Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
11 WAJAH WAKIL RAKYAT PENCITRAAN MELALUI SATUAN-SATUAN LINGUAL Harum Munazharoh Abstrak: Bermedia iklan kampanye, pewicara berupaya melakukan dialog, baik dengan mitra wicara (khalayak), antarpewicara (sesama calon legislatif), atau pun dengan sesuatu di luar keduanya (misalnya pada sistem pemerintahan, politik, ekonomi, dan kebijakan-kebijakan yang bersentuhan langsung dengan mitra wicara). Disadari maupun tidak, satuan-satuan lingual menjadi aspek yang berperan penting dalam merepresentasikan tujuan-tujuan tersebut sekalipun sebuah iklan kampanye, pada umumnya, lebih didominasi aspek visual. Penelitian ini menggunakan data iklan kampanye statis. Data dihimpun dengan cara memotret sumber data dan mengunduh dari forum jejaring sosial kaskus yang secara khusus membahas iklan-iklan kampanye dari berbagai wilayah. Data visual kemudian diamati satu persatu, dicatat, dan diklasifikasikan berdasarkan unsur-unsur yang membangun iklan kampanye tersebut. Sebagai wacana, iklan kampanye terdiri dari komponen verbal dan komponen visual. Keduanya menempati proporsi sebagai komponen pembangun citra positif. Citra-citra itu, sekurang-kurangnya adalah citra pekerja keras, citra amanah, citra religius, citra lokal, citra aktivis, citra ilmuan, citra berpendidikan, citra jujur, citra bersih, citra putra daerah, citra muda, citra pengalaman, citra dekat dengan tokoh tertentu, citra peduli, dan citra persatuan dalam keberagaman. Kata-kata kunci: iklan kampanye, citra, strategi komunikasi politik
PENDAHULUAN Penelitian ini berpijak pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yayuk Eni Rahayu (2002) dan Yusrita Yanti (tt). Iklan kampanye merupakan upaya persuasif untuk meraih dukungan suara dalam pemilihan umum. Hal tersebut menurut Yayuk Eni Rahayu (2002) tercermin pada dominasi tindak wicara permintaan, tindak wicara komisif, dan pemanfaatan register bidang politik. Selain itu, upaya persuasif juga dilakukan dengan cara mengikutsertakan figur publik ke dalam wacana, menyampaikan pesan melalui figur publik dan melalui peristiwa yang menarik khalayak, dan menyajikan pesan yang mengandung anjuran. Lebih lanjut, Rahayu (tt) melalui slogan kampanye, iklan politik dimanfaatkan untuk mencapai efek-efek propaganda. Faktor-faktor eksternal, seperti fungsi, tujuan, dan tempat pemasangan iklan, juga menjadi pertimbangan untuk menciptakan satuan lingual yang singkat, padat, ringkas, dan jelas. Oleh karena itu, bentuk-bentuk yang diciptakan sengaja dipilih dengan tujuan sekilas baca, pesan sampai. Selain itu, Yusrita Yanti (tt) mengemukakan bahwa satuan-satuan lingual berbentuk slogan kampanye dalam iklan politik mencerminkan emosi dasar (basic emotions) pewicara. Dengan satuan lingual berbentuk kalimat deklaratif dan imperatif, ungkapan marah/ jijik (aggressive-opposing emotions), cemas (negative projections), dan marah/ kecewa (unsatisfactory affect) menjadi hal yang lebih lazim diungkapkan secara positif dan harapan (positive expectation and interaction) dan rasa puas (satisfactory affect). Dengan kata lain, kondisi yang sebelumnya berkebalikan dengan hal yang dikemukan dalam tindak wicara dalam iklan kampanye. Bentuk bersih, pro rakyat, transparan, profesional, bekerja untuk rakyat merupakan kondisi harapan; sedangkan kenyataan yang ingin disampaikan adalah kebalikannya, yaitu korup dan bekerja untuk kepentingan pribadi/ golongan. Secara singkat Yanti menyatakan bahwa pemanfaatan tindak wicara mengkritik, mengeluh, dan mengajak berdampak terhadap penciptaan hal-hal baik, kritis, dan bersifat sindiran. Rumusan ideologi politik pada slogan kampanye pun mengarahkan hal-hal positif tentang cara mengatur dan melaksanakan kepemimpinan, sehingga yang muncul adalah bentuk-bentuk nasionalisme, agama, demokrasi, dan liberalisme. Sebanyak dua hal utama yang dirumuskan pada penelitian tersebut adalah persoalan fungsi satuan lingual dalam iklan kampanye terkait dengan strategi penyampaian dan persoalan emosi yang tercermin dari tindak wicara. Persoalan yang belum mendapat proporsi berimbang adalah paparan terkait makna dan pesan dalam komponen visual. Kehadiran komponen visual dimungkinkan telah dapat mewakili pesan yang ingin disampaikan sehingga tidak lagi memerlukan komponen verbal. Demikian pula sebaliknya. Dominasi komponen verbal telah dapat mewakili pesan pewicara.. Hal ini berangkat dari pengamatan bahwa
58
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
keberadaan komponen visual dan komponen verbal dalam membangun wacana idealnya berkesinambungan, mengandung informasi utuh sehingga pesan yang diinginkan pewicara sampai pada mitra wicara. Keduanya bekerja sama mewakili hal-hal yang kurang terwakili dalam masing-masing komponen. Keduanya pun bekerja sama dalam rangka upaya membangun citra, menggiring opini khalayak ke arah penilaian positif. Pada kerangka wacana, kohesi (pertautan bentuk) dan koherensi (pertautan makna) menjadi hal penting. Merujuk pada iklan kampanye, wacana tersebut terdiri atas komponen verbal dan komponen visual. Keduanya tentu tidak selalu mendapatkan proporsi yang sama Masing-masing komponen sangat dimungkinkan telah mempunyai citra tersendiri sebelum membangun dan (atau) mempertahankan citra pada sebuah iklan kampanye. Ketika kedua komponen dipertemukan dan dikonstruksikan menjadi makna (baru), keselarasan atau pun ketidakselarasan dapat terjadi. Hal ini berarti pembuat pesan sekadar menjadi salah satu faktor yang diacu dalam penafsiran dan perbandingan, dan tidak menjadi satu-satunya sumber makna. Sebaliknya, pembuat pesan bagaikan suatu medium tempat berlangsungnya pergulatan antarcitra itu sendiri, seperti yang akan tampak pada representasi iklan-iklan kampanye sebagai kesatuan masalah. (bandingkan dengan Ajidarma, 2011: 1—18) METODOLOGI Data diambil berdasarkan hasil pengamatan pemanfaatan komponen verbal dan komponen visual iklan statis pada momentum kampanye legislatif 2014 dan sebelumnya. Data tidak terbatas pada salah satu caleg karena yang dipentingkan adalah variasi bentuk sebagai representasi citra diri calon politikus. Selain itu, data juga tidak terbatas pada asal partai politik tertentu karena pengamatan yang dilakukan bukan pada citra partai politik. Sementara itu, representasi data diupayakan dari dua kota, yaitu DI Yogyakarta dan Surabaya. Pemilihan dua kota tersebut dimaksudkan untuk menyimak representasi citra diri calon politikus pada citra kota yang berbeda. Metode penelitian dikelompokkan menjadi tiga hal, yaitu metode pengumpulan data, metode analisis dan penyajian data, dan metode penyajian hasil analisis data. Pengumpulan data dilakukan dengan cara memilah iklan kampanye yang digunakan oleh calon anggota legislatif dari iklan yang digunakan oleh calon gubernur-wakil gubernur dan pasangan calon presiden-wakil presiden. Data iklan kampanye dikumpulkan dari gambar poster, baliho, dan stiker yang digunakan sebagai media kampanye. Data dikumpulkan dengan cara memotret sumber data dan mengunduh dari forum jejaring sosial kaskus yang secara khusus membahas iklan-iklan kampanye dari berbagai wilayah. Data visual kemudian diamati satu persatu, dicatat, dan diklasifikasikan berdasarkan unsur-unsur yang membangun iklan kampanye tersebut. Hasil klasifikasi inilah yang kemudian dideskripsikan sesuai perumusan masalah yang telah dikemukakan. Metode analisis data diuraikan melalui paparan analisis wacana. Pembongkaran makna dilakukan melalui analisis tindak tutur dan analisis aspek kohesi dan koherensi wacana. Model ini menitikberatkan pada identifikasi satuan kebahasaan menurut reaksi mitra bicara pada saat satuan itu dituturkan oleh pembicara. Metode semacam ini oleh Sudaryanto (1993) disebut sebagai metode padan pragmatik. PEMBAHASAN Jenis-Jenis Citra Yang Ditampilkan Sebuah iklan politik memungkinkan menampilkan citra bermacam-macam. Citra itu dibangun dari komponen verbal dan visual. Keduanya dihadirkan melalui nama pewicara, nomor urut pewicara, tingkat keterwakilan, ikon pewicara, tindak wicara meminta dukungan, ikon cara mendukung, keterangan riwayat hidup pewicara, ikon partai politik, nomor partai politik, ikon tokoh partai politik, ikon keindonesiaan, dan visualisasi aktivitas bersama masyarakat. Citra Pekerja Keras (1) Telah terbukti nyata dalam pembangunan (bukan hanya janji) (2) Terbukti migunani tumparing liyan | Siap mengemban amanat rakyat ‘Terbukti bermanfaat terhadap sesama’ (3) Mohon doa restu dan dukungannya|Sempurnakan karya | Tuntaskan pengabdian | Bersama membangun desa Citra pekerja keras dibuktikan melalui hal-hal yang telah dilakukan untuk khalayak. Bentuk verbal Telah terbukti nyata dalam pembangunan dan Sempurnakan karya Tuntaskan pengabdian digunakan pewicara incumbent. Penanda verbal yang digunakan telah terbukti, sempurnakan dan tuntaskan
59
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
mengimplikasikan dua hal. Bentuk telah terbukti merupakan pernyataan ketuntasan dalam tugas. Ia lantas membangun citra amanah. Sementara itu, sempurnakan dan tuntaskan menyatakan hal-hal yang belum selesai dan belum tertunaikan secara sempurna pada masa kerja sebelumnya. Pewicara menargetkan bahwa hal-hal yang belum tertunaikan membangun desa akan sempurna melalui keterwakilan dirinyanya di parlemen. Kebersamaan dirinya dan khalayak diharapkan melalui dukungan pada masa pemilihan umum sampai masa kerjanya berakhir lima tahun mendatang. Citra Amanah Citra amanah dibangun bersama citra lain. Dibangun bersama citra lokal, amanah berkaitan erat dengan daerah pemilihan pewicara. Citra lokal dihadirkan melalui pemanfaatan bahasa lokal dan jabatan di wilayah setempat. Misal pemanfaatan bahasa Jawa dialek Suroboyoan oleh Armuji, bahasa Sunda oleh Arif Minardi, dan bentuk-bentuk pengakuan putra daerah wonge dewe. Amanah (dapat dipercaya) berkaitan dengan ketuntasan tugas dan wewenang yang diemban. Tugas itu berkaitan dengan dirinya terhadap masyarakat. Oleh karena itu, bentuk-bentuk verbal amanah, gak lali ‘tidak lupa’ berarti ingat, nya’ah ‘sayang’, dan wujud kemanfaatan langsung kepada masyarakat bahwa menjadi anggota DPRD untuk memperkaya diri hadir sebagai pembangun citra. (4) Gak Lali Gak Ngapusi Ancen Onok Buktine (5) ‘Tidak lupa Tidak bohong Memang Ada Buktinya’ (6) Pembela Kepentingan Rakyat|Siap mendengarkan | Siap melayani | Siap melaksanakan | Antikorupsi (7) Terbukti nya’ah ka rakyat ‘Terbukti sayang ke rakyat’ (8) Gaji akan diserahkan kepada masyarakat untuk dikelola demi kemanfaatan bersama dengan membentuk wadah (wujud kemanfaatan langsung kepada masyarakat bahwa menjadi anggota DPRD untuk memperkaya diri) (9) Bersama ASA Agung Supri Atmojo | Membangun ASA (harapan) yang lebih baik | Pengemban amanah dan penepat aspirasi | Teruji dan terbukti sudah selalu berbakti dan mengabdi untuk masyarakat (10)Penyambung lidah rakyat | Sudah teruji & terbukti (11)Mohon doa restu dan dukungan segenap warga masyarakat (12)Ani Handoko - Bu Dukuh Blimbingsari (13)Siap: mengabdi|menerima aspirasi|melaksanakan & mengemban amanah | antikorupsi | selalu dekat dengan warga masyarakat | Yang sudah teruji dan terbukti di masyarakat Demikian pula dengan bentuk penyambung lidah rakyat. Pemanfaatan metafora nilai rasa lidah sebagai organ menyampai aspirasi dan rakyat sebagai penyampainya. Bentuk lidah direlasikan dengan ‘aspirasi atau keinginan terkait masa depan yang berhubungan dengan kepentingan khalayak’. Bentuk rakyat ‘khalayak’ diadopsi dari semangat partai politik yang menggaungkan kesejahteraan rakyat. Pewicara menempatkan dirinya sebagai wakil yang mampu menyatukan aspirasi orang perorang dan bertindak atas dasar kepentingan khalayak. Bukan kepentingan dirinya semata. Tidak hanya itu. Pembuktian keberhasilan keterwakilan dirinya sebagai incumbent dihadirkan melalui bentuk sudah teruji dan terbukti. Citra Religius (14)Insya Allah amanah tur mrantasi (15)Insya Allah amanah dan migunani tumraping masyarakat (16)Insya Allah amanah (17)Insya Allah BAROKAH (18)Insya ALLAH jujur, peduli, & amanah (19)Hindartana, S.E., M.I.Kom. | Hindartono bin Moch. Sugeng | Asli Kalicode Jogoyudan | Istiqomah berjuang untuk Kesejahteraan Masyarakat Tipe insya allah dimanfaatkan penutur untuk membangun dan sekaligus mempertahankan citra religius islam. Pemanfaatan bentuk tersebut kemudian dirangkaikan dengan satuan lingual yang dekat dengan bahasa Arab nan islami. Bentuk verba serapan amanah ‘terpercaya’, insya allah ‘semoga’, dan barokah ‘manfaat’ dirangkaian pula dengan verba mrantasi ‘mumpuni’ dan migunani ‘bermanfaat’. Sementara itu, bahasa lokal dipertahankan dalam rangka membangun citra lokal. Reproduksi bentuk istiqomah (bertambah-tambah manfaat), manfaat dan tindak tutur komisif merupakan upaya membangun citra positif. Keseharian penutur yang dekat dengan aktivitas bersama banyak orang (kader partai politik dan akademisi) dijadikan batu loncatan untuk lebih bermanfaat. Melalui pemilihan umum, penutur mengukuhkan dirinya sebagai wakil yang akan lebih banyak memberikan kemanfaatan untuk
60
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
khalayak secara tidak terbatas. Bentuk manfaat dalam hal ini dikaitkan dengan nilai-nilai religius islam terkait tuntunan hadist Rosul Saw.
ﻢ ﻧ ﺎس ال ﺧ ﯿﺮ
ﺎس أﻧﻔﻌﮭ
ﻟﻠﻨ
"Khairunnas anfa’uhum linnas" Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. (HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni. Dishahihkan Al Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah) Selain itu, citra religius juga dibangun melalui penampilan penutur. Penutur mengenakan pakaian atau pun atribut tertentu. Atribut paling umum yang dikenakan adalah songkok hitam (konon) khas Nusantara. Selain itu, penutur juga mengenakan kemeja putih atau baju putih kerah cina yang populer disebut baju koko. Padu padan selanjutnya adalah jas partai politik atau pun jas hitam dengan atau pun tanpa dasi. Berbeda dengan penutur lain, Ir. Darnawi, M.P. mengenakan batik tanpa menyertakan songkok hitam. Pakaian batik dikenakan sebagai pembangun citra lokal, sedangkan songkok hitam telah digantikan dengan atribut lain. Citra religius penutur dilekatkan langsung pada tubuh (dahi) sebagai penanda ahli sujud. Terkait dengan citra religius islam, ikon tersebut dimungkinkan sejalan dengan tuntunan al Quran. “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari atsarussujud (bekas sujud).” (QS. al Fath: 29). Sejalan dengan hal tersebut, beberapa tafsir pun menyebutkan bahwa bekas sujud merupakan ciri khusyu, ketundukan, dan kepasrahan seorang hamba. Tidak semua hamba yang salat dan bersujud memilikinya. Tanda hitam tersebut merupakan karunia Alloh Swt di dunia sehingga penutur pun berkepentingan untuk tidak menutupinya dengan songkok atau pun penutup kepala lain. (20)17 nomor urut penutur | 17 Agustus, 17 rakaat, 17 Ramadhan | Sak bejo-bejone wong kang lali. Isih luwih bejo wong kang tansah eling angka 17 ‘Seuntung-untungnya orang yang lupa. Masih lebih untung orang yang mengingat angka 17’ (21)Ojo lali tanggal 9 April | Toblos PKB Nomor 9 (22)Mohon doa restu & dukungannya | Pilih no 5 Ada kalanya, ikon tempat ibadah pun dihadirkan. Kehadirannya secara visual menjadi pembangun citra religus dan lokalitas setempat. Ia berkaitan dengan kepercayaan mayoritas masyakat lokal. Kepercayaan hindu Bali, tampilan atribut udheng dan pakaian putih dipandang mewakili pembangunan citra yang diinginkan. Selain itu, lokalitas diri juga diperkenalkan melalui nama diri sebagai Karenanya, satuan verbal langsung merujuk pada tindak wicara direktif mohon doa restu dan dukunganannya. Persamaan angka-nomor urut dimanfaatkan penutur dalam rangka memudahkan khalayak untuk mengingat dan menyampaikan dukungan. Kapitalisasi nomor dikaitkan dengan persamaan tanggal pelaksanaan pemilihan umum (tanggal 9) atau pun disesuaikan dengan nomor urut partai politik. Dalam hal ini penutur diuntungkan. Sementara itu, strategi lain pemanfaatkan angka-nomor urut penutur dikaitkan dengan citra penutur melalui visual dan filosofi nomor urut. Secara kreatif, nomor urut penutur dikonstruksi melalui momentum dan nilai-nilai angka bersangkutan. Penutur, Kundari, S.E. menyatakan 17 sebagai nomor urut dirinya dan beberapa momentum yang bernomor tanggal 17. Pertama, peringatan 17 Agustus sebagai proklamasi kemerdekaan merupakan tanggal kemerdekaan bangsa Indonesia. Angka 17 dikonstruksi sebagai pencerminan penutur terhadap kebebasan khalayak untuk menentukan pilihan terbaiknya pada pemilihan umum. Citra religius juga disertakan melalui jumlah rakaat salat dalam sehari semalam (17 rakaat) dan peringatan Nuzulul Quran (17 Ramadhan). Sebanyak dua hal terkait agama ini dinilai penting dalam rangka mencitrakan penutur sebagai sosok yang taat beribadah dan berakhlaq qurani. Oleh karena itu, mitra tutur yang memilih dan mendukung dirinya dikatakan sebagai orang yang beruntung Sopo wong kang milih angka 17 kanggo DPD pancen wong bejo ‘siapapun yang memilih angka 17 untuk DPD adalah orang beruntung’. Bentuk bejo ‘beruntung’ direproduksi sebagai bentuk lokalitas (Jawa) dalam menjalani kehidupan. Keberuntungan dianggap sebagai cara untuk terus manunggal bersama takdir Tuhan Sing Kuasa dalam segala situasi. Beruntung bahwa penutur telah dapat menempatkan dirinya dalam kancah pemilihan umum tingkat DPD. Beruntung bahwa penutur mendapat nomor 17 dan dapat menggali makna filosofi angka tersebut. Keberuntungan ini diharapkan terus berlanjut pada khalayak yang memilih dan mendukung penutur sebagai wakil perempuan yang memenuhi kuota 30% di parlemen.
61
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
Citra Lokal Lokalitas dibangun melalui pemanfaatan bahasa lokal, bahasa ragam akrab, ikon pakaian, dan lokalitas isu yang berkembang. Komponen pembangun yang beragam membuktikan bahwa citra ini dipandang penting untuk menggerakkan massa. Lebih lanjut, hal ini juga mengimplikasikan bahwa terdapat dominasi citra tertentu untuk daerah tertentu. Surabaya dan Sidoarjo, misalnya, lebih didominasi oleh citra religius daripada Yogyakarta. Yogyakarta lebih kental dengan isu lokal keistimewaan dan pengedepanan ikon budaya Jawa. Pembangunan citra ini tentu berhubungan dengan basis massa di masing-masing wilayah. Surabaya dan Sidoarjo merupakan basis massa pesantren kental Nahdatul Ulama, sedangkan citra Yogyakarta erat kaitannya dengan nama besar kraton. (23) Mohon doa restu | Siap mengawal keistimewaan (24) Bekerja & berdoa untuk rakyat | Nguri-nguri Budaya Jawa (25) Bakti untuk Negeri | 7 Sapta Negara | 1. Setia NKRI | 2. Setia Pancasila | 3. Setia UUD RI | 4. Setia Merah putih | 5. Setia Indonesia Raya | 6. Setia Yogyakarta | 7. Setia Budaya Mataram
Keistimewaan merupakan isu nasional yang cukup mengemuka di Yogyakarta. Berangkat dari Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta terkait keputusan pemilihan atau penetapan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah ditentukan oleh DPR dan pemerintah. Penetapan kepala daerah dilakukan melalui kesepakatan referendum. Kontroversi inilah yang kemudian dimanfaatkan sebagai bentuk kampanye mengusung lokalitas. Keberpihakan tentu pada tubuh penetapan kepala daerah melalui kesepakatan referendum. Satuan verbal dihadirkan dalam bentuk-bentuk siap mengawal keistimewaan, nguri-nguri budaya Jawa ‘menghiduplestarikan budaya Jawa’, setia Yogyakarta, dan setia budaya Mataram. Keistimewaan dipandang sebagai bentuk yang cukup mewakili kesejarahan wilayah Yogyakarta, keinginan khalayak, dan wujud keberpihakan calon wakil rakyat terhadap kepentingan masyarakat. Bahasa dan transkripsi bahasa lokal digunakan sebagai pembangun citra lokal. Pemanfaatannya membuktikan bahwa sasaran khlayak adalah masyarakat lokal setempat. Pewicara mengenalkan diri melalui ragam bahasa santai nan akrab Rujak nanasa sambele loos Cak Anas sing tak coblos sebagai wujud tanpa batas antara dirinya sebagai wakil rakyat dan masyarakat yang diwakili. Satuan lingual Terbukti “nya’ah” ka Rakyat ‘Terbukti sayang ke rakyat’, Melangkah dan Bertindak dengan HATI dimanfaatkan sebagai pernyataan pembangun janji atas kepemimpinannya nanti. Lebih lanjut, ruang absurditas, sayang dan hati, persoalan rasa disuguhkan kepada khalayak. Bentuk-bentuk tersebut dipandang telah mewakili secara keseluruhan penyelesaian persoalan kemasyarakatan. Penawaran hal-hal nyata terkait sikap yang dilakukan ketika terpilih tidak lagi menjadi prioritas. (26) Terbukti “nya’ah” ka Rakyat (27) Rujak nanasa sambele loos Cak Anas sing tak coblos | TIMNAS 8 Tim Anas S.H. | Melangkah dan Bertindak dengan HATI (28) Nyuwun donga lan dukunganipun (transkripsi latin dan jawa) | Ojo lali jenenge ojo kleru nomere Coblos nomer urut 3
Di sisi lain, dominasi visual merupakan identikasi yang relatif paling sederhana. Tampilan pakaian dan hal-hal terkait identitas diri dilekatkan melalui komponen visual. Komponen verbal direduksi karena kehadiran komponen visual telah mewakili pembangunan citra lokal. Modifikasi tampilan tokoh ksatria Gatotkaca divisualisasikan melalui atribut pakaian namun mengenakan kain sarung, sandal, dan bersepeda. Perpaduan tokoh ksatria dan atribut yang dikenakan itu terkait dengan identitas pewicara. Melalui hal tersebut, citra lain yang juga diupayakan adalah citra religius. Atribut kain sarung, asal partai politik, dan penyebutan nama Kampung Jogokariyan mengimplikasikan bahwa pewicara dimungkinkan sebagai bagian dari gerakan pemuda kabah. Gerakan itu merupakan wadah gagasan partai persatuan pembangunan di bidang kepemudaan. Lokal-religius-aktivis dipadukan dalam dominasi visual sehingga komponen verbal cukup digunakan sebagai menguatkan citra visualnya. Calon wakil rakyat di tingkat Dewan Perwakilan Daerah lazim lebih mengedepankan dominasi visual. Hal ini berhubungan dengan surat suara yang akan dihadapi pemilih. Pada tingkat tersebut, penonjolan secara visual menjadi lebih penting daripada posisi calon dalam surat suara. Sebaliknya, pada tingkat Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, posisi dalam surat suara menjadi lebih penting meskipun komponen visual mendapatkan proporsi lebih luas. Kebaya untuk perempuan dan beskap untuk laki-laki dimanfaatkan sebagai pembangun citra lokal setempat. Bentuk-bentuk verbal bahasa lokal Nyuwun Pangestu ‘Mohon doa restu’, gelar kebangsawanan GKR (Gusti Kanjeng Ratu), dan isu lokal Jogja Istimewa disertakan seperti paparan di muka.
62
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
(29) Saatnya Jogokariyan punya wakil rakyat | Pergi ke Yogya naik sepeda Rasa gembira dan bahagia Beli dawet di Beringharjo Paling mantep coblos Tejo (30) Jogja Istimewa GKR Hemas Pilihan Kita (31) Nyuwun pangestu calon DPD RI | Jogja istimewa ASLI tanpa rekayasa (32) Berjuang mewujudkan aspirasi masyarakat (33) Mohon doa restu dan dukungannya
Dominasi visual ditampilkan dalam variasi yang lain. Pewicara laki-laki memvisualisasikan pakaian sesuai dapil calon pemilih. Lokalitas setempat dibangun melalui pakaian (beskap) dan penutup kepala (blangkon). Bahkan, dapat dikatakan bahwa keduanya lebih banyak dimanfaatkan sebagai pembangun citra lokal karena berkaitan dengan potongan visualisasi diri. Foto diri didesain setengah badan sehingga yang penonjolan lazim dilakukan melalui tampilan kepala dan pakaian. Pada visualisasi yang lebih singkat, penutup kepala lebih ditonjolkan. Tampilan penutup kepala mewakili bahkan mereduksi diri pewicara yang sesungguhnya berasal dari luar dapil calon pemilih. Strategi selanjutnya adalah pemanfaatan inisial nama. Nama lengkap menjadi Gimmy Rusdin S. sebagai pemendekan nama Gimmy Rusdin Sinaga. Pemendekan nama marga keturunan non-Jawa ditanggalkan dan digantikan dengan pemakaian blangkon pada visualisasi diri. Lebih lanjut, popularitas keluarga dan slogan pun direproduksi untuk membangun citra positif. Ismarindayani lebih dikenal sebagai Ririen Roy Suryo. Nama tersebut disematkan untuk mengidentifikasi dirinya sebagai istri Roy Suryo, pakar telematika. Selain itu, slogan asli tanpa rekayasa pun diadosi sebagai komponen pembangunan citra dirinya. Slogan tersebut tidak hanya sekadar berangkat dari kesuksesan Roy Suryo sebagai pakar telematika, anggota DPR, dan kemudian menjadi menteri pemuda dan olahraga. Satuan verbal tersebut sekaligus membangun citra jujur. Sejalan dengan Ririen Roy Suryo, citra lain yang dihadirkan dan dibangun bersamaan dengan citra lokal adalah amanah. Satuan verbal berjuang mewujudkan aspirasi masyarakat merupakan hal diupayakan. Kehadirannya serupa dengan komponen visi misi dalam mengemban tugas sebagai wakil masyarakat. Citra Ilmuan (34) Jenggot Putih Turun Gunung | Abdul Jalil Latuconsina | Calon DPD dari Jawa Timur
Komponen visual dibangun lebih dominan daripada komponen verbal. Dominasi ini terkait dengan pencalonan pewicara di DPD. Kertas suara calon anggota DPD menggunakan ikon visual pewicara dan identitas nomor urut. Ikon topi sarjana, kacamata, jenggot putih, jas laboratorium, dan Plato membangun citra ilmuwan. Ia membangun citra ilmuan baru yang berasal dari lingkungan luar akademis. Citra ilmuwan yang pada umumnya dibangun dari citra berpendidikan melalui gelar akademis, tidak ditampilkan. Pengalaman akademis digantikan dan disetarakan dengan pengalaman melalui ikon-ikon lain, yaitu, jenggot putih, kacamata, jas laboratorium, dan filsuf Yunani, Plato. Sebuah penegasan bahwa tanpa gelar akademis, pewicara pantas diposisi keterwakilan. Sementara itu, pemanfaatan gaya bahasa jenggot putih turun gunung membangun citra berpengalaman (bukan tua). Berpengalaman dalam hal tertentu dilakukan melalui ngelmu seperti cara pendekar. Proses tersebut dilakukan di tempat-tempat yang sarat dengan suasana hening, seperti gunung, goa, atau pun pantai. Bentuk turun gunung dimanfaatkan sebagai penegasan bahwa pencariannya telah pungkas dan membuahkan kecukupan ilmu. Pengalaman dan kecukupan ilmu itu digunakan untuk kemanfaatan orang banyak. Nilai kemanfaatan itu diwujudkan melalui keterwakilan dirinya pada pemilihan umum kali ini. Citra Berpendidikan Pewicara memanfaatkan repetisi singkatan gelar akademik yang tersemat di akhir namanya dan menegaskan kepanjangan gelar disertai asal universitas. (35) S.IP. | Pilih Caleg Berkualitas | Coblos Hasto | Sarjana Ilmu Pemerintahan UGM (36) Ketua Umum Partai Gerindra|Caleg DPR RI (Pusat)|Dapil Yogyakarta|Profesor Telo (37) Profesor Telo|Sumpah 26 tahun antimakan gandum dan makanan turunannya
(38) Dengan ilmu pengetahuan Semua jadi lebih mudah (39) Caleg DPR RI Dapil DIY | Prof. Dr. Ir. R. Chairul Shaleh, M.Sc. | Jujur, Kreatif, & Inovatif | Tegakkan Keadilan & Kepastian Hukum (40) Ari Eswanto, A.Ma. | Amanah, Jujur, Visioner | Siap memperjuangakan keinginan rakyat dapil 2 Ngaglik, Pakem, dan Cangkringan
63
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
(41) Percayakan kami berjuang | Gayuh Pramudhita | Andika Pandu Puragabaya, S.Psi., M.Si., M.Sc. | Ora Ngapusi, Ora Korupsi Sarjana Ilmu Pemerintahan UGM mengemukakan citra berpendidikan sekaligus lulusan institusi pendidikan terkemuka, terbaik, dan prestisius. Latar belakang tersebut dinilai mampu mewakili dan mengatasi permasalahan terkait kepentingan negara dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak. Kecukupan keilmuan dijadikan bekal untuk mengukur setiap tindak politik pewicara. Dengan demikian, kebutuhan khalayak dapat diprioritaskan. Adapun hal-hal yang tidak sesuai dalam tindak politisnya dapat diminimalisasi. Dalam hal ini, kepercayaan khalayak terhadap institusi UGM menjadi penting. Bentuk caleg berkualitas dipadukan dengan bentuk sarjana ilmu pemerintahan UGM. Kepaduannya memungkinkan bahwa kualitas tidak hanya bergantung pada gelar kesarjanaan, tetapi juga persoalan asal institusi. Dengan perkataan lain, banyak sarjana ilmu pemerintahan namun tak banyak sarjana ilmu pemerintahan alumni UGM yang mencalonkan diri menjadi wakil khalayak. Citra berpendidikan dapat pula diwujudkan melalui latar belakang pewicara sebagai akademisi sekaligus politisi. Pewicara memanfaatkan popularitas akademisnya, profesor telo, sekaligus jabatan ketua umumnya di partai politik. Senada dengan pewicara yang mengemukakan gelar kesarjanaannya, pewicara mencitrakan diri sesuai temuannya terkait kebijakan pangan antigandum. Bentuk profesor merupakan gelar tertinggi jenjang kependidikan, sedangkan telo identik dengan pangan lokal, tidak prestisius, dan murahan. Panganan wong ndeso, wong cilik yang disetarakan dengan ketidakmampuan konsumsi sumber makanan pokok konsumsi wong kutho berupa beras. Perpaduan dua bentuk tertinggi dan terendah menyatu dalam diri pewicara. Menyoal kepemimpinan, perpaduan keduanya pun membangun citra lain, yaitu citra kesederhaan dan citra kebersahajaan sebagai pemimpin. Jabatan tertinggi dan wakil di parlemen nantinya akan tetap memihak pada kepentingan khalayak, tidak semata-mata kepentingan partai politik. Di sisi lain, iklan kampanye pewicara yang sama ditampilkan melalui sumpah antimakan gandum. Citra berpendidikan dan menguasi bidang pangan dibangun melalui gelar akademik lengkap profesor, doktor, insinyur, dan master of science dan profesor telo. Melalui citra tersebut, sumber pangan lokal dipopulerkan. Bentuk sumpah antimakan gandum merupakan strategi membangun citra selanjutnya, yakni kesederhanaan dan kepedulian terhadap masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Impor gandum yang dilakukan pemerintah sebagai pemenuhan kebutuhan pangan dinilai memperburuk situasi ekonomi. Padahal, ketergantungan terhadap gandum seharusnya dapat digantikan dengan sumber pangan lokal, telo ‘ubi’. Nilai ekonomi impor gandum semakin memiskinkan negara. Melalui edukasi ini bukan hanya isu kesejahteraan yang dikemas, melainkan juga isu perubahan paradigma khalayak perkotaan (daerah pemilihan Kota Yogyakarta). Konsumsi makanan olahan gandum dan makanan turunannya dimungkinkan lebih identik dengan khalayak perkotaan daripada pedesaan. Sejalan dengan hal tersebut, bentuk verbal dengan ilmu pengetahuan semua jadi lebih mudah dihadirkan sebagai slogan kampanye. Citra berpendidikan dibangun melalui ilmu pengetahuan sebagai landasan tindak politik. Ia tidak lagi diidentikkan dengan gelar akademik semata seperti pewicara-pewicara sebelumnya. Dengan perkataan lain, yang paling mudah ditelusuri dan direproduksi berulang kali adalah penyematan gelar akademik. Semakin beragam gelar akademik yang dilekatkan, citra berpendidikan semakin menguat. Sekalipun citra tersebut pada akhirnya tidak menjadi dominan karena kehadiran komponen verbal lain dan komponen visual. Komponen verbal dihadirkan melalui bentuk-bentuk bahasa lokal dan bahasa Indonesia dalam bentuk visi-misi pewicara. Citra yang dibangun, pada umumnya, merupakan hal-hal yang berkaitan dengan lokalitas, perubahan, dan bersih (anti-korupsi). Adapun hal lain yang dibangun melalui komponen visual adalah berkaitan dengan religiusitas dan kedekatan antarpewicara. Citra Putra Daerah Citra putra daerah dibagun melalui pemanfaatan bahasa lokal dan penunjukan alamat rumah. Bahasa lokal diwujudkan dalam bentuk wonge dewe, bocahe dewe, yang sejalan dengan bentuk Putra Jogja Asli. Hal tersebut dibangun sebagai wacana tandingan wakil yang ditetapkan berdasarkan legitimasi partai politik. Penetapan daerah pemilihan melalui partai politik dimungkinkan bahwa masyarakat setempat tidak tahumenahu tentang sosok calon wakil yang diajukan. Penetapan itu pula memungkinkan seorang wakil belum mengenal daerah pemilihan setempat. Karena itu, putra daerah dipandang lebih pantas menjadi wakil. Kepantasan itu terkait dengan pengetahuan khalayak dan pengetahuan pewicara terkait seluk beluk wilayah. (42) Percayakan kami berjuang | Bocahe dewe | Caleg Banguntapan dan Piyungan | Ora ngapusi ora korupsi (43) Alamat: Brigjen Katamso 20, Yogyakarta | Putra Jogja Asli
64
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
(44) Mohon doanya dan dipilih | Wonge dewe | Kerja Nyata bersama 8 PAN Partai Amanat Nasional | bersama ASA Agung Supri Atmojo membangun ASA (harapan) yang lebih baik (45) Mohon doa restu dan dukungannya | Alamat: Perum Margorejo Asri Blok J/1 | Tempel, Yogyakarta | No. HP … | Satu kata satu hati Komitmen untuk rakyat (46) Assalamualaikum Wr. Wb. Salam Kenal Tiang (Baiq Rohelmi/ Uun) (putri) Alm. Lalu Agus M/ H. Lalu Akal dengan Baiq Wrasti yang beralamat di Pesanggrahan Gawah Jepun. Bukak Batu Kliang Utara-Lolang (47) Mohon doa restu & dukungannya | Coblos no. 8 | Ojo Lali tanggal 9 April Coblos no. 8 Hanura (Kartu Biru) | Alamat: Kutu Tegal Sinduadi Mlati Sleman (Jl. Magelang KM 5 Yogyakarta) (48) Mohon doa restu | Jangan lupa tahun 2014 Klitren harus punya dewan | Sudah teruji dan terbukti membangun wilayah (49) Pilih konco desone dewe ‘pilih teman desanya sendiri’
Selain pembangun citra putra daerah, alamat merupakan komponen pembangun identitas dirinya terhadap khalayak. Alamat tempat asal dipandang sebagai pembangun identitas selain identitas umum, berupa nama lengkap, gelar akademik, dan nomor urut. Bahkan, komponen asal keturunan (orang tua), (putri) Alm. Lalu Agus M/ H. Lalu Akal dengan Baiq Wrasti yang beralamat di Pesanggrahan Gawah Jepun. Bukak Batu Kliang Utara-Lolang, pun dipandang penting. Tidak hanya sekadar putra daerah, tetapi lebih kepada orang asli sebagai pengukur identitas diri. SIMPULAN Komponen verbal-visual menempati proporsi sebagai komponen pembangun citra positif. Ketidakseimbangan atau pun keseimbangan antarproporsi keduanya merupakan bentuk kapitalisasi citra yang ingin dipentingkan sehingga dalam sebuah iklan kampanye pewicara dapat membangun beragam citra positif. Citra-citra itu, sekurang-kurangnya adalah citra pekerja keras, citra amanah, citra religius, citra lokal, citra aktivis, citra ilmuan, citra berpendidikan, citra jujur, citra bersih, citra putra daerah, citra muda, citra pengalaman, citra dekat dengan tokoh tertentu, citra peduli, dan citra persatuan dalam keberagaman. Citra positif dibangun bukan hanya sekadar untuk mendapatkan dukungan pada saat pemilihan umum. Pembangunan citra pun berorientasi pada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Pembentukan citra yang paling dominan dimanfaatkan pewicara adalah pengedepanan citra lokal. Citra religius lebih mengemuka di Surabaya, sedangkan citra lokal lebih mengemuka di Yogyakarta. Keduanya berkaitan dengan calon pemilih tiap daerah pemilihan. Masyarakat lokal berbasis massa pesantren dan keterikatan masyarakat lokal dengan isu keistimewaan Yogyakarta. REFERENSI Ajidarma, Seno Gumira. 2011. Panji Tengkorak: Kedudayaan dalam Perbincangan. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Baryadi, Praptomo I. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli. Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKiS. Basundono, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman Surabaya dan Malang Sejak Kolonialisme Sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: Ombak. Cangara, Hafied. 2009. “Kampanye untuk Pemasaran Politik-I dan II” dalam Komunikasi Politik. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hlm. 275—451. Darmawan, Alex. 2013. “Iklan Kampanye Calon Legislatif (Studi Kasus di Kota Padang). Tesis. Program Pascasarjana Linguistik FIB UGM. Ensiklopesia Tokoh-tokoh Wayang dan Silsilahnya. 2010. Yogyakarta: Narasi. Ensiklopedi Wayang Indonesia 1 (a—b). 1999. Jakarta: Sena Wangi (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia) dan PT Sakanindo Printama. Ensiklopedi Wayang Indonesia 5 (t, u, w, y, dan lakon). 1999. Jakarta: Sena Wangi (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia) dan PT Sakanindo Printama. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. -----------. 2013. Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group. Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fairclough, Norman. 1992. Kesadaran Bahasa Kritis. (terj.) Critical Language Awareness. Semarang: IKIP Semarang Press.
65
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
------------- (ed). 1997. Critical Discourse Analysis: The Critcial Study of Language. London and New York: Longman. H-Hoed, Benny. 2011. ‘Etik dalam Periklanan’ dan ‘Caleg Selebritas, Aset yang Terlupakan’ dalam Caleg Selebritas, Kekerasan, & Korupsi: Menelusuri Tanda dalam Dinamika Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu. _____________. 2014. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Edisi ketiga. Jakarta: Komunitas Bambu. Halliday, M. A. K. & Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotika Sosial. (terj.) Language, Context, and Text: Aspects of Language in a SocialSemiotics Perspective. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hasanah, Wawa Uswatun. 2009. “Identitas Kota Yogyakarta dalam Iklan Layanan Publik: Sebuah Kajian Sosiolinguistik”. Skripsi. Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM. Ibrahim, Gufran Ali. 2005. “Idiom Kegamangan dalam Bahasa Politik Kita” dalam Prosiding Seminar Nasional PESAT 2005. Jakarta: Universitas Gunadarma. Diunduh dari repository.gunadarma.ac.id:8000/kommit2004_sastra_008_355.pdf pada 17 Mei 2010 pukul 21.00 WIB. Jurnal Penelitian 4. tt. Yogyakarta: Bappeda. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Edisi Ketiga. Cetakan Keempat. Jakarta: Balai Pustaka. Kurniawati, Asti. 2006. “Yogyakarta ‘Kota Pendidikan’ Perjalanan Pencitraan Sebuah Kota di Jawa pada Abad XX’. Tesis. Program Pascasarjana Prodi Ilmu Sejarah FIB UGM. Marbun, B. N. 1996. Kamus Politik. Jakarta: Sinar Harapan. McKenna Regis. 2003. “Pemasaran adalah Segala-galanya” dalam Strategi Pemasan. Usmara A. (ed). Jogjakarta: Amara Books. (hlm. 283—311). McNair, Brian. 2011. An Introduction to Political Communication. Fourt edition. New York: Roudledge Taylor & Francis Group. Mukminatun. 2002. “Iklan Kosmetik Bayi dalam Media Massa Cetak: Struktur Wacana, Analisis Kritis Interaksi Sosial, dan Unsur-unsur Direktif, Sebuah Pendekatan Sosiolinguistik”. Tesis. Program Pascasarjana Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora Prodi Linguistik UGM. Mulyawan, I Wayan. 2010. Hipersemiotika Periklanan (Analisis Praktis). Denpasar: Udayana University Press. Munandar, Aris. 2001. “Analisis Wacana Selebaran Partai Rakyat Demokratik (PRD)”. Tesis. Yogyakarta: FIB UGM. Nugroho, Garin. 2005. ‘Kampanye Pemilu: Inga-inga Etika Merayu Massa’ dalam Seni Merayu Massa. Jakarta: Kompas. Nugroho, Wakhid. 2013. “Analisis Wacana President Lecture ole Habibie: (Kajian Analisis Wacana Kritis). Tesis. Prodi Linguistik. Program Pascasarjana FIB UGM. Passer, Michael W. & Ronald E. Smith. 2008. ‘Language and Thinking’ dalam Pshychology: The Science of Mind and Behaviour. Fourth Edition. New York: McGraw-Hill. p.291—327. Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika. Yogyakarta: Jalasutra. Qomariyah, U’um. 2007. “Citra dan Pencitraan Anak dalam Novel Negeri Awan Merah karya Fahri Asiza: Telaah Fokalisasi Mieke Bal”. Tesis. Program Pascasarjana UGM. Rahayu, Yayuk Eny. 2002. “Identitas Wacana Kampanye Politik”. Tesis. Program Pascasarjana Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora Prodi Linguistik UGM. _______. tt. “Karakteristik Pemakaian Bahasa dalam Spanduk Kampanye Pemilihan Kepala Daerah DI Yogyakarta”. Diunduh dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Yayuk%20Eni%20Rahayu,%20M.Hum./naskah%20p ublikasi%20penelitian%20spanduk%20kampanya%20pdf.pdf. Pada 25 Agustus 2013. Santoso, Anang. 2008. “Jejak Halliday dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana Kritis” dalam Jurnal Bahasa dan Seni, tahun 36, nomor I. Diunduh dari http://sastra.um.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/Jejak-Halliday-dalam-Linguistik-Kritis-dan-Analisis-Wacana-Kritis-AnangSantoso.pdf. Pada 17 Mei 2010 pukul 21.00 WIB. Schiffrin, Deborah. 2007. Ancangan Kajian Wacana. (terj) Approches to Discourse. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. (bab II, IX—XII).
66
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra (SENABASTRA) VII Bahasa, Sastra dan Budaya: Kaitannya dengan Isu-Isu Global
2015
Sirulhaq, Ahmad. 2008. “Ideologi Gender Bahasa Berita Samarinda Pos dalam Merepresentasikan Perempuan: (Studi Analisis Wacana Kritis)”. Tesis. Program Studi Linguistik Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora Sekolah Pascasarjana FIB UGM. Stokes, Jane. 2003. How to Do Media and Cultural Studies: Panduan untuk Melaksananakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya. (terj.) How To Do Media and Cultural Studies. Yogyakarta: Bentang. Subagyo, Paulus Ari. 2008. “Tiga Pendekatan dalam Analisis Wacana” dalam Prosiding Seminar 80 tahun Prof. Ramlan. Yogyakarta: Sastra Indonesia, FIB, UGM. (tidak diterbitkan) Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. ----------------, tt. Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Tampubolon, P. Daulat. 1999. “Gejala-gejala Kematian Bahasa: Suatu Observasi Ragam Politik Orde Baru” dalam PELLBA Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya. Yogyakarta: Kanisius. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. 1991. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Webster’s New Twentieth Century Dictionary. 1983. Second Edition. USA: The Word Publising Company. Widyaningtyas, Monica. 2012. “Iklan Politik Calon Legislator DI Yogyakarta: Kajian Sosiopragmatik”. Skripsi. Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM. Winardi. 1992. Promosi dan Reklame. Edisi kedua. Bandung: Mandar Maju. Yanti, Yusrita. Tt. “Cerminan Basic Emotions dalam Slogan Pemilu”. Diunduh dari http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2010/01/080-Yusrita-Yanti-Univ.-Bung-Hatta-BasicEmotions-as-Reflected-in-Political-Slogans.pdf. pada 25 Agustus 2013 Yusuf, Iwan Awaluddin. 2005. Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas: Representasi Etnik Tionghoa dalam Iklan Dukacita. Yogyakarta: Tim UII Press. Zoetmoelder, P.J. dan S.O. Robson. 2000. Kamus Jawa Kuna-Indonesia 2 P—Y. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Zein, Fathurin. 2004. NU Politik: Analisis Wacana Media. Yogyakarta: LKiS.
67