247
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MASALAH TERTULARNYA HIV/AIDS DAN HEPATITIS B DALAM PEMBERIAN PELAYANAN KESEHATAN BAGI PESERTA PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER (P3D) DI BANDUNG Wulan Mayasari, Sofwan Dahlan dan Yovita Indrayati
[email protected] Magister Hukum Kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang
ABSTRAK Kesehatan adalah hak asasi manusia. Sebagai amanah undang-undang, kesehatan masyarakat Indonesia merupakan sesuatu yang harus dijaga dan menjadi tanggung jawab negara. Pemeliharaan upaya kesehatan ada pada pelayanan kesehatan. Ujung tombak pelayanan kesehatan adalah dokter. Pelayanan kesehatan yang dilakukan dokter merupakan proses hilir, dimana proses hulunya adalah pendidikan dokter. Pendidikan dokter terdiri atas pendidikan sarjana dan pendidikan profesi. Pada tahap pendidikan profesi dokter, peserta Program Pendidikan Dokter (P3D) melakukan paktik di rumah sakit pendidikan di bawah pengawasan dokter spesialis. Risiko terpapar penyakit menular terjadi saat peserta Program Pendidikan Dokter (P3D) melakukan pelayanan kesehatan di rumah sakit pendidikan. Penyakit menular yang jumlahnya banyak di Indonesia dan berdampak buruk serta berkepanjangan bagi penderitanya adalah penyakit HIV/AIDS dan Hepatitis B. Perlindungan hukum terhadap masalah tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B dalam pemberian pelayanan kesehatan bagi peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) menjadi sesuatu yang penting. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan tiga hal, yaitu alasan mengapa diperlukannya perlindungan hukum, bagaimana pengaturan hak, dan bentuk-bentuk perlindungan hukum yang sesuai untuk menjamin hak-hak peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) khususnya jaminan kesehatan. Penelitian ini dilakukan di Bandung, Jawa Barat, terhadap dua fakultas kedokteran yang terdiri atas fakultas kedokteran negeri dan fakultas kedokteran swasta. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis sosiologis yang dilakukan selama 6 bulan (Bulan Maret 2010-Bulan Agustus 2010) dengan memperoleh data primer dari hasil observasi terhadap kegiatan peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) dan wawancara dengan pihak terkait. Hasil dari penelitian, tidak ditemukannya peraturan yang dapat menjamin perlindungan hukum atas jaminan kesehatan untuk peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) terhadap risiko tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B saat memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit pendidikan.
Soepra Hukum Kesehatan, Vol. 1 | No. 2 | Th. 2015
248 LATAR BELAKANG MASALAH Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Pencapaian kesehatan optimal sebagai hak asasi manusia merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang akan turut menjamin terwujudnya pembangunan kesehatan dalam meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Untuk mencapai hal tersebut, perlu diciptakan berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat. Kemajuan yang pesat dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi ilmu kedokteran menuntut tersedianya sumber daya manusia yang handal dan terampil serta profesional dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sistem Kesehatan Nasional 2009 ditetapkan memperbaharui Sistem Kesehatan Nasional 2004. Sistem Kesehatan Nasional merupakan pedoman bagi semua pihak dalam penyelenggaraan pembangunan di Indonesia. Sistem Kesehatan Nasional merupakan suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya Bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai dengan pengertian Sistem Kesehatan Nasional (SKN), maka subsistem pertama SKN adalah upaya kesehatan. Upaya kesehatan berujung pada pelayanan kesehatan. Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan masyarakat mempunyai peran yang sangat penting yang terkait secara langsung dengan proses pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan. Ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku sebagai kompetensi yang didapat selama pendidikan akan menjadi landasan utama bagi dokter untuk dapat melakukan tindakan kedokteran dalam upaya pelayanan kesehatan. Pendidikan kedokteran pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan mutu kesehatan bagi seluruh masyarakat. Pelayanan kesehatan merupakan proses hilir, baik buruknya pelayanan kesehatan ditentukan oleh proses dari hulu, yaitu pendidikan profesi kedokteran yang menjunjung tinggi etika kedokteran. Dokter adalah orang yang memiliki kewenangan dan izin sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan, khususnya memeriksa dan mengobati penyakit dan dilakukan menurut hukum dalam pelayanan di bidang kesehatan. Pendidikan dokter adalah pendidikan yang spesifik sekali, merupakan subsistem dari sisdiknas, menyangkut pendidikan keilmuan, pendidikan keterampilan laboratorium dan klinik, serta keterampilan profesi yang dilandasi etika oleh karena subyeknya manusia. Pendidikan kedokteran terdiri dari dua tahap, yaitu tahap sarjana kedokteran dan tahap profesi dokter. Pendidikan universitas merupakan pendidikan di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Drtjen Dikti), Departemen Pendidikan Nasional. Oleh karena itu, jelaslah terlihat bahwa hubungan antara kurikulum dengan praktik kedokteran dan sistem pelayanan kesehatan yaitu mahasiswa harus mendapat pengalaman belajar lapangan di dalam sistem pelayanan kesehatan yang secara nyata termuat dalam kurikulum. Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) adalah suatu tahapan pendidikan dokter yang harus ditempuh oleh mahasiswa kedokteran yang telah menyelesaikan pendidikan sarjananya. Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) dilakukan di rumah sakit pendidikan yang telah ditunjuk.
Soepra Hukum Kesehatan, Vol. 1 | No. 2 | Th. 2015
249 Dalam melakukan pendidikan profesi dokter di rumah sakit pendidikan, peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) menghadapi berbagai risiko. Layaknya seorang dokter, peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) melakukan pelayanan kesehatan di rumah sakit pendidikan di bawah pengawasan dokter spesialis. Risiko yang dihadapi dokter sama dengan risiko yang dihadapi oleh peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D). Risiko yang paling banyak adalah risiko tertularnya penyakit menular saat peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) melakukan pelayanan kesehatan. Penyakit menular yang cukup parah dampaknya bagi diri penderitanya dan masih banyak terdapt kasusnya di Indonesia adalah penyakt HIV/AIDS dan Hepatitis B. Beberapa kasus tertularnya peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) oleh penyakit HIV/AIDS dan Hepatitis B yang ditelusuri oleh penyusun, menunjukan bahwa mereka ada dalam kondisi yang tidak beruntung. Berniat menjadi dokter untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, namun berakhir dengan penyakit yang harus dibawa seumur hidup dengan disertai penurunan kualitas hidup yang signifikan. Tidak ada perlindungan hukum terhadap hak kesehatan mereka, padahal kesehatan adalah hak asasi manusia yang merupakan amanah undang-undang. Hanya dengan tenaga kesehatan pada umumnya yang khususnya dokter yang baik akan mampu meningkatkan kinerja yang ujungnya meningkatkan derajat kesehatan bangsanya. Selanjutnya, barulah masyarakat mampu merasakan peningkatan kesejahteraan. PERMASALAHAN Berdasarkan uraian mengenai latar belakang tersebut di atas, maka dalam penelitian tesis ini dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah, yaitu sebagai berikut: 1. Mengapa diperlukan perlindungan hukum bagi Peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) terhadap risiko tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B dalam pelayanan kesehatan? 2. Bagaimana pengaturan perlindungan hak terhadap risiko tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B dalam pelayanan kesehatan bagi Peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D)? 3. Bentuk-bentuk perlindungan hukum apa saja yang sesuai untuk menjamin hak-hak Peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D)? PEMBAHASAN a. Mencari Alasan Mengapa Diperlukannya Perlindungan Hukum Bagi Peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) Terhadap Risiko Tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 2000 telah memasukan kata “kesehatan”. Pencantuman hak terhadap pelayanan kesehatan bertujuan untuk menjamin hak-hak kesehatan yang fundamental seperti yang tercantum dalam deklarasi hak asasi manusia “health is a fundamental human right”. Dengan adanya amandemen tersebut, tujuan negara sudah semakin jelas, yaitu menempatkan kesehatan sebagai bagian dari kesejahteraan rakyat yang harus tersedia merata. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 4 yang berbunyi: “setiap orang berhak atas kesehatan”, kemudian menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 1 ayat 1: “kesehatan adalah kedaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis”.
Soepra Hukum Kesehatan, Vol. 1 | No. 2 | Th. 2015
250 Sistem Kesehatan Nasional 2009 telah ditetapkan mmperbaharui Sistem Kesehatan Nasional 2004. Sistem Kesehatan Nasional merupakan pedoman bagi semua pihak dalam penyelenggaraan pembangunan di Indonesia. Sistem Kesehatan Nasional merupakan suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya Bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai dengan pengertian Sistem Kesehatan Nasional (SKN), maka subsistem pertama SKN adalah upaya kesehatan. Upaya kesehatan merupakan cita-cita mewujudkan derajat kesehatan yang setinggitingginya, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 51 ayat 1 yang berbunyi: “upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi individu atau masyarakat”. Upaya kesehatan berujung pada pelayanan kesehatan. Dokter sebagai salah satu komponen pemberi pelayanan kesehatan masyarakat mempunyai peran yang sangat penting yang terkait secara langsung dengan proses pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Pendidikan kedokteran pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan mutu kesehatan bagi seluruh masyarakat. Pelayanan kesehatan merupakan proses hilir, baik buruknya pelayanan kesehatan ditentukan oleh proses dari hulu, yaitu pendidikan profesi kedokteran yang menjunjung tinggi etika kedokteran. Profesi kedokteran adalah suatu pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan dan kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, serta kode etik yang bersifat melayani masyarakat sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 1 ayat 11 yang berbunyi: Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi, yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat. Mengenai pendidikan dokter, khususnya di Indonesia, Mahar Mardjono menyatakan sebagai berikut: Tujuan pendidikan kedokteran di Indonesia ialah untuk menghasilkan dokter-dokter, baik dokter umum maupun spesialis, yang dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai dokter dalam berbagai jenis dan jenjang pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan kedokteran harus berorientasi kepada masyarakat. Pendidikan dokter adalah pendidikan yang spesifik sekali, merupakan subsistem dari sisdiknas, menyangkut pendidikan keilmuan, pendidikan keterampilan laboratorium dan klinik, serta keterampilan profesi yang dilandasi etika oleh karena subyeknya manusia. Pendidikan dokter adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk menghasilkan dokter yang memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan kesehatan primer dan merupakan perndidikan kedokteran dasar sebagai pendidikan universitas. Pendidikan kedokteran terdiri dari dua tahap, yaitu tahap sarjana kedokteran dan tahap profesi dokter. Pendidikan universitas merupakan pendidikan di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Drtjen Dikti), Departemen Pendidikan Nasional. Peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) melaksanakan pendidikan profesi di rumah sakit pendidikan atau wahana lainnya yang telah ditunjuk. Hal ini sesuai dengan fungsi rumah sakit seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Pasal 5 poin (c) yang berbunyi: Soepra Hukum Kesehatan, Vol. 1 | No. 2 | Th. 2015
251 Untuk menjalankan tugas sebagaimana diaksud dalam pasal (4), rumah sakit mempunyai fungsi (c). Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Pasal 23 ayat 1, menyebutkan bahwa: Rumah sakit pendidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 merupakan rumah sakit yang menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya. Oleh karena itu, jelaslah terlihat bahwa hubungan antara kurikulum dengan praktik kedokteran dan sistem pelayanan kesehatan yaitu mahasiswa harus mendapat pengalaman belajar lapangan di dalam sistem pelayanan kesehatan yang secara nyata termuat dalam kurikulum. Risiko yang dihadapi dokter pada saat memberikan pelayanan pada dasarnya sama dengan risiko yang dihadapi peserta Program Pendidikan Dokter (P3D). Risiko yang dapat mengancam kesehatan peserta Program Pendidikan Dokter (P3D) adalah risiko tertularnya penyakit menular. Penyakit menular yang sampai saat ini sangat berbahaya, dapat diderita seumur hidup, menimbulkan penurunan quality of life yang sangat besar, serta banyak jumlahnya di Indonesia adalah risiko tertular penyakit HIV/AIDS dan risiko tertular penyakit Hepatitis B. AIDS (Aicquired Immune Deficiency Syndrome) atau SIDA (Sindrom Imuno Defisiensi Akuisita) adalah suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai case fatality rate 100% dalam waktu lima tahun, artinya dalam waktu lima tahun setelah didiagnosis AIDS ditegakan, semua penderita meninggal. Penularan HIV/AIDS melalui darah cukup besar kejadiannya, umumnya terjadi melalui transfusi darah dan alat suntik atau alat lain yang melukai kulit seperti alat tato, alat tindik, pisau cukur, dan sebagainya. Petugas kesehatan, tidak terkecuali peserta Program Pendidikan Dokter (P3D), yang merawat penderita HIV/AIDS mempunyai kemungkinan terpapar oleh cairan tubuh penderita. Hal ini menyebabkan petugas kesehatan memiliki risiko untuk tertular HIV-AIDS dari penderita HIV-AIDS yang dirawatnya. Sejak tahun 2006 Indonesia sudah dikategorikan sebagai negara yang berada dalam tahap “epidemi terkonsentrasi” HIV/AIDS, yaitu suatu keadaan yang mengindikasikan bahwa tingkat penularan HIV sudah cukup tinggi pada subpopulasi berisiko. Hepatitis B adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh "Virus Hepatitis B" (VHB), suatu anggota famili Hepadnavirus yang dapat menyebabkan peradangan hati akut atau menahun. Dibandingkan virus HIV, virus Hepatitis B (HBV) seratus kali lebih ganas (infectious), dan sepuluh kali lebih banyak (sering) menularkan. Kebanyakan gejala Hepatitis B tidak nyata. Penderita Hepatitis B bisa terjadi pada setiap orang dari semua golongan umur. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan virus Hepatitis B ini menular: 1. Secara vertikal, cara penularan vertikal terjadi dari ibu yang mengidap virus Hepatitis B kepada bayi yang dilahirkan yaitu pada saat persalinan atau segera setelah persalinan. 2. Secara horisontal, dapat terjadi akibat penggunaan alat suntik yang tercemar, tindik telinga, tusuk jarum, transfusi darah, penggunaan pisau cukur dan sikat gigi secara bersama-sama (Hanya jika penderita memiliki penyakit mulut (sariawan, gusi berdarah,dll) atau luka yang mengeluarkan darah) serta hubungan seksual dengan penderita. 3. Kecelakan kerja di tempat pelayanan kesehatan. Soepra Hukum Kesehatan, Vol. 1 | No. 2 | Th. 2015
252 Hepatitis B akut umumnya sembuh dan 10% menjadi Hepatitis B kronik (menahun) dan dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Saat ini ada beberapa perawatan yang dapat dilakukan untuk Hepatitis B kronis yang dapat meningkatkan kesempatan bagi seorang penderita penyakit ini. Seperti layaknya dokter dan tenaga petugas kesehatan lainnya, peserta Program Pendidikan Dokter (P3D) memiliki risiko untuk tertular HIV/AIDS dan Hepatitis B yang dapat mengancam hidupnya. Sebagai tenaga kesehatan, peserta Program Pendidikan Dokter (P3D) juga mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 27 ayat 1, yang berbunyi: “tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya”. Sebagai warga negara Indonesia, peserta Program Pendidikan Dokter (P3D), harus mendapatkan perlindungan yang sama atas kesehatannya karena kesehatan juga merupakan hak asasi manusia seperti termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pengelolaan kesehatan, bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Jika proses hulu ini tidak terjamin, maka proses hilir yaitu pelayanan kesehatan oleh dokter demi meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia yang setinggi-tingginya dapat terganggu. Oleh karena itu, perlindungan hukum bagi peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) terhadap risiko tertularnya HIV/AIDs dan Hepatitis B sangat dibutuhkan. b. Mencari Bentuk Peraturan Yang Melindungi Hak Peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) Terhadap Risiko Tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B Kesehatan adalah hak asasi manusia. Hak ini harus dijamin keberlangsungannya. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 4 yang berbunyi: “setiap orang berhak atas kesehatan” serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 62. Upaya kesehatan merupakan cita-cita mewujudkan derajat kesehatan yang setinggitingginya, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 51 ayat 1 yang berbunyi: “upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi individu atau masyarakat”. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 1 ayat 11 menyatakan bahwa: Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, teritegrasi dan berksinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Upaya kesehatan berujung pada pelayanan kesehatan. Dokter sebagai salah satu komponen pemberi pelayanan kesehatan masyarakat mempunyai peran yang sangat penting yang terkait secara langsung dengan proses pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Pendidikan kedokteran pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan mutu kesehatan bagi seluruh masyarakat. Pelayanan kesehatan merupakan proses hilir, baik buruknya pelayanan kesehatan ditentukan oleh proses dari hulu, yaitu pendidikan profesi kedokteran yang menjunjung tinggi etika kedokteran.
Soepra Hukum Kesehatan, Vol. 1 | No. 2 | Th. 2015
253 Pendidikan kedokteran terdiri dari dua tahap, yaitu tahap sarjana kedokteran dan tahap profesi dokter. Peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) melaksanakan pendidikan profesi di rumah sakit pendidikan atau wahana lainnya yang telah ditunjuk. Hal ini sesuai dengan fungsi rumah sakit seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Pasal 5 poin (c) yang berbunyi: Untuk menjalankan tugas sebagaimana diaksud dalam pasal (4), rumah sakit mempunyai fungsi (c). Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Pasal 23 ayat 1, menyebutkan bahwa: Rumah sakit pendidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 merupakan rumah sakit yang menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya. Oleh karena itu, jelaslah terlihat bahwa hubungan antara kurikulum dengan praktik kedokteran dan sistem pelayanan kesehatan yaitu mahasiswa harus mendapat pengalaman belajar lapangan di dalam sistem pelayanan kesehatan yang secara nyata termuat dalam kurikulum. Risiko yang dihadapi peserta Program Pendidikan Dokter (P3D) pada saat memberikan pelayanan pada dasarnya sama dengan risiko yang dihadapi dokter. Risko yang dapat mengancam kesehatan peserta Program Pendidikan Dokter (P3D) adalah risiko tertularnya penyakit menular. Penyakit menular yang sampai saat ini sangat berbahaya, dapat diderita seumur hidup, menimbulkan penurunan quality of life yang sangat besar, serta banyak jumlahnya di Indonesia adalah risiko tertular penyakit HIV/AIDS dan risiko tertular penyakit Hepatitis B. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) terhadap tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B adalah suatu kbutuhan yang sangat penting. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Pasal 1 menyebutkan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan menyatakan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar mnjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sementara Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan menyatakan bahwa: “peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mngembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu”.
Soepra Hukum Kesehatan, Vol. 1 | No. 2 | Th. 2015
254 Pendidikan dokter merupakan subsistem pendidikan nasional. Peserta pendidikan dokter diharapkan mampu menjadi manusia yang berkualitas, sesuai dengan amanat UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan. Selain untuk meningkatkan kualitas secara pribadi, peserta pendidikan dokter pada akhirnya akan meningkatkan salah satu cita-cita Bangsa Indonesia, yaitu mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan menyatakan bahwa: “pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggara pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Disini jelas terlihat bahwa jaminan kesehatan pada pendidikan dokter merupakan salah satu syarat penting agar terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Namun, bentuk perlindungan hukum bagi peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan tidak ditemukan. Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 1 ayat 7: Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelnggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, ataupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah,dan/atau masyarakat. Pendidikan kedokteran berujung pada upaya kesehatan demi meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Hal ini sesuai dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 46: Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan ini diwujudkan dalam suatu pelayanan kesehatan seperti yang termaktub dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 48 ayat 1: “penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan: (a) pelayanan kesehatan”. Sementara, jika kita lihat Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa: Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pngetahuan dan/ atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu melakukan upaya kesehatan. Berdasarkan definisi ini, peserta Program Pendidikan Dokter (P3D) masuk ke dalam kriteria tenaga kesehatan karena peserta Program Pendidikan Dokter (P3D) melakukan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan. Namun, jika melihat Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 23 ayat 3: “Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah.” Peserta Program Pendidikan Dokter (P3D) belumlah memiliki izin pemerintah dalam melaksanakan tugasnya, mereka berada di bawah supervisi preceptor. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan, yang dimaksud tenaga kesehatan adalah tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterampilan fisik, dan tenaga keteknisan medis. Sementara yang dimaksud tenaga medis adalah dokter dan dokter gigi. Jadi, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan, Soepra Hukum Kesehatan, Vol. 1 | No. 2 | Th. 2015
255 peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) bukan sebagai tenaga kesehatan. Jadi, peserta Pendidikan Profesi Dokter (P3D) memberikan pelayanan kesehatan, namun bukan sebagai tenaga kesehatan. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan tidak memayungi peserta Pendidikan Profesi Dokter (P3D). Jika kita lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 24 ayat 1, mengataan bahwa “Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional”. Sementara itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 24 ayat 2 yang berbunyi: “ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi”. Saat ini, baik Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sebagai organisasi yang menyusun dan mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak memiliki suatu bentuk aturan yang memberikan perlindungan hukum terhadap risiko tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B bagi peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D). Undang Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 1 ayat 11 menyatakan bahwa: Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi, yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat. Sebagai calon profesi dokter, seharusnya peserta P3D mendapatkan perlindungan dalam menjalani proses pendidikannya. Namun, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tidak menyebutkan tentang adanya perlindungan hukum terhadap risiko tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B bagi peserta P3D. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 164 ayat 1 dinyatakan bahwa: “upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan”. Sedangkan pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 164 ayat 6 dinyatakan bahwa: “Pengelola tempat kerja wajib menaati standar kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan menjamin lingkungan kerja yang sehat serta bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja”. Selain itu, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 164 ayat 7 menyatakan bahwa: “pengelola tempat kerja wajib bertanggung jawab atas kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Kemudian, dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 165 ayat 1 dinyatakan bahwa: “pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya kesehatan melalui upaya pecegahan, peningkatan, pengobatan, dan pemulihan bagi tenaga kerja”. Dalam melaksanakan pendidikannya, peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) memberikan pelayanan atau bekerja di rumah sakit pendidikan. Di satu sisi mereka dianggap pekerja karena bekerja dan harus mematuhi aturan kerja di fasilitas kesehatan, namun di sisi lain mereka tidak dianggap pekerja karena statusnya yang bukan pekerja, melainkan peserta didik. Peraturan yang melindungi kesehatan tenaga kerja tidak menaungi peserta Program Pendidikan Dokter (P3D) karena peserta Program Pendidikan Dokter (P3D) adalah sebagai peserta didik bukan tenaga kerja. Begitu juga jika kita lihat dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1969 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Soepra Hukum Kesehatan, Vol. 1 | No. 2 | Th. 2015
256 Kerja, serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) melaksanakan pendidikan profesi di rumah sakit pendidikan atau wahana lainnya yang telah ditunjuk. Hal ini sesuai dengan fungsi rumah sakit seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Pasal 5 poin (c) yang berbunyi: Untuk menjalankan tugas sebagaimana diaksud dalam pasal (4), rumah sakit mempunyai fungsi (c). Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Pasal 23 ayat 1, menyebutkan bahwa: Rumah sakit pendidikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 merupakan rumah sakit yang menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya. Disini dapat kita lihat, pendidikan kedokteran, khususnya pada tahap Pendidikan Profesi Dokter di rumah sakit, tidak lepas dari upaya peningkatan mutu rumah sakit itu sendiri. Sementara dalam Pasal 29 ayat 1 poin s Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit disebutkan bahwa: “setiap rumah sakit mempunyai kewajiban: (s) melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua ptugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas”. Kemudian Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit menyatakan bahwa: Persyaratan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) yaitu rumah sakit harus memiliki tenaga tetap yang meliputi tenaga medis dan penunjang medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga manajemen rumah sakit, dan tenaga nonksehatan. Di sisi lain Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit menyatakan bahwa: “tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di rumah sakit wajib memiliki Surat Izin Praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. Jadi, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, walaupun peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) bekerja di rumah sakit, namun mereka bukanlah pekerja di rumah sakit tersebut. Karena peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) bukanlah pekerja di rumah sakit, maka kewajiban rumah sakit untuk melindungi pekerjanya tidak melingkupi peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D). Pendidikan dokter juga merupakan pendidikan universitas. Namun, dari penelitian yang telah dilakukan di tingkat fakultas kedokteran dan universitas, tidak ditemukan bentuk perlindungan hukum terhadap peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) terhadap risiko tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B dalam pemberian pelayanan kesehatan di rumah sakit pendidikan. Pihak pengelola pendidikan hanya mewajibkan peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) untuk mengikuti prosedur universal precaution untuk penyakit menular seperti mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan kepada pasien dengan cara mencuci tangan yang benar, menggunakan hand glove dan masker saat melakukan tindakan kepada pasien, terutama untuk pasien-pasien yang berisiko tinggi menularkan HIV/AIDS dan Hepatitis B kepada peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D), menggunakan sepatu Soepra Hukum Kesehatan, Vol. 1 | No. 2 | Th. 2015
257 tertutup, dan menggunakan one-hand technique saat membuka dan menutup jarum suntik untuk menghindari risiko tertusuknya jari saat membuka dan manutup jarum suntik, serta menyediakan tempat sampah yang infectious dan non-infectious. Untuk vaksinasi Hepatitis B, peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) harus melakukan vaksinasi secara pribadi karena tidak disediakan oleh fakultas ataupun rumah sakit. Jika peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) harus menjalani pengobatan, maka peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) harus mengeluarkan biaya sendiri untuk pengobatannya. Perlindungan hak, terutama hak kesehatan dalam upaya kesehatan mencakup preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif bagi peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) tidaklah ada dalam bentuk peraturan. Dengan demikian, sampai saat ini tidak ditemukan suatu bentuk prlindungan terhadap hukum terhadap masalah tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B dalam pemberian pelayanan kesehatan bagi peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D). c. Mencari Bentuk Perlindungan Hukum yang Sesuai Untuk Menjamin Hak-Hak Peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) Pendidikan dokter adalah pendidikan yang spesifik sekali, merupakan subsistem dari sisdiknas, menyangkut pendidikan keilmuan, pendidikan keterampilan laboratorium dan klinik, serta keterampilan profesi yang dilandasi etika oleh karena subyeknya manusia. Pendidikan kedokteran terdiri dari dua tahap, yaitu tahap sarjana kedokteran dan tahap profesi dokter. Pendidikan universitas merupakan pendidikan di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Drtjen Dikti), Departemen Pendidikan Nasional. Pada amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Tanggal 11 Agustus Tahun 2002, MPR telah mengamanatkan agar “negara mengemban jaminan sosial bagi seluruh rakyat”, seperti yang tercantum dalam Pasal 34 ayat 2. Saat memberikan pelayanan kesehatan di sarana kesehatan, peserta Pendidikan Profesi Dokter (P3D) sangat mungkin sekali tertular penyakit menular yang sangat berbahaya, yaitu HIV/AIDS dan Hepatitis B. Upaya penanggulangan terhadap penyakit menular merupakan tanggung jawab semua pihak, seperti tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 152 ayat 1 yang berbunyi: “pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular, serta akibat yang ditimbulkannya”. Adapun mengenai perlindungan untuk terhadap penyakit menular, dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 62 ayat 3 disebutkan bahwa: “pemerintah dan pemerintah daerah menjamin dan menyediakan fasilitas untuk kelangsungan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit”. Pada saat melakukan pelayanan, peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) harus mengikuti seluruh ketentuan yang ada, baik ketentuan perundang-undangan, ketentuan di lingkungan pendidikan, dan ketentuan di rumah sakit. Bagaimanapun juga, pada saat melakukan pelayanan kesehatan, peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) memiliki risiko yang besar untuk tertular penyakit HIV/AIDS dan Hepatitis B dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Soepra Hukum Kesehatan, Vol. 1 | No. 2 | Th. 2015
258 Jika kita lihat Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 9 ayat 1 yang berisi: “setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya” serta Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 12 menyatakan bahwa: “setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan bagi orang lain yang menjadi tanggungjawabnya”. Hal ini bisa diasumsikan bahwa peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) berada di bawah naungan penyelenggara pendidikan dan penyelnggara pelayanan kesehatan seharusnya dilindungi oleh banyak pihak. Sementara Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 20 menyatakan bahwa: “pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perseorangan”. Kemudian Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 21 menyatakan bahwa: “pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan”. Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 25 ayat 1: “pengadaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan diselenggarakan oleh pmerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat melalui pendidikan dan/atau pelatihan” dan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 25 ayat 2 berbunyi: “pendidikan dan/atau pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah”. Disini terlihat bahwa pemerintah khususnya dan masyarakat umumnya bertanggung jawab dalam mnjaga dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan demi mewujudkan upaya kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Walaupun masing-masing rumah sakit telah memiliki medical staff, namun peraturan khusus yang mengatur hak-hak peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) khususnya hak kesehatan tidaklah ditemukan. Peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) juga tidak difasilitasi dengan asuransi kesehatan. Mengenai hubungan dengan kegiatan pelayanan di rumah sakit, peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) bekerja seperti tenaga kesehatan di rumah sakit namun statusnya bukan tenaga kesehatan di rumah sakit. Walaupun demikian, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 165 ayat 1 menyebutkan bahwa “Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pecegahan, peningkatan, pengobatan, dan pemulihan bagi tenaga kerja”. Oleh karena itu, rumah sakit memiliki kewajiban dalam menjamin hak-hak peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D). Upaya pemeliharaan kesehatan yang terdiri atas upaya pencegahan (preventif), peningkatan (promotif), pengobatan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif) merupakan tanggung jawab penyelenggara pendidikan profesi dokter, mulai dari fakultas, rumah sakit, sampai pemerintah pusat sebagai pemegang utama amanah undang-undang. Dalam hubungannya dengan perlindungan terhadap tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B adalah sebagai berikut: 1. Upaya Pencegahan (Preventif) Untuk mencegah terkenanya penyakit Hepatitis B, peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) dapat melakukan vaksinasi. Untuk itu, pemberian vaksinasi Hepatitis B harus difasilitasi oleh fakultas atau rumah sakit.
Soepra Hukum Kesehatan, Vol. 1 | No. 2 | Th. 2015
259 Selain itu, diperlukan adanya suatu peraturan khusus dalam hal standard operational procedure dalam menangani pasien dengan HIV/AIDS dan Hepatitis B dalam rangka suatu penanganan terhadap manajemen risiko. 2. Peningkatan (Promotif) Perlunya suatu asuransi kesehatan untuk peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D). 3. Pengobatan (kuratif) Asuransi juga diperlukan dalam upaya pengobatan untuk peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) yang terkena HIV/AIDS dan Hepatitis B di rumah sakit. 4. Pemulihan (Rehabilitatif) Pada upaya pemulihan (rehabilitatif), asuransi kesehatan juga diperlukan untuk peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D). Manajemen risiko yang baik adalah orang-orang yang mempunyai imajinasi yang hidup, yang dapat memprediksi segala-sikap-tindak yang bisa menimbulkan kecelakaanuntuk kemudian mengantisipasinya dengan mengusahakan agar diambil langkah-langkah preventif. Secara teoritis maupun praktis, hukum sebagai sebuah disiplin hendaknya memiliki model analisis dan mampu menyelesaikan ragam persoalan. Dengan demikian, diperlukan suatu bentuk perlindungan hukum di setiap lini, mulai dari peraturan fakultas, peraturan universitas, peraturan di rumah sakit melalui medical staff by law, peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), sampai pada suatu Rancangan Undangundang Pendidikan Profesi Dokter demi melindungi peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) yang pada akhirnya dapat menjamin mutu dokter sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan sehingga tercipta derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat Indonesia. KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: a. Diperlukannya perlindungan hukum bagi peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) terhadap risiko tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B dalam pelayanan kesehatan adalah: 1. Hak atas kesehatan adalah hak asasi manusia sesuai dengan amanat Undang-Undang. 2. Cita-cita bangsa Indonesia adalah menciptakan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya melalui upaya pelayanan kesehatan. Ujung tombak upaya kesehatan tersebut adalah dokter melalui pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan merupakan proses hilir, oleh karena itu pendidikan profesi dokter sebagai proses hulu haruslah terjamin. 3. Kasus HIV/AIDS dan Hepatitis B masih banyak di Indonesia. Dalam proses pendidikannya, risiko tertular HIV/AIDS dan Hepatitis B bagi peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) masih tinggi. b. Tidak ditemukannya suatu bentuk peraturan yang menjamin perlindungan hukum terhadap masalah tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B dalam pemberian pelayanan kesehatan bagi peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) berdasarkan: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Soepra Hukum Kesehatan, Vol. 1 | No. 2 | Th. 2015
260 4. 5. 6. 7. 8.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1969 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja 9. Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja 10. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional 11. Peraturan Pmerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan c. Diperlukannya pengaturan hak terhadap risiko tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B dalam pelayanan kesehatan bagi peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D). 1. Perlu adanya peraturan di tingkat fakultas kedokteran dan universitas selaku pengelola sistem pendidikan nasional dalam perlindungan kesehatan bagi peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D), khususnya dalam perlindungan tertularnya peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) oleh HIV/AIDS dan Hepatitis B dalam proses pendidikannya di rumah sakit. 2. Rumah sakit melalui hospital by law harus melakukan upaya kesehatan terhadap peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D), karena peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) melakukan pelayanan kesehatan. Peningkatan mutu pelayanan kesehatan tidak bisa lepas dari pendidikan. 3. Adanya suatu Rancangan Undang-Undang Pendidikan Profesi Dokter. 4. Adanya suatu asuransi kesehatan bagi peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D). SARAN Adapun beberapa saran yang ingin penyusun samapaikan adalah: a. Faktor Fakultas Kedokteran dan Universitas Adanya peraturan tingkat fakultas kedokteran dan tingkat universitas mengenai perlindungan hukum terhadap risiko tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B dalam pemberian pelayanan kesehatan bagi peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D). b. Faktor Rumah Sakit Melalui Medical staff by law merancang peraturan di rumah sakit yang memberikan perlindungan hukum terhadap risiko tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B dalam pemberian pelayanan kesehatan bagi peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D). c. Faktor KKI (konsil Kedokteran Indonesia) Merancang suatu peraturan yang memberikan perlindungan hukum terhadap risiko tertularnya HIV/AIDS dan Hepatitis B dalam pemberian pelayanan kesehatan bagi peserta Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D). d. Faktor pemerintah Perlunya Rancangan Undang-Undang Pendidikan Dokter.
Soepra Hukum Kesehatan, Vol. 1 | No. 2 | Th. 2015
261 DAFTAR PUSTAKA Adikoesoemo, Suparto, Manajemen Rumah Sakit. 1994, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Adisasmito, Wiku, 2007, Sistem Kesehatan, Jakarta: RajaGrafindo Persada. Black, HC, 1979, Black’s Law Dictionary, ST.Paul, MN: West Publishing Co. Chandrawila, Wila, 2001, Hukum Kedokteran, Bandung:Mandar Maju. Depkes RI, 2006, Rencana Pembangunan Kesehatan Tahun 2005-2009, Jakarta: Depkes RI. Gufron, Ali, 2007, Sistem Jaminan Kesehatan: Konsep Desentralisasi Terintegrasi, Jogjakarta: Magister Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan FK UGM. Gunadi, J, 2005, Hospital Law (Emerging Doctrines & Jurisprudence), Jakarta: FKUI. Hanafiah, Jusuf, 1999, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC. Indriyanti, Alexandra, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Kelompok Penerbit Pinus. Isfandyrarie, Anny, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku I. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Isfandyrarie, Anny, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter Buku II. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Johan, Bahder, 2005, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta: Rineka Cipta. KI Jayanti, Nusye, 2009, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktik Kedokteran, Jakarta: Pustaka Yustisia. Konsil Kedokteran Indonesia, 2006, Standar Pendidikan Profesi Dokter, Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia, 2007, Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang Baik Di Indonesia, Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia, 2008, Standar Kompetensi Dokter, Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia. Kusuma, Endang, 2009, Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah Sakit, Bandung: Citra aditya bakti/ Salman, Otje, 2005, Teori hukum, Bandung: Refika Aditama/ Setya, Hadi, 2010, Himpunan Undang-Undang Kesehatan & Rumah Sakit, Jakarta: Harvarindo/ Soekanto, Soerjono, 1987, Pengantar Hukum Kesehatan, Bandung: Remadja Karya. Soeroso, R, 1992, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika. Su’mamur, 2009, Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes), Jakarta: Sagung Seto. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakrta: Balai Pustaka. Wiradharma, Danny, 2002, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Jakarta: Binarupa Aksara.
Soepra Hukum Kesehatan, Vol. 1 | No. 2 | Th. 2015
262 Undang Undang Dasar 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1969 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Undang Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1993 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1993 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor PER-12/MEN/VI/2007 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 159B/MEN.KES/PER/II/1998 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 432/MENKES/SK/IV/2007 Adi, Sudigdo, 2009, Dokter Di Indonesia, Komentar Tentang Masalah Yang Tertinggal, tersedia di : http://www.facebook.com/note.php?note_id=56717512520 (diakses Tanggal 2 Nopember 2010 pukul 18:16 WIB) Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2010, Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia, tersedia di: http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf (diakses tanggal 2 Nopember 2010 pukul10:05 WIB) Maher,
Hanifa, tanpa tahun, Sosialisasi Manajemen K3RS, tersedia di: http://xa.yimg.com/kq/groups/11126306/1537487267/name/BRIEF+LECTURE_+K3+RS_HANI FA.pdf (diakses Tanggal 2 Nopember 2010, pukul 15:10 WIB)
Pusat Komunikasi Publik, Sekjen Depkes, Jumlah Kumulatif Penderita AIDS di Indonesia 18.442 Kasus, tersedia di:www.depkes.go.id (diakses Tanggal 2 nopember 2010 pukul 9:51 WIB) Pusat Komunikasi Publik, Sekjen Menkes RI, 2010, Hepatitis Masalah Kesehatan Dunia, tersedia di: http://www.depkes.go.id (diakses Tanggal 2 Nopember 2010 pukul 16:05)
Soepra Hukum Kesehatan, Vol. 1 | No. 2 | Th. 2015