WILAYAH JABAR-DKI JAKARTA-BANTEN
KATA SAMBUTAN
SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA 2017
ii
Dekan FMIPA Universitas Indonesia Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam sejahtera untuk kita semua. Atas nama Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, dengan bangga saya mengucapkan selamat kepada semua peserta pada Seminar Nasional Matematika 2017 yang diselenggarakan pada tanggal 11 Februari 2017 di Universitas Indonesia, Depok. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada pihak IndoMS Pusat dan IndoMS Wilayah JABAR, Banten, dan DKI Jakarta atas kepercayaannya kepada Universitas Indonesia dalam hal ini Departemen Matematika FMIPA sebagai tuan rumah kegiatan sarasehan dan sosialisasi program kerja IndoMS Pusat dan IndoMS Wilayah JABAR, Banten, dan DKI Jakarta. Seminar Nasional ini merupakan seminar yang telah dilaksanakan secara bergantian oleh Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran sejak 20 tahun yang lalu. Pihak Universitas Indonesia sebagai salah satu perguruan tinggi yang menjadi pelopor perkembangan peran ilmu pengetahuan di Indonesia tidak henti-hentinya mendorong segenap civitas akademika, termasuk di FMIPA UI untuk menghilirkan penelitiannya agar dapat memberikan dampak nyata pada kemajuan bangsa dan tanah air. Saya ucapkan terima kasih kepada para pembicara utama, peserta dan tentunya kepada panitia pelaksana SNM 2017 ini. Semoga kegiatan ini dapat memberikan manfaat yang besar kepada kita semua dan bangsa Indonesia.
Salam hangat, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Dekan FMIPA Universitas Indonesia
Dr. rer. nat. Abdul Haris
iii
Gubernur IndoMS JABAR, Banten, dan DKI Jakarta Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam sejahtera untuk kita semua. Atas nama Indonesian Mathematical Society (IndoMS), sebuah kebanggaan yang besar bagi saya untuk menyampaikan selamat kepada semua peserta Seminar Nasional Matematika (SNM) 2017 yang diadakan pada tanggal 11 Februari 2017 di Departemen Matematika FMIPA UI, Depok. IndoMS pada tahun ini bekerjasama dengan pihak penyelenggara lokal, mengadakan cukup banyak aktivitas temu ilmiah di berbagai daerah di Indonesia, termasuk salah satunya pada tahun ini yaitu SNM 2017 yang dirangkaikan dengan Sarasehan IndoMS Wilayah JABAR, Banten, dan DKI Jakarta serta sosialisasi program kerja IndoMS Pusat. Penyelenggaraan SNM 2017 tidak hanya merupakan program berkelanjutan dari pihak IndoMS, Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran, namun juga merupakan sebuah kegiatan yang akan membawa peluang besar kepada seluruh pihak yang terlibat untuk menyeminarkan dan mendiskusikan hasil penelitian di berbagai bidang matematika. Kami mengucapkan terima kasih kepada para pembicara utama, peserta dari berbagai daerah di Indonesia, dan panitia SNM 2017. Ucapan terima kasih khususnya kami sampaikan kepada Departemen Matematika, FMIPA Universitas Indonesia yang bersedia menjadi tuan rumah. Saya berharap agar SNM 2017 ini dapat memberikan manfaat yang besar kepada kita semua.
Salam hangat, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Gubernur IndoMS JABAR, Banten dan DKI Jakarta.
Alhadi Bustamam, Ph.D.
iv
Ketua Panitia Seminar Nasional Matematika 2017 Salam sejahtera bagi kita semua. Matematika sebagai salah satu bidang ilmu yang penerapannya banyak digunakan di berbagai bidang, telah diterapkan pula pada berbagai kajian dan penelitian di masalah lingkungan. Pentingnya masalah pelestarian dan bagaimana mengatasi perubahan-perubahan fenomena lingkungan tersebut menjadi dasar dalam penentuan tema utama pada Seminar Nasional Matematika (SNM) 2017 ini, yakni “Peranan Matematika dalam Memahami Fenomena Lingkungan”. Seminar Nasional Matematika merupakan perkembangan dari Seminar Matematika Bersama UI-UNPAD yang telah dilaksanakan sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. SNM merupakan salah satu forum nasional bagi para matematikawan, peminat atau pemerhati Matematika dan para pengguna Matematika untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman terhadap hasil penelitian dan penerapan matematika di berbagai hal. Melalui SNM 2017 diharapkan peserta yang berasal dari berbagai perguruan tinggi dan institusi di Indonesia dapat berpartisipasi dan berkontribusi sesuai dengan kepakaran bidang masing-masing di dalam mengatasi dan menyelesaikan masalah lingkungan beserta berbagai fenomenanya. Makalah yang masuk ke pihak penyelenggara meliputi berbagai bidang, seperti Analisis dan Geometri, Aljabar, Statistika dan aplikasinya, Matematika Keuangan dan Aktuaria, Kombinatorika, Komputasi, Pendidikan Matematika, Optimisasi, Pemodelan Matematika dan bidang terapan lainnya. Penyelenggara SNM 2017 memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada berbagai pihak, antara lain Himpunan Matematika Indonesia wilayah Jabar, DKI Jakarta, dan Banten, Program Studi Matematika Universitas Padjadjaran, serta FMIPA UI yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam penyelenggaraan seminar nasional ini. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para sponsor yang telah berkontribusi dan kepada panitia SNM 2017 sehingga SNM 2017 dapat terselenggara. Hormat kami, Ketua Panitia SNM 2017
Bevina D. Handari Ph.D
v
UCAPAN TERIMA KASIH Panitia Seminar Nasional Matematika 2017 menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Pimpinan Universitas, Pimpinan Fakultas, Pimpinan Departemen, dan para sponsor, atas dukungannya dalam bentuk dana, fasilitas, dan lain-lain, untuk terselenggaranya seminar ini.
Secara khusus Panitia Seminar Nasional Matematika 2017 menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Rektor Universitas Indonesia 2. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 3. Ketua Departemen Matematika FMIPA Universitas Indonesia 4. Ketua Jurusan Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran 5. Direktur Utama PT Reasuransi Indonesia Utama 6. Rektor Universitas Gunadarma 7. Direktur Utama PT Tokio Marine Life Insurance Indonesia 8. Direktur Utama PT AIA Financial Indonesia 9. Direktur Utama PT BNI Life Insurance 10. Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan 11. Ketua Persatuan Aktuaris Indonesia (PAI) 12. Direktur Utama PT Asuransi Cigna
Panitia Seminar Nasional Matematika 2017 juga mengucapkan terima kasih kepada pembicara utama Prof. Dr. Jatna Supriatna, M.Sc (Ketua RCCC Universitas Indonesia), Dr. Sri Purwani (Dosen Departemen Matematika FMIPA Universitas Padjadjaran), Dr. Ardhasena Sopaheluwakan (Kepala Bidang Litbang Klimatologi dan Kualitas Udara BMKG), para pemakalah pada sesi paralel, setiap tamu undangan, dan seluruh peserta Seminar Nasional Matematika 2017.
vi
DAFTAR PANITIA SNM 2017 PELINDUNG 1. Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met. (Rektor Universitas Indonesia) 2. Dr. rer. nat. Abdul Haris (Dekan FMIPA Universitas Indonesia)
KOMISI PENGARAH 1. Alhadi Bustamam, Ph.D. (Gubernur IndoMS JABAR, DKI Jakarta, dan Banten, sekaligus sebagai Ketua Departemen Matematika, FMIPA Universitas Indonesia) 2. Prof. Dr. A.K. Supriatna (Ketua Jurusan Matematika, FMIPA Universitas Padjadjaran)
PANITIA PELAKSANA 1. 2. 3. 4.
Ketua Sekretaris Bendahara Pendanaan
5. Acara 6. Makalah dan Prosiding 7. Perlengkapan
: Bevina D. Handari, Ph.D. : Dr. Dipo Aldila : Dra. Siti Aminah, M.Kom. : Mila Novita, S.Si., M.Si. Dr. Titin Siswantining, DEA. : Nora Hariadi, S.Si., M.Si. Dra. Ida Fithriani, M.Si. : Dra. Siti Nurrohmah, M.Si. Dr. rer. nat. Hendri Murfi : Maulana Malik, S.Si., M.Si. Dr. Saskya Mary Soemartojo, M.Si. Suci Fratama Sari, S.Si., M.Si. Gianinna Ardaneswari, S.Si., M.Si.
vii
DAFTAR ISI KATA SAMBUTAN .......................................................................................... ii Dekan FMIPA Universitas Indonesia .............................................................. iii Gubernur IndoMS JABAR, Banten, dan DKI Jakarta.................................. iv Ketua Panitia Seminar Nasional Matematika 2017 ......................................... v UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vi DAFTAR PANITIA SNM 2017 ...................................................................... vii DAFTAR ISI.................................................................................................... viii
PEMBICARA UTAMA .................................................................................... xi PERANAN MATEMATIKA DALAM MEMAHAMI FENOMENA LINGKUNGAN................................................................................................. xii Prof. Dr. Jatna Supriatna, M.Sc ...................................................................... xii UNDERSTANDING INDONESIAN ENVIRONMENTAL PHENOMENA, AND IMPROVING HUMAN LIVES ............................................................ xiv Dr. Sri Purwani .............................................................................................. xiv PERSPEKTIF SINGKAT IKLIM DI INDONESIA: PEMODELAN DAN STATUS PERUBAHAN IKLIM. .................................................................... xv Dr. Ardhasena Sopaheluwakan ....................................................................... xv
SESI PARALEL ............................................................................................. 923 PENDIDIKAN ................................................................................................ 923 PENGEMBANGAN VIDEO PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS SCIENTIFIC APPROACH PADA MATERI LINGKARAN KELAS VIII SMP ........................................................................................... 924 HENI PUJIASTUTI1 DAN ISNA RAFIANTI2 ............................................ 924 DESAIN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR) DENGAN TOPIK OPERASI BILANGAN BULAT PADA ANAK UMUR 910 TAHUN (KELAS III SD) UNTUK MENINGKATKAN MINAT BELAJAR PESERTA DIDIK DALAM PROSES PEMBELAJARAN ..... 933 NURHIDAYAH ........................................................................................... 933 PENGEMBANGAN BAHAN AJAR GEOMETRI BERBASIS AUGMENTED REALITY ............................................................................. 940
viii
IQBAL WAHYU SEPTIYADI1, AHMAD ZULFAKAR RAHMADI2....... 940 PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA (LKS) BERBASIS PENEMUAN TERBIMBING BERBANTUAN MICROSOFT MATHEMATICS PADA TOPIK TURUNAN BAGI SISWA SMA .......... 948 AAN SUBHAN PAMUNGKAS .................................................................. 948 PEMBELAJARAN BERBASIS GUIDED DISCOVERY BERBANTUAN GEOGEBRA UNTUK MELATIH PENALARAN SISWA PADA MATERI FUNGSI KUADRAT ...................................................................................... 954 AHMAD ZULFAKAR RAHMADI1, NOVI MURNIATI2, INDRA BAYU MUKTYAS3.................................................................................................. 954 PENGEMBANGAN BUKU PENGAYAAN SMA TENTANG APLIKASI TRIGONOMETRI DALAM BERBAGAI BIDANG .................................. 972 H. PARDIMIN1 DAN I NYOMAN ARCANA2 .......................................... 972 PEMBELAJARAN PECAHAN SENILAI DENGAN MENGGUNAKAN MODEL HIMPUNAN DI KELAS VII ......................................................... 983 AL-NINDU BUNGA SABRINA1, DARMAWIJOYO2, DAN YUSUF HARTONO3 .................................................................................................. 983 PENGARUH PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNRELASIONAL .. 994 SAMSUL HADI ........................................................................................... 994 PENGGUNAAN SELF REGULATED LEARNING SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BELAJAR MANDIRI DAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI MATEMATIKA SISWA ..................... 1006 ERMA MONARISKA1............................................................................... 1006 DESAIN PEMBELAJARAN ASPEK PERKEMBANGAN KOGNITIF PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DENGAN MENGGUNAKAN PERMAINAN DI TK BINAMA GLOBAL SCHOOL .............................. 1020 ROSMALIA SEPTIANA1, RATU ILMA INDRA PUTRI2, DAN YUSUF HARTONO3 ................................................................................................ 1020 PENGARUH PENGETAHUAN MATEMATIKA UNTUK MENGAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA ................................................... 1024 SUGILAR ................................................................................................... 1024 UPAYA PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG PERKALIAN SISWA KELAS VII SMP PGRI 184 LEGOK MELALUI PEMBERIAN LATIHAN DALAM BENTUK CROSS NUMBER PUZZLE ................. 1035 DAMIRA KOGOYA1, PETER JOHN2, BUDI UTAMI3 ........................... 1035
ix
PENINGKATAN KEMAMPUAN OPERASI HITUNG CAMPURAN SISWA KELAS III SD MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF .............................................................................................. 1045 ASWIN SAPUTRA .................................................................................... 1045 UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI GURU MATEMATIKA DALAM MELAKUKAN PUBLIKASI ILMIAH KEMATEMATIKAAN ............. 1052 RINA OKTAVIYANTHI1 RIA NOVIANA AGUS2 ................................ 1052 PEMBELAJARAN MATERI RATA-RATA DENGAN MENGGUNAKAN DIAGRAM BATANG MELALUI PENDEKATAN PMRI ...................... 1059 RATIH PUSPA SARI1, DARMAWIJOYO2, YUSUF HARTONO3 ........ 1059 MENGOPTIMALKAN LONG TERM MEMORY DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH ............................... 1071 YUNITA HERDIANA1, YULIANA SELFIA EKO2, ................................ 1071 PENGARUH MODEL GUIDED DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA KELAS XI SMA NEGERI 23 KABUPATEN TANGERANG ............................................... 1080 ATIKAH MARINI1, PETER JOHN2, DAN BUDI UTAMI3 ..................... 1080 ANALISIS GEOMETRI PADA BILAH KERIS SENGKELAT ............. 1089 ARIF SUSANTO1, NOVANOLO C. ZEBUA2 .......................................... 1089 PENERAPAN FUNGSI KONTINU PADA TEOREMA INTEGRAL RIEMANN UNTUK MENCARI SUHU RATA-RATA SUATU DAERAH ........................................................................................................................ 1105 SOEGANDA FORMALIDIN, SOFIA DEBI PUSPA, DAN KIKI A. SUGENG .................................................................................................... 1105 KAJIAN GEOMETRI PADA MOTIF KAIN ULOS RAGI HOTANG MASYARAKAT BATAK TOBA ................................................................ 1118 MARIA KRISTIN S. SIHOMBING 1, SCOLASTIKA LINTANG R. RADITYANI2 ............................................................................................. 1118 KEMAMPUAN SISWA SMP KELAS VIII DALAM MEMBUAT MASALAH MATEMATIKA BERDASAR MEDIA KORAN ................. 1126 GEORGIUS ROCKI AGASI1, YAKOBUS DWI WAHYUONO2 ............ 1126
x
PEMBICARA UTAMA SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA 2017
xi
PERANAN MATEMATIKA DALAM MEMAHAMI FENOMENA LINGKUNGAN Prof. Dr. Jatna Supriatna, M.Sc Ketua RCCC Universitas Indonesia
Abstrak: Pembangunan berkelanjutan (SDG-Sustainable Development Goal) yang dicanangkan PBB untuk menggantikan Millenium Development Goal (MDG) sudah dimulai sejak awal 2016 dan akan berakhir 2030. Dari 17 goal dari SDG, 10 goal adalah traditional development, satu goal adalah
kerjasama
antar pemangku
kepentingan (SDG 17) dan 6 goal adalah emerging issues dalam permasalahamn lingkungan yaitu Energi terbarukan (SDG 7), Pembangunan kota dan masyarakat (SDG 11), Konsumsi bertanggung jawab (12), Perubahan iklim (SDG 13), Laut dan kehidupan bawah air (SDG 14), dan Kehidupan Flora dan Fauna di darat (SDG 15). Ke enam permasalahan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan yang baru ini tidak ada dalam target pembangunan MDG, sehingga banyak sekali diperlukan riset untuk
dapat membuat berbagai kebijakan yang berdasarkan
evidence based decision, mengadaptasikan rencana sesuai dengan kesiapan dan ketersediaan,
pembuatan
berbagai
computer
and
mathematical
model
pengembangan SDG sampai 2030, mengarusutamakan SDG ke dalam rencana pembangunan RPJM/RPJP pemerintah pusat dan daerah dan bagaimana membuat MRV (Measuring, Reporting, Verification) dari setiap goal yang baru. Peranan pakar matematika sangat besar dalam
membantu pelaksanaan
pembangunan
berkelanjutan. Sebagai contoh adalah masalah perubahan iklim. Masalah perubahan iklim adalah masalah terbesar dunia saat ini. Hasil survey Asahi Glass Foundation (2013) tampak bahwa masalah dunia terbesar saat ini adalah perubahan iklim (20%) dibanding dengan masalah lingkungan lainnya yang berkisar antara 10% (polusi) , keanekaragaman hayati (6%) dan yang lainya. Model-model matematika dan komputer diperlukan untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kenaikan permukaan laut, cuaca ekstrim, kesehatan, ekonomi, pertanian, flora dan fauna, ketersediaan pakan, air dan lainnya
dalam bentuk time series. Untuk MRV,
diperlukan pedoman Pelaksanaan Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi Aksi Mitigasi dan adaptasi dari setiap program di setiap sektor pemerintah, swasta dan
xii
juga termasuk masyarakat. Capaian Aksi Mitigasi dan adapatasi Perubahan Iklim yang akurat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan hanya dapat dilakukan apabila dilakukan oleh berbagai pakar terintegrasi termasuk pakar matematika dan statistik. Pemerintah harus mengatur (i) tatacara Pengukuran Aksi Mitigasi adaptasi dan Perubahan Iklim, (ii) tatacara pelaporan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (iii) tatacara verifikasi capaian aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (iv) tatacara penilaian. Semua pengaturan tersebut memerlukan perhitungan yang pasti dan mendalam karena dampak dari perubahan iklim dapat perekonomian,
membahayakan keberadaan ekosistem manusia,
panjang dapat mempengaruhi peradaban dunia.
xiii
menghancurkan dalam jangka
UNDERSTANDING INDONESIAN ENVIRONMENTAL PHENOMENA, AND IMPROVING HUMAN LIVES Dr. Sri Purwani Departemen Matematika, FMIPA Universitas Padjadjaran
Abstract: The universe and the environment around us were created perfectly by Alloh. However, we find a lot of damage and disaster everywhere (Ar-Rum 30:41). This case, afflicting the environment and people of Indonesia, of course was through a long process. Indonesia, the country with the largest ocean border in the world, has experienced prosperity, well-being and peace in society. Understanding what the cause and how the process of occurrence, can provide answers for future improvements. Human beings as part of the environment face the same thing. Various disease emerges, afflicts human survival. Imaging Sciences as a branch of knowledge is widely used in medical images analysis, range from disease detection, such as Alzheimer's, asthma, cancer and so on, up to image-guided surgery. This field involves many disciplines, hence providing opportunities for mathematicians to conduct research collaboration with scientists from various disciplines. Registration and Segmentation, two important processes in the analysis of medical images, aims to find correspondence between two or more images, and attempts to extract structures/tissues within images, respectively. Previously, both processes are done separately. However, information from one process can be used to assist the other, and vice versa. Therefore, we tried to combine both processes implemented on database of MR brain images. One of Petrovic et al. paper shows that adding structural information in their registration stage improved the result significantly, compared to registration using intensity alone. However, they only used little structural information. We attempted to include more structural information/segmentation in our new methods, and implemented groupwise registration to sets of images, consisting of tissue fraction images, intensity image and images with other structural information. The results of the registration were evaluated by using ground-truth annotation. It was found that ensemble registration using structural information can give a consistent improvement over registration using intensity alone of 25%-35%.
xiv
PERSPEKTIF SINGKAT IKLIM DI INDONESIA: PEMODELAN DAN STATUS PERUBAHAN IKLIM. Dr. Ardhasena Sopaheluwakan Kepala Bidang Litbang Klimatologi dan Kualitas Udara Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
Abstrak: Iklim memiliki peranan penting dalam mendukung perikehidupan di bumi ini. Memiliki pengetahuan mengenai evolusi iklim (lampau dan kini) akan memberikan pemahaman untuk penggunaannya pada sektor yang penting, semisal pertanian dan ketahanan pangan. Sedangkan memiliki kemampuan untuk prediksi iklim yang akan datang, akan memberikan keunggulan untuk perencanaan strategis pembangunan bangsa-bangsa agar perikehidupannya dapat berkelanjutan (sustainable development). Untuk mendapatkan deskripsi yang lengkap atas dinamika iklim di atmosfir, melibatkan pemodelan dengan rentang skala ruang yang sangat besar, melibatkan ukuran dari micrometer (butiran awan) hingga ribuan kilometer (planetary scale), yang melingkupi rentang ukuran ruang hingga 10^{14} meter. Pada saat ini pemodelan yang tersedia baru memenuhi sebagian dari skala rentang yang besar tersebut, sehingga tantangan untuk melengkapinya masih terbuka lebar. Presentasi ini akan memberikan beberapa highlight mengenai pemodelan iklim, karakter iklim di Indonesia, dan perubahan iklim yang sedang terjadi
xv
SESI PARALEL PENDIDIKAN SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA 2017
923
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 924-932
PENGEMBANGAN VIDEO PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS SCIENTIFIC APPROACH PADA MATERI LINGKARAN KELAS VIII SMP HENI PUJIASTUTI1 DAN ISNA RAFIANTI2 1 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa,
[email protected] 2 Universitas Sultan Ageng Tirtayasa,
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perkembangan zaman yang menuntut anak didik agar dapat bersaing di abad 21 ini terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu berdasarkan hasil wawancara dengan guru di sekolah menyatakan bahwa kurangnya sumber belajar berbasis teknologi menjadi tujuan peneliti untuk mengembangkan bahan ajar video denga n menggunakan scientific approach pada materi lingkaran kelas VIII SMP, dimana scientific approach ini merupakan pendekatan yang ditekankan pada kurikulum 2013 dan video merupakan media audio visual yang memudahkan siswa mengingat serta memahami materi. Penelitian ini dilakukan sesuai dengan prosedur penelitian dan pengembangan yang terdiri dari: 1) studi pendahuluan, 2) perencanaan penelitian, 3) pengembangan desain, 4) preliminary field test, 5) revisi preliminary field test. Pada tahap preliminary field test, dilakukan uji ahli untuk melihat tingkat kevalidan produk, hasilnya yaitu dari uji ahli matematika dan ahli multimedia menyatakan bahwa produk valid sehingga boleh digunakan dengan revisi kecil, dan dari uji ahli pendidikan menyatakan bahwa produk sangat valid sehingga sangat baik untuk digunakan. Selain itu dilakukan uji terbatas terhadap sembilan siswa yang menyatakan layak yang artinya produk sangat menarik untuk dipelajari atau digunakan. Kata kunci: video pembelajaran, scientific approach, lingkaran.
1. Pendahuluan Tujuan pendidikan nasional akan tercapai secara optimal jika dapat mengikuti perkembangan zaman yang semakin pesat dimana menuntut anak didik agar dapat menjawab tantangan abad 21 saat ini terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin tingginya kebutuhan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan motivasi kepada para pendidik untuk terus mengembangkan proses belajar mengajar dengan menggunakan media pembelajaran yang erat kaitannya dengan teknologi informasi. Hal ini ditegaskan dalam UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen telah diputuskan bahwa setiap Guru (harus) dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan teknologi saat ini, penggunaan media pembelajaran akan sangat membantu guru dalam peningkatan keefektifan pembelajaran. Seperti yang dinyatakan oleh [1]
924
bahwa media pembelajaran adalah sarana pendidikan yang dapat digunakan sebagai perantara dalam proses pembelajaran untuk mempertinggi efektifitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan pengajaran. Dengan demikian guru diharapkan dapat memanfaatkan berbagai media belajar secara efektif dan efisien dalam pembelajaran dikelas, dengan berbagai program pembelajaran yang dapat dikembangkan. Sebenarnya sudah banyak media yang tersedia bagi guru, namun yang penting dalam merencanakan pembelajaran dan mengimplementasikannya dalam mengajar ialah bagaimana menggunakan alat-alat media pendidikan ini sebagai suatu sistem yang terintegrasi dalam pembelajaran [2]. Selain itu, beragam media juga dapat dikembangkan oleh guru untuk membantunya dalam proses pembelajaran baik dari media visual maupun audio-visual. Inilah yang sepatutnya dikembangkan oleh guru sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan dapat membangkitkan motivasi serta merangsang siswa untuk belajar sekaligus memberikan pengaruh psikologis bagi siswa lewat interaksi-interaksi yang dibutuhkan selama proses pembelajaran berlangsung. Interaksi dalam pembelajaran yang berlangsung melibatkan pendidik dan peserta didik dimana media sebagai perantara yang dapat membawa informasi dan pengetahuan ke dalamnya. Selain itu, media juga merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima pesan yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, minat, dan kemauan serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri siswa[3]. Oleh karena itu, menurut Dick and Carey [4] pendidik harus pandai merancang, menyusun, mengevaluasi, menganalisis hingga merevisi dan mengembangkan media terhadap materi yang disampaikan kepada peserta didik. Salah satu media yang dapat merangsang pikiran, perhatian dan minat belajar adalah media audio visual atau berupa video pembelajaran. Media dengan video jelas lebih cenderung mudah mengingat dan memahami pelajaran karena tidak menggunakan satu jenis indra. [5] menyatakan bahwa hasil penelitian dengan pembelajaran visual dapat menaikkan ingatan 14% menjadi 38%. Penelitian ini juga menunjukkan hingga 200% perbaikan kosa kata ketika diajarkan dengan visual. Bahkan waktu yang diperlukan untuk penyampaian konsep berkurang sampai 40% untuk menambah presentasi verbal [6]. Selaras dengan hal di atas, adanya perubahan kurikulum yang berganti menjadi kurikulum 2013 menekankan dalam penerapannya lebih kepada pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran. Oleh karena itu, video pembelajaran dirasa cocok untuk digunakan dalam proses pembelajaran matematika pada materi lingkaran. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara pada beberapa guru di salah satu SMP Negeri di Kota Serang yang mengatakan bahwa penggunaan bahan ajar pada pelajaran matematika yang menggunakan teknologi informasi sudah dilakukan seperti membuat bahan ajar dengan power point akan tetapi masih belum pernah menggunakan bahan ajar video. Pada saat wawancara, guru memberikan saran untuk membuat bahan ajar video dengan materi lingkaran, karena materi ini dianggap cukup sulit oleh siswa. Pada materi lingkaran, siswa kesulitan dalam memahami konsep dan memvisualisasikannya, sehingga video cocok digunakan untuk membantu siswa mengatasi permasalahan tersebut ditambah bahan ajar video ini mengaitkan dengan persoalan di kehidupan sehari-hari. Sejalan dengan kurikulum 2013 bahwa guru harus menggunakan pendekatan saintifik dalam pembelajarannya sehingga memerlukan langkah-langkah pokok yaitu meliputi mengamati (observing), menanya
925
(questioning), menalar (associating), mencoba (experimenting), dan membentuk jejaring (networking) [7]. Berdasarkan hal tersebut di atas, bahan ajar yang ada saat ini dikembangkan menjadi video pembelajaran yang mengacu pada Kurikulum 2013 yang berbasis scientific approach yang di dalamnya terdapat lima komponen tahapan pendekatan saintifik yaitu komponen mengamati, komponen menanya, komponen menalar, komponen mencoba, dan komponen membentuk jejaring. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengembangkan video pembelajaran dengan menggunakan scientific approach pada materi lingkaran kelas VIII SMP yang menunjang implementasi Kurikulum 2013. Pengembangan video pembelajaran ini tetap berpedoman pada buku yang telah direkomendasi atau pengesahan dari dinas pendidikan untuk mempermudah siswa dalam pembelajaran, tetapi dilengkapi menjadi bahan ajar yang memiliki ilustrasi yang dibuat dengan media video, sehingga bahan ajar yang dibuat dapat memotovasi siswa dalam proses pembelajaran.
2. Hasil – Hasil Utama Media dengan menggunakan video cenderung akan lebih memudahkan siswa dalam mengingat dan memahami pelajaran, karena tidak menggunakan satu jenis indra, serta sebagai variasi belajar matematika yang sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013. Tahapan pada penelitian ini dilakukan sesuai dengan prosedur penelitian dan pengembangan dari [8]. Dari 10 tahap penelitian pengembangan yang ada, peneliti melakukan sampai pada tahap kelima yang terdiri dari: 1) studi pendahuluan, 2) perencanaan penelitian, 3) pengembangan desain, 4) preliminary field test, 5) revisi preliminary field test. Berikut penjelasannya: 1.
Studi pendahuluan Studi pendahuluan merupakan tahap awal dalam penelitian ini, hal-hal yang dilakukan adalah menganalisis kebutuhan serta mencari studi literatur. Pada tahap ini ditemukan bahwa: a. Dibutuhkan bahan ajar yang menunjang implementasi Kurikulum 2013 yang menekankan pada penerapan pendekatan saintifik. b. Hasil studi literatur beberapa penelitian melaporkan bahwa video pembelajaran mampu membantu siswa dalam mengingat dan memahami materi atau konsep matematika yang dipelajari. c. Hasil wawancara terhadap guru di salah satu SMP Negeri di kota Serang mengatakan bahwa penggunaan bahan ajar pada pelajaran matematika yang menggunakan teknologi informasi sudah dilakukan seperti power point akan tetapi masih belum pernah menggunakan bahan ajar video. Materi lingkaran dianggap cukup sulit oleh siswa sehingga video cocok digunakan untuk membantu memvisualisasikan konsep. 2.
Perencanaan penelitian Setelah dilakukan studi pendahuluan, selanjutnya dilakukan perencanaan penelitian yaitu dengan menetapkan tim yang membantu peneliti dengan terlebih dahulu menetapkan kualifikasi dan bentuk-bentuk partisipasinya dalam penelitian ini. Hasilnya, ditetapkan empat orang yang menjadi tim peneliti yang akan membantu peneliti dalam mengembangkan Video Pembelajaran Berbasis Scientific Approach.
926
Empat orang tim peneliti yang membantu dalam proses pengembangan bahan ajar video ini memiliki tugas sebagai berikut: pengambilan video (shooting), editing dan rendering video. 3.
Pengembangan desain Tahap selanjutnya adalah pengembangan desain yaitu dengan merancang desain awal sampai dengan desain Video Pembelajaran Berbasis Scientific Approach yang siap divalidasi ahli (matematika, pendidikan matematika, dan multimedia) dan siap diuji coba secara terbatas kepada siswa, serta mengembangkan instrumen penelitian lainnya seperti Angket Siswa baik angket tertutup maupun angket terbuka. Pada tahap ini, pengembangan terhadap bahan ajar tersebut berupa pendalaman materi yang akan digunakan, pembuat konsep video secara lebih detail atau rinci (misalnya bagian-bagian apa saja yang akan ditampilkan dalam video, apa saja isi dalam video, ilustrasi masalah serta simulasi penyelesaian masalah, aplikasi materi dalam kehidupan sehari-hari yang disusun dengan scientific approach), proses perekaman video sesuai dengan konsep yang telah dibuat, pengeditan video sesuai dengan konsep agar lebih rapi, jelas, dan menarik. Terakhir adalah proses rendering video agar dapat dibentuk ke dalam format mp4 sebagai bahan ajar pembelajaran matematika.
Gambar 2.1 Desain awal Video Pembelajaran Berbasis Scientific Approach Gambar 2.1 merupakan hasil pengembangan desain awal produk Video Pembelajaran Berbasis Scientific Approach yang terdapat pada cuplikan video. 4. Preliminary field test Setelah tahap pengembangan desain dilakukan, selanjutnya adalah tahap preliminary field test. Pada tahap ini dilakukan uji ahli untuk mengetahui tingkat kelayakan video pembelajaran yang dikembangkan sebelum video pembelajaran digunakan secara umum. Setelah produk selesai dikerjakan dan dikembangkan, pada tahap ini adalah menguji valid tidaknya produk ke ahli yang kompeten terhadap video pembelajaran ini. Uji ahli dilakukan oleh ahli matematika (dosen pendidikan matematika) untuk
927
menilai isi serta penyajian yang berkaitan dengan materi matematika, ahli pendidikan (guru matematika) untuk menilai isi serta penyajian yang berkaitan dengan istilah-istilah dalam bidang pendidikan, dan ahli multimedia (dosen multimedia) untuk menilai isi serta tampilan dari bahan ajar video ini. Validasi produk dilakukan dengan cara pemberian angket ke para ahli. Angket uji ahli menggunakan skala Likert. Selain itu, pada tahap ini dilakukan pula uji coba secara terbatas kepada beberapa siswa kelas VIII dari beberapa sekolah dengan total keseluruhan siswa yaitu 9 subyek. Berdasarkan data angket validasi yang diperoleh, rumus yang digunakan untuk menghitung hasil angket dari ahli matematika, pendidikan dan multimedia adalah sebagai berikut [9]: 𝑛
𝑠 = ∑ 𝑥𝑖 𝑖=1
dimana: s = skor 𝑛 ∑𝑖=1 𝑥𝑖 = Jumlah nilai jawaban validator sampai n pernyataan Pencapaian nilai skor diperoleh dengan cara membuat kelas-kelas interval. Skor minimal adalah n pernyataan dan skor maksimal adalah empat dikali n pernyataan, karena penggunaan skor skala Likert yang terdiri dari 1, 2, 3, dan 4. Selanjutnya untuk menentukan jarak atau interval dari kelas yang pertama dengan kelas yang kedua dan seterusnya yaitu dengan mengurangi skor maksimal dan skor minimal kemudian dibagi empat (akan dibuat empat kelas atau empat kriteria). Hasil yang diperoleh dari uji ahli dan uji coba terbatas diantaranya: a.
Hasil Angket Uji Ahli Matematika
Uji ahli matematika dilakukan oleh dosen pendidikan matematika. Berikut adalah kriteria tingkat kevalidan yang terdiri dari 14 pernyataan indikator berdasarkan lima aspek yaitu aspek isi (empat pernyataan), penyajian (tiga pernyataan), kelengkapan istilah (tiga pernyataan), rangkuman (satu pernyataan) dan kebahasaan (dua pernyataan) dalam video pembelajaran matematika Tabel 2.1 Kriteria Tingkat Kevalidan Video Pembelajaran Matematika Pencapaian Nilai (skor) 14,00 ≤ 𝑠 ≤ 24,50 24,50 < 𝑠 ≤ 35,00 35,00 < 𝑠 ≤ 45,50 45,50 < 𝑠 ≤ 56,00
Kategori Validitas Tidak Valid Cukup Valid Valid Sangat Valid
Keterangan Tidak boleh digunakan Boleh digunakan dengan revisi besar Boleh digunakan dengan revisi kecil Sangat baik untuk digunakan
Berdasarkan uji validasi ahli matematika maka produk video pembelajaran yang dikembangkan memiliki total skor sebesar 41, artinya memiliki kriteria valid sehingga boleh digunakan dengan revisi kecil. Perolehan total skor diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh jawaban angket yang diisi oleh ahli matematika.
928
b.
Hasil Angket Uji Ahli Pendidikan
Uji ahli pendidikan dilakukan oleh guru matematika salah satu sekolah negeri di Kota Serang. Berikut adalah kriteria tingkat kevalidan yang terdiri dari 24 pernyataan indikator berdasarkan enam aspek, yaitu pengantar (satu pernyataan), kelayakan isi (lima pernyataan), penyajian (sembilan pernyataan), kelengkapan istilah (tiga pernyataan), rangkuman (satu pernyataan), dan kebahasaan (lima pernyataan) dalam video pembelajaran matematika Tabel 2.2 Kriteria Tingkat Kevalidan Video Pembelajaran Matematika Pencapaian Nilai (skor) 24 ≤ 𝑠 ≤ 42 42 < 𝑠 ≤ 60 60 < 𝑠 ≤ 78 78 < 𝑠 ≤ 96
Kategori Validitas Tidak Valid Cukup Valid Valid Sangat Valid
Keterangan Tidak boleh digunakan Boleh digunakan dengan revisi besar Boleh digunakan dengan revisi kecil Sangat baik untuk digunakan
Berdasarkan uji validasi ahli pendidikan maka produk video pembelajaran yang dikembangkan memiliki total skor sebesar 91, artinya memiliki kriteria sangat valid sehingga boleh digunakan dengan revisi kecil. Perolehan total skor diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh jawaban angket yang diisi oleh ahli pendidikan. c.
Hasil Angket Uji Ahli Multimedia
Uji ahli multimedia dilakukan oleh dosen jurusan matematika yang mengampu mata kuliah multimedia. Berikut adalah kriteria tingkat kevalidan yang terdiri dari 20 pernyataan indikator berdasarkan lima aspek yaitu aspek tampilan (sembilan pernyataan), navigasi (pernyataan), keterpaduan isi atau materi (tiga pernyataan), kebahasaan (tiga pernyataan), dan kemudahan (satu pernyataan) dalam video pembelajaran matematika. Tabel 2.3 Kriteria Tingkat Kevalidan Video Pembelajaran Matematika Pencapaian Nilai (skor) 20 ≤ 𝑠 ≤ 35 35 < 𝑠 ≤ 50 50 < 𝑠 ≤ 65 65 < 𝑠 ≤ 80
Kategori Validitas Tidak Valid Cukup Valid Valid Sangat Valid
Keterangan Tidak boleh digunakan Boleh digunakan dengan revisi besar Boleh digunakan dengan revisi kecil Sangat baik untuk digunakan
Berdasarkan uji validasi ahli multimedia maka produk video pembelajaran yang dikembangkan memiliki total skor sebesar 60, artinya memiliki kriteria valid sehingga boleh digunakan dengan revisi kecil. Perolehan total skor diperoleh dengan cara menjumlahkan seluruh jawaban angket yang diisi oleh ahli multimedia. Berdasarkan uji ketiga ahli, jika masing-masing skor dibuat persentasenya, maka skor ahli matematika sebesar 41 adalah 73,21%. Sedangkan skor dari uji ahli pendidikan dan ahli multimedia sebesar 91 dan 60 sehingga jika di persentasekan menjadi 94,79% dan 75%. Jika di rata-ratakan maka dari uji ketiga ahli, bahan ajar berupa video pembelajaran ini memiliki persentase 81%, artinya sudah berada diatas indikator keberhasilan.
929
d.
Hasil Angket Penilaian Respon Siswa Uji coba skala terbatas dilakukan di beberapa sekolah di Kota Serang dan mengambil subyek sebanyak 9 orang. Angket respon siswa yang diberikan bersifat tertutup dan terbuka. Berikut adalah kriteria tingkat kelayakan untuk menentukan menarik atau tidaknya video pembelajaran dari angket tertutup siswa. Aspek atau indikator yang dilihat adalah rasa senang terhadap bahan ajar yang diberikan, kecenderungan bertindak siswa guna memperdalam pelajaran matematika setelah menggunakan bahan ajar, dan Pemahaman manfaat pelajaran matematika setelah menggunakan bahan ajar. Tabel 2.4 Kriteria Tingkat Kelayakan Produk Pencapaian Nilai (skor) 10 ≤ 𝑠 ≤ 17,50 17,50 < 𝑠 ≤ 25,00 25,00 < 𝑠 ≤ 32,50 32,50 < 𝑠 ≤ 40
Kategori Kelayakan Kurang Menarik Cukup Menarik Menarik Sangat Menarik
Tabel 2.5 Rekapitulasi Tingkat Kelayakan Produk Responden (R) R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 rata-rata
Skor 27 25 25 36 35 36 33 29 31 30,78
Kategori Kelayakan Menarik Cukup menarik Cukup menarik Sangat Menarik Sangat Menarik Sangat Menarik Sangat Menarik Menarik Sangat Menarik Sangat Menarik
Berdasarkan angket tertutup penilaian respon siswa sebanyak 9 responden (R) maka produk bahan ajar yang dikembangkan memiliki rata-rata sebesar 30,78 dengan kategori Sangat Menarik. Sedangkan jika diubah ke dalam bentuk persentase menjadi 76,95%. Setelah data hasil angket tertutup siswa dianalisis, selanjutnya yaitu mendeskripsikan hasil angket terbuka siswa yang terdiri dari aspek tampilan, penyajian materi, permasalahan atau contoh soal dan perasaan dalam menggunakan video pembelajaran. Hasilnya menyatakan bahwa video pembelajaran jelas dan menarik, alasannya karena berbeda dengan pembelajaran yang lain. Responden juga menyatakan senang belajar dengan video pembelajaran ini karena lebih mudah dipahami dan cepat menyerap ke otak. Selain itu responden menyatakan bahwa penyajian materi dan contoh-contoh soal dalam video ini menarik dan sesuai dengan materi yang diajarkan. Namun sebagian besar responden menyatakan bahwa kekurangan dalam video pembelajaran ini yaitu kurangnya animasi. 5.
Revisi preliminary field test Berdasarkan uji ahli dan uji coba skala terbatas, ada beberapa hal yang mengalami revisi dalam pengembangan video pembelajaran. Berikut adalah gambar sebelum dan sesudah hasil revisi.
930
Gambar 2.2 Sebelum dan Sesudah Revisi 1 Preliminary Field Test
Gambar 2.3 Sebelum dan Sesudah Revisi 2 Preliminary Field Test
Gambar 2.4 Sebelum dan Sesudah Revisi 3 Preliminary Field Test Gambar-gambar di atas merupakan cuplikan dalam video yang belum dan sudah direvisi. Revisi dilakukan atas saran dari ahli serta respon siswa pada tahap preliminary field test. Saran yang diajukan adalah judul bahan ajar haruslah diawal, penggunaan huruf terlalu besar, warna merah dihindari. Kemudian tayangan tidak hanya terfokus pada pemateri, tapi lebih terfokus pada siswa, dengan begitu diharapkan pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa. Selanjutnya menggunakan animasi atau gambar dengan warna yang menarik agar siswa lebih termotivasi untuk mempelajari materi.
931
3. Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa video pembelajaran matematika berbasis scientific approach pada materi lingkaran kelas VIII SMP memiliki tingkat validitas yang terdiri dari valid dan sangat valid, sehingga layak digunakan untuk tahap berikutnya walaupun ada revisi kecil terlebih dahulu. Jika dipersentasekan, total persentase dari ketiga ahli yaitu sebesar 81%, artinya sudah memenuhi indikator keberhasilan dari produk yang dikembangkan. Selanjutnya, dari uji coba skala terbatas, respon siswa yang diberikan pembelajaran dengan menggunakan video pembelajaran ini memberikan respon yang positif dengan skor 30,78, artinya memiliki tingkat kelayakan yang sangat baik atau sangat menarik bagi siswa, sehingga dapat digunakan untuk tahap berikutnya untuk uji coba yang lebih luas lagi sebagai bahan ajar untuk membantu siswa dan guru pada proses pembelajaran. Pernyataan terima kasih. Pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terima kasih kepada tim pengembang bahan ajar; Dinda Nabila Hanifa, Indah Noviana N, Oula Falahiyah dan Tita Lasyah yang telah membantu dalam mengembangkan Video Pembelajaran Berbasis Scientific Approach pada materi lingkaran kelas VIII SMP. Referensi [1] Sanaky, H., 2011, Media Pembelajaran: Buku Pegangan Wajib Guru dan Dosen, Yogyakarta, Kaukaba [2] Sagala, S, 2010, Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung, ALFABETA [3] Saberan, R, 2012, Penggunaan Media Audio Visual dalam Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa, LENTERA Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol.07 No.02: 1-19 Desember 2012, ISSN: 0216-7433 [4] Purwanti, B, 2015, Pengembangan Media Video Pembelajaran Matematika dengan Model Assure, Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan, Volume 3, Nomor 1, Januari 2015, ISSN: 2337-7623; EISSN: 2337-7615 [5] Silberman, L.M, 2009, Active Learning 101 Cara Peserta didik Belajar Aktif, Bandung, Nusa Media. [6] Zaenal, A, 2012, Pengembangan Media Video Pembelajaran IPA tentang Kemagnetan pada kelas IX SMPN 1 Mojowarno Jombang, Tesis: Tidak diterbitkan [7] Kemendikbud, 2013, Materi Pelatihan Guru Implementasi kurikulum 2013 semester II untuk SD kelas 1, Modul Pelatihan Implementasi kurikulum 2013 semester II, Jakarta, Kemendikbud [8] Borg, W. and Gall,M., 1983, Educational Research: An Introduction (4th ed), New York an London, Longman. [9] Sa’dun, A, 2015, Instrumen Perangkat Pembelajaran, Bandung, PT Remaja Rosdakarya Offset: Bandung
932
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 933-939
DESAIN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR) DENGAN TOPIK OPERASI BILANGAN BULAT PADA ANAK UMUR 9-10 TAHUN (KELAS III SD) UNTUK MENINGKATKAN MINAT BELAJAR PESERTA DIDIK DALAM PROSES PEMBELAJARAN NURHIDAYAH Magister Pendidikan Matematika universitas sanata dharama,
[email protected]
Abstrak. Matematika adalah jendela dari ilmu pengetahuan, oleh karenanya matematika merupakan subjek yang harus dikuasai agar bisa menguasai subjek-subjek lainnya. Akan tapi fakta dalam proses pembelajaran mengungkapkan bahwa pelajaran matematika masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar peserta didik di sekolah. Banyak yang beranggapan bahwa belajar matematika itu sulit, membingungkan, tidak menyenangkan, dan membuat pusing. Sehingga seorang pendidik dituntut mampu membawakan materi matematika agar menjadi menarik, asyik, dan terkait dengan masalah real atau kontekstual bagi peserta didik. Jenis penelitian ini adalah penelitian desain dengan model pendidikan matematika realistik dengan subjek penelitian 7 orang peserta didik yang berumur 9-10 tahun setara denga kelas 3 sekolah Dasar, yang dilakukan di jln kanigoro rt 09 rw 06 maguwoharjo, sleman Yogyakarta. Penelitian dilakukan pada tanggal 29 Nopember 2016. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah Pembelajaran matematika realistik dapat menarik minat peserta didik untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran. Kata kunci: Penelitian desain, pembelajaran matematika realistik, minat belajar.
1. Pendahuluan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlakmulia, sertaketerampilan yang diperlukandirinya, masyarakat, bangsadan Negara (UU No. 20 tahun 2003). Untuk memenuhi tujuan pendidikan, pemerintah mengembangkan suatu kurikulum. Kurikulum pada pendidikan dasar dan menengah wajib memuat mata pelajaran-mata pelajaran, salah satunya adalah matematika. Matematika merupakan salah satu matapelajaran yang memegang peranan sangat penting dalam pendidikan. Oleh karena itu, matematika selain dapat mengembangkan penalaran logis, rasional, dan kritis serta memberi keterampilan kepada kita, juga akan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan sehari-hari maupun mempelajari ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan matematika.
933
Fakta dalam proses pembelajaran mengungkapkan bahwa pelajaran matematika masih menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian besar peserta didik di sekolah. Banyak yang beranggapan bahwa belajar matematika itu sulit, membingungkan, tidak menyenangkan, dan membuat pusing. Peserta didik menganggap bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang paling sulit, yang berhubungan dengan angka-angka dan rumus. Padahal seharusnya rumus bisa menjadi alat bantu dalam mempercepat perhitungan, bukan malah mempersulit. Seorang pendidik dituntut mampu membawakan materi matematika agar menjadi menarik, asyik, dan terkait dengan masalah real atau kontekstual bagi peserta didik. Diduga dalam proses pembelajaran belum menempatkan matematika sebagai bagian dari kehidupan atau tidak memahami apa manfaat dari pembelajaran matematika. Proses pembelajaran akan terjadi jika pengetahuan yang dipelajari bermakna bagi peserta didik. Menurut Freudenthal, suatu ilmu pengetahuan akan bermakna bagi peserta didik jika proses belajar melibatkan masalah realistic. Salah satu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada keberadaan ilmu pengetahuan adalah Pendidikan Matematika Realistik (PMR) atau biasa disebut Realistic Mathematics Education (RME). Pendidikan Matematika Realistik (PMR) yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang diawali dengan masalah realistik untuk mengarahkan peserta didik dalam memahami suatu konsep matematika. Soedjadi (2001: 2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika yang lebih baik daripada masa yang telah lalu. Yang dimaksud dengan realitas yaitu hal-hal yang nyata atau konkret yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan ini disebut lingkungan sehari-hari. Tujuan penelitian ini adalah dengan Desain Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) Dengan Materi Operasi Bilangan Bulat Pada Anak Umur 9 Tahun (Kelas III Sekolah Dasar) Di Jln Kanigoro Rt 09 Rw 06 Maguwoharjo, Sleman Yogyakarta dapat meningkatkan minat peserta didik dalam proses pembelajaran. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian desain. Sebelum melakukan penelitian, peneliti harus merancang terlebih dahulu proses pembelajaran yang akan dilakukan dan juga menuliskan kemungkinan-kemungkinan yang akan muncul serta merancang solusi apa yang harus dilakukan ketika kemungkinan-kemungkinan tersebut muncul biasa disebut hypotetical learning trajectory (HLT). Subjek yang digunakan pada penelitian ini adalah 7 orang peserta didik yang berumur 9-10 tahun setara denga kelas 3 sekolah dasar yang berada di sekitar kanigoro rt 09 rw 06 maguwoharjo, sleman Yogyakarta.anda.
2. Hasil – Hasil Utama Hasil penelitian yang telah dilakukan akan langsung dibahas menurut hasil tes dan observasi langsung pada saat tes diberikan. Hasil dan pembahasan dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Ikutilah langkah-langkah kerja di bawah ini !
934
1) Perhatikan disekitar kalian. Kumpulkanlah kerikil-kerikil masing-masing 5 biji. 2) Hitunglah jumlah seluruh kerikil yang ada pada ruangan tersebut ! 3) Ubahlah proses penjumlahan yang telah kalian lakukan ke bentuk perkalian. Hasil kerja peserta didik : a) Indri
b)
c)
2.
a)
Indri menjawab 35 dengan penjelasan bahwa 5+5+5+5+5+5+5 = 35, karena terdapat 7 peserta didik yaitu Poso, Musa, Ipan, Map, Ata, Indri dan Lala, dengan masing-masing siwa memegang 5 biji kerikil, jawaban 35 didapat oleh indri dengan melakukan penjumlahan menggunakan jari. Kemudian Indri menuliskan dalam bentuk perkalian 5x7=35, hal ini dikarenakan oleh: indri menganggap bahwa bentuk perkalian dari penjumlahan 5 biji kerikil pada semua peserta didik sebanyak 7 orang adalah 5x7=35. Jawaban Indri termasuk pada kemungkinan yang pertama yaitu menjumlahkan kerikil yang dimiliki oleh setiap satu orang. Laila Lala menuliskan jawaban 5+5+5+5+5+5+5 = 35. Dia mendapat jawaban 35 dengan menjumlahkan setiap dua suku, didapat 10+10+10+5 =35, hal ini mempermudah dia intuk mejumlahkan bilangan-bilangan tersebut. Tidak seperti indri yang menghitung menggunakan jari, laila langsung menjumlahkan 10+10+10+5=35, hal ini dikarenakan pengelompokkan dua suku yang dilakukan oleh laila mempermudah dia dalam mengetahui jumlah keseluruhan kerikil tersebut. Selanjutnya, laila menuliskan dalam bentuk perkalian 5x7=35, sama seperti jawaban indri sebelumnya. Dia menganggap bahwa bentuk perkalian dari penjumlahan 5 biji kerikil pada semua peserta didik sebanyak 7 orang adalah 5x7=35. Jawaban Laila termasuk pada kemungkinan yang kedua yaitu mengelompokkan kerikil yang dimiliki oleh setiap dua kemudian menjumlahkannya. Musa Layaknya Indri dan laila, musa menuliskan 5+5+5+5+5+5+5 = 35 pada lembar jawabannya. Dengan menggunakan jari tangan, musa menjumlahkan kerikil tersebut, sehingga didapat jumlah kerikil sebanyak 37. Selanjutnya, musa mengubah bentuk penjumlahan yang telah dilakukannya ke dalam bentuk perkalian. Dia menuliskan dua bentuk perkalian dari 5 kerikil yang terdapat pada 7 orangyaitu pertama 5x7=35 dan 7x5=35. Hal ini dilakukan oleh musa karena ia ragu terhadap jawabannya. Jawaban Musa termasuk pada kemungkinan yang pertama yaitu menjumlahkan kerikil yang dimiliki oleh setiap satu orang. Linda pergi ke minimarket untuk membeli 8 bungkus permen. Tiap bungkus permen berisi 4 butir permen. Berapa butir jumlah seluruh permen milik Linda? Hasil kerja peserta didik : Indri Menjawab soal tersebut, Indri menuliskan 4+4+4+4+4+4+4+4=32 pada lembar jawabannya. Indri menjejerkan 8 bungkus permen tersebut, karena dalam satu bungkus permen terdapat 4 butir permen maka jadilah indri menjumlahkan satu persatu sehingga dia mengetahui seluruh jumlah permen
935
yang telah dibeli oleh Linda yaitu sebanyak 32 butir permen. Selanjutnya indri menuliskan bentuk penjumlahan 4+4+4+4+4+4+4+4=32 ke dalam bentuk perkalian yaitu 8x4 = 32, diduga jawaban ini muncul karena terdapat 8 bungkus permen sehingga indri menuliskan 8 terlebih dahulu kemudian dikalikan 4 karena setiap bungkus terdapat 4 butir permen sehingga ia mendapat jumlah seluruh permen yaitu 32 butir.. Jawaban Indri termasuk pada kemungkinan yang pertama yaitu menjumlahkan isi permen dengan terpisah satu persatu menurut bungkusannya. b) Laila Pada lembar jawaban laila menulis 4+4+4+4+4+4+4+4=32. Jawaban laila tidak berbeda dari jawaban Indri, dia mengurutkan angka empat sebanyak 8 kali kemudian menjumlahkannya sehingga mendapatkan jawaban 32. Jawaban tersebut didapat karena terdapat 8 bungkus permen dan masing-masing bungkus berisi 4 butir permen sehingga jumlah seluruh permen tersebut adalah sebanyak 32 butir. Menurut Laila bentuk perkalian dari 8 angka 4 yang dijumlahkan adalah 4 x 8 dan jika dioperasikan menghasilkan angka 32, sehingga dia menulis 4 x 8 = 32. Untuk mendapatkan hasil 32, Laila menggunakan penjumlahan bersusun. Dia menjumlahkan dua angka pertama sehingga mengasilkan angka 8, kemudian angka 8 tersebut dijumlahkan dengan angka 4 yang terdapat pada urutan ketiga sehingga menghasilkan 12, begitu seterusnya hingga pada penjumlahan suku terakhir yaitu 36 dijumlahkan dengan angka 4 yang terletak pada urutan kesepuluh sehingga didapat hasil 40. Disini Laila sedikit keliru karena dia menjumlahkan angka 4 sebanyak 10 kali hingga ia mendapatkan hasil penjumlahan 40, yang seharusnya dia hanya menjumlahkan angka 4 sebanyak 8 kali sehingga jawaban yang didapat adalah 32. Jawaban Laila termasuk pada kemungkinan yang pertama yaitu menjumlahkan isi permen dengan terpisah satu persatu menurut bungkusannya c) Musa Karena terdapat 8 bungkus permen dan setiap bungkus permen terdapat 4 butir maka Musa menuliskan 4+4+4+4+4+4+4+4=32 seperti yang terlihat pada gambar di atas. Untuk menuliskan bentuk penjumlahan tersebut ke bentuk perkalian musa menuliskan dua jawaban yaitu 8 x 4 = 32 dan 4 x 8 = 32. Hal ini dilakukan oleh musa karena dia ragu akan jawabannya, sehingga dia menuliskan keduanya, seperti yang dia lakukan sebelumnya. Cara yang digunakan oleh musa untuk mendapat jawaban dari penjumlahan 4+4+4+4+4+4+4+4 yaitu 32 berbeda dari teman-teman lainnya. Cara yang Musa gunakan adalah dengan merepresentasikan angka 4 ke bentuk lidi yaitu IIII diurutkan sebanyak 8 baris kemudian dia menghitung lidi tersebut satu persatu hingga mendapatkan jawaban 32. Jawaban Musa termasuk pada kemungkinan yang pertama yaitu menjumlahkan isi permen dengan terpisah satu persatu menurut bungkusannya. 3. Jelaskan bentuk perkalian dibawah ini dengan menggunakan penjumlahan: (1) 10 x 7 (2) 6 x 6 (3) 8 x 5
936
Hasil kerja peserta didik : a) Indri Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut indri menulis jawabannya sebagai berikut : 1) Untuk menjawab pertanyaan 10 x 7, indri mengurutkan bilangan 10 sebanyak 7 kemudian menjumlahkan dua sukun pertama sehingga menjapar jawaban 20, kemudian jawaban tersebut dijumlahkan dengan suku ketiga sehingga mendapat jawaban 30. Hal ini berlaku hingga penjumlahan terakhir yaitu 60 dijumlahkan dengan suku ketujuh sehingga mendapat hasil akhir yaitu 70, seprti yang terdapat pada gambar di atas. 2) Seperti cara menjawab pertanyaan sebelumnya, untuk menjawab pertanyaan 6 x 6 indri mengurutkan bilangan 6 sebanyak 6 kali, selanjutnya dia menjumlahkan dua bilangan berdekatan yaitu 6+6 sehiingga mendapat 12. Jawaban sebelumnya yaitu 12 dijumlahkan lagi dengan bilangan yang ketiga yaitu 6 sehingga menjapat jawaban 18, begitu seterusya sampai pada operasi yang terakhir yaitu 30 dijumlahkan dengan bilangan keenam yaitu 6 sehingga mendapat hasil 36. 3) Indri menjawab pertanyaan ketiga seperti cara menjawab dua pertanyaan sebelumnya yaitu dengan mengurutkan bilangan 8 sebanyak 5 kali kemudian mulai dengan menjumlahkan dua bilangan pertama yaitu 8+8 menghasilkan 16 selanjutkan menjumlahkan 16 dengan angka pada pada urutan ketiga yaitu 8 sehingga menghasilkan 24, kemudian menjumlahkan angka 24 dengan bilangan keempat yaitu 8 sehingga menghasilkan 32, kemudian angka 32 dijumlahkan dengan bialangan kelima yaitu 8 sehingga mendapat jawaban 40. Hal ini seperti yang terdapat pada gambar di atas. Jawaban dari Indri tidak terdapat pada lintasan belajar. b) Laila Seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini, Laila menjawab pertanyaan sebagai berikut : Untuk menjawab pertanyaan yang pertama yaitu 10 x 7, indri mengurutkan bilangan 10 sebanyak 7 kali dan menjumlahkan dengan denggunakan jari-jari tangan, sehingga dia mendapat jawaban 70. Karena Laila melakukan penjumlahan menggunakan tangan sehingga tidak terdapat coretan dari jawaban yang pertama ini. Seperti cara menjawab pertanyaan sebelumnya, untuk menjawab pertanyaan 6 x 6 Laila mengurutkan bilangan 6 sebanyak 6 kali kemudian menjumlahkan angka-angka tersebut menggunakan jari-jari tangan sehingga dia mendapat hasil 36. Sama seperti jawaban yang pertama, indri menjumlahkan dengan menggunakan jari-jari sehingga tidak terdaapat coretancoreta proses dia mendapatkan jawaban tersebut. 1) Laila menjawab pertanyaan ketiga seperti cara menjawab dua pertanyaan sebelumnya yaitu dengan mengurutkan bilangan 8 sebanyak 5 kali sehingga mendapat jawaban 40. Tapi yang membedakan dengan dua jawaban sebelumnya pada soal ketiga ini adalah Laila tidak hanya menjumlahkan angka 8 tersebut menggunakan tangan tapi juga dengan cara penjumlahan bersusun. Seperti yang terlihat pada gambar di samping, ntuk selanjutnya Laila menjumlahkan angka 8 bukan 5. 2) Laila melakukan penjumlahan bersusun, akan tetapi Laila salah dalam menjumlahkan dua angka pertama, karena dia menjumlahkan angka 8 dan angka 5 bukan 8 sehingga hasil penjumlahan yang didapat adalah 13, tapi
937
untuk kesalahan lain yang dia lakukan juga adalah angka yang dijumlahkan bukan 5 angka melainkan 6 angka, hingga jawaban yang diperoleh melebihi jawaban seharusnya. Karena Laila salah dalam menjumlahkan dua angka pertama dan menjumlahkan 6 angka, maka hasil penjumlahan yang didapat adalah 45, dan ini adalah jawaban yang salah. Jawaban Laila mengarah kepada kemungkinan yang pertama, yaitu menjumlahkan angka-angka tersebut satu persatu. c) Musa Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut indri menulis jawabannya sebagai berikut : 1) Untuk menjawab pertanyaan yang pertama yaitu 10 x 7, Musa mengurutkan bilangan 10 sebanyak 7 kali yaitu 10+10+10+10+10+10+10=70 seperti yang dapat dilihat pada gambar di atas. Untuk mendapatkan jawaban 70 Musa mulai menjumlahkan satu persatu angka 10 tersebut, dengan menggunakan tangan. Berbeda dengan penjumlahan pada nomor sebelumnya dia menggambarkan lidi untuk merepresentasikan setiap angka, tapi dia tidak melakukan halo yang sama pada jawaban ini. 2) Seperti jawaban pada pertanyaan sebelumnya, untuk menjawab pertanyaan 6 x 6 Laila mengurutkan bilangan 6 sebanyak 6 kali yaitu 6+6+6+6+6+6 kemudian menjumlahkan angka-angka tersebut sehingga mendapat hasil 36. Musa mendapatkan jawaban 36 dengan cara merepresentasikan angka 6 dengan lidi sebanyak 6 batang seperti yang terlihat pada gambar di atas. Dia menggambar 6 lidi pada satu baris dan sebanyak 6 baris kemudian menghitung satu persatu dari lidi tersebut, sehingga dia mendapatkan 36 lidi. 3) Musa menjawab pertanyaan ketiga seperti menjawab dua pertanyaan sebelumnya yaitu dengan mengurutkan bilangan 8 sebanyak 5 kali ddan menjumlahkan semua bilangan 8 tersebut sehingga mendapat jawaban 40 yaitu 8+8+8+8+8=40, seperti yang terlihat pada gambar di atas. Untuk mendapatkan jawaban 40, musa merepresentasikan angka 8 dengan menggambarkannya dalam bentuk lidi sehingga membentuk 8 lidi, karena terdapat 5 angka 8, maka musa menggambarkan 5 baris lidi dan pada setiap baris terdapat 8 lidi seperti yang terlihat pada gambar di atas. Musa menghitung lidi-lidi tersebut satu persatu sehingga mendapat 40 lidi. Jawaban Musa mengarah kepada kemungkinan yang pertama, yaitu menjumlahkan angka-angka tersebut satu persatu. 3. Kesimpulan Pembelajaran matematika realistik daapat menarik minat peserta didik dalam berperan aktif dalam proses pembelajaran. Walaupun tidak semua jawaban dari peserta didik semuannya benar akan tetapi setidaknya peserta didik sudah berusaha mengerjakan soal yang diberikan.
Referensi [1] Catherin, T.F. and Maarten, D., 2001, Young Mathematicians at Work: Constructing Multiplication and Division, Library of Congress Cataloging. [2] Wijaya, Aryadi., 2011, Pendidikan Matematika Realistik: suatu alternatif pendekatan pembelajaran matematika, Graha Ilmu.
938
[3] Van, J.d.A. And Gravemeijer, K. And McKenney, S. And Nieveen, N., 2006, Educational Design Research, Routledge. [4] Gravemeijer, Koeno., 1994, Developing Realistic Mathematics Education, Technipress.
939
Prosiding SNM 2017 Pen d i di ka n , Ha l 94 0 -947
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR GEOMETRI BERBASIS AUGMENTED REALITY IQBAL WAHYU SEPTIYADI1, AHMAD ZULFAKAR RAHMADI2
STKIP SURYA 1 Jl.Imam Bonjol No.88,
[email protected] 2 Jl.Imam Bonjol No.88,
[email protected]
Abstrak. Fokus penelitian ini adalah untuk mengembangkan bahan ajar matematika pada materi geometri menggunakan teknologi augmented reality. Bahan ajar yang dikembangkan merupakan visualisasi objek geometri secara virtual 3D berplatform android. Augmented Reality merupakan konsep penggabungan objek virtual dan objek nyata. Untuk menjalankannya, dibutuhkan marker sebagai penanda objek dua dimensi berpola. Marker selanjutnya akan di deteksi melalui kamera handphone dan kemudian layar handphone akan menampilkan objek 3D. Dari penelitian yang dilakukan disimpulkan bahwa media mampu menampilkan objek 3D secara virtual dalam jarak optimum yakni 30 cm dengan intensitas cahaya sebesar 80 Lux untuk marker berukuran 5cm x 5cm. Lebih lanjut, dari hasil yang diperoleh akan dibahas bagaimana kelayakan bahan ajar yang dikembangkan dari segi mensimulasikan objek geometri. Kata kunci: bahan ajar, geometri, augmented reality.
1. Pendahuluan Berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) saat ini terjadi begitu cepat dan mempengaruhi berbagai bidang mulai dari bidang ekonomi, politik, industri, budaya, hingga bidang pendidikan [1]. Salah satu teknologi yang sedang berkembang ialah Augmented Reality (AR) atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah realitas tertambah. Augmented Reality merupakan teknologi yang menggabungkan objek maya 2 dimensi dan atau 3 dimensi kedalam sebuah lingkungan nyata 3 dimensi dan memproyeksikan objek-objek tersebut secara realtime. Teknologi AR bekerja dengan cara mendeteksi sebuah objek penanda nyata 2 dimensi (marker) kemudian memproses objek penanda tersebut dalam sebuah sistem dan kemudian menampilkan objek maya berupa 2 dimensi ataupun 3 dimensi. Penggunaan teknologi AR saat ini telah menyentuh berbagai bidang termasuk bidang pendidikan. Teknologi AR yang mampu mempresentasikan objek abstrak menjadi lebih nyata secara realtime akan menarik perhatian siswa dalam pembelajaran. Objek-objek geometri yang abstrak seperti objek 2 dimensi dari kubus, balok, limas, tabung, kerucut, bola dan prisma akan terlihat lebih nyata jika dibuat dalam bentuk 3 dimensi dan di tampilkan dengan teknologi AR.
940
Di sisi lain, objek-objek geometri seringkali direpresentasikan dengan media sederhana yang kurang menarik dalam pembelajaran. Padahal, penggunaan media dalam pembelajaran diharapkan dapat membantu proses pembelajaran lebih visual, interaktif, dan juga menarik. Oleh karena itu, teknologi AR yang memungkinkan visualisasi objek secara nyata dalam bentuk 3 dimensi merupakan salah satu solusi pengembangan bahan ajar dan media yang tepat dalam pembelajaran geometri. Dengan teknologi AR, objek-objek geometri dapat divisualisasikan secara nyata dalam 3 dimensi serta menarik perhatian siswa dalam pembelajaran. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan teknologi AR sebagai media atau bahan ajar telah memberikan hasil yang positif pada pembelajaran. Sebagai contoh, pada penelitian Sony Sulistyo dalam aplikasi pengenalan tata surya menggunakan augmented reality, membuat siswa lebih tertarik serta bermanfaat dalam penyampaian materi. Hal tersebut yang menjadikan peneliti ingin mengembangkan sebuah media pembelajaran untuk materi geometri.
2. Hasil – Hasil Utama 2.1. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 tahap penelitian dan pengembangan pendidikan Borg and Gall. Dari 10 tahap penelitian dan pengembangan Borg and Gall hanya akan diterapkan hingga tahap ke-4 saja. Keempat tahapan tersebut meliputi research and information collecting, planning, develop preliminary form a product, dan preliminary field testing [6]. Research and information collecting, atau penelitian dan pengumpulan informasi, meliputi proses yang berkaitan dengan persiapan penelitian seperti analisis kebutuhan, studi literatur dan sebagainya. Planning, atau perencanaan yang meliputi pembuatan storyboard yang menggambarkan rancangan aplikasi secara menyeluruh. Develop preliminary form a product, atau pengembangan produk awal meliputi proses pembuatan aplikasi. Preliminary field testing, atau pengujian awal yang meliputi proses validasi produk oleh ahli. 2.2. Hasil Penelitian dilakukan dengan melalui beberapa tahapan antara lain persiapan, perancangan sistem, pembuatan aplikasi, pengujian, dan juga validasi ahli. Berikut ini hasil yang diperoleh peneliti dalam mengembangkan bahan ajar geometri dengan teknologi AR. 2.2.1. Persiapan dan Pengumpulan Data Pada awal persiapan, peneliti melakukan pengumpulan data melalui studi literatur pada beberapa penelitian terkait teknologi AR, dan pengembangan bahan ajar matematika. Dari studi literatur diketahui beberapa poin seperti metode dan tahap pengembangan, kegunaan media, perangkat keras dan lunak, library, serta kelebihan dan kekurangan dalam penelitian terkait. Data-data tersebut mendukung proses jalannya pengembangan bahan ajar geometri yang dilakukan. Setelah studi literatur dilakukan peneliti, selanjutnya adalah analisis
941
perangkat keras dan lunak yang mendukung serta digunakan dalam pengembangan bahan ajar dengan AR. Adapun spesifikasi perangkat keras dan lunak pada pengembangan bahan ajar yang dilakukan antara lain: Tabel 2.1. Spesifikasi Perangkat dalam Pengembangan Bahan Ajar Perangkat Keras
Perangkat Lunak
Unity 3D: - Sistem Operasi Windows 8.1 (64 bit) - Android SDK dan Java Development Kit (JDK) - Web GL Windows 7 SP 1 (64 bit) Blender: - 32-bit dual core 2Ghz - 2Gb ram - 24 bits 1280x768 display - Mouse 3 tombol fungsi - OpenGL 2.1 - Laptop processor core i3 - RAM 2 Gb - Mouse 3 tombol fungsi
-
Unity 3D versi 5 Vuforia SDK Java JDK 7 Microsoft Word 2016 Android versi minimal kitkat 4.4.4
Dalam proses pengembangan, peneliti menggunakan perangkat android LG Nexus 5 dengan spesifikasi RAM 2GB, processor quadcore 2.4. Ghz, dan 8MP camera. 2.2.2. Pembuatan Aplikasi Tahap pembuatan aplikasi merupakan tahapan yang mengimplementasikan rancangan atau desain yang telah dibuat. Berikut ini adalah diagram alur dalam pembuatan aplikasi AR sebagai media geometri.
Gambar 2.1. Diagram Alur Pembuatan Aplikasi
Pembuatan aplikasi dimulai dari pembuatan objek geometri 3D (kubus, balok, limas, prisma, silinder, dan bola) dengan menggunakan aplikasi blender3D. Selanjutnya, objek akan dijadikan marker lalu kemudian diunggah ke dalam vuforia. Pada vuforia, marker akan mendapat license key dan menjadi asset yang kompatibel dengan unity3D. Pada unity3D, asset akan disinkronisasi sesuai objek yang dibutuhkan dalam media. Setelah selesai, aplikasi dibangun (build) menggunakan format APK sehingga dapat diinstall pada perangkat android. Proses pembuatan
942
aplikasi dapat dilihat pada gambar 2.1. 2.2.3. Pengujian dan Validasi Tahap pengujian media pembelajaran dilakukan untuk melihat apakah aplikasi yang dikembangkan dapat dijalankan dengan baik dan sesuai dengan sasaran. Pada tahap ini, media diuji coba dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti pencahayaan serta sudut pandang kamera terhadap marker dengan indikator jarak dan kemiringan. Nilai intensitas cahaya yang digunakan dalam uji coba adalah 78 lux (satuan cahaya), yang merupakan rata-rata keseluruhan pencahayaan yang ada di dalam ruangan. Pencahayaan mempengaruhi keberhasilan kamera memvisualisasikan objek geometri dari marker yang ada. Sementara itu, keberhasilan visualisasi objek dari kamera diukur secara berkala dari 10 cm hingga 100 cm dengan rentang setiap nilai sejauh 5 cm. Selain itu, pengukuran juga mempertimbangkan kemiringan kamera terhadap marker untuk melihat batas maksimum marker dapat dipindai. Hasil pengujian dari media aplikasi yang dikembangkan dapat dilihat pada table 2.2. Tabel 2.2. Hasil Pengujian Aplikasi Intensitas Caharya 78 Lux
Sudut Optimal
Jarak (s)
Keterangan
Dalam cm 10° < 𝜃 ≤ 90°
(Kategori sedang)
𝜃 ≤ 10°
10 < 𝑠 < 80
Marker terdeteksi dengan baik
𝑠 ≤ 10 atau 𝑠 ≥ 80
Marker tidak terdeteksi, harus dimulai dari jarak optimum kamera.
10 < 𝑠 < 80
Tidak terdeteksi
𝑠 ≤ 10 atau 𝑠 ≥ 80
Tidak terdeteksi
Berdasarkan hasil selama pengujian aplikasi, diperoleh bahwa marker terdeteksi pada jarak antara 10 sampai 80 cm dengan pemindahan gambar secara langsung. Sedangkan untuk jarak kurang dari atau sama dengan 10 cm dan lebih dari 80 cm, marker tidak terdeteksi secara utuh dan juga tidak terlihat dengan jelas. Pada jarak tersebut, marker dapat dideteksi jika pada awalnya kamera diposisikan di jarak ideal kemudian digeser secara terus menerus.
Gambar 2.1. Tampilan Aplikasi Geometri
943
Gambar 2.2. Contoh Marker pada Aplikasi Geometri
Tahap selanjutnya adalah validasi dari ahli mengenai media yang dikembangkan. Validator yang akan menilai terdiri dari ahli materi, dan ahli media. Sedangkan poin yang akan dinilai dalam validasi yakni dari aspek aplikasi dan simulasi dari media yang dikembangkan. Dalam proses validasi, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah angket berupa pertanyaan-pertanyaan kepada ahli (responden) terkait bahan ajar yang dikembangkan. Angket validasi menggunakan skala likert dengan interval antara lain: Tabel 2.3. Interval Skala Likert Skor Pertanyaan
Keterangan Skor
5
Sangat Setuju
4
Setuju
3
Netral
2
Tidak Setuju
1
Sangat Tidak Setuju
Adapun contoh butir pertanyaan pada lembar validator ahli untuk penelitian ini yaitu: Tabel 2.4. Poin Penilaian Validasi No
Indikator
Skor 5
I. Aplikasi 1
Tampilan aplikasi sesuai dengan sasaran
2
Tampilan aplikasi menarik
3
Tampilan dan penggunaan aplikasi user friendly
4
Media pembelajaran aplikasi menyajikan petunjuk yang jelas.
944
4
3
2
1
No
Indikator
Skor 5
5
Tata letak menu pada aplikasi baik
6
Ukuran,jenis dan warna huruf pada aplikasi sesuai
7
Aplikasi mampu mempermudah siswa memahami
4
3
2
objek-objek bangun ruang II. Simulasi 8
Simulasi pada media pembelajaran mudah digunakan.
9
Simulasi pada media pembelajaran mampu meningkatkan motivasi untuk belajar
10
Warna pada simulasi menarik dan sesuai
Skor yang diperoleh dari angket validasi oleh ahli, kemudian dikonversi untuk mengetahui kelayakan dari produk yang dikembangkan. Proses konversi nilai kelayakan produk diperoleh dengan rumus: 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑦𝑎𝑘𝑎𝑛 (%) = × 100% 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑎𝑙 Persentase nilai kelayakan yang diperoleh kemudian direpresentasikan untuk setiap interval skor pada skala likert. Lebih lanjut, nilai tersebut akan dirujuk pada kriteria interpretasi skor sebagai berikut: Tabel 2.6. Kriteria Interpretasi Skor Interval
Kriteria
0% - 20%
Tidak Layak
21% - 40%
Kurang Layak
41% - 60%
Cukup Layak
61% - 80%
Layak
80% - 100%
Sangat Layak
2.3. Pembahasan Proses validasi produk dinilai oleh ahli media dan materi, dimana pada penelitian ini dilekukan oleh 2 ahli media dan 1 ahli materi. Berdasarkan hasil uji validasi yang dilakukan, diperoleh beberapa saran untuk perbaikan pada aplikasi, seperti pada tabel berikut.
945
1
Tabel 2.7. Saran Validasi Validator
Saran
Keterangan
Materi
Perbaiki bagian gambar bangun ruang
Aplikasi
Jika memungkinkan, tambahkan warna pada sisi bangun ruang Lakukan Pengaturan ulang untuk meminimalkan pergerakan gambar pada aplikasi Media 1 Media 2
Kadang muncul bangun lain saat antara jauh dan dekat
Aplikasi
Kembangkan simulasinya
Simulasi
Dari skor yang diperoleh pada angket validasi, konversi nilai dilakukan per bagian aspek yang ada dalam penilaian ahli yakni aplikasi dan simulasi. Berikut ini, adalah hasil uji validasi dan kelayakan produk yang dilakukan berdasarkan aspek aplikasi dan simulasi. Tabel. 2.8. Hasil Uji Validasi Uji Validasi Aspek
Hasil
Skala
Aplikasi
Presentasi kelayakan produk aspek aplikasi sebesar 83.8%
terhadap
Sangat Layak
Simulasi
Presentasi kelayakan produk aspek simulasi sebesar 77 %
terhadap
Layak
Berdasarkan hasil validasi ahli yang dilakukan, diketahui bahwa produk yang dikembangkan dinilai sangat layak dari segi aplikasi yang ditampilkan. Penilaian tersebut didasari beberapa indikator diantaranya tampilan dan juga kegunaan dari aplikasi dalam pembelajaran geometri. Meskipun demikian, beberapa saran dan komentar juga diberikan ahli terkait pemrosesan objek pada saat aplikasi dijalankan. Komentar seperti, objek bangun ruang kurang jelas, penggunaan warna,, serta visualisasi objek yang kurang sempurna pada jarak tertentu menjadi pertimbangan peneliti dalam mengembangkan aplikasi. Selain itu, produk yang dikembangkan masih tergolong layak dari penilaian simulasi menurut para ahli. Hanya saja, aplikasi yang ada belum sesuai dengan rencana awal peneliti dalam mengembangkan bahan ajar geometri. Aplikasi yang telah dikembangkan masih belum dapat mensimulasikan dengan baik bangun ruang beserta jaring-jaring setiap objek geometri. Oleh karena itu, saran yang diberikan adalah untuk mengembangkan aplikasi pada fungsi simulasi dalam pembelajaran geometri secara lebih baik. Dari beberapa saran dan penilaian yang diberikan ahli pada validasi produk, maka beberapa perbaikan perlu dilakukan peneliti dalam mengembangkan aplikasi bahan ajar geometri sebelum dapat diterapkan secara luas.
946
3. Kesimpulan Pengembangan bahan ajar11.5 geometri berbasis augmented reality dilakukan melalui beberapa tahap mulai dari pengumpulan data hingga pada validasi ahli. Proses validasi dilakukan untuk melihat apakah produk yang dikemb8angkan layak untuk digunakan dalam pembelajaran menurut beberapa ahli (media dan materi). Berdasarkan uji validasi yang dilakukan, diperoleh bahwa produk dinyatakan “sangat layak”, dari segi aplikasi dengan persentase 83.8%. Sedangkan pada aspek simulasi produk dinyatakan “layak”, dengan persentase 77%. Dari kedua hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa produk layak untuk digunakan dalam proses pembelajaran, didukung dengan penilaian yang telah dilakukan para ahli dalam validasi. Meskipun menurut validasi ahli produk dinyatakan layak, tetapi beberapa komentar perbaikan perlu dilakukan peneliti seperti: tampilan objek geometri, proses visualisasi objek, serta aspek simulasi yang kurang menonjol. Sebagai saran, penelitian ini diharapkan dapat dilanjutkan ke tahap lebih jauh, serta menjadi referensi bagi peneliti, guru, maupun civitas lain dalam mengembangkan pembelajaran matematika. Pernyataan terima kasih. Puji syukur kami panjatkan atas berkat rahmat Allah sehingga kami dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan makalah ini dengan baik. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada orang tua, dosen, kaprodi, staff kemahasiswaan, serta teman sejawat STKIP Surya yang turut membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan makalah ilmiah ini. Harapannya semoga hasil pen elitian ini dapat memberikan kontribusi penting bagi dunia pendidikan .
Referensi [1] Hadi, S.S. 2013.Aplikasi Pengenalan Sistem Tata Surya Menggunakan [2] [3] [4]
[5] [6] [7]
Augmented Reality Untuk Pendidikan Sekolah Dasar. Hidayat, T. 2015. Penerapan Teknologi Augmented Reality Sebagai Model Media Edukasi Kesehatan Gigi Bagi Anak. Rosyad, P. 2014. Pengenalan Hewan Augmented Reality Berbasis Android. Yudiantika, A.R., Sari, I.P., Pasinggi, E.S., & Hantono, B.S. 2013. Implementasi Augmented Reality Di Museum : Studi Awal Perancangan Aplikasi Edukasi Untuk Pengunjung Museum. Siltanen, S. 2012. Theory And Applications Of Marker-Based Augmented Reality. Finland: VTT Publisher. Gall, M. D., Gall, J. P., & Borg, W.R. (2003). Educational Research An Introduction. Pearson. Wibowo, E. J. 2013. Media Pembelajaran Interaktif Matematika untuk Siswa Sekolah Dasar Kelas IV. Seminar Riset Unggulan Nasional Informatika dan Komputer FTI UNSA, 75-78.
947
Prosiding SNM 2917 Pendidikan, Hal 948-953
PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA (LKS) BERBASIS PENEMUAN TERBIMBING BERBANTUAN MICROSOFT MATHEMATICS PADA TOPIK TURUNAN BAGI SISWA SMA AAN SUBHAN PAMUNGKAS Jurusan Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa,
[email protected]. Abstrak. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini menuntut guru agar memanfaatkan dan mengintegrasikannya dalam pembelajaran di kelas. Salah satu pemanfaatan teknologi adalah dengan menggunakan software pembelajaran matematika yang diintegrasikan dalam bahan ajar matematika yaitu lembar kerja siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan lembar kerja siswa berbasis penemuan terbimbing berbantuan software Microsoft Mathematics. Materi yang dibahas dalam lembar kerja ini adalah materi turunan. Sesuai dengan kurikulum yang berlaku konsep turunan mulai dikenalkan pada siswa SMA kelas XI. Saat ini proses pembelajraan yang dilakukan bersifat mekanistik, sehingga kurang mendorong siswa untuk melakukan penemuan sesuai dengan prinsip kurikulum 2013. Sehingga impact yang diharapkan dalam pengembangan bahan ajar ini adalah siswa mendapatkan pembelajaran bermakna dalam memperoleh konsep turunan secara terbimbing melalui bantuan software Microsoft Mathematics. Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model 4D yaitu meliputi: (1) Define, pengembang melakukan analisis masalah dan potensi; (2) Design, pengembang membuat produk awal (prototype) atau rancangan produk yang disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada; (3) Development, dibagi kedalam dua kegiatan yaitu: expert appraisal dan developmental testing; (4) Disseminate, pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah validation testing. Uji kevalidan dan kepraktisan produk dinilai oleh ahli, guru dan siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk hasil pengembangan termasuk kategori sangat baik menurut para ahli, praktis menururt penilaian guru dan siswa. Berdasarkan uji kevalidan dan kepraktisan tersebut maka produk yang dikembangkan layak digunakan sebagai bahan pendukung pembelajaran di SMA. Kata Kunci: Lembar Kerja Siswa, Penemuan Terbimbing, Microsoft Mathematics.
1.
Pendahuluan
Belajar adalah proses perubahan mental maupun sikap, dimana perubahan ini bersifat permanen sebagai hasil dari suatu latihan atau pengalaman. Proses belajar dalam diri siswa bersifat personal dan kontekstual, dalam artian proses belajar terjadi dalam diri individu siswa sesuai tahap perkembangan kogntif maupun fisik dan lingkungan belajar. Pembelajaran pada hakekatnya adalah suatu proses komunikasi banyak arah antara siswa dengan lingkungannya baik antar siswa, siswa dengan sumber belajar, maupun dengan gurunya. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi meaningfull learning bagi siswa apabila dilakukan dalam lingkungan yang mendukung dan nyaman. Berdasarkan uraian di atas, sumber belajar merupakan salah satu komponen yang penting menunjang proses keberhasilan siswa dalam pembelajaran bermakna. Menurut Association for Educational Communication and Technology sumber
948
belajar adalah segala sesuatu yang berupa pesan, manusia, bahan (software), peralatan (hardware), teknik (metode), dan lingkungan yang digunakan baik secara sendiri-sendiri atau dikombinasikan untuk memfasilitasi terjadinya kegiatan belajar [1]. Hal di atas sejalan dengan pendapat berikut yang menyatakan bahwa Learning resources are generally understood to be texts, videos, software, and other materials that assist students to meet the expectations for learning, as defined by provincial or local curricula. Before a learning resource is used in a classroom, it must be evaluated to ensure that criteria such as those for curriculum match, social considerations and age or developmental appropriateness are met [2]. Berdasarkan pada definisi di atas, salah satu bentuk sumber belajar adalah materi yang dikemas dalam bentuk bahan ajar (software). Materi dalam bahan ajar harus disusun sesuai dengan karakteristik siswa, sehingga mudah dipahami dengan baik. Interaksi antara guru dan siswa, siswa dan materi yang menghasilkan proses pembelajaran lebih dikenal dengan istilah situasi didaktis pedagogis. Hubungan antara pendidik-peseta didik-materi digambarkan sebagai sebuah segitiga didaktik yang menggambarkan hubungan didaktis (HD) antara peserta didik dan materi, serta hubungan pedagogis (HP) antara pendidik dan peserta didik serta adanya antisipasi didaktis pedagogis (ADP) [3]. Segitiga didaktis tersebut bisa digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1. Segitiga Didaktis yang dimodifikasi Berdasarkan konteks segitiga didaktis di atas, maka peran utama seorang pendidik adalah menciptkan situasi didaktis agar tercipta proses belajar dalam diri siswa. Selain itu, pendidik juga harus menguasi materi dan pengetahuan lain yang mendukung agar bisa mengantisipasi respon peserta didik dengan baik. dengan kata lain seorang pendidik perlu memiliki kemampuan untuk menciptakan hubungan didaktis antara materi dan peserta didik sehingga tercipta proses pembelajaran yang ideal bagi siswa. Dari penjelasan di atas, sangat jelas bahwa peran materi sangat penting. Pengembangan materi yang disusun dalam lembar kerja merupakan usaha yang bisa dilakukan seorang guru untuk menjamin tercapainya tujuan pembelajaran yang optimal. Lembar kerja merupakan media interaksi antara siswa dengan materi yang dikemas dengan berbagai aktivitas-aktivitas yang terurut. Menurut [4] lembar kerja sebagai jenis hand out yang dimaksudkan untuk membantu siswa belajar secara terarah (guided discovery activities). Penemuan konsep akan lebih optimal ketika siswa diberikan arahan atau
949
scaffolding baik secara verbal maupun non verbal. Dengan arahan yang jelas siswa akan menemukan makna dibalik aktivitas yang sedang dilakukannya. Proses penemuan dalam lembar kegiatan ini dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan pola atau aturan yang sampai pada kesimpulan tertentu dengan bimbingan yang tercantum dalam lembar kerja tersebut. Untuk memaksimalkan pemerolehan konsep, maka lembar kerja ini akan diintegrasikan dengan penggunaan software microsoft mathematics. Dengan bantuan software ini diharapkan proses penemuan yang dilakukan oleh siswa akan lebih tepat dan optimal. Berkaitan dengan pokok bahasan turunan, pokok bahasan ini lebih banyak menggabungkan antara tampilan grafis dengan bentuk aljabarnya. Berbeda halnya ketika tidak menggunakan bantuan software dalam penggambaran grafik, tentunya menghabiskan waktu yang lama dan dimungkinkan penggambaran grafik yang kurang tepat. Sehingga berdasarkan asumsi tersebut maka perlu dirancang bahan ajar dalam hal ini lembar kerja siswa yang berbasis penemuan terbimbing berbantuan software microsoft mathematics pada pokok bahasan turunan. Berdasarkan uraian di atas, Rumusan Masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana mendesain lembar kegiatan siswa berbasis penemuan terbimbing berbantuan software microsoft mathematics pada pokok bahasan turunan di SMA?” 2.
Hasil – Hasil Utama
Hasil pengembangan produk awal berupa lembar kerja siswa berbasis penemuan terbimbing berbantuan software Microsoft mathematics menggunakan model pengembangan 4D diuraikan sebagai berikut. Tahap Define Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah tahap analisis potensi dan masalah, analisis siswa, analisis konsep dan tugas. Pada tahap analisis potensi dan masalah dilakukan pengumpulan informasi-informasi yang mendasar baik terhadap siswa maupun guru. Analisis siswa dilakukan dengan mengkaji karakteristik dan kebiasaan siswa. Pada tahap analisis konsep dan tugas kegiatan yang dilakukan adalah menentukan materi pokok dan menentukan tugas yang cocok dengan materi pokok tersebut. Tahap Design Tahap ini bertujuan untuk mempersiapkan rancangan produk, pada tahap ini kegiatan yang dilakukan yaitu memilih media dan perancangan awal. Pemilihan media berkaitan dengan penentuan media yang tepat untuk menyajikan materi. Sedangkan pada tahap perancangan awal disusun draft lembar kerja siswa. Hasil rancangan awal disebut draft 1. Lembar kerja siswa dikembangkan dengan tahapan merumuskan kompetensi yang harus dikuasai siswa, penyusunan materi, dan struktur lembar kerja. Lembar kerja yang dikembangkan pada draft 1 terdiri atas 7 aktivitas. Berikut merupakan gambar draft 1 yang telah dikembangkan.
950
Gambar 1. Contoh LKS Aturan Turunan
Gambar 2. Contoh Kolom Generalisasi Tahap Develop Tahap ini meliputi uji keterbacaan dan validasi ahli. Uji keterbacaan merupakan uji coba terbatas yang melibatkan beberapa siswa untuk melihat keterbacaan dari lembar kerja siswa tersebut. Uji coba keterbacaan dilakukan pada siswa SMA. Hasil uji coba keterbacaan menyatakan bahwa lembar kerja siswa yang dikembangkan dalam kategori baik. Validasi ahli merupakan kegiatan valisasi produk sebelum diujicobakan. Validasi dilakukan dengan cara memberikan lembar kerja siswa kepada ahli bagian konten yaitu dosen rumpun matematika FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Hasil penilaian ahli dapat dilihat pada tabel 1.
951
No 1 2 3 4
Tabel 1. Hasil angket uji ahli matematika Aspek Penilai I Penilai II Keakuratan konsep 5 4 dan definisi Keakuratan contoh 4 5 dan kasus Keakuratan istilah 4 4 Keakuratan notasi, 4 4 symbol, dan ikon Total 17 17
Skor 9
(%) 90
9
90
8 8
80 80
34
85
Dari table 1 diketahui bahwa keempat aspek yang diukur rata-rata klasifikasi penilaiannya adalah sangat baik. Sehingga secara keseluruhan, bahan ajar ini yang telah dikembangkan termasuk kedalam kategori sangat baik dengan persentase 85%. Sedangkan ahli pedagogi berasal dari dosen rumpun pendidikan yang berasal dari Jurusan Pendidikan Matematika FKIP-Untirta. Berikut hasil uji ahli pendidikan.
No 1 2 3 4
5 6 7
Tabel 2. Hasil Angket Uji Ahli Pendidikan Aspek Penilai I Penilai II Skor Kelengkapan materi 4 4 8 Soal jelas dan dapat 4 5 9 dipahami Kedalaman materi 5 4 9 Bisa digunakan secara 5 5 10 individu maupun kelompok Pembangkit motivasi 4 3 7 Mencari informasi 3 3 6 Mendorong rasa ingin 4 4 8 tahu Total 29 30 57
(%) 80 90 90 100
70 60 80 81,43
Dari table di atas, diketahui bahwa ketujuh aspek yang diukur rata-rata klasifikasi penilaiannya adalah sangat baik. Secara keseluruhan, bahan ajar yang telah dikembangkan diketahui sangat baik dengan persentase akhir 81.43%. 3. Kesimpulan Mengembangkan bahan ajar merupakan salah satu tugas guru agar materi yang akan disampaikan diperoleh dengan baik dan bermakna bagi siswa. Hasil dari pengembangan bahan ajar ini pada tahap validasi ahli menunjukkan hasil yang baik yaitu pada kategori di atas 80%. Sehingga bahan ajar ini layak digunakan sebagai sumber belajar pada topik turunan.
Pernyataan Terima Kasih . Terima kasih disampaikan kepada FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah mendanai penelitian ini melalui skim Hibah Fakultas.
952
Referensi [1] Association for Educational Communication and Technology, 1977, The definition of educational technology, Washington DC: AECT. [2] Educational Research Acquisition Consortium, 2008, Evaluating, Selecting, Acquiring Learning Resources: A Guide, BC Ministry of Education. [3] Kansanen, P, 2003, Studying the Realistic Bridge Between Instruction and Learning, An Attempt to a Conceptual Whole of the Teaching-Studying Learning Process, Educational Studies, Vol. 29, No. 2/3, 221-232. [4] Surachman, Winarno, 1998, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode Teknik, Bandung: Tarsito.
953
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 954-971
PEMBELAJARAN BERBASIS GUIDED DISCOVERY BERBANTUAN GEOGEBRA UNTUK MELATIH PENALARAN SISWA PADA MATERI FUNGSI KUADRAT AHMAD ZULFAKAR RAHMADI1, NOVI MURNIATI2, INDRA BAYU MUKTYAS3 STKIP SURYA
1 Jl. Imam Bonjol No.88,
[email protected] 2 Jl. Imam Bonjol No.88,
[email protected] 3 Jl. Imam Bonjol No.88,
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kesulitan dan kurangnya daya nalar siswa dalam mempelajari materi fungsi kuadrat dan grafiknya. Akibatnya, kebanyakan siswa hanya terpaku pada rumus saat menyelesaikan permasalahan terkait fungsi kuadrat. Pembelajaran yang mendorong siswa untuk melakukan suatu eksplorasi dalam menemukan konsep seperti Guided Discovery, merupakan salah satu cara untuk melatih penalaran siswa. Geogebra merupakan salah satu media yang mendukung kegiatan eksplorasi dalam pembelajaran fungsi kuadrat. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan mengembangkan suatu desain pembelajaran melalui penelitian Design Research dengan subjek penelitian kelas X IPA SMA Pramita Tangerang yang terbagi ke dalam dua kelompok siklus. Data pada penelitian diperoleh dari lembar kerja siswa, rekaman wawancara dan video, dan Hipotesis Lintasan Belajar(HLB). Berdasarkan analisis hasil penelitian yang didapat, diketahui bahwa beberapa aktivitas pembelajaran dalam lintasan belajar yang dibuat mampu mendorong siswa untuk melakukan proses bernalar.
Kata kunci : Fungsi Kuadrat, Penalaran, Guided Discovery, GeoGebra.
1. Pendahuluan Fungsi kuadrat merupakan salah satu materi pokok yang dipelajari dalam matematika. Dalam pembelajarannya di sekolah, materi fungsi kuadrat menjadi salah satu prasyarat untuk subbab sistem persamaan kuadrat yang ada di kelas X SMA kurikulum 2013. Selain itu, fokus dari materi fungsi kuadrat lebih kepada grafik fungsinya, mulai dari menggambarkan, menganalisis, dan menerapkannya ke dalam permasalahan konkret. Hubungannya dengan banyak variasi permasalahan matematika menjadikan materi fungsi kuadrat salah satu materi penting dalam belajar matematika.
954
Kedudukan fungsi kuadrat sebagai prasyarat materi dalam pembelajaran tidak diiringi dengan penguasaan materi yang baik dari siswa. Mayoritas siswa mengalami kesulitan untuk menentukan konsep mana yang akan mereka gunakan dalam menyelesaikan permasalahan berkaitan dengan fungsi kuadrat. Kesulitan yang dialami siswa disebabkan oleh materi prasyarat sebelumnya yang belum dikuasai yakni fungsi dan persamaan kuadrat [5]. Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada guru matematika SMA Pramita, siswa juga mengalami kesulitan dalam menggambarkan grafik dan menerapkan konsep fungsi kuadrat dalam penyelesaian masalah. Akibatnya, kemampuan siswa terbatas pada hal yang bersifat prosedural saja, sehingga tidak sesuai dengan tujuan akhir pembelajaran matematika yakni membentuk nalar siswa [7]. Kemampuan siswa yang cenderung bersifat prosedural juga disebabkan oleh proses pembelajaran yang tidak mendorong siswa melakukan aktivitas bernalar. Siswa seringkali terpaku pada rumus dalam menyelesaikan permasalahan berhubungan dengan fungsi kuadrat. Padahal, banyak aktivitas pembelajaran yang dapat melatih siswa untuk melatih penalaran mereka dalam bernalar seperti, menarik kesimpulan, mengevaluasi, membangun konjektur, menyusun bukti dan lain lain [8]. Lebih lanjut, aktivitas tersebut dapat dikembangkan dalam pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa untuk melatih penalaran siswa. Secara definisi, penalaran merupakan proses berfikir yang bertolak dari proses empirik dalam membentuk sebuah pengertian dan konsep. Kemampuan penalaran sendiri merupakan kemampuan untuk menarik kesimpulan umum dari data, keserupaan, atau proses yang ada [12]. Oleh karena itu, penalaran sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan ide-ide matematis dan menuangkannya dalam permasalahan konkret yang diberikan selama pembelajaran matematika. Guided discovery learning merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif secara mandiri menemukan dan menyimpulkan persoalan melalui instruksi-instruksi yang tersusun dalam suatu lembar aktivitas siswa. Selama pembelajaran, siswa akan diberikan stimulus lalu diminta untuk bereksplorasi berdasarkan ide dan instruksi yang ada. Lebih lanjut, siswa akan membuat dugaan serta melakukan percobaan mandiri untuk menyimpulkan pemahaman mereka sendiri. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, materi fungsi kuadrat terfokus pada menggambar dan menganalisis hingga menerapkan konsep grafik fungsi pada persoalan yang ada. Berkenaan dengan hal tersebut, diperlukan beberapa untuk mempermudah siswa memahami secara nalar dan melakukan eksplorasi dalam pembelajaran. GeoGebra merupakan salah satu media interaktif yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika, khususnya pada materi yang dapat direpresentasikan secara geometris. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penggunaan GeoGebra dalam pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan matematis siswa serta kualitas pembelajaran. Dengan bantuan GeoGebra, siswa akan lebih mudah mengamati fakta dari grafik serta bereksplorasi dan menyimpulkan pemahaman mereka terkait fungsi kuadrat. Berdasarkan penjelasan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan sebuah desain pembelajaran terkait fungsi kuadrat melalui penelitian design research pada siswa kelas X di SMA Pramita Tangerang. Selain
955
itu, penelitian ini secara umum menjawab pertanyaan bagaimana pembelajaran berbasis guided discovery berbantuan GeoGebra dapat melatih penalaran siswa pada materi fungsi kuadrat. Secara khusus, berdasarkan analisis hasil penelitian, pada makalah ini akan dijelaskan beberapa aktivitas pembelajaran yang menunjukkan proses penalaran siswa pada materi fungsi kuadrat.
2. Hasil – Hasil Utama 2.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dengan desain penelitian design research dengan 3 tahapan yakni preparation and design, teaching experiment, dan retrospective analysis [1]. Preparation and design, merupakan tahap dimana peneliti melakukan persiapan serta pengumpulan data terkait penelitian. Pada tahap ini, data yang dikumpulkan dapat diperoleh dari wawancara serta diskusi dengan narasumber ahli. Selain itu, pada tahap ini juga dibuat rancangan HLB awal yang akan diterapkan selama penelitian berlangsung. Teaching experiment merupakan tahapan dimana HLB awal akan dilaksanakan. Selama penerapan rancangan pembelajaran dari HLB, teori pembelajaran berkembang lewat beberapa siklus penelitian. Selain itu, peneliti juga melakukan observasi terhadap proses pembelajaran yang terjadi pada siswa. Hasil observasi tersebut diperoleh dari lembar kerja siswa, dokumentasi, maupun wawancara yang dapat menjadi acuan untu mengambengkan HLB pembelajaran selanjutnya. Retrospective analysis merupakan tahapan dimana keseluruhan data yang dikumpulkan selama pembelajaran akan dianalisis. Selanjutnya, dalam analisis akan dibandingkan bagaimana perbedaan penerapan secara actual dengan rancangan pembelajaran yang ada di HLB. Lebih lanjut, analisis tersebut menjadi dasar dari perbaikan HLB yang akan diterapkan pada siklus berikutnya, serta pada akhirnya akan menjawab pertanyaan penelitian dan menentukan kontribusi dalam pembelajaran. Penelitian terbagi dalam dua siklus, yaitu siklus pertama (kelompok kecil) terdiri dari 5 orang siswa dan siklus kedua (kelas besar) terdiri dari 28 siswa. Data penelitian diperoleh dari lembar aktivitas siswa, wawancara, video, dan Hipotesis Lintasan Belajar (HLB). 2.2. Hasil Hasil dari penelitian ini berupa hipotesis lintasan belajar (HLB) mengenai materi fungsi kuadrat. Berikut akan dibahas terkait HLB mengenai fungsi kuadrat yang dirancang selama dua siklus penelitian serta aktivitas pembelajaran yang terjadi selama teaching experiment. 2.2.1. Pertemuan 1: Menggambar dan mengidentifikasi unsur grafik fungsi kuadrat Tujuan akhir pembelajaran pada pertemuan pertama adalah siswa mampu mengidentifikasi unsur-unsur grafik fungsi kuadrat dan menggambarkan sketsa grafik
956
fungsi kuadrat dengan mensubstitusi titik serta menerapkannya. Kegiatan pembelajaran terbagi dalam dua aktivitas pembelajaran antara lain: 2.2.1.1. Aktivitas 1: Menggambar grafik fungsi kuadrat secara manual. Selama pembelajaran, siswa akan bereksplorasi mengenai bagaimana gambar grafik fungsi kuadrat berdasarkan pengetahuan mereka terkait grafik fungsi linier yang pernah dipelajari. Siswa akan menggambarkan grafik fungsi linier sebelum masuk pada fungsi kuadrat.
Gambar 2.1. Contoh Grafik Fungsi Linier yang Dibuat Siswa
Setelah menggambarkan grafik fungsi linier, siswa akan diminta untuk menggambarkan grafik fungsi kuadrat berdasarkan cara yang mereka lakukan sebelumnya. Guru memberikan pertanyaan terkait perkiraan siswa tentang grafik fungsi kuadrat. Beberapa siswa memberikan dugaan terkait bentuk grafik fungsi kuadrat saat diberikan pertanyaan. Berikut salah satu dugaan siswa pada saat percakapan berlangsung. Peneliti
: Nah, itu kan fungsinya bukan pangkat yang digambar, sekarang coba kita gambar fungsinya kayak gini.. 𝑥 2 + 2𝑥 + 1.. Ga pake computer, kira-kira gambarnya kayak gimana?
Siswa
: Kayak gini.. (mengisyaratkan dengan jari)
Peneliti
:apa itu??
Siswa
: melengkung..
Tidak semua siswa menggambarkan grafik fungsi kuadrat dengan benar. Kebanyakan siswa sulit dalam menentukan gambar grafik yang simetris dari titiktitik yang mereka ketahui. Oleh karena itu, beberapa grafik fungsi kuadrat digambarkan dengan kurang tepat.
957
Gambar 2.2. Gambar Grafik Siswa pada LAS
Selain itu, siswa juga mengamati berbagai kemungkinan dari bentuk grafik fungsi kuadrat melalui GeoGebra. Mereka menentukan beberapa fungsi kuadrat secara random pada tabel di LAS sebagai acuan melakukan eksplorasi dengan GeoGebra.
Gambar 2.3. Beberapa Fungsi Kuadrat yang Ditentukan Siswa
2.2.1.2. Aktivitas 2: Mengidentifikasi titik potong, sumbu simetri, dan nilai optimum dari grafik fungsi kuadrat. Dari gambar grafik yang mereka buat baik secara manual dan menggunakan GeoGebra, siswa akan mengamati unsur-unsur yang ada pada grafik fungsi kuadrat baik dari titik potong, sumbu simetri, dan nilai optimum fungsi. Selain itu, secara definitif, mereka menyimpulkan pada kondisi apa saja titik potong sumbu-𝑥 dan , sumbu simetri, serta titik optimum ada pada grafik yang telah mereka buat sebalumnya. Untuk titik potong grafik fungsi kuadrat, siswa mendata titik potong yang dimiliki setiap fungsi pada tabel di LAS.
958
Gambar 2.4. Contoh Hasil Eksplorasi Siswa Terkait Titik Potong Grafik Fungsi Kuadrat
Siswa diminta untuk melihat pola titik potong sumbu-𝑋 dan 𝑌 berdasarkan koordinat titik yang diitunjukkan dan menyimpulkan syarat dari masing-masing titik potong. Berikut ini potongan percakapan yang dilakukan siswa dan peneliti selama pembelajaran berlangsung. Peneliti Siswa Siswa L Peneliti Maryam Peneliti Siswa L Peneliti Siswa L Peneliti Siswa L
: Dapat tidak? Dari tabel yang sudah kalian buat di titik potongnya, ada yang sama disitu? Perhatiin gak? : apa ya? itu ada nol, eh, tapi ini enggak sama.. : ada nolnya? : oke ada nolnya , kalo dari titik potong sumbu-x nya, nol nya kapan? : nol nya di belakang… : yang belakang itu apa namanya? : y…? : nah itu,jadi dia motong sumbu-x pada saat kapan? : pada saat y nya nol.. : Berarti kalo titik potong sumbu-y apanya yang nol? : x nya nol…
Selanjutnya siswa akan menuliskan simpulan mereka pada LAS berdasarkan eksplorasi yang dilakukan.
Gambar 2.5. Simpulan Siswa Terkait Titik Potong Grafik
Kegiatan selanjutnya, siswa akan diminta untuk mengamati tabel pada LAS yang berisikan beberapa objek. Selanjutnya siswa diberikan instruksi untuk menggambarkan garis pada masing-masing objek yang mengarahkan mereka kepada sifat simetri dan unsur sumbu simetri grafik. Kemudian siswa
959
menyimpulkan pada LAS terkait objek simetri yang mereka amati pada tabel sebelumnya.
Gambar 2.6. Contoh Simpulan Siswa Terkait Sumbu Simetri Grafik Fungsi Kuadrat
Dari simpulan mereka terkait sumbu simetri, siswa diminta untuk mengamati kembali grafik pada GeoGebra, kemudian menyimpulkan hubungan persamaan sumbu simetri dengan nilai optimum yang dimiliki grafik fungsi kuadrat. Siswa memberikan elaborasi yang baik saat menyimpulkan hasil eksplorasi mereka terkait nilai optimum fungsi kuadrat (Gambar 2.7).
960
Gambar 2.7. Simpulan Siswa Terkait Nilai Optimum Grafik Fungsi Kuadrat
Di akhir pembelajaran siswa akan diminta mengerjakan latihan untuk menggambar sketsa grafik fungsi kuadrat secara manual. 2.2.2. Pertemuan 2: Menentukan titik potong, sumbu simetri, dan nilai optimum grafik fungsi kuadrat
2.2.3.
Gambar 2.8. Contoh Latihan yang Dikerjakan Siswa
961
Tujuan akhir pembelajaran pada pertemuan kedua adalah siswa mampu menjelaskan bagaimana menentukan titik potong, sumbu simetri, dan nilai optimum dari grafik fungsi kuadrat. Kegiatan pembelajaran terbagi dalam tiga aktivitas yakni: 2.2.2.1. Aktivitas 1: Menentukan titik potong sumbu-𝑋 dan sumbu-𝑌 dari grafik fungsi kuadrat dan hubungannya terhadap diskriminan. Berdasarkan simpulan mengenai unsur pada grafik fungsi kuadrat, siswa akan diminta untuk menentukan titik potong sumbu-𝑋 dan 𝑌 dari grafik fungsi kuadrat sesuai dengan kondisi yang memenuhi pada masing-masing titik potong. Dibawah ini merupakan percakapan yang terjadi antara peneliti dan siswa dalam pembelajaran. Dari percakapan yang ada, terlihat bahwa peneliti terus mengarahkan siswa dengan beberapa pertanyaan untuk mengonfirmasi pemahaman mereka. Peneliti
: kemarin kalian tau kan, syarat titik potong apa? diliat lagi LAS 1 nya..pada saat kapan dia memotong sumbu-x?
Siswa
: y = 0..?
Peneliti
: oke,, berarti misalkan kita mau nyari titik potong, y nya = 0..tadi kan kuta buat grafiknya 𝑦 = 𝑥 2 + 4𝑥 − 5 , kalo y nya sama dengan nol berarti, yang kita ganti, y nya, ya gak? Berarti kita punya 𝑥 2 + 4𝑥 − 5 = 0 . Nah, kalo udah bentuk kayak gini kira-kira kita ngapain?
Siswa
: Difaktorin..
Peneliti
: kenapa difaktorin? Ada yang tahu gak? Pemfaktorannya untuk dapet nilai apa?
Siswa
: x..
Peneliti
: terus kalo misalnya kita faktorin jadinya apa?
Siswa
: (𝑥 + 5)(𝑥 − 1)
Peneliti
: berarti x nya sama dengan…
Siswa
; 1 sama -5
Peneliti
: nah kalo misalkan, titik potong sumbu-y ..syaratnya apa?
Siswa
: x sama dengan nol…
Peneliti
: berarti kalo misalkan dari fungsi ini, yang kita ganti apa?
Siswa
: x nya..
Peneliti
: berarti kalo x nya kita ganti semua jadinya berapa?
Siswa
: 0..+..0 -5=-5
962
Selanjutnya, siswa diminta untuk mengamati beberapa grafik yang tidak memiliki titik potong sumbu-𝑋. Peneliti lalu memberikan petunjuk kepada siswa terkait hubungan titik potong dan diskriminan yang dimiliki setiap fungsi kuadrat. Kemudian siswa menghitung nilai diskriminan masing-masing fungsi kuadrat dan menyimpulkan hubungannya terhadap grafik fungsi yang terbentuk.
Gambar 2.9. Simpulan Siswa Terkait Hubungan Grafik dan Diskriminan
2.2.2.2. Aktivitas 2: Menentukan persamaan sumbu simetri grafik fungsi kuadrat Pada aktivitas ini, siswa akan mengamati pola persamaan sumbu simetri yang terbentuk dari masing-masing fungsi kuadrat yang telah mereka tentukan.
Gambar 2.10. Hasil Eksplorasi Siswa Terkait Persamaan Sumbu Simetri, Nilai Optimum, dan Titik optimum.
Siswa akan menyimpulkan bentuk umum persamaaan sumbu simetri dari percobaan mereka dengan GeoGebra. Sebelum menyimpulkan, siswa akan melengkapi tabel sumbu simetri dan nilai optimum pada LAS sesuai dengan grafik yang sudah dieksplorasi sebelumnya. Peneliti kemudian menampilkan tabel di depan kelas dan meminta siswa untuk mengamati pola dari persamaan sumbu simetri graifk yang ada. Selanjutnya, siswa akan menduga seperti apa persamaan umum dari sumbu simetri grafik berdasarkan tabel yang diberikan. Siswa diarahkan untuk menentukan persamaan sumbu simetri yang dimiliki grafik fungsi kuadrat untuk 𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝑐. Peneliti
: Coba amati 𝑓(𝑥) sama sumbu simetrinya,hubungannya apa? Bisa gak kalian simpulin?kalo dari fungsinya, kira-kira bisa gak
963
nentuin sumbu simetrinya langsung tanpa lihat grafiknya? Kirakira kita bisa dapet sumbu simetri dari yang mana? Siswa N
: Dari yang b kak..
Peneliti
: dari yang b? terus yang b diapain?
Siswa Y
: Dibagi sama c..?
Peneliti
: yakin..?
Siswa Y
: Eh iya, ga mungkin ya,,
Peneliti
: jadi gimana dong?
Siswa N
: Kak kalo gini.. itukan yang x jadinya − , itu kan 4x, jadinya
1 2
1
− 4 × 4..? 7
Peneliti
: Terus yang ini (, 2𝑥 2 + 𝑥 − 3), gimana polanya?
Siswa N
: itukan 2𝑥 2 …
Peneliti
: jadi gimana kalo 2𝑥 2 ? Kalo 𝑓(𝑥) barusan kita cari sumbu simetri berdasarkan pendapat kalian tadi, berarti sekarang sumbu simetrinya 𝑥 = 4 dong?
Siswa Y
: ooooh, dibagi sama yang a..?
Peneliti
: kita cek lagi, kalo b dibagi a, jadinya….?
Siswa N
: oooh dibagi 2 juga kak..
Siswa Y
: Dibagi -2 kak..
Peneliti
: (cek jawabannya…) yup. Ooh, berarti kalo 𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝑐, jadinya apa? X sama dengan? Berarti yang b dibagi a 1
dikali − 2?? 𝑏
−1 2
Siswa N
:𝑥=𝑎×
Peneliti
: Kalo dikali langsung jadinya?
Siswa Y
:𝑥=
−𝑏 2𝑎
Dari percakapan di atas, siswa terlihat aktif dalam memberikan dugaan terkait pola persamaan sumbu simetri dari grafik fungsi kuadrat. Simpulan yang diberikan oleh siswa selanjutnya akan dikonfirmasi oleh peneliti terkait sumbu simetri grafik fungsi kuadrat. 2.2.2.3. Aktivitas 3: Menentukan nilai dan titik optimum grafik fungsi kuadrat. Siswa akan menentukan bentuk umum dari nilai optimum serta koordinat titik optimum berdasarkan hubungannya terhadap sumbu simetri yang terbentuk.
964
Siswa akan memanfaatkan simpulan mengenai nilai optimum berdasarkan pengamatan mereka di pertemuan 1. Peneliti
: sekarang, kalo misalnya kita punya ini (𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝑐) –𝑏
sumbu simetrinya 2𝑎 kan? Siswa
: yaa..
Peneliti
: berarti nilai optimumnya gimana? Itu tugas kalian sekarang, coba kalian substitusikan..
Siswa mensubstitusi nilai sumbu simetri ke dalam 𝑓(𝑥) lalu menentukan bentuk umum dari nilai optimum fungsi kuadrat.
Gambar 2.11. Contoh Jawaban Siswa Terkait Nilai Optimum Fungsi Kuadrat
2.2.4. Pertemuan 3: Memahami hubungan koefisien terhadap perubahan grafik fungsi kuadrat Tujuan akhir pembelajaran pada pertemuan ketiga adalah siswa mampu menjelaskan hubungan koefisien fungsi kuadrat terhadap grafik fungsi kuadrat. Kegiatan pembelajaran terbagi dalam tiga aktivitas antara lain: 2.2.3.1. Aktivitas 1: Memahami hubungan nilai a terhadap grafik fungsi kuadrat Siswa akan bereksplorasi menggunakan GeoGebra dengan mengubah nilai koefisien 𝑎 pada fungsi kuadrat. Siswa melengkapi tabel sesuai dengan fungsi kuadrat yang mereka tentukan.
965
Gambar 2.12. Contoh Beberapa Fungsi yang Digunakan Siswa dalam Eksplorasi Perubahan Nilai 𝑎
Eksplorasi dimulai dengan 𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥 2 hingga 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝑐, lalu siswa menyimpulkan pengaruh terhadap grafik fungsi kuadrat dan perbedaannya. Pada eksplorasi topik ini, siswa dengan mudah menyebutkan jika perubahan grafik dipengaruhi besar atau kecilnya 𝑎.
Gambar 2.13. Simpulan Siswa Terkait Koefisisen 𝑎 pada Fungsi Kuadrat
2.2.3.2. Aktivitas 2: Memahami hubungan nilai b terhadap grafik fungsi kuadrat Pada aktivitas 2, siswa diberikan salah satu fungsi kuadrat untuk dieksplorasi nilai koefisien 𝑏 dan menyimpulkan pengaruh terhadap grafik fungsi kuadrat. Kemudian, mereka akan melihat kembali perubahan yang terjadi terkait hubungan koefisien 𝑏 dengan koefisien yang lain terhadap grafik fungsi kuadrat
966
Gambar 2.13. Contoh Beberapa Fungsi yang Digunakan Siswa dalam Eksplorasi Perubahan Nilai 𝑏
P
: udah ketemu?
Siswa DI
: kalo plus, lebih ke kiri dari grafik sebelumnya..kalo minus, lebih ke kanan.
P
: kalo 𝑎 nya diubah juga dia jadinya ke kanan apa ke kiri? Misalkan 𝑎 nya negative..
…. P
: gimana kalo 𝑎 nya negative, b nya negative?
Siswa DI
: ke kiri..
P
: kalo 𝑎 negative, b positif, atau sebaliknya?
Siswa DI
: kayak yang tadi dong? Ke…kanan..
P
: nah jadinya gimana itu? Bisa simpulin gak? Kalo tandanya sama gimana, kalo tandanya beda gimana?
Siswa DI
: beda semua..?
P
: kalo tandanya sama?
Siswa DI
: kalo tandanya sama lebih ke kiri..
P
: kalo beda?
Siswa DI
: ke kanan..
Selanjutnya, siswa akan diarahkan untuk bereksplorasi pada nilai 𝑎 dan 𝑐, saat nilai 𝑏 diubah pada 𝑓(𝑥). Siswa diminta untuk melengkapi tabel pada LAS untuk melihat hubungan antara 𝑎, 𝑏, dan 𝑐 terhadap perubahan grafik fungsi kuadrat.
967
Berdasarkan eksplorasi yang siswa lakukan, siswa menyimpulkan hubungan perubahan nilai koefisien 𝑏 terhadap grafik, juga kaitannya dengan koefisien lain,
Gambar 2.14. Simpulan Siswa Terkait Hubungan 𝑏 Terhadap grafik
2.2.3.3. Aktivitas 3: Memahami hubungan nilai c terhadap grafik fungsi kuadrat Langkah eksplorasi serupa dengan aktivitas sebelumnya. Siswa akan mengganti nilai 𝑐 pada beberapa fungsi lalu mencatatnya di LAS. Selanjutnya siswa akan membandingkan hubungan nilai 𝑐, dengan dua lainnya (𝑎, 𝑏) terhadap perubahan yang terjadi pada grafik fungsi kuadrat. Peneliti
: Untuk setiap grafik yang kalian gambar, kalo nilai 𝑐 nya kalian gantiganti, nanti kalo kalian amati grafiknya, bakal berpengaruh kemna?
Siswa L
: Titik potong grafik..
Peneliti
: titik potong apa?
Siswa L
: sumbu-y..
Peneliti
: Artinya kesimpulan yang bisa kalian ambil kalo missal nilai c nya kalian ganti apa?
Siswa
: titik potong.. sumbu-Y
2.3. Pembahasan Dari hasil yang diperoleh selama dua siklus pembelajaran, terdapat beberapa kegiatan siswa yang menunjukkan proses bernalar. Hal tersebut didasari oleh beberapa indikator menurut Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor 506/C/Kep/PP/2004 mengenai kemampuan penalaran siswa antara lain; mengajukan dugaan, melakukan manipulasi matematika, menarik kesimpulan, memeriksa kesahihan argumen, dan menemukan pola untuk membuat generalisasi. Adapun beberapa kegiatan yang menunjukkan proses bernalar oleh siswa sebagai berikut: 2.3.1. Meggambarkan dan mengidentifikasi unsur-unsur grafik fungsi kuadrat Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada tahap ini, terbagi dalam beberapa poin aktivitas, yakni menggambarkan grafik, mengidentifikasi unsur titik potong, sumbu simetri, dan nilai optimum grafik fungsi kuadrat. Pada saat siswa mengidentifikasi unsur titik potong grafik fungsi kuadrat, mereka mendata titik potong yang dimiliki beberapa fungsi lalu melihat kesamaan dari masing-masing titik
968
potong sumbu-𝑋 dan 𝑌. Kesamaan yang dilihat siswa adalah nilai nol (0) pada ordinat untuk sumbu-𝑋 dan absis untuk sumbu-𝑌. Selanjutnya, berdasarkan koordinat titik yang mereka amati, siswa menyimpulkan syarat dari masing-masing titik potong sumbu-𝑋 dan sumbu-𝑌. Selain itu, siswa juga mengamati dan menyimpulkan kembali fungsi kuadrat yang ada untuk menentukan apakah grafik akan selalu memotong sumbu-𝑋 atau sumbu-𝑌. Di aktivitas lain, yakni mengidentifikasi kesimetrian grafik dan unsur sumbu simetri, siswa mengamati kesamaan sifat pada beberapa gambar yang ditunjukkan. Lebih lanjut, siswa menyimpulkan sifat simetris dari grafik fungsi kuadrat berdasarkan kesamaan dengan objek lainnya. Selain itu, siswa juga memberikan berbagai dugaan terkait pertanyaan mengenai unsur yang dimiliki grafik konsekuensi sifat simetris seperti garis sumbu, garis simetris, titik temu, dan sebagainya. Dari dua aktivitas pada tahap pertama pembelajaran ini, terlihat bahwa siswa mengamati kesamaan atau pola dari objek maupun persamaan untuk membuat simpulan secara umum. Selain itu, siswa juga mengajukan dugaan dari eksplorasi dan pengamatan yang mereka lakukan. Berdasarkan aktivitas yang ditunjukkan, maka siswa melakukan penalaran selama proses pembelajaran. 2.3.2. Menentukan titik potong, sumbu simetri, dan nilai optimum grafik fungsi kuadrat Pada saat menentukan persamaan sumbu simetri, siswa mengamati pola dari persamaan yang ditunjukkan dari beberapa fungsi kuadrat yang telah mereka buat. Selanjutnya, dengan pertanyaan yang diberikan, siswa memberikan dugaan mereka terkait pola dari sumbu simetri yang terbentuk. Selama mengamati dan memberikan dugaan, dibantu dengan pertanyaan, siswa mencermati ulang apakah pola yang mereka duga berlaku untuk semua fungsi yang ada. Lebih lanjut, mereka kemudian menyimpulkan persamaan sumbu simetri yang benar dari pola yang ditemukan dan dikonfirmasi kembali melalui contoh fungsi lain. Aktivitas selanjutnya, siswa menentukan bentuk umum dari nilai optimum fungsi kuadrat. Siswa menghubungkan simpulan mengenai kondisi yang memenuhi −𝑏 saat nilai optimum terpenuhi. Lalu, siswa mensubstitusikan 𝑥 = ke dalam 𝐷
2𝑎
𝑓(𝑥) = 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝑐 untuk memeroleh nilai optimum 𝑦 = −4𝑎. Berdasarkan aktivitas di atas, terlihat jika siswa juga melakukan penalaran dalam pembelajaran. Mereka menentukan pola serta menyimpulkan, dan meninjau kembali kebenaran dari simpulan yang mereka dalam memberikan dugaan. Selain itu, siswa juga melakukan manipulasi aljabar (manipulasi matematika) untuk menentukan nilai optimum fungsi kuadrat. 2.3.3. Memahami hubungan koefisien terhadap perubahan grafik fungsi kuadrat Tahap ini terbagi ke dalam 3 aktivitas pembelajaran. Dari ketiga aktivitas, siswa melakukan eksplorasi masing-masing mengubah nilai 𝑎, 𝑏, dan 𝑐 pada fungsi kuadrat. Selanjutnya, siswa menyimpulkan hubungan setiap koefisien terhadap grafik fungsi kuadrat. Selain itu, dari beberapa pertanyaan terkait perubahan grafik dan hubungannya dengan koefisien fungsi, siswa mencoba untuk mengonfirmasi kembali simpulan yang mereka peroleh melalui percobaan lainnya. Sebagai contoh, pada saat mengamati perubahan grafik saat nilai koefisien 𝑏, 𝑎, dan 𝑐 semuanya diubah. Berdasarkan apa yang dilakukan siswa dalam pembelajaran, mereka telah
969
menunjukkan proses penalaran mulai dari melakukan percobaan, menyimpulkan secara umum dari percobaan atau eksplorasi yang dilakukan, serta memeriksa kembali simpulan yang mereka peroleh selama eksplorasi.
3. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya, disimpulkan bahwa beberapa aktivitas pembelajaran yang diterapkan dapat mendorong siswa untuk melakukan penalaran dalam belajar. Melalui pembelajaran berbasis Guided Discovery, guru atau peneliti hanya memberikan instruksi dan arahan kepada siswa, lalu siswa secara mandiri melakukan eksplorasi dan menyimpulkan materi terkait fungsi kuadrat. Dari eksplorasi yang dilakukan pada grafik fungsi kuadrat, siswa melakukan pengamatan dan menemukan kesamaan atau pola dan melakukan generalisasi. Selain itu, melalui pertanyaan dan arahan dari guru atau peneliti, siswa mencoba untuk memberikan dugaan serta meninjau kembali kebenaran simpulan yang mereka peroleh. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas pembelajaran yang dilakukan telah mendorong dan melatih siswa untuk melakukan penalaran dalam matematika, khususnya pada materi fungsi kuadrat. Pernyataan terima kasih. Puji syukur atas berkat dan rahmat Allah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan makalah ini dengan baik. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada orang tua, saudara, dosen, kaprodi, staff, serta teman sejawat STKIP Surya yang ikut membantu ataupun mendukung penulis secara moril dan materil dalam rangka menyelesaikan penelitian serta penulisan makalah ilmiah ini. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh insan pendidik di Indonesia.
Referensi [1] Bakker, Arthur. 2004. Design research in statistics education On symbolizing and computer tools. Utrecht: Freudenthal Institute. [2] Denscombe, Martyn. 2010. "The Good Research Guide: For Small-Scale Social Research Projects." In The Good Research Guide: For Small-Scale Social Research Projects, by Martyn Denscombe, 272-306. London: The McGraw HillCompanies. [3] Erdee., Dolly van. 2013. "Design Research: Looking Into The Heart Of Mathematics Education." The First South East Asia Design/Development Research (SEA-DR) International Conference. Palembang, Indonesia: Sriwijaya University. 1-11. [4] Germain, J. L. 2010. Guided Discovery: A Twentieth Century Model Proves Useful in the Twenty-First Century Classroom . West Point: Dicky Suprapto. [5] Hidayati, F. 2010. Kajian Kesulitan Belajar Suswa Kelas VII SMP Negeri 16 Yogyakarta dalam Mempelajari Aljabar. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. [6] Koeno Gravemeijer, P. C. (n.d.). Design Research from a Learning Design Perspective. In K. G. Jan van den Akker, Educational Design Research (pp. 17-51). [7] Mahmudi, A. 2013. Pengembangan Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. [8] Ma'arif, S. 2015. Cabri II Plus untuk Mengembangkan Kemampuan Penalaran Matematis. In S. Ma'arif, Pembelajaran Geometri Berbantu Cabri 2 Plus (Panduan Praktis Mengembangkan Kemampuan Matematis) (pp. 255-284). Bogor: iN MEDIA.
970
[9] Olsson, J. 2014. Dynamic Software Enhancing Creative Mathematical Reasoning. Swedia: UMEA University. [10] Paul Eggen, D. K. 2012. Model Temuan Terbimbing. In D. K. Paul Eggen, Strategi dan Model Pembelajaran: Mengajarkan Konten dan Keterampilan Berpikir, Edisi 6 (pp. 175-213). Jakarta: Indeks. [11] Sinaga, O. 2015. Design Research: Mengembangkan Pembelajaran Pecahan dan Operasi Hitung Penjumlahan Pecahan Menggunakan Model Garis Bilangan Berdasarkan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia di Kelas VII SMP Negeri 50 Jakarta. Jakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Jakarta. [12] Siswanto, R. 2014. Peningkatan Kemampuan Penalaran Dan Koneksi Matematis Melalui Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad Berbantuan Software Geogebra (Studi Eksperimen Di SMAN 1 Cikulur Kabupaten Lebak Propinsi Banten) . Jurnal Pendidikan dan Keguruan, 1(2). [13] Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. [14] Wulandari, R. 2015. Pengembangan Media Pembelajaran Interaktif Berbantuan GeoGebra dengan Pendekatan Saintifik Berbasis Penemuan Terbimbing (Guided Discovery) pada Materi Persamaan Lingkaran untuk Siswa SMA Kelas XI. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
971
Prosiding SNM 2017 Pen d i di ka n , Ha l 97 2 -982
PENGEMBANGAN BUKU PENGAYAAN SMA TENTANG APLIKASI TRIGONOMETRI DALAM BERBAGAI BIDANG H. PARDIMIN1 DAN I NYOMAN ARCANA2 1 Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta,
[email protected], 2 Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta,
[email protected].
Abstrak. Pelajaran Trigonometri memerlukan program pengayaan karena selalu saja ada siswa yang cepat mencapai standar kompetensi pelajaran yang telah ditentukan. Pelajaran Trigonometri yang disampaikan ke siswa oleh guru lebih menekankan pada penurunan rumus, penghapalan rumus, dan contoh aplikasinya yang hanya langsung pada bangun segitiga, atau bangun lainnya yang dapat dipecah menjadi beberapa segitiga. Oleh karena itu perlu adanya buku pengayaan yang isinya adalah aplikasi trigonometri dalam berbagai bidang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian Research & Development. Rancangannya mengikuti prosedur yang dikembangkan oleh Roblyer. Hasil penelitian adalah buku pengayaan yang diberi judul Pengayaan Aplikasi Trigonometri untuk SMA. Buku ini sudah mengalami uji kelayakan, dan dinyatakan layak pakai. Keistimewaan buku ini adalah terdapatnya contoh-contoh kasus dari berbagai bidang, dan tidak hanya kasus fiktif. Kata kunci: sinus, cosinus, vektor, pengayaan.
1. Pendahuluan Dalam kelas matematika sering dijumpai adanya peserta didik yang lebih cepat mencapai standar kompetensi pelajaran yang telah ditentukan. Peserta didik ini dapat mengembangkan dan memperdalam kecakapannya secara optimal melalui pembelajaran pengayaan. Pembelajaran pengayaan merupakan pembelajaran tambahan dengan tujuan untuk memberikan kesempatan pembelajaran baru bagi peserta didik untuk memperdalam dan memperluas pengetahuannya [1]. Trigonometri adalah cabang dari matematika yang berkaitan dengan hubungan antara sisi dan sudut dari segitiga, dan perhitungan berdasarkan pada sisi dan sudut tersebut [2]. Trigonometri secara luas digunakan dalam bidang astronomi, teknik, navigasi, dan fisika [3]. Dalam bidang fisika, trigonometri dibutuhkan pada materi tentang gelombang, optika, elektronika, dan mekanika. Pada mekanika, trigonometri diperlukan pada materi gaya, gerak parabola, gerak harmonis dan lainlain. Pada vektor gaya misalnya, trigonometri dibutuhkan untuk menjumlahkan dan menguraikan vektor. Sebagian besar eksplorasi di fisika berkaitan dengan gerak benda melalui ruang khusus, yaitu ruang berdimensi dua. Trigonometri digunakan untuk menghubungkan gerakan pada ruang berdimensi dua [4]. Dalam bidang astronomi, trigonometri digunakan secara ekstensif untuk mengukur jarak bendabenda langit [5]. Dengan demikian, belajar trigonometri seharusnyabukan hanya untuk keperluan pelajaran trigonometri itu sendiri, tetapi juga untuk mempermudah belajar fisika.
972
Secara umum, pemahaman matematika (termasuk trigonometri) dapat ditingkatkan melalui latihan penerapannya pada berbagai kasus misalnya kasuskasus dalam bidang fisika. Demikian juga, ingatan (memory) siswa terhadap rumus-rumus trigonometri dapat diperpanjang (prolonged) jika siswa latihan menerapkan rumus-rumus tersebut dalam bidang lainnya [6]. Dari uraian di atas terlihat bahwa di satu pihak trigonometri kurang diminati siswa, di lain pihak pelajaran ini sangat dibutuhkan di berbagai bidang. Oleh karena, untuk meningkatkan minat dan kemampuan siswa, haruslah selalu diupayakan penambahan sumber belajar yang inovatif untuk pelajaran trigonometri; salah satu sumber belajar yang dianjurkan oleh Menteri Pendidikan adalah buku pengayaan [1]. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengembangkan buku pengayaan Aplikasi Trigonometri pada berbagai bidang untuk SMA, (2) mengetahui kelayakan dari buku pengayaan yang dibuat. Perumusan masalah dari penelitian ini adalah: (1) buku pengayaan trigonometri yang bagaimanakah yang berpotensi menantang siswa untuk membacanya, menambah wawasan pengetahuan, meningkatkan pemahaman konsep, dan mempermudah mengingat rumus-rumus trigonometri?, (2) bagaimanakah kelayakan dari buku pengayaan (produk) yang dibuat? Manfaat utama dari penelitian ini adalah tersedianya buku pengayaan trigonometri yang menantang siswa untuk dibaca, dapat menambah wawasan pengetahuan, menambah pemahaman konsep serta mempermudah melihat keterkaitan antar rumus. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa siswa lulusan SMA IPA dan Guru Matematika SMA, diperoleh informasi bahwa materi trigonometri termasuk salah satu pelajaran yang kurang diminati oleh siswa, akibatnya pelajaran ini terasa sulit. Hal ini disebabkan karena materi trigonometri yang disampaikan ke siswa lebih menekankan pada penurunan rumus, penghapalan rumus, dan contoh aplikasinya yang hanya langsung pada bangun segitiga, atau bangun datar lainnya yang dapat dipecah menjadi beberapa segitiga, hampir tidak ada aplikasi di bidang selain matematika. Trigonometri adalah cabang dari matematika yang berkaitan dengan hubungan antara sisi dan sudut dari segitiga, dan perhitungan berdasarkan pada sisi dan sudut tersebut [2]. Trigonometri secara luas digunakan dalam bidang astronomi, teknik, navigasi, dan fisika [3]. Dalam bidang fisika, trigonometri digunakan pada materi tentang gelombang, optika, elektronika, dan mekanika. Pada mekanika, trigonometri digunakan pada materi gaya, gerak parabola, gerak harmonis dan lainlain. Pada vektor gaya misalnya, trigonometri digunakan untuk menjumlahkan dan menguraikan vektor. Sebagian besar eksplorasi di fisika berkaitan dengan gerak benda melalui ruang khusus, yaitu ruang berdimensi dua. Trigonometri digunakan untuk menghubungkan gerakan pada ruang berdimensi [4]. Dalam bidang astronomi, trigonometri digunakan secara ekstensif untuk mengukur jarak bendabenda langit [5]. Dengan demikian, belajar trigonometri seharusnya bukan hanya untuk keperluan pelajaran trigonometri itu sendiri, tetapi juga untuk mempermudah belajar fisika. Secara umum, pemahaman matematika (termasuk trigonometri) dapat ditingkatkan melalui latihan penerapannya pada berbagai kasus misalnya kasuskasus dalam bidang fisika. Demikian juga, ingatan (memory) siswa terhadap rumus-rumus trigonometri dapat diperpanjang (prolonged) jika siswa latihan menerapkan rumus-rumus tersebut dalam bidang lainnya [6].
973
Dari uraian di atas terlihat bahwa di satu pihak trigonometri kurang diminati siswa, di lain pihak pelajaran ini sangat dibutuhkan di berbagaibidang. Oleh karena itu, supaya minat dan kemampuan siswa meningkat dalam pelajaran trigonometri, haruslah selalu diupayakan penambahan sumber belajar yang sifatnya inovatif; salah satu jenis sumber belajar yang dianjurkan oleh Menteri Pendidikan adalah buku pengayaan [1]. Penelitian pengembangan ini diawali dengan analisis kebutuhan (needs analysis). Informasi untuk analisis kebutuhan diperoleh dari guru matematika dan alumni SMA IPA untuk menentukan materi pokok bahasan dalam pelajaran Trigonometri yang sesuai sebagai bahan pengayaan. Model pengembangan yang dipilih mengikuti prosedur yang disarankan oleh Roblyer [9] yang meliputi tiga fase, yaitu: fase perancangan, fase pengembangan buku awal, dan fase pengembangan buku dan evaluasi Fase I (perancangan) terdiri atas lima langkah, yaitu: merumuskan tujuan pembelajaran, memilih materi trigonometri, memilih materi pengaplikasian trigonometri pada bidang lainnya, terutama bidang fisika, merancang sistematika penulisan dan bentuk penyajian tulisan serta gambar, dan menentukan tim validasi ahli dan uji coba. Fase II (pengembangan buku awal) terdiri atas tiga langkah, yaitu: menulis materi trigonometri, menulis materi aplikasi trigonometri pada berbagai bidang terutama bidang, dan menulis kelengkapan buku. Fase III (pengembangan buku dan evaluasi) terdiri atas dua langkah, yaitu: menyusun materi menjadi buku pengayaan dan validasi. Pada masing-masing fase selalu dilakukan revisi sebelum beralih ke fase berikutnya. Setelah buku (produk) selesai dikembangkan dilakukan validasi produk. Validasi produk pengembangan menggunakan rancangan pengembangan dari Dick dan Carey [10] yang terdiri dari empat tahap, yaitu: validasi tim ahli, evaluasi perorangan, evaluasi kelompok, dan uji-coba lapangan. Validasi tim ahli dilakukan untuk melihat kelayakan isi (materi), kelayakan kebahasaan, sistematika dan penyajian, serta kelayakan kegrafisan. Informasi yang diperoleh dari tim ahli ini digunakan sebagai bahan revisi pertama. Evaluasi perorangan bertujuan untuk mengidentifikasi dan menemukan kesalahan-kesalahan kecil (misalnya kesalahan ketik), ukuran dan warna gambar, bahasa dan tampilan tulisan. Hasil evaluasi ini digunakan sebagai pijakan revisi kedua. Evaluasi kelompok bertujuan untuk mengidentifikasi kekurangan produk setelah dilakukan revisi yang kedua. Dalam evaluasi ini, evaluator melakukan diskusi setelah mengisi angket secara individu. Hasil dari evaluasi kelompok dijadikan pijakan untuk melakukan revisi lagi (revisi ketiga). Uji coba lapangan bertujuan untuk untuk mengetahui kelayakan buku yang dikembangkan berdasarkan penilaian dari siswa pemakai langsung buku ini, yaitu siswa SMA IPA. Karena keterbatasan waktu, sebagai subjek uji coba adalah 10 orang siswa SMA IPA yang baru lulus. Hasil uji coba ini dipakai sebagai dasar untuk melakukan revisi akhir. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik validasi, teknik evaluasi, teknik uji coba, dan teknik wawancara. Instrumen yang digunakan adalah angket validasi, angket evaluasi, dan angket uji coba serta lembar wawancara. Inti pertanyaan pada angket pada dasarnya sama dengan inti pertanyaan pada lembar wawancara. Hasil wawancara digunakan untuk melengkapi dan mempertegas hasil
974
yang diperoleh dari angket. Data dianalisis secara deskriptif. Analisis diawali dengan mencari rata-rata hitung, rata-rata ideal, dan standar deviasi ideal. Rata-rata hitung digunakan untuk mencari rata-rata nilai dari setiap sub-angket. Rata-rata ideal dan standar deviasi ideal digunakan untuk membuat kategori baik-tidaknya rata-rata hitung yang diperoleh. Setelah itu dilakukan pemaknaan terhadap hasil pengkategorian. 2. Hasil – Hasil Utama A. Hasil Hasil penelitian ini adalah produk berupa buku Pengayaan Aplikasi Trigonometri Untuk SMA. Pada bagian berikutnya dipaparkan tentang komponen produk, hasil validasi ahli, hasil evaluasi perorangan, hasil evaluasi kelompok dan hasil uji coba lapangan. Seperti buku pada umumnya, buku pengayaan ini diawali dengan sampul, kata pengantar, petunjuk pemakaian buku, Bab I (Pendahuluan), Bab II (Basis Trigonometri), Bab III (Sinus dan Cosinus), Bab IV (Vektor), Bab V (Gerakan Harmonis), dan Daftar Pustaka. Secara umum, buku ini ditulis dengan model bariskolom dan disertai gambar-gambar yang menarik. Contoh-contoh memang diambil dari kasus berbagai negara dengan tujuan menambah wawasan siswa. Pada bagian sampul tertulis judul buku yang disertai gambar-gambar tentang aplikasi trigonometri dalam berbagai bidang, terutama pada bidang pengukuran dan fisika (Gambar 1). Harapannya, dengan melihat gambar pada sampul maka pembaca akan mendapat gambaran tentang isi dari buku, dan tertarik untuk membacanya. Hal ini perlu karena bayangan siswa pada umumnya tentang trigonometri adalah kumpulan rumus-rumus dan gambar segitiga. Pada Bab I diuraikan tentang pengertian pembelajaran pengayaan, manfaat pengayaan, kaitannya dengan kurikulum, jenis-jenis pembelajaran pengayaan, dan bentuk pelaksanaan pembelajaran pengayaan. Inti dari bagian ini adalah penjelasan tentang tidak bolehnya materi pengayaan tercantum dalam kurikulum. Walaupun materi pengayaan tidak tercantum dalam kurikulum, materi ini tetap harus ada kaitannya dengan kurikulum. Pada Bab II tertulis tentang materi yang paling dasar dalam pelajaran trigonometri, yaitu "sudut". Penulisan materi diawali dari pengertian sinar kemudian diteruskan dengan pengertian sudut dan ukuran sudut (ukuran drajat dan radian). Dalam perhitungan-perhitungan yang berkaitan dengan sudut, sering sekali dilakukan perubahan ukuran sudut dari drajat ke radian dan sebaliknya. Oleh karena itu, pada bab ini juga diuraikan tentang bagaimana cara melakukan konversi antar sudut. Pada Bab III diuraikan tentang hukum sinus, uraian diawali dari penjelasan tentang aksioma kongruen pada segitiga. Uraian ditekankan pada aplikasi trigonometri di berbagai bidang. Aplikasinya disertai dengan gambar-gambar. Sebagai contoh adalah Gambar 2 dan Gambar 3. Gambar 2 berkaitan dengan aplikasi hukum sinus pada kasus kebakaran, sedangkan Gambar 3 berkaitan dengan aplikasi hukum sinus pada pengukuran jarak bumi ke bulan.
975
Gambar 1. Sampul buku (memuat gambar tentang isi buku)
Soal Dua stasiun penjaga hutan A dan B berjarak 110 mil pada garis timur-barat. Sebuah kebakaran hutan berada pada sudut poros N 42 ° E dari stasiun Barat (di A) dan sudut poros N 15 ° E dari stasiun timur (di B). Berapa jauh api dari stasiun Barat? (Lihat Gambar di samping). Sumber: LIALMC08_0321227638. QXP [11] Gambar 2. Hukum sinus diaplikasikan pada kasus kebakaran hutan.
976
Sumber: LIALMC08_0321227638. QXP [11]
Soal Pada tanggal 29 April 1976, jam 11:35, di lakukan pengukuran sudut elevasi dari dua tempat yang berbeda, yaitu sudut elevasi selama matahari mengalami gerhana sebagian di Bochum di Jerman bagian atas dan di Donaueschingen di Jerman bagian bawah. Hasil pengukuran berturut-turut 52.6997o dan 52.7430o. Jarak dua posisi tersebut 398 km.
Hitunglah jarak ke bulan dari Bochum pada hari tersebut, dan bandingkan dengan nilai sebenarnya, 406.000 km. Abaikan kelengkungan bumi dalam perhitungan ini. (Sumber: Scholosser, W., T. Schmidt-Kaler, dan E. Milone, Tantangan Astronomi, Springer-Verlag, 1991 dalam www.aw-bc.com /scp/lial_hornsby_schneider3e /.../LIALMC08_0321227638.pdf. Aplications of Trigonometry). Gambar 3. Aplikasi hukum sinus pada pengukuran jarak bulan dengan bumi Bagian berikutnya diuraikan tentang hukum cosinus, uraian materi lebih ditekankan pada aplikasi dari hukum ini. Contoh aplikasi disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Soal Tukang pengukur tanah sering menemui hambatan ketika mengukur batas-batas daerah yang luas, misalnya hambatan berupa pohon-pohon. Salah satu teknik yang digunakan untuk memperoleh pengukuran yang akurat adalah teknik "metode segitiga". Sumber: LIALMC08_0321227638. QXP [11] Dalam teknik ini, segitiga dibangun di sekitar hambatan. Satu sudut serta dua sisi segitiga diukur. Gambar 4. Pengukuran batas-batas terhalang pohon-pohon Soal Untuk mengukur jarak terowongan yang akan dibuat menembus sebuah gunung, titik C dipilih sedemikian sehingga dapat dicapai dari masingmasing ujung terowongan. (Lihat gambar). Jika AC = 3800 m, BC =
977
2900 m, dan sudut C = 110o. Temukan panjang terowongan. Gambar 5. Pengukuran panjang trowongongan yang akan digali.
Sumber: LIALMC08_0321227638. QXP [11]
Pada Bab IV diuraikan secara singkat tentang besaran skalar dan vektor, sifat-sifat vektor, penjumlahan, pengurangan dan resultan vektor. Kemudian dilanjutkan dengan komponen vektor dan perkalian titik. Beberapa aplikasi vektor diberikan pada buku ini, diantaranya disajikan pada Gambar 6 dan Gambar 7. Soal Carilah gaya yang dibutuhkan oleh kereta yang beratnya 50lb untuk menjaga kereta dari pergeseran pada jalan yang mempunyai kemiringan 20 ° terhadap horizontal. (Asumsikan tidak ada gesekan.) Sumber: LIALMC08_0321227638. QXP [11] Gambar 6. Aplikasi vektor pada gaya. Soal Sebuah pesawat dengan kecepatan udara 192 mph pada arah 121 °. Dari utara angin bertiup (dari utara ke selatan) dengan kecepatan 15.9 mph. Cari groundspeed dan sudut poros dari pesawat.
Sumber: LIALMC08_0321227638. QXP [11] Gambar 7. Aplikasi vektor pada navigasi.
Pada Bab V (gerakan harmonis) diuraikan tentang pemodelan sistem pegas sederhana untuk mendapatkan gerak harmonis (biasa disebut getaran harmonis). Pada bagian ini diuraikan tentang pemodelan sistem pegas sederhana untuk mendapatkan gerak harmonis (biasa disebut getaran harmonis). Untuk keperluan tersebut, uraian diawali dengan beberapa istilah dalam fisika seperti massa, berat, gaya, hukum Hooke, dan lain-lain. Gambar 7 memperlihatkan model pegas yang dikaitkan dengan Hukum Hooke.
978
X(t) = 0 pada posisi setimbang
X(t) < 0 pada posisi di atas setimbang
X(t) > 0 pada posisi di bawah setimbang Gambar 7 Model pegas yang diakitkan dengan Hukum Hooke. Sumber: Stitz, C. & Zeager, J.[4]
Ada tiga jenis gerak harmonis yang diuraikan pada buku ini, yaitu gerak harmonis bebas redaman, gerak harmonis teredam, dan gerak harmonis dipaksakan. Gambar 8 memperlihatkan gerak harmonis, gambar 9 memperlihatkan gerak harmonis teredam dan Gambar 10 memperlihatkan gerak harmonis dipaksakan.
Sumber: Stitz, C. & Zeager, J.[4] Gambar 8. Contoh Grafik bebas redaman.
Sumber: Stitz, C. & Zeager, J.[4] Gambar 9. Model getaran teredam.
Sumber: Stitz, C. & Zeager, J. [4] Gambar 10. Fenomena gerak "dipaksa". Buku pengayaan yang dikembangkan telah divalidasi oleh 3 ahli. Ringkasan hasil validasi disajikan pada Tabel 1.
979
Tabel1. Ringkasan Hasil Validasi Ahli Validator Rata-rata No Aspek yang dinilai Kategori V1 V2 V3 𝑋̅ 1 Kesesuaian isi 24 25 23 24 SB 2 Kebahasaan 12 15 11 12,7 SB 3 Sajian 22 25 22 23 SB 4 Kegrafisan 18 20 18 18,7 SB Modus semua komponen SB Keterangan: SB berarti Sangat Baik. Rata-rata penilaian menunjukkan bahwa hasil validasi termasuk kategori sangat baik sehingga buku pengayaan ini layak digunakan. Evaluasi perorangan bertujuan untuk mengidentifikasi dan menemukan kesalahan-kesalahan kecil (misalnya kesalahan ketik dan pewarnaan yang tidak konsisten), bahasa, dan tampilan tulisan. Hasil evaluasi ini digunakan sebagai pijakan revisi kedua. Evaluasi kelompok bertujuan mendapatkan masukan dari orang-orang yang terlibat langsung dalam penggunaan buku ini. Evaluasi dilakukan oleh 4 orang. Ringkasan hasil evaluasi disajikan pada Tabel 2. Hasil evaluasi menyatakan bahwa buku ini termasuk dalam kategori baik. Tabel 2. Ringkasan Hasil Evaluasi Kelompok Validator Rata-rata No Aspek yang dinilai Kategori E1 E2 E3 E4 𝑋̅ 1 Kesesuaian isi 19 19 20 23 20,25 B 2 Kebahasaan 13 13 9 12 11,75 B 3 Sajian 17 19 17 24 19,25 B 4 Kegrafisan 16 16 16 18 16,5 B Modus dari semua komponen B Keterangan: B berarti Baik. Uji coba lapangan dilakukan terhadap 10 siswa. Ringkasan hasil uji coba disajikan pada Tabel 3. Dari tabel ini terlihat bahwa buku ini layak digunakanuntuk bahan pengayaan. Tabel3. Ringkasan Hasil Uji Coba Lapangan No Komponen Ket 𝑥̅ 1 Kesesuaian Isi 3,9 SB 2 Kebahasaan 4,4 SB 3 Sajian 4,3 SB 4 Kegrafisan 4,2 SB Modus dari semua komponen SB Keterangan: SB berarti sangat baik. B. Pembahasan Pada bagian ini dibahas tentang hasil-hasil penelilitan yang telah dipaparkan sebelumnya. Pembahasannya meliputi pembahasan produk yang dihasilkan, pembahasan hasil validator, pembahasan hasil evaluasi perorangan, pembahasan hasil evaluasi kelompok, dan pembahasan uji coba lapangan. Telah tertulis di Bab I bahwa tujuan suatu penelitian pengembangan adalah
980
menghasilkan produk pembelajaran [12]. Produk yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah buku pengayaan yang diberi judul “Pengayaan Aplikasi Trigonometri untuk SMA”. Ditinjau dari aspek isi (materi) buku pengayaan, buku ini telah memenuhi aspek isi (materi) menurut Suherli [13], yaitu: (1) kesesuaian dengan tujuan pendidikan, (2) kesesuaian dengan perkembangan ilmu, (3) mengembangkan kemampuan menalar, (4) pengembangan materi bertumpu pada perkembangan ilmu terkait. Ditinjau dari aspek penyajian materi, buku ini telah memenuhi aspek menurut Suherli [13], yaitu: (1) sistematika logis, (2) penyajian materi mudah dipahami, (3) merangsang pengembangan kreatifitas, (4) penyajian isi buku dilakukan secara populer. Ditinjau dari jenis pembelajaran pengayaan, buku ini dapat digunakan untuk tiga jenis pembelajaran pengayaan menurut Depdiknas [1], yang intinya adalah eksploratori (panyajiannya berupa buku), keterampilan proses (untuk pendalaman terhadap topik yang diminati) dan pemecahan masalah yang diberikan kepada peserta didik yang memiliki kemampuan belajar lebih tinggi berupa pemecahan masalah nyata. Ditinjau dari bentuk pelaksanaan pembelajaran pengayaan, buku ini dapat digunakan untuk empat bentuk pelaksanaan menurut Depdiknas [1], yaitu: (1) belajar kelompok, (2) belajar mandiri, (3) pembelajaran berbasis tema, (4) pemadatan kurikulum. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan jawaban terhadap masalah penelitian, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini telah mencapai tujuannya, yaitu: 1. Penelitian ini telah berhasil mengembangakan produk berupa buku pengayaan yang diberi judul Pengayaan Aplikasi Trigonometri untuk SMA 2. Buku pengayaan ini berpotensi mempermudah pemahaman konsep, meningkatkan pemahaman keterkaitan antar rumus, dan memperlama ingatan terhadap rumus-rumus trigonometri. Karakteristik dalam buku ini antara lain: a) Rumus dan konsep terkait langsung dengan bidang aplikasi. b) Contoh-contoh dan kasus berkontekstual dunia, tidak hanya kasus fiktif. c) Pemakaian kata dan kalimat mudah dipahami. d) Bermanfaat untuk penambahan wawasan pengetahuan. e) Mengembangkan kemampuan menalar. f) Menimbulkan tantangan. g) Menumbuhkan inspirasi dan motivasi h) Lay out (tata letak), penggunaan font (jenis dan ukuran huruf, Ilustrasi, grafis, gambar, dan desain tampilan menarik untuk dibaca. 3. Buku yang dikembangkan ini telah memenuhi kelayakan untuk pembelajaran pengayaan. Kelayakan dilihat dari hasil validasi, hasil evaluasi
kelompok, hasil uji coba lapangan, dan dari aspek suatu buku pengayaan. Dari hasil validasi, nilai rata-rata dari komponen kesesuaian isi, kebahasaan, sajian, dan kegrafisan berturut-turut adalah 24, 12,5, 23, dan 18,7 yang semuanya termasuk kategori sangat baik (SB). Dari hasil evaluasi kelompok, nilai rata-rata dari komponen kesesuaian isi,
981
kebahasaan, sajian, dan kegrafisan berturut-turut adalah 20,25, 11,5 19,25, 16,5 yang semuanya termasuk kategori baik (B). Dari hasil uji coba lapangan, nilai rata-rata dari komponen kesesuaian isi, kebahasaan, sajian, dan kegrafisan berturut-turut adalah 3,9, 4,4, 4,3, 4,2, yang semuanya termasuk kategori sangat baik (SB). Ditinjau dari aspek buku pengayaan,
buku ini layak digunakan karena telah memenuhi aspek isi (materi), aspek penyajian, aspek jenis pembelajaran pengayaan, aspek bentuk pelaksanaan pembelajaran, dan aspek hubungan trigometri dengan bidang lain. Referensi [1]
Depdiknas. 2008. Perangkat Pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pemdidikan, KTSP SMA. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas. [2] The open University. 1998. Trigonometric Functions. FLAP M1.6. S570 V11. (Sumber tidak diketemukan, tetapi file Pdf tersedia). [3] Corral, M. 2009. Trigonometry. Lovonia, Michigan: Free Software Foundation. [4] Stitz, C. & Zeager, J. (2013). College Trigonometry Version bc Corrected Edition. Lakeland: Lakeland Community College Lorain. [5] Butler, S. 2003. Notes from Trigometry.
[email protected] (file pdf.) [6] Grouws, D.A. & Cebulla, K.J. 1999. Trigonometry. Penerbit belum diketemukan (file pdf.) [7] DIKTI. 2005. Bahan Pelatihan Penelitian untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran. Jakarta: DIKTI. [8] Borg, W.R. & Gall, M.D. 1983. Educational Research, An Introduction (4 Th). N.Y.: Longman Inc. [9] Roblyer, M. D. 1988. Instructional Design for Microcomputer Software. Hillsdale, N.J.: Lawrence Erlbaum Associates Pub. [10 Dick, W., & Carey, L. (1985). The Systematic Design of Instruction (2nd ed.). London: Scott, Foresman and Company. [11] LIALMC08. 2004. Applications of Trigonometry (LIALMC08_0321227638. QXP 2/26/04 10:52 AM Page 685). [12] Soenarto. 2005. Metodologi Penelitian Pengembangan untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. [13] Suheri, H. 2015. Teknik Menulis Buku Pengayaan. http://remediaservice.com/ mengetahui-pengertian-dan-contoh-naskah-buku-pengayaan#sthash.sa01rAGv. dpuf, diunduh pada tanggal 12 Oktober 2017.
982
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 983-993
PEMBELAJARAN PECAHAN SENILAI DENGAN MENGGUNAKAN MODEL HIMPUNAN DI KELAS VII AL-NINDU BUNGA SABRINA1, DARMAWIJOYO2, DAN YUSUF HARTONO3 Program Magister Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sriwijaya, Palembang, Sumatra Selatan 1
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak. Permasalahan yang terjadi adalah masih ada siswa yang masih belum bisa atau salah mengerjakan soal – soal yang berhubungan dengan pecahan dan pecahan senilai. Penelitian ini bertujuan menghasilkan lintasan belajar siswa dalam pembelajaran pecahan senilai dengan menggunakan model himpunan di kelas VII. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah design research yang tujuan utamanya untuk mengembangkan teori bersama – sama dengan bahan ajar. Tipe design research yang dipilih adalah validation studies dengan tujuan tipe ini adalah untuk mengembangkan atau memvalidasi teori yang digunakan pada penelitian yang dilakukan. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah lintasan belajar dalam pembelajaran pecahan senilai dengan menggunakan model himpunan di kelas VII ada 3 tahap yakni memberikan nama pecahan sebagai bagian dari keseluruhan atau kumpulan benda, menentukan pecahan yang memiliki nilai yang sama menggunakan model himpunan, dan melalui model himpunan menemukan pecahan senilai dengan dikali dan dibagi. Analisis retrospektif terhadap pelaksanaan pembelajaran menunjukkan bahwa model himpunan dapat membantu siswa dalam memahami pecahan senilai. Kata Kunci: Model Himpunan;Pecahan Senilai;PMRI
1. Pendahuluan Whitney, Basich., et al [25] menyatakan “equivalent fractions are fractions that have the same value”. Petit, Leird, & Marsden (2010:134) juga menyatakan “… all equivalent fractions have the same value”. Dari penjelasan ini menyatakan bahwa pecahan senilai adalah pecahan – pecahan yang mempunyai kesamaan nilai. Kesamaan nilai ini dari Musser, G.L., Burger, W.F. dan Peterson, B.E [14] menyatakan “The term equivalent parts means equivalent in some attribute, such as length, area, volume, number, or weight, depending on the composition of the whole and appropriate parts”. Sama pada luas nya, panjangnya, tergantung dari benda yang ditanyakan pecahan senilainya. Materi yang menurut Kamii [9] akan mulai diperkenalkan di kelas IV dan kembali dipelajari di kelas VII penting dipahami siswa untuk keberhasilannya dalam perhitungan pecahan. Walle [24] menyatakan “Students cannot be successful in
983
fraction computation without a strong understanding of fraction equivalence”. Dari pendapat ini menjelaskan bahwa keberhasilan siswa pada perhitungan pecahan ditentukan dengan pahamnya siswa dengan pecahan senilai. Hal ini dikarenakan dalam perhitungan pecahan misalnya pada penjumlahan pecahan dari penyebut yang berbeda, Pemahaman pecahan senilai diperlukan untuk menyamakan bilangan penyebut. Hal ini juga sejalan dengan Petit, Leird, & Marsden [16] yang menyatakan “Understanding equivalence of fractions is crucial to a student’s ability to add and subtract fractions and to compare and order fractions”. Dari pendapat ini dapat dinyatakan bahwa memahami pecahan senilai penting agar nantinya siswa bisa mengerjakan perhitungan pecahan seperti menjumlahkan, mengurangkan, membandingkan, dan mengurutkan pecahan. Berdasarkan Permendiknas no 22 tahun 2006 dan Silabus Pembelajaran Mapel Matematika KTSP, kompetensi dasar pada kelas IV siswa harus dikenalkan dengan konsep pecahan senilai menggunakan benda kongkret atau berupa gambar dan setelah di kelas VII siswa mendiskusikan bilangan pecahan senilai dan mengubah bentuk pecahan ke bentuk pecahan yang lain. Namun yang terjadi, siswa masih belum bisa mengerjakan soal – soal yang berhubungan dengan pecahan senilai. Contohnya penelitian dari Septika [17] yang memperlihatkan bahwa 6 siswa yang menjadi objek penelitiannya dalam menjawab benar pada soal yang berkenaan dengan pecahan senilai setelah diberikan treatment masih belum konsisten hasilnya. Yakni test pertama siswa menjawab benar namun test kedua siswa menjawab salah atau sebaliknya. Serta berdasarkan penelitian National Assessment of Educational Progress (NAEP) dalam artikel Cramer, Post, & delMas hanya 42% dari sampel siswa kelas IV dari sekolah – sekolah di Amerika Serikat mampu membuat pecahan dari gambar yang menunjukkan pecahan senilai dan hanya 18% siswa yang bisa mengarsir persegi panjang untuk menunjukan pecahan yang diberikan [8]. Kemudian penelitian Djunaidi [5] pada siswa nya di SD N 1 Punten batu mengatakan bahwa hasil belajar siswanya tentang pecahan senilai tidak lebih dari 50% memperoleh nilai lebih dari 60. Lalu apa sebenarnya yang menjadikan siswa tidak bisa mengerjakan pecahan senilai atau yang membuat pecahan sulit? Siswa yang tidak bisa atau salah mengerjakan soal pecahan dikarenakan (1)adanya kesalahan dalam memahami konsep. Salah satu kesalahpahaman dari 1 Walle [24] adalah “Students think that a fraction such as is smaller than a fraction 1 5 such as 10 because 5 is less than 10”. Dalam kasus ini Walle menyarankan untuk menggunakan banyak visual dan konteks. Hal ini telah dibuktikan oleh Cramer & Henry tahun 2002 dan Siebert&Gaskin tahun 2006 bagaimana penting dan efektifnya menggunakan visual dalam menyelesaikan tugas pecahan; (2)siswa jarang memperoleh pengalaman pecahan dengan berbagai model. Seperti pernyataan Walle [24] “students often do not get to explore fractions with a variety of models and/or do not have sufficient time to connect the visuals to the related concepts. Kalau pun di buku ada penggabungan atau memanipulasi menurut Hodges, cady, & Collins tahun 2008 [24] menyatakan “Unfortunately, textbooks rarely incorporate manipulatives, and when they do, they tend to be only area models”. Kebanyakan hanya model luas (daerah) yang dijadikan contoh di sebagian buku teks. Model luas (daerah) itu contohnya seperti model bagian lingkaran, persegi panjang, persegi, kertas berpetak, dan lainnya. Padahal siswa harus bisa mengexplore pecahan di berbagai model. Karena menurut Petit, Leird, & Marsden [16] menyatakan “the importance of using models to help students to build an understanding of fraction concepts” . Hal ini sejalan dengan Walle [23] yang menyatakan pendekatan untuk membantu siswa memahami pecahan senilai adalah menyuruh mereka menggunakan model atau manipulasi untuk menemukan pecahan – pecahan yang berbeda,
984
Ada tiga model yang digunakan untuk konsep pecahan seperti yang dinyatakan Petit, Laird, & Marsden [16] “There are three different types of models that students will interact with, use to solve problems, and use to generalize concepts related to fractions—area models (regions); set models (sets of objects); and number lines. Ketiga model tersebut menurut Walle (2008:37&51) dapat membantu siswa memperjelas pecahan dan menemukan nama – nama yang berbeda dari pecahan. Zawojeski (dalam Petit, Laird, & Marsden, [16]) juga menyatakan ketiga model tersebut membantu siswa memahami tentang pecahan, mendefinisikan keseluruhan dan bagian yang sama pada pecahan. Selama ini kebanyakan dari peneliti sebelumnya seperti Legi [11];Ullya [21];Cicilia [4], Sugiman [19];Wiryanto [27];Khuriyati [10] baru menggunakan model luas (daerah) atau garis bilangan/panjang (Pengukuran) dengan berbagai konteks dan di buku – buku siswa seperti Buku Paket Matematika SMP Kelas VII oleh Tampomas [20] dan Marsigit [13] serta Buku Paket Matematika SD oleh Madhavi,Kamal,&Adenoviria [12] juga menggunakan model luas (daerah) dan garis bilangan/panjang (Pengukuran). Padahal siswa juga perlu menggunakan semua model untuk memahami pecahan. Salah satu nya model himpunan. Model himpunan menekankan pecahan sebagai bagian dari kumpulan objek (benda) yang akan membantu siswa menemukan pecahan senilai, melihat pecahan dengan cara yang berbeda, dan membantu mendapatkan hubungan penting dengan penggunaan pecahan di dunia nyata. Kemudian Legi [11] menyatakan bahwa Pembelajaran konsep pecahan dan pecahan senilai akan lebih bermakna dan menarik bagi siswa jika guru menghadirkan soal kontekstual. Soal kontekstual dapat digunakan sebagai titik awal pembelajaran dalam membantu siswa mengembangkan pemahaman terhadap materi pecahan yang dipelajari. CORD (dalam [26]) juga menyatakan bahwa “Suatu pengetahuan akan lebih bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran dilaksanakan dengan suatu konteks atau pembelajaran menggunakan permasalahan realistik”. Dari uraian – uraian ini bisa disimpulkan bahwa untuk memahami pecahan senilai harus menggunakan konteks dan model. Penggunaan konteks dan model dalam proses belajar yang menjadikan pengetahuan bermakna ini perlu dicocokan dengan suatu pendekatan. Gravemeijer,&Doorman[6]; Zulkardi [28]; Van Den Heuvel-Panhuizen [22] menyatakan bahwa Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan terjadinya kaitan antara konteks dengan pembelajaran sehingga dapat tercapai pembelajaran yang bermakna karna permasalahan realistik atau konteks digunakan sebagai langkah awal untuk membangun konsep matematika ada di dalam PMRI. Dan salah satu prinsip dalam PMRI juga mengisyaratkan untuk memberi kesempatan pada siswa mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan. Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, penelitian bertujuan untuk menghasilkan lintasan belajar siswa dalam pembelajaran pecahan senilai dengan menggunakan model himpunan di kelas VII. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Design research bertipe validation studies yang tujuannya untuk mengembangkan atau memvalidasi teori yang digunakan pada penelitian yang dilakukan [2] & [3]. Menurut Gravemeijer & Cobb [7], design research terdiri dari 3 tahap yaitu (1) preparing for the experiment, (2) the design experiment, dan (3) retrospective analysis. Namun, di dalam penelitian ini, peneliti hanya sampai pada tahap the design experiment yang melibatkan 7 siswa yang memiliki kemampuan berbeda terdiri dari siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah.
985
2. Hasil dan Pembahasan a. Hasil Pembelajaran ini didesain untuk menghasilkan lintasan belajar dalam pembelajaran pecahan senilai dengan menggunakan model himpunan. Untuk mengetahui kemampuan awal peneliti memberikan tes awal (pre test) untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa belum bisa menjelaskan pecahan A senilai dengan pecahan B. Siswa langsung mengali atau membagi untuk menemukan pecahan senilai tanpa mengetahui alasan harus dikali atau dibagi untuk menemukan pecahan senilai dari suatu pecahan. Setelah mengetahui kemampuan awal siswa dari hasil tes awal dilakukanlah siklus 1 tahap pilot experiment. Pada tahap ini 7 siswa berpartisipasi dijadikan 3 kelompok. Masing – masing kelompok diheterogenkan kemampuannya. Peneliti sebagai guru model. Sebelum mempelajari pecahan senilai, siswa diajarkan kembali tentang pecahan sebagai bagian dari keseluruhan. Pada pertemuan pertama siswa diberikan masalah seputar “pecahan adalah bagian dari keseluruhan”. Berikut contoh permasalahan pertama dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Salah dua contoh permasalahan 1 Pada permasalahan ini, peneliti meminta siswa memberikan nama pecahan sebagai bagian dari keseluruhan dan meminta siswa menggambarkan pecahan. Untuk permasalahan ini peneliti membuat dugaan jawaban siswa, yakni :(1)Siswa mampu melihat adanya perbedaan antara benda (objek); (2)Siswa salah fokus memberi nama untuk keseluruhan; (3)Siswa mampu menghitung benda (objek) tersebut. Hasilnya pada kelompok A mampu melihat adanya perbedaan antara objek & mampu menghitung sesuai objek yang ditanyakan
Gambar 2. Hasil Kerja Permasalahan 1 Kelompok A
986
Pada kelompok B & C mampu melihat adanya perbedaan antara objek & mampu menghitung sesuai objek yang ditanyakan namun masih ada salah fokus memberi nama untuk keseluruhan.
Gambar 3. Hasil Kerja Permasalahan 1 Kelompok B
Gambar 4. Hasil Kerja Permasalahan 1 Kelompok B Pada pertemuan kedua, permasalahan keduannya seputar penentuan pecahan yang memiliki nilai yang sama menggunakan model himpunan. Dugaan dari peneliti untuk hasil yang akan terjadi yakni: (1)Siswa mampu mengelompokkan objek sesuai kesamaannya;(2)Siswa bingung menentukan kesamaan pada objek yang dimiliki;(3)Siswa mampu menentukan pecahan yang senilai berdasarkan dari pengelompokkan;(4)Siswa mampu melihat mana sebagai “bagian” dan mana sebagai “keseluruhan/kumpulan objek”;(5)Siswa keliru melihat yang mana sebagai “bagian” dan mana sebagai “keseluruhan/kumpulan objek”;(6)Siswa mampu menggambar objek dengan warna menjadi pembeda;(7)Siswa mampu mengelompokkan sesuai banyaknya anggota yang diminta;(8)Siswa keliru membentuk kelompok karena keliru menentukan banyaknya anggota tiap kelompok;(9)Siswa mampu membagi anggota sama banyak tiap kelompok. Hasil jawaban untuk permasalahan kedua ini, masing – masing siswa sudah mampu. Namun, masih ada kekeliruan dalam proses menjawab permasalahan. Contohnya kelompok A & C masih ada kekeliruan dalam melihat yang mana sebagai “bagian” yang mana sebagai “keseluruhan/kumpulan objek”. Kelompok B masih ada kebingungan dalam menentukan kesamaan pada objek yang dimiliki, Berikut gambarnya.
987
Gambar 5. Hasil Permasalahan kedua Kelompok A
Gambar 6. Hasil Permasalahan kedua Kelompok C (Kiri) dan Kelompok B (kanan) Pada pertemuan ketiga, permasalahannya adalah melalui model himpunan didapatkan pecahan senilai dengan dikali & dibagi. Dugaan jawaban siswa dari peneliti yakni: (1)Siswa mampu menggarisi pada objek (gambar) sebagai pemisah untuk merepresentasikan pecahan;(2)Siswa bingung berapa banyak objek yang harus digariskan;(3)Siswa mampu menghitung banyaknya kelompok yang dihasilkan;(4)Siswa mampu mengelompokkan lagi dengan garis sebagai tanda pemisah antar kelompok, menghitung banyaknya kelompok yang dihasilkan;(5)Siswa mampu melihat bahwa pecahan senilai bisa dikali dan dibagi melalui model himpunan. Hasil jawaban dari permasalahan ketiga ini tiap kelompok mampu menyimpulkan bahwa pecahan senilai bisa didapatkan dari mengali atau membagi melalui model himpunan. Namun selama proses menuju formal ini siswa masih ada kebingungan. Seperti kelompok C masih ada kebingungan menggarisi pada objek (gambar) sebagai pemisah untuk merepresentasikan pecahan dan kelompo A masih ada kebingungan berapa banyak objek yang harus digariskan.
988
Gambar 7. Hasil Permasalahan ketiga Kelompok C (Kiri) dan Kelompok A (kanan) Sedangkan kelompok B tidak menyimpulkan bahwa pecahan senilai bisa ditemukan dengan mengali atau membagi. Namun, selama proses penemuan pecahan senilai di permasalahan ketiga ini, siswa di kelompok B menentukan pecahan senilai dengan menambah bilangan yang sama. Sesuai definisi perkalian adalah penjumlahan yang berulang. Sehingga bisa disimpulkan kelompok B secara tersirat telah memaknai bahwa melalui model himpunan dapat diketahui pecahan senilai bisa didapat dari dikali. Berikut gambar dan ilustrasi kata - kata jawaban siswa menemukan pecahan senilai dalam bentuk formal:
Gambar 8. Salah satu Hasil Permasalahan ketiga Kelompok B
989
kak”.
Guru : “oke, coba temukan pecahan senilai untuk soal bagian “A”,
Siswa : “satu per lima (sambil melihat ke atas-berpikir) satu tambah satu dua, lima tambah lima 10” Guru : “Jadi?” Siswa : “2 per 10, bener bunda?” Guru : “Sip, kakak bener. Terus yang lainnya kak” Siswa : “2 per 4, dua tambah 2, 4. 4 tambah 4, 8. (lalu menuliskan 2 per 8)” Guru : “sip, lanjut” Siswa : “4 per 7, 4 tambah 4, 8. 7 tambah 7, 14, (lalu menuliskan 8 per 14)” Ilustrasi jawaban siswa kelompok B dalam menentukan pecahan senilai bentuk formal Pada masalah pertama, kedua dan ketiga dapat dilihat bahwa siswa telah memahami permasalahan pada pecahan senilai dan pembelajaran bersesuaian dengan HLT yang telah dirancang. Siswa sudah belajar untuk menyelesaikan permasalahan dengan menggunakan model himpunan. Hasil penelitian pilot experiment yang didapatkan menunjukkan Actual Learning Trajectory (ALT) yakni proses selama pembelajaran berlangsung bersesuaian dengan HLT yang telah dirancang. b. Pembahasan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan kontribusi dalam mengembangkan sebuah Local Instructional Theory (LIT) dengan mendesain serangkaian aktivitas pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam memahami dan menemukan pecahan senilai dengan menggunakan model himpunan. Pembelajaran yang didesain berdasarkan prinsip-prinsip dan lima karakteristik PMRI, yakni (a) use of contexts for phenomenologist exploration dalam mendesain pembelajaran ini dipilih konteks yang dekat dengan siswa, (b) using models and symbols for progressive mathematization penggunaan model dan simbol dalam menyelesaikan permasalahan dilakukan siswa selama proses penyelesaian masalah, (c) using student own contributin and production selama proses pembelajaan guru memberi kebebasan siswa dalam mengungkapkan dan menjawab pertanyaan, dapat dlihat dari beragam jawaban siswa dalam menyelesaikan permasalahan, (d) interactivity interaktivitas tidak terjadi antara guru dan siswa tetapi juga dengan sesama siswa bentuk interaksi ini dapat berupa diskusi, memberika penjelasan, komunikasi, koopratif dan evaluasi, (e) intertwining mathematics concept, aspect and unit maksudnya adalah matematika yang diajarkan kepada siswa akan menjadi lebih bermakna jika terkait dengan topik pembelajaran lainnya.
990
3. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan disimpulkan bahwa melalui aktivitas yang dirancang dengan menggunakan model himpunan mampu memahami dan menemukan pecahan sebagai bagian dari keseluruhan dan menemukan pecahan senilai dari objek (benda) langsung maupun dengan memanipulasi melalui gambar (siswa memahami dan menemukan pecahan senilai melalui kegiatan secara informal menuju penyelesaian secara formal). Referensi [1]
[2] [3] [4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
Akker, J. Van Den, Gravemeijer, K., McKenney, S., and Nieveen, N. (2006). Educational Design Research. London: Routledge Taylor and Francis Group. Akker et al. (2013). Educational Design Research Part A. Enschede Netherland: SLO Bakker, A. (2004). Design Research in Statistics Education on Symbolizing and Computer Tools. Amersfoort: Wilco Press. Cicilia, Yuniarti. (2011). Design Research Operasi Hitung Perkalian Bilangan Bulat Positif dengan Pecahan Biasa Melalui Pendekatan Matematika Realistik pada Siswa Kelas V di SD N 04 Klender Jakarta Timur. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM Sains, Teknologi, dan Kesehatan. 2(1): 553-560 Djunaidi, Arif. (2012). Meningkatkan Hasil Belajar Pecahan Senilai Melalui Pembelajaran dengan Metode Penemuan Terbimbing Pada Siswa Kelas IV SD Negeri Punten 1 Batu. http://karyailmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/23205. Diakses pada 24 Juli 2016 Gravemeijer, K., & Doorman, M. (1999). Context problems in realistic mathematics education: A calculus course as an example. Educational studies in mathematics, 39(1-3): 111-129. Gravemeijer, K., & Cobb, P. (2006). Design research from a learning design perspective. In J. Van den Akker, K. Gravemeijer, S. McKenney, & N. Nieveen, Educational Design Research (pp. 17 - 51). London and New York: Routledge Taylor & Francis Group. Hadi, Sutarto. (2009). ADAPTING EUROPEAN CURRICULUM MATERIALS FOR INDONESIAN SCHOOLS: A DESIGN OF LEARNING TRAJECTORY OF FRACTION IN ELEMENTARY DUCATION MATHEMATICS. https://p4mriunsri.files.wordpress.com/2009/11/1s_hadi_isdde.pdf. diakses pada 1 Februari 2016 Kamii, Constance. (1994). Equivalent Fraction: An Explanation of
991
[10]
[11]
[12] [13] [14]
[15]
[16]
[17]
[18] [19] [20] [21]
Their Difficuty and Educational Implication. http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED372948.pdf. Diakses pada 10 Juli 2016 Khuriyati, Lukluk. (2015). Desain Pembelajaran Operasi Pecahan Menggunakan Kertas Berpetak di Kelas IV. Jurnal Pendidikan. 8(3): 62-69 Legi, Mozez Y. (2008). Kemampuan Representasi Matematis Siswa SD Kelas IV Melalui Pendidikan Matematika Realistik pada Konsep Pecahan dan Pecahan Senilai. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=171746&val=479 5&title=Kumpulan%20Artikel. Diakses pada 13 Juli 2016 Madhavi, V, Kamal, Ali Andriana,&Adenoviria. (2015). Mahir Matematika. Jakarta Timur: Yudhistira Marsigit. (2009). Matematika SMP Kelas VII. Jakarta Timur: Yudhistira Musser, G.L., Burger, W.F.dan Peterson, B.E. (2005). Mathematics for elementry teacher: A contemporary approach. Hoboken, NJ: John Wiley&Sons, Inc. Petit, M. M., Laird, R. E., & Marsden, E. L. (2010). A focus on Fractions: Bringing Research to the Classroom. New York and London: Routledge Taylor & Tracis Group. Permediknas no 22 tahun 2006. (-). PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR ISI UNTUK SATUAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH. https://asefts63.files.wordpress.com/2011/01/permendiknas-no-22tahun-2006-standar-isi.pdf. Diakses pada 9 Juli 2016 Septika, Lidya Cindi. (2013). Pendekatan Matematika Realistik terhadap Hasil Belajar Penjumlahan Pecahan Anak Tunanetra. https://ejournal.unesa.ac.id/article/5853/15/article.pdf. Diakses pada 9 Juli 2016 Silabus Pembelajaran Mapel Matematika Kelas VII s.d IX 1-2. -. Perangkat Pembelajaran Silabus Pembelajaran. -: Sugiman. (2013). Desain Lintasan Belajar Pecahan Berdasarkan Teori Beban Kognisi. KNPM V. -: 447-452 Tampomas, Husein. (2006). Matematika Plus. Jakarta Timur: Yudhistira Ullya. (2010). Desain Bahan Ajar Penjumlahan Pecahan Berbasis Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) untuk Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri 23 Indralaya. Jurnal Pendidikan Matematika
992
[22]
[23]
[24]
[25]
[26] [27]
[28]
4(2): 86-96 Van Den Heuvel-Panhuizen, M. (2003). The didactical use of models in realistic mathematics education: An example from a longitudinal trajectory on percentage. Educational Studies in Mathematics. 54(1): 935. Walle, Van De. (2008). Sekolah Dasar dan Menengah Matematika Pengembangan Pengajaran. Diterjemahkan oleh Suyono. Jakarta: Erlangga Walle, Van De. (2014). Developing Fraction Concepts. https://www.pearsonhighered.com/vandewalle-9einfo/assets/pdf/0133768937.pdf. Diakses pada 10 Juli 2016 Whitney, Basich., et al. (2008). California Math Triumphs. USA: The McGraw-Hill Companies. http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=276AFF5519EA85B0A0A1 626EC2F7953B. Diakses pada 14 Agustus 2016 Wijaya, Ariyadi. (2012). Pendidikan Matematika Realistik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Wiryanto. (2014). Representasi Siswa Sekolah Dasar dalam Pemahaman Konsep Pecahan. Jurnal Pendidikan Teknik Elektro. 3(3): 593-603 Zulkardi. (2002). Developing A Learning Environment on Realistic Mathematics Education For Indonesian Student Teachers. Doctoral Thesis of Twente University. Enschede: Twente University.
993
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 994-1005
PENGARUH PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNRELASIONAL SAMSUL HADI Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
Abstrak. Matematika unrelasional merupakan ketidakmampuan siswa berpikir matematis dalam mengaitkan konsep yang satu dengan konsep lainnya sebagai upaya membangun pemahaman siswa terhadap matematika. Sedangkan pembelajaran matematika unrelasional adalah pembelajaran matematika yang hanya menitikberatkan pada pemahaman instrumental siswa tanpa memperhatikan pemahaman relasional dan reflektif siswa. Pembelajaran matematika yang baik tentu memperhatikan ketiga unsur pemahaman matematika tersebut. Jika tidak maka siswa akan kesulitan memahami konsep matematika dengan baik. Akibatnya siswa akan memiliki kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika yang rendah. Selain itu persepsi negatif terhadap matematika akan terus membudaya pada siswa. Oleh karena itu, tantangan seorang guru matematika adalah merubah persepsi negatif siswa terhadap matematika dengan tidak menerapkan pembelajaran matematika unrelasional. Tujuan guru melakukan perubahan pendekatan pembelajaran adalah agar siswa dapat memahami matematika secara utuh dalam meningkatkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah siswa. Kata kunci. Matematika Unrelasional, Komunikasi, Pemecahan Masalah. 1. Pendahuluan Matematika merupakan salah satu pelajaran penting yang sudah diperkenalkan pada setiap orang mulai dari sekolah dasar hingga program doktor. Karena matematika bukan hanya sekedar pengetahuan tetapi matematika adalah alat yang dapat membantu manusia dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan. Setiap aktivitas manusia selalu berkaitan dengan matematika. Namun tidak sedikit masyarakat khususnya siswa mulai dari sekolah dasar hingga mahasiswa doktor pun masih menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit dan sukar dimengerti terutama mereka yang tidak berkecimpung pada dunia matematika. Begitu sulitkah matematika? Padahal matematika dalam aplikasinya tidak seperti banyak orang atau siswa pikirkan sulit. Contoh, bagaimana orang –orang tua, ibu-ibu di pasar, dan para pedagang memperagakan matematika
994
tanpa menggunakan alat bantu hitung kalkulator atau pun komputer, mereka begitu lancar dan tidak kesulitan sedikitpun mendemokan kemahiran aritmatematika mereka. Tetapi, kenapa matematika selalu dikatakan sebuah mata pelajaran yang sulit. Perlu diingat juga bahwa tidak sedikit siswa-siswa di Indonesia tidak lulus saat ujian nasional pada mata pelajaran matematika. Sebagian besar dari kita dan para siswa masih menganggap matematika menjadi momok yang menakutkan siswa ketika mengikuti sebuah tes dalam penentuan kelulusan. Tentu, ketika kecemasan siswa dalam belajar matematika (mathematical anxiety) mulai ada maka siswa akan terus mengalami kesulitan dalam belajar dan memahami matematika. Iswadi [2] bahwa berkenaan dengan banyaknya persepsi negatif dari siswa terhadap matematika maka tidak heran kemampuan siswa-siswa Indonesia dalam hasil tes dan survey PISA pada tahun 2015 masih tergolong rendah. Survey ini melibatkan 540.000 siswa di 70 negara, dianalisis dan dipublis pada 6 Desember 2016 pada web OECD di alamat https://www.oecd.org/pisa/. Hasil survey menunjukkan bahwa peringkat satu adalah Singapura. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Dari ketiga materi yang diujikan yakni sains, membaca,dan matematika, Indonesia berada berturut-turut pada urutan 62, 61, dan 63 dari 69 negara yang dievaluasi. Hasil PISA 2015 ini menunjukkan bahwa peringkat Indonesia tidak berbeda jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Contohnya, pada tahun 2012 kemampuan matematika siswa-siswi Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara. Berkaca pada peringkat Indonesia pada hasil survey PISA di atas menunjukkan kualitas pendidikan di indonesia masih terbilang rendah. Padahal tujuan pendidikan nasional akan tercapai jika proses pembelajaran yang diterapkan guru pada lingkungan belajar siswa harus efektif dan efisien. BNSP [1] bersesuaian dengan tujuan pendidikan nasional dalam UUD 1945, tujuan matematika sekolah diajarkan pada siswa tertuang dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 tujuan tersebut tidak lain sebagai berikut: 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh menggunakan matematika sebagai cara atau alat bernalar yang dialihgunakan pada keadaan berpikir logis, kritis, sistematis, disiplin dalam memandang, dan menyelesaikan masalah. 4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
995
Pada kurikulum 2013 juga menempatkan matematika merupakan salah satu pelajaran yang memiliki alokasi waktu lebih banyak dari mata pelajaran lainnya. Penetapan alokasi waktu ini dilakukan tanpa alasan. Adapun beberapa alasan kenapa matematika diajarkan pada sekolah karena secara umum tujuannya yaitu; 1) tujuan yang bersifat formal, tujuan yang menekankan pada penalaran dan membentuk kepribadian siswa, 2) tujuan yang bersifat material, tujuan yang menekankan pada kemampuan memecahkan masalah dan menerapkan matematika. Dari dua tujuan ini terlihat bagaimana matematika sangat penting bagi anak-anak saat pembelajaran di sekolah. Selain itu juga matematika dapat membentuk karakter siswa yang diharapkan cekatan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Selain itu juga tujuan tersebut berjalan searah dengan program pemerintah dalam pendidikan karakter. Tetapi dalam pelaksanaannya tentu tidak mudah karena banyaknya permasalahan yang dihadapi guru dalam penerapan pembelajaran matematika di sekolah. Permasalahan utama yang kita hadapi saat ini juga merupakan masalah klasik yang terus menerus terjadi yaitu banyak pembelajaran matematika unrelasional yaitu pembelajaran matematika yang hanya menempatkan pemahaman matematika secara instrumental tanpa dibarengi dengan pemahaman matematika secara relasional dan reflektif. Mengatasi permasalahan kualitas pendidikan pada suatu negara tidak terlepas dari menyelesaikan masalah kualitas pengajaran di negara tersebut. Jika kualitas pengajaran di suatu negara khususnya pembelajaran matematika sekolah jenjang SD-SMA baik maka out put pembelajaran yang dihasilkan pada siswa juga baik. Tidak optimalnya output pembelajaran matematika di Indonesia terjadi karena banyak pembelajaran matematika yang diterapkan guru baik secara sadar ataupun tidak merupakan pembelajaran matematika unrelasional. Permasalahan ini akan mengakibatkan kemampuan siswa rendah terutama dalam pemecahan masalah siswa dan komunikasi siswa. Sehingga guru sebagai pendidik haruslah merubah strategi pembelajaran matematika unrelasional menjadi pembelajaran matematika relasional. Salah satu peran guru yakni membuat suasana belajar yang membantu siswa untuk berkembang dan tertarik dalam menumbuhkan minat siswa belajar matematika. Russeffendi [3] menyatakan guru harus merubah cara menyampaikan materi matematika dengan menarik agar anak-anak aktif-aktif serta bertambah minat dan motivasi untuk belajar matematika. Misalnya guru dapat membuat suasana belajar menarik dengan menggunakan alat peraga, diskusi kelompok, menyajikan matematika dalam bentuk permainanpermainan angka atau kartu karena pada dasarnya anak-anak suka bermain. Perlu diingat bahwa matematika merupakan bahasa. Matematika sebagai bahasa tentu sangat diperlukan dalam berkomunikasi baik secara lisan dan tulisan. Kemampuan komunikasi matematika adalah kemampuan siswa dalam menyampaikan suatu gagasan atau argumen baik secara lisan, tulisan, gambar, simbol, diagram, dan menyajikan dalam suatu bentuk aljabar. Menurut Shadiq [4] bahwa kemampuan komunikasi siswa di Indonesia juga masih rendah padahal kemampuan komunikasi siswa merupakan bagian dari
996
tujuan pembelajaran matematika yang harus dikembangkan untuk siswa selain kemampuan pemecahan masalah siswa. Hal ini didasarkan pada hasil survey yang dilakukan TIMSS di Indonesia menunjukkan bahwa pembelajaran matematika di Indonesia lebih menekankan pada keterampilan dasar, hanya sedikit yang menekankan pada kemampuan penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi matematis siswa, dan kemampuan bernalar matematika siswa. Kemampuan pemecahan masalah siswa juga sangat dibutuhkan dalam memecahkan suatu persoalan yang dihadapkan pada siswa. Pertanyaan atau persoalan merupakan suatu masalah jika siswa tidak menguasai hukum atau aturan-aturan matematika yang mengenai pertanyaan matematika tersebut. Karena bagaimana mungkin suatu persoalan dapat diselesaikan siswa jika kemampuan siswa terhadap memahami maksud pertanyaan juga rendah. Keterampilan memecahkan masalah yang dimiliki siswa tentu berperan dalam menafsirkan, merencanakan, dan melakukan tindakan dalam menemukan solusi dari permasalahan tersebut. Kenyataannya dalam proses pembelajaran, siswa akan sering dihadapkan dalam permasalahan matematika baik yang bersifat rutin dan non-rutin sehingga siswa dituntut dalam mencari strategi yang tepat dalam memecahkan masalah matematika. Oleh karena itu, guru perlu meningkatkan keterampilan siswa dalam memecahkan masalah agar siswa lebih kritis, kreatif, dan berpikir analitis dalam menghadapi permasalahan. Kemampuan analitis siswa juga akan berpengaruh pada proses pemecahan masalah matematika yang akan membantu siswa dalam memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Gagne dalam Suyitno [6] bahwa keterampilan intelektual yang tinggi termasuk di dalamnya penalaran matematika yaitu penalaran matematis dapat dilatih melalaui pemecahan masalah dengan menggunakan strategi atau pendekatan pembelajaran yang tepat. Berdasarkan hasil observasi dan reflektif penulis terhadap permasalahan-permasalahan matematika selama ini dari kegiatan proses belajar baik sebagai siswa maupun pengajar. Penulis mendapatkan suatu gambaran bahwa siswa-siswa tersebut memahami suatu matematika hanya bersifat pemahaman instrumental bukan memahami matematika dengan pemahaman matematika relasional dan reflektif. Misal, guru memberikan contoh A, latihan B namun guru memberi siswa tes C. Kondisi model pembelajaran seperti ini bentuk lain dari pembelajaran matematika unrelasional. Mengetahui kondisi siswa-siswa tersebut dapat mengindikasikan bahwa guru menerapkan suatu pembelajaran matematika unrelasional di sekolah. Karena ketika siswa-siswa tersebut diminta menjelaskan suatu permasalahan matematika yang diselesaikan maka sekolompok anak tersebut kesulitan menjelaskan dari mana dan kenapa penyelesaian seperti itu. Artinya siswa selama ini memahami matematika hanya dengan pemahaman instrumental sehingga mengakibatkan siswa mendapat pengetahuan matematika bersifat hafalan. Hal ini mengindikasikan hasil survey PISA pada tahun 2015 sesuai dengan kenyataan yang ada.
997
Akibatnya siswa memiliki kemampuan komukasi dan pemecahan masalah matematika rendah. Dan dapat dikatakan bahwa pendekatan yang digunakan guru dalam pembelajaran matematika di kelas masih konvensional. Dari permasalahan di atas, penulis tertarik untuk melakukan sebuah kajian studi yang bersifat teoritis. Rumusan masalah dalam penulisan artikel ini adalah bagaimana gambaran pengaruh pembelajaran matematika unrelasional terhadap kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah siswa pada matematika. Batasan masalah dalam penulisan artikel ini adalah bagaimana pengaruh pembelajaran matematika unrelasional pada kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah anak. Sedangkan tujuan penulisan artikel ini yaitu untuk mengetahui gambaran pengaruh pembelajaran matematika unrelasional terhadap kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah siswa pada matematika. Adapun manfaat penulisan artikel ini yaitu dapat dijadikan sebagai masukan untuk guru khususnya guru matematika sekolah agar tidak menerapkan suatu pembelajaran matematika unrelasional yang berpengaruh pada tingi rendahnya kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah siswa pada matematika. 2. Metodelogi Penulisan Penulisan artikel ini merupakan kajian telaah pustaka berdasarkan masalah yang ada. Sumber dan bahan kajian diperoleh penulis dengan mengumpulkan bahan-bahan kajian yang bersesuaian dengan masalah yang dibahas penulis dengan menggunakan teknik observasi dan reflektif penulis berdasarkan pengalaman kegiatan proses belajar mengajar matematika baik sebagai siswa maupun guru dalam menguatkan kajian artikel makalah ini. 3. Hasil-Hasil Utama dan Pembahasan Berdasarkan hasil kajian permasalahan di atas diperoleh beberapa pembahasan tentang pengaruh pembelajaran matematika unrelasional terhadap kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah siswa pada matematika sebagai berikut: 3.1 Pembelajaran Matematika Unrelasional Matematika unrelasional merupakan kemampuan berpikir matematis siswa yang tidak dapat mengaitkan konsep yang satu dengan yang lainnya dalam membangun pemahaman siswa akan matematika. Pendekatan pembelajaran matematika yang hanya memperhatikan pemahaman siswa secara instrumental tanpa memperhatikan pemahaman anak secara relasional dan reflektif dalam matematika.
998
3.2 Pembelajaran Matematika Unrelasional Terhadap Pemahaman Siswa Suatu pembelajaran matematika yang tidak menekankan pada kemampuan dan pemahaman siswa secara mendalam dan secara utuh tentang konsep-konsep matematika sehingga anak-anak kesulitan dalam memahami matematika. Hal ini terjadi karena dalam pembelajaran guru lebih menekankan pada pemahaman siswa secara instrumental tanpa memperhatikan betapa pentingnya pemahaman relasional dan reflektif siswa dalam belajar matematika. Mungkin selama ini masih banyak guru mengira ketika menjelaskan suatu konsep matematika di kelas dengan berbagai model, metode, atau strategi pembelajaran sudah menjadi pengetahuan dan siswa-siswa memahami secara utuh. Padahal faktanya tidak semua stimulus yang diberikan guru direspon dengan baik oleh siswa di kelas menjadi suatu pengetahuan baru yang penting dan dipahami anak. Untuk itu pemahaman siswa baik secara instrumental, relasional, dan reflektif dalam pembelajaran matematik juga diperhatikan secara komprehensif. Hal ini bertujuan agar setiap informasi baru yang diperoleh anak dalam pembelajaran matematika menjadi pengetahuan baru bagi siswa. Maka guru harus mengetahui apa itu pemahaman instrumental, relasional, dan relektif. Dan apa kelebihan dan kekurangannya dalam pembelajaran matematika. Menurut Skemp [5] bahwa pemahaman instrumental sejatinya belum dikategorikan pemahaman (understanding), sedangkan pemahaman relasional merupakan pengetahuan yang sudah dapat dikatakan pemahaman (understanding). Hal ini merujuk pada pernyataan Skemp sendiri yaitu: “...by calling them ‘relational understanding’ and ‘instrumental understanding’. By the former is meant what I, and probably most readers of this article, have always meant by understanding:knowing both what to do and why. Instrumental understanding Iwould until recently not have regarded as understanding at all. It is what I have in the past described as ‘rules without reasons’. Artinya, “ ... yang disebut dengan pemahaman relasional dan pemahaman instrumental. Yang pertama (pemahaman relasional) menurut saya dan mungkin juga menurut pembaca dapat diartikan memahami dua hal secara bersama-sama, yaitu apa dan mengapanya. Pemahaman instrumental sampai saat ini belum dimasukkan pada pemahaman secara keseluruhan. Pada masa-masa lalu hal itu dijelaskan sebagai aturan tanpa alasan”. Berdasarkan pernyataan di atas dapat diperoleh kesimpulan bahwa pemahaman instrumental merupakan suatu pemahaman yang lebih mengedepankan aturan-aturan tanpa alasan sehingga siswa tidak memperhatikan secara detail “apa dan mengapa” sedangkan pemahaman realsional adalah suatu pemahaman yang sebenarnya pemahaman karena
999
siswa memperhatikan secara detail aturan-aturannya beserta alasannya seperti “apa dan kenapa”. Pemahaman reflektif merupakan suatu pemahaman yang terdiri dari dari kemampuan reflektif dan sikap reflektif siswa dalam pembelajaran yang mencakup bersikap kritis dalam pemecahan masalah sehingga proses perkembangan pribadi dan sosial siswa berkembang dengan baik. Untuk itulah, selain pemahaman instrumental dan pemahaman relasional siswa, pemahaman reflektif siswa diutamakan dalam pembelajaran. Alasannya tentu karena pengetahuan yang diperoleh siswa dalam pembelajaran tidak serta merta harus diterima begitu saja namun siswa harus bisa berpikir secara aktif, kritis, dan reflketif dalam menerima pengetahuan. Tujuannya tidak lain kalau bukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kecerdasan (intelligence) siswa. Beberapa kelebihan pemahaman instrumental sebagai berikut: 1. Dalam konteksnya tertentu, matematika instrumental biasanya lebih mudah dipahami. Beberapa topik, misalnya mengalikan dua bilangan negatif, atau pembagian oleh bilangan rasional, merupakan topiktopik yang sulit dipahami secara relasional. 2. Reward-rewardnya lebih segera, dan lebih jelas/nyata. Adalah bagus untuk memperoleh satu halaman jawaban-jawaban benar, dan kita tidak harus menganggap sepi betapa pentingnya perasaan berhasil yang murid-murid peroleh dari belajar instrumental ini. 3. Karena kurang pengetahuan yang dilibatkan, sering seseorang dapat memperoleh jawaban benar lebih cepat dan dapat dipercaya oleh berpikir instrumental dibandingkan dengan berpikir relational. Adapun keterbatasan pemahaman instrumental adalah: 1. Siswa yang memiliki pemahaman instrumental mempunyai fondasi atau dasar pengetahuan yang tidak kuat. 2. Tidak dapat meyakinkan diri sendiri dan orang lain dalam memaparkan dari mana dan kenapa proses menghasilkan pemecahan masalah tersebut. Adapun kelebihan pemahaman relasional sebagai berikut: 1. Siswa yang memiliki pemahaman relasional mempunyai fondasi atau dasar pengetahuan yang kuat. 2. Dapat meyakinkan diri dan orang lain dalam mendapatkan proses dan hasil dari pemecahan masalah “kenapa dan dari mana”. 3. Lebih mudah diadaptasi pada tugas-tugas yang baru. Tetapi pemahaman relasional (relational understanding), tidak hanya mengetahui metode mana yang tepat, tetapi juga harus tahu mengapa itu memampukannya untuk merelasikan metode itu terhadap masalah itu dan mungkin untuk mengadaptasikan metode itu pada masalahmasalah baru. Pemahaman relasional menuntut agar mengingat masalah-masalah manakah yang dapat menggunakan metode dan masalah mana yang tidak dapat kita gunakan metode itu, dan juga
1000
4.
5.
6. 1.
2.
3.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
1. 2.
mempelajari suatu metode yang berbeda untuk tiap kelompok masalah. Mudah untuk diingat. Ada suatu paradoks disini, yaitu ini tidak mudah untuk dipelajari. Namun untuk membantu siswa mudah dalam belajar guru dapat mengajar untuk menghasilkan relational understanding dengan melibatkan lebih banyak permasalahan konteks yang aktual. Pengetahuan relasional dapat menjadi efektif sebagai suatu tujuan. Ini merupakan suatu fakta empiris, berdasarkan kenyataan dari eksperimen-eksperimen yang dikontrol menggunakan bahan-bahan non matematika. Skema-skema relational berkualitas organic. Adapun keterbatasan pemahaman relasional adalah: Relational understanding untuk suatu topik khusus terlalu sukar, tetapi murid masih memerlukan topik tersebut untuk alasan-alasan ujian. Bahwa diperlukan suatu ketrampilan untuk digunakan pada pelajaran lain (misalnya IPA), sebelum IPA itu dapat dimengerti secara rasional dengan skema-skema yang ada pada siswa saat ini. Bahwa ia seorang guru matematika junior di suatu sekolah dimana semua pengajaran matematika lainnya adalah instrumental. Adapun kelebihan pemahaman reflektif sebagai berikut: Siswa memiliki sikap kritis yang tinggi terhadap suatu masalah. Dapat mengatasi masalah dengan cepat dan mudah menentukan strategi pemecahan masalah yang tepat. Siswa dapat mengenali masalah. Siswa dapat menyelidiki dan menganalisa kesulitannya dan menetukan masalah yang dihadapi. Dapat menghubungkan uraian-uraian hasil analisa yang satu dengan yang lainnya. Dapat membuat hipotesa atau menimbang kemungkinan jawabanjawaban yang mungkin. Kemudian siswa dapat mempraktekkan langkah-langkah apa yang diperlukan dalam menangani masalah tersebut. Adapun keterbatasan pemahaman reflektif adalah: Untuk membuat siswa memiliki pemahaman reflektif guru membutuhkan waktu yang lama dan proses yang panjang. Guru akan memiliki kesulitan dalam mengendalikan sikap kritis siswa yang tinggi.
3.3 Pembelajaran Matematika Unrelasional Terhadap Komunikasi dan Pemecahan Masalah Siswa.
Kemampuan
Salah satu indikasi pembelajaran matematika unrelasional adalah adanya kebiasaan guru meminta siswa menulis atau menyalin apa adanya suatu solusi pemecahan masalah matematika di papan tulis. Jika budaya siswa seperti ini terus dilakukan secara berkelanjutan maka seakan-akan
1001
guru tidak menghargai kecerdasan anak. Hal itu terjadi karena anak-anak di kelas tidak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan sikap berpikir kritis, kreativitas, kemampuan komunikasi, dan pemecahan masalah siswa. Dampaknya anak-anak akan memahami suatu konsep matematika hanya berupa hafalan atau memorisasi. Anak-anak juga kesulitan mengaitkan konsep matematika yang satu dengan yang lain dalam membentuk konsep yang baru berdasarkan skema yang telah dimiliki anak dalam membantu memahami matematika dengan baik. Karena siswa tidak memahami matematika sebenarnya dan tentu ketika siswa diminta menjelaskan kembali kenapa dan dari mana solusi itu maka siswa akan kesulitan. Akibatnya siswa-siswa akan memiliki kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah yang rendah. Selain itu, guru jarang sekali menggali konsep siswa ketika memberikan suatu permasalahan matematika. Ketika guru hanya terpaku pada konsep siswa yang ada akan mengakibatkan konsep-konsep siswa berdasarkan skema yang ada maka tidak akan berkembang dalam membangun konsep baru yang membantu siswa dalam menyelesaikan permasalahan matematika. Tantangan seorang guru adalah bagaimana menciptakan suasana pembelajaran matematika yang tidak unrelasional dalam pembelajaran matematika guna membantu siswa aktif, kreatif, senang, dan paham dalam belajar matematika. Mungkin selama ini kita pernah merasakan akibat dari pembelajaran matematika unrelasional ketika masa sekolah mulai dari SD-SMA. Sebagai contoh pembelajaran matematika unrelasional, penulis memberikan beberapa persoalan matematika yang dapat mengindikasikan siswa hanya memahami matematika yang bersifat instrumental dan mengakibatkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah siswa rendah. Adapun beberapa persoalan yang dijadikan penulis sebagai ilustrasi pembelajaran matematika unrelasional sebagai berikut: 3.3.1 Contoh Kasus 1 (Soal Matematika SD) “Tentukan luas persegi panjang yang mempunyai ukuran panjang dan lebar berturut-turut yaitu 15 dm dan 20 cm”. Berdasarkan masalah ini jika siswa SD kelas 5-6 yang memiliki pemahaman matematika secara instrumental maka siswa-siswa akan memberikan penyelesain sebagai berikut: Dik: p = 15 dm L = 20 cm Dit: L ? Maka L = p x l L = 15 dm x 20 cm L = 300 dm^2 atau L = 300 cm^2 Siswa-siswa akan memberikan penyelesaian seperti di atas, karena siswa hanya memahami dalam menetukan luas persegi panjang
1002
adalah panjang x lebar. Tentu, ini akan menjadi kesalahan fatal buat siswa jika guru tidak memberikan pemahaman yang baik dalam pebelajaran matematika. Berbeda halnya dengan siswa yang memiliki pamahaman relasional dan reflektif, siswa-siswa sebelum memberikan penyelesaian masalah di atas. Terlebih dahulu siswa-siswa memperhatikan satuan dari ukuran panjang dan lebar dari persegi panjang. Apakah satuan-satuan dari ukuran-ukuran tersebut sudah setara atau belum. Jika belum maka siswa-siswa tersebut menyetarakannya. Kegiatan proses berpikir siswa seperti ini dinamakan pemahaman siswa secara relasional dan reflektif. Misalnya: Dik: p = 15 dm l= 20 cm = 2 dm Dit: L ? Maka L = p x l L = 15 dm x 2 dm L = 30 dm^2 Jadi, Luas persegi panjang di atas adalah 30 dm^2. Artinya terdapat perbedaan yang sangat signifikan dari dua pemahaman penyelesaian siswa yang memahami matematika secara instrumental dengan anak-anak yang memahami matematika secara relasional dan reflektif. 3.3.2 Contoh Kasus 2 (Soal Matematika SMA) “Menentukan banyak solusi bilangan nonnegatif yang memenuhi persamaan linier yang terdiri atas dua variabel atau lebih dari sebuah persamaan linier a+b+c=3” Berdasarkan permasalahan di atas, jika siswa yang tidak mengerti maksud permasalahan tersebut tentu akan mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan penyelesaian dari permasalah tersebut. Artinya siswa harus mengerti bilangan nonnegatif itu apa dan siapakah anggota dari bilangan tersebut yang akan memenuhi persamaan linier a + b + c = 3. Jika siswa yang memiliki pemahaman instrumental, maka siswa akan memberikan penyelesaian sebagai berikut: Anggota bilangan a, b, c yang memenuhi adalah 0,1,2, dan 3. Maka kemungkinan banyaknya solusi persamaan di atas sebagai berikut:
1003
a b c 0 0 3 0 3 0 3 0 0 1 2 0 1 0 2 0 1 2 0 2 1 2 1 0 2 0 1 1 1 1 Artinya terdapat 10 solusi berbeda yang memenuhi persamaan linier “ a + b + c = 3”. Namun bagaimana dengan persamaan linier a + b + c = 12, tentu ini akan jadi masalah buat siswa dalam menyelesaian persoalan persamaan linier tersebut karena membutuhkan waktu yang lama dalam memecahkan permasalahan. Maka di sinilah peran pemahaman siswa secara relasional dan reflektif dibutuhkan guna dapat membantu anak dalam mengkomunikasikan dan memberikan pemecahan masalah yang mungkin rumit bagi siswa yang memahami permasalahan tersebut secara instrumental. Maka kontribusi guru sangat penting dalam mengarahkan siswa berpikir kritis dan kreatif dalam memahami matematika secara relasional dan reflektif. Jika tidak, siswa akan kesulitan dalam meningkatkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah dalam matematika. Dan ketika siswa-siswa mempunyai pemahaman relasional dan relektif maka persoalan di atas akan dipandang sebagai bentuk permasalahan kombinasi dari 5C2. Meninjau dari solusi yang diberikan pada tabel di atas maka anak-anak yang memahami persamaan linier “ a + b + c = 3” secara instrumental akan kesulitan menemukan alasan kenapa permasalahan persamaan tersebut bentuk lain dari permasalahan kombinasi.masalah ini tentu akan mempengarahi kemapuan komunikasi dan pemecahan masalah siswa. Berbeda halnya dengan siswa yang mempunyai pemahaman relasional dan reflektif. Maka siswa dapat menyatakan solusinya sebagai berikut: 5! 5C2 = 3!2! = 10 cara. Begitu juga dengan persamaan linier a + b + c = 12, siswa dapat menentukan banyak solusi non negatif dari persamaan tersebut yaitu: 14! 14C2=12!2! = 91 𝑐𝑎𝑟𝑎. Dengan demikian siswa yang memiliki pemahaman relasional dan reflektif jauh lebih baik kemampuannya dalam mengkomunikasikan permasalahan dan memberikan pemecahan masalah pada matematika sekolah dibandingkan siswa yang memiliki pemahaman instrumental saja.
1004
4. Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari pembahasan permasalahan di atas yaitu pembelajaran matematika unrelasional sangat berpengaruh terhadap rendahnya kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah siswa pada matematika. Pemahaman matematika unrelasional mengakibatkan siswa mengalami kesulitan dalam mengaitkan konsep matematika yang satu dengan yang lainnya dalam membangun konsepkonsep baru berdasarkan skema yang ada. Selain itu, siswa hanya memiliki pemahaman instrumental saja tanpa dibarengi dengan pemahaman relasional dan reflektif siswa. Akibatnya, siswa yang memiliki pemahaman relasional dan reflektif terhadap permasalahan matematika jauh lebih baik dari pada siswa yang hanya memiliki pemahaman instrumental saja.
Referensi [1] BNSP, 2006, Draft Final Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika SMA dan Mts, Jakarta, Badan Standar Nasional Pendidikan. [2] Iswadi, H., 2017, Sekelumit Dari Hasil PISA 2015 yang Baru Dirilis, Diunduh pada tanggal 9 Januari 2017,[online], www. Ubaya.ac.id. [3] Ruseffendi, 2005, Dasar-Dasar Matematika Moderen dan Komputer untuk Guru Edisi ke-5, Bandung, Tarsito. [4] Shadiq, F., 2009, Kemahiran Matematika, PPPTK Matematika, Yogyakarta. [5] Skemp, R., 2009, The Psychology of Learning Mathematics Expanded American Edition, Newyork and London, Rouledge Taylor and Francis Group. [6] Suyitno, A., 2004, Dasar-Dasar Proses Pembelajaran Matematika, Semarang, Universitas Negeri Semarang.
1005
Prosiding SNM 207 Pendidikan, Hal 1006-1019
PENGGUNAAN SELF REGULATED LEARNING SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BELAJAR MANDIRI DAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI MATEMATIKA SISWA ERMA MONARISKA1 1 Universitas Suryakancana,
[email protected]
Abstrak. Jurnal ini memaparkan hasil penelitian tentang penggunaan Self Regulated Learning sebagai upaya meningkatkan kemampuan belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi matematika siswa. Penelitian ini menggunakan metode campuran (mixed method) tipe embedded dengan subjek kelas VIII SMPN X Cikalongkulon. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan menganalisis kemampuan belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi matematika siswa dengan penggunaan Self Regulated Learning. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) penggunaan Self Regulated Learning dapat meningkatkan kemampuan belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi siswa, (2) kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penggunaan Self Regulated Learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa, (3) kemampuan belajar mandiri siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penggunaan Self Regulated Learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran biasa, (4) Kemampuan analisis siswa sudah cukup baik (5) Terdapat asosiasi yang signifikan antara kemampuan belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi siswa. Kata kunci: Self Regulated Learning, belajar mandiri, berpikir tingkat tinggi.
1.
Pendahuluan
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, manusia dituntut memiliki kemampuan dalam memperoleh, memilih, mengelola, dan menindaklanjuti informasi-informasi yang ada untuk dimanfaatkan dalam kehidupan yang sarat tantangan dan penuh kompetisi. Ini semua menuntut kita memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, logis, dan sistematis. Kemampuan ini dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran matematika karena tujuan pembelajaran matematika menurut Depdiknas [1] adalah : (1) melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, (2) mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba, (3) mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, dan (4) mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi dan mengkomunikasikan gagasan. Dengan demikian,
1006
matematika sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dasar, memainkan peranan strategis dalam peningkatan kualitas SDM Indonesia. Mengingat peranannya yang sangat sentral dalam proses peningkatan kualitas SDM, maka upaya peningkatan kualitas pembelajaran matematika, khususnya pada tingkat pendidikan dasar, memerlukan perhatian yang serius. Upaya ini menjadi sangat penting mengingat beberapa menunjukkan hasil yang memuaskan [2]. Berdasarkan hasil pengamatan mengajar, selama ini proses pembelajaran matematika masih menggunakan paradigma lama, guru masih menjadi trade center yang memberikan pengetahuan kepada siswa, sehingga siswa tidak terbiasa dalam membangun pengetahuannya sendiri secara aktif. Kondisi seperti ini, nyatanya belum dapat meningkatkan kemampuan siswa khususnya pada mata pelajaran matematika. Akibatnya, hasil akhir yang diperoleh siswa tidak sesuai dengan yang diharapkan, bahkan nilai rata-ratanya berada dibawah KKM yang sudah ditetapkan. Hasil survey yang dilakukan peneliti di SMPN X Cikalongkulon, siswa pada umumnya banyak mengalami kesulitan pada pokok bahasan lingkaran, mengingat pokok bahasan lingkaran merupakan pokok bahasan bidang geometri yang penyelesaian permasalahannya membutuhkan tingkat kemampuan berpikir yang tinggi, observasi awal peneliti terkait keadaan tersebut ditunjukkan dengan data ratarata nilai untuk pokok bahasan lingkaran di SMPN X Cikalongkulon seperti yang tersaji dalam tabel 1 berikut : Tabel 1 : Rata-rata Hasil Belajar Matematika Kelas VIII pada Pokok Bahasan Lingkaran No
Tahun
Jumlah Siswa
KKM
Rata-rata
1 2 3
2010/2011 2011/2012 2012/2013
35 36 38
68 69 70
65.6 62.4 67.5
Jumlah Siswa Tuntas (KKM ≥70) 6 orang 5 orang 6 orang
Persentase Ketuntasan 17.14% 13.89% 15.79%
Hasil survey yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa rendahnya hasil belajar matematika siswa SMPN X Cikalongkulon tersebut disebabkan karena kurangnya kemandirian belajar siswa dan rendahnya kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa. Selama proses pembelajaran siswa tidak terbiasa untuk mencari penyelesaian masalahnya sendiri, tidak mau bertanya dan cenderung bergantung pada guru. Menyikapi keadaan tersebut, cara yang harus dilakukan adalah sejauh mana kita membiarkan siswa berkembang sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Siswa dituntut mampu menyelesaikan masalah sendiri dan mampu merangsang keinginannya sendiri untuk bertindak apa yang harus dan seharusnya dilakukan. Untuk itu siswa harus memiliki kemandirian yang muncul dari diri sendiri, keinginan, dan motivasi siswa sendiri sehingga siswa tidak bergantung pada yang lain dan tidak merasa dipaksa. Dengan demikian, diharapkan siswa menjadi sangat aktif dan bersemangat untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran sehingga setiap kegiatan dilakukan dengan keinginan untuk berkembang. Hal ini
1007
sesuai dengan pendapat Sumarmo [8] bahwa kemandirian merupakan faktor yang sangat diperlukan dalam memperbaharui keakftifan siswa. Kemandirian dapat merangsang semangat dan keaktifan siswa dalam belajar. Dengan semangat kemandirian yang tumbuh dari dalam diri siswa, tidak menutup kemungkinan akan munculnya kemampuan berpikir tingkat tinggi dan hasil belajar yang baik. Apabila siswa sudah merasa nyaman dan menyenangkan secara pribadi, siswa akan terdorong untuk memperbaharui hasil belajarnya, dari perubahan pola kemandirian belajar tersebut. Hal ini menjadi sangat penting mengingat bahwa salah satu karakteristik matematika adalah memiliki objek kajian yang bersifat abstrak [7], sehingga untuk mempelajari dan memahami matematika bukan hal yang mudah. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya siswa untuk mempelajari dan memahami pelajaran matematika secara intensif sehingga pencapaian prestasi matematika siswa bisa optimal. Upaya belajar yang dibutuhkan oleh siswa dalam mempelajari dan memahami matematika itu adalah dengan belajar berdasarkan Self-Regulated Learning. Self-Regulated Learning adalah upaya mengatur diri dalam belajar dengan mengikutsertakan kemampuan metakognisis, motivasi dan perilaku aktif [9]. Siswa yang memiliki Self-Regulated Learning akan secara aktif dalam melakukan aktifitas belajarnya [5]. Jadi, jika dirasakan siswa bahwa suatu pelajaran atau pembahasan pelajaran tidak dimengerti oleh siswa, maka siswa akan lebih aktif untuk dapat mempelajarinya. Seperti membuat perencanaan apa yang akan dipelajari lagi, melakukan pemantauan terhadap hasil belajarnya, mengevaluasi hasil belajar yang diperoleh, mengulang, mengorganisasi belajarnya, berusaha untuk mencapai prestasi yang optimal, dan termasuk mencari bantuan pada teman, guru atau orang yang dianggap lebih mengerti. Penggunaan Self-Regulated Learning sebagai suatu bentuk upaya siswa dalam memotivasi diri untuk dapat mencapai hasil yang optimal dalam belajar. Jadi dapat dikatakan bahwa semakin baik Self-Regulated Learning, maka akan semakin baik hasil prestasi yang dapat dicapai. Sebaliknya, jika siswa memiliki SelfRegulated Learning yang rendah, maka kurang dapat melakukan perencanaan, pemantauan, evaluasi pembelajaran dengan baik, kurang mampu melakukan pengelolaan potensi dan sumber daya yang baik dan sebagainya, sehingga hasil dari belajarnya tidak optimal, sesuai dengan potensi diri yang dimilikinya. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Marlia [3] menunjukkan hasil bahwa ada pengaruh atau peran belajar berdasarkan regulasi diri (Self-Regulated Learning) terhadap prestasi belajar matematika siswa. Berdasarkan penjelasan di atas banyak memberikan masukan dan melatarbelakangi penelitian ini, oleh karena itu peneliti ingin mengetahui bagaimana penggunaan Self Regulated Learning sebagai upaya meningkatkan kemampuan belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi siswa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan komponenkomponen pembelajaran agar dapat meningkatkan kemampuan belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi siswa SMP, yaitu 1) Menelaah dan menganalisis kemampuan belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi siswa dengan penggunaan Self Regulated Learning, dan 2) Mendeskripsikan kemampuan belajar mandiri dan berpikir tingkat
1008
tinggi siswa antara yang menggunakan Self Regulated Learning dan siswa yang yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran biasa. Penelitian ini bermaksud melihat hubungan sebab-akibat antara pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Self Regulated Learning dengan peningkatan kemampuan belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi matematika siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri X Cikalongkulon. Penelitian ini juga bermaksud memeriksa asosiasi antara belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi siswa. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMPN X Cikalongkulon dengan mengambil dua kelas sebagai sampel, satu kelas sebagai kelas kontrol dan satu lagi sebagai kelas eksperimen. Penelitian ini mengembangkan dua macam instrumen penelitian yaitu tes dan non tes. Tes berupa tes kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika yang mengukur kemampuan analisis, evaluasi dan mengkreasi yang disusun dalam bentuk uraian, dan non tes berupa skala belajar mandiri model Likert, dan observasi. Estimasi kelayakan butir berpedoman pada Suherman dan Sukjaya [6]. Analisis data yang dilakukan terhadap hasil penelitian ini adalah analisis terhadap data nilai tes kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa tiap siklus, data nilai tes kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa (pretest -postest), data hasil skala belajar mandiri siswa, keterkaitan tes akhir kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika dengan kemampuan belajar mandiri siswa, dan analisis kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa dengan Self Regulated Learning.
2. Hasil – Hasil Utama Berdasarkan analisis data yang dilakukan terhadap hasil tes awal dan tes akhir serta skala sikap siswa maka diperoleh hasil sebagai berikut.
1. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Penggunaan Self Regulated Learning dapat meningkatkan dan melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa. Tabel 2 : Rekapitulasi Hasil Tes
x min X S X maks Nilai Ideal
11 33.79 13.635 60 100
45 70.00 13.179 95 100
47 71.51 12.894 93 100
50 72.69 13.320 100 100
40 70.51 13.790 93 100
40 64.15 13.852 89 100
Tes Akhir II 50 76.28 13.314 100 100
Daya Serap Klasikal (DSK)
0%
71.79%
71.79%
74.36%
66.67%
38.46%
79.49%
Nilai
Tes Awal
Siklus I
Siklus II
Siklus III
Siklus IV
Tes Akhir I
Rekapitulasi hasil tes pada Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa pada tes akhir I sebesar 64.15 menginterpretasikan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika sudah cukup baik meskipun mengalami penurunan sebesar 3.35 dari tahun sebelumnya. Hal ini dimungkinkan karena soal yang dipergunakan
1009
berbeda dengan soal pada tahun sebelumnya. Soal tes yang dipergunakan untuk penelitian adalah soal tes untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi sedangkan soal yang dipergunakan pada tahun sebelumnya adalah soal biasa yaitu soal yang tidak mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi. Oleh karena itu, untuk mempertegas hasil penelitian agar tidak sekedar menduga-duga peneliti memberikan tes akhir II sebagai perbandingan dan pertimbangan, tes akhir II ini berupa tes yang sama dengan tahun sebelumnya yaitu tes yang tidak mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi sehingga soalnya pun bukan soal berpikir tingkat tinggi. Berdasarkan hasil tes akhir II diperoleh nilai maksimum 100, nilai minimum 50, dan rata-rata 76.28 yang tergolong kategori baik. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan matematika siswa pada materi pokok lingkaran mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai rata-rata siswa pada siklus I, II, III, dan IV secara umum mengalami kenaikan walaupun ada rata-rata nilai yang mengalami penurunan. Berdasarkan data dan hasil observasi di lapangan, materi pada siklus I relatif lebih mudah karena sifatnya teori, namun mulai dari siklus II sampai IV, materinya semakin sulit karena melibatkan perhitungan dan ketepatan konsep, apalagi materi pada siklus IV, selain melibatkan perhitungan dan ketepatan konsep juga berhubungan dengan materimateri lain diluar pokok materi inti seperti melibatkan konsep bangun datar dan sudut. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, penurunan pada tes akhir I kemampuan berpikir tingkat tinggi terjadi karena materinya mencakup materi yang cukup luas untuk keseluruhan siklus. Sementara, materi untuk tes pada setiap siklus cukup singkat, sedikit, dan tidak terlalu luas sehingga nilainya pun lebih baik dibandingkan nilai tes akhir I. Tabel 3 : Perbandingan Pencapaian Nilai Tes dari Tes Kemampuan Setiap Siklus sampai Tes Akhir Seluruh Siklus Nilai 80%≤ N ≤ 100% 70% ≤ N < 80% 60% ≤ N < 70% 0% ≤ N < 60%
Kriteria Sangat Baik Baik Cukup Kurang
N
Siklus I %
Siklus II N %
Siklus III N %
Siklus IV N %
Tes Akhir I N %
Tes Akhir II N %
11
28.20
12
30.77
16
41.03
12
30.77
7
17.95
15
38.46
15 4 9
38.46 10.26 23.08
16 4 7
41.02 10.26 17.95
11 5 7
28.20 12.82 17.95
12 8 7
30.77 20.51 17.95
6 11 15
15.38 28.21 38.46
16 6 2
41.03 15.38 5.13
Memperhatikan pencapaian nilai tes siklus I, II, III, IV, dan tes akhir seluruh siklus, terdapat peningkatan jumlah siswa yang tuntas menurut Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Berdasarkan tes yang diperoleh, daya serap klasikal tes awal sebesar 0%, tes siklus I sebesar 71.79%, tes siklus II sebesar 71.79%, tes siklus III sebesar 74.36%, tes siklus IV sebesar 66.67%, tes akhir I sebesar 38.46%, dan daya serap klasikal tes akhir II sebesar 79.49%. Secara umum persentase ketuntasan siswa mengalami kenaikan walaupun persentase ketuntasan siswa di tes akhir I menurun. 2. Analisis Pretes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Dengan menggunakan Uji Shapiro-Wilk dan Uji Levene’s diinterpretasikan bahwa data tes kemampuan berpikir tingkat tinggi berdistribusi normal dan homogen Selanjutnya dengan uji-t, diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan
1010
awal berpikir tingkat tinggi matematika siswa kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Tabel 4 : Uji Normalitas dan Homogenitas Pretes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Kelas Eksperimen Kontrol
Shapiro-Wilk 0.256 0.206
Ho Diterima Diterima
Interpretasi Normal Normal
Levene’s Sig (p)
Ho
Interpretasi
0.735
Diterima
Homogen
Tabel 5 : Uji Perbedaan Dua Rerata Data Pretes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Levene's Test for Equality of Variances F Pretes
Equal variances assumed
.116
t-test for Equality of Means
Sig.
T
.735
Equal variances not assumed
Sig. (2tailed)
df
Mean Difference
Std. Error Difference
.078
76
.938
.231
2.976
.078
75.557
.938
.231
2.976
3. Analisis Postes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Dengan menggunakan Uji Shapiro-Wilk dan Uji Levene’s diinterpretasikan bahwa data tes kemampuan berpikir tingkat tinggi (postes) berdistribusi normal dan homogen (Tabel 6). Selanjutnya dengan uji-t, diperoleh bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang belajarnya memperoleh pembelajaran dengan penggunaan self regulated learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan biasa. Tabel 6 : Uji Normalitas dan Homogenitas Postes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Kelas
Shapiro-Wilk
Ho
Interpretasi
Levene’s Sig (p)
Ho
Interpretasi
Eksperimen Kontrol
0.297 0.342
Diterima Diterima
Normal Normal
0.522
Diterima
Homogen
Tabel 7 : Uji Perbedaan Dua Rerata Data Postes Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Levene's Test for Equality of Variances F Postes Equal variances assumed Equal variances not assumed
.413
Sig. .522
t-test for Equality of Means T
Sig. (2tailed)
Df
Mean Difference
Std. Error Difference
3.926
76
.000
12.026
3.063
3.926
75.818
.000
12.026
3.063
1011
4. Analisis Data Hasil Skala Belajar Mandiri Data skala sikap yang telah terkumpul, dihitung dan ditabulasikan serta dihitung rata-rata modus/median seluruh jawaban. Data yang diperoleh adalah skala belajar mandiri dalam hal ketidaktergantungan terhadap orang lain, memiliki kepercayaan diri, berperilaku disiplin, memiliki rasa tanggung jawab, berperilaku berdasarkan inisiatif sendiri, dan memiliki kontrol diri. Tabel 8 : Kemampuan Belajar Mandiri Kelas Eksperimen No 1 2
Waktu Pelaksanaan Sebelum pembelajaran Setelah Pembelajaran
Modus/ Median 2 4
Banyaknya Siswa (%) 60.9 62.6
Berdasarkan data hasil skala belajar mandiri siswa, bahwa sebagian besar siswa kelas eksperimen menunjukkan kemampuan belajar mandiri yang rendah dalam matematika sebelum pembelajaran dan sebagian besar siswa menunjukkan kemampuan belajar mandiri yang tinggi setelah pembelajaran. Ini berarti telah terjadi peningkatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan Self Regulated Learning dapat meningkatkan kemampuan belajar mandiri siswa. Tabel 9 : Perbandingan Kemampuan Belajar Mandiri Kelas Eksperimen dan Kelas kontrol Setelah Pembelajaran No 1 2
Kelas Eksperimen Kontrol
Modus/ Median 4 3
Banyaknya Siswa (%) 65.4 58.4
Berdasarkan data pada tabel 9, bahwa sebagian besar siswa kelas eksperimen menunjukkan kemampuan belajar mandiri yang tinggi, sedangkan sebagian besar siswa kelas kontrol menunjukkan kemampuan belajar mandiri yang sedang. Ini berarti bahwa kemampuan belajar mandiri siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan Self Regulated Learning lebih baik daripada siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan pembelajaran biasa. 5. Uji Keterkaitan Tes Akhir dengan Skala Belajar Mandiri Siswa Uji keterkaitan digunakan untuk mengetahui apakah ada keterkaitan yang signifikan antara dua variabel yaitu kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika dengan belajar mandiri siswa pada penggunaan Self Regulated Learning. Oleh karena itu, data yang diolah adalah data hasil tes akhir siswa kelas eksperimen yang dalam pembelajarannya menggunakan Self Regulated Learning untuk selanjutnya diasosiasikan dengan hasil skala belajar mandiri siswa.
1012
Tabel 10 : Korelasi Nilai Tes Akhir (Postes) dan Belajar Mandiri Siswa Nilai_Postes Nilai_Sikap Pearson Correlation 1 .921** Sig. (2-tailed) .000 N 39 39 Nilai_Sikap Pearson Correlation .921** 1 Sig. (2-tailed) .000 N 39 39 **Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed) Nilai_Postes
Dari Tabel 10, diperoleh nilai probabilitas signifikansi (2-tailed) sebesar 0.000. Oleh karena nilai probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak atau terdapat asosiasi yang signifikan antara kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika dengan belajar mandiri siswa pada pembelajaran dengan penggunaan Self Regulated Learning. 6. Analisis Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Kelas Eksperimen Data hasil tes kemampuan berpikir tingkat tinggi dianalisis untuk kemudian dikonversikan ke dalam data kualitatif untuk menentukan kategori tingkat kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Tabel 11 : Distribusi Nilai Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa Interval Nilai 81 – 100 61 – 80 41 – 60 21 – 40 0 – 20 Jumlah Rata-rata
Frekuensi 5 17 16 1 0 39
Persentase (%) 12.82 43.59 41.03 2.56 0 100
Kategori Sangat Baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang Baik
Dari hasil analisis data tes untuk mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi pada tabel 11, diketahui bahwa 5 siswa (12.82%) yang termasuk dalam kategori memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi sangat baik, dan ada 17 siswa (43.59%) yang termasuk kategori memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi dengan kategori baik. Ini berarti secara keseluruhan ada 22 siswa (56.41%) dari 39 siswa yang telah memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi dengan kategori baik. Pembahasan 1. Self Regulated Learning Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan Self Regulated Learning dapat meningkatkan kemampuan belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi siswa. Hal ini ditinjau dari rerata nilai siswa, daya serap klasikal dan jumlah siswa pada tes akhir yang mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya.
1013
2. Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa Kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan Self Regulated Learning lebih baik daripada kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran biasa. Hal ini dimungkinkan karena pembelajaran telah merubah paradigma pembelajaran yang berpusat pada guru kepada pembelajaran yang menekankan pada keaktifan siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan dengan caranya sendiri. 3. Kemampuan Belajar Mandiri Siswa Berdasarkan hasil angket belajar mandiri siswa dalam hal ketidaktergantung terhadap orang lain, memiliki kepercayaan diri, berperilaku disiplin, memiliki rasa tanggung jawab, berperilaku berdasarkan inisiatif sendiri, dan memiliki kontrol diri, kemampuan belajar mandiri siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional menunjukkan kemampuan belajar mandiri yang sedang/ cukup, sedangkan kemampuan belajar mandiri siswa yang pembelajarannya menggunakan Self Regulated Learning menunjukkan kemampuan belajar mandiri yang tinggi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kemampuan belajar mandiri siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan Self Regulated Learning lebih baik daripada siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional. 4. Analisis Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa Dari hasil tes kemampuan berfikir tingkat tinggi, diketahui bahwa kemampuan analisis sudah cukup baik, sebagian besar siswa sudah mampu menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yang rumit, dan telah mampu mengidentifikasi/ merumuskan pertanyaan. Kemampuan siswa dalam mengevaluasi dalam kategori baik. Siswa telah mampu memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, dan metodologi dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya. Siswa juga telah mampu membuat hipotesis, mengkritik dan melakukan pengujian walaupun dengan cara pengujian dengan memasukkan beberapa variabel uji. Soal yang diberikan juga berhasil menimbulkan kemampuan mengkreasi dengan cara membuat beberapa strategi dalam menyelesaikan masalah. Siswa dapat membuat generalisasi suatu idea atau cara pandang terhadap sesuatu, merancang suatu cara untuk menyelesaikan masalah dan mengorganisasi unsur-unsur atau bagian-bagian menjadi struktur baru yang belum pernah ada sebelumnya. Berikut adalah beberapa soal dan jawaban siswa.
1014
Soal 1: Lantai sebuah stadion olahraga dapat disusun bagian demi bagian dan membentuk sebuah arena pertandingan seperti gambar disamping ini. Tentukan luas arena tersebut. Jawaban siswa :
75 75 m m 125 m
125 m
Gambar 1 : Hasil Jawaban Siswa Dari berbagai jawaban siswa pada soal 1 terlihat bahwa siswa telah mampu menganalisis dan mengembangkan strategi untuk menemukan pola dan menemukan rumus. Soal 2: Perbandingan jari-jari dua buah lingkaran adalah x : y. Tentukan perbandingan luas kedua lingkaran tersebut. Dapatkah kamu menuliskan perbandingan tersebut dengan kata-katamu? Soal 3: Gambarlah lingkaran dengan pusat A dan jari-jari 2 cm! Gambarlah lingkaran lain dengan pusat A dan jari-jari 4 cm! Jika jari-jari lingkaran diperbesar dua kali, apakah ukuran sudut BAC berubah? Jawaban siswa
1015
Jawaban siswa
Gambar 2 : Hasil Jawaban Siswa
Gambar 3 : Hasil Jawaban Siswa
1016
Dari jawaban siswa untuk menyelesaikan soal 2 dan soal 3 diatas diketahui bahwa siswa telah mampu mengevaluasi suatu pernyataan dengan memberikan sebuah argumen. Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dan menggeneralisasi rumus juga terlihat dalam beberapa contoh yang dikreasi siswa pada soal 4 berikut ini. Soal 4: Ani akan membuat 2 model cincin yang dibuat dari kawat yang panjangnya 1 m. Model cincin pertama jari-jarinya 35 mm dan model cincin kedua jari-jarinya 28 mm. Berapakah Ani akan mendapat model cincin pertama dan kedua dengan sisa potongan kawat sedikit mungkin? Beberapa strategi yang digunakan siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut
Gambar 4 : Hasil Jawaban Siswa 5. Asosiasi belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi Hasil uji asosiasi menunjukkan bahwa terdapat asosiasi yang signifikan antara kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika dengan kemampuan belajar mandiri siswa pada pembelajaran dengan menggunakan Self Regulated Learning. Dengan kata lain, hasil uji asosiasi ini bersifat dependen, tidak bebas dan saling mempengaruhi. Temuan ini sesuai dengan pendapat Ruseffendi [4] yang mengatakan bahwa sikap (dalam hal ini mengenai belajar mandiri) diperkirakan
1017
berkorelasi positif dengan variabel- variabel lain, misalnya dengan prestasi belajar. Dalam hal ini kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika. Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa pembelajaran dengan pendekatan Self Regulated Learning dapat memberikan sumbangan terhadap kemampuan berfikir tingkat tinggi matematika siswa dibandingkan dengan pembelajaran dengan pendekatan biasa. Berdasarkan hasil analisis data skala belajar mandiri siswa, penerapan pembelajaran dengan pendekatan Self Regulated Learning juga dapat meningkatkan kemampuan belajar mandiri siswa dalam hal ketidaktergantung terhadap orang lain, percaya dengan kemampuannya sendiri, berperilaku lebih disiplin, memiliki rasa tanggung jawab, berperilaku berdasarkan inisiatif sendiri, dan memiliki kontrol diri. Penerapan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Self Regulated Learning juga dapat mendukung peranan matematika sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. 3. Kesimpulan 1. Penggunaan Self Regulated Learning dapat meningkatkan kemampuan belajar mandiri dan berpikir tingkat tinggi siswa. 2. Kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penggunaan Self Regulated Learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pembelajaran biasa. 3. Kemampuan belajar mandiri siswa yang memperoleh pembelajaran dengan penggunaan Self Regulated Learning lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pembelajaran biasa. 4. Pembelajaran menggunakan Self Regulated Learning membantu siswa dalam melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika siswa dalam menganalisis, mengevaluasi dan mengkreasi. Kemampuan analisis sudah cukup baik, sebagian besar siswa sudah mampu menganalisis informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yang rumit, dan telah mampu mengidentifikasi/ merumuskan pertanyaan. Kemampuan siswa dalam mengevaluasi dalam kategori baik. Siswa telah mampu memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, dan metodologi dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya. Siswa juga telah mampu membuat hipotesis, mengkritik dan melakukan pengujian walaupun dengan cara pengujian dengan memasukkan beberapa variabel uji. Soal yang diberikan juga berhasil menimbulkan kemampuan mengkreasi dengan cara membuat beberapa strategi dalam menyelesaikan masalah. Siswa dapat membuat generalisasi suatu idea atau cara pandang terhadap sesuatu, merancang suatu cara untuk menyelesaikan masalah dan mengorganisasi unsur-unsur atau bagian-bagian menjadi struktur baru yang belum pernah ada sebelumnya. 5. Terdapat asosiasi yang signifikan antara kemampuan berpikir tingkat tinggi matematika dengan belajar mandiri siswa pada pembelajaran dengan penggunaan Self Regulated Learning.
1018
Referensi
[1] Depdiknas, 2004, Kurikulum Mata Pelajaran Matematika SMP, Jakarta, Depdiknas.
[2] Djazuli, A., 1999, Kebijakan Strategi Konwil Jawa Barat dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Guru Matematika, Makalah Disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional Kurikulum dan Pembelajaran Matematika, FPMIPA IKIP Bandung, 6-7 Agustus. [3] Marlia, 2005, Pengaruh Self Regulated Learning Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa, Skripsi tidak diterbitkan, Universitas Gajah Mada, Yogjakarta. [4] Ruseffendi, E.T., 2005, Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan non Bidang non Eksakta Lainnya, Semarang, Tarsito. [5] Schunk, D. H., 1989, Social Cognitive Theory and Self Regulated Learning, In B. J. Zimmerman & D. H. Schunk (Eds), Self-Regulated Learning and Academic Achievement : Theory, research, and practise (pp.83-110), New York, Springer-Verl [6] Suherman dan Sukjaya, 1990, Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Matematika, Bandung, Wijaya Kusuma. [7] Sumardyono, 2004, Karakteristik Matematika dan Implementasinya Terhadap Pembelajaran Matematika, Yogyakarta, Depdiknas. [8] Sumarmo, U., 2004, Kemandirian Belajar : Apa, Mengapa dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik, Disampaikan pada Seminar Tanggal 8 Juli 2004 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY. 6. Zimmerman, B. J., 1989, Models of self-regulated learning and academic achievement. In B. J. Zimmerman & D. H. Schunk (Eds), Self-Regulated Learning and Academic Achievement : Theory, research, and practise (pp.1-25), New York, Springer-Verlag.
1019
Prosiding SNM 2017 Pen d i dk an , Ha l 1 02 0 -1 02 3
DESAIN PEMBELAJARAN ASPEK PERKEMBANGAN KOGNITIF PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DENGAN MENGGUNAKAN PERMAINAN DI TK BINAMA GLOBAL SCHOOL ROSMALIA SEPTIANA1, RATU ILMA INDRA PUTRI2, DAN YUSUF HARTONO3 1 FKIP UNSRI,
[email protected] 2 FKIP UNSRI,
[email protected] 3FKIP UNSRI,
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan lintasan belajar anak usia dini yang dapat membantu siswa mengembangkan aspek kognitif melalui permainan. Metode yang digunakan adalah Design Research yang terdiri dari tiga tahap, yaitu : desain pendahuluan (preliminary design), desain percobaan mengajar (pilot experiment dan teaching experiment), dan analisis retrospektif. Dalam penelitian ini, serangkaian aktivitas pembelajaran didesain dan dikembangkan berdasarkan pendekatan PMRI. Penelitian ini melibatkan anak usia dini dengan rentang usia 4 – 5 tahun di TK Binama Global School. Penelitian ini menghasilkan Learning Trajectory yang memuat serangkaian proses pembelajaran anak usia dini dalam mengembangkan aspek kognitif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan permainan dengan pendekatan PMRI dapat membantu siswa mengembangkan aspek kognitif yang bermanfaat di kehidupan sehari – hari siswa. Kata kunci: Design research, PMRI, Permainan, PAUD, Kognitif.
1. Pendahuluan Anak usia dini adalah individu yang unik dan memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan tahapan usianya. Usia dini (0 – 6 tahun) merupakan masa keemasan dimana stimulasi seluruh aspek perkembangan berperan penting untuk perkembangan anak. Secara garis besar, Piaget [5], mengelompokkan menjadi empat tahap kematangan kognitif pada anak, yaitu tahap sensorimotor (0-2 tahun), tahap praoperasi (2-7 tahun), tahap operasi konkret (7-11 tahun) dan tahap operasi formal (11 tahun - dewasa). Tahap sensorimotor lebih ditandai dengan pemikiran anak berdasarkan tindakan inderawi. Tahap praoperasi diwarnai dengan mulai digunakannya simbolsimbol untuk menghadirkan suatu benda atau pemikiran khususnya penggunaan bahasa. Tahap operasi konkret ditandai dengan penggunaan aturan logis dan jelas. Tahap operasi formal dicirikan dengan pemikiran abstrak, hipotesis, deduktif serta induktif. Tahap-tahap tersebut saling berkaitan. Urutan tahap-tahap tidak dapat ditukar atau dibalik, karena tahap sesudahnya mengandaikan terbentuknya tahap sebelumnya.
1020
Anak usia dini berada pada tahap operasi praoperasi, pada tahap ini anak usia dini diharapkan untuk dapat berkembang dengan baik di segala aspek perkembangan yaitu perkembangan moral dan nilai – nilai agama, sosial dan emosional, bahasa, kognitif, seni dan fisik motorik. Untuk mendukung perkembangan anak secara optimal diperlukan stimulan yang tepat. Salah satu aspek perkembangan pada anak usia dini adalah aspek perkembangan kognitif. Dalam aspek kognitif, terdapat beberapa perkembangan dasar, diantaranya adalah : 1. Dapat mengenal bilangan 2. Dapat mengenal bentuk geometri 3. Dapat memecahkan masalah sederhana 4. Dapat mengenal konsep ruang dan posisi 5. Dapat mengenal ukuran 6. Dapat mengenal konsep waktu 7. Dapat mengenal berbagai pola Perkembangan dasar di atas dapat dikategorikan dalam pembelajaran matematika pada anak usia dini. Pembelajaran matematika pada anak usia dini masih belum menunjukkan perkembangan yang signifikan, menurut Nunes & Bryan [3], terdapat fenomena anak yang memiliki kemampuan matematika yang bagus di kelas tetapi buruk di kehidupan sehari – hari. Matematika akan menarik minat anak usia dini jika anak usia dini menyadari pentingnya matematika sebagai penyelesaian masalah dalam kehidupan sehari – hari. Freudental menyatakan bahwa “Mathematics is a human activity” [6], oleh karena itu matematika disarankan berangkat dari aktivitas manusia. Belajar matematika adalah sebagai proses di mana matematika ditemukan dan dibangun oleh manusia, sehingga di dalam pembelajaran matematika harus lebih dibangun oleh siswa daripada diberikan oleh guru. Berdasarkan penelitian Papadakis [3], menyatakan bahwa teknik mengajar yang menggunakan pendekatan PMRI memberikan hasil yang signifikan terhadap perkembangan kompetensi matematika pada anak usia dini. Menurut Mayke [4] belajar dengan bermain memberi kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang – ulang, menemukan sendiri, bereksplorasi, mempraktekkan, dan mendapatkan bermacam - macam konsep serta pengertian yang tidak terhitung banyaknya. Di sinilah proses pembelajaran terjadi. Anak – anak mengambil keputusan sendiri, memilih, menentukan, mencipta, memasang, membongkar, mengembalikan, mencoba, mengeluarkan pendapat, memecahkan masalah, mengerjakan secara tuntas, bekerja sama dengan teman, dan mengalami berbagai perasaan. Dengan bermain sambil belajar di dalam kelas, diharapkan dapat membantu siswa dalam belajar melalui aktivitas siswa sehari – hari Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan strategi peserta didik usia dini dalam mengembangkan aspek kognitif dan menghasilkan lintasan belajar peserta didik dalam pembelajaran aspek kognitif. Penelitian ini menggunakan metode penelitian design research [1], yang mendesain materi pembelajaran aspek perkembangan kognitif dengan pendekatan PMRI menggunakan permainan untuk anak usia dini dengan rentang usia 4-5 tahun. Desain pembelajaran yang dilakukan dengan mendesain dan melalui tiga tahap, yaitu Preliminary Design, Teaching Experiment, Retrospective Analysis. Namun, penelitian ini hanya akan sampai tahap Preliminary Design
1021
2. Hasil – Hasil Utama Penelitian ini diadakan di TK Binama Global School Palembang. Subjek pada penelitian ini adalah anak usia dini dengan rentang usia 4 – 5 tahun. Materi pembelajaran yang didesain pada penelitian ini adalah mengenal ukuran. Mengenal ukuran adalah salah satu dari perkembangan dasar di aspek kognitif anak usia 4 – 5 tahun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan strategi peserta didik dan menghasilkan lintasan belajar peserta didik dalam pembelajaran aspek kognitif. Pada tahap Preliminary Design, peneliti mendesain rencana pembelajaran, hypothetical learning trajectory (HLT), dan aktivitas yang akan diuji cobakan ke beberapa siswa yang bukan subjek penelitian. Rencana pembelajaran didiskusikan dengan guru kelas yang akan menjadi model dari subjek aktivitas. Dari guru tersebut didapat saran untuk perbaikan aktivitas siswa seperti pada tabel di bawah Tabel 1 Saran guru model
RPP yang divalidasi guru model
Saran guru model Pada saat membandingkan isi air, anak maju satu per satu untuk melihat lebih jelas. Guru model membaca rencana pembelajaran dan setuju dengan aktivitas yang diadakan sudah sesuai dengan karakteristik siswa.
Kegiatan selanjutnya pada tahap ini yaitu mengujicobakan ke beberapa siswa yang bukan subjek penelitian. Aktivitas pertama adalah siswa dapat menentukan perbandingan isi dari suatu benda. Kegiatan ini dimulai dengan guru yang mengeksplor pengetahuan siswa dengan mengenalkan alat dan bahan yang akan digunakan dalam kegiatan ini, yaitu botol, gelas ukur, dan air. Siswa sangat antusias menyimak penjelasan guru dan menjawab beberapa pertanyaan guru tentang bahan – bahan yang akan digunakan dalam pembelajaran kali ini.
Gambar 1 Bahan Percobaan
Gambar 2 Aktivitas Siswa
1022
Berdasarkan kegiatan yang telah dilakukan, siswa terlihat antusias untuk melakukan aktivitas ini, siswa juga penasaran ingin mencoba menuangkan air. Hasil dari percobaan kali ini menunjukkan bahwa anak usia 2 - 7 tahun masih pada tahap praoperasional, anak-anak dapat memikirkan objek dan peristiwa yang berada di luar jangkauan pandangan langsung mereka. Namun, belum mampu melakukan penalaran logis seperti orang dewasa. Hal ini ditunjukkan sesuai jawaban siswa yang menyatakan bahwa air di botol yang kecil memiliki isi air lebih banyak daripada botol yang besar. Hal ini mencerminkan bahwa siswa masih memiliki kurangnya konservasi, karena siswa tidak menyadari bahwa tidak ada air yang ditambah maupun dikurang [2]. 3. Kesimpulan Penelitian ini telah sampai pada tahap Pilot Experiment (Teaching Experiment). Aktivitas ini menarik untuk siswa, tetapi masih diperlukan beberapa pertanyaan lagi agar siswa dapat menjawab pertanyaan guru yang mengarahkan siswa untuk dapat membandingkan ukuran. Aktivitas pada tahap ini masih perlu untuk direvisi untuk digunakan pada tahap selanjutnya. Pernyataan terima kasih. Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Binama Global School yang telah mengizinkan penelitian ini dan semua pihak yang terlibat dalam penelitian ini.
Referensi [1] Akker,et al., 2006, Education Design Research, Routledge Taylor and Francis Group. [2] Ormrod, Jeanne Ellis., 2009, Psikologi Pendidikan; Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Erlangga. [3] Papadakis, S., Kalogiannakis, M., & Zaranis, N., 2016, Improving Mathematics Teaching in Kindergarten with Realistic Mathematical Education, Early Childhood Educ J, Springer. [4] Sudono, Anggani., 2004, Sumber Belajar dan Alat Permainan (Untuk Pendidikan Anak Usia Dini), Grasindo. [5] Suhendi, A., dkk., 2001, Mainan dan Permainan, PT.Gramedia. [6] Zulkardi., 2002, Developing A Learning Environment on Realistik Mathematics Education for Indonesian Student Teachers, Twente University.
1023
Prosiding SNM 2017 Pen d i di ka n , Ha l 10 24 -10 34
PENGARUH PENGETAHUAN MATEMATIKA UNTUK MENGAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA SUGILAR Program Sudi Pendidikan Matematika, Universitas Terbuka,
[email protected]
Abstrak. Tujuan penelitian ini ialah menguji hipotesis bahwa pengetahuan matematika untuk mengajar yang dimiliki guru, yang terdiri dari (1) pengetahuan matematika umum (common mathematical knowledge), (2) pengetahuan matematika wawasan (horizon mathematical knowledge), dan (3) pengetahuan matematika khusus (speialized mathematical knowledge), berpengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa. Hasil belajar siswa dibatasi pada materi pembagian bilangan pecahan di sekolah dasar. Metoda yang digunakan ialah quasi-eksperimen dengan rancangan faktorial 2 3 . Sampel penelitian ini terdiri dari 63 guru dan 1217 siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan matematika umum, pengetahuan matematika wawasan, dan pengetahuan matematika khusus berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa dalam matematika. Kata kunci: pengetahuan matematika umum, pengetahuan matematika khusus, pengetahuan matematika wawasan, pembagian bilangan pecahan.
1. Pendahuluan Untuk mengajar matematika secara efektif, seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai materi yang diajarkan saja, tetapi juga materi matematika lain baik yang terkait langsung dengan materi yang diajarkan maupun yang tidak terkait langsung. Delaney [1] menyatakan bahwa pengetahuan matematika untuk mengajar mengandung pengetahuan matematika yang akan diajarkan, tetapi lebih dari itu. Lebih lanjut, Delaney menjelaskan bahwa bagi orang yang bukan guru dapat menjawab perkalian 35 x 25 dengan benar saja sudah cukup, tetapi bagi seorang guru itu belum cukup. Pengetahuan matematika untuk mengajar yang dimiliki seorang guru, menurut Lo dan Luo [2] digunakan untuk memeriksa berbagai metoda alternatif penyelesaian, memeriksa struktur matematika, dan menilai apakah penyelesaian tersebut dapat digeneralisasikan atau tidak. Pengetahuan matematika untuk mengajar seperti apakah yang perlu dikuasai oleh seorang guru yang mengajar matematika? Salah satu skema pengetahuan matematika untuk mengajar yang banyak digunakan dalam pendidikan matematika ialah yang diajukan oleh Ball, Thames, dan Phelps [3], seperti ditampilkan pada Gambar 1.
1024
Gambar 1. Komponen Pengetahuan Matematika untuk Mengajar Tujuan penelitian ini adalah menguji hipotesis bahwa, untuk materi pembagian bilangan pecahan di sekolah dasar, pengetahuan matematika umum (PMU), pengetahuan matematika khusus (PMK), dan pengetahuan matematika wawasan (PMW) berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa. Pemilihan isi materi pembagian bilangan pecahan didasarkan pada pentingnya pemahaman mengenai bilangan pecahan di sekolah dasar, seperti yang dinyatakan oleh Lo & Luo [2] bahwa (1) bilangan pecahan merupakan topik yang dipandang menantang untuk dipelajari oleh siswa dan diajarkan oleh guru, (2) penguasaan materi bilangan pecahan merupakan prasyarat untuk mempelajari aljabar, dan (3) pembagian bilangan pecahan melibatkan satuan pecahan yang mencakup semua konsep dan keterampilan yang terkait dengan pecahan. 2. Kajian Pustaka 2.1 Pengetahuan Matematika Umum (PMU) untuk Mengajar Pengetahuan matematika umum merupakan pengetahuan yang diperlukan untuk memecahkan masalah matematika dan menjelaskan strategi penyelesaian yang diharapkan siswa. Pengetahuan matematika umum meliputi pengetahuan matematika yang diajarkan kepada siswa. Livy, Vale, & Herbert [4] menyatakan bahwa pengetahuan matematika umum memungkinkan guru mengetahui matematika yang diajarkan. Dalam kurikulum 2013 untuk SD/MI, materi bilangan pecahan mulai diberikan untuk kelas III. Kompetensi dasar yang dituntut untuk SD/MI dari kelas III sampai kelas VI adalah sebagai berikut ditampilkan pada Tabel 1. Sugilar [5] mengidentifikasi kompetensi pengetahuan matematika umum untuk mengajar pembagian bilangan pecahan di sekolah dasar. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa untuk mengajar pembagian bilangan pecahan di sekolah dasar secara efektif, guru dituntut menguasai pengetahuan matematika umum yang meliputi (1) operasi hitung yang melibatkan berbagai bentuk pecahan (pecahan biasa, campuran, desimal dan persen), (2) menguraikan suatu bilangan pecahan sebagai hasil penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian dua buah pecahan yang dinyatakan dalam desimal dan persen, (3) menyelesaikan soal cerita yang melibatkan pembagian bilangan pecahan. Hasil ini didasarkan pada metoda Delphi yang diikuti oleh 23 pakar pendidikan matematika terhadap yang dirumuskan dari kompetensi dasar pada kurikulum 2013 seperti tampak pada Tabel 1.
1025
Tabel 1. Kompetensi Dasar mengenai Bilangan Pecahan pada Kurikulum 2013 untuk Kelas III –VI Kelas III
IV
V
VI
Kompetensi Dasar Memahami konsep pecahan sederhana menggunakan bendabenda yang konkrit/gambar, serta menentukan nilai terkecil dan terbesar Mengenal pecahan dan bilangan desimal, serta dapat melakukan penambahan dan pengurangan pecahan berpenyebut sama Mengenal konsep pecahan senilai danmelakukan operasi hitung pecahanmenggunakan benda kongkrit/gambar Memahami pecahan senilai dan operasi hitung pecahan menggunakan benda kongkrit/gambar Menyatakan pecahan ke bentuk desimal dan persen Mengurai sebuah pecahan menjadi sebagai hasil penjumlahan atau pengurangan dua buah pecahan lainnya dengan berbagai kemungkinan jawaban Memahami berbagai bentuk pecahan (pecahan biasa, campuran, desimal dan persen) dan dapat mengubah bilangan pecahan menjadi bilangan desimal, serta melakukan perkailan dan pembagian Memahami berbagai bentuk pecahan (pecahan biasa, campuran, desimal dan persen) dan dapat mengubah bilangan pecahan menjadi bilangan desimal Mengurai sebuah pecahan sebagai hasil penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian dua buah pecahan yang dinyatakan dalam desimal dan persen dengan berbagai kemungkinan jawaban Memahami operasi hitung yang melibatkan berbagai bentuk pecahan (pecahan biasa, campuran, desimal dan persen) Memahami dan melakukan operasi hitung yang melibatkan berbagai bentuk pecahan (pecahan biasa, campuran, desimal dan persen)
Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan [6] 2.2 Pengetahuan Matematika Khusus (PMK) untuk Mengajar Pengetahuan matematika khusus untuk mengajar merujuk pada pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan secara unik oleh guru. Contoh pengetahuan matematika khusus untuk mengajar matematika ialah menentukan kebenaran penyelesaian yang tidak baku terhadap suatu masalah matematika. Untuk dapat mengajarkan pembagian bilangan pecahan, guru juga perlu dibekali dengan materi pembagian yang lebih luas. Olanoff [7] merangkumkan materi yang dapat diberikan
1026
kepada calon guru atau guru yang mengajar pembagian bilangan pecahan, sebagai berikut: • Pembagian sering diajarkan dengan menggunakan dua penafsiran, yaitu model partitif (partitive) atau model berbagi dan model kuotitif (quotative) atau pengurangan berulang. • Dalam model partitif atau berbagi, masalah 20:5 dapat diartikan sebagai berbagi 20 hal di antara 5 orang dalam waktu yang bersamaan dan menentukan setiap orang dapat berapa. • Dalam model kuotif, pengukuran, atau pengurangan berulang, masalah 20:5 diartikan sebagai menyerahkan 5-an sampai yang dipunyai sebanyak 20 habis semua dan menentukan berapa banyak orang yang mendapatkannya. • Dari kedua model tersebut, banyak masalah nyata yang dapat diselesaikan dengan model pengurangan berulang dalam mengajarkan pembagian bilangan pecahan di sekolah dasar. Misalnya, kita memiliki 5 ½ kilogram permen, memberikan ½ kilogram untuk setiap teman, berapa teman yang mendapatkan permen? Masalah seperti ini dapat diselesaikan melalui pengurangan berulang, yaitu mengurangi 5 ½ dengan ½ sampai tidak ada yang tersisa. • Model ketiga adalah perkalian dan faktor. Dalam model ini, pembagian dinyatakan sebagai balikan (inverse) dari perkalian. Soal cerita menggunakan model ini sebagai berikut: Suatu persegi panjang memiliki luas 6 ½ meter. Jika panjang persegi panjang tersebut 3 ¼ meter, berapa lebar persegi panjang tersebut? Masalah ini memerlukan pembagian 6 ½ dengan 3 ¼ yang memiliki jawaban 2 meter untuk lebar persegi panjang tersebut. Pada dasarnya ini merupakan pertanyaan, berapa yang harus dikalikan dari 3 ¼ untuk mendapatkan 6 ½? • Pemahaman tradisional tentang balikan-dan-kalikan sebagai algoritma pembagian lebih mudah dipahami bilamana dilihat dari model partitif pembagian. • Untuk memahami pembagian bilangan pecahan, seseorang perlu memahami gagasan hubungan perkalian dan pembagian, bahwa membagi dengan suatu bilangan sama dengan mengalikan dengan kebalikan bilangan tersebut. 2.3 Pengetahuan Matematika Wawasan untuk Mengajar Pengetahuan matematika wawasan untuk mengajar merupakan pengetahuan matematika lanjut yang tidak secara langsung muncul secara eksplisit dalam pengajaran matematika oleh guru di kelasnya. Menurut Jakobsen, Thames, Ribeiro, & Delaney [8], pengetahuan matematika lanjut sebagai wawasan diperlukan oleh guru meskipun dia mengajar di sekolah dasar. Lebih lanjut Jakobsen, Thames, Ribeiro, & Delaney [8] menjelaskan bahwa dengan menguasai matematika lanjut yang berkaitan dengan matematika yang diajarkannya guru tersebut akan (1) memahami bahwa matematika yang diajarkan memiliki kaitan dengan matematika yang lebih luas, (2) memiliki kompetensi untuk mengembangkan intuisi terkait perenungan terhadap matematika yang diajarkannya, dan (3) memiliki sumber yang diperlukan untuk mengenali pengetahuan matematika untuk mengajar secara lebih luas. Meskipun demikian, pengetahuan matematika wawasan untuk mengajar belum cukup mendapat perhatian dalam khasanah pendidikan matematika bagi guru, sebagaimana disampaikan oleh Mosvold & Fauskanger [9]: Although horizon mathematical content knowledge is included in the framework of MKT, and researchers seem to agree about its importance, there is still a lack of empirical
1027
evidence both for the existence and importance of this particular aspect of teacher knowledge. Sugilar [10] melakukan identifikasi pengetahuan matematika wawasan untuk mengajar pembagian bilangan pecahan di sekolah dasar dan menghasilkan delapan butir, yaitu: (1) definisi formal bilangan rasional, (2) himpunan bilangan rasional sebagai himpunan tak terhingga dan terbilang, (3) bukti bahwa himpunan bilangan rasional terbilang, (4) operasi dalam bilangan rasional, (5) kesamaan dua bilangan rasional, (6) kelas ekivalen bilangan rasional dalam relasi kesamaan, (7) himpunan bilangan rasional sebagai sebuah grup, dan (8) pembagian sebagai invers perkalian,
a a b 1 a b 1 dimana 𝑏 ≠ 0. yaitu: a : b 1 b bb 3. Metoda Penelitian 3.1 Metoda Penelitian Metoda penelitian ini menggunakan rancangan quasi-eksperimen dengan desain faktorial 23, yaitu tiga variabel independen, yaitu penguasaan guru terhadap PMU, PMW, dan PMK untuk mengajar pembagian bilangan pecahan di sekolah dasar, dengan masing-masing dua taraf tinggi dan rendah. Variabel dependen pada penelitian ini ialah penguasaan siswa terhadap pembagian bilangan pecahan yang diajarkan oleh guruyang memiliki n variasi taraf penguasaan terhadap PMU, PMW, dan PMK. Penelitian ini menggunakan rancangan quasi-experimen, bukan eksperimen sebenarnya, disebabkan oleh keterbatasan dalam penetapan siswa kedalam perlakuan yang tidak dapat ditetapkan secara acak karena siswa tersebut sudah melekat pada guru tertentu. Quasi-eksperimen banyak digunakan dalam penelitian pendidikan karena keterbatasan randomisasi subyek penelitian kedalam kelompok perlakuan. Meskipun memiliki keterbatasan dalam hal validitas internal, quasieksperimen memiliki kelebihan dalam hal generalisasi hasil penelitian (Glass & Hopkins, [11]). 3.2 Prosedur Penelitian Prosedur penelitian ini mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
Sebanyak 63 guru dipilih dari tiga kabupaten di provinsi Bengkulu berdasarkan usulan dari kantor dinas pendidikan setempat untuk diberikan pelatihan ketiga komponen pengetahuan matematika untuk mengajar. Pada akhir pelatihan, guru-guru peserta pelatihan tersebut mendapatkan test ketiga komponen pengetahuan matematika untuk mengajar. Pada tahap inilah dilakukan pengukuran variabel independen. Berdasarkan hasil test untuk tiap komponen pengetahuan matematika untuk mengajar, guru-guru tersebut dikelompokkan kedalam kelompok guru dengan penguasaan tinggi dan rendah untuk tiap komponen pengetahuan matematika untuk mengajar. Guru-guru tersebut kemudian mengajar pembagian bilangan pecahan kepada siswanya di kelas masing-masing, dengan total jumlah siswa sebanyak 1217 siswa. Pada akhir pengajaran siswa mendapatkan test penguasaan pembagian bilangan pecahan, yang diperoleh sebanyak 1152 skor siswa dalam tes
1028
pembagian bilangan pecahan. Pada tahap inilah dilakukan pengukuran variabel dependen. 3.3 Teknik Analisis Data
Analisis data untuk menguji perbedaan perlakuan menggunakan teknik analisis data ANOVA dengan pengaturan sel 2x2x2, yaitu setiap variabel dari tiga variabel (PMU, PMK, dan PMW) yang diperoleh dari guru yang mengajar matematika di sekolah dasar akan membentuk masing dua sel dengan isi sel merupakan skor nilai hasil belajar siswa dalam pembagian bilangan pecahan. 4. Hasil Penelitian 4.1 Deskripsi Hasil Penelitian Tabel 2 terdiri dari delapan baris, yaitu 23 atau 2x2x2, yang dibentuk oleh tiga variable dengan masing-masing dua taraf. Untuk selanjutya, setiap baris akan dinyatakan dengan menyebutkan taraf (tinggi atau rendah) pada setiap variabel dengan urutan PMU-PMW-PMK. Misalnya Rendah-Rendah-Rendah memiliki nilai rata-rata 29,76. Sedangkan Tinggi-Rendah-Tinggi memiliki nilai rata-rata 34,00. Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata hasil belajar siswa pada TinggiTinggi-Tinggi, yang menunjukkanbahwa siswa tersebut diajar oleh guru yang memiliki taraf penguasaan guru yang tinggi terhadap masing-masing ketiga komponen pengetahuan matematika untuk mengajar, yaitu PMU, PMW, dan PMK memberikan rata-rata hasil belajar siswa yang paling tinggi, yaitu 63,75. Sebaliknya, rata-rata hasil belajar siswa yang paling rendah, yaitu sebesar 16,87 terdapat pada kemlompok siswa Rendah-Tinggi_Rendah, yaitu kelompok siswa yang diajar oleh guru dengan PMU dan PMK yang rendah, meskipun dengan PMW yang tinggi. Dengan demikian analisis lebih lanjut perlu difokuskan pada adanya interaksi antara PMU dan PMK dengan PMW. Tabel 2. Hasil Belajar Siswa Berdasarkan Taraf Penguasaan Guru terhadap Komponen PMM PMU
PMW Rendah
Rendah Tinggi Rendah Tinggi Tinggi
PMK
Mean
Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi
29.76 38.93 16.87 38.22 34.22 34.00 40.21 63.75
Std. Deviation 20.59 21.26 12.77 19.81 23.94 16.57 22.04 12.43
Keterangan: PMU = Pengetahuan Matematika Umum PMW = Pengetahuan Matematika Wawasan PMK = Pengetahuan Matematika Khusus
1029
N 181 87 60 293 252 118 216 10
Guru dengan PMU yang tinggi tidak serta merta memberikan nilai rata-rata hasil belajar siswa yang lebih tinggi dibandingkan dengan guru dengan PMU rendah. Misalnya, siswa pada kelompok Tinggi-Rendah-Tinggi sebesar 34.00 justru lebih rendah dibandingkan rata-rata nilai hasil belajar siswa yang diajar oleh guru dengan Rendah-Rendah-Tinggi yang mencapai rata-rata 38.93. Hal ini juga menyarankan untuk menganalisis adanya interaksi antar variabel independen. Siswa yang diajar oleh guru yang memiliki PMK yang tinggi cederung memiliki niai rata-rata hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata hasil belajar siswa yang diajar oleh guru dengan PMK yang rendah. Pengecualian hanya terjadi untuk guru dengan PMU yang tinggi yang masih tetap memberikan hasil belajar yang sedikit lebih tinggi, seperti terlihat pada kasus Tinggi-RendahTinggi dengan nilai rata-rata 34.00 dengan Tinggi-Rendah-Rendah dengan nilai ratarata 34.22. Hasil analisis yang tertera pada Tabel 2 menunjukkan bahwa taraf penguasaan guru yang tinggi terhadap masing-masing ketiga komponen pengetahuan matematika untuk mengajar, yaitu PMU, PMW, dan PMK memberikan rata-rata hasil belajar siswa yang paling tinggi, yaitu 63,75. Sebaliknya, rata-rata hasil belajar siswa yang paling rendah, yaitu sebesar 16,87 dihasilkan oleh pengajaan oleh guru dengan PMU dan PMK yang rendah, meskipun dengan PMW yang tinggi. Dengan demikian analisis lebih lanjut perlu difokuskan pada adanya interaksi antara PMU dan PMK dengan PMW. Siswa yang diajar oleh guru yang memiliki PMK yang tinggi cederung memiliki niai rata-rata hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata hasil belajar siswa yang diajar oleh guru dengan PMK yang rendah. Pengecualian hanya terjadi untuk guru dengan PMU yang tinggi yang masih tetap memberikan hasil belajar yang sedikit lebih tinggi, seperti terlihat pada kasus Tinggi-RendahTinggi dengan nilai rata-rata 34.00 dengan Tinggi-Rendah-Rendah dengan nilai ratarata 34.22. 4.2 Pengujian Efek Komponen PMM Tabel 3 menyajikan hasil analisis untuk menguji efek penguasaan guru pada masing-masing komponen pengetahuan matematika untuk mengajar (PMU, PMW, dan PMK) terhadap hasil belajar siswa. Tabel 3. ANOVA 2X2X2 Source
Sum of Squre
df
Mean Square
F
Sig.
PMU PMW PMK PMU * PMW PMU * PMK PMW * PMK PMU * PMW * PMK
15193.35 3178.81 18795.13 15791.24 337.53 8373.91 868.79
1 1 1 1 1 1 1
15193.35 3178.81 18795.13 15791.24 337.53 8373.91 868.79
35.23 7.37 43.58 36.61 0.78 19.42 2.01
0.00 0.01 0.00 0.00 0.38 0.00 0.16
Error
521463.90
1209
431.32
1030
Total
2080625.00
1217
Corrected Total 564846.45 1216 Keterangan [12]: df = derajat kebebasan F = statistik untuk uji beda Sig. = signifikansi perbedaan Corrected Total = jumlah kuadrat total Tabel 3 menunjukkan bahwa (1) penguasaan guru pada komponen PMU berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa (F=35.23, p<0.05), (2) PMW yang dimiliki guru berpengaruh signifikan terhadap hasil (F=7.37, p<0.05), dan (3) PMK yang dikuasai guru berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar siswa (F=43.58, p<0.05). Dari Tabel 3 juga dapat dilihat bahwa terdapat interaksi antara PMU dan PMW (F=36.61, p<0.05) dan interaksi antara PMW dan PMK (F=19.42, p<0.01). Efek dari PMU, PMW, dan PMK bervariasi seperti terlihat pada nilai statistik F. Tabel 3 memperlihatkan bahwa PMK memiliki efek yang paling besar terhadap hasil belajar siswa dibandingkan dua variabel pengetahuan matematika untuk mengajar lainnya. Nilai F yang ditunjukkan oleh variabel PMK adalah sebesar 43.58 yang berpadanan dengan nilai effect size (ditunjukkan melalui partial eta squared) sebesar 0.035. Ini menunjukkan bahwa derajat hubungan antara kategori penguasaan guru dalam PMK (tinggi dan rendah) dengan skor siswa dalam hasil belajar pembagian bilangan pecahan sebesar 0.035. Derajat korelasi atau hubungan sebesar 0.035 menunjukkan bahwa kontribusi variasi kategori guru dalam PMK untuk mengajar pembagian bilangan pecahan ialah sebesar 3,5% terhadap variasi skor siswa dalam hasil belajar pembagian bilangan pecahan. Efek dari PMW untuk mengajar pembagian bilangan pecahan yang dimiliki guru terhadap hasil belajar siswa dalam pembagian bilangan pecahan ditunjukkan oleh nilai F sebesar 7.37. Ini merupakan besaran efek paling kecil dibandingkan efek yang diberikan oleh dua variabel lainnya. Efek size dari PMW yang dimiliki guru ditunjukkan oleh derajat hubungan sebesar 0.006. Ini berarti variasi kategori guru dalam PMW berkontribusi sebesar 0.6% terhadap variasi skor hasil belajar siswa. Meskipun kontribusi variasi kategori guru dalam PMW terhadap skor hasil belajar siswa menunjukkan nilai yang paling kecil dibandingkan kedua variabel lain dalam penelitian ini, namun PMW menunjukkan efek terhadap hasil belajar siswa melalui interaksi dengan kedua variabel lain. Efek dari PMU terhadap hasil belajar siswa pada penelitian ini ditunjukkan oleh nilai F sebesar 35.23. Besaran ini berpadanan dengan nilai effect size sebesar 0.028. Ini menunjukkan bahwa kontribusi kategori guru dalam PMU terhadap skor hasil belajar siswa ialah sebesar 2,8%. Ini merupakan besaran yang lebih besar dari efek PMW tetapi lebih kecil dari efek PMU. Berdasarkan pembahasan di atas, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan dari masing-masing variabel PMU, PMK, dan PMW yang dimiliki guru untuk mengajar matematika di sekolah terhadap hasil belajar siswa dalam materi pembagian bilangan pecahan. Meskipun demikian, besaran efek dari ketiga variabel tersebut, yang ditunjukkan oleh besaran kontribusi variasi kategori dalam variabel independen terhadap variasi skor variabel dependen, tidak ada yang melebihi 5%.
1031
4.3 Interaksi Interaksi antara PMU dan PMW terlihat pada Gambar 2. Untuk guru dengan PMW yang tinggi tampak bahwa PMU guru memberikan efek yang signifikan (garis tidak putus-putus), yang memperlihatkan perbedaan hasil belajar siswa yang berbeda mencolok antara siswa yang diajar oleh guru dengan PMU rendah dan PMU tinggi. Sedangkan untuk guru dengan PMW rendah, perbedaan hasil belajar siswa yang diajar oleh guru dengan PMU rendah dan tinggi menunjukkan hasil belajar siswa yang hampir sama (garis putus-putus).
Gambar 2. Interaksi PMU dan PMW Hasil ini menunjukkan bahwa PMU yang dikuasai guru memiliki pengaruh positif terhadap hasil belajar siswa bilamana guru tersebut menguasai PMW pada taraf yang tinggi. Dengan demikian, meningkatkan PMU saja belumlah cukup, perlu disertai dengan peningkatan PMW. Ini membuktikan bahwa penguasaan guru terhadap materi matematika yang diajarkan perlu ditunjang oleh penguasaan guru terhadap materi matematika yang lebih lanjut untuk memberikan pengajaran yang lebih bermutu yang tercermin dari hasil belajar siswa. Dari Gambar 3 tampak bahwa PMK dan PMW berinteraksi dalam mempengaruhi hasil belajar siswa. Guru dengan PMW yang tinggi dan juga PMK yang tinggi memberikan perbedaan yang sangat besar dalam hasil belajar dibandingkan dengan guru dengan PMW yang tinggi dan PMK yang rendah. Akan tetapi, untuk PMW yang rendah (garis putusputus), perbedaan tersebut tidak sebesar untuk PMW yang tinggi, meskipun tetap bahwa siswa yang diajar oleh guru dengan PMK tinggi memiliki hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan hasil belajar siswa yang diajar oleh guru dengan PMK rendah.
1032
Gambar 3. Interaksi PMK dan PMW Gambar 3 memberikan deskripsi bahwa PMK yang dimiliki guru efektif dalam mencapai hasil belajar siswa, tetapi penguasaan guru terhadap PMW memberikan hasil belajar siswa yang lebih baik lagi. Hasil ini menunjukkan bahwa penguasaan guru terhadap PMK memang efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa, tetapi bilamana guru tersebut juga menguasai PMW dengan baik maka pengajaran yang dilaksanakan oleh guru tersebut akan menghasilkan hasil belajar siswa yang lebih baik lagi. Pembahasan di atas menunjukkan bahwa PMW yang dikuasai guru memberikan pengaruh positif dan siginifikan terhadap hasil belajar siswa. Seperti telah diperlihatkan pada pembahasan sebelumnya, pengaruh PMW guru terhadap hasil belajar siswa tidak sebesar pengaruh PMU maupun PMK yang dikuasai guru. Dengan perkataan lain, varabel PMW merupakan variabel yang palng memberikan efek terkecil terhadap hasil belajar siswa dibandingkan dengan dua variabel lainnya dalam penelitian ini. Meskipun demikian pembahasan interaksi antar variabel independen memperlihatkan bahwa variabel PMW memberikan efek tidak langsung terhadap hasil belajar siswa melalui interaksi dengan variabel lainnya, yaitu variabel PMU dan PMK. 5. Kesimpulan PMU, PMW, dan PMK untuk mengajar pembagian bilangan pecahan di sekolah dasar yang dikuasai guru berpengaruh positif dan siginifikan terhadap hasil belajar siswa dalam pembagian bilangan pecahan. Effect size variabel PMU, PMW, dan PMK terhadap hasil belajar siswa masing-masing sebesar 0.035, 0.006, 0.028. Ini berarti, variasi kategori guru dalam kategori tinggi dan rendah untuk penguasaan PMU, PMW, dan PMK masing-masing 3.5%, 0.6%, 2,8%. Variabel PMW merupakan variabel yang berinteraksi secara signifikan dengan variabel PMU dan PMK untuk memberikan pengaruh terhadap hasil belajar siswa. Guru dengan kategori PMW yang tinggi membedakan secara berarti hasil belajar antara kelompok siswa yang diajar oleh guru dengan PMU kategori rendah dengan kelompok siswa yang diajar oleh guru dengan PMU kategori tinggi. Hal yang sama juga berlaku untuk variabel PMK, guru dengan kategori PMW yang tinggi membedakan secara berarti hasil belajar antara kelompok siswa yang diajar oleh guru dengan PMK kategori rendah dengan kelompok siswa yang diajar oleh guru
1033
dengan PMK kategori tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PMW merupakan variabel yang meskipun tidak banyak berpengaruh langsung terhadap hasil belajar siswa, tetapi memberikan pengaruh yang nyata melalui interaksi dengan variabel PMU dan PMK terhadap hasil belajar siswa. Pernyataan terima kasih. Makalah ini merupakan hasil penelitian yang dibiayai oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Terbuka (LPPM -UT). Oleh karena itu, pada kesempatan ini disampaikan terima kasih yang sebesar -besarnya kepada pimpinan LPPM -UT dan Rektor Universitas Terbuka.
Referensi [1] Delaney, F.D. (2008). Adapting and using U.S. measures to study Irish teachers’ mathematical knowledge for teaching (Doctoral Dissertation). Retrieved from: https://deepblue.lib.umich.edu/bitstream/handle/2027.42/60756/sdelaney_1.pdf%3Bse quence=1 [2] Lo, J., J. & Luo, F. (2012). Prospective Elementary Teachers’ Knowledge of Fraction Division. J. Math Teacher Educ 5:481-500. [3] Ball, D. L., Bass, H., Sleep, L., & Thames, M. (2005). A theory of mathematical knowledge for teaching. Paper presented at the The Fifteenth ICMI Study: The Professional Education and Development of Teachers of Mathematics, 15-21 May 2005, State University of Sao Paolo at Rio Claro, Brazil. Diunduh 20 Juni 2015 dari http://stwww.weizmann.ac.il/G-math/ICMI/log_in.html. [4] Livy, S. L., Vale, C., & Herbert, S. (2016). Developing Primary Pre-service Teachers' Mathematical Content Knowledge During Practicum Teaching. Australian Journal of Teacher Education, 41(2). Accessed from: http://dx.doi.org/10.14221/ajte.2016v41n2.10. [5] Sugilar. (2014). Identifikasi pengetahuan matematika untuk mengajar pembagian bilangan pecahan di sekolah dasar. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Program Studi Matematika, FST Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. [6] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Kompetensi inti – Kompetensi dasar SD. Diakses dari: http://kurikulum.kemdikbud.go.id/downloads [7] Olanoff, Dana E. (2011). "Mathematical Knowledge for Teaching Teachers: The Case of Multiplication and Division of Fractions", Mathematics - Dissertations. Paper 64. [8] Jakobsen, A., Thames, M. H., Ribeiro, C. M., & Delaney, S. (2012). Using practice to define and distinguish horizon content knowledge. In Proceeding of the 12th International Congress on Mathematics Education, 8th-15th July, 2012 (pp. 4635 – 4644), COEX, Seoul, Korea. [9] Mosvold, R., & Fauskanger, J. (2012). “Translating and Adapting the Mathematical Knowledge for Teaching (MKT) Measures: The Cases of Indonesia and Norway”, The Mathematics Enthusiast, ISSN 1551-3440, 9(1), pp.149-178. [10] Sugilar, (2016). Identification of horizon mathematical knowledge for teaching fraction division at elementary schools. IEJME-Mathematics Education, 11(8), 3160-3175. [11] Glass, G. V. & Hopkins, K. D. (1996). Statistical Methods in Education & Psychology, Third Edition. Boston: Allyn & Bacon. [12] Howell, D.C. (2002). Factorial Anova. Diakses dari: https://www.uvm.edu /~dhowell/gradstat/psych341/lectures/Factorial1Folder/class4.html.
1034
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 1035-1044
UPAYA PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG PERKALIAN SISWA KELAS VII SMP PGRI 184 LEGOK MELALUI PEMBERIAN LATIHAN DALAM BENTUK CROSS NUMBER PUZZLE DAMIRA KOGOYA1, PETER JOHN2, BUDI UTAMI3 1 Pendidikan Matematika STKIP Surya,
[email protected] 2 Pendidikan Matematika STKIP Surya,
[email protected] 3 Pendidikan Matematika STKIP Surya,
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya keterampilan berhitung perkalian siswa kelas VII SMP PGRI 184 Legok. Sementara keterampilan berhitung perkalian merupakan salah satu keterampilan yang penting dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan keterampilan berhitung perkalian siswa dengan cara memberikan latihan perkalian dalam bentuk Cross Number Puzzle (CNP). CNP adalah permainan yang serupa dengan teka-teki silang (TTS), tetapi dalam permainan ini kata-kata pada TTS diganti dengan soal perkalian. Pemberian latihan perkalian dalam bentuk permainan diharapkan mampu meningkatkan keterampilan berhitung perkalian siswa. Bentuk penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang terdiri dari dua siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahap yaitu, perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Subjek penelitian ini adalah 25 siswa kelas VII A SMP PGRI 184 Legok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian latihan perkalian dalam bentuk CNP dapat meningkatkan keterampilan berhitung perkalian siswa. Hal ini ditunjukkan dari hasil tes perkalian siswa yang mengalami peningkatan di setiap siklusnya. Pada tes awal diketahui dari 25 siswa, sebanyak 20 siswa termasuk dalam kategori kurang terampil, 2 siswa cukup terampil, dan 3 siswa terampil. Pada siklus I, 88% siswa mengalami peningkatan keterampilan berhitung perkalian dengan rincian 11 siswa berada pada kategori kurang terampil, 8 siswa cukup terampil, dan 6 siswa terampil. Pada siklus II, 84% siswa mengalami peningkatan berhitung perkalian dengan rincian 6 siswa berada pada kategori kurang terampil, 5 siswa cukup terampil, dan 14 siswa terampil. Kata kunci : keterampilan berhitung perkalian, cross number puzzle (CNP).
1. Pendahuluan Keterampilan berhitung adalah penting dalam pembelajaran matematika. Sayangnya, masih ada siswa yang mengalami kesulitan dalam berhitung. Beberapa guru dari sejumlah sekolah di Kabupaten Purwakarta menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika masih ada siswa yang mengalami kesulitan dalam mempelajari operasi hitung, terutama operasi hitung perkalian [3]. Hal serupa juga ditemukan pada beberapa siswa di Kabupaten Malang yang menganggap matematika sebagai pelajaran yang paling sulit terutama menghitung perkalian [2]. Padahal, operasi hitung perkalian diperlukan pada materi-materi lain dalam
1035
pembelajaran matematika, seperti geometri, aljabar, dan sebagainya [3]. Kesulitan berhitung perkalian juga ditemui pada siswa di SMP PGRI 184 Legok. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru matematika sekolah tersebut, diketahui bahwa salah satu kendala yang dialami siswa dalam proses pembelajaran adalah rendahnya keterampilan berhitung perkalian. Hasil wawancara dengan beberapa siswa di sekolah tersebut juga menunjukkan bahwa mereka mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal perkalian. Gambar 1 menunjukkan contoh hasil kerja siswa dari sekolah tersebut.
(a) (b) Gambar 1. Contoh Kesalahan Berhitung Perkalian Gambar 1(a) menunjukkan kesalahan siswa saat menghitung perkalian dasar, yaitu saat siswa menghitung 6 × 3. Sementara pada Gambar 1(b), kesalahan yang dilakukan ada pada prosedur perkalian yang digunakan. Guru sudah melakukan beberapa cara untuk mengatasi masalah berhitung perkalian siswa, diantaranya adalah (1) mengingatkan kembali bagaimana perkalian sebelum pembelajaran materi dimulai; (2) menghindari penggunaan kalkulator ketika menghitung; dan (3) meminta siswa menuliskan cara perhitungan dengan lengkap ketika menjawab soal. Hasilnya lebih banyak siswa yang ingin berhasil dalam berhitung, tetapi kemampuan berhitung siswa secara umum belum meningkat. Untuk itu, perlu dilakukan upaya tambahan untuk meningkatkan keterampilan berhitung perkalian siswa. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan latihan berulang dalam bentuk permainan [1, 5, 6]. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti memfokuskan penelitian ini pada peningkatan keterampilan berhitung perkalian siswa kelas VII A SMP PGRI 184 Legok dengan latihan perkalian dalam bentuk Cross Number Puzzle.
1036
2. Kajian Teori A. Keterampilan Berhitung Perkalian Keterampilan berhitung adalah kemampuan untuk menyelesaikan tugas hitung-hitungan seperti menjumlahkan, mengurangi, mengali, dan sebagainya. Secara spesifik, keterampilan berhitung perkalian adalah kemampuan untuk menyelesaikan tugas perhitungan matematika pada materi perkalian. Keterampilan berhitung perkalian mulai dipelajari siswa sejak kelas II SD. Konsep keterampilan berhitung perkalian ini ditanamkan sebagai penjumlahan berulang yang dimulai dari perkalian bilangan satu digit, seperti perkalian 3 × 5 atau 6 × 7, lalu perkalian bilangan dua digit dan satu digit, dua digit dan dua digit, dan selanjutnya. Secara garis besar, tahapan tersebut juga disebutkan oleh Surya [4]. Lebih lanjut, Surya [4] membagi tahapan perkalian bilangan lebih dari satu digit menjadi perkalian tanpa menyimpan dan perkalian dengan menyimpan. Perkalian bilangan lebih dari satu digit tanpa menyimpan, contohnya 34 × 2. Pertama, dihitung 3 puluhan dikali 2 satuan hasilnya 6 puluhan. Lalu, 4 satuan dikali 2 satuan hasilnya 8 satuan, maka hasil dari 34 × 2 hasilnya 6 puluhan dan 8 satuan atau 68. Pada proses perkalian ini, ketika mengalikan angka satuan dengan satuan diperoleh bilangan satu digit. Hal ini mengakibatkan tidak ada yang perlu ditambahkan pada hasil proses perhitungan selanjutnya. Dengan kata lain, tidak ada bilangan yang disimpan. Perkalian bilangan lebih dari satu digit dengan menyimpan, contohnya 27 × 3. Pertama, dihitung 2 puluhan kali 3 satuan hasilnya 6 puluhan. Lalu, 7 satuan kali 3 satuan hasilnya 21, 2 puluhan disimpan dan 1 satuan ditulis. Jadi hasil dari 27 × 3 adalah 8 puluhan dan 1 satuan atau 81. Pada proses perkalian ini, ketika mengalikan angka satuan dengan satuan diperoleh hasilnya bilangan dua digit. Angka puluhan dari bilangan ini disimpan untuk dijumlahkan dengan hasil perhitungan pada langkah selanjutnya. Untuk contoh ini, 2 puluhan disimpan dan kemudian dijumlahkan dengan hasil perhitungan sebelumnya, yaitu 6 puluhan. B. Cross Number Puzzle (CNP) Cross Number Puzzle (CNP) adalah permainan yang serupa dengan teka-teki silang (TTS), tetapi dalam permainan ini kata-kata pada TTS diganti dengan angka, petunjuk kata diganti dengan soal matematika dan nomor soal diganti dengan huruf [7]. Contoh dari CNP dapat dilihat pada Gambar 2. Aturan pengisian permainan CNP adalah sebagai berikut. 1. Setiap kotak diisi satu angka; 2. Bagian menurun diisi dari atas ke bawah; 3. Bagian mendatar diisi dari kiri ke kanan; 4. Pengisian kotak dilakukan sesuai dengan urutan nilai tempat. Pada Gambar 2, bagian A menurun diisi bilangan 24 yang merupakan jawaban dari soal A menurun, yaitu 6 × 4. Jawaban soal tersebut terdiri dari dua angka, yaitu 2 dan 4, yang dituliskan pada kolom yang ditandai dengan huruf A. Masing-masing angka tersebut ditulis pada kolom kedua baris pertama dan kolom kedua baris kedua. Kemudian bagian A mendatar diisi bilangan 268 yang merupakan jawaban dari soal A mendatar yaitu 67 × 4. Hasil dari soal tersebut terdiri dari tiga angka yaitu 2, 6, dan 8, yang ditulis pada kolom yang ditandai dengan
1037
huruf A. Masing-masing angka tersebut ditulis pada kolom kedua baris pertama, kolom ketiga baris pertama, dan kolom keempat baris pertama. Cara yang serupa digunakan untuk mengisi kolom dan baris CNP yang lain.
A
B
2 C
6
8 D
4
E
Mendatar: A. 67 × 4
Menurun: A. 6 × 4
C. 42 × 2
B. 21 × 41
D. 7 × 9
C. 43 × 2
F. 53 × 6
E. 2 × 19
G. 9 × 5
F. 7 × 5
F
G
Gambar 2. Contoh Cross Number Puzzle (CNP) Ketika mengisi jawaban pada CNP, jika jawaban yang dimasukkan salah, maka mungkin akan mempengaruhi pengisian jawaban pada kolom atau baris yang lain. Misalnya, siswa menghitung soal perkalian A mendatar dan mendapatkan hasil 264. Lalu, ketika menghitung soal perkalian B menurun, siswa mendapatkan hasil 861. Maka, akan ada dua angka berbeda yang menempati kotak yang sama, yaitu 4 dan 8. Sesuai dengan aturan yang telah disebutkan sebelumnya, dalam satu kotak tidak boleh ada dua angka yang berbeda. Maka, siswa akan memeriksa kembali hasil soal perkalian A mendatar dan B menurun. Jadi, latihan yang disajikan dalam bentuk CNP memungkinkan siswa untuk mengoreksi ulang jawaban yang diperolehnya. 3. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Secara umum setiap siklus dilaksanakan melalui 4 tahapan yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap pengamatan, dan tahap refleksi. Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus. Penelitian ini dilakukan di SMP PGRI 184 Legok yang beralamat di Jalan Lapangan Bola Desa Babakan, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Subjek dalam penelitian ini adalah 25 orang siswa kelas VII A SMP PGRI 184 Legok tahun ajaran 2016/2017. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 3 – 20 Oktober 2016. Data dalam penelitian ini dikelompokan menjadi dua yaitu, data utama dan data pendukung. Data utama, yang terdiri dari hasil tes awal sebelum tindakan dan hasil tes setiap akhir siklus, dianalisis untuk menjawab fokus penelitian. Setiap tes
1038
terdiri dari 24 soal yang harus diselesaikan siswa dalam waktu 8 menit. Adapun data pendukung yang terdiri dari dokumentasi hasil kerja siswa pada latihan perkalian dalam bentuk CNP dan foto selama tindakan, berfungsi sebagai bukti keterlaksanaan penelitian. Langkah analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui banyak siswa yang mengalami peningkatan, maka dihitung skor tes akhir siklus dikurang skor tes awal. Siswa yang mengalami peningkatan ditunjukkan oleh hasil yang lebih dari 0. Selanjutnya digunakan rumus berikut untuk menghitung persentase banyak siswa yang mengalami peningkatan. 𝑃=
∑ siswa yang meningkat × 100% ∑ siswa yang mengikuti tes
Keterangan: 𝑃 = Persentase siswa yang mengalami peningkatan. 2. Untuk mengetahui kategori keterampilan berhitung perkalian siswa, maka dihitung jumlah jawaban benar siswa. Selanjutnya digunakan rumus berikut untuk menghitung persentase jawaban benar siswa. ∑ 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟 𝑥= × 100% ∑ 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛 Keterangan: 𝑥 = Persentase jawaban benar. Penentuan kategori keterampilan berhitung perkalian terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kategori Keterampilan Berhitung Perkalian Persentase jawaban benar (𝑥)
Kategori keterampilan berhitung perkalian
𝑥 <50%
Kurang terampil
50% ≤ 𝑥 ≤ 70%
Cukup terampil
𝑥 >70%
Terampil
Indikator keberhasilan siklus yang digunakan adalah tidak ada siswa yang berada pada kategori kurang terampil atau lebih dari 70% siswa yang mengalami peningkatan keterampilan berhitung perkalian. 4. Hasil Penelitian Penelitian dilakukan dalam dua siklus. Sebelum siklus I dimulai, dilakukan tes awal untuk mengetahui keterampilan berhitung perkalian siswa. Hasil tes awal menunjukkan bahwa terdapat 20 siswa berada pada kategori kurang terampil, 2 siswa cukup terampil, dan 3 siswa terampil. Pemaparan terkait siklus I dan II dijelaskan sebagai berikut.
1039
A. Siklus I Siklus I dilaksanakan dalam 4 pertemuan. Pertemuan pertama hingga ketiga digunakan untuk latihan berhitung perkalian menggunakan CNP. Setiap latihan terdiri dari 3 paket soal CNP yang dilaksanakan dalam waktu 10 menit. Adapun pertemuan keempat digunakan untuk pemberian tes akhir siklus. CNP pada pertemuan pertama hanya memuat soal-soal perkalian tanpa menyimpan. CNP pada pertemuan kedua hanya memuat soal-soal perkalian yang menyimpan. CNP pada pertemuan ketiga mengandung soal perkalian tanpa menyimpan dan dengan menyimpan. Tabel 2 menunjukkan jumlah siswa yang mengerjakan CNP pada setiap pertemuan. Tabel 2. Hasil Latihan CNP Siklus I Latihan CNP 1 A B C 25 8 2 0 17 23
Mengerjakan Tidak mengerjakan
Latihan CNP 2 A B C 25 17 1 0 8 24
Latihan CNP 3 A B C 25 12 1 0 13 24
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 2, diketahui bahwa walaupun seluruh siswa mampu mengerjakan latihan soal paket A, hanya sebagian siswa saja yang mampu mengerjakan soal paket B. Bahkan untuk soal paket C, hanya 1 atau 2 siswa saja yang mampu mengerjakannya. Hasil tes akhir siklus I menunjukkan bahwa ada 22 siswa (88%) yang mengalami peningkatan keterampilan berhitung perkalian. Hal ini terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Skor Tes Akhir Siklus I
No
Kode Siswa
Skor Tes Awal
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
SA SB SC SD SE SF SG SH SI SJ SK SL
4 12 3 8 6 0 10 5 1 11 11 8
Skor Tes Akhir Siklus I
Nilai
Kategori Keterampilan Berhitung Perkalian
14 14 15 20 5 6 14 1 0 18 15 9
58,33 58,33 62,50 83,33 20,83 25,00 58,33 4,17 0,00 75,00 62,50 37,50
Cukup terampil Cukup terampil Cukup terampil Terampil Kurang terampil Kurang terampil Cukup terampil Kurang terampil Kurang terampil Terampil Cukup terampil Kurang terampil
1040
Peningkatan Keterampilan Berhitung Perkalian Setelah Siklus I 10 2 12 12 -1 6 4 -4 -1 7 4 1
SM SN SO SP SQ SR SS ST SU SV SW SX SY
2 17 21 5 6 6 3 2 19 2 3 13 3
10 24 24 9 12 16 6 13 24 9 10 17 10
41,67 100,00 100,00 37,50 50,00 66,67 25,00 54,17 100,00 37,50 41,67 70,83 41,67
Kurang terampil Terampil Terampil Kurang terampil Cukup terampil Cukup terampil Kurang terampil Cukup terampil Terampil Kurang terampil Kurang terampil Terampil Kurang terampil
8 7 3 4 6 10 3 11 5 7 7 4 7
Berdasarkan hasil tersebut maka siklus I dikatakan berhasil. Namun, data pada Tabel 3 juga menunjukkan bahwa masih ada siswa yang kurang terampil, yaitu 11 siswa. Diagram pada Gambar 3 menunjukkan jumlah siswa pada setiap kategori pada tes awal dan tes akhir siklus I. Dari diagram tersebut, terlihat bahwa banyak siswa pada kategori cukup terampil dan terampil mengalami peningkatan. Sementara itu, banyak siswa pada kategori kurang terampil mengalami penurunan. Meskipun begitu, tindakan akan dilanjutkan pada siklus II dengan beberapa perbaikan.
Keterampilan Berhitung Perkalian Siswa
Banyak Siswa
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
25 20 15 10 5 0
Tes Awal Terampil Cukup Kurang Terampil Terampil Kategori
Tes Akhir Siklus I
Gambar 3. Diagram tes awal dan tes akhir siklus I Berdasarkan Tabel 2, hampir semua siswa tidak mengerjakan latihan CNP paket C, sehingga jumlah paket CNP pada siklus II diubah menjadi 2 paket saja. Selain itu, untuk memotivasi siswa agar lebih cepat dan tepat dalam menyelesaikan soal yang ada, maka hadiah diberikan kepada siswa yang berhasil menjawab semua latihan CNP dengan benar. B. Siklus II Siklus II dilaksanakan dalam 4 pertemuan. Pelaksanaan tindakan pada siklus ini serupa dengan siklus I. Perubahan terjadi pada banyak paket CNP yang diberikan pada setiap pertemuan dan pemberian hadiah untuk siswa yang berhasil menjawab
1041
semua soal latihan dengan benar. Data Tabel 4 menunjukkan jumlah siswa yang mengerjakan CNP pada setiap pertemuan. Tabel 4. Hasil Latihan CNP Siklus II Latihan CNP 1 A B 25 20 0 5
Mengerjakan Tidak mengerjakan
Latihan CNP 2 A B 25 12 0 13
Latihan CNP 3 A B 25 19 0 6
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 4, diketahui bahwa seluruh siswa mampu mengerjakan latihan soal paket A. Namun tidak seluruh siswa mampu mengerjakan soal paket B. Selain itu, pengamatan juga dilakukan terhadap tes akhir siklus II. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 5. Hasil tes akhir siklus II menunjukkan bahwa ada 21 siswa (84%) yang mengalami peningkatan keterampilan berhitung perkalian. Jadi, tindakan pada siklus II dapat dikatakan berhasil. Tabel 5 juga menunjukkan bahwa adanya perubahan yang dialami siswa pada skor tes akhir siklus I dan skor tes akhir siklus II yang berpengaruh pada kategori keterampilan berhitung perkalian siswa. Namun, masih ada 9 siswa yang tetap berada pada kategori kurang terampil. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Tabel 5. Skor Tes Akhir Siklus II
No
Kode Siswa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
SA SB SC SD SE SF SG SH SI SJ SK SL SM SN SO SP
Skor Tes Awal Siklus II 14 14 15 20 5 6 14 1 0 18 15 9 10 24 24 9
Skor Tes Akhir Siklus II
Persentase jawaban benar (%)
Kategori Keterampilan Berhitung Perkalian
23 17 22 22 5 7 22 6 9 23 23 11 11 23 20 16
95,83 70,83 91,67 91,67 20,83 29,17 91,67 25,00 37,50 95,83 95,83 45,83 45,83 95,83 83,33 66,67
Terampil Terampil Terampil Terampil Kurang terampil Kurang terampil Terampil Kurang terampil Kurang terampil Terampil Terampil Kurang terampil Kurang terampil Terampil Terampil Cukup terampil
1042
Peningkatan Keterampilan Berhitung Perkalian Setelah Siklus II 9 3 7 2 0 1 8 5 9 5 8 2 1 -1 -4 7
SQ SR SS ST SU SV SW SX SY
12 16 6 13 24 9 10 17 10
16 24 11 19 23 10 20 18 11
66,67 100,00 45,83 79,17 95,83 41,67 83,33 75,00 45,83
Cukup terampil Terampil Kurang terampil Terampil Terampil Kurang terampil Terampil Terampil Kurang terampil
4 8 5 6 -1 1 10 1 1
Keterampilan Berhitung Perkalian Siswa
Banyak Siswa
17 18 19 20 21 22 23 24 25
25 20 15 10 5 0
Tes Awal
Tes Akhir Siklus I Terampil Cukup Kurang Terampil Terampil Kategori
Tes Akhir Siklus II
Gambar 4. Diagram tes awal, tes akhir siklus I, dan tes akhir siklus II. Diagram pada Gambar 4 menyajikan data banyak siswa dalam setiap kategori dari tes awal, tes akhir siklus I, dan tes akhir siklus II. Berdasarkan diagram tersebut, terlihat bahwa banyak siswa yang berada pada kategori terampil mengalami peningkatan baik pada siklus I atau siklus II. Sebaliknya, banyak siswa pada kategori kurang terampil mengalami penurunan baik pada siklus I atau siklus II. C. Pembahasan Berdasarkan hasil pada siklus I dan siklus II maka diperoleh informasi sebagai berikut. 1. Terdapat 88% siswa yang mengalami peningkatan keterampilan berhitung perkalian pada siklus I. 2. Terdapat 84% siswa yang mengalami peningkatan keterampilan berhitung perkalian pada siklus II. 3. Terdapat peningkatan jumlah siswa pada kategori terampil yaitu dari 3 menjadi 6 siswa pada siklus I dan dari 6 menjadi 14 siswa pada siklus II. 4. Terdapat penurunan jumlah siswa pada kategori kurang terampil yaitu dari 20 menjadi 11 siswa pada siklus I dan dari 11 menjadi 9 siswa pada siklus II. Peningkatan keterampilan berhitung perkalian ini diakibatkan oleh latihan berulang menggunakan CNP. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Baroody, Steel, dan Funnel, yaitu keterampilan berhitung perkalian dapat ditingkatkan dengan melakukan latihan secara berulang [6]. Hasil wawancara dengan beberapa siswa SMP PGRI 184 Legok mengungkapkan bahwa siswa malas
1043
mengerjakan latihan berulang dalam bentuk biasa. Namun, hasil pengamatan selama tindakan menunjukkan bahwa siswa tidak malas mengerjakan latihan berulang dalam bentuk CNP. Ini artinya CNP juga mempunyai peranan dalam peningkatan keterampilan berhitung perkalian siswa. Selain itu, data penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada siswa yang mengalami penurunan kategori. Sebagian besar siswa mengalami peningkatan kategori, sedangkan sebagian lainnya tetap. Pada akhir siklus II, masih terdapat 9 siswa yang tetap pada kategori kurang terampil. Hal ini mungkin diakibatkan oleh beberapa hal seperti ketidakpahaman pada konsep perkalian dasar. Namun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan penyebab utamanya. 5.
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan keterampilan berhitung perkalian secara signifikan dan tidak ada siswa yang mengalami penurunan kategori. Dengan demikian, penerapan latihan perkalian dalam bentuk CNP berhasil meningkatkan keterampilan berhitung perkalian siswa kelas VII A SMP PGRI 184 Legok. 1. 2.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti memberikan saran sebagai berikut. Latihan perkalian dalam bentuk CNP dapat diterapkan pada kelompok siswa lain yang mayoritas berada pada kategori kurang terampil. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab utama dari tidak berubahnya keterampilan berhitung perkalian siswa yang berada pada kategori kurang terampil. Referensi
[1] Kurniawan, D., 2014, Pembelajaran Terpadu Tematik (Teori, Praktik, dan
Penilaian), Bandung, CV. Alfabeta. [2] Lestari, S., 2014, Pembelajaran kontekstual bermedia objek nyata pada
[3]
[4] [5]
[6]
[7]
perkalian dan pembagian untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar, Jurnal Pendidikan Sains, Volume 2 No.4 (2014), 238-249. Rahayu, P., D., 2015, Implementasi dan pengembangan model permainan Funtastic Ganbatte dan Bingo Matematika untuk meningkatkan keterampilan operasi hitung perkalian, Jurnal Penelitian Pendidikan, Volume 15 No.2 (2015), 15-23. Surya, Y., 2013, Modul Pelatihan Gasing SD Bagian 1, Tangerang, PT.Kandel. Ulfa, A., 2015, Peningkatan Hasil Belajar Bilangan Romawi Melalui Metode Permainan Susun Bilangan dan Teka-Teki Silang Siswa Kelas IV SDN Kembaran Candimulyo Magelang, Skripsi, Yogyakarta, Magelang. Wong, M. D., 2007, Improving Basic Multiplication Fact Recall For Primaru School Students, Mathematics Education Research Journal, Volume 19 No.1 (2007), 89-106. WorksheetWorks, 2002, Cross Number Puzzle, www.worksheetworks.com/puzzles/crossnumber.html.
1044
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 1045-1051
PENINGKATAN KEMAMPUAN OPERASI HITUNG CAMPURAN SISWA KELAS III SD MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF ASWIN SAPUTRA Universitas Indraprasta PGRI Jl. Raya Tengah No. 80, Kel. Gedong, Kec. Pasar Rebo Jakarta Timur
[email protected]
Abstrak. Dari hasil observasi awal, diperoleh gambaran bahwa siswa di SDN Kapuk Muara 01 memiliki kecerdasan yang beragam. Hal ini dapat menjadi dasar untuk mengembangkan perangkat pembelajaran yang dapat mengakomodir gaya belajar dan penguasaan konsep matematika siswa. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui implementasi model pembelajaran kooperatif siswa, mengetahui pengaruh implementasi model pembelajaran kooperatif siswa, dan mengetahui penguasaan konsep matematika siswa.Penelitian ini menggunakan desain penelitian true experimental dengan randomized pretest-postest control group design. Penelitian ini dilaksanakan di kelas III semester ganjil SDN Kapuk Muara 01 dengan alamat Jalan Raya Kapuk Muara No. 9, Kel. Kapuk Muara, Kec. Penjaringan Jakarta Utara Tahun Pelajaran 2016/2017 pada bulan September sampai Desember 2016. Penelitian dilakukan untuk topik operasi hitung campuran. Populasi dalam penelitian ini adalah kelas III yang berjumlah 32 siswa. Metode pengumpulan data dengan tes. Sebelum diberi perlakuan dilakukan pretes dan setelah diberi perlakuan dilakukan postes. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh yang positif antara model pembelajaran kooperatif terhadap penguasaan konsep matematika siswa. Rerata hasil penguasaan konsep matematika lebih tinggi dari pada sebelum diberi perlakuan. Kata kunci: Pembelajaran, Kooperatif, Operasi Hitung Campuran.
1. Pendahuluan
Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas adalah salah satu cara dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang diamantkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam hal mewujudkan bakat-bakat yang dibawa manusia sejak lahir, sehingga manusia memiliki keterampilan yang dapat digunakan untuk menghidupi dirinya. Pendidikan inilah yang diharapkan akan menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas.
1045
Pendidikan yang bermutu merupakan salah satu prioritas utama dalam pembangunan nasional. Pendidikan yang menghasilkan perubahan sikap dan tingkah laku manusia baik yang berupa pengetahuan maupun keterampilan akan membawa kemajuan suatu bangsa. Pentingnya pendidikan inilah yang menuntut adanya proses pendidikan yang optimal sehingga menghasilkan pendidikan yang bermutu. Berikut ini data pengujian tingkat kemampuan kognisi siswa yang terstandarisasi dilakukan oleh Programe for International Student Assessment (PISA). Tabel 1 Posisi Indonesia dalam hasil tes kemampuan kognisi dibanding dengan beberapa Negara terseleksi tahun 2012
(sumber: Diambil dari makalah Prof. Dr. Muljani A. Nurhadi pada seminar nasional peningkatan pembelajaran berdasarkan hasil penelitian di LPMP Jakarta ) Apabila dibandingkan dengan empat kelompok Negara yang lain. Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Brazilia, capaian rerata skornya di atasnya. Di Indonesia relatif belum ada, terbukti dengan naiknya presentase perolehan skor per tahun Indonesia sangat rendah, yaitu hanya 0,7 % dan 2,3 % masing-masing untuk pelajaran bidang matematika dan membaca, sementara untuk IPA bahkan turun 1,9 %. Bandingkan dengan Thailand, Malaysia, dan Brazilia yang memperoleh kenaikan presentase skor bidang matematika masing-masing 1 : 8 : 1 dan 4,1 %. Rendahnya nilai hasil belajar siswa juga terjadi pada siswa terutama pada pembelajaran matematika. Sebagai contohnya, saat guru memberikan ulangan harian kebanyakan siswa salah mengoperasikan perhitungan aljabar. Akibatnya lebih dari 70 % siswa belum tuntas belajar dengan rerata ulangan harian kurang dari batas kriteria ketuntasan minimal (KKM) yaitu 70. Hal ini dapat diketahui dari hasil rerata nilai ulangan harian sebagai berikut:
1046
Tabel 2 Rerata hasil ulangan harian materi operasi hitung campuran Tahun Pelajaran Jumlah siswa Rerata nilai 2013 / 2014 31 50 2014 / 2015 32 52 Sumber: Daftar Nilai Guru kelas III SDN Kapuk Muara 01 Jakarta Utara Diduga, faktor yang menyebabkan hasil belajar siswa dikarenakan guru dalam menerangkan materi matematika kurang menarik perhatian siswa sebab guru cenderung menggunakan metode ceramah atau pembelajaran secara konvensional sehingga mengakibatkan sebagian siswa bersikap pasif selama proses belajar mengajar berlangsung. Hal itu menjadikan kondisi belajar mengajar tidak kondusif yang dapat menimbulkan tidak adanya minat belajar siswa terhadap pelajaran matematika dan berakibat pada hasil belajar yang diperoleh siswa cenderung rendah. Keadaan ini merupakan hal yang harus diperhatikan mengingat pentingnya mata pelajaran Matematika dalam menyiapkan siswa untuk mampu memecahkan permasalahan, salah satunya dengan memiliki kemamapuan penguasaan konsep matematika. Penguasaan materi-materi Matematika merupakan hal yang mutlak sehingga dapat dipahami dalam diri siswa untuk kemudian akhirnya mampu memecahkan permasalahan. Slavin (1995:5) mendefinisikan, bahwa model pembelajaran kooperatif secara ekstensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan konsep-konsep itu dengan temannya. Slavin (dalam Arends, 1997) menelaah penelitian-penelitian pada semua tingkat kelas dan meliputi bidang studi bahasa, geografi, ilmu sosial, sains, matematika, bahasa inggris, menunjukkan bahwa kelas kooperatif hasil belajar akademik yang signifikan lebih tinggi dibanding dengan kelompok kontrol. Penelitian yang sama oleh Johnson dkk. (1991) dalam meta amalisis mengenai pembelajaran kooperatif dengan 158 studi, terungkap bahwa dari delapan model pembelajaran kooperatif, Learning Together, Academic Controversy, STAD, TGT, Group Investigation, Jigsaw, TAI, CIRC, secara signifikan meningkatkan prestasi belajar. Berdasakan paparan di atas, dapat dibuat judul “Upaya Perbaikan Penguasaan Konsep Matematika Siswa Kelas III di SDN Kapuk Muara 01 melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD”. Penelitian ini dilakukan karena perlu adanya peningkatan kemampuan penguasaan konsep siswa dalam pembelajaran matematika, maka salah satu tujuan pembelajaran matematika yaitu memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep, dan menerapkan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, dan mampu memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan operasi hitung campuran .
2. Hasil – Hasil Utama Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penelitian tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus. Pelaksanaan prosedur penelitian yang akan dilakukan sebagai berikut: 2.1 Tahapan Pelaksanaan Siklus I 2.1.1 Tahap perencanaan tindakan
1047
2.1.2
2.1.3
2.1.4
Dalam tahap perencanaan tindakan pada siklus ini, kegiatan yang dilakukan adalah: 2.1.1.1 Guru menyusun silabus yang berkaitan dengan materi operasi hitung campuran 2.1.1.2 Guru merancang skenario pembelajaran yang dapat digunakan dalam model pembelajaran kooperatif tipe STAD 2.1.1.3 Merancang alat pengumpul data berupa tes dan digunakan untuk mengetahui penguasaan konsep siswa yang berkaitan dengan materi operasi hitung campuran. Tahap pelaksanaan tindakan 2.1.2.1 Siswa diberikan penjelasan umum tentang tujuan penelitian tindakan kelas sesuai dengan rancangan yang telah direncanakan, baik mengenai pengumpulan data maupun kegiatan-kegiatan yang lain. Kegiatan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah memberikan penjelasan secara umum tentang pokok bahasan yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD agar menstimulasi rasa ingin tahu siswa, mendorong siswa yang belum aktif untuk aktif dalam mengikuti pembelajaran, mengamati dan mencatat siswa yang berpartisipasi aktif dalam pembelajaran, mengumpulkan hasil pengujian yang diperoleh siswa dalam mengerjakan tugas , dan menganalisis haisl tes yang diberikan setelah siswa diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. 2.1.2.2 Guru mengajar sesuai dengan skenario pembelajaran klasikal yang telah dirancang dan mencatat kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing siswa. 2.1.2.3 Guru memberikan evaluasi pada siswa untuk mengetahui pemahaman siswa berkaitan dengan materi operasi hitung campuran. Tahap observasi tindakan Mengamati dan mencatat semua kejadian yang terjadi pada saat siswa mengikuti pembelajaran dan menanyakan pada siswa yang kurang aktif dalam pembelajaran tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Tahap refleksi Menganalisis hasil pekerjaan siswa dan hasil observasi yang dilakukan pada siswa guna menentukan langkah berikutnya. Membuat pengelompokkan siswa berdasarkan pada hasil yang didapatkan siswa pada evaluasi yang dilakukan. Tabel 1 Nilai Tes Siklus I
Interval Nilai 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 80-89 90-99 Jumlah
Frekuensi 4 4 7 8 3 4 2 32
1048
Presentasi 12,5% 12,5% 21,8% 25% 9,3 % 12,5 % 6,25 % 100%
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan selama kegiatan siklus I, siswa kurang memahami soal mengenai Materi operasi hitung campuran. Siswa kesulitan untuk menentukan menyelesaikan setiap tipe soal yang diberikan. Hal ini dikarenakan kurang pahamnya siswa. Diskusi kelompok juga belum berjalan efektif dan masih banyak siswa yang kurang aktif saat berdiskusi dengan teman dalam kelompoknya. Maka langkah berikutnya mengulang materi mengenai operasi hitung campuran, agar ditindak lanjuti ke siklus II 2.2 Tahapan Pelaksanaan Siklus II 2.2.1 Tahap perencanaan tindakan 2.2.1.1 Mempersiapkan fasilitas dan sarana yaitu dengna membuat kelompok siswa dengan penyebaran siswa yang menguasai materi awal yaitu materi yang telah disampaikan pada siklus I. 2.2.1.2 Membuat pengurus pada masing-masing kelompok yang fasilitator, pencatat, juru bicara, dan pengatur waktu. 2.2.1.3 Membuat bahan ajar yang akan disampaikan pada masingmasing kelompok untuk didiskusikan 2.2.2 Tahap pelaksanaan tindakan 2.2.2.1 Memberikan penjelasan tentang pokok bahasan operasi hitung campuran yang akan dipelajari serta menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan berkaitan dengan pengajaran dalam teknik menstimulasi siswa untuk belajar bersama dalam kelompok 2.2.2.2 Siswa yang telah menguasai materi awal disiklus I diminta memimpin pembahasan bahan ajar yang diberikan. Bahan ajar yang diberikan berisi tugas memecahkan masalah tindak lanjut dari siklus I. 2.2.2.3 Memberi kesempatan kepada masing-masing kelompok untuk menyajikan hasil diskusi. 2.2.2.4 Pembahasan materi ajar yang siswa dalam satu kelas mengalami kesulitan atau pun salah dalam apersepsinya. 2.2.2.5 Mengevaluasi siswa untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menguasai pengerjaan soal operasi hitung campuran. 2.2.3 Tahap observasi tindakan 2.2.3.1 Guru mencatat hasil-hasil yang diperoleh siswa serta mencatat kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa dalam mengerjakan masalah yang berkaitan dengan bahan ajar yang diberikan. 2.2.3.2 Guru mencatat kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan masalah pada bahan ajar yang diberikan. 2.2.4 Tahap refleksi Membuat inventarisasi kesulitan yang dilakukan siswa dalam menyelesaiakan masalah pada bahan ajar yang diberikan serta mendata siswa yang telah mampu menyelesaikan soal evaluasi dan mampu mendapatkan nilai di atas standar KKM.
1049
Tabel 2 Nilai Tes Siklus II Interval Nilai 30-39 40-49 50-59 60-69 70-79 80-89 90-99 Jumlah
Frekuensi 2 0 0 12 10 5 3 32
Presentasi 6,25 % 0% 0% 37,5 % 31,25% 15,625% 9,3% 100%
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan selama siklus II, diskusi kelompok berjalan aktif, suasana di kelas juga tertib dan tenang karena hampir seluruh siswa aktif berdiskusi dalam kelompoknya. Motivasi belajar siswa juga meningkat dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD ini. Pembahasan Pada perencanaan guru menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Kemudian menentukan pokok bahasan tentang operasi hitung campuran. Dalam pelaksanaan tindakan proses pembelajaran sesuai skenario yang telah dibuat. Kegiatan observasi mengacu pada lembar observasi. Pada tahap yang terakhir yaitu refleksi, yakni melakukan evaluasi dan membahas hasil evaluasi tersebut dan mencermatinya. Sesuai langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu: menyampaikan materi yang akan didiskusikan, dibagi menjadi beberapa kelompok belajar, masing-masing kelompok diberi materi untuk didiskusikan, membimbing jalannya diskusi, mempresentasikan hasil diskusi, dan pemberian penghargaan pembelajaran matematika. Untuk mengetahui nilai siswa pada siklus I dapat dilihat pada tabel satu di atas Berdasarkan tabel dua di atas, dapat diketahui terdapat perbaikan atau peningkatan yang baik pada penguasaan konsep matematika siswa karena dari 32 siswa hanya terdapat tiga siswa yang nilai di bawah KKM yaitu dua siswa dengan interval nilai 30-39 dan satu siswa dengan nilai 63 dan sisanya memperoleh nilai di atas KKM. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dilaksanakan telah mampu menumbuhkan dan meningkatkan motivasi belajar sehingga penguasaan konsep matematika siswa kelas III meningkat pula. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Eminingsih (2013) yang menyatakan bahwa, model pembelajaran kooperatif tipe STAD mampu meningkatkan hasil belajar matematika siswa SMP. Tanggapan siswa terhadap model pembelajaran kooperatif tipe STAD cukup beragam, tetapi hampir semuanya menyatakan bahwa mereka menyukai model belajar mengajar ini, hal ini dilakukan oleh melalui pertanyaan guru saat bertanya kepada para siswa di kelas. Selain itu dengan penerapan model ini, secara garis besar siswa merasakaan, yaitu: 1. Siswa dapat semakin berinteraksi dengan guru dalam aktif bertanya, menyangga suatu pendapat ataupun mengoreksi kekeliruan guru dalam menjelaskan. 2. Siswa menjadi lebih bertanggung jawab terhadap tugas-tugasnya sebagai seorang pelajar. 3. Siswa bertambah kemampuan kognitifnya, paham akan materi yang disampaikan guru.
1050
4. Siswa juga lebih aktif bekerja sama menghadapi kesulitan-kesulitan belajar matematika dengan saling membantu satu sama lainnya Berdasarkan hasil di atas, secara keseluruhan penelitian tindakan kelas mengenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD, pada pelajaran matematika kelas III materi operasi hitung campuran dapat dikatakan berhasil. Karena pada akhir penelitian kriteria keberhasilan yang ditetapkan telah terpenuhi, yaitu dapat meningkatkan hasil belajar siswa sesuai dengan KKM yang ditentukan. 3. Kesimpulan Dari penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan pada siswa kelas III SDN Kapuk Muara 01 ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Dengan membawa siswa aktif dalam pembelajaran akan dapat meningkatkan kemampuan operasi hitung campuran. 2. Pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan model yang efektif untuk menyampaikan materi operasi hitung campuran 3. Hasil penelitian ini bisa menjadi contoh bagi Guru yang melaksanakan PTK, jika masalah yang dihadapi relatif sama.
Referensi [1] Eminingsih. 2013. Peningkatan Hasil Belajar Matematika melalui pembelajaran
kooperatif tipe STAD pada siswa kelas VII E SMP Negeri 3 Batang. Lembar Ilmu Kependidikan, 42 (1): 30-35 [2] Muljani, A. Peningkatan pembelajaran berdasarkan hasil penelitian. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional LPPM UNINDRA , Jakarta, 14 Desember 2013 [3] Sugiyono, 2015. Metode Penetian Tindakan Komprehensif. Bandung: Alfabeta [4] Widyantini, T. 2008. Penerapan Pendekatan Kooperatif STAD dalam Pembelajaran Matematika SMP. Yogyakarta: P4TK Matematika
1051
Prosiding SNM 2017 Pen d i di ka n , Ha l 10 52 -10 58
UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI GURU MATEMATIKA DALAM MELAKUKAN PUBLIKASI ILMIAH KEMATEMATIKAAN RINA OKTAVIYANTHI1 RIA NOVIANA AGUS2 1,2 Program
Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Serang Raya, Jl. Raya Serang-Cilegon Km. 5 (Taman Drangong), Serang-Banten
[email protected]
Abstrak. Studi ini merupakan tahap pertama dari rangkaian penelitian inisiasi peningkatan publikasi ilmiah guru matematika di lingkungan Yayasan Pendidikan Informatika (YPI) Serang sebagai upaya pengembangan profesionalisme guru. Masalah dasar yang dihadapi guru matematika yang menjadi fokus kajian tahap pertama ini yaitu rendahnya motivasi guru matematika dalam melakukan publikasi ilmiah. Penyebab hal tersebut salah satunya adalah kesulitan mengintisari sumber bacaan kematematikaan berbahasa Inggris yang meliputi artikel jurnal dan textbook. Upaya untuk mengatasi masalah dalam studi ini terdiri atas dua aspek yaitu (1) konten materi melalui pengenalan istilah matematika (mathematical terms) berbahasa Inggris, dan (2) metode kegiatan berupa pendampingan pelatihan (in house training). Data yang digunakan untuk mengevaluasi studi tahap pertama ini meliputi lembar observasi kegiatan, angket motivasi guru, dan wawancara. Secara umum dari perolehan data ditemukan bahwa pengenalan istilah mat ematika melalui in house training memberikan pengaruh dan respon positif sebagai upaya meningkatkan motivasi guru matematika melakukan publikasi ilmiah. Kata kunci : in house training, mathematical terms, motivasi guru matematika, pengembangan profesionalisme guru, publikasi ilmiah guru
1. Pendahuluan Guru sebagai tenaga pendidik memiliki peranan krusial dalam membangun pengetahuan peserta didik. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa jabatan guru sebagai pendidik merupakan jabatan profesional [1]. Lebih jauhnya, keberadaan guru tidak hanya membantu peserta didik dalam memperoleh kemampuankemampuan yang mudah diajarkan dan mudah diteskan, tetapi lebih penting dari itu yakni (1) melatih cara berpikir (ways of thinking) yang meliputi kreativitas (creativity), berpikir kritis (ciritical thinking), pemecahan masalah (problemsolving), dan pengambilan keputusan (decision making); (2) mengajar cara bekerja (tools for working) termasuk bagaimana memroses informasi dan mengomunikasikannya melalui teknologi (information and communication technologies); (3) menyontohkan cara menjadi warga negara yang baik (skills around citizenship) dan mendukung kehidupan peserta didik baik secara personal maupun sosial [2][3]. Keberhasilan hal-hal tersebut sedikit banyak ditentukan oleh
1052
guru, khususnya bergantung pada kualitas kompetensi pedagogik yang dimiliki guru itu sendiri. Kualitas inilah yang menjadi salah satu faktor penentu meningkatnya student achievement [4][5]. Untuk mendukung hal tersebut, mengembangkan kompetensi pedagogik dan profesionalisme guru adalah program yang perlu dilakukan. Ivanenko dkk. (2015) dan TTAC (2011) menyebutkan salah satu komponen dasar dalam pengembangan kompetensi guru dalam sains (competency in science) sebagai bentuk kegiatan profesionalisme (professional activities) adalah dengan mengembangkan kemampuan penelitian guru (developing teachers’ research skills) [6][7]. Adapun kemampuan-kemampuan guru yang diharapkan akan berkembang dan mendukung profesionalismenya melalui proses meneliti, diantaranya yaitu searching, processing, analyzing, assimilating, integrating-applying information and knowledge, reflecting dan assessing [7][8]. Proses-proses tersebut ditegaskan Schieb & Karabenick (2011) dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kredibilitas dan profesionalisme guru [9]. Kegiatan meneliti yang dilakukan oleh guru memiliki output penulisan karya ilmiah yang merupakan salah satu tugas guru profesional. Menulis karya ilmiah tidak hanya diperlukan guru untuk kenaikan jabatan melainkan sebagai sarana meningkatkan kualitas pengelolaan kelas dan memperbaiki kualitas mengajar yang berimplikasi pda meningkatnya prestasi peserta didik. Dengan melakukan penelitian, menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah dan mempublikasikannya merupakan wujud nyata keterlibatan dan kontribusi guru dalam pengembangan IPTEK. Berkenaan dengan menulis karya ilmiah, Timperley dkk. (2007) mengungkapkan bahwa poin ini merupakan proses kompleks dari pengembangan kompetensi guru yang harus dilalui [10]. Perlu motivasi tiggi, energi besar dan komitmen penuh untuk membiasakan menulis karya ilmiah [11]. Proses kompleks yang tidak dibiasakan inilah yang menjadi salah satu penyebab tidak termotivasinya guru-guru dalam melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah, khususnya guru matematika. Pernyataan tersebut didukung oleh data awal yang dilakukan tim penulis pada guru-guru Matematika di lingkungan Yayasan Pendidikan Informatika (YPI) Serang, Banten. Berdasarkan hasil angket dan wawancara studi pendahuluan yang dilakukan tim penulis, diketahui bahwa hanya 27% guru matematika di lingkungan Yayasan Pendidikan Informatika (YPI) yang pernah melakukan penelitian, 20% guru yang menuliskan hasil penelitiannya dalam bentuk karya ilmiah, dan 7% guru yang melakukan publikasi. Penyebab yang melatarbelakangi hal tersebut diantaranya adalah (1) kurangnya pemahaman mengenai teknik dan prosedur meneliti dan menulis karya ilmiah, lebih spesifik diketahui bahwa guru matematika terhambat pada memahami sumber tulisan seperti jurnal dan textbook; dan (2) sedikitnya program pelatihan kepenulisan karya ilmiah yang diikuti guru matematika. Dua aspek ini yang mendukung lemahnya motivasi guru matematika di lingkungan Yayasan Pendidikan Informatika (YPI) Serang, Banten dalam meneliti, menulis karya ilmiah dan mempublikasikannya. Oleh karena itulah, perlu dilakukan upaya untuk membantu meningkatkan motivasi guru matematika dalam melakukan publikasi ilmiah kematematikaan melalui in house training pengenalan istilah-istilah matematika. Rumusan masalah dalam kajian ini adalah (1) bagaimana gambaran pemahaman dan motivasi guru dalam mengikuti kegiatan in house training pengenalan istilah-istilah matematika terhadap penulisan karya ilmiah, dan (2)
1053
bagaimana respon dan tanggapan guru dalam kegiatan in house training. Evaluasi dilakukan dengan mengambil data melalui observasi kegiatan, pengisian angket dan wawancara. Adapun tahapan kegiatan secara umum dalam studi ini dapat dilihat pada gambar 1 berikut.
Mul
Analisis kebutuhan dan proses persiapan
Proses kegiatan in house training
Evaluasi kegiatan dan luaran Seles
Gambar 1. Bagan Tahapan Kegiatan
2. Hasil – Hasil Utama Populasi penelitian ini adalah guru-guru matematika di sekolah-sekolah jenjang SMP sederajat dan SMA sederajat yang berada pada lingkungan Yayasan Pendidikan Informatika (YPI) Serang, Banten. Diambil sampel secara acak tiga sekolah dengan jumlah guru matematika yang berpartisipasi dalam studi ini sebanyak 15 orang. Dari ke-15 orang guru matematika tersebut diperoleh data sebesar 73% belum pernah melakukan penelitian, 80% belum pernah menulis karya ilmiah, dan 93% belum pernah melakukan publikasi ilmiah dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Berikut keterangan sampel dalam studi ini. Tabel 1. Distribusi Sampel Penelitian Penelitian Sekolah SMA Informatika SMK Informatika SMP Informatika Persentase
Menulis Karya Ilmiah
Publikasi Karya Ilmiah Belum Pernah Pernah
Pernah
Belum Pernah
Pernah
Belum Pernah
1
2
1
2
0
3
0
5
0
5
0
5
3
4
2
5
1
6
27%
73%
20%
80%
7%
93%
Kegiatan in house training ini terbagi ke dalam tiga tahap yaitu (1) analisis kebutuhan dan proses persiapan, (2) pelaksanaan kegiatan in house training, dan (3) evaluasi kegiatan. Pada tahap analisis kebutuhan diperoleh data bahwa 67% guru matematika belum memahami teknik dan prosedur meneliti dan menulis karya ilmiah, 87% belum pernah mengikuti kegiatan pelatihan atau pendampingan yang berhubungan dengan meneliti dan menulis karya ilmiah, dan 100% guru menyetujui bahwa perlu diadakannya pendampingan yang berkelanjutan dalam melakukan penelitian maupun penulisan karya ilmiah. Tabel 2 berikut merupakan rekapitulasi angket kebutuhan guru matematika untuk diadakannya kegiatan in house training.
1054
No 1 2 3
4
5
Tabel 2. Rekapitulasi Angket Kebutuhan Kegiatan In House Training Pilihan Jawaban Pertanyaan Ya Tidak Apakah Bapak/ Ibu mengetahui urgensi meneliti dan 87% 13% menulis karya ilmiah? Apakah Bapak/ Ibu memahami tentang teknik dan 33% 67% prosedur meneliti dan menulis karya ilmiah? Apakah Bapak/ Ibu pernah mengikuti kegiatan pelatihan atau pendampingan penulisan karya 13% 87% ilmiah? Apakah lembaga Bapak/ Ibu memasilitasi kegiatan pelatihan atau pendampingan penulisan karya 0 100% ilmiah? Apakah Bapak/ Ibu membutuhkan kegiatan pelatihan atau pendampingan dalam hal penelitian, 100% 0 penulisan dan publikasi karya ilmiah?
Lebih spesifik pada konten matematika, tim penulis memperoleh data bahwa 80% guru matematika kesulitan dalam memahami istilah matematika (mathematical terms) yang terdapat dalam jurnal maupun textbook. Oleh karena itu, konten materi dalam program in house training ini salah satunya adalah pengenalan istilah matematika berbahasa inggris dan penggunaannya. Tahap kedua dalam studi ini yaitu pelaksanaan kegiatan in house training yang dilakukan empat kali pertemuan dengan sebaran materi tersaji pada tabel 3 berikut.
Tanggal 5 Desember 2016 12 Desember 2016 19 Desember 2016 26 Desember 2016
Tabel 3. Sebaran Materi Kegiatan In House Training Jenis Kegiatan In House Training Materi In House Training Teori Praktik Mandiri Terpusat Pemaparan tentang urgensi dan teknik meneliti, menulis √ √ karya ilmiah dan publikasi Latihan membuat karya tulis ilmiah Pengenalan istilah matematika (mathematical terms) berbahasa inggris pada jurnal dan textbook Latihan penggunaan istilah matematika (mathematical terms) berbahasa inggris ke dalam artikel karya ilmiah
-
√
√
-
√
-
-
√
-
√
√
-
Tahap ketiga yaitu mengevaluasi kegiatan sekaligus menjawab rumusan masalah yang menjadi fokus dalam studi ini. Untuk menjawab rumusan masalah dilakukan pengambilan data melalui lembar observasi kegiatan dan pengisian angket motivasi. Tabel 4 merupakan tinjauan tim penulis mengenai pemahaman materi guru per pertemuan kegiatan. Dari nilai rata-rata pada tabel 4 dapat digambarkan secara umum bahwa pemahaman materi guru matematika pada kegiatan in house training terbilang baik pada pertemuan kesatu dan kedua dengan nilai persentase 68.5% dan
1055
73.5%. Persentase terbesar pada pertemuan kesatu diperoleh ketika guru mampu mengungkapkan kembali tujuan dan manfaat dari kegiatan penelitian. Tim penulis mencatat sebagian besar jawaban guru mengenai tujuan dan manfaat meneliti adalah sebagai kewajiban guru dalam mendapatkan sertifikat pendidik. Hal yang perlu diluruskan adalah bahwa kegiatan penelitian guru tidak hanya bermanfaat sebagai penambah nilai kum pada proses sertifikasi pendidik, namun lebih dalam dari itu sebagai wujud pembaharuan pengetahuan dan mengembangkan IPTEK. Pada pertemuan kedua, persentase terbesar terlihat ketika guru dapat menyebutkan secara umum teknik dan prosedur publikasi. Tim penulis mencatat beberapa guru menyebutkan konferensi dan jurnal sebagai media untuk melakukan publikasi karya ilmiah. Nilai rata-rata persentase terendah diperoleh pada pertemuan ketiga dan keempat yaitu sebesar 45%. Persentase terendah ditemukan ketika guru mendapati kesulitan membedakan penggunaan istilah matematika yang memiliki kesamaan arti pada pengucapan namun berbeda arti dalam simbil, contohnya adalah simbol perkalian. Beberapa guru menggunakan cross ‘x’ dan beberapa yang lain menggunakan dot ‘.’. Tim penulis meluruskan bahwa penggunaan dot pada perkalian yang melibatkan satuan vektor. Rendahnya persentase pada pengenalan dan penggunaan istilah matematika berbahasa inggris menjadi catatan penting bagi tim penulis untuk menelusuri lebih lanjut mengenai faktor penyebab dan cara menanggulanginya pada penelitian lanjutan. Tabel 4. Persentase Hasil Observasi Pemahaman Materi Kegiatan Persentase Pemahaman Per Pertemuan Pertemuan 1 Pertemuan 2 Pertemuan 3 & Pertemuan 4 Guru dapat Guru dapat menyebutkan Guru dapat menyebutkan beberapa mengungkapkan secara umum teknik dan istilah matematika berbahasa inggris kembali tujuan dan prosedur meneliti dalam jurnal dan textbook manfaat meneliti 87% 67% 60% Guru dapat Guru dapat menyebutkan mengungkapkan Guru dapat mengungkapkan arti dari secara umum teknik dan kembali tujuan dan istilah matematika berbahasa inggris prosedur menulis karya manfaat menulis karya dalam jurnal dan textbook ilmiah ilmiah 67% 67% 47% Guru dapat membedakan penggunaan istilah matematika yang Guru dapat Guru dapat menyebutkan memiliki kesamaan arti pada mengungkapkan secara umum teknik dan pengucapan namun berbeda arti kembali tujuan dan prosedur publikasi dalam simbol, contoh: simbol manfaat publikasi perkalian menggunakan cross ‘x’ atau dot ‘.’ 67% 93% 33% Guru dapat membuat Guru dapat karya ilmiah baik Guru dapat menggunakan istilah mengklasifikasi jenis berdasarkan penelitian matematika berbahasa inggris yang penelitian, karya ilmiah yang pernah dilakukan sesuai dalam artikel karya ilmiah dan publikasi ataupun studi literatur 53% 67% 40% Persentase Rata-rata Per Pertemuan 68.5% 73.5% 45% Persentase Rata-rata keseluruhan 62.3%
1056
Tabel 5 menggambarkan persentase hasil pemahaman dan motivasi guru berdasarkan tinjauan personal masing-masing guru. Data pada tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata pemahaman dan motivasi guru matematika dalam kegiatan in house training pengenalan istilah matematika (mathematical terms) sebagai upaya menunjang penelitian, penulisan dan publikasi ilmiah kematematikaan untuk pengembangan profesionalisme guru cukup besar yaitu mencapai 80.8%. Tabel 5. Persentase Hasil Angket Pemahaman dan Motivasi No
Aspek yang diamati
Pemaparan urgensi dan teknik meneliti, menulis karya ilmiah dan publikasi melalui kegiatan in house training membuat 1 saya mengetahui dan memahami tujuan dan manfaatnya dalam mendukung pengembangan profesionalisme saya sebagai guru Melalui kegiatan in house training saya dapat mengetahui 2 klasifikasi jenis penelitian, karya ilmiah dan publikasi Saya dapat belajar menyusun suatu penelitian, menuliskannya 3 dalam karya ilmiah dan mempublikasikannya Kegiatan in house training ini membuat saya lebih memahami 4 teknik dan prosedur yang harus dilakukan dalam merancang suatu penelitian, menulis karya ilmiah dan publikasi Melalui in house training saya mengetahui penggunaan istilah 5 matematika berbahasa inggris dalam jurnal maupun textbook Pengenalan dan pemaparan istilah matematika berbahasa 6 inggris dapat membantu saya dalam penulisan karya ilmiah kematematikaan Melalui in house training saya dapat membuat karya ilmiah 7 kematematikaan menggunakan istilah matematika berbahasa inggris yang saya temui dalam jurnal maupun textbook Dengan mengetahui tahapan-tahapan dalam meneliti, menulis 8 karya ilmiah dan publikasi, saya dapat menerapkannya sendiri dan mengembangkan sesuai kebutuhan Belajar membuat karya ilmiah kematematikaan dengan praktik langsung melalui in house training ini memberi saya 9 motivasi lebih untuk mengembangkan profesionalisme saya sebagai guru Kegiatan in house training pengenalan istilah matematika berbahasa inggris perlu diselenggarakan di sekolah untuk 10 meningkatkan motivasi guru matematika melakukan publikasi dan sebagai upaya mendukung pengembangan profesionalisme guru Rata-rata
Pilihan Jawaban Ya Tidak
87%
13%
93%
7%
67%
33%
87%
13%
93%
7%
67%
33%
67%
33%
80%
20%
67%
33%
100%
0
80.8%
19.2%
Dari peraihan persentase angket pemahaman dan motivasi pada tabel 5 di atas, tim penulis memperhatikan bahwa kegiatan in house training memberikan dampak positif bagi guru dalam membangun budaya meneliti, menulis dan melakukan publikasi karya ilmiah yang dapat mendukung pengembangan profesionalisme guru. Namun yang masih menjadi catatan tim penulis adalah masih kurangnya pemahaman yang berhubungan dengan penggunaan istilah kematematikaan. Hal ini menjadi pertimbangan dan koreksi tim penulis dalam menyusun kegiatan in house training lanjutan yang dapat memasilitasi dan mengoptimalkan peningkatan pemahaman yang berhubungan dengan istilah matematika berbahasa inggris.
1057
3. Kesimpulan Berdasarkan hasil-hasil utama yang telah diuraikan pada poin dua melalui pembahasan lembar observasi dan pengolahan angket pemahaman, dapat disimpulkan bahwa: a. Pemahaman dan motivasi guru dalam mengikuti kegiatan in house training pengenalan istilah-istilah matematika terhadap penulisan karya ilmiah memiliki persentase rata-rata yang cukup baik yaitu 62.3%. b. Respon dan tanggapan guru dalam kegiatan in house training untuk mendukung pengembangan profesionalisme guru memiliki persentase rata-rata yang cukup besar yaitu 80.8%. Tantangan dan kajian selanjutnya yaitu bagaimana menginisiasi peningkatan publikasi ilmiah guru matematika di lingkungan Yayasan Pendidikan Informatika (YPI) Serang sebagai upaya pengembangan profesionalisme guru dan merancang instrumen untuk tujuan tersebut. Referensi [1] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. [2] OECD, 2011, Preparing Teachers and Developing School Leaders for 21 st Century, OECD Publishing. [3] Caena, F., 2013, Supporting Teacher Competence Development, European Commission. [4] Mizell, H., 2010, Why Professional Development Matters, Learning Forward USA. [5] Guerriero, S., 2013, Teachers’ Pedagogical Knowledge and the Teaching Profession, OECD Publishing. [6] Ivanenko, N.A., Mustafina, G.M., Sagitova, V.R. et. Al., 2015, Basic Components of Developing Teachers’ Research Competence as a Condition to Improve Their Competitiveness, Review of European Studies, Vol. 7 (4), 221-227, doi: 10.5539/res.v7n4p221. [7] Teacher Training Advanced Centre (TTAC), 2011, Standars of Professional Competencies Required of Teachers, General Directorate of Education Spanish. [8] Mahar, S., 2006, Teachers as Researchers, Department of Education and Early Childhood Development Victoria. [9] Schieb, L.J., & Karabenick, S.A., 2011, Teacher Motivation and Professional Development: A Guide to Resources, Motivation Assessment Program University of Michigan. [10] Timperley, H., Wilson, A., Barrar, H., & Fung, I., 2007, Teacher Professional Learning and Development, Ministry of Education New Zealand. [11] Han, J. & Yin, H., 2016, Teacher Motivation: Definition, Research Development and Implications for Teachers, Cogent Education, Vol. 3, 1-18, doi: 10.1080/2331186X.2016.1217819.
1058
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 1059-1070
PEMBELAJARAN MATERI RATA-RATA DENGAN MENGGUNAKAN DIAGRAM BATANG MELALUI PENDEKATAN PMRI RATIH PUSPA SARI1, DARMAWIJOYO2, YUSUF HARTONO3 1FKIP
UNSRI, Mahasiswa Magister Pend. Matematika,
[email protected] 2Universitas Sriwijaya,
[email protected] 3Universitas Sriwijaya,
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan lintasan belajar yang dapat membantu siswa dalam mempelajari materi rata-rata dengan menggunakan diagram batang melalui pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Metode yang digunakan adalah design research yang melalui tiga tahapan, yaitu: preliminary design, the design experiment dan the retrospective analysis. Namun penelitian ini hanya menunjukkan hasil pada tahap the design experiment, khususnya pada tahapan pilot experiment. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui wawancara, rekaman video dan foto, tes tertulis, serta catatan lapangan. Penelitian ini melibatkan 6 orang siswa di kelas VI yang terdiri dari siswa dengan kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa diagram batang dapat mendukung siswa untuk mengembangkan pengetahuan mereka tentang konsep rata-rata. Seluruh strategi yang siswa temukan, gambarkan dan diskusikan menunjukkan bagaimana kontribusi siswa dapat digunakan untuk membantu pemahaman awal mereka tentang konsep rata-rata. Kata kunci: Diagram Batang, Rata-Rata, Design Research, PMRI
1. Pendahuluan Pembelajaran statistika penting bagi siswa karena statistika diterapkan secara luas dalam berbagai disiplin ilmu, misalnya ilmu alam, bisnis dan industri, Bakker [1]. Oleh karena itu, penting untuk mempelajari topik ini. Dalam statistika terdapat istilah ukuran pemusatan. Ukuran pemusatan data terdiri dari rata-rata (mean), median, dan modus. Menurut Permendikbud No. 24 Tahun 2016 [2], materi ukuran pemusatan data tunggal diajarkan di kelas VI. Adapun pokok bahasan dalam artikel ini yaitu rata-rata (mean). Penelitian-penelitian sebelumnya di antaranya, penelitian oleh Lestariningsih, Putri & Darmawijoyo [3] yang merancang pembelajaran menggunakan konteks Legenda Pulau Kemaro dengan pendekatan PMRI serta Putria, Putri & Mulyono [4] menggunakan lego block untuk menemukan konsep rata-rata. Assagaf [5] mengemukakan bahwa kebanyakan guru mengajarkan konsep rata-rata dengan cara tradisional, dengan fokus pada perhitungan tetapi tidak pada pemahaman konsep. Selain itu, pembelajaran cenderung mengikuti definisi dan permasalahan yang diberikan dalam buku teks tanpa diuraikan lebih pada pengembangan pemahaman siswa tentang konsep.
1059
Berdasarkan permasalahan di atas, diperlukan cara belajar yang menarik dan bermakna bagi siswa. Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran ini yaitu Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). PMRI merupakan adaptasi dari Realistic Mathematics Education (RME). Dalam PMRI, titik awal dari pembelajaran matematika harus berdasarkan pengalaman nyata kehidupan sehari-hari siswa dan menggunakan situasi kontekstual. [6]. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana lintasan belajar dapat membantu siswa dalam mempelajari materi rata-rata dengan menggunakan diagram batang melalui pendekatan PMRI. Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan lintasan belajar yang dapat membantu siswa dalam mempelajari materi rata-rata denganmenggunakan diagram batang melalui pendekatan PMRI. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah design research. Menurut Gravemeijer & Cobb [7], terdapat tiga tahap dalam design research yaitu: preliminary design, the design experiment dan the retrospective analysis. Namun, di dalam penelitian ini, peneliti hanya sampai pada tahap the design experiment, khususnya pada tahapan pilot experiment yang melibatkan enam orang siswa dengan kemampuan tinggi, sedang, dan rendah.
2. Hasil – Hasil Utama Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 157 Palembang dengan melibatkan enam orang siswa kelas VI (bukan subjek penelitian pada tahap teaching experiment) yang terdiri dari dua orang siswa yang memiliki kemampuan tinggi, dua orang siswa yang memiliki kemampuan sedang, dan dua orang siswa yang memiliki kemampuan rendah. Penelitian ini sudah melalui dua tahapan dari tiga tahapan dari design research, yaitu persiapan untuk penelitian atau desain awal (preliminary design) dan desain percobaan (the design experiment) yang dilaksanakan pada siklus pilot experiment. Pilot experiment bertujuan untuk mengetahui pengetahuan awal siswa dan mengumpulkan data untuk mendukung penyesuaian rencana lintasan belajar. Pada tahap preliminary design, dilakukan kajian literatur tentang statistika khususnya rata-rata, pembelajaran statistika pada Kurikulum 2013 untuk SD, pendekatan PMRI, dan design research sebagai dasar untuk merumuskan dugaan awal dalam pembelajaran rata-rata. Peneliti juga mengobservasi siswa di kelas yang akan menjadi teaching experiment serta berdiskusi dengan guru matematika yang menjadi guru model untuk mengetahui lebih jauh mengenai kondisi siswa dan kondisi kelas. Hasil dari observasi dan diskusi tersebut, diketahui bahwa guru mengajarkan materi rata-rata dengan cara memberikan penjelasan materi dan rumusnya, memberikan contoh soal lalu siswa mengerjakan soal-soal latihan secara individu dan tidak ada diskusi antar siswa di dalam kelas. Selain itu, peneliti menyusun serangkaian aktivitas siswa untuk mencapai konsep rata-rata dari tahap informal ke tahap formal. Selanjutnya peneliti menelusuri kemampuan awal siswa dengan melakukan wawancara tentang hal-hal yang berkaitan dengan rata-rata dan mengadakan tes awal. Hasil tersebut digunakan peneliti sebagai bahan dalam mendesain aktivitas untuk siswa. Setelah itu, peneliti mendesain Hypothetical Learning Trajectory (HLT) sebagai gambar alur pembelajaran materi rata-rata dengan menggunakan diagram batang melalui pendekatan PMRI. Berikut HLT yang sudah dirancang oleh peneliti.
1060
Hypothetical Learning Trajectory Siswa dapat menyajikan data ke dalam tabel
Siswa dapat menentukan rata-rata
Siswa dapat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan ratarata dari data
Gambar 1. Hypothetical Learning Trajectory (HLT) Selain HLT, peneliti merancang perangkat pembelajaran yang mendukung berupa tes awal (pre test), rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), panduan guru, lembar aktivitas siswa, lembar observasi dan tes akhir (post test). Setiap aktivitas menguraikan tujuan pembelajaran, pengetahuan awal siswa, deskripsi kegiatan belajar, konjektur berpikir siswa, dan refleksi dari aktivitas yang dilakukan. Hasil desain ini dibahas dengan guru matematika atau guru model kemudian diterapkan dalam studi pendahuluan (pilot experiment). Pada tahap pilot experiment, peneliti mengujicobakan lembar aktivitas materi rata-rata yang sudah peneliti desain pada tahap preliminary design. Pada tahap ini, peneliti bertindak sebagai guru bersama dengan enam orang siswa kelas VI. Nama-nama siswa dalam tahap pilot experiment dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Daftar nama siswa pada tahap pilot experiment No. Nama Siswa Kemampuan 1 RA Tinggi 2 NI Tinggi 3 SNA Sedang 4 DAA Sedang 5 NSE Rendah 6 NR Rendah Pada tahap pilot experiment ini, peneliti mengobservasi dan menganalisis hal-hal yang terjadi pada serangkaian aktivitas HLT yang dilaksanakan. Aktivitas tersebut antara lain: mengumpulkan data, menyajikan data, menggambar tumpukan persegi, memotong dan menyambung batang pada diagram batang, menentukan ratarata dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan rata-rata dari data tunggal. Siswa diberikan dua buah lembar aktivitas untuk dua kali pertemuan. LAS 1 bertujuan siswa dapat menentukan rata-rata dan LAS 2 bertujuan siswa dapat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan rata-rata dari data tunggal. Berikut diuraikan hasil yang diperoleh dari ujicoba bersama siswa. Dari aktivitas 1 pada LAS 1, siswa melakukan permainan gasing untuk mengumpulkan data berupa waktu lamanya gasing berputar. Enam orang siswa dibentuk menjadi tiga kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari dua orang siswa. Setiap kelompok melakukan pemutaran gasing sebanyak tiga kali. Gambar 2 menunjukkan siswa sedang bermain gasing dan melakukan pengukuran waktu dengan melihat gerakan putaran detik pada jam.
1061
Gambar 2. Siswa bermain gasing dan melakukan pengukuran waktu Selanjutnya siswa menyajikan data yang diperoleh dari permainan memutar gasing sebanyak tiga kali ke dalam tabel. Data yang diperoleh dari permainan memutar gasing dapat digunakan siswa untuk membantu belajar tentang tabel dan diagram batang. Setiap kelompok memiliki data yang berbeda. Pada tahap pilot experiment ini, terlihat bahwa siswa berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi mampu untuk menyajikan data yang dikumpulkannya sendiri. Permainan gasing ini merupakan tahap informal (konteks) pada pendekatan PMRI. Salah satu hasil jawaban siswa dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Salah satu jawaban siswa pada aktivitas penyajian data Setelah menyajikan data ke dalam tabel, siswa mengerjakan aktivitas 2 pada LAS 1. Pada aktivitas 2 ini, siswa diarahkan menentukan rata-rata dengan teori fair share. Hal ini penting bagi guru untuk mengetahui bagaimana membantu siswa untuk memahami rata-rata sebagai pembagian sama rata (as a fair share) dan sebagai sebuah poin yang seimbang (as a balance point). [8]. Siswa menggambar tumpukan persegi berdasarkan catatan waktu lamanya gasing berputar untuk putaran ke-1, putaran ke-2 dan putaran ke-3 dalam satuan detik yang diperoleh dari permainan gasing pada aktivitas 1. Satu persegi mewakili satu detik putaran gasing. Jadi, tingginya atau panjangnya tumpukan disusun berdasarkan lamanya gasing berputar. Aktivitas membuat gambar tumpukan atau susunan persegi berdasarkan lamanya gasing berputar dalam satuan detik bisa menstimulus siswa
1062
untuk memperoleh kemampuan dalam memahami diagram batang. Kemudian siswa diminta untuk menemukan cara agar tingginya tumpukan-tumpukan persegi tersebut menjadi sama tinggi atau jumlah perseginya menjadi sama banyak. Aktivitas memodelkan pengukuran waktu ke dalam gambar tumpukan persegi ini merupakan tahapan model of pada pendekatan PMRI. Hasil jawaban siswa dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Salah satu jawaban siswa pada aktivitas menggambar tumpukan persegi Dari hasil diskusi dan pekerjaan siswa, terdapat jawaban yang berbeda seperti yang ditunjukkan pada gambar 5. Meskipun siswa tidak menyusun persegi bertumpuk ke atas atau ke samping seperti gambar 4, jawaban siswa tersebut tetap benar, karena siswa mampu membagi banyaknya persegi menjadi sama banyak. Hal ini dapat dilihat pada sisa satu persegi dari putaran ke-1 dan putaran ke-2 yang membuat siswa memiliki ide untuk membaginya menjadi tiga bagian kemudian dipindahkan ke tumpukan persegi pada putaran ke-3 sehingga ditemukan rataratanya bernilai 22 2⁄3. Hasil jawaban siswa ditunjukkan pada Gambar 5.
1063
Gambar 5. Jawaban siswa yang berbeda pada aktivitas menggambar tumpukan persegi Selanjutnya, dari aktivitas 3 pada LAS 1 siswa menyajikan kembali strategi yang ditemukan pada aktivitas 2. Ada tiga permasalahan yang diajukan kepada siswa dalam aktivitas ini. Pertama, siswa diminta untuk menyajikan ulang data hasil permainan gasing sebanyak tiga kali putaran ke dalam diagram batang kemudian mengubah tinggi semua batang menjadi sama tinggi. Kedua, mereka diminta mengisi tabel yang didesain mengacu pada konsep rata-rata. Dalam permasalahan ketiga, siswa diminta untuk membuat kesimpulan berdasarkan tabel yang telah dibuat. Berikut diuraikan jawaban siswa. Siswa menyajikan data yang diperoleh pada aktivitas 1 ke dalam diagram batang. Siswa memotong dan menyambungkan batang pada diagram batang untuk membuat tinggi batang-batang tersebut menjadi sama tinggi. Aktivitas memodelkan pengukuran waktu ke dalam diagram batang ini merupakan tahapan model for pada pendekatan PMRI. Hasil jawaban siswa dapat dilihat pada Gambar 6.
1064
Gambar 6. Salah satu jawaban siswa pada aktivitas memotong dan menyambung batang Berdasarkan Gambar 6, siswa memotong batang pada batang ke-1 sebanyak 7 satuan dan memindahkannya ke batang yang ke-3. Kemudian siswa juga memotong batang untuk putaran gasing ke-2 sebanyak 7 satuan dan menyambungnya pada batang ke-3 sehingga tinggi ketiga batang tersebut sama rata. Aktivitas ini merupakan lanjutan dari aktivitas sebelumnya yang menstimulus siswa menemukan rata-rata dalam menggambar tumpukan persegi sehingga sama tinggi setinggi 17 tumpukan persegi. Hal ini berarti siswa menemukan nilai rata-rata lamanya ketiga gasing berputar adalah 17 detik. Strategi ini menunjukkan kemampuan siswa lebih formal daripada sebelumnya karena mereka tidak perlu membuat satuan persegi seperti pada aktivitas 2. Setelah menemukan strategi diagram batang yang telah dibuat agar tinggi setiap batangnya menjadi sama rata, siswa diminta untuk menarik kesimpulan dari aktivitas-aktivitas yang telah dilakukan. Siswa melengkapi tabel hasil penemuannya berupa data lama dan data baru dari batang pada diagram batang sebelum dan setelah tinggi batangnya dibuat sama rata. Hasil jawaban siswa dapat dilihat pada Gambar 7.
1065
Gambar 7. Salah satu jawaban kesimpulan siswa Untuk permasalahan kedua dan ketiga, mampu diselesaikan oleh siswa dengan tepat. Dari jawaban siswa tersebut, semua kelompok sudah mampu menyimpulkan makna dari rata-rata. Aktivitas mengisi tabel merupakan jembatan antara tahap informal menuju tahap formal dalam pembelajaran. Kemampuan siswa untuk menarik kesimpulan dari tabel menjadi sarana untuk menemukan kembali rumus untuk menentukan rata-rata kemudian digunakan bagi siswa untuk memecahkan masalah pada LAS 2. Hal ini merupakan tahapan formal pada pendekatan PMRI. Pada pertemuan kedua, siswa diberikan LAS 2 untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan materi rata-rata dari data tunggal. Terdapat empat butir soal. Soal pertama, siswa diminta untuk mencari rata-rata menggunakan diagram batang sedangkan soal nomor dua, siswa diminta untuk mencari rata-rata menggunakan rumus formal. Hasil jawaban siswa dapat dilihat pada Gambar 8.
1066
Gambar 8. Salah satu jawaban siswa soal nomor 1 LAS 2
Gambar 9. Salah satu jawaban siswa soal nomor 2 LAS 2 Berdasarkan Gambar 8 dan Gambar 9, diketahui bahwa siswa mampu menghitung rata-rata baik dengan menggunakan diagram batang maupun rumus. Siswa tidak menemui kesulitan saat mengerjakan dua buah soal tersebut. Namun, beberapa siswa masih sedikit mengalami kebingungan ketika menyelesaikan soal nomor satu dengan menggunakan diagram batang karena masih terpacu pada rumus. Selanjutnya soal nomor tiga dan empat, siswa menyelesaikan permasalahan materi rata-rata dari data tunggal. Untuk kedua soal ini, siswa diperbolehkan menjawab dengan menggunakan diagram batang ataupun rumus. Hasil jawaban siswa ditunjukkan pada Gambar 10.
1067
Gambar 10. Salah satu jawaban siswa soal nomor 3 LAS 2 Siswa diberikan permasalahan berupa jika data lama ditambah dengan satu data baru, maka berapakah rata-ratanya. Dari Gambar 10, dapat dilihat bahwa siswa menyelesaikan permasalahan dengan tepat. Siswa tersebut mampu menyelesaikan dengan dua cara. Siswa bisa menjumlahkan data baru dengan jumlah dari data yang lama, lalu dibagi dengan banyaknya data baru. Terlihat bahwa siswa tidak mengalami kesulitan dalam membagi dua buah bilangan bulat yang menghasilkan bilangan desimal. Selanjutnya, untuk soal nomor 4 pada LAS 2, siswa menyelesaikan permasalahan dengan dua cara yang berbeda. Siswa dengan kemampuan tinggi dan sedang mengerjakan soal tersebut menggunakan rumus formal seperti pada Gambar 11 (a). Namun, siswa dengan kemampuan rendah, memecahkan permasalahan dengan bantuan diagram batang seperti pada Gambar 11 (b). Jawaban-jawaban siswa ditunjukkan pada Gambar 11.
1068
(a)
(b) Gambar 11. Salah satu jawaban siswa soal nomor 3 LAS 2 Berdasarkan uraian di atas, secara umum diketahui bahwa permainan gasing memiliki peran penting dalam mendukung proses belajar statistika. Permainan gasing dapat menjadi titik awal dalam membantu siswa memahami konsep-konsep dasar dalam statistika. Permainan gasing sangat menarik bagi siswa sehingga mereka mengikuti serangkaian aktivitas yang dirancang dengan sangat antusias, sehingga permainan menjadi konteks yang realistis bagi siswa.
1069
Selain itu, siswa dapat belajar bagaimana untuk mengumpulkan data mereka sendiri dan mereka dapat menggunakan data mereka sendiri. Terakhir, siswa juga dapat menunjukkan bagaimana menemukan rata-rata dari suatu data. Lintasan belajar materi rata-rata dilakukan mulai dari pengembangan kemampuan siswa dari data yang diperoleh dari bermain gasing (tahap informal) sampai ke tahap formal yaitu siswa dapat menentukan rata-rata. 3. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa HLT yang telah diterapkan dalam penelitian ini telah menjadi lintasan belajar yang dapat membantu siswa dalam mempelajari materi rata-rata dengan menggunakan diagram batang melalui pendekatan PMRI. Adapun hal-hal dalam lintasan belajar pada penelitian ini yang dapat membantu siswa antara lain sebagai berikut: a. Pengalaman dalam belajar yang bermakna dan menyenangkan yang diberikan yaitu aktivitas menyajikan data yang diperoleh dari permainan gasing. b. Strategi dalam menemukan konsep rata-rata melalui diagram batang. Dengan demikian, lintasan belajar yang telah diimplementasikan dalam penelitian ini merupakan salah satu bentuk kontribusi positif dalam pembelajaran rata-rata menggunakan diagram batang dengan pendekatan PMRI. Pernyataan terima kasih. Penulis menyampaikan ungkapan terima kasih kepada seluruh pihak yang memberikan dukungan, Prof. Dr. Ratu Ilma, M.Si selaku Ketua Prodi Magister Pendidikan Matematika, Dr. Darmawijoyo selaku dosen pembimbing 1, Dr. Yusuf Hartono selaku dosen pembimbing 2, serta rekan-rekan Magister Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya angkatan 2015. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Universitas Indonesia yang memberikan kesempatan untuk mempublikasikan artikel ini. Referensi [1] Bakker, A., 2004, Design Research in Statistics Education on Symbolizing and Computer Tools.Utrecht University. [2] Permendikbud No. 24 Tahun 2016. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Matematika SD/MI. http://www.gurupembelajar.net/2016/07/permendikbud-no-24-tahun-2016tentang.html. Diakses pada 30 September 2016. [3] Lestariningsih, Putri, R. I. I., & Darmawijoyo, 2012, The Legend of Kemaro Island for supporting students in learning average. IndoMS. J.M.E, 203-212. [4] Putria, A., Putri, R. I. I., & Mulyono, B., 2015, Pembelajaran Matematika pokok bahasan rata-rata hitung menggunakan pendekatan PMRI di kelas VII. Jurnal Pendidikan Matematika, Vol 9, No (2). [5] Assagaf, S. F., 2014, Developing The 5th Grade Students’ Understanding Of The Concept Of Mean. Tesis. UNESA-Utrecht University. [6] Zulkardi, 2002, Developing A Learning Enviroment on Realistics Mathematics Education for Indonesian Student Teacher. Disertasi. Enschede: University of Twente. [7] Gravemeijer, K. & Cobb, P., 2013, Design Research From A Learning Design Perspective. In T. Plomp, N. Nieveen. (Ed.): Educational Design Research (pp.72-133). Enschede: SLO. [8] Franklin, C. A. & Mewborn, D. S., 2007, Contemporary Curriculum Issues: Statistics in the Elementary Grades: Exploring Distributions of Data. Teaching Children Mathematics. 14 (August 2008): 10–16.
1070
Prosiding SNM 2017 Pen d i di ka n , Ha l 10 71 -10 79
MENGOPTIMALKAN LONG TERM MEMORY DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH YUNITA HERDIANA1, YULIANA SELFIA EKO2, 1 Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia,
[email protected] 2 Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia,
[email protected]
Abstrak. Long term memory pada hakikatnya merupakan tempat penyimpanan pengetahuan secara permanen dan mempunyai kapasitas yang tidak terbatas. Kurang optimalnya long term memory pada siswa menyebabkan informasi yang diterimanya samar-samar atau bahkan mudah dilupakan. Hal tersebut seringkali mempersulit siswa dalam belajar matematika yang dihadapkan pada materi materi terkait yang telah dipelajari sebelumnya. Pada pembelajaran matematika di sekolah, hubungan antara kerja memori dengan kemampuan matematika siswa cenderung diabaikan. Padahal ini sangat berguna dalam membantu guru untuk menentukan strategi yang akan digunakan pada berbagai materi matematika. Informasi-informasi yang telah disimpan pada short term memory, jika dengan menggunakan startegi yang tepat dapat meningkatkan daya ingat bagi siswa pembelajar visual maupun auditori, yang selanjutnya akan tersimpan pada long term memory. Oleh karena itu, tantangan seorang guru dalam mendesain sebuah pembelajaran matematika adalah mengupayakan strategi agar informasi yang disampaikan dalam pembelajaran matematika dapat disimpan dalam long term memory secara baik, pemahaman mendalam, serta dalam jangka waktu yang lama. Kata kunci: Long term memory, pembelajaran matematika, strategi mengajar
1. Pendahuluan Sudah menjadi wacana yang sangat umum bahwa banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar matematika. Jika diperhatikan dalam pembelajaran di dalam kelas, ketika siswa diberikan penjelasan tentang suatu topik, mereka akan menyatakan mengerti. Namun pada saat mengerjakan soal, banyak siswa yang masih melakukan kesalahan. Debora, Mustangin &Irawati [1] memaparkan penyebab kesulitan belajar. Jika dianalisa penyebabnya, maka Brucker, Davis, dan Nederson mengelompokkan penyebab kesulitan belajar menjadi lima faktor, yaitu: (1) Faktor Fisiologis, (2) Faktor Sosial, (3) Faktor Emosional, (4) Faktor Intelektual, dan (5) Faktor Pedagogis. Faktor kesulitan belajar yang pertama, yaitu faktor fisiologis berkaitan dengan keadaan fisik siswa, seperti siswa yang sering sakit-sakitan, gangguan pendengaran, penglihatan ataupun pengucapan sedikit banyaknya akan menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam belajar. Selanjutnya faktor kedua, yaitu faktor sosial, sudah kenyataan yang tidak dapat dibantahkan jika orang tua dan
1071
masyarakat sekeliling berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan kecerdasan siswa sebagaimana ada yang menyatakan bahwa sekolah adalah cerminan masyarakat dan anak adalah gambaran orang tuanya. Oleh karena itu peranan orang tua, guru dan masyarakat sangat menentukan dalam memotivasi siswa. Ketiga, faktor kejiwaaan merupakan faktor-faktor yang menjadi penyebab kesulitan belajar siswa yang berkaitan dengan kurang mendukungnya perasaan hati (emosi) siswa untuk belajar secara bersungguh-sungguh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang dapat mempelajari suatu mata pelajaran dengan baik akan menyenangi pelajaran tersebut, dan sebaliknya. Maka tindakan seorang guru dapat mempengaruhi perasaan dan emosi siswanya. Keempat, faktor intelektual berkaitan dengan kurangnya tingkat kecerdasan siswa. Para guru harus meyakini bahwa setiap siswa mempunyai tingkat kecerdasan berbeda. Ada siswa yang sangat sulit menghapal sesuatu, ada yang sangat lamban menguasai materi tertentu, ada yang tidak memiliki pengetahuan prasyarat dan juga ada yang sangat sulit membayangkan dan bernalar. Faktor penyebab kesulitan belajar siswa mengenai intelektual ini yang akan penulis minimalisir melalui pengoptimalan long term memory siswa. Faktor yang terakhir, yaitu faktor pendidikan berkaitan dengan belum mantapnya lembaga pendidikan, baik dari sistem, sarana, dan prasarananya. Adapun kesulitan-kesulitan belajar yang dialami siswa yang ditulis oleh Widdiharto [2], setelah memahami konsep, hal-hal yang sering terjadi pada siswa adalah: tidak memahami, samar-samar, segera lupa atau lupa sebagian, atau sangat tidak memahami. Kesulitan-kesulitan yang terjadi tersebut sangat berkaitan dengan: 1. Ketidakmampuan memberi nama singkat atau nama teknis, 2. Ketidakmampuan menyatakan arti istilah yang menandai konsep, 3. Ketidakmampuan mengingat, 4. Ketidakmampuan memberikan contoh konsep tertentu, 5. Kesalahan klasifikasi, dan 6. Ketidakmampuan mendeduksi informasi berguna dari suatu konsep. Dari kesulitan-kesulitan belajar di atas, tidak semuanya dapat dijawab dengan mengoptimalkan faktor intelektual yang diproses di belahan otak kiri saja. Ada beberapa kesulitan yang dapat diselesaikan dengan mengoptimalkan fungsi kerja otak kiri dan otak kanan secara sinergis. Dalam pembelajaran di sekolah yang terjadi bahwa keduanya tidak diperlakukan seimbang. Garner [3] menyatakan bahwa sistem sekolah lebih banyak mengajar, mengetes, memaksa, dan menghargai kemampuan verbal, logika, matematika. Hal tersebut menunjukkan sekolah hanya mengembangkan belahan otak kiri. Harus diketahui bahwa belahan otak kiri hanya berhubungan dengan memori kerja (sort term memory), dan belahan otak kananlah yang berhubungan dengan memori jangka panjang (long term memory). Sehingga informasi yang dikelola oleh belahan otak kanan tersimpan dalam waktu yang lama dan dapat diingat kembali ketika dibutuhkan. Pembelajaran konvensional yang selama ini digunakan, dimana guru sebagai aktor utama yang aktif, dan siswa sebagai penonton yang pasif merupakan salah satu contoh pembelajaran yang tidak melibatkan otak kanan. Pembelajaran dengan otak kanan, menjadikan siswa sebagai aktor utama, siswa yang aktif mencari, menemukan, dan mengolah informasi menjadi ilmu pengetahuan. Selain itu, menurut Keeler dan Swanson [4] dalam pembelajaran matematika di sekolah guru cenderung mengabaikan hubungan antara kerja memori dengan kemampuan matematika siswa. Padahal ini sangat berguna dalam membantu guru dalam menentukan strategi yang akan digunakan pada berbagai materi matematika yang akan diajarkan. Hal serupa juga dinyatakan oleh Webster [5] yang memaparkan
1072
bahwa informasi-informasi yang telah disimpan pada short term memory, jika dengan menggunakan strategi yang tepat meningkatkan daya ingat bagi siswa pembelajar visual maupun auditori, yang selanjutnya akan tersimpan pada long term memory. Oleh karena itu penulis melakukan studi literatur dan penelitian untuk mengupayakan pengoptimalan long term memory siswa dalam pembelajaran matematika di sekolah. 2. Hasil – Hasil Utama
Diagram 1. Cara Kerja Memori
Diagram sistem pemrosesan informasi yang paling mendasar ini kemudian dikenal dengan Modal Model yang dipaparkan oleh Brunning, Scraw, Norby, & Ronning [6]. Diagram ini telah dikembangkan lebih lanjut oleh J. Anderson (Teori ACT), A. Baddeley (Klasifikasi memori pekerja) dan K. Ericcson (Pengembangan keahlian/ekspertis). Karakter dan fungsi dari masing-masing bagian sistem kognitif tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Memori Penginderaan (Sensory Memory) Memori penginderaan adalah komponen paling pertama yang menerima informasi. Untuk memberikan persepsi dan identifikasi awal informasi yang diterima, memori ini mengubah informasi dalam bentuk signal-signal stimulus. Bruning et al [6] mengatakan bahwa penelitian menunjukkan bahwa memori ini menahan signal-signal tersebut untuk memberikan persepsi dan identifikasi dalam waktu yang sangat pendek (kurang dari satu mikro detik) dan signal tersebut akan segera hilang dari memori ini karena datangnya signal-signal stimulus berikutnya. Memori penginderaan merupakan suatu sistem yang terdiri dari penerima atau penerus informasi (sense registers). Penerima informasi dikenal dengan alat pengindera, seperti mata (untuk melihat dan menerima pandangan/informasi visual), telinga (untuk mendengar dan menerima suara/informasi auditori), hidung (untuk membau), lidah (untuk merasa) dan kulit (untuk meraba). Meskipun setiap alat pengindera tersebut mempunyai kemampuan yang berbeda, sebagian besar peneliti lebih memfokuskan pada penglihatan dan pendengaran. Ada tiga proses yang terjadi ketika memori pengindera menerima suatu informasi: perhatian, persepsi atau pengenalan pola dan pemberian makna. Perhatian adalah langkah pertama yang dilakukan oleh memori pengindera untuk mendeteksi dan memperhatikan datangnya suatu stimulus. Seseorang memberikan perhatian terhadap suatu informasi dengan mengalokasikan muatan kognitif terhadap informasi tersebut. Pemberian perhatian terhadap datangnya suatu informasi dapat
1073
terjadi secara otomatis (tidak sadar) maupun secara sadar (disengaja), tergantung dari pengetahuan awal yang tersedia di memori jangka panjang. Pengetahuan awal (prior knowledge) adalah informasi yang sebelumnya telah dipelajari dan disimpan di memori jangka panjang. Di dalam memori penginderaan, informasi yang dipilih (diperhatikan) diuraikan menjadi sinyal-sinyal yang akan dipersepsikan dengan mengenali polanya, tanpa perlu memahami maknanya, menggunakan pengetahuan awal. Pengetahuan awal ini dapat berupa prototype, analisis bentuk atau deskripsi suatu bentuk. Pengetahuan awal ini menentukan bagaimana memori pengindera mempersepsikan suatu stimulus. Apabila perhatian untuk mengindera stimulus tersebut ditingkatkan, maka alat pengindera akan mengumpulkan lebih banyak informasi yang berkaitan dan mengabaikan informasi yang tidak berkaitan. Kemudian, sistem ini akan mengirimkan ke sistem memori berikutnya (working memory) untuk memberikan dan mengorganisasikan makna informasi tersebut. Memori penginderaan tidak berfungsi untuk mempelajari informasi, tetapi memperhatikan informasi dan mengenali polanya. Implikasi dari fungsi memori penginderaan ini dalam pembelajaran matematika, antara lain: (1) memori pengindera hanya dapat mengolah informasi dalam jumlah terbatas, sehingga penyajian materi pembelajaran perlu didesain sedemikian sehingga informasi-informasi kunci dapat diterima oleh siswa dengan baik; (2) memori penginderaan dapat menerima informasi dari kelima alat indera, sehingga mengkombinasikan sajian informasi, misalnya, visual (tertulis) dan verbal, dapat meningkatkan jumlah informasi yang mampu diterima oleh memori pengindera. 2. Working Memory (Memory Pekerja) Ketika saat ini kita sedang memikirkan suatu informasi, maka kita sedang menghadirkan informasi tersebut di memori pekerja. Memori pekerja sebelumnya dikenal dengan memori jangka pendek (short term memory). Secara fungsi, memori ini bertugas untuk mengorganisasikan informasi, memberi makna informasi dan membentuk pengetahuan untuk disimpan di memori jangka panjang, sehingga disebut memori pekerja. Secara kapasitas, memori ini hanya dapat menyimpan (menahan) informasi dalam waktu pendek, sehingga disebut memori jangka pendek. Bahwa memori pekerja mempunyai kapasitas yang terbatas, yaitu sekitar 5 sampai dengan 9 elemen informasi dalam satu waktu, telah ditunjukkan oleh Schaye dan Rywick [7]. Dalam penelitiannya, Miller menyajikan kata-kata yang susunanya tidak bermakna dan kemudian meminta responden untuk menyatakannya kembali. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar responden hanya mampu mengingat antara lima sampai dengan sembilan kata. Bruning et al [6] memaparkan bahwa penelitian yang sama diulang oleh Peterson dan Peterson pada tahun 1959 menyatakan bahwa banyaknya informasi yang dapat ditahan oleh memori pekerja akan semakin menurun setelah beberapa waktu. Dengan kata lain, memori pekerja kita mempunyai keterbatasan kapasitas dan durasi dalam mengolah informasi secara simultan. Jika memori jangka panjang tidak cukup mempunyai pengetahuan awal yang menjadi prasyarat untuk memaknai dengan tepat informasi yang sedang diolah, maka memori pekerja akan kesulitan memberikan makna dan mengkonstruksi pengetahuan tersebut sebagai pengetahuan. Dengan kata lain, memori pekerja kelebihan beban memahami permasalahan. Namun, jika terdapat pengetahuan prasayarat yang cukup untuk mengolah informasi yang sedang dihadirkan, maka memori pekerja akan menjadi mudah mengolah informasi tersebut. Dengan kata lain,
1074
memori pekerja mempunyai cukup kapasitas untuk memahami permasalahan sehingga ada ruang di memori perkerja yang dapat digunakan untuk mengkonstruksi penyelesaian permasalahan tersebut. Implikasi dari fungsi memori pekerja dalam mendesain metode pembelajaran matematika, antara lain: (1) perlu memahami tingkat kekompleksan materi yang akan dipelajari atau banyaknya informasi yang akan disampaikan; (2) perlu mengetahui tingkat pengetahuan awal siswa yang akan mempelajari materi yang disampaikan; (3) meminimalkan jumlah dari beban kognitif intrinsik dan ekstrinsik; dan (4) memfasilitasi proses yang meningkatkan beban kognitif konstruktif yaitu akuisisi dan konstruksi skema pengetahuan. 3. Long Term Memory (Memori Jangka Panjang) Sweller [8] mengatakan bahwa memori jangka panjang diasumsikan sebagai tempat penyimpanan pengetahuan secara permanen, karena pengetahuan dapat ditahan di dalam memori ini dalam waktu lama. Memori ini juga mempunyai kapasitas yang tidak terbatas. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kemampuan kita untuk menyimpan informasi sejak lahir sampai akhir hayat. Ketika kita merasa sulit menyimpan atau mengingat informasi, yang menjadi masalah bukan kapasitas memori jangka panjang kita terbatas. Namun, kapasitas memori pekerja yang terbatas dalam proses kognitif meyimpan pengetahuan atau memanggil pengetahuan. Bruning et al [6] menjelaskan bahwa memori ini dapat menyimpan pengetahuan deklaratif, prosedural dan kondisio. Pengetahuan tersebut tersimpan dalam bentuk skema. Bagaimana informasi diproses sangat tergantung dari posisi skema-skema pengetahuan di dalam memori jangka panjang ini. Susunan skema di memori jangka panjang menggambarkan kemampuan seseorang di suatu bidang. Seorang ahli dalam bidang tertentu akan mempunyai susunan skema yang baik di dalam memorinya, sehingga memudahkannya untuk mentransfer ke materi baru atau penyelesaian masalah. Implikasi dalam mendesain metode pembelajaran matematika antara lain (1) materi pembelajaran disajikan secara hirarkis; (2) pengetahuan disimpan secara baik sehingga pemahaman mendalam; dan (3) memfasilitasi automatisasi skema yaitu pengetahuan yang telah disimpan perlu dilatih berulang-ulang agar dapat dimunculkan di memori pekerja secara otomatis ketika menyelesaikan suatu permasalahan, karena pengetahuan yang dihadirkan secara otomatis tidak menambah beban di memori pekerja. Manusia cenderung mengingat hal-hal yang aneh, ganjil, lucu atau ekstrim. Oleh karena itu jika ingin mengingat sesuatu, dicoba sebisa mungkin untuk mengaitkan dengan gambaran yang lucu atau aneh. Ini adalah ingatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ingatan yang kuat. Lebih dari 60% otak digunakan untuk pemrosesan visual. Membuat diagram, grafik, sketsa, warna atau garis bawah sangat membantu. Orroso, Lussier& Swanson [9] memaparkan bahwa untuk meningkatkan kinerja dalam belajar matematika terutama pada pemecahan masalah strategi-strategi yang digunakan guru yang memberikan instruksi verbal maupun visual sangat membantu dalam pemecahan masalah, dalam proses siswa membuat diagram maupun menemukan kata kunci dari permasalahan yang diberikan. Adapun penelitian berkaitan dengan upaya meningkatkan long term memory siswa di sekolah ini dilakukan di salah satu sekolah menengah pertama yang ada di Kabupaten Bandung Barat, dengan sampel dua pada jenjang kelas VII yang masing masing kelas berjumlah 40 siswa pada materi bangun datar. Berikut gambar hasil
1075
kerja siswa pada materi belah ketupat.
Gambar 1
Gambar 2
Pada materi keliling dan belah ketupat ini, pada Gambar 1 siswa diberikan soal cerita mengenai bangun belah ketupat yang dapat ia alami/jumpai pada kehidupan nyatanya. Hal ini dimaksudkan agar siswa merasakan bahwa matematika sangat dekat dan erat kaitannya dengan kehidupannya sehari-hari. Kemudian dengan berbekal pengetahuan mengenai segitiga, siswa diajak untuk mengkontruksikan rumus dari luas belah ketupat ini (Gambar 2). Tentu saja guru sebelumnya telah melakukan apersepsi mengenai bangun segitiga pada awal pembelajaran. Apersepsi dimaksudkan agar siswa mampu mengingat kembali apa yang telah ia pahami mengenai segitiga, sehingga ia dapat menggunakan informasi-informasi mengenai segitiga yang telah ia pahami tersebut dalam membentuk konsep bangun belah ketupat ini.
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Sama halnya dalam bangun belah ketupat, pada bangun trapesium ini siswa juga diberikan soal cerita yang berkaitan dengan kehidupan nyata (Gambar 3). Kemudian dengan membuat trapesium sama kaki ataupun trapesium siku-siku, siswa diminta menghitung luas trapesium melalui pendekatan dua buah segitiga. Hal ini juga dimaksudkan agar siswa melakukan pengulangan mengenai materi segitiga dan membangun sendiri konsep mengenai trapesium didalam skema pikirannya (Gambar 4). Kemudian, setiap kegiatan pembelajaran setelah siswa menemukan dan membangun konsep pemahaman materinya sendiri, siswa diberikan latihan-latihan yang bersifat pengulangan dan soal-soal pemecahan masalah (Gambar 5). Setelah itu, siswa dapat menerapkan langkah-langkah pemecahan masalahnya sendiri, berdiskusi,
1076
menulis, berbicara, ataupun mempresentasikan hasilnya didepan kelas. Oleh karena itu, ketika hendak mendesain sebuah pembelajaran matematika, guru sebaiknya mempertimbangkan beberapa hal yang ada pada siswa dan mengacu pada proses berpikir. Adapun pembelajaran yang mampu mengoptimalkan Long Term Memory System seyogyanya mengakomodasi tahap-tahap sebagai berikut: 1. Fakta Baru Pada fase ini berlangsung proses “eksplorasi”. Siswa menemukan fakta, kemudian mengkonstruksikannya sehingga menjadi sebuah konsep/ pendekatan kontekstual penting sekali. Dalam hal ini, pembelajaran dapat dikemas dengan pengelolaan kelas dalam kegiatan individu ataupun kelompok. Pada tahap ini, informasi telah diterima oleh indera siswa, direspon oleh otak sebagai koneksikoneksi antar sel-sel otak. 2. Mengulang Fase ini adalah mengulang kegiatan eksplorasi sebagaimana pada tahap menemukan fakta baru. Jika memungkinkan, kegiatan ini sebaiknya dilakukan secara individu, karena justru pada tahap ini terjadi proses mempertahankan koneksi-koneksi yang terjadi antara sel-sel pada otak siswa. 3. Menyandikan Menyandikan merupakan tahap yang paling penting. Karena pada konsep yang telah didapat, diwujudkan dalam sebuah atau beberapa bentuk sandi. Bentuk sandi yang dapat digunakan adalah sandi visual, sandi audio, sandi fisik/ kinestetik, ataupun sandi verbal. 4. Menyimpan Menyimpan adalah mempertahankan koneksi-koneksi pada sel-sel otak. Tahap ini adalah mengimajinasikan simbol—simbol yang telah dibuat, semakin sering mengimajinasikannya, semakin permanen simbol itu tersimpan di dalam otak. Pada awalnya sebaiknya guru sesering mungkin mengkondisikan proses ini di dalam kelas walaupun dilakukan hanya beberapa saat ketika mengawali sebuah pembelajaran. Pada akhirnya siswa akan dapat melakukannya sendiri sebagai pola belajar di rumah ataupun di sekolah. 5. Mengingat Mengingat adalah tahap memanggil sandi ketika dihadapkan pada sebuah persoalan yang harus diselesaikan. Pada saat siswa menemukan sebuah persoalan, mereka akan mengaitkan dengan fakta yang telah mereka temukan sebelumnya, kemudian mengimajinasikan sandi yang telah mereka miliki. 6. Menyelesaikan Masalah Pengambilan memori jangka panjang, sama seperti penyimpanan memori jangka panjang, mungkin melibatkan proses-proses konstruktif. Siswa sering mengambil hanya sebagian dari informasi yang telah disimpan sebelumnya dan kemudian mengisi kesalahan berdasarkan apa yang logis atau konsisten dengan pengetahuan yang ada dan keyakinan tentang diri mereka sendiri atau tentang dunia pada umumnya. Meskipun proses konstruktif mungkin bertanggung jawab untuk banyak kesalahan dalam apa yang diingat, konstruksi biasanya memfasilitasi pengambilan memori jangka panjang. Ketika ingatan tentang suatu peristiwa tidak lengkap, siswa dapat mengisi rincian berdasarkan apa yang masuk akal. 1. Kekuatan kesan dan pengaruh informasi selanjutnya Kadang-kadang ingatan siswa tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan mereka sebelumnya tetapi juga oleh informasi yang disajikan beberapa saat setelah mereka pelajari apa pun yang mereka ambil. Secara umum, ini adalah hal yang
1077
baik. Siswa harus terus-menerus memperbarui pengetahuan dan pemahaman mereka sebagai informasi baru masuk. 2. Membangun sepenuhnya pemahaman baru Pengambilan konstruktif memungkinkan siswa untuk menghasilkan informasi di luar apa yang mereka simpan secara khusus. Konstruksi seperti membutuhkan waktu lebih lama daripada pengambilan informasi lama. 3. Mengingat pemahaman sebelumnya 4. Pemantauan diri selama mengingat Aspek regulasi diri yang dikenal sebagai self-monitoring, di mana siswa mengamati dan menilai perilaku mereka sendiri. Tampaknya bahwa siswa-siswa juga akan terlibat dalam self-monitoring yang lebih bersifat kognitif ketika mereka mengambil informasi dari memori jangka panjang. faktanya, mereka merefleksikan pengetahuan lama mereka dalam upaya untuk menentukan apakah mereka sedang mengingat sesuatu secara akurat atau tidak akurat 5. Perhatian penting dalam penyelidikan ingatan manusia Kadang-kadang memori manusia cukup akurat. Tapi di lain waktu ingatan seseorang dapat serius membelok atau bahkan benar-benar palsu. Dan rasa seseorang dari keyakinan tentang memori tidak selalu merupakan indikasi yang baik dari seberapa akurat memori sebenarnya. Menurut Ormrod [10] ada beberapa cara yang relevan tentang bagaimana memaksimalkan pemanggilan dan meminimalkan lupa di dalam pembelajaran yaitu: 1. Jangan pernah asumsikan bahwa sekali sudah cukup untuk informasi yang penting. 2. Ajarkan siswa untuk membuat petunjuk pengingat mereka sendiri untuk hal-hal yang perlu mereka ingat. 3. Bila detil-detil sulit diisi secara logis atau dapat dengan mudah saling bertukar pastikan siswa mempelajarinya dengan baik. 4. Tujuan taksonomi dapat berguna sebagai pengingat dari berbagai cara di mana siswa dapat diminta untuk memikirkan dan menerapkan apa yang telah mereka pelajari. 5. Berikan petunjuk pemanggilan bila perlu. 6. Berikan siswa waktu untuk memikirkan dan merumuskan respon terhadap pertanyaan yang menantang. 7. Penilaian kelas secara signifikan mempengaruhi penyimpanan dan pengambilan.
3. Kesimpulan Upaya mengoptimalkan long term memory siswa dalam pembelajaran matematika di sekolah, diantaranya: 1. Menekankan konsep Memori yang akan bertahan lama dalam long term memory yakni konsep yang disampaikan dengan cara sering mengulang-ulang konsep tersebut dengan mengaitkannya dengan materi lain. 2. Menerapkan pembelajaran kooperatif learning Siswa secara langsung menerapkan prosedur dari sebuah penyelesaian masalah matematik, siswa berdiskusi, menulis, berbicara dan menerapkan langkahlangkah penyelesaian masalah matematika dengan cara mereka sendiri. 3. Menerapkan pembelajaran dengan pendekatan realistik
1078
Melalui pendekatan reallistik, guru banyak melibatkan siswa dalam dunia nyata, dengan begitu siswa akan lebih mudah memahami materi matematika dengan karakter abstraknya melalui wujud nyata (konkrit). 4. Latihan dan tugas berkelanjutan Tugas dan latihan yang diberikan kepada siswa merupakan upaya sadar untuk menciptakan proses pengulangan sebuah konsep sehingga tersimpan lebih lama dalam long term memory.
Referensi [1] Debora, A., Mustangin & Irawati, S., 2009, Mengoptimalkan Memori Jangka Panjang Siswa SMPN 1 Pajarakan dalam Memaknai Konsep Garis Singgung Persekutuan Dua Lingkaran dengan Penyandian, Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNY. p-21, pp. 336-360, isbn: 978-979-16353-3-2. [2] Widdiharto, R., 2008, Diagnosa Kesulitan Belajar Matematika SMP dan Alternatif Proses Remidinya, P4TKMatematika. [3] Gardner, H., 2013, Kecerdasan Majemuk (Teori dalam Praktek), Interaksara. [4] Keeler, M.L and Swanson, H.L., 2001, Does Strategy Influence Working Memory in Children with Mathematical Disabilities?, Journal of Learning Disabilities, Vol. 34 No. 5, pp. 418-434, doi: 002221940103400504. [5] Webster, R.E., 1990, Short-Term Memory in Mathematics- Proficient and MathematicsDisable Students as a Function of Input-Modality/Output-Modality Pairing, The Jurnal of Special Education, Vo. 14 No. 1, pp. 67-78, doi: 002246698001400107. [6] Bruning, R. H., Scraw, G. J., Norby, M. N., & Ronning, R. R., 2004, Cognitive Psychology and Instruction. 4th Edition, Ohio: Prentice Hall. [7] Schaye, P. and Rywick, T., 1974, Use Of Long-Term Memory In Impression Formation, Psychological Reports, Vol. 34. Pp. 939-945, Stale Universiry of New York College. [8] Sweller, J., 2005, Implications of cognitive load theory for multimedia learning. In R. Mayer (Ed.), Cambridge handbook of multimedia learning (pp. 19–30), Cambridge University Press, doi:10.1017/CBO9780511816819.003. [9] Orosco, M.J., Lussier, C.M. & Swanson, H.L., 2015), Cognitive Strategies, Working Memory, and Growth in Word Problem Solving in Children with Math Difficulties, Journal of Learning Disabilities, Vol. 48 No. 4, pp. 339-358, doi: 10.1177/0022219413498771. [10] Ormrod, J. E., 2008, Human Learning, 6th edition, Boston: Pearson.
1079
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 1080-1088
PENGARUH MODEL GUIDED DISCOVERY LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA KELAS XI SMA NEGERI 23 KABUPATEN TANGERANG ATIKAH MARINI1, PETER JOHN2, DAN BUDI UTAMI3
1 Pendidikan Matematika STKIP Surya,
[email protected] 2 Pendidikan Matematika STKIP Surya,
[email protected] 3 Pendidikan Matematika STKIP Surya,
[email protected]
Abstrak. Kemampuan penalaran matematis adalah kecakapan dalam berpikir dengan cara mengaitkan fakta-fakta yang sudah ada dengan langkah-langkah tertentu untuk menarik suatu kesimpulan [3, 10, 12]. Kemampuan penalaran matematis berperan penting karena siswa yang memiliki kemampuan ini, akan mampu menghubungkan ideide matematika bahkan mengembangkannya [2]. Namun dari hasil wawancara dengan salah satu guru kelas XI SMA Negeri 23 Kabupaten Tangerang terungkap bahwa kemampuan penalaran matematis siswa belum merata. Guru tersebut menyatakan bahwa dibutuhkan suatu upaya untuk memperbaiki kemampuan penalaran matematis siswa. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang memiliki karakteristik yang dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis yaitu model guided discovery learning [5, 10]. Model pembelajaran tersebut memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerka, menggunakan intuisinya, menyelidiki dan menarik kesimpulan untuk menemukan pengetahuan baru sehingga mampu melatih kemampuan penalaran matematis siswa [11]. Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu dengan desain prates-pascates yang tidak ekuivalen. Populasi dari penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 23 Kabupaten Tangerang dengan pemilihan sampel secara cluster random. Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan soal prates dan pascates berupa soal uraian. Berdasarkan hasil uji statistik inferensial diketahui bahwa peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang menggunakan model guided discovery learning lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Kata kunci : kemampuan penalaran matematis, model guided discovery learning
1. Pendahuluan Kemampuan penalaran matematis sangat penting dalam proses pembelajaran matematika di sekolah. Ketika siswa memiliki kemampuan ini, siswa akan mampu menghubungkan ide-ide matematika bahkan mengembangkannya sehingga mereka akan menyukai matematika [2]. Lebih lanjut disebutkan bahwa ketika siswa tidak memiliki kemampuan penalaran matematis, kemungkinan besar siswa akan memandang ide-ide matematika sebagai sekumpulan fakta yang terpisah dan metode yang harus dihafalkan [2]. Pentingnya kemampuan penalaran matematis
1080
terlihat juga dari ditetapkannya kemampuan ini sebagai salah satu standar proses yang harus diketahui, dimiliki, dan digunakan siswa di sekolah dalam memperoleh dan menggunakan pengetahuan matematis [8]. Kemampuan penalaran matematis penting untuk dimiliki, tetapi kemampuan penalaran matematis siswa di SMA Negeri 23 Kabupaten Tangerang masih rendah. Hal tersebut terlihat dari hasil kerja beberapa siswa yang mengerjakan soal-soal yang membutuhkan kemampuan penalaran matematis untuk menyelesaikannya. Gambar 1.1 menunjukkan contoh hasil kerja siswa terkait beberapa soal tersebut. a. Adi sedang membuat kode yang terdiri dari satu angka dan satu huruf. Adi menggunakan angka 5, 6, 7, 8 dan 9. Ternyata kode yang telah dibuat Adi ada 35 kode dan semuanya tidak ada yang sama. Setiap huruf yang digunakan harus berpasangan dengan seluruh angka yang digunakan Adi. Jadi ada berapa huruf yang Adi gunakan untuk menyusun kode tersebut?
b. Terdapat 52 kartu
remi. 1
Pada
pengambilan pertama peluang terambilnya satu kartu wajik adalah . Jika tidak dilakukan 4 pengembalian maka pada pengambilan kedua peluang terambilnya satu kartu sekop 1
1
1
1
adalah . Sehingga peluang terambil kedua kartu adalah × = . Apakah pernyataan 4 4 4 16 tersebut sudah tepat? Kemukakan alasan kalian dan perbaikilah pernyataan tersebut!
Gambar 1.1 Soal dan jawaban siswa Sumber: Dokumen Pribadi Gambar 1.1 (soal a) menunjukkan kesalahan siswa dalam menggunakan aturan perkalian pada materi peluang. Pada soal tersebut siswa mengalikan banyaknya angka yang dipilih dengan banyaknya kode yang terbentuk dari pasangan angka dan huruf yang dipilih. Siswa seharusnya membagi banyaknya kode yang terbentuk dari pasangan angka dan huruf yang dipilih dengan banyaknya angka yang dipilih untuk menemukan banyaknya huruf yang dipilih. Solusi dari soal tersebut 35 seharusnya 5 = 7 huruf. Gambar 1.1 (soal b) menunjukkan kesalahan siswa dalam menilai argumen matematika pada soal peluang. Pada soal tersebut siswa menuliskan 1 bahwa peluang terambilnya satu kartu wajik pada pengambilan kedua tetap . 4 13 Seharusnya peluangnya adalah 51 karena pada pengambilan kedua jumlah kartu remi
1081
1
13
13
tersebut sudah berkurang 1. Solusi dari soal tersebut seharusnya adalah × = . 4 51 204 Rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa di SMA tersebut juga didukung oleh hasil wawancara dengan salah satu guru matematika yang mengajar di sekolah tersebut. Guru tersebut mengatakan bahwa masih dibutuhkan bimbingan untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis siswa. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan penalaran matematis siswa di SMA Negeri 23 Kabupaten Tangerang perlu untuk ditingkatkan. “Reasoning mathematically is a habit of mind, and like all habits, it must be developed through consistent use in many contexts” [8]. Hal tersebut berarti kemampuan penalaran matematis harus dikembangkan dengan cara digunakan secara terus menerus dalam berbagai konteks. Dibutuhkan peran guru untuk menjaga kekonsistenan dalam mengembangkan kemampuan penalaran matematis dalam banyak konteks pembelajaran di sekolah. Untuk menunjang peran guru tersebut dibutuhkan sebuah model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis, yaitu model pembelajaran yang memiliki karakteristik serupa dengan kemampuan penalaran matematis [8]. Jadi, diperlukan model pembelajaran yang tepat untuk mengembangkan kemampuan penalaran matematis siswa. Discovery learning adalah salah satu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan bahwa pengetahuan baru dibangun berdasarkan pengalaman [5]. Discovery learning terbagi menjadi dua jenis, yaitu pure discovery learning dan guided discovery learning. Pure discovery learning adalah pembelajaran penemuan tanpa adanya petunjuk dan arahan, sedangkan guided discovery learning adalah pembelajaran penemuan dengan pemberian petunjuk dan arahan [14]. Discovery learning memiliki karakteristik utama yaitu (1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan, dan menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada siswa; (3) kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada [4]. Menggabungkan pengetahuan yang sudah ada untuk menarik suatu kesimpulan merupakan bagian dari proses bernalar [5]. Oleh karena itu, model guided discovery learning cocok diterapkan untuk melatih kemampuan penalaran siswa. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh model guided discovery learning lebih tinggi dibandingkan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. A. Kemampuan Penalaran Matematis Kemampuan penalaran dan matematika adalah dua hal yang saling berkaitan erat. Matematika dipahami melalui penalaran, adapun penalaran dipahami dan dilatih melalui belajar matematika [1]. Kemampuan penalaran dapat didefinisikan sebagai kecakapan dalam berpikir dengan cara mengaitkan fakta-fakta yang sudah ada dengan menggunakan langkah-langkah tertentu untuk menarik suatu kesimpulan [3, 10, 12]. Untuk mengukur kemampuan tersebut dibutuhkan indikator penalaran matematis. Pada penelitian ini indikator kemampuan penalaran matematis yang diukur adalah kemampuan siswa dalam membuat dan menyelidiki dugaan matematika serta mengembangkan dan menilai argumen dan bukti matematis dengan benar [8].
1082
B. Model Guided Discovery Learning Model guided discovery learning merupakan model pembelajaran yang mengharuskan siswa untuk membuat sebuah konjektur dari hasil analisis masalah dan menarik sebuah kesimpulan berdasarkan hasil eksplorasi siswa sendiri dengan guru sebagai pembimbing siswa [1, 11]. Penerapan model guided discovery learning dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir bebas karena langkah data collection, data processing, verification, dan generalization dalam model tersebut mengajak siswa untuk melakukan proses penalaran dan berpikir secara mandiri [5]. Secara garis besar, langkah-langkah penerapan model guided discovery learning yang digunakan adalah (1) guru memberikan suatu situasi yang mengandung masalah yang harus dipecahkan, (2) guru meminta siswa menyusun konjektur dari hasil analisis masalah yang dilakukan siswa dan memeriksa konjektur yang telah dibuat siswa, (3) guru membimbing siswa menyusun, memproses, mengorganisir dan menganalisis data yang relevan terhadap masalah yang ada melalui pertanyaan yang mengarahkan pada proses penemuan, (4) guru meminta siswa memeriksa kebenaran konjektur yang mereka buat, (5) guru membantu siswa menggeneralisasi hasil temuannya. C. Pembelajaran Konvensional Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasa digunakan oleh guru di sekolah dengan karakteristik proses pembelajaran berpusat pada guru dan proses pemerolehan pengetahuan dilakukan secara langsung bukan melalui penemuan. Pembelajaran serupa terjadi di SMA Negeri 23 Kabupaten Tangerang. Berdasarkan hasil wawancara salah satu guru di sana, proses pembelajaran di sekolah dimulai dengan memberikan informasi terkait materi yang diajarkan terlebih dahulu. Kemudian setelah siswa mengerti materi yang diajarkan, siswa akan diberikan soal-soal yang berkaitan dengan materi yang diajarkan. D. Rancangan dan Bahan Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu. Desain penelitian yang digunakan adalah desain prates-pascates yang tidak ekuivalen. Pada kelas eksperimen, siswa akan diberikan prates kemudian dilakukan proses pembelajaran selama empat kali pertemuan menggunakan model guided discovery learning, dan terakhir diberikan pascates. Pada kelas kontrol, siswa akan diberikan prates yang sama kemudian dilakukan proses pembelajaran secara konvensional dengan durasi waktu yang sama, dan diakhiri dengan diberikan pascates yang sama juga. Rancangan desain penelitian [13] dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Desain Penelitian T1X
X
T2X
T1
-
T2
X : perlakuan (pembelajaran guided discovery learning). T1X, T1 : Prates pada kelompok eksperimen dan kontrol T2X, T2 : Pascates pada kelompok eksperimen dan kontrol
1083
E. Populasi dan Sampel Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI di SMA Negeri 23 Kabupaten Tangerang dengan sampel kelas XI IPA 1 sebagai kelas eksperimen dan XI IPA 3 sebagai kelas kontrol. F. Instrumen Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah 1. Soal Prates dan Pascates Soal prates dan pascates terdiri dari 5 soal uraian. Soal prates dan pascates digunakan untuk mengukur apakah terjadi peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa setelah diberikan perlakuan. 2. Lembar Observasi Lembar observasi digunakan sebagai feedback untuk peneliti. Lembar ini digunakan untuk mengetahui kesesuaian pembelajaran yang dilakukan dengan rancangan pembelajaran yang telah dibuat. Lembar observasi ini terdiri dari lembar observasi untuk siswa dan juga untuk guru/peneliti. G. Teknik Analisis Data Data yang dianalisis adalah nilai normalized change. Nilai tersebut digunakan untuk melihat karakteristik perubahan nilai prates dan pascates. Adapun rumus normalized change [6] sebagai berikut: 𝑃𝑎𝑠𝑐𝑎𝑡𝑒𝑠 − 𝑃𝑟𝑎𝑡𝑒𝑠 𝑃𝑎𝑠𝑐𝑎𝑡𝑒𝑠 > 𝑃𝑟𝑎𝑡𝑒𝑠 100 − 𝑃𝑟𝑎𝑡𝑒𝑠 𝐷𝑎𝑡𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑑𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑃𝑎𝑠𝑐𝑎𝑡𝑒𝑠 = 𝑃𝑟𝑎𝑡𝑒𝑠 = 100 𝑎𝑡𝑎𝑢 0 𝑐= 0 𝑃𝑎𝑠𝑐𝑎𝑡𝑒𝑠 = 𝑝𝑟𝑎𝑡𝑒𝑠 𝑃𝑎𝑠𝑐𝑎𝑡𝑒𝑠 − 𝑃𝑟𝑎𝑡𝑒𝑠 𝑃𝑎𝑠𝑐𝑎𝑡𝑒𝑠 < 𝑃𝑟𝑎𝑡𝑒𝑠 { 𝑃𝑟𝑎𝑡𝑒𝑠 Keterangan: 𝑐 ∶ nilai normalized change Data normalized change yang digunakan dianalisis dengan uji rata-rata dua sampel. Uji rata-rata dua sampel ini dilakukan untuk mengetahui apakah peningkatan kemampuan penalaran matematis kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol. Untuk menentukan jenis uji rata-rata dua sampel yang akan digunakan dilakukan uji prasyarat, yakni uji normalitas dan uji homogenitas. Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak. Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah variansi pada kelas kontrol dan kelas eksperimen sama atau tidak. 2. Hasil –Hasil Utama Proses pembelajaran pada kelas eksperimen dilakukan dengan menerapkan model guided discovery learning, sedangkan pada kelas kontrol dilakukan secara konvensional. Pada proses pembelajaran kelas eksperimen siswa berperan aktif dalam menemukan pengetahuan terkait materi lingkaran berdasarkan hasil eksplorasi siswa sendiri dengan bantuan guru sebagai pembimbing. Lembar kerja siswa (LKS) diberikan untuk membantu siswa dalam melakukan proses penemuan.
1084
Sementara itu, pada proses pembelajaran kelas kontrol, siswa memperoleh pengetahuan terkait materi lingkaran dari penjelasan yang diberikan guru. Penjelasan diberikan dengan memanfaatkan masalah yang sama dengan yang digunakan pada kelas eksperimen.
Gambar di atas adalah tampilan radar kapal perang Indonesia. Titik-titik pada radar tersebut melambangkan kapal-kapal asing yang berada di wilayah perairan Indonesia. Menteri kelautan Susi Pudjiastuti menegaskan bahwa kapal-kapal tersebut adalah kapal asing yang mengambil ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Ibu Susi memerintahkan untuk menenggelamkan kapal-kapal tersebut. Tetapi kapal perang Indonesia hanya mampu menembakkan misil sejauh 5 km ke segala arah. Jika kapal perang Indonesia tidak berpindah, apakah seluruh kapal yang terlihat di radar dapat ditenggelamkan? Berikan alasan kalian. Kemudian gambarkan dan tentukan persamaan yang mewakili jangkauan maksimal misil kapal perang tersebut.
Gambar 2.1 Permasalahan siswa pertemuan dua. Sumber: Dokumen Pribadi Penelitian ini dilakukan sebanyak enam kali pertemuan. Pertemuan pertama dimulai dengan memberikan soal tes sebelum dilakukan proses pembelajaran (prates). Kemudian, pada empat pertemuan lainnya dilakukan pengajaran terkait materi lingkaran. Adapun pertemuan terakhir, digunakan untuk memberikan soal tes setelah proses pembelajaran dilakukan (pasca tes). Materi yang diajarkan pertama kali adalah merumuskan persamaan lingkaran yang berpusat di (𝑎, 𝑏) dengan jarijari 𝑟 dan menentukan pusat dan jari-jari lingkaran yang persamaannya diketahui. Pada pertemuan selanjutnya, materi yang dibahas adalah menentukan persamaan lingkaran yang memenuhi kriteria tertentu dan menentukan posisi garis terhadap lingkaran. Sementara pada pertemuan ketiga, siswa diajarkan menentukan
1085
persamaan garis singgung yang melalui suatu titik pada lingkaran. Terakhir, pada pertemuan keempat dibahas tentang bagaimana menentukan persamaan garis singgung yang gradiennya diketahui. Gambar 2.1 menunjukkan salah satu masalah yang digunakan dalam proses pembelajaran. Rata-rata hasil prates, pascates, dan normalized change dari kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada Tabel 2.1. Berdasarkan data pada tabel tersebut, terlihat bahwa rata-rata normalized change dari kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Sementara simpangan baku dari normalized change kelas eksperimen lebih rendah dibanding kelas kontrol. Artinya, secara deskriptif, peningkatan kemampuan penalaran matematis di kelas eksperimen lebih tinggi dan homogen dibandingkan di kelas kontrol. Untuk menunjukkan kebenaran dari hal ini, dilakukan uji statistik lebih lanjut. Tabel 2.1 Hasil Tes Kelompok Prates Pascates Kontrol Rata-rata 1,31 49,31 Simpangan 1,04 17,62 Banyak Siswa 34 34 Eksperimen Rata-rata 0,85 56,49 Simpangan 0,91 13,49 Banyak Siswa 31 31
Normalized Change 0,49 0,18 34 0,56 0,13 31
Selanjutnya data normalized change kelas eksperimen dan kelas kontrol di uji normalitas menggunakan uji Lilliefors. Hipotesis yang digunakan adalah: 𝐻0 : Data berasal dari populasi yang berdistribusi normal 𝐻𝑎 : Data berasal dari populasi yang tidak berdistibusi normal Kriteria pengujian normalitas adalah apabila 𝐿maks ≥ 𝐿tabel maka 𝐻0 ditolak. Berdasarkan hasil pengolahan data normalized change kedua kelas diperoleh data sebagai berikut: Tabel 2.2 Uji Normalitas Data Normalized Change Kelas 𝐿maks 𝐿tabel Kesimpulan Eksperimen 0,133 0,161 𝐻0 diterima Kontrol 0,127 0,153 𝐻0 diterima Berdasarkan Tabel 2.2 dapat dilihat bahwa perbandingan nilai 𝐿maks dan 𝐿tabel pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berturut-turut adalah 0,133 < 0,161 dan 0,127 < 0,154, sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai normalized change kedua kelas berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji homogenitas. Kriteria pengujian pada uji homogenitas ini adalah apabila 𝐹hitung ≥ 𝐹tabel , maka 𝐻0 ditolak. Hipotesis yang digunakan adalah: 𝐻0 : nilai normalized change kelas kontrol dan kelas eksperimen bervariansi homogen 𝐻𝑎 : nilai normalized change kelas kontrol dan kelas eksperimen tidak bervariansi homogen
1086
Hasil analisis menunjukkan bahwa 𝐹hitung (1,726) < 𝐹tabel (1,795). Artinya, nilai normalized change kelas eksperimen dan kelas kontrol bervariansi homogen atau seragam. Data normalized change yang berdistribusi normal dan bervariansi homogen kemudian diuji rata-rata dua sampel menggunakan uji t. Berikut hasil dari uji t dengan hipotesis. 𝐻0 : 𝜇1 = 𝜇2 𝐻𝑎 : 𝜇1 > 𝜇2 Keterangan: 𝜇1 : rata-rata nilai normalized change kelompok eksperimen 𝜇2 : rata-rata nilai normalized change kelompok kontrol Kriteria 𝐻0 ditolak ketika nilai 𝑡hitung ≥ 𝑡tabel uji satu pihak. Hasil analisis menunjukkan bahwa 𝑡hitung (2,317) > 𝑡tabel uji satu pihak (1,670). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang menggunakan model guided discovery learning lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 3. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah dijelaskan di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa kelas XI SMA Negeri 23 Kabupaten Tangerang yang belajar menggunakan model guided discovery learning lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang belajar secara konvensional. Peneliti juga memiliki beberapa saran dalam penelitian ini, yaitu: 1. Model guided discovery learning dapat diterapkan sebagai alternatif model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis. 2. Untuk menerapkan model guided discovery learning dalam suatu penelitian, hendaknya peneliti menggunakannya terlebih dahulu pada materi sebelumnya agar pembelajaran ketika penelitian dilakukan dapat berjalan sesuai dengan rancangan proses pembelajaran.
Referensi [1] Bani, A., 2011, Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pembelajaran Penemuan Terbimbing, SPS UPI, Bandung, Jurnal Penelitian Pendidikan Edisi Khusus No.1, pp. 12-20. [2] Brodie, K., 2010, Teaching Mathematical Reasoning in Secondary School Classroom. London: Springer. [3] Departemen Pendidikan Nasional., 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta, PT Gramedia. [4] Hendriana, H. & Soemarmo, U., 2014, Penilaian Pembelajaran Matematika, Bandung, PT Refika Aditama. [5] Hosnan, M., 2014, Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21 Kunci Sukses Implementasi Kurikulum 2013, Jakarta, Ghalia Indonesia. [6] Marx, J. D. & Cummings, K., 2007, Normalized Change, American Journal Physics, pp. 87-91. [7] Muharom, T., 2014, Pengaruh Pembelajaran Dengan Model Kooperatif Tipe Student Teams Achievement Terhadap Kemampuan Penalaran Dan Komunikasi Matematik
1087
[8]
[9]
[10]
[11] [12]
[13] [14]
[15]
Peserta Didik Di SMK Negeri Manonjaya Kabupaten Tasikmalaya, Jurnal Pendidikan dan Keguruan. National Council of Teachers of Mathematics, 2000, Principles and Standards for School Mathematics, United States of America, The National Council of Teachers of Mathematics, Inc. National Council of Teachers of Mathematics, 2003, NCATE/NCTM Program Standards 2003 Programs fo Initial Preparation of Mathematics Teachers. [Online] Available at: http://www.nctm.org/Standards-and-Positions/CAEP-Standards [Accessed 27 Agustus 2016]. Nurdalilah, E. S. d. D. A., 2013, Perbedaan Kemampuan Penalaran Matematika Dan Pemecahan Masalah Pada Pembelajaran Berbasis Masalah Dan Pembelajaran Konvensional Di SMA Negeri 1 Kualuh Selatan, Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, pp. 109-119. Purnomo, Y. W., 2011, Keefektifan Model Penemuan Terbimbing Dan Cooperative Learning Pada Pembelajaran Matematika, Jurnal Kependidikan, pp. 23-33. Shadiq, F., 2004, Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi, Yogyakarta, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Matematika. Siswono, T. Y. E., 2010, Penelitian Pendidikan Matematika, Surabaya, Unesa University Press. Tuovinen, J. E. & Sweller, J., 1999, A Comparison of Cognitive Load Associated with Discovery Learning and Worked Examples, Journal of Education Psychology, pp. 334341. Zulfa, F. S., Yerizon & Amalita, N., 2014, Pengaruh Penerapan Metode Penemuann Terbimbing terhadap Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 1 Padang Panjang, Jurnal Pendidikan Matematika, pp. 1-4.
1088
Prosiding SNM 2017 Pen d i di ka n , Ha l 10 89 -11 04
ANALISIS GEOMETRI PADA BILAH KERIS SENGKELAT ARIF SUSANTO1, NOVANOLO C. ZEBUA2 1 Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma,
[email protected] 2 Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma,
[email protected]
Abstrak. Indonesia merupakan negara yang terdiri berbagai macam suku, ras, agama, dan adat istiadat serta cara berpikir yang berbeda, hal tersebut merupakan indikator perbedaan budaya yang ada. Setiap kebudayaan memiliki ciri khas masingmasing, salah satunya ialah budaya Yogyakarta. Selain menjadi kota pelajar, Yogyakarta merupakan salah satu kota budaya dengan keanekaragamaan budaya yang menjadi ciri khasnya. Salah satu hasil karya seni budaya yang masih ada dan bertahan hingga saat ini adalah keris. Keris diyakini sebagai produk budaya Indonesia asli yang memiliki berbagai macam jenis, salah satunya keris Sengkelat sekaligus merupakan bahan kajian dalam penelitian ini. Salah satu filsafat dalam dunia pendidikan matematika ialah Etnomatematika, yang berarti aktivitas matematika di dalam budaya tertentu. Penelitian ini mengkaji unsur-unsur matematika di dalam keris Sengkelat sehingga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pendidik matematika di Yogyakarta. Lebih khusus lagi penelitian ini melihat kandungan Geometri yang digunakan oleh seorang empu dalam membentuk bilah keris Sengkelat. Analisis data dilakukan dengan mendeskripsikan dan mengeksplorasi hasil wawancara dan observasi terhadap keris Sengkelat. Hasil penelitian ini adalah terdapat unsur geometri pada bilah keris Sengkelat tersebut sehingga diharapkan dapat digunakan pendidik dalam membantu konstruksi awal konsep geometri di kelas. Kata kunci: Geometri, Keris Sengkelat, Etnomatematika.
1. Pendahuluan A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terdiri berbagai macam suku, ras, agama, dan adat istiadat serta cara berpikir yang berbeda, hal tersebut merupakan indikator perbedaan budaya yang ada. Salah satu pusat kebudayaan yang ada di Indonesia yaitu adalah Yogyakarta. Selain menjadi kota pelajar, Yogyakarta merupakan salah satu kota budaya yang ada di Indonesia. Keanekaragaman budaya yang ada menjadi ciri khas daerah Yogyakarta. Salah satu hasil karya seni budaya yang masih ada dan bertahan hingga saat ini adalah keris. Karya ini merupakan bentuk dari seni kriya, dikarenakan keris memiliki syarat akan makna dan filosofi dari bentuk sampai pada kegunaannya. Jenis keris sangat banyak, salah satunya ialah keris sengkelat luk 13. Kyai Sengkelat adalah keris pusaka luk tiga belas yang diciptakan pada jaman Majapahit (1466 – 1478), yaitu pada masa pemerintahan Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) karya Mpu Supa Mandagri. Menurut Yuwono [5] keris hingga kini dikenal dunia sejak diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya non bendawi manusia pada tahun 2005.
1089
Hasrinuksmo [1] mengatakan bahwa keris diyakini sebagai produk budaya Indonesia asli. Sejarah mencatat bahwa walaupun nenek moyang bangsa Indonesia umumnya pernah memiliki kepercayaan animisme-dinamisme, hingga masuknya agama Hindu dan Budha, tidak pernah ditemukan bukti-bukti bahwa budaya keris berasal dari India atau negara lain. Jika pada candi-candi yang ada di pulau Jawa ditemui relief yang menggambarkan adanya senjata menyerupai keris, maka pada relief candi-candi di India tidak ada senjata yang menyerupai keris. Bahkan senjata yang berpamor pun tidak pernah ditemukan dalam sejarah budaya bangsa India. Bentuk senjata yang serupa dengan keris pun tidak pernah ada di negara itu. Salah satu keahlian dari olah kebatinan orang Jawa pada umumnya adalah mereka masih menganggap keris sebagai benda pusaka yang dikeramatkan. Oleh karena itu bentuk keris maupun kelengkapannya selalu dikaitkan dengan nilai–nilai filsafat kehidupannya. Ungkapan falsafah yang terkenal ialah warangka manjing curiga atau sebaliknya curiga manjing warangka, kemudian jumbuhing kawulo lan Gusti, yang artinya tataran jiwa manusia sudah menyatu dengan penciptaNya. Dalam hal ini, apabila tataran berpikir seseorang sudah memiliki tingkat kesadaran yang menunjukkan bahwa ia mengerti tentang esensi dan hakekat hidup, dan mampu merefleksikannya dengan tindakan kearifan, maka kondisi tersebut dapat diasosiasikan sebagai warangka manjing curiga, atau sebaliknya curiga manjing warangka, yang dinyatakan melalui simbol keris dalam keadaan tersarung. Keris juga kerap dikaitkan sebagai simbol tertentu yang berkaitan dengan harkat hidup orang Jawa, mulai dari simbol kewibawaan, simbol kebijaksanaan, hingga simbol kehidupan, dan keangkaramurkaan. Keris memiliki multifungsi: pada jaman dahulu ada keris yang difungsikan sebagai sarana untuk mendapatkan penglaris, pengasihan, dan juga sebagai simbol kekuasaan. Sebagai simbol kekuasaan, hal tersebut dapat terlihat pada gambaran raja-raja Jawa, dan pahlawanpahlawan Jawa yang selalu membawa keris di saat acara-acara penting. Keris memang telah mengalami pergeseran fungsi utamanya. Keris sudah tidak lagi menjadi senjata andalan, karena sekarang keris telah menjadi karya seni yang bernilai tinggi dan pantas untuk dikoleksi, bahkan tidak sedikit pula orang yang menekuni ilmu, sejarah, dan nilai-nilai filosofis keris, dan tidak sedikit juga yang menjadikan keris sebagai barang komoditi. Melihat tingkat kepentingan nilai jual keris sebagai barang komoditi maka memerlukan perawatan, warangan. Faktanya proses ini banyak orang masih belum dapat mengoptimalkan jumlah warangan sehingga biaya yang dikeluarkan cukup besar mengingat harga dua juta per-ons. Keris bagi orang Jawa sebagai pelengkap bagi orang laki-laki, bahkan orang bisa dikatakan hidup sempurna jika ia memiliki keris dan empat ketentuan lainnya. Tentang hal ini, Seketaris Paguyuban Pencinta Keris Merkikarta Yogyakarta, bapak Mujiono mengatakan bahwa pada zaman dahulu seorang laki-laki Jawa disebut sempurna jika ia memiliki rumah atau wismo sebagai tempat domisili atau lambang wilayah, istri atau wanito sebagai penerus keturunan, keris (curiga) sebagai lambang kekuatan atau kejantanan, kuda (turonggo) sebagai lambang kedudukan atau kekuasaan, dan burung (kukilo) sebagai lambang pemenuhan rasa seni dan keindahan karena pada waktu itu kicau burung dapat memenuhi rasa ketenteraman. Persamaan kata dan perubahan penyebutan untuk keris seperti kadga (senjata tajam lurus), kris (menghunus), patrem (keris kecil), suduk (menusuk), dhuwung (meningkatkan derajat, wibawa, dan kehormatan), curiga (pikiran tajam, cerdas, wawasan luas), wangkingan (dipakai dipinggang), memperlihatkan perubahan dan perkembangan aspek non bendawi dari keris, mulai dari mencari hidup, mempertahankan hidup sampai tuntunan hidup. Aspek non bendawi (intangible)
1090
lainnya dari keris mencakup aspek sejarah, tradisi, fungsi, kedudukan, teknik tempa, falsafah, simbol, mistik, dan aspek kerahasiaan (sandi). Sandi (aspek kerahasiaan) dan teknik tempah menjadi salah satu aspek matematika yang ada di keris. Matematika menjadi salah satu ilmu yang selalu hadir disetiap aspek kehidupan. Tidak dapat dipungkiri matematika menjadi salah satu aspek yang membuat keris terlihat indah. Namun hal ini belum banyak diketahui banyak kalangan masyarakat. Bahkan seorang empu pembuat keris tidak menggunakan matematika secara terperinci dalam pembuatan keris. Hal ini selaras dengan hasil wawancara dengan Empu Sungkowo Harumbrojo mengatakan dalam pembuatan keris hanyalan menggunakan ilmu titen. Ilmu titen (dalam basa jawa) artinya cermat atau teliti. Ilmu titen ini yang selalu digunakan para empu dalam pembuatan keris. Padahal cermat dan ketelitian merupakan bagian atau seni dalam matematika yang selama ini tidak disadari oleh banyak orang. Matematika sangatlah penting bagi kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu dalam pendidikan formal, matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang sudah diajarkan sejak dini, [4]. Melihat hal tersebut pelajaran ini mulai diajarkan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, salah satu materi yang diajarkan adalah materi geometri. Geometri merupakan ilmu tentang titik, garis, bidang dan benda-benda ruang serta sifat-sifatnya, ukuran-ukurannya dan hubungan dengan yang lain. Konsep Geometri ada pada benda yang dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. B. Konsep Geometri pada tingkat Sekolah Menengah 1. Lingkaran Definisi: Lingkaran adalah kumpulan titik-titik pada garis lengkung yang mempunyai jarak yang sama terhadap pusat lingkaran. Garis lengkung tersebut kedua ujungnya saling bertemu membentuk daerah lingkaran (luas lingkaran).[3]
Unsur-unsur Lingkaran:
Rumus: Luas Lingkaran 𝑙⨀ = 𝜋𝑟 2 Keliling Lingkaran 𝑘⨀ = 2𝜋𝑟 = 𝜋𝑑 Luas Juring 𝛼 𝑙𝑗 = × 𝑙⨀ 3600
Gambar 1 Unsur-unsur Lingkaran
Panjang busur 𝛼 𝑝𝑏 = × 𝑘⨀ 3600 Luas Tembereng 1
𝑙𝑡 = 𝑙𝑗 − (2𝑟 2 𝑠𝑖𝑛(𝛼))
1091
2. Segitiga Definisi: Bangun yang dibentuk dengan menghubungkan tiga buah titik P1, P2, P3 yang tak segaris (sebagai titik sudutnya) dengan ruas-ruas garis P1 P2, P2 P3 dan P3 P1; titi-titik tersebut merupakan puncak-puncak segitiga dan ruas-ruas garisnya merupakan sisi segitiga melihat panjang sisi-sisinya. [2]
Unsur-unsur Segitiga:
Gambar 2 Unsur-unsur Segitiga
Rumus: Luas segitiga 1
𝑙 △= 2𝑠1 𝑠2 𝑠𝑖𝑛(𝛼) Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam terkait dengan analisis geometri berupa luas dan keliling untuk mengoptimalkan penggunaan warangan dalam keris sengkelat. 2. Hasil – Hasil Utama A. Bentuk Keris Sengkelat Keris Sengkelat adalah keris berluk 13 yang diciptakan pada jaman Majapahit (1466 – 1478), yaitu pada masa pemerintahan Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) karya Mpu Supa Mandagri. Keris sengkelat memiliki sejarah dalam penamaan Sengkelat yaitu ketika Sunan Kalijaga memesan keris pada Empu Supa keris luk 17 (jumlah rakaat sholat), namun jadinya luk Gambar 3 Bagian-bagian Keris Sengkelat 13. Beliau kecewa (Jawa: sengkel), sehingga keris diberi nama sengkelat yang masih digunakan sampai saat
1092
ini. Keris sengkelat yang kami gunakan memiliki pamor wos wutah yang artinya ketentraman dan keselamatan bagi pemiliknya serta dimudahkan rezekinya. Adapun bentuk dan bagian-bagian keris seperti gambar 3. Dalam penelitian kami, keris sengkelat yang dibahas ialah pada bagian bilah keris. Analisis perhitungan kami dibatasi dari ujung keris sampai pangkal ganja keris. Namun pada analisis ujung keris ada sedikit error dikarenakan bentuk ujung keris berbeda keruncingannya tergantung tangguh (zaman) keris saat dibuat. Keris Sengkelat yang kami gunakan dalam penelitian ini tergolong keris muda karena dilihat dari usia keris yang belum lama, sehingga pada ujung keris yang kami analisis menggunakan pendekatan yang mendekati dengan bentuk aslinya. B. Analisis Geometri pada Keris Sengkelat Batasan masalah: 1. Bentuk keris pada penelitian ini diasumsikan berdimensi dua (bangun datar). 2. Bilah keris pada penelitian ini dibatasi dari ujung bilah hingga ujung ganja dan pangkal bilah (pada Gambar 3). 3. Perhitungan pada ujung bilah diasumsikan seperti pembuatan pada zaman Majapahit. 4. Pada penelitian ini menghitung panjang keliling dan luas bilah. Dalam penelitian ini, kami menggunakan program Geogebra dalam membantu analisis data. Adapun langkah-langkah penelitian ini sebagai berikut: 1. Menggambar dan mengukur keris Sengkelat Dalam langkah ini kami mengambar dan mengukur keris Sengkelat dengan cara menjiplak keris aslinya supaya mendapatkan gambar yang presisi. Keris yang kami selesaikan ialah bagian bilah keris. Alat dan bahan yang kami gunakan yaitu pensil, penggaris, kertas, dan tali.
Gambar 4 Proses menggambar Keris Sengkelat
2. Gambar dikaji dalam program Geogebra Program Geogebra menjadi salah satu program yang digunakan dalam menganalisis data. Hasil gambar dan ukuran keris Sengkelat dimasukan kedalam program Geogebra kemudian didekati beberapa bangun datar seperti lingkaran dan segitiga.
1093
Gambar 5 Proses analisis Keris Sengkelat
Analisis luas permukaan Keris Sengkelat menggunakan pendekatan Geometri yang kami lakukan berdasarkan tiap luas Luk dari keris tersebut. Berikut ini kami sajikan hasil perhitungan luas setiap luk sebagai berikut: 1. Luk 13 Luk 13 merupakan bagian keris paling ujung. Tampak seperti gambar di Gambar 6.
Gambar 6 Ilustrasi luk 13
Pada luk 13 terdapat beberapa bidang datar yaitu tembereng, segiempat dan segitiga. Untuk menentukan luas keris pada luk 13 sebagai berikut: Luas luk 13 = Luas tembereng 1 + Luas tembereng 2 + Luas segitiga siku-siku + Luas segiempat
1094
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas Segitiga 1 = 2𝑟 2 𝑠𝑖𝑛(𝛼)
Luas tembereng 1 diperoleh dari: Luas lingkaran = 𝜋𝑟 2 = 𝜋 × 3.4423828962 = 37.24285714 𝑐𝑚2 Luas Juring 𝛼 = 0 × 𝑙⨀ 360 30.35∘ = × 37.24285714 𝑐𝑚2 360∘ = 3.139779762 𝑐𝑚2
1
= 2(3.442382896 𝑐𝑚)2 𝑠𝑖𝑛(30.35∘ ) = 2.993789252 𝑐𝑚2 Luas Tembereng 1 = luas juring – luas segitiga = 3.139779762 𝑐𝑚2 −2.993789252 𝑐𝑚2 = 0.14599051 𝑐𝑚2
Gambar 7 Tembereng 1
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas Segitiga 1 = 2𝑟 2 𝑠𝑖𝑛(𝛼)
Luas tembereng 2 diperoleh dari: Luas lingkaran = 𝜋𝑟 2 = 𝜋 × 5.3065996652 = 88.50285714 𝑐𝑚2 Luas Juring 𝛼 = × 𝑙⨀ 3600 ∘ 49.08 = × 88.50285714 𝑐𝑚2 360∘ = 12.06588952 𝑐𝑚2
1
= 2(5.306599665 𝑐𝑚)2 𝑠𝑖𝑛(49.08∘ ) = 10.63919825 𝑐𝑚2 Luas Tembereng 2 = luas juring – luas segitiga = 12.06588952 𝑐𝑚2 −10.63919825 𝑐𝑚2 = 1.426691277 𝑐𝑚2
Gambar 8 Tembereng 2
1095
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas segitiga siku-siku diperoleh dari: Luas segitiga siku-siku 1 = 2𝑠1 𝑠2 𝑠𝑖𝑛(𝛼) 1
= 2 × 0.6 × 1.7 × 𝑠𝑖𝑛(90∘ ) = 0.51 𝑐𝑚2
Gambar 9 Segitiga siku-siku pada luk 13
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas Segitiga 1 = 2𝑟 2 𝑠𝑖𝑛(𝛼)
Luas segiempat diperoleh dari: Luas segitiga 1 1 = 2𝑠1 𝑠2 𝑠𝑖𝑛(𝛽)
1
= 2(6.79337913 𝑐𝑚)2 𝑠𝑖𝑛(17.99∘ ) = 7.126736802 𝑐𝑚2 Luas Tembereng = luas juring – luas segitiga = 7.248113889 𝑐𝑚2 −7.126736802 𝑐𝑚2 = 0.121377087 𝑐𝑚2 Luas segiempat = Luas segitiga 1 + Luas segitiga 2 − Luas Tembereng = 0.604352095 𝑐𝑚2 +2.71726659 𝑐𝑚2 −0.121377087 𝑐𝑚2
1 2
= × 2.12 × 2.37 × 𝑠𝑖𝑛(13.92∘ ) = 0.604352095 𝑐𝑚2 Luas segitiga 2 1 = 2𝑠2 𝑠3 𝑠𝑖𝑛(𝛾) 1
= 2 × 2.37 × 4.41 × 𝑠𝑖𝑛(31.33∘ ) = 2.71726659 𝑐𝑚2 Luas Juring 𝛼 = × 𝑙⨀ 3600
1096
17.99∘ × 145.0428571 𝑐𝑚2 360∘ = 7.248113889 𝑐𝑚2
= 3.200241599 𝑐𝑚2
=
Gambar 10 Segiempat 1
Maka, Luas luk 13 = Luas tembereng 1 + Luas tembereng 2 + Luas segitiga siku-siku + luas segiempat = 0.14599051 𝑐𝑚2 + 1.426691277 𝑐𝑚2 + 0.51 𝑐𝑚2 + 3.200241599 𝑐𝑚2 = 5.282923386 𝑐𝑚2
2. Luk 12 Luk 12 merupakan bagian keris di bawah daerah luk 13. Tampak seperti gambar di Gambar 11.
Gambar 11 Ilustrasi luk 12
Pada luk 12 terdapat beberapa bidang datar yaitu tembereng dan segiempat. Untuk menentukan luas keris pada luk 12 sebagai berikut: Luas luk 12 = Luas tembereng 3 + Luas segiempat
1097
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas Segitiga 1 = 2𝑟 2 𝑠𝑖𝑛(𝛼)
Luas tembereng 3 diperoleh dari: Luas lingkaran = 𝜋𝑟 2 = 𝜋 × 4.0755367742 = 52.20285714 𝑐𝑚2 Luas Juring 𝛼 = 0 × 𝑙⨀ 360 38.37∘ = × 52.20285714 𝑐𝑚2 360∘ = 5.563954524 𝑐𝑚2
1
= 2(4.075536774 𝑐𝑚)2 𝑠𝑖𝑛(38.37∘ ) = 5.155223727 𝑐𝑚2 Luas Tembereng 3 = luas juring – luas segitiga = 5.563954524 𝑐𝑚2 −5.155223727 𝑐𝑚2 = 0.408730797 𝑐𝑚2
Gambar 12 Tembereng 3
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas Segitiga 1 = 2𝑟 2 𝑠𝑖𝑛(𝛼)
Luas segiempat diperoleh dari: Luas segitiga 1 1 = 2𝑠1 𝑠2 𝑠𝑖𝑛(𝛽) 1 2
= × 2.68 × 2.91 × 𝑠𝑖𝑛(31.96 = 2.064058039 𝑐𝑚2 Luas segitiga 2 1 = 2𝑠2 𝑠3 𝑠𝑖𝑛(𝛾)
1
= 2(2.2627417 𝑐𝑚)2 𝑠𝑖𝑛(51.13∘ ) = 1.993143917 𝑐𝑚2 Luas Tembereng = luas juring – luas segitiga = 2.285429841 𝑐𝑚2 −1.993143917 𝑐𝑚2
∘)
1098
1
= 0.292285924 𝑐𝑚2 Luas segiempat = Luas segitiga 1 + Luas segitiga 2 − Luas Tembereng 3 = 2.064058039 𝑐𝑚2 +1.207594212 𝑐𝑚2 −0.292285924 𝑐𝑚2 = 2.979366326 𝑐𝑚2
= 2 × 2.91 × 1.95 × 𝑠𝑖𝑛(25.19∘ ) = 1.207594212 𝑐𝑚2 Luas Juring 𝛼 = × 𝑙⨀ 3600 51.13∘ = × 16.09142857 𝑐𝑚2 360∘ = 2.285429841 𝑐𝑚2
Gambar 13 Segitempat 2
Maka, Luas luk 12 = Luas tembereng 3 + luas segiempat = 0.408730797 𝑐𝑚2 + 2.979366326 𝑐𝑚2 = 3.388097123 𝑐𝑚2
3. Luk 1 Luk 1 merupakan bagian keris bawah. Tampak seperti gambar di Gambar 14.
Gambar 14 Ilustrasi luk 1
Pada luk 1 terdapat beberapa bidang datar yaitu tembereng dan segiempat. Untuk menentukan luas keris pada luk 1 sebagai berikut: Luas luk 1 = Luas tembereng 14 + Luas segiempat +Luas segitiga (biru)
1099
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas tembereng 14 diperoleh dari: Luas lingkaran = 𝜋𝑟 2 = 𝜋 × 6.7424031322 = 142.8742857 𝑐𝑚2 Luas Juring 𝛼 = 0 × 𝑙⨀ 360 31.58∘ = × 142.8742857 𝑐𝑚2 360∘ = 12.53324984 𝑐𝑚2
Luas Segitiga 1 = 2𝑟 2 𝑠𝑖𝑛(𝛼) 1
= 2(6.742403132 𝑐𝑚)2 𝑠𝑖𝑛(31.58∘ ) = 11.90344109 𝑐𝑚2 Luas Tembereng 3 = luas juring – luas segitiga = 12.53324984 𝑐𝑚2 −11.90344109 𝑐𝑚2 = 0.629808753 𝑐𝑚2
Gambar 15 Tembereng 14
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas Segitiga 1 = 2𝑟 2 𝑠𝑖𝑛(𝛼)
Luas segiempat 13 diperoleh dari: Luas segitiga 1 1 = 2𝑠1 𝑠2 𝑠𝑖𝑛(𝛽) 1 2
= × 3.67 × 6.42 × 𝑠𝑖𝑛(42.33 = 7.933119742 𝑐𝑚2 Luas segitiga 2 1 = 2𝑠2 𝑠3 𝑠𝑖𝑛(𝛾)
1
= 2(5.6 𝑐𝑚)2 𝑠𝑖𝑛(31.58∘ ) = 12.38123924 𝑐𝑚2 Luas Tembereng = luas juring – luas segitiga = 14.27751111 𝑐𝑚2 −12.38123924 𝑐𝑚2 = 1.896271875 𝑐𝑚2 Luas segiempat = Luas segitiga 1 + Luas segitiga 2 − Luas Tembereng 3
∘)
1
= 2 × 6.42 × 4.92 × 𝑠𝑖𝑛(23.24∘ ) = 6.231735991 𝑐𝑚2 Luas Juring
1100
𝛼 × 𝑙⨀ 3600 31.58∘ = × 98.56 𝑐𝑚2 360∘ = 14.27751111 𝑐𝑚2
= 7.933119742 𝑐𝑚2 + 6.231735991 𝑐𝑚2 −1.896271875 𝑐𝑚2 = 12.26858386 𝑐𝑚2
=
Gambar 16 Segiempat 13
Berdasarkan hasil penelitian, data empiris yang diperoleh sebagai berikut:
Luas segitiga (biru) diperoleh dari: Luas segitiga 1 1 = 2𝑠1 𝑠2 𝑠𝑖𝑛(𝛽) 1 2
= × 5.45 × 4.46 × 𝑠𝑖𝑛(36.41∘ ) = 7.213823658 𝑐𝑚2 Luas Juring 𝛼 = × 𝑙⨀ 3600 39.65∘
= × 71.40571429 𝑐𝑚2 360∘ = 7.864546032 𝑐𝑚2
Luas Segitiga 1 = 2𝑟 2 𝑠𝑖𝑛(𝛼) 1
= 2(4.766550115 𝑐𝑚)2 𝑠𝑖𝑛(39.65∘ ) = 7.248772225 𝑐𝑚2 Luas Tembereng = luas juring – luas segitiga = 7.864546032 𝑐𝑚2 −7.248772225 𝑐𝑚2 = 0.6157738065 𝑐𝑚2 Luas segitiga (biru) = Luas segitiga 1 − Luas Tembereng 3 = 7.213823658 𝑐𝑚2 −0.6157738065 𝑐𝑚2 = 6.598049852 𝑐𝑚2
Gambar 17 Segitiga (biru)
Maka, Luas luk 1 = Luas tembereng 14 + Luas segiempat + Luas segitiga (biru) = 0.629808753 𝑐𝑚2 + 12.26858386 𝑐𝑚2 + 6.598049852 = 19.49644246 𝑐𝑚2 4. Luk 11-2 Luk 11-2 merupakan bagian tengah keris yang memiliki bentuk menyerupai luk 12, maka hasil perhitungan disajikan dalam Tabel 1.
1101
Tabel 1 Luas luk 2 - 12
Analisis keliling permukaan Keris Sengkelat menggunakan pendekatan Geometri yang kami lakukan berdasarkan tiap panjang sisi Luk dari keris tersebut. Berikut ini kami sajikan hasil perhitungan keliling keris seperti pada Tabel 2. Keterangan:
Angka 1 – 28 menunjukkan urutan busur lingkaran yang membentuk Model Keris Sengkelat. Titik merah menunjukkan perpotongan 2 lingkaran dan garis Keris Sengkelat.
Gambar 18 Penomoran busur
Penjelasan hasil perhitungan keliling Keris Sengkelat melalui Tabel 2.
1102
Tabel 2 Keliling Penampang Bilah
Dari dua perhitungan di atas diperoleh luas penampang bilah 75.21 cm2 dan keliling penampang bilah 71.96 cm. Hasil tersebut diperoleh dari analisis geometri pada bilah keris dengan menggunakan pendekatan beberapa bangun datar. Perhitungan bilah dibagi per-luk untuk memudahkan dalam perhitungan dan penjelasan. Melalui hasil perhitungan luas penampang keris Sengkelat dapat menjadi bahan pertimbangan jumlah warangan yang digunakan untuk membersihkan keris. Sampai saat ini pengguna keris belum mengetahui jumlah yang pasti sehingga perlu diadakan penelitian mengenai hal tersebut. 3. Kesimpulan Penelitian ini menghasilkan: 1. Bentuk Keris Sengkelat dihasilkan oleh gabungan tali busur pada setiap lingkaran yang tersusun sedemikian sehingga membentuk luk penyusun bentuk keris. 2. Panjang busur diperoleh dari perpotongan dua/tiga lingkaran di dua titik tertentu sesuai dengan bentuk asli Keris Sengkelat. 3. Keliling bilah keris diperoleh dari penjumlahan 28 busur. 4. Luas permukaan Keris Sengkelat dapat ditentukan menggunakan bangun datar berupa 14 buah temberang dan 28 buah segitiga. 5. Unsur lingkaran yang digunakan dalam perhitungan luas permukaan Keris Sengkelat ialah luas tembereng dan luas segiempat. Luas tembereng diperoleh
1103
dari pengurangan luas juring dan segitiga, luas segiempat diperoleh dari penjumlahan dua segitiga dikurangi luas tembereng. 6. Luas bilah Keris Sengkelat yang diperoleh adalah 75.21 cm2. 7. Keliling bilah Keris Sengkelat yang diperoleh adalah 71.96 cm. 8. Luas penampang Keris Sengkelat pada penelitian ini dapat menjadi sumber acuan mengenai penggunaan secara optimal warangan dalam membersihkan keris. Pernyataan terima kasih. Kami megucapkan terima kasih kepada: 1. Program Studi Magister Pendidikan Matematika yang mendukung untuk ikut berpartisipasi dalam Seminar Nasional Matematika Universitas Indonesia. 2. Bapak Dr. M. Andy Rudhito, S.Pd sebagai Ketua Program Studi Magister Pendidikan Matematika. 3. Bapak Prof. Dr. St. Suwarsono sebagai pembimbing Etnomatematika. Referensi [1] Hasrinuksmo, B. & Lumintu, S. 1988. Ensiklopedi Budaya Nasional Keris dan Senjata Tradisional Indonesia Lainnya. Jakarta: Cipta Adi Pustaka. [2] Kerami, D. 2003. Kamus Matematika (cetakan 3). Jakarta: PT. Penerbitan dan Penerbitan Balai Pustaka [3] Nugroho, H. & Meisaroh, L. 2009. Matematika SMP dan MTS kelas VIII. Departemen Pendidikan Nasional: PT. Pelita Ilmu. [4] Soedjadi, R. dkk. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Dapertemen Pendidikan Nasional. [5] Yuwono &Teguh, Y. 2011. Keris Naga (Latar Belakang Penciptaan, Fungsi, Sejarah, Teknologi, Estetis, Karakteristik dan Makna Simbolis). Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
1104
Prosiding SNM 2017 Pendidikan, Hal 1105-1117
PENERAPAN FUNGSI KONTINU PADA TEOREMA INTEGRAL RIEMANN UNTUK MENCARI SUHU RATARATA SUATU DAERAH SOEGANDA FORMALIDIN, SOFIA DEBI PUSPA, DAN KIKI A. SUGENG Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Depok, 16424,
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak. Matematika memiliki peranan yang cukup besar dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, baik dari segi keilmuan matematika maupun dari segi terapannya. Fungsi kontinu dan integral Riemann merupakan konsep dasar dalam matematika. Meskipun konsep ini merupakan konsep dasar, akan tetapi konsep ini dapat diaplikasikan untuk menyelesaikan masalah sehari-hari. Seperti yang sudah diketahui oleh setiap matematikawan, syarat suatu fungsi terintegralkan Riemann pada suatu selang tertutup [𝑎, 𝑏] haruslah fungsi yang kontinu atau kontinu sepotong-sepotong. Pada makalah ini dibahas aplikasi dari jumlahan Riemann (Riemann Sum) untuk mencari suhu rata – rata suatu daerah. Kata kunci : fungsi kontinu, Riemann Integrable, Riemann Sum, interval tertutup
1.
Pendahuluan
Tokoh-tokoh matematika yang berperan dalam perkembangan kalkulus diantaranya yaitu Newton dan Leibniz. Kedua tokoh ini berhasil mengembangkan teorema fundamental dan mampu mengungkapkan hubungan yang erat antara antiderivative dengan suatu integral tertentu. Hubungan ini dikenal dengan Teorema Dasar Kalkulus. Selanjutnya Bernhard Riemann memberi definisi tentang integral tentu dan sumbangannya ini sering disebut sebagai Integral Riemann. Pada tahun 1850 Riemann menemukan metode yang tepat untuk mencari luas di bawah kurva dengan metode penjumlahan dan proses limit. Meskipun terdapat beberapa jenis teori integral tetapi teori Riemann memberikan inspirasi dalam pembentukan integral lain serta kontribusinya dalam penerapan ilmu matematika [2]. Definisi konsep Riemann Integrability dapat diperluas dari fungsi bilangan riil pada interval tertutup di ℝ ke dalam fungsi bilangan kompleks dan di ℝ𝑛 . Jenis-jenis fungsi yang digunakan dalam Rieman Integrability diantaranya adalah fungsi tangga (step function), fungsi kontinu, dan fungsi monoton. Namun pada makalah ini hanya disajikan integral Rieman di bilangan riil dan difokuskan pada teorema Riemann integrable yang memiliki fungsi kontinu dan terbatas. Dengan kata lain jika fungsi
1105
𝑓: [𝑎, 𝑏] → ℝ kontinu di interval tertutup
a, b ,
maka
f merupakan fungsi
Riemann integrable di a, b . Metode pembuktian yang digunakan adalah dengan menggunakan teorema kontinu seragam sebagai akibat dari fungsi yang kontinu di himpunan kompak a, b .
Aplikasi Jumlahan Riemann cukup banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu penerapannya yaitu untuk mencari suhu rata-rata suatu daerah dengan
syarat f kontinu dan tertutup di a, b . Berdasarkan Mitchell [4] diperoleh ide untuk melihat aplikasi dari jumlahan Riemann. Pada makalah ini akan disajikan data suhu udara tiap bulan di DKI Jakarta tahun 2011-2014. Selanjutnya dari data tersebut akan dibandingkan suhu rata – rata pada subinterval yang berbeda-beda dengan menggunakan metode jumlahan Riemann (Rieman Sum). Selain itu, data suhu udara di DKI Jakarta dari tahun 2011-2014 akan diinterpretasikan dalam bentuk polinomial untuk mendapatkan informasi serta memperkuat hasil data apakah suhu rata-rata yang dihasilkan sesuai dengan perhitungan Jumlahan Riemann ataukah tidak. 2. Hasil – Hasil Utama
2.1 Fungsi Kontinu Definisi 2.1.1. [2,3]. Misalkan 𝐴 ⊆ ℝ, 𝑓: 𝐴 → ℝ dan c A. f dikatakan kontinu di
c jika diberikan sebarang 0
terdapat 0 sedemikian sehingga jika
x
adalah
sebarang titik pada A memenuhi x c maka f ( x) f (c) . Definisi 2.1.2. [2,3].Misalkan 𝐴 ⊆ ℝ dan 𝑓: 𝐴 → ℝ, f dikatakan kontinu seragam (uniformly continuous) pada A jika untuk setiap 0 terdapat ( ) 0 sedemikian sehingga jika x, u A adalah sebarang bilangan yang memenuhi
x u ( ) maka f ( x) f (u) . Definisi 2.1.3. [2,3].Misalkan 𝐼 ≔ [𝑎, 𝑏] ⊆ ℝ adalah interval dan misalkan 𝜑: [𝑎, 𝑏] → ℝ adalah fungsi tangga (step function) jika memiliki sebuah bilangan berhingga pada nilai-nilai yang berbeda, dimana setiap nilai diasumsikan dengan satu atau lebih subinterval pada a, b .
Definisi 2.1.4. [3]Sebuah himpunan K dikatakan kompak jika termuat di dalam
gabungan sebuah koleksi G pada himpunan buka, maka himpunan tersebut juga termuat di dalam gabungan beberapa bilangan berhingga pada himpunan . Teorema 2.1.5. [2] Jika suatu fungsi f kontinu pada himpunan kompak K , maka f kontinu seragam di K . Teorema 2.1.6. (Heine-Borel Theorem) [2] Suatu sub himpunan di ℝ𝑝 disebut kompak jika dan hanya jika sub himpunan itu
1106
tertutup dan terbatas (bounded). 2.2. Integral Riemann
Definisi 2.2.1. [2]. Misalkan I : a, b adalah interval tutup yang terbatas di ℝ dan
P : ( x0 , x1 ,..., xn1 , xn )
adalah partisi pada I sedemikian hingga
a x0 x1 ... xn1 xn b
(3)
Norma (atau mesh) partisi P yang dinyatakan dengan P merupakan panjang dari subinterval terbesar yang terbagi kedalam partisi a, b. Kita notasikan partisi P dengan P xi 1 , xi . Kemudian didefinisikan i 1 1
P : max x1 x0 , x2 x1 ,..., xn xn1
(3)
Definisi 2.2.2. [3]. Partisi dari Interval (Tagged Partition) adalah jika suatu titik
ti
yang dipilih dari setiap subinterval I i xi 1 , xi , untuk i 1, 2,..., n sehingga titik-
Ii
titiknya disebut tag pada subinterval
P :
x
i 1
, xi , ti
1 i 1
dengan himpunan pasangan terurut
dan P merupakan subset dari sebuah partisi.
Definisi 2.2.3. (Jumlahan Riemann). [2,3]. Misalkan P adalah subset dari sebuah partisi. Jumlahan Riemann pada sebuah fungsi 𝑓: [𝑎, 𝑏] → ℝ yang berkorespondesi
ke P
n
S ( f ; P) : f (ti )( xi xi 1 )
(5)
i 1
Definisi 2.2.4. (Fungsi Terintegral Riemann atau Riemann Integrable). [2.3]. Sebuah 𝑓: [𝑎, 𝑏] → ℝ dikatakan fungsi terintegral Riemann pada a, b jika terdapat suatu 𝐿 ∈ ℝ sedemikian hingga untuk setiap 0 terdapat
0
sehingga jika
P adalah subset partisi dari a, b dengan P maka
S ( f ; P L) Himpunan seluruh fungsi integral Riemann pada
(2)
a, b
dinotasikan dengan
a, b. Integral Riemann pada f atas a, b jika f a, b dan L adalah unik dapat ditulis dengan
1107
b
L f atau a
b
f ( x)dx
(2)
a
Teorema 2.2.5. (Squeeze Theorem). [2]. Misalkan 𝑓: [𝑎, 𝑏] → ℝ, f a, b jika dan hanya jika untuk setiap 0 terdapat fungsi
( x) f ( x) ( x)
untuk
setiap
dan
x a, b
di a, b dimana
sedemikian
sehingga
b
( ) . a
2.3. Teorema Keterintegralan Fungsi Kontinu [3].
Jika 𝑓: [𝑎, 𝑏] → ℝ kontinu di interval tertutup a, b , maka f a, b. BUKTI:
Berdasarkan teorema Heine-Borel, sub himpunan tertutup dan terbatas pada a, b merupakan sub himpunan kompak di ℝ. Selanjutnya, karena f adalah fungsi kontinu di himpunan kompak a, b maka f adalah kontinu seragam di a, b . Akibatnya diberikan sebarang 0 terdapat
0 sedemikian
sehingga jika
u, v a, b dan u v maka f u f v dengan b a adalah ba
konstan. Misalkan P I i i 1 adalah partisi sehingga n
P . Pandang ui Ii adalah
suatu point dimana f memiliki nilai minimum pada point dimana f memiliki nilai maksimum pada step function yang didefinisikan sebagai
i 1, 2,
Ii
dan
vi Ii
adalah suatu
I i . Selanjutnya misalkan
adalah
x f ui untuk x xi 1 , xi
, n 1 dan x f un untuk x xn1 , xn dan didefinisikan
dengan cara yang sama dengan menggunakan titik sehingga
vi
f ui f x f vi
f x , untuk semua x a, b Perhatikan bahwa:
1108
sebagai pengganti dari
ui
b
n
0 f vi f ui xi xi 1 i 1
a
xi xi 1 i 1 b a n xi xi 1 b a i 1 b a ba n
Dalam hal ini diperoleh: b
a
Berdasarkan squeeze theorem maka f a, b. Terbukti
bahwa Jika 𝑓: [𝑎, 𝑏] → ℝ kontinu di interval tertutup a, b , maka
f a, b. □ Berikut ini disajikan contoh untuk setiap fungsi kontinu konstan pada interval tertutup a, b terletak di a, b. Perhatikan contoh berikut.
Misal diberikan suatu fungsi kontinu konstan f x k untuk setiap x a, b . Jika
P
x
i 1
, xi , ti
n
i 1
adalah sembarang partisi dari a, b , maka jelas bahwa n
S f : P k xi xi 1 i 1
n
k xi xi 1 i 1
k x1 x0 x2 x1 k x1 x0 x2 x1
xn xn 1
xn xn 1
k b a Untuk setiap 0 , pilih
1 sehingga jika P
maka
S f : P k b a 0 Karena 0 adalah sebarang maka dapat disimpulkan bahwa f a, b dan b
a
b
f x dx kdx k b a a
1109
2.4. Langkah-Langkah Penyelesaian Jumlahan Riemann Berikut ini merupakan langkah-langkah untuk mencari nilai rata-rata dengan menggunakan umlahan Riemann:
Langkah 1. Misal f fungsi kontinu pada interval tertutup a, b . Kita mulai dengan membagi
x1 , x2 ,
a, b menjadi n subinterval , xn .
Langkah 2. Maka rata-rata dari f
yang sama dengan partisi titik-titik
f x1
f xn n
n
f xk k 1
1 (1) n
Langkah 3. Selanjutnya perhatikan bahwa ba x n 1 ba 1 x . n n ba ba Langkah 4. Dengan melakukan subtitusi balik pada persamaan (1) maka diperoleh Rata-rata dari f
n
f xk k 1
x 1 n f xk x . [1] b a b a k 1
2.5. Penerapan Jumlahan Riemann untuk Mencari Suhu Rata-Rata Suatu Daerah Berikut ini disajikan data dari suhu di DKI Jakarta pada tahun 2011-2014 dan perhitungan suhu rata-rata di DKI Jakarta dengan mempartisi data tersebut menjadi setiap sebulan sekali, 4 bulan sekali, 8 bulan sekali, dan 12 bulan sekali. [1]. Tabel 1. Suhu di DKI Jakarta Tahun 2011-2014
Tahun
2011
2012
Bulan ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2
Suhu Maksimum 32.6 33.2 34.8 34 34.4 33.6 33.2 34.6 34.8 35.2 35.4 35 31.2 32.1
1110
Suhu Minimum 23.4 23.6 24 24.2 24 24.6 24 24 24 24 24 24 24.6 25
Suhu Rata-Rata 27.3 27.4 27.9 28.6 28.8 28.7 28.3 28.8 29 29.2 28.9 28.9 27.3 27.9
2013
Tahun
2014
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulan ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
32.1 32.4 32.7 32.7 32.6 33.3 33.6 34 32.8 32.5 32.6 34 35.2 34.6 35 33.5 33.5 35 35.4 35.8 35 35 Suhu Maksimum 33 32.8 34.4 35.2 35.2 34.4 34.2 34.6 37 36.8 36 34.8
1111
24.8 25.3 25.3 25 24.5 24.4 24.8 25.2 25 25 22.6 22.8 24 24 23.4 23 23 22.4 24.2 22.4 23.4 23 Suhu Minimum 23 22.8 23.9 23.2 25 24.2 23.4 24 24 25 23.8 24.1
28 28.1 28.3 28.4 27.9 28.1 28.5 29.1 28.1 28 26.9 27.9 28.8 28.7 28.7 27.3 27.3 28.6 29 29.4 28.5 27.7 Suhu Rata-Rata 26.6 26.6 28 28.8 29.3 28.6 28 28.7 29.2 29.8 29.4 28.1
a. Perhitungan Suhu Rata-Rata dengan Partisi Setiap 1 Bulan Sekali
Gambar 1. Grafik Suhu Rata-Rata Setiap Sebulan Sekali
Berdasarkan grafik di atas, pada tahun 2011-2014 dan partisi bulan ke-
1, 2,3,
, 48 dengan subinterval n 48 1 1 48 , maka suhu rata-rata setiap
tahunnya adalah
f
f 1 f (2) f (3) 48
f 48 1359.4 28.32 48
b. Perhitungan Suhu Rata-Rata dengan Partisi Setiap 4 Bulan Sekali
Gambar 2. Grafik Suhu Rata-Rata Setiap 4 Bulan Sekali
Berdasarkan grafik di atas, tahun 2011-2014 dan partisi bulan ke- 1,5,9, dengan subinterval n
f
, 45
45 1 1 12 , maka suhu rata-rata setiap tahunnya adalah 4
f 1 f (5) f (9) 12
f 45
1112
338.9 28.241 12
c. Perhitungan Suhu Rata-Rata dengan Partisi Setiap 8 Bulan Sekali
Gambar 3. Grafik Suhu Rata-Rata Setiap 8 Bulan Sekali
Berdasarkan
2011-2014 dan partisi bulan ke41 1 1,9,17, 25,33, 41 dengan subinterval n 1 6 , maka suhu rata-rata setiap 8 tahunnya adalah
f
grafik
di
atas,
tahun
f 1 f (9) f (17) f (25) f (33) f 41 169.8 28.3 6 6
d. Perhitungan Suhu Rata-Rata dengan Partisi Setiap 12 Bulan Sekali
Gambar 4. Grafik Suhu Rata-Rata Setiap 12 Bulan Sekali
Berdasarkan grafik di atas, tahun 2011-2014 dan partisi bulan ke- 1,13, 25,37 dengan subinterval n
f
37 1 1 4 , maka suhu rata-rata setiap tahunnya adalah 12
f 1 f (13) f (25) f 37 108.1 27.025 4 4
Dari hasil perhitungan dengan mempartisi data menjadi setiap sebulan sekali, 4 bulan
1113
sekali, 8 bulan sekali, dan 12 bulan sekali diperoleh hasil yaitu pencarian nilai ratarata terbaik adalah pengambilan rata-rata suhu setiap tahunnya. Dengan kata lain, untuk subinterval yang semakin banyak atau n akan diperoleh hasil yang semakin baik seiring dengan semakin besarnya subinterval yang diambil dari interval tertutup a, b dan fungsi kontinu f . Rata–rata 𝑓 = lim 𝑏 1 ∫ 𝑓(𝑥)𝑑𝑥 𝑏−𝑎 𝑎
dengan ∆𝑥 =
1
𝑛→∞ 𝑏−𝑎
𝑏−𝑎 . [4] 𝑛
∑𝑛𝑘=1 𝑓(𝑥𝑘 )∆𝑥 =
2.5. Pencarian Suhu Rata-Rata melalui Integral Tentu Sebelum mencari suhu rata-rata dengan menggunakan integral tentu, maka akan dicari polynomial interpolasi dari titik – titik suhu setiap 4 bulan sekali dengan menggunakan Maple 13 (lihat Tabel 1). Adapun langkah – langkah yang dilakukan; 1. Subtitusi 12 titik ke dalam curve plotting dengan x-axis adalah bulan dan y-axis adalah suhu di bulan tersebut. 2. Dengan menggunakan Polynomial Interpolation yang ada di menu, akan dihasilkan polinomial dengan degree 11. 3. Selanjutnya masih dengan menggunakan program yang sama akan dicari hasil integral fungi polinomial interpolasi dari 4 bulan sekali dan akan diperoleh hasil rata – rata suhu 4 bulan sekali.
Gambar 5. Perhitungan dengan bantuan software Tabel 2. Perbandingan suhu rata – rata
Partisi 12 bulan sekali 8 bulan sekali 4 bulan sekali 1 bulan sekali Aproksimasi Integral (Fungsi dari interpolasi polynomial 4 bulan sekali)
1114
Hasil Jumlahan Riemann 27.025 28.3 28.24 28.32 28.22
Berikut merupakan grafik perbandingan maksimum dan suhu minimum Kota Jakarta.
suhu
rata-rata,
Gambar 5. Grafik Perbandingan Suhu Rata-Rata Kota Jakarta
Gambar 6. Grafik Perbandingan Suhu Maksimum Kota Jakarta
1115
suhu
Gambar 7. Grafik Perbandingan Suhu Minimum Kota Jakarta 3. Kesimpulan Berikut merupakan kesimpulan yang diperoleh dari makalah ini, yaitu: a. Pencarian nilai rata-rata terbaik adalah ketika pengambilan subinterval yang semakin banyak atau n . Hasil semakin baik seiring dengan semakin besarnya subinterval yang diambil dari interval tertutup
a, b dan fungsi kontinu
f .
b. Hasil integral dari polinomial yang diperoleh berdasarkan data untuk mencari suhu rata-rata suatu daerah sesuai dengan perhitungan suhu rata-rata dengan menggunakan Jumlahan Riemann. c. Berdasarkan grafik dapat dikatakan bahwa suhu maksimum di DKI Jakarta dari tahun 2011-2014 terjadi pada bulan September 2014 yaitu bulan ke-45 yang mencapai 37 . Fadli[1] menjelasakan bahwa hal ini disebabkan oleh pengaruh radiasi matahari dan angin timur dari Australia. Suhu udara DKI Jakarta dikatakan normal jika dalam kondisi tertentu maksimal 34 C dan cuaca dikatakan ekstrem bila suhu udara mencapai 37 . Sehingga dapat disimpulkan bahwa suhu di DKI Jakarta mencapai suhu ekstrem pada tahun 2014 yaitu bulan ke-45. d. Selama tahun 2012 suhu minimum terendah terjadi pada bulan Agutus yaitu sebesar 24.4 C dan suhu maksimum tertinggi pada bulan Oktober yaitu 34 C. Jika dibandingkan dengan suhu minimum terendah tahun 2013 terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 24.4 C dan suhu maksimum tertinggi pada bulan Oktober yaitu 35.8 C. Dan juga jika dibandingkan dengan suhu minimum terendah tahun 2014 terjadi pada bulan Februari yaitu sebesar 22.8 C dan suhu maksimum tertinggi pada bulan Oktober yaitu 37 C. Maka dapat dikatakan bahwa pada tahun 2012-2014 suhu rata-rata di Provinsi DKI Jakarta telah terjadi peningkatan baik suhu minimum maupun suhu maksimum. Hal ini menunjukan bahwa telah adanya peningkatan perubahan iklim di DKI Jakarta dalam kurun waktu selama 3 tahun.
1116
Referensi [1] Badan Pusat Statistik. Suhu Minimum, Rata-Rata, dan Maksimum Tahun 2000-2013, https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1347 (diakses tanggal 19 Desember 2016). [2] Bartle, Robert G., 1964, The Elements of Real Analysis. Second Edition. John Wiley & Sons, Inc. [3] Bartle, Robert G., dan Donald R. Sherbert., 2000. Introduction to Real Analysis, Third Edition, John Wiley & Sons, Inc. [4] Mitchell., 2002, Application of Riemann Sum and the FTC: Net Distance Travelled, math.hws.edu/~mitchell/Math131S13/Day08Handout.pdf (diakses pada tanggal 19 Desember 2016).
1117
Prosiding SNM 2017 Pen d i di ka n , Ha l 11 18 -11 25
KAJIAN GEOMETRI PADA MOTIF KAIN ULOS RAGI HOTANG MASYARAKAT BATAK TOBA MARIA KRISTIN S. SIHOMBING 1, SCOLASTIKA LINTANG R. RADITYANI2 1 Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma,
[email protected] 2 Mahasiswa Magister Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma,
[email protected]
Abstrak. Masalah yang sering dijumpai dalam pembelajaran matematika saat ini adalah lemahnya penalaran pemecahan masalah kontekstual. Hal ini dikarenakan pendidik seringkali kurang memberi makna pada setiap materi dalam pembelajaran matematika. Pendidik kurang menunjukkan dan menghubungkan peran matematika dalam aktivitas kehidupan sehari -hari. Padahal tanpa disadari, matematika terlibat di dalam setiap aspek dan aktivitas kehidupan bahkan dalam aspek budaya. Selain itu, adanya krisis budaya yang dialami oleh anak-anak Indonesia di generasi ini merupakan suatu masalah yang perlu untuk diperhatikan pula oleh para pemerhati pendidikan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengkaji aspek matematika pada budaya tertentu. Penelitian ini secara khusus membahas aspek geometri pada motif kain ulos Ragi Hotang masyarakat Batak Toba. Hasil penelitian menunjukkan adanya aspek geometri yang meliputi simetri lipat, geometri transformasi (reflektif dan translasi), kekongruenan, dan kesebangunan pada motif kain ulos Ragi Hotang. Kata kunci: geometri transformasi, ulos ragi hotang, analisis geometri.
1. Pendahuluan Banyak permasalahan yang muncul ketika seseorang membahas matematika. Permasalahan yang muncul saat ini adalah lemahnya pemecahan masalah yang kontekstual. Hal ini dikarenakan siswa tidak dapat memaknai pembelajaran matematika yang diberikan oleh pendidiknya. Selain itu, permasalahan krisis budaya yang melanda anak bangsa juga sudah harus mulai untuk diberi perhatian. Kecanggihan teknologi sekarang ini mengakibatkan bergesernya makna kebudayaan yang dimiliki dengan masuknya beraneka ragam kebudayaan dari luar yang dapat ditemukan langsung oleh setiap anak. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengkaji aspek matematika pada budaya tertentu. Hal ini dapat membantu siswa menemukan keterkaitan antara matematika dengan permasalahan kontekstual khususnya budaya. Banyak penelitian tentang etnomatematika telah dilakukan untuk mewujudkan tujuan ini (selengkapnya lihat [1-6]). Diantara penelitian – penelitian tersebut terdapat beberapa penelitian yang serupa dengan penelitian ini, antara lain penelitian yang dilakukan oleh
1118
Zayyadi [6] dengan judul “Eksplorasi Etnomatematika pada Batik Madura“. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan konsep – konsep matematika apa saja yang terdapat pada motif batik Madura dan pemanfaatannya dalam pebelajaran matematika. Hasil penelitian ini berupa konsep - konsep matematika yang terdapat pada motif kain batik Madura, yaitu garis lurus, garis lengkung, garis sejajar, simetri, titik, sudut, persegi panjang, segitiga, lingkaran, jajargenjang, dan konsep kesebangunan. Konsep – konsep matematika pada motif batik Madura tersebut kemudian dimanfaatkan untuk memperkenalkan dan memahami konsep matematika melalui budaya lokal. Penelitian serupa lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Pradanti dan Maria Rettian [4] dengan judul “Geometri Transformasi dalam Motif Batik Kawung“. Penelitian ini bertujuan mengkaji aspek matematika pada budaya Yogyakarta, yaitu aspek geometri transformasi pada proses penyusunan motif batik kawung. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa bentuk unsur motif kawung Yogyakarta dapat didekati dengan bangun datar elips horisontal. Proses penyusunan motif batik kawung dilakukan dengan merotasikan elips terhadap suatu titik pusat dengan sudut putar 45°, 90°, 180° dan 270°. Aspek matematis yang digunakan tersebut termasuk dalam kategori aktivitas fundamental mendesain (designing). Pada penelitian ini dipilih salah satu budaya pada masyarakat Batak Toba yaitu mengenai kain ulos. Hal ini karena kain ulos merupakan salah satu dari budaya kesenian yang melekat pada masyarakat Batak Toba, namun jarang dieksplorasi dan dikaji dari sudut pandang matematikanya. Dikatakan sebagai sesuatu yang melekat dalam kehidupan masyarakat Batak Toba adalah karena masyarakat Batak khususnya Batak Toba memiliki kebiasaan mengenakan ulos, baik pada waktu menghadiri pesta-pesta adat, waktu menghadiri atau melawat orang yang berduka atau dalam aktivitas hidupnya sehari-hari, Vergouwen [10]. Ulos memberi gambaran dan ciri orang Batak Toba dalam kebudayaannya yang khas sebagai salah satu suku di Indonesia yang selalu mengikuti adat-istiadat, tradisi turun temurun, Sihombing [8]. Ulos adalah semacam kain khusus yang ditenun dengan motif-motif tersendiri. Motif dan warna-warna kain itu mengandung arti yang khusus pula dan tidak dapat dipakai sembarang secara adat, Tambunan [9]. Selain itu, pemilihan kain ulos sebagai objek dalam penelitian adalah ingin memperkenalkan keberadaan kain ulos sebagai salah satu dari kesenian kain tradisional Indonesia selain yang sudah dikenal sampai ke kancah internasional yaitu kain batik. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dibuat suatu penelitian yang berjudul Kajian Geometri pada Motif Kain Ulos Masyarakat Batak Toba. Pada penelitian ini dibahas mengenai aspek matematika pada budaya kain ulos dan bagaimana penerapannya dalam pembelajaran matematika di sekolah. Dengan adanya hasil kajian ini diharapkan peserta didik dapat semakin mampu menyelesaikan masalah-masalah kontekstual matematika dan sekaligus sebagai salah satu upaya untuk melestarikan budaya lokal. Hal ini karena masalah kontekstual yang diberikan mengandung unsur-unsur budaya lokal itu sendiri. Aspek geometri yang dimaksud diantaranya adalah:
1119
1.1. Transformasi Transformasi adalah mengubah setiap koordinat titik (titik-titik dari suatu bangun) menjadi koordinat lainnya pada bidang dengan suatu aturan tertentu, Wirodikromo [11]. 1.1.1. Refleksi Refleksi adalah suatu transformasi yang memindahkan tiap titik pada bidang dengan menggunakan sifat bayangan cermin dari titik-titik nyang akan dipindahkan, Wirodikromo [11]. 1.1.2. Translasi Translasi adalah memindahkan setiap titik pada bidang menurut jarak dan arah tertentu, Wirodikromo [11]. 1.2. Kekongruenan Kongruen adalah suatu keadaan dimana dua bangun atau lebih memiliki ukuran dari tiap segmen garis yang bersesuaian sama dan bentuk bangun yang sama, Setia[7]. 1.3. Kesebangunan Dua bangun atau lebih dikatan sebangun apabila bentuknya sama, tetapi ukurannya berbeda. Besar dari panjang segmen garis dari dua bangun atau lebih yang bersesuaian memiliki perbandingan dan skala yang sama, Setia[7]. 2. Hasil – Hasil Utama Pada penelitian ini akan dipaparkan aspek geometri yang terkadung dalam jenis ulos ragi hotang dan ulos sedum, sebagai berikut: 2.1. Ulos Ragi Hotang Berdasarkan penyusunan motif tenunnya, ragi hotang memiliki tiga bagian, yaitu atas, bawah dan tengah. Bagian atas dan bawah ini di anyam secara bersamaan dengan motif yang sama juga, sedangkan bagian tengah ragi hotang ini tenun terpisah, Sihombing [8]. Motif tenun yang terkandung pada bagian tengah ragi hotang ini juga terdiri dari tiga bagian, yaitu samping kiri, kanan dan tengah. Bentuk motif ragi hotang ini digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Ulos Ragi Hotang
1120
2.1.1.
Bagian Atas dan Bawah Berikut adalah gambar bagian atas dan bawah Ulos Ragi Hotang:
Gambar 2. Motif Tenun Keseluruhan Ulos Ragi Hotang Atas dan Bawah Bila di perbesar bagian ini terdiri dari beberapa motif seperti:
Gambar 3. Motif Tenun Pada Bagian Atas dan Bawah Ulos Ragi Hotang 2.1.2.
Bagian Tengah Berikut adalah gambar bagian tengah Ulos Ragi Hotang:
Gambar 4. Motif Tenun Ulos Ragi Hotang Tengah 2.1.2.1.
Bagian Kiri dan Kanan Tidak terdapat motif tenun pada bagian kiri dan kanan Ulos Ragi Hotang, seperti yang disajikan dalam gambar berikut:
Gambar 5. Ulos Ragi Hotang Bagian Kanan dan Kiri
1121
2.1.2.2.
Bagian Tengah Bila Bagian tengah Ulos Ragi Hotang diperbesar, maka akan diperoleh motif-motif sebagai berikut:
Gambar 6. Motif Tenun Pada Bagian Tengah Ulos Ragi Hotang 2.2. Konsep Matematika Pada Kain Ulos Ragi Hotang Mencermati motif ulos ini secara seksama, maka dapat ditemukan adanya beberapa konsep matematik di dalamnya yang belum disadari selama ini. Konsepkonsep Matematika tersebut antara lain konsep simetri, transformasi (refleksi dan translasi), kekongruenan, dan kesebangunan. Adapun kajian mengenai konsepkonsep matematika pada motif Ulos diuraikan sebagai berikut. 2.2.1.
Konsep Simetri Konsep simetri yang dimaksudkan di sini adalah simetri lipat. Bila Ulos Ragi hotang ini di bentangkan, maka kita akan dapat melihat konsep simetri di dalamnya sebagai berikut:
Gambar 7. Motif Ulos Simetris Gambar 7 menunjukkan adanya motif simetris pada Ulos Ragi Hotang dan garis tebal menunjukkan sumbu simetris yang terbentuk di dalamnya. Sumbu I terletak sepanjang setengah dari lebar kain Ulos Ragi Hotang (35 cm), yaitu tepat pada ukuran lebar 17,5 cm, sedangkan Sumbu II terletak sepanjang setengah dari panjang kain Ulos Ragi Hotang (196 cm), yaitu tepat pada ukuran panjang 98 cm. 2.2.2.
Konsep Transformasi Pada motif Ulos Ragi Hotang terdapat pula konsep transformasi, seperti refleksi, translasi,rotasi, dan dilatasi. Kajian mengenai konsep-konsep ini pada motif Ulos Ragi Hotang diuraikan sebagai berikut.
1122
2.2.2.1.
Konsep Transformasi Refleksi Selain dengan menggunakan konsep simetri kain Ulos Ragi Hotang juga memiliki konsep reflektif di dalamnya. Dengan cara sederhana motif ulos ini diambil sebagian (a) dan (b) kemudian di reflektifkan dengan C1, C2 dan C3 debagai cermin:
Gambar 8. Motif Ulos Reflektif 2.2.2.2.
Konsep Translasi Konsep lain yang digunakan pada motif Ulos Ragi hotang adalah translasi, konsep ini dilihat karena ada persamaan motif ulos yang terbentuk akibat adanya pergeseran. Motif (a) di geser sebesar sekian satuan hingga diperoleh a’, sebagai berikut:
Gambar 9. Motif Ulos Translasi Pada Motif I
Gambar 10. Motif Translasi Pada Motif II
Gambar 11. Motif Translasi Pada Motif VI
1123
2.2.3.
Konsep Kekongkruenan Selain konsep simetri dan transformasi, pada motif Ulos Ragi hotang juga terdapat konsep lain yaitu konsep kekongruenan. Salah satu cara untuk menunjukkan bahwa terdapat konsep kekongruenan pada motif Ulos Ragi hotang adalah dengan cara-cara dicerminkan, digeser, atau diputar. Sehingga dengan proses tersebut, akan nampak motif ulos lainnya pada posisi lain yang memiliki ukuran dan bentuk yang sama dengan motif semula.
Gambar 17. Motif Kongruen Pada Ulos Ragi Hotang 2.2.4.
Konsep Kesebangunan Karena pada motif Ulos Ragi hotang terkandung konsep dilatasi, yang merupakan konsep yang sejalan dengan kesebangunan. Maka pada motif Ulos Ragi Hotang ini juga terdapat konsep kesebangunan. Hal ini dapat dilihat dengan mencermati Gambar 14. dan Gambar 16. yang diperbesar dengan ukuran yang sebanding. Berdasarkan yang sudah dipaparkan di atas maka dapat dilihat bahwa motif Ulos Ragi Hotang memiliki beberapa konsep matematis di dalamnya yaitu konsep Simetri yaitu simetri lipat, Transformasi yang meliputi refleksi, translasi, rotasi dan dilatasi serta konsep kekongkruenan dan kesebangunan. 2.3. Pembahasan Hasil Analisis Pada bagian analisis mengenai beberapa aspek matematika geometri pada kain Ulos Ragi Hotang menunjukkan bahwa etnomatematika telah ada, tumbuh, dan berkembang pada kebudayaan seni kain ulos Batak Toba. Aspek matematika geometri yang telah dianalisis di atas, merupakan sebagian kecil dari banyaknya konsep atau aspek matematika formal yang diterapkan dalamm kehidupan seharihari manusia. Dalam rangka meningkatkan kemampuan menalar dan pemecahan masalah kontekstual peserta didik, kita dapat menggunakan aspek geometri pada kain ulos untuk membantu peserta didik mengasah kemampuannya dalam hal menalar dan membantu peserta didik untuk mengaitkan konsep-konsep matematika dalam kehidupannya. Dengan begitu pembelajaran matematika di kelas dalam mencapai hasil yang optimal dan yang terpenting adalah menjadi lebih bermakna. Selain itu, dengan memasukkan budaya dalam pembelajaran matematika dapat menjadi salah satu upaya melestarikan kebudayaan lokal yang nyaris tertelan oleh derasnya kemajuan teknologi.
1124
3. Kesimpulan 3.1. Kesimpulan Matematika pada kain Ulos Ragi Hotang, yaitu konsep matematika materi geometri yang meliputi simetri lipat, geometri transformasi (reflektif, translasi, rotasi, dan dilatasi), kekongruenan, dan kesebangunan. Aspek matematika pada kain ulos yang diterapkan dalam pembelajaran matematika diwujudkan dalam pemberian soal yang mengandung masalah-masalah kontekstual materi geometri transformasi. 3.2. Saran 3.2.1. Bagi penelitian selanjutnya dapat mengkaji aspek-aspek matematika yang terdapat pada motif kain ulos jenis lainnya. 3.2.2. Bagi penelitian selanjutnya dapat mengkaji aspek matematika yang terdapat pada budaya-budaya lokal lainnya, sehingga keterkaitan antara matematika dan budaya dapat lebih jelas terlihat.
Referensi [1] Albanese, V. & Francisco, J. P. 2015. Enculturation with Ethnomathematical Microprojects: From Culture to Mathematics. Journal of Mathematics & Culture 9(1). 1-11. [2] Clanche, P. & Bernard, S., etc. 2006. Ethnomathematics and Mathematics Education. Proceedings of the 10th International Conggress of Mathematics Education Copenhagen. Italia: Tipografia Editrice Pisana snc. [3] Francois, K. 2010. The Role of Ethnomathematics with Mathematics Education. CERME 6 1517-1526. [4] Pradanti, P. & Maria, R. A. S. 2016. Geometri Transformasi dalam Motif Batik Kawung. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya 2016, p-ISSN : 2550-0384; eISSN : 2550-0392. [5] Rosa, M. & Orey, D. C. 2011. Ethnomathematics: the cultural aspek of mathematics. Revista Latinoamericana de Etnomatematica, 4(2) 32-54. [6] Zayyadi, M. 2017. Eksplorasi Etnomatematika pada Batik Madura. ΣIGMA 2(2) 35-40. [7] Setia, B. 2011. Buku Pelajaran Matematika SMP Kelas IX. Kementrian Pendidikan Nasional. [8] Sihombing, T. M.. 1977. Filsafat Batak Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat-Istiadat. Medan: Balai Pustaka. [9] Tambunan, E. H. 1982. Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba Dan Kebudayaannya. Bandung: Tarsito. [10] Vergouwen, J. C. 1986. Masyatakat Dan Hukum Adat Batak Toba. Jakarta: Pustaka Azet. [11] Wirodikromo. 2007. Buku Pelajaran Matematika SMA Kelas XII. Jakarta: Erlangga
1125
Prosiding SNM 2017 Pen d i di ka n , Ha l 11 26 -11 36
KEMAMPUAN SISWA SMP KELAS VIII DALAM MEMBUAT MASALAH MATEMATIKA BERDASAR MEDIA KORAN GEORGIUS ROCKI AGASI1, YAKOBUS DWI WAHYUONO2 1Magister Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma,
[email protected] 2 Magister Pendidikan Matematika Universitas Sanata Dharma,
[email protected]
Abstrak. Dewasa ini pembelajaran matematika masih menjadi suatu momok yang berat. Pengajaran yang hanya terfokus pada rumus membuat matematika sangat jauh dari dunia nyata. Kurikulum 2013 mengajak untuk belajar dengan cara yang lebih baik. Scientific approach merupakan kekhasan pada kurikulum 2013 dengan penekanan bahwa siswa belajar 7 M (Mengamati, Menanya, Mencoba,Mengumpulkan Informasi, Menalar, Mengkomunikasikan dan Mena rik Kesimpulan). Masalah nyata merupakan sarana yang cukup penting digunakan pada pendekatan ini. Problem posing merupakan suatu pendekatan yang dapat diupayakan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam bermatematika. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat kemampuan siswa dalam membuat masalah yang berkaitan dengan matematika. Penyajian masalah melalui media koran tentang fenomena penambangan pasir. Penelitianini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan Studi kasus. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas viii SMP Pangudi Luhur Srumbung, Magelang, Jawa tengah sebanyak 21 siswa yang dibagi menjadi 4 kelompok. Hasil penelitian ini menunjukkan siswa-siswi mampu membuat permasalahan matematika berdasar media koran. Permasalahan dibuat dalam beberapa pertanyaan. Pertanyaan yang dibuat cukup banyak namun belum mendalam. Semua kelompok sudah mampu membuat pertanyaan matematika dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Kata kunci : Problem posing, Masalah matematika, Media koran
1. Pendahuluan Pada jaman yang sudah semodern ini hasil belajar matematika masih belum sesuai harapan. Salah satu penyebab rendahnya hasil belajar pada matematika karena siswa masih menganggap bahwa matematika itu sangat sulit dan jauh dari kenyataan. Hal tersebut tidak sepenuhnya salah, karena memang karakteristik pada matematika yaitu bersifat abstrak. Akibat karakteristik ini, banyak siswa banyak siswa menganggap bahwa matematika merupakan momok yang sangat menakutkan. Sriyanto, (2007) menyatakan bahwa matematika seringkali dianggap momok menakutkan dan sebagai pelajaran yang sulit oleh sebagian siswa [5]. Russefendi, (1991) menyatakan bahwa pelajaran matematika bagi siswa pada umumnya merupakan mata pelajaran yang tidak disenangi, dianggap sebagai
1126
ilmu yang sukar dan ruwet [5]. Selain itu Abdurrahman (2003) mengatakan bahwa dari berbagai bidang studi yang diajarkan di sekolah, matematika merupakan bidang studi yang dianggap paling sulit oleh para siswa, baik siswa yang tidak mempunyai kesulitan belajar maupun terutama bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar [5]. Pelaksanaan kurikulum 2013 mengajak semua pihak untuk lebih bersemangat dan optimis akan tercapainya suatu pendidikan yang lebih baik. Kurikulum 2013 lebih menekankan pada dimensi pedagogik modern yang dalam proses pembelajaran menggunakan scientific approach atau pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah dipercaya sebagai salah satu jembatan yang baik untuk meningkatkan perkembangan dan pengembangan sikap. Selain itu keterampilan dan pengetahuan peserta didik dalam proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah ini akan semakin berkembang. Dalam konsep pendekatan ilmiah yang disampaikan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dijabarkan minimal ada 7 (tujuh) kriteria. Ketujuh kriteria tersebut adalah sebagai berikut : 1. Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu ; bukan sebatas kira – kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata. 2. Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru – siswa terbebas dari prasangka yang serta – merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis. 3. Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran. 4. Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran. 5. Mendorong dan menginspirasi siswa dalam memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran. 6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan. 7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, tetapi menarik sistem penyajiannya. Proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah tersebut merupakan perpaduan antara proses pembelajaran yang semula terfokus pada eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi dilengkapi dengan mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan [2]. Meskipun ada yang mengembangkan lagi menjadi mengamati, menanya, mengumpulkan data, mengolah data, mengkomunikasikan, menginovasi dan mencipta. Namun, tujuan dari beberapa proses pembelajaran yang harus ada dalam pembelajaran ilimiah sama, yaitu menekankan bahwa belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas, tetapi juga di lingkungan sekolah dan masyarakat. Selain itu, guru cukup bertindak sebagai fasilitator ketika anak/siswa/peserta didik mengalami kesulitan, serta guru bukan satu – satunya sumber belajar. Sikap tidak hanya diajarkan secara verbal, tetapi melalui contoh dan keteladanan. Problem posing adalah pembelajaran yang menekankan pada pengajuan soal/masalah oleh siswa. Oleh karena itu, problem posing dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengembangkan berpikir matematis atau pola pikir matematis. Menurut Suryanto (1998:3) merumuskan soal/masalah merupakan salah satu dari tujuh kriteria berpikir atau pola berpikir matematis. Sistem berpikir matematis di sini
1127
dapat diartikan : memahami, keluar dari kemacetan, mengidentifikasi kekeliruan, meminimumkan pekerjaan berhitung, meminimumkan pekerjaan menulis, tekun, siap mencari jalan lain ketika diperlukan, dan membentuk soal [1]. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan problem posing merupakan kegiatan penting dalam pembelajaran matematika. NCTM (National Council of Teachers of Mathematics) merekomendasikan agar dalam pembelajaran matematika, para siswa diberikan kesempatan untuk mengajukan soal/masalah sendiri [6]. Selain itu menurut Cars untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal/masalah dapat dilakukan dengan cara membiasakan siswa mengajukan soal/masalah [1]. Sedangkan Suryanto (dalam [7]) menjelaskan bahwa ada tiga macam pemahaman problem posing, yaitu: 1. perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana sehingga soal tersebut dapat diselesaikan. 2. perumusan soal-soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang akan diselesaikan menekankan pada pengajuan oleh siswa. 3. pengajuan soal dari informasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika, atau setelah kegiatan penyelesaian. Pada tataran pelaksanaan juga dikenal tiga jenis model problem posing berdasarkan situasinya, yaitu : 1.
Situasi problem posing bebas, yaitu siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengajukan soal sesuai dengan apa yang dikehendaki. Siswa dapat menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan untuk mengajukan soal.
2.
Situasi problem posing semi terstruktur, yaitu siswa diberikan situasi atau informasi terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mengajukan soal dengan mengkaitkan informasi itu dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Situasi dapat berupa gambar atau informasi yang dihubungkan dengan konsep tertentu.
3. Situasi problem posing terstruktur, yaitu siswa diberi soal atau penyeselesaian soal tersebut, kemudian berdasarkan hal tersebut siswa diminta untuk mengajukan soal baru. Berdasarkan fakta-fakta di atas maka peneliti melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan mengajukan masalah matematika dari siswa SMP berdasarkan pada media koran. Situasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah situasi problem posing yang bebas yaitu siswa disajikan masalah nyata kemudian diminta untuk membuat permasalahan matematika tanpa dibatasi. 2. Hasil – Hasil Utama Penelitian ini diawali dengan mengajak siswa untuk membaca suatu surat kabar tentang kondisi lingkungan sekitar. Masalah yang diangkat pada berita ini adalah tentang penambangan pasir. Peneliti membagi kertas kosong dan memberikan berita untuk mereka baca. Waktu yang diberikan untuk memahami maksud berita sekitar 10 menit. Setelah itu, peneliti membagi siswa dalam 4 kelompok dan meminta siswa untuk mengerjakan tugas yang diberikan yaitu membuat soal matematika berdasarkan berita yang diberikan.
1128
Tabel 1. Hasil Penelitian siswa.
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Soal yang dibuat ada 5 Soal yang Soal yang dibuat Soal yang dibuat dibuat ada 5 ada 5 ada 5 Semua pertanyaan menggunakan kata berapa Semua 2 dari 3 soal 1 dari 5 soal pertanyaan sudah menggunakan kata Pertanyaan yang dibuat menggunakan menggunakan bagaimana sebagai cukup sederhana namun kata berapa pemisalan pertanyaaan untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan informasi Penyelesaian Kelima soal Ada 1 soal yang yang langsung dan cukup yang dibuat masih sederhana untuk banyak cukup menggunakan ditanyakan namun sederhana kata berapa untuk Pada pertanyaan nomor 2 menjawabnya sebenarnya sudah lebih tepat diperlukan kalau itu termasuk soal informasi yang kompleks karena cukup banyak. penyelesaian yang dibuat tidak bisa langsung menggunakan rumus matematika biasa namun harus mengetahui banyak info
Ada 7 soal yang dibuat Ada 5 soal yang namun ada 1 soal yang ditulis dibuat dua kali Semua soal Satu soal yang tertulis dua sudah kali tersebut kurang tepat jika memberikan dimasukkan kategori soal tambahan cerita, namun penyelesaian informasi yang dibuat cukup menarik. sebagai solusi penyelesaian Hanya 5 soal yang sudah Tingkat memakai pemisalan kesulitan dalam penyelesaian soal cerita ini cukup beragam Ada 5 soal yang Ada 5 soal yang dibuat dibuat Permasalahan yang dibuat Informasi banyak kurang menunjukkan bentuk namun kompleksitasnya penyelesaian (ditunjukkan dari pertanyaan cukup mudah yang ingin dicari) Beberapa soal menggunakan informasi sebelumnya untuk menanyakan permasalahan lain.
1129
Ada 5 soal yang Ada 5 soal yang dibuat dibuat Ada 1 soal yang Setiap soal diberi sudah satu informasi menggunakan untuk membentu fungsi sebagai penyelesaian soal perbandingan Permasalahan yang hasil data dibuat cukup Ada soal yang sederhana untuk memberikan penyelesaiannya banyak informasi untuk penyelesaiannya (tidak ada)
Ada 5 soal yang dibuat Satu soal sudah menggunakan kata mengapa sebagai pertanyaannya Ada 1 soal yang penyelesaiannya cukup sulit karena harus mencari banyak informasi
Gambar 1. Permasalahan yang dibuat untuk setiap kelompok [4]
Gambar 2. Soal sederhana kelompok 1
1130
Gambar 3. Soal cerita sederhana kelompok 1
Gambar 4. Soal kompleks kelompok 1
Gambar 5. Soal sederhana kelompok 2
1131
Gambar 6. Soal cerita sederhana kelompok 2
Gambar 7. Soal kompleks kelompok 2
1132
Gambar 8. Soal sederhana kelompok 3
Gambar 9. Soal cerita sederhana kelompok 3
1133
Gambar 10. Soal sederhana kelompok 4
Gambar 11. Soal cerita sederhana kelompok 4
Gambar 12. Soal kompleks kelompok 4
1134
3. Analisa Berdasar data-data yang sudah disajikan di atas, pada bagian ini akan dilihat pekerjaan kelompok. Jika dilihat sekilas kemampuan siswa dalam kemampuannya mengajukan permasalahan matematika dapat dikatakan baik. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya permasalahan dan ragam dari permasalahan yang mereka ajukan. Terlebih-lebih mereka sudah dapat mengklasifikasikan permasalahan tersebuta dalam kategori yang diminta oleh peneliti. Kategori tersebut yaitu soal sederhana, soal cerita sederhana dan soal kompleks. Setiap kategori siswa diminta membuat minimal 5 soal. Sebelum menyuruh siswa untuk mengerjakan, peneliti juga memberi contoh hasil setiap soal yang dimaksud. Peneliti memberi contoh yang termasuk soal sederhana seperti apa, soal cerita sederhana seperti apa dan soal kompleks seperti apa. Setelah menjelaskan peneliti baru memperbolehkan siswa untuk mengerjakan. Waktu yang diberikan oleh peneliti sekitar 45 menit. Pada proses pengerjaannya siswa mulai membuat permasalahan matematika berdasarkan 3 kategori. Semua kelompok mampu membuat permasalahan pada kategori soal sederhana dengan mudah. Hal ini disebabkan banyak dari anggota kelompok sudah membuat soal kategori tersebut pada pengerjaan mereka sehingga mereka hanya perlu berdiskusi dari bahan yang sudah ada. Seperti kelompok 3 mereka langsung membagi tugas dengan setiap kelompok menuliskan satu permasalahannya kedalam tugas kelompok. Sedangkan pada kelompok 2, mereka mendiskusikan hasil pengerjaan tiap anggota sebelumnya kepada kelompok. Ketercapaian secara individu di sini juga diimbangi ketercapaian karena kerja kelompok. Dengan berinteraksinya siswa dalam kelompok semakin mengembangkan kemampuan mereka dalam mengajukan masalah matematika. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Fitria Ismail, (2013) dalam hasil penelitiannya yang mengungkapkan “......sehingga proses pembelajaran berjalan dengan baik, interaksi guru dengan siswa, siswa dengan siswa terlihat baik, selain itu siswa dapat berinteraksi dan bekerja sama dalam kelompok” [4]. Apa yang sudah dicapai oleh individu semakin terlihat saat mereka diminta mengelompokkan atau mengkategorikan permasalahan matematika yang mereka temukan ke dalam 3 kategori yang sudah ditentukan, Pada proses ini siswa semakin dituntut kreativitasnya karena mereka harus memilah-milah permasalahan yang tepat sesuai kategori yang ada. 4. Kesimpulan Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pada dasarnya siswa mampu membawa permasalahan nyata ke dalam permasalahan matematika. Hasil dari penelitian ini adalah siswa mampu mengamati keadaan alam disekitar SMP PL yang berasal dari koran dan membawanya kedalam masalah matematika. Selain itu siswa mampu memaknai masalah itu sendiri dan mampu menggunakan matematika itu dengan baik. Namun karena hal ini masih cukup baru untuk siswa maka pembiasaan ini memang tidak mudah untuk mengajak siswa membuat permasalahan matematika untuk dibagi menjadi 3 kategori soal yaitu soal sederhana, soal cerita sederhana dan soal kompleks. Sebagian besar masih kesulitan dalam membuat soal kompleks. Masih terdapat beberapa siswa mengalami kesulitan dalam mengubah masalah dunia
1135
nyata kedalam bentuk masalah matematika. Permasalahan yang dibuat oleh setiap kelompok sudah cukup baik, mulai muncul kata “bagaimana” dan “mengapa” sebagai pertanyaan mereka. Namun masih masih banyak menggunakan kata “berapa”. Saran dari penelitian ini adalah bisa membandingkan penelitian yang berkelompok dengan yang individu. Dari hasil itu bisa dibandingkan apakah hasilnya sama atau ada perbedaan. Hal terakhir yang menjadi saran adalah dapat dikembangkan pembuatan permasalahannya namun siswa dilarang membuat kata “berapa” agar lebih mengasah dan memperkaya siswa dalam hal pebuatan masalah yang berhubungan dengan matematika yang diambil dari alam sekitar.
Referensi [1] Abdussakir., 2009, Pembelajaran Matematika dengan Problem Posing, https://abdussakir.wordpress.com/2009/02/13/pembelajaran-matematika-denganproblem-posing/, (akses 8 November 2016) [2] Atsnan, M.F. dan Rahmita Yuliana Gazali., 2013, Penerapan Pendekatan Scientific dalam Pembelajaran Matematika SMP Kelas VII Materi Bilangan (Pecahan) , Penguatan Peran Matematika dan Pendidikan Matematika untuk Indonesia yang Lebih Baik, FMIPA UNY, Yogjakarta, PROSIDING, ISBN : 978 – 979 – 16353 – 9 – 4. [3] Fitria Ismail., 2013, Deskripsi Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad Dalam Pembelajaran Matematika Di Kelas V SDN 6 Bulango Selatan Kabupaten Bone Bolango, Jurnal Penelitian Kualitatif, Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Negeri Gorontalo, [4] Penambangan pasir Merapi 'ancam' lingkungan.
http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/06/150609_majalah_merapi_pasi r [5] Raudatul Husna dkk., 2013, Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi Matematik Melalui Pendekatan Matematika Realistik pada Siswa SMP Kelas VII Langsa, Prodi Pendidikan Matematika Pascasarjana, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam, Universitas Negeri Medan (UNIMED), 20221 Medan, Sumatera Utara, Indonesia Jurnal Pendidikan Matematika PARADIKMA, Vol 6 Nomor 2, hal 175-186. [6] Silver, E.A. & Cai, S., 1996, An Analysis of Arithmetic Problem Posing by Middle School Students, Journal for Research in Mathematics Education. 27: 521-539. [7] Vera Dewi K.O., 2014, Peningkatan Pemahaman Kemampuan Matematik dan Sikap Positif Terhadap Matematika Siswa SMP Nasrani 2 Medan Melalui Pendekatan Problem Posing , Jurnal Saintech Vol. 06 – No 04- Desember 2014, hal : 93 – 105.
1136