1. SECERCAH HARAPAN
“MOM, pesta siapa ini?” Aku menatap bangunan megah bercat putih yang terdiri dari tiga tingkat di hadapanku, dengan segala pilar menjulang tinggi bagaikan pohon palem dari marmer. Tamu yang hadir berpakaian semi-formal, jadi aku yakin ini bukanlah pesta pernikahan. Sebuah Limo dan mobil-mobil mewah lainnya berhenti di belakang kami, menurunkan tamu-tamu lainnya. Ibuku sempat menyapa beberapa tamu yang dikenalnya, mengecupi pipi-pipi mereka dan bertanya kabar mereka tanpa benar-benar ingin tahu. “Ini pesta Ballard dan Sally,” ibuku memberitahuku setelah dua wanita terakhir yang dikenalnya masuk ke dalam gedung. Di perjalanan tadi, ia tidak mengatakan apa-apa soal ini. Kami bertengkar sebelum berangkat karena Mom memaksaku mengenakan sepatu dengan tumit lima belas senti yang hanya akan berakhir bencana. Pada akhirnya ia mengalah—bukan kebiasaannya—membiarkan aku mengenakan sepatu sol datar pilihanku. “Kau tahu, mereka mendirikan dua proyek perumahan mewah di Columbus dan Nashville—sekarang mereka ingin merayakan keberhasilan mereka, mengundang kenalan-kenalan penting mereka, yah begitulah.” Mom mengangkat bahu, seolah itu bukanlah berita baiknya. Ballard dan Sally Landford benar-benar patut diacungi jempol tentang semua ini. Kamuflase mereka sangat sempurna. Seperti layaknya keluargaku, keluarga Landford adalah penyihir yang berkamuflase dan tinggal di kota besar. Tidak banyak penyihir
3
yang ingin berinteraksi dengan Dumdey—sebutan kami untuk bangsa nonsihir—tapi ayahku memiliki kewajiban soal pekerjaannya sebagai ketua komite. Tradisi lama. Aturan yang berlaku di dunia minoritas yang membosankan. Meski begitu, tak bisa dipungkiri bahwa sebagian dari bangsa kami yang berhasil menduduki jabatan tinggi semacam itu menikmatinya. Contohnya keluarga Landford, ibuku... mungkin juga ayahku yang kesibukannya melebihi presiden Amerika Serikat. “Apa itu artinya aku akan bertemu dengan Pete?” Harusnya aku sadar lebih cepat. “Tentu saja kau akan bertemu Peter di dalam, ini pesta orangtuanya.” Ibuku mengangkat alisnya seolah mempertanyakan kewarasanku. “Ayo, kita masuk.” “Entahlah, Mom, aku tidak yakin,” desahku. Rasanya sungguh aneh. Selama sebulan penuh aku menghubungi Pete, tapi ia tidak menjawab teleponku atau membalas pesan-pesan yang kukirimkan. Dan sekarang, aku akan bertemu dengannya begitu saja... Ibuku menghela napas jengkel. “Baiklah, aku akan menunggumu di dalam gedung, ayahmu sudah menanti kita di sana. Lima menit lagi kau harus sudah masuk—ingat, jangan sampai kau membuatku pergi mencarimu,” ujarnya dingin kemudian meninggalkanku masuk ke dalam gedung dengan langkah anggunnya yang menyebalkan. Selama beberapa menit berikut aku hanya berdiri di depan pintu masuk yang dijaga dua orang penjaga berseragam hitam dan bertubuh tegap itu. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak mungkin masuk ke sana dan berlagak semuanya baik-baik saja. Aku tahu ini mungkin terdengar sangat bodoh, namun saat ini aku mendadak tidak siap bertemu dengannya. Bagaimana nanti kalau ia menertawakanku?—Bagaimana jika rencana itu memang
4
hanyalah omong kosong; cuma aku sendirian satu-satunya orang di dunia ini yang khawatir? Aku harus menata ulang semua rencanaku, termasuk hal-hal apa saja yang akan kukatakan pada sahabatku itu. Ketika aku berbalik untuk meninggalkan gedung, ada tangan hangat yang menarik sikuku. Sontak aku pun berbalik. Peter Landford berdiri di sana. Rambut cokelat kemerahannya, seperti biasa tampak spektakuler, serasi dengan setelan jas semiformal cokelat tuanya yang membuat tubuh atletisnya membentuk jelas. Matanya melengkung hangat kala menatapku—iris hijaunya tampak berkilauan terkena cahaya lampu taman. “Jangan bilang kau mau pergi,” tegurnya, berlagak marah. Sesaat aku hanya terpaku menatapnya. Aku sangat mengenali suara dan sorot mata itu. “Er... sebenarnya aku baru saja akan masuk,” aku beralasan. “Kalau begitu tunggu apa lagi?” ujarnya, meraih tangan kananku. Saat itulah sesuatu mencubit kepalaku. “Pete, kita harus bicara,” ujarku tegas, menarik kembali tanganku dan tetap diam di tempat. Ia langsung berbalik dan menatapku. “Aku tahu,” gumamnya, sorotannya kontan berubah dan penuh antisipasi. “Tapi tidak di sini.” Pete menggiringku ke pintu di belakang gedung, kelihatannya tempat istirahat khusus. Ia menyodorkan segelas limun dalam gelas kristal langsing padaku, aku meraihnya, pikiranku tercecar. Kami tak pernah melewati fase canggung sebelum ini. Hubungan kami sedekat Kakak dan Adik. “Aku tahu kau pasti marah sekali padaku,” ia memulai, aku melihat bibirnya sedikit berkedut. “Tapi aku sungguh sibuk sekali belakangan ini. Tadinya aku akan menelepon kemarin malam tapi
5
kupikir toh hari ini kita akan bertemu—Clara memberitahuku kau akan datang. Kau mau memaafkanku, kan?” Aku mengangkat bahu. “Kalau kau memang betul-betul sebegitu sibuknya.” Ia tahu aku tak pernah bisa marah padanya. Ia tersenyum sambil menyesap sampanyenya. “Pete, kupikir situasi ini sangat gawat,” aku memulai, berharap suaraku terdengar serius. “Mereka mungkin sedikit salah dalam mengartikan keakraban kita selama ini. Aku sudah memikirkannya, kita bisa membuat petisi yang isinya segala protes kita terhadap keputusan sepihak ini. Kita bisa menyertakan tanda tangan dan lain-lain, sebenarnya supaya mereka tahu saja kita serius menentang rencana ini. Aku yakin rencana ini akan berhasil kalau kita bekerja sama dengan baik.” Bulan lalu ibuku bicara padaku—hal yang jarang sekali ia lakukan di tengah aktivitas sosialnya bersama para Dumdey yang menganggapnya malaikat di era modern. Harusnya aku sudah bisa menebak, ibuku hanya membawa kabar buruk. Sesuatu yang tak bisa kuterima dari sekian banyak hal yang ia paksakan padaku. Jelas tak bisa kuterima. Bagaimana mungkin Mom ingin aku dan Pete—Peter Landford, sahabatku, cowok yang selama ini kukagumi layaknya kakakku sendiri—bertunangan? Kedekatan para orangtua bukanlah sebuah alasan untuk melakukan hal semacam itu—tradisi kuno mengikat itu di masa kini. Satu fakta tambahan, kami sudah saling mengenal sejak kecil. Saat aku tiga dan ia tujuh tahun. Keadaanku tak pernah lebih kacau saat Mom mengatakan maksudnya, dan aku tak pernah berhasil menghubungi Pete sejak saat itu hingga akhirnya aku bertemu dengannya di pesta ini. Bagi Pete sepertinya keadaannya sama sekali tidak genting.
6
“Aku tidak tahu kalau kau secemas ini,” ujarnya—dugaanku benar—mendadak tatapannya tak bisa dibaca. Ia kemudian bangkit berdiri dan menyesap minumannya sebelum memulai lagi. “Sebetulnya secara tradisional... kau mungkin sudah tahu kebiasaan kaum kita yang menikah muda. Ayah dan ibuku menikah saat mereka berusia sembilan belas tahun, itu juga yang terjadi pada orangtuamu, bukan?—dan sebagian besar orangtua kaum kita. Tapi sebetulnya itu bukanlah perkara besar, semua orang kelak akan menikah dan memiliki keluarga yang bahagia. Apa mungkin kau berpikir orangtua kita ingin kita bahagia dengan rencana itu?” Aku menatapnya tak percaya. Saat akan meletakkan gelas limunku, aku malah menjatuhkannya. Dalam sekejap serpihan kristal tersebar di mana-mana seperti hujan es. Dengan gerakan kecil, Pete lalu melambaikan tangannya, sebelum pecahan gelas kristalku berterbangan dan kembali menjadi gelas yang utuh di meja bar—hal yang tak pernah sanggup kulakukan. Tak satupun sihir menyentuh diriku kecuali darah yang mengalir dalam struktur genetisku yang tak berkembang menjadi apapun. Perlahan-lahan aku mulai mencerna kembali kata-katanya barusan. Lalu semuanya menjadi semakin jelas. Apakah intinya Pete menyetujui rencana itu? Jadi selama ini ia sudah tahu kalau kami nantinya akan menikah? Pete membaca ekspresiku, ia segera mengulurkan tangannya untuk meraihku. “Sands, Sandy...” “Jangan mendekat,” desisku. “Kau tidak di pihakku—kau menikamku... kau...” “Aku ada di pihakmu. Selalu di pihakmu, selama hampir empat belas tahun ini,” bisiknya dengan bibir terkatup, sekilas tatapannya membuatku merinding; wajah terlukanya. “Sudah
7