Executive Summary
Perdebatan tentang hubungan antara politik dan birokrasi telah mempunyai sejarah panjang dan kembali menghangat terjadinya reformasi politik pada akhir tahun 90‐an yang telah merubah sistem politik dan kepartaian. Perubahan ini telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tatanan birokrasi di Indonesia terutama dalam pola hubungan antara jabatan karir dengan jabatan politik. Kondisi ini misalnya dapat terlihat dalam sistem rekrutmen jabatan strategis (eselon II) di lingkungan pemerintah daerah yang lebih mengedepankan adanya relasi kekuasan. Dari kondisi tersebut di atas, terlihat urgensi dilakukannya penataan hubungan antara jabatan politik dan jabatan karir dalam birokrasi. Di dalam birokrasi, pejabat politik dan karir merupakan dua pihak yang saling membutuhkan. Jabatan karir membutuhkan dukungan politik dalam menjalankan kebijakan‐kebijakan publik yang ditetapkannya. Sedangkan, politisi membutuhkan birokrasi sebagai eksekutor atau pelaksana kebijakan publik. Dengan demikian sangat dibutuhkan kejelasan pengaturan ruang lingkup jabatan politik dan jabatan karir, kewenangan dan pola hubungan antara keduanya sehingga nantinya akan terbangun interaksi yang saling mendukung dan menguntungkan untuk kepentingan publik. Fokus permasalah kajian ini sebagai berikut : 1. Bagaimana hubungan antara pejabat politik dan pejabat karir dalam birokrasi saat ini. 2. Apa masalah yang ada/timbul dalam hubungan antara pejabat politik dan pejabat karir dalam birokrasi. 3. Bagaimana menata pola hubungan antara jabatan politik dan karir dalam birokrasi? Dari identifikasi awal, terdapat beberapa jenis pejabat politik yaitu pejabat politik yang dipilih melalui pemilihan umum seperti presiden dan wakilnya, selanjutnya gubernur, walikota, bupati beserta wakil‐wakilnya, serta anggota dewan perwakilan (DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota). Selain itu terdapat pula pejabat politik yang tidak dipilih melalui pemilihan umum, melainkan dipilih atau diangkat oleh presiden seperti menteri dan staf khusus presiden serta pejabat yang dipilih oleh presiden bersama dengan DPR seperti komisioner beberapa lembaga. Dengan begitu beragamnya jenis jabatan politik, kajian ini akan dibatasi pada pola hubungan pejabat politik dan pejabat karir di tingkat daerah karena berbagai masalah yang selama ini muncul lebih didominasi oleh kasus di daerah. Dengan batasan ini, bukan berarti kajian ini menafikan pola hubungan pejabat politik lainnya sehingga beberapa kasus di tingkat pusat juga akan disinggung. Selain itu, walaupun fokus di daerah, simpulan dan rekomendasi diharapkan dapat diterapkan secara umum dalam pola hubungan pejabat politik dan pejabat karir. Dalam kajian ini yang dimaksud sebagai jabatan politik dalam kajian ini adalah kedudukan/ jabatan dalam organisasi pemerintahan yang diisi oleh siapapun (pegawai negeri sipil/PNS maupun bukan PNS) melalui proses dipilih, diangkat, diseleksi, dan dipekerjakan, dalam
suatu proses politik atau melibatkan pejabat politik. Pada jabatan tersebut terdapat fungsi atau mandat tertentu dan terlibat dalam penyelenggaraan suatu kekuasaan/kewenangan pemerintahan. Sedangkan yang dimaksud dengan jabatan karir dalam kajian ini adalah kedudukan/jabatan dalam organisasi pemerintahan yang diisi oleh pegawai karir (PNS), yang dicirikan antara lain dengan jenjang karir pegawai yang panjang, kekhususan dalam rekrutmen (syarat administratif dan kompetensi), dan penekanan yang kuat pada senioritas. Dari telaah pustaka dan hasil diskusi, ada beberapa hal yang bisa ditarik sebagai key issues dalam penataan pola hubungan jabatan politik dan jabatan karir dalam birokrasi. Dengan demikian operasionalisasi dari upaya penataan pola hubungan jabatan politik dan karir dalam birokrasi bisa dilakukan berdasar beberapa key issues tersebut yang secara garis besar adalah sebagai berikut, yang pertama adalah identifikasi maraknya berbagai masalah dalam pola hubungan jabatan politik dan jabatan karir di Indonesia terutama sejak era reformasi. Yang kedua adalah pertanyaan bagaimana seharusnya pola hubungan pejabat politik dan pejabat karir, dimana walaupun pada keduanya terdapat perbedaan namun sebenarnya saling membutuhkan. Yang ketiga adalah masalah netralitas birokrasi dan bagaimana cara menjaganya. Berikutnya yang keempat adalah masalah siapakah seharusnya yang menjadi pembina pejabat karir. Yang kelima adalah perlunya disusun indikator kinerja/keberhasilan masing‐masing (pejabat politik dan karir) dan harmonisasi budaya kekuasaan dan budaya aturan. Terakhir adalah bagaimanakah seharusnya rekruitmen pejabat politik dan pejabat karir. Sedangkan untuk mendeskripsikan pola hubungan antara jabatan politik dan jabatan karir yang ada saat ini, digunakan beberapa konsep yang telah diidentifikasi dalam studi pustaka. Beberapa konsep tersebut adalah, pertama teori demokrasi liberal dari Carino yang digunakan untuk melihat bentuk hubungan pejabat politik dan pejabat karir dalam birokrasi, apakah lebih dominan fenomena executive ascendancy, yaitu birokrasi subordinasi dari politik atau fenomena bureaucratic sublation yaitu birokrasi sejajar dengan politik. Konsep kedua adalah konsep pola hubungan dalam sebuah organisasi dari Minztberg (1993) untuk melihat apa yang dominan dalam pola hubungan yang dikembangkan, apakah mutual adjustment, direct supervision, standardization (prosedur, skill, output), atau kombinasi dari beberapa bentuk hubungan tersebut. Konsep yang ketiga adalah Teori Prinsipal dan Agen untuk melihat apa kondisi dominan pada kasus yang terjadi yaitu ada tidaknya konflik kepentingan, serta ada tidaknya information asymmetry antara pejabat politik dan pejabat karir. Konsep berikutnya adalah beberapa simpulan Eichbaum and Shaw terkait dengan berbagai bentuk aspek hubungan politik dan birokrasi meliputi images peran pejabat politik dan pejabat karir, peran partisan appointees (staff khusus) dan tujuan kehadiran/keberadaan staf khusus dalam birokrasi. Untuk menyusun pola hubungan antara jabatan politik dan karir, digunakan konsep/teori prinsipal‐agen sebagai dasar penyusunan. Konsep ini dipilih karena apa yang saat ini terjadi dalam kasus pola hubungan antara jabatan politik dan karir di Indonesia, dari identifikasi awal, menunjukan adanya fenomena konflik of interest dan information asymmetry diantara pejabat politik (sebagai prinsipal) dan para pejabat karir ( sebagai agen) yang
merupakan basis dari teori ini. Dari teori prinsipal‐agen ini pula, kondisi konflik of interest dan information asymmetry antara prinsipal dan agen dapat diselesaikan dengan “kontrak” yang di dalamnya diatur, antara lain: tugas dan kewenangan masing‐masing, hak dan kewajiban, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, laporan akuntabilitas, dan lainnya. Beberapa pengaturan ini bisa diadaptasi dalam menata relasi pejabat politik (politisi) dan birokrasi, yakni adanya pengaturan yang jelas mengenai tugas dan fungsi, masa kerja, kewajiban dan larangan, syarat dan mekanisme rekruitmen, serta akuntabilitas keduanya yang dituangkan baik dalam bentuk peraturan perundangan maupun pengaturan lainnya. Adapun dari beberapa konsep yang disampaikan terlihat ada beberapa persamaan dan beberapa aspek di dalamnya bisa digunakan untuk memperkaya teori prinsipal‐agen. Pertama dari teori demokrasi liberal Carino, fenomena executive ascendancy, yaitu birokrasi subordinasi dari politik merupakan gambaran dari konsep prinsipal dan agen dimana politik merupakan prinsipal dan birokrasi merupakan agen. Sedangkan fenomena bureaucratic sublation yaitu birokrasi sejajar dengan politik memberikan pengetahuan bahwa dengan segala pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki birokrasi, ia bukanlah sekedar agen yang berkesan hanya sekedar bawahan politik, melainkan mitra sejajar yang dibutuhkan politik untuk merealisasikan kebijakannnya. Konsep kedua dari Minztberg menunjukan bahwa dalam pola hubungan dalam organisasi tidak hanya terbatas pada mekanisme direct supervision atau perintah/pengawasan langsung dari pejabat politik kepada pejabat karir. Lebih dari itu terdapat mekanisme mutual adjustment dan standardization (prosedur, skill, output) yang bisa dikembangkan dalam pola hubungan jabatan politik dan karir. Konsep berikutnya terkait dengan simpulan Eichbaum and Shaw, pola hubungan politik dan birokrasi terutama image 1, image 2, dan image 3 bisa menjadi panduan dalam menyusun “kontrak” antara pejabat politik dan pejabat karir terkait dengan peran dan nature masing‐ masing. Adapun terkait dengan staf khusus, konsep prinsipal‐ agen tidak bisa sepenuhnya digunakan untuk menata pola hubungannya dengan jabatan karir karena ia bukanlah prinsipal yang memberikan suatu kewenangan kepada pejabat karir. Oleh karena itu simpulan Eichbaum and Shaw terkait dengan peran partisan appointees (staff khusus) dan tujuan kehadiran/keberadaan staf khusus dalam birokrasi menjadi sangat berguna. Selain itu, dari konsep Minztberg terutama pola hubungan mutual adjustment dan standardization (prosedur, skill, output) bisa dikembangkan dalam merumuskan pola hubungan staf khusus dan jabatan karir. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Data yang diperoleh dalam penelitian adalah data kualitatif sehingga metode analisis yang digunakan adalah metode analisis data kualitatif. Sumber data primer dari penelitian ini adalah para pejabat politik maupun karier di lingkungan birokrasi. Adapun data sekunder yang digunakan dalam kajian ini bersumber dari berbagai peraturan perundangan yang relevan, buku, informasi online dan sumber pustaka lainnya. Dalam penelitian ini pengambilan data penelitian dilakukan melalui FGD dalam kelompok kecil dan wawancara dengan menggunakan metode indept interview dengan key informant
yang dianggap menguasai permasalahan yang diteliti. Dalam FGD peserta dipilih dari para pejabat politik maupun karier di lingkungan birokrasi, para pakar dan praktisi yang berasal darikalangan pers dan akademisi, LNS dan anggota legislatif. Daerah yang menjadi lokasi pengambilan data diambil secara acak dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia sehingga dihasilkan lokasi penelitian sebagai berikut: Kota Batu, Kabupaten Sleman, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Bali, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan Provinsi Kalimantan Selatan. Dari identifikasi, terdapat pejabat politik baik di tingkat pusat dan daerah baik yang bersifat ellected official, political appointee, political staff, carrerr appointee, maupun judicative appointee. Sedang pada jabatan karir, terdapat pejabat struktural dan pejabat fungsional dimana para pejabat struktural lebih banyak bersinggungan dengan para pejabat politik. Dari kajian dapat diketahui ada beberapa kasus yang terjadi dalam hubungan antara jabatan politik dan jabatan karir, yang terjadi baik di tingkat pusat maupun daerah. Masalah timbul diantaranya terkait dengan hubungan antara kepala daerah dengan pejabat karir di bawahnya, antara komisioner dengan pejabat karir dibawahnya dan peran staf khusus di daerah yang belum diatur secara formal. Selanjutnya penataan pola hubungan jabatan politik dan karir bisa didasarkan pada beberapa hal yaitu: prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia, temuan‐temuan dalam kajian ini baik berupa data primer dan data sekunder dan beberapa konsep yang relevan untuk menentukan aspek‐aspek penataan pola hubungan. Beberapa pengaturan yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Eksistensi pejabat politik termasuk di dalamnya staf khusus di daerah perlu diakomodir dalam struktur organisasi formal. 2. Pola hubungan: a. Tidak semata‐mata hubungan pimpinan dan bawahan, jabatan politik dan karir adalah mitra yang sejajar. b. Tidak adanya konflik kepentingan dan tidak adanya kesenjangan informasi antara pejabat politik dan pejabat karir. c. Pola koordinasi meliputi mutual adjustment, direct supervision dan standardization hadir saling melengkapi. d. Penataan berdasar aturan bahwa domain politik merumuskan kebijakan dan domain administrasi melaksanakan kebijakan. Tentu ada daerah abu‐abu yang perlu didiskusikan lebih lanjut. e. Nature politik dan birokrasi yang berbeda ditangani dengan pengembangan sistem dan prosedur (SOP) yang tegas dan jelas. f.
Politik merumuskan kebijakan umum dan birokrat menerjemahkan kemauan politik tersebut dalam program yang operasional.
g. Staf khusus berperan sebagai policy profesional.
h. Kehadiran staf khusus adalah karena kebutuhan untuk berhubungan dengan dunia politik Sedangkan beberapa kondisi yang terkait dalam penataan pola hubungan jabatan politik dan karir, yaitu: 1. Pejabat pembina PNS adalah pejabat karier tertinggi dan rekruitmen dalam jabatan dilakukan oleh Civil Service Commission. 2. Penegakan aturan dengan konsisten dan pemberian sanksi bagi setiap pelanggaran dalam pola hubungan jabatan politik dan karir. 3. Penyusunan indikator kinerja dan fit and proper test baik bagi pejabat politik dan karir. 4. Penataan terhadap jabatan politik dengan mengacu penataan jabatan politik yang sudah ada, dimana diatur dengan jelas misalnya terkait dengan kedudukan, tugas dan fungsi, kewenangan, masa kerja/jabatan, rekruitmen, akuntabilitas, fasilitas yang diperoleh, kewajiban, larangan dan lainnya. Dari beberapa temuan/kesimpulan tersebut di atas, direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Untuk pejabat karir (birokrat), a. Eksistensi pejabat politik dalam struktur organisasi formal merupakan sebuah keniscayaan seiring dengan dianutnya sistem demokrasi. Dengan demikian diperlukan keterbukaan untuk menerima kondisi ini. b. Lakukan pengembangan sistem dan prosedur (SOP) yang tegas dan jelas untuk menangani nature politik dan birokrasi yang berbeda. c. Kepercayaan pejabat politik harus direbut dengan menunjukan kinerja yang baik, untuk itu perlu terus dibangun profesionalitas birokrasi. 2. Untuk pejabat politik, a. pejabat karir bukan sekedar bawahan, dengan pengetahuan, kemampuan, dan pengalamannya, mereka adalah mitra yang sejajar. b. Untuk menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dan tidak adanya kesenjangan informasi antara pejabat politik dan pejabat karir, pejabat politik perlu menahan diri untuk tidak melakukan politisasi birokrasi mempunyai pengetahuan yang memadai tentang berbagai prosedur dalam birokrasi c. Domain politik adalah merumuskan kebijakan sedangkan pelaksanaannya serahkan pada pejabat karir/administrasi. d. Peran Staf khusus adalah policy profesional, bukan makelar jabatan dan proyek. e. Kehadiran staf khusus adalah untuk berhubungan dengan dunia politik, bukan untuk mengintervensi birokrasi. 3. Untuk Parpol, a. Birokrasi yang netral dan profesional adalah kepentingan semua pihak dan hasil dari sebuah birokrasi yang profesioanal adalah kampanye positif bagi setiap parpol.
b. Perlu dilakukan fit and proper test secara internal untuk memastikan bahwa setiap calon yang diusung oleh parpol mempunyai kompetensi yang memadai (kapabel) dan mempunyai kredibilitas.