LEGITIMASI DEMOKRATIK WAKIL RAKYAT: PARTAI, DPR DAN DPD SEBUAH EVALUASI PUBLIK TEMUAN SURVEI 2007 DAN 2008
Wisma Tugu Wahid Hasyim Lt 1-2 Jl. Wahid Hasyim 100 Jakarta 10340, Telp. (021) 3156373, Fax (021) 3156473 Website: www.lsi.or.id, Email:
[email protected]
IHTISAR •
Publik mendukung judicial review yang diajukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar orang partai tidak boleh menjadi anggota DPD. Ini merupakan satu bentuk penolakan publik atas perluasan monopoli sumber rekrutmen politik oleh partai politik seperti dalam pencalonan DPR dan Presiden.
•
Sumber penolakan ini terutama karena rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik sebagai akibat dari kinerjanya selama ini yang dianggap buruk.
•
Publik umumnya tidak percaya bahwa partai politik mampu merepresntasikan, mengintermediasi, dan mengartikulasikan kepentingan pemilih mereka.
•
Rendahnya tingkat kepercayaan pada partai ini harus menjadi dasar untuk menolak inklusivitas anggota DPD terhadap partai politik agar ketidakpercayaan publik pada partai tersebut tidak meluas ke lembaga demokrasi lainnya, yang kemudian dapat menimbulkan krisis demokrasi kita secara lebih luas.
2
LATAR BELAKANG •
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara konstitusional punya wewenang sangat kuat, yakni sebagai pembuat undang-undang, pengesahan anggaran, dan pengawasan.
•
Sebagai komponen utama di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR bahkan de facto dapat merubah UUD dan dapat mengusulkan bagi pemberhentian presiden bila dinilai memenuhi syarat-syaratnya walapun presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR atau MPR.
•
Sementara itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), meskipun sama-sama mendapat mandat dari rakyat lewat pemilihan umum demokratis, hampir dapat dikatakan tidak punya wewenang legislasi, budgeting, dan pengawasan tersebut untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan daerah di pemerintahan pusat. Peran DPD secara konstitusional hampir tidak ada karena tidak bisa ikut memutuskan sebuah undang-undang yang berkaitan dengan daerah. Perannya terbatas hanya untuk memberikan masukan kepada, bukan ikut memutuskan bersama, DPR.
3
LANJUT … •
Dalam demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang kita anut sekarang, sumber kekuasaan atau sumber mandat untuk berkuasa adalah rakyat lewat pemilihan umum atau referendum. Mandat DPR dan DPD sama-sama berasal dari rakyat. Tapi keduanya punya perbedaan yang sangat fundamental secara konstitusional: DPR berkuasa, DPD tidak berkuasa.
•
Ketimpangan itu sah secara konstitusional, tapi belum tentu sah secara demokratik atau menurut keinginan rakyat. Apakah betul rakyat mendukung ketentuan bahwa DPD tidak perlu punya wewenang untuk membuat keputusan tentang undang-undang yang berkaitan dengan daerah?
•
Ketimpangan kekuasaan yang begitu besar antara DPD dan DPR juga perlu dikritisi dari sisi demokrasi prosedural: Apakah cara memilih DPD atau memilih DPR yang lebih memenuhi keinginan rakyat? Bila terbukti cara memilih DPD yang lebih dibenarkan oleh rakyat, maka dasar demokrasi prosedural eksistensi DPR lemah dibanding DPD, tapi ia berkusa dan DPD tidak.
4
LANJUT … •
Di samping itu, dalam UU pemilihan umum yang baru, sumber rekrutmen DPD dikaburkan sedemikian sehingga semakin dekat dengan sumber rekrutmen bagi anggota DPR. Dalam UU yang baru calon anggota DPD dibolehkan berasal dari partai politik, dan dibolehkan dari warga yang tidak berdomisili di provinsi yang akan diwakilinya di DPD. Apakah perubahan ini mendapat legitimasi demokratik?
•
Dalam demokrasi, pertanyaan-pertanyaan di atas pada dasarnya harus dijawab oleh rakyat sendiri, lewat referendum.
•
Kalau bukan lewat referendum seperti pemilihan umum, survei opini publik nasional yang dilakukan secara ilmiah juga dapat menampilkan jawaban rakyat terhadap masalah-masalah tersebut.
•
Apa yang akan dipaparkan di bawah adalah hasil dua survei opini publik, 2007 dan 2008, beraitan dengan masalah-masalah legitimasi demokratik prosedural DPR dan DPD tersebut.
5
METODOLOGI ● Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. ● Jumlah sampel survei masing-masing 1.200, dengan toleransi kesalahan (margin of error) sebesar +/- 3% pada tingkat kepercayaan 95 persen. Penarikan sample dilakukan dengan Metode Multistage Random Sampling. ● Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Satu pewawancara bertugas untuk satu desa/kelurahan yang terdiri hanya dari 10 responden ● Quality control terhadap hasil wawancara dilakukan secara random sebesar 20% dari total sampel oleh supervisor dengan kembali mendatangi responden terpilih (spot check). Dalam quality control tidak ditemukan kesalahan berarti. ● Wawancara tatap muka 2007 dilakukan bulan Juni, dan 2008 bulan April.
6
Methodologi Survei Populasi desa/kelurahan tingkat Nasional
Prop.k
Prop.1
…
…
Ds 1 … Ds m
Ds 1 … Ds n RT1
RT2
RT3
….
RT5
Di setiap desa/kelurahan dipilih sebanyak 5 RT dengan cara random Di masing-masing RT/Lingkungan dipilih secara random dua KK
KK1 KK2
Laki-laki
Desa/kelurahan di tingkat Propinsi dipilih secara random dengan jumlah proporsional
Perempuan
Di KK terpilih dipilih secara random Satu orang yang punya hak pilih laki-laki/perempuan 7
DEMOGRAFI KATEGORI SAMPEL JENIS KELAMIN LAKI-LAKI 54.8 PEREMPUAN 45.2 DESA-KOTA DESA 59.5 KOTA 40.5 KELOMPOK USIA <= 19 tahun 13.5 20 - 29 tahun 25.1 30 - 39 tahun 25.6 40 - 49 tahun 16.8 >= 50 tahun 19.0 PENDAPATAN < 400 ribu 40.5 400 - 999 ribu 37.8 >= 1juta 21.7
BPS 50.0 50.0 59.0 41.0 15.1 27.1 22.4 15.8 19.6 42.0 38.0 20.0
KATEGORI SAMPEL BPS KELOMPOK PENDIDIKAN <= SD 58.6 60.0 SLTP 18.1 19.0 SLTA 16.9 18.0 Universitas 6.4 4.0 AGAMA Islam 89.6 87.0 Kristen 7.3 10.0 Hindu 2.6 2.0 Lainnya 3.2 1 ETNIS Jawa 39.3 41.6 Sunda 12.7 15.4 Melayu 5.8 3.4 Madura 3.4 3.4 Bugis 2.9 2.5 Betawi 4.1 2.5 Minang 3.5 2.7 Lainnya 28.3 28.5
8
DEMOGRAFI KATEGORI NAD SUMUT SUMBAR RIAU JAMBI SUMSEL BENGKULU LAMPUNG BABEL KEPRI DKI JABAR JATENG DIY JATIM BANTEN
SAMPEL PROPINSI 2.3 4.6 3.1 2.3 0.8 3.1 0.8 3.1 0.8 0.8 3.9 15.3 13.9 1.5 14.6 3.9
BPS 1.9 5.3 2.1 2.2 1.3 3.2 0.8 3.4 0.5 0.6 3.5 17.4 15.2 1.6 16.7 4.1
KATEGORI SAMPEL PROPINSI BALI 2.3 NTB 2.3 NTT 2.3 KALBAR 2.3 KALTENG 1.5 KALSEL 2.3 KALTIM 1.5 SULUT 1.5 SULTENG 0.8 SULSEL 3.1 SULTRA 0.8 GORONTALO 0.8 SULBAR 0.8 MALUKU 0.8 MALUKU UTARA 0.8 PUPUA 0.8 IRJABAR 0.8
BPS 1.5 2.0 2.0 1.9 0.9 1.5 1.4 1.0 1.1 3.5 0.9 0.4 0.5 0.6 0.4 0.9 0.3
9
TEMUAN SURVEI
FAKTA DAN HARAPAN UNTUK PENGUATAN DPD
“Tahu keterbatasan” wewenang DPD berikut ini (%)
2007
2008
23.8
19
26.9
12.9
TIDAK IKUT MEMUTUSKAN undang-undang y ang berkaitan dengan kepentingan daerah
Dapat melakukan pengawasan terhadap pemerintah TAPI TIDAK DAPAT menindaklanjuti hasil pengawasan tersebut
Publik umumnya tidak aware dengan keterbatasan wewenang DPD sekarang.
12
“Berharap” agar DPD melakukan hal-hal berikut…? (%)
2007
2008 88.9
87.1 81.8
Ikut memutuskan undang-undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah
79.7
Dapat menindaklanjuti hasil pengawasan terhadap pemerintah
Harapan publik agar DPD punya wewenang yang lebih kuat sangat tinggi. 13
Apakah Ibu/Bapak mendukung pandangan bahwa DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) harus punya wewenang atau punya suara untuk memutuskan masalahmasalah yang berkaitan dengan kepentingan rakyat daerah bersama-sama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT (DPR) karena anggota DPD dipilih langsung untuk mewakili daerah…? (%)
75.7
2007 2008
68.2
12.4
11.4
DPD harus punya wewenang DPD cukup hanya memberikan yang sama dengan DPR karena masukan dan saran anggota DPD dipilih langsung oleh rakyat untuk mewakili daerah
11.9
20.5
Tidak tahu
Tuntutan kesetaraan wewenang DPD dan DPR untuk masalah daerah sangat tinggi. 14
Apakah Ibu/Bapak setuju atau tidak setuju dengan pendapat bahwa kita perlu mengubah (mengamandemen) UUD yang berkaitan dengan wewenang DPD agar lebih mampu memperjuangkan kepentingan rakyat daerah yang diwakilinya…? (%)
2007 2008 65.2 59.2
21 15.9 8.2
10.1
9.3
10.1 0.7
Sangat setuju
Setuju
Tidak setuju
0.4
Sangat tidak setuju
Tidak tahu
Sangat besar dukungan publik agar dilakukan amandemen UUD untuk memberdayakan peran DPD tidak seperti sekarang. 15
Temuan •
Sangat besar di masyarakat yang tidak tahu anggota DPD yang mereka pilih dalam pemilu 2004 yang lalu tidak punya wewenang untuk ikut memutuskan UU yang berkaitan dengan kepentingan daerah yang mereka wakili.
•
Juga sangat besar dari pemilih DPD yang tidak tahu bahwa DPD tidak bisa menindaklanjuti hasil pengawasan kepada pemerintah.
•
Sementara itu sangat besar dari rakyat yang menghendaki agar DPD punya wewenang tersebut, agar DPD sejajar dengan DPR dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan daerah.
•
Karena itu publik pada umumnya menghendaki atau mendukung gagasan untuk dilakukannya amandemen UUD dalam rangka peningkatan peran DPD untuk mewakili kepentingan daerah dalam legislasi.
•
Karena itu pula DPD punya dasar legitimasi demokratik untuk menuntut peningkatan wewenang legislatif mereka.
16
Legitimasi prosedural dan ketidakpercayaan pada Partai
Menurut Ibu/Bapak, cara pemilihan mana yang lebih baik bagi pemilih sendiri…? (%)
2007 76.9
2008 66.6
18
19.7
13.6 5.1
Cara memilih anggota DPD di Cara memilih anggota DPR di mana rakyat secara langsung mana rakyat harus memilih salah memilih satu diantara nama-nama satu nama partai politik yang ikut calon anggota DPD dalam pemilihan umum
Tidak tahu
Sangat besar dukungan publik pada cara memilih anggota DPD dibanding cara memilih anggota DPR. 18
Menurut Ibu/Bapak, mana yang lebih mudah dimintai pertanggung jawaban oleh pemilih dalam memperjuangkan kepentingan pemilih…? (%)
2007 2008
74.8 63.3
17.4
19.7 7.8
ORANG yang dipilih seperti dalam pemilihan anggota DPD
PARTAI POLITIK yang dipilih seperti dalam pemilihan anggota DPR
13.6
Tidak tahu
Prosedur memilih DPD lebih membuka akuntabilitas publik dari pada prosedur memilih anggota DPR. 19
Menurut Ibu/Bapak, apakah cara pemilihan seperti memilih anggota DPR dapat menghasilkan wakil rakyat yang lebih mewakili keinginan pemilih atau lebih mewakili keinginan partai politik…? (%)
2007 2008 61.4 50.9
28.1
28.9 20.2 10.5
Lebih mewakili keinginan pemilih
Lebih mewakili keinginan partai politik
Tidak tahu
Jauh lebih sedikit yang yakin bahwa cara memilih anggota DPR akan lebih mewakili kepentingan pemilih dibanding kepentingan partai. 20
Apakah Ibu/Bapak lebih setuju pada pendapat bahwa keinginan partai mewakili keinginan pemilih atau lebih setuju dengan pendapat bahwa keinginan partai belum tentu mewakili keinginan pemilih…? (%)
2007 72.9
2008 61.3
18.6
20.2
18.5 8.5
Keinginan partai mewakili keinginan pemilih
Keinginan partai belum tentu mewakili keinginan pemilih
Tidak tahu
Jauh lebih sedikit dari publik yang yakin bahwa partai mewakili keinginan pemilih. 21
Lembaga yang paling bisa menyuarakan keinginan rakyat (%)
50 40 31 30
24
23
20 11
11
10 1 0 Media massa
Ormas
Birokrasi
Partai
Lembaga lain
Tidak tahu
Keyakinan pada kemampuan partai menyuarakan kepentingan rakyat jauh lebih sedikit dibanding keyakinan pada media massa dan ormas. 22
Yakin lembaga-lembaga berikut bekerja sesuai dengan perannya (%)
100
75
76.5
72
72 61
57
53
50
42
25
0 TV
Koran
Radio
LSM
Ormas
Birokrasi
Partai
Dibanding keyakinan pada peran-peran lembaga lain di masyarakat, keyakinan pada partai paling rendah. 23
Penilaian terhadap partai politik (%)
60 51
52
50
Hanya mewakili pemilihnya
40
34
Hanya mewakili kelompok tertentu
32
30 20
15
16
10 0 Yakin
Tidak yakin
Tidak tahu
Umumnya publik yakin bahwa partai hanya mewakili kepentingan pemilihnya atau hanya kelompoknya. 24
Temuan •
Ironisnya, wewenang DPD yang lemah, dan DPR yang kuat, bertumpu pada kontradiksi legitimasi prosedural: secara demokratik prosedural, yakni bagimana anggota DPD dan DPR dipilih, DPD punya basis legitimasi demokratik yang jauh lebih kuat dari pada DPR sebab cara memilih anggota DPD yang bersifat langsung lebih dibenarkan oleh rakyat dibanding cara memilih anggota DPR yang bisa hanya dengan memilih partai politik.
•
Publik menilai bahwa cara memilih anggota DPD lebih baik dibanding cara memilih anggota DPR bagi kepentingan pemilih.
•
Cara memilih anggota DPR dinilai akan lebih mewakili kepentingan partai dari pada kepentingan pemilih.
•
Apakah “lebih mewakil kepentingan partai” belum tentu mewakili kepentingan pemilih? Bagi publik, anggota DPR yang lebih mewakili kepentingan partai belum tentu mewakili kepentingan pemilih partai itu.
25
LANJUT … •
Sumber kontradiski itu, legitimasi kuat wewenang lemah (DPD) versus legitimasi lemah wewenang kuat (DPR) sebagian terletak pada rendahnya tingkat kepercayaan publik pada partai politik.
•
Dari empat lembaga yang bisa menjadi intermediasi kepentingan rakyat dengan elite yang membuat kebijakan seperti DPR dan pemerintah, yakni partai, birokrasi, media massa, dan ormas, dan kalau publik disuruh memilih hanya satu mana yang paling baik untuk menyuarakan kepentingan mereka dari keempat lembaga itu, maka yang menyebut partai politik hanya 11%. Lebih banyak yang menyebut media massa dan ormas.
•
Publik lebih percaya pada civil society dari pada political society (partai) dan pemerintah (birokrasi).
26
LANJUT … •
Bahkan ketika lembaga-lembaga yang dipercaya bisa berperan untuk kepentingan intermediasi dan artikulasi publik ditelaah secara lebih spesifik, partai politik tetap berada pada urutan terrendah. Jauh kalah oleh media massa seperti TV, koran, dan radio, atau oleh ormas dan LSM.
•
Bagi masyarakat, partai lebih mewakili pemilih atau golongan tertentu di masyarakat, dan karena itu ketika UU pemilu yang baru membolehkan orang partai dan orang yang berdomisili di luar daerah yang diwakilinya menjadi calon anggota DPD, bukan penguatan tapi sebaliknya pelemahan representasi publik yang terjadi.
•
Partai sebagai lembaga yang tidak dipercaya publik, dalam UU tersebut ingin memperluas kiprahnya dalam representasi kepentingan publik.
•
Karena itu, seperti terlihat di bawah, publik umumnya mendukung ketidaksetujuan DPD terhadap syarat calon anggota DPR itu, dan kemudian mendukung judicial review untuk masalah tersebut yang diajukan DPD ke Mahkamah Konstitusi. 27
Penilaian dan Sikap Terhadap UU Pemilu 2008 berkaitan dengan DPD
SIKAP TERHADAP UU PEMILU 2008 SIKAP MASYARAKAT terhadap PENOLAKAN DPD atas klausul UU Pemilu Baru yang membolehkan orang dari luar provinsi dan atas anggota/kader partai politik menjadi anggota DPD.
100
75
60.20
54.90
50
24.1
25
15.7
23.3
21.8
0
SIKAP masyarakat terhadap langkah DPD melakukan SIKAP masyarakat terhadap langkah DPD melakukan penolakan klausul UU Pemilu baru yang penolakan klausul UU Pemilu baru yang memperbolehkan calon angota DPD yang tinggal di memperbolehkan calon anggota DPD yang berasal luar Provinsi dari Partai Politik
Setuju
Tidak setuju
Tidak tahu/Tidak jawab
29
SIKAP TERHADAP UU PEMILU 2008 SIKAP MASYARAKAT terhadap langkah yudisial review yang dilakukan DPD pada MK atas UU Pemilu Baru untuk klausul yang membolehkan orang dari luar provinsi dan anggota/kader partai politik menjadi anggota DPD. 100 75
58.3
55.9 50 25
23.2
21.7
20.9
20
0 SIKAP masyarakat terhadap langkah DPD melakukan yudisil review UU Pemilu baru untuk klausul yang memperbolehkan calon angota DPD tinggal di luar Provinsi
Setuju
SIKAP masyarakat terhadap langkah DPD melakukan yudisial review klausul UU Pemilu baru yang memperbolehkan calon anggota DPD yang berasal dari Partai Politik
Tidak setuju
TT/TJ
30
Temuan •
Sekitar 60% warga mendukung keberatan DPD bahwa calon anggota DPD boleh berasal dari daerah (provinsi) yang bukan asal domisilinya. Dan 55% publik menolak dibolehkannya pengurus atau anggota partai menjadi anggota DPD.
•
Karena itu, mayoritas publik mendukung judicial review yang diajukan DPD ke Mahkamah Konstitusi agar dua syarat untuk menjadi calon anggota DPD tersebut dibatalkan.
31
KESIMPULAN
KESIMPULAN •
Karakteristik demokrasi yang membedakannya dengan rezim non-demokrasi adalah responsiveness rezim terhadap suara publik (Dahl 1973).
•
Responsiveness ini terutama dalam desain institusional, termasuk bagaimana konstitusi mendefinisikan peran DPR dan DPD.
•
Satu cari untuk melihat responsiveness lembaga-lembaga demokrasi adalah sejauhmana desain institusional dekat atau jauh dari suara publik atau warga negara, sejauhmana desain institusional DPD yang ada sekarang dekat atau jauh dengan aspirasi warga. Bila dekat, maka desain DPD responsif, dan bila jauh, tidak responsif.
•
Cara terbaik untuk mengetahui suara publik tentang berbagai isu, termasuk gagasan untuk memperkuat peran legislatif DPD, adalah sensus. Cara lain yang juga benar adalah survei opini publik yang dilakukan secara ilmiah. Temuan survei bisa mendekati karakteristik populasi bila dilakukan dengan benar.
33
LANJUT … •
Dari survei ini ditemukan adanya gap yang besar antara de facto wewenang DPD sebagai wakil rakyat yang tidak berdaya, dan ekspektasi mereka agar DPD punya wewenang yang setara dengan DPR dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan daerah.
•
Publik menginginkan agar DPD punya wewenang memutuskan setiap undang-undang bersama DPR yang berkatan dengan kepentingan daerah, tidak seperti sekarang di mana DPD hanya memberikan masukan kepada DPR, dan belum tentu masuakan itu didengar.
•
Wewenang DPD yang lemah ini bertentangan dengan legitimasi demokratik prosedural sangat kuat yang dimiliki DPD: rakyat lebih mendukung dan lebih membenarkan cara memilih anggota DPD yang langsung dibanding cara memilih anggota DPR yang bisa hanya lewat memilih partai. Legitimasi demokratik prosedural DPR lemah dibanding DPD tapi punya wewenang de facto dan de jure jauh lebih kuat.
•
Kontradiksi ini bisa menjadi sumber delegitimasi demokratik terhadap konstitusi kita.
•
Karena itu dukungan publik sangat luas terhadap aspirasi agar UUD diamandemen untuk memperkuat peran legislatif DPD dalam mewakili kepentingan daerah di pusat.
34
LANJUT … •
Sumber dari rendahnya legitimasi demokratik prosedural terhadap DPR adalah rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik yang merupakan sumber tunggal bagi rekrutmen anggota DPR.
•
Kalau partai diibaratkan akar dan pohon bagi DPR, maka akar dan pohon DPR tersebut sangat lemah. Publik umumnya tidak percaya pada peran intermediasi, representasi, dan artikulasi kepentingan publik oleh partai politik.
•
Dalam situasi demikian, perilaku dan keputusan DPR, tidak punya akar legitimasi demokratik yang memadai. Rakyat tidak merasa diwakili oleh mereka. Kita sekarang sedang mengalami krisis intermediasi, representasi, dan artikulasi lewat partai politik.
35
LANJUT … •
Dengan tingkat kepercayaan yang rendah terhadap partai, maka tidak legitimate bagi DPR untuk memperluas partai sebagai sumber rekrutmen politik bagi anggota DPD.
•
Sebaliknya, peran partai harus dibatasi, setidaknya tidak menjadi sumber rekrutmen politik satu-satunya atau yang bersifat monopolistik, termasuk dengan mencegah anggota partai boleh menjadi anggota DPD.
•
Karena itu, publik pada umumnya mendukung tuntutan DPD agar Mahkamah Konstitusi membatalkan dua syarat bagi calon DPD.
•
Publik menginginkan orang partai tidak boleh menjadi anggta DPD, dan anggota DPD harus berdomisili di daerah yang diwakilinya.
•
Aspirasi publik ini disampaikan terutama kepada Mahkamah Konstitusi yang sekarang sedang memutuskan apakah judicial review yang diajukan DPD diterima atau ditolak.
36