1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial ingin selalu hidup berinteraksi dengan sesamanya, maka dalam upaya meneruskan keturunannya, manusia melakukan perkawinan. Perkawinan telah dilakukan semenjak adanya manusia itu sendiri, Tuhan menciptakan manusia pertama yaitu Adam juga disertai pasangannya yakni Hawa. Sebagai mahluk yang berakal, manusia memandang bahwa perkawinan bukanlah semata-mata urusan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya ataupun meneruskan keturunan, tetapi juga dipandang sebagai suatu ikatan yang suci yang memiliki dampak sosial yang lebih luas, oleh karena itu pengaturan masalah perkawinan menjadi sangat diperlukan. Di Indonesia, hal ihwal perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa ikatan perkawinan bukanlah sekedar ikatan biasa seperti ikatan bisnis saja tetapi lebih jauh lagi yakni melibatkan ikatan batin dengan tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
2
Perkawinan menjadi sah apabila telah sesuai dengan rumusan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jadi, suatu perkawinan menjadi sah apabila perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum agama dan masing-masing kepercayaan serta telah dicatatkan pada Kantor Urusan Agama/KUA (bagi yang beragama Islam) dan Dinas Catatan Sipil (bagi yang beragama non muslim dan kepercayaan). Pencatatan perkawinan juga diperuntukan guna memenuhi tertib administrasi kependudukan. Pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, asas perkawinan yang berlaku adalah asas monogami sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi : Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Monogami adalah perkawinan tunggal, yakni perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Asas monogami dapat disimpangi dengan asas poligami sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut : Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut Sayuti Thalib, poligami yaitu seorang laki-laki beristri lebih dari satu orang perempuan dalam waktu yang sama, memang diperbolehkan dalam agama Islam, tetapi pembolehan itu diberikan sebagai suatu pengecualian, pembolehan diberikan dengan pembatasanpembatasan yang berat, berupa syarat-syarat dan tujuan yang mendesak1. Jika
1
Trusto Subekti, Hukum Keluarga dan Perkawinan. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. 2009 hlm 38
3
menilik dari asalnya, monogami berasal dari Barat, hal ini dikarenakan dalam ajaran agama Kristen hanya dikenal perkawinan tunggal/monogami. Seorang wanita tidak mau dimadu dalam kehidupan rumah tangganya. Apabila terjadi seorang wanita bersedia dimadu dalam perkawinannya, sudah dipastikan karena ada faktor lain atau karena pengaruh keyakinan dan budaya masyarakatnya. Hal ini berbeda pada diri seorang pria yang terdapat kecendrungan untuk itu, baik dilihat dari aspek biologis, budaya, dan psikilogis.2 Poligami itu berasal dari Timur ke Barat. Pemberlakuan poligami dalam perkawinan sering menimbulkan sikap pro dan kontra di dalam masyarakat. Masyarakat yang pro terhadap poligami beranggapan bahwa poligami adalah keharusan kemanusiaan yang biologis pada satu segi dan mungkin juga kepentingan sosial, psikologis, dan segi yang lain.3 Bagi masyarakat yang kontra beranggapan bahwa poligami itu merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), karena dengan dilakukannya praktek poligami dalam perkawinan, maka akan terjadi praktek-praktek diskriminasi dalam kehidupan rumah tangga. Pengaturan mengenai tata cara pengajuan ijin poligami dapat dilihat dari ketentuan Pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 41 huruf a PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Pasal 55-59 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:
2
Ibid, hlm 37 Yahya, Harahap, Hukum Perkawinan Indonesia, CV Tahir Trading Co, Medan, 1978 hlm 25
3
4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan ijin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri; b.Istri mendapatkan cacat badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syaratsyarat sebagai berikut: a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri; b.Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. (2) Perjanjian yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai perjanjiannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya, selama sekurang-kurangnya dua tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan. Pengadilan agama yang memeriksa permohonan ijin poligami harus memperhatikan dan mempergunakan syarat sebagaimana yang telah ditentukan oleh Pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9 Tahun 1975, jika tidak memenuhi syarat tersebut maka permohonan ijin poligami akan ditolak, sebaliknya jika dipenuhi maka permohonan ijin poligami akan dikabulkan. Pemohon (Nardi) melangsungkan perkawinan dengan termohon (Nur Fajriah) pada tanggal 13 Oktober 2000, perkawinan tersebut dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah di KUA Rawalo Kabupaten Banyumas sesuai kutipan akta nikah Nomor 769/14/X/2000. Perkawinan antara Pemohon dengan Termohon, telah dikaruniai dua orang anak yang masing-masing berumur 9 tahun dan 7 tahun, selama perkawinan berlangsung juga diperoleh harta bersama. Pemohon dengan
5
Termohon
selama menikah,
bedomisili di Desa Tipar Kecamatan Rawalo
Kabupaten Banyumas. Pemohon menjalin hubungan asmara dengan seorang wanita yang bernama Defi Defaluati (calon istri kedua) pada tahun 2010, dan calon istri kedua telah hamil 3 bulan. Pemohon bertanggung jawab atas hal tersebut. Pemohon mengajukan permohonan ijin poligami dengan alasan sebagai berikut: 1. Bahwa Termohon tidak dapat maksimal memenuhi kebutuhan biologis Pemohon karena termohon kecapaian mengurusi dagangan, akibatnya Pemohon menjalin hubungan/pacaran lagi dengan Defi Defaluati (calon istri kedua pemohon) sampai sekarang sudah satu tahun lamanya; 2. Bahwa saat ini calon istri kedua Pemohon sedang hamil 3 bulan; 3. Bahwa calon istri kedua Pemohon bernama Defi Defaluati tidak ada hubungan keluarga dengan Pemohon maupun Termohon; 4. Bahwa Pemohon merasa mampu memberikan nafkah dua orang istri dengan penghasilan pemohon dari dagang kayu dan usaha kolam pemancingan ratarata sebulan sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah); 5. Bahwa selama Pemohon berumah tangga dengan Termohon, antar Pemohon dengan Termohon telah mempunyai harta bersama berupa: a. Sebuah rumah dengan ukuran 233 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kacamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas; b. Sebuah sepeda motor merk Honda Revo tahun 2009 No polisi R 6385 QE; c. Sebuah kolam pemancingan dengan ukuran 280 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas;
6
d. Sebidang tanah seluas 350 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas; e. Sebuah kios dengan ukuran 3x4 m yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas f. Emas seberat 15 gram. Pengadilan Agama Purwokerto dalam persidangan pertama dengan acara sidang mediasi, hal tersebut sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008, sidang mediasi mediator memberikan pandangan atau nasihat kepada Pemohon dan Termohon dengan mengingatkan kepada keduanya, terutama kepada Pemohon tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi akibat dari kehidupan berpoligami, tetapi Pemohon tetap bersikeras untuk melanjutkan perkaranya sehingga mediasi dinyatakan gagal. Pengadilan Agama Purwokerto kemudian melanjutkan proses persidangan ke sidang
acara
pembuktian
dan
memerintahkan
kepada
Pemohon
untuk
membuktikan kebenaran dalil permohonan ijin poligami, Pemohon mengajukan alat bukti berupa surat, menghadirkan dua orang saksi dan pengakuan dari Pemohon maupun dari Termohon. Pengadilan Agama Purwokerto melakukan pemeriksaan setempat untuk memeriksa harta bersama antara Pemohon dengan Termohon (benda tetap) serta meminta keterangan dari calon istri kedua tentang kesediannya untuk menjadi istri kedua Pemohon, dimana calon istri kedua Pemohon menyatakan bahwa dirinya bersedia untuk menjadi istri kedua Pemohon dan antara Pemohon dengan calon istri kedua tidak ada larangan perkawinan untuk melaksanakan perkawinan.
7
Isi putusan permohonan ijin poligami, amarnya berbunyi sebagai berikut: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon; 2. Memberi ijin kepada Pemohon Nardi untuk menikah lagi dengan perempuan bernama Defi Defaluanti; 3. Membebankan biaya perkara sebesar Rp.1.891.000,- (satu juta delapan ratus sembilan puluh ribu rupiah) kepada Pemohon. Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian guna menyusun skripsi dengan judul: PENILAIAN ALAT BUKTI DALAM PERMOHONAN IJIN POLIGAMI YANG DIKABULKAN
(TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN NOMOR:
417/Pdt.G/2011/PA.Pwt). B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menilai alat bukti permohonan ijin poligami yang dikabulkan sesuai dengan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam perkara putusan Nomor: 417/Pdt.G/2011/PA.Pwt ? 2.Apakah akibat hukum yang ditimbulkan dari permohonan ijin poligami yang dikabulkan?
8
C. Tujuan Penelitian
1.Untuk mengetahui mengenai pertimbangan hakim dalam menilai alat bukti permohonan ijin poligami yang dikabulkan berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam perkara putusan Nomor: 417/Pdt.G/2011/PA.Pwt. 2.Untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan dari permohonan ijin poligami yang dikabulkan. D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah kepustakaan ilmu hukum khususnya hukum acara perdata sehingga hukum dapat selalu selaras dengan kemajuan ilmu pengetahuan. 2. Kegunaan Praktis Sebagai salah satu acuan kepustakaan hukum acara perdata khususnya mengenai hukum acara peradilan agama terutama mengenai masalah apakah dalam menjatuhkan putusan mengenai permohonan ijin poligami (Putusan No. 417/Pdt.G/2011/PA.Pwt) sudah sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan KHI.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Pengertian mengenai perkawinan dapat dijumpai pada: 1.1 Pasal 2 KHI Perkawinan menurut islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 1.2 Dawoud El Alami dan Doreen Hincliffe Perkawinan dalam hukum islam ialah sebuah kontrak, dan seperti kontrakkontrak yang lain, perkawinan disimpulkan melalui pembinaan suatu penawaran (ijab) oleh satu pihak dan pemberian suatu penerimaan (qabul) oleh pihak yang lain. Bukan bentuk kata-katanya itu sendiri yang menjadi wajib, sepanjang maksudnya dapat disimpulkan (dipahami), maka suatu akad perkawinan adalah jelas (sah).4 Pada pengertian mengenai perkawinan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang namanya perkawinan adalah suatu kontrak/perjanjian antara seorang pria (ijab) dengan seorang wanita (qabul) untuk melaksanakan ibadah terhadap Allah SWT serta dalam melaksanakan suatu perkawinan harus memenuhi akad-akad perkawinan agar perkawinan tersebut menjadi jelas (sah). Pengundangan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebabkan telah terjadinya unifikasi hukum di bidang keluarga dan perkawinan 4
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2004, hlm 51
10
serta pengundangan tersebut didasarkan pada ketentuan hukum adat dan hukum agama sehingga menjadi hukum positif di Indonesia. 2. Akibat Perkawinan
Perkawinan yang dilaksanakan akan menimbulkan akibat baik terhadap suamiistri, harta-kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan.
2.1.Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri
a. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang No. 1 tentang Perkawinan). b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan). c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tentang Perkawinan). d. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. e. Suami istri menentukan tempat kediaman mereka. f. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, dan saling setia.
11
g. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya. h. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
2.2. Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan
a. Timbul harta bawaan dan harta bersama. b. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun. c. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan).
2.3. Akibat Perkawinan Terhadap Anak
2.3.1. Kedudukan anak
a.
Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan)
b.
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.
12
2.3.2. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
a.
Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45 UndangUndang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan).
b.
Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.
c.
Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan). 5
3. Syarat-syarat Perkawinan Syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu sebagai berikut: (1). Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai; (2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orangtua; (3). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaa tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin dimaksud dalam ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya; (4). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyetakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya; 5
Kuliahade.wordpress.com, Hukum Perdata: Akibat Hukum Perkawinan, diunduh pada 6 Januari 2012
13
(5). Dalam hal ada perbedaan pendapat atara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas perintah orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini; (6). Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
B. Poligami 1. Pengertian Poligami Pada antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang hanya memiliki satu suami atau istri pada suatu saat). Permohonan ijin beristri lebih dari 1 orang (poligami) diatur dalam Pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 40-44 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Pasal 55-59 KHI. 2. Syarat-syarat Permohonan Ijin Poligami I. Syarat Alternatif/Mutlak Syarat alternatif tentang permohonan ijin poligami diatur dalam 4 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf a PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berisi antara lain sebagai berikut: 1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri;
14
2. Istri mendapatkan cacat badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. 1.1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dapat ditentukan dengan menguji hukum agama atau kepercayaan masing-masing serta norma adat kebiasaan dengan tidak melupakan faktor perkembangan mobilitas sosial kultural masyarakat yang sedang berkembang, dalam pola cita-cita falsafah pancasila dalam arti yang luas. Sebagai contoh yaitu istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri yaitu jika si istri tidak dengan semestinya menyediakan makanan suami, ataupun memboroskan uang melampaui pendapat suami, serta menelantarkan pengasuhan dan pemeliharaan anak-anak. Tetapi bagaimanapun dalam menilai si istri tidak melaksanakan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga harus dihubungkan dengan perlakuan suami dalam rumah tangga. 1.2. Istri mendapatkan cacat badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Istri mendapatkan cacat badan/penyakit yang tidak dapat disembuhkan dimana alasan tersebut lebih bersifat humanisme, jika menceraikan istri dalam keadaan yang cacat badan tidak lain bahwa si suami bertindak zalim terhadap istrinya tersebut, tetapi si suami yang merupakan homo sapiens juga harus diperhatikan kebutuhan biologisnya. Maka beralasan sekali memberi ijin kepadanya untuk mengawini seorang lagi istri tanpa menceraikan istrinya tersebut.
15
1.3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Setiap manusia yang melakukan perkawinan dipastikan memiliki keinginan untuk memiliki keturunan, hal tersebut memang sangat manusiawi karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya bantuan orang lain. Maka, untuk menentukan bahwa si istri mandul atau tidak diperlukan keterangan yang jelas dari seorang ahli spesialis yang menyatakan bahwa si istri tersebut memang mandul. II. Syarat Kumulatif/Relatif Syarat kumulatif tentang permohonan ijin poligami diatur dalam 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP
No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berisi antara lain sebagai berikut: 1. Adanya perjanjian dari istri/istri-istri; 2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; 3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. 1.1.Adanya perjanjian dari istri/istri-istri Perjanjian ini tidak diatur apakah perjanjian tersebut berupa perjanjian lisan maupun perjanjian tulisan, akan tetapi untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dapat dilihat dari ketentuan Pasal 41 huruf b PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut:
16
Ada atau tidaknya perjanjian dari istri, baik perjanjian lisan maupun tertulis, apabila perjanjian itu merupakan perjanjian lisan, perjanjian itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan. Permohonan ijin adalah tindakan pengadilan/hakim yang bersifat deklarator. Perjanjian dari istri/istri-istri dalam permohonan ijin poligami seperti yang telah diatur dalam Pasal 41 huruf b PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dilaksanakan dengan cara tertulis, tetapi untuk menguatkan bahwa keterangan tersebut di buat oleh istri, maka pengadilan berwenang untuk mendengar langsung persetujuan dari istri, hal itu dilakukan agar tidak terdapat persetujuan palsu dari istri yang dibuat oleh suami dalam permohonan ijin poligami. 1.2.Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka sulit untuk memberikan ukuran-ukuran yang objektif, konkrit, dan pasti. Pada Pasal 41 huruf c PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memberi ukuran objektif mengenai ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin kehidupan istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan: a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; b. Surat keterangan pajak penghasilan; c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
17
Jika dalam menentukan mengenai kemampuan suami untuk menjamin keperluan istri-istri dan anak-anaknya maka dapat ditentukan mengenai jumlah kekayaan suami pada saat pengajuan permohonan ijin poligami. Jumlah kekayaan suami pada saat diajukan permohonan ijin poligami itu bersifat relatif, artinya jumlah kekayaan suami dapat berubah sewaktu-waktu dalam jangka waktu ke depan. Oleh karena itu, hakim harus meneliti pada saat pemberian ijin poligami yang diajukan oleh suami yaitu sebagai berikut: a. Hakim harus mendapatkan mengenai data-data bahwa akhlak dan sikap hidup orang yang bersangkutan benar-benar terpuji dari lingkungan kehidupan masyarakat sekitar, oleh karena itu hakim bisa memperoleh datadata yang dimaksud tersebut dari tetangga Pemohon; b. Menanyakan secara langsung kepada si istri mengenai keadaan sosial ekonomi yang sebenarnya dari keluarga mereka serta tingkah laku si suami selama mereka hidup bersama. c. Hakim dapat mencari kesimpulan motif dan permohonan persetujuan.6 1.3.Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anakanak mereka. Jaminan berlaku adil disini dimaksudkan lebih bersifat moral dan bukanlah materiil. Jaminan dalam pengertian hukum adalah sesuatu yang mempunyai nilai materiil yang dapat dieksekusi untuk memenuhi suatu keingkaran atau kelalaian seorang kreditur. Oleh karena jaminan berlaku adil dalam permohonan ijin poligami lebih condong bersifat moral, maka hakim
6
Ibid hlm 28
18
dapat memintakan surat pengakuan atau surat pernyataan dari pemohon bahwasanya dia bersedia untuk berlaku adil terhadap istri-istrinya dan anakanaknya. Jika si suami menyalahi ikrar untuk berlaku adil terhadap istriistrinya dan anak-anaknya maka pihak istri yang merasa didiskriminasikan dapat menuntut pemulihan keadilan itu kepada pengadilan atau dapat menuntut agar istri yang mendapat perlakuan melebihi dari ukuran-ukuran keadilan supaya diputuskan perkawinannya. 3.
Tata Cara Pengajuan Permohonan Ijin Poligami Tata cara pengajuan permohonan ijin poligami diatur sebagai berikut: 3.1. Poligami harus ada ijin dari pengadilan agama a. Pengadilan, dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 40 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). b. Jika seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 40 PP
No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka suami wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
19
c. Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan (Pasal 40 PP No. 5 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). 3.2. Surat permohonan a. Surat permohonan ijin beristri lebih dari seorang harus memuat: a.1. Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan termohon, yaitu istri/istri-istri. a.2. Permohonan ijin poligami merupakan perkara contentious, karena harus ada persetujuan dari istri. Karena itu, perkara ini diproses di Kepaniteraan Gugatan dan didaftar dalam Register Induk Perkara Gugatan. 3.3. Pemanggilan pihak-pihak a. Pengadilan agama harus memanggil dan mendengar pihak suami dan istri ke persidangan. b. Panggilan dilakukan menurut tatacara pemanggilan yang diatur dalam hukum acara perdata biasa yang diatur dalam Pasal 390 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan pasal-pasal yang berkaitan. 3.4. Pemeriksaan a. Pemeriksaan permohonan ijin poligami dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya (Pasal 42 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975
20
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). b. Pada dasarnya, pemeriksaan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum,
kecuali
apabila
karena
alasan-alasan
tertentu
menurut
pertimbangan hakim yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, pemeriksaan dapat dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama). 3.5. Status perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa ijin dari pengadilan agama Pasal 56 ayat (3) KHI berbunyi: Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa ijin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. 3.6. Jika istri tidak mau memberikan persetujuan permohonan poligami. Pasal 59 KHI yang berbunyi: Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan ijin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 57 KHI. Pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian ijin setelah memeriksa dan mendengar dari istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
4. Alat Bukti Permohonan Ijin Poligami a. Pengadilan agama kemudian memeriksa mengenai: 1.
Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, sebagai syarat alternatif (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No.
21
1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf a PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang
No.
1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan) yaitu: 1.1. Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri; 1.2. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 1.3. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan. 2.
Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun persetujuan tertulis, yang harus dinyatakan di depan sidang.
3.
Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan: 3.1. Surat
keterangan
mengenai
penghasilan
suami
yang
ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau 3.2. Surat keterangan pajak penghasilan, atau 3.3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan agama. 3.4. Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. b. Sekalipun sudah ada persetujuan tertulis dari istri, persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan di depan sidang, kecuali dalam hal
22
istri telah dipanggil dengan patut dan resmi tetapi tidak hadir dalam sidang dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakilnya. c. Persetujuan dari istri tidak diperlukan lagi dalam hal: 1.
Istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian;
2.
Tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun;
3.
Karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan agama.7
C. Hukum Acara Peradilan Agama
1. Kekuasaan dan Kewenangan Peradilan Agama 1.1 Kekuasaan Mengadili Kekuasaan mengadili peradilan agama dikenal menjadi dua bagian, yaitu kompetensi absolut dan kompetensi relatif. 1.1.1 Kompetensi Absolut Kompetensi absolut artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaanya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya.8
7
H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, pustaka pelajar, Yogyakarta, 2005 hlm 241 8 Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama ,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 hlm:27
23
Kompetensi absolut peradilan agama jika ditinjau dari jenis perkaranya yaitu diatur dalam Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, yang diatur dalam Pasal 49 mengatur mengenai kewenangan peradilan agama, yaitu dalam bidang: a. perkawinan; b. harta; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.
Mengenai kompetensi absolut, objek yang akan mengajukan gugatannya ke peradilan agama yaitu pencari keadilan yang beragama islam, disini berlaku asas personalita keislaman. 1.1.2 Kompetensi Relatif Kompetensi relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya.9 Kompetensi relatif dapat diterapkan pada perkara-perkara perdata yang ditangani oleh pengadilan agama, hal tersebut dapat dilihat dari 9
Ibid hlm: 25
24
contoh sebagai berikut terdapat perkara perceraian, kedua belah pihak pada saat mendaftarkan perkaranya menganut agama islam, pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan perkara perceraian tersebut adalah pengadilan agama, seiring dengan berjalannya waktu, salah satu pihak (istri) tersebut, berpindah keyakinan menjadi non muslim. Perkara perceraian yang akan dilakukan tetap diselesaikan oleh pengadilan agama dan bukan oleh pengadilan umum. Hal tersebut dikarenakan, pada saat mendaftarkan perkaranya kedua belah pihak tersebut tunduk akan hukum islam (berlaku asas personalita keislaman) walaupun salah satu pihaknya beragama non islam, maka pihak yang beragama non islam tersebut dapat menundukkan diri terhadap hukum islam. 1.2 Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Perkawinan Pada bidang perkawinan, pengadilan agama berwenang memutus, menyelesaikan, dan mengadili perkara: 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
13.
Izin beristri lebih dari seorang; Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat; Dispensasi kawin; Pencegahan perkawinan; Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah; Pembatalan perkawinan; Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri; Perceraian karena talak; Gugatan perceraian; Penyelesaian harta bersama; Penguasaan anak-anak; Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya betanggungjawab tidak mematuhinya; Penentuan kewajiban membayar biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
25
14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak; Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua; Pencabutan kekuasaan wali; Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut; Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya; Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya; Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum islam; Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran; Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
2. Peran Mediasi dalam Menyelesaikan Perkara Perdata. 2.1. Pengertian mediasi Pengertian mediasi dalam kaitan pengintegrasiannya dengan sistem peradilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 butir 7 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah: Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
2.2. Ruang lingkup tahap pramediasi Ruang lingkup tahap pramediasi diatur dalam Bab II yang terdiri dari Pasal 7-12 PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan. Tahap ini merupakan persiapan kearah proses tahap mediasi. Sebelum pertemuan dan perundingan membicarakan penyelesaian materi pokok sengketa, dimulai lebih dahulu dengan mempersiapkan prasarana yang dapat menunjang penyelesaian sengketa melalui perdamaian.
26
2.2.1.Hakim memerintahkan menempuh mediasi Pada tahap pramediasi, hakim harus bertindak berdasarkan Pasal 7 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah sebagai berikut: 2.2.1.1 Memerintahkan terlebih dahulu menempuh mediasi. PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan memberi fungsi dan kewenangan kepada hakim: 2.2.1.1.1 Memerintahkan para pihak yang berperkara wajib terlebih dahulu menempuh penyelesaian melalui proses mediasi; 2.2.1.1.2 Kewajiban menempuh lebih dahulu penyelesaian melalui proses mediasi, bersifat imperatif, bukan regulatif, oleh karena itu wajib ditaati oleh para pihak yang bersengketa. 2.2.1.2 Saat menyampaikan perintah Pada saat penyampaian perintah berdasarkan Pasal 7 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, hakim harus melakukan yaitu sebagai berikut: 2.2.1.2.1 Pada sidang pertama Hakim harus menyampaikan perintah yang mewajibkan para pihak wajib terlebih dahulu menempuh proses mediasi, pada sidang pertama. Jadi keberadaan dan fungsi sidang pertama hanya acara tunggal, yaitu memerintahkan para pihak wajib terlebih dahulu menempuh proses mediasi;
27
2.2.1.2.2 Sidang pertama, adalah sebelum hakim membuka proses replik-duplik atau bahkan sebelum gugatan dibacakan. Pada saat sidang dibuka, langsung diperintahkan untuk menempuh proses mediasi. 2.2.1.2.3.Syarat penyampaian perintah Syarat penyampaian perintah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, yaitu sebagai berikut: 2.2.1.2.3.1.Sidang dihadiri kedua belah pihak yang berperkara; 2.2.1.2.3.2.Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi. 2.2.2 Hakim wajib menunda persidangan Pada saat adanya perintah yang mewajibkan para pihak harus terlebih dahulu menempuh proses mediasi, hakim wajib menunda proses persidangan perkara; 2.2.2.1.Memberi kesempatan menempuh proses mediasi Penundaan pemeriksaan bertujuan untuk memberi kesempatan yang layak kepada para pihak untuk terlebih dahulu menyelesaikan sengketa melalui proses mediasi. 2.2.2.2 Hakim wajib memberi penjelasan tentang prosedur dan biaya mediasi. Pasal 7 ayat (6) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan mengatur tentang:
28
1. Wajib memberi penjelasan prosedur Pada persidangan pertama, selain wajib memerintahkan terlebih dahulu menempuh poses mediasi yang dilakukan bersamaan dengan penundaan pemeriksaan perkara: 1.1
Hakim wajib memberi penjelasan tata cara dan prosedur mediasi;
1.2
Prosedur yang harus dijelaskan meliputi tata cara pemilihan mediator, cara pertemuan, perundingan, jadwal pertemuan, tenggang waktu berkenaan dengan pemilihan mediator, proses mediasi, dan penandatanganan hasil kesepakatan.
2. Menjelaskan biaya mediasi Hakim wajib menjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan biaya mediasi, terutama biaya yang disebut dalam Pasal 50 ayat (3) dan ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan: Pasal 50 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Bila mediasi dilakukan di tempat lain, biaya ditanggung para pihak berdasar kesepakatan Pasal 50 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan. Pasal 50 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Bila mediator yang disepakati bukan hakim, tetapi berasal dari luar lingkup daftar mediator yang ada di pengadilan, biaya mediator tersebut ditanggung para pihak berdasarkan kesepakatan.
29
3. Wajib memilih mediator Mengenai tata cara pemilihan mediator diatur dalam Pasal 11 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan.10 3. Gugatan Permohonan atau Gugatan Voluntair. a. Bidang Hukum Keluarga Gugatan permohonan atau gugatan voluntair pada bidang hukum keluarga ,diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tentang Perkawinan, maupun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum keluarga. a.1. Permohonan ijin poligami a.1.1. Syarat mutlak yang diperlukan dalam ijin poligami diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undnag No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 57 KHI; a.1.2. Syarat relatif yang diperlukan dalam ijin poligami diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 58 ayat (1) KHI. a.2. Permohonan ijin melangsungkan perkawinan tanpa ijin orangtua (Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975
10
Yahya, Harahap. Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2010 hlm 251-256
30
tentang Pelaksanaan Undang-Undnag No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) berbunyi sebagai berikut: Dalam hal orangtua berbeda pendapat memberi ijin perkawinan bagi yang berumur 21 tahun atau mereka yang tidak memberi pendapat maka yang bersangkutan dapat mengajukan ijin kepada pengadilan untuk melangsungkan perkawinan tanpa ada ijin orangtua. a.3. Permohonan pencegahan perkawinan (Pasal 17 ayat (1) UndangUndang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 65 KHI). a.4. Permohonan dispensasi kawin (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 15 ayat (1) KHI). a.5. Permohonan pembatalan perkawinan (Pasal 25, 26, dan 27 UndangUndang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 74 KHI). a.6. Permohonan pengangkatan wali nikah (Pasal 22 KHI). b.
Proses Pemeriksaan Permohonan b.1. Jalannya proses pemeriksaan secara ex-parte Pada proses pemeriksaan permohonan yang terlibat adalah pemohon sendiri, proses pemeriksaan permohonan hanya secara sepihak atau exparte. Pada saat proses persidangan mengenai pemeriksaan permohonan
31
pihak yang hadir yaitu pemohon atau kuasanya dan pihak lawan atau tergugat benar-benar hadir atas kepentingan pemohon.11 b.2. Yang diperiksa di sidang hanya keterangan dan bukti pemohon Pada proses pemeriksaan permohonan, alat bukti yang diajukan tidak dapat dibantah oleh pihak lain, hal itu dikarenakan proses pemeriksaan permohonan itu bersifat ex-parte. b.3. Tidak dipermasalahkan penegakan seluruh asas persidangan. b.3.1. Yang tetap ditegakkan b.3.1.1. Asas kebebasan peradilan (judicial independency). b.3.1.1.1. Tidak boleh dipengaruhi siapapun; b.3.1.1.2. Tidak boleh ada direktiva dari pihak manapun. b.3.1.2. Asas fair trial (Peradilan yang adil) b.3.1.2.1 Tidak bersifat sewenang-wenang (arbitrary); b.3.1.2.2. Pemeriksaan sesuai dengan asas due process of law (sesuai dengan hukum acara yang berlaku); b.3.1.2.3. Memberi kesempatan yang layak (to give an appropriate opportunity) kepada pemohon untuk membela dan mempertahankan kepentingannya. b.3.2. Yang tidak perlu ditegakkan b.3.2.1 Asas audi alteram partem. Pada proses ex-parte tidak mungkin didengarkan jawaban dari pihak lawan. Oleh karena itu, asas to hear other side
11
Ibid, hlm 38-39
32
(mendengar pihak lain), tidak relevan dalam proses pemeriksaan permohonan. b.3.2.2 Asas memberikan kesempatan yang sama Asas ini tidak dapat diberlakukan, hal tersebut dikarenakan dalam pemeriksaan permohonan hanya terdapat satu pihak saja yaitu pemohon. c.
Penegakkan prinsip pembuktian Prinsip ajaran dan sistem pembuktian, harus ditegakkan dan diterapkan sepenuhnya dalam proses pemeriksaan dan penyelesaian permohonan. Apabila dalam suatu proses pemeriksaan permohonan, alat bukti yang diajukan oleh pemohon meragukan, maka harus diajukan alat bukti lain untuk memenuhi batas minimal dari pembuktian.12 c.1. Pembuktian harus berdasarkan alat bukti yang ditentukan UndangUndang (Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 BW) c.1.1. c.1.2. c.1.3. c.1.4. c.1.5.
Bukti Tulisan; Bukti Dengan Saksi-saksi; Persangkaan-persangkaan; Pengakuan; Sumpah.
c.2. Ajaran pembebanan pembuktian berdasarkan Pasal 163 HIR. c.3. Nilai kekuatan pembuktian yang sah, harus mencapai batas minimal pembuktian. c.4. Yang sah sebagai alat bukti, hanya terbatas pada alat bukti yang memenuhi syarat formil dan materiil.
12
Ibid, hlm 39
33
d.
Putusan permohonan d.1. Bentuk penetapan Putusan yang berisi pertimbangan dan diktum penyelesaian permohonan dituangkan dalam bentuk penetapan atau ketetapan (beschikking; decree). d.2. Diktum bersifat deklaratoir d.2.1. Diktumnya hanya berisi penegasan pernyataan atau deklarasi hukum tentang hal yang diminta; d.2.2. Pengadilan tidak boleh mencantumkan diktum comdemnatoir (yang mengandung hukuman) terhadap siapa pun; d.2.3. Pengadilan tidak dapat memuat amar konstitutif, yaitu yang menciptakan suatu keadaan baru, seperti membatalkan perjanjian, menyatakan sebagai pemilik atas sesuatu barang, dan sebagainya.13
D. Alat Bukti dalam Hukum Acara Peradilan Agama
Berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, hukum acara yang berlaku dalam lingkup peradilan agama adalah hukum acara perdata. Pembuktian dalam hukum acara perdata diatur dalam HIR, dimana pasal yang mengatur mengenai pembuktian diatur dalam pasal 164 HIR dan seterusnya.
13
Ibid, hlm 40-41
34
I. Bukti Tulisan Bukti tulisan diatur dalam Pasal 138, 165, dan 167 HIR, Pasal 164, 285-305 Rechtsreglement Voor de Buitengeswesten (Rbg) serta Staatblat (Stb) 1867 No. 29. Bukti tulisan atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.14 Surat sebagai alat bukti tulisan dibagi tiga yaitu surat yang merupakan akta, surat secara sepihak, dan surat lainnya yang bukan akta, sedangkan akta sendiri dibagi menjadi dua yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan. 1. Akta Akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.15 1.1. Akta Otentik 1.1.1 Pengertian Akta Otentik 1.1.1.1 Pasal 165 HIR Akta otentik, yaitu surat yang diperbuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang
14
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. 2002. hlm 141-142 15 Ibid, hlm 142
35
mendapat hak daripadanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok dalam akta itu. 1.1.1.2 Pasal 1868 BW: Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuat.
1.2.1 Kekuatan Pembuktian yang Melekat pada Akta Otentik Kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik adalah kekuatan pembuktian sempurna. Maksud dari kata sempurna ini adalah bahwa akta otentik ini tidak boleh diragukan keabsahannya dalam sidang pengadilan kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak lawan. Kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang terdapat pada akta otentik merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan yang terdapat padanya. Apabila salah satu kekuatan itu cacat mengakibatkan akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende). Oleh karena itu untuk melekatkan nilai kekuatan yang seperti itu pada akta otentik, harus terpenuhi secara terpadu kekuatan pembuktian yang disebut dibawah ini. 1.2.1.1
Kekuatan bukti luar.
Pada ketentuan prinsip kekuatan bukti luar, hakim dan para pihak yang berperkara wajib menganggap akta otentik sebagai akta otentik, sampai pihak lawan dapat membuktikan adanya:
36
1.2.1.1.1 Cacat hukum, karena pejabat yang membuatnya tidak berwenang, atau; 1.2.1.1.2 Tandatangan pejabat di dalamnya adalah palsu, atau; 1.2.1.1.3 Isi yang terdapat didalamnya telah mengalami perubahan, baik berupa pengurangan atau penambahan kalimat. 1.2.1.2
Kekuatan Pembuktian Formil
Kekuatan pembuktian formil yang melekat pada akta otentik diatur pada Pasal 1871 BW. Anggapan atas kebenaran yang tercantum didalamnya, bukan hanya terbatas pada keterangan atau pernyataan yang terdapat didalamnya benar dari orang yang menandatanganinya, tetapi juga meliputi kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta: 1.2.1.2.1 Mengenai tanggal yang tertera didalamnya; 1.2.1.2.2 Tanggal tersebut harus dianggap benar; 1.2.1.2.3 Berdasar kebenaran formil atas tanggal tersebut, tanggal pembuatan akta tidak dapat digugurkan lagi oleh para pihak dan hakim. 1.2.1.3
Kekuatan Pembuktian Materiil
Kekuatan pembuktian materiil akta otentik menyangkut permasalahan benar atau tidaknya keterangan yang tercantum di dalamnya. Oleh karena itu, kekuatan pembuktian materiil adalah persoalan pokok akta otentik. 1.3.1 Nilai Kekuatan Pembuktian Akta Otentik 1.3.1.1
Bila terpenuhi syarat formil dan materiil maka:
37
1.3.1.1.1 Pada dirinya langsung mencukupi batas minimal pembuktian tanpa bantuan alat bukti lain; 1.3.1.1.2 Langsung sah sebagai alat bukti akta otentik; 1.3.1.2
Pada dirinya langsung mengikat nilai kekuatan pembuktian:
1.3.1.2.1 Sempurna (volledig), 1.3.1.2.2 Mengikat (bindende). 1.3.1.3
Hakim wajib dan terikat:
1.3.1.3.1 Menganggap akta otentik tersebut benar dan sempurna; 1.3.1.3.2 Harus menganggap apa yang didalilkan atau dikemukakan terbukti; 1.3.1.3.3 Hakim terikat atas kebenaran yang dibuktikan akta tersebut, sehingga harus dijadikan dasar pertimbangan mengambil putusan penyelesaian sengketa. 1.4.1. Kualitas pembuktian akta otentik, tidak bersifat memaksa (dwingend) atau menentukan (beslissend) dan terhadapnya dapat diajukan bukti lawan. Derajat kekuatan pembuktiannya hanya sampai pada tingkat sempurna dan mengikat, tetapi tidak memaksa dan menentukan. Oleh karena itu, sifat nilai kekuatan pembuktiannya tidak bersifat imperatif, dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan. 1.2. Akta dibawah tangan 1.2.1 Pengertian Akta dibawah tangan
38
1.2.1.1
Pasal 1874 BW: Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-kata yang ditanda tangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, suratsurat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum. Berdasarkan pengertian diatas, maka yang dimaksud dengan akta dibawah tangan yaitu sebagai berikut: 1. Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan; 2. Tidak dibuat atau ditandatangani di hadapan pejabat yang berwenang (pejabat umum), tetapi dibuat sendiri oleh seseorang atau para pihak; 3. Secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum, meliputi: 3.1. Surat-surat; 3.2. Register-register; 3.3. Surat-surat urusan rumah tangga; 3.4
Lain-lain tulisan yang dibuat tanpa permintaan pejabat umum.
4. Secara khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat paling sedikit dua pihak. 1.2.2 Daya Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan 1.2.2.1
Daya Kekuatan Pembuktian Formil
1.2.2.1.1 Orang yang bertandatangan dianggap benar menerangkan hal yang tercantum dalam akta.
39
Berdasarkan kekuatan pembuktian formil, hukum mengakui siapa saja atau orang yang menandatangani akta dibawah tangan. Jadi, jika terdapat sebuah tulisan yang ditandatangani seseorang yang berisi perbuatan hukum, secara formil identitas orang yang bertandatangan dan yang membuat keterangan, sama dengan identitas penandatangan tersebut. 1.2.2.2 Daya Kekuatan Pembuktian Materiil 1.2.2.2.1
Isi keterangan yang tercantum harus dianggap benar
Prinsip yang harus ditegakkan menghadapi penerapan daya pembuktian materiil adalah: 1.2.2.2.1.1 Secara materiil isi keterangan yang tercantum dalam akta dibawah tangan, harus dianggap benar; 1.2.2.2.1.2 Apa yang diterangkan dalam akta oleh penandatangan, dianggap benar sebagai keterangan yang dikehendakinya; 1.2.2.2.1.3 Secara materiil, isi yang tercantum dalam akta dibawah tangan mengikat kepada diri si penandatangan. 2. Surat secara sepihak Surat secara sepihak diatur dalam Pasal 1875 BW dan Pasal 291 Rbg. Bentuk surat ini berupa surat pengakuan yang berisi pernyataan akan kewajiban sepihak dari yang membuat surat bahwa dia akan membayar sejumlah uang atau akan menyerahkan sesuatu atau akan melakukan sesuatu kepada seseorang tertentu.
40
a. Syarat formal surat secara sepihak, antara lain: a.1. Ditulis sendiri seluruhnya oleh yang membuat atau yang menandatanganinya; a.2. Penandatangan menulis sendiri dengan huruf (bukan dengan angka) tentang jumlah atau tentang sesuatu yang akan diberikan, diserahkan atau dilakukannya; a.3. Diberi tanggal dan ditandatangani oleh pembuat. b. Syarat Materil surat secara sepihak, antara lain sebagai berikut: b.1. Isi surat secara sepihak itu berkaitan langsung dengan pokok perkara yang disengketakan; b.2. Isi surat secara sepihak tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, dan ketertiban umum; b.3. Sengaja dibuat untuk alat bukti. 3. Surat lainnya bukan akta Surat lainnya bukan akta, baik HIR, Rbg, maupun BW tidaklah mengatur. Surat dibawah tangan yang bukan akta hanya disebut dalam Pasal 1874 BW (Stb 1867 No. 29). Pada Pasal 1881 BW dan Pasal 1883 BW diatur secara khusus beberapa surat-surat di bawah tangan yang bukan akta, yaitu buku
41
daftar (register), surat-surat rumah tangga dan catatan-catatan yang dibubuhkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya.16 II. Bukti Dengan Saksi-saksi Bukti dengan saksi-saksi diatur dalam Pasal 139-152, 168-172 HIR (Pasal 165-179 Rbg), Pasal 1895 dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan.17 Saksi harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil. 1. Syarat formil saksi adalah: 1.1. Berumur 15 tahun keatas; 1.2. Sehat akalnya; 1.3 Tidak ada hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut ketentuan yang lurus, kecuali undang-undang menentukan lain; 1.4 Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun sudah bercerai (Pasal 145 ayat (1) HIR); 1.5 Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah (Pasal 144 ayat (2) HIR); kecuali undang-undang menentukan lain 1.6 Menghadap di persidangan (Pasal 141 ayat (1) HIR); 1.7 Mengangkat sumpah menurut agamanya (Pasal 147 HIR); 16
Op. cit, hlm 156-157 Ibid hlm 159
17
42
1.8 Berjumlah sekurang-kurangnya dua orang untuk kesaksian suatu peristiwa, atau dikuatkan dengan alat bukti lain (Pasal 169 HIR); kecuali mengenai perzinahan 1.9 Dipanggil masuk ke ruang sidang satu demi satu (Pasal 144 ayat (1) HIR); 1.10 Memberikan keterangan secara lisan (Pasal 147 HIR). 2. Syarat materiil saksi adalah sebagai berikut: 2.1. Menerangkan apa yang dilihat, ia dengar dan ia alami sendiri (Pasal 171 HIR/Pasal 308 Rbg); 2.2. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya (Pasal 171 ayat (1) HIR/Pasal 308 ayat (1) Rbg); 2.3. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan dari saksi sendiri (Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) Rbg); 2.4. Saling bersesuaian satu sama lain (Pasal 170 HIR); 2.5. Tidak bertentangan dengan akal sehat. 3. Jangkauan Kebolehan Pembuktian dengan Saksi 3.1. Diperbolehkan dalam segala hal, kecuali ditentukan lain oleh UndangUndang. Pasal 1895 BW berbunyi: Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang.
Larangan pembuktian dengan saksi-saksi terhadap isi suatu akta tertentu berdasarkan pada alasan:
43
a. Pada umumnya keterangan saksi kurang dipercaya, karena sering berisi kebohongan; b. Sering terjadi pertentangan antara keterangan saksi dengan isi akta. Jadi, pada prinsipnya bukti dengan saksi-saksi menjangkau semua bidang dan jenis perkara perdata, kecuali apabila undang-undang sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta atau bukti tulisan, barulah bukti dengan saksi-saksi tidak dapat diterapkan. 3.2. Menyempurnakan permulaan pembuktian tulisan Pasal 1902 BW mengatur bahwa, dalam hal suatu peristiwa atau hubungan hukum menurut undang-undang hanya dapat dibukikan dengan tulisan atau akta, namun bukti tulisan tersebut hanya berkualitas sebagai permulaan pembuktian tulisan, penyempurnaan pembuktiannya dapat ditambah dengan saksi. Mengenai pengertian permulaan pembuktian tulisan, dijelaskan dalam Pasal 1902 ayat (2) BW, yaitu segala akta tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan diajukan atau orang yang mewakili olehnya, dan memberi
persangkaan
tentang
benarnya
peristiwa-peristiwa
yang
dilakukan orang tersebut. 4. Menjadi Saksi Merupakan Kewajiban Hukum yang Bersifat Memaksa. Diatur dalam Pasal 139-143 HIR, Pasal 165-170 Rbg, pada prinsipnya menganut sistem bahwa menjadi saksi dalam perkara perdata adalah kewajiban hukum, tetapi tidak imperatif dalam segala hal. 4.1 Dalam keadaan tertentu kewajiban hukumnya tidak bersifat imperatif
44
Prinsip menjadi saksi dalam perkara perdata bukan kewajiban hukum yang bersifat imperatif, hanya terbatas pada keadaan tertentu yang digariskan Pasal 139 ayat (1) dan Pasal 143 HIR. 4.1.1 Saksi tidak relevan meneguhkan dalil atau bantahan. Saksi tidak relevan meneguhkan dalil atau bantahan tersirat dalam a contrario dari ketentuan Pasal 139 ayat (1) HIR. Jika saksi yang didengar keterangannya tidak penting atau tidak berbobot untuk meneguhkan dalil penggugat atau bantahan tergugat, kepada saksi tidak berlaku kewajiban hukum untuk menjadi saksi. Oleh karena itu, saksi itu tidak dapat dipaksa untuk hadir di persidangan. 4.1.2 Saksi berdomisili di luar wilayah hukum Pengadilan Negeri yang memeriksa. Hal kedua yang membebaskan seorang saksi dari kewajiban hukum menjadi saksi, diatur dalam Pasal 143 HIR. Menurut pasal ini, tidak seorang dapat dipaksa (compellable) datang menghadap Pengadilan Negeri untuk memberi kesaksian dalam perkara perdata, jika tempat kediamannya berada di luar wilayah/di luar yurisdiksi Pengadilan Negeri yang bersangkutan. 4.2 Menjadi saksi kewajiban hukum secara imperatif. Setiap orang yang cakap (competent) untuk menjadi saksi, sekaligus melekat pada dirinya sifat dapat dipaksa (compellable) menjadi saksi. Jadi secara umum, menjadi saksi dalam perkara perdata merupakan kewajiban hukum yang harus ditaati oleh setiap
45
orang yang cakap. Bagi yang tidak menaatinya, dapat dihadirkan dengan paksa oleh alat kekuasaan negara. Berdasarkan Pasal 76 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 jo Undangundang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dalam perkara perceraian berdasarkan alasan cekcok terus-menerus (syiqaq) diperkenankan mempergunakan saksi dari keluarga. Saksi non muslim dapat diterima di pengadilan agama sepanjang penyaksiannya menyangkut peristiwa atau kejadian untuk memperjelas duduknya perkara. Hal-hal yang disaksikan itu adalah hal yang bersifat qadhaan, bukan hal yang bersifat diyanatan atau hal yang telah diatur oleh aturan agama islam.18 III. Persangkaan-Persangkaan Persangkaan-persangkaan diatur dalam Pasal 172 HIR (Pasal 310 Rbg, Pasal 1915-1922 BW). Pengertian persangkaan-persangkaan diatur dalam Pasal 1915 BW yang berbunyi sebagai berikut: Persangkaan-persangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undangundang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal.
Ketentuan Pasal 1915 BW terdapat adanya dua persangkaan-persangkaan, yaitu persangkaan-persangkaan yang didasarkan undang-undang (praesumptiones
18
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm 254
46
juris) dan persangkaan-persangkaan yang merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditarik oleh hakim (praesumtiones facti). 1. Persangkaan-persangkaan
berdasarkan
undang-undang
(praesumtiones
juris). Persangkan-persangkaan berdasarkan undang-undang adalah persangkaanpersangkaan yang oleh undang-undang dihubungkan dengan perbuatanperbuatan tertentu, atau peristiwa-peristiwa tertentu sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1916 BW. Persangkaan-persangkaan berdasarkan undang-undang
ini
dapat
berupa
persangkaan-persangkaan
yang
memungkinkan adanya pembuktian lawan, dapat juga berupa hal yang tidak memungkinkan pembuktian lawan.19 2. Persangkaan-persangkaan hakim ((praesumtiones facti). Persangkaan-persangkaan hakim adalah kesimpulan yang ditarik oleh hakim berdasarkan peristiwa atau kejadian tertentu yang telah terungkap melalui bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak. Persangkaan-persangkaan hakim juga harus bersifat penting, saksama, tertentu, dan ada hubungan satu sama lain.20 IV. Pengakuan Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam Pasal 174-176 HIR, Pasal 311-313 Rbg, dan Pasal 1923-1928 BW. Pengakuan dapat diberikan di muka hakim di persidangan atau di luar persidangan.
19
Ibid, hlm 255 Op. cit, hlm 256
20
47
Pengakuan di muka hakim di persidangan (gerechtelijke bekentenis) merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya ataupun sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi. Pengakuan merupakan keterangan sepihak, karena tidak memerlukan persetujuan dari pihak lawan. Pengakuan merupakan pernyataan yang tegas, karena pengakuan secara diamdiam tidaklah memberi kepastian hukum kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa, padahal alat bukti yang dimaksudkan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran peristiwa, dalam hal ini HIR tidak selalu menunjukan pendirian yang tetap, pada suatu ketika pengakuan secara diamdiam diterima tetapi pada saat lain menolak pengakuan secara diam-diam.21 1. Syarat-syarat pengakuan, yaitu: 1.1. Syarat formal pengakuan yaitu: 1.1.1 Disampaikan dalam proses pemeriksaan perkara dalam persidangan majelis hakim pengadilan agama; 1.1.2 Pengakuan disampaikan oleh pihak yang berperkara (pihak materiil) atau kuasanya dalam bentuk lisan atau tertulis. 1.2. Syarat materiil pengakuan yaitu: 1.2.1 Pengakuan yang diberikan tersebut langsung berhubungan dengan pokok perkara;
21
Sudikno Mertokusumo, op, cit, hlm:173-174
48
1.2.2 Tidak merupakan kebohongan atau kepalsuan yang nyata dan terang; 1.2.3 Tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, moral, dan ketertiban umum. 2. Bentuk-bentuk pengakuan 2.1. Pengakuan murni dan bulat (aveu pur et simple) Pengakuan murni dan bulat yaitu pengakuan yang sesungguhnya terhadap semua dalil gugatan yang diajukan oleh penggugat. Murni artinya sungguhsungguh sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sedangkan bulat artinya pengakuan yang tidak disertai dengan keterangan tambahan yang membebaskan.22 2.2. Pengakuan berkualifikasi (gequalificeerde bekentenis, aveu qualifie). Pengakuan berkualifikasi adalah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sabahagian dari tuntutan penggugat. Pada hakekatnya, pengakuan dengan berkualifikasi ini tidak lain adalah jawaban tergugat yang sebahagiannya terdiri dari sanggahan dan bantahan.23 2.3. Pengakuan berklausula (geclausuleerde bekentenis, aveu complexe). Pengakuan berklausula adalah suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan. Pada hakikatnya pengakuan yang berklausula ini adalah jawaban tergugat yang merupakan pengakuan tentang hal pokok yang diajukan penggugat, tetapi disertai
22
Abdul Manan, op, cit, hlm 260 Loc, cit, hlm 260
23
49
dengan tambahan yang menjadi dasar penolakan gugatan yang diajukan oleh penggugat.24 V. Sumpah Sumpah diatur dalam Pasal 155-158 dan Pasal 177 HIR, Pasal 182-185 dan Pasal 314 Rbg, serta Pasal 1929-1945 BW. Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Jadi pada hakekatnya sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam peradilan. Sumpah dibagi menjadi 2 macam, yaitu sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang disebut sumpah promissoir dan sumpah untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak, yang disebut sumpah assertoir atau confirmatoir. Termasuk sumpah promissoir adalah sumpah saksi dan sumpah ahli, karena sebelum memberikan kesaksian atau pendapatnya harus diucapkan pernyataan atau janji akan memberi keterangan yang benar dan tidak lain daripada yang sebenarnya, sedangkan sumpah confirmatoir tidak lain adalah sumpah sebagai alat bukti, karena fungsinya adalah untuk meneguhkan (confirm) suatu peristiwa.25
24
Ibid, hlm 260
25
Sudikno Mertokusumo, op, cit, hlm: 179-180
50
HIR menyebutkan 3 macam sumpah sebagai alat bukti, yaitu sumpah pelengkap (suppletoir), sumpah pemutus yang bersifat menentukan (decisoir) dan sumpah penaksiran (aestimator, schattingseed). 1. Sumpah pelengkap (suppletoir) Sumpah pelengkap atau tambahan diatur dalam Pasal 155 HIR, Pasal 182 Rbg, dan Pasal 1945 BW, untuk dapat diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk mengangkat sumpah, haruslah ada bukti permulaan terlebih dahulu, sehingga apabila ditambah dengan sumpah
suppletoir,
maka
pembuktian
menjadi
sempurna.
Hakim
berwenang, bukan kewajiban untuk membebankan suatu sumpah pelengkap kepada salah satu pihak yang berperkara. Jika sumpah tambahan tersebut dilaksanakan oleh salah satu pihak yang berperkara, maka yang sedang diperiksa tersebut menjadi selesai dan pihak yang melakukan sumpah haruslah dimenangkan. Sumpah pelengkap itu dibebankan, terserah kepada pertimbangan hakim. Agar sumpah pelengkap dapat dijadikan alat bukti, maka harus memenuhi syarat-syarat formal dan materiil berikut: 1.1 Syarat fomal sumpah pelengkap, yaitu sebagai berikut: 1.1.1
Sumpah tersebut untuk melengkapi atau menguatkan pembuktian yang sudah ada, tetapi belum mencapai batas minimal pembuktian;
1.1.2
Bukti yang sudah ada baru bernilai bukti permulaan;
51
1.1.3
Para pihak yang berperkara sudah tidak mampu lagi menambah alat bukti yang ada dengan alat bukti yang lain;
1.1.4 Sumpah dibebankan atas perintah hakim dan diucapkan di depan sidang Majelis Hakim secara in person (langsung atau oleh kuasanya dengan surat kuasa secara istimewa). 1.2 Syarat materiil sumpah pelengkap, yaitu sebagai berikut: 1.2.1 Isi lafal sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang berperkara atau yang mengucapkan sumpah tersebut; 1.2.2 Isi sumpah harus berkaitan langsung dengan pokok perkara dan tidak bertentangan dengan agama, moral, dan kesusilaan. 2. Sumpah pemutus (decissoireed) Sumpah pemutus atau juga sering disebut sumpah yang menentukan diatur dalam Pasal 156 HIR, Pasal 183 Rbg dan Pasal 1930 BW. Pada pasal-pasal tesebut dikemukakan bahwa jika tidak ada sesuatu keterangan untuk menguatkan gugatan atau jawaban atas gugatan, maka salah satu pihak dapat meminta supaya pihak lain dapat bersumpah di muka hakim. Jadi sumpah pemutus ini dapat dibebankan kepada salah satu pihak, walaupun sama sekali tidak ada bukti, pembebanan tersebut atas permohonan salah satu pihak yang berperkara. Tujuan dari pelaksanaan sumpah pemutus adalah untuk menyelesaikan perkara. Oleh karena itu, pihak yang telah mengucapkan sumpah tidak boleh lagi diperintahkan
52
memberikan bukti-bukti lagi untuk membenarkan apa yang dinyatakan dalam sumpahnya itu. Agar sumpah pemutus dapat dijadikan sebagai alat bukti, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 2.1. Syarat formal sumpah pemutus: 2.1.1 Berperkara apabila sama sekali tidak ada bukti-bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak; 2.1.2 Pembebanan sumpah pemutus harus atas permintaan salah satu pihak yang berperkara; 2.1.3 Sumpah pemutus diucapkan di depan sidang Majelis Hakim secara in person atau oleh kuasanya dengan surat kuasa istimewa. 2.2. Syarat materiil sumpah pemutus: 2.2.1 Isi lafal sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri atau yang dilakukan bersama-sama oleh kedua belah pihak yang berperkara; 2.2.2 Isi sumpah harus mempunyai hubungan langsung dengan pokok perkara yang sedang disengketakan. 3. Sumpah penaksir (aestimatoir, schattingseed). Sumpah penaksir diatur dalam Pasal 155 HIR, Pasal 182 Rbg, dan Pasal 1940 BW. Sumpah penaksir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan sejumlah uang ganti kerugian. Sumpah penaksir dilaksanakan karena dalam praktik sering terjadi bahwa jumlah uang ganti kerugian yang diajukan oleh pihak yang
53
bersangkutan itu simpang siur, maka soal ganti rugi harus dipastikan dengan pembuktian.26 4. Sumpah Li’an Sumpah Li’an diatur dalam Pasal 87-88 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 jo Undang-undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama. Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan dengan alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti, dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah. Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama. Apabila sumpah dilakukan oleh pihak suami, maka penyelesainnya dapat dilaksanakan dengan sumpah li’an.27 Syarat-syarat sumpah li’an: 4.1. Syarat formil sumpah li’an 4.1.1 Tuduhan istri berbuat zina tercantum atau dimuat secara kronologis dalam surat permohonan; 4.1.2 Istri menyanggah tuduhan suami bahwa dirinya telah berbuat zina dengan laki-laki lain; 26
Ibid, hlm 149 Abdul Manan, op, cit, hlm 269
27
54
4.1.3 Sumpah li’an dilaksanakan atas perintah hakim yang memeriksa perkara tersebut. 4.2. Syarat materiil sumpah li’an 4.2.1 Suami tidak dapat melengkapi bukti-bukti atas tuduhan zina kepada istrinya; 4.2.2 Sumpah suami diucapkan dalam sidang Majelis Hakim yang dihadiri oleh istri pemohon; 4.2.3 Sumpah suami tersebut dibalas pula dengan sumpah istri, yang disampaikan dalam sidang Majelis Hakim pula; 4.2.4 Sumpah Mula’anah (saling melaknat) menurut teks sumpah yang telah ditentukan. VI. Pemeriksaan setempat 1. Pengertian Mengenai pemeriksaan setempat, diatur dalam Pasal 153 HIR (1) Jika dipandang perlu atau berfaedah, ketua boleh mengangkat satu atau dua komisaris dari dewan itu yang dengan bantuan panitera pengadilan akan melihat keadaan tempat atau menjalankan pemeriksaan di tempat itu, yang dapat menjadi keterangan bagi hakim. (2) Panitera pengadilan hendaklah membuat berita acara tentang pekerjaan itu dan hasilnya, berita acara itu harus ditandatangani oleh komisaris dan panitera pengadilan itu.
2. Pelaksanaan pemeriksaan setempat 2.1. Dihadiri para pihak Pemeriksaan setempat adalah merupakan bagian dari persidangan, hanya tempatnya saja yang berubah dari ruang persidangan berpindah ke tempat letaknya benda sengketa, oleh karena itu para pihak yang bersengketa
55
diharuskan datang untuk memeriksa mengenai benda sengketa. Apabila salah satu pihak yang bersengketa tidak menghadiri acara pemeriksaan setempat maka acara pemeriksaan setempat dapat dilaksanakan tanpa hadirnya pihak yang tidak hadir. 2.2. Datang ke tempat benda sengketa terletak Proses sidang pemeriksaan setempat harus dilangsungkan di tempat lokasi benda sengketa itu terletak. Pejabat yang diangkat dan ditunjuk: 2.2.1 Datang langsung ke tempat benda sengketa yang hendak diperiksa terletak; 2.2.2 Hakim yang memimpin pemeriksaan, secara resmi membuka sidang pemeriksaan setempat; 2.2.3 Para pihak diberikan hak dan kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti atau fakta untuk memperkuat dalil gugatan maupun bantahan masing-masing. 3. Panitera membuat berita acara Pemeriksaan setempat merupakan salah satu bagian dari acara persidangan, oleh karena itu acara pemeriksaan setempat harus dituangkan dalam berita acara pemeriksaan setempat yang dibuat oleh panitera pengadilan. 4. Membuat akta pendapat Mengenai akta pendapat diatur dalam Pasal 211 ayat (1) RV, hakim yang ditugaskan melaksanakan acara pemeriksaan setempat diharuskan membuat akta pendapat yang berisi penilaian atas hasil pemeriksaan setempat yang
56
dilakukan, dalam membuat akta pendapat, hakim tersebut dapat dibantu oleh seorang ahli. 28
28
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 785-786
57
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian dari penulisan skripsi ini adalah yuridis normative. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro bahwa Metode Pendekatan yang akan digunakan adalah yuridis normative (normative legal approach), yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis positivis yang dimaksudkan untuk mengkaji kaidah-kaidah hukum yang berlaku baik kaidah hukum nasional maupun hukum internasional dan memandang hukum sebagai suatu sitem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat.29 Pada metode penelitian hukum normatif, pendekatan masalah yang digunakan dalam skripsi ini adalah: a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach); b. Pendekatan Analitis (analytical approach); c. Pendekatan Kasus (case approach).
29
Soemitro Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988 hlm.
120.
58
ad.a Pendekatan perundang-undangan (statute approach) Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui aturan hukum yang menjadi dasar dari diberlakukannya suatu putusan yang dijatuhkan oleh sebuah lembaga kehakiman kepada para pencari keadilan. 30 ad.b Pendekatan analitis (analytical approach) Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui substansi dari peraturan perundang-undangan yang berlaku tentang dilaksanakannya praktek ijin poligami yang terjadi dikalangan masyarakat luas. 31 ad.c Pendekatan kasus (case approach) pendekatan ini digunakan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum.32
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dalam penelitian ini adalah Perskriptif. Perskriptif yaitu menganalisa persoalan hukum dengan aturan yang berlaku dan cara mengoperasionalkan aturan tersebut dalam peristiwa hukum. Sebagai ilmu yang bersifat perskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma
30
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayumedia Publishing. Surabaya 2010 hlm 302 31 Ibid hlm 310 32 Op, cit hlm 321
59
hukum. Suatu langkah awal dari substansi ilmu hukum ini adalah perbincangan mengenai makna hukum di dalam kehidupan bermasyarakat.33 C. Lokasi Penelitian
Sumber bahan hukum penelitian ini adalah bahan hukum primer dan sekunder, bahan hukum yang diperoleh adalah lebih menjurus pada penelitian kepustakaan maka ditetapkan lokasi penelitianya adalah Pengadilan Agama Purwokerto. D. Sumber Data
1.
Data Sekunder Sumber data dari penelitian ini adalah data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, dan buku-buku literatur yang berhubungan dengan obyek skripsi. Dari data sekunder tersebut akan dibagi dan diuraikan ke dalam dua bagian yaitu : a. Bahan hukum merupakan
primer adalah semua peraturan hukum yang
sumber
hukum tentang Acara Peradilan Agama
khususnya dalam bidang mengenai Permohonan Ijin Poligami. Pada skripsi ini, bahan hukum primer yang digunakan berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Hukum Acara Peradilan Agama khususnya mengenai Permohonan Ijin Poligami,
33
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Media Grup ,Jakarta, 2010 hlm. 22
60
putusan hakim, serta yurisprudensi yang terdapat di Peradilan Agama khususnya mengenai permohonan ijin poligami. b.
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi34. Bahan hukum sekunder juga mempunyai peranan untuk memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Pada skripsi ini, bahan hukum sekunder yang digunakan berupa buku-buku teks dan artikel-artikel dari situs-situs internet.
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Metode kepustakaan yaitu suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran terhadap bahan pustaka (literatur, Perundangundangan, hasil penelitian, majalah ilmiah, buletin ilmiah, jurnal ilmiah, dan sebagainya). Metode ini dapat digunakan untuk menunjang bahan hukum sekunder yang digunakan dalam skripsi. Metode dokumenter adalah suatu cara pengumpulan bahan dengan menelaah terhadap dokumen-dokumen pemerintah maupun non pemerintah. metode ini digunakan untuk menunjang bahan hukum primer, karena bahan hukum primer yang digunakan dalam skripsi ini adalah berupa putusan pengadilan (dokumen pemerintah).
34
Ibid, hlm 141
61
F. Metode Penyajian Bahan Hukum
Metode penyajian bahan hukum yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah berbentuk teks naratif. Teks naratif dapat berbentuk uraian dan fakta hukum, untuk bahan hukum primer dan sekunder akan disajikan sesuai dengan kebutuhan analisis namun tidak menghilangkan maksud yang terkandung dalam bahan hukum tersebut. Penyajian bahan ini dapat ditempatkan pada seluruh bab maupun sub bab pada karya tulis ini sesuai dengan relevansinya pada hal yang sedang dibicarakan G. Metode Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah diperoleh dan diinventarisir akan dianalisis secara normatif kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai bahan hukum yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis yang akhirnya akan ditarik kesimpulan pada hasil skripsi.
62
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan terhadap putusan Pengadilan Agama Purwokerto Nomor 417/Pdt.G/2011/PA.Pwt, maka dapat diperoleh data sebagai berikut: 1. Pihak yang berperkara NARDI bin SUMIARTO, umur 30 tahun, agama islam, pekerjaan dagang, tempat tinggal di RT.02 RW.11, Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, selanjutnya disebut PEMOHON. MELAWAN NUR FAJRIYAH binti MAD SANUDIN, umur 27 tahun, agama islam, pekerjaan dagang, tempat tinggal di RT.02 RW.11, Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, selanjutnya disebut TERMOHON.
DEFI DEFALUANTI binti SIKUN WIBOWO, umur 22 tahun, agama islam, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal di RT.04 RW.03, Desa Sanggreman, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, selanjutnya disebut CALON ISTRI KEDUA PEMOHON.
63
2. Duduk Perkara Isi Permohonan Ijin Poligami: Pemohon dengan suratnya tanggal 01 Maret 2011 yang terdaftar di kepaniteraan
Pengadilan
Agama
Purwokerto
dengan
Nomor:
417/Pdt.G/2011/PA.Pwt mengemukakan yang pada pokoknya sebagai berikut: 2.1. Tanggal 13 Oktober 2000, Pemohon dan Termohon melangsungkan perkawinan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Rawalo, Kabupaten Banyumas sesuai kutipan Akta Nikah Nomor 769/14/X/2000 tanggal 13 Desember 2000, menimbang telah memiliki kekuatan hukum tetap. 2.2. Setelah perkawinan tersebut Pemohon dengan Termohon bertempat tinggal di rumah Orang tua Termohon selama 2 tahun. Kemudian pada tahun 2003 ke rumah bersama selama 8 tahun hingga sekarang, dan selama pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri serta dikaruniai 2 orang anak yang bernama: a. LINA FITRIANI, umur 9 tahun; b. FARIDATUL LAILY, umur 7 tahun. 2.3. Termohon tidak dapat maksimal memenuhi kebutuhan biologis Pemohon karena Termohon kecapaian mengurusi dagangan, akibatnya Pemohon menjalin hubungan/pacaran lagi dengan DEFI DEFALUANTI (calon istri kedua Pemohon) sampai sekarang sudah satu tahun lamanya.
64
2.4. Pemohon dalam perjalanan hidup bersama Termohon, Pemohon telah berkenalan dengan seorang perempuan lain, dan Pemohon hendak menikahi perempuan tersebut (poligami) yang akan dilangsungkan dan dicatatkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. 2.5. Alasan Pemohon akan menikahi calon istri kedua (poligami) karena calon istri kedua Pemohon sedang hamil 3 bulan hasil hubungan dengan Pemohon. 2.6. Pemohon mampu memenuhi kebutuhan hidup istri-istri Pemohon beserta anak-anaknya, karena Pemohon bekerja sebagai karyawan swasta (dagang kayu) dan mempunyai penghasilan setiap bulannya rata-rata sebesar Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah). 2.7. Pemohon sanggup berlaku adil terhadap istri-istri Pemohon dan Termohon menyatakan tidak keberatan apabila Pemohon menikah lagi dengan calon istri kedua tersebut. 2.8. Selama perkawinan Pemohon dan Termohon telah mempunyai harta bersama berupa: a. Sebuah rumah dengan ukuran 233 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. b. Sebuah sepeda motor merk Honda Revo tahun 2009 No polisi R 6385 QE. c. Sebuah kolam pemancingan dengan ukuran 280 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
65
d. Sebidang tanah seluas 350 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. e. Sebuah kios dengan ukuran 3x4 m yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. f. Emas seberat 15 gram. 2.9. Calon istri kedua Pemohon menyatakan tidak akan mengganggu gugat harta benda yang ada selama ini, melainkan tetap utuh sebagai harta bersama antara Pemohon dengan Termohon. 2.10. Orang tua dan para keluarga Termohon dan calon istri kedua Pemohon menyatakan rela atau tidak keberatan apabila Pemohon menikah dengan calon istri kedua Pemohon. 2.11. Antara Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon tidak ada larangan melakukan perkawinan, baik menurut syari’at islam maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni: a. Calon istri kedua Pemohon dengan Termohon bukan saudara dan bukan sesusuan, begitupun antara Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon. b. Calon istri kedua Pemohon berstatus janda dalam usia 22 tahun dan tidak terikat pertunangan dengan laki-laki lain. c. Wali nikah calon istri kedua Pemohon (Ayah calon istri kedua Pemohon bersedia untuk menikahkan Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon).
66
Pemohon sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini. Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas, Pemohon mohon agar menjatuhkan putusan sebagai berikut: a. Mengabulkan permohonan Pemohon. b. Menetapkan memberi ijin kepada Pemohon untuk menikah lagi (poligami) dengan calon istri kedua Pemohon. c. Membebankan biaya perkara menurut hukum; atau d. Menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya. 3. Alat Bukti. Untuk meneguhkan dalilnya, Pemohon mengajukan bukti-bukti berupa: 3.1.Bukti Tulisan. a. Foto Copy Kutipan Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama Kecamatan Rawalo Nomor: 769/14/IX/2000 Tanggal 13 Desember 2000 (P.1). b. Foto Copy Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon dari DISDUKCAPIL Kabupaten Banyumas Nomor: 330240112800002 tanggal 5 Februari 2011 (P.2). c. Foto Copy Kartu Tanda Penduduk atas nama Termohon dari DISDUKCAPIL Kabupaten Banyumas Nomor: 330244202830001 tanggal 13 April 2007 (P.3). d. Foto Copy Kartu Keluarga dari DISDUKCAPIL Kabupaten Banyumas Nomor: 3302040302058557 tanggal 2 Februari 2011 (P.4).
67
e. Foto Copy Kartu Tanda Penduduk atas nama Calon Istri Kedua Pemohon dari DISDUKCAPIL Kabupaten Banyumas Nomor: 330246002890003 tanggal 17 Januari 2007 (P.5). f. Foto Copy fotocopi Akta Cerai Nomor: 1207/AC/2009/PA.PWT tanggal 26 Agustus 2009 (P.6). g. Surat Pernyataan Berlaku Adil, tanggal 1 Maret 2011 (P.7). h. Surat Pernyataan Tidak Keberatan Dimadu yang ditandatangani oleh Termohon dan diketahui oleh Lurah Karangpucung Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas (P.8). 3.2.Bukti dengan Saksi-saksi 1. BURHANUDIN bin ABDUL FATAH, umur 36 tahun, agama islam, pekerjaan tani tempat kediaman RT.04 RW.10 Desa Tipar Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas, memberikan keterangan dibawah sumpah menyatakan bahwa: 1.1 Saksi adalah tetangga Pemohon dan Termohon. 1.2 Saksi menerangkan bahwa dari pernikahan antara Pemohon dan Termohon telah dikaruniai dua orang anak 1.3 Saksi menerangkan bahwa ia mengetahui tujuan Pemohon ke Pengadilan Agama Purwokerto untuk minta ijin poligami. 1.4 Calon istri kedua Pemohon bernama Defi dari Sanggreman. 1.5 Saksi menerangkan bahwa ia mengetahui antara Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon sudah 1 tahun pacaran, dan saat ini
68
calon istri kedua Pemohon dalam keadaan hamil hasil hubungan dengan Pemohon. 1.6 Saksi mengetahui antara calon istri kedua Pemohon dengan Pemohon dan Termohon tidak ada hubungan keluarga. 1.7 Calon istri kedua Pemohon tidak mempunyai suami karena calon istri kedua Pemohon berstatus janda. 1.8 Saksi menerangkan bahwa ia mengetahui penghasilan Pemohon yang mempunyai usaha kolam pemancingan dan kios serta dagang kayu sekitar Rp. 5.000.000,00,- (lima juta rupiah) sebulan, menurutnya Pemohon mampu untuk menafkahi dua orang istri. 2. JAMIL bin SARTIM, agama islam, pekerjaan dagang, tempat kediaman RT.02 RW.11 memberikan keterangan dibawah sumpah menyatakan bahwa: 2.1. Saksi adalah tetangga Pemohon dengan Termohon. 2.2.Pemohon dengan Termohon adalah suami istri yang kawin secara sah dan telah dikaruniai dua orang anak. 2.3.Saksi mengenal calon istri kedua Pemohon dan mengetahui bahwa Pemohon akan menikah lagi dengan seorang bernama Defi. 2.4. Saksi mengetahui antara Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon
tidak
ada
hubungan
keluarga,
dan
mengetahui
penghasilan Pemohon dari usaha kayu, usaha kolam pemancingan, dan mempunyai kios sekitar Rp. 8.000.000.00,- (delapan juta
69
rupiah) sampai Rp. 10.000.000.00,- (sepuluh juta rupiah) dan mampu menghidupi dua orang istri. 2.5.Termohon bersedia dimadu dan dari pihak keluarga Termohon tidak keberatan apabila Pemohon menikah lagi. 3.3.Pengakuan a. Pemohon mengakui bahwa dirinya telah melakukan hubungan intim dengan calon istri kedua sehingga menyebabkan calon istri kedua telah hamil 3 bulan. b. Termohon mengakui mengenai Surat Pernyataan Tidak Keberatan Dimadu yang dibuat oleh Termohon. c.
Pemohon dengan Termohon mengakui adanya harta bersama berupa: c.1. Sebuah rumah dengan ukuran 233 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. c.2. Sebuah sepeda motor merk Honda Revo tahun 2009 No polisi R 6385 QE. c.3. Sebuah kolam pemancingan dengan ukuran 280 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. c.4. Sebidang tanah seluas 350 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. c.5. Sebuah kios dengan ukuran 3x4 m yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. c.6. Emas seberat 15 gram.
70
3.4. Pemeriksaan Setempat Majelis Hakim telah melakukan pemeriksaan setempat secara ex officio terhadap harta tidak bergerak Pemohon dan Termohon. 4. Tentang Pertimbangan Hukumnya Maksud dan isi permohonan ijin poligami yang diajukan oleh Pemohon dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Bahwa, Majelis Hakim telah berusaha memberikan pandangan dan nasehat kepada Pemohon dan Termohon dengan mengingatkan kepada keduanya, terutama kepada Pemohon tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi akibat dari kehidupan berpoligami, dan telah menempuh jalur mediasi akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil dan Pemohon tetap bersikeras untuk tetap melanjutkan perkaranya. b. Bahwa, Pemohon dalam mengajukan permohonan ijin poligami dengan seorang perempuan yang bernama Defi Defaluanti karena Termohon telah mengijinkan Pemohon untuk menikah lagi (poligami) dan antara Pemohon dengan calon istri keduanya telah melakukan hubungan intim selayaknya suami istri bahkan telah hamil 3 bulan, dan Pemohon merasa mampu secara ekonomi untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari terhadap istri-istri dan anaknya dengan panghasilan Rp.6.000.000,- (enam juta rupiah) perbulan serta sanggup berlaku adil kepada dua orang istrinya. c. Bahwa, Alat bukti tertulis P.1 adalah fotocopi akta otentik yang telah memenuhi syarat formil dan materiil pembuktian, di samping itu alat bukti tersebut telah diakui oleh Termohon, karenanya alat bukti tersebut dapat
71
diterima dan dipertimbangkan sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) KHI, maka terbukti antara Pemohon dengan Termohon telah dan masih terikat oleh hubungan hukum perkawinan yang sah sejak 13 Oktober 2000 dan belum pernah bercerai dan kedua belah pihak dipandang sebagai pihakpihak yang mempunyai kepentingan langsung dalam perkara ini (persona standi in judicio). d. Bahwa, Terdapat Surat Keterangan Berlaku Adil, maka Majelis Hakim menilai bahwa Pemohon akan mampu berlaku adil seandainya mempunyai dua orang istri, karenanya telah terpenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf b PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 55 ayat (2) KHI. e. Bahwa, Terdapat Surat Pernyataan tidak Keberatan Dimadu dan pengakuan Termohon dalam persidangan, Majelis Hakim berpendapat bahwa Termohon telah mengijinkan Pemohon untuk berpoligami, sehinga Majelis Hakim berpendapat telah terpenuhi ketentuan persyaratan sebagaimana yang dikehendaki dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf b PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 58 ayat (1) huruf a KHI. f. Bahwa, Majelis Hakim telah meminta keterangan calon istri kedua Pemohon tentang kesediannya untuk menjadi istri kedua Pemohon dimana calon istri kedua tersebut menyampaikan jawabannya yang pada pokoknya
72
menyatakan bahwa dirinya bersedia untuk menjadi istri kedua Pemohon, sehingga Majelis Hakim berpendapat terpenuhilah syarat pernikahan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 16 KHI. g. Bahwa, berdasarkan keterangan Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon, tidak ada halangan secara hukum untuk melakukan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI KHI. h. Bahwa, Majelis Hakim juga menyandarkan pada ketentuan Allah sebagaimana firman-Nya dalam Surat An-Nisa ayat 3. i. Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka permohonan Pemohon dapat dikabulkan. j. Bahwa terhadap harta bersama Pemohon dengan Termohon sebagaimana diakui Pemohon dan Termohon berupa satu unit rumah beserta isinya. k. Bahwa, berdasarkan pengakuan Pemohon dan Termohon serta dikuatkan dengan bukti surat (surat pernyataan Pemohon) tertanggal 1 Maret 2011, yang diketahui oleh kepala desa setempat (Desa Tipar) dan hasil pemeriksaan setempat yang dilangsungkan di tempat tinggal Pemohon di RT.02 RW 11, Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas pada tanggal 4 April 2011 membuktikan bahwa selama pernikahannya antara Pemohon dengan Termohon memiliki harta bersama sebagai berikut: 1. Sebuah rumah dengan ukuran 233 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. 2. Sebuah sepeda motor merk Honda Revo tahun 2009 Nomor polisi R 6385 QE.
73
3. Sebuah kolam pemancingan dengan ukuran 280 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. 4. Sebidang tanah seluas 350 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. 5. Sebuah kios dengan ukuran 3x4 m yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. 6. Emas seberat 15 gram. l. Bahwa, perkara ijin poligami termasuk bidang perkawinan, maka sesuai dengan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang No. 7 tahun 1989 jo UndangUndang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, maka biaya perkara ini dibebankan kepada Pemohon. 5. Putusan Pengadilan 1. Mengabulkan permohonan Pemohon. 2. Memberi ijin kepada Pemohon NARDI bin SUMIARTO untuk menikah lagi dengan perempuan bernama DEFI DEFALUANTI binti SIKUN WIBOWO. 3. Menetapkan harta bersama Pemohon dengan Termohon adalah berupa: a. Sebuah rumah dengan ukuran 233 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. b. Sebuah sepeda motor merk Honda Revo tahun 2009 No polisi R 6385 QE. c. Sebuah kolam pemancingan dengan ukuran 280 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas.
74
d. Sebidang tanah seluas 350 m2 yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. e. Sebuah kios dengan ukuran 3x4 m yang terletak di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas. f. Emas seberat 15 gram. 4. Membebankan biaya perkara sebesar Rp. 1.891.000,- (satu juta delapan ratus sembilan puluh satu ribu rupiah) kepada Pemohon.
B. Pembahasan
1. Dasar pertimbangan hakim dalam menilai alat bukti pada permohonan ijin poligami yang dikabulkan dalam perkara putusan Nomor: 417/Pdt.G/2011/PA.Pwt. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan dari perkawinan tersebut dapat disimpulkan yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. Pada ajaran Katolik, dikenal perkawinan monogami (perkawinan tunggal). Perkawinan yang dilakukan hanya berlangsung satu kali dan untuk selamanya. Mereka beranggapan bahwa perkawinan yang dilaksanakan merupakan sebuah janji dengan Tuhan sehingga perjanjian yang dibuat di hadapan Tuhan tidak boleh diputus oleh manusia dengan alasan apapun. Hal tersebut berbeda dengan
75
ajaran islam dimana dikenal dengan adanya poligami (perkawinan banyak). Asas monogami diatur dalam Pasal 3 ayat (1) yang kemudian disimpangi oleh Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Asas poligami merupakan penyimpangan asas monogami. Jika seseorang akan berpoligami, maka hanya terbatas pada 4 orang istri, hal tersebut sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 55 ayat 1 KHI. Poligami yang dilakukan hanya terbatas pada 4 orang istri, jika akan malukan perkawinan kembali, maka salah satu istrinya harus diceraikan jika tidak maka perkawinan dengan istri kelima dianggap batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak mempunyai perlindungan hukum apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Permohonan ijin poligami harus dilakukan di pengadilan agama tempat dimana Pemohon bertempat tinggal (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 40 PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 56 ayat (1) KHI). Jika seseorang akan berpoligami, harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: 1. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri Berdasarkan point 2.A.3 dikatakan bahwa Termohon tidak mau melayani
kebutuhan
biologis
Pemohon
dikarenakan
kecapaian
mengurusi dagangan. Menurut pendapat Yahya Harahap dalam bukunya
76
Hukum Perkawinan Indonesia, untuk menentukan seorang istri tidak dapat menjalankan kewajibannya harus dikembalikan pada ketentuan Pasal 1 yaitu perkawinan itu bertujuan membentuk rumah tangga bahagia dan kekal, dan bunyi penjelasan atas pasal itu dipertegas lagi kesejahteraan dan kebahagiaan itu adalah meliputi spiritual dan materiil. Tetapi bagaimanapun dalam menilai si istri tidak melaksanakan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga harus dihubungkan anggapan teori kewajiban itu dengan keadaan-keadaan praktek perlakuan suami.35 Termohon tidak dapat melayani kebutuhan biologis Pemohon dikarenakan Termohon membantu pekerjaan Pemohon. Berdasarkan pendapat Yahya Harahap diatas jika dikaitkan dengan putusan ini, maka hak dan kewajiban suami-istri dalam kehidupan berumah tangga haruslah seimbang, sehingga penagihan kewajiban istri oleh suami harus selaras dengan perilaku dan penghargaan yang diberikan suami terhadap istri. Pemohon sudah sepatutnya memahami dan memaklumi pekerjaan yang dilakukan oleh Termohon, serta dapat memberi peringatan dan masukan kepada Termohon agar jangan terlalu mengurusi dagangannya saja tetapi juga dapat melayani kebutuhan biologis Pemohon. Pemohon seharusnya tidak menggunakan hal tersebut sebagai alasan untuk mencari kesenangan di luar dengan perempuan lain yang menyebabkan perempuan tersebut telah hamil 3 bulan.
35
Yahya Harahap. Op, cit, hlm 33
77
Alasan
Pemohon
kewajibannya
sebagai
mengenai
istri
tidak
dapat
menjalankan
seorang
istri
tidak
disinggung
dalam
pertimbangan hakim, tetapi yang disinggung adalah pengakuan Pemohon bahwa calon istri kedua Pemohon telah hamil 3 bulan. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa alasan Pemohon mengajukan ijin poligami ke Pengadilan Agama Purwokerto dengan alasan istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dinilai hanya mengadaada untuk melakukan penyelumdupan hukum. Jika alasan Pemohon dalam mengajukan ijin poligami adalah alasan ini, maka Pemohon harus dapat membuktikan dalil alasannya dengan adanya keterangan saksi yang melihat, mendengar, dan merasakan kejadian yang sebenarnya bahwa Termohon tidak dapat bertindak sebagai istri seperti yang dituhduhkan oleh Pemohon. Maka unsur ini tidak terpenuhi. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Menurut pendapat Yahya Harahap, alasan ini lebih bersifat humanisme. Sebab menceraikan istri yang demikian sungguh memilukan harkat kemanusiaan apalagi misalkan keluarga si istri itu tidak ada.36 Oleh karena itu melaksanakan poligami dalam hal seperti ini dipandang lebih berperikemanusiaan daripada mengejar monogami dengan tindakan menceraikan istri yang sedang dalam penderitaan dan membutuhkan pertolongan dan perlindungan dari seorang suami.37 Pada putusan ini dapat dilihat bahwa Termohon dalam keadaan sehat dan dapat 36
Ibid, hlm 34 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1982, hlm 79 37
78
melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya ibu rumah tangga pada umumnya, dan alasan pengajuan ijin poligami yang diajukan oleh Pemohon dalam putusan nomor 417/Pdt.G/2011/PA.Pwt tidak memakai alasan ini, jika Pemohon dalam mengajukan ijin poligami akan memakai alasan ini, maka harus dapat dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang menangani kondisi istrinya. Maka unsur ini tidak terpenuhi. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Menurut pendapat Yahya Harahap, dalam perkawinan setiap manusia ingin mendapatkan keturunan. Tidak ada manusia normal yang tidak menghendaki keturunan dalam suatu perkawinan. Akan tetapi untuk menentukan kemandulan seorang istri haruslah didasarkan pada keterangan yang jelas dari seorang ahli spesialis, memang si istri mandul.38 Selama perkawinan berlangsung antara Pemohon dengan Termohon telah dikaruniai dua orang anak, hal tersebut dapat dilihat pada point 2.A.2 dan dikuatkan dengan point 3.2.1 dan point 3.2.2. Berdasarkan point 2.A.2 bahwa Termohon tidaklah mandul dikarenakan dapat mempunyai keturunan. Pemohon juga tidak mendalilkan alasan pengajuan ijin poligami ke Pengadilan Agama Purwokerto bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan. Maka unsur ini tidak terpenuhi.
38
Loc, cit
79
2. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. a. Adanya persetujuan istri atau istri-istri Menurut pendapat Yahya Harahap bahwa persetujuan dimaksud dapat dilakukan dengan lisan maupun tulisan. Tetapi oleh karena Pasal 41 huruf b PP No. 9 Tahun 1975 telah menentukan sekalipun ada persetujuan tertulis istri, pengadilan harus mendengar langsung persetujuan itu di depan sidang pemeriksaan, ragu atau tidak ragu-ragu atas pesetujuan tertulis, hakim harus langsung memanggil pihak istri, untuk memperjelas kebenaran persetujuan yang dimajukan suami dalam permohonan itu. Dengan adanya keharusan langsung mendengar istri, si suami tidak bisa lagi memalsukan pesetujuan istri.39 Berdasarkan point 3.1.h yang dikuatkan dengan point 4.e. persetujuan dimana berupa tulisan dengan dikuatkan pengakuan Termohon di depan sidang pengadilan. Maka unsur ini telah terpenuhi. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Menurut pendapat Yahya Harahap kepastian yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah suatu penilaian hakim berdasarkan kekayaan yang ada pada sipemohon pada momen permohonan itu dimajukan. Sebab hakim
sebagai
manusia
tidak
mungkin
menjangkau
sesuatu
kemungkinan perubahan status sosial ekonomis dimasa yang akan
39
Ibid, hlm 26
80
datang.40 Jumlah kekayaan ini dapat didasarkan pada surat keterangan penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendaharawan tempat suami bekerja, atau dapat dilihat dari surat keterangan pajak penghasilan atau surat-surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.41 Kepastian Pemohon dapat menjamin keperluan hidup istri dan anak, dapat dilihat dari surat keterangan penghasilan, berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Farid wakil panitera Pengadilan Agama Purwokerto pada 19 Januari 2012, surat keterangan penghasilan yang dibuat oleh Pemohon bukanlah merupakan akta tetapi dapat dijadilan alat bukti. Surat keterangan penghasilan yang dibuat oleh Pemohon dikuatkan dengan point 2.A.8, 3.2.1 dan 3.2.2 serta telah dilakukan pemeriksaan setempat mengenai keberadaan benda tidak bergerak yang dilakukan oleh juru sita Pengadilan Agama Purwokerto. Jika Pemohon akan melakukan praktek poligami dalam kehidupan rumah tangganya, maka penghasilan yang dihasilkan oleh Pemohon yang diperoleh dari pekerjannya tersebut harus dibagi dua antara istri pertama dengan istri kedua. Pada saat pembuatan surat keterangan penghasilan yang dibuat oleh Pemohon, jumlah yang dicantumkan adalah jumlah minimal penghasilan per bulan dan bukanlah jumlah maksimal. Maka unsur ini telah terpenuhi.
40 41
Ibid, hlm 27 Soemiyati, op, cit, hlm 78
81
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak. Menurut pendapat Yahya Harahap kata-kata menjamin dalam kalimat diatas lebih bersifat moral dari pada aturan ketentuan, dan paling tidak hakim minta surat pengakuan atau pernyataan bahwa dia mengaku akan berlaku dan bertindak adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Tetapi hal demikian pun tiada lain dari suatu pengakuan. Apalagi keadilan dalam poligami mempunyai kaitan yang sangat luas dan meliputi segala aspek lahiriah dan batiniah.42 Jika si suami menyalahi ikrar jaminan berlaku adil didiskriminasikan dapat menuntut pemulihan keadilan itu pada pengadilan.43 Berdasarkan point 3.1.g dan dikuatkan dengan point 4.d dan hasil wawancara dengan Bapak Farid wakil panitera Pengadilan Agama Purwokero pada tanggal 19 Januari 2012 adil yang dimaksud adalah adil secara lahir dan batin. Pemohon sudah menyangupi bahwa dirinya dapat berlaku adil secara lahir dan batin kepada kedua istrinya dan anakanaknya. Maka unsur ini telah terpenuhi. Pada saat seseorang akan mengajukan permohonan ijin poligami, maka permohonan tersebut harus diajukan di pengadilan agama tempat Pemohon bertempat tinggal, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undangundang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 40 PP No. 9 Tahun 1974 dan Pasal 56 KHI. Pemohon yang akan mengajukan ijin poligami ke Pegadilan Agama Purwokerto 42 43
Ibid, hlm 28 Soemiyati, loc, cit
82
harus mengikuti prosedur beracara di pengadilan. Acara sidang pertama adalah mediasi, pelaksanaan mediasi sesuai dengan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Persidangan. Mediasi yang dilakukan dinyatakan gagal dikarenakan Pemohon tetap bersikeras untuk melanjutkan perkaranya. Kemudian Pengadilan Agama Purwokerto melanjutkan proses persidangan ke sidang acara pembuktian. Menurut pendapat Yahya Harahap dalam pengertian yang luas, pembuktian adalah kemampuan Penggugat dan Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembukian hanya diperlukan hanya sepanjang mengenai hal-hal yang masih dibantah atau disengketakan atau hanya sepanjang yang menjadi perselisihan diantara pihak-pihak yang berperkara. Menurut R. Subekti yang dimaksud dalam pembuktian adalah suatu daya upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan di dalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim.44 Berdasarkan pendapat diatas, maka yang mengajukan alat bukti adalah Pemohon, dan bukti yang diajukan berfungsi untuk menguatkan alasan-alasan Pemohon dalam permohonan ijin poligami ke Pengadilan Agama Purwokerto. Mengenai ketentuan pembuktian diatur dalam Pasal 164 HIR jo Pasal 1884 BW,
44
Abdul Manan, op, cit, hlm 227
83
dimana dalam putusan ini alat bukti yang diajukan oleh Pemohon adalah sebagai berikut: 1. Bukti tertulis. a. Akta Otentik. Akta otentik dapat dilihat dari point 3.1.a, 3.1.b, 3.1.c, 3.1.d, 3.1.e, dan 3.1.f. Bukti tersebut kemudian dikuatkan dengan pernyataan Pemohon, Termohon, dan calon istri kedua Pemohon di persidangan. Hal tersebut adalah merupakan syarat administratif yang diperlukan dalam rangka mengajukan permohonan di pengadilan dan sesuai dengan point 2.A.1 dan point 4.c, serta memenuhi rumusan Pasal 165 HIR dan Pasal 1868 BW. b. Akta dibawah tangan. Akta dibawah tangan dapat dilihat dari point 3.1.g dan surat keterangan penghasilan, hal tersebut juga dikuatkan oleh point 3.2.1, dan 3.2.2. Selain dikuatkan dengan point 3.2.1 dan 3.2.2, mengenai keabsahan akta di bawah tangan juga oleh point 4.d dan 4.k. Hal tersebut telah memenuhi rumusan Pasal 5 ayat (1) point b dan c Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 41 point c dan d PP No. 9 Tahun 75 serta Pasal 55 dan Pasal 58 KHI. c. Surat secara sepihak. Surat secara sepihak dapat dilihat dari point 3.1.h dan dikuatkan dengan point 4.e sehingga alat bukti tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 point b PP 9 Tahun 1975 dan Pasal 58 ayat (1) KHI.
84
2. Bukti dengan saksi-saksi. Pada permohonan ijin poligami, saksi yang dihadirkan pada saat jalannya proses persidangan terdapat 2 orang saksi, hal tersebut dapat dilihat dari point 3.2.1 dan point 3.2.2. Kesaksian yang ada adalah untuk memperkuat point 3.1.g, 3.1.h,dan surat keterangan penghasilan dan kesaksian yang ada tidak dimasukkan dalam pertimbangan hukum hakim. Bukti dengan saksi-saksi yang diajukan oleh Pemohon ke persidangan telah sesuai dengan rumusan Pasal 139-152, 168-172 HIR (Pasal 165-179 Rbg), Pasal 1895 dan 1902-1912 BW. 3. Pengakuan Pengakuan dapat dilihat pada point 4.b, 4.e, dan 4.k. Dimana point 4.b merupakan pengakuan Pemohon bahwa Pemohon telah melakukan hubungan suami istri dengan calon istri kedua Pemohon dan merupakan alasan Pemohon akan melakukan poligami dengan calon istri kedua. Point 4.e merupakan pengakuan Termohon mengenai Surat Pernyataan Tidak Keberatan Dimadu yang menguatkan point 3.1.h sehingga Pemohon tidak dapat memalsukan Surat Pernyataan Tidak Keberatan Dimadu yang dibuat oleh Termohon. Point 4.k merupakan pengakuan Pemohon dan Termohon mengenai keberadaan harta bersama serta menguatkan point 2.A.5.8, Surat Pernyataan Penghasilan, dan point 4. 4. Pemeriksaan Setempat. Mengenai pemeriksaan setempat dapat dilihat dari point 3.3, dimana dilakukannya pemeriksaan setempat itu untuk memenuhi SEMA No. 7 Tahun
85
2001 tentang Pemeriksaan Setempat. Pemeriksaan setempat juga dilakukan untuk menguatkan point 2.A.8, 4.j, dan 4.k. Pada putusan nomor 417/Pdt.G/2011/PA.Pwt tentang permohonan ijin poligami yang diajukan sejak tanggal 1 Maret 2011, hakim dalam memutuskan perkara tersebut hanya memenuhi asas kemanfaatan dan bukanlah memenuhi asas kepastian hukum, hal tersebut dapat dilihat dari pertimbangan hakim yang mengatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan tersebut bukanlah dikarenakan syarat-syarat poligami dimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undangundang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 41 point a PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 57 KHI tetapi berdasarkan pengakuan Pemohon bahwa calon istri kedua Pemohon telah hamil duluan sebelum adanya ijin poligami dari Pengadilan Agama Purwokerto. Dengan kata lain Pemohon mengajukan permohonan ijin poligami dapat dikabulkan jika calon istri kedua telah hamil terlebih dahulu, dan secara secara tidak langsung itu adalah salah satu bentuk dilegalkannya zina.
2. Akibat Hukum yang Ditimbulkan dari Permohonan Ijin Poligami yang Dikabulkan. Ijin poligami yang dikabulkan oleh pengadilan agama dapat dijadikan sebagai alat bukti otentik yang dapat dipergunakan untuk melakukan perkawinan kedua dengan calon istri kedua di Kantor Urusan Agama (KUA). Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang akan menikahkan perkawinan poligami hendaknya harus dapat memastikan telah adanya ijin dari pengadilan agama, karena ijin dari pengadilan agama merupakan syarat utama dilakukannya perkawinan poligami. Apabila tidak
86
adanya ijin poligami dari pengadilan agama, maka perkawinan poligami tidak dapat dilakukan dengan alasan apapun. Pada saat Pemohon akan melangsungkan perkawinan dengan calon istri kedua selain harus adanya surat ijin poligami yang dikabulkan oleh pengadilan agama, perkawinan yang dilakukan harus sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan melaksanakan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan 7 UndangUndang No. 1 Tahun 1974 dan Bab IV KHI. Maka perkawinan yang dilakukan oleh Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon menjadi sah dan mengikat serta berkekuatan hukum. Rukun dan syarat memiliki kedudukan yang sangat penting dalam setiap akad (transaksi) apa pun, termasuk untuk tidak mengatakan terutama akad kawin. Bedanya rukun berada di dalam sesuatu (akad kawin) itu sendiri, sedangkan syarat berada di luarnya. Dikatakan, ruknus-syar’i ma-yatimmu bihi, rukun sesuatu adalah sesuatu yang dengannya (sesuatu itu) akan menjadi sempurna (eksis), yang mana rukun itu sendiri merupakan bagian yang ada di dalamnya, berbeda dengan syarat yang ada di luar daripada sesuatu itu sendiri. Dalam Ensiklopedia Hukum Islam, syarat dirumuskan dengan, sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i, dan dia berada di luar hukum itu sendiri. Perbedaan antara rukun dan syarat, khususnya rukun dan syarat dalam akad kawin, tampak begitu tipis. Atas dasar ini maka tidaklah mengherankan jika berkenaan dalam ihwal rukun dan syarat kawin, ada hal-hal tertentu yang oleh sebagian ulama dimasukkan ke dalam rukun kawin, sementara oleh sebagian ulama yang lain dikategorikan sebagai syarat kawin. Sebagai ilustrasi, ulama Malikiah
87
misalnya menyebutkan lima macam arkan kawin yaitu: (1) wali perempuan, (2) maskawin, (3) suami, (4) istri, (5) sighat akad. Kebanyakan ulama Syafi’iah juga menyebutkan lima arkan kawin, tetapi dengan unsur tertentu yang berbeda dari mahzab Maliki. Kelima arkan kawin yang dikemukakan ulama Syafi’iah ialah: (1) suami, (2) istri, (3) wali, (4) dua orang saksi, (5) shighat akad.45 Syarat-syarat perkawinan diatur didalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: 1) Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai. Menurut pendapat Soemiyati yang dimaksud dengan perjanjian atau persetujuan yaitu bahwa perkawinan itu harus dilaksanakan berdasarkan kehendak bebas calon mempelai pria ataupun calon mempelai wanita untuk melaksanakan perkawinan tanpa persetujuannya. Untuk menimbulkan kesepakatan kedua belah pihak, maka dalam islam sebelum perkawinan perlu diadakan peminangan dan masa “khitbah” terlebih dahulu, supaya keduanya dapat mengadakan saling pendekatan dan untuk saling mengenal watak masing-masing. 46 Perjanjian mana dibuat oleh calon suami dan calon istri dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan pihak manapun, jika perjanjian antara calon suami dan calon istri dibuat dalam keadaan terpaksa atau tertekan maka dikhawatirkan bahwa perkawinan yang dilaksanakan tidak akan mencapai tujuan perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1 Undang45
Muhammad Amin Suna, op, cit, hlm 95-96 Soemiyati, op, cit, hlm 67-68
46
88
Undang No. 1 Tahun 1974. Oleh karena itu, pada saat akan diadakannya perjanjian antara calon suami dengan calon istri, hendaknya harus mengenal watak masing-masing dan sifat serta kebiasaan baik dan buruk pasangan. Pengenalan yang baik antara calon suami dengan calon istri diharapkan perkawinan yang dilakukan dapat berlangsung seumur hidup (monogami). 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orangtua. Menurut pendapat Yahya Harahap mengenai perlunya ijin ini adalah erat sekali hubungannya dengan pertanggung jawaban orang tua dalam pemeliharaan yang dilakukan oleh orang tua secara susah payah dalam membesarkan anak-anaknya. Sehingga kebebasan yang ada pada si anak untuk menentukan pilihan calon suami/istri jangan sampai menghilangkan tanggung jawab orang tua.47 Pada saat calon suami/istri yang akan menikah belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan ijin orang tua, hal tersebut dikarenakan pada saat seseorang belum mencapai umur 21 masih dianggap belum dewasa dan pikirannya belum matang, maka peran orang tua selain untuk memberikan ijin perkawinan kepada anaknya yang belum berumur 21 tahun juga dapat memberikan saran mengenai pasangan yang dipilih oleh anaknya, dan mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan dimasa depan pada saat perkawinan tersebut berjalan. Karena setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik buat anaknya. 47
Loc, cit
89
3) Apabila kedua orang tua meninggal dunia, maka yang berhak memberi ijin sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3), (4), dan (5) adalah berturut-turut sebagai berikut: Jika kedua orang tua masih hidup maka yang berhak memberi ijin adalah kedua-duanya. Sedangkan apabila salah satu meninggal dunia maka yang berhak memberikan ijin adalah salah satu dari keduanya yang masih hidup. Jika yang meninggal dunia adalah orang tua wanita maka ijin perkawinan ada pada orang tua laki-laki, demikian sebaliknya. Dalam hal ijin ada pada pihak orang tua perempuan, maka orang tua perempuanlah yang bertindak sebagai wali.48 Mengenai pemberian ijin perkawinan jika salah satu atau kedua orang tua meninggal dunia, disesuaikan dengan ajaran dan kepercayaannya. Bagi mereka yang beragama islam oleh karena hukum islam telah mengatur mengenai susunan perwalian dalam perkawinan maka ketentuan-ketentuan dalam undang-undang perkawinan tidak berlaku bagi mereka, sepanjang ketentuan-ketentuan itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perwalian menurut hukum islam. 4) Apabila salah seorang dari kedua orang tua dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya karena disebabkan: 1. Karena di bawah kuratele 2. Atau sakit ingatan
48
Loc, cit
90
3. Tempat tinggalnya tidak diketahui, maka ijin cukup diberikan oleh salah satu pihak saja yang mampu menyatakan kehendaknya (Pasal 6 ayat (3)). Pernyataan kehendak merupakan perbuatan perdata, jika seseorang tidak dapat menyatakan kehendak maka pernyataan kehendak seseorang tersebut dapat diwakilkan oleh orang lain. Sebagai contoh, apabila salah satu orang tua calon suami/istri di bawah kuratele karena ketidakmampuannya, maka dapat diwakili oleh kurator sebagai wali kawin. 5) Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. Pada saat calon suami/istri akan melaksanakan perkawinan, apabila kedua orang tua telah meninggal, maka dapat diwakilkan oleh wali. Wali disni adalah orang yang mengurus dan memelihara sampai seseorang mandiri, wali dimaksud dapat berasal dari pihak keluarga, saudara, atau orang yang telah dipercaya untuk mengurus keperluan mereka. Peran wali adalah sama dengan orang tua. 6) Jika ada perbedaan pendapat antara mereka yang disebut dalam ayat 2,3, dan 4 pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak ada menyatakan pendapatnya, pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang hendak melaksanakan perkawinan yang berhak memberi ijin. Ijin dari pengadilan ini atas permintaan:
91
1. Pihak yang hendak melaksanakan perkawinan. 2. Setelah lebih dahulu mendengar sendiri orang yang disebut oleh ayat 2,3, dan 4 Pasal 6 tersebut. Bagi yang beragama islam ketentuan-ketentuan perijinan dalam sub d, e, dan f tersebut diatas, hanya berlaku bagi mereka sepanjang ketentuanketentuan itu tidak bertentangan dengan ketentuan perwalian menurut hukum islam. Apabila ketentuan-ketentuan itu tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan perwalian dalam hukum islam maka yang berlaku bagi mereka adalah hukum islam.49 7) Batas umur untuk melaksanakan perkawinan adalah sekurang-kurangnya 19 tahun bagi calon suami dan 16 tahun bagi calon istri. Menurut pendapat Soemiyati penentuan batas umur untuk melangsungkan perkawinan sangatlah penting sebab perkawinan sebagai suatu perjanjian perikatan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri, haruslah dilakukan oleh mereka yang sudah cukup matang baik dilihat dari segi biologis maupun psikologis. Hal ini adalah penting sekali untuk mewujudkan tujuan perkawinan itu sendiri, juga mencegah terjadinya perkawinan pada usia muda atau perkawinan anak-anak, sebab perkawinan yang dilaksanakan pada umur muda banyak mengakibatkan perceraian dan keturunan yang diperolehnya bukan keturunan yang sehat. Perkawinan pada usia muda cenderung masih mengedepankan emosional masing-masing sehingga sangat rentan dengan perceraian. Seseorang yang 49
Ibid, hlm 70
92
belum mencapai umur 20 tahun, tingkat emosionalnya masih sangat labil dan sangat mudah dipengaruhi sehingga dikhawatirkan akan mengikuti hal-hal negative yang ada di masyarakat. Penundaan perkawinan pada usia muda diharapkan agar keluarga yang tercipta diharapkan mampu memenuhi tujuan dari Pasal 1 undang-undang perkawinan dan mencegah terjadinya perceraian pada usia muda. Kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang (poligami) diatur dalam Pasal 82 KHI yang berbunyi sebagai berikut: (1) Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang menurut besar kecilnya keluarga yang ditanggaung masingmasing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan. (2) Dalam hal para istri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan istrinya dalam satu tempat kediaman.
Apabila perkawinan yang dilakukan oleh Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon telah dilakukan di KUA secara sah, maka anak yang dikandung oleh calon istri kedua Pemohon hasil hubungan zina dengan Pemohon dapat dikatakan sebagai anak sah karena lahir di dalam perkawinan yang sah, hal tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 99 KHI. Pemohon dalam melakukan praktek poligami, diharuskan berbuat adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, jangan sampai perkawinan ke-2 Pemohon menjadi perkawinan yang haram karena Pemohon tidak dapat bebuat adil dalam kehidupan rumah tangganya dan mendiskriminasikan salah satu istri serta
93
mengistimewakan salah satu istrinya. Apabila hal tersebut terjadi, maka salah satu istri yang merasa didiskriminasikan dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan agama. Apabila yang merasa didiskriminasikan adalah Termohon, maka Termohon dapat meminta pembatalan perkawinan antara Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon di pengadilan dengan mengemukakan alasan-alasan dan bukti-bukti yang kuat guna meneguhkan dalil gugatannya. Berdasarkan hasil penelitian kasus diatas, sebelum dilakukannya ijin poligami oleh Pemohon ke Pengadilan Agama Purwokerto telah adanya hubungan zina antara Pemohon dengan calon istri kedua Pemohon yang menyebabkan calon istri kedua Pemohon telah hamil 3 bulan. Pemohon bertanggung jawab dengan mengajukan permohonan ijin poligami ke Pengadilan Agama Purwokerto. Permohonan ijin poligami yang diajukan oleh Pemohon ke Pengadilan Agama Purwokerto dikabulkan dan putusan Pengadilan Agama Purwokerto tersebut menjadi dasar dilakukannya perkawinan antara Pemohon dengan calon istri kedua, dan anak hasil hubungan zina dengan Pemohon menjadi anak sah karena dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Dengan demikian akibat yang ditimbulkan dari adanya permohonan ijin yang dikabulkan oleh pengadilan yaitu sebagai dasar dilakukannya perkawinan antara Pemohon dengan calon istri kedua dan sahnya anak dalam kandungan calon istri kedua.
94
BAB V PENUTUP A. Simpulan
1. Penilaian hakim Pengadilan Agama Purwokerto terhadap alat bukti yang diajukan oleh Pemohon guna membuktikan kebenaran dalil permohonan ijin poligami dinilai mengabaikan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 41 point a PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 57 KHI. Alasan Pemohon mengajukan ijin poligami ke Pengadilan Agama Purwokerto dikarenakan calon istri kedua Pemohon telah hamil 3 bulan, hasil perbuatan zina dengan Pemohon. Hakim dalam putusannya hanya mempertimbangkan asas kemanfaatan dan bukan mempertimbangkan asas kepastian hukum. 2. Akibat hukum yang ditimbulkan dari permohonan ijin poligami yang dikabulkan yaitu Pemohon dengan calon istri kedua dapat melakukan perkawinan di KUA dimana putusan pengadilan tentang permohonan ijin poligami dikabulkan dan ijin poligami sebagai bukti otentik sebagai syarat perkawinan ke dua serta anak yang ada dalam kandungan calon istri kedua menjadi anak sah.
95
B. Saran
Berdasarkan simpulan yang diambil dari penelitian ini maka peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut : a. Untuk Pemerintah: Pemerintah harus lebih mensosialisasikan mengenai Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo PP Nomor 9 Tahun 1975 dan KHI khususnya mengenai ijin poligami sehingga mencegah timbulnya poligami liar di dalam masyarakat. b. Untuk Pengadilan Agama Dalam menjatuhkan putusan harus sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku serta harus memenuhi asas kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan. c. Untuk Suami (laki-laki yang akan berpoligami) Pada saat akan mengajukan ijin poligami hendaknya dipikirkan terlebih dahulu mengenai manfaat dan akibat yang ditimbulkan dari kehidupan berpoligami, dan dalam mengajukan ijin poligami hendaknya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta tidak melakukan pelanggaran hukum. d. Untuk Perempuan Pada saat akan menjalin hubungan asmara dengan seorang laki-laki hendaknya harus melihat status laki-laki tersebut, apakah telah kawin atau belum.