yang ikut bergabung memperkuat Bu Tek Seng Pay. Tidak heran jika banyak perguruan kecil yang kemudian lebih memilih untuk bersembunyi dan melenyapkan diri untuk menjaga keselamatan murid-murid mereka dari amukan Bu Tek Seng Pay. Pendeknya, akibat dari ”teror” Bu Tek Seng Pay ini benar-benar menggegerkan dunia persilatan. Masih dua minggu pelaksanaan perayaan hari ulang tahun Poen Loet Kiam Kek (Jago Pedang Pengejar Guntur) Hu Sin Kok yang ke 75. Tetapi keramaian sudah seperti pada hari puncaknya di kota Ya In. Penginapan dan hotel sudah penuh disewa banyak tamu yang berasal dari seluruh penjuru. Sudah teramat sulit menemukan hotel ataupun penginapan bagi mereka yang baru datang pada hari-hari mendekati hari puncak perayaan hari ulang tahun Hu Pocu. Jangankan di hotel dan penginapan, bahkanpun di Benteng Keluarga Hu sendiripun sudah banyak tokoh-tokoh dunia persilatan yang datang lebih dini berkumpul disana. Termasuk Pangcu Kaypang, Tek Ui Kaypang yang sudah tiba jauh-jauh hari karena memang ada persoalan penting yang diajukannya dan didiskusikan berbareng dengan Hu Sin Kok. Tidak mengherankan, karena memang, HU SIN KOK, langsung atau tidak langsung memang dipandang sebagai pemimpin dunia persilatan Tionggoan dewasa ini. Sudah beberapa hari terakhir Tek Ui Sinkay bersama dengan Hu Sin Kok dan putranya Pat Ciu Thian Cun (Jago Pedang Pengejar Guntur) Hu Sin Tiong serta istrinya Hoa San Sian Li (Dewi dari Hoa San Pai) Kho Sian Lian, dan juga beberapa tokoh berdiskusi. Mereka sempat ingin menunda atau mengundurkan acara perayaan, namun sayangnya acaranya sendiri, perayaan hari ulang tahun ke-65, memang sudah dirancang jauh-jauh hari. Dan juga, dirancang tanpa mengantisipasi dan mengetahui jika ternyata Bu Tek Seng Pay akan memulai gerakan mereka secara terbuka dari Gunung Pek In San. Karena itu, tidak cukup waktu dan sudah tidak mungkin lagi untuk menarik undangan yang sudah dikirimkan meskipun resikonya sangatlah besar. Mereka sangat sadar, bukan tidak mungkin anak buah Bu Tek Seng Pay akan cari perkara di perayaan dan hari besar yang memang akan banyak dihadiri tokoh kang ouw. Tetapi, bagaimanapun tokoh-tokoh aliran putih ”wajib” menjaga jati diri, reputasi dan tidak boleh takut sebelum bertemu dengan Bu Tek Seng Ong sekalipun. Hari itu, masih dua minggu terentang dari acara puncak, di meja pertemuan, Hu Sin Kok sedang membahas keadaan terakhir bersama dengan tokoh-tokoh aliran putih lainnya. Terlihat kehadiran Tek Ui Sinkay (Pengemis Sakti Tongkat Kuning), yang sudah menjadi Pangcu Kaypang terakhir. Kemudian bersama mereka berdua, terlihat juga hadir Hu Sin Tiong, putra sulung Hu Pocu yang sudah berusia 50 tahunan namun tidak terlihat kehadiran istrinya bersama mereka. Selain itu, masih juga ada 2 (dua) orang tokoh hebat yang sudah selama hampir sebulan menginap di Benteng Keluarga Hu setelah terus menerus gagal untuk bertemu dan membujuk seorang kawan mereka yang ”tersesat”. Mereka berdua adalah tokoh-tokoh besar yang kedudukan mereka di dunia persilatan sesungguhnya sudah sangat tinggi. Merekalah yang terkenal dengan nama ”TIONGGOAN SU KOAY” (Empat Tokoh Aneh Tionggoan), tokoh-tokoh besar yang kedudukan mereka hanya setingkat di bawah Dewa Persilatan Tionggoan. Dapat dibayangkan kehebatan mereka. Dua orang tersebut yang adalah anggota Tionggoan Su Koay, yakni To Pa Thian Pak (Penguasa Tunggal Langit Utara) Bu Bin An dan See Bun Sin-Kiam-jiu (Tangan Pedang Sakti Dari Pintu Barat) Lim Ki Cing. Selain mereka berdua ada seorang lagi yang sesungguhnya adalah bekas tokoh sesat yang tidak kurang sakti dan hebatnya dibandingkan dengan Bu Bin An dan Lim Ki Cing, yakni saudara angkat Hu Sin Kok, seorang tokoh bernama Kim Shia (si sesat bercahaya emas) Sam Kun. Sejak usainya pertumpahan darah yang membuat Pek Kut Lodjin bunuh diri, Sam Kun mengikuti Hu Sin Kok dan menjadi kakak angkat sang Pocu. Sejak saat itu, untuk semua urusan dunia persilatan, Sam Kun pasti akan berada di belakang Hu Sin Kok dan mendukungnya, apapun keputusan itu. Tionggoan Su Koay sendiri sebetulnya terdiri dari 4 orang, dimana salah satunya adalah Sam Kun yang tinggal di pantai Laut Selatan. Tetapi, sejak dia dikalahkan oleh Lam Hay Sinni yang bertempat tinggal di laut selatan, diapun menanggalkan “posisi” di Selatan dan meninggalkannya untuk Lam Hay Sinni. Padahal, sesungguhnya, Lam Hay Sinni masih berusia lebih tua dibandingkan Tionggoan Su Koay, masih ada jarak hampir 15 tahun lebih tua. Tetapi, meski tidak menerima, Lam Hay Sinni sendiri tidak pernah menolak berada dalam Tionggoan Su Koay, dan dianggap sebagai tokoh tertua dan terhebat diantara mereka berempat. Selain itu, Sam Kun sudah meninggalkan pos di selatan dan memilih tinggal bersama Hu Sin Kok. Itulah sebabnya, praktis pos SELATAN berada di antara ada dan tidak ada.
Disebutkan tidak ada, padahal ada Lam Hay Sinni yang berkedudukan disana, disebut ada, Lam Hay Sinni nyaris tidak pernah berada bersama dengan 3 tokoh lainnya. Urut-urutan Tionggoan Su Koay berdasarkan kehebatan mereka adalah, Lam Hay Sinni di pos SELATAN, disusul dengan Kakek Tua dari Lautan Timur – Tung Hai bernama Siu Pi Cong. Tokoh yang memiliki pos di TIMUR ini memiliki julukan keren, Jian Bun Kiam Ciang (Telapak Tangan Emas Pembabat Nyawa). Kemudian disusul dengan tokoh yang menduduki pos UTARA, yakni seorang tokoh besar bernama To Pa Thian Pak (Penguasa Tunggal Langit Utara) Bu Bin An dan terakhir tokok di pos BARAT adalah See Bun Sin-Kiam-jiu (Tangan Pedang Sakti Dari Pintu Barat) Lim Ki Cing. Sesungguhnya tokoh yang menduduki pintu SELATAN, memiliki kemampuan yang mengatasi ketiga tokoh dipos lainnya, dan mereka berempat tahu belaka soal itu. Sementara selain Rahib Selatan, ketiga tokoh lainnya relatif seimbang kepandaiannya, dan karena itulah maka ketiga tokoh lain selalu menghormati dan memandang Rahib Selatan sebagai pemimpin mereka. Selain mereka berlima, juga nampak di dalam ruangan adalah tokoh Siauw Lim Sie, yakni Hwesio dari angkatan HOAT, yakni Hoat Kek Hwesio yang sekarang adalah Wakil CIangbudjin dan hadir mewakili pihak Siauw Lim Sie. Dan dua orang tokoh lainnya dri Hoa San Pay yakni Thian Lui Sianseng (Tuan Geledek Langit) Yap Eng Ceng bersama istrinya Kiang Cui Loan, Pek Hoa Tiap (Kupu-kupu Seratus Bunga). Sepasang suai-istri yang sudah berusia 50 tahunan ini adalah tokoh-tokoh utama Hoa San Pay saat ini dan baru tiba sore harinya langsung dari Hoa San Pay. Meski masih lelah, tetapi keduanya bersedia menghadiri undangan khusus Hu Pocu. Dan tokoh terakhir yang juga belum lama tiba berasal dari Bu Tong Pay, yang tiba dengan didampingi 5 Pendeta agama to lainnya, yakni tokoh bernama Pouw-ci-suibeng (Jari sakti penghancur nyawa) Siangkoan Kiam Bu. Sebetulnya, sampai sebelum berita kehadiran Bu Tek Seng Ong dan Bu Tek Seng Pay, Bu Tong Pay masih sedang menutup diri, dan bahkan masih terus menutup diri. Tetapi begitu mendengar berita dan ancaman dari Bu Tek Seng Pay, merekapun akhirnya meminta salah seorang tokoh pendekar besar yang mereka miliki, Siangkoan Kiam Bu untuk mewakili Bu Tong Pay. Mereka sadar sepenuhnya bahwa meski menutup diri, tetapi Bu Tong Pay pasti akan tetap disasar dan menjadi target dari Bu Tek Seng Pay. Karena itu, mereka memutuskan untuk mengutus salah seorang tokoh mereka untuk menghadiri acara ulang tahun Hu Pocu. Sebetulnya, tokoh berusia 48 tahun ini adalah tokoh termasyhur dari Bu Tong Pay, bahkan tokoh Bu Tong Pay dengan kepandaian paling hebat dewasa ini. Tetapi memang, tempat tinggal dan rumahnya tidak tetap karena dia adalah tokoh pengelana yang senang berkelana dan terus berpindah tempat. Singkatnya, dia adalah seorang pengelana dan pencita Ilmu Silat yang mampu menguasai Ilmu Silat Bu Tong Pay hingga tingkat tertinggi. Mereka bersembilan ini nampaknya sedang membicarakan urusan yang sangat penting dan mendesak. Dan memang begitulah keadaannya. Adalah Hu Sin Kok yang secara langsung memimpin pertemuan tersebut: “Cuwi sekalian setelah kejadian dan berita menggembirakan dari Hoa San Pay, dan juga berita bencana dari Kauw It San, kita semua paham, dengan berdirinya Bu Tek Seng Pay, maka jelas sekali giliran kita masing-masing akan segera tiba. Bukan tidak mungkin mereka akan mempergunakan kesempatan perayaan ulang tahun lohu untuk menyerbu kita disini. Karena bukankah dalam waktu dekat sesuai dengan janji mereka bahwa barangsiapa yang tidak tunduk akan mendapatkan hukumannya …...? Dugaan lohu, perayaan ulang tahun nanti sudah pasti akan dihadiri utusan atau bahkan tokoh mereka untuk membuat keributan disini. Tetapi, meskipun mereka berpikiran demikian, lohu tidak mungkin untuk mundur lagi, karena waktu sudah terlampau terlambat untuk melakukannya. Para undangan sudah sedang dalam perjalanan menuju Kota Yan In, bahkan, menurut anak buahku, tidak ada lagi hotel dan penginapan yang kosong di kota Ya In. Karena itu, sudah terlampau terlambat untuk mengumumkan penundaan atau pembatalan acara. Yang mungkin masih dapat kita lakukan adalah memikirkan bagaimana menghadapi komplotan yang nyaris dipastikan akan bertamu meski tidak diundang. Dan jika sudah demikian, tidak ada yang dapat menjamin bahwa mereka akan tinggal diam dan tidak akan melakukan keributan …..” Semua yang hadir paham belaka bahwa apa yang diungkapkan oleh Hu Pocu atau Hu Sin Kok benar belaka. Karena itu, mereka terdiam dan berpikir masing-masing, apakah gerangan yang dapat diusulkan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang terbentang di depan mata mereka semua. Beberapa saat mereka semua terdiam, sampai akhirnya Tek Ui Sin Kay yang menjadi Pangcu Kaypang berkata dengan suara
dalam dan dengan wajah sangat serius: “Hu Pocu ….. dewasa ini yang dianggap sebagai pemimpin atau bengcu tidak resmi dunia persilatan adalah Hu Pocu. Jika Hu Pocu mengeluarkan perintah agar masing masing perguruan mengirimkan orang terbaik mereka untuk datang ke Ya In dan khususnya ke Benteng Keluarga Hu untuk membahas ancaman Bu Tek Seng Pay, maka ini akan menjadi salah satu pilihan. Dengan dukungan seluruh pengantar surat dan kurir serta kekuatan Kaypang yang banyak berada di sekitar Ya In, maka lohu amat yakin, bahwa sebagian besar perguruan besar masih akan sempat untuk mendapatkan undangan tersebut. Apalagi jika memang Hu Pocu sampai memutuskan menggunakan PANGGILAN dan bukan UNDANGAN ……..” Mendengar usulan Tek Ui Sinkay, Hu Sin Kok yang sudah berusia cukup lanjut, sudah 75 tahun memandangnya sambil tersenyum dan cepat berkata: “Pilihan itu sudah lohu pikirkan berkali-kali Pangcu ….. tetapi, itu berarti sama dengan kita menabuh genderang perang melawan Bu Tek Seng Pay. Dan bisa lohu pastikan, mereka yang menuju ke kota Ya In akan menghadapi ancaman pembantaian oleh orang-orang Bu Tek Seng Pay. Hal ini yang membuat lohu risau dan takut untuk segera memutuskannya, karena resikonya cukup berat. Selain itu, pihak kita belum cukup siap untuk melakukan perlawanan terbuka menghadapi mereka yang semakin hari semakin besar dan semakin banyak jumlahnya …….” “Apakah dengan demikian Hu Pocu memutuskan untuk menunggu mereka semakin besar dan semakin banyak korban yang jatuh baru akan memulai upaya untuk melawan dan memberangus terror kawanan yang tidak bertanggungjawab itu …..”? tanya Tek Ui Sinkay dengan wajah penuh rasa penasaran “Tidak juga demikian Pangcu …… tetapi kita butuh persiapan dan percakapan yang disetujui bersama, sehingga ketika kita memutuskan melakukan perlawanan dan juga penyerangan, semua kita sudah siap. Yang masih belum cukup kuat, lebih baik untuk bersembunyi sementara waktu, yang cukup siap, mari berkumpul segera untuk memulai memikirkan cara terbaik memukul musuh. Ingat, sebelumnya mereka bergerak secara menggelap, tetapi sekarang mereka merasa sudah cukup kuat dan berani untuk bicara dan bertindak secara lebih terang-terangan. Lohu menduga, mereka pasti memiliki tiang penyangga yang hebat dan belum bisa kita ketahui siapa … jika benar menurut Pangcu bahwa gerakan ini ada kaitannya dengan Pek Kut Lodjin, maka kita harus lebih sabar dan lebih waspada lagi, dan harus lebih siap lagi ……..” Begitu Hu Pocu menyelesaikan perkataannya, To Pa Thian Pak (Penguasa Tunggal Langit Utara) Bu Bin An, sudah segera menyambungnya: “Lohu sependapat dengan Hu Pocu …… selama beberapa bulan terakhir kami bertiga dengan See Bun Sin-Kiam-jiu (Tangan Pedang Sakti Dari Pintu Barat) Lim Ki Cing dan juga Kim Shia (si sesat bercahaya emas) Sam Kun, banyak menyelidiki pergerakan mereka. Salah seorang sahabat kami Jian Bun Kim Ciang (Telapak Tangan Emas Pembabat Nyawa) Siu Pi Cong, tokoh Lautan Timur entah mengapa berada bersama dengan komplotan itu. Dan sesungguhnya, kekuatan mereka jika mau kami sebutkan, berada di luar perkiraan kita semua. Tokoh sehebat Siu Pi Cong saja ada beberapa orang, tetapi, tokoh diatasnya juga ada meski belum kami selidiki. Dan itu bisa berarti, tokoh utama mereka bahkan setingkat atau diatas kemampuan Pek Kut Lodjin pada masa lalu. Beruntung ada seorang tokoh aneh yang datang dan lalu mengobrak-abrik semua rencana mereka untuk menguasai Siauw Lim Sie, selain kedatangan murid dari Lam Hay Sinni. Tetapi, dari penyelidikan kami, tokoh utama mereka yang masih sedang berlatih pada 2,3 bulan sebelumnya, kelihatannya sudah munculkan diri di Kaypang dan karena itu mereka sudah siap ……. Perkembangan keanggotaan mereka juga sangat pesat, banyak tokoh sesat yang menggabungkan diri dengan kekuatan baru yang menyebut diri sebagai Bu Tek Seng Pay ini ……” “Acccccccchhh, sesungguhnya bukanlah lohu tidak menyadarinya sama sekali. Laporan anak murid Kaypang menyebutkan, ada banyak tokoh hebat dan mujijat yang sudah mengundurkan diri turun gunung dan menuju Pek In San. Entah siapa saja mereka, tetapi rata-rata tokoh tua dan sudah menghilang puluhan tahun silam. Belum lagi tokoh hebat lainnya yang berasal dari luar daerah, seperti dari Tibet, Thian Tok, Nepal dan juga dari daerah Mongol selain daerah luar perbatasan. Kekuatan mereka akan terus bertambah-tambah dari waktu ke waktu …… jika kita terlambat, maka kekuatan mereka akan susah untuk dilawan pada saatnya nanti. Tetapi, ini hanya lontaran ide lohu saja, bagaimana kita mengatur perlawanan dan menggedor mereka, biar lohu tunduk di bawah perintah Hu Pocu saja ……..” “Hahahahahahaha, Pangcu, engkau selalu sungguh pandai merendahkan diri dengan
menempelkan emas di mukaku …. kendati, jikalau tanpa bantuan dan dukungan Kaypang sejak dahulu, bagaimana bisa Lohu menanamkan pengaruh dan beroleh kasih sayang kawan-kawan dunia persilatan …..”? Hu Pocu menyambut sambil tertawa. Kalimat dan tawa Hu Sin Kok atau Hu Pocu meski sangat singkat dan sederhana, tetapi membayangkan dan menggambarkan kualitas dirinya. Dia mungkin atau memang, tidak memiliki kepandaian tertinggi dan terhebat, tetapi jelas, tokoh ini memiliki wawasan yang luas dan mampu mengatur banyak tokoh hebat untuk bekerja bersama. Dalam hal kecerdikan, dia memang cemerlang. “Hu Pocu ….. jika diijinkan, lohu ingin ikut berbicara ……” tiba-tiba orang yang berada di samping kanan Hu Pocu, tokoh yang dikenal dengan nama Sam Kun, bekas tokoh sesat yang kini mengabdi kepada Hu Pocu angkat bicara. “Hahahahaha tentu saja engkau dapat atau malah harus ikut bicara Sam Hengte … apa yang ingin engkau kemukakan …”? berkata Hu Pocu sambil tersenyum hangat dan memandang Sam Kun disampingnya. Meski sebenarnya, sambil berbicara dia tertegun, karena teramat jarang saudara angkatnya ini berani angkat bicara dalam pertemuan seperti yang sedang dipimpinnya saat ini. “Ada apakah gerangan …..”? tanya Hu Pocu dalam hati, namun diwajahnya tetap tersenyum ramah. “Sudah beberapa lama lohu menemani kedua sahabat dari Tionggoan Su Koay. Tapi sebenarnya selain melacak pergerakan UTUSAN PENCABUT NYAWA yang dipimpin beberapa tokoh berkerudung berkepandaian mujijat yang malah nyaris tidak dibawah kepandaian kami bertiga, lohu juga sedang berusaha keras untuk membuktikan hal lain. Sesungguhnya, tiada orang lain yang tahu dan paham, kecuali satu atau dua orang belaka. Sangat kebetulan bahwa almarhum suhu adalah seorang tokoh sesat yang mengenali sedikit rahasia dari perguruan Pek Kut Lodjin yang tidak diketahui orang banyak. Perjalananku bersama kedua sahabat ini (sambil matanya memandang Lim Ki Cing dan Bu Bin An) salah satunya untuk membuktikan jejak tokoh yang masih ada hubungan dekat dengan Pek Kut Lodjin. Tetapi, jelas kami tidak dapat menemukan Pek kut Lodjin yang sudah almarhum, tetapi kami bertiga teramat sangat kaget, karena lawan di pihak mereka, memiliki banyak tokoh hebat dan mujijat yang bahkan hanya tipis di bawah kemampuan Pek Kut Lodjin 30 tahun silam. Dan satu hal penting yang menjadi misiku tadi adalah, karena menurut suhu dahulu, Pek Kut Lodjin masih memiliki seorang sute yang juga sangat pandai dan sangat berbakat … hanya, sayang sekali, selama beberapa bulan berusaha mencari jejaknya, tetap saja tak dapat kutemukan. Jika benar ada sute Pek Kut Lodjin yang menurut Suhu sama pintar dan berbakatnya dengan Pek Kut Lodjin, maka Bu Tek Seng Pay sekali ini, kelihatannya ada hubung dengan Pek Kut Lodjin, setidaknya dengan perguruannya ………” “Ha …… benarkah perkataanmu itu Sam hengte ……”? bukan main terkejutnya Hu Pocu, dan juga semua yang hadir pada saat itu. Tentu semua sangat paham sampai dimana kehebatan seorang pek Kut Lodjin. Dan hanya karena ada seorang tokoh tua yang mujijat sajalah maka Pek Kut Lodjin akhirnya dapat dikalahkan dan ditaklukkan hingga kemudian bunuh diri. Jika memang benar masih masih ada seorang adik seperguruannya dan bahkan sehebat dan seberbakat dia, maka bisa dipastikan dunia persilatan memang bakal kembali sangat guncang. Maka menjadi wajar jika semua yang hadir dalam ruangan itu bahkan juga termasuk Tek Ui Sinkay, terperangah dan kaget setengah mati dengan info itu. “Tidak salah lagi ……. kalimat Suhu masih kuingat jelas sewaktu dia menjelang ajal karena bertarung hebat dengan Bu Te Hwesio. Saudara seperguruan Pek Kut Lodjin ada 2 orang di urutan atas Pek Kut Lodjin, atau duheng-suhengnya, tetapi kedua-duanya kurang waras dan karena itu akhirnya dikurung sendiri oleh suhu Pek Kut Lodjin. Konon, dibutuhkan kecerdasan dan bakat yang amat istimewa untuk menguasai ilmu perguruan mereka tersebut, dan hanya Pek Kut Lodjin dan sutenya yang mampu menguasainya dengan sangat baik. Dan sampai berakhir hidup Pek Kut Lodjin, sutenya tidak pernah munculkan dirinya …… dan bukan tidak mungkin tokoh yang mengganas sekali ini adalah sute yang dimaksud itu ……..” “Accccccch, jika sute Pek Kut Lodjin sehebat dan sepintar Pek Kut Lodjin sendiri, maka alamat pergolakan besar akan kita hadapi dalam waktu-waktu ke depan. Accccccch, padahal menemukan 3 Tokoh Dewa sudah sangat sulit, apalagi menemukan tokoh mujijat yang dahulu mamu mengalahkan Pek Kut Lodjin ….. kelihatannya musuh kita sekali ini, malah lebih hebat dari musuh terdahulu, Pek Kut Lodjin pada masa 30 tahun silam dia menggana …” terdengar Hu Pocu menggumam yang dapat didengar semua orang yang hadir dengan jelas. “Ayahanda, jika memang sangat perlu, biarlah besok Tiong ji turun gunung untuk coba mencari Suhu …… siapa tahu dengan bantuan Suhu kita dapat menemukan jejak
dari Lam Hay Sinni dan juga Thian Hoat Tosu. Bisa jauh lebih lagi jika dapat menemukan jejak dari manusia mujijat yang mampu mengalahkan dan meruntuhkan kesombongan Pek Kut Lodjin 30 tahun silam ……..” terdengar Hu Sin Tiong, putra dari Hu Pocu yang duduk di sebelah kiri ayahnya ikut angkat bicara. Mendengar kalimatnya, Hu Pocu sekilas memandang Tek Ui Sinkay, karena hanya mereka berdua yang tahu jelas siapa tokoh yang mengalahkan Pek Kut Lodjin 30 tahun silam. Tidak ada orang lain yang tahu kecuali mereka berdua dan ketiga manusia dewa Tionggoan yang mengundang tokoh itu untuk ikut turun tangan. Dan tokoh itu secara kebetulan adalah suhu dari Tek Ui Sin Kay yang sudah lama bertapa. “Hmmmmm, engkau sabarlah sebentar Tiong ji ….. kita masih harus berusaha untuk menemukan jalan terbaik untuk melaksanakan upacara peringatan ulang tahun ayahmu dan sementara urusan lain, akan kita putuskan kelak …….” “Baik ayah ,……… tetapi, perkataan Tek Ui Pangcu memang benar, jika kita memberi mereka banyak waktu, maka korban akan semakin banyak dan kekuatan merekapun akan semakin sulit untuk dapat kita lawan ……” “Hu Pocu, apakah engkau sudah punya perencanaan yang matang untuk menghadapi persoalan yang mendesak ini …? Kurasa usulan Tek Ui Pangcu dan anakmu Hu Sin Tiong sangat masuk akal. Cuma saja, berdasarkan pengalaman, biasanya engkau memiliki perhitungan tersendiri yang jarang meleset menghadapi keadaan seperti yang sedang terjadi belakangan ini …..” terdengar See Bun Sin-Kiam-jiu (Tangan Pedang Sakti Dari Pintu Barat) Lim Ki Cing juga ikut angkat bicara. “Amitabha ……. benar sekali …… Pinto sendiri merasa amat yakin dan percaya dengan perhitungan Hu Pocu, meskipun sulit untuk awalnya meyakininya …..” bahkan Hoat Kek Hwesio sendiripun ikut berkomentar. Meski sebenarnya Hoat Kek Hwesio juga adalah tokoh yang cerdas, tetapi berada bersama dengan Hu Pocu, dia lebih memilih untuk tidak banyak bersuara. Didesak seperti itu, mau tak mau Hu Sin Kok berpikir keras dan wajahnya terlihat jelas jika sedang memutar otaknya. Ciri khasnya jika sedang berpikir adalah tersenyum namun mulutnya tidak mengeluarkan sepatah katapun. Rupanya sebagian besar peserta rapat sudah memaklumi ciri khas Hu Pocu, dan karena itu mereka membiarkan saja keadaan seperti itu berlangsung sekian lama. Dan pada akhirnya, Hu Sin Kok membuat keputusannya sendiri dan diungkapkannya dengan suara yang sangat lirih dan sulit didengar orang biasa: “Cuwi sekalian …….. sesungguhnya perhitunganku adalah, Bu Tek Seng Pay tidak akan menyatroni Benteng Keluarga Hu secara berterang dan tidak dengan kekuatan penuh. Mereka masih butuh waktu beberapa lama untuk benar-benar siap menghadapi seluruh pendekar Tionggoan. Meski demikian, dapat kupastikan mereka akan berani dan pasti mengirim beberapa tokoh hebatnya untuk menggertak pertemuan itu kelak. Selain itu, bisa dipastikan beberapa tokoh kelas satu mereka akan melakukan beberapa penghadangan sebelum kota Ya In, karena itu, lohu sangat membutuhkan bantuan cuwi sekalian. Ke-7 Algojo Akhirat Kaypang, Barisan Lo Han Kun dan sahabat lain untuk menyambut kedatangan pada sahabat sebelum memasuki 3 pintu masuk kota Yan In. Tokoh utama mereka tidak akan hadir dalam penghadangan, tetapi akan langsung masuk ke Benteng Keluarga Hu kami ini, karena itu kita bersiap saja untuk menunggu mereka bergerak disini …….. Ketegangan sesungguhnya akan terjadi setelah perayaan dan karena itu, jika para sahabat semua sudah hadir, sebelum atau sesudah acara kita perlu membicarakan perlawanan yang lebih serius dan terencana. Tetapi, sejak hari ini, Kota Ya In kuserahkan kepada Kaypang untuk menjaga keamanannya, sementara yang lain kumohon ikut berjaga di Benteng ini, karena lawan akan mulai mencari cara dan celah memasukinya ……… Tiong Ji, segera diatur penjagaan yang ketat, mohon bantuan kepada Sam hengte untuk ikut mengaturnya …….” Luar biasa Hu Sin Kok, dia bukan hanya menjawab keraguan beberapa orang, tetapi sekaligus sudah mengatur perencanaan yang cukup matang dan detail. “Apakah engkau yakin dengan penilaianmu itu Hu Pocu ….”? Lim Ki Cing yang merasa penasaran bertanya dengan nada serius. “Lim hengte, jika aku menempatkan diri dalam posisi Bu Tek Seng Pay, maka itu yang akan kulakukan. Demikian banyaknya tokoh yang masuk ke Pek In San membutuhkan waktu untuk dapat dan mampu mengatur serta menata posisi mereka dengan baik. Pasti akan banyak kecemburuan, karena itu, justru orang orang yang butuh posisi di Bu Tek Seng Pay yang sebagian besar akan unjuk diri di sini untuk membuat jasa. Tetapi, bisa kupastikan Bu Tek Seng Ong belum akan muncul disini, bukan karena takut, tetapi karena memang belum waktunya …… atau jikapun tetap muncul, pasti dalam bentuk penyaruan. Percayalah, mereka belum yakin benar
akan mampu menguasai kita semua saat ini …. Tapi, mereka pasti akan segera mencobanya untuk membuktikan bagi diri mereka sendiri ……… karena itu, perguruanperguruan yang lebih kecil haruslah sangat berhati-hati ……. kita disini kelak, juga harus berhati-hati ….” “Hmmmmmm, masuk di akal …… masuk di akal” terdengar Tek Ui Sinkay (Pengemis Sakti Tongkat Kuning) berkomentar sambil juga mengangguk-anggukkan kepala tanda puas dengan penjelasan Hu Pocu. Sedang mereka bercakap-cakap tiba-tiba terdengar pintu masuk dibuka dan bersama dengan itu masuklah Hu Wan Li, putri bungsu Hu Sin Kok yang begitu masuk langsung memberi hormat kepada semua orang dan kemudian berkata kepada ayahnya: “Ayah, Li Ji mohon maaf karena mengganggu. Tetapi ada seorang tamu khusus yang mengaku adalah Ciangbudjin baru dari Hoa San Pay, seorang gadis masih muda yang mengaku bernama Nona Tio Lian Cu dan memohon untuk bertemu. Mohon ayahanda yang memutuskannya, apakah diijinkan masuk ……..”? “Accccchhhhhh Tio Ciangbudjin sendiri rupanya sudah berkenan untuk datang sendiri. Bagus, bagus persilahkan segera agar Tio Kouwnio masuk kemari Li Ji …….” berkata Hu Sin Kok dengan gembira sambil melirik Yap Eng Ceng dan istrinya Kiang Cui Loan. Tentu saja Hu Sin Kok sudah mendengar kisah mengenai Tio Lian Cu sebagai seorang pewaris utama Thian Hoat Tosu, salah satu tokoh besar atau Tokoh Dewa Tionggoan. Kedatangan Tio Lian Cu, meski hanya murid seorang tokoh dewa tentu saja mendatangkan rasa gembira dan perasaan jauh lebih tenang dan aman menghadapi pergolakan yang sudah berada di depan mata. Yap Eng Ceng tersenyum senang melihat respons dan kata-kata Hu Pocu, “Baik ayah …….” Jawab Hu Wan Li yang sudah dengan segera berlalu Tak lama kemudian masuk kembali Hu Wan Li dan di belakangnya berjalan masuk Tio Lian Cu dengan wajah yang dibuat menjadi agung dan lebih berwibawa. Betapapun dia membawa nama besar Hoa San Pay sebagai Ciangbudjin, dan itu haru dijaganya. Kedatangannya segera disambut Yap Eng Ceng dan istrinya Kiang Cui Loan yang segera menyambut sambil menyapa dengan akrab: “Ciangbudjin, engkau sudah tiba ……..”? Tio Lian Cu melihat mereka berdua dan kemudian tersenyum sambil menyapa dengan suara yang rendah bagai berbisik namun bernada gembira: “Achhhhh Yap Suheng dan Enci Kiang sudah lebih dahulu berada disini ….”? “Sesuai perintahmu Ciangbudjin Sumoy ….” Dan karena sudah tiba dalam ruangan tersebut, maka dengan hormat Tio Lian Cu akhirnya berkata dengan nada menghormat: “Cuwi sekalian, mohon maaf keterlambatan kami, tetapi Wakil Ciangbudjin Hoa San Pay Yap Eng Ceng suami istri sudah datang mendahului kami ……… namun demikian, bagaimanapun terimalah salam hormatku ..” “Hahahahahaha, benar-benar sangat luar biasa …… Hoa San Pay dipimpin seorang gadis muda yang demikian hebat, murid Thian Hoat Tosu yang demikian hebat dan sakti digdaya …… mari …. mari Tio Ciangbudjin ……” sambil berkata demikian Hu Sin Kok berdiri dan mengundang Tio Lian Cu untuk duduk bersama mereka dalam ruangan tersebut sambil melanjutkan percakapan mereka. Tetapi, belum lagi percakapan dimulai Tio Lian Cu bertanya dengan suara serius ….: “Hu Pocu ….. ada hal penting yang ingin kutanyakan, mohon dimaafkan jika lancang. Apakah percakapan di tempat ini sejak awal tadi adalah percakapan yang sangat dirahasiakan dan tidak boleh sampai ke telinga orang luar …”? ucapnya sambil memandang wajah Hu Sin Kok Hu Sin Kok yang dipandang merasa ada sesuatu yang kurang beres, tetapi dengan cepat dia mengangguk sambil berkata: “Benar sekali Nona …… engkau menebak dengan tepat …….” “Accchhhhhhh, Enci Hu, ada seseorang yang terpaksa kutotok tadi karena bersikap sangat mencurigakan begitu melihat enci, di luar sana. Jika aku sampai keliru menilai orang baik, mohon dimaafkan ……” Hu Wan Li tiba-tiba tersentak dan berkata: “Ach benar, aku melihat ada tamu yang agak asing tadi di luar pintu ini …. Apakah dia masih berada di luar …..”? tanya Hu Wan Li tegang sambil memandang Tio Lian Cu yang mengangguk kearahnya deng penuh kepastian. Melihat itu, Hu Wan Li melesat ke luar, dan benar saja tak berapa lama dia kembali menyeret seorang laki-laki berusia 40 tahunan dan semua merasa asing melihatnya …. “Ayah, tadinya kupikir dia ini adalah salah satu tamu ayahanda ….. achhhh, Li ji benar-benar lalai sekali ini …” berkata Hu Wan Li begitu masuk. “Tio Ciangbudjin, terima kasih telah tidak membiarkan dia meninggalkan Benteng
ini. Kelihatannya dia memang orang asing yang menyusup ……” sambung Hu Wan Li sambil memandang penuh terima kasih kearah Tio Lian Cu. “Gerak-geriknya sangat mencurigakan dan selalu tidak tenang. Terutama ketika Enci Hu berkata akan memasuki ruangan ini …. tingkahnya kelihatan sangat mencurigakan karena itu sudah kutotok terlebih dahulu sebelum memasuki ruangan ini …..” berkata Tio Lian Cu sambil memandang Hu Wan Li “Accccch, terima kasih Tio Ciangbudjin ….. engkau benar-benar menyelamatkan kita malam ini. Seandainya berita tadi sampai ke pihak lawan, maka keadaan kita akan menjadi sangat berbahaya ….. untung engkau sempat memergokinya Tio Ciangbudjin, sungguh berbahaya, sungguh berbahaya …” berkata Hu Sin Kok dengan nada suara penuh rasa terima kasih. Percakapan merekapun menjadi lebih berwarna dan menjadi semakin sadar bahwa musuh memang benar, sudah mengutus dan memasukkan orang-orangnya ke Benteng Keluarga Hu, entah bagaimana caranya. Jika di Benteng Keluarga Hu bisa kebobolan, maka dapat dipastikan di Kota Ya In juga sudah kemasukan mata-mata musuh. Bahkan mungkin bukan sekedar mata-mata, tetapi adalah orang-orang pilihan Bu Tek Seng Pay yang memiliki missi khusus untuk datang ke acara Hu Pocu. Karena itu, percakapan mereka menjadi lebih seru dan bahkan mulai bercakap bagaimana antisipasi atas kondisi terkini yang mereka sedang hadapi. Sementara mereka bercakap-cakap, di kota Ya In, ada beberapa orang muda terlihat sedang berusaha mencari tempat penginapan. Tetapi, celaka, karena mereka tidak mendapatkan tempat lagi untuk menginap. Tetapi, beberapa saat kemudian, terdengar salah seorang dari mereka, seorang gadis muda berkata dengan suara penuh harapan dan dengan nada gembira: “Kwan toako, ayahanda memiliki sebuah toko pakaian yang cukup besar di kota ini. Jika memang kita tidak lagi mendapatkan tempat di penginapan ataupun hotel, kita dapat menggunakan beberapa kamar di toko tersebut. Gedungnya cukup besar untuk kita semua menginap disana nanti ……..” “Accccchhh, baguslah jika memang demikian Nyo kouwnio …..” berkata Kwan Kim Ceng kepada Nyo Bwee. Ternyata, mereka adalah rombongan Kwan Kim Ceng, Nyo Bwee, Bu San (Koay Ji) dan yang sangat mengejutkan adalah adanya Nadine, murid wanita yang paling muda dari Mo Hwee Hud. Serta yang lebih mengejutkan lagi, tidak terlihat sedikitpun Nona itu dalam keadaan dibatasi gerak-geriknya. Nona asal Thian Tok itu terlihat bergerak lebih leluasa, diberi kebebasan bukan sebagai orang tahanan, tetapi meskipun demikian dia tidak terlihat berusaha melarikan diri atau mencari kesempatan melarikan dirinya. Sebaliknya, semakin lama dia semakin akrab bergaul dengan Nyo Bwee yang mulai mempercayainya dan juga Kwan Kim Ceng. Bahkanpun dengan Bu San juga semakin lama semakin akrab dalam berteman. Karena semakin akrab, maka totokan Koay Ji malahan sudah dibuka dan dilepaskan, bahkan mereka pernah menyuruh Nadine pergi untuk mencari dan menemui suhunya terlebih dahulu. Tetapi, entah mengapa, Nadine enggan pergi dan malah terus mengikuti mereka dan semakin hari justru persahabatan mereka menjadi semakin akrab. Perjalanan ke-empat anak muda itu sebetulnya cukup rumit untuk dikisahkan. Selama berada di Pesanggrahan Keluarga Nyo, Nadine adalah seorang tawanan. Maklum saja, karena dialah yang bertugas “menjaga” dan memastikan Nyo Wangwe untuk tetap dalam keadaan tersihir oleh suheng-suhengnya. Belakangan Nadine, gadis cantik asal Thian Tok ini tertawan dan ditotok secara istimewa oleh Koay Ji atau tepatnya Thian Liong Koay Hiap. Ketika mengetahui bahwa gadis itu, Nadine, ditotok secara khusus namun diperlakukan secara baik di lingkungan keluarga Nyo, akhirnya Nadine dibiarkan oleh para suhengnya untuk tetap berada disana. Tetapi, gadis cantik itu adalah orang yang amat luwes dan sangat senang bersahabat. Karena itu, perlahan-lahan dia malah mampu menarik perhatian dan rasa suka Nyo Bwee sehingga mereka dapat berbicara dan bersahabat lebih akrab meskipun Nyo Bwee paham bahwa Nadine adalah murid seorang tokoh sesat. Bukan hanya itu. Kwan Kim Ceng sendiripun perlahan-lahan luluh dan tidak lagi melihat dan menganggap Nadine sebagai seorang yang berbahaya dan perlu dibatasi gerak geriknya. Kim Ceng sendiripun, sebagaimana Nyo Bwee, perlahan-lahan menjadi akrab dan dekat dengan Nadine, bahkan menemukan kenyataan betapa kepandaian gadis itu tidaklah lebih lemah dari kepandaiannya sendiri. Jika Kwan Kim Ceng sedikit lebih lama waktunya untuk dekat dengan Nadine, adalah Bu San (Koay Ji) yang lebih cepat akrab dengan Nadine si jelita asal Thian Tok tetapi fasih berbicara bahasa Tionggoan itu. Maklum, karena Bu San dianggap yang termuda, namun memiliki keahlian yang sangat luar biasa dalam hal pengobatan.
Dan, dengan semakin akrabnya mereka, secara otomatis, merekapun jadi ssering berlatih silat bersama, dan Nadine serta Nyo Bwee mendapati kenyataan betapa petunjuk-petunjuk Bu San demikian hebat dan mujijat dan membantu mereka meningkatkan kepandaian masing-masing. Ada sesuatu hal yang mendatangkan rasa curiga Kim Ceng dan juga Nadine serta Nyo Bwee ketika Bu San entah bagaimana menghilang selama dari dua hari lebih dan nyaris tiga hari. Di sore hari ketiga Bu San kembali dengan membawa beragam macam dedaunan obat yang menurutnya dicarinya dengan susah payah di gunung dan hutan-hutan sekitar Pesanggrahan Keluarga Nyo. Tetapi, yang mengherankan Kim Ceng dan kawan-kawannya adalah, tidak terlihat sedikitpun rasa lelah dan letih di wajah Bu Sansaat itu. Tetapi, karena alasannya memang sangat masuk akal, dan keesokan harinya dia jadi seperti biasa kembali, meramu obat-obatan dan berlatih bersama, maka kecurigaan mereka atas diri Bu San itu lenyap dengan sendirinya. Sampai akhirnya merekapun, Bu San dan Kim Ceng memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Benteng Keluarga Hu di dekat kota Ya In. “Toako, bolehkah aku ikut menengok keramaian di benteng keluarga Hu …”? rengek Nyo Bwee ketika Kwan Kim Ceng memberitahu kedua Nona itu rencana perjalanan mereka selanjutnya. Konon, karena kesepakatan itu sesuai dengan yang mereka janjikan dengan Sie Lan In untuk bertemu kembali di Benteng Keluarga Hu. Dan saat itu, kurang lebih sebulan kedepan waktunya. “Waaaaaaah, Nyo kownio, bukannya aku tidak setuju untuk membawamu ikut serta dengan perjalanan kami berdua dengan Bu San, karena sesungguhnya engkau perlu untuk bertanya dan memintakan ijin terlebih dahulu kepada kedua orang tuamu. Dan aku khawatir, mereka tidak akan sedemikian mudahnya untuk mengijinkanmu pergi dan luntang-lantung berkelana di dunia persilatan seperti aku dan juga San te yang sudah terbiasa melakukannya selama ini ……” “Accchhhh, belum tentu toako. Karena dewasa ini Ayah menaruh kepercayaan yang tinggi kepada toako dan juga adik Bu San. Karena itu, jika kukatakan bahwa toako akan menjagaku, maka ayah pasti akan mengijinkannya …….” “Tetapi, sebaiknya engkau bertanya lebih dahulu kepada orang tuamu Nyo kouwnio, karena bukan perkara ringan untuk melakukan perjalanan yang cukup jauh bagi anak gadis seperti Nyo kouwnio ……” “Yang terpenting engkau bersedia melindungiku sepanjang perjalanan kelak Toako, itu soal utamanya. Perkara untuk membujuk dan meminta ijin ayah dan ibuku akan kulakukan jika toako bersedia …..” Kim Ceng kebingungan setengah mati, sementara Bu San diam saja dan memilih tidak mengatakan sesuatu apapun lagi. Tetapi, jelas sekali dia mengerti apa kemauan dari Nona Nyo yang kelihatan sekali begitu mempercayai mereka berdua. Bahkan tak segan segan Nona yang kaya raya ini memanggil mereka sebagai kakak ataupun adik, saking merasa dekat dan akrabnya dia. Yang tak disangka dan tak diduga oleh Bu San adalah, Nyo Bwee berat berpisah dengan mereka berdua, karena dia belum menentukan siapa yang akan lebih dipilihnya kedepan, apakah Kim Ceng ataukah Bu San. Dan celakanya, hal yang sama berlaku juga kepada Nadine. Entah mengapa, kedua gadis ini justru bingung menentukan pilihan, siapa yang mereka sukai, apakah Bu San ataukah Kwan Kim Ceng. Karena keduanya adalah pemuda pilihan. Kwan Kim Ceng lebih matang dan dewasa, tubuhnyapun bagus. Sikap dan prilakunya terpuji dan masih murid keluarga perguruan Siauw Lim Sie. Meskipun usianya terpaut sekitar 6,7 tahun dengan kedua gadis itu, tetapi memilih Kim Ceng sebagai pendamping hidup bukanlah sesuatu yang mengecewakan. Tetapi, selain Kim ceng, ada juga Bu San yang tak kalah menariknya, hanya kalah di ilmu silat saja. Keunggulan Bu San adalah, dia terlihat lebih misterius, menyimpan banyak hal tak terduga jika dibandingkan dengan Kwan Kim Ceng. Entah mengapa, meski hanya seorang yang hebat dalam ilmu pertabiban, tapi baik Nadine dan Nyo Bwee seperti merasa seperti ada sesuatu yang hebat dan sangat luar biasa dalam diri Bu San. Tetapi, mereka berdua tidak sanggup merumuskan dan menyebutkan apa yang mereka rasakan misterius dalam diri seorang pemuda bernama Bu San itu. Yang pasti, ketika sedang memberi petunjuk ilmu silat dan berlatih dengan mereka berdua, kehebatan seorang Bu San sangat terasa meski hanya dalam teori dan kata-kata dan bukannya dalam praktek. Yang sudah pasti hebat adalah ilmu tabibnya dan teori silatnya itu. Tetapi, anak muda yang ceria dan gembira itu, selalu terlihat penuh percaya diri, sangat perduli kepada mereka berdua dan yakin dengan semua tindakannya, memberi rasa aneh dan rasa suka yang lain bagi kedua gadis muda yang cantik jelita itu. Jika Bu San tidak atau belum mampu menangkap gelagat itu, semata karena memang
usianya yang paling muda dan juga belum pernah melihat seorang gadis yang jatuh cinta. Dan juga, dia sendiri belum paham apa yang dimaksud dengan jatuh cinta dan menyukai seorang gadis dengan rasa yang berbeda. Sementara itu, Kim Ceng yang sudah cukup berumur, juga sama belaka, sama tidak paham karena memang lebih sibuk menemani suhunya berkelana dan berlatih. Jadilah pergaulan ke-empat mudamudi itu menjadi rumit nan ruwet. Untung saja, Kwan Kim Ceng sebagaimana juga Nyo Bwee dan Nadine, adalah orang-orang yang menggemari dan menekuni Ilmu Silat dan berlatih serta berlatih secara bersama-sama. Karena itu, persoalan ketertarikan Nadine dan Nyo Bwee jadi tidak begitu menyolok, selain kedua anak gadis itu sendiri memang tidak terlampau agresif dalam mengejar baik Kim Ceng maupun Bu San. Mungkin juga karena kedua gadis cantik itu, juga sama-sama belum punya cukup pengalaman dalam jatuh cinta atau dalam mengejar cinta seorang lakilaki. Maka, mendengar permintaan Nyo Bwee, Kim Ceng kelimpungan setengah mati. Apalagi, ketika Nadine juga ikut nimbrung: “Toako, bawalah kami berdua ……. toch kamipun bisa ikut membantu selama dalam perjalanan menuju Benteng Keluarga Hu ……” “Mati aku …..” desis Kim Ceng dalam hati. Sama sekali dia tidak menyangka kedua gadis itu akan minta ikut menemani dia dan Bu San untuk melakukan perjalanan menuju Benteng Keluarga Hu. Tetapi, tentu saja kalimat itu tidak dilontarkannya keluar, tetapi dia hanya memandang Bu San yang ikut-ikutan nyengir memandangnya. Bahkan kemudian ikut juga menambahi: “Di bawah perlindungan Kim Ceng toako, kuyakin mereka akan baik-baik saja, tidak ada salahnya mereka ikut toako ……..” ujar Bu San sambil senyam-senyum memandangi wajah Kim Ceng yang semakin serba salah. “Benar sekali adik Bu San …… akupun yakin kita akan baik-baik saja selama dalam perjalanan. Toako pasti tidak akan membiarkan kita …..” Nyo Bwee dengan cepat menyambar peluang yang dibuka secaa lebar oleh Bu San, sementara Kwan Kim Ceng semakin tersudut dan tak berdaya. Apalagi, karena Kwan Kim Ceng memang seorang pemuda pendiam yang susah beradu pendapat. “Bagaimana toako ……. apakah bisa engkau ijinkan ….”? kejar Nadine melihat Kim Ceng yang cengar-cengir kebingungan “Iya ….. ech ….. tidak …… accccch, begini saja Nyo kouwnio, jika ayahmu memang mengijinkan engkau untuk berkelana, baru aku bisa memikirkan atau memutuskan untuk mengijinkanmu ikut perjalanan kita …..” “Waaaaaah begitu baru toakoku yang baik …..” goda Nadine, sementara Nyo Bwee dengan segera menjawab “Baik ….. malam ini akan kumintakan ijin ayahanda ……” Keesokan harinya tidak ada kabar berita, bahkan Nyo Bwee yang pulang ke Gedung ayahnya bersama Nadine tidak munculkan diri. Baru dua hari kemudian mereka berdua muncul dan dengan ditemani oleh Nyo Wangwe bahkan lengkap dengan pasukan keamanan yang disiapkannya dan juga disiapkan pemerintah kota. Begitu melihat kedatangan Nyo Wangwe, baik Kim Ceng maupun Bu San sudah cepat mendatangi dan memberi hormat, tetapi dengan cepat keduanya dibangunkan si hartawan asal Siauw Lim Sie ini. Kelihatannya senang sekali Nyo Wangwe karena baik Kim Ceng maupun Bu San betah tinggal di Pesanggrahannya: “Bagaimana, Kwan Sute dan Bu San apakah kalian berdua betah di Pesanggrahan ini selama beberapa hari belakangan …….”? “Acccch, tentu saja Nyo Wangwe …. udara dan suasana disini sungguh menyenangkan dan membuat kita lupa kembali ke kota ….. hahahahaha” Bu San menjawab sambil bergurau, tetapi tetap sopan, sementara Kwan Kim Ceng menjawab dengan cukup ringkas dan padat “Begitulah Nyo Suheng ……” “Tetapi, kabarnya kalian berdua akan segera melanjutkan perjalanan menuju ke Benteng Keluarga Hu …..”? tanya Nyo Wangwe sambil memandang wajah Kwan Kim Ceng dengan serius “Begitulah Nyo Suheng, Suhu dan Siauw Lim Sie Ciangbudjin menugaskanku untuk menuju Benteng Keluarga Hu seusai masalah di tempat Nyo Suheng. Hoat Kek Suheng, Wakil Ciangbudjin Siauw Lim Sie juga akan menuju kesana, sehingga kehadiranku disana sekaligus untuk memberikan laporan keadaan disini …..” “Acccchhhh, baik sekali jika demikian. Biasanya setidaknya Wakil Ciangbudjin yang kelak mewakili Siauw Lim Sie jika ada acara besar di Benteng Hu Sin Kok, dan sudah pasti akan ada keramaian disana …………..” “Nampaknya memang demikian Nyo Wangwe …… menurut Sie Kouwnio juga memang
demikian, karena Subonya juga sudah memintanya untuk hadir disana kelak ….” Kali ini Bu San yang berujar dengan suara gembira “Hmmmmmm, aku tahu, aku tahu …… tapi, apakah Kwan Sute tidak keberatan jika cucuku bersama dengan temannya ini ikut dalam perjalanan Kwan Sute itu? Karena bagaimanapun, mereka berdua masih teramat kurang berpengalaman melakukan perjalanan sejauh ini dalam dunia persilatan ….….” tanya Nyo To sambil sekali lagi meneliti seri wajah Kim Ceng ketika bertanya “Accccch, apa maksud Nyo Suheng, Nyo kouwnio dan temannya ini nantinya akan ikut denganku dan Bu San untuk …..”? “Benar ….. aku ingin menitipkan mereka berdua untuk melakukan perjalanan bersama engkau dan Bu San ….. kuyakin dalam pengawasanmu cucuku dan kawannya ini tidak akan demikian bawel dan ceroboh nantinya ……” belum selesai kalimat Kim Ceng sudah dipotong langsung oleh Nyo Wangwe membenarkan dugaannya. Sekali ini Kim Ceng tak mampu menjawab segera. Meski dia sudah menyangka ada kemungkinan Suhengnya ini mengijinkan cucunya ikut dengannya untuk melakukan perjalanan. Perjalanan yang sebenarnya tidak cukup jauh bagi dia dan Bu San, namun membawa serta dua orang gadis lain lagi ceritanya. Tetapi, dia tidak mungkin lagi menolak karena sudah mengiyakan permintaan Nyo Bwee jika memang diijinkan oleh kakeknya atau ayahnya secara langsung. “Baik ….. baiklah jika memanng Suheng mengijinkan dan mempercayakan mereka berdua dan juga sekaligus memintaku untuk mengawasi mereka berdua selama dalam perjalanan ke Benteng Keluarga Hu ……” “Hahahahahaha, bagus ….. bagus. Bagaimanapun darah petualanganku justru ada dan mengalir dalam darah cucuku dan tidak didalam darah anak-anakku. Tetapi, engkau harus berjanji mengawasi dan memberi dia petunjuk bagaimana bertualang serta berkelana dalam rimba persilatan Kwan Sute ……” “Sudah pasti … sudah pasti Nyo suheng ……. “ “Hahahahahaha, bagus …. bagus …. Kalau begitu, mari kita nikmati siang ini dengan bersantap bersama sambil bercakap-cakap lebih jauh …….” (Bersambung)