i
ABSTRAK Tesis ini berjudul “Kewenangan Partai Politik Terhadap Pemberhentian Anggota DPR Terkait Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”.Partai politik mempunyai peran strategis dalam negara demokrasi.UUD NRI 1945 telah mengatur kedudukan partai politik dalam kehidupan bernegara di Indonesia.Partai politik adalah satu-satunya organisasi yang dapat menjadi peserta pemilu dan mengajukan calon untuk mengisi jabatan-jabatan politik.Salah satu kewenangan partai politik adalah mengajukan calon anggota DPR baik di pusat maupun di daerah.Selain mengajukan calon anggota DPR, partai politik berwenang memberhentikan anggota partai politik yang duduk di DPR. Bertolak dari hal tersebut, penelitian ini membahas dua pokok permasalahan yaitu yang berkaitan dengan kewenangan partai politik terhadap pemberhentian anggota DPR di Indonesia serta tentang konstruksi pengaturan terhadap ketentuan pemberhentian anggota DPR terkait tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.Hal ini bertujuan untuk memperoleh kejelasan secara normatif dengan mengidentifikasi dan menganalisis kelemahan yang terdapat dalam hukum yang mengatur terkait ketentuan pemberhentian anggota DPR di Indonesia.Dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual.Adapun sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa partai politik mempunyai peran sangat penting dalam demokrasi dan penyelenggaaraan negara.Selain diberikan kewenangan untuk mengajukan calon-calon untuk mengisi jabatan-jabatan politik di eksekutif dan legislatif, partai politik juga diberikan kewenangan untuk melakukan pergantian dan pemberhentian anggota DPR.Terkait dengan pemberhentian anggota partai yang duduk di DPR seharusnya mengatur ketentuan yang sangat penting seperti masalah korupsi.Hal ini sebagai langkah pencegahan dan dalam upaya mewujudkan penyelenggara negara yang bebas KKN, sebab korupsi mempunyai dampak sangat serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Dengan demikian judicial review dalam ketentuan Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik perlu dilakukan, yang selanjutnya dilakukan direvisi. Hal ini untuk mengisi kekosongan norma hukum terkait ketentuan pemberhentian anggota partai politik di DPR yang disebabkan tindak pidana korupsi. Kata Kunci: Kewenangan, Partai Politik, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Tindak Pidana Korupsi.
viii
ii
ABSTRACT The thesis is entitled “The Authority of Political Parties against Dismissal of Member of Parliament Related to Corruption in Indonesia". Political parties have a strategic role in a democratic country. Indonesian 1945 Constitution regulates the status of political parties in the state life in Indonesia. Political parties are the only organization that can become participants in the elections and nominate candidates to fill political positions. One of the authorities of political parties is to nominate candidates of legislators both at the central and regional levels. In addition to nominating candidates for members of Parliament, political parties also have the authority to dismiss members of political parties in the Parliament. Departing from this issue, this study discusses two main problems related to the authority of political parties against the dismissal of the members of the House of Representatives in Indonesia as well as on construction of the arrangements for the provision of dismissal of members of parliament tied to corruption. The method used in this study is a normative legal research. It aims to clarify normatively to identify and analyze the weaknesses contained in the relevant provisions of the law governing the dismissal of members of the House of Representatives in Indonesia. This study uses two approaches, namely legal approach and conceptual approaches. The source of legal materials in this research is primary, secondary and tertiary legal materials. The study results show that political parties have a very important role in democracy and runningthe country. In addition to the authority ofnominating candidates to fill political positions in the executive and legislative, political parties are also given the authority to replacement and dismissal of members of the House of Representatives. Related to the dismissal of members of the party sitting in Parliament, the political parties should set very important conditions such as the problem of corruption. This serves as a precautionary measure and efforts to realize corruption-free state officials, because corruption has a very serious impact on the life of the nation. Thus the judicial review provided for in Article 16 of Law No. 2 of 2011 concerning the Amendment Act No. 2 of 2008 on Political Parties needs to be done, and then revised. This is to fill the void of legal norms tied to provisions of the dismissal of members of political parties in the House of Representatives due to corruption. Keywords: Authority, Political Party, House of Representatives (DPR), Corruption.
ix
iii
RINGKASAN Tesis ini berjudul “Kewenangan Partai Politik Terhadap Pemberhentian Anggota DPR Terkait Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia” ini terbagi dalam 5 (lima) bab pembahasan yaitu: BAB I, merupakan awal dari bagian Tesis ini yang menguraikan tentang latar belakang masalah yang berkaitan dengan peran penting partai politik pasca amandemen UUD 1945.UUD NRI 1945 telah memberikan wewenang yang besar kepada partai politik untuk mengajukan calon pada jabatan-jabatan politik. Di samping diberikan wewenang mengajukan calon untuk mengisi jabatan-jabatan politik, partai politik juga diberikan wewenang untuk melakukan pemberhentian (recall) kepada anggota DPR. Dalam hal ini terdapat kekosongan norma dalam substansi UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dalam kaitannya dengan syarat pemberhentian anggota DPR akibat melakukan tindak pidana korupsi. Di samping latar belakang, pada bab ini terdapat rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian. BAB II, bab ini berisi tentang tinjauan umum dalam Tesis ini, yang meliputi uraian tentang partai politik, DPR dan tindak pidana korupsi. bab ini diawali dengan menguraikan tentang perkembangan partai politik di Indonesia, yang kemudian dilanjutkan dengan pengertian partai politik. Sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, menentukan bahwa:“Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk olehsekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentinganpolitik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhanNegara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.Tinjauan umum
x
iv
partai politik ini juga menguraikan tentang jenis dan fungsi partai politik dan sistem kepartaian.Kemudian dalam bab ini juga diuraikan tentang kedudukan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat dengan tugas dan fungsinya menurut UUD NRI 1945 dan undang-undang terkait. Bagian akhir dari bab ini menguraikan tentang tindak pidana korupsi, yang dimulai dari pengertian tindak pidana korupsi dilanjutkan dengan pendapat para ahli tentang penyebab tindak pidana korupsi dan konsepsi bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa. BAB III, bab ini merupakan hasil penelitian dari permasalahan pertama yang menguraikan tentang kewenangan pemberhentian anggota DPR oleh partai politik di Indonesia. Lebih lanjut dalam bab ini menjelaskan tentang fungsi dan hak anggota DPR dalam sistem demokrasi perwakilan. Keberadaan lembaga perwakilan rakyat dalam negara demokrasi adalah salah satu pilar yang sangat penting, karena lembaga ini berfungsi untuk mewakili kepentingan-kepentingan rakyat.Didalam gagasan demokrasi perwakilan kekuasaan tertinggi (kedaulatan) tetap ditangan rakyat, tetapi dijalankan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat sendiri.Agar wakil-wakil rakyat tersebut benar-benar dapat bertindak atas nama rakyat maka wakil-wakil rakyat itu harus ditentukan sendiri oleh rakyat. Dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat, anggota DPR juga diberikan hak-hak tertentu yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam bab ini juga di uraikan tentang kewenangan partai politik dalam kaitan dengan pemberhentian anggota DPR. Selain mempunyai kewenangan rekrutmen, untuk pengisian jabatan-jabatan politik, partai politik juga diberikan kewenangan untuk mengganti dan memberhentikan keanggotaan seseorang di partai politik sekaligus di DPR. BAB IV, bab ini merupakan hasil penelitian dari permasalahan kedua yang menguraikan konstruksi pengaturan terhadap pemberhentian anggota DPR terkait tindak pidana korupsi. Pada bab ini didahului dengan uraian tentang mekanisme dan ketentuan pemberhentian anggota DPR. Bahwa sesuai ketentuan dalam Pasal 22B UUD NRI Tahun 1945, “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari
xi
v
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”.Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai politik, telah mengatur ketentuan pemberhentian anggota partai politik sekaligus anggota DPR. Yang menjadi persoalan bahwa dalam Pasal 16 tersebut tidak mengatur tentang pemberhentian anggota partai di DPR karena permasalahan korupsi, padahal kita tahu bahwa dampak korupsi ini sangat serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari uraian tersebut dalam bab ini, dijelaskan tentang konstruksi pengaturan terhadap ketentuan pemberhentian anggota DPR dalam kaitan dengan tindak pidana korupsi. Konstruksi ideal dan penting dalam upaya mewujudkan penyelenggara negara yang bersih bebas KKN, yaitu dengan merevisi UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, khususnya Pasal 16 ayat (1) dengan mensyaratkan ketentuan pemberhentian anggota DPR karena tindak pidana korupsi. Sebagai negara hukum tentu hukum harus ditegakkan dengan tetap menjunjung tinggi perlindungan hak asasi manusia. BAB V, pada bab ini merupakan bagian penutup yang berisi simpulan dan saran dari hasil penelitian ini. Simpulan permasalahan dalam penelitian ini, bahwa dalam UUD NRI Tahun 1945, partai politik diberikan wewenang sangat besar dalam proses bernegara. Partai politik dalam UUD NRI Tahun 1945 adalah satunya-satunya organisasi yang menjadi peserta pemilu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden serta calon anggota DPR pusat dan daerah. Selain itu partai politik juga diberikan wewenang untuk melakukan pemberhentian anggota partai politik di DPR. Adanya kekosongan norma pada Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2011 dalam hal pemberhentian anggota DPR yang disebabkan melakukan tindak pidana korupsi. Dengan demikian perlu judicial review dan merevisi Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2011 tersebut, dengan merumuskan penambahan syarat pemberhentian anggota partai politik di DPR karena melakukan tindak pidana korupsi.
xii
vi
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ...........................................................................
i
PRASYARAT GELAR MAGISTER ...............................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ……. ....................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI………………………………...
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................
vi
ABSTRAK ......................................................................................
viii
ABSTRACT .....................................................................................
ix
RINGKASAN……............................................................................ .
x
DAFTAR ISI ................................................................................
xiii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................
1
1.1. Latar Belakang ......................................................................
.
1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................... .
9
1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................
9
1.3.1. Tujuan Umum .............................................................
9
1.3.2. Tujuan Khusus ............................................................
9
1.4.Manfaat Penelitian ...................................................................
9
1.4.1. Manfaat Teoritis ........................................................
9
1.4.2. Manfaat Praktis ..........................................................
10
1.5.Orisinalitas Penelitian ...............................................................
10
xiii
vii
1.6. Landasan Teoritis ......................................................................
12
1.6.1. Teori Demokrasi .........................................................
12
1.6.2. Teori Negara Hukum ..................................................
16
1.6.3. Teori Kewenangan…………………………………….
24
1.6.4. Teori Perundang-Undangan……………………………
30
1.6.5. Teori HAM..................................................................
35
1.7. Metode Penelitian ....................................................................
39
1.7.1. Jenis Penelitian ...........................................................
40
1.7.2. Jenis Pendekatan .........................................................
40
1.7.3. Sumber Bahan Hukum ..............................................
43
1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ..........................
46
1.7.5. Teknik Analisa Bahan Hukum ....................................
47
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PARTAI POLITIK DALAM PEMBERHENTIAN ANGGOTA DPR DAN TINDAK PIDANA KORUPSI ………………………………………………
49
2.1. Partai Politik ..........................................................................
49
2.1.1. Pengertian Partai Politik………………………………
54
2.1.2. Jenis dan Fungsi Partai Politik……………………….
57
2.1.2.1. Jenis Partai Politik………………………….
57
2.1.2.2. Fungsi Partai Politik………………………..
58
2.1.2.3. Sistem Kepartaian………………………….
61
2.2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)……………………………..
65
xiv
viii
2.3. Tindak Pidana Korupsi…………………………………………
68
2.3.1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi……………………
69
2.3.2. Pendapat Ahli Tentang Penyebab Tindak Pidana Korupsi………………………………………………
73
2.3.3. Konsepsi Tindak Pidana Korupsi Merupakan Kejahatan Luar Biasa………………………………………..
76
BAB III KEWENANGAN PARTAI POLITIK TERHADAP PEMBERHENTIAN ANGGOTA DPR TERKAIT TINDAK PIDANA KORUPSI……………………….
81
3.1. Fungsi Dan Hak Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Demokrasi Perwakilan…………………………………..
81
3.2 Kewenangan Partai Politik Terhadap Pemberhentian Anggota DPR Di Indonesia……………………………………..
100
BAB IV KONSTRUKSI PENGATURAN TERHADAP KETENTUAN PEMBERHENTIAN ANGGOTA DPR TERKAIT TINDAK PIDANA KORUPSI ……………………………………
121
4.1. Mekanisme dan Ketentuan Terhadap Pemberhentian Anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia…………………………….
121
4.2. Konstruksi Pengaturan Terhadap Ketentuan Pemberhentian Anggota DPR Oleh Partai Politik Terkait Tindak Pidana Korupsi……………
xv
139
ix
BAB V PENUTUP…………………………………………………..
159
5.1. Simpulan ....................................................................................
159
5.2. Saran ..........................................................................................
160
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………
161
xvi
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pasca reformasi keberadaan partai politik sangat mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam berbagai perhelatan politik, partai politik menjalankan peran penting yang menentukan. Amandemen UUD 1945, memberikan ruang yang cukup besar terhadap partai politik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Di masa orde baru hanya terdapat 3 peserta pemilu (PPP, PDI dan Golkar), era reformasi telah membuka kran-kran kebebasan yang selama pemerintahan orde baru dilarang. Kebebasan berpendapat, berkumpul dan berpolitik diberikan ruang yang cukup besar kepada masyarakat.Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 mengatur bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Partai politik mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, sebab partai politik diberikan wewenang untuk mengajukan kader-kader terbaiknya untuk dicalonkan mengisi jabatan-jabatan politik dari pusat sampai daerah.Kewenangan yang cukup besar dan menentukan yang diberikan oleh UUD NRI 1945 inilah yang menempatkan partai politik mempunyai posisi sangat strategis. Salah satu fungsi penting partai politik adalah rekrutmen politik yaitu proses untuk pengisian jabatan-jabatan politik. Terkait dengan fungsi rekrutmen politik ini 1
2
telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang selanjutnya disebut Undang-Undang Partai Politik. Pasal 29 ayat (1) menentukan bahwa:Partai politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi: a. anggota Partai Politik; b. bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; c. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; dan d. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden. Dengan memperhatikan kedudukan partai politik yang diatur baik di dalam UUDNRI 1945 dan UU No. 2 Tahun 2011, jelas bahwa partai politik merupakan pilar demokrasi yang berperan penting bagi kelangsungan suatu negara. Dapat pula dikatakan bahwa partai politik merupakan penentu bagi kemajuan atau kemunduran suatu bangsa, sebab para pemangku kekuasaan dari pusat sampai daerah berasal dari partai politik. Partai politik di negara kita adalah pemasok utama legislator atau wakilrakyat.1 Hal ini sebagaimana telah diatur dalam konstitusi kita, bahwa untuk menjadi wakil rakyat melalui pemilihan umum harus menjadi anggota partai politik dan melalui pencalonan yang dilakukan oleh partaipolitik.
1
Ichlasul Amal & Samsurizal Panggabean, 2012, Reformasi Sistem Multi Partai Dan Peningkatan Peran DPR Dalam Proses Legislatif, dalam Ichlasul Amal, Dkk, Editor, Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta, h. 177.
3
Selain diberikan kewenangan untuk mengajukan calon-calon untuk mengisi jabatan-jabatan politik, partai politik juga diberikan kewenangan untuk melakukan pergantian dan pemberhentian seseorang dari keanggotaanya di partai politik sekaligus di DPR yang dikenal dengan istilah “recall” Terkait dengan kewenangan tersebut di atas Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, mengatur bahwa: (1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannyadari Partai Politik apabila: a. b. c. d.
meninggal dunia; mengundurkan diri secara tertulis; menjadi anggota Partai Politik lain; atau melanggar AD dan ART.
(2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur di dalam AD dan ART. (3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan tujuan secara umum partai politik sesuai ketentuan Pasal 10 huruf a dan Pasal 10 huruf d UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang masih berlaku saat ini adalah: a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
4
Ketentuan Pasal 10 huruf a dan huruf d UU No. 2 Tahun 2008 tersebut di atas jelas, bahwa keberadaan partai politik semata-mata untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan bukan malah sebaliknya mengkorupsi uang rakyat. Banyaknya anggota DPR yang terlibat kasus korupsi saat ini menunjukkan bahwa partai politik belum mampu mewujudkan tujuan dari partai politik itu sendiri. Diibaratkan penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga tahap yaitu: 1. Tahap elitis, bahwa korupsi masih menjadi patologi sosial yang khas dilingkungan para elit/pejabat; 2. Tahap endemik, bahwa korupsi mewabah menjangkau lapisan masyarakat luas; 3. Tahap sistemik, tahap ini adalah tahap paling kritis, bahwa semua individu di dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa. 2 Dari ketiga tahap tersebut boleh jadi penyakit korupsi di Indonesia telah sampai pada tahap sistemik, dimana tidak hanya melibatkan individu, tetapi telah mewabah di lembaga negara baik, di eksekutif, legislatif dan lembaga penegak hukum. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Sehingga dalam upaya pemberantasanya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut dengan cara-cara luar biasa pula.
2
Ermansjah, Djaja, 2010, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 21.
5
Banyaknya penyelenggara negara, khususnya anggota DPR yang terlibat kasus korupsi, mengindikasikan gagalnya pendidikan politik dan sistem rekrutmen yang dilakukan oleh partai politik. Sebagai penyelenggara negara, anggota DPR yang melakukan tindak pidana korupsi merupakan orang-orang yang dicalonkan oleh partai politik. Pasal 1 ayat (2) UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, menentukan bahwa: “Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asasasas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.” Menurut Reydonnyzar Moenek, salah satu alasan maraknya anggota DPR/DPRD dan Kepala Daerah tersangkut kasus hukum terutama tindak pidana korupsi adalah adalah pelaksanaan pemilukada langsung dan
model rekrutmen
terbuka.3 Dimana siapa saja dapat menjadi anggota DPR/DPRD dan Kepala Daerah, ditambah lagi tingginya biaya pencalonan, sehingga mereka akan mencari cara untuk mengembalikan modalnya. Sebagai salah satu pilar demokrasi, partai politik harus bersih dari tindak pidana korupsi. Banyaknya kader partai politik, khususnya di DPR yang terjerat kasus korupsi mengindikasikan gagalnya sistem pengkaderan. Pemberian sanksi yang tegas terhadap kader yang terindikasi melakukan korupsi mutlak dilakukan.
3
Ruslan, Ismail Mage, 2013, Berpolitik Dengan Biaya Murah (Solusi Mencegah Politisi Korupsi), Thafa Media, Yogyakarta, h. 250-251.
6
DPR merupakan lembaga perwakilan politik yang merupakan wadah penyalur aspirasi rakyat seluruh Indonesia, sehingga wewenang yang dijalankan hak-hak yang dipergunakan oleh DPR adalah cermin dari kehendak rakyat. Keberadaan DPR dimaksudkan sebagai lembaga yang harus merepresentasikan kepentingan rakyat yang diwakili, sehingga hubungan yang harmonis antara negara dengan rakyat dapat diwujudkan berdasarkan mekanisme yang harmonis diatas idealisme, bahwa keberadaan negara adalah untuk mensejahterakan rakyat. Menurut Faisal, Djabbar, korupsi adalah “milik pemegang kekuasaan” Penanggulangan korupsi politik, dalam hal ini terhadap kader partai politik, menuntut adanya aturan hukum dan prosedur penerapan hukum yang spesifik. Sebab hal ini menyangkut kejahatan yang berdimensi kekuasaan politik dan pihak yang mempunyai kekuatan ekonomi. 4 Mengingat tindak pidana korupsi merupakan kategori kejahatan luar biasa, maka pemberantasannya pun harus dengan cara-cara yang luar biasa pula.Apalagi korupsi dilakukan oleh wakil rakyat dalam hal ini anggota DPR, maka partai politik seharusnya dengan kewenangan yang di miliki harus berkontribusi lebih besar dalam memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kader-kadernya di DPR. Korupsi di DPR merupakan fenomena yang cukup serius pada periode 20092014. Hal ini di mulai dengan kasus M. Nazarudin, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum yang juga ketua umum Partai Demokrat dan M. Lutfi Hasan yang juga
4
Sarifuddin, Suding, 2014, Perselingkuhan Hukum & Politik Dalam Negara Demokrasi, Rangkang Education, Yogyakarta, h. 235.
7
menjadi ketua umum Partai Keadilan Sejahtera, ditangkap KPK karena kasus korupsi. mantan anggota DPR tersebut melakukan tindak pidana korupsi yang melibatkan pihak lain dan sangat merugikan keuangan negara. Selanjutnya pada akhir 2016 KPK juga menangkap anggota DPR Damayanti Wisnu Putranti terkait tindak pidana korupsi. Menurut Blechinger, partai politik sering dilihat sebagai bagian dari masalah korupsi. Partai politik telah diidentifikasi sebagai aktor kunci dalam hal penyalahgunaan kekuasaannya dalam sistem politik.5 Dalam upaya mewujudkan penyelenggara negara yang bebas KKN, dan mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya yang melibatkan anggota partai politik di DPR, maka ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, terjadi kekosongan norma hukum. Terjadinya kekosongan norma hukum dalam Pasal 16 ayat (1) tentang ketentuan terhadap syarat pemberhentian anggota partai politik di DPR terkait tindak pidana korupsi, tentu membawa dampak masih terjadinya praktik korupsi anggota DPR. Sebagai organisasi yang diberikan wewenang mengajukan calon-calon untuk jabatan politik, undang-undang partai politik seharusnya ada pengaturan terkait pemberhentian anggota partai Politik di DPR yang disebabkan tindak pidana korupsi.Sebab korupsi tidak hanya bertentangan dengan tujuan partai politik, korupsi juga sangat bertentangan dengan tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam 5
Ibid, h. 236.
8
pembukaan UUD Tahun 1945 dan bertentangan dengan fungsi DPR sebagai wakil rakyat. Ketentuan tentang syarat pemberhentian anggota DPR yang diatur dalam Pasal 16 (1) UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik saat ini, dalam ukuran sangat umum seperti karena meninggal dunia, pindah partai dan melanggar AD/ART. Sementara faktor pemberhentian karena tindak pidana korupsi tidak diatur, padahal dampak korupsi sangat besar. Akibat korupsi negara tidak akan mampu membiayai pembangunan, baik pembangunan ekonomi dan pertahanan. Pada akhirnya negara akan lumpuh dan rakyat menderita, serta stabilitas keamanan terganggu akibat meningkatnya kriminalitas dan lemahnya pertahanan negara. Meskipun tindak pidana korupsi secara khusus telah diatur dalam undang-undang tipikor, namun mengingat DPR dicalonkan oleh partai politik, tepat apabila ketentuan terhadap syarat pemberhentian anggota DPR karena korupsi diatur dalam undang-undang partai politik. 1.2.Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang di atas maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kewenangan partai politik dalam pemberhentian anggota DPR terkait tindak pidana korupsi? 2. Bagaimanakah konstruksi pengaturan terhadap pemberhentian anggota DPR oleh partai politik terkait tindak pidana korupsi?
9
1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kewenangan yang diberikan oleh undang-undang terkait pemberhentian keanggotaan seseorang di partai politik dan di DPR yang melakukan tindak pidana korupsi. 1.3.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini sebagaimana rumusan permasalahan di atas adalah: 1. Untuk
mengkaji
kewenangan
partai
politik
terhadap
pemberhentian anggota DPR yang melakukan tindak pidana korupsi; 2. Untuk
mengkaji
tentang
kontruksi
pengaturan
terhadap
pemberhentian anggota DPR terkait tindak pidana korupsi. 1.4.Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna untuk pengembangan: 1. Pengembangan wawasan keilmuan penulis, serta menambah khasanah ilmu hukum; 2. Memberikan sumbangan pemikiran terkait dengan kewenangan partai politik dalam pemberhentian anggota DPR di Indonesia.
10
1.4.2. Manfaat Praktis 1. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan
pemahaman tentang kewenangan partai politik terhadap pemberhentian anggota partai politik di DPRyang telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran umumnya untuk DPR dan pemerintah dan secara khusus untuk partai politik, terkait pengaturan kedepan tentang pemberhentian anggota DPR yang melakukan tindak pidana korupsi, yang belum diatur dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. 1.5.Orisinalitas Penelitian Usulan penelitian dalam bidang ilmu hukum yang diajukan penulis merupakan hasil dari gagasan dan pemikian dari penulis sendiri, berdasarkan pemikiran tentang fungsi penting partai politik dalam sistem ketatanegaraan. Penulis menyadari bahwa terdapat beberapa tulisan ilmiah lain yang memiliki bahasan hampir sama dengan penelitian ini yaitu berkaitan dengan partai politik antara lain: a) Tesis dengan judul “Hak Recall Partai Politik Terhadap Keanggotaan DPR Dalam Sistem Ketetatanegaraan di Indonesia”.PenulisStevanus Evan Setio, mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,
11
tahun 2013.Dalam penelitian tersebut menekankan pembahasan pada aspek hak recall partai politik dan konsekuensi yuridis terhadap hak recall, yang dirumuskan dalam dua pokok permasalahan yaitu a pakah hak recall terhadap anggota DPR oleh partai politik sesuai denganprinsipprinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum dan Apakah konsekuensi yuridis hak recall apabila tetap dipertahankan berada ditangan kekuasaan partai politik.
b) Selanjutnya terdapat juga penelitian yang berjudul “Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Di Indonesia Menuju Sistem Multi Partai Sederhana Dalam Era Reformasi 1998-2012”. Penelitian ini dilakukan
oleh Rika Anggraini, dari Universitas Indonesia, tahun 2013.Dalam penelitian ini hal yang dikaji adalah kebijakan penyederhanaan, akibat hukum dan konstitusionalitas penyusunan kebijakan penyederhanaan partai politik di Indonesia. c) Kemudian ada penelitan tentang partai politik juga, yang berjudul “Perkembangan Koalisi Partai Politik Di Dewan Perwakila Rakyat Republik Indonesia Dalam Era Reformasi Tahun 1998-2002”. Penelitian ini dilakukan oleh Ummi Illiyina, dari Universitas Indonesia, tahun 2012. Dalam tesis ini yang dikaji adalah tentang pengaruh
koalisi
partai
pengawasan DPR RI.
politik
terhadap
pelaksanaan
fungsi
12
Dari ketika penelitian tersebut di atas, maka dalam penelitian yang penulis lakukan mempunyai perbedaan mendasar tentang fokus kajian. Meskipun substansi yang dibahas sama yaitu tentang partai politik, tetapi dalam penelitian ini penulis lebih fokus pada kewenangan partai politik dalam pemberhentian anggota DPR yang melakukan tindak pidana korupsi 1.6. Landasan Teoritis Dalam rangka pemecahan permasalahan sebagaimana telah diuraikan dalam rumusan masalah, maka akan dipergunakan beberapa teori dan pendapat para ahli terkait dengan penelitian ini. Berikut ini teori-teori yang akan dipergunakan dalam penelitian ini, yaitu: Teori Demokrasi, Teori Negara Hukum, Teori Kewenangan, Teori Perundang-Undangan dan Teori Hak Asasi Manusia. 1.6.1. Teori Demokrasi Pengertian demokrasi secara harfiah identik dengan makna kedaulatan rakyat yang berarti pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah (pemerintahan rakyat).
Kedaulatan rakyat
merupakan atribut
negara yang
keberadaannya bersifat mutlak dan menyeluruh, artinya harus dimiliki setiap negara. Sedangkan demokrasi adalah suatu bentuk penyelenggaraan pemerintahan, artinya demokrasi dipandang sebagai suatu bentuk dan cara penyelenggaraan pemerintahan terbaik oleh negara-negara yang mengklaim negara modern.6
6
Eddy Purnama, 2007, NegaraKedaulatan Rakyat, Analisis Terhadap Sistem Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya Dengan Negara-negara Lain, Nusamedia, Bandung, h. 42.
13
Demokrasi sendiri secara etimologis (tinjauan bahasa) terdiri dari dua kata berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat (penduduk suatu tempat) dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan (kedaulatan). Jadi secara bahasa demokrasi adalah keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat, dan kekuasaan oleh rakyat. 7 Menurut Harris Soche, demokrasi adalah : “bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekuasaan pemerintahan melekat pada diri rakyat, diri orang banyak dan merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan dan pemerkosaan orang lainatau badan yang diserahi untuk memerintah.”8 C.F. Strong berpendapat bahwa, demokrasi adalah: “Sebagai suatu sistem pemerintahan dalam hal mana mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta melalui cara perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya kepada mayoritas itu. Dengan kata lain negara demokrasi didasari oleh sistem perwakilan yang menjamin kedaulatan rakyat”.9 Hendry B. Mayo, sistem politik demokratis adalah : “sistem yang menunjukkan kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. 10
7
Titik Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 67. 8 Sarifuddin Sudding, Op.Cit, h.19. 9 Eddy Purnama, Op.Cit, h.43. 10 Moh. Mahfud MD, 2003, Demokrasi Dan Konstitusi Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h.19.
14
Robert A. Dahl mengemukakan delapan kriteria bagi negara demokrasi, adalah sebagai berikut:11 1) Ada kebebasan untuk membentuk dan bergabung ke dalam organisasi (freedom to form and join organization); 2) Ada kebebasan untuk menyatakn pendapat (freedom of expression); 3) Ada hak untuk memilih (the right to vote); 4) Ada hak untuk dipilih (eligibility for public office); 5) Ada hak bagi peserta politik untuk berkampanye guna memperoleh dukungan suaru rakyat (the right of political leaders to compete for support and vote); 6) Ada pilihan terhadap berbagai sumber informasi (alternative sources of onfprmation); 7) Ada pemilihan umum yang bebas dan jujur (free and fair elections); dan 8) Ada lembaga-lembaga yang membuat kebijaksanaan pemerintah berdasarkan kepada keinginan rakyat (institution for making government police depend on vote and other expression of preferens). Pandangan tentang demokrasi sebagai konsep bangsa indonesia, mencapai titik Kristal pada saat Bung Karno menyampaikan pemikirannya tentang “Geo Politik” di depan BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, yang berisi antara lain, bahwa dasar kebangsaan Indonesia adalah mufakat, dasar perwakilan dan dasar permusyarawatan. Beliau sampaikan bahwa, syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia adalah permusyawaratan perwakilan. 12 Pandangan Bung Hatta tentang demokrasi Indonesia adalah harus mencakup baik bidang politik maupun ekonomi. Lebih lanjut beliau sampaikan sebagai berikut: “Di atas sendi yang pertama dan kedua, dapat didirikan tiang-tiang politik daripada demokrasi yang sebenarnya satu pemerintahan negeri yang 11 12
Eddy Purnama, Op. Cit, h. 48. Ibid,h. 57.
15
dilakukan oleh rakyat, dengan perantaraan wakil-wakilnya atau badan-badan perwakilan.Sedangkan yang menjalankan kekuasaan pemerintahan senantiasa tahluk pada kemauan rakyat.Untuk menyususn kemauan itu, rakyat mempunyai hak yang tidak dapat dihilangkan atau dibatalkan, yaitu hak merdeka bersuara, berserikat dan berkumpul.”13 Wujud konkrit konsep demokrasi di Indonesia, kemudian dirumuskan di dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum amandemen), bahwa: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Setelah amandemen ketiga UUD 1945, perihal demokrasi diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar “. Teori demokrasi dalam kaitan dengan partai politik tentu sangat terkait, dimana dalam negara demokrasi kedaulatan ada ditangan rakyat. Rakyat mempunyai kekuasaan untuk memilih wakil-wakilnya untuk menduduki jabatan politik di eksekutif dan legislatif. Wakil-wakil rakyat ini dalam negara hukum demokratis dipilih melalui sarana partai politik dalam pemilihan umum. Dalam sistem demokrasi, penyelenggaraan negara itu harus bertumpu pada partisipasi dan kepentingan rakyat. Hubungan antara negara hukum dan demokrasi tidak dapat dipisahkan. Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Menurut Magnis Suseno, demokrasi yang bukan negara hukum bukan demokrasi dalam arti
13
Ibid, h. 58.
16
yang sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol atas negara hukum. 14 Dari uraian tentang teori demokrasi tersebut di atas bahwa dalam negara demokrasi, partai politik berperan penting dalam jalannya suatu negara.salah satu contohnya adalah bahwa partai politiklah yang dapat mencalonkan para pemimpin dari pusat sampai di daerah melalui pemilu. 1.6.2. Teori Negara Hukum Secara konseptual istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan dua istilah dalam bahasa asing yaitu: a) Bahasa Belanda istilahnya Rechsstaat, digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental atau civil law system. b) Bahasa Inggris menggunakan istilah Rule of Law, untuk menunjuk tipe negara hukum dari negara Anglo Saxon atau negara-negara yang menganut common law system (Inggris, Amerika, dan negara-negara bekas jajahan Inggris). Sedangkan tipe negara hukum yang diterapkan
14
Ridwan. 2006. Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo, Jakarta, h. 8. (Selanjutnya disebut Ridwan I)
17
di negara-negara Sosialis-Komunis, menggunakan istilah socialist legality, antara lain Rusia, RRC dan Vietnam. 15 Adapun perbedaan Rechsstaat dan Rule of Law secara konseptual antara lain dapat disebutkan bahwa, konsep Rechsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, sehingga berwatak revolusioner. Sedangkan Rule of Law lahir dari perkembangan yurisprudensi, sehingga bersifat evolusioner. 16 Di dalam Penjelasan UUDNRI 1945, ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan tidak atas dasar kekuasaan belaka (machtstaat).Rechsstaat
atau negara
hukum diartikan negara
yang
penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan prinsip-prinsip hukum, untuk membatasi kekuasaan pemerintah. Sedangkan machtstaat diartikan negara yang penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan kekuasaan belaka. Dengan demikian segala tindakan dalam penyelenggaraan negara ini harus tunduk dan dibatasi oleh hukum. Pasca amandemen ketiga UUD 1945, diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUDNRI 1945, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Hal ini menegaskan bahwa untuk menghindari kesewenang-wenangan dalam
15
menjalankan kekuasaan.
Dengan
I Dewa Gede Atmadja, 2012, Hukum Konstitusi, Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, h. 157. (Selanjutnya disebut Atmadja I) 16 Ibid
18
demikian “negara hukum Indonesia” menjadi bukan suatu prinsip, tetapi benar-benar normatif. 17 Konsep negara hukum ini serupa dengan pandangan Krabbe yang mengemukakan istilah souvereiniteit van het recht (kedaulatan hukum) yang artinya semua harus tunduk pada hukum, baik pemerintah maupun yang diperintah (rakyat) harus tunduk pada hukum. 18 Menurut Frederich Julius Stahl ahli hukum Eropa Kontinental memberikan ciri-ciri negara hukum menggunakan istilah rechtstaat, terdiri atas 4 (empat) unsur pokok, yaitu: a) pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia; b) pembagian kekuasaan; c) pemerintah menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang; dan d) adanya peradilan administrasi. 19 Sedangkan Rule of Law yang dikemukakan oleh A.V. Dicey memuat 3 (tiga) unsur yaitu sebagai berikut: a) supremasi hukum (supremacy of law); b) persamaan dihadapan hukum (equality before the law); c) perlindungan konstitusional terhadap hak-hak individu.20 17
Ibid, h. 158. Djokosutono, 1982, Kuliah Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 78. 19 Jazim Hamidi, dkk., 2012, Teori Hukum Tata Negara, A Turning Point Of The State, Salemba Humanika, Jakarta, h. 144. (Selanjutnya disebut Jazim Hamidi I) 18
19
Dalam hubungannya dengan supremacy of law A.V. Dicey menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut: “The absolute supremacy or predominance of regular law as opposed to the influence of the arbitrary power and excludes the existence of arbitrariness of prerogative, or even wide discretionary authority on the part of the government. Englishmen are ruled by the law, and by the law alone, a man may with us be punished for a breach of law, but he can be punished for nothing elase”21 (Supremasi absolut atau keunggulan hukum regular sebagai kebalikan dari pengaruh kekuasaan sewenang-wenang dan meniadakan kesewenagwenangan prerogatif, atau wewenang diskresi yang luas pada pihak pemerintah. Orang Inggris diatur oleh hukum, dan hanya oleh hukum, seseorang barang kali dihukum bersama kami untuk suatu pelanggaran hukum, dia boleh dihukum tetapi bukan untuk hal lain). Menurut Brian Tamanaha, ada dua versi negara hukum dalam diskursus tentang negara hukum, yaitu; 1) Negara hukum formal yang bersendikan: pembatasan kekuasaan negara, pemerintahan berdasarkan hukum dan pemerintahan yang dipilih secara demokratis; 2) Negara hukum substantif yang mengutamakan: pemenuhan hak-hak asasi, pengutamaan manusia dan keadilan dan kesejahteraan warga (welfare).22 Lebih lanjut Tamanaha berpendapat, bahwa prinsip negara hukum rule of law sedikitnya memiliki enam bentuk, yaitu: 1) Rule by law; Hukum hanya difungsikan sebagai instrumen dalam penyelenggaraan pemerintahan.Hukum hanya dimaknai dan difungsikan sebagai 20
Ibid Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 121. 22 Moh. Mahfud MD, dkk, 2011, Satjipto Rahardjo Dan Hukum Progresif Urgensi Dan Kritik, Epistema Institute dan Hema, Jakarta, h. 134. 21
20
instrumen kekuasaan belaka. Derajat kepastian dan prediktibiltasnya sangat tinggi, sehingga sangat disukai oleh para pelaku kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun ekonomi, the rule of law dalam tafsir kaum liberal; 2) Formal legality; Dalam bentuk ini negara hukum dicirikan memiliki beberapa sifat yang meliputi: prinsip prospektivitas dan tak boleh retroaktif, berlaku umum, mengikat semua orang, jelas, publik, dan relatif stabil. Dalam pengertian ini prediktibilitas hukum sangat diutamakan. 3) Democracy and legality; Demokrasi yang dinamis diimbangi oleh hukum yang menjamin kepastian hukum. Namun demikian, sebagai a procedural mode of legitimation, demokrasi juga mengandung keterbatasan-keterbatasan yang serupa dengan formal legality, sehingga bisa juga memunculkan praktik-praktik buruk kekuasaan otoritarian. 4) Individual rights; Adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak milik, kontrak pribadi, dan otonomi seseorang 5) Rights of dignity; Jaminan terhadap martabat seseorang, termasuk jaminan atas hak atas keadilan. 6) Social welfare. Persamaan yang sifatnya mendasar dan hakiki, jaminan kesejahteraan, dan terjaganya terpeliharanya seseorang dalam komunitasnya. 23 Adapun prinsip-prinsip negara hukum menurut J.B.J.M. ten Berge adalah sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5)
Asas legalitas; Perlindungan hak asasi manusia; Pemerintah terikat oleh hukum; Monopoli pemerintah untuk menjamin penegakan hukum; Pengawasan oleh hakim yang merdeka. 24
Pengertian negara hukum dihubungkan dengan organisasi intern dan struktur negara yang diatur menurut hukum. Setiap tindakan penguasa maupun rakyatnya
23
Wahyudi Djafar, 2010, Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum, Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 5, h.163. 24 Ridwan I, Op.Cit, h. 9.
21
harus berdasarkan hukum, sekaligus dicantumkan mengenai tujuan negara hukum, yaitu menjamin hak-hak asasi rakyatnya. Dalam Ensiklopedia Indonesia sebagaimana dikutip A. Muktie Fadjar, negara hukum (rechtstaat) yang dilawankan dengan negara kekuasaan (machstaat) dirumuskan sebagai berikut: “Negara hukum (rechtstaat), negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban umum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum yang terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum supaya jangan terganggu, agar semuanya berjalan menurut hukum. Sedangkan negara kekuasaan (machtstaat), negara bertujuan untuk memelihara dan mempertahankan kekuasaan semata”.25 Menurut Soepomo, dalam UUDS RI 1950, telah mengartikan istilah negara hukum yaitu: “….bahwa Republik Indonesia dibentuk sebagai negara hukum, artinya negara akan tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum, berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat perlengkapan negara. negara hukum menjamin adanya tertib hukum dalam masyarakat, artinya memberi perlindungan hukum pada masyarakat antara hukum dan kekuasaan ada hubungan timbal balik”. 26 Sedangkan Muhammad Yamin, selain menggunakan padanan kata negara hukum dengan rechtstaat, digambarkan juga tentang makna negara hukum itu sendiri sebagai berikut: “Republik Indonesia ialah suatu negara hukum (rechtstaat, government of law) tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara polis atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan, 25
Jazim Hamidi, 2009, Teori Dan Politik Hukum Tata Negara, Total Media, Jakarta, h. 39-40. (Selanjutnya disebut Jazim II) 26 Ibid, h. 39.
22
bukanlah pula negara kekuasaan (machtstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan sewenang-wenang”. 27 Philipus M. Hadjon berpendapat, latar belakang yang menopang konsep rechtstaat maupun konsep rule of law, berbeda dengan latar belakang Negara Republik Indonesia. Dengan demikian isi konsep negara hukum tidaklah begitu saja dengan mengalihkan konsep rechtstaat maupun konsep rule oflaw, meskipun kehadiran istilah negara hukum berkat pengaruh kedua konsep tersebut.28 Jadi negara hukum Indonesia, bukanlah terminologi terjemahan dari rechtstaat dan rule of law, tetapi merupakan suatu “konsep”. Dengan demikian tepat menurut Hadjon, negara hukum Indonesia diberi atribut “Negara Hukum Pancasila”.29 Lebih lanjut Philipus M. Hadjon menyampaikan ciri-ciri negara hukum Indonesia adalah sebagai berikut: 1) Hubungan antara pemerintah dan rakayat berdasarkan asas kerukunan; 2) Hubungan fungsional dan proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara; 3) Penyelesaian sengketa melalui musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir; 4) Keseimbangan antara hak dan kewajiban.30
27
Muhammad Yamin, 1952, Proklamasi Dan Konstitusi Republik Indonesia, Djambatan, Jakarta, h. 75. 28 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, h.72. (Selanjutnya disebut Philipus I) 29 Ibid 30 Ibid, h. 85.
23
Jimly merumuskan dua belas prinsip pokok negara hukum (rechtsstaat) yang berlaku pada jaman sekarang. Kedua belas prinsip pokok itu merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai negara hukum (The Rule of Law, ataupun Rechtsstaat) dalam arti yang sebenarnya.31 Kedua belas prinsip pokok negara hukum menurut Jimly tersebut adalah: 1) Supremasi hukum (supremacy of law); 2) Persamaan dalam hukum (equality before the law); 3) Asas legalitas (due process of law); 4) Pembatasan kekuasaan; 5) Organ-organ eksekutif independen; 6) Peradilan bebas tidak memihak; 7) Peradilan tata usaha negara; 8) Peradilan tata negara; 9) Perlindungan HAM; 10) Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat); 11) Berfungsi sebagai sarana mewuju7dkan tujuan bernegara (welfare rechtsstaat); 12) Transparansi dan kontrol sosial. 32 Konsep negara hukum yang dianut di Indonesia, bahwa UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi, yang menjadi pedoman untuk semua peraturan yang ada di bawahnya. Pada tesis ini, penulis menggunakan teori negara hukum yang menekankan pada asas legalitas serta pembatasan kekuasaan dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam penyelenggaraan negara.
31
Jimly Asshiddiqie, 2011, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h.127 (Selanjutnya disebut Jimly I). 32 Ibid, h. 127-133.
24
1.6.3. Teori Kewenangan Sebagai konsekuensi dari negara hukum, wajib adanya jaminan bagi administrasi negara sebagai alat perlengkapan negara untuk dapat menjalankan pemerintahan, dan warga negara memiliki hak dan kewajiban mendapat jaminan perlindungan. Oleh karena itu, kekuasaan pemerintah tidak dapat lepas dari perkembangan asas legalitas yang dimulai sejak munculnya konsep negara hukum, bahwa pemerintahan menurut undang-undang. Menurut H.D. Van Wijk, pemerintahan menurut undang-undang yaitu pemerintah mendapatkan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh undang-undang atau undang-undang dasar.33 Secara bahasa menurut KBBI, kewenangan atau wewenang berasal dari kata “wenang” yang berarti hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. 34 Dalam bahasa Inggris wewenang disebut dengan authority yang antara lain berarti: a) The power or right to enforce obedience (kekuasaan atau hak untuk menegakkan kepatuhan);
33
Irfan fachruddin, Op.Cit. h. 44 Departemen Pendidikan Nasional, 2014, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 1560. 34
25
b) The power to enforce laws, exact obedience, command, determine, or judge (kekuasaan untuk menegakkan hukum, kepatuhan, perintah, ketentuan, atau putusan hakim); c) One that is invested with this power, especially a government or body of governman
officials
(sesuatu
yang
diberi
kekuasaan
terutama
pemerintah atau badan pemerintah).35 Dalam Black’s Law Dictionary cukup banyak arti yang diberikan terhadap kata authority ini, diantaranya adalah sebagai berikut: a) the right or permission to act legally on another’s behalf; esp., the power person to affect another’s legal relation by act done in accordance with the other’s manifestations of assent; the power delegated by a principal to an agent also termed power over other person (hak atau ijin untuk bertindak secara hukum atas nama pihak lain, terutama kekuasaan seseorang untuk mempengaruhi hubungan hukum pihak laindengan tindakan yang dilakukan sesuai dengan manifestasi persetujuan pihak lain; kekuasaan yang didelegasikan oleh seorang pejabat kepada wakilnya, juga disebut kekuasaan atas orang lain); b) governmental power or jurisdiction; a governmental agency or corporation that administer a public enterprice. Also termed public authority. (kekuasaan atau yurisdiksi pemerintah, sebuah badan pemerintah, atau korporasi yang mengelola suatu perusahaan publik. Juga disebut otoritas publik).36
35
Ridwan , 2014, Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah, FH UII Press, Yogyakarta, h. 110. (Selanjutnya disebut Ridwan II) 36 Bryan A. Gerner, Editor, 2009, Black’s law Dictionary Ninth Edition, West Publishing Co. USA, h. 152.
26
Dalam bahasa Belanda, istilah wewenang sering menggunakan kata bevoegdheid, penggunaan istilah ini dalam hukum publik telah sedemikan jelas sebagaimana terlihat pada ungkapan-ungkapan berikut: a) kewenangan merupakan konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi; b) asas legalitas berarti bahwa kewenangan yang dilaksanakan oleh organ pemerintah itu secara langsung atau tidak langsung harus disandarkan pada dasar peraturan perundang-undangan; c) pemerintah hanya dapat melakukan tindakan atas dasar kewenangan yang diakui dan dibatasi undang-undang.37 Menurut P. Nicolai, kewenangan dapat diartikan sebagai berikut: “Kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum”.38 Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum, terutama negara-negara hukum dalam sistem kontinental. Dengan demikian setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi yaitu
37 38
Ridwan II, Op.Cit, h.111. Irfan Fachrudidin, Op.Cit, h. 40.
27
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Jadi substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu.39 Menurut Indroharto asas legalitas bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan undang-undang,berikut rumusannya: “tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, segala macam aparat pemerintah itu tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau merubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakat.”40 Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam kaitannya dengan kewenangan, bahwa kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif/administratif. 41 Menurut S.F Marbun, wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum. 42 Teori kewenangan menurut H.D Van Wijk/Willem Konijnenbelt, meliputi: a) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang. b) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainya.
39
Ridwan I, Op.Cit, h.94. Indroharto, 1993.Usaha Memahami Undang-Undang Tentang PTUN, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Negara, Sinar Harapan, Jakarta, h,83. 41 Prajudi Admosudirjo, 1983, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.73. 42 Gayus T. Lumbun, 2006, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Perspektif Hukum Admistrasi Negara Ditinjau Dari Aspek Kegunaan Dan Manfaat, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Besar Tetap Dalam Bidang Ilmu Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Krisna Dwipayana, Jakarta, h. 13. 40
28
c) Mandat yaitu terjadi apabila organ pemerintahan mengijinkan kewenangnnya dijalankan oleh organ lain atas namanya. 43 H.D. van Wijk / Willem Konijnenbelt menyampaikan bahwa atribusi merupakan cara normal pemberian wewenang kepada organ pemerintah. Sedangkan delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. 44 F.C.M.A. Michiels mempunyai pendapat tentang atribusi sebagai berikut : “atribusi mengenai pemberian wewenang membuat peraturan itu ditemukan dalam UUD atau undang-undang dalam arti formal; atribusi juga dapat terjadi untuk pemberian wewenang lainnya pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Bagaimanapun juga, wewenang untuk menciptakan dan memberikan wewenang selalu harus didasarkan secara langsung atau tidak langsung pada UUD atau undang-undang dalam arti formail.” 45 Sedangkan teori kewenangan menurut F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek terdiri atas : a) Atribusi, berkenaan dengan penyerahan wewenang baru. b) Delegasi, menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi). 46 Sedangkan mandat menurut menurut Stroink dan Steenbeek tidak terjadi peralihan. Lebih lanjut keduanya berpendapat bahwa:
43
Ridwan I, Op.Cit, h. 101-102. Ridwan II, Op.Cit, h. 115 dan 117. 45 Ibid, h. 115 46 Ridwan I, Loc.Cit. 44
29
“pada mandat tidak dibahas penyerahan wewenang, tidak pula pelimpahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun, setidak-tidaknya dalam arti yuridis formal.Yang ada hanyalah hubungan internal. Sebagai contoh menteri dengan pegawai, menteri menteri mempunyai kewenangan dan melimpahkan kepada pegawai untuk mengambil keputusan tertentu atas nama menteri, sementara secara yuridis wewenang dan tanggung jawab tetap berada pada organ kementerian. Pegawai memutuskan secara faktual, menteri secara yuridis”.47 Menurut Philipus M. Hadjon, dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara utama untuk memperoleh wewenang pemerintahan, yaitu atribusi dan delegasi. Sedangkan mandat ditempatkan sebagai cara tersendri, namun bukan pelimpahan wewenang seperti delegasi. 48 Lebih lanjut Philipus M. Hadjon kemukakan bahwa, “wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya 3 (tiga) komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas hukum”. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum, komponen dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar hukumnya, dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standar wewenang yaitu standart hukum (semua jenis wewenang) serta standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).49 Indroharto, berpendapat bahwa, dari segi sifatnya wewenang dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
47
Ibid. h. 108. Philipus M. Hadjon, dkk, Hukum Administrasi Dan Tindak Pidana Korupsi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h.11. (Selanjutnya disebut Philipus II) 49 Ibid 48
30
1) Wewenang yang sifatnya terikat, yakni terjadi apabila telah dirumuskan secara jelas kapan, keadaan bagaimana wewenang tersebut harus dilaksanakan, serta telah ditentukan bagaimana keputusan seharusnya diambil; 2) Wewenang fakultatif bahwa, wewenang tersebut tidak wajib dilaksanakan, karena masih ada pilihan sekalipun itu hanya dapat dilakukan pada keadaan-keadaan tertentu sebagaimana yang dijelaskan pada peraturan dasarnya; 3) Wewenang bebas yakni, wewenang yang dapat dilakukan ketika peraturan dasarnya, memberikan kebebasan sendiri kepada pejabat tata usaha negara untuk bertindak dan menentukan keputusan yang akan diambilnya.50 Partai politik dalam UUD NRI Tahun 1945 diberikan kewenangan sangat besar, diantaranya dapat mengajukan calon Presiden/Wakil Presiden dan mengajukan calon anggota DPR. Kewenangan Partai Politik juga diatur dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Selain dapat mengajukan calon Presiden/Wakil Presiden dalam UU No. 2 Tahun 2011 ini partai politik dapat mengajukan calon Kepala Daerah dan anggota DPRD. 1.6.4. Teori Perundang-Undangan Dalam kerangka menghindari adanya kekuasaan yang tidak terbatas maka dalam suatu negara diperlukan pranata hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang disebut dengan undang-undang dasar atau konstitusi. Menurut Sri Soemantri, tidak ada satupun negara di dunia sekarang ini, yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Sementara menurut A. Hamid 50
Ridwan I, Op.Cit, h.110.
31
S.Attamimi, bahwa dalam abad ini tidak suatu negara pun yang menganggap sebagai negara modern tanpa menyebutkan dirinya negara berdasar hukum. 51 Fockema Andrea mengemukakan secara teoritis istilah perundang-undangan atau legislation mempunyai dua pengertian yaitu:52 1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan /proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; 2. Perundang-undangan adalah segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Dalam kaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia berpedoman pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagai berikut: Pasal 1 ayat (1) menentukan bahwa, “Pembentukan
Peraturan
Perundang-undangan
yang
Perundang-undangan mencakup
adalah
tahapan
pembuatan
perencanaan,
Peraturan
penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan”. Pasal 2 menentukan bahwa, “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara”.Pasal 3 ayat (1) menentukan bahwa, “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan”.
51
Yuliandri, 2011, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, RadjaGrafindo Perkasa, Jakarta, h. 26. (Selanjutnya disebut Yuliandri I) 52 Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Kanisius, Yogyakarta, h.10.
32
Menurut Bagir Manan, agar pembentukan undang-undang menghasilkan suatu undang-undang yang tangguh dan berkualitas, dapat digunakan tiga landasan dalam penyusunannya, yaitu landasan yuridis, landasan sosiologis dan landasan filosofis. 53 Dalam lampiran IV UU No. 12 Tahun 2011, mengatur tentang landasan dalam pembentukan undang-undang sebagai berikut: a) Landasan Filosofis Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Landasan Sosiologis Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. c) Landasan Yuridis Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi 53
Yuliandri I, Op.Cit, h. 29.
33
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Secara operasional landasan yuridis, sosiologis, dan filosofis dalam merancang peraturan perundang-undangan yang baik, dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan ROCCIPI, yang merupakan metodologi pemecahan masalah dalam merancang peraturan perundang-undangan yang baik.54 Ann Seidman dan Robert Seidman, mengemukakan bahwa ROCCIPI merupakan materi pemecahan dalam rangka Legislative Drafting antara lain menempatkan hukum (peraturan) sebagai unsur strategis yang menentukan keberlakuan hukum secara baik. Adapun pendekatan ROCCIPI dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1) Rule (peraturan), bahwa dari perspektif normatif apabila pengaturan mengenai implementing agency lembaga pemerintah tidak jelas mengenai: 1) wewenang; 2) hak dan kewajiban; 3) Prosedur; 4) pengawasan dan koordinasi yang tidak jelas dan; 5) sanksi yang tidak jelas. Kelima hal tersebut di atas mengakibatkan munculnya tindakan penyalahgunaan wewenang, kesewenang-wenangan dan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). 2) Opportunity (kesempatan), bahwa pengaturan yang tidak jelas mengenai wewenang, birokrasi, pengawasan, sanksi, dsb, memberi kesempatan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) maupun pelanggaran hukum (perdata) dan administrasi oleh pejabat pemerintahan, sebagai akibat tidak jelasnya norma hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan. 54
Yohanes Usfunan, 2004, Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Menciptakan Pemerintahan Yang Bersih Dan Demokratis, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 25.
34
3) Capacity (kemampuan), bahwa timbulnya perilaku bermasalah dalam bentuk KKN dari oknum pejabat pemerintahan, disebabkan memiliki kemampuan/wewenang yang terlalu luas, disertai adanya birokrasi yang berbelit-belit. 4) Interest (kepentingan), bahwa kelemahan pengaturan mengenai sanksi, dsb, memungkinkan terjadinya penyalahgunaan wewenang, karena hal tersebut sebagai pendorong untuk memenuhi keinginan dalam bentuk dana maupun materi lainnya. 5) Process (proses), bahwa pemberian wewenang terlampau luas maupun tidak jelas, berpotensi menimbulkan pengambilan keputusan secara sepihak (sewenang-wenang) oleh oknum pejabat pemerintahan. 6) Ideology (perilaku), bahwa perilaku menyimpang dari oknum pejabat pemerintahan selalu muncul, manakala peraturan tidak jelas. 55 Kemudian untuk menghasilkan undang-undang yang berkualitas harus sesuai dengan asas-asas pembentukan undang-undang yang baik dan materi muatan tidak boleh bertentangan dengan UUDNRI 1945 sehingga dapat berlaku berkelanjutan. Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 mengatur ketentuan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: a) b) c) d) e) f) g) h)
kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis; hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.
Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011, menentukan bahwa: Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harusmencerminkan asas: a) b) c) d) 55
pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan;
Ibid, h. 27.
35
e) f) g) h) i) j)
kenusantaraan; bhinneka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain itu dalam proses legislasi yang baik harus didahului dengan adanya naskah akademik. Pasal 1 angka 11 UU No. 12 Tahun 2011, menentukan bahwa: “Naskah akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian
lainnya
terhadap
suatu
masalah
tertentu
yang
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.” Dari uraian di atas maka, untuk mendapatkan peraturan perundang-undangan yang baik tentu harus sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011.Selain itu pendekatan ROCCIPI juga penting sebagai pedoman untuk membuat peraturan perundang-undangan yang baik. 1.6.5. Teori Hak Asasi Manusia Salah satu unsur negara hukum adalah adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia. John Locke menyatakan bahwa, HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai hak yang kodrati. 56 Oleh karenanya tidak ada kekuasaan
56
Jazim II, Op.Cit, h.270.
36
apapun di dunia yang dapat mencabutnya.Hak ini sifatnya sangat fundamental bagi hidup dan kehidupan manusia. Ide HAM sendiri bermula dari Inggris, yang pada abad ke -17 sudah mempunyai tradisi perlawanan terhadap kekuasaan raja yang mutlak.Pada tahun 1215, apara bangsawan sudah mampu memaksa raja untuk memberikan Magna Charta Libertatum, yang melarang penahanan, penghukuman dan perampasan benda dengan sewenang-wenang. 57 Pada saat Inggris dalam kekuasaan Raja William III, pada tahun 1689 disusun Declaration and Bill of Rights, yang berisi pengakuan bahwa hak-hak rakyat dan anggota parlemen tidak boleh diganggu gugat (dituntut) atas dasar ucapan-ucapannya. Declaration Bill of Rights merupakan awal menuju ke monarkhi konstitusional. 58 Perkembangan lahirnya HAM selanjutnya terjadi di Amerika Serikat, dimana pada tahun 1776 disusun Piagam Bill of Rights (Virginia), yang merupakan kesepakatan 13 negara Amerika Serikat yang pertama. Dalam Piagam ini memuat antara lain bahwa semua manusia karena kodratnya, bebas merdeka serta memiliki hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dengan sifat kemnausiaannya. Hak tersebut adalah: hak hidup/kebebasan, hak memiliki, hak kebahagiaan dan hak keamanan. 59
57
Ibid Jimly Assidiqqie, 2015,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, RadjaGrafindo Persada, Jakarta, h. 344 (Selanjutnya disebut Jimly II) 59 Idrus Affandi, Karim Suryadi, 2008, Hak Asasi Manusia, Universitas terbuka, Jakarta, h.16 58
37
Pengakuan tentang hak asasi manusia di Amerika Serikat tersebut pada tahun 1941 dipertegas lagi oleh Presiden Roosevelt, yang dikenal dengan four freedoms, yang isinya: a) Kebebasan (kemerdekaan ) berbicara (freedom to speech); b) Kebebasan beragama (freedom to religion); c) Kebebasan dari kemiskinan (freedom from want); d) Kebebasan dari ketakutan (freedom from fear).60 Pentingnya perlindungan HAM mencapai puncaknya pada tahun 1948 ketika PBB memproklamasikan sebuah Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM). Deklarasi ini menandai tonggak bersejarah sebuah moral dalam sejarah komunitas bangsa-bangsa. 61 Secara umum dinamika pemikiran HAM diklasifikasikan dalam empat generasi, yaitu: 1) Generasi pertama, fokus gagasannya berkutat pada ranah hukum dan politik; 2) Generasi kedua, yang fokusnya pada hak-hak sosial ekonomi, politik dan budaya. Generasi kedua melahirkan dua covenant yaitu
60
Antonio Cassese, 2005, Hak Asasi Di Dunia Yang Berubah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 34. 61 Jimly, Asshiddiqie, 2012, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta, h.199 (Selanjutnya disebut Jimly III)
38
International Covenant on Civil Economic, Social and Culture Right dan International Covenant on Civil and Political Rights. 3) Generasi ketiga, menitikberatkan terhadap hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama. 4) Generasi keempat, fokusnya mengkritik peranan negara yang dominan dalam proses pembangunan, yang terfokus pada pembangunan ekonomi, yang dampaknya terabaikannya kesejahteraan rakyat.62 Di Indonesia sendiri, gagasan tentang hak asasi manusia telah dituangkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 pada alinea pertama, yaitu bahwa kemerdekaan itu ialah hak setiap bangsa. Sebagai negara hukum, Indonesia telah mengatur tentang HAM dalam Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945, ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Selain telah mempunyai undang-undang tentang HAM, Indonesia juga telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights.Ratifikasi ini dituangkan dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Di negara-negara maju, seorang anggota partai, sering berbeda pendapat bahkan menentang kebijaksanaan keputusan partainya secara terbuka. Sebaliknya di
62
Jazim I, Op.Cit, h.271-273.
39
negara berkembang belum nampak jelas, hal ini karena adanya hak “recall” partai politik yang mengganggu hak individu tersebut. Ada pendapat yang mengatakan bahwa, kebebasan bicara harus lewat partainya, hal ini menunjukkan adanya keutuhan dan keyakinan akan kebenaran keputusan-keputusan yang telah disepakati. Sedangkan pendapat yang lain bahwa, ketentuan tersebut mengebiri kebebasan individual, yang menunjukkan adanya mekanisme yang tidak berjalan dengan baik, yang akhirnya tidak menumbuhkan sikap kiritis yang diperlukan dalam kebebasan berpolitik. Teori HAM, digunakan dalam penelitian ini agar setiap keputusan yang diambil partai politik sesuai kewenangannya tidak melanggar HAM, terutama dalam kaitan dengan pemberhentian keanggotaan seseorang dari partai politik di DPR.Hal ini penting agar hak seseorang semaksimal mungkin dapat dilindungi dan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh partai politik, yang berdampak pada pelanggaran hak anggota partai politik. 1.7. Metode Penelitian Soerjono Soekanto mengemukakan penelitian hukum adalah “kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. 63
63
Salim HS, Erlis Septiana Nurbani. 2013. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 5-6.
40
Penentuan terhadap metoda penelitian yang tepat sangat penting dalam sebuah penelitian. 1.7.1 Jenis Penelitian Suatu penelitian dilakukan sebagai suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan, menguji kebenaran dan mencari kembali suatu pengetahuan dan menggunakan metode-metode ilmiah.Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 64 Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan secara normatif dengan mengidentifikasi dan menganalisis faktor hukum yang menjadi kelemahan lembaga perwakilan rakyat dalam kaitan dengan penyelanggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, menurut prinsip-prinsip negara hukum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD serta berbagai peraturan lainnya.
1.7.2. Jenis Pendekatan Pendekatan adalah cara pandang peneliti dalam memilih spektrum ruang bahasan yang diharap mampu memberi kejelasan uraian dari suatu substansi karya ilmiah. Pada umumnya pendekatan dalam penelitian hukum normatif terdiri dari:
64
Soerjono, Soekanto, Sri Pamuji. 2011. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajagrafindo, Jakarta, h. 13-14.
41
1) pendekatan perundang-undangan (statute approach); 2) pendekatan konseptual (conceptual approach); 3) pendekatan sejarah (historical approach); 4) pendekatan kasus (case approach)dan; 5) pendekatan perbandingan (comparative approach).65 Dalam penelitian ini dengan jenis pendekatan tersebut di atas, maka penelitian ini menggunakan pendekatan; 1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach); Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum
yang
menjadi
fokus
sekaligus
tema
sentral
suatu
penelitian.66Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi.67
2. Pendekatan konseptual (conceptual approach) Pendekatan koseptual biasanya digunakan untuk menguraikan dan menganalisis permasalahan penelitian yang beranjak dari adanya
65
I Made Pasek Diantha, 2016, Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Dalam Justifikasi Teori Hukum), Prenada Media Group, Jakarta, h.156-165. 66 Johnny Ibrahim, 2013, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Edisi Revisi), Bayumedia Publising, Malang, h. 303. 67 Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana Prenada MediaGroup, Jakarta, h. 93.
42
norma kosong.68 Pendekatan konseptual beranjak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrindoktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. 69 3. Pendekatan sejarah (history approach) Pendekatan sejarah dilakukan dengan menelusuri aturan hukum yang dibuat pada masa lampau, baik berupa aturan tertulis maupun tidak tertulis, yang masih ada relevansinya dengan masa kini. Penelusuran sejarah aturan hukum terutama berkaitan dengan permasalahn penelitian yang beranjak dari adanya kekosongan norma. 70 Pendekatan ini sangat membantu peneliti untuk memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu. Selain itu peneliti juga dapat memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum tersebut.71 4. Pendekatan kasus (case approach) Pendekatan kasus dalam penelitian hukum normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang
68
Pasek Diantha, Op.Cit, h. 159. Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, h.95. 70 Ibid, h.159-160. 71 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit, h. 126. 69
43
dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian.72 1.7.3. Sumber Bahan Hukum Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, oleh karena itu sumber bahan hukumnya adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.73 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki
peraturan
perundang-undangan, yaitu: 1) Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945). 2) Peraturan Dasar; i.
Batang tubuh UUD NRI Tahun 1945
ii.
Ketetapan-Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat. 3) Peraturan Perundang-Undangan; i.
72
Undang-undang dan Peraturan setaraf
Johnny Ibrahim, Op.Cit, h. 321. Program Studi Magister (S2) llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis ProgramStudi Magister (S2) Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar, h. 30. 73
44
ii.
Peraturan Pemerintah dan Peraturan yang setaraf
iii.
Keputusan Presiden dan Peraturan yang setaraf
iv.
Keputusan menteri dan Keputusan yang setaraf
v.
Peraturan Daerah
4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan; 5) Yurisprudensi; 6) Traktat; 7) Bahan hukum dari jaman kolonial yang sampai saat ini masih dipergunakan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).74 Berdasarkan petunjuk dari sumber bahan hukum primer tersebut di atas, maka bahan hukum primer yang penulis pergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945); 2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD Dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182); 3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117); 4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82);
74
Johnny Ibrahim, Op.Cit, h. 295-296.
45
5) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 2); 6) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2); 7) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas DariKorupsi, KolusiDan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75); 8) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165); 9) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tentangPengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan UmumAnggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan DewanPerwakilan Rakyat Daerah; 10) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 213 ayat (2) huruf e dan huruf h Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 11) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-IV/2006 tentang pengujian Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum penunjang yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi yang meliputi buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa permasalahan hukum,
46
termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum, jurnal-jurnal hukum. Selain itu juga mencakup majalah dan makalah serta bahan hukum bidang pemerintahan yang diperoleh diinternet. Fungsi bahan hukum sekunder adalah try to explain and analyze the law.75 3. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti : kamus hukum, ensiklopedia. 76 1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum berisi uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, serta bagaimana bahan hukum tersebut diinventarisasi dan diklasifikasi dan menyesuaikan dengan masalah yang dibahas.77 Langkah yang dilakukan untuk mendapatkan sumber bahan hukum tersebut, yaitu diawali dengan melakukan identifikasi bahan-bahan hukum ke dalam suatu sistem informasi yang konprehensif, yang memudahkan untuk melakukan penelusuran terhadap bahan hukum yang diperlukan.
75
Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 1992, Legal Research In a Nutshell, West Publishing Co., United State of America h. 8. 76 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13. 77 Johnny Ibrahim, Op.Cit, h. 297.
47
1.7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum Bahan-bahan hukum yang telah diperoleh, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, kemudian diolah dan dianalisis untuk mendapatkan argumentasi akhir yang merupakan jawaban terhadap permasalahan penelitian. 78 Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dapat digunakan berbagai teknik analisis yaitu: deskripsi, kontruksi, evaluasi, argumentasi, interpretasi dan sistimatisasi. 79 Dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan maupun bahan-bahan pustaka dan hasil penelitian lainnya berupa bahan atau pendapat pakar hukum, jurnal-jurnal hukum, para pakar di bidang politik, tentang demokrasi dan negara hukum. Selanjutnya diklasifikasi kemudian disusun secara sistematis dan dianalisa secara evaluatif terhadap norma-norma hukum yang terkait dengan peraturan hukum yang mengatur tentang kewenangan partai politik, disamping itu juga dilakukan dengan teknik argumentasi dan teknik sistematisasi. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. 80 Sedangkan sistematisasi yaitu berupaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum antara peraturan perundang-undangan yang diteliti yang berkaitan dengan
78
Pasek Diantha, Op.Cit, h. 152. Program Studi Magister (S2) llmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Op.Cit, h. 30-31. 80 Ibid, h.32. 79
48
kewenangan partai politik.Dari hasil tersebut diharapkan dapat memperoleh simpulan atas masalah yang diangkat dalam penelitian ini.