BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Australia merupakan negara yang banyak dijadikan tujuan oleh para
imigran dari berbagai negara untuk mendapatkan perlindungan dan memulai kehidupan baru yang lebih baik. Hal ini dikarenakan Australia tergolong negara yang stabil dalam hal politik maupun ekonomi. Oleh sebab itu, para imigran yang mayoritas berasal dari negara konflik seperti Afghanistan, Iran, dan Sri Lanka datang ke Australia untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari ancaman, tindak kekerasan, serta perang yang terjadi di negara asalnya (Refugee Action Org, 2013). Unauthorized Maritime Arrivals (UMAs) adalah istilah yang diberikan oleh Pemerintah Australia untuk menyebut para imigran yang memasuki teritori Australia melalui jalur laut secara ilegal (Migration Amendment Act, 2013). Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Australia dalam menangani kasus UMAs salah satunya adalah menjalin kerjasama bilateral dengan negara-negara di sekitar wilayahnya. Papua Nugini adalah salah satu negara yang menjalin kerjasama bilateral dengan Australia bidang asylum seeker ilegal jalur laut. Kerjasama ini berupa pemindahan dan pemrosesan UMAs tersebut ke wilayah Papua Nugini di bawah hukum Papua Nugini. Dalam arena internasional, Papua Nugini juga merupakan salah satu negara yang menandatangani Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi.
1
Gambar 1.1 Jalur Perjalanan UMAs tujuan Australia
Sumber: dari laman http://www.fkpmaritim.org Berbeda dengan Indonesia, wilayah Papua Nugini bukan merupakan jalur transit atau jalur yang dilewati oleh UMAs golongan non-Melanesian yang jumlahnya 2/3 dari total keseluruhan UMAs tujuan Australia. Golongan nonMelanesian adalah istilah untuk menyebutkan warga negara selain masyarakat Kepulauan Pasifik. Golongan non-Melanesian juga termasuk warga negara dari Afghanistan, Iran, dan Sri Lanka yang notabene tercatat sebagai negara mayoritas asal UMAs tujuan Australia. Pada tanggal 13 Agustus 2012, Pemerintah Australia mengumumkan system of third country processing for asylum seeker sesuai dengan isi dari The Migration Legislation Amendment (Regional Processing and Other Measures) Act 2012 subsections 5(1). Dalam sistem ini, UMAs yang tidak memiliki visa sah dan belum berstatus sebagai pengungsi akan dipindahkan ke negara penerima yang telah bekerja sama dengan Pemerintah Australia. UMAs akan ditampung di pusat detensi yang telah disediakan oleh Pemerintah Australia. Kemudian negara
2
penerima akan memproses klaim status pengungsi mereka berdasarkan hukum yang berlaku di negara setempat. Pada awalnya, system of third country processing for asylum seeker tersebut hanya berlaku bagi UMAs yang tiba di wilayah lepas pantai Australia seperti Pulau Christmas. Sesuai dengan Memorandum of Undesrtanding (MoU) yang telah ditandatangani pada bulan September 2012, negara ketiga atau regional processing country yang dimaksud adalah Pulau Manus di Papua Nugini (IMMI AU, 2012). Namun bulan Mei 2013, Pemerintah Australia meluaskan operasi pemindahan ini menjadi seluruh UMAs yang tiba di Australia menggunakan perahu baik itu di wilayah lepas pantai maupun di mainland. Penelitian ini membahas mengenai motivasi Papua Nugini menerima kerjasama bilateral dengan Australia dalam kasus kedatangan ilegal asylum seeker tujuan
Australia.
Kerjasama
bilateral
yang
dimaksud
adalah
Regional
Resettlement Arrangement (RRA) – PNG Solution. Menurut Memorandum of Understanding (MoU) 2013 antara Australia dan Papua Nugini tanggal 19 Juli 2013 disebutkan bahwa UMAs yang akhirnya mendapatkan status sebagai pengungsi akan mendapatkan hak resettlement di Papua Nugini. Hal ini berkaitan dengan isi pidato PM Kevin Rudd yang diunduh ke situs Youtube secara resmi di channel pribadinya pada tanggal 19 Juli 2013; “The rules have changed, from now on, any asylum seeker who arrives in Australia by boat will have no chance of being settled in Australia as refugees ... If you come by boat you will never permanently live in Australia.” PM Rudd mengatakan dengan tegas dan jelas bahwa Australia tidak akan menerima lagi pengajuan status pengungsi dari para pencari suaka jalur laut.
3
Pembahasan ini menarik untuk diangkat karena posisi Papua Nugini sebenarnya tidak terlibat langsung dalam keberadaan UMAs tujuan Australia. Terlebih lagi dalam penandatanganan Konvensi Pengungsi 1951, awalnya Papua Nugini telah mengajukan tujuh poin keberatan (seven reservations) yang menjadi pengecualian sikap Pemerintah Papua Nugini kepada para pengungsi. Tujuh poin tersebut adalah keberatan terhadap artikel 17(1) tentang wage-earning employment, artikel 21 tentang housing, artikel 22(1) tentang education, artikel 26 tentang freedom of movement, artikel 31 tentang non-penalisation of refugees unlawfully present in the country of refugee, artikel 32 tentang prohibiton against expulsion of refugees, dan artikel 34 tentang naturalization (Glazebrook, 2014). Namun pada akhirnya Papua Nugini turut berperan aktif dalam penanganan dan penyelesaian masalah asylum seeker dengan kesediaannya menjadi regional processing country dan tempat resettlement untuk Australia. Berdasarkan uraian di atas, judul penelitian yang diangkat yakni “Keputusan Papua Nugini dalam Kerjasama Bilateral Papua New Guinea Solution (PNG Solution) dengan Australia”.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini adalah “Mengapa Papua Nugini bersedia menjadi regional processing centre dan resettlement untuk para pencari suaka ilegal tujuan Australia dalam bentuk kebijakan PNG Solution.”
4
1.3
Batasan Masalah Penelitian ini membatasi pembahasan hubungan bilateral Australia dengan
Papua Nugini hanya dalam bidang penanganan Unauthorized Maritime Arrivals (UMAs). Selanjutnya dalam penanganan UMAs tersebut, penelitian ini menjelaskan faktor yang menyebabkan Papua Nugini bersedia menerima kerjasama bilateral yang ditawarkan oleh Pemerintah Australia. Kerjasama bilateral yang dimaksud adalah pemindahan, penampungan, pemrosesan, dan resettlement para Unauthorized Maritime Arrivals (UMAs) ke Papua Nugini berdasarkan kesepakatan PNG Solution. Penelitian ini mengkaji hubungan bilateral Australia dengan Papua Nugini mulai periode tahun 2001 sampai dengan tahun 2014. Pembahasan tulisan ini dimulai dari tahun 2001 karena pada tahun tersebut pertama kali dilaksanakan kebijakan Pasific Solution oleh Perdana Menteri Australia John Howard. Pasific Solution merupakan kebijakan transfer of asylum seeker pertama yang dibuat oleh Pemerintah Australia. Kemudian, pembahasan akan dilanjutkan ke bulan Februari 2008 karena pada saat itu regional processing centre dalam kebijakan Pacific Solution ditutup oleh Pemerintah Australia pada masa pemerintahan PM Kevin Rudd I. Tahun ini menandakan berakhirnya kerjasama bilateral antara Australia dengan Papua Nugini dalam hal pencari suaka. Pembahasan akan difokuskan pada tahun 2012 dimana Pemerintah Australia kembali mengumumkan system of third country processing for asylum seeker dan mengamandemen The Migration Act 1958 menjadi The Migration Legislation Amendment (Regional Processing and Other Measures) Act 2012.
5
Pada tahun 2012, Pemerintah Australia dan Pemerintah Papua Nugini juga menandatangani Memorandum of Undertstanding (MoU) 2012 yang selanjutnya diperbaharui dengan MoU 2013 tanggal 19 Juli 2013. Isi dari MoU 2012 tersebut menyatakan bahwa Republik Nauru dan Pulau Manus di Papua Nugini kembali menjadi regional processing countries UMAs tujuan Australia. Batas waktu pembahasan dalam penelitian ini adalah sampai dengan akhir tahun 2014 untuk melihat kondisi Papua Nugini dan hubungan bilateral antara Australia dengan Papua Nugini pasca kerjasama ini.
1.4
Tujuan Penelitian Penelitian ini bersifat eksplanatif, yang mana penelitian eksplanatif
bertujuan untuk menemukan penyebab dari suatu peristiwa atau fenomena. Tujuan penelitian ini antara lain: 1. Menjelaskan motivasi Papua Nugini bersedia membantu sekaligus menyelesaikan salah satu problematika Australia yang berkepanjangan yakni Unauthorized Maritime Arrivals (UMAs). 2. Menjelaskan konsekuensi yang diterima Papua Nugini berdasarkan pelaksanaan kebijakan PNG Solution, baik konsekuensi positif maupun konsekuensi negatif.
1.5
Manfaat Penelitian Berdasarkan judul penelitian “Analisis Keputusan Papua Nugini dalam
Kerjasama Bilateral Papua New Guinea Solution (PNG Solution) antara Papua
6
Nugini dengan Australia bidang Asylum Seeker”, penelitian ini dapat memberikan manfaat, yaitu: 1. Manfaat Teoritis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi
untuk
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di ranah keilmuwan Hubungan Internasional. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai peran Papua Nugini dalam penyelesaian masalah Australia yakni kasus Unauthorized Maritime Arrivals (UMAs). Dalam penelitian ini dipaparkan fakta-fakta dari kerjasama bilateral yang dilakukan oleh Australia dan Papua Nugini dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2014. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan penjelasan mengenai alasan Papua Nugini bersedia membantu dan menyelesaikan masalah dalam negeri Australia. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi media informasi yang bermanfaat di bidang asylum seeker khususnya tujuan Australia.
1.6
Sistematika Penulisan Pada Bab I Pendahuluan, penelitian ini memaparkan tentang Latar
Belakang permasalahan yang diangkat. Kemudian dilanjutkan dengan Rumusan Masalah yang dianggap menarik untuk dibahas. Selanjutnya, dalam penelitian ini dijelaskan tentang Batasan Masalah agar penelitian lebih fokus dan tidak melebar
7
jauh. Penelitian ini memaparkan pula Tujuan dan Manfaat Penelitian agar tulisan ini dapat memberikan sumbangsih di dalam kehidupan akademis. Pada Bab II Tinjauan Pustaka, penelitian ini memaparkan Kajian Pustaka yang digunakan sebagai acuan karena memiliki tema besar yang sama. Kemudian, penelitian ini menjelaskan tentang Kerangka Konseptual yang sesuai dengan penelitian ini yakni Model Aktor Rasional dan Kepentingan Nasional. Dalam Kerangka Konseptual, penelitian ini memaparkan Landasan Teori yang digunakan yakni Teori Rational Choice. Pada Bab III Metodologi Penelitian, penelitian ini memaparkan tentang Jenis Penelitian yang digunakan adalah eksplanatif-kualitatif. Sumber Data penelitian ini adalah sumber data sekunder (tidak langsung) dari berbagai literatur. Unit Analisis penelitian ini adalah negara. Teknik Pengumpulan Data pada penelitian ini adalah studi dokumen dan penelusuran data online. Teknik Analisis Data penelitian ini melalui dua tahapan yakni tahap pengolahan dan tahap interpretasi. Teknik Penyajian Data yang digunakan adalah bentuk narasi dengan jenis tematik. Keterbatasan Penelitian yang dirasakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah tidak mendapatkan narasumber langsung sebagai sumber data primer. Pada Bab IV Pembahasan, penelitian ini menjelaskan Gambaran Umum mengenai awal mula kedatangan UMAs ke Australia serta membahas tentang kebijakan apa saja yang pernah diambil oleh Pemerintah Australia dalam menghadapi fenomena ini. Kemudian, dilanjutkan dengan Hasil Temuan yang memaparkan visi-misi tertulis Perdana Menteri Papua Nugini. Setelah itu,
8
penjelasan dilanjutkan dengan analisis dari hasil temuan tadi terhadap teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian ini, kemudian menghasilkan analisa atas keputusan Papua Nugini yang dianggap menguntungkan. Bab ini ditutup dengan pemaparan faktor-faktor yang menyebabkan Papua Nugini bersedia menjadi regional processing countries dan tempat resettlement untuk para UMAs tujuan Australia. Faktor-faktor tersebut dijelaskan melalui beberapa poin keuntungan yang didapatkan oleh Papua Nugini melalui kerjasama ini. Pada Bab V Kesimpulan, dipaparkan mengenai rangkuman tentang permasalahan yang diangkat, data yang didapat, serta hasil analisis yang dilakukan berdasarkan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Penelitian ini juga memberikan saran-saran yang sekiranya dapat dipertimbangkan untuk penelitian selanjutnya.
9