BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Semenjak berlakunya ketentuan mengenai alih daya atau yang lebih dikenal dengan nama outsourcing1 dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan2 pada 25 Maret 2003, sudah tidak terhitung lagi banyaknya penolakan yang terjadi akibat pemberlakuan ketentuan tersebut. Salah satu bentuk dari penolakan itu dapat diilihat dari banyaknya demonstrasi yang terjadi untuk menuntut revisi maupun menghapus ketentuan itu.3 Bentuk penolakannya juga beragam dan tidak hanya sebatas mengenai substansi pengaturannya, namun juga implementasinya yang dianggap oleh para aktivis dan para pekerja alih daya sarat akan penyimpangan karena terlalu mengeksplotasi tenaga dari pekerja alih daya demi keuntungan bisnis semata (khususnya melalui jargon efisiensi usaha) dan disertai dengan minimnya pemberian jaminan perlindungan hukum terhadap berbagai hak-hak dasar yang seharusnya diperoleh pekerja alih daya sebagai mahluk yang memiliki harkat dan martabat. Hal ini kemudian memunculkan berbagai sentimen negatif dari beberapa kalangan yang berpendapat bahwa
1
2
3
Penulis memilih untuk mempergunakan istilah alih daya karena memiliki kesesuaian makna dalam bahasa Indonesia dengan istilah outsourcing. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279). Selanjutnya ditulis Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003. Bentuk penolakan yang terjadi umumnya dilakukan oleh pekerja alih daya melalui berbagai demonstrasi pekerja dengan memasukkan isu mengenai alih daya berdampingan dengan isu mengenai penghapusan kerja kontrak dan isu peningkatan upah. Lihat Apindo, “Buruh SeIndonesia Ancam Mogok Nasional Tolak Outsourcing”, http://www.apindo.or.id/index.php/berita-a-artikel/news/879-buruh-se-indonesia-ancammogok-nasional-tolak-qoutsourcingq-, diakses 9 April 2014.
1
2
ketentuan alih daya yang ada saat ini sangatlah tidak manusiawi karena tidak berpihak bagi kepentingan pekerja alih daya dan bahkan tidak sedikit pula yang menganggap model kerja alih daya tidak lebih dari sekedar model sistem perbudakan modern yang sengaja dilegalkan oleh peraturan perundang-undangan demi kepentingan dunia usaha.4 Melihat realita yang ada terjadi dewasa ini, kiranya sulit untuk dapat menepiskan fakta-fakta bahwa praktik alih daya telah banyak yang menyimpang dari ketentuan peraturan yang berlaku. Bentuk penyimpangan yang dilakukan juga sangat beragam. Salah satunya dapat dilihat dari penggunaan pekerja alih daya yang tidak sesuai dengan maksud dan peruntukkan awalnya oleh berbagai perusahaan swasta nasional dan perusahaan milik negara dari berbagai ragam sektor bisnis, seperti perbankan,5 perusahaan rokok,6 Perusahaan Listrik Negara7 dan perusahaan pengelola jalan tol (Jasa Marga).8
4
5
6
7
8
Pandangan ini didasarkan pada situasi dimana pekerja alih daya hampir selalu menjadi sapi perah bagi perusahaan alih daya dan perusahaan pengguna jasa alih daya yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan konsep perbudakan. Lihat Ninoy N. Karundeng, “Outsourcing, Perbudakan Modern, dan Kapitalisme”, http://m.kompasiana.com/post/read/637977/2/outsourcing-perbudakan-modern-dankapitalisme.html, diakses 9 April 2014. Penggunaan pekerja alih daya di industri perbankan difokuskan untuk tenaga pemasaran kartu kredit maupun untuk menjadi tenaga penagihan utang kartu kredit. Lihat Eko B. Supriyanto, “Menyoal Tenaga Outsourcing di Perbankan”, http://www.infobanknews.com/2011/04/menyoal-tenaga-outsourcing-di-perbankan-2/, diakses 9 April 2014. Andhika, “Industri Rokok Gunakan Pekerja Outsourcing”, http://tcsc-indonesia.org/industrirokok-gunakan-pekerja-outsourcing/, diakses 9 April 2014. Lihat juga Republika, “Sampoerna Dilaporkan ke ILO Atas Dugaan ‘Perbudakan Modern’”, http://beritaburuhindonesia.wordpress.com/2013/06/12/sampoerna-dilaporkan-ke-ilo-atasdugaan-perbudakan-modern/#more-1324, diakses 9 April 2014. Penggunaan tenaga alih daya di Perusahaan Listrik Negara umumnya difokuskan pada tenaga pembacaan meteran listrik. Lihat Suara Merdeka, “Pekerja PLN Desak Sistem Outsourcing Dihapus”, http://beritaburuhindonesia.wordpress.com/2013/06/24/pekerja-pln-desak-sistemoutsourching-dihapus/#more-1492, diakses 9 April 2014. Penggunaan pekerja alih daya di perusahaan pengelola jalan tol difokuskan untuk petugas pengamanan dan petugas pengumpul kartu tol. Lihat Feby Dwi Sutianto, “20% Karyawan
3
Penyimpangan yang terjadi tersebut dianggap oleh berbagai kalangan yang memperhatikan masalah ketenagakerjaan sangatlah tidak memberikan keuntungan dan manfaat bagi para pekerja alih daya. Kondisi yang merugikan ini kemudian dijawab oleh para pekerja alih daya dengan mencoba memperjuangkan apa yang dianggap menjadi hak-haknya, salah satunya melalui mekanisme jalur hukum dengan cara berlitigasi di Pengadilan Hubungan Industrial.9 Fakta-fakta di atas sedikit banyak telah membukakan mata publik betapa rentan dan kurang efektifnya pemberlakuan Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003, khususnya mengenai ketentuan alih daya di masyarakat dalam rangka mewujudkan tujuan penting dan mendasar yang sebenarnya ingin dicapai dari dibuatnya undang-undang tersebut, yakni guna memberikan perlindungan bagi para pekerja alih daya yang lemah secara posisi ekonomi maupun sosial dan juga dalam rangka menciptakan hubungan industrial yang sifatnya harmonis antara pengusaha dengan pekerja (dan juga pemerintah). Ketidakefektifan tersebut juga secara tidak langsung menunjukkan bahwa para pihak yang terlibat dalam hubungan industrial, seperti pengusaha dan para pekerja ternyata belum memiliki sikap menerima secara penuh atas berlakunya ketentuan alih daya dalam undangundang
tersebut,
sehingga
tidaklah
mengherankan
apabila
pada
tahap
implementasinya justru terjadi berbagai penyimpangan yang tidak jarang berakhir
9
Jasa Marga Berstatus Outsourcing”, http://finance.detik.com/read/2012/10/11 /102124/2059891/4/20-karyawan-jasa-marga-berstatus-outsourcing, diakses 9 April 2014. Contohnya dapat dilihat pada kasus pekerja alih daya di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) maupun di PT. Jakarta Container International Terminal (JICT). Lihat Hukumonline, “PHI Tolak Praktik 'Outsourcing' di RS Pusat Pertamina”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19179/phi-tolak-praktik-ioutsourcingi-di-rspusat-pertamina, diakses 9 April 2014. Lihat juga Hukumonline, “Perjuangan Pekerja Outsourcing di Tanjung Priok Kandas”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20477/perjuangan-pekerja-outsourcing-ditanjung-priok-kandas, diakses 9 April 2014.
4
dengan perselisihan. Keadaan ini apabila tidak diselesaikan dengan baik tentunya akan merugikan kepentingan yang ingin dicapai oleh para pihak dalam hubungan industrial itu sendiri. Mencermati berbagai resistensi yang ada dalam penerapan alih daya sebagaimana diuraikan di atas dan juga potret kejadian terbaca dari berbagai sumber informasi cetak maupun elektronik, menurut hemat penulis setidaknya terdapat 2 (dua) sebab mendasar yang menyebabkan resistensi itu terjadi. Pertama, belum terpenuhinya keseimbangan posisi tawar, kepentingan maupun hak dari pekerja alih daya dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003. Kedua, belum jelasnya pemahamanan akan karakteristik atau model dari hubungan apa yang terjadi antara pekerja alih daya dengan perusahaan pengguna jasa alih daya. Implikasi dari belum terjawabnya secara tuntas kedua hal tersebut di atas kemudian membawa implikasi pada belum jelas dan memadainya perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang tersebut terhadap pemenuhan hak-hak pekerja alih daya sebagai pekerja yang seharusnya tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif dengan pekerja lainnya, seperti hak untuk mendapatkan jaminan kepastian kerja maupun jaminan kesejahteraan yang diharapkan untuk dapat dipenuhi oleh pihak pemberi kerja atau pengusaha.10 Selain itu, kedua sebab tersebut juga secara tidak langsung telah memberikan kontribusi atas belum dapat diwuujudkannya tujuan dari hukum ketenagakerjaan sebagaimana termuat dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 sebagaimana yang dicita-citakan selama ini. 10
Independen, “Outsourcing, Identik Dengan Kejahatan Kemanusiaan”, http://indiependen.com/outsourcing-identik-dengan-kejahatan-kemanusiaan/, diakses 9 April 2014.
5
Penelaahan lebih jauh dari kedua sebab penolakan berlakunya ketentuan alih daya di atas kemudian membawa juga pada kenyataan dimana salah satu sebab penolakan tersebut justru sebenarnya muncul dari kurang komprehensif atau kurang utuh dan menyeluruhnya pemahaman mengenai latar belakang lahirnya Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 dan juga maksud serta tujuan sebenarnya yang ingin dicapai oleh undang-undang itu melalui ketentuan alih daya. Pemahaman yang komprehensif ini tentulah menjadi sangat penting dan mendasar sifatnya karena akan membawa efek domino (domino effect). Mulai dari pemahaman atas substansinya hingga pada tahapan implementasinya di lapangan. Upaya memahami secara menyeluruh tersebut tentunya diharapkan akan mampu meminimalisir penyimpangan praktik alih daya dan pada gilirannya juga akan mampu untuk menurunkan potensi perselisihan yang muncul. Dilihat dari sejarah kelahirannya, Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 merupakan salah satu produk hukum yang lahir dalam suasana pasca krisis moneter dan reformasi yang terjadi tahun 1998.11 Keadaan dimana bangsa Indonesia sedang mencoba untuk bangkit dari keterpurukan yang terjadi di hampir semua bidang, khususnya politik, ekonomi, hukum dan sosial. Situasi tersebut oleh berbagai pihak juga kerap dianggap dilematis bagi para perancang maupun pengambil kebijakan kala itu mengingat banyaknya kepentingan yang saling berbenturan dan ingin diakomodasi sebanyak mungkin dalam berbagai kebijakan yang akan dibuat. Ini dapat dilihat adanya keinginan akan kebebasan dan perlindungan hukum hak-hak bagi para kaum minoritas maupun marjinal
11
Lihat Bagian Penjelasan Umum Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003.
6
(termasuk juga di dalamnya pekerja) yang lantang disuarakannya oleh berbagai aktivis serta masyarakat melalui demonstrasi sebagai akibat dari pengekangan dan penindasan yang pernah dilakukan oleh pemerintah otoriter dalam beberapa dekade sebelumnya. Di saat bersamaan, kuatnya tuntutan yang disuarakan itu juga ternyata dibarengi dengan adanya keinginan dari pemerintah untuk membuat kebijakan yang dianggap sebagian kalangan justru kurang memihak pada kepentingan kaum minoritas maupun marginal tersebut. Pada periode tersebut tergambar dengan cukup jelas betapa banyak dan rumitnya masalah yang dihadapi serta harus diselesaikan oleh pemerintah, khususnya dalam kaitannya dengan masalah sosial, seperti tingginya angka penduduk miskin dan bertambahnya jumlah pengangguran. Apabila masalah ini tidak dikelola dan diselesaikan dengan baik tentunya akan sangat rentan terhadap perselisihan konfrontatif yang secara sosial dapat mengganggu berjalannya sektorsektor lain baik yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kinerja dari indikator-indikator makro ekonomi dan pada akhirnya akan dapat menimbulkan ancaman atas kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk dapat mengendalikan ekses negatif tersebut, pemerintah berusaha memulihkan gerak roda ekonomi nasional melalui berbagai program kebijakan, antara lain melakukan restrukturisasi utang dan restrukturisasi organisasi usaha terhadap berbagai perusahaan swasta maupun perusahaan milik negara yang terkena imbas krisis moneter, memprivatisasi badan usaha milik negara, mengontrol lebih ketat budget belanja negara, menyesuaikan target fiskal yang ingin dicapai dengan iklim usaha, mengurangi subsidi terhadap bahan bakar
7
minyak, menjaga tingkat inflasi nasional dalam angka yang rendah hingga berusaha untuk membuka lapangan kerja baru di berbagai sektor yang belum pernah dikelola sebelumnya atau sektor yang tidak terimbas krisis moneter. Kesemuanya dimaksudkan agar dapat menghidupkan kembali geliat ekonomi nasional, khususnya menggairahkan kembali sektor riil dan pada gilirannya akan memberikan efek pada usaha mengurangi jumlah pengangguran maupun jumlah penduduk miskin yang ketika itu mencapai lebih dari 36 juta jiwa atau 9 persen dari jumlah seluruh penduduk Indonesia.12 Namun, upaya mewujudkan keinginan pemerintah tersebut bukanlah perkara yang mudah mengingat pendanaan yang dibutuhkan sangatlah besar. Pendanaan dimaksud berasal dari 2 (dua) sumber utama, yaitu:13 1. Pendanaan dalam negeri, yaitu sumber pendanaan yang berasal dari berbagai jenis pungutan pajak, pendapatan dari penjualan komoditas kekayaan alam dan berbagai produk turunannya, seperti minyak bumi, gas alam, maupun batu bara serta berbagai jenis mineral. Selain itu, termasuk pula dana yang diperoleh dari bermacam jenis tabungan masyarakat yang disimpan di berbagai bank dalam negeri. 2. Pendanaan luar negeri, yaitu pendanaan yang bersumber dari pinjaman luar negeri, hibah dan investasi yang dilakukan oleh pihak asing. 12
13
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa secara historis perekonomian negara-negara berkembang yang terkena krisis memerlukan waktu setidaknya 3 (tiga) tahun untuk mencapai kembali tingkat pertumbuhan ekonomi seperti sebelum krisis terjadi. Lihat Stijn Claessens, et.al., “Financial Restructuring In East Asia”, dalam I Putu Gede Ary Suta dan Soebowo Musa, 2003, Membedah Krisis Perbankan (Anatomi Krisis dan Penyehatan Perbankan), Yayasan SAD Satria Bhakti, Jakarta, hlm. xxiii. Lihat juga Mustopadidjaja AR., et.al., 2012, Bappenas Dalam Sejarah Perencanaan Pembangunan Indonesia 1945-2025, LP3ES, Jakarta, hlm. 358. Mudrajad Kuncoro, “Dampak Arus Modal Asing Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Tabungan Domestik”, Prisma, LP3ES, Tahun 1989, hlm. 27-35.
8
Kenyataan yang ada saat itu menunjukkan bahwa pendanaan yang bersumber dari dalam negeri ternyata belum cukup memadai untuk mewujudkan keinginan pemerintah dalam menggerakan kembali pembangunan ekonomi nasional seperti sebelum terjadinya krisis moneter. Oleh sebab itu, diambilnya pilihan untuk mendatangkan dan meningkatkan jumlah investasi yang dilakukan oleh pihak asing melalui kebijakan yang ramah terhadap pasar menjadi alternatif pilihan yang dianggap logis guna memenuhi kurangnya pendanaan tersebut. Dengan adanya berbagai program kebijakan itu, pemerintah mengharapkan dapat menarik minat investor asing agar bersedia menanamkan investasinya dalam skala besar di Indonesia.14 Dari berbagai usaha yang dilakukan oleh pemerintah tersebut diharapkan nantinya akan dapat memperbaiki kinerja dari indikator-indikator ekonomi makro yang penting bagi kelangsungan ekonomi negara, seperti menjaga kestabilan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, mengendalikan tingkat suku bunga simpanan maupun pinjaman dalam batas wajar, menekan tingginya laju inflasi, memulihkan dan meningkatkan kembali daya beli masyarakat terhadap barang, mengembalikan kepercayaan para investor asing dan negara donor serta mengurangi tingginya angka penduduk miskin dan pengangguran melalui penyerapan tenaga kerja pada berbagai kegiatan industri yang ada. 15
14
15
Pada tahun 2002, realisasi investasi netto nasional (investasi bruto minus penyusutan) yang semula negatif telah berubah positif, namun demikian tingkat realisasi investasi tersebut secara kuantitatif masih sangat kecil dibandingakan tahun-tahun sebelum terjadinya krisis dan hal inilah yang menjadi hambatan utama untuk keluar dari krisis mengingat ekonomi suatu negara hanya dapat tumbuh secara berkelanjutan apabila ada investasi netto yang berkelanjutan. Lihat Boediono, “Keluar Dari Krisis: Kuncinya Adalah Menata Kembali Aturan Main dan Membenahi Institusi”, dalam Pradjoto, 2003, Mencegah Kebangkrutan Bangsa: Pelajaran Dari Krisis (Kumpulan Tulisan Pradjoto dan Catatan Para Sahabat), Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta, hlm. 460. Mustopadidjaja AR., et.al., op.cit., hlm. 307.
9
Dikatakan oleh Sugiharto16 dan Pardede17 bahwa pembangunan ekonomi nasional yang bertujuan guna menutup tingginya angka pengangguran maupun membuka lapangan kerja tenaga kerja baru hanya dapat diwujudkan apabila pertumbuhan ekonomi nasional mampu mencapai angka minimal 6 sampai 7 persen tiap tahunnya. Sayangnya, angka tersebut dianggap angka yang sulit untuk dicapai pada saat krisis moneter sebagaimana yang dialami oleh negara berkembang seperti Indonesia dimana kinerja indikator-indikator ekonomi makronya masih sangat tergantung pada ketidakstabilan nilai tukar, rendahnya pendapatan pajak korporasi, lemahnya pendapatan produk komoditas yang tidak memiliki nilai tambah (bukan olahan lanjutan) di pasar internasional hingga jumlah angkatan kerja yang tinggi namun belum terserap secara optimal. Tingginya tuntutan untuk mencapai angka itu juga merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah, khususnya bila melihat pada angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2002 hingga 2003 yang hanya menyentuh level 4,1 persen. Berkaca pada prediksi yang di atas, angka-angka sebagaimana dimaksud jelas belum mampu untuk mengurangi tingginya jumlah angka pengangguran yang timbul karena pemutusan hubungan kerja akibat adanya krisis moneter dan juga pengangguran
yang timbul
karena
adanya
angkatan
kerja
yang baru
menyelesaikan studi pendidikannya yang belum dapat diserap oleh pasar kerja, yaitu sebesar 9,5 juta orang dengan tingkat pengangguran terbuka sebesar 9,5 persen. Keadaan tersebut kemudian mulai mengalami perubahan pada kurun
16 17
Zaim Uchrowi, 2005, Sugiharto (Pengasong Jadi Menteri), Rumah Buku, Jakarta, hlm. 6. Kompas, “Asumsi Makro Ekonomi Tahun 2008 Disepakati”, dalam Erman Rajagukguk, 2007, Hukum Investasi di Indonesia: Anatomi Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta, hlm. 13.
10
waktu tahun 2005 hingga tahun 2008 dimana pertumbuhan ekonomi nasional mampu mencapai angka rata-rata 6 persen. Meski demikian, angka-angka dimaksud juga belum mampu untuk mengurangi tingginya angka jumlah penduduk miskin yang ada maupun untuk menurunkan tingkat pengangguran yang mencapai sekitar 11,6 juta orang ke angka yang lebih rendah.18 Satu hal yang perlu dicatat bahwa keberhasilan peningkatan pertumbuhan ekonomi pada periode itu sesungguhnya tidak lepas dari digunakannya paradigma pembangunan ekonomi nasional yang mendasarkan pada apa yang dinamakan dengan growth with equity atau keserasian antara pertumbuhan ekonomi nasional dan pemerataan hasil pembangunan ekonomi nasional.19 Memahami kuat dan pentingnya posisi maupun pengaruh investasi yang dilakukan oleh pihak asing dalam pembangunan ekonomi nasional sebagaimana dijelaskan sebelumnya telah membawa pada alur logika yang rasional yang diterima umum bahwa apabila ingin menarik minat investor asing agar mau menanamkan modalnya di Indonesia dalam skala yang besar, maka pemerintah perlu untuk meningkatkan daya tawar dan daya saing Indonesia di mata investor asing. Prasyarat ini tentu saja membutuhkan banyak hal pendukung yang perlu dipersiapkan sebelumnya secara matang oleh pemerintah. Salah satunya adalah melalui upaya perubahan kebijakan dalam rangka untuk mengharmonisasikan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait agar tidak saling tumpang tindih dan tidak menghambat kelangsungan kegiatan perekonomian, seperti
18 19
Mustopadidjaja AR., et.al., op.cit., hlm. 330 dan hlm. 393-398. Sistem dan proses perencanaan pembangunan mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan ekonomi nasional. Lihat Ibid., hlm. 399 dan hlm. 410.
11
melakukan pembuatan berbagai undang-undang baru dan juga merevisi beberapa undang-undang lama yang masuk dalam kategori undang-undang di bidang ekonomi, antara lain undang-undang persaingan usaha, undang-undang kepailitan, dan juga undang-undang ketenagakerjaan. Sejalan dengan uraian di atas, pada laporan yang dikeluarkan IMD World Competitiveness Yearbook tahun 200520 ditemukan fakta bahwa posisi daya tawar dan daya saing untuk melakukan kegiatan bisnis di Indonesia yang indikatornya didasarkan pada aspek hukum dan juga aspek non hukum (politik, ekonomi dan sosial) ternyata masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di wilayah asia yang menjadi kompetitornya. (lihat Tabel No. 1).
Tabel No. 1: Tren Ranking Daya Saing Negara (2001-2005) Negara
2001
2002
2003
2004
2005
China
26
28
29
24
31
India
42
41
50
34
39
Indonesia
46
47
57
58
59
Jepang
23
27
25
23
21
Korea
29
29
37
35
29
Malaysia
28
24
21
16
28
Filipina
39
40
49
52
49
Singapura
3
8
4
2
3
Thailand
34
31
30
29
27
Dalam perkembangannya, usaha untuk meningkatkan daya tawar dan daya saing Indonesia yang dilakukan melalui upaya harmonisasi berbagai peraturan
20
Suparji, 2008, Penanaman Modal Asing di Indonesia (Insentif vs. Pembatasan), Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta, hlm. 126.
12
perundang-undangan bidang ekonomi bersinggungan dengan masalah investasi juga sebagaimana diuraikan di atas juga dimaksudkan guna memenuhi tuntutan dari para investor asing (dan juga investor dalam negeri) terhadap keinginan akan adanya isi undang-undang ketenagakerjaan yang diharapkan akan mampu memberikan rasa aman dan kondusif terhadap kelangsungan jalannya usaha dan hubungan yang harmonis di tempat kerja. Selain itu, hal lain yang juga diinginkan adalah menyelaraskan isi undang-undang ketenagakerjaan yang ada dengan mekanisme sistem ekonomi pasar yang banyak dianut oleh berbagai negara di dunia, sehingga dapat memenuhi tuntutan globalisasi dan liberalisasi ekonomi dunia yang memfokuskan pada efisiensi usaha demi memenangkan persaingan usaha dan mendapatkan profit yang tinggi. Salah satu bentuk tuntutan dimaksud adalah diberlakukannya ketentuan mengenai alih daya yang secara matematis dianggap dapat menghemat berbagai macam komponen biaya produksi yang dikeluarkan oleh perusahaan. Setelah melewati berbagai tahapan dalam proses pembentukannya, upaya merevisi undang-undang bidang ketenagakerjaan itu akhirnya berhasil melahirkan Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang kemudian dijadikan sebagai salah satu produk hukum unggulan oleh pemerintah dalam usahanya untuk menarik minat investor asing agar bersedia menanamkan sebanyak mungkin modalnya di Indonesia21 dan dengan diberlakukannya undang-undang tersebut,
21
Guna menjawab apakah Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi investor asing maupun domestik yang akan menanamkan modal di Indonesia, maka menurut Aloysius Uwiyono jawabannya terkait dengan apakah substansi undang-undang tersebut dapat menciptakan suatu ketentraman dalam bekerja dan ketenangan dalam berusaha di tempat kerja. Ketentraman dan ketenangan dalam berusaha di tempat kerja dapat dicapai oleh undang-undang ketenagakerjaan melalui 3 (tiga) jaminan,
13
maka upaya pemerintah dalam rangka memulihkan perekonomian nasional akibat krisis moneter dan mengurangi tingginya jumlah angka pengangguran 22 serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam rangka pembangunan Indonesia sebagai negara berkembang dapat direalisasikan secara lebih terstruktur. Diharapkan dengan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan disertai konsep pemerataan hasil-hasil ekonomi yang tepat akan mampu memberikan keadilan kepada seluruh lapisan masyarakat,23 sehingga dapat mempercepat proses Indonesia dalam memasuki tahapan negara kesejahteraan sebagaimana dicita-citakan oleh the founding fathers sejak awal kemerdekaan. Terkait dengan efisiensi usaha yang secara tersirat terdapat dalam isi Undangundang Ketenagakerjaan Tahun 2003, hal itu tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ekonomi yang terjadi di dunia dewasa ini. Fakta menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi dunia bergerak semakin cepat dan pesat dimana salah satunya ditandai dengan semakin tingginya penggunaan teknologi di berbagai bidang usaha dalam rangka meminimalisir peran manusia sebagai tenaga kerja. Kondisi ini secara langsung maupun tidak langsung menuntut pengusaha untuk mau mengefisienkan kegiatan usahanya dalam tingkatannya yang signifikan
22
23
yaitu pertama, melalui jaminan perlindungan perburuhan, kedua, melalui jaminan adanya ketenangan usaha dan ketiga, melalui jaminan akan pelaksanaan demokrasi di tempat kerja. Lihat Aloysius Uwiyono, “Implikasi Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Terhadap Iklim Investasi”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, Nomor 5, Tahun 2003, hlm. 10. Pendapat ini didasarkan pada indikator makro ekonomi suatu negara yang menempatkan masalah ketenagakerjaan dan pengangguran bersama dengan indikator makro ekonomi lainnya, seperti pendapatan nasional, produksi nasional, konsumsi nasional, tabungan, investasi, inflasi, pertumbuhan ekonomi, perdagangan internasional serta neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Dikatakan oleh Nurhadiantomo bahwa pemerataan pembangunan merupakan inti dari keadilan sosial atau keadilan sosial ekonomi. Lihat Nurhadiantomo, 2004, Hukum Reintegrasi Sosial (Konflik-konflik Sosial Pri-Nonpri dan Hukum Keadilan Sosial), Muhammadiyah University Press, Surakarta, hlm. 224.
14
dengan menggunakan teknologi tersebut di berbagai level kegiatan usahanya. Tindakan ini dimaksudkan untuk dapat menurunkan tingginya biaya produksi (berupa biaya tenaga kerja atau labour cost, biaya barang modal atau raw material cost dan biaya proses barang atau overhead cost), selain juga berbagai jenis biaya transaksi (transaction costs) agar terealisasi harga barang yang rendah untuk dapat dikonsumsi di level konsumen. Tuntutan seperti itu jelas merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawarkan lagi oleh para pelaku usaha yang ada di negara maju dan negara berkembang24 yang menerapkan sistem ekonomi pasar. Ini tidak terlepas dari realita adanya persaingan usaha yang semakin ketat dalam merebut pasar konsumen yang ada. Situasi ini kemudian memunculkan anggapan bahwa siapapun yang berhasil menerapkan efisiensi usaha pada tingkatan yang maksimal dalam melakukan bisnisnya dibandingkan dengan kompetitornya niscaya akan mampu memenangi persaingan usaha dalam berbagai levelnya. Berkaca dari kenyataan tersebut, maka para pelaku usaha berusaha menindaklanjutinya dengan kerap kali melakukan perubahan dalam sistem rantai manajemen usahanya ke arah upaya minimalisasi beban atas biaya (transaction
24
Tidak ada pengertian yang disepakati oleh semua pihak termasuk oleh United Nation (UN) dan organisasi internasional lainnya tentang pengertian kata negara maju dan negara berkembang. Istilah negara maju umumnya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang secara ekonomi maju dengan indikator pendapatan per kapita yang tinggi, human development index yang tinggi dan gross domestic product per kapita yang tinggi. Namun, indikator dan besarannya juga belum ada keseragaman pendapat. Lihat Rusli Pandika, 2010, Sanksi Dagang Unilateral Di Bawah Sistem Hukum WTO, PT. Alumni, Bandung, hlm. 143144. Bandingkan dengan pendapat Yemi Osinbajo dan Olukonyisola yang mengatakan bahwa negara di dunia dapat dibagi pada 3 (tiga) tipe, yaitu negara maju, negara berkembang dan negara miskin. Indikator yang dipergunakan adalah tingkat besarnya modal, penguasaan teknologi, tingkat pendidikan dan tingkat kesejahteraan penduduknya. Lihat Yemi Osinbajo dan Olukonyisola, “Human Rights and Economics Development In Developing Countries”, dalam Siti Hajati Hoesin, 2006, “Perdagangan Internasional dan Penegakan Hukum Perburuhan Negara Berkembang: Studi Mengenai Hak-hak Pekerja Perempuan di Perkebunan Teh ‘Gunung Mas’“, Disertasi, Program Doktor Dalam Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, hlm. 9-10.
15
cost), lebih agresif dalam melakukan pemasaran dan penjualan barang atau jasa secara strategis kepada konsumen pada tingkatan maksimum dan pada akhirnya berusaha mencapai profit usahanya secara signifikan dan lalu membagikan sejumlah besar dari profit itu kepada pihak shareholders serta sebagian kecil lainnya kepada pihak di luar shareholders yang terlibat di dalam rangkaian kegiatan usaha tersebut. Pandangan itulah yang kemudian menjadi pembenaran dan penghubung yang logis terhadap terealisasinya motif ekonomi dari para pelaku usaha, yakni meraih keuntungan yang sebesar-besarnya melalui usaha yang sekecil-kecilnya. Sejalan dengan itu, konsep efisiensi usaha sebagaimana diuraikan di atas telah menyentuh ranah hukum ketenagakerjaan pada tataran yang berlebihan. Contohnya dapat dilihat dari upaya untuk menekan tingkat upah yang diberikan kepada para pekerja pada tingkatan yang rendah25 disamping juga memperbanyak jumlah pekerja yang berstatus kontrak maupun alih daya serta berusaha memperlama jangka waktu kontraknya secara terus menerus dengan berbagai cara.26 Keadaan ini kemudian memunculkan dampak pada makin banyaknya pertumbuhan perusahaan alih daya
25
26
Menurut Sofjan Wanandi selaku Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bahwa upah pekerja Indonesia yang berada dikisaran US$ 200 masih lebih tinggi dibandingkan dengan upah pekerja di negara Kamboja dan Myanmar yang masih berada di kisaran US$ 40. Lihat Emma Ratna Fury, “Upah buruh Indonesia lebih tinggi dari negara lain”, http://industri.kontan.co.id/news/upah-buruh-indonesia-lebih-tinggi-dari-negara-lain, diakses 9 April 2014. Menurut lembaga International Labour Organization (ILO) bahwa setidaknya jumlah pekerja kontrak dan alih daya di Indonesia telah mencapai angka 65 persen dari keseluruhan jumlah pekerja yang ada. Lihat Anggraini Lubis (Editor), “‘Outsourcing’ kuasai pekerja Indonesia”, http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id= 164092:outsourcing-kuasai-pekerja-indonesia&catid=18&Itemid=95, diakses 9 April 2014. Lihat juga Rosalina, “Pekerja Outsorcing di Indonesia Mencapai 65 Persen”, http://www.tempo.co/read/news/2010/12/23/090301134/Pekerja-Outsorcing-di-IndonesiaMencapai-65-Persen, diakses 9 April 2014.
16
di tanah air yang mengambil keuntungan ekonomis dari situasi yang ada tersebut.27 Hal-hal yang tidak berpihak pada pekerja sebagaimana diuraikan di atas seringkali memicu reaksi penolakan dari para pekerja yang tidak jarang acapkali berakhir dengan adanya perselisihan hubungan industrial yang sifatnya konfrontatif dibanding dengan penyelesaian secara dialogis. Keadaan ini jelas membawa pada situasi yang tidak kondusif di tempat kerja, sehingga pada gilirannya apabila dibiarkan terus menerus akan dapat mengganggu iklim investasi yang sedang digalakan oleh pemerintah.28 Berdasarkan fakta yang ada setelah lebih dari satu dasawarsa berlakunya Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 ternyata undang-undang ini telah beberapa kali digugat melalui pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Terhadap adanya gugatan tersebut, Mahkamah Konstitusi meresponnya dengan mengeluarkan beberapa buah putusan yang isinya mengubah atau menghapus beberapa ketentuan maupun frasa di undang-undang tersebut (termasuk ketentuan mengenai alih daya) karena dipandang tidak sejalan dengan Undang-undang Dasar Tahun 1945 maupun putusan yang sifatnya menolak permohonan (baik sebagian maupun seluruhnya) yang diajukan dengan didasarkan berbagai
27
28
Menurut Muhaimin Iskandar selaku Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi bahwa pertanggal 10 Oktober 2012 saja telah ada 6.239 perusahaan alih daya di Indonesia. Lihat Wiji Nurhayat, “Cak Imin: Ada 6.239 Perusahaan Outsourcing di Indonesia”, http://finance.detik.com/read/2012/10/22/133431/2069130/4/cak-imin-ada-6239perusahaan-outsourcing-di-indonesia, diakses 9 April 2014. Apindo, “Apindo: Tuntutan Buruh Ganggu Iklim Investasi”, http://www.apindo.or.id /index.php/trade-a-investment/ruang-media/berita/918-apindo-tuntutan-buruh-ganggu-ikliminvestasi, diakses 9 April 2014.
17
pertimbangan.29 Fakta ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa secara substansial undang-undang tersebut memang memiliki masalah yang sifatnya mendasar sejak perancangan dan pembahasannya. Salah satunya terlihat pada kurang diperhatikannya posisi lemah dari pekerja yang seharusnya mendapat perlindungan hukum dari negara.30 Pada sisi lain, dikabulkannya sebagian pengujian mengenai ketentuan alih daya dalam undang-undang tersebut dalam beberapa putusan Mahkamah Kontistusi kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan membuat aturan pada tingkat teknis, yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain yang berlaku sejak 19 November 201231 sebagaimana kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 27 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian
29
30
31
Setidaknya ada 13 (tiga belas) putusan yang pernah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003, yaitu Putusan MK No. 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004; Putusan MK No. 115/PUU-VII/2009 tanggal 10 November 2010; Putusan MK No. 37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011; Putusan MK No. 61/PUU-VIII/2010 tanggal 14 November 2011; Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012; Putusan MK No. 19/PUU-IX/2011 tanggal 20 Juni 2012; Putusan MK No. 58/PUU-IX/2011 tanggal 16 Juli 2012; Putusan MK No. 100/PUU-X/2012 tanggal 19 September 2013; Putusan MK No. 117/PUU-X/2012 tanggal 31 Oktober 2013; Putusan MK No. 69/PUU-XI/2013 tanggal 7 Mei 2014; Putusan MK No. 96/PUU-XI/2013 tanggal 7 Mei 2014; Putusan MK No. 67/PUU-XI/2013 tanggal 11 September 2014; dan Putusan MK No. 7/PUU-XII/2014 tanggal 9 November 2015. Menurut Aloysius Uwiyono bahwa salah satu sebab mengapa Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 tidak efektif dalam tahapan implementasinya karena pembentukannya yang tidak didasarkan pada naskah akademik sebagaimana lazimnya pembuatan undang-undang. Lihat Hukumonline, “Prof. A. Uwiyono: UU Ketenagakerjaan, UU Kanibalisme”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8213/prof-a-uwiyono-uuketenagakerjaan-uu-kanibalisme, diakses 9 April 2014. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syaratsyarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1138). Selanjutnya ditulis Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012.
18
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain yang berlaku sejak 31 Desember 201432 dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain yang berlaku sejak tanggal 26 Agustus 2013.33 Keluarnya beberapa buah putusan Mahkamah Konstitusi dan juga beberapa peraturan teknis baru tersebut memunculkan 2 (dua) pendapat yang berbeda di masyarakat. Bagi sebagian pihak hal tesebut dianggap merupakan bagian dari peran aktif lembaga yudisial dan negara dalam memperjelas dan melindungi posisi lemah dari para pekerja alih daya yang secara subordinat berada di bawah pengusaha dan kerap menjadi obyek paling merasakan ketidakadilan dari diterapkannya ketentuan alih daya yang sarat akan berbagai penyimpangan di lapangan. Namun, bagi sebagian pihak yang lainnya berpendapat bahwa hal dimaksud justru dinilai akan dapat memicu terjadinya pengurangan tenaga kerja alih daya secara sistematis akibat tingginya beban biaya tambahan yang harus ditanggung oleh perusahaan alih daya karena harus merubah status para pekerja alih daya menjadi pekerja tetap.34
32
33 34
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 27 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2098). Selanjutnya ditulis Permenaker Nomor 27 Tahun 2014. Selanjutnya ditulis Surat Edaran Menakertrans Nomor SE.04 Tahun 2013. Apindo, “Putusan MK Soal Outsourcing Picu Pengurangan Tenaga Kerja”, http://www.apindo.or.id/index.php/berita-a-artikel/news/668-putusan-mk-soal-outsourcingpicu-pengurangan-tenaga-kerja-, diakses 9 April 2014. Lihat juga Wiji Nurhayat, “12 Juta Pekerja Outsourcing Rawan PHK”, http://finance.detik.com/read/2013/08/28 /175732/2343416/1036/12-juta-pekerja-outsourcing-rawan-phk, diakses 9 April 2014.
19
Fakta lain menunnjukkan bahwa keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi dan beberapa aturan teknis baru tersebut juga masih belum mampu untuk meredam perselisihan hubungan industrial yang masih kerap terjadi karena masalah alih daya. Hal ini dapat dilihat dari penolakan yang dilakukan oleh para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo terhadap Permenakertans Nomor 19 Tahun 2012 yang mana mereka berusaha mengajukan pengujian Peraturan Menakertrans itu ke Mahkamah Agung karena dianggap cacat hukum,35 selain itu upaya penolakan juga masih terus dilakukan oleh para pekerja melalui demonstrasi untuk tetap menuntut dihapuskannya ketentuan mengenai alih daya dalam sistem hubungan industrial di Indonesia dengan mendorong rencana revisi terhadap Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003.36 Di luar hal-hal tersebut di atas, adanya upaya pembentukan Panitia Kerja yang diikuti dengan keinginan untuk mengajukan hak interpelasi atau hak meminta keterangan oleh beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara dalam rangka meredam perselisihan hubungan industrial mengenai alih daya pasca dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi, khususnya masalah pekerja alih daya yang ada di Badan Usaha Milik 35
36
Apindo, “Pengusaha Bakal Gugat Aturan Outsourcing”, http://www.apindo.or.id/index.php /berita-a-artikel/news/952-pengusaha-bakal-gugat-aturan-outsourcing, diakses 9 April 2014. Lihat juga Investor, “Kadin Sesalkan Permenakertrans soal Outsourcing”, http://www.investor.co.id/home/kadin-sesalkan-permenakertrans-soal-outsourcing/49740, diakses 9 April 2014. Lihat juga Antaranews, “Apindo tolak Permenakertrans 19/2012”, http://www.antaranews.com/berita/345975/apindo-tolak-permenakertrans-192012, diakses 9 April 2014. Ilyas Istianur Praditya, “286 Ribu Pekerja Outsourcing Ancam Mogok Kerja 2 Hari”, http://bisnis.liputan6.com/read/786641/286-ribu-pekerja-outsourcing-ancam-mogok-kerja-2hari, diakses 9 April 2014. Lihat juga Hukumonline, “Revisi UU Ketenagakerjaan Penuh Polemik”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fa7ebcbed481/revisi-uuketenagakerjaan-penuh-polemik, diakses 9 April 2014.
20
Negara37 ternyata juga semakin memperumit keadaan karena dipandang bermuatan politik. Walaupun kemudian rencana untuk mengajukan hak interpelasi itu tidak ditindaklanjuti karena berbagai sebab. Namun, Menteri Badan Usaha Milik Negara tetap menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor 06/MBU/2013 tentang Kebijakan Ketenagakerjaan di Badan Usaha Milik Negara yang berlaku sejak 22 November 201338 dimana salah satu bagian penting dari isinya berupa permintaan kepada para direksi di lingkungan perusahaan Badan Usaha Milik Negara untuk menata kembali kebijakan pekerja alih daya dengan menyesuaikan pada hasil putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dan Permenakertans Nomor 19 Tahun 2012 agar tidak lagi terjadi penyimpangan dalam implementasinya di lapangan.39
B. Perumusan Masalah Memperhatikan dampaknya yang cukup luas terhadap kehidupan pekerja dan perekonomian negara secara keseluruhan, maka pengaturan alih daya dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 dapat dikategorikan menjadi kajian yang menarik untuk ditelaah lebih mendalam, khususnya pemahaman mengenai 37
38 39
Imam Budilaksono, “DPR tunda hak interpelasi "outsourcing" BUMN”, http://www.antaranews.com/berita/420880/dpr-tunda-hak-interpelasi-outsourcing-bumn, diakses 9 April 2014. Lihat juga Republika, “Perusahaan BUMN Tersering Langgar 'Outsourcing'”, http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/21/mk0838perusahaan-bumn-tersering-langgar-outsourcing, diakses 9 April 2014. Lihat juga Beritasatu, “Hak Interpelasi DPR Murni untuk Kepentingan Pekerja Outsourcing”, http://www.beritasatu.com/nasional/157903-hak-interpelasi-dpr-murni-untuk-kepentinganpekerja-outsourcing.html, diakses 9 April 2014. Selanjutnya ditulis Surat Edaran Meneg BUMN No. 06/MBU/2013. Ashari Purwo, “Dahlan Keluarkan Instruksi soal Outsourcing”, http://www.solopos.com/2013/11/22/konflik-ketenagakerjaan-dahlan-keluarkan-instruksisoal-outsourcing-467620, diakses 9 April 2014.
21
perlunya pembahasan alih daya yang ditinjau dari asas keseimbangan dengan melihat pada perspektif pembangunan ekonomi Indonesia sebagai negara berkembang. Untuk itu dirumuskanlah beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti, seperti apakah makna dari dimasukkannya ketentuan alih daya dalam Undang-undang
Ketenagakerjaan
Tahun
2003
bila
ditinjau
dari
asas
keseimbangan, khususnya kaitannya dengan pembangunan ekonomi yang sedang dilakukan Indonesia sebagai negara berkembang? Lalu, apakah pengaturan mengenai alih daya tersebut telah memberikan keadilan bagi para pihak ataukah sebaliknya malah memberikan ruang ketidakadilan bagi pihak yang lemah? Sehubungan dengan itu, maka penulis merumuskan permasalahan tersebut sebagai berikut : 1. Bagaimanakah semangat pengaturan alih daya di Indonesia dalam perspektif pembangunan ekonomi Indonesia sebagai negara berkembang? 2. Masalah-masalah apa sajakah yang muncul dalam praktik alih daya terkait dengan asas keseimbangan? 3. Bagaimanakah konsep pengaturan alih daya yang ideal dan dapat memberikan perlindungan yang seimbang bagi kepentingan para pihak di masa mendatang?
C. Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan permasalahan yang diajukan, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:
22
1. Mengetahui semangat pengaturan alih daya di Indonesia dalam perspektif pembangunan ekonomi Indonesia sebagai negara berkembang. 2. Mengetahui masalah-masalah yang muncul dalam praktik alih daya terkait dengan asas keseimbangan. 3. Mengetahui konsep pengaturan alih daya yang ideal dan dapat memberikan perlindungan yang seimbang bagi kepentingan para pihak di masa mendatang. Dengan dicapainya ketiga tujuan penelitian tersebut secara keseluruhan diharapkan nantinya akan dapat diperoleh pemahaman yang komprehensif atas relevansi serta makna sesungguhnya dari urgensi diaturnya sistem kerja alih daya di Indonesia sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang ditinjau dari asas keseimbangan dalam hubungannya dengan perspektif pembangunan ekonomi yang sedang dilakukan Indonesia sebagai negara berkembang. Pemahaman sebagaimana dimaksud nantinya juga dimaksudkan agar dapat memberikan gambaran yang yang lebih jelas tentang apakah keadilan sebagaimana diharapkan oleh para pihak dalam sistem kerja alih daya tersebut telah dapat dicapai ataukah malah justru sebaliknya bahwa ketentuan alih daya dalam undang-undang tersebut dipandang masih belum dapat memberikan keadilan sebagaimana diharapkan.
D. Manfaat Penelitian Searah dengan tujuan yang hendak dicapai, maka diharapkan pula penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
23
1. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan
materi
hukum
pada
umumnya
dan
Hukum
Ketenagakerjaan serta Hukum Ekonomi pada khususnya termasuk dalam kaitannya dengan pemberlakuan alih daya di Indonesia. 2. Bagi pemerintah. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukkan bagi pemerintah dalam upaya merumuskan arah kebijaksanaan yang akan ditempuh ke depannya dalam menangani masalah pengaturan ketenagakerjaan pada umumnya dan masalah alih daya pada khususnya. 3. Bagi para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan hubungan industrial. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dalam upaya untuk mengantisipasi muncul dan berkembangnya masalah seputar alih daya yang dapat berujung pada perselisihan hubungan industrial yang bersifat konfrontatif, menghindari adanya tindakan sewenang-wenang yang
dilakukan
oleh
pengusaha
terhadap
para
pekerja
yang
menyalahgunakan aturan mengenai alih daya dan juga mengeliminasi tindakan yang tidak adil dari negara terhadap penerapan alih daya di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian Guna memastikan orisinalitas dari penelitian yang dilakukan ini, maka dilakukan upaya berupa penelusuran dokumen terhadap berbagai hasil penelitian
24
yang mengambil topik mengenai alih daya yang pernah dilakukan sebelumnya ke beberapa perpustakaan yang ada pada tingkat fakultas maupun universitas yang berlokasi di Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan Depok, antara lain Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas
Padjajaran
di
Bandung,
Perpustakaan
Pascasarjana
Universitas Padjajaran di Bandung, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Trisakti di Jakarta, Perpustakaan Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Kampus Jakarta, Perpustakaan Pascasarjana Universitas Indonesia di Jakarta dan Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia di Depok. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa penelitian mengenai alih daya yang penulis buat bukanlah penelitian yang pertama kali dilakukan. Data yang ada memperlihatkan telah ada beberapa hasil penelitian yang mengambil topik mengenai alih daya dengan berbagai fokus kajian. Berikut ini akan dijabarkan beberapa penelitian diantaranya. 1. Penelitian mengenai alih daya pernah dilakukan oleh Hermain Tjiknang di Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung pada tahun 2013 melalui disertasinya yang berjudul “Perlindungan Hukum Atas Hak Pekerja Alih daya Berdasarkan Keadilan Dalam Perselisihan Hubungan Industrial Akibat Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak“. Penelitian tersebut menitikberatkan pada pembahasan mengenai status dari pekerja alih daya dalam perselisihan hubungan industrial yang terjadi karena adanya pemutusan hubungan kerja sepihak yang dilakukan oleh perusahaan. Dalam isi dan kesimpulan penelitian tersebut dipaparkan
25
mengenai akibat yang timbul dari perselisihan hubungan industrial yang disebabkan pemutusan hubungan kerja secara sepihak terhadap pekerja alih daya dimana faktor ketidakjelasan masa depan pekerja alih daya menjadi pembahasan utamanya. Selain itu, penelitian tersebut juga memfokuskan pada perspektif perlindungan hukum bagi pekerja alih daya dalam konteks perselisihan hubungan industrial akibat adanya pemutusan hubungan kerja sepihak. Penelitian tersebut belum memberikan jawaban yang memadai mengenai latar belakang maupun semangat perlunya alih daya diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 sebagai salah satu sarana dalam rangka menuju negara kesejahteraan dengan didasarkan pada bingkai pembangunan ekonomi Indonesia sebagai negara berkembang. Selain itu, asas keseimbangan bagi kepentingan para pihak yang terlibat dalam alih daya belum diteliti dalam penelitian tersebut. 40 2. Penelitian mengenai alih daya pernah dilakukan pula oleh Esti Ropikhin di Program Studi Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang tahun 2010 dalam tesisnya yang berjudul “Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Pembuatan Perjanjian Outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu“. Penelitian tersebut menitikberatkan kepada pembahasan mengenai penerapan asas kebebasan berkontrak dalam pembuatan perjanjian alih daya. Dalam isi
40
Disertasi hukum lainnya yang juga membahas mengenai alih daya adalah disertasi yang dibuat oleh Leli Joko Suryono di Program Pasacasarjana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2011 yang berjudul Asas Keadilan Pada Kontrak Outsourcing Dalam Hubungan Industrial di Indonesia. Lihat Diponegoro University Institutional Repository, “Asas Keadilan Pada Kontrak Outsourcing Dalam Hubungan Industrial di Indonesia” http://eprints.undip.ac.id/40723/, diakses 10 Agustus 2015.
26
dan kesimpulan penelitian tersebut dijelaskan mengenai berbagai macam akibat yang timbul dari penerapan asas kebebasan berkontrak dalam pembuatan perjanjian alih daya bagi para pihak yang membuatnya. Hasil penelusuran terhadap penelitian tersebut mendapati fakta bahwa perjanjian alih daya yang dibuat telah mereduksi asas kebebasan berkontrak karena dibuat dalam bentuk perjanjian yang telah dibakukan klausul-klausulnya. Di sisi lain, penelitian dimaksud belum dapat memberikan jawaban yang memadai mengenai latar belakang maupun semangat perlunya alih daya diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 sebagai salah satu sarana menuju negara kesejahteraan dengan didasarkan pada bingkai pembangunan ekonomi Indonesia sebagai negara berkembang. Selain itu, perlunya konsep pengaturan alih daya yang ideal dan dapat memberikan perlindungan yang seimbang bagi kepentingan para pihak juga belum diteliti dalam penelitian tersebut. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dari segi timeline dimana penelitian tersebut dilakukan sebelum dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 yang salah satu isinya menyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum atas beberapa ketentuan mengenai alih daya dalam Undangundang Ketenagakerjaan Tahun 2003. 3. Penelitian mengenai alih daya juga pernah dilakukan pula oleh Hans Benardi di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2013 dalam tesisnya yang berjudul “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Pekerja di Perusahaan Outsourcing Pasca
27
Putusan
MK
Nomor
27/PUU-IX/2011“.
Penelitian
tersebut
menitikberatkan kepada pembahasan mengenai perkembangan regulasi mengenai perlindungan hukum bagi pekerja alih daya yang berlaku di Indonesia dengan memfokuskan pada pembahasan sebatas putusan Mahkamah Konstitusi yang salah satu isinya menyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum atas beberapa ketentuan mengenai alih daya dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003. Dalam isi dan kesimpulan penelitian tersebut dijelaskan pula mengenai masalah alih daya yang belum menemukan titik temu dalam penyelesaiannya karena masih tajamnya benturan antara penerapan alih daya oleh pengusaha dan minimnya perlindungan hukum bagi pekerja alih daya di lapangan. Meski demikian, penelitian dimaksud ternyata juga belum memberikan jawaban yang memadai dalam kaitannya dengan asas keseimbangan dalam pengaturan alih daya pada Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 maupun pasca dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum beberapa ketentuan mengenai alih daya dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003. Di samping itu, sudut pandang penerapan alih daya dengan pembangunan ekonomi Indonesia sebagai negara berkembang dan konsep pengaturan alih daya yang ideal dan dapat memberikan perlindungan yang seimbang bagi kepentingan para pihak juga belum diuraikan dalam penelitian tersebut.
28
Berbeda dengan ketiga penelitian yang pernah dilakukan di atas, penelitian dalam tesis ini lebih memiliki titik fokus pengkajian pada upaya pengungkapan latar belakang dan semangat pengaturan ketentuan alih daya dari segi pembahasan mengenai proses dimasukkannya ketentuan alih daya dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 dalam perancangan dan pembahasannya yang melibatkan banyak pihak. Sejalan dengan itu, maka fokus pembahasan akan berpusat pula pada analisis politik hukum dari undang-undang tersebut baik dari segi konfigurasi politik yang melahirkannya, karakter yang dimilikinya serta politik hukum Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang memiliki dimensi sebagai kebijakan dasar dan kebijakan pemberlakuan. Di samping itu akan dibahas pula mengenai alih daya dari segi pemaknaan teksnya dengan menggunakan metode hermeneutika hukum dan semiotika hukum guna menemukan landasan filosofis dari diaturnya ketentuan alih daya dalam Undangundang Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang dimaksudkan guna mendukung pembangunan
ekonomi
Indonesia
sebagai
negara
berkembang
dengan
memperhatikan pada terwujudnya keseimbangan kepentingan bagi para pihak yang terlibat di dalamnya. Terdapatnya masalah-masalah yang muncul dalam praktik alih daya dan memiliki kaitan dengan asas keseimbangan juga akan menjadi fokus pembahasan yang dianalisis dalam penelitian ini. Kedua pembahasan sebagaimana diuraikan di atas harus diakui bahwa secara sepintas akan terlihat sama dengan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, khususnya pada penelitian yang dilakukan oleh Hermain Tjiknang dan Hans Benardi. Namun, apabila dicermati lebih lanjut, sesungguhnya terdapat perbedaan
29
yang jelas dimana dalam penelitian akan dilakukan ini menunjukkan bahwa kajian terhadap politik hukum dan juga pemaknaan teks dengan menggunakan metode hermeneutika hukum dan semiotika hukum dilakukan menggunakan obyek berupa Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 dan beberapa buah putusan Mahkamah Konstitusi serta beberapa peraturan teknis yang diterbitkan pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, hal lain yang juga menjadi fokus penting dari penelitian ini adalah upaya yang akan coba dilakukan oleh penulis dalam merumuskan konsep pengaturan alih daya yang dirasa ideal dan dapat memberikan perlindungan yang seimbang bagi kepentingan para pihak di masa mendatang. Pembahasan mengenai hal tersebut dirasakan sangat penting dalam rangka memberikan masukan yang bersifat akademik terhadap rencana revisi Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang akan dilakukan di masa mendatang. Berdasarkan uraian terhadap permasalahan-permasalahan sebagaimana tersebut di atas, maka kiranya dapat dikatakan bahwa permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam tesis ini belum pernah dilakukan dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Oleh karenanya, penelitian yang dilakukan dalam tesis ini dapat dianggap telah memenuhi kaidah keaslian penelitian sebagaimana disyaratkan secara akademis.