Lima tahun Iptek Kelautan
2002 - 2007
wilnon
Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati
Daya Dukung Lingkungan Laut
Latar Belakang Secara garis besar konsep pengembangan dan pengelolaan suatu sumberdaya kelautan dan perikanan harus berwawasan lingkungan dan lestari. Tujuan kajian daya dukung adalah untuk mempelajari kamampuan suatu wilayah perairan serta bagian-bagiannya untuk menampung dan menahan dampak aktifitas manusia yang dilakukan di wilayah perairan tersebut. Kajian dan analisis daya dukung bisa ditinjau dari berbagai aspek misalnya: l Ekosistim l Sosio-ekonomi l Kondisi fisik alam l Kualitas kehidupan l Kependudukan Dari kajian dan analisis tersebut dapat dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan seperti halnya perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan wisata bahari. Aktifitas Kegiatan 1. Daya dukung lingkungan Teluk dan Selat 2. Ekspedisi Wallacea Indonesia 3. Daya Dukung Teluk Cendrawasih DAYA DUKUNG LINGKUNGAN TELUK DAN SELAT Daya dukung suatu perairan merupakan keadaan yang sangat dinamis karena dipengaruhi oleh variasi temporal dan spasial faktor-faktor biotik dan abiotik dari ekosistem perairan tersebut. Pengaruh dari parameter lingkungan terhadap biota yang hidup, terutama yang bernilai ekonomis penting di dalam suatu ekosistem, merupakan dasar penentuan pola pembangunan kelautan dan perikanan suatu wilayah perairan.
Tujuan kajian ini adalah untuk memberikan gambaran secara ilmiah daya dukung perairan teluk dan selat guna menunjang kegiatan pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia. Untuk memahami kondisi ekosistem dimana aktifitas penangkapan dan budidaya perikanan berlangsung, diperlukan suatu pendekatan yang dapat menggambarkan keseluruhan komponen dalam ekosistem tersebut. Hal ini berarti diperlukan suatu metodologi yang dapat menampilkan kondisi hidro-oseanografi, alur perpindahan biomasa dari setiap komponen yang terdapat dalam ekosistem tersebut, dan melakukan diagnosa terhadap kinerja tiap komponen variabel abiotik, biotik, sosial dan
ekonomi.yang berlangsung dalam suatu daerah perikanan. Untuk itu, pendekatan yang diterapkan adalah menggunakan Hidrodinamika, Ecopath dan Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries). Kegiatan kajian daya dukung lingkungan teluk dan selat ini dilakukan di empat perairan yang berbeda karakter yaitu Selat Sunda, Teluk Tomini, Teluk Saleh dan Teluk Ekas. Ruang lingkup dari kegiatan ini dapat dibagi atas tiga bagian yaitu hidro-oseanografi di empat lokasi tersebut, potret transfer biomassa yang berasal dari organisme yang hidup di dalam perairan tersebut di tiga lokasi (Selat Sunda, Teluk Saleh dan Teluk Ekas), serta pengukuran indikator kinerja perikanan untuk komponen sosial ekonomi wilayah di dua lokasi yaitu Selat Sunda dan Teluk Tomini. Dari studi daya dukung perairan di beberapa lokasi dengan menggunakan metode Ecopath, dipaparkan hasil yang dapat digunakan untuk studi dinamika populasi ikan dengan menggunakan pendekatan multi-
species approach. Biomasa yang diestimasi dengan prinsip keseimbangan biomassa dalam suatu ekosistem menghasilkan nilai yang bervariasi terhadap masing-masing kelompok fungsional (functional groups) yang terdapat dalam suatu ekosistem berdasarkan posisi kelompok fungsional dalam trophic level. Hasil kajian ini dapat menjadi bahan acuan bagi pengambil kebijakan perikanan di Indonesia, terutama dalam hal penentuan jumlah serta jenis ikan yang ditangkap. Dengan keterbatasan yang ada dalam hal ketersediaan data, kita dapat mengetahui prioritas penelitian yang akan dilakukan kedepan, yakni dengan tidak melakukan pengulangan penelitian bagi sesuatu topik. Lebih baik hal ini diarahkan untuk mengisi kekosangan dalam mengestimasi berbagai parameter populasi seperti biomassa dan kebiasaan makan (feeding habit) dari berbagai species yang tergolong ekonomis penting. Estimasi dari paramater populasi seperti yang dipaparkan dalam kajian ini merupakan standard bagi penggunaan ecopath apabila akan dilakukan di daerah lain. Seadng pendekatan Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries) menunjukkan bahwa: 'Aspek teknologi, yang terdiagnosa berkinerja rendah sehubungan dengan penggunaan cara-cara penangkapan ekstraktif, pada kondisi ekologis yang baik, tidak mampu menciptakan kinerja ekonomi yang baik'. Meningkatnya intensitas dan kualitas konflik antar alat tangkap atau kelompok nelayan perlu diwaspadai karena dapat menjurus pada turunnya kinerja perikanan wilayah tersebut, yang berarti menem pat
kan perikanan ini pada resiko ketidakberlanjutan yang lebih besar. Untuk itu perlunya penyempurnaan kebijakan menyangkut keberadaan alat yang destruktif, pemberdayaan nelayan lokal, pembatasan investasi yang menjurus pada inefisiensi dan overeksploitasi dan, sinkronisasi pengaturan. termasuk kebijakan perijinan antara pengelola pelabuhan dan dinas perikanan. EKSPEDISI WALLACEA INDONESIA Ekspedisi Wallacea Indonesia adalah suatu kegiatan penelitian yang bersifat eksplorasi khususnya inventarisasi keanekaragaman hayati dan kondisi lingkungan. Maksud dari kegiatan ekspedisi wallacea indonesia ini adalah: Melanjutkan penelitian A.R. Wallace di wilayah laut, karena teori Wallacea umumnya membicarakan mengenai keanekaragaman hayati di daratan, sedangkan di laut belum banyak diulas, Inventarisasi keanekaragaman hayati dan kondisi lingkungan di daerah penelitian, khususnya wilayah laut dan pesisir., dan menumbuhkan minat generasi muda untuk melakukan penelitian kelautan. Dari kegiatan ini diharapkan bisa tersusunnya suatu dokumen mengenai keanekaragaman hayati laut, dan juga kondisi lingkungannya dan kemungkinan pengembangan obyek-obyek penelitian sebagai masukan bagi pemerintah daerah setempat. Kegiatan Ekspedisi Wallacea Indonesia ini telah diselenggarakan oleh Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati sebanyak dua kali yaitu pada tahun 2004 dan 2005. Pada Tahun 2004, kegiatan EWI dilaksanakan di di perairan Provinsi Provinsi Sulawesi Selatan (Pulau Bonerate dan Kalatoa), Selawesi Tenggara (Pulau Kabaena dan sekitarnya) dan Sulawesi Tengah (Bokan Kepulauan). Pada tahun 2004 ini kegiatan EWI selain melakukan penelitian ilmiah yang pesertanya berasal dari BRKP, instansi penelitian lain, Universitas, dan mahasiswa tingkat akhir, juga dilakukan kegiatan pengenalan kelautan terhadap generasi muda, dalam hal ini adalah pramuka. Sedangkan pada tahun 2005 kegiatan EWI dilaksanakan di Teluk Tomini, khususnya di Provinsi Sulawesi Tengah dan Gorontalo. Kegiatan EWI merupakan kegiatan penelitian yang bersifat eksplorasi dan menitikberatkan pada
penelitian – penelitian di bidang:Geologi, Oseanografi, Biologi, dan Sosial Ekonomi. Hasil-hasil penelitian EWI tahun 2004 dan 2005 merupakan dokumen yang berisi inventarisasi keanekaragaman hayati pesisir dan laut, karakteristik pantai serta kondisi oseanografi baik fisik maupun biologi di lokasi penelitian. Diharapkan hasil-hasil ekspedisi ini dapat dipakai untuk pengembangan daerah penelitian tersebut oleh para stake holder secara terpadu dan berkelanjutan. Disamping itu, ekspedisi ini sekaligus menjadi alat promosi bagi daerah penelitian baik di media cetak maupun elektronik. DAYA DUKUNG DI TELUK CENDRAWASIH I. Latar belakang Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati - Badan Riset Kelautan dan Perikanan, sejak tahun 2005 melakukan penelitian "Inventarisasi Dayadukung Teluk Cenderawasih". Salah satu fokus wilayah penelitian ini adalah kawasan perairan Kabupaten Teluk Wondama. Penelitian ini direncanakan secara bertahap dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun. Penelitian dilakukan atas pertimbangan beberapa hal sebagai berikut: 1. Geostrategis dan geopolitis kawasan Teluk Cenderawasih Teluk Cenderawasih ke depan memiliki potensi besar untuk dapat dikembangkan sebagai wilayah andalan di kawasan Indonesia Bagian Timur, dan sekaligus sebagai "Gerbang Timur Indonesia" di kawasan Pasifik. 2. Tantangan Penataan Wilayah Laut dalam suatu kawasan perairan teluk Dipandang berdasarkan aspek geo-bio-sosio-eco, kawasan suatu teluk memiliki karakteristik yang
spesifik. Teluk Cenderawasih sebagai teluk terbesar di Indonesia yang dikelola oleh 2 (dua) Provinsi dan 7 (tujuh) Kabupaten dipandang mendesak untuk segera menyusun Rencana Penataan Wilayah Laut Terpadu yang dapat mendukung prinsip pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan. Dalam penyusunan rencana ini, peran data ilimiah mengenai sumberdaya sangatlah menentukan. 3. Kabupaten Teluk Wondama sebagai wilayah pemekaran Kabupaten Teluk Wondama merupakan wilayah pemekaran Kabupaten Manokwari (UU No. 26 Tahun 2002 tentang Pemekaran Wilayah Kabupaten Manokwari), memerlukan secara mendesak data dan informasi sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimilikinya guna merumuskan arah kebijakan pengelolaan sumberdayanya. Secara garis besar penelitian "Inventarisasi Dayadukung Teluk Cenderawasih" diharapkan dapat menghasilkan: 1. data dan informasi sumberdaya kelautan dan perikanan serta kondisi dayadukung wilayah pesisir dan laut, 2. usulan pola zonasi pemanfaatan yang didasarkan pada prinsip keselarasan antar matra, antar sektor serta antar wilayah administrasi. Selanjutnya keberadaan data dan analisa ilmiah tersebut, dapat memberikan dukungan terhadap perumusan kebijakan pengelolaan kawasan Teluk Cenderawasih dan dapat bertindak sebagai masterpiece pengelolaan kawasan teluk secara terpadu di Indonesia. Selain itu hasil akhir dari penelitian ini, diarahkan pada persiapan penerapan kebijakan kadaster laut. Adanya dukungan perencanaan terpadu sejak dini di kawasan Teluk Cenderawasih, akan menentukan perkembangan kawasan Teluk Cenderawasih ke depan, untuk dijadikan kawasan yang dapat diandalkan di Indonesia Timur dan sekaligus di kawasan Pasifik. II. Penelitian di kawasan perairan Kabupaten Teluk Wondama Sebagai tahap pertama penelitian "Inventarisasi Dayadukung di kawasan perairan Kabupaten Teluk Wondama" difokuskan pada inventarisasi sumberdaya kelautan dan perikanan dengan tema dan hasil penelitian:
a. Kondisi Hidrografi Penelitian telah menghasikan Peta Kedalaman Perariran Teluk Wondama dan informasi ini selanjutnya dapat digunakan untuk: l Perencanaan alur pelayaran l Perencanaan pengembangan lahan budidaya perikanan laut l Perencanaan pengembangan bangunan laut b. Kondisi Oseanografi Data dan informasi tentang kondisi salinitas, suhu, arus dan gelombang merupakan hasil penelitian bidang oseanografi. Pengolahan dan analisa data jenis ini dapat berguna bagi: l Pemantauan dinamika laut l Perencanaan pengembangan lahan budidaya perikanan laut l Pemantauan kualitas lingkungan laut c. Kondisi Kualitas Air Demikian pula hasil penelitian kualitas air di Teluk Wondama dapat digunakan bagi: l Perencanaan pengembangan lahan budidaya perikanan laut l Pemantauan kualitas lingkungan laut d. Kondisi Karakteristik Pantai Data dan informasi tentang morfologi, dinamika pantai dan karateristik pantai sangat diperlukan bagi perencanaan pengembangan wilayah pesisir e. Kondisi Ekosistem Pesisir Penelitian ditekankan pada inventarisasi data sebaran mangrove, lamun dan terumbu karang dan diharapkan data yang ada dapat dijadikan acuan: l Pemantauan kualitas lingkungan pesisir dan laut l Perencanaan pengembangan lahan budidaya perikanan pesisir Hasil penelitian secara keseluruhan ditemukan, bahwa kawasan pesisir dan laut Teluk Wondama memiliki potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan sebagai sumberdaya pembangunan Kabupaten Teluk Wondama. Namun demikian karena hampir seluruh wilayah perairannya termasuk dalam wilayah Taman Nasional Teluk Cenderawasih, maka atas dasar pertimbangan data ilmiah ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengelolaan sumberdaya yang selaras dan dapat mengakomodasi semua kepentingan ini wilayah ini.
Dinamika dan Kebencanaan Laut
Latar Belakang Kepulauan Indonesia yang letaknya menyebar di sebelah-menyebelah katulistiwa, iklim dan cuacanya pada keadaan normalnya sangat bergantung pada peralihan atau pelangsungan (course) Sistem Monsun Austro-Asia di kawasan ini. Kaadaan iklim dan cuaca ini sangat bervariasi sesuai dengan variabiliti monsun, dan berhubungan dengan fenomena interaksi lautatmosfer yang berawal di Samudra Pasifik (El Nino/La Nina) dan di Samudra Hindia (Modus Dwikutub Hindia = Indian Dipole Mode). Kondisi dan karakteristik massa airnya pun di lapisan paras dan lapisan terkincau (mixed layer) ikut dipengaruhi oleh Sistem Monsun Austro-Asia dan di lapisan-lapisan jeluk terutama dipengaruhi oleh arus Arlindo yang mengalir dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia.
3. Argo Float dan GOOS 4. Dinamika Marin-Atmosfer EKSPEDISI INSTANT (International Nusantara STratification ANd Transport) Perairan Indonesia merupakan zona kritikal 'chokepoint' untuk memahami variabilitas iklim seperti El Nino dan La Nina. Ada aliran massa air dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia melewati perairan Indonesia, yang dikenal sebagai Arus Lintas Indonesia. Pada saat terjadi El Nino, elevasi muka air rerata di bagian barat Samudra Pasifik turun, maka arus ini akan melemah. Indikasi bahwa jika Arus Lintas Indonesia mulai melemah maka akan terjadi El Nino.
Selain itu juga tidak boleh terlupakan ialah ancaman alamiah (natural hazards) terhadap ekosistem laut sekaligus biota yang hidup di dalamnya atau manusia yang hidup di dekatnya. Ancaman ini ada yang bersifat hayati maupun nonhayati. Mulai ledakan pertumbuhan plankton beracun (HAB = harmfull algal bloom), gempa tektonik maupun vulkanik yang mengakibatkan gelombang tsunami, ataupun masalah siklon tropis yang mengakibatkan badai hujan yang menimbulkan banjir, tanah longsor, angin ribut ataupun kecelakaan kapal.
Fenomena Arus Lintas Indonesia ini sangat menarik para peneliti oseanografi dunia maupun Indonesia. Dalam rangka itu maka pada 12 Desember 2002 di Scripps Institution of Oceanography, San Diego Amerika dibuatlah kesepakatan bersama antara Indonesia, Amerika Serikat, Australia, Belanda dan Perancis untuk melakukan Ekspedisi INSTANT (International Nusantara STratification ANd Transport) dari tahun 2003 sampai tahun 2007. Aktifitas yang dilakukan di Selat Makassar, Pintasan Lifamatola Selat Lombok, Selat Ombai, dan di Pintasan Timor adalah memasang beberapa mooring, mengangkat dan memasang kembali mooring serta mengangkat mooring.
Aktifitas Kegiatan 1. Ekspedisi INSTANT 2. Ekspedisi Antartika
Setiap tahun, dengan wahana apung Kapal Riset Baruna Jaya I dan Baruna Jaya VIII, Ekspedisi ini diikuti oleh para peneliti dan dosen serta
mahasiswa dari kelima negara. Selain pemasangan mooring, selama ekspedisi juga dilakukan Pemasangan alat Pengukur Tekanan Laut Dangkal, Pengukuran CTD - Conductivity Temperature Depth, Pengambilan Sampel Air, Pengukuran Kecepatan Dan Arah Arus, Pengukuran Parameter Meteorologi dan Pengamatan Mamalia Laut Dalam Ekspedisi ini keandalan dan kelengkapan fasilitas, tidak pernah luput dari perhatian para pakar Oseanografi negara peserta. Pengembangan kapasitas dan kapabilitas serta pengembangan sumberdaya manusia yang kompeten dibidang Oseanografi. Peralatan yang digunakan adalah untuk mengukur secara in situ kondisi oseanografi mulai dari lapisan permukaan hingga mencapai kedalaman sekitar 2000 meter di bawah permukaan laut. Peralatan tersebut dikelompokkan atas : Peralatan Tambatan Laut Jeluk (Deep Sea Mooring), Peralatan Nir-Tambatan (Non-Mooring) dan Peralatan Pendukung Penelitian Lainnya.
Sedang peralatan statis adalah peralatan yang dibenamkan di laut pada jangka waktu dan posisi tertentu. Peralatan statis ini dapat dikelompokkan lagi atas peralatan yang dipasang secara rangkaian menggunakan teknik tambatan, dan atau terpisah Nir-Tambatan. Teknik tambatan didefinisikan sebagai penambatan beberapa alat pengukur parameter oseanografi dalam suatu untaian. Peralatan ini ditambatkan secara berurutan pada kedalaman tertentu. Dengan dukungan peralatan tersebut maka informasi dan manfaat yang diperoleh dalam ekspedisi ini antara lain masa air yang akurat representasi ARLINDO yang tepat untuk memodelkan perubahan iklim, kemampuan untuk mensimulasi dan memprakirakan variabilitas iklim, prakiraan El Nino dan La Nina serta AsianAustralian Monsoon dan pemahaman proses yang mendukung stok ikan dengan menghitung
pengaruh dari ocean mixing dan sea-air fluxes pada laut-laut yang berpengaruh, seperti Laut Flores dan Laut Banda. Kegiatan lapangan Ekspedisi INSTANT telah berakhir di akhir tahun 2006, namun saat ini kegiatan pengolahan data terus dilakukan baik di dalam maupun diluar negeri. Dengan besarnya potensi data yang terkumpul melalui program ini diharapkan bisa menjawab berbagai permasalahan yang terkait dengan pergerakan massa air yang melintasi perairan Indonesia beserta dampak yang dibawanya, baik dari aspek oseanografi, klimatologi dan perikanan. Beberapa hasil Ekpedisi ini disajikan dalam tulisan ilmiah yang telah dipublikasikan dan dipresentasikan dalam seminar nasional maupun internasional, demikian juga dalam bentuk buku review tentang Arlindo (ISBN 979-3768-08-8), Menguak Arus Lintas Indonesia (ISBN 979-376806-1) dan Atlas Laut Indonesia 2005 (ISBN 9793768-09-6). Sedang untuk hasil dalam capacity building dari kegiatan ini antara lain pelatihan pengolahan data bagi para peneliti muda Indonesia selama 3 bulan di CSIRO Australia dan NIOZ Belanda, serta studi pasca sarjana di LDEO, Columbia University, Amerika. Disamping itu data-data dari Ekspedisi ini juga digunakan untuk tugas akhir dan tesis para mahasiswa S1 dan S2 dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia seperti ITB, IPB, UNRI, UNDIP, UHT dan STTAL. EKSPEDISI ANTARTIKA (2002 – 2006) Antartika selalu menjadi laboratorium dunia yang menarik bagi para peneliti dari berbagai negara, termasuk para peneliti Indonesia. Menyadari hal itu, Badan Riset Kelautan dan Perikanan – Departemen Kelautan dan Perikanan mengirimkan para peneliti Indonesia untuk bergabung bersama para peneliti Internasional lainnya melakukan ekspedisi Antartika. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang kontinyu dilakukan sejak tahun 2000/01 hingga tahun 2005/06, dalam bentuk kerjasama dengan Pemerintah Australia, melalui Australian Antarctic Division (AAD). Ekspedisi Antartika merupakan kegiatan penelitian Internasional yang bertujuan mempromosikan nilai Benua Antartika dan Pulau-pulau di sekitarnya serta perairan yang mengelilinginya bagi kepentingan umat manusia, melindungi integritas kehidupan margasatwa dan ekosistemnya yang
unik dan asli, dan untuk memahami bagaimana daerah ini mempengaruhi proses-proses fisik yang mengatur iklim dan ekologi bumi ini. Selain memperoleh gambaran kondisi perairan Antartika dan manfaatnya baik langsung maupun tidak langsung bagi Indonesia, kegiatan ekspedisi ini juga dapat meningkatkan kualitas sumberdaya peneliti dan kompetensi mereka di tingkat Internasional. Tahun 2001/2002, Indonesia mengirimkan Dr. Agus Supangat dari Pusris Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati - BRKP dan Muhammad Lukman dari Universitas Hasanuddin. Titik berat ekspedisi adalah pada bidang Oseanografi terutama untuk mempelajari perilaku arus laut di perairan Antartika dan interaksinya terhadap perairan Indonesia. Selain itu dilakukan pemancangan bendera Merah Putih di benua Antartika. Tim Ekspedisi Antartika 2002/2003, yang terdiri dari Ichwan Makmur Nasution, M.Sc, dan Vera Sabariah yang kemudian menjadi perempuan Indonesia pertama yang menjejakkan kaki di benua Antartika. Salah satu topik kajian Tim Antartika 2003 dari Indonesia adalah studi ganesa, sebaran serta potensi udang krill (Euphausia superba) yang dikenal sebagai udang khas benua Antartika, di perairan sekitar Antartika. Prakiraan potensi krill di Antartika bisa mencapai 500 juta ton/tahun. Ini adalah sumber makanan utama habitat laut di Antartika dan di perairan Samudera Selatan. Mereka juga menemukan bahwa udang krill ini ternyata dijumpai pula di Samudera Hindia sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara. Tahun 2003/2004, Utami Retno Kadarwati menjadi anggota tim ekspedisi dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia dan merupakan perempuan
ilmuwan kedua Indonesia yang berhasil mendarat di Antartika. Ekspedisi ini melakukan penelitian tentang potensi ikan es, sejenis makarel, yang ada di Perairan Antartika guna mengetahui apakah volume rantai makanan di perairan sekitar Antartika cukup tersedia. Kegiatan yang dikenal sebagai Predator Prey Investigation Ecosystem Study ini dipimpin oleh ilmuwan biologi Australian Antarctic Division (AAD), Dr. Richard Williams, menggunakan kapal riset Aurora Australis. Anastasia Rita Tisiana Dwi Kuswardhani, MT dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan serta Lusia Manu, MSc dari Universitas Sam Ratulangi, Manado adalah ilmuwan Indonesia berikutnya yang bergabung dengan tim ekspedisi Antartika tahun 2004/2005. Pengukuran oseanografi dilakukan di sepanjang jalur ekspedisi yaitu berupa arus, kedalaman, salinitas dan temperatur. Hasil kajian awal Tim Ekspedisi Antartika Voyage III ini menunjukkan adanya penurunan kadar garam di perairan sekitar Benua Antartika. Sebaliknya kandungan chlorofluorocarbon (CFC) meningkat signifikan. Selain itu data tingkat salinitas hasil pengukuran saat ini ternyata lebih rendah dibandingkan satu dekade sebelumnya. Dari datadata tersebut disimpulkan bahwa telah terjadi pencairan es di Kutub Selatan. Pada tahun 2005/2006, Agustinus Anung Widodo (bidang cetacean) dari Balai Riset Perikanan LautPusat Riset Perikanan Tangkap-BRKP dan Dharma Arif Nugroho (bidang biologi krill) dari P2O-LIPI menjadi ekspedisioner. Ekspedisi saat ini dinamakan BROKE-West, Baseline Research of Oceanography, Krill and the Environment dengan tujuan antara lain untuk mengetahui kelimpahan sumberdaya krill secara akurat dalam rangka menentukan batasan jumlah krill yang dapat dieksloitasi di southern ocean.
ARGO FLOAT DAN GOOS Indonesia sebagai anggota dari komunitas riset kelautan dunia, melakukan riset bersama CSIRO Marine Research – Australia dalam hal pemantauan (monitoring) laut yang bekerja secara kontinyu menggunakan suatu instrumen “Robotic/Autonomous Profiling Floats” atau lebih dikenal dengan nama “Argo Floats”. Instrumen yang telah di-deploy di Samudera Hindia (sejak September 2002) ini bertenaga baterai dan bekerja secara otomatis dengan menggunakan pompa hidrolik untuk manuver vertikal mengukur temperatur dan salinitas air hingga kedalaman 2000 meter. Kegiatan ini masuk dalam jaringan internasional GOOS(Global Ocean Obser-vation System) sehingga bisa mengakses 3000 float di seluruh dunia. Studi ini mengkhususkan diri pada analisis stratifikasi air laut dan variabilitasnya berdasarkan data-data salinitas, temperatur, dan tekanan air laut (S, T, P) di kawasan Samudera Hindia tersebut dari hasil pengukuran ARGO FLOAT yang dikelola oleh CSIRO – Australia. Sehingga dari data S, T, P dari ARGO FLOAT bisa diketahui profil dan variabilitas data S, T, P dan estimasi kedalaman stratifikasi air laut dan variabilitasnya, yaitu: lapisan tercampur (mixed layer), lapisan dimana faktor oseanografis berubah cepat, yaitu dimana terjadi perubahan cepat pada suhu (termoklin), salinitas (haloklin), dan densitas (piknoklin), dan lapisan laut dalam (deep layer).
Argo float dan data yang dihasilkan dapat dikatakan sebagai berikut :1) The Ship-ofOpportunity XBT and moorings thermal network. Argo merupakan turunan dari network XBT yang mengukur temperatur permukaan laut, dengan tambahan kemampuan untuk spatial coverage and extent, kedalaman dan akurasi yang tinggi. Selain itu float Argo juga harus mampu mengumpulkan data tentang salinitas dan reference velocity. 2) TOPEX/POSEIDON altimetric data. Integrasi data pada float dengan data altimetri merupakan salah satu parameter penting yang harus dilakukan saat desain awal. Oleh karena itu, desain float harus mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang berhubungan dengan klimat seperti yang telah dilakukan oleh data altimeter (TOPEX/POSEIDON). 3) WOCE hydrographic and float data. Argo dapat dikatakan merupakan versi baru dari WOCE. Dan sebagaimana diketahui, float WOCE selama ini adalah satu-satunya sumber data untuk keperluan estimasi spesifik dengan menggunakan tekanan sebagai referensi. Karena itu desain float Argo harus dapat memperluas rentang daerah pengukuran float WOCE. 4) Requirements for constraint of ocean models. Data dari suatu pengukuran in situ akan lebih akurat bila digabungkan dengan data/citra satelit dan model, selain juga meningkatkan ocean state estimation, ocean forecasts and prediction dan untuk mengetahui lebih dalam tentang coupled climate system. Komponen utama Argo float adalah sebuah sensor CTD buatan SEABIRD yang dipasang pada sebuah pelampung robotic yang bisa secara otomatis bergerak naik-turun dalam selang waktu setiap 10 hari sekali. Hasil salah satu studi Argo Float ini telah menunjukkan bahwa kedalaman lapisan termoklin dan haloklin di sekitar kepulauan Andaman, Nicobar, dan Nias antara 120 – 150 meter. Informasi ini sangat diperlukan sebagai masukan pemodelan oseanografi, baik yang terkait dengan sistem peringatan dini tsunami maupun untuk keperluan lain seperti estimasi lokasi penangkapan ikan di laut. Variabilitas faktor salinitas, temperatur, dan densitas air laut di sekitar lokasi studi sangat dipengaruhi dan mempengaruhi sistem arus di Samudra India, khususnya oleh arus monsoon ekuatorial (EMC) dan arus pantai India
timur (EICC). Pada saat monsoon TL (sekitar bulan Desember-April), EMC dan EICC bergerak ke arah barat sehingga massa air dari sekitar lokasi studi dibawa menuju ke Samudra India mempengaruhi massa air di sana. Pada saat monsoon BD (sekitar bulan Juni-Oktober), EMC dan EICC bergerak ke arah timur sehingga massa air Samudra India mempengaruhi massa air di sekitar lokasi studi. Data-data Argo di sekitar lokasi studi ini cukup representatif digunakan untuk pemantauan variabilitas iklim monsoon di Indonesia dan sistem arus di Samudra Hindia dan di kepulauan Nusantara. DINAMIKA MARIN-ATMOSFER Hasil-hasil penelitian mutakhir mengenai dinamika laut dan atmosfer menunjukkan bahwa pemahaman mengenai interaksi antara keduanya merupakan kunci untuk menjelaskan berbagai fenomena cuaca dan iklim di daerah Benua Maritim Indonesia (BMI). Kajian mengenai interaksi laut-atmosfer pada intinya ditujukan untuk mengetahui mekanisme dan proses-proses yang menentukan pertukaran energi dan materi di dekat batas laut-atmosfer. Energi dalam bentuk momentum pada umumnya ditransfer dari atmosfer ke laut berupa stress angin yang membangkitkan gelombang dan arus laut. Karena laut dapat menyerap dengan baik radiasi gelombang pendek dari matahari sebagai sumber panas, maka energi dalam bentuk panas laten maupun panas sensible banyak ditransfer dari laut ke atmosfer. Iklim bumi pada dasarnya dibangun oleh dinamika atmosfer dan laut dimana terjadi
mekanisme penyebaran kelimpahan energi (dari matahari) yang dari daerah ekuator ke daerah kutub. Sementara itu, efektifitas dan kesetimbangan penyerapan energi dari matahari oleh bumi ditentukan oleh komposisi konstituen minor dan jumlah aerosol atau partikulat di atmosfer. Dalam hal ini, antara laut dan atmosfer terjadi pertukaran gas-gas yang berperan penting bagi iklim seperti CO2 (gas rumah kaca) dan dimetil sulfat pembentuk aerosol yang berdampak mendinginkan (kebalikan dari efek rumah kaca). Pertukaran materi antara laut-atmosfer dalam bentuk uap air dan hujan jelas merupakan faktor dominan dalam sistem cuaca dan iklim bumi. Interaksi laut-atmosfer berskala global telah banyak diteliti oleh para ahli baik dari sisi sains atmosfer maupun oseanografi. Fenomena seperti El Nino Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole Mode (IODM) merupakan dua fenomena iklim global yang mempengaruhi seluruh atau sebagian sistem iklim di BMI, yang diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Dalam skala waktu yang lebih pendek fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO), yang berkaitan dengan adanya gerakan pusat pembentukan awan (konveksi) dari tengah Samudera Hindia ke arah timur menuju Samudera Pasifik, diketahui dapat membangkitkan gelombang Kelvin di laut (oceanic Kelvin wave). Dalam berbagai teori tentang mekanisme ENSO dan IODM, gelombang Kelvin disebutkan dapat mempengaruhi kedalam termoklin dan memicu terjadinya perubahan temperatur muka air laut.
ENSO atau El Nino southern oscillation adalah fenomena alam global yang berpusat di samudra Pasifik. Fluktuasi atau osilasi dari ENSO terdiri dari tiga fenomena yaitu kondisi normal, El Nino dan La Nina.Dampak atau pengaruh El Nino tidak seragam dalam tahun kejadian El Nino. Ada bulan bulan dimana dampak tersebut menjadi maksimal dan ada saat kapan dampak tersebut mulai terasa. Episode El Nino mulai terasa pada bulan April dan berkembang hingga mencapai puncaknya pada bulan Agustus dan September. Setelah itu dampak dari El Nino tersebut akan menghilang pada akhir tahun. Karena dampak dari ENSO sangat terasa pada saat Indonesia mengalami musim kemaran, maka dari gejala alam diatas, yaitu El Nino dan La Nina, kasus El Nino akan memberikan dampak yang lebih merusak. Hal ini dikarenakan sifat dari El Nino yang akan memberikan kekeringan yang lebih pada saat kita mengalami musim yang telah kering. Sedangkan pada kasus tahun La Nina, kekeringan di musim kemarau akan berkurang dengan kejadian sebaliknya dari El Nino. Dampak ENSO akan tidak terasa pada puncak musim hujan karena sistim monsoon dan arus laut menghambat pengaruh tersebut. Besarnya dampak El Nino pada musim kemarau dan menghilangnya dampak tersebut pada musim hujan lebih disebabkan oleh sirkulasi laut wilayah Indonesia. Pada pertengahan musim kemarau, arus laut akan mengalirkan masa laut dari wilayah kolam hangat ke wilayah timur Indonesia. Pada saat El Nino, sirkulasi arus laut ini membawa masa air dingin yang menghambat hujan ke wilayah Indonesia. Pada paruh setengah tahun berikutnya, sirkulasi arus laut akan membawa masa air dari wilayah Indonesia keluar menuju kolam hangat dan menghambat dampak ENSO bagi wilayah Indonesia. Selain pengaruh dari samudra Pasifik, Indonesia, terutama wilayah bagian barat dipengaruhi oleh aktivitas lautan di samudra India. Sama seperti di samudra Pasifik, indikator pengaruh tersebut dinyatakan dengan besarnya nilai suhu permukaan laut. Di samudra India dikenal sebuah gejala yang disebut sebagai Indian Dipole yang agak berbeda dengan yang di Pasifik. Untuk di samudra India, dipole mengacu pada dua tempat sehingga aktivitas gejala tersebut ditandai dengan anomali dari perbedaan suhu muka laut kedua tempat tersebut. Perbedaan perubahan suhu muka laut untuk wilayah 50°E - 70°E / 10°S 10°N (tengah samudra India) dikurangi 90°E -
110°E / 10°S – equator (sebelah barat pantai Sumatera adalah indikator gejala ini. Apabila terjadi indeks sangat negatif (dibawah -1) yang berarti suhu di tengah samudra India lebih hangat daripada di pantai barat Sumatera, maka wilayah Indonesia Bagian barat mendapat resiko kekeringan. Apabila yang terjadi sebaliknya, maka wilayah yang sama akan mengalami curah hujan tinggi. Untuk skala intra seasonal atau antara 30 – 90 hari, terdapat dominasi pengaruh pergerakan daerah konveksi dari samudra India ke arah timur yang merupakan perpanjangan dari aktivitas Indian Ocean Dipole. Dalam beberapa kasus terlihat bahwa pengaruh dari aktivitas Indian Dipole memberikan pengaruh jangka panjang terhadap kondisi waduk waduk di pulau Jawa. Pergerakan variabilitas intra seasonal ini membawa akibat daerah hujan yang tinggi pada daerah yang dilaluinya. Variabilitas atau osilasi intra seasonal ini dikenal dengan istilah Madden Julian Oscillation (MJO) sesuai nama pencetusnya.
Diseminasi dan Promosi
Latar Belakang Suksesnya sebuah riset dinilai dari dimanfaatkannya secara luas penemuan riset tersebut oleh para pemangku kepentingan kelautan dan perikanan. Oleh karena itu penyiapan paket teknologi kelautan dan perikanan; penyiapan rekomendasi analisis pelaksanaan kebijakan pembangunan kelautan serta diseminasi dan promosi hasil riset kelautan dan perikanan merupakan kebijakan dalam renstra BRKP untuk mempercepat proses penyerapan dan pemanfaatan hasil riset oleh para pemangku kepentingan sebagai upaya pemasyarakatan IPTEK Kelautan dan Perikanan. Hasil riset disosialisasikan melalui berbagai kegiatan diseminasi, promosi dan pelayanan jasa, forum/lokakarya, media elektronik dan cetak, pelatihan, pameran, kios IPTEK, gelar teknologi, dan perpustakaan maupun kaloborasi dengan mitra. Hasil penelitian disebarkan pula melalui penerbitan publikasi ilmiah berupa jurnal, warta dan audiovisual. Aktifitas Kegiatan 1. Kios Iptek, 2. Publikasi 3. Pameran, Lokakarya, Forum, Seminar. 4. Kerjasama Riset 5. Peran di Dunia Internasional KIOS IPTEK Kios Iptek merupakan kegiatan Badan Riset Kelautan dan Perikanan dalam mengupayakan penyediaan informasi hasil Riset Kelautan dan Perikanan guna mendorong pemberdayaan dan pengembangan masyarakat berwawasan informasi dengan memberikan kemudahan, layanan dan
pendidikan pada masyarakat pengguna khususnya nelayan dan pembudidaya ikan dalam mengakses dan memperoleh informasi. Tujuan disediakannya kios iptek antara lain : mendekatkan iptek kelautan dan perikanan ke masyarakat di daerah agar dapat menambah wawasan masyarakat dalam bidang kelautan dan perikanan, memberikan kemudahan dalam mengakses dan memperoleh informasi iptek kelautan dan perikanan secara langsung oleh masyarakat pengguna, peningkatan sumber daya manusia dan sumber daya informasi lokal dalam memberikan pelayanan informasi Iptek terutama kepada masyarakat pengguna khususnya nelayan dan pembudidaya ikan,pemberdayaan unit-unit pelayanan teknis lingkup Departemen Kelautan dan Perikanan dalam penyediaan informasi Iptek Kelautan
Kegiatan ini merupakan bentuk dukungan BRKP guna menunjang Pelabuhan Perikanan Samudera dan Nusantara dalam menjalankan salah satu fungsinya yang tercantum pada Kep.Men. No. 26i/MEN/2001 yaitu pengembangan dan pengelolaan sistem informasi dan publikasi hasil riset. Informasi tersebut disediakan dalam bentuk : Model hasil riset, buku (jurnal, prosiding, buletin, buku panduan, laporan/kumpulan hasil penelitian dan warta), Leaflet dan booklet, Poster, VCD/CD rom. Kios Iptek binaan Pusris Wilnon berlokasi di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus, Sumatera Barat, yang mewakili wilayah Sumatera. PUBLIKASI Hasil kegiatan penelitian Pusris Wilnon disebarkan melalui penerbitan publikasi ilmiah berupa buku, laporan teknis, jurnal, warta dan audiovisual. Ada lebih dari 136 judul koleksi Buku Perpustakaan, Buku terbitan WILNON – 20 judul, 6 topik leaflet, Poster – 25 buah, Peta NKRI – 43 lembar dan Profil Pusris Wilnon – film (DVD) berdurasi – 5', film dokumentasi kegiatan Ekspedisi INSTAN berdurasi 30 menit, film dokumentasi kegiatan Ekspedisi Antartika berdurasi 30 menit. Jurnal Segara yang terbit sejak tahun 2005, sejak edisi pertama sampai dengan sekarang sudah lebih dari 50 artikel ilmiah baik dalam bahasa inggris maupun bahasa indonesia sudah dimuat. Jurnal ini diasuh oleh Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan – DKP, dengan jadual penerbitan satu volume setiap tahunnya dengan tujuan menyebarluaskan informasi ilmiah tentang perkembangan ilmiah bidang kelautan di
Indonesia, seperti : oseanografi, akustik dan instrumentasi, inderaja, kewilayahan, sumberdaya nonhayati, energi, arkeologi bawahair dan lingkungan. Naskah yang dimuat dalam jurnal ini terutama berasal dari hasil penelitian maupun kajian konseptual yang berkaitan dengan kelautan Indonesia, yang dilakukan oleh para peneliti, akademisi, mahasiswa, maupun pemerhati permasalahan kelautan baik dari dalam dan luar negeri. PAMERAN, LOKAKARYA, FORUM, SEMINAR Kebijakan BRKP dalam rangka untuk mempercepat proses penyerapan dan pemanfaatan hasil riset oleh para pemangku kepentingan merupakan upaya pemasyarakatan IPTEK Kelautan dan Perikanan, melalui berbagai kegiatan seperti pameran, forum/lokakarya, pelatihan, dan gelar teknologi. Ada beberapa event nasional yang selalu digunakan untuk melakukan diseminasi tersebut, antara lain : 1. Pameran Industri Bahari 2. Gelar Teknologi Tepat Guna Tingkat Nasional 3. RITECH Research and Innovation Technology 4. Pameran Nasional atau PENAS 5. Pameran Hari Pangan Sedunia 6. Hari Keluarga Nasional 7. Pameran Agro dan Expo Food 8. Pameran Konferensi Akuakultur 9. Pameran Agrinex Indonesia 10. Hari Nusantara
Disamping itu bekerjasama dengan Internasional Seabed Authority (ISA) Pusris Wilnon melakukan kegiatan Internasional Seminar On Minerals and Other Resources Found In Marine Areas Beyond The Limits of National Jurisdiction, di Manado pada tanggal 5 – 7 Maret 2007. Seminar dibuka resmi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, dihadiri Sekjen ISA, Duta Besar Satya Nandan dan 100 peserta dari 15 negara, dengan pembicara utam dari Jamaica, Fiji, India, Jerman, Kanada, Australia, Ghana, Cina dan Indonesia. Hasil seminar tersebut antara lain Indonesia mengusulkan kiranya wilayah di Samudera Hindia, sekitar 90 East Ridge, sebelah Barat Daya Pulau Sumatera, dapat dipertimbangkan sebagai Wilayah Lisensi Indonesia yang diberikan oleh ISA dan Indonesia juga berupaya untuk mendapatkan bagian dari 8 wilayah kontrak yang telah mendaptkan lisensi ISA. KERJASAMA RISET YANG DITANDATANGANI Pusris Wilnon memberikan jasa riset dalam bentuk kerjasama riset, data dan informasi, alih teknologi, survey dan pemetaan, jasa bimbingan dan pendampingan dan layanan jasa konsultasi. Kerjasama riset ini baik dengan para pemangku kepentingan dalam maupun luar negeri. Berikut ada beberapa nota kesepahaman dengan pihak luar yang ada di Pusris Wilnon. Beberapa kerjasama riset yang telah ditandatangani antara lain adalah;
Cooperative Agreement between AMFR-RI and Australian Antarctic Division for ocean scientific research in Antarctic. Kerjasama dalam rangka pengiriman para ekspedioner Indonesia ke benua Antartika. Penandatanganan “Cooperative Agreement” antara BRKP dan AAD: Dr. Tony Press dan Dr. Indroyono Soesilo dengan disaksikan oleh Dr Conall O'Connell (Deputy Secretary) dan Mr David Borthwick (Secretary of the Department of the Environment and Heritage). Cooperative Agreement between AMFR-RI and LDEO-USA for SCIENTIFIC and EDUCATIONAL COOPERATION ON OCEAN SCIENCE AND TECHNOLOGY. - Implementation Agreement for The International Nusantara STratification ANd Transport (INSTANT), Provisional: 12 Dec 2002, Final Draft: 7 Feb 2003. Berdasarkan rapat 17 November 2006, ada pembicaraan tentang Kemungkinan Perpanjangan IA INSTANT. Usulan/statement tentang hal tersebut oleh Dr. Dwi Susanto. Secara dokumen resmi, tetapi 1 buah Mooring buoy telah dipasang kembali di Selat Makassar (life-time batteries ± 2 years), belum diketahui tindak lanjut akan hal ini, sehingga hal ini perlu ditindaklanjuti untuk kejelasan program riset di lingkup PRWLSNH Tahun 2008. MASIH DALAM PROSES, sudah dirapatkan & direvisi oleh KSP-BRKP, BKLN-DKP, BIRO HUKUM-DKP, SETNEG & DEPLU, kemudian diserahkan kembali ke pihak LDEO.
Berdasarkan IA tersebut: 1. Cruise telah berakhir di Tahun 2006, 2. Publikasi secara workshop/meeting dilakukan di Tahun 2007. 3. Publikasi di Jurnal International dilakukan secara bersama mulai Tahun 2008, 4. Training di NIOZ selama ada 3 bulan di Tahun 2007, 5. Kesempatan M.Sc Program di Columbia University untuk 2 orang masih belum digunakan. 6. Masih ada kesempatan training di LOCEAN @ 3 bulan di Tahun 2007 dan 2008. Sedangkan untuk sulan perpanjangan kerjasama: Memorandum of Understanding (MoU) between MMAF-RI and CSIRO Concering SEA EXPLORATION, OCEANOGRAPHY,AND FISHERIES (End date: 6 November 2005). Implemetation Agreement (IA) between CSIRO and MMAF for COOPERATION ON THE IMPLEMENTATION OF ARGO IN INDONESIA WATERS (June 2003). MASIH DALAM PROSES, sudah diusulkan melalui Sekretariat BRKP kepada DKP dan disetujui oleh BKLN-DKP dan BIRO HUKUM-DKP untuk dipepanjang, selanjutnya menunggu persetujuan dari SEKRETARIAT JENDERAL DKP. Implementation Agreement between FIO-China and AMFR for the Research Program: “Dynamics of Karimata Strait”. TELAH DITANDATANGANI. Siap di-implementasikan mulai Tahun 2007. Direncanakan kegiatan lapangan berupa pemasanagn mooring akan dimulai bulan November 2007. Implementation Agreement between FIO-China and AMFR for the Research Program: “The Java Upwelling Variations and Impacts on Seasonal Fish Migration”.TELAH DITANDATANGANI. Siap di-implementasikan mulai Tahun 2007. Direncanakan kegiatan lapangan berupa pemasanagn mooring akan dimulai bulan November 2007. Ekspedisi Ilmiah Ada beberapa Ekspedisi Ilmiah yang diselenggarakan oleh Pusris Wilnon, dalam rangka kerjasama riset nasional maupun internasional selama kurun waktu 2001 – 2006, antara lain : 1. Antartika (2002 – 2006)
2. INSTANT (2002 – 2006) 3. IASHAA (2001 – 2002) 4. BANDAMIN (2002 – 2003) 5. Wallacea (2004 – 2005) PERAN DI DUNIA INTERNASIONAL 1. Program INSTANT (International Nusantara STratification ANd Transport) Program ini merupakan kerjasama antara International Council Science, Intergouvernmental Oceanographic Commision-UNESCO dan World Meteorological Organization dalam rangka World Climate Research Program. Sehubungan dengan hal tersebut maka pada 12 Desember 2002 di Scripps Institution of Oceanography, San Diego - Amerika dibuatlah kesepakatan bersama antara Indonesia, Amerika Serikat, Australia, Belanda dan Perancis untuk melakukan Ekspedisi INSTANT (International Nusantara STratification ANd Transport) dari tahun 2003 sampai tahun 2007. Aktifitas yang dilakukan di Selat Makassar, Pintasan Lifamatola Selat Lombok, Selat Ombai, dan di Pintasan Timor adalah memasang beberapa mooring, mengangkat dan memasang kembali mooring serta mengangkat mooring. 2. Program Argo Float Argo Float merupakan program Intergouvernmental Oceanographic CommisionUNESCO dan World Meteorological Organization dalam rangka untuk melakukan Global Ocean Observing System. Kegiatan ini masuk dalam jaringan internasional sehingga bisa mengakses 3000 float di seluruh dunia.
3. Program Ekspedisi Antartika Indonesia Indonesia sebagai negara kepulauan dan anggota PBB, tidak pernah ketinggalan untuk berperan serta dalam kerjasama internasional di Antartika, dengan tujuan untuk : 1. Meningkatkan peranserta Indonesia dalam Sistem Traktat Antartika 2. Melindungi lingkungan Antartika 3. Memahami peranan Antartika dalam sistem iklim global, dan 4. Melakukan kegiatan sainfitik praktis, ekonomis dan memiliki kepentingan nasional Kiprah Indonesia di Antartika melalui Departemen Kelautan dan Perikanan dalam ekspedisi ilmiah dimulai pada 26 Januari hingga 9 Maret 2002, dengan tujuan memetakan pola arus laut kaitannya dengan sistem iklim global. Ekpedisi diikuti oleh Dr.Agus Supangat dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP dan Ir.Muhammad Lukman,M.Sc. dari Universitas Hasanudin, masingmasing melakukan penelitian bidang nonhayati dan hayati. Pelepasan anggota Tim Ekspedisi Antartika 2002 dilaksanakan di Tanjung Priok oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 23 Desember 2001 bertepatan dengan Hari Nusantara. Pada hari yang sama Megawati menandatangani Prasasti
Kehadiran Ahli Kelautan Indonesia di Benua Antartika, dan prasasti tersebut di tempatkan di Stasiun Riset Davis, Antartika, serta untuk pertama kalinya memancangkan bendera Merah-Putih di benua ini. Dalam ekspedisi ini, peneliti Indonesia melakukan riset di Southern Ocean, Stasiun Riset Davis dan Mawson. Ekspedisi ini menggunakan Kapal Riset Aurora Australis. Ekspedisi Antartika 2003 diikuti oleh Ichwan Nasution dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP yang melakukan penelitian tentang Krill Antartika dan Vera Sabariah dari Universitas Papua, peneliti di bidang mikrobiologi, yang merupakan wanita Indonesia pertama yang menginjakkan benua Antartika. Ekspedisi Antartika 2003/04, Indonesia kembali mengirimkan wakilnya Utami R. Kadarwati dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP yang bergabung dalam tim peneliti akustik di perairan sekitar P. Heard, Samudera Selatan (Southern Ocean). Tahun 2004/05, kegiatan ekspedisi ini diikuti oleh dua orang wanita, yaitu A. Rita Tisiana Dwi Kuswadhani, MT dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP dan Lusia Manu, M.Sc dari Universitas Sam Ratulangi, Manado. Keduanya merupakan oseanografer dan melakukan penelitian tentang iklim. Ekspedisi Antartika 2005/06, dua orang peneliti Indonesia kembali bergabung untuk melakukan penelitian mamalia laut dan udang krill Antartika. Mereka adalah A.
Anung Widodo, M.Si dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan DKP dan Dharma Arif Nugroho, S.Si dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Disamping prestasi yang telah dicapai ini, ternyata dirasakan perlu untuk mulai mengambil langkah maju dalam meningkatkan peran bangsa Indonesia di Antartika termasuk menjadi negara penandatanganan Piagam Antartika sehingga Indonesia dapat turut bersama dengan negaranegara yang lain menentukan arah kebijakan pemanfaatan sumberdaya Antartika. Untuk itu kami mengharapkan agar: l Indonesia menaruh perhatian pada kegiatan-kegiatan di wilayah Antartika. Dimana Indonesia dapat memanfaatkan moment International Polar Year 2007-2008 (IPY). IPY ini akan diisi dengan berbagai penelitian kolaboratif dan interdisiplin yang melibatkan berbagai lembaga penelitian dari seluruh dunia dan akan berlangsung pada tanggal 1 Maret 2007 – 1 Maret 2009. l Indonesia mulai memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan dan pengembangan sumberdaya manusia baik melalui peningkatan pendidikan formal dan kerjasama riset internasional terutama yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ilmiah di Antartika. Selain itu perlu adanya penyediaan prasarana dan sarana riset yang memadai.
Sumberdaya Nonhayati Laut
Latar Belakang Perkembangan ristek telah membuka pemahaman baru tentang potensi lain samudera yang dapat memberi manfaat bagi umat manusia. Bahkan studi terkini menunjukkan bahwa adanya prospek penambangan mineral lain di celah-celah gunung api bawah laut (seamounts) dalam bentuk methal sulphide dan cobalt crust. Gejala black smokers bertemperatur tinggi yang terbentuk akibat pergeseran atau benturan lempeng tektonik di dasar laut menyemburkan unsur logam dan sulfur dalam konsentrasi tinggi. Badan Riset Kelautan dan Perikanan berdiri bekerjasama dengan lembaga nasional maupun Internasional melakukan berbagai kajian sumberdaya nonhayati laut baik yang berkaitan dengan energi maupun mineral. Bahkan sekretariat “International Seabed Authority” (ISA) menunjuk Indonesia untuk mengadakan workshop Internasional pada tahun 5-8 Maret 2007 di Manado dengan topik bahasan mengenai perkembangan potensi kekayaan mineral dasar samudera di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Hadir 12 pakar dunia untuk memberikan paparan mengenai mineral di dasar samudera seperti manganese nodules, polymetallic sulphides, metal rich seamont crusts, methane gas hydrate dan genetic resources. Aktifitas Kegiatan 1. Garam 2. Hydrothermal (IASSHA dan Bandamin) 3. Energi Laut 4. Landas Kontinen dan Seabed Area 5. Arkeologi Laut
PENGEMBANGAN PRODUKSI GARAM DAN ARTEMIA Kondisi pergaraman di Indonesia akhir-akhir ini mengkhawatirkan, karena banyaknya petani garam beralih fungsi bekerja di sektor riil. Disamping itu banyak lahan garam di berbagai daerah tidak diolah, dibiarkan menjadi lahan tidur. Hal ini terjadi karena harga garam yang terus menurun disebabkan kualitas garam yang tidak sesuai dengan Standart Nasional Indonesia (SNI). Keadaan seperti ini tidak dapat dibiarkan, karena selain Indonesia memiliki garis pantai yang panjang/luas dan berpotensi untuk menjadi penghasil garam, tetapi juga dapat membahayakan ketahanan pangan nasional serta stabilitas negara. Upaya peningkatan produksi, baik kuantitas dan kualitas, sejauh ini masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Hambatan dan kendala yang dihadapi dalam upaya peningkatan sangatlah kompleks dan masih belum seluruhnya teridentifikasi secara menyeluruh. Permasalahan ini tidak saja dalam hal teknologi, namun juga terkait dengan pemasaran dan tata niaga garam. Salah satu alternatif yang bisa diambil adalah dengan melakukan pengembangan produkproduk 'turunan' garam, serta integrasi dengan jenis produk / komoditas lainnya seperti Artemia, air minum, dan sumber listrik. Mengingat hal-hal tersebut diatas Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati TA 2006 kembali melakukan kegiatan riset mengenai garam sebagai wujud kepedulian Departemen Kelautan dan Perikanan mengenai masa depan
Garam dan Produk Terkait Lainnya” di Ruang Nuri, JCC tanggal 19 Desember 2006 2) Penyusunan Buku “Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia” dan 3) Penyusunan Kajian Program Strategis Pengembangan Garam Artemia 2007-2010 EKSPEDISI ENDAPAN HIDROTERMAL GUNUNGAPI BAWAH LAUT Ada dua kegiatan ekspedisi endapan hidrotermal gunungapi bawah laut : IASSHA (IndonesiaAustralia Submarine Survay for Hydrothermal Activities) 2001, di perairan Teluk Tomini dan Sangir-Talaud, Sulawesi dilaksanakan pada 1 sampai 30 Juni 2001 dan Bandamin I dan II (Indonesia -German) 2001-2002 di Laut Flores Ekspedisi yang diberi nama cruise IASSHA (Indonesia-Australia Submarine Survey for Hydrothermal Activities) 2001 yang melibatkan 25 peneliti Indonesia dan Australia telah berhasil mendapatkan banyak data geologi-geofisika di daerah yang belum tereksplorasi yaitu di teluk Tomini-Gorontalo (Leg-A) dan dari daerah perairan bagian barat kepulauan Sangir-Talaud (Leg-B). dunia pegaraman. Kegiatan ini meliputi workshop untuk menghimpun masukan-masukan mengenai masalah dan solusi dalam rangka mengembangkan dunia usaha pegaraman dari masyarakat pegaraman dan para ahli lainnya. Menyusun kajian yang membahas strategi dalam menangani dan mencoba mendapatkan solusi yang tepat guna bekerjasama lintas sektoral baik dengan instansi pemerintah lainnya, perguruan tinggi dan pihak swasta, yang dapat dipakai sebagai bahan kebijakan bagi pengambil keputusan. Pembuatan buku “Panduan Pengembangan Usaha Terpadu Garam dan Artemia” merupakan bagian dari sosialisasi adanya salah satu alternatif teknologi yang sudah siap tersedia yang belum dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat pegaraman. Adapun tujuan kegiatan adalah meningkatkan peran teknologi produksi garam dan artemia terpadu sebagai program unggulan yang dapat diterapkan di masyarakat khususnya bagi masyarakat pegaraman untuk menambah kesejahteraan. Untuk itu dalam kegiatan ini hal yang telah dilakukan : 1) Workshop Masa Depan Industri Garam di Indonesia dengan tema “Mencari Alternatif Pengembangan Industri
Kegiatan penelitian selama cruise antara lain pengamatan geofisika (gayaberat dan seismik single chanel) hanya di Leg –A ; pengukuran CTD ; pengambilan conto batuan dengan dredge ; coring dan grabing (Leg-A) ; multichanel echosounder-Simrad EM-1000 di perairan kurang dari –1000m dan pengamatan dasar laut dengan singlechanel echosounder Simrad-EA500 untuk laut dalam. Sebanyak 12 perconto bor gaya berat dan grab telah memberikan informasi mengenai jenis sedimen penutup teluk Tomini dan sedimen sekitar pulmau Una-Una. Operasi bor ini dilakukan di perairan dengan kedalaman bervariasi antara –800m sampai –1500m. Banyak kegiatan ini tidak mendapatkan hasil disebabkan lapisan sedimen cukup kompak. Penetrasi bor paling tebal mencapai 150cm. Sedimen disusun bervariasi dari lumpur pasiran, pasir halus dan pasir lumpuran. Dijumpai pula debu gunungapi dicirikan oleh material glas, atau kristal yang diduga sebagai produk letusan gunungapi Colo. Batuan hasil dredge pun didominasi batuan sedimen permukaan yang kaya fosil. Batuan ini paling tua berumur Plistosin disusun oleh batupasir dan batulempung.
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak adanya aktivitas hidrotermal bawah laut di sekitar pulau Una-Una. Data dari leg-B menunjukkan terdapatnya indikasi alterasi dari Banua Wuhu walaupun tidak memperlihatkan gejala mineralisasi yang cukup kuat. BANDAMIN I dan II adalah ekspedisi yang dilakukan dalam kerangka kerjasama proyek penelitian antara Indonesia – Jerman tentang Aktifitas Hidrothermal Bawah Laut di Laut Flores, Indonesia Bagian Timur (BANDAMIN) dengan menggunakan Kapal Riset Indonesia, BARUNA JAYA IV. Yang diikuti 13 peneliti Indonesia dan dari Jerman 9 orang peneliti. Dibagian tenggara gunungapi Komba yang tenggelam sebagian, suatu sistim punggungan atau pematang (dinamakan Punggungan Komba / Komba Ridge) telah ditemukan, yang pada akhirnya dibagi menjadi dua distrik yang tegas. Dibagian barat daya ditandai oleh dua gununglaut (seamount) yang dangkal dengan kedalaman minimum 112 meter yang diduga sebagai gunung yang muda, dinamakan kemudian sebagai Anak Komba. Disebelah tenggara ter dapat gunung dengan tingkat erosi yang lebih lanjut yang berada pada kedalaman sekitar 900 meter, yang kemudian dinamai Ibu Komba. Bagaimanapun, morfologi kedua bukit bawah laut ini masih memperlihatkan struktur seperti kaldera walau sangat landai. Batuan volkanik utama yang menutupi Ibu Komba adalah batuapung (pumice). Sebaliknya Anakkomba mengandung batuapung dengan asosiasi gunungapi batuan mafik hingga
intermedier yang kemungkinan identik dengan batuan yang terdapat di gunung Komba yang sebagian tersembul dipermukaan. POTENSI ENERGI LAUT DI INDONESIA Pemanfaatan sumberdaya energi nonkonvensional dari laut seperti pasang surut arus laut, gelombang, angin dan matahari sebagai sumber energi alternatif yang terbarukan merupakan pilihan yang terbaik bagi negaranegara kepulauan atau yang berbatasan dengan laut guna memenuhi kebutuhan sumber energi listrik yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Untuk memanfaatkan potensi energi alternatif, perlu diketahui karakteristik dan distribusi angin, gelombang laut, pasang surut dan pola arus di perairan Indonesia. Dari informasi tersebut dapat ditentukan berapa besar potensi energi yang dapat dimanfaatkan beserta karakteristik sistem konverter energi yang sesuai. Identifikasi sumber daya energi non-konvensional di wilayah perairan Indonesia ini dilakukan dengan tujuan untuk menunjang program pemanfaatan sumber daya energi alternatif yang terbarukan dalam kerangka eksplorasi kelautan Indonesia, sehingga dapat diketahui dengan benar distribusi potensi sumber daya serta karakteristiknya. Di Indonesia energi tak terbarukan terdiri dari energi yang telah dikembangkan yaitu minyak, gas dan batubara. Energi tak terbarukan yang belum dikembangkan adalah uranium(nuklir), dan Coal Bed Methane (CBM) yaitu gas methane yang berada dilapisan batubara jauh didalam tanah.
Sedangkan energi terbarukan terdiri dari air, panas bumi, biomas, matahari, angin dan laut. Dengan kondisi pantai di Indonesia, salah satu alternatif yang menjajikan adalah Solar Pond, yang intinya memanfaatkan larutan garam dan air sebagai sarana untuk menyimpan panas matahari. Solar Pond adalah tempat berkumpulnya air asin atau air payau yang digunakan sebagai “penangkap” dan “penyimpan” panas dari sinar matahari untuk menghasilkan energi yang kemudian akan digunakan untuk menjalankan proses lebih lanjut. Dalam hal ini dipakai Salt Gradient Pond yang sangat tepat untuk diaplikasikan pada daerah pesisir Kawasan Timur Indonesia. Pada intinya Salt Gradient Pond adalah penyimpan panas dalam sebuah tambak dengan tingkat keasinan yang berbeda/bertingkat dan dengan menggunakan perbedaan tingkat keasinan air tersebut panas matahari tersimpan dalam larutan air asin yang hampir jenuh. Energi yang dapat dimanfaatkan dari laut secara umum dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu : Energi Gelombang Energi yang terkandung dalam gelombang cukup besar, yaitu rata-rata pada muka gelombang sebesar 20 – 70 kW/m. Jika daya ini dapat dikonversikan menjadi listrik dengan efisiensi 50%, maka dapat dihasilkan enrgi sebesar 10 – 35 kW/m untuk setiap meter garis pantai. Pengembangan energi gelombang di Indonesia sekarang ini sampai pada tahap proyek percontohan, yaitu di Pantai Baron, Yogyakarta dengan kapasitas sebesar 1,1 MW. Energi Pasang Surut dan Arus Pada teluk yang mempunyai perbedaan ketinggian air, dan perbedaan pada saat pasang
dan surut, berpotensi cukup tinggi untuk dimanfaatkan sebagai pembangkit dengan membendung teluk dengan pintu-pintu air. Di Indonesia, diperkirakan potensi energi pasang surut dan arus tidak terlalu besar. Walau begitu, dibeberapa daerah, potensi energi pasang surut dan arus diperkirakan masih layak untuk diterapkan sehingga masih dibutuhkan penelitian yang mendalam dalam bidang ini. Tempat-tempat yang mempunyai potensi energi pasang surut dan arus laut yang besar, yaitu: l Laut Aru, yaitu antara Kepulauan Aru hingga Papua bagian Selatan (muara Sungai Digul dan Pulau Dolak) dimana terdapat kisaran pasang surut sekitar 4 sampai 6 meter. l Penyempitan Selat Malaka di antara bagian utara Propinsi Riau dan bagian selatan Propinsi Sumatra Utara dimana terdapat kisaran pasang surut sekitar 4 meter. l Sekitar Teluk Sampit, bagian selatan Propinsi Kalimantan Selatan dimana terdapat kisaran pasang surut sekitar 3,5 meter. Energi Perbedaan Suhu Perbedaan suhu permukaan dan kedalaman lautan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi dengan peralatan konversi energi yang disebut Ocean Thermal Energy Convention (OTEC). Prinsip kerja OTEC berdasarkan pada prinsip thermodinamika dengan mengacu pada siklus rankine yang pada dasarnya menunjukkan suatu kemampuan kerja dapat dihasilkan bila tersedia sumber panas dengan temperatur relatif tinggi dan suatu sumber untuk menyerap panas (heat sink) dengan temperatur lebih rendah. Batasan umum temperatur kerja OTEC adalah temperatur
dalam laut sekitar 5C, sedangkan suhu permukaan sekitar 25C. Temperatur ini dapat menghasilkan selisih temperatur pada fluida kerja pada inlet dan outlet turbin sebesar 10C. Bila digunakan untuk pembangkit listrik efisiensi keseluruhan sekitar 2 – 2,5 %. Potensi energi perbedaan suhu di Indonesia cukup besar. Walau begitu bentuk energi ini di Indoensia masih dalam tahap penelitian. PERSIAPAN SUBMISI LANDAS KONTINEN KE CLCS (2004-2006) Berdasarkan ketentuan dalam United Nation Convention on the Law Of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, Indonesia sebagai negara pantai mempunyai kesempatan untuk menarik batas terluar landas kontinen melebihi 200 mil laut dari garis pangkal. Batas waktu melakukan submisi ini adalah pada 13 Mei 2009 dan akan diuji kebenaran submisinya oleh the Commission on the Limits of Continental Shelf (CLCS). Dalam mempersiapkan pelaksanaan submisi ini, sejak tahun 2003 Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, BRKP-DKP bersama BPPT, BAKOSURTANAL, JANHIDROS, DEPLU, PPGL, BP MIGAS, Geoteknologi-LIPI, HAGI, IAGI, Universitas Trisakti, Universitas Padjajaran, ITB, telah melaksanakan kegiatan-kegiatan berupa koordinasi kegiatan penentuan batas landaas kontinen, desktop study dan kajian hukum serta melakukan survei penentuan titik terluar batas landas kontinen Indonesia di luar 200 mil laut. Dari hasil Desktop Study, terdapat daerah-daerah yang berpotensi untuk dilakukannya klaim batas landas kontinen, antara lain: perairan sebelah
barat Aceh (sebagai prioritas utama), perairan selatan Sumba dan perairan utara Papua. Sebagai tindaklanjutnya, pada tanggal 21 Januari sampai dengan 25 Februari 2006 dilakukan survei landas kontinen Indonesia di perairan sebelah barat Aceh bersamaan dengan pelaksanaan ekspedisi SeaCause II dengan menggunakan Kapal Riset Sonne milik Jerman. Survei ini dilaksanakan dengan menggunakan metoda seismik refleksi multichannel, graviti, magnetik, batimetri, dan parasound. Metoda ini dapat memetakan kondisi geologi bawah permukaan laut khususnya untuk mengetahui ketebalan sedimen, densitas, umur, serta topografi permukaan dasar laut mulai dari daerah Palung ke arah lepas laut. Berdasarkan hasil survei dapat disimpulkan: 1. Dari dua lintasan survei seismik refleksi multichannel menghasilkan batas terluar landas kontinen Indonesia di luar 200 mil laut, pada koordinat: (91°54'48.96"T, 2°51'24.48"U) dan (91°39'51.84"T, 3°5'27.96"U). 2. Wilayah yang dimungkinkan untuk diklaim direkonstruksi berdasarkan garis yang melewati dua titik hasil survei, garis batas Indonesia/India dan garis ZEE. 3. Menurut prediksi hasil Desktop Study luasan wilayah yang dimungkinkan untuk diklaim 2172 km2, sedangkan menurut hasil survei 4163 km2. Perbedaan luasan wilayah antara Desktop Study (data global) dan hasil survei adalah 1991 km2. Sebagai kelanjutan dari hasil survei ini, pada tahun 2006 Pusat Riset Wilayah laut dan Sumberdaya Non Hayati, BRKP-DKP beserta instansi terkait
telah melaksanakan kegiatan penyusunan dokumen teknis guna melengkapi persyaratan yang diperlukan dalam pelaksanaan submisi batas landas kontinen Indonesia di luar 200 mil laut. Selain hal diatas, Departemen Kelautan dan Perikanan terus berupaya mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan khususnya potensi sumberdaya dasar laut melalui berbagai kegiatan riset dan pengembangan SDM, demikian arahan yang disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi, dalam pembukaan acara Seminar Internasional Prospek Sumberdaya Mineral Dasar Samudera " di Manado, pada tanggal 5 Maret 2007. Pembukaan seminar ini dihadiri oleh Gubernur dan Muspida Provinsi Sulawesi Utara serta Sekretaris Jenderal International Seabed Authority (ISA). Seminar yang berlangsung hingga tanggal 8 Meret 2007 dilaksanakan oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan - Departemen Kelautan dan Perikanan, bekerjasama dengan Pemda SULUT serta Sekretariat "International Seabed Authority" (ISA) mengadakan workshop di Indonesia dengan topik bahasan mengenai perkembangan potensi kekayaan mineral dasar samudera di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pemilihan Kota Manado sebagai tempat kegiatan seminar internasional dilakukan sebagai bentuk mensosialisasi Kota Manado kepada dunia internasional sebagai tempat pelaksanaan World Ocean Summit tahun 2009. Seminar yang diikuti oleh para peneliti Indonesia dari berbagai instansi baik perguruan tinggi maupun lembaga penelitian lainnya ini menghadirkan berbagai pembicara dari para pakar dalam dan luar negeri diantaranya Prof. Dr. Hasyim Djalal, Dr. Satya N. Nandan (Sekjen ISA),
Dr. Nii Allotey Odunton (Wakil Sekjen ISA), Dr. M. Shyam Prasad (India), Dr. Ray Binns (Australia), Dr. Mike Johnston (Australia), Dr. Shengxiong Yang (RRC), Dr. Kim Juniper (Canada), Dr. A.K.Sethi (India), Dr. V.J.Kodagali (India), dan Dr. Hermann R. Kudrass (Jerman). Seminar ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan ilmuwan dan masyarakat mengenai potensi kekayaan mineral dasar samudera diluar yuridiksi nasional; dan mengetahui perkembangan studi manganese nodules, polymetallic sulphides, metal rich seamont crusts, methane gas hydrate dan genetic resources di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik; mengetahui perkembangan studi dampak lingkungan dan status pemanfaatan biodiversity dasar samudera dan mengetahui peran "International Seabed Authority" (ISA) dalam pengaturan dasar samudera untuk menjamin pemanfaatan yang adil. Pada tahun 1965 John Mero telah menjadi perhatian dunia berkat temuannya tentang potensi kekayaan mineral dasar samudera berupa "Polymetallic Nodule", yaitu suatu batuan alamiah sebesar bola golf atau bola tennis dengan konsentrasi logam nikel, tembaga (copper) dan cobalt yang tinggi. Temuan Mero ini menjadi bukti hasil temuan Oceanic Expedition (1872-1876) tentang potensi polymetallic nodules. Sebagai anggota "International Seabed Authority", kiprah Indonesia di kancah Majelis International Seabed Authority antara lain Presiden Pertama Majelis ISA (1995-1996), Anggota Dewan kategori C (net exportir logam sejenis) dan sebelumnya pada kategori E (keseimbangan geografis), dan Anggota Financial Committee dan Legal and Technical Commission. Riset tentang manganese nodules, polymetallic
sulphides, metal rich seamont crusts, methane gas hydrate, telah dilakukan oleh Indonesia bekerjasama dengan Jerman dan Australia pada periode tahun 2000 - 2003 di perairan Indonesia, seperti Samudera Hindia, sebelah barat Sumatera dan selatan Jawa, di Laut Flores, Teluk Tomini, Laut Banda dan perairan Sangihe Talaud. Adapun keluaran dari kegiatan seminar ini adalah bertambahnya pengetahuan ilmuwan dan masyarakat Indonesia mengenai sumberdaya dasar laut, serta bertambahnya pengetahuan mengenai pelaksanaan pengaturan kekayaan sumberdaya tersebut, tatacara untuk memperoleh wilayah konsesi dengan segala hak dan kewajiban yang terkait. Seminar ini telah membuka wawasan untuk mengembangkan kerjasama antara Indonesia dengan negara lain dalam bidang riset mineral dan sumberdaya genetik dasar samudera. INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI SUMBERDAYA ARKEOLOGI LAUT Upaya pemerintah dalam pengelolaan BMKT dilakukan dengan cara mengikutsertakan semua pemangku kepentingan di pusat dan di daerah. Keikutsertaan pemangku kepentingan ini dilakukan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing unsur pemangku kepentingan tersebut. Pengelolaan pemanfaatan BMKT dilakukan sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan dalam Keppres no. 107 tahun 2000, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 03 tahun 2000, dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan N0. 39 tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis Perizinan Survei dan Perizinan Pengangkatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam. Selain itu, pengelolaan aset arkeologi bawah air dilakukan juga oleh instansi-instansi sektoral di pusat maupun daerah. Misalnya, Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati yang bernaung dibawah Badan Riset Kelautan dan Perikanan melakukan studi dan identifikasi aset arkeologi bawah air, bersama dengan instansi lain, pada aspek IPTEKnya, mengingat pengenalan potensi dan aset arkeologi bawah air memerlukan teknologi dan peralatan khusus. Data dan informasi yang diperoleh dari hasil kajian seperti ini akan sangat berguna untuk pengelolaan aset arkeologi tersebut, termasuk melindunginya.
Identifikasi dan inventarisasi titik-titik kapal tenggelam dilakukan melalui analisis atas data geografis, historis, dokumentatif, serta informasi lainnya. Informasi yang diperoleh melalui kegiatan seperti ini kemudian dapat dipergunakan untuk maksud-maksud pengelolaan. Melalui studi seperti ini dapat diketahui atau diperkirakan keberadaan BMKT asal abad ke 16 sampai abad ke 19 diperairan Nusantara yang tersebar di 463 titik di laut Riau, Bangka – Belitung, Selat Karimata, Bengkulu, Buton, Kalimantan Barat, Selat Makasar, perairan Maluku, Bali, laut Banda, laut Flores, laut Jawa, Ternate – Tidore, laut Timor dan sebagainya. Sebaran aset arkeologi bawak air tersebut perlu ditelaah lebih detil dan dilakukan kajian lebih lanjut, termasuk didalamnya aspek ekonomi, aspek ilmu pengetahu an dan budaya, dan aspek perlindung annya. Upaya lain yang dapat dilakukan terhadap titik-titik tersebut adalah menganalisa potensipotensi pemanfaatannya yang tetap berwawasan pelestarian. Potensi arkeologi bawah air juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi seperti pemanfaatan untuk objek wisata bahari (selam) dengan tetap memasukkan unsur-unsur pengetahuan sejarah, budaya, dan iptek. Pengembangan potensi ini juga dapat mendukung pembangunan di bidang kelautan dan perikanan di pusat dan daerah sekaligus menambah
informasi perjalanan sejarah budaya maritim bangsa ini. Pelaksanaannya dapat dilakukan melalui suatu kerjasama dengan instansi-instansi terkait (Kementrian Kebudayaan & Pariwisata) serta Pemda setempat dalam mengelola situs-situs kapal tenggelam (shipwreck) sebagai lokasi wisata bahari minat khusus.
kapal tenggelam dan artefak-artefaknya(BMKT dan matriks-nya) sebagai sumber ilmu pengetahuan dan sejarah budaya maritim. Untuk itu diperlukan tenaga ahli yang berkompeten dengan berbagai macam latar belakang ilmu seperti arkeologi, sejarah, ilmu kelautan, kimia, geologi laut, dan teknologi kapal dan sebagainya.
Pemanfaatan potensi arkeologi bawah air untuk pengembangan perekonomian negara yang melibatkan swasta perlu dikembangkan dan disempurnakan dengan mempertimbangkan nilai historis yang sangat penting bagi rekonstruksi sejarah maritim, dengan mengikutsertakan para ahli yang berkompeten sehingga kerusakan situs dan aset arkeologi bawah air dapat dihindari. Oleh karena itu perlu dibuat suatu aturan tentang penanganan situs arkeologi bawah air yang lebih memadai baik untuk maksud memanfaatkan nya secara ekonomi maupun untuk maksud melindunginya. Misalnya, dalam proses pengangkatan sedapat mungkin agar diusahakan investornya berasal dari dalam negeri, sehingga tanggung jawab pengelolaan situs menjadi lebih jelas. Selain itu, perlu ditingkatkan pengawasan lapangan untuk mencegah pemanfaatan ilegal dan perusakan situs.
Selanjutnya perlu dibuat studi khusus tentang peraturan perundang-undangan untuk arkeologi bawah air, baik di tingkat nasional maupun internasional, terkait dengan kebijakan pengelolaan asset/potensi peninggalan arkeologi bawah air. Misalnya, perlu dikaji kembali konsep potensi arkeologi bawah air dalam segi usia (apakah 100 atau 50 tahun), karena konsep 100 tahun berdasarkan konvensi internasional UNESCO 2001 telah diratifikasi oleh beberapa negara sedangkan Indonesia sendiri telah memiliki UU No. 5 Tahun 1992 yang menyebutkan usia 50 tahun untuk dapat disebut sebagai benda cagar budaya.
Strategi lain yang dapat ditempuh dalam rangka menyempurnakan pengelolaan aset arkeologi bawah laut adalah menjadikan titik-titik peninggalan arkeologi bawah air yang berupa
Wilayah dan Kadaster Laut
Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kewajiban untuk mengelola dan melindungi lautnya agar sumber dayanya tetap terjaga. Untuk mengelola dan melindunginya diperlukan suatu Kebijakan Kelautan Indonesia. Mengapa Indonesia sangat memerlukan strategi dalam mengelola laut ? karena setelah meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa dengan luas perairan menjadi 5,8 juta km2, yang terdiri dari perairan teritorial 0,3 juta km2, perairan Nusantara 2,9 juta km2, Zona Ekonomi Eksklusif 2,7 juta km2, dengan jumlah pulau 17.508 buah dengan dan panjang pantai mencapai 81.000 km. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah perairan Indonesia mencakup lebih dari dua per tiga dari seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Didalam perairannya yang sangat luas itu, tersimpan ribuan fenomena yang tidak pernah menyangka sebelumnya. Disana terdapat beraneka ragam spesies, mahluk-mahluk yang tidak biasa, gunung bawah laut yang tak terhingga banyaknya, dan juga air yang sangat gelap dan sangat dingin melebihi apa yang dibayangkan. Disanalah tempat ikan paus bermigrasi dari samudera selatan yang dingin menuju perairan tropis di utara, pegunungan laut yang puncaknya mencapai berkilo-kilo meter dari dasar laut, hutan lamun raksasa yang daunnya mencapai panjang tiga puluh lima
meter yang merupakan rumah bagi berbagai jenis udang-udangan, kerang-kerangan, dan beraneka macam spesies lainnya, dan masih banyak lagi lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Selama bertahun-tahun, eksploitasi dan penyalahgunaan laut telah terjadi. Pencemaran logam berat dan minyak tumpah, penangkapan ikan yang berlebihan, alga blooming, polusi suara
akibat industri, dan berkurangnya suatu jenis spesies secara signifikan adalah sedikit dari banyaknya contoh yang telah terjadi. Hutan lamun raksasa kini terganggu fungsi interaksinya berkaitan dengan naiknya temperatur air laut, pemanasan global, dan akibat polutan. Oleh karena alasan itulah diperlukan strategi bagaimana mengelola laut Indonesia.
Kajian Kebijakan Kelautan (2005 – 2006) Sebagai negara kepulauan, Indonesia selama ini belum dapat memanfaatkan sumber daya kelautan secara optimal. Pengelolaan dan pemanfaatan laut mencakup ruang lingkup yang luas, sehingga perlu juga disadari bahwa mengelola laut memiliki resiko tinggi terhadap kondisi alam, memerlukan investasi besar, dukungan teknologi dan SDM yang memadai. Mengingat laut Indonesia merupakan bagian dari laut dunia, maka dalam mengelola laut tidak dapat lepas dari peraturan hukum internasional yang berlaku.
sinkronisasi berbagai aspek tersebut diperlukan suatu kebijakan kelautan nasional. Hasil kajian selama ini telah menetapkan bahwa Kebijakan Kelautan Indonesia disusun sebagai arahan strategis dan komprehensif dalam rangka mewujudkan visi dan misi pembangunan kelautan nasional hingga 2025 yang difokuskan pada Membangkitkan Wawasan dan Budaya Bahari, Menetapkan Wilayah NKRI, Aset-aset dan Kewajiban-kewajiban sesuai yang telah digariskan UNCLOS '82, Meningkatkan dan menguatkan peran IPTEK, Riset dan Sistem Informasi Kelautan, Mengembangkan Kerjasama Regional dan Internasional bidang Kelautan, Mengembangkan Pola Perencanaan Berbasis Kewilayahan dan Ekosistem, Mengembangkan Industri Kelautan secara sinergi, optimal dan berkelanjutan, Meningkatkan dan menguatkan peranan Sumberdaya Manusia Bidang Kelautan, Mengembangkan kegiatan Ekonomi Produktif Skala Kecil (Pro Poor, Pro Growth, Pro Joob), Mengembangkan dan menerapkan Ocean Governance, Meningkatkan Pengelolaan Bencana Pesisir dan Laut, dan Mengamankan wilayah Kedaulatan, Yurisdiksi dan Aset Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pembangunan kelautan memiliki berbagai aspek antara lain aspek ekonomi, ekologi, pertahanan kemanan, politik, sosial dan budaya serta aspek penunjang lainnya. Berbagai aspek tersebut harus sinkron sehingga pembangunan kelautan dapat berjalan dengan baik. Untuk mewujudkan
Toponimi Laut Indonesia (2005 – 2006) Riset Toponimi Laut dilaksanakan pada tahun anggaran 2005 - 2006, pada tahun 2005 dilakukan kajian Toponimi Laut yang difokuskan pada kajian Toponimi Laut dalam rangka mendukung Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)
Aktifitas Kegiatan 1. Kajian Kebijakan Kelautan 2007 2. Pengembangan Basisdata Toponimi Maritim
berdasarkan topografi dasar laut sebagai langkah Penataan Zona Penangkapan Ikan. Hasil kajian tersebut diharapkan menjadi bahan masukan dalam rangka penguatan penataan berdasarkan kaidah toponimi laut dan morfologi dasar laut. Riset Toponimi Laut tahun 2006 difokuskan pada penyusunan Metodologi Survei dan melakukan identifikasi unsur-unsur Toponimi Laut dalam rangka tertib administrasi sebagai data dasar dalam Penataan Wilayah Laut. Hal ini disebabkan belum adanya panduan resmi tentang Metodologi Survei Toponimi Laut dan masih beragamnya nama-nama toponimi laut khususnya tanjung, selat dan teluk antara nama yang berlaku secara lokal dan yang tercatat secara nasional. Hasil kajian Toponimi Laut tahun 2006 telah dihasilkan Metodologi Survei Toponimi Laut yang disusun berdasarkan kajian hasil kegiatan survei lapangan dan tersusunnya nama-nama toponimi laut berdasarkan nama yang berlaku secara lokal pada daerah penelitian. Hal tersebut sebagai bahan masukan dalam penyusunan Gazeteer Toponimi Maritim Nasional. Selain itu, hasil kegiatan ini diharapkan dapat memberikan masukan secara kuantitatif dalam upaya penataan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) ke depan.