak berpengunjung selain Kayla. Gadis pujaannya. Tak mungkin bagi Bib menghindar. Dia pun sadar, Kayla tidak akan bisa menghindarinya. Bib duduk, tanpa suara, di hadapan Kayla, yang juga tidak bersuara. Mereka saling pandang. Rihani dan Raina mengucap kalimat seduksi. Bib menanggapi sebatas seringai. Secangkir kopi panas dipesannya. Asap mengepul dari kopi pesanan. Sambil menghirup-hirup bau kopi dalam cangkir itu, Bib memandangi Kayla yang juga memandanginya. Kemudian senyum mereka terurai. Suara radio setengah rusak kepunyaan pemilik warung mengumandang. Satu lagu ceria terdengar. Kayla membuka suara. “Aku mencoba memahamimu. Tapi pemahaman belum sampai-sampai
kepadaku.” Bib melirik Kayla yang sedang menatapnya. “Aku membayangkan semua hal akan berakhir saat kita memang mau mengakhirinya,” Kayla kembali bersuara. “Namun sayang, kita hanya bisa menemukan makna dalam bungkam. Saat kita bermimpi, kitab primbon mengajarkan kita sesuatu yang selalu sama. Tidak pernah berubah. Begitu pun buku-buku. Kenyataan hanya ada pada bayang. Melekat dan tak mau pergi meski kita mencoba menghindarinya berkali-kali. Aku sama sekali tidak mengerti kenapa setiap saat kita berjumpa tidak pernah ada suara di antara kita selain basa basi?” lanjut Kayla melepaskan tanya. “Apa maksudmu?” tanya Bib pada pertanyaan Kayla. “Aku selalu melihatmu, tapi kamu tidak pernah melihatku,” jawab Kayla. “Aku semakin tidak paham?” tanya Bib lagi, kebingungan. “Kita mengalami aborsi komunikasi. Padahal betapa mudah semuanya dilakukan. Entah apa yang salah, mungkinkah karena kita tidak pernah mau memulai?” “Memulai apa?” “Komunikasi. Cobalah berbicara denganku soal apa saja! Jangan cuma melihatku lalu diam. Kita harus memulai untuk mengakhiri!” seru Kayla. Bib menggerakkan wajahnya lebih dekat ke wajah Kayla. Menelisik. Menyelidik. Melihat segala kemungkinan maksud gadis pujaannya ini. “Bukankah malam kemarin, saat kita bertemu, aku menghampirimu, mengungkapkan banyak hal kepadamu, tapi tak sepatah kata pun terucap dari mulut manismu?” tanya Bib penuh rasa heran. “Kemarin? Di mana? Kemarin kamu di sini. Seharian sampai malam. Dan kamu tidak mengatakan apapun selain tanya kabarku!” Bib kembali menelisik wajah Kayla penuh selidik. “Kita bertemu malam itu. Kamu duduk sendiri sehabis makan. Tidakkah kamu mengingatnya?” tanya Bib lagi. “Seharian sampai malam kemarin kamu di sini. Sempat tidur beberapa kali lalu pulang. Seharian sampai malam kemarin aku juga di sini, menyaksikanmu
yang tidur motah dirubung banyak orang,” sahut Kayla masih tanpa ragu. “Kamu coba membohongiku. Lupakah kamu semua yang kuucapkan malam itu?” “Ucapan yang mana? Pertemuan kita hanya sebatas tegur. Kamu tidak pernah bilang apa-apa padaku?” “Bagaimana mungkin?” “Bangunlah, Bib. Jangan tidur lagi!” *** Dua suara berdebat dalam gelap. Sama-sama menggelegar. Bib mendengarkan, tanpa niat ikut serta. “Menurutmu berapa angka sempurna, sembilan atau sepuluh?” tanya Hardin kepada Azra. “Sembilan. Tentu saja.” “Tapi bukankah dapat dibalik menjadi enam. Dan semua orang tahu, enam itu angka iblis.” “Justru karena itu. Sembilan berwajah Janus. Perlambang manusia. Bahkan, angka enam tidak hanya diperuntukkan bagi Lucifer melainkan juga Shambala.” “Kalau itu jawabanmu, maka bagaimana dengan delapan. Bukankah kemana pun kau membalikkannya, angka itu tetap punya satu wajah?” “Delapan itu perlambang Tuhan. Tidak ada duanya.” “Bagaimana mungkin, sedang delapan dua angka di atas enam dan satu angka di bawah sembilan. Apa kau ingin menyatakan Tuhan lebih rendah dari manusia?” “Bukankah manusia harus menunduk untuk menyembah Tuhan. Kemana arah matamu ketika menunduk?” “Kau gila. Manusia menunduk karena Tuhan lebih tinggi. Manusia tidak ingin menantang pandang dengan Tuhan. Lagipula, ada juga mereka yang berlutut saat berdoa. Kemana arah mata manusia-manusia itu?” “Kalau begitu kita kembali ke angka nol.” “Apa maksudmu?”
“Semua tidak akan sempurna tanpa ada nol. Begitulah awalnya sepuluh.” “Jadi, sembilan atau sepuluh?” “Enam, delapan, sembilan dan nol!” “Kau sedang bermain lotre?” “Kau ini ignoran!” “Hei, bayangkan soal waktu. Sehari semalam. Kenapa duapuluh empat jam?” “Apa yang merasuk kepalamu?” “Bukankah angka hanya ada sepuluh, sedang penetapan waktu, yang dibuat para penjajah itu, berjumlah duapuluh empat?” “Ini bisa diperdebatkan!” “Haruskah kita merevisi angka-angka dalam kesepakatan waktu? Bagaimana kalau jam berakhir hanya di angka sepuluh, bukan duabelas?” “Ide bagus. Tapi siapa pembuat konvensi? Siapa yang layak disepakati?” “Entah. Kau pikirkan saja.” “Tidak. Ini harus jadi persoalan bersama!” “Baiklah, mari kita tanya Bib soal ini!” Bib menatap Azra dan Hardin bergantian. Tanpa menanggapi permintaan, dia pergi menjauhi mereka berdua. Azra dan Hardin berlari mengejar, namun Bib terus menjauh. Seberkas cahaya hadir di depannya. Bib tidak lagi menengok ke belakang. Lurus berjalan menuju cahaya. Azra dan Hardin semakin tertinggal. Mereka lalu menghilang dalam terang. Bib mendengar suara panggilan. Semakin dekat dan semakin dekat saja.
Sepuluh
“BIB, BANGUN!” Kayla membangunkan Bib, yang tertidur di bangku panjang rumah sakit. Sambil mengucek mata, Bib memandangi seorang perempuan cantik menangis di sampingnya. Perempuan itu tampak sedih. Bib linglung. “Ibu, Bib. Ibu…” suara Kayla tercekat. Bib langsung meloncat. Berlari menuju kamar ibunya dirawat. Kayla mengikuti. Dia menyaksikan Rifa, Ifta dan Sid berdiri di luar pintu kamar rawat. Wajah-wajah mereka dirundung kabut. Bib tidak berusaha menanyakan apapun. Dia cukup paham sesuatu terjadi pada ibunya. Kayla memeluknya dari belakang. Menangis sedu. Bib membiarkan lingkar tangan Kayla, perempuan yang selama ini menjadi teman hidupnya. Seorang dokter keluar mengenakan pakaian bedah. Membuka masker dan menghela napas, kemudian berlalu tanpa penjelasan. Bib, Rifa, Ifta, Sid dan Kayla saling pandang. Kemudian mengurai airmata. Lampu-lampu rumah sakit temaram. Lorong-lorongnya sesak. Bapak Bib membuka pintu kamar, memeluk Bib, Kayla, Ifta, Rifa dan Sid bergantian. Pita suara bapak tak mampu bergetar. Bib memahami duka itu. Baru saja dia menikmati alam nyata. Tapi kini dia harus melangkah mundur, menjauhi keluarganya. Menjauhi Kayla. Berjalan menuju kegelapan. Menafsir kepedihan. Tubuhnya menghilang dalam temaram lampu rumah sakit. Bib ingin menyelesaikan masalah di dunia mimpi-mimpi. *** “Cukupkah sampai di sini, Kayla?” “Aku merasa ada yang kurang. Entah apa?” “Aku pikir tafsiran memang tidak ada yang benar-benar selesai. Kita mencoba membuatnya sempurna, tapi di saat sama kesempurnaan itu selalu
menghindar.” “Lalu, bagaimana akhir cerita ini?” “Ya, sampai di sini saja.” “Hei, di bagian ini aku benar-benar merasa terganggu! Tidakkah kamu rasakan itu?” “Ya, memang hanya sampai di situ kuasa tafsir kita.” “Jadi, semuanya berhenti di sini, begitu?” “Mungkin. Biar orang lain saja yang teruskan. Aku sudah capek, Kayla. Sudah capek menafsir cerita.” “Akankah semua jadi sia-sia? Satu tahun sudah waktu berjalan sejak kita berusaha menafsirkan kisah ini. Hanya sampai di sinikah? Lalu bagaimana pementasan nanti? Penonton pasti kecewa jika kita memainkan drama sekadarnya! Aku mau kita dikenang saat mementaskan karya ini. Tidakkah kamu menginginkan ketenaran? Aku ingin sekali. Ingin sekali ketenaran itu!” “Sejujurnya, aku juga menginginkan ketenaran. Tapi kemampuanku menggapainya kosong, Kayla. Kemampuanmu untuk menggapainya pun tiada.” “Kamu meragukanku?” “Tidak. Bukan itu maksudku! Aku meragukan kemampuan kita menghinggapi relung-relung hati khalayak.” “Sial, orang itu! Kenapa kita harus berurusan dengan pengarang tolol. Buah Pir bukanlah kisah yang terlalu sukar dipahami. Hanya saja, sulit diakhiri. Kenapa kita risau? Orang ini mengarang kisah cinta, tapi tidak satu pun perempuan yang mau dekat dengannya. Seindah apapun karangannya, tetap saja tak pernah berhasil menggerakkan hati. Dia selalu terjebak dalam delusi. Kenyataannya ada dalam fiksinya. Katakan padaku, Bib, apa kamu mau mengakhiri kisah ini?” “Kenapa tidak kita undang semua tokoh untuk membantu?” “Aku lebih suka kita panggil Azra dan Hardin saja.” “Baiklah, kita panggil mereka!” “Mau apa kalian?” “Singgahlah sejenak. Kami mengalami kesulitan mengakhiri kisah. Kami
ingin kalian memberi masukan!” “Boleh.” “Bagaimana caranya?” “Gampang, Kayla. Kita bunuh saja Mirza Jaka Suryana. Orang sombong sok tahu itu. Ayo, kita bunuh dia!” “Bagaimana caranya?” “Kita mulai dengan memanggilnya.” “Bagus! Siapa punya inisiatif?” “Hei, kau yang mengarang kisah sial ini, datanglah! Katakan pada kami bagaimana caramu mengakhiri?” “Huh! Dasar pengecut. Tidak mau mampir juga dia.” “Ini tidak akan ada habisnya. Lebih baik kita yang sudahi!” “Ya, lebih baik begitu.” “Hardin, ayo kita undur. Pengarang kita bahkan tidak tahu cara mengakhiri kisah yang dimulainya. Aku merasa, sedikitpun dia tidak pernah peduli pada kita semua, buah-buah pir rekaannya. Ah, kenyataan sungguh menyakitkan. Itu sebab mimpi jadi jalan keluar.” “Ya, aku pikir juga begitu. Mari kawan.” “Kayla, Bib, kalian ingin tetap di sini? Baiklah, rupanya kalian masih berharap perbaikan. Semoga berhasil. Selamat tinggal, Kayla. Selamat tinggal, Bib. Kembalilah bermimpi saat kalian susah. Bilang juga pada pengarang sial itu, jangan pernah memulai cerita, jika memang tidak paham cara mengakhiri!” “Tunggu dulu. Ini belum selesai!” *** Kayla menatap Bib. Tanpa terasa airmata menuruni wajah mereka. Kenyataan memang menyakitkan, tapi mimpi-mimpi sulit digenggam. Hilang sudah pegangan. Peristirahatan nyaman itu tiada yang kekal. Bib dan Kayla saling berpeluk dalam diam. Meratapi kepergian Azra dan Hardin. Gagal memaknai jejak buah pir. Ingatan pudar, jadi sebatas tafsiran. Fiksi dan realitas berkolase dalam pertikaian. Dari kejauhan suara siul terdengar. Sang Pengantar Surat kegirangan, menenteng kabar kematian pengarang.
********************************************