LOVE Like Ours Sebuah Cinta Sepasang Perempuan
Bidari Arimbi
Kopi dan Bidadari
Malam sunyi, bermandikan taburan bintang di angkasa. Kuseruput kopi dengan kenikmatan pahitnya yang pekat di kerongkongan. Aku tidak tahu kesudahan seperti apa yang tengah Tuhan persiapkan bagi kehidupanku kelak. Aku sendiri, dengan sebuah hati yang masih saja belum terisi. Ya, aku memang berbeda dengan lainnya, dengan kerabat pun rekan kerja. Rata-rata dari mereka sudah berumah tangga dan memiliki keluarga utuh yang bahagia. Sedangkan aku? Dengan usiaku yang hampir masuk tiga puluh lima tahun, aku masih saja sendiri. Masih hanya dengan sebuah kopi yang menemani, atau sesekali bir bercampur martini. Sebuah kenikmatan yang sering kulakoni pada saat tengah berkumpul dengan para lajang lainnya untuk melepas penat malam seusai bekerja. Kami sering bersulang bersama, berdansa bersama, mabuk bersama, hanya saja kami tidak pernah tidur bersama. Haha, mereka semua memang tidak ada yang menggugah selera. Malam ini pun sama saja. Hanya bertemankan kopi. Hanya berselimutkan sepi yang seakan selalu memberi arti tersendiri. Tak ada kawan. Sengaja. Aku memang sedang ingin sendiri, menikmati kesunyian sambil menertawakan diri. Tak ada komentar, tak ada cela dan terlebih tak ada sindir nyinyir yang diutarakan melalui candaan konyol. Aku benar-benar sendiri, benar-benar memiliki waktu untuk merefleksikan isi hati.
Kerinduanku akan seseorang untuk mengisi kekosongan di dalamnya telah membuatku melamun tiada arti. Ah! *** Kupikir malam-malam gelap yang kulalui selama ini akan selamanya gelap, namun nyatanya malam ini ada sebuah bintang jatuh yang mendatangiku dengan senyum menawannya yang mempesona. Namanya Laura, dia seorang master of ceremony yang tengah memandu jalannya anniversary perusahaan yang kupimpin selama lima tahun ini. Entah dari mana timku bisa menemukan keindahan seperti itu. Sepertinya mereka memang tim terhandal yang pernah ada di muka duniaku. Tim solid yang memberikan loyalitas terbesar mereka bagi perusahaan dan bagiku secara pribadi. Tim yang saking solidnya, bisa begitu sangat solid untuk memberikan sebuah hadiah teristimewa di malam yang ceria ini. Ya, ada Bidadari dengan kecantikannya yang luar biasa, berbalut dengan kecakapannya berbicara dan membawakan acara. Bidadari yang tiba-tiba mewujud sebagai hadiah dari semesta. Siapa dia? Adakah aku dan dia saling mengenal sebelumnya? Adakah pernah kujumpainya di masa-masa dahulu kala? Perawakannya sebenarnya biasa. Tinggi dan berat badan rata-rata, rambut panjang seperti perempuan pada umumnya, dandanan juga tidak menor dan cukup apa adanya. Namun entah mengapa gesture tubuh dan aksennya berbicara begitu memikatku untuk lebih jauh mengenalnya. Begitu ingin menjabat tangannya. Begitu ingin bercengkerama dalam durasi lama. Begitu ingin bersamanya. Hanya berdua saja.
Sesi nyanyian pembuka telah usai, dan berdasarkan susunan acara, kini giliran sesi prakata dariku sebagai pemimpin perusahaan. Kuamati begitu saksama saat bibirnya mengucap namaku untuk dipersilahkan maju ke panggung. Begitu renyah, begitu membuatku bergairah. Aku berdiri, berjalan menuju ke arahnya dengan kaki ringan yang seakan melayang. Tiba aku di hadapannya, dengan senyum yang tak hentihentinya dia suguhkan. Duhai Tuhan di angkasa, inikah anugerah yang sedang Kau sediakan untuk kunikmati, ataukah ini godaan dan pencobaan untuk sekedar mempermainkan hati? Entahlah! Kugapai microphone yang disodorkannya padaku. Ada sebuah getar emosi yang begitu kuat saat kulihat senyum manisnya yang begitu mengkoyakkan perasaan. Seakan begitu hanyut dalam nikmat batiniah yang tengah kualami. Aku benarbenar merasakan sebuah kenikmatan. Kuucapkan beberapa bait kata pembuka sebelum memasuki ke puncak acara. Beberapa kata yang menggambarkan kekagumanku selama lima tahun merintis perusahaan ini bersama dengan para karyawan yang berloyalitas tinggi. Kusampaikan terima kasih yang tak terkira banyaknya untuk setiap perjuangan dan kerja sama di antara kami yang berjalan begitu apik. Kuhaturkan kebanggaan atas kerja keras yang tak pernah padam dalam memajukan perusahaan yang nyatanyatanya kurintis dari nol ini. Kuingatkan lagi kepada mereka, bagaimana ide untuk mendirikan perusahaan ini tadinya dianggap konyol dan bodoh. Iya, konyol dan bodoh karena aku menentukan klasifikasi untuk bidang informasi yang ingin kuperdagangkan berkenaan dengan kesenian. Sebuah perdagangan informasi yang bagi sebagian pelaku bisnis
merupakan pilihan yang sangat tidak komersial. Bisnis majalah kesenian yang jika dibandingkan dengan bisnis majalah selebriti atau fashion, sungguh jauh dari jangkauan komersial. Tapi aku ini memang tipikal orang yang sangat idealis. Kecintaanku pada dunia seni benar-benar sudah mendarah daging. Dan sebagai wujud kecintaanku ini, kuupayakan sepenuh tenaga, pikiran dan modal untuk membangun perusahaan ini. Kusingkirkan segala macam ocehan dan kritik pedas atas keputusan yang kuambil. Tidak tanggung-tanggung, semua hasil jerih payahku selama lima tahun ke belakang sebagai seorang manajer di sebuah perusahaan penerbangan dan juga harta warisan mendiang Abi kupertaruhkan untuk perusahaan ini. Tidak salah kalau banyak orang menyayangkan keputusan yang kuambil ini, termasuk Umi dan Kakakku sendiri. Tapi seperti kataku tadi, aku ini seorang yang begitu idealis. Sekali aku mencintai sesuatu, pasti akan senantiasa kuperjuangkan untuk kudapatkan nilai kepuasan darinya. Lantas, apakah pertemuanku dengan perempuan ini juga merupakan suatu bentuk idealis yang timbul dalam diriku? Mengapa tiba-tiba aku begitu ingin memperjuangkannya? Berjuang untuk mengenal, dekat dan akhirnya terus bersamanya! Ah, apakah ini hanya hasrat semata yang bisa jadi malam ini hadir namun malam sesudahnya berakhir? Entahlah, aku tidak peduli malam sesudahnya. Yang kupedulikan malam ini, detik ini, saat kedua mataku masih bisa begitu menikmati keanggunannya. Dua jam kemudian, Acara selesai, dengan bersemarakkan nyanyian yang menggempita berpadu sorak-sorai dan tawa bahana. Kami
semua berbahagia. Tak pernah kutemui kecerahan suasana perusahaan seperti yang kualami lima tahun ini. Tidak di manapun, kecuali di sini. Dulu, pada awal aku memulai karirku sebagai seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan export-import, saat itu usiaku menginjak 22 tahun. Aku baru saja lulus dari Perguruan Tinggi Swasta Jakarta Fakultas Manajemen. Di awal kerjaku itu, jangankan bisa menikmati kesolidan kerja dengan rekan-rekan, bisa tidak cekcok dan tidak dicereweti oleh Bos dalam sehari saja sudah merupakan anugerah yang begitu besar. Dua tahun kemudian aku beralih dan pindah kerja menjadi staff marketing di sebuah perusahaan penerbangan, yang akhirnya membawaku pada level jabatan yang cukup tinggi sebagai manajer pemasaran di tahun ketiga bergabung dengan perusahaan tersebut. Itupun keadaannya tetap sama saja. Tidak pernah kurasakan suasana kekeluargaan dan kerja sama yang solid di dalamnya. Yang ada hanya persaingan untuk mencari muka dan kedudukan. Aku muak! Karenanya, di tahun ketiga setelah aku menjabat sebagai orang dengan kedudukan yang cukup tinggi itu, kuputuskan untuk mengundurkan diri. Para Direksi di perusahaan tempatku bernaung sangat menyayangkan keputusan yang kuambil. Bagi mereka kinerjaku selama enam tahun di perusahaan itu terbilang sangat bagus dan memuaskan bagi perusahaan. Betul memuaskan perusahaan, tapi tidak memuaskan hatiku! Akhirnya dengan tekad maksimal kuputuskan untuk benar-benar keluar dan merintis perusahaanku ini dari nol. Pertentangan batin paling besar saat merintis perusahaan ini datang dari Umi dan Kakak perempuanku satu-satunya. Mereka begitu menentang keputusanku untuk keluar dari perusahaan
yang telah membesarkanku untuk lebih memilih memulai usaha dari nol. Bagi mereka ini adalah keputusan yang sangat bodoh yang pernah kuambil. Tapi sebodoh-bodohnya aku di mata mereka, tentu segala sesuatu yang kuputuskan sudah kupikirkan dan kuperhitungkan dengan masak-masak. Tidak mungkin aku bertindak bodoh dan gegabah tanpa sebuah kalkulasi yang pasti. Dan nyatanya, lima tahun perusahaan ini berdiri, aku bisa membuktikan kepada mereka bahwa semakin hari perusahaan yang kubangun dengan keringat dan airmata ini semakin bisa mengepakkan sayapnya menuju puncak kejayaan. Tidak hanya secara omset, melainkan juga secara tim, aku menang telak atas sebuah kepuasan batin yang kudambakan selama ini. Dan puncak perayaan malam ini sudah benar-benar selesai. Masing-masing dari kami sudah dengan persiapannya untuk melangkahkan kaki ke peraduannya sendiri-sendiri, begitupun denganku. Kujejakkan kaki melangkah ke loby untuk segera kembali pulang ke apartemen. Sesampainya di sana, kembali kulihat dia yang sesaat lalu pesonanya sempat tergeserkan oleh kemeriahan yang tengah kurayakan. Dengan keberanian yang sengaja kubangun, kudekati dia yang tengah duduk sembari memainkan ponselnya. “Boleh saya temani?” sapaku. Kepalanya menengadah, dia terkejut dan langsung meletakkan ponselnya. “Eh, Bu Direktur. Silahkan…” “Eih, kenapa harus seperti itu memanggilnya?” balasku sembari mendaratkan diri duduk di samping kanannya. “Karena memang sudah seharusnya saya memanggil anda seperti itu.” balasnya tidak mau kalah.
“Ah, jangan! Panggil nama saya saja, saya yakin usia kita tidak terpaut jauh. Oya, ngomong-ngomong terima kasih sudah membawakan acara malam ini dengan sangat baik ya.” pujiku. “Itu sudah tugas dan kewajiban saya bukan? Saya memang dibayar untuk menjalankannya dengan sangat baik. Apakah anda puas dengan apa yang saya sajikan?” “Yaaah tentu saja saya puas, jika tidak pasti saya tidak akan mengobrol dengan anda sekarang ini.” Dia hanya membalasku dengan senyumnya. Kubalas lagi senyumnya, hingga tiba-tiba dia berpamitan sesaat setelah membaca pesan singkat di ponselnya. “Baiklah Bu Cheryl, terima kasih telah mengundang saya di acara perusahaan anda. Saya mohon diri dahulu, suami saya sudah menjemput.” “Oh, silahkan…” sahutku singkat sambil menjabat tangannya yang terulur. Oke! Dia sudah bersuami. Malamku menjadi gelap lagi.