LETTER OF ACCEPTANCE From: JURNAL FE UNTAR [mailto:
[email protected]] Sent: Tuesday, September 27, 2016 7:58 AM To: Budi Harsanto
Subject: Re: Usulan Artikel Shafira Chaerunnisa & Budi Harsanto PTN Universitas Padjadjaran
Yth. Ibu Shafira Terima kasih telah bersabar dan mengikuti seluruh proses penilaian dari kami. Kami sampaikan bahwa artikel ibu telah selesai dinilai. Namun karena kuota untuk tahun ini sudah penuh, artikel ibu baru akan diterbitkan pada Jurnal Manajemen (terakreditasi B) pada Volume XXI (01), Februari 2017. Terima kasih Chief Editor Dr. Agus Zainul Arifin 2016-08-16 6:37 GMT+07:00 Budi Harsanto : Yth Pengelola JURNAL MANAJEMEN Universitas Tarumanegara, Kami kirimkan file yang telah diperbaiki sesuai masukan pemeriksaan daftar pustaka beserta catatan-catatan perbaikannya. Juga kami lampirkan pula surat pernyataan kesanggupan yang telah diisi dan ditandatangani. Mudah-mudahan diterima dengan baik. Terima kasih. Hormat kami, Tim penulis.
INTEGRASI QUALITY FUNCTION DEPLOYMENT DAN MODEL KANO PADA BISNIS JASA Shafira Chaerunnisa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran Budi Harsanto Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran [email protected]
Abstract: The purposes of this study is to determine the priority of customer requirements and technical responses of B restaurant using Quality Function Deployment method with the integration approach of Kano model. The samples in this study are 150 people that are customers of B restaurant, Bandung. The non-probabilistic sampling method uses in this study, with the method of collecting data is done by distributing questionnaires. The data is analyzed by using House of Quality matrix with an integrated approach of Kano model. The result shows that there are two customer requirements and technical responses that should be prioritized for improvement because their importance level is above the average. The customer requirements’ attributes that become a priority is availability of parking lot and praying room’s comfort, and the technical responses’ attributes that become a priority is facility improvement for the customers and restaurant’s facility maintenance. Keywords: quality function deployment, Kano model, service quality
Title
Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prioritas dari kebutuhan dan keinginan konsumen (customer requirements) dan karakteristik teknis (technical responses) dari restoran B dengan menerapkan metode Quality Function Deployment (QFD) dengan integrasi model Kano. Sampel penelitian ini merupakan konsumen dari restoran B yang diambil sebanyak 150 orang. Metode non-probablisitik sampling digunakan dalam penelitian ini dengan metode pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner. Teknik analisis data yang dilakukan menggunakan matriks House of Quality yang diintegrasikan dengan model Kano. Hasil dari penelitian ini terdapat dua atribut kebutuhan konsumen dan dua karakteristik teknis yang diharuskan menjadi prioritas restoran B untuk ditingkatkan karena memiliki nilai kepentingan di atas perhitungan rata-rata. Dua atribut kebutuhan konsumen yang menjadi prioritas adalah ketersediaan lahan parkir dan kenyamanan tempat ibadah, sedangkan dua atribut karakteristik teknis yang menjadi prioritas adalah peningkatan fasilitas bagi konsumen dan pemeliharaan fasilitas restoran. Kata kunci: quality function deployment, model Kano, service quality
Pendahuluan Kualitas merupakan hal yang sangat penting pada suatu produk atau jasa yang dihasilkan oleh perusahaan. Kualitas adalah bentuk perusahaan untuk menjawab kebutuhan konsumen, dengan meningkatkan daya saing dan memposisikan produknya lebih unggul di pangsa pasar. Tetapi, terkadang kualitas seringkali terlupakan dan bukan menjadi fokus utama oleh perusahaan itu sendiri. Sebagai contoh, perusahaan lebih fokus pada sisi pemasarannya seperti brand image atau estetika dari produk tersebut untuk lebih menarik konsumen. Sedangkan pengembangan kualitas penting sekali dilakukan oleh perusahaan sebagai awal untuk peningkatan bisnis itu sendiri, karena apabila kualitas terus bertambah baik maka hal tersebut akan berpengaruh pada meningkatnya produktivitas dan profitabilitas. Salah satu bentuk kualitas dari service industry adalah kualitas pelayanan. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected service dan perceived service, atau dengan kata lain kualitas jasa yang diharapkan dan kualitas jasa yang diterima. Baik atau tidaknya suatu kualitas pelayanan bergantung pada kemampuan penyedia layanan tersebut dalam memenuhi harapan pelanggan. Dalam industri jasa, terutama restoran, terdapat standar kualitas pelayanan yang harus sesuai dengan expected dan perceived service para pelanggan, seperti pelayanan pramusaji yang cepat dan responsif, menu makanan yang bercita rasa tinggi, hingga fasilitas yang sesuai dengan harapan konsumen. Apabila restoran dapat mewujudkan hal tersebut, maka tidak akan ada gap atau kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang didapatkan oleh konsumen. Di Indonesia, menjadi konsumen dari sebuah restoran merupakan suatu hal yang lazim dilakukan oleh sebagian besar masyarakat. Melihat peluang yang sangat potensial ini, bisnis restoran makin berkembang dari waktu ke waktu. Seiring dengan tingkat kesejahteraan masyarakat, bisnis restoran pun semakin terdiferensiasi, mulai dari warung makan tradisional, kedai kopi, gerai fast food yang merupakan franchise dari restoran asing, hingga restoran yang menawarkan konsep berkelas sekaligus suasana yang kentara dengan kemewahan. Kota Bandung, sebagai ibukota salah satu provinsi di Indonesia, merupakan kota yang terkenal akan destinasi pariwisatanya yang menarik dengan akses yang mudah sehingga menjadi kesenangan tersendiri bagi masyarakat. Kota Bandung juga terpilih sebagai salah satu destinasi wisata favorit di kawasan Asia, menempati posisi ke-4 setelah Bangkok, Seoul, dan Mumbai (www.cnnindonesia.com). Melihat fenomena ini, perkembangan bisnis pariwisata, termasuk kuliner dan rumah makan di kota Bandung sangat pesat dan kian menjamur sehingga menghasilkan destinasi kuliner yang kreatif dan menarik untuk masyarakat lokal maupun para wisatawan. Salah satu yang menjadi pionir destinasi kuliner di Bandung adalah restoran B. Sebelum menjadi sebuah restoran, B terlebih dahulu berbentuk badan koperasi yang menjadi paguyuban pengumpul susu dan peternak sapi di kota Bandung pada awal abad ke-20. Restoran B terkenal akan hasil olahan makanan dan minumannya yang berbahan dasar susu. Suasana yang kental akan nuansa tempo dulu dimiliki restoran B sehingga sangat cocok untuk dinikmati bersama keluarga dan teman-teman lama untuk menghidupkan kenangan masa lampau. Walaupun restoran B merupakan salah satu ikon kuliner kota Bandung, pada kenyataannya apabila dibandingkan dengan beberapa dekade yang lalu, saat ini restoran B kalah bersaing dengan rumah makan atau kafe yang belakangan ini kian menjamur di berbagai wilayah di Bandung. Salah satu faktor yang menjadi penyebab permasalahan yang dihadapi adalah kurangnya kemampuan restoran B dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen saat ini sehingga pada bulan Desember 2015 Restoran B memutuskan untuk menutup gerai cabang yang berada di mal Paris Van Java Bandung. Permasalahan tersebut sangat erat kaitannya dengan kualitas. Seperti yang dikemukakan Goetsch dan Davis (2010), kualitas merupakan hal yang dikaitkan dengan produk, jasa, sumber daya manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi harapan konsumen serta menghasilkan superior value. Sehingga sangat dibutuhkan strategi yang tepat sasaran demi mencapai kualitas yang terbaik, salah satunya dengan menggunakan Quality Function Deployment atau QFD. QFD merupakan
Title
salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengevaluasi setiap aspek dan elemen yang berhubungan dengan pengembangan dan peningkatan organisasi. Integrasi dengan model Kano juga sangat membantu dalam melihat atribut apa saja yang harus dijadikan prioritas oleh restoran B dalam meningkatkan pelayanannya. Dengan melihat permasalahan yang dihadapi oleh restoran B, dapat dilihat bahwa metode QFD sesuai untuk diterapkan dengan tujuan mengevaluasi dan perbaikan kualitas pelayanan sehingga menghasilkan peningkatan bagi restoran B di mata konsumen. Berdasarkan pokok permasalahan yang dihadapi oleh Restoran BMC Bandung, dapat diidentifikasikan beberapa masalah dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan utama (customer requirements) dari konsumen Restoran B? 2)Karakteristik teknis (technical characteristics) dan atribut pelayanan apa sajakah yang harus menjadi prioritas Restoran B agar siap dalam meningkatkan kualitas pelayanannya? 3)Bagaimana penerapan Quality Function Deployment yang diintegrasikan dengan Model Kano dalam menetapkan standar kualitas pelayanan baru bagi Restoran B?
KajianTeori Kualitas Kualitas merupakan hal yang sangat erat hubungannya dengan memenuhi kebutuhan konsumen. Kualitas berkaitan dengan pertanyaan : Bagaimana kita mendefinisikan kualitas untuk tujuan perusahaan? Lalu siapa yang bertanggung jawab dalam hal kualitas? Dan bagaimana kita memaksimalisasi penerapan kualitas demi keinginan konsumen? Menurut Heizer dan Render (2014): “Quality is the ability of a product or service to meet customer needs”. Selain itu, THE U.S Department of Defense dalam buku Goetsch dan Davis (2010) mengatakan bahwa kualitas adalah, “Doing the right thing right the first time, always striving for improvement, and always satisfying the customer. Menurut Schroeder (2011 ; 137):“Quality can be defined as meeting, or exceeding customer requirements now and in the future”Berdasarkan ketiga definisi di atas, disimpulkan bahwa kualitas merupakan kemampuan dari suatu produk atau jasa yang perusahaan hasilkan untuk dapat memenuhi keinginan dan memberikan kepuasan kepada konsumen secara optimal. Service Quality Kualitas jasa menurut Zeithaml, Bitner, dan Gremier (2013 ; 111) merupakan elemen utama pada persepsi konsumen karena berupa evaluasi yang diberikan dan berfokus pada dimensi-dimensi jasa. Konsumen juga menilai hal-hal tertentu sebagai komponen kualitas jasa yaitu outcome teknik yang diberikan, proses dari bagaimana outcome tersebut disampaikan, serta kualitas dari keadaan sekeliling dan tampilan fisik dimana pelayanan tersebut disampaikan, dan disimpulkan menjadi tiga aspek utama yaitu Outcome, Interaction, dan Physical Environment Quality. Terdapat dua faktor utama yang memiliki pengaruh yang besar pada kualitas jasa yaitu expected service dan perceived service. Expected service merupakan pelayanan yang diharapkan untuk didapatkan oleh konsumen sedangkan perceived service merupakan pelayanan yang dirasakan dan diterima secara nyata dan konkret oleh konsumen tersebut. Jika perceived service yang diberikan oleh perusahaan melampaui expected service konsumen, disimpulkan bahwa kualitas pelayanan tersebut baik dan memuaskan. Sedangkan apabila perceived service yang diberikan oleh perusahaan tidak melampaui atau bahkan kurang dari harapan konsumen, berarti kualitas pelayanan tersebut akan dipersepsikan buruk dan mengecewakan konsumen sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua faktor ini memiliki keterkaitan dengan kepuasan konsumen. Dalam service quality, terdapat instrumen yang menjadi tolak ukur aspek kualitas jasa yaitu dimensi kualitas jasa. Dimensi kualitas jasa terbagi menjadi lima dimensi pokok yang meliputi: Tangibles, merupakan tampilan fisik atau bukti nyata dari representatif pelayanan yang diberikan seperti fasilitas, teknologi, dan SDM; Reliability, merupakan kemampuan dalam menyampaikan jasa yang dijanjikan secara terpercaya, konsisten, akurat, sigap, dan tepat waktu.; Responsiveness, yaitu kesiapan dan kemampuan untuk menyediakan jasa yang dibutuhkan secara tepat bagi para konsumen.; Assurance, adalah jaminan keramahan dan pengetahuan karyawan serta kemampuan untuk mengambil kepercayaan konsumen, terdapat beberapa komponen yaitu communication, credibility, competence, security, dan courtesy.; Empathy, merupakan pemahaman kebutuhan pelanggan berupa aspek kepedulian dan perhatian yang diterapkan dalam menghadapi dan berkomunikasi dengan konsumen. Total Quality Management Manajemen mutu terpadu (Total Quality Management-TQM) merupakan salah satu konsep kualitas yang cakupannya lebih spesifik, sebagaimana dikatakan oleh Goetsch dan Davis (2010 ; 7), “Total quality is an approach to doing business that attempts to maximize the competitiveness of an organization through the continual improvement of the quality of its products, services, people, processes, and environments”. Artinya, kualitas/mutu total adalah suatu pendekatan dalam melakukan bisnis demi berusaha untuk memaksimalisasi segi kompetitif organisasi, melalui peningkatan dari kualitas produk, jasa, sumber daya manusia, proses, dan lingkungan secara terus menerus.
Title
Selain itu, Swink (2014 ; 174) menjelaskan bahwa, “TQM is an integrated business management strategy aimed at embedding awareness of quality in all organizational process”. Artinya, manajemen mutu terpadu merupakan strategi manajemen bisnis yang terintegrasi yang memiliki maksud untuk menanamkan kesadaran akan kualitas di semua proses organisasi.Dan menurut Reid dan Sanders (2013 ; 152), “TQM is an integrated effort design to improve quality performance at every level of the organization” Artinya bahwa manajemen mutu terpadu (TQM) adalah suatu bentuk usaha yang terintegrasi untuk meningkatkan kinerja kualitas pada setiap level organisasi. Total Quality Management pada intinya adalah bagaimana perusahaan berorientasi dan menanamkan kesadaran akan pentingnya kualitas di setiap tingkat organisasi. TQM membutuhkan perbaikan secara terus menerus, baik dari segi sumber daya manusia, bahan baku, maupun operasional karena TQM memiliki prinsip bahwa peningkatan dapat dilakukan pada setiap aspek yang berhubungan erat dengan perusahan. Implementasi TQM di dalam perusahaan penting sekali untuk mendukung pencapaian standar kualitas dan menjaga konsistensi dari kualitas dan layanan produk. Menurut Swink (2014 ; 181), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan akan Total Quality Management yaitu: kepemimpinan yang kuat dan karismatik, kepercayaan antara manajemen dan para pekerja, timbulnya situasi yang krisis adanya dorongan alasan untuk melakukan perubahan, pelatihan dengan sumber daya yang memadai dan selalu adanya peningkatan proyek yang dikerjakan, komunikasi yang baik dan terbuka, kesuksesan yang tidak diragukan lagi dari upaya keras yang telah dilakukan. Total Quality Management memiliki perangkat untuk mengontrol kualitas dan proses yang terjadi pada perusahaan, yaitu The Seven Basic Tools yaitu 1. Check Sheet, 2. Scatter Diagram 3. Fishbone Diagram 4. Pareto Charts 5. Flow Charts 6. Histogram 7. Control Charts. Dari beberapa tools yang telah disebutkan, diadaptasi salah satu metode untuk memudahkan perancangan produk bagi konsumen yaitu Quality Function Deployment. Quality Function Deployment (QFD) Quality Function Deployment atau QFD adalah suatu metode pengembangan produk untuk menafsirkan kebutuhan dan keinginan konsumen menjadi karakteristik teknis yang dapat disediakan oleh perusahaan. Dengan menggunakan QFD, perusahaan dapat mengidentifikasi semua kebutuhan konsumen yang paling utama dari produk yang telah diberikan dan juga mengevaluasi seberapa baik produk tersebut memenuhi atau melebihi kebutuhan konsumen itu sendiri sehingga akan berdampak pada reduksi biaya yang signifikan karena adanya pemotongan proses yang irrelevan. Menurut Heizer dan Render (2014 ; 196): “QFD is a process for determining customer requirements (customer ‘wants’) and translating them into the attributes (the ‘hows’) that each functional area can understand and act on” Artinya adalah QFD merupakan suatu proses untuk menentukan kebutuhan dan keinginan konsumen dan menerjemahkannya ke dalam atribut-atribut untuk dihasilkan dari berbagai aspek perusahaan yang bertanggung jawab dan bertindak akan hal tersebut. Goetsch dan Davis (2010 ; 426) mengemukakan bahwa, “QFD is a system that allows designers and planners to focus on the attributes of a product from the perspective of customers. It involves (1) identifying customer needs (known as or the voice of the customer,
or VOC), (2) identifying the product attributes that will most satisfy the VOC, and (3) establishing product development and testing targets and priorities.” Artinya, QFD merupakan sistem yang mengizinkan perancang dan perencana strategi untuk berfokus pada berbagai atribut produk dari segi pandangan konsumen. Hal ini melibatkan (1) mengidentifikasi kebutuhan konsumen (lebih dikenal dengan The Voice of The Customer atau VOC), (2) mengidentifikasi atribut apa saja yang akan memenuhi kebutuhan konsumen atau VOC, dan (3) membuat pengembangan produk dan mengujinya sesuai target dan prioritas. QFD memiliki empat buah matriks atau perangkat yaitu House of Quality (HOQ), Subsystem Design Matrix, Piece Part Design Matrix, dan Process Design Matrix. Matriks utama dalam QFD adalah matriks yang pertama yaitu House of Quality. Sehingga penulis memutuskan memilih instrumen House of Quality dalam mendalami studi penelitian ini. House of Quality Matriks House of Quality atau rumah mutu merupakan instrumen QFD yang utama dan umumnya sering digunakan oleh para praktisi. Menurut Heizer dan Render (2014 ; 196), “House of Quality is a part of quality function deployment process that utilizes a planning matrix to relate customer ‘wants’ to ‘how’ the firm is going to meet those ‘wants’.” Dapat disimpulkan bahwa House of Quality atau HOQ merupakan bagian dari proses QFD yang memanfaatkan matriks perencanaan untuk menghubungkan antara keinginan konsumen dengan bagaimana perusahaan mewujudkannya. HOQ juga sebagai contoh template panduan untuk mengidentifikasi dan menerjemahkan kebutuhan konsumen atau Voice of Customer menjadi atribut produk. Menurut Chase dan Jacobs (2011) dengan membangun matriks House of Quality, proses menerjemahkan customer requirements akan mendorong sumber daya manusia yang terlibat di perusahaan bekerja bersama-sama secara lebih efektif dan lebih mengetahui karakteristik masing-masing individu dalam mencapai tujuan utama yaitu menciptakan kepuasan pelanggan. Matriks 1 adalah Customer Input yang berisi informasi mengenai apa saja hal-hal yang diinginkan oleh konsumen untuk memberikan kepuasan. Informasi ini biasanya didapat melalui survey atau hasil riset karena dengan ini perusahaan dapat mengetahui secara langsung prioritas utama kebutuhan konsumen tersebut. Matriks 2 adalah Technical Characteristics, yaitu berisi informasi yang berguna untuk kebutuhan perusahaan dalam memenuhi Customer Input pada matriks 1. Informasi pada matriks 2 harus berisi tentang karakteristik teknis dan teknologi apa yang berhubungan dengan memenuhi kebutuhan pelanggan. Matriks 3 berupa Planning Matrix yaitu berisi informasi mengenai perbandingan perusahaan dengan kompetitor lain dalam menghadapi aspek-aspek yang menjadi customer requirements. Matriks ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai apa yang menjadi kelebihan perusahaan dibanding kompetitor lain atau bahkan informasi mengenai apa yang menjadi kelemahan perusahaan dibanding kompetitor lain sehingga dapat menjadi acuan untuk improvement.
Title
6
TECHNICAL CORRELATIONS (Korelasi Teknis)
TECHNICAL CHARACTERISTICS 2
(Karakteristik Teknis) 3
1
4
CUSTOMER INPUT (Kebutuhan Konsumen)
RELATIONSHIPS MATRIX (Matriks Hubungan antara Keinginan Konsumen dan Karakteristik Teknis)
PLANNING MATRIX Importance Rating Competition Rating
5
TECHNICAL MATRIX (Matriks Teknis)
Sumber : Heizer dan Render, 2014, p. 198
Gambar 1. House of Quality
Matriks 4 merupakan Relationship Matrix yang berisi informasi mengenai hubungan antara matriks 1 yaitu Customer Input dengan Matriks 2 yaitu Technical Characteristics. Maksud dari hubungan ini adalah seberapa kuat karakteristik teknis yang telah ditetapkan perusahaan untuk menunjang kepuasan konsumen. Hubungan ini dilambangkan oleh 3 simbol yang menggambarkan hubungan Kuat, Menengah, dan Lemah. Matriks 5 merupakan Technical Matrix yang berisi mengenai target kinerja dari Technical Characteristics yang ditetapkan oleh perusahaan untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Matriks ini juga merupakan indikator untuk keberhasilan perusahaan apabila dapat mencapai atau bahkan melebihi target. Matriks 6 adalah Technical Correlations yaitu berisi informasi mengenai
hubungan antar Technical Characteristics pada matriks 2. Hubungan ini juga dilambangkan dengan simbol positif apabila terdapat korelasi antara 2 karakteristik teknis yang telah ditentukan perusahaan. Aviasti Anwar, Dewi Shofi Mulyati, dan Wenny Amelia (2013) dalam artikelnya yang berjudul Application Quality Function Deployment to Improve the Quality of Services in Ngodoe Cafe menjelaskan mengenai penerapan Quality Function Deployment pada sebuah kafe yaitu Ngodoe Cafe yang memiliki masalah dalam memenuhi kebutuhan para pelanggan. Ngodoe Cafe terlalu berorientasi pada pangsa pasar remaja dan mahasiswa, sehingga masyarakat lain yang berkunjung ke kafe tersebut kurang dapat menikmati pelayanan yang diberikan. Berdasarkan penelitian ini, dinyatakan bahwa tujuannya adalah untuk memperbaiki kualitas pelayanan Ngodoe Cafe karena hal ini akan sangat berdampak pada perkembangan bisnis kafe ini sendiri. Menggunakan metode QFD, penelitian Anwar, Mulyati, dan Amelia (2013) berusaha untuk menerjemahkan kebutuhan konsumen atau Voice of Customer pada matriks House of Quality sehingga memudahkan Ngodoe Cafe untuk mewujudkannya dalam pelayanan yang excellent. Dihubungkan pada studi penelitian yang dilakukan, penelitian Anwar, Mulyati, dan Amelia ini membahas mengenai penerapan Quality Function Development pada industri jasa yaitu restoran. Hal ini memiliki kaitan dengan topik penelitian skripsi dan bertujuan serupa yaitu meningkatkan standar kualitas pelayanan. Andreas Andronikidis, Andreas C. Georgiou, Katerina Gotzamani, dan Konstantina Kamvysi (2009) dalam artikelnya yang berjudul The Application of Quality Function Deployment in Service Quality Management menjelaskan mengenai penerapan QFD pada industri jasa dengan menggunakan House of Quality tetapi mengintegrasikan dengan metode kuantitatif Analytic Hierarchy Process atau AHP dan Analytic Network Process atau ANP. Penggunaan AHP dan ANP ini bertujuan untuk memudahkan untuk menentukan hubungan kekuatan antara kebutuhan konsumen dengan atribut pelayanan. AHP dan ANP ini adalah tools untuk metode multicriteria decision-making yang menggunakan hirarki atau tingkatan untuk merepresentasikan permasalahan yang ada. Dihubungkan pada studi penelitian yang dilakukan, penelitian Andronikidis, Georgiou, Gotzamani, dan Kamvysi (2009) memiliki kaitan dengan penerapan Quality Function Deployment pada sektor jasa. Perancangan QFD yang baik dibuktikan dengan bagaimana hubungan antara kebutuhan konsumen, spesifikasi jasa, target values, dan kinerja yang kompetitif, diterjemahkan pada matriks perencanaan visual. Adanya penambahan metode AHP dan ANP juga menjadi nilai tambah untuk mempermudah dengan adanya aplikasi Super Decisions untuk menghitung Relationship Matrix dengan Roof Matrix. Desrina Yusi Irawati, Moses Laksono Singgih, Bambang Syarudin (2016) dalam penelitiannya yang berjudul Integrasi Quality Function Deployment (QFD) dan Conjoint Analysis Untuk Mengetahui Preferensi Konsumen menjelaskan mengenai penerapan Quality Function Deployment dan mengintegrasikannya dengan Conjoint Analysis. Fenomena permasalahan adalah peneliti menjelaskan bahwa terdapat beberapa kekurangan pada implementasi QFD, yaitu sulit membedakan antara beragam kebutuhan konsumen yang bertentangan dan sulit memenuhi kebutuhan konsumen yang berbeda kelompok atau segmen. Tujuan dari penggunaan Conjoint Analysis adalah mengetahui bagaimana konsumen bersedia mengorbankan atribut dan level suatu produk terhadap atribut produk lainnya. Dihubungkan pada studi penelitian yang dilakukan, penelitian Irawati, Singgih, dan Syarudin (2014) memiliki kaitan dengan penerapan Quality Function Deployment dan dengan adanya integrasi dengan Conjoint Analysis, dapat menjadi masukan bagi pengerjaan customer needs. Model integrasi ini juga membantu untuk memperoleh technical response sesuai dengan pangsa pasar yang ada dan preferensi konsumen.
Title
Model Kano Model Kano merupakan metode yang dikembangkan oleh Noriaki Kano pada tahun 1984, yang merupakan rangkaian konsep, gagasan, dan teknik untuk membantu menentukan kepuasan pelanggan dari atribut-atribut produk yang ditawarkan. Model Kano mengusulkan dimensi kepuasan yang terdiri dari 5 aspek yaitu Frustrated – Dissatisfied – Neutral – Satisfied – Delighted. Frustrated menunjukkan kondisi ketidakpuasan sama sekali sedangkan Delighted menunjukkan kondisi sangat puas. Terdapat juga dimensi dari keberadaan spesifikasi produk yang terdiri dari 5 aspek yaitu None – Some – Basic – Good – Best. Dimana None menunjukkan tidak ada sama sekali spesifikasi produk tersebut sedangkan Best menunjukkan spesifikasi produk yang paling baik. Dimensi kepuasan dan keberadaan spesifikasi produk diintegrasikan sehingga menciptakan dasar dari Model Kano dan menentukan bagaimana perasaan konsumen mengenai atribut dari produk yang dimiliki. Model Kano mengklasifikasikan fitur atau atribut dari suatu produk menjadi tiga kategori, yaitu One-dimensional, Must Be, Attractive. Kategori One-dimensional atau Performance merupakan fitur-fitur produk yang berbanding lurus dengan kepuasan konsumen. Semakin banyak fitur yang ditawarkan, semakin tinggi pula tingkat kepuasan yang dirasakan oleh konsumen. Dengan kata lain, kategori One-dimensional memberikan kesempatan pada organisasi atau perusahaan untuk terus menjaga keberadaannya di pasar tertentu. Kategori Must Be merupakan fitur produk yang benar-benar diharapkan oleh konsumen. Apabila produk tersebut tidak memiliki fitur yang diharapkan, konsumen akan merasa sangat tidak puas dengan apa yang kita berikan. Kategori Attractive merupakan fitur produk yang tidak diharuskan untuk ada dan tidak diharapkan oleh konsumen. Fitur produk yang Attractive sebenarnya tidak terduga, namun fitur tersebut menimbulkan reaksi positif dari konsumen karena dengan adanya atribut produk yang Attractive, peluang untuk meningkatkan kepuasan konsumen sangat tinggi. Telah banyak penelitian yang melibatkan Kano, seperti hasil studi Sauerwein et al (1996), Xu et.al (2009) yang menyoroti penggunaan Kano untuk menggembirakan konsumen serta customer needs analysis. Atau riset yang melakukan integrasi dengan alat lain seperti yang dilakukan Chen & Chuang (2008), Shahin (2004), Tontini (2007) dan Lee et al. (2008). Model Kano memiliki dimensi analisis yang berperan untuk membantu dalam mendefinisikan kategori dari fitur-fitur suatu produk. Untuk mengetahui persepsi konsumen terhadap atribut produk yang dimiliki, terdapat kuesioner Kano yang terdiri dari dua pokok pertanyaan untuk setiap atribut yang ingin dievaluasi, yaitu: Bagaimana perasaan konsumen apabila produk memiliki fitur tersebut? Dan bagaimana perasaan konsumen apabila produk tidak memiliki fitur tersebut? Pertanyaan yang pertama merupakan dimensi functional atau positif, sedangkan pertanyaan yang kedua merupakan dimensi dysfunctional atau negatif. Kedua pertanyaan tersebut sangat spesifik yang harus digunakan dalam Model Kano dan terdapat lima pilihan jawaban yang diberikan yaitu : I like it; I expect it; I am neutral; I can tolerate it; I dislike it. Setelah pertanyaan dan jawaban telah didapatkan dari kuesioner Kano, fitur-fitur yang dievaluasi dapat dikategorisasikan dengan mudah melalui tabel 1.
Like It Expect It Functional (Positif) Don’t Care Live With Dislike Keterangan : Q = Questionable R = Reverse I = Indifference
Tabel 1. Evaluasi Model Kano Dysfunctional (Negatif) Like It Expect It Don’t Care Q A A R I I R I I R I I R R R
Live With A I I I R
Dislike O M M M Q
O = One-dimensional A = Attractive M = Must Be
Pada tabel diatas terdapat tiga kategori baru untuk lebih memperjelas respon dari kuesioner yang telah diberikan, yaitu Questionable, Reverse, dan Indifference. Kategori Questionable akan muncul ketika responden menjawab pertanyaan positif dan negatif dengan jawaban yang sama. Hal ini menjadi kontradiktif, sehingga respon ini harus dihindari dengan sebaiknya mengganti pertanyaan yang diajukan. Kategori Reverse akan muncul ketika responden menjawab pertanyaan dysfunctional dengan respon positif dan menjawab pertanyaan functional dengan respon negatif. Apabila hasil kuesioner dominan dengan respon Reverse, kemungkinan responden menginginkan hal yang berlawanan sehingga sebaiknya mengganti penawaran yang diberikan. Kategori Indifference menunjukkan bahwa responden menjawab pertanyaan dysfunctional dan functional dengan respon yang netral. Responden kebanyakan akan menjawab I am neutral dan I can tolerate it pada fitur-fitur yang tidak terlalu mempengaruhi kepuasan mereka.
Title
Metode Populasi dalam penelitian ini adalah konsumen restoran B Bandung. Metode pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik non-probability purposive sampling, dengan sampel berjumlah 150 responden. Variabel penelitian menggunakan lima dimensi service quality atau SERVQUAL yaitu tangible, reliability, assurance, responsiveness, dan empathy, dengan jumlah butir pernyataan sebagai berikut: Tabel 2. Variabel dan Pengukuran Variabel Tangible Reliability Assurance Responsiveness Empathy
Jumlah Butir Pernyataan 9 3 3 2 5
Hasil uji validitas menunjukkan bahwa nilai corrected item total correlation semua butir pernyataan pada setiap variabel penelitian lebih besar dari nilai r-tabelnya yaitu 0, 134. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa semua pernyataan dari setiap variabel lima dimensi SERVQUAL dinyatakan valid. Sementara nilai cronbach alpha yang diperoleh lebih besar dari 0,919 sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh instrumen yang digunakan dalam penelitian ini reliabel.
Hasil dan Pembahasan Deskripsi dari subyek penelitian menunjukkan bahwa responden terdiri dari 150 orang dengan komposisi berjenis kelamin perempuan sebesar 58%; berusia lebih dari 25 tahun sebesar 56,67%; mayoritas bekerja sebagai PNS/Polri/TNI sebesar 26%; memiliki penghasilan antara Rp 3.000.000,- sampai Rp 7.000.000,- sebesar 42%; dan frekuensi berkunjung ke restoran B lebih dari 1 kali sebesar 76%. Berdasarkan identifikasi voice of customer (VOC), terdapat 23 atribut pelayanan restoran BMC berdasarkan lima dimensi SERVQUAL yaitu tangible, reliability, assurance, responsiveness, dan empathy. Proses pengumpulan data voice of customer dilakukan dengan penyebaran kuesioner kepada 150 orang responden yang mengunjungi restoran BMC. Kuesioner tersebut dibentuk dengan penggabungan dua metode yaitu pendekatan SERVQUAL dan model Kano sehingga responden harus menilai kenyataan atribut pelayanan, tingkat kepentingan atau harapan atribut pelayanan (sebagai nilai fungsional), dan apabila atribut pelayanan tidak tersedia (sebagai nilai disfungsional). Atribut yang memiliki nilai kepuasan (satisfaction) negatif menunjukkan bahwa konsumen restoran B belum merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan. Nilai kepuasan dari setiap atribut dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Tingkat Kepuasan Konsumen Restoran B Item
Atribut
Perceived
Expected
Satisfaction
T1
Kenyamanan restoran
2,69
3,80
-1,11
T2
Desain restoran yang menarik
3,80
3,80
0
T3
Fasilitas tambahan tersedia (Televisi, Free Wi-
3,80
3,56
0,24
Fi, Smoking Area) T4
Representasi menu makanan dan minuman jelas
3,80
2,78
1,02
T5
Penampilan karyawan sopan
3,80
3,80
0
T6
Peralatan makan dan minum bersih
3,56
3,15
0,41
T7
Toilet yang nyaman dan bersih
2,85
3,56
-0,71
T8
Tempat ibadah yang nyaman dan bersih
2,98
3,80
-0,82
T9
Lahan parkir yang luas
2,14
3,80
-1,66
R1
Makanan dan minuman datang dengan cepat
3,31
2,49
0,82
R2
Kualitas makanan dan minuman terjamin
2,98
3,31
-0,33
R3
Restoran mudah dihubungi oleh konsumen
2,98
2,36
0,62
A1
Karyawan memahami menu yang ditawarkan
3,31
3,80
-0,49
A2
Karyawan ramah dan sopan
3,56
2,82
0,74
A3
Karyawan dapat dipercaya
3,80
2,75
1,05
A4
Karyawan teliti dalam perhitungan pembayaran
3,80
2,82
0,98
RS1
Karyawan cepat tanggap dalam membantu
2,94
3,09
-0,15
Saran dan kritik mudah disampaikan
3,04
3,42
-0,38
Sistem pembayaran bervariasi
3,80
3,56
0,24
konsumen RS2 E1
Title
Item
Atribut
Perceived
Expected
Satisfaction
E2
Fasilitas diskon
3,42
3,42
0
E3
Hiburan / entertainment bagi konsumen
3,80
3,56
0,24
E4
Jam
3,23
3,80
-0,57
3,80
3,80
0
operasional
sesuai
dengan
keinginan
konsumen Fasilitas restoran yang lengkap
E5
Kategori Model Kano Setelah mencari nilai kepuasan konsumen restoran B, selanjutnya adalah mengkategorikan setiap atribut yang memiliki nilai kepuasan negatif dengan model Kano. Dengan mencari frekuensi setiap jawaban pada atribut fungsional dan disfungsional, dapat diperoleh kategori Kano seperti pada tabel 4. Tabel 4. Pengkategorian Atribut Ke Kategori Kano Item
Atribut
Kategori
Bobot
T1
Kenyamanan restoran
I
0
T7
Toilet yang nyaman dan bersih
M
1
T8
Tempat ibadah yang nyaman dan bersih
M
1
T9
Lahan parkir yang luas
M
1
R2
Kualitas makanan dan minuman terjamin
M
1
A1
Karyawan memahami menu yang ditawarkan
M
1
RS1
Karyawan cepat tanggap dalam membantu konsumen
M
1
RS2
Saran dan kritik mudah disampaikan
I
0
E4
Jam operasional sesuai dengan keinginan konsumen
I
0
Untuk integrasi model Kano dalam matriks House of Quality, Mengacu pada jurnal ilmiah Tan dan Pawitra (2001), true customer needs diperoleh dengan meniadakan atribut yang memiliki kategori indifference. Pada penelitian ini terdapat tiga atribut dengan kategori indifference dari sembilan atribut yang memiliki nilai kepuasan negatif, sehingga true customer needs sebanyak enam atribut. Technical Characteristics merupakan aspek mengenai bagaimana perusahaan merespon dan memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan (customer requirements). Berdasarkan hasil wawancara dengan Assistant Manager Outlet
Resto dari restoran B, dirumuskan delapan aspek technical responses yang terkait dengan true customer needs yaitu: kompetensi karyawan, pemeliharaan fasilitas restoran, konsep desain restoran, penambahan serta kaji ulang menu makanan dan minuman, peningkatan fasilitas bagi konsumen, pengembangan Standard Operational Procedure (SOP) untuk bagian kitchen, pantry, dan bakery, pengembangan Standard Operational Procedure (SOP) untuk bagian restaurant service dan ketepatan pelayanan pada konsumen.
Integrasi Model Kano Model Kano yang diintegrasikan ke dalam matriks House of Quality pada restoran B diilustrasikan pada gambar 2.
Gambar 2. Integrasi Model Kano Dengan QFD Matriks House Of Quality Berdasarkan hasil analisis yang telah dijelaskan, matriks House of Quality (HOQ) dari restoran B dapat pada gambar 3.
Title
Gambar 3. Matriks House of Quality
Simpulan Berikut adalah beberapa simpulan yang merupakan hasil analisis dari penelitian yang telah dilakukan pada restoran B dengan menggunakan metode House of Quality: 1) Prioritas customer requirements diidentifikasi dari enam atribut pelayanan yang memiliki kategori must-be. Terdapat dua atribut dengan persentase di atas rata-rata yang menjadi prioritas utama untuk diadakan perancangan ulang yaitu: tempat ibadah yang nyaman dan bersih dan lahan parkir yang luas. 2) Prioritas technical characteristics diidentifikasi dengan menghitung adjusted importance dari setiap karakteristik. Terdapat dua karakteristik yang harus diprioritaskan restoran B agar siap dalam meningkatkan kualitas pelayanannya yaitu: pemeliharaan fasilitas restoran dan peningkatan fasilitas bagi konsumen. Setelah dilakukannya penelitian pada restoran B mengenai kualitas pelayanan, diharapkan beberapa saran berikut dijadikan masukan dan pertimbangan bagi pihak terkait dan bagi penelitian berikutnya: 1)Sebaiknya restoran B merancang ulang (re-design) kualitas pelayanannya dengan melakukan respons yang signifikan pada karakteristik teknis pertama yaitu peningkatan fasilitas bagi konsumen untuk memenuhi masing-masing customer requirements yang diprioritaskan untuk adanya peningkatan yaitu ketersediaan lahan parkir serta kenyamanan dan kebersihan tempat ibadah. Hal ini sangat penting karena dua customer requirements tersebut merupakan dimensi tangible atau bukti nyata dari representatif pelayanan yang diberikan sehingga konsumen merasakan dampaknya secara langsung apabila atribut tersebut kurang bisa memenuhi keinginan mereka. 2)Prioritas technical characteristics yang kedua yaitu pemeliharaan fasilitas restoran juga harus diperhatikan dengan sangat baik karena sifatnya yang berinteraksi langsung dengan konsumen. Seperti misalnya fasilitas WiFi yang dianggap tidak terlalu signifikan bagi restoran itu sendiri tapi sangat dibutuhkan oleh mayoritas konsumen sehingga apabila tidak dilakukan controlling dan maintenance dengan baik, restoran akan meninggalkan kesan yang kurang baik bagi konsumen tersebut.
Title
Daftar Pustaka 1. Andronikidis, A., Georgiou, A. C., Gotzamani, K., & Kamvysi, K. (2009). The application of quality function deployment in service quality management. The TQM journal, 21(4), 319-333. 2. Anwar, A., Mulyati, D. S., & Amelia, W. (2013). Application Quality Function Deployment to Improve the Quality of Services in Ngodoe Café. International Journal of Innovation, Management and Technology, 4(6), 574. 3. Chase, R. B., Jacobs, F. R., & Aquilano, N. J. (2011). Operations Management. McGraw-Hill/Irwin. 4. Chen, C. C., & Chuang, M. C. (2008). Integrating the Kano model into a robust design approach to enhance customer satisfaction with product design. International Journal of Production Economics, 114(2), 667-681. 5. Goetsch, D. L., & Davis, S. (2010). Quality Management for Organizational Excellence. Pearson. 6. Heizer, J., & Render, B. (2014). Operations Management. Pearson. 7. Irawati, D. Y., Singgih, M. L., & Syarudin, B. (2016). Integrasi Quality Function Deployment (QFD) dan Conjoint Analysis untuk Mengetahui Preferensi Konsumen. Jurnal Optimasi Sistem Industri, 13(2). Krajewski, L. J., Ritzman, L. P., & Malhotra, M. K. (2013). Operations Management. Pearson. 8. Lee, Y. C., Sheu, L. C., & Tsou, Y. G. (2008). Quality function deployment implementation based on Fuzzy Kano model: An application in PLM system. Computers & Industrial Engineering, 55(1), 48-63. 9. Pawitra, T. A., & Tan, K. C. (2001). Integrating Servqual and Kano's Model Into QFD. 10. Reid, R. D., & Sanders, N. R. (2013). Operations Management. Wiley. 11. Sauerwein, E., Bailom, F., Matzler, K., & Hinterhuber, H. H. (1996, February). The Kano model: How to delight your customers. In International Working Seminar on Production Economics (Vol. 1, No. 4, pp. 313-327). Innsbruck. 12. Shahin, A. (2004). Integration of FMEA and the Kano model: An exploratory examination. International Journal of Quality & Reliability Management,21(7), 731-746. 13. Swink, M., Melnyk, S. A., Cooper, M. B., & Hartley, J. L. (2014). Managing Operations Across the Supply Chain. McGraw-Hill/Irwin. 14. Tontini, G. (2007). Integrating the Kano model and QFD for designing new products. Total Quality Management, 18(6), 599-612. Wahyuni, T. (2015, Februari 10). Dipetik Oktober 2015, dari www.cnnindonesia.com
15. Xu, Q., Jiao, R. J., Yang, X., Helander, M., Khalid, H. M., & Opperud, A. (2009). An analytical Kano model for customer need analysis. Design Studies, 30(1), 87-110. 16. Zeithaml, V. A., Bitner, M. J., & Gremler, D. D. (2013). Services Marketing. McGraw-Hill.