BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Employee engagement merupakan konsep yang relatif baru bagi manajemen.
Konsep ini menjadi sebuah pembahasan yang menarik bagi perkembangan ilmu manajemen sumber daya manusia (Saks, 2006). Para praktisi organisasi dan para peneliti menjadikan topik ini penting karena diketahui dapat meningkatkan kinerja pegawai. Pegawai yang engaged tidak hanya memberikan kontribusi lebih tetapi juga lebih loyal dan karenanya lebih kecil kemungkinannya untuk secara sukarela meninggalkan organisasi (Macey dan Schneider, 2008). Selain itu, employee engagement sering disebut-sebut sebagai faktor penting bagi kesuksesan dan daya saing sebuah organisasi (Gruman dan Saks, 2011). Schaufeli dan Salanova (2007) dalam Gruman dan Saks (2011) menyatakan bahwa engagement sangat diperlukan bagi organisasi dewasa ini untuk menghadapi berbagai tantangan yang ada. Sebagaimana pula dinyatakan oleh banyak penulis bahwa engagement merupakan pendorong utama bagi sikap, perilaku, dan kinerja individu dan sekaligus juga kinerja, produktivitas, retensi, kinerja keuangan bagi organisasi dan bahkan bagi shareholder return (Bates, 2004; Baumruk, 2004; Harter et al., 2002; Richman, 2006 dalam Gruman dan Saks, 2011). Lebih lanjut, Macey et al.
1
(2009) berargumen bahwa organisasi bisa mendapatkan keunggulan kompetitif melalui employee engagement. Macey et al. (2009) menyatakan bahwa dari 65 perusahaan dalam industri yang berbeda, perusahaan yang memiliki indeks employee engagement pada 25% peringkat atas memiliki return on assets (ROA) dan produktivitas yang lebih besar serta menghasilkan shareholder value lebih dari duakalinya jika dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki indeks employee engagement pada 25% peringkat bawah. Hal tersebut menunjukkan bahwa employee engagement berdampak terhadap penciptaan shareholder value yang lebih tinggi pada sebuah perusahaan. Jika ditinjau dari konsep engagement itu sendiri, engagement didefinisikan sebagai situasi kerja dimana pegawai menemukan kebermaknaan dan konsekuensinya adalah mereka ingin dan dapat menginvestasikan kerja mereka bagi pencapaian manfaat personal dan karier. Pegawai yang engaged akan bekerja dengan energik dan antusias (Kahn, 1990). May et al. (2004) berpendapat engagement menggambarkan bahwa pegawai mengalami keadaan yang merupakan kebalikan dari burnout karena mereka terikat dengan pekerjaan dalam level kognitif dan emosional. Markos dan Sridevi (2010) juga menyatakan bahwa employee engagement merupakan hubungan antara pegawai dengan pemimpin yang mempunyai dampak kinerja organisasi seperti: profitabilitas, kepuasan pelanggan, pertumbuhan organisasi, produktivitas, retensi pegawai, dan keamanan kerja. Dalam perkembangannya, pemahaman mengenai employee engagement baik dalam hal definisi maupun pengukuran masih
2
sulit untuk menjadi konsensus. Namun, definisi engagement yang diperkenalkan pertama kalinya oleh Kahn pada tahun 1990 yang secara konsisten digunakan dalam penelitian (Gruman dan Saks, 2011). Selain dalam organisasi yang berorientasi profit seperti yang telah disebutkan di atas, engagement dalam organisasi sektor publik juga merupakan hal yang esensial. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Harter et al. (2002) dalam Brunetto et al. (2012) bahwa dalam sektor publik, engagement merupakan hal yang penting untuk dikaji karena pengaruhnya terhadap kinerja pegawai yang berdampak terhadap kepuasan publik atas pelayanan yang diberikan. Menurut May et al. (2004) engagement adalah hal yang penting bagi manajer mengingat adanya disengagement merupakan sentral permasalahan pegawai berupa kurangnya komitmen dan motivasi. Oleh karena itu, dalam setiap organisasi baik profit oriented maupun non-profit oriented perlu untuk selalu mengetahui tingkat employee engagement. Apabila tingkat engagement yang terjadi sudah tinggi maka hal ini akan berpengaruh pada keberhasilan suatu organisasi. Dalam konteks organisasi sektor publik, salah satu organisasi yang memberikan perhatian terhadap pentingnya employe engagement adalah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Ditjen Perbendaharaan). Hal ini dibuktikan dengan adanya program employee engagement yang dilaksanakan oleh Ditjen Perbendaharaan. Ditjen Perbendaharaan merupakan salah satu eselon I pada Kementerian Keuangan yang telah melaksanakan reformasi sejak tahun 2004. Gerakan reformasi tersebut
3
dilakukan untuk mewujudkan tata kelola keuangan negara yang profesional, akuntabel dan membangun kepercayaan publik melalui peningkatan pelayanan. Perubahan yang dilakukan meliputi aspek penataan kelembagaan (organisasi), perbaikan ketatalaksanaan (proses bisnis), dan peningkatan manajemen sumber daya manusia (Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2014). Dengan demikian, berdasarkan pendapat Harter et al. (2002) di atas, dapat disimpulkan bahwa upaya pencapaian employee engagement sejalan dengan tujuan reformasi. Sebagai implementasi awal dari program employee engagement, pada tahun 2013, Ditjen Perbendaharaan telah melakukan survei employee engagement yang hasilnya menunjukkan bahwa Ditjen Perbendaharaan didominasi oleh pegawai pada tingkat almost engaged. Selain itu, juga masih terdapat pegawai yang terkategori disengaged pada tiap unit kerja. Survei yang dilaksanakan pada tanggal 1 Juli sampai dengan 7 Agustus 2013, juga menggambarkan adanya engagement gap yang perlu diatasi agar semua pegawai berada pada level engaged. Tabel 1.1. Hasil Survei employee engagement Engagement Level Engaged (Pegawai berkontribusi tinggi dan kepuasan tinggi) Almost Engaged (Pegawai berkontribusi dan kepuasan sedang-tinggi) Honeymooner and Hamster (Pegawai berkontribusi rendah dan kepuasan sedang-tinggi) Crash and Burners (Pegawai berkontribusi sedang-tinggi dan kepuasan rendah) Disengaged (Pegawai berkontribusi dan kepuasan rendah-sedang)
Persentase 28,02 58,19 4,10 9,13 0,57
Sumber : Rilis Hasil Survei Employee Engagement Ditjen Perbendaharaan Tahun 2013
4
Untuk mengetahui faktor-faktor yang relevan terhadap pencapaian persentase employee engagement yang lebih tinggi bagi Ditjen Perbendaharaan, peneliti telah melakukan wawancara dan diskusi dengan pejabat yang berkompeten dalam mengelola sumber daya manusia. Hasil wawancara dan diskusi tersebut menunjukkan peran kepemimpinan dan komunikasi menjadi faktor yang penting bagi terciptanya employee engagement pada Ditjen Perbendaharaan, seperti yang disampaikan informan berikut: Informan 1 : Ada beberapa ya…menurut saya dan dengan mengacu pada hasil survei…ya… penghargaan terhadap kinerja yang ditunjukkan oleh pegawai. Dan yang lebih penting lagi…adanya komunikasi yang efektif dalam organisasi…ya misalnya komunikasi atasan dengan bawahan. Begitu yaa…
Informan 2 : Di organisasi kita… perlu memperhatikan faktor komunikasi dan kepemimpinan…karena pemimpin itu bisa mempengaruhi bawahan…Khan berbeda pemimpin yang menghargai pendapat…ide…bawahan dengan pemimpin yang selalu mematahkan pendapat bawahan…Yaa…kalau komunikasi penting itu…komunikasi itu berdampak langsung pada pegawai..
Berbagai penelitian telah mengungkapkan adanya faktor-faktor relevan yang mendukung pendapat tersebut di atas sehingga dapat mendorong terciptanya employee engagement. Penelitian Markos dan Sridevi (2010), mengungkapkan bahwa komunikasi dua arah antara pemimpin dan pegawai, perhatian pemimpin terhadap kesejahteraan dan perkembangan pegawai dapat meningkatkan employee engagement. Pendapat yang sejalan juga dikemukakan dalam penelitian Greenidge (2010), yang 5
menemukan bahwa gaya komunikasi pemimpin dan budaya organisasi merupakan faktor yang dapat menaikkan level employee engagement. Faktor lainnya yang dapat meningkatkan employee engagement menurut Geslien (2012) adalah reward dan recognition. Markos dan Sridevi (2010) menyebutkan bahwa employee engagement terbentuk melalui komitmen peran pemimpinnya pada penyampaian dari misi, visi dan nilai-nilai organisasi yang jelas serta wewenang pemimpin untuk memberikan kebebasan kepada pegawai dalam mengambil keputusan. Robinson et al. (2004) menekankan pentingnya kepemimpinan dalam sebuah organisasi. Faktor pendorong terkuat engagement, masih menurut Robinson et al. (2004), adalah kualitas manajemen yang baik dan adanya perasaan dari pegawai untuk dihargai dan dilibatkan dalam organisasi. Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang banyak dibahas dalam mendorong terciptanya employee engagement. Sedangkan komunikasi merupakan faktor yang penting untuk menciptakan level engagement yang lebih tinggi bagi suatu organisasi (Welch, 2011). Oleh karena itu, dalam penelitian ini, kepemimpinan dan komunikasi menjadi faktor yang relevan pada terwujudnya employee engagement. Kepemimpinan merupakan faktor yang menentukan keberhasilan suatu organisasi untuk mencapai tujuannya (Kreitner dan Kinicki, 2011). Lebih lanjut, Kreitner dan Kinicki (2011) menyebutkan bahwa terdapat empat perspektif yang membentuk kepemimpinan yaitu adanya proses atau hubungan antara pimpinan dan bawahan, adanya pengaruh sosial, peran kepemimpinan yang terjadi pada setiap level
6
dalam organisasi, dan berfokus pada pencapaian tujuan. Keberhasilan suatu organisasi dalam menjalankan kegiatan bisnisnya mengindikasikan berjalannya fungsi kepemimpinan yang kompeten. Terkait pentingnya peran kepemimpinan dalam organisasi, kepemimpinan transformasional merupakan salah satu paradigma yang paling dominan dalam referensi kepemimpinan kontemporer (Judge dan Piccolo, 2004). Bass (1995) dalam Ancok (2012) membagi kepemimpinan ke dalam dua gaya, yakni gaya kepemimpinan transaksional dan gaya kepemimpinan transformasional. Pemimpin yang bergaya transformasional akan lebih mampu mendorong inovasi. Sebagaimana dinyatakan dalam Ancok (2012), kepemimpinan transformasional mampu mendorong anggota untuk mengembangkan aspirasi dan memperoleh makna dalam bekerja, mampu mengembangkan pemimpin-pemimpin baru di lingkungan kerjanya, menciptakan lingkungan kerja yang apresiatif sehingga menggugah gairah dan semangat untuk berinovasi dan belajar bersama, menjadikan dirinya sebagai model integritas bagi anggotanya. Selanjutnya, menurut Gibbons (2006) employee engagement adalah hubungan emosional dan intelektual yang tinggi yang dimiliki oleh pegawai terhadap pekerjaannya, organisasi, pimpinan, atau rekan kerja yang memberikan discretionary effort dalam pekerjaannya. Dalam hubungan tersebut pasti terjadi adanya komunikasi. Locker dan Kaczmarek (2010) menyebutkan bahwa komunikasi adalah cara orang
7
dalam memperoleh informasi, menyelesaikan pekerjaan, dan memahami sehingga dapat memberikan kontribusi bagi organisasi. Sedangkan menurut Ross (1983) dalam Mulyana (2013) mendefinisikan bahwa komunikasi (intensional) adalah suatu proses menyortir, memilih dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan komunikator. Dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa terciptanya employee engagement akan sangat dipengaruhi juga oleh adanya efektivitas komunikasi yang terjadi antara organisasi dengan pegawai. Dalam penelitian Hayase (2009) ditemukan bahwa efektifitas komunikasi dapat menghadirkan pegawai yang produktif dan termotivasi sehingga membawa pada keberhasilan organisasi. Organisasi yang dapat berkomunikasi secara efektif dengan pegawainya akan menciptakan level engagement yang lebih tinggi (Baumruk et al., 2006). Komunikasi internal merupakan bagian dari konteks organisasi dalam hal terjadinya engagement atau disengagement (Bakker et al., 2011). Dari uraian tersebut, penelitian ini berfokus untuk menguji lebih lanjut pengaruh kepemimpinan transformasional dan komunikasi internal dalam organisasi pada
terciptanya
employee
engagement.
Studi
dilaksanakan
pada
Ditjen
Perbendaharaan.
8
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah diungkapkan dan informasi yang disajikan
Tabel 1.1 pada latar belakang, dapat dirumuskan permasalahan yang terdapat pada Ditjen Perbendaharaan adalah rendahnya persentase employee engagement yang bisa berdampak bagi kurangnya pelayanan publik yang dilakukan oleh Ditjen Perbendaharaan. Sementara, salah satu konsekuensi dari pelaksanaan reformasi dalam tubuh Ditjen Perbendaharaan adalah peningkatan pelayanan publik. Oleh karena itu, Ditjen Perbendaharaan perlu mengupayakan pencapaian employee engagement dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya yang akan sangat bermanfaat bagi kesuksesan organisasi. Dalam penelitian ini, penulis telah memperoleh faktor yang relevan dan berpengaruh terhadap terciptanya employee engagement yaitu kepemimpinan transformasional dan komunikasi internal. Untuk itu, perlu diteliti pengaruh kepemimpinan transformasional dan komunikasi internal pada employee engagement. C.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah kepemimpinan transformasional berpengaruh positif pada employee engagement ? 2. Apakah komunikasi internal berpengaruh positif pada employee engagement ?
9
D.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian dari penyusunan karya ilmiah ini adalah sebagai
berikut: 1. Untuk menganalisis pengaruh kepemimpinan transformasional pada employee engagement. 2. Untuk
menganalisis
pengaruh
komunikasi
internal
pada
employee
engagement.
E.
Manfaat Penelitian Terdapat beberapa manfaat penelitian ini yaitu: 1. Bagi Ditjen Perbendaharaan. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi Ditjen Perbendaharaan dalam mengetahui sejauh mana gaya kepemimpinan transformasional dan komunikasi internal dapat diterapkan untuk mendorong keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya 2. Bagi penelitian selanjutnya. Sebagai referensi bagi penelitian lebih lanjut mengenai sumber daya manusia terutama yang berkaitan dengan kepemimpinan, komunikasi dalam organisasi, dan hubungan antara pegawai dengan organisasi sebagai upaya peningkatan pengelolaan sumber daya manusia.
10
3. Bagi penulis. Penelitian ini bermanfaat bagi penulis untuk mengaplikasikan dan mengembangkan kemampuan di bidang sumber daya manusia. F.
Ruang Lingkup atau Batasan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran respon responden yang
menekankan pada pengukuran kepemimpinan transformasional, komunikasi internal, dan tingkat employee engagement. Ruang lingkup penelitian dibatasi hanya pada pegawai Kantor Wilayah (Kanwil) Ditjen Perbendaharaan. G.
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini disajikan sebagai berikut :
Bab I
Pendahuluan Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian dan sistematika penulisan
Bab II
Tinjauan Pustaka Bab ini merupakan kajian pustaka yang berisi mengenai landasan teori dalam penelitian ini
Bab III
Metode Penelitian Bab ini membahas tentang desain penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, metode pengumpulan data dan metode analisis data yang digunakan
11
Bab IV
Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab ini merupakan pembahasan serta hasil dari penelitian yang telah dilakukan
Bab V
Simpulan dan Saran Bab ini membahas mengenai simpulan, keterbatasan, implikasi, dan saran dari hasil penelitian ini.
12