Warek III UNAIR M. Amin Alamsjah, Jadi Guru karena Ingin Cetak Pemimpin UNAIR NEWS – Bagi Prof. Mochammad Amin Alamsjah, Ir., M.Si., Ph.D, Ir., M.Si., Ph.D., menjadi guru merupakan pilihan terbaik karena bisa memberi manfaat bagi orang lain. Dengan menjadi guru ia dapat menularkan ilmu yang dimiliki kepada anak didiknya: orang lain, sehingga bisa membantu mencetak generasi masa depan untuk mampu menjadi pemimpin bangsa Indonesia di kancah dunia. Cita-citanya terpenuhi, setelah menjadi dosen, kini ia menerima amanah sebagai Wakil Rektor III Universitas Airlangga. Anak tertua dari enam bersaudara kelahiran 16 Januari 1970 ini mengaku sejak kecil sudah rajin mengaji yang dibimbing kedua eyangnya. Kedisiplinan pun ditanamkan padanya sejak dini. Sebelum adzan Subuh, Amin kecil sudah dibangunkan oleh embah putrinya untuk segera bersiap salat Subuh di langgar. Selesai salat Amin mengaji Alquran bersama adikadiknya: empat laki-laki dan seorang perempuan. ”Saya ingat betul bagaimana nenek selalu mendengarkan dengan saksama ketika kami sedang mengaji,” kata Prof. Moch. Amin Alamsyah. Kemudian semasa SMA setiap sore meluangkan waktu untuk membaca buku di sebuah toko buku di Kota Surabaya. Disitu ia sempat memikirkan masa depannya bahwa tak ingin pendidikannya terhenti pada SMA, sebab sebagai anak sulung ia punya motivasi untuk menjadi contoh yang baik bagi adikadiknya. Karena itu ia terpikir untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Pilihannya pada jurusan perikanan. Pilihan itu terilhami setelah melihat kondisi tambak milik orangtuanya yang tidak memberi hasil optimal. Ia diterima di jurusan perikanan di
Universitas Brawijaya. Cita-citanya saat itu untuk menjadi seorang petambak dan memberdayakan tambak milik kakeknya, sudah terbayang. Karena itu setelah lulus menjadi sarjana perikanan, Ir. Amin Alamsyah mencari pengalaman dengan bekerja sebagai pegawai tambak di Situbondo. Tetapi karena lingkungannya tidak mendukung, ia keluar dan bersinisiatif mencari pekerjaan baru yang dapat memberikan manfaat langsung bagi orang lain. Saat itulah terlintas di benaknya untuk menjadi guru. Untuk cita-citanya itu ia memasukkan lamaran pekerjaan sebagai guru/dosen ke beberapa perguruan tinggi, termasuk ke Universitas Airlangga. Selang beberapa waktu, ia menerima kabar bahwa lamarannya diterima di UNAIR. Resmilah Ir. Moch Amin Alamsyah sebagai dosen ke-13 pada prodi Budidaya Perairan Fakultas Kedokteran Hewan UNAIR (saat itu Budidaya Perairan belum memisahkan diri menjadi Fakultas Perikanan dan Kelautan seperti sekarang – red). Berada di lingkungan akademis membuatnya kian terpacu untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Ia mengirimkan banyak lamaran ke lembaga penyandang beasiswa, tapi acapkali juga ditolak. Baru pada awal tahun 2000 ia melanjutkan studi Master di salah satu PTN di Malang. Tetapi impiannya untuk bisa studi S2 di Jepang masih terus terngiang. Berbekal surat rekomendasi dari seorang profesor di UNAIR, akhirnya Amin menerima beasiswa penelitian di Universitas Nagoya, Jepang. Di “Negeri Matahari Terbit” itulah ia belajar sambil penelitian di bidang biologi reproduksi. Lalu melakukan penelitian tentang berbagai bisa ular, mulai dari ular gurun sampai ular laut. “Penelitian saya memperoleh apresiasi karena temuan satu protein yang berhasil menghambat perkembangan sel kanker dan alzheimer. Jadi ketika kembali lagi ke Malang untuk sidang tesis, saya lulus cumlaude dalam waktu 1,5 tahun,” kata Prof. Amin berkisah.
Berkat jejaring yang ia peroleh saat melakukan penelitian di Jepang, ia pun mendapat rekomendasi belajar pada jenjang Doktoral. Namun bidang yang didalami berbeda dengan studi S2nya, yaitu ia diharuskan mengambil studi di bidang perikanan dan kelautan. Pilihannya ia memfokuskan studinya di bidang rumput laut di Nagasaki University, dan lulus Doktor tahun 2007 dengan predikat wisudawan terbaik. Yang menunjang predikatnya itu antara lain karena ia mampu mempublikasikan jurnal penelitian melebihi dari target yang ditetapkan. ”Waktu itu saya hanya ditarget satu sampai dua jurnal internasional, tetapi Profesor bilang selagi bisa meneliti dan publikasi, mengapa tidak dilakukan? Akhirnya saya bisa mempublikasikan lima paper internasional,” tutur penulis artikel “Algicidal Diterpenes from the Brown Alga Dictyota dichotoma” yang terbit tahun 2006 itu. Suatu saat, ia bertanya kepada seorang profesornya di Jepang. Apa yang bisa menjadikan Indonesia maju seperti Jepang? Profesor itu menjawab bahwa Indonesia kekurangan pemimpin yang bisa menjadi contoh bagi masyarakat. Karena itulah ia ingin segera kembali ke tanah air dan menjadi guru untuk mencetak generasi muda menjadi pemimpin masa depan. Mendorong Iklim Riset Sekarang, dosen teladan II UNAIR tahun 2009 ini telah diberi amanah sebagai Wakil Rektor III. Dengan tugas dan tanggungjawabnya, ia akan mendorong publikasi penelitian di level internasional dan mengembangkan promosi dan branding. ”Tiga hari sebelum dilantik saya dipanggil Rektor dan diberitahu bahwa saya tidak boleh menolak permintaannya. Beliau hanya meminta saya membantu tugasnya. Lalu saat upacara 17 Agustus 2015 saya dikabari oleh Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan bahwa saya ditunjuk sebagai Wakil Rektor III,” kata Prof. Amin Alamsyah. Di awal jabatannya, Guru Besar bidang Biologi Kelautan FPK
UNAIR itu memetakan kekuatan dan kelemahan UNAIR. Guna menyongsong tantangan menuju World Class University, simpulnya, seluruh sivitas harus berkomitmen dan bersinergi untuk melangkah. Tantangan yang ada harus dikomunikasikan ke semua elemen, sehingga faktor penentu keberhasilan UNAIR adalah engagement (kesepakatan). “Kita harus punya komitmen bahwa UNAIR adalah universitas yang qualified. Komunikasi juga penting. Untuk itu, keinginan pimpinan harus dipahami, diyakini, dan dikerjakan bersama,” katanya. Guna memotivasi para peneliti, Prof Amin beserta unit kerja di bidangnya telah menyiapkan berbagai program. Tahun 2016 ini ia targetkan ada 307 artikel penelitian internasional yang terindeks Scopus. Karena itu kini terus memotivasi penelitian internasional melalui program riset mandat, joint research, visiting professor, dan penghargaan terhadap pemilik hak indeks. Pada program riset mandat tahun 2016, UNAIR akan memberikan anggaran Rp 250 juta kepada lima tim peneliti yang berhasil memublikasikan penelitiannya di jurnal internasional terindeks Scopus. Dalam mendorong publikasi penelitiannya juga harus didukung dengan kapabilitas dan jejaring kerjasama yang kuat. Dalam konteks WCU, UNAIR akan memberikan dukungan kepada para penelitinya untuk terus melakukan riset dan inovasi produk penelitian, baik melalui program kerjasama riset maupun produk akademik dan patent. Pusat-pusat riset akan didorong melalui jaringan kerjasama, baik dalam maupun luar negeri, sedang penguatannya didukung dengan diseminasi informasi yang baik mengenai penemuan-penemuan oleh key scientist. “Hal itu akan meningkatkan jaringan kerjasama. Orang luar akan tahu bahwa UNAIR ada banyak penemuan baru dan bisa diajak bekerjasama,” tambah penulis jurnal berjudul “Eksplorasi Rafinosa Biji Kapas sebagai Pengganti Formalin dalam Pengawetan Ikan” tahun 2013 itu.
Agar jejaring kerjasama lebih kuat maka setiap bidang keilmuan diwajibkan membuat konsorsium keilmuan dan membawa “bendera” UNAIR, baik di tingkat nasional dan internasional. Selain itu ia akan mendorong dosen-dosen muda untuk melanjutkan studi Doktoral di luar negeri. “Teman-teman mahasiswa juga harus berupaya bahwa dalam satu masa studinya harus memiliki kesempatan untuk bisa ke luar negeri, dalam program apa saja, apakah short course, AUN, workshop, atau exchange,” pesan Prof. Amin Alamsyah. (*) Penulis : Defrina Sukma Satiti Editor : Bambang Bes
Lindungi Mata dari Gerhana Matahari UNAIR NEWS – Antusiasme menyelimuti jutaan orang di wilayah Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Pasalnya, esok (9/3) sebagaimana diketahui gerhana matahari total maupun sebagian akan melintasi berbagai wilayah tersebut. Fenomena gerhana matahari sendiri terjadi ketika bulan tepat berada di antara bumi dan matahari sehingga menutup sebagian atau seluruh cahaya matahari. Terkait dengan adanya fenomena alam ini, masyarakat diimbau untuk tidak menatap matahari tanpa menggunakan alat pelindung. Dokter spesialis mata di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RS UNAIR), M. Nurdin Zuhri, dr., Sp.M., RFP, menjelaskan risiko melihat dengan mata telanjang gerhana matahari tersebut. “Ada dua macam risiko yang akan dialami seseorang (apabila menatap gerhana matahari secara langsung). Pertama, adalah terbakarnya kornea mata. Kedua, adalah terjadinya kerusakan
pada makula (pusat penglihatan pada saraf mata),” ujarnya. Dokter alumni Fakultas Kedokteran UNAIR tersebut juga menambahkan bahwa meskipun saat gerhana matahari terjadi keadaan bumi menjadi gelap, matahari tetap akan memancarkan sinar ultraviolet. Apabila seseorang melihat matahari tanpa mengenakan pelindung mata, sinar ultraviolet tersebut dapat mengakibatkan kornea mata terbakar. Selain itu, efek sinar biru yang berasal dari cahaya matahari juga mengakibatkan kerusakan pada makula. Lebih lanjut, menurutnya masuknya sinar biru cahaya matahari ke makula tersebut dapat menyebabkan degenerasi pada saraf mata dan mengakibatkan kebutaan. Untuk itu, dr. Nurdin menyarankan agar masyarakat yang hendak menyaksikan fenomena gerhana matahari esok hari untuk mengenakan kacamata dengan filter ND5 (filter yang bisa mereduksi intensitas cahaya matahari). (*) Penulis: Defrina Sukma S Editor: Yeano Andhika
Warek II UNAIR Muh. Madyan, Optimalkan Peran Support System UNAIR NEWS –Memiliki nama lengkap Muhammad Madyan, laki-laki yang kini mendapat amanah sebagai Wakil Rektor (Warek) II Universitas Airlangga (UNAIR) tersebut, lahir pada 4 Januari 1971 di Kota Martapura, Kalimantan Selatan. Besar dan tumbuh di tengah lingkungan pesantren, Madyan mengawali pendidikan
dasarnya pada sebuah Madrasah Ibtidaiyah (MI), namun pendidikannya di MI tersebut tidak sempat selesai, karena ia dan keluarga terpaksa hijrah ke Ibu kota. Hidup di kota besar, tentu saja lingkungan hidupnya di Jakarta sangat berbeda jauh dengan di Martapura. Mantan direktur keuangan UNAIR tersebut bertempat tinggal di pemukiman padat penduduk, tepatnya di daerah Kayu Manis Jakarta Timur. Saat pindah ke Jakarta, ia harus terpaksa mengulangi pendidikan dasar dari awal. Hal tersebut disebabkan sewaktu menempuh pendidikan di MI tidak ada buku laporan belajar. “Dulu waktu di MI tidak ada rapor hasil ujian, kalau naik kelas ya sekedar diumumkan saja, makanya ketika pindah sekolah lagi di SDN 12 Petang Jakarta Timur, saya harus mengulang dari awal,” kenangnya sembari sedikit tertawa. Tumbuh menjadi anak ibu kota memang membuat Madyan hidup dengan penuh dinamika. Kenakalan anak seusianya waktu itu dan keterbatasan lahan bermain menjadi warna bagi kehidupan anak keenam dari sembilan bersaudara tersebut. Tidak jarang ia harus main bola di bantaran rel kereta api, bahkan ia sempat menceritakan pengalaman melihat teman sebayanya yang melakukan tindakan tidak terpuji di salah satu pusat perbelanjaan. “Bayangkan saya harus hidup di tengah-tengah lingkungan yang seperti itu, ya meski kadang saya nakal waktu itu, tapi saya tetap berprestasi di sekolah,” tuturnya. Prestasi laki-laki yang juga sempat menjabat sebagai ketua progam studi D3 Manajemen Pemasaran tersebut, dibuktikan dengan diterimanya ke SMPN 7 Hutan Kayu, salah satu sekolah favorit yang menjadi tempat belajar selanjutnya. Ia juga mengisahkan bahwa saat sekolah di tingkat SMP sering naik bus umum dan tidak jarang ia harus menempuh waktu selama 30 menit dengan naik sepeda. Madyan juga kembali mengisahkan bahwa kenakalan dan keusilannya masih dilakukan saat usia SMP, meski demikian orang tuanya sangat ketat dalam mendidik kesembilan
anaknya. “Meski saya dulu SMP masih cukup nakal, tapi Bapak saya sangat disiplin dalam mendidik anak-anaknya, satu contoh, hampir tiap malam beliau selalu mengecek kamar kami, apabila masih ada yang di luar ya harus dicari untuk disuruh pulang,” paparnya. Perhatian dan kedisiplinan orang tua Madyan dalam mendidiknya tidak berhenti sampai di situ. Saat akan memasuki jenjang SMA, ia dipindah sub-rayon oleh bapaknya, hal ini dilandasi dengan mempertimbangkan lingkungan tempatnya ia belajar. Madyan pun diterima di SMAN 12 Jakarta Timur, saat belajar di jenjang salah satu SMA favorit inilah ia kembali menemukan lingkungan yang mendukung kehidupan keagamaanya. Ia aktif dalam organisasi keIslaman di sekolahnya. Hingga akhirnya pendidikan SMA pun diselesaikan pada tahun 1991. Menemukan UNAIR Setelah selesai dari pendidikan SMA, Sekretaris Senat FEB tahun 2007-2009 tersebut, diminta orang tuanya untuk melanjutkan kuliah ke salah satu perguruan tinggi di Kalimantan Selatan. Ia menceritakan bahwa selain studi, ia juga diminta untuk menemani kakaknya yang sudah menikah di Banjarmasin. Namun hal berbeda dirasakan saat studi di sana, ia tidak nyaman dengan iklim pendidikan di tempat ia belajar. “Saat kuliah Manajemen di sana, saya merasakan ada iklim pendidikan yang berbeda dengan di Jawa, dan keinginan saya untuk sekolah ke Jawa sangat kuat,” paparnya. Setelah setahun menempuh kuliah di tanah kelahirannya, Madyan akhirnya memutuskan untuk mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) kembali. Meski demikian ada hal yang membuatnya ragu, yakni tentang restu dari orang tuanya. Hingga saat pengumuman tiba, Madyan akhirnya di terima di program studi yang sama di UNAIR. “Saya akhirnya diterima di Manajemen UNAIR. Nah, solusi agar
bapak mengizinkan pada waktu itu, saya berfikir bahwa yang bisa menjelaskan hal ini adalah paman saya, dengan berbagai alasan alhamdulillah disetujui,” tuturnya. Empat tahun tepat, Madyan akhirnya menyelesaikan studi S1 Manajemen di UNAIR dengan predikat wisudawan terbaik. Setelah selesai menempuh jenjang S1, Madyan mendapat tawaran untuk menjadi dosen di FE UNAIR. Sembari mengajar, dosen yang pernah menjabat sebagai Ketua Bidang Penelitian dan Pelatihan LPMB FEB UNAIR tersebut, juga melanjutkan kuliah Magister Ilmu Manajemen dengan konsentrasi Manajemen Keuangan di Pascasarjana UNAIR. Merasa ingin memperdalam keilmuannya dibidang manajemen keuangan, ia kembali studi melanjutnkan studi master di Master of Finance University of Wollongong Australia. Di tahun 2009 ia pun menempuh studi doktoralnya pada salah satu kampus ternama di kota Malang. Terapkan Support System Mengenai amanah barunya sebagai warek II UNAIR, mulanya ia kaget saat diberi amanah tersebut. Madyan menilai bahwa menjadi warek II tidaklah mudah, baginya itu adalah amanah besar, resikonya juga besar, dan tanggung jawab yang besar pula. “Mulanya saya memang kaget, ini jabatan yang besar dan resikonya juga besar, tapi saya kembali berfikir bahwa hidup ini tidak lepas dari sekenario Allah, bahkan sehelai daun yang jatuh juga atas izin-Nya, maka saya jadi warek II sekarang ini sejatinya juga atas kehendak-Nya,” imbunya. Sadar memikul tanggung jawab yang besar, Madyan punya cara tersendiri untuk menjalankan tugasnya. Ia menegaskan pentingnya support system dalam mengatur beragam tanggung jawab. Hampir tiap pekan ia dan mitra kerja yang terkain dengan bidang warek II selalu melakukan koordinasi mengenai berbagai hal yang akan dikerjakan, selain itu ia juga selalu melakukan kontrol dan evaluasi dengan rutin.
“Menjadi warek II ini kan membawahi banyak bidang, ya keuangan, SDM, sarana prasarana, dan ingat target menuju 500 dunia itu perlu sebuah kesiapan yang melibatkan semua elemen tersebut,” tandasnya. Fungsi support system ia nilai tidak berhenti di situ, ia juga menyinggung adanya SK Rektor yang memberikan dana hibah sebesar 50 juta pada dosen yang jurnalnya terpublikasi international dan terindeks scopus. Perannya sebagai bidang pendanaan sangatlah penting, pasalnya dengan dana yang digelontorkan lancar, banyak penelitian yang terpublikasi. “Dana yang besar untuk para dosen yang aktif meneliti ini kami yang mempersiapkan dan menyediakan, jika dana lancar, penelitian semakin banyak, maka harapannya guru besar yang dilahirkan UNAIR juga akan semakin banyak pula, inilah yang dinamakan efek multiplier,” pungkasnya. (*) Penulis: Nuri Hermawan Editor: Bambang BES
Warek I UNAIR Djoko Santoso, Amanah Ini Jalan untuk Beramal UNAIR NEWS – Tidak pernah terlintas di benak Prof. Djoko Santoso, dr., Sp.PD-KGH., Ph.D., FINASIM bahwa akan mengemban amanah sebagai Wakil Rektor I Universitas Airlangga. Di usianya yang ke-54 tahun ini, berbagai amanah telah berhasil ia rampungkan. Setelah mengemban tugas sebagai Wakil Dekan II Fakultas Kedokteran (FK) UNAIR, terhitung sejak 20 Agustus 2015 Prof. Djoko mendapatkan amanah baru sebagai Wakil Rektor
yang membawahi bidang akademik dan kemahasiswaan. Baginya, jabatan adalah amanah. Jadi baginya, ini membuka kesempatannya untuk beramal. Jabatan sebagai Wakil Rektor I UNAIR ini merupakan tugas yang harus diselesaikan sesuai amanah yang telah disematkan kepadanya. “Ya, itu merupakan amanah. Bukan alhamdulillah, tapi bismillah saya bisa menjalankan amanah ini, karena sesungguhnya itu adalah beban yang cukup berat,” tutur Guru Besar Ahli Ilmu Penyakit Dalam FK UNAIR ini. Baginya, menjadi Wakil Rektor I merupakan tugas yang cukup berat. Apalagi saat ini UNAIR memiliki 14 fakultas dan satu sekolah Pascasarjana, 1.502 dosen tetap, 38.000 mahasiswa, dan 167 program studi. Modal sumberdaya itulah yang harus dipikirkan oleh Professor asal Jombang ini, sesuai dengan target Kemenristek Dikti bahwa UNAIR harus masuk peringkat 500 dunia pada tahun 2019. ”Kembali lagi kepada ranah keikhlasan dan ketulusan. Itu konsekuensinya. Ketika ketulusan dan keikhlasan untuk mengabdi sudah bulat, maka manajemen waktu menjadi relatif tidak masalah. Karena sesungguhnya dibelakang kita diselesaikan oleh Allah SWT,” paparnya mantap. Bagi Prof. Djoko, ketika mengabdi dan menjalankan amanah sebagai wakil rektor dilaksanakan dengan niat tanpa mencari popularitas, maka tidak akan ada beban dalam menjalankan amanah itu. Warisan Semangat Ayah Djoko kecil sudah menjadi yatim sejak berumur lima tahun. Lika-liku kehidupan telah ia lalui. Almarhum ayahnya yang merupakan seorang kepala sekolah, menjadi penyemangat dalam menjalani hidup yang diakui tidak selalu berjalan mulus. ”Nilai-nilai itulah yang menjiwai, sehingga dengan kondisi
yang tidak jelas, ekonomi, arah pendidikan tidak jelas, saya harus survive,” tutur Prof. Djoko Santoso mengenang. Sebagai anak yang aktif, sepulang sekolah Djoko remaja tidak mau kalau hanya berdiam diri di rumah. Bersama teman-teman sebayanya ia suka pergi bermain ke sawah, bermain pimpong, berinteraksi dengan teman-teman. Hal-hal itulah yang kemudian ia sadari justru sebagai softskill, bekal saat beranjak dewasa. Ia dibesarkan dalam lingkungan Jawa. Sehingga tak heran tuturan bahasa Jawanya melipis (halus). Sebelum pada akhirnya berkiprah dalam dunia kedokteran, tidak ada gambaran dalam pikirannya untuk menggeluti bidang yang terkenal “mahal” itu. Saat itu, ketika lulus SMA, ia mendaftar di dua perguruan tinggi, yaitu Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang dan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia diterima untuk kuliah bidang keguruan di Malang. Namun, langkah rupanya mengarahkan lain. Ia diterima juga untuk studi pendidikan dokter di UGM. Akhirnya ia memilih kedokteran untuk mendapatkan gelar sarjana sebagai dokter. “Tidak ada yang mendasari. Kalau diterima di IKIP, ya saya jadi guru. Ternyata Allah memberikan SK Kedokteran,” kenangnya. Ketika menempuh pendidikan di perguruan tinggi, buku-buku ajar pun tak selalu Djoko miliki. Ia sering meminjam buku ke temantemannya ketika teman itu sedang tidur, lalu ia pakai untuk belajar. “Saat di perguruan tinggi, semua buku saya pinjam. Dia (teman – red) tidur, saya pinjam bukunya. Dia bangun saya tidur,” kisahnya. Sejak saat itulah arah menuju sebagai dokter semakin terbuka. Setelah lulus sebagai dokter (S1) lalu mengambil program Magister di Universitas Airlangga, dan Doktoral di JuntendoUniversity School of Medicine, Jepang. Kerjasama Internasional
Setelah dilantik dan diresmikan sebagai Wakil Rektor I UNAIR, Prof. Djoko memulai langkahnya dengan melakukan identifikasi SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, dan Threats). Ada tiga hal yang akan digerakkannya dalam menjalankan tugas yang telah ada di pundaknya. Untuk memenuhi target Kemenristek Dikti, langkah yang akan ditempuh meliputi empat hal, yakni academic excellence, research excellence, community service excellence, dan university holding excellence. Pada bagan yang disampaikan dalam Raker UNAIR, ada tiga komponen saling terintegrasi yang semua akan mengarah pada world class university. Pertama, abundant resources. Kedua, favorable governance. Ketiga, concentration of talent. Ia menargetkan kedepan UNAIR harus memperbanyak kerjasama internasional. Reputasi akademik yang bagus dibuktikan dengan hubungan internasional yang bagus. Hubungan internasional dibuktikan dengan persentase mahasiswa/dosen yang masuk dan keluar. Visiting professor dari luar dan juga sebaliknya. “Berbicara tentang exchange, bukan hanya SDM, tapi juga sistem pendidikan. Kredit transfer atau kredit mobility. Ambil studi enam bulan disini diakui pihak luar. Tidak hanya itu, bahkan juga research collaboration. Kemudian training internasional, seminar internasional, workshop internasional, semua masuk internasionalisasi program. Bisa ditransfer. Itu tentang academic excellence,” katanya. Bidang akademik yang unggul salah satunya dibuktikan dengan pengakuan prodi di ranah internasional, sudah tersertifikasi ASEAN University Network (AUN). Selain itu didukung dengan prestasi sivitas di ranah internasonal, dan juga meratanya teknologi dan informasi yang masuk ke realisasi layanan perkuliahan di semua prodi di UNAIR. “Research excellence, ada transfer teknologi. Research yang dikembangkan hasilnya bisa mengalir ke community. Digodok, dicetak, digandakan, sehingga nanti dipasarkan dan
didistribusi. Kemudian sebagian hasil penelitiannya dimasukkan dalam materi perkuliahan, sehingga yang didapat dosen ke mahasiswa menjadi ilmu yang update dan teraplikasi. Sehingga UNAIR bisa mengklaim bahwa keberadaannya bisa mensejahterakan bangsa dan umat dunia. Itu research excellence,” kata penulis buku “60 Menit Menuju Ginjal Sehat” ini. Ia juga mentarget tahun 2016 ini harus banyak visiting professor yang datang. Mereka bukan hanya memberikan perkuliahan, tetapi juga membahas pengenai “pohon” penelitian. Sebab kerjasama penelitian dan visiting professor baru bisa dilakukan ketika sudah ada profesor UNAIR yang jurnal penelitiannya sudah terpublikasi dan terindeks Scopus. Standar itu yang membuat mereka percaya. ”Kita kemarin kapasitasnya 100-an yang terindeks Scopus. Jumlah publikasi ilmiah harus ditingkatkan tiga kalinya. Seratus dosen harus menggeret 200 dosen lainnya. Kalau kita sekarang punya 40% Ph.D, berarti 600 doktor, kalau separuhnya 300. In shaa Allah. Kenapa tidak bisa? Innama amruhu idza arada syaian anyaqula lahu kun fayakun,” tegas peraih penghargaan The young Investigator’s Award Travel Grant tahun 2002 ini. Terus Mengabdi Prof. Djoko dikaruniai tiga orang putra, yang ketiganya berkiprah dan mengambil studi di bidang kedokteran. Diantara semua kesibukannya, sebagai bagian dari sumpah dokter yang tak boleh dilupakan, ia masih membuka praktik di klinik pribadi miliknya: klinik cuci darah di daerah Mulyosari itu telah ia buka sejak tahun 2010 silam. Ada lima kekayaan yang selalu ia syukuri dalam hidupnya, yaitu kekayaan kesehatan, kekayaan mental, kekayaan spiritual, kekayaan networking social, dan kekayaan intelektual. “Saya sering merenung. Tidak usah terlalu muluk-muluk, tapi yang penuh manfaat, yang sangat membumi, dimana orang bisa
merasakan kesejahteraan kita,” tambah Prof. Djoko. “Hidup hanya sekali, usahakan untuk penuh manfaat pada umat. Karena kalau tidak penuh makna, arti hidupmu akan gagal. Membuat buku, menulis gagasan yang bermanfaat, karya kita dirasakan untuk kebutuhan orang miskin. Itu hal-hal yang membuat hidup kita bermakna,” pungkasnya. (*) Penulis : Binti Quryatul Masruroh Editor : Bambang Bes
Rektor UNAIR M. Nasih, Tersesat di Tempat yang Benar UNAIR NEWS – Perjalanan hidup dialami oleh semua orang. Likulikunya tidak sama. Ada yang dengan mudah dan serba enak. Ada yang turun-naik dan pasang-surut. Ada pula yang kesuksesannya dilalui dengan perjuangan dari bawah. Begitu pula dengan yang dijalani Prof. Dr. H. Mohammad Nasih, MT., SE., Ak, CMA., yang kini mengemban amanah sebagai Rektor Universitas Airlangga periode 2015-2020. Bungsu dari enam bersaudara anak seorang guru ngaji Abdul Wahab (alm) dan ibu Djuwariyah ini, sejak kecil ibaratnya tiada hari tanpa masjid. Remaja aktif sebagai Remas (remaja masjid), saat mahasiswa aktivis UKM-KI dengan home-base di masjid, memperoleh pekerjaan yang pertama pun berawal dari masjid, bahkan bertemu jodohnya pun juga dari masjid. “Bagi saya, masjid itu tempat yang damai, ya tempat ngaji, tempat belajar, kajian ilmu, dan tempat berorganisasi, dan sebagainya,” katanya ketika berbincang-bincang dengan kru Redaksi WARTA UNAIR, di ruang kerjanya.
Jadi, kariernya sebagai guru dan kemudian sekarang memimpin universitas ini, juga berawal dari masjid. Kisahnya begini, ia mendapat informasi lowongan pekerjaan itu untuk formasi dosen Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga (UNAIR), almamaternya. Setelah ikut tes dan diterima, dalam perjalanan waktu kemudian memperoleh beasiswa studi lanjut ke S2 dan ke-S3, membina karir hingga akhirnya menjadi Rektor UNAIR Ke-13 ini. Senang di Masjid Tinggal bersama orang tuanya di kota kelahirannya, Gresik, praktis hanya sampai lulus SD. Selanjutnya Moh Nasih kecil sudah harus berpisah dengan orangtua. Semula ia akan “dipondokkan” ke Ponpes Gontor. Tetapi tidak jadi, dan akhirnya “menyeberang” ikut kakak dan sekolah di sebuah SMP di Babat, Kab. Lamongan. Disinilah ia membantu sang kakak yang antara lain berjualan obat. ”Waktu itu harapan kami sih pagi sekolah, sore ngaji ke Langitan (Pondok Pesantren – red). Tapi tidak terlalu berhasil, dan hanya saat Posoan saja saya mondok disana, bukan nyantri,” katanya. Setelah lulus SMP, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP) di Lamongan, yang kini menjadi SMAN 2 Lamongan. Karena jarak sekolah dengan rumahnya jauh, maka ia indekos. Kebetulan kosnya juga dekat masjid dan sekolah Islam, sehingga Nasih juga senang karena bisa lebih lama berdiam di masjid daripada di kamar kos. Sama seperti saat SMP, pagi hari sekolah, sore hingga malam ngaji atau “mondok” di surau. Karena itu ia mengaku sudah terbiasa dengan full day shcool. Dan, tempat ”mondoknya” itu sekarang menjadi PP Darul Ma’arif Lamongan. Lulus SLTA tahun 1985 ia hijrah ke Surabaya untuk melanjutkan kuliah. Ia mendaftar via SBM-PTN di empat jurusan yaitu Akuntansi UNAIR, Kedokteran UNAIR, Teknik Sipil ITS, dan Manajemen UNEJ Jember.
“Ternyata garis tangan saya ada pada jurusan Akuntansi UNAIR,” kata Pak. Nasih, sapaan akrabnya. Karirnya Menanjak Ketika pertama menginjakkan kaki di kampus UNAIR, kebiasaan sebagai Remas masih berlanjut. Masjid itulah sebagai jujukan Nasih. Disela-sela kuliah itulah ia aktif berorganisasi pada UKKI (Unit Kegiatan Kerohanian Islam – sekarang UKMKI), ya melakukan kajian-kajian, belajar mata kuliah, dan mengembangkan ketrampilan menulis artikel untuk dikirim ke berbagai surat kabar. ”Artikel pertama saya dimuat Harian Suara Indonesia (SI) Malang. Selanjutnya juga di beberapa media. Ya lumayan dapat honor Rp 50.000/tulisan bisa untuk traktir teman,” katanya. Mengaku meraih kebanggan dari tulisan-tulisannya yang dimuat media massa, menjelang lulus S1 Nasih melamar jadi wartawan di Harian Prioritas, namun tidak diterima. Kemudian bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan. Tetapi karena terjadi perbedaan pendapat dengan atasannya, Nasih memilih keluar. Lagi-lagi masjid menjadi jujugan favouritnya untuk menenangkan diri. Di masjid UNAIR pulalah ia mendapat pekerjaan sebagai PNS di UNAIR karena lolos tes tahun 1992. “Setahun setelah mendapat pekerjaan, saya menikah dengan Triyani Purnamawati, kawan aktivis di UKKI UNAIR. Tetapi yang seperti ini bukan hanya saya lo, banyak juga yang ketemu jodohnya disana,” kenang Pak Nasih sambil tertawa. Membangun mahligai rumahtangga dengan Triyani Purnamawati, alumni Fakultas Psikologi UNAIR, Prof. Moh Nasih kini dikaruniai dua orang putera, yaitu Muhammad Fata Fatihuddin (kuliah FK UNAIR) dan Muhammad Nathiq Ulman (SMAN 2 Surabaya). Lima tahun menjadi dosen di FEB, Moh Nasih mendapat beasiswa untuk studi S2 jurusan Teknologi Industri di Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah lulus S2, sebenarnya ia mau ambil S3 sekalian di ITB, tetapi karena terlalu lama menunggu
promotor yang akan membimbing, ia memilih kembali saja ke Kota Surabaya dan menempuh S3-nya di UNAIR. Kariernya semakin menanjak. Antara lain karena dipercaya menjadi Direktur Keuangan UNAIR, kemudian diangkat untuk menjabat Wakil Rektor II UNAIR sejak 2010, dan kemudian dikukuhkan menjadi Guru Besar (Professor) pada 29 Nopember 2014. ”Itulah garis tangan saya. Kalau dulu saya jadi di pondok, mungkin saya bekerja di Depag seperti saudara-saudara saya. Begitu juga kalau diterima jadi wartawan, mungkin kisahnya juga akan lain. Jadi rupanya, in shaa Allah saya ini tersesat di tempat yang benar,” kata Prof. Moh Nasih sambil tertawa di tengah percakapan dengan Tim WU itu. (*) Penulis: TIM WARTA UNAIR Editor: Bambang Bes
UNAIR Apresiasi TVRI sebagai Saluran Pemersatu Bangsa RADIO UNAIR – Rabu, 3 Maret 2016, Universitas Airlangga (UNAIR) yang diwakili oleh staf Pusat Informasi dan Humas (PIH) mengunjungi kantor TVRI Jatim yang beralamat di Jl Mayjend Sungkono 124 Surabaya. Kedatangan perwakilan UNAIR ini untuk memberikan ucapan ulang tahun ke-38 kepada TVRI. Mereka disambut hangat Drs Syafaruddin Lubis, M.Sp selaku Kepala TVRI Jatim. Syafaruddin menyatakan jika TVRI akan terus berupaya lebih dekat dengan masyarakat. Dia berharap TVRI mampu memberi manfaat untuk kesejahteraan masyarakat Jawa Timur.
“Untuk merayakan ulang tahun ke-38 ini, TVRI mengangkat tema Uri-Uri Budoyo. Perayaan ulang tahun ini akan berlangsung sampai 13 Maret,” tambah Syafaruddin. Media milik pemerintah ini dikenal sebagai lembaga penyiaran publik yang memberikan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. TVRI juga turut melestarikan budaya bangsa untuk seluruh lapisan masyarakat melalui penyelenggaraan penyiaran televisi yang menjangkau seluruh wilayah NKRI. Sebagai media pilihan bangsa dan dalam rangka turut mencerdaskan kehidupan bangsa untuk memperkuat persatuan nasional, TVRI terus menghadirkan program dan siaran bermutu untuk masyarakat. TVRI juga terus berinovasi mengikuti perkembangan zaman. Dalam perjalanannya, tentu banyak yang sudah dihasilkan. 38 tahun adalah hasil karya para pendahulu, dan saat ini adalah tugas generasi muda menyesuaikan dengan perkembangan teknologi. Di tengah persaingan di dunia media informasi dan hiburan yang semakin ketat, Syafaruddin berharap TVRI terus melestarikan budaya, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan tetap menjadi lembaga penyiaran publik yang menjadi media pilihan utama dan kebanggaan Jawa Timur. (*) Penulis: Afifah Editor: Iwan Iwe
Cerita Calon Diplomat Ikuti Simulasi Sidang PBB UNAIR NEWS – Apa yang ada di benak Anda saat mendengar mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional? Mungkin salah satunya yang sering Anda dengar adalah calon diplomat yang mewakili
Indonesia di ajang konferensi internasional. Tak sedikit mahasiswa program studi Ilmu Hubungan Internasional (HI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Airlangga, yang pernah merasakan atmosfer pada ajang konferensi internasional. Salah satu ajang yang selalu diikuti setiap tahunnya adalah simulasi sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau yang biasa dikenal dengan model united nations (MUN). Terpilih menjadi delegasi di ajang diplomasi dan negosiasi bergengsi di tingkat global merupakan sebuah prestasi tersendiri. Tak sedikit mahasiswa UNAIR yang pernah berlaga di ajang simulasi sidang Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) atau yang lebih dikenal dengan model united nations (MUN). Ada banyak jenis kegiatan MUN yang diikuti oleh mahasiswa HI FISIP UNAIR. Dari sekian jenis kegiatan MUN, tiga diantaranya yang sering diikuti adalah Harvard National Model United Nations (HNMUN), Harvard World Model United Nations (WMUN), dan Asia-Pacific Model United Nations Conference (AMUNC). Mahasiswa prodi Ilmu HI FISIP UNAIR, Husein Al Asghor, bersama delegasi UNAIR lainnya baru saja pertengahan bulan lalu mengikuti ajang HNMUN di Massachusets, Amerika Serikat. Pada ajang tersebut, ia mengaku memiliki banyak pengalaman yang bisa dikenang selama berada di Negeri Paman Sam. “Banyak pengalaman yang bisa saya dapat, apalagi salah satu cita-cita saya adalah bekerja di badan internasional seperti PBB. Pada ajang ini, saya tidak hanya melatih kemampuan saya bernegosiasi dan berbicara di depan umum, tetapi juga kemampuan bersosialisasi,” tutur Husein, salah satu delegasi UNAIR yang berangkat ke HNMUN tahun 2016. Pergi ke luar negeri untuk mengikuti kegiatan atau forum internasional akan memberikan warna pengalaman sendiri bagi seseorang. Begitu pula dengan Husein.
“Ketika di sana saya juga berkunjung ke tempat-tempat penting. Bu Citra (dosen HI, -red) itu pernah bilang kalau kita mengikuti forum internasional di luar negeri, kita mendapatkan pengalaman yang tidak tergantikan seperti pengalaman bertemu dan berada di tempat asing,” ujar Husein. Lain ajang simulasi, lain pula pengalaman yang didapatkan. Ni Putu Indah Maharani yang juga mahasiswa Ilmu HI pernah mengikuti ajang HWMUN tahun 2015 di Seoul, Korea Selatan. “Kalau yang HWMUN, karena tempatnya juga berpindah-pindah, maka ini lebih bersifat menarik keterlibatan universitasuniversitas lain. Maka ajang HWMUN itu jadinya lebih plural, karena pesertanya banyak dan menggabungkan unsur-unsur budaya. Jadi, pada ajang HWMUN ini gaya diplomasinya lebih bersifat soft,” kisah Rani, peserta HWMUN tahun 2015. Karena ketagihan dengan ajang HWMUN, Rani berencana mengikuti HWMUN tahun 2016 yang akan diselenggarakan pada 14-18 Maret 2016 di Roma, Italia. Selain kedua model di atas, ada juga mahasiswa HI lainnya, Bella Fokker, yang akan mengikuti AMUNC pada tanggal 16 Juli di Kuala Lumpur, Malaysia. Ia baru saja diumumkan lolos untuk mengikuti ajang AMUNC setelah tulisan abstraknya tentang etnis Rohingya diterima oleh pihak penyeleksi. Untuk menghadapi ajang AMUNC 2016 nanti, ia kini sedang sibuk berlatih dengan rekan-rekannya yang lain. (*) Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Binti Q. Masruroh
Magister Epidemiologi UNAIR Kunjungi Kemenkes dan UI UNAIR NEWS – Staf pengajar beserta mahasiswa Program Studi Magister Epidemiologi FKM UNAIR tengah mengadakan studi banding ke beberapa instansi di Jakarta, pada tanggal 3 hingga 4 Maret 2016. Kunjungan yang juga diikuti oleh Prof. Dr. Chatarina U. Wahyuni selaku ketua program studi magister epidemiologi ini, diharapkan mampu meningkatkan wawasan mahasiswa dalam menggali ide kreatif sebagai bahan dalam melakukan penelitian dan penulisan ilmiah. Kunjungan pertama dilakukan di Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) dan Direktorat Jenderal PP & PL Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pada kunjungan di tempat tersebut mahasiswa angkatan 2014 dan 2015 yang turut menjadi peserta, diharapakan mampu memiliki wawasan yang nyata tentang pelaksanaan surveilans epidemiologi dan sistem informasi kesehatan nasional kepada mahasiswa. “Sebenarnya kunjungan ke Pustadin ini sudah kali yang ketiga, selain itu Pusdatin juga pernah menjalin kerjasama dengan FKM UNAIR dalam kegiatan Center of Excellence (COE) di wilayah timur pada tahun 2014,” imbuh Prof. Dr. Chatarina U. Wahyuni. Selain mengunjungi Pusdatin di Kementerian Kesehatan RI, rombongan juga mengunjungi Departemen Epidemologi FKM UI. Pada acara tersebut ada beberapa materi yang disampaikan. Pertama, materi yang disampaikan oleh Prof. Dr. Nasrin Kodim M.PH mengenai epidemiologi obesitas dan materi mengenai Event Based Surveilans yang disampaikan oleh Dr. Tri Yunis Miko Wahyono M.Sc. “Kunjungan yang kami lakukan ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang epidemiologi dan memperluas wawasan topik penelitian di bidang kesehatan masyarakat
sebagai bekal untuk penulisan karya ilmiah,” pungkasnya. (*) Penulis: Rekha Finazis Editor: Nuri Hermawan
UNAIR Jadi Tuan Rumah Pertemuan Majelis Wali Amanat Sebelas PTN UNAIR NEWS – Perwakilan Majelis Wali Amanat (MWA) dari Sebelas Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) akan menghadiri ‘Pertemuan Forum Komunikasi MWA PTN BH’ di Universitas Airlangga, 17-18 Maret 2016. Pertemuan tersebut akan membahas ‘Implementasi Good Governance PTN BH untuk Mewujudkan World Class University’. Sebanyak sebelas perwakilan MWA yang akan hadir tersebut berasal dari Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Hasanuddin (UNHAS), dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).
Iman Prihandono, Ph.D, selaku Sekretaris Majelis Wali Amanat Universitas Airlangga (Foto: UNAIR NEWS) “Sejak ada status PTN-BH, belum pernah sekalipun ada pertemuan bersama MWA. Mengingat pentingnya peran MWA bagi PTN-BH, pertemuan MWA ini dirasa menjadi perlu,” ujar Sekretaris MWA UNAIR, Iman Prihandono, Ph.D, usai menghadiri rapat persiapan penyelenggaraan pertemuan Forum Komunikasi MWA PTN-BH di Kantor Manajemen UNAIR, Senin (7/3). Pertemuan tersebut, lanjut Iman, juga akan membahas isu-isu bersama yang saat ini dihadapi oleh PTN-BH seperti penyamaan persepsi mengenai peran MWA dalam mendukung pengelolaan keuangan PTN-BH yang transparan dan akuntabel sebagai bagian dari otonomi keuangan yang dimiliki PTN-BH. “Selain itu juga bagaimana peran MWA dalam mendukung masingmasing PTN-BH untuk mencapai standar world class university. Kita harus menyamakan persepsi bahwa tugas MWA ini sangat penting bagi PTN-BH,” lanjut doktor lulusan Macquarie Law School ini.
Rencananya, Menristekdikti M Nasir, Menkeu Bambang Brodjonegoro, Menteri PPN/Kepala Bappenas Sofyan Djalil serta Ketua/Wakil Ketua Komisi X DPR RI akan diundang menjadi pembicara dalam pertemuan tersebut. Penulis : Yeano Andhika
UNAIR Ikuti Study Abroad Fair 2016 di Malaysia UNAIR NEWS – Universitas Airlangga berpartisipasi dalam Study Abroad Fair (SAF) 2016 yang diadakan oleh Universiti Teknologi Malaysia (UTM) di Johor, Malaysia. Acara yang digelar 6-7 Maret 2016 di Dewan Sultan Iskandar ini diikuti oleh 30 institusi pendidikan dari berbagai negara. Antara lain Indonesia, Jerman, Spanyol, Brunei Darussalam, Thailand, Turki, India, Pakistan, Irak, Kanada, Spanyol, Filipina, Korea, Jepang, Prancis, dan Iran.
perwakilan IOP menjelaskan program UNAIR kepada mahasiswa (Foto: Istimewa) Dalam pameran ini UNAIR menawarkan sejumlah program internasional unggulannya seperti AMERTA dan summer course dari fakultas. Di antaranya Fakultas Psikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Fakultas Psikologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Fakultas Perikanan dan Sekolah Pasca Sarjana.
Wakil Dekan III FST berdiskusi dengan dosen UTM (Foto: Istimewa) Sehari sebelumnya, diadakan afternoon tea untuk networking session. Kesempatan ini dimanfaatkan UNAIR untuk melakukan penjajakan kerjasama dengan universitas lain yang mengikuti pameran ini. Program yang dibidik UNAIR adalah visiting professor, student exchange, joint research dan joint publication. (*) Penulis: Ratna Wahyu, IOP