Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana
PERLINDUNG SAKSI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA * Zubaidah
ABSTRAKSI Indonesia sebagai Negara hukum menjamin persamaan setiap warga negaranya didalam hukum dan pemerintah, hal tersebut diuraikan dalam pasal 27 (1) UUD 1945 : “ Semua warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, untuk itu….st ”. Dengan diakuinya azas equality be fore the law, hal ini merupakan salah satu wujud jaminan dan perlindungan Hak Azasi Manusia. Dalam pelaksanaannya undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang merupakan produk bangsa Indonesia sendiri. Dalam rumusan nya memberikan sejumlah hak bagi tersangka atau terdakwa dan melindunginya dari berbagai kemungkinan pelanggaran HAM, sementara disisi lain bagi saksi atau korban ternyata belum secara tegas di berikan perlindungan, Padahal keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan di tingkat penyidikan utamanya yang berkenaan dengan saksi atau korban, Dalam pasal 184 KUHAP menyebutkan bahwa saksi di tempatkan pada urutan pertama sebagai alat bukti yang sah. Oleh karena itu keberadaan saksi dalam proses peradilan pidana merupakan suatu elemen yang sangat menentukan maka dalam penjelasan pasal 159 (2) KUHAP menyatakan : “ menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang …………dst. namun demikian, ironisnya, kewajiban tersebut tanpa diikuti dengan adanya hak-hak yang patut diterima oleh orang yang berstatus sebagai saksi, padahal untuk melaksanakan undang-undang tersebut seorang saksi harus berkorban materi, tenaga, pikiran juga tidak jarang mereka mendapat teror, gangguan acaman, intimidasi, baik keluarga maupun dirinya, bahkan nyawapun menjadi taruhannya. Kenyataan yang terjadi di masyarakat banyak saksi yang tidak mau datang ke pengadilan negeri karena beberapa hal tersebut diatas. Kata Kunci : Perlindungan Saksi, Proses, Peradilan Pidana. * Dosen Fakultas Hukum Hukum, UNTAG Banyuwangi
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.2 No.4, April 2005
73
Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana
PENDAHULUAN Akhir-akhir ini media massa sering memberitakan adanya kasuskasus yang tak terungkap dan juga tak terselesaikan karena keengganan saksi untuk memberikan informasi pada pihak yang berwenang. selain keengganan untuk terlibat dalam suatu proses peradilan yang umunya bukan pengalaman yang menyenangkan di identifikasi pula bahwa ada sejumlah saksi yang tidak muncul karena ketakutan atau justru karena diancam oleh tersangka pelaku : Contohnya : - Kasus perkosaan terhadap etnis Cina yang terjadi sewaktu adanya kerusuhan di Jakarta pertengahan Mei 1998. Dua diantara korban pemerkosaan yang sempat menuangkan peristiwa, yang menimpa dirinya kepada majalah Tempo, Selain itu dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta tertanggal 18 Oktober 1998 yang diketuai oleh Prof. Saparinah Sadli, menyimpulkan bahwa pada prahara 13 – 15 Mei 1998 tersebut telah terjadi 92 kasus pemerkosaan dan penganiayaan seksual. Dan kasus ini sampai sekarang belum sempat terungkap sampai tuntas, dimana tiada satupun saksi yang mempunyai cukup keberanian dan ketegaran dalam melapor (majalah Tempo 25 Mei 2003 h. 168 – 169). - Kasus Bank Bali, telah menyebabkan diancamnya dan diterornya sejumlah orang yang akan ataupun telah memberikan informasi berkenaan dengan
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.2 No.4, April 2005
kasus tersebut ( Harkristuti Harkrisnowo, Makalah 2002 ) - Endin Wahyudi terpenjara, akibat melaporkan tiga hakim Agung yang diduga menerima uang suap ( Majalah Tempo 25 Mei 2003, h. 154 ) Pengadalian sebagai benteng terakhir dalam penegakan hukum, diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat dan dilain pihak Pengadilan dalam menjalankan tugasnya yaitu menerima, memeriksa dan memutus perkara senantiasa terikat oleh peraturan perundangundangan yang berlaku dalam hal ini Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ), secara Yuridis kelancaran dan keberhasilan suatu proses peradilan khsusunya peradilan pidana akan tergantung pada alat bukti yang berhasil di munculkan di persidangan. Didalam pasal 184 KUHAP disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah : Keterangan saksi ; keterangan ahli ; surat ; petunjuk ; keterangan terdakwa. Sebagaimana disebutkan di dalam pasal 184 KUHAP yang menduduki urutan pertama adalah keterangan saksi, hal ini berbeda dengan pemeriksaan dalam perkara Perdata yang menduduki urutan pertama adalah bukti dengan surat atau dengan kata lain bukti tertulis atau akte ( pasal 164 HIR ). Menyadari pentingnya keberadaan saksi dalam proses perkara pidana pasal 159 ( 2 ) KUHAP dalam penjelasan nya menyatakan : “ menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil kesatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak
74
Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana
kewajiban itu, ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku demikian pula dengan ahli “. Dari bunyi pasal tersebut penulis berpendapat bahwa undang-undang ternyata hanya menuntut kewajibannya saja, sementara hakhak saksi tidak diindahkan. Pada hal untuk melaksanakan undang-undang tersebut seorang saksi telah berkorban materi, tenaga dan pikiran juga tidak jarang mereka mendapat terror, gangguan ancaman, di intimidasi dan sangat tragis bisa dibunuh, hal tersebut bisa terjadi karena kejahatan sekarang semakin maju. terorganisir, sindikat dan mafia. Untuk jenis-jenis kejahatan tersebut nyawa seseorang bukan suatu hal yang berharga. Demi keselamatan kelompoknya mereka tidak segan menghilangkan nyawa seseorang (saksi). Untuk itulah peneliti menganggap perlindungan hukum terhadap saksi termasuk korban sangat diperlukan, tanpa adanya perlindungan semacam ini sulit diharapkan informasi yang mereka dengar, lihat dan alami sendiri dalam kaitannya dengan suatu tindak pidana. Akibatnya tentu saja sejumlah kasus kasus besar dapat diprediksi akan sangat sulit di ungkap.
Tujuan Penelitian. a. Untuk memperoleh pemahaman mengenai kedudukan saksi dan termasuk saksi korban yang dalam proses peradilan pidana menjadi faktor penentu putusan hakim tanpa adanya saksi hakim akan kesulitan untuk menentukan bersalah atau tidak nya seseorang terdakwa di sidang pengadilan. b. Untuk mencari dan menemukan serta menganalisa Undangundang Hukum Acara Pidana khusus nya tentang hak-hak saksi dalam proses perkara pidana.
Perumusan Masalah. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kedudukan saksi dalam hukum di Indonesia ? 2. Bagaimanakah realisasi hak-hak saksi dalam perkara pidana ?
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang sepenuhnya menggunakan bahan – bahan hukum primer maupun skunder sebagai kajian dalam mejelaskan pokok masalah dalam penelitian ini. sesuai dengan sifatnya yang normatif maka bahan hukum primer yang meliputi dokumen resmi berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum skunder yang terdiri dari literatur, hasil karya ilmiah pakar
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.2 No.4, April 2005
Manfaat Penelitian a. Memberikan konstribusi bagi pengembangan teori maupun aplikasi bidang ilmu hukum pada umunya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya. b. Pengembangan teoritik diharapkan bermanfaat dalam upaya memecahkan persoalan yang timbul dalam praktek peradilan pidana meyangkut saksi atau saksi korban yang akhir – akhir ini sering muncul adanya gangguan ancaman kekerasaan karena tidak adanya perlindungan hukum bagi saksi. METODE PENELITIAN
75
Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana
hukum maupun laporan – laporan penelitian yang semuanya ada hubungan nya dengan perlindungan hukum terhadap saksi. Prosedur pengumpulan bahan hukum : Pengumpulan bahan hukum primer dilakukan dengan cara menginventarisasi peraturan perundangan yang memuat hak-hak asasi manusia, perlindungan hukum saksi pada peraturan perundangan baik di dalam maupun di luar KUHP dan KUHAP, Dan untuk bahan hukum sekunder akan diseleksi relevansinya dengan pokok bahasan dalam penelitian ini. dari bahan-bahan hukum baik primer maupun sekunder yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini dikumpulkan, kemudian di klasifikasi dibuat atas dasar kronologi bagian yang diatur oleh peraturan tersebut dan diadakan suatu analisa dengan menggunakan mentode deskriptif kualitatif PEMBAHASAN I. Kedudukan Saksi dalam Hukum di Indonesia I.1. Sejarah Pembentukan KUHAP Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan undang-undang 1945 yang menjunjung tinggi hak azasi manusia serta mengakui adanya persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga negaranya, hal tersebut telah diatur dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi : “segala warga negara bersmaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya “. Sejak Indonesia merdeka peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pidana
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.2 No.4, April 2005
dalam lingkungan peradilan umum sebelum UU nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, yang berlaku adalah “ Reglement Indonesia yng di perbaharui “ atau lebih dikenal dengan “ Het Herziene Inlandsch Reglement atau HIR “. Staatsblad Tahun 1941 No. 44. yang berdasarkan pasal 6 ayat 1 UU No. 1 Drt. Tahun 1951 seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang Acara Perkara Pidana Sipil oleh semua pengadilan dan kejaksaan negeri dalam wilayah Republik Indoenesia, kecuali atas beberapa perubahan dan tambahan. Dengan adanya UU No. 1 Drt. Tahun 1951 tersebut di maksudkan untuk unifikasi hukum acara pidana yang sebelumnya terdiri dari hukum acara pidana bagi Landrad dan hukum acara pidana raad van yustitie, dimana hal tersebut. semata-semata didasarkan pada adanya perbedaan peradilan bagi golongan penduduk bumi putra dan peradilan bagi bangsa Eropa dijamin Hindia Belanda akan tetapi ketentuan yang tercantum didalamnya ternyata belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki didalam negara hukum. Pembangunan dibidang hukum sebagaimana termaktub dalam GBHN ( Ketetapan Majelis Permusyawaran Rakyat Republik Indonesia No. IV MPR / 1978 ) perlu mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan rangkuman hukum pelaksanaan secara nyata dari wawasan nusantara. Hukum acara pidana sebagaimana di atur dalam Het Herziene Inlandsch Reglement sudah tidak sesuai dengan cita-cita hukum
76
Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana
nasional. Oleh karen itu undangundang hukum acara pidana nasional wajib didasartkan pada falsafah atau padangan hidup bangsa dan dasar negara, maka sudah seharusnyalah didalam ketentuan materi pasalpasal atau ayat-ayat tercermin perlindungan terhadap Hak asasi manusia serta hak dan kewajiban warga negara. Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan Pokok kekeuasaan kehadiran telah mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia yatiu denga merumuskan azas-azas sebagai berikut : a) Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum. b) Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang – undang. c) Kepada seorang yang ditangkap, dilahan dituntut ataupun diadili tanpa ada alasan yang bedasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orang wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi. d) Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat , sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak. e) Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan. f) Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahann selain wajib diberitahukan juga wajib diberitahu. g) Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa. h) Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum.
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.2 No.4, April 2005
i)
Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua Pengadilan Negeri. Azas-azas sebagaimana tersebut diatas yang mengilhami ketentuan di dalam undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur tata cara penyelesaian perkara pidana dan juga mengatur hak dan kewajiban dari mereka yang terlibat dalam suatu proses perkara pidana. 1.2.Ketentuan Saksi di dalam KUHAP. Dalam sejarah pembentukan KUHAP ada keinginan untuk mewujudkan hukum acara pidana nasional yang melindungi dan menghormati hak-hak asasi, oleh karenanya materi pasal dan ayat-ayat yang ada didalamnya harus mencerminkan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Sebelum peniliti memaparkan ketentuan – ketentuan mengenai saksi, terlebih dahulu akan saya paparkan ketentuan yang mengatur hak-hak jaminan dan perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa, hal tersebut di latar belakangi pemikira bahwa adanya saksi atau saksi korban bermula dari perbuatan atau perilaku tersangka atau terdakwa. Jadi keberadaan dan hubungan antara saksi atau saksi korban dengan tersangka atau terdakwa begitu erat bahkan bisa dikatakan bahwa tiada saksi atau korban tanpa adanya perbuatan yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa. Dengan memaparkan hak-hak jaminan dan perlindungan tersangka atau terdakwa diharapkan akan tergambar dengan jelas apakah azas equality be fore the law dalam Negara hukum Republik Indonesia sudah benar-benar
77
Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana
dilaksanakan dan apakah di dalam UU No. 8 Tahun 1981 tidak ada diskriminasi dalam meperlakukan hak dan kewajiban setiap warga negara sebagai subyek hukum bukan obyek hukum. Di dalam KUHAP dikatakan bahwa orang yang diduga melakukan suatu tindak pidana dapat dilakukan penangkapan dan atau penahanan, hal tersebut dilakukan tentu saja harus berdasarkan adanya suatu syarat formil : Adanya cukup bukti ; Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa : Tersangka atau terdakwa akan melarikan, Merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau Mengulangi tindak pidana. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP. Disampaing syarat formil tersebut diatas untuk dapat ditahan maka harus di penuhi syarat materiil yaitu tindak pidana atau percobaan maupun pemberian bantuan tindak pidana dilakukan oleh tersangka itu diacam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat 4 KUHAP. Tindakan penangkapan dan atau penahanan adalah merupakan tindakan perampasan kemerdekaan seseorang oleh karena itu, karena lahirnya KUHAP terdorong keinginan untuk melindungi hak azasi manusia, maka walaupun tersangka atau terdakwa. Telah melanggar hak orang lain, misalnya karena tersangka atau terdakwa telah melakukan penganiayaan, pencurian, pemerkosaan, pembunuhan dan sebagainya, maka negara atau pemerintah tetap konsisten dengan memberikan hak dan perlindungan sebagaimana diatur dalam pasal 50 sampai dengan pasal 68 KUHAP
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.2 No.4, April 2005
tentang beberapa hak tersangka atau terdakwa. yaitu : Pasal 50 : Hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan dan selajutnya diajukan kepada penutut umum, kemudian diajukan ke Pengadilan untuk segera diadili oleh Pengadilan. Pasal 51 : Hak untuk diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tanpa apa yang disangkakan atau didakwakan kepadanya. Pasal 52 : Hak untuk memberikan keterangan secara bebas. Pasal 53 : Hak untuk mendapat bantuan juru bahasa. Pasal 54 : Hak untuk mendapatkan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan. Pasal 59 : Hak untuk memperoleh kunjungan dokter Pasal 60 : Hak untuk dikunjungi keluarganya. Pasal 64 : Hak untuk diadili disidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Pasal 65 : Hak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan. Pasal 67 : Hak untuk meminta banding Pasal 68 : Hak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Dari beberapa pasal tersebut diatas nampak dengan jelas bahwa tersangka atau terdakwa telah mendapat hak dan perlindungan hukum selanjutnya akan peneliti paparkan ketentuan yang menyangkut saksi atau saksi korban sebagaimana diatur dalam KUHAP. Menurut Hukum Acara Pidana (KUHAP), hakim dalam memeriksa dan memutus perkara terikat pada alat bukti yang sah, yang berarti bahwa
78
Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana
hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Menurut pasal 183 KUHAP yang menyebutkan bahwa “ Hukum tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurang nya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan betul terdakwalah yang salah melakukannya “ ( Moch. Faishol Salam Tahun 2001 h 293 ). Pasal tersebut mempertegas bahwa keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan ditingkat penyidikan. Sedangkan pasal 184 (1) KUHAP menentukan bahwa alat bukti yang sah ialah : (1). Keterangan Saksi, (2). Keterangan ahli, (3). Surat, (4). Petunjuk, (5). Keterangan terdakwa - Siapakah yang dimaksud dengan saksi ? Mengenai saksi dalam KUHAP pasal 1 angka 26. dijelaskan :” Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang sutau perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri “. Sedangkan yang dimaksud dengan keterangan saksi berdasarkan Pasal 1 angka 27 adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sediri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pegetahuan nya itu. ( Moch. Faisol Salam tahun 2001. h 293 ). Dari keterangan saksi inilah hakim dapat memiliki gambaran yang obyektif atas terjadinya suatu tidak pidana, dimana keterangan saksi
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.2 No.4, April 2005
tersebut merupakan salah satu alat bukti dari bukti-bukti yang sah lainnya keterangan saksi merupakan suatu alat bukti yang sangat menentukan untuk kelancaran dan keberhasilan dalam proses peradilan pidana, menurut Sudikno Merto Kusumo dalam penejelasannya menyatakan : “ Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada Hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipermasalahkan dengan jalan pemberitahuan secara lesan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipersidangkan “ ( Sudikno Merto Kusumo, Th 1985, h. 107 ) Jadi kesaksian yang diberikan oleh saksi adalah merupakan alat bukti yang wajar, karena keterangan yang disampaikan kepada hakim di persidangan itu berasal dari pihak ketiga yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri peristiwa tersebut. Sehingga apa yang disampaikan lebih obyektif bila dibandingkan dengan pihak yang berkepentingan sendiri dan pihak yang berpekara pada umumnya akan mencari kebenaran nya sendiri. Untuk menjadi saksi merupakan kewajiban bagi setiap warga negara Indoensia, dan dalam KUHAP terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang kewajiban yaitu sebagaimana diatur tentang kewajiban saksi yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 159 sampai dengan pasal 174 KUHAP. Agar memperoleh gambaran secara jelas peneliti akan paparkan pasal-pasal yang mengatur kewajiban saksi sebagai berikut Pasal 159 ayat 2 KUHAP : “ Dalam hal saksi tidak hadir, meski pun dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup
79
Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana
alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan menghadiri, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut di hadapkan ke persidangan “. Bagaimana implementasikan kata “ dihadapkan kepersidangan “, dalam praktek ? Apakah maknanya sama dengan “ upaya paksa – sebagaimana halnya terhadap seorang terdakwa.( Pasal 154 ayat 6 KUHAP ) Mengenai Hal ini M. Yahya Harahap, SH, berpendapat : “ Bahwa pada hakikatnya sama sekali sekelipun pasal 159 ayat 2 mempergunakan kata-kata : memerintahkan kepada saksi tersebut dihadapkan ke persidangan, namun makna yang tersirat dalam “ Perintah menghadapkan “ ke Persidangan , tiada lain dari pada suatu upaya yang dibenarkan hukum untuk menghadapkan saksi dengan paksa, apabila saksi tidak mau hadir dengan suka rela, sebab kalau makna perintah menghadap saksi tanpa dibarengi upaya paksa, perintah menghadap itu tidak mempunyai daya efektif. Paling tidak upaya paksa yang dapat dilakukan untuk menghadapkan saksi yang ingkar ialah dengan jalan mengambil saksi dari tempat tinggal atau kediamannya, seterusnya membawa yang bersangkutan dari tempat tinggalnya untuk dihadapkan sebagai saksi di muka persidangan “. ( M. Yaliya Harahap Th. 1985 h. 681. ). Setelah saksi menghadap di persidangan : saksi diperiksa satu persatu dan yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi tindak pidana (pasal 160 ayat 1, a, b KUHAP). Undang-undang mewajibkan kepada saksi atau saksi ahli untuk
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.2 No.4, April 2005
mengucapkan sumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangan (Pasal 160 ayat 3, 4 KUHAP). Dalam praktek peradilan sumpah atau janji senantiasa dilakukan sebelum saksi atau saksi ahli memberikan keterangan. Hal tersebut perlu dilakukan agar saksi atau saksi ahli tersebut dari segi kejiwaan akan lebih menyadari bahasa apa dilakukan itu juga dipertanggung jawabkan kepada Allah SWT, sehingga dengan demikian mereka akan bersikap jujur dalam setiap keterangan yang diberikan. Timbul pertanyaan bagaimana kalau saksi atau saksi ahli tidak mengucapkan sumpah atau janji ?. Diatas sudah dijelaskan bahwa saksi atau saksi ahli “ wajib “ atau harus mengucapkan sumpah sebelum memberikan keterangan. Keterangan saksi yang tidak dibarengi dengan sumpah atau janji dimata hukum keterangan tersebut tidak mempunyai apa-apa dan dilain pihak saksi atau saksi ahli yang menolak untuk bersumpah atau berjanji dapat dikenakan Sandra dirumah tahanan negara paling lama lima belas hari. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 161 ayat 1.2 KUHAP. Saksi yang telah memberikan keterangan di depan penyidik ada kalanya mereka berhalangan pada saat akan diperiksa di depan persidangan. Halangan tersebut bisa jadi halangan yang sifatnya tetap yaitu saksi meninggal dunia atau karena sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter atau tidak dipanggil karena jauh tempat tinggalnya atau tempat kediamannya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara. Saksi-saksi yang dalam keadaan tersebut keteranganketerangan nya yang diberikan pada
80
Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana
penyidik ( BAP ) dibacakan dan keterangan yang dibacakan tersebut nilainya disamakan dengan keterangan saksi dibawah sumpah yang diucapkan (pasal 162 ayat 1, 2 KUHAP.). salah satu contoh pemeriksaan Prof. Dn. Ir. B.J. Habibie, mantan Presiden RI dalam kasus penyalah gunaan dan non budgeter bulog. Dengan terdakwa Rehardi Ramelan yang persidangan di gelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Oleh karena tempat kediamanya jauh (di Jerman) dengan kemajuan dibidang teknologi pemeriksaan saksi dapat di lakukan dengan cara “video telecon forence“. Dapat kita bayingkan betapa besarnya biaya yang dikeluarkan guna pemeriksaan seorang saksi, tetapi demi kapastian hukum dan keadilan itu harus dilakukan. Hal ini membuktikan betapa penting arti seorang saksi dalam pemeriksaan perkara pidana. Saksi adalah manusia yang tidak luput dari salah dan lupa. Oleh karena itu tidak jarang keterangan yang diberikan pada saat pemeriksaan di hadapan penyidik ( BAP ) berbeda dengan apa yang diberikan didepan. Persidangan. Melihat keadaan yang demikian, hakim ketua sidang wajib mengingatkan mengenai adnya perbedaan tersebut dan mencatat dalam Berita Acara Pemeriksaan sidang ( psl 163 KUHAP ). Adanya perbedaan tersebut tidak jarang dalam praktek kita jumapi bahwa saksi tetap pada pendirian nya bahwa apa yang diterangkan dipersidangan lah yang benar. Hal tersebut akan membawa konsekuensi yuridis yaitu saksi dianggap memberikan keterangan palsu. contoh : Kasus Tomy Soeharto dalam proses di pengadilan Negeri Jakarta pusat,
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.2 No.4, April 2005
dimana saksi Rahmat Hidayat dan Tatang Sumantri mencabut keterangan diberikan di BAP Polisi dan bersikukuh bahwa keterangan dipersidanganlah yang benar. Akhirnya kedua saksi tersebut diperiksa oleh penyidik karena memberikan keterangan palsu. Hal ini diatur didalam pasal 174 ayat 1, 2 KUHAP. Sedang ancaman bagi saksi yang diduga memberikan keterangan palsu telah diatur dan Diancam pidana dalam pasal 242 ayat 1, 2 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : Ayat 1 : Barang siapa dalam hal –hal yang menurut peraturan undang-undang menutut sesuatu keterangan dengan sumpah atau jika keteranga itu membawa akibat bagi hukum dengan sengaja memberi keterangan palsu yang ditanggung denga sumpah, baik dengan lisan atau dengan tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang istimewa di tunjuk untuk itu, dihukum penjara selamalamanya tujuh tahun. Ayat 2 : Jika keterangan palsu yang ditanggung dengan sumpah itu diberikan dalam perkara pidana dengan merugikan si terdakwa atau sitersangka, maka si tersalah itu dihukum penjara selamanya sembilan tahun ( R. Soesilo, Th. 1981, h 158 ) Dengan demikian kehadiran saksi sangat penting dalam perkara pidana dan tanpa ada saksi hakim akan mengalami kesulitan dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Akan tetapi hingga saat ini secara khusus belum ada ketentuan yang
81
Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana
dapat memberikan perlindungan bagi saksi termasuk saksi korban dalam proses peradilan pidana, walaupun secara implicit sudah ada perlindungan bagi saksi sebagaimana di atur dalam KUHAP. Ketentuan yang dapat dikonstrusikan sebagai memberikan perlindungan bagi saksi dapat dijumapi dalam pasal-pasal dalam KUHAP berikut : 1. Pasal 117 ayat (1) : Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun, dan atau dalam bentuk apapun. 2. Pasal 118 : Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang mendatangi oleh penyidik, dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujuinya “. 3. Pasal 166 : Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan kepada terdakwa maupun kepada saksi 4. Pasal 117 : Jika terdakwa atau saksi atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan. 5. Pasal 178 : Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat membaca dan menulis, hakim ketua sidang mengankat sebagai perterjemah orang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. 6. Pasal 229 : Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut aturan
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.2 No.4, April 2005
perundang-undangan yang berlaku. 7. Pasal 98 korban suatu tindak tindak pidana dapat mengajukan ganti kerugian pada terdakwa yang terbukti bersalah menyebabkan ciktimisasi terhadapnya, melalui proses penggabungan perkara pidana dan perdata. Walaupun memang ada ketentuan di atas, namun agaknya justru keberdaan ketentuan tersebut menunjukan kelemahan posisi korban dan saksi, utamanya bahwa kewajiban mereka jauh lebih menonjol dibandingkan dengan hak-hak mereka, sejumlah ketentuan dalam KUHP yang membebankan kewajiban pada saksi dapat disebut dibawah ini, misalnya : a. Pasal 224 KUHP mengenakan sanksi pidana penjara sembilan bulan (untuk perkara pidana) pada saksi yang dengan sengaja tidak datang ketika dipanggil ; ( R. Sosilo , th 1981 h. 151 ) b. Pasal 522 KUHP, yang merupakan tindak pidana berbentuk pelanggaran, memberikan sanksi denda pada seorang saksi yang “ dengan melawan hak hak “ tidak datang pada saat dipanggil. Menurut Susilo, hal ini berarti saksi tiudak memiliki kesengajaan untuk tidak hadir, tapi karena kecerobohan dan atau kelalainnya maka ia tidak hadir.( R. Sosilo, Th. 1981 h. 291 ) Dari ketentuan tersebut diatas sebagaimana peneliti uraikan nampak jelas sekali, kelemahan posisi saksi termasuk saksi korban, utamanya kewajiban mereka jauh lebih menonjol dibandingkan dengan hak-hak mereka
82
Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana
dan ancam sanksi yang diancamkan terhadap saksi sebagaimana dirumuskan diatas ternyata melengkapi penderitaan sebagai seorang saksi dalam proses perkara pidana. Padahal dalam melaksanakan kewajiban itu sseorang saksi harus berkorban waktu, tenaga, pikiran dan finasial bahkan jiwa raganya kemungkinan tidak luput dari acaman, terror dan intimidasi. Dalam hal ini belaum ada ketentuan yangsecara khusus memberikan perlidungan dalam hal terjadinya tindak-tindak pidana maupun tindakan lain yang merugikan dirinya, yang terjadi karena ia memberikan kesaksian kepada aparat hukum. Dengan demikian belum ada keseimbangan antara hak dan kewajiban terhadap saksi di dalam negara hukum Republik Indonesia. 1.3. Ketentuan Saksi di Luar KUHAP. Setelah peneliti menguraikan ketentuan mengenai saksi sebagaimana diatur dalam KUHAP yang ternyata hanya memuat kewajiban kewajiban – kewajiban lebih banyak bila dibandingkan dengan hakhak mereka, maka sebagaimana perbandingan peneliti akan mencoba mamaparkan ketentuan mengenai saksi yang berada di luar KUHAP. - UU No. 5 tahun 1997. Di dalam UU No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika dimana didalamnya selain memuat kewajiban juga memberikan hak bagi saksi. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 54 dan pasal 57 UU no 5 tahun 1997, Isi ketentuan dalam pasal tersebut menyatakan bahwa selain dituntut kewajiban nya saksi juga diberi hak yaitu mendapat jaminan keamanan dan perlindungan dari pihak keamanan dan selain itu saksi
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.2 No.4, April 2005
pelapor di jamin kerahasiaan identitasnya oleh pemerintah. - UU No. 20 tahun 2001. UU No 31 tahun 1999 tentang “ pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “ sebagaimana diubah dan atau ditambah dengan UU No. 20 tahun 2001 juga telah mengatur hak dan kewajiban saksi yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 31, 35, 41 dan 42.” Isi ketentuan dalam pasal tersebut menyatakan bahwa asas keseimbangan antara hak da kewajiban sudah mulai nampak, selain menuntut kewajiban juga memberikan hak berupa jaminan keamanan dan perlindungan terhadap saksi atau pelapor dan bahkan perintah memberikan penghargaan. - UU No. 26 Tahun 2000. Selain dari undang-undang sebagaimana tersebut diatas, masih terdapat undang-undang yang memperhatikan hak dan kewajiban saksi yaitu UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dalam Bab IV tentang “ Perlindungan Korban dan Saksi “ Pasal 43 UU No. 26 tahun 2000. Dalam ketentuan pasal tersebut dinyatakan bahwa setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak azasi manusia berat, berhak atas perlindungan pisik dan mental dari acaman , gangguan , terror dan kekerasan dari pihak manapun. Perlindungan mana dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan. 2.
Realisasi hak-hak Hukum Saksi dalam Proses Peradilan Pidana. 2.1. Hak asasi manusia di Indonesia. Bericara mengenai saksi, maka kita tidak bisa lepas dari masalah – masalah hak azasi manusia, karena saksi adalah seorang manusia yang
83
Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana
perlu mendapat pengakuan dan keadilan sosila bagi seluruh perlindungan haknya dihadapan Indonesia”. hukum, Kita ketahui, Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 Sebagai penjabaran lebih lanjut dari sebelum deklarasi PBB 1948 tentang apa yang tertuang di dalam pembuhak asasi manusia lahir. Dengan kaan Undang – undang Dasar 1945 demikian kalau melihat latar belakang alinea IV maka didalam pasal 27 UUD perumusan UUD 1945 nampaklah 1945 diatur pengakuan negara pemikiran asli tentang hak azasi terhadap hak-hak dan kewajiban manusia yang dilandasi falsafah hidup warga negara. Dimana pasal 27 bangsa dan edeologi pancasila. Undang-undang Dasarr 1945 tersebut Dari rumusan-rumusan yang berbunyi : ada didalam Pembukaan UUD 1945 Ayat 1 : Segala warga negara bersamaan mengenai hak azasi manusia sudah kedudukanya dalam hukum dan cukup mendapat perhatian walaupun pemerintahan dan wajib menjunjug belum menyeluruh. Di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan pernyataan Indonesia merdeka tanpa kecualiya. termuat hak azasi yang universal Ayat 2 : Tiap-tiap warga negara berhak atas yang berbunyi sebagai berikut : pekerjaan dan penghidupan yang “ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan layak bagi kemanusiaan. itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan diatas dunia Setelah melalui perjalanan yang harus dihapuskan, karena tidak sesuai cukup panjang kurang lebih 55 tahun, dengan perikemanusiaan dan Indonesia sebagai negara hukum dan perikeadilan ….” sebagai negara yang telah meratifiDalam bagian ke dua pembukaan juga kasi “The Universal Declaration of dimuat kalimat-kalimat yang Human Rights“ Deklarasi Perserikatmencakup lima sila Pancasila sebagai an Bangsa–Bangsa tentang hak asasi dasar negara yang berbunyi sebagai manusia tahun 1948, maka secara berikut : konstitusional negara Republik “ …….dan ikut melaksanakan Indonesia telah melakukan amanketertiban dunia yang berdsarkan demen kedua terhadap Undangperdamaian abadi dan keadilan social, undang Dasar 1945 pada tahun 2000 maka disusunlah kemerdekaan yang menyangkut kesatuan pasal 28 a kebangsaan Indonesia itu dalam suatu sampai dengan 28 j dan sehubungan Undang-undang Dasar Negara dengan jaminan dan perlindungan Republik Indonesia, yang terbentuk pada setiap orang adalah sebagai dalam suatu susunan negara republik berikut : Indonesia yang berkedaulan rakyat Pasal 28 D. dengan berdasarkan kepada Ayat 1 : “ Setiap orang berhak atas Ketuhanan Yang Maha Esa, pengakuan jaminan perlindungan diri Kemanusiaan yang Adil dan Beradap, pribadi, keluarga , kehormatan Persatuan Indonesia dan kerakyatan martabat , dan harta benda yang yang dipimpin oleh hikmat dibawah kekuasaannya, serta berhak kebijaksanaan dalam permusawaratan atas rasa aman dan perlindungan dari /perwakilan serta dengan mewujudkan ancaman ketakutan untuk berbuat
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.2 No.4, April 2005
84
Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana
atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Pasal 28 H. Ayat 2 : “ Setiap orang lebih mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pasal 28 I. Ayat 1 : “ Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk diperbudak , hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Ayat 2 : “ Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bwersifat diskriminatif itu. Ayat 4 : “ Perlindungan , pemajuan, penegakan , dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintah. Dari paparan bebarapa pasal sebagaimana tersebut diatas tergambar dengan jelas bagaimana keinginan Negara untuk menjamin dan melindungi hak asasi manusi dalam undang-undang pelaksanaanya tidak bertentangan dengan undang-undang dasar. 2.2. Hambatan dalam proses peradilan pidana. Dalam praktek sehari-hari penutut umum sebagai pejabat yang bertugas melaksanakan putusan atau penetapan majelis hakim atau hakim sendiri tidak jarang kesulitan dalam menghadapkan saksi kepersidangan. Penuntut umum telah berusaha
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.2 No.4, April 2005
memanggil sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu 3 hari sebelum tanggal siding yang ditetapkan. namun pada hari sidang yang telah ditetapkan tersebut saksi termasuk saksi korban tidak datang menghadap dengan berbagai alasan. Alasanalasan yang klasik adalah : 22.1 Saksi ataupun saksi korban tempat tinggalnya jauh dan tidak mempunyai biaya untuk ongkos transport. kenyataan dimasyarakat memang belum pernah ada uang untuk pengganti transport dari pihak yang mestinya bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pemenuhan hakhak rakyat. salah satu wujud perhatian Negara terhadap pelaksanaan hak asasi manusia antara lain dengan danya amandemen kedua terhadap UUD 1945 pada tahun 2000. dimana dalam salah satu pasalnya ( pasal 28 h ayat 3 ) diakatakan bahwa “ setiap orang berhak atas jaminan sosial yang meungkinkan pengembangan dirinya secara untuh sebagai manusia yang bermartabat. “ Pernyataan jaminan sosial kepada setiap orang tersebut implementasikan dalam praktek peradilan belum dapat terwujud, karena adanya peraturan perudangundangan pidana ( KUHP atau KUHAP ) belum mengatur tentang adanya jaminan sosial , khusunya menyangkut adanya biaya transport untuk saksi. 22.2
Saksi tidak datang karena takut acaman , intimidasi, diteror.
85
Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana
Seseorang yang menjadi saksi ataupun saksi korban dalam sutu tindak pidana tidak selalu orang yang cukup pengetahunnya, sehingga untuk memenuhi panggilan polisi, jaksa maupun, memenuhi panggilan sidang merekat takut, hak tersebut bisa berganti, karena mereka terbayang Sesutu yang menakutkan , beluym lagi kalau mereka itu dijemput petugas karena sudah beberapa kali tidak memenuhi panggilan. dalam praktek pernah dijumapi bahwa seorang saksi pada saat diperiksa sudah keluar keringat dingin dan tidak jarang ada yang pingsan, hal tersebut disebabkan karena danya rasa takut yang berlebihan. ( Hasil wawancara dengan hakim P.N. Banyuwangi Hery Supriyono, SH Th. 2003 ). Menurut bapak Hery Supriyono, SH : Beban psikis atau rasa takut yang dialami saksi ataupun saksi korban , akhirakhir ini mengalami suatu perkembangan, dimana rasa takut tersebut disebabkan karena adanya tekanan, ancaman , intimidasi, terror dari terdakwa atau keluarga terdakwa. Menghadapi era globalisasi dan pengaruh modernisasi , jenis kejahatan semakin bervariasi , caracara pelaksanaanya cukup canggih dan mereka terorganisir / sindikat, sehingga segala macam cara dilakukan guna mangamankan bisnis dan kelangsungan hidup dari sindikat tersebut, tidak segan-segan mereka mengancam saksi , meneror saksi dan atau keluarganya supaya saksi korban tidak datang, tidak memberi keterangan sesuai dengan kejadian yang sebenarnya atau dibunuh. Timbul pertanyaan bagaimana mengatur keadaan yang demikian ? Dalam hal ini, usaha-usaha Negara untuk melindungi setipa warga Negara, Undang-undang Dasar 1945
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.2 No.4, April 2005
sebagai mana telah diamandemen kedua tahun 2000 dalam pasal 28 ayat 1, 2 menyebutkan : Ayat 1 : Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan cari acaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan Hak Asaso Manusia. Ayat 2 : Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik lain. Dari ketentuan pasal tersebut di Indonesia seharunsya perundangperundang yang ada, apa lagi yang mengyangkut orang yang menjadi saksi korban atau saksi tindak pidana harus ada perlindungan dari acaman ketakutan untuk berbuat Sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Dalam praktek sehari-hari perlindungan yang diberikan oleh aparat keamanan barulah pada waktu penyidikan atau pada waktu penuntutan di sidang pengadilan, perlindungan keamanan tersebut merupakan perlindungan yang bersifat umum, bukan hanya bagi saksi saja , tetapi juga perlindungan keamanan bagi jaksa, hakim, terdakwa, pengacara dan masyarakat pada umumnya. Fenomena tersebut sangat menyedihakn oleh karena itu agar ada keseimbangan antara hak dan kewajiban perlu segera dipikirkan pemberian jaminan kemanan dan perlindungan hukum bagi saksi. sebagaimana halnya jaminan keamanan dan perlindungan hukum yang diberikan kepada seorang terdakwa atau tersangka.
86
Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana
Kuranganya kesadaran hukum saksi. Seorang untuk melakukan atau tidak melakukan Sesuatu biasanya dilator belakangi oleh adanya rasa tidak tahu. seorang saksi atau saksi korban yang mempunyai sikap tidak mau datang untuk menghadap ke sidang pengadilan karena tidak menyadari betapa pentingnya kehadiran mereka untuk menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa. Undang-undang memang memberi toleransi terhadap saksi korban atau saksi yang tempat tinggalnya jauh, karena halangan yang sah tidak dapat hadir ( misalnya : Sakit, ) karena sebab lain yang berhubungan dengan kepetingan Negara, maka keterangan yang telah diberikan pada BAP dapat dibacakan ( Pasal 162 ayat 1 KUHAP ). akan tetapi jarang terdakwa atau penasehat hukum nya keberatan bila keterangan saksi yang ada di BAP dibacakan. Oleh karena itu guna meningkatkan pengetahuan hukum masyarakat, saksi atau saksi korban, maka perlu adanya penyuluhan hukum yang intensif. sehingga dengan demikian warga masyarakat mengerti dan menyadari akan hak dan kewajibannya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan : 3.11. Kedudukan saksi termasuk saksi korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia merupakan suatu elemen yang sangat menentukan bersalah
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.2 No.4, April 2005
atau tidak nya seorang terdakwa, Oleh karena saksilah yang dapat memberikan keterangan ia dengar, ia lihat dan dia alami sendiri, sehingga hakim dapat memiliki gambaran yang obyektif atas terjadinya suatu tindak pidana tersebut. 3.12. Di dalam realita ternyata bahwa undang-undang Hukum Acara Pidana dalam rumusanya memberikan sejumlah hak bagi tersangka tau terdakwa, sementara bagi saksi termasuk saksi korban ternyata belum secara tegas diberikan hak – haknya, Padahal sebagai manusia saksi berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian huku yang adil serta pelakuan yang sama di depan hukum. Saran 3.21. Undang-undang Nomer 8 tahun 1981 tentang kitab Undangundang Hukum Acara Pidana harus segera direvisi karena didalamnya terdapat ketentuan yang diskriminatif dan hal tersebut tidak boleh terjadi di Negara Hukum Republik Indonesia yang mengakui dan melindungi hak asasi manusia. 3.22. Perlu adanya penijauan kembali terhadap pasal 224 dan pasal 522 KUHP yang nantinya diharapkan ada pembahasan atau amandemen.
87
Perlindungan Saksi dalam Proses Peradilan Pidana
DAFTAR PUSTAKA Adi Soeryo, Realitas Perlindungan saksi dalam proses Peradilan Pidana di Indonesia, seminar Nasional di selenggarakan di Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur, 2002. Faisal Salim Moch. Hukum Acara dalam Teori dan Praktek, CV Maju, Bandung 2001 Harahap M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta 1985. Harkrisnowo Harkeistuti, Perlindungan korban, saksi dalam proses peradilan pidana dan ergensi pengaturan bagi mereka, seminar Nasional diselenggarakan di Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur 2002. Merto Kusumo Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi II, Liberty Yogyakarta 1985. Muchlis Azhar, “Peran DPR sebagai lembaga legislative dalam pembahasan R UU tentang perlindungan saksi dan korban “ seminar Nasional , diselenggarakan di Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur 2002. Rahardjo Sutjipto, “ Ilmu Hukum “ cetakan kelima, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2000. Soesilo, R, Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta komentar lengkap Pasal demi pasal, Politea Bogor 1996. Majalah Tempo tanggal 25 Mei 2003. UUD 1945 setelah amandemen kedua tahun 2000. GBHN 1999 – 2004 ( Tap No. IV / MPR / 1999 ) Pustaka setia Bandung 1999. Undang-undang Hukum Acara Pidana, Bahan Pokok Penyuluhan Hukum, departemen kehakiman RI 1996 – 1997. UU No. 20 tahun 2001 merubah UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, majalah hukum Varia Pendidikan tahun XVII no. 197 PP. KAHI, Jakarta Februari 2002. UU HAM 1999 & UU Pengadilan HAM 2000, Sinar grafita, Cetakan Pertama, Jakarta, 2000. UU No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Bahan Pokok Bagi Peyuluh Hukum, Departemen Kehakiman RI., Jakarta, 1997 / 1998.
Jurnal Ilmiah PROGRESSIF, Vol.2 No.4, April 2005
88