WAWASAN DUE PROSES OF LAW DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
Mansyur Achmad
i
ii
Teori-teori Mutakhir Administrasi Publik
Prof. Dr. M. Syukri Akub, SH., MH. Dr. Baharuddin Baharu, S.H., M.H.
WAWASAN DUE PROSES OF LAW DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
Editor Dr. Amir Ilyas, SH., MH
Mansyur Achmad
iii
WAWASAN DUE PROSES OF LAW DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA © Penulis
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All Rights Reserved Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit Cetakan Pertama: Maret 2012 xxx +250 hlm, 15.5 cm x 23.5 cm ISBN: Penulis Editor Perancang Sampul Penata Letak
: Prof. Dr. M. Syukri Akub, SH., MH. Dr. Baharuddin Baharu, S.H., M.H. : Dr. Amir Ilyas, SH., MH : Janoer Kuning : Rangkang
Diterbitkan atas kerjasama Rangkang Education, Yogyakarta Telp. 0274-3007167, dan SMS 081 22 77 40007
[email protected], Pencetak: Mahakarya Rangkang Offset Yogyakarta Jl. Wates Km 4, Tegalyoso, Banyuraden, RT 02/RW 07 No. 65 Sleman, Yogyakarta (55293) Telp. 0274-3007167 dan SMS 081227740007 e-mail:
[email protected]
iv
Teori-teori Mutakhir Administrasi Publik
PENGANTAR Satjipto Rahardjo1, mahaguru sosiologi hukum di Indonesia mengkonstruksikan masyarakat merupakan “tatanan normatif” yang tercipta dari proses interaksi sosial dan menciptakan berbagai “kearifan nilai sosial”. Kearifan nilai sosial itu ada yang bersifat rasional dan irasional yang “ditransformasikan” membentuk “tatanan masyarakat normatif” melalui “proses normativisasi hukum” sehingga menjadi publik dan positif. Secara faktual, kita bisa melihat bahwa hukum terbelenggu oleh kekuasaan, struktur, norma dan positivisme. Hukum tidak bisa menembus dinding peradilan yang tebal dalam membaca realitas sosial. Positivisme-dogmatis telah menjadi penyebab utama “kebangkrutan nalar” hukum menjawab tantangan dalam masyarakat. Sebab itulah, gagasan Satjipto Rahardjo menjadi salah satu gagasan yang paling penting untuk menembus batas-batas tabu positivisme dan supaya hukum bisa lebih progresif menghadapi berbagai realitas sosial dalam masyarakat. Ketidakadilan dan “pilih kasih” peradilan dalam menjatuhkan putusan, tidak saja disebabkan oleh hakim yang konservatif, tetapi juga karena hukum yang sangat ortodoks. Sehingga gagasan alternatif yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjolayak untuk diberi apresiasi dalam rangka membangun pemikiran hukum yang memihak kepada keadilan dan kepentingan rakyat. Makassar, Februari 2013
Penulis. 1 Satjipto Rahardjo, Paradigma Hukum Indonesia Perspektif Sejarah, Makalah disampaikan pada simposium Nasional Ilmu Hukum Program Doktor, UNDIP, Semarang, 1998, hal. 1-2. M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
v
vi
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
DAFTAR ISI
PENGANTAR . ............................................................................... DAFTAR ISI ..................................................................................... BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... BAB II TEORI HUKUM UNTUK KEADILAN...................................... A. Teori Keadilan............................................................................ 1. Pengertian Keadilan ............................................................ 2. Prinsip Keadilan................................................................... B. Teori Penegakan Hukum.......................................................... C. Konsep Hukum Progresif dan Penegakannya....................... 1. Konsepsi Hukum Progresif . .............................................. 2. Penegakan Hukum Progresif.............................................. D. Teori Perlindungan Hukum..................................................... BAB II SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Due Process of Law dalam Perspektif Teoritis Normatif..... 1. Sejarah Perkembangan Sistem Peradilan Pidana di Eropa dan Amerika Serikat............................................ a. Sistem inquisitoir dan Accusatoir ................................... b. Adversary System dan Non Adversary System . ............. c. Bail System......................................................................... d. Plea Bargaining System..................................................... 2. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia............................... B. Crime Control Model (CCM) dan Due Process Model (DPM) . dalam Proses Peradilan Pidana................................................ a. Crime Control Model..............................................................
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
vii
b. Due Process Model ................................................................. c. Persamaan Crime Controll Model dan Due Process Model ...................................................................................... d. Karakteristik Pembeda CCM dan DPM ........................... e. Family Model ....................................................................... f. Model Yuridis dan Model Kemudi ................................... C. Perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai Perwujudan Prinsip Proses Hukum Yang adil............................................. a. Masalah Pemeriksaan Tersangka oleh Penyidik ............ b. Masalah Upaya Paksa yang Melawan Hukum ............... D. Perlindungan Terhadap Hak Yuridis Tersangka dan Terdakwa dalam Proses Peradilan Pidana............................. E. Eksistensi Hak-Hak Tersangka Dan Terdakwa dalam Sistem Peradilan Pidana yang Adil......................................... F. Konsep Kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana.............. a. Pengertian Korban Kejahatan............................................. b. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan....... c. Kedudukan Korban dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.... d. Kedudukan Korban dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ..................................................................... e. Kedudukan Korban dalam Declaration of Basic Principles of Justice Victim of Crime and Basic Abuse Power . .............. BAB IV PROSES PERADILAN PIDANA DI INDONESIA.................. A. Aspek-Aspek Peradilan yang Adil.......................................... a. The Rule Of Law................................................................... b. Asas Persamaan di Muka Hukum (Equality Before the Law)................................................................................... c. Asas Praduga tak Bersalah (Presumption of Innocence).... B. Mekanisme Sistem Peradilan Pidana...................................... a. Pra-Ajudikasi......................................................................... b. Ajudikasi................................................................................ C. Pengaturan Korban Kejahatan dalam Sistem viii
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Peradilan Pidana................................................................... 1. Kebijakan Terhadap Korban Kejahatan....................... 2. Proyeksi penyelesaian perkara pidana di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA...................................................................... BIODATA PENULIS...................................................................... BIODATA EDITOR.......................................................................
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
ix
x
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
BAB I PENDAHULUAN
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, olehnya itu karena dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Mukaddimah deklarasi HAM 1948 yang menyatakan bahwa HAM harus dilindungi oleh pemerintah yang berdasar atas hukum, merupakan suatu hal yang esensial agar orang tidak terpaksa mengambil jalan lain, sebagai upaya terakhir, dengan berontak melawan tirani. Ketentuan mukaddimah deklarasi HAM tersebut mengandung makna bahwa dalam suatu negara hukum dijamin adanya perlindungan terhadap HAM. Pentingnya perlindungan tersebut dimaksudkan mencegah timbulnya pemberontakan dan perlawanan rakyat sebagai akibat dari pemerintahan yang sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Dalam implementasinya, HAM yang bersifat universal dan tidak dapat terlepas dan ciri yang dimiliki oleh suatu negara. Penjabaran HAM pada suatu negara tidak dapat dilepaskan dan realitas kehidupan suatu bangsa dan negara yang bersangkutan. Implementasi HAM pada suatu negara selalu menyatu pada kerangka konstitusi dan pandangan hidup negara yang bersangkutan. Sebagaimana dinyatakan oleh Safroedin Bahar (1996 : 86) bahwa berbeda dengan kesan yang timbul selama ini, yang memberikan gambaran bahwa HAM diarahkan untuk menentang pemerintah dan negara, instrumen HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) justru menegaskan bahwa perlindungan dan penegakan HAM di suatu negara merupakan tanggungjawab negara yang bersangkutan karena perlindungan M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
1
dan penegakan HAM menjadi program nasional suatu Negara untuk diwujudkan peraturan perUndang-Undangannya. Dalam kaitannya dengan konstitusi dan pandangan hidup suatu negara, pada dasarnya tidak ada kendala ideologis dalam proses perlindungan dan penegakan HAM, sebab sebagai suatu negara penganut paham kedaulatan rakyat, Indonesia mendasarkan dirinya pada Pancasila dan UUD NRI 1945. Sebagai negara hukum, di dalam penjabaran HAM, negara Indonesia menyatu pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945). Perspektif Pancasila dan UUD NRI 1945 terhadap HAM haruslah dilakukan secara menyeluruh sebagai suatu sistem yang di dalamnya memuat ruang gerak kehidupan kenegaraan yang bukan saja saling tergantung, tetapi juga saling memberi konstribusi. Jika dicermati secara mendalam, unsur-unsur yang terkandung dalam perwujudan HAM dalam pelaksanaan hakhak tersangka I terdakwa dan terpidana menurut Kitab UndangUndangHukum Acara Pidana (KUHAP) dalam konteks negara hukum dikaitkan dengan HAM ternyata saling memberi kontribusi. Kehadiran UU No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana banyak kalangan yang memandangnya sebagai angin segar dalam hal perlindungan HAM dalam proses peradilan pidana, bahkan ada yang memandangnya sebagai karya agung bahasa Indonesia. Alasannya, karena disamping KUHAP adalah kitab Undang-Undangyang pertama kali diciptakan oleh bangsa Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan, juga substansi KUHAP dipandang Iebih maju bila dibandingkan dengan Herzeine Indldonesische Reglement (HIR) terutama yang bertalian dengan perlindungan hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana. Dalam perjalananya KUHAP mulai mendapat sorotan dan berbagai praktisi dan pengamat hukum yang memandang bahwa KUHAP tidak progresif dalam memberikan perlindungan hukum kepada tersangka, terdakwa dan utamanya kepada korban kejahatan. Pada awalnya KUHAP memang banyak mendapat pujian dan sekaligus dilekati dengan harapan akan 2
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
keadilan dalam beracara pada Undang-Undangyang terdiri dan 286 pasal / 28 bab tersebut. Terkait dengan eksistensi KUHAP itu sendiri, Bambang Widjojanto (Busroh, 1996: 14) memberikan penilaian terhadap eksistensi KUHAP tersebut terkait munculnya kontroversi terhadap putusan Peninjauan Kembali (PK) Mukhtar Pakpahan, bahwa sudah saatnya prinsip-prinsip yang ada dalam KUHAP perlu dikaji dan dipikirkan lebih dalam, terutama dalam mengantisipasi perkembangan zaman dan masyarakat masa depan. Keluhan yang sering muncul berkenaan pelaksanaan KUHAP adalah pendekatan kekerasan dalam proses penyidikan. Serangkaian kasus telah mengemuka di tengah masyarakat, Misalnya kasus Cece Tadjuddin, Marsinah, Udin dan lainlain. Malah ada indikasi kuat sebagaimana dikemukakan oleh Munir (Busroh, 1996: 14) bahwa aparat penyidik cenderung menggunakan pendekatan kekerasan sebagai jalan pintas untuk menutupi keterbatasan kemampuan dalam mengungkap suatu tindak kejahatan. Selanjutnya dikemukakan Munir bahwa ada beberapa titik kelemahan KUHAP, Misalnya rendahnya akuntabilitas dan transparansi proses pemeriksaan tersangka, kurang memadainya lembaga peradilan sebagai sarana kontrol terhadap proses penyidikan serta adanya penurunan derajat kepastian hukum yang dihasilkan oleh lembaga peradilan, dan pada akhirnya mengakibatkan tidak efektifnya mekanisme kontrol yang telah dibangun dalam KUHAP. Kepastian hukum itu harus memiliki kewibawaan yang formal (prosedurnya harus benar) maupun yang materiil (substansinya harus benar) untuk bisa dirasakan kehadirannya, supaya kepastian hukum itu harus mempunyai kinerja yang dapat diamati oleh masyarakat biasanya mempunyai cukup peka terhadap ketidakadilan. Artinya kepastian hukum itu dinilai melalui dampak keadilan yang (seharusnya) dihasilkannya. Kinerja POLRI yang formal dihasilkan oleh konsistensi dalam
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
3
penerapan cara dan prosedur yang relatif sama terhadap suatu perilaku yang menyimpang dan norma hukum. (Latif, 2010: 53) Selama ini dikenal lima unsur sistem hukum, yaitu struktur hukum, substansi hukum, profesionalisme, dan komitmen. Bila ditinjau dari unsur-unsur tersebut, maka salah satu unsur penting terjadinya pelanggaran penegakan hukum karena tidak adanya profesionalisme di antara penegak hukum. Ketidakprofesionalan tersebut bisa dilihat dengan banyaknya kasus yang dikerjakan serampangan. Hal ini bisa dilihat dan tersangka yang dipaksa mengakui sesuatu yang tidak mereka lakukan. Hukum bukan lagi sebagai alat mencari keadilan, melainkan untuk sekedar mencari kesalahan, apabila tidak ditemukan benang merahnya untuk menghubungkan seseorang sebagai sasaran bidik untuk dijadikan tersangka, di obrak-abrik lagi sisi lain yang sebenarnya hubungannya dipaksa -paksakan. Maka tak mengherankan kalau kemudian pengadilan sesat terjadi (Pamungkas,2010:11) Sejumlah kasus telah mewarnai ketidakadilan dan ketidakprofesionalan aparat penegak hukum dalam hal penanganan perkara, sebut saja kasus dakwaan duplikat, yang menyeret Iwan Setiawan didakwa telah membunuh majikan. Motifnya pembunuhan karena dendam setelah diberhentikan dan pekerjaannya sebagai Satpam bersama terpidana lainnya, Suyitno, yang juga kakak ipar, berencana membunuh Ny. Shi Feko pada hari Senin, 13 Juli 2006, pukul 18.05, Iwan Setiawan dan Suyitno datang ke rumah korban sekitar Pukul 22.00 keduanya mendekati korban yang sedang berdiri diteras, keduanya dituduh menyeret dan menusukkan pisau ke leher korban. Atas dasar tuduhan tersebut, Iwan Setiawan diseret ke pengadilan. Hakim Pengadilan Negeri Bandung memvonis Iwan Setiawan seumur hidup. Putusan tersebut dikuatkan oleh Hakim Pengadilan Tinggi Bandung. Namun lewat proses Kasasi, Iwan Setiawan dibebaskan. Dalam putusannya, Hakim Mahkamah Agung yang diketuai Iskandar Kanil, menyatakan Iwan Setiawan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam 4
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
pembunuhan Ny. Shi Geko, Hakim juga membebaskan terdakwa dan aspek dakwaan (Pamungkas, 2010:196). Dalam proses persidangan Iwan Setiawan memang diwarnai kejanggalan. Selama penyidikan oleh polisi, Iwan mengaku dipukul sebanyak dua kali oleh polisi agar mengakui perbuatannya namun banyak saksi yang melihat Setiawan berada di Rumah Sakit Santo Yusuf, menunggu saudaranya yang sakit. Akan tetapi, Hakim Pengadilan Negeri Bandung tidak memberikan kesempatan kepada saksi tersebut untuk bersaksi di pengadilan. Hal lainnya karena dakwaan yang didakwakan kepada Iwan Setiawan ternyata hasil duplikat dan terdakwa Suyitno bin Bejo yang didakwa dalam kasus yang sama (Pamungkas, 2010:198). Tak dapat dipungkiri di tingkat penyidikan, polisi sering melakukan intimidasi terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, sebut saja kasus yang menimpa Risman Rostiah (ibu tin Alfa) yang diduga dibunuhnya, namun kenyataannya Alfa yang diduga dibunuh telah muncul ke permukaan pada hari rabu 24 Juni 2007 (Pamungkas, 2010: 14). Kasus yang menimpa Rostiah Risman sebenarnya tak perlu terjadi andaikata profesionalitas penyidik berjalan, tidak menggunakan pendekatan kekerasan terhadap seseorang yang disidiknya. Budaya kekerasan yang terlalu digunakan oleh polisi ditingkat penyidikan membuktikan ketidakmampuannya dalam mengungkapkan kasus yang ditanganinya, dan celakanya pula jaksa yang melakukan penuntutan di pengadilan Iebih cenderung untuk mencolokkan Berita Acara yang ada sebagai dasar dakwaan dan tuntutannya tanpa mau mendalami kasus yang ada. Sebut saja kasus yang cukup monumental yaitu kasus Marsinah, kasus Sengkon dan Karta, kasus Sum Kuning, kasus Ryan yang terkenal dengan kasus pembunuhan berantai yang menyeret anak anak yang tak bersalah masuk penjara dan sebagainya. Sudah menjadi rahasia diperjualbelikan. Inilah yang
umum, hukum seringkali menyebabkan hukum bisa
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
5
direkayasa. Kasus seperti ini hampir terjadi di semua aparat penegak hukum. Aspek moral baik pada persoalan ketidakpekaan aparat penegak hukum terhadap rasa keadilan masyarakat. Kasus-kasus yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan betapa keadilan masyarakat terkoyak (Pamungkas, 2010:15). Tak dapat dipungkiri antara moralitas dan hukum memang terdapat korelasi yang sangat erat. Artinya, moralitas yang tidak didukung oleh kehidupan hukum yang kondusif akan menjadi subyektivitas. Sebaliknya, kekuatan hukum yang disusun tanpa disertai dasar dan alasan moral akan melahirkan suatu legalisme yang represif, kontra produktif akan bertentangan dengan nilainilai kebenaran dan keadilan yang menjadi tujuan hukum. Inilah yang membuat peningkatan moralitas penegak hukum menjadi mendesak untuk dilakukan. Perkembangan yang terdapat dalam KUHAP bila dibandingkan dengan Hierzening indonesische Reglement (HIR) dapat dilihat dalam pasal-pasal yang mengatur setiap hak-hak tersangka, terdakwa seperti asas persamaan di depan hukum (penjelasan umum butir 3), hak untuk segera diperiksa dan diadili dalam persidangan (pasal 50 ayat 1, 2 dan 3 KUHAP), hak untuk mendapat bantuan hukum bagi setiap tersangka, terdakwa (pasal 54), hak untuk diberitakan oleh aparat penegak hukum mengenai sangkaan yang dituduhkan kepadanya (Pasal 51), hak untuk memberikan keterangan secara benar (pasal 52) dan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang terdapat dalam penjelasan umum butir 3 c KUHAP. Dengan demikian, tampaklah bahwa proses hukum yang adil sebagaimana diuraikan di atas lebih berorientasi kepada perlindungan hak-hak tersangka - terdakwa. Hal tersebut dapat dilihat baik pada pasal - pasal yang mengatur tentang hak-hak tersangka I terdakwa maupun asas-asas yang mengatur tentang persidangan terhadap harkat dan martabat manusia yang terdapat dalam KUHAP. Dalam rangka mewujudkan proses hukum yang adil, maka penegakan hukum seyogianya tidak dipandang secara sempit, 6
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
namun harus secara holistic. Dengan demikian, penegakan hukum tidak hanya selalu berarti penegakan terhadap normanorma hukum yang berkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh seorang tersangka atau terdakwa, melainkan juga penegakan terhadap norma-norma yang bertalian dengan perlindungan hak-hak tersangka dan terkdakwa selama proses pemeriksaan berlangsung. Masalah penegakan hukum dewasa ini semakin sering disorot orang. Bahkan, tekanan pada institusi penegak hukum semakin gencar dilakukan, baik oleh pencari keadilan, maupun dari kalangan intelektual Tekanan ini terjadi karena adanya fenomena dimana para penegak hukum tidak lagi menjalankan inisi mulianya. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, para penegak hukum (polisi, jaksa, dan Hakim), acapkali melakukan tindakan yang sangat bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, seperti perlakuan diskriminatif di antara para tersangka / terdakwa. Tindakan mana sesungguhnya tidak selaras dengan semangat KUHAP yang menghendaki adanya perlakuan yang sama bagi setiap warga negara, termasuk kepada para tersangka tanpa harus melihat status sosialnya. Demikian halnya fenomena putusan pengadilan yang terkadang menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat, yang kemudian ternyata diwarnai oleh tindakan praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme, mengakibatkan munculnya krisis kepercayaan kepada para aparat penegak hukum. Lain lagi bila para penegak hukum sadar atau tidak melibatkan diri ke dalam kancah permainan politik sehingga berubahlah peran penegak hukum sebagai alat kekuasaan pihak yang berkuasa. Penegakan hukum acapkali sarat dengan tindakan kamuflase dengan melakukan penangkapan atau pemeriksaan kepada setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana, padahal ternyata hampir tidak ada yang dituntaskan. Akibatnya, semakin mencoreng wajah, penegakan hukum di Indonesia, sehingga muncul ungkapan bahwa “tidak semua yang ada di
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
7
balik terali adalah penjahat, dan tidak semua penjahat ada di balik terali” seolah tak terbantahkan. Mungkin itulah salah satu alasan sehingga Sahetapy (1989:19) mengungkapkan sinisme bahwa hukum memang tetap mencari kebenaran, tetapi di pengadilan orang lebih banyak bicara soal prosedur yang justru mengandaskan perburuan itu terjadi sekedar dagelan. Dalam proses penegakan hukum, ada dua aspek yang acapkali saling berbenturan yakni aspek kepentingan umum dan aspek kepentingan individu , di lain pihak menghendaki adanya kebebasan individu. Untuk itu, perlu adanya harmonisasi antara dua kepentingan yang berbeda ini sehingga dapat tercipta ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Meskipun tak dapat dibantah bahwa kebebasan merupakan hal yang sangat asasi bagi setiap warga Negara, namun di sisi lain diakui pula bahwa ketertiban merupakan suatu condition sine qua non dalam hidup bermasyarakat. Hal ini selaras dengan apa yang ditulis oleh Peter Mahmud (1999 :18-19) bahwa hukum itu diadakan untuk mengatur transaksi kehidupan bermasyarakat agar kehidupan bermasyarakat tidak runtuh. Untuk itu, perlu pengaturan yang seimbang antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Idealnya dalam setiap penegakan hukum seyogianya senantiasa mempertimbankan tiga tujuan hukum sebagaimana yang ditulis oleh Radbruch yaitu : kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Kepastian hukum sangat diperlukan, karena tidak hanya memberikan jaminan kepada masyarakat tentang perbuatan mana yang boleh/tidak boleh dilakukan, akan tetapi juga sekaligus merupakan pedoman bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, masyarakat dapat terhindar dari tindakan atau perbuatan yang sewenangwenang dari pihak penguasa (Friedman, 1990:43). Namun secara faktual, dalam setiap penegakan hukum, sangat sulit memenuhi ketiga unsur tersebut secara simultan. Acapkali dijumpai di mana kepastian hukum mendesak keadilan, 8
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
maupun kemanfaatan, dan demikian sebaliknya. Salah satu contoh dapat dikemukakan adalah kasus penembakan misterius yang dilakukan pada awal tahun 1980-an. Pada saat itu terjadi pro dan kontra atas penembakan beberapa residivis. Bagi yang pro, mereka mengemukakan alasan bahwa sejak penembakan misterius dilancarkan, tingkat kejahatan (terutama kejahatan kekerasan) menurun drastis sehingga menimbulkan rasa aman di tengah masyarakat. Di lain pihak, kelompok yang kontra memberikan argumentasi hukum. Alasannya, karena tindakan tersebut sungguh-sungguh merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Antara proses hukum yang adil dan Sistem Peradilan Pidana (SPP) tidak mungkin dapat dipisahkan, karena tidak mungkin orang dapat membicarakan proses hukum yang adil tanpa menyinggung masalah sistem peradilan pidana, demikian sebaliknya sistem peradilan pidana merupakan wadah dan proses hukum yang adil, sedangkan proses hukum yang adil pada hakikatnya merupakan roh dan SPP itu sendiri yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka I terdakwa. Patut dikemukakan bahwa melalui hukum, manusia hendak mencapai kepastian hukum dan keadilan. Meskipun demikian, harus disadari bahwa kepastian hukum dan kemudian keadilan yang hendak dicapai melalui penyelenggaraan hukum itu hanya bisa dicapai dan dipertahankan secara dinainis sebagai penyelenggaraan hukum dalam suatu proses hukum yang adil. Dalam penyelenggaraan, hukum itu bisa (atau tidak bisa) memperoleh kepercayaan dan masyarakat akan memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada kehidupan bersama. Konsekuensinya adalah, hukum itu sendiri harus memiliki suatu konsistensi dan kredibilitas itu hanya bisa dimiliki, bila penyelenggara hukum mampu memperlihatkan suatu alur kinerja yang konsisten. Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak akan membuat masyarakat mau mengandalkan sebagai perangkat norma yang mengatur kehidupan bersama.
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
9
Karena itu konsistensi dalam penyelenggaraan hukum menjadi sangat potensial untuk menghasilkan kepastian hukum. (Latif, 2010 : 52) . Untuk menggapai proses peradilan yang adil (due process of law) dibutuhkan adanya penegakan hukum yang bersifat progresif. Penegakan hukum selalu melibatkan manusia di dalamnya dan melibatkan juga tingkah laku manusianya. Hukum tidak dapat ditegakkan dengan sendirinya, artinya hukum tidak mampu mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum. Janjijanji tersebut Misalnya bagaimana memperbaiki perlindungan hukum yang adil kepada para pencari keadilan, mulai dari tingkat penyelidikan sampai dengan putusan akhir pengadilan. Di sinilah pentingnya pendekatan hukum progresif di kedepankan di dalam menganalisis dan memudahkan persoalan hukum yang ada ketika paradigma hukum progresif lebih menekankan pada faktor perilaku di atas Undang-Undang. Faktor manusia inilah yang mempunyai perasaan haru (empathy), ketulusan (sincerety), tanggungjawab (coininitment), keberanian (dare) dan kebulatan tekad (deterinination). Sehubungan dengan hal tersebut, Taverne (Satjipto Rahardjo, 2004:6) menyatakan berikan pada saya jaksa dan Hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan yang baik. Hukum progresif berangkat dari sebuah maksim bahwa hukum adalah suatu institusi yang bertujuan untuk menyatakan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia (Satjipto Rahardjo, 2004:1-3). Hukum progresif mempunyal watak yang kuat sebagai kekuatan pembebasan dengan menolak status - quo. Paradigma “hukum untuk manusia” membuatnya merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang tepat untuk mewujudkannya. Gagasan mengenai aksi hukum progresif dicontohkan oleh Satjipto Rahardjo (Machmud Kusuma, 2010: 61 - 62) sebagai 10
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
berikut: pertama adalah tindakan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto dengan inisiatif sendiri mencoba membongkar atmosfir korupsi di Iingkungan Mahkamah Agung (MA). Kedua adalah ketika Hakim Agung Adi Andjo Soetjipto membuat putusan yang sangat berarti dengan memutus perkara Mochtar Pak Pahan tidak melakukan perbuatan makar pada era rezim Soeharto yang sangat otoriter. Ketiga adalah putusan Pengadilan Tinggi yang dilakukan oleh Benyamin Mangkudilaga dalam kasus Tempo melawan Menteri Penerangan yang berpihak kepada tempo. Beberapa pengalaman penegak hukum di atas perlu dilakukan implementasi baik yang berupa (1) agenda akademik, dan juga (2) yang berupa agenda aksi pada dasarnya agenda akademik hukum progresif. Kesemuanya ini memandang ke depan bahwa hukum sebagai proses yang mempunyai tipe responsive, dapat dikatakan sebagai gerakan intelektual seperti halnya Critical Legal Studies (CLS) dan interpretasi hukum yang kreatif. (Satjipto Rahardjo, 2004: 15-16). Keberanian untuk melakukan interpretasi hukum yang progresif (sejauh dikembalikan pada prinsip “social reasonable” agar penafsirannya tidak menjadi liar), bertumpu pada sumber daya manusia yang baik dan bermutu yang berpihak pada rakyat, merubah kultur hukum menjadi lebih kolektif, serta reward and punishment dalam implementasi kebijakan hukum. Apakah dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka / terdakwa dalam proses peradilan pidana sudah dapat dikatakan bahwa unsur-unsur prinsip proses hukum yang adil telah dicapai, dan bagaimana posisi korban itu sendiri yang tidak terakomodir. Hal ini perlu mendapat perhatian sebab dalam kenyataannya sistem peradilan pidana yang berlaku dewasa ini lebih banyak dtujukan kepada perlindungan hak-hak tersangka I terdakwa (Offender Oriented). Akibatnya perlindungan terhadap korban sendiri terabaikan. Dalam sistem peradilan pidana, posisi korban ditempatkan dalam posisi yang problematis. Di satu pihak, korban kejahatan harus melapor kepada polisi agar perkara pidananya bisa masuk
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
11
atau diproses, tetapi apabila korban kejahatan memutuskan untuk melapor kepada polisi, ini berarti korban kejahatan berubah kedudukannya sebagai pihak pelapor yang selanjutnya menjadi bagian dari alat bukti atau saksi. Pikiran untuk melapor kepada polisi dan selanjutnya di proses melalui sidang pengadilan merupakan pikiran yang selalu menguntungkan, sehingga permasalahan yang diajukan juga ikut terselesaikan. Sistem peradilan tidak diselenggarakan memang bukan untuk melayani kepentingan korban kejahatan, sebagaimana dikatakan oleh Barnett (1987: 296) bahwa: The criminal justice sistem is not for his benefit but for the community’s its purpose are to deter crime, rehabilitate criminals, punish criminals, and do justice, but not to restore victims to their wholeness or to vindicate them Sistem pengadilan pidana bukanlah untuk keuntungannya, namun untuk masyarakat dengan tujuan mencegah kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan, menghukum pelaku kejahatan, dan melakukan keadilan, namun bukan untuk memulihkan korban pada keutuhannya atau untuk membenarkannya). Sebagai pihak yang dirugikan oleh pelaku kejahatan, korban kejahatan selalu mempersoalkan aktivitas, efisiensi dan efektivitas kerja aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkaranya. Hal ini disebabkan karena korban kejahatan tidak secara langsung terlibat dalam sistem sistem paradilan pidana. OIeh karenanya, korban kejahatan tidak memiliki kesempatan untuk melakukan negoisiasi dengan pihak pelaku atau dengan penegak hukum dalam proses penyelesaian perkaranya. Bilamana ditelusuri perumusan materi pasal-pasal yang dituangkan dalam KUHAP dapat diketahui bahwa ketentuan yang mengatur tentang HAM yang menjadi korban kejahatan kurang mendapat perhatian dan pembentuk Undang-Undang, karena ketentuan-ketentuan mengenai HAM yang dituangkan dalam KUHAP pada umumnya hanya mengatur tentang hakhak tersangka-terdakwa serta hak-hak penasehat hukum (Bab VI Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 jo Bab VII Pasal 69 - pasal 74 KUHAP). 12
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Sedangkan hak asasi korban kejahatan dalam KUHAP dapat dikatakan tidak ada, atau tidak diatur secara jelas (teratur), kecuali hak mengajukan laporan ayat (1) KUHAP) dan hak untuk menggugat ganti kerugian melalui praperadilan (Pasal 80 KUHAP), atau pemeriksaan gugatannya dapat digabungkan dengan pemeriksaan perkara pidana (Pasal 98 jo Pasal 99 KUHAP). Dengan demikian, bila dalam suatu peristiwa tindak pidana ada korban kejahatan yang mengajukan laporan/ pengaduan kepada penyelidik/penyidik dan tidak memperoleh pelayanan sebagaimana mestinya, maka KUHAP tidak dapat memberikan jawaban atau petunjuk mengenai apa yang harus dilakukan oleh korban kejahatan atau bagaimana procedure penyelesaian yang harus ditempuh. OIeh karena KUHAP tidak mengatur perlindungan hukum terhadap hak asasi korban kejahatan, maka dewasa ini sering didengar atau dibaca dari berbagai pemberitaan mass media baik cetak maupun elektronik tentang adanya korban kejahatan, apakah itu penganiayaan, penggusuran, pemerasan, tindakan sewenang-wenang dan lain-lain yang terpaksa melaporkan berbagai keluhannya pada Komnas HAM, DPR, LBH, LSM, ORNOP, Kontras dan lain-lain. Mantan Direktur Internasional Yayasan Pencegahan Kejahatan Asia (Asia Crime Prevention Foundational I ACPF) Adi Andojo Soetjipto (Kuffal, 2004:175) mengemukakan bahwa saat ini diperlukan lembaga yang mengurus dan menyantun korban kejahatan. Keberadaan lembaga itu diperlukan mengingat tingkat kejahatan semakin marak terjadi belakangan ini. Sejalan dengan pandangan Andi Andojo Soetjipto tersebut di atas, Asmara Nababan (Kuffal, 2004:175) mengemukakan bahwa saat ini diperlukan lembaga yang mengurusi dan menyantun korban kejahatan. Keberadaan lembaga itu diperlukan mengingat tingkat kejahatan semakin marak terjadi belakangan ini. Selanjutnya, Asmara Nababan (Kuffal, 2004:176) menyatakan bahwa nasib korban kejahatan maupun keluarganya sampai saat ini kurang diperhatikan. ini terlihat masih sedikitnya Lembaga
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
13
Swadaya Masyarakat (LSM) dan warga lain yang terlibat membantu korban kejahatan, terutama mengembalikan masa depan mereka. Negara yang seharusnya bertanggungjawab terhadap nasib korban kejahatan. Secara filosofis bekerja dan bergeraknya aparat penegak hukum karena adanya laporan dan keterangan korban kejahatan. Tetapi mengapa dalam tataran praktisnya aparat penegak hukum selalu menutup diri dan tidak transparan kepada korban, pelapor dan saksi yang telah banyak mengorbankan materi, waktu, dan tenaga dalam upaya untuk memberikan keterangan yang bersifat normatif. Adanya pengorbanan dari pihak korban, pelapor dan saksi tersebut tidak diimbangi dengan akses untuk mendapatkan turunan laporan polisi, berita acara pemeriksaan saksi, informasi kemajuan penyidikan I penuntutan dan aparat penegak hukum. Dengan alasan bahwa, korban, pelapor dan saksi tidak memiliki hak untuk mendapatkan akses tersebut dalam ketentuan KUHAP. Dalam konteks tersebut di atas, seharusnya aparat penegak hukum mampu membuka cakrawala penegakan hukum yang lebih progresif untuk memberikan akses tersebut kepada pihak korban, pelapor, dan saksi berdasarkan normatifnya sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban. Dan disinilah aparat penegak hukum harus Iebih berani untuk memberikan perlindungan hukum yang optimal guna mendapatkan jaminan kepastian hukum dan keadilan. Pentingnya penelitian mengenai posisi korban kejahatan dalam proses penyelesaian perkara melalui sistem peradilan pidana adalah mengingat dalam berbagai ketentuan KUHP telah ada indikasi perhatian terhadap kepentingan korban. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), mengisyaratkan pentingnya perhatian terhadap korban, karena salah satu tujuan pidana adalah menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, serta membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 14
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Di samping itu, sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana dan pengaruh perbuatan terhadap korban atau keluarganya, merupakan bagian dan pedoman peinidanaan yang harus dipertimbangkan oleh Hakim. Upaya menegakkan proses hukum yang adil dan SPP masalah penegakan hukum dan bantuan hukum mempunyai peranan yang sangat penting. Untuk itu, dalam penegakan hukum dituntut adanya penegakan hukum yang mempunyai integritas moral yang tinggi. Demikian halnya dengan keberadaan bantuan hukum dalam SPP diharapkan turut serta membantu jalannya proses peradilan yang jujur dan tidak memihak, agar apa yang menjadi tujuan hukum acara pidana itu guna menemukan kebenaran materil dapat terwujud dengan baik. Keberadaan institusi bantuan hukum dalam SPP dianggap penting sebagai salah satu pilar dalam hal menegakkan hak-hak tersangka I terdakwa dan korban dalam sistem peradilan pidana. Hal ini dipandang perlu untuk Iebih dimasyarakatkan Iebih jauh mengingat tidak semua subyek hukum yang berhubungan dengan perkara pidana dapat memahaini hak-haknya, termasuk tindakan apa yang harus dilakukan dan bagaimana mempertahankan dan mendapatkan hak-hak tersebut. SPP yang merupakan suatu kesatuan dan dinamakan sistem terpadu (integrated criminal justice sistem) dalam pelaksanaannya tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan. Seberapa jauh idealisme pada negara berkembang seperti Indonesia, harapan itu lebih sedikit terlaksana daripada negara-negara maju, dengan melihat pengalaman pengalaman yang ada, untuk itu perlu dicari faktor penghambat sehingga keterpaduan dalam sistem peradilan pidana dapat tercapai dan dapat menemukan jalan keluarnya. Tanpa keterpaduan dan masing-masing instansi terkait, maka pelaksanaan proses peradilan yang adil khususnya perlindungan terhadap hak-hak tersangka I terdakwa dan korban dapat berjalan sebagaimana diharapkan. Sebagaimana digambarkan dalam contoh kasus tersebut di atas di mana berbagai pengalaman yang buruk pada proses peradilan pidana, telah tercatat dalam sejarah.
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
15
Praktek-praktek pelanggaran HAM bagi tersangka dan terdakwa dengan dalih untuk mempercepat proses pemeriksaan perkara sudah merupakan hal yang biasa terjadi. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM pemaksaan baik fisik maupun psikis sering dilakukan untuk mendapatkan keterangan berupa pengakuan dari tersangka dan terdakwa atau bahkan saksi, agar semua keterangan mereka itu sesuai dengan keinginan petugas pemeriksa. Demikian pula yang menyangkut hak-hak kebebasan bergerak dan hak kepeinilikan sering dilanggar para petugas tanpa berdasar ketentuan hukum yang berlalu, terutama yang menyangkut pelaksanaan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penyitaan dan penggeledahan, sehingga seolaholah bagi mereka yang disangka atau didakwa melakukan tidak pidana sudah tidak mempunyai hak-hak tersebut. Dari berbagai pandangan yang mengungkapkan masalah pelanggaran HAM dalam proses peradilan pidana setidaktidaknya ada dua masalah yang sering mendapat perhatian yaitu pertama dari segi aparat penegak hukum dan yang kedua dari sisi peraturan hukum acara yang berlaku. Istilah aparat penegak hukum dapat dipersamakan dengan istilah Law Enforcement Officer yang terdiri atas polisi dan jaksa. Namun di Indonesia cakupannya diperluas sehingga meliputi juga para Hakim dan para pengacara / advokat dan Lembaga Pemasyarakatan. Dengan demikian jelaslah bahwa latar belakang munculnya KUHAP adalah dilandasi oleh spirit untuk memberikan jaminan perlindungan HAM yang Iebih baik dibandingkan dengan suatu acara pidana yang ada sebelumnya. Hal ini tentunya harus Iebih terjabarkan secara progresif utamanya di tangan-tangan para aparat penegak hukum yang terkait dalam suatu mata rantai SPP yang ada di Indonesia.
16
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
BAB II TEORI HUKUM PROGRESIF
A. TEORI KEADILAN 1. Pengertian Keadilan Dalam encyclopedia Americana (The Liang Gie, 1979:17 — 18) disebutkan pengertian keadilan itu yang mencakup (a) kecenderungan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang haknya (the contestant and perpetual disposition to render everyrnan his due), (b) tujuan dari masyarakat, manusia (the end of civil society, (c) hak untuk memperoleh suatu pemeriksaan dan keputusan oleh badan pengadilan yang bebas dan prasangka dan pengaruh yang tak selayaknya (the right to obtain a hearing and delision by courth which is free of prejudice and improper), (d) semua hak wajar yang diakui maupun hak-hak menurut hukum dalam arti teknis (all recognized equitable right as well technical rights), (e) suatu kebenaran menurut persetujuan dan umat manusia pada umumnya (the dictate of right according to the consent of making generally), (f) persesuaian dengan asas-asas keutuhan watak, kejujuran, dan perlakuan adil (conformity with the principles of integrity, restitude, and just dealing). Maidin Gultom (2008:22) memberikan pengertian keadilan sebagai penghargaan terhadap setiap orang yang menurut harkat dan martabatnya sebagai pribadi dan dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang ada di luar pribadinya. Secara analisis MuIyana W. Kusuma (1981 :53) membagi keadilan dalam komponen prosedural dan Substantif atau keadilan formil dan materil. Komponen prosedural berhubungan dengan gaya suatu sistem hukum Seperti rule of law dan negara
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
17
hukum (rechtstaat), sedangkan komponen substantif atau keadilan materil menyangkut hak-hak sosial, yang menandal penataan politik, ekonomi di dalam masyarakat. Hans Kelsen (Budiono Kusumohamidjojo 1999:129) menyatakan bahwa norma keadilan itu sering ditetapkan atau didapatkan sebagai hukum positif yang semata-mata bersumber dari akal budi manusia. Dalam keadaan itu bisa juga terjadi risiko bahwa norma keadilan bertentangan dengan hukum positif. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Theo Hujbers (1982:43) bahwa yang pertama kali meletakkan gagasan keadilan dalam konteks tertentu adalah Thomas Aquinas yang terkenal dengan sebutan keadilan distributif (iustia distributive) sebagian keadilan yang berkenaan dengan pembagian jabatan. Pendapat lain juga dikemukakan Arif Sidharta (Maidin Gultom, 2008:26) bahwa keadilan menurut setiap orang tanpa kecuali berkewajiban untuk bertindak sesuai dengan apa yang diwajibkan kepadanya oleh hukum, pengertian hukum di sini tidak selalu berarti hal yang positif. b. Prinsip Keadilan Pengertian keadilan Aristoteles, sebenarnya tidak lepas dari beberapa konsep klasik yang tertuang dalam Kitab Hukum Justinianus, antara lain bahwa keadilan adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya (iustitia est constant et perpetua voluntas ius suun cuique tribuendi), dan dari Cicero (iustitia est habitus animi, communi ultilita te conservata, suun cuique tribunes dignitatem). Dari konsep ini melahirkan pemahaman yang mengkristal di kalangan penganut aliran hukum alam bahwa dalam semesta ini diciptakan dengan prinsip keadilan. Prinsip-prinsip keadilan dimaksud antara lain, “berikanlah kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (unicuique suum tribuere)”, dan “jangan merugikan orang (neminem Iaedere)”. Pengertian keadilan aristoteles tersebut, meskipun terlihat masih sangat sederhana akan tetapi secara substansial aristoteles merupakan filosof pertama yang mengangkat tema 18
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
keadilan sebagai wacana yang terus dikaji oleh para filosof hingga akhir millenium kedua ini. (Nuh, 2002:20) Dalam hubungannya dengan proses hukum yang adil teori keadilan Aristoteles telah memberi semacam landasan filosofis secara tidak langsung,meskipun dalam bentuknya yang paling awal. Refleksi peradilan yang adil sebagai perwujudan peradilan yang progresif adalah dimaksudkan untuk mencapal nilai keadilan yang tidak berdasarkan keadilan prosedural menurut hukum acara, melainkan bagaimana menciptakan keadilan yang substantif sebagai manifestasi dan keadilan komutatif, mengindikasikan bahwa Aristoteles telah menaruh peduli terhadap keadilan daIam hal penyelesaian konflik antar sesama manusia. Teori tentang keadilan yang mendapat sambutan hangat di kalangan masyarakat luas adalah teori keadilan dari John Rawls. Teori keadilan Rawls pada dasarnya adalah teori keadilan yang mengutamakan kebebasan individual yang bertanggung jawab. Buah pemikiran Johns Rawls tentang kedilan merupakan sinerji dari pemikir-pemikir teori keadilan sebelumnya, termasuk teori keadilan klasik Aristoteles dan Thorns Aquinas, serta tokohtokoh utilitarianisme, seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Hume. Namun demikian John Rawls dikenal bukan sebagal tokoh utilitarianisme, Ia Iebih dikenal sebagal penganut realisme hukum. (Nuh, 2002: 38 - 39). 1) Posisi Asal(original Position) John Rawls mengintrodusir tiga syarat yang harus dipenuhi agar dapat sampai pada original posting, yaitu pertama, diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seseorang pribadi tertentu di kemudian hari. Ia tidak mengetahui bakatnya, kekayaannya kesehatanya, rencana hidupnya,keadaan psikisnya. Juga Ia tidak mengetahui situasi sosial, politik, ekonomi, hukum, dan buaya masyarakat dimana Ia hidup. Dengan ketidaktahuannya Itu maka orang dapat lebih obyektif dalam merumuskan Prinsip-prinsip keadilan Kedua secara
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
19
konsisten, yakni kesediaan atau sikap untuk tetap berpegang teguh pada sasaran-sasaran individual yang dituju harus diterima bagi pihak tertentu. Namun ini harus dilaksanakan agar tercipta kesungguhan yang sistematis untuk memperhatikan kepentingan bersama secara dewsa. Dengan cara ini, perbedaan antara yang kaya dan yang miskin tidak terlalu tajam, sekurangkurangnya tidak tampak selama perbedaan antara dia dan orang lain tidak melampaui batas-batas tertentu. Ketiga, diandaikan bahwa dalam mengupayakan kepentingan bersama, setiap orang mendahulukan kepentingan pribadinya. Hal ini dinilai wajar, mengingat setiap orang hendak berkembang sebagai pribadi yang mandiri, yang dapat mengatasi persoalan hidupnya serta persoalan hidup orang-orang terdekatnya dan seterusnya. Dalam menentukan prinsip-rinsip keadilan, kecnderungan manusia ini harus diperhatikan juga (Nuh, 2002 : 44). Stuart Hampshire (1993 : 41) mengemukakan teori keadilan dalam perspektif penegakann hukum (law enforcement). Menurut Hampshire, dunia penegakann hukum seringkali mengabaikan aspek substansi dari persoalan hukum yang dihadapi. Para penegak hukum Iebih cenderung menghabiska energinya untuk berdebat soal prosedur dan pada mengkaji soal-soal substansial. Mempersoalkan aspek prosedural memang tidak salah, tapi selain aspek prosedural, yang harus diperhatikan pula adalah aspek substansial. OIeh karena itu, dalam menegakkan hukum seharusnya kedua aspek itu (prosedur dan substansi) mendapat porsi perhatian yang sama. Dalam hubungan itu, Hampshire mengajukan teori keadilanya dengan mengacu pada sifat aturan hukum, sehingga melahirkan dua jenis keadilan yaitu kedilan prosedural (procedural Justice) dan keadiIan substantif (substantive justice).
B. TEORI PENEGAKANN HUKUM Penegakann hukum adalah suatu proses dilakukannya suatu upaya untuk menegakkan atau memfungsikan norma-norma hukum secara nyata sebagal pedoman perilaku dalam lalu lintas 20
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
atau hubungan-hubungan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk itu, Subroto (2001 : 34 - 35) menyatakan bahwa penegakann hukum dapat dilihat dari dua sisi yaitu : a. Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakann hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakann hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakann hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakann hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. b. Ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakann hukum itu mencakup pada nllai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakann hukum itu hanya menyangkut penegakann peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakann Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakann Peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungannya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggris sendiri dengan berkembangnnya istilah the rule of law’ atau dalam istilah “the rule of law and not of a man” versus istilah “the rule by law’ yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artian yang formal, melainkan mencakup pula
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
21
nilal-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “the rule of just law’ Purwatiningish (2000: 21) menyatakan bahwa: istilah “the rule of law; dimaksudkan untuk menegaskan pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. lstilah sebaliknya adalah “the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka. Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakann hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegak hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dikehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sementara itu, Baharuddin Lopa (1987 : 4) menulis bahwa ada tiga komponen atau unsur yang memungkinkan tegaknya hukum dan keadilan di tengah masyarakat; pertama, dilakukan adanya peraturan hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat; kedua, adanya aparat penegak hukum yang profesional dan bermental tangguh atau memiliki integritas moral yang terpuji; ketiga, adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan dilaksanakannya penegak hukum. Oleh karena itu, demikian Baharuddin Lopa, baik pembuat undang-undang maupun pelaksana undang-undang harus menyelami dan merasakan hati nurani masyarakat yang selalu mendambakan keadilan, keadilan obyektif, keadilan yang dikehendaki umumnya oleh berpikiran sehat. Kepada pengertian penegakann hukum, Soerjono Soekanto (1985:5 - 6) menulis bahwa penegakann hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin faktor22
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyal arti yang dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor tersebut, adalah sebagal berikut : 1. Faktor hukumnya sendiri; 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakann hukum; 4. Faktor masyarakat yakni Iingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan 5. Faktor kebudayaan yakni sebagal hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Istilah penegakann hukum dan keadilan sesungguhnya selaras dengan amanat Pasal 27 dan Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1974 jo. Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang no. 14 Tahun 1970 tentang UndangUndang Pokok Kekuasaan Kehakiman Jo. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman yang menegaskan : Hakim sebagal penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sekaligus menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Sementara itu, Setsuo Miyazawa (1983:223) menyatakan bahwa kesadaran hukum mempunyai tiga elemen yaitu : persepsi (perception), pertimbangan nilai (value judgement), emosi (emotion) yang mengacu kepada tiga elemen sikap yang diberikan oleh Rosenberg dan Hovland. Analisis kesadaran hukum yang diharapkan untuk mengadakan penjelasan tingkah laku hukum individu pada tingkat terdekat yaitu tingkat motivational.
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
23
C. KONSEPSI HUKUM PROGRESIF DAN PENEGAKANNNYA Mewujudkan masyarakat madani tentunya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, juga bukan proses yang instant. Proses menuju masyarakat madani adalah berliku dan memakan waktu yang panjang. ini karena dianggap sebagaj tantangan untuk mewujudkannya. Begitu pula hukum dalam menjalankan fungsinya bukan tanpa tantangan dinamika berkarya hukum di tengah masyarakat akan selalu mengalami hambatan maupun tantangan sebagaimana dikatakan Mahmud Kusuma (2009:1) bahwa hal demikian terjadi karena hukum bukanlah makhluk biologis sebagaimana manusia, hukum hanyalah idealitas jika tidak dipraktekkan. Kehadiran konsep hukum progresif bukanlah sesuatu yang lahir tanpa sebab hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran (searching for the truth) yang tidak dapat, tidak pernah berhenti. Hal senada sejalan dengan pandangan Satjipto Rahardjo (2005:3) yang menyatakan bahwa hukum progresif dapat dipandang sebagai konsep yang mencari jati diri, bertolak dengan realitas empirik tentang bekerjanya hukum di tengah masyarakat berupa ketidakpuasan terhadap kineja dalam kualitas penegak hukum. Di tengah ketidakberdayaan paradigma hukum positivistik legalistic dalam mengatasi masalah penegak hukum di Indonesia, maka dalam posisi demikian dibutuhkan penegakann hukum progresif. Pengamatan selama ini menunjukkan meskipun bangsa ini telah memeriakkan supremasi hukum dengan keras, hasilnya tetap amat mengecewakan. Dibandingkan dengan konsep hukum yang lain, hukum progresif memiliki keunggulan, namun demikian pada saat yang bersamaan hukum progresif bukanlah konsep yang berdiri sendiri. Hal ini dapat dilihat dan eksplanasi terhadap persoalan hukum yang tidak bisa melepaskan diri dari kebersinggungan atau hubungannya dengan konsep hukum yang lain, seperti: (1) responsive law atau hukum responsif; (2) legal realism atau realism 24
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
hukum; (3) sociological jurisprudence; (4) natural law atau hukum alam; (5) serta critical legal studies atau studi hukum kritis. Sehubungan dengan kebersinggungan hukum progresif dengan konsep hukum yang lain sebagaimana tersebut di atas, maka dalam melakukan eksplorasi teoritik terhadap hukum progresif juga bersinggungan dengan konsep hukum responsif (responsif law), realism hukum (legal realism), sociological (jurisprudence), hukum alam (nature of law) dan studi hukum kritis (critical legal studies). 1. Konsepsi Hukum Progresif Gagasan hukum pada prinsipnya bertolak dari dua komponen basis dalam hukum, yaitu peraturan dan perilaku (rules and behavior). Hukum progresif berangkat dan asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Berangkat dan asumsi dasar ini, maka kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. Hukum progresif juga berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berbeda dalam proses untuk terus menjadsi (law as process, law in the making). Untuk melukiskan bahwa hukum senantiasa berproses, Satjipto Rahardjo (2005 : 6) menulisnya dengan sangat menarik sebagai berikut: “Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang Iebih baik. Kualitas kesempurnaan di sini bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. lnilah hakekat ‘hukum yang selalu dalam proses menjadi’ (law as a process, law in the making). Hukum tidak ada untuk hukum itu sendiri, tetapi untuk manusia. Verifikasi yang pertama, berupa pertanyaan apakah
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
25
hukum sudah mewujudkan keadilan, sudah barang tentu mempunyai dimensi yang sangat luas, karena dalam bekerjanya hukum, terpenuhinya prosedur hukum belum tentu menjamin terwujudnya keadilan.Terpenuhinya prosedur hukum baru menciptakan apa yang disebut dengan prosedural justice, sementara bisa saja justru substancial justice-nya terpinggirkan Verifikasi yang kedua, berupa pertanyaan apakah hukum sudah mencerminkan kesejahteraan, juga menyangkut ranah kajian yang sangat luas. Memang kesejahteraan manusia tidak hanya ditentukan oleh bekerjanya hukum, tetapi diharapkan bekerjanya hukum dapat menyumbangkan kesejahteraan manusia. Demikian juga dengan verifikasi ketiga, dengan pertanyaan apakah hukum sudah berpihak kepada rakyat. Pertanyaan ini menjadi penting dan bernilai strategis, terkait dengan realitas bekerjanya hukum yang seringkali Iebih berpihak kepada pemegang kekuasaan (ekonomi maupun politik) dari pada berpihak kepada rakyat, sehingga sering muncul adagium bahwa “The haves come out a head.” Dengan melakukan verifikasi dalam setiap proses bekerjanya hukum, sudah dengan sendirinya, bekerjanya hukum bukan merupakan sesuatu yang final, dan absolute, tetapi selalu dalam proses untuk mencari, dan selau terbuka untuk diverifikasi. Itulah sebabnya hukum disebut sebagai law as process, law in the making. Hukum progresif yang bertumpu pada manusia, membawa konsekuensi pentingnya kreativitas. Kreativitas dalam konteks penegakann hukum selain untuk mengatasi ketertinggalan hukum, mengatasi timpangan hukum juga dimaksudkan untuk membuat terobosan-terobosan hukum inilah yang diharapkan dapat mewujudkan tujuan kemanusiaan melalui bekerjanya hukum, yang menurut Satjipto Rahardjo (2005 : 7) diistilahkan dengan hukum yang membuat bahagia. Kreativitas penegak hukum dan memaknai hukum tidak akan berhenti pada “mengeja undang-undang” tetapi 26
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
menggunakannya secara sadar untuk mencapai tujuan kemanusiaan. Menggunakan hukum secara sadar sebagian sarana pencapaian tujuan kemanusiaan berarti harus peka dan responsive terhadap tuntutan social. Menurut Satjipto Rahardjo (2005 6-8) wajah hukum progresif dapat diidentifikasi sebagal berikut: 1. Kajian hukum progresif berusaha mengalihkan titik berat kajian hukum yang semula menggunaakn optik hukum menuju ke perilaku. 2. Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat, meminjam istilahnya Nonet & Selznick bertipe responsif. 3. Hukum progresif berbagai paham dengan legal realism karena hukum tidak dipandang dari kacamata hukum itu sendini, melainkan dilihat dari dinila dan tujuan sosial yang ingin dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. 4. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan sociological jurisprudence dari Rescoe Pund yang mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan tetapi keluar dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum. 5. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan teori hukum alam, karena peduli terhadap hal-hal yang “meta-juridical”. 6. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan critical legal studies namun cakupanya Iebih luas. Dilihat dari latar belakang kelahirannya, sebagal bentuk ketidak puasan dan keprihatinan atas kualita penegakann hukum di indonesia, maka spirit hukum progresif adalah Spirit pembebasan. Pembebasan yang dimaksudkan di sini adalah: 1. Pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas dan teori yang selama ini dipakai, 2. Pembebasan terhadap kultur penegakann hukum (administration of justice) yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambat usaha hukum untuk menyeesaikan persoalan.
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
27
Spirit pembebasan yang dibawa oleh hukum progresif dirasa penting, karena berangkat dan realitas bahwa tipe, cara berpikir asas dan teori hukum yang dikembangkan di Indonesia mencerminkan dominasi positivisme. Bahkan dalam penyelenggaraan adiministration of justice pun, juga didominasi oleh positivisme. Berangkat dari realitas ini, karena dipandang bahwa dengan model ini hukum dinilal belum berhasil menyelesaikan persoalan dalam pencapaian kesejahteraan manusia, maka kehadiran hukum progresif dimaksudkan untuk membebaskannya. Selain asumsi dasar, spirit dan karakter hukum progresif sebagaimana tersebut di atas, hukum progresif juga memiliki karakter yang progresif dalam hal: 1. bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dan oleh karenanya memandang hukum selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making) 2. peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik lokal, nasional maupun global. 3. menolak status-quo manakala menimbulkan dekadensi, susunan korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan dan pemberontakan yang berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum. Dikaitkan dengan spirit hukum progresif yang dimaksudkan untuk membebaskan tipe, cara berpikir asas dan teori serta pembebasan atas penyelenggaraan administration of justice, maka karakter hukum progresif yang berwatak “progresif” menduduki posisi penting, karena pembebasan ini jelas tidak mungkin terjadi, manakala masih memandang hukum sebagai sesuatu yang absolute, tidak peka terhadap perubahan, dan berpihak kepada status-quo.
Deskripsi tentang hukum progresif sebagaimana diuraikan di atas, Yudi Kristina (2009:38) mengelaborasinya dalam bentuk tabel berikut ml:
28
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Tabel 1 Hukum Progresif No 1
Identifikasi
Hukum progresif
Asumsi
1. Hukum untuk manusia bukan sebaliknya
2
Tujuan
2. Hukum bukan merupakan insititusi yang mutlak dan final tetapi selalu dalam proses untuk menjadi (law as a process, law in the making) Kesejahteraan dan kebahagiaan manusia
3
Spirit
4
Progresif
1. Pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas dan teori yang selama ml dipakai (mendominasi) 2. Pembebasan terhadap kultur penegakann hukum (administration of justice) yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambat hukum dalam menyelesaikan pesoalan 1. Bertujuan untuk kesejahtraan dan kebahagiaan manusia dan oleh karenanya memandang hukum selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making) 2. Peka terhadap perubaan yang terjadi di masyarakat, baik lokal, nasional maupun global.
5
Karakter
3. Menolak status-quo manakala menimbulkan dekadensi suasana korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan dan pemberontakan yang berujung penafsiran progresif terhadap hukum 1. Kajian hukum progresjf berusaha mengalihkan titik berat kajian hukum yang semula mengguna optik hukum menuju ke perilaku. 2.
Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat,
3. Hukum progresif berbagai paham dengan legal realism karena hukum tidak dipandang dari kacamata hukum itu sendrin, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. 4.
Hukum progresif memiliki kedekatan dengan sociological junsprudence dan Roscoe Pound yang mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan tetapi keluar dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum.
5. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan teori hukum alam, karena peduli terhadap hal-hal yang “meta-juridical’. 6. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan critical legal studies namun cakupannya lebih luas.
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
29
2. Penegakann Hukum Progresif Penegakann hukum pada hakikatnya merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan. Namun demikian, penegakann hukum dinilai masih sangat Iemah. Lemahnya penegakann hukum terlihat dari masyarakat yang tidak menghormati hukum, demikian pula kewibawaan aparat penegak hukurn yang semakin merosot sehingga hukum sudah tidak dapat memberi rasa aman dan tenteram. Penampakan hukum di masyarakat (law in action), semakin menambah jarak dengan hukum yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan (law in the books), apalagi dengan tujuan hukum yang dikehendaki oleh masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Esmi Warassih (2008:83) sebagai berikut: “Masalah yang sering tampak adalah pola-pola perilaku yang dihasilkan oleh hukum tidak selalu cocok dengan polapola perilaku yang dijalankan oleh pelaku-pelaku hukum dalam proses penegakann hukum. Dengan kata lain, hukum merupakan rumusan-rumusan hitam putih yang tertulis dalam peraturan-peraturan hukum tidak selalu cocok dengan kenyataan empiris atau terjadi perbedaan atara law in books dan law in action”. Bertolak dari pemikiran-pemikiran tersebut di atas, sudah barang tentu persoalan penegakann hukum tidak hanya beruang Iingkup pada persoalan peraturan perundang-undangan semata, tetapi juga persoalan lembaga penegak hukum dan budaya hukum (baik budaya birokrasi maupun budaya penegak hukum itu sendiri). Dengan demikian aspek kelembagaan juga perlu mendapat perhatian secara seksama, karena perwujudan tujuan hukum tidak dapat dilakukan tanpa adanya lembaga hukum yang diserahi tugas untuk mewujudkan dan menegakkan hukum. Perbedaan interpretasi dan pemahaman terhadap norma hukum yang disebabkan oleh perbedaan budaya hukum para pelaku (stake holders) baik Penegak hukum birokrat maupun 30
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
warga masyarakat, juga dapat menimbulkan Persoalan tidak tercapainya keadilan. Di sisi lain harus diakui bahwa dalam bekerjanya hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar hukum sebagaimana yang dipelopori oleh Robert B. Seidman (Kristina 2009 : 60), bahwa peraturan perundang-undangan tidak akan berjalan sendiri dalam upaya social enggineering, karena masih ditentukan oleh pelaksana dan pemegang peran. Masingmasing masih dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan pengaruh yang lain. Bertolak dan konsep ini, sudah barang tentu perhatian yang hanya terfokus pada satu unsur tidak akan cukup, oleh sebab itu perlu perhatian yang menyeluruh. Sementara itu, Lawrence M. Friedman (1975 : 14-15) menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dan 3 (tiga) komponen yaitu, legal structure, legal substance dan legal culture. Komponen legal structure adalah lembaga penegak hukum yaitu institusi pelaksana dan bekerjanya hukum. Legal substance adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan bekerjanya lembaga penegak hukum, dan legal culture adalah budaya hukum yang diwujudkan dalam pola perilaku penegak hukum dan masyarakat. Ketika hukum progresif dijabarkan ke dalam tataran praktis, maka agenda hukum progresif termasuk juga pembebasan terhadap kultur penegakan hukum (administration of Justice) yang selama ini berkuasa, yang dirasakan mengha usaha menyelesaikan persoalan. Satjipto Rahardjo (2005:15) secara spesifik menyebutkan kasus korupsi, di mana hukum gagal untuk memberantasnya. Sehingga timbul Pertanyaan apakah tidak dapat ditemukan kultur penegakann hukum yang baru ?, Penegaican hukum progresif adalah jawabannya. Menurut Lawrence M. Friedman (1975 : 6 — 8), ada tiga faktor yang mempengaruhi penegakann hukum yaitu: a. substance, the substance is composed of rules about how institutions should behave.
mencakupi seluruh aturan hukum baik yang tertulls maupun yang tidak tertuils, baik hukum materil (hukum substantif) M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
31
maupun hukum forimil (hukum acara); b. structure, we describle the structure of a judicial system when we talk about the number of judges, the jurisdiction of courts, how higher courts are staked on top of lower courts, what persons are attached to various courts, and what their roles consist of
(kita menggambarkan struktur suatu sistem peradilan ketika kita membicarakan tentang para hakim, kompetensi masingmasing pranata peradilan, bagaimana pengadilan yang Iebih tinggi mengatur pengadilan yang Iebih rendah, person-person apa yang bekerja di berbagai peradilan dan apa peranan yang mereka mainkan);
c. legal culture, . . . refers, then, to those parts of general culture - customs, opinions, ways of doing and thining that bend social toward or away form the law and in particular ways. The trem rughly describes attitudes about law, more or less analogous to the political culture...
(...menunjuk pada bagian-bagian dan kultur pada umumnya mencakup kebiasaan-kebiasaan, opini-opini, cara-cara bertindak dan berfikir yang membolehkan kekuatan-kekuatan sosial menuju hukum atau menjauhi hukum dan dengan cara-cara khusus lstilah itu secara kasar dapat digambarkan sebagai sikap-sikap tentang hukum, lebih atau kurang dapat disamakan dengan kultur politik...)
Buku Reformasi Hukum di Indonesia (Diagnostik Assessment, 1999;7), menyimpulkan hasil penelitian tentang penegakann hukum di Indonesia yang kendalanya disebutkan antara lain: a. kurangnya rasa hormat masyarakat pada hukum; b. tidak adanya kosisitensi Penerapan peraturan oleh aparat pengadilan; c. pengelolaan pengadilan yang tidak efektif (maksudnya mekanisme pengawasan yang Iemah); d. peranan yang dominan dari pemerintah sehingga memberikan pengaruh yang tidak sehat terhadap pengadilan (peradilan yang tidak independen, karena dualisme kekuasaan 32
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
kehakiman); e. penegakann hukum yang berbau praktek korupsi, dan keberpihakan yang menguntungkan pemerintah. Saat ini hukum di Indonesia memang tengah berada dalam masa transisi. Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick (Ahmad Ali, 1998: 123) pemerintah dalam menerapkan hukum dapat menerapkan hukum bertipe represif, otonom atau menerapkan hukum yang responsif. Hukum yang represif hanya mengandalkan kebijakan oportunis, yang lemah sekali mengikat pembuatnya, sebab hukum hanya tunduk pada kekuasaan, sementara hukum yang otonom yaitu hukum sebagai institusi yang dibedakan dan mampu untuk menjinakkan represi serta untuk melindungi integritasnya sendiri, dan hukum responsif adalah hukum yang mempunyai tujuan memberi keadilan substantif, sebagai jaminan bagi kompetensi dan perlakuan adil, hukum dipakal sebagai sarana merespons terhadap kebutuhan dan fakta sosial yang sekaligus menjadi dasar dan tujuan penerapan dan pelaksanaan hukum. Mengamati kejadian di Indonesia dengan meminjam katakata Dahrendorf (Satjipto Rahardjo 2002: l8)perlu dikemukakan bahwa: Masyarakat sedang mengalami dekomposisi masyarakat “no go areas”, atau wilayah abu-abu di mana berlangsung ketidakpatuhan terhadap hukum dan kaidah sosial yang kian meluas, maka dalam prognosis yang paling buruk masyarakat dapat menuju kepada anom, yaitu masyarakat tanpa norma sama sekali, dan hukum tidak lagi bekerja dan berfungsi. Indonesia sekarang berada di tengah-tengah suasana seperti itu, dan teori-teori positivisme dengan metode analistisnya sangat mengalami kesulitan untuk memberikan penjelasan. Contoh yang konkrit tentang turunnya Soeharto, di mana kita tidak dapat menjelaskan berdasarkan analisis positivistis Hukum Tata Negara karena hanya akan memberikan alasan berdasar peraturan dan logika hukum tata negara saja, dan tidak dapat menjelaskan peranan demonstrasi mahasiswa, penyerbuan dan pendudukan kantor DPR, termasuk Tragedi Trisakti. Maka sebuah teori yang memuaskan akan mengakomodasi itu semua, sehingga mungkin akan dikatakan, bahwa
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
33
mahasiswa yang berdemonstrasi sebagai ujung tombak people power itu sedang menulis sebuah ketetapan Hukum Tata Negara untuk menurunkan Soeharto. Dalam prakteknya ruang Iingkup penegak hukum adalah luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara Iangsung dan secara tidak Iangsung berkecimpung dibidang penegakann hukum yang berdiri atas sub-sistem kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lembaga pemasyarakatan, serta profesi kepengacaraan. Sistem itu dikenal dengan nama integrated crminal justice system. Setiap sub-sistem mempunyai tujuan tertentu yang harus dihayati oIeh setiap sub-sistem, mereka diibaratkan seperti “bejan berhubungan”, karena kegiatan masalah atau pemecahan masalah dalam suatu sub-sistem akan menimbulkan dampak pada sub-sistem berikutnya dan seterusnya. Sebagaimana diketahui bahwa keempat instansi (badan) tersebut masing-masing secara administratif berdiri sendiri. Kepolisian baru saja melepaskan diri dari Departemen Pertahanan dan Keamanan, kejaksaan mempunyai puncak pada Kejaksaan Agung, pengadilan memang secara fungsionai masing-masing berdiri sendiri, namun secara administratif dikendalikan oleh Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) dan secara judikatif diarahkan oleh Mahkamah Agung, sedangkan lembaga permasyarakatan berada dalam struktur organisasi Departemen Kehakiman, maka keempat komponen ini bekerja sama secara terpadu (integrated). Dalam bekerjanya sistem peradilan pidana, para law enforcement officer berpedoman pada sepuluh asas yang ditegaskan dalam Penjelasan KUHAP, yang dapat dibedakan menjadi tujuh asas umum dan tiga asas khusus (Mardjono Reksodiputro, 1994 : 53 -54) yaitu : Asas umum mencakup: 1. perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskrminasi apa pun; 2. praduga tidak bersalah 3. hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi; 34
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
4. hak untuk mendapat bantuan hukum; 5. hak kehadiran terdakwa di muka Pengadilan; 6. peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana; 7. peradilan yang terbuka untuk umum Asas khusus mencakup: 1. pelanggaran atas hak-hak individu (penangkapan penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus berdasarkan undangundang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis) 2. hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya dan 3. kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya. Kesepuluhan asas-asas di atas tidak dapat dilepaskan dari desain prosedur (prosedural design) dari SPP. Schuyt (1971 : 95 - 96), menjelaskan bahwa faktor manusia (penegak hukum) merupakan faktor terbesar dan penentu dalam membicarakan masalah penegakann hukum dan suatu hal yang aneh dalam membicarakan penegakann hukum tanpa menyinggung segi manusia yang menjalankan penegakann itu. Sehubungan dengan itu, apabila ingin membalas persoalan Penegakan hukum yang hanya berpegang teguh pada bentuk keharusan-keharusan sebagaimana tercantum dalam ketentuanketentuan hukum, maka hanya diperoleh gambaran yang bersifat streotipis yang kosong dan baru menjadi berisi manakala dikaitkan dengan pelaksanaannya yang konkrit yaitu manusia. Selanjutnya menurut Pandangan Van Doom (Satjipto Rahardjo, 1986: 23) dalam Pembicaraan mengenai penegakann hukum haruslah memberikan perhatian yang seksama terhadap peranan faktor manusia, sebab melalui faktor manusia penegakann hukum itu dijalankan. Hal ini dikemukakannya secara jelas di bawah ini: Kebersamaan dan keadaan keterikatan dan sejumlah M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
35
manusia yang tidak hanya keluar dan kerangka organisasi, karena manusia selalu cenderung untuk keluar dan setiap kali terjatuh di luar skema (organisasi), disebabkan oleh karena Ia cenderung untuk memberikan tafsirannya sendiri mengenai fungsinya dalam organisasi, berdasarkan kepribadiannya, asal-usul sosial dan tingkat pendidikan, kepentingan ekonomi serta keyakinan politik serta pandangan hidupnya sendiri.”:
D. TEORI PERLINDUNGAN HUKUM Perlindungan hukum bagi hak warga di suatu tempat merupakan suatu keharusan karena merupakan bagian integral hak asasi manusia, yang diatur dalam konstitusi maupun instrumen HAM Internasional yang diratifikasi oleh pemerintah. Sebagai suatu konsep, hak asasi manusia mengandung makna sangat luas, mengingat Persoalan HAM bersifat universal, tidak mengenal batas : wilayah negara, politi, konomi, sosial, budaya dan hukum. Sebagai anugrah,HAM merupakan hak mendasar yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepada umat manusia tanpa mempersoalkan perbedaan latar belakang Sosial, kultur, Politik dan ekonomi. Menurut Soedikno Mertokusumo (1993:14) bahwa: Subjek hukum selaku pemikul hak-hak dan kewajibankewajiban (de dragger Van do rechten en Plichten), baik itu manusia (naturlijkepersoon) badan hukum (rechtspersoon), maupun jabatan (ambt), dapat melakukan tindakan-tindakan hukum berdasarkan kemampuan (bekwaamheid) atau kewenangan (bevogdheid) yang dimilikinya. Dalam pergaulan di tengah masyarakat, banyak terjadi hubungan hukum yang muncul sebagal akibat adanya tindakan-tindakan hukum dan subjek hukum itu. Tindakan hukum ini merupakan awal lahirnya hubungan hukum (rechtsbetrekking) mempunyai akibat-akibat hukum. Agar hubungan hukum antar subjek hukum itu berjalan secara harmonis, seimbang dan adil dalam arti setiap subjek-subjek hukum mendapatkan apa yang menjadi haknya dan menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum tampil sebagai aturan main dalam mengatur hubungan hukum tersebut. Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum.
36
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Di samping itu, hukum juga berfungsi sebagal instrumen perlindungan bagi subjek hukum. Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa: “hukum berfungsi sebagal perlindungan kepentingan manusia. agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksnakaan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum terjadi ketika subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak-hak subjek hukum lain. Subjek hukum yang dilanggar hakhaknya harus mendapatkan perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan konsep universal, dalam arti dianut dan diterapkan oIeh setiap negara yang mengedepankan diri sebagai negara hukum, namun seperti disebutkan Paulus Lotulung (1993:123) bahwa masingmasing negara mempunyai cara dan mekanisme Sendiri tentang bagaimana mewujudkan perlindungan hukum dan sampai seberapa jauh perlindungan hukum itu diberikan. Selanjutnya Paulus Lotulung menyatakan : “mengenal bidang-bidang perlindungan hukum, perlu pula dikemukakan mengenai macam-macam perbuatan pemerinfah yang memungkinkan Iahirnya kerugian bagi masyarakat dan / atau bagi seseorang atau badan hukum perdata. Secara umum ada tiga macam perbuatan pemerintah yaitu perbuatan pemerintah dalam bidang pembuatan peraturan perundang-undangan (regeling), perbuatan pemerintah dalam penerbitan ketetapan (materiele daad). Dua bidang pertama terjadi dalam bidang publik, dan karena itu tunduk dan diatur berdasarkan hukum publik, sedangkan yang terakhir khusus dalam bidang perdata dan oleh karenanya tunduk dan diatur berdasarkan hukum perdata. Perlindungan bagi warga negara terhadap tindakan pemerintah. Menurut Phipus M. Hadjon, (1987 : 2) perlindungan hukum itu ada dua yaitu: Perlindungan hukum preventif dan represif. Pada perlindungan hukum preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapat sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
37
bentuk yang definitive. Artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum preventif sangat signifikan bagi tindak pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak,karena dengan adanya Perlindungan hukum yang preventif Pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.
38
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DUE PROCESS OF LAW DALAM PERSPEKTIF TEORITIS NORMATIF 1. Sejarah Perkembangan Sistem Peradilan Pidana di Eropa dan Amerika Serikat. Secara historis, kejahatan yang dikenal sekarang menurut literatur di Amerika serikat, sesungguhnya adalah “torts”. Semua kesalahan dalam bentuk berat dan ringan merupakan kesalahan yang bersifat individu, antara pihak yang dirugikan dan pihak yang merugikan, atau sengketa para pihak dan tidak bersifat publik (Hazel B. Kerper, 1979: 600). Dalam perkembangan hukum di lnggris, negara yang diwakili oleh raja tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap kejahatan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain, kecuali jika kejahatan itu dilakukan terhadap negara atau raja. Pembalasan dan seorang yang dirugikan terhadap pelaku kejahatan masih diperkenankan, bahkan seluruh keluarga korban dapat melaksanakan pembalasan tersebut. Tetapi lamakelamaan cara tersebut dirasakan sangat merugikan baik di tinjau dan segi nilai kehidupan seseorang maupun dilihat dari segi nilai kehidupan para pihak yang bersengketa. Di lain pihak cara pelaksanaan seperti ini juga dinilai sangat mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat. Lebih jauh lagi raja tidak menghendaki terjadinya akibat buruk yang lebih merugikan bagi kepentingan raja di mana sebagain besar abdi raja menjadi korban pembalasan dendam karena terlibat dalam pertikaian tersebut. (Hazel B. Kerper, 1979:78) . Perbedaan mendasar antara kejahatan dan torts antara lain: 1. Dalam kejahatan alat untuk menanggulanginya adalah M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
39
melalui penuntutan, sedangkan dalam torts, dilakukan tuntutan ganti rugi yang dilakukan pihak dirugikan. 2. Penuntutan dilakukan di pengadilan pidana, sedangkan dalam torts dilakukan di pengadilan sipil; 3. Tujuan penuntutan dalam perkara kejahatan adalah untuk menjatuhi hukuman kepada pelanggar hukum, sedangkan dalam torts, tujuannya adalah memperoleh kompensasi dalam bentuk ganti rugi dari pihak yang dirugikan; 4. Penuntutan dalam kejahatan hanya dapat dicabut atas izin pengadilan pidana, sedangkan dalam torts, hal itu dapat dilakukan setiap saat oleh Si penuntut atau pihak yang merugikan. 5. Dalam menghadapi kejahatan, tertuduh dianggap tidak bersalah dapat dibuktikan bahwa benar-benar bersalah, sedangkan dalam torts tidak terdapat semacam praduga dimaksud baik untuk kepentingan yang dirugikan maupun bagi kepentingan yang merugikan; 6. Dalam hal kejahatan berat, perkaranya diadili oleh Hakim dan para juri, sedangkan dalam torts, hampir semua kasus ditangani oleh seorang Hakim. (Redmond, 1974:314). Penjatuhan pidana dilakukan melalui proses peradilan pidana mulai dari penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. Pelaksanaannya melalui Sistem Peradilan Pidana, sebagai pencegahan kejahatan. a. Sistem inquisitoir dan Accusatoir Perkembangan sistem peradilan pidana sudah sejak abad ke 13 dimulai di Eropa dengan diperkenalkan dan dianutnya sistem Inquisitoir sampai dengan awal pertengahan abad ke 19 (Inirjan Damaska, 1973:503). Proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan sistem inquisitoir di masa itu dimulai dengan adanya inisiatif dan penyidik atas kehendak sendiri untuk menyelidiki kejahatan. Cara penyelidikan dan pemeriksaan dilakukan secara rahasia. Tahap pertama yang dilakukan secara rahasia. 40
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Kepada tersangka diberitahukan secara jelas isi tuduhan dan jenis kejahatan yang telah dilakukan serta bukti yang memberatkan tersangka. Satu-satunya tujuan pemeriksaan waktu itu adalah untuk memperoleh pengakuan (confession) dan tersangka tidak mau secara sukarela mengakui perbuatannya atau kesalahannya, dan bukti yang dikumpulkan menimbulkan dugaan berat, apabila tersangka tidak mau secara sukarela mengakui perbuatannya atau kesalahannya, dan bukti yang dikumpulkan menimbulkan dugaan kuat akan kesalahannya, maka petugas pemeriksa akan memperpanjang penderitaan tersangka melalui cara penyiksaan (torture) sampai diperoleh pengakuan. (Inirjan damaska, 1973:555). Selama pemeriksaan perkara berlangsung, tertuduh tidak dihadapkan ke muka sidang pengadilan secara terbuka, karena dalam kenyataannya dilaksanakan secara tertutup selama penyelesaian perkara berlangsung, tertuduh tidak berhak didampingi pembela. (Inirjan Damaska, 1973:558) Apabila diteliti maka tampak proses penyelesaian perkara pidana masa itu demikian singkat dan sederhana, dan tidak tampak sama sekali perlindungan dan jaminan akan hak asasi seseorang yang tersangkut dalam perkara pidana (tersangka atau terdakwa). Gambaran yang sangat buruk terhadap pelaksanaan sistem inquisitoir pada masa itu sesungguhnya disebabkan karena sangat kejamnya hukum acara pidana yang berlaku saat itu. Di lain pihak keadaan demikian disebabkan pula karena kekurangan pengertian tentang proses peradilan pidana sehingga keadaan tersebut memperburuk pandangan terhadap sistem inquisitoir selanjutnya yang dianggap sebagai lembaga penyiksaan yang harus selalu ada. Timbulnya gerakan revolusi Prancis mengakibatkan banyak bentuk prosedur lama dalam peradilan pidana dianggap tidak sesuai dengan peraturan iklim sosial dan politik secara revolusi. Khususnya dalam bidang peradilan pidana, muncul bentuk model baru sebagai pengganti bentuk inquisitoir, yakni the inixed type menunjukkan, tahap pemeriksaan pendahuluan, pada
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
41
dasarnya mempergunakan bentuk inquisitoir, akan tetapi proses penyelidikan dapat dilaksanakan oleh the public prosecutor. Dalam pelaksanaan penyelidikan ini terdapat seorang investigating judge atau pejabat yang tidak memihak yang ditunjuk untuk menyelidiki dan melaksanakan pengumpulan bukti bukti. Apabila ditinjau dari perspektif common law system baik sistem inquisitoir maupun sistem campuran (the inixed type) menganut landasan peinikiran non adversary proceedings. Namun demikian, hal ini tidaklah berarti bahwa non adversary proceedings dapat dihentikan dengan inquisitoir, oleh karena semua ciri penting dari sistem inquisitoir sesungguhnya telah lama ditinggalkan seperti proses pemeriksaan tertutup, tuduhan rahasia dan pemeriksaan melalui penyiksaan. Sejak pertentangan abad 19 di daratan Eropa telah dianut sistem campuran (the inixed type), tidak lagi dianut sistem inquisitoir sesungguhnya. Di sinilah letak perbedaan fundamental system accusatoir dengan system inquisitoir yang benar-benar tidak membatasi ruang gerak dalam penyelidikan maupun pemeriksaan. Perbedan lain antara sistem tersebut, pada sistem accusatoir, tertuduh berhak mengetahui dan mengikuti setiap tahap proses peradilan, dan juga berhak mengajukan sanggahan atau argumentasinya. Sedangkan dalam sistem inquisitoir, proses penyelesaian perkara dilakukan sepihak dan tertuduh dibatasi dalam mengajukan pembelaannya. b Adversary System dan Non Adversary System Dikotomi dalam sistem peradilan pidana yang dapat dijadikan sebagai studi perbandingan telah kehilangan perbedaan ketajamannya, dengan telah ditemukannya sistem campuran dalam sistem peradilan pidana. Karena itu batas pengertian antara sistem inquisitoir dan accusatoir sudah tidak dapat dilihat lagi secara jelas, untuk menghindarkan kesimpangsiuran, maka di negara yang menganut common law system di Eropa, dikenal dua model dalam sistem peradilan pidana yaitu the adversary model dan the non adversary model (Milono, 1 994;54). 42
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Dalam menangani perkara pidana, pihak yang menjadi penggugat adalah negara, yang mewakili Si korban dan kepentingan masyarakat, dan tergugat adalah terdakwa. Terdakwa biasanya diwakili oleh penuntut umum (prosecuting Attorney), pihak yang bertugas menemukan kebenaran atas fakta dan tidak memihak diwakili oleh para juri. Yang bertugas menerapkan hukum yang berlaku dan tidak memihak adalah Hakim sebagai penemu kebenaran atas fakta yang diajukan dalam persidangan. Adversary system atau Iebih dikenal Accusatorial System biasanya selalu dipertentangkan dengan non-adversry system atau inquisitorial system. Satu-satunya ciri accusatorial system ialah adanya perlindungan terhadap hak asasi seorang terdakwa yang dilandaskan pada Klausula Due Process of Law. Perbedaan Adversary System dan Non Adversary System (Inilono, 1994: 55 — 56) tampak dalam hal-hal sebagai berikut: 1. Adversary system menghendaki agar kebenaran dapat diungkapkan secara akurat dalam suatu keadaan dimana masing masing pihak yang berperkara dalam posisi yang bertentangan, sedangkan dalam non-Adversary System kebenaran tersebut dapat diungkapkan melalui penyelidikan yang tidak memihak yang dilakukan oleh suatu badan peradilan. Maka pihak peradilan merupakan pihak yang aktif menemukan fakta yang relevan dengan bukti yang diajukan. 2. Dalam non-adversary system, pemanggilan saksi merupakan tugas peradilan, dan bukan tugas pihak yang berperkara. Begitu pula dalam memastikan dan memutuskan bahwa sesuai bukti yang relevan telah diperoleh. 3. Dalam non-adversary system, masing-masing pihak yang berperkara diwajibkan membantu peradilan dengan mengajukan bukti sebagaimana dikehendaki oleh peradilan, bukan hanya merupakan keharusan, melainkan justru merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan karena dengan cara demikian akan memperkuat eksistensi antara pihak yang berperkara (tertuduh dan penuntut umum), dan secara akurat memberikan batasan antara permintaan
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
43
dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana. 4. Para pihak meiniliki fungsi yang otonom dan jelas. Peranan penuntut umum adalah melakukan penuntutan kepada terdakwa. Penuntut umum bertugas menetapkan fakta mana saja yang akan dibuktikannya disertai bukti yang menunjang tersebut. Terdakwa bertugas menentukan fakta mana saja yang akan diajukan di persidangan yang akan dapat menguntungkan kedudukannya dengan menyampaikan bukti lain sebagai penunjang fakta dimaksud. Jika diteliti yang dianut dalam adversary model maupun non adversary model terlihal kedua model tersebut mencerininkan suatu dilema antara menjunjung tinggi nilai kebenaran suatu perkara pidana dan menjunjung tinggi nilai perlindungan hukum atas hak asasi tersangka/terdakwa. Menghadapi dilema tersebut, sesungguhnya baik adversary model maupun non adversary model meiniliki pandangan yang sama tentang nilai kebenaran dan proses penyelesaian perkara pidana. Tetapi dalam mengungkapkan dan menemukan nilai kebenaran antara kedua model tersebut terdapat perbedaan yang fundamental. Adversary model berpendapat bahwa kebenaran hanya dapat diproses dengan memberikan kesempatan yang sama kepada tertuduh dan penuntut umum mengajukan argumentasi disertai bukit penunjangnya. Sedangkan non adversary model berpendapat bahwa kebenaran suatu proses pidana hanya dapat diperoleh atau diungkapkan melalui suatu penyelidikan oleh pihak pengadilan yang tidak memihak. (Zimbring dan Fraze, 1980: 305) . c. Bail System Sistem jaminan yang berkembang di Inggris dan Amerika yang disebut dengan bail system terus berjalan, walaupun banyak terlontar kecaman yang dianggap membedakan Si kaya dan Si miskin yang dengan sendirinya merusak citra equality before the law. Pembahasan terhadap bail system pada tahun 1960 didasarkan kepada dua hal, pertama dalam kenyataannya banyak tertuduh yang hendak memperoleh kebebasannya 44
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
tidak sanggup memberikan uang jaminan sekalipun uang jaminan yang ditetapkan sudah demikian rendah. Kedua karena kenyataan menunjukkan kepadatan penghuni rumah tahanan yang menimbulkan pelbagai ekses negative di mana keadaan penghuni Iebih buruk daripada mereka yang telah dijatuhi hukuman dan menempati rumah-rumah penjara. Terdapat empat alternative bagi kemungkinan seseorang tertuduh memperoleh kebebasan sambil menunggu persidangan dimulai baginya yakni: a. Pembebasan dengan surat persidangan dimulai baginya persidangan (release on summons). b. Pembebasan atas dasar janji yang telah diberikan oleh tertuduh yang bersangkutan (release on personal recoqnition). c. Pembebasan di bawah pengawasan pihak ketiga (release under the supervision of a third party) dan d. Pembebasan dengan syarat penyerahan 10% dan seluruh uang jaminan yang ditentukan (release under a ten percent bail). Konstitusi Amerika Serikat tidak secara tegas menetapkan adanya hak untuk memperoleh kebebasan sementara dengan uang jaminan (A right to bail), akan tetapi amandemen kedelapan (The eight amendemenl) hanya menyatakan excessive bail shall not be required, atau dikatakan uang jaminan yang menyalahi batas kelayakan tidak diperkenankan. Perkembangan Bail System di Amerika sudah sedemikian rupa, di samping kesadaran hukum masyarakat dan kesejahteraan sosial masyarakat pada umumnya sudah tinggi, maka walaupun kecaman selalu muncul, sistem ini masih dianggap Iayak oleh sebagain besar warga masyarakatnya untuk tetap dikembangkan dalam system Peradilan Pidana di Amerika Serikat. The Advisory coinitee of the American Bar Associations project on ininimum standards for criminal justice (Zimbring dan Fraze, 1980 : 304 — 305) dinyatakan sebagai berikut: The bail system as it now generally exist is unsatisfactory from either the public’s point of view. Its very nature requires the practically impossible task of translating risk of night into dollars and conts M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
45
and even its basic preinise — thal risk of financial — is itseff of doublful validity the requirement thal virtually every defendant must post bail. Conses discriinination against defendants who are poor and on the public which must bear the cost of their detention and frequently support their dependants on welfare (Sistem uang tebusan yang sekarang lazim tidak memuaskan dari sudut pandang publik. Sifatnya yang demikian memerlukan tugas yang tidak mungkin secara praktis menerjemahkan resiko pelarian ke dalam resiko finansial yang merupakan validitas yang meragukan, persyaratan yang hampir sama pada semua terdakwa yang iniskin yang harus membayar biaya penahanannya yang masih mempunyai tanggungan yang harus dibantu) Bail System dianggap tidak memuaskan baik dilihat dan segi pandangan tertuduh maupun masyarakat umum. Sifat dasar dan system tersebut praktis tidak mungkin dapat menjabarkan risiko lainnya dan tertuduh dalam bentuk dolar atau sen, sekalipun landasan peinikiran dan sistem ini yakni risiko kehilangan harta kekayaan dapat mencegah tertuduh menghindari penuntutan, tetap diragukan kebenarannya. Persyaratan bahwa tertuduh harus menyerahkan uang jaminan mengakibatkan diskriminasi terhadap tertuduh yang iniskin dan terhadap masyarakat umum yang harus menanggung biaya penahanan dan sering menunjang kesejahteraan sosial tertuduh. Di Amerika Serikat sejak berlakunya Yudiciary Act tahun 1789, kongres telah menetapkan bahwa bail diperkenankan dalam semua perkara pidana, kecuali jika perkara tersebut dapat diancam dengan hukuman mati. Penetapan berapa besar uang jaminan dalam konsitutis Amerika Serikat ditegaskan tidak boleh melebihi batas kelayakan yang dijabarkan dalam Federal rules of Criminal Procedure Rules 46 (c) sebagai berikut: If defendant is adinitted to bail, the amount there of shall be snach as in judgement of the coininissioner or court or judge or justice will insure the presence of the defendant, having regard to the nature and circumstances of the offense charged, the weight of the evidence against him, the financial ability of the defendant to give bail, and the character of the defendant. (jika tertuduh diperkenankan menyerahkan uang jaminan, besarnya uang jaminan dimaksud harus sedemikian rupa sesuai dengan penilaian pengadilan atas Hakim pada 46
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
pengadilan yang Iebih rendah atau Hakim tinggi atau pejabat tertentu atas kepastian akan hadirnya tertuduh dengan memperhatikan sifat dan keadaan yang berkenaan dengan kejahatan yang dituduhkan, berat ringannya bukti yang memberatkan tertuduh, kemampuan keuangan tertuduh, dan karakter tertuduh). (Zimbring dan Fraze, 1980 : 299). d. Plea Bargaining System Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum menyeluruh (criminal justice system), pleabargaining jelas akan selalu terjadi dalam rangkaian penanganan perkara pidana. Dengan criminal justice system dimaksudkan : the system by which society identifies, accauses, tries, convicts and punishes those who violated the criminal law. (Hazel B. Kerper, 1979:173). Sedang yang dimaksud dengan criminal justice process adalah : the series of procedures by which society identifies, accuses, tries, convicts and punisher offenders. (Hazel B. Kerper, 1979:169) . Proses penanganan-penanganan perkara pidana melalui beberapa tahapan, dimulai dari penyelidikan atas penangkapan atau penahanan-penuntutan, penentuan kesalahan, penetapan putusan, dan akhirnya pelaksanaannya hukumannya. The criminal justice system yang berlaku di Amerika pada umumnya menjelaskan bahwa plea bargaining terjadi pada tahap arraignment dan preliininary hearing. Apabila terdakwa menyatakan dirinya bersalah atas kejahatan yang dilakukan, proses selanjutnya adalah penjatuhan hukuman tanpa melalui trial. Tahap arraignment on information or indictment merupakan suatu proses singkat guna mencapai dua tujuan: a. Memberitahukan kepada terdakwa perihal dakwaan yang dijatuhkan padanya, dan b. Memberikan kesempatan pada terdakwa untuk menjawab dakwaan tersebut dengan menyatakan : not guilty atau guilty ata nob contendere (no contest). Pada langkah ini pengadilan akan membacakan dakwaan yang diajukan kepada terdakwa dan bagaimana jawaban terdakwa atas dakwaan tersebut. Jika terdakwa menyatakan M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
47
not guilty, maka perkaranya disiapkan untuk dilanjutkan dan kemudian diadili di muka persidangan oleh juri. Apabila terdakwa menyatakan guilty atau nob contendere maka perkaranya siap untuk diputus. Khususnya pernyataan nob contendere (no contest) pada hakekatnya meiniliki implikasi yang sama dengan tertuduh harus mengakui kesalahannya, selain cukup jika ia menyatakan bahwa dia tidak akan menentang tuduhan jaksa di muka persidangan juri (Hazel B Kerper, 1979:174). Alschuler secara teliti telah mengungkapkan perkembangan plea bargaining sistem pada masa Common Law sampai sekarang. Pada Common Law System terhadap terdakwa telah diberikan perlakuan yang tidak kejam, karena ia telah membantu penuntut umum dalam melakukan penuntutan terhadap orang lain dalam perkara tertentu, akan tetapi bukan berarti terdakwa telah mengakibatkan penuntutan menjadi lebih mudah, atau karena terdakwa telah berbuat baik terhadap korban, dimana ia melakukan kejahatan. Praktek negosiasi guna kepentingan memperoleh suatu informasi (bargaining for information), sebagaimana halnya praktek negosiasi untuk kepentingan suatu restitutie (bargaining for restitution), secara nyata tidaklah menempatkan seorang terdakwa yang terlibat dalam praktek negosiasi dalam kedudukan yang sama dengan penuntut umum, di mana terdakwa menyatakan mengakui dirinya bersalah (bargaining for his plea guilty) (Hazel B. Kerper, 1979 : 4—5). Pada tahun 1958 Supreme Court of Justice Amerika Serikat menyatakan bahwa praktek plea bargaining adalah illegal. Akan tetapi atas keberatan Departemen KeHakiman (Department of justice) kehendak tersebut tidak dilaksanakan. Bahkan akhirnya pada tahun 1970, Mahkamah Agung menyatakan pendapatnya bahwa plea bargaining was inherent in the criminal law and its adininistration (Brady V. United States, 397 U.S. 742 (1970) (Hazel B. Kerper, 1979:8). Hingga saat ini tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh untuk menghapuskan sistem ini, oleh karena dengan adanya sistem tersebut tampaknya telah diperoleh suatu fair trial accuracy dalam penanganan perkara pidana.
48
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Berdasarkan kepada beberapa batasan plea bargaining, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: c. Bahwa plea bargaining pada hakekatnya merupakan negosiasi antara pihak penuntut umum dengan terdakwa atau pembelanya. d. Motivasi negosiasi tersebut yang paling utama ialah untuk mempercepat proses penanganan perkara pidana. e. Sifat negosiasi harus dilandaskan pada kesukarelaan terdakwa untuk mengakui yang dikehendaki penuntut umum atau pembelanya. f. Keikutsertaan Hakim sebagai wasit yang tidak memihak dalam negosiasi dimaksud tidak diperkenankan. Pelaksanaan teknis adininistrati dan plea bargaining system ini menimbulkan beberapa masalah. Zimring dan Frase (1980:497) mengetengahkan beberapa masalah tersebut sebagai berikut:
1. Plea bargaining system in practice usually made the presentace
reports and other investigatons into the back ground of the offender ineffective. (Sistem permintaan keringanan hukuman dalam prakteknya biasanya menjadikan laporan dan penyidikan lainnya pada latar belakang tertuduh tidak efektif) .
2. The informality and wide variation in practice among prosecutors
and trial judge regarding plea bargains of ten cause bewilderment and a sense of injustice among defendants. (Informalitas serta berbagai variasi dalam praktek di antara para jaksa dan Hakim sidang pengadilan mengenai permintaan keringanan hukuman menyebabkan kebingungan serta rasa ketidakadilan di antara terdakwa).
3. Plea bargaining system gave the habitual and professional criminals
to take full advantage to obtain leniency in sentencing, than the poor offenders who can not afford a legal expert. (Sistem permintaan keringanan hukum menjadikan penjahal professional memanfaatkan sepenuhnya untuk rnernperoleh keringanan hukuman daripada terdakwa yang iniskin yang tidak mampu membayar ahli hukum). M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
49
4. The innocent defendant may plead guilty because of the fear thal he
will be sentenced more harshly if he is convicted after trial or thal he will subjected to damaging publicity because repugnant charge. (Terdakwa yang tidak bersalah dapat dijadikan bersalah karena kekhawatiran bahwa dia akan dihukum lebih berat lagi jika dia divonis sesudah sidang peradilan atau dia merusak publisitas karena tuduhan yang sangat tidak menyenangkan).
Kenyataan tersebut tidak berarti bahwa prosedur pelaksanaan sistem ini tidak memerlukan peninjauan atau perubahan. Pada tahun 1967 usaha kearah restrukturisasi sistem plea bargaining telah dilakukan oleh satuan tugas yang dikenal sebagai President Commossion on Law Enforcement and Criminal Justice, yang mengemukakan alasan utama mengapa perlu diadakan suatu model administrasi plea negotiation yang dapat menghindarkan pertentangan antara kepentingan terdakwa dengan masyarakat. Sehingga dapat diharapkan seorang terdakwa yang nyata-nyata tidak bersalah dapat dicegah untuk tidak terjerat dalam sistem ini. Dalam dunia ilmu pengetahuan (acara) pidana dewasa ini mengenai dan mengakui eksistensi dua sistem yang berbeda dalam penanganan perkara pidana, yakni pertama sistem accusatoir, dan kedua sistem inquisitoir. Sistem yang pertama lebih dikenal sebagai “the Anglo-American mode!’ sedangkan sistem yang kedua lebih dikenal dan diagungkang di daratan Eropa, sehingga dikenal sebagai “the continental model”. Dalam praktek peradilan, sesungguhnya kedua sistem tersebut di atas tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya sehubungan dengan berbagai hal yang timbul dan tumbuh dalam pelaksanaannya. Salah satu kesulitan terbesar dalam pelaksanaan sistem accusatoir menyangkut pembuktian, sebagaimana ditegaskan oleh (Inirjan Damaska, 1973: 505) bahwa: “One such belief, frequently voiced, is thal the rules of evidence under the common law adversary system of barriers to conviction than do corresponding rules in the non-adversary civil law system. This belief is then related to more a general feeling thal the higher evidentiary barricades to conviction somehow emanate from the 50
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
very nature of adversary proceedings and thal their lowering smacks of the inquisitorial, continental procedure.” (Sekali keyakinan tersebut disuarakan, aturan-aturan bukti dalam hambatan-hambatan sistem “adversary” kekuasaan hukum tidak tertulis pada putusan daripada aturan yang sama pada sistem hukum perdata yang “non adversary”. Keyakinan ini kemudian diartikan dengan perasaan umum bahwa semakin tinggi hambatan pada putusan bagaimanapun berasal dari sifat prosiding “adversary” itu juga dan bahwa perlakuan mereka dan prosedur kontinental yang sulit dan tidak menyenangkan). 2. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Dengan dikeluarkannya kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-UndangNo. 8/ 1981), diharapkan akan membawa gagasan baru dengan nafas humanisme dan nilai keadilan yang didambakan oleh semua pihak dalam masyarakat Indonesia. Nilai Pancasila sebagai falsafah bangsa nilai yang dapat memelihara dan keadilan yang sesuai dengan Indonesia, haruslah merupakan nilai yang dpat memelihara dan mempertahankan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu di satu pihak, dan kepentingan masyarakat di lain pihak. Nilai keadilan adalah merupakan nilai yang terpenting dan setiap peraturan perundang - undangan, termasuk KUHAP. Dengan kata lain, kaidah-kaidah hukum itu tidak hanya merupakan kaidah yang sah (yang mempunyai validity saja), akan tetapi juga harus merupakan kaidah yang adil (harus mempunyai value). Selain itu penegakan dan pelaksanaan hukum tidak boleh dilakukan sedemikian rupa, sehingga sama sekali menghilangkan nilai etika pada umumnya, dan martabat kemanusiaan khususnya. Sekalipun nilai keadilan itu sendiri dari dulu menjadi bahan perdebatan di kalangan para ahli hukum, namun demikian, pertentangan pendapat dimaksud yang pada akhirnya menjurus kepada realitivisme nilai keadilan tidaklah dengan sendirinya mengurangi usaha para ahil hukum untuk setidak-tidaknya merumuskannya sesuai dengan falsafah Pancasila. M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
51
Adanya kehendak untuk menanamkan identitas Pancasila dalam tubuh peraturan per Undang-Undangan di Indonesia bukanlah sekedar tuntutan emosional dan sikap tidak simpati terhadap hukum liberal atau sosialis, melainkan sudah (seharusnya) merupakan tuntutan negara Republik Indonesia sebagai negara hukum dengan latar belakang etnis, geografis, sosial, ekonomi, dan politik yang berbeda dengan negara yang sudah maju, khususnya negara barat sebagaimana diutarakan oleh Satjipto Rahardjo (1997:59) bahwa motivasi pembentukan peraturan perUndang-Undangan nasional di atas perlu ditingkatkan dan dipelihara oleh karena dewasa ini di dunia ditingkatkan dan dipelihara oleh karena dewasa ini, di dunia ketiga tampak kecenderungan untuk meniru model hukum barat walaupun risiko sosial dan kultural (akan) besar pula. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Achmad Ali (2005 : 61) bahwa keterpurukan dalam law enforcement, yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan warga masyarakat, merupakan lingkaran setan yang hanya mampu dipecahkan jika penyelesaian masalah dilakukan oleh sumber masalah itu sendiri. Terjadinya tindakan main Hakim sendiri oleh Arief Gosita (2004: 53) dipandangnya sebagai perwujudan gagalnya pemerintah dalam memberikan perlindungan dan jaminan rasa aman kepada masyarakat, baik terhadap harta bendanya. Lebih jauh Arief menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh 4 hal yaitu: 1. Pengabaian hukum (disregarding the law); 2. Ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law); 3. Ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law); 4. Penyalahgunaan hukum (inisuse of the law). Secara eksplisit tidaklah dapat ditemukan apa yang menjadi tujuan pengaturan tentang tatacara pelaksanaan peradilan pidana berdasarkan Undang-Undang Hukum Acara Pidana ini. Namun demikian apabila diteliti kembali beberapa pertimbangan yang menjadi alasan disusunnya KUHAP ini. Jelaslah bahwa secara 52
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
singkat KUHAP ini meiniliki lima tujuan sebagai berikut: 1. Perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa) . 2. Perlindungan kepentingan hukum dan pemerintahan. 3. Kodifikasi dan unifikasi hukum acara pidana. 4. Mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum. 5. Mewujudkan hukum acara pidana yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-UndangDasar 1945. Secara positif dapat dikatakan bahwa dengan UndangUndang Hukum Acara Pidana ini maka pihak aparat penegak hukum (kepolisian) tidak akan sewenang-wenang melakukan penangkapan, penahanan, dan peradilan terhadap tersangka, atau terdakwa. Akibat buruk akan terjadi lebih jauh lagi apabila ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ternyata tidak mengatur secara Iengkap tata cara peradilan pidana pada umumnya dan tidak mencerininkan nilal (keadilan) yang tumbuh dalam masyarakat. Dorongan dan motivasi yang mengejar keabsahan (validity) Undang-Undang Hukum Acara Pidana itu semata-mata bukanlah tindakan yang patut dan dianggap benar, melainkan hal tersebut justru akan mengakibatkan bencana terhadap kehidupan hukum masyarakat pada umumnya, khususnya terhadap para pencari keadilan. Hal ini dapat dilihat dari kemungkinan besar dilaksanakannya asas persamaan di muka hukum dalam konteks Pasal 31 KUHAP. Asas persamaan di muka hukum tidak secara eksplisit tercantum dalam ketentuan KUHAP. Asas ini hanya dicantumkan dalam Penjelasan resini KUHAP. Walaupun demikian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan Kitab Undang-Undangitu sendiri. Asas ini dijabarkan dalam kalimat: “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan” (lihal penjelasan resini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Ditempatkannya asas ini sebagai asas kesatu menunjukkan betapa pentingnya asas ini M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
53
dalam tata kehidupan hukum (acara) pidana di Indonesia. Adanya asas ini dalam KUHAP merupakan suatu arah pembaharuan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Bahkan hal tersebut menunjukkan adanya sikap politik pemerintah Orde Baru ketika itu dalam masalah penanganan perkara pidana yang terbuka dan bertujuan menegakkan Hukum di mana supremasi hukum tidak Iagi akan hanya merupakan slogan belaka. Guna menguji sejauhmana asas persamaan di muka hukum ini benar dipertahankan dan dianut dalam KUHAP, dapat dilihat yang mengatur perihal Penangguhan Penahanan. Peinilihan Pasal 31 di atas didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut: 1. Pasal ini merupakan pasal penutup dan kesatuan yang mengatur soal penahanan (Bab V) dan sekaligus merupakan kekecualian dan pasal-pasal sebelumnya yang mengatur soal penahanan. Apabila pasal-pasal sebelumnya mengatur bagaimana penahanan seharusnya dilaksanakan, maka pasa 31 justru mengatur bagaimana penahanan dapat ditangguhkan. 2. Pengaturan tentang penahanan pada umumnya menyangkut hak asasi tersangka atau terdakwa. Khususnya pengaturan tentang penangguhan penahananpun tidak dapat dilepaskan dari hak asasi dimaksud. Bahkan tidak jarang pula apabila terjadi salah pengaturan dalam Undang-Undang, penangguhan penahanan akan mengakibatkan diskniininasi penlakuan terhadap tersangka atau terdakwa. 3. Pasal 31 di atas sebagai pasal penutup dan pasal pengecualian atas pasal-pasal sebelumnya telah ditetapkan secara tidak Iengkap. Hal ini mengakibatkan kemungkinan akan timbulnya diskriminasi perlakuan terhadap tersangka atau terdakwa di satu pihak, dan lain pihak kemungkinan akan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum semakin besar. Secara historis, Iembaga jaminan uang atau orang yang telah dikenalkan dalam HIR berasal dan sistem jaminan yang pernah berkembang di negara lnggris dan dikembangkan pula 54
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
di Amerika, oleh Hazel B. Kerper (1976:269) dengan sebutan “bail sistem”. Kemampuan terdakwa untuk memperoleh kebebasannya sambil menunggu peradilan baginya dengan memberikan atau menyerahkan uang jaminan, tetap diberlakukan sampai saat ini. Dapat dikemukakan bahwa Undang-UndangNo. 8 Tahun 1981 tentang “Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana” telah secara jelas dan tegas mewujudkan falsafah Pancasila ke dalam pasal-pasalnya. Tampak dicantumkan asa depedensi secara tegas dalam ketentuan pasal 197 ayat (1) a UU No. 8 tahun 1981 yang berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Asas interdepedesi tampak dicantumkan dalam bab menimbang sub. a yang berbunyi: Bahwa negara Republik Indonesia negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-UndangDasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Selain itu asas ini terdapat pula dalam penjelasan resini atas Undang-UndangNo. 8 Tahun 1981, butir ke-2 yang berbunyl: “Undang - Undang Dasar 1945 menjelaskan dengan tegas, bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Hal itu berarti bahwa Pancasila dan Undang-UndangDasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya. Pengaturan asas interpendensi ini pun terdapat dalam beberapa bab dalam Undang-UndangNo. 8 Tahun 1981, antara lain dalam Bab IV: Penangkapan, Penahanan, Penggeledehan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan dan Pemeriksaan Surat, Bab VII: Bantuan Hukum; Bab XII: Ganti rugi dan Rehabilitasi. Dapat dikemukakan bahwa perbedaan falsafah hidup di antara bangsa-bangsa di dunia (untuk sementara terbatas pada sosialisme, liberalisme, dan Pancasila) menimbulkan implikasi yang mendalam terhadap pandangan hidup anggota masyarakat M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
55
bangsa-bangsa yang bersangkutan. Dalam konteks kedudukan tersangka/ terdakwa yang terkait pada “criminal justice process” tampak jelas perbedaannya. Apabila ditelaah secara teliti isi ketentuan sebagaimana dimuat dalam Undang-UndangNo. 8 Tahun 1981, maka “criminal justice system” di Indonesia terdiri dan komponen Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga pemsayarakatan dan dengan Iahirnya Undang-UndangNo. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka kedudukan para advokat itu sendiri masuk dalam ruang lingkup sistem peradilan pidana. Kelima lembaga tersebut meiniliki hubungan yang sangat erat antara satu sama lain bahkan dapat dikatakan menentukan penegakan hukum berdasarkan Undang-UndangNo. 8 Tahun 1981 dan merupakan usaha yang bersifat sistematis. Dalam kaitannya dengan sistem, Buckley (1 967;32) memberikan batasan sistem sebagai berikut: (a) system maybe described generally as a complex of elements or components directly or indirectly related in a casual network, such thal each components is related to at least some others in a more or less stable way within any particular period of time (sistem ... dapat dideskripsikan secara umum sebagai unsur-unsur kompleks atau komponen baik secara Iangsung maupun tidak Iangsung terkait dengan jaringan kasual, seperti setiap komponen dikaitkan sekurangkurangnya dengan yang lain dengan cara yang kurang lebih stabil dalam waktu tertentu...). (b) The particular kinds of more or less stable interrelationships components thal become established of any time the particular structural of the system at thal the time, thus achieving a kinds of “whole” with some degree of continuity and boundary”. (Jenis tertentu yang kurang Iebih komponen hubungannya stabil yang telah dibuat setiap saat merupakan struktur sistem khusus pada saat itu, jadi mencapai jenis keseluruhan dengan derajat kontinuitas serta batas tertentu). Dengan berlakunya Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jelaslah bahwa: 1. Telah terjadi perubahan peinikiran dan pandangan tentang kedudukan tersangka dan tertuduh atau terdakwa, dalam 56
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia. 2. Perubahan peinikiran perkara pidana dimaksud tampak terlalu menitik beratkan pelindungan atas hak dan kepentingan tersangka, dan terdakwa, akan tetapi sangat kurang memperhatikan efisiensi mekanisme penyelesaian perkara pidana itu sendiri oleh aparat yustisi. 3. Sistem peradilan di Indonesia telah menganut sistem campuran (lihal uraian di muka) dan mulai meninggalkan sistem lama yang kurang memperhatikan kedudukan seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana. 4. Adanya perubahan peinikiran dan sikap pembentuk Undang-Undangno. 8 tahun 1981 beserta penjelasannya, juga sudah seharusnya dapat diikuti oleh perubahan sikap dan pandangan aparat yustisi di dalam implementasi UndangUndangdimaksud. 5. Secara tehnis operasional, pelaksanaan UndangUndangdimaksud akan merupakan pencerininan kebenaran akan adanya perubahan sikap dan pandangan “the law inforcement agencies” di Indonesia terhadap kedudukan tersangka/ terdakwa dalam mekanisme pelaksanaan “criminal justice system” Istilah Sistem Peradilan Pidana (SPP) Terpadu sepadan dengan istilah dalam bahasa inggris Integrated Criminal Justice System (ICJS). Adanya kata terpadu (integrated) dihubungkan dengan istilah SPP sebenarnya yang kontradiktif. Mengapa dikatakan demikian ? karena istilah sistem yang ada dalam SPP sebenarnya harus mengandung suatu keterpaduan (integrasi) di antara sub-sub sistem yang ada dalam SPP. Kata sistem berasal dan kata majemuk dalam bahasa Yunani yaitu suntidhemai yang berarti meletakkan bersama-sama. Oleh karena itu, sistem berkaitan dengan masalah bangunan, susunan, satu kesatuan namun di dalamnya terdapat bagian-bagian sebagai unsur yang membentuk keseluruhan. Sistem merupakan suatu keterpaduan antara konsep totem dan partes, dan tentu saja
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
57
relasi struktural merupakan kenyataan dasarnya. (Buyung, 1986 : 4). Pada bagian lain Buyung (1986:8) menyatakan bahwa sesuatu dapat disebut sistem apabila memenuhi kriteria berikut: (1) Terdiri dan unsur, elemen-elemen atau bagian-bagian, (2) elemen-elemen, unsur-unsur atau bagian-bagian itu satu sama lain jalin menjalin; pengaruh mempengaruhi; terjadi interaksi dan interdependensi; (3) keseluruhannya terpadu menjadi kesatuan yang utuh, suatu totatalitas, (4) kesatuan itu mempunyai tujuan, fungsi atau output tertentu. Menurut Zahara Idris (1992:72) kata sistem diberi pengertian sebagai berikut: Suatu kesatuan yang terdiri atas komponen-komponen atau elemen-elemen atau unsur-unsur sebagai sumber-sumber yang mempunyai hubungan fungsional yang teratur, tidak sekedar acak, dan sating membantu untuk mencapai suatu hasil (produk). Ryan (Zahara ldnis, 1992 : 72) mendefinisikan kata sistem sebagai berikut: Any identifiable assemblage of element (objects, person, activities information records, etc) which are interrelated by process or structure and which are presumed to function as an organization entinity generating an observable (or the same times merely inferable) product. (setiap kumpulan unsur yang dapat diidentidifikasi (objek, orang, aktivftas, informasi, catatan, dll) yang saling berhubungan oleh proses atau struktur yang dianggap berfungsi sebagai kesatuan organisasi yang menurunkan (atau waktu yang sama hanyalah dugaan) produk yang dapat diamati). Dari beberapa pengertian kata sistem tersebut di atas secara sederhana kata sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan unsur-unsur atau komponen-komponen atau dapat juga disebut sebagai sub-sub sistem yang saling berinteraksi secara struktural fungsional yang dapat melakukan proses masukan (input) menjadi keluaran (out put), hal ini secara jelas dapat dilihat dan pendapat Ryan di atas bahwa di datam suatu sistem terdapat unsur-unsur 58
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
yang dapat dikenali, unsur-unsur itu saling berkaitan secara teratur, mekanisme saling berhubungan berkaitan secara teratur, mekanisme saling berhubungan antar unsur itu merupakan suatu kesatuan organisasi, sedang kesatuan organisasi itu berfungsi dalam menciptakan tujuan yang akan dicapai, dan berfungsinya organisasi itu dapat membuahkan hasil yang dapat diamati atau setidak-tidaknya dapat diketahui hasilnya. Berdasarkan pengertian kata sistem tersebut, menurut Pranarka (1991: 38) istilah sistem di dalamnya harus mengandung: (a) adanya satu kesatuan utuh; (b) adanya bagian-bagian yang membentuk kesatuan yang utuh; (c) adanya hubungan keterkaitan antara bagian dengan bagian maupun antara bagian dengan keseluruhan; (d) adanya gerak atau dinainika; dan (e) adanya arah serta produk dan sistem tersebut sehingga tidak jarang kata sistem disamaartikan dengan pengertian cara kerja sesuatu. Pandangan Pranarka tersebut di atas kurang lebih hampir sama dengan identifikasi ciri-ciri sistem menurut Zahara Idris (1992 : 37) yang mengemukakannya sebagai berikut: (a) Mempunyai tujuan . (b) Mempunyal fungsi-fungsi karena adanya tujuan yang harus dicapaioleh suatu sistem menuntut terlaksananya berbagai fungsi yang diperlukan untuk menunjang usaha mencapai tujuan tersebut; (c) Mempunyal komponen-komponen yaitu bagian dan sistem yangmelaksanakan suatu fungsi untuk menunjang usaha mencapai tujuan sistem, suatu sistem mempunyai beberapa komponen yang masing-masing mempunyai fungsi khusus; (d) Di dalam sistem harus ada saling hubungan atau interaksi, masing-masing saling mempengaruhi dan saling membutuhkan; (e) Suatu penggabungan antar seluruh komponen yang berfungsi akan menimbulkan jalinan perpaduan; (f) Proses transformasi, karena semua sistem mempunyai inisi
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
59
untuk mencapai tujuan untuk itu diperlukan proses yang akan mengolah masukan (input) menjadi keluaran (out put); (g) Umpan balik untuk keperluan fungsi kontrol untuk monitoring dan koreksi; dan (h) Bahwa suatu sistem mempunyai daerah batasan dan lingkungan, antara suatu sistem dan bagian-bagian lain atau lingkungan di sekitarnya akan terjadi interaksi, namun demikian antara suatu sistem dan batasan yang lain mempunyai daerah batasan tertentu, suatu sistem dapat pula merupakan subsistem dari sistem lain yang lebih besar (supra sistem). Dengan memperhatikan pengertian kata sistem yang telah diuraikan tersebut di atas maka jelaslah bahwa kata sistem sebenarnya memang harus mengandung suatu keterpaduan di antara sub-sub sistem yang ada. Lalu bagaimana memahami munculnya istilah SPP terpadu? Menurut Mardjono Reksodiputro (1993:2) munculnya istilah SPP terpadu sebenarnya dapat dipahaini sebagai manifestasi penegasan keinginan untuk mewujudkan adanya SPP yang benar-benar terpadu, sesuatu yang nampaknya belum benarbenar terwujud, atau seperti yang pernah dikemukakan oleh Muladi pemakaian kata “integrated’ dalam SPP diarahkan untuk memberikan tekanan agar integrasi dan koordinasi dalam SPP Iebih diperhalikan, sebab fragmentasi dalam SPP nampaknya masih menjadi “disturbing issues” di berbagai negara. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana didukung oleh komponen- komponen sistem (sub-sub sistem) peradilan pidana. Namun demikian dalam kerangka yang lebih luas (makro) SPP sendiri sebenarnya hanyalah merupakan sub sistem dan sistem lain yang lebih besar (supra sistem). Hal ini wajar saja mengingat seperti yang dikatakan oleh Pranarka bahwa suatu sistem yang di dalamnya didukung oleh sub-sub sistem, namun ia pun sebenarnya tidak akan terlepas dan suatu sistem lain atau bahkan menjadi bagian dari suatu sistem yang lebih besar (supra sistem). 60
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Komponen-komponen SPP terutama terdiri dan kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan , sedang menurut Coffey (Mardjono Reksodiputro, 1993 : 25) masih ditambah dengan komponen pembela atau penasehat hukum. Secara parsial masing-masing komponen tersebut dapat dipisahkan dengan jelas baik dari segi instansional, aparat, fungsi, cara kerja, dan tujuannya. Keterkaitan dan kesinambungan antar seluruh komponen SPP yang membentuk jalinan kerja dalam rangka mencapai tujuan sistem tersebut tidak sekedar seperti penjumlahan antar komponen secara matematis, namun harus menghasilkan suatu tujuan yang Iebih besar (semacam sinerji). Pillai (Mordjono Reksodipuro, 1993:93) memberikan penjelasan mengenai kata “an integrated’ dalam criminal justice adininistration, bahwa penggabungan lebih besar antar berbagai komponen SPP tidak dapat memberikan gambaran seluruh sistem bekerja sebagai suatu unit atau departemen atau sebagai seksi-seksi yang berbeda dan suatu pelayanan yang disamakan. Menurut Pillai hal itu lebih baik disebut sebagai bekerja atas dasar prinsip “satu dalam perbedaan” (unity in diversity) sebagaimana analogi dalam bekerjanya sistem dalam angkatan bersenjata. Menurut Pillai suatu angkatan bersenjata setidak-tidaknya terdapat tiga macam pembagian angkatan yaitu angkatan darat, udara dan laut, yang masing-masing dapat dipandang sebagai sub sistem dan sistem angkatan bersenjata. Masingmasing sub sistem mempunyal perbedaan baik dalam hal cara rekruitmen personil, metode pelatihan, personil, metode bekerja, dan bahkan tujuan masing-masing juga berbeda. Namun demikian mereka mempunyal tujuan bersama yaitu melindungi keamanan seluruh negara, apabila diperlukan mereka harus bekerjasama tanpa kompromi dengan tidak melihat lagi peranan individual masing-masing. Demikian juga halnya dengan SPP, meskipun masing-masing subsistem mempunyai peran, cara kerja, dan tujuan sendiri-sendiri, namun mereka harus sadar bahwa secara keseluruhan mereka mempunyai tujuan bersama
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
61
yaitu memerangi kejahatan (the war against crime). (Mardjono Reksodiputro, 1993: 93) . Apabila diinginkan SPP dapat mencapai tujuan secara efektif perlu dicegah terjadinya hambatan (fragmentasi). Efektivitas SPP bisa terhambat jika masing-masing subsistem bekerja sendiri-sendiri tanpa memperhatikan saling keterhubungan (interrelationship) dengan keseluruhan subsistem, dalam hal ini Coffey menyatakan sebagai berikut: Criminal justice can function systematically only to the degrees thal each segment of the system takes into account all other segments. In order wods, the system is no more systematic than the relationships between Police and Presecution, Police and Court, Presecution and Correction, Correction and Law, and so forth. in the absence of functional relationship between segments, the criminal justice system is vulnerable to fragmentation in effectiveness. (Mardjono Reksodiputro, 1993 : 82) (Pengadilan pidana dapat berfungsi secara sistematis hanya untuk tingkatan-tingkatan bahwa setiap segmen dan sistem mempertimbangkan semua segmen lainnya. Dengan kata lain, sistem itu tidak lebih sistematis daripada hubungan antara polisi dan penganiayaan, polisi dan pengadilan, penyiksaan dan perbaikan (koreksi), koreksi dan hukum, dsb. Dengan ketidakadaan hubungan fungsional antara segmen, sistem peradilan pidana rapuh pada keefektifan bagian-bagiannya) Untuk mengorganisaikan komponen-komponen SPP, Coffey mengajukan gagasan sistem sebagai suatu sistem linear yang terdiri dan tiga bagian penting yaitu masukan (input), proses (process), dan keluaran (output). Konfigurasi tunggal dan tiga bagian sistem linear tersebut digambarkan sebagai berikut:
Dengan mempergunakan perbedaan-perbedaan antara bagian input, process, dan out put tersebut kita dapat melihat
62
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
SPP secara lebih sistematis. Bagian input SPP adalah bagian pertama yang menyeleksi kamus-kamus pelanggaran hukum yang menjadi bahan masukan SPP. Yang dapat dipakai sebagai bahan masukan hanyalah sejumlah kejahatan yang dilaporkan/ tercatat (reported crimes) sebagai bagian SPP yang berhubungan dengan korban, atau pelaku, atau bahkan keduanya. Sedang untuk kejahatan yang tidak dilaporkan/ tersembunyi (unreported crimes / hidden crimes) hanya menjadi perkiraan atau menjadi dark number yang tidak dapat diseleksi sebagai bahan input. (Mardjono Reksodiputro, 1993;85) Untuk memahami pengertian peradilan dalam kerangka sistem, analisis mengenai bagaimana seseorang menjadi pelanggar hukum dalam konteks sistem, hal tersebut dikemukakan oleh La Patra sebagai berikut: When someone become a law violator, he may be considered to be crossing the boundary between society and the criminal justice system. After leaving the CJS, the individual teruns to society, if he returns to the CJS at the later time, he is called a recidivist. (Bila seseorang menjadi pelanggar hukum, dia dapat dianggap melintasi batas antara masyarakat dan sistem peradilan pidana. Setelah CJS, individu berpaling pada masyarakat. Jika dikemudian kembali pada CJS, dia disebut residivis). Untuk memberikan gambaran pendekatan SPP sebagai suatu proses rangkaian interaksi sebab akibat diberikan contoh oleh Coffey sebagai berikut: The interaction of an armed robber with the victim is the effect of the robbery, but it is also the cause of another interaction with police (hopefully), and with prosecution, corrections and so on. The interaction of police with prosecution is siinilarly a variety of both causes and effects, as are the interactions of corrections with courts and police (Mardjono Reksodiputro, 1983: 85) (lnteraksi perampok bersenjata dengan korban adalah efek perampokan, tetapi juga penyebab interaksi lain dengan polisi, dan dengan penuntutan, perbaikan, dsb. Interaksi polisi dengan penuntutan sama dengan variasi sebab dan akibat, demikian pun perbaikan (koreksi) dengan pengadilan dan polisi).
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
63
Dalam kerangka pandangan Coffey tersebut dalam hal SPP, maka fungsi-fungsi individual dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat/pengacara dan Lembaga Pemasyarakatan idealnya dapat berfungsi sama dengan cara kerja system pemanas. Meskipun tidak dapat disangkal bahwa sistematik cara kerja SPP yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, sedang sistem pemanas hanya disebabkan oleh satu macam kemungkinan yaitu tingkat suhu ruangan. Dengan kata lain bahwa SPP harus bisa memberikan respon terhadap bermacammacam variabel, seperti variabel perubahan sosial, perubahan peraturan perundang-undangan, dan perubahan ekonomi yang secara langsung dapat mempengaruhi polisi, pengadilan, penuntut umum, pembela, dan Lembaga Pemasyarakatan, yang kesemuanya itu sebenarnya adalah sejumlah “thermostat” (Mardjono Reksodiputro, 1993 : 87)
B. CRIME CONTROL MODEL (CCM) DAN DUE PROCESS MODEL (DPM) DALAM PROSES PE RADILAN PIDANA (CRIMINAL JUSTICE SYSTEM) Tujuan pemidanaan dapat dicapai melalui proses pemidanaan dan mulai Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai pencegahan kasus terhadap pelaku kejahatan. Proses adalah perjuangan pelaku kejahatan dari awal sampai akhir, melalui proses-proses yang harus dilalui sampai dijatuhkannya sanksi pidana. Hal senada dikemukakan oleh Polak (Rush Effendy, 1986:110) bahwa tujuan pemidanaan adalah suatu pembalasan yang tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang dan apa yang telah dilakukannya. Bagaimana proses itu dilaksanakan, Herbert Packer (1978:153) mengetengahkan dua kerangka peinikiran yang dikembangkan menjadi suatu model dan berlomba mendapat prioritas dalam proses kriminal, yaitu Crime Control Model (CCM) dan Due Process Model (DPM). Kedua model tersebut bukan merupakan suatu realitas tetapi suatu cara untuk mengukur, bagaimana 64
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
suatu proses berjalan. Karena tidak ada suatu negara yang seratus persen menjabarkan salah satu model apa sistem tersebut, bahkan kedua model tersebut tidak dapat dipertentangkan atau dinilai model mana yang lebih baik (is and ought) tetapi dapat dibedakan dalam cara menilai proses kriminal. CCM yang lebih represif dalam menanggulangi perilaku jahal selalu cenderung ke arah mencapai angka penghukuman yang tinggi, dan bersifat finalty, melalui Screening yang telah dilakukan polisi dan jaksa sebagai indikator untuk menentukan penilaian seorang tersangka/terdakwa bersalah atau tidak dalam proses. Terkait dengan hal tersebut di atas, lebih lanjut Herbert Packer (1978: 157-158) menyatakan ciri-ciri model tersebut antara lain adalah: 1. The Crime Control Model tends to the emphasize this adversary aspect of the process. The Process Model tends to make it central; (Model pengendalian kejahatan cenderung menekankan aspek yang berlawanan dan proses itu. Model proses itu cenderung menjadikannya pusat) . 2. The value system thal underlies the Crime Control Model is based on the pmposition thal the repression ofcriminal conduct is byfar the most important function to be performed bythe criminal process. In order to achieve this high purpose, the Crime Control Model requires thal primary attention be paid to the efficiency with which the criminal process operates to screen suspect deterinine guilt and secure appropriate dispositions of prison convicted of crime; (Sistem nilal yang mendasari model pengendalian kejahatan didasarkan pada proposisi bahwa repsesi perilaku kriminal adalah fungsi yang paling penting dilakukan oleh proses kriminal. Untuk mencapal tujuan yang tinggi ini, model pengendalian kejahatan menuntut perhatian utama untuk efisiensi yang dengannya proses kriminal beroperasi untuk melindungi kesalahan tersangka dan mengamankan disposisi yang cocok untuk penjara karena melakukan kejahatan). 3. The presumption of guilt, as it operates in the Crime Control Model, M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
65
is the operation expression of thal confidence. It would be a inistake to think of the presumption of guilt as the opposite of the presumption of innocence thal we are so used to thinking of as the polestar of the criminal process and thal was we shall see, occupies an important position in the Due Process Model; (Anggapan bersalah, seperti yang berlaku pada Model Pengendalian Kejahatan, adalah pernyataan perlakuan dan keyakinan itu. Adalah salah bila anggapan bersalah itu sebagai lawan dan anggapan tidak bersalah bahwa kita sangat terbiasa memikirkan sebagai bintang kutub dan proses kriminal dan itu yang akan kita lihal, menempati posisi penting pada Model Perlindungan Hak). 4. If the Crime Control Model resembles an assembly line, the Due Process Model looks very much like an obstacle course. (Jika Model Pengendalian Kejahatan menyerupai sistem pekerjaan, Model Perlindungan Hak kelihalannya persis sama dengan rangkaian kesulitan yang harus dilewati). Ada beberapa hal menarik tentang kedua model tersebut. CCM mengutamakan efisiensi dalam pencegahan kejahatan. Yang dimaksud dengan efisiensi disini ialah kemampuan pihak yang berwenang untuk melakukan penahanan, pemidanaan, dan pembinaan pelaku kejahatan yang diketahui melakukan perbuatan melanggar hukum. Oleh karena CCM tersebut mengutamakan efisiensi dalam pencegahan kejahatan, maka model tersebut dinamakan juga assembly line conveyor belt atau sistem “ban berjalan”. Dengan mengandalkan pada sistem “ban berjalan” tersebut, tentu ada tindakan-tindakan yang dilakukan tanpa dianalisis secara seksama, dan hal seperti itu akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran hukum. Apabila sistem “ban berjalan” atau assembly line conveyor belt dibandingkan dengan Pasal 17 Undang-UndangNo. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dapat ditarik kesimpulan bahwa di Indonesia “sistem ban berjalan” tidak dianut, oleh karena penangkapan bagi seorang hanya dimungkinkan apabila ada dugaan keras telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti 66
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
yang cukup. Di dalam penjelasan Pasal 17 Undang-UndangNo. 8 Tahun 1981 ditentukan bahwa: “yang dimaksud bukti permulaan yang cukup” ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 14. Pasal ini menunjukkan perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak Pidana. Harus diakui bahwa dalam praktek seringkali terdapat tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum pada saat petugas melakukan penangkapan, penahanan, dan penuntutan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Nampaknya pembentuk Undang-Undang sudah menyadari sebelumnya, akan terjadi penyimpangan-penyimpangan pada saat petugas melakukan penangkapan, penahanan, dan penuntutan kepada seseorang yang diduga melakukan tindak pidana, sebab seseorang yang merasa dirugikan dalam masalah penangkapan, penahanan, dan penuntutan dapat mengajukan praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UndangUndang No. 8 1981 mengenai KUHAP. Hyman Gross (1979 : 6-7) juga memberikan gambaran mengenai sistem peradilan pidana, berdasarkan kenyataan yang ada di masyarakat. Hyman Gross melihat sistem peradilan pidana itu antara lain sebagai: 1. Criminal justice as Social Criticism; In any modem society criminal justice has three stages In the first there is an accusation thal is critical of some act by a person who is said to have thereby broken the law. But the accusation itself must then be critically tested in order to deterinine guilt or innocence, and this takes place in the second stage. If the accusation survives the test and proves to be sound, there is a third stage to allow for condemnation of was done through punishment of the accused with critical activities are governed by social rules of the highest authority the law it seems to speak of criminal justice as social criticism.
(Peradilan Pidana sebagai Kritikan Sosial; pada masyarakat M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
67
modern peradilan pidana mempunyai tiga tahap. Pertama ada tuduhan yang kritis bagi tindakan oleh seseorang yang dikatakan telah melanggar hukum. Namun tuduhan itu sendiri harus diuji secara kritis untuk menentukan bersalah atau tidak bersalah, dan ini terjadi pada tahap kedua. Jika tuduhan sesuai dengan pemeriksaan dan ternyata benar, ada tahap ketiga yang mengisinkan penghukuman terhadap apa yang telah dilakukan melalui hukuman orang yang tertuduh dengan aktivitas kritis diatur oleh aturan-aturan sosial dan penguasa tertinggi yakni hukum yang akan berbicara tentang peradilan pidana sebagai kritikan sosial) 2. Criminal justice as moral criticism. Crime is morally wrong, and punishment or it is morally right. (Peradilan pidana sebagai kritikan moral. Kejahatan secara moral salah dan hukumannya adalah benar secara moral). Due Process Model lebih cenderung mengarah pada Adversary System yang menganggap penjahal bukan sebagai objek. Proses merupakan suatu arena rangkaian bagaimana dapat melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan dan mengadili serta mempersalahkan pelaku kejahatan. Melalui praduga tidak bersalah yang dianut oleh Due Process Model, seseorang baru dapat dinyatakan bersalah oleh suatu autoritas yang sah melalui peradilan. Karena itu semua usaha polisi atau jaksa untuk dapat menghukum seorang terdakwa hanya dapat dilakukan melalui proses kriminal di pengadilan. Di dalam pelaksanaannya selalu timbul hambatan yang dapat menggagalkan seluruh proses bahkan menyampingkan tujuan pidana itu sendiri. Pada prinsipnya DPM adalah suatu negative model, sedangkan CCM adalah suatu affirmative model. Dengan negative model dimaksudkan bahwa DPM menegaskan perlunya pembatasan atas kekuasaan dan cara penggunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum. Dengan affirmative model dimaksudkan bahwa crime control model menekankan pada eksistensi kekuasaan dan penggunaan kekuasaan secara maksimal oleh aparat penegak 68
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
hukum. Dan hal tersebut di atas dapat dikatakan CCM lebih menekankan kepada penanggulangan (pengawasan) kejahatan, sedangkan DPM lebih menekankan kepada penegakan hukumnya. Ada dua sudut pandang dalam penyelesaian perkara pidana di Amenika dalam prosesnya (Inilano, 2004: 119 — 120) yaitu: 1. CCM yang Iebih menekankan kepada penanggulangan/ pengawasan kejahatan. Karakteristik atau ciri sfat yang menonjol adalah efisiensi, yang dapat didambakan karena yang ingin dicapai adalah penanggulangan. Dapat dipastikan sekali masuk kepolisian akan sampai ke Lembaga Pemasyarakatan. Semakin banyak perkara yang masuk dan dapat diselesaikan sudah merupakan sukses. 2. DPM sebenarnya mengandung arti suatu proses yang adil, artinya hak-hak asasi manusia nampak menonjol. Meskipun demikian CCM maupun DPM keduanya pada dasarnya ingin menanggulangi kejahatan tetapi pada DPM kepentingan tersangka terdakwa jauh lebih diperhalikan dan pada CCM. Perlindungan terhadap individu (protection of the individual) Iebih diperhalikan, yang dalam CCM tidak demikian. Dalam CCM diharapkan pada waktu yang singkat dapat mencapai hasil yang diharapkan. Tinjauan CCM dalam proses kriminal polisi dapat melakukan penangkapan bila ada dugaan keras (seseorang) melakukan kejahatan. Orang yang ditangkap boleh dibawa ke kantor polisi. Karena dapat diduga orang yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana. Pandangan DPM tidak sematamata boleh menangkap orang kecuali ada alasan-alasan yang sangat kuat, karena dianggap melanggar hak asasi seseorang dan kemungkinan untuk menghindari tindakan polisi yang salah/ ilegal tanpa bukti-bukti yang sah. CCM maupun DPM meiniliki sistem yang berbeda terhadap pernyataan kasus pidana, di mana pada:
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
69
a. Crime Control Model: b. Harus dapat diinterogasi pribadi tersangka sebelum timbul masalah untuk tidak mau bekerja sama, karena kerjasama dan tersangka sangat diharapkan. Untuk adanya kerja sama dan tersangka harus segera diperiksa setelah tertangkap. c. Penahanan luar harus dihindari sehingga tersangka harus diasingkan dan teman-temannya atau keluarganya. d. Berat ringannya kejahatan merupakan faktor yang menentukan sampai berapa lama seseorang dapat ditahan. e. Tersangka/ terdakwa tidak dapat diasingkan dari hal-hal kewajaran. Keluarganya harus diberitahu, tetapi dilarang berdiam dengan keluarganya karena dianggap akan mempersulit. f. Tujuan pemeriksaan untuk mendapatkan kebenaran materil, sehingga dituntut profesionalisme polisi. (Inilono, 2004:124) b. Due Process Model a. Jika syarat penangkapan dilaksanakan secara tepat dan baik, maka tidak perlu mencari keterangan dan tersangka/ terdakwa; b. Tersangka/ terdakwa harus segera disidangkan. c. Setiap orang yang ditangkap/ ditahan berhak menguji kesalahan penangkapannya. d. Tersangka/ terdakwa berhak mendapat bantuan hukum. e. Tidak dibenarkan menahan seseorang hanya untuk tujuan interogasi, dan tidak bisa terus dibawa ke pengadilan jika belum memenuhi syarat formalitas yang utama. (Inilono, 2004: 125) Salah satu hal yang menonjol dalam DPM adalah menjunjung tinggi masalah Presumption of Innocence (praduga tidak bersalah), sedangkan praduga bersalah (Presumption of guilt) berkaitan 70
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
dengan jalan yang mengutamakan efisiensi seperti apa yang dikehendaki oleh CCM. Paul Weston dan Kenneth Wells (1972:89) menyatakan sebagai dasar bagi polisi untuk melakukan penangkapan ada dua cara: 1. Broad Powers (kekuatan diperbesar), wewenangnya diperbesar.Metode ini sering juga disebut metode Iangsung (direct method) 2. Broad Definitions (Scope yang diperluas), disebut indirect method yaitu dengan memperluas perbuatan-perbuatan yang dapat dilakukan penangkapan berdasarkan Undang-Undang. Menurut Weston (1972:39-40) di Amerika Serikat menganut sistem terbuka, sehingga pada umumnya polisi yang melakukan penyidikan, kecuali dalam hal-hal tertentu public attorney dapat terjun langsung dalam penyidikan perkara. Hal ini dapat disimpulkan tulisan Weston sebagai berikut: “The prosecuting attorney is the key law enforcement, offices in the particular area over which he has jurisdiction. In this area the potentialities of the office are liinited only by intelligence, skill, and legal and political capacity of the incumbent. In the forinidable list of duties often assigned to this public official, the interest, of the state is almost entirely in his hand. He is a guasi judicial offices who deterinines from his own investigation, or evidence sunnitted to him bypolice or other whether a criminal offence has been coininited. (Jaksa penuntut adalah kunci penegakan hukum, kantorkantor di daerah tertentu yang menjadi kekuasaannya. Di daerah ini potensialitas kantor terbatas oleh intelegensia, keterampilan dan hukum serta kemampuan politik dan penguasa sekarang. Dalam daftar tugas yang sulit sering ditugaskan pada pejabat publik, kepentingan negara hampir seluruhnya ada pada kekuasaannya. Dia adalah pejabat hukum yang menyamar yang menentukan dan penyelidikannya sendiri, atau bukti baginya oleh polisi atau apakah tuduhan kriminal telah dilakukan). Dalam hal ini, Herbert Packer (1978 : 79) mencoba untuk mengambil abstraksi dan kenyataan berjalannya peradilan pidana di Amerika Serikat yang menganut model adversary,
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
71
dan kemudian menciptakan dua model (kerangka pikiran) yang kemudian dikembangkan menjadi teori. Kedua model yang dimaksudkan tersebut adalah CCM dan DPM. Menurut Packer kedua model tersebut saling berkompetisi (berlomba) untuk mendapatkan prioritas dalam pelaksanaan proses pidana. Sebenarnya selain kedua model yang dikemukakan Herbert Packer tersebut masih ada satu model lagi yang dikemukakan oleh John Griffith (1970 372) sebagai suatu pandangan yang mengkritik CCM dan DPM yang ada dalam sistem adversary. Model ketiga yang dimaksud dinamakan sebagai The Family Model. Selain itu, sebenarnya Roeslan Saleh (1983 : 15) juga mengemukakan mengenai dua macam model peradilan pidana yang dinamakannya sebagai Model Yuridis dan Model Kemudi atau stuurmodel c. Persamaan Crime Controll Model dan Due Process Model 1. Persamaan CCM dan DPM a)
Kedua model tersebut sebenarnya sama-sama mendasarkan pada asas due process of law (proses peradilan yang adil), yang meletakkan individu sederajat dengan aparat penegak hukum.
b) Bahwa kedua model tersebut sama-sama mendasarkan pada prinsip legalitas, dalam arti memisahkan perilaku kriminal (criminal conduct) dan proses criminal. Oleh karena itu sebelum proses kriminal diterapkan terlebih dahulu harus ada perilaku yang berdasarkan suatu peraturan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya dinyatakan sebagai perilaku kriminal, c) Untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan ataupun penyalahgunaan kekuasaan, kedua model tersebut menganggap penting adanya limits of power, batas-batas kekuasaan yang dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan aparat penegak hukum dalam tindakan kriminal. d) Kedua model tersebut sebenarnya bekerja dalam sistem 72
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
peradilan pidana yang sama yaitu berdasarkan sistem adversary. d. Karakteristik Pembeda CCM dan DPM Tentu saja kedua model tersebut mempunyai karakteristik yang dapat membedakan ciri-ciri di antara kedua model tersebut. Menurut Herbert Packer, (1978 : 174) nilai dasar CCM adalah. affirmative model yang cenderung untuk memperluas atau memperbesar kewenangan, sedang DPM merupakan negative model yang cenderung untuk selalu mempertanyakan apakah kita (petugas penegak hukum) mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan tertentu. Berikut ini akan diuraikan secara singkat seberapa karakter pembeda di antara kedua model tersebut. Karakteristik CCM Dalam CCM terdapat anggapan bahwa penanggulangan kejahatan merupakan hal yang paling didambakan masyarakat, oleh karena itu diperlukan suatu represi terhadap perilaku kriminal. Menurut anggapan ini gagalnya penegak hukum mengatasi kejahatan dapat meruntuhkan tertib masyarakat (public order) dan menjurus kepada hilangnya kemerdekaan sosial (social freedom). Oleh karena itu CCM menganggap proses kriminal jaminan atas social freedom yang positif.(Herbert Packer, 1978: 176) Berdasarkan anggapan tersebut di atas terdapat suatu konsekuensi harus adanya efisiensi dan efektivitas dalam proses kriminal. Kemampuan aparat penegak hukum untuk melakukan penangkapan, penahanan, dan menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan dipakai sebagai ukuran keberhasilan. Sehubungan dengan itu aparat penegak hukum harus diberi kepercayaan yang besar sesuai dengan profesionalismenya. Profesionalisme merupakan tuntutan utama bagi aparat penegak hukum dalam tahap pendahuluan untuk menghindari kemungkinan kesalahan selama mereka bertindak dalam proses
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
73
kriminal. Menurut Scholnick (Roeslan Saleh, 1983: 20) seorang polisi dipandang sebagai seorang pematung atau pemahal (craftsman) dibandingkan sebagai seorang legal actor, sehingga meskipun dalam melaksanakan tugasnya dapat terjadi suatu kesalahan namun hal itu jarang sekali, seorang pematung professional tidak pemah melakukan kesalahan dalam melaksanakan pekerjaannya. Karakteristik DPM Sebagaimana CCM, sebenarnya DPM tidak menolak tindakan represi terhadap pelaku kriminal, hanya saja mempunyal prioritas yang caranya berbeda. Asas due process of law lebih berakar dalam DPM, hal ini dapat dilihat dan adanya struktur formal peraturan perundang-undangan atau hukum untuk melaksanakan due process of law, sehingga dengan demiikian kita lebih mudah membayangkan bahwa DPM merupakan suatu obstacle course yaitu suatu jalan yang banyak hambatan yang berfungsi untuk mengontrol cocok tidaknya tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum menurut peraturan hukum yang ada. DPM menyerang praktek-praktek proses kriminal yang dilakukan berdasarkan cara-cara seperti dalam CCM. Dalam hal ini DPM melihat adanya kemungkinan kesalahan (possibility error) seperti terjadinya salah tangkap, salah menahan, pemaksaanp emaksaan dalam memperoleh pengakuan di tingkat penyidikan dan lain sebagainya yang banyak terjadi dalam praktek pelaksanaan proses kriminal berdasarkan CCM. Karena itu DPM Iebih mempercayai proses ajudikasi atau proses persidangan dalam melaksanakan proses kriminal. Namun demikian pada akhirnya tingkat kemampuan penanganan perkara dalam DPM menjadi rendah karena terlalu banyaknya hambatan yang memaksa penegak hukum untuk berhali-hali dan menaatinya. Namun demikian hal ini tidak menjadi masalah karena DPM tidak menuntut adanya kecepatan dan ketuntasan dalam proses kriminal sebagaimana halnya pada CCM, yang lebih penting adalah bagaimana suatu proses kriminal dapat 74
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
dilakukan sesuai dengan rambu-rambu yang diperbolehkan menurut peraturan yang ada. e. Family Model Menurut Griffith (1980:70) kedua model peradilan pidana yang dikemukakanoleh Herbert Packer sebenarnya sama-sama berada dalam kerangka sistem adversary, atau yang menurut julukan yang diberikan oleh Griffith dinamakan sebagai model peperangan (battle model). Model peperangan memandang proses kriminal sebagai suatu konnik atau pertentangan kepentingan yang tidak dapat dipertemukan (irreconciliable disharmony of interest) antara individu (pelaku kejahatan) di satu sisi yang berhadapan dengan negara (yang diwakili oleh aparat penegak hukum polisi dan jaksa penuntut umum) pada sisi yang lain. Dalam hal ini pelaku kejahatan dipandang sebagai musuh masyarakat (enemy of society) yang harus disingkirkan sehingga tidak mengherankan apabila tujuan utama proses kriminal adalah mengasingkan atau menyingkirkan pelaku kejahatan dan masyarakatnya (exile function of punishment). (Griffith, 1980 71-72). Karena titik tolak ideologis dan Family model adalah cinta kasih antar sesama, konsep pemidanaan yang ditonjolkan bukan dalam kerangka untuk mengasingkan atau menyingkirkan pelaku, menurut konsep ini pelaku kejahatan pun diberi perlakuan dengan penuh kasih sayang. Dalam gambar Family model pelaku kejahatan diumpamakan seperti anak dalam keluarga yang melakukan kesalahan, Ia dapat diberi sanksi tanpa diasingkan dari masyarakatnya, karena dalam kerangka kasih sayang ia masih dianggap sebagai bagian dan keluarga. f. Model Yuridis dan Model Kemudi Secara garis besar menurut Roeslan Saleh terdapat tiga macam model peradilan pidana yaitu model yuridis, model kemudi (stuurmode!), dan model alternatif. Model yuridis mengandung pandangan yang idealistis M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
75
mengenai hukum pidana, yang dijadikan sebagai dasar dan model ini. Hal ini tersimpul dari pandangan idealistisnya bahwa badan-badan yang bertugas dalam bidang peradilan pidana harus berusaha memperjuangkan tercapainya keadilan, menurut pandangan ini Hakim hanya pengabdi belaka dan Dewi Keadilan. Menurut pandangan model ini, instansi keHakiman diberi posisi khusus, yang mengambil sebagain dan kedaulatan negara yang ada, dan kekuasaan yang secara fungsional ada pada instansi keHakiman terlepas dan kekuasaan-kekuasaan lain yang ada dalam negara. Menurut model yuridis acara pidana diberi tugas untuk mewujudkan hukum pidana materiil. Dalam hal ini UndangUndang diberi peranan yang fundamental. Kekuasaan dan wibawa undang harus diusahakan selalu diperbesar. Hubungan antara hukum pidana materiil dengan acara pidana seperti itu mengakibatkan bahwa hal menetapkan hukum berarti menetapkan undang-undang, atau dengan istilah lain bahwa uraian dalam Undang-Undangharus bereneksi melalui kata-kata Hakim. Seluruh tindakan peradilan harus bertujuan untuk itu. Petugas keHakiman selain Hakim hanyalah sebagai pembantu Hakim, karena hanyalah Hakim yang boleh menjatuhkan hukuman dalam arti yang sesungguhnya. Stuurmodel, yaitu model kemudi, justru memberikan penekanan kepada kegunaan sosial, tertib sosial, dan menegakkan hukum sebagai fungsi dan tertib sosial, dalam hal ini diantara badan-badan keHakiman ada kesamaan yang prinsipiil. Model ini terlihal dinainis dan terbuka bagi kenyataan sosial. Bandingkan dengan model yuridis yang memberikan penekanan pada masalah keadilan, Undang-Undangdan Hakim sebagai puncak dan hirarki badan-badan keHakiman, dan putusan Hakim sebagai faktor penentu dalam penegakan hukum, yang dengan demikian bersifat statis normative dengan sistemnya yaitu tertutup. Model kemudi terlihal mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan model yuridis. Model kemudi berorientasi pada ilmu 76
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
pengetahuan tentang kelakuan manusia, khususnya sosiologi. Dalam pandangan ini hukum tidaklah sesuatu yang berada di atas kehidupan bermasyarakat, tetapi merupakan bagian dan kehidupan bermasyarakat. Atau dengan kata lain hukum bukanlah untuk kenyataan hidup melainkan adalah sebagai bagian dari kenyataan hidup. Hukum bahkan terjadi karena aksi dan interaksi dalam hidup bermasyarakat itu sendiri. Salah satu kritik model kemudi terhadap model yuridis adalah meskipun model yuridis meletakkan dasar pandangannya pada sifat idealistis hukum pidana, namun yang terlihal adalah bahwa sifat idealistis dan hukum pidana justru kurang mendapat perhatian, karena yang mendapat perhatian lebih hanyalah fungsi dan peradilan pidana itu sendiri. Dengan adanya pembaharuan hukum acara pidana di Indonesia pada tanggal 31 Desember 1981, yaitu dengan diberlakukannya Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah terjadi beberapa perubahan jika dibandingkan dengan hukum acara pidana lama yang digantikannya yaitu Ilet Herziene Inlands Reglemen (HIR). Komponen-komponen utama (sub-sub sistem utama) pendukung Sistem Peradilan Pidana (SPP) di Indonesia terdiri dan lima (lima) macam komponen/ subsistem yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan advokat. Apabila dilihat secara parsial, komponen-komponen pendukung SPP tersebut masing-masing mempunyal tingkat otonoini yang tinggi, sehingga dapat menimbulkan kesan bahwa masing-masing komponen terpisah antara satu dengan yang lainnya. Hal ini terjadi tidak saja karena masing-masing komponen diatur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri, namun Iebih dari itu mereka masing-masing mempunyai mekanisme, cara kerja, dan tata organisasi yang terpisah dengan kewenangan dan kekuasan masing-masing. Dalam kerangka sistem pembagian komponen-komponen dalam SPP tidak dapat hanya dipandang secara parsial, karena M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
77
seluruh komponen harus saling mendukung dan bekerja sama dalam satu kesatuan dan keterpaduan, untuk mencapai tujuan sistem secara keseluruhan, bukan sekedar mencapai tujuan dan masing-masing komponen itu sendiri.
C. PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA SEBA GAI PERWUJUDAN PRINSIP PROSES HUKUM YANG ADIL Sebagaimana diketahui bahwa motivasi utama dari pembentukan KUHAP No. 8 Tahun 1981 adalah untuk menampung cita-cita ataupun ide perlindungan hak-hak asasi dan harkat martabat manusia. Dalam penjelasan umum KUHAP No. 8 Tahun 1981 dikemukakan bahwa hukum acara pidana dalam Reglement Indonesia yang diperbaharui atau HIR yang berlaku berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-UndangDarurat No. 1 Drt. Tahun 1951 belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap harkat martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Mengapa seorang yang bersalah masih perlu dihormati hak asasinya sebagai manusia? Dalam konteks ini menarik sekali ucapan Montesquieu (Mardjono Reksodipuro, 1993:15) yang menyatakan bahwa “apabila warga negara tidak mempunyai perlindungan untuk membela diri dalam kesalahannya, maka dia tidak mempunyai perlindungan pula dalam mempertahankan kemerdekaannya.” Salah satu bentuk perlindungan yang sangat penting dalam negara hukum adalah perlindungan hukum. Tetapi berbicara tidak semudah pelaksanaannya. Sahetapy (1984:7) dalam tulisan mengatakan “bahwa berbicara tentang hukum rasanya tidaklah begitu sulit, bertindak dengan hukum acapkali tidaklah muda. Tetapi paling sulit ialah menapik hukum yang tidak benar yang tidak adil, yang sewenang-wenang”. Manusia sebagai hamba Tuhan juga sebagai mahluk yang sama derajatnya dengan manusia lain, harus ditempatkan pada keluhuruan harkat dan martabatnya sebagai mahiuk 78
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Tuhan. Setiap manusia yang jahal sekalipun mempunyai hali dan perasaan baik, dan ini merupakan anugerah yang besar sekali bagi manusia. Bagi bangsa Indonesia hal ini merupakan perjanjian luhur sebagaimana dicantumkan dalam dasar negara Pancasila kedua yakni “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Di atas landasan persamaan derajat, hak dan kewajiban itulah diperlukan adanya pembinaan sikap aparat penegak hukum agar bersikap manusiawi dalam memperlakukan tersangka/ terdakwa meskipun yang dihadapi oleh aparat penegak hukum itu seorang tersangka, namun mereka sebagai manusia yang meiniliki harkat kemanusiaan, tidak boleh diperlakukan dengan sikap dan cara semena-mena. Hak-hak asasi adalah hak-hak yang diakui sebagai hakhak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodratnya. Tiadanya hak sertamerta akan menyebabkan manusia tak akan mungkin dapat dalam harkat martabatnya sebagai manusia. Salah satu hak yang dipandang sangat asasi adalah hak untuk berkebebasan. Tanpa akan kebebasan manusia tidak akan dapat mengembangkan potensi dirinya secara wajar sebagai manusia dalam kualitasnya yang utuh. Apabila bertolak dan tingkat kriminalitas saat ini yang tergambar dalam “crime index” terlihal bahwa pencurian dengan kekerasan, pencurian dengan pemberatan, pencurian kendaraan bermotor masih menempati tingkat teratas di Indonesia. Sementara itu masih banyak jenis kejahatan lain terutama yang bersifat “white collar crime” belum mendapat perhatian yang serius, statistic criminal , hanya menggambarkan kejahatan dan kelompok lemah (khususnya ekonomi lemah) dalam masyarakat. Dalam kesadaran seperti itu, maka sistem peradilan pidana harus lebih toleran kepada pelaku-pelaku kejahatan yang masuk dalam sistem ini. Sikap toleran ini didasarkan pada kenyataan serta pemahaman bahwa kejahatan-kejahatan yang Iebih serius, Iebih besar, tidak dapat terjaring oleh sistem ini, iniisalnya “illegal corporate behavior” maupun “white collar clime”. Bila aparat penegak hukum menyadari dan menjiwai ini, M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
79
setidaknya mereka akan bersikap Iebih selektif, mengayomi dalam menghadapi sebagain besar pelaku tindak pidana. Tindakan emosional, berorientasi pada target semata, ataupun untuk mendapatkan tujuan-tujuan non hukum serta tidak manusiawi dapat ditekan seminimal mungkin. Titik sentral dalam memeriksa dan menyelesaikan suatu kasus pidana adalah pemahaman atas manusia dan kemanusiaan. Walaupun tindakan penegakan hukum untuk mempertahankan dan memperlindungi kepentingan masyarakat, penegakan hukum tidak boleh sampai mengorbankan hak asasi dan martabat tersangka. Atau juga sebaliknya demi untuk memperlindungi dan menjunjung harkat dan martabat individu tidak boleh dikorbankan kepentingan masyarakat. Harus mampu meletakkan antara kedua kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum tersebut sama-sama tidak boleh dikorbankan. Menurut Marc Ancel (Muladi, 1992:55), di samping pendekatan rasional, kejahatan harus didekati dengan pende katan humanistis karena kejahatan juga merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial. Pendekatan humanistis dalam proses peradilan pidana tidak hanya berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu pemidanaan termasuk dalam hal ini proses pemidanaan itu selayaknya berfungsi sebagai proses pembinaan, yakni pembangkitan kesadaran si pelanggar akan nilai kemanusiaan dan nilal pergaulan hidup kemasyarakatan yang baik. Dengan perkataan lain KUHAP merupakan prosedur untuk meningkatkan dan melindungi hak asasi manusia khususnya hak untuk diadili menurut proses hukum yang adil. Hal ini perlu dipahaini dan ditafsirkan secara konkrit dalam proses peradilan pidana oleh para aparat penegak hukum terutama dalam melakukan upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan. 80
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Tetapi dalam batang tubuh KUHAP itu sendiri tidak ada pasalpasal yang menyinggung tentang proses hukum yang adil, HAM, pembinaan tersangka atau terdakwa maupun terpidana. Untuk itu harus dilihat sikap batin atau jiwa dan KUHAP itu sendiri sebagaimana ditegaskan dalam asas-asas penegakan hukum dalam penjelasan umum KUHAP. Pelaksanaan proses hukum yang adil di Indonesia berarti melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang undangan hukum acara pidana yang dijiwai oleh asas-asas yang melandasinya sebagaimana di tentukan dalam penjelasan umum KUHAP. Dengan prinsip proses hukum yang adil di harapkan dapat dibangun keseimbangan antara penegak hukum yang efektif dan efisien, dengan upaya perlindungan HAM sesuai dengan harkat martabatnya. Keseimbangan ini dapat menjadi benteng pertahanan yang kuat untuk melindungi hak-hak masyarakat dalam rangka mengembangkan potensi sosial dan ekonomi mereka. Selanjutnya setiap tindakan upaya paksa penahanan tidak hanya sekedar pelaksanaan rutinitas berlaku melainkan sebagai pengayoman terhadap warga negara yang berarti harus mengandung prinsip-prinsip pendidikan dan pembinaan. Dalam konteks kebijakan kriminal tindakan yang sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh UndangUndang membawa konsekuensi tidak terpenuhinya tujuan pemidanaan. Hal itu berarti tidak tercapainya salah satu tujuan nasional sebab tujuan pemidanaan merupakan bagian dan tujuan sosial Iebih luas. Terdapat sepuluh asas yang melindungi hak warga negara dan diberlakukannya proses hukum yang adil dalam KUHAP yaitu: 1) Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun . 2) Praduga tak bersalah . 3) Pelanggaran atas hak-hak individu warga negara (dalam hal penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
81
harus didasarkan pada Undang-Undang dan dilakukan dengan surat perintah. 4) Seorang tersangka berhak diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya. 5) Seseorang tersangka dan terdakwa berhak mendapat penasehat hukum. 6) Seorang terdakwa berhak hadir di muka pengadilan. 7) Adanya peradilan yang bebas dan dilakukan cepat serta sederhana . 8) Peradilan harus terbuka untuk umum. 9) Tersangka maupun terdakwa berhak memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi serta . 10) Adalah kewajiban pengadilan pelaksanaan putusan-putusannya.
untuk
mengendalikan
Menurut Mardjono Reksodiputro (1994:42) bahwa kesepuluh asas tersebut telah dapat memenuhi asas minimal yang dituntut oleh “due process of law”, yaitu hearing, cousel, defense, evidence and a fair and impartial court. Prinsip proses hukum yang adil tidak hanya sekedar untuk melindungi sebagai suatu keadaan yang hendak diwujudkan dalam pelaksanaan hukum pidana, untuk menciptakan kondisi lingkungan sosial yang kondusif dalam pencapaian tujuan pemidanaan. Ketiadaan konsistensi antara isi Undang-Undang dengan kenyataan merupakan faktor kriininogen. Sehubungan dengan hal ini Sahetapy (1 984:12) menulis bahwa salah satu faktor timbulnya kejahatan adalah pelaksanaan Undang-Undang yang tidak konsekuen dan sikap atau tindak tanduk dan para penegak hukum. Ini berarti kenyataan sosial yang dihadapi para tersangka atau terdakwa di mana terjadi diskrepansi yang besar antara yang seharusnya dengan yang dialaminya dalam proses peradilan pidana, dapat menjadi faktor kriininogen. Penerapan prinsip proses hukum yang adil adalah suatu 82
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
kebutuhan dan bukan sekedar penerapan aturan-aturan hukum acara pidana kepada tersangka atau terdakwa. Arti dan “due process of law’ adalah Iebih luas dan sekedar penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal. Pemahaman tentang proses hukum yang adil mengandung pula sikap batin penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat, meskipun Ia menjadi pelaku kejahatan. Bila sikap batin ini telah mengejawantah dalam proses peradilan pidana sehari-hari, maka proses pembinaan tersangka pelaku tindak pidana telah berlangsung sejak dini. Hal itu berarti proses peradilan pidana sejak pemeriksaan pendahuluan merupakan proses terapeutik bagi pembinaan diri pribadi tersangka.
D. PERLINDUNGAN TERHADAP HAK YURIDIS TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA Gerakan atau aktivitas aparat penegak hukum dapat dimulai karena adanya bahan masukan perkara yang berupa laporan, pengaduan, atau pun karena sebab-sebab yang lain seperti hasil pengamatan atau pengetahuan aparat sendiri melalui proses penyelidikan dan lain sebagainya. Untuk menyelesaikan perkara pidana yang masuk ke dalam sistem peradilan pidana diperlukan waktu yang lamanya (cepat atau lambatnya) sangat relative sehingga tidak bisa ditentukan secara pasti. Sebagaimana dikemukakan Frank dan Gallati (Mardjono Reksodiputro, 1993 : 29), bahwa waktu kejahatan dilakukan sampai pelakunya dapat diidentifikasi, mungkin terdapat jarak waktu dan hitungan detik hingga tahunan, demikian juga dalam berbagai bentuk tindakan proses yang lain Misalnya seperti penangkapan, penahanan, persidangan dan lain sebagainya. Dengan kata lain, cepat atau lambatnya proses peradilan dipengaruhi oleh berbagai sebab seperti jenis pelanggaran hukum pidana yang terjadi, serta situasi, dan kondisi lainnya yang mengelilinginya.
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
83
Dalam proses pemeriksaan pada tahap pendahuluan saja, khususnya di tingkat penyidikan, seringkali ditemui keadaan atau situasi dan yang paling ringan hingga yang paling berat, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi cepat lambatnya penyelesaian/ perkara sebagaimana yang dapat diilustrasikan berikut ini. Isu sentral masalah penegakan hukum pidana di Indonesia sejak zaman penjajahan, baik semasa berlakunya IR hingga HIR hingga masa sesudah kemerdekaan yang masih memberlakukan HIR sebagai peraturan hukum acara pidana adalah kurang baiknya hukum acara pidana mengatur pemberian jaminan perlindungan terhadap harkat dan martabat umat manusia terutama bagi mereka yang terlibat sebagai pihak tersangka atau terdakwa. Dengan kata lain hukum acara pidana terlalu berorientasi kepada pemberian kewenangan aparat penegak hukum sehingga mengesampingkan perlunya perlindungan hukum terhadap pihak tersangka dan terdakwa. Munculnya KUHAP sebagai hukum acara pidana untuk menggantikan HIR dilatarbelakangi oleh isu sentral mengenai wawasan perlindungan HAM untuk mengimbangi kewenangan besar yang dimiliki oleh aparat penegak hukum. Mengingat masalah perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia bersifat universal, karena itu sudah sewajarnya bilamana dinyatakan bahwa deklarasi-deklarasi atau konvensi-konvensi internasional seperti Universal declaration of Human Rights yang diterima dan disahkan oleh Sidang Umum PBB 10 Desember 1948, serta The International Covenant on Civil and Political Rights beserta Optional Protocolnya yang diterima dan disahkan pada Sidang Umum PBB 16 Desember 1966 dapat digunakan untuk mengukur nilai muatan jaminan hak asasi manusia yang terdapat dalam hukum acara pidana di Indonesia. Pembahasan mengenai suatu pengaturan hukum acara pidana yang mencrerininkan wawasan tentang HAM setidaktidaknya meliputi beberapa aspek jaminan mengenai hak yuridis tersangka dan terdakwa beserta asas-asas pokok yang mendasari 84
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
pelaksanaan dan jaminan atas hak yuridis tersebut. Hal itu secara terperinci dikemukakan sebagai berikut: Jaminan Hak Yuridis tersangka dan Terdakwa meliputi: (1) Adanya jaminan dalam penangkapan dan penahanan; (2) Adanya perlindungan terhadap pengakuan yang dipaksa; (3) Adanya hak untuk mendapatkan bantuan hukum; (4) Adanya hak untuk segera didengar keterangannya setelah di tangkap; (5) Adanya hak untuk menangguhkan penahanan; (6) Adanya hak untuk mendapatkan keterangan yang Iengkap apabila ada pengaduan atau laporan; (7) Adanya hak untuk disidangkan perkaranya; (8) Adanya hak sesuai dengan Pasal 1 KUHP; (9) Adanya hak untuk mendapatkan suatu peradilan yang cepat dan terbuka; (10)Adanya hak untuk melawan saksi-saksi jaksa/penuntut umum; (11) Adanya hak untuk mengajukan saksi-saksi sendiri; (12) Hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan diri sendiri serta hak untuk berdiam diri (right to remain silent); (13) Hak untuk mendapatkan perlindungan’ diajukannya bukti-bukti yang tidak sah;
terhadap
(14) Hak perlindungan terhadap Pasal 76 KUHP yaitu asas ne bis in idem; (15) Hak untuk melawan penahanan atas dirinya (habeas corpus); (16) Hak perlindungan terhadap pemidanaan yang kejam; Asas-asas Pokoknya adalah: (1) Persamaan di muka hukum (equality before the law); (2) Praduga tak bersalah (presumption of innocence); (3) Keterbukaan peradilan dalam setiap tingkatan (open-baarheid)
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
85
dan (4) Peradilan yang adil dan tidak memihak (just and fair trial). Beberapa perubahan penting yang terdapat dalam KUHAP dalam rangka penyelarasan tujuan KUHAP untuk Iebih memperhatikan perlindungan hak Si manusia yang pada masa berlakunya HIR. belum mendapatkan porsi pengaturan adalah: (1) Hak-hak tersangka dan terdakwa; (2) Bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan; (3) Ketentuan yang ketat mengenai dasar hukum dan prosedur upaya paksa yang ketat; 4) Ganti kerugian dan rehabilitasi; (5) Penggabungan perkara perdata pada perkara pidana untuk memeriksa gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh korban; (6) Pengaturan mengenai masalah upaya (7) Pemeriksaan koneksitas; (8) Pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan Hakim pengadilan; dan (9) Praperadilan. Semua hal mengenai jaminan yuridis terhadap hak-hak tersangka beserta dengan asas-asas pokok untuk mencapai tujuan hukum acara pidana yang berwawasan HAM sebagaimana yang telah dipaparkan tersebut merupakan gambaran dan suatu istilah yang dikenal sebagai due process of law atau dapat diterjemahkan sebagai proses hukum I peradilan yang adil, sebagai lawan dan istilah arbitrary process atau proses peradilan yang sewenangwenang. Indikator adanya peradilan pidana yang adil adalah : notice, hearing, counsel, defence, evidence, and fair and impartial court (Pemberitahuan tertulis, mendengar tersangka, penasehat hukum, pembelaan, pembuktian, dan pengadilan yang adil dan tidak memihak). Meskipun secara normatif hak-hak asasi manusia khususnya 86
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
bagi tersangka dan terdakwa telah diatur sedemikian rupa sehingga memperoleh kedudukan yang cukup baik, namun untuk menguji apakah pengaturan mengenai masalah itu sudah cukup memadai untuk dapat melindungi sepenuhnya dan kemungkinan tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum pidana yang melanggar hak-hak yuridis tersangka dan terdakwa, berikut ini akan dikaji beberapa hal penting untuk menjawab masalah tersebut. a. Masalah Pemeriksaan Tersangka oleh Penyidik Proses pemeriksaan pendahuluan oleh penyidik menurut ketentuan KUHAP bertujuan untuk mengumpulkan pembuktian agar memperjelas tentang perbuatan pidana yang terjadi serta untuk menemukan tersangkanya. Dengan demikian secara ringkas dapat dikatakan bahwa tugas utama penyidikan sebenarnya terkonsentrasi untuk mengumpulkan bahan pembuktian dan menemukan tersangka. Menurut Pasal 184 (1) KUHAP alat bukti yang diakui sah hanyalah terdiri dan lima macam alat bukti yaitu: (1 keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat, (4) petunjuk, dan (5) keterangan terdakwa. Menurut O’Hara (Bawengan, 1989 : 21) untuk memahami pengertian dan sifat dan penyidikan dianjurkan untuk selalu mengingat metode yang dinamakan sebagai “tiga i”, yaitu: informasi, interogasi, dan instrumentasi. Istilah interrogation atau interogasi menurut O’Hara (Bawengan, 1989 : 23) adalah termasuk salah satu metode untuk mendapatkan informasi berupa keterangan dan orang lain melalui metode tanya jawab. Meskipun dalam beberapa hal mempunyai persamaan dengan metode wawancara, namun interogasi sangat berbeda dengan wawancara. Tugas penyidikan yang berkaitan dengan pemeriksaan terhadap tersangka sangat potensial menimbulkan pelanggaran atas hak asasi tersangka. Hal ini bukan saja karena penyidik mempunyai kewenangan untuk melakukan upaya paksa, M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
87
namun juga dapat dikarenakan adanya kebutuhan bagi penyidik untuk mendapatkan keterangan, khususnya berupa pengakuan bersalah dari pihak tersangka dan juga keterangan lain yang bersifat untuk lebih membuka tabir atas perbuatan pidana yang terjadi, dan yang dianggap paling mengerti atas masalah ini adalah tersangka. Banyak variasi mengenai kemungkinan bentuk atau jenis penyalahgunaan kewenangan penyidik yang dapat melanggar hak asasi tersangka, namun dalam bagian ini hanya akan dilihat yang berkaitan dengan masalah penyiksaan untuk memperoleh keterangan berupa pengakuan bersalah dan tersangka secara paksa. Sedang bentuk pelanggaran yang lainnya akan dibahas tersendiri dalam bagian yang lain. Mengingat belum adanya suatu definisi mengenai istilah operasional untuk memberi pengertian mengenai istilah penyiksaan dalam konteks proses peradilan pidana, oleh karena itu penulis mengambil pengertian mengenai istilah penyiksaan (torture) dan Pasal 1 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), yaitu suatu konvensi penting dalam bidang hak asasi manusia yang telah disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1984. Yang dimaksud dengan istilah penyiksaan atau torture adalah: Segala tindakan yang menimbulkan rasa sakit yang parah atau penderitaan baik fisik atau mental, secara terus menerus pada seseorang untuk tujuan-tujuan seperti memperoleh pengakuan atau informasi dan orang tersebut atau orang ketiga, menghukum orang tersebut atas tindakan yang telah dilakukan orang itu atau orang ketiga, atau mengintimidasi atau memasak orang tersebut atau orang ketiga, atau berdasarkan alasan apapun yang dilandasi segala macam diskriminasi, bila rasa sakit atau penderitaan itu dibebankan oleh atau atas dorongan atau dengan ijin atau persetujuan pejabat negara atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resini. Hal tersebut tidak termasuk rasa sakit 88
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
atau penderitaan yang hanya timbul dan, melekat pada, atau timbul secara kebetulan pada sanksi-sanksi hukum (diterjemahkan oleh Elsam, Jakarta, 1984). KUHAP tidak mengharuskan adanya keterangan yang berupa pengakuan terdakwa yang mengakui telah melakukan perbuatan pidana yang dituduhkan kepadanya, hal itu bisa dilihat dan ketentuan Pasal 189 (4) yang menyatakan bahwa keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk embuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Menurut Pasal 189 (2) KUHAP keterangan tersangka yang dikemukakan diluar persidangan tidak dapat dipakai sebagai alat bukti, namun hanya dapat dipakai untuk membantu menemukan bukti di persidangan asalkan didukung dengan bukti lain yang sah. Memberikan keterangan di persidangan yang berbeda atau bahkan bertentangan sama sekali dengan keterangan dalam berita acara penyidikan ditakuti oleh banyak terdakwa mengingat mereka seringkali melihat kenyataan bahwa cara seperti itu sering dipakai seperti dalih bahwa terdakwa telah mempersulit persidangan dengan cara memberikan keterangan yang berbelit-belit, yang pada akhirnya akan dipakai sebagai alasan yang memperberat hukuman. Sedang bagi saksi yang enggan atau takut memberi keterangan di persidangan yang berbeda dengan berita acara atau penyidikan terletak pada kekhawatiran mereka dapat dituduh sebagai pelanggar hukum pidana karena membebani keterangan palsu kepada pejabat negara atau penyidik, atau bahkan dituduh melakukan sumpah palsu di pengadilan. Meskipun kekhawatiran tersebut secara yuridis tidak beralasan, namun demikianlah kenyataan yang terjadi. Dan hal ini diakui oleh para penasehat hukum yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, (Wawancara, Tanggal 25 April 2010) di Pusat Konsultan dan Bantuan Hukum (PKBH) UMI Makassar, (Diskusi Tanggal 30 April 2010) mereka M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
89
dikonfirmasi mengenai masalah tersebut. Kenyataan seperti itu pada akhirnya justru akan merugikan pembelaan terdakwa, dan pada sisi yang lain menjadi keadaan yang menguntungkan bagi pihak penuntut umum. Kasus peradilan “sesat” yang sangat terkenal di Indonesia antara lain adalah kasus Lingah-Pacah di Pengadilan Negeri Ketapang, ternyata inirip dengan kasus Sengkon-Karta di Pengadilan Negeri Bekasi. Kesesatan terjadi akibat Hakim terlalu mempercayai BAP dan penyidik yang ternyata dikemudian han terungkap dibuat berdasarkan suatu penyiksaan. (Pamungkas, 2010 : 4) . Dengan adanya kenyataan seperti tersebut di atas, praktek pemeriksaan terhadap tersangka seringkali diwarnai dengan tindakan-. tindakan berupa kekerasan dan intimidasi terhadap tersangka agar penyidik memperoleh pengakuan. Para tersangka yang mengalami hal itu akan sulit untuk mencabut keterangan dalam BAP apabila Hakim tidak secara seksama memperhatikan keluhan tersangka. Dari kasus Lingah-pacah tersebut sebenarnya Hakim tidak perlu terpaku pada BAP penyidikan, jika terdakwa atau saksi memberikan keterangan yang berbeda di persidangan, menurut Pasal 185 (1) dan 189 (1) KUHAP yang harus dipakai adalah keterangan di persidangan. Ketentuan tersebut sebenarnya memang harus menjadi pedoman karena model pemeriksaan di pengadilan secara obyektif bersifat lebih terbuka untuk dibandingkan dengan pemeriksaan penyidikan, dan hal itu sejalan dengan hak tersangka atau terdakwa untuk memberikan keterangan bebas agar hasil pemeriksaan mereka tidak bisa. Untuk menghindari pemaksaan untuk memperoleh keterangan khususnya yang berupa pengakuan tersebut, sebenarnya sudah disediakan salah satu sarana pencegahannya berupa hak bagi tersangka dan terdakwa baik di tingkat penyidikan atau di pengadilan untuk memberikan keterangan bebas (Pasal 52). Apabila dicermati kembali ketentuan Pasal 52 KUHAP 90
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
ternyata KUHAP tidak secara eksplisit membolehkan tersangka untuk tidak membantu proses peradilan dengan cara berdiam diri atau menolak untuk tidak berbicara atau menjawab pertanyaan yang diajukan penyidik atau Hakim, yang secara eksplisit disebutkan adalah ia mempunyai hak untuk memberikan keterangan bebas. Menurut Lamintang (1984 : 197) hak tersangka dan terdakwa sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 52 tersebut merupakan suatu asas penting yang disebut sebagai beginsel van fair play in het process atau asas kewajaran dalam proses peradilan. Asas ini wajib diketahui oleh setiap penegak hukum agar mereka betulbetul memahami bahwa: a. Tersangka atau terdakwa itu tidak boleh diperlakukan semata-mata sebagai obyek dan pemeriksaan, yang tidak berhak untuk berbuat lain kecuali menjawab pertanyaanpertanyaan yang disampaikan kepadanya atau; b. harus mengetahui apa yang disangkakan atau didakwakan kepadanya. b. Tidak ada kewajiban dan tersangka atau terdakwa untuk mengakui apa yang disangkakan atau didakwakan kepadanya di semua singkatan pemeriksaan; c. Tidak boleh dipergunakan segala bentuk pemaksaan untuk memperoeh pengakuan atau keterangan tersangka atau terdakwa, baik secara fisik maupun psikis. d. Tersangka atau terdakwa boleh tidak menjawab pertanyaanpertanyaan dari Hakim, dan perilaku yang demikian tidak boleh membuat pidana yang dijatuhkan bagi terdakwa menjadi diperberat. Menurut keterangan dari pihak penyidik yang dijadikan sebagai responden yang diwawancarai, mereka mengemukakan bahwa praktek kekerasan yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka bukan hanya dilakukan untuk sekedar mempercepat dan mempermudah pekerjaan penyidik namun justru seringkali terjadi karena pihak penuntut umum sendiri meminta adanya keterangan tersangka yang berupa pengakuan tertulls secara
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
91
eksplisit dalam berita acara pemeriksaan terhadap tersangka. Dalam Iingkungan Kepolisian sendiri meskipun terdapat larangan untuk melakukan tindakan kekerasan dan intimidasi terhadap tersangka, namun praktek ini masih ditoleransi secara diam-diam oleh atasan penyidik, dalam arti bukan menjadi kebijakan resini, sepanjang tidak sampai menimbulkan luka parah apalagi hingga cacat dan bahkan meninggal dunia. Tidak banyak data mengenai bagaimana praktek penyiksaan terhadap tersangka yang dapat diungkapkan melalui wawancara dengan para tersangka, apalagi dan tersangka yang sedang ditahan. Kesulitan untuk mengungkapkan data tersebut karena para tersangka enggan atau takut untuk menceritakan secara detil bagaimana penyiksaan itu dilakukan, namun mereka pada umumnya mengakui juga bahwa penyiksaan itu ada, dan yang ringan sampai yang berat. Meskipun KUHAP telah memberikan nilai dasar perlindungan HAM bagi tersangka dan terdakwa dengan mewajibkan kepada aparat penegak hukum selalu menjunjung tinggi hak serta martabat kemanusiaan namun hal itu ternyata tidak efektif jika dilihat dan segi praktek pemeriksaan pendahuluan. Ketidakefektifan perlindungan tersangka atau terdakwa dan perbuatan penyiksaan yang dilakukan aparat penyidik besar kemungkinannya disebabkan oleh tidak adanya pengaturan mengenai akibat hukum jika hal itu dilanggar. Apabila pelanggaran berupa penyiksaan dapat menimbulkan konsekuensi tidak dapat diterimanya semua hash penyidikan termasuk bahan-bahan atau alat bukti yang diperoleh, tentunya akan mencegah penyidik melakukan penyiksaan terhadap tersangka mengingat beratnya akibat hukum yang akan timbul. Dengan mengingat hal itu tentu saja harapannya tergantung dan sikap Hakim memberikan penilaian mengenai masalah itu. Namun sangat disayangkan bahwa menurut Hakim yang diwawancarai, tanggal 15 April 2010 menyatakan seorang Hakim 92
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
sering bersifat tidak mau tahu mengenai hal itu, dan kalaupun dipersoalkan Hakim selalu meminta pembuktian adanya penyiksaan yang sangat sulit dilakukan. Kenyataan demikian pernah juga dialami penulis ketika bertindak selaku ketua tim penasehat Hukum Born Sampaddo di Kota Palopo. Lima dan tujuh orang tersangka / terdakwa yang diajukan ke persidangan telah membantah semua keterangannya yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), karena menurut mereka ketika mereka dimintai keterangannya di bawah tekanan yang bersifat fisik. Hal ini seharusnya tak perlu terjadi andaikata penyidikan terhadap tersangka tindak pidana teroris didampingi oleh penasehat hukumnya sehingga pemeriksaan dapat berlangsung secara fair. Bukan hanya kasus Born Sampaddo di kota Palopo yang penulis alami, kasus kasus Born di Makassar yang dikenal dengan tragedi Mc. Donald, juga pemeriksaannya di tingkat penyidikan tidak bisa didampingi oleh penasehat hukumnya, kecuali dalam proses persidangan. Edi Sartono (ES) yang pada waktu itu (12 November 2003) masih berstatus sebagai pelajar SMP dan usianya juga belum genap 16 tahun bersama dengan teman tetangganya bernama Fajar Bawono (FB) telah ditangkap dan ditahan oleh kepolisian sektor Kasihan Bantul dan Potres Bantul dengan tuduhan melakukan perkosaan terhadap gadis di bawah umur yang berusia 13 tahun. (Nova, 5 Mei 2003). Berdasarkan hasil putusan dan Pengadilan Negeri Bantul kedua tersangka terdakwa tersebut akhirnya diputus bebas murni karena dakwaannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Meskipun dalam persidangan terdakwa mengungkapkan adanya penyiksaan yang dialami pada waktu penyidikan namun kasus ini tidak diputuskan berdasarkan hal itu karena tidak adanya pernbuktian mengenaih al penyiksaan. Jadi putusan bebas murni tersebut karena dakwaan memang tidak terbukti secara sah dan keyakinkan.
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
93
b. Masalah Upaya Paksa yang Melawan Hukum Upaya paksa adalah bentuk tindakan yang dapat dipaksakan oleh aparat penegak hukum pidana terhadap kemerdekaan dan kebebasan seseorang untuk bergerak maupun untuk meiniliki dan menguasai sesuatu barang, ataupun terhadap kemerdekaan pribadinya untuk tidak mendapat gangguan terhadap siapa pun. Tindakan berupa upaya paksa tersebut diperlukan untuk memperlancar proses pemeriksaan ataupun untuk mengumpulkan bahan pembuktian. Dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia berdasarkan batasan pengertian tersebut yang dimaksud dengan upaya paksa adalah berupa tindakan untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan badan ataupun rumah, dan penyitaan, serta pemeriksaan surat (Pasal 16-49 KU HAP). Pada bagian awal telah dikemukakan mengenai berbagai macam asas pokok yang termuat dalam KUHAP yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas hak-hak yuridis tersangka dan terdakwa. Salah satu di antara ketentuan untuk melindungi hak-hak yuridis tersangka dan terdakwa adalah bahwa segala macam bentuk upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pidana meskipun dengan maksud untuk memperlancar pemeriksaan dan mengumpulkan bahan pembuktian harus didasarkan pada suatu perintah dan atau ijin tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang diberikan kewenangan menurut ketentuan perundang-undangan (KUHAP). Jaminan terhadap hak yuridis tersangka dan terdakwa yang berkaitan dengan upaya paksa sangat penting untuk diperhalikan mengingat bahwa tindakan upaya paksa bagaimana termasuk sebagai bentuk gangguan terhadap hak asasi manusia yang sangat prinsip yang diakui tidak saja oleh bangsa Indonesia, namun juga oleh masyarakat Internasional sebagaimana yang dapat dibaca dan Deklarasi Universal mengenai Hak Asasi Manusia yang telah disahkan PBB. Bagaimanakah KUHAP mengatur masalah upaya paksa 94
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
dalam perspektif perlindungan terhadap hak yuridis tersangka dan terdakwa berikut ini dipaparkan kajian mengenai masalah tersebut. a. Penggeledahan dan Penyitaan Penggeledahan dan penyitaan sebenarnya merupakan bentuk gangguan serius terhadap hak-hak seseorang untuk meiniliki kebebasan dan hak inilik pribadi. Setiap orang mempunyai hak untuk tidak dapat dipaksa secara sewenang-wenang atas segala tindakan yang dilakukan orang lain yang dapat mengganggu kebebasan dan terdapat jaminan yuridis untuk melindungi hak-hak tersebut. (Pasal 12 dan 17(1 —27) UDHR). Pengaturan tersebut pada dasarnya merupakan bentuk kompromi dalam rangka pemenuhan kepentingan secara proporsional antara pihak penyidik dengan pihak masyarakat khususnya tersangka. Penggeledahan dan juga penyitaan hanya dapat dilakukan untuk kepentingan penyelidikan. Pada dasarnya yang dapat melakukan penyitaan hanyalah penyidik, namun apabila diperlukan atas perintah tertulis dan penyidik petugas kepolisian dapat memasuki rumah. (Pasal 32, 33, (2) dan 38 KUHAP). Untuk dapat melakukan penggeledahan rumah dan melakukan penyitaan, penyidik harus mendapatkan ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, hanya dalam hal yang sangat perlu dan mendesak hal itu dapat dilakukan tanpa ijin ketua Pengadilan Negeri terlebih dahulu, khusus untuk penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat mendesak dan perlu sehingga tidak mungkin didahului dengan ijin dari Ketua Pengadilan Negeri terlebih dahulu, penyitaan tetap dapat dilakukan namun hanya terbatas pada benda bergerak, dan sesudah itu penyidik wajib segera meminta persetujuan penyitaan kepada ketua Pengadilan Negeri. (Pasal 33 (1), (2), dan 38 (1), (2) KUHAP. lstilah dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
95
adalah bilamana di tempat yang akan digeledah diduga keras terdapat tersangka atau terdakwa yang patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang akan disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahtangankan sedangkan surat ijin dari ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dalam waktu yang singkat. (Penjelasan pasal 34 (1) KUHAP). Sebelum melakukan penggeledahan rumah, tentunya didahului dengan tindakan memasuki rumah, dalam hal ini penyidik terlebih dahulu harus menunjukkan tanda pengenal atau identitas (Pasal 125 KUHAP). Dalam hal tersangka atau penghuni rumah setuju, penyidik harus ditemani dua orang saksi yang berasal dari warga lingkungan setempat, namun apabila tersangka tidak menyetujui atau Ia tidak hadir penggeledahan harus disaksikan oleh kepala desa atau kepala lingkungan setempat dan ditambah dengan dua orang saksi. Semua tindakan penyidik baik dalam rangka penggeledahan dan penyitaan harus dibuatkan berita acara selambat-lambatnya dua hari setelah tindakan tersebut, dan peinilik atau penghuni rumah tersebut harus diberi turunan dan berita acara tersebut. (Pasal 33 (5), 125, dan 129 KUHAP). Larangan yang harus ditaati penyidik tercantum dalam Pasal 35 KUHAP yaitu bahwa kecuali dalam keadaan tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki ruang sidang di mana sedang berlangsung ibadah dan upacara keagamaan. Ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan. Bentuk pelanggaran prosedur penggeledahan dan penyitaan yang paling banyak ditemui adalah: a. Sebagain besar penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan tanpa terlebih dahulu mendapatkan ijin dari ketua Pengadilan Negeri. Hampir semua penyitaan dilakukan terlebih dahulu surat perintah penyidik, dan ijin ketua Pengadilan Negeri menyusul kemudian. Namun demikian dalam berita acara tidak satupun alasan yang dicantumkan bahwa penggeledahan dan penyitaan tersebut dilakukan dalam keadaan memaksa 96
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
dan sangat diperlukan. b. KUHAP mewajibkan bagi penyidik untuk menyampaikan turunan atau tembusan berita acara penggeledahan rumah dan penyitaan kepada pihak peinilik rumah, atau dalam hal penyitaan juga disampaikan kepada orang dari mana benda itu disita dan kepada kepala desanya, namun penelitian menunjukkan bahwa hal itu tidak ada yang pernah dilakukan oleh penyidik. c. Persyaratan untuk adanya dua orang saksi dari lingkungan dalam hal tersangka menyetujui, atau harus adanya dua orang saksi dan dua orang ketua lingkungan setempat jika tersangka tidak menyetujui atau tidak hadir ternyata juga belum sepenuhnya ditaati penyidik. Meskipun selalu ada saksi namun saksinya tidak seperti yang diininta oleh KUHAP, karena kebanyakan saksi yang ikut menandatangani berita acara adalah saksi yang nota bene adalah anggota kepolisian itu sendiri. Data tersebut menunjukkan bahwa proses penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan penyidik ternyata masih belum sepenuhya mengikuti ketentuan KUHAP, meskipun sebenarnya KUHAP telah mengatur secara detail masalah tersebut. Terjadinya pelanggaran ketentuan KUHAP mengenai penggeledahan dan penyitaan tersebut kemungkinan besar disebabkan karena KUHAP tidak mengatur mengenai akibat hukum jika terjadi pelanggaran hukum atas prosedur tersebut kecuali yang diatur dalam ketentuan mengenai peradilan. Wewenang praperadilan yang berkaitan dengan penggeledahan dan penyitaan serta kemungkinan sah tidaknya penggeledahan dan penyitaan serta kemungkinan pemberian ganti rugi dalam hal tindakan tersebut menimbulkan kerugian. Dilihat dari ruang lingkup dan wewenang peradilan tersebut tidak memungkinkan Hakim peradilan untuk memutuskan akibat hukum yang lain berkaitan dengan penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah. Dalam perspektif proses peradilan pidana yang
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
97
adil terdapat larangan atau sanksi terhadap penyalahgunaan barang bukti yang diperoleh secara tidak sah dan melawan hukum (sanction or illegally obtained evidence). Jika hal itu terjadi, terdakwa mempunyai hak untuk melawan dan menolak bukti tersebut sehingga bukti tersebut dapat dikesampingkan. Namun sangat disayangkan bahwa KUHAP tidak menempatkan adanya larangan pemakaian barang bukti yang diperoleh secara tidak sah dan melawan hukum, meskipun sah tidaknya proses penggeledahan dan penyitaan barang dalam rangka mengumpulkan pembuktian dapat dinilai oleh Hakim praperadilan, namun apapun hasil putusan praperadilan itu tidak dapat mempengaruhi pemeriksaan terhadap pokok perkara yang menyangkut terdakwa. Dengan kata lain apabila barang bukti tersebut diperoleh secara tidak sah dan melawan hukum, hal itu tetap dapat dipergunakan sebagai barang bukti (pandangan beberapa advokat yang bergabung dalam Peradi Makassar, tanggal 20 April 2010). b. Penangkapan dan Penahanan Sesuai dengan Definisinya, penangkapan dan penahanan merupakan bentuk tindakan yang mengganggu keamanan dan hak seseorang untuk merdeka sehingga bebas bergerak dan beraktivitas dalam kehidupannya, dan hal ini merupakan hak yang telah diakui secara universal oleh masyarakat dunia yang beradab, oleh karena itu setiap tindakan yang mengganggu hakhak tersebut harus dilakukan menurut ketentuan perundangundangan yang berlaku agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. KUHAP mengatur secara mendetail persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi para petugas penegak hukum yang akan melakukan penangkapan dan penahanan. a. Prinsip Umum Prosedur Penangkapan Penangkapan hanya dapat dilakukan untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan kejahatan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 98
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Tersangka pelaku pelanggaran tidak boleh dikenakan penangkapan kecuali dalam hal yang bersangkutan telah dipanggil dua kali berturut-turut secara sah namun tidak menghadiri panggilan tersebut tanpa alasan yang sah. Penangkapan hanya dapat dilakukan selama waktu satu hari (1 kali 24 jam), sehingga meskipun pemeriksaan belum selesai apabila waktunya telah mencapai 24 jam tersangka harus dilepaskan demi hukum, meskipun demikian jika memang terdapat alasan untuk kepentingan pemeriksaan lebih lanjut tersangka dapat diberi tindakan penahanan sepanjang persyaratan dapat dipenuhi. Petugas yang melakukan penangkapan mempunyai kewajiban untuk segera menyampaikan tembusan surat perintah penangkapan tersebut kepada keluarga tersangka. b. Prinsip Umum Prosedur Penahanan Hampir sama dengan ketentuan penangkapan, KUHAP mengatur secara cukup ketat masalah yang berkaitan dengan persyaratan dan prosedur penahanan (Lihal Pasal 20 31KUHAP). Penahanan dapat dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan baik di tingkat pemeriksaan penyidikan, penuntutan, maupun untuk keperluan persidangan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah agung. Sama seperti dalam penangkapan, tindakan penahanan hanya dapat dielakkan terhadap tersangka atau terdakwa yang berdasarkan bukti permulaan yang cukup diduga keras telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau Iebih meskipun demikian terdapat pengecualian bahwa terdapat beberapa jenis tindak pidana yang ancaman pidananya kurang dari lima tahun namun dapat juga dilakukan penahanan. Dalam literatur hukum acara pidana di Indonesia syarat ini sering dinamakan sebagai syarat obyektif untuk melakukan penahanan. Selain harus dipenuhinya syarat obyektif, untuk melakukan penahanan harus juga terpenuhi persyaratan M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
99
subyektif sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 21 (1) KUHAP yaitu harus ada kekhawatiran mengenai kemungkinan tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan mengulangi tindak pidana. Prinsip penting Iainnya adalah bahwa penahanan hanya dapat dilakukan jika terdapat alasan untuk kepentingan pemeriksaan sesuai dengan jenjang kewenangan pada setiap tahapan proses dan sekaligus di dalamnya terkandung prinsip pembatasan waktu sesuai dengan jenjang atau tahapan proses tersebut. (Lihal Pasal 20, 24-29 KUHAP). Masa penangkapan dan penahanan yang telah dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa dikurangkan seluruhnya dengan masa penjatuhan pidana yang dikenakan. Cara penghitungannya tergantung dari jenis penahanan yang dikenakan, yaitu apakah penahanan rumah tahanan negara, rumah, atau kota. (Pasal 22 (1-5)KUHAP). Prosedur untuk melaksanakan penahanan sebenarnya hampir sama dengan penangkapan. Untuk melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan Hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan Hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa. (Pasal 21 (2 dan 3) KUHAP) Pihak tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan terhadap penahanan yang ditimpakan kepadanya dan untuk itu dimungkinkan untuk mengalihkan, menangguhkan atau melepaskan tersangka atau terdakwa yang ditahan, baik dengan jaminan berupa orang atau uang, atau bahkan tanpa jaminan sekalipun. Namun demikian keputusan untuk mengabulkan ataupun tidak terhadap keberatan tersebut tidak dilakukan melalui suatu persidangan di pengadilan, namun sepenuhnya tergantung dari pihak 100
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
yang melakukan penahanan. Keabsahan terhadap tindakan penangkapan atau penahanan dapat diajukan oleh tersangka, terdakwa, keluarganya atau melalui penasehat hukumnya melalui proses acara praperadilan. Melalui acara praperadilan itu pula dapat dimintakan permohonan ganti kerugian dan atau rehabilitasi apabila Hakim memutuskan bahwa penangkapan dan penahanan tersebut tidak sah dan melawan hukum. Kalau diperhalikan ketentuan-ketentuan yang menyangkut penangkapan apalagi penahanan, terlihal bahwa kewenangan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum untuk mengganggu hak asasi manusia sangatlah besar. Dilihat dari batas waktu penahanan Misalnya kalau dilihat dari kewenangan yang dimiliki menurut tahapan pemeriksaan nampaknya tidak terlalu lama, namun jika terdakwa mengalami penahanan mulai dari tingkat penyidikan hingga Mahkamah Agung maka secara kumutatif menjadi demikian besar juiniahnya, juiniah hitungannya bisa mencapai Iebih dari satu tahun atau tepatnya 400 hari atau 401 hari jika ditambah dengan masa penangkapan selama satu hari. Pelanggaran terhadap ketentuan yang seharusnya dipenuhi untuk melakukan penangkapan dan penahanan terlihal pada banyaknya aparat penegak hukum yaitu penyidik, dan penuntut umum yang tidak memberikan tembusan surat perintah penangkapan dan penahanan kepada keluarga tersangka dan terdakwa. Pelanggaran Iainnya yang terlihal adalah tidak ditaatinya prinsip pembatasan waktu yang berjenjang sesuai dengan tahapan pemeriksaan apabila melakukan tindak penahanan. Hal ini terlihal dari adanya kenyataan bahwa meskipun perkara tersebut telah beralih dari penyidik kepada penuntut umum, namun jika masa penahanan di tingkat sebelumnya masih belum habis, ternyata penahanannya masih diteruskan tanpa ada penahanan baru sesuai dengan jenjang kewenangan yang ada. Demikian juga halnya terhadap terdakwa yang
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
101
ditahan oleh penuntut umum, ketika perkara tersebut beralih dan penuntut umum kepada Hakim, namun Hakim terus melanjutkan sisa penahanan yang ada, dan juga dari Hakim Pengadilan Negeri ke Hakim banding. Herbert Packer (1968 : 170) menulis secara panjang lebar mengenai masalah yang berkaitan dengan penangkapan dan penahanan dengan suatu perbandingan : cara pandang menurut Crime Control Model (CCM) dan Due Process Model (DPM) Meskipun penelitian yang dilakukannya berdasarkan sistem peradilan pidana di Ameriika Serikat. Namun cara pandang kedua model peinikiran terhadap proses kriminal tersebut masih relevan untuk dipakai sebagai cara menganalisis kecenderungan model proses peradilan kita. Sebagai dasar acuan analisis dalam penulisan ini bukan sistem peradilan yang ada di Amerika Serikat, namun cara pandang aparat penegak hukum dan juga kecenderungan regulasi untuk mengatur masalah penangkapan dan penahanan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Packer dalam CCM dan DPM. Polisi tidak mempunyai alasan untuk menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya dengan cara menangkap dan menahan mereka yang patuh terhadap hukum. Yang tidak bersalah tidak perlu merasa takut. Cukuplah bagi polisi untuk menentukan diskresi atau kebijaksanaan untuk menentukan kapan dan berapa lama seseorang boleh ditahan untuk diusut. Namun jika Undang-Undang menganggap perlu untuk membatasi kebijaksanaan polisi untuk bisa menahan, maka hal itu tetap harus memberi kelonggaran agar dapat mengakomodir semua kemungkinan, atau akan lebih baik lagi jika dibatasi dengan pedoman yang jelas mengenai perilaku seseorang yang secara wajar dapat dicurigai dalam segala keadaan. (Herbert Packer, 1968: 181). Kecenderungan lainnya mengenai sanksi hukum (lebih tepatnya akibat hukum) terhadap penangkapan yang tidak sah adalah diadakannya tort action terhadap polisi 102
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
yang melakukan kesalahan, dan penyediaan sarana untuk menampung dan menyelesaikan keluhan terhadap tindakan polisi oleh suatu dewan sipil, dan terakhir meskipun pengendalian judicial melalui penyingkiran barang bukti yang diperoleh dan penangkapan yang tidak sah sebenarnya dipandang tidak efektif, namun tetap dipandang sebagai sanksi yang menarik dibandingkan sanksi yang lainnya. c. Bantuan Hukum Bantuan hukum merupakan hak yuridis tersangka atau terdakwa yang sangat penting, dengan adanya bantuan hukum seorang tersangka atau terdakwa mempunyai hak untuk mengadakan pembelaan bagi dirinya secara lebih baik selama dalam proses pemeriksaan pendahuluan ataupun pada tingkat pemeriksaan persidangan nantinya. Selain berfungsi untuk membantu pembelaan, bantuan hukum juga berguna sebagai suatu kontrol terhadap perilaku aparat penegak hukum, yaitu apakah perilakunya berdasarkan ketentuan hukum atau tidak. Jika tersangka atau terdakwa tidak didampingi penasehat hukum hal itu akan menciptakan suatu peluang terjadinya perilaku yang menyimpang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Demikian pentingnya masalah bantuan hukum sehingga hal ini juga diatur sebagai salah satu hak dasar umat manusia menurut ketentuan yang terdapat dalam ICCPR Pasal 14 ayat 3 b dan d. Pasal ayat 14 ayat 3 b ICCPR menentukan bahwa seorang tersangka untuk dberi cukup waktu guna mempersiapkan pembelaannya dan menghubungi yang dipilihnya sendiri. Sedang pasal 14 ayat 3 d mengatur bahwa pengadilan memeriksa dengan kehadiran terdakwa, membela diri sendiri secara inperson atau melalui bantuan penasehat hukum yang dipilihnya sendiri, diberitahu tentang hak-haknya ini. Jika ia tidak mampu untuk membayar penasehat hukum Ia dibebaskan dari pembayaran itu. Apa yang tercantum dalam salah satu komponen M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
103
hukum internasional (ICCPE) mengenai bantuan hukum bagi tersangka terdakwa tersebut menunjukkan bahwa hak bantuan hukum memang menjadi kebutuhan bagi siapa saja yang terlibat dalam perkara pidana. Bagaimanakah dengan pengaturan masalah ini dalam sistem peradilan pidana di Indonesia? Ketentuan yang memberikan hak yuridis tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum cukup banyak terdapat dalam KUHAP, hal ini dapat dilihat dan Pasal 54 — 57, dan bahkan masalah bantuan hukum juga diatur tersendiri dalam satu bab yaitu bab VII dan pasal 69 hingga 74. KUHAP membedakan pengaturan bantuan hukum sebagai suatu pihak yang pemanfaatannya tergantung dari pihak tersangka atau terdakwa, dan bantuan hukum yang merupakan suatu hak sekaligus suatu kewajiban (keharusan) atau demi hukum harus ada kepentingan proses peradilan, baik hal itu dikehendaki ataupun tidak oleh tersangka atau terdakwa. Bantuan hukum sebagai suatu hak semata dapat dilihat dari ketentuan Pasal 54 dan 55 KUHAP, bahwa untuk kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau Iebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasat 54). Untuk mendapatkan penasehat hukum tersebut Ia boleh meinilih sendiri (Pasal 55). Bantuan hukum yang tidak semata-mata sebagai suatu hak, namun demi kepentingan peradilan harus ada dapat dilihat dari ketentuan Pasal 56 KUHAP, yaitu dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati, atau diancam pidana penjara lima belas tahun atau lebih, atau bagi mereka yang tidak mampu meskipun hanya diancam Iima tahun pidana penjara atau Iebih namun tidak mempunyal penasehat hukum sendiri, hal itu menimbuIkan suau kewajiban terhadap péjabat yang sendiri, hal itu menimbulkan suatu 104
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
kewajiban terhadap pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka. Dan bagi penasehat hukum yang ditunjuk wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada mereka. Bahkan dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan keHakiman disebutkan bahwa: Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum, dan negara menanggung biaya perkara bagi para pencari keadilan yang tidak mampu. (Pasal 56 ayat 1 dan2) Betapa pentingnya arti bantuan hukum bagi setiap orang yang tersangkut perkara (pidana), maka Instrumen hukum nasional melalui UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan keHakiman tersebut telah menyebutkannya dalam Pasal 57 bahwa: 1. Pada setiap Pengadilan Negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum. 2. Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 3. Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan kekuatan peraturan perundang-undangan. Bagi tersangka atau terdakwa yang dikenakan upaya paksa penahanan diberi hak untuk menghubungi penasehat hukumnya. Agar penasehat hukum dapat memberikan bantuan hukum secara baik tentunya harus mendapatkan keleluasaan atau kebebasan dalam rangka hubungan penasehat hukum dengan kliennya (tersangka atau terdakwa) untuk mempersiapkan pembelaan yang diperlukan. Berbagai ketentuan yang terdapat dalam Bab VII KUHAP ternyata M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
105
telah mengatur hal itu dengan cukup terperinci, yaitu bahwa: (1) Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan . (2) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan; (3) Penasehat hukum dapat menghubungi dan berbicara dengan tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu, tanpa gangguan atau pengawasan dan pejabat, kecuali jika penasehat hukum menyalahgunakan haknya, namun pengurangan kebebasan ini tidak boleh dilakukan jika perkaranya telah dilimpahkan kepada pengadilan untuk disidangkan. Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara pembatasan hak penasehat hukum tersebut dapat dilakukan di semua tingkat pemeriksaan. (4) Pejabat yang bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaan jika hal itu diininta oleh tersangka atau penasehat hukumnya; (5) Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap kali dikehendaki olehnya. Jika diperbandingkan dengan HIR, tentu saja KUHAP lebih baik dalam hal mengatur masalah bantuan hukum, artinya kepentingan bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa cukup mendapatkan perhatian. Namun dalam praktek hal itu tidaklah berjalan seiring. Praktek menunjukkan bahwa KUHAP kurang memperhitungkan kemungkinan kendala yang akan muncul berkaitan dengan masalah bantuan hukum tersebut. Pertama, dalam hal kurang tersedianya secara merata para pekerja bantuan hukum. Dan sejumlah advokat yang terhimpun dalam organisasi Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) di Kota Makassar (Wawancara tanggal 20 April 2009) mengungkapkan bahwa kurangnya pemahaman para saksi, tersangka dan terdakwa 106
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
tentang betapa pentingnya mereka didampingi oleh penasehat hukum, yang seharusnya hal ini dijelaskan lebih awal oleh penyidik, atau oleh Hakim yang menyidangkan perkaranya agar kebenaran materil dapat tertangkap dengan terang. Namun tak dapat dipungkiri, bahwa di tingkat penyidikan kebanyakan penyidik lebih senang bilamana tersangkanya tidak didampingi oleh penasehat hukum, karena mereka kadang berpandangan bahwa keberadaan penasehat hukum hanya akan mempersulit jalannya proses pemeriksaan. Kendala kedua, jika bantuan hukum dapat atau wajib diberikan di setiap waktu dalam setiap tahap pemeriksaan. Hal ini akan menimbulkan kesulitan terutama bagi penyidik jika tersangka ditangkap pada malam hari dan pada waktu itu juga tersangka meminta untuk menghubungi penasehat hukumnya atau meminta pejabat tersebut mencarikan penasehat hukum untuknya. Hal ini dianggap penyidik sebagai suatu beban yang tidak ringan mengingat batas waktu untuk penangkapan menurut KUHAP hanya selama 24 jam, dan bagaimana mungkin dapat mencarikan penasehat hukum pada waktu tengah malam ? oleh karena itu menurut penyidik yang diwawancarai dalam kondisi seperti itu terpaksa diakui bahwa hak atau kewajiban tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh penyidik setidak-tidaknya sampai keesokan harinya, namun tersangka pada malam hari itu juga tetap diinterogasi untuk mengejar batas waktu penangkapan yang diperbolehkan menurut KUHAP. (Wawancara dengan beberapa responden dari penyidik Polrestabes Makassar, 22 April 2010). Berdasarkan data primer dan penelitian ini juga terungkap bahwa di tingkat pemeriksaan pendahuluan dan juga bahkan di tingkat pemeriksaan pengadilan hampir semua tersangka tidak mendapatkan bantuan hukum termasuk dalam hal yang menurut KUHAP seharusnya ada atau wajib diadakan oleh pejabat yang memeriksa disetiap tingkat pemeriksaan karena ancaman pidananya lebih dari lima belas tahun penjara,
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
107
namun mereka belum mempunyai penasehat hukum sendiri, atau dalam hal tersangka diancam pidana lima tahun penjara atau lebih yang belum mempunyai penasehat hukum sendiri namun mereka termasuk orang yang tidak mampu. Dari kalangan penasehat hukum yang dijadikan responden didapatkan keterangan bahwa mereka tidak heran atas data yang dikemukakan tersebut mengingat mereka memang sering melihat hal itu terjadi dalam praktek. Menurut mereka terdapat kecenderungan daripada pejabat untuk dengan berbagai cara agar tersangka mau melepaskan hak bantuan hukum yang semestinya dapat dinikmati atau yang seharusnya harus dinikmati menurut hukum. Menurut para responden yang berasal dan kalangan penasehat hukum, berita acara tidak sepenuhnya dapat dijadikan pegangan bahwa tersangka betul-betul melepaskan hak bantuan hukumnya secara sukarela. Yang terjadi kebanyakan karena tidak tahu haknya, atau meskipun tahu dipengaruhi bahkan ditakut-takuti supaya tidak memakai penasehat hukum karena hanya akan memperberat perkaranya. Kondisi itu lebih diperparah karena KUHAP tidak mengatur akibat hukum dari suatu perkara yang seharusnya ada penasehat hukum tersangka atau terdakwa namun hal itu tidak dilaksanakan, dan juga tidak ada kewajiban bagi penyidik atau Hakim untuk memberitahu hak bantuan hukum tersebut. Para Hakim yang dijadikan responden ternyata masih menganggap bahwa penasehat hukum dalam keadaan apapun adalah suatu hak tersangka atau terdakwa sematamata, termasuk dalam hal ini adalah ketentuan Pasal 64 KUHAP tersebut terpenuhi. Karena hanya dipandang sebagai suatu hak jika pejabat di semua tingkatan sudah menanyakan hal itu kepada tersangka atau terdakwa namun, mereka menyatakan tidak akan memakai hak itu, berarti sebagai suatu proses pelepasan hak yang tidak boleh dipaksa untuk mencari atau diberi penasehat hukum. 108
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Apabila masalah tersangka yang tidak didampingi penasehat hukum sejak di tingkat pemeriksaan pendahuluan tidak diatur secara jelas akibat hukumnya sehingga praktek menunjukkan banyaknya hak bantuan hukum yang tidak dinikmati tersangka, namun justru dalam peradilan iniliter yang dasar hukum acara pidananya juga dan KUHAP ternyata menunjukkan adanya kemajuan pihak iniliter untuk memikirkan masalah akibat hukumnya jika hak tersebut tidak diberikan meskipun pada tahap pemeriksaan pendahuluan. Dari sisi penasehat hukum didapatkan suat keterangan mengenai hambatan yang mereka alami dalam memberikan bantuan hukum, yaitu pertama karena mereka tidak cukup bebas jika mendampingi tersangka ketika menghadapi interogasi penyidik. Penasehat hukum hanya boleh melihat dan mendengar jalannya pemeriksaan, bahkan dalam hal kejahatannya menyangkut keamanan negara mereka hanya boleh melihat namun tidak diperbolehkan mendengarkan isi pembicaraan. Kedua, meskipun KUHAP memberikan hak kebebasan untuk dapat menghubungi tersangka atau terdakwa setiap waktu pada semua tingkat pemeriksaan namun prakteknya tidaklah demikian. Menurut para responden advokat, istilah setiap waktu dalam petunjuk pelaksanaan KUHAP sebagaimana yang dikeluarkan oleh Peraturan Menteri KeHakiman No. M. 04 UM.01.06 tahun 1983 ditafsirkan sebagai hanya pada jam kerja saja. Namun demikian hal itu tidak disertai dengan suatu larangan bagi penyidik untuk memeriksa tersangka di luar jam kerja. Dengan demikian menurut responden hal itulah yang sering menjadikan hambatan penasehat hukum untuk sepenuhnya mendampingi tersangka, dan menurut mereka pemeriksaan tersebut meskipun tidak dihadiri oleh penasehat hukum tetap dinilai sah oleh Hakim jika hal itu dipersoalkan di Pengadilan. Baik para A advokat, dan aparat penegak hukum Iainnya sependapat bahwa hak bantuan hukum itu penting, namun
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
109
kalau mereka ditanyakan mulai kapan hal itu sebenarnya danggap perlu ternyata jawabannya tidaklah sama. Bagi penasehat hukum hak bantuan hukum yang diberikan oleh KUHAP yang menyebutkan bahwa hal itu bisa diberikan pada setiap waktu dan setiap tingkat pemeriksaan seharusnya sebagai suatu hak mutlak harus ada jika tersangka meminta, apalagi jika menurut KUHAP pejabat wajib menunjuk penasehat hukum dalam hal tertentu semestinya itu juga haurs dilaksanakan, jika hak bantuan itu tidak dilaksanakan seharusnya pemeriksaannya batal demi hukum. Dan oleh karena itu sebaiknya KUHAP memberikan kewajiban bagi setiap pejabat untuk memberitahukan hak tersebut sebelum memulai pemeriksaan, jika tidak maka hasil pemeriksaanya batal demi hukum. Meskipun aparat penegak hukum sependapat bahwa hak bantuan hukum penting, namun menurut aparat penegak hukum yang dijadikan responden sebaiknya cukup diberikan pada tingkat persidangan, karena memang hal itu merupakan tahap yang paling penting untuk menentukan nasib terdakwa sehingga mereka memerlukan orang yang mampu memberikan bantuan pembelaan. Sedang di tingkat pendahuluan yang lebih diperlukan bukan hak penasehat hukum namun suatu peraturan yang lebih baik agar aparat tidak menyalahgunakan kewenangannya. Apabila diamati pandangan kelompok advokat tersebut nampaknya pandangannya lebih mendekati pada model DPM, sedang pandangan aparat penegak hukum lebih mendekati model CCM. Namun demikian jika kita perhalikan KUHAP cenderung mendekati atau menyerupai model DPM yang menginginkan pemberian bantuan hukum sejak di tingkat pendahuluan hingga selesainya proses peradilan. Namun demikian KUHAP tidak mengatur akibat hukum jika hal itu tidak dilaksanakan, sedang DPM menginginkan adanya akibat hukum batalnya pemeriksaan jika hak bantuan hukum yang dipunyai oleh tersangka atau terdakwa tidak 110
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
diberikan secara tidak sah, bahkan menurut Herbert Packer jika aparat penegak hukum tidak memberitahu adanya hak bantuan hukum, hasil pemeriksaannya harus batal. Sebagaimana yang ditulis oleh Mardjono Reksodipturo (1994, 26) sangatlah keliru bila proses hukum yang adil hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana dalam proses terhadap tersangka atau terdakwa. Sebab menurut Mardjono Reksodipturo, proses hukum yang adil adalah lebih jauh dan sekedar penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal. Dalam pengertian proses hukum yang adil, menurut Mardjono Reksodiputro, terkandung penghargaan akan hak kemerdekaan seorang warga negara. Dengan demikian, meskipun warga masyarakat telah melakukan suatu perbuatan tercela (tindak pidana), hak-haknya sebagai warga negara tidaklah hapus atau hilang. Apalagi bila disadari bahwa tak seorang pun dapat mendisiplinkan diri untuk tidak melakukan pelanggaran hukum, sehingga semua orang tidak pernah dapat bebas dari resiko menjadi tersangka atau terdakwa. Di sinilah letak pentingnya memperjuangkan tegaknya hak-hak tersangka/terdakwa untuk didengar, didampingi penasehat hukum dan diberi kesempatan membela diri serta dibuktikan kesalahannya di depan pengadilan yang jujur dan tidak memihak (fair and impartial court). Hak individu untuk didampingi penasehat hukum di semua tingkat pemeriksaan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka mewujudkan prinsip proses hukum yang adil. Dengan kehadiran penasehat hukum akan dapat dicegah tindakan yang dapat merugikan hak tersangka khususnya mereka yang berada dalam tahanan. Tindakan yang dimaksud seperti penyiksaan atau intimidasi ketika dilakukan interogasi guna memperoleh pengakuan dari tersangka. Dalam KUHAP tidak hanya diatur hubungan antara penasehat hukum dengan pihak tersangka atau terdakwa,
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
111
tetapi Iebih dari itu, ditentukan pula bahwa dalam hal tersangka / terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, atau diancam lima belas tahun atau lebih dan mereka ini tidak mampu untuk mendapatkan sendiri penasehat hukum, maka pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses pidana wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka. Dalam pada itu, salah satu penelitian menunjukkan bahwa keberadaan penasehat hukum sangat membantu tersangka karena: Peranan institusi bantuan hukum dalam penegakan hakhak asasi manusia sangat penting, khususnya dalam sistem peradilan pidana. Tidak semua subjek hukum yang berhubungan dengan suatu perkara pidana memahami hak-haknya, termasuk tindakan apa yang harus dilakukan serta bagaimana prosedur mempertahankan dan mendapat hak-hak tersebut. (Aswanto, 1999 : 248). Menurut hemat penulis, hak tersangka untuk didampingi oleh penasehat hukum selama pemeriksaan di tingkat penyidikan sangat penting. Oleh karena nasib seorang tersangka kelak sangat bergantung pada hasil penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, meskipun sesungguhnya hasil penyidikan itu masih harus dibuktikan kebenarannya di muka pengadilan. Sebagaimana pendapat Lon L. Fuller (1996 : 29) bahwa seorang yang disangka melakukan tindak pidana, seyogianya harus dibuktikan dalam sidang pengadilan yang terbuka dengan proses hukum yang adil.Menurutnya, jika seorang pengacara menolak permintaan seorang tersangka atau terdakwa untuk menangani kasusnya karena tampaknya yang bersangkutan bersalah, maka si tersangka atau terdakwa sebenarnya sudah divonis di luar pengadilan dan tidak diberi kesempatan atas pemeriksaan formal yang menurut hukum adalah haknya. Selanjutnya dikatakan bahwa penampilan seorang sering memperdayakan; sudah banyak orang yang 112
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
tampaknya seakan Ia bersalah, sampai keadilan menunjukkan kemudian bahwa Ia tidak bersalah. Bahkan pengakuanpun tidak selalu dapat diandalkan. Tidak jarang seorang wanita mengaku bersalah guna menyelamatkan suaininya. Atau di bawah tekanan mental yang sangat menekan seseorang tergerak untuk menghukum dirinya dengan mengaku bersalah sehingga Ia dapat menebus dosanya melalui kejahatan yang imajiner. Salah satu contoh dapat dikemukakan adalah tatkala Marcellus Thopson dihadapkan ke suatu sidang pengadilan di lnggris dengan tuduhan menggelapkan sejumlah uang inilik kendal union Gas and Water Company. Ketua perusahaan tersebut, Crewdson telah menguatkan tuduhan tersebut kepada Hakim dengan alat bukti pengakuan dari Marcellus Thompson kepadanya. Untung pengacara Marcellus Thompson cukup jeli dan dapat mengungkapkan bahwa adanya pengakuan tersebut sesungguhnya karena hasil bujukan Crewdson lewat ipar Marcellus Thompson sehingga Marcellus mau mengadakan pengakuan kepadanya (Sudibyo Triatmojo, 2001 : 38). Dengan fakta tersebut di atas, Hakim pun lalu berpendapat bahwa pengakuan Marcellus Thompson tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah, karena pengakuan itu dilakukan tidak dengan sukarela. Lebih lanjut Hakim berpendapat bahwa pada hakekatnya dasar pokoknya bukanlah bahwa pengakuan yang dilakukan secara terpaksa dan tidak sukarela dapat dinyatakan tidak berlaku, melainkan bahwa kesaksian demikian itu adatah tidak valid bilamana diterima oleh karena adanya tekanan dan ketakutan. (Sudibyo Triatmojo, 2000: 39). Pengabaian alat bukti yang diperoleh dari kekerasan atau ancaman kekerasan telah diterapkan pula di Indonesia yaitu dalam perkara Marsinah. Hal ini dapat disimak dari putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1174 K / Pid /1994 atas nama terdakwa Ny. Mutiari. Putusan Mahkamah Agung RI
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
113
Nomor 429 K I Pid I 1995 atas nama terdakwa Yudi Susanto, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 381 K I Pid / 1995 atas nama terdakwa Yudi Astono, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1592 K I Pid / 1994 atas nama terdakwa Bambang Wuryanto dan Widayat serta AS Prayogi, dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1706 K I Pid /1994 atas nama terdakwa Suwono dan Suprapto. Dalam perkara tersebut di atas, para terdakwa dibebaskan karena tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Salah satu alasan Majelis Hakim yang diketuai oleh Adi Andoyo Soetjipto, karena para terdakwa mencabut semua keterangannya (tentunya termasuk pengakuannya) di depan penyidik karena adanya tekanan pisik dan psikis selama penahanan yang dapat dtbuktikan secara nyata. (Varia Peradilan, No. 120, 1995:13). Pada hakikatnya, dengan memperlakukan para tersangka atau terdakwa (khususnya mereka yang berada dalam tahanan) sesuai dengan hak-haknya, berarti secara tidak langsung para aparat penegak hukum telah melakukan proses pembinaan. Paling tidak, seorang tersangka I terdakwa dapat mengetahui hak-haknya ketika pertama kali bersentuhan dengan proses hukum yang melibatkan dirinya. Dengan demikian proses pembinaan terhadap seseorang yang terlibat dalam suatu kasus tidak selalu harus berstatus naripidana. Proses pembinaan terhadap para tahanan di sini tentunya tidak perlu sama dengan seorang narapidana. Namun prinsip dasarnya harus sama. Misa lnya, dalam sistem permasyarakatan dikenal prinsip bahwa satu-satunya derita yang dialami oleh naripidana adalah dihilangkannya kebebasan bergeraknya. Jadi selain itu, hak-hak yang Iainnya harus tetap dijunjungi tinggi dan masih berlaku asas praduga tak bersalah kepadanya. Namun patut ditegaskan bahwa sesungguhnya terdapat perbedaan pelayanan bantuan hukum (legal aid) dalam kasus perdata dan kasus pidana. Dalam kasus pidana, bantuan 114
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
hukum merupakan suatu kebijakan yudisial. Dalam pada itu, Frans Hendra Winarta (2006:104) menulis bahwa kurangnya penghargaan terhadap hak hidup (right to life), hak inilik (right to property), dan hak kemerdekaan (right to liberty) juga merupakan penyebab tingginya angka penyiksaan, perlakuan dan hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Peranan institusi, bantuan hukum dianggap penting dalam rangka penegakan HAM, khususnya dalam sistem peradilan pidana, di sinilah pentingnya mereka terkena kasus didampingi oleh penasehat hukumnya, karena tidak semua subjek hukum yang berhubungan dengan suatu perkara pidana memahami hak-haknya, termasuk tindakan apa yang harus difakukan serta bagaimana prosedur mempertahankan dan mendapatkan hak-haknya tersebut (Aswanto, 1999 : 248).
E. EKSISTENSI HAK-HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM SISTEM PERARADILAN PIDANA YANG ADIL Pada bagian ini ingin dikemukakan kedudukan hak-hak tersangka/ terdakwa dalam sistem peradilan pidana terutama nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dalam rangica suatu Proses hukum yang adil (due process of law). Berdasarkan hal tersebut, perlu diketahui, apa relevansi hak-hak tersangka atau terdakwa dalam sistem Peradilan Pidana yang adil dan layak tersebut. Tujuan utama adanya hak-hak tersangka atau terdakwa adalah untuk mengakui dan menjamin terhadap harkat dan martabat manusia, baik selaku individu maupun sebagai anggota masyarakat. Pengakuan dan jaminan terhadap harkat dan martabat tersebut, merupakan HAM baik bersifat nasional maupun bersifat universal atau internasional. Pelanggaran HAM atas hak-hak tersangka/ terdakwa karena perbuatan sewenang-wenang aparat penegak hukum dapat M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
115
menyebabkan negara harus mengganti rugi atau rehabilitasi terhadap mereka yang diperlakukan demikian. Menurut Tanusubroto (1995:73), praperadilan sebagai lembaga baru dalam KUHAP merupakan sarana bagi Hakim untuk melakukan pengawasan terhadap masalah penegakan hukum umumnya, khususnya tindakan penegakan hukum dalam proses pemeriksaan pendahuluan (non ayudiksi). Namun jika dikaitkan dengan makna sistem peradilan sebagai “rangkaian tindakan terpadu”, keputusan yang menyatakan tindakan penangkapan tidak sah dalam penyidikan seharusnya dapat membawa pengaruh terhadap proses lanjutannya dalam KUHAP ternyata pernyataan tidak sah oleh aparat Penegak hukum, tetapi tidak menyangkut hasil kerja atau akibat dan penggunaan wewenang tersebut. Hal demikian tersebut karena proses praperadilan terbatas hanya memeriksa apakah syarat formal Suatu penangkapan penahanan telah dipenuhi atau tidak. Menurut Loebby Loqman (1987:60) seharusnya bukan hanya syarat formal saja karena : meskipun Hakim praperadilan hanya berfungsi sebagai exaininating judge saja, dalam mengeksaminasi sahnya suatu penangkapan harus juga melihat dasar dilakukannya suatu penangkapan yakni adanya bukti permulaan yang cukup. Hal ini tidak lain haruslah dilihat juga syarat material suatu penangkapan. Berdasarkan kenyataan atas pengaruh putusan praperadilan memang tidak ada tahap hasil proses lanjutan yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap pokok perkara sekalipun proses tersebut dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan. Namun demikian makna praperadilan sebagai kontrol untuk membatasi kekuasaan penegak hukum yang dilakukan secara sewenang-wenang secara tersirat dianut oleh KUHAP. Untuk mendukung hal tersebut di atas, praperadilan perlu dijamin prosesnya, ini dikemukakan atas dasar dalam praktik seringkali gagalnya proses praperadilan karena dibatasi oleh waktu yang sangat singkat di dalam proses pemeriksaannya 116
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
(7 hari harus ada keputusan) dan menladi batal apabila mula diperiksa pokok perkaranya Disamping itu, pemeriksaan yang tidak seimbang karena tidak hadirnya tersangka, sehingga kesulitan pembuktian yang diajukan tersangka/ terdakwa, dan akhirnya menimbulkan kesan pemeriksaan Praperadilan hanyalah formalitas saja. Karena itu, Praperadilan sebagai sarana pengawasan terhadap tindakan penegak hukum dalam proses nonajudikasi perlu diperluas dan dipertegas agar makna dan praperadian sebagaimana tersebut di atas, yaitu mengontrol dan membatasi penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang terhadap tersangka/ terdakwa dapat berfungsi. Konkritnya dalam proses penegakan hukum hak dan kewajiban yang telah disepakati diberikan kepada individu ataupun kepada masyarakat (yang telah dituangkan dalam undang-undang) tidak boleh dilanggar secara sewenangwenang oleh penegak hukum. Pelanggaran atas kesepakatan tersebut dapat menimbulkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap undang-undang, sehingga menimbulkan perpecahan (desintegrasi) di kalangan masyarakat pendukung hukum tersebut karena hukum dianggap tidak berfungsi. Hal senada juga dikatakan oleh Muladi (2005:3) bahwa hukum berfungsi sebagai pengintegrasian masyarakat (law as an integrative mechanism). Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo (1982:45) yang menyatakan: Hukum itu merupakan bagian dari Perangkat kerja sistem sosial. Fungsi sistem sosial ini adalah untuk mengintegrasi kepentingan-kepentingan anggota masyarakat sehingga tercipta suatu keadaan yang tertib, Iebih lanjut dikatakan, masyarakat dengan sistem sosial yang tertentu akan memberikan pedoman-pedoman kepada para anggotanya tentang bagaima hendaknya hubungan-hubungan antar mereka itu dilaksanakan . Apabila hukum tidak lagi berfungsi sebagaimana tersebut di atas, maka solidaritas masyarakatnya akan terganggu. Masyarakat tidak lagi memperhatikan “perangkat kerja dari
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
117
sistem sosial” tersebut, sehingga masyarakat meragukan hukum dan sekaligus meragukan lembaga maupun penegak hukum, maka akibatnya masyarakat tersebut akan mengambil tindakan sendiri (eigen richting) dalam menyelesaikan masalah hukum dan terjadi anarki. Dalam kaitannya dengan proses peradilan pidana tampak penggunaan kekuasaan atau penyalahgunaan oleh penguasa, sangat dominan. Proses peradilan pidana, Misalnya pada proses non adyudikasi seringnya digunakan kekuasaan yang melampaui kewajaran (unnecessary force) yang sering terjadi dilakukan oleh polisi. Sebagai contoh tembak di tempat terhadap pelaku kejahatan yang hendak ditangkap dengan alasan penjahal tersebut hendak melarikan diri. Apabila solidaritas masyarakat terganggu, karena hukum tidak berfungsi lagi, maka penegakan hukum sebagai suatu sistem terpadu akan menjadi sektoral atau fragmentasi maka akibatnya tujuan SPP tidak akan tercapai. Dalam keadaan demikian kekerasan dalam proses nonajudikasi biasanya sangat menonjol dibandingkan dalam proses ajudikasi. Menjadi fatal, dalam kenyataan polisi biasanya yang dianggap belum menegakkan HAM secara baik sehingga sebagai ujung tombak dalam SPP dianggapnya sebagai kegagalan dalam penegakan hukum. Dengan demikian polisi dianggap sebagai aparat penegak hukum yang tidak professional. Apabila cara-cara penegak hukum seperti itu terus dilakukan, maka tidak hanya berpengaruh terhadap citra aparat penegak hukum tetapi juga berpengaruh terhadap solidaritas masyarakat. Di dalam era globalisasi dimana dikehendaki penegak hukum yang didasarkan suatu kerangka hukum yang baik atau baku (good legal system), maka suatu negara apabila melakukan penegakan hukum yang melanggar HAM sudah pasti akan dikritik dan bahkan diisolir oleh negara-negara lainnya sebagai anggota masyarakat dunia yang mempunyai komitmen terhadap HAM. Beberapa ciri hukum responsif yang bertujuan agar hukum 118
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
lebih tanggap terhadap kebutuhan terbuka pada pengaruh dan lebih efektif dalam menangani masalah sosial, antara lain adalah: 1) Dinainika perkembangan hukum meningkatkan otoritas tujuan. 2) Mengendalikan tuntutan pada ketaatan serta mengurangi pada kekakuan hukum . 3) Bantuan hukum menamplikan suatu dimensi politik. 4) Terdapatnya perencanaan pranata hukum Secara Iebih kompeten. Keinginan untuk mewujudkan Suatu peradilan pidana yang jujur berdasarkan prinsip-prinsip dasar kebebasan pengadilan pada akhir-akhir ini semakin meningkat, peradilan yang jujur dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak (a fair trial and public hearing by an independent and impartial tribunal). Demikian juga peradilan bebas dan campur tangan sewenangwenang baik pribadi, keluarga ataupun surat menyurat (freedom from arbitrary interference with privacy, Family, home or correspondence). Jaminan atas suatu peradilan yang jujur tersebut merupakan suatu kewajiban dari setiap negara yang bersendikan negara hukum dan demokrasi, antara lain diawali adanya pengakuan secara konstitusional (safeguards constitutions) dan dalam perundang-undangan lainnya dalam suatu negara. Dalam hubungannya dengan KUHAP, ketentuan-ketentuan di atas diatur secara lebih rinci yang menunjukkan suatu proses untuk mewujudkan peradilan yang jujur, namun demikian menurut Wahyu Afandi (1987:19) peranan penegak hukum (Hakim) dalam mewujudkan keadilan adalah sangat menentukan. Dengan kata lain walaupun instrumen- instrumen internasional maupun nasional telah cukup, tetapi jika penegak hukumnya baik dari segi mental (sebagai produk budaya tertentu) maupun dari segi kemampuannya tidak mendukung dan serasi, maka peradilan yang jujur akan terganggu. Pada prinsipnya keuntungan Yang akan didapat dalam M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
119
hubungannya dengan hak-hak tersangka/ terdakwa dalam SPP, adalah sebagai suatu konsekuensi dan apa yang telah diuraikan kepada bagian-bagian di atas antara lain dapat diperinci sebagai berikut : 1) Menimbulkan dan memelihara suatu kepercayaan dan wibawa dari masyarakat pendukung atas institusi (lembaga peradilan) maupun terhadap aparat penegak hukum yang melaksanakannya. Peradilan dianggap sebagai suatu proses yang jujur dan adil karena dalam mekanismenya didasarkan atas peraturan yang telah ditetapkan dan disepakati, peraturan mana tidak hanya memberikan kekuasaan atau legitimasi kepada pelaksananya sehingga dapat mencabut hak-hak dari setiap pelanggar, tetapi juga memberi batasan bagaimana kekuasaan itu dijalankan, serta pengakuan dan sekaligus jaminan atas hak-hak pelanggar sebagai bagian dari HAM tidak dilanggar secara sewenang-wenang. 2) Masyarakat tidak akan berpikir atau berasumsi bahwa sistem peradilan pidana hanyalah alat dan rekayasa dari penguasa dalam rangka untuk mempengaruhi pendapat masyarakat yang bertujuan memperkuat pendapat masyarakat yang bertujuan memperkuat kedudukannya (penguasa). Keuntungan ini dapat tumbuh apabila sistem peradilan pidana dilaksanakan Secara konsisten, tidak diskriminasi, dan represif, yaitu mengabaikan hak-hak tersangka/ terdakwa. Hal ini karena sistem peradilan pidana dijalankan hanya atas dasar ketentuan hukum yang berlaku, tidak Semata-mata berdasarkan diskresi. 3) Sistem peradilan pidana yang memperhatikan hak-hak tersangka/ terdakwa sebagai bagian dari HAM yang diakui tidak hanya secara nasional tetapi juga antar bangsa (internasional) menunjukkan negara yang melaksanakannya komitmen terhadap asas universal yang telah diakui. Karena asas-asas hukum internasional adalah juga bagian dari hukum nasional (the principle of international law is part of the law land). Berdasarkan hal tersebut, maka tidak hanya pranata 120
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
hukum tetapi juga lembaga hukum kita meiniliki ciri dan dapat dikualifikasikan sebagai hukum modern. 4) Sistem peradilan pidana yang harus mampu secara konsisten melaksanakan hak-hak tersangka/ terdakwa sebagai bagian dari HAM. Merupakan komitmen terhadap prinsip negara hukum yang dianut oleh UUD RI 1945 dan asas-asas hukum yang berlaku di Iingkungan bangsa-bangsa beradab seperti the basic principles of the independence of judiciary. Dengan demikian prinsip negara hukum dan asas hukum bangsa itulah yang mampu menghindari para penegak hukum dan praktek-praktek negatif akibat pengaruh lingkungan politik, ekonomi, sosial budaya dan iptek serta hankam. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan ada keterkaitan antara konsep negara hukum di satu pihak dengan konsep HAM di lain pihak, di mana keduanya merupakan gambaran dari adanya supermasi hukum. Supermasi hukum sendiri menunjukkan suatu konsep dianggap sebagai suatu keharusan dalam negara-negara yang menganut demokrasi yang berintikan persamaan (equality). Dalam perkembangan lebih lanjut persamaan tersebut tidak hanya terbatas pada pengertian politik, tetapi juga persamaan di muka hukum sebagai salah satu pilar untuk menjamin adanya fair trial dan mendukung hak-hak tersangkalterdakwa. Jadi keuntungan hak-hak tersangkalterdakwa dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana dalam suatu negara, adalah menunjukkan atau memberikan gambaran eksistensi negara hukum dan negara demokrasi di satu pihak, serta eksistensi pelaksanaan HAM di lain pihak. Dengan kata lain pelaksanaan hak-hak tersangka l terdakwa secara konsisten dalam negara hukum maupun demokrasi yang dianut oleh suatu negara, akan mampu memberi gambaran bahwa pelaksanaan HAM tersebut tidak hanya simbol keadilan belaka (symbolic Justice) KUHAP mengatur proses peradilan pidana yang lebih menjamin hak-hak asasi manusia, yaitu dengan memberikan hakhak kepada tersangka/terdakwa OIeh karena itu tersangka & M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
121
terdakwa tidak hanya dianggap sebagai pelanggar hukum (obyek pemeriksaan melainkan sebagai manusia yang mempunyai hak dan kewajiban (subyek hukum). Penegak hukum dalam proses peradilan pidana menghadapi tugas cukup berat, mereka menghadapi kepada dua pilihan sekaligus yang tidak dapat disingkirkan. Satu pihak menghadapi tersangka / terdakwa sebagai manusia pribadi dari anggota masyarakat yang mempunyal hak, di lain pihak menghadapi pula fakta bahwa tersangka/ terdakwa yang patut diduga melakukan perbuatan itu sehingga hak-haknya dapat dikesampingkan. Seorang tersangka/ terdakwa dalam proses peradilan pidana belum tentu bersalah sebagaimana yang dilaporkan, diadukan atau didakwakan, maka selayaknya perwujudan dan perlindungan hak-hak asasi tersangka/ terdakwa mendapat perhatian dalam pelaksanaan proses peradilan pidana sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum.
F. KONSEP KEJAHATAN PERADILAN PIDANA
DALAM
SISTEM
a. Pengertian Korban Kejahatan Menurut Arif Gosita (1983:41) korban kejahatan adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Korban kejahatan merupakan topik masalah yang mulai banyak menarik perhatian dunia, karena masalah korban kejahatan sudah cukup lama terlupakan oleh para ahli. Mereka Iebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada perlindungan terhadap pelaku kejahatan. Besarnya perhatian para ahli terhadap korban kejahatan membuka cakrawala baru dalam krininologi. Pengertian korban kejahatan cakupannya mulai diperluas, yang mulanya hanya menitikberatkan pada korban kejahatan konvensional, Misalnya pembunuhan, perkosaan, penganiayaan 122
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
dan pencurian, kemudian diperluas pengertiannya menjadi kejahatan yang non-konvensional; seperti terorisme, pembajakan, perdagangan narkotika, kejahatan terorganisir dan kejahatan melalui komputer. Selanjutnya menurut Mardjono Reksodiputro (1987:96) pembicaraan mengenai korban kejahatan meliputi pula pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, yang bersumber dari illegal abuses of econoinic power dan illegal abuses of public power. Jadi perhatian dunia sekarang bukan hanya terhadap korban kejahatan konvensional atau non-konvensional melainkan juga terhadap illegal abuse of power (econoinic and public). Hal ini bisa dilihat dari rumusan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang The Declaration of Basic principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, di Inilan Tahun 1985 (Arif Gosita, 1987:76) sebagai berikut: “Victims means person who, individually or collectively, have suffered herm, Including physical or mental injury, emotional suffering, econoinic loss or Substantial impairment of their fundanmental rights, criminal laws operative with Member States, including those laws Proscribing criminal abuse of power.” (Korban berarti orang, baik secara individu maupun secara kolektif menderita kesakitan termasuk fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perusakan substansial dan hak-hak fundamentalnya hukum pidana yang berlaku dengan negara anggota termasuk hukumhukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan). Dengan rumusan tersebut tampak bahwa ruang lingkup kajian mengenai korban kejahatan tidak lagi dibatasi oleh ruang Iingkup hukum pidana. Jadi, kajian mengenai korban kejahatan tidak lagi memadai untuk dipelajari dalam kriininologi, maka dirasakan perlu untuk mempelajari secara mandiri dan dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan sendiri yang viktimologi atau victimology.
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli maupun bersumber dari konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan, antara lain sebagai berikut: a. Arief Gosita (1987: 78) menyatakan:
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
123
Menurutnya, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang berrtentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.
b. Ralph de Sola (1998:188) menyatakan:
Korban (victim) adalah person who has injured mental or physical Suffering, loss of Property or death resulting from an actual attempted criminal offense Cominitted by another...”
(orang yang telah menderita secar fisik dan mental mengalami kerugian harta atau kematian akibat dan usaha tuduhan kriminal yang dilakukan oleh orang lain ...“)
c. Cohen (Roinii Atmasasiinita, tt: 9) menyatakan pula bahwa:
Korban (victim) adalah “.. whose pain and suffering have been neglected by the state while it spends immense resources to hunt down and punish the offender who responsible for thal pain and suffering.”
(...rasa sakit dan penderitaan yang telah diabaikan oleh negara sementara menghabiskan sumber daya yang luar biasa untuk memburu dan menghukum pelaku yang bertanggungjawab untuk itu rasa sakit dan penderitaan).
d. Separovic (Romli Atmasasiinita, tt: 29) menyatakan:
Korban (victim) adalah : “….the person who are threatened, injured or destroyed by an actor or oinission of another (mean, structure, organization, or institution) and consequently; a victim would by anyone who has suffered from or been threatened by a punishable act (not only criminal act but also other punishable acts as inisdemeanors, econoinic offences, non fulfill ment of work duties) or an accidents. Suffering may be cowed by another man a structure where people are also involved.
(“...orang yang terancam, tersakiti atau terluka oieh pelaku atau penghapusan oleh orang lain (cara, struktur, organisasi, atau institusi) dan konsekuensinya, korban yang telah menderita atau terancam oleh tindakan yang dapat dihukum
124
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
(tidak hanya tindakan kriminal namun juga tindakan lain yang dapat dihukum seperti pelanggaran hukum yang ringan, tuduhan ekonomi, tidak dipenuhinya kewajiban pekerjaan) atau kecelakaan. Penderitaan dapat dilakukan oleh orang lain dimana orang juga terlibat). e. Muladi (2002:108) menyatakan pula bahwa:
Korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansi terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau koinisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk Penyalahgunaan kekuasaan .
f. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, menyebutkan:
Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan I atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
g. Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Koinisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, menyebutkan:
Korban adalah orang yang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau prampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahil warisnya.
h. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat Yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dan ancaman, gangguan terror, dan kekerasan pihak manapun.
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
125
i. Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principles of Justice Victim of Crime and Abuse of Power 1985
Koban (victim) means persons who, individually encollectivelly, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, econoinic loss or substantial impairment of their fundamental right, through acts or oinission of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power’... through acts or inissions thal do not yet constitute violation of national criminal laws but of internationally recognized norms relating to human rights.
(Korban berarti orang yang biak secara individu maupun kelompok telah menderita baik pisik atau pun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau pengambilan hak fundamental mereka, melalui tindakan atau penghilangan hukum kriminal yang berlaku dalam Negara-negara anggota, termasuk hukum-hukum yang melarang kejahatan penyalahgunaan kekuasaan”... melalui tindakan-tindakan atau inisi-inisi yang belum termasuk pelanggaran hukum kriminal nasional maupun norma-norma yang diakui secara internasional sehubungan dengan hak-hak asasi manusia) .
Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dan perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian I penderitaan bagi diri I kelompoknya, bahkan, Iebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan Iangsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi. Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk Iebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian muncullah beberapa jenis korban yaitu sebagal berikut: a. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli 126
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
terhadap upaya penanggulangan kejahatan. b. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban. c. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulikan rangsangan terjadinya kejahatan. d. Participating victims, yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban. e. False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri. Tipologi korban sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki kemiripan dengan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut: a. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggung jawab sepenuhya terletak pada pelaku. b. Provactive victims, Yaitu seseorang Yang Secara aktif mendorong dirinya menjadi korban misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku. c. Participating victims, Yaitu seseorang yang tidak berbaut akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban. d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan Ia menjadi korban. e. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan Ia menjadi korban. f. Self victmizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukan sendiri, misalnya korban obat bius, judi, aborsi, prostitusi (Chaeruddin, 2004:42). Pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu sebagai berikut: a. Primary victimization, yaitu korban berupa individu atau
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
127
perorangan (bukan kelompok) b. Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum. c. Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas. d. No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahul, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi. (Suryono, 2001 : 176) Di beberapa negara di Amerika Serikat serta Michigan telah ada suatu lembaga yang didirikan khusus untuk membantu korban kejahatan dan Orang-orang yang membantu korban yang bukan karena kesalahannya, telah menderita kerugian sebagai akibat dari suatu kejahatan. Lembaga ini dinamakan The Crime Victim’s Compensation Board. Bantuan yang disediakan adalah bantuan untuk pelayanan kesehalan, atau Pelayananpelayanan lain yang diperlukan, seperti biaya pemakaman, bantuan karena kehilangan penghasilan, dan sebagainya. untuk memperoleh bantuan ini, harus diajukan kepada The Crime Victim’s Compensation Board, PO.BOX 30026, Lansing, Michigan 48909, biasanya dalam jangka waktu 30 hari sesudah terjadinya kejahatan, atau 90 hari setelah kematian korban. (Arif Mansyur, 2006:52) Berdasarkan Pasal 10 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), korban berhak mendapatkan: a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak Iainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; b. Pelayanan kesehalan sesuai dengan kebutuhan medis; c.
Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampinga oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 128
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
e. pelayanan bimbingan rohani; Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 40/A/Res/34 Tahun 1985 juga telah menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar Iebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan, yaitu: a. Compassion, respect and recognition;(Perasaan simpatik, respek, dan pengakuan) b. Receive information and explanation about the progress of the case; (menerima informasi dan penjelasan tentang kemajuan kasus) c. Provide information (memberi Informasi,) d. Providing proper assistance; (memberi bantuan sewajarya) e. Protection of privacy and physical safety; (perlindungan privasi dan keselamatan) f. Restitution and compensation; (restitusi dan kompensasi) g. To access to the mechanism of justice system (Akses pada mekanisme slstem peradilan)
b. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Dalam hal pelayanan dan perlakuan terhadap korban kejahatan secara formal sering dituntut, karena merupakan salah satu bentuk perlindungan dan konsekuensi hukum. Sebelumnya tidak ada ketentuan terperinci mengenai bentuk perlindungan korban sehingga menyebabkan ketidakseimbangan dalam pengayoman hukum antara korban dan pelaku kejahatan yang pada akhirnya akan menimbulkan ketidakadilan dengan kurangnya perlindungan hukum terhadap korban dapat menyebabkan korban bersikap pasif dan cenderung non-kooperatif dengan petugas, bahkan terdapat korban antara kurangnya perlindungan dengan keengganan korban untuk melapor kepada aparat,terlebih lagi setelah korban melapor, peran dan antara kurangnya perlindungan dengan keengganan korban untuk melapor kepada aparat, terlebili lagi setelah korban melapor, peran dan kedudukannya bergeser sedemikian rupa sehingga aparat pengadilan satu-satunya pihak yang dapat M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
129
mewakili semua kepentingan korban.(Yulia, 2010: 58) . Perlunya diberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional. Oleh karena itu, masalah ini perlu memperoleh perhatian yang serius. Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian serius, dapat dilihat dari bentuknya Declaration of Basic Prinsipal of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power oleh PBB, sebagai hasil dari The sevent United Nation Conggres on the Prevention of Crime the Treatment of Ofenders, yang berlangsung di milan, Italia, September 1985. (YUIia, 2010 : 60) Dalam deklarasi PBB tersebut telah dirumuskan bentukbentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada korban yaitu:
1. Access to justice and fair treatment 2. Restitution 3. Compensation 4. Assistance Dalam penegakan hukum pidana nasional (baik KUHP maupun KUHAP) harus dilaksanakan sesuai dengan isi ketentuan hukum pidana nasional tersebut, yang telah diatur secara tegas tanpa memperhatikan kedudukan dan kepentingan korban ternyata hingga sekarang hanyalah sebuah regularitas yang bersifat rutin namun makna etika harus berhadapan dengan pentingnya perlindungan hukum korban kejahatan. Perlindungan hukum bagi masyarakat sangatlah penting karena masyarakat baik kelompok maupun perorangan, dapat menjadi korban atau bahkan sebagal pelaku kejahatan. Perlindungan hukum korban kejahatan sebagal bagian dari perlindungan kepada masyarakat dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum. Beberapa bentuk perlindungan terhadap korban, yaitu: a. Ganti rugi
130
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Istilah ganti kerugian digunakan oleh KUHAP dalam Pasal 99 ayat (1) dan (2) dengan penekanan pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan atau korban. Dilihat dari kepentingan korban dalam konsep ganti kerugian terkandung dua manfaat yaitu pertama untuk memenuhi kerugian material dan segala biaya yang telah dikeluarkan dan kedua merupakan pemuasan emosional korban.Sedangkan dilihat tdari sisi kepentingan pelaku, kewajiban mengganti kerugian dipandang sebagai suatu bentuk pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai sesuatu yang konkrit dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang diperbuat pelaku. Gelaway (Chaeruddin, 2004:65) merumuskan lima tujuan dan kewajiban mengganti kerugian, yaitu: 1. Meringankan penderitaan korban; 2. Sebagal unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan; 3. Sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana; 4. Mempermudah proses peradilan 5. Dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam. Dari tujuan yang dirumuskan Gelaway di atas, pemberian ganti kerugian harus dilakukan secara terencana dan terpadu. Artinya, tidak semua korban patut dibenikan ganti kerugian karena adapula korban, baik langsung maupun tidak langsung turut terlibat dalam suatu kejahatan yang perlu dilayani dan diayomi adalah korban dan golongan masyarakat kurang mampu, baik secara finansial maupun sosial. b. Restitusi (restitution) Restitusi lebih diarahkan pada tanggung jawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita korban. Tolak ukur yang digunakan dalam menentukan jumlah restitusi yang diberikan untuk mudah dalam M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
131
merumuskannya. Hal ml tergantung pada staus sosila pelaku dan korban. Dalam hal korban dengan status sosial Iebih rendah dan pelaku, akan mengutamakan ganti kerugian dalam bentuk materi, dan sebaliknya jika status korban Iebih tinggi dan pelaku maka pemulihan harkat serta nama balk akan lebih diutamakan. c. Kompensasi Kompensasi merupakan bentuk santunan yang dapat dilihat dari aspek kemanusiaan dan hak-hak asasi. Adanya gagasan mewujudkan kesejahteraan sosial masyarakat dengan berlandaskan pada komitmen kontrak sosial dan solidaritas sosiaI menjadikan masyarakat dan negara bertanggungjawab dan berkewajiban secara moral untuk melindungi warganya khususnya mereka yang mengalami musibah sebagai korban kejahatan kompensasi sebagai bentuk santunan yang sama sekali tidak tergantung bagaimana berjalannya proses peradilan dan putusan yang dijatuh bahkan sumber dana untuk itu diperoleh dari pemerintah atau dana umum. Dalam “International Penal Reform Conference” yang diselenggarakan di Royal Halloway College, University of London, pada tanggal 13 - 17 April 1999 diidentitikasikan sembilan strategi pengembangan dalam melakukan pembaharijan hukum pidana, yaitu mengembangkan I membangun; 1. Restorative justice (keadilan restoratif) 2. Alternative dispute resolution (alternatif penyelesaian sengketa) 3. Informal justice (keadilan informal) 4. Altemntive to Custody (alternatif untuk kustodian) 5. Alterantive ways of dealing with juvenile (cara alternatif untuk menghadapi remaja) 6. Dealing with violent crime (berurusan dengan kejahatan kekerasan) 7. Reducing the prison population (mengurangi populasi penjara) 8. The proper management of prison (pengelolaan yang tepat dari penjara). 132
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
9. The rule of civil Society in penal reform (aturan masyarakat sipil dalam reformasi hukum Pidana) (Barda Nawawi Arif, 1984:16) Dalam Dekairasi Wina, Kongres p ke-10/2000 (dokumen A/CONF. 187/4/Rev.3), antara lain dikemukakan bahwa untuk memberikan Perlindungan kepada korban kejahatan, hendaknya diintrodusir mekanisne mediasi dan peradilan restorative (restorative justice). Pada Maret 2001, Uni Eropa membuat the EU Council Framework Decision tentang “kedudukan korban di dalam proses pidana” (the standing of victims In criminal proceedings) — EU (2001/220/JBZ) yang didalamnya termasuk juga masalah mediasi. Selanjutnya pada tanggal 24 Juli 2002, Ecosoc (PBB) telah menerima Resolusi 2002/12 mengenai “basic Principles the Use of restoratIve Justice Pro grames in Criminal Matters” yang di dalamnya juga mencakup masalah mediasi. (Barda Nawawi Arif, 1984: 19). c. Kedudukan Korban dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Setelah sekian lama banyak pihak menunggu Iahirnya undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban, akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2006 undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, disahkan dan diberlakukan. Sekalipun beberapa materi dalam undang-undang ini masih harus dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan berlakunya undang-undang ini cukup memberikan angin segar bagi upaya perlindungan korban kejahatan. Dasar pertimbangan Perlunya diatur undang-undang mengenai perlindungan saksi (korban) kejahatan yang dapat dilihat pada bagian pertimbangan undang-undang ini, yang antara lain menyebutkan dalam proses peradilan pidana sering mengalami kesukaran dalam mencari dan menemukan kejelasan tenang tindak pidana yang dilakukan pelaku. Hal ini terjadi karena tidak hadirnya saksi di persidangan yang disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
133
Padahal diketahui bahwa peran saksi (korban) dalam suatu proses peradilan pidana menempati posisi kunci dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan pelaku. Korban dan I atau saksi diakui keberadaannya dalam proses peradilan pidana. (Arif Mansyur, 2004:152). Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 menganut pengertian korban dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan, tidak hinya kombinasi di antara ketiganya. Hal ini terdapat pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan korban ,adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan I atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, dapat dilihat tentang hak yang diberikan kepada saksi dan korban, yang meliputi: a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dan ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya; b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Mendapat penerjemah; e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; I. Mendapat identitas baru; j. Menapatkan tempat kediaman baru; k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; I. Mendapatkan nasihal hukum dan I atau M.Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai waktu perlindungan terakhir. 134
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
d. Kedudukan Korban dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga. Kasus kekerasan dalam rumah tangga semakin han semakin meningkat, untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan dalam rumah tangga tersebut diperlukan suatu perangkat hukum yang lebih terakomodir, hal ini ditanggapi oleh pemerintah dengan mengeluarkan Undang-undang nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang disahkan pada tanggal 14 September 2004. Dengan adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga diharapkan dapat menjadikan solusi untuk mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam upaya penegakan hukum. Sesuai dengan asas yang diatur dalam Pasal 3, yakni: a. Pengohormatan HAM; b. Keadilan dan kesetaraan gender; c. Nondiskriminasi ; dan d. Perlindungan korban Mengenai korban kekerasan dalam rumah tangga dapat berasal dari berbagai latar belakang usia, pendidikan, tingkat sosial ekonomi agama dan suku bangsa. Yang dimaksud dengan korban menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT adalah orang yang mengalami kekerasan dan / atau ancaman kekerasan dalam Iingkup rumah tangga. M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
135
Arif Gosita memberikan pengertian tentang korban yaitu mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Suatu terobosan baru dalam perundang-undangan kita, bahwa dalam UU Penghapusan KDRT ini diatur mengenai hak-hak korban, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 10: Korban berhak mendapatkan: f.
Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, Kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak Iainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
g. Pelayanan kesehalan sesuai dengan kebutuhan medis; h. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; I. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap ingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang; dan j. Pelayanan bimbingan dan rohani e. Kedudukan Korban dalam Declaration of Basic Principles of Justice Victim of Crime and Basic Abuse Power Korban dalam declaration of basic principles of justice for victims of crime and abuse of power meliputi dua hal, yaitu korban kejahatan dan korban penyalahgunaan kekuasaan. Pengertian korban kejahatan dalam declaration of basic principles of justice for victims of crime and abuse of power adalah: “Victims” means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions thal are in violation of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power. (korban berarti orang yang secara individu atau pun kelompok telah menderita kerugian baik fisik maupun 136
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
mental, emosional, ekonomi atau pengambilan hak-hak fundamental mereka melalui tindakan-tindakan atau penghapusan yang melanggar hukum kriminal yang berlaku dalam negara-negara anggota termasuk hukum-hukum yang melarang kejahatan penyalahgunaan kekuasaan) (Yutia, 2010: 117) lstilah korban juga termasuk keluarga atau orang yang bergantung kepada orang lain yang menjadi korban. Dengan demikian korban yang dimaksud bukan hanya korban yang mengalami penderitaan secara langsung, melainkan keluarga atau orang-orang yang mengalami penderitaan akibat dari menderitanya si korban tadi. Dalam declaration of basic principles of justice for victims of crime and abuse of power terdapat beberapa hak yang fundamental bagi korban (Yulia, 2010:118 — 120), yaitu: 1. Access to justice and fair treatment Korban harus diperlakukan dengan rasa kasihan dan rasa hormat. Mereka berhak atas akses kepada mekanisme-mekanisme dan keadilan dan untuk mengganti kerugian. Mekanisme-mekanisme administratif dan hal tentang pengadilan hams dibentuk I mapan dan diperkuat di mana perlu memungkinkan korban-korban untuk memperoleh mengganti kerugian melalui prosedur-prosedur formal atau informal yang bersifat cepat dan efisien, adil, dapat diakses dan yang murah. Korban-korban harus diberitahukan kerugian melalui mekanismem ekanisme seperti itu. Kemampuan reaksi dan proses-proses adiministratif dan hal tentang pengadilan sesuai dengan kebutuhan korban harus dimudahkan oleh: Kebutuhan korban yang berkaitan dengan proses pengadilan di antaranya: (a) memberi tahu korban-korban dari peran mereka dan Iingkup, pemilihan waktu dan kemajuan dari cara bekerja dan disposisi kasus-kasus mereka, terutama kejahatan-kejahatan yang
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
137
serius dilibatkan dan mereka sudah meminta informasi; (b) Korban didengar keinginannya untuk dipertimbangkan; (c) Bantuan yang tepat kepada korban-korban sepanjang proses yang hukum; (d) Memperlakukan korban dengan baik dan menjamin keselamatan keluarga korban dan saksi dan ancaman intimidasi; (e) Menghindari penundaan dalam mengabulkan putusan korban-korban. 2. Restitution Pelaku kejahatan atau pihak ketiga bertanggung jawab untuk mengganti kerugian kepada korban-korban, keluarga-ketuarga atau orang yang bergantung kepada korban. Penggantian kerugian seperti itu termasuk kembalinya harta atau pembayaran untuk kerugian yang diderita dan pemulihan hak-hak. Pemerintah, perlu meninjau ulang pelaksanaan dan peraturan undang-undang untuk mempertimbangkan penggantian kerugian dalam perkara pidana. Termasuk alam kasus kejahatan Iingkungan. Lebih balk dilakukan pemulihan hngkungan atau ganti kerugian. 3. Compensation Kompensasi diberikan kepada korban oleh pelaku. Akan tetapi pada saat pelaku tidak sanggup untuk membayar maka kompensasi itu harus dibayar oleh negara. Korban yang mendapat kompensasi yaitu: (a) Korban yang menderita luka fisik maupun psikis akibat dari kejahatan yang berbahaya; (b) Keluarga korban 4. Assistance/bantuan Korban perlu menerima bantuan baik medis, sosial dan psikologis. Bantuan ini disalurkan melalui bidang pemerintahan 138
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
atau masyarakat. Korban harus dijamin kesehalannya. Para aparat terakit harus mempunyai pengetahuan yang cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan korban. Sehingga bantuan yang dibenikan optimal dan profesional. Bantuan yang diberikan harus tepat sasaran.
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
139
140
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
BAB IV PROSES PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
Sebelum penulis membahas Iebih jauh beberapa indikator variabel yang diketengahkan dalam buku ini sebagai suatu bentuk dari proses peradilan pidana yang adil sebagai perwujudan dari peradilan yang progresif, maka terlebih dahulu diuraikan beberapa hal yang berhubungan dengan SPP, terutama aspekaspek yang sangat bertalian dengan penyelenggaraan proses hukum yang ada. Untuk itu, sebelum membahas Iebih jauh konsep proses hukum yang adil, terlebih dahulu penulis akan uraikan beberapa hal yang bertalian dengan SPP, terutama aspek-aspek yang sangat berkait dengan penyelenggaraan proses hukum yang adil. SPP pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan ahli dalam “criminal justice science” di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum. Ketidakpuasan terbukti dan meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960an. (Romli Atmasasmita, 1996 : 6-7). Pada masa itu pendekatan yang dipergunakan dalam penegak hukum adalah hukum dan ketertiban (law and order approach) dan penegakan hukum dalam konteks pendekatan tersebut dikenal dengan istilah “law anforcemenf’. lstilah ini menunjukkan bahwa aspek hukum dalam penanggulangan kejahatan dikedepankan dengan kepolisian sebagai pendukung utamanya. Keberhasilan penanggulangan kejahatan pada masa itu sangat bergantung pada efektifitas dan efisiensi kerja organisasi kepolisian. Namun dalam penegakan hukum demikian, pihak kepolisian menghadapi berbagai kendala baik yang bersifat Operasional maupun proceduralle legal M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
141
dan kemudian kendala ini tidak memberikan hasil yang optimal dalam upaya menekan kenaikan angka kriminalitas, bahkan terjadi sebaliknya. Hagan (Romli Atmasasmita, 1993:8) membedakan antara criminal justice process dan criminal justice system. Menurutnya criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan criminal justice system adatah interkoneksi antara keputusan dan setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Sedangkan Mardjono Reksodiputro (1994:93) menulis bahwa proses peradilan pidana merupakan suatu rangkaian kesatuan (continuum) yang menggambarkan peristiwa yang maju secara teratur; mulai dan penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, periksa oleh pengadilan, diputus oleh Hakim, di pidana dan akhirnya kembali pada masyarakat. Sementara itu, Barda Nawawi Arief (1992:197) mengartikan SPP sebagai suatu proses penegakan hukum pidana. Oleh karena itu berhubungan erat dengan perundang-undangan pidana itu sendiri, baik hukum pidana substantif maupun hukum acara pidana. Pada dasarnya, lanjut Barda Nawawi Arief, Perundangundangan pidana merupakan penegakan hukum pidana in abstracto yang akan diwujudkan ke dalam penegakan hukum in concrecto. Terkait filosofi yang mendasari jalannya SPP, Patut dikemukakan pendapat Geoffrey Hazard Jr sebagaimana yang dikutip oleh Romli Atmasasmita (1996:17) bahwa dalam SPP dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu pendekatan normatif, administratif dan sosial. Dalam kaitannya dengan SPP ini, Herbert Packer (1986:153) memperkenalkan dua model, yaitu crime control mode dan dua process model. Dua model ini, merupakan antinomi normative di pusat hukum pidana. Keduanya berupaya mengabtrasikan dua sistem nilai yang berbeda dalam pelaksanaan proses peradilan pidana. 142
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
CCM dan DPM memang tidak sama namun tidak bertentangan, keduanya bertumpu pada sistem perlawanan (The Adversary System). CCM percaya pada keahlian penegak hukum, polisi, jaksa dan Hakim, sehingga orang yang diajukan ke pengadilan dianggap Sembilan puluh persen sebagai pelakunya sedangkan DDM percaya pada pertarungan pengacara sebagai upaya mencari kebenaran materil. Dengan cara ini dapat diminimalisasi terjadinya error. Dalam adversary system ini, penasehat hukumlah yang mengendalikan perkara. Mereka menyusun strategi, menggali dan menyajikan alat bukti di pengadilan. Sedangkan Hakim hanya mengawasi agar kedua belah pihak mematuhi aturan main yang telah ditetapkan. Jadi, peran Hakim di sini tidak lebih sebagai seorang wasit. Menurut Fuller (1995:27) filsafat peradilan dengan sistem perlawanan ini adalah suatu filsafat yang menekankan perbedaan antara fungsi penasehat hukum di satu sisi, dan fungsi Hakim dan dewan yuri di sisi lain. Dalam sistem perlawanan ini putusan perkara terletak pada Hakim atau dewan yuri. putusan harus dijauhkan dari sifat subyektivitas dan prasangka. Akhirnya, Fuller (1996 : 27) menulis bahwa sistem perlawanan ini pembenarannya terletak pada kenyataan bahwa ia merupakan suatu sarana, di mana kemampuan individu dapat ditingkatkan sampal titik di mana ia memperoleh kekuatan untuk melihat realitas dengan mata yang bukan matanya sendiri, di mana ia mampu untuk menjadi bebas dari keberpihakan dan bebas dari prasangka sebagaimana “dapat dimungkinkan oleh keadaan manusia”. Berbeda dengan adversary system, di negara civil law seperti Perancis, Jerman dan Belanda dikenal adanya sistem peradilan yang disebut sistem selidik (inquisitorial system). Sistem selidik ini sangat berbeda dengan sistem perlawanan. Dalam sistem selidik ini, peranan Hakim cukup besar, karena merekalah yang membangun dan memutus perkara. Untuk itu, mereka menyelidiki fakta dan mengumpulkan alat bukti bertalian
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
143
dengan perkara yang ditanganinya. Namun di sisi lain, peranan penasehat hukum dalam sistem selidik ini tidak sedominan dengan peranan penasehat hukum pada sistem perlawanan. Mengingat Indonesia bekas jajahan Belanda, maka sebagaimana negara-negara Eropa kontinental lainnya, sistem peradilan pidana di Indonesia pun Iebih berorientasi kepada civil law system. Selanjutnya, bila menyimak model yang dikemukakan oleh Herbert packer, yaitu CCM dan DPM sangat mempengaruhi Hukum Acara Pidana Indonesia. Due process model misalnya, nilai-nilai yang terdapat di dalamnya sejalan dengan apa yang dikandung dalam KUHAP, yaitu adanya perlindungan atas hak-hak tersangka seperti dijunjung tingginya asas praduga tidak bersalah dan asas persamaan di muka hukum serta adanya kesempatan tersangka/ terdakwa untuk didampingi oleh penasehat hukum. Sedangkan secara operasional CCM ini masih cenderung mewarnai proses peradilan pidana kita, khususnya di tingkat penyidikan. Bagi Muladi (1995:5) baik CCM, DPM maupun Family Model masing-masing mempunyai kelemahan. CCM tidak cocok diterapkan, karena model ini memandang penjahat sebagian musuh masyarakat yang harus dibasmi atau diasingkan, ketertiban umum berada di atas segalanya dan tujuan pemidanaan adalah pengasingan sedangkan due process model tidak sepenuhnya menguntungkan karena bersifat anti authoritarian values family model dari Griffiths kurang memadai karena terlalu offender juga memerlukan model sistem Peradilan Pidana Yang oriented, karena masih terdapat korban (victim) yang juga memerlukan perhatian serius. Untuk itu, lanjut Muladi, model sistem peradilan pidana yang cocok bagi Indonesia adalah model yang mengacu kepada “daad dader strafrecht” yang disebut: model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model yang realistik memperhatikan kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan . 144
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Bahkan pengalaman telah menunjukkan, kritik terhadap buruknya pelaksanaan SPP tidak hanya bertalian dengan perlakuan terhadap tersangka melainkan juga terhadap korban dan saksi. Hal ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Andrew Karmen (1984:125) sebagai berikut: The criminal justice system is a branch of government thal comes under scathing attack all quarters. Conservatives, liberals, and radicals; feminist’ law and order advocates; civil rights activists’ and civil libertarians; all find fault with its rules and operations. Even its officials joint the chorus of critics calling change. If there is one word thal describe how the criminal justice sistem treats victim of crimes and witnesses to crimes, it is “badIy”. (Sistem peradilan pidana adalah cabang pemerintah yang datang dari serangan dan semua penjuru. Konservatif, liberal, dan radikal, hukum feminis dan advokat lain. Aktifitas hak-hak sipil serta libertarian sipil; semua mendapatkan kesalahan pada aturan dan pelaksanaannya. Bahkan pejabat turut bersama-sama kritikus meneriakkan perubahan. Jadi ada satu kata yang melukiskan bagaimana sistem peradilan pidana memperlakukan korban kejahatan dan saksinya, maka itu tidak baik). Untuk itu, dalam upaya perbaikan SPP seyogianya tidak hanya difokuskan pada perlndungan hak-hak tersangka/ terdakwa saja. Akan tetapi pula memperhatikan hak-hak korban dan saksi. Bertalian dengan tujuan SPP Mardjono Reksodiputro (1994:85) merumuskan sebagat berikut: a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan. Sedangkan Romli Atmasasmita (1996:9-10) menulis bahwa ciri pendekatan sistem dalam peradilan pidana ialah: a. Titik berat koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan);
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
145
b. Pengawasan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana; c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dan efesiensi penyelesaian perkara; d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “the administrasi of justice” Menurut Muladi (1997 : 30-31) ada beberapa hal yang patut diperhatikan apabila diinginkan sebuah SPP yang baik dan otomatis berwibawa antara lain: 1. Asas-asas dasar prosedural a. Kewenangan untuk menangani tindak pidana merupakan Kewenangan negara. b. Perlunya pemantapan apa yang dinamakan mechanism for jurdical control. c. Perlunya kriteria-kriteria yang jelas terhadap discretionary powers. d. Kebebasan peradilan harus ditegakkan. 2. Asas-asas prosesuai a. Setiap perorangan dan lembaga baik publik maupun privat harus bekerjasama dengan pengadilan apabila diminta. b. Penundaan yang tidak beralasan (undue delay) harus dihindarkan. 3. Hak-hak terdakwa a. Harus didampingi penasehat hukum sejak pemeriksaan pendahuluan kecuali yang bersangkutan menolak. b. Hak untuk didampingi penterjemah apabila diperlukan. c. Larangan penggunaan kekerasan, ancaman, iming-iming dan sebagainya untuk memperoleh pengakuan . d. Perlu sanksi kriminal atau disiplin yang tegas bagi para penegak hukum yang melanggar asas-asas peradilan. e. Bukti-bukti yang diperoleh secara tdak sah harus dtoIak oleh pengadilan . 146
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
f. Bantuan hukum yang dipilih secara bebas harus pula dimungkinkan pada setiap tahap peradilan pidana, termasuk pada saat yang bersangkutan harus menjalani pidana . g. Kerahasiaan komunikasi antara terdakwa dan penasehat hukumnya harus dijamin. h. Kebebasan praktek profesional pengacara harus dijamin oieh negara . i. Asas proporsionalitas dalam penggunaan upayaupaya paksa hendaknya selalu digunakan dengan mempertimbangkan secara khusus gravitas tindak pidananya dengan segala konsekuensinya. j. Peradilan yang cepat harus selalu diperhatikan . k. Penahanan hendaknya selalu rnemperhatikan keabsahan penahanan dan kebutuhan penahanan (ultima ratio principles). l. Tindakan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia harus dihindarkan dalam penahanan. m. Proses peradilan harus terbuka untuk umum, kecuali halhal tertentu dan harus diadili oleh berbagai unsur yang akan menentukan penilaian terhadap pelaku . n. Saksi ahli sedapat mungkin diajukan . o. Asas praduga tak bersalah dan asas in dupic pro reo harus dijamin. p. Negara harus rnengatur kemungkinan untuk perbaikan. apabila terjadi judicial error atau malfunctioning of the’ administration or justice. Pandangan Muladi yang bertalian dengan syarat SPP yang baik sesungguhnya sudah selaras dengan jiwa dan semangat proses hukum yang adil yang menghendaki adanya perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa. Bertalian dengan keadilan procedural, John Rawis (Andre Ata Ujan, 2001:40) mengetengahkan tulisannya tentang due procedural M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
147
justice. John Rawls selanjutnya memperkenalkan dua macam keadilan yang disebutnya perfect procedural justice dan imperfect procedural justice. Perfect procedural justice bisa digambarkan dengan pembagian yang adil atas sebuah kue. Demi menjamin keadilan, orang yang memotong atau bertugas membagi kue haruslah menjadi orang yang terakhir mengambil bagian kuenya. Dengan demikian, si pembagi akan berusaha membaginya seadil mungkin, hanya dengan cara ini Ia memberikan jaminan bagi dirinya sendiri untuk mendapatkan bagian yang besar. Apabila Ia tidak bertindak adil, maka sebagai orang yang terakhir akan mengalami resiko memperoleh bagian yang sedikit. Dari ilustrasi di atas menampakkan bahwa ciri pokok suatu peradilan prosedur sempurna adalah: pertama, terdapat patokan yang sudah disepakati terlebih dahulu mengenai prosedur yang akan ditempuh; dan kedua, para kontestan sejak awal sudah dapat merancang hasil yang akan dicapai, yaitu ada kepastian bahwa semua orang akan mendapatkan bagian yang sama. Dengan demikian, hasil dan prosedur sudah diketahui sebelumnya oleh semua orang yang terlibat dalarn proses tersebut. Dalam konteks hukum pidana, Perfect Procedural Justice ini sejalan dengan asas legalitas yang memberikan kepastian hukum baik kepada aparat hukum maupun kepada masyarakat yang terlibat dalam suatu perkara pidana. Tentang peradilan prosedural yang sempurna, John Rawis (Andre Ata Ujan, 2001 : 41) mengambil contoh dari proses peradilan pidana. Proses peradilan seperti ini dirancang untuk mencari dan menemukan bukti-bukti sehubungan dengan tuduhan yang ditujukan kepada tersangka/ terdakwa. Meskipun telah dirancang sedemikian rupa, dan dilengkapi dengan standar peraturan yang baik, namun hasil dari prosedur ini masih patut dipertanyakan. Oleh karena hasil akhir acapkali sangat jauh berbeda dengan apa yang telah diperkirakan semula. Hal ini terjadi karena pemeriksaan terhadap suatu kasus tertentu dapat diatur sedemikian rupa untuk dilaksanakan dalam suasana yang berbeda. Karena suasana yang berbeda itu sulit diharapkan 148
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
bahwa prosedur seperti itu dapat memberikan hasil yang dapat diterima secara umum sebagai sesuatu yang benar. Dengan demikian meskipun semua hukum yang mengatur prosedur peradilan telah dipenuhi dan prosedur yang mendahuluinya dipandang adil, hasil akhir dari proses peradilan pidana bisa salah, karena dalam situasi yang berbeda mengakibatkan pemeriksaan bisa berubah. Dalam prosedur seperti ini, keadilan yang sesungguhnya mungkin tidak terpenuhi karena orang yang tidak bersalah pada akhirnya dapat dinyatakan bersalah, sebaliknya yang bersalah dapat dinyatakan tidak bersalah. Menurut John Rawls (Andre Ata Ujan, 2001 : 92), prinsip pertama keadilan harus merupakan hasil dari suatu prosedur yang tidak memihak. Bagi John Rawls, keadilan sebagai fairnees adalah pure procedural justice. Artinya, keadilan sebagai fairness harus berproses dan sekaligus terefleksi melalui suatu prosedur yang adil. OIeh karena itu, kemungkinan penerimaan terhadap prinsip-prinsip pertama keadilan juga sangat bergantung pada penerimaan publik atas prosedur yang diterapkan dalam proses perumusan prinsip-pninsip keadilan. Bila menyimak pengaturan hak-hak tersangka/ terdakwa serta asasa sas yang terdapat dalam KUHAP, tampaknya sudah s&aras dengan unsur ininimal dan proses hukum yang adil yang telah dikemukakan oleh Tobias dan Petersen serta Kongies PBB Kesepuluh Prevention of Crime and the Treatment of offenders. ini berarti, hak-hak tersangka dan asas-asas yang terkandung dalam KUHAP otomatis dapat pula dijadikan sebagai suatu pedoman terhadap terselenggaranya proses hukum yang adil dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Dalam kaitannya dengan proses hukum yang adil, Paul Sieghart (1986:133) menulis, bahwa sejarah telah menunjukkan di mana hukum banyak dikuasai dipengaruhi oleh kasta, kelas atau kelompok tertentu yang tidak sedikit mengorbankan pihak lain. Bahkan menurut Paul Sieghart, hukum kadang dibuat berlaku surut untuk kepentingan pihak penguasa; tragisnya, lembaga peradilan dan pengacarapun tunduk kepada negara atau partai
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
149
politik yang sedang berkuasa; demikian halnya muncul sikap praduga bersalah kepada seseorang jauh sebelum ada bukti yang mendukungnya. Di samping itu, demikian Paul Sieghart, kadang masyarakat sudah memastikan bahwa putusan pengadilan mempersalahkan terdakwa dengan mengabaikan alat bukti atau pembelaan. Kesemuanya ini tentu tidak mencerminkan adanya suatu kebebasan peradilan (independent yudiciary) yang merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang menjunjung tinggi rule of law. Padahal, kebebasan peradilan itu sendiri merupakan salah satu unsur yang esensial dalam kerangka terlaksananya proses hukum yang adil. Proses hukum yang adil ini sejalan dengan konsep hukum yang otonom dan Philippe Nonet dan Philip Selznick yang memandang bahwa hukum otonom sebagian besar digunakan untuk menggambarkan cita-cita pemerintahan oleh hukum dan bukan pemerintahan oleh orang-orang. (Peters, 1990:170) Selain itu, konsep hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial empiris dan kekuasaan berdasar hukum. Sifat paling penting dari hukum otonom adalah: a) penekanan pada aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta; b) terdapatnya pengadilan yang independen dan tidak dapat dimanipulasi oleh kekuasaan politik dan ekonomi. Sebuah prinsip penting dari hukum otonom adalah terpisahnya dari politik. Ahli hukum dan pengadilan adalah spesialisasi dalam menafsirkan dan menerapkan hukum, namun substansi hukum tidak ditentukan oleh mereka, melainkan hasil dari tradisi atau keputusan politik. Berdasarkan suatu sistem hukum otonom, pengadilan tidak dapat menjamin bahwa hukum itu adil, namun mereka dapat mengusahakan agar hukum diterapkan secara adil. Sumbangannya yang paling penting bukanlah keadilan substantif, melainkan keadilan prosedural. (Peters, 1990: 174). Sejalan dengan hal tersebut, Abdul Mannan (2005: 155) menyatakan bahwa meskipun profesi hukum memiliki intelektualitas yang tinggi dalam bidang hukum, tetapi jika hal 150
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
tersebut tidak didukung oleh integritas moral yang solid, maka kesemuanya yang dimilikinya itu tidak akan mempunyai arti sama sekali . Pada prinsipnya, peradilan yang jujur dan tidak memihak, sejak dulu telah menjiwai proses peradilan pidana adat di Indonesia khususnya hukum pidana adat di Sulawesi Selatan. Hal ini tampak dari syarat-syarat peradilan jujur (bicara lempu) yang dikemukakan oleh La Tadampare Puang ri Maggalatung sebagaimana yang ditulis oleh Andi Zainal Abidin (1983 :165) antara lain menyatakan : pertama, bicara watakkale yaitu peradilan Iaksana diri sendiri yang diadili. Artinya para pabbicara (Hakim) harus menganggap orang-orang yang diadili itu sebagai dirinya sendiri; kedua, bicara napuji tomaeqae artinya peradilan yang disukai oleh orang banyak; ketiga, segala hal ada sebabsebabnya sehingga benar dan baik. Juga menanak nasi pun a da bicaranya (aturannya) sehingga benar dan baik. Yang disebut perbuatan yang patut dan sedang-sedang saja (normal), adalah tak berlebih-lebihan. Dalam konteks KUHAP, proses hukum yang adil tercermin dari asas-asas KUHAP (menurut penjelasan) oleh Mardjono Reksodiputro (1994:32- 33) dibagi atas: Asas-asas umum: 1. Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun; 2. Praduga tak bersalah; 3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi; 4. Hak untuk mendapat bantuan hukum; 5. Hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan; 6. Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana; 7. Peradilan yang terbuka untuk umum; serta Asas-asas khusus: 8. Pelanggaran atas hak-hak individu (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
151
(tertulis); 9. Hak seorang tersangka untuk diberitahu persangkaan dan pendakwaan terhadapnya; dan 10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya. Salah satu aspek penting dari kekuasaan hukum adalah adanya prinsip-prinsip hukum acara pidana yang memberi jaminan di mana individu yanq disangka/didakwa melakukan tindak pidana akan diadili secara adil. Misalnya, adanya hak untuk tidak menyalahkan diri sendiri/ hak dari seorang untuk tidak dipaksa di dalam perkara pidana manapun agar menjadi saksi terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain tak seorang pun dapat dipaksa untuk membuat pernyataan yang akan merupakan kesaksian terhadap dirinya sendiri. Bila berbicara proses hukum yang adil, maka sangat relevan mengemukakan asumsi yang dikemukakan oleh Herbert Packer (1968:155- 157) bahwa asumsi ini dipandang sebagai dasar yang umum bagi pelaksanaan setiap model proses peradilan pidana. Adapun asumsi-asumsi yang dimaskud adalah: Pertama, Herbert Packer mengemukakan prinsip undangundang tidak berlaku surut. Artinya, penetapan perbuatan yang dianggap sebagai suatu tindak pidana harus mendahului proses identifikasi dan penanganan seorang tersangka; kedua, ada asumsi bahwa ada batas-batas kekuasaan negara untuk menyelidiki dan menangkap orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana. Hal ini bertolak dari asumsi umum bahwa keamanan dan privasi individu tidak dapat semaumaunya diganggu. Lebih lanjut Herbert Packer menulis bahwa ada suatu kompleks asumsi yang dikenal dengan istilah “the Adversary System”, yang terdiri atas “procedural due process (hak atas proses yang adil), “notice and an opportunity to be heard” dan day incourt (hak tersangka untuk diberitahu secara resmi tindak pidana yang disangkakan kepadanya serta adanya hak membela diri). 152
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Sistem pembuktian berdasarkan adversary model tersebut di atas dapat meminimalisasi kemungkinan dituntutnya seseorang yang nyata-nyata tidak bersalah, meskipun kemungkinan seseorang yang benar-benar bersalah dapat terhindar dari jeratan hukum. Di sinilah tampaknya nilai terpenting yang dianut oleh adversary model. Pada kenyataannya, di negara demokrasi aparat kepolisian selalu dihadapkan pada dua konflik kepentingan yaitu: kepentingan memelihara ketertiban di satu sisi dan kepentingan mempertahankan asas legalitas di sisi lain. Konflik yang sama juga terjadi di Amerika Serikat, bahkan semakin kompleks sifatnya sebagaimana ditulis oleh Romli Atmasasmita (1983: 5) sebagai berikut: 1. Polisi di Amerika Serikat harus konsisten dengan undangundang. 2. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Komisi Wickersham dari The National Committee of Law Observence and enforcement ditemukan beberapa praktek yang sangat sadis dan mengerikan sehingga sangat jauh dari sentuhan intelektuaI seperti tehnik interogasi yang mengakibatkan tersangka membuat pengakuan yang merugikan dirinya di sidang pengadilan.
A. ASPEK-ASPEK PERADILAN YANG ADIL Ada tiga aspek yang melingkupi proses hukum yang adil sebagai pokok bahasan dalam kajian ini, yaitu the rule of law, equality before the law dan presumption of innocence. Ketiga aspek ini dianggap mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerangka pelaksanaan proses hukum yang adil (due process of law). Untuk menciptakan adanya perlindungan terhadap hak asasi seseorang dari segala bentuk penindasan yang sewenangwenang dari aparat penegak hukum, maka kehadiran dari ketiga aspek tersebut di atas perlu diimplementasikan Iebih jauh dalam tataran praktisnya. Untuk itu, pembahasan ketiga aspek berikut ini
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
153
akan lebih memperjelas keterkaitannya dengan penyelenggaraan due process of law khususnya di Indonesia. Ketiga aspek tersebut adalah sebagai berikut: 1. The Rule of Law Di bawah the rule of law, bukan hanya masyarakat yang dituntut taat hukum, melainkan juga pemerintah beserta segenap perangkatnya termasuk penegak hukum sendiri. Salah satu wujud ketaatan penegak hukum kepada hukum adalah adanya kesungguhan untuk menaati hak-hak tersangka/ terdakwa sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. lstilah atau pengertian the rule of law paling sedikit dapat dipakai dalam dua arti, yaitu dalam arti formal atau materil. Di samping arti formal ini, the rule of law menjadi alat yang paling efektif dan efisien untuk menjalankan pemerintahan yang tiranis. Menurut Seorjono Soekanto (1982:65) bahwa the rule of law dalam arti materil atau ideologis mencakup ukuran-ukuran hukum yang baik dan hukum yang buruk yang antara lain sebagai berikut: 1. Ketaatan dari segenap warga masyarakat terhadap kaidah-k aidah hukum yang dibuat serta diterapkan oleh badan legislatif, eksekutif dan yudikatif . 2. Kaidah-kaidah hukum harus selaras dengan hak-hak asasi manusia. 3. Negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kondisi-k ondisi sosial yang memungkinkan terwujudnya aspirasi-a spirasi manusia dan penghargaan yang wajar terhadap martabat manusia. 4. Terdapatnya tata cara yang jelas dalam proses mendapatkan keadilan terhadap perbuatan yang sewenang-wenang dari penguasa dan 5. Adanya badan yudikatif yang bebas dan merdeka yang akan dapat memeriksa serta memperbaiki setiap tindakan yang sewenang-wenang dari badan-badan eksekutif dan legislatif.
154
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Sedangkan Dicey (Oemar Seno Adji, 1981:231) mengetengahkan tiga pengertian the rule of law pertama, bahwa setiap orang tak dapat dipidana dan hak tak akan menderita jasmaniah ataupun materil, kecuali jika tampak adanya suatu pelanggaran hukum yang jelas, yang ditetapkan menurut hukum oleh pengadilan; kedua, berbicara the rule of law, khususnya sebagai suatu karakteristjk untuk Inggris, maka tidak saja bahwa tak seorangpun adalah di atas hukum, melainkan bahwa setiap orang, apapun jabatan ataupun pangkatnya ataupun kondisinya, adalah tunduk pada hukum biasa dan termasuk juridiksi dan peradilan umum. Di Inggris ditumbuhkan ide mengenai legal equality, bahwa setiap orang, segala golongan tunduk pada suatu hukum yang ditetapkan oleh pengadilan umum, ketiga, atribut khusus bagi lembagalembaga di Inggris ialah pninsip-prinsip umum, apa yang dikenal sekarang sebagai hak-hak asasi manusia yang merupakan ketentuan-ketentuan konstitusional, adalah di Inggris suatu hasil dari putusan-putusan pengadilan yang menetapkan hakhak seseorang dalam perkara-perkara khusus. Sedangkan Wade dan Godfrey Philip (Philipus M. Hadjon, 1987:81-82) mengetengahkan tiga konsep yang berkaitan dengan the rule of law. Pertama, the rule of law mendahulukan hukum dan ketertiban dalam masyarakat dari pada anarki; dalam pandangan ini, the rule of law merupakan pandangan filosofis terhadap masyarakat yang dalam tradisi barat berkenaan dengan konsep demokrasi; kedua, the rule of law menunjukkan suatu doktrin hukum bahwa pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum; ketiga, the rule of law menunjukkan suatu kerangka pikir politik yang harus diperinci dalam peraturan-peraturan hukum, baik hukum substantif maupun hukum acara, misalnya apakah pemerintah mempunyai kekuasaan untuk menahan warga negara tanpa melalui proses peradilan dan mengenai proses misalnya presumption of innocence. Bertolak dari pandangan Dicey dan Wade di atas, Hadjon menyimpulkan bahwa tampaknya pikiran-pikiran Dicey adalah
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
155
pikiran-pikiran murni (meskipun sempit) yang berdasarkan pada praktek common law di inggris. Sedangkan kritik serta konsep Wade dipengaruhi oleh pola pikir dan keadaan di Eropa pada umumnya Dijelaskan oleh Hadjon bahwa dikatakan pandangan murni dan sempit karena dari tiga pengertian dasar yang diketengahkan oleh Dicey mengenai the rule of law intinya adalah common law sebagai dasar perlindungan bagi kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa. Jadi the rule of law bertentangan dengan kekuasaan oleh manusia. Jadi, meskipun manusia yang memerintah dan menggunakan kekuasaan, namun mereka harus melakukannya sesuai prinsip hukum. Dalam hubungan ini, Lon Fuller (1974:64-65) memberikan delapan persyaratan formal dan the rule of law yaitu: pertama, generally, artinya segala keputusan otoritas yang dibuat atas suatu dasar sementara dan atas dasar kebijakan yang bebas, melainkan atas dasar aturan-aturan yang umum; kedua, promulgation, artinya aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh dirahasiakan, melainkan harus diumumkan; ketiga, nonretroactive laws, bahwa aturan-aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi kegiatan-kegiatan di kemudian hari. Aturan tidak boleh berlaku surut. Persyaratan ini sejalan dengan asas legalitas yang terdapat dalam hukum pidana; keempat, The clarity of laws, artinya hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat. Fuller menamakan hal ini sebagai hasrat untuk kejelasan, kelima, bertentangan antara satu dengan yang lainnva: keenam laws requiring the imposible, yang berarti aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang di luar kemampuan pihak-pihak yang terkena. Dengan kata lain, hukum tidak boleh memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan; ketujuh, constancy of the law through time, artinya dalam hukum harus ada ketegasan, hukum tidak boleh diubah-ubah setiap waktu, sehingga orang tidak bisa lagi mengorientasikan kegiatannya kepada hukum; kedelapan, congruence between official action and declared rule. Artinya harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan dengan 156
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
pelaksanaan senyatanya. Dari persyaratan formal yang dikemukakan Fuller tersebut di atas tampak bahwa ia sangat formalistik dalam memandang the rule of law. Hal ini terlihat dari sikapnya yang memberikan syarat yang bersifat limitative. Akibatnya, the rule of law sangat berorientasi kepada kepastian hukum. Padahal, pada kenyataannya acapkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan kepatutan hukum yang ada dalam masyarakat. Menurut Yash Ghai, (1981:9) perumusan perbedaan antara the rule of law dan the rule by law merupakan awal yang baik untuk lebih memahami rule of law secara lebih luas. Dalam perspektif sejarah, the rule of law Iebih mementingkan legalitas daripada demokrasi. timbulnya mandahului demokrasi; terjadi peran antara legalitas dan demokrasi, kedaulatan dan hak rakyat, dan ketika berbicara the rule of law, tidak selalu berpikir prosedur. Sesungguhnya, di samping istilah the rule of law juga dikenal istilah rechtsstaat. Moch Yainin (Frans Hendra Winarta, 2000:45) mendefenisikan negara hukum (rechtsstaat) sebagai kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah hanya berdasarkan dan berasal dari undang-undang dan sekali-kali tidak berdasarkan kekuasaan senjata, kekuasaan sewenang-wenang, atau kepercayaan bahwa kekuatan badanlah yang boleh menuntaskan segala pertikaian dalam negara. Menurut Philipus M. Hadjon, (1987:72) dari latar belakang dan sistem hukum yang menopangnya terdapat perbedaan antara konsep rechtsstaaf dengan konsep the rule of law. Namun demikian, dalam perkembangan dewasa ini tidak dipermasalahkan lagi perbedaan antara keduanya karena pada dasarnya kedua konsep itu mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama yaitu pengakuan konsep itu dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Lebih lanjut, Philipus M. Hadjon menulis bahwa konsep rechtssfaat dari suatu perjuangan menentang absolutism sehingga sifatnya revolusioner, sedangkan konsep the rule of law M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
157
berkembang secara revolusioner. Hal ini tampak dari isi atau kriteria rechtsstaat dan sistem hukum kontinental yang disebut civil law sedangkan the rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut common law. Adapun salah satu ciri utama negara hukum (rechtsstaat) terletak pada kecenderungannya untuk menilai tindakan-tindakan yang dilakukan dalam masyarakat atas dasar peraturan hukum. Namun Peters (1988:52-53) mengingatkan bahwa the rule of law tidak dapat dipersamakan dengan suatu perangkat pasti dari aturan-aturan yang konkrit yang seharusnya diikuti dalam semua keadaan. Alasannya, pertama, kekuasaan hukum tidak terdiri dan aturan-aturan yang kongkrit, melainkan lebih terdiri dari prinsip-prinsip; kedua, terdapat suatu ketegangan yang terus menerus antara kekuasaan hukum dan nilai-nilai yang bersaing tata tertib umum, pencegahan kejahatan, keamanan nasional, dan pandangan-pandangan moral yang berpengaruh. Apa yang dilakukan oleh kekuasaan hukum adalah menambah suatu dimensi kritis kepada nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu, kekuasaan hukum tidak dapat direduksikan menjadi suatu perangkat pasti dan aturan-aturan konkrit yang dilkuti atau dilanggar, melainkan lebih dengan nilai-nilai lain. Pertanyaan apakah di beberapa negara atau beberapa daerah hubungan sosial kekuasaan hukum berpengaruh atau tidak. Hal ini selalu akan merupakan pertanyaan lebih atau kurang. Tidak ada satu negara pun. di Timur atau di Barat, yang kekuasaan hukumnya dapat tercapai sepenuhnya. Godfrey Philips mengemukakan tiga konsep yang berkaitan dengan the rule of law yakni, pertama the rule of law mendahulukan hukum dan ketertiban dalam masyarakat daripada anarki, dalam pandangan ini the rule of law merupakan the rule of law merupakan suatu pandangan historis terhadap masyarakat yang dalam tradisi barat berkenaan dengan konsep demokrasi, kedua, the rule of law menunjukkan suatu doktrin hukum bahwa pemerintahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum; ketiga, the rule of law menunjukkan suatu kerangka 158
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
pikir politik harus diperinci dalam peraturan hukum, baik hukum substantif maupun hukum acara, misalnya apakah pemerintah mempunyai kekuasaan proses peradilan dan mengenai proses, miisalnya presumption of innocence (Philipus M. Hadjon, 1987 : 8182). Dalam konsep the rule of law yang bertumpu pada sistem hukum common law, kaidah hukumnya kurang dirumuskan secara umum, seperti halnya pada sistem Romawi Jerman. Ciri Common Law terletak pada kaidahnya yang bersifat kongkrit, yang sudah menyerah pada penyelesaian suatu kasus tertentu. Kaidah itu tercipta melalui keputusan Hakim sehingga menempatkan pengadilan sebagai pemegang peran pokok. Meskipun demikian tidak berarti sistem common law mengabaikan perundangundangan, karena perundang-undangan yang ruang Iingkupnya umum sangat sedikit diternukan. Hukum perundang-undangan bersifat karuistis, pada dengan yang ada di Eropa daratan. Menurut mereka, perumusan perundang-undangan umum yang memuat prinsip-prinsip umum tidak layak disebut sebagai penciptaan kaidah hukum, melainkan hanya mengekspresikan keinginan moral atau menyatakan suatu rencana kebijakan (Satjipto Rahardjo, 1991 : 250). Eksistensi civil law system dan common law system seolah-olah membagi dunia atas dua kubu padahal realitasnya masih juga dijumpai adanya sistem hukum lain yang patut menyandang sebutan sistem hukum. Dalam konteks itu dikenal adanya sistem hukum sosial di Negara-Negara sosialis dan komunis, disamping hukum lslam yang berdasarkan Al-Quran (Satjipto Rahardjo, 1991: 252). Patut di tengahkan hasil wawancara penulis dengan salah seorang Hakim pada Pengadilan Negeri Makassar (Wawancara tanggal 21 Juni 2010) mengungkapkan bahwa apa yang terkandung dalam ajaran tentang The Rule of Law adalah landasan pemikiran yang dimaksudkan untuk melindungi Hak Asasi bagi mereka yang tersangkut dengan kasus hukum, dan di mana hal tersebut adalah sejalan dengan amanah dalam UU No. 48 Tahun
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
159
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Jika di simak pernyataan tersebut di atas tampaknya pihak Hakim yanq dijadikan responden tersebut hanya memahami The Rule of Law dalam arti Sempit saja yaitu hanya menempatkan The Rule of Law dalam ruang sidang Pengadilan saja, padahal inti ajaran dari The Rule of Law tidak sampai di situ saja, melainkan juga terhadap sikap pemerintah terhadap semua warga negaranya agar tidak diperlakukan secara sewenang-wenang dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Pandangan lain juga dikemukakan oleh beberapa orang advokat yang tergabung dalam Peradi Makassar (wawancara tanggal 18 Juni 2010) mengungkapkan bahwa salah satu implementasi dari The Rule of Law adalah adanya suatu proses hukum yang adil (Due Process of Law) yang tertuang dalam proses pemeriksaan perkara pidana sebagaimana terlihat dalam KUHAP telah mencermikan nilai-nilai yang terkandung dalam Due Process of Law, yang menawarkan prosedural yang ketat dengan didukung oleh sikap baik oleh aparat penegak hukum untuk menghormati hak-hak warganya, meskipun dalam kenyataannya formulasi aturan model yang demikian itu biasanya tidak memperlihalkan hubungan signifikan terhadap komitmen dalam praktek, yaitu menyangkut persoalan subtantif yang sering dikesampingkan, yang pada akhirnya hanya memunculkan prosedur formalnya saja. Sebagai contoh digambarkan oleh responden adanya penahanan terhadap anak dibawah umur, tidak adanya batas waktu dalam hal pra penuntutan dan sebagainya. Penulis sependapat dengan pendapat tersebut di atas, betapa tidak akibat dari formulasi model demikian dapat menimbulkan permasalahan dalam proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Pemeriksaan umumnya berlangsung lama, berbelitbelt, penuh keberpihakan, rumit dan tidak sederhana sebagaimana yang disebutkan dalam aturan normatif yang terkandung dalam KUHAP. Pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan biasanya menunjukkan kepada pelayanan status, biasanya memihak status yang Iebih tinggi atau yang berbobot materinya, dibandingkan 160
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
dengan status yang Iebih rendah atau yang kurang materinya, dan nilai yang dinamakan prilaku diskriminatif. 2. Asas Persamaan di Muka Hukum (Equality Before the Law) Asas persamaan di muka hukum ini sesungguhnya telah menjadi ciri dalam masyarakat yang beradab, dan telah diatur dalam Pasal 6 dan 7 Universal Declaration of Human Right yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk diakul sebagai manusia di hadapan hukum di manapun ia berada. “Kemudian dilanjutkan bahwa semua orang punya kesederajatan di depan hukum dan berhak tanpa diskriminasi apapun untuk mendapatkan perlindungan yang sama oleh hukum. Pernyataan tersebut diulangi lagi dalam bahasa yang hampir sama, dalam CPR (Convenant) Pasal 14 (1) 16 dan 26), dalam American Convention (Pasal 3 dan 24), dan The African Charter (Pasal 3 dan 5) (Paul Sieghart, 1984:134). Lebih lanjut dalam Pasal 10 UDHR juga ditegaskan menurut Baharuddin Lopa (1996:34) bahwa “setiap orang berhak penuh diperlakukan sama untuk didengar keterangannya di depan umum oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak untuk menjamin hak-hak dan kewajiban-kewajibannya serta atas setiap tuduhan kriminal terhadap dirinya”. Isi Pasal 10 UDHR ini sungguhnya sangat relevan dengan salah satu unsur-unsur proses hukum yang adil yang telah dikemukakan oleh Tobias dan Petersen yaitu hearing, counsel, delence, evidence and a fair and impartial court. Hal yang bertalian dengan pengaturan asas persamaan di muka hukum juga terdapat dalam Pasal 14 dan Traktat Internasional mengenai hak-hak kewarganegaraan dan politik yang isinya sebagai berikut: (1) semua orang adalah sama di depan pengadilan dan badan-badan peradilan. Di dalam penentuan tuduhan pidana kepadanya, atau mengenai hakhak dan kewajibannya di dalam perkara perdata, setiap orang berhak untuk diperiksa secara adil dan terbuka oleh suatu badan peradilan yang didirikan menurut undang-undang, bebas serta tidak memihak. Persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum dengan alasan-alasan kesusilaan, ketertiban umum atau M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
161
demi kepentingan nasional, atau bilamana publikasi dapat dianqqap menimbulkan prasangka terhadap kepentingan peradilan. Namun demikian, setiap keputusan yang diberikan di dalam suatu perkara pidana atau perdata harus dipermaklumkan ke khalayak ramai; (2) setiap orang yang dituduh melakukan suatu kejahatan berhak untuk diperlakukan berdasar praduga tak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan sesuai dengan hukum; (3) di dalam menentukan setiap tuduhan pidana terhadapnya, setiap orang berhak mendapat jaminan-jaminan minimum berikut dalam kesamaan yang penuh: a. Untuk diberitahu secepatnya dalam detil dan dalam bahasa yang dapat ia mengerti mengenai sifat dan sebab dari tuduhan terhadapnya. b. Untuk memperoleh cukup waktu dan fasilitas bagi persiapan pembelaannya dan untuk berkomunikasi dengan pembela yang ia pilih sendiri . c. Untuk diperiksa tanpa penundaan yang tidak beralasan . d. Untuk diperiksa dalam kehadirannya, dan untuk membela dirinya secara pribadi atau melalui penasehat hukum yang dipilihnya sendiri. Bila ia tidak didampingi penasehat hukum, Ia berhak disampaikan atas haknya itu. Bagi mereka yang tidak mampu, pengadilan dapat menyediakan secara cumacuma . e. Untuk memberikan kesempatan yang baik kepada saksisaksi yang memberatkannya maupun saksi-saksi yang meringankannya. f. Untuk mendapatkan bantuan penterjemah secara cuma-cuma apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang dipergunakan di pengadilan. g. Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang dapat merugikan dirinya sendiri atau untuk mengaku salah. (Peters, 1988: 34) . Pada prinsipnya, jaminan minimum atas kesamaan tersebut di atas, telah sejalan dengan hak-hak tersangka yang terdapat 162
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
dalam KUHAP. Namun, khusus huruf g, apabila ternyata suatu pengakuan dilakukan oleh tersangka karena didasari oleh paksaan dari pihak penyidik, maka seyogianya pengakuan tersebut tidak boleh diakui sebagai alat bukti yang sah, sehingga harus ditolak oleh Hakim. Pengaturan asas persamaan di muka hukum lebih lanjut diatur dalam Pasal 19 ayat a dan b Deklarasi Cairo (Baharuddin Lopa, 1996:35) yang menegaskan sebagai berikut: a. Semua individu adalah sederajat di muka hukum tanpa perbedaan antara yang memerintah dan yang diperintah. b. Hak untuk mendapatkan keadilan dijamin bagi setiap orang. Menurut Herbert Packer (1978:169), norma persamaan ini sesungguhnya bertujuan untuk mencegah situasi di mana ketidakmampuan finansial menjadi hambatan bagi pelaksanaan hak yang dimilikinya. Di samping itu, norma persamaan ini dapat menjadi dasar bagi suatu tuntutan yang secara teoritis membuat semacam hambatan yang tersedia bagi terdakwa yang mempunyai kesempatan menekan. Misalnya seorang terdakwa yang punya kesempatan diwakili untuk mencegah kasus yang menimpanya untuk dibawa ke pengadilan, dengan memaksa aparat hukum untuk membuktikan dalam pemeriksaan awal. Norma persamaan dapat pula diartikan bahwa kesempatan yang sama harus tersedia pula bagi yang lain. Uraian yang bertalian dengan asas persamaan di muka hukum di atas, pada hakikatnya merupakan upaya untuk menghapus diskriminasi di antara para warga negara, termasuk kepada tersangka dan terdakwa. Oleh karena itu, dalam proses peradilan pidana, para penegak hukum dituntut untuk memberikan perlakuan yang sama kepada para tersangka dan terdakwa tanpa pandang bulu. Hanya dengan cara ini hasil suatu proses pemeriksaan sungguh dapat dipertanggungjawabkan. Namun harus diakui, bahwa pelaksanaan asas persamaan di muka hukum dalam proses peradilan pidana di Indonesia masih sangat mengecewakan. Bahkan mungkin tidak berlebihan
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
163
bila dikatakan masih sebatas retorika yang lebih banyak diwarnai oleh pernyataan-pernyataan yang bersifat kamuflase. Banyaknya kasus yang tidak tuntas karena berlindung di balik kekuasaan justru semakin membenarkan ungkapan Solon, filsuf Yunani bahwa hukum itu bagaikan sarang laba-laba yang biasanya hanya dapat menjerat si lemah, akan tetapi dengan mudah dapat djhancurkan oleh si kuat. Atau kata-kata Oliver Goldsmith yang menyatakan bahwa Law grind the poor, and rich men rule the law artinya hukum itu hanya menggilas si miskin, dan sebaliknya Si kaya akan menguasai hukum. Begitupun apa yang dikemukakan oleh Greenberk bahwa Downward law (hukum mengarah ke bawah Iebih besar daripada upward (hukum mengarah ke atas) (David Greenberg, 1983 : 357). Black selanjutnya menafsirkan proposisi Greenberg ini bahwa yang mempunyai pangkat yang lebih tinggi sangat jarang ditangkap, dituntut dan dihukum dibanding mereka yang berpangkat lebih rendah terlepas dan perilaku aktual golongan berpangkat lebih rendah. Upaya menegakkan asas persamaan di muka hukum memang melalui proses yang panjang. Hal ini tampak dari tulisan Paul Sieghart (1986:134) bahwa bagi mereka yang mempelajari sejarah Amerika akan mengakui bahwa ungkapan yang terkenal perlindungan yang sama (equal protection) merupakan hasil dari perjuangan Amandemen keempat belas konstitusi Amerika yang diberlakukan sebagai akibat buruk perang sipil Amerika untuk meyakinkan bahwa negara bagian tidak akan mengembalikan/ membangun kembali perbudakan yang diatur oleh hukum di mana mendiskriminasikan orang-orang negro yang pada saat ini berjuang menuntut persamaan. Ketentuan itu melarang setiap negara bagian mengingkari kesamaan perlindungan hukum bagi orang-orang yang berada dalam wilayah yuridiksinya. Akan halnya dengan istilah equality before the law Ramly Hutabarat (1983:39) menulis bahwa istilah ini sesungguhnya lasim digunakan dalam hukum tata negara. Alasannya, karena hampir setiap neqeri mencantumkan masalah ini dalam konstitusinya. 164
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Adapun alasan mencantumkan equality before the law dalam suatu konstitusi adalah karena hal ini merupakan norma hukum yang melindungi hak-hak asasi warga negara. Semua warga negara sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Equality before the law, berarti persamaan di muka hukum. Jika dalam konstitusi hal ini dicantumkan, maka konsekuensi logisnya penguasa dan penegak hukum haruslah melaksanakan dan merealisasikan asas ini dalam kehidupan bernegara, sebab jika asas ini tidak dilaksanakan berarti terjadi penyelewengan dari konstitusi meskipun tampaknya bukan merupakan pelanggaran yang terang-terangan, namun sangat dirasakan oleh rakyat betapa ketimpangan hukum merupakan siksa batin yang berkepanjangan. Lebih lanjut Ramly Hutabarat (1985:76) mengemukakan bahwa equality (persamaan) terdiri atas persamaan alamiah (natural equality), adalah persamaan yang dibawah sejak lahir. Manusia punya rasio,sehingga natural equality berarti bahwa manusia sama karena memiliki akal atau rasio. Persamaan (civil equality), adalah hak sipil yang sama bagi semua anggota masyarakat. Pengakuan akan persamaan ini berarti bahwa setiap warga negara diperlakukan sama dalam menikmati hak-hak dan perlindungan. Contohnya, persamaan di hadapan hukum. Persamaan politik (political equality), adalah hak yang sama bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam urusan negara. misalnya memberikan hak untuk ikut memilih dalam pemilihan umum. Persamaan politik ini adalah basis demokrasi (political equality is the basic of democracy). Terakhir, persamaan ekonomi (economic equality) adalah persamaan hak dalam meningkatkan taraf ekonomi dalam kehidupan. Persamaan ini dititikberatkan pada persamaan kesempatan dan bukan persamaan pembagian hasil. Sebab banyak sedikitnya hasil bergantung pada usaha setiap orang dalam menggunakan kesempatan yang digunakan dalam meningkatkan taraf ekonomi. Dalam kaitan itu, Suwarno (1999:14) menulis bahwa ide kesamaan dapat dibedakan antara kesamaan dalam liberalisme
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
165
dan kesamaan dalam demokratisme. Kesamaan dalam liberalisme berarti kesamaan dalam mendapatkan perlindungan hukum baik atas dirinya maupun atas hak miliknya. Sedangkan kesamaan dalam demokratisme berarti kesamaan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan hukum dan pemerintahan. Tidak adanya kesamaan partispasi dalam hal pengambilan keputusan hukum (terutama yang bertalian dengan masalah kebijakan hukum pidana), dapat menimbulkan ketimpangan dalam proses peradilan pidana. Oleh karena menurut Sudarto sebagaimana yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief (1996:27) bahwa masalah kebijakan hukum pidana sangat berkait dengan pertama, bagaimana mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat; kedua, menyangkut kebijakan dari negara melalui badan yang berwewenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Selain itu, ketika menghadapi problema-problem sosial seperti di Amerika Serikat, hubungan antar ras, keselamatan umum, penggunaan narkotik, polusi dan sejenisnya, maka kebutuhan untuk menggunakan hukum sebagai suatu alat kebijakan akan semakin meyakinkan dengan menggunakannya secara bersama-sama dengan alat kebijakan sosial lainnya. (Stuart S. Nagel, 1970:77) Hal ini patut dikemukakan karena pengaruh kelompok sangat memainkan peran dalam lahirnya suatu undangundang. Artinya, apakah suatu produk perundang-undangan sebagian besar dipengaruhi oleh mereka yang berasal dari lapisan masyarakat atas atau rendah. Demikian halnya pengaruh kekuasaan yang turut bermain untuk mempengaruhi lahirnya suatu produk perundang-undangan sehingga seolah hanya memberikan perlindungan kepada kepentingan golongan sosial tertentu. Kondisi semacam ini telah lama menjadi perhatian Upendra Baxi (Bambang Sunggono, 2001:108) bahwa di negara yang mekanisme demokrasinya tidak tumbuh dengan
166
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
baik, maka keberpihakan hukum ini menjadi akibat yang tak dapat dielakkan karena semua produk hukum pada dasarnya merupakan pancaran dari hasil kerja ejective autocracy yang atas bawah (top down approach). Rakyat banyak terkucil dan partisipasi nyata karena elective autocracy tersebut sudah diandalkan sebagai hasil dari representational democracy. Akibatnya, produk hukum acapkali hanya mencerminkan kepentingan kelompok yang dominan, sedangkan nilai moral yang harus dikandungnya sering terabaikan. Padahal, ada ungkapan “Quid Leges sine moribus” (Bertens, 1994:41): Apa artinya undang-undang kalau tidak disertai oleh moralitas. Tanpa moralitas, hukum akan kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Undang-undang moral tidak boleh tidak harus diganti, bila dalam suatu masyarakat kesadaran moral mencapai tahap cukup matang. Dalam pada itu, Max Weber (Peters, 1990:392) mengemukakan bahwa pengaruh arus hukum terhadap pembentukan hukum, dan khususnya kepada sumbangan mereka terhadap rasionalitas hukum sangat besar. Namun pada akhirnya, demikian Max Weber, kekuasaanlah yang membuat hukum menjadi penentu perilaku sosial, dan di belakang kekuasaan itu terdapat kepentingan-kepentingan kelas ekonomi serta kepentingankepentingan politik para penguasa . Demikian halnya Mahfud (1997:20) menulis bahwa studi hubungan antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum menghasilkan tesis bahwa setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Artinya, setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan oleh visi politik kelompok dominan (penguasa). Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Holmes (Curzon, 1979:186187) bahwa standars-standar serta prinsip-prinsip moral masyarakat memainkan suatu bagian dalam pembentukan aturan-aturan hukum. Meskipun demikian, lanjut Holmes, perkembangan suatu corpus juris lebih berkait langsung dengan keinginan-keinginan dari kekuatan-kekuatan dominan yang ada
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
167
di dalam masyarakat yang didukung oleh suatu kekuatan yang bersifat mengancam (the threat of force). Terjadinya ketimpangan di bidang produk hukum, dengan sendirinya beimplikasi pula terhadap pelaksanaan asas persamaan di muka hukum. Dengan kata lain, produk hukum yang diskriminatif otomatis akan menimbulkan diskriminasi pula dalam pelaksanaannya. Dalam konteks ini, dapat dikemukakan contoh terjadinya kesenjangan antara ancaman pidana yang bertalian dengan pajak yang jauh lebih rendah dibanding dengan kejahatan konvensional. Padahal bila dilihat dari dampaknya, kejahatan yang bertalian jauh lebih besar dengan pajak jauh lebih besar ketimbang kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan pencurian. Demikian halnya dalam perlakuan terhadap tersangka dalam kategori kejahatan konvensional cenderung Iebih tidak manusiawi, seperti pemeriksaan dan penahanan yang kadang tidak memenuhi standar minimal yang sangat merendahkan martabat tersangka/ terdakwa. Sangatlah berbeda dengan perlakuan terhadap pelanggar pajak yang dapat digolongkan sebagai white collar crime justru cenderung lunak. Terjadinya diskriminasi semacam ini menurut Roeslan Saleh (1988:54-55) kemungkinan disebabkan; pertama, dalam kejahatan penggelapan pajak dan sekian banyak delik yang termasuk white collar crime adalah tidak adanya korban individual. Jadi, segenap masyarakat menjadi korban. Padahal masyarakat telah membayar pajak yang lebih tinggi tarifnya dan pada yang diperlukan, karena banyak wajib pajak tidak membayar pajak mereka dengan baik. Dikatakan pula bahwa kepedihan bersama akan lebih mudah pula mengatasinya. Sedangkan pencurian menimbulkan Iebih banyak emisi, terutama jika secara seseorang menjadi korban kejahatan; kedua, kiat pembuat delik antara lain yang mengakibatkan begitu berbedanya tata cara penyelesaian perkara itu. Pencurian telah dipandang dalam tradisi selalu sebagai suatu delik yang merupakan ciri lingkungan masyarakat rendah. Jadi, dipandang berlebihan jika diadakan perlakuan-perlakuan yang Iebih lunak 168
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
kepadanya. Sebaliknya, Penggelapan pajak acapkali dilakukan oleh mereka yang ada di luar lingkungan masyarakat rendah, yang biasanya adalah sopan dan terhormat. Hal ini senada dengan pendapat Henderson, Ross serta Morris (Sahetapy, 1994:15) pelaku kejahatan korporasi (termasuk penggelapan pajak) adalah mereka memiliki kekayaan (yang berhmpah), dan kekuasaan dan kedudukan sosial, juga merekapun dipandang terhormat dalam masyarakat. Kurang baiknya kondisi undang-undang sebagai salah satu faktor timbulnya kejahatan, antara lain dikemukakan oleh Sahetapy. Walaupun itu dikemukakan pula adanya faktor lain yaitu pelaksanaan undang-undang yang tidak konsekuen atau tindak-tanduk dari penegak hukum. Sedangkan Wolk Middendorf menyatakan bahwa keseluruhan efektifitas peradilan pidana yang bergantung pada tiga faktor yang saling berkaitan yaitu adanya undang-undang yang baik (good legisiation), pelaksanaan yang cepat dan pasti (quick and certain enforcement), dan pemidanaan yang layak dan seragam (moderate and uniform sentencing). (Barda Nawawi Arief, 1992 : 200) Asas persamaan di muka hukum tanpa diskriminasi, tidak hanya terdapat dalam penjelasan KUHAP, tetapi juga tercantum dalam bagian menimbang dan UU No. 8/ 1981. Mardjono Reksodiputro (1994:35.36) berpendapat bahwa hal ini menunjukkan betapa pentingnya perlakuan yang sama atau bersamaan kedudukannya di muka atau di dalam hukum itu. Perlakuan yang sama ini tidak hanya harus ditafsirkan di sini dalam menghadapi tersangka dan terdakwa yang berbeda dalam kedudukannya di muka atau di dalam hukum itu. Perlakuan yang sama ini tidak hanya harus ditafsirkan di sini dalam menghadapi tersangka dan terdakwa yang berbeda dalam kedudukannya atau keyakinan, tetapi harus Iebih dari itu. Pengaturan yang serupa juga terdapat dalam Pasal 17 Undang-undang RI No. 39 Th. 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 Hak Asasi Manusia yang isinya sebagai berikut: Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
169
mengajukan permohonan pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara pidana yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Dalam kaitannya dengan asas persamaan di muka hukum, kiranya sangat relevan diketengahkan masalah penahanan tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana. Hal ini sangat menarik untuk dikaji, karena masalah penahanan menyangkut masalah diskresi dan penegak hukum yang Iangsung bersentuhan dengan hak asasi tersangka/terdakwa. Selain itu, penggunaan lembaga penahanan senantiasa memperhadapkan dua kepentingan yang mendasar yaitu kepentingan untuk menjunjung tinggi hak asasi individu (tersangka/terdakwa) serta adanya hak negara untuk membatasi kebebasan bergerak dari seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Untuk itu, lembaga penahanan ini harus dilaksanakan secara hatihati, karena sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Bemmelen (Sudibyo Triatmodjo, 1981:41) bahwa penahanan sementara adalah sebagai pedang yang memenggal kedua belah pihak, karena tindakan yang bengis itu dapat ditekankan kepada orang-orang yang belum menerima putusan Hakim, jadi mungkin juga kepada orang-orang yang tidak bersalah. Sedangkan Yahya Harahap (1993:25) menulis bahwa masalah penahanan merupakan persoalan yang paling esensial dalam sejarah kehidupan manusia. Menurutnya, setiap yang namanya penahanan dengan sendirinya menyangkut nilal dan makna: 1. Perampasan kebebasan dan kemerdekaan orang yang ditahan. 2. Menyangkut nilai-nilai perikemanusiaan dan harkat martabat kemanusiaan dan 3. Menyangkut nama baik dan pencemaran atas kehormatan diri pribadi atau tegasnya, setiap penahanan dengan sendirinya menyangkut pembatasan dan pencabulan sementara sebagian hak-hak asasi manusia. 170
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Namun demikian pentingnya lembaga penahanan ini tampaknya sulit dipungkiri, sebab di samping demi kepentingan penyidikan, juga secara sosiologis sangat bermanfaat terhadap kepentingan hukum tersangka dan terdakwa sendiri. Namun masalahnya adalah bagaimana menghilangkan kesan bahwa lembaga penahanan ini justru lebih menonjolkan perampasan kemerdekaan ketimbang kepentingan penyidikannya sendiri. Untuk itu, perlu adanya pengaturan yang tegas bertalian dengan lembaga penahanan ini sehingga tindakan yang sewenangwenang kepada para tahanan dapat diminimalisasi. Hal ini selaras dengan apa yang telah diingatkan oleh Moeljatno bahwa penegak hukum haruslah hati-hati menggunakan lembaga tersebut dan perlu di dalam peraturan mengadakan jaminanjaminan agar supaya kepedihan (leed) dapat dibataskan kepada yang sangat diperlukan saja; hanya dengan jalan yang demikian lembaga ini dapat dipertanggungjawabkan. Dalam pada itu, tampaknya KUHAP telah memberikan pengaturan sedemikian rupa terhadap perlindungan hakhak tersangka maupun terdakwa. Hal ini tampak dari adanya pengaturan hak-hak tersebut di dalam KUHAP antara lain: jaminan atas hak-hak tersangka/ terdakwa selama penahanan yang meliputi hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54), hak untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan dan diadili (Pasal 50 ayat (1), (2) dan (3). Hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka/terdakwa yang ditahan (Pasal 58), hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa yang ditahan untuk mendapat bantuan hukum atau bagi jaminan atas bagi penangguahnnya dan hak untuk berhubungan dengan keluarga dengan maksud yang sama di atas (Pasal 59 dan 60). Demikian halnya prosedur penahanan yang menentukan bahwa seseorang hanya dapat ditahan bila memenuhi dua syarat yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif. Syarat subyektif ini terdapat dalam Pasal 21 ayat 4 yang menentukan bahwa penahanan hanya dapat dilakukan:
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
171
1. Terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih; atau 2. Tindak pidana tertentu seperti tersebut dalam Pasal 21 ayat (4) huruf KUHAP, meskipun ancaman pidananya kurang 5 tahun penjara. Tindak pidana yang dimaksud adalah yang terdapat dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, ayat (1), Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan beberapa ketentuan perundangan-undangan pidana lainnya. Adapun syarat subyektif adalah: 1. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa akan melarikan diri ; 2. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa merusak atau menghilangkan barang bukti . 3. Untuk mencegah tersangka atau terdakwa mengulangi tindak pidana . Andi Hamzah (1983:133) mengemukakan bahwa syarat subyektif yang telah diuraikan di atas, pada hakikatnya bukan merupakan syarat sahnya penahanan, melainkan hanya merupakan perlunya penahanan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak semua orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana dapat ditahan. Oleh karena untuk melakukan penahanan harus memenuhi syarat obyektif yang telah ditetapkan secara limitative dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Demikian pula sebaliknya, tidak semua tersangka atau terdakwa yang telah memenuhi Pasal 21 ayat (4) KUHAP otomatis harus ditahan. Hal ini sangat bergantung penilaian subyektif dari masing-masing aparat yang berwenang. Bila menurut penilaiannya tersangka/ terdakwa tidak mungkin melanggar Pasal 21 ayat (1), maka penahanan tidak perlu dilakukan.
172
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Sekarang timbul pertanyaan, apakah dengan adanya syarat obyektif maupun syarat subyektif dari lembaga penahanan ini sungguh-sungguh akan memberikan perlindungan kepada tersangka dan tindakan sewenang-wenang pihak aparat hukum. Atau, apakah dengan adanya kedua syarat penahanan tersebut justru potensial menimbulkan diskriminasi/disparitas terhadap tersangka atau terdakwa. Bilamana dicermati secara mendalam bahwa, bila syarat obyektif dpakai dalam melakukan penahanan, hampir tidak menimbulkan masalah. Oleh karena hal ini secara tegas telah diatur bahwa dapat dikenakan penahanan hanyalah mereka yang melakukan tindak pidana yang disebutkan secara limitatif dalam Pasal 21 ayat 4 KUHAP. Artinya, seorang yang melakukan tindak pidana yang termasuk dalam Pasal 21 ayat 4 KUHAP ini kepadanya tidak boleh dikenakan penahanan. Berbeda dengan syarat subyektif dan penahanan, di sini berkait dengan masalah diskresi dari aparat hukum yang akan melakukan penahanan. Jadi, keputusan untuk melakukan penahanan sangat bergantung kepada pertimbangan pribadi dari masing-masing aparat hukum. Oleh karena mereka mempunyai kewenangan yang luas untuk menafsirkan alasan penahanan yang telah disebutkan dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP. Dengan adanya kewenangan yang luas ini, bukan tidak mungkin akan menimbulkan diskriminasi antara tersangka atau terdakwa yang satu dengan yang lainnya. Artinya, meskipun masing-m sing tersangka atau terdakwa telah memenuhi unsur obyektif, namun pada kenyataannya terdapat perlakuan yang berbeda di antara mereka, yang satu ditahan sedangkan yang Iainnya diberi kesempatan menghirup udara segar di luar tahanan dengan alasan tidak ada indikasi yang bersangkutan akan melanggar Pasal 21 ayat 1 yaitu, adanya kekhawatiran melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana. Kesemuanya ini dapat menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat, sebab kadang bertentangan dengan perasaan
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
173
keadilan masyarakat yang menghendaki penahanan kepada tersangka atau terdakwa untuk menunjukkan bahwa asas persamaan di muka hukum (equality before the law) sungguh dapat ditegakkan. Untuk itu, kemandirian yudisial seyogianya tidak selalu diartikan kemandirian dalam arti kekuasaan mengadili di mana dalam setiap pemeriksaan di muka persidangan harus dilakukan secara jujur dan tidak memihak (fair and impartial court). Akan tetapi Iebih dari itu, di tingkat penyidikan pun harus diwarnai oleh kejujuran perlakuan kepada para tersangka. Hal ini selaras dengan pendapat Barda Nawawi Arief (2001:28-29) bahwa kekuasaan kehakiman yang mandiri dan merdeka harus pula terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana. Artinya, keseluruhan kekuasaan kehakiman di bidang penegakan hukum pidana (kekuasan penyidikan, kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili dan kekuasaan eksekusi pidana), seharusnya merdeka dan mandiri, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah/ eksekutif. Jadi menurut Barda Nawawi Arief pengertian kekuasaan merdeka dan mandiri, juga harus diperluas, tidak hanya pada kekuasaan peradilan atau kekuasaan mengadili. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri, harus terwujud dalam keseluruhan proses atau sistem peradilan pidana. Lebih lanjut Barda Nawawi Arief menulis bahwa keseluruhan proses dalam sistem peradilan pidana harus merdeka dan mandiri. Tidak ada artinya apabila kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri itu hanya ada pada salah satu subsistem (yaitu kekuasaan mengadili). Kembali kepada syarat subyektif, di sini tampak bahwa betapa mudah disalahgunakannya syarat-syarat subyektif dan lembaga penahanan ini. Penegak hukum amat mudah berlindung dibalik pasal 21 ayat I guna menutupi perbuatan kolusi, korupsi dan nepotisme yang dilakukannya. Sementara itu, betapa banyak tersangka atau terdakwa yang sesungguhnya tidak ada indikasi sama sekali untuk melarikan diri, menghilangkan barang bukti 174
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
maupun mengulangi tindak pidana namun akhimya harus menjalani penahanan. Salah satu penyebabnya karena acapkali aparat penegak hukum hanya terjebak oleh kehendak atau tertekan dari masyarakat. Bila kondisi semacam ini dibiarkan, justru dapat berdampak buruk terhadap hak-hak asasi seseorang. Apalagi dewasa ini terdapat fenomena di mana tekanan dari masyarakat dapat dikondisikan, sehingga tekanan massa ibarat pisau bermata dua, di samping dapat dikondisikan dapat digunakan untuk melakukan tekanan (pressure) agar seseorang ditahan, juga dapat digunakan sebagai suatu kekuatan untuk membebaskan seseorang dari tahanan. Sekali lagi, di sini dituntut adanya kemandirian dan keberanian dari aparat penegak hukum. Dalam rangka meminimalisasi pelanggaran terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa, hendaknya setiap aparat hukum yang akan melakukan penahanan terlebih dahulu harus memperhatikan apakah seorang tersangka sungguh-sungguh telah memenuhi syarat Pasal 21 ayat 4. Jika hal ini tidak dipenuhi maka otomatis penahanan kepada tersangka diterapkan. Karena pada hakekatnya, Pasal 21 ayat 1 hanya bersifat asesoir terhadap Pasal 21 ayat 4. Artinya, syarat subyektif saja tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan penahanan. Hal ini penting diperhatikan oleh penyidik dan penuntut umum guna menghindari terjadinya penahanan secara sewenangwenang kepada seorang tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, berbagai dalih seperti penahanan “demi mengamankan seseorang” sama sekali tidak diperkenankan. Demikian halnya bertalian dengan perpanjangan penahanan hendaknya dilakukan secara selektif. Untuk itu, pihak yang memberikan perpanjangan penahanan harus sungguh-sungguh memantau apakah perpanjangan itu memang sangat diperlukan. Bila hal ini tidak dilakukan dikhawatirkan pihak penyidik atau penuntut umum sengaja mengulur waktu untuk melakukan pemeriksaan dengan harapan akan menggunakan perpanjangan penahanan yang memang dimungkinkan oleh undang-undang.
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
175
Yang lebih tragis , salah satu penelitian menunjukkan bahwa perpanjangan penahanan ternyata sering dilakukan meskipun pemeriksaan sudah selesai. Padahal merupakan hak tersangka terdakwa untuk segera diperiksa dan diajukan ke pengadilan. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 50 KUHAP yang isinya sebagai berikut: (1) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum . (2) Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum . (3) Terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan . Di samping itu, tindakan tersebut di atas sangat bertentangan dengan alasan penahanan dan perpanjangan penahanan yang ditetapkan oleh undang-undang yang menegaskan bahwa penahanan/ perpanjangan penahanan hanya dikeluarkan untuk kepentingan penyidikan/ pemeriksaan yang belum selesai. Potensi terjadinya pelanggaran terhadap asas persamaan di muka hukum ini juga dapat terjadi dalam hal penangguhan penahanan. Masalah penangguhan penahanan ini diatur dalam Pasal 31 ayat 1 dan 2 KUHAP yang isinya sebagai berikut: (1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau Hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang d itentukan . (2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau Hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penagguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Bila menyimak isi Pasal 31 KUHAP di atas, di situ terdapat kata “dapat” pada ayat 1 maupun ayat 2. Hal ini menunjukkan bahwa masalah penangguhan penahanan adalah menyangkut 176
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
masalah diskresi dan instansi yang melakukan penahanan. Artinya, aparat yang bersangkutan diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri keputusan yang akan diambil dari berbagai kemungkinan sebagai alternatif. Secara umum masalah diskresi ini dapat menimbulkan masalah dalam hubungan kemanusiaan, yaitu bilamana ada perbedaan kekuatan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Alasannya, karena pada umumnya keadaan seperti ini melibatkan hubungan antara pemerintah dan warganegaranya, sehingga masalah diskresi ini lebih khusus diarahkan kepada tindakantindakan penguasa. Namun di sini perlu dibedakan antara penangguhan penahanan dengan pembebasan dan tahanan. Pada penangguhan penahanan, diberikan kepada tahanan yang penahanannya masih sah menurut undang-undang. Namun, pelaksanaan penahanan dihentikan setelah adanya kesepakatan antara instansi yang menahan dengan pihak tahanan tentang syaratsyarat penangguhan yang harus dipenuhi oleh tahanan atau orang lain yang bertindak menjamin penangguhan. Sebaliknya, dalam pembebasan dari tahanan harus didasarkan pada ketentuan undang-undang Tanpa dipenuhinya unsur-unsur yang diterapkan undang-undang, pembebasan dari tahanan tidak dapat dilakukan. Misalnya, seorang dikeluarkan dari tahanan karena pemeriksaan terhadapnya sudah dianggap cukup atau sebaliknya seseorang harus dikeluarkan dari tahanan karena batas waktu penahanan sudah cukup meskipun pemeriksaan terhadap dirinya belum selesai. Syarat penangguhan penahanan, tampaknya tidak dijelaskan secara rinci dalam Pasal 31 KUHAP, melainkan ditegaskan dalam penjelasan Pasal 31 KUHAP yang terdiri atas: 1. Wajib lapor; 2. Tidak keluar rumah atau; 3. Atau tidak keluar kota. Dengan demikian, ketiga syarat tersebut di atas merupakan M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
177
syarat mutlak terhadap adanya suatu penangguhan penahanan. Artinya, tanpa dipenuhinya syarat-syarat tersebut penangguhan penahanan tidak mungkin dapat dilakukan. Namun, apakah ketiga syarat tersebut dapat ditetapkan sekaligus dalam pemberian penangguhan penahanan. Menurut Yahya Harahap (1993 :230) yang paling logis hanya dua syarat yaitu syarat wajib lapor ditambah salah satu syarat Iainnya. Misalnya, syarat wajib lapor dengan syarat tidak keluar rumah atau tidak keluar kota. Sebab menurut Yahya Harahap, bila sudah ditetapkan tidak keluar rumah, otomatis ke luar kota pun tidak mungkin dapat dilakukan. Jadi tidak masuk akal bila ditetapkan tiga syarat sekaligus dalam pemberian suatu penangguhan penahanan. Diskresi yang bertalian dengan masalah penangguhan penahanan ini sesungguhnya berpotensi menimbulkan diskriminasi, di antara para tahanan. Karena bagaimanapun juga, faktor perbedaan sosial ekonomi dan para tersangka atau terdakwa sudah pasti berimplikasi terhadap dapat tidaknya mereka penangguhan penahanan. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 31 ayat 1 KUHAP bahwa penangguhan penahanan dapat diberikan kepada tersangka/terdakwa dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang dengan digunakannya kalimat “dengan atau tanpa” dalam Pasal 31 KUHAP tersebut di atas, berarti lembaga jaminan ini tidak merupakan condition sine qua non dalam setiap pemberian penangguhan penahanan. Asas equality before the law membawa konsekuensi ditegakkannya di dalam setiap di bidang hukum, termasuk acara pidana. Berkaitan dengan itu, semangat dari asas equality before the law di dalam bidang hukum acara pidana, khususnya di dalam proses peradilan pidana yang merupakan sub sistem peradilan pidana terdapat suatu asas yang merupakan pilar, yaitu asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), bahwa setiap tersangka dan terdakwa harus dianggap tidak bersalah sebelum kesalahannya dibuktikan di dalam peradilan dan 178
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
dinyatakan daam putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Asas praduga tak bersalah tidak secara tegas diatur dalam UUD NRI 1945, demikian pula tidak dicantumkan pada perubahan (amandemen) kedua UUD NRI 1945. Akan tetapi, ketentuan tersebut dapat dijumpai dalam Pasal 8 UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Pasal 8 menyebutkan (1) Setiap orang yang disangka, ditetapkan, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahal dan terdakwa. Demikian pula secara tersirat di dalam Pasal 35 dan 36 UU. No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, tersirat dalam Pasal 66 yang menyatakan “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Selain itu, di dalam penjelasan umum butir 3 huruf c secara tegas dinyatakan tentang asas praduga tak bersalah, bahwa: …setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap” Di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa: “setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, tanpa dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
179
Selain itu, dalam pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM disebutkan: Dalam hal tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini, hukum acara atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana. Dan uraian di atas ditemukan bahwa ternyata pengaturan asas praduga tak bersalah tidak secara tegas diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, melainkan secara tersurat diatur dalam Pasal 8 UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Terkait dengan uraian di atas ditemukan bahwa temyata pengaturan asas praduga tak bersalah tidak secara tegas diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, melainkan secara tersurat dalam pasal 8 UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Terkait dengan uraian tersebut di atas, Inien Rukmini (2003 : 87) berpendapat bahwa ketentuan tersebut tidak sesuai dengan makna asas praduga tak bersalah, karena seolah-olah asas praduga tak bersalah hanya diberlakukan pada tingkat persidangan di pengadilan, yang seharusnya makna asas praduga tak bersalah harus dimulai dari tahap adanya jangkauan sampai adanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, termasuk juga dalam tahap penyidikan. Di dalam dokumen internasional, asas praduga tak bersalah ditemukan dalam Pasal 11 ayat (1) HIR 1948 yang menyatakan: “Everyone change a with penal offence has the right to be presumed innocent until proved guilty according to law in public trial at which he has had all guarantees necessary for his defense” (Setiap orang yang dituduh melanggar hukum mempunyai hak untuk dianggap tidak bersalah hingga dibuktikan bersalah dalam pengadilan dimana dia mendapatkan semua jaminan yang perlu untuk pembelaannya) Demikian pula halnya hal tersebut disyaratkan dalam pasal 14 ayat (2) ICCPR 1966 yang menyatakan: Everyone change with a criminal offence shall have the right to be 180
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
presumed innocent until proved guilty according to law” (Setiap orang yang dituduh melakukan perbuatan kriminal mempunyai hak untuk dianggap tidak bersalah hingga dibuktikan bersalah menurut hukum) Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa kedua asas hukum yang fundamental ini yaitu asas praduga tak bersalah dan asas persamaan dimuka hukum bersumber dan berakar dari sumber dan akar yang sama yattu HAM yang bersifat universal serta mendapat pengaturan baik di dalam perundang-undangan nasional maupun di dalam dokumen internasional. HAM yang terimplementasikan ke dalam asas praduga tak bersalah dan asas persamaan di muka hukum adalah hendaknya ditegakkan dan dilindungi sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis Hal ini adalah sejalan dengan ketentuan pasal 28 ayat (5) UUD NRI 1945 amandemen kedua yang menyatakan bahwa: “untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam perundang-undangan”. Dalam tataran praktisnya, Mien Rukmini (2003: 68-69) berpendapat bahwa makna asas praduga tak bersalah dan asas persamaan di muka hukum belum terdapat kesamaan mengenai rnakna yang terkandung di dalamnya, dan sering terjadi penyimpangan atau pelanggaran ditambah lagi dengan pengaturan yang tidak jelas dan sering terjadi kehancuran bahkan berbenturan dengan adanya tindakan upaya paksa yang tidak sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh kasus yang penulis alami kasus tindak perdagangan orang (Human Trafficking) yang menempatkan Hafiyuddin dan Jenny Thiorits selaku tersangka pada Polwil Bone dalam perkara No. 871/P,d.B/2009 Disini terlihat ada perlakuan tidak adil diantara kedua tersangka/terdakwa tersebut. Ketika perkara Hafiyuddin sudah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Watampone, tersangka lainnya Jenny Thiorits M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
181
berkas perkaranya tidak diteruskan Setelah penulis mengadakan penelusuran lebih jauh, ternyata setelah BAP Jenny Thiorits dikembalikan oleh pihak Kejaksaan Negeri Watampone kepada penyidik sebagaimana petunjuknya, tetapi pihak penyidik tidak menindaklanjuti BAP tersebut sampai sekarang disinilah dilihat, bahwa soal prapenuntutan tidak mengatur batas bolak-baliknya SAP dalam KUHAP dan berakibat ketidakpastian hukum, dan hal ini rawan dijadikan barang dagangan ,. Contoh kasus lainnya yang penulis alami kasus Tindak Pidana Korupsi yang menyeret Besse Mattayang (Mantan Kadis Sosial Kabupaten Luwu) yang terkenal dengan kasus sejuta AlQur’an, telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Palopo dengan Nomor 58/Pid.B/2009. Dalam kasus tersebut, tampaknya pihak Kejaksaan Negeri Palopo dianggap berlaku diskriminatif diantara pihak yang terlibat karena hanya Besse Mattayang saja diajukan ke persidangan sehingga demikian perlakuan yang diperlihalkan oleh pihak penyidik adalah bertentangan dengan asas Equality Before Law. Demikian halnya dengan kasus NH dalam perkara Tindak Pidana Korupsi dalam perkara No.900/Pts.Pid.B/1998/ PN.Ujung Pandang. Selama terdakwa diajukan ke persidangan, ternyata yang bersangkutan tidak pernah ditahan oleh pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, terdakwa hanya di kenakan tahanan kota. Namun, ketika perkaranya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Ujung Pandang, penahanan kota atas diri tersangka dicabut dengan alasan tidak ada indikasi melanggar Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Tidak ditahannya NH ternyata ada kaitannya dengan telepon tertulis dari pihak Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, yang isinya menyatakan: Untuk Kejati, dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus tanggal 18 Nopember 1998, diminta perhatiannya agar perkara Nurdin Khatik tidak ditahan, diulangi tidak ditahan (Tahir, 2010: 71). Dari contoh diatas terlihat betapa masih banyaknya perilaku aparat penegak hukum yang sangat diskriminatif diantara para pihak yang didudukkan dalam perkara yang sama. Disamping 182
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
itu masih terlihat adanya campur tangan pihak yang mempunyai kedudukan yang Iebih tinggi dan pihak yang mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari pihak yang melakukan penyidikan, sehingga terlihat adanya ketidak mandirian untuk mengajukan seseorang dalam proses peradilan yang sudah didukung oleh fakta-fakta hukum yang berujung pada ketidakadilan dalam proses peradilan pidana. Guna mewujudkan kemandirian yudisial yang seyogianya tidak selalu diartikan kemandinan dalam arti kekuasaan mengadili di mana dalam setiap pemeriksaan di muka persidangan, maka harus dilakukan secara jujur dan tidak memihak (Fair and Impartial Court) akan tetapi Iebih dari itu ditingkat penyidikanpun harus diwarnai oleh kejujuran perlakuan kepada para tersangka. 3. Asas Praduga tak Bersalah (Presumption of Innocence) Asas praduga tak bersalah pada dasarnya merupakan manifestasi dari fungsi peradilan pidana (modern) yang melakukan pengambilalihan kekerasan atau sikap balas dendam oleh suatu institusi yang ditunjuk oleh negara. Dengan demikian, semua pelanggaran hak yang dilakukan oleh seseorang harus diselesaikan melaui prosedur hukum yang berlaku. Dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah tidak dicantumkan secara tegas, namun hanya terdapat dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP yang isinya: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Demikian halnya dalam Pasal 18 ayat 1 undang-undang RI No. 39 Th. 1999 yang isinya sebagai berikut: Setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampal dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
183
undangan . Di sini sungguh-sungguh dibutuhkan adanya alat bukti yang sah dan cukup. Dalam hal ini, asas praduga tak bersalah mutlak dijunjung tinggi guna menghadapi terjadinya kekeliruan mengenai orangnya. Contoh kasus yang cukup monumental adalah kasus salah tangkap terhadap Budi Hardjono yang dituduh membunuh ayah kandungnya bernama Ali Harta Winata, namun empat tahun kemudian selepas Budi Hardjono mendekam pada Lembaga Permasyarakatan Klas II A Buluk kapal, petugas dari Unit II Jatanras Polda Metrojaya berhasil menangkap pembunuh yang sebenarnya bernama Marsis (Pamungkas, 2010; 157) . Selain itu, asas praduga tak bersalah diatur pula dalam Bab III Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01. PW.07.03 Tahun 1982 Pedoman Pelaksanaan Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana yang isinya antara lain: Sebagai seseorang yang belum dinyatakan bersalah maka Ia mendapat hak-hak seperti: hak segera mendapat pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapat putusan seadil-adilnya hak untuk diberitahu apa yang disangkakan/didakwakan kepadanya dengan bahasa yang dimengerti olehnya, hak untuk menyiapkan pembelaannya, hak untuk mendapat juru bahasa, hak untuk mendapatkan bantuan hukum dan hak untuk mendapatkan kunjungan keluarganya. Sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah, maka seorang terdakwa tidak dapat dibebani kewajiban pembuktian. OIeh karena Penuntut Umum yang mengajukan tuduhan terhadap terdakwa, maka Penuntut Umumlah yang dibebani tugas membukikan kesalahan terdakwa dengan upaya-upaya pembuktian yang diperkenankan oleh undang-undang. Namun, tampaknya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140 Jo UU No. 20/ Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, telah terkandung jiwa asas pembuktian terbalik. Hal ini dapat disimak dalam Pasal 37 dan Pasal 37 (A) 184
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
yang menetapkan sebagai berikut: Pasal 37 (1) Terdakwa mempunyai hak membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi . (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dapat dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Pasal 37 (A) (1) Terdakwa wajib memberikan keterangan seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. (2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambah kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 15 sampai dengan pasal 12 undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Penegasan lebih lanjut tentang “pembuktian terbalik” diuraikan dalam penjelasan umum undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menegaskan bahwa ketentuan mengenai “pembuktian terbalik” perlu ditambahkan dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagian ketentuan yang bersifat “premium remedium” dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
185
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dati Korupsi, Kolusi dan Nepotisme untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Namun, dengan dianutnya sistem “pembuktian terbalik” dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undangundang Nomor 20/Tahun 2001 ini, bukan berarti asas praduga tak bersalah tidak dihormati lagi. Sebab, dalam Pasal 37 ayat (1) menegaskan bahwa pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atau penerapan pembuktjan terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self incrimination) Bahkan, dalam Pasal 37 A ayat (3) penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Bertolak dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa antara pembuktian terbalik dan asas praduga tak bersalah sesungguhnya tidak perlu dipertentangkan. Meskipun dalam “pembuktian terbalik” terdakwa sudah dianggap bersalah, namun pengertian bersalah di sini adalah bersalah secara faktual (factual fact), dan bukan bersalah menurut hukum (legal fact) sebagaimana yang terdapat dalam asas praduga tak bersalah. Artinya, meskipun terdapat indikator yang cukup kuat untuk mempersalahkan terdakwa, namun kesalahan terdakwa tersebut harus senantiasa didasarkan pada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Menurut Oemar Seno Adji (1981:251), presumption of Innocence umumnya menampakkan diri pada masalah burden of proof beban pembuktian. Meskipun dalam “pembuktian terbalik” terdakwa sudah dianggap bersalah, namun pengertian bersalah di sini adalah bersalah secara faktual (factual fact), dan bukan bersalah menurut hukum (legal fact) sebagaimana yang terdapat dalam asas praduga tak bersalah. Artinya, meskipun terdapat 186
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
indikator yang cukup kuat untuk mempersalahkan terdakwa, namun kesalahan terdakwa tersebut harus senantiasa didasarkan pada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Menurut Oemar Seno Adji (1981:251), presumption of innocence umumnya menampakkan diri pada masalah burden of proof, beban pembuktian. Menjadi kewajiban penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa, kecuali pembuktian insanity yang dibebankan kepada terdakwa ataupun undangundang memberikan ketentuan yang tegas pembuktian terbalik. Undang-undang Anti Korupsi di lnggris pada Tahun 1916 dan Malaysia pada tahun 1961 mengandung asas pembuktian terbalik. Asas pembuktian terbalik mempunyai konsekuensi di mana beban pembuktian terletak pada pihak terdakwa. Artinya, terdakwalah yang berkewajiban membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Sebagai konsekuensi dianutnya asas praduga tak bersalah adalah seorang tersangka atau terdakwa yang dituduh melakukan suatu tindak pidana, tetap tidak boleh diperlakukan sebagai orang yang bersalah meskipun kepadanya dapat dikenakan penangkapan/penahanan menurut undang-undang yang berlaku. Jadi, semua pihak termasuk aparat hukum harus tetap menjunjung tinggi hak asasi tersangka terdakwa. Asas praduga tak bersalah ini hanya berlaku ketika orang itu sedang diadili. Artinya, dalam memeriksa terdakwa, Hakim harus adil dan tidak berpihak ke kiri atau ke kanan. Jadi, itu makna asas praduga tak bersalah. Lebih lanjut dijelaskan, kalau di luar pengadilan asas praduga tak bersalah tak boleh ditafsirkan seperti itu. Sebab, kalau tafsirannya demikian, tidak akan ada orang yang mau diperiksa polisi dengan alasan akan melanggar asas praduga tak bersalah. Penyidik harus menafsirkan asas praduga tak bersalah bahwa dalam pemeriksaan tak boleh menekan. Dalam tiap tahap penyidikan hak asasi tersangka dihormati. Hak mangkir diakui. (Trimoelja Soeryadi, 2000:19) Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa asas
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
187
praduga tak bersalah hanya diberikan kepada seseorang yang telah dinyatakan berstatus terdakwa. Jadi, bila bertolak dari asas argumenturn a contrario maka seseorang yang belum berstatus terdakwa kepadanya belum bisa diterapkan asas praduga tak bersalah. Bila memang demikian, maka pandangan tersebut di atas mengandung kelemahan. Alasannya, karena secara faktual, tidak sedikit kasus main hakim sendiri seperti penganiayaan, pembunuhan serta trial by the press justru menimpa seseorang yang sama sekali belum berstatus tersangka. Tindakan semacam ini terjadi karena terbentuknya sikap apriori dari sebagian masyarakat yang menganggap bahwa apa yang dituduhkan kepada seseorang memang benar adanya. Untuk itu, mereka seolah berhak untuk mengadili sesuai dengan caranya masingmasing. Padahal, salah satu fungsi peradilan pidana (modern) adalah adanya pengambil alihan tindakan kekerasan atau balas dendam privat oleh negara sebagai upaya untuk menghilangkan sifat main hakim sendin. Selain itu, sebagai bagian dari proses hukum yang adil, asas praduga tak bersalah seyogianya tidak hanya selalu dikaitkan dengan pelaksanaan hukum acara pidana, melainkan harus pula merupakan manifestasi dari perlindungan hak asasi manusia. Pengakuan terhadap asas praduga tak bersalah dalam maksud acara pidana yang berlaku di negara kita mengandung dua maksud. Di satu pihak ketentuan tersebut adalah untuk memberikan perlindungan dan jaminan terhadap seorang manusia yang telah dituduh melakukan suatu tindak pidana dalam proses pemeriksaan perkara jangan sampai diperkosa hak asasinya, sedangkan di lain pihak, ketentuan tersebut memberikan pedoman kepada petugas agar supaya membatasi tindakannya dalam melakukan pemeriksaan oleh karena yang diperiksanya itu bukanlah benda atau hewan. Akan tetapi, manusia yang mempunyai martabat sama dengan yang melakukan pemeriksaan. 188
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Menurut Mardjono Reksodiputro (1994:38) asas praduga tak bersalah ini adalah asas utama proses hukum yang adil (due process of law), yang mencakup sekurang-kurangnya; (a) perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara; (b) bahwa pengadilanlah yang berhak salah tidaknya terdakwa; (c) bahwa sidang pengadilan harus terbuka (tidak boleh bersifat rahasia); dan (d) bahwa tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuhnya. Di samping itu, bila menyimak isi Pasal 11 Universal Declaration of Human Right dan Pasal 66 ayat I Statuta Roma yang berkenaan dengan asas praduga tak bersalah, di situ digunakan kata “setiap orang”. Dengan demikian, hal ini bisa ditafsirkan bahwa asas praduga tak bersalah berlaku kepada siapa saja tanpa harus menunggu status sebagai terdakwa. Untuk Iebih jelasnya di bawah ini akan diketengahkan isi Pasal 11 UDHR dan Pasal 66 ayat 1 Statuta Roma sebagai berikut: 1. Setiap orang yang dituduh melakukan pelanggaran pidana berhak dianggap tidak bersalah sampal terbukti kesalahannya menurut hukum oleh suatu sidang pengadilan terbuka dimana Ia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya; 2. Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah melakukan suatu perbuatan pidana berdasarkan suatu tindakan atau kelalaian yang belum dinyatakan sebagai tindakan pelanggaran pidana berdasarkan hukum nasional atau hukum internasional pada waktu perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak boleh menjatuhkan pidana yang lebih berat daripada ketentuan pidana yang telah ada pada saat perbuatan tersebut dilakukan. Sedangkan dalam Statuta Roma, asas praduga tak bersalah dirumuskan sebagai berikut: “Setiap orang harus dianggap tak bersalah sampai terbukti bersalah di depan Mahkamah sesuai dengan hukum yang berlaku”. (Anonim, 2000 : 86)
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
189
Hal ini berbeda dengan Pasal 19 ayat e Deklarasi Cairo (Baharuddin Lopa, 1993:35) yang menegaskan bahwa “terdakwa dinyatakan tidak bersalah sampai Ia terbukti bersalah di pengadilan di mana Ia diberi jaminan untuk membela diri.” Jadi tampak dalam Deklarasi Cairo ini secara tegas menggunakan kata “terdakwa” berkenaan dengan asas praduga tak bersalah. ini berarti, pengertian asas praduga tak bersalah dalam UDHR dan Statuta Roma tampaknya lebih luas dibanding dengan pengertian asas praduga tak bersalah yang terdapat dalam Deklarasi Cairo. Menurut Herbert Packer (1968:160), di samping asas praduga tak bersalah, dikenal juga asas praduga bersalah (presumption of guilt). Proses pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi dan jaksa merupakan indikator terpercaya kemungkinan bersalahnya seseorang. Artinya, apabila seseorang telah ditangkap dan diperiksa tanpa dikemukakannya kemungkinan ketidakbersalahannya, atau bila suatu keputusan yang telah dibuat menunjukkan adanya bukti untuk membawanya kepada tindakan selanjutnya, maka semua Iangkah berikutnya diarahkan kepada asumsi bahwa ia mungkin bersalah. Lebih lanjut dijelaskan oleh Herbert Packer (1978 : 61) bahwa praduga tak bersalah bukanlah lawan praduga bersalah. Praduga tak bersalah tidak relevan dengan praduga bersalah. Dua konsep ini berbeda namun tidak bertentangan. Dalam hal ini Packer mengemukakan contoh, seorang pembunuh, berdasarkan alasan yang cukup didasarinya, memilih untuk menembak korbannya di depan orang banyak. Ketika polisi tiba ia masih menggenggam pistolnya sambil mengatakan bahwa dialah yang membunuhnya. Kejadian itu disaksikan oleh orang banyak. Ia pun ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Dalam kasus tersebut, tampak ekstrim namun secara faktual punya bukti yang akurat, bahkan sangatlah keterlaluan bila kita mengatakan bahwa tersangka tidak terlibat pembunuhan. Jadi bukanlah ini yang dimaksud praduga tak bersalah. Jadi menurut Packer, praduga tak bersalah merupakan 190
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
suatu arah/ pedoman bagi petugas mengenai bagaimana mereka harus melakukan proses, bukan suatu prediksi hasilnya. Namun praduga bersalah merupakan suatu prediksi hasilnya. Dengan demikian, praduga tak bersalah merupakan suatu pedoman bagi pihak yang berwenang untuk mengabaikan praduga bersalah dalam memperlakukan tersangka. Praduga tak bersalah, akibatnya mengarahkan kepada para petugas agar menutup mata terhadap apa yang tampak pada kejadian faktualnya. Jadi perlu diperhatikan bahwa praduga bersalah bersifat deskriptif dan faktual, sedangkan praduga tak bersalah bersifat normatif dan legal. Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya asas praduga tak bersalah mempunyai dua bentuk masing-masing asas praduga tak bersalah yang murni dan asas praduga yang semu. Asas praduga tak bersalah yang murni ditujukan kepada seorang tersangka yang tidak tertangkap tangan. Di sini sungguh-sungguh dibutuhkan adanya alat bukti yang sah dan cukup. Dalam hal ini, asas praduga tak bersalah mutlak dijunjung tinggi guna menghindari terjadinya kekeliruan mengenai orangnya. Sedangkan praduga tak bersalah yang semu berlaku terhadap tersangka yang tertangkap tangan. Kepadanya berlaku fiksi, artinya meskipun tidak ada yang bisa membantah bahwa mernang dialah pelaku pembunuhan itu, tetapi dia harus tetap dianggap tidak bersalah. Tujuannya, adalah agar masyarakat tidak terjebak pada sikap main hakim sendiri, serta tetap menghargai lembaga peradilan yang ada. Dalam pada itu, Sahetapy (1998:1) menulis bahwa asas praduga tak bersalah tidak sama dengan presumption of innocence. Menurutnya asas praduga tak bersalah bertumpu pada KUHAP sedangkan presumption of innocence bertumpu pada adversary system. Bila mengikuti pandangan Sahetapy tersebut di atas, maka konsekuensinya adalah presumption of innocence hanya berlaku di pengadilan, sedangkan asas praduga tak bersalah mulai berlaku
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
191
sejak seseorang berstatus sebagai tersangka. Akibatnya, dalam penerapan prinsip akusator pun sangat berbeda. Dalam adversary system prinsip akusator hanya berlaku di pengadilan, sedangkan dalam KUHAP prinsip akusator telah berlaku sejak pemeriksaan di tingkat penyidikan. Bertalian dengan pengertian prinsip akusator Djoko Prakoso (1986:62-63) menulis sebagai berikut: 1. Kedudukan atau posisi tersangka/ terdakwa
Tersangka terdakwa dan penuntut umum mempunyai kedudukan yang sama. Kedua belah pihak saling berhadapan sebagai pihak yang sama haknya dalam melakukan pertarungan hukum di muka Hakim yang tidak memihak. Jadi, dalam sistem akusator ada tiga subyek acara yaitu terdakwa, orang yang mendakwa dan Hakim .
2. Sifat tugas Hakim yang pasif
Dalam sistem akusator pihak Hakim hanya akan bertindak atau memulai tugasnya apabila telah diterima suatu pengaduan/laporan perkosaan hukum, atau dan petugas negara dalam soal kepidanaan. Hakim tidak memihak dan berada di atas kedua belah pihak;
3. Sifat pemeriksaan yang terbuka untuk umum
Khalayak ramai harus diberi kesempatan untuk menyaksikan jalannya persidangan, sehingga mereka dapat mengawasi atau mengontrol jalannya persidangan atau pemeriksaan, sehingga sifat kejujuran, kebebasan Hakim dan putusan yang adil dan Hakim dapat diawasi dengan sebaik-baiknya.
4. Campur tangan pembela/ penasehat hukum
Dalam pemeriksaan perkara pidana dengan mempergunakan sistem akusator, maka pembelal/penasehat hukum sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan terhadap tersangka/ terdakwa diperbolehkan menghubungi dan memberikan nasehal hukum kepadanya serta mendampinginya setiap pemeriksaan terhadap tersangka/ terdakwa, baik di kepolisian, kejaksaan maupun dalam sidang
192
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
pengadilan. Dengan asas praduga tak bersalah yang dimiliki KUHAP, dengan sendirinya memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusator dalam setiap tingkat pemeriksaan. Aparat penegak hukum harus menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang inkuisator yang menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai obyek yang dapat diperlakukan dengan sewenang-wenang. Prinsip inkuisator inilah yang menjadi landasan pemeriksaan dalam era HIR yang sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan yang wajib bagi tersangka atau terdakwa untuk membela diri dan mempertahankan hak dan kebenarannya. Hal ini senada dengan apa yang ditulis oleh Yahya Harahap (1993:39), bahwa konsekuensi dianutnya asas inkuisator ini adalah: 1. Aparat hukum sudah apriori menganggap tersangka atau terdakwa telah bersalah. Seolah Si tersangka sudah divonis sejak saat pertama dia diperiksa di hadapan penyidik; 2. Para tersangka dianggap dan dijadikan sebagai obyek pemeriksaan tanpa memperdulikan hak-hak asasi manusianya dan haknya untuk membela serta mempertahankan martabat serta kebenaran yang diimikinya. Akibatnya sering terjadi dalam praktek penegakan hukum, seorang yang benar-benar tidak bersalah terpaksa harus menerima siksaan di luar batas perikemanusiaan. Sistem inkuisator merupakan bentuk proses penyelesaian perkara pidana yang semula berkembang di daratan Eropa sejak abad ke 13 sampai dengan awal pertengahan abad ke 19. Proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan sistem inkuisator pada masa itu dimulal dengan adanya inisiatif penyidik atas kehendak sendiri untuk menyelidiki kejahatan. Cara penyelidikan dan pemeriksaan dilakukan secara rahasia. Tahap pertama yang dilakukan oleh penyidik ialah meneliti apakah suatu kejahatan telah dilakukan, dan melakukan identifikasi M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
193
para pelakunya, maka tahap kedua ialah memeriksa pelaku kejahatan tersebut. Dalam tahap ini, tersangka ditempatkan terasing dan tidak diperkenankan berkomunikasi dengan pihak lain atau keluarganya. Pemeriksaan atas diri tersangka dan para saksi diakukan secara terpisah, dan semua jawaban tersangka maupun para saksi dilakukan di bawah sumpah dan dicatat dalam berkas hasil pemeriksaan. Kepada tersangka tidak diberitahukan dengan jelas isi tuduhan dan jenis kejahatan yang telah ia lakukan serta bukti yang memberatkannya. Satusatunya tujuan pemeriksaan pada saat itu ialah memperoleh pengakuan (confession) dari tersangka. Khususnya dalam kejahatan berat, Romli Atmasasmita (1996:46-47) berpendapat bahwa apabila tersangka tidak mau secara sukarela mengakui perbuatannya atau kesalahannya, dan bukti yang dikumpulkan menimbulkan dugaan kuat akan kesalahannya, maka petugas pemeriksa akan memperpanjang penderitaan tersangka melalui cara penyiksaan (forture) sampai diperoleh pengakuan. Kondisi ini sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai suatu viktimisasi yuridis sebagaimana yang ditulis oleh Sahetapy (1995:vii) viktimisasi yuridis dimensinya cukup luas, baik yang menyangkut aspek peradilan (dan lembaga pemasyarakatan), maupun yang menyangkut dimensi diskriminasi perundang-undangan, termasuk menerapkan hukum kekuasaan, kematian perdata, dan stigmatisasi kendatipun sudah diselesaikan aspek peradilannya.
B. MEKANISME SISTEM PERADILAN PIDANA Mekanisme peradilan pidana sebenarnya adalah suatu mekanisme bekerjanya komponen-komponen dari Sistem Peradilan Pidana (SPP) untuk mencapai tujuan. Hal ini berarti juga sebagai suatu tahap pelaksanaan kekuasaan negara di bidang peradilan pidana. Mengingat hal itu, sudah barang tentu diperlukan suatu peraturan hukum yang berfungsi tidak saja sekedar untuk mengatur kewenangan-kewenangan apa saja yang boleh dilakukan oleh komponen-komponen SPP, namun Iebih dari itu juga mengatur mengenai larangan dan keharusan yang harus dipatuhi dalam rangka perlindungan warga negara 194
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
khususnya yang terlibat dalam rangkaian proses peradilan pidana. Peraturan hukum yang dimaksudkan tersebut tidak lain adalah hukum acara pidana. Salah satu definisi yang memberi pengertian hukum acara pidana adalah seperti yang ditulis oleh Moeljatno (1986: 17) yaitu: Hukum acara pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberi dasardasar dan aturan-aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa, ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan, apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut. Dalam kamus hukum istilah criminal procedure diberi istilah criminal procedure (Henry Campell Black, 1990:374) diberi pengertian sebagai berikut: The rules of law governing the procedures by which crimes are investigated, prosecuted, adjudicated, and punished. Generic term to describe the net work of laws and rules which govern the procedural administration of criminal justice. (norma hukum mengatur prosedur yang olehnya kejahatan disidik, dituntut, ditetapkan, dan dihukum. lstilah umum untuk menjelaskan jaringan hukum dan norma-norma yang mencakup administrasi prosedur peradilan kriminal). Menurut Moeljatno dalam pengertian hukum acara pidana tersebut sebenarnya terkandung prinsip resmi (formal) bahwa: “Selain yang diberi kewenangan oleh peraturan hukum tidak boleh melakukan tindakan menurut hukum acara pidana”. Pandangan ini tentu saja sejalan dengan maksud diadakannya hukum acara pidana sebenarnya tidak lain adalah untuk menghindari setiap orang dapat melakukan tindakan main hakim sendiri meskipun dengan tujuan untuk melaksanakan ketentuan yang terdapat dalam hukum pidana materil. Pandangan Moeljatno tersebut dikemukakan sehubungan dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950, yang pada waktu itu masih berlaku, yaitu sebagaimana yang termuat dalam Pasal 12 yang berbunyi : “Tidak seorang juapun boleh ditangkap selain atas perintah untuk itu oleh kekuasaan yang sah”. M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
195
Ketentuan hukum yang mengatur hukum acara pidana di Indonesia terutama terdapat dalam undang-undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP berinduk pada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Thn. 2009, yang telah mengatur mengenai dasar-dasar penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, dan juga asas-asas dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, dan juga mengenai asas-asas pokok perlindungan hak asasi manusia yang terlibat dalam proses peradilan pidana khususnya tersangka dan terdakwa. Mekanisme peradilan pidana dilakukan melalui beberapa tahapan proses. Setiap SPP mempunyai ketentuan yang mungkin sama atau berbeda dalam hal mengatur mengenai tahap-tahapan proses peradilan pidana. Namun demikian secara garis besar tahapan- tahapan tersebut setidak-tidaknya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu: 1. Tahapan Sebelum Sidang Pengadilan (Pra Adjudication, Pre-trial Processes); 2. Tahapan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan (Adjudication, Trial Processes); 3. Tahapan Sesudah Sidang Pengadilan Selesai (Post Adjudication Post- trial Processes). Meskipun proses peradilan pidana mengenai pembagian tahapan-tahapan proses dan sekaligus juga mengenai pembagian peran masing-masing komponen dalam setiap tahapan, namun demikian pelaksanaan proses peradilan pidana tetap harus dalam kerangka pemikiran SPP terpadu. Sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab II bahwa kerangka pemikiran SPP terpadu bukan hanya suatu hubungan. koordinatif antar instansi dan aparat penegak hukum dana, namun Iebih dari itu adalah bagaimana agar semua hak yang terlibat dalam proses atau sistem peradilan dana dapat berperan secara maksimal untuk mencapai tujuan. Dengan demikian titik berat perhatian bukannya kepada instansi dan aparat penegak 196
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
hukum pidana, tetapi juga terhadap si pelaku, korban dan masyarakaf pada umumnya. Menurut Mardjono Reksodiputro (1993:16) hal itu didasari pada pemikiran bahwa 99% perkara adalah dari masyarakat maka harus kembali kepada masyarakat, sebagaimana dapat dilihat dari bagan siklus proses dinamika dalam proses peradilan pidana sebagai berikut:
Tahapan proses peradilan pidana menurut KUHAP dapat dijelaskan seperti pembagian tahapan tersebut di atas yaitu: (1) tahap pemeriksaan pendahuluan terdiri dari tahapan penyelidikan, penyidikan, dan proses penuntutan (2) tahap pemeriksaan perkara di pengadilan, (3) tahap sesudah persidangan adalah tahapan pelaksanaan putusan Hakim. Setiap tahapan proses tersebut dapat dianalisis berdasarkan analisis input (masukan) proses, dan output (keluaran/hasil), dan model analisis tersebut juga dapat diterapkan terhadap keseluruhan proses peradilan pidana. a. Pra-Ajudikasi Tahap pemeriksaan pendahuluan adalah semua tahapan proses sebelum sampai pada pemeriksaan perkara di pengadilan. Menurut KUHAP tahap pemeriksaan pendahuluan dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu: (1) proses penyelidikan dan
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
197
penyidikan, dan (2) proses penuntutan. Sumber bahan masukan perkara pidana ke dalam proses peradilan pidana dapat melalui laporan, pengaduan, dan hasil pengetahuan dan aparat penegak hukum pidana yang berasal dan hasil penyelidikan. Laporan dan pengaduan dapat dikategorikan sebagai bahan masukan yang berasal dari anggota masyarakat kepada pihak aparat yang berwenang, sedang penyelidikan dapat dikategorikan sebagai bahan masukan yang berasal dari aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri (penyelidik). Namun demikian penyelidik juga mempunyai peranan karena kewajibannya untuk menerima laporan dan pengaduan. Dari hasil penelitian yang dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Yogyakarta, terlihat bahwa sebagian besar masukan perkara terutama berasal dari laporan, khususnya laporan dari korban kejahatan. Korban kejahatan yang pertama kali mengetahui terjadinya kejahatan, khususnya yang menimpa dirinya mempunyai peranan yang besar untuk memberikan bahan masukan perkara pidana. Hal ini terlihat bahwa sebanyak 82,6% korban melakukan reaksi atas peristiwa yang menimpa dirinya dengan cara melaporkan kepada polisi, sedang sisanya sebanyak 3% memilih tidak lapor polisi meskipun pada akhirnya Perkaranya yang menimpa dirinya masuk dalam proses peradilan melalui laporan dari pihak lain. (Milono, 2004 : 241) Dalam tataran yang bersifat normatif tersebut, kadang dalam praktek keluar dari takaran undang-undang yang ada. Sebagaimana yang telah di singgung pada pembahasan terdahulu, yaitu kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) yang terjadi pada jajaran Polres Watampone di mana tersangka Jenny Thiorits yang berkas perkaranya dikembalikan untuk kedua kalinya oleh pihak Kejaksaan Negeri Watampone pada tanggal 5 Mei 2009, namun sampai sekarang berkas perkara tersebut tidak di tindak lanjuti oleh pihak penyidik. Di sini terlihat adanya kejanggalan dalam proses penyelesaian BAP. Andai kata pihak penyidik berpendapat 198
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
bahwa dalam perkara tersebut tidak cukup bukti, maka janganlah dipaksa-paksakan perkara tersebut untuk dilimpahkan ke proses selanjutnya. Seharusnya penyidik harus bersikap tegas untuk menghentikan perkara tersebut demi hukum. Sebagaimana hakikat dari hukum progresif itu sendiri adalah hukum hendaknya mampu memberi perlindungan kepada masyarakat. Di tingkat penyidikan, sering dijumpai para tersangka tidak didampingi oleh penasehat hukumnya, ketidakjelasan pentingnya seorang penasehat hukum mendampingi para tersangka adalah merupakan penjelasan awal terwujudnya Proses Peradilan Yang adil (due process of law), sebab dikhawatirkan kalau tersangka hanya berhadapan dengan penyidik dalam suatu ruang yang tertutup maka dikhawatirkan terjadi intimidasi dari penyidik yang berujung pada lahirnya pengakuan yang bersifat terpaksa. Keberadaan penasehat hukum memang sangat penting mulai dan tingkat penyidikan sampai pada putusan pengadilan, sebab memang pada prinsipnya para tersangka mempunyai hak sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 56 KUHAP jo. Pasal 56 dan 57 UU No. 98 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Di sinilah pentingnya pendekatan hukum progresif, di mana aparat penegak hukum yang berbekal dan sumber daya manusianya yang memadai mampu memecahkan setiap permasalahan yang dihadapinya tidak terjebak oleh suatu aturan formal belaka, tapi paling tidak dengan asas-asas yang mampu keluar dari kebuntuan hukum yang ada, sebagaimana sloganslogan yang selalu dikumandangkan oleh Satjipto Rahardjo bahwa hukum untuk manusia dan bukan manusia untuk hukum. Dalam praktek sering dijumpai suatu berkas perkara yang bolak-balik dari penyidk ke Kejaksaan atau sebaliknya. Praktek demikian berujung pada ketidakpastian hukum bagi seorang tersangka. Sebenarnya persoalan ini tak perlu terjadi andai kata pada saat dimulainya penyidikan oleh penyidik Polri sudah harus menindak lanjuti surat pemberitahuan dimulainya penyidikan. Jadi, atas dasar uurat tersebut, koordinasi yang bersifat instansional dan fungsional harus berjalan dengan baik
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
199
dalam arti bahwa pihak kejaksaan juga harus bersikap proaktif untuk mengikuti perkara yang dikembalikan padanya, sehingga asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan dapat dicapai. Semua bahan masukan perkara baik yang masuk kepada penyelidik maupun penyidik selanjutnya dilakukan penyidikan, yaitu serangkaian tindakan-penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Apabila proses penyidikan sudah dianggap cukup, bagi penyidik terbuka beberapa kemungkinan untuk melakukan tindakan yaitu: (1) penyidikan, (2) melimpahkan berkas perkaranya kepada Penuntut umum agar dilakukan proses penuntutan. Penyidik dapat menghentikan penyidikan apabila temyata perkara tersebut tidak ada atau kurang alat bukti, bukan perkara pidana, dihentikan demi hukum, serta dihentikan demi kepentingan umum berdasarkan asas oportunitas yang dimiiki oleh Jaksa Agung. Selama dalam tahap proses Penyidikan Penyidik mempunyai, wewenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi-saksi lain yang diperlukan, serta berwenang pula untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa: 1. Penangkapan terhadap tersangka; 2. Penahanan terhadap tersangka; 3. Penggeledahan badan terhadap tersangka; 4. Penggeledahan terhadap rumah/bangunan dan 5. Melakukan penyitaan benda/barang yang akan dipakai sebagai bahan pembuktian; Secara skematis proses penyelidikan dan penyidikan dapat digambarkan sebagai berikut:
200
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
SKEMA PROSES PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN
Pemeriksaan pendahuluan tahap kedua penyidikan) adalah proses penuntutan yaitu:
(sesudah
Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan. Agar proses penuntutan dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan diperlukan tindakan persiapan, yaitu mempelajari seluruh berkas perkara penyidikan agar dapat dilakukan suatu penilaian awal apakah berkas penyidikan sudah lengkap dalam arti sudah memenuhi seluruh persyaratan untuk meneruskan penuntutan atau belum. Sesudah tindakan persiapan selesai, bagi penuntut umum terbuka kemungkinan untuk melakukan Iangkah selanjutnya yaitu: (1) Apabila penyidikan dianggap cukup memenuhi syarat penuntutan selanjutnya dibuatkan surat dakwaan dan M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
201
melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan negeri agar perkara tersebut dapat diperiksa dan diadili . (2) Apabila penyidikan dinilai belum memenuhi syaratpenuntutan, penuntut umum dapat mengembalikan berkas penyidikan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan tambahan dalam rangka penyempurnaan atau dapat juga dilakukan penyidikan tambahan sendiri oleh penuntut umum sepanjang tidak memeriksa tersangka . (3) Penuntut umum dapat menghentikan penuntutan apabila terdapat keadaan bahwa perkara tersebut tidak ada atau kurang alat bukti, bukan tindak pidana, atau dihentikan demi hukum. Penghentian penuntutan dapat juga terjadi apabila Jaksa Agung mempergunakan wewenangnya berdasar asas oportunitas yaitu perkara tersebut dihentikan demi kepentingan umum. Sesuai dengan model pembagian kewenangan di antara subsistem peradilan pidana menurut KUHAP, dalam tahap proses pemeriksaan pendahuluan juga terjadi proses pemindahan kewenangan dan tanggungjawab antara penyidik dengan penuntut umum. Perpindahan kewenangan dan tanggungjawab dari pihak penyidik kepada penuntut umum terjadi apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah penuntut umum meneriima berkas penyidikan, ternyata penuntut umum tidak mengembalikan berkas penyidikan tersebut kepada penyidik untuk disempurnakan penyidikannya, atau sebelum berakhirnya batas waktu tersebut secara tegas penuntut umum memberitahukan kepada penyidik bahwa penyidikannya dinilai sudah cukup. Apabila penuntut umum mengembalikan berkas penyidikan tersebut kepada penyidik untuk disempurnakan sesuai dengan petunjuk penuntut umum, penyidik mempunyai kewajiban untuk segera dalam waktu selama-lamanya 14 hari sudah selesai melakukan pemeriksaan tambahan dan menyempurnakan berkas penyidikan dan menyerahkannya kepada penuntut umum. 202
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Selama dalam proses pra penuntutan tersebut kewenangan dan tanggungjawab atas perkara pidana itu masih berada di tangan penyidik, atau dengan kata lain belum terjadi perpindahan kewenangan dan tanggungjawab. Secara formal perpindahan kewenangan dan tanggungjawab dari penyidik kepada penuntut umum terjadi sesudah penyidikan selesai sebagaimana yang ditentukan menurut Pasal 110 (4) KUHAP yaitu apabila dalam waktu 4 hari sesudah penuntut umum menerima berkas penyidikan ternyata tidak ada pra penuntutan atau sebelum itu secara tegas penuntut umum menyatakan penyidikannya dinilai celah cukup memenuhi syarat untuk melakukan proses penuntutan. Meskipun demikian hal itu belum dianggap final sampai penyidik menyerahkan pula wewenang dan tanggungjawab barang-barang bukti yang ada beserta tersangkanya kepada penuntut umum, dan hal itu wajib dilakukan segera sesudah penyidikan selesai. Dengan terjadinya perpindahan kewenangan dan tanggungjawab terhadap perkara pidana dan penyidik kepada penuntut umum tersebut, penuntut umum mempunyai kewajiban untuk merumuskan dakwaan dan melakukan proses penuntutan kecuali jika terdapat cukup alasan untuk menghentikan penuntutan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 140 (2) KUHAP. Sehubungan dengan itu pula dengan telah diserahkannya barang bukti dan tersangka, penuntut umum mempunyai kewenangan penuh untuk membuat suatu keputusan yang berkaitan dengan segala sesuatu yang telah diserahkan kepadanya. Misalnya terhadap barang bukti yang semula disita dapat diangkat status penyitaannya dan dikembalikan kepada yang berhak, demikian juga terhadap tersangka yang pada waktu penyidikan ditahan dapat dilepaskan, dirubah status penahanannya, atau ditunda penahanannya, atau bahkan sebaliknya semula tersangka tidak ditahan namun oleh karena dianggap perlu ditahan dapat saja kemudian dilakukan penahanan terhadap tersangka. sepanjang hal itu dilakukan
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
203
menurut ketentuan yang telah diatur dalam KUHAP. Secara skematis pemeriksaan pendahuluan pada tahap proses penuntutan dapat digambarkan sebagai berikut: SKEMA PROSES PENUNTUTAN
b. Ajudikasi Pengadilan negeri menerima bahan masukan perkara pidana melalui proses penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum. Dalam proses Penuntutan pengaduan negeri menerima berkas perkara penyidikan lengkap beserta surat dakwaan disertai permohonan agar perkara tersebut diperiksa dan diadili. Tanpa proses penuntutan seperti ini, pengadilan tidak mungkin mendapat perkara karena terdapat asas pasifitet yang melarang pengadilan (Hakim) mencari perkara untuk disidangkan. Sesudah pengadilan negeri (melalui kepaniteraan pengadilan negeri) menerima berkas proses penuntutan, terhadap perkara tersebut diberi nomor register perkara dan Ketua Pengadilan Negeri membuat penetapan mengenai Hakim yang diberi tugas untuk menyidangkan perkara tersebut. Dengan adanya penetapan tersebut maka yang berwenang dan bertanggungjawab secara penuh untuk menyelesaikan perkara tersebut bukan lagi di tangan Ketua Pengadilan Negeri melainkan ada pada Hakim yang telah ditunjuk. Untuk itu bagi Hakim yang bertugas untuk menyidangkan perkara diberi jaminan kebebasan dalam arti bebas dan pengaruh ekstra judicial agar ia dapat menyelesaikan perkara secara adil.
204
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Hakim yang ditunjuk untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut kemudian menetapkan hari sidang, jenis acara yang dipakai dalam persidangan, dan memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk menghadirkan tersangka beserta barang bukti yang ada. Sepanjang ada dasar hukumnya Hakim tersebut juga mempunyai kewenangan untuk menetapkan apakah terdakwa akan ditahan atau tidak, mengalihkan status tahanan atau menunda penahanan. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengadili. Mengadili adalah serangkaian tindakan hukum untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur oleh KUHAP. Hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk mengadili, beban dan campur tangan, ancaman, paksaan, pengaruh termasuk adanya rekomendasi atau surat sakti yang datangnya dari pihak ekstra yudisial. Kebebasan Hakim dalam mengadili suatu perkara bukan tugas mutlak sebab hakekat kebebasan Hakim adalah kebebasan yang bertanggungjawab, bebas berdasarkan aturan hukum yang ditentukan oleh undang-undang. Aktualisasinya adalah Iahirnya keputusan pengadilan yang memenuhi rasa keadilan kelompok masyarakat sekutu. Menurut Ismail Saleh (Aswanto, 1999: 202) bahwa pelaksanaan asas kebebasan/kemandirian Hakim, perlu mempertimbangkan dua hal, yaitu pertama harus dicegah saja sampai ada pihak yang dapat mempengaruhi Hakim, kedua Hakim itu sendin harus sedemikian rupa agar tidak mudah dipengaruhi atau terpengaruh. Pada proses pemeriksaan perkara pidana di depan sidang pengadilan,yang terlihat adalah jaksa selaku penuntut umum, Hakim, terdakwa dan penasehat hukum. Untuk menjamin bahwa tujuan peradilan adalah dimaksudkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dapat terlaksana dengan baik, undangundang menentukan aturan-aturan dalam proses pemeriksaan
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
205
terdakwa. Pihak yang terhebat dalam proses masing-masing diberikan hak oleh undang-undang untuk membela kepentingan hukumnya. Dalam proses persidangan, Hakim harus menempatkan diri pada posisi yang objektif dengan perpandangan objektif, Hakim tak boleh berpihak kepada salah satu pihak. Peran Hakim disini adalah bagaimana menciptakan suatu proses peradilan yang adil dengan bertumpu pada fakta-fakta yang sebenarnya. Dalam konteks demikian ini, peran Hakim sangat dibutuhkan untuk memberikan pelayanan hak asasi terdakwa dalam bentuk pentingnya seorang terdakwa didampingi oleh penasehat hukum dalam persidangan. Semua ini dimaksudkan untuk menciptakan proses peradilan yang adil dan terbuka sebagai gambaran dan proses peradilan yang Progresif. Salah Satu contoh kasus yang cukup menarik tentang pentingnya kehadiran seorang penasehat hukum dalam mendampingi seorang terdakwa dalam persidangan adalah kasus yang mendudukan terdakwa yang bernama Sutiyem yang terkenal dengan kasus “Keadilan untuk orang miskin”, di mana terdakwa diajukan ke persidangan oleh Jaksa penuntut umum dengan melanggar Pasal 363 KUHP yaitu mengambil sekitar 5 kg buah asam yang ada disamping rumahnya untuk kebutuhan pembuatan sirup menjelang Lebaran Idul Fitri 2010. Majelis Hakim yang menyidang perkara tersebut pada Pengadilan Negeri Situbondo menyatakan bahwa dakwaan penuntut umum cukup berat dan tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukannya, dan olehnya itu persidangan tidak dapat dilanjutkan dengan pertimbangan terdakwa tidak didampingi oleh Penasehat hukumnya (Metro TV, 17 September 2010). Sekarang ini terjadi kecenderungan bahwa jika tersangka melepaskan haknya untuk didampingi penasehat hukum meskipun sebenarnya wajib karena memenuhi kriteria Pasal 56 KUHAP, namun jika hal tersebut dilepaskan baik dengan terpaksa atau dengan sukarela, penyidik dapat melampirkan hal itu dalam suatu surat pernyataan diatas kertas bermaterai bahwa 206
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
tersangka tidak menghendaki penasehat hukum, dalam hal terjadi seperti ini banyak Hakim yang kemudian berpendirian pada pendapat kedua bahwa jika memang hal itu dilepaskan maka pejabat yang bersangkutan tidak dikenakan kewajiban untuk memberikan penasehat hukum karena khawatir justru dipandang sebagai pemaksaan terhadap kebebasan terdakwa atau terdakwa (Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Makassar, 21 Juni 2010). Dalam KUHAP Hakim tidak hanya diberi peranan pada tahap pemeriksaan perkara di persidangan, namun juga pada tahap sesudah putusan yaitu dengan peranannya sebagai Hakim pengawas dan pengamat untuk memeriksa dan meneliti apakah putusan Hakim telah dilaksanakan sebagaimana mestinya. Untuk menyidangkan perkara pidana di pengadilan negeri ada tiga jenis acara yang dapat dipakai yaitu: acara pemeriksaan biasa, singkat, dan cepat. Perbedaan acara pemeriksaan tersebut merupakan manifestasi asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut oleh KUHAP. Perbedaán tersebut tidak bertujuan untuk mengurangi ketelitian dan kecermatan dalam pemeriksaan perkara. Misalnya untuk suatu perkara yang sifatnya sederhana dan pembuktiannya mudah, cukup diperiksa dengan acara singkat tidak perlu dengan acara biasa. Sedang untuk pelanggaran-pelanggaran lalu lintas jalan dan tindak pidana ringan cukup diperiksa dengan acara cepat. Untuk melihat pokok perbedaan masing-masing jenis acara pemeriksaan tersebut lihal skema di bawah ini.
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
207
Skema Pemeriksaan Acara Biasa
Berdasarkan skema prosedur pemeriksaan perkara pidana dengan acara biasa kiranya cukup jelas tergambarkan bagaimana mekanisme proses persidangan untuk menyelesaikan perkara pidana. Mengenai acara pemeriksaan perkara dengan acara singkat sebenarnya prosedurnya sama dengan acara biasa, perbedaan pokoknya sebenarnya terletak pada sifat perkara yang Iebih sederhana sehingga pembuktiannya pun relatif Iebih mudah, 208
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Misalnya jumlah saksi yang diperiksa tidak terlalu banyak. Demikian juga tuntutan formalitas pembuatan dakwaan dan putusan Iebih lunak dibandingkan dengan acara biasa karena dakwaan tidak harus dalam bentuk tertulis lengkap, namun cukup secara lisan, demikian juga dalam pembuatan putusan dapat secara lisan namun harus dengan hadirnya terdakwa sebagaimana dalam acara pemeriksaan biasa, kemudian putusan itu dicatat dalam berita acara persidangan, namun demikian kekuatan hukum putusannya sama dengan perkara yang diperiksa dengan acara biasa. Dengan demikian wajar apabila perkara yang diperiksa dengan acara singkat diberi batas waktu maksimal selama 14 hari, jika waktunya diperkirakan Iebih dari itu. Hakim akan memerintahkan kepada penuntut umum agar mengajukan perkara itu dengan acara pemeriksaan biasa. Persidangan yang dilakukan dengan jenis acara pemeriksaan cepat dilakukan terhadap perkara tertentu yaitu: 1) Perkara tindak pidana ringan (tipiirng) yaitu perbuatan pidana yang diancam dengan pidana maksimal 3 bulan penjara atau kurangan dan atau denda maksimal Rp. 750,00 dan atau perkara tindak pidana penghinaan ringan, (2) Perkara pelanggaran lalu lintas tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan lalu lintas. Prosedur persidangan dengan acara cepat ini jauh sederhana dalam semua hal dibandingkan dengan acara dan singkat. Pembuktian hanya perlu didukung dengan satu jenis alat bukti dan tidak ada acara pengujian alat bukti yang diajukan sebagaimana yang harus dilakukan dalam acara pemeriksaan biasa dan singkat. Pemeriksaan perkara dengan acara cepat tidak dihadiri oleh penuntut umum karena penyidik diberi wewenang sebagai kuasa dan penuntut umum yang berkedudukan sebagai penuntut umum. Khusus dalam acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan terdakwa diperkenankan hadir atau bisa mengirimkan wakilnya, dan putusan dibacakan tanpa hadirnya terdakwa. 3. M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
209
Post Ajudikasi Salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang telah diterima jaksa dan panitera pengadilan selanjutnya harus dilaksanakan oleh jaksa sesuai dengan isi putusan. Dengan demikian yang bertindak selaku eksekutor atas putusan Hakim bukanlah jaksa penuntut umum melainkan jaksa. Agar putusan Hakim yang menjatuhkan pidana berupa perampasan kemerdekaan badan baik untuk sementara waktu atau untuk seumur hidup dapat dipantau apakah sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya dan sekaligus dapat memberi masukan bagi pengadilan mengenai ketepatan Hakim dalam membuat putusan, pada setiap pengadilan ditunjuk Hakim pengawas dan pengamat untuk melaksanakan tugas tersebut. Tahap pelaksanaan putusan pengadilan diatur dalam Pasal 270 sampai 276 KUHAP. Pengaturan pelaksanaan putusan pengadilan adalah aplikasi penghargaan terhadap harkat dan martabat seorang yang telah dijatuhi pidana tidak boleh diperlakukan secara semena-mena. Fokus kajian disini adalah pelaksanaan pidana panjara yang menempatkan peranan dan fungsi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Keberadaan Lapas adalah buah pemikiran untuk menerapkan konsep Treatment Of Offender dan dapat dianggap sebagai pengganti sistem kepenjaraan yang diganti sejak bulan Juli 1964 karena dianggap tidak sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Sistem kepenjaraan adalah Suatu sistem untuk melaksanakan pidana penjara sebagai salah suatu jenis pidana pokok sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP. Sistem penjara meliputi subsistem bangunan yang dijadikan tempat untuk memenjarakan seseorang. Subsistem yang kedua adalah perlakuan terhadap seseorang yang telah dijatuhi pidana penjara. Berdasarkan subsistem tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa sistem kepenjaraan adalah menempatkan seseorang yang telah di jatuhi pidana dalam suatu bangunan yang tertutup dalam 210
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
artian terisolir dari pergaulan masyarakat dengan perlakuan yang bertujuan agar terpidana dapat menjadi jera. Tindakan petugas Lapas yang bertujuan untuk menjadikan seorang warga binaan (Wabi) menjadi jera atau bertaubat tak jarang pada tindakan kekerasan yang melecehkan Wabi, bahkan tindakan tak terpuji dilakukan oleh salah seorang oknum jaksa pada kejaksaan Tinggi Sulselbar telah menghamili tahanannya yang ditempatkan pada Rutan kelas II B Majene (Fajar, 15 Mei 2010). Tindakan demikian sungguh bertentangan dengan falsafah Negara Republik Indonesia yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Keberadaan UU No. 12 Tahun 1995 (Lembaga Negara Republik Manusia Tahun 1995 No. 77) latar belakang pertimbangannya adalah Wabi Permasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik dalam artian manusiawi dalam suatu pembinaan yang terpadu. Dalam suatu penelitian lain yang dilakukan pada Lapas Kelas I A Makassar, Lapas Il B Parepare dan Lapas Kelas II B Palopo, dan 66 orang wabi yang dijadikan responden, 52 orang atau 78,78 % menjawab bahwa mereka tidak mengetahui hak-haknya dan mereka menjalani kehidupannya di Lapas dengan apa adanya, sedangkan 14 orang responden atau 21,21 % mengetahui hakhaknya sebatas untuk makan, olahraga dan menjaIankan ibadah (Baharuddin Badaru, 2004: 243).
C. PENGATURAN KORBAN KEJAHATAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA Korban kejahatan pada awalnya memiliki peran yang besar dan menentukan, bahkan polisi sangat tergantung pada jasa korban dalam menangkap pelaku dan memberkas perkara (melakukan penyidikan). Tetapi dalam proses berikutnya, setelah pelaku tertangkap dan berkas perkara telah Iengkap, korban kejahatan tidak lagi menjadi fokus perhatian. Artinya, dalam tahap-tahap proses peradilan, korban tidak memperoleh pelayanan yang memadai dan tidak memiliki hak-hak serta peran
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
211
yang seimbang dengan peran-peran yang diberikan sebelumnya. Di lain pihak, pelaku kejahatan selalu menarik perhatian para ahli dalam rangka memperoleh perlindungan hukum yang memadai dan memperjuangkan hak-hak dan kepentingan kepentingannya. Korban kejahatan sebagai pihak yang menjadi korban dan perbuatan jahal orang lain belum ditempatkan sebagai pihak dalam sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana disadari atau tidak disadari, sengaja menyampingkan kepentingan korban kejahatan, dengan dalih sistem peradilan pidana diselenggarakan memang bukan untuk melayani kepentingan korban kejahatan. (Randy Bamett, 1977 : 296) Polisi dan jaksa dalam bertindak menangani masalah kejahatan adalah melaksanakan tugas negara di bidang penyidikan dan penuntutan, bukan dalam rangka melayani, melindungi, atau memperjuangkan kepentingan korban kejahatan. Korban kejahatan memang tidak mempunyai hubungan yang jelas dengan polisi dan jaksa, seperti hubungan hukum antara pelaku kejahatan (terdakwa) dengan penasehat hukum. Penasehat hukum bertindak untuk membela dan mengejar kepentingan pelaku kejahatan dengan berbagai cara dan sarana yang ada termasuk di antaranya banding atau kasasi. Pelaku dapat terus menerus berhubungan dan bekerja sama dengan penasehat hukum untuk melakukan pembelaan atau memperjuangkan kepentingannya. Hal yang semacam ini tidak bisa dilakukan oleh korban kejahatan terhadap polisi dan jaksa. Di mata polisi dan jaksa, korban kejahatan ditempatkan sebagai bagian dari alat bukti (saksi) maka perlakuan polisi dan jaksa terhadap korban hanya dalam kapasitasnya sebagai alat bukti (saksi). Deskripsi mengenai perbedaan perlakuan sistem peradilan pidana terhadap pelaku kejahatan dan korban kejahatan dapat dijelaskan oleh Mudzakkir (2001 : 9 - 10) sebagat berikut :
212
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
IHTISAR PERBEDAAN PERAKU ANTAR KORBAN DAN PELAKU KEJAHATAN PELAKU KEJAHATAN
KORRBAN KEJAHATAN
SETELAH TERJADINYA KEJAHATAN : a. Probabilitas besar
keuntungan
lebih a. kerugian pasti diderita koban
b. Probabilitas lolos Iebih besar dari b. Baik tertangkap atau tidak pada tertangkap kerugian tidak akan kembali. TINGKAT POLISI a. L u k a - I u k a / k e s e h a l a n n y a a. Semua biaya pemulihan . diperiksa dan diobati secara cumakesehalan dalam praktek cuma. dibayar sendiri. b. Berhak didampingi penasehat b. Tidak pernah di hukum, dan bagi yang tidak penasihal hukum.
dampingi
c. mampu diberi penasehat hukum c. Bertanggung jawab terhadap yang dibayar oleh negara Icumasendiri terhadap pengambilan cuma . barang yang hilang. d. Jika tidak cukup bukti, atau d. Bertanggung jawab sendiri waktu penahanan telah habis atau terhadap kerugian fisik,mental, memengankan raperadilan dapat dan problem ekonomi bebas. kejahatan. e. Fasiltias selama dalam penahanan e. Membantu pejabat hukum dibayar oleh egara. dengan melapor dan mencari / mengumpulkan bukti-bukti. f. Memiliki hak-hak tertentu yang f. Umumnya tidak dilapori hasil dapat diperjuangkan penyidikan dan aturan hukum yang dilanggar . g. Dibebani kewajiban-kewajiban oleh undang-undang untuk kepentingan yustisi. TINGKAT KEJAKSAAN a. Disediakan fasilitas-fasiljtas dalam a. Hadir ke Kantor Kejaksaan penahanan memenuhi panggilan jaksa dengan biaya sendiri b. Dapat melakukan konsultasi b. Meninggalkan pekerjaan meidk dengan dokter dan konsultasi hukum dengan penasehat hukumnya
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
213
c. Memiliki hak-hak seperti pada c. Umumnya tidak diberi tingkat kepolisian perkembangan perkaranya pasal-pasal yang dilanggar d. Dibebani kewajiban-kewajiban oleh undang-undang untuk kepentingan yustisi TINGKAT PENGADILAN (PERSIDANGAN) a. Transportasi ditanggung negara
a. Transport ditanggung sendiri
b. Dapat melakukan perundingan b. Harus merekonstruksi kembai (negosiasi) ingatannya tentang perubatan terdakwa, kadang harus merasionalisasikan perbuatan dan kejadian yang pernah di alami,dan harusmenanggalkan emosi dan tekanan jiwa pada saat kejadian. c. Dapat meyakinkan hakim tentang c. Sebagai saksi utama, sering ketidak benaran terdakwa menjadi fokus perhatian jaksa, hakim dan penasehat hukum d. Berusaha untuk merasionalisasikan d. Semua kepentingan korban perbuatan atau mencari alasan – sepenuhnya diawali oleh jaksa, alasan pembenar,mengaburkan tanpa konsultasi dengan korban kejadian atau meringankan pidana e. Mengajukan alasan-alasan karena e. Tidak punya pilihan lain gangguan jiwa atau tekanan jiwa terhadap putusan pengadilan, karena tidak memiliki hak banding atau kasasi f.
Dapat mengajukan banding I f. Tekanan mental menghadapi kasasi / grasi publik dan publisitas di persidangan
g. Didampingi penasehat hukum
g.
Diperlakukan dalam kapasitasnya sebagai alat bukti
h. Altenratif pidana sangat beragam
h. Tidak pernah diberi tentang macam dan putusan hakim
i. Sikap santun terdakwa di persidangan sering dijadikan bahan pertimbangan hakim yang menguntungkan bagi terdakwa TINGKAT LEMBAGA PERMASYARAKATAN
214
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
tahu jenis
a. Menerima fasilitas pembinaan di a. Tidak diberi tahu kapan LP keluar, remisi dan dimintai pertimbangan lainnya b. Pelayanan medik c. Program rehabilitasi d. Pareole / remisi dan lain - lain
b. Menanggungi beban hidup, dan terhadap korban tertentu tidak diterima sepenuhnya sebelum menjadi korban
Sikap dan dukungan korban kejahatan terhadap sitem peradilan pidana banyak tergantung pada bagaimana pelayanan yang diberikan secara langsung dan nyata terhadap korban kejahatan. Semakin baik perhatian dan pelayanan (kemampuan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara) yang diberikan kepada korban kejahatan, maka semakin besar dukungan korban kejahatan terhadap penyelenggaraan sistem peradilan pidana. Dengan kata lain, sikap positif dan kepercayaan korban terhadap kemampuan polisi dan jaksa sangat menentukan besar kecilnya partisipasi korban terhadap peradilan pidana. Seperti ditulis oleh Anne Scheiders (1976: 94) sebagai berikut: If the victim has more positive attitudes toward the police, is more trusting of the police, then the probability of reporting is greatei if the victim believes the police and other law enforcement institutions are effective, then the p bability of reporting is greatei (Jika korban bersikap positif terhadap polisi, Iebih mempercayai polisi, maka kemungkinan laporannya lebih besar. Jika korban yakin polisi serta lembaga penegakan hukum efektif, maka kemungkinan laporannya lebih besar) . Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya hampir semua perkara pidana yang diproses oleh polisi dan jaksa adalah berkat partisipasi korban kejahatan berupa memberi laporan dan keterangan serta kesediaanya menjadi saksi. Tanpa partisipasi korban kejahatan peradilan pidana akan lumpuh karena polisi dan masyarakat tidak mungkin bisa mendeteksi pelaku kejahatan secara baik. Seperti dikatakan Andrew Karmen (1998 : 125) : Without the cooperation if victims and witness in reporting and testifying about crime, it is impossible in a free society to hold criminals accountable. (Tanpa kerja sama M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
215
dari korban dan saksi dalam pelaporan dan kesaksian tentang kejahatan, tidak mungkin dalam suatu masyarakat yang bebas untuk menahan penjahat akuntabel). Sementara itu, perlakuan sistem peradilan terhadap korban kejahatan tidak seimbang dengan besarnya peran yang diberikan. Untuk kepentingan proses peradilan pidana jaksa dan hakim selalu minta “jasa” korban kejahatan, akan tetapi mereka hampir tidak pernah memikirkan apa yang seharusnya dituntut dan diputus untuk kepentingan korban. Hukum pidana ternyata juga tidak disusun untuk meletakkan kepentingankepentingan korban atau perlakuan yang seharusnya terhadap korban. Kecenderungan yang kuat untuk memperhatikan dan mengedepankan kepentingan pelaku dan melupakan kepentingan korban merupakan suatu national disgrace. Pengabaian sistem peradilan pidana dalam melayani atau mengatur kepentingan korban kejahatan, menurut Loisforren (1980: 16) merupakan a major source of public dissatisfaction with the law (merupakan sumber utama ketidakpuasan masyarakat dengan hukum). Jelas kiranya, penderitaan korban kejahatan akibat menjadi sasaran kejahatan yang sudah cukup lama dilupakan oleh sistem peradilan pidana itu harus segera dikurangi. Perhatian terhadap korban merupakan hal yang utama dan penting baik untuk masa sekarang maupun masa mendatang. Diakui oleh para ahli hukum bahwa sistem peradilan pidana Iebih banyak memperhatikan dan melindungi kepentingan pelaku kejahatan (offender - centered) bahkan terkesan ‘berlebihan’, sementara kepentingan korban dilupakan.Kenyataan semacam ini menimbulkan kritik terhadap penyelenggaraan peradilan pidana. Kritik ini muncul karena adanya pengembangan studi terhadap kejahatan (kriminologi) yaitu viktimologi. Viktimologi pada mulanya merupakan bagian dari kriminologi. Pengkajian terhadap korban kejahatan telah menjadi sedemikian luas sehingga tidak lagi memadahi sebagia bagian dan bidang kriminologi. Akhirnya dikembangkan menjadi disiplin ilmu pengetahuan sendiri yang dinamakan viktimologi. 216
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Menurut Mendelsohn viktimologi kedudukannya sejajar dengan kriminologi atau sebagai “the revers or criminology” (Stephen Schafer, 1968 : 42). Dengan adanya arus pemikiran ini berarti telah membuka dimensi-dimensi, baru dalam melihat gejala sosial kejahatan. Korban kejahatan tidak lagi dipandang sebagai individu yang menjadi target pelaku kejahatan melainkan diperluas pengertiannya yang meliputi korban struktur yang bersifat kolektif. Karena relatifnya pengertian korban, maka batasan pengertian mengenai korban kejahatan menjadi bagian yang penting. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam kongresnya yang ketujuh Tahun 1985 di Milan, telah mengeluarkan deklarasi tentang masalah korban kejahatan. Korban kejahatan diartikan oleh Arif Gosita, (1987: 76) sebagai berikut: Victim means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through active or omissions thal are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse of power. (Korban berarti orang yang baik secara individu maupun kolektif telah mengalam penganiayaan pisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau ketidakadilan substansial mengenai hak-hak fundamentaInya bahwa dalam pelanggaran hukum kriminal yang berlaku dalam negara-negara anggota termasuk hukum-hukum yang melarang kejahatan penyalahgunaan kekuasaan). Perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak hanya terhadap korban kejahatan saja, tetapi juga terhadap penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Korban penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) didefinisikan sebagal berikut: Victim means person who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering economic loss or substantial impairment of their fundamental rights. through acts or omissions thal do not yet constitute violations of national criminal laws but of internationally recognizej norms relating to human right . (korban berarti orang baik secara individu maupun kolektif telah menderita penganiayaan pisik atau mental, penderitaan M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
217
emosional, kerugian ekonomi atau ketidakadilan substansial mengenai hak-hak fundamentainya melalui tindakan-tindakan atau penghapusan yang belum termasuk pelanggaran hukum kriminal nasional namun norma-norma yang diakui secara internasional yang menyangkut ha-hak asasi manusia (Arif Gosita, 1987 : 77) Di samping Perserikatan Bangsa - Bangsa perhatian terhadap korban kejahatan juga muncul di berbagai negara yang berbentuk organisasi berskala national. Organisasi tersebut berusaha untuk membantu dan melayani kepentingan korban, seperti National Organization for Victims Assistance (NOVA) di Amerika, National Association of Victim Support Schemes (NAVSS) di lnggris, National Organization for Victim Assistance and Mediation di Perancis, Victims of Crime Service (VOCS) di Australia, South East Chicago Commission (SECC) atau Kenwood Program di Chicago dan Sherif’s Separtement’s Victim, Advocate Program di Florida (William Mc. Donald, 1976: 33). Semakin meningkatnya perhatian terhadap korban kejahatan tersebut menyadarkan para ahli hukum dan pembentuk hukum untuk melihat kembali eksistensi korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana, yang sementara ini boleh dikatakan telah terlupakan. Ada kecenderungan di berbagai negara mulai memperhatikan kepentingan korban kejahatan dengan cara miningkatkan pelayanan terhadap korban kejahatan serta memberi peran aktif korban kejahatan dalam Sistem peradilan pidana Di Philadelphia dikembangkan model penyelenggaraan peradilan pidana yang disebut The arbritration model to the criminal justice system. Model ini mencoba melihat perbuatan pidana bukan semata-mata urusan antara pelaku dengan negara Hakhak dan kepentingan - kepentingan korban tidak Secara otomatis di “subrogate” pada negara. Pelaku dan korban kejahatan diajak untuk mendiskusikan permasalahannya untuk mencapai suatu penyelesajan dan tidak memaksa atau mengharuskan pihakpihak untuk membawa perkara tersebut ke peradilan pidana. Dalam rangka membantu korban, diperlukan adanya 218
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
program Victim Advocate (pembela untuk korban). Pembela korban ini tentunya tidak sama dengan pengertian “pembela” pada umumnya, yang diasumsikan berjuang gigih untuk membela hak-hak, kepentingan, dan keuntungan klien, melainkan dalam rangka untuk memperbaiki atau memulihkan keharmonisan dan membantu pelaku untuk hidup berdampingan dalam suasana kedamalan. (Robert Reif, 1979: 38). a. Kebijakan Terhadap Korban Kejahatan Pada tahun 1970 pembentuk undang-undang telah menerbjtkan undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan - ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian mencabut undang-undang tersebut dengan undang-undang yang baru, yaitu UU No. 24 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.Karena UU No. 24 Tahun 2004 dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut UUD NRI 1945, maka diberlakukanlah UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang baru. Undang-undang ini merupakan landasan pokok dalam penyelenggaraan peradilan di Indonesia. PenyeIenggar peradilan dimaksukkan untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia, diserahkan kepada BadanBadan Peradilan, yang dalam perkara pidana dilaksanakan oleh Peradilan Pidana. Tugas pokok badan peradilan adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Tugas menyelesaikan perkara merupakan tugas peradilan yang perlu ditonjolkan, karena tugas ini berbeda dengan sekedar mengadili. Menyelesaikan perkara mengandung makna menyelesaikan substansi masalah yang menjadi pemicu terjadinya pelanggaran hukum serta mempertautkan kembali hubungan yang terganggu akibat pelanggaran. OIeh karena itu, keberadaan dan keterlibatan kedua belah pihak yang berperkara merupakan aspek yang penting dalam menyelesaikan perkara. Kendatipun telah ada Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
219
membatasi jenis peradilan tetapi penyelesaian perkara di luar peradilan pidana tetap masti dimungkinkan dan tetap diberi peluang. Penyelesaian perkara di luar proses peradilan pidana, misalnya dengan cara perdamaian atau melalui wasit (arbitrase), tetap diperbolehkan sepanjang dengan cara itu masalah dapat diselesaikan dan dapat membuahkan keadilan. (Pasal 58 - 60 UU No. 48 Tahun 2009). Perlu dicermati dalam konteks ini adalah mengenai penyelesaian perkara yang tidak melalui prosedur peradilan. Penyelesaian melalui institusi yang bukan peradilan pidana tersebut bukan dalam rangka untuk menciptakan lembaga peradilan baru atau menghidupkan kembali peradilan swapraja atau peradilan adat yang bukan Peradilan Negara, yang secara tegas tidak dikehendaki oleh pembentuk undang-undang. Namun demikian, pembentuk undang-undang sekali-kali tidak bermaksud untuk mengingkari adanya hukum tidak tertulis dan penyelesaian perkara melaui cara-cara lain, melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada peradilan-peradilan negara. Dengan ketentuan bahwa hakim, sebagai penegak hukum, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009), yang dilakukan dengan cara mengintegrasikan diri dalam masyarakat. Dengan demikian perkembangan dan penerapan hukum yang tidak tertulis itu dapat diberlakukan secara wajar. Beranjak dari Al Qur’an antara lain Surah Al Baqarah ayat 178,179, Al Qur’an Surah An Nisaa ayat 92, 93, dan surah Al Maidah ayat 45 dan 32, dapat dipahami bahwa sanksi hukum atas delik pembunuhan adalah sebagai berikut: 1. Pelaku pembunuhan yang disengaja, pihak keluarga korban dapat memutuskan salah satu dari tiga pilihan, yaitu (1) qishash, yaitu hukuman pembalasan setimpal dengan penderitaan korbannya, (2) diat yaitu pembunuh harus membayar denda sejumlah 100 ekor unta, atau 200 ekor sapi atau 1.000 ekor kambing, atau bentuk lain seperti uang senilal harganya. Diat 220
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
tersebut diserahkan kepada pihak keluarga korban, (3) Pihak keluarga memaafkan apakah harus dengan syarat atau tanpa syarat. 2. Pelaku pembunuhan yang tidak sengaja, pihak keluarga diberikan pilihan, yaitu (1) Pelaku membayar diat, (2) membayar kifarah (memerdekakan budak mukmin; (3) Jika tidak mampu maka pembunuhan diberi hukuman moral, yaitu berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Sebagai contoh sidang adat Dayak yang menempatkan Prof. Thamrin Amar Tomagola melawan masyarakat Dayak. Persidangan tersebut berhasil mendamaikan kedua kubu yang bertikai dan persidangan tidak berlangsung lama dan dapat memuaskan semboyan mereka : Halangku mangenttu bunu, hangkalu penang mamangun betang (bersatu bersama menyelesaikan permasalahan, sepakat untuk membangun kebersamaan) Dan juga mereka berpegang pada simbol : enyang hinye simpe, paturung humba tamburak mangatang utus, yang bermakna bersama dalam satu ikatan yang kuat mengangkat harkat dan martabat suku Dayak (Fajar, 23 Januari 2011). Sidang tersebut di atas pada hakikatnya menyerupai pendekatan restorative justice yang berorientasi bagaimana menyelesaikan permasalahan hukum secara damai dan dapat memuaskan semua pihak, sebab teori restorative justice adalah wahana untuk memperbaiki korban, pelaku dan masyarakat akibat dari dampak kejahatan, sebagaimana dikemukakan oleh Yulia (2010:182) bahwa ada tiga isu utama yang diemban oleh restorative justice yaitu: (1) memperbaiki dan memuaskan korban dalam sistem peradilan pidana, (2) memperbaiki dan memuaskan pelaku, dan (3) memperbaiki dan memuaskan masyarakat setelah proses pidana. Keberadaan lembaga-lembaga peradilan lain selain lembaga peradilan negara tidak dikehendaki, tetapi bukan bermaksud menghapus cara penyelesaian di luar lembaga peradilan negara
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
221
yang dalam praktek masih dilakukan oleh masyarakat dan diakui oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Proses penyelesaian perkara pidana dapat dilakukan melalui dua cara; pertama melalui peradilan pidana; dan kedua, di laur peradilan pidana. Penyelesaian perkara melalui pengadilan selanjutnya diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sedang proses di luar peradilan melalui sarana yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau melaluj lembaga yang ada dalam masyarakat (misalnya lembaga adat) atau melalui lembaga perdamalan atau arbitrase. Pendirian terakhir Mahkamah Agung RI melalui putusannya yang secara tegas mengakui keberadaan lembaga adat sebagai lembaga penyelesaian perkara pidana (adat). Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1644.K I Pid /1988, tanggal 15 Mei 1991, yang menolak mengadili suatu perkara pidana delik adat yang telah diselesaikan melalui lembaga adat dengan alasan no bis in idem. Penyelesaian perkara pidana melalui lembaga adat, lebih mengutamakan keharmonisan dan keseimbangan tata kehidupan masyarakat, bukan mengucilkan bagian dari anggota masyarakat melainkan berusaha untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat dilakukannya pelanggaran. Aspek korban menjadi bagian yang penting dalam penyelesaian perkara. (Varia Peradilan No. 1, September 1991, hal 77-79) Jika terjadi sebaliknya, Pengadilan Negeri telah mengadili perkara pidana (adat), namun menurut hukum adat ada bagian yang belum lengkap sehubungan dengan putusan pengadilan tersebut, maka hakim perdamaian desa berwenang, setelah pengadilan tersebut, menjatuhkan pidana, menghukum yang bersalah untuk menyelenggaraa usaha-usaha adat yang diwajibkan, seperti meminta maaf secara adat, selamatan guna pembersihan dusun dan kotoran batin yang disebabkan oleh perbuatannya dan lain sebagainya. Perbuatan hakim perdamaian ini tidak berlaku prinsip ne bis in idem (Soepomo, 1984:131) Penyelesaian perdamaian atau kekeluargaan terhadap 222
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
perkara pidana sering dijumpai pada perkara pidana yang tergolong delik aduan (klacht delicti). Terhadap delik aduan, polisi dan jaksa pada umumnya menawarkan jalan penyelesaian secara perdamaian atau secara kekeluargaan. Apabila cara demikian gagal baru kemudian memprosesnya lebih lanjut melalui proses peradilan. Hal itu dimaksudkan agar hubungan yang harmonis antara kedua bela pihak tetap terjalin dengan baik. Proses peradilan pidana dapat membawa dampak negatif antara lain merenggangkan hubungan kedua bela pihak yang disebabkan karena hakim dalam memutus perkara pidana selalu menyatakan bersalah atau tidak bersalah terhadap salah satu pihak (yang diajukan sebagai terdakwa) Dalam praktek, sering terjadi penyelesajan secara damai atau kekeluargaan terhadap perkara pidana yang bukan delik aduan (biasa). Penyelesaian secara damai atau kekeluargaan sering ditempuh oleh polisi dalam menghadapi perkara-perkara pidana biasa yang tergolong ringan sifatnya, tidak menimbulkan keresahan masyarakat, pelakunya masih muda / pelajar / mahasiswa yang memerlukan pembinaan yang intensif atau ada hubungan keluarga antara pelaku dan korban, teman dekat, tetangga, atau hubungan bisnis, baru pertama melakukan tindak pidana (bukan residivis) yang apabila diteruskan justru akan menimbulkan akibat yang Iebih buruk bagi pelaku, dan ada permintaan baik dan pihak korban atau pelaku I keluarganya (wawancara dengan penyidik polri, 15 April 2010). Sesuai dengan hasil wawancara dengan penyidik (tanggal, 15 April 2009) yang mengaku pernah menyelesaikan perkara pidana melalui proses perdamalan atau secara kekeluargaan. dari jumlah perkara yang dapat diselesaikan di setiap sekta ratarata terdapat 10% - 20% perkara yang diselesaikan melalui proses perdamalan atau kekeluargaan. Dalam data Statistik Kriminil, data mengenai perkara yang diselesaikan secara kekeluargaan atau perdamaian dimasukkan kategori perkara yang telah dilaksanakan. Kendatipun melapor kepada polisi, tidak semua korban
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
223
kejahatan selalu minta diteruskan ke pengadilan korban kejahatan sering malah justru minta agar perkaranya diselesaikan secara damai atau kekeluargaan dengan alasan setelah melapor ada perkembangan baru di mana pelaku bersedia mengganti kerugian yang ditimbulkan akibat terjadinya kejahatan atau tumbuhnya perasaan kemanusiaan (empati) terhadap pelaku atau telah terjalin hubungan baik antara pelaku dengan korban kejahatan, disebabkan karena pelaku mengakui kesalahannya dan bersikap positif terhadap korban, misalnya meminta maaf. (Wawancara dengan Penyidik dan Keluarga Korban dalam Kasus Lalu lintas, Pasal 359 KUHP). Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menunjukkan adanya indikasi peningkatan pelayanan dan perlindungan terhadap korban kejahatan yaitu di samping ditempatkan sebagal saksi, korban kejahatan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam kapasitasnya sebagai alat bukti atau saksi, korban kejahatan bersifat pasif. Artinya, memberi kesaksian kalau diminta dan hanya sebatas memberikan keterangan mengenai perbuatan pidana yaitu mengenai apa yang ia dengar, lihal, atau alami sendiri (Pasal 1 ke 26 dan 27 KUHAP). Sebagai pihak ketiga yang dirugikan atau pihak ketiga yang berkepentingan, korban diberi hak untuk mengajukan gugatan ganti rugi dalam proses peradilan pidana atau melalui proses peradilan perdata dan dapat melakukan fungsi pengawasan secara horizontal. Pasal 98 KUHAP ayat (1) memuat ketentuan: Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan itu dapat menetapkan untuk menggabungakan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu; Ganti kerugian sebagai salah satu sarana untuk memperoleh kembali kerugian - kerugian akibat terjadinya kejahatan memerlukan tindakan aktif korban yaitu harus mengajukan 224
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
permintaan kepada hakim. Apabila dalam batas waktu setelah dibacakan penuntutan maka hak korban untuk memperoleh ganti rugi melalui proses peradilan pidana menjadi gugur dengan sendirinya. Untuk memperoleh ganti kerugian, korban harus aktif, dalam arti ia harus mengajukan permintaan, Ia juga aktif mengikuti sidang, sehingga cepat mengetahui sampai sejauhmana kegiatan jaksa penuntut umum. Untuk menghindari batas waktu tersebut, dapat mengajukan jauh hari sebelum penuntut umum membacakan tuntutannya. Karena, dalam praktek, penuntut umum tidak pemah meminta pertimbangan atau menginformasikan perkembangan perkara pidana kepada korban kejahatan, tentang kesimpulan pemeriksaan sidang dan tuntutan, menerima atau banding atau kasasi. Jadi, ganti rugi itu dapat atau tidaknya diperoleh sangat tergantung kepada kegiatan polisi dan jaksa dalam usaha untuk membuktikan perkara pidana. Dibolehkannya korban menuntut ganti rugi ini merupakan langkah maju dalam rangka perlindungan terhadap hak dan kepentingan korban kejahatan. Artinya, sistem peradilan pidana Indonesia tidak hanya mengutamakan perlindungan hukum terhadap hak dan kepentingan tersangka, seperti kritik yang ditujukan terhadap penyelenggaraan peradilan pidana selama ini. Kendatipun hak dan kepentingan korban mulai diperhatikan, bukan berarti polisi dan jaksa bertindak sewenang-wenang terhadap pelaku kejahatan dengan dalih melindungi hak dan kepentingan korban. Keduanya, pelaku dan korban, harus memperoleh perlindungan hukum yang sama. Dalam arti, tidak boleh mengalahkan yang satu dan mengutamakan yang lain. Pasal 80 KUHAP mengatur tentang kemungkinan peran korban kejahatan dalam melakukan pengawasan terhadap proses peradilan (pengawasan horizontal). Ketentuan pasal 80 KUHAP mengatur sebagai berikut: Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
225
berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. Dalam konteks ini korban kejahatan dapat dikategorikan sebagal pihak ketiga yang berkepentinga Secara a-contrario, korban kejahatan mempunyai hak untuk menyetujui penghentian penyidikan atau penuntutan dengan cara tidak mengajukan keberatan atau sebaliknya hak menyatakan keberatan jika perkara dilanjutkan ke pengadilan. Jaksa dapat melakukan penghentian penuntutan peikara pidana dengan pertimbangan : tidak cukup bukti, perbuatan tersebut ternyata bukan merupakan perbuatan pidana, demi kepentingan hukum, (Pasal 140 ayat 2 huruf a KUHAP) atau demi kepentingan umum (asas oportunitas) (Pasal 35 huruf c UU. No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan). Dengan adanya KUHAP, hubungan antara penegak hukum polisi dan jaksa dengan korban kejahatan menjadi berubah. Korban kejahatan menurut KUHAP dapat bertindak aktif mengikuti proses perkara yang dilaporkan, dalam rangka menuntut tegaknya hukum terhadap pelaku dan dalam rangka mengejar kepentingan korban sendiri serta melakukan pengawasan terhadap polisi dan jaksa. Jika kiranya, dengan diberlakukannya KUHAP maka dalam sistem peradilan pidana Indonesia mulai ada perhatian terhadap korban, kendatipun oleh sementara pihak dinilai bahwa KUHAP lebih banyak melindungi terdakwa dan melalaikan korban. Prinsip-pnnsip pengaturan mengenai kedudukan dan hakhak korban dalam KUHAP dapat dijadikan dasar pengaturan Iebih lanjut dalam berbagai ketentuan hukum Iainnya, dalam rangka pembentukan sistem peradilan pidana Indonesia yang berorientasi pada pengayoman. b. Proyeksi penyelesaian perkara pidana di Indonesia b.1 Penyelesaian Perkara Pidana dengan cara Perdamaian atau Kekeluargaan sebagai Alternatif Pertama Dengan diberlakukannya UU No. 48 Tahun 2009 tentang 226
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Ketentuan Kekuasaan Kehakiman, diharapkan adanya perubahan yang cukup mendasar dalam bidang peradilan di Indonesia. undang-undang tersebut berusaha untuk menata peradilan di Indonesia yang sesuai dengan semangat UUD NRI 1945. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagai sarana penegakan hukum dan keadilan diserahkan kepada badanbadan peradilan dengan tugas pokoknya menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan. Undang-undang ini berusaha untuk menyatukan peradilan dengan membentuk badan-badan peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer dan melarang adanya peradilan - peradilan lain yang dilakukan oleh bukan peradilan negara. Undang-undang Kekuasaan Kehakiman ini merupakan puncak dan serangkaian usaha untuk menyatukan (Unifikasi) badan peradilan di Indonesia. Hal yang cukup menarik adalah masih diakuinya (tidak dihapus) keberadaan peradilan desa. Demikian juga, pengakuan atau dibolehaknnya penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrage). Penegasan tentang pembentukan Peradilan Negara, oleh pembentuk undang - undang dimaksudkan untuk menutup semua kemungkinan adanya kekuatan atau diadakannya lagi peradilan - peradilan Swapraja atau Peradilan Adat yang dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk mengingkari hukum tidak tertulis - yang ada dan ditaati oleh masyarakat - melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penetapan hukum itu ke peradilan-peradilan negara.sebagai konsekuensinya, mewajibkan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim harus mengenai, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, agar memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan keadilan masyarakat.
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
227
Dalam bidang hukum pidana, Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, Pasal 5 ayat (3) sub b, memuat ketentuan: Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak Iebih dan tiga bulan penjara dan atau denda lima ratus rupiah, yaitu hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan terhukum… …bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan itu. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pengaturan hukum pidana pada dasarnya diatur dalam hukum tertulis, tapi tidak menutup kemungkinan berlakunya hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat. Sedang lembaga peradilan pidana hanya diakui melalui lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang yaitu lembaga Peradilan Umum (Pidana) yaitu Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan banding, dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi. Ketentuan tersebut tidak mengatur mengenai larangan selain penyelesaian perkara pidana melalui prosedur lain selain peradilan pidana atau penyelesaian secara perdamaian atau melalui proses peradilan pidana. Sementara in hanya dikenal dalam bidang hukum perdata, pada hal dalam praktek sering dilakukan, baik terhadap delik aduan maupun bukan delik aduan.Kemungkinan ini Juga, diisyaratkan dalam berbagai ketentuan, yaitu: 1. Undang - undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, Jo Pasal 3 berbagai ketentuan dalam Undang - undang Nomor 14 Ayat (1), Pasal 23 Ayat (1) dan Pasal 27 Ayat (1). 2. Undang - undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 60. 3. Pasal-pasal KUHAP antara lain : Bab VII Buku I, yaitu Pasal 72, 73, 74, dan 75, Pasal 82 dan Pasal-pasal yang mengatur 228
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
delik aduan mutlak (misalnya : 284, 287, 293, 320, 332, dan 367) dan delik aduan relatif (misalnya: Pasal 310, 311, 315, 3l7dan 318) 4. Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian, pada Penjelasan Umum. 5. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 35 Huruf C. 6. Undang-unciang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 7 ayat (1) huruf I dan j, Pasal 109 ayat (2), dan Pasal 46 ayat (1) huruf c, yang mengatur kewenangan polisi, dan Pasal 14 huruf h, Pasal 140 ayat (2) huruf a, yang mengatur kewenangan jaksa mengenat penyelesaian perkara tanpa melalui sidang pengadilan pidana. 7. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi Jo. Pasal 29 Rechten Ordonantie 8. Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, Pasal 5 Ayat (3) Sub b, Jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1644.K/Pid/1988. Berbagai ketentuan tersebut mengisyaratkan adanya beberapa alternatif penyelesaian perkara pidana. Dengan demikian, peradilan pidana bukanlah merupakan altematif satus atunya penyelesaian perkara pidana. Proses penyelesaIan perkara melalui peradilan pidana mungkin dapat mendatangkan kepastian hukum yang tinggi, sedang kepastian hukum tidak secara otomatis mendatangkan keadilan atau kedamaian. Seperti ungkapan yang mengkritik kelemahan penyelenggaraan hukum yang hanya mengejar kepastian hukum berbunyi Summum IUS Sumam iniuria (Keadilan - kepastian - yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi). Hukum yang menonjolkan kepastian hukum menghendaki rumusan dalam mengejar kepastian hukum, tetapi dapat mempersempit ruang gerak hakim untuk menghasilkan putusan yang lebih adil. Hakim ditempatkan sebagai “corong” undang-undang bukan sebagai
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
229
penegak hukum dan keadilan. Suatu peradilan pidana yang lebih mengutamakan aspek kepastian hukum selalu terkait dengan prosedur dan kaidah hukum formal yang kadang-kadang mengabaikan aspek hubungan kemanusiaan antara pelaku dengan korban. Alternatif penyelesaian perkara pidana melalui cara perdamaian atau kekeluargaan, menurut persepsi korban, dinilai lebih dapat mendatangkan kedamaian dan keutuhan keluarga bagi kedua belah pihak daripada melalui peradilan pidana. Proses penyelesaian perkara pidana di luar proses peradilan pada umumnya ditempuh dengan sepengetahuan lembagalembaga formal atau non formal yang diakui keberadaannya oleh hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis, misalnya Kepolisian, Kejaksaan, RT/RW, Kelurahan, Lembaga Adat Lembaga Keagam atau lembaga perdamaian desa. Yang Perlu ditegaskan di sini, bahwa lembaga-lembaga tersebut bukan berfungsi melaksanakan peradilan - karena, apabila mengadili berarti tidak sesuai dengan peraturan Perundang - undang yang berusaha untuk melakukan Unifikasi - melainkan hanya menyelesajkan perl(ara atau perselisihan (konflik). Mahkamah Agung Republik Indonesia sendin telah mengakui keberaaan lembaga adat sebagai lembaga yang menyelesaikan perkara pidana (adat), seperti dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor l644.K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991. Dalam putusan tersebut Mahkamah Agung RI berpendirian bahwa suatu pelanggaran pidana adat yang telah diperiksa dan diselesaikan secara adat - dengan menjalankan sanksi adat - yang diberikan oleh lembaga (kepala) adat maka hakim pada Badan Peradilan Negara tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut, dengan alasan ne bis in idem (Pasal 76 KU HAP). Dalam praktek, proses penyelesaian perkara pidana melalui lembaga peradilan pidana ditempuh manakala proses penyelesaian secara kekeluargaan atau perdamaian mengalami kegagaIan (ultimun remedium). Dalam praktek, cara perdamaian atau kekeluargaan sering ditempuh lebih dulu kendatupun 230
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
tergolong perkara biasa (bukan delik aduan). Prosentase penyelesaian secara perdamaian atau kekeluargaan ini cukup besar. Mengingat pelanggaran hukum pidana terkait dengan berbagai kepentingan yang hendak dilindungi oleh peraturan hukum pidana maka kewenangan yang diberikan kepada korban hendaknya juga dibatasi. Artinya, kewenangan korban untuk menyelesaikan secara perdamaian atau kekeluargaan itu dapat disimpangi manakala kepentingan lain menghendaki agar perkara tersebut diproses melalui peradilan pidana. Sebaliknya demi kepentingan lain yang hendak dilindungi oleh hukum dapat mengalahkan tuntutan korban yang menghendaki agar perkara diproses melalui peradilan. Mengenai pemberian kewenangan kepada korban atau pihak yang dirugikan oleh delik untuk melakukan penuntutan dianut di lnggris, Muangthai dan Belgia. Artinya, orang biasa atau pihak yang dirugikan dapat melakukan penuntutan dan dapat bekerja sama dengan penuntut umum (Andi Hamzah, 1987: 24). Hal ini sesuai dengan asas oportunitas yang dibantu di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, pasal 35 huruf c yang menyatakan bahwa Jaksa Agung selaku Penuntut Umum Tertinggi mempunyai tugas dan wewenang : mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, yaitu kepentingan bangsa dan negara, dan atau kepentingan masyarakat luas, termasuk kepentingan pelaku dan korban kejahatan. Kejaksaan sebagai bagian dan sistem peradilan pidana atau dalam rangka keterpaduan Sistem peradjian pidana Indonesia juga bertanggungjawa dalam meIaknakan tugas dan wewenangnya, yaitu menetapkan serta mengendai kebijaksanaan umum, penegak hukum dan keadilan, maka wewenang mengesampingka perkara demi kepentingan umum (asas oportunitas haruslah ditempatkan dalam kerangka penegakan hukum dan keadilan. Asas oportunitas yang semula ditafsirkan secara negatif yaitu kewajiban menuntut selalu harus dilakukan (asas legalitas), meskipun dengan kemungkinan pengecualian berdasarkan
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
231
kepentingan umum. Menurut Mardjono Reksodiputro, (1990 : 5) bahwa asas oportunitas dalam kerangka keterpaduan sistem peradilan pidana Indonesia sekarang perlu ditafsirkan secara positif. Artinya, kewajiban menuntut hanya akan dilakukan, apabila di samping harus didasarkan pada undang-undang (peraturan perundang-undangan), dan dapat pula didasarkan (secara kumulatif) pada kepentingan umum, yaitu kepentingan tatanan hukum. Jadi, jaksa baru melakukan penuntutan manakala benar-benar melanggar peraturan dan benar-benar dikehendaki oleh / demi kepentingan umum. Sejalan dengan itu, setiap pelanggaran hukum pidana tidak secara otomatis masuk dalam proses sistem peradilan pidana. Suatu perkara akan diproses melalui sistem peradilan pidana manakala benar-benar perlu dan dikehendaki oleh kepentingan umum. Prinsip ini sesuai dengan asas subsidiaritas yang dikenal dalam hukum pidana. Menurut Roeslan Saleh (1984 21 - 23) bahwa asas subsidiaritas dapat diterapkan pada dua hal yaitu : pertama, pada tingkat pra ajudikasi, kekuasaan menerapkan pidana tidak sampai bergerak bilamana melalui stelsel sanksi yang bersifat sosial dapat dicapal tujuan yang sama atau memang telah tercapai. Artinya, sebanyak mungkin diusahakan untuk diselesaikan melalui caracara yang di luar peradilan pidana. Jadi, suatu perkara akan diteruskan ke peradilan pidana hanya bilamana baik dari segi prevensi umum maupun prevensi khusus, atau pertimbangan dampak perbuatan terhadap masyarakat adalah benar-benar perlu untuk diselesaikan melalui hukum pidana. Pada tindakan pra - ajudikasi, polisi dan jaksa cukup memberikan peringatan kepada yang bersangkutan atau membuat transaksi. Dalam praktek sering dijumpai model penyelesaian perkara pidana dengan transaksi,yang pada umumnya dijumpai pada tingkat polisi (penyelidikan / penyidikan) Transaksi tersebut dibuat pada kertas yang bermaterai, dengan persetujuan korban kejahatan dan diketahui oleh polisi yang berisi permintaan maaf pelaku terhadap korban, permohonan untuk diselesaikan secara
232
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
perdamaian atau kekeluargaan dan janji pelaku untuk tidak mengulangi perbuatan serta kesediaan menerima sanksi bila melanggar janji tersebut. Kedua, pada tingkat ajudikasi, jaksa sesuai dengan asas oportunitas — selektif dalam menuntut dan hakim selektif dalam menjatuhkan pidana. Artinya, jaksa selektif dalam memilih perkara yang masuk dan menuntut atternatif pidana terhadap terdakwa adan hakim juga selektif dalam memilih alternatif pidana yang tepat dan dimulai dari yang paling ringan jika dengan pidana yang paling ringan tersebut telah dianggap cukup sebagaimana dikemukakan Roeslan Saleh (1984 : 23) bahwa: Jangan jatuhkan pidana penjara atau kurungan jika dipandang cukup hanya dengan pidana denda. Jangan jatuhkan pidana penjara atau kurungan yang tidak bersyarat jika pidana bersyarat dipandang telah cukup. Jangan jatuhkan pidana perampasan kemerdekaan yang lama jika pidana yang waktunya pendek telah dapat menyelesaikan persoalan itu. Prinsip Subsidiaritas dalam penerapan pidana juga dianut dalam Rancangan KUHP sebagaima termuat dalam Pasal 51 ayat (1): Dalam hal suatu tindak pidana diancam dengan pidana perijara atau pidana denda, pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hakim berpendapat bahwa hal itu telah sesuai dan dapat menunjang dicapainya tujuan pemidanaan Dalam penjatuhan pidana, hakim selalu berorientasi pada tujuan pemidanaan dan mengutamakan I mendahulukan jenis pidana yang ringan, sekiranya pidana yang lebih ringan itu telah didukung atau memenuhi tujuan pemidanaan. Jika tujuan pemidanaan ini dijadikan sebagal prinsip I dasar dalam penyelenggaraan peradilan pidana, maka asas ini dapat dijadikan pembenaran terhadap penyelesaian perkara pidana secara damai atau kekeluargaan (arbitrase) manakala cara ini Iebih biasa mencapai tujuan pemidanaan. Untuk mengawasi jalannya penegakan hukum dan keadilan dalam kaitannya dengan penyelesaian perkara di luar M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
233
proses peradilan pidana dan tindakan penyimpangan perkara diperlukan adanya lembaga kontrol / pengawas. Lembaga ini berfungsi mengawasi dengan cara mengajukan keberatankeberatan terhadap tindakan korban, polisi, jaksa dan sekaligus untuk menghindari adanya persekongkolan antara pelaku dengan korban atau keluarga korban atau antara pelaku dan I atau korban dengan polisi atau jaksa untuk tujuan-tujuan yang jahal. Persekongkolan antara korban dengan pelaku sering terjadi pada kejahatan - kejahatan tertentu yang ada hubungannya dengan klaim asuransi. Lembaga kontrol I pengawas ini sebaiknya terdiri dan anggota masyarakat yang diangkat dalam masa jabatan yang terbatas. Seperti halnya kiso - yuuyo atau suspended prosecution (penangguhan penuntutan) yang berlaku di Jepang. Kewenangan jaksa untuk menangguhkan penuntutan ini juga diawasi oleh suatu lembaga pengawas yang diangkat dari anggota masyarakat. Lembaga tersebut dapat mengajukan keberatan terhadap penuntut umum (Tatsuya Ota, 1991 :16). Sebagaimana dikemukakan di bagian sebelumnya bahwa peradilan pidana sebagai bagian dan lembaga peradilan di Indonesia diselenggarakan untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara (pidana) yang diajukan kepadanya. Penyelenggaraan peradilan pidana belum menyentuh aspek keadilan yang substantif, kendatipun tersebut telah berakhir dengan penjatuhan pidana. Hakim dalam memeriksa perkara pidana pada umumnya hanya mendasarkan diri pada dakwaan jaksa, sedang dakwaan jaksa disusun berdasarkan atas hasil penyidikan polisi (berkas pekara) yang telah menentukan bentuk perbuatan dan pasal yang dilanggar. Polisi memiliki Peranan yang menentukan jalannya proses peradilan pidana, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa polisi sebagai penentu jahal tidaknya seseorang. Polisi dalam melakukan penyidikan (pengumpulan informasi) diarahkan pada informasi yang yuridis relevant bagi unsur-unsur perbuatan pidana. Serangkaian fakta-fakta yang kompleks sifatnya direduksi sedemikian rupa sehingga menjadi 234
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
kesimpulan-kesimpulan yuridis, berupa : apakah terdakwa memang melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya; dan apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu memang merupakan suatu perbuatan pidana, yang selanjutnya disusul dengan apakah terdakwa dapat dijatuhi pidana atau ada kesalahan. (Roeslan Sateh 1978 :11). Jadi jelas kiranya bahwa proses peradilan pidana hanya ditujukan untuk membuktikan benar tidaknya dakwaan pelanggaran tersebut. (Satjipto Rahardjo, 2006: 16). Proses peradilan pidana yang demikian itu pada umumnya akan berakhir berupa pernyataan terbukti atau tidaknya dakwaan jaksa dan ada atau tidaknya kesalahan terdakwa yang selanjutnya penetapan sanksi pidana (penjatuhan pidana) sesuai dengan ancaman pidana yang telah ditetapkan. Jika dihubungkan dengan tujuan pemidanaan di masa mendatang – seperti yang dimuat dalam RUU KUHP - proses yang demikian ini belum menyentuh substansi perkara yang berupa Perselisihan atau terganggunya tata pergaulan masyarakat khususnya hubungan antara pelaku (terdakwa) dengan pihak korban kejahatan Sedangkan tujuan pemidanaan, sebagaimana dimuat dalam Pasal 47 ayat (1) RUU KUHP bermaksud untuk: 1. Mencegah ciilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat 2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjacil orang yang balk dan berguna; 3. Menyelesajican konflik yang ditimbulkan oleh tindakan pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; 4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana Bagaimana bisa mewujudkan tujuan pemidanaan yang ketiga berupa penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, jika hakim dalam memeriksa perkara pidana hanya mendasarkan diri pada dakwaan jaksa
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
235
saja. Sedang dakwaan jaksa disusun berdasarkan berkas perkara yang disusun oleh polisi yang telah mengeleminir berbagai fakta yang sebenarnya, sehingga menjadi fakta hukum. Sementara itu, korban juga ditempatkan sebagai bagian dari fakta, yaitu sebagai bagian dari serangkaian alat bukti. Tepatnya sebaga saksi utama atau saksi korban. Peradilan pidana yang berorientasi pada penyelesaian konflik, pemulihan keseimbangan mendatangkan rasa damai serta pembebasan rasa bersalah tersebut sesuai dengan prinsip penyelenggaraan peradilan yaitu dalam rangka penegakan hukum dan keadilan. b.2 Alternatif Penyetesaian Perkara Pidana melalui Lembaga Adat Ketentuan RUU KUHP Pasal 1 Ayat (4) memuat ketentuan sebagal berikut: Ketentuan dalam ayat 1 tidak mengurangi bertakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut dipidana bilamana perbuatan itu tidak ada persamaannya dalam peraturan perundang undangan ini. Kehadiran Pasal 1 Ayat (4) ini menunjukkan “karakteristik” asas legalitas menurut pandangan dan pemikiran bangsa Indonesia. Kendatipun demikian, pasal ini masih memerlukan penjelasan Iebih lanjut mengenai apakah yang dimaksud dengan hukum yang hidup tersebut. Sepintas lalu, Ayat (4) ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) yang memuat ketentuan “seseorang tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan-ketentuan pidana dalam yang telah ada sebelumnya.” Memberlakukan hukum yang hidup (yang tidak tertulis) dalam jajaran hukum pidana mengundang permasalahan menyangkut substansi dan prosedur. Secara substansial, apakah yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam kaitannya dengan ayat (1) tersebut? menurut konsep awalnya. Konsep RUU KUHP Tahun 1963, Pasal 5 “Pengadilan hanya dapat 236
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
mengkualifikasikan suatu perbuatan sebagai tidak pidana, apabila pembuat undang-undang atau hukum tak tertulis yang hidup dalam kalangan masyarakat Indonesia dan yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur telah menetapkan perbuatan itu sebagai tindak pidana dan mengancamnya dengan pidana.” Kalimat tersebut berbunyi hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam kalangan masyarakat Indonesia dengan syarat harus hidup dalam kalangan masyarakat Indonesia dan tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur. Di sini juga tidak secara tegas ditunjuk maksud hukum yang tidak tertulis tersebut. Sedangkan tujuan diadakannya ketentuan tersebut supaya undang-undang tidak kaku, melainkan luwes (flexible), karena perkembangan yang terjadi dalam masyarakat selalu akan dapat direalisir oleh hakim. Kedua rumusan tersebut secara tersirat yang dimaksud adalah hukum adat, karena salah Satu sifat dan hukum adat adalah tidak tertulis. Bila demikian, ketentuan Ayat (4) bisa dinilai “bertentangan” dengan semangat Ayat (1) yang menghendaki adanya ketentuan Perundang - undang (tertulis) atau sebagai “penyimpangan” dalam anti pengecuaIian dalam rangka menyesuaikan dengan kesadaran hukum masyarakat seperti yang diisyaratkan dalam UUD NRI 1945. Diakul bahwa pemberlakuan asas legalitas (secara murni) seperti di negara-negara Eropa - yang merupakan embrio lahirnya asas legalitas - tidak mungkin bisa dilakukan karena masyarakat Indonesia secara kultural adalah berbeda dengan masyarakat Eropa. Tumbuh dan berkembangnya asas legalitas di Negara - Negara Eropa secara kultural relatif homogen dan struktural masyarakatnya tergolong sudah mapan. Sebaliknya, masyarakat Indonesia memiliki kultur dan struktur masyarakat yang relatif heterogen. Dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun, problem hukum yang dihadapi bukanlah problem implementasi atau kepastian hukum melainkan pengenalan medan yang penuh dengan variabel psikologik, politik, sosial, dan kultural. Hukum belum dilihat sebagai suatu
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
237
sistem substantif yang bulat dan utuh, mandiri sebagai faktor yang konstan, melainkan sebagai “variabel dependen dalam hubungnya dengan supra sistem Sosio-budaya Maka problem hukum di Indonesia yang sedang membangun sebenarnya bukan terletak pada kesahihan logika, melainkan PengaIaman dari lapangan (Soetandyo Wignyogsoebroto,1984 : 6) Secara Prosedural, siapa yang berwenang menentukan bahwa suatu perbuatan tertentu patut dipidana sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat ? jika kewenangan tersebut diberikan kepada hakim, ini berarti hakim diberi wewenang untuk menemukan hukum secara bebas (virje rechtsvinding) dan menempatkan hakim sebagai “pembentuk hukum sendiri.” Memberi wewenang yang bebas dan sedemikian luas kepada hakim tersebut, tidaklah menggembirakan Menurut Moeljatno, (1985 : 29) ditulis sebagal berikut: Sebab bagaimanapun juga, untuk memutuskan suatu perbuatan sebagai perbuatan pidana dan menjatuh, pidana kepada pembuatnya, atas tanggung jawab sendiri, tanpa mempunyai penguat atau pegangan dalam bentuk yang tertulis maupun yang tidak (bukan adat), untuk hal itu diperlukan keberanian dan keteguhan hati serta banyak pengalaman yang kiranya tidak dapat diharapkan dan pada tiap-.tiap pemegang palu pengadilan, lebih - lebih kalau palu tadi baru dalam taraf permulaan. Keragu-raguann tersebut sangat beralasan mengingat hakim harus dihadapkan pada masyarakat yang struktur dan sosiobudayanya relatif heterogen. Menundukkan hakim sebagai pembentuk hukum tersebut menjadi tidak berarti, manakala polisi dan jaksa tidak ditempatkan dalam dimensi yang sama. Karena prosedur suatu perkara untuk sampai pada hakim melewati dua instansi yaitu polisi (sebagal penyidik) dan jaksa (sebagai penuntut umum). Di samping itu, sikap dan pendirian penegak hukum yang sementara ini dikenal dengan “dogmatis positivistis,” menutup kemungkinan menempatkan posisi hakim sebagai pembentuk hukum atau penemu hukum yang bebas. Dengan berlakunya Pasal 1 Ayat (4) tersebut, maka diakui 238
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
bahwa batas-batas tindak pidana tidak hanya didasarkan pada kriteria formal menurut undang-undang, tetapi juga kriteria material menurut hukum yang hidup. Penyataan tersebut mengandung makna diakuinya pendirian sifat melawan hukum materil, seperti diatur dalam Pasal 13, 14 dan 15 RUU KUHP. Sedangkan pendirian yang “dogmatis positivistis” cenderung untuk menolak atau tidak mengakui adanya sifat melawan hukum yang materil. Hukum yang hidup, menurut Pasal I Ayat (4), mensyaratkan perbuatan tersebut tidak ada persamaannya dalam peraturan Perundang - undangan (tertulis). Terhadap perbuatan yang ada “Persamaannya dengan undang - undang (tertulis) berarti hakim memeriksa dan mengadili berdasarkan undang - undang (tertulis) terhadap perbuatan yang secara kualitatif tidak sama, yang oleh hakim “disamakan” dengan undang - undang (tertulis). Tindakan “menyamakan” ini apakah tidak bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) yang melarang digunakannya analog dalam menentukan adanya tindak pidana. Kendala yang lain, jika yang dimaksud hukum yang hidup adalah adat, maka bentuk dan jenis pelanggaran hukum adat yang mana dinilai kriminal atau melawan hukum? Pelanggaran hukum adat adalah relatif dan biasanya hanya diketahui dan dirasakan oleh masyarakat adat setempat, karena pelanggaran terhadap hukum adat bersifat religio magis. Jika sekiranya ada laporan masyarakat tentang adanya pelanggaran hukum adat, bagaimana reaksi polisi setelah menerima laporan kemudian menyidik dan memberkas perkara, dan bagaimana jaksa menuntut terdakwa? Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, dalam kaitannya dengan Pasal 1 Ayat (4), maka alternatif yang paling tepat adalah memfungsikan kembali lembaga adat (dulu peradilan adat) sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran hukum adat. Lembaga adatlah yang paling tahu dan kompeten Untuk menyelesaikan perkara peIanggar hukum adat.
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
239
Menghidup kembali lembaga adat sebagai lembaga penyelesaian Perkara pelanggaran adat, sebenarnya bukanlah hal yang baru, karena Mahkamah Agung RI dalam Putusannya Tanggal 15 Mei 1991 Nomor 1644.K/Pid/1988 - yang memperkuat putusan-putusan sebelumnya - mengakui keberadaan lembaga adat (peradilan adat) sebagai lembaga penyelesaian pelanggaran hukum adat. Sebenarnya, dalam praktek, cukup banyak perkara pidana yang oleh masyarakat diselesaikan lewat lembaga-lembaga lain di luar pengadilan, misalnya RT I RW I Lurah, Desa atau Lembaga Adat. Masyarakat (korban) - sesuai dengan data hasil penelitian yang disajikan pada Bab IV — pada umumnya menyetujui jika sekiranya lembaga-lembaga tersebut diberi kewenangan secara legal untuk menyelesaikan perkara pidana yang relatif ringan. Legalisasi terhadap lembaga-lembaga tersebut sebagai lembaga penyelesaian perkara pidana yang ringan dapat mengurangi beban sistem peradilan pidana. Peradilan pidana dapat Iebih mengkonsentrasikan pada pengurusan perkara-perkara besar yang meresahkan masyarakat. Pernyataan tersebut tidak berarti mengabaikan dampak negatif pada masyarakat terhadap perkara pelanggaran yang ringan sifatnya. Karena suatu pelanggaran hukum pidana bukan saja pelanggaran terhadap hak-hak individu tetapi juga pelanggaran terhadap perkara pelanggaran yang ringan sifatnya.Kkarena suatu pelanggaran terhadap hakhak individu tetapi juga pelanggaran terhadap ketertiban umum, maka masyarakat dan penegak hukum memiliki kebijakan untuk menilai suatu perkara yang tergolong berat atau yang ringan, di samping ditentukan standar umum dalam undang - undang Di samping itu, untuk mengurangi dampak negatif proses peradilan pidana atau penjatuhan pidana singkat terhadap pelaku. Pidana singkat atau ringan sebenarnya tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan itu sendiri. Dampak negatifnya Iebih besar dan pada manfaatnya. Lama pidana yang dijatuhkan pada umumnya imbas dengan Iamanya pelaku menjalani tahanan pada tingkat polisi, jaksa dan hakim. Bahkan terkesan dalam
240
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
praktek jaksa dan hakim dalam menuntut dan menetapkan pidana Iebih banyak mempertimbangkan mengenai Iamanya tahanan dan pada mempertimbangkan tingkat kesalahan pelaku. Sebagaimana dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya, penyelesaian perkara pidana bisa melalui dua cara, yaitu melalui peradillan pidana dan di luar peradilan pidana. Proses penyelesaian perkara pidana melalui peradilan pidana sudah merupakan prosedur yang lazim yang dimulai dengan adanya pembentukan peraturan dan sanksi, adanya pelanggaran, dan diterapkan aturan dan sanksi itu kepada pelanggar (criminalization), yang bertujuan mengadakan pencegahan (deterrence) kejahatan. Proses penyelesajan perkara di luar pengadilan pada umumnya menghindari dampak negatif yang Iebih besar dan apabila diproses melalui sistem peradilan pidana. Prosedur yang ditempuh selalu berusaha Untuk menghindarkan aspek formalitas dan birokratik dan mencani jalan penyelesaian dengan cara mengkompromikan tuntutan - tuntutannya (cooperation). Proses yang ditempuh Iebih bersifat persuasif dan dilakukan bukan dalam rangka menindak pelaku. Kedua proses tersebut terdapat kelebihan dan kekurangan, seperti terlihat pada gambar berikut ini:
Kualitas Hukumnya Efisiensi Aspek sosiologis / korban
Peradilan Pidana
Di Luar Peradilan Pidana
Tinggi
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Penyelesaian perkara melalui proses peradilan pidana memiliki kelebihan yaitu tingkat kualitas hukumnya tinggi, karena menjamin adanya kepastian hukum dan ketaatan terhadap prosedur formal (beracara) yang juga tinggi. Akan tetapi,
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
241
tingkat efisiensi dan aspek sosiologisnya termasuk penyelesaian perselisihannya dengan korban – rendah.Sebaliknya, penyelesajan Perkara melalui jalur di luar peradilan pidana aspek hukum rendah, tetapi aspek efisiensi dan sosiolgoisnya tinggi. Kedua model penyelesaian perkara pidana tersebut berpijak pada dasar yang berbeda. Model peradilan pidana (criminalization) berdasarkan pada mutual distrust, sedang model penyelesaian di luar proses peradilan pidana (cooperation) mendasarkan diri pada mutual trust dalam memberi reaksi terhadap pelanggar. (Van Den Hauvel, 1991 : 2) Pada model pertama esensinya adalah penegakan hukum yaitu menindak pelaku, maka tindakannya merupakan reaksi yang sedikit banyak di dalamnya mengandung balas dendam terhadap pelanggar sekaligus merupakan pencegahan. Reaksi umumnya diberikan karena adanya aksi maka aspek prosedur dan formalitas - keterkaitan dengan peraturan perundang undangan lebih menonjol. Dalam penyelesaian perkara aspek “demokratisasi”nya kurang, artinya dalam proses penyelesaian perkara dominasi penegak hukum lebih kuat dan pada pelaku. Model kedua, esensinya adalah musyawarah mencari jalan penyelesaian (solution) yang bersifat persuasif dan sukarela,bukan menindak pelaku. Model kedua ini aspek “demokratsasi”nya tinggi, karena antara pelaku dan korban diajak musyawarah serta mengkompromikan Karena ketaatan terhadap prosedur dan formalitas peraturan undang - undang -rendah, sering disalahgunakann Sebab, semakian kendur ketaatan terhadap prosedur / formalitas dan stimulasi atau daya “tawar” semakin tinggi maka kontrol biasanya semakin mengendur. Salah satu bahayanya adalah terJadinya Persekongkolan atau collusion yang berubah menjadi kejahatan tersendiri yaitu sebagai penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), dipandang dari sudut negara, atau penyalahgunaan kepercayaan dilihat dari korban (organisasi). Untuk menghinndari adanya persekongkolan tersebut, perlu adanya mekanisme kontrol yang jelas. (Van Den Heuvel, 1991 :13) 242
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
b.3. Pendapat Korban Kejahatan Terhadap Proses Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Peradilan Pidana Proses penyelesaian perkara pidana melalui peradilan pidana mengundang perhatian khususnya bagi pihak korban atau pihak yang paling banyak menderita kerugian. Hal ini disebabkan karena dalam proses peradilan pidana korban tidak dilibatkan secara aktif. Peradilan pidana mengadili pelaku karena didakwa melanggar hukum pidana, bukan Pelanggaran terhadap hakhak korban, kendatipun pihak korbanlah yang paling banyak menderita kerugian OIeh karena itu, polisi dan jaksa bertindak bukan mewakili kepentingan korban melainkan mewaklii negara atau kepentingan masyarakat secara umum. Sebagaimana dikemukakan pada awal bagian tulisan ini, bahwa pada tahap awal Proses Penyelesaian Perkara melalui peradilan pidana korban kejahatan mempunyai kewenangan yang besar dan menentukan tapi pada tahap berikutnya kewenangan itu menjadi hilang, sementara kewenangan polisi dan jaksa semakin menguat. Hilangnya kewenangan korban dalam proses penyelesaian perkara pidana sedikit banyak akan mengundang problematik tersendiri khususnya mengenai peran-peran polisi, jaksa, dan hakim serta mekanisme penyelesaian perkara pidana melalui peradilan pidana menurut pandangan korban kejahatan. Selanjutnya pandangan korban terhadap proses penyelesaian perkara pidana yang digunakan oleh polisi, jaksa dan hakim akan disajikan dalam sub bab berikut ini. Data penelitian ini diperoleh dan korban yang secara Iangsung merasakan layanan yang diberikan oleh aparat penegak hukum ditiga tingaktan. 1. Tawaran Penyelesaian secara damai atau kekeluargaan Polisi setelah menerima laporan korban tidak secara otomatis memproses / menyerahkan ke tahap berikutnya, melainkan memberi alternatif lain, misalnya perdamaian atau penyelesaian secara kekeIuarga. Karena tidak semua kejahatan yang dilaporkan korban kepada polisi dengan harapan agar diproses melalui
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
243
peradilan pidana, akan tetapi ada juga yang mengharapkan agar polisi sebagai mediator untuk menyelesaikan perkara yang dihadapi. Deskripsi mengenai ada tidaknya tawaran alternatif penyelesaian secara perdamaian dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1 Tawaran Penyelesaian secara perdamaian atau kekeluargaan oleh polisi kepada korban NO
Kualitifikasi
Jumlah
%
1
Pernah menawarkan
11
31
2
Tidak pernah menawarkan
24
69
35
100
N Sumber Data: Responden (Korban), 2010
Tabel tersebut menunjukkan bahwa polisi yang tidak penah menawarkan agar perkaranya diselesaikan secara perdamaian atau kekeluargaan sebesar 60 % Iebih besar dan yang tidak . 2. Pendapat korban terhadap jaksa. Setelah selesai tahap awal atau tahap penyidikan, dan bilamana terdapat cukup alasan dan cukup bukti, perkara selanjutnya dilimpahkan ke Kejaksaan. Suatu perkara apabila telah dilimpahkan dan tidak ada tindakan prapenuntutan apabila telah dilimpahkan dan tidak ada tindakan prapenuntutan berarti tanggungjawab sepenuhnya berada di pihak jaksa. Jaksa selanjutnya mengada penuntutan Sebagaimana dikemukakan di bagian depan bahwa tindakan penuntutan berarti tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal menuntut cara yang diatur dalam undang - undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan. Tindakan jaksa merupakan Iangkah yang menentukan terhadap perkara. Keberhasilan jaksa dalam 244
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
membuktikan dakwaan di persidangan dapat mempengaruhi citra polisi dan jaksa di mata korban. Selanjutnya, bagaimana penilaian korban terhadap kegiatan jaksa dalam proses penyelesaian perkara di tingkat penuntutan dan proses pembuktian perkara di persidangan ? pada umumnya korban menilai kegiatan jaksa dalam proses penyelesaian perkara adalah baik, seperti terlihat pada tabel berikut ini:
NO
Tabel 2 Penilalan korban terhadap kegiatan jaksa Kualitifikasi
1 2 3 4
Sangat baik Baik Sedang Tidak baik
5
Sangat tidak baik
N
jumlah
%
3 21 6 5
9 60 17 14
35
0 100
Sumber Data : Responden (Korban),2010
jaksa dinilainya sudah cukup baik dalam menjalankan tugasnya. Ini ada kaitannya dengan keberhasilan jaksa dalam membuktikan dakwaannya yang berakhir dengan penjatuhan pidana - terlepas Putusan tersebut diterima atau tidak oleh terdakwa atau jaksa. 3. Sikap Korban Terhadap Putusan Hakim Sikap positif korban juga ditujukan terhadap putusan pengadilan. Putusan pengadilan terhadap perkara yang pemah dilaporkan dinilai oleh korban memuaskan, dengan kategori sangat memuaskan, sebesar 6 % dan memuaskan sebesar 46%. Artinya, menurut korban, hakim telah menjatuhkan putusan seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa, kendatipun kerugian yang diderita tidak pulih kembali. Penjatuhan pidana terhadap pelaku telah memuaskan korban, dengan demikian, secara psikologis, telah mengurangi beban yang pernah dialami saat menjadi target suatu kejahatan. Tidak M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
245
demikian bagi korban yang merasa tidak puas (20 %) atau sangat tidak puas (11 %) terhadap putusan pengadilan.Putusan pengadiIa tidak mempertimbangkan penderitaan korban akibat dilakukannya kejahatan, dan pidana korban akibat dilakukannya kejahatan, dan pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa terlalu ringan tidak sebanding dengan perbuatan terdakwa dan kerugian dan penderitaan korban. Lebih lagi, tindakan pelaku telah menghancurkan masa depan korban, bahkan untuk seumur hidup. Tabel 3 Sikap korban terhadap putusan pengadilan 1
No
Kualifikasi Sangat memuaskan
jumlah 2
% 6
2
Memuaskan
16
46
3
Biasa saja
6
17
4
Tidak memuaskan
7
20
5
Sangat tidak memuaskan
4
11
35
100
N Sumber data: Responden (korban), 2010
Terlepas puas atau tidak puas, korban terpaksa harus menerima putusan itu, karena korban tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan jumlah dan jenis tuntutan atau mengajukan banding, sebagai perwujudan ketidak puasannya itu. Dari berbagai komentar diberikan korban, perasaan tidak puas korban terhadap putusan ini bukan disebabkan sematamata karena berat atau ringannya pidana yang dijatuhkan, melainkan putusan hakim tersebut tidak menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi oleh korban. Di samping itu, putusan itu tidak memuat diktum tentang pengembalian atau ganti kerugian yang diderita korban karena perbuatan terdakwa.
246
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
DAFTAR PUSTAKA Abdussalam, 2008, Tanggapan Atas Rancangan undang-undang Tentang Hukum Acara Pidana, Restu Agung,Jakarta. Abdurrahman, 1979, Aneka Masalah Hukum dalam Pembangunan di Indonesia, Alumni, Bandung. Abdul Latif, 2010, Jaminan UUD 1945 dalam Proses Hukum yang Adil, Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Vol. 7 No. 1. Februari, Jakarta. Abdul Mannan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta. Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empris Hukum, Tasrif, Jakarta. _________, 1999, Pengadilan dan Masyarakat, Hasanuddin University Presss, Makassar. _________, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta . ________, 2005, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), GhaIia Indonesia, Jakarta. Adji Samekto, F.X, 2005, Perkembangan Ranah Kajian Ilmu Hukum, FH Undip, Semarang. Amartya Sen, 1994, On Ethies and Economic, Blackwell, Publishers, Oxford. Andre Ata Ujan, 2001, Demokrasi Telaah Filsafat Rowis, Kanisius, Yogyakarta. _________,
Keadilan Politik,
dan John
2009, Filsafat Hukum, Kanisius, Jakarta.
Andi Hamzah, 1987, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia, Indonesia, Jakarta. _________, 1988, Delik-Delik Terhadap Penyelenggaraan Negara M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
247
(Contempt of Court), Sinar Grafika Jakarta . Andi Zainal Abidin, 1983 Persepsi Bugis,Makassar,Negara,Dunia Luar,Alumni Bandung. Andi Zainal Abidin Farid, 1995, Hukum Pidana I, Sinar Grafika Jakarta. Andrew Karnen, 1988, Crime Victims : An Introduction to Victimology, California : Books/Cole Publishing Company. Anne L.Schneider 1976, The Role of Attitudes Delicision to Report Crimes to the Police, London, Publishing. Anonim, 2000, Statuta Roma, Pidana lnternasional, Studi dan Advokat Masyarakat, Jakarta.
Mahkamah Lembaga
Ansari Sabuan, 1990, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung. Anton G. Tabah, 1993, Beberapa Catatan tentang Psikologi Hukum Citra Aditya Bhakti, Bandung. Arif Gosita, 1987, Rekvansi Viktimologi dengan Pelayanan terhadap para Korban Kejahatan, Perkosaan, Ind. Hill -CO, Jakarta. _________, 1989, Crime Victims : An Introduction to Victimology, California :Books I Cole Publishing Company . Arif. T Surowidjoyo, 2006, Pembaharuan Hukum, FH-UI, Jakarta. Arif Gosita, 1983, Masalah Korban Kejahatan; Kumpulan Karangan Akademika Pressindo, Jakarta. Aswanto, 1999, Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam KUHAP dan Peranan Bantuan Hukum terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Disertasi, Unair, Surabaya. Baharuddin Badaru, 2004, Perlindungan Hak Asasi Warga Binaan oleh Hakim Pengawas dan Pengamat Dalam Sistim Peradilan Pidana di Sulawesi Selatan, Tesis S2 Pascasarjana, Unhas, Makassar. _________, 2000, Instrumen Hukum Penegakan HAM, Clavia. Vol. 1 No. 1, Makassar. Baharuddin Lopa, 1996, Al-Quran dan Hak-Hak Asasi Manusia, Dana Bhakti Prima Yasa, Jakarta. Barda Namawi Arif, 1992, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,Alumni 248
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Bandung. _________, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana, Ananta, Semarang. _________, 1996, Bunga Rampai Kebjakan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung. _________, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya, Bandung. _________, 2007, Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan PDIH, Undip, Bandung . Bambang Poernomo, Hukum Acara Pidana, Yogyakarta.
1984 Amarta
Orientasi Buku
________,1993, Pola Dasar Teori Asas Umum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta. Bambang Sunggono, 2001, Metode Penelitian Hukum, Radja Grafindo Persada, Jakarta. _________, 2001, et.al, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung. Bambang Sutiyoso, 2009, Metode Penemuan Hukum, UII Presss, Yogyakarta. Bawengan, 1989, Penyidikan Perkara Pidana dalam Teknik Interogasi Pradnya Paramita, Jakarta. Bernard Arif Sidharta, 1996, Refleksi tentang Pondasi dan Sifat Keilmuan, Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum National Indonesia, Unpad, Bandung. Bertens, 1997, Etika Seri Filsafat, Atmajaya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Bruggink, J.JH, 1999, Hukum, Alih Bahasa Citra Aditya, Bandung. Buckley, 1968, System Theory. Prentice Hall.
Sociology Eglewood
Refleksi Arief and Chiff,
tentang Sidharta, Modem M.J.
Budiman Tanurejo, 1995, Lingah Pancah Berjuang Menggapai M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
249
Keadilan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta . Budiono Kusumahadimidjoyo, 1999, Ketertiban yang Adil Problematik Filsa fat Hukum, Grassindo, Jakarta. Chaeruddin dan Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimoloig dan Hukum Pidana Islam, Ghalia Press, Jakarta. Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana tanpa Kesalahan Menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan Prenada Media, Jakarta. Charles Samford, 1989, The Disorder of Law . A Critical Of Legal Theory, Basic Blackell, Oxford, London. Daniel S, Lev, 1973, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta. Didik M. Arif Mansyur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Rajawali Press, Jakarta. Dicey, A.V, 2008, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Diterjemahkan Nurhadi, Nusa Media, Bandung. Djoko Prakoso, 1986, Kedudukan Justisiabel di Dalam KUHAP, Ghalia Indonesia, Jakarta. Edward L. Kimball, 1983, Crime: Defenition of Crime, dalam Charles Samford (ed), Encyclopedia of Crime and Justice (New York : The Free press A Devision of Macmillon Inc, Vol. 1). Edwards, G, 1976, Due Process of Law in Criminals Cases, Journal of Criminal Law, Criminology and Police Science, Vol. 57. Emilia, 2009, Perdagangan Perempuan dan Anak Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Perempuan, Jakarta. Faisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Rengkong Education, Yogyakarta. Frans Hendra Winata, 2000, Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan, Elex Media Komputindo, Jakarta. Fernando Mamullang 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Kompas, jakarta. Forum Keadilan, 1999, Juni, Jakarta.
250
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Hart, H.L.A, 1971, The concept of Law, Oxport University, New york. Hans Kelsen, 2008, Dasar-Dasar Hukum Normatif diterjemahkan oleh Nurulita Yusron, Nusamedia, Jakarta. _________, 2008, Dasar-Dasar, Hukum Normatif diterjemahkan oleh Nurulita Yusran, Nusa Media, Bandung . Harvey Brenner, M., 1986, Pengaruh Ekonomi thadap Penlaku Jahat dan Penyelenggara Peradilan Pidana, CV. Rajawali Jakarta . Hazel B Kerper, 1979, Introduction to the Criminal Justice System. Publishing Company. Herbert L. Packer, 1978, The Limits of Criminal Sanction, Stanford California, Stanford University Press. Heri Tahir, 2010, Proses Hukum Yang Adil Dalam, Sistim Peradilan Pidana di Indonesia, LaksBang PRESSind0, Yogyakarta. Hyman Gross, 1979, A Theory of Criminal Justice, New York, Oxford University. _________,2009, Law, Liberty and Morality, diterjernahan oleh Ani Mualifatul Maisah, Genta Publisihing, Yogyakarta. Jerome H. Scholnick, 1977, Crime and Justice, University California. Jimmy Assidiqie, 2000, Penegakan Hukum di Indonesia, Mappi, Jakarta. John Brion, 1995, Chaos of Theory of Law, The Free Press, New Jersey. John Griffith, 1970, Ideologi in Criminal Procedure or A Third Model of the Criminal Processs, Yale Journal, vol. 79. _________, 1980 Ideology in Criminal Procedure A Third Model of The Criminal Process, Yale Law Journal, Vol. 73, No. 2. John Jasin, 2010, Tanggung Jawab Pemerintah Daerah terhadap Perlindungan Hukum Hak Anak dalam Memperoleh Pendidikan Disertasi, Unhas, Makassar. John
Rawls, 1971, A Theory University, Press, Cambridge.
Of
Justice
Harvard
Kaligis, O.C, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
251
Terdakwa dan Terpidana, Alumni, Bandung. Kanter. EY dan Sianturi. S.R, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM. PTHM, Jakarta. Kelmen, H.C, 1996, Complience, Identification and Internalization, Three Processes of Attidue Change, Prosanky, H and Seidberg, B (Ed) Basic Studies in Social Psychology. Hold Rhinehard & Winston, New York. Kristi E. Poerlawandari, 2000, Kekuasaan Terhadap Perempuan, Tinjauan Psikologi, Alumni, Bandung. Kuffal, H.M.A, 2002, Penerapan KUHAP Dalam Praktek Hukum, UMM, Malang. Laica Marzuki, 1995, Siri’ Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis - Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum), Hasanuddin University Press, Ujung Pandang. Lamintang, 1984, KUHAP dengan Pembahasan secara Yuridis menuruf Jurisprudensi dan ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung. Lawrence M Friedman, System: A Social York: Russell Sage Foundation .
1975, The Perspecive,
Legal New
La Patra. J. W, 1978, Analyzing the Criminal Justice System, Lexington Books, Toronto. Leden Marpaung, 2009, Proses Penanganan Perkara pidana (Penyelidikan dan Penyidikan), Sinar Grafika, Jakarta . Lilik Mulyadi, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana , Kniminologi dan Viktimologi, Djambatan, Jakarta . Lilik Mullyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoritis dan Prakfif. Alumni, Bandung. Livingstone Hall, 1996, Hak Tertuduh dalam Perkara Pidana CeramahCeramah tentang Hukum Amerika Serikat, Ceramah Radio oleh Profesor-Profesor, Harvard Law School, oleh Harold J. Berman, diterjemahkan OIeh Gregory Churchil JD, Tata Nusa Jakarta. Lois G. Forer, 1980. Criminal and Victim : A Trial Judge Reflects on Crime and Punishment, New York : W.W. Norton & Company.
252
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Lon Fuller, 1996, Sistim Perlawanan Ceramah Hukum Amerika Serikat, Ceramah oleh Professor-Profeeor Harvard Law School, Disusun oleh Harold J. Bermen, Diterjemahkan oleh Aregory, JD. Tata Nusa, Jakarta. Mahmud Kusuma, 2009, Menyelami Semangat Hukum Progresif, Antonylitu, Yogyakarta. Maidin Gultom, 1997, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistim Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Buku Kelima, Lembaga Kriminologi, Universitas Indonesia. 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistim Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta. Majda EL. Muhtaj, 2008, Dimensi-Dimensi HAM, Rajawali Press, Jakarta. Mardjono Reksodiputro, 1987, Hak-Hak Tersangka Dan Terdakwa Dalam KUHAP Sebagai Bagian Dari Hak-Hak Warga Negara (Civil Right), Lembaga Kriminologi, Universitas indonesia. _________, 1993,Kriminologi dan Sistim Peradilan Pidana, Armico, Bandung. _________, 1994, Kriminologi dan Sistim Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Ketiga, Lembaga Kriminologi, Universitas Indonesia, Jakarta. Marwanto Heru Santoso, 1998 Polisi dalam Era Reformasi, T.P, Jakarta. Mien Rukmini, 2003, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum, Alumni, Bandung. Milono, 2004, ImpIementasi Due Process of Law dalam Sistim Peradilan Pidana Indonesia, UI, Jakarta. Moeljatno, 1985, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta. Moh. Hatta, 2008, Sistim Peradilan Pidana Terpadu Galang Press Yogyakarta . Moh. Mahfud, MD, 1998 Poiltik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta.
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
253
Muchsan, 1997, Sistim Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta . Muchsin, 2010, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka (Independence Judiciary), Untag Press, Surabaya. Muh. Guntur, 2001, Pengaturan Hukum di Bidang Tata Niaga Produk Pertanian Berdasarkan Ketentuan Pasal 33 UUD 1945, Disertasi, UNAIR, Surabaya. Muh. Yamin, 1971, Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid 1, Siguntang, Jakarta. Muladi, 1992, Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. _________, 1995, Kapita Selekta Sistim Peradilan Pidana, Undip, Semarang . _________, 1997, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistim Peradjian Pidana, Undip, Semarang. _________, 2002, Kapita Selekta Sistim Peradilan Pidana, Undip, Semarang. _________, 2009, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum dan Pidana Khusus, Liberty, Yogyakarta. Mulyana W, Kusumah, 1981, Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia, Studi Pemahaman Kritis, Alumni, Bandung. Muslan Abdurrahman, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, .UMM, Malang . Musa Perdana Kusumah, 1987, Caraka Adyaksa,Tinjauan Filosofis mengenai Masalah Kebenaran dan Keadilan dalam Hukum, Yayasan Tridaya, Jakarta . Muzakkir, 2001, Kedudukan Korban Kejahatan dalam Sistim Peradilan Pidana, Ull, Yogyakarta. Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya, Bandung. Oemar Seno Adji, 1981, Hukum (Acara) Pidana Prospeksi Erlangga, Surabaya. Padmo Wahyono, 1982, Indonesia Negara berdasarkan Atas Hukurn, GhaIia Indonesia, Jakarta.
254
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Pamungkas, E.A, Peradilan Sesat Membongkar Kesesatan Hukum di indonesia, NAVILA, idea, Yogyakarta. Paulus E. Lotulung, 1993, Beberapa Sistim tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, Citra Aditya, Bandung. Paul Siegart, 1986, The Lawful Rights of Mankind, An Introduction to the International Legal Code of Human Right, Oxford University Press, New York . Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta. Peters, A.G.G, 1988, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku II, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Pranarka A.M.W, 199, Tinjauan Kritikal Tethadap Upaya Membangun Sistim Pendidikan Kita, Grassindo, Jakarta. Philippe Nonet & Philip Solnick, 1978, Law and Society in Transation, Toward Responsive Law, Harper and Row, New York. Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Gina ilmu, Surabaya. Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Pontang Moerad, 2005, Pembentukan Hukum melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung. Puri Rahardi, 2007, Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri, Laksbang Mediatama, Surabaya. Purwatiningsih 2000, Polisi Pembaharuan, Jakarta.
dan
Permasalahan
ke
depan,
Ralph de Sola, 1988, Crime Dictionary, New York : Facts on File Publicatim. Randy E. Barnett, 1977, Assesing The Criminal Restitution and Legal Process, Cambridge, Bellinger Publishing. Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Graha UIN, Yogyakarta. Ridwan, H.R, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo, Jakarta. Riyanti, 1998, Masalah Kejiwaan dalam Berbagai Profesi, Sinar
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
255
Grafika Jakarta. Robert M. Linger, 1986, The Critical Legal Studies, Movement, Harvard Law Review. _________, 2007,TeoriHukumKritisditerjemahkanolehDariyatnodan Derta Sri Widomatic, Nusa Media, Jakarta. Robert Reif, 1979, The Invicible Victim, New York : Basic Books, Inc. Publishers. Roeslan Saleh, 1978, Suatu Orientasi dalam Hukum Acara Pidana, Buta Aksara, Jakarta. _________, 1983, Hukum Pidana sebagal Konfrontasi Manusia dan Manusia Ghalia Indonesia, Jakarta. _________, Jakarta.
1984, Segi Lain Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,
_________, 1988, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. Romli Atmasasmita t.t, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta. _________, 1983 Bunga Rampai Hukum Acara Pidana Bina Cipta, Bandung. _________, 1996, Sistim Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme Bina Cipta, Bandung. Romly Hutabarat, 1985, Persamaan di Muka Hukum (Equality Before the Law) di Indonesia Ghalia Indonesia . Rusli Muhammad, 2006, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Rajawali Press, Jakarta. Rusli Effendy, 1986, Azas-Azas Hukum Pidana, Leppen UMI, Makassar. Ruti G. Teitel, 2006, Keadilan Transionai Sebuah Tinjauan Komprehensif diterjemahkan oleh Eddie Riyadi Terre, Elsam, Jakarta. Safroedin Bahar, 2002, Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Sabiah Ustman, 2008, Menuju Penegakan Hukum Responsif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 256
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Safri Abdullah, 2008, Mahkamah Dari Keadilan Normatif Menuju Keadilan Substantif Pustaka Refleksi, Makassar . Sadjijono,2005, Fungsi Kepoilsian Governance, LaksBang, Jakarta.
Dalam
Pelaksanaan
Good
Sahetapy, 1987, Beberapa Catatan Umum tentang Masalah Korban Kejahatan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. _________, 1993, Bantuan Hukum dan Penyantunan Terpidana, UI, Jakarta. _________,
1994, Kejahatan Korporasi, Eresco, Bandung.
_________,
1994, Pisau Analisis Kriminologi, Armico, Bandung.
_________, 1998, letter de Cachet, dalam Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol. I No. 1, Unair, Surabaya. _________, 1999, Kemandirian Yudisial, Pascasarjana, Unair, Surabaya. Samuel Walkers, 1984, Sense and Nonsense About Crime: A Policy Guide, California : Books / Cole Publishing Company. Satjipto Rahardjo, 1986, Hukum dan Masyarakat Angkasa, Bandung. _________,
1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bakti, Bandung.
_________, 1992, Kajian Perlyakit Kambuhan Kedaulatan Rakyat, Jakarta. _________, 2000, Mengajarkan Keteraturan, Ketidakteraturan Undip, Semarang. _________,
Menemukan
2006, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta.
_________, 2008, Yogyakarta.
Biarkan
Hukum
Mengalir,
Kompas,
_________, 2009, Penegakan Hukum suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta. _________, 2009, Negara Hukum yang Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta. _________, 2009, Yogyakarta.
Hukum
Progresif,
Membahagiakan
Genta
Publishing,
Schuyt, C.J.M, 1971, Rechtsociologi, EEN Terreinverkening
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
257
University Press, Rotterdam . Setsuo Miyazawa, 1983, Law and Society Review, The Journal of The Law and Society Association, Vol. 17 No. 12. Sholehuddin, 2002, Sistim Sanksi Dalam Hukum Pidana, Rajawali Press, Jakarta. Sidik Sunaryo, 2004, Kapita Selekta Sistim Peradilan Pidana, UMM, Malang. Soelidarmi, 2002, Kumpulan Putusan KontroversiaI Dari Hakim/ MajeIis Hakim Kontroversial, Ull Press, Yogyakarta. Soeharto 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban, Tindak Pidana Terorisme, Aditama, Jakarta. Soejono Dirdjosiswaro 1984, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, Armico, Bandung. Soepomo, 1984, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramitha, Jakarta. Soerjono Soekamto, 1983, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegaka Hukum, Radja Grafindo Persada Jakarta. _________, 1983, Beberapa Permasalahan dalam Kerangka Pembangunan Hukum di Indonesia, UI Press, Jakarta . _________, 1985, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hukum di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta. _________, 1993, Beberapa Catatan tentang Psikologi Hukum Citra Aditya Bhakti, Bandung. Soetandyo Wignyosoebroto 1984, Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia Makalah disampaikan pada Simposium Studi Hukum dan Masyarakat Semarang. _________, 2002,HukumParadigmaMetodedanDinamikaMasalahnya Lembaga Studi dan Demokrasi, Masyarakat, Elsam, Jakarta. Stanilaus Atalim, 1994, Era Hukum, Jurnal llmiah Ilmu Hukum No.2 Universitas Tarumanegara . _________, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya, Jakarta. Stephen Schater, 1968, The Victim and His Criminal: A Study in Functional Responsibility, New York, Random House. 258
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
Stuart Humpshire, 1983, Liberalism (The New York Twist), New York Review of Books. Sudibyo Triatmojo, 1981, Potret Kehidupan Hukum, Alumni, Bandung. Sudikno Mertokusumo 1986, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta. Suharsini Arikunto, 1998, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta. Sudikno Mertokusumo 1986, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta. _________, 1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya, Jakarta. Sumarno, P.J, 1999, Tata Negara Baru, Sistim Pemerintahan yang Demokratis dan Konstitusional Kanisius Yogyakarta. Sunaryati Hartono, 1976 Peranan Kesadaran Hukum Masyarakaf Dalam Pembaharuan Hukum, Binacipta, Jakarta. Sunaryati Hartono, CFG, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia, pada Akhir Abad ke - 20, Alumni, Bandung. Syarif Muh, 2002, Prinsip Keadian dalam Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia Disertasi Unair, Surabaya. Tatsuya Ota, 1991, Acara Peradilan Pidana di Jepang dan Sistim “Kiso-yuuyo “ sebagai Diversion, Makalah pada Fakultas hukum UI, Jakarta. Taufik, M dan Moegono, 2007, Moralitas Penegak Hukum Dan Advokaf ‘Profesi Sampah’,JP.Books, Jakarta. Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah Kanisius, Yogyakarta. Theo van Boven, 2002, Mereka yang Menjadi Korban, ELSAM, Jakarta. The Liang Gie, 1979, Teori-Teori Keadilan : Sumbangan Bahan untuk Pemahaman Pancasila, Super, Yogyakarta. Tobias Mare Weber, 1981, Pre Trial Criminal Procedure a Survey of Constitutional Rights, Thomas Publisher Illosionis. Utrecht tt. Hukum Pidana 1, Pustaka Tirta Mas, Surabaya.
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
259
_________, 1974, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Djakarta. Van Apeldorn 1982, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. Van Den Burg, 1985, Rechtsbescheming tegen de Ovetheid, Neimegen. Van den Heuvel, 1991, Corporate Crimes From an International Perspective Makalah, Undip, Semarang. Varia Peradilan 1995, No. 120, Jakarta. Wendy Brown Scott, 2003, Oliver Wendell Holmes on Equality and Addarand, Howard Law Journal. Weston, Paul B & Kenneth, 1972, Law Entercement and Criminal Justice Goodyear Publishing, California. William F Mc. Donald, 1976, Criminal Justice and The Victim an Introduction, London : Sage Publishing. Wirjono Prodjodikoro, 1990, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bale, Bandung. Yahya Harahap, 1993, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta. Yesmil Anwar dan Adang, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana, Grasindo Jakarta . Yash Ghai, 1989, The Rule of law and Human right in Malaysia and Singapore, A Report of Conference Hold at the European Purchiament, Brusses 9-10 March. Yudi Kristiana, 2009, Menuju Kejaksaan Progresif ,Studi tentang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana LSHP, Yogyakarta. Zaharia Idris, 1992, Pengantar Pendidikan, Jilid 2, Gramedia Widiasana Jakarta.
260
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
BIODATA PENULIS
Prof. Dr. Syukri Akub, S.H., M. H. adalah Guru Besar Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Fakultas Hukum Unhas, lahir di Soppeng 24 November 1953. Menyelesaikan S1 Fakultas Hukum Unhas pada tahun 1978, Magister (S2) Hukum Unhas pada Tahun 1998, dan Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Unhas pada tahun 2006. Sebagai Dosen tetap Fakultas Hukum Unhas tahun 1979-sekarang, Dosen Pascasarjana Unhas tahun 2000 – sekarang, Sekretaris Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Unhas tahun 1989, Ketua Jurusan Hukum Acara Fakultas Hukum Unhas tahun 1995-1999, Ketua Prodi S1 Non Reguler Fakultas Hukum Unhas tahun 2002, Wakil Dekan I Fakultas Hukum Unhas tahun 2002-2003, Ketua Divisi SDM, UPT- Unit Pengawasan Internal Unhas tahun 2007-2010, dan menjabat Ketua bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Unhas 2010 - sekarang. Penulis aktif menjadi narasumber/pemakalah di berbagai kegiatan ilmiah. Penulis mengajar mata kuliah Hukum Pidana, Delik-delik di Luar Kodifikasi, Hukum Acara Pidana dan Praktik Peradilan Pidana Dr. Baharuddin Baharu, S.H., M.H., Lahir di Makassar pada 3 Juli 1962. Meneyelesaikan Sarjana Hukum di Fakultas Hukum UMI Makassar Tahun 1988, Magister Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Makassar Tahun 2002, dan Doktor ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makasssar 2011. Sebagai Advokat sejak tahun 1990 – sekarang, dan Dosen dosen Fakultas Hukum M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
261
Universitas Muslim Indonesia Tahun 1990- sekarang. Dan menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum Dasar Universitas Muslim Indonesia Tahun 2010-sekarang.
262
Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana
BIODATA EDITOR Dr. Amir Ilyas, S.H.,M.H., lahir di Pangkajene, Sulawesi-selatan pada 10 Juli 1980. Lulus di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UNHAS) pada tahun 2005. Magister Hukum diperoleh dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) pada tahun 2009. Gelar Doktor diperoleh di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (UNHAS) pada tahun 2013. Semasa kuliah menjabat Ketua Majelis Tinggi Mahasiswa (MTM) FH UNHAS tahun 2004/2005 dan Asesjen Ikatan Senat Mahasiswa Hukum Indonesia (ISMAHI) tahun 2003/2004. Sejak tahun 2006 menjabat sebagai Dosen di Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum UNHAS. Mengajar matakuliah antara lain Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Pidana Lanjutan, Hukum Kesehatan, Tindak Pidana Korporasi, Praktik Peradilan Pidana, Sistem Peradilan Pidana, Kriminologi dan Kriminologi Kontemporer. Saat ini diberi kepercayaan sebagai Kepala Sekretariat Dekanat FH-Unhas Tahun 2010-Sekarang, Bagian Hukum Rumah Sakit Universitas Hasanuddin 2010-Sekarang, Ombudsman Kota Makassar sebagai Asisten Komisioner Tahun 2010 dan Staf Ahli DPRD Kota Makassar Tahun 2010, saat ini menjabat sebagai Ketua Panwaslu Kota Makassar 2012-2013.
M. Syukri Akub & Baharudin Baharu
263