BIDANG KEBAHASAAN
MEMPERTANGGUNGJAWABKAN DATA LINGUAL Strategi dan Metodenya Sudaryanto PPs Univ. Widyadharma Klaten 1. Pernah pada tahun 70-an abad yang lalu, aneka teori linguistik yang ada di jagat penelitian bahasa dibedakan oleh Verhaar atas empat macam tipe. Pembedaan yang dimaksud didasarkan pada diperhitungkan tidaknya tingkat kebahasaan yang ada; yaitu yang disebutnya tingkat ekspresi, tingkat makna, dan tingkat situasi. Tipe teori yang pertama adalah tipe teori yang mengakui tingkat ekspresi dan tingkat makna; dan tingkat situasi, tidak. Dengan demikian, jika linguis yang kinerjanya bertumpu pada teori itu, dalam melakukan penelitian terhadap bahasa tertentu (langue) objeknya maka dia hanya akan memperhatikan ihwal keekspresian dan kemaknaan saja; ihwal kesituasian, tidak. Jika sekiranya tingkat situasi diakui, pengakuannya pun hanya bersifat lahiriah saja, tidak ada penjabaran dalam teori itu. Tokohnya, disebutkan oleh Verhaar (1980:14), antara lain: F. de Saussure, L. Hjelmslev, dan N. Chomsky. Tipe teori yang kedua tipe teori yang hanya mengakui tingkat ekspresi, dengan L. Bloomfield dan Z. Harris sebagai tokohnya. Adapun tipe teori yang ketiga adalah tipe teori yang mengakui tingkat ekspresi dan tingkat situasi, yang kedua-duanya merupakan faktor penentu atas tingkat makna. Untuk tipe ketiga ini, Verhaar (1980:15) menyebut J.R. Firth dan E.Sapir sebagai tokohnya. Akhirnya, tipe teori yang keempat adalah tipe teori yang memperhitungkan ketiga tingkat kebahasaan yang ada secara sekalaigus; jadi, ya tingkat ekspresi, ya tingkat makna, ya tingkat situasi. Tokoh utamanya adalah A. Reichling dan S.C. Dik muridnya (Verhaar, 1980:16). Dari penipean atau pencorakan teori linguistik yang ada itu, nampak bahwa tingkat ekspresi adalah satu-satunya tingkat kebahasaan yang diperhitungkan sepenuhnya oleh keempat tipe teori yang ada itu.
2. Sesuai dengan judul makalah yang isinya akan saya bentangkan di bawah, saya selanjutnya tidak akan membicarakan seluk-beluk teori yang dimaksud; kecuali di sana sini beberapa konsep teoretis dasar akan dilibatkan sejauh gayut (relevan) dengan pokok masalah tertentu. Dengan menyinggung keberadaan tipe-tipe teori linguistik yang ada itu—yang pada hemat saya, secara prinsip, tidak berubah sampai dengan dekade kedua abad ke-21 ini—saya hanya ingin menegaskan bahwa jika kita berminat melakukan penelitian bahasa verbal tertentu (langue) apa pun dan dengan bertumpu pada teori linguistik yang mana pun, kita layak dan perlu memperhatikan betul-betul tingkat ekspresi dari bahasa yang kita teliti itu.
3. Apakah yang dimaksud dengan istilah “ekspresi” dalam pernyataan “tingkat ekspresi” itu? Berikut adalah upaya penjelasan terhadapnya. Untuk itu, konsep makna lingual dan konsep situasi lingual dilibatkan pula. Ekspresi lingual dapat dipahami sebagai aspek kebahasaan yang terdengar(kan) kalau bahasa itu dalam penggunaan diucapkan atau aspek kebahasaan yang terbaca(kan) kalau bahasa itu dalam penggunaan dituliskan. Dalam hal ini, tentu saja keterdengaran atau keterbacaan itu terjadi dalam jarak dengar dan jarak lihat bagi para pelibat pertuturan (interlokutor) yang relatif normal. Adapun aspek yang terdengarkan atau terbacakan itu keberadaan dan identitasnya terkukuhkan dengan dapatnya aspek itu diucapkan atau ditulis ulang dengan hasil pengulangannya yang relatif sama. Dalam kaitan ini, pengulangannya itu dapat dilakukan berkali-kali tanpa batas; jadi, tak terhingga, sejauh dikehendaki dan kondisi memungkinkan. Jadi, manakala ada terdengar(kan) atau terbaca(kan) tuturan (1) berikut yang diucapkan atau ditulis(kan) oleh si A sebagai penutur untuk atau ditujukan kepada si B mitra tuturnya saat bertutur itu (1) Dia tempo hari datang ke sana, kan? maka tuturan (1) yang terdengar atau tertulis itu dapat kembali diucapkan atau dituliskan dengan hasil pengucapan atau hasil penulisan yang relatif terdengar atau tertulis sama; dan pengucapan atau penulisannya pun dapat dilakukan berkali-kali
tanpa batas. Itulah ekspresi. Adapun yang dimaksud dengan “makna (lingual)” adalah aspek kebahasaan yang terpikirkan tepat pada saat bahasa atau langue itu digunakan lewat pengucapan atau penulisan. Rumusan singkatnya adalah pikiran dalam bunyi lingual atau dipendekkan lagi pikiran yang lingual (cf. Sudaryanto, 1983:256, 303). Apa yang diidentifikasi sebagai yang sedang terpikirkan itu dapat dinyatakan lewat bahasa tertentu (langue) yang lain, dengan cara penerjemahan. Dalam hal ini, tentu saja yang dapat melakukan tindakan menerjemahkan itu dia atau mereka yang menguasai bahasa yang bersangkutan. Jadi, manakala apa yang diucapkan oleh si A yang ditujukan kepada si B itu didengar(kan) pula si C dan si D, yaitu tuturan (1), sementara itu si C menguasai bahasa Indonesia sebagaimana si B sedangkan si D tidak kecuali hanya menguasai bahasa Jawa saja, misalnya, maka si C yang diketahui juga menguasai bahasa Jawa dapat menerjemahkan tuturan (1) itu ke dalam bahasa Jawa demi si D agar si D tahu apa yang dituturkan si A yang berbahasa Indonesia itu. Jika dengan penerjemahan si C, si D itu menjadi mengerti tuturan (1) yang diucapkan si A maka yang dimengerti oleh si D itu adalah makna. Lalu, apakah situasi? Situasi adalah apa pun yang (sedang) diacu lewat tuturan tertentu; dalam hal ini tuturan (1). Apa yang diacu itu sangat diketahui oleh si penutur (si A) dan mitra tuturnya (si B) yang terlibat langsung dalam proses penggunaan bahasa atau pertuturan. Dalam hal tuturan (1) Dia tempo hari datang ke sini, kan? walaupun si C tahu maknanya, sehingga dapat menerjemahkan ke bahasa Jawa demi si D, namun dia sama sekali tidak tahu siapa orangnya yang disebut si A dia itu. Si C juga tidak tahu kapan tepatnya tempo hari itu; di mana pula tempat pastinya sana itu. Padahal, seperti halnya si A, si B pun sebagai mitra tutur atau mitra wicara si A tahu betul siapa dia, kapan tempo hari, dan di mana sana itu. Apa yang diketahui si A dan si B tetapi tidak diketahui si C itu adalah situasi. Apa yang disebut “situasi” itu dikenal pula sebagai “informasi tutur”, “referen”, juga “amanat”. Saya lebih ngeh menyebutnya “anu terwicara” (karena bisa apa pun asal yang apa pun itu masuk dalam kesadaran si penutur atau si pembicara). Adapun “makna” bisa juga disebut “isi tuturan” (walau sebutan itu bisa saja kacau dengan apa yang diidentifikasi sebagai “situasi”); dan “ekspresi”
biasanya disebut juga “bentuk tuturan” atau juga “bentuk lingual”, yang diidentifikasi sebagai deretan atau rentetan fonem-fonem. Terkait dengan konsep situasi itu, Verhaar (1973; atau 1977 dalam McCormack & Wurm, hlm. 99-128) memperkenalkan juga konsep imbangannya setting. “…kalau kita sedang di kamar, lalu mengobrol tentang warna tembok kamar itu yang begitu teduh, maka tembok beserta warnanya itu adalah situasi, sedangkan semua yang terdapat dalam kamar itu (termasuk kamar itu sendiri) yang tidak sedang dibicarakan merupakan settingnya.” (lihat Sudaryanto, 1983:134). “Lalu, dalam peristiwa berbahasa yang sesungguhnya “objek” tuturan itu dapat menjadi setting dalam kalimat yang satu, dan menjadi situasi dalam kalimat yang lain, bergantung pada apakah sedang menjadi isi kalimat atau tidak.” (Ibid.)
4. Sesuai dengan judul makalah ini, marilah kita perhatikan hal-hal yang khusus berhubungan dengan aspek kebahasaan yang disebut “ekspresi” itu. Dengan ditunjukkan salah satu ciri aspek ekspresi yang terdengarkan dan dapat diucapkan kembali berulang-ulang ketika bahasa hadir dalam peristiwa penggunaan oleh penutur demi maksud tertentu maka kecuali bahasa verbal dapat dikukuhkan sebagai memiliki eksistensi (istilah Kattsoff, 2006:50) maka bahasa verbal itu sebagai realitas pada pengenalan awal dapat diidentifikasi sebagai sosok kegiatan atau aktivitas. Pada pengenalan pertama, yang ada adalah berbahasa dan bukannya bahasa. Kita dapat mengenal realitas yang disebut “bahasa” semata-mata karena bahasa sedang dalam proses digunakan. Di pihak lain, dengan adanya fakta bahwa bahasa yang beraspekkan ekspresi itu menjadikan bahasa dapat dikenali lewat indera, yaitu pendengaran jika diucapkan atau dilisankan dan penglihatan jika dituliskan, maka pengajiannya dapat dikatakan bersifat empiris; sehingga ilmunya pun, yaitu linguistik, juga dikatakan termasuk jenis ilmu yang empiris pula (cf. Vredenbregt, 1985:1). Keempirisan yang menjadi salah satu ciri utama linguistik itu menjadikan mutlak perlunya dipenuhi tuntutan keharusan adanya data—yang betul-betul data— sebagai bahan analisis (cf. Sudaryanto, 2016:10 & 11). Terkait dengan keharusan semacam itu, kesanggupan peneliti menyajikan data yang meyakinkan layak dan
perlu dimiliki secukupnya. Adapun adanya kepemilikan kesanggupan yang cukup itu dapat dilihat dari kemampuannya menyediakan dan menyajikan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, ihwal kebertanggungjawabannya terutama berkaitan dengan dapatnya data itu dirunut kembali asal usul sumbernya jika ada yang menginginkannya serta dapatnya dihitung secara pasti jumlah tipe data yang digunakan untuk analisis masalah yang menjadi topik penelitiannya. Di situlah letak pokok masalahnya. Ada kecenderungan yang kuat, ketika si linguis yang peneliti itu melakukan penelitian bahasa dalam peristiwa atau tindak tutur di waktu tertentu di tempat tertentu dengan para pelibat penutur-penutur tertentu, asal usul sumber datanya serta jumlah pasti tipe datanya tidak jelas; bahkan sering sosok utuh satu persatu datanya pun tidak jelas, dalam arti si pembaca “laporan” hasil penelitian si linguis itu—bahkan si linguis penelitinya itu sendiri— tidak dapat melihat kembali utuh “kondisi” dan “situasi” “diri” data yang bersangkutan, kecuali hanya harus percaya saja bahwa apa yang disajikan sebagai data oleh si peneliti itu adalah sahih dan benar. Uraian berikut akan diarahkan kepada ihwal kebertanggungjawaban yang terkait dengan data yang dimaksud. Hanya, sebelum sampai ke sana, agaknya sangat perlu disadari fakta mendasar yang sering cenderung tidak diperhatikan; yaitu bahwa penelitian terhadap aktivitas atau kegiatan apa pun, termasuk kegiatan berbahasa atau kegiatan yang menggunakan bahasa, senantiasa tidak pernah dapat langsung ke realitas sesungguhnya kegiatan itu. Tegasnya, jika kita ingin meneliti omongan orang (seperti tuturan (1) di atas), kita tidak dimungkinkan dapat langsung meneliti omongan itu; karena demikian kegiatan ngomong itu selesai dilakukan, akan segera lenyaplah omongan itu. Verba Volant, kata bijak dalam bahasa Latin; ‘yang diucapkan akan terbang alias lenyap’. Sehubungan dengan adanya fakta semacam itu, perlulah digunakan strategi dan metode untuk “menangkapnya” agar dengan strategi dan metode penangkapan itu analisis (ber)bahasa yang mutlak membutuhkan data itu dapat dilakukan sebagaimana seharusnya. Perlakuan semacam itu disebut ikonisasi. Berikut penjelasan terhadap kesemuanya itu.
5. Sebagai titik tolak, bolehlah kita ambil peristiwa tutur dalam kegiatan pembelajaran
di jalur formal; jadi, di kelas tertentu yang di situ ada guru sebagai pendidik dan pengajar serta sejumlah siswa sebagai peserta atau anak didik dan pembelajar. Agar dapat memahami apa-apa yang ingin dipahami si peneliti yang linguis itu tentang aspek tertentu dari peristiwa pembelajaran itu, pertama-tama dan terutama si peneliti itu harus mengamati peristiwa atau kegiatan yang sedang berlangsung di kelas itu dalam jangka waktu yang sudah tertentu. Sayangnya, ketika kegiatan itu berakhir, hilanglah sudah semua yang teramati itu. Maka dengan adanya kesadaran bahwa kesemua yang teramati itu pasti akan hilang, diupayakanlah pengawetan terhadap kegiatan itu; yang dapat disebut “manentasi”. Upaya pengawetan atau manentasi itu merupakan strategi tahap pertama. Caranya bagaimana? Caranya adalah dengan merekam kegiatan yang bersangkutan. Merekam itu adalah metode yang terkait langsung dengan strategi manentasi itu. Untuk melaksanakan perekaman (sebagai penerapan metode) diperlukan alat tertentu; yang dalam hal ini ada tiga: (a) daya ingat “dalam” otak kita, (b) aneka alat tulis beserta “tempat” untuk menulisnya, dan (c) alat hasil teknologi canggih seperti handicam dan sejenisnya. Adapun hasilnya masing-masing adalah (i) ingatan yang bisa langsung diungkapkan, (ii) tulisan yang bisa langsung diperlihatkan atau di-print out-kan agar terbacakan, dan (iii) gambar bergerak yang bisa langsung ditayangkan di layar agar dapat terlihat dan terdengarkan. Dengan adanya hasil perekaman yang tiga jenisnya itu, dimulailah tahap penelitian selanjutnya, yaitu menyediakan data yang relevan sesuai dengan tujuan penelitiannya. Hal yang pada hemat saya sampai saat ini kurang begitu disadari oleh para peneliti adalah hasil perekaman itu semata-mata hanya tiruan dari peristiwa atau kegiatan yang sesungguhnya yang betul-betul sudah hilang bersama berlalunya sang waktu yang memungkinkan peristiwa atau kegiatan tertentu itu bisa berlangsung. Dan rekaman yang sungguh-sungguh semata-mata tiruan itu tidak pernah dan tidak akan pernah menggantikan secara sempurna peristiwa atau kegiatan yang sesungguhnya, sekalipun proses perekamannya menggunakan alat yang secanggih-canggihnya. Maksimal, tiruan itu hanya sangat mirip dan dapat
disebut “ikon”, tetapi tidak pernah akan bisa sama karena ada hal bagian dari yang direkam itu tidak mungkin terekamkan, misalnya apa-apa yang dikenal lewat indera yang bukan penglihat dan atau pendengar. Fakta yang demikian itu memiliki implikasi yang terkait dengan keharusan adanya kerendahan hati yang sungguhsungguh dari peneliti bahwa data yang menjadi tumpuan dalam menerangjelaskan masalah yang ditelitinya bukanlah bagian dari realitas yang pada tahap awal menggerakkan dia untuk menelitinya.
6. Bertolak dari kesadaran bahwa yang bisa ditangkap untuk bahan penelitian kegiatan berbahasa itu melulu tiruan atau ikonnya yang nota bene tidak pernah dapat sempurna maka sangat wajar jika justru si peneliti berupaya sungguh-sungguh dengan segenap kecerdasannya membuat rekaman yang bisa diungkapkan dan ditayangkan itu layak mewakili realitas lingual—bahkan semiotis—yang telah menghilang sedemikian sehingga pembaca siapa pun yang tidak ikut terlibat dalam penelitian dan tidak “bersentuhan” dengan peristiwa atau kegiatan yang menjadi objek penelitian itu mampu mengembangkan daya imaginasinya menjadikan dia atau mereka seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti si peneliti yang mengamati peristiwa atau kegiatan itu. Untuk itu, si peneliti layak melaksanakan strategi tahap kedua. Strategi yang dimaksud adalah strategi yang saya sebut “lingualisasi” atau “tekstualisasi lingual” yaitu mengubah rekaman hasil pelaksanaan strategi tahap awal “manentasi” menjadi teks lingual. Adapun cara atau metodenya ada dua yang secara bersama-sama diterapkan; yaitu transkripsi (transcription) dan kapsi (caption). Yang dimaksud dengan “transkripsi” (sebagai metode) adalah mengubah tuturan yang terucapkan menjadi tulisan dengan alat huruf-huruf yang bersifat ortografis, fonetis, atau fonemis yang dipilih bergantung pada tujuan pentraskripsiannya. Dan yang dimaksud dengan “kapsi” adalah mengubah apa yang bukan tuturan menjadi pernyataan lingual yang cenderung dibebaskan dari persepsi pengubahnya, meskipun tidak bebas dari perspektif dan atau fokus perhatiannya. Apa yang bukan tuturan itu memang bersama-sama dengan yang tuturan merupakan unsur utama pembentuk peristiwa atau kegiatan itu; yang wujudnya bisa dapat dilihat, dibau, dirasakan, atau juga
dapat didengar. Istilah populernya diubah tetapi tetap memperlihatkan apa adanya. Dengan strategi kedua yang bermetodekan transkripsi dan kapsi itu dapat diperoleh hasil yang disebut “teks lingual”.
7. Dengan adanya teks lingual itu, dimungkinkan dilaksanakan strategi yang ketiga demi dapat nantinya diperoleh data yang layak (di)analisis. Strategi yang dimaksud adalah “penampakan dimensi-dimensi” peristiwa atau kegiatan yang bersangkutan sebagai realitas bereksistensi. Adapun metodenya adalah kolom yang tidak tunggal atau multikolom. Setiap dimensi lalu dimungkinkan “mengisi” kolom yang tersediakan. Sebagaimana dijelaskan oleh Mulder (1966) realitas bereksistensi apapun hanya bisa diidentifikasi sebagai realitas kalau “dibentuk” atau berunsur utama empat jenis dimensi atau matra, yaitu dimensi individualitas atau kekhususan atau keinian, dimensi universalitas atau keumuman kebeginian, dimensi temporalitas atau kewaktuwian, dan dimensi kausalitas atau kesebabakibatan. Sebagaimana tecermin
dari
sebutannya,
dimensi
individualitas
atau
kekhususan
itu
menampakkan bahwa realitas yang satu itu berbeda dengan realitas yang lain. Tetapi karena realitas yang bersangkutan berdimensi universalitas maka realitas itu pun menampakkan kesamaannya juga dengan realitas yang lain; sehingga realitasrealitas yang bersangkutan dapat disatukelompokkan. Adapun dimensi temporalitas menampakkan adanya perkembangan atau perubahan dalam “diri” realitas itu sesuai dengan waktu yang ada pada realitas itu. Dan adanya dimensi kausalitas ditampakkan lewat hubungan asali realitas yang bersangkutan. Untuk penjelasan selanjutnya yang terkait dengan realitas (ber)bahasa dapat dilihat dalam Sudaryanto (2015/2016:287-291). Jika kita khususkan objek penelitian kita peristiwa pembelajaran di ruang kelas tertentu sebagaimana dikatakan pada butir 5 di atas, maka dalam realitas kinerja pembelajaran itu akan nampak dua jenis pelibat, yaitu guru di kolom yang satu dan siswa-siswa di kolom lainnya. Dalam pada itu, baik dalam kolom guru maupun dalam kolom siswa, terdapat masing-masing kolom tindakan non-verbal dan tindakan verbal. Dengan demikian, ada empat kolom yang menampakkan
dimensi individualitas sekaligus universalitas itu; yang masing-masing ditandai dengan label kata GURU, SISWA, NON-VERBAL, dan VERBAL sebagai yang nampak pada gambar 1 berikut.
Gambar 1 GURU Non-verbal | Verbal
|
| Verbal
|
SISWA Non-verbal
Pada gambar 1 itu penataan kolomnya dibuat “khiastis”: kolom verbal dalam kolom GURU dibuat langsung berhadapan dengan kolom verbal juga dalam kolom SISWA sebagai “kolom dalam”, sedangkan kolom non-verbal dalam kolom GURU dan kolom SISWA sebagai “kolom luar”. Hanya, dalam gambar 1 itu dimensi temporalitas belum ditampakkan; oleh karena itu agar dimensi temporalitas itu nampak perlu disediakan kolom tersendiri yang baru. Kolom yang dimaksud ditempatkan di tengah di antara kolom GURU dan kolom SISWA; dan disebut “kolom sumbu”; sebagai nampak pada gambar 2 berikut.
Gambar 2 GURU | | SISWA Non-verbal | Verbal | | Verbal | Non-verbal Dari gambar 2 yang terdiri atas lima kolom itu tiga jenis dimensi telah ditampakkan. Tinggal satu dimensi yang belum, yaitu dimensi kausalitas. Dimana dia harus ditampakkan? Dimensi itu ditampakkan tidak dalam kolom tersendiri tetapi ditampakkan lewat “ruang mendatar” pada saat hasil transkripsi dan kapsi yang tertulis masing-masing di kolom verbal dan non-verbal itu dibacakan. Dalam hal ini, pembacaan unsur yang menjadi sebab dilakukan lebih dulu daripada unsur yang menjadi akibat. Demi jelasnya lihat teks multikolom terlampir.
8. Walaupun dengan lima kolom itu sudah nampak dimensi-dimensi realitas kegiatan pembelajaran yang dijadikan objek sasaran penelitian, akan tetapi masih dimungkinkan untuk tidak dapat menampakkan fitur-fitur yang penting demi kepastian identitas pelibatnya; yaitu posisinya di ruang kelas itu (di depan, di
belakang, di tengah, di sebelah kanan, di sebelah kiri, dsb.), jumlah atau kuantitas yang aktif atau tidak aktif, dsb (satu, dua, beberapa, sebagian besar, semua), serta ciri khas masing-masing yang terlibat (berjilbab, berbaju kuning, berkaca mata, gundul, dsb.). Untuk menampung keperluan menampakkan hal itu dapat dibuatkan kolom tersendiri, yang disebut “kolom konfirmasi”. Kolom itu layak diletakkan di antara kolom verbal dan non-verbal sebagai terlihat pada gambar 3 berikut, khusus jika yang dikonfirmasi itu pelibat siswa.
Gambar 3 SISWA | Verbal | Konfirmasi | Non-verbal Dalam hal ini, karena gurunya hanya satu maka kolom konfirmasi dalam kolom GURU tidak diperlukan. Guru yang hanya seorang saja di dalam kelas tidak membutuhkan ciri pembeda yang dikonfirmasikan.
9. Masih ada satu hal lagi yang agaknya juga perlu diperhatikan dalam melaksanakan pemultikoloman. Dalam praktiknya, sangat dimungkinkan dalam melakukan kegiatan apa pun serta merta ada kejadian mendadak yang di luar perhitungan yang “menginterupsi” kegiatan itu. Mungkin berasal dari antara para pelibat kegiatan, mungkin berasal dari luar mereka. Dalam kaitannya dengan kegiatan pembelajaran, misalnya mendadak listrik mati padahal sedang menayangkan media gambar tertentu; atau tiba-tiba ada orang mengetuk pintu mau ketemu salah seorang siswa; atau hal-hal yang lain lagi yang memiliki potensi atau benar-benar meretakkan alur kegiatan. Pokoknya ada hal yang tidak dikehendaki datang mengganggu jalannya kegiatan. Hal negatif semacam itu pun dalam rangka tekstualisasi multikolom layak pula ditampakkan. Saya menyarankan hal yang dapat diidentifikasi sebagai “parateks” semacam itu tidak perlu ditampung dalam kolom tersendiri, tetapi dikapsikan pada kolom sumbu yang disediakan untuk mencatat secara cermat rentang menit bahkan bila perlu rentang detik yang digunakan oleh kegiatan itu tahap demi tahap. Dipaparkannya
parateks
yang
pengganggu
secara
demikian
itu
menyarankan secara ikonik bahwa parateks itu memang mengganggu jalannya kegiatan. Dengan pemaparan di kolom sumbu itu nampak penyajian menitmenitnya menjadi tersekat.
10. Kembali ke ihwal multikolom sebagai metode yang diterapkan untuk menampakkan dimensi-dimensi kegiatan sebagai realitas bereksistensi yang telah tertekstualisasi. Dengan tersedianya kolom-kolom bagi setiap dimensi itu, dapatlah kegiatan baik yang verbal (yang telah ditranskripsi) maupun yang non-verbal (yang telah dikapsi). dicermati secara lebih rinci dan saksama. Dalam hal kegiatan verbal yang ditranskripsi maka kegiatan itu dapat dirinci berdasarkan muatan atau isi proposisinya. Dibayangkan bahwa dalam setiap butir “kalimat” yang diucapkan— entah sempurna entah tidak bentuk sintaktiknya (salah satunya karena intensnya dialog)—pasti mengandung minimal satu proposisi. Butir yang tentu saja berentet, sambung-menyambung, dan berganti-ganti isi dan penuturnya itu dapat diidentifikasi sebagai ”segmen duratif”. Dengan demikian kegiatan atau peristiwa itu (dalam hal ini, kegiatan pembelajaran di kelas tertentu) sesungguhnya penuh berisi segmen-segmen duratif verbal. Lalu bagaimana kegiatan non-verbal yang dikapsikan itu? Karena pengapsian itu pengubahan dari yang bukan bahasa yang diartikulasikan menjadi pernyataan-pernyataan lingual maka dengan sendirinya lewat wujud pernyataan itu menjadi kegiatan yang non-verbal itu terproposisikan juga; dan lalu sah menjadi segmen duratif juga. Maka dapat dikatakan bahwa dalam teks yang (nampak atau tersaji secara) multikolom itu sebenarnya kumpulan sistematis dari aneka segmen duratif dengan berbagai kandungan proposisinya. Patut ditegaskan bahwa segmen-segmen duratif itu jumlahnya pasti; sehingga siapa pun yang melakukan pen-segmen-an terhadap teks yang verbal dan non verbal terhadap kegiatan yang sama itu hasilnya relatif akan sama. Jika perbedaan itu ada, perbedaan yang ada itu tidak signifikan;
paling-paling
disebabkan adanya pensubsegmenan terhadap segmen tertentu karena tiadanya penanda batas atau pergantian segmen yang kurang jelas. Dan yang sangat penting, hal itu pun dapat dicek ulang.
Dalam hal itulah letak kelebihan tekstualisasi bermultikolom jika dibandingkan dengan tekstualisasi yang biasa dilakukan oleh peneliti kegiatan selama ini. 11. Akhirnya, dengan tersedianya calon data mentah yang berupa segmen-segmen duratif itu dapatlah dilakukan beberapa langkah strategis lanjutan dalam rangka menyediakan data sebagai bahan jadi untuk dianalisis. Langkah strategis lanjutan yang pertama adalah menentukan tema-tema penggal kegiatan yang berlangsung. Tema yang dibentuk dari sekumpulan proposisi yang dimiliki segmen-segmen duratif atau segdur yang berhubungan satu sama lain secara malar (continuous) itu dapat disebut “tapak jejaring interaksi”— disingkat “tajerin”. Tapak-tapak jejaring interaksi atau tajerin inilah calon data yang sesungguhnya; yang jumlah dan wujudnya jauh lebih pasti dari jumlah segdur yang ada (padahal, segdur pun jumlah dan jenisnya sangat cenderung pasti). Dikatakan baru calon data—dan belum berstatus data—karena masih perlu diubah bentuknya tetapi tanpa mengubah proposisi dan temanya. Pengubahan itu yang harus melakukan adalah si penelitinya; dan itu merupakan langkah strategis lanjutan yang kedua. Hasilnya adalah yang disebut “pernyataan (peneliti akan) identitas data, disingkat PID. Sebagaimana sebutan atau namanya, maka PID itulah data yang sebenar-benarnya data. Meskipun data yang benar-benar data, tidak setiap PID itu layak disediakan sebagai bahan-jadi analisis. Untuk bisa ditentukan layak disediakan sebagai bahan-jadi analisis PID itu harus relevan dengan topik penelitian yang ditentukan si peneliti. Dalam penelitian kegiatan pembelajaran menulis misalnya, adanya sapaan beserta jawabannya “assalamualaikum-waalaikumsalam” atau “selamat pagi-selamat pagi”, misalnya, atau tindakan berdoa bersama-sama yang dikomando oleh ketua kelas, atau kontrol kehadiran dengan absensi (atau presensi) yang dilakukan guru terhadap siswa, semuanya adalah PID ubahan dari tajerin; namun demikian, data itu tidak sepantasnya diperhitungkan sebagai data yang harus disediakan untuk dianalisis; karena data itu tidak relevan dengan penelitian yang bertopikkan “menulis”. Sehubungan dengan itu maka layak dilakukan langkah strategis lanjutan yang ketiga, yaitu menyingkirkan PID tertentu sebagai data yang tidak relevan. Strategi yang ditentukan sebagai penyingkiran data
yang tidak relevan itu dilaksanakan dengan cara atau metode reduksi. Barulah setelah reduksi dilakukan yang ada tinggal data yang betul-betul harus dianalisis. Data yang harus dianalisis semacam itu dapat disebut “unit(-unit) data utama” atau “udaut”.
12. Dari
paparan
skematis
di
atas
yang
terkait
dengan
upaya
mempertanggungjawabkan data yang layak dianalisis dengan langkah-langkah strategis dan metode tertentu dapatlah dicatat beberapa hal. Pertama, siapa pun penelitinya, jika meneliti kegiatan, khususnya kegiatan yang melibatkan penggunaan bahasa, tidaklah mungkin dapat langsung meneliti kegiatannya itu sendiri, kecuali secara tidak langsung lewat tiruan atau ikonnya. Dari paparan di atas, ternyata tiruan yang ada pun mengalami sejenis transformasi atau perubahan wujud. Sampai dengan dapatnya menjadi data yang siap dianalisis tercatat ada beberapa transformasi ikon. Pertama, berupa rekaman yang tersimpan, kemudian wujud tiruan yang tertayangkan; selanjutnya ketiga berubah menjadi teks yang tanpa kolom. Kemudian keempat, berubah menjadi teks bermultikolom; kelima diubah menjadi tapak jejaring interaksi. Dari tajerin kemudian keenam diubah menjadi PID; dan ketujuh, dari PID kemudian dijadikan unit data utama atau udaut. Barulah analisis dapat dilakukan. Hal lain yang dapat dicatat adalah implikasi terhadap si peneliti jika hal-hal yang diapaparkan di atas itu dilaksanakan. Jelaslah, kemampuan prima dan bekal yang cukup sangat diperlukan. Hanya sayang, karena tentang hal itu banyak aspeknya yang harus dibentangkan sementara kondisi dan situasi saat ini pada hemat saya terlalu berat untuk mendukungnya, maka sebagai jembatan menuju ke sana saya persilakan hadirin mencermati apa yang telah tertulis dalam buku Metode dan Teknik Analisis Bahasa atau sebutan populernya MAnTAB (2015/2016:266307) yang berjudul “Ihwal Metode Multikolom dan Langkah-langkah Penelitian Aktivitas” sebagai jembatan menuju ke ihwal kemampuan dan bekal itu.
*** Yogyakarta, 22 Juli 2017
DAFTAR PUSTAKA Kattsoff, Louis O, 2006: Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono (cet. X). Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana. Mulder, D.C, 1966: Pembimbing kedalam Ilmu Filsafat. Djakarta: Badan Penerbit Kristen. Sudaryanto, 1983: Linguistik, Esei tentang Bahasa dan Pengantar ke dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ----------, 2015/2016: Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press. ----------, 2016: Cerdas Menulis Karya Ilmiah. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press. Verhaar, J.W.M., 1973: “On Speech and Thought”, makalah yang dibacakan dalam Ninth International Congress for Anthropological and Ethnological Sciences, Chicago, Illinois, September. ----------, 1980: Teori Linguistik dan Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanisius. Vredenbregt, Jacob, 1985: Pengantar Metodologi Untuk Ilmu-ilmu Empiris. Jakarta: PT Gramedia.
PEMILIHAN KATA PADA BAHASA INDONESIA TULIS ANAK USIA 9—11 TAHUN: PERKEMBANGAN DAN KESALAHAN Syamsul Ghufron Universitas Islam Darul Ulum Lamongan
[email protected]
ABSTRACT This study aims to describe the development and error of choice of words in Indonesian writing children aged 9-11 years. To achieve this objective, this research is designed in developmental research with cross-sectional and quantitative research with data collection technique in the form of test technique and tapping technique. The data of this research is by children of 9-11 years old. Steps of data analyzing done in quantitative and qualitative. Quantitative data analysis is performed to describe the development of spelling usage and through the following stages: (1) identification and selection of data, (2) data codification, (3) data scoring, (4) determination of student's competency qualification, and (5) determination the development of student competence based on mean score and SPSS calculation result. Qualitative data analysis is performed to describe the error of choice of words and through the following stages: (1) identification of choice of words errors, (2) classification of choice of words errors, (3) explanation of error, and (4) revision of error. This research findings this that the competence of children aged 9-11 years in the choice of words has progressed. This conclusion is formulated because the mean score in each class changes to a better direction. The average age score of 9 years is 87 (excellent), 10 years old average score is 90 (excellent), and an average age score of 11 years is 92 (excellent). The development can be seen in terms of changes in the score that gets better. However, when viewed in terms of qualifications, no change in the choice of words because the qualifications of child competence in the choice of words is the same (very good). Thus, it can be concluded that the development of student competence in the choice of words can only be seen through changes in the score, but in terms of qualification does not happen the development of student competence. Key Words: development, mistakes, choice of words, children aged 9-11 years
PENDAHULUAN Pembelajaran bahasa bertujuan mencapai penguasaan atau kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa mencakup kemampuan menyimak dan membaca (kemampuan berbahasa reseptif) serta kemampuan berbicara dan menulis (kemampuan berbahasa produktif). Pembelajaran bahasa diharapkan dapat menumbuhkan keempat kemampuan berbahasa tersebut. Namun, kenyataan yang
ada tidak menunjukkan demikian. Hasil pembelajaran menulis menunjukkan tandatanda yang kurang menggembirakan sehingga sering mendapat sorotan. Berdasarkan hasil beberapa penelitian, kemampuan menulis siswa di sekolahsekolah tergolong rendah. Rendahnya kemampuan menulis terjadi pada semua jenjang pendidikan: SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi. Jenjang pendidikan yang lebih tinggi umumnya melimpahkan kesalahan atau ketidakberhasilan pembelajaran menulis pada jenjang pendidikan di bawahnya. Akhirnya kesalahan ditumpahkan di SD sehingga pemerintah dalam hal ini depdiknas mengambil langkah menambah jam pelajaran bahasa Indonesia dan mengajukan pelaksanaan pembelajaran menulis lanjut, semula dimulai kelas IV sekarang dimulai kelas III (Sutama, 1997:3). Hal ini terbukti dari adanya kompetensi dasar yang berbunyi, ”Menyusun paragraf berdasarkan bahan yang tersedia dengan memperhatikan ejaan” dalam Kurikulum 2006 untuk kelas III SD. Rendahnya kemampuan menulis tersebut dapat dimaklumi karena di antara keempat keterampilan berbahasa, keterampilan menulis sering dipandang orang sebagai keterampilan berbahasa yang paling sulit (Suwandi, 2008:161). Kemampuan menulis merupakan kemampuan paling luas dan kompleks (Dixon & Nessel, 1983:83, Heaton, 1988:135) dan paling sulit diajarkan (Farris, 1993:180). Kemampuan menulis disebut kemampuan paling luas dan kompleks karena dalam kemampuan menulis terdapat beberapa kemampuan prasyarat, yakni kemampuan menulis huruf, kata, kalimat, menyusun kata-kata menjadi kalimat, menggunakan ejaan, mewujudkan ide/gagasan dalam bentuk kalimat yang tepat, memilih kata yang mampu mewakili gagasan, mengatur keruntutan pikiran sehingga mudah dimengerti oleh orang lain, mengatur hubungan antara satu gagasan dengan gagasan lain, satu paragraf dengan paragraf lain sehingga terlihat sebagai tulisan yang padu, serta kemampuan mengidentifikasi pembaca. Kemampuan menulis juga disebut kemampuan paling sulit diajarkan karena dalam mengajarkan kemampuan menulis, pengajar harus pula mengajarkan kemampuan prasyaratnya (Suparti, 2003:2). Untuk meningkatkan keterampilan menulis dibutuhkan keterampilan pada pemilihan kata, struktur sintaksis, dan pemilihan gaya bahasa yang akan digunakan. Apabila ketiga keterampilan ini telah dimiliki oleh siswa, siswa akan
mampu menyusun sebuah kalimat menjadi paragraf. Tiga keterampilan ini dapat membantu siswa dalam menulis sebuah karangan yang baik. Jika ketiga keterampilan tersebut tidak dikuasai oleh siswa, siswa akan merasa kesulitan dalam menulis sebuah karangan yang baik. Menurut Heaton (dalam Suwandi, 2008: 162), kegiatan menulis karangan membutuhkan keterampilan yang meliputi keterampilan menyusun kalimat dengan benar, menuangkan isi pikiran ke dalam bentuk tulisan, keterampilan menggunakan kalimat, penggunaan bahasa secara efektif, dan keterampilan secara tepat menggunakan ejaan. Berdasarkan pernyataan di atas, penulis lebih menitikberatkan penulisan karangan yang memperhatikan kemampuan dalam pemilihan kata. Kata menduduki posisi penting dalam sistem bahasa. Aktualisasi pemakaian bahasa berlangsung dalam proses penyusunan kata menurut kaidah gramatika bahasa yang bersangkutan. Baik dalam pemakaian bahasa secara lisan maupun tulis, penguasaan terhadap kata merupakan hal tidak dapat dielakkan oleh penutur. Kata-kata adalah media komunikasi. Kita berpikir dengan kata, berbicara dengan kata, mendengarkan kata, dan menulis dengan kata. Proses ini semua tidak dapat berlangsung dengan baik tanpa adanya penguasaan terhadap kata-kata secara akurat. Karena itu, penguasaan kata dalam semua keterampilan berbahasa merupakan hal yang sangat penting. Penguasaan kata bukan hanya masalah gaya berbahasa, melainkan lebih dari itu penguasaan kata adalah masalah berbahasa, yaitu merupakan penataan dan penilaian pengalaman serta mengomunikasikannya (McCrimmon dalam Syafi’ie, 1984:78). Penguasaan kata-kata dalam suatu bahasa berhubungan erat dengan jumlah kata dalam bahasa yang bersangkutan, terutama dalam hal jumlah kata yang harus dikuasai agar seseorang dapat menggunakan bahasa tersebut untuk berkomunikasi. Dalam sebuah kata terkandung makna bahwa tiap kata mengungkapkan sebuah gagasan atau sebuah ide. Dengan kata lain, kata-kata adalah alat penyalur gagasan yang akan disampaikan kepada orang lain. Tiap kata memiliki jiwa. Setiap anggota masyarakat harus mengetahui jiwa setiap kata agar dapat menggerakkan orang lain dengan jiwa dari kata-kata yang dipergunakannya (Keraf, 2008:21). Hal ini berarti bahwa tepat tidaknya pilihan kata yang digunakan seseorang dalam tulisannya sangat berpengaruh pada paham tidaknya pembaca terhadap tulisan itu.
Dilihat dari keseluruhan karangan, kata adalah unsur terkecil yang bersamasama dengan unsur yang lain mendukung isi karangan. Karena itu, pemilihan kata merupakan masalah yang sangat penting dalam mengarang. Pemilihan kata yang dilaksanakan dengan baik memungkinkan dapat disampaikannya maksud yang dikehendaki
dengan
sebaik-baiknya.
Untuk
itu,
pemilihan
kata
harus
memperhatikan aspek-aspek kebenaran kata yang dipakai, kejelasan, keefektifan serta kesesuaian kata dengan ragam bahasa yang digunakan (Syafi’ie, 1984:82). Persoalan pemilihan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yakni (1) ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan dan (2) kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata tadi (Keraf, 2008:87; Akhadiah, 1998:83). Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasangagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara. Karena itu, setiap penulis atau pembicara harus berusaha secermat mungkin memilih kata-katanya untuk mencapai maksud tersebut. Sebaliknya, dalam kesesuaian dipersoalkan apakah kita dapat mengungkapkan pikiran kita dengan cara yang sama dalam semua kesempatan dan lingkungan yang kita masuki. Suasana formal akan menghendaki bahasa yang formal, sedangkan suasana nonformal menghendaki bahasa yang nonformal (Keraf, 2008:102). Dari paparan tersebut dapat disimpulkan beberapa hal mengenai pilihan kata: (1) pilihan kata mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi, (2) pilihan kata adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar, (3) pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu (Keraf, 2008:24). Supaya dapat memilih kata secara cermat, Suhardiyanto (2004:161) menyarankan kepada penulis agar berusaha memiliki beberapa hal berikut: (1)
kepekaan maknawi, (2) kepekaan bentuk, (3) kepekaan terhadap variasi bahasa, dan (4) pengetahuan tentang padanan kata. Seiring dengan pendapat tersebut, Syafi’ie (1984) menyatakan bahwa kebenaran pemilihan kata dalam karangan dapat terganggu oleh adanya beberapa kesalahan berbahasa berikut: (1) kesalahan pemilihan kata sehubungan dengan arti kata, (2) kesalahan pemilihan kata fungsi, (3) kesalahan pemilihan kata berkenaan dengan pembentukan kata. Sesuai dengan beberapa pendapat tersebut, kecermatan pemilihan kata ini dibedakan menjadi empat macam, yakni (1) kecermatan pemilihan konsep/makna kata, (2) kecermatan pemilihan bentuk kata, dan (3) kecermatan pemilihan ragam bahasa, dan (4) kecermatan pemilihan kata tugas.
Kecermatan Pemilihan Makna Kata Kecermatan pemilihan makna kata ini berkaitan dengan kepekaan maknawi. Kepekaan maknawi yang dimaksudkan di sini adalah kepekaan terhadap aspek makna pada kosakata. Dengan demikian, kata maknawi yang digunakan di sini merupakan padanan semantis. Dalam kaitannya dengan makna, ada dua hal mendasar yang harus dikuasai agar kita terampil dalam memilih dan menggunakan kata, yakni (1) makna denotatif-konotatif, dan (2) sinonimi.
Makna Denotatif dan Makna Konotatif Makna denotatif atau sering disebut sebagai makna lugas merupakan makna yang merujuk pada sebuah acuan, benda, atau gagasan. Sementara itu, makna konotatif adalah makna yang mendapat nilai rasa atau emotif atas dasar kesepakatan atau konvensi masyarakat tertentu. Seorang penulis karya ilmiah akan cenderung menggunakan kata dengan makna denotatif daripada menggunakan kata konotatif. Sebagai contoh, penulis karya ilmiah akan memilih menggunakan kata pria lajang untuk menyebut ’lelaki yang belum menikah’ alih-alih menggunakan kata bujangan yang memiliki nilai emotif.
Sinonimi Dalam sinonimi, masalah yang ditekankan adalah khazanah kosakata dengan makna yang mirip atau berdekatan. Adanya khazanah kosakata dengan
makna yang mirip, siapa pun dapat dengan leluasa menggunakan beberapa kata demi menghindari kejemuan atau kemonotonan tulisan. Dengan sinonim, sebuah tulisan akan menjadi kaya dan variatif. Meskipun demikian, adanya kata-kata yang bersinonim tidak menjamin bahwa penulis bebas menggunakan kata-kata tersebut dalam konteks apa saja. Harus disadari bahwa sinonimi adalah kemiripan makna. Tidak ada kata yang maknanya benar-benar identik. Kata gugur dan mati itu bersinonim, namun tidak lazim digunakan sistem mati untuk menggantikan sistem gugur dalam konteks olahraga. Kecermatan Pemilihan Bentuk Kata Kecermatan pemilihan bentuk kata ini terkait dengan kepekaan berkaitan dengan masalah struktur atau gramatika. Sering ditemukan adanya ketidakcermatan penulis dalam memilih bentuk kata yang benar. Kata mentaati, menterjemahkan, dan pengrusakan adalah kata-kata yang salah dalam pembentukannya. Selain kesalahan dalam pembentukannya, kesalahan pemilihan bentuk ini juga sering terjadi dalam kaitannya dengan konteks kalimatnya. Kata menugaskan dalam kalimat, ”Pak Guru menugaskan siswanya mengarang” merupakan kesalahan dalam pemilihan bentuk kata yang salah. Kata menugaskan dalam kalimat tersebut seharusnya diganti dengan kata menugasi. Untuk menghindari ketidakcermatan yang terkait dengan bentuk kata, penulis harus memiliki pemahaman akan tata bahasa Indonesia. Pemahaman itu akan membuat penulis karya ilmiah makin menguasai pemilihan bentuk kata secara tepat dalam tulisannya. Selain itu, dalam khazanah kosakata bahasa Indonesia terdapat bentukbentuk yang saling berkaitan. Kata integrasi berkaitan dengan integritas, kata potensi berkaitan dengan potensial. Bentuk-bentuk yang saling berkaitan itu sering digunakan secara salah. Dalam kalimat, ”Seluruh komponen masyarakat di sekitar Taman Nasional Ujung Kulon terintegritas dalam jaringan kerja sama antardesa.” dan kalimat, ”Seluruh aspek potensi dalam masyarakat di daerah tersebut berkaitan dengan taman nasional.” Pada kalimat pertama, penggunaan kata integritas tidak tepat karena makna yang dimilikinya adalah ’mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan kewibawaan; kejujuran’ (Moeliono, 1995:383) seharusnya kata yang digunakan adalah integrasi yang bermakna ’pembauran sehingga menjadi kesatuan yang utuh
atau bulat’ (Moeliono, 1995:383). Selain itu, kata potensi pada kalimat kedua salah karena berjenis nomina, sedangkan yang tepat mengikuti kata aspek adalah kata yang berjenis adjektiva, yakni potensial. Kepekaan bentuk lain adalah kesadaran bahwa sebuah gagasan dapat diungkapkan dalam beberapa bentuk. Dapat digunakan variasi yang ringkas atau yang panjang tergantung dari kebutuhan. Semua bentuk tersebut dapat digunakan sebagai usaha untuk memvariasikan pengungkapan. Berikut adalah beberapa contoh variasi ungkapan yang dimaksudkan. Ungkapan Panjang
Ungkapan Ringkas
menarik simpulan menggunakan pendekatan (terhadap) melakukan analisis (tentang) melakukan tinjauan kembali (terhadap) melakukan pengajian (terhadap)
menyimpulkan mendekati menganalisis meninjau kembali mengaji
Kecermatan Pemilihan Ragam Bahasa Harus disadari bahwa bahasa bukanlah sesuatu yang monolitik, melainkan sesuatu yang memunyai berbagai bentuk perwujudan. Bahasa Indonesia juga memiliki berbagai bentuk perwujudan atau variasi bahasa. Variasi bahasa tersebut dari segi pemakaian disebut "ragam". Ragam bahasa Indonesia terdiri atas ragam lisan dan ragam tulis. Kata yang berasal dari ragam lisan tidak mungkin digunakan dalam jenis tulisan ilmiah yang mensyaratkan pcnggunaan kata tulis baku, namun dapat dipergunakan dalam jenis tulisan yang lain, misalnya tulisan jurnalistik atau iklan. Penulis sebuah karya ilmiah tentu saja harus mengetahui perbedaan ragam seperti yang terdapat pada daftar kosakata berikut ini.
Ragam Lisan Kongkalingkong kasih tahu Membikin tergantung pada masuk akal Gampang terburu-buru Nggak
Ragam Tulis Baku bersekongkol beri tahu membuat bergantung pada logis, dapat diterima akal mudah tergesa-gesa tidak
Cuma Kayak Barusan Meski Walau Kenapa Gimana
hanya seperti baru saja meskipun walaupun mengapa bagaimana
Kecermatan Pemilihan Kata Tugas Kata tugas adalah kata yang terutama menyatakan hubungan gramatikal yang tidak dapat bergabung dengan afiks dan tidak mengandung makna leksikal (Moeliono, 1995:452), antara lain preposisi, konjungsi, artikel, dan pronomina yang dipertentangkan dengan kata penuh (Kridalaksana, 1984:91). Kata tugas ini hanya memiliki arti gramatikal dan tidak memiliki arti leksikal. Ini berarti bahwa arti suatu kata tugas ditentukan bukan oleh kata itu secara lepas, melainkan oleh kaitannya dengan kata lain dalam frasa atau kalimat. Kata tugas seperti dan atau ke baru akan memiliki arti apabila dirangkai dengan kata lain untuk menjadi, misalnya, ayah dan ibu dan ke pasar (Alwi dkk., 2000:287). Berdasarkan perannya dalam frasa atau kalimat, kata tugas dibagi menjadi lima kelompok: (1) preposisi, (2) konjungsi, (3) interjeksi, (4) artikel, dan (5) partikel.
Berikut ini contoh pemilihan kata tugas yang tidak cermat beserta
pembetulannya. Kata Tugas Tidak Cermat
Kata Tugas yang Cermat
Dan selain itu Ibu Yamini juga memberi tahu bahwa nanti kalau halalbihalal harus tertib tidak boleh berdorong-dorongan. Anak-anak saling bermaaf-maafan kepada Bapak Ibu Guru. Anak-anak dipanggil secara bergiliran Sesuai kelasnya. Mereka sedang melaksanakan upacara dan halalbihalal di SDN Barata jaya dengan bersama-sama anak kelas 1, 2, 3, 4, 5, 6. Sekolah SDN Barata jaya mengadakan Upacara Bendera yang tertib dan rapi.
Selain itu, Ibu Yamini juga memberitahukan bahwa ketika halalbihalal anak-anak harus tertib dan tidak boleh berdorong-dorongan. Anak-anak bermaaf-maafan dengan Bapak Ibu Guru. Anak-anak dipanggil secara bergiliran sesuai dengan kelasnya. Mereka sedang melaksanakan upacara dan halalbihalal di SDN Barata jaya bersama anak kelas 1, 2, 3, 4, 5, 6. Sekolah SDN Baratajaya mengadakan upacara bendera dengan tertib dan rapi.
Penelitian ini bertujuan menganalisis performansi pemilihan kata anak usia 9—11 tahun. Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti menggunakan karangan yang dihasilkan oleh anak sebagai data penelitian. Setiap pemilihan kata dalam karangan siswa diangkat sebagai korpus data yang pada gilirannya dapat diamati, dideskripsikan, dan dijelaskan. Dari pengamatan itu, peneliti merumuskan secara logis perkembangan kompetensi pemilihan kata anak usia 9—11 tahun. Sesuai dengan tujuan tersebut, penelitian ini dirancang dalam bentuk penelitian perkembangan yakni penelitian yang mempelajari karakteristik individu/kelompok yang mencakup segi-segi intelektual, emosional, sosial, dan kepribadian dan bagaimana karakteristik itu berubah dalam pertumbuhannya. Karena penelitian perkembangan bahasa cenderung bersifat kuantitatif (Huda, 1990:93), penelitian ini pun diformat dalam penelitian kuantitatif yang datanya berupa angka dan dianlisis dengan statistik atau SPSS. Data penelitian ini berupa pemakaian ejaan dalam karangan tertulis anak usia 9—11 tahun yang duduk di kelas III—V. Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah anak usia 9—11 tahun di kelas III, IV, dan V SDN Baratajaya yang beralamat di Jalan Baratajaya VIII/43, Gubeng, Surabaya masing-masing berjumlah 121 anak, 99 anak, dan 100 anak sehingga seluruh populasi berjumlah 320 anak. Dari jumlah populasi tersebut ditentukan sampel penelitian secara acak dengan cara undian sebesar 25% dari populasi sehingga dihasilkan sampel penelitian berikut: anak usia 9 tahun = 25% X 121 = 30,25 dibulatkan menjadi 30 anak, anak usia 10 tahun = 25% X 99 = 24, 75 dibulatkan menjadi 25 anak, dan anak usia 11 tahun = 25% X 100 = 25 anak. Pengumpulan data penelitian menggunakan teknik tes dan teknik sadap dengan menggunakan instrumen soal tes mengarang dan lembar korpus data. Data penelitian dianalisis dengan teknik penganalisisan data kuantitatif dengan metode statistik deskriptif dan metode statistik inferensial. Penganalisisan data dilakukan melalui tahap-tahap berikut: pengodifikasian data, penskoran data, penentuan kualifikasi kompetensi, penentuan perkembangan kompetensi. Penskoran data pemilihan kata ini dilakukan dengan langkah-langkah berikut: (1) mengidentifikasi ketidakcermatan pemilihan kata dalam wacana tulis setiap siswa, (2) mengklasifikasikan ketidakcermatan pemilihan kata atas
ketidakcermatan (a) konsep/makna, (b) bentuk kata, (c) ragam, dan (d) kata tugas, (3) menghitung banyaknya pilihan kata yang tidak cermat pada setiap klasifikasi, (4) menghitung banyaknya pilihan kata yang cermat dalam wacana tulis setiap siswa, (5) menentukan skor data pemilihan kata setiap siswa dengan cara membagi jumlah kata yang cermat dengan jumlah kata seluruhnya dikalikan 100, dan (6) menentukan skor rerata tiap kelas. Penentuan kualifikasi kompetensi pemakaian ejaan tiap-tiap tingkat usia menggunakan kriteria kualifikasi sebagai berikut: sempurna (96—100), baik sekali (86—95), baik (76—85), cukup (66—75), sedang (56—65), hampir sedang (46— 55), kurang (36—45), kurang sekali (26—35), buruk (16—25), buruk sekali (0— 15) (Nurgiyantoro, 2010:253). Untuk menentukan ada tidaknya perkembangan kompetensi anak, digunakan dua parameter: skor rerata dan hasil perhitungan SPSS uji anava. Kompetensi anak dianggap mengalami perkembangan jika terdapat perbedaan pada kedua parameter tersebut. Selain itu, dalam penelitian perkembangan ini digunakan kriteria perkembangan berikut: (1) perkembangan yang optimal, (2) perkembangan yang kurang optimal, dan (3) tidak terjadi perkembangan.
PEMBAHASAN Perkembangan Kompetensi Pemilihan Kata Untuk mengetahui perkembangan kompetensi pemilihan kata anak usia 9— 11 tahun, telah dilakukan rangkaian kegiatan penganalisisan data sebagai berikut: (1) menghitung jumlah kata pada setiap karangan, (2) mengidentifikasi ketidakcermatan pilihan kata, (3) mengklasifikasi ketidakcermatan pilihan kata atas ketidakcermatan konsep/makna kata (K), bentuk kata (B), ragam kata (R), dan kata tugas (T), (4) menentukan skor kompetensi pemilihan kata, dan (5) menghitung persentase ketidakcermatan pilihan kata pada tiap-tiap aspek. Hasil akhir rangkaian kegiatan penganalisisan data tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1 Skor Kompetensi Pemilihan Kata Anak Usia 9—11 Tahun Usia
Skor D 1
Skor D 2
Skor D
Kualifikasi
9
86
89
87
baik sekali
10
88
92
90
baik sekali
11
90
93
92
baik sekali
88
91
90
baik sekali
baik sekali
baik sekali
baik sekali
Rerata Kualifikasi Keterangan Skor D 1 Skor D 2 Skor D
= skor pemilihan kata dari data 1 = skor pemilihan kata dari data 2 = skor pemilihan kata
Pada Tabel 1 terlihat bahwa skor rerata semua tingkatan usia dalam pemilihan kata sebesar 90. Sesuai dengan kriteria kualifikasi yang ada, dapat disimpulkan bahwa kompetensi anak usia 9—11 tahun pada aspek ini tergolong baik sekali. Tabel itu juga memperlihatkan bahwa kompetensi anak usia 9—11 tahun dalam pemilihan kata mengalami perkembangan. Simpulan ini dirumuskan karena skor rerata pada setiap kelas berubah ke arah yang lebih baik. Skor rerata usia 9 tahun sebesar 87 (baik sekali), skor rerata usia 10 tahun sebesar 90 (baik sekali), dan skor rerata usia 11 tahun sebesar 92 (baik sekali). Perkembangan itu dapat dilihat dari segi perubahan skor yang bertambah baik. Akan tetapi, jika dilihat dari segi kualifikasinya, tidak terjadi perubahan dalam pemilihan kata karena kualifikasi kompetensi anak dalam pemilihan kata ini sama (baik sekali). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perkembangan kompetensi siswa dalam pemilihan kata hanya dapat dilihat melalui perubahan skor, tetapi dari segi kualifikasinya tidak terjadi perkembangan kompetensi siswa. Dari tabel tersebut juga terlihat bahwa perkembangan kompetensi anak usia 9—11 tahun dalam pemilihan kata tidak hanya ditandai oleh adanya perbedaan skor rerata dari skor data 1 dan skor data 2, tetapi juga ditunjukkan oleh adanya perbedaan skor tiap-tiap data tersebut. Dari data 1 skor rerata usia 9, 10, dan 11 tahun masing-masing 86 (baik sekali), 88 (baik sekali), dan 90 (baik sekali). Skor itu menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Akan tetapi, jika dilihat dari segi kualifikasinya, tidak terjadi perkembangan karena semua usia tersebut berkualifikasi sama (sangat baik). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari
segi perubahan skor, perkembangan kompetensi anak dalam pemilihan kata terjadi pada semua tingkatan usia, sedangkan dari segi kualifikasinya tidak terjadi perkembangan. Begitu juga halnya dengan skor rerata usia 9, 10, dan 11 tahun dari data 2. Skor rerata pada tingkatan usia masing-masing 89 (baik sekali), 92 (baik sekali), dan 93 (baik sekali). Skor tersebut juga menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik meskipun dari segi kualifikasinya perubahan itu tidak terjadi. Dengan demikian, dapat disimpulkan juga bahwa terjadi perkembangan kompetensi anak dalam pemilihan kata berdasarkan data 2. Akan tetapi, perkembangan kompetensi itu hanya dapat dilihat dari segi perkembangan skor, sedangkan dari segi kualifikasinya tidak terjadi perkembangan kompetensi. Tabel tersebut juga memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan antara skor pemilihan kata berdasarkan data 1 dan skor berdasarkan data 2. Skor data 1 lebih rendah daripada skor data 2. Pada usia 9, 10, dan 11 tahun skor data 1 berturut-turut 86, 88, dan 90 dengan rerata 88 (baik sekali), sedangan skor data 2 berturut-turut 89, 92, dan 93 dengan rerata 91 (baik sekali). Selisih antara skor data 1 dan skor data 2 sangatlah kecil sehingga hampir tidak ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini diperkuat oleh adanya kesamaan kualifikasi kompetensi pada kedua data tersebut. Skor dari kedua data itu berkualifikasi baik sekali. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam mengarang berdasarkan gambar dan mengarang tanpa gambar, aspek pemilihan kata tidaklah menentukan perbedaan. Dengan kata lain, anak usia 9—11 tahun tidak mengalami kesulitan dalam pemilihan kata baik saat mengarang berdasarkan gambar maupun saat mengarang tanpa gambar. Sebagai pelengkap paparan tentang perkembangan kompetensi anak dalam pemilihan kata, berikut ditambahkan uraian tentang tingkat ketidakcermatan pilihan kata yang disajikan dalam tabel berikut. Tabel 2 Jumlah dan Persentase Ketidakcermatan Pilihan Kata Usia
Ketidakcermatan Pilihan Kata JK
Data 9 (1)
R 2618
129
39
45
14
25
C 8
13 4
40
333
2285
9 (2)
5027
171
30
85
35
Rrt
15
15 9
15
18
10 (1)
3393
168
43
42
11
33
8
10 (2)
6044
123
25
10 6
21
13 0
26
34
Rrt
15 0
28
16
14 9 14 2
17
3526
121
38
53
17
19
6
11 (2)
5596
95
25
66
18
13 3
36
79
807
32 20 0 33
39 7
49 9
21 11 2 19
Jml
18 96
16 Rrt Keterangan R cermat JK = jumlah kata T cermat K = jumlah konsep/makna kata tidak cermat cermat B = jumlah bentuk kata tidak cermat
4462
38
392
3001
28
501
5543
33
11 (1)
2620 4
565
34
12 5
Rrt
27
39
318
3208
21
373
5223
30 19 2372 2482 3 2 32 9 91 = jumlah ragam kata tidak 77 9
=
jumlah kata tugas tidak
DTC = DC
jumlah kata tidak
= jumlah kata cermat
Pada Tabel 2 terlihat bahwa jumlah kata yang tidak cermat sebanyak 2.482 kata atau 9%, sedangan jumlah kata yang cermat sebanyak 23.722 kata atau 91%. Tingkat ketidakcermatan pilihan kata yang paling banyak berupa ketidakcermatan konsep/makna kata (33%). Tingkat ketidakcermatan pilihan kata kedua adalah ketidakcermatan kata tugas (32%). Tingkat ketidakcermatan pilihan kata ketiga adalah ketidakcermatan ragam kata (19%). Tingkat ketidakcermatan pilihan kata yang paling sedikit adalah ketidakcermatan bentuk kata (16%). Urutan tingkat ketidakcermatan pilihan kata seperti itu terjadi pula pada semua tingkatan usia. Pada usia 9 tahun urutan tingkat ketidakcermatan pilihan kata dan persentasenya berturut-turut sebagai berikut: konsep/makna kata (35%), kata tugas (34%), ragam kata (18%), dan bentuk kata (15%). Pada usia 10 tahun urutan tingkat ketidakcermatan pilihan kata dan persentasenya berturut-turut sebagai berikut: konsep/makna kata (34%), kata tugas (33%), ragam kata (17%), dan bentuk kata (16%). Pada usia 11 tahun urutan tingkat ketidakcermatan pilihan kata dan persentasenya berturut-turut sebagai berikut: konsep/makna kata (32%), kata tugas (30%), ragam kata (21%), dan bentuk kata (18%).
Dari tabel itu juga terlihat adanya perubahan tingkat ketidakcermatan pilihan kata yang berpola terutama pada ketiga aspek: konsep/makna kata, kata tugas, dan bentuk kata. Pada dua aspek pertama terjadi perubahan ke arah yang lebih baik. Makin bertambah usia anak makin berkurang tingkat ketidakcermatan konsep/makna kata (usia 9 tahun sebesar 35%, usia 10 tahun sebesar 34%, usia 11 tahun sebesar 32%) dan kata tugas (usia 9 tahun sebesar 34%, usia 10 tahun sebesar 33%, usia 11 tahun sebesar 30%). Dengan kata lain, makin bertambah usia anak makin cermat dalam pilihan konsep/makna kata dan pilihan kata tugasnya. Namun, pada aspek bentuk kata terjadi keadaan yang sebaliknya. Makin bertambah usia anak makin bertambah tingkat ketidakcermatannya (usia 9 tahun sebesar 15%, usia 10 tahun sebesar 16%, usia 11 tahun sebesar 18%). Dengan kata lain, makin bertambah usia anak makin tidak cermat dalam pilihan bentuk katanya.
Kesalahan Pemilihan Kata dalam Wacana Bahasa Indonesia Tulis Anak Usia 9—11 Tahun Tabel 2 memperlihatkan bahwa tingkat ketidakcermatan pilihan kata berupa ketidakcermatan konsep/makna kata (33%), ketidakcermatan kata tugas (32%), ketidakcermatan ragam kata (19%), dan ketidakcermatan bentuk kata (16%). Pilihan konsep/makna kata yang tidak cermat dapat dilihat pada data berikut. (1) (2) (3)
Memperingati Idul Fitri (9B/ANH/I/D) Kita meminta maaf apa yg kita telah perbuat dg guru kita (10A/AFF/I/D). Setelah libur Idulfitri, pada hari pertama masuk sekolah selalu melakukan halalbihalal (11B/RRP/I/D).
Pada data (1), (2), dan (3) terdapat ketidakcermatan pemilihan konsep/makna kata. Pilihan konsep/makna kata yang dimaksud masing-masing memperingati, kita, dan melakukan. Pada data (1) kata memperingati seharusnya diganti dengan merayakan. Idulfitri tidak diperingati, tetapi dirayakan. Pada data (2) kata kita seharusnya diganti dengan kami karena pada data tersebut lebih tepat digunakan pronomina persona jamak yang bersifat eksklusif mencakupi pembicara/penulis dan orang lain d
i
yakni pronomina yang pihaknya,
tetapi
tidak
mencakupi orang lain di pihak pendengar/pembacanya. Pada data (3) kata melakukan seharusnya diganti dengan mengadakan
Pilihan bentuk kata yang tidak cermat dapat dilihat pada data-data berikut. (4) (5) (6)
Mereka baris di halaman SDN Barata Jaya (9B/ADW/I/D). Semua guru dikumpulkan di halaman (10A/MAK/I/D). Kepala Sekolahku memberi beberapa pesan-pesan (11C/SMD/I/D).
Pada data (4), (5), dan (6) terdapat ketidakcermatan pemilihan bentuk kata. Pilihan bentuk kata yang dimaksud masing-masing baris, dikumpulkan, dan memberi. Pada data (4) kata baris seharusnya berbentuk berbaris. Pada data (5) kata dikumpulkan seharusnya berbentuk berkumpul Pada data (6) kata memberi seharusnya berbentuk memberikan. Pilihan ragam kata yang tidak cermat dapat dilihat pada data-data berikut. (7) (8) (9)
Mereka maju ke depan untuk salim-saliman kepada Bapak-Ibu Guru (9B/ADW/I/D). Pada pelaksanaan upacara Bendera mereka tidak boleh rame (10A/FSP/I/D). Akhirnya segera terobatilah rasa kangenku ini (11D/AFW/I/D).
Pada data (7), (8), dan (9) terdapat ketidakcermatan pemilihan ragam kata. Pilihan ragam kata yang dimaksud masing-masing salim-saliman, rame, dan kangen. Pada data (7) kata salim-saliman seharusnya diganti dengan bersalamsalaman. Pada data (8) kata rame seharusnya diganti dengan ramai. Pada data (9) kata kangen seharusnya diganti dengan rindu. Pilihan kata tugas yang tidak cermat dapat dilihat pada data-data berikut. (10) (11) (12)
Dan mereka memakai baju yang rapi (9B/ADW/I/D). Anak-anak SDN Baratajaya bersalam-salaman kepada Bapak Ibu Guru (10A/FSP/I/D). Kepala Sekolahku memberi beberapa pesan-pesan dan mengumumkan tentang prosesi halal bihalal (11C/SMD/I/D).
Pada data (10), (11), dan (12) terdapat ketidakcermatan pemilihan kata tugas. Pilihan kata tugas yang dimaksud masing-masing dan, kepada, dan tentang. Pada data (10) kata dan seharusnya dihilangkan. Pada data (11) kata kepada seharusnya diganti dengan kata dengan. Pada data (12) kata tentang seharusnya dihilangkan.
SIMPULAN Temuan penelitian menunjukkan bahwa kompetensi siswa sekolah dasar pada
aspek
pemilihan
kata
tergolong baik
sekali
dengan
skor
90,
tetapi
perkembangannya kurang optimal. Dikatakan perkembangannya kurang optimal karena terdapat perubahan skor rerata ke arah yang lebih baik, tetapi hasil perhitungan SPSS uji anava menunjukkan adanya perbedaan signifikan hanya pada sebagian kelompok usia, yakni antara skor kompetensi anak usia 9 dan 10 tahun, sedangkan antara anak usia 10 dan 11 tahun tidak terdapat perbedaan signifikan. Pemilihan kata dalam penelitian ini dibedakan atas empat aspek: konsep/makna kata, bentuk kata, ragam bahasa, dan kata tugas. Jika dilihat dari tingkat ketidakcermatannya, penelitian ini menemukan bahwa ketidakcermatan konsep/makna menduduki tempat yang paling tinggi, disusul secara berturut-turut ketidakcermatan kata tugas, ketidakcermatan ragam kata, dan ketidakcermatan bentuk kata. Temuan ini sejalan dengan temuan penelitian Razali (2005) yang menyatakan bahwa kesalahan berbahasa pada tataran pemilihan kata yang membangun kalimat umumnya tidak tepat. Kata-kata yang digunakan untuk menyusun kalimat kadang-kadang salah karena maknanya tidak tepat baik makna konteks maupun makna leksikal sehingga isi kalimat tidak jelas. Temuan penelitian
ini juga menunjukkan adanya pola ketidakcermatan
pilihan kata terutama pada ketiga aspek: konsep/makna kata, kata tugas, dan bentuk kata. Pada ketidakcermatan konsep/makna dan kata tugas, dihasilkan temuan bahwa makin bertambah usia siswa makin berkurang tingkat ketidakcermatan konsep/makna kata. Dengan kata lain, ketika bertambah usianya, siswa makin cermat dalam pemilihan konsep/makna kata dan pemilihan kata tugasnya. Namun, pada aspek bentuk kata terjadi keadaan yang sebaliknya. Makin tinggi kelas siswa atau makin bertambah usia siswa makin bertambah tingkat ketidakcermatannya. Dengan kata lain, makin bertambah usia siswa makin tidak cermat dalam pemilihan bentuk katanya. DAFTAR PUSTAKA Akhadiah, Sabarti dkk. 1998. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga. Alwi, Hasan dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Dixon, C.N. & Nessel, D. 1983. Language Experience Approach to Reading and Writing: Language-Experience Reading for Second Language Learners.
Englewood Cliffs: Prentice Hall. Farris, J.P. 1993. Language Arts: A Process Approach. Madison: Brown & Bencmark Publishers. Heaton, J.B. 1988. Writing English Language Test. London: Longman Group UK Limited. Huda,
Nuril. 1990. “Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Studi Perkembangan Bahasa Anak: Tinjauan Metodologi”. Aminuddin (Ed). Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra. Malang: YA3.
Keraf, Gorys. 2008. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Moeliono, Anton M. (ed.). 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Razali. 2005. “Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia dalam Karangan Siswa Kelas VI Sekolah Dasar Negeri 2 Lhoksukon, Aceh Utara”. Tesis Magister Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Malang. Suparti. 2003. ”Pengajaran Menulis Kelas IV di Sekolah Dasar Negeri Jombatan III Kabupaten Jombang”. Disertasi Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Malang. Sutama, I Made. 1997. ”Perkembangan Koherensi Tulisan Siswa Sekolah Dasar”. Disertasi Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia, IKIP Malang. Suwandi, Sarwiji. 2008. Serbalinguistik: Mengupas Perlbagai Praktik Bahasa. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press. Syafi’ie, Imam. 1984. ”Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia dalam Menulis Mahasiswa Tiga IKIP di Jawa”. Disertasi Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia, IKIP Malang.
ANALISIS KONTRASTIF KATA-KATA EMOSI MALU BAHASA JEPANG DENGAN BAHASA INDONESIA Rafiqa Amalia, Dr. Roni, Dr. Didik Nurhadi
[email protected] Universitas Negeri Surabaya
ABSTRACT This research collaborates lexical semantic theory and Psychology’s comparison of emotion component theory. This research aims to find similarities and differences between shame emotion word meaning in Japanese and Indonesian language, both in concept and practice of language level. Therefore, the undertaken activities are captures shame emotion words in Japanese and Indonesian, identifies semantic components, determines sense relations, compiles lexical configuration, as well as contrasts the meaning of the shame emotion words of Japanese and Indonesian. Among 9 (nine) Japanese embarrassed or shame emotion words that were analyzed, resulting sense relations of hyponymy and incompatibility in Japanese language. Meaning contrast shows similarities and differences of meaning between Japanese’s and Indonesian’s emotion words of shame. In general, the meaning of hazukashii and malu is almost the same, i.e. uncomfortable feeling, awkward, inferior feeling, caused antecedents, such as: doing wrong or bad, having weaknesses, receiving positive or negative exposure. The difference appears in concept of ‘shame’ which is owned by each of the language itself. The word hazukashii (shame) is triggered by guilty feeling for acting or doing something which is contrary to conscience, or violating the values and norms. While the word malu can be triggered by a situation that causes the subject feels uncomfortable when interacting with other people from different social strata. Those differences caused by the differences of cultural background between Japanese and Indonesian speakers. Key Words: emotion words, malu, hazukashii, emotion component, semantic component, sense relation, lexical configuration, meaning contrast.
PENDAHULUAN Dalam Etnopsikologi, konsep awal emosi adalah bahwa emosi lahir sebagai bahasa manusia, yaitu semacam cara atau alat yang dipakai untuk menyatakan niat atau keinginan manusia, aksi atau tindakan, serta relasi sosial yang dijalaninya (Lutz dan White, 1986). Levy (dalam Lutz dan White, 1986) menambahkan bahwa emosi berperan sebagai cerminan kepekaan manusia terhadap interaksi sosial di sekitarnya. Berangkat dari sudut pandang tersebut, studi etnografi memandang bahwa emosi merupakan alat utama untuk memaknai dan memposisikan diri manusia sendiri dalam kehidupan di dunia ini. Senada dengan pandangan kalangan etnografis, ilmu linguistik memandang emosi sebagai suatu cara manusia merefleksikan dunia dalam kesadarannya, yang menunjukkan pengalaman-pengalaman mental, perasaan, maupun kekacauan (Shumeiko, 2011). Salah satu cara manusia bereaksi atas pengalaman-pengalaman mental dan perasaannya yaitu dengan cara mengkonsepsikan hal-hal tersebut ke dalam kata-kata emosi (emotion words/affective words). Kata emosi adalah salah satu bentuk komunikasi verbal emosi. Wierzbicka (1999: 32) menyatakan bahwa kata-kata emosi merefleksikan sikap budaya yang di dalamnya terkandung nilainilai, cara berpikir, serta kerangka referensi atas realitas sosial dan lingkungan di mana mereka berada. Konsepsi yang dilakukan oleh individu dengan latar belakang budaya yang berbeda akan menghasilkan penekanan makna kata-kata emosi yang berbeda pula. Dalam studi Linguistik, penelitian tentang komunikasi verbal emosi dilakukan melalui dua cara, yaitu: 1) analisis semantis, terutama tentang leksikon emosi, dan 2) praktik komunikasi emosi dalam konteks sosial (Lutz dan White, 1986: 423). Hal itu dijelaskan juga lewat dua hal yang biasa dikaji dalam linguistik yaitu, melihat makna kata dari sudut pandang dunia (berupa makna konseptual) dan sudut pandang praktik berbahasa, yakni melihat makna kata dari relasi sintagmatisnya dengan unsur-unsur lain pada saat dipakai dalam kalimat (Shumeiko, 2011). Arah studi tersebut menuntun pada asumsi bahwa makna katakata emosi secara lengkap tidak bisa didapat hanya dengan melihat kamus. Kegiatan tersebut masih perlu dilengkapi dengan pemahaman kontekstual tentang
kapan dan bagaimana kata-kata emosi tersebut dipakai oleh penutur aslinya. Dalam kamus, makna kata-kata emosi dianggap belum memadai untuk bisa memberikan pemahaman bagi penggunanya tentang makna kata emosi tertentu. Pemaknaan di dalam kamus diberikan secara singkat (terkadang cenderung berputar-putar dan hanya berupa padanan kata) tanpa dilengkapi konteks pemakaiannya. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana sebenarnya makna kata, relasi makna, dan konfigurasi leksikal dari kata-kata emosi malu bahasa Jepang yang berkelas ajektiva, dalam perbandingannya dengan bahasa Indonesia, sekaligus mengkontraskannya untuk bisa melihat persamaan dan perbedaannya. Penulis memilih untuk membandingkan bahasa Jepang dengan bahasa Indonesia dikarenakan asumsi adanya karakteristik budaya yang hampir sama di antara penutur kedua bahasa tersebut, yaitu pengutamaan sikap sopan santun. Akan tetapi, meskipun masyarakat Jepang dan Indonesia memperlihatkan budaya ‘malu’ yang cukup tinggi (Lebra 1976), bukan berarti masyarakat Indonesia dan Jepang memiliki pandangan dan pelaksaanaan budaya malu yang sama persis dalam kehidupan mereka sehingga dimungkinkan terdapat butir-butir komponen yang sama ataupun berbeda, yang mendasari makna masing-masing leksikon emosi malu bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini, kegiatan yang dilakukan adalah menjaring kata-kata emosi malu bahasa Jepang dan bahasa Indonesia melalui korpus penelitian, mengidentifikasi komponen makna, menentukan relasi makna, menyusun konfigurasi leksikal, serta mengkontraskan makna antara kata-kata emosi malu bahasa Jepang dengan bahasa Indonesia. Metode perbandingan komponen emosi yang dikemukakan Mesquita, Frijda, dan Scherer, (2002) serta Matsumoto dan Juang (2008) tentang jenis-jenis komponen emosi, dipilih karena komponen emosi dinilai sebagai sesuatu yang dapat diamati ketika seseorang mengalami emosi. Membandingkan komponen emosi antara emosi satu dan lainnya, pada bahasa yang berbeda, berarti melihat pengalaman emosi antara penutur bahasa satu dan lainnya. Dengan menggunakan metode ini diharapkan dapat ditemukan komponenkomponen emosi yang sama atau berbeda antara emosi malu bahasa Indonesia dengan bahasa Jepang. Selain itu, teori analisis komponen makna dari Nida (1975) dipilih karena teori tersebut menjelaskan secara rinci tentang prosedur analisis
komponen makna. Selain itu, Nida juga menjelaskan tentang prosedur penentuan komponen makna untuk kosakata bahasa asing (bukan bahasa yang dikuasai peneliti). Prosedur tersebut penting diaplikasikan dalam penelitian ini karena data penelitian ini adalah bahasa Jepang (bahasa asing), selain bahasa Indonesia yang dikuasai oleh peneliti. Sedangkan teori relasi makna dan konfigurasi leksikal dari Cruse (1986, 2004) dipilih karena kedua hal itu dijelaskan secara lebih rinci dibanding teori yang berasal dari Nida (1975) dan Lyons (1977). Relasi makna yang dipilih yakni relasi makna paradigmatis karena berkaitan dengan seperangkat pilihan kata secara semantis untuk mengisi bagian struktur tertentu dalam sebuah kalimat. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis makna masing-masing satuan leksikal tersebut, kata-kata emosi malu dalam bahasa Jepang dapat dipetakan seperti Tabel 2.1.1 berikut ini. Tabel 2.1.1 Komponen Makna Kata-kata Emosi Malu dalam Bahasa Jepang Anteseden Emosi
Pengalaman Subyektif
Berh Dimensi Semantis Kata Malu B. Jepang
Keg agala n
adap
Dap
an
at
dg
Per
Oran
hati
g
an
Me Me
Hazukashi i Kihazukas hii Kohazukas hii
+
+/-
+/-
-
+
-
+
-
-
Ant
Ter
ras
e-
Ma
a
a
sed
lu
Be
Be
en/
rsa
rdo Situ
lah
sa
asi
+/-
+/-
+/-
+/-
-
+/-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+ +
+
Aksi Sumber
ras
Lain
Kesiapan
Penilaian
kait Mor alita
Tur
Antesed
Me
en
m-
Em
unH
osi
arga
A
Ora
Diri
k
ng
u
lain
+
+
+
-
+
-
s
per baik i
Me nghind ar
+
+
+
-
-
+
Menbokun ai Yamashii
+
+
-
+
+/-
-
-
+
-
+
-
-
-
+
+
+
+
-
Ushiromet ai Ushirogur ai Terekusai Kimariwar ui
+
+ +
+
+ +
+
-
-
-
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
-
-
-
-
+
-
+
-
+/-
-
-
+
-
+
+
-
-
+/-
-
-
+/-
+
-
+
+
+
-
+
-
+
+
+
+
+
-
+
+
+
-
-
+
-
+/-
-
+
Pada tabel 2.1.1 dapat diketahui bahwa kata hazukashii memiliki cakupan makna yang paling luas dibandingkan satuan leksikal malu lainnya. Kata hazukashii memiliki makna yang mampu mencakup makna-makna kata-kata emosi malu lainnya. Sehingga bisa dijelaskan bahwa kata-kata emosi malu secara umum, diantaranya memiliki anteseden emosi yang mengandung [KETIDAKMAMPUAN DIRI],
[KEGAGALAN],
[BERBUAT
SALAH],
dan
[MELAKUKAN
PERBUATAN YANG BERTENTANGAN DENGAN HATI NURANI]. Selain memiliki pengalaman subyektif yang merasa [MALU], [MERASA BERSALAH], dan [MERASA BERDOSA], kata-kata emosi malu dalam bahasa Jepang mencakup penilaian [ANTESEDEN NEGATIF], [ANTESEDEN POSITIF], [EMOSI NEGATIF], [EMOSI POSITIF], [+/- TERKAIT MORALITAS], [TERKAIT KESOPANAN], [BERPOTENSI MENYEBABKAN HILANGNYA MUKA], [BERPOTENSI MENURUNKAN HARGA DIRI] yang bersumber dari [EGO/AKU] maupun [ANGGOTA UCHI GAWA/SELAIN EGO] dengan ekspresi emosi atau sikap [MENGHINDARI BERTATAPAN MATA DENGAN ORANG LAIN SECARA LANGSUNG]. Berdasarkan analisis komponen makna masing-masing satuan leksikal tersebut menunjukkan relasi makna diantara kata-kata emosi malu dalam bahasa Jepang tersebut. Hasil analisis relasi makna kata-kata emosi malu bahasa Jepang tersebut menunjukkan adanya relasi hiponimi antara 2
1
hazukashii dengan
hazukashii, yamashii, dan menbokunai. Relasi hiponimi juga terjadi antara
2
hazukashii dengan kihazukashii, kohazukashii, terekusai, dan kimariwarui; juga
antara yamashii dengan ushirometai dan ushirogurai. Jadi, 2hazukashii dan yamashii menjadi hiponim sekaligus hiperonim. Adapun relasi pertelingkahan terjadi antara
2
hazukashii, yamashii, dan menbokunai; antara kihazukashii,
kohazukashii, terekusai, dan kimariwarui; serta antara ushirometai dan ushirogurai. Sementara itu, konfigurasi Jepang
leksikal
kata-kata
emosi
malu
bahasa
disusun berdasarkan hasil relasi makna di antara sembilan (9) satuan
leksikal, yaitu: hazukashii, kihazukashii, kohazukashii, yamashii, ushirometai, ushirogurai, menboku-nai, terekusai, dan kimariwarui. Konfigurasi leksikal yang dipakai adalah konfigurasi leksikal bercabang yang berbentuk taksonomi. Taksonomi ini disusun berdasarkan relasi hiponimi (vertikal), serta relasi pertelingkahan pada tataran antar kohiponim (horisontal). Berdasarkan analisis relasi makna kata-kata emosi malu bahasa Jepang, konfigurasi leksikal dari kata-kata emosi malu bahasa Jepang yang telah dianalisis tersebut, dapat dipetakan ke dalam bagan konfigurasi leksikal kata-kata emosi malu bahasa Jepang seperti bagan 2.2.1 berikut ini. 1
hazukashii
2
hazukashii
menbokunai
yamashii
terekusai
kimariwarui
kihazukashii
kohazukashii
ushirometai
ushirogurai
Bagan 2.2.1 Konfigurasi Leksikal Kata-kata Emosi Malu Bahasa Jepang
Sebelum mengontraskan persamaan dan perbedaan komponen semantik leksikal dari kata-kata emosi malu bahasa Jepang tersebut, berikut ini penyajian komponen makna kata-kata emosi malu bahasa Indonesia sebagai pembanding
dalam tahap pengkontrasan makna.
Tabel 2.1.2 Komponen Makna Kata-kata Emosi Malu dalam Bahasa Indonesia Anteseden Emosi
Pengalaman Subyektif
Berh Dimensi Semantis Kata Malu B. Indonesia
Keg agala n
adap
Dap
an
at
dg
Per
Oran
hati
g
an
Me Me
Ant
ras
ras
e-
Ma
a
a
sed
lu
Be
Be
en/
rsa
rdo Situ
lah
sa
asi
Lain
Kesiapan
Penilaian
Aksi Sumber
Ter kait Mor alita
Tur Em
unH
osi
arga Diri
s
Antesede
Me
n
mp
Ak u
Ora ng lain
erb aik i
Me nghind ar
Canggung
-
+
-
+
-
-
+
-
-
+/-
+
-
+
-
Malu
+
+/-
+/-
+
+
+/-
+/-
+/-
+/-
+/-
+
+
+
+
-
+
-
-
-
+/-
-
+
-
+
-
-
+
Rikuh
+
+/-
-
+
-
-
-
-
+/-
-
+
-
-
+
Risi(h)
+
+
-
+
+
-
-
-
-
+/-
+
+
-
+
Segan
-
+
+
+
-
-
-
+
+
-
-
+
+
+
Sipu
-
+
+
+
-
-
+
-
+
-
-
+
-
+
Sungkan
-
+
+
+
-
-
-
+
+
-
+
+
+
+
Malumalu
+
Pada tabel distribusi komponen makna tersebut, dapat diketahui kata-kata emosi malu bahasa Indonesia yang dicari relasi maknanya adalah: canggung, malu, malu-malu, rikuh, risih, segan, sipu, dan sungkan. Dengan mengkontraskan komponen-komponen makna antar kata-kata emosi malu tersebut, diketahui bahwa kata malu adalah kata emosi yang maknanya mencakupi makna semua kata emosi malu lainnya. Kemampuan mencakup makna tersebut dapat dilihat dari anteseden emosi kata malu yang memiliki jangkauan lebih luas dibanding anteseden milik anggota kata emosi malu lainnya. Selain itu, pengalaman subyektif dalam emosi malu juga lebih kaya dan beragam, meliputi perasaan rendah, hina, merasa bersalah,
berdosa, malu-malu, takut, hormat, dan sebagainya. Adapun kata-kata emosi malu lainnya hanya memiliki sebagian komponen makna malu tersebut ditambah dengan beberapa makna spesifik yang dimiliki oleh kata itu sendiri. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa kata hazukashii dan kata malu memiliki kedudukan yang serupa dalam mencakup makna semua kata emosi malu lain dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Pengontrasan makna kata-kata emosi malu bahasa Jepang dalam perbandingannya dengan bahasa Indonesia, dimulai dengan mengkontraskan katakata dari kedua bahasa tersebut yang memiliki komponen makna yang cenderung serupa. Dilihat dari distribusi komponen makna yang dimiliki kata malu dan hazukashii, malu dan hazukashii memiliki komponen bersama lebih banyak daripada komponen pembedanya. Komponen-komponen makna tersebut dapat diparafrasekan menjadi definisi malu dan hazukashii, yaitu gabungan dari perasaan rendah diri, terhina, takut, dan kecil hati, yang muncul ketika seseorang khawatir terhadap penilaian negatif dari orang lain, yang mana penilaian tersebut muncul ketika seseorang berada pada salah satu kondisi atau situasi, seperti: melakukan perbuatan yang di luar kebiasaan/etiket, berbuat salah, mengalami kegagalan, menyadari kekurangan diri sendiri, ketika menceritakan hal-hal bersifat pribadi, atau ketika ada pihak lain yang mengetahui informasi tentang diri pribadi. Perbedaan-perbedaan antara malu dan hazukashii juga terlihat dari tabel tersebut. Kata malu memiliki makna spesifik yang tidak dimiliki oleh hazukashii, yaitu perasaan malu, hormat, takut, dan segan, ketika berinteraksi dengan orang atau pihak yang dihormati. Sebaliknya, hazukashii juga memiliki makna spesifik yang tidak dimiliki oleh malu, yaitu: (1) ketika subyek melakukan sesuatu di depan orang lain, atau berhadapan dengan orang lain, subyek bisa merasakan malu, (2) ejekan, sindiran, dan hinaan juga terbukti tidak menyebabkan emosi malu, (3) perasaan malu juga meliputi perasaan bersalah dan berdosa, (4) ekspresi agak membungkuk ketika seseorang merasakan emosi malu. Perbedaan-perbedaan antara malu dan hazukashii di atas, dinilai penulis sebagai perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan latar belakang budaya penutur bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Sebagai contoh, malu berkaitan erat
dengan sikap hormat ketika berinteraksi dengan orang lain yang lebih tua ataupun yang berasal dari strata sosial yang berbeda. Di sisi lain, perbedaan strata sosial pada masyarakat Jepang tidak dipertimbangkan menjadi anteseden malu, melainkan berperan sebagai hal yang harus dipertimbangkan sebelum bersikap (berekspresi) ketika merasa malu (hazukashii), khususnya untuk kata terekusai dan kimariwarui. Kata malu-malu dan terekusai memiliki persamaan makna dasar yakni perasaan agak malu, canggung, rikuh, sekaligus senang. Anteseden-anteseden yang dimiliki keduanya juga menunjukkan banyak persamaan, misalnya: [MENERIMA
PUJIAN],
[MENERIMA
PERHATIAN
POSITIF],
atau
[MENCERITAKAN HAL-HAL PRIBADI]. Komponen pembeda makna di antara keduanya terlihat dari adanya komponen [MEMUJI] dan [MEMBERI PERHATIAN] yang hanya dimiliki oleh terekusai. Namun demikian, berdasarkan pengalaman penulis sebagai penutur jati bahasa Indonesia, anteseden yang demikian juga dimiliki oleh malu-malu, hanya saja belum terungkap melalui data konteks kalimat yang dianalisis oleh sumber data kata-kata emosi malu dalam bahasa Indonesia. Kata kimariwarui memiliki kedekatan makna dengan risi(h). Hal itu dapat dilihat dari kemiripan makna umum kimariwarui dan risi(h), yaitu malu karena bersikap atau melakukan sesuatu di depan orang lain sehingga orang lain memandang aneh pada subyek, yang mengakibatkan subyek merasa malu, risih, atau tidak nyaman. Kata kimariwarui dan risi(h) memiliki beberapa komponen makna yang relatif sama, yaitu pengalaman subyektif yang bernilai negatif, juga adanya anteseden-anteseden yang sama, yang dirupakan dalam komponen [MELIHAT
SIKAP/PENAMPILAN
YANG
TIDAK
PANTAS],[BERPENAMPILANBURUK],[TIDAK BERHASIL BERSIKAP atau BERPERILAKU atau BERPENAMPILAN SECARA TEPAT atau SESUAI]. Selain anteseden, ekspresi emosi yang ditunjukkan ketika merasakan emosi ini juga hampir sama antara penutur bahasa Jepang dan bahasa Indonesia, yakni menarik diri dan menghindari bertatapan mata langsung dengan orang-orang di sekelilingnya. Kata menbokunai (rasa bersalah dan malu) dan yamashii (rasa berdosa dan
bersalah) dengan kata-kata emosi malu bahasa Indonesia. Akan tetapi, karena katakata emosi malu bahasa Indonesia tidak mencakupi makna tersebut, maka menbokunai dan yamashii juga tidak memiliki padanan yang tepat dengan katakata emosi malu bahasa Indonesia. Untuk mengatasi hal ini, menbokunai dan yamashii dinilai penulis lebih tepat jika dipadankan dengan frasa merasa bersalah (menbokunai) dan merasa berdosa (yamashii). Adanya kata menbokunai, yamashii, termasuk ushirometai dan ushirogurai, sekaligus menunjukkan bahwa konsep malu antara bahasa Jepang dan bahasa Indonesia berbeda. Konsep malu dalam bahasa Jepang juga mengandung perasaan berasalah dan berdosa sebab subyek melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani, melanggar nilai atau norma yang berlaku, serta bersikap tidak jujur pada hati nurani sendiri. Selain itu, adanya leksikalisasi ‘perasaan bersalah’ dan ‘perasaan berdosa’ ke dalam empat kata emosi bahasa Jepang tersebut juga memperlihatkan bahwa masyarakat Jepang menganggap bahwa kedua hal tersebut juga memiliki peran penting sebagai hal utama yang menyebabkan seseorang merasakan emosi malu. Dengan kata lain, ketidakjujuran terhadap hati nurani (yamashii) dan ketidakmampuan memenuhi harapan orang lain (menbokunai) tidak sekedar menjadi anteseden emosi hazukashii (malu) melainkan merupakan jenis emosi malu tersendiri yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat Jepang. Analisis tersebut memperlihatkan adanya makna malu dalam bahasa Jepang yang lebih luas daripada makna malu dalam bahasa Indonesia. Artinya, konsep malu yang dianut oleh masyarakat Jepang tidak hanya meliputi kegagalan, ketidakmampuan diri, ejekan, hinaan, sindiran, dan lain-lain, seperti halnya anteseden malu bagi masyarakat Indonesia, tetapi mengikutkan juga perasaan berdosa dan bersalah sebab kegagalan dalam memenuhi harapan orang lain dan kegagalan dalam bersikap jujur terhadap hati nurani. Dengan mengontraskan kata-kata emosi malu bahasa Jepang dengan bahasa Indonesia tersebut, terlihat bahwa emosi malu (haji) dalam bahasa Jepang meliputi makna ‘malu’, ‘rasa bersalah’, dan ‘rasa berdosa’, sedangkan emosi malu dalam bahasa Indonesia meliputi perasaan ‘malu’ dan ‘hormat-takut’. Dalam bahasa Jepang, rasa bersalah juga meliputi rasa berdosa, dimana rasa berdosa adalah perasaan malu yang muncul akibat pelanggaran nilai, norma, dan perbuatan yang
bertentangan dengan hati nurani. Pengertian ‘dosa’ tersebut berbeda dengan penutur bahasa Indonesia yang memaknai dosa sebagai perbuatan yang melanggar ajaran Tuhan dalam agama yang dianut.
SIMPULAN Penjaringan data kata-kata emosi malu bahasa Jepang berkelas ajektiva menghasilkan sembilan (9) kata, yaitu: hazukashii, kihazukashii, kohazukashii, menbokunai, yamashii, ushirometai, ushirogurai, terekusai, dan kimariwarui. Analisis komponen menghasilkan komponen makna [MALU] dan [AGAK MALU] sebagai komponen bersama yang dimiliki oleh semua satuan leksikal emosi malu. Komponen bersama banyak didapatkan dari komponen-komponen makna yang berada dalam dimensi semantis pengalaman subyektif. Hal itu dikarenakan dimensi tersebut memuat komponen-komponen makna tentang perasaan atau emosi lain yang menyertai malu. Adapun komponen pembeda banyak ditemukan dalam dimensi semantis anteseden. Dengan kata lain, untuk mencari perbedaan makna antar satuan leksikal dalam kelompok kata-kata emosi, lebih efektif jika langsung merujuk pada komponen-komponen makna yang berada dalam dimensi semantis anteseden emosi. Dalam hal relasi makna, jenis relasi makna yang terdapat dalam kata-kata emosi malu bahasa Jepang adalah hiponimi dan pertelingkahan. Relasi hiponimi terjadi antara 1hazukashii dengan 2hazukashii, yamashii, dan menbokunai. Relasi hiponimi juga terjadi antara 2hazukashii dengan kihazukashii, kohazukashii, terekusai, dan kimariwarui; juga antara yamashii dengan ushirometai dan ushirogurai. Jadi, 2hazukashii dan yamashii menjadi hiponim sekaligus hiperonim. Adapun relasi pertelingkahan terjadi antara
2
hazukashii, yamashii, dan
menbokunai; antara kihazukashii, kohazukashii, terekusai, dan kimariwarui; serta antara ushirometai dan ushirogurai. Selanjutnya, kontras makna antara kata-kata emosi malu bahasa Indonesia dan bahasa Jepang menunjukkan persamaan dan perbedaan makna yang dipengaruhi oleh persamaan dan perbedaan konsep. Kedua kata tersebut memiliki kesamaan konsep, yakni bahwa ‘malu’ merupakan reaksi sensitivitas terhadap penilaian negatif dari luar. Persamaan konsep ini berimplikasi pada persamaan
makna yang dimiliki keduanya, yaitu bahwa kata malu dan hazukashii adalah ‘perasaan tidak enak hati, takut, hina, rendah diri, sebab tidak berbuat sesuai kebiasaan atau kelaziman, berbuat salah, menyadari adanya kekurangan diri, kegagalan, serta adanya paparan dari pihak lain’. Adapun perbedaan konsep yang ditemukan adalah, bahwa salah satu pemicu emosi malu bagi penutur bahasa Indonesia adalah situasi yang melibatkan interaksi dengan pihak lain yang memiliki perbedaan kedudukan (strata sosial), sedangkan salah satu pemicu malu bagi penutur bahasa Jepang adalah perbuatan yang bertentangan dengan hati nurani dan perbuatan ‘dosa’ (‘dosa’ yaitu perbuatan melanggar nilai atau norma yang berlaku). Perbedaan konsep tersebut lahir karena perbedaan latar belakang budaya di antara kedua penutur bahasa. Masyarakat Indonesia yang mengedepankan sikap hormat kepada orang yang lebih tua atau yang kedudukannya lebih tinggi dalam strata sosial, cenderung merasa tidak enak, rikuh, atau malu ketika berinteraksi dengan mereka. Adapun dalam masyarakat Jepang, nilai ajaran Shinto yang berprinsip bahwa ‘dosa’ sejajar dengan ‘malu’ membawa masyarakat Jepang berusaha untuk menghindarkan diri mereka dari perasaan malu. Selain itu, malu yang disebabkan adanya ketidakjujuran pada hati nurani ditengarai karena adanya pengaruh salah satu semangat Bushido yang menekankan pentingnya kejujuran, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Adanya perbedaan konsep tersebut membawa implikasi linguistis dalam makna kata-kata emosi malu masing-masing bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Kata-kata emosi malu bahasa Indonesia diperkaya dengan kata-kata: rikuh, segan, dan sungkan, sebagai manifestasi dari perasaan hormat; sedangkan kata-kata emosi malu bahasa Jepang diperkaya oleh kata-kata yang bermakna ‘merasa bersalah atau berdosa’, seperti: yamashii, ushirometai, ushirogurai, dan menbokunai. Selain itu, perbedaan konsep juga menyebabkan tidak adanya padanan rikuh, segan, dan sungkan dalam kata-kata emosi malu bahasa Jepang, sama halnya dengan yamashii, ushirometai, ushirogurai, dan menbokunai yang tidak memiliki padanan dalam kata-kata emosi malu bahasa Indonesia. DAFTAR RUJUKAN Cruse, D. Alan. 1986. Lexical Semantics. Cambridge: Cambridge University Press. ____________. 2004. Meaning in Language: An Introduction to Semantics and Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.
Lebra, Takie Sugiyama. 1983. “Shame and Guilt: A Psychocultural View of Japanese Self” dalam Ethos Vol. 10. Diunduh dari http://www.jstor.org/stable/639973 ___________________. 1976. Japanese Patterns of Behavior. Honolulu: University of Hawaii Press. Lyons, John. 1977. Semantics (Volume 1). Cambridge: Cambridge University Press. Lutz, Catherine., White, Geoffrey M. 1986. “The Anthropology of Emotions” dalam Annual Review of Anthropology (Volume 15, hal. 405-436). Matsumoto, David. Juang, Linda. 2008. Culture and Psychology (fourth edition). Canada: Thomson Wadsworth. Mesquita, Batja., Nico H. Frijda, Klaus R. Scherer., 2002. “Culture and Emotion” dalam Handbook of Cross-cultural Psychology: Basic Process and human development. Berry, John W., Segall, Marshall H., Kagitcibasi, Cigdem (eds.). Boston: Allyn and Bacon. Nida E. A. 1975. Componential Analysis of Meaning. The Hague: Mouton Publishers. Shumeiko, O. 2011. “Semantics of Lexical Unit that Denote Negative Emotions in Modern American English” dalam The Advance Science Journal. Diunduh dari http://advancedscience.org/2011/1/2011-01-01-007.pdf Wierzbicka, Anna. 1999. Emotions Accross Language and Culture. Cambridge: Cambridge University Press.
KESALAHAN PENGGUNAAN EJAAN DALAM MAKALAH MAHASISWA PASCASARJANA BIDANG PENDIDIKAN MIPA UNIVERSITAS NEGERI MALANG Yoga Yolanda Universitas Negeri Malang
[email protected] ABSTRACT Indonesian language (bahasa) has been assigned as the language of instruction in education. In the writing of scientific papers, not only Indonesian language and literature students who should pay attention to the use of Indonesian language but also all circles, including students in non-Indonesian language education. This study aims to examine spelling errors in a postgraduate student papers study program of the field of education MIPA. The data used in the form of writing errors in the spelling level of papers written by postgraduate students of mathematics education, physics education, and biology education at State University of Malang. The sample of each study program is 2 papers so that the total sample is 6 papers. From the data analysis process obtained 139 spelling errors, the error consisted of 17 letter capitalization errors, 60 word usage errors (4 misconducts/affixes, 1 word count error, 4 use of prepositions errors, 2 mistakes on particles, 1 abbreviation error, 5 number errors, and 43 foreign term errors), and 72 use of punctuation errors (39 error on the use of the dot, and 33 on the use of a comma). Of the frequency, the biggest error is on the use of punctuation, i.e the use of point and coma 72 errors or 48.6% (26.1% use of dot errors and22.5% use of comma errors), in addition, the form of foreign term errors are also quite high, i.e 28.9%. Kata Kunci: Penggunaan ejaan, makalah mahasiswa, pendidikan bidang MIPA PENDAHULUAN Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 36, bahasa Indonesia telah ditetapkan sebagai bahasa Negara sehingga bahasa Indonesia adalah bahasa yang harus dipergunakan dengan baik dan benar (Arifin dan Hadi, 2009:1). Oleh karena itu, penggunaan bahasa Indonesia tidak hanya berhenti pada perhatian terhadap tersampaikannya inti pesan atau informasi yang disampaikan melalui ujaran atau tulisan tapi harus patuh terhadap kaidah-kaidah yang berlaku. Salah satu fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah lemahnya kemampuan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar oleh
kalangan terpelajar. Lemahnya kemampuan berbahasa Indonesia tersebut dibuktikan dengan rendahnya nilai bahasa Indonesia dalam Ujian Nasional (Maknum, Muslimat, Abbas, dan Hasyim, 2014:1). Melalui fenomena tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat penyepelean atau pengabaian terhadap pemakaian bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah. Melalui PP Nomor 57 Tahun 2014 pada Pasal 5 Ayat (2) butir (b) diatur bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara berfungsi sebagai bahasa pengantar pendidikan. Kemudian pada pasal dan ayat yang sama pada butir (f) diatur bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara berfungsi sebagai sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, serta seni. Dengan adanya aturan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa pengantar pendidikan, maka menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar bukan hanya menjadi kewajiban orang yang berada di bidang bahasa saja, serta harusnya tidak ada penyepelean terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai kaidah oleh seluruh komponen pendidikan, terutama pendidik. Pendidik yang menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar akan mendukung terselenggaranya pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, serta seni. Sebaliknya, Apabila pendidik tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, maka tidak menutup kemungkinan bahwa hal itu akan dilakukan pula oleh siswa dan akan semakin membuat terpuruknya bahasa Indonesia yang baik dan benar. Salah satu penggunaan kaidah bahasa Indonesia dalam lingkungan pendidikan yang tidak memperhatikan kaidah adalah dalam ranah karya tulis ilmiah. Seringkali penulisan karya ilmiah hanya berfokus tersampaikannya pesan atau informasi tanpa memerhatikan aturan penulisan sehingga justru hal tersebut menjadikan karya ilmiah tidak dipahami secara meluas, dan mungkin hanya mampu dipahami terbatas pada lingkup bidang tersebut. Dardjowijoyo (2016:6) mengatakan bahwa tata bahasa tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang terlepas dari kognisi manusia karena konstituen dalam suatu ujaran sebenarnya mencerminkan realita psikologis yang ada pada manusia tersebut. Oleh karena itu, kesalahan-kesalah dalam berbahasa berhubungan dengan prinsip-prinsip kognitif. Di samping itu, Suwigno dan Santoso (2008:4) mengatakan bahwa bahasa
merupakan simpul perilaku. Mereka menambahkan bahwa informasi atau gagasan keilmuan dalam paparan bahasa Indonesia keilmuan yang objektif, lugas, cendekia, ringkas dan jelas, analitis, serta sistematis akan mempengaruhi logika pembacanya. Oleh karena itu, penggunaan bahasa Indonesia dalam karya tulis ilmiah yang sesuai kaidah penting untuk dilakukan oleh penulis karena akan berpengaruh pada tingkat keberterimaan pembaca. Lingkungan perguruan tinggi adalah lingkungan akademisi yang erat dengan penulisan karya ilmiah seperti artikel, makalah, skripsi, thesis, disertasi, dan sebagainya. Mahasiswa sebagai salah satu anggota masyarakat dalam lingkungan perguruan tinggi dituntut untuk dapat menulis karya ilmiah. menulis karya ilmiah memiliki aturan-aturan penulisan yang harus diketahui dan diterapkan oleh mahasiswa. Kemampuan mahasiswa dalam menulis karya ilmiah dengan bahasa yang baik dan benar sesuai kaidah akan membantunya untuk melaksanakan tugas ketika ia terjun di dalam lingkungan masyarakat nantinya. MIPA adalah bidang yang memiliki peran yang strategis karena merupakan kebutuhan berbagai bidang studi lain (Brodjonegoro dalam Surtikanti dan Surakusumah, 2001:P02-2). Bidang MIPA terdiri dari matematika, biologi, fisika, dan kimia. Mahasiswa pascasarjana bidang pendidikan MIPA adalah mahasiswa yang telah lulus pendidikan strata satu yang dipersiapkan sebagai pendidik sehingga seharusnya kesalahan dalam berbahasa ragam ilmiah adalah hal yang sudah tidak mereka lakukan. Sangat disayangkan apabila kesalahan ejaan pada karya-karya ilmiah terus terjadi pada kalangan mahasiswa pascasarjana bidang pendidikan MIPA yang notabene akan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran yang akan diampunya. Ragam tulis berbeda dengan ragam bicara. Ragam tulis tidak dibantu oleh gerak tubuh, isyarat, atau mimik sehingga sebuah makalah harus dipaparkan dengan jelas, lugas, dan komunikatif supaya pembaca dapat dengan mudah memahaminya (Ahmadi, dkk, 2011:52). Jelas berarti tulisan memiliki unsur-unsur yang cukup sesuai dengan maksud (subjek, objek, predikat, pelengkap, keterangan). Lugas berarti tulisan tidak menimbulkan keambiguan. Komunikatif berarti tulisan menyampaikan pesan atau informasi yang mana harus terdapat kesesuaian antara maksud penulis terhadap informasi yang diterima pembaca.
Kesalahan berbahasa pada dasarnya terletak pada dua aspek yang oleh Noam Chomsky disebut sebagai competence dan performance. Competence (kompetensi) adalah pengetahuan pemakaian bahasa yang ideal tentang kaidah gramatikal, sedangkan performance (performansi) adalah realisasi nyata penetahuan penutur dalam tuturan, yang didalamnya tercakup berbagai faktor sosial, fisik, dan kejiwaan (Kaseng, 1989: 90). Dengan kata lain, kesalahan yang dibuat oleh seorang penulis karya ilmiah mungkin dapat berupa kurangnya pengetahuan yang dimilikinya terkait kaidah-kaidah yang harus ditaati atau karena penulis tersebut dalam kondisi yang tidak baik sehingga walaupun dia memahami kaidah-kaidah penulisan namun. Terkait hal ini, terdapat dua kompetensi lain selain kompetensi linguistik, yakni kompetensi komunikatif dan kompetensi percakapan. Hymes (1972) dalam Taylor (1990:29) mengatakan “To use language affectively in varied situations, a person must possess not only linguistic competence but also communicative competence, the use of language appropriate to a given situation.” Banyak hal yang harus diperhatikan dalam berbahasa, bukan hanya kompetensi linguistik tapi juga mengenai kompetensi komunikatif, yakni terkait situasi seperti apa kita menulis karena terdapat kaidah yang berbeda untuk konteks yang berbeda. Menulis sebuah karya tulis ilmiah tentu berbeda dengan menulis pesan singkat melalui SMS (Short Message Service). Begitu juga menulis SMS pada dosen tentu berbeda dengan menulis pada teman. Selain itu, terdapat kompetensi percakapan. Dalam taylor dikatakan mengenai kompetensi percakapan, yakni “... conversational tacit knowledge and observance of conversational principles, maxims, rules, and conventions.” (Kompetensi percakapan adalah pengetahuan tersirat dan ketaatan prinsip percakapan, maksim, aturan, dan konvensi.) Tentu saja ketika berbicara tentang kompetensi berbahasa, maka kompetensi yang harus harus dipahami oleh seseorang adalah yang berlaku bagi masyarakat dimana bahasa itu berada. Di Indonesia, kompetensi tentang tata tulis ragam ilmiah tertuang dalam buku pedoman ejaan yang disempurnakan, kamus, dan tata bahasa. Kemendikbud melalui badan pengembangan dan pembinaan bahasa secara terus menerus melakukan pembaruan tentang aturan ejaan bahasa Indonesia. Pada tahun 2016 telah diterbitkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
PUEBI adalah salah satu sumber yang menjadi rambu-rambu dalam penggunaan bahasa Indonesia ragam ilmiah. Ketepatan penggunaan ejaan bisa dijadikan ukuran sejauh mana pemahaman bahasa seseorang, bahkan dijadikan ukuran sejauh mana seseorang ‘melek bahasa’ (Putrayasa, 2007: 21). Melakukan kesalahan berbahasa dalam pembelajaran itu suatu hal yang wajar. Seperti yang diungkapkan Brown (2004:164) bahwa dalam pembelajaran selalu terjadi kesalahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk kesalahan ejaan pada makalah mahasiswa pascasarjana program studi pendidikan bidang MIPA Universitas Negeri Malang. Masalah yang diteliti adalah mengenai (1) bentuk kesalahan ejaan pada makalah mahasiswa Pascasarjana Pendidikan MIPA Universitas Negeri Malang; dan (2) tingkat keseriusan kesalahan ejaan pada makalah mahasiswa Pascasarjana Pendidikan MIPA Universitas Negeri Malang. Kesalahan-kesalahan ejaan dapat terjadi secara sengaja (karena tidak tahu kaidah) atau secara tidak sengaja. Dulay, Burt, dan Krashen (1982:277) mengatakan “Error is a part of a conversation that deviates from some selected norm of nature language performance.” Kesalahan dalam berbahasa adalah hal yang normal. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk mahasiswa, peneliti, atau akademisi sebagai bahan koreksi terhadap ragam ilmiah yang digunakannya saat menulis karya ilmiah. Dengan tujuan mengkaji kesalahan ejaan dalam makalah mahasiswa pascasarjana pendidikan bidang MIPA maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pertimbangan yang digunakan adalah bahwa data diperoleh dari sumber tertulis yakni makalah mahasiswa sehingga akan dipaparkan secara objektif kesalahan-kesalahan ejaan pada makalah mahasiswa pascasarjana program studi pendidikan matematika, fisika, dan biologi. Data dalam penelitian ini adalah kesalahan-kesalahan tulisan dalam tataran ejaan. Data tersebut berasal dari sumber berupa makalah yang ditulis oleh mahasiswa pascasarjana Universitas Negeri Malang dengan program studi pendidikan matematika, pendidikan
fisika, dan pendidikan biologi. Makalah
tersebut diambil sebanyak enam makalah, yang masing-masing program studi diambil dua makalah. Makalah tersebut dipilih secara acak. Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah teknik dokumentasi dengan
langkah: (1) mengumpulkan sumber data; (2) mengumpulkan data dari makalah tersebut mengenai kesalahan ejaan, yang dilakukan dalam tahap ini adalah: (a) membaca secara teliti, (b) menyeleksi data dengan cara memberi tanda Text Highlight color, yakni warna hijau untuk tataran kesalahan Huruf Kapital, merah untuk kesalahan penggunaan kata, dan kuning untuk kesalahan penggunaan tanda baca, dan (c) melakukan kodefikasi (kodefikasi terhadap jenis kesalahan). Dalam teknik ini, peneliti adalah instrumen kunci. Teknik analisis data penelitian yang digunakan adalah prosedur analisis kesalahan berbahasa yang meliputi: (1) identifikasi data, (2) klasifikasi data. Klasifikasi data terkait dengan jenis kesalahan, apakah kesalahan pemaikaian huruf kapital, penggunaan kata, dan penggunaan tanda baca ; (3) penentuan frekuensi kesalahan. PEMBAHASAN 1. Kesalahan Penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan Dari proses analisis data didapatkan sebanyak 139 kesalahan ejaan, kesalahan tersebut terdiri atas 17 kesalahan penggunaan huruf kapital, 60 kesalahan penggunaan kata (4 kesalahan kata turunan/berimbuhan, 1 kesalahan pada gambungan kata, 4 kesalahan pada penggunaan kata depan, 2 kesalahan pada partikel, 1 kesalahan pada singkatan, 5 kesalahan pada angka/bilangan, dan 43 kesalahan pada kata/istilah asing), dan 72 kesalahan pada penggunaan tanda baca (39 kesalahan pada penggunaan tanda titik, dan 33 pada penggunaan tanda koma). a. Kesalahan Penggunaan Huruf Kapital Frekuensi kesalahan penggunaan huruf kapital adalah sebanyak 11,4% dari seluruh kesalahan ejaan yang didapatkan. Kesalahan ini menyebar pada makalah mahasiswa pascasarjana pendidikan matematika, fisika dan biologi, dengan jumlah terbanyak ada pada makalah program studi biologi, yakni sebanyak sebelas kesalahan. Kesalahan penggunaan huruf kapital antara lain terjadi pada penyebutan dokumen resmi seperti berikut. (1) Peraturan pemerintah pengganti undang-undang, (BIO2) (2) peraturan pemerintah, (BIO2) (3) keputusan presiden, (BIO2) (4) peraturan menteri (BIO2) Huruf awal pada kata nama dokumen resmi seharusnya adalah huruf kapital,
sehingga pembenahannya sebagai berikut (1.a) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (2.a) Peraturan Pemerintah (3.a) Keputusan Presiden (4.a) Peraturan Menteri Selain kesalahan pada penyebutan dokumen resmi tersebut, kesalahan penggunaan huruf kapital juga terjadi pada huruf awal pada kata awal kalimat dalam kutipan. Bentuknya seperti berikut. (5) Contoh perencanaan adalah arahan melalui teks (misalnya, ''saya akan kembali ke halaman sebelumnya sebentar'') (6) ... , ''tiga per lima, tiga setengah, atau tiga empat per lima atau tiga banding lima, ya, itu saja'' Pembenahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut. (5a) Contoh perencanaan adalah arahan melalui teks (misalnya, ''Saya akan kembali ke halaman sebelumnya sebentar.'') (6a) ... , ''Tiga per lima, tiga setengah, atau tiga empat per lima atau tiga banding lima, ya, itu saja.'' b. Kesalahan Penggunaan Kata Kesalahan
penggunaan
kata
terdiri
dari
4
kesalahan
kata
turunan/berimbuhan, 1 kesalahan pada gambungan kata, 4 kesalahan pada penggunaan kata depan, 2 kesalahan pada partikel, 1 kesalahan pada singkatan, 5 kesalahan pada angka/bilangan, dan 43 kesalahan pada kata/istilah asing. Total frekuensi kesalahan penggunaan dibanding dengan seluruh kesalahan yang ditemukan adalah sebanyak 40.1% dengan kesalahan paling banyak terdapat pada penulisan istilah asing yang tidak dimiringkan, yakni 43 kesalahan. Bentuk kesalahannya antara lain sebagai berikut. (7) Deoxynucleotide triphosphates (BIO1) (8) Buffer (BIO1) (9) Analysis (MAT2) (10) Interference (MAT2) (11) transfer of knowledge (FIS2) (12) the dark middle ages (FIS2)
Kesalahan tersebut dapat dibenahi seperti bentuk berikut. (7a) Deoxynucleotide triphosphates (8a) Buffer (9a) Analysis (9b) Analisis (10a) Interference (10b) Interferensi (11a) transfer of knowledge (12a) the dark middle ages Frekuensi tertinggi kedua pada kesalahan penggunaan kata adalah penggunaan angka/bilangan, yakni sebanyak lima kesalahan atau 3,3% dari total kesalahan. Bentuk kesalahan tersebut adalah angka yang terdiri dari dua kata tetapi ditulis dengan angka, bukan dengan huruf. Bentuk kesalahannya seperti berikut. (13)
... polipeptida rata-ratamengandung 300 asam amino (BIO1)
(14) Laju pemanjangan kira-kira 500 nukleotida perdetik pada bakteri dan 50 perdetik pada sel manusia. (BIO1) Pembenahan dapat dilakukan seperti di bawah ini. (13a) ... polipeptida rata-ratamengandung tiga ratus asam amino. (14a) Laju pemanjangan kira-kira lima ratus nukleotida per detik pada bakteri dan lima puluh per detik pada sel manusia. c. Kesalahan Penggunaan Tanda Baca Kesalahan yang terjadi pada bentuk tanda baca didominasi oleh kesalahan penggunaan tanda titik (.) dan tanda koma (,). Kesalahan pada tataran ini terjadi paling banyak, yakni 48,6% dari total kesalahan ejaan yang ditemukan dengan 39 kesalahan penggunaan tanda titik (atau sebanyak 26,1%) dan 33 kesalahan pada peggunaan tanda koma (atau sebanyak 22,5%). Kesalahan penggunaan tanda titik antara lain tidak diberikannya spasi di antara tanda titik dengan huruf awal pada kata setelah titik tersebut. Kesalahan seperti ini tersebar pada semua makalah. Bentuk kesalahan tersebut antara lain sebagai berikut. (15) ... masalah.Kegiatan ...(MAT1) (16) ... masalah matematika.Hal ini ... (MAT1)
(17) ... tercapai.Keterlaksanaan ... (MAT1) (18) ... aktivitas enzimatik.Dalam hal ... (BIO1) Berikut ini adalah pembenahan dari kesalahan-kesalahan tersebut. (15a) ... masalah. Kegiatan ... (16a) ... masalah matematika. Hal ini ... (17a) ... tercapai. Keterlaksanaan ... (18a) ... aktivitas enzimatik. Dalam hal ... Kesalahan penggunaan tanda koma yang paling sering muncul adalah tanda koma yang tidak dihadirkan sebelum “dan” pada bentuk-bentuk seperti data berikut. (19) ... terhadap subjek tertentu, membaca, menulis, aritmetika, geografi, sejarah dan tata bahasa. (FIS2) (20) ... Sebagaimana sekolah tradisional biasanya menekankan pelajaran terhadap subjek tertentu, membaca, menulis, aritmetika, geografi, sejarah dan tata bahasa. (FIS2) (21) ... maka seseorang dapat mengawal pikirannyadengan merancang, memantau dan menilai apa yang dipelajarinya. (MAT1) (22) ... pada proses membangun, menggunakan dan menguji ide ... (BIO2) Berikut ini adalah pembenahan dari kesalahan-kesalahan tersebut. (19a) terhadap subjek tertentu, membaca, menulis, aritmetika, geografi, sejarah, dan tata bahasa. (20a) ... Sebagaimana sekolah tradisional biasanya menekankan pelajaran terhadap subjek tertentu, membaca, menulis, aritmetika, geografi, sejarah, dan tata bahasa. (21a) ... maka seseorang dapat mengawal pikirannyadengan merancang, memantau, dan menilai apa yang dipelajarinya. (22a) ... pada proses membangun, menggunakan, dan menguji ide ...
2. Tingkat Keseriusan Kesalahan Berikut ini adalah tabel distribusi kesalahan ejaan.
Dari analisis data ditemukan bahwa kesalahan ejaan pada makalah mahasiswa pascasarjana pendidikan bidang MIPA adalah sebanyak 149 kesalahan (100%) dimana memiliki frekuensi yang berbeda antara jenis kesalahan satu dengan yang lainnya. Dilihat dari frekuensinya, kesalahan terbesar ada pada penggunaan tanda baca, yakni penggunaan titik dan koma sebanyak 72 kesalahan atau 48,6% (kesalahan tanda titik sebanyak 26,1% dan kesalahan tanda koma sebanyak 22,5%), selain itu, bentuk kesalahan penulisan kata/istilah asing juga tergolong tinggi, yakni 28,9%. Oleh karena itu, penggunaan tanda titik, koma, dan istilah asing adalah hal yang sering terabaikan oleh penulis makalah sehingga hal ini harus menjadi perhatian agar tidak terjadi kesalahan dalam penulisan karya ilmiah berikutnya.
SIMPULAN 1. Kesimpulan Terdapat beberapa jenis kesalahan ejaan dalam makalah mahasiswa
pascasarjana bidang pendidikan MIPA. Kesalahan tersebut antara lain (1) penggunaan huruf kapital, yakni tidak digunakannya huruf kapital pada awal kalimat, digunakannya huruf kapital pada kata tugas di judul subbab, dan tidak digunakannya huruf kapital pada huruf awal nama orang; (2) penggunaan kata, yakni tidak dimiringkannya kata/istilah asing, digunakannya angka/bilangan pada angka/bilangan yang dapat ditulis dengan dua kata, digabungnya kata depan dengan kata berikutnya, dan beberapa kesalahan pada kata turunan, gabungan kata, dan singkatan; dan (3) penggunaan tanda baca, yakni penggunaan titik dan koma. Kesalahan ejaan yang dilakukan oleh mahasiswa pascasarjana bidang pendidikan MIPA dengan frekuensi yang paling tinggi dan perlu mendapat perhatian adalah penggunaan tanda titik, tanda koma, dan penggunaan istilah asing. 2. Saran Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk refleksi diri penulis makalah tentang menulis karya ilmiah menggunakan ejaan yang disempurnakan sehingga kesalahan-kesalahan ejaan dapat dihindari. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, dkk. 2011. Menulis Ilmiah: Buku Ajar MPK Bahasa Indonesia. Surabaya: Unesa University Press. Arifin, E. Zaenal dan Hadi, Farid. 2009. Seribu Satu Kesalahan Berbahasa. Jakarta: AKA Press. Brown, H., Douglas. 2004. Principles of Language Teaching And Learning. New Jersey: Prentice Hall Inc. Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia Dulay, H., Burt, M. & Krashen, S. (1982). Language Two. New York : Oxford University Press. Kaseng, Sjahrudin. 1989. Linguistik Terapan: Pengantar Menuju Pengajaran Bahasa yang Sukses. Jakarta: Depdikbud. Kemendikbud. 2016. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia. Jakarta: Presiden Republik Indonesia. Putrayasa, Ida Bagus. 2007. Kalimat Efektif. Bandung: PT Refika Aditama. Surtikanti dan Surakusumah. 2001. Dinamika dan Upaya Pengembangan
Pendidikan MIPA pada Tingkat Sekolah Menengah dan Pendidikan Tinggi pada Abad 20. Seminar Nasional UPI-JICA. 21 Agustus 2001:P02-1—P0210. Suwignyo, H dan Santoso A. 2008. Bahasa Indonesia Keilmuan, Berbasis Area Isi dan Ilmu. Malang: UMM Press. Tajuddin Maknun, Muslimat, Asriani Abbas, Munira Hasyim. 2014. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Rendahnya Nilai Bahasa Indonesia pada Ujian Nasional Siswa Sekolah Lanjutan Atas Di Sulawesi Selatan. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) Universitas Hasanuddin: Tidak diterbitkan. Taylor, Insup. 1990. Psycholinguistics Leraning and Using Language. America: Prentice Hall International, Inc.
PERAN BAHASA INGGRIS SEBAGAI BAHASA KEDUA DALAM PEMEROLEHAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA KETIGA Abdul Kholiq Universitas Islam Lamongan
[email protected] ABSTRACT Cross language influence in third language (L3) acquisition is related to the first (L1) and second language (L2) acquisition. Cross-language influence in third language acquisition studies can be analyzed from the first and second language role in the third language acquisition. Each acquisition Indonesian language as L3 is always English as L2 so that the role of English in acquiring Indonesian as B3 be worth studying. It is a qualitative approach based research. This study focuses on (1) the role of English of articulation and (2) the role of English as the provider acquiring vocabulary in Indonesian as L3. Data used in this research is the conversation conducted by the researcher and research subject; and sentence production based on picture by the research subject. Data analysis result finds 1) the role of English as an addition to the mastery of the sound that is not owned B1 of pemeroleh Indonesian as L3 and English influence language sounds in pronunciation Indonesian, and 2) The role of English as a provider of vocabulary in language acquisition Indonesia as B3 is as a language bridge in language acquisition Indonesia if the Indonesian pemeroleh not master words in Indonesian. Keywords: Third language acquisition, english. role L2 in third language acquisition PENDAHULUAN Psikolinguistik sebagai cabang linguistik merupakan bidang kajian yang memiliki banyak subkajian. Salah satu subkajian tersebut adalah pemerolehan bahasa. Pada bidang pemerolehan bahasa dikenal pemerolehan bahasa pertama (B1) atau first language acquisition (FLA) dan pemerolehan bahasa kedua (B2) atau second language acquisition (SLA). Karena studi pemerolehan bahasa, baik FLA maupun SLA, selalu berkembang, hipotesis yang dirumuskan pada penelitian tertentu
dapat
diuji
keabsahannya,
dimungkinkan
dimungkinkan
akan
menghasilkan hipotesis baru yang dapat disetarakan atau menggantikan hipotesis lama. Seseorang mengalami dua proses dalam pemerolehan bahasa, yaitu kompetensi dan performansi. Setiap orang memiliki kompetensi bahasa dalam dirinya, tetapi kompetensi itu akan terlihat pada performansi bahasa yang dihasilkannya. Jika dibandingkan pemerolehan B1 dengan B2, hanya sedikit
pemeroleh B2 yang penguasaan B2-nya lebih baik dari B1-nya (Ghazali, 2013:1). Artinya, anak yang memperoleh B1-nya dengan baik akan memiliki kompetensi B1-nya lebih baik daripada B2-nya. SLA berlangsung pada orang yang sudah memperoleh B1. Hal itu dipengaruhi kondisi kognitif, kondisi lingkungan, dan proses psikologi setiap pemeroleh bahasa. Pada titik itulah studi pemerolehan bahasa menjadi unik dan menarik untuk terus diteliti. Selain SLA, dalam beberapa dekade dikenal pula studi pemerolehan bahasa ketiga (B3) atau third language acquisition (TLA). Studi TLA berkaitan dengan bagaimana pengaruh B1 dan B2 pada TLA. Pengaruh bahasa-bahasa tersebut dalam kajian pemerolehan B3 dinamakan pengaruh lintas bahasa atau cross-linguistic influence. Studi lintas bahasa dalam TLA berpotensi lebih kompleks daripada studi pemerolehan lintas bahasa dalam SLA (Cenoz, 2001:1). TLA dialami oleh orang yang sedang memperoleh bahasa setelah menguasai B1 dan B2. Pemeroleh B3 tersebut dinamakan poliglot. Dalam TLA, pemeroleh bahasa ketiga meminjam kata, kelompok kata, dan kalimat dari bahasa yang lebih lebih dekat tipologinya dengan bahasa target. Kellermen menyebutnya psikotipologi (dalam Cenoz, 2001:8). Pada TLA, sangat penting untuk dipertimbangkan kemampuan pemeroleh, tidak hanya pada bahasa target, tetapi juga dalam dua atau lebih bahasa lain yang telah dikuasai lebih dulu dikuasai pemeroleh B3. Hal tersebut menambah kompleksitas penelitian dengan mempertimbangkan kompetensi multilingual, bukan kompetensi monolingual. Transfer bahasa dalam TLA yang memiliki andil besar dalam kajian pengaruh lintas bahasa adalah transfer leksikal. Hal tersebut disebabkan dari transfer leksikal yang dilakukan pemeroleh B3 terlihat bagaimana pemerolehan B3 yang terjadi pada pemeroleh B3. Transfer leksikal menjadi fokus kajian yang paling banyak diteliti dalam TLA. De Angelis (2007:41) menyatakan bahwa dalam TLA dikenal transfer leksikal teradaptasi, teradaptasi dan transfer leksikal secara semantis. Transfer leksikal takteradaptasi diasumsikan sebagai pemijaman leksikal dalam B1 atau B2 yang bentuknya utuh dalam B1 atau B2 yang tidak terpadukan dengan B3. Transfer leksikal teradaptasi diasumsikan sebagai pemijaman leksikal dalam B1 atau B2 yang bentuknya teradaptasi atau terpadukan dengan B3.
Penjelasan tersebut dapat diperhatikan dari contoh berikut. (1) Saya meng-cut kain itu. (2) Saya cutting kain itu. Pada kalimat (1) bentuk meng-cut terbentuk dari kata cut dalam bahasa Inggris dan imbuhan me- dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut dapatk dikatakan sebagai transfer leksikal teradaptasi dari bahasa Inggris dan Indonesia. Pada kalimat (2) bentuk cutting adalah bentuk dari bahasa Inggris yang dianggap sebagai bentuk utuh dalam bahasa Inggris dalam transfer yang terjadi. Hal tersebut disebut sebagai transfer leksikal takteradaptasi. Transfer leksikal secara semantis diasumsikan sebagai transfer leksikal yang penggunaannya tidak sesuai dengan maknanya dalam kalimat. Misalnya, pada kalimat saya ingin menjadikan dosen terdapat kata yang tidak sesuai dengan makna kata pada konteks kalimat tersebut, yaitu kata menjadikan. Kata menjadikan dapat bermakna membuat jadi. Dalam konteks kalimat tersebut makna kata menjadi lebih sesuai pada kalimat tersebut. Studi pengaruh lintas bahasa dalam TLA juga tidak terlepas dengan jarak bahasa dari B1 dan B1 terhadap B3 atau bahasa target (Cenoz, 2001: 8). Jarak bahasa diartikan sebagai kedekatan tipologi B1, B2, dan B3 pada kasus pemerolehan B3. Jarak bahasa berpengaruh pada pemeroleh B3 yang riwayat bahasanya saling berdekatan. Kellerman (dalam Cenoz, 2001:8) menyebut faktor jarak bahasa sebagai konsep psikotipologi bahasa. Dalam kasus tersebut dapat diketahui bagaimana peran B1 dan B1 dalam TLA. Sebagai contoh, dalam memperoleh bahasa Indonesia, seseorang yang berB1 bahasa Inggris dan B2-nya bahasa Jepang diprediksikan lebih banyak mentransfer B1-nya, bahasa Inggris. Dengan kata lain bahasa sumber dalam konteks tersebut adalah bahasa Inggris. Istilah pemerolehan B3 muncul dalam beberapa dekade terakhir untuk menjawab kasus pemerolehan bahasa pada seseorang yang bilingual, trilingual, atau multilingual. Istilah pemerolehan B3 jika dikaitkan dengan istilah pemerolehan B1 dan B2 diartikan sebagai bahasa yang diperoleh setelah B2. Hal itu berarti setelah B3 dikuasi akan muncul istilah B4 dan seterusnya jika seseorang belajar kembali bahasa selain bahasa-bahasa yang telah diperoleh. Istilah itu menjadi rancu karena
seseorang mungkin mampu menguasai 40 bahasa. Apakah dalam menguasai bahasa keempat puluh tersebut dikatakan studi pemerolehan bahasa keempat puluh? Istilah pemerolehan B3 dibatasi dengan beberapa konsep dari beberapa ahli yang menekuni bidang pengaruh lintas bahasa. Hammarberg (2001:22) berpandangan bahwa B2 dapat berupa lebih dari satu bahasa. Hammarberg menggunakan istilah B3 sebagai bahasa yang saat ini sedang diperoleh, sedangkan istilah B2 digunakan untuk bahasa lain yang diperoleh seseorang setelah B1 diperoleh. Seseorang yang memiliki B1 bahasa Spanyol saat belajar bahasa Inggris dapat dikatakan bahwa B2-nya adalah bahasa Inggris. Selanjutnya, jika seseorang yang ber-B1 bahasa Spanyol dan ber-B2 bahasa Inggris tersebut belajar bahasa Jerman, dapat dikatakan bahasa Jerman dari orang tersebut adalah B3. Jika seseorang dengan B1 bahasa Spanyol, B2 bahasa Inggris, dan B3 bahasa jerman belajar bahasa Indonesia, oleh Hammarberg bahasa Indonesia tidak dikatakan sebagai B4, tetapi dianggap sebagai B3. Dari penjelas tersebut, istilah B2 diartikan sebagai bahasa yang telah dikuasai selain B1 sehingga B2 dapat terdiri lebih dari satu bahasa. Dari kasus yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya, bahasa Inggris dan bahasa Jerman dikatakan sebagai B2. Hammarberg (2001:22) menuliskan bentuk B2 yang memiliki lebih dari satu bahasa tersebut dengan bentuk B2n. Dari kalimat tersebut dapat dirumuskan B21 adalah bahasa inggris dan B22 adalah bahasa Jerman. Batasan tersebut digunakan oleh linguis bidang pengaruh linntas bahasa pada pemerolehan B3 untuk memudahkan definisi istilah pada studi kasus pemerolehan B3. Istilah B3 itu sendiri dianggap baru oleh ahli pemerolehan bahasa karena munculnya bersaman dengan kemunculan studi pengaruh bahasa dalam pemerolehan bahasa. Hammarberg (2001:20) menyatakan bahwa B1 dan B2 berperan pada artikulasi pemeroleh B3 dan sebagai penyedia kosakata dalam TLA. Peran B1 dan B2 pada artikulasi berhubungan dengan pelafalan pemeroleh B3 dalam pelafalan B3. Peran B1 dan B2 sebagai penyedia kosakata behubungan pada pengalihan kata B3 ke B1 atau B2 pemeroleh B3. Pengalihan tersebut diasumsikan sebagai leksikal altenatif saat pemeroleh B3 tidak menguasai kata pada B3.
Pemeroleh bahasa Indonesia sebagai B3 akan sering kita temui pada warga negara asing yang dengan sengaja mempelajari bahasa Indonesia atau bertempat tinggal di Indonesia. Pemeroleh bahasa Indonesia tersebut akan menggunakan pengetahuan B1 atau B2-nya untuk dapat memahami bahasa Indonesia. Dalam kasus ini, umumnya pemeroleh bahasa Indonesia sebagai B3 memiliki riwayat bahasa Inggris sebagai B2 dan B1 sebagai bahasa asal negara mereka. Misalnya, orang Thailand dari daerah Thailand Selatan dengan bahasa ibunya Melayu Pattani yang saat ini mempelajari bahasa Indonesia memiliki riwayat bahasa setidaknya B1-nya adalah bahasa Melayu Pattani dan B2-nya adalah bahasa Thailand dan Inggris. Hal tersebut juga akan temui pada orang Cina (ber-B1 bahasa Mandarin) yang sedang memperoleh bahasa Indonesia akan memiliki B2 bahasa Inggris. Dari paparan tersebut, umumnya setiap pemeroleh bahasa Indonesia sebagai B3 akan ber-B2 bahasa Inggris. Mengingat terbatasnya penelitian pengaruh lintas bahasa dalam pemerolehan bahasa Indonesia sebagai B3, studi pemerolehan B3 dikembangkan dan diteliti dengan memosisikan bahasa Indonesia sebagai bahasa target atau B3. Kasus yang terjadi tentang bahasa Indonesia sebagai B3 banyak ditemukan mahasiswa BIPA. Mahasiswa BIPA biasanya berasal dari bukan warga Negara Indonesia yang memiliki B1 yang beragam sehingga bahasa Inggris dijadikan pengantar untuk mempelajari bahasa Indonesia. Mereka mempelajari bahasa Indonesia tidak langsung dari B1 mereka. Akan tetapi, bahasa Inggris dijadikan sebagai jembatan untuk mempelajari bahasa Indonesia karena tipologi, bentuk kata dan struktur kalimat, bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia berdekatan. Penelitian pengaruh B3 dikembangkan dengan melihat peran bahasa Inggris sebagai B2 dalam pemerolehan bahasa Indonesia sebagai B3. Dengan memerhatikan uraian di atas, artikel ini terdiri atas dua fokus, yaitu (1) peran bahasa Inggris pada artikulasi dalam pemerolehan bahasa Indonesia sebagai B3 dan (2) peran bahasa Inggris sebagai penyedia kosakata dalam pemerolehan bahasa Indonesia sebagai B3. Metode Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik cakap
semuka, rekam, catat, dan sadap (dalam Mahsun, 2007:128). Keempat teknik tersebut dilaksanakan dalam satu waktu pada setiap pengambilan data. Subjek penelitian ini adalah tiga mahasiswa bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA). Kriteria subjek penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah seseorang yang memperoleh lebih dari dua bahasa sehingga pemeroleh bahasa Indonesia dalam penelitian ini adalah pemeroleh B3. Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan memperhitungkan masa pemerolehan bahasa Indonesia yang sama. Mahasiswa BIPA yang menjadi subjek penelitian berasal dari BIPA Ubaya dan BIPA Unesa. Satu mahasiswa berasal dari BIPA Ubaya, sedangkan dua mahasiswa lainnya berasal dari BIPA Unesa. Ketiga mahasiswa tersebut mulai belajar bahasa Indonesia dalam waktu yang bersamaan, yaitu mulai belajar pada awal bulan September 2014. Agar lebih terinci, subjek penelitian penelitian ini dijabarkan sebagai berikut. 1. Rusfii Madiyoh (S-1) Asal : Thailand Keterangan : Umur 23 tahun B1: bahasa Melayu Pattani. B21: Thailand (mulai dari 3 tahun sampai sekarang) B22: Inggris (mulai dari 18 sampai 22 tahun) B3: Indonesia (mulai September 2014 sampai sekarang) Bahasa yang sering digunakan di keluarga: bahasa Melayu 2. Rakotoharimalala Patricia (S-2) Asal : Madagaskar Keterangan : Umur 19 tahun B1: Malagasi mulai dari 0 tahun sampai sekarang. B21: Prancis (mulai dari 4 tahun sampai sekarang) B22: Inggris (SMP sampai SMA) B3: Indonesia (mulai September 2014 sampai sekarang) Bahasa yang fasih atau sangat dikuasai: bahasa Prancis 3. Nandrian Rakotoarizaka (S-3) Asal : Madagaskar Keterangan :
Umur 17 tahun B1: Malagasi mulai dari 0 tahun sampai sekarang. B21: Prancis (mulai dari 4 tahun sampai sekarang) B22: Inggris (SMP sampai SMA) B3 : Indonesia (mulai September 2014 sampai sekarang) Bahasa yang fasih atau sangat dikuasai: bahasa Malagasi dan Prancis
Sumber data penelitian ini adalah percakapan antara subjek penelitian dengan peneliti dan kalimat yang diproduksi oleh subjek penelitian. Percakapan dilakukan peneliti dengan subjek penelitian dengan membicarakan topik yang tergolong ringan dan nonformal. Jika subjek penelitian takmampu menggunakan kata atau kalimat dalam bahasa Indonesia, subjek penelitian diperkenankan menggunakan B1 atau B2 subjek penelitian untuk menyampaikan sesuatu. Sumber data yang kedua adalah produksi kalimat berdasarkan gambar. Produksi kalimat tersebut dilakukan dengan menggunakan media gambar yang berjumlah seratus gambar. Pemilihan seratus gambar yang disajikan tersebut didasarkan pada kemungkinan bahwa subjek penelitian akan memproduksi minimal seratus kalimat karena ada seratus gambar yang disajikan. Gambar yang dipilih adalah gambar dengan kata kunci yang berhubungan dengan kurikulum BIPA. Penganalisisan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hubung banding menyamakan dan membedakan (HBSB) yang dikemukakan oleh Mahsun (2007:117). Teknik HBSB berusaha menyamakan dan membedakan leksikal dan pelafalannya yang bukan termasuk dalam bahasa Indonesia. Hasil dari HBSB dilanjutkan pada analisis data untuk menjawab fokus transfer leksikal dan peran B1 dan B2 dalam pemerolehan B3. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Peran Bahasa Inggris pada Artikualasi dalam Pemerolehan Bahasa Indonesia sebagai B3 Dari hasil penelitian, bahasa Inggris berperan sebagai penambah penguasaan artikulasi yang tidak terdapat pada B1 pemeroleh bahasa Indonesia. Hal itu terjadi pada S-2 dan S-3 yang ber-B1 bahasa Madagaskar. Sesuai dengan sistem fonologi bahasa Madagaskar, dalam bahasa
], [x], [q], dan [w]. Logikanya, bahasa Inggris sebagai B2 dari S-2 dan S-3 mampu memberikan penguasaan bunyi
[q], dan [w]. Hal tersebut terlihat pada data yang diucapkan S-2 sebagai berikut. (a) Saya course. [saya] [kurs]. (S-2)
(b) Kesulitan saya bahasa Indonesia di kata-kata sedikit and vocabulary. [Ksulitan] [saya] [bahasa] [Indonesia] [di] [vokabulari]. (S-2) Pada kalimat (1) terlihat bahwa dalam bahasa Inggris sebagai B22-nya dari S-2 terdapat kata course yang diucapkan [kurs] oleh S-2. Dari kata tersebut S-2 mengenal huruf /c/ yang dilafalkan [k]. Pada kalimat (2) S-2 mengucapkan kata kesulitan kata vocabulary dengan lafal [ksulitan] dan [vokabulari] yang menunjukkan bahwa Sjuga terlihat pada data berikut. (c) Box letter itu ada banyak kertas (S-2) (d) Orang muslim berdoa di mosque a] [di] [moske]. (S2) (e) Ibu mengajar anaknya untuk walking [w -2) Pada kalimat (c) terlihat bahwa S-2 mengenal bunyi [x] pada kata box letter
d) terlihat bahwa S-2 mengenal
bunyi [q] pada kata mosque yang diucapkan [moske]. Pada kalimat (e) terlihat bahwa S-2 mengenal bunyi [w] pada kata walking yang diucapkan [w kata yang ditransfer ke bahasa Inggris S-2 tersebut, terlihat bahwa S-2 secara tidak
dalam bahasa Inggris mereka sebagai B2. Dari paparan data di atas dapat dikatakan bahwa bahasa Inggris memiliki peran sebagai penambah penguasaan bunyi dalam pelafalan pemeroleh bahasa Indonesia sebagai B3. Setiap bahasa memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh bahasa yang lain. Karakteristik tersebut dapat terdapat pada sistem fonologis, morfologis, dan sintaktis. Jika seseorang menguasai lebih dari dua bahasa, dapat dimungkinkan seseorang tersebut akan menguasai perbandingan bahasa yang dikuasai dan mampu mengorganisasi bahasa yang dimiliki untuk mempermudah dalam menguasai bahasa yang akan diperoleh. Hal tersebut terlihat pada S-2 dan S3. Selain sebagai penambah penguasaan artikulasi, bahasa Inggris juga memengaruhi pelafalan S-2 dan S-3. Dari contoh kalimat (c), S-2 melafalkan kata kertas bahasa Inggris yang jarang menggunakan bun Pada kalimat (d) kata berdoa Data lainnya dapat dilihat pada kalimat berikut. (f) Saya mencoba makan honey. [saya] [mencoba] [makan] [hanie]. (S-3) (g) Pacar Stevani memberi rose (P) [pacar] [stevani] [memberi] [ros]. (S-2)
(i) Ibu membeli plat berwarna putih (P) [ibu] [putih]. (S-2)
] [plat] [berwarna]
Pada kalimat (f) dan (g) S-2 dan S-3 melafalkan kata mencoba dan memberi dengan lafal [mencoba] dan [memberi], bukan [m ncoba] dan [m mberi]. Pada saat tertentu S-2 dan S-3 kembali melafalkan kata dengan karakteristik B1-nya yang tidak mengenal bunyi [ kalimat (i) S-2 mengucapkan kata membeli dengan lafal ]. Dari data tersebut terlihat bahwa pemeroleh bahasa Indonesia sebagai B3 dengan B2-nya bahasa Inggris sulit untuk membedakan distribusi bunyi [ bahasa Indonesia. 2. Peran Bahasa Inggris sebagai Penyedia Kosakat Pemerolehan Bahasa Indonesia sebagai B3 Peran B2 sebagai penyedia kosakata disajikan dalam tiga bagian. Pertama, peran bahasa Inggris (B22) dari S-1, S-2, dan S-3 sebagai penyedia kosakata dalam memperoleh bahasa Indonesia sebagai B3. Kedua, peran bahasa Prancis (B21) dari S-2, dan S-3 sebagai penyedia kosakata dalam memperoleh bahasa Indonesia sebagai B3. Ketiga, peran bahasa Thailand (B21) dari S-1 sebagai penyedia kosakata dalam memperoleh bahasa Indonesia sebagai B3. Pemaparan hasil penelitian tentang peran B2 sebagai penyedia kosakata dalam pemerolehan B3 disajikan sebagai berikut. a. Peran Bahasa Inggris (B22) sebagai Penyedia Kosakata dalam Pemerolehan Bahasa Indonesia sebagai B3 Bahasa Inggris sebagai B22 dari S-1, S-2, dan S-3 berfungsi sebagai penyedia kosakata saat S-1, S-2, dan S-3 tidak menguasai suatu kata dalam bahasa Indonesia. Kata yang tidak mereka kuasai ditransfer ke bahasa Inggris yang menunjukkan dalam pikiran mereka bahasa Inggris dijadikan sebagai penyedia kosakata untuk memahami kata tertentu dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut dapat dipahami dari data berikut. (j) Kalau dosen mau marah pada saya itu saya harus care. (S-1) (k) Saya sulit remember. (S-2) (l) After Maroko mengajar Inggris di Madagaskar. (S-2) (m) Nanti announcement lewat online. (S-1) (n) Roof ini berbentuk limas. (S-3) (o) Dia merapikan tie. (S-3)
Pada kalimat (j) S-1 menggunakan kataa care untuk menyatakan kata peduli. Kata care dalam bahasa Inggris berada dalam otak S-1 untuk menyatakan kata peduli. Penyediaan kata care untuk kata peduli dalam pikiran S-1 menunjukkan bahwa bahasa Inggris juga sebagai penyedia kosakata dalam bahasa pemerolehan bahasa Indonesia, selain bahasa melayu. Hal yang juga terjadi pada kalimat (k) dan (l). S-2 mengucapkan kata remember dan after untuk menggantikan kata ingat dan setelah. S-1 menggunakan kata announcement pada kalimat (m) untuk menggantikan kata pengumuman. Pemilihan kata announcement tersebut dilakukan S-1 karena dia tidak menguasai kata pengumuman dalam bahasa Indonesia dan Melayu sehingga bahasa Inggris S-1 berfungsi sebagai penyedia kata untuk menggantikan kata pengumuman. Kata roof dan tie digunakan oleh S-3 untuk menyatakan kata atap dan dasi pada kalimat (n) dan (o). Hal tersebut dilakukan karena S-3 tidak mengerti kata atap dan dasi dalam bahasa Indonesia sehingga digunakan bahasa Inggris untuk menggantikan. Data lain dapat dilihat pada data kalimat berikut. (p) Letter itu kiriman dari teman saya. (S-1) (q) Orang-orang sedang meeting (S-1) (r) Di kantor adalah tempat untuk meeting (S-2) (s) Orang itu belajar driving (S-2) (t) Saya mencoba makan honey. (S-3) (u) Mereka jumping di pantai (S-3) Pada kalimat (p) kata letter digunakan S-1 untuk menggantikan kata surat karena S-1 terlintas kehilangan kata surat dalam bahasa Indonesia dan Melayu sehingga kata dalam bahasa Inggris, letter, digunakan S-1 untuk mengungkapkan maksudnya. Kata meeting digunakan S-1 dan S-2 pada kalimat (q) dan (r) untuk menggantikan kata rapat karena mereka tidak mengerti kata rapat dalam bahasa Indonesia. Kata driving, honey, dan jumping digunakan S-2 dan S-3 untuk menggantikan kata mengemudi, madu, dan melompat karena mereka tidak mengetahui kata-kata tersebut dalam bahasa Indonesia. Data yang disajikan di atas adalah data transfer leksikal takteradaptasi yang dilakukan S-1, S-2, dan S-3. Data transfer teradaptasi juga menggunakan bahasa Inggris sebagai paduan kata dalam leksikal teradaptasinya. Hal tersebut
dapat diperhatikan pada data berikut. (v) Banyak. Tentang menulis, mendengar, semua skill-nya kurang lagi karena kuliahdalam kelas saja. (S-1) (w) Vocabulary-nya kurang. (S-3) (x) Saya meng-cutting kertas itu . (S-2) (y) Anaknya di-massage oleh ibunya . (S-3) Pada kalimat (v) S-1 menggunakan kata skill-nya yang menunjukkan bahwa kata tersebut merupakan kata yang ditransfer secara teradaptasi. Kata skillnya terbentuk dari kaata skill dalam bahasa Inggris dan bentuk –nya dalam bahasa Indonesia. Kata skill dalam bahasa Inggris S-1 digunakan untuk menyatakan kata kemampuan. Artinya, bahasa Inggris digunakan S-1 sebagai penyedia kata saat tidak menguasai kata dalam bahasa Indonesia meskipun dipadukan dengan bentuk –nya dalam bahasa Indonesia. Hal yang sama juga dilakukan S-3 pada kata vocabulary-nya pada kalimat (w) yang terdiri atas kata vocabulary dalam bahasa Inggris dan bentuk –nya dalam bahasa Indonesia. Bentuk transfer leksikal teradaptasi yang berbentuk meng-cutting dilakukan S-2 pada kalimat (x) dengan memadukan kata cutting dalam bahasa Inggris dan bentuk afiks me- dalam bahasa Indonesia. Kata cutting dalam bahasa Inggris digunakan S-2 untuk menggantikan kata memotong meskipun dipadukan dengan bentuk dalam bahasa Indonesia, afiks me-. Hal yang sama juga dilakukan S-3 yang menggunakan bentuk di-massage untuk menyatakan bentuk memijat dalam bahasa Indonesia pada kalimat (y). Massage adalah kata disediakan dipikiran S-3 dalam bahsa Inggris yang digunakan S-3 untuk memadankan kata memijat dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahasa Inggris digunakan sebagai penyedia kata saat kata dalam bahasa Indonesia belum dapat dikuasai. SIMPULAN Dari uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Peran bahasa Inggris pada artikulasi dalam pemerolehan bahasa Indonesia sebagai B3 adalah sebagai penambah penguasaan bunyi yang tidak dimiliki B1 dari pemeroleh bahasa Indonesia sebagai B3 dan bahasa Inggris memengaruhi bunyi bahasa dalam pelafalan bahasa Indonesia.
2. Peran bahasa Inggris sebagai penyedia kosakata dalam pemerolehan bahasa Indonesia sebagai B3 adalah sebagai bahasa jembatan dalam pemerolehan bahasa Indonesia jika pemeroleh bahasa Indonesia tidak menguasai kata dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut terlihat pada transfer leksikal, baik teradaptasi, takteradaptasi, maupun semantis, yang ditransfer ke dalam bahasa Inggris. DAFTAR PUSTAKA Cenoz, Jasone, et. al (eds). 2001. Cross-Linguistic Influence in Third Language Acquisition. Multilingual Matters: Clevedon. De Angelis, Gessica. 2007. Third or Additional Language Acquisition. Multilingual Matters: Clevedon. Ghazali, A. Syukur. 2013. Pemerolehan dan Pembelajaran B2. Malang: Bayumedia Publishing. Hammarberg, B. 2001. “Roles of L1 and L2 in L3 production and acquisition”. In J. Cenoz, B. Hufeisen, & U. Jessner (Eds.), Cross-linguistic influence in third language acquisition:Psycholinguistic perspectives (pp. 21-41). Clevedon, UK: Multilingual Matters. Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya (Edisi Revisi). Jakarta: PT Raja Grafindo Jaya.
THE SOCIO-PRAGMATICS MANIFESTED IN COMMUNICATING THE MORAL VALUES IN THE FOLKTALE ‘THE FISHERMAN AND HIS WIFE’ Siyaswati Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
[email protected] ABSTRACT The purpose of this research is to explore the socio-pragmatics manifested in communicating the moral values in the folktale The Fisherman and His Wife. Sociopragmatics is the study of the way of language used which is derived from the social situation. A number of social factors that influence the language used by main characters are: the situation (for formal or informal), who is talking (status relationship), aim or purpose of conversation, how well do they know each other, and what is the topic of the conversation. This research investigated the relationship between language and society in terms of the communicating the moral values in the folktale. The data are textual and the methodological scheme is qualitatively analysis. The finding is moral values of self-discipline, compassion, responsibility, work, perseverance, honesty and faith are transformed by the fisherman either it is directly or indirectly. Keywords: socio-pragmatic, communicating, moral values, folktale INTRODUCTION Pragmatics is closely related with the external aspects of linguistics, it also deals with social Phenomena. Socio-pragmatics is used to refer to a part of Pragmatics study which gives greater emphasis on social matter. Leech (2003) stated, socio-pragmatics is “the sociological interface of pragmatics” involving speakers and hearer’s belief built on relevant social and cultural values. Thus, sociopragmatic competence is the ability to adjust speech strategies appropriately according to different social variables such as the degree of imposition, social dominance and distance between participant of conversation, and participants’ right and obligation in communication. While Spencer-Oatey (2003:2) gave the notion of Socio-pragmatics as socio culturally based principles and the interpretative, scalar in nature that guide or influence people use of language. The participants are typically value linked, so that in given culture and situational context, there are norms or preferences regarding the implementation of the principle and the failure to implementation of the principles are expected may result in mind to strong evaluative judgment. Socio-pragmatics is the research by the way in which
conditions on language use derived from the social situation. Human totally depends on a language because human is social creature which means that humans cannot live without other people. In this case there is a social interaction to gain different purposes. A folktale may be defined as a traditional oral prose narrative. The folktale circulates by word of mouth in a consistent. Lindahl (2004) states that folktales as literature show the significance of culture in language learning for the achievement of meaningful communication and the understanding of a particular language. Folktales which are traditionally literary work are carved in language. Folktales The Fisherman and His Wife. The story narrates a story about a fisherman who catches a magician fish but the magician fish wants to be released. The fisherman finally releases it and goes home with bringing nothing. His wife is angry and swearing to her husband to get back to the fish to wish giving her all she wants. The fisherman goes back and tells what his wife wants. The magician fish fills the fisherman’s wife desire, once, twice, three times, four times and it seems not to have limited wishes. At the final part, when the fisherman’s wife wishes to be Lord, the magician fish grants it with the opposite result. This folktale implicitly tells about greediness and it should not be a behavior. The fisherman has different character and it seems that he is actually trapped in a condition which leads him in an intersection. First, he has to be good husband by making her wife happy and the second is, he has to have good moral and stop the wife’s greediness. Folktales are a literary genre characterized by the heavy use of dialogues (folktales are based on oral tradition). Understanding those dialogues is dependent upon the principal of language use commonly consigned to the level of pragmatics, particularly socio-pragmatics. The objects of this research are taken from an American folktales The Fisherman and His Wife. As far as the researcher’s knowledge, research that analyzes folktales in terms of socio-pragmatics is an interesting one, especially in a context that this research focuses on socio-pragmatics. Indeed such research offers a good deal of contributions to the researches on pragmatics. Besides, this research is on socio-pragmatic issues which is ultimately urgent to be explored and to develop the EFL students’ understanding of Socio-Pragmatics. The question
research is How is socio-pragmatics manifested in communicating the moral values and politeness through the folktales The Fisherman and His Wife.
DISCUSSION A folktale may be defined as a traditional oral prose narrative. Like other kinds of folklore, the folktale circulates by word of mouth in a consistent yet shifting form; since each new teller does not read from or recite a fixed text, the words are constantly being altered to some degree. If a collector records and prints a tale in a book, it becomes merely a printed version of a folktale, lacking the intonation, inflection, gestures, facial expressions, and audience responses that make the narrating of a folktale a living performance. A researcher’s paraphrase or embellishment of a folktale he or she has heard is a literary version of the folktale, considerably removed from the original and authentic oral version. A story that is told only once does not qualify as a folktale because, although oral, it is not traditional. The length, subject matter, and form of folktales vary enormously. A one-minute joke and an adventure-laden romance requiring several nights to narrate can both be characterized as folktales, if they exist in oral variants. Lewis (1995) cites that storytelling is a basic human need, folktales are told even in the midst of technological cultures saturated with electronic media. Modern Americans specialize in snappy jokes with punch line endings and urban horror legends that are told as true. Moral value refers to any value in the context of moral. Moral constructs the boundary between good and bad. This boundary is exactly the value which separates the good and the bad and without this value, the boundary cannot be decided. It is like an ordinate which expose the margin between good thing and bad thing and of course, inside of it, there are a lot of things as categories. According to Benninga (1991), the term of values has a tendency to determine the judgments of right and wrong, lofty and base, just and unjust, and more personal preferences, that thing are useful as individuals happen to value them. By keep-sighting on this understanding, value in morality turns to be a simple phrase to explain how morality has value to judge. Of course, there is
neither judgment nor those binary oppositions (good and bad) without the margin or the boundary between them. This is the value and this is the value which contributes to understand about morality. Thus, to see a moral value, it should be compared both with other positive values and other negative values to distinguish the moral values to see. The Fisherman and His Wife which implements the socio-pragmatics referring to moral values of self-discipline, compassion, responsibility, work, perseverance, honesty and faith through the conversation among the Fisherman, the magical fish and his wife. The socio-pragmatics related to this moral value and this politeness stuff, can be traced on this below conversation; The fisherman is actually a poor man who needs a fish to eat, he is a patient fisherman. Once he gets one, but the fished requests to be released. He is feeling much pleased that he had secured so big a fish when he is surprised by hearing it say to him, Fish
: “Pray let me live. I am not a real fish. I am a magician. Put me in the water and let me go.”
Fisherman: “You need not make so many words about the matter,” […] “I wish to have nothing to do with a fish that can talk.”
This conversation has shown a curve of moral value, kindness which is collaborated with compassion, patience, and other good things that have been done by the fisherman. Therefore, the moral value should not be re-questioned in a compulsive argumentation. The point precisely sticks on the way it is spoken, the politeness beyond the moral value seems to go to means-ends reasoning, and in the socio-pragmatics, this can function to drag the context in its surface o be understood to each other. The fish wants to be released, the fisherman actually needs him to be eaten up. However, eating means to kill the fish and the fisherman says, “Now swim away as soon as you please,” said the man, and the fish darted straight down to the bottom,” that means he does not want to kill the fish just for eat. Finally, what thing that can be taken here is that the politeness which consists of moral value is applied in the socio-pragmatics, where the two subjects, the fish and the fisherman, understand each other for what they try to utter.
However, it is differently when it is encountered with conversation between the fisherman and his wife; Fisherman’s wife: “Did you not ask it for anything?” Fisherman: “No,” […] “What should I ask for?” Fisherman’s wife: “What should you ask for!” exclaimed the wife. Fisherman’s wife: “You talk as if we had everything we want, but See how Wretchedly. We live in this dark little hut. Do go back and tell the fish we want a comfortable house.” The fisherman’s wife speaks to her husband that she needs something and he must demand to the fish, while the fisherman seems not to understand to what his wife ask for. Therefore, the wife tells that she needs something to the fish because her husband has saved its life. The context that can be taken here is that the intended or the purposed goal of the conversation is that the wife wants her husband to understand her, she wants to be happy especially rich. The happiness and the rich is what all people want, but her husband has different point of view. Therefore, this conversation goes raising. The pragmatic aspect does not work here, to make it work, the wife explains it in detail. Finally, the moral value is able to see here through this conversation that the richness and the happiness the wife demands lead her to a character of greediness and greediness is the negative character of humble.
CONCLUSION The Fisherman and His Wife which implements the socio-pragmatics referring to moral values of self-discipline, compassion, responsibility, work, perseverance, honesty and faith through the conversation among the Fisherman, the magical fish and his wife with minor moral values of friendship, courage and loyalty. . The important thing to say here is that, those moral values are not spoken directly, but its practices have elaborated the implicit position of how the reader (or the listener) of the cases can take the meaning beyond the words written on the story. Therefore, the simplified point of this result is that the socio-pragmatics are implemented through direct conversation and narration because the story (folktale)
is constructed by them. The moral value as the scope of this socio-pragmatics finally can be understood and the meaning behind it can be grasped in its beyond-ness. REFERENCES Bardovi-Harlig, K. 1996. “Pragmatics and Language Teaching: Bringing Pragmatics and Pedagogy Together”. In Pragmatics and Language Learning 7. Pages: 21–39. Bennett, W.J. (Ed.). 1993. The Book of Virtues: A Treasury of Great Moral Stories. New York: Simon & Schuster. Benninga, J. S. 1991. Moral and Character Education in the Elementary School. New York: Teachers College Press. Brown, Paul. 2003. The Pragmatics of Direct Address in the iliad: a Study in Linguistic Politeness. Ohio: The Ohio State University. Campsall, Steve. 1998. “What is Pragmatics” (online, Andrew Moore, 2001), retrieved from http://www.shunsley.eril.net/armoore/, on 20 February 2016, at 8 pm. Curtis, Anthony. 2011. “How to Write a Feature Story”. Retrieved from http://www.uncp.edu/ home/acurtis/Courses/ResourcesForCourses/WritingFeatureStories.html. Fairclough, Norman. 2003. Analyzing Discourse. London: Routledge. Green, Thomas A. (Ed.). 2008. World Folktales. Santa Barbara: Greenwood Press. Green, Thomas, 2006. The Greenwood Library of American Folktales. USA: Greenwood Press Gumperz, John J. 1982b. Language and Social Identity: Studies in Interactional Linguistics 2. Cambridge: Cambridge University Press. Halliday, M.A.K. et.al. 1964. The Linguistic Sciences and Language Teaching. London: Longmans. Halliday, M.A.K. 1973. Explorations in the Functions of Language. London: Edward Arnold. Leech, George. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman. Levinson, S. C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press. Lindahl, 2004. American Folktales: from the Collections of Library of Congress. New York: M.E. Sharpe. Inc. Searl, Rose, K. R. 1996. “Compliments and compliment responses in film: Implications for pragmatics research and language teaching”. IRAL. No. 39. Pages: 309-326. Thomas, J. 1983. “Cross-cultural Pragmatic Failure”. Applied Linguistics. No. 4. Pages: 91–112. Thompson, Stith. 1977. The Folktale. Berkeley: University of California Press. Yule, 2006. The Study of Language (3rd edition). Cambridge: Cambridge University Press.
ANALISIS SISTEM APPRAISAL BERITA PROSES EKSEKUSI DUO BALI NINE (PENDEKATAN LINGUISTIK SISTEMIK FUNGSIONAL) Ayu Pusparini Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
[email protected] ABSTRACT This research explores the appraisal system in the news texts exposing issue of Duo Bali Nine execution taken from The Sydney Morning Herald, The Guardian Australia, The Jakarta Globe and The Jakarta Post websites. This is a descriptive qualitative research using criterion-based sampling technique. The primary data are taken from the interview and from the sixteen analyzed texts.the secondary data are taken from all information about journalists and the news paper also all information about Duo Bali Nine execution. The objectives of the research are to find out the appraisal systems applied in those texts, to know the journalists’ position through their texts and the influences of appraisal systems toward the readers. The results show that each news paper has their own appraisal systems patern. All types of attitudes are applied in the news texts both positive and negative. The engagement is mostly heterogloss and the mostly graduation is force- raise. Heterogloss engagement to make as if jurnalist in the neutral position and force raise graduation to make the effective news and reader not easily forget about the news. Keywords: LSF, appraisal, Duo Bali Nine PENDAHULUAN Halliday (1994) telah menggunakan Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) untuk menguraikan bahasa yang digunakan sesuai dengan fungsinya untuk berinteraksi. Halliday menyetujui dalam menggambarkan LSF sebagai tatabahasa yang didasarkan pada pendekatan fungsional. Tatabahasa itu digunakan sebagai sumber untuk menyatakan maksud hubungan dengan situasi dan budaya lisan atau teks yang dimunculkan. Teks menurut Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) tidak terlepas dari bahasa dan bahasa sebagai sistem semantis mampu memaparkan makna teks. Bahasa dikatakan memiliki tiga komponen makna, yaitu makna ideasional, makna interpersonal, dan makna tekstual. Makna ideasional memaparkan tugas bahasa sebagai pemberi arti pada pemaparan pengalaman seseorang. Makna interpersonal mengemukakan makna dalam suatu interaksi. Selanjutnya, makna tekstual adalah makna yang digunakan untuk merangkai pengalaman linguistik menjadi satu kesatuan yang padu.
Sistem appraisal merupakan pengembangan teori LSF pada ranah makna interpersonal. Martin & Rose (2003: 22) mendefinisikan appraisal sebagai sebuah sistem makna interpersonal yang mengacu pada evaluasi attitude yang terdapat dalam teks, bagaimana seseorang mengekspresikan seberapa kuat perasaannya terhadap suatu hal dan bagaimana nilai-nilai terhadap suatu hal di dalam teks tersebut dihasilkan. Dengan kata lain, dengan menggunakan teori appraisal kita bisa memberitahu pembaca atau orang lain mengenai attitude dan perasaan kita mengenai suatu hal atau seseorang. Martin & White (2005: 33) menuliskan bahwa appraisal merupakan salah satu dari tiga sumber utama semantik wacana yang menguraikan makna interpersonal di samping involvement dan negotiation. Appraisal dibagi menjadi tiga domain yaitu attitude, engagement, dan graduation. Attitude berkaitan dengan perasaan, termasuk reaksi perasaan terhadap seseorang atau suatu kejadian, penilaian tentang perilaku seseorang dan penilaian mengenai benda. Sementara engagement berkaitan dengan sumber penilaian tersebut berasal, dan graduation berkaitan dengan keras atau lunaknya kata-kata dari penilaian tersebut. Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan-pesan dari sumber kepada khalayak dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, TV (Cangara, 2002). Menurut Wilson (1995), media massa merupakan saluran yang digunakan dalam komunikasi massa untuk menyediakan informasi dan hiburan. Dalam saluran tersebut pesan berjalan dari sumbernya kepada penerima pesan. Media massa menggunakan saluran ini untuk membawa pesan. Pada era modern seperti sekarang kita bisa mendapat informasi dengan sangat cepat, tidak hanya melalui media cetak tapi juga melalui media elektronik. Masyarakat biasanya lebih memilih untuk mengakses berita melalui beberapa situs surat kabar yang ada di internet, karena alasan kepraktisan dan keterbaruan informasinya. Koran elektronik atau koran digital (bahasa Inggris: e-paper) adalah surat kabar dalam format elektronik yang dapat diakses dengan komputer atau ponsel. Karena perkembangan teknologi, koran tidak hanya berbentuk cetak, tapi juga tersedia versi digital atau elektronik dari versi cetak tersebut. Koran versi cetak secara digitalisasi dibuat persis atau menyerupai sumbernya yang biasanya
menggunakan metode pemindaian. Salah satu tanda dari perkembangan dunia jurnalistik di Indonesia bisa dilihat dari segi bahasa yang dipakai dalam surat kabar. Surat kabar yang diterbitkan di Indonesia tidak hanya memakai bahasa daerah dan bahasa nasional (Indonesia), tetapi Indonesia juga menerbitkan surat kabar dalam bahasa internasional (Inggris). The Jakarta Post dan The Jakarta Globe adalah surat kabar dalam negeri yang menggunakan bahasa Inggris yang tidak hanya dicetak tapi juga bisa diakses melalui internet. Selain bisa mengakses surat kabar terbitan dalam negeri, surat kabar terbitan luar negeri pun bisa kita akses melalui internet. The Sydney Morning Herald (SMH) dan The Guardian Australia adalah contoh surat kabar luar negeri yang bisa kita akses melalui internet. Keduanya adalah surat kabar yang beredar di Australia, yang tidak hanya menyajikan berita tentang negaranya saja, tapi juga berita internasional. Salah satu berita yang terdapat pada keempat contoh koran di atas adalah berita mengenai eksekusi Duo Bali Nine. Duo Bali Nine adalah julukan bagi dua terpidana yang merupakan pimpinan dari tujuh terpidana lainnya. Kesembilan orang tersebut adalah warga negara Australia yang tertangkap di Bali karena mencoba menyelundupkan heroin ke negaranya. Pemerintah Australia bersikukuh untuk meminta pengampunan pada pemerintah Indonesia agar kedua warganya tidak dieksekusi, mengingat Australia sering memberikan bantuan pada Indonesia dan hubungan bilateral negara yang baik. Sebaliknya pemerintah Indonesia mengatakan bahwa tidak ada pengampunan bagi siapapun yang terjerat kasus narkoba. Dengan adanya perbedaan di atas, peneliti akan meneliti pemberitaan tentang eksekusi Duo Bali Nine dengan menggunakan sistem appraisal. Peneliti akan menggunakan sistem appraisal untuk menjawab pertanyaan penelitian berikut. Pertama, Sistem appraisal apa saja yang muncul pada keenam belas berita tersebut? Kedua, bagaimana penulis memposisikan dirinya terhadap tulisannya? Ketiga, bagaimana pengaruh sistem appraisal dalam keenam belas teks tersebut terhadap pembacanya? Metode Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Lincoln & Guba
dalam Santosa (2014: 28) mengatakan bahwa ciri penelitian kualitatif ialah adanya penggunaan pengetahuan intuitif di samping pengetahuan proposisi atau diskursif yang diekspresikan dalam bahasa. Penelitian ini juga bersifat deskriptif karena bertujuan untuk mendeskripsikan secara rinci fenomena-fenomena yang dikaji di lapangan (Sutopo, 2006). Metode penelitian bahasa berkaitan dengan tujuan penelitian serta melibatkan pengumpulan dan pemilihan data. Penelitian ini mendeskripsikan hasil temuan dari analisis appraisal pada pemberitaan tentang eksekusi Duo Bali Nine yang diambil dari website empat surat kabar yaitu The Sydney Morning Herald, The Guardian Australia, The Jakarta Globe dan The Jakarta Post. Dari setiap website koran diambil empat berita. Data dalam penelitian ini dibagi atas data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini berupa informasi yang didapat dari informan serta leksis dan kelompok kata yang mengandung sistem appraisal yang berupa attitude, engagement, dan graduation yang terdapat dalam teks berita pada dari website The Sydney Morning Herald, teks berita dari website The Guardian Australia, teks berita dari website The Guardian Australia dan terakhir teks berita dari website The Jakarta Post. Data primer merupakan data inti yang akan digunakan peneliti dalam melakukan analisisnya. Data sekunder dalam penelitian ini berupa profil dari para penulis berita di atas, profil dari koran-koran di atas, ataupun segala informasi yang berkaitan dengan eksekusi Duo Bali Nine. Teknik sampling digunakan untuk menyajikan data sesuai dengan yang dibutuhkan. Sutopo (2006:64) menyebutkan penelitian kualitatif memiliki teknik cuplikan (sampling) yang berdasarkan pada tujuan penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik criterion based sampling atau yang sering disebut pusposive sampling. Teknik sampling ini digunakan jika dalam upaya memperoleh data tentang fenomena atau masalah yang diteliti memerlukan sumber data dengan kualifikasi spesifik atau kriteria khusus berdasarkan penilaian tertentu, tingkat signifikansi tertentu. Teknik sampling ini cocok digunakan dalam penelitian ini karena peneliti harus memisahkan mana yang masuk dalam data dan mana yang bukan data. Hanya leksis dan kelompok kata yang mengandung sistem appraisal berupa attitude, engagement, dan graduation yang dapat diidentifikasi sebagai data. Selain itu segala informasi yang didapat dari wawancara dengan informan
mengenai pendapatnya terhadap eksekusi Duo Bali Nine juga masuk dalam data. Penelitian ini akan dimulai dengan mengkaji dokumen atau contet analysis dengan pendekatan LSF dengan menggunakan sistem
appraisal untuk
mendeskripsikan sistem appraisal yang muncul dalam teks. Selanjutnya data yang telah diperoleh dari mengkaji dokumen akan dicek kembali dengan hasil wawancara yang didapat dari informan. Kemudian prosedur penelitian ini adalah prosedur analisis kualitatif seperti yang dikemukakan oleh Spradley (1980). Spradley (1980) mengemukakan teknik analisis penelitian kualitatif terdiri dari empat tahapan yaitu: 1) analisis domain, 2) analisis taksonomi, 3) analisis komponensial, dan 4) analisis tema kultural. Dalam analisis domain peneliti akan mengidentifikasi mana yang data dan yang bukan data. Analisis taksonomi digunakan untuk mengelompokkan data berdasar pada analisis sistem appraisal. Analisis komponensial digunakan untuk melihat hubungan sistem appraisal yang ada di dalam teks. Analisis tema budaya untuk menemukan benang merah setelah mengaitkan hasil analisis-analisis sebelumnya dengan data sekunder.
PEMBAHASAN Appraisal bisa ditempatkan sebagai sistem interpersonal pada level wacana semantik (Martin & White, 2005: 33). Di dalam appraisal, sikap dihubungkan dengan interaksi sosial. Fokus di dalam appraisal adalah sikap dan nilai yang dinegosiasikan dengan pembaca. Salah satu aspek penting di dalam appraisal adalah sumber dari opini yang akan muncul secara alami. Sebagai tambahan, teori appraisal berhubungan dengan sumber bahasa di mana penulis/ pembicara bisa mengekspresikan, menegosiasikan, dan menaturalisasikan bagian inter-subjective, serta pada akhirnya memposisiskan ideologi. Ada 3 aspek yang digali dalam pembahasan sistem appraisal, yaitu attitude, engagemen, dan graduation. Berikut adalah analisis attitude, engagement dan graduation pada enam belas teks berita yang digunakan dalam penelitian. Tabel 1. Analisis attitude, graduation dan engagement Text
Attitude Aff (+)
Judg (-)
(+)
(-)
App (+)
(-)
Graduation
Engagement
Jumlah
Forc
Mon
klausa
Foc
Het
1
3
3
14
30
3
13
39
28
44
23
67
2
15
5
3
3
9
16
25
26
23
28
57
3
3
10
3
8
-
2
16
10
20
6
26
4
13
15
26
12
10
19
47
48
26
69
95
5
7
14
2
3
3
17
27
19
4
42
46
6
18
13
10
11
8
22
53
29
22
60
82
7
19
11
18
10
14
25
60
37
10
87
97
8
12
18
10
4
24
14
46
37
6
77
83
9
7
1
2
8
4
5
18
9
2
25
27
10
4
9
1
9
4
12
29
10
31
8
39
11
2
2
5
6
1
5
16
5
13
8
21
12
10
12
5
15
5
17
38
26
17
47
64
13
10
6
16
9
3
2
31
15
19
27
46
14
16
7
5
7
8
3
22
24
15
31
46
15
6
10
4
7
3
13
21
22
8
35
43
16
18
7
12
12
4
2
22
23
7
48
55
*aff:affect, judg:judgement,app:appreciation, forc:force, foc:focus, mon:monogloss, het:heterogloss. Negative attitude lebih banyak ditemukan dalam teks-teks berita yang digunakan dalam penelitian. Hal ini mengindikasikan bahwa jurnalis mungkin mempunyai ketertarikan atau tujuan tertentu yang ingin disampaikannya pada pembaca melalui tulisannya. Disisi lain banyaknya penggunaan heterogloss engagement (multi voicing) menyamarkan ketertarikan atau kecondongan jurnalis terhadap pihak tertentu dalam beritanya. Graduation tipe force membuat berita yang disampaikan terkesan lebih tajm dan melekat pada benak pembaca. Berikut adalah beberapa contoh attitude yang diambil dari teks pertama The Sydney Morning Herald yang berjudul The Sydney Morning Herald: Bali nine pair Chan and Myuran the 'nice criminals' facing the firing squad. 1. But, he said, it upset his mum. (4) 2. She said that the pic makes us look like mean criminals, (5a) 3. when actually we're very nice criminals!" Sukumaran's message said. (5b) Klausa 4 dianalisis sebagai negative affect: unhappiness-misery. Upset
yang berarti kecewa digunakan untuk mengevaluasi secara negatif apa yang dirasakan oleh ibu Myu ketika melihat foto Myu dan Chan dalam salah satu koran. Dalam foto tersebut Myu dan Chan tampak seperti penjahat yang kejam. Upset diungkapkan secara langsung (disposition). Klausa
5a
look
like
mean
criminals
merupakan
negative
appreciation:reaction-quality. Look like mean criminals berarti tampak seperti penjahat yang kejam digunakan ibunda Myu untuk mengevaluasi secara negatif foto anaknya dan Chan yang terdapat dalam surat kabar yang dibacanya. Klausa 5b very nice criminals merupakan negative judgement: normality. Very nice criminals digunakan penulis untuk mengevaluasi karakter Myu dan Chan yang berubah menjadi baik setelah mereka lama hidup dalam tahanan. Meskipun mereka telah berubah menjadi baik mereka tetaplah kriminal, sehingga penulis tetap mengevaluasinya secara negatif. Attitude-attitude negatif tersebut diperkuat dengan penggunaan graduation tipe force-raise. berikut adalah sebagian contohnya. 1. … guilt are taken very seriously, (31a) 2. …who were the real big fish in their syndicate. (34) 3. …that protecting his mum still important to him (36) Pada kalusa 31a dan 34 jurnalis menggunakan very dan the real untuk menekankan bahwa kasus Chan dan Myu bukanklah kasus yang sembarangan. Pada klausa 36 penggunaan still untuk menekankan bahwa Myu masih sangat memperhatikan ibunya meskipun dia berada di penjara. Penggunaan graduation tipe force-raise membuat attitude yang berada dalam teks semakin kuat sehingga mengena dalam pikiran pembaca. Agar teks berita tetap objektif jurnalis banyak menggunakan engagement tipe heterogloss. Penggunaan heterogloss engagement (multi voicing) membuat berita terkesan objektif karena penulis menggunakan opini orang lain dalam menuliskan beritanya. Di bawah ini beberapa contoh heterogloss engagment yang digunakan dalam teks. 1. and in Bali, they referred to him as "the black one," or "the negro". (23b) 2. They believed he was Chan's bodyguard. (24)
3. That's also sort of like art, yeah? (44) 4. That's what I think."(45) Pada klausa 23b jurnalis mengutip pernyataan dari polisi di Bali yang menangani Myu. Pada klausa 23b the black one dan the negro merupakan julukan yang diberikan oleh polisis di Bali pada Myu. Sedangkan believed pada klausa 24 adalah perasaan yang dirakakan oleh polisis Bali. Pada klausa 44 dan 45 jurnalis mengutip pernyataan Myu mengenai workshop yang diselenggarakannya. Selain untuk membuat berita terkesan objektif, penggunaan heterogloss engagment (multi voicing) juga membuat berita yang dihadirkan lebih akurat. Hal ini dikarenakan jurnalis tidak menggunakan pendapatnya sendiri dalam menyampaikan beritanya tapi dia banyak menuliskan pendapat dari narasumber yang diwawancarainya. Untuk melihat lebih jelas bagaimana pola sistem appraisal dari keempat koran yang digunakan dalam penelitian ini, berikut adalah tabel sistem appraisal dalam The Sydney Morning Herald, The Guardian Australia, The Jakarta Globe dan The Jakarta Post. Tabel 2. Tabel 4. Sistem appraisal yang mendominasi koran No.
Nama Koran
Sistem Appraisal yang Mendominasi Attitude
1
The
Sydney Negative
Morning Herald 2
3
The
Graduation Engagement Raise-force Heterogloss
judgement
Guardian Negative
Australia
appreciation
The Jakarta Globe
Negative
Raise-force Heterogloss
Raise-force Heterogloss
appreciation 4
The Jakarta Post
Positive affect
Raise-force Heterogloss
Dari tabel di atas dapat ditarik kesimpulan jika attitude yang mendominasi dalam tiap koran berbeda, kecuali dalam koran The Guardian Australia dan The Jakarta Globe. Attitude yang mendominasi The Sydney Morning Herald adalah negative judgement. Pada The Guardian Australia dan The Jakarta Globe banyak ditemukan negative appreciation. Pada koran terakhir, The Jakarta Post, terdapat
dominasi positive affect. Sedangkan sistem graduation dan engagement yang mendominasi keempat koran tersebut sama yaitu graduation tipe raise-force dan engagement tipe heterogloss. Berikut adalah uraian dari pola-pola sistem appraisal yang digunakan dalam keempat surat kabar tersebut. Attitude yang mendominasi The Sydney Morning Herald adalah judgement. Martin & White (2005: 52) menyatakan bahwa judgement adalah makna yang menafsirkan sikap (attitude) seseorang kepada orang lain dan cara mereka berperilaku (karakter mereka). Evaluasi judgement yang dipakai dalam The Sydney Morning Herald lebih dominan pada evaluasi negatif dari pada evaluasi positif. Banyaknya evaluasi negative judgement dalam berita dari The Sydney Morning Herald menunjukkan bahwa jurnalis tidak menyukai perilaku Chan dan Myu serta sikap pemerintah Indonesia. Jurnalis menilai perilaku Chan dan Myu yang menyelundupkan obat terlarang adalah perbuatan yang buruk. Melalui evaluasi negatif ini jurnalis juga menunjukkan ketidak setujuaannya akan sikap pemerintah Indonesia yang memutuskan akan tetap melakukan eksekusi terhadap Chan dan Myu. Adanya dominasi judgement membuat berita yang disampaikan lebih menyoroti sikap atau karakter tokoh. Pada penelitian ini berita-berita tersebut lebih digunakan untuk menyoroti perilaku aktor dibalik penyelundupan heroin dari Indonesia ke Australia dan mengkritisi sikap pemerintah Indonesia yang tetap kokoh mempertahankan keputusannya untuk mengeksekusi Chan dan Myu. Pada koran kedua, teks-teks beritanya lebih banyak menggunakan eveluasi appreciation. Martin & White (2005: 56), mendefinisikan appraiciation sebagai evaluasi terhadap benda, benda yang dibuat, penampilan yang diberikan, termasuk fenomena alam. The Guardian Australia rnenggunakan appreciation untuk mengevaluasi kejadian penyelundupan narkoba dan hukuman mati yang terjadi di Indonesia. Penyelundupan narkoba yang didalangi oleh Chan dan Myu yang merupakan dua warga negara Australia mendapat perhatian dari banyak pihak. Fenomena hukuman mati yang diterima oleh Chan dan Myu karena terbukti bersalah dalam kasus penyelundupan narkoba mendapat sorotan dari berbagai pihak.
Penyelundupan heroin dan hukuman eksekusi dievaluasi secara negatif oleh jurnalis The Guardian Australia. Melalui penggunaan evaluasi negatif tersebut pewarta ingin menunjukkan bahwa dia membenci apa yang sedang terjadi. Pewarta tidak menyukai kejadian penyelundupan obat terlarang dan tidak setuju dengan fenomena hukuman mati terhadap Chan dan Myu. Appreciation juga dominan dalam teks berita The Jakarta Globe. Pewarta dari The Jakarta Globe juga menggunakan appreciation untuk menilai eksekusi Chan dan Myu serta penghentian bantuan dana Australia untuk Indonesia. Membludaknya evaluasi negatif digunakan pewarta untuk menunjukkan perasaan tidak setujunya terhadap eksekusi dan untuk menunjukkan rasa sentimennya terhadap penghentian bantuan keuangan Australia untuk Indonesia. Kedua hal tersebut dinilai memperburuk hubungan Australia dan Indonesia. Attitude yang paling banyak digunakan dalam teks berita dari The Jakarta Post adalah affect. Martin & White (2005: 42) yang menyatakan bahwa affect berhubungan dengan pengaturan perasaan positif dan negatif, apakah kita merasa senang atau sedih, percaya diri atau minder, tertarik atau bosan. Sedangkan Geoff Thompson (2004: 76) mendefinisikan affect sebagai cara paling natural untuk mengekspresikan respon emosional kita terhadap hal-hal tertentu. Affect yang terdapat dalam penelitian ini digunakan pewarta untuk mengevaluasi perasaan Chan dan Myu serta pengacara mereka. Meluapnya affect dalam teks berita ini juga digunakan untuk menilai perasaan ibu Myu yang merasa bangga terhadap anaknya. Affect yang mendominasi teks berita dari The Jakarta Post diwujudkan dalam
bentuk
evaluasi
positif.
Melalui
positive
affect
pewarta
ingin
mengekspresikan apa yang dirasakan oleh Chan dan Myu serta pengacara mereka dan juga perasaan ibu Myu. Chan dan Myu serta pengacara mereka merasa optimis jika permintaan peninjauan kembali kasus mereka akan akan diterima pemerintah. Sedangkan ibu Myu merasa bangga terhadap anaknya meskipun dia telah melakukan kesalahan fatal dengan menyelundupkan heroin. Sistem graduation yang mendominasi semua koran yang digunakan dalam penelitian ini sama yaitu raise-force. Penelitian ini tidak hanya menggunakan teori graduation dari Martin & Rose (2003) tetapi juga menggunakan analisis graduation berdasar teori dari
Martin & White (2005). Sehingga graduation tipe
force:intensification- isolating juga memperkaya teks. Dengan menggunakan analisis graduation model Martin & Rose (2003) serta Martin & White (2005) evaluasi yang dihasilkan selain lebih kuat juga akan lebih mengena dibenak pembaca. Hal ini dikarenakan leksis dengan force:intensification- isolating dapat berdiri sendiri, terpisah dari leksis evaluatifnya. Pada koran pertama tipe graduation tersebut digunakan jurnalis selain untuk menguatkan kebenciannya terhadap tindakan Chan dan Myu serta untuk menekankan kesinisannya pada tindakan pemerintah Indonesia yang memutuskan untuk mengeksekusi Chan dan Myu. Selain itu jurnalis juga ingin menanamkan kebenciannya tersebut kepada para pembaca. Pada koran kedua jurnalis ingin menegaskan antipatinya terhadap kejadian penyelundupan narkoba dan penolakannya pada hukuman mati. Jurnalis juga mencoba menggiring pembaca melalui evaluasi-evaluasinya untuk sependapat dengan apa yang dia rasakan. Pada koran ketiga graduation digunakan jurnalis untuk menegaskan perasaan bencinya terhadap eksekusi Duo Bali Nine serta perasaan kesalnya terhadap penghentian bantuan keuangan Australia terhadap Indonesia. Evaluasievaluasinya yang menohok sangat menggambarkan jika jurnalis menentang kedua hal tersebut. Graduation pada koran keempat digunakan jurnalis untuk menekankan evaluasinya terhadap perasaan Duo Bali Nine, pengacara mereka berdua serta ibunda Myu. Melalui evaluasi-evaluasi yang kuat terhadap beritanya, jurnalis ingin menyentuh perasaan pembaca juga agar ikut merasakan kepercayadirian yang dirasakan Duo Bali Nine dan pengacara mereka jika pemerintah akan menerima pengajuan PK kasus mereka. Melalui heterogloss engagement berupa projecting source jurnalis membuat berita yang ia tuliskan seakan-akan objektif. Engagment ini membuat posisi jurnalis terkesan netral dengan apa yang diberitakannya karena evaluasi-evaluasi yang ada dalam beritanya berasal dari orang lain dan evaluatornya juga tertulis jelas dalam berita tersebut. Hal semacam ini bertujuan agar posisi jurnalis serta surat kabar tempat dia bernaung tetap aman. Heterogloss engagement yang membajiri teks berita membuat berita yang
dihasilkan otentik karena berasal dari berbagai sumber. Jurnalis mewawancarai narasumber-narasumber yang dianggapnya kompeten dengan berita yang akan dia buat sehingga menghasilkan berita yang akurat. Ranah attitude dapat digunakan jurnalis untuk mendramatisir beritanya atau untuk menunjukkan ketertarikannya pada isu yang sedang diberitakannya. Kesubjektifan yang diusung oleh jurnalis melalui attitude-attitudenya dapat membahayakan dirinya sendiri dan juga koran tempatnya bekerja. Kesubjektifan inipun bertentangan dengan kode etik jurnalistik dimana seharusnya jurnalis bisa objektif dalam menyampaikan isu pada pemberitaannya agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat yang membaca beritanya. Ketidakobjektifan jurnalis juga dapat memprovokasi pembaca untuk berfikiran sama dengan yang jurnalis inginkan. Maka
untuk
menutupi
kesubjektifan
yang
diusungnya
jurnalis
menggunakan banyak heterogloss engagement dengan projecting source. Evaluasi yang dituliskan bersamaan dengan evaluatornya dalam satu susunan kalimat oleh jurnalis membuat fokus masyarakat teralihkan dan langsung tertuju pada evaluator dalam teks tersebut. Strategi inilah yang digunakan oleh jurnalis untuk mengamankan dirinya serta perusahaannya. Melalui strategi ini juga posisi jurnalis dan koran tersebut seakan netral terhadap isu yang sedang disoroti. Kesan objektif yang diciptakan oleh jurnalis ini akan menyelamatkan diri jurnalis sendiri dan perusahaan korannya jika tercipta persepsi buruk dari masyarakat atau bahkan jika terjadi aksi buruk yang tak terduga dari masyarakat akibat pemberitaannnya. Genre teks berita dalam keempat surat kabar yang diteliti menggunakan genre rekon. Genre rekon mempunyai struktur generik orientasi dan urutan kejadian. Genre rekon dinilai cocok untuk teks berita, karena genre tersebut sesuai dengan tujuan dari teks berita yaitu memberikan informasi tentang suatu hal atau peristiwa yang sudah terjadi. Attitude yang tersebar dalam seluruh teks dan banyak menggunakan evaluasi negatif dan bergradasi kuat masih dapat diseimbangkan dengan banyaknya heterogloss engagement dalam teks. Hal ini membuat attitude dalam teks tersebut masih dapat terkontrol dan tidak memprovokasi masyarakat.
Sistem graduation dalam teks lebih banyak menggunakan force tinggi dengan leksis atitudinal membuat berita yang disampaikan oleh pewarta lebih terasa akurat bagi pembaca. Konjungsi yang digunakanpun sudah tepat karena menghubungkan peristiwa-peristiwa yang sedang diberitakan. Kalimat dalam teks efisien, tidak ambigu dan sudah sesuai dengan fungsinya sehingga pembaca mudah menangkap apa yang dibacanya. Setelah membaca teks-teks berita yang digunakan dalam penelitian pembaca tidak merasa terprovokasi. Mereka merasa berita yang disampaikan sudah sesuai dengan tujuannya yaitu menginformasikan peristiwa. Pembaca tidak merasa bahwa berita yang mereka baca akan mempengaruhi cara pandang mereka terhadap isu yang sedang diberitakan.
SIMPULAN Setiap koran mempunyai pola sistem appraisal berbeda-beda. Attitude yang ada dalam teks berita dapat digunakan jurnalis untuk mengekspresikan ketertarikannya atau kecenderungannya pada hal yang sedang diberitakannya. Namun, ketidak objektifan jurnalis tersebut masih tercover dengan membludaknya penggunaaan heterogloss engagement berupa projecting source dalam teks berita yang disajikan. Selain dapat mengamankan posisi penulis serta surat kabar tempat jurnalis bernaung, penggunaan heterogloss engagement juga menbuat berita yang dihasilkan lebih akurat. Hal ini dikarenakan penulis menggunakan pendapat orang lain yang dinilainya kompeten dalam peristiwa yang akan diangkat menjadi berita. Graduation tipe raise-force membuat berita yang dihasilkan lebih mengena, ditambah lagi penggunaan force:intensification- isolating membuat berita yang dihasilkan lebih menancap pada pikiran pembaca. Hendaknya jurnalis bisa lebih bijaksana dalam menginformasikan beritanya terhadap masyarakat agar tidak memperkeruh suasana atau membuaat pembacanya terprovokasi. Kepada pembaca juga harus lebih bijak dalam menanggapi isu yang terjadi agar tidak mudah terpancing dengan berita yang dibacanya. Pembaca juga harus mengcross check lagi setiap info yang didapatnya agar tidak termakan berita hoax.
DAFTAR PUSTAKA Cangara, Hafied. 2002. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Halliday, M. A. K. 1994. An introduction to Functional Grammar (second edition). New York: St. Martin’s Press Inc. Martin, J. R., & Rose, D. 2003.Working with Discourse. New York: Continuum. Martin, J. R., & White, P. R. R. 2005.The Language of Evaluation Appraisal in English. New York: Palgrave Macmillan. Santosa, R. 2014. Metode Penelitian Kualitatif Kebahasaan. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Spreadly, J.P. 1980. Participant Observation. New York: Holt,Rinehart and Winston. Sutopo, H.B. 2006. Metodolgi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press Wilson, S.L.R. 1995. Mass Media/Mass Culture: An Introduction, Third Edition. New York: McGraw-Hill.
KLASIFIKASI BENTUK SHOURYAKUGO1 DALAM BAHASA JEPANG Endah Noviastuti
[email protected] Masilva Raynox Mael
[email protected] Universitas Negeri Surabaya ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan klasifikasi bentuk shouryakugo dalam media cetak koran dan majalah. Bentuk pemendekatan kata dalam bahasa Jepang pada koran dan majalah menjadi objek utama dalam penelitian ini. Jenis penelitian ini berupa penelitian deskriptif kualitatif. Objek dalam studi ini berupa kata baru yang terbentuk dari proses pemendekan kata atau shouryakugo yang terdapat dalam media cetak seperti pada koran The Daily Jakarta Shinbum serta majalah Nipponika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan total 14 data shouryakugo, diantarnya 2 data pemendekan di awal kata, 3 data pemendekan di tengah kata, 3 data pemendekan di akhir kata, 5 data dengan menghilangkan sebagian kata dari deret kata, dan 1 data Shouryakugo dengan menghilangkan selain satu kata. Kata kunci: klasifikasi, bentuk, shouryakugo PENDAHULUAN Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi terpenting dalam kehidupan sehari-hari karena dengannya seseorang dapat menyampaikan suatu ide, pikiran, dan keinginan. Kata sebagai unsur penyusun utama dalam sebuah bahasa memiliki peranan penting. Karena penyusunan kata, dapat berpengaruh terhadap makna yang ingin disampaikan kepada lawan bicara. Sehingga penyusunan kata yang baik, dapat menyampaikan maknanya secara baik pula, dan begitupun sebaliknya. Oleh karena itu untuk berkomunikasi dengan baik, kita perlu memilah kata yang baik pula.
1Shouryakugo:
pemendekan kata
Terbentuknya kata secara alami terjadi sejak dahulu kala. Seiring
perkembangan jaman, kata berubah secara perlahan dan menghasilkan beberapa kata baru yang dengan kesepakatan bersama kata-kata baru tersebut digunakan oleh masyarakat penggunanya. Perubahan tersebut dapat berupa pengimbuhan, pemendekan, dan lainnya. Menurut penelitian Darlan (2013) pembentukan kata yang terbentuk dari memendekkan kata yang panjang menjadi kata yang lebih singkat merupakan bagian dari pembentukan kata baru. Penyingkatan tersebut membentuk pola pembentukan kata yang bervariasi. Bagi pembelajar bahasa Jepang, memahami arti dari penyingkatan tersebut cukup sulit. Namun bentukbentuk baru tersebut sering digunakan dalam kehidupan masyarakat Jepang. Oleh karena itu sebagai pembelajar bahasa Jepang sudah sepatutnya untuk mengenali dan mengetahui pembentukan kata baru tersebut. Terdapat beberapa jenis pembentukan kata dalam bahasa Jepang, yakni : (1) haseigo (kata jadian), (2) fukugougo/goseigo (kata majemuk), (3) shouryaku / karikomi (pemendekan yang berupa suku kata dari kosakata aslinya) dan (4) toujigo (singkatan huruf pertama yang dituangkan dalam huruf alfabet), menurut Sutedi (dalam Bilal, 2017). Salah satu bentuk yang sering digunakan pada masyarakat Jepang adalah shouryakugo atau pemendekan kata. Bentuk tersebut pada umumnya termasuk ke dalam bahasa anak muda atau wakamono kotoba. Seperti misalnya otanome yang merupakan kependekan dari otanjoubi omedetou yang berarti “selamat ulang tahun”, apo yang dipendekkan dari kata appointomento yang memiliki arti “perjanjian”, dan bentuk shouryakugo lainnya. Secara umum, shouryakugo terjadi pada wakamono kotoba atau bahasa anak muda Jepang. Namun nyatanya shouryakugo juga terjadi pada bahasa Jepang keseharian atau yang sering digunakan dalam keseharian masyarakat Jepang. Bentuk shouryakugo tidak hanya pada wakamono kotoba yang terkesan tidak baku dan santai, tetapi ada juga bentuk shouryakugo yang telah menjadi kata dasar yang baku. Selain itu, pemendekan kata tersebut juga tidak hanya terjadi pada bahasa lisan juga tetapi juga terjadi pada bahasa tulis. Oleh karena itulah peneliti tertarik untuk meneliti mengenai shouryakugo terutama pada media cetak seperti koran dan majalah, agar mempermudah para pembelajar bahasa Jepang memahami jenisjenis pembentukan shouryakugo yang ada pada bahasa keseharian di Jepang. Tujuan dari penelitian ini ada dua, yaitu pertama, untuk mengetahui
bagaimana
proses
pembentukan
dari
shouryakugo
dan
kedua,
untuk
mengklasifikasikan shouryakugo menurut proses pembentukannya. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, analisis hanya dibatasi pada kata yang mengandung pemendekan pada koran The Daily Jakarta Shimbun dan majalah Nipponia. Shouryakugo atau pemendekan kata adalah penyingkatan sebuah kata, dari yang panjang menjadi bentuk yang lebih sederhana. Hayashi (dalam Suci, 2016) mengatakan
略語は言葉のいちごを省略して、短くしたいほうです
(ryakugo wa kotoba no ichigo o shouryakushite, mijikakushitaihou desu). Ryakugo adalah kata yang disingkat dengan cara menyingkat dan memendekkan satu bagian kata. Dalam bahasa Indonesia disebut dengan abreviasi. Abreviasi adalah proses penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehinga jadilah bentuk baru yang berstatus kata, menurut Kridalaksana (dalam Bilal, 2017). Hal tersebut dimaksudkan agar lebih efesien dan efektif dalam penyebutannya. Bentuk shouryakugo atau abreviasi dapat berupa akronim, singkatan ataupun pemendekan. Berikut ini merupakan contoh daripada bentuk penyingkatan kata atau shouryakugo yang terdapat dalam koran The Daily Jakarta Shimbun edisi 4 November 2015.
Dapat dilihat pada gambar tersebut, terdapat garis bawah pada sebuah judul berita di koran yang menunjukkan bentuk daripada shouryakugo, yakni kata 訓練高生 (kunren kousei). Kata tersebut merupakan pemendekan dari kata 訓練高校生
(kunren koukousei) yang dalam bahasa Indonesia berarti murid SMK. Terjadi penyingkatan pada kata 高校生 (koukousei), karena huruf 校 (kou) di tengah kata yang dihilangkan, dan meninggalkan huruf 高 dan生, yang akhirnya menjadi sebuah kata baru. Dalam shouryakugo, terdapat berbagai macam bentukan dan pola yang berbeda-beda. Menurut Sudjianto (dalam Rosliana, 2009) penyingkatan kata dalam bahasa Jepang sangat bervariasi. Ada yang mengambil cara baca Jepang, seperti; tendon (tenpura udon), akeome (akemashite omedetou), mangakissa (manga kissaten), dan lainnya. Ada yang mengambil cara baca China, contohnya; 就活 (shuukatsu) yang merupakan kependekan dari 就職活動 (shuushoku katsudou) yang berarti pencarian pekerjaan. Ada juga penyingkatan dari kata serapan. Sedangkan pola pembentukannya dapat berupa penggabungan antara huruf hiragana pertama pada tiap komponen, atau huruf kanji pertama pada tiap komponen, atau dengan menggabungkan huruf kanji pertama dan kedua serta kata seutuhnya pada komponen kedua dan pola pembentukan lainnya. Menurut A. E. Backhouse (dalam Mulyati, 2012) shouryakugo terbagi dalam dua jenis. Yakni souryakugo sistem tunggal dan sistem ganda.Yang dimaksud dengan shouryakugo sistem tunggal adalah pemendekan kata yang hanya menghilangkan atau menyingkat satu tempat/bagian kata saja dari deret kata tersebut. Sedangkan shouryakugo sistem ganda adalah pemendekan yang terjadi di dua tempat/bagian atau lebih kata dari deret kata. Pada dua jenis tersebut masih terbagi lagi menjadi beberapa subjenis. Shouryakugo dengan sistem tunggal terbagi menjadi 3 jenis, yakni; 1. 語頭省略 (gotou ryakugo) atau pemendekan pada awal kata, yakni pemendekan yang terjadi karena hilangnya unsur di depan kata. Akibatnya hanya menyisakan beberapa unsur di belakang kata yang menjadi kata baru. 2. 語中省略 (gochuu ryakugo) atau pemendekan pada tengah kata, yakni penyingkatan yang terjadi akibat hilangkan unsur di tengah-tengah kata. Akibatnya hanya menyisakan unsur awal dan akhir dari kata tersebut. 3. 語尾省略 (gobi ryakugo) atau pemendekan pada akhir kata, yaitu pemendekan kata yang terjadi karena penghilangan unsur di akhir kata. Akibatnya hanya menyisakan beberapa unsur di awal kata.
Sedangkan shouryakugo dengan sistem ganda terbagi menjadi 2 jenis. Yakni; 1. Shouryakugo dengan menghilangkan sebagian kata dari deret kata. Yaitu pemendekan kata dengan menghilangkan beberapa unsur kata yang terdapat dalam sebuah deret kata. Biasanya dalam sebuah deret kata terdiri dari dua kata atau lebih. 2. Shouryakugo dengan menghilangkan selain satu kata. Yaitu pemendekan kata yang terjadi dengan menghilangkan satu kata dalam sebuah deret kata, dan hanya menyisakan sebuah kata baru. Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan studi kepustakaan. Teori-teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dicari dengan menggunakan studi pustaka. Selain itu penelitian ini juga berupa penelitian kualitatif yakni untuk menjelaskan proses pembentukan daripada shouryakugo. Sumber data penelitian berupa shouryakugo atau pemendekan kata yang terdapat dalam media cetak seperti koran dan majalah. Setelah itu data-data tersebut dikumpulkan ke dalam lembar data dan diklasifikasikan sesuai dengan proses pembetukannya. Lalu setelah semua data telah terkumpul, data mulai dianalisis dan dideskripsikan dengan menggunakan teori yang telah ada.
PEMBAHASAN Hasil Dari penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa terdapat total 14 data shouryakugo dalam koran The Daily Jakarta Shimbun edisi 4 November 2015 dan 5 Mei 2017, serta majalah Nipponika, No. 10 Edisi 2013. Sebanyak 8 data merupakan jenis shouryakugo sistem tunggal, 2 data diantaranya pemendekan di awal kata, 3 data merupakan pemendekan di tengah kata, dan 3 data pemendekan di akhir kata. Kemudian sebanyak 6 data merupakan jenis shouryakugo sistem ganda, yang diantaranya 5 data shouryaugo dengan menghilangkan sebagian kata dari deret kata, dan 1 data pemendekan kata dengan menghilangkan selain satu kata.
Berikut ini merupakan penyajian hasil penelitian dalam bentuk tabel.
Shouryakugo Sistem Tunggal Jenis No.
Shouryak ugo
Data
Jumlah Data
Sumber
Kutipan
Koran The Daily Jakarta Shimbun Edisi 5
Shouryak 1.
ugo pada
(社員が)自分たちのことを思っ てくれているとこちらの気持ちが 伝わる。
2
Mei 2017
awal kata
Majalah Nipponik a, No. 10 Edisi
居合わせた人たちは歓声をあげ、 何度もシャッターを切っていた
2013 Koran
イ人留学生3000一超
The Daily
Shouryak 2.
ugo pada
3
Jakarta
tengah
Shimbun
kata
Edisi 4
入試前に受験生が日本語を独習し なければならない。
職業訓練高生を派遣
Novemb er 2015 Koran
Shouryak 3.
ugo pada akhir kata
The 3
Daily Jakarta Shimbun
県内企業でインターン
Edisi 4 Novemb er 2015
Majalah
省エネのためにコンビニの24時
Nipponik
間営業を廃止しろ
a, No. 10 Edisi
人気作
2013 Shouryakugo Sistem Ganda Jenis No.
Shouryak ugo
Data
Jumlah Data
Sumber
Kutipan
東大、京大、九大、早大などカ大 学は英語コースの拡充を図り
1.
Shouryak
Koran
ugo
The
dengan
Daily
menghila
5
東大、京大、九大、早大などカ大 学は英語コースの拡充を図り
Jakarta
ngkan
Shimbun
sebagian
Edisi 4
kata dari
Novemb
deret kata
er 2015
東大、京大、九大、早大などカ大 学は英語コースの拡充を図り
東大、京大、九大、早大などカ大 学は英語コースの拡充を図り
「日イ関係」のニュース一覧 Shouryak 2.
ugo dengan
省エネのためにコンビニの24時 1
間営業を廃止しろ
menghila ngkan selain satu kata
Analisis Berikut ini merupakan analisis mengenai klasifikasi bentuk shouryakugo yang terdapat pada media cetak koran dan majalah bahasa Jepang berdasarkan teori yang telah ada. Shouryakugo Pada Awal Kata Data 1 (社員が)自分たちのことを思ってくれているとこちらの気持ちが 伝わる ((Shain ga) jibunntachi no koto wo omottekureteiruto kochirano kimochi ga tsutawaru.) Pegawai kantor mengatakan bahwa hal tersebut dapat menyampaikan apa yang mereka rasakan. (Koran The Daily Jakarta Shimbun Edisi 5 Mei 2017)
Analisis Dari kutipan tersebut terdapat sebuah kata yang menunjukan sebuah contoh pemendekan kata. Kata tersebut adalah 社員 (shain) atau yang dalam bahasa Indonesia berarti pegawai kantor. Kata shain sebenarnya merupakan pemendekan kata dari 会社員 (kaishain). 会社 (kaisha) yang berarti kantor dan 員 yang berarti pegawai, dan seharusnya menjadi 会社 員. Namun agar lebih mudah dan praktis dalam penyebutannya maka kata tersebut dipendekkan menjadi shain yang mengalami penghilangan unsur di awal kata yakni unsur会 (kai). Oleh karena itu, kata tersebut dikelompokan atau diklasifikasikan ke dalam jenis shouryakugo pada awal kata. Hingga sekarang, penggunaan kata tersebut sering digunakan dan bahkan menjadi sebuah kata baku. Hal tersebut juga membuktikan bahwa
pemendekan kata tidak hanya terjadi pada bahasa anak muda.
Shouryakugo Pada Tengah Kata Data 2 イ人留学生3000一超 Ijin ryuugakusei sanbyaku icchou (Mahasiswa dari Indonesia mencapai 3000 orang) (Koran The Daily Jakarta Shimbun Edisi 4 November 2015) Analisis: Dari kutipan judul salah satu artikel di koran The Daily Jakarta tersebut jika dilihat merupakan gabungan antara huruf katakana dengan huruf kanji yang dalam bahasa Jepang standar akan sulit dicari artinya. Kata tersebut merupakan kependekan dari インドネシア人 (indonesia jin). Pemendekan pada kata tersebut terjadi pada bagian tengah kata dengan menghilangkan bagian ンドネシアatau ndonesia dan menyisakan huruf イdiawal kata dan 人diakhir kata yang akhirnya menjadi イ人 (ijinn). Jika dilihat dari unsur pembentuknya dari contoh tersebut maka pemendekan kata yang terjadi tidak hanya pada huruf yang sejenis, seperti sesama huruf katakana atau hiragana, namun juga dapat terjadi antar jenis huruf yang berbeda. Jenis pemendekan kata seperti di atas disebut shouryakugo tunggal pada tengah kata. Shouryakugo Pada Akhir Kata Data 3 省エネのためにコンビニの24時間営業を廃止しろ! Shouene no tameni konbini no nijuuyon jikann eigyou wo haishishiro! (Demi penghematan energi, hapuskan toko yang buka selama 24!) (Majalah Nipponika, No. 10 Edisi 2013) Analisis: Dari kutipan salah satu artikel yang terdapat dalam Majalah Nipponika tersebut, terdapat jenis pemendekan di akhir kata. Yaitu 省エネ (shouene) atau yang dalam bahasa Indonesia berarti penghematan
energi. Artinya, terjadi penghilangan unsur diakhir kata tersebut. Kata aslinya adalah 省エネルギー (shouenerugi) yang dipendekkan menjadi 省エネ (shouene) saja. Dapat dilihat, bahwa penghilangan unsur terjadi di bagian akhir daripada kata tersebut, yaitu pada kata ル ギー (rugi) dan hanya menyisakan kata 省エネ (shouene) saja. Jadi pemendekatan kata tersebut digolongkan ke dalam jenis shouryakugo tunggal pada akhir kata.
Shouryakugo Dengan Menghilangkan Sebagian Kata Dari Deret Kata Data 4 東大、京大、九大、早大などカ大学は英語コースの拡充を図り Toudai, kyoudai, kyuudai nado chikara daigaku wa eigo kosu no kakjuu wo hakari (Universitas Tokyo, Universitas Kyoto, Kyushu, dan universitas besar lainnya sedang mencoba untuk mengembangkan les bahasa Inggris) (Koran The Daily Jakarta Shinbun Edisi 4 November 2015) Analisis: Dalam satu kalimat pada kutipan artikel tersebut terdapat beberapa kata yang termasuk dalam pemendekan kata. Yaitu 東大
(toudai),
京大
(kyoudai), 九大 (kyuudai), yang merupakan pemendekan dari beberapa nama Universitas terkenal yang ada di Jepang. Pemendekan tersebut cukup berbeda dari jenis pemendekan sebelumnya. Karena pada jenis pemendekan ini terdapat dua kali penghilangan unsur dalam satu kata, yang disebut dengan shouryakugo sistem ganda. Pada kata 東大
(toudai) yang
merupakan pemendekan dari 東京大学 (toukyou daigaku) terdapat dua kali penghilangan unsur yakni pada kata 東京dan 大学. Dimana pada kata pertama unsur 京 (kyou) yang hilang pada 東京 (toukyou) dan unsur 学 (gaku) pada kata 大学 (daigaku). Sehingga menyisakan huruf awal di masing-masing kata tersebut yang akhirnya menjadi 東大 (toudai). Hal yang sama pun berlaku pada ketiga kata lainnya. Jenis pemendekan kata
tersebut disebut shouryakugo ganda dengan menghilangkan sebagian kata dari deret kata. Shouryakugo Dengan Menghilangkan Selain Satu Kata Data 5 省エネのためにコンビニの24時間営業を廃止しろ! Shouene no tameni konbini no nijuuyon jikann eigyou wo haishishiro! (Demi penghematan energi, hapuskan toko yang buka selama 24!) (Majalah Nipponika, No. 10 Edisi 2013) Analisis: Dalam kalimat tersebut terdapat sebuah jenis penyingkatan kata yang termasuk dalam jenis penyingkatan selain satu kata. Pada kata コンビニ (konbini)
yang dalam bahasa Indonesia biasa disebut dengan toko
serbaguna dengan tempat yang nyaman. Kata tersebut merupakan bentuk pemendekan kata daripada kata sebenarnya yakniコンビニエンスストア (konbiniensu sutoa) yang merupakan kata serapan dari bahasa Inggris convenience store. Penghilangan エンスストア (ensu sutoa) merupakan unsur dari deret kata yang dapat dikatakan lebih dari satu kata. Kata エンス (ensu) adalah bagian daripada コンビニ (konbini) sedangkan ストア (sutoa) merupakan kata yang berarti toko. Kedua kata tersebut hilang dan menyisakan bentuk
コンビニ.
Oleh karena
itu kata
コンビニ
diklasifikasikan ke dalam pemendekan dengan menghilangkan selain satu kata.
SIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam media cetak seperti koran dan majalah terdapat semua jenis pemendekan kata sesuai dengan teori yang dipaparkan oleh Backhouse. Pemendekan tersebut umumnya berada di area judul dari sebuah artikel. Alasan mengapa hal tersebut dilakukan adalah selain untuk keefisienan dan kefektifan penyampaian informasi, juga untuk menarik minat daripada pembaca. Karena umumnya pemendekan tersebut memiliki cara baca yang berbeda daripada kata biasanya yang dapat membuat pembaca penasaran
untuk membaca artikel tersebut. Dalam penelitian selanjutnya diharapkan ada penelitian mengenai pola bentuk shouryakugo atau pemendekan kata dengan menggunakan teori yang berbeda. Begitu pula dengan sumber datanya, tidak hanya berasal dari media cetak saja tetapi juga dapat berupa kata lisan dengan sumber data berasal dari drama, film, atau lainnya.
Daftar Rujukan Bilal, Mochammad. 2017. ANALISIS KONTRASTIF ABREVIASI DALAM BAHASA JEPANG DAN BAHASA INDONESIA (日本語とインド ネシア語の略語の対象分析), skripsi tidak diterbitkan. Darlan, Khaira Seanty. 2013. “POLA PEMBENTUKAN RYAKUGO (PEMENDEKAN) BAHASA JEPANG : SUATU TINJAUAN MORFOLOGI STRUKTURAL” dalam Jurnal Kajian Linguistik USU Edisi Agustus 2013 p259-273. Koran The Daily Jakarta Shinbun, Edisi 4 November 2015. Koran The Daily Jakarta Shinbun, Edisi 5 Mei 2017. Majalah Nipponika, No. 10 Edisi 2013. Mulyawati, Dewi. 2012. Bentuk Shouryakugo (省略後) Sebagai Bahasa Slang Yang Digunakan Oleh Petutur Asli Jepang di Facebook, skripsi tidak diterbitkan. Rosliana, Lina. 2009. “PROSES PEMBENTUKAN KOSAKATA BAHASA JEPANG (WAGO)” dalam Jurnal LATE Volume 5, No. 2, Edisi September 2009 p145-152. Suci, Zulya Rahmi (2016) Ryakugo dalam Novel Rabu Suteppu Karya Emi Saito. Diploma thesis, Universitas Andalas https://gakuseicodes.wordpress.com/2016/02/14/proses-pemendekan-kata-dalambahasa-jepang-shouryakugo/ (gakuseicodes) diakses pada 20 Mei 2017.
INTERFERENSI SINTAKSIS BAHASA INDONESIA DALAM TEKS SURAT BAHASA JERMAN MAHASISWA JURUSAN SASTRA JERMAN UNIVERSITAS NEGERI MALANG TAHUN 2012 Dini Tian Puspita, Dr. Roni, Dr. Didik Nurhadi Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya
[email protected]
ABSTRACT This study was conducted to describe the syntax interference form of Bahasa Indonesia in German letters that are made by students of German Department at Malang University year 2012. The method that have been used was descriptive qualitative method. Moreover, the data was collected by 6 letters in 3 different themes of ZiDS Vorbereitung’s class. Based on the data analysis, it can be conclude that is 5 syntax interference form; (i) the randomness place of verb, either in haupsatz or in nebensatz with conjunction und, (ii) the imprecision of using pefekt tense, (iii) the randomness place of adjective and adverb, (iv) the imprecision of using preposition and (v) the imprecision of the verb ‘machen’ Keywords: syntax interference, Indonesian Language, German Language PENDAHULUAN Dewasa ini menguasai bahasa asing merupakan tuntutan jaman. Penguasaan bahasa asing merupakan nilai lebih yang menunjang seseorang memiliki performa setingkat lebih baik dari orang yang tidak menguasai bahasa asing. Ada beberapa bahasa asing yang dipelajari di Indonesia, salah satunya adalah bahasa Jerman. Sebagaimana yang dikutip dari situs resmi penyelenggara pertukaran pelajar dan beasiswa Jerman-Indonesia (DAAD) goo.gl/sYxo88, menyatakan bahwa bahasa Jerman adalah bahasa yang penting dalam komunikasi internasional. Lebih dari 101 juta orang di dunia berbahasa Jerman, sekitar 20 juta orang di seluruh dunia mempelajari bahasa Jerman. Di Eropa bahasa Jerman merupakan bahasa ibu bagi 100 juta orang, tidak hanya di Jerman, tetapi juga di Austria, Swiss, Luxemburg dan Liechtenstein. Hal ini menempatkan bahasa Jerman di antara 12 bahasa paling umum dipakai di dunia: 2,1% dari populasi dunia. Di Eropa bahasa Jerman adalah
bahasa ibu yang paling luas digunakan. Di Indonesia bahasa Jerman dipelajari baik di sekolah menengah, diploma maupun perguruan tinggi. Salah satu perguruan tinggi yang mengajarkan bahasa Jerman adalah Universitas Negeri Malang. Dalam mempelajari bahasa Jerman, sama seperti mempelajari bahasa asing lainnya yang juga mempelajari tata bahasa bahasa tersebut. Tidak sama dengan bahasa Indonesia yang tidak mengenal kala, bahasa Jerman memiliki aturan tata bahasa sesuai waktu atau kala, seperti; präsens, präteritum, perfekt, futur. Oleh karena itu, ditemukan kesalahan terkait dengan masalah tersebut seperti pada contoh: ich und mein Freund gehen ins Kino sebagai terjemahan dari ‘saya dan teman saya pergi ke bioskop’. Berdasarkan aturan tata bahasa Jerman susunan kalimat yang benar adalah mein Freund und ich gehen ins Kino. Kekeliruan seperti contoh di atas seringkali ditemukan dalam karangan mahasiswa. Dalam kepustakaan sosiolinguistik, gejala kebahasaan seperti di atas berkaitan dengan interferensi. Menurut Weinreich, interferensi merupakan perubahan suatu sistem bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual (dalam Chaer dan Agustina, 1995:159). Penelitian yang menyangkut interferensi sudah banyak dilakukan. Para ahli yang telah mengkaji ihwal interfensi di antaranya adalah Rusyana (1984), Mustakim (1994), dan Agustina (1996). Rusyana mengkaji interferensi sehubungan dengan penulisan disertasi. Interferensi yang dikajinya berkaitan dengan morfologi bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia pada karangan anak sekolah dasar. Mustakim mengkaji interferensi bahasa Jawa dalam surat kabar berbahasa Indonesia. Sementara itu, penelitian mengenai interferensi bahasa Indonesia terhadap penguasaan belajar bahasa Inggris siswa sekolah dasar telah dilakukan oleh Agustina. Jenis interferensi yang dikaji adalah interferensi morfologis dan sintaktis melalui lembar kerja tes bahasa Inggris yang diolah secara naratifdeskriptif kualitatif. Ketiga peneliti tersebut di atas membahas tentang interferensi bahasa Jawa dan bahasa Sunda terhadap bahasa Indonesia serta bahasa Indonesia terhadap bahasa Inggris. Sedangkan penelitian yang membahas interferensi bahasa Indonesia terhadap bahasa Jerman telah dilakukan oleh Perdana (2009) dengan judul
Interferensi Semantik Leksikal Bahasa Indonesia Dalam Terjemahan IndonesiaJerman Mahasiswa Jurusan Sastra Jerman pada mata kuliah Übersetzung Indonesisch-Deutsch. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk interferensi semantik leksikal dalam terjemahan mahasiswa dan untuk mendeskripsikan penyebab terjadinya interferensi semantik leksikal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) bentuk-bentuk interferensi semantik leksikal yang terjadi dalam terjemahan mahasiswa, terdiri dari kata-kata referensial atau istilah dalam bidang khusus; (2) bentuk-bentuk interferensi semantik leksikal juga terdiri dari kalimat-kalimat ungkapan, dan perubahan makna dalam kalimat dan (3) penyebab terjadinya interferensi semantik leksikal tersebut adalah anggapan bahwa kata atau kalimat dalam bahasa sumber dapat dimengerti penutur bahasa sasaran, penggunaan kamus, dan ketidaktelitian mahasiswa. Selain itu, secara tidak langsung terungkap bahwa mahasiswa menerjemahkan teks secara harfiah. Dengan demikian, maka penulis melakukan penelitian interferensi sintaksis bahasa Indonesia dalam teks surat bahasa Jerman, melihat penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk interferensi sintaksis bahasa Indonesia dalam teks surat bahasa Jerman mahasiswa. Interferensi berasal dari bahasa Inggris interference yang berarti percampuran, pelanggaran dan rintangan (Poerwadarminta, 1989). Selain itu, interferensi secara umum dapat diartikan sebagai percampuran dalam bidang bahasa. Percampuran yang dimaksud adalah percampuran dua bahasa atau saling pengaruh antara kedua bahasa. Interferensi dari dua bahasa yang melakukan kontak ditentukan oleh faktorfaktor linguistik struktural dan nonlinguistik (Weinrich dalam Dittmar, 1976:117). Faktor-faktor linguistik struktural dapat diramalkan dari suatu perbandingan (perbedaan dan/atau persamaan) dari sistem fonologi, grammatikal, dan leksikal dari kedua bahasa tersebut. Sementara itu, bentuk-bentuk tipikal dari interferensi bagaimanapun, hanya dapat diramalkan dari gambaran sosiolinguistik yang menghubungkan bentuk-bentuk linguistik struktural
dengan faktor-faktor
ekstralinguistik, seperti peranan latar sosiokultural, fungsi bahasa dalam kelompok dwibahasawan, kesesuaian antara linguistik dan sosiokultural, standardisasi bahasa sebagai simbol dari loyalitas bahasa, durasi dari kontak antara bahasa-bahasa, kristalisasi dari bahasa-bahasa baru, dan perubahan bahasa.
Selain hal tersebut di atas, Hartmann dan Stork (dalam Chaer dan Agustina, 1995:160) ; (dalam Alwasilah, 1993:114) dan Lado (Hammers and Blanc, 1989:224) menambahkan bahwa interferensi terjadi pula karena terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa pertama atau bahasa ibu ke dalam bahasa kedua. Weinreich (dalam Dittmar, 1976:117) yang didukung oleh Rindjin (Denes dkk. 1994:17) membagi interferensi gramatikal sebagai berikut:
(1) penggunaan
morfem bahasa A ke dalam bahasa B, (2) penerapan hubungan gramatikal bahasa A ke dalam morfem bahasa B, atau pengingkaran hubungan gramatikal bahasa B yang tidak ada modelnya dalam bahasa A, (3) perubahan fungsi morfem melalui jati diri antara satu morfem bahasa B tertentu dengan morfem bahasa A tertentu, yang menimbulkan perubahan (perluasan maupun pengurangan fungsi-fungsi morfem bahasa B berdasarkan satu model gramatika bahasa A). Adapun pengertian dari interferensi sintaksis adalah interferensi yang terjadi karena pemindahan morfem atau kata bahasa pertama ke dalam pemakaian bahasa kedua (Undhiksa, 2015 dalam goo.gl/phNHTj). Hal tersebut dapat juga terjadi perluasan pemakaian kata bahasa pertama, yakni memperluas makna kata yang sudah ada sehingga kata dasar tersebut memperoleh kata baru atau bahkan gabungan dari kedua kemungkinan di atas. Interferensi kata dasar terjadi apabila misalnya seorang penutur bahasa Indonesia juga menguasai bahasa Inggris dengan baik, sehingga dalam percakapannya sering terselip kata-kata bahasa Inggris, sehingga sering terjebak dalam interferensi.
PEMBAHASAN Dalam penelitian ini ditemukan interferensi sintaksis berupa lima bentuk interferensi, diantaranya (i) ketidakberaturan peletakan kata kerja, baik dalam hauptsatz maupun nebensatz yang menggunakan kata hubung und, (ii) ketidaktepatan penggunaan kalimat perfekt, (iii) ketidakberaturan peletakan adjektiv dan adverb, (iv) ketidaktepatan penggunaan preposisi dan (v) ketidaktepatan penggunaan kata kerja machen. Pertama, bentuk interferensi ketidakberaturan peletakan kata kerja, baik dalam hauptsatz maupun nebensatz yang menggunakan kata hubung und dapat dilihat pada data berikut: Data 1a Ich gerne kochen (Saya lebih suka memasak) Data 1b
Ich bin nur allein kein habe Bruder oder Schwester (Saya hanya sendiri tidak memiliki saudara laki-laki atau saudara perempuan) Berdasarkan temuan data di atas, kalimat data 1a peletakan kata kerja kochen tidak pada posisi kedua setelah subjek. Oleh karena itu, kalimat yang benar menjadi Ich koche gern. Data 1b menunjukan bahwa penulis jelas memasukan unsur bahasa Indonesia ke dalam kalimatnya. Terdapat dua kata kerja tanpa konjungsi dalam satu kalimat, sehingga pembetulannya menjadi Ich bin einen einzel Kind und ich habe keinen Bruder oder Schwester. Kedua, bentuk interferensi ketidaktepatan penggunaan kalimat perfekt. Adapun bentuk-bentuk yang dimaksud dapat dilihat dari temuan data berikut: Data 2a ... und ich habe mich interessiere dafür. (... dan saya tertarik akan hal tersebut) Data 2b Ich habe viele Klinik besuchen ... (Saya telah mengunjungi banyak Klinik ...) Paparan data 2a di atas kata interessiere seharusnya menjadi interessiert dan berada di akhir kalimat, mengingat kalimat tersebut adalah kalimat perfekt. Oleh karena itu, kalimat yang benar adalah ... und ich habe mich dafür interessiert. Adapun data 2b kata besuchen seharusnya menjadi besucht, sehingga pembenarannya adalah Ich habe viele Klinik besucht. Ketiga, bentuk interferensi ketidakberaturan peletakan adjektiv dan adverb ditemukan dalam data-data berikut: Data 3 ... aber ich kann neue Menu von solchen machen. (... tetapi saya dapat melakukan menu baru seperti itu) Data 3b Ich bin sehr stress, weil mein job viele Presentation brauchen. (Saya sangat stress karena pekerjaanku membutuhkan banyak presentasi) Data 3a di atas menunjukan ketidaktepatan penempatan pronomina demonstrative solch- sebagai adjetktif dalam kalimat. Selain itu, ditemukan pula ketidaktepatan penggunaan kata kerja machen. Kata kerja kochen yang berarti memasak akan lebih tepat digunakan, karena bukan melakukan menu tetapi memasak menu. Oleh karena itu, kalimat yang benar menjadi ... aber ich kann eine solche Menu kochen. Selanjutnya, dalam Data 3b pemilihan adverb sehr dalam kalimat tersebut tidaklah tepat, karena kata benda der Stress dalam kamus Duden elektrik dikatakan Stress haben yang berarti penggunaan adjektif lebih tepat. Selain itu, pemilihan kata mein job dan kata kerja brauchen kurang tepat. Oleh karena itu, kalimat yang benar menjadi Ich habe große Stress weil ich viele Präsentation im Büro machen muss. (Saya sangat stress karena saya harus melakukan banyak presentasi di kantor) Keempat, bentuk interferensi ketidakperluan penggunaan preposisi ditemukan dalam data berikut: Data 4b Ich habe angst für viele leute zu sprechen. (Saya takut pada banyak orang untuk berbicara) Data 4c Manchmal kocht sie Sushi für mich und alle Freundinen. (Terkadang mereka memasak Sushi untukku dan semua teman-teman) Berdasarkan temuan data di atas, data 4b menunjukan adanya preposisi für yang seharusnya tidak digunakan dalam kalimat tersebut. Preposisi tersebut salah satu
fungsinya adalah untuk menunjukan detail tujuan (Duden elektrik), sehingga kalimat yang lebih tepat adalah Ich habe Angst, die Leute zu sprechen. Data selanjutnya, data 4c juga menggunakan preposisi für yang seharusnya tidak digunakan. Oleh karena itu, kalimat yang benar menjadi Manchmal kocht sie mir und alle Freundinnen Sushi. Kelima, bentuk interferensi terakhir yang ditemukan dalam penelitian ini adalah ketidaktepatan penggunaan kata kerja machen. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bentuk interferensi tersebut telah ditemukan pada data 3a. Namun demikian, ditemukan pula data-data sebagai berikut: Data 2b ... Übungen machen aber nicht bestehen. (melakukan ujian tetapi tidak lulus) Data 5b Was muss ich machen? (Apa yang harus saya lakukan?) Paparan data 2b di atas menunjukan bahwa kata kerja machen seharusnya tidak digunakan karena seperti yang terterta dalam kamus Duden elektrik, kata benda Übung memiliki pasangan kata kerja tun (etwas zur Übung tun). Oleh karena itu, kalimat yang benar menjadi die Übungen tun aber ich habe das nicht besteht. (melakukan ujian tetapi saya tidak lulus). Ketidaktepatan penggunaan kata kerja machen juga terlihat pada data 5b, karena kalimat apa yang harus saya lakukan? Seharusnya menjadi Was muss ich tun? SIMPULAN Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Jerman berasal dari rumpun bahasa yang berbeda. Meskipun terdapat persamaan dalam pola susun kata pada kedua bahasa tersebut, yaitu S-P-O, terdapat pula perbedaan-perbedaan kaidah yang dapat menyebabkan interferensi. Berdasarkan penelitian dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa interferensi sintaksis pada teks surat mahasiswa terjadi dalam pola susun kata dalam kalimat. Adapaun bentuk-bentuk yang dimaksud adalah (i) ketidakberaturan peletakan kata kerja, baik dalam hauptsatz maupun nebensatz yang menggunakan kata hubung und, (ii) ketidaktepatan penggunaan kalimat perfekt, (iii) ketidakberaturan peletakan adjektiv dan adverb, (iv) ketidaktepatan penggunaan preposisi dan (v) ketidaktepatan penggunaan kata kerja machen. DAFTAR PUSTAKA Agustina, T. 1996. Interferensi Bahasa Indonesia Terhadap Penguasaan Belajar Penguasaan Bahasa Inggris siswa Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan. Alwasilah, C.A. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. Chaer, A. & Agustina L.. 1995. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta. Denes, M.I.1994. Interferensi Bahasa Indonesia Dalam Pemakaian Bahasa Bali di Media Massa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Deutscher Akademischer Austauschdienst. 2013, (online), (goo.gl/sYxo88), diakses tanggal 23 Juni 2016 Dittmar, N. 1976. Sociolinguistics: A Critical Survey of Theory and Application. London: Edward Arnold (Publishers) Ltd. Djajasudarma, T.F. 1993. Metode Linguistik. Bandung: Eresco. Hammers F.J. & Michael H.A.B. 1989. Bilinguality. Cambridge: Cambridge University Press. Mustakim. 1994. Interferensi Bahasa Jawa dalam Surat Kabar Berbahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Rusyana, R. 1984. Bahasa dan Sastra: Dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro Bandung. Thomson J.A. & Martinet V.A. 1986. A Practical English Grammar. Oxford: Oxford University Press. Perdana, Indra. 2009. Interferensi Semantik Leksikal Bahasa Indonesia Dalam Terjemahan Indonesia-Jerman Mahasiswa Jurusan Sastra Jerman pada mata kuliah Übersetzung Indonesisch-Deutsch. Skripsi: Tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang Poerwadarminta. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka ________. 2015. Buku-Undhiksa, (online), (goo.gl/phNHTj), diakses tanggal 23 Juni 2016
PERALIHAN ARGUMEN VERBA DALAM BAHASA JAWA Murdiyanto Universitas Negeri Surabaya
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan argumen-argumen verba yang menduduki fungsi gramatikal tertentu dapat beralih menduduki fungsi gramatikal yang lain. Objek dapat menjadi subjek dalam proses sintaktik yang umum disebutan pemasivan. Subjek dapat beralih menjadi objek dalam proses sintaktik yang disebut kausatif dan argumen yang bukan pasien dapat menduduki fungsi gramatikal objek dengan proses aplikatif. Peralihan argumen tersebut ditandai pada bentuk morfologis verbanya. Ada beberapa afiks yang harus dikaitkan untuk mengidentifikasi perubahan valensi. Prefiks nasal (N-) sebagai penanda aktif dan prefiks di- sebagai penanda pasif, serta sufiks –ka dan -i sebagai penanda kausatif dan aplikatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan ancangan Teori Linguistik Dasar (Basic Linguistic Theory, Dixon, 2010). Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa adanya peralihan argumen dalam bahasa Jawa yang dimarkahi oleh afiks. Peralihan argumen dalam pemasivan dimarkahi dengan prefiks di-, ka-, dan sisipan -in-. Peralihan dengan penambahan argumen agen ditandai dengan sufiks –ke dan –i. Peralihan dengan penambahan bukan subjek juga ditandai dengan sufiks –ake dan –i. Kata kunci: argumen, valensi, verba, dan bahasa Jawa PENDAHULUAN Fakta lingual menunjukkan bahwa bahasa Jawa memiliki tata urut SVO (Subjek Verba Objek)/SPO (Subjek Predikat Objek). Di antara tiga jenis strategi permakahan, tata urutan, kasus morfologis, dan persesuaian (Dixon, 2010:125126), bahasa Jawa hanya menggunakan tata urutan sebagai pemarkahan gramatikalnya. Permakahan dengan tata urutan SVO/SPO tersebut dapat dicontohkan dari kontras klausa berikut ini. (1a) Wong wadon ayu Miranti ngrangkul Irmawati ‘Orang perempuan cantik nama Miranti memeluk Irmawati’ (1b) Irmawati ngrangkul wong wadon ayu Miranti ‘Irmawati memeluk orang perempuan cantik dengan nama Miranti’ (2a) Bocah lanang iku nggeret wong tuwane ‘Anak laki-laki itu menarik orang tuanya’ (2b) Wong tuwane nggeret bocah lanang iku
‘Orang tuanya menarik anak laki-laki itu’ Klausa (1a) dan klausa (1b) memiliki unsur kata yang sama, tetapi unsurunsur klausa tersebut memiliki fungsi gramatikal dan peran semantis yang berbeda. Wong wadon ayu Miranti ‘Orang perempuan cantik nama Miranti’ pada klausa (1a) menduduki fungsi gramatikal subjek dan berperan sebagai agen, sedang pada klausa (1b) menduduki fungsi gramatikal objek dan berperan sebagai pasien. Irmawati ‘Irmawati’ pada klausa (1a) menduduki fungsi gramatikal objek dan berperan sebagai pasien, sedang pada klausa (1b) menduduki fungsi gramatikal subjek dan berperan sebagai agen. KLausa (2a) dan klausa (2b) juga memiliki unsur kata yang sama, tetapi unsur-unsur klausa tersebut memiliki fungsi gramatikal dan peran semantis yang berbeda. Bocah lanang iku ‘Anak laki-laki itu’ pada klausa (2a) menduduki fungsi subjek dan berperan sebagai agen, sedang pada klausa (2b) menduduki fungsi gramatikal objek dan berperan sebagai pasien. Wong tuwane ‘orang tuanya’ pada klausa (2a) menduduki fungsi gramatikal objek dan berperan sebagai pasien, sedang pada klausa (2b) menduduki fungsi gramatikal subjek dan berperan sebagai agen. Tidak ada pemarkah morfologis khusus untuk membedakan frasa nomina Wong wadon ayu Miranti ‘Orang perempuan cantik Miranti’ dan Bocah lanang iku ‘Anak laki-laki itu’ yang menduduki fungsi gramatikal subjek pada klausa (1a, 2a) dan yang menduduki fungsi gramatikal objek pada klausa (1b, 2b). Begitu juga nomina Irmawati ‘Irmawati’ dan Wong tuwane ‘Orang tuanya’ yang menduduki fungsi gramatikal objek pasien pada (1a, 2a) dan Irmawati ‘Irmawati’, Wong tuwane ‘orang tuanya sebagai subjek agen pada (1b, 2b). Dengan demikian, hanya tata urutan yang menunjukkan frasa nomina tertentu menduduki fungsi gramatikal subjek atau objek. Begitu juga tidak ada persesuaian antara subjek dengan predikat. Frasa nomina/nomina yang berada di depan predikat menduduki subjek agen, dan frasa nomina setelah predikat menduduki fungsi objek pasien. Dalam teori ketatabahasaan lazim dirumuskan agen dipetakan ke subjek dan pasien dipetakan ke objek seperti berikut rumusannya.
SUBJ
OBJ
Argumen-argumen verba yang menduduki fungsi tertentu dapat beralih menduduki fungsi-fungsi gramatikal yang lain. Objek dapat menjadi subjek dalam proses sintaktik yang umum dikenal dengan istilah pemasivan. Subjek dapat beralih menjadi objek dalam proses sintaktik yamg dikenal dengan istilah kausatif, dan argumen yang bukan pasien dapat menduduki fungsi objek dengan proses aplikatif. Peralihan-peralihan argument tersebut ditandai pada bentuk morfologis verbanya. Diperhatikan peralihan objek menjadi subjek pada pemasivan klausa seperti berikut ini. (3a) Irmawati
ngrangkul wong wadon ayu Miranti
‘Irmawati
memeluk
orang perempuan cantik nama Miranti
‘Irmawati memeluk Miranti’ (3b) Wong wadon
ayu
Miranti
di-rangkul
‘Orang perempuan cantik Miranti PAS-peluk
dening
Irmawati
oleh
Irmawati’
‘Miranti dipeluk oleh Irmawati’ Peralihan urutan dari klausa (3a) menjadi klausa (3b), Irmawati tetap berperan sebagai agen, dan Wong wadon ayu Miranti tetap berperan sebagai agen. Terjadi peralihan tempat tetapi peran tetap dipertahankan akan tetapi fungsi berubah, dan perubahan itu dimarkahi pada verbanya dengan mengganti prefiks Ndengan prefiks di-. Diperhatikan peralihan yang lain seperti berikut ini. (4a) Tutur-ku
bener
Tuturan-ku
benar
‘Perkataanku benar’ (4b) Dheweke Dia
m-bener-ake
tuturku (bentuk kausatif)
AKT-bener- KAUS
‘Dia membenarkan perkataanku’ Klausa (4a) menjadi (4b) terjadi peralihan argumen. Tutur-ku ‘perkataanku’ pada klausa (4a) menduduki fungsi gramatikal subjek, beralih menjadi fungsi gramatikal objek pada klausa (4b). Peralihan pada klausa (4b) tersebut disebabkan oleh datangnya argumen baru yaitu dheweke ‘dia’. Peralihan argumen ini ditandai dengan perubahan morfologis verba. Predikat bener ‘benar’ berubah menjadi mbener-ake. Nasal m- yang berimbangan dengan pasif di- diberi gloss AKT sebagai pemarkah aktif, dan di- sebagai pemarkah pasif. Makalah ini akan mendeskripsikan
peralihan argumen yang dihubungkan dengan kategori verba yang meliputi: 1) pemasivan, 2) kausatif, dan 3) aplikatif. Metode Penelitian ini adalah penelitian tentang klausa bahasa Jawa yang termasuk dalam penelitian kualitatif. Sumber data diambil dari data tulis yaitu majalah berbahasa Jawa “Panjebar Semangat” terbitan bulan Juni tahun 2016. Data penelitian ini
adalah klausa-klausa bahasa Jawa yang diambil dari majalah
“Panjebar Semangat” terbitan tahun 2016. Di samping itu data dilengkapi melalui intuisi kebahasaan penulis. Data dikumpulkan dengan cara membaca dan mencermati sumber data dan mencatat klausa-klausa dengan bantuan komputer. Data dianlisis dari klausa dasar dan klausa turunan. Klausa dianalisis dengan dasar predikat dan argumen. Unsur-unsur lain yang tidak berkaitan dengan predikat dan argumen akan dikesampingkan. Pada bentuk dasar klausa transitif, argumen agen dipetakan ke subjek, dan pasien dipetakan ke objek. Pada klausa intransitif, satusatunya argumen menduduki fungsi gramatikal subjek. Bentuk-bentuk klausa yang tidak mengikuti pemetaan tersebut dijelaskan dari bentuk dasar tersebut.
PEMBAHASAN Hasil analisis peralihan argumen disajikan dari peralihan argumen pada verba transitif, kemudian baru verba intransif. Penjelasan hal itu, diuraikan melalui informasi berikut. 1. Peralihan Objek Pasien menjadi Subjek Pasien Pemasivan dalam pembahasan ini adalah peralihan argumen objek pasien menjadi subjek. Peralihan tersebut ditandai dengan perubahan prefiks verba. Dalam klausa transitif (aktif) verba ditandai dengan prefiks nasal N- menjadi di-, ka-. ke-, infiks -in-. Diperhatikan pada peralihan argumen dari klausa (5a) menjadi klausa (5b), (5c), (5d) dan (5e). Penjelasannya seperti berikut ini. (5a) Hutapea Hutapea
ng-kekep
bangkekane Dias
AKT- dekap pinggulnya Dias
‘Hutapea mendekap pinggul Dias’ (5b) Bangkekan-e Dias
ka-kekep
dening
Hutapea
Pinggul-DET Dias
PAS dekap
Prep
Hutapea
‘Pinggul Dias didekap oleh Hutapea’ (5c) Bangkekan-e Dias Pinggul-DET Dias
ke-kekep
dening
PAS dekap
Prep
Hutapea Hutapea
‘Pinggul Dias didekap oleh Hutapea’ (5d) Bangkekan-e Dias Pinggul-DET Dias
di-kekep
dening
PAS dekap
Prep
Hutapea Hutapea
‘Pinggul Dias didekap oleh Hutapea’ (5e) Bangkekan-e Dias Pinggul-DET Dias
k-in-ekep
dening
PAS dekap
Prep
Hutapea Hutapea
‘Pinggul Dias dideka p oleh Hutapea’ Argumen pasien bangkekane Dias ‘pinggulnya Dias’ pada (5a) menjadi subjek pada (5b), dan argumen subjek asli Hutapea pada (5a) berpindah ke fungsi periferal oblik yang dimarkahi dengan preposisi dening ‘oleh’, dan verbanya dimarkahi dengan afiks pasif ka-, ke-, di-, dan -in- pada klausa (5b), (5c), (5d), dan (5e). Perbedaan pasif (5b), (5c), (5d), dan (5e) adalah sebagai berikut: pasif dengan pemarkah ka- digunakan pada tingkat tutur yang lebih sopan; pasif dengan pemarkah ke- merupakan paif tidak sengaja; pasif dengan pemarkah di- merupakan pasif yang tingkatannya biasa; pasif dengan pemarkah -in- lebih bersifat literer. Peralihan argumen dari klausa (5a) ke klausa (5b), (5c), (5d), dan (5e) tersebut adalah sama. 2. Peralihan Bukan Objek Menjadi Objek Objek pasien dapat dialih pada argumen lain, sehingga objeknya tidak lagi pasien. Diperhatikan klausa (6) seperti berikut ini. (6a) Pulisi
m-bedhil
Polisi AKT-tembak
endhas-e
begal iku nganggo pistul
kepalanya perampok itu dengan
pistol
‘Polisi menembak kepala perampok itu menggunakan pistol’ (6b) Pulisi mbelil-ake pistule neng endhase begal iku ‘Polisi menembakan pistolnya ke kepala perampok itu’ Dalam klausa (6a), Pulisi ‘polisi’ adalah subjek, mbedhil ‘menembak’ predikat, dan endhas-e begal iku ‘kepala perampok itu’ sebagai objek, dan pistul ‘pistol’ sebagai oblik instrument. Dalam klausa (6b) objeknya tidak lagi pasien endhase begal iku
‘kepala begal itu’, tetapi objeknya instrument pistul ‘pistol’. Peralihan argumen tersebut dimarkahi dengan sufiks –ake pada verba m-bedhil ‘menembak’ menjadi m-bedhil-ake ‘menembakkan’. Dalam peralihan argumen tersebut, verba transitif tetap menjadi transitif. Objek aslinya edhas-e begal iku ‘kepalanya perampok itu’ menjadi oblik yang dimarkahi dengan pemarkah neng ‘oleh’. Ada peralihan argumen menjadi objek yang membentuk verba dwitransitif. Diperhatikan klausa (7) berikut ada peralihan argumen seperti beriku ini. (7a) Dheweke arep n-tuku sepedha Dia akan
AKT-beli sepeda
‘Dia akan membeli sepeda’ (7b) Dheweke arep nukok-ake mbak Sri sepedha ‘Dia akan membelikan kakak Sri sepeda’ Subjek klausa (7a) dheweke ‘dia’, predikat arep nuku ‘akan membeli’, objek sepedha ‘sepeda’. Dalam klausa (7b) subjek tetap dheweke ‘dia’, predikat arep nukokake ‘akan membelikan’, dan objek pertama mbak Sri ‘kakak Sri’ dan objek kedua sepedha ‘sepeda’. Dapat juga urutan klausa tersebut Dheweke arep nukokake sepedha mbak Sri ‘Dia akan membelikan sepeda kakak Sri’. Dalam urutan tersebut mbak Sri ‘kakak Sri’ tetap menjadi objek pertama sebab hanya mbak Sri ‘kakak Sri’ yang dapat menjadi subjek klausa pasifnya. 3. Peralihan Karena Penambahan Argumen Baru Menduduki Subjek Penambahan argument subjek lazim disebut dengan kausatif. Subjek baru tersebut biasanya disebut dengan istilah causer baik berinisiatif/mengontrol atau hanya menjadi sebab keadaan saja. Peralihan ini terjadi dari bentuk dasar intransitif menjadi transitif. Diperhatikan peralihan argume t dari (8a) menjadi (8b) seperti berikut ini. (8a) LCD-ne LCD-nya (8b) Dias Dias
mati mati maten-i mati-KAUS
LCD LCD
nganggo dengan
remote control remote control
‘Dias mematikan LCD dengan remote control’ Peralihan argumen dari klausa (8a) menjadi (8b) adalah peralihan karena ada argumen baru yaitu Dias ‘nama orang’. Argumen Dias berperan sebagai agen dan
menduduki fungsi subjek agen. Subjek yang lama, LCD beralih menduduki fungsi objek. Peralihan seperti ini dikenal dengan istilah kausatif (KAUS). Peralihan argumen seperti ini dalam bahasa Jawa ditandai sufiks –i, seperti pada contoh (8b), dan ditandai dengan sufiks –ake, seperti pada klausa (9b) berikut ini. (9a) Pamarentah Indonesia Pemerintah
tentrem
tenteram
‘Pemerintah tenteram’ (9b) Presiden bisa nen-trem-ake pamarentah Indonesia Presiden bisa AKT-tenteram-KAUS pemerintah Indonesia ‘Presiden dapat menenteramkan pemerintajh Indonesia’ Kausatif (9b) dibentuk dari dasar klausa intransitif (9a). Subjek klausa dasar menjadi objek dan argumen baru menduduki fungsi subjek. Peralihan argumen tersebut ditandai dengan sufiks –ake pada verbanya. 4. Peralihan Argumen Karena Penambahan Argumen Baru yang menduduki Fungsi Objek Dalam klausa (8) dan (9), peralihan argumen karena ada argumen baru yang menduduki fungsi subjek. Dalam klausa (10) dan (11) berikut, peralihan argumen karena ada penambahan baru yang menduduki fungsi objek. Peralihan tersebut umumnya dari klausa intransitif menjadi klausa transitif. Peralihan tersebut juga ditandai dengan sufiks –i dan sufiks –ake pada verbanya. Diperhatikan contoh klausa peralihan argumen karena ada argumen baru yang bukan subjek. (10a) Intan lungguh neng kursi Intan duduk di kursi ‘Intan duduk di kursi’ (10b) Intan Intan
ng-lungguh-i
kursi
AKT-duduk-APL kursi
‘Intan menduduki kursi’ (11a) Dhewe-ke umuk Dia-nya
babagan
sombong tentang
donya-ne kekayaan-nya
‘Dianya sombong mengenai kekayaannya’ (11b) Dhewe-ke ng-umuk-ke donyane
Dia-nya
AKT-sombong-APL kaya-nya
‘Dianya menyombongkan kekayaannya’ Predikat lungguh ‘duduk’ dalam klausa (10a) adalah predikat intransitif, hanya membutuhkan satu argumen yaitu Intan ‘Intan’. Keterangan neng kursi ‘di kursi’ merupakan keterangan yang tidak diwajibkan oleh predikat lungguh ‘duduk’. Keterangan tersebut dapat beralih menjadi argumen dan menduduki fungsi objek seperti pada klausa (10b). Peralihan tersebut ditandai dengan sufiks –i pada verba lungguh ‘duduk’. Predikat nglungghi ‘menduduki’ dalam klausa (10b) merupakan predikat transitif yang membutuhkan dua argumen, yaitu Intan ‘Intan’ yang menduduki fungsi subjek agen dan kursi ‘kursi’ yang menduduki objek pasien. Predikat umuk ‘sombong’ pada klausa (11a) merupakan predikat intransitif yang hanya membutuhkan satu argumen, yaitu dheweke ‘dia’, sehingga klausa dheweke umuk ‘dia sombong’ merupakan klausa utuh. Tambahan babagan donyane ‘mengenai kekayaannya’ merupakan keterangan yang tidak diisyatakan oleh predikat. Klausa tersebut dapan menjadi klausa transitif pada klausa (11b) karena penambahan agumen objek dan predikat dimarkahi dengan sufiks –ke. Predikat ngumukke ‘menyombongkan’ dalam klausa (11b) merupakan predikat transitif yang membutuhkan dua argumen, yaitu Dheweke ‘dia’ yang menduduki fungsi subjek agen dan donyane ‘kekayaannya’ yang menduduki objek pasien. Simpulan Berdasarkan analisis mengenai peralihan argumen verba dalam bahasa Jawa dapatlah ditarik simpulan. Peralihan argumen dalam bahasa Jawa dimarkahi dengan afiks. Peralihan argumen dalam pemasivan dimarkahi dengan prefiks di-, ka-. ke-, dan sisipan –in-. Peralihan penambahan argumen agen dimarkahi dengan sufiks –i dan –ake, merujuk proses kausatif (KAUS) dan merujuk proses aplikatif (APL). Peralihan dengan penambahan argumen bukan subjek juga ditandai dengan sufiks –i dan –ake.
DAFTAR RUJUKAN Dixon, R.M.W. 2010. Basic Linguistic Theory Volume I. Oxford: Oxford University Press. Khairah, Miftahul & Sakura Ridwan. 2014. Sintaksis: Memahami Satuan Kalimat Perpektif
Fungsi. Jakarta: Bumi Aksara. Sudaryanto. 1990. Metode Linguistik Bagian Pertama: ke arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press
KONSEP SOSIAL BUDAYA HUBUNGAN MANUSIA DALAM PEMBENTUKAN KATA MAJEMUK BAHASA JEPANG Rizki Dwi Cahyo [email protected] Masilva Raynox Mael [email protected] Universitas Negeri Surabaya
ABSTRAK Terdapat berbagai faktor yang mendasari pembentukan dan pemakaian bahasa oleh masyarakat penuturnya. Hal ini dikarenakan hubungan erat yang tak bisa dipisahkan antara bahasa dan masyarakat. Hubungan tersebut adalah (1) Bahasa mempengaruhi masyarakat, (2) Masyarakat mempengaruhi bahasa, dan (3) Saling berpengaruhnya bahasa dan masyarakat. Pengaruh tersebut satu diantaranya tampak pada pembentukan fukugougo atau komposisi kata majemuk Bahasa Jepang yang tidak semena-mena terbentuk begitu saja namun terdapat pengaruh dari konsep sosial budaya masyarakat Jepang dalam pembentukannya. Konsep masyarakat yang mempengaruhi tersebut adalah sistem stratifikasi, sistem keluarga, dan sistem jenis kelamin (gender). Pada kesempatan kali ini penulis akan memaparkan fukugougo yang terpengaruh oleh konsep sosial budaya di atas yang terdapat pada buku minna no nihongo Shokyuu I dan II, dan juga akan memaparkan bentuk variasi komposisi pemajemukannya. Kata kunci: fukugougo, sosial budaya, komposisi PENDAHULUAN Mempelajari suatu bahasa identik dengan mempelajari kosakata. Kosakata merupakan unsur yang sangat penting dalam masyarakat yang menggunakan bahasa, karena dengan menggunakan kata-katalah manusia berbahasa. Pembelajar suatu bahasa tertentupun memiliki kecenderungan untuk mempelajari dan meperdalam penguasaan kosakata atau perbendaharaan katanya terlebih dahulu dan kemudian baru mempelajari tata bahasanya. Bidang kajian linguistik yang mempelajari bentuk dan pembentukan kata tersebut dinamakan morfologi (Chaer dalam Jayanti). Dalam berbagai macam proses pembentukan kata terdapat proses yang disebut komposisi atau pemajemukan. Komposisi atau pemajemukan merupakan penggabungan morfem dasar dengan morfem dasar baik yang bebas maupun terikat. Hasil pemajemukan dapat memiliki identitas leksikal (makna) yang sama dengan komponen pembentuknya, berbeda, atau bahkan identitas baru. Kata yang terbentuk dari proses komposisi itulah yang dinamakan kata majemuk (Chaer, 2007: 185). Kata majemuk disebut dengan fukugougo dalam bahasa Jepang. Konstruksinya dapat berupa penggabungan kata yang masing-masing memiliki kelas kata yang sama seperti meishi (nomina) + meishi (nomina), ataupun dari kata
yang masing-masing memiliki kelas kata yang berbeda seperti keiyoshi (adjektiva) + doushi (verba). Namun tidaklah semua kelas kata ataupun kata dapat mengalami proses komposisi dan membentuk kata majemuk. Seperti yang sudah penulis sampaikan sebelumnya bahwa makna yang terbentuk dapatlah berasal dari kata pembentuknya maupun tidak dihasilkan dari kata pembentuknya sama sekali (Jayanti). Terdapat tiga kelompok variasi komposisi kata majemuk bahasa Jepang, yaitu native compound, sino-japanese compund, dan hybrid compund (Shibutani dalam Jayanti). Native compound adalah penggabungan kata yang merupakan kata bahasa Jepang asli. Kata bahasa Jepang asli yang dimaksudkan adalah kata bahasa Jepang yang cara pelafalannya menggunakan cara baca Kunyomi. Kata majemuk native compound memiliki komposisi yaitu semua kata pembentuknya dibaca dengan cara baca kunyomi yang kemudian mengalami penggabungan. Contohnya seperti kata 赤色(akairo). Sebaliknya, kata majemuk sino-japanese compund memiliki kata pembentuk yang menggunakan cara baca dari china atau onyomi dalam komposisinya. Seperti contohnya adalah kata 男子(danshi). Variasi kata majemuk yang terakhir yaitu hybrid compound memiliki kata pembentuk dengan cara baca gabungan yaitu satu menggunakan kunyomi dan satu lainnya menggunakan cara baca onyomi. Contohnya seperti 団子(dango). Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa fukugougo tidak dapat terbentuk dengan begitu saja, namun terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pembentukanya seperti, faktor fonologis, faktor ikonik, dan juga faktor sosial budaya masyarakat penuturnya. Namun, yang akan penulis coba untuk bahas dan paparkan kali ini adalah kata majemuk yang dipengaruhi oleh konsep sosial budaya masyarakat di Jepang saja. Bagian dari linguistik yang memperlajari Bahasa dan masyarakat disebut Sosiolinguistik. Bahasa dan masyarakat penuturnya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Terdapat setidak-tidaknya tiga hubungan antara masyarakat dan bahasa yaitu (1) Bahasa mempengaruhi masyarakat, (2) Masyarakat mempengaruhi bahasa, dan (3) Bahasa dan masyarakat saling mempengaruhi satu sama lain (Wijana dan Muhammad, 2006). Berbicara mengenai bahasa yang merupakan sebuah alat untuk masyarakat saling berkomunikasi dan berinteraksi, tidak dapat terlepas dari kebudayaan dan normanorma yang berlaku dalam suatu masyarakat. Pada masyarakat yang memiliki variasi tingkat sosial, akan menghasilkan bahasa yang berhubungan dengan adanya variasi tingkat sosial tersebut dan juga memiliki keragaman bahasa sesuai dengan keragaman masyarakatnya. Pada masyarakat yang terdapat perbedaan kondisi sosial antara pria dan wanita juga akan timbul ragam atau variasi bahasa yang berbeda juga antara pria dan wanita. Sama halnya dengan masyarakat berbahasa lainnya, juga terdapat faktor sosial budaya yang mempengaruhi atau bahkan mendasari lahirnya bahasa dan pemakaian bahasa oleh masyarakat Jepang. Bangsa Jepang pada zaman dahulu merupakan kelompok masyarakat yang terdapat stratifikasi di dalamnya. Selain kelas-kelas sosial, juga terdapat konsep sosial lainya seperti keluarga, jenis kelamin, dan usia yang dapat mempengaruhi bahasa khususnya pada pembentukan kata. Sistem stratifikasi Terdapat 4 golongan masyarakat di Jepang pada jaman kamakura, yaitu
bushi (golongan prajurit), noumin (golongan petani), kouin (golongan pegawai), dan shounin (golongan pedagang). Pada jaman tersebut golongan kouin dan shoumin merupakan golongan yang memiliki kasta rendah. Berawal dari stratifikasi yang ada itulah hubungan antar manusia di Jepang pada umumnya menganut azas hubungan vertikal yang sangat kental. Masyarakat Jepang sangat memperhatikan posisi mereka di dalam kelompok sosial dan mereka pun bersikap, bertindak, berkebiasaan, dan beretos kerja atas dasar pengaruh struktur masyarakat yang menggunakan sistem hubungan atas bawah tersebut. Hubungan atasan dan bawahan, bos dan anak buah, penguasa dan rakyat, senior dan yunior. Hubungan seperti ini bagi orang jepang adalah sesuatu yang haruslah dipertahankan untuk menjaga dan memelihara kepatuhan, penghormatan, dan disiplin kerja. Namun meskipun begitu, hubungan senioritas ini tidaklah dianggap sebagai sikap yang arogan melainkan pembelajaran yang harus dipatuhi secara moral. Bukanlah berdasarkan pada usia, namun hubungan ini berdasarkan siapa yang terlebih dahulu memasuki atau memahami suatu bidang (pekerjaan), yang lebih dulu itulah yang akan dianggap sebagai senior (eribolot.weebly.com). Sistem keluarga Keluarga merupakan dasar dari unit sosial di Jepang. Cukup sama dengan di Indonesia, ayah sebagai kepala keluarga memegang kekuasaan lebih besar daripada Ibu. Inilah yang merupakan dasar dari konsep masyarakat yang dimana pria lebih unggul daripada wanita yang sampai sekarangpun masih berakar di dalam masyarakat Jepang dan sangat tercermin dalam sistem keluarga dengan dominasi peran dan kekuasaan ayah dalam keluarga (Minami, 1993: 155). Selain ayah, keluarga Jepang yang menganut paham patriarkal jugalah memiliki sistem yang menitik beratkan kepada peran dan tanggung jawab anak yang paling tua. Sejak zaman meiji, anak lelaki tertua di dalam keluarga mewarisi hak dan kewajiban untuk mengurus keluarga setelah ayah (Kodansha internasional dalam library.binus.ac.id). Sistem pria dan wanita (Gender) Jepang dahulu memiliki konsep masyarakat yang memisahkan kerja antara pria dan wanita. hal ini dikarenakan kuatnya pola fikir masyarakat bahwa wanita tidaklah boleh lebih superior daripada pria yang lebih kuat dan sebagai kepala keluarga. Pada zaman meiji (1868-1912) yang masih kental dengan diskriminasi gender yaitu pengaruh dari era Shogun Tokugawa. Pada zaman ini banyak kondisi sosial yang merendahkan martabat wanita. Dalam sistem keluarga (ie), sebagai wanita mustahil untuk mendapatkan harta warisan apabila masih terdapat anak lelaki di keluarganya tersebut. Untuk riwayat jodohpun demikian, wanita tidak dapat berpendapat dan membantah mengenai pemilihan pasangan hidupnya, seluruhnya ditentukan oleh kepala keluarga. Pada saat wanita hanya dapat menghasilkan keturunan perempuan pun, sang suami berhak untuk mengambil selir sampai dia dapat memiliki keturunan laki-laki sebagai ahli waris. Kedudukan selir dan keturunan laki-laki tersebut bahkan lebih tinggi dibandingkan keturunan perempuan dari istri yang sah. Berdasarkan teori di atas penulis mencoba memaparkan fukugougo atau kata majemuk bahasa Jepang yang dirasa dalam pembentukannya terdapat pengaruh dari konsep atau faktor sosial budaya hubungan manusia masyarakat Jepang. Untuk data
yang digunakan adalah kosakata yang diambil dari buku Minna no nihongo shokyuu I dan II. Metode Penulis menggunakan sumber data berupa dari buku Minna no nihongo shokyuu I dan II. Data yang dikumpulkan berupa daftar kosakata majemuk di dalam buku yang menurut penulis mendapatkan pengaruh dari konsep sosial budaya Jepang dalam pembentukannya. Teknik pengambilan data yang penulis gunakan adalah teknik simak dan catat yaitu dengan membaca kemudian mencatat kosakata yang ditemukan dalam buku. Data yang didapat kemudian dipaparkan lebih lanjut dan terakhir ditarik kesimpulan berdasarkan hasil pemaparan yang dilakukan. PEMBAHASAN Hasil Penulis mendapatkan total 7 data kata majemuk yang mendapatkan pengaruh dari konsep sosial budaya masyarakat Jepang dalam komposisinya. Kemudian penulis mencoba menglasifikasikan data yang didapat berdasarkan variasi komposisi kata majemuk dan sistem sosial budaya hubungan manusia yang mempengaruhinya sebagai berikut No Fukugougo 1
夫婦
Fuufu
2
兄弟
Kyoudai
3
親分
Oyabun
4
子分
Kobun
5
大丈夫
Daijoubu
6
先輩後輩 SenpaiKohai
7
男女
Danjo
Konsep Sosial Budaya Sistem Keluarga Sistem Keluarga Sistem Stratifikasi Sistem Stratifikasi Sistem Gender Sistem Stratifikasi Sistem Gender
Variasi Komposisi Kata Majemuk Sino-Japanese Compound Sino-Japanese Compound Hybrid Compound Hybrid Compound Sino-Japanese Compound Sino-Japanese Compound Sino-Japanese Compound
A. 夫婦 / Fuufu Kata fuufu terbentuk dari dua huruf kanji yaitu 夫yang memiliki makna suami dan huruf 婦 yang memiliki makna istri. Fuufu tergolong dalam variasi kata majemuk bahasa Jepang sino-japanese compound karena kedua kata pembentuknya masing-masing dibaca dengan menggunakan cara baca cina atau onyomi. Huruf 夫 dibaca dengan fuu dan huruf 婦dibaca dengan fu yang kemudian keduanya mengalami komposisi atau pemajemukan yang mewujudkan kata baru dengan identitas leksikal yang baru pula yaitu bermakna “pasangan suami-istri”. Makna yang muncul merupakan makna baru yang berupa hubungan antara kedua kata pembentuknya.
Dapat kita amati bahwa terdapat hal menarik dari konstruksi fukugougo fuufu di atas yaitu mengenai terlebih dulu dituliskannya huruf yang memiliki makna “suami”, baru kemudian disusul dengan huruf berikutnya yang memiliki makna “istri”. Hal ini lah yang merupakan pengaruh dari konsep sosial budaya masyarakat Jepang terhadap pembentukan kata. Seorang suami yang merupakan seorang pria dan jugalah seorang kepala keluarga memiliki kekuasaan dan wewenang yang paling tinggi di dalam kelompok sosial terkecil yaitu keluarga. Seperti diungkapan oleh Minami (1993: 155) bahwa kekuasaan seorang ayah atau suami lebih besar daripada ibu atau istri dalam keluarga. Besarnya dominasi dan peran suami ini dikarenakan suamilah yang bertanggung jawab atas keluarganya dan suamilah yang mencarikan nafkah untuk keluarganya. Berbeda dengan zaman modern sekarang yang dimana wanita juga dapat bekerja setara dengan pria, dahulu wanita di Jepang hanya dianggap sebagai alat untuk kebangkitan negara, bukan sebagai manusia yang perlu mendapat perlakuan yang setara. Wanita hanya harus patuh pada suaminya, mengurus rumah, mengurus anak, dan mengurus orang tua yang sudah lanjut usia. Wanita juga dituntut untuk selalu menjaga kehormatannya. Wanita dianggap hanyalah sebagai alat untuk meneruskan garis keturunan saja, sehinngga suami memiliki hak dan wewenang paling besar dalam mengatur perihal dan urusan keluarga. Berdasarkan lebih tingginya nilai martabat dan dominasi seorang suami atau kepala keluarga tersebutlah, kata fuufu terbentuk dengan kosntruksi kata “suami” berada di depan kata “istri”. Meskipun keduanya memiliki tataran yang sama dalam tataran fungsi sintaksisnya yaitu sama-sama sebagai nomina, namun kontruksinya dalam fukugougo tidaklah dapat dibalik atas dasar konsep sosial budaya yang ada. B. 兄弟 Kyoudai Kata majemuk ini terdiri dari huruf kanji 兄(ani) yang memiliki makna kakak laki-laki dan huruf 弟(otouto) yang bermakna adik laki-laki. Kata kyoudai ini merupakan fukugougo yang termasuk dalam variasi golongan sino-japanese compound karena kedua kata pembentuknya tidaklah dibaca dengan pelafalan bahasa Jepang asli melainkan dengan pelafalan cina atau onyomi nya. Kedua kata pembentuk fukugougo tersebut di atas mengalami proses komposisi yang kemudian menghasilkan kata dengan makna leksikal yang baru yaitu “saudara” atau “sepasang ssaudara laki-laki”. Dapat dilihat bahwa makna yang dihasilkan berbeda dengan kata pembentuk, namun terdapat sebuah hubungan diantaranya. Dapat diketahui dari pembentukan kata kouhai di atas dimana kata atau huruf 兄 ani dituliskan terlebih dahulu di depan kata atau huruf 弟otouto. Meskipun kedua kata pembentuk ini memiliki kedudukan yang sama dalam fungsi lingualnya namun kondisi struktur kata kyoudai tidaklah dapat dibalik, yaitu dengan mendahulukan kata otouto (adik laki-laki). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu salah satunya adalah faktor ikonik yaitu karena seorang kakak lahir terlebih dahulu daripada adik, namun selain itu hal ini juga dikarenakan kondisi sosial dan konsep keluarga di Jepang. Di Jepang seorang putra sulung memiliki hak dan kewajiban yang lebih daripada saudara-sauddara kandungnya yang lebih muda. Sistem keluarga di Jepang yang menganut paham patriarkal, sejak zaman meiji anak lelaki sulung memiliki hak lebih untuk mewarisi keluarga dan juga kewajiban untuk mengurus keluarganya nanti. Anak lelaki sulung haruslah mendapatkan prioritas lebih di dalam keluarga, anak sulung juga dituntut untuk
menjadi orang yang pantas menjadi penerus keluarga. Saat orang tua telah meninggal dunia juga anak sulunglah yang mendapat lebih warisan harta orang tuanya. Oleh karena itu, kata kyoudai terbentuk sedemikian rupa dengan kata ani (kakak laki-laki) dituliskan terlebih dahulu karena kondisi atau kedudukannya di dalam sistem keluarga Jepang yang lebih banyak perlu tanggung jawab dibandingkan dengan saudara kandung bungsunya. C. 親分Oyabun dan 子分Kobun Kata Oyabun memiliki makna “bagian orang tua” atau “bagian bapak” sedangkan kata kobun memiliki makna “bagian anak”. Oyabun terdiri dari huruf 親 yang bermakna “orang tua” dan 分yang bermakna “bagian”. Secara keseluruhan gabungan kedua kata tersebut membentuk kata majemuk yang memiliki makna “bagian atau orang yang memiliki wewenang sebagai orang tua dan orang yang berkuasa dan bertanggung jawab atas anak atau bawahannya”. Sedangkan kata kobun terdiri dari huruf 子yang bemakna “anak” dan 分yang bermakna “bagian”. Berkebalikan dengan oyabun, kobun memiliki makna “bagian yang berperan sebagai bawahan atau anak, yang loyal melayani dan menghormati pemimpinnya”. Kedua fukugougo di atas termasuk ke dalam variasi kata majemuk hybrid compound karena keduanya memiliki konstruksi yang satu kata pembentuk dibaca dengan cara baca kunyomi (oya dan ko), sedangkan kata pembentuk lainnya dibaca dengan cara baca onyomi (pun). Kata oyabun dan kobun sering digunakan di dalam kalangan mafia Jepang yaitu Yakuza. Oyabun merupakan pimpinan keluarga atau klan yang bertanggung jawab dan berhak memerintah seluruh bawahannya. Sedangkan kobun adalah anggota keluarga yang siap mengapdi apapun yang terjadi kepada oyabun. Hal ini menunjukan terdapat stratifikasi di kalangan masyarakat Jepang khususnya yakuza. Terbentuknya kedua kata tersebut adalah untuk menjaga jelasnya tingkatan yang ada dalam suatu kelompok sosial. Sehingga seluruh anggota kelompok sosial yang bersangkutan dapat bertindak dan bersikap sesuai dengan kedudukannya. Mempertahankan kepatuhan, penghormatan, dan disiplin kerja merupakan hal yang penting bagi masyarakat Jepang demi mempertahankan hidupnya. Namun, kedua kata di atas tidaklah hanya digunakan di kalangan yakuza saja namun juga di dalam dunia perusahaan atau pekerjaan. Seperti suatu perusahaan besar ternama, memiliki anak-anak perusahaan kecil lainnya yang berfungsi sebagai pemroduksi barang. Bagi bangsa Jepang yang kental akan hubungan atas-bawah masyarakatnya, mempertahankan hal seperti ini adalah hal yang sangat penting demi menjaga moral dan keberlangsungan hidup masingmasing. D. 大丈夫Daijoubu Kata Majemuk Daijoubu terbentuk dari tiga huruf atau kata, yaitu 大 dai yang memiliki makna “besar”, kata 丈jou yang bermakna , dan 夫fu yang memiliki makna “suami”. Ketiga kata pembentuk fukugougo ini dibaca dengan menggunakan cara baca onyomi. Sehingga kata daijoubu termasuk ke golongan variasi kata majemuk sino-japanese compound dan memiliki makna secara keseluruhan “tidak apa-apa” atau “baik-baik saja”. Dapat diketahui bahwa makna kata yang dihasilkan
komposisi tersebut sangatlah tidak berhubungan dengan kata-kata pembentuknya. Tetapi, terbentuknya dan pemaknaan kata tersebut dapat dilihat dari konsep sosial budaya masyarakat jepang. Dapat dilihat bahwa terdapat kata 夫yang bermakna “suami”. Diketahui pada pemaparan teori sebelumnya bahwa di Jepang masyarakatnya memiliki pola pikir yaitu pria merupakan manusia yang lebih unggul dan superior dari wanita. sehingga terdapat konsep pemisahan pekerjaan antara wanita dan pria. Pria bertanggung jawab melakukan pekerjaan yang membutuhkan tenaga dan kekuatan lebih sedangkan wanita hanya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah saja. Suami yang merupakan kepala keluarga memiliki wewenang penuh untuk mengatur keluarga, dapat dikatakan keputusan kepala keluarga lah yang dianggap terbaik. Berdasarakan itu fukugougo daijoubu yang memiliki makna “baik-baik saja” ini terbentuk dari kata “suami”, karena seorang kepala keluarga akan melindungi keluarganya, bekerja, dan mengatur keluarga sehingga semuanya berjalan baik –baik saja. E. 先輩・後輩 Dua fukugougo terdiri dari dua kata yaitu 先yang dibaca secara onyomi “sen” dan 後yang juga dibaca dengan onyomi (kou) dan masing-masing diikuti oleh kata 輩yang dibaca onyomi (hai). Kata sen memiliki makna “sebelum” dan kou bermakna “sesudah”. Sedangkan hai memiliki makna “kawan”. Kedua kata ini sama-sama termasuk dalam golongan sino-japanese compound yang kedua kata pembentuknya dibaca secara onyoumi dan secara literal senpai memiliki makna “kawan sebelum” dan kouhai memiliki makna “kawan setelah”. Secara keseluruhan senpai memiliki makna seseorang yang melakukan sesuatu atau masuk ke dalam suatu bidang terlebih dahulu, dan kouhai memiliki makna sebaliknya, yaitu melakukan atau memasuki suatu bidang kelompok lebih akhir. Sehingga kata ini merujuk kepada hubungan vertikal manusia Jepang terutama pada konsep senioritas. Hubungan senior dan yunior di Jepang sangatlah kental. Sudah seharusnya orang yang bergabung lebih dulu itu dihormati dan dipatuhi karena senior pastinya sudah lebih berpengalaman dibandingkan yunior. Masyarakat Jepang selalu berusaha untuk menjaga hubungan senioritas sebagai pembelajaran moral dan supaya tidak tersingkir dari posisi dalam kelompok sosialnya. Dikarenakan senpai harus dihormati dan dprioritaskan maka saat kedua kata senpai dan kohai disandinkan menjadi satu majemuk senpaikohai, posisi kata senpai tidak lah dapat diletakan setelah kata kouhai meskipun tataran lingualnya sama karena akan bertentangan dengan nilai sosial budaya masyarakat yang berlaku di Jepang. SIMPULAN Asal pembentukan kata dalam sebuah bahasa tidaklah dapat semena-mena hanya dikaji dalam ilmu linguistik murni saja, namun juga perlu dikaji dari segi sosiolinguistik. Dikarenakan banyak sistem masyarakat yang berpengaruh dalam terbentuknya kata-kata dalam sebuah bahasa seperti, sistem stratifikasi, sistem keluarga, dan sistem jenis kelamin (gender) dan lain sebagainya. Di dalam buku minna no nihongo shokyuu terdapat 7 data kata majemuk bahasa Jepang yang penulis rasa terpengaruh oleh konsep sosial budaya masyarakatnya, yaitu
terpengaruh sistem keluarga sebanyak dua buah data, terpengaruh sistem stratifikasi sebanyak tiga buah data, dan terpengaruh sistem gender sebanyak 2 buah data seperti yang sudah penulis paparkan sebelumnya. Masih banyak konsep sosial budaya lainya yang belum dapat penulis paparkan pada kesempatan kali ini dan mungkin dapat menjadi lahan pembahasan pemakalah-pemakalah sosiolinguistik lainya. DAFTAR RUJUKAN Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta Minami, Hiroshi. 1993. Psikologi bangsa Jepang. Diterjemahkan oleh: Woekirsari, C. jakarta: Yayasan Karti Saena Jayanti, Ni Wayan Eka. Tanpa tahun. “Variasi Komposisi Dan Makna Kata Majemuk (Fukugougo) Dalam Buku Kumpulan Esai Hitori Zumou Karya Sakura Momoko”. Universitas Udayana. Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2016. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Eri. Tanpa tahun. “Stratifikasi Sosial Masyarakat Jepang”. Diambil dari http://eribolot.weebly.com/stratifikasi-sosial-masyarakat-jepang.html. (01 Juni 2017) Wisatawisataliburan.blogspot.co.id. 2013. “Wanita Jepang Dai Zaman Dahulu Hingga Sekarang”. Diambil dari http://wisatawisataliburan.blogspot.co.id/2013/02/wanita-jepang-dari-zamandahulu-hingga.html. (01 Juni 2017)
LEKSIKON PERALATAN RUMAH TANGGA BERBAHAN BAMBU DI KABUPATEN MAGETAN (KAJIAN ETNOLINGUISTIK) Siti Komariyah Balai Bahasa Jawa Timur [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemanfaatan bambu di wilayah Kabupaten Magetan sebagai peralatan rumah tangga. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) mengklasifikasikan dan mendeskripsikan leksikon peralatan rumah tangga berbahan bambu di Magetan; 2) mengungkapkan fungsi peralatan rumah tangga berbahan bambu di Magetan. Pengumpulan data dengan pengamatan dan wawancara dengan informan utama dan informan pendamping; Penelitian ini menggunakan pendekatan etnolingustik yang menelaan hubungan bahasa dan budaya terutama bagaimana bahasa itu digunakan sehari-hari sebagai alat komunikasi dalam suatu kelompok masyarakat. Perkembangan budaya mempengaruhi perkembangan leksikon yang berhubungan dengan budaya tersebut. Leksikon muncul seiring dengan kebutuhan manusia untuk mengidentifikasi hasil budaya yang ada. Leksikon peralatan rumah tangga berbahan bambu di Magetan relatif banyak dan beragam Dari hasil penelitian ini diperoleh sejumlah leksikon yang dapat dipilah menjadi empat kategori, yaitu (1) leksikon peralaran rumah tanga berbahan bambu yang berbentuk monomorfemis, (2) leksikon peralatan rumah tangga berbahan bambu yang berbentuk polimorfemis, (3) leksikon peralatan rumah tanga berbahan bambu yang berbentuk kata ulang, dan (4) leksikon berbahan bambu yang berbentuk frasa.
PENDAHULUAN Perkembangan budaya mempengaruhi perkembangan leksikon atau istilah yang berhubungan dengan budaya tertentu. Leksikon muncul seiring dengan kebutuhan manusia untuk mengidentifikasi hasil budaya yang ada. Pemakaian leksikon terkait erat dengan berbagai macam hal yang ada dalam budaya masyarakat pengguna leksikon tersebut. Berkembangnya kebudayaan pada masyarakat tertentu dapat dilihat salah satunya dari perkembangan leksikon tentang budaya tersebut. Peralatan rumah tangga tradisional merupakan salah satu warisan budaya nenek moyang. Dengan semakin majunya perkembangan zaman, masyarakat kurang paham dengan peniggalan nenek moyang tersebut. Namun, peralatan tradisional yang sudah kuna masih tetap bertahan hidup dan masih banyak digunakan oleh sebagian masyarakat terutama di daerah pedesaan. Peralatan tradisional pada umumnya dipandang sebagai suatu benda yang dianggap ‘kuna’ dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Pandangan umum ini memang sebagian benar karena bagian dari budaya modern menuntut adanya perubahan dari
budaya terdahulu agar sesuai dengan prinsip keharmonisan hubungan sosial. Walaupun demikian, sebagian masyarakat menganggap hal yang berhubungan dengan tradisional adalah sebagai bentuk yang unik dan patut dijaga kelestariannya. Seiring dengan perkembangan teknologi akan mendesak unsur-unsur tradisional yang berakibat timbulnya pergeseran nilai-nilai, arti dan fungsi dari suatu tradisi yang telah berkembang lama. Tradisi-tradisi lama tersebut banyak sudah tidak dilestarikan lagi sehingga akan hilang. Dengan adanya kemajuan dan perkembangan teknologi, pada umumnya masyarakat sekarang kurang memperhatikan nilai budaya yang terkandung dalam pola-pola tradisional atau bahkan mereka sudah melupakan dan menganggap tidak perlu karena sudah kuno. Nilai-nilai budaya yang merangkum konsep-konsep kepercayaan norma-norma, keyakinan, pandangan hidup serta peraturan-peraturan yang telah menjadi milik suatu masyarakat dan telah dilakukan dalam pola pikir dan tingkah laku secara turun-temurun. Di Magetan, banyak daerah atau desa yang masyarakatnya terutama para ibu rumah tangga mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan membuat peralatan berbahan bambu. Selain itu, untuk mencukupi keperluan sehari-hari, masyarakat Magetan masih banyak yang menggunakan berbagai peralatan tradisional berbahan bambu. Alat-alat tersebut masing-masing mempunyai nama, makna dan fungsi sendiri-sendiri. Pada pengamatan dilapangan, hampir di seluruh daerah Magetan mengenal peralatan atau alat-alat dapur yang bersifat tradisional. Dalam menyebutkan nama-nama peralatan rumah tangga tradisional ada beberapa perbedaan meskipun benda tersebut memiliki fungsi sama. Untuk lebih jelasnya berikut adalah contoh nama peralatan rumah tangga tradisional berbahan bambu yang dikenal oleh masyarakat Magetan. Peralatan rumah tangga tradisional yang terbuat dari bambu seperti antara lain bèsèk,cêthing, irig, kalo, tampah, tambir, tompo, cikrak, kukusan, tenggok, tenong, tumbu, dan lain-lain. Banyak masyarakat menggunakan peralatan rumah tangga terbuat dari bambu sebagai hiasan atau keunikan yang membuat suasana menjadi alami seperti di alam bambu. Contohnya peralatan rumah tangga yang terbuat dari bambu yaitu kukusan yang merupakan alat untuk mengukus akan tetapi pada zaman sekarang kukusan ‘kukusan’ bisa digunakan sebagai tempat lampu yang begitu unik. Sebagian masyarakat mengunakan peralatan rumah tangga yang bernuansa tradisional dan estetis. Hai ini tentu akan sangat berbeda dengan peralatan rumah tangga yang dibuat bernuansa penuh gaya dan modern. Fokus penelitian ini adalah bentuk dan makna peralatan rumah tangga tradisional berbahan bambu. Alasan pemilihan kajian makna leksikal nama peralatan rumah tangga tradisional di Magetan kerena sangat menarik untuk dikaji Peralatan atau alat-alat dapur tradisional seperti tersebut di atas pada zaman sekarang masih banyak dipergunakan oleh masyarakat di pedesaan dan sebagian kecil masyarakat di perkotaan. Berdasarkan fakta yang ada di sekitar kita, maka peralatan rumah tangga tradisional di Magetan ini memiliki banyak sekali makna dan fungsi tergantung dengan alatnya itu sendiri. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimanakah bentuk leksikal peralatan rumah tangga tradisional berbahan bambu di Magetan?
2. Apakah fungsi peralatan rumah tangga tradisional berbahan bambu di Magetan?
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah 1. mendeskripsikan bentuk leksikal peralatan rumah tangga tradisional berbahan bambu di Magetan 2. mendiskripsikan fungsi peralatan rumah tangga tradisional berbahan bambu di Magetan. Teori Linguistik kebudayaan atau etnolinguistik merupakan cabang linguistik yang dapat digunakan untuk menyelidiki hubungan antara bahasa dan budaya masyarakat di pedesaan atau masyarakat yang belum memiliki tulisan. Namun definisi ini meluas seiring dengan perkembangan zaman, semakin sedikit pula jumlah masyarakat pedesaan yang belum mempunyai tulisan (Kridalaksana, 2001: 52). Menurut Baehaqie (2013: 14) etnolinguistik secara terminologi merupakan ilmu perihal bahasa yang berkitan dengan masalah kebudayaan suatu bangsa dan masyarakat penduduk suatu daerah di seluruh dunia secara komparatif (2013: 14). Koentjaraningrat (1983:182) mengatakan bahwa kebudayaan pada umumnya diwariskan secara lebih seksama melalui bahasa; artinya bahasa merupakan wahana utama bagi pewarisan, sekaligus pengembangan kebudayaan.. Sedangkan Duranti (1997:27) mengatakan bahwa mendeskripsikan suatu budaya sama halnya dengan mendeskripsikan bahasa. Wierzbicka (1991) juga menelaah hubungan antara bahasa dan kebudayaan dalam konteks wacana kebudayaan yang merupakan pendekatan baru dalam studi komunikasi lintas-budaya. Anggapan yang dikemukakan oleh Wierzbicka merupakan gambaran nyata mengenai hubungan empirik dan teoritik antara bahasa dan kebudayaan yang berpatokan pada tiga kata kunci, yakni: (1) masyarakat/ guyub, baik guyub tutur maupun guyub budaya; (2) cara berinteraksi; dan (3) nilai budaya. Guyub berbeda memperlihatkan cara berinteraksi yang berbeda, yang juga memperlihatkan nilai budaya yang berbeda. Hubungan antara bahasa dan kebudayaan dimunculkan juga secara konseptual-teroretis, yang tidak hanya dinamai secara bervariasi, tetapi terutama dimaknai secara berbeda. Cardona, Duranti (1997:2) menjelaskan bahwa istilah ethnolinguistics dalam bahasa Inggris sepadan dengan istilah étnolinguistica dalam bahasa Rusia, ethnolinguistique dalam bahasa Perancis, ethnolinguistik dalam bahasa Jerman, etnolingüística dalam bahasa Spanyol, dan etnolingiuística dalam bahasa Portugis. Uraian ini menunjukkan bahwa istilah etnolinguistik pernah sangat populer di Eropa, yang ketika itu di Amerika dikenal dengan istilah antropologi linguistik. Istilah yang belakangan ini banyak digunakan mengacu pada bidang ilmu interdisipliner antara bahasa dan kebudayaan, yakni: antropologi linguistik (linguistic anthropology) Tidak terdapat penjelasan yang lebih rinci mengenai perbedaan cakupan dari kedua istilah untuk bidang ilmu interdisipliner tersebut. Hanya ada keterangan singkat yang dikemukakan oleh Duranti (1997:1—2) yang mengatakan bahwa istilah antropologi
linguistik digunakan dengan pengertian yang sama dengan istilah linguistik antropologi. Konsep linguistik kebudayaan telah digunakan oleh Alisjahbana (1977:290) yang mengatakan bahwa bahasa tidak hanya sekedar alat komunikasi. Alisjahbana memperlihatkan keterkaitan bahasa dan kebudayaan dengan mengatakan bahwa bahasa merupakan penjelmaan budaya. Linguistik kebudayaan sesungguhnya adalah bidang ilmu interdisipliner yang mengkaji hubungan kovariatif antara struktur bahasa dengan kebudayaan suatu masyarakat (Mbete, 2004:18—25). Jika dikaitkan dengan pendapat Wierzbicka (1994:1), maka linguistik kebudayaan terkait erat dengan pertanyaan: “Mengapa setiap kelompok etnik mengggunakan bahasa ataupun ragam yang berbeda, dan dengan cara yang berbeda?” Pertanyaan ini bermuara pada upaya untuk menjelaskan alasan pemilihan bentuk, jenis (genre), ragam ataupun diksi pada sebuah tuturan oleh satu kelompok etnik. Penjelasan itu terkait dengan pemaknaan sebuah tuturan, khususnya terkait dengan tuturan ritual sehubungan dengan padangan penuturnya terhadap dunia (Palmer, 1996:113). Konsep linguistik kebudayaan digunakan pula oleh Palmer (1996) sebagai cultural linguistics. Palmer (1996:36) mengemukakan bahwa linguistik kebudayaan adalah sebuah nama yang cenderung mengandung pengertian luas dalam kaitan dengan bahasa dan kebudayaan. Metode Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak, cakap, dengan teknik catat. Metode simak adalah kegiatan yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto 1993: 133). Metode cakap beserta teknik-tekniknya akan digunakan untuk memperoleh data dari lapangan. Metode cakap iui ditempuh dengan mengadakan percakapan antara peneliti dengan informan. Dengan adanya kontak antara peneliti dengan informan itu memungkinkan kajian etnolinguistik berjalan. Yang dimaksud dengan informan di sini ialah informan kunci dan informan tambahan yang berkemampuan memberi informasi kebahasaan kepada peneliti, khususnya mengenai istilah alat-alat rumah tangga tradisional sebagai objek data penelitian. Teknik dasar yang digunakan adalah teknik pancing, karena penyebutan istilah alat-alat rumah tangga yang dikenal informan berlangsung setelah adanya stimulasi (pancingan) dari peneliti dan informan menyebutkan satu per satu data yang dibutuhkan. Teknik lanjutannya dengan teknik cakap semuka, teknik cakap semuka, teknik cakap, teknik pemotretan, dan teknik catat. Di samping itu, untuk mendapatkan data yang memadai perlu dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (indept interviewing). Metode analisis menggunakan metode deskriptif. data ini menyangkut analisis penentuan istilah alat-alat rumah tangga yang tradisional maupun modern. Penentuan perkembangan istilah alat-alat rumah tangga dari yang tradisional ke yang modern berdasarkan kesamaan fungsinya, penentuan latar belakang budaya yang mempengaruhi perkembangan tersebut.
PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan dan hasil data kebahasaan di lapangan, diperoleh data-data berupa leksikon peralatan rumah tangga berbahan bambu di Kabupaten Magetan. Apabila dilihat dari sejumlah leksikon tersebut dapat dipilah menjadi empat kategori, yaitu (1) leksikon peralaran rumah tanga berbahan bambu yang berbentuk monomorfemis, (2) leksikon peralatan rumah tangga berbahan bambu yang berbentuk polimorfemis, dan (3) leksikon peralatan rumah tanga berbahan bambu yang berbentuk kata ulang, dan (4) leksikon berbahan bambu yang berbentuk frasa. 6.1 Deskripsi Bentuk dan Makna Leksikon Peralatan Rumah Tangga Berbahan Bambu Dari data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah leksikon peralatan rumah tangga berbahan bambu terdapat empat kategori bentuk kata, yaitu berstruktur monomorfemis, polimorfemis, bentuk kata ulang, dan frasa seperti pada data berikut. 6.1.1 Nama Peralatan yang Termasuk Kata Monomorfemis Berdasarkan data yang ada, leksikon yang berkaitan dengan peralatan rumah tangga tradisional berbahan dasar bambu masih cukup banyak digunakan oleh masyarakat di wilayah Magetan. Dari pengamatan terdapat tiga puluh leksikon peralatan rumah tangga berbahan bambu yang berbentuk kata monomorfemis sepertipada tabel berikut. Tabel 1: Leksikon Peralatan Rumah Tangga berbentuk Monomorfemis No. Leksikon Bentuk Fungsi 1. Angkrik Rak bersusun yang Rak ini berfungsi untuk [aGkri?] terbuat dari bambu meletakkan perkakas dapur dengan tiang empat seperti piring gelas, buah berbentuk mangkok, panci dan menyerupai almari sebagainya. tanpa tutup 2. Besek Anyaman bambu Fungsi besek biasanya [bEsE?] yang disisir tipis digunakan untuk wadah berbentuk persegi nasi selamatan, tape, empat jajanan dan sebagainya. Untuk wadah biasanya besek digunakan sepasang dengan tutupnya. 3. Capil Topi berbentuk Fungsi capil ini dipakai [capIl] kerucut dengan sebagai pelindung kepala bagian bawah lebar, dari sengatan matahari. yang dari bambu Pada umumnya capil ini yang dianyam kecil- digunakan para petani kecil.Anyaman capil ketika bekerja di sawah terdiri atas 3 bagian. untuk pelindung kepala dari Bagian dalam terik matahari dan hujan. dengan anyaman tipis dan halus
karena langsung bersentuhan langsung dengan kepala ketika dipakai. Bagian tengah anyaman bambunya lebih tebal dan kaku yang berfungsi pembentuk dan penahan kerucut supaya kaku dan bentuknya bagus dan lebih tahan jika terkena air hujan. Sedangkan bagian terluar anyaman bambu mengunakan bahan kulit bambu yang sudah dikerik sehingga permukaannya halus. Bakul berbentuk kotak berkaki yang terbuat dari anyaman bambu.
4.
Cething [c|.tIG]
Fungsi cething digunakan untuk wadah nasi. Pada umumnya masyarakat di pedesaan lebih suka mengunakan cething daripada wadah nasi modern.
5.
Cikrak [cikra?]
Anyaman bambu berbentuk pipih melengkung.
Fungsi cikrak ini digunakan untuk mengeruk sampah
6.
Encek [EncE?]
Anyaman bambu berbentuk persegi empat dengan ukuran kurang lebih 40cm
Fungsi encek biasanya digunakan untuk alas sesaji atau makanan untuk selamatan yang dilakukan di sawah untuk prosesi sebelum memulai panen padi.
7.
Galar [galar]
Bambu yang dibelah kecil-kecil dengan ukuran panjang dua meter.
Fungsi galar ini digunakan untuk alas tikar atau kasur pada tempat tidur bambu atau kayu.
8.
Ilir [ilIr]
9.
Irig [irIg]
10.
Kabruk [kabrU?]
11.
Kalo [kalo]
12.
Kepang [kepaG]
13.
Kreneng [kr|n|G]
14.
Krenjang [kr|njaG]
Anyaman bambu tipis-tipis berbentuk segi empat atau segi lima dengan ukuran besar Anyaman bambu tipis, agak renggang berbentuk bulat, pada bagian tepi diberi belahan bambu berbentuk tipis yang dipasang melingkar. Anyaman bambu berbentuk kerucut pendek melebar, anyaman pada bagian bawah agak renggang dibandingkan dengan bagian atas. Anyaman berbentuk persegi empat dengan diberi pinggiran berupa belahan bambu tipis melebar. Anyaman bambu tipis-tipis menyerupai tikar.
Ilir digunakan untuk kipas, misalnya mengipasi bara arang untuk membakar sate, ikan, dll.
Keranjang bambu kecil berbentuk segi empat dengan anyaman di bagian bawah lebih renggang daripada daripada bagian atas . Keranjang bambu berbentuk segi empat setinggi kurang lebih 65cm. Anyamannya cukup rapat.
Kreneng ini biasanya berfungsi untuk tempat mencuci sayur yang akan diolah.
Fungsi irig digunakan untuk mengayak pasir.
Fungsi kabruk digunakan untuk mengukus beras sebelum dimasukkan ke dalam air panas untuk direbus setengah matang.
Fungsi kalo ini digunakan untuk menyaring kelapa parut ketika diambil santannya. Fungi kepang biasanya digunakan untuk alas menjemur padi.
Krenjang ini biasanya digunakan oleh penyabit rumput untuk wadah rumput .yang diperolehnya,. Selain itu krenjang juga digunakan untuk wadah ketela rambat, kentang, wortel dan lain-lain saat para petani membawa hasil panenan mereka dari sawah.
15.
Pogo [pOgO]
16.
Senik [s|nI?]
17.
Serok [serO?]
18.
Songgong [sOGgOG]
19.
Tampah [tampah]
20.
Tebok [tebO?]
Anyaman bambu dengan bentuk menyerupai papan. Pogo pada umumnya dipasang di atas tungku di dapur dengan tali penahan yang dipasang ke kayu di bawah genteng Keranjang dengan bahan bambu yang sudah dibelah tipistipis berbentuk kotak dengan diameter 49cm atau lebih Anyaman bambu berbentuk menyerupai lingkaran cekung dengan pegangan kurang lebih sepanjang 30cm Anyaman bambu berbentuk menyerupai jam pasir
pada umumnya berfungsi untuk meletakkan makanan atau bahan makanan
Anyaman bambu berbentuk bulat dengan pinggiran bambu tipis di sekelilingnya, menyerupai nampan dengan diameter kurang lebih 60cm Anyaman bambu berbentuk bulat dengan pinggiran bambu tipis di sekelilingnya, menyerupai nampan dengan diameter kurang lebih 35cm.
Tampah befungsi untuk menampi/membersihkan beras. Selain itu bisa juga digunakan untuk alas/ wadah menata tumpeng beserta lauk pauknya
senik berfungsi utntuk wadah barang para pembeli atau pedagang di pasar.
Serok berfungsi untuk mengambil gorengan dari wajan .
Songgong berfungsi sebagai alas untuk meletakkan alat pengukus nasi, yaitu kukusan atau kabruk di dapur.
Tebok berbentuk sama dengan tampah akan tetapi memiliki ukuran lebih kecil.
21.
Tenggok [teGgO?]
Anyaman bambu berbentuk keranjang kotak berukuran kecil, dengan anyaman yang cukup rapat. Anyaman bambu berbentuk oval, terdiri atas dua bagian yaitu bagian bawah dan bagian atas untuk tutup. Anyaman bambu tipis berbentuk oval atau prisma dengan pegan
Pada umumnya tenggok digunakan untuk wadah nasi, atau wadah untuk mencuci beras.
22.
Tenong [tenOG]
23.
Tepas [tepas]
24.
Tomblok [tOmblO?]
Keranjang dengan bahan bambu yang dianyam tidak terlalu rapat.
Fungsi tomblok biasanya digunakan para petani untuk tempat membawa sayur hasil panenan dari sawah.
25.
Trompo [trOmpO]
Trompo berfungsi untuk plafon rumah
26.
Tumbu [tumbu]
27.
Tambir [tambIr]
Anyaman dari kulit bambu tipis, berbentuk menyerupai tikar. Bahan trompo ini terbuat dari kulit bamboo Anyaman bambu berbentuk keranjang menyerupai tenggok dengan anyaman di bagian atas rapatrapat tetapi di bagian bahaw jarang-jarang. Tambir adalah tampah dengan pinggiran tipis. Anyaman bambu tipis berbentuk bulat seperti nampan dengan diberi pinggiran belahan bambu kecil
Tenong biasanya berfungsi untuk tempat hantaran berupa kue-kue dalam prosesi lamaran pernikahan.
yang berfungsi untuk kipas.
Tumbu ini biasanya digunakan untuk wadah mencuci sayuran.
Tambir ini biasanya digunakan untuk alas meletakkan tumpeng beserta lauk-pauknya.
28.
Tembor [tembOr]
Anyaman bambu berbentuk menyerupai bakul berukuran besar dengan diameter kirakira 50—60 cm.
Fungsi tembor digunakan utk mencuci/ proses membersihkan kulit kedelai yang sudah direbus untuk bahan pembuatan tempe tempe.
29.
Widik [widI?]
Anyaman bambu berbentuk seperti papan persegi panjang
Widik biasanya digunakan untuk alas menjemur makanan tradisional seperti rengginang, krupuk puli, dll.
30.
Amben (ambEn)
Tempat tidur yang terbuat bambu, biasanya menggunakan jenis bambu tertentu yaitu bambu petung.
Untuk tempat tidur
Pada tabel di atas, terdapat tiga puluh leksikon peralatan rumah tanga berbahan bambu yang berbentuk monomorfemis, yaitu angkrik, besek, capil, cething, cikrak, encek, galar, ilir, irik, kabruk, kalo, kepang, kreneng, krenjang, pogo, senik, serok, songong, tampah, tebok, tenggok, tenong, tepas, tomblok, trompo, tambir, tembor, widik, dan amben. Leksikon tersebut masih banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kabupaten Magetan, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan. Leksikon untuk mengungkap atau yang berhubungan dengan peralatan rumah tangga tersebut cukup memperkaya khasanah bahasa, khususnya yang berhubungan dengan peralatan berbahan bambu. Dari tiga puluh leksikon berbentuk frasa tersebut semua merupakan peninggalan budaya lama yang sudah ada sejak dahulu namun peralatan rumah tangga tradisional berbahan bambu tersebut masih terpelihara sampai sekarang dan tidak terpengaruh oleh budaya modern meskipun masyarakat pengguna peralatan tradisional tersebut juga menggunakan peralatan modern. Nama Peralatan yang Termasuk Kata Polimorfemis. Dari pengamatan dan hasil data di lapangan, terdapat peralatan tradisional berbahan bambu termasuk kata polimorfemis Berdasarkan data yang diperoleh, terdapat enam leksikon peralatan rumah tangga berbahan bambu yang berbentuk kata polimorfemis seperti kukusan, kentongan, kurungan, keregan, pikulan, dan planggrangan seperti pada tabel berikut Tabel 2: Leksikon Peralatan Rumah Tangga berbentuk Poliomorfemis No.
Leksikon
Bentuk
Makna
1.
Kukusan [kukusan]
Anyaman bambu tipis berbentuk kerucut
berfungsi sebagai wadah untuk mengukus beras
yang telah direbus setengah matang. Selain itu, kukusan bisa juga digunakan untuk cetakan tumpeng. 2.
Kentongan [k|ntOGan]
Bagian pangkal bambu yang diberi lubang, jika dipukul mengeluarkan bunyi khas
berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi/ memberikan pengumuman kepada warga kampung untuk berkumpul misalnya kerja bakti, pengumuman adanya bencana, pencuri dll.
3.
Kurungan [kuruGan]
Fungsi kurungan biasanya digunakan sebagai alat untuk mengurung ayam
4.
Keregan [kErEgan]
5.
Pikulan [pikulan]
Bambu yang dianyam jarang-jarang bentuknya menyerupai tudung saji besar. Anyaman bambu tipis jarang-jarang, berbentuk persegi empat dengan pegangan di dua sisinya. Belahan bambu memanjang sekitar 1 m
6.
Planggrangan [planGgraGan]
Rak gantung dengan bahan bambu
untuk menempatkan piring atau panci-panci di dapur
Keregan berfungsi untuk mengayak pasir.
Pikulan berfungsi untuk membawa keranjang dengan menempatkan dua keranjang di kedua ujungnya.
Pada tabel di atas, terdapat leksikon peralatan rumah tanga berbahan bambu yang berbentuk polimorfemis, yaitu kukusan, kentongan, kurungan, keregan, pikulan, dan planggrangan. Leksikon tersebut masih banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kabupaten Magetan, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan. Leksikon untuk mengungkap atau yang berhubungan dengan peralatan rumah tanga tersebut cukup memperkaya khasanah bahasa, khususnya yang berhubungan dengan peralatan berbahan bambu. Leksikon Peralatan Rumah Tangga berbentuk kata ulang Selain leksikon berbentuk monomorfemis dan polimorfemis ditemukan juga leksikon peralatan rumah tangga berbahan bambu yang berbentuk kata ulang. Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, leksikon peralatan rumah tangga
berbahan bambu yang berbentuk kata ulang seperti berikut 1. Uleg-uleg [ul|g- ul|g] Uleg-uleg adalah bagian pangkal bambu yang dibentuk melengkung dengan pegangan. Pada umumya bambu yang digunakan untuk membuat uleg-uleg tersebutber berasal dari pangkal bambu dengan jenis tertentu yaitu bambu ori atau petung. Uleg-uleg berfungsi untuk menghaluskan bumbu dapur. Leksikon Peralatan Rumah Tangga yang berbentuk frasa Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, selain leksikon berbentuk monomoefemis, polimorfemis, dan kata ulang, ditemukan juga leksikon peralatan rumah tangga berbahan bambu yang berbentuk frasa. Leksikon berbentuk frasa tersebut adalah besek cebek, besek ros, besek sabun, besek ros, besek gedhe, irik kalo, kursi petung, tudung saji, kranjang buah, kranjang pincuk, kranjang koran, kranjang jajan, kranjang tisu, kranjang blonjo, dan kranjang sampah seperti yang terdapat pada data dalam tabel berikut. Tabel 3. Leksikon peralatan Rumah Tangga yang berbentuk frasa No. 1.
Leksikon Besek cebek [bEsE? cEbE?]
Bentuk Anyaman bambu berbentuk kotak kecil kira-kira berukuran 10cm Anyaman bambu berbentuk persegi panjang, dengan ukuran sedang, digunakan sepasang dengan tutupnya
Fungsi untuk tempat berkat selamatan, tempat tape, tempat jajanan tradisonal dll. untuk tempat berkat selamatan, tempat jajanan tradisonal, lempeng (krupuk beras) dll
2.
Besek sabun [ bEsE? sabUn]
3.
Besek Ros [ bEsE? ros]
Anyaman bambu berbentuk persegi panjang, dengan ukuran besar, digunakan sepasang dengan tutupnya
untuk tempat tempat jajanan tradisonal, lempeng (krupuk beras)
4.
Besek gedhe [ bEsE? g|d]e]
Anyaman bambu berbentuk persegi empat besar, dg ukuran kurang lebih 50cm, digunakan sepasang dengan tutupnya
untuk tempat menyimpan irisan tembakau
5.
Irik kalo [irIg kalo]
berfungsi untuk menyaring santan
6.
Kursi petung
anyaman berbentuk bundar dengan pinggiran Kursi santai dengan kerangka terbuat dari
Tempat duduk untuk bersantai di teras rumah
[kUrsi p|tUG ]
bambu utuh dengan jenis tertentu, yaitu bambu petung dan anyaman untuk tempat duduknya menggunakan bahan kulit bamboo Anyaman bambu berbentuk bundar atau persegi empat. Keranjang dengan berbagai macam bentuk, bundar segi empat, yang terbuat dari anyaman bambu tipis yang berfungsi untuk wadah buah. Bentu kranjang buah pada masa sekarang sudah dibentuk menyerupai wadah buah modern keranjang dari anyaman bambu kecil-kecil seperti lidi yang berbentuk bundar menyerupai piring.
7.
Tudung saji [tudUG saji ]
8.
krenjang buah [kr|njaG buah]
9.
Krenjang pincuk [Kr|njang pincU?]
10.
kranjang koran [kr|njang koran]
karanjang yang terbuat dari anyaman bambu dengan bentuk menyerupai tas tanpa tutup dan diberi kaki.
berfungsi untuk meletakkan koran
11.
Krenjang jajan [kr|njang jajan]
Kranjang jajan digunakan untuk tempat menyajikan kue-kue tradisional
12.
Krenjang tisu [kr|njang tisu] Krenjang blonjo [kr|njang blOnjO] Krenjang sampah
kranjang yang terbuat dari anyaman bambu tipis dan halus berbentuk menyerupai mangkok besar berkaki. anyaman bambu berbentuk kubus atau persegi panjang keranjang dari anyaman bambu berbentuk tas dengan pegangan.
13.
14 .
keranjang dari anyaman bambu berbemtuk kotak atau tabung
Tudung saji berfungsi untuk menutup sajian makanan di meja makan Untuk tempat menyajikan buah-buahan
Kranjang pincuk berfungsi untuk alas pincuk (tempat makan nasi yang terbuat dari daun pisang)
digunakan untuk tempat tisu. Krenjang blonjo berfungsi untuk tempat membawa barang belanjaan Kenjang sampah digunakan untuk tempat sampah
[kr|njang sampah] Pada tabel di atas, terdapat empat belas leksikon peralatan rumah tanga berbahan bambu yang berbentuk frasa, yaitu besek cebek, besek sabun, besek ros, besek gedhe, irik kalo, kursi petung, tudung saji, krenjang pincuk, krenjang buah, krenjang tisu, krenjang koran, krenjang jajan, krenjang blonjo, dan krenjang sampah. . Leksikon tersebut masih banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kabupaten Magetan, terutama masyarakat yang tinggal di pedesaan.Leksikon untuk mengungkap atau yang berhubungan dengan peralatan rumah tanga tersebut cukup memperkaya khasanah bahasa, khususnya yang berhubungan dengan peralatan berbahan bambu. Dari keempat belas leksikon berbentuk frasa tersebut sebagian sudah ada sejak dahulu dan sebagian leksikon tersebut muncul seiring dengan perkembangan budaya modern. Di antara leksikon peralatan rumah tangga berbahan bambu berbentuk frasa tersebut yang sudah ada sejak dahulu adalah besek cebek, besek sabun, besek ros, besek gedhe, irik kalo, krenjang pincuk, dan krenjang blonjo. Sedangkan leksikon peralatan rumah tangga yang muncul sebagai produk inovasi karena pengaruh budaya modern adalah kursi petung, tudung saji, krenjang buah, krenjang tisu, krenjang koran,dan krenjang jajan. SIMPULAN Berdasarkan hasil temuan data yang terkumpul dari hasil analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa setiap perkembangan dari suatu aspek kebudayaan selalu tercermin pada leksikonnya. Perkembangan dan berubahan yang terjadi pada peralatan rumah tangga berbahan bambu juga diiringi dengan perkembangan leksikon. Leksikon peralatan rumah tangga tradisional berbahan bambu dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk, yaitu leksikon berstruktur monomorfemis, polimorfemis, bentuk ulang, dan ada juga leksikon yang berbentuk frasa. Leksikon yang ditemukan dalam data sebagian adalah leksikon yang sudah ada sejak dahulu dan sebagian adalah leksikon baru yang muncul seiring dengan perkembangan budaya zaman sekarang. DAFTAR PUSTAKA Baehaqie, Imam. 2013. Etnoliguistik Telah Teoretis dan Praktis. Surakarta: Cakrawala Media Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Foley, W. A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction.Oxford: Blackwell Publishers. Koentjaraningrat. 1983. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia. Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Mbete, A. M. 2004. “Linguistik Kebudayaan: Rintisan Konsep dan Beberapa Aspek Kajiannya”, dalam Bawa, I.W. dan Cika, I.W (ed.), Bahasa dalam Perspektif Kebudayaan, halaman 16—32. Denpasar: Penerbit Universitas Udayana. Palmer, G. B. 1996. Toward a Theory of Cultural Linguistics. Austin: University
of Texas Press. Sudaryanto. 1986. Metode Linguistik. Kedudukan Aneka Jenisnya dan Faktor Penentu wujudnya. Yogyakarta. Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada. Wierzbicka, A. 1991. Cross-Cultural Pragmatics, The Semantics of Human Interaction. New York: Mouton de Gruyter.
ANALISIS KETERBACAAN BUKU AJAR BAHASA JAWA KELAS IV SEKOLAH DASAR SE-KARESIDENAN MADIUN Endang Sri Maruti [email protected] Rissa Prima Kurniawati [email protected] Universitas PGRI Madiun ABSTRACT One of the problems that arise in learning the Java language is when a student must be able to understand the textbook content used by teachers in the classroom. Many words or sentences in the Java language textbook that is difficult for students to understand because it feels foreign so that students do not understand what the meaning of the word or sentence. Based on the results of preliminary observations, students of the sixth grade of elementary school are not able to master the content of the material in textbooks that should be used for fourth grade students of elementary school. Therefore, this study aims to find out how much textbooks and textbooks that have been used in SD in Madiun Residency with each class level. Data analysis method used is with Fry Graph and Klos technique. The result of the research shows that the area that has been using textbook that is in accordance with the level of legibility is the area of Madiun, Magetan and Ngawi, while the other three regions of Pacitan, Ponorogo, and Madiun Kota are not suitable because they are too high, And 8, that means the textbook is appropriate for the junior level. Key words: Analysis of textbooks legibility, Javanese language
PENDAHULUAN Keberhasilan peserta didik dalam menyelesaikan program kajian yang telah ditetapkan banyak ditentukan oleh kemampuan peseta didik itu untuk menyerap materi yang telah ditetapkan oleh para pengajar. Salah satu yang akan menentukan kadar penyerapan materi tersebut adalah terbaca tidaknya buku yang ditetapkan sebagai buku pegangan. Artinya apakah tingkat kesulitan bahasa yang digunakan dalam buku itu sesuai dengan tingkat kemampuan berbahasa peserta didik. Hal di atas akan menjadi masalah untuk buku-buku terutama yang tertulis dalam bahasa Jawa, yang dianggap bahasa asing pada masa sekarang ini. Sebagai sarana dalam upaya mencerdaskan bangsa, buku memegang peranan yang sangat penting. Permasalahannya adalah buku teks yang dipersiapkan dengan matang seringkali menyulitkan siswa untuk memahaminya. Hal itu dibuktikan dari data hasil nilai siswa yang mengerjakan contoh soal dari buku ajar
Bahasa Jawa diperoleh tidak memenuhi KKM. Karena itu, yang perlu diperhatikan dalam penyusunan bahan ajar adalah kalimat karena kalimat-kalimat merupakan satu-satuan kebahasaan yang sangat penting. Pemilihan kalimat tepat dengan diksi yang sesuai dengan tingkatannya menjadi penentu keterbacaan buku tersebut. Agar buku ajar memenuhi syarat dan tujuan yang diharapkan, tingkat keterbacaannya harus sesuai dengan tingkat kemampuan dan penalaran siswa. Kesesuaian tingkat keterbacaan suatu buku sangat penting karena hal itu akan sangat berpengaruh terhadap motivasi dan minat siswa untuk membaca. Untuk menghindari permasalahan seperti itu, diperlukan suatu penelitian tentang keterbacaan buku ajar, khususnya buku ajar tematik tingkat sekolah dasar. Keterbacaan diperlukan untuk mengetahui tingkat kesulitan atau kemudahan suatu teks dipahami oleh siswa. Penelitian ini akan dibatasi pada keterbacaan buku ajar bahasa Jawa kelas 4 yang digunakan oleh SD se-Karesidenan Madiun mengingat karesidenan ini memiliki kesamaan buku yang digunakan. Indikator keterbacaan suatu teks bukan dialog adalah keterbacaan masing-masing paragrafnya. Untuk dapat memahami suatu teks perlu pemahaman yang utuh terhadap masing-masing paragraf pembentuk teks. Cacah kalimat dalam suatu paragraf dapat dijadikan indikator sederhana-tidaknya atau komplekstidaknya pokok pikiran yang dikembangkan dalam sebuah paragrap (Pranowo, 2000:8). Ini berarti bahwa cacah kalimat berpengaruh terhadap tingkat keterbacaan paragraf. Semakin berkurangnya cacah kalimat dari batas tertentu dalam
suatu paragraf dapat
dijadikan
indokator bahwa paragraf yang
bersangkutan semakin padat dan informasi yang disampaikan secara eksplisit semakin sedikit. Sebaliknya, bila cacah kalimatnya lebih banyak dari yang dibutuhkan, di dalam paragraf itu akan terjadi keterulangan (redundansi) kalimat yang akhirnya akan mempengaruhi proses pemahaman pembaca terhadap paragraf tersebut. Formula keterbacaan saat ini kebanyakan menggunakan dua tolok ukur, yakni (a) panjang-pendeknya kalimat, dan (b) tingkat kesulitan kata (Laksono, 2007:4.5). Semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata-kata maka bahan bacaan yang dimaksud semakin sukar. Begitu pula sebaliknya, apabila kalimat dan katanya pendek-pendek maka wacana yang dimaksud tergolong wacana yang
mudah. Dalam menentukan keterbacaan suatu teks pelajaran dilakukan kajian pada tiga hal, yaitu keterbacaan teks, latar belakang pembaca, dan interaksi antara teks dengan pembaca. Hal ini sesuai dengan konsep dasar yang diungkapkan Rusyana (1984:213) bahwa keterbacaan berhubungan dengan peristiwa membaca yang dilakukan seseorang, sehingga akan bertemali dengan aspek (1) pembaca; (2) bacaan; dan (3) latar. Ketiga komponen tersebut akan dapat menerangkan keterbacaan buku teks pelajaran. Tulisan ini lebih dominan mengungkap tentang hasil kajian keterbacaan buku teks pelajaran, khususnya pelajaran bahasa daerah (Jawa) di tingkat Sekolah Dasar (SD). Keterbacaan yang dimaksud adalah kemampuan berinteraksi penggunaan Bahasa Jawa dalam buku teks dengan peserta didik sebagai pembaca. METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keterbacaan buku ajar Bahasa Jawa kelas 4 untuk siswa sekolah dasar se karesidenan Madiun. Berdasarkan tujuan tersebut, maka penelitian ini termasuk pada jenis penelitian kuantitatif dengan penghitungan-penghitungan menurut rumus yang sudah ditentukan. Objek penelitian ini adalah keterbacaan buku teks mata pelajaran bahasa Jawa kelas 4 tingkat Sekolah Dasar se-karesidenan Madiun sedangkan subjek penelitiannya adalah buku ajar bahasa Jawa kelas 4 tingkat Sekolah Dasar se-karesidenan Madiun. Sesuai dengan asumsi dasar dan data awal maka penelitian ini mengambil sampel masing-masing dua sekolah pada tiap kabupaten di karesidenan Madiun. Sesuai dengan data dan sumber data di lapangan maka teknik pengambilan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Data buku teks pembelajaran bahasa daerah (Jawa) diambil dengan teknik pustaka. 2. Data evaluasi diambil dengan teknik dokumentasi Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan formula keterbacaan Fry dan dengan prosedur klose.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini dipaparkan hasil analisis keterbacaan buku teks yang berupa buku paket dan LKS yang digunakan siswa SD Kelas IV se-karesidenan Madiun yang terdiri atas Kabupaten Pacitan, Ponorogo, Madiun, Ngawi, Magetan, dan Kota Madiun. Masing-masing wilayah diambil 2 sampel buku teks. Berikut ini hasil analisis keterbacaan secara lebih lengkap. 1. Hasil Analisis Data Kabupaten Pacitan Perhitungan total tingkat keterbacaan dari teks awal sampai akhir pada buku paket adalah sebagai berikut. Wacana sampel (100 kata) Bagian awal Bagian tengah Bagian akhir Jumlah Rata-rata
Jumlah Suku Kata
Jumlah Kalimat
140 149 142 431 144
8 8,3 6,7 23 7,7
Rata-rata jumah kalimat = 8 + 8,3 + 6,7 = 23/3 = 7,7 kalimat Jumlah suku kata = 140 + 149 + 142 = 431/3 = 144 suku kata Setelah dilihat pada grafik Fry, maka titik temunya ada di wilayah 7. Perkiraan tingkat keterbacaan = (7-1), 7, (7+1) Dengan demikian, buku ajar tersebut cocok untuk siswa kelas 6 (SD), dan 7 dan 8 (SMP). Selain dianalisis berdasarkan grafik fry, buku teks di atas juga dianalisis berdasarkan teknik klos. Adapun metode analisis pada teknik ini adalah dengan cara menghilangkan kata kelima dari setiap kalimat dimulai pada kalimat kedua, kemudian teks yang rumpang ini diisi oleh beberapa siswa sampel kelas IV SD di SD sampel di Kabupaten Pacitan. Adapun hasil yang diperoleh sebagai berikut.
NO. 1. 2. 3.
NAMA Ridchi A.L Silfi Eriani Rendy Eko Y. Rata-rata
JUMLAH (5:20)x100%= 25% (8:20)x100%= 40% (10:20)x100%= 50% 38%
KATEGORI Frustasi Frustasi Frustasi Frustasi
Berdasarkan tabel di atas, subjek kelas IV SD memiliki tingkat keterbacaan
yang frustasi. Itu artinya buku teks ini belum tepat sasaran atau belum sesuai dengan kelasnya. Berdasarkan hasil kedua teknik analisis keterbacaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa buku ajar yang dikembangkan dan digunakan di Kabupaten Pacitan belum tepat sasaran karena belum sesuai dengan tingkat pembacanya, sehingga peserta didik selaku pembaca belum paham dengan isi buku tersebut. Adapun gambarannya nampak pada diagram di bawah ini.
10 8 6
Buku Ajar
4
LKS Kelas
2 0 Grafik Fry
Teknik Klos
Diagram 1. Hasil Keterbacaan Buku Ajar di Kabupaten Pacitan Berdasarkan diagram di atas, dapat disimpulkan bahwa buku ajar yang digunakan di Kabupaten Pacitan belum tepat sasaran, karena berdasarkan penghitungan buku ajar tersebut cocok untuk siswa kelas 6 (SD), 7, dan 8 (SMP).
2. Hasil Analisis Data Kabupaten Ponorogo Perhitungan total tingkat keterbacaan dari teks awal sampai akhir buku ajar adalah sebagai berikut. Wacana sampel (100 kata) Bagian awal Bagian tengah Bagian akhir Jumlah Rata-rata
Jumlah Suku Kata
Jumlah Kalimat
145 155 156 456 152
5,8 7,4 9,5 22,7 7,6
Rata-rata jumah kalimat = 5,8 + 7,4 + 9,5 = 22,7/3 = 7,6 kalimat Jumlah suku kata = 145 + 155 + 156 = 456/3 = 152 suku kata Setelah dilihat pada grafik Fry, maka titik temunya ada di wilayah 8.
Perkiraan tingkat keterbacaan = (8-1), 8, (8+1) Dengan demikian, buku ajar tersebut cocok untuk siswa kelas 7, 8, dan 9 (SMP). Selain dianalisis berdasarkan grafik fry, buku teks di atas juga dianalisis berdasarkan teknik klos. Adapun hasil yang diperoleh sebagai berikut. NO. 1. 2. 3.
NAMA Nindya Gadis Prasetyo Zaky Gunawan Rata-rata
JUMLAH (7:15)x100%= 47% (4:15)x100%= 27% (6:15)x100%= 40% 45%
KATEGORI Frustasi Frustasi Frustasi Frustasi
Berdasarkan tabel di atas, subjek kelas IV SD memiliki tingkat keterbacaan yang frustasi. Itu artinya buku LKS ini belum tepat sasaran atau belum sesuai dengan kelasnya. Berdasarkan hasil kedua teknik analisis keterbacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa buku ajar yang dikembangkan dan digunakan di Kabupaten Ponorogo belum tepat sasaran karena belum sesuai dengan tingkat pembacanya, sehingga peserta didik selaku pembaca belum paham dengan isi buku tersebut. Adapun gambarannya nampak pada diagram di bawah ini. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Buku Ajar LKS Kelas
Grafik Fry
Teknik Klos
Diagram 2. Hasil Keterbacaan Buku Ajar di Kabupaten Ponorogo Berdasarkan diagram di atas, dapat disimpulkan bahwa buku ajar yang digunakan di Kabupaten Ponorogo belum tepat sasaran, karena berdasarkan penghitungan buku ajar tersebut cocok untuk siswa kelas 7, 8, dan 9 (SMP). 3. Hasil Analisis Data Kabupaten Madiun Perhitungan total tingkat keterbacaan dari teks awal sampai akhir adalah
sebagai berikut. Wacana sampel (100 kata) Bagian awal Bagian tengah Bagian akhir Jumlah Rata-rata
Jumlah Suku Kata
Jumlah Kalimat
146 128 139 413 138
11,8 10,6 12,2 34,6 11,5
Rata-rata jumlah kalimat = 11,8 + 10,6 + 12,2 = 34,6/3 = 11,5 kalimat Jumlah suku kata = 146 + 128 + 139 = 423/3 = 138 suku kata Setelah dilihat pada grafik Fry, maka titik temunya ada di wilayah 4. Perkiraan tingkat keterbacaan = (4-1), 4, (4+1) Dengan demikian, buku ajar tersebut cocok untuk siswa kelas 3, 4, dan 5 SD. Selain dianalisis berdasarkan grafik fry, buku teks di atas juga dianalisis berdasarkan teknik klos. Adapun hasil yang diperoleh sebagai berikut. NO. 1. 2. 3.
NAMA Azkiya M. Bagas Biyantoro Chika Nastasya Rata-rata
JUMLAH (12:15)x100%= 80% (10:15)x100%= 60% (10:15)x100%= 60% 70%
KATEGORI Independen Independen Independen Independen
Berdasarkan tabel di atas, subjek kelas IV SD memiliki tingkat keterbacaan yang independen. Itu artinya buku LKS ini sudah tepat sasaran atau sudah sesuai dengan kelasnya. Berdasarkan hasil kedua teknik analisis keterbacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa buku ajar yang dikembangakn dan digunakan di Kabupaten Madiun sudah tepat sasaran karena sudah sesuai dengan tingkat pembacanya, sehingga peserta didik selaku pembaca sudah paham dengan isi buku ajar tersebut. Adapun gambarannya nampak pada diagram di bawah ini.
14 12 10 8
Buku Ajar
6
LKS Kelas
4 2 0 Grafik Fry
Teknik Klos
Diagram 3. Hasil Keterbacaan Buku Ajar di Kabupaten Madiun Berdasarkan diagram di atas, dapat disimpulkan bahwa buku ajar yang digunakan di Kabupaten Madiun sudah tepat sasaran, karena berdasarkan penghitungan buku ajar tersebut cocok untuk siswa kelas 3, 4, dan 5 (SD).
4. Hasil Analisis Data Kabupaten Magetan Perhitungan total tingkat keterbacaan dari teks awal sampai akhir adalah sebagai berikut.
Wacana sampel (100 kata) Bagian awal Bagian tengah Bagian akhir Jumlah Rata-rata
Jumlah Suku kata 158 128 137 423 141
Jumlah Kalimat 12,8 10,8 6,04 29,64 9,88
(12,8 + 10,8 + 6,04)⁄ 29,64⁄ = 9,88 kalimat 3= 3 (158 + 128 + 137)⁄ 423⁄ = 141 suku kata Jumlah suku kata 3= 3 Rata-rata jumah kalimat =
Setelah dilihat pada grafik Fry, maka titik temunya ada di wilayah 6. Perkiraan tingkat keterbacaan = (6-1), 6, (6+1) Dengan demikian, buku ajar tersebut cocok untuk siswa kelas 5, 6, dan 7 (SMP). Selain dianalisis berdasarkan grafik fry, buku teks di atas juga dianalisis berdasarkan teknik klos. Adapun hasil yang diperoleh sebagai berikut.
NO NAMA 1 Fitriana Yosa Dewi O 2 Cahyo Tri A. 3 Hanafi Maulana A. Rata-rata
JUMLAH (11: 15) × 100% = 73,3 % (12: 15) × 100% = 80 % (12: 15) × 100% = 80 % 78 %
KATEGORI Independen/bebas Independen/bebas Independen/bebas Independen/bebas
Berdasarkan tabel di atas, subjek kelas IV SD memiliki tingkat keterbacaan yang independen/bebas. Itu artinya buku teks ini sudah tepat sasaran atau sudah sesuai dengan kelasnya. Berdasarkan hasil kedua teknik analisis keterbacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa buku teks yang dikembangkan dan digunakan di Kabupaten Magetan sudah tepat sasaran karena sudah sesuai dengan tingkat pembacanya, sehingga peserta didik selaku pembaca belum paham dengan isi buku teks tersebut.
12 10
8 Buku Ajar 6
LKS
4
Kelas
2 0 Grafik Fry
Teknik Klos
Berdasarkan diagram di atas, dapat disimpulkan bahwa buku ajar yang digunakan di Kabupaten Magetan sudah tepat sasaran, karena berdasarkan penghitungan buku ajar tersebut cocok untuk siswa kelas 3, 4, dan 5 (SD).
5. Hasil Analisis Data Kabupaten Madiun Perhitungan total tingkat keterbacaan dari teks awal sampai akhir adalah sebagai berikut. Wacana sampel (100 kata) Bagian awal Bagian tengah Bagian akhir Jumlah
Jumlah Suku kata 141 134 137 412
Jumlah Kalimat 9,5 10,4 9,7 29,6
Rata-rata
137,3 = 137
9,87
(9,5 + 10,4 + 9,7)⁄ 29,6⁄ = 9,87 = 9,9 kalimat 3= 3 (141 + 134 + 137)⁄ 412⁄ = 137,3 = 137 suku kata Jumlah suku kata 3= 3 Rata-rata jumah kalimat =
Setelah dilihat pada grafik Fry, maka titik temunya ada di wilayah 5 Perkiraan tingkat keterbacaan = (5-1), 5, (5+1) Dengan demikian, buku ajar tersebut cocok untuk siswa kelas 4, 5, dan 6. Selain dianalisis berdasarkan grafik fry, buku teks di atas juga dianalisis berdasarkan teknik klos. Adapun metode analisis pada teknik ini adalah dengan cara menghilangkan kata kelima dari setiap kalimat dimulai pada kalimat kedua, kemudian teks yang rumpang ini diisi oleh beberapa siswa sampel kelas IV SD di SD sampel di Kabupaten Ngawi. Adapun hasil yang diperoleh sebagai berikut.
NO NAMA 1 Risky Wahyu I. C. 2 Siti Fatimah 3 Nofiana Fitri S. Rata-rata
JUMLAH (3: 15) × 100% = 20 % (1: 15) × 100% = 6,7 % (9: 15) × 100% = 60 % 29 %
KATEGORI frustasi frustasi Instruksional frustasi
Berdasarkan tabel di atas, subjek kelas IV SD memiliki tingkat keterbacaan yang frustasi. Itu artinya buku teks ini belum tepat sasaran atau belum sesuai dengan kelasnya. Berdasarkan hasil kedua teknik analisis keterbacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa buku teks yang dikembangkan dan digunakan di Kabupaten Ngawi belum tepat sasaran karena belum sesuai dengan tingkat pembacanya, sehingga peserta didik selaku pembaca belum paham dengan isi buku teks tersebut.
12 10 8 Buku Ajar 6
LKS
4
Kelas
2 0 Grafik Fry
Teknik Klos
Berdasarkan diagram di atas, dapat disimpulkan bahwa buku ajar yang digunakan di Kabupaten Ngawi sudah tepat sasaran, karena berdasarkan penghitungan buku ajar tersebut cocok untuk siswa kelas 4, 5, dan 6 (SD).
6. Hasil Analisis Data Kota Madiun Perhitungan total tingkat keterbacaan dari teks awal sampai akhir adalah sebagai berikut. Wacana sampel (100 kata) Bagian awal Bagian tengah Bagian akhir Jumlah Rata-rata
Jumlah Suku kata 142 154 142 438 146
Jumlah Kalimat 9,4 7,7 6,6 23,7 7,9
(9,4 + 7,7 + 6,6)⁄ 23,7⁄ = 7,9 kalimat 3= 3 (142 + 154 + 142)⁄ 438⁄ = 146 suku kata Jumlah suku kata 3= 3 Rata-rata jumah kalimat =
Setelah dilihat pada grafik Fry, maka titik temunya ada di wilayah 7 Perkiraan tingkat keterbacaan = (7-1), 7, (7+1) Dengan demikian, buku ajar tersebut cocok untuk siswa kelas 6, 7, dan 8 (SMP). Selain dianalisis berdasarkan grafik fry, buku teks di atas juga dianalisis berdasarkan teknik klos. Adapun metode analisis pada teknik ini adalah dengan cara menghilangkan kata kelima dari setiap kalimat dimulai pada kalimat kedua, kemudian teks yang rumpang ini diisi oleh beberapa siswa sampel kelas IV SD di
SD sampel di Kota Madiun. Adapun hasil yang diperoleh sebagai berikut.
NO NAMA 1 Nely Najwa A. 2 Aulia Friska A. F. 3 Febri Cantika K. Rata-rata
JUMLAH (4: 15) × 100% = 26,7 % (4: 15) × 100% = 26,7 % (5: 15) × 100% = 33,3 % 29 %
KATEGORI Frustasi Frustasi Frustasi Frustasi
Berdasarkan tabel di atas, subjek kelas IV SD memiliki tingkat keterbacaan yang frustasi. Itu artinya buku teks ini belum tepat sasaran atau belum sesuai dengan kelasnya. Berdasarkan hasil kedua teknik analisis keterbacaan di atas, dapat disimpulkan bahwa buku teks yang dikembangkan dan digunakan di Kota Madiun belum tepat sasaran karena belum sesuai dengan tingkat pembacanya, sehingga peserta didik selaku pembaca belum paham dengan isi buku teks tersebut. 10 8 6
Buku Ajar
4
LKS Kelas
2 0 Grafik Fry
Teknik Klos
Berdasarkan diagram di atas, dapat disimpulkan bahwa buku ajar yang digunakan di Kota Madiun belum tepat sasaran, karena berdasarkan penghitungan buku ajar tersebut cocok untuk siswa kelas 6 (SD), 7 dan 8 (SMP). Berdasarkan keenam wilayah tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut.
12 10 8 Grafik Fry
6
Teknik Klos Tingkat Kelas
4 2 0 Pacitan
Ponorogo
Madiun
Magetan
Ngawi
Madiun Kota
Berdasarkan diagram di atas, wilayah yang sudah menggunakan buku ajar yang sesuai dengan tingkat keterbacaannya adalah wilayah Kabupaten Madiun, Magetan, dan Ngawi, sedangkan ketiga wilayah yang lain yakni Kabupaten Pacitan, Ponorogo, dan Madiun Kota belum sesuai, karena terlalu tinggi, yakni untuk kelas 7 dan 8, hal itu berarti buku ajar itu sesuai untuk tingkat SMP.
SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut. 1. Buku teks yang dipakai di Kabupaten Pacitan belum sesuai sasaran karena berdasarkan kedua teknik, hasilnya menunjukkan bahwa buku teks yang dipakai saat ini sesuai untuk kelas SMP dan bukan SD. 2. Buku teks yang dipakai di Kabupaten Ponorogo belum sesuai sasaran karena berdasarkan kedua teknik, hasilnya menunjukkan bahwa buku teks yang dipakai saat ini sesuai untuk kelas SMP dan bukan SD. 3. Buku teks yang dipakai di Kabupaten Madiun sudah sesuai sasaran karena berdasarkan kedua teknik, hasilnya menunjukkan bahwa buku teks yang dipakai saat ini sudah sesuai untuk kelas IV SD. 4. Buku teks yang dipakai di Kabupaten Magetan sudah sesuai sasaran karena
berdasarkan kedua teknik, hasilnya menunjukkan bahwa buku teks yang dipakai saat ini sudah sesuai untuk kelas IV SD. 5. Buku teks yang dipakai di Kabupaten Ngawi sudah sesuai sasaran karena berdasarkan kedua teknik, hasilnya menunjukkan bahwa buku teks yang dipakai saat ini sudah sesuai untuk kelas IV SD. 6. Buku teks yang dipakai di Kota Madiun belum sesuai sasaran karena berdasarkan kedua teknik, hasilnya menunjukkan bahwa buku teks yang dipakai saat ini sesuai untuk kelas SMP dan bukan SD. Berdasarkan hal di atas, wilayah yang sudah menggunakan buku ajar yang sesuai dengan tingkat keterbacaannya adalah wilayah Kabupaten Madiun, Magetan, dan Ngawi, sedangkan ketiga wilayah yang lain yakni Kabupaten Pacitan, Ponorogo, dan Madiun Kota belum sesuai, karena terlalu tinggi, yakni untuk kelas 7 dan 8, hal itu berarti buku ajar itu sesuai untuk tingkat SMP. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2012. Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Chaniago, Sam Mukhtar et al. 1996. Aspek Keterpaduan dan Keterbacaan Wacana Buku Ajar Bahasa Indonesia untuk Kelas I SMU. Jakarta: IKIP Jakarta. Depdiknas. 2000. Keterbacaan Kalimat Bahasa Indonesia dalam Buku Pelajaran SLTP. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Harjasujana, A.S. dan Mulyati Y. 1996. “Bahan Ajar Membaca dan Keterbacaan” dalam Membaca 2. Jakarta:Ditjen Dikdasmen. Laksono, Kisyani, dkk. 2007. Membaca 2. Jakarta: Universitas Terbuka Pranowo, Dwiyanto Joko. 2007. “Alat Ukur Keterbacaan Teks Berbahasa Indonesia” dalam http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131764502/ Artikel%20TESIS%20S2%20JOKO.pdf .Diunduh tgl 20 Januari 2016 Sulastri, I. 2008. “Teknik Isi Rumpang: Pemanfaatannya untuk Mengestimasi Keterbacaan Wacana” dalam Tridharma, Majalah Kopertis Wilayah IV Nomor 12 Tahun XX Juli 2008. Bandung: Kopertis IV.
REVEALING MIRANDA PRIESTLY’S POWER THROUGH HER PRESUPPOSITION IN THE DEVIL WEARS PRADA MOVIE Lisetyo Ariyanti [email protected] Erni Suwarni [email protected] Universitas Negeri Surabaya ABSTRACT This research focused on the analysis of Miranda Priestly’s power through her presupposition in The Devil Wears Prada movie. This research uses Yule’s theory of presupposition, Hymes’ theory of Ethnography of communication and theory of power by Djik(1994) to know the power that Miranda’s shows toward her subordinate as someone who has higher position. This research used documentary study for collecting data and a descriptive qualitative approach because this data of this research were movie script which is taken from the internet. The results of this research show that Miranda Priestly uses four types of presupposition, existential, factive, structural and counter factual in showing her power. In addition, she also uses access and discourse and mind control to depict her power toward her inferior. Moreover, Miranda uses different types of presupposition to different her subordinate. For Andrea who is Miranda’s assistant, Miranda uses four types of presupposition, existential, factive, structural and counterfactual. For Emily who is Miranda’s old assistant (the first Miranda’s assistant) Miranda only uses existential. Meanwhile for Gisele as Miranda old staff, Miranda only uses structural presupposition. Keywords: power, Types of presupposition, Context, The Devil Wears Prada Movie INTRODUCTION In conversation, a speaker assumes that certain information is already known by the listener although the information does not appear directly. Because it is not an easy way to obtain the imply meaning, the listener needs to look for word’s meaning and what the speaker means in the same circumstance. Beside, to acquire the right interpretation in meaning is done by doing assumption. Sometimes, the speaker’s assumption is implicit and confusing. There is something assumed to be true in a sentence which asserts other information. This is called presupposition. Yule (1996: 25) says that a presupposition is something that the speaker assumes to be the case prior to making an utterance. Such structurally based presupposition may represent subtle ways of making information that speaker believes appear to be what the listener should believe (Yule, 1996: 29). Meanwhile, the context is gained through the participant, the setting or social context of the interaction, the topic of the conversation and the function of the conversation. Presupposition must be mutually known or assumed by the speaker and the hearer so that the context of the utterance can be understood.
Context cannot be separated in understanding the meaning of an utterance. According to Yule (1996: 21), context means the situation surrounding or accompanying the production of an utterance. By considering the context, an utterance can be analyzed well. By analyzing the context, the power can be showed how it can be enactment. Power is ability to control other people. Luke stated that the individual or group of individual’s ability is a measurement of power to control environment around itself including the behavior of other entities. In reality, a person who holds a particular position in an organization or institution holds a power. It means that “people who have higher position has authority to exert control over them such as, managers typically have more authority than staff, and a staff member typically has more authority in relation to relation to members of community”. The power itself can be depicted through someone’s utterance. Miranda’s utterance that depict power is interesting to be analyzed. The researcher analyzed power by looking the presupposition in Miranda’s utterances, what type of presupposition she is used, how Miranda priesly’s presupposition rstablish superiority context and how she depict her power. This research uses presupposition’s theory by Yule, ethnography’s theory by Hymes and power’s theory by Djik. Here is the explanation of presupposition, ethnography and power’s theory. Existential presupposition Existential presupposition is the presupposition which indicates the existence /presence / identity referents expressed with definite word. This presupposition exists both in the form of possessive and in definite noun phrase. Factive presupposition This presupposition is the presupposed information. In this factive presupposition, the assumption comes when the information stated after the certain words such as know, realize and so on. Lexical presupposition This called as presupposition because the meanings are expressed in utterance which interpreted by the presupposition has other meaning can be understood. There are some words which involve the lexical meaning, such as ‘stop’, ‘start’, and ‘again’. Non factive presupposition It is one that is assumed to be untrue. Verbs like ‘dream’, ‘imagine’, and ‘pretend’ are used with the presupposition that what follows is not true. Structural presupposition In this case, structural presupposition refers to the structure of certain sentences. These have been analysed as presuppositions which are fixed and conventional parts of the structure that has assumed its truth. This appears in the interrogative sentence, conventionally interpreted with question words (when and where). Counter-factual presupposition It is presupposed not only untrue, but also the opposite of what is true or ‘contrary to facts’. A conditional structure generally called a counterfactual conditional presupposes that the information in the if-clause is not true at the time of utterance. Ethnography of Communication Hymes defines that language use in speech situation, events, and acts help realize
the culture norms that underlie the way someone act toward one another which the formula known as SPEAKING grid” as follow:(S) for setting and Scene: Setting refers to the time and the place which the speech take place as the concrete physical circumstances. Scene refers to the abstract physiological setting, or the culture definition of the occasion. (P) for participants: It includes various combination of speaker-listener, addressor –addressee or sender-receiver. A two person conversation involves a speaker and hearer whose role change. (E) for Ends: It refers to the conventionally recognized and expected outcomes of an exchange as well as to the personal goals that participations seek to accomplish on particular occasions. (A) for act sequence: It refers to the actual form and content of what is said: the pricise words used, how they are used, and the relationship of what is said to the topic at hand. (K) for key: It refers to the tone, manner, or spirit in which a particular message is conveyed: light-hearted, serious, precise, pedantic, mocking, sarcastic, pompous, and so on. (I) for instrumentalities: It refers to the choice of channel such as oral, written, or telegraphic, and to the actual form of speech employed. (N) for norm of interaction: It refers to the specific behaviors and properties that attack to speaking and also to how these may be viewed by someone who does not shared them, like loudness, silence, and gaze return and so on. (G) for Genre: It refers to clearly demarcated types of utterances such thing as, poems, proverb, riddles, sermon, prayers, lecture, and editorial. From the explanation above, SPEAKING theory which is proposed by Hymes has function to show the purpose of the conversation. The 8 factors which are identified by hymes as SPEAKING explain about how to use presupposition. The speaker has to know what is the topic and what is the purpose. Access and Discourse Djik (1995) states that the base resources which are showed by the dominance can control society. Those based of power such as wealth, income, good job, status, knowledge and education. Social power has relation with access and discourse. In this case, the language users or speakers can have more or less in the use special discourse or may be in specific communicative events and contexts. For instance, one member of groups who attend in meeting may have more or less control over the conditions and sequences, such as the planning, the setting, the presence of other member, turn taking, topic and so on. If one of member in that group who has more or less discourse, he has more or less freedom to control the discourse. Thus, the more powerful person or institution that has more discourse genre, context, participant, audience, scope and text characteristics, they can control the others and context actively. Different from people who have lack of power, they are lack of active control access to discourse. “Most people have active control only over every day talk with family members, friends, or colleagues and passive control over. But people who have more power, they can more access to discourse. They have more passive access to control over in institutional discourse and media discourse. Power and dominance can be measured by many discourse and access that belong to a group of people or institutions. The more they have discourse, the more they can control and influence text and context. Mind Control In Critical Discourse Analysis, mind control involves even more than just
acquiring beliefs about the world through discourse and communication. Djik (1995) stated that there is some ways power and dominance are involved in mind control. First, recipients tend to accept believe, knowledge and opinion (unless they are inconsistent with their personal beliefs and experiences) through discourse from what they see as authoritative and trustworthy such as scholars, professional and reliable media. Second, in some situations, participants are obliged to be recipients of discourse i.e in many job situations, it needs to be learned as intended by institutional or organizational authors. Third, in many situations there are no public discourses or media that provide information from which alternative beliefs derived. Fourth, recipients may not have knowledge and belief, they need to challenge the discourses or information they are exposed to. Mind control was done by changing ideology or belief to control and influence people’s action. For instance, their knowledge or opinion, directly if dominance can change their action, they do influence their mind, because action is controlled by mind. Influencing mind is done by text or talk. Controlling discourse is a first major form of power, but controlling mind is another major in reproducing dominance. Controlling mind is the complex process because it has impact in “preferred meaning and manufacturing concept”. So, controlling people’s mind through text and talk is not straightforward. In process influence the readers or hearers, in news report, advertising, religious sermons, corporate directives or scholarly article, they were influenced by knowledge, affecting opinion or changing attitude. It means that the hearers or readers act opposite toward the information that has given. The powerful speakers or writers have relative freedom to use discourse in their own interest. Even though, the speaker or writer has freedom, the recipients are coercion. The status of powerful writer and speaker is the function of properties of text and talk. The brief remarks have provided us how discourse is involved in dominance and in production and reproduction of social inequality. Method This study is a descriptive qualitative where it is designed to describe the case of the study by words or sentences rather than numbers. The analysis explained the presuppositions that used in The Devil Wears Prada Movie according to Yule’s pragmatic theory. By using descriptive qualitative method, it was easy to find the type of presupposition and the power through the presupposition which is used in The Devil Wears Prada Movie. The subject of the study is Miranda Priestly in The Devil Wears Prada movie. She is a powerful editor of runway of the famous fashion magazine in New York which is very influential within the magazine. Therefore, the setting is the conversation between Miranda Priestly and the other characters in the movie such as Andrea, Emily, Nigel other stuff and so on, the location of the conversation which is done by Miranda Priestly and the other characters. The data in this study is Miranda’s utterances in The Devil Wears Prada movie which contained of power. She depicted power while having conversation with her inferior in work place. The source of data got from movie entitled The Devil Wears Prada in 2006. The movie is comedy drama based on Lauren Weibsberger’s 2003 novel of the same name. The data of this study were part of documentation. The form of the data was
movie script which is taken from the internet. Then, the data were collected for analyzing the types of presupposition used by Miranda Priestly in The Devil wears Prada Movie. In answering every research question, different aspects were used to collect the data which can help the writer to find out appropriate data. The instrument of the study is the writer’s herself because she collected the data, analyzed the data, and reported the data which observes the “The Devil Wears Prada” movie. This study observes the video of the movie to get theory that agreed with the data. Data collection procedure applied nine steps: (1) Downloading the movie from you Tube. (2) Downloading the subtitle from the internet. (3) Printed out the script of movie which consisted of subtitle. (4) Watching the movies which had been downloaded. (5) Matching the utterances in the movie with the script of movie. (6) Transcribing the script related to the Miranda Priestly’s utterance based on the movie. (7) Grouping the type of presupposition which was used by Miranda Priestly based on Yule’s theory (1996). (8) Using the previous result the type of presupposition Miranda used to get data about the context that Miranda used based on Hymes’ theory (1964), as the second research question. (9) Classified of data how Miranda showed her power through her utterance based on Djik’s theory (1995) as the third research question. To answer the research questions, this study analyzed the type of presuppositions that are used in The Devil Wears Prada Movie from its utterances which is found in the movie. And also explaining how Miranda’s presupposition establishes superiority context and how the power can be depicted through the presupposition. After that drawing the conclusion and giving suggestion based on the result of the analysis presupposition used in The Devil wears Prada Movie. DISCUSSION A. Miranda Priestly’s Presupposition After analysing the utterances contained in The Devil Wears Prada Movie, this study found that there are four types of presuppositions that are used by Miranda Priestly based on the six types of presuppositions according to Yule’s theory. Those are existential presupposition, factive presupposition, structural presuppositions, counter factual presupposition, and while from data in the moviel, the researcher did not found two types presupposition namely lexical presupposition and non-factive presupposition. It could be seen that only four type of presuppositions that proposed by Yule’s theory are found in this movie. 1. Existential Presupposition (01) Miranda: Details of your incompetence do not interest me. Tell Simone I’m not going to approve that girl that she sent me for the Brazilian layout. I asked for clean, smiling. She sent me dirty, tired and paunchy. And R.S.V.P. Yes to the Michael Kors party. I want to driver to drop me off at 9:30 and pick me up at 9:45 sharp. Emily : (whisper) 9:45 sharp. (00:06: 27-00:06:51) Your incompetence >> Emily is not competence
It can be seen that the presupposition used in Miranda Utterance Details of your incompetence do not interest me is an existential Presupposition because it is associated of the existence of incompetence. The utterance is presented in possessive construction “your incompetence”, so it can be assumed that Emily is not competence. Miranda as the speaker delivers her utterance toward her secretary by trying to make the incompetence to be existed. Since existential presupposition indicate the existential referent with definite word, it can be concluded that by saying Details of your incompetence do not interest me, Miranda indicates the existence of Emily’s incompetent. In this case, Miranda has expressed existential presupposition. 2. Factive Presupposition (02) Miranda : we have all the published Harry Potter books. The twins want to know what happens next. Emily : You want the unpublished manuscript? Miranda : We know everyone in publishing. It shouldn’t be a problem, should it? And you can do anything, right? (00:49:58-00:50:05) We know everyone in publishing>> both Miranda and Emily knows someone who works in publishing. The presupposition in this utterance is included into factive presupposition. It is factive presupposition because the speaker makes the hearer trust the information of the utterance as a fact. The utterance We know everyone in publishing indicates the fact that both Miranda and Emily knows someone who works in publishing. The presupposition is also shown by the use of verb “know” that can be treated as a fact. Miranda as a boss delivers her utterance toward Emily by stating everyone works in publishing is a fact. Since factive presupposition indicates a number of verb, it can be concluded that by saying We know everyone in publishing Miranda indicates the fact that everyone works in publishing. 3. Structural presupposition (03) Miranda : Where are all the other dresses? Gisele : We have some right here. (00:21:55-00:22:00) Where are all the other dresses? >> There are many dresses in that dress room The presupposition in this utterance is categorized into Structural presupposition. From the utterance Where are all the other dresses It is assumed that many dresses in that dress room. This is categorized into structural presuppositions because it is associated with certain sentences structures, where the speaker treats them as presupposed information and accepted be true by listeners. It can be seen in the use of Where, which is the information after Where is already
known to be case. Since structural presupposition interpret the use of question word, it can be concluded that by saying Where are all the other dresses?, Miranda indicates that there are many dresses in that dress room. In this case, Miranda has expressed structural presupposition. 4. Counter Factual Presupposition (04) Andrea : Emily would die. Her whole life is about Paris. She hasn’t eaten in weeks. I can’t do that. Miranda : if you don’t go, I’ll assume you’re not serious about your future at Runway or any other publication the decision is yours. Andrea : Ok Miranda (Confuse). (01:07:52-01:08:28) If you don’t go, I’ll assume you’re not serious about your future at Runway or any other publication the decision is yours >> she goes It can be seen that the presupposition used from the utterance if you don’t go, I’ll assume you’re not serious about your future at Runway or any other publication the decision is yours is counter factual presupposition because we can presuppose that she goes to Paris. The presupposition of this type can be seen from the if-clause construction where the information is not true at the time of the utterance. Here, Miranda uses counter factual presupposition when Miranda says something opposite to the truth. It is indicated the use of if clause. In this case, Miranda says something that opposite to the truth. Since counter factual presupposition indicate the use of if clause, it can be concluded that by saying if you don’t go, I’ll assume you’re not serious about your future at Runway or any other publication the decision is yours, Miranda indicates she goes. In this case, Miranda has expressed counter factual presupposition. Lexical presupposition There is no lexical presupposition in the data that are found. Non-factive presupposition There is no Non factive presupposition in the data that are found.
B. The Superiority context of Miranda Priestly’s Presupposition (01) Miranda: Details of your incompetence do not interest me. Tell Simone I’m not going to approve that girl that she sent me for the Brazilian layout. I asked for clean, smiling. She sent me dirty, tired and paunchy. And R.S.V.P. Yes to the Michael Kors party. I want to driver to drop me off at 9:30 and pick me up at 9:45 sharp. Emily : (whisper) 9:45 sharp. (00:06: 27-00:06:51)
In the conversation above, Miranda Priestly talks to Emily Carlton. Miranda is a manager in the office of famous magazine in New York. Emily is the second assistance who becomes the first Miranda’s assistance. The Emily’s preferment happens because the first Miranda’s assistant got promotion to the higher position (P). This conversation occurs in front of Miranda’s office in the morning. Miranda who just arrives in her office talks to Emily about her fault. Emily does not success making appointment that Miranda said. Emily gives reason that she actually has confirm (S). Then, Miranda admonishes Emily because she cannot success to confirm the appointment. (E). Miranda utters Emily using declarative sentence which is a statement Details of your incompetence do not interest me (G). Means, Miranda talks that Emily is not competent. So that’s why Miranda admonishes her about her duty (A). In Miranda’s utterances, she tells Emily all about she wants with pedantic (K). In other word, Miranda utters seriously a bit peevish because Emily makes mistake with previous job that Miranda has given to her (N). From the utterance, Miranda as the speaker delivers her utterance toward her secretary by trying to make the incompetence to be existed. She intends to tell Emily to work well without any fault. In fact, Emily has made fault with her previous job. As superior, Miranda tells her inferior by giving assumption that Emily must work well with all of her job. But, Emily cannot give the best as Miranda’s expectation. (02) Miranda : we have all the published Harry Potter books. The twins want to know what happens next. Andrea : You want the unpublished manuscript? Miranda : We know everyone in publishing. It shouldn’t be a problem, should it? And you can do anything, right? In that conversation, Miranda talks to Andrea in her office. Miranda who is sitting in her office calls Andrea. Then, she talks about Harry Potter book that she will be given to her daughters. Andrea who does not know that it is unpublished manuscript, she is directly says that she will get it. Then, Miranda mocks her and says that her daughters have had all published Harry potter book. Andrea shocks with what Miranda asks (S). Here, Miranda wants unpublished harry potter book that is impossible to get it (E). Miranda tells information about someone who works in publishing or someone who can help Andrea. It means, by knowing someone who work in publishing, it makes Andrea’s work easier (A). In deliver her utterance, Miranda says it pompously (K). Miranda talks less formal but serious (I). Miranda uses factive presupposition that is indicated by verb and phrase. Miranda as a boss delivers her utterance toward Andrea by stating everyone works in publishing is a fact. Miranda tells Emily. She intends to tell the secretary that they know everyone in publishing. It will help Emily to get the book. This way, Miranda informs Emily by giving assumption that her subordinate must take the occasion by knowing everyone in publishing will make her job easier. Means, Emily can do anything with the relation. This is why Miranda is trying to say that knowing everyone in publishing as a fact.
(03) Miranda : Where are all the other dresses? Gisele : We have some right here. In the conversation above, Miranda talks to Gisele. Gisele is Miranda’s employee who has responsible to prepare all dresses of photography (P). This conversation happens in the dress room in the morning. Miranda is looking for some dresses for preparation of photography. In the utterance, Miranda Commands Gisele to show all dresses that should be prepared (E). Miranda does not interest in dresses that Gisele shows. Miranda wants the other dresses that are more glamour. Then, she asks Gisele to take and to show the other dresses to her. Gisele shows them to Miranda but there are no dresses that make Miranda interest. Miranda needs different dresses than before. (A). In deliver her utterance, Miranda talks too serious (K). She was so angry because her assistance cannot prepare what Miranda want (N). Miranda as the speaker delivers her utterance toward her secretary by interpreting question word “where”. She intends to command the assistance to shows other dresses. In fact, there are many dresses in dress room, but her assistance only shows some of them. This way, Miranda, as a boss, command her subordinate by giving assumption that her subordinate must shows all of dresses. So, this utterance is aimed to command her secretary from its function which is used by the speaker. (04) Andrea : Emily would die. Her whole life is about Paris. She hasn’t eaten in weeks. I can’t do that. Miranda : if you don’t go, I’ll assume you’re not serious about your future at Runway or any other publication the decision is yours. Andrea : Ok Miranda (Confuse). This conversation is between Miranda Priestly and Andrea Sach (P). This conversation happens in Miranda’s house. Andrea comes to Miranda’s house to drop magazine. Miranda talks about the secretary that will accompany her to Paris. Andrea is shock when Miranda mentions her name. She is only the second secretary of two Miranda’s secretary. And, she knows Emily’s effort to get the chance to Paris. So that’s why she cannot accept Miranda’s offer (S). Listening Andrea’s answer, Miranda tries to convince Andrea the advantage of going to Paris. Miranda tries to changing Andrea’s decision (E). In the conversation, First, Andrea rejects Miranda’s offer to joint to Paris because of Emily. Then, Miranda Says that Andrea does not serious with her career because of her decision (A). Here, Miranda tries to influence Andrea in making decision. Miranda knows what Andrea wants exactly, but she thinks other person that want to Paris with all of effort (K). Here, Miranda uses counter factual presupposition when Miranda says something opposite to the truth. It is indicated the use of if clause. In this case, Miranda says something that opposite to the truth. She intends to make Andrea agree with Miranda’s decision that Andrea has to accompany Miranda to Paris. Miranda knows Andrea’s potential. This way, Miranda talks to Andrea by giving assumption that Andrea must go to Paris for the sake of seriousness her career. This
is why Miranda is trying to say the opposite of Andrea’s career to make Andrea thinking twice with her decision. So, this utterance is aimed to influence Andrea. C. Miranda Priestly’s superiority 1. Access and Discourse In controlling her inferior, Miranda use access and discourse to make her employees do what she wants. Here the data that showing Miranda uses access and discourse. (01) Miranda: Where are all the other dresses? Staff : We have some right here. Nigel : Stand, watch and listen. Staff : and I think it can be very interesting. Miranda : No, no, I just- it’s just baffling to me. Why is it so impossible to put together a decent run-through? You people have had hours and hours to prepare. It’s just so confusing to me. Where are the advertisements? Staff : We have some pieces from Banana Republic. (00:21:57-00:22:20) When Where are all the other dresses? >> There are many dresses in the dress room I the datum above, Miranda Priestly talks to Gisele. Miranda is a manager of famous fashion magazine in New York, and Gisele is Miranda’s staff. In the conversation, Miranda shows power through her presupposition. It can be seen the structure of Mirada’s utterance. Here, Miranda delivers her utterance toward Gisele by using interrogative sentence. It can be known the use of “where” in her utterance. The word “where” means that Miranda orders something to Gisele. In the utterance above, Miranda asks Gisele the other dresses. In other word, she intends to command the assistance to shows the other dresses. Thus, the word “where” can be said that Miranda shows her power through structural presupposition, which the information after ‘where’ is already know to be case. Moreover, When Where are all the other dresses? >> There are many dresses in the dress room, there are many dresses in the dress room would be accepted as the truth of the presupposition. Here, Miranda wants Gisele to show the other dresses that are in the dress room. Miranda asks it because all dresses that Gisele shows to Miranda are baffling for her. The context explains that Miranda commands Gisele to take the other dresses is the access. Meanwhile, as the manager in the office, Miranda does her job by giving command to Gisele as discourse. It is because her position is higher than the staff. So, the access and discourse in this presupposition shows that Miranda has more access and discourse to control Gisele when she gives command to her staff. The access which of Miranda shows by giving command, it can give a clue that her presupposition contain of power. 2.
Mind Control The data below shows how the power of access and discourse works. How the mind control works to Miranda’s subordinates will talk below. (02)
Andrea : Emily would die. Her whole life is about Paris. She hasn’t eaten in weeks. I can’t do that. Miranda : if you don’t go, I’ll assume you’re not serious about your future at Runway or any other publication the decision is yours. Andrea : Ok Miranda (Confuse). (01:07:52-01:08:28) if you don’t go, I’ll assume you’re not serious about your future at Runway or any other publication the decision is yours>> She goes In this conversation is between Miranda Priestly and Andrea. Miranda is a manager of famous fashion magazine in New York, and Andrea is the second Miranda’s assistant. In the conversation, Miranda shows power through her presupposition. It can be seen the structure of Mirada’s utterance. Here, Miranda delivers her utterance toward Gisele by conditional sentence which can be known the use of “if” in her utterance. The word “if” that Miranda used by saying the opposed of the truth can influence of Andrea’s mind. if you don’t go, I’ll assume you’re not serious about your future at Runway or any other publication >> she goes, she goes is contrary to fact at the time. From the utterance, Miranda says that Andrea is not serious with her career in any publication. It is because Andrea rejects Miranda’s enticement to go with her. By saying that, Miranda tries to change Andrea’s decision to go with her. Then, Andrea accepts what Miranda’s wants. Andrea who is a Miranda’s assistance obligates Miranda’s decision where. Even Andrea is confuse with her decision, but Andrea decides go to Paris. Here, mind control is done by changing Andrea’s believe in making decision going to Paris. The way Miranda changes Andrea’s decision can be clue that Miranda’s presupposition contain of power. This study found that Miranda Priestly uses four types of presupposition that can show the power in utterances, those are: existential, factive, structural and counter factual presupposition (see chapter 4, in sub chapter 4.1). And Existential presupposition is type of presupposition that is mostly used by a superior. Existential presupposition that is delivered by superior gives command by existence something. Means, inferior receives what superior wants through the existence something from the utterance. It can be explained by context which is use in presupposition. From the data can be known that Miranda used some types of presupposition to shows her power. In showing the power, Miranda uses different presupposition for different subordinate. For instance for Andre, Miranda uses some types of presupposition, those are: Existential, factive, structural and counter factual presupposition. Those types of presupposition were used by Miranda to command Andrea. Factive presupposition was used by Miranda when she commanded Andrea through giving information. Structural presupposition was used by Miranda when she commanded Andrea though asking something. Counter factual presupposition was used when she commanded Andrea by influence the way Andrea’s thought. Meanwhile, the existential was used when Miranda wants something with making something exist.
Conclusion Someone who has higher position holds more power. It is because she has authority to make her inferior does she wants. The power itself can be depicted through presupposition. When Miranda talks to her inferior, she uses some types of presupposition which can depict of power. This study finds that Miranda mostly uses existential presupposition instead of factive, counter factual and structural presupposition. It is because in existential presupposition she commands her inferior by making something exist. In other word, Miranda is always command her inferior. The use of types of presupposition is influenced by context. Miranda uses different types of presupposition depends on the aims of the utterance. Miranda uses existential and structural presupposition when she wants to command her inferior. Existential presupposition becomes a command toward her inferior by making something exist. Meanwhile, structural presupposition becomes a command by stating in interrogative sentence. Then, Factive presupposition is used when Miranda gives information as fact which relates to her command. Next, counter factual presupposition is used when she tries to make her inferior agree with her decision. When Miranda talks to her inferior, her utterance is not only derive presupposition but also depicts power. It can be seen from Miranda’s inferiors that they are always do what her superior want. In showing her power, Miranda uses access and discourse and mind control to control her inferior. Access and discourse is used when Miranda decides one decision for the office. Meanwhile, mind control is used when she controls and influences her inferior’s act or mind by changing the ideology to succeed. In conclusion, in showing her power, Miranda uses different types of presupposition to different her subordinate. For Andrea who is Miranda’s assistant, Miranda uses four types of presupposition. For Emily who is Miranda’s old assistant (The first Miranda’s assistant), Miranda only uses existential. Meanwhile for Gisele as Miranda old staff, Miranda only uses structural presupposition. Even Gisele is long time work in the office, but Gisele does not know everything related Miranda’s activity.
References Amelia, Tiara Magda . 2014. “Critical Discourse Analysis of Racism in Djago Unchained Movie”. S1-Unpublished Thesis The State University of Surabaya. Brown, G and Yule, G. Discourse Analysis Cambridge: Cambridge University Press,1989. Christophersen, P. 1956. An English Phonetic Course. London: Lowe and Brydone (Printers) Limited. Creswell, John. 2003. Research design Second Edition. London: Sage Publications, Inc. Fairclough, Norman. 1989.Language and power. United Kingdom: Pearson Education Limited. Fragale, A.R. 2006. Organizational Behavior and Human Decision Processes. Fromkin, V and Rodman, R. An Introduction to Language. USAVBS
Collage Printing 1983. Hymes, D. (1974). Foundation in Sociolinguistics: An Ethnograpic Approach, Philadelphia: University of Pennsylvania press. Yule, G.1996.Pragmatics. Hong Kong Litosseliti, Lia. (2010). Research Methods in Linguistics. New York: Continuum. Lofland, John at al. (2006). Analyzing Social Setting: A Guide to Qualitative Observation and Analysis. (4th Ed). Belmont, CA: Wadsworth Thomson. Lukes, S.2005. Power:a radical View:Second edition. New York: Harcourt, brave and world. Miles, M. B., & Huberman, A, M. (2001). How to Read a Person Like a Book. Barnes & Nobel Digital. Sari, Fransiska Pramita. 2009. A Discourse Analysis of Power and Dominance in “Desperate Housewives Series”. S1-Unpublished Thesis The State University of Surabaya. http://digilib.uinsby.ac.id/3750/7/Bab%204.pdf : link jurnal http://eprints.undip.ac.id/45088/1/THESIS_Afrin_Rubiyanti.pdf http://eprints.undip.ac.id/45474/2/Skripsi_fer.pdf
SHIFTING INTERPRETATION OF JOHN KERRY’S SPEECH ABOUT SYRIA CONFLICT REPORTED BY KOMPAS TV Sheellviana Dewi [email protected] Dian Rivia Himmawati, S.S., M.Hum [email protected] Universitas Negeri Surabaya ABSTRACT The issue of John Kerry’s speech about Syria conflict reported by Kompas TV takes interpretation process. Interpretation used in transforming source language (John Kerry/English) to target language (Kompas TV/Indonesian). The aim of this study is revealing shifting interpretation inserted by Kompas TV while reporting John Kerry’s speech about Syria conflict. Documentary video from Kompas TV and the United States official channel on YouTube is the data which consist of three videos. Qualitative data approach is applied to this study because the analysis gives explanation to strength the findings. The result of the analysis shows that Kompas TV used complex syntax, making long passage into a sentence, de-verbalization, and compression to get John Kerry’s idea. All of John Kerry’s utterances are simplified into the simple one. Hence, Kompas TV shifts the interpretation through complex syntax process which is inserted in semantic macrostructures, syntactic of subject position, self-define of terrorist, and disclaimer to reject racism. Keywords: interpretation, cognitive context, shifting, Syria. INTRODUCTION Interpretation is a bridge for two languages; source language and target language. In the international news, interpretation is needed for reporting event in the other places with different language. As in Kompas TV news report which has John Kerry as a source language. Kompas TV, one of television programs in Indonesia, delivers the news in Indonesian, and John Kerry, who was American Ministry of Foreign Affairs in 2016, speaks in English. In his speech, John Kerry mentioned three steps for negotiating peace in Syria, and all of them indicate shifting interpretation by Kompas TV. Interpretation has strategies to overcome the speaker’s complexity and fast speed (Nolan, 2005). The organization of meaning can be shifted in the context. Besides, cognitive context models theory is elaborated to reveal shifting meaning by relating the context models and discourse structures. The analysis of Kompas TV interpretation for John Kerry’s speech is exciting. It has not been done by the previous studies which discuss about shift translation in the novel (Putra, 2015) and 167
cognitive used in the parliament for recognizing the participant’ idea by Alicja (Okoniewska, 2016). This study purposes to analyze the strategies used by Kompas TV narrator to interpret John Kerry’s idea. Additionally, exposing shifting interpretation which might be given by the narrator is also emphasized in this research. It is important to criticize the content of interpreted media, which consists of meaning biased about the event. The result can be used for showing that interpretation can be manipulated by shifting the meaning controlled by the context. Context Models and Discourse Structures Cognitive as linguistics device discovers people’s way of thinking or processing information. It starts with event models and interpreted by mental models. For instance, people’s opinion of accident (event) is various, such as: something causing traffic jam, or something causing people injured. It is mental models that process the information based on personal knowledge and social group beliefs (Dijk, 1997). Next, the information in the mental models is built by the concept of context models, for example the speakers always have intention of their speech. It takes control the audience perception while processing the information (event). In context models, meaning structures is the main function, such as using local coherence. Contextual determines that discourse structures affect the organization of meaning. Relating context models and discourse structures divided into seven parts below. 1. Surface Structures of Semantic Structures The expression of the content is called as surface structure. It managed by semantics for the event models, both are controlled by context models. For example, addressing people by using pronounce such as Mr. Steve or Professor Steve. It affected by the social relation between speech participants, which is represented in context models then. In discourse, defining the topic to express event model requires macrostructures for it states all into one. To support the topic, microstructures work in giving the detail information. Semantic macrostructures provide the coherence to construct the topic in a discourse. It is usually showed by the headlines of the news. The expression manages semantic information by microlevel related to overall meaning. 2. Schematic Structure in Event Models Schematic structures or superstructures are involved in conveying overall meaning (topic) of the discourse. It appears in types such as narrative, argumentative, or genres. The headline or title defines the event (topic), and conclusion gives important information of an argumentation. The category of assumption is reflected by the global meaning (overall meaning) and also global form (the conventional category). For example, Bad Influences of Romance Series
168
in Television Program is the title, which can be concluded that romance series gives bad moral value to the teenager because the story is all about dating, and caring to the boyfriend/girlfriend only. In the example, the conclusion shows personal experience through the romance series. Moreover, it supported by the detail information given such as kissing scene, sexy outfit, and late-night hang out. 3. Schematic Structures in Context Models Interaction in the event is organized by schematic structures for the opening and closing, such as greeting in the news program or speech. It creates a sign to begin and end the communicative event, so people can recognize how to start and close. Moreover, by greeting, the type of the event can be identified whether it is formal or informal. In addition, greeting makes addressing or defining the participant and building the validation of event. As in the news report, headlines are the way to open the reports and it is ended by the summary at last, which can be detected by reading/listening comprehension. 4. Lexicalization (Style) in Context Models Lexical is a cognitive component, which presents the process of mental image in such an opinion. For example, guerrilla and terrorist are able to denote the same object, person, action or event. Context models control social cognition in reflecting people’s opinion about event from their knowledge, belief, and attitude. Terrorist is believed to be a part of the bombing or certain event, it is assumed by the knowledge or word terrorist means. On the other hand, event model is controlled by context model by self-definition. It is subjective lexicalization as parent has different way of speaking with their child and adult, which define the feminist or unfeminist representation. Additionally, when social cognition emphasizes about social or political opinion, self-definition is purposing to deliver social cognition in any possibilities situation (point of view). The repetition of terrorist given by the speaker shows that he or she (the speaker) is positioned as a conservative. Lexicalization takes role in controlling ideology of meaning the talk and text (Dijk, 1997). 5. Syntactic Structures in Context Models In underlying event models such semantic information, context manages syntax structures. It is a part of semantic organization which the structures are controlled by pragmatics not event models. For pragmatics, the information is expected by the participants to be recognized even in making the topic. Word order or clause dependency and position decide the important or relevant information, because pragmatics features situation in event models. Police killed - Focused on police O V S demonstrators - The responsibility and roles agency
169
Demonstrators killed by - Focused on V S O police demonstrators Demonstrators killed S V
- Focused on demonstrators
The headline said Police killed demonstrators, has a prominence in police because it killed the object (demonstrators). Here, the headline tries to inform that police has responsibility to this for the role. By the headline, the readers will curious for why the police did it, because syntax gives it position as a subject, which owns an action trough the object. The focus will not be the same as it is changed to passive Demonstrators killed by police. Positioning the subject as an agent after the object can be omitted to Demonstrator killed, which has no information about agent role and responsibility of the police. The structure is managed by syntax to show the writer’s perspective on event by their self-define in the context. Besides, syntax also formulates the semantic representation of the relevant or important. As the headline example, police is arranged to be the important information, and appeared in semantic representation then. It builds the perception on the event is pro to my group or your group, because syntax has functioned to deliver the goals, intentions, ideologies of the speaker. 6. Rhetorical Structures in Context Models In communicative event, getting the attention might be the focus area. Through stylistic, the relevance can be detected by context coding such as metaphor, alliteration, or irony. However, it is rhetorical devices, which manage, and process the representation. Rhetorical devices contextually control the sense of coding spatial, temporal, or social position of speech participant. For instance, use specific social categories such as basis of age, gender, class, social relation or kinship. The devices are famous as genre to serve the relationship in culture; it elaborates metaphor, alliteration, and irony. 7. Expression Structures in Context Models The structures of expression are managed by level of intonation, stress, standard language, sociolectal or dialectal pronunciation, gesture, face-work, and so on. For example, to present politeness, the speaker might be speaking formally in the speech, taking softly volume, positioning body gesture. On the opposite, the expression of insulting tone, loudness, threatening body position, concomitant facework and gestures are giving to show racist, sexiest power abuse, and lack of respect. Furthermore, in the printed news, expression structures can be made up from lay out, print size, pictures and photographs. In the phenomena of minority crime, mainly black youth, the journalist tends to highlighted semantic topicalization and
170
schematic position by setting the size of headlines, placing the articles on the page, and supporting photographs, which related to negative implications. Related to racist, the speaker also rejects for being that way. It is known as disclaimer, one of semantic structures on contextual and cognitive implication. Firstly, the speaker shows specific negative models of the event in the context, and it is followed by general negatives attitudes. Hence, serving disclaimer as positive self-presentation overcomes recipients’ contrast evaluation. The social and political situation can be shaped in social image, prestige, the symbolic of speaker’s capital, and author/institution. Presenting disclaimer in persuasive discourse established to reduce negative perception. Therefore, it is a big chance for the speaker’s argument will be accepted. Moreover, by newspaper and television, social and political influences are wider. For the journalist, highlighting the disclaimer will be contributed in replicating disclaimer of newspaper or news report. Interpretation Strategies (Nolan, 2005) Nolan constructs strategies for bearing the difficulties of interpreting spontaneously. As in the speech (spoken), the speaker’s utterances might be too complex, too fast, or ambiguous. Seven strategies construct to catch the speaker’s idea. Those are complex syntax which can be done by simplifying the complex sentence (transcribed utterance) to the simple one (SVO), piece by piece (separating one sentence into parts), making long passage into a sentence strategy can be used for having the main idea or sub topic in the speech. Fourth, ambivalent conjunction strategy allows the interpreters to omit them for ambiguity reason. Besides, enumeration strategy makes the shopping list gets easier, because it has signal repeated in the beginning. De-verbalization strategy gives imagery to create mental models of the event. Last, compression strategy has acronym and abbreviation to minimalize the words. Parenthetical also belongs to compression, which concludes the idea in the sub topic. Method The approach used in this research is qualitative method, which the data are analyzed by giving explanation. Therefore, qualitative is needed to valid the result by clarifying problems, data, and theories. Describing words or pictures is the focus of qualitative method (Litosseliti, 2010). Kompas TV narrator and John Kerry are the subjects of this study, which focuses on shifting interpretation. Because of Kompas TV is the only one news report in Indonesia, which performed John Kerry’s speech about Syria conflict; it is chosen to be the data. Thus, John Kerry’s speech about Syria conflict is also collected as source language. Through the data obtained process, documentary video technique is suitable for collecting Kompas TV narrator and John Kerry utterances. It transcribed to sentences in order to make the reader easier to understand the analysis. The
171
researcher is the only instrument for all the data composed by the researcher. Technique data procedure contains of four steps; download the video from Kompas TV and the United States Department channel on YouTube, watch the video, transcribe Kompas TV narrator and John Kerry utterances, and give back translation. The theory of Dijk (1997) supports the analysis of shifting interpretation in meaning structures and organization. RESULT AND DISCUSSION Shifting interpretation in Kompas TV news report can be analyzed by using Dijk’s theory of cognitive context models. It has structures and meaning to reveal shifting interpretation in the context (news). Additionally, shift the meaning structure or organization inserted through interpretation strategies process. 1. Inserting Shifting Interpretation in Semantic Macrostructures on Surface Structures The data below show that narrator of Kompas TV shifted meaning by reporting the purpose of ceasefire planed by the United States and Russia is eliminating ISIS’s terror and Nusra guerrilla (memberantas teror ISIS dan gerilyawan al-nusrah). Sourc ….And after that Macro: sustained period of Military strikes e violence, we have to defend from agreed that we will Nusra violence then work together – providing both Micro: access and reduced 1) Work together violence have been provided for the 2) Reduced period of time - we violence would then work together to develop military strikes against Nusrah. Targe Selain melakukan Macro: gencatan senjata, Violent plan for t AS dan Rusia juga Syria sepakat Micro: membangun pusat 1) Gencatan kerjasama militer senjata untuk memberantas 2) Membangun terror ISIS dan pusat gerilyawan al kerjasama nursah. militer 3) Memberanta s Back ….Dan setelah periode kekejaman
172
Trans berkelanjutan itu, kami sepakat jika kami akan bekerja sama – . menyediakan kedua akses dan mengurangi kekejaman yang telah disediakan selama ini – selanjutnya kami akan bekerja sama untuk membangun serangan militer melawan Nusrah. The table above maps the semantic macrostructures as surface structure in the context. There are two sides, of course from John Kerry as SL, and Kompas TV for TL. First, the main idea of John Kerry’s talk on the data above states that military strikes to defend from Nusra violence. It is supported by John Kerry’s repetition of work together and violence, which strengths the point that developing military strikes is one of the plan to negotiate peace in Syria. In this case, semantic macrostructures define the topic of one part of the talk (not the whole speech). Based on Dijk (1997), overall meaning is organized by semantic information. On the table above, work together (the United States and Russia) expresses as the plan of overwhelming violence. Second, reduced violence delivers idea that Syria deserves to defend from the violence by Nusra. Local coherence is also provided to present the discourse topic. The events are clear, the United States and Russia plan to work together in three points, develop military strikes is one of them, and those efforts propose to reduce violence by Nusra. On the other hand, editorial might be given to relate between society response and powerful party. As Kompas TV news program reported that the United States and Russia are not only planning for ceasefire, but also develop partnership in military. Semantic macrostructures take violence plan for Syria as its overall meaning. It sums the detail information of ceasefire, which is one of the plans. The mental image of ceasefire is something that has bomb attacks or guns shot, it is not good witness. It comes from the audiences’ knowledge that build in Syria circumstance which surrounded by war issues. Moreover, developing the central military together (the United States and Russia) proposes to succeed the ceasefire. Those two ideas are mentioning to define that the United States and Russia want to eliminate ISIS’s terror and Nusra guerrilla. None of the report utterances told about the violence that has been done by ISIS and Nusra. The audiences might give perspective that the plan is not for negotiating peace, but even violent plan for Syria by ceasefire and military development. This news report was affected by social response in building the context. For Indonesia is the big Moslem population, hence Syria conflict could take powerful or political party. According to semantic macrostructure on the surface structure of the contexts, there is the difference of informing event model. John Kerry event model was military strikes, because the audiences expected to have no knowledge about the plan of the United States and Russia towards Syria conflict. In opposite, the reporter of Kompas TV introduced the elimination of ISIS terror and al-Nusra guerrilla as event model of the news. The audiences predicted to be interested in watching the news. Furthermore, the meaning of memberantas (eliminate) was inappropriate with
173
John Kerry’s speech. Based on the sentence structure, against is an adverb which gives detail about military strikes. It means that, the military strikes were arranged to opposite Nusra. On the other hand, the narrator of Kompas TV shifted meaning of against (adverb) to eliminate (memberantas) which is verb. According to Cambridge dictionary, against means in opposition to something. Cambridge dictionary also stated that against is used to protect someone or something from attack or criticism. It compared to memberantas (eliminate), based on Kamus Besar Bahasa Indonesia, the meaning is membasmi; memusnahkan (eliminate). Shifting meaning of against (melawan) to memberantas (eliminate), managed by context model to show the speaker’s perspective. John Kerry delivered military strikes as the plan to defend Syria, but Kompas TV narrator reported military strikes are violence plan to eliminate ISIS terror and guerrilla Nusra.
2. Shifting the Interpretation of Lexicalization (Style) in Context Models The data proved that Kompas TV narrator shifted meaning of interpreting selfdefinition of Nusra and ISIL in the step planned by the United States and Russia. Source Halting all of the regime’s military air - Define Nusra and activities in key areas, key areas that are ISIL as an defined – not all flights, because there are still opposition Nusrah and ISIL, but that will be managed in - Feminist way a different way also. Target Gencatan ini tak berlaku bagi upaya - Define ISIS and its affiliation as a pemusnahan kelompok ISIS dan afiliasinya group di Suriah. Menghentikan semua kegiatan udara militer rezim di area utama, Back area utama yang ditentukan – tidak semua penerbangan, karena Trans. masih ada Nusrah dan ISIL, tapi itu akan diatur dengan cara yang berbeda pula. First, lexical determines the style of naming ISIS and ISIL, which is affected by the culture. In Indonesia, the group called ISIS for their belief it is only a part of Syria region. In contrast, the United States named the organization as ISIL because they assumed that it is Levant region which is bigger than Syria. Second, John Kerry considered that Syria has to be protected from ISIL and Nusra, therefore not all of the flights were halted. Those two organizations are defined as the opposition as their violence of the bombing in Syria. Besides, the subjective lexicalization that is controlled by context model reflects in the way of defining the opposition. John Kerry did not mention terrorist in this part, because he just started the first step of the plan. By the second and third step of the plan, he defined them as terrorists. The different treat exists because in the beginning he tried to describe the violence first. It shows that context models control the speaker to manage event model with
174
implicitly saying that ISIL and Nusra are the opposition. On the Kompas TV side, the reported speech was only halting all of the regime’s military air activities in key areas. Through complex syntax strategy, the narrator omitted not all flights. It interpreted that the ceasefire was not planned for ISIS and its affiliate. They are not defined as the opposition, because the halted military air activities were the Assad's regime. Moreover, ISIS was assumed as an organization by Kompas TV narrator, since they are not the cause of the violence in key areas. By using lexical in addressing kelompok, the narrator defined ISIS as a group of Moslem in Syria region. The other thing was pemusnahan which came from mental image of the Assad air attacks. It has air attacks as an event model, that proceeded by mental image in something hurt by using violence. Yet based on the data above, none of them is recognized as pemusnahan (eliminate), because the steps were all for making both opposition and regime to strict in the peace agreement of Syria. The context model in John Kerry’s speech built nicely, for he said not all flight, because there are still Nusra and ISIL. It is preferable instead of saying to anticipate Nusra and ISIL attacks, several military air activities are needed. Lexically, self-define of terrorist term was implicit and politely said. He believes that Nusra and ISIL are the part of bombing (in the event), then he created mental image of the lexical in his exception of the flight. In this point shifting interpretation was given by changing the way to address ISIS/ISIL and define them in the event model. The news reported of Kompas TV might get question from the audiences, such as what is the purpose of ceasefire? Is that for eliminating ISIS and Nusra (its affiliate) or keeping Syria in peace? By social response, context model in the coming news can be related in order to satisfy the audiences’ perception. 3. Inserting Shifting Interpretation of Syntactic Structures in Context Models Shifting interpretation made by the narrator of Kompas TV in reporting the adherence planned by the United States and Russia. The data is typed below Source ....we would need seven days of adherence to - Focused on seven the cessation of hostilities in order to convince days of adherence the people of Syria and the opposition…. - It is an agent role ....This will be effective at sundown on and responsible September 12th. Target Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan besar, - Focused on 12 yakni gencatan senjata akan dilakukan di suriah September 2016 per tanggal 12 September 2016; belum ada keterangan lebih lanjut terkait jangka waktu gencatan senjata. ….kami akan memerlukan tujuh hari kepatuhan untuk penghentian Back Trans. permusuhan untuk meyakinkan rakyat Suriah dan oposisi…. ….Ini akan efektif saat matahari terbenam pada 12 September.
175
The syntactic structures of John Kerry’s statement are focused on the seven days of adherence to the cessation of hostilities rather than the following phrase. Even though it is not the subject, but it is positioned as the information in the sentence in prepositional phrase (PP). It contains two noun phrase (NP), which are all the messages of the sentence. First, seven days of adherence told that there will be an action to bring the rules back. It is the opposition who breaks the rules in the agreement about peace in Syria. Therefore, the United States and Russia need seven days to adhere the opposition. Second, the cessation of hostilities specified that seven days of adherence is to stop the war. It means the ceasefire will take seven days and it starts from September 12th. In addition, this sentence also presented the agent role of the United States and Russia in negotiating peace in Syria. Because of the agreement did not work, they took the responsibility to adhere the opposition. The adherence planned by ceasefire and developing military strikes. It mentioned in the first and second step of John Kerry’s speech. In contrast, the narrator of Kompas TV shifted seven days of adherence by reporting belum ada keterangan lebih lanjut terkait jangka waktu gencatan senjata (there is no further information about how long ceasefire takes time). The reporter emphasized on the start of the ceasefire on September 12th. It became semantic representation that introduced to the audiences. In this case, the reporter showed his/her opinion through adherence period. Kompas TV was about in contra about the event (ceasefire). Thus, the important information was only the start-date of ceasefire, because Kompas TV assumed if the adherence will not only take seven days. According to the context model, syntax gives signal on the relevant information as the table below. This clause determined that the event model is ending the fight in seven days. On John Kerry’s speech, prepositional phrase was used to build the perception of stopping the hate. The opposition has to be in line with the agreement of peace in Syria. Hence, for this purpose the subject (we; refers to the United States and Russia) has role in taking responsibility of the step.
4. Shifting the Interpretation of Expression Structures in Context Models The data below proved that John Kerry’s point of encouraging Assad and opposition was shifted by Kompas TV narrator. Source Obviously, the Russians have an ability to - Racism marked by be able to encourage Assad, and we have obviously an ability together with other countries to - Positive as persuasive discourse encourage the opposition. Target Hingga kini, Rusia masih ingin - Racism marked by the mempertahankan Bashar Al-Assad sebagai contrary of Russia and Presiden Suriah, sementara Amerika the United States towards Bashar alSerikat menginginkan Assad lengser dari Assad jabatannya. Yang jelas, orang Rusia memiliki kemampuan untuk dapat mendorong Back Trans. Assad, dan kami memiliki kemampuan bersama dengan Negara
176
lainnya untuk mendorong oposisi. First of all, obviously starts the racist of Russia was in Assad’s side. To John Kerry, Russians have an ability to encourage Assad and it is obviously. In this case, the United States was not mentioned to encourage Assad. However, we (refers to the United States and Russia) stated to encourage the opposition, after that. It seems that encouraging Assad and opposition was the part of the plan. Both the United States and Russia work together for making peace in Syria, with dividing role into Russia covers Assad, the United States, Russia, and other countries cover the opposition. According to expression structures, John Kerry’s intonation in delivering this point was smooth, means that he politely said Russians are able to cover Assad without the United States. Thus, he rejected the possible negative response by adding that the United States will be involved in encourage the opposition. It sounds as I am not racist because I am not encouraging Assad. Conversely, the narrator of Kompas TV stated that Rusia masih ingin mempertahankan Bashar Al-Assad sebagai Presiden Suriah (Russia still wants Assad to be the President of Syria). It supported by the photograph of Barrack Obama (the President of US) and Vladimir Putin (the President of Russia) and Bashar al-Assad (the President of Syria) in the news report. The stress of intonation was little bit higher which signed the expression of relevant information. In addition, the reporter was also racist by delivering sementara Amerika Serikat menginginkan Assad lengser dari jabatannya (on the other hand, the United States wants Assad discharged from his position). Based on the context model, social and political were comprised to show personal opinions towards event. The context controlled the event of the United States disagreed with Assad as a president, which was expressed by Kompas TV. The shifting interpretation inserted by different way of showing respect. John Kerry believes that Russia has ability to encourage Assad because it handles big involvement in Middle-East (Rahman, 2017). Likewise, he denied of being racist by declaring that the United States involved in encourage the opposition. In contrast, due to not encourage Assad, but the opposition, Kompas TV narrator interpreted it as the United States wants Assad off from his position as a Syria President. It was expressed by changing personal’s opinion through social and political in the event model (encourage Assad and opposition). CONCLUSION Four shifts are found in Kompas TV news interpretation. Each shift has different way to be inserted, depends on the structure. By changing the surface structures, Kompas TV shows different perception of military strikes. It has semantic macro and micro structures that define the important information based on the overall meaning and its details. Moreover, shifting given by changing lexicalization of delivering information about ISIS/ISIL. It works on self-definition of something
177
affected by environmental perception. While John Kerry means ISIL as the opposition, Kompas TV reported that it is only an organization. The third shifting involves syntactic structures on positioning information as the relevant. John Kerry’s context models control prepositional phrase as the important information, but it was omitted by Kompas TV. The last shift revealed by expression structures in context models. In this case, disclaimer exists to reject the racist expression of encouraging Assad as the president of Syria. There are four strategies found in this research, those are complex syntax, making long passage into a sentence, de-verbalization, and compression. All of the strategies help to shorten the utterances. According to Nolan (2005), interpretation needs the understanding of meaning rather than translating all the words. Complex syntax deals with the structure and meaning to shorten the complex sentence. Shifting is given by Kompas TV narrator to build perception of the audiences. Interpretation strategies can be used for examining narrator of Kompas TV in transforming John Kerry’s speech in Indonesian. The meaning changed impacts to the context model which presents the event. Cognitive context models and discourse structures are related to reveale that shifting in interpretation is required for controlling people think about the world. SUGGESTION This research was emphasized on examining interpretation strategies; there are two suggestions for the research in the future. It is interesting to understand how people transform one language to another. Therefore, analysing the interpretation deeper to the general adverbial is suggested. Second, connecting interpretation to cognitive context models might motivate the future researcher to analyse the context of interpretation which shows someone’s power. Having rhetorical structures in translating context of the novel is also exiting. It is how semantic and discourse are building power in society perspective. REFERENCES Dijk, Teun A. van. (1997). Cognitive Context Models and Discourse. Amsterdam: Benjamins. Litosseliti, Lia. (2010). Research Methods in Linguistics. London: Continuum. Nolan, James. (2005). Interpretation Techniques and Exercises. Great Britain: Cromwell Press Ltd. Okoniewska, Alicja M. (2016). Interpreting for the European Parliament. Precision or illusion. Putra, Kresna Pramuaji Isantara. (2015). Translation Shifts of Prepositional Phrases from English to Indonesian Novel The Da Vinci Code. Rahman, Jones Imran. (2017). Why does Russia support Syria and President Assad? Retrieved 15 April 2017, 2017, from http://www.bbc.co.uk/newsbeat/article/39554171/why-does-russiasupport-syria-and-president-assad
178
METONIMI KANG AWUJUD SAPERANGAN KANGGO SAKABEHE (PARS PRO TOTO) Surana Universitas Negeri Surabaya [email protected]
Purwaka Basa sajrone karya sastra beda karo basa ing saben dinane amarga basa kuwi luwih ngandhut nalai kaendahan. Kaendahan basa kuwi bisa dideleng saka gaya basane. Metonimi yaiku sajenis majas utawa lelawaning basa kang nggunakake jeneng saka samubarang kanggo ngganteni samubarang liyane sing ana sambung rakete. Sesambungan kuwi dideleng saka makna kang cedhak antaraning samubarang kang ngganti karo samubarang kang diganteni. Ahli ilmu semantik akeh sing wis njlentrehake ngenani metonimi. Saka andharan para ahli kasebut kita bisa ngerti apa kang diarani metonimi lan perangan-perangane. Ing makalah iki bab kang dirembug ngenani salah sawijing perangane metonimi, yaiku pars pro toto. Pars pro toto tegese saperangan kanggo sakabehe. Lelandhesan milih topik iki amarga sajroning mata kulyah semantik isih sithik kang ngrembug bab saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto). Mula saka kuwi panulis milih topik iki supaya kita kabeh bisa ngerti apa kang diarani Saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto). Makalah iki minangka bab kang anyar sajroning mata kulyah semantik. Mula akeh banget bab-bab kang perlu dirembug. Siji mbaka siji diwedhar kanthi gamblang. Mula ing kene nggunakake cara njlentrehake teges saka Saperangan kanggo sakabehe. Teges kang diandharake banjur diperang kanthi adhedhasar apa. Kanggo nguwatake panampane pamaos ngenani Saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto) uga diwenehi tuladha lan uga dianalisis kanthi cara ilmu semantik. Kanthi lelandhesan ing dhuwur pamaos bisa ngerti apa kang diarani saperangan kanggo sakabehane sajrone metonimi. Uga bisa nambah kawruh tumrap penulis ngenani semantik kang utama saperangan kanggo sakabehan ing sajrone metonimi
179
Andharan Saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto) minangka perangan saka metonimi. Amarga sajroning saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto) nduweni sesambungan makna yaiku ngganteni lan makili objek kang dimaksud. Sesambungan kasebut padha karo ing kasus metonimi. Mula ing makalah iki bakal diandharake kanthi cetha ngenani saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto) lan uga sesambungane saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto) karo metonimi. 1. Metonimi Metonimi kalebu sesambungane teges. Metonimi kuwi asale saka Yunani tembung “meta” sing artine nuduhake owah-owahan, lan saka tembung “onoma” sing artine jeneng. Mula saka iku metonimi yaiku salah satunggaling lelawaning basa sing nggunakake tembung utawa frase kanggo ngganteni samubarang amarga nduweni sesambungan kang cedhak. Para ahli sing nduweni pamawas ngenani metonimi kuwi akeh banget. Kabeh pamawas kang diduweni meturut ilmu-ilmu semantik. Parera (2004:121) ngandharake yen metonimi minangka celukan kanggo sawijine objek utawa tumindak sing nemplek ana ing objek utawa tumindak sing sesambungan. (2004:121) Sesambungan kuwi mau ana sambung rakete karo kemaknaan. Nanging yen Djajasudarma ngandharake Metonimi arupa panganggo jeneng tetenger utawa jeneng samubarang kang disambungake karo pawongan, barang, utawa objek minangka pangganti acuane. Banjur yen Wijana (2011:54) ngandharake yen metonimi kuwi tembung kang tuwuh amarga disebabake saka sambung rakete tembung-tembung kang sinambung Beda maneh saka andharane Keraf (1992:142). Yen miturut Keraf metonimi kuwi kalebu bageyan saka Sinekdoke. Sinekdoke kaperang dadi 2, yaiku: seperangan kanggo nuduhake sakabehan (pars pro toto) lan sakabehan kanggo nuduhake saperangan (totem pro parte). Parera uga ngandharake yen metonimi bisa diperang kanthi adhedhasar atribut kang munjeri. Tuladhane yaiku: metonimi kanthi relasi panggonan, relasi wektu, relasi atribut, relasi panemu atawa pangripta lan metonimi adhedhasar tumindak. Stephen Ullman (2009) ngandharake yen metonimi beda karo metafor.
180
Metonimi ora awujud sambungane tembung anyar nanging metonimi kuwi tuwuh saka tembung-tembung sing sinambung. Adhedhasar para panemu ing ndhuwur bisa kadudut yen metonimi kuwi nduweni teges tembung sing digunakake kanggo ngganteni samubarang. Bisa uga diarani “makna sing cedhak”. Samubarang Kang dimaksud bisa awujud jeneng, panggonan, piranti, lan objek liya kang diganti. Tembung kang bisa diganti disebabake saka tembung-tembung kang cedhak lan sinambung kanthi cara sajabane basa. Penganggone metonimi kang sapisan supaya gawe samubarang kang diwakili bisa luwih urip kanthi nuduhake objek sing konkret. Penganggo kaya mangkono bisa ngasilake imajinasi para pamaos sing luwih nyata. Kang kapindho yaiku bisa mbedakake status social mligine kanggo para bangsawan lan pawongan biyasa. (Pradopo, 2010:77-78) Metonimi kalebu salah sawijine polisemi kang dadi strategi nomer 2 kanggo njembarake makna. Saliyane metonimi ana uga metafora. Kang mbedakake antarane metonimi lan metafora yaiku metonimi didhasarake saka ‘cedhake makna’ nanging yen metafora didhasarke saka ‘kamiripan’. Metonimi uga sinambung karo proporsi saka kasus polisemi kang teratur, ing njerone ana makna alternatif paralel kang diterapake. Tuladhane metonimi: Sumure asat Ukara ing dhuwur bisa kajlentrehake yen dimaksud saka tembung sumur yaiku banyu. Tembung sumur lan banyu nduweni sesambungan, yaiku sumur tumrape wadhah banyu kang kanggo nampung banyu saka sumbere lan dienggo ngangsu. Banyu kang ana sumur dadi sumber panguripane manungsa. Saka sesambungan banyu lan sumur, salah sawijing bisa diganteni utawa diijolake. Yen disambungake ing jinising metonimi, tuladha kasebut kalebu ing jinis spasial yaiku kang ngganteni apa sing ana ing njerone samubarang kasebut. 2. Jinis-jinise Metonimi Saka andharane para ahli ing dhuwur, metonimi bisa kaperang dadi 4 jinis,
181
yaiku: a) Metonimi adhedhasar atribut panggonan (spasial) yaiku bisa tuwuh amarga panggonan kang dikenal nganggo ciri atribut kang dominan (menonjol). Saengga penduduk sakiwa tengene bisa ngerti lan weruh panggonan kuwi saka ciri atribut kang wus kondhang kasebut. b) Metonimi adhedhasar atribut wektu (temporal) yaiku Tindakan utawa prastawa kang bisa dipindhah marang samubarang sing bakal kedadeyan utawa ngeloni. c) Metonimi adhedhasar unsur saperangan-sakabehan kaperang dadi loro, yaiku: saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto) lan sakabehe kanggo saperangan (totem pro parte) d) Metonimi adhedhasar panemu lan pangripta (logikal) yaiku tuwuh amarga ana tembung-tembung kang gegayutan karo panemu utawa pangripta samubarang. Mula saka iku jeneng panemu utawa pangripta digawe kanggo samubarang kang wis dihasilake minangka pangurmatan. 3. Saperangan-sakabehan Saperangan-sakabehe minangka jinising metonimi kang kalebu sesambungane teges. Saperangan-sakabehe kuwi diperang dadi 2 (loro), yaiku: saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto) lan sakabehe kanggo saperangan (totem pro parte). Miturut Wijana (2011:57) ngandharake yen jenis metonimi iki kaperang maneh dadi 2, yaiku: a. Pars pro toto utawa saperangan kanggo sakabehan yaiku saperangan utawa pakulinan kang dominan sing diduweni samubarang kanggo makili utawa ngganteni pawongan-pawongan kanthi sakabehan. b. Totem pro parte utawasakabehan kanggo saperangan yaiku sakabehan saka entitas amung digunakake kanggo makili saperangan barang sing biasane kanthi asosiasi marang dheweke (barang). Sadurunge ngrembug ngenani saperangan kanggo sakabehe, kudu ngerti apa kang diarani sakabehe kanggo saperangan (totem pro parte) kanggo mbedakake kekarone. Ing sakabehe kanggo saperangan (totem pro parte) kuwi kanggo
182
ngganteni sakabehe samubarang kang nuduhake saperangan kang sinambung. Tuladhane: 1. Bapakku nambalna sapedha motor neng bengkel kulon omah. Ing ukara kasebut nduweni makna sakabehe kanggo saperangan amarga sing ditambal kuwi ban sapedha motor dudu sepedha motore. Sepedha motor minangka sakabehe sing nduweni prangkat liyane, banjur ban motor kuwi kalebu saperangan. 2. Urip ing donya kudu mergawe Ukara ing dhuwur kaandharake yen tembung donya kuwi kalebu sakabehe makna. Amarga ing donya kuwi ana saperang-perang makhluke gusti. Kang dimaksud dening ukara ing dhuwur yaiku manungsa. Manungsa minangka makhluke Gusti kang sampurna. Mula manungsa kudu mergawe kanggo nyukupi kabutuhane. Manungsa ing kene kalebu saperangan sing ana ing isinne donya. Ing ngisor dijlentrehake kanthi gamblang ngenani saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto). Andharan kasebut uga diwenehi tuladha-tuladha miturut wujude lan uga dianalisis kanthi cara ilmu semantik. Saka tuladha-tuladha kasebut, mengko bisa dibedakake antaraning saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto) lan sakabehe kanggo saperangan (totem pro parte). Sesambungan metonimi saperangan- sakabehan bisa dibeda-bedakake dadi 3 jinis, yaiku: a. Lokasional kuwi kanggo ngganti samubarang liya sing ana ing njerone. Tuladhane: dompet, amplop, cerek, lsp. b. Atributif kuwi nganteni bageyan saka sipat utawa sakabehan individu sing diganteni. Tuladhane: si pincang, si mancung, si bisu, lsp. c. Anggota kelas kuwi kanggo makili saperangan samubarang kang padha jinise. Samubarang kuwi nduweni anggota kelas kang padha. Tuladhane yaiku pepsodent, rinso, wing, lsp. Rinso kuwi kanggo ngganteni sakabehane merk deterjent.
183
4. Saperangan kanggo Sakabehe ( Pars Pro Toto) Ing ilmu semantik metonimi minangka ilmu basa kang anyar dirembug. Saben buku-buku semantik isih sithik kang ana materi kasebut. Metonimi kuwi bab kang ngrembuk ngenani sesambungane teges kaya kang diandharake ing dhuwur. Sajroning saperangan-sakabehe bisa kapilah maneh dadi 2 jinis, yaiku: Saperangan kanggo sakabehe ( pars pro toto) lan Sakabehan kanggo saperangan (totem pro parte). Kekarone kuwi minangka lelewaning basa kang digunakake kanggo ngganti utawa makili samubarang. Saperangan kanggo sakabehe kuwi kerep disebut pars pro toto. Ing basa indonesia pars pro toto kalebu jinising majas. Miturut Keraf (1992:142), pars pro toto bageyan saka sinekdoke kang nuduhake saperangan kanggo sekabehe sing nyebutake jeneng saperangan kanggo ngganti jeneng sakabehe. Sinekdoke yaiku basa kiasan kang nyebutake bageyan wigati saka samubarang kanggo samubarang utawa hal liyane ( Rachmad Djoko Pradopo:78). Nanging Ade Nurdin dkk, (2002:24) ngandharake yen Sinekdoke yaiku gaya basa Ing ilmu semantik Pars pro toto kalebu sajroning metonimi. Sesambungan karo Metonimi, saperangan kanggo sakabehed (pars pro toto) nduweni titikan, yaiku: 1) Nduweni sesambungan karo kahanan ing sajabane. 2) Nduweni sesambungan karo makna figuratif (nyimpang saka teges) 3) Sesambungan makna kang asosiatif karo tembung kahanan 4) Nduweni makna ektralingual (sajabane basa) Apa kang dadi saperangan lan apa kang dadi sakabehe kuwi dibedakake saka sesambungane teges. Maksude andharan kasebut yaiku antaraning saperangan lan sakabehan kuwi bisa diukur saka gedhe cilik, amba ciyut, akeh sithik, lsp. Dadi apa kang diperang kuwi wujude siji nanging bisa makili saka sakabehe apa kang diperang kasebut. Saka andharan kasebut makna sajroning saperangan kanggo sakabehe kuwi nyambungake antaraning sing saperangan marang sing sakabehe. Saperangan kanggo sakabehe ( pars pro toto) bisa diperang dadi:
184
1. Adhedhasar sipat yaiku atributif sajroning: a. cacate manungsa b. sandhangane kang dinggo lan c. perangane awak d. Anggota kelas Kekarone perangan kasebut nuduhake saperangan kanggo sakabehe. Misale ing tuladha Atributif sajroning cacate manungsa: Anake Pak ujang jebule gundhul. Tembung Gundhul nuduhake yen sing gundhul kuwi sirahe amarga dicukur gundhul. Tembung gundhul ngganteni saawak anake Pak Ujang. Mula saka kuwi tembung gundhul kuwi saperangan kang makili sakabehe awak anake Pak Ujang. Perangan kapindho yaiku anggota kelas. Anggota kelas kuwi nyebutake salah sawijining samubarang kang makili samubarang liyane sing sajenis. Tuladhane: pepsodent. Pepsodent ing kene ngganteni sakabehe merk odol. Kamangka merk odol akeh jinisi. Kayata: ritadent, clos up, pepsodyne, lsp. Dadi pepsodent kuwi minangka saperangan banjur merk liyane kuwi minangka skabehe. Ana kang pitakon apa saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto) kuwi padha karo redudansi? Wangsulane ya jelas ora padha. Yen saperangan kanggo sakabehan (pars pro toto) kuwi minangka sesambungane teges kanggo ngganteni saperangan marang sakabehe. Banjur yen redudansi kuwi kaluwehaning tembung. Tuladhane: Ayu budheg karo Ayu kupinge budheg. Ing ukara kapisan kuwi kalebu saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto) amarga wis cetha banget yen sing budheg kuwi kupinge Ayu senadyan tanpa nyebutake kuping. Dadi ukara kang kapindho kuwi kalebu Redudansi merga kathek nggunakake tembung kuping. Kang dadi redudansi kuwi tembung kuping. Kamangka saka ukara kekarone kuwi nduweni teges kang padha. Saperangan kanggo sakebehe kuwi Adhedhasar sipate kuwi urip sajroning manungsa lumantar basa kang dienggo saben dinane. basa kang dinggo paawongan kuwi kudu bisa ditampa dening pawongan liyane. Senadyan basa kuwi nggunakake simbol-simbol nanging nduweni teges kang bisa dingerteni pawongan liya. Ing
185
ngisor iki tuladha-tuladha saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto). Saka tuladha kasebut banjur dianalisis kanthi ilmu semantik. a. Kang awujud cacate manungsa 1. Anake Pak udhin kuwi pancen budheg tenan. Dijak omong kok tolah-toleh. Tembung ing dhuwur yaiku kalebu cacate manungsa. Saka tuladha ing bukubukune Parera uga Fatimah ana kang ngandharake tuladha kuwi. Njlentrahane yaiku tembung budheg kuwi nuduhake yen sing budheg kuwi kupinge. Nanging ing kasus Pars pro toto tembung budheg nuduhake sakabehe awak saka Pak Amin. Dadi maksud saperangan dening tembung budheg yaiku kuping, ning kang dimaksud saka sakabeh yaiku sakabehe awak Pak Amin. 2. Firman jebule pincang sajoke kecelakaan ing Pabrik setaun kepungkur! Ukara ing dhuwur kuwi diandharake yen sing pincang kuwi sikile Firman. Nanging ing kasus saperangan kanggo sakabehe tembung pincang nduweni makna yen nuduhake saawake Firman. Dadi kang dimaksud saka saperangan kuwi sikile Firman banjur sakabehe kuwi saawake Firman. 3. Mesakke bocah wuta sing turu ing pinggir dalan kuwi. Ukara ing dhuwur kuwi kaandharake yen sing wuta kuwi mripate bocah. Nanging ing kasus saperangan kanggo sakabehe tembung wuta nduweni makna nuduhake ngganteni saawake bocak kasebut. Dadi kang dimaksud saperangan kuwi mripat banjur sakabehe kuwi saawake bocah kasebut. 4. Anis kuwi bisu awit bayi. Ukara ing dhuwur padha karo tuladha-tuladha liyane. Yen sing bisu kuwi lambene Anis. Nanging ing kasus saperangan kanggo sakabehe bisu nduweni makna nuduhake ngganteni saawake Anis. Dadi kang dimaksud saka saperangan kuwi lambe, banjur sakabehe kuwi saawake Anis. 5. Safiq beleken Saka ukara kasebut cetha banget yen sing beleken kuwi mripate Safiq. Nanging
186
kang disebut kuwi Safiq. Kamangka ing awake Safiq kuwi ana organ-organ liyane. Dadi kang dimaksud saperangan kuwi mripat banjur sakabehe kuwi saawake Safiq. Tuladha ing ngisor iki data-data ngenani cacate manungsa kang kalebu saperangan kanggo sakabehe lan nduweni kasus padha ing dhuwur. No
Jinis cacate manungsa
Saperangan
Sakabehe
1.
Nonong
Bathuk
Saawake
2.
Pelat
Ilat
Saawake
3.
Pesek
Irung
Saawake
4. Kera, plolong, lamur
Mripate
Saawake
5.
Brintik
Rambut
Saawake
6.
Mrongos
Untu
Saawake
7.
Domble
Lambe
Saawake
8.
Kithing
Driji
Saawake
9.
Kempot
Pipi
Saawake
10.
Bindheng
Swarane
Saawake
Sakabehe tuladha ing kothak kuwi minangka saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto) kang nuduhake saperangane awak kanggo sakabehe awak. b. Kang awujud sandhangan 1. Bocah kaca mripatan kae jenenge Roy Ukara ing dhuwur nuduhake yen dimaksud dening kaca mripat kuwi bocah kang gawe kaca mripat. Kacamata kuwi nduweni teges samubarang kang awujud kaca kang dienggo pawongan ing mripate. Samubarang kuwi dadi sipat marang pawongan kang ngenggo. Mula saka kuwi kaca mripat dadi tetenger marang pawongan kang nganggo. Bocah kaca mripat kalebu
187
saperangan kanggo
sakabehan amarga nduweni makna kanggo sakabehan. Dadi maknane kaca mripat amung saperangan yaiku dinggo ing mripat. Banjur ing ukara kasebut makili sakabehing awak bocah kang ngenggo kaca mripat kasebut. 2. Para pasukan kuning padha sarapan sega bungkusane ing nisor wit. Pasukan kuning kuwi
makili saka sakabehaning para pasukan reresik.
sadawaning dalan. Ing kutha-kutha gedhe wiwit isuk akeh para wadon-wadon padha reresik ing pinggir dalan. Para kakung biasane padha nyiram kembang ana uga ang ngramut kembang-kembang ing taman kutha. Sakabehing pawongan kasebut umume nggunakake sandhangan kanthi werna kuning. Mula saka kuwi para reresik dalan kang nganggo klambi kuning dikenal pasukan kuning. Sakabehing kuwi makili saka saperangan yaiku pasukan kuning ang makili marang sakabehan yaiku para pawongan kang reresik ing pinggir dalanan kutha kang nganggo klambi kuning. 3. Ing kampungku ana laler ijo kang latiyan mbedhil. Laler ijo neng ukara dhuwur kuwi nduweni maksud para TNI kang nggawe seragam warna ijo bonthang-blonthang. Dideleng saka apa kang disandhang bisa mujudake tembung jejuluk kanggo para TNI kasebut lan kabeh warga uga ngarani laler ijo. Laler ijo kalebu saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto) amarga laler ijo kuwi saperangan kang makili sakabehing angkatan TNI AL, TNI AD, TNI AU. Kamangka seragame para TNI kasebut beda-beda. 4. Ani kuwi behelan awit minggu kepungkur. Ukara ing dhuwur kuwi kaandharake yen sing dibehel kuwi untune Ani dudu saawake Ani. Dadi ukara ing dhuwur kalebu saperangan kanggo sakabehe. Yen untune Ani kalebu saperangan banjur sakabehe kuwi dijlentrehake marang saawake Ani. c. Perangane awak a) Kanggo budhal menyang Bali, saben sirah kudu bayar Rp. 550.000 Ukara ing nduwur kuwi kaandharake yen dimaksud saka tembung sirah kuwi makili sawake pawongan kasebut. Dadi
188
b) Pawongan kang dawa tangane kuwi bakal dikucilna marang kanca-kancane. Kang dimaksud saka dawa tangane kuwi ngganteni kelakuane pawongan kang senengane nyolong. Dawa tangan ing kene kalebu saperangan kang makili kelakuane saawake pawongan kasebut.
1. Kang awujud anggota kelas a) Aku tuku Aqua neng toko murah Tembung Aqua ngganteni sakabehe ombenan kang awujud banyu putih utawa banyu mineral amerga saka aqua karo liyane nduweni sesambungan makna yaiku nduweni wujud kang padha. Kanggo nggampangake pawongan ngenali jinis-jinis saka sakabehe merk kasebut, mula ngganggo tembung aqua kanggo ngganteni. Dadi aqua kuwi minangka saperangan kang makili saka sakabehe merk liyane. Merk liyane kayata: Club, Fresh, Total, lsp b) Bapakku pengin tuku clana Levis Tembung levis kuwi ngganteni sakabehe merk clana utawa klambi dhasare saka kain jean. Amarga wong tua ora ngerti modhel, mula sakabehe jinis clana utawa klambi kang dhasare saka jean kuwi dianggep levis. Dadi levis kuwi minangka saperangan, banjur sakabehe kuwi merk-merk liyane saka kain jean, kayata: loggo, shopi martin, cardinal, lsp. c) Pepsodentne entek! Sing dikarepake dening ukara ing dhuwur yaiku odol. Tembung pepsodent kuwi ngganteni sakabehe merk odol. Nanging wong tua nggangep yen sakabehing odol kuwi arane pepsodent. Mula ukara kasebut kalebu saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto). Dadi pepsodent
ing kalebu saperangan, banjur
sakabehe kuwi merk-merk odol liyane, kayata: ritadent, sesodyne, closup, lsp. d) Simbahku pengin dhahar sarimie. Sarimie ing kene ngganteni sakabehe merk mie instan. Saka ukara kasebut simbah kuwi pengin dhahar mie instan ning ora ngerti merke lan rasane. Mula
189
tembung sarimie kuwi kalebu saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto). Sarimie minangka saperangan, banjur kang kalebu sakabehe kuwi merk-merk mie instan liyane, kayata: indomie, sedhap, lsp E. Dudutan Saka andharan ing dhuwur bisa kadudut yen ta saperangan kanggo sakabehe (pars pro toto) kuwi salah sawijinig majas (gaya basa) kanggo makili utawa ngganteni individu-individu kanthi sakabehe. Saka andharan ing dhuwur mau wis dijlentrehake kanthi gamblang ngenani bab kasebut. saliyane kuwi ugha bisa kanggo mbangetake pamikire para pamaos diwenehi tuladha sarta analisis supaya pamaos luwih gampang nampa andharan ngenani saperangan kanggo sakabehe. Sajrone saperangan kanggo sakabehan kuwi bisa diperang dadi loro, yaiku jinis kang asipat atributif lan kalebu anggota kelas. Atributif kuwi nganteni bageyan saka sipat utawa sakabehan individu sing diganteni. Tuladhane: pincang, mancung, bisu, lsp. Banjur yen anggota klas kuwi saperangan samubarang kang ngganteni sakabehane barang kang nduweni wujud kang padha nanging beda merk. Tuladhane: sanyo, aqua, honda, lsp. Daftar Pustaka Djajasudarma, T. Fatimah.2012. Semantik 1 Makna Leksikal dan Gramatikal. Refika Aditama: Bandung Gudai, Darmansyah, 1989. Semantik beberapa Topik Utama. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Parera, J.D. Teori Semantik. Erlangga: Jakarta Pateda, Mansoer. 2001.Semantik Leksikal (edisi kedua). Rineka Cipta: Jakarta Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Semantik. Angkasa: Bandung Ullman, Stephen.2009. Semanties An Introduction to the Science of Meaning (diadaptasi oleh Sumarsono). Pustaka Pelajar: Yogyakarta Wijana, I Dewa Putu. 2011. Semantik:Teori dan Analisisnya.Yuma Pustaka: Surakarta
190
PENERAPAN STRATEGI 5 EFFECTIVE TRAITS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS PARAGRAF Zainul Aminin, Ayunita Leliana [email protected] , [email protected] Universitas Negeri Surabaya
ABSTRACT Preliminary observation shows that most of Paragraph Writing class students are not able to structure a well-formed paragraph yet. Only couple of students could write a paragraph, which meets the requirements of a good paragraph. It is predicted that the cause is no particular strategy applied during the class; the students only accomplished all the exercises in the book. Though there are various learning strategies which can be applied to improve students’ writing skill, but 5 effective traits is chosen to solve the problem in the class. 5 effective traits has 5 detail steps, which can be easily applied by the lecturer and followed by the students. A classroom action research is used as the research design, which uses observation forms and documentation to collect the data. The observation result of lecturer activity shows progress from 75% in the first cycle becomes 83,33% in the second cycle. The observation result of students activity is also gain advance number from 68,75% becomes 79,1%. This progress indicates that the learning process through this strategy has run well. Moreover, the students’ study result has been better, too, from 68,18% becomes 81,82. Briefly, it can stated that 5 effective traits helps students learn better and achieve significant result for their writing skill. Keywords: paragraph writing, 5 effective traits
PENDAHULUAN Pemerolehan bahasa bersifat cultural transmission yang bermakna bahwa manusia dilahirkan dengan beberapa keahlian untuk memperoleh bahasa namun bukan kemampuan untuk memproduksi ungkapan-ungkapan dari bahasa tertentu (Yule, 2006). Bukti nyata bahwa bahasa bersifat cultural transmission adalah jika seorang anak Indonesia dibesarkan di negara yang berbahasa Inggris, maka dia akan memperoleh bahasa Inggris sehingga lebih lancar berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Walaupun orang tuanya mengajarkan bahasa Indonesia, namun dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar dia akan menggunakan bahasa Inggris. Pemerolehan bahasa kedua dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu proses pemerolehan bahasa kedua yang dilakukan di tempat atau wilayah (negara) yang menggunakan bahasa tersebut (‘second language’ setting); dan proses yang dilakukan di luar wilayah (negara) yang menggunakan bahasa
191
tersebut (‘foreign language’ setting) (Yule, 2006). Misalnya para mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Jurusan Bahasa dan Sastra yang mempelajari bahasa Inggris di kampus, maka mereka menggunakan bahasa Inggris dengan seting ‘foreign language.’ Menulis dalam bahasa Inggris merupakan salah satu keahlian yang harus dikuasai oleh setiap mahasiswa. Untuk membekali mahasiswa dengan kemampuan menulis yang baik, kurikulum program studi S1 Pendidikan Bahasa Inggris memiliki serangkaian mata kuliah menulis yang terdiri atas Paragraph Writing, Descriptive and Narrative Writing, Expository & Argumentative Writing, dan Paper Writing, serta beberapa mata kuliah yang berorientasikan pada keahlian menulis. Melalui beberapa mata kuliah tersebut, diharapkan para mahasiswa mampu menuangkan pemikiran ilmiahnya dalam bentuk tulisan secara runut dan sitematis. Lebih lanjut, mahasiswa harus mampu menghasilkan tulisan yang memiliki kesatuan dan koherensi yang baik. Kecakapan dalam menulis sangat perlu ditingkatkan agar para mahasiswa mampu menguasai teknik menulis dalam bahasa Inggris dan memiliki keterampilan berkomunikasi melalui tulisan yang berbahasa Inggris (KKNI, 2013). Mata kuliah Paragraph Writing adalah mata kuliah menulis yang pertama dan merupakan mata kuliah prasyarat untuk mata kuliah Descriptive and Narrative Writing. Maka sangat penting bagi para dosen pengampu mata kuliah ini untuk membekali mahasiswa dengan keilmuan tentang teknik menulis karya ilmiah. Di kelas Paragraph Writing, mahasiswa berfokus pada penulisan paragraph tunggal. Paragraf yang baik adalah yang memuat satu ide pokok saja. Jumlah kalimat tidak menjadi tolok ukur sebuah paragraf. Oshima dan Hogue (2006) menyatakan bahwa jumlah kalimat dalam sebuah paragraf tidak terlalu penting selama paragraf tersebut cukup panjang untuk menjabarkan ide pokok secara jelas dan tuntas. Pembuatan kerangka karangan merupakan tahap awal dalam kegiatan menulis, baik menulis paragraf tunggal ataupun esai. Tahapan inilah yang dilewatkan oleh mahasiswa. Hanya 1 orang mahasiswa yang membuat mind map atau kerangka berpikir sebelum mulai menulis paragraf. Ini merupakan indikator awal bahwa mahasiswa tidak mengaplikasikan keilmuan dalam menulis yang telah mereka dapatkan dari jenjang pendidikan sebelumnya. Kesalahan berikutnya adalah dalam perumusan topic sentence dan supporting sentences. Mahasiswa mengalami kendala dalam membatasi topik tulisan (menentukan controlling idea) dan kurang dari 5 mahasiswa dari 22 mahasiswa yang mampu membuat topic sentence dan supporting sentences yang benar pada paragraf
192
pertama mereka. Akan sulit untuk memenuhi kriteria penulisan yang baik jika mahasiswa masih mengalami kendala dalam penguasaan teknik menulis untuk menuangkan ide dan pemikiran dalam bentuk paragraf berbahasa Inggris yang sederhana yang memiliki kerunutan dan koherensi yang baik. Maka untuk mengatasi kesenjangan tersebut, tim peneliti akan mengaplikasikan strategi 5 effective traits pada kelas Paragraph Writing. 5 effective traits memiliki 5 tahapan yang dapat diaplikasikan untuk meningkatkan kemampuan menulis, yaitu stimulating idea, brainstorming and outlining, developing idea, editing, dan putting it all together (Savage dan Shafiei, 2007). Rumusan masalah penelitian antara lain 1) Bagaimana aktivitas dosen dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan menulis paragraf pada kelas Paragraph Writing mahasiswa program studi S1 Pendidikan Bahasa Inggris melalui penerapan strategi 5 effective traits? 2) Bagaimana aktivitas mahasiswa dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan menulis paragraf pada kelas Paragraph Writing mahasiswa program studi S1 Pendidikan Bahasa Inggris melalui penerapan strategi 5 effective traits? 3) Bagaimana penerapan strategi 5 effective traits dapat meningkatkan kemampuan menulis paragraf pada kelas Paragraph Writing mahasiswa program studi S1 Pendidikan Bahasa Inggris?
PEMBAHASAN Data setiap siklus akan dipaparkan secara terpisah agar perbedaan ataupun perubahan alur siklus nampak jelas. Paparan data didasarkan pada data yang diperoleh dari hasil pengamatan, catatan lapangan, dan hasil belajar mahasiswa. Dengan demikian kendala yang dihadapi pada siklus I dapat dibenahi pada siklus II. Berikut ini adalah paparan data dan temuan penelitian pada setiap siklus. Siklus I a. Perencanaan Tahap ini dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 2016. Pada tahap ini dosen melakukan analisis Rencana Perkuliahan Semester (RPS) untuk mengetahui deskripsi mata kuliah, kompetensi dan indikator yang akan diterapkan kepada mahasiswa dalam pembelajaran. Dosen membuat rencana pembelajaran dan materi perkuliahan dengan
193
strategi 5 effective traits selama 2 pertemuan untuk tiap siklusnya dan menentukan indikator-indikator yang sesuai dengan tema dalam pembelajaran agar terarah dan sesuai dengan tujuan proses belajar, dan menyusun alat evaluasi pembelajaran. b. Pelaksanaan Tahap Pelaksanaan ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu persiapan, pelaksanaan, dan penyelesaian yang dilaksanakan pada tanggal 10 dan 17 Mei 2016. Pada tahap persiapan, dosen memperkenalkan strategi 5 effective traits dan bagaimana penerapannya dalam proses pembelajaran, kemudian membagi mahasiswa menjadi beberapa kelompok. Pada tahap kedua yaitu pelaksanaan, dosen membagikan seperangkat lembar kerja yang berisi langkah-langkah pelaksanaan strategi 5 effective traits beserta latihanlatihannya. Pada tahap penyelesaian dosen membahas hasil pekerjaan mahasiswa secara detail bersama dengan mahasiswa dan memberikan masukan-masukan terkait dengan penerapan strategi 5 effective traits. c. Observasi Observasi dilaksanakan pada saat pelaksanaan pembelajaran. Ada tiga jenis lembar observasi yang digunakan yaitu lembar observasi aktivitas dosen, lembar observasi aktivitas mahasiswa dan lembar observasi hasil belajar mahasiswa. d. Refleksi Kegiatan refleksi dilakukan secara kolaboratif antara peneliti dengan pengamat. Secara keseluruhan pelaksanaan pembelajaran berjalan sesuai dengan perencanaan pelaksanaan tindakan. Namun masih ada beberapa kekurangan pada siklus I yang harus diperbaiki pada siklus II agar kemampuan mahasiswa dapat meningkat secara optimal. Berdasarkan hasil observasi aktivitas dosen, mahasiswa dan hasil belajar mahasiswa ada beberapa hal yang harus dibenahi untuk siklus selanjutnya. Pertama adalah kurangnya dosen dalam menstimulus mahasiswa dengan menggunaan gambar sehingga mahasiswa cenderung pasif mengutarakan pendapatnya. Hal ini disebabkan tidak berfungsinya LCD Proyektor yang membuat gambar tidak bisa ditampilkan secara maksimal. Dosen hanya bisa menunjukkan gambar tersebut melalui laptop yang dibawa keliling kelas dan tentu saja gambar tersebut tidak terlihat dengan cukup
194
jelas oleh seluruh mahasiswa. Perlu adanya pengecekan LCD terlebih dahulu sebelum pembelajaran dilaksanakan. Yang kedua adalah mahasiswa kesulitan membuat beberapa contoh benda atau tempat yang berkaitan dengan topik dan mencari kata sifat untuk menjelaskan tempat atau benda tersebut dan kesulitan menambahkan specific details pada kalimat yang disediakan. Hal ini disebabkan kurangnya kosakata yang dimiliki oleh mahasiswa. Mereka perlu banyak latihan membaca teks berbahasa Inggris terutama berkaitan dengan topik yang sedang dibahas. Hal ini juga berdampak pada kemampuan membuat beberapa pertanyaan untuk memudahkan menjelaskan specific details yang cenderung rendah. Selanjutnya dari hasil belajar mahasiswa terlihat jelas bahwa kelemahan terletak pada penyusunan topic sentence dan penggunaan conventions. Topic sentence seharusnya mengandung topic dan controlling idea. Namun pada kenyataannya mahasiswa masih kesulitan dalam menentukan controlling idea. Sedangkan pada penggunaan conventions, masih banyak mahasiswa yang salah dalam penggunaan tata bahasa, ejaan, tanda baca, dan terminologi. Persentase hasil observasi aktivitas dosen menunjukkan angka 75%, hasil observasi aktivitas mahasiswa mencapai angka 68,75% dan ketuntasan hasil belajar mahasiswa masih 68,18%. Hal ini menunjukkan perlu dilaksanakannya siklus 2 karena siklus1 belum bisa dikatakan berhasil sesuai dengan kriteria keberhasilan penelitian. Siklus II a. Perencanaan Tahap ini dilaksanakan pada tanggal 19 Mei 2016. Pada tahap ini dosen merencanakan perbaikan terhadap pelaksanaan siklus 1, antara lain 1) membuat materi perkuliahan yang lebih baik dengan strategi 5 effective traits selama 2 pertemuan, 2) menyiapkan gambar yang besar dan jelas sehingga terlihat oleh mahasiswa, 3) mengecek LCD Proyektor apakah berfungsi dengan baik, 4) memberikan teks yang banyak mengandung specific details agar menjadi contoh mahasiswa dalam membuat kalimat dan pertanyaan, dan 5) menjelaskan kembali tentang susunan topic sentence, tata bahasa, ejaan, tanda baca, dan terminologi yang benar.
195
b. Pelaksanaan Tahap Pelaksanaan ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu persiapan, pelaksanaan, dan penyelesaian yang dilaksanakan pada tanggal 24 dan 25 Mei 2016. Pada tahap persiapan, dosen memperkenalkan kembali strategi 5 effective traits dan bagaimana penerapannya dalam proses pembelajaran sekaligus mengevaluasi hasil siklus 1. Pada tahap kedua yaitu pelaksanaan, dosen membagikan kembali seperangkat lembar kerja yang telah direvisi yang berisi lebih banyak teks dengan specific details sehingga bisa menjadi contoh bagi mahasiswa. Pada tahap penyelesaian dosen membahas hasil pekerjaan mahasiswa secara detail bersama dengan mahasiswa dan memberikan masukan-masukan terkait dengan penerapan strategi 5 effective traits. c. Observasi Seperti pada siklus I, observasi dilaksanakan pada saat pelaksanaan pembelajaran dan menggunakan dua jenis lembar observasi yang digunakan yaitu lembar observasi aktivitas dosen dan lembar observasi aktivitas mahasiswa. Kedua lembar observasi tersebut diisi oleh teman sejawat. d. Refleksi Menurut hasil observasi aktivitas dosen, mahasiswa dan hasil belajar mahasiswa, secara umum terjadi peningkatan yang cukup bagus, walaupun tidak sangat signifikan. Namun dibalik peningkatan ini masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk penerapan strategi 5 effective traits ini di kemudian hari. Mahasiswa nampaknya masih banyak mengalami kesulitan dalam menyusun topic sentence yang baik dan menggunakan tata bahasa (grammar) yang benar dalam tulisannya. Beberapa dari mereka masih belum bisa membatasi topik yang akan ditulis melalui controlling idea sehingga tulisan mereka kurang terfokus dan detail. Dalam hal tata bahasa, banyak mahasiswa melakukan kesalahan pada bagian subject verb agreement, singular-plural, dan keterkaitan antara satu kalimat dengan kalimat yang lain. Mereka perlu diberi banyak penjelasan dan latihan membuat topic sentence dan penggunaan tata bahasa yang benar. Hasil observasi aktivitas dosen pada siklus 2 menunjukkan adanya peningkatan persentase menjadi 83,33%, hasil observasi aktivitas mahasiswa naik menjadi 79,17%, dan hasil belajar mahasiswa menjadi 81,82%. Hasil ini telah mencapai target
196
yang telah ditentukan sehingga siklus dihentikan pada siklus 2 ini. Siklus I dan II 5 Effective Traits oleh Savage dan Shafiei (2007) adalah salah satu strategi efektif yang bisa digunakan untuk meningkatkan kemampuan menulis paragraf mahasiswa. Strategi ini memiliki 5 tahapan, yaitu stimulating idea, brainstorming and outlining, developing idea, editing, dan putting it all together. Hasil observasi aktivitas dosen menunjukkan adanya peningkatan yang cukup tinggi pada siklus I yaitu 75% menjadi 83,33% pada siklus II. Begitu juga dengan hasil observasi aktivitas mahasiswa meningkat dari 68,75% pada siklus I menjadi 79,17% pada siklus II. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran di dalam kelas telah berlangsung dengan baik. Hasil belajar mahasiswa juga mengalami peningkatan dari hanya 15 orang (68,18%) yang berhasil pada siklus I sesuai kriteria yang ditetapkan menjadi 18 orang (81,82%). Hal ini menunjukkan bahwa penerapan strategi 5 effective traits dapat meningkatkan kemampuan menulis paragraf mahasiswa. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Naiman, et. al. (1996) bahwa pembelajar bahasa kedua/asing yang sukses adalah mereka yang menerapkan berbagai macam strategi pembelajaran. Hal ini didukung juga oleh O'Malley and Chamot (1990) yang mengatakan bahwa pembelajar bahasa kedua/asing yang efektif adalah yang memperhatikan strategi pembelajaran yang mereka gunakan dan mengapa mereka menggunakannya. SIMPULAN Hasil observasi aktivitas dosen menunjukkan adanya peningkatan yang cukup tinggi pada siklus I yaitu 75% menjadi 83,33% pada siklus II. Hal ini mengindikasikan bahwa dosen telah melaksanakan strategi 5 effective traits sesuai tahapan yang telah ditentukan. Sama halnya dengan hasil observasi aktivitas mahasiswa yang meningkat dari 68,75% pada siklus I menjadi 79,17% pada siklus II. Hal ini juga menunjukkan bahwa mahasiswa telah mengikuti tahapan 5 effective traits dengan baik sesuai instruksi yang diberikan oleh dosen. Hasil belajar mahasiswa dalam menulis paragraf juga mengalami peningkatan dari hanya 15 orang (68,18%) yang tuntas pada siklus I sesuai kriteria yang ditetapkan menjadi 18 orang (81,82%). Hal ini menunjukkan bahwa penerapan strategi 5 effective traits dapat meningkatkan kemampuan menulis paragraf mahasiswa prodi S1 Pendidikan Bahasa
197
Inggris Universitas Negeri Surabaya.
DAFTAR PUSTAKA Naiman, N., Fröhlich, M., Stern, H. H., & Todesco, A. (1996). The good language learner. Clevedon, England: Multilingual Matters. O'Malley, J. M., & Chamot, A. U. (1990). Learning strategies in second language acquisition. Cambridge, UK: Cambridge University Press. Oshima, Alice dan Hogue, Ann. (2006). Writing Academic English. Edisi IV. New York: Pearson Education. Savage, Alice dan Shafiei, Masoud. (2007). Effective Acedemic Writing 1. New York: Oxford University Press. Yule, George. (2006). The Study of Language. 3rd edition. New York: Cambridge University Press.
198
BIDANG SASTRA
GETARAN SASTRA Suwardi Endraswara Ketua Umum Hiski Pusat A. Ada Getaran Yang Salah? Getaran itu ada, manusiawi. Tiap orang ada getaran. Ada getaran untuk mencintai sastra lisan. Ada getaran batin. Tiap getaran butuh perwujudan. Jika tidak, getaran menyukai sastra lisan, jika gagal, akan resah. Bahkan ada yang sampai meneteskan air mata, gara-gara getaran hatinya terhalang. Begitu juga sebaliknya, getaran untuk menjawab atau meyakinkan pada orang lain tentang sastra lisan; yang sering diteror dan dicibiri. Getaran batin saya, harus membuka mata dan melebarkan telinga orang ragu pada sastra lisan. Silakan mencemooh sastra lisan. Silakan saja. Bahkan mau menganggap sastra lisan itu “tidak ada”, silakan. Yang jelas, menurut saya tidak ada yang salah dalam sastra lisan. Jika Ali (1984:59) menegaskan bahwa sastra lisan di Malaysia dapat memperkokoh identitas, di Indonesia pun begitu. Identitas nusantara, semakin kuat kebhinekaanya, karena sastra lisan ada. Linda Degh (1972:37) pun tetap mengibarkan sayap bahwa sastra lisan itu ada. Sastra lisan seperti “folk narrative”, artinya cerita lisan, kisah lisan, sampai saat ini tidak ada yang salah. Kisah lisan itu tetap memiliki formula yang khas. Dia menyebut istilah folk (floklor). Memang sastra lisan itu boleh disebut sastra rakyat. Sastra kolektif yang hidup di tengah masyarakat itu, sepertinya justru pantas diteliti dengan teori-teori mutakhir. Berikut ada sastra lisan, bermetrum asmaradana. Ini sering dinamakan oral poetry (puisi lisan). (1) aja turu sore kaki ana dewa nganglang jagad nyangking bokor kencanane isine donga tetulak sandhang kalawan pangan ya iku bageyan ipun wong melek sabar narima (2) ingkang bisa nemu iki nora saben sok uwonge kudu ana pilihane kang weruh lakune jaman eling kanthi waspada tindhak tuwajuh lan jujur ingkang antuk kamurahan Dua bait (1) dan (2) sastra lisan itu, sudah jadi bukti. Tak ada alas an merendahkan sastra lisan. Keduanya memuat kearifan local yang luar biasa, agar manusia hidup lebih nyaman. Memang, harus diakui, bahwa sastra lisan itu sering diejek. Sering ditertawakan, sinis. Bahkan beberapa peneliti alergi dengan sastra lisan. Ada pula yang amat skeptic pada sastra lisan. Dia sempat komentar: ada apanya sastra lisan itu, kan penciptanya hanya main-main saja. Beberapa skripsi,
199
tesis, dan disertasi ikut muak dengan sastra lisan. Pertanyaan kecilku, antara lain: (1) apa yang salah dengan sastra lisan, (2) apa yang membuat sastra lisan dicampakkan, disia-siakan, dan kurang diperhitungkan, (3) apa dosa sastra lisan? Nah, dari aneka serpihan dan repertoar komentar terhadap sastra lisan itu, justru menarik diteliti dari sisi antropologi sastra. Ini sebuah ilmu baru yang saya kibarkan benderanya sejak tahun 2014. Walhasil di beberapa perguruan tinggi dan balai/kantor bahasa ada yang mengikuti. Beberapa tesis dan disertasi yang yang bombing, mulai ada getaran antropologi sastra. Pernah saya paparkan panjang lebar di kantor Bahasa Nusa Tenggara Timur (NTT), 1 April 2017 dan di Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta 11 April 2017. Yang menarik, di kantor bahasa NTT muncul pertanyaan peserta yang menggelitik, yaitu: bolehkah meneliti sastra dengan cara memutilasi karya sastra. Di USD juga muncul pertanyaan segar, yaitu: apakah sastra lisan itu pantas diteliti? Pertanyaan tentang mutilasi sastra itu, sempat mengilhami pemikiran saya yang radikal. Saya sengaja menawarkan itu melalui makalah ketika Seminar nasional Sastra di HISKI UNY, 20 Mei 2017 berjudul Meraih Hipersastra Lewat Mutilasi Sastra. Intinya, untuk meraih hipermakna (hipersastra) kita boleh melakukan mutilasi sastra. Dalam kaitaan ini, berarti kita boleh memutilasi sstra lisan. Seringkali, sastra lisan ada yang hanya permainan bunyi. Maka diperlukan mutilasi sastra untuk meraih hiperealitas. Dri sini, sebenarnya tidak ada yang salam dalam sastra lisan. Jika ada pihak yang senantiasa menghujat sastra lisan, lantaran menganggap kurang bermakna, tentu tidak seratus persen benar. Menurut hemat saya, meneliti sastra lisan boleh melakukan mutilasi. Artinya, memotong-motong karya sastra lisan itu, menurut kepentingan. Tugas peneliti adalah menunjukkan hiperealitas, agar pihak lain tidak selalu berpretensi buruk. Memang, harus diakui tampaknya, ada empat hal yang membuat sastra lisan dianggap “ringan”, yaitu: (1) estetika sastra lisan itu indah, tetapi sering sulit dimaknai, (2) sastra lisan itu sering berapi-api, menyembunyikan tanggung jawab, sebab pengarangnya tersembunyi, (3) sastra lisan sebenarnya tidak ada, yang ada adalah tradisi lisan, dan (4) referensi penelitian sastra lisan amat langka, sehingga kurang berkembang luas. Dari empat hal itu, menjadikan sastra lisan seolah-olah ada yang salah. Padahal kelahirannya tidak ada yang “kowar”, salah. Ada yang perlu diruwatkan sastra lisan itu? Proses kelahirannya, saya kira sama antara sastra lisan dan sastra tulis. Maksudnya, keduanya melalui kontemplasi dan intuisi. Intuisi adalah permainan imajinasi. Sastra lisan dan sastra tulis, selalu memanfaatkan intuisi yang tidak terduga. Saya jadi ingat, di jaman sesepuh, ada dua buah kisah lisan inspiratif. Pertama, pada suatu waktu, terdapat seorang guru yang bijak. Banyak murid yang datang dari tempat jauh, untuk mendengarkan petuah bijaknya. Pada suatu hari, seperti biasa, para murid berkumpul untuk mendengarkan pelajaran dari sang guru. Banyak murid mulai datang memenuhi ruang pengajaran. Mereka datang dan duduk dengan tenang dan rapi, memandang ke depan, siap untuk mendengar apa yang dikatakan oleh sang guru. Akhirnya sang guru pun datang, lalu duduk di depan para murid-muridnya. Sang guru membawa sebuah toples besar, disampingnya terdapat setumpuk batu kehitaman seukuran genggaman tangan, pasir, tisu, kelereng, dan bola pimpong. Tanpa bicara sepatah kata pun, Sang guru mengambil batu-batu tersebut satu persatu, lalu memasukkannya hati-hati ke dalam toples kaca. Apakah ada yang salah dari tindakan guru itu. Murid cerdas, tentu memiliki logika tinggi. Karya
200
sastra lisan, biasanya banyak yang mengolah logika. Saketika toples sastra lisan menyimpan kearifan local yang penting. Kedua, ada kisah lisan seorang dokter sakit jiwa. Ada tamu yang meneliti tentang diagnose pada pasien-pasien yang sudah boleh pulang, masih harus opname, dan jika perlu diberi obat resep khusus. Ternyata, dokter sakit jiwa yang memiliki ratusan lebih pasien itu, selalu mendiagnosa pasien cukup menggunakan alat ember, cintung, dan sendok. Kuncinya, agar pasien itu mengambil air di kulah (bak air) yang paling cepat habis. Untuk memaknai, kedua kisah lisan itu bisa digunakan perspektif antropologi sastra. Ketika membahas antropologi sastra di USD, 11 April 2017 ada hal yang perlu ditegaskan bahwa sastra lisan itu merupakan pantulan hidup manusia yang beragam. Oleh sebab itu antropologi sastra dapat dimanaatkan secara optimal. Dalam buku saya berujudul Metodologi Penelitian Antropologi Sastra (2013) sudah saya bahas, bahwa penelitian antropologi sastra termasuk perspektif baru. Membicarakan perihal perspektif antropologi sastra bukanlah hal sederhana, melainkan menyangkut hal-hal kompleks dalam sastra. Agak susah untuk memilahmilah dan memilih focus penelitian antropologi sastra. Oleh karena sastra adalah bagian dari peradaban, bahkan dapat dibilang, sastra juga turut andil dalam membangun peradaban manusia. Dengan hal ini, maka focus antropologi sastra lisan adalah mengungkap sastra sebagai cermin peradaban, yaitu budaya manusia.
B. Getaran Rindu itu Indah Ketika rindu memancar, cahaya hati bertambah bersinar. Ketika rindu tertahan, cahaya kepalapun menjadi padam. Ketika cahaya hati menjadi sempurna, rindu bersemi. Cahaya kepala akan kembali berkilau. Hati ialah cerminan jiwa. Sedangkan jiwa adalah ruh. Ruh merupakan sesuatu yang ghaib. Dialah yang maha ghaib. Akal ialah sesuatu yang berharga. Yang dimiliki setiap insan manusia. Rindu pada sastra lisan, adalah milik setiap manusia. Rindu sastra lisan, seringkali tidak masuk akal. Rindu bukan monopoli anak muda. Siapa pun boleh rindu. Sadar atau tidak, setiap orang itu dikaruniai rasa rindu. Termasuk rindu pada sastra lisan. Banyak sastra lisan yang kita rindukan, terutama ketika masa anak, banyak bermain sastra lisan. Sungguh menarik kerinduan itu. Tidak jauh berbeda, ketika orang dewasa merindukan sang pujaan hati. Jika sastra lisan sudah menjadi “pujaan hati”, kerinduan sulit dibendung. Rindu itu setitik embuh, yang memang harus jatuh pada dedaunan di saatnya. Begitu juga kalau merindukan sastralisan, biarpun harus blusukan ke lapangan, rasanya nikmat luar biasa. Donald A. Machdonald (1974:405) dalam artikelnya berjudul “Fileldwork: Collecting Oral Literature” menjelaskan bahwa terjun ke lapangan penting untuk menggali sastra lisan. Sastra lisan perlu direkam, diterjemahkan, agar mudah memaknainya. Penguasaan budaya local perlu bagi peneliti sastra lisan. Lapangan adalah arena sastra lisan/ Berikut ada puisi lisan yang sering kita dengar. Dithuthuk nganggo pipa ledheng, ayo deng Dhengkul jaran ayo ran, rantai sepur ayo pur Purwodadi ayo di, dina kemis ayo mis, misam mesem ayo sem, semar mendem ayo dem, demok sikiiiiil.....
201
Gudhiken ayo ken kendhangana ayo na naga sari ayo ri rina wengi ayo ngi ngilo kaca ayo ca cara landa ayo nda ndokok pentil ayo ti tila tila ayo la lapas lapes ayo pes pestaraja ayo ja jaka sembung ayo mbung njalok ambung Kerinduan pada permainan bunyi sastra lisan itu, dapat unik. Saya sebut bunyi-bunyi ritmis itu justru memacu hadirnya permainan sajak. Begitulah presastra lisan, yang dapat memacu kerinduan. Tiap orang yang pernah bermain dengan bunyi-bunyi lisan itu, akan terpacu. Kalau mengacu pada pemikiran Sweeney (1987:278) bunyi-bunyi lisan itu dapat digolongan folk literature, artinya sastra rakyat. Sebagai sastra rakyat, karya itu memiliki pola tradisi berlisan yang sering disebut tradisi lisan. Dia memberikan rumusan bahwa dalam sastra lisan memang sering full hearing. Telinga menjadi amat penting dalam pelestarian. Menurut hemat saya, penelitian sastra lisan yang full hearing, yang kadang hanya bunyi-bunyi tidak berstruktur, dapat diteliti dengan perspektif sastra etnografi. Kata kunci penelitian sastra lisan adalah pada penelitian lapangan, untuk melukiskan kehidupan suatu bangsa. Sastra lisan, memrupakan cetusan ide etnis tertentu. Ada pesan etnisitas yang mungkin beraroma multicultural atau keberagaman budaya. Etnografi adalah berasal dari kata ethnos yang berarti bangsa dan graphein yang berarti tulisan atau uraian. Etnografi adalah tulisan yang memuat keunikan bangsa-bangsa. Jadi berdasarkan asal katanya, etnografi berarti tulisan tentang/ mengenai bangsa (Endraswara, 2017:11 April). Sastra etnografis, adalah karya yang melukiskan kehidupan etnis tertentu. Kehidupan etnis sebagai bangsa sering ada kekhasan. Warna local banyak muncul dalam sastra etnis. Namun pengertian tentang etnografi tidak hanya sampai sebatas itu. Etnografi merupakan embrio dari antropologi. Antropologi tanpa etnografi kering. Kalau begitu, penelitian sastra etnografis menjadi embrio hadirnya antropologi sastra. Antropologi sastra adalah ilmu interdisipliner sastra yang membahas warna budaya dalam sastra. Artinya etnografi lahir dari antropologi di mana jika kita berbicara etnografi maka kita tidak lepas dari antropologi setidaknya kita sudah mempelajari dasar dari antropologi. Etnografi merupakan ciri khas antropologi. Artinya etnografi merupakan metode penelitian lapangan asli dari antropologi. Metode ini serig dimanfaatkan dalam penelitian sastra etnografi. Oleh karena sastrawan sudah melalui pertaruhan di lapangan, penjelajahan lapangan,peneliti tinggal menangkap saja. Begitu juga kalau henda meneliti dua cerita lisan naratif di bawah ini, perspektif sastra etnografi perlu diimplementasikan. Pertama, kisan lisan sang pembuat roti. Ibu itu selalu menyisakan roti yang dibuat, untuk amal, diletakkan di jendela. Harapannya jika ada yang lewat, silakan ambil roti itu. Ternyata, setiap hari, ada orang yang sudah bungkuk datang dan mengambil roti itu. Tetapi, bukannya mengucapkan terima kasih dan menunjukkan keramahan, pria itu malah menggerutu sejumlah kata yang selalu dia ucapkan setiap hari. Beginilah kira-kira ucapannya: "Perbuatan burukmu akan tetap bersamamu, perbuatan baikmu akan kembali kepadamu." Hal ini berlangsung secara terus-menerus, hari demi hari. Pria bungkuk itu selalu datang dan mengambil roti seraya mengatakan sesuatu dengan mengucapkan, "Perbuatan burukmu akan tetap bersamamu, perbuatan baikmu akan kembali kepadamu." Wanita itu merasa sebal dengannya,"Bukannya berterima kasih..," katanya dalam hati. “Setiap hari pria itu mengatakan hal yang sama, apa maksudnya?” pikir wanita itu.Suatu hari, tiba-tiba dia memiliki keinginan untuk
202
menyingkirkan pria bungkuk itu. Dia berniat membuat roti dengan racun di dalamnya. Tetapi, ketika akan meletakkannya pada jendela, dia gemetar dan tersadar. "Apa yang telah aku lakukan?" katanya. Roti itu akhirnya dibakarnya habis dan dia menggantinya dengan roti biasa. Seperti hari-hari sebelumnya, pria itu datang lagi dan tetap mengatakan hal yang sama, tidak menyadari peperangan batin dalam wanita itu. Putra wanita itu pergi merantau jauh dari tempat tinggalnya. Sudah berbulan-bulan dirinya tak mendapatkan kabar tentang keberadaan putranya itu. Wanita ini terus berdoa agar putranya diberi keselamatan dan dapat kembali padanya.Malam itu, pintu rumahnya diketuk dari luar, wanita itu pun membuka pintu rumahnya dan terkejut melihat sang anak berdiri dihadapannya. Anaknya itu terlihat sangat kurus dan lemah, rupanya dia kelaparan. Sang anak menatap ibunya dan berkata,"Ibu, ini keajaiban. Ketika aku masih jauh dari sini, aku kelelahan dan pingsan. Aku mungkin akan mati kelaparan, tetapi pada saat itu ada orang bungkuk datang melintas dan memberiku sebuah roti," ungkap sang anak. Pria itu berkata," Ini yang aku makan setiap hari. Hari ini aku harus memberikannya padamu karena kamu lebih membutuhkannya daripada aku." Kedua, suatu hari seorang dosen menyewa sebuah sampan untuk membuat kajian di tengah lautan.Pendayung itu merupakan lelaki tua yang sangat pendiam. Profesor sengaja mengupah lelaki tua itu kerana dia tidak mahu orang yang menemaninya banyak menyoal tentang apa yang dia lakukan. Dengan tekun dosen itu melakukan tugasnya tanpa menghiraukan pendayung sampan. Dia mengambil air laut dan diisi kedalam tabung uji, digoncang-goncang, kemudian mencatat sesuatu di dalam buku catatan dibawanya. Berjam-jam lamanya dosen itu melakukan kajian dengan tekun sekali. Pendayung sampan mendongak ke langit, memandang pada awan yang mulai berarak kelabu. Dalam hati dia berkata “Hmm..tak lama hujan lebat akan turun..” “OK semua sudah siap mari kita balik.” Lantas pendayung itu memusingkan sampannya dan mulai mendayung ke arah pantai. Dalam perjalanan itu baru dosen itu membuka mulut menegur pendayung sampan. “Dah lama kamu mendayung sampan?” Tanya dosen kepada pendayung sampan. “Hmm..hampir seumur hidupku,” jawab si pendayung ringkas. “Seumur hidup kamu? Jadi kamu tidak tahu apa-apa selain mendayung sampan?” tanya dosen itu lagi. “Ya..” jawab pendayung sampan dengan ringkas. Dosen belum berpuas hati dengan jawapan pendayung tua itu. “Kamu tahu Geografi?” Si pendayung menggeleng. “Kalau begitu kamu hilang 25% dari usia hidup kamu.” “Kamu tahu Biologi?”tanya Profesor itu lagi. Pendayung sampan itu menggeleng lagi. “Kasihan kamu telah kehilangan 50% dari usia kamu.” “Kamu tahu Fisika?” dosen itu masih bertanya. Seperti tadi pendayung sampan itu hanya menggeleng. “Sungguh kasihan kalau begitu kamu telah kehilangan 75% usia kamu.Malang sungguh nasib kamu semuanya tidak tahu. Seluruh hidup kamu hanya dihabiskan dengan sampan,tak ada gunanya lagi,” dosen itu mengejek dan berkata dengan angkuh setelah merasakan dirinya yang terhebat. Pendayung sampan hanya mendiamkan diri. Selang beberapa minit kemudian hujan turun dengan lebat, tiba-tiba ombak besar datang melanda. Sampan yang mereka naiki terbalik. dosen dan pendayung sampan terpelanting.
203
Sempat pula pendayung itu bertanya, “Kamu tahu berenang?” Profesor hanya menggeleng. “Sayang sekali kamu telah kehilangan 100% nyawa kamu.” Kata pendayung itu sambil berenang ke pantai meninggalkan dosen yang angkuh. Untuk meneliti cerita lisan tentang keangkuhan itu, perlu memanfaatkan sastra etnografi. Penelitian sastra etnografi lebih menitikberatkan aspek-aspek budaya dalam sastra. Sastra boleh dikatakan sebagai dokumen budaya. Hal ini sejalan dengan konsep etno berarti orang atau bangsa, sedangkan graphy mengacu pada menggambarkan. Jadi sastra etnografi berarti menggambarkan suatu budaya dan cara lain memahami cara hidup manusia dari sudut pandang asli. Sudut pandang asli ini biasanya dinyatakan secara estetis oleh sastrawan. Hal ini berarti, peneliti yang menggunakan penelitian etnografi berusaha memahami budaya atau aspekaspek budaya melalui serangkaian pengamatan dan penafsiran prilaku manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya lewat karya sastra. Sastra etnografi adalah karya yang memuat kehidupan manusia dalam sebuah etnis. Tugas peneliti etnografis adalah menangkap etnisitas lewat karya sastra. Semula, etnografi secara modern diperkenalkan oleh Franz Boas dan Bronislaw Malianowski, sebelumnya etnografi digunakan untuk memberikan kesaksian dari penjelajah, misionaris, dan pencarian data pejabat colonial. Dalam sastra, etnografi dikenalkan oleh sastrawan yang berwawasan lokalitas. Biasanya, novel yang melukiskan etnis tertentu dapat dijadikan objek penelitian sastra etnografi. Dalam sastra etnografi mengasumsikan bahwa seorang peneliti dalam membuat kesimpulan, melampaui apa yang dilihat atau dikatakan secara eksplisit dari apa yang dimaksud atau tersirat. Sastra etnografi, ada dua pandangan, yaitu: (1) meneliti refleksi etnografis karya-karya sastra, (2) meneliti resepsi masyarakat etnis tertentu terhadap salah satu karya sastra. Kedua pandangan ini boleh dilakukan, untuk menangkap getaran etnografis. C. Getaran Eko-Spiritualitas Sastra lisan adalah karya yang tidak lepas dari lingkungannya. Itulah sebabnya, diperlukan perspektif mutakhir untuk menggali makna sastra lisan. Memang Tirtawidjaya Dkk. (1979) pernah meneliti sastra lisan di Jawa Timur. Penelitian hasil kerjasama antara FKSS Universitas Negeri Surabaya dengan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, masih menggunakan teori-teori lama. Teori struktural yang mereka terapkan. Padahal sesungguhnya sastra lisan itu sebuah karya yang dekat dengan lingkungannya. Hutomo (1999:121) menyatakan bahwa banyak penyair lisan yang menghasilkan karya spiritualistic, erotic, dan patriotik. Pantun kentrung misalnya, banyak menawarkan gagasan demikian. Karya-karya puisi lisan kentung berikut, pantas diapresiasi, sebab selain ada kearifan local pada lingkungan (ekologis), juga memuat pendidikan karakter. Iwak lele mati kethuthuk Sujenana pring siladan Ndhuk kene arang kepethuk Entenana dalan prapatan Konsep prapatan adalah gambaran ekologis. Konteks kepethuk adalah hal kultural. Tidak hanya pantun (parikan), banyak puisi lisan yang memuat ekospiritualistik. Kalau mencermati puisi lisan yang sering dilantunkan anak kecil
204
berikut, jelas ada ekspresi lingkungan. Awalnya puisi berikut untuktmenguji kejujuran orang. Ternyata dengan peprmainan bunyi puistis, seseorang akan gembira sambil mengetes kejujuran. Bang-bang tut jendela ewa-ewa sapa berahi ngentut di tembak raja tuwa menyang kali ngiseni kendhi srikandi ngangkat topi jeruk purut tamba entut. Kalau berpijak pada gagasan Lord (1965:265) puisi lisan demikian termasuk folk literature. Sastra rakyat ini, merupakan gambaran lingkungan di sekitar pendukungnya. Sastra rakyat adalah sastra lisan yang sudah kuat tradisinya. Oleh karena itu bisa disebut tradisi lisan. Tradisi lisan Jawa sebagian besar berkisar pada lagu-lagu rakyat dan lagu-lagu dolanan. Lagu rakyat itu tidak lain adalah sastra lisan. Lagu-lagu dolanan banyak dinyanyikan anak-anak dalam rangka hiburan dan permainan. Lagu dolanan anak ialah lagu yang dinyanyikan sambil bermain-main. Atau lagu yang dinyanyikan dalam suatu permainan tertentu. Pada waktu anak-anak sangat hafal dengan lagu-lagu dolanan anak. Lagu-lagu dan permainan telah menyatu dan melekat pada hati mereka. Akan tetapi, dahulu anak-anak hanya belajar dan mendengarkan serta menyanyikan lagu tersebut dengan teman sebayanya. Cara belajar lagu anak-anak tersebut juga secara hafalan, lisan, dan insting saja. Tegasnya tradisi lisan anak-anak akan berkisar pada dunia kehidupan kita sendiri. Berbagai ragam tiruan hidup orang dewasa, memang amat mungkin dilakukan oleh anak. Unsur-unsur humor terkadang juga banyak muncul didalamnya. Oleh karena itu, ada unsur aneh ketika anak-anak menjadi peraga orang dewasa. Sementara mereka belum pernah mengalami langsung sebagai orang dewasa. Inilah yang membuat tradisi lisan anak-anak semakin mempesona. Lagu lisan di atas, ada versi yang lebih luas, yaitu sebagai berikut. Ndhang-Dhang (bang-bang) Tut ndhang-dhang (bang-bang) tut cendhela ewa-ewa sapa mentas ngentut tak tumbak raja tuwa tuwa-tuwa kaji sing tuwa ra mbejaji srikandhi bukak topi menyang kali ngiseni kendhi jeruk purut wadhah entut thung-dhang thung-tut sapa ngendhang sapa ngentut nek ngentut ketiban jembut serakup kukup bol meyol-meyol, kacep konthol pung irung tadhah taher blegeneg tiba ambleg ser delewer jrot tai moncrot tiba cocot
205
sang sing song jrot iwak kothot balung corot wek-ewek godhong senthe sing ngentut bosok silite Pada lagu dolanan tersebut hanya sekedar bermain-main bunyi. Namun, dalam lagu tersebut ada kecenderungan untuk mengetes kejujuran seseorang. Apakah orang tersebut sedang kentut atau tidak. Kentut biasanya dapat menimbulkan bunyi dan sekaligus mengakibatkan bau yang tidak enak (bau busuk). Tetapi ada juga kentut yang tidak berbunyi, tapi biasanya kentut yang tidak berbunyi itu yang mengakibatkan bau busuk tersebut, sehingga kurang disukai orang-orang. Pada lirik lagu “tuwa-tuwa kaji sing tuwa ra mbejaji”, tampaknya pada lirik tersebut ingin menyindir para orang tua yang sekaligus religious namun kurang paham (becus). Pada lirik lagu yang berbunyi “srikandhi bukak topi, menyang kali ngiseni kendhi, jeruk purut wadah entut”, lirik tersebut dapat ditafsirkan apa saja tergantung dalam penafsirannya. Dalam kaitannya dengan foklor anak, tentu saja susunan kata tersebut dapat diarahkan pada yang akan berwudhu. Orang yang akan berwudhu harus dibuka kopiah (topi), sehingga mukanya bisa dibersihkan. Akan tetapi, jika wudhunya tidak bersih (sah) akan seperti jeruk purut yang sekedar untuk wadah entut dan harus wudhu lagi karena batal. Yang lebih seru lagi yaitu pada lirik lagu bait kedua, karena menyebutnyebut bagian rambut kemaluan. Bahkan ada juga yang menyebutkan alat kelamin laki-laki. Kata-kata tersebut muncul sebagai ekspresi rasa kesal pada orang yang dianggap kentut, tapi tidak mau mengakuinya. Kekesalan muncul lebih kasar lagi, meskipun agak sedikit diplesetkan. Perbuatan kentut dianggap tidak sopan, seperti pada lirik yang berbunyi “pung irung tadhah taher”. Kata taher maksudnya adalah tahi (tai). Munculnya kata-kata jorok tersebut, memang sejalan dengan ciri foklor jawa yang begitu polos dan kadang-kadang kurang senonoh. Begitu pula pada lirik atau kata jrot dan corot pada bait yang terakhir, tidak lain adalah sebagai ungkapan rasa anyel. Kedua lirik atau kata tersebut hanya untuk sekedar menuding pada perbuatan kentut, yang dianggap tidak sopan jika sampai berbunyi. Kata tersebut memberikan ilustrasi pada bunyi kentut yang begitu keras. Sedangkan pada lirik “wek-ewek godhong senthe” sebagai sampiran, untuk memunculkan kalimat “sing ngentut bosok silite”. Lirik lagu tersebut juga sebagai ungkapan tuduhan, siapa yang kentut sampai berbunyi ususnya akan membusuk. Kata busuk sebenernya sekedar ingin mengamati, siapa yang kentut dan tidak mau berterus terang dianggap jelek. Jadi, lagu tersebut merupakan persemaian kejujuran. Meskipun kentut itu tidak baik, bagi yang melakukan harus berterus terang agar tidak menimbulkan kecurigaan. Sebab biasanya sesaat setelah ada yang kentut dan orang lain yang menciumnya, akan segera mencari dari mana bau tersebut dan siapa yang kentut. Bunyi syairtersebut tergolong memiliki wawasan mistik kejawen. Bunyi syair “bang-bang tut/ cendhela ewa-ewa/ sapa brahi ngentut/ ditumbak raja tuwa/ menyang kali ngiseni kendhi/ srikandi ngangkat topi/ jeruk purut wadhah (tamba) entut”, terkandung maksud awalnya batin memang ragu menemukan “titik” (bangbang tut). Batin akan gundah tatkala menemukan jendela luas ( cendhel ewa-ewa). Oleh karena itu ketika batin seseorang batal (ngentut) menemukan “titik” (tut) sejati, maka ia akan ditumbak raja tuwa (diwurungake ngelmu tuwanya). Atas dasar
206
itulah akhirnya ia menjadi sadar kembali bahwa hidup itu harus menyang kali lagi untuk ngisi kendhi, artinya pergi mencari air jernih agar srikandi ngangkat topi (membukakan tabir), dan sebelum itu semua maka batin tersebut harus dicuci dengan jeruk purut (buah penawar) hati. Jeruk purut bagi orang Jawa adalah simbol buah penawar yang berfungsi untuk membersihkan noda-noda pusaka atau keris. Dari syair mistik tersebut orang Jawa dibawa untuk menyelami diri, memahami siapa dirinya. Karena itu ketika para mistikus Jawa hendak melakukan laku semedi, pertama kali yang harus dilakukan adalah melepaskan diri dari segala aku dan rasa egonya. Proses ini akan dirasa berat bagi para mistikus, sebab ketika keberadaan “rasa” mereka, masih memandang bahwa dirinya itu adalah “ingsun” (saya) dan “kumengsun” (sombong) berarti manusia masih belum mampu mengendapkan rasa diri/ akunya. Orang yang egonya tinggi, akan batal seperti kentut. Kalau dalam praktiknya, dalam melakukan ritual tersebut seseorang masih terhiasi oleh rasa dirinya/ akunya, baik rasa njero (dalam) maupun rasa njobo (luar), maka ia akan sulit menemukan “titik” tersebut. Dengan kata lain “titik” adalah kesadaran kosmis, sedangkan “titik temu” adalah kemanunggalan (menyatu). Senada dengan lagu lisan itu, di bawah ini ada sastra lisan yang menjadi pengingat hidup manusia. Dengan memahami puisi lisan ini, manusia akan sadar kosmis. Turi-turi putih Ditandur neng kebon agung Claret tiba nyemplung Gemlundhung kembange apa Mbok ira-mbok ira mbok ira kembange apa Kembang-kembang menur Sing dakpilih kembange menur Ayo kanca dha tafakur kanggo sangu ing alam kubur Etan kali kulon kali tengah-tengah tanduran pari saiki ngaji, sesuk yo ngaji ayo manut para kyai tandurane tanduran kembang kembang kenanga ning njero guwa tumpakane keretaJawa rodha papat rupa menungsa Puisi lisan Turi-turi putih telah popular. Puisi ini dapat dimaknai dari kacamata ekologi sastra. Ekologi sastra kali ini perlu diramu untuk menjadi pisau bedah sastra lisan. Tren mutakhir penelitian sastra juga mengarah pada perspektif ekologi sastra. Setelah kita kenyang dengan sosiologi dan psikologi sastra, muncul ekologi sastra. Bagian ekologi sastra ada ekokritik sastra. Keduanya sedikit bedanya. Ekologi sastra termasuk penelitian ekstrinsik sastra yang mengsyikkan. Oleh karena, manusia sebenanrnya tak mungkin lepas dari alam. Alam semesta ada di dalam diri manusia dan sekeliling manusia (Endraswara, 2017: 11April). Peneliti
207
perlu menelusuri jejak ekologis dalam sastra lisan. Misal dalam puisi di atas, perlu dirunut mengapa ada konteks “kebon agung.” Kebon agung jelas konteks ekologis. Penelitian ekologi sastra masih tergolong baru di negeri kita. Metodologinya pun masih meraba-raba. Yang paling penting, ekologi sastra mampu menjelaskan keterkaitan manusia dan alam lingkungan. Dalam buku Metodologi Penelitian Ekologi Sastra (2016:146) sudah saya bahas, bahwa ekologi sastra dapat memusatkan penelitian pada sastra hijau. Sastra hijau yang memperhatikan keselamatan bumi dan lingkugannya akan mendamaikan. Oleh karena itu untuk mempelajari ekologi sastra, adalah penting untuk berkonsentrasi pada proses dan hubungan yang mengatur antara interaksi ide, makhluk, dan lingkungan menuju kedamaian. Salah satu isu penting dalam menulis sastra kontemporer adalah bagaimana sastra ini mempengaruhi dan mengubah sikap pembaca terhadap lingkungan dan menjadi lebih ramah lingkungan. Penelitian ekologi sastra akan menjawab beberapa hal, antara lain: (1) sejauhmana karya sastra mampu menyuarakan jeritan, teriakan, dan kelesuhan lingkungan, (2) seberapa kemampuan karya sastra mampu membuka hati manusia agar semakin ramah lingkungan, atau sebaliknya berpaling pada lingkungannya, dan (3) seberapa besar pengaruh lingkungan dan sebaliknya dalam jagad berolah sastra. Tokoh ekologi sastra bernama Glotfelty mengatakan bahwa ekokritik sastra sebagai bagian ekologi sastra sesungguhnya memikul tanggung jawab dalam menunjukkan implikasi lingkungan ke dalam teks sastra. Dari sisi ekologis, puisi lisan Turi-turi Putih memiliki makna ekospiritualistik. Turi-turi berarti tak aturi (bahasa Jawa - saya beri tahu). Sedangkan putih adalah kiasan dari warna kain kafan. Baris syair ini memuat pesan bahwa saya beri tahu kalian, semua manusia pada akhirnya akan mati. Gatra berbunyi, ditandur ning kebon agung berarti manusia kelak akan ditanam di sebuah taman yang megah. Setelah kematian itu, jasad kita akan di kubur di taman pemakaman. Taman yang indah itu hampir tidak dapat ditolak. Itulah ekologi spiritualistic yang sulit dibantah. Maka, manusia yang mati akan cumleret tiba nyemplung. Artinya, seperti kecepatan cahaya, lalu jatuh ke lubang. Hal ini juga sekaligus, menggambarkan bahwa kehidupan di dunia itu singkat, seperti laju cahaya cleret, cumleret (bahasa Jawa – kilat). Setelah itu, manusia akan mati dan dimasukkan ke liang lahat. Di taman harapan itu, manusia selalu gumlundhung kembange apa. Yang dijatuhkan itu membawa bunga apa? Biasanya ada bunga mawar, kanthil, dan kenanga. Selain itu, ada bunga setaman yang disiramkan di atas maejan. Si mayat yang dimasukkan ke liang kubur itu akan ditanya, ia membawa amal perbuatan apa? mbok ira kembange apa. Artinya, Bu Ira (penokohan nama si jenazah), bunganya apa? Baris terakhir syair ini menggambarkan bahwa setelah dikubur, manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Amal perbuatan apa yang telah kamu perbuat selama hidup di dunia? Bekal apa yang kamu kamu bawa ke alam kubur? Tembang Turi-Turi Putih ini, terdengar semakin syahdu jika dibawakan dengan pendahuluan Bawa (acapela Jawa). Alunannya akan menyayat-nyayat hati pendengar. Dijamin dada kita bukan hanya berdebar, tetapi akan gemetaran hebat. Pohon turi, bagi masyarakat desa seperti saya merupakan tanaman yang mudah dijumpai. Entah biasa karena tumbuh liar atau sengaja ditanam, pohon ini banyak bertebaran di pekarangan rumah hingga pinggir sawah. Pohon ini memiliki bunga khas yang dikenal dengan sebutan turi putih, karena mayoritas bunga turi yang
208
tumbuh di kampung-kampung memiliki wujud putih kecuali pada pangkalnya yang berwarna hijau. Selain itu, turi putih merupakan santapan yang lezat, apalagi jika dikukus dan dicampur dengan sambal kacang, maka jadilah turi putih sebagai makanan yang digemari sebagai pelengkap pecel. Barangkali, jika ada diantara kita yang belum pernah merasakan nikmatnya turi putih, mungkin memang tidak sedang hidup di pedesaan. Lupakan sejenak tentang lezatnya turi putih. Kita coba bertafakur dan merenungkan sebuah syair jawa yang sama-sama membahas turi putih. Pernah dengar nyanyian turi putih kan? Konon, syair turi putih ini adalah tembang pitutur yang diciptakan langsung oleh Kanjeng Sunan Kalijaga. Ada pula riwayat lain yang menyebutkan bahwa syair turi putih diciptakan oleh Kanjeng Sunan Giri. Saking luar biasanya keikhlasan para wali dalam berdakwah hingga jejak-jejak dakwah mereka masih menggema hingga sekarang. Salah satunya syair turi putih itu. Saya ambil lirik turi putih yang saya dapat dari grup shalawat lain. Kemungkinan lirik turi putih ini telah mendapat tambahan beberapa baris tanpa mengurangi bait aslinya. Puisi lisan Turi-turi putih ada yang sudah dikreasi Islami. Di beberapa pondok seringkali lagu lisan itu dijadikan sebuah pujian. Hal ini berarti ada keterbkaitan antara nuansa ekologis, spiritualistic, dan estetik. D. Getaran Jungkirbalik Getaran untuk berbuat aneh (jungkirbalik) itu ada pada setiap peneliti sastra lisan. Sebab, sastra lisan itu juga sering aneh-aneh. Dengan cara jungkirbalik, harapannya yang tak wajar dalam sastra lisan dapat dipahami maknanya. Memahami itu kunci dalam meneliti sastra lisan. Paham itu boleh berbeda. Perbedaan itu yang memunculkan getaran baru. Getaran jungkirbalik yang saya tawarkan. Satu judul sastra lisan, di jagad perspektif tafsir (hermeneutika), boleh beragam maknanya. Setiap sastra lisan yang aneh-aneh, perlu ditafsir secara jungkirbalik. Tafsir jungkirbalik ini yang dikenal dengan sebutan dekonstruksi. Getaran jungkirbalik memang perlu dilakukan seiring sastra lisan itu sering unik. Apalagi kalau berpijak pada gagasan Teeuw (1994:1) soal orality (kelisanan) itu memang menjadi masalah yang menarik perhatian. Sastra lisan memiliki formula, namun tidak selalu tetap. Penafsir sering kesulitan memahami formulasi. Permainan bunyi paling ditekankan dalam sastra lisan, sebab kuncinya pada hafalan. Sastra lisan itu penuh dengan model hafalan. Karena itu, hermeneutika perlu mengusung dekonstruksi untuk membedah formula yang tidak tetap, hafalan yang berubah-ubah, dan amat tergantung pada kemampuan pendengaran. Hafalan bunyi pada setiap orang sering berubah, terjadi silap dengar. Itulah sebabnya getaran hermeneutic dekonstruktif prlu dirajut. Hermeneutika sudah ada sejak Plato dan Aristoteles (Hwia, 2009:47). Yang terjadi, awalnya hermeneutika itu memandang otonom sastra. Namun, di jagad dekonstruksi, pemaknaan tunggal sudah mulai ketinggalan jaman. Pemaknaan otonom sudah sulit dipertahankan. Perubahan sastra lisan akibat silap dengar jelas menuntut hermeneutic jungkirbalik. Makna sastra lisan, sekarang perlu dijungkirbalik, sesuai realitas. Apalagi sastra lisan, yang sering kurang jelas strukturnya. Maka hermeneutik dekonstruktif layak dikedepankan. Secara historis hermeneutika berasal dari motologi Yunani, yang berasal dari seorang tokoh mitologis yang bernama hermes yakni seorang utusan yang mempunyai tugas sebagai perantara/penghubung antra dewa Zeus kepada umat
209
manusia (Palmer, 2005: 14). Dewa ini diyakini memiliki kemampuan tertentu yang mampu membuatnya melintas antara dunia nyata dengan dunia gaib, alam sadar dengan alam bawah sadar, dan berpindah ke tempat yang jauh dengan cepat. Hermes dilukiskan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap dan lebih banyak dikenal dengan sebutan merqurius dalam bahasa Latin. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan kedalam bahasa yang digunakan oleh penuturnya. Kalau diasosiasikan secara sekilas hermeneutik dengan hermes, menunjukan akhirnya pada tiga unsur yang akhirnya menjadi variabel utama pada kegiatan manusia dalam memahami dan membuat interpretasi terhadap berbagai hal yakni: (1) tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan-pesan yang dibawa Hermes dari dewa Jupiter di gunung Olimpus tadi; (2) perantara atau penafsir (Hermes); (3) penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima. Kata-kata menjadi penting untuk ditafsir dalam sastra lisan. Itulah sebabnya, menurut Gerhard Ebeling (Palmer, 2005: 15), kata ini sendiri memiliki tiga bentuk penggunaan, yaitu: (1) menyampaikan; to say; to express; to assert, (2) menjelaskan; to explain, (3) menerjemahkan; to translate. Sedangkan ketiga aspek dari bentuk penggunaan kata hermeneuein sebenarnya dapatlah diwakilkan di dalam satu kata kerja bahasa Inggris: to interpret (interpretasi). Namun demikian, ketiga bentuk penggunaan kata interpretasi secara sendiri-sendiri membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa interpretasi dapat mengacu kepada tiga hal yang berbeda: penyampaian verbal, penjelasan yang masuk akal, dan penerjemahan. Tujuan dari interpretasi sendiri adalah membuat sesuatu yang kabur, jauh, dan gelap maknanya menjadi sesuatu yang jelas, dekat, dan dapat dipahami (Palmer, 2005: 15 – 36). Itulah yang diperlukan dalam penelitian sastra lisan. Sastra lisan sering banyak bunyi-bunyi yang kabur maknanya, yang tak terstruktur, maka perlu diinterprestasikan secara dekonstruksi. Dari konsep hermeneutick dekonstruksi itu, dapat digunakan untuk mencermati cangkriman (teka-teki) dalam tembang Pangkur: Badhenen cangkriman ingwang; Tulung-tulung ana gedhang awoh gori; Ana pitik ndhase telu; Gandhenana endhase; Kyai Dhalang yen mati sapa sing mikul; Ana buta nunggang grobag; Selawe sunguting gangsir. Makna kata-kata dalam teka-teki ini, sering jauh dari leksikonnya. Maka tugas peneliti sastra lisan adalah membuka tabir makna dengan hermeneutic dekonstruksi. Jawaban teka-teki sastra lisan estetis ini, yaitu: (a) Gedhang awoh gori maksudnya gedhang awoh ditegori, pisang berbuah ditebangi; (b) Pitik ndhase telu maksudnya pitik ndhase dibuntel wulu, ayam kepalanya dibungkus bulu; (c) Ki Dhalang maksudnya kadhal dan walang, atau belalang. Jadi kalau mati ya tidak ada yang memikul; (d) Ana buta nunggang grobag, maksudnya tebu ditata, tebu setelah ditata dimasukkan gerobak, kalau sekarang masuk truk; Selawe sunguting gangsir, maksudnya selawe adalah sak lawe, sebesar lawe atau benang tenun. Teka-teki demikian adalah sastra lisan. Biasanya dimanfaatkan untuk pergaulan yang sudah akrab, sekedar untuk mengasah pemikiran. Hermeneutik demikian lebih bebas. Hermenetik menurut pandangan kritik sastra ialah sebuah metode untuk memahami teks yang diuraikan dan diperuntukkan bagi penelaahan teks karya sastra. Hermenetik cocok untuk membaca karya sastra karena dalam
210
kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkut paut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai. Ricoeur (1976:10) menegaskan bahwa teks bukanlah sekedar inskripsi. Perwujudan wacana ke dalam bentuk tulisan mempunyai beberapa ciri yang mampu membedakan teks dari berbagai wacana lisan. Ricoeur meringkas ciri-ciri ini ke dalam konsep yang disebut “penjarakan” yang memiliki empat bentuk dasar. Pertama, makna yang dimaksudkan melingkupi peristiwa ucapan. Maknalah yang diinskripsikan ke dalam tulisan, dan inskripsi makna ini bisa terjadi karena ada pengungkapan yang bermaksud. Kedua, berhubungan dengan relasi antara ungkapan diinskripsikan dengan pengujar asli. Kalau dalam wacana lisan, maksud pembicara dan makna apa yang dibicarakan sering tumpang tindih, maka dalam bahasa tulis hal ini tidak akan terjadi. Ketiga, memperlihatkan ketimpangan serupa antara ungkapan yang diinskripsikan dengan audien asli, yaitu wacana tulisan dialamatkan kepada audien yang belum dikenal, dan siapa saja yang bisa membaca mungkin saja menjadi salah seorangnya. Keempat, berhubungan dengan pembebasan teks dari rujukan pasti, yaitu dalam wacana tulisan, realitas yang dirasakan bersama ini tidak ada lagi. Oleh karena itu, kemungkinan yang muncul adalah dimensi rujukan ujaran, sebuah rujukan yang akan terungkap dalam proses interpretasi. Karya sastra lisan dalam pandangan hermeneutic dekonstruksi ialah sebagai objek yang perlu di interprestasikan oleh subjek (hermeneutik) secara terbuka. Subjek dan objek tersebut adalah term-term yang korelatif atau saling bertransformasi satu sama lain yang sifatnya merupakan hubungan timbal balik. Tanpa adanya subjek, tidak akan objek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh perhatiaan pada subjek itu. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan pandangan subjek. Pandangan hermeneutic dekonstruksi lebih bebas, boleh jungkirbalik. Maka dari sinilah karya sastra lisan dipandang sebagai lahan (objek) untuk ditelaah oleh hermeneutic dekonstruksi supaya muncul interpretasi pemahaman dalam teks karya satra tersebut. Metode penerapannya menurut Ricoeur (1976:20) perlu dilakukannya distansiasi atas dunia teks (objek) dan apropriasi atau pemahaman diri. Dengan perkataan lain, jika teks (objek) dipahami melalui analisis relasi antar unsurnya (struktural), bidang-bidang lain yang belum tersentuh bisa dipahami melalui bidang-bidang ilmu dan metode lain yang relevan dan memungkinkan. Agar lebih jelas, konsep dan cara kerja metode dan pendekatan yang telah diuraikan di atas dalam kaitannya dengan karya seni sebagai subjek penelitian sebagai berikut: a. Mula-mula teks (seni) ditempatkan sebagai objek yang diteliti sekaligus sebagai subjek atau pusat yang otonom. Karya seni diposisikan sebagai fakta ontologi. b. Selanjutnya, karya seni sebagai fakta ontologi dipahami dengan cara mengobjektivasi strukturnya. Di sini analisis struktural menempati posisi penting. c. Pada tahap berikutnya, pemahaman semakin meluas ketika masuk pada lapis simbolisasi. Hal ini terjadi sebab di sini tafsir telah melampaui batas struktur. d. Kode-kode simbolik yang ditafsirkan tentu saja membutuhkan hal-hal
211
yang bersifat referensial menyangkut proses kreatif seniman dan faktorfaktor yang berkaitan dengannya. e. Kode simbolik yang dipancarkan teks dan dikaitkan dengan berbagai persoalan di luar dirinya menuntut disiplin ilmu lain untuk melengkapi tafsir. f. Menurut Paul Ricoeur hermeneutika, sebuah cara untuk memahami teks yang pada Akhirnya, ujung dari proses itu adalah ditemukannya makna atau pesan. Dari skema tampak bahwa makna dan pesan dalam tafsir hermeneutik berada pada wilayah yang paling luas dan paling berjauhan dengan teks (karya seni sebagai fakta ontologisnya), tetapi tetap berada di dalam horizon yang dipancarkan teks. Menemukan horizon yang dipancarkan sastra lisan, butuh disalin ke dalam teks tertulis. Berikut adalah sastra lisan bermetrum pocung, yang memuat teka-teki (cangkriman). Karya sastra ini merupakan pangawikan Jawa. Tafsir boleh sebebas mungkin, yang penting tidak mengada-ada. Tembang Pucung: Namung tutuk; Lan netra kalih kadulu; Yen pinet kang karya; Sinuduk netrane kalih; Yeku saratira bangkit ngemah-ngemah (Hanya mulut; Dan mata dua terlihat; Bila diminta kinerjanya; ditusukkan matanya yang dua; Itulah syarat dia mengunyah). Jawabannya: Gunting Ing sadhuwuring lawang ana cecak. Yen cecak iku lunga, lawang iku dadi kewan kang bisa mabur. Apa arane kewan iku? Ini juga cangkriman menggunakan huruf Jawa. Lawang, terdiri dari huruf la dan wa, kemudian diberi ceceg di atas huruf wa sehingga berbunyi “wang”. Jadi kalau “lawang” cecegnya di ambil maka bunyinya menjadi “lawa”. Lawa adalah kelelawar, jadi bisa terbang. Cangkriman kedua ini kebalikan yang pertama. Kalau yang pertama kejatuhan ceceg maka yang ke dua cecegnya lari. Untuk memahami teka-teki itu, perlu dilakukan dekonstruksi. Tafsir dekonstruktif bebas. Dari segi etimologi, dekonstruksi berasal dari bahasa Latin, akar katanya adalah de dan constructio. Menurut Ratna (2004: 244), prefix de berarti ke bawah, pengurangan, terlepas dari, constructio berarti bentuk, susunan, hal menyusun, hal mengatur. Dengan demikian, dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku. Dekonstruksi menolak adanya gagasan makna pusat. Pusat itu relatif. Ia mengingkari makna monosemi (Selden, 1991: 88). Jadi untuk pemaknaan ini sangat longgar. Oleh karena itulah banyak tafsir terhadap objek. Menurut Norris (2003: 24) dekonstruksi merupakan strategi untuk membuktikan bahwa sastra bukanlah bahasa yang sederhana. Jacques Derrida mengajukan sebuah konsep penting yang berkaitan dengan bahasa, yaitu under eraser yang diturunkan dari Martin Heidegger: being. Kata dianggap tidak akurat dan tidak memadai sehingga harus dicoret, tetapi karena masih dibutuhkan maka harus tetap dapat dibaca. Penanda/signifier menurut Derrida tidak secara langsung menggambarkan petanda/signified seperti kaca memantulkan bayangannya. Hubungan penandapetanda tidak seperti dua sisi sehelai mata uang yang digambarkan Saussure karena tidak ada pemisahan yang jelas antara penanda dan petanda. Bagi Derrida, bahasa tidak lagi semata sistem pembedaan (difference) akan tetapi jejak (differance); penanda dan petanda tidak lagi satu kesatuan bagai dua sisi dari selembar mata
212
uang, melainkan terpisah; petanda tidak dengan begitu saja hadir, melainkan ia selalu didekonstruksi. Hakikat dekonstruksi adalah penerapan pola analisis teks yang dikehendaki dan menjaga agar tetap bermakna polisemi. Menurut Selden (1985: 88), difference mencakup tiga pengertian, yaitu: ‘to differ’ (berbeda), ‘differe’ berarti tersebar dan terserak, dan ‘to defer’ (menunda). Difer adalah konsep ruang, maksudnya tanda muncul dari sistem perbedaan yang mengambil tempat dalam sistem itu. Differ bersifat temporal, maksudnya signifier memaksakan penundaan kehadiran tanpa kesudahan. Istilah difference ini pertama kali diungkapkan oleh Derrida untuk menyatakan cirri tanda yang terpecah. Unit wacana yang dipilih adalah unit wacana yang mampu menimbulkan kebuntuan makna. Oleh Norris (1982: 49), bagian ini disebut titik aphoria. Menurut Endraswara (2011: 172), titik aporia adalah unit-unit wacana yang mampu menimbulkan kebuntuan makna atau suatu figur yang menimbulkan kesulitan penjabaran. Sebagai latihan, kita dapat melakukan tafsir dekonstruktif pada puisi lisan di bawah ini. Puisi ini bermetrum dhandhanggula. Memang sering digunakan untuk suluk ki dalang, ketika ada adegan pendeta. Puisi lisan ini banyak menampilkan isbat (ibarat) yang dalam tentang realitas hidup. Bait 17 ana pandhita akarya wangsit, mindha kombang angajap ing tawang, susuh angin ngendi nggone, lawan galihing kangkung, watesane langit jaladri, isining wuluh wungwang, lan gigiring punglu, tapaking kuntul nglayang, manuk miber uluke ngungkuli langit, kusuma jrah ing tawang. Artinya: Ada pendeta menciptakan ilham, bagai kumbang menggapai langit, di manakah sarang angin berada, serta inti batang kangkung, batas antara langit dan lautan, isi dari buluh kosong, dan punggung bola besi, jejak burung kuntul melayang, burung terbang melampaui langit, bunga mekar memenuhi angkasa. Bait 18: Ngampil banyu apikulan warih, amek geni sarwi adedamar, kodhok ngemuli elenge, miwah kang banyu denkum, myang dahana murub kabesmi, bumi pinethak ingkang, pawana katiup,
213
tanggal pisan kapurnaman, yen anenun senteg pisan anegesi, kuda ngrap ing pandengan. Artinya: Membawa air dengan pikulan yang terbuat dari air, mengambil api dengan pelita, katak menyelimuti liangnya, dan air direndam air, membakar api menyala, bumi yang dikuburkan, angin ditiup, bulan tanggal satu memperoleh purnama, bila menenun sekali gerak selesai, kuda berderap dalam pandangan. Bait 17 – 18 adalah bait yang yang menggambarkan kemustahilan sekaligus kekosongan atau suwung. Semuanya dilukiskan dalam kalimat yang dimulai dari, ada pendeta yang ingin menciptakan ilham sehingga diibaratkan kumbang menggapai langit. Dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang sarang angin, inti batang (empulur yang mengeras seperti batu) kangkung, letak cakrawala, isi buluh atau batang bambu yang kosong, jejak burung yang sedang terbang serta punggung dari bola besi dan seterusnya, yang pada dasarnya tidak ada, kosong dan mustahil. Bait 18 masih melanjutkan kemustahilan dan kekosongan yang diuraikan di bait 17, namun sudah mulai memasukkan isyarat-isyarat pencarian manusia terhadap jati diri dan Sang Pencipta. Pencarian itu ibarat mau mengambil air dengan pikulan yang terbuat dari air, mengambil api dengan pelita yang menyala sampai merendam air dalam air, membakar api yang membara, mengubur bumi dan seterusnya. Sesungguhnya apa yang dicari dan diinginkan, sudah ada pada dirinya. Ujar-ujar orang bijak (pandhita) diatas menyiratkan, bahwa sesuatu yang dicari itu adalah : susuh angin (sarang angin) dimana tempatnya, galih kangkung (galih kangkung), tapak kuntul nglayang (bekas burung terbang), gigir panglu (pinggir dari globe), wates langit (batas cakrawala), yang merupakan sesuatu yang “tidak tergambarkan” atau “tidak dapat disepertikan atau tak terdefinisikan” yang dalam bahasa Jawa ” Tan kena kinaya ngapa” yang pengertiannya sama dengan “Acintya” dalam ajaran Hindu. Dengan pengertian “acintya” atau “sesuatu yang tak tergambarkan” itu mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah sebuah “kekosongan”, atau “suwung”, Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan. Semua yang dicari dalam kidung dhandhanggula di atas adalah “kekosongan” Susuh angin itu “kosong”, ati banyu pun “kosong”, demikian pula “tapak kuntul nglayang” dan “batas cakrawala”. Puisi lisan di atas, juga mengingatkan pada puisi lisan eko-spiritualisitik yang lain. Hutomo (1993:127) mengutip puisi di bawah ini ketika membahas pantun kentrung. Si bisu anggayuh langit Warangka manjing curiga Kuda ngrab ing pandengan Si unin karundelan Si bisa amegat padu
214
Ing tapaking kontul nglayang Puisi lisan bermetrun asmaradana itu sekarang sudah ditulis dalam beberapa primbon. Puisi demikian melukiskan eko-spiritalistik tingkat tinggi. Yang hendak diraih dalam hidup, menurut puisi itu adalah kekosongan. Kosong, merupakan upaya untuk meraih ketenangan. Jadi, bagaimana jika kita sama-sama memaknainya bahwa hakekat Tuhan adalah “kekosongan abadi yang padat energi”, seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus transenden, tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan Irodat-Nya tidak saling bertabrakan. Sang “kosong” atau “suwung” itu meliputi segalanya, “suwung iku anglimputi sakalir kang ana”. Ia seperti udara yang tanpa batas dan keberadaannya menyelimuti semua yang ada, baik di luar maupun di dalamnya. Karena pada diri kita ada Atman (sang Pribadi, Sukma Jati, Ingsun Sejati), yang tak lain adalah cahaya atau pancaran energi Tuhan, maka hakekat Atman adalah juga “kekosongan yang padat energi itu”. Dengan demikian apabila dalam diri kita hanya ada Atman, tanpa ada muatan yang lain, misalnya nafsu (ego) dan keinginan, maka “energi Atman” itu akan berhubungan atau menyatu dengan sang “maha sumber energi”. Untuk itu yang diperlukan dalam usaha pencarian adalah mempelajari proses “penyatuan” antara Atman dengan Brahman itu. Logikanya, apabila hakekat Tuhan adalah “kekosongan” maka untuk menyatukan diri, maka diri kita pun harus “kosong”. Daftar Pustaka Ali, Wahab A. 1984. “Peranan dan Kedudukan Sastra Lisan dalam Pengembangan Sastra Malaysia.” Dalam Seminar Pengkajian Sastra Indonesia. Editor Lukman Ali dan Adun Sjubasa. Jakarta: Depdikbud. Degh, Linda. 1972. “Folk Narrative.” dalam Richard M. Dorson (Ed.) Folklore and Folklife; An Introduction. Chicago andLondon: The University of Chicago Press. Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Tradisi Lisan. Yogyakarta: Kanwa Publisher. _________________. 2013. Metodologi Penelitian Antropologi Sastra. Yogyakarta: Ombak. _________________. 2016. Metodologi Penelitian Ekologi Sastra. Yogyakarta: CAPS. _________________. 2017. “Dari Teori ke Penelitian Sastra Yang Muncul, yang Terlupakan”. Kupang: Bahan Penyuluhan pada peneliti di Kantor bahasa NTT, 1 April. _________________. 2017. “Metodologi dan Isu-Isu Mutakhir Penelitian Sastra” Yogyakarta: Bahan Kuliah Umum di Prodi Pend Bhs dan Sastra Indonesia FKIP USD, 11 April 2017, di ruang Seminar Driyarkara. Hwia, Ganjar. 2009. “Hermeneutika untuk Menafsir Ieologi dalam Sastra Poskolonial.” Brunei: Pangura, Jurnal Pengkajian dan Penelitian Sastera Asia Tenggara, Julai-Desember, Bil 29, Jilid 15, ISSN2075-5368. Hutomo, Suripan Sadi. 1993. Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban. Jakarta: Ildep. __________________. 1999. Filologi Lisan; Telaah Teks Kentrung. Surabaya: CV. Lautan Rezeki.
215
Lord, Albert B. 1965. “Yuguslavia Epic Folk Poetry” dalam Alan Dundes (Ed.) The Study of Folklore. Amerika: Prentice-Hall, Inc, Englewood, Cliffs, N.J. Macdonald, Donald A. 1972. “Fieldwork: Collecting Oral Literature” dalam Richard M. Dorson (Ed.) Folklore and Folklife; An Introduction. Chicago andLondon: The University of Chicago Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ricoeur, Paul. 1976. Interpretation Theory: Discource and The Surplus of Meaning. Amerika: Texas Christian University Press. Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Diterjemahkan oleh Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sweeney, Amin. 1987. Full Hearing; Orality and Literacy in the Malay World. London: University of California Press. Teeuw, A. 1994. Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya. Tirtawidjaya, Ny. Yoharni Harjono Totong, Dkk. 1979. Sastra Lisan Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
216
MITOS DALAM NOVEL MANUSIA LANGIT KARYA J.A. SONJAYA Wahyu Mulayani UNIROW Tuban [email protected] ABSTRAK Mitos sebenarnya merupakan cerita masa lalu dari leluhur yang dianggap memiliki pesan dan makna kebenaran. Untuk itu sebagian masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Nias tidak mau melanggar adat istiadat (yang sebenarnya mitos), karena takut kena tulah atao azab. Sonjaya banyak menceritakan tentang mitos yang ada di pulau Nias melalui novelnya yang berjudul Manusia Langit. Mitos yang diceritakan dalam novel Manusia Langit berkaitan dengan kehidupan seharihari di Nias. Selain itu, bahasa yang digunakan oleh Sonjaya indah, sehingga cocok untuk dikaji. Tujuan penulisan ini untuk mendeskripsikan 1) bentuk mitos percintaan dalam novel Manusia Langit karya Sonjaya, 2) bentuk mitos religius dalam novel Manusia Langit karya Sonjaya. Penulisan ini menggunakan pendekatan antropologi sastra, karena yang dibahas tentang mitos yang merupakan salah satu unsur budaya. Budaya merupakan cultural bangsa sehingga masingmasing memiliki kepercayaan yang berbeda. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Manfaat yang diharapkan dalam penulisan ini, 1) dapat menambah jumlah penelitian sastra khususnya tentang mitos. 2) dapat menghibur, menambah pengetahuan dan memperkaya wawasan pembacanya dengan cara yang unik, yaitu melalui bentuk naratif. Sehingga pesan yang disampaikan kepada pembaca tidak terkesan menggurui. Hasil dari pembahasan 1) mitos percintaan, menceritakan hubungan antara tokoh Mahendra dengan kekasihnya, 2) mitos religius menceritakan para leluhur Nias yang menganut kepercayaan animisme. Masyarakat Nias masih mendewakan roh-roh yang tidak kelihatan (roh halus) dan memuja roh-roh yang berbentuk, seperti patung yang di buat dari bahan batu atau kayu, serta pohon tertentu yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Kata kunci: Mitos percintaan, Mitos religius, Novel Manusia Langit
PENDAHULUAN Di Era Globalisasi ini masih ada masyarakat Indonesia yang percaya pada mitos. Mitos sebenarnya merupakan cerita masa lalu dari leluhur yang dianggap memiliki pesan dan makna kebenaran. Menurut Levi-Strauss (dalam Endraswara, 2003:110) mitos tidak lebih sebagai dogeng. Dogeng merupakan sebuah kisah atau cerita yang lahir dari hasil imajnasi manusia, dari khayalan manusia, dalam kehidupan sehari-hari. Melalui dogeng tersebut khayalan manusia memperoleh kebebasan mutlak, karena manusia bebas menciptakan apa saja. Hal-hal yang tidak masuk akal pun boleh terjadi dalam dogeng. Misalnya dogeng Kancil dan Gajah 217
yang menokohkan seekor kancil yang mampu memperdaya gajah. Mitos tidak selalu relevan dengan sejarah dan kenyataan. Mitos juga tidak selalu bersifat sakral atau wingit (suci). Oleh karena itu, mitos yang suci pada suatu tempat, ditempat yang lain dianggap biasa. Mitos yang oleh sekelompok manusia diyakini kenyataan, di tempat yang lain
dianggap khayalan saja.
Misalnya ada burung prenjak bertengger di pohon sekitar rumah sambil berbunyi. Ada sebagian kelompok manusia yang menyakini rumah tersebut akan ada tamu, dan kelompok manusia yang lain menganggap hal yang biasa saja. Mitos merupakan pengungkapan fenomena kultural yang menarik dari setiap daerah. Setiap daerah memiliki mitos sendiri-sendiri sesuai kultur atau budaya yang dianutnya. Sonjaya menggambarkan kultur budaya masyarakat Nias yang masih percaya dengan mitos melalui karyanya yang berjudul Manusia Langit. Novel Manusia Langit
merupakan
hasil penelitian
Sonjaya
di Nias dan
Yogyakarta yang dikemas dalam bentuk novel yang menarik, dengan tujuan pembaca memahami tentang mitos yang masih di percaya oleh sebagian masyarakat Indonesia khusunya Nias. Novel Manusia Langit merupakan media yang digunakan oleh Sonjaya untuk menyampaikan gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran, dan pengalamannya selama di pulau Nias. Selain itu, Sonjaya menyampaikan realitas sosial yang pernah terjadi di masyarakat Indonesia khusus di Nias dihadirkan kembali dalam bentuk dan cara yang berbeda. Sonjaya sebagai penulis Novel Manusia Langit meninjau mitos dari aspek sinkronik dan diakronik, karena novel Manusia Langit di tulis selama lima tahun yaitu mulai tahun 2005 sampai 2010. Menurut Levi Strauss (dalam Endraswara 2002 :112) mitos dapat dilihat dari dua aspek yaitu aspek sinkronik dan diakronik. Aspek sinkronik adalah mitos yang diyakini sebagai peristiwa masa lampau namun masih relevan untuk masa kini. Aspek diakronik adalah mitos yang yang berasal dari masa lalu tetapi tetap ada sampai sekarang. Tujuan penulisan ini untuk mendeskripsikan 1) bentuk mitos percintaan dalam novel Manusia Langit karya Sonjaya, 2) bentuk mitos religius dalam novel Manusia Langit karya Sonjaya. Penulisan ini menggunakan pendekatan antropologi sastra, karena yang dibahas tentang mitos yang merupakan salah satu
218
unsur budaya. Budaya merupakan cultural bangsa yang masing-masing memiliki kepercayaan berbeda. Penulisan ini merupakan penelitian pustaka untuk itu , metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Manfaat yang diharapkan dalam penulisan ini, 1) dapat menambah jumlah penelitian sastra khususnya tentang mitos, 2) dapat menghibur, menambah pengetahuan dan memperkarya wawasan pembacanya dengan cara yang unik, yaitu melalui bentuk naratif. Sehingga pesan yang disampaikan kepada pembaca tanpa terkesan menggurui.
PEMBAHASAN 1. Bentuk Mitos Percintaan Dalam Novel Manusia Langit Karya Sonjaya Sonjaya dalam Novel Manusia Langit menceritakan tentang kehidupan seorang dosen
Arkeologi
yang masih muda bernama Mahendra. Mahendra
digambarkan sebagai dosen muda di sebuah Perguruan Tinggi di Yogyakarta, yang berusaha
melepaskan
diri
dari
dunia
kampus,
dan
peraturan
yang
membelenggunya. Sebagai seorang dosen muda Mahendra tertarik dengan mahasiswanya yang bernama Yasmin. Namun hubungan cinta kasih di kampus itu tidak bisa berlanjut karena adat dan budaya yang berbeda. Kemudian dia pergi meninggalkan dunia kampus dan mencari bumi baru untuk menghilangkan kegundahan hati menuju Nias. Kehidupan di Yogyakarta dengan di Nias menurut Mahendra jauh berbeda. Setelah beberapa tahun lamanya Mahendra meninggalkan dunianya beserta para manusia langit (kampus dan kota yogyakarta) perlahan-lahan Mahendra mulai kerasan dengan bumi dan para manusia langit yang baru. Di bumi Nias Mahendra bertemu dengan seorang gadis yang bernama Saita, kemudian memiliki hubungan cinta kasih, tetapi gagal juga karena adat. Mahendra putus asa mau pulang ke Yogyakarta, namun dilarang oleh Ama Budi yang baik hati serta dapat saling memahami kekurangan. Ama Budi begitu Mahendra memanggil pemilik rumah dan tetua adat masyarakat Nias, hingga dapat dianggapnya anak dan keluarga sendiri oleh keluarga Ama Budi. Begitu pula dengan putra Ama Budi yang bernama Sayani yang begitu senantiasa membela dan membantu Mahendra dalam segala hal, bahkan Sayani juga ikut menggali tanah di Nias. 219
Ketika Sayani dan Mahendra sedang duduk santai tiba-tiba ada burung elang yang beterbangan di atas langit. Sayani menceritakan tentang burung elang yang terbang di atasnya kepada Mahendra. Hal ini tersurat pada kutipan Bang!” Sayani membuyarkan lamunanku. “sejak kapan moyo itu terbang di atas kita?” tanya Sayani sambil menunjuk seekor burung elang yang sedang terbang di atas kita. “tidak tahu, memang kenapa?” “ah, bukan apa-apa, Bang…” “tapi kamu tampak cemas, ada apa dengan burung itu?” “jika ia terbang berputar dan tampak bingung, itu artinya aka ada petaka bagi kita yang ada di bawahnya.” “tapi elang itu tidak seperti bingung.” “lihat kepalanya, Bang ia tidak fokus kebawah mencari mangsa, tapi lebih sering mendongak kelangit.” “petaka seperti apa?” “kematian.”. (ML, hal 8) Orang modern seperti Mahendra tidak percaya akan cerita itu, karena dia orang modern yang mengajar di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Tetapi ia lupa bahwa lain daerah lain tata cara dan adat kepercayaannya. Mahendra menganggap cerita itu mitos dan sebuah cerita klasik yang tidak bermakna. Namun kenyataannya mitos itu benar-benar membawa petaka dan musibah bagi Sayani. Karena Sayani meninggal dengan cara membakar dirinya, untuk menjaga nama baik Mahendra. Hal ini tersurat Pada kutipan di bawah ini. ” nenek ini telah menceritaknya semuanya kepadaku, setelah memukulmu, Sayani segera mengganti pakaiannya dengan pakaianmu ia lalu membakar diri bersama Saita di dalam gubuk itu agar semua masalah terkait nak Hendra dan Saita selesai. Biar semua orang tahu bahwa kalian berdua sudah tiada.” (ML, hal 185). Kerpercayaan terhadap burung elang itu, sebenarnya tidak
hanya
masyarakat Nias, tetapi juga di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Jawa, Madura masih menyakini jika burung elang adalah burung pembawa kabar petaka atau burung pembawa kabar kematian bagi orang yang berada di sekitarnya. Dan sebagian ada yang beranggapan mitos yang mengarah ke syirik. Bila elang yang terbang bimbing bearti petaka, tetapi bila elang terbang lincah menggambarkan jiwa pemuda. Hal ini tersurat pada kutipan di bawah ini. “elang yang terbang bimbang berarti petakan, tapi elang yang terbang lincah 220
menggambarkan jiwa pemuda. ……………..”(ML, hal 174) Mitos di Nias tidak saja terjadi pada burung elang, tetapi juga terjadi pada burung prenjak, gagak hitam, perkutut, hanya saja dalam Manusia Langit tidak tertulis secara lengkap. Cerita lain seperti Sirao dikatakan anak
dari hasil
perkawinan dua angin di langit, dan proses perkawinannya seperti perkawinan manusia. Hal ini diceritakan oleh tokoh Ama Budi kepada tokoh Mahendra. Seperti yang tersurat pada kutipan di bawah ini. Sirao adalah anak dari hasil perkawinan dua angin dilangit. Proses perkawinan adalah kehamilan angin tersebut di ceritakan secara jelas layaknya perkawinan dan kehamilan manusia (ML, 110). Berdasarkan kutipan tersebut maka suku Nias dianggapa berasal dari langit. Namun dari versi cerita yang lain suku Nias dianggap berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut Sigaru Tora’a. Kutipan-kutipan di atas secara rasio tidak masuk akal untuk itu disebut mitos. Mitos menurut Barthes (dalam Rafiek, 2012:103-105) dapat hidup dalam suasana tindakan revolusioner dengan cara berkhayal. Mitos apapun dengan derajat generalisasi tertentu pada dasarnya bersifat ambigu, karena dia mewakili kemanusiaan. Mitos juga merupakan sistem komunikasi karena mitos merupakn sebuah pesan. Mitos dapat tumbuh dan berkembang dalam karya sastra sesuai dengan kreativitas pengarangnya.
2. Bentuk Mitos Religius Dalam Novel Manusia Langit Karya Sonjaya Novel Manusia Langit selain menggambarkan tentang kultur atau budaya pada umumnya juga menggambarkan kereligiusan masyarakat Nias yang berbeda dengan masyarakat lain. Religius adalah suatu cara pandang seseorang mengenai agamanya serta bagaimana orang tersebut menggunakan keyakinannya atau agamanya dalam kehidupan sehari-hari (Earnshaw:2000). Di Nias masyarakatnya masih menganut ajaran atau aliran animisme. Animisme adalah kepercayaan kepada makhuk halus dan roh yang merupakan azas kepercayaan agama yang mula-mula muncul dikalangan manusia primitif. Ajaran animisme mempercayai setiap benda di Bumi (seperti kawasan tertentu, gua, pohon atau batu besar) yang mempunyai jiwa dan harus dihormati agar tidak 221
mengganggu manusia, bahkan dapat membantu untuk mengusir roh jahat dalam kehidupan sehari-hari (https://id.m.wikipedia.org ). Di Nias digambarkan masyarakatnya masih percaya dengan hal-hal gaib. Seperti yang tersurat pada kutipan di bawah ini. sudah pulang rupanya kalian?” sapa Ama Budi. “lekas mandi keburu malam, nanti kena tesafo di sungai!” “baik Ama!”aku sangat merinding mendengar kata tesafo. Aku pernah melihat tetangga Ama Budi yang kesurupan roh halus beberapa hari yang lalu. Mengerikan sekali. (ML, hal 14). Tesafo merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh makhluk halus, menurut kepercayaan masyarakat Nias. Biasanya seseorang yang terkena tesafo akan segera di beri tanda salip pada dahinya dengan menggunakan bahan dapur yaitu kunyit atau arang. Menurut masyarakat Nias tesafo adalah makhluk halus yang belum tenang jiwanya. Maksudnya bila ada orang yang meninggal belum diadakan ritual maka jiwanya akan tidak tenang. Satu ritual khusus setelah kematian di Nias adalah doa setelah empat hari dari kematian. Arwah orang yang meninggal diundang dan di beri makan untuk terakhir kalinya. Ada kepercayaan bahwa selama empat hari setelah meniggal arwah masih di dalam atau di sekitar rumah. Di saat hari upacara atau ritual kematian, tidak ada seorang pun yang di perbolehkan berada di tenggah jalan, apalagi berada di pintu rumah karena bisa terkena tesafo. Arwah akan dijamu secara khusus dengan menyembelih babi dan setelah empat hari, diyakini bahwa arwah itu sudah siap meninggalkan segala sesuatu yang ada di dunia dan pulang kepada Lowalani. Dan jika seseorang yang terkena tesafo tidak segera di tolong, atau terlambat maka akan berakhir dengan kematian. Selain tesafo masyarakat Nias juga percaya pada roh leluhur yang masih dianggap hidup dan bisa memberi perlindungan pada keturunannya. Hal ini tersurat pada kutipan di bawah. Bapak ini bilang, soal izin nanti akan mereka bicarakan lagi dengan Pak Mbὅwὅ Laiya. Tapi, katanya jika Bang Mahendra ingin tahu sejarah Banuaha, datang saja kerumahnya. Pak Nai Laiya bisa mengundang roh leluhur datang kerumahnya. Bang Mahendra bisa bicara dengan roh itu, termasuk bertanya tentang sejarah Banuaha. Tidak usah repot-repot menggali katanya”(ML, hal 5). Kutipan di atas jelas menunjukan bahwa masyarakat Nias masih percaya pada halhal yang gaib. Sikap dan perilaku masyarakat Nias masih taat atau patuh dalam menjalankan ajaran agama yang dipeluknya (animisme). Masyarakat Nias masih
222
memuja dan meminta sesuatu lewat adu zatua atau patung orang tua. Patung ini dianggap bisa berkomunikasi layaknya manusia. Kata Pak Nai Laiya, Bang Mahendra bisa bicara pada leluhur melalui adu zatua, patung orang tua, di rumah pak Nai Laiya (ML, hal 6). Selain itu Masyarakat Nias juga percaya pada Lowalani, yang dianggap sebagai penguasa bumi dan langit untuk keselamatan. Hal ini tersurat pada kutipan di bawah. Pada saat yang menegangkan itu, nenek ingat untuk berdoa pada Lowalani, penguasa bumi dan langit, agar aku yang baru saja di lahir dilancarkan jalan napasnya. Lowalani ternyata menjawab permohonan nenek dalam bentuk petir yang sambar menyambar dilangit. Tidak lama berselang, aku pun bisa mengeluarkan tangisan pertama. Suaraku membehana di sekitar ladang seperti bunyi kentungan yang memangil para tetangga di gubuk-gubuk yang berdekatan. Beberapa perempuan dewasa dan gadis datang menghampiri gubuk kami yang beralaskan tanah itu (ML, hal 18). Lowalani dianggap leluhur yang paling menakutkan dan menyebut namanya pun harus hati-hati tidak bisa sembarangan, kalau sembarangan akan kena azab yang dahsat. Hal ini tersurat pada kutipan di bawah. “tadi aku menyebut leluhurku, Lowalani, tidak boleh itu, tidak boleh sembarangan menyebut namanya. Harusnya aku membaca doa dan memotong ayam dulu sebelum menyebut namanya. Dia yang di langit sana bisa marah,”ujar Ama Budi. Angin berembus kencang di dalam ruangan kala Ama Budi menyebut kembali nama Lowalani. Sayani mengusap kuduknya sambil melirik kanan-kiri. Ia tampak ketakutan.“tidak apa-apa,”kata Ama Budi berusaha menenangkan anaknya. “dia sudah pergi” (ML, hal 19). Apa yang dilakukan oleh Ama Budi menyebut nama Lowalani, tidak sengaja, karena asyik bercerita kepada Mahendra dan Sayani. Namun Lowalani marah, sehingga yang kena sasaran kutukan adalah Ibu Sayani. Ibu Sayani meninggal dunia karena kesalahan Ama Budi yang tidak sengaja menyebut Lowalani tanpa doa dan sesaji lebih dulu. Kematian Ibu Sayani diceritakan pada kutipan di bawah. Aku melihat Ama Budi tengah termenung. Ia sama sekali tak menangis menghadapi istrinya terbujur kaku. Sayani dan Ina Berna yang menangis paling keras.aku memeluk Ama Budi erat, merasa sangat menyesal dan takut. Lagi-lagi, ini gara-gara aku yang memancing Ama Budi menyebut nama leluhur tanpa syarat adat. Ama Budi pasti berpikit seperti itu (ML, hal 113).
223
Menurut mitologi Nias, alam serta seluruh isinya adalah ciptaan Lowalangi. Langit yang diciptakannya berlapis sembilan. Setelah selesai menciptakan semua itu, beliau kemudian menciptakan satu pohon kehidupan yang disebut Tora’a. Pohon itu kemudian berbuah dua buah, yang setelah dierami seekor laba-laba emas, yang juga merupakan ciptaan Lowalangi, menetaslah sepasang dewa pertama di alam semesta ini. Mereka ini bernama Tuhamora’aangi Tuhamoraana’a yang berjenis laki-laki dan Burutiraoangi Burutiraoana’a yang berjenis perempuan. Keturunan sepasang dewa pertama ini kemudian mendiami sembilan lapis langit. Untuk menciptakan sesuatu itu, Lowalani mempergunakan udara dari berbagai warna sebagai bahannya. Warna-warna itu ia aduk dengan tongkat gaib yang disebut sihai. Sonjaya menggambarkan kehidupan masyarakat Nias yang masih menganut aliran animisme dengan gamblang.
Status sosial dalam kehidupan masyarakat
Nias sangat religius sesuai agama yang dianutnya.
Setiap ada orang tua yang
meninggal dibuat patung untuk di pajang di rumahnya. Dianggap arwah orang tuanya masih tinggal di dalam patung tersebut. Sehingga kalau anak-anaknya mempunyai inginan atau hajat tinggal meminta pertolongan pada patung orang tuanya agar hajat terkabul, namun dengan membawa sesaji. Bentuk penghormatan terhadap leluhur itu diwujudkan dalam simbol patung yang di sebut Adu Zatua patung ini diletakkan didalam rumah pada kisikisi tembok ataupun pada bagian di sekitar tiang penyangga utama. Penghormatan terhadap leluhur tersebut juga ditemukan pada keseharian masyarakat Nias yang masih menyebut kata leluhur jika mendapat musibah atau mendapatkan keberuntungan. Penyebutan leluhur tersebut mengidikasikan bahwa leluhur yang dianggap berada di alam lain masih memiliki hubungan yang erat dengan keturunannya di alam nyata. Ungkapan dalam bentuk terimakasih jelas menunjukkan
bahwa
leluhur
dianggap
dapat
memengaruhi
kehidupan
keturunannya. Untuk menjaga agar kepercayaan terhadap leluhur tetap dalam sistem, maka struktur masyarakat dalam sebuat satuan keluarga sangatlah penting dalam kaitanya dengan kepercayaan terhadap leluhur. Sebagai contoh adalah silsilah dalam hoho turunya leluhur masyarakat Nias jelas disebutkan adanya silsilah awal masyarakat Nias kemudian menghasilkan keturunan hingga
224
sekarang. Namun harus hati-hati dengan roh jahat pemakan bayi. Hal ini tersurat pada kutipan di bawah. ....karena sering hilang dimakan roh halus itulah, populasi belada akhirnya tidak banyak dan tidak berkembang, bahkan punah. Anak-anak bayi mereka sering hilang di makan roh jahat. Cerita itu masih hidup hingga sekarang. Banyak orang kita sekarang yang masih memercayai roh pemakan bayi itu.” (ML, hal 20). Kepercayaan akan adanya alam lain (alam yang tidak tampak), sangat diyakini oleh masyarakat Nias. Roh yang hidup di alam lain dapat mengaruhi kehidupan orang yang masih hidup. Adanya lapisan langit yang berstruktur erat kaitanya dengan ritual yang dijalankan dalam upaya pencapaian tingkat sosial tertentu. Selain Adu Zatwa, Lowalani, juga ada pohon tertentu yang anggap keramat dan memiliki kekuatan gaib untuk sesembahan, bila ingin sesuatu, tetapi harus memberi sesaji lebih dulu pada pohon tersebut, agar sesuatu tersebut bisa berhasil. Dalam novel Manusia Langit menggambarkan relegius masyarakat Nias melalui sikap dan perilaku yang masih percaya dengan hal-hal gaib, dan roh-roh halus dari leluhur, patung orang tua yang bisa membantu dan menolong bila memiliki keinginan atau hajat. Hal ini bila
dipandang dari sudut agama Islam
cenderung syirik. Namun bila dipandang dari sudut pandang seni sastra sangat menarik. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Mitos di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang dalam karya sastra sesuai kreativitas pengarangnya. Mitos yang di narasikan oleh Sonjaya dalam novelnya yang berjudul Manusia Langit
dapat disimpulkan secara singkat di
bawah. Mitos percintaan, menceritakan hubungan antara tokoh Mahendra dengan kekasihnya, yang selalu terhalang oleh adat dan budaya. Mitos ini ditandai dengan datangnya burung elang yang terbang bimbang berarti petakan. Hal ini terbukti karena kekasih Mahendra yang bernama Saita meninggal dunia dengan cara menggantung diri dan Sayani Membakar diri. Selain itu juga menceritakan tentang Sirao adalah anak dari hasil perkawinan dua angin dilangit Mitos religius menceritakan dewa-dewa. Para leluhur Nias masih menganut kepercayaan animisne yang diikuti oleh anak cucunya. Selain itu
225
masyarakat Nias juga mendewakan roh-roh yang tidak kelihatan yaitu roh leluhur. Memuja roh-roh yang berbentuk, seperti patung yang di buat dari bahan batu atau kayu yaitu patung orang tua yang sudah meninggal.
Pohon tertentu yang
dianggap keramat dan memiliki kekuatan gaib. 2. Saran Saran yang dapat disampaikan 1) masyarakat tidak perlu mempersoalkan tentang mitos, karena setiap daerah mempunyai budaya dan kepercayaan sendirisendiri, 2) masyarkat hendaknya dapat memilih dan memilah mana yang cocok untuk diserap dari setiap karya sastra yang dibaca.
DAFTAR PUSTAKA Aminuddin, 2013. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo Bandung Aziez, Furqonul (dkk). 2010. Menganalisis Fiksi, Sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia Endraswara, Suwardi, 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: caps (center for academic publishing service) Endraswara, Suwardi, 2013. Teori Kritik Sastra. Yogyakarta: Caps (Center For Academic Publishing Service) Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Antroologi Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak Faruk. 2012. Pengantar sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Nurgiyantoro,Burhan.2010.Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Purwadi, 2009. Pengkajian Sastra Jawa. Yogyakarta: Pura Pustaka Yogyakarta Ratna, Nyoman Kutha, 2015. Teori, Metode, Dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Satoto, Soediro, 2012. Metode Penelitian Sastra. Surakarta: Yuma presindo. Slamet, Riyadi. 1994. Idiom Tentang Nilai Budaya Sastra Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Sonjaya, J.A. 2010. Manusia Langit. Yogyakarta : Kompas. https://id.m.wikipedia.org >wiki>
226
ASAL-USUL REOG: SASTRA LISAN SINDIRAN BIROKRASI PADA MASANYA Siwi Tri Purnani Universitas Negeri Malang [email protected] ABSTRACT
Literature is one form of cultural for delivering all forms of initiative, work, events, and human beliefs are poured in written and non-written. Literary were created also to be used for the various purposes that people wants, to give suggestions, satire, criticism, education, and so on. This article aims to let the reader understand that one of the examples of oral literature that was also created with the sarcasm is the story of the origin of Reog. There is one version that spread in the many peopleand has links with the political bureaucracy of its time. At that time, Reog believed to be used as a medium or a means to convey satire and criticism of the people to the government. The sarcasm is contained in Reog’s origins with a version of the story of Ki Ageng Kutu’s rebellion, a royal servant in the Bhre Kertabhumi period, the last Majapahit king who had a power in the fifteenth century. It was told that Ki Ageng Kutu was wrathful with the influence of King’s wife who came from Cina and his corrupt government. Keywords: origin’s of Reog, oral literature, satire
PENDAHULUAN Awal mula perkembangan sastra dimulai dari sastra lisan lalu ke sastra tulisan karena manusia terlebih dahulu mengenal lisan daripada tulisan. Akan tetapi, keberadaan sastra lisan semakin lama semakin tidak dikenal karena penyebarannya yang dilakukan melalui lisan. Padahal sastra lisan tersebut memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan sastra tulis. Masyarakat Indonesia menghadapi dua fenomena budaya yang saling berdampingan dan bersinggungan, yakni kebudayaan lisan dan kebudayaan tulisan (Taum, 2011:1). Kebudayaan kesusastraan lisantradisional adalah kebudayaan yang dituturkan dengan cara lisan, sedangkan kebudayaan kesusastraan tulisan adalah kebudayaan yang dituturkan dengan tulisan. Namun, kedua jenis kebudayaan tersebut juga saling berdampingan dan terkadang berkaitan satu sama lain. Pada jaman dahulu, saat budaya lisan mendominasi, bukan berarti bahwa budaya tulisan tidak ada, tetapi fenomena budaya tulisan sangat sedikit. Hal ini dikarenakan saat itu banyak manusia yang
227
masih buta aksara. Sebaliknya, ketika fenomena budaya tulisan mendominasi, budaya lisan tidak hilang, tapi termarjinalkan. Termarjinalkannya budaya lisan karena banyak kalangan beranggapan bahwa kebudayaan lisan adalah sesuatu yang primitif. Padahal banyak nilai-nilai budaya yang terkandung dalam sastra lisan yang tidak diperhatikan.
PEMBAHASAN Asal-usul Reog Ponorogo Sebagai Salah Satu Sastra Lisan Karya sastra adalah ungkapan pikiran dan perasaan seorang sastrawan saat ingin menuangkan perasaan maupun fakta kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya, baik yang dialaminya maupun yang terjadi pada orang lain. Dalam perkembangannya, sastra tidak hanya berbentuk tulisan sebagaimana banyak dipelajari dan ditemui pada literatur-tekstual, tetapi wacana yang bukan aksara dapat dikategorikan sastra: sastra lisan. Sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan sastra lisan (dari mulut ke mulut), sedangkan sastra tulis berupa karya sastra yang dicetak atau ditulis. Keduanya, baik lisan maupun tulisan, tetap mengandung nilai sastra (nilai estetik). Sebagai bagian dari kebudayaan, sastra lisan tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai yang hidup dan berkembang pada masyarakat. Dengan demikian, karya sastra bukanlah suatu karangan kosong atau khayalan yang sifatnya tidak sekadar menghibur pembaca saja tetapi melalui karya sastra pembaca akan lebih memahami masalah kehidupan (Astika dan Yasa, 2014: 2). Objek kajian karya sastra dapat berupa karya sastra tulis dan karya lisan. Karya sastra tulis adalah sastra yang teksnya berisi cerita yang ditulis atau dibukukan, sedangkan karya sastra lisan adalah cerita atau teks yang bersifat kelisanan dan diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya secara turun-menurun. Dalam sastra lisan akan didapatkan berbagai gambaran keadaan pola hidup masyarakat zaman dulu karena di manapun sastra diciptakan akan selalu merefleksikan pola hidup masyarakatnya. Melalui karya sastra, dapat dilihat gambaran kehidupan masyarakat pada saat sastra itu diciptakan. Oleh sebab itu, lebih tepat jika sastra itu dikatakan sebagai rekaman yang selalu mencerminkan kehidupan masyarakatnya (Zaidan, 2002:26). Sastra lisan merupakan salah satu
228
bagian dari sastra daerah yang menjadi simbol atau identitas kebudayaan yang dimiliki oleh suatu daerah. Adanya sastra lisan, suatu daerah memiliki nilai tradisi yang ditinggalkan oleh para leluhur kepada generasi pewaris budaya. Sastra lisan kadang ada yang murni dan ada juga yang tidak murni. Sastra lisan murni berupa dongeng, legenda, cerita yang tersebar secara lisan dari masyarakat. Sastra lisan tidak murni biasanya berbaur dengan tradisi lisan. Sastra lisan yang berbaur ini kadang hanya berupa penggalan cerita sakral, seperti cerita yang berasal dari tradisi leluhur yang tak utuh. Menurut Teeuw (1994:28), dalam sastra lisan tidak ada kemurnian sehingga penciptaannya selalu meniru kenyataan dan/atau meniru konvensi penciptaan sebelumnya yang sudah tersedia. Menurut Hutomo (dalam Didipu, 2011:28), sastra lisan memiliki ciri-ciri berikut ini. (1) penyebarannya melalui mulut, maksudnya ekspresi budaya yang disebarkan, baik dari segi waktu maupun ruang melalui mulut, (2) lahir di dalam masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf, (3) menggambarkan ciri budaya suatu masyarakat, sebab sastra daerah merupakan warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula hal-hal baru (sesuai dengan perubahan sosial), (4) tidak diketahui siapa pengarangnya sehingga menjadi milik masyarakat, (5) bercorak puitis, teratur dan berulang-ulang, (6) tidak mementingkan fakta dan kebenaran, (7) terdiri dari berbagai versi, dan (8) umumnya menggunakan gaya bahasa lisan (sehari-hari). Reog Ponorogo merupakan salah satu bentuk folklor yang di dalamnya terdapat sastra lisan, yakni cerita rakyat atau mitos asal-usul Reog Ponorogo. Cerita rakyat ini berkembang secara turun-temurun dan diwariskan melalui lisan. Akan tetapi, karena penyebarannya yang dilakukan secara lisan sehingga terkadang cerita ini mengalami perubahan versi. Berbagai cerita tentang asal-usul Reog berkembang di masyarakat hingga saat ini.
Asal-Usul Reog Sebagai Sastra Lisan Sindiran Birokrasi Berbicara mengenai sastra lisan, pasti selalu dikaitkan dengan istilah folklor. Folklor merupakan khazanah sastra lama. Kata folklor berasal dari bahasa Inggris, yaitu folklore. Kata majemuk ini terdiri dari dua kata dasar folk dan lore.
229
Secara etimologi, folk artinya kolektif, atau ciri-ciri pengenalan fisik atau kebudayaan yang sama dalam masyarakat, sedangkan lore merupakan tradisi dari folk. Menurut Dundes (dalam Danandjaja, 2002:2), folk sama artinya dengan kolektif, folk juga berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Menurut Teeuw (dalam Endraswara, 2011:151), sastra lisan masih terdapat di berbagai pelosok masyarakat. Sastra lisan yang terdapat di daerah terpencil/pelosok, biasanya lebih murni karena mereka belum mengenal teknologi dan juga buta aksara dibandingkan dengan sastra lisan yang berada di tengah masyarakat perkotaan yang justru malah hanya terdengar gaungnya saja dikarenakan mulai tergeser dengan kecanggihan teknologi dan pengaruh dari budaya luar. Dilansir dari laman Wikipedia, ada lima versi cerita popular yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog Ponorogo. Akan tetapi, salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Cina, selain itu juga murka kepada rajanya dalam pemerintahan yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan di mana ia mengajar seni bela diri kepada anak-anak muda, ilmu kekebalan diri dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan kerajaan Majapahit kembali. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog yang merupakan “sindiran” kepada Raja Kertabhumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog. Pada pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai “Singa Barong”, raja hutan yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan di atasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari
230
atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok yang berada di balik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng Singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya. Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan
Bhre
Kertabhumi
mengambil
tindakan
dan
menyerang
perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng Kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reog masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan popular di antara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru.
SIMPULAN Awal mula perkembangan sastra dimulai dari sastra lisan lalu ke sastra tulisan karena manusia terlebih dahulu mengenal lisan daripada tulisan. Akan tetapi, keberadaan sastra lisan semakin lama semakin tidak dikenal karena penyebarannya yang dilakukan melalui lisan. Sastra lisan merupakan salah satu bagian dari sastra daerah yang menjadi simbol atau identitas kebudayaan yang dimiliki oleh suatu daerah. Adanya sastra lisan, suatu daerah memiliki nilai tradisi yang ditinggalkan oleh para leluhur kepada generasi pewaris budaya. Salah satu jenis cerita rakyat adalah cerita tentang asal-usul Reog Ponorogo. Salah satu cerita asal-usul Reog Ponorogo yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak istri raja Majapahit yang berasal dari Cina, selain itu juga murka kepada rajanya dalam pemerintahan yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai “Singa Barong”, raja hutan yang menjadi simbol untuk Kertabhumi, dan di atasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok
231
penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok yang berada di balik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng Singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya. Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bhre Kertabhumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng Kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Cerita tersebut menyiratkan bentuk sindiran seseorang terhadap pemimpinnya. Sindiran tersebut dilakukan karena pemerintahan yang dipimpin tidak berjalan sesuai dengan seharusnya. Hal ini diperkirakan terjadi pada jaman dahulu, pada masa Bhre Kertabhumi berkuasa sebagai Raja Majapahit.
DAFTAR PUSTAKA Astika, I Made & Yasa, I Nyoman. 2014. Sastra Lisan (Teori dan Penerapannya). Yogyakarta: Graha Ilmu. Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafitti. Didipu, Herman. 2011. Sastra Daerah: Konsep Dasar dan Ancangan Penelitiannya. Gorontalo: Ideas Publishing. Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS. Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera. Wikipedia. 2014. Reog (Ponorogo). (Online). (http://wikipedia.org/wiki/Reog_(Ponorogo).html). Diakses pada tanggal 1 Juli 2017. Zaidan, Abdul Razak. 2002. Mitologi Jawa dalam Puisi Indonesia 1971-1990. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas.
232
ASPEK POTRET SOSIAL DALAM NOVEL “THE (UN) REALITY SHOW” KARYA CLARA NG. (Analisis dengan Pendekatan Mimesis) Udjang Pr. M. Basir Universitas Negeri Surabaya
ABSTRACT Pendekatan mimesis merupakan model kajian sastra yang menempatkan cipta sastra sebagai bentuk potret sosial. Pengarang dengan proses kreatifnya (imajinatif) mengangkat fakta sosial sebagai bagian dari setting cerita sehingga dapat membuai pembaca karena keterwakilannya. Hal demikian pula yang menyebabkan karya sastra tidak jarang bernilai historis dan penting dalam penelusuran fakta sosial, budaya, aspek lokasi (tempat) yang berguna bagi penulisan sejarah. Dari teknik penyajian dan karakter cerita, novel The (Un) Reality Show karya Clara Ng. memenuhi konsep pemikiran di atas. Pengarang sadar bahwa dunia hiburan bagi masyarakat demikian penting. Hal itu disadari pula oleh industri pertelevisian di Indonesia sehingga topik baru yang berkaitan dengan fakta sosial (reality show) tumbuh demikian pesat. Hampir semua stasiun televisi mengemas program tersebut sebab dapat meningkatkan ratting dan memberikan kepuasan bagi pemirsanya yang haus akan hiburan dan sekaligus bernilai edukasi. Keywords: Potret sosial, novel, analisis, pendekatan, mimesis.
PENDAHULUAN Novel merupakan salah satu “genre” karya sastra yang mencoba mengangkat persoalan “humasistik” tentang hidup dan kehidupan manusia dengan segala persoalan serta romantikanya. Berbeda dengan sastra puisi yang lebih eksklusif, maka novel lebih memberikan ruang apresiasi yang cukup luas kepada pembaca karena penggunaan bahasa yang relatif umum dan mudah dicerna. Sebagai hasil sebuah kontlemplasi (perenungan) yang mendalam, novel merupakan abstraksi pemikiran berdasarkan realita kehidupan objektif yang disaksikan, dialami, dan dirasakan seorang seniman sastra atau novelis dengan segala pemahaman pribadinya. Novel “The (un) Reality Show” karangan Clara Ng. merupakan jenis sastra pop yang menawarkan gaya berbeda dibandingkan dengan novel-novel konvensional lainnya. Identitas tersebut selain nampak pada logat bahasa yang demikian “cair” dan apa adanya yang merepresentasikan karakteristik kawula muda 233
yang “gaul”, juga isinya berbicara tentang pragmen kehidupan anak muda yang bersifat kekinian, khususnya masalah kompleksitas kehidupan masyarakat di kota besar. Namun demikian, seberapa jauh gambaran realita “terpotret” dalam novel tersebut, maka pembahasan ini akan diarahkan pada upaya linearisasi antara aspek data (novel) dengan aspek sosial kemasyarakatan yang bersifat empirik.
Teks dan Konteks dalam Sastra Novel sebagai bagian dari karya sastra tidak akan terlerpas dari sifatnya yang khas, bahasanya indah dan imajinatif. Secara umum “sastra” sendiri mempunyai
maknanya
yang luas. Hampir setiap bahasa
dan budaya
mengembangkan paradigma secara berbeda-beda. Dalam bahasa bahasa Inggris sastra disebut literature, literature (Jerman), litterature (Perancis), yang semuanya dirujuk dari bahasa Latin “litteratura” yang merupakan terjemahan dari kata “gramatika” yang berarti huruf atau tulisan (Teeuw, 1988:21-23). Namun dalam perkembangan selanjutnya, mulai terdapat batasan yang menyatakan bahwa sastra adalah segala sesuatu yang tertulis dan tercetak. Dengan demikian seorang ilmuwan sastra dapat berekpresi secara tidak terbatas. Mereka dapat membicarakan tentang ilmu kedokteeran, berbnicara tentang gerakan planet, ilmu sihir, kehidupan raja dan sejarah suatu negara, dan lain sebagainya. Bahkan seorang teoritikus sastra Inggris, Edwin Greenlaw menyatakan bahwa semua yang berhubungan dengan sejarah kebudayaan termasuk dalam wilayah sastra. Dan lebih dari itu, nilai sebuah karya sastra harus dapat dilihat dari nilai sumbangannnya terhadap sejarah kebudayaan (Wellk and Austin Warren.dalam Budianta, 1993:79-81; Beck, dkk.1994:38-39; ). Cara lain untuk menyatakan bahwa suatu karya termasuk dalam kategori sastra atau bukan adalah dengan mendekatkannya pada batasan “mahakarya” (great books), yaitu tulisan-tulisan yang dianggap menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya. Dengan demikian criteria yang digunakan adalah segi estetis, yaitu kombinasi antara nilai estetika dengan nilai ilmiah. Aspek estetik sendiri termasuk di dalamnya perihal gaya bahasa, komposisi, dan kekuatan penyampaian. Berdasarkan criteria itu maka dengan mudah mengelompokkan suatu karya tulis termasuk ke dalam kategori sastra atau bukan sastra (Darma, 2004:35-38). Kedua batasan tersebut kiranya masih terlalu umum sebab belum
234
menyentuh hakikat sastra yang sebenarnya. Istilah “sastra” secara universal selalu bernilai fiktif imajinatif. Menyangkut isinya selalu “menawarkan” gambaran fakta yang pengungkapannya “dibalut” dengan imajinasi pengarangnya yang tidak jarang dilebih-lebihkan. Dalam dunia sastra berlaku prinsip “manusia tidak diciptakan untuk dikalahkan” (but man is not made of difert) sehingga tokoh manusia atau yang sejenisnya akan selalu tampil sebagai “hero” yang akan memimpin alur penceritaan. Dengan demikian suatu karya sastra tidak serta merta menampilkan suatu kebenaran yang harus diterima begitu saja, melainkan harus disikapi secara kritis sebab di dalamnya terkandung unsur fiksi (rekaan) yang sublimatif sebagai perwakilan imajinasi pengarangnya (Wellek dan Austin Warren dalam Budianta, 1993: 11-115). Berkaitan dengan nilai fiksi sebuah karya sastra, Luxemburg dkk. memberikan penekanan yang lebih jelas, bahwa sastra itu sebenarnya merupakan sebuah ciptaan dan kreasi, bukan semata-mata sebagai sebuah imitasi. Sastrawan melalui daya imaginasinya menciptakan “dunia baru”, meneruskan proses penciptaan, dan bahkan menyempurnakannya. Bahkan lebih dari itu, karya sastra sering mengungkapkan sesuatu yang tak-terungkapkan (Luxemburg, dkk. dalam Hartoko, 1984:4-7; Septia Martha. 2013). Melalui daya imajinasinya, pengarang dapat melakukan “pengembaraan” kemana-mana secara tidak terbatas. Misalnya bagaimana ia menggambarkan tentang seorang pencopet merencanakan aksinya, bayi berkata-kata, kehidupan setelah mati, dialog antara manusia dengan tuhan, dan bahkan tawar-menawar antara malaikat Ijroil (pencabut nyawa) dengan manusia menjelang kematiannya. Berbagai pandangan tentang hakekat kebenaran referensial tentu tidaklah menjadi persoalan krusial dalam karya sastra, sebab pada kenyataannya seorang pengarang memiliki hak “lisensia puitika” dalam proses kreatifnya dan masyarakat sebagai penikmat memiliki hak untuk memilih dan menilai. Istilah teks dan konteks dalam kajian sastra mengarah pada satu pemahaman tentang analisis sastra berdasarkan status penciptaannya sebagai bagian dari proses kreatif seorang sastrawan. Jika karya sastra tersebut dikaji berdasarkan apa yang ada dalam teks, tanpa menghubungkannya dengan dunia di luarnya, misalnya: biografi pengarang, realita zaman, dan lain sebagainya, maka orientasi kajian
235
bersifat intrinsik. Sebaliknya jika arah kajian menyangkut status karya sastra sebagai bagian pencerminan potret budaya masyarakat dan fakta kehidupan sosial, maka termasuk dalam kajian ekstrinsik (Darma, 2004:22-23; Nur. 2015), atau yang oleh Plato disebutnya dengan model analisis sastra menggunakan pendekatan mimesis.
Pendekatan Mimesis Berbicara tentang pendekatan mimesis tidak terlepas dari konsep karya sastra sebagai representasi pemikiran pengarangnya dan bagian dari komunitas masyarakat. Apa yang terefleksikan dalam karya sastra merupakan bentuk lain dari upaya untuk “mengusung” realita sosial dalam media bahasa. Dengan demikian karya sastra pada hakekatnya merupakan “potret” sosial yang memiliki nilai historis dan penting dalam perkembangan suatu masyarakat atau bangsa. Pendekatan mimesis tersebut seperti apa yang dimaksudkan Wellek (1989) sebagai model kajian sastra dengan pendekatan intrinsik dan ekstrinsik; atau bentuk kajian sastra secara ekspresif, pragmatik, atau objektif (Abram, 1976; Nur. 2015), yang lebih mendasarkan diri pada aspek kognitif daya pengamatan manusia (apresiator). Analisis ektrinsik selain berkaitan dengan unsur-unsur karya sastranya, juga menghubungkannya dengan peran karya sastra dalam kehidupan sosial. Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walauapun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia (Wellek dalam Budianta, 1993:109; Pitri. 2015). Bahkan lebih jauh, Hegel dan Taine mengatakan bahwa sastra (seniman) menyampaikan suatu kebenaran, yang sekaligus merupakan gambaran kebenaran sejarah dan sosial. Dengan demikian karya sastra dapat dipandang sebagai dokumen dan monumen yang mewakili zaman dan kebenaran sosial (Hegel dan Taine dalam Budianta, 1993:111; Masnuatul. 2013 ). Sastrawan sebagai bagian dari sistem kehidupan masyarakat tentu menciptakan karya sastra bukanlah dalam dunia yang hampa. Sekalipun karya sastra adalah karya fiksi (rekaan), namun tetap isinya berupa kemasan fakta sosial dalam bentuknya yang baru. Pengarang mengangkat pengalaman hidup, kejadiankejadian nyata, ide kemanusiaan, setting lokasi yang tidak jauh dari apa yang
236
dilihat, dirasakan, dan dialaminya dalam kehidupan di masyarakat. Di sinilah letak peran karya sastra sebagai potret masyarakat pada zamannya yang tidak jarang memiliki muatan penting dalam penulisan sejarah dan kebudayaan suatu bangsa. Karya sastra yang mencerminkan kehidupan sosial masyarakat biasanya masuk dalam kategori sastra pop. Sastra pop biasanya bersifat wishful thinking atau menyuguhkan mimpi pembaca tentang kehidupan indah yang dalam kenyataan sulit dicapai. Di sini peran sastra berfungsi untuk “membuai” pembaca dan untuk melarikan diri dari kepahitan hidup adalah refleksi realita yang sering terjadi di masyarakat (Darma, 2004:24; Jusriani. 2015). Pandangan senada dikemukakan Luxemburg, dikatakannya bahwa sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan kehidupan masyarakat, norma-norma, dan adat-istiadat zaman itu (Luxsemburg dalam Hartoko, 1984:23). Pandangan semacam ini disebut penafsiran “mimetik” (memesis). Konsep “memesis” sendiri sebenarnya sudah ada jauh sebelum Plato (428348 SM), namun secara teoritik dipakai pertama kali oleh Plato dalam buku REPUBLIC, sebuah buku yang berbicara tentang konsep negara ideal. Dalam kitab (bab) X buku Republic, Plato mengungkapkan konsepnya tentang mimesis. Dinyatakannya, bahwa semua karya seni, termasuk sastra, merupakan tiruan realita. Mimesis dari kata Yunani (mimetic) yang berarti perwujudan atau jiplakan (Luxsemburg, 1984:15; Parmini, dkk. 2014). Sedangkan Aristoteles, murid Plato, mempunyai pandangan yang agak berbeda tentang mimesis. Memang diakuinya, bahwa karya seni termasuk sastra, merupakan tiruan realita, tetapi ditambahkannya seniman meniru realita melalui proses kreatif. Dalam proses kreatifitasnya, seorang seniman (sastrawan) menciptakan sesuatu yang baru berdasarkan pemahaman realita yang dialami dan ditangkapnya. Dengan demikian konsep realita dalam karya seni dan sastra, merupakan bentuk pemahaman secara ide (pribadi) oleh seorang seniman tentang fakta dan realita, dan bukan realita itu sendiri (Darma, 2005:5; Ikhwanuddin. 2006). Terlepas dengan itu semua, dalam konteks hubungan sastra dengan masyarakat ini tetaplah merupakan topik yang tidak pernah habis diperbincangkan. Dan dalam konteks pengkajian secara mimesis inipun, orientasi bahasan dipusatkan
237
pada amatan seputar kedudukan pengarang dalam masyarakat, wilayah pembaca, strata sosial, keadaan ekonomi, kehidupan politik dan hukum, dan lain sebagainya. Analisis Mimesis Novel “The (Un) Reality Show” Jika dicermati, hubungan antara isi cerita novel “The (Un) Reality Show” dengan keadaan masyarakat kota besar (Jakarta) sangat erat kreterkaitannya. Dengan demikian dapat dikatakan novel tersebut merupakan sebagian gambaran “potret” kehidupan riil masyarakat perkotaan, khususnya kelas menengah yang dalam posisi terjepit karena krisi ekonomi yang tidak kunjung membaik Masingmasing pihak harus pandai membaca peluang agar dapat tetap eksis hidup di tengah permasalahan hidup yang serba cepat, keras, dan penuh persaingan. Asumsi itu didasarkan berbagai data empiris yang ada dalam teks dan berkorelasi dengan kenyataan kehidupan di lingkungan masyarakat perkotaan yang metropolis sebagaimana terekam dalam beberapa kutipan berikut ini..
Persaingan antar Stasiun Televisi Salah satu tujuan novel ini dibuat oleh pengarangnya adalah menangkap peluang adanya persaingan ketat antara TV swasta dalam membuat tayangan program unggulan yang dapat menaikan “rating” penonton dan iklan. Dengan demikian, selain untuk tujuan komersial digemari kaum muda perkotaan, novel ini dapat merebut hati para kreator insan pertelevisian, sehingga akan dibeli dan ditayangkan di salah satu TV swasta di Indonesia. Gambaran tersebut sebagaimana diilustrasikan pada penggalan kutipan berikut: “Bos-bos besar itu semakin menuntut Indra agar terus-terusan agar menciptakan program megbrilian, yang tidak hanya manaikan ratting, tapi juga menaikan citra Top TV. ‘Ada program di Amerika Bos!’ kata Jason, yang memakai dasi bergambar Tweety. ‘Namanya American Idol.’ ‘Tidak bisa!’ Sergah Indra cembewrut. ‘RCTI sudah membelu hak siarnya. Kita terlambat!’ ‘Tapi belum disontek orang lain kan?’ kata Jason bersemangat, tidak mau kalah. ‘Bagaimana kalau kitya membuat program yang kurang lebih sama? Pakai nama program yang berbeda, ubah sana-sini, dan langsung on air. Pasti RCTI kelabakan kalau kethuan acaranya ditantang sama kita.” (TURS, H10).
238
Setting Lokasi Cerita dalam novel mengangkat sisi kehidupan yang serta yang serba keras di Jakarta. Sebagaimana diketahui, Jakarta sebagai ibu kota negara penduduknya sangat padat. Setiap tahun kepadatan penduduk meningkat dengan adanya urbanisasi karena kemiskinan di desa. Akibatnya kota metropolitan ini menjadi semrawut, karena tidak seimbangnya antara jumlah penduduk dengan lahan yang tersedia. Demikian pula seolah penduduk Jakrta, setiap hari berpacu dengan waktu untuk bekerja dan mencari uang, sehingga gesekan sosial terjadi di mana-mana. Kekerasan sosial terjadi di mana-mana dan sikap emosional menjadi bagian dari kehidupan di jalanan. Hal demikian salah satunya tergambar dalam kutipan berikut. “Dari belakang terdengar klakson meraung-raung memekakan telinga. ‘Bangsat!’ ‘Hei, Lu punya mata nggak?’ Tara menghekla napas sambil menepikan mobilnya ke kiri. BNeginilah kalau hidup di kota metropolitan. Jantungnya harus tabah menghadapi segala tindak-tanduk para pengguna jalan yang sangat kejam. Bagi dia yang berasal dari kota kecil Malang, tinggal di Jakarta seperti masuk ke rimba belantara.” (TURS, H50).
Kedudukan Pengarang Pengarang sangat peka membaca situasi yang berkembang. Kesulitan ekonomi, kebutuhan hiburan pada masyarakat, dan persaingan ketat antara stasiun TV untuk membuat acara yang dapat mengikat pemirsanya, mendorong pengarang mengangkat tema pragmatik yang mempunyai nilai “jual” baik bagi pembaca yang haus bacaan hiburan ataupun industri TV yang saling berkompetisi. Clara Ng. adalah seorang penulis dan direktur perusahaan penerbitan buku anak-anak sehingga ia tahu psikologi perkembangan pembaca. Ia dapat membaca peluang pasar, jenis buku apa yang dibutuhkan pembaca (anak dan remaja) di perkotaan dalam situasi ekonomi yang sulit . Maka ia membuat buku cerita novel seputar kehidupan di kota yang penuh tantangan dengan bahasa yang ringan dan popular (gaul). “Clara Ng.— penulis dan direktur sebuah perusahaan penerbitan buku anak-anak. Nama lengkapnya adalah Clara Regina Juana. Yang paling disukainya adalah membaca, membaca, dan membaca (kutu buku that her!). 239
Buku cerdas apa saja menarik minatnya (TURS, H360). Membidik Pangsa Pembaca Pangsa pembaca yang dibidik pengarang adalah kelas menengah ke atas, khususnya masyarakat perkotaan dan stasiun TV. Bagi masyarakat perkotaan yang hidupnya didera oleh himpitan ekonomi, membaca novel ini akan memberikan hiburan ringan, sebab selain bahasanya enak (gaul), juga harganya relatif tidak mahal. Bagi stasiun TV, isi novel dapat diangkat menjadi tayangan program menarik, karena “tampil beda” dengan program yang telah ada dan pada gilirannya dapat meningkatkan “ratting” serta masuknya iklan yang menguntungkan. “Yang sering dilakukan oleh stasiun TV sekarang adalah Reality Show. Tahu kan, merekam reaksi orang-orang yang tidak sadar dirinya direkam di TV? Nah, yang akan kita lakukan adalah sebaliknya. Kita akan merekam orang-orang yang sadar dan merekan dirinya direkam oleh TV. Tapi yang hebatnya, kita tidak akan mengatur jalannya cerita berdasarkan skrip cerita. Kita biarkan terjadi apa adanya.” (TURS, H11). Potret Keadaan Ekonomi Pasca reformasi tahun 1998, kehidupan ekonomi Indonesia sangat terpuruk. Kehidupan masyarakat menjadi sangat sulit, terutama untuk kelas menengah ke bawah. Hal itu dipicu oleh kenaikan berbagai barang kebutuhan pokok, seperti kennaikan harga BBM, listrik, sembako, angkutan umum, dan banyaknya perusahaan gilung tikar sehingga pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di manamana. Hal itu menimbulkan keresahan masyarakat dan dapat memicu kerawanan sosial. Hal itu juga tergambar pada kondisi sosial ekonomi salah satu tokoh cerita yang terekam novel. “Richard lama memandangi surat itu. … Ini penawaran yang luar biasa. Setelah bolak-balik setengah mati mencari kerja, surat ini seperti bintang yang jatuh dari langit. Tentu dia akan menyetujui tawaran ini. Orang sinting mana yang akan menolaknya?” (TURS, H21). Gambaran Kehidupan politik dan hukum Kehidupan politik dan penegakan hukum di Indonesia menjadi salah satu pemicu ambruknya keadaan ekonomi. Politik yang lebih mengetengahkan pendekatan kepartaian berjalan tidak sebagaimana diharapkan. Pemerintah dan wakil rakyat (MPR, DPR, dan DPRD) hanya “slogan simbolik” mengatasnamakan
240
rakyat. Tapi pada hakekatnya “mengeruk” uang negara untuk kepentingan pribadi dan partainya. Penyelewengan uang negara di mana-mana sehingga menyandang gelar negara “terkorup” di dunia dan utang luar negeri semakin membengkak, sementara rakyatnya terpuruk ke “lembah kemiskinan” terstruktur. Sementara hukum hanya menjadi produk politik “hiasan” yang sangat jauh dari praktek pelaksanaan nyata di lapangan. Slogan “Semua bisa diatur” dalam pelaksanaan birokrsi negara terasa mulai dari level terbawah (desa, kelurahan, kecamatan) sampai dengan level pusat (kabupaten, propinsi) sangat dirasakan. Lebih parah lagi aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan juga menjadikan hukum sebagai “alat permainan” belaka untuk mengambil keuntungan di balik proses hukum. Lebih ironis adalah lembaga wakil rakyat seperti DPR, MPR, dan DPRD juga menjadikan jabatan bukan sebagai “amanah”, tetapi untuk memperkaya diri dan tidak peka terhadap konstituen rakyat yang diwakilinya. Kehidupan negara Indonesia yang penuh kontrofersial “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin!” Hal itu terekam dalam kefrustasian warga masyarakat yang bergulat dengan kesulitan hidup, sehingga gampang marah, tersinggung, dan sumpah-serapah. “Tara sedang menyetir dengan tenang ketika bus menyerobot persis di depannya. Dia nyaris memekik ketika mobil barunya langsung oleng mendadak akibat gerakan reflek tangannya membanting setir ke kiri. Dari belakang terdengar klakson meraung-raung memekakkan teling. ‘Bangsat!’ Hei lu punya mata nggak?!’ Tara menghela napas sambil menepikan mobilnya ke kiri.” (TURS, H50). SIMPULAN Novel “The (Un) Reality Show” adalah salah satu karya sastra pop yang memiliki kekuatan pada sisi tema cerita. Dengan mengangkat sisi kehidupan remaja perkotaan yang beranjak dewasa dan menuju pada kemandirian pribadi menjadi hal penting bagi pembaca. Mereka yang bersentuhan dengan keadaan yang sama merasa berkepentingan dan mendapatkan pengalaman menarik dari isi novel tersebut, baik hal yang berkaitan dengan aspek sisi hiburan (seni), karakter tokoh, ide cerita, atau kemungkinan transformasi proses kreatif bagi pembaca. Lebih dari itu, mengingat setting cerita mengangkat permasalahan yang sedang hangat dibicarakan dan dipertontonkan di beberapa TV swasta, seperti “Reality Show”, menjadikan novel ini cepat akrab di mata pembaca. Apalagi model 241
yang ditawarkan berani “tampil beda”, dari kelucuan cerita yang ditimbulkan karena aspek spontanitas (alami) dari mereka yang tidak sadar direkam TV (The Reality Show) kepada bentuk kelucuan yang ditimbulkan oleh perilaku mereka yang sadar direkam tetapi dibiarkan berlangsung alami (The ‘Un’ Realty Show), menjadikan novel ini sangat menantang pembacanya. Dari sisi peluang bisnis hiburan, novel ini juga menarik diangkat dalam satu cerita produksi TV. Dengan melihat orisinalitas ide cerita yang ditawarkan, maka peluang untuk melibatkan bisnis periklanan secara maksimal di televisi besar sekali dan sangat menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA Beck, Ulrich and Anthony Gidden and Scott Lash. 1994. Reflexive Modernization. Politics, Tadition and Aestetics in the Modern Social Order. CambridgeOxford: Polity Press. Clara Ng. 2005. The (Un) Reality Show. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Tama. Darma, Budi. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Darma, Budi. 2005. “Teori Sastra dan Filsafat Sastra”. Makalah: Handout untuk Kalangan Sendiri. Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya, Desember 2005. Harnawi, Septia Martha. 2013. “Citra Tokoh Srinthil dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari”. Jurnal PBSI Online, Volume 1, Nomor 1, April 2013. Haryanti, Pitri. 2015. “Analisis Unsur Intrinsik Novel Hachico Monogatari Karya Kaneto Shindo (Analisis Intrinsik).” Majalah Ilmiah UNIKOM Vol.10 No. 1. Hawa, Masnuatul. 2013. “Novel Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabhicara, Analisis Psikologi Sastra dan Nilai Pendidikan.” Jurnal Acarya, Vol. 2, No.2 Agustus 2013. Isrofi, Nur. 2015. “Analisis Struktural Novel Rangsang Tuban Karya Padmasusastra dan Pembelajarannya di SMA.” Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo Vol. / 06 / No. 05 / April 2015. Jusriani. 2015. “Konflik Tokoh dalam Novel Rindu Karya Tere Liye (Tinjauan Psikologi Sasytra).” Jurnal Humanika No. 15, Vol. 3, Desember 201. Luxemburg, Jan Van and Willem G. Weststeijn. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. DiIndonesiakan oleh Dick Hartoko. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal and Willem G. Weststeijn. 1991. Tentang Sastra. Penerjemah Akhadiati Ikram. Jakarta: Penerbit Intermasa. Moeliono, Anton, dkk. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka.
242
Nasution, Ikhwanuddin. 2006. “Sastra dari Perspektif Kajian Budaya: Analisis Novel Saman dan Larung.” Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra. Vol II, No. 01 April 2006. Parmini, Ni Kadek dan I Nengah Suandi, Ida Bagus Sutresna. 2014. “Analisis Nilai Pendidikan pada Novel Sang Pemimpin karya Andrea Hirata.” Journal Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Volume : Vol: 2 No: 1, 2014. Teeuw. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Girimukti Pasaka. Welk, Rene and Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan, Di-Indonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.
243
PERLAWANAN SENYAP TERHADAP SISTEM PERNIKAHAN ADAT MELALUI SASTRA TULIS: NOVEL BELIS IMAMAT, KARYA INYO SORO Siti Rodliyah Universitas Muhammadiyah Kupang [email protected]
ABSTRACT Belis Imamat (BI), sebuah novel karya Inyo Soro menceritakan tentang perjalanan hidup seorang calon pastor (Iting), bercita-cita menentang tirani belis (mas kawin) yang dirasa menjadi sumber berbagai masalah sosial sepanjang generasi. Pokok bahasan dalam penelitian ini mengangkat fenomena sosial-budaya yang dikemas penulis melalui sebuah novel, pandangan dunia penulis, dan nilai pendidikan yang tercermin dalam novel tersebut. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan analisis dokumen, mulai dari tahap membaca, pencatatan dan kemudian analisis dokumen. Pandangan Inyo Soro tentang keberadaan belis dalam adat-istiadat masyarakat Nusa Tenggara Timur sebagaimana diceriterakan dalam novel belis Imamat mengungkapkan bahwa belis memang sebuah tradisi yang mencerminkan pernikahan tradisional yang sangat memberatkan, bahkan lebih dari itu, belis sering mengikis nilai-nilai cinta dan kemanusiaan. Disamping menjadi syarat sahnya sebuah hubungan perkawinan, tradisi yang kuat dan tak terelakkan anggota masyarakat yang menjunjung tinggi belis menunjukkan pandangan alternatif seorang penulis terhadap esensi belis dengan sesuatu yang bernilai lebih tinggi daripada materi yakni gelar kehormatan Imamat. Pentahbisan gelar imamat merupakan pengganti bagi belis orang tua yang pernah terhutang, yang pada dasarnya sebagai refleksi hakikat belis itu sendiri. Keywords: Belis Imamat; novel; adat; masyarakat
PENDAHULUAN Karya sastra bisa mencerminkan pikiran, kehidupan dan tradisi dalam masyarakat setempat. Menurut Wellek dan Warren (1989: 109), pembaca sastra mungkin bisa melihat sesuatu yang terjadi di wilayah tertentu, sehingga, buah pikir penulis baik secara langsung atau tak-langsung dipengaruhi oleh lingkungannya sendiri dan secara otomatis memang memiliki efek tertentu terhadap karya sastra yang dihasilkan. Karya sastra yang terpengaruh oleh lingkungan sosialnya terjadi karena hal-hal yang diangkat merupakan bagian dari masyarakat itu juga (Wellek & Warren, 1989: 112).
244
Novel adalah simbol seni baru yang menghubungkan
kehidupan
dan
pengalaman
faktual sosio-kultural para penulisnya, sehingga apapun yang dijelaskan dalam novel cenderung bersifat realistis dan masuk akal. Kehidupan yang digambarkan bukan hanya kebesaran dan kekuatan karakter (terhadap tokoh yang ingin diangkat), tapi “Novel Belis Imamat”, karya Inyo Soro
juga cacat dan kekurangannya. Lebih jauh lagi, dia menyatakan bahwa sebuah novel seyogyanya
bukan hanya alat hiburan, namun juga sebagai bentuk seni yang memelajari dan melihat aspek nilai-nilai sosial yang tinggi dalam kehidupan bermasyarakat, mengarahkan pembaca untuk bertindak dan berpikir lebih bijaksana (Waluyo, 2002). Disamping itu, Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1994) mengungkap bahwa novel berasal dari kata dalam bahasa Italia novella (bahasa Jerman: novelle). Secara harafiah novella berarti hal baru dan kemudian diterjemahkan sebagai "cerita pendek dalam bentuk prosa". Saat ini, gagasan novella atau novelle mencerminkan arti yang sama dengan novelet istilah dalam Bahasa Indonesia (bahasa Inggris: novellette) yang berarti sebuah proxy karya fiksi yang secara substansial tidak terlalu panjang atau tidak terlalu pendek. Karya sastra yang disebut novellette adalah karya yang lebih pendek dari novel tapi lebih panjang daripada cerita pendek; namun bisa termasuk keduanya. Fenomena yang diangkat oleh seorang penulis dalam karya sastranya mencakup hampir semua aspek kehidupan yang dialami pribadi dan masyarakatnya. Munculnya novel sebagai bentuk karya sastra juga mengguncang kesadaran bahwa di tengah pertunjukan lisan dan kesenian, sastra tulis adalah suatu fakta yang harus ada. Sebagai pemerhati sastra tentunya kita juga sedikit banyak memahami tentang bagaimana kehidupan sehari-hari merupakan inspirasi tak terduga dalam mengukir serangkaian cerita unik dan dapat menyentuh khalayak pembacanya. Eko Sugiarto (2007) menulis sebuah ulasan berjudul "Melayu di Mata Soeman Hs kritik terhadap adat melalui sebuah kritik baru terhadap adat melalui sebuah novel", yang merupakan studi analitis tentang novel Soeman HS "Kasih Tak Terlarai". Eko sengaja mengulas novel ini melalui teori mitos Levi-
245
Strauss. Melalui penjelasan mitologis, ia mencoba membangun argumennya tentang 'misi perlawanan' yang dibawa oleh Soeman HS dalam novelnya. Anas al Lubab dalam artikelnya Ketika Pernikahan Dikuasai Adat dalam "Memang Jodoh" mengulas sebuah novel karya Marah Rusli, seorang novelis legendaris dimana salah satu karya fenomenalnya berjudul Siti Nurbaya dikenang dalam sejarah sastra Indonesia. Sebagai seorang penulis novel Sitti Nurbaya, nampaknya Marah selalu merasa gugup dengan realitas sosial ketundukkan masyarakat pada tradisi yang membelakangkan dijunjung tinggi. Melalui sisi intelektualitasnya, pengarang memberontak melawan pernikahan adat di Padang. Jika melalui karyanya Siti Nurbaya, Marah Rusli memotret budaya atau kebiasaan tanah airnya tentang bagaimana kekuasaan-harta dan takhta - secara harfiah telah mengambil hak wanita menjadikannya sebagai objek yang harus "dijual" untuk melunasi hutang orang
tuanya.
Penulis
rupanya
belum
puas
mempertahankan
posisi
pemberontakannya dalam mengkritik kehidupan adat yang dianggap membatasi pembinaan intelektual dan hak asasi manusia. Berdasarkan kasus tersebut, ia merasa wajib menulis sebuah novel berjudul "Memang Jodoh" yang terinspirasi dari pengalaman pernikahannya dengan istrinya. Terlepas dari karya dan ulasan sebelumnya, pemilihan novel Inyo Soro "Belis Imamat" sebagai objek penelitian ini didasarkan pada alasan bahwa novel tersebut mengungkapkan tentang kehidupan religius, dan masalah sosial konsekuensi adat dan budaya setempat yang memengaruhi masyarakat Sumba, dan sebagian besar di Nusa Tenggara Timur. Inyo Soro berhasil mengungkapkan sisi kehidupan belis sebagai suatu hal yang indah, sebagai syarat mutlak dan penghargaan tinggi terhadap calon mempelai yang harus terpenuhi sebelum digelarnya suatu pernikah, namun tidak hanya dari segi positif, akan tetapi juga negatifnya. Novel Belis Imamat karya Inyo Soro, sebagian besar epilog ceritanya merefleksikan sosio-kultural aspek-aspek kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur. Disamping itu, artikel ini membahas pandangan dunia penulis mengenai sistem perkawinan yang menerapkan belis, merupakan suatu kenyataan sosialbudaya yang dihadapi penulis pada saat itu, disamping nilai-nilai pendidikan yang ditanamkan. Mempertimbangkan pentingnya nilai pendidikan sebagai salah satu permasalahan yang paling disorot dalam novel ini, terlepas dari karya sastra
246
apapun harus mengandung nilai kehidupan yang dengan sengaja mampu mendidik para pembacanya. Kajian nilai pendidikan memang merupakan nilai plus yang layak diserap oleh para pembaca. Metode Metode kualitatif menjadi paradigma dasar dan desain penelitian ini. Metode penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif berbentuk narasi tertulis atau lisan dari aspek yang dapat diamati untuk memungkinkan penulis menggambarkan suatu individu, keadaan, gejala dari kelompok tertentu (Moleong, 2008). Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek saat ini (seseorang, institusi, masyarakat, dll) berdasarkan fakta yang muncul atau seperti apa dan bagaimana (Hadari Nawawi dalam Siswantoro, 2005). Penulis menjelaskan secara kualitatif mengenai permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Metode etnografi kritis diterapkan dalam penelitian ini sebagai metode yang bertujuan untuk mengeksplorasi beberapa faktor termanifestasi (tersembunyi) seperti bagaimana suatu daya bekerja atau kekuatan hegemoni yang memengaruhi suatu masyarakat tertentu, dan berusaha membuka agenda tersembunyi di balik kenyataan yang berlangsung. Antropolog berpendapat bahwa etnografi bukan sekadar karya tulis, namun juga harus mematuhi peraturan 'ilmiah'. Jika 'plot' dan struktur menjadi prinsip standar penulisan novel, objektivitas pembenaran empiris menjadi tulang punggung yang menentukan apakah menulis bisa dikategorikan sebagai kegiatan 'etnografis'. Analisis plot terkait dengan "move" atau alur, dan “narrative program"atau program naratif (Czarniawska 2012). Kebanyakan cerita dalam novel atau karya sastra lain berisi lebih dari satu alur, atau beberapa program naratif yang bersaing dan saling terhubung membentuk interpretasi baru. Namun, yang paling banyak disebut analisis plot berasal dari teoretikus sastra Bulgaria-Prancis, Tzvetan Todorov pada tahun 1977 yang menjelaskan bahwa analisis plot yang paling mendasar adalah memuat tahapan yang berkaitan satu sama lain narasi ideal yang stabil dihasilkan oleh suatu daya. Selanjutnya atmosfer berubah menjadi disekuilibrium, buah akibat dari kemunculan daya baru. Hal ini sebagaimana yang
247
dikemukakan Czarniawska (2012: 758), bahwa: The minimal complete plot consists in the passage from one equilibrium to another. An “ideal” narrative begins with a stable situation which is disturbed by some power or force. There results a state of disequilibrium; by the action or a force directed in the opposite direction, the equilibrium is re-established; the second equilibrium is similar to the first, but the two are never identical. Dalam hal ini, kombinasi plot biasanya dicapai melalui dua strategi: pertama, menghubungkan (koordinasi) adalah menambahkan plot sederhana satu sama lain, sehingga dapat bersesuaian. Kedua, melalui sistem embedding (subordinasi) adalah menceritakan sebuah plot yang merupakan bagian dari plot lain (Czarniawska 2012). PEMBAHASAN Belis Imamat (BI) Belis Imamat (BI) adalah sebuah novel buah karya seorang penulis NTT, Inyo Soro, yang terbit akhir tahun 2010an. Ia adalah alumnus Sekolah Teologi Katolik St. Paulus Ledalero di Maumere, Nusa Tenggara Timur. BI bercerita tentang perjalanan hidup seorang calon pastor (Iting) dari Sekolah Tinggi Seminari sampai pada akhir cerita petahbisannya. Berbeda dengan kisah kehidupan saleh Santri, seperti yang diceritakan dalam beberapa novel Islami oleh Habiburrahman El Shirazy, misalnya dalam novel 'Ayat-ayat Cinta' dan ‘Ketika Cinta Bertasbih’ dst. Inyo Soro dengan gaya polos, cerdas, kritis dan mengesankan, menampilkan kehidupan anak laki-laki muda. Kenakalan dan kejenakaan mereka yang meskipun hampir sama seperti pribadi anak-anak muda pada umumnya. Inyo Soro tumbuh di tengah situasi akademis seminari yang royal terhadap perlawanan kroniknya. Buletin Sastra Sandal jepit, sebuah forum diskusi Republik Sarung dan Teater Aletheia adalah suasana di sekitar penulis yang telah berhasil berkontribusi dalam membangun ide-ide kreatif cerita barunya. Yang dimaksud dengan cerita kusut ini mungkin segera didasarkan pada fakta historis yang valid, dan mungkin masih dipertahankan hingga sekarang di Ledalero, sebagai latar belakang novel ini. Terlepas dari mimetik terhadap pengalaman masa lalunya, otonomi semantik teks novel ini dalam model bacaan saya, menawarkan makna simbolis yang tidak murahan. Seperti Santo Paulus yang menyarungkan pedang
248
dan menggunakan pena sebagai senjata, terlebih bagi Inyo Soro, menulis adalah senjata untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan merangkul kebenaran. Iting (tokoh yang diterangkan sebagai 'Aku') adalah tipe orang serius yang bercita-cita menjadi imam Katolik seminari yang tinggal di dalam sebuah asrama ekstra ketat. Aturan keseharian siswa seminari persis sebagaimana yang digambarkan Michel Foucault, yakni sebagai mandor kecil yang mewarisi peran panoptikon, penguntit di penjara yang senantiasa menyebarkan teror. Semua ini dimaksudkan
demi
menyiapkan
kandidat
pastoral
yang
mampu
diandalkan.Meskipun demikian keadaannya, Iting telah berhasil menjalankan kehidupan asrama yang diproyeksikan menjadi praktik imamat di masyarakatnya kedepan. Meskipun kehidupan seorang calon pendeta muda tampak agak terisolasi, suatu tantangan berupa ujian mungkin datang dari mana saja. Dialog Iting dengan teman pendampingnya, zet of zonder (hlm. 9-12) adalah contoh serangan kritis yang secara langsung menembus inti kehidupan monastik. Bagi beberapa orang, pilihan untuk menjadi imamat terlalu tidak masuk akal, namun tidak jarang kemiskinan, kemurnian dan ketaatan ideal yang segera menjadi ironi di luar ibadah Katolik. Tantangan umum yang menimpa calon pendeta yang diceriterakan Inyo Soro merupakan produk tulis yang agaknya mencerminkan selera humor. Suatu hari, Iting bertemu Bintang yang jatuh, makhluk yang berhasil membuat darah Iting mengalir begitu deras serta menggejolak. Inilah cerita cinta seorang calon pendeta. Jika kisah cinta Bintang jatuh, yang diceritakan mengenai perasaan Iting yang tak bergayut lantaran sang gadis tak juga menerima cintanya. Pada sisi lain cerita BI menceritakan kisah pilu percintaan antara Pit dan Ros, yang tiada lain adalah kedua orang tua Iting, perihal perkawinan antara akar rumput Flores dengan gadis terhormat di Sumba yang hamil di luar pernikahan. Pit dan Ros akhirnya berhasil lolos ke kota Kupang karena Pit sebagai pengantin laki-lakinya tidak mampu membayar belis. Dalam kasus ini, belenggu belis sempat meredam cinta dan hati sepasang kekasih tersebut meregang rindu dalam dendam. Novel ini selain bersifat deskriptif sosio-kultural, juga cukup optimis bercita-cita sebagai solusi yang lebih efektif untuk meringankan tirani belis yang menjadi sumber berbagai masalah sosial di kalangan akar rumput. Timbulnya permasalahan sosial ini,
249
seseorang tidak dapat mengandalkan apa yang Inyo Soro implikasikan dalam tulisannya sebagai 'faktor X'. Novel Belis Imamat: Ekspresi Penulis terhadap Kondisi Sosial: Sebuah Kritikan Halus Novel ini menceritakan latar belakang kehidupan calon pastor di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik di Ledalero. Pahit-manisnya pengalaman ‘Aku’ digambarkan secara rinci dalam novel ini. Salah satu hal menarik yaitu ketika sosok 'Aku' merasakan kontradiksi dirinya terhadap sistem adat setempat. Pengalaman ironis yang dirasa terutama pada saat memenuhi tugas sebagai penasihat dalam perkawinan, sementara sebagai pastor yang tidak pernah tahu atau bahkan tidak diperbolehkan menjalani suatu hubungan pernikahan. ..tapi segera aku sadari, membuat khotbah seperti nasehat mereka memang tak mudah. Apalagi untuk mengkhotbahkan pernikahan pasutri (pasangan suami istri) alias memberi kesaksian hidup tentang pernikahan yang padahal aku dan teman-temanku dinarahkan untuk tidak menikah. Sungguh sebuah kegelisahan yang salah huruf bisa dibaca sebagai Ironi (BI, hal.7) Kekhawatiran yang menimpa sosok "Aku" dalam Novel BI bukan hanya karena peranannya sebagai calon imamat, namun juga pengalaman sebagai seorang anak yang terlahir dari kedua orang tua yang dipandang miring dalam masyarakatnya lantaran tidak mampu melangsungkan pernikahan d adat bermaharkan belis. Ayahnya adalah seorang pria dari keluarga sederhana bernama Pit, sedangkan ibunya bernama Rose, seorang gadis dari kalangan bangsawan bergelar Rambu. Di Sumba, masyarakat lokal masih lazim yang lainnya dengan pandangan stratifikasi sosial. Demikian pula bagi mereka yang bergelar Rambu berhak mendapatkan seorang laki-laki bangsawan pula yang bergelar Umbu, sebutan gelar terhormat untuk pria. Belis yang meskipun tidak dapat sepenuhnya didefinisikan sebagai mas kawin di Sumba memang dipatok dengan besaran biaya yang sangat tinggi apalagi jika gadis calon istri berstatus bangsawan, belis yang menjadi ketentuan bisa mencapai puluhan kerbau, kuda, emas dan gading. Belis seakan menjadi harga mati karena dianggap sebagai pengganti ASI. Hal ini tercermin dalam penggalan cerita dalam novel Belis Imamat: Sebagai laki-laki Timur, kami diajari kalau melunasi belis merupakan kewajiban terhadap kaum keluarga wanita. Tidak melunasi belis sama artinya 250
tidak menghargai wanita beserta kaum keluarganya (BI, hal.46) Belis bagi orang timur memiliki nilai yang tinggi. Belis melambangkan penghargaan pria terhadap wanita. Belis merupakan penghargaan pada orang tua wanita yang telah mengasuh dan membesarkan wanita pinangan pria. Secara metaforis belis dianggap sebagai “balas air susu mama” (BI, hal.45) Bagi masyarakat di Nusa Tenggara Timur, khususnya masyarakat Sumba, meluniasi belis merupakan manifestasi penghargaan tinggi laki-laki terhadap perempuan. Namun, penting untuk dicatat, mengenai cara dan usaha menjadikan belis sebagai kewajiban, pun sejatinya kehormatan laki-laki tidak akan terkurangi. Nilai-nilai sosial-pendidikan yang tercermin dalam novel Belis Imamat memposisikan belis sebagai bentuk apresiasi kepada pengantin wanita dan keluarganya yang dinilai memiliki peran besar dalam membesarkan calon istri sedari kecil hingga dewasa. Keberadaan belis seiring dengan fungsi dan makna sosial masyarakat NTT, khususnya masyarakat Sumba Timur adalah cerminan nilai-nilai sosial. Belis mencerminkan prestise dan harga diriwanita maupun pria; antara belis yang terbayar lunas ataupun tidak, belis menunjukkan norma sosial dan kemampuan ekonomi masing-masing keluarga. Nilai sosial belis memupuk kerja sama antar keluarga yang bersangkutan. Belis dalam pelunasannya sering melibatkan keluarga besar pihak pria maupun wanita. Menghormati wanita dan keluarga orang tua mereka adalah sebuah bentuk nilai sosial yang diajarkan dalam tradisi belis. Karena itu suatu saat, kembalilah kesini. Antarkan belis buat keluarga Ros, biar kau di anggap lelaki terhormat. Belismu adalah hutangmu dan juga harga dirimu. Jangan rendahkan harga dirimu dengan tidak melunasinya (BI, hal.45) Oleh sebab dihadapkan dengan permasalahan dalam membayarkan belis, orang tuaku, Pit dan Rose diusir dari kampung, keluarga dan masyarakat mereka di Sumba. Keduanya kemudian pergi ke Kupang, Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mereka menetap dan tinggal di Kupang, dan takut kembali ke Sumba hingga melahirkan dua anak, salah satunya adalah tokoh dalam cerita yakni ‘Aku’. Tokoh ‘Aku’ yang menjalankan peran kehidupan sebagai calon seorang Imamat, akhirnya menerima tugas terakhirnya yang berlangsung di Sumba, merupakan tempat kelahiran kedua orang tuanya, tempat tinggal kerabat dan
251
keluarga besarnya. Kehadiran sosok Aku, sebagai calon Imamat dalam lingkaran kerabat di Sumba, perlahan tapi pasti melelehkan kedinginan hubungan dan isolasi yang terbangun antara dia, orang tuanya dan keluarga besarnya sebagai akibat dari memegangteguh adat pernikahan dengan belis. Pernikahan kedua orang tuanya di masa lalu yang dianggap tidak sah karena ketaksanggupan membayar belis. Keduanya sempat terpisah mulai tidak saling mengenal hingga tidak diperkenankan berjumpa bertahun lamanya. Pada akhirnya sosok ‘Aku’ dapat menyatukan kembali keluarganya yang tercerai-berai, ayah dan ibunya serta keluarga besar keduanya pada saat pentahbisan sosok ‘Aku’ sebagai pastor. Kedua keluarga bisa berkumpul bersama dalam acara tersebut. Permasalahan belis yang selama ini sempat membelenggu diantara keluarga orang tuanya berakhir dengan pernyataan mengharukan dari sosok ‘Aku’, bahwa pentahbisan gelar Imamat sebagai pastor diperuntukkan atas belis sang ayah kepada ibunya yang terhutang. Cerita novel ini berakhir disini. Di depan nenekku, di depan kaum keluarga yang pernah menolak ayah-ibuku, kupersembahkan iamamatku sebagai belis bagi mereka. Belisku adalah belis ayahku. Belis bagi keluarga ibuku. Meski bukan dengan ternak.Bukan dengan gading.Bukan dengan perhiasan emas, intan dan berlian. Ku persembahkan sesuatu yang sederhana untuk mereka yang mana kesederhanaan itu ternyata amat berharga di mata nenek, tante,kaum kerabatku, ayah dan bundaku. Ya,imamat tak lain tak bukan adalah belis kehidupan. Belisku untuk nilai kehidupan yang terlampau luhur (BI, hal.246). Kegiatan seminari dan kampus merupakan realitas yang boleh dibilang tidak masuk akal bagi Inyo Soro. Novel yang diilhami dari cerita pribadi kehidupan seorang pemuda calon pastor yang penuh idealisme kebebasan berkreasi yang berapi-api, kebebasan berpendapat serta mengemukakan gagasan sebagai kritikan. Gagasan tentang kebebasan, terutama pemikiran bebas tanpa ada batasan, dan naluri kompetitif dalam mencari kebenaran merupakan nilai-nilai pendidikan yang ingin disampaikan penulis. Setelah Bab prolog, pembaca bias dipastikan akan bertanya-tanya, kira-kira apa yang menyebabkan seorang penulis menggunakan gaya bahasa orang pertama tunggal 'Aku' mempersembahkan gelar kependetaan dirinya sebagai ganti objek material belis / mas kawin kedua orang tuanya yang terhutang? Di lain sisi menjalani pendidikan dengan dua variasi orientasi berupa tuntutan yang terlahir dari kesadaran pribadi dan umum, dan tuntutan keluarga,
252
serta tuntutan 'masyarakat' religius. Hal tersebut menjadi permakluman bagi analis novel untuk melacak kumpulan cerita tentang lingkungan para siswa tempaan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik yang menginspirasi 'tragedi' epilog dalam novel BI. Resistensi terhadap Sistem Adat yang Mengekang Sebelum menulis bisa dijadikan sebagai senjata, seseorang harus terlebih dahulu berjuang untuk memelajarinya. Seperti saat pertama mengayuh sepeda, orang pasti berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya. Tidak mengherankan, Inyo Soro mengungkapkan buah pikir kreatifnya kedalam 5 bab dalam novelnya untuk bercerita tentang pengalaman menulis. Di beberapa bagian, tulisan itu merupakan pengalaman yang unik, dan pada sosok Iting kita dapat memahami pengalaman Inyo Soro nampak selalu mendebarkan. Pengalaman menyiapkan khotbah untuk pasangan yang merayakan pernikahan perak dsb (BI, hlm.3). Tugas para dosen untuk mengabstraksikan gagasan para filsuf dari era Plato sampai era Postmodern seperti saat ini kedalam halaman HVS kemudian menjadikannya sebagai laporan akhir akademi pastoral (halaman 87-90); tugas menyiapkan naskah teater (hlm. 106); pengalaman menulis puisi berdasarkan pengalaman jatuh cinta (hlm. 127128); menulis tesis (hlm. 186-189); yang tidak lagi implisit dalam teks novel tersebut adalah kesuksesan Iting, apakah ini sebentuk personifikasi dari penulis sendiri (?), yang mengekspresikan pengalaman fisik dan batin seorang penulis. Pengulangan pengalaman menulis di beberapa bagian novel selalu diapit oleh refrain yang sama. Sesampainya di halaman terakhir novel BI ini, sebuah pertanyaan mungkin saja bisa diajukan; apakah komitmen Iting dan Bintang akan menjadikannya sebagai saudara perempuannya pada akhirnya? Sedangkan perihal percintaan, sebagaimana ditekankan Inyo Soro, "... Cinta adalah ihwal perubahan naluriah pemicu kedekatan setiap pria dan wanita." (hlm 25). Meskipun pada hakikatnya dalam pandangan calon pastor, kedekatan antara pria dan wanita mungkin saja ditafsiri sebagai bara api. Hal ini pastinya akan menuai efek ganda saat kedekatan antara laki-laki dan melibatkan kehidupan seorang calon pendeta, orang yang hanya berurusan dengan permasalahan agama dan telah berjanji untuk tidak
253
menikah seumur hidupnya. Berakhirnya cerita Iting pada BI ini menyimpulkan pengalaman batin penulis yang menggunakan novel sebagai sastra lokal tanah air menjadi cerita tersendiri apakah akan ditanggapi khalayak sastra sebagai otokritik bagi adat setempat atau hanya hiburan edukatif yang hanya bisa diambil pelajaran bagi sebagian? Ataukah novel terdahulu menginspirasi lahirnya BI ? Pengamatan lebih lanjut melalui literatur komparatif perlu membahas komposisi cerita ini. Analisis Struktural Novel Belis Imamat Pandangan Inyo Soro mengenai ihwal belis yang menjadi bagian adat masyarakat Nusa Tenggara Timur yang diungkapkannya dalam BI adalah pandangan terhadap esensi belis sebagai sebuah tradisi pernikahan yang tak dapat disangkali, bahkan lebih dari itu, belis sering mengikis nilai cinta dan kemanusiaan yang melandasi tujuan pernikahan. Tradisi belis yang kuat dan tak terelakkan dijunjung tinggi oleh masyarakat, membuat penulis berpikir panjang kemudian menyampaikan gagasannya melalui coretan pena berbentuk kisah dalam novel, tidak lain diproyeksikan sebagai pandangan alternatif terhadap belis sebagai beban yang semestinya dapat digantikan oleh sesuatu yang bernilai lebih tinggi daripada materi untuk membelis seorang mempelai wanita, yakni nilai-nilai agama. Pentahbisan gelar Imamat sebagai gelar kehormatan tertinggi, merupakan pengganti bagi materi belis, yang sejatinya menjadi kritik terhadap esensi belis itu sendiri. Ada kemungkinan bahwa ini mengarah pada opini terhadap pemegang tradisi masyarakat yang peduli melestarikan belis menjadikan agama sebagai perantara kebuntuan tradisi adat. Analisis struktural berikut ini berusaha memerikan kondisi sosial budaya melalui kisah yang dikemas dalam novel bertajuk Belis Imamat. Latar belakang/background didasarkan pada kehidupan adat dan kepercayaan Marappu, belis telah terjaga keberadaannya secara turun temurun oleh nenek moyang orang Sumba Timur. Kebiasaan yang terkandung dalam novel BI ini adalah tradisi dalam pernikahan adat, yakni penyerahan belis sebagai mahar perkawinan. Tradisi ini dianggap sebagai penentu sah tidaknya sebuah pernikahan dalam pandangan adat, dan sebagai penentu bagi status perkawinan dari keturunan yang dihasilkan nantinya. Jumlah kadar belis tergantung pada
254
status gadis, biasanya jumlah barang yang ditentukan tidak boleh kurang dari jumlah yang pernah diterima oleh ibu pada pernikahannya dahulu, setidaknya jumlah belis anak gadis tersebut harus sama dengan belis yang diterima si ibu. Belis dapat dipandang sebagai sebuah aturan adat dalam pernikahan yang harus dibayarkan atau terbayar dengan konsekuensi tertentu. Artinya, jika berhutang, pria harus ikut dalam segala aktifitas atau kegiatan keluarga si gafis sampai belis yang dibebankan padanya tuntas terbayarkan. Bagi masyarakat Sumba Timur seperti yang dijelaskan dalam novel BI, jumlah ternak menjadi bentuk pembayaran rasional dan setimpal dalam melunasi mahar pernikahan yang disebut belis. Pekerjaan/occupations; masyarakat Sumba Timur menjalani kehidupan utamanya melalui pekerjaan lapangan bersifat tradisional. Usahausaha yang banyak dikerjakan sebagai pemenuhan kehidupan sehari-hari yaitu sebagai petani dan berternak. Hal ini sesuai dengan kondisi alam tanah Sumba Timur yang secara geografis sebagian besar merupakan padang savana. Tempat/setting: tempat kejadian cerita dalam BI menceritakan kehidupan di Sumba Timur, sebuah wilayah di Nusa Tenggara Timur yang sebagian besar terdiri dari padang rumput dan lahan kering. Setting lainnya yaitu di wilayah Flores, yang merupakan salah satu daerah di Nusa Tenggara Timur yang terdiri dari daerah pesisir dan pegunungan. Konteks setting berupa bangunan asrama mencerminkan kehidupan calon pendeta/pastor di Sekolah Tinggi Filsafat Kristen Ledalero. Pendidikan/education; kehidupan calon imam atau pendeta di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik di Ledalero, Flores. Agama/religion; nuansa Katolik yang sangat kentara, di dalamnya termanifestasi kehidupan pendeta dan calon pendeta Ledalero STFK, deskripsi bangunan, tahapan yang ditempuh oleh calon imam, tugas seorang imam dll. Penggunaan Bahasa/language use: selain bahasa Indonesia sebagai Bahasa utama yang digunakan dalam novel ini, Inyo Soro juga menceritakan kisahnya dengan sedikit bernuansa Melayu Kupang, Latin dan juga bahasa Inggris. Hal ini tak terelakkan mengingat bahwa seorang pendeta banyak berhubungan dengan literatur filosofis, liturgi, doa-doa yang dilantunkan menggunakan bahasa Latin. Bahasa Melayu adalah bahasa sosial yang digunakan oleh hamper semua kalangan masyarakat yang tinggal di wilayah Nusa Tenggara Timur dalam percakapan sosial ditengah-tengah berbagai bahasa daerah yang
255
dimiliki oleh masing-masing wilayah atau suku-suka di Nusa Tenggara. SIMPULAN Kesimpulan yang bisa didapat dari novel Belis Imamat dan pandangan dunia penulis terhadap belis mencakup adat-istiadat dan kepercayaan, agama, bahasa, etnisitas, pekerjaan, pendidikan, dan tempat tinggal masyarakat Nusa Tenggara Timur sebagai penghantar tradisi yang diceritakan dalam BI. Dalam pandangan Inyo Soro, belis tak pelaknya memang sebuah tradisi yang mencerminkan tuntutan adat sebelum melangsungkan pernikahan yang dipersepsikan memberatkan, dan kerap mengikis nilai-nilai cinta dan kemanusiaan yang seharusnya menjadi tolok-ukur bagi hubungan pernikahan dua insan. Melalui BI kita bisa memahami bahwa novel ini muncul atas konsekuensi fenomena kehidupan budaya yang merupakan dokumentasi sosial. Ini adalah kritik sastra yang memungkinkan kita dalam menimbang dan memandang dimana posisi sebuah karya terhadap karya sastra lainnya mampu merangkum aspirasi masyarakat setempat terhadap budaya yang telah berlangsung lama dan terpelihara nampak tiada cela. Selain sebagai kritikan halus, kita pantas mendefinisikan novel ini sebagai semacam pembebasan, bukan alat yang mengikat apalagi melawan pola budaya yang sudah mapan. Meskipun kritik yang mengarah pada pembebasan akan membuat pencipta cerita menjadi lebih mampu menghasilkan kreasi mereka. DAFTAR PUSTAKA Balibar, Etienne. (2002). “Konfrontasi Michel Foucault dan Marx: Kritik terhadap Hipotesis Represi, Praksis, dan Struktur Konflik”, BASIS, No. 01-02, Year 51st, January-February, p. 58-60. Endraswara, Suwardi. (2008). Metodologi Penelitian Sastra [Trans. Method of Literary Studies]. Yogyakarta: MedPress. Faucault, Michael. (1982).T he Subject and Power. Critical Inquiry, 8 (4) Summer, 1982, the Unviersity of Chicago Press. Retrieved from: http://www.jstor.org/page/info/about/policies/terms.jsp, pp.777-795 (al-) Lubab, Anas (15/08/2013). Ketika Pernikahan Dikuasai Adat dalam “Memang Jodoh”. Retrieved from: http://www.alineatv.com/2013/08/15/ketikapernikahan-dikuasai-adat-dalam-memang-jodoh/ Moleong, Lexy. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif [Trans.Qualitative Research Methodology]. Bandung: Remaja Rosdakarya
256
Nurgiyantoro, Burhan.(2002). Teori Pengkajian Fiksi [Trans.Theory of Fiction Studies]. Yoyakarta: Gajah Mada University Press. Siswantoro. (2005). Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Soekanto, Soedjono. (1996). Perkembangan Sosiologi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Stanton, Robert. (2007). Teori Fiksi [Trans. by Sugihastutik dan Rossi Abi AlIrsyad, “the theory of fiction”]. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugiarto, Eko. (2007) .Melayu di mata Soeman Hs kritik terhadap adat lewat sebuah novel kritik terhadap adat lewat sebuah novel. Yogyakarta Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu 2007. ID: IOS3318YOGYA-02090000068720 Sumardjo, Jacob. (1999). Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung. Sutiyono. (2010). Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis. Jakarta: Kompas. Wellek, R., &Warren, A. (1989). Theory of Literature. New York: Harcourt. Brance and World
257
MENGUNGKAP NILAI-NILAI LUHUR DALAM SASTRA KLASIK JAWA SEBAGAI BUDAYA LOKAL UNTUK MEMPERKUAT JATI DIRI BANGSA Sri Wahyu Widayati Universitas Negeri Surabaya [email protected]
ABSTRAK Pengaruh globalisasi informasi bagi bangsa Indonesia berdampak positif dan berdampak negatif. Dapak positif, bangsa Indonesia dengan mudah mengakses berita yang dapat menambah pengetahuan dan wawasan yang diperlukan. Dampak negatif, banyak budaya asing yang masuk ke Indonesia tidak semua cocok dengan budaya bangsa. Budaya asing yang masuk dan tidak sesuai dengan budaya sendiri akan sangat mempengaruhi perilaku masyarakat. Salah satu perilaku negatif adalah terjadi degradasi moral di seluruh perikehidupan masyarakat Indonesia, termasuk dalam masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa akan terhindar dari kemerosotan moral, bila tiap individu dalam masyarakat Jawa tertanam nilai-nilai luhur yang berakar dari budaya sendiri. Salah satunya adalah kearifan lokal dari peninggalan masyarakat Jawa, yang terdapat dalam karya-karya klasik Jawa. Nilai-nilai luhur masyarakat Jawa yang terungkap dalam karya klasik Jawa antara lain tentang: hubungan sosial, hubungan dalam keluarga, hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan lingkungan. Nilai-nilai luhur tersebut perlu digali dan disebarluaskan, disosialisasikan melalui penelitian dan penerbitan sebagai bahan bacaan. Pemahaman nilai-nilai luhur yang bersumber dari karya-karya klasik Jawa akan memperkuat jati diri masyarakat Jawa khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Akhirnya masyarakat Jawa khususnya dan bangsa Indonesia tidak mudah terombang-ambing di tengah gempuran budaya asing, sebagai dampak globalisasi informasi. Kata kunci: Nilai-Nilai Luhur dan Jati Diri PENDAHULUAN Globalisasi informasi sangat mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
Pengaruh
positif,
bangsa
Indonesia dengan mudah dapat mengakses berita yang dapat menambah pengetahuan dan wawasan yang diperlukan dalam kehidupannya. Pengaruh negatif, banyak budaya asing yang masuk ke Indonesia yang tidak semua cocok dengan budaya bangsa. Masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya sendiri akan sangat mempengaruhi perilaku masyarakat. Sebagai contoh sekarang ini terjadi degradasi moral di seluruh perikehidupan masyarakat Indonesia. Kejadian tersebut seperti dijelaskan dalam ”The Clash of Civilinations”, yaitu ketakutan yang terjadi pada modernisasi global dapat melahirkan peradaban yang besar, 258
namun secara moral bejat dan tidak manusiawi. Suatu bangsa akan terhindar dari malapetaka tersebut bila tiap individu dalam masyarakat tertanam nilai-nilai dan tradisi luhur bangsa sebagai budaya sendiri yang kuat dan salah satunya adalah kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap bangsa. Demikian juga dalam masyarakat Jawa akan terhindar dari bencana tersebut bila tiap-tiap individu dalam masyarakat Jawa tertanam nilai-nilai budaya Jawa yang kuat. Nilai-nilai luhur budaya bangsa termasuk budaya Jawa juga dapat dipergunakan untuk membina karakter generasi muda, dalam rangka memperkuat jati diri sebagai calon pemimpin bangsa. Nilai-nilai luhur tersebut banyak terdapat peninggalan yang berupa naskah lama, mengingat naskah lama merupakan perwujudan dari budaya abtrak nenek moyang kita. Budaya abstrak adalah budaya yang berupa pemikiran-pemikiran yang ada dalam otak nenek moyang pada waktu itu. Oleh karena itu supaya menjadi konkrit dituangkan dalam bentuk . Naskah nusantara jumlanya sangat banyak, dan salah satu yang terbanyak adalah naskah Jawa. Nilai- nilai luhur yang terdapat naskah Jawa lama tersebut perlu digali disebarluaskan, disosialisasikan melalui penelitian dan penerbitan sebagai bahan bacaan. Karena didalamnya mengandung nilai-nilai kearifan lokal sebagai dokumentasi dan kristalisasi pandangan hidup masyarakat Jawa. Pengaktualisasian kearifan lokal yang berupa nilai-nilai luhur pada masyarakat mendesak untuk segera dilakukan, dalam rangka memperkuat jati diri masyarakat Jawa, khususnya generasi mudanya. Pendidikan karakter bangsa dalam rangka memperkuat jati diri bangsa sangat mendesak untuk dilakukan, mengingat dari hari-kehari kemerosotan moral bangsa terus berlangsung, sebagai dampak masuknya budaya asing lewat globalisasi informasi yang tidak tersaring dengan baik. Aktualisasi nilai-nilai luhur sebagai kearifan lokal difokuskan pada naskah Jawa lama pengaruh kraton.meliputi naskah Jawa yang ada di pedalaman atau naskah Jawa pengaruh kraton. Bentuk-bentuk kearifan lokal yang perlu dipertahankan dapat berupa: sistim nilai budaya Jawa, norma-norma dan pandangan hidup. Bentuk kearifan lokal itu hidup dalam aneka budaya masyarakat pada waktu naskah ditulis, yang dapat membingkai masyarakat dalam berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara. Masyarakat dari waktu-kewaktu terus berkembang. Secara material memang dari
259
waktu-kewaktu jelas berbeda, namun secara batin tetap sama yaitu sebagai manusia Jawa yang mempunyai nilai, norma, pandangan hidup sama dengan nenek moyang dahulu. Oleh karena kearifan lokal yang ada dalam naskah, sebagai manifestasi budaya ideel nenek moyang masih relevan digunakan sampai saat ini. Sastra Klasik Sebagai Budaya Lokal Jawa Dan Merupakan Kearifan Lokal Masyarakat Jawa Kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahkluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalaman, serta
sebagai pedoman tingkah lakunya (Yuwana, 2000: 2).
Selanjutnya Yuwana (200: 4-5) menjelaskan bahwa dalam masyarakat Indonesia yang majemuk terdapat tiga golongan kebudayaan. Ketiga golongan kebudayaan tersebut adalah kebudayaan suku bangsa atau kebudayaan daerah, kebudayaan umum lokal, dan kebudayaan nasional. Budaya daerah merupakan perwujudan dari kegiatan-kegiatan kehidupan dari para warga masyarakat suku bangsa yang berdasarkan pada pranata-pranata sosial yang bersumber pada kebudayaan suku bangsa. Berdasarkan konsep tersebut maka dapat didefinisikan budaya Jawa merupakan perwujudan dari kegiatan-kegiatan kehidupan dari para warga masyarakat Jawa yang berdasarkan pada pranata-pranata sosial yang bersumber pada kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa sangat luas diantaranya kebudayaan yang hidup di Yogyakarta dan Surakarta, yang merupakan peradaban orang Jawa yang berakar di kraton (Koentjaraningrat, 1984: 25).
Kebudayaan yang
berkembang di Surakarta dan Yogyakarta juga mempunyai tiga wujud kebudayaan seperti konsep Koentjaraningrat (2004: 5-6) yaitu wujud kebudayaan ideel, wujud kebudayaan sebgai suatu komplek aktivitas kelakuan yang berpola, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, sifatnya konkrit. Kebudayaan ideel kebudayaan bersifat abstrak, hanya ada pada pikiran-pikiran pelaku budaya. Budaya abstrak menjadi konkrit apabila diaktualisasikan. Salah satu aktualisasi budaya abstrak masyarakat Surakata dan Yogyakarta ialah dalam bentuk naskah Jawa klasik. Naskah Jawa klasik Surakarta merupakan karya sastra yang berkembang pada jaman Surakarta awal sebagian besar ditulis dengan huruf Jawa dan menggunakan bahasa Jawa baru. Karya sastra yang berkembang pada jaman
260
Surakarta awal kebanyakan ditulis dengan puisi tembang. Purbatjaraka (1957: 128) menjelaskan bahwa pada jaman Surakarta terdapat dua jenis karya sastra yaitu karya satra baru dan karya pembangun. Karya sastra pembangun adalah karya sastra yang dibuat berdasarkan karya sastra yang sudah ada sedang karya sastra baru dibuat dari hasil pemikiran para pujangga ataupun para pengarang pada waktu itu. Para pujangga dalam menciptakan karya bukan tanpa tujuan. Karya sastra dibuat dengan tujuan untuk mengalihkan suasana politik kerajaan yang panas kepada kegiatan kerokhanian. Rakyat Surakarta kehidupannya menderita lahir dan batin akibat penjajahan, dan Paku Buwana IV tidak berdaya karena kekuasaannya sudah dirampas oleh Belanda. Paku Buwana IV bersama para pujangga lain kemudian menulis buku-buku tentang etika, moral, tuntunan, nasehat-nasehat dan sebagainya, supaya suasana rakyat kembali tenteram dan damai. Langkah yang dibuat oleh raja beserta para pujangga tersebut berhasil membuat rakyat Surakarta tenteram dan damai. Hal itu membuktikan bahwa karya sastra klasik Jawa sebagai produk budaya lokal Jawa, merupakan kearifan lokal masyarakat Jawa yang dapat metetramkan jiwa yang harusnya bergejolak. Berdasarkan uraian di atas maka pada kajian ini tertarik untuk mengaktualisasikan kembali isi naskah Jawa (lama) klasik jaman Surakarta, terutama karya-karya bukan pembangun. Aktualisasi teks pada naskah Jawa klasik Surakarta difokuskan pada nilai-nilai luhur yang dapat memperkuat jati diri bangsa. Erien Sudewa seperti dikutip oleh Anas S dan Irwanto A (2013: 31) menjelaskan bahwa kemelut dan carut-marutnya Indonesia ini diyakini karena ketiadaan karakter atau merosotnya moral bangsa yang mengakibatkan bangsa jadi limbung kehilangan jati diri. Merosotnya moral bangsa termasuk moral masyarakat Jawa bila terus-menerus dibiarkan, bangsa ini akan masuk ke tepi jurang yang dinamakan negara gagal. Oleh karena itu, suku Jawa yang merupakan suku terbesar sejak dini generasi mudanya harus diperkenalkan pada pendidikan moral yang bersumber dari nilai-nilai luhur nenek moyang masyarakat Jawa. Nilai-nilai luhur bangsa banyak ditemukan pada naskah Jawa lama (klasik). Kearifan lokal bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. (http://www. Balipos.co.id, didonwnload 17/9/2003). Sedangkan Moendardjiti dalam Ayatrohaedi (1986; 40-46) menyatakan bahwa
261
unsur budaya daerah potensial sebagai kearifan lokal karena teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang dengan ciri-ciri: 1) mampu bertahan budaya luar, 2) mampu mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; 3) mampu mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli; 4) mampu mengendalikan dan memberi arah pada perkembangan budaya. Namun yang jelas bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan dari generasi ke generasi. Jenis-jenis kearifan lokal antara lain: 1) tata kelola; 2) nilai-nilai adat; 3) tata cara dan prosedur, 4) pemilihan tempat dan waktu. Kearifan lokal tersebut tertuang dalam:1) Teks atau kitab (naskah) kuno; 2) Tangible; Candi. Sedangkan fungsinya: 1) Pelestarian alam; 2) Pengembangan pengetahuan; 3) Mengembangkan SDM. ( http: // naninorhandayani. Blogspot.com/2011/05). Pada kajian ini akan mengungkap nilainilai luhur masyarakat Jawa dari teks/naskah kuno jaman Surakarta, sebagai produk budaya lokal dan merupakan kearifan lokal masyarakat Surakarta. Walaupun demikian budaya lokal yang terdapat dalam naskah-naskah klasik Surakarta tersebut
NILAI-NILAI LUHUR KARYA KLASIK JAWA Nilai-nilai luhur yang dimaksud adalah nilai luhur budaya Jawa. Nilai budaya Jawa merupakan nilai budaya yang dipangku, dipeluk, diikuti oleh manusia Jawa yang tumbuh dan berkembang di Jawa Tengan, Jawa Timur, dan sebagian Jawa barat dan luar Jawa, mencakup sebelum Hindu, Buddha sampai sekarang (Saryono, 2011: 7). Lebih lanjut Saryono
(2011: 39) menjelaskan bahwa
karakteristik nilai budaya Jawa dapat dibedakan secara dimensional menjadi; 1) karakteristik idealistis nilai religius Jawa;2) karakteristik idealistis nilai filosofis Jawa;3) karakteristik idealistis nilai etsi Jawa; 4) karakteristik idealistis nilai estetis Jawa. Empat karakteristik nilai budaya Jawa tersebut, merupakan nilai-nilai luhur masyarakat Jawa yang banyak terdapat pada karya klasik Jawa. Pendiskripsian nilai-nilai luhur tersebut dalam makalah ini hanya diambilkan beberapa naskah sebagai contoh. Uraian nilai-nilai luhur dalam karya sastra klasik Jawa ini berkaitan dengan manusia Jawa sebagai mahkluk sosial dan mahkluk individu. Oleh karena
262
itu nilai-nilai luhur akan deskripsikan tentang nilai religius, nilai filosofi, nilai etis dan nilai estetis. Nilai Religius Jawa dalam naskah “Wulang Estri ” adalah sebagai berikut: -Bila merusak aturan hidup dan lupa kalau perempuan itu di bawah kekuasaan lakilaki, maka perempuan tersebut dosa dua macam yaitu dosa pada suami dan dosa pada Allah, seperti dijelaskan pada teks sbb: //”Lan mbuwang ugering urip, lali lamun kawisesa, ing priya jeneging wadon, nandhang dosa rong prekara, dhingin dosa mring priya, dosa kaping kalih iku, maring Allahutangalah”//”Dosa lahir dosa batin, ati ugering manungsa, lamun pinandan ciptane, iku atine binubrah, tan wande karusakan, owah ing ngati tan emut, pan ati racuning manah”// (SWE, pupuh 1 bait 6-7) - Manusia yang penting adalah menjaga hati agar tetap bersih, karena kalau hati sampai rusak bukan manusia lagi dan hidupnya akan sengsara, seperti dijelaskan pada teks sbb: //”Badan iki amung darmi, nglakoni osiking manah, yen ati kurang elinge, Ilang namaning manusa, yen manusaning ilang, amung rusak kang tinemu.tangeh manggiha raharja”// (SWE. pupuh 1 bait 8) Nilai filosofi Jawa dalam naskah “Wulang Estri” adalah sebagai berikut: - Seorang isteri harus mengetahui tugas-tugas untuk melayani suami, seperti tugas- tugas lima deriji di tangan yang mempunyai tugas sendiri-sendiri, seperti dijelaskan dalam teks sbb: //”Lawan ana kojah ingsun, saking eyang ngira swargi, pawestri iku elingnga, lamun ginawan dariji, lilima puniku ana, arane dipun parinci”//” Jejempol ingkang rumuhun, panuduh kang kaping kalih, panungguling kaping tiga, kaping pat dariji manis, kaping gangsal punika, ing wekasan pan jejenthik (SWE, pupuh 2 bait 31) Nilai Etis dalam naskah “Wulang Estri” adalah sebagai berikut: - Perkawinan harus didasarkan cinta (hati) dan cukup sekali saja jangan sampai salah pilih, salah sekali akan berantakan, seperti terdapat dalam teks sbb: //”Pratikele wong akrami, dudu brana dudu warna, among ngati paitanne, luput pisan kena pisanyen gampang luwih gampang,yen angelngel kelangkung, tan kena tinambak arta”//”Tan kena tinambak warni, uger-uger wong akrama,
263
among emut dandanane, ngeling kawise sang priya, tan kena sumembrana, kurang eleng kurang emut, iku lopot ngambra-ambra”// (SWE, pp 1 it 1-2 ) - Perintah suami harus dijalankan dengan hati-hati jangan sampai keliru supaya jangan tidak rusak hubungan perkawinannya, seperti dijelasan pada teks sbb: //”Wong lali rehing ngakrami, wong kurang titi ngagesang, wus wenang ing ngaran pedhot,titi iku kang temenan, tumancepa ing manah, yen wus ilang titinipun, ilang namaning ngakrama”//”Iku wajib kang rinuti, apan jenenging agesang, amung temen paitanne, lamun kareh wong lanang, eleng maring parentah, nastiti wus duwekipun, yen eleng titine liwar”// (SWE, pp1 bt 2- 3)
Norma-norma dalam naskah “Wulang Estri” adalah sebagai berikut: - Seorang isteri kalau dimarahi suami secepatnya harus minta maaf, jangan sampai ditunda tidak baik, seperti dijelaskan pada teks sbb: //”Daya lamun dinukan tumuli, manggih apureng delahan, kalamun den imbu bae dinukanan ing besuk, iku kang ambabayani, tanpa tadyeng delahan, yen mangkono bunting, pama nini den nuwita, ring laki yen sira ginawa benjing, luwih saking laku kita, sampun sumakta pitutur sang aji, ing Tanate prabu Geniyara, mring atmaja estri kadwine, prayoga sakelangkung, den tiruwa pasthi becik, aja dumeh wong Buda, kang duwe pitutur, kaya sang raja ing Cina pituture aja dumeh lamun kapir, tur mejusi kapirnya”// (SWE, pupuh 2 bait 17) - Seorang perempuan hendaknyanya satu kali nikah, seandainya menjadi janda lebih baik mengasuh anaknya, sebagai tanda kesetiaan pada suami yang sudah mengasihinya, seperti dijelaskan dalam teks sbb: //”Sakabehe putraningsun, kang estri kanggowa laki, kinasihana ing priya, lan padha bekti yeng nglaki, padha lakiya sapisan, dipun ngati nini”//”Masiya ngladeni kakung, sartane dipun welasi, yota arondhona, warega amomong siwi, lan pituturingwang, estokena lahir batin (SWE, pupuh 2 bait 29-30) - Seorang isteri dihadapan suaminya harus berwajah manis, walaupun hatinya baru tidak enak, seperti dijelaskan pada teks sbb: //”Aja dhoso ambesengut, iku nora parak ati, ing nityanipun sumringah, sanadyan rengu ing ati, yen nana ngarsaning priya, buwangen aja na kari”// (SWE, pupuh 2 bait 38) Pandangan hidup dalam naskah “Wulang Estri” adalah sebagai berikut:
264
- Menikah harus karena hati, jangan karena harta atau karena rupa, seperti dijelaskan pada teks sebagai berikut: //”Pratikele wong akrami, dudu brana dudu warna, among ngati paitane, luput pisan kena pisan, yen gampang luweh gampang, yen angel angel kelangkung, tan kena tinambak arta”// (SWE, pupuh 2 bait 1) Demikianlah nilai-nilai luhur sistim budaya Jawa yang berupa sistim nilai reigius, sistim nilai filosofi, sistim nilai etis, norma-norma dan pandangan hidup. Berdasarkan data di atas sistim nilai estetis tidak ditemukan. Hal itu berarti naskah “Wulang Estri” lebih menitik beratkan pada nilai-nilai batin dan perilaku individu dalam masyarakat. Nilai-Nilai Luhur dalam Naskah “Wulang Reh” Salah satu naskah Jawa klasik hasil dari jaman Surakarta awal ialah Serat wulang Reh. Karya sastra tersebut merupakan karya besar dari Sri Susuhunan Pakubua IV yang sangat popular pada jamannya. Pada jaman itu kalangan masyarakat Jawa digunakan sebagai pedoman hidup yang adiluhung karena di dalamnya terdapat nilai-nilai yang arif dan dapat dijadikan panutan hidup masyarakat. Seiring dengan perkembangan jaman naskah “Serat Wulang Reh” yang berbahasa Jawa sudah hamper tidak dikenah oleh para generasi muda, walaupun karya sastra tersebut sudah dicetak dengan huruf latin. Masyarakat umum terutama generasi muda merasa sulit memahami karena ditulis dengan metrum tembang dan berbahasa Jawa. Masyarakat Jawa secara umum lebih tertarik pada bacaan yang mudah difahami dan pupuler di masyarakat. Sedangkan Serat Wulangreh yang konon merupakan tembang yang digunakan sebagai wejangan (pengingat) dan pituduh (petunjuk), yang sangat dikagumi dan dipakai pedoman hidup, karena di dalamnya terdapat sistim nilai budaya yang adi luhung, Kerifan lokal yang berupa sistim nilai budaya yang dimuat Serat Wulang Reh bisa membingkai individu dan masyarakat, sehingga hidumnya bisa tenteram lahir dan batin. Pakubuwana IV mengarang Serat Wulang Reh pada waktu
Kasunanan
Surakarta dalam keadaan tidak stabil, mulai dari tradisi, kebiasaan, pola hidup, serta keadaan yang ada di Surakarta, hal ini di karenakan nuansa keagamaan
265
(religius) pada masa kepemimpinan Pakubuana IV sangat menonjol, seperti halnya pakaian, kebiasaan, serta bangunan-banguna di sekitar wilayah Keraton Surakarta mulai berubah. Bahkan Pakubuana telah mendirikan Masjid di Kasununun Surakarta dan mengajarkan nilai-nilai luhur agama, sosial, budaya, budi pekerti serta moral dan prilaku yang baik melalui sastra-sastra Jawa yang indah dan njawani sesuai dengan prilaku wong Jowo. Serat Wulang Reh disusun menggunakan tembang-tembang Jawa, yang jumlahnya mencapai 283 bait. Puisi tembang yang digunakan antara lain 8 (delapan) bait sekar Dhandanggulo,16 (enam belas) bait sekar Kinanti,17 (tujuh belas) bait sekar Gambuh, 17 (tujuh belas) bait sekar Pangkur, 34 (tiga puluh empat) bait sekar Maskumambang, 17 (Tujuh belas) bait sekar Megatruh, 12 (Sebelas) bait sekar Durma, 27 ( Dua puluh tujuh) bait sekar Wirangrong, 23 (dua puluh tiga) bait sekar pucung, 26 (dua puluh enam) sekar Mijil, 28 (dua puluh delapan) bait sekar Asmarandana, 33(tiga puluh tiga) bait sekar Sinom, 25 (dua puluh lima) bait sekar Grisa. Tembang-tembang yang digunakan mempunyai makna, sifat atau watak sesuai dengan penggunaan dan kepentingannya.
Ilustrasi atau penggambaran
sesuatu hal biasanya diselaraskan dengan sifat /watak tembangnya. Serat Wulangreh secara umum berisi ajaran mistik, religius serta minitik beratkan pada ajaran moral serta etika untuk memperbaiki prilaku hidup sesuai dengan ajaran agama Islam. Kemudian untuk lebih jelasnya di bawah ini akan diuraikan kearifan lokal yang berbentuk sistim nilai budaya, norma-norma, pandangan hidup yang terdapat pada naskah “Wolang Reh”. Nilai religius dalam naskah “Wulang Reh ” adalah sebagai berikut: - Manusia hidup harus mengetahui petunjuk hidup, bila belum tahu harus diupayakan sampai tahu supaya bisa sempurna hidupnya, seperti dalam teks sbb: //”Sasmitaning ngaurip puniki, mapan ewuh yen ora weruha, tan jumeneng ing uripe, akeh kang ngaku-aku, pangrasane sampun udani, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasaning rasa punika, upayanen darapon sampurna ugi, ing kauripanira. (WR, pupuh1 bait 2) - Quran adalah sumber untuk membimbing manusia untuk mengetahui bagaimana menata hati yang betul, untuk memahami harus dengan petunjuk guru dan tidak boleh asal memahami, seperti dijelaskan dalam teks sbb: //”Jroning Quran nggoning rasa yekti, nanging ta pilih ingkang unginga, kajab 266
lawan tuduhe, nora kena den awur, ing satemah nora pinanggih, mundak katalanju-kan, tedah sasar susur, yen sira ajun waskita, sampurnane ing badanira, sira anggugurua. (WR, pupuh 1 bait 3) Nilai Filosofi dalam naskah “Wulang Reh” adalah sebagai berikut: - Orang bersaudara jangan seperti buah “kluwak” (masih muda bijinya jadi satu kalau sudah tua pisah-pisah), muda kumpul setelah tua pisah, seharusnya muda kumpul dan tua juga kumpul, seperti dalam teks sbb: //”Kamulane kaluwak nonomanipun, Pan dadi satunggal, pucung aranira ugi, yen wus tuwa kaluwake pisah pisah”//”Den budiya kepriye ing becikipun, aja nganti pisah, kumpule kaya nomeki, anom kumpul tuwa kumpul kang prayoga//”Aja kaya kaluwak duk anom, kumpul bisa wus atuwa, ting salebar sijisiji, nora wurung dadi bumbu pindhang lulang”//”Aja kaya sadulur memanise dipun runtut, oja kongsi pisah, ing samubarang karyeki, yen arukun dinulu katon prayoga. (WR, pupuh 8 bait 1-4) - Orang yang tidak tahu tujuan hidup seperti kerbau, kalau kerbau halal dagingnya kalau manusia haram dagingnya, seperti dijelaskan dalam teks sbb: //”Nora gampang wong ngaurip, yen tan weruh uripira, uripe padha lan kebo, angur kebo dagingira, khalal lamun pinangan, yen manungsa dagingipun, pinangan pastine kharam”// (WR, pupuh 10 bait 5) Nilai Etis dalam naskah “Wulang Reh” yang berupa nilai etis Jawa adalah: - Guru yang baik adalah yang baik pribadinya, tahu hukum agama, yang sudah
“wirai” yang sudah tidak keduniawian, seperti dijelaskan dalam teks sbb: //”Nanging yen sira ngguguru kaki, amiliha manungsa kang nyata, ingkang becik martabate, sarta kang wruh ing chukum, kang ngibadah lan kang wirangi, sokur oleh wong tapa, ingkang wus amungkul, tan mikir pawewehing liyan, iku pant sira guronana kaki, sartane kawruhana”// (WR, pp1 bt 2) -Memilih teman dilihat dari wataknya, yang banyak bicara tentang kebaikan, jangan melihat pangkat dan kedudukan, seperti dijelaskan pada teks sbb: //”Yen wus tinitah wong agung, ywa sira gumunggung dhiri, aja nyelakaken wong ala, kang ala lakunireki, nora wurung ngajak-ajak satemah anenulari”//”Nadyan asor wijilipun, yen kelakuwane becik, utawa sugih cerita, kang dadi misil, yen pantes raketana, darapon mundhak kang budi (WR, pupuh2 bait 3-4) Demikianlah sistim nilai, norma dan pandangan hidup yang terdapat naskah ”Wulang Reh” yang merupakan budaya ideel dari nenek moyang dan dipakai untuk menata kehidupan mereka. Pada naskah ”Wulang Reh” tidak ditemukan nilai estetis secara eksplisit maka tidak dideskripsikan.
267
Bila dikaji lebih dalam dari sampel di atas maka akan jelaslah bahwa nilai relegius pada teks ”Wulang Estri” dan ”Wulang Reh” memberi tuntunan kalau manusia hudup dalam tidakannya akan mendapat hukuman atau anugerah dari Tuhan. Contoh dalam ”Wulang Estri” diantaranya:1) Seorang wanita tidak boleh berani pada suami, karena kalau dilanggar dosa. 2) Pentingnya menjaga hati tetap bersih supaya hidupnya tidak rusak. Demikian juga nilai religius dalam ”Wulang Reh” diantaranya: 1) Orang hidup harus tahu tujuannya; 2) Quran membimbing manusia untuk menata hati yang betul; Semua ”laku” nilai religius berkaitan hubungan manusia dengan Tuhan. Begitu juga dalam nilai filosofis yang terungkap dari naskah klasik Jawa, nilai-nilai luhur ini digunakan sebagai pegangan orang Jawa dalam berbungan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Contoh: nilai filosofis dalam ”Wulang Estri” : 1) Seorang istri harus tahu tugasnya seperti jari-jari tangan. Demikian juga dalam serat ”Wulang Reh” :1) Persaudaraan dalam keluarga jangan seperti buah ”kluwak”. 2) Orang hidup harus tahu tujuannya, kalau tidak tahu seperti kerbau. Untuk memahami nilai filosofis harus memahami budaya Jawa. Persaudaraan jangan seperti ”kluwak”, maksudnya buah ”kluwak kalau muda jadi satu kalau sudah tua sendiri-sendiri. Hidup jangan seperti kerbau, dalam budaya Jawa kerbau dianggap binatang yang bodoh. Sedang untuk nilai etis merupakan nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan kehidupan sosial. Contoh dalam ”Wulang Estri” : 1) Peringatan perkawinan harus berdasarkan cinta, dan harus satu kali. 2) Seorang istri harus hati-hati dalam menjalankan perintah suami, supaya hubungannya tetap baik. Contoh lain dalam ”Wulang Reh” 1)
Peringatan kalau mencari guru tidak cukup dilihat dari
kepandaiannya, tetapi juga perilakunya yang tidak materialistik.2) Peringatan untuk anak muda kalau mencari teman harus melihat wataknya, carilah teman yang bicaranya baik. Berdasarkan uraian di atas nilai-nilai luhur yang ada dalam karya-karya klasik dapat disimpulkan, walaupun nilai-nilai luhur yang diungkapkan hanya sebagian kecil. Nilai-nilai luhur dalam karya klasik Jawa sebagai produk budaya lokal Jawa, menggambarkan kehidupannya masyarakat Jawa yang selalu mencari keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Selain itu masyarakat Jawa juga
268
memperhatikan bahwa manusia sebagai mahkluk individu dan mahkluk sosial yang harus diatur atau ditata. Oleh karena itu dalam karya klasik Jawa seperti; Wulang Reh, Wulang Estri, Wulang Sunu, Tripomo, Kalatidha dan lain-lain, secara umum memuat bagaimana hakekat hubungan
manusia secara vertikal dan secra
horizontal. Berdasarkan contoh dua karya klasik Jawa, dapat dijelaskan bahwa huhungan secara vertikal terdapat pada nilai-nilai luhur yang bersifat nilai religius, kadang memakai nilai filosofis. Sedangkang hubungan sosial manusia Jawa dapat berpegangan nilai-nilai luhur etik, estetik dan norma-norma, dan kadang memakai acuan nilai filosofis. Kemudian untuk memperkuat jati diri, selain mengacu pada nilai religius, folosofis, etis dan estetis, juga dapat mengacu pandangan hidup masyarakat Jawa.
SIMPULAN Sistem nilai budaya Jawa yang mengandung nilai-nilai luhur budaya Jawa banyak terkandung dalam naskah-naskah Jawa klasik. Nilai-nilai luhur tersebut merupakan hasil perenungan nenek moyang suku Jawa dalam menghadapi kehidupan, yang dikenal sebagai budaya abstrak. Nilai-nilai luhur tersebut perlu diaktualisasikan kembali dan disosialisasikan, untuk memperkuat jati diri bangsa. Sistim nilai budaya Jawa terdiri dari karakteristik; idealistis nilai religius Jawa; idealistis nilai filosofis Jawa; idealistis nilai etis Jawa; idealistis nilai estetis Jawa. Keempat karakteristik tersebut di masyarakat tidak terpisahkan, dan merupakan kesatuan. Hal tersebut nampak pada keberadaannya pada teks-teks karya sastra Jawa klasik. Pemisahan tersebut untuk memudahkan pemahaman dan pembelajaran nilai-nilai luhur budaya Jawa pada siswa atau pembaca. NIlai religius dan nilai filosofis dalam sistim nilai budaya Jawa yang terdapat di dalam karya klasik Jawa, merupakan nilai-nilai luhur masyarakat Jawa yang berkaitan hubungan manusia dengan Tuhan (hubungan vertikal manusia). Bagaimana orang Jawa dalam bertindak supaya tidak mendapat murka/dosa dari Tuhan. Perilaku dikala individu /orang Jawa ada di rumah atau di masyarakat. Manusia Jawa dalam rumah harus baik pada orang tua, dengan anak, dengan suami/isteri, begitu juga hubungannya dengan masyarakat. Bila hubungan dengan
269
keluarga dan masyarakat tidak baik, akan dimurkai Tuhan. Nilai etik, nilai estetik dan filosofis merupakan nilai-nilai luhur yang berkaitan erat dengan manusia sebagai mahkluk sosial, yang harus hidup dalam masyarakat. Nenek moyang orang Jawa dari dulu sudah memberikan ramburambu, bagaimana seorang berhubungan dengan orang lain atau berhubungan masyarakat. Rambu-rambu tersebut berwujud norma, nilai, baik nilai etik, nilai filosofis dan nilai religius. Nilai budaya Jawa merupakan nilai-nilai luhur masyarakat Jawa sebagai kearifan lokal yang sifatnya lokal, namun isinya bersifat universal. Nilai-nilai luhur tersebut dapat dipakai untuk menfilter masuknya budaya asing dan memperkuat jati diri.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Razak Zaidon dkk, 1991. Kamus Istilah Sastra: Pengembangan Bahasa Baried, Siti Baroroh dkk, 1985. Pengantar Teori Filologi. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Jokdjakarta: Depdikbud Culler, Jonathan, 1977. Structuralist Semiotics. London. Methuen & Cc. Ltd Jakarta: PT Gramedia Denzin dkk, 1994. Handbook of Qualitative Research. New Delhi Depdikbud, 1982. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Gobyah, I Ketut, 2003, ”Berpijak Pada Kearifan Lokal”, www.balipos.co.id Hartoko, Dick, 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia ( asli oleh Van Luxemburg dkk) Hawkes, Turrance, 1978. Structure and Semiotics. London: Methuen & Co. Ltd Herusatoto, Budiono, 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanidita Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. _____________ , 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka _____________ , 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta Nurhandayani, 2011, “Pengertian Kearifan Lokal” http: // naninorhandayani. Blogspot.com/2011/05 Poerbatjaraka, R.M, Ng, !954. Kapustakaan Jawa. Batavia: JB. Wolters Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Karya sastra. Jakarta. Gramedia. -------------, 1984. Sastra dan Pengantar ilmu Sastra. Jakarta. Pustaka Jaya. Sukamto, Soerjono. 1983. Struktur Masyarakat. Jakarta. PT Raja Grafindo Perdana. Suwarni, Sri Wahyu W, 2016, Sastra Jawa Klasik, Surabaya: Bintang Surabaya Saryono, Djoko, Prof Dr. 2011 Sosok Nilai Budaya Jawa, Malang, Aditya Media Publishing Yuwana, Setya, 2013, Kearifan Budaya Lokal, Sidarja: Damar Ilmu
270
CERITA RAKYAT LANJAR MAIBIT SEBAGAI MEDIA KONSERVASI LINGKUNGAN DI KECAMATAN RENGEL KABUPATEN TUBAN SUANTOKO FKIP-UNIVERSITAS PGRI RONGGOLAWE TUBAN [email protected]
Abstrak Tradisi lisan berupa cerita rakyat Lanjar Maibit yang berkembang di Kecamatan Rengel Kabupaten Tuban dalam kajian ini, berusaha mengungkap pengembangan cerita rakyat untuk kesejahteraan manusia, dalam hal ini manusia dalam satu jaringan masyarakat pendukungnya. Selain itu, cerita rakyat Lanjar Maibit diupayakan dapat menjaga keharmonisan ekosistem alam yang melingkupi kehidupan manusia. Salah satu upaya pengembangan manfaat cerita rakyat yang dapat dilakukan yaitu melalui pemanfaatannya sebagai media konservasi lingkungan. Kerusakan dan eksploitasi alam besar-besaran yang dilakukan oleh manusia, diperlukan adanya gerakan penyelamatan lingkungan. Sebagai suatu kajian atau subdisiplin ilmu, tradisi lisan memiliki misi untuk menyelamatkan lingkungan. Sejalan dengan misi tersebut, cerita rakyat Lanjar Maibit dapat dijadikan alternatif media konservasi lingkungan. Konservasi yang dimaksudkan dalam kajian ini, dilakukan melalui penanaman mitos kepada masyarakat pendukungnya, revitalisasi cerita rakyat ke dalam seni pertunjukan, dan penanaman ideologi tulah karena ulah. Melalui kajian ini, cerita rakyat Lanjar Maibit diharapkan memberikan sumbangan untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Dengan kalimat lain, cerita rakyat ikut serta dalam menyelamatkan lingkungan. Kata kunci: Cerita Rakyat Lanjar Maibit, Ekologi Sastra, Mitos, & Konservasi Lingkungan
PENDAHULUAN Manusia dalam berinteraksi dengan makhluk hidup yang lain dan lingkungan, seharusnya tetap berpedoman pada prinsip nilai moral manusia hubungannya dengan lingkungan. Manusia bagian dari lingkungan yang tidak dapat dipisahan dengan makhluk lain dan bukan pengusa lingkungan. Manusia harus menyayangi dirinya, semua makhluk hidup, dan lingkungannya. Tuhan menciptakan lingkungan untuk semua penghuni alam semesta, bukan hanya untuk manusia. Manusia sebagai halifah Tuhan harus mengelola lingkungan dengan benar dan adil. Seiring perkembangan Ipteks, manusia mengalami perubahan sikap, yaitu yang sebelumnya manusia dikuasai lingkungan, berubah menjadi manusia menguasai lingkungan. Praktik manusia menguasai lingkungan berlangsung sejak menguasai teknologi (Sodiq, 2014:180). Berkaitan dengan hal tersebut, lingkungan dirugikan. Lingkungan semakin
271
dikuasai manusia, semakin rusak. Diperlukan langkah pelestarian lingkungan untuk mengembalikan trah keharmonisan lingkungan. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui konservasi secara konvensional, seperti zonasi, taman nasional, dan cagar alam atau melalui konservasi terapan. Konservasi lingkungan terapan itulah, kemudian dikembangkan dalam kajian ini. Di mana konservasi dilakukan menggunakan cerita rakyat. Salah satu penerapan tersebut diterapkan di daerah Kabupaten Tuban sebagai wilayah karst Pengunungan Kendeng yang rusak parah sebagai akibat penambangan kapur yang berlebihan. Cerita rakyat yang dimaksud dalam kajian ini adalah cerita rakyat Lanjar Maibit. Cerita tersebut diharapkan dapat menyelesaikan persoalan lingkungan sebagai akibat manusia menguasai lingkungan dan alam semesta secara eksploitatif. Cerita rakyat sebagai salah satu bagian dari tradisi lisan memiliki beberapa fungsi. Sebagaimana dikemukakan oleh Bascom (1965:20); Dundes (1965:277), Sudikan (2014:151) tradisi lisan setidaknya mempunyai empat fungsi: 1) sebagai sebuah betuk hiburan, 2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata sosial dan lembaga kebudayaan, 3) sebagai alat pendidikan anak, dan 4) sebagai alat pemaksa dan alat pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Selain itu, Danandjaja (1998:70) menambahkan fungsi yang lain adalah untuk pembangunan jati diri suatu suku bangsa atau berfungsi untuk mengembangkan pariwisata. Berdasarkan
beberapa
fungsi
tersebut,
selain
sebagai
media
pengembangan pariwisata, cerita rakyat diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan lingkungan. Salah satu upaya dalam misi menyelamatkan lingkungan yaitu konservasi lingkungan. Di dalam konservasi lingkungan tersebut, cerita rakyat turut ambil bagian sebagai media konservasi. Tradisi lisan sebagai media konservasi lingkungan lokal, telah dilakukan oleh beberapa masyarakat adat di Indonesia. Salah satu masyarakat adat yang telah berhasil melakukan konservasi lingkungan melalui tradisi lisan yaitu masyarakat Wakatobi. Penelitian Sumiman Udu (2013:202) bahwa konsep konservasi lingkungan yang dibangun melalui proses pengkeramatan yang dibangun melalui mitos dapat menjadi salah satu bentuk konservasi alternatif, di tengah hampir
272
gagalnya wilayah-wilayah konservasi konvensional. Masalah konservasi lingkungan, erat kaitannya dengan konservasi air, tanah, hutan, mineral, dan margasatwa (Jasin, 2013:182). Berdasarkan masalah konservasi tersebut, cerita rakyat Lanjar Maibit di Kabupaten Tuban erat kaitannya dengan air, tanah sebagai lahan bertani masyarakat Maibit, hutan, flora, dan fauna lokal di Maibit. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam cerita Lanjar Maibit terdapat mitos air, hutan larangan di dalamnya ada flora dan fauna lokal. Mitos-mitos tersebut, dapat dijadikan alternatif untuk menjaga kelestarian alam oleh masyarakat dan pemerintah daerah dalam rangka mengembangkan potensi pariwisata yang aman bagi kelestarian lingkungan di Maibit Kabupaten Tuban. Dengan demikian, pengembangan kawasan potensial daerah diperlukan pembangunan yang berwawasan lingkungan terutama wilayah-wilayah yang rawan kerusakan lingkungan. Cerita rakyat Lanjar Maibit di Kabupaten Tuban sebagai salah satu media alternatif dan terapan untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
PEMBAHASAN Tradisi lisan memuat nilai-nilai, termasuk di dalamnya nilai-nilai kearifan lingkungan. Sumiman Udu (2013:194), mengemukan bahwa pembicaraan mengenai tradisi lisan tidak terlepas dari aspek ekonomi, kekuasaan, sistem nilai, dan struktur keluarga dalam masyarakat, termasuk hubungannya dengan konservasi lingkungan. Tradisi lisan baik baik murni lisan atau setengah lisan, biasanya memiliki nilai-nilai kearifan lingkungan yang diintegrasikan dalam mitos-mitos suatu masyarakat tertentu. Mitos-mitos dalam tradisi lisan biasanya disebarkan secara lisan dengan mengaitkan suatu daerah, lokasi, tempat kejadian, dan peristiwa tertentu. Masyarakat Jawa ada umumnya mengenal Dahyang desa, Mbah Buyut, Mbah Baureksa desa, dan sejenisnya untuk mengaktualisasikan mitos ke dalam cerita lisan atau lebih luas lagi tradisi lisan. Sebagaimana Barthes (2011:151) mitos bukanlah kata, melainkan tipe wicara. Mitos adalah sistem komunikasi di dalamnya terdapat pesan. Di dalam cerita rakyat atau tradisi lisan lebih luas, di dalamnya ada pesan yang ingin
273
disampaikan, biasanya melalui mitos-mitos yang dibangun sebagai konstruksi melalui penandaan. Penandaan tersebut, sudah dibangun sebelumnya. Mitos-mitos yang berkembang lambat laun menjadi sebuah ideologi lokal yang kemudian dianut oleh masyarakat setempat. Konsep mitos yang ungkapkan Barthes (2011), tentunya dapat digunakan untuk memahami bagaimana cerita Rakyat Lanjar Maibit sebagai media konservasi lingkungan melalui mitos-mitos yang ada dalam cerita tersebut. Mitos-mitos cerita Lanjar Maibit yang dapat dijadikan media konservasi lingkungan setempat sebagai berikut.
Cerita Tokoh Lokal sebagai Landasan Konservasi Lingkungan Pada dasarnya dalam setiap komunitas memiliki kearifan lokal. Kearifan lokal tersebut berproses untuk menjadi pintar dan berpengetahuan (being Smart and knowledgeable). Hal ini terkait dengan keinginan agar dapat mempertahankan dan melangsungkan kehidupan, sehingga warga komunitas masyarakat akan secara spontan memikirkan cara-cara untuk mencipta dan melakukan sesuatu. Berdasarkan pendapat tersebut, Sudikan (2013:43), menyatakan bahwa pengetahuan lokal, local genius, dan kearifan lokal, pada hakikatnya sama. Ketiga istilah tersebut mendasari pandangan bahwa kebudayaan itu telah dimiliki dan diturunkan secara berkelanjutan dari generasi ke ganerasi selaman ribuan tahun oleh masyarakat setempat. Dengan demikian, setiap wilayah atau desa memiliki kecerdasan lokal (local genius) yang dijaga oleh masyarakat setempat. Kecerdasan lokal biasanya dijadikan punjer, dahyang desa, dan pepunden yang dikeramatkan dan diwujudkan dalam beberapa tempat sakral, seperti: sumber air (sumur dan sendang), makam desa, lokal (tempat bersejarah bagi masyarakat pendukungnya, dan tokoh lokal itu sendiri. Tokoh-tokoh lokal sebagai local genius masyarakat Maibit diugemi dan dilestarikan keberadaannya. Setiap tokoh lokal, menyimpan kearifan yang luar biasa. Kearifan tersebut mampu menginspirasi masyarakat untuk tetap menjaga kearifan budaya lokal setempat melalui tokoh-tokoh lokalnya. Tokoh lokal tersebut seperti: 1) Mbah Moyi, 2) Mbah Suro, 3) Mbah Ako, 4) Mbah Abdurrahman, 5) Mbah Gambira Laya (makam gaib), 6) Jaka Mursada, dan 7) Mbah Bibit. Mbah Moyi, Mbah Suro, dan Mbah Ako dimakamkan di sebelah timur
274
Sendang Maibit berjarak 250 M dari Sendah Maibit. Keberadaan tiga makam tokoh lokal tersebut menyatu dengan makam umum dusun Maibit. Selain disakralkan sebagai tokoh lokal Maibit. Ketiga tokoh tersebut selalu dikenang dan dijaga masyarakat melalui sedekah bumi atau bersih desa setelah sedekah bumi di Sendang Maibit. Sebelum sedekah bumi dilakukan, masyarakat Maibit selalu kerja bakti untuk melakukan penghijauan di sekitar makam. Tokoh lain sebagai tokoh lokal Maibit yaitu makam Syekh Abdurrahman. Tokoh ini merupakan keturunan Sunan Bonang. Dia dimakamkan di atas bukit Sendang Maibit sebelah Barat. Selain itu terdapat pula makam Jaka Mursada yang berada di bukit Sendang Maibit sebelah timur. Awalnya Jaka Mursada adalah anak selir dari negara Rum. Selir tersebut dibuang oleh Patih Negara Rum karena kehamilannya tidak dikendaki oleh raja. Pembuangan tersebut menggunakan perahu. Tempat bersandarnya perahu dikenal dengan Pring Sedapur. Menurut cerita dari mulut ke mulut masyarakat Maibit, Pring Sedapur berasal dari galah perahu yang digunakan sebagai alat kemudi perahu ketika membuang Jaka Mursada. Tempat tersebut, saat ini menjadi tempat yang disakralkan oleh masyarakat Maibit, baik flora maupun faunanya. Selain tokoh tersebut, satu tokoh yang masih dianggap sakral yaitu Pilang Gambira Laya. Tokoh tersebut berada di gunung Pilang. Letak gunung tersebut berada di sebelah utara Sendang Maibit, sekitar 0,5 km ke utara Sendang Maibit. Makam tersebut dipercayai masyarakat sebagi makam gaib. Tidak semua orang bisa mengetahui keberadaan makam tersebut. Makam tersebut hanyalah sebagian kecil dari kerajaan gaib di Maibit. Tokoh lokal Maibit setidaknya memiliki tiga dimensi yang dipertahankan oleh masyarakat Maibit sebagai media konservasi lingkungan. Pertama, dimensi pengetahuan lokal. Masyarakat Maibit memiliki pengetahuan lokal terkait dengan lingkungan hidupnya. Pengetahuan lokal sebagai local genius diwujudkan dalam cara menghitung pelaksanaan ritual budaya ‘manganan’. Mengingat, setiap tokoh lokal di Maibit selalu dihormati oleh masyarakat dengan jalan mengadakan ‘manganan’. Masyarakat Maibit mengerti kapan debit sumber air Sendang Maibit menurun. Mereka juga tahu langkah yang harus dilakukan apabila debit air menurun. Kapan musim kemarau dan penghujan, dapat diketahui ketika
275
mengadakan ‘manganan’. Kemampuan ini menjadi bagian dari pengetahuan lokal yang diadaptasi dengan pengetahuan lokal dan keadaan lingkungannya. Dimensi kedua, dimensi nilai lokal. Setiap individu dalam masyarakat Maibit memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan disepakati bersama. Nilai-nilai itu memiliki dimensi waktu yang lalu, sekarang, dan mendatang. Nilai yang terbentuk untuk mengatur kehidupan manusia dengan Tuhan, manusia sesama manusia, dan manusia dengan alam. Ketiga, dimensi sumber daya lokal. Sendang Maibit yang terkenal melalui tokoh lokal Nyai Bibit dan Lanjar Maibit merupakan potensi sumber daya alam yang digunakan oleh masyarakat untuk segala keperluan hidup tanpa dikomersilkan. Kepemilikan sumber daya lokal ini bersifat kolektif. Keempat, dimensi solidaritas kelompok lokal. Masyarakat Maibit disatukan oleh ikatan komunal melalui tokoh-tokoh lokal untuk membentuk solidaritas lokal. Solidaritas tersebut dibangun melalui cara masyarakat Maibit saat mengadakan ritual budaya untuk menghormati tokoh lokal. Biasanya masyarakat setempat mengadakan iuaran bersama dan kerja bakti secara bersama-sama untuk mengawali ritual budaya ‘manganan’. Solidaritas masyarakat Maibit terbentuk melalui ritual keagamaan maupun ritual tradisi seperti pelaksanaan ritual siratan di Sendang Maibit. Dari empat dimensi tersebut, dapat dipahami bahwa keberadaan tokoh lokal dan mitosnya dapat dijadikan alternatif konservasi lingkungan. Pembentukan konservasi lingkungan melalui tokoh lokal tersebut, tidak dilakukan secara konvensional seperti halnya diterapkan oleh lembaga pemerintahan. Konsep konservasi melalui tokoh lokal ini disusupkan melalui ideologi-ideologi non material. Dalam hal ini, ideologi dimasukkan melalui sistem pikiran masyarakat Maibit. Penyusupan ideologi semacam ini, membutuhkan gerakan yang halus. Salah satu alat ideologi tersebut adalah ritual manganan. Kewajiban mengikuti ritual manganan bagi seluruh masyarakat menjadi alat jitu untuk menyampaikan pesan sadar dan peduli terhadap lingkungan. Di dalam ritual manganan ada sanksi tegas terhadap kognitif masyarakat, baik dikaitkan dengan sanksi etika dan sosial. Mitos Cincin dalam Cerita Rakyat Lanjar Maibit Sri Penganti dalam cerita Lanjar Maibit tidak begitu dikenal. Nama tokoh 276
tersebut lebih dikenal dengan lanjar yang pernah singgah di Maibit. Kehadiran Sri Penganti memunculkan kisah baru di Maibit. Ia terkenal cantik dan raut wajahnya bersinar dengan cahaya kecantikan yang ia miliki.
Kecantikan yang dimiliki Sri
Penganti membuat malapetaka. Rasa penasaran pemuda Maibit terus berlanjut sampai ke luar Maibit. Para begede desa berlomba-lomba ke Maibit untuk meminang Sri Penganti. Mulai dari kawasan Rengel Rengel, Soko, dan beberapa daerah lain, mulai berdatangan. Setiap mandi di Sendang Maibit, selalu diintip orang. Terakhir kali ia diintip oleh Dalang Bedaya Maner. Dalang tersebut naik pohon Kedoyo. Oleh karena itu, sampai sekarang, pohon Kedoyo di Sendang Maibit selalu tumbuh silih berganti. Apabila satu pohon mati, pasti tumbuh pohon kedoyo yang lain di selatan tempat sabun. Sri Penganti tidak sengaja melihat bayangan orang di permukaan air sendang. Adanya bayangan tersebut membuat kepanikan dan ketakutan Sri Penganti. Hal tersebut mengakibatkan cincin kesayangannya tertinggal di Sendang Maibit. Lantas cincin diambil oleh Dalang Bedaya Maner. Dalang tersebut merasa bangga, meskipun tidak dapat memiliki Sri Penganti, cincin yang tertinggal di sendang sudah cukup untuk mengobati rasa cintanya kepada Sri Penganti. Sri Penganti membuat sayembara akibat hilangnya cincin kesayangan tersebut. “Barang siapa menemukan cincin tersebut, akan dijadikan suami jika lakilaki dan akan dijadikan saudara jika penemunya adalah perempuan.” Minak Cepala dari Logawe mendengar sayembara tersebut. Akhirnya Minak Cepala ingin menemukan cincin itu untuk ditukarkan dengan pemiliknya yaitu Sri Penganti. Minak Cepala mengintai Dalang Bedaya Maner. Ia sangat bersabar untuk menunggu Dalang Bedaya Maner lengah. Akhirnya Dalang Bedaya Maner pentas wayang di Maner. Hal inilah menjadi titik kelengahan Dalang Bedaya Maner. Akhirnya Dalang Bedaya Maner keluar dari kalangan pementasan wayang. Ia tidak tahu, kalau sudah dintai Minak Cepala. Dalang Bedaya Maner keluar kalangan, karena tidak mampu menahan kencing. Tepat di bawah pohon mangga, Dalang Bedaya dipukul trantang (alu) atau Gada Wesi Kuning ketika dia kencing di bawah pohon Mangga. Minak Cepala mendapatkan cincin Sri penganti dari hasil perampasan dari Dalang Bedaya. Ia lantas mengejar Sri Penganti. Dia menagih janji atas sayembara
277
beberapa waktu lalu. Sri Penganti pun menolak untuk memenuhi permintaan Minak Cepala. Hal ini lantaran Minak Cepala berpawakan menyeramkan. Kakinya pincang, karena penyakit bubul di telapak kaki. Minak Cepala merasa dibohongi oleh Sri Penganti. Lantas ia mengejar ke mana pun Sri Penganti berada untuk menagih janji. Ke manapun Sri Penganti melarikan diri terus dikejar. Tempat tempat yang menjadi persinggahan Sri Penganti ketika dikejar Minak Cepala menjadi daerah konservasi lingkungan. Bahkan daerah-daerah yang dilalui oleh Sri Penganti, warga yang berada di daerah tersebut selalu mengikuti ritual Manganan di Maibit. Di daerah-daerah yang bersinggungan dengan Desa Maibit terutama hutan rakyat, dijadikan wilayah konservasi lokal. Hutan jati di daerah utara Sendang Maibit dimitoskan dengan alam gaib sebagai tempat perjuangan tokoh Lanjar Maibit untuk melarikan diri dari Minak Cepala. Setiap ritual manganan, hutan tersebut selalu diberikan sesajen untuk keselamatan. Peristiwa ritual budaya manganan dilaksanakan hari Rabu Legi pascapanen. Pemilihan Rabu Legi sebagai ikatan bersama masyarakat Maibit tidak bisa terlepas dari Sumber Sendang Maibit. Pemilihan tersebut didasari oleh kognisi masyarakat dalam hal ini sesepuh desa bahwa Rabu Legi adalah slametan sumber. Dengan kalimat lain, pemilihan hari tersebut dimaksudkan agar sumber air semakin lancar. Sedangkan untuk manganan kuburan dilaksanakan hari Minggu atau hari lain selain hari Rabu Legi. Kognisi budaya masyarakat untuk mengadakan ritual budaya manganan di Sendang Maibit tidak dapat dipisahkan dengan tokoh Mbah Bibit dan Sri Penganti. Ketokohan Mbah Bibit yang memunculkan cerita rakyat Lanjar Maibit, memunculkan kognisi masyarakat terhadap kekayaan simbolik di desanya. Mbah Bibit adalah tokoh cikal bakal terjadinya Desa Maibit. Selain itu, tokoh Sri Penganti merupakan tokoh yang dihormati oleh masyarakat Maibit karena hubungan dengan Mbah Bibit yang memunculkan cerita asal usul Maibit. Di Maibit dan di sekitarnya, Sri Penganti lebih dikenal dengan sebutan Lanjar Maibit sebagai wanita yang cantik dijadikan perebutan oleh para Begede desa, termasuk Begendung Pekuwon dan Minak Cepala. Tokoh wanita Lanjar Maibitlah yang mampu mengikat kognisi sosial masyarakat Maibit. Dengan demikian, kognisi masyarakat maibit untuk tetap melestarikan ritual budayanya tidak terlepas dari
278
ketokohan Sri Penganti dan Mbah Bibit. Kognisi budaya dipandang sebagai perwujudan pikiran melalui bahasa. Menurut seorang antropolog Benyamin Whorf (dalam Sudikan, 2001:57) memandang bahwa bahasa merupakan perwujudan pikiran. Dipihak lain, ada antropolog dan sosio-linguis yang memandang bahasa sebagai instrumen sosial. Bahasa dipandang sebagai bentuk perilaku sosial yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pendengarnya. Berdasarkan pernyataan tersebut, cerita rakyat Lanjar Maibit yang dituturkan secara lisan memengaruhi kognisi masyarakat Maibit. Sebagai akibat dari pengaruh cerita yang menganggap bahwa Lanjar Maibit adalah tokoh berpengaruh di Maibit, dengan demikian masyarakat tergiring kognisinya untuk selalu hormat dan taat. Bentuk penghormatan tersebut dapat dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian tempat dan peristiwa atau situs penting yang bersentuhan langsung dengan tokoh Lanjar Maibit. Persentuhan semacam itu, dapat dijadikan media untuk tetap menjaga hal-hal penting sebagai tempat konservasi agar kelestarian tetap terjaga.
Mitos Siratan di Sendang Maibit Siratan Maibit, dilakukan setiap hari Rabu Legi usai musim panen tiap tahunnya. Menjelang masa peralihan antara musim rendeng (penghujan) memasuki musim ketigo (kemarau). Masyarakat menyebut tradisi ini dengan Siratan Maibit, karena dalam salah satu rangkaian tradisi ritual budaya Manganan, mereka akan saling melempar air sendang (sirat) usai melakukan doa secara bersama. Hal inilah yang menjadi pembeda antara tradisi Manganan di Desa Maibit dengan tradisi Manganan yang dilakukan di daerah lain. Tradisi dimulai sejak satu hari sebelum acara Siratan Maibit dilakukan. Diawali dengan pembersihan dua pusat mata air sendang. Dua mata air tersebut, terletak di sebelah utara sendang. Pembersihan dilakukan warga masyarakat secara gotong royong. Mereka harus masuk ke lokasi brubulan (mata air) yang terletak tepat berada di bawah salah satu pohon besar. Kendati tempat masuk brubulan yang menyerupai goa kecil terlihat sempit, ternyata di dalamnya mampu menampung hingga 20 orang dewasa. Wajar apabila mata air ini mendapat perhatian khusus. Karena selama ini warga memanfaatkan untuk keperluan minum dan mengolah makanan. Sampai saat ini, air dari sendang maibit masih sangat jernih. Banyak warga yang mengambil air ini untuk minum dan mengolah makanan (Kasturi, 63 tahun,Warga Desa Maibit, Wawancara Tanggal 20 Mei 2017) 279
Pembersihan juga dilakukan dengan membabat habis semak belukar. Serta memastikan kondisi bersih di lokasi sendang dan sekitarnya menjelang tradisi siratan keesokan harinya. Kegiatan dilanjutkan keesokan harinya, di mana masyarakat berkumpul sambil membawa beragam makanan dan tumpeng ke lokasi. Pada proses ini, tidak jarang ada beberapa warga yang datang dengan membawa tumpeng khusus karna adanya nadzar. Biasanya sebagai rasa syukur, atas suatu capaian keberhasilan, ataupun rasa syukur setelah terbebas dari musibah atau himpitan musibah yang lain. Tumpeng dan makanan yang dibawa warga untuk meramaikan tradisi nyadran dikumpulkan menjadi satu. Untuk disantap atau sekedar ditukar dengan warga lain. Sementara makanan yang diniatkan untuk nadzar, biasanya diserahkan kepada Modin (tokoh agama) untuk didoakan menggunakan cara islam dan dimakan bersama warga atau pengunjung dari luar yang datang ke lokasi sendang maibit. Ada kebiasaan lain yang cukup unik dalam proses ini. Banyak orang tua yang mengusap wajah anaknya dengan air yang berasal di salah satu kolam sendang maibit. Sendang ini, dipercaya merupakan sendang pertama yang digunakan Sri Pangenti untuk mandi dan membersihkan diri. Secara filosofis, mereka berharap si anak selalu sehat dan terjaga kehidupan masa depannya, serta mewarisi kebajikan dari Sri Penganti. Beberapa warga juga meletakkan cok bakal (sesaji), berisikan bunga setaman, merang ketan ireng, beras ketan, telur kampung, ikan asin, kelapa, dan uang logam. Keberadaan cok bakal ini diletakkan tepat di depan sendang asli (oleh masyarakat dipercaya sebagai sendang pertama). Lebih tepatnya di pinggir salah satu lubang di pinggir sendang yang dipercaya sebagai wadah peralatan mandi milik Sri Pangenti. Keberadaan cok bakal ini dipercaya sebagai pertanda pengharapan adanya energi positif dalam kehidupan bermasyarakat, simbol kesejahteraan, serta bunga setaman yang dipergunakan sebagai pengharum dan pewangi lingkungan. Prosesi terakhir adalah melakukan siratan, proses ini dilakukan tepat di tengah pertunjukan wayang yang dimainkan sang dalang. Biasanya dilakukan tengah hari sebelum waktu beristirahat. Sejenak, dalang menghentikan permainannya untuk memberikan waktu kepada warga, lengkap dengan perangkat 280
desa untuk melakukan prosesi siratan. Prosesi siratan, diawali dengan Kepala Desa, lengkap dengan semua perangkat laki-lakinya membawa beberapa tumpeng berupa nasi, bumbu pelengkap, ayam panggang, dan tusukan daging sapi turun ke salah satu bagian sendang. Letaknya persis dialiran sendang yang dibuat menuju bendungan. Dimana, ada satu kayu yang dipercayai sebagai peninggalan sejak jaman Sri Penganti masih hidup. Sesampainya Kepala Desa dan perangkat desa masuk ke bagian sendang, mereka kemudian meletakkan makanan dan tumpeng di atas kayu yang memang terpasang melintang. Beberapa warga tampak mengikuti langkah yang dilakukan para perangkat desa dengan ikut berendam di dalam sendang. Sementara ratusan masyarakat lain, ikut merubung perangkat desa untuk berdoa. Setelah berdoa, secara mengejutkan dilemparkannya makanan dan melemparkannya ke beragam penjuru. Bersamaan dengan itu, baik warga atau perangkat desa saling menyiratkan air ke segala penjuru sembari bercanda. Warga sebelumnya masih berada di atas sendang juga terlihat antusias dengan ikut masuk ke dalam sendang. Ritual ini, mereka percayai sebagai tradisi untuk mengenang Sri Penganti yang suka mandi di sendang tersebut dan bermain-main dengan air. Ada juga yang mempercayai, kalau itu merupakan wujud doa sebagai rasa syukur atas karunia Tuhan berupa keberkahan berupa sumber air yang melimpah.
Air
adalah
simbol keberkahan, dengan menyiratkannya ke segala penjuru dengan harapan keberkahan. Wajar apabila masyarakat Desa Maibit, Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, masih merawat keberadaan sumber mata air yang mereka sebut sendang maibit. Terlepas dari cerita rakyat disertai dengan tradisi unik yang mereka jalankan. Sendang maibit merupakan berkah dari Tuhan yang dikirimkan untuk masyarakat Maibit. Pemanfaatan air dari Sendang Maibit sangat besar.Sendang Maibit merupakan kebanggaan dari 1.360 Kepala Keluarga (KK) di Desa Maibit. Selain sebagai peranti ritual, air Sendang Maibit juga mengairi lebih dari 100 hektar lahan pertanian milik warga. Bahkan sebagian lahan pertanian yang ada di Desa Bulurejo
281
dan Desa Pekuwon juga ikut mendapatkan aliran air dari sini. Ketika musim kemarau, di mana banyak mata air yang kering. Aliran air dari sendang maibit terus mengalir sepanjang musim. Bahkan volume air dirasa tidak pernah surut, dan selalu cukup bagi petani desa setempat. Air yang bersih juga dimanfaatkan untuk warga sebagai air minum dan mengolah makanan. Cerita rakyat dari Desa Maibit sepertinya juga terkait dengan desa-desa yang lain. Hal ini bisa dilihat dengan banyaknya pengunjung yang kerap datang ke lokasi untuk mengadakan nyadran atau manganan. Terutama masyarakat dari Desa Temayang, Kecamatan Kerek, yang meyakini kalau akhir kisah hidup Sri Penganti berada di desa tersebut. Dimana di Desa Temayang, ada salah satu makam yang dipercaya sebagai makam dari lanjar maibit atau Sri Penganti (Nurhadi, 63 Tahun, Modin Desa Maibit, Wawancara tanggal 19 Mei 2017). Air menjadi pemersatu warga di Maibit. Air menjadi kunci utama ikatan sosial masyarakat Maibit. Penamanan warga butuh air ini menjadi media efektif untuk menjaga lingkungan. Air tidak boleh menyusut debitnya. Untuk menjaga debit air, salah satu cara yang dapat dimasukkan dalam ideologi adalah tulah karena ulah. Di satu sisi, warga masih mengeramatkan air karena mitos cerita Lanjar Maibit. Di sisi yang lain, sumber mata air harus dijaga debitnya bahkan harus dijaga kejernihannya.
Gerakan untuk menjaga kejernihan mata air Sendang Maibit
dilakukan dengan pembersihan sumber air dan reboisasi hutan rakyat di Kawasan Sendang. Hutan rakyat menjadi sakral dengan ditanamkan bahwa di hutan rakyat adalah kerajaan dedemit, sarang makhluk gaib. Untuk menebang pohon harus melalui tahap-tahap ritual.
Lanjar Maibit dan Mitos Air sebagai Ruang Konservasi Lingkungan Setiap daerah, wilayah, atau desa memiliki ikon budaya yang menjadi kekuatan kultur masyarakat setempat. Kultur tersebut lantas dipertahankan karena wujud tanggung jawab bersama masyarakat setempat dalam memertahankan kearifan budaya yang dimilikinya. Desa Maibit secara perilaku simbolik ataupun kebiasaan masyarakat dalam mengidentifikasi diri tidak dapat dipisahkan dengan identitas masyarakat Maibit itu sendiri. Secara sadar ataupun tidak sadarmasyarakat maibit memiliki ikon budaya yang menarik. Ikon tersebut berupa perempuan, air, dan mitos.
Desa Maibit terkenal dengan tokoh perempuan yaitu Lanjar Maibit.
Ketokohan tersebut sebagai identitas masyarakat Maibit. Maibit dengan Lanjar
282
Maibit adalah satu muka. Berbicara Maibit pasti tidak dapat dipisahkan dengan tokoh perempuannya: Lanjar Maibit. Dengan demikian Lanjar Maibit adalah Identitas Masyarakat Maibit yang dikenal oleh masyarakat lain di luar Desa Maibit. Ketokohan Lanjar Maibit yang terkenal cantik dan ‘menggoda’ para begede desa lain menjadi panah, bahwa Maibit adalah desa yang menawan dan eksotik dengan anak panah Lanjar Maibit. Keeksotisan tersebut muncul kepermukaan pemikiran masyarakat sebagai alat untuk mengenali desa Maibit. Jadi, apabila ditanya tentang Maibit, pasti tidak terlepas dari tokoh perempuan setempat yaitu Lanjar Maibit. Air adalah sumber kehidupan. Pengertian itulah yang kian menyebar laksana sumber mata air Sendang Maibit yang sebagian besar dimanfaatkan untuk sumber kehidupan bagi masyarakat Maibit. Sumber mata air Sendang Maibit tidak pernah lepas dari indeks desa Maibit bahwa air yang mengalir ke lahan pertanian dan sebagian besar dimanfaatkan untuk pembenihan ikan merupakan indeks bahwa disitu adalah mata air Sendang Maibit. Sumber mata iar tersebut sangat penting bagi masyarakat Maibit. Keberadaan sumber mata air tersebut dikatakan penting karena hampir separuh dari masyarakat Maibit menggantungkan kehidupannya pada sumber mata air Sendang Maibit. Bahkan potensi wisata yang digagas oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Tuban tidak lepas dari keberadaan Sendang Maibit.
Dinas
Pariwisata tersebut memanfaatkan Sendang Maibit sebagai salah satu destinasi wisata regional di Rengel selain Goa Ngerong. Dengan demikian sumber mata air sendang Maibit adalah indeks bagi masyarakat setempat. Indeks tersebut digunakan untuk mengenali potensi yang dimiliki oleh Desa Maibit sebagai village branding. Jadi apabila bertanya tentang Maibit, tidak lepas dari air Sendang Maibit dengan bermacam-macam mitosnya. Di samping itu, Maibit memiliki mitos yang berkembang di Nusantara. Mitos tersebut tidak lain adalah mitos tentang Lanjar Maibit. Mitos berupa kecantikan Lanjar Maibit menjadi daya tarik untuk mengetahui Maibit lebih ekspansif. Village Branding yang dimiliki Maibit tidak sebatas perempuan dan air, lebih luas lagi ke arah mitos. Kecantikan Lanjar Maibit yang dimitoskan masyarakat setempat menjadi kekhasan desa yang makmur ini.
283
Tokoh perempuan yang dimiliki Maibit sebagai village branding menyimpan mitos. Mitos tersebut berupa ‘lanjar’ janda Maibit lebih cantik daripada perawannya. Janda yang dimaksudkan adalah janda muda bukan janda nenek-nenek. Janda muda Maibit lebih cantik dibandingkan masa perawannya. Mitos semacam ini, mengundang ‘kegelisahan’ bagi laki-laki untuk memilikinya. Kecantikan lanjar di Desa Maibit menjadi daya tarik laki-laki pada masyarakat lain untuk mengetahui lanjar tersebut sebagai keunikan mitos Desa Maibit. Keberadaan mitos tersebut didukung oleh ritual-ritual masyarakat Maibit maupun masyarakat yang berada jauh di luar Desa Maibit. Banyak pengunjung yang mengadakan ritual di Sendang Maibit agar awet muda, pamor kecantikannya terpancar, dan bisa cantik alami menyerupai kecantikan Sri Penganti. Bahkan Sumber Tempur dari dua mata iar Sendang Maibit dipercayai berkhasiat untuk mempercepat dalam menemuka jodoh. Hal ini dilakukan dengan ritual mandi atau mencucimuka di tengah pertempuran dua mata iar Sendang Maibit tersebut. Kepercayaan semacam ini timbul karena sumber mata air Sendang Maibit berasal dari dua mata sumber yaitu berada di sebelah utara dan barat. Pertemuan kedua sumber itulah yang memunculkan mitos bahwa sumber air Maibit memiliki fungsi yang lain daripada sumber lainnya. Kepercayaan yang melingkupi masyarakat pendukung, dalam hal ini Masyarakat Maibit dan sekitarnya, bahwa pertempuran sumber mata air tersebut dapat mempercepat penemuan jodoh. Jejaka tua ata perawan tua yang menginginkan cepat mendapatkan jodoh, dapat mandi di pertempuran sumber. Selain itu, air Sendang Maibit dapat digunakan untuk mengencangkan kulit wajah dan tubuh. Mandi dengan ritual di Sendang Maibit dapat menjadikan kulit manusia tetap muda. Mitos tersebut masih dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat Maibit. Penjagaan mitos semacam ini dipegang teguh oleh masyarakat pendukungnya untuk menjaga kelestarian dan konservasi alam Maibit agar tetap terjaga sampai kapanpun. Dengan demikian, Maibit: Perempuan, air , dan Mitos dapat dijadikan dasar untuk mengetahui kekhasan desa Maibit. Dengan perkataan lain, apabila berbicara tentang Maibit pasti tidak lepas dari perempuan, air, dan mitos yang berkembang di Desa Maibit. Tiga ikon itulah kiranya menjadi village branding
284
Maibit. Ikon tersebut menjadi daya tarik dan berpotensi menjadi paket wisata yang layak dikembangkan. SIMPULAN Cerita rakyat dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Tradisi lisan berupa cerita rakyat Lanjar Maibit yang berkembang di Kecamatan Rengel Kabupaten Tuban dijadikan alternatif untuk media konservasi lingkungan melalui mitos-mitos yang ada di dalam cerita. Konservasi lingkungan melalui cerita rakyat yang dimaksudkan dapat dilakukan secara terapan bukan konvensional seperti zonasi, cagar alam, cagar budaya, atau konservasi-konservasi konvensional lainya yang telah diterapkan. Konservasi terapan dilakukan melalui penanaman mitos kepada masyarakat pendukungnya melalui kognisinya. Kongnisi yang dimaksudkan adalah masyarakat butuh bersanding dengan alam. Alam butuh dilestarikan. Mitos, alam, manusia, dan cerita rakyat saling terkait dalam sebuah jaringan. Dengan demikian, manusia dalam hal ini pendukung aktif cerita rakyat akan berganntung dalam simpul-simpul jaring yang lain. Melalui kajian ini, cerita rakyat Lanjar Maibit diharapkan memberikan sumbangan untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Dengan kalimat lain, cerita rakyat ikut serta dalam menyelamatkan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Barthes, Roland. 2013. Mitologi. Diterjemahkan dari Mythologies oleh Nurhadi dan A. Sihabul Millah. Yogyakarta: Kreasi Wacana Bascom, William R. 1965. The Form of Folklore:Prose Narratives, Journal American Folklore, 78, The Hague:Mouton, p.3-20. Danandjaja, James. 1998. Folklor dan Pembangunan Kalimantan Tengah: Merekonstruksi Nilai Budaya Orang Dayak Ngaju dan Ot Danum Melalui Cerita Rakyat Mereka. Dalam Pudentia (Ed.). 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Dundes, Alan. 1965. The Study of Folklore. Engelwood Cliffs, N.J. Prentice Hall. Jasin, Maskoeri. 2013. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: Raja Grafindo Persada Sodiq, Mochammad. 2014. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta: Kencana
285
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Citra Wacana Sudikan, Setya Yuwana. 2014. Metode Penelitian Sastra Lisan. Lamongan: Pustaka Ilalang Group Sumiman Udu. 2013. Tradisi Lisan Sebagai Media Konservasi Lingkungan dalam Masyarakat Wakatobi. Dalam Suwardi Endraswara (Editor). 2013. Folklore dan Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern: Kesatuan dan Keberagaman. Yogyakarta: Ombak
286
REPOSISI BUDAYA DALAM KUMPULAN CERITA PENDEK CENGKIR GADHING TAMPARAN SUTRA Dra. Sri Sulistiani, M.Pd Universitas Negeri Surabaya [email protected] ABSTRAK Kumpulan cerita pendek” Cengkir Gadhing Tamparan Sutra” yang dikumpulna oleh Ary Nurdiana memuat 27 buah cerita yang ditulis oleh 27 pengarang yang mengungkapkan berbagai persoalan sosial budaya Jawa di tengah budaya global saat ini. Judul “Cengkir Gadhing Tamparan Sutra” menggambarkan rasa keindahan, kenikmatan, pesona seperti halnya “cengkir gadhing” dan rasa itu membuat daya hidup manusia semakin bergairah. Karya sastra tidak dapat dilepaskan dari manusia dan kebudayaan yang melingkupinya. Budaya yang bervariasi dari kelompok ke kelompok membuat anggota-anggota kelompok yang sama tampak mirip satu sama lain, dan kelompok yang tidak sama tampak berbeda. Budaya merupakan sesuatu yang setiap orang mengambil bagian, dengan kata lain manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan. Adapun unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal, yang disebut dengan isi pokok setiap kebudayaan di dunia adalah (1) Sistem religi dan upacara keagamaan, (2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) Sistem pengetahuan, (4) Bahasa sebagai media komunikasi, (5) Kesenian, (6) Sistem mata pencaharian hidup, dan (7) Sistem teknologi dan peralatan. Unsur budaya universal tersebut ter-reposisi dalam berbagai bentuk karya sastra, termasuk cerita pendek. Melalui karya-karya yang dihasilkan pengarang berusaha mengungkapkan budaya yang melingkupi kehidupan manusia tersebut. Makalah ini mengungkapkan tentang “ Bagaimanakah reposisi budaya yang diungkapkan dalam cerita pendek dan pengaruh cerita dalam mengembangkan nilai-nilai budaya”. Untuk menjawab permasalahan ini menggunakan perspektif struktural dinamik. Kata kunci: reposisi, budaya, cerita, struktural dinamik PENDAHULUAN Karya sastra tidak dapat dilepaskan dari manusia dan kebudayaan yang melingkupinya. Manusia sebagai makhluk hidup memang merupakan makhluk yang paling rumit. Di satu pihak manusia telah mampu mempelajari dan mengungkapkan sebagian besar rahasia alam seperti ruang, waktu, gerak alam semesta beserta isinya, namun di lain pihak penyelidikan tentang manusia itu sendiri masih banyak misteri yang belum berhasil diungkapkan. Menurut Louis Leahy, seperti dikutip oleh Usman Pelly dkk ( 1994: 1), manusia terdiri dari badan dan jiwa, materi dan roh. Melalui roh manusia dapat meningkatkan setinggitingginya daya indera dan naluri, daya tumbuh-tumbuhan dan materi yang masih potensial dan lewat roh pula manusia masuk ke kehidupan relasional dan sosial
287
yang memungkinkan manusia kreatif dan memasuki dunia religius dan moral. Membudayakan manusia merupakan tuntutan kodratnya sebagai makhluk berakal budi. Manusia sebagai makhluk kodrati yang komplek memiliki intelegensi dan kehendak yang bebas. Daya intelegensi dan kehendak yang bebas itu digunakan pengarang dalam mengungkapkan dalam menulis karya sastra. Karya sastra diciptakan bukan dalam keadaan hampa dan bukan tanpa maksud. Masyarakat pada umumnya menyadari sepenuhnya bahwa kesusastraan sebagai bagian dari kebudayaan mempunyai arti penting sebagai sarana untuk mengenal tata nilai, sikap hidup, serta alam pikiran suatu bangsa atau kelompok manusia. Berbekal pencermatan dan pemahamannya tentang realita sosial budaya yang melingkupinya, pengarang mengembangkan imajinasi dan kreativitasnya sehingga menghasilkan karya sastra yang indah. Oleh karena itu, karya sastra merupakan karya yang bersifat kreatif, imajinatif, subjektif, dan disajikan dengan bahasa yang konotatif atau bermakna ganda (Ratna, 2013:214). Sebuah karya sastra jika diteliti dengan cermat akan memperlihatkan suatu nilai yang mengandung makna yang dalam dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1984:41). Nilai yang terkandung dalam karya sastra tidak dapat dilepaskan dari siapa pengarangnya dan lingkungan
sosial
budaya
yang bagaimana yang
mempengaruhinya. Karya sastra fiksi yang berupa kumpulan cerpen Cengkir Gadhing Tamparan Sutra yang dihasilkan pengarang memiliki struktur intrinsik dan struktur ekstrinsik. Struktur instrinsik mencakup tema, tokoh, alur, latar, pandangan dunia/ sudut pandang, gaya bahasa dan lainnya, sedangkan unsur ekstrinsik yang terpenting berkaitan dengan historis, psikologis,filosofis, dedaktis, ekonomis, kultural, hukum, dan religius. Analisis struktural murni atau intrinsik sastra bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1988:138). Interpretasi terhadap karya sastra secara struktural sering dihadapkan pada lingkaran setan, yang tidak memungkinkan kita menghindarinya, yakni bagaimana kita memulai untuk melakukan interpretasi, karena kenyataannya interpretasi keseluruhannya
288
tidak dapat dimulai tanpa pemahaman sebaliknya
bagian-bagiannya dan demikian juga
interpretasi bagian tidak mungkin
mengandaikan lebih dahulu
pemahaman keseluruhan karya itu. Dalam praktiknya lingkaran setan yang bersifat spiral itu dipecahkan melalui kegiatan interpretasi menyeluruh yang bersifat sementara untuk menafsirkan unsur-unsur sebaik mungkin, kemudian penafsiran unsur–unsur itu dipergunakan untuk memahami secara lebih sempurna sampai mencapai integrasi makna bagian dan makna total secara optimal. Analisis
struktural
murni
mempunyai
keberatan-keberatan,
yaitu
mengasingkan karya sastra dari kerangka kesejarahan dan latar belakang sosialbudayanya (Teeuw, 1988:61). Scholes (1977: 10-11) menyatakan dua hal pokok yang membahayakan dalam penerapan strukturalisme
murni, yaitu (1) tidak
memiliki kelengkapan sistematis (a systematic completeness) yang menjadi tujuan pokoknya dan (2) menolak makna atau isi karya sastra dalam konteks kultural di seputar sistem sastra. Untuk mengatasi kesenjangan makna dalam analisis karya sastra melahirkan kajian baru yang disebut strukturalisme dinamik. Mukarovsky (dalam Teeuw, 1988:187; periksa Eagleton, 1988:110)) berpendapat bahwa karya sastra dalam sejarahnya tidak dapat dipisahkan dari konteks sosio-budaya serta kode-kode atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Mukarovsky-lah yang meletakkan dasar untuk estetik sastra dalam model semiotik di mana ada hubungan dinamik dan tegangan yang terus-menerus antara keempat faktor: pencipta, karya, pembaca, serta kenyataan, yang ia menyebutnya dengan dynamic structuralism, yakni “The work of art manifests itself , as sign in its inner structure, in its relation to reality, and also in its relation to society, to its creator and its recipients” (karya seni terwujud sebagai tanda dalam struktur intrinsiknya, dalam hubungannya dengan kenyataan dan juga dalam hubungannya dengan masyarakat, pencipta dan penanggapnya) (dalam Teeuw, 1988:190). Pradopo (1993:125) menyatakan strukturalisme dinamik adalah strukturalisme dalam rangka semiotik, yaitu memperhatikan karya sastra sebagai sistem tanda. Sistem tanda dalam karya sastra tidak terlepas dari konvensi masyarakat, baik masyarakat bahasa, masyarakat sastra, maupun masyarakat pada umumnya.
Pengkajian struktural dinamik atau strukturalisme dalam rangka semiotik ini memiliki dua fungsi (1) bersifat otonom, yaitu tidak menunjuk di luar dirinya dan (2) bersifat informasional, yaitu menyampaikan pikiran, perasaan, dan gagasan (Sayuti dalam Jabrohim (ed.), 2001: 68). Penerapan pendekatan strukturalisme dinamik dalam pengkajian sastra harus memperhatikan dua hal (1) peneliti bertugas menjelaskan karya sastra sebagai sebuah struktur berdasarkan unsur-unsur atau elemen-elemen yang membentuknya dan (2) peneliti bertugas menjelaskan kaitan antara pengarang, realitas karya sastra, dan pembaca (Sayuti dalam Jabrohim
289
(ed.), 2001:69). Jika dikaitkan dengan pendekatan strukturalime dinamik, maka analisis struktur yang dilakukan selain mengkaji unsur struktur intrinsik dan struktur ekstrinsik juga harus dikaitkan dengan konteks sosio-kultural karya sastra. Budaya fisik membentuk suatu lingkungan hidup yang semakin lama semakin menjauhkan manusia dari lingkungan alamnya, hal tersebut bisa mempengaruhi pola pikir dan perbuatannya manusia sebagai pelaku budaya. Peristiwa kebudayaan adalah soal kejiwaan. Budaya diperoleh dengan cara belajar. Budaya selalu berubah dari waktu kewaktu, seiring perubahan yang terjadi pada akal budi manusia. Adapun unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal, yang disebut dengan isi pokok setiap kebudayaan di dunia. Koentjaraningrat (1984: 2) menjelaskan ada 7 unsur budaya universal, yaitu: (1) Sistem religi dan upacara keagamaan, misal: upacara kematian, ritual menolak hujan, upacara keagamaan, upacara pemujaan dan lain-lain; (2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan, misal: kekerabatan, sistim warisan dan lain-lain; (3) Sistem pengetahuan, misal: ilmu bercocok tanam, perbintangan, ilmu perdagangan
dan lain-lain; (4) Bahasa sebagai media
komunikasi, modal: bahasa tulis dan bahasa lisan; (5) Kesenian, misalnya: seni rupa, seni musik, seni gerak dan lain-lain; (6) Sistem mata pencaharian hidup, misalnya: pertamanan, peternakan dan lain-lain; dan (7) Sistem teknologi dan peralatan, misalnya: teknik pertamanan, teknik membuat alat pertanian, teknik perikanan, teknik membuat alat perangkap ikan dan sebagainya. Dari tujuh unsur di atas unsur yang ketujuh yaitu sistem teknologi dan peralatan mengalami perubahan yang lebih cepat, bila dibandingkan dengan unsurunsur lain. Sistem religi sulit berubah karena sistem religi berhubungan dengan suatu keyakinan dalam masyarakat. Sebagai contoh: dalam upacara keagamaan atau religi yang lain selalu dilakukan dengan langkah-langkah tertentu dan syarat-syarat tertentu dari waktu-ke waktu akan tetap, karena masyarakat takut bila diubah akan mendapatkan bencana atau permohonannya tidak terkabul. Jadi sistem religi dan upacara keagamaan sulit berubah karena menyangkut keyakinan akan hubungan dengan Tuhan atau hubungan dengan dunia gaib. Tulisan ini mencoba mereposisikan kembali aspek budaya yang terungkap dalam kumpulan cerpen Cengkir Gadhing Tamparan Sutra. Reposisi artinya penempatan kembali ke posisi semula; penataan kembali posisi yang ada;
290
penempatan ke posisi yang berbeda atau baru (http://kbbi.web.id/reposisi). Hal itu untuk membuktikan bahwa dalam menulis karya sastra pengarang tentunya tidak dapat
dilepaskan
dari
konvensi
sosial-budaya
masyarakat
yang
yang
melingkupinya. Apa yang ingin disampaikan dalam karangannya pada umumnya adalah pemikiran-pemikiran sebagai hasil dari kontemplasi pengarang terhadap lingkungan
di sekitarnya, baik yang berisi sanjungan ataupun kritikan. Pola
pelontaran ide gagasan ini
tidak dapat dilepaskan dari pemikiran-pemikiran
kesederhanaan pengarang sebagai anggota masyarakat.
PEMBAHASAN Melalui karya-karya yang dihasilkan pengarang berusaha mengungkapkan budaya yang melingkupi kehidupan manusia tersebut. Reposisi budaya yang terungkap dalam kumpulan cerpen Cengkir Gadhing Tamparan Sutra dikelompokkan menjadi dua bahasan, yaitu: (1) reposisi budaya yang diungkapkan dalam cerita pendek, dan (2) pengaruh cerita dalam mengembangkan nilai-nilai budaya. Reposisi budaya yang terungkap dalam kumpulan cerpen Cengkir Gadhing Tamparan Sutra didasarkan pada tujuh unsur budaya universal yang ada di dunia seperti yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1984: 2), yaitu: 1) Sistem Religi dan Upacara Keagamaan Sistem religi sulit berubah karena sistem religi berhubungan dengan suatu keyakinan dalam masyarakat, walaupun seiring dengan perkembangan jaman terjadi rasionalisasi. Sistem religi dan upacara keagamaan sulit berubah karena menyangkut keyakinan akan hubungan dengan Tuhan atau hubungan dengan dunia gaib. Wujud sistem religi dan upacara keagamaan, misal: upacara kematian, ritual menolak hujan, upacara keagamaan, upacara pemujaan dan lain-lain. Dalam kumpulan cerpen Cengkir Gadhing Tamparan Sutra juga mengungkapkan tentang reposisi unsur budaya ini, antara lain dalam cerpen “Pedang Warisan” karya Ary Nurdiana. Menjalankan atau mewujudkan pesan atau amanah dari orang yang sudah meninggal merupakan keharusan atau bisa dikatakan “wajib” hukumnya untuk dilakukan. Hal itu seperti yang dilakukan Ningsih yang mendapat pesan dari Bulik Yatini, bahwa kalau sewaktu-waktu meninggal minta
291
dimakamkan dekat dengan makam Simbahnya, bukan dekat suaminya. Karena itu merupakan amanah, maka ketika Buliknya meninggal Ningsih meminta keluarganya untuk mewujudkannya. Hal itu dilakukan karena masyarakat masih percaya bahwa pesan orang yang akan meninggal harus diwujudkan. Hal itu seperti kutipan berikut ini: -Jisime bulik Yatini wis disarekake ana pesareyan Gondoarum kaya dene sing dikersakake nalika isih sugeng. Bulik ngersakaeyen sawayah-wayah dipundhut dening Gusti kang Maha Kuwasa piyantune nyuwun disarekake cedhak sareyane si Mbah.... (Pedang Warisan:1).
Selain, pesan di atas Bulik Yatini juga meninggalkan wasiyat kepada Ningsih untuk merawat sebuah pedang. Menurut Buliknya hanya Ningsih yang mampu dan bisa merawat pedang itu. Pesan Buliknya setiap malam Jum’at Legi harus diberi kalung bunga cempaka (kembang kanthil) sepasang. Ternyata, pedang itu dihuni wujud ular naga dengan dua kepala yang besarnya satu lengan orang dewasa. Hal itu seperti kutipan berikut ini. “Ning, aku titip pusaka iki openana. Dakdelok mung awakmu sing kuwat nggawa lan ngrumat. Simpenen ya, Ndhuk.... Welingku, saben malem Jumuah legi pedhang iki kalungana kembang kanthil sak jodho ya....” (Pedang Warisan :3) “Ningsih ngerti, yenujude sing mapan apa babagan pedhang warisane bulik iki jebule wujude sing mapan ana pedhang kuwi sawijining ula ndhas loro sing gedhene sak lengen....” (Pedang Warisan :9)
Tentang benda pusaka yang ada penghuninya bukan hal yang asing dalam konteks budaya Jawa. Seperti halnya kisal keris Empu Gandring yang menelan korban dalam kisah sejarah Singosari. Hal itu disebabkan karena dalam pembuatan benda-benda pusaka tersebut dilakukan dengan ritual tertentu (puasa, tidak tidur, semedi, dll). Upaya ritual juga dilakukan Joleno sebagai penggali sumur dalam cerpen “Sumur” (Herry Abdi Gusti). Bagai seorang empu, Joleno juga melalukan ritualritual tertentu agar berhasil dalam menggali sumur dan mendapatkan air, seperti selamatan dan merapal doa-doa
bubak bumi sur tanah, shalawat Nabi, doa
penghormatan untuk Syeh Abdulkadir Jaelani, Nabi Khidir, dan Sunan Kalijaga, dan juga melagukan tembang macapat. Tembang macapat untuk menghitung kedalaman dengan menggunakan pipa paralon sepanjang 4 meteran. Hal itu seperti kutipan berikut ini. “.....kadya sawijining mpu, Joeno satemene uga wis ngrapal japa mantra sadurunge ngawiti pakaryane, kayata bubak bumi sur tanah, slametan nyadhong berkahe Gusssttti Allah, shalawat konjuk Nabi Muhamad, pikurmat Syek Andulkadir Jaelani, Nabi Khidir dan Sunan Kalijaga,,,,” (Sumur:41).
Keyakinan tentang bekal untuk akherat adalah bagian dari ajaran agama yang dianut 292
oleh manusia. Dalam cerpen
“Kedhayohan Calon Besan” (Ibnu Marwah)
diungkapkan sesulit apapun beban hidupnya, Karji tetap meluangkan waktu untuk beribadah karena akan membuat hidup lebih tenang dan tenteram. Hal itu seperti kutipan berikut ini. “.....Bubar adus ora lali bablas nindakake kuwajiban shalat Maghrib. Pancen Karji meh setaun iki wiwit jajalan melu-melu nglakoni limang wektu, wohing kerep srawung karo Pak guru kirna sing tlaten ngandhani wong-wong supaya gelem golek sangu kanggo mbesuk nek wis bali menyang akherat....”(Kedhayohan Calon Besan:45)
Keyakinan agama nasrani terungkap dalam cerpen “Sepur Ekspres” (Minthil Kasmaran). Tokoh Steve harus merelakan ibunya kembali kepangkuan Tuhan dan mendoakan ibunya dengan sekramen suci. Doa dengan membaca Injil juga dilakukan Pak Thomas untuk anaknya yang hilang dan juga untuk Steve yang hampir diusir dari gerbong karena tidak mempunyai karcis. Hal itu seperti kutipan berikut ini. “.....Sawise pastur nganakake sekramen suci.....Dadakan atine trenyuh, kopi disruput banjur njupuk Injil ing njero kamar. Nyumet lilin, pak Thomas banjur ngucapake Doa Novena sak wise ngancik Salam Maria, pak Thomas nyenyuwun marang Bapa .....” (Sepur Ekspres:7475)
Reposisi keyakinan Nasrani
juga terungkap dalam cerpen “Mbangun
Kedhuwung” (Yohanes Siyamta). Tokoh “aku” menyatakan kekesalannya kepada Tuhan karena hidupnya selalu sengsara dan tidak beruntung. Pertemuannya dengan tokoh “mas” menjadikan hidupnya berubah dan kembali kepada keyakinan kepada Tuhan. Hal itu seperti kutipan berikut ini. “Ya mung pangraitaku wae, kok.” Mangkono tanggapane pawongan mau, banjur kandhane maneh, “Lha kok wingi, dina Ngahad Palem ora ketemu aku neng greja?”...... banjur wangsulanku,” Boten namung Ngahad palem, kemisipun dinten kemis Putih kula nggih boten bidhal.” “Lha ngapa?” “Kula mangkel. Amargi ing taun menika sedaya panyuwunan kula boten kaleksanan. Malah masalah kula tumpuk-undhung boten karuwan. Rumaos kula, Gusti sampun boten nggatosaken kula malih. Napa ginanipun sembahyang, menawi boten wonten asilipun.” (Mbangun Kedhuwung:191-192)
2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Dalam hidup bersama orang lain atau bermasyarakat manusia membentuk sistem atau organisasi kemasyarakatan, seperti: kekerabatan, sistim warisan, tata pemerintahan, dan lain-lain. Sistem organisasi kemasyarakatan terungkap dalam
293
cerpen “ Kencana Katon Wingko” (Dian Widyawati) dan “Nyebal Tatanan” (Djajus Pete). Cerpen “ Kencana Katon Wingko” mengungkapkan bentuk organisasi di tingkat sekolah yaitu OSIS (organisasi Siswa Intra Sekolah). Organisasi ini mulai dibentuk di tingkat SMP dan sederajat sebagai ajang latihan bagi siswa untuk belajar berpikir dan bekerjasama dengan orang lain. Hal itu seperti kutipan berikut ini. “.... Aku minangka ketua OSIS iutus Pak Tulus golek bocah sing bisa makili sekolahan kanggo gawe karya tulis.... (Kencana Katon Wingko:20)
Dalam cerpen “Nyebal Tatanan” memberikan contoh reposisi berorganisasi di masyarakat, yaitu Dewan kebudayaan Bojonegoro. Dewan kesenian ini dibentuk di tiap kabupaten atau kotamadya dan juga propinsi.
Contoh organisasi
kemasyarakatan yang lain, yaitu Dewan Kesenian Surabaya (DKS), Paguyuban Sastrawan Jawa Bojonegoro (PSJB), Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), dan sebagainya. Hal itu seperti kutipan berikut ini. “... Ing antarane wong-wong kang ngrubung, ana Zen kancaku, Ketua Dewan Kebudayaan Bojonegoro....” (Nyebal Tatanan:27)
3) Sistem Pengetahuan Karya sastra juga mengungkapkan perkembangan sistem pengetahuan, seperti ilmu bercocok tanam, perbintangan, ilmu perdagangan, ilmu kesehatan, dan lain-lain. Perkembangan pengetahuan saat ini pada dasarnya ditunjukkan melalui pendidikan yang ditempuh, artinye semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh merupakan indikator pengetahuan yang dimiliki seseorang. Hal itu terungkap dalam cerpen “Nyebal Tatanan”
(Djajus Pete).
Pengarang
mengungkapkan perbedaan pendidikan dalam memperoleh pekerjaan. Pekerjaan yang sederhana tidak memerlukan pendidikan yang tinggi, misalnya pekerjaan sebagai tukang ojek. Hal itu seperti kutipan berikut ini. “Ngene ya, Pakdhe perlu omong, aja gawe gelamu. Ngojeg kuwi ya apk, wong ya khalal. Mung wae yen mung ngojeg, ora perlu sasrjana, cah SD bisa, ora sekolah ya bisa. Supaya ilmu sarjanamu tumanja kanthi becik, tandangana pegaweyan sing mung bisa ditindakae sarjana,sing cah SD apa SMA ora bisa nandangi...”( Nyebal Tatanan:26)
4) Bahasa sebagai media komunikasi, Bahasa sebagai media komunikasi, juga digunakan dalam mengungkapkan karya sastra. Bahasa yang digunakan mencakup bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Inggris, dan sebagainya, baik dalam ragam bahasa tulis maupun bahasa lisan. Kumpulan cerpen Cengkir Gadhing Tamparan Sutra merupakan kumpulan
294
cerpen berbahasa Jawa, namun dalam beberapa cerpen pengarang menyelipkan bahasa lainnya (Indonesia, Arab, Inggris) untuk mempertajam dan memperindah karya sastra yang ditulisnya. Hal itu seperti kutipan berikut ini. “ Ya, alhamdulillah,” wangsulane Karjikaro mesem.....(Kadhayohan Calon Besan:47) “Begitulah Pak Karji, “ tamune mungkasi nggone ngenalake awake. “Saya tidak bisa mengucapkan bahasa Jawa, tapi saya isa mngerti kalau ada orang ngomong pakai bahasa Jawa.” (.....(Kadhayohan calon Besan:49) “Wa’alaikumsalam,,,” Priyayi gagah iku ngengakake lawang. Karo mencereng angker njaga wibawa. “Ini siapa ya?” “Saya anu pak ranggawati,” “Apakah mahasiswa?” “Bukan pak, saya eh em anu mau menjumpai Tince putri bapak.” (Semar Mesem:119) “Nanging sawise dakcritani yen aku oleh SMS, chat, messenger saka nomer sing padha, rasane kaya keganggu....” (Candhikala Tumapak Ing Getere Rasa:98)
Olah bahasa yang menggunakan campur kode juga terungkap dalam cerpen “ Sepur Ekspres” (Minthil Kasmaran). Latar cerita kota London menyebabkan pengarang banyak menggunakan sisipan kata, frasa, maupun kalimat berbahasa Inggris. Hal itu seperti kutipan berikut ini. ”Please Mr.Conductor Don’t put me off of this train The best friend I have in this world sir Is waiting for me in pain Expeeeting to die any moment,...sir And may not live through the day I wanna reach home and kiss mother goodbye Before God takes her away (Sepur Ekspres:75)
5) Kesenian Kesenian memiliki berbgai bentuk, misalnya: seni rupa, seni musik, seni gerak dan lain-lain. Dalam kumpulan cerpen Cengkir Gadhing Tamparan Sutra juga ada reposisi tentang unsur budaya universal kesenian. Cerpen “Kang Urip” (Irul S Budianto) mengungkapkan
pentingnya kesenian khususnya tembang
macapppattt yang bisa membuat hati tenang dan tenteram. Tokoh Kang Urip selalu melagkan tembang karya R.Ng. Ranggawarsita yang maknanya masih cocok dengan keadaan jaman sekarang. Kutipan teksnya sebagai berikut. “Amenangi jaman edan Ewuh aya ing pambudi Melu edan nora tahan Yen tan melu anglakoni Boya keduman melik Kaliren wekasanipun Ndilalah karsa Allah
295
Begja-begjane kang lali Luwih begja kang eling lawan waspada (Kang Urip:57)
Reposisi unsur kesenian juga terungkap dalam cerpen “Nagih Janji Buku Antologi” (Puji Wirawan).
Dalam cerpen terungkap tokoh Mas Gandrung
temannya Wendi yang selalu mengajari kasusastran Jawa, mengajari membuat cerita pendek dan puisi. Hal itu seperti ktipan berikut ini. “Mas Gandrung kuwi kanca rakete Wendi sing wis limang taun iki ngajari kasusastran Jawa, ngajari gawe cerkak lan uga geguritan, yen ta Gus Ilham kuwi kanca rakete dadi guru spituale sing seneng gawe lan maca geguritan....”( Nagih Janji Buku Antologi:77)
6) Sistem Mata Pencaharian Hidup Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia harus bekerja. Mata pencaharian masing-masing individu berbeda-beda, misalnya pegawai negeri, wiraswasta, petani, peternak, pedagang, pelaut, nelayan, dan lain-lain. Setiap pekerjaan pada dasarnya menuntut keterampilan tertentu, baik yang diperoleh melalui pendidikan maupun otodidak atau belajar sendiri. Beberapa reposisi mata pencaharian yang terungkap dalam cerpen, misalnya pekerjaan sebegai guru terungkap dalam cerpen “Pedang Warisan” (Ary Nurdiana) dan
“Bapakku”
(Bonifasius Hudiono). Profesi sebagai guru merupakan profesi yang cukup prestisius di tengah masyarakat, seperti ungkapan “guru digugu lan ditiru”. Hal itu seperti kutipan berikut ini. - “Esuk kuwi Ningsih lagi wae siap-siap arep budhal kerja, pegaweyane dadi guru masia isih GTT nuntut disiplin sing dhuwur, apa maneh mulang ana sekolahan swasta,....( Pedang Warisan: 2) “Kesenengane bapak ngisi TTS ngono jarene wiwit isih sekolah PGSLP. Luwih sregep maneh nalika wis dadi guru ing SMPN i Genteng......” (Bapakku: 11)
Cerpen “ Nyebal Tatanan (Djajus Pete) mengungkapkan mata pencaharian tukang ojek yang tidak membutuhkan pendidikan tertentu. Yang dibutuhkan sebagai tukang ojek adalah keterampilan mengendarai sepeda motor dan tahu jalan. Namun, profesi menjadi tukang ojek dalam cerpen digambarkan kurang menjamin kehidupan yang mapan. Tokoh Nunil dan Bono digambarkan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal itu seperti kutipan berikut ini. ‘ ... Cerkak kasebut nyritatake lelakone Nunil lan Bono tukang ojeg wiwit pacaran tekan jejodhoan ngalami pait getiring lelako werna-werna....”( Nyebal Tatanan :23)
Cerpen “Nyebal Tatanan” juga mengungkapkan
mata pencaharian sebagai
pengarang. Seorang pengarang harus tetap menulis dan menulis, sehingga harus terus mempertajam kreativitas ide dan gagasannya dalam mengolah masalah sosial budaya yang ada di tegah masyarakat. Jika pegawai negeri memiliki masa pensiun,
296
pengarang harus tetap menulis sepanjang hidupnya selama masih mampu menulis. Pegawai terikat aturan disiplin kerja, pengarang bebas tidak terikat apapun. Hal itu seperti kutipan berikut ini. “...Tembunge Ariyoko bener awit kepengarangan seje karo pegawai kantor sing ana mandhege, pensiyun. Pengarang ora ana purnane, kudu tetep nulis tekan sapinggring lawang kubur....” (Nyebal Tatanan:29)
Mata pencaharian sebagai pengusaha tahu terungkap dalam cerpen “Taun Kang Manjila” (Emi Sudarwati). Melalui usaha membuat dan menjual tahu ternyata tokoh “Ibu” sebagai orang tua tunggal mapu menyekolahkan anak-anaknya sampai meraih gelar sarjana. Hal itu seperti kutipan berikut ini. “Pabrik tahu kang wis madeg watara telung puluh taun. Ya usaha iki kang wis bisa kanggo nyekolahake bocah telu nganti mentas sarjana.” (Taun Kang Manjila:30)
Dalam cerpen “Sepur Ekspres” mengungkapkan profesi sebagai ramusaji dan usaha caterring.
Stave berprofesi sebagai pramusaji sebuah restoran untuk
mengumpulkan uang untuk melanjutkan sekolahnya, sedangkan
ibunya yang
tinggal di sebuah desa kecil dekat Seattle membuka usaha katerig kecil-kecilan. Hal itu seperti kutipan berikut ini. “....Steve nyambut gaweana ing Restoran dadi pramusaji. Dheweke nglumpukake dhuwit kanggo biaya mbacutake sekolahe, amarga Steve dudu keluarga mampu. Bapake kang dadi sopir wis kapundhut ndhisiki marga kacilakan ing ndalan. Ibune usa caterring cilik-cilikan ing ndesa cilik cedhak Seattle adoh saka London” (Sepur Ekspres:69)
7) Sistem teknologi dan peralatan Teknologi dan peralatan merupakan unsur kebudayaan di dunia yang mudah berubah bila mendapat pengaruh dari kebudayaan lain. Perubahan yang terjadi pada teknologi dan peralatan, seiring perubahan akal manusia. Bila manusia semakin maju atau modern maka teknologi dan peralatan juga semakin maju dan modern. Hal itu terjadi karena teknologi dan peralatan digunakan oleh manusia dari waktu ke waktu dalam hidupnya. Manusia tidak dapat hidup secara normal tanpa teknologi dan peralatan. Dalam cerpen “Kencana Katon Wingko” (Dian Widyawati) terungkap perkembangan teknologi komputer di era global saat ini. Komputer dan sejenisnya saat ini bukan lagi menjadi barang mewah. Dunia pendidikan maupun dunia pekerjaan saat ini banyak menuntut penggunaan komputer dan aplikasinya, seperti internet, web, email, instragram, facebook dan lain-lainnya. Hal itu seperti kutipan berikut ini.
297
“....Aku gelem wae Son melu lomba nulis, nanging aku ora duwe komputer kanggo ngetik karya tulis iku, upama aku kudu ning warnet aku ora duwe wragat kanggo nyea ning warnet (Kencana Katon Wingko:21) “Nanging sawise dakcritani yen aku oleh SMS, chat,messenger saka nomer sing padha, rasane kaya keganggu....” (Candhikala Tumapak Ing Getere Rasa:98)
Teknologi pengolahan air untuk kebutuhan sehari-hari juga mengalami perkembangan. Dahulu orang mengandalkan penggali sumur untuk mendapatkan air bersih, sekarang sudah ada PDAM yang mengolah air tanah maupun air sungai menjadi air bersih yang disalurkan melalui pipa ke rumah-rumah. Penggali sumur seperti tokoh Joleno dalam cerpen “Sumur” (Herry Abdi Gusti) sudah tidak dibutuhkan lagi. Berbagai upaya dilakukan Joleno untuk menarik pelanggan yang membutuhkan jasanya, misalnya dengan membuat poster “ Sumber Agung Lancar” lan nomor telepon. Hal itu seperti kutipan berikut ini. “.... Cap “Sumur Agung Lancar” sengaja dipilih kanggo mrebawani marang upayane njala kas-kayaning balewisma lan njaring rejeki.... Nomer telpun gegeme pas banget karo wateg wantune pakaryan sing dilakoi, supaya nggampangake wong-wong ngapalake lan ngelingeling....” (Sumur:37)
Selain uraian tentang reposisi budaya universal dalam cerita, juga terdapat pengaruh cerita dalam mengembangkan nilai-nilai budaya, sehingga terjadi hubungan timbal-balik. Nilai yang terkandung dalam karya sastra tidak dapat dilepaskan dari siapa pengarangnya dan lingkungan
sosial
budaya
yang
bagaimana yang mempengaruhinya. Konsep budaya atau kultural cerpen-cerpen tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari konvensi sosial-budaya masyarakat yang melekat pada pengarangnya. Pengarang cerpen yang tinggal di kota yang pada umumnya sangat kental dengan pola kehidupan masyarakat modern dalam arus budaya global, sebaliknya pengarang yang tinggal di pedesaaan juga kental dengan kesederhaan budaya desa. Apa yang ingin disampaikan dalam karangannya pada umumnya adalah pemikiran-pemikiran sebagai hasil dari kontemplasi pengarang terhadap lingkungan di sekitarnya, baik yang berisi sanjungan ataupun kritikan. Pola pelontaran kritik sosial
tidak dapat dilepaskan dari pemikiran-
pemikiran kesederhanaan pengarang sebagai anggota masyarakat. PENUTUP/ SIMPULAN Dewasa ini memang muncul keprihatinan terhadap pewarisan nilai budaya, namun dengan mencermati kumpulan cerpen Cengkir Gadhing Tamparan Sutra, ternyata membuktikan adanya reposisi unsur budaya universal di dalamnya. Pengarang ternyata menyelipkan unsur-unsur budaya universal dalam cerpen-
298
cerpen yang dihasilkan, yaitu (1) Sistem religi dan upacara keagamaan, (2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) Sistem pengetahuan, (4) Bahasa sebagai media komunikasi, (5) Kesenian, (6) Sistem mata pencaharian hidup, dan (7) Sistem teknologi dan peralatan. Hal itu tidaklah aneh karena pengarang adalah bagian dari anggota masyarakat yang dengan bakat yang dimiliki mampu mengolah realitas sosial budaya masyarakat dalam bentuk karya sastra. Karya sastra yang dihasilkan walaupun sedikit
mesti memiliki manfaat untuk mendidik masyarakat
pembacanya. DAFTAR RUJUKAN Eagleton, Terry. 1988. Teori Kesusasteraan: Satu Pengenalan. (Penerjemah Muhammad HJ. Salleh) Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Bahasa. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Luxemburg, Jan van dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. (Penerjemah Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pelly, Usman dkk. 1994. Teori-teori Sosial Budaya. Jakarta: Dierektorat Jenederal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Gloasarium: 1250 Entri kajian Sastra, Seni, dan Sosial Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sayuti, Suminto A. 2001. “Strukturalisme Dinamik dalam Pengkajian Sastra” dalam Jabrohim, (ed), Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta: Hanindita Graha Widia, hlm 66-69. Scholes, Robert. 1977. Structuralism in Literature: An Introduction. London: Yale University Press. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Van Zoest, Art. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung. Wellek. Rene & Austin Warren. 2014 Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
299
MEMELIHARA RIAK SASTRA SUNDA Dian Hendrayana, SS., MPd. Universitas Pendidikan Indonesia [email protected] ABSTRAK Sastra merupakan wahana untuk mengekspresikan sebuah situasi tertentu pada periode tertentu pula melalui tafsir dan kacamata sastrawan. Dengan pengertian lain, sastra bisa menjadi media perekaman sosial kemasyarakatan tertentu untuk dibaca, ditelaah, dan dijadikan acuan untuk membentuk suasana serta karakter masyarakatnya di kemudian hari. Sastra Sunda tentu saja merupakan rekaman dari situasi kehidupan sosial masyarakat Sunda. Sastra Sunda bisa menjadi media dan menjadikannya album sosial kemasyarakatan untuk ditelaah dan dijadikan pijakan demi menunaikan pola sosial kemasyarakatan di kemudian hari bagi masyarakat Sunda yang lebih berkembang dan maju. Sementara itu, nyaris di setiap sudut, pengaruh asing seolah berlomba-lomba merangsek ke masyarakat kita. Tak terkecuali di masyarakat Sunda. Berkembangnya dunia teknologi, serta merta akan mampu mengubah cara bersikap dan berfikir bagi masyarakat agar tetap melaju sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zamannya.Persoalannya adalah, bagaimana masyarakat Sunda mampu memelihara dan mempertahankan keberadaan sastra Sunda sebagai media rekam masyarakatnya. Padahal, di samping upaya pemeliharaan dan pelestarian keberadaan sastra, baik tulis maupun lisan, pengaruh asing tadi begitu deras menerjang tatanan sosial kemasyarakatan di tatar Sunda. Sebagai sebuah entitas yang serta-merta bisa memorak-porandakan keberadaan sosial masyarakat, maka pengaruh asing itu jelas harus disikapi dengan hati-hati dan pikiran bijak.Tentu saja, upaya-upaya dengan cara bekerja keras dan upaya-upaya konstruktif harus segera dilakukan. Pemberlakuan upaya ini tentu dengan melibatkan berbagai pihak, lembaga-lembaga terkait baik pemerintah maupun swasta. Kata kunci: sastra Sunda, media, pengarang, pembinaan, saembara, pemerintah, pihak swasta
PENDAHULUAN Setidaknya masyarakat Sunda telah mengenal keberadaan sastranya sejak leluhurnya menuliskan dokumentasi pada sebuah naskah (Sunda kuna) yang bernama Sanghyang Siksakanda (Ng) Karesyan (SSKK) 1. Naskah Sunda kuno tersebut ditulis pada tahun 1518 M. Melalui dokumentasi kuno yang oleh para ahli disebut sebagai ‘ensiklopedi’ budaya Sunda (kuno) tersebut masyarakat Sunda diperkenalkan bahwa pada saat itu masyarakat Sunda telah mengenal materi sastra
1
Naskah SSKK memuat 30 bagian, setiap bagian menerangkan bab tertentu tentang budaya, adat kebiasaan, kesenian, keterampilan, serta peradaban yang ada di masyarakat Sunda saat itu
300
(lisan) seperti kawih (sebetuk puisi bebas), cerita pantun (kisah panjang seputar kerajaan), sisindiran (sebentuk pantun pada sastra melayu, atau parikan pada sastra Jawa), cerita wayang, dan mantra. Materi-materi sastra yang (telah hidup sebelum abad XVI, dan) tertuang pada naskah SSKK tersebut terus hidup dan berkembang di masyarakat pada tahuntahun serta abad-abad kemudian. Dari materi-materi sastra tersebut di antaranya ada yang berfungsi sebagai media hiburan (sisindiran, cerita wayang, kawih) ada juga yang berfungsi sebagai media ritual (cerita pantun, mantra). Seiring dengan perkembangannya, di sekitar abad XVII saling menyusul materi-materi sastra asing yang datang dari luar, yakni dari pengaruh Islam dalam bentuk syair yang kemudian berkembang menjadi pupujian 2, serta dari pengaruh Mataram yang berbentuk dangding 3 yakni puisi yang terbangun dari aturan pupuh: terutama bentuk wawacan (Wibisana, 1992:765). Hingga abad XIX, materi sastra yang masih berkembang di masyarakat adalah cerita pantun, pupujian, sisindiran, dan dangding. Bahkan di sepanjang abad XIX, materi dangding (berbentuk wawacan) memiliki tempat tersendiri di masyarakat Sunda. Hal itu terbukti dengan tradisi menembangkan wawacan di beberapa daerah di Jawa Barat seperti Cianjur, Bandung, Tasikmalaya, Garut, Sumedang, dan Ciamis. Terlebih di daerah Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya, materi sastra dalam bentuk dangding wawacan terus berkembang hingga awal abad XX; hal itu terbukti dengan masih berkembangnya materi seni tembang Cianjuran (di daerah Cianjur), tembang Ciawian (daerah Tasikmalaya), dan tembang Cigawiran (daerah Garut). Di awal abad XX, materi dangding dalam bentuk guguritan mulai digandrungi, terutama oleh masyarakat daerah Cianjur. Di Cianjur sendiri materi guguritan kerap dijadikan bahan dasar untuk pembentukan (dan pengayaan) materi seni tembang Cianjuran yang saat itu tengah menjadi trending topic dalam 2
Pupujian (puisi untuk memuja-muhi sang khalik dan rosululloh), adalah syair dalam bahasa Arab dan (telah diterjemahkan ke dalam) bahasa Sunda biasa dilantunkan di surau atau di mesjid menjelang kumandang adzan Magrib 3 Dangding adalah puisi yang terbangun dengan menggunakan aturan pupuh. Dalam puisi Sunda dangding dibagi menjadi dua jenis yakni wawacan dan guguritan; wawacan adalah cerita atau kisah yang ditulis dengan aturan pupuh (memuat ratusan bahkan ribuan bait), sedangkan guguritan adalah ungkapan perasaan atau ekspresi jiwa yang ditulis dengan aturan pupuh (biasanya hanya terdiri atas lima atau enam bait saja)
301
percaturan khazanah seni Sunda. Para pangagung (bangsawan) di Cianjur banyak yang meminati seni Cianjuran dengan berbahan puisi guguritan sebagai lirikliriknya (Sukanda, 2016:126). Tentang materi guguritan ini, hingga pertengah paruh pertama abad XX, telah membuat opini masyarakat Sunda yang beranggapan bahwa puisi guguritan merupakan puisi yang sangat agung dan paling bagus dari puisi-puisi yang pernah ada. Bahkan beberapa sastrawan menganggap jika dalam mengekspresikan pikirannya tidak membubuhkan materi guguritan, maka materi sastra tersebut tidak lantas disebut memiliki nilai sastra tinggi. Sebaliknya, jika ekspresi sastra (termasuk prosa) disertai dengan membubuhkan puisi guguritan, maka karya itu serta-merta akan tergolong menjadi karya yang memiliki nilai sastra tinggi (Rosidi, 2013: 79). Dan pada masa itu, puisi guguritan seperti menempati setiap relung kegiatan di masyarakat Suna; berpidato menggunakan puisi guguritan, suratmenyurat menggunakan puisi guguritan, mengobrol (di kalangan tertentu) menggunakan puisi guguritan. Dan semua itu menyebar pula di setiap segi kehidupan kaum bangsawan di lingkungan pendopo (kadaleman); termasuk terhadap materi seni Cianjuran yang saat itu hanya beredar di kalangan kaum bangsawan di Cianjur dan di Bandung. Bahkan hingga dekade 60-an, seni Cianjuran dengan menggunakan lirik puisi guguritan menjadi materi yang bukan hanya milik kaum bangsawan di lingkungan pendopo, tetapi sudah digandrungi dan diminati oleh hampir seluruh masyarakat jawa Barat, terutama di daerah Cianjur, Bogor, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis. Maka hingga tahun 1960-an, banyak sastrawan Sunda yang menuliskan karya-karyanya dalam bentuk puisi guguritan. Kegandrungan para sastrawan Sunda terhadap puisi guguritan kemudian sempat memunculkan polemik tersendiri, ketika Wahyu Wibisana (l. 1939, wafat 2014) memperjuangkan puisi jenis baru yang cenderung lebih bebas dalam berkespresi 4 (Rosidi, 2013: 87). Puisi baru tersebut adalah sajak. Adapun polemik (satu pihak mempertahankan puisi guguritan, pihak lain menyuarakan materi baru 4
Wahyu Wibisana pada dekade 50-an merupakan sastrawan yang sangat gigih memperjuangkan karya sajak untuk diterima di masyarakat, meskipun harus bersitegang dengan kelompok yang mempertahankan puisi guguritan. Materi sajak itu sendiri baru muncul dalam khazanah sastra Sunda sekitar tahun 1946, ditandai dengan pemuatan karya sajak Ilangna Mustika karya Kis WS pada majalah....
302
berbentuk sajak) tersebut, dimuat dan didokumentasikan oleh majalah Warga yang terbit pada paruh awal dekade 50-an. Dalam perkembangannya, puisi guguritan dan puisi berbentuk sajak hidup dan berkembang secara beriring berdampingan. Selain ekspresi sastra dalam bentuk puisi guguritan dan sajak, dalam khazanah sastra Sunda pun hidup karya sastra dalam bentuk carpon (carita pondok, cerita pendek). Karya prosa dalam bentuk carpon ini dimulai di awal abad XX ketika pada tahun 1914 terbit buku kumpulan carpon pertama, yakni Dogdog Pangréwong karya GS. Terhadap ekspresi sastra berbentuk carpon ini, para pengarang Sunda cukup menggandrungi pula. Serta dalam perkembangannya tidak memunculkan polemik di kalangan sastrawan dan masyarakat seperti halnya yang terjadi pada polemik guguritan dan sajak. Bahkan sejak sebelum kemerdekaan, para sastrawan Sunda telah banyak mengekspresikan buah pikirannya dalam bentuk carpon yang saat itu lebih dikenal sebagai roman (Rosidi, 2013: 132). Dalam makalah inipun, penulis mengadakan penelitian ringan berdasarkan ketiga ekspresi sastra tadi, yakni sajak, guguritan, dan carita pondok (carpon).
PEMBAHASAN Ekspresi sastra yang masih hidup hingga sekarang adalah sajak, carpon, guguritan, novel (dalam bentuk carita nyambung; bs. Indonesia: cerita bersambung), dan naskah drama. Namun jika dilihat dari produktivitas penerbitannya, naskah berupa carpon, sajak, dan guguritan lebih tumbuh dengan subur. Keberlangsungan ekspresi sastra Sunda itu tidak lepas dari beberapa faktor, yakni media massa (terutama media cetak), pengarang, dan stimulan. Dalam upaya pemeliharaan kesastraan Sunda, ketiga faktor ini saling melengkapi dan bertalian erat satu sama lainnya. Jika salah satunya timpang, maka lajunya pemeliharaan dan perkembangan kesastraan Sunda akan mengalami ketimpangan pula.
Media Massa Dalam sepuluh tahun terakhir, media massa yang biasa memuat karya sastra adalah majalah (mingguan) Mangle, majalah (bulanan) Sunda midang, tabloid (mingguan) Galura, Majalah (bulanan) Cupumanik, koran (harian umum) Pikiran
303
Rakyat, dan koran (harian pagi) Tribun Jabar . Majalah Mangle adalah media massa berbahasa Sunda yang banyak memuat karya sastra berbentuk carpon (carita pondok, cerpen). Bisa dihitung dan dibayangkan, dalam satu minggu (satu edisi), majalah Mangle biasa menyajikan rata-rata enam carpon (termasuk carpon misteri dan carpon lucu). Maka dalam sebulan, majalah Mangle rata-rata bisa menyajikan 24 buah carpon. Jumlah itu, dalam setahun bisa menjadi 228 (dua ratus dua puluh delapan) carpon. Tabloid Galura, dalam satu edisi (mingguan) memuat satu carpon. Maka dalam sebulan, tabloid Galura bisa memuat empat carpon. Dalam setahun, tabloid Galura akan menyumbang 48 carpon. Sementara, majalah Cupumanik dan majalah Sunda Midang (majalah bulanan), dalam setiap terbitannya akan memuat empat carpon. Maka dalam sebulan, kedua majalah bulanan tersebut akan menyumbang delapan carpon. Serta dalam setahun akan menyumbang 96 (sembilan puluh enam) carpon. Sementara itu, koran Tribun Jabar, pada setiap minggunya juga menyajikan satu carpon. Artinya, dalam setahun, koran Tribun Jabar akan menyumbang 48 carpon. Sementara koran Pikiran Rakyat, dalam tiga bulan sekali menyajikan sartu carpon. Artinya dalam setahun, koran Pikiran Rakyat menyumbangkan paling tidak empat carpon. Jika dijumlahkan, dalam satu tahun media massa yang ada di Jawa Barat (Bandung) memuatkan 228 + 48 + 96 + 48 + 4 = 354 carpon. Jumlah pemuatan dalam setahun sebanyak itu cukup menentramkan bagi terciptanya riak sastra Sunda dalam penulisan carpon. Untuk lebih jelasnya, jumah penulisan carpon pada media massa jika dilihat dalam kurun waktu satu tahun bisa dilihat pada tabel di bawah ini:
Media
Banyaknya Pemuatan
Jumlah Setahun
Mingguan
Bulanan
6
24
228
Majalah Sunda Midang
4
48
Majalah Cupumanik
4
48
Majalah Mangle
304
Tabloid Galura
1
4
48
Koran Tribun Jabar
1
4
48
Koran Pikiran Rakyat Jumlah Total
4 354
Untuk ekspresi sastra dalam bentuk sajak tampaknya tidak sesubur karya carpon. Pada majalah Mangle, tidak setiap edisi bisa memuat sajak. Terkadang, pada edisi tertentu harus diselingi dengan pemuatan karya puisi guguritan. Meskipun sesungguhnya, pemuatan sajak lebih produktif dibandingkan dengan pemuatan puisi guguritan. Hal ini dikarenakan tidak setiap penulis sajak mampu menuliskan guguritan. Sementara penulis guguritan akan bisa menuliskan sajak sebaik sang pengarang tersebut menulis guguritan.
Pengarang Pengarang Sunda pada setiap periode selalu tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan itu cukup membuat tentram para pengamat sastra. Dalam empat dekade terakhir, para pengarang Sunda senantiasa memunculkan generasi baru. Pada dekade 70-an, nama-nama seperti Abdullah Mustappa, Us Tiarsa, Godi Suwarna, Min Resmana, Usep Romli, Taufik Faturohman, Tatang Sumarsono, Etti RS, Aam Amilia, Yosep Iskandar, Eddy D. Iskandar adalah sederetan nama-nama yang sering muncul di media massa menyajikan karyakaryanya. Mereka rata-rata mengekspresikan buah pikirannya melalui carpon dan sajak-sajaknya. Pada dekade 80-an, muncullah nama-nama sastrawan Sunda terbaik seperti Budi Rahayu Tamsyah, Acep Zamzam Noor, Cecep Burdansyah, Sukaesih Sastrini, Hadi AKS, Hidayat Soesanto, Iyas Heriyana, Ano Karsana, Asep Ijudin, Holisoh ME, Mumun Munayah, Cucu Siti Nurjanah, Tetti Hodijah, Yuniarso Ridwan. Pada dekade 90-an, muncullah nama-nama sastrawan seperti Darpan, Deden A. Azis, Risnawati, Sule Nurharismana, Dian Hendrayana, Imas Rohilah, Ida Daningsih, Dadan Sutisna, Chye Retty Isnendes, Rudi Riadi, Nazarudin Azhar, Deni A. Fajar, serta Dede Syafrudin. Seperti para pendahulunya, para pengarang
305
inipun memublikasikan karyanya berupa carpon dan sajak. Sepanjang 2000-2010 lahirlah nama-nama Ari Andriansah, Nila Karyani, Endah D. Jenura, Onnok Rahmawati, Toni Lesmana, Ai Koraliati, Sarabunis Mubarok, Tiktik Rusyani, Lugiena De, Deni Hadiansyah, Anita Rohani, Taufik Rahayu, Arif Abdillah, hingga Prayoga Adiwisastra. Keberadaan para sastrawan tersebut, terikat dan terpelihara dengan adanya komunitas yang khusus mewadahi kegiatan para sastrawan yakni PPSS (Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda). Kelompok ini menjadi lembaga yang bisa menaungi para pengarang melalui kegiatan-kegiatan diskusi, saembara, pergelaran sastra, serta pembinaan sastra. Di samping itu terdapat pula kelompok-kelompok sastra yang senantiasa menjaga riak kesastraannya melalui kegiatan diskusi dan produksi karya sastra seperti Kelompok Patrem (pengarang wanita), Kelompok (Studi Budaya Sunda) Rawayan (yang merupakan para sastrawan alumni Unpad), Sanggar Sastra Tasik, Panglawungan 13, Sanggar Sastra Majalengka, Sanggar Sastra Cianjur, Sanggar Sastra Purwakarta, Sanggar Sastra Subang. Pun demikian kelompok-kelompok yang ada di lingkungan kampus seperti di Kampus UPI dengan kelompok Pensatrada (Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah) melalui majalah Turus-nya serta di Unpad dengan kelompok Pamass (Paguyuban Mahasiswa Sastra Sunda) melalui majalah Tangara-nya. Regenerasi dalam dunia kepengarangan sastra Sunda biasanya terlahir dengan cara alami serta cara rekayasa. Cara alami biasanya dilakukan karena seorang pengarang banyak membaca dan mengapresiasi secara sendiri-sendiri, lalu mengagumi gaya kepengerangan seseorang (senior). Dan ketika pengarang yang bersangkutan mengekspresikan buah pikiran melalui karya sastranya, seorang pengarang tersebut banyak dipengaruhi gaya dari pengarang yang dikaguminya tadi. Godi Suwarna adalah pengarang yang banyak digandrungi dan dikagumi oleh para sastrawan generasi berikutnya. Sedangkan cara rekayasa lebih berdasarkan pada regenerasi yang diciptakan melalui media diskusi dan pembinaan oleh para pengarang yang ditunjuk untuk melakukan pembinaan. Biasanya, pembinaan-pembinaan itu berlaku pada lembagalembaga yang telah begitu mapan seperti PPSS (Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda), LBSS (Lembaga Basa jeung Sastra Sunda), lembaga pendidikan tinggi
306
terutama UPI dan Unpad, atau sanggar-sanggar sastra di setiap daerah.
Stimulan atau Hadiah Tidak bisa
dipungkiri, para pengarang akan termotivasi
gairah
kepengarangannya jika karyanya didokumentasikan dan dibaca banyak orang. Salah satun upaya itu adalah melalui penerbitan buku. Penerbitan karya sastra itu sendiri tentu saja melalui seleksi yang dikerjakan cukup ketat dan dipilih oleh pihak kurator. Beberapa buku-buku yang pernah diterbitkan dan dikelola oleh kelompok berkredibilitas tinggi di antaranya buku Salumar Sastra, Karya-karya Pinilih (dikelola oleh LBSS), Nyurup Lambak (kumpulan sajak Pamass Unpad), Lir Cahya Nyorot Eunteung, Kembang-kembang Mangkak (kumpulan fiksi dan non fiksi Pensatrada UPI), Guriang Tujuh, Berlian, Surat ti Sawarga, Salikur Carpon Patrem (Patrem), Campaka Mangkak, Heulang Nu Ngajak Béngbat, Néangan Bulan, Kembang Kadengda, Katumbiri (PPSS), Angin Tepiswiring (Panglawungan 13), Ti Pulpén tepi ka Pajaratan Cinta (Girimukti bekerja sama dengan Mekar Parahyangan). Selain stimuli yang berupa penerbitan buku, motivasi yang mampu meningkatkan gairah kepengerangan adalah karena adanya hadiah sastra; penghargaan atas jerih payah pengarang yang begitu total dalam upaya melahirkan karya-karya sastra terbaiknya. Hadiah Sastra Rancage. Penghargaan ini merupakan hadiah yang cukup bergengsi di kalangan sastrawan. Bagi sastrawan Sunda sendiri, muncul kesan bahwa siapapun sangat mendambakan dirinya mendapatkan kesempatan untuk dianugerahi penghargaan setinggi itu. Hal itu cukup beralasan, anugerah sastra Rancage diberikan untuk pengarang yang telah melahirkan buku fiksinya. Dan buku fiksinya itu dianggap sebagai buku fiksi terbaik pada kurun satu tahun tertentu. Sedangkan untuk mewujudkan karya-karyana menjadi sebuah buku merupakan upaya yang memerlukan perjuangan cukup panjang dan sangat ‘terjal’. Tidak aneh, jika hasil perjuangannya itu berimbas dengan pengharapan penghargaan yang setimpal seperti Hadiah Sastra Rancage. Hadiah sastra LBSS (Lembaga Basa jeung Sastra Sunda). Penghargaan ini
307
diberikan untuk karya sastra (fiksi dan non fiksi) yang pernah dimuat pada media massa pada kurun satu tahun tertentu. Penghargaan inipun merupakan penghargaan yang sangat didamba-dambakan oleh setiap pengarang. Siapapun yang meraih penghargaan LBSS adalah pengarang yang karyanya mampu menyisihkan ratusan buah karya lainnya yang ditulis oleh berpuluh-puluh pengarang. Sebagai contoh, untuk menjadi karya carpon terbaik dalam kurun satu tahun tertentu, maka harus berjuang dan bersaing dengan sekitar 350 carpon yang dimuat oleh media massa dalam satu tahun. Demikian pula untuk karya puisi, dan karya non fiksi (opini, bahasan, kolom). Maka, ketika sebuah carpon dinyatakan terbaik menurut LBSS, maka carpon itu telah menyisihkan ratusan carpon-carpon lainnya. Jelas ini merupakan penghargaan yang cukup membanggakan bagi pengarang yang kebetulan terpilih untuk meraih penghargaan itu. Hadiah bulanan carpon pinilih Mangle. Sejak awal tahun 90-an, majalah Mangle dalam setiap bulannya senantiasa memilih satu carpon terbaik dari sekitar 48 carpon yang dimuat dalam kurun satu bulan. Saat ini bentuk penghargaan itu diwujudkan dengan pemberian hadiah berupa uang sebesar Rp 1,5 juta (di awal tahun 90-an hadiah itu sebesar Rp 250 ribu, lalu naik menjadi Rp 500 ribu, naik lagi menjadi Rp 750 ribu, naik lagi Rp 1 juta, hingga akhirnya besarannya kini menjadi Rp 1,5 juta). Saembara-saembara. Agenda saembara ini memang tidak berlaku pada kurun waktu yang berkesinambungan (rutin). Meskipun demikian kegiatan saembara untuk menjaga riak kesastraan Sunda ini cukup semarak. Adapun lembaga yang kerap melaksanakan kegiatan saembara adalah PPSS yang bekerja sama dengan pihak Disparbud menyelenggarakan saembara penulisan sajak dan carpon; PPSS bekerjasama dengan Teater Sunda Kiwari menyelenggarakan saembara penulisan naskah drama. Paguyuban Pasundan yang menyelenggarakan saembara penulisan carpon di setiap agenda dies natalis-nya. UPI bekerja sama dengan koran Pikiran Rakyat menyelenggarakan saembara menulis carpon. Unpad bekerja sama dengan admin fbs menyelenggarakan saembara menulis fiksimini; Pamass Unpad menyelenggarakan saembara menulis naskah monolog. Lembaga Mekar Parahyangan bekerja sama dengan penerbit Girimukti menyelenggarakan saembara menulis carpon mini.
308
Diskusi Kegiatan diskusi adalah kegiatan yang cukup ampuh untuk menambah wawasan kesastraan serta memelihara riak kesastraan Sunda. Diskusi yang biasa dilakukan dalam pemertahanan kesastraan Sunda terutama dilakukan melalui diskusi konvensional dalam sebuah pertemuan dan perkumpulan, serta diskusi yang dilakukan di dalam dunia maya. Diskusi dalam bentuk konvensional biasanya membahas sebuah buku (bedah buku) yang baru terbit, mendiskusikan proses kreatif, atau mendiskusikan bagaimana sebuah bentuk karya sastra dikatakan berkualitas tinggi. Biasanya diskusi yang diselenggarakan secara konvensional dilakukan oleh lembagalembaga tertentu (PPSS, LBSS, UPI, Unpad, Redaksi Mangle, Redaksi Galura) serta sanggar-sanggar yang tersebar di daerah. Sedangkan diskusi yang dilakukan dalam dunia maya yakni lebih banyak dilakukan para fesbuker (dalam media facebook). Pada media facebook, beberapa akun grup yang bertalian dengan kesastraan di antaranya Fiksimini Basa Sunda (fbs), Guguritan, Sisindiran, serta Haiku (Sunda). Para anggota masing-masing akun grup bisa leluasa me-mosting buah pikirannya, dan para admin bisa dan berhak secara leluasa memberikan catatan, kritik yang sifatnya membangun. Sebagai contoh yang berlaku pada akun grup fbs (fiksimini basa Sunda). Fbs itu sendiri merupakan ekspresi sastra berbentuk prosa yang sangat singkat namun di dalamnya memiliki unsur tingkatan apresiasi (Karyono dkk, 2007:14) seperti surprise, empati, simpati, rasa kagum yang cukup kental. Padahal, volume sebuah fbs dibatasi hanya dengan sekitar 150 (seratus lima puluh) kata saja 5. Dalam praktiknya, diskusi atau dialektika yang berlaku di akun grup fbs di facebook, sang admin (administratur, terdiri atas empat orang yang merupakan sastrawan senior atau sastrawan yang dianggap memiliki kredibilitas tinggi dalam bersastra: Godi Suwarna, Nazarudin Azhar, Hadi AKS, dan Dadan Sutisna) berhak untuk memberikan ulasan atau kritikan terhadap para anggota yang memosting karyanya.
5
Lihat pengantar Fiksi Mini Sunda (kumpulan terpilih naskah saembara) terbitan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, 2016
309
Sementara para anggota lainnya bisa memberikan komentar serta tanggapannya berupa dukungan, kritikan, atau bahkan ulasan seperti yang dilakukan admin. Pola dialektika seperti ini jelas mampu memberikan konstribusi wawasan dan pengalaman berkarya yang cukup positif bagi para anggotanya yang notabene merupakan para penulis pemula. Dari sekian akun grup (sastra) yang ada di facebook, akun grup Fiksimini Basa Sunda (fbs) boleh jadi manjadi akun grup yang cukup berhasil dalam hal ‘mendewasakan’ pemikiran dan proses kreatif para anggotanya (sebagai pengarang pemula tadi). Indikator keberhasilan fbs mendewasakan para anggotanya adalah tidak sedikit para anggota grup fbs yang kemudian menjadi pengarang carpon yang cukup kuat pada perkembangan selanjutnya. Untuk menyebutkan beberapa nama sastrawan yang merupakan produk ‘pendewasaan’ di dalam grup fbs di antaranya Erwin Wahyudi, Inda Nugraha, Jejen Jaelani, serta Dewi Ratna Damayanti. Pola diskusi atau berdialektika perihal kesastraan Sunda diperlihatkan secara kongkret oleh koran Tribun Jabar. Pada koran ini setiap minggunya dimuat satu carpon. Dan pada setiap edisi hari Sabtu, pada koran tersebut dibuka rubrik taraju yang mengakomodasi ulasan atau kritikan khusus pada carpon-carpon yang sebelumnya pernah dimuat pada koran Tribun Jabar tersebut. Dari kegiatan ini, maka banyak bermunculan para pengamat sastra yang berkonsentrasi penuh memberikan kritikan terhadap carpon yang dimuat di Tribun Jabar. Upaya-upaya seperti ini sejatinya membantu menjaga riak kehidupan kesastraan Sunda juga.
SIMPULAN Pemeliharaan riak kesastraan Sunda adalah sebuah upaya sinergisitas antara pengarang, lembaga-lembaga tertentu, serta media-media yang mampu mewadahi ekspresi sastra serta kegiatan sastra. Sinergisitas tersebut dilakukan dengan secara tertib dan sama-sama memiliki misi untuk mengembangkan dan memajukan kesastraan Sunda agar tetap terpelihara. Untuk upaya regenerasi di kalangan pengarang sastra Sunda, perlu ditradisikan kegiatan diskusi demi menambah wawasan serta memperbanyak pembinaan dari generasi yang terlahir lebih dulu kepada generasi yang terlahir kemudian. Ada baiknya pembinaan seperti ini difasilitasi oleh pihak pemerintah
310
yang memiliki kewajiban mempertahankan keberadaan bahasa, sastra, serta budayanya secara umum, ataupun oleh pihak swasta yang memiliki kepedulian tinggi terhadap dunia sastra. Kegiatan saembara cukup mampu mebangun semangat bagi para pengarang untuk tetap menulis karya sastra sekaligus meningkatkan kualitas kepenulisannya agar berimbas penghargaan yang diperoleh melalui saembara. Setimuli berupa hadiah-hadiah yang sudah diselenggarakan secara rutin pun cukup ampuh meningkatkan gairah kepenulisan di antara para pengarang. Peran media massa yang berkepentingan untuk memuat karya dari para sastrawan Sunda harus tetap terjaga pula agar buah pikir dari para sastrawan melalui karya kreatifnya bisa tetap terkespresikan dengan leluasa. ***
DAFTAR PUSTAKA Karyono, Tri, dkk. 2007. Apresiasi Bahasa dan Seni. Bandung: Basen Press Lesmana, Toni, dkk. 2016. Fiksi Mini Sunda. Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat Rosidi, Ajip. 2013. Mengenal Kesusastraan Sunda (edisi revisi). Bandung: Pustaka Jaya Sukanda, Enip, Dkk. 2016. Riwayat Pembentukan dan Perkembangan Cianjuran. Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat Wibisana, Wahyu, dkk (ed). 1992. Lima Abad Sastra Sunda. Bandung: CV Geger Sunten
311
PERAN IBU DALAM WACAN BOCAH MAJALAH PANJEBAR SEMANGAT EDISI AWAL TAHUN 2017 Latif Nur Hasan Universitas Negeri Surabaya [email protected] ABSTRAK Wacan bocah atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai cerita anak, merupakan salah satu jenis karya fiksi yang dimuat dalam majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat pada setiap edisinya. Wacan bocah dicipta oleh pengarang untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan bagi anak. Penanaman nilai kebaikan tersebut dikemas dalam cerita-cerita yang disampaikan melalui tokohtokoh. Tokoh Ibu muncul di hampir setiap wacan bocah yang dimuat. Penggambaran tokoh ibu dilakukan dengan memberikan peran yang penting terhadap tokoh anak-anak dalam setiap cerita wacan bocah. Artikel ini membahas peran Ibu yang digambarkan pengarang dalam beberapa wacan bocah yang dimuat majalah Panjebar Semangat edisi awal tahun 2017. Peran Ibu dalam wacan bocah majalah Panjebar Semangat ini dikaji menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Peran Ibu dalam wacan bocah majalah Panjebar Semangat edisi awal tahun 2017 tersebut antara lain; mendidik anak, mencukupi kebutuhan anak, memberi perhatian kepada anak, serta memberi tauladan perilaku baik terhadap anak. Sosok Ibu seringkali digunakan oleh pengarang sebagai penyampai pesan/amanat kepada pembaca terutama anak-anak karena Ibu merupakan orang yang terdekat dengan anak. Alasan kedekatan anak dengan Ibu tersebut diharapkan akan mempermudah penanaman nilai kebaikan melalui wacan bocah. Kata kunci: peran ibu, wacan bocah, majalah Panjebar Semangat
PENDAHULUAN Wacan bocah atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai cerita anak, merupakan salah satu jenis karya fiksi yang dimuat dalam majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat pada setiap edisinya. Wacan bocah menjadi rubrik andalan yang termasuk dalam rubrik Narayana. Majalah Panjebar Semangat adalah salah satu majalah berbahasa Jawa yang smpai saat ini masih eksis di Jawa Timur dan sekitarnya. Wacan bocah diciptakan oleh pengarang baik dewasa dan anak-anak untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan bagi anak. Nilai-nilai tersebut dapat berupa nilai sosial, agama dan lain sebagainya. Penanaman nilai kebaikan tersebut dikemas dalam cerita-cerita menarik yang disampaikan melalui tokoh-
312
tokoh. Tokoh Ibu muncul di hampir setiap wacan bocah yang dimuat dalam majalah Panjebar Semangat. Penggambaran tokoh ibu dilakukan dengan memberikan peran yang penting terhadap tokoh anak-anak dalam setiap cerita wacan bocah. Penanaman nilai-nilai dalam kehidupan anak dilakukan melalui tokoh Ibu yang dianggap tokoh paling dekat dengan anak-anak. Diharapkan dengan pemilihan tokoh ibu tersebut akan mempermudah pengarang dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak-anak. Berdasarkan beberapa permasalahan tersebut, yang menjadi fokus permasalahan dalam artikel ini adalah bagaimana peran Ibu dalam wacan bocah yang diterbitkan pada edisi awal tahun 2017. Peran Ibu ini akan dijabarkan secara deskriptif kualitatif untuk menjawab fokus permasalahan. Sumber data dalam artikel ini yaitu dari wacan bocah dengan judul Omahe Dita ing Pinggir Ril, Sawise Ibu Kena PHK, Klambi Anyar Aliyah. Data berupa kalimat yang menggambarkan peran Ibu dalam karya sastra. Peran ibu dalam rumah tangga utamanya mendidik anak menurut Gunarso (2000) dibedakan menjadi empat, yaitu: a. Sebagai orang tua Sebagai orang tua mereka membesarkan, merawat, memelihara dan memberikan
kesempatan
berkembang.
Membesarkan,
merawat,
memelihara dan memberikan kesempatan berkembang merupakan tugas utama orang tua terhadap anaknya. Ketika tugas tersebut terbengkalai maka anak kan tumbuh menjadi kurang baik. b. Sebagai guru Seorang Ibu memiliki peran untuk mengajarkan ketangkasan motorik seperti merangkak, berjalan dan lain sebagainya melalui latihan-latihan. Orang tua mengajarkan peraturan-peraturan, tata cara keluarga, tata lingkungan, masyarakat, menanamkan pedoman hidup bermasyarakat. c. Sebagai tokoh teladan, orang tua menjadi tokoh yang ditiru pola tingkah lakunya, cara berekspresi, cara berbicara dan sebagainya.
313
d. Sebagai pengawas, orang tua memperhatikan, mengamati tingkah laku anak, mereka mengawasi anak agar tidak melanggar peraturan di rumah dan di luar lingkungan keluarga (tidak – jangan – stop). Mengasuh anak sama halnya dengan mendidik, membimbing dan memeliharanya, mengurus makanan, minuman, pakaian kebersihannya atau segala perkara yang seharusnya diperlukannya, sampai batas si anak bisa melakukannya segalanya sendiri. Adapun yang berhak mengasuh anak adalah tentu saja ibu kandungnya sendiri (Hasyim, tt). Dan begitu juga harus dibarengi dengan ayahnya untuk melengkapi saling kerjasama antara ibu dan ayah dalam mendidik anak-anaknya. Peranan ibu rumah tangga sebagai pendidik merupakan kemampuan penting dalam satuan pendidikan keluarga (family life education). Mendidik anak adalah perbuatan yang dilakukan orang tua terhadap anakanaknya dengan memberikan segala kasih sayang, tenaga tanpa pamrih (Husaini, 2011). Orang tua yang mengajarkan atau mengenalkan anak-anaknya mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk menurut norma yang berlaku dalam masyrakat, agama, sosial dan budaya dalam kehidupan.
PEMBAHASAN Peran Ibu dalam keluarga sangatlah penting. Terutama peran yang berhubungan dengan anak. Peran Ibu dalam wacan bocah Majalah Panjebar Semangat edisi awal tahun 2017 dapat dijabarkan menjadi empat hal yaitu; mendidik anak, mencukupi kebutuhan, memberi perhatian, dan memberi tauladan baik. Adapun jabaranya sebagai berikut: 1. Mendidik anak Dalam dunia pendidikan dikenal ungkapan yang mengatakan bahwa pendidikan keluarga adalah pendidikan pertama dan utama. Dikatakan pendidikan pertama karena anak pertarna kali menerima pendidikan adalah dalam keluarga dan dikatakan utama karena pendidikan dalam keluarga paling berkesan pada kehidupan seseorang (Pidarta, 1997). Mendidik anak adalah tugas utama orang tua utamanya Ibu. Dalam beberapa wacan bocah majalah Panjebar Semangat terdapat beberapa contoh peran ibu dalam mendidik anak. Peran Ibu dalam mendidik anak
314
tersebut dapat dicermati seperti kutipan di bawah ini: Kahanan ekonomi tansaya abot, Tita. Perusahaan wis ora bisa ngukup maneh. Ibu sakanca dilereni kanthi diparingi pesangon. Aja kuwatir! Gusti Allah mesthi paring dalan rejeki liyane. Ibu yakin dalan sing diparingake Gusti Allah mesthi luwih apik tinimbang karo kahanan saiki. Gusti Allah tansah nresnani kawulaNe ndhuk. (Sawise Ibu Kena PHK PS edisi 9, 4 Maret 2017) Keadaan ekonomi semakin berat, Tita. Perusahaan sudah tidak bisa mencukupi lagi. Ibu dan teman lainya diberhentikan dengan diberi pesangon. Jangan Kawatir! Allah pasti memberi jalan rejeki lainya. Ibu yakin jalan yang diberikan Allah pasti lebih baik dibanding keadaan sekarang. Allah selalu menyayangi umatnya nak. Kutipan di atas diambil dari wacan bocah dengan Judul Sawise Ibu Kena PHK yang artinya Setelah Ibu kena PHK. Ibu dari seorang anak yang bernama Tita mengalami musibah yaitu terkena PHK dari perusahaanya. Tita sebagai anak menjadi khawatir, sehingga sang Ibu memberikan nasihat bahwa Tuhan akan memberikan rejeki di tempat lain. Umat Tuhan harus tetap bersabar dan berusaha untuk mencari jalan rejeki lainya. Penanaman pendidikan utamanya nilai kesabaran tersebut dilakukan oleh Ibu dengan bijak walaupun pada saat itu Ibu juga mengalami kesedihan dan kekhawatiran, tetapi Ibu tetap mengajarkan kepada anaknya untuk tetap sabar dan tabah. Peran ibu dalam mendidik anak juga terdapat pada wacan bocah lain dengan Judul Omahe Dita ing Pinggir Ril (Rumahnya Dita di Pinggir Rel). wacan bocah ini enceritakan seorang anak yang sering diejek oleh teman-temanya karena rumahnya berada di pinggir ril dan anak dari seorang penjual empek-empek. Wujud peran Ibu terhadap anak dapat dilihat dari kutipan berikut: Dita, Ibu Guru milih kowe amarga Dita bisa dipercaya, jujur, lan rajin. Aja sedhih. Kerjakna tugas-tugasmu kanthi becik, mesthi kancamu mengko ora arep ngece maneh. (Omahe Dita ing Pinggir Ril PS edisi 8, 1 Februari 2017) Dita, Ibu Guru memilihmu karena Dita bisa dipercaya, jujur dan rajin. Jangan bersedih. Laksanakan tugas-tugasmu dengan baik, pasti temanmu nanti tidak akan mengejek lagi. Dalam cerita tersebut Ibu mengajarkan kepada anaknya yaitu Dita mengenai sebuah keyakinan dan tanggung jawab. Dita dalam wacan bocah tersebut dipilih oleh Gurunya untuk menjadi seorang bendahara. Teman-teman yang lainya tidak senang dengan terpilihnya Dita sebagai bendahara, karena Dita anak orang tidak punya. Dikhawatirkan uang kelas akan dipakai untuk kebutuhan Dita. Temanteman lainya mengejek Dita seteleh dita terpilih menjadi bendahara kelas. Sesampai
315
di rumah, Dita bercerita kepada Ibunya dan ibunyapun memberi nasihat kepada Dita. Ibu meyakinkan Dita bahwa dia dipilih karena dia bisa dan jujur. Selain itu, Dita harus berupaya melaksanakan tugas yang diberikan oleh guru dengan baik dan penuh tanggung jawab. 2. Mencukupi kebutuhan Peran Ibu yang kedua dalam wacan bocah majalah Panjebar Semangat yaitu peran untuk memenuhi kebutuhan anak. Selain mendidik anak, peran ini juga merupakan peran primer yang harus dilakukan oleh seorang Ibu. Seperti pada wacan bocah berikut: Wiwit dina kuwi Ibune sregep ngasta maneka warna kerajinan saka kain perca dadi boneka, tas, bros, souvenir manten, hiasan dinding lan liya-liyane. Alhamdulillah saka nggawe kerajinan kuwi Ibune bisa nyukupi kabutuwan saben dinane lan sekolahe Tita. (Sawise Ibu Kena PHK PS edisi 9, 4 Maret 2017) Semenjak hari itu Ibunya rajin membuat berbagai macam kerajinan dari kain perca menjadi boneka, tas, bros, souvenir pernikahan, hiasan dinding dan lain-lain. Alhamdulillah dari membuat kerajinan itu Ibunya bisa mencukupi kebutuhan setiap hari dan sekolah Tita. Kutipan tersebut menceritakan bahwa setelah Ibu Tita terkena PHK, beliau tetap berupaya mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan anaknya. Ibu Tita membuat berbagai macam kerajinan dari kain perca menjadi boneka, tas, bros, souvenir pernikahan, hiasan dinding dan lain-lain. Upaya itu dilaksanakan oleh Ibu tita guna memenuhi peran beliau sebagai pencukup kebutuhan anak. Peran untuk mencukupi kebutuhan anak yang dilakukan oleh Ibu juga terdapat pada wacan bocah dengan judul Omahe Dita ing Pinggir Ril. Peran tersebut terlihat dalam kutipan beirkut: “Inggih bu, Ibune Dita kurang ngatos-atos nyuntak cukak empekempek, dados tanganipun kesiram cukak panas, nanging sampun diobati kok Bu” Wangsulane Bapake Dita. (Omahe Dita ing Pinggir Ril PS edisi 8, 1 Februari 2017) “Iya bu, Ibunya Dita kurang berhati-hati saat menuang cuka empekempek, jadi tanganya tersiram cuka panas, tapi sudah diobati kok Bu” Jawab Bapaknya Dita Diceritakan dalam kutipan tersebut, selain peran Ibu membereskan urusan rumah juga membantu Ayah untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan anak. Dalam hal ini tidak hanya Ayah saja yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan anak, melainkan ada bantuan dari seorang Ibu. Ibu Dita membantu membuat
316
empek-empek sebelum dijual keliling oleh Ayah Dita. Tidak hanya itu, peran Ibu dalam memenuhi kebutuhan juga terdapat dalam wacan bocah dengan Judul Klambi Anyar Aliyah peran tersebut terlihat dalam kutipan berikut: Penghasilane ora mesthi, lan ing wulan Romadhon kaya ngene iki Ibune akeh nganggure. Dene Bapake wis tilar ndonya setaun kepungkur amarga lara. (Klambi Anyar Aliyah PS Edisi 9) Penghasilanya tidak pasti, dan di Bulan Ramadan ini Ibunya banyak menganggur. Adapun Bapaknya sudah meninggal dunia setahun yang lalu karena sakit. Dalam kutipan tersebut diceritakan bahwa Ibu dari Aliyah merupakan orang tua tunggal yang mana Ayahnya telah meninggal setahun silam. Ibu Aliyah mencjadi satu-satunya yang memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Terlihat sangat jelas dalam kutipan-kutipan tersebut bahwa peran ibu tidak hanya memasak dan mengurus urusan rumah tangga, melainkan juga mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan. 3. Memberi perhatian terhadap anak Selain peran mendidik anak dan memenuhi kebutuhan anak, ada peran lain seorang Ibu yang ditemukan dalam wacan bocah Majalah Panjebar Semangat edisi awal tahun 2017. Peran tersebut adalah sebagai pemberi perhatian terhadap anak. Peran ini terlihat jelas pada kutipan cerita sebagai berikut: “Coba Crita marang Ibu, apa ana masalah mau ing sekolahan?” Ujare Ibune. Akhire Dita crita marang Ibune karo nangis. Ibune ngrungokake critane Dita kanthi tenang, kanthi lembut Ibu ngandhani Dita. (Omahe Dita ing Pinggir Ril PS edisi 8, 1 Februari 2017) “Coba ceritakan kepada Ibu, apa ada masalah tadi di sekolah?” kata Ibu. Akhirnya Dita bercerita kepada Ibunya sambil menangis. Ibunya mendengarkan ceritanya Dita dengan tenang, dengan lembut Ibu menasehati Dita. Kutipan tersebut menggambarkan bahwa ada perhatian yang sangat yang ditunjukkan oleh seorang Ibu terhadap anak. Dalam cerita tersebut Dita yang sedang bersedih karena diejek oleh teman-temanya diberi nasihat dan diyakinkan oleh Ibunya. Nasihat tersebut merupakan salah satu wujud perhatian Ibu terhadap anaknya. wujud perhatian lainya yaitu, adalah bersedia menjadi tempat cerita Dita ketika bersedih. Wusanane Ibu blaka yen anggone bisa nukokake klambi anyar Aliyah kuwi amarga ngijolake klambi anyar sing mentas dituku Jannnah saka celengane dhewe kae, diijolake klambi sing luwih cilik. (Klambi Anyar Aliyah PS
317
Edisi 9) Akhirnya Ibu jujur bahwa dia bisa membelikan baju baru untuk Aliyah karena menukarkan baju baru yang baru saja dibeli Jannah dari tabunganya sendiri itu, ditukarkan baju baru yang lebih kecil. Wujud perhatian Ibu terhadap anaknya juga terlihat dalam wacan bocah dengan judul klambi Anyar Aliyah. Dalam wacan bocah ini diceritakan bahwa ibunya mengupayakan untuk memberikan yang terbaik untuk anaknya. Upaya itu dilakukan dengan cara mewujudkan keinginan Aliyah untuk memiliki baju baru pada saat lebaran. Walaupun ibunya tidak memiliki uang, Ibu berusaha mewujudkanya dengan menukarkan pakaian anak sulungnya menjadi pakaian yang lebih kecil sehingga bisa dipakai Aliyah untuk berlebaran. Upaya Ibu tersebut dapat dikategorikan ke dalam peran ibu dalam memperhatikan anak-anaknya. perhatian ibu terhadap anaknya juga terlihat dalam kutipan wacan bocah berikut: Sampun ditolak Bu, niki wau Ibune masak kangge kanca-kancane Dita. (Omahe Dita ing Pinggir Ril PS edisi 8, 1 Februari 2017) Jangan ditolak Bu, ini tadi Ibunya masak untuk teman-temanya Dita. Diceritakan dalam kutipan tersebut bahwa Ibu Dita membuat empek-empek dalam jumlah banyak untuk merayakan ulang tahun Dita. Empek-empek tersebut dibagikan kepada teman-teman Dita. Membuat makanan untuk acara ulang tahun anak merupakan wujud dari peran Ibu sebagai pemberi perhatian kepada anak. 4. Memberi tauladan baik Memberi tauladan kepada anak adalah tugas utama orang tua. Anak merupakan peniru yang ulung sehingga ketika contoh yang diberikan oleh orang tua tidak sesuai dengan perkembangan mereka, maka anak akan tumbuh menjadi tidak baik. Peran Ibu sebagai pemberi tauladan terdapat pada wacan bocah berikut: Aja kuwatir! Gusti Allah mesthi paring dalan rejeki liyane. Ibu yakin dalan sing diparingake Gusti Allah mesthi luwih apik tinimbang karo kahanan saiki. Gusti Allah tansah nresnani kawulaNe ndhuk. (Sawise Ibu Kena PHK PS edisi 9, 4 Maret 2017) Jangan Kawatir! Allah pasti memberi jalan rejeki lainya. Ibu yakin jalan yang diberikan Allah pasti lebih baik dibanding keadaan sekarang. Allah selalu menyayangi umatnya nak. Tidak hanya menasihati, dalam kutipan tersebut digambarkan bahwa Ibu Tita juga memberikan contoh kepada Tita untuk menjadi orang yang sabar dan tawakal. Walaupun Ibu sedang mengalami musibah, Ibu tetap sabar dan terus berusaha. Dengan memberikan contoh yang nyata, anak akan mudah untuk menirukan. Pemberian tauladan baik oleh Ibu juga terlihat dalam kutipan berikut:
318
“Wah sae banget, Bu nyuwun kangge pajangan meja sinau kula nggih Bu” Karo mlaku mlebu kamar, ujug-ujug Tita nemu gagasan. Dheweke kepengin nawakake kembang saka flannel kasebut marang kanca-kancane ing sekolahan. Sapa ngerti kancane kepencut banjur padha pesen. (Sawise Ibu Kena PHK PS edisi 9, 4 Maret 2017) “Wah bagus sekali, bu minta untuk saya jadikan hiasan di meja belajar saya ya Bu” sambil berjalan masuk kamar, tiba-tiba Tita menemukan ide. Dia ingin menawarkan buna dari flannel tersebut kepada teman-temanya di Sekolah. Siapa tau temanya tertarik lalu memesan. Pemberian tauladan yang dilakukan Ibu Tita salah satunya yaitu usaha yang dilakukanya untuk memenuhi kebutuhan Tita walaupun sudah di PHK. Ibunya memanfaatkan yang ada untuk dijadikan kreasi hiasan dan kerajinan tangan. Dengan pemberian contoh tersebut, dapat segera ditiru oleh anak. Terlihat dalam kutipan tersebut bahwa Tita ingin membantu Ibunya untuk memasarkan hasil kerajinan tangan Ibunya kepada teman-teman sekelasnya. Contoh kegigihan Ibunya ditiru oleh Tita.
PENUTUP Berdasarkan hasil pembahasan dalam artikel ini, dapat disimpulkan bahwa peran Ibu dalam wacan bocah majalah Panjebar Semangat edisi awal tahun 2017 tersebut antara lain; mendidik anak, mencukupi kebutuhan anak, memberi perhatian kepada anak, serta memberi tauladan perilaku baik terhadap anak. Sosok Ibu seringkali digunakan oleh pengarang sebagai penyampai pesan/amanat kepada pembaca terutama anak-anak karena Ibu merupakan orang yang terdekat dengan anak. Alasan kedekatan anak dengan Ibu tersebut diharapkan akan mempermudah penanaman nilai kebaikan melalui wacan bocah. DAFTAR RUJUKAN Gunarso,Yulia Singgih D.2000. Azas Psikologi Keluarga Idaman. Jakarta: BPR Gunung Mulia Hasyim, Umar.tanpa angka tahun. Mendidik Anak Dalam Islam. Surabaya: Bina Ilmu Husaini, Aimanal. 2011. Buku Pintar Wanita Muslimah. Solo: Abyan Pidarta, Made. 1997. Peranan Ibu dalam Pendidikan Anak. Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 4 Nomor 4
319
GENOSIDA TERHADAP ORANG-ORANG NUSANTARA DALAM ESAI JALAN RAYA POS, JALAN DAENDELS KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER Mujihadi SMP Negeri 2 Jatirogo Kabupaten Tuban [email protected] ABSTRAK Pramoedya Ananta Toer (Pram) banyak menghasilkan karya tulis. Karya tulis itu ada yang berupa novel, drama, esai, dan karya tulis lainnya. Di antara karya esai Pram yang terkenal adalah Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (JRPJD). Dalam esai tersebut Pram bercerita tentang terjadinya genosida/pembunuhan masal, baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah terjadi di Indonesia. Dalam penelitian ini peneliti akan mengaji esai tersebut menggunakan kritik sastra Kajian Budaya dengan pendekatan historis. Kritik sastra Kajian Budaya dengan pendekatan historis ini merupakan model analisis kualitatif deskriptif. Fokus permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: pertama, bagaimana bentuk representasi genosida terhadap orang-orang Indonesia dalam esai JRPJD karya Pram?; kedua bagaimana klarifikasi sejarah terhadap representasi Pram tentang peristiwa genosida terhadap orang-orang Indonesia dalam esai JRPJD? Dari hasil analisis terhadap esai JRPJD tersebut diperoleh hasil berupa informasi bahwa genosida terhadap orang-orang Indonesia pernah dilakukan oleh orang Belanda, orang Jepang, dan oleh orang Indonesia sendiri. Sedangkan jika diklarifikasi dengan sejarah nasional Indonesia, secara umum apa yang direpresentasikan oleh Pram tentang kisah genosida terhadap orang-orang Indonesia dalam esai JRPJD adalah merupakan peristiwa yang benar-benar pernah terjadi di Indonesia. Kata Kunci: genosida, orang-orang Indonesia, esai JRPJD, Pramoedya Ananta Toer
PENDAHULUAN Sebagai sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer (Pram) telah banyak menghasilkan karya tulis. Dari tangannya yang dingin Pram telah berhasil melahirkan lebih dari lima puluh karya baik fiksi maupun nonfiksi. Dan hebatnya, karya-karya Pram tersebut telah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa asing (Toer, 2012:1). Hasil karya tulis Pram itu pun tertuang dalam berbagai bentuk. Ada yang tertuang dalam bentuk novel, naskah drama, maupun esai. Dalam bentuk novel, Pram tercatat – salah satu di antaranya – telah menghasilkan novel tetralogi Buru
320
yang masyhur; dalam bentuk naskah drama, Pram tercatat menghasilkan Mangir; dan dalam bentuk esai, Pram tercatat telah menghasilkan esai: Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Esai adalah karangan berbentuk prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya (Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995:270). Karena ditulis secara sepintas lalu berdasar pada sudut pandang pribadi penulis, maka di dalam menulis esai sangat mungkin pengarang memasukkan unsur subjektivitas diri pengarang sebagai proses kreatif dalam berkarya. Dengan pemahaman seperti ini, maka esai dapat dipandang setara dengan karya sastra. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa karya sastra dihasilkan dari proses perenungan dan imajinasi dari dalam diri pengarang. Ketika berkarya seorang sastrawan akan menuangkan imajinasinya. Namun yang perlu diingat adalah kenyataan bahwa ketika menuangkan imajinasinya, seorang pengarang pasti selalu melihat kenyataan-kenyataan sosial di dalam masyarakat. Dengan melihat kenyataan-kenyataan sosial dalam masyarakat, maka karya sastra yang dihasilkan pengarang tidak akan tercerabut dari masyarakat dan masyarakat akan mampu memahami karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang itu. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Ratna yang menyatakan bahwa hakikat karya sastra adalah imajinasi tetapi imajinasi yang memiliki konteks sosial dan sejarah (2013:66). Esai Pram yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (JRPJD) adalah esai yang bercerita tentang peristiwa sejarah genosida manusia-manusia pribumi Nusantara di balik pembangunan jalan raya pos atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Jalan Daendels. Di samping kisah sejarah tentang terjadinya genosida dalam pembangunan jalan tersebut, Pram juga berkisah tentang adanya peristiwa genosida lainnya yang pernah terjadi di Indonesia. Peristiwa genosida yang lain itu di antaranya adalah: genosida ketika Belanda melaksanakan kegiatan Tanam Paksa/Cultuur Stelsel, genosida yang dilakukan balatentara fasis zaman pendudukan Jepang, genosida yang dilakukan oleh Kapten Westerling, dan terakhir adalah genosida yang dilakukan oleh penguasa Pribumi terhadap bangsanya sendiri (Toer, 2012:5 - 6). Sebagai esai yang sarat berkisah tentang peristiwa kelam yang dialami
321
bangsa Indonesia dan tentu saja peristiwa tersebut sangat bisa jadi pernah benarbenar terjadi, maka esai JRPJD ini tentu cocok jika dikaji menggunakan kritik sastra Kajian Budaya dengan menggunakan pendekatan historis. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Ratna (2010:363), yang menyatakan bahwa suatu penelitian dapat menggunakan pendekatan historis apabila penelitian yang dimaksudkan beranggapan bahwa unsur-unsur kesejarahan, baik instrinsik maupun ekstrinsik memegang peranan penting yang pada gilirannya akan menjiwai keseluruhan analisis. Kritik sastra Kajian Budaya memang cocok digunakan untuk menganalisis berbagai teks. Baik teks itu berupa teks sastra maupun teks nonsastra/wacana lainnya. Hal ini disebabkan karena dalam pandangan kritik sastra Kajian Budaya sudah tidak ada lagi sekat antara karya sastra dan wacana lain, antara fiksi dan nyata, antara sastra serius dan populer, dan seterusnya. Kritik sastra Kajian Budaya menempatkan: karya sastra yang dianggap populer dan serius; karya sastra yang dianggap tinggi dan rendah; sebagai suatu objek kajian, semuanya diperlakukan sama berharganya. Hal ini sesuai pendapat Faruk yang menyatakan bahwa Kajian budaya berangkat dari penolakan terhadap pemisahan antara sastra tinggi dan sastra rendah, sastra serius dan sastra populer. Karena pemisahan hierarkis itu dianggap konvensi belaka, kritik sastra dengan perspektif kajian-kajian budaya akhirnya menempatkan karya-karya sastra yang dianggap rendah dan populer sebagai objek kajian yang sama berharganya dengan karya-karya sastra yang dianggap tinggi dan serius. Lebih jauh, kritik sastra tersebut bahkan tidak lagi membedakan antara karya sastra dengan wacana-wacana lain, antara fiksi dan nyata, dan seterusnya. Penghapusan pemisahan demikian, pada gilirannya, membawa kritik sastra tersebut ke arah perluasan objek kajian, dari sastra ke berbagai bentuk wacana yang lain (2012:73). Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa objek Kajian Budaya itu sangat luas, yaitu menyangkut berbagai wacana. Hal ini diperkuat dengan penyataan Ratna yang menyatakan bahwa yang menjadi objek Kajian Budaya adalah segala sesuatu yang diperbuat manusia. Teori Kajian Budaya adalah berbagai teori kritis, yaitu teori-teori yang dikelompokkan sebagai postrukturalisme (2010:27). Sejalan dengan Ratna, Faruk juga menambahkan dengan menyatakan bahwa kajian-kajian budaya merupakan kritik sastra dengan rentangan objek dan
322
pendekatan yang amat cair dan dinamis, yang dapat menyerap pendekatan apa pun yang dapat ia gunakan dalam membahas suatu persoalan (2012:74). Selanjutnya berkaitan dengan analisis historis, Ratna menyatakan bahwa ada tiga kemungkinan terjadinya analisis historis dalam suatu penelitian. Ketiga kemungkinan analisis historis itu adalah sebagai berikut. Pertama, pada dasarnya semua penelitian memiliki unsur sejarah, tetapi seberapa peranannya sehingga pantas untuk dikemukakan sebagai memiliki ciri-ciri pendekatan sejarah diperlukan ketajaman untuk memahami hakikat objek. Cara yang paling mudah untuk menganalisisnya adalah dengan cara mengaitkannya dengan sejarah umum, baik dalam ruang lingkup dunia, maupun nasional dan lokal, periode, angkatan, dan zaman. Cara seperti ini disebut analisis historis secara implisit. Kedua, yaitu dengan cara menampilkannya secara eksplisit. Seperti di atas, pada dasarnya semua penelitian memiliki unsur sejarah. Dalam analisis secara eksplisit ini pada umumnya tercantum pada bab gambaran umum, di dalamnya akan disinggung berbagai hal yang berkaitan dengan latar belakang penelitian, termasuk aspek kesejarahannya. Dalam cara kedua ini Ratna memberi contoh, pada saat meneliti mengenai perkembangan pariwisata di Kuta, Sanur, dan berbagai kawasan wisata di Indonesia, misalnya, sering menyinggung kapan wilayah tersebut mulai dikunjungi oleh para wisatawan, hotel dan penginapan pertama yang didirikan, dan mengapa kawasan tersebut menarik minat mereka. Ketiga, sebagai multidisiplin Kajian Budaya dapat menggunakan analisis sejarah, menggabungkannya secara eklektik dengan disiplin lain, dengan catatan bahwa secara hierarkis setiap disiplin yang terlibat dapat ditentukan kedudukannya. Penelitian historis demikian juga model yang lain tentu dengan pertimbangan bahwa melaluinya penelitian akan memiliki nilai tambah terhadap hasil-hasil yang diharapkan. Cara ketiga ini memberi kemungkinan terhadap relevansi bidang keahlian peneliti yang secara kebetulan merupakan seorang sejarawan, sosiolog, psikolog, dan sebagainya. Selanjutnya juga dikatakan oleh Ratna bahwa sesungguhnya secara definitif analisis historis akan menampilkan nuansa masa lampau, suatu citra yang dapat mengantarkan pembaca ke dalam periode tertentu, sehingga hasil analisis mudah dipahami. Oleh karena itulah – masih menurut Ratna – yang lebih penting adalah analisis dengan menggunakan model pertama. Dasar pertimbangannya adalah
323
bahwa unsur-unsur sejarah dalam analisis historis bersifat implisit, fungsinya membantu menjelaskan analisis Kajian Budaya (2010:363 – 367). Penelitian Kajian Budaya dengan menggunakan pendekatan historis terhadap esai JRPJD karya Pram ini akan memfokus pada dua pembahasan, yaitu: pertama, bagaimana bentuk representasi peristiwa genosida terhadap orang-orang Indonesia dalam esai JRPJD karya Pram; kedua, bagaimana klarifikasi sejarah terhadap peristiwa genosida yang digambarkan Pram dalam esai JRPJD dengan kenyataan sejarah yang pernah terjadi di Indonesia? Adapun tujuan dari analisis ini adalah: mendeskripsikan tentang bentuk praktik genosida terhadap orang-orang Indonesia dalam esai JRPJD karya Pram dan mendeskripsikan klarifikasi sejarah terhadap representasi Pram tentang peristiwa genosida dalam esai JRPJD dengan kenyataan sejarah yang pernah terjadi di Indonesia. Dengan analisis Kajian Budaya menggunakan pendekatan historis diharapkan penelitian ini akan mampu mengungkapkan
mengenai
suasana
masa
lampau
sebagai
citra
untuk
mengungkapkan kenangan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ratna (2010:367) yang menyatakan bahwa daya tarik analisis historis adalah pengungkapannya mengenai suasana masa lampau sebagai citra nostalgia.
METODE Penelitian terhadap esai JRPJD karya Pram ini adalah jenis penelitian deskriptif kualitatif yang selanjutnya disebut penelitian kualitatif. Sumber data utama dalam penelitian ini adalah esai JRPJD karya Pram yang diterbitkan Lentera Dipantara - Jakarta cetakan kesembilan pada 2012. Esai sejarah tersebut memunyai ukuran dua puluh x tiga belas cm dengan tebal buku 148 halaman. Sedangkan sumber data pendamping adalah berbagai buku sejarah yang relevan. Data dalam penelitian ini berupa kutipan kata-kata, kalimat, frasa, paragraf, dan wacana yang berasal dari esai JRPJD karya Pram di mana teks tersebut memiliki keterkaitan dengan fokus pembahasan dalam penelitian ini. Model analisis esai JRPJD ini menggunakan model Kajian Budaya dengan pendekatan historis. Seperti yang telah dibahas dalam bagian pendahuluan bahwa ada tiga kemungkinan dalam proses analisis Kajian Budaya dengan pendekatan historis, yaitu: secara implisit, eksplisit, dan dapat juga menganalisis dengan cara
324
menggabungkannya secara eklektik dengan disiplin lain, dengan catatan bahwa secara hierarkis setiap disiplin yang terlibat dapat ditentukan kedudukannya. Namun dalam analisis ini peneliti akan menganalisis dengan cara yang pertama, yaitu secara implisit. Penelitian ini berusaha untuk mengaitkannya dengan ruang lingkup sejarah umum nasional Indonesia. Cara kerja yang ditempuh peneliti adalah langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, membaca secara saksama esai JRPJD karya Pram. Kedua, menandai dan mencatat teks yang memunyai keterkaitan dengan fokus pembahasan yaitu bagaimana representasi peristiwa genosida terhadap orang-orang Indonesia digambarkan dalam esai JRPJD karya Pram. Ketiga, menyajikan dan mengulas data tentang representasi peristiwa genosida terhadap orang-orang Indonesia yang ditulis Pram dalam esai JRPJD. Keempat, peneliti menyajikan klaririfikasi tentang kebenaran Pram merepresentasikan peristiwa genosida terhadap orang-orang Indonesia yang ditulisnya dalam esai JRPJD dengan kenyataan sejarah dari sumber informasi sejarah yang relevan.
PEMBAHASAN Seperti telah disebutkan di bagian awal tulisan ini bahwa permasalahan penelitian ini adalah mengaji bagaimana representasi peristiwa genosida terhadap orang-orang Indonesia dalam esai JRPJD karya Pram dan bagaimana klarifikasi sejarah terhadap representasi peristiwa genosida yang telah ditulis Pram dalam esai JRPJD. Pada bagian pembahasan ini peneliti akan memaparkan data yang berkaitan dengan fokus masalah yang dikaji dalam penelitian ini. Pertama, peneliti akan memaparkan data tentang representasi Pram dalam menggambarkan genosida yang pernah terjadi di Indonesia dalam esai JRPJD. Kedua, peneliti akan memberikan klarifikasi/penjelasan terhadap kebenaran peristiwa genosida yang telah ditulis Pram dalam esai JRPJD tersebut dengan kenyataan sejarah yang pernah terjadi di Indonesia. Adapun pembahasan selengkapnya disajikan peneliti sebagai berikut. Representasi Genosida terhadap Orang-Orang Indonesia dalam Esai JRPJD Karya Pram Genosida dapat diartikan sebagai tindakan pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras (Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995:310). Ada dua macam bentuk praktik
325
genosida. Pertama, genosida langsung. Kedua, genosida tidak langsung. Genosida langsung maksudnya adalah pembantaian secara besar-besaran yang dilakukan dengan memakai kekuatan senjata. Sedangkan yang dimaksud dengan genosida tidak langsung adalah peristiwa pembantaian terhadap suatu bangsa/ras lewat aksi tertentu (bukan bersenjata) namun dapat mengakibatkan hilangnya nyawa banyak orang. Menurut hasil penelitian terhadap esai Pram yang berjudul JRPJD, peneliti memeroleh informasi bahwa peristiwa genosida terhadap orang-orang Indonesia pernah dilakukan oleh bangsa Belanda, bangsa Jepang, dan oleh bangsa Indonesia sendiri.
Peristiwa
genosida
terhadap
orang-orang
Indonesia
tersebut
direpresentasikan Pram dalam esai JRPJD seperti penjelasan di bawah ini.
Genosida terhadap Orang-Orang Indonesia yang Dilakukan oleh Belanda Menurut Pram, peristiwa genosida terhadap orang-orang Indonesia yang dilakukan oleh bangsa Belanda sudah terjadi berulang kali. Dalam esai JRPJD, Pram mengungkap bahwa peristiwa pembantaian terhadap orang Indonesia oleh bangsa Belanda itu terjadi pada saat pembuatan jalan raya pos yang terkenal dengan nama Jalan Daendels, pada saat pelaksanaan Sistem Cultuur Stelsel (Tanam Paksa) zaman Johannes van den Bosch, pada saat pembantaian di Bandaneira oleh Jan Pieterszoon Coen, dan pembantaian besar-besaran yang dilakukan oleh Kapten Westerling di Maluku. Kekejaman genosida pertama yang dilakukan oleh bangsa Belanda adalah saat pembangunan proyek jalan raya pos antara Anyer dan Panarukan. Ketika membangun proyek jalan itu, Gubernur Jenderal Daendels melakukan kerja paksa terhadap para pekerja Indonesia. Dalam proyek kerja paksa untuk membangun jalan raya pos inilah banyak pekerja Indonesia tewas. Menurut Pram, genosida inilah yang disebut sebagai genosida tidak langsung. Dikatakan demikian karena ketika pembuatan jalan raya pos ini, memang tidak ada pembantaian secara langsung. Saat itu banyak pekerja proyek yang mati karena dipaksa untuk bekerja keras namun tidak diberi makan secara layak. Representasi tentang berapa jumlah korban yang tewas ketika membangun jalan raya pos itu digambarkan Pram dalam esai JRPJD seperti pada kalimat berikut. “Untuk berhasilnya proyek pembangunan jalannya, Daendels tidak
326
bergeming melihat ribuan jiwa Pribumi melayang. Sekali lagi laporan orang Inggris pada 1815 itu: seluruh Jalan Raya Pos itu kurban tewas diperkirakan sejumlah 12.000 orang (Toer, 2012:71).” Dari representasi Pram tersebut kita mengetahui bahwa jumlah kurban tewas akibat kerja paksa ketika membangun jalan raya pos adalah 12.000 orang. Informasi lainnya yang dapat kita peroleh adalah: peristiwa pembangunan jalan raya pos itu terjadi ketika penjajahan Belanda dipimpin Gubernur Jenderal Daendels. Genosida itu dapat dikatakan genosida tidak langsung karena para pekerja itu bukan tewas karena dibantai, tetapi tewas karena terjangkit malaria, kelaparan, dan karena kelelahan. Gambaran tentang tewasnya para pekerja proyek jalan raya pos karena wabah malaria, karena kelaparan, dan kelelahan direpresentasikan oleh Pram dalam esai JRPJD seperti pada kalimat berikut. “Tak terbilang lagi banyaknya pekerja yang mati, juga karena malaria, juga karena kalaparan, juga karena kelelahan, kata Meneer Guru. “Justru di sepanjang Jalan Raya Pos – Jalan Daendels ini – terdapat kuburan-kuburan terluas di Pulau Jawa. Dan ini bukan pembunuhan besar-besaran pertama yang dilakukan Belanda di tanah air kita! (Toer, 2012:8).” Peristiwa genosida tidak langsung yang dilakukan Belanda ketika melaksanakan kerja paksa membangun jalan raya pos antara Anyer dan Panarukan, tidak terkonsentrasi hanya pada satu tempat saja. Kurban genosida tidak langsung tersebut tersebar di beberapa daerah di Jawa. Menurut Pram, korban genosida itu tersebar di daerah Banten, Megamendung, Karangsembung/Cirebon, Demak, Kudus, Muria, Sumedang, dan Pekalongan. Karena kurban genosida tidak langsung ini sangat banyak dan tersebar di berbagai wilayah di pulau Jawa, maka Pram menyebut “Justru di sepanjang Jalan Raya Pos – Jalan Daendels ini – terdapat kuburan-kuburan terluas di Pulau Jawa (Toer, 2012:8).”
Representasi kurban
genosida tidak langsung akibat kerja paksa saat membangun jalan raya pos yang tersebar di beberapa daerah Jawa digambarkan Pram dalam esai JRPJD seperti pada kalimat berikut. “Tenaga kerja diperintahkan pada Sultan Banten untuk memasok. Dan para pekerjapaksa ini, juga pejabat-pejabat kulit putih, berkaparan mati sebagai tikus, baik karena perlakuan maupun karena penyakit, dan terutama karena
327
kelelahan dan kelaparan (Toer, 2012:20).” Dari representasi Pram tersebut dapat kita lihat bahwa ketika proyek pembuatan jalan raya pos sampai di Banten, penguasa Belanda memerintahkan kepada Sultan Banten agar menyediakan tenaga kerja paksa. Tenaga kerja paksa tersebut banyak yang tewas karena penyakit, kelelahan, dan kelaparan. Yang lebih tragis lagi adalah kematian mereka digambarkan oleh Pram sebagai kematian yang mengenaskan, berkaparan sebagai tikus yang tidak berharga. Selanjutnya, untuk merepresentasikan adanya genosida tidak langsung di daerah Jawa Barat utamanya di daerah Megamendung dan Sumedang, Pram menggambarkan dalam esai JRPJD seperti pada teks berikut ini. “Dalam membuat jalan yang sulit menembus gunung-gunung tinggi ini dikerahkan 1100 tenaga kerjapaksa. Waktu pembikinan jalan menembus Megamendung 500 tenaga kerjapaksa Pribumi diberitakan tewas. Jumlah tersebut besar kemungkinan telah ditekan (Toer, 2012:21).” “Penduduk
Sumedang
bangga
pada
perlawanan
ini.
untuk
mengenangkannya telah didirikan patung Kornel berhadapan dengan Daendels.//…//. Dalam pembikinan jalan inilah untuk pertama kali ada angka jumlah kurban yang jatuh 5.000 orang. Bahwa angka yang diberikan begitu bulatnya telah menunjukkan tidak rincinya laporan, hanya taksiran (Toer, 2012:70).” Dari apa yang digambarkan Pram kita dapat mengetahui bahwa kurban tewas ketika membangun jalan raya pos di daerah Megamendung mencapai lima ratus orang. Sedangkan di daerah Sumedang mencapai lima ribu orang. Menurut Pram, jumlah pekerja paksa yang tewas ini pun hanya berupa taksiran kasar. Sementara itu, untuk merepresentasikan tentang kisah genosida di Jawa Tengah utamanya
di
daerah
Pekalongan,
Demak,
Muria,
dan
Kudus,
Pram
menggambarkannya dalam esai JRPJD seperti pada kalimat berikut. “Dalam membangun jalan menuju ke Pekalongan para pekerjapaksa menerobos hutan belantara yang tidak sehat. Inggris lagi yang memberitakan: kurban tewas 4.000 orang waktu menerobos membikin jalan raya ini (Toer, 2012:84).” “Sedang waktu menggarap ruas Demak – Kudus memotong semenanjung
328
Muria/Jepara, para pekerja berkaparan dalam meninggikan tanah di rawarawa Karanganyar baik karena kelelahan, perlakuan keras, maupun malaria yang berabad menghantui wilayah Karanganyar (Toer, 2012:26).” Kekejaman genosida kedua terhadap orang Indonesia yang
dilakukan
bangsa Belanda terjadi saat penerapan Sistem Tanam Paksa/Cultuur Stelsel pada zaman Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch berkuasa. Peristiwa ini juga dapat digolongkan dalam peristiwa genosida tidak langsung. Genosida tidak langsung ini direpresentasikan oleh Pram dalam esai JRPJD seperti pada kalimat berikut. “Gubernur Jenderal Van den Bosch memberlakukan Cultuurstelsel alias Tanampaksa. Tak lain dari petani dikerahkan untuk kerjapaksa. Di banyak daerah, demi panen komoditi untuk membiayai penjajahan dan penjajah, ribuan petani Jawa tewas kelaparan karena tak sempat menggarap sawah ladangnya sendiri. Tentu saja keluarganya juga ikut tewas. Di Grobogan sampai-sampai orang tak sempat menguburkan para kurban (Toer, 2012:71).” “Demak sebagai kabupaten dengan penduduk 336.000 jiwa; karena genosida tak langsung Cultuurstelsel alias Tanampaksa, dua pertiga penduduknya tewas. Menurut catatan Belanda sendiri, dari 336.000 pada 1848/49 itu pada 1850 tinggal 120.000 jiwa…(Toer, 2012:93 – 94 ).” Genosida tidak langsung yang berlangsung ketika Belanda menerapkan Sistem Tanam Paksa/Cultuur Stelsel menurut Pram telah menewaskan banyak orang di daerah Grobogan dan Demak. Dari representasi Pram tersebut dapat kita ketahui bahwa akibat penerapan Sistem Tanam Paksa di daerah Jawa Tengah banyak rakyat yang tewas. Tercatat oleh Pram bahwa ada sekitar 216.000 orang tewas sehingga digambarkan kurban genosida tidak langsung itu tidak sempat dikubur oleh keluarganya. Kekejaman genosida yang ketiga dilakukan Belanda adalah pembantaian besar-besar terhadap bangsa Indonesia yang berada di daerah Bandaneira. Menurut Pram, kurban genosida yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jan Pietersz Coen banyak sekali namun tidak pernah tercatat. Gambaran tentang adanya genosida yang pernah terjadi di Bandaneira direpresentasikan Pram dalam esai JRPJD seperti
329
pada kalimat berikut. “Genosida pertama yang dilakukan Belanda dilakukan oleh Jan Pietersz Coen di bulan-bulan awal pertama 1621 di Bandaneira. Seluruh penduduk binasa. Yang sempat melarikan diri mengungsi ke pulau-pulau lain (Toer, 2012:21 – 22).” “Berapa orang yang telah jadi kurban genosida Coen? Tidak pernah ada angka disebut. Siapa-siapa kurbannya? Dalam sejarah nama-nama rakyat yang dikurbankan tidak pernah tercatat (Toer, 2012:70).” Kekejaman genosida keempat yang dilakukan bangsa Belanda terhadap orang Indonesia adalah ketika terjadinya peristiwa pembantaian rakyat Maluku oleh Kapten Westerling. Genosida ini dapat dikatakan sebagai genosida langsung. Dikatakan demikian karena saat itu memang rakyat Maluku dibantai secara kejam dengan menggunakan senjata. Representasi tentang peristiwa itu digambarkan Pram dalam esai JRPJD seperti pada kalimat berikut ini. “Genosida terakhir yang dilakukan Belanda terjadi pada 1947, di Sulawesi Selatan, oleh pasukan Kapten Westerling. Berapa yang jadi kurban? Manai Sophian menyebut angka 40.000. Memang dari pihak Belanda kemudian ada usaha untuk melakukan penyelidikan yang membuahkan angka 5.000. Tak jelas angka mana yang benar (Toer, 2012:22).”
Genosida terhadap Orang-Orang Indonesia yang Dilakukan oleh Jepang Pram mencatat bahwa bangsa Jepang pun pernah melakukan genosida terhadap bangsa Indonesia. Genosida yang dilakukan oleh bangsa Jepang tergolong dalam genosida langsung. Banyak sekali rakyat Indonesia yang tewas mengenaskan dibunuh dengan kekuatan senjata bangsa Jepang. Genosida secara langsung ini pernah terjadi di Kalimantan Barat. Untuk merepresentasikan genosida secara langsung yang pernah dilakukan bangsa Jepang di Kalimantan Barat, Pram menggambarkan dalam esai JRPJD seperti pada kalimat berikut. “Genosida yang hampir tak pernah diungkit adalah yang dilakukan Jepang di Kalimantan Barat. Sama sekali tak ada angka disebutkan. Juga sama sekali tak pernah ada niat untuk membentuk komisi penyelidikan, sampai sekarang (Toer, 2012:22)
330
“Genosida langsung malah terjadi pada abad 20. Sekarang yang melakukan balatentara fasis Jepang di Kalimantan Barat. Sampai sekarang tak pernah ada penyelidikan baik dari pihak Jepang maupun Indonesia. Seakan jiwa orang Indonesia memang begitu rendah (Toer, 2012:72).” Dari gambaran Pram tentang peristiwa genosida secara langsung dalam esai JRPJD, kembali kita dapat mengetahui bahwa seakan nyawa orang Indonesia tidak berharga sama sekali. Buktinya, sampai sekarang kasus ini tidak pernah mendapat perhatian untuk diselidiki. Penyelidikan terhadap kasus ini tidak pernah dilakukan baik oleh pihak Jepang maupun oleh pihak Indonesia sendiri. Berapa jumlah kurban nyawa orang Indonesia pun sampai saat ini tidak diketahui secara pasti.
Genosida terhadap Orang-Orang Indonesia yang Dilakukan oleh Bangsa Indonesia Sendiri Pram menyebut bahwa genosida yang dilakukan bangsa Indonesia terhadap bangsanya sendiri sebagai tragedi kemanusiaan yang sangat besar dalam sejarah umat manusia. Ironisnya, peristiwa genosida ini justru dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap bangsa Indonesia itu sendiri. Genosida ini oleh Pram dikatakan sebagai genosida untuk mendirikan Orde Baru. Representasi yang menggambarkan bahwa telah terjadi genosida terhadap bangsa Indonesia yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri ditulis Pram dalam esai JRPJD seperti tampak pada kalimat berikut ini. “Genosida terakhir sampai sekarang, salah satu yang terbesar dalam sejarah ummat manusia dalam abad ini, justru dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Hanya agar Indonesia bisa menjadi pasar modal dunia (Toer, 2012:23).” “Kemudian datang genosida Pribumi paroh kedua abad 20. Juga tak jelas berapa jumlah kurban pembantaian. Ada yang menyebut ratusan ribu, sejuta, malah sampai satu setengah juta. Ini adalah genosida untuk mendirikan Orde Baru, yang oleh sementara kalangan Barat dianggap sebagai “berita baik”. Memang berita baik bagi modal raksasa internasional untuk membangun neo-kolonialisme di bumi Indonesia (Toer, 2012:72).” Dari representasi Pram tentang peristiwa genosida di atas, maka kita mengetahui bahwa peristiwa itu terjadi sekitar akhir 1965 – 1966. Peristiwa
331
genosida yang dimaksud adalah genosida untuk menumpas Gerakan 30 September/PKI. Peristiwa itu dipandang Pram selain sebagai peristiwa untuk mendirikan Orde Baru, pihak Barat pun menganggap peristiwa ini sebagai “berita baik” karena bisa menciptakan pasar modal raksasa internasional untuk membangun neo-kolonialisme di bumi Indonesia. Kurban keganasan genosida ini diberitakan mencapai sekitar 1,5 juta orang Indonesia terbunuh.
Klarifikasi Sejarah terhadap Representasi Pram tentang Peristiwa Genosida yang Pernah Terjadi di Indonesia dalam Esai JRPJD. Yang dimaksud oleh peneliti dengan istilah klarifikasi adalah usaha peneliti untuk memberi keterangan, penjelasan, dan pencerahan sehingga masalah yang dibahas menjadi lebih jelas. Hal ini sejalan dengan Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang memberi definisi bahwa klarifikasi maksudnya adalah: penjernihan, penjelasan, dan pengembalian kepada apa yang sebenarnya (1995:507). Dalam memberi klarifikasi terhadap permasalahan yang sedang dibahas, peneliti menempuh jalan dengan cara membandingkan representasi peristiwa genosida yang telah ditulis oleh Pram dalam esai JRPJD dengan berbagai literatur sejarah yang relevan. Dengan jalan seperti ini diharapkan dapat memberi penjelasan terhadap masalah yang sedang dibahas. Perlu juga dipahami bahwa klarifikasi dalam penelitian ini bukan bersifat detail, namun hanya bersifat umum. Hal ini terjadi karena dalam menganalisis Kajian Budaya ini, peneliti menggunakan pendekatan historis yang bersifat implisit. Seperti yang ditulis Ratna (2010:366 – 367) bahwa analisis historis bersifat implisit, fungsinya adalah untuk membantu menjelaskan analisis Kajian Budaya. Daya tarik analisis historis adalah pengungkapannya mengenai suasana masa lampau, sebagai citra nostalgia. Masa lampau dengan sendirinya tidak bisa dikenali secara utuh. Peneliti sengaja tidak menggunakan pendekatan historis secara eksplisit maupun multidisiplin karena peneliti menyadari bahwa peneliti bukan seorang sejarawan. Seperti dikemukakan pada bagian awal tulisan ini bahwa dalam menganalisis historis secara implisit cara yang paling mudah adalah mengaitkannya dengan sejarah umum, baik dalam ruang lingkup dunia, maupun nasional dan lokal, periode, angkatan, dan zaman (Ratna, 2010:363). Untuk itu dalam mengklarifikasi
332
tentang kebenaran peristiwa genosida yang telah direpresentasikan Pram dalam esai JRPJD, peneliti akan mengaitkannya dengan sejarah umum dalam lingkup nasional. Hasil
kajian dari berbagai literatur sejarah dapat dikatakan bahwa apa yang
direpresentasikan Pram tentang adanya peristiwa genosida dalam esai JRPJD secara umum memang menunjukkan kenyataan/kebenaran sejarah. Hal tersebut dapat kita telusuri pada bukti-bukti sebagai berikut. Pertama, peristiwa genosida tidak langsung yang dilakukan Daendels. Genosida tidak langsung ini dilakukan Daendels saat mengerjakan proyek jalan pos antara Anyer (Banten) dan Panarukan (Situbondo). Tercatat dalam sejarah bahwa Daendels (1762 – 1818) ketika menjadi gubernur jenderal di Hindia Belanda memunyai dua tugas besar. Kedua tugas besar itu adalah: pertama, mempertahankan Pulau Jawa agar jangan sampai jatuh ke tangan Inggris; kedua, memperbaiki keadaan tanah jajahan dari berbagai aspek (terutama penyelewengan dan korupsi). Adapun langkah-langkah yang ditempuh Daendels untuk menyukseskan program tersebut salah satu di antaranya adalah membangun jalan raya antara Anyer – Panarukan dengan tujuan agar tentaranya dapat bergerak secara cepat. Proyek jalan ini juga dimaksudkan agar mempermudah pengangkutan kopi dari daerah pedalaman. Untuk mempercepat terwujudnya jalan raya pos ini Daendels memerintahkan rakyat untuk melakukan program kerja paksa (Hapsari dan Adil, 2012:53). Dalam proyek kerja paksa inilah banyak rakyat Indonesia tewas karena kelaparan, kelelahan, maupun karena wabah penyakit. Kedua, peristiwa genosida tidak langsung ketika Belanda melaksanakan Sistem Tanam Paksa/Cultuur Stelsel yang dicetuskan oleh Johannes van den Bosch. Sejarah mencatat bahwa peristiwa ini memang benar-benar pernah terjadi di Indonesia. Cultuur Stelsel secara harfiah dapat dikatakan sebagai “sistem budaya”. Tetapi orang-orang Indonesia sering menyebut Cultuur Stelsel sebagai Tanam Paksa karena rakyat dipaksa untuk menanam tanaman ekspor yang hasilnya harus dijual kepada Belanda. Tanaman primadona yang ditanam ketika dilaksanakan Sistem Tanam Paksa ini adalah kopi. Dipilih kopi karena harganya yang sangat tinggi di pasar dunia (Hapsari dan Adil, 2012:59). Selanjutnya juga dikatakan oleh Hapsari dan Adil bahwa Tanam Paksa ini dilaksanakan bertahap mulai tahun 1830 – 1835. Di Jawa tercatat ada delapan belas karesidenan yang digunakan untuk
333
penerapan Sistem Tanam Paksa. Daerah yang dimaksud adalah: Banten, Priangan, Kerawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Banyumas, Kedu, Bagelen, Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Pacitan, Madiun, dan Kediri (2012:59). Ketiga, peristiwa genosida yang dilakukan oleh Jan Pietersz Coen. Peristiwa pembantaian terhadap rakyat Indonesia yang dilakukan oleh Belanda/VOC di Bandaneira ini terjadi saat VOC dipimpin Jan Pietersz Coen. Sejarah mencatat bahwa salah satu program J.P. Coen untuk memonopoli cengkeh dan pala di Maluku (termasuk Banda) adalah dengan cara mengusir dan melenyapkan penduduk asli Banda. Ketika mewujudkan keinginannya tersebut banyak rakyat Banda yang dieksekusi. Penduduk yang berhasil melarikan diri lari ke pegunungan dan menderita kelaparan. Orang-orang Banda yang tertangkap tetapi masih hidup lalu diangkut dengan kapal menuju Batavia. Ada 883 orang, terdiri atas: 287 pria, 356 wanita, dan 240 anak-anak dibawa ke Batavia. Dalam perjalanan tersebut tercatat sebanyak 176 orang binasa karena kelaparan dan perlakuan yang tidak manusiawi. (Hapsari dan Adil, 2012:43). Keempat, peristiwa pembantaian oleh Kapten Westerling. Sejarah mencatat bahwa peristiwa ini memang benar-benar pernah terjadi di Indonesia. Kartasasmita, dkk. mencatat bahwa pada Desember 1946 Belanda mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Kapten Westerling ke Sulawesi Selatan. Sejak kedatangannya tanggal 7 – 25 Desember 1946, pasukan Westerling secara membabi buta telah membunuh beribu-ribu rakyat. Operasi ini dimaksudkan sebagai tindakan “membersihkan” daerah Sulawesi Selatan dari pejuang Republik Indonesia. Gerakan “pembersihan” ini
dilakukan
oleh
Kapten
Westerling
pada
bulan
Desember
1946
pascapertempuran dengan pasukan “Harimau Indonesia” yang dipimpin Mongisidi di Barombong tanggal 3 November 1946 (1981:126 – 127). Kelima, genosida Jepang di Kalimantan Barat. Sejarah mencatat telah terjadi genosida langsung di Kalimantan Barat yang dilakukan oleh Jepang. Kurban genosida di Kalimantan Barat ini mencapai puluhan ribu orang. Jepang mencurigai bahwa di Kalimantan Barat ada kelompok yang terdiri atas feodal lokal, cerdikpandai, ambtenar, politisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga rakyat jelata, dari berbagai etnik, suku maupun agama. Kelompok tersebut kemudian
334
dihancurkan dengan penangkapan yang terjadi antara September 1943 dan awal 1944. Usman Syafaruddin dan Isnawita Din (2009:70) mencatat bahwa kurban keganasan genosida ini mencapai lebih kurang 21.037 orang. Para kurban diduga dipancung hidup-hidup dengan samurai setelah kepalanya ditutupi dengan sungkup. Karena pembantaian itu terjadi di daerah Mandor, maka sering disebut Peristiwa Mandor Berdarah. Untuk memperingati kekejaman pembantaian tersebut, maka lahir Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Barat Nomor 5 Tahun 2007 yang memutuskan bahwa Peristiwa Mandor (28 Juni) dijadikan sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD). Hal ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian sekaligus apresiasi dari DPRD Kalimantan Barat terhadap perjuangan pergerakan nasional yang terjadi di Mandor. Masyarakat Kalimantan Barat untuk kali pertama pada tanggal 28 Juni 1997 diimbau untuk mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung atas malapetaka yang ditimbulkan akibat penjajahan Jepang mulai 1942 – 1945 (Usman dan Isnawita Din, 2009:69). Keenam, genosida langsung yang dilakukan oleh orang Indonesia terhadap orang Indonesia sendiri. Genosida ini terjadi di Indonesia pada pengujung tahun 1965 – akhir 1966 yang merupakan operasi penghancuran G-30-S/PKI oleh militer. Mengenai berapa jumlah kurban memang sangat simpang-siur. Hal ini dikarenakan koran-koran saat itu mengalami pemberangusan. Roosa menyatakan bahwa saat itu memang koran-koran Indonesia tidak memberitakan adanya pembunuhan. Angkatan Darat memberangus hampir semua surat kabar dalam pekan pertama Oktober 1965 dan menerapkan sensor terhadap beberapa surat kabar yang diizinkan terbit kembali. Angkatan Darat menerbitkan beberapa korannya sendiri. Orang akan sia-sia mencari berita dalam koran-koran yang terbit antara akhir 1965 sampai akhir 1966 yang sekadar menyebut saja bahwa ada pembunuhan besar-besaran (2008:29). Sebagai gambaran kasar, Karnow dari Washington Post menyatakan bahwa setelah melalui perjalanan selama dua pekan di seluruh Jawa dan Bali, Karnow memperkirakan setengah juta orang mati dibunuh dalam peristiwa ini (dalam Roosa, 2008:30).
PENUTUP Simpulan
335
Dari pembahasan tentang bagaimana bentuk representasi peristiwa genosida terhadap orang-orang Indonesia pada esai JRPJD karya Pram dan bagaimana klarifikasi sejarah terhadap representasi Pram tentang peristiwa genosida tersebut, peneliti memberi simpulan sebagai berikut. Dalam esai tersebut penulis (Pram) mengisahkan bahwa telah terjadi genosida terhadap orang-orang Indonesia. Genosida yang pernah terjadi di Indonesia itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam. Ketiga macam bentuk genosida itu adalah: pertama, genosida yang dilakukan bangsa Belanda (berupa genosida yang terjadi ketika membuat proyek jalan raya pos oleh Daendels, genosida Jan Pietersz Coen di Bandaneira, genosida Westerling di Sulawesi Selatan, dan genosida zaman penerapan Cultuur Stelsel/Tanam Paksa oleh Johannes van den Bosch); kedua, genosida yang terjadi saat penjajahan Jepang (berupa pembunuhan yang terjadi di Kalimantan Barat); dan ketiga, genosida yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri (berupa genosida terhadap orang-orang Indonesia oleh bangsa Indonesia sendiri berkaitan erat dengan penumpasan Gerakan 30 September/PKI yang terjadi sekitar akhir 1965 – 1966).
Peritiwa
genosida
terhadap
orang-orang
Indonesia
yang
telah
direpresentasikan oleh Pram dalam esai JRPJD itu jika diklarifikasi dengan sejarah Indonesia, maka secara umum dapat dikatakan bahwa peristiwa tersebut adalah merupakan peristiwa sejarah yang memang benar-benar pernah terjadi di Indonesia.
Saran Penelitian Kajian Budaya dengan menggunakan pendekatan historis terhadap esai JRPJD karya Pram ini hanya menganalisis secara implisit saja. Oleh karena itu peneliti selalu berharap kepada peneliti berikutnya agar berkenan untuk melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan historis lainnya. Baik menggunakan analisis historis secara eksplisit maupun multidisplin. Analisis historis baik secara eksplisit maupun multidiplin akan mampu menghasilkan analisis yang mendalam dan beragam. Dengan hasil analisis historis yang mendalam dan beragam, maka analisis Kajian Budaya dengan pendekatan historis terhadap esai JRPJD karya Pram tersebut akan semakin lengkap.
336
DAFTAR PUSTAKA Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hapsari, Ratna dan M. Adil. 2012. Sejarah Indonesia untuk SMA/Ma Kelas XI 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Kartasasmita, Ginanjar, dkk. 1981. 30 Tahun Indonesia Merdeka: 1945 – 1949. Jakarta: PT Tira Pustaka. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. __________________. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Terjemahan Hersri Setiawan dari Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia (2006). Jakarta: Hasta Mitra. Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka. Toer, Pramoedya Ananta. 2012. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Jakarta: Lentera Dipantara. Usman, Syafaruddin dan Isnawita Din. 2009. Peristiwa Mandor Berdarah: Eksekusi Massal 28 Juni 1944 oleh Jepang. Jakarta: MedPress.
337
MENEROKA ASPEK RELIGI DRAMA GRAFITO KARYA AKHUDIAT Dian Roesmiati Balai Bahasa Jawa Timur [email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan aspek religi drama Grafito karya Akhudiat dan mendeskripsikan konflik antartokoh yang berkaitan dengan aspek religi. Tema-tema religi merupakan sesuatu yang lazim muncul dalam karya sastra. Bersikap religiositas adalah berserah diri pada kekuatan yang lebih besar untuk menciptakan kebahagiaan yang bersifat pribadi. Penelitian ini berkaitan dengan teori sosiologi sastra untuk menganalisis naskah drama. Sumber data penelitian adalah Grafito yang terdapat dalam Antologi 5 Lakon Akhudiat. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik kepustakaan, yaitu membaca naskah drama Grafito secara intens dan menginterpretasi serta memahami naskah drama tersebut, kemudian menganalisis. Hasil temuan penelitian ini adalah adanya konfik antartokoh yang berkaitan dengan beda pendapat tentang agama. Perbedaan agama dalam suatu pernikahan menjadi tema sentral drama Grafito. Analisis aspek religi naskah drama Grafito menghasilkan adanya hubungan dan respons religi dalam drama tersebut. Akhudiat sebagai pengarang berhasil membuka wawasan pembaca tentang “perbedaan yang indah” dalam suatu pernikahan beda agama. Penggambaran aspek religi muncul melalui peristiwa-peristiwa dalam dialog antartokoh. Berlatar belakang konflik pernikahan beda agama, yaitu Islam dan Kristen, drama Grafito menunjukkan keuniversalan tema tentang manusia dan Tuhan. Grafito karya Akhudiat ini dapat digolongkan sebagai drama bergenre komedi satire. Kata kunci: aspek religi, naskah drama, komedi satire PENDAHULUAN Akhudiat adalah sastrawan Jawa Timur yang sampai saat ini masih mencintai dunia drama dan teater. Salah satu karya monumentalnya adalah Grafito yang pernah memenangi lomba penulisan naskah sandiwara, Dewan Kesenian Jakarta tahun 1972. Selain Grafito, naskah drama Jaka Tarub (1974), Rumah Tak Beratap (1974), Bui (1975), dan RE (1977) adalah karya Akhudiat yang berturutturut mendapat penghargaan dan mengantarkannya mengikuti International Writing Program, University of Iowa, USA tahun 1975. Penulis naskah dan sutradara Teater Bengkel Muda era 70-an ini sampai sekarang masih aktif menulis. Sederet prestasi yang diperoleh Akhudiat tersebut menunjukkan bahwa Akhudiat termasuk sastrawan yang penting dan luar biasa yang dimiliki Jawa Timur. Naskah dramanya menjadi tonggak sejarah sastra drama Indonesia. Alasan memilih Grafito sebagai objek penelitian karena peneliti ingin “meneroka” (KBBI: ‘menjelajahi’) dunia religi dalam naskah drama tersebut. Grafito menarik untuk dikaji karena menukilkan tema pernikahan beda agama. Konflik yang dialami antartokoh begitu rumit dan menarik untuk dibahas. Selain itu, Grafito penuh dengan dialog-dialog segar yang dibumbui humor satire. Drama Grafito memiliki karakteristik yang
338
berbeda dengan naskah drama lain sehingga dapat dikategorikan sebagai naskah drama yang berkualitas. Sastra dalam bentuk karya apapun selain mengandung gagasan terdapat juga pandangan tentang moral atau amanat. Dalam pengertian ini, karya sastra pun dapat dipandang sebagai sarana komunikasi. Bila dibandingkan dengan sarana komunikasi yang lain, baik lisan maupun tulisan, karya sastra merupakan salah satu ujud karya seni yang sebagian besar mengembangkan tujuan estetik dan mempunyai kekhususan sendiri dalam hal menyampaikan pesan-pesan religius.6 Pada karya sastra terdapat juga pesan yang hendak disampaikan pengarang, termasuk pesan religi yang di dalam karya fiksi menawarkan pesan religius. Pada sebuah karya sastra sering terdapat lebih dari satu pesan religius yang disampaikan. Meneroka religius berkaitan dengan adanya kenyataan merosotnya kualitas penghayatan orang dalam beragama atau berkaitan dengan hilangnya dimensi kedalaman dan hakikat dasar yang universal dari religi. Jadi, religiusitas merupakan kritik terhadap kualitas keberagamaan seseorang di samping terhadap agama sebagai lembaga dan ajaranNya. Religiusitas dimaksud sebagai pembuka jalan agar kehidupan orang yang beragama makin intens. Antara religiusitas dengan perikemanusiaan merupakan hal yang berbeda tetapi secara esensial sangat erat hubungannya, yaitu “penuntunan manusia ke arah segala makna yang baik” merupakan salah satu ciri religiusitas yang otentik. Seseorang mampu menyikapi dan menyelesaikan permaslahan dengan baik. Mangunwijaya (dalam Lathief, 2008) mengemukakan bahwa segala sastra adalah religius. Religius diambil dari bahasa Latin relego, dimaksudkan dengan menimbang kembali atau prihatin tentang sesuatu hal. Seorang religius diartikan sebagai manusia yang berarti, yang berhati nurani serius, saleh, teliti, dan penuh dengan pertimbangan spiritual (Lathief, 2008). Religiositas lebih melihat aspek yang ‘di dalam lubuk hati’ moving in the deep heart’. Dengan demikian, sikap religius ini lebih mengajuk pada pribadi seseorang dengan Khaliqnya, bertata laku sesuai dengan karsa Tuhan (Lathief, 2008). Sastra religius adalah sastra yang mengandung nilai-nilai ajaran agama, moralitas. Kehidupan manusia sangat kompleks dengan berbagai masalah. Beberapa masalah kehidupan pada manusia mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmanusia, manusia dan Tuhan-Nya, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang (Nurgiyantoro, 2010:323). Aspek religi yang terdapat dalam karya sastra dapat memberi contoh kepada masyarakat untuk selalu taat kepada Tuhan. Aspek religi dalam karya sastra memberikan pengaruh yang baik terhadap perilaku moral pembaca dan juga masyarakat. Aspek religi dalam drama Grafito karya Akhudiat dibagi menjadi dua, yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan dan hubungan antara manusia dengan manusia. Hubungan manusia dengan Tuhan adalah hubungan vertikal yang menghubungkan perasaan manusia dengan Tuhan dan diujudkan dengan melaksanakan perintahNya serta menjauhi laranganNya. Hubungan manusia dengan manusia adalah hubungan horizontal antara manusia yang satu dengan yang lain dan terdapat dalam suatu hubungan masyarakat tertentu Stanton (2012:22—46) membedakan unsur pembangun sebuah cerita ke dalam tiga bagian, yaitu tema, fakta cerita, dan sarana cerita. Tema adalah makna cerita yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan sederhana. Fakta 6
Ahmad S Rumi, Reorientasi Nilai Religius dalam Karya Sastra, 6 Juli 2017 pukul 15.07 WIB
339
(fact) meliputi alur, latar, dan penokohan. Sarana sastra (literary device) adalah teknik yang digunakan pengarang untuk memilih dan menyusun detail-detail menjadi pola yang bermakna dalam sebuah cerita, fakta meliputi karakter (tokoh cerita), plot, dan latar. Ketiga unsur tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lain. Adapun analisis dalam penelitian ini difokuskan pada tema, penokohan, dan alur karena unsur-unsur tersebut lebih dominan membentuk kesatuan makna yang bulat dalam cerita. Pendekatan sosiologi sastra adalah menganalisis manusia dalam masyarakat dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Pendekatan sosiologis juga memiliki implikasi metodologis berupa pemahaman mendasar mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat (Ratna:2007). Menurut Nurgiyantoro (2010), tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama dan pembaca dapat menafsirkan kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Penokohan merupakan bagian terpenting dalam membangun sebuah cerita karena berperan menyampaikan ide, alur, dan tema. Secara institusional, objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat. Setakat pendapat Ian Watt bahwa ada tiga pendekatan dalam sosiologi. Pertama, konteks sosial pengarang, kedua sastra sebagai cermin masyarakat, dan ketiga fungsi sosial sastra. Masalah religi mejadi sumber konflik antartokoh dalam drama. Grafito mengisahkan tentang suka duka percintaan Limbo (pemuda Katolik) dan Ayesha (Islam). Namun, cinta mereka mendapat halangan ketika hendak diujudkan dalam jenjang pernikahan. Kiai dan Pastur setempat tidak bersedia menikahkan karena perbedaan agama. Penyelesaian konflik dalam Grafito adalah kehadiran tokoh Pawang, Kamajaya dan Ratih yang mau menikahkan mereka. Munculnya tokohtokoh Kamaja, Ratih , dan Pawang membuktikan bahwa Grafito diilhami oleh religi Jawa, yaitu kepercayaan terhadap kekuatan supranatural atas dewa-dewi yang dikenal dalam budaya Jawa. Dewi Ratih dan Kamajaya dikenal sebagai simbol cinta kasih dalam masyarakat Jawa tradisional. Dewi Ratih dan Kamajaya dipercaya oleh sebagian masyarakat tradisional Jawa memiliki kekuatan supranatural untuk membangkitkan rasa cinta pada seseorang. Selain itu, Dewi Ratih dan Kamajaya digunakan untuk menggambarkan simbol keserasian dan kesempurnaan hubungan cinta sepasang kekasih. Religi sebagai sumber konflik mewarnai drama Grafito. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan aspek religi drama Grafito dan konflik antartokoh terkait masalah beda agama. Metode Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan hubungan kausal dari fenomena yang diteliti (Sutopo, 2002) dengan menggunakan teori sosiologi sastra. Sumber data penelitian ini ada dua, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah buku Antologi 5 Lakon Akhudiat yang diterbitkan oleh PAGAN PRESS tahun 2014, khususnya halaman 1—65. Data penelitian ini berujud informasi berupa kalimat atau dialog-dialog para tokoh dalam drama. Adapun sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah artikel di internet yang berkaitan dengan
340
Akhudiat. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pustaka, simak, dan teknik catat. PEMBAHASAN Hasil analisis drama Grafito karya Akhudiat meliputi unsur intrinsik drama meliputi tema, tokoh, dan alur. Tema Grafito adalah “perkawinan beda agama”. Tema ini tersirat dalam dialog-dialog yang dilontarkan para tokohnya. Adapun tokoh dalam Grafito adalah Limbo dan Ayesha. Kedua orang tersebut merupakan tokoh utama yang banyak dikenai masalah. Ada beberapa tokoh yang juga berperan menghidupkan konflik cerita, seperti Kyai dan Pastur. Alur cerita Grafito termasuk alur lurus dan kronologis karena cerita diawali pertemuan Limbo dan Ayesha dan kemudian menyeret ke permasalahan inti, yaitu keinginan keduanya untuk menikah. Konflik cerita terjadi ketika keinginan mereka untuk menikah terhalang perbedaan agama. LIMBO & AYESHA Dan Limbo, figur jalanan, melamar Ayesha di trotoar (berpegangan tangan, berkasih mesra. (Grafito:33) LIMBO Demi Tuhan, di tangan-Nya segala cinta bersumber, ayo, kita ke penghulu, Ayesha butuh restu. AYESHA Juga ke pastur, untuk Limbo, beliau akur, kita bersyukur. KOOR Wahai Tuhan nan Budiman, kami pengantin, kami calon-calon pengantin, kami cucu Hawa dan Adam, bukan kelinci percobaan. (Grafito:34) Limbo dan Ayesha adalah sepasang kekasih yang ingin menyatukan hubungan mereka ke jenjang perkawinan. Niat mereka tulus dan baik, tetapi perbedaan prinsip membuat semua rencana tersebut kacau. Perbedaan pendapat tentang perkawinan antara Limbo dan Ayesha dengan Kiai dan Pastur tidak menemukan jalan keluar. Satu sama lain bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing. PASTUR Engkau Katolik? LIMBO Katolik PASTUR Bersumpahlah demi Kristus LIMBO Saya sumpah PASTUR Engkau Ayesha? AYESHA Saya, Pastur
341
PASTUR Engkau, Katolik? AYESHA Bukan. Saya muslimat PASTUR Hah? AYESHA Islam PASTUR Lalu, engkau akan mengikuti suamimu? AYESHA Saya ikuti Limbo sebagai suami saya, tetapi .... LIMBO menyela Rama Pastur, kami tetap memeluk keyakinan kami masing-masing LIMBO Saya patuh Rama. Itulah sebabnyaa ke Gereja memohon berkat. PASTUR Tidak boleh jadi. Calon istrimu belum menyatakan diri sebagai Nasrani. (Grafito:47—49)
Aspek Religi Drama Grafito Nilai religius adalah nilai yang berkaitan antara manusia dengan Tuhan seperti perasaan takut berdosa dan mengakui kebesaran Tuhan. Nilai religius adalah sifatsifat manusia atau tokoh cerita yang senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan demikian, firman Tuhan akan selalu terbayang pada tiap langkah para tokohnya. Oleh karena itu, manusia yang religius adalah manusia yang pandangan, sikap, dan perilaku di dunia selalu berdasarkan firman Tuhan. Menurut The Word Book Dictionary, kata religioucity berarti ‘religious feeling or sentiment’ atau perasaan keagamaan. Religi lebih luas artinya karena lebih mengarah pada masalah personalitas dan bersifat dinamis karena lebih menonjolkan eksistensinya sebagai manusia. Mangunwijaya (dalam Nurgiyantoro, 2010:326—327) mengemukakan bahwa perbedaan agama dan religiusitas. Agama lebih menunjukkan pada kelembagaan kebaktian pada Tuhan dengan hukumhukum yang resmi. Sedangkan, religiusitas bersifat mengatasi lebih dalam dan lebih luas dari agama yang tampak, formal dan resmi. Religiusitas berkaitan dengan kebebasan orang untuk menjaga kualitas keberagaman jika dilihat dari dimensi yang paling dalam dan personal yang acapkali berada di luar kategori-kategori ajaran agama. Religiositas adalah suatu perasaan keagamaan yang lebih mengarah pada eksistensinya sebagai manusia karena bersifat personalitas dan cakupannya lebih luas daripada agama yang hanya terbatas pada ajaran-jaran dan pertautan. Dalam penelitian ini, pengertian agama dan religi dipakai dalam pengertian yang sama. Perbedaan pengertian sebagaimana dikemukakan Mangunwijaya tersebut hanyalah perbedaan gradasi dalam hal intensitas atau tingkat kedalaman penghayatan. Akan tetapi, pengertian agama dan religi berhubungan dengan penghayatan terhadap Tuhan dan ketuhanan. Penghayatan ini berdasar pada pemahaman nilai-nlai yang bersifat tradisional keagamaan atau religi.
342
Durkheim (2011:49—56) juga tidak membedakan agama dan religi. Menurutnya satu konsep yang biasanya dipandang menjadi karakteristik segala sesuatu yang religius adalah konsep supernatural, yaitu hal-ikhwal yang berada di luar kemampuan pemahaman manusia, dunia misteri yang tidak dapat diketahui dan dicerap indera. Karena itu, lebih baik menggunakan sesuatu yang spiritual sebagai definisi minimum untuk agama. Spritual harus dimengerti sebagai subjek-subjek berkesadaran yang memiliki kemampuan melebihi kemampuan manusia biasa, seperti arwah, jin, setan, dan dewa-dewi dapat dimasukkan dalam definisi tersebut. Religi atau agama menjadi komponen yang turut membentuk karya sastra. Lebihlebih dalam masyarakat yang religius atau agamis, atmosfer religi atau agama dominan menyelimuti sendi kehidupan masyarakat. Larangan menikah beda agama sudah bergulir tahun 1970-an. Untuk merespons hal tersebut, pemerintah mengesahkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, dalam kehidupan beragama, perdebatan kawin beda agama masih terus berlangsung. Dalam Grafito menceritakan tentang pertemuan Limbo (pemuda Katolik) dan Ayesha (Islam) yang saling jatuh cinta. Namun sayang cinta mereka terhalang aturan agama. Baik Kiai maupun Pastur tidak bersedia menikahkan karena perbedaan agama. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang beragam, baik budaya, suku, dan agama. Kontak antargolongan yang berbeda tersebut sering terjadi di masyarakat. Fenomena perkawinan campuran banyak mengundang perhatian dan perdebatan. Merunut hal tersebut, proses penciptaan drama Grafito diilhami realitas kehidupan beragama di masyarakat, yaitu perkawinan beda agama. KYAI Baiklah (kepada Limbo) Limbo, calon pengantin laki-laki silakan membaca Syahadat sebagai pernyataan engkau seorang muslim Limbo agak bingung AYESHA (menyela) Calon suami saya Katolik, Kyai. KYAI (terbelalak) Ya robbi, kamu sendiri, Ayesha. AYESHA Muslimat, Kyai. Saya murid ngaji Nyai Siti. KYAI Ini tidak bisa jadi, Ayesha. Kau, kan, sudah faham seorang muslimat dilarang menikah dan dinikahi laki-laki kafir. AYESHA Keliru, Kyai. Dia bukan kafir. Ahli kitab KYAI Maksud saya, baik dia kafir atau ahli kitab dilarang menikahi muslimat. Ini hukum Tuhan. Kecuali laki-laki itu bersedia masuk Islam. AYESHA Kami tetap dalam keyakinan agama masing-masing. AYESHA Tapi kenapa seorang laki-laki Islam boleh kawin dengan wanita bukan Islam? KYAI
343
Itu sudah ketentuan Kitab Suci KYAI Agama bukan selalu pengertian yang bisa dimengerti. Cukup diyakini. Iman namanya. AYESHA Apakah iman sama dengan keyakinan sempit, Kyai. KYAI Iman ialah pernyataan sah pasrah manusia kepada Al Khaliq. AYESHA Tetapi Tuhan tidak menyempitkan gerak bebas manusia, makhluk yang dikarunia keistimewaan. Al Aql. Akal fikiran dengan segala manifestasinya. KYAI Al Aql dibatasi oleh An Naql. Wahyu Tuhan dan sabda rasul. (Grafito:41—42)
(1) Hubungan Manusia dengan Tuhan Hubungan manusia dengan Allah dalam ajaran Islam bersifat timbal balik, yaitu manusia melakukan hubungan dengan Tuhan dan Tuhan melakukan hubungan dengan manusia. Tujuannya adalah untuk ibadah. Manusia diperintahkan berbuat menurut aturan yang telah ditetapkan Allah/Tuhan. Jika manusia menyimpang dari aturan, ia akan tercela, baik dalm kehidupan di dunia maupun di akhirat. Untuk mengetahui aspek religi dalam sebuah karya sastra (drama) bukan hal yang mudah karena diperlukan kemampuan mengetahui konsep religi tersebut. Pada prinsipnya religi adalah penyerahan diri pada Tuhan dalam keyakinan bahwa manusia bergantung pada Tuhan, bahwa manusia tidak mampu memperoleh keselamatan dengan kekuatannya sendiri. Berikut hubungan manusia dengan Tuhan terkait aspek religi drama Grafito. Akidah adalah kepercayaan dan keyakinan terhadap Allah serta beriman dengan nama-namanya dan segala sifat-sifatnya. Patuh dan taat segala jaran dan petunjuknya. Dengan begitu akidah Islam ialah keimanan dan keyakinan terhadap Allah dan rasulnya serta apa yang dibawa oleh rasul tersebut dilaksanakn dalam kehidupan. Akidah dalam drama Grafito dapat dirinci sebagai berikut. (a) Cinta kepada Allah Kata cinta kepada Allah mempunyai arti merindukan Allah. Cinta kepada Allah dalam drama Grafito ditunjukkan oleh Limbo dan Ayesha. Keduanya sangat taat pada ajaran agama masing-masing. Ketika dihadapkan pada perbedaan prinsip, yaitu perbedaan agama, Limbo dan Ayesha tetap saling menghormati perbedaan yang ada. (b) Percaya kepada Allah Kata “percaya” kepada Allah mempunyai arti ‘mengakui atau yakin bahwa Allah itu ada’.
344
LIMBO Rama, saya menghormati Ayesha karena teguh menjalankan Islamnya. Saya hendak merumuskan toleransi bukan sekadar basa-basi zaman diskusi, tetapi langsung praktik sehari-hari. (Grafito:50)
KOOR Rama Pastur, kami datang dengan damai, untuk mohon berkat, bagi cinta Limbo dan Ayesha, agar selamat dunia akhirat (Grafito:50) Pada kutipan tersebut menggambarkan kepercayaan Limbo dan Ayesha kepada Allah bahwa Allah akan mengabulkan permohonan hambaNya agar selamat di dunia dan akhirat. Limbo dan Ayesha percaya kebesaran Allah. Tidak ada sesuatu yang sulit bagi Allah. c. Kata doa berarti ‘permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Allah. Aspek religius berdoa dalam drama Grafito karya Akhudiat terlihat pada data berikut. PASTUR (muncul mengangkat tangan berdoa) Yesus Kristus, Raja Diraja Inilah amsal Kain dan Kabil Putera-putera Adam yang saling bertikam Junjungan segala Raja Gereja-Mu terlalu sempit menampung mereka Yang terlahir dari dosa dan dosa Roh Kudus Datanglah menghampiri hati mereka Hembuskan angin nyaman kebun zaitun sorga Amen... (Grafito:45) Berdoa merupakan bagian dari ibadah. Pengertian ibadah dapat ditemukan melalui pemahaman bahwa kesadaran beragama pada manusia membawa konsekuensi manusia itu melakukan penghambaan kepada Tuhannya. Dalam ajaran Islam maupun Katolik, manusia itu diciptakan untuk menghamba kepada Allah atau dengan kata lain beribadah kepada Allah. Manusia yang menjalani hidup beribadah kepada Allah itu tiada lain manusia yang berada pada jalan yang lurus. Manusia yang berpegang teguh kepada apa yang diwahyukan Allah maka ia berada pada jalan yang lurus. Dengan demikian, segala sesuatu yang disebut dengan manusia hidup beribadah kepada Allah itu ialah manusia yang dalam menjalani hidupnya selalu berpegang teguh kepada Allah. Ibadah merupakan perendahan diri kepada Allah dengan cara melaksanakan dan menjauhi segala larangannya, serta mengimplementasikan dalam bentuk berdoa kepada Allah. (2) Hubungan manusia dengan manusia
345
Hubungan manusia dengan manusia pada drama Grafito di antaranya: (1) tolong menolong merupakan perintah Allah yang memerintahkan manusia agar saling menolong dalam hal kebaikan; (2) bergaul dengan orang lain dibolehkan dalam agama asalkan berteman dengan orang yang baik; (3) memberi salam kepada orang lain adalah suatu kebaikan memberi salam kepada orang lain berarti mendoakan orang lain dan orang lain yang menjawab salam berarti juga mendoakan orang yang memberi salam; dan (4) memberi nasihat adalah melakukan perbuatan baik dan mencegah perbuatan buruk yang dilakukan oleh diri sendiri atau orang lain. Drama Grafito berakhir dengan pernikahan Limbo dan Ayesha atas restu Dewi Ratih dan Kamajaya. Keduanya adalah sepasang dewa dalam mitologi yang dipercaya sebagai dewa-dewi asmara. Limbo dan Ayesha yang gagal meminta Kiai dan Pastur untuk menikahkan mereka, akhirnya ditolong oleh tokoh Pawang. KOOR menggumamkan lagu upacara wejang asmara. KAMAJAYA & RATIH memadukan calon pengantin jadi pengantin. Wejanganwejangan, mantra-mantra, ramuan-ramuan, dsb. dsb. dalam adegan bisu. PAWANG mengepulkan asap pedupaan makin tebal. KOOR makin syahdu dan memeras haru. KAMAJAYA &RATIH tiba-tiba hilang dari pandangan Persis asap hilang LIMBO & AYESHA menjelma pengantin sempurna (Grafito: 62) Hubungan manusia dengan manusia dilakukan oleh Limbo dan Ayesha ketika meminta bantuan Pawang untuk mencari solusi masalahnya. Namun, tokoh Pawang berusaha mewujudkan keinginan Limbo dan Ayesha menggunakan kekuatan gaib. Dalam budaya Jawa tradisional, kepercayaan kepada hal gaib masih melekat kuat. Religi adalah suatu sistem simbol-simbol yang dengan sarana tersebut manusia berkomunikasi dengan jagat raya. Pada prinsipnya, religi memuat lima unsur, yaitu adanya emosi; keyakinan; upacara; peralatan; dan pemeluk atau penganut. Seperti kita ketahui, Akhudiat dikenal sebagai sastrawan Jawa Timur yang lahir di Banyuwangi. Tanah kelahirannya di Banyuwangi mungkin yang menjadikan karyakaryanya banyak berbicara tentang budaya, masalah agama dan religi, serta kepercayaan Jawa. Seperti dalam Grafito, hampir dalam keseluruhan adegan cerita berwarna religi, baik Islam, Nasrani, dan kepercayaan Jawa.
DI LAPANGAN KOOR duduk melingkar sikap samadi LIMBO & AYESHA di tengah PAWANG mengatur upacara, membakar kemenyan, Menabur dupa, menyalakan lilin-lilin, menyusun sajen-sajen. Memimpin samadi PAWANG Hong wi lahing Sekaring bawono Segolo langgeng PAWANG
346
Duhai, dewa-dewi asmara Puasaka Nusantara Turunlah barang sekejap Ke Mayapada PAWANG menambah dupa dan kemenyan DEWI RATIH & DEWA KAMAJAYA turun dari kayangan... (Grafito:56—58) Drama Grafito memang tergolong drama absurd, yaitu drama yang ‘tidak masuk akal’ dan tidak dapat dinalar. Namun demikian adanya, seperti pendapat Damono (2009) bahwa Grafito dikenal sebagai naskah eksperimental, nonkonvensional, dan radikal. Selain itu, juga dikenal sebagai naskah drama yang absurd (Soemanto, 2007:47) serta menampilkan warna daerah atau budaya tradisional (Damono, 2009:80—84). Drama ini disajikan dengan kelakar atau humor yang bernada satire, yaitu sindiran atau ejekan terhadap suatu keadaan yang disajikan dengan guyonan. Hal ini terlihat sejak awal hingga akhir cerita, dialog-dialog para tokohnya terasa “segar” penuh kritik dan menggelitik. Akhir cerita Grafito adalah kebahagiaan bagi Limbo dan Ayesha, tetapi sangat bertentangan dengan yang diharapkan oleh pembaca. Pilihan menikah dengan tradisi yang percaya dengan kekuatan gaib merupakan sindiran bagi masyarakat saat ini. Konflik dan perdebatan yang panjang tentang agama menimbulkan sikap apatis bagi Limbo dan Ayesha. Konflik religi yang dialami tokoh-tokoh Grafito ada pada keseluruhan cerita. Kalaupun di akhir cerita, Limbo dan Ayesha dipersatukan oleh kepercayaan gaib dan kepercayaan terhadap dewadewa ini membuktikan bahwa Grafito sangat diilhami oleh tradisi budaya Jawa yang telah mengakar di masyarakat. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa drama Grafito cenderung absurd dan bertipe komedi satire. Konflik yang terjadi antartokoh disebabkan oleh perdebatan tentang perkawinan beda agama. Aspek religi dalam Grafito meliputi hubungan manusia dengan Allah/Tuhan, di antaranya meliputi akidah yang berujud cinta kepada Allah, percaya kepada Allah, dan berdoa. Terdapat juga hubungan manusia dengan manusia meliputi aspek religi, yaitu saling menolong antarsesama manusia; saling menghormati; dan toleransi antarumat beragama. Konsep religi budaya dalam Grafito adalah kepercayaan terhadap kekuatan gaib/kekuatan supranatural yang membuktikan bahwa budaya Jawa masih mengakar kuat dalam masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Akhudiat. 2014. Antologi 5 Lakon Akhudiat. Lamongan: PAGAN PRESS. Ahmadi, Abu. 2008. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Azra, Azyumardi, dkk. 2002. Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Departemen Agama.
347
Damono, Sapardi Djoko. 2009. Drama Indonesia: Beberapa Catatan. Jakarta; Editum. Durkheim, Emile. 2011. The Elementary Forms of The Religious Life. Yogyakarta: IRCiSod. Kaswadi. 2017. Ekologi Religi dalam Naskah-naskah Drama Karya Akhudiat. Dalam Inovasi. Volume XIX, 1 Januari. Lathief, Supaat. 2008. Sastra: Eksistensialisme—Mistisisme Religius. Lamongan: Pustaka Ilalang. Mangunwijaya. 1982. Sastra dan Religiusitas. Jakarta: Sinar Harapan. Nata, Abudddin. 2010. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Grafindo Persada. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta; UGM Gadjah Mada University Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rejono, Imam. 1996. Nilai-Nilai Religiusitas dalam Sastra Lampung. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sari, Dian. 2011. Aspek Religiositas Novel Titian Nabi Karya Muhammad Masykur A.R Said Serta Hubungannya dengan Pembelajaran Apresiasi Sastra di SMA. Skripsi: FKIP Universitas Mataram. Soemanto, Bakdi. 2007. “Absurditas dalam Lakon-lakon Indonesia”. Dalam Sapardi Djoko Damono, dkk. Absurditas dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa depdiknas. Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sutopo. 2002. Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Zuhairini, Siti. 2007. Analisis Unsur Intrinsik dan Aspek Religiusitas Novel Selamah Karya Ali Ahmad Baktsir. Skripsi: FKIP Universitas mataram.
348
PENERAPAN TEKNIK KONTRASTIF DALAM MENULIS TEGAK BERSAMBUNG PADA SISWA KELAS 1 SEKOLAH DASAR KABUPATEN MADIUN Nur Samsiyah UNIVERSITAS PGRI MADIUN [email protected] ABSTRACT Based on the observation in the classroom, upright writing skillsis less desirable for students. This is known in the implementation of writing the value of students is still low and many are still less tidy or not in accordance with the spelling. This research attempts to apply contrastive techniques in upright writing skills. The formulation of the problem, namely: (1) how is the activity of writing writing upright with the application of contrastive techniques to the students of grade 1 elementary school in Madiun Regency ?; And (2) how the students' learning outcomes in writing upright with the implementation of the technique of contrastive. in grade 1 elementary school students in Madiun Regency? The purpose of this research is to describe the activity and the result of learning to write upright with continuous technique. This research is a qualitative research to know the application of contrastive technique in learning writing. The research data is the 1st grader of SD in Madiun Regency. The method used to collect data in the form of observation and test. Keywords: contrastive technique, upright writing skills PENDAHULUAN Menulismerupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara (Alex dan Ahmad, 2011: 106). Selanjutnya Henry Guntur Tarigan (2008: 22) berpendapat bahwa menulis ialah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang-orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafik itu. Selain itu, menulis juga merupakan suatu aktivitas komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai medianya. Wujudnya berupa tulisan yang terdiri atas rangkaian huruf yang bermakna dengan semua kelengkapannya, seperti ejaan dan tanda baca. Menulis juga suatu proses penyampaian gagasan, pesan, sikap, dan pendapat kepada pembaca dengan simbolsimbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati bersama oleh penulis dan pembaca. Permasalahan yang sering terjadi dalam pembelajaran bahasa adalah ketika seorang siswa harus mampu menguasai keterampilan menulis tegak bersambung. Menulis tegak bersambung kelihatan menjadi sangat sukar bagi mereka yang memiliki bakat, minat, dan keterampilan menulis yang pas-pasan. Untuk memahami keterampilan menulis tegak
349
bersambung diperlukan latihan dan bentuk pembelajaran yang menarik dan mudah dipahami. Teknik menulis yang digunakan oleh siswa masih banyak yang mengikuti huruf lepas sehingga siswa kelas 1 kesulitan dalam mengingat huruf dan menyambung. Untuk itu, guru perlu memperkenalkan model pembelajaran yang dapat menjadikan suasana belajar siswa yang menyenangkan dan lebih efektif, dengan harapan kondisi kegiatan belajar siswa akan lebih nyaman (menikmati) sesuai dengan keinginan belajar siswa. Dengan memperkenalkan model pembelajaran yang dapat melibatkan semua siswa untuk aktif dalam kegiatan belajar, pencapaian tujuan pembelajaran akan lebih efektif dan hasil kegiatan pembelajaran akan lebih nyata hasilnya. Menurut Hamalik (2001:75) Guru dituntut untuk memiliki kemampuan mendesain programnya dan sekaligus menentukan strtegi intruksional yang harus ditempuh. Para guru harus memiliki keterampilan dalam mengajar khususnya mengajar menulis tegak bersambung. Salah satu teknik yang dapat digunakan adalah teknik kontrastif, yaitu teknik dengan membandingkan dan
membedakan
huruf
agar
siswa
lebih
mudah
mengingat
huruf
terlebih
dahulu.Bagaimana aktivitas dan hasil belajar dan pembelajaran bahasa dengan penerapan teknik kontrastif untuk materi menulis tegak bersambung pada siswa kelas I Sekolah Dasar di Kabupaten Madiun? Hakikat Menulis Suparno dan dan Yunus (2003: 1.3) mengemukakan bahwa menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Henry Guntur Tarigan (2008: 3) berpendapat bahwa menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain.Menulis, menurut Crimmon (dalam St.Y. Slamet 2008: 96) adalah kegiatan menggali pikiran dan perasaan mengenai suatu subjek, memilih hal-hal yang akan ditulis, menentukan cara menuliskannya sehingga pembaca dapat memahaminya dengan mudah dan jelas. Supriadi (1977 :17) menjelaskan bahwa “menulis merupakan suatu proses kreatif yang banyak melibatkan cara berfikir divergen (menyebar) daripada konvergen (memusat)”. Sedangkan Purwanto (1977:58) menjelaskan bahwa menulis adalah melahirkan pikiran dan perasaan dengan cara teratur . Kegiatan menulis merupakan keterampilan mekanis yang dapat dipahami dan dipelajari. Menulis sebagai suatu proses terdiri atas beberapa tahapan. Tompkins (1994) dan Ellis dkk. (1989) menguraikan lima tahapan menulis, yaitu pra-menulis, pengedrafan, perbaikan, penyuntingan, dan publikasi. Pada pramenu-lis, siswa diberi kesempatan menentukan apa yang akan ditulis, tujuan menulis, dan kerangka tulisan. Setelah siswa
350
menentukan apa yang akan ditulis dan siste-matika tulisan, siswa mengumpulkan bahanbahan tulisan dengan menggunakan buku-buku dan sumber lainnya untuk memudahkan dalam penulisan. Pada penge-drafan, siswa dibimbing menuangkan gagasan, pikiran, dan perasaannya dalam bentuk draf kasar. Pada tahap perbaikan, siswa merevisi draf yang telah disusun. Siswa dapat meminta bantuan guru maupun teman sekelas untuk membantu dan mempertimbangkan gagasan yang dikemukakan. Pada tahap penyuntingan, siswa dilatih untuk memperbaiki aspek mekanik (ejaan, tanda baca, pilihan kata, dan struktur kalimat) yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki karangan sendiri maupun teman sekelas. Pada tahap publikasi, siswa menyampaikan tulisan kepada teman sekelas untuk meminta masukan dari guru dan teman sekelas agar mereka dapat berbagi informasi sehingga tulisan menjadi sempurna. Keterampilan menulis merupakan satu keterampilan yang ditunjukkan oleh siswa bahwa ia bukan buta aksara. Pelatihan menulis menyibukan para siswa belajar bahasa. Semua ulangan selalu dinyatakan dalam bentuk tulis. Walaupun demikian, para guru masih mengeluhkan bahwa masih ada siswa tidak mempunyai keterampilan menulis. Parera dan Tasai (1995:14) mengemukakan bahwa untuk dapat menetralisir keluhan para guru bahasa, maka perlu diingatkan mereka dua fakta. Fakta yang pertama banyak sekali orang pandai sangat lemah dalam keterampilan menulis, fakta kedua, hanya sekelompok kecil orang yang dapat menulis dengan baik setelah lama berlatih di sekolah dan di luar sekolah. Walaupun demikian keterampilan menulis merupakan satu keterampilan yang harus diajarkan dan perhatikan dalam pembelajaran bahasa meskipun dalam bentuk sederhana. Beberapa jenjang untuk keterampilan menurut Parera dan Tasai (1995:15) adalah: (1) menyalin naskah dalam bahasa, (2) menuliskan kembali/mereproduksi apa yang telah didengar dan dibaca, (3) melakukan kombinasi antara apa yang telah dihafal dan didengar dengan adaptasi kecil, (4) menulis terpimpin, dan (5)menyusun karangan atau komposisi dengan tema, judul, atau topik pilihan siswa sendiri. Pembelajaran menulis dalam bahasa tidak dapat dilepaskan dari pembelajaran membaca. Pembelajaran menulis merupakan pembelajaran ke-terampilan penggunaan bahasa dalam bentuk tertulis. Keterampiln menulis adalah hasil dari keterampilan mendengar, berbicara, membaca. Menurut Pirera dan Tasai (1995:27) mengemukakan prinsip prinsip menulis adalah: (1) menulis tidak dapat dipisahkan dari membaca. Pada jenjang pendidikan dasar pembelajaran menulis dan membaca terjadi secara serempak, (2) pembelajaran menulis adalah pembelajaran disiplin berpikir dan disiplin berbahasa, (3) pembelajaran menulis adalah pembelajaran tata tulis atau ejaan dan tanda baca bahasa, dan
351
(4) pembelajaran menulis berlangsung secara berjenjang bermula dari menyalin sampai dengan menulis ilmiah.
Menulis Tegak Bersambung Kata ‘menulis’ mempunyai dua arti. Pertama, menulis berarti mengubah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia menjadi tanda-tanda yang dapat dilihat. Kedua, kata ‘menulis’ mempunyai arti suatu kegiatan mengungkapkan gagasan secara tertulis. Orang yang melakukan kegiatan ini disebut penulis dan hasil kegiatannya berupa tulisan (Rusilah,2006: 6).Henry Guntur Tarigan (2008: 22) menyatakan bahwa pada prinsipnya fungsi utama dari tulisan adalah sebagai alat komunikasi yang tidak langsung. Menulis sangat penting bagi pendidikan karena memudahkan para pelajar berpikir. Juga dapat menolong kita berpikir secara kritis. Juga dapat memudahkan kita merasakan dan menikmati hubungan-hubungan, memperdalam daya tanggap atau persepsi kita, memecahkan masalah-masalah yang kita hadapi, menyusun urutan bagi pengalaman. Tulisan dapat membantu kita menjelaskan pikiran-pikiran kita. Salah satu menulis yang dilakukan di kelas awal terutama kelas 1 adalah menulis tegak bersambung. Tulisan tegak bersambung yang benar tidak sekedar rapi dan indahtetapi juga mudah dibaca. Pada awalnya pasti tidak mudah bagianak-anak untuk menulis huruf tegak bersambung dengan baik danindah. Namun,jika dilatih terus menerus, anak pasti akan semakinterampil. Kegiatan belajar menulis halus untuk anak tidak hanya sekadar agar anak mampu menulis. Terdapat manfaat lainnya yang sangat penting, di antaranya melatih kesabaran, ketelitian, dan melatih motorik halus dan merangsang kerja otak anak. Pola menulis yang baik akan berpengaruh terhadap kepribadian anak. Selain itu ada manfaat lain dalam menulis tegak bersambung antara lain, merangsang perkembangan motorik anak, menulis lebih cepat dan tulisan menjadi indah dan rapi. Alasan siswa diberi pelajaran menulis hurufbersambung adalah (1) Tulisan sambung memudahkan siswa untukmengenal kata – kata sebagai satu kesatuan, (2) Menulis tegakbersambung tidak memungkinkan menulis terbalik, (3) Menulistegak bersambung lebih cepat karena tidak ada gerakan berhenti tiaphuruf (Abdurahman, 1999). Langkah-langkah menulis tegak bersambung di buku tulis halus, yakni (1) memulai menulis dari huruf kecil dengan mengenalkan bentuk baris-baris terlebih dahulu pada siswa dimulai dari tepi bawah baris ke-3, (2) sebelum menulis siswa atau anak harus diperkenalkan huruf mana yang tinggi, menggantung dan memiliki ekor, (3) mengulangi terus menerus sampai hafal dan rapi, dam (4) jika sudah mahir menulis huruf dilanjutkan menulis kata sampai kalimat.
352
Berikut ini wujud aksara tegak bersambung yang berjumlah 20 aksara. Teknik Kontrastif dalam Menulis Tegak Bersambung Secara umum memahami pengertian analisis kontrastif dapat ditelusuri melalui makna kedua kata tersebut. Analisis diartikan sebagai semacam pembahasan atau uraian. Yang dimaksud dengan pembahasan adalah proses atau cara membahas yang bertujuan untuk mengetahui sesuatu dan memungkmkan dapat menemukan inti permasalahannya. Permasalahan yang ditemukan itu kemudian dikupas, dikritik. diulas, dan akhirnya disimpulkan untuk dipahami Moeliono (1988:32) menjelaskan bahwa analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antarbagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Sedangkan kontrastif diartikan sebagai perbedaan atau pertentangan antara dua haI. Perbedaan inilah yang menarik untuk dibicarakan, diteliti. dan dipahami. Moeliono menjelaskan bahwa kontrastif diartikan sebagai bersifat membandingkan perbedaan. Secara khusus analisis kesalahan kontrastif atau lebih populer disingkat anakon adalah kegiatan memperbandingkan struktur bahasa ibu atau bahasa pertama (Bl) dengan bahasa yang diperoleh atau dipelajari sesudah bahasa ibu yang lebih dikenal dengan bahasa kedua (B2) untuk mengidentifikasi perbedaan kedua bahasa tersebut. dalam penelitian ini, yang dibandingkan adalah bentuk atau wujud aksara tegak bersambung. Adapun tabel perbandingan aksaranya adalah sebagai berikut. Pembeda
Huruf inti
Kebalikan Jumlah kaki belakang Berkepala Jumlah garis Panjang ke atas Panjang ke bawah Terpisah
B N G R L Y Z
Huruf kontras D M Y G K Q
p b
t
s
v
Dengan dijelaskan berdasarkan konsep berpikir kontranstif, apabila siswa sudah hafal salah satu huruf, maka untuk aksara kontrasnya juga harus tahu. Jika sudah tahu pasti siswa tidak akan terbalik-balik lagi. Berdasarkan pada tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui penerapan keterampilan menulis tegak bersambung siswa kelas 1 sekolah dasar di
Kabupaten
Madiun, maka jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang prosedur penelitiannya menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan yang dapat diamati. Penelitian ini dilaksanakan di SDN Duren 2, Kabupaten Madiun Tahun Pelajaran 2016/2017. Alasan peneliti memilih lokasi ini untuk
353
penelitian yaitu:Sekolah ini memiliki ruang belajar yang nyaman, banyak media-media bantu dalam belajar sehingga cukup membantu dalam proses pembelajaran, memiliki siswa yang heterogen sehingga dapat diamati tingkat kemampuan menulis.Objek penelitian ini adalah menulis tegak bersambung dengan teknik kontrastif yang dilakukan dalam pembelajaran bahasa di Sekolah Dasar di Kabupaten Madiun sedangkan subjek penelitiannya adalah guru kelas 1 dan siswa kelas 1 Sekolah Dasar di Kabupaten Madiun, sebab untuk siswa kelas 1 pembelajaran dilaksanakan secara tematis sehingga tidak hanya terfokus pada pembelajaran bahasa. Sesuai dengan asumsi dasar dan data awal maka penelitian ini bertempat di Sekolah Dasar di Kabupaten Madiun. Desain penelitian merupakan uraian tentang pelaksanaan penelitian yang terdiri dari langkah-langkah penelitian mulai dari awal hingga akhir penelitian. Tahap– tahap penelitian ini secara umum dibagi menjadi 3 tahap utama yaitu tahap pra lapangan, tahap pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data. Analisis data kualitatif dilakukan untuk melihat dan menganalisis tulisan siswa ke dalam kategori berdasar deskriptor yang telah dibuat. Menurut Sugiyono (2007:224) teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.Pada penelitian ini, teknik pengumpulan data yang akan digunakan peneliti adalah dengan metode observasi, tes dankajian Dokumen.
PEMBAHASAN Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa observasi, tes dan kajian dokumen. Observasi dilakukan dengan melihat cara menulis siswa mulai sikap duduk, sikap menulis dan posisi tangan. Dari hasil observasi dapat diketahui bahwa siswa kelas 1 SDN Duren 2 masih banyak yang menulis dengan sikap yang salah. Berikut tabel porsentase siswa berdasarkan hasil observasi. No
Aspek
Porsentase
1
Sikap duduk
70%
2
Sikap menulis
65%
3
Posisi tangan
80%
4
Cara menulis
65%
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa rata-rata siswa menulis masih menulis dengan sikap yang tidak tepat posisinya. Hal ini ditunjukkan dengan siswa yang menulis dengan tidak sesuai dengan panduan dan arahan dari guru. Ini terjadi karena siswa sudah memiliki 354
kemampuan menulis ketika masih di TK, yang kurang benar, sehingga siswa sudah terbiasa menulis sejak dini dengan sikap yang salah dan cara menulis yang masih sulit dibetulkan. Tes menulis dilakukan dengan menggunakan tulisan berbentuk huruf yang sesuasi dengan bentuk tulisan tegak bersambung. Tujuan dari tes adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran penerapan menulis siswa dalam menulis tegak bersambung menggunakan teknik konstraktif. Dalam hal ini tes dibuat dalam bentuk uraian dengan tujuan peneliti dapat mengetahui langkah-langkah yang diambil subyek dalam menyelesaikan soal tes. Tes yang digunakan adalah tes menulis huruf sesuai dengan tabel bentuk tulisan tegak bersambung.
Huruf tegak bersambung sesuai SK Dirjen Dikdasmen Kemdikbud
Dari hasil tes ini kemudian peneliti menganalisis jawaban dari masing-masing subyek. Setelah tes selesai dianalisis, peneliti mengadakan kajian dokumen dengan subyek terkait dengan jawaban dari tes. Berikut adalah hasil tes dari siswa kelas 1 No
Kemampuan menggunakan
Kemampuan menulis
Kemampuan teknik konstraktif
siswa
ejaan (penggunaan huruf
dengan rapi (bersih, rapi,
(penggunaan perbandingan,
kapital, tanda baca)
sesuai huruf tegak
huruf mirip, huruf berbeda)
bersambung) Nilai 1
80
90
100
2
85
80
80
3
80
85
90
355
4
80
80
90
5
80
80
90
6
90
80
100
7
90
80
100
8
70
60
80
9
80
90
100
10
80
70
90
11
80
70
90
12
90
80
90
13
90
90
100
14
90
80
90
Rata-
83,2
79,6
92,4
rata
Dari data tes menunjukkan siswa telah mengenal huruf abjad secara benar. Hal itu diketahui dari rata-rata nilai siswa setelah dilakukan tes menulis mendapat nilai 83,2. Sedangkan kerapian rata-rata siswa mendapat nilai 79,6. Dengan menggunakan teknik konstraktif siswa lebih mudah mengenal huruf dengan mencari perbandingan dan persamaan, sehingga siswa hanya menghafal jenis huruf misalnya huruf yang panjang ke atas dibandingkan dengan yang panjang ke bawah. Huruf yang berbalik misalnya b dengan d. Hal ini mempermudah siswa menuliskannya. Huruf yang memiliki jambul, misalnya b, h, k, l, dan d, t. Huruf yang memiliki ekor, misalnya g, j, y, p, dan q. Huruf yang tidak memiliki ekor dan jambul, misalnya a, c, e, i, m, n, o, r, s, u, v, w, x, danz Menulis huruf tegak bersambung atau menulis halus memiliki banyak manfaat bagi anak-anak. Ketika anak menulis dengan tangan, sensori motorik halus, sentuhan, dan visual anak akan aktif secara bersamaan. Proses penggoresan garis tegak yang tebal dan garis miring yang tipis pada huruf tegak bersambung melatih anak tentang ketegasan, kelembutan, dan ketekunan. Karena itu, sekalipun zaman sudah serba komputer dan digital, tidak ada salahnya kita tetap mengajarkan anak cara menulis huruf tegak bersambung.Tidak susah mengajari anak menulis halus, hanya dibutuhkan ketekunan berlatih dan suasana belajar yang menyenangkan. Secara teknis, pembelajaran bisa dimulai dari menjiplak, meniru, lalu menulis ulang tulisan biasa menjadi tulisan tegak bersambung. Secara materi, bisa dimulai dari menulis huruf tunggal, satu suku kata, satu kata, dan satu kalimat. Untuk menjiplak dan meniru, kita bisa menggunakan buku-buku yang berisi latihan menulis
356
halus.Anak-anak kelas 1, 2, dan 3 menulis huruf tegak bersambung harus mengikuti aturan yang benar. Siswa dapat belajar menulis huruf tegak bersambung melalui pedoman yang telah ditetapkan oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan. Siswa juga dapat berlatih menulis sambil membaca bahan yang akan ditulis. Hal ini sejalan dengan pendapat Menurut Pirera dan Tasai (1995:27) mengemukakan prinsip prinsip menulis adalah: (1) menulis tidak dapat dipisahkan dari membaca. Pada jenjang pendidikan dasar pembelajaran menulis dan membaca terjadi secara serempak, (2) pembelajaran menulis adalah pembelajaran disiplin berpikir dan disiplin berbahasa, (3) pembelajaran menulis adalah pembelajaran tata tulis atau ejaan dan tanda baca bahasa, dan (4) pembelajaran menulis berlangsung secara berjenjang bermula dari menyalin sampai dengan menulis ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman,Mulyono. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: RinekaCipta. Ahmadi, M. 1988. Materi Dasar Pengajaran Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Alex dan Achmad H.P. 2011. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kencana. Akhadiyah. 1990. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Anonymous. 2009. Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Permendiknas Republik Indonesia no.41 tahun 2007. Online (diakses pada 17 Juni 2017). www.Google. Com
Arikunto, Suharsimi. 2012. Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Depdiknas. 2006. Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas Hamalik, Oemar. 2001. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Bandung: Bumi Aksara Haryadi dan Zamzami. 1996. Peningkatan Keterampilan Berbahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud Dikti
Santoso, Puji. 2008. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta: Universitas Terbuka Suparno. 2002. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: DepdiknasUT Soedjito dan Hasan, M. 1986. Seri Membina Keterampilan Menulis Paragraf. Malang: Tanpa Penerbit Syafi’ie, I. 1988. Retorika dalam Menulis. Jakarta: Depdikbud. Tarigan, H.G. 2008. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa Zuhdi, dkk. 2008. Cara Menulis Buku. Malang: Rena Press. http://www.spirit-guru.com/2016/04/belajar-menulis-tegak-bersambung.html diakses tanggal 3 Juli 2017
357
PEMANFAATAN TEKNOLOGI UNTUK PENINGKATAN MINAT BELAJAR PELAFALAN HANYU PINYIN DALAM BAHASA MANDARIN Budi Hermawan1, Ong Peter Leonardo2 1
Program Studi Pendidikan Bahasa Mandarin, Fakultas Sastra dan Pendidikan Bahasa, Universitas Widya Kartika Surabaya, [email protected] 2 Program Studi Pendidikan Bahasa Mandarin, Fakultas Sastra dan Pendidikan Bahasa, Universitas Widya Kartika Surabaya, [email protected]
ABSTRACT Globalisation Era will be faced Indonesia in 21st century. Chinese Language’s role is really needed in many aspect and sectors. Human resources who expert in foreign language are really needed as a bridge to cooperate between Indonesian and other countries. At this time the quantity student of Chinese Language in Indonesia have increased very fast. Many students with many ways have joined to expert Chinese Language in formal education or nonformal education. They all of them have tried to expert this foreign language. But there is a problem for Indonesian students to learn Chinese Language. The problem is a quite diffrent pronounciation with Indonesia Language before. So, at the last time so many students have given up to decide dismiss from the particular Chinese lesson. At this century, the technology also increase very fast. It’s related with many application to the smart phone. In the beginning of 2000th year, it has increased android system and ios which so many person have these system with many diffrent type. From the descriptive research method that we had done before. It’s known that the behaviour student of Chinese Language in using the new technology and high intensity in utilizing the application of smartphone could support to expert chinese language, expecially for the beginner one. They also have studied the first pronounciation in Chinese Language that is called Hanyu Pinyin. Key Word: Mandarin Languages, Hanyu Pinyin, Mobile Learning
PENDAHULUAN Kebutuhan SDM yang memiliki Skill Kemampuan berbahasa Asing sangatlah dibutuhkan bagi perkembangan Negara Indonesia, terutama dalam membina kerjasama dengan Negara Tiongkok dan Taiwan yang saat ini telah berkembang dengan pesat dalam bidang perekonomian. Hal ini tidak diimbangi jumlah Sumber Daya Manusia yang memiliki kemampuan Bahasa Mandarin, sehingga saat ini banyak berjamur tempat pendidikan Formal maupun Non Formal untuk mempelajari Bahasa Mandarin. Hal ini untuk memenuhi kebutuhan Masyarakat Indonesia yang berbondong-bondong untuk mempelajari Bahasa Mandarin. Keadaan yang ditemui oleh pembelajar Indonesia dalam mempelajari
358
Bahasa Mandarin, adalah kesulitan untuk mempelajari pelafalan bahasa mandarin “Hanyu Pinyin” dengan tepat, dikarenakan pelafalan dalam Bahasa Indonesia dibandingkan Bahasa Mandarin ada banyak perbedaan dalam melafalkan. Terutama terkait dengan Vokal, konsonan dan nada yang berbeda dibandingkan Bahasa Indonesia. Sejalan dengan perkembangan teknologi yang terjadi hingga dekade ini, perkembangan Handphone terjadi dengan sangat pesat. Selain digunakan untuk berkomunikasi bertelepon dan berkirim pesan SMS, peran Handphone telah bergeser menjadi alat media sosial dan alat bermain games. Berbagai Aplikasi pun dapat dengan mudah di unduh di dalam sistem Android ataupun IOS. Seiring perkembangan teknologi, aplikasi pembelajaran bahasa Mandarin pun dapat dengan mudah diunduh untuk dipasang di dalam sistem ponsel. Untuk menghadapi masalah yang dialami pembelajaran Bahasa Mandarin pemula dalam mempelajari Pelafalan Hanyu Pinyin, sehingga dalam proses pembelajaran diperlukan media pembelajaran tambahan yang memudahkan pembelajar pemula untuk meningkatkan penguasaan kemampuan Berbahasa Mandarin. Penelitian tentang perilaku pembelajaran Bahasa Mandarin Pemula dalam penggunaan Handphone dalam kehidupan sehari-hari diperlukan agar mengetahui dan memastikan apakah peran Aplikasi Pembelajaran di Ponsel bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan Kemampuan pelafalan Hanyu Pinyin Bahasa Mandarin. PEMBAHASAN
Metode Penelitian Deskriptif menurut Lexy Moleong (1995), adalah sebuah metode yang efektif untuk tujuan mendeskripsikan, atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena yang bersifat alamiah maupun fenomena hasil rekayasa. Metode Penelitian yang dilakukan berfokus pada perilaku pembelajar Bahasa Mandarin dalam menggunakan Handphone, sehingga metode yang digunakan adalah metode deskriptif pendekatan kualitatif. Dengan tahapan observasi terhadap kompetensi pelafalan awal yang dimiliki oleh pembelajar pemula, kemudian
menyebarkan kuisioner tentang perilaku
penggunaan Handphone bagi pembelajar pemula Bahasa Mandarin, dan dikaitkan dengan manfaat dan motivasi menggunakan aplikasi Bahasa Mandarin untuk
359
meningkatkan pelafalan Hanyu Pinyin. Teori Pembelajaran Berdasarkan teori Pembelajaran Prilaku Manusia, berdasarkan teori Ivan Petrovich Pavlov yang pernah melakukan percobaan terhadap perilaku hewan yaitu anjing, anjing akan mengeluarkan air liur saat akan diberi makanan, dan jika pemberian makanan pada anjing dikondisikan dengan membunyikan suara lonceng, maka tanpa memberikan makananpun saat anjing mendengar suara lonceng, dengan otomatis anjing akan mengeluarkan air liur. Menurut Fera Andriyani (2015) perilaku individu dapat dikondisikan, Belajar merupakan upaya untuk mengkondisikan suatu perilaku atau respon terhadap sesuatu. Tentang Pelafalan Hanyu Pinyin Bahasa Mandarin Di Dalam Pelafalan Bahasa Mandarin memiliki beberapa perbedaan dengan pelafalan Bahasa Indonesia di dalam konsonan, vocal dan nada sehingga dalam hal ini Pembelajar perlu memperhatikan proses pelafalan Bahasa Mandarin. Pengertian pelafalan Hanyu Pinyin menurut Liem A Wijaya & Leoni A. Wijaya, Alfabet Latin Bahasa Mandarin (Pinyin) merupakan jembatan untuk mengucapkan huruf Han (huruf Mandarin). Konsonan Bahasa Mandarin Menurut Liem A Wijaya & Leoni A. Wijaya tentang Hanyu Pinyin adalah, konsonan Bahasa Mandarin memiliki ciri-ciri: (1) pada dasarnya konsonan tidak dapat berdiri sendiri, (2) ada beberapa vocal tunggal yang bisa berdiri sendiri, (3) vocal dalam bahasa mandarin harus diungkapkan dengan lengkap dan jelas, (4) titik dua yang berada di atas “u” harus dihilangkan apabila lafal berawalan konsonan “j”, “q”, “x”, dan (5) titik dua yang berada di atas “u” harus tetap diadakan , apabila lafal berawalan konsonan “l” Konsonan Bahasa Mandarin antara lain: b, p, m, f, d, t, n, l, g, k, h, r, j, q, x, zh, ch, sh, z, c, Konsonan Pengganti ada 2 huruf, antara lain: y,w Vokal Tunggal Bahasa Mandarin memiliki 6 huruf yaitu a, o, e, i, u, ü Vokal Tunggal lain (4 huruf) r, er, i, -i Vokal Rangkap (29 Huruf): ai, ei, ao, ou, ia, ie, iao, iou, ua, uo, uai, ui, ue, an, en, ang, eng, ung, ian, in, iang, ing, iong, uan, uen, uang, ueng, uan, un Nada Ciri Khas Bahasa Mandarin yang tidak dimiliki oleh Bahasa Indonesia adalah penggunaan Nada dalam pengucapannya. Di dalam Bahasa Mandarin perbedaan nada akan memberikan perbedaan arti, menurut Zhou Xiao Bing Nada dalam Bahasa Mandarin terdiri atas empat nada dan di beberapa keadaan kosakata bisa dibaca nada netral.Berikut adalah posisi cara baca nada dalam bahasa mandarin sesuai tangga nada:
360
Gambar 1. Gambar Nada Dalam Bahasa Mandarin Tentang Media Aplikasi Handphone Fungsi Media menurut Tejo Nurseto (2012) dapat ditekankan beberapa hal berikut ini yaitu sebagai alat untuk membuat pembelajaran yang lebih efektif, mempercepat proses belajar, meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar, mengkongkretkan yang abstrak sehingga dapat mengurangi terjadinya penyakit verbalisme. Salah satu contoh aplikasi yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran adalah aplikasi Hello Chinesese, merupakan aplikasi pembelajaran yang dikembangkan oleh “Learn Chinese Mandarin” yang bertempat di Zhongguancun street, Haidian, Beijing, China untuk pembelajar Bahasa Mandarin Pemula yang bisa diunduh di Google Play atau App Store. Dasar Permainan ini adalah sesuai kurikulum pembelajar pemula, dan mendorong pembelajar pemula untuk termotivasi. Sistematika konten meliputi berbagai macam aspek, yaitu Membaca, Menulis, Berbicara/melafalkan, kosakata dan tata bahasa. Dalam pelatihan pelafalan disediakan pembetulan pelafalan yang baik dan benar sesuai dengan pelafalan Hanyu Pinyin. Penggunaan Aplikasi di Handphone berkembang dengan sangat pesat, tetapi penggunaan aplikasi tersebut untuk digunakan oleh peserta didik masih perlu ditingkatkan, pandangan penggunaan telepon gengam atau Handphone untuk digunakan sebagai media pembelajaran antara lain menurut Dody Iskandar (2010) Peningkatan jumlah pengguna telepon genggam telah membuka peluang untuk dikembangkannya media pembelajaran dengan konsep mobile learning sehingga belajar dapat dilakukan dimana pun dan kapan pun tanpa terikat ruang dan waktu. Pengertian Mobile Learning menurut Saedah Siraj (2004) Pembelajaran Mobile merupakan pembelajaran yang menyediakan ruang komunikasi yang lebih mudah dan cepat. lni memberi peluang kepada pelajar melibatkan diri secara fizikal dan mental dalam pembelajaran. Oleh kerana sifat pembelajarannya lebih memberi pertimbangan kepada keupayaan dan kesediaan kendiri, Pcmbelajaran Mobile membolehkan pelaksanaan penilaian segera dan dinamik terhadap kemajuan pelajar. Selain itu Aplikasi mobile bahasa Mandarin dapat secara signifikan dapat membantu meningkatkan kompetensi siswa Darmanto dkk. (2016).
361
Hasil Kuisioner Penelitian ini dilakukan dengan penyebaran kuisioner kepada 91 Responden untuk mengetahui perilaku pembelajaran Awal bahasa Mandarin Hanyu Pinyin dihubungkan dengan perilaku penggunaan Handphone dan aplikasi pembelajaran bahasa Mandarin.
No 1
2
3
4
5
6
7
8
Tabel 1. Hasil Kuisioner Pertanyaan Responden Apakah Anda Memiliki 89 Handphone berbasis sistem 2 Android atau IOS Lama Waktu penggunaan 3 Handphone dalam satu hari 9 13 65 1 Hal apa yang dilakukan 51 dengan HP 3 2 1 20 12 2
Apakah dalam mempelajari mandarin menggunakan Aplikasi Apakah Aplikasi di HP membantu pembelajaran Bahasa Mandarin Apakah mengetahui Aplikasi Pembelajaran Bahasa Mandarin Aplikasi sangat membantu anda dalam mempelajari
Apakah anda menyukai pembelajaran Bahasa Mandarin melalui Aplikasi di dalam Handphone
362
Hasil Responden menjawab Memiliki Responden menjawab tidak memiliki
49 42
Responden menjawab 1-30 menit Responden menjawab 31-60 menit Responden menjawab 61-90 menit Responden menjawab >90 menit Responden tidak menjawab Responden menjawab media sosial Responden menjawab membaca berita Responden menjawab mencari data perkuliahan Responden menjawab mempelajari Iptek Responden menjawab bermain games Responden menjawab lainnya: telepon, chatting, dll. Responden tidak menjawab Responden menjawab ya Responden menjawab tidak
83 7 1 20 71
Responden menjawab ya Responden menjawab tidak Responden tidak menjawab Responden menjawab tahu Responden menjawab tidak tahu
14 9 2 60 3 3 67 23 1
Responden menjawab Konsonan Responden menjawab Vokal Responden menjawab nada Responden menjawab Di semua bidang Responden menjawab tidak membantu Responden tidak menjawab Responden menjawab ya Responden menjawab tidak Responden tidak menjawab
SIMPULAN
Dari kuisioner penelitian deskriptif yang telah disebarkan terhadap responden yang merupakan pembelajar awal Bahasa mandarin, didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Pembelajar Bahasa Mandarin sebanyak 97,8% memiliki Handphone berbasis Android atau IOS yang dapat digunakan untuk media tambahan pembelajaran Bahasa Mandarin. 2. Kebiasaan penggunaan Handphone oleh pembelajar Bahasa Mandarin ditemukan terdapat 71,43% menggunakan Handphone dengan durasi waktu >90 menitt, sehingga dimana waktu ini bisa dimaksimalkan untuk mempelajari Bahasa Mandarin melalui aplikasi yang diinstal di Handphone. 3. Tetapi dalam pertanyaan tentang aktivitas yang dilakukan saat menggunakan Handphone, ada sejumlah 51 responden (56,1%) dalam memanfaatkan Handphone sering untuk membuka media social, serta terdapat 20 responden (21,98%) memanfaatkan Handphone untuk bermain permainan. 4. Dalam mempelajari Bahasa Mandarin, diketahui sejumlah 49 responden (53,85%) menggunakan Handphone untuk mempelajari Bahasa Mandarin. Sisanya 42 responden (46,15%) belum menggunakan Handphone untuk mempelajari Bahasa Mandarin. 5. Diketahui ada 83 responden merasa penggunaan aplikasi di Handphone dapat membantu pembelajaran Bahasa Mandarin, tetapi sebanyak 71 responden (78,02%) belum mengetahui aplikasi pembelajaran yang bisa mereka pergunakan. Dari hasil kuisioner tentang aplikasi Bahasa Mandarin yang terdapat di Handphone, terdapat 60 responden (65,93%) merasa mempelajari Bahasa Mandarin melalui aplikasi dapat meningkatkan pelafalan dalam Semua bidang pelafalan, selain itu ada 14 responden (15,38%) merasa mempelajari Bahasa Mandarin melalui aplikasi dapat meningkatkan pelafalan dalam Konsonan Bahasa Mandarin. Diketahui sebanyak 67 (73,62%) Responden menyukai aplikasi yang terdapat di Handphone untuk bisa membantu mempelajari Bahasa Mandarin. Saran Untuk perkembangan lebih lanjut, maka hal yang disarankan antara lain untuk pengembangan pembelajaran Bahasa Mandarin bagi Pemula yaitu: (1)Mempelajari Bahasa Mandarin sebagai bahasa asing bagi pembelajar Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan motivasi pembelajaran dan intensitas penggunaan bahasa mandarin, maka
363
penggunaan aplikasi di Handphone bisa digunakan sebagai media pembelajaran terutama untuk meningkatkan kompetensi pelafalan. (2) Dalam Pembelajaran Bahasa Mandarin diperlukan Media pembelajaran aplikasi di Handphone yang dapat meningkatkan skill pelafalan Hanyu Pinyin. Sehingga pembelajaran perlu memperoleh informasi berkaitan dengan jenis-jenis aplikasi yang bisa digunakan untuk meningkatkan pembelajaran Bahasa Mandarin (3)Untuk peningkatan kompetensi siswa yang signifikan, pengajar dapat memberikan penugasan kepada siswa, melalui penggunaan aplikasi Handphone di luar jam pelajaran yang dapat meningkatkan kompetensi dan motivasi belajar siswa. (5) Penelitian ini dapat ditindaklanjuti dengan pengukuran keefektivitasan aplikasi tersebut dalam pembelajaran bahasa mandarin. Sebagai Penutup, penelitian ini didukung dari dana hibah penelitian dosen pemula, yang berasal dari Kemenristek Dikti untuk anggaran 2017. DAFTAR PUSTAKA Andriyani, F. (2015). Teori Belajar Behavioristik dan Pandangan Islam tentang Behavioristik. Syaikhuna, 1(1), 165-180. Darmanto, Yulius Hari, dan Budi Hermawan., (2016). Mobile Learning Application to Support Mandarin Language Learning for High School student. Imperial Journal of Interdiciplinary Research., Vo. 2, No. 4,. ISSN: 2454-1362, Diakses dari : http://www.onlinejournal.in, 3 Maret 2016. ISKANDAR, D., & Soesianto, I. F. (2010). Pengembangan aplikasi berbasis teknologi mobile untuk pembelajaran (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada). Liem, Wijaya A. & Liem, Leoni Wijaya (2010). Mudah Melakukan Percakapan Bahasa Mandarin Sehari-hari. Jakarta: Tangga Pustaka Moleong, Lexy(1995). Metode penelitian. Bandung: Remaja Rosda Karya. Nurseto, T. (2012). Membuat media pembelajaran yang menarik. Jurnal Ekonomi & Pendidikan, 8(1). Siraj, S., & Saleh, M. (2004). Pembelajaran Mobile dalam kurikulum masa depan. Masalah pendidikan, 27, 128-142.
364
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF STUDENT TEAMSACHIEVEMENT DIVISION ( STAD) BERBASIS KESANTUNAN BAHASA GUNA MENINGKATKAN KOMPETENSI ANAK
Siti Saudah, Suprih Ambawani, Windy Permadi [email protected] Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta
ABSTRACT Nowadays, one of problems in Indonesia is the decline of humanity and togetherness that create selfish and self-center attitudes. Due to the fact, it is necessary to have a sense of tolerance and accept diversity in our country. Bahasa Indonesia is a personality course that is expected to be able to grow the attitude of diversity. Therefore it is necessary to improve students competence in learning Bahasa Indonesia with the right method. The purpose of the study is to improve students competence and foster a sense of tolerance in children through learning model of Student Teams- Achievement Division (STAD) based on politeness in language. The benefit of this research is to increase student self reliance and achievement. The method used is Student Teams- Achievement Division (STAD) through class presentations, teams, quizzes, progress of student score and team awards. The result of observation conducted by two observer using evaluation sheets in the aspects of competency. Evaluation of competence aspect is done with the following criteria : (1) Task/quiz 30%, (2) First mid semester test 15%, (3) second mid semester test 15% , (4) Final examination 30%, (5) Team reward score 10% . So the total score is 100%. The method is accordance with the principle of language politeness based learning that prioritizes formality, hesitancy, and equality or cameraderie. The result shows that the application of Student Teams- Achievement Division (STAD) based on politeness in language in Bahasa Indonesia course is able to improve students competence . The following are the score of 38 students: score A 18.42 %, Score B 76.32%, score C 2.63%, and score E 2.63 % . The score E is due to not taking mid semester or final examinations. Keywords: Student Teams-Achievement Division (STAD),competence, Politeness in Language PENDAHULUAN Dewasa ini yang menjadi problem di Indonesia adalahmerosotnya moral bangsa. Hal ini menyebabkan berkurangnya rasa kemanusiaan dan kebersamaan yang memunculkan sikap egois dan menang sendiri. Problem moral ini sering ditemuai prilaku anak yang cenderung bersikap arogansi, saling memfitnah sesama teman, senang membully orang lain, rendahnya kepedulian sosial, bahkan merosotnya sifat hormat terhadap orangtua dan guru (gayatri, 2011: 28). Kurikulum pendidikan menjadikan mata kuliah Bahasa Indonesia sebagai salah satu mata kuliah kepribadian. Mahasiswa diharapkan dengan adanya mata kuliah ini mampu secara teori dan praktik untuk menyelesaiakan masalah masalah seperti:
365
nasionalisme, kebhinnekaan dan mampu secara kompetensi dalam penggunaan bahasa Indonesia. Rendahnya kepedulian terhadap bahasa Indonesia bagi mahasiswadapat menimbulkan dampak nyata kurangnya rasa persatuan dan toleransi serta sulitnya menerima keberbedaan sehingga mendapatkan perhatian banyak pihak baik di lingkungan pendidikan formal maupun non formal. Prilaku ini banyak merugikan diri sendiri dan orang lain. Beberapa prilaku yang termasuk amoral di Indonesia misalnya, di Yogyakarta pada 23 Januari 2017 terjadi kekerasan di kalangan mahasiswa yang disebabkan karena perbedaan pendapat yang mengakibatkan tiga peserta Pendidikan Dasar (Diksar) Mapala UII Yogyakarta meninggal dunia. (Kedaulatan Rakyat, 26 Januari 2017).
Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) adalah sebuah proses belajar mengajar yang melibatkan kelompok-kelompok kecil yang memungkinkan siswa untuk bekerja sama di dalamnya guna memaksimalkan pembelajaran mereka sendiri dan pembelajaran satu sama lain (Johnson, dkk., 2010:4). Adapun Student Teams-Achievement Division (STAD) merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dan merupakan model yang paling baik bagi para guru. STAD terdiri atas lima komponen utama, yaitu: presentasi kelas, tim, kuis, skor kemajuan individual, rekognisi tim (Slavin, 2005:6). Tentu hal ini sangat sesuai
dengan
prinsip
pembelajaran berbasis
kesantunan
bahasa
yang
mengedepankan formalitas (formality), ketidak-tegasan (hesitancy), dan kesamaan atau kesekawanan (equality atau cameraderie).Dengan santun berbahasa, dampak positif terhadap keberhasilan pembelajaran akan diraih. Dengan demikian penerapan model pembelajaranStudent Teams-Achievement Division (STAD) berbasis kesantunan berbahasadi Perguruan Tinggi mampu digunakan sebagai alternatif meningkatkan kompetensi anak dalam mata kuliah Bahasa Indonesia. Melalui model pembelajaranStudent Teams-Achievement Division (STAD)
berbasis
kesantunan bahasa mahasiswa dilatih dan disiapkan untuk mampu saling menghargai, membantu, berbagi, empati, bekerja sama dengan teman, bertanggung jawab, berpikir kritis, tidak egois, berani berbicara dan menyampaikan pendapat. Student Team Achievment Division (STAD) Student Team Achievment Division (STAD) merupakan salah satu strategi pembelajaran kooperatif yang di dalamnya beberapa kelompok kecil siswa dengan level kemampuan akademik yang berbeda-beda saling bekerja sama untuk menyelesaikan tujuan pembelajaran. Model pembelajaran STAD, siswa diminta untuk membentuk kelompok-
366
kelompok heterogen yang masing-masing terdiri dari 4-5 anggota. Setelah pengelompokan dilakukan, ada sintak empat-tahap yang harus dilakukan, yakni pengajaran, tim studi, tes dan rekognisi. Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD merupakan pendekatan Cooperative Learning yang menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal.
Tahap 1: Pengajaran Pada tahap pengajaran, guru menyajikan materi pelajaran, biasanya dengan format ceramah-diskusi. Pada tahap ini, siswa seharusnya diajarkan tentang apa yang akan mereka pelajari dan mengapa pelajaran tersebut penting. Tahap 2: Tim Studi Pada tahap ini, para anggota kelompok bekerja secara kooperatif untuk menyelesaikan lembar kerja dan lembar jawaban yang telah disediakan oleh guru. Tahap 3:Tes Pada tahap ujian, setiap siswa secara individual menyelesaikan kuis. Guru menscorekuis tersebut dan mencatat pemerolehan hasilnya saat itu serta hasil kuis pada pertemuan sebelumnya. Hasil dari tes individu akan diakumulasikan untuk skor tim mereka. Tahap 4: Rekognisi Setiap tim menerima penghargaan atau reward bergantung pada nilai skor rata-rata tim. Misalnya, tim-tim yang memperoleh poin peningkatan dari 15 hingga 19 poin akan menerima sertifikat sebagai TIM BAIK, tim yang memperoleh rata-rata poin peningkatan dari 20 hingga 24 akan menerima sertifikat TIM HEBAT, sementara tim yang memperoleh poin 25 hingga 30 akan menerima serta sebagai TIM SUPER. Kesantunan berbahasa adalah hal memperlihatkan kesadaran akan martabat orang lain dalam berbahasa, baik saat menggunakan bahasa lisan maupun bahasa tulis.Robin lakoff, 1973:21, menyatakan "kesantunan dikembangkan oleh masyarakat guna mengurangi friksi dalam interasi pribadi". Menurutnya, ada tiga buah kaidah yang harus dipatuhi untuk menerapkan kesantunan, yaitu formalitas (formality), ketidaktegasan (hesitancy), dan kesamaan atau kesekawanan (equality atau cameraderie) (1)Formalitas berarti jangan terdengar memaksa atau angkuh. (2)
367
Ketidaktegasan berarti berbuatlah sedemikian rupa sehingga mitra tutur dapat menentukan pilihan. (3) Kesamaan atau kesekawanan berarti bertindaklah seolah-olah Anda dan mitra menjadi sama. PEMBAHASAN
Setelah mengikuti perkuliahan Bahasa Indonesia, mahasiswa diharapkan memiliki competence / kompetensi, antara lain: mampu memahami kedudukan dan fungsi Bahasa Indonesia, membuat kalimat efektif, menyusun paragraf yang baik serta mampu memahami teknik penulisan karya ilmiah.Mahasiswa juga diharapkan memiliki sikap formality/formalitas, mahasiswa mampu bersikap tidak egois dan menang sendiri,hesitancy/toleransi, mahasiswa mampubersikap terbuka, dan menghargai pendapat orang lain. Mahasiswa juga diharapkan memiliki sikap equality/kesamaan atau kesekawanan, antara lain: mahasiswa mampu menghargai teman, berempati dan saling berbagi dengan teman kelompok maupun di tengah masyarakat,
beradaptasi dengan lebih luwes dan peka terhadap kebutuhan
lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum indikator keberhasilan pembelajaran ini adalah meningkatnya kompetensi mahasiswa dalam pemahaman penggunaan Bahasa Indonesia secara tertulisbaik dalam bentuk bahasa biasa maupun bahasa ilmiah sesuai dengan materi perkuliahan yang telah dirancang. Materi perkuliahan Bahasa Indonesia secara umum membahas tentang pentingnya penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Mahasiswa juga dibekali dengan cara mengimplementasikan penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat terutama berkaitan dengan adanya keberagaman atau kebhinnekaan. Kegiatan belajar mengajar pada mata kuliah Bahasa Indonesia ini menekankan langkah-langkah beruntun yang terdiri dari: konteks, pengalaman, evaluasi dan Langkahlangkah tersebut dikolaborasikan dengan Student Teams-Achievement Division (STAD) melalui presentasi kelas, tim, kuis, skor kemajuan individual serta rekognisi/penghargaan tim. Selanjutnya dosen memberikan deskripsi tentang materi serta memberikan latihan tentang penyusunan kalimat efektif, pembuatan paragraf yang baik serta penggunaannnya dalam penulisan karya ilmiah. Kegiatan seperti kuis, tugas, ujian ujian juga dilakukan untuk menilai kompetensi dari tiap mahasiswa. Dalam kegiatan belajar mengajar, mahasiswa juga diajak untuk berdiskusi, bekerja dalam kelompok. Metode yang digunakan dalam pembelajaran Bahasa Indonesiaini adalah Student Teams-Achievement Division (STAD) melalui presentasi kelas, tim kuis, skor kemajuan
368
individual serta rekognisi/penghargaan tim melalui presentasi kelas, tim, kuis, skor kemajuan individual serta rekognisi/penghargaan tim. Presentasi kelas disini diartikan sebagai kegiatan memberi materi/presentasi oleh dosen, diskusi kelompok maupun presentasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Tim dalam konsep STAD adalah sekelompok mahasiswa terdiri dari 4 sd 5 mahasiswa untuk melakukan kolaborasi bersama dalam pembelajaran terutama saat tugas kelompok maupun diskusi kelompok. Melalui tim ini diharapkan terjadi diskusi antar individu yang akan membawa pada peningkatan tanggung jawab, penghargaan terhadap orang lain serta kemandirian masing-masing individu. Kuis atau tugas diberikan untuk menguji kompetensi dari masing-masing individu. Skor kemajuan individual digunakan untuk melihat kemajuan pembelajaran dari masing-masing individu. Dosen dapat memberikan perhatian lebih kepada individu yang skor kemajuan individunya kurang dan memotivasi agar terjadi peningkatan skor. Rekognisi tim atau penghargaan tim, diharapkan dapat memacu tiap individu dalam kelompok untuk memdapatkan hasil yang maksimal dengan tidak meninggalkan nilai-nilai seperti kejujuran, mandiri dan lain sebagainya. Skor individual akan digabung menjadi skor kelompok/tim dan penghargaan akan diberikan kepada tim yang mempunyai prestasi. Media yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah LCD projektor, komputer atau laptop. Evaluasi dari proses pembelajaran ini meliputi, evaluasi terhadap competence, formality, hesitancy,equalitymahasiswa. Evaluasi terhadap competence dilakukan dengan ujian sisipan, ujian akhir, tugas maupun kuis. Evaluasi terhadap formality, hesitancy, equality dilakukan dengan melihat perkembangan skor dari mahasiswa melalui pretest (diukur pada pertemuan pertama kuliah) dan postest (diukur pada tengah atau akhir semester), serta mengidentifikasi nilai-nilai yang didapat dari proses Bahasa Indonesia ini. Nilai-nilai yang diukur adalah disiplin, jujur, mandiri, peduli, tangguh terbuka dan tanggungjawab.
Pelaksanaan Proses Pembelajaran Pelaksanaan proses pembelajaran Bahasa Indonesia secara umum terjadi dalam satu siklus, dimana siklus ini terdiri dari 6-7 pertemuan. Hal ini dilakukan mengingat banyaknya sub pokok bahasan di tiap pokok bahasan sehingga evaluasi dilaksanakan di akhir. Tugastugas juga dibuat terintegrasi sehingga dapat terlihat keterkaitan antar pokok bahasan demikian halnya dengan pengukuran indikator keberhasilan. Pokok Bahasan: 1) Pendahuluan: Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia.2) Pemakaian Huruf 3)Pemakaian Tanda Baca 4) Kata dan Pilihan Kata (Diksi)
369
5) Kalimat Efektif6) Penyusunan Paragraf yang Baik7) Daftar Pustaka Pokok Bahasan 1: Pendahuluan( 2 sks / 100 menit) Hari Jumat, 24 Februari 2017, Pk. 10.00 – Pk. 11.40 Peserta : 36 mahasiswaTempat : Ruang B 216 Sub Pokok Bahasan : a.Pretest dan pembagian kelompok/ tim b.Pengertian Student Teams Achievement Division (STAD) c. Silabus dan Satuan Acara Perkuliahan Kegiatan Pembelajaran : Konteks : Dosen melihat profil peserta pembelajaran Bahasa Indonesia Peserta mata kuliah ini berdasarkan jenis kelamin terdiri dari 38 mahasiswa, 7 mahasiswa perempuan dan 31 laki-laki.Hasil penggalian konteks ini digunakan untuk menyusun strategi pembelajaran khususnya dalam pembagian kelompok.
Gambar 1. Distribusi Peserta Mata Kuliah Bahasa Indonesia Pengalaman:
Dosen mengajak mahasiswa untuk melihat fungsi, kedudukan Bahasa Indonesia melalui materi yang telah disiapkan. Mahasiswa mendiskusikan isi dari materi tersebut dan melakukan sharing bersama. Dosen menegaskan kembali pentingnya kedudukan dan fungsi Bahasa Indonesia serta memberikan contohnya di dalam kehidupan sehari-hari serta pentingnya menggunakan Bahasa Indonesia dilanjutkan dengan mencari contoh fungsi Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari oleh mahasiswa. Pokok Bahasan 2: Pemakaian Huruf( 2 sks / 100 menit) Hari Jumat, 3 Maret 2017, Pk. 10.00 – Pk. 11.40
370
Peserta : 33 mahasiswa Tempat : Ruang B.216 Sub Pokok Bahasan : 1) Huruf Abjad 2) Huruf Vokal3)Huruf Konsonan 4)Huruf Kapital 5)Huruf Miring4).Huruf Tebal Kegiatan Pembelajaran: Konteks:
Dosen melakukan review ringkas atas materi sebelumnya melalui tanya jawab dengan mahasiswa mengenai kedudukan dan fungsi Bahasa Indonesia, ragam bahasa Indonesia, dilanjutkan dengan mengajak mahasiswa untuk berdiskusi dalam kelompok.
Materi diskusi berasal dari materi yang sudah
disiapkan sebelumnya. Pengalaman:
Dosen mengajak mahasiswa untuk membaca pemahamanmateri tentang penggunaan jenis-jenis huruf, dan mencari 5 (lima) jenis huruf yang digunakan dalam
penulisan
ilmiah
dan
memberikan
penjelasan
tentang
alasan
penggunaannya.
PERTANYAAN 1. Menurut anda apa efinisi huruf? 2. Apa saja jenis huruf yang anda ketahui setelah memahami materi yang anda baca? 3. Jelaskankapanjenis- jenis huruf tersebut harus digunakan dalam penulisan ilmiah? Mahasiswa menjawab pertanyaan yang diberikan dosen melalui pengalaman mereka memahami materiserta hasil diskusi kelompok (30 menit), menuliskan hasil belajar dan mempresentasikan di depan kelas.
Dosen menjelaskan definisihuruf serta memberikan
contoh penggunaannya di dalam penulisan kalimat dengan menggunakan slide yang telah disiapkan. Dengan cara ini, diharapkan mahasiswa mampu mengetahui definisi huruf dan sekaligus penggunaannya.
Berikut ini cuplikan slide hasil belajar mahasiswa tentang huruf.
Slide Hasil Belajar Mahasiswa Tentang Huruf
371
Definisi huruf menurut kelompok saya 1. Huruf adalah satuan terkecil dari bahasa 2. Usur terkecil pembentuk kata 3. Abjad yang digunakan dalam ejaan bahasa Indonesia
Pokok Bahasan 3: Pemakaian Tanda Baca ( 2 sks / 100 Menit) Hari Jumat, 24 Maret 2017, Pk. 10.00 – Pk. 11.40 Peserta : 38 mahasiswaTempat : Ruang B 216 Sub Pokok Bahasan : 1) Pengertian Tanda Baca 2)Macam-Macam Tanda Baca 3) Fungsi Tanda Baca 4)Pengayaan
Kegiatan Pembelajaran: Konteks:
Dosen melakukan review ringkas atas materi sebelumnya (penggunaan huruf ) melalui tanya jawab dengan mahasiswa serta mengaitkan materi tersebut dengan pentingnya tanda baca dan macam-macam tanda baca serta bagaimana penggunaannya secara benar. Mahasiswa melihat kembali materi yang telah lalu dan pemahaman mereka terhadap penggunaan tanda baca dalam menyusun kalimat Pengalaman:
Dosen memberikan deskripsi dan latihan tentang penggunaan tanda baca dalam penyusunan kalimat pada latihan. Mahasiswa melakukan latihan dalam kelompok, didampingi oleh dosen tentang macam-macam tanda baca dan cara menggunakan membuat kalimat serta mempraktikan latihan mencermati tanda baca dalam sebuah bacaan secara kelompok.
372
Gambar 2. Latihan Membuat Pertanyaan untuk Pengumpulan Data Evaluasi:
Dosen mengoreksi hasil latihan baik secara individu maupun kelompok. Hasil ini digunakan sebagai bahan penilaian individual dan kelompok. Pokok Bahasan 4: Kata dan Pilihan Kata ( 2 sks / 100 menit) Hari Jumat, 29 Maret 2017, Pk. 10.00 – Pk. 11.40 Peserta : 32 mahasiswa
Tempat : Ruang B.216
Sub Pokok Bahasan : 1) Definisi kata2) Bentuk Kata4) Piihan Kata (Diksi) 5) Kreteria Pemilihan Kata Kegiatan Pembelajaran Konteks: Dosen melakukan review ringkas atas materi sebelumnya melalui tanya jawab dengan mahasiswa serta kegiatan minggu lalu. Mahasiswa melihat kembali materi dan kegiatan sebelumnya dan mengaitkan dengan cara mengamati bacaan yang menggunakan diksi dan tanda baca yang tepat. Pengalaman: Dosen mengajak mahasiswa untuk belajar melakukan pilihan kata/memilih diksi yang tepat melalui artikel yang telah disiapkan. Mahasiswa mendiskusikan isi dari artikel tersebut dan melakukan sharing bersama dilanjutkan dengan penegasan kembali pentingnya penggunaan diksi yang tepat serta memberikan contoh cara penggunaan diksi yang tidak tepat. Mahasiswa mencari contoh penggunaan diksi dalam sebuar bacaan, kemudian Dosen memberikan latihan tentang cara menggunakan diksi yang tepat. Mahasiswa mempraktikan latihan mengguakan diksi yang tepat dalam menyusun kalimatsederhana di dalam kelompok. Evaluasi: Dosen mengoreksi hasil pilihan diksi dalam menyusun kalimat sederhana yang
373
dilakukan oleh mahasiswa. Hasilnya, sebagian besar mahasiswa mampu memilih diksi yang tepat dalam menyusun kalimat sederhana. Pokok Bahasan 5: Kalimat Efektif ( 2 sks / 100 menit) Hari Jumat, 31 Maret 2017, Pk. 10.00 – Pk.11.40 Peserta : 36 mahasiswa
Tempat : Ruang B.216
Sub Pokok Bahasan : 1)Pengertian Kalimat 2) Kelengkapan Unsur Kalimat3) Pola Dasar Kalimat
4) Kalimat
Tunggal dan Kalimat Majemuk 5) Kalimat Efektif Kegiatan Pembelajaran Konteks: Dosen mengajak mahasiswa mencermati beberapa kalimatyang mempunyai unsurunsur (SPOK) yang lengkap dan mahasiswa menanggapi materi yang disampaikan oleh dosen dengan memberikan penegasan pentingnya menyusun kalimt efektif agar komunikatif dalam berkomunikasi. Pengalaman:
Dosen memberikan deskripsi tentang unsur-unsur kalimat (SPOK) dan penggunaannya. Setelah itu, mahasiswa mendiskusikan dan berlatih bersama menyusun kalimat dengan menggunakan unsur-unsur yang jelas dalam kelompok didampingi oleh dosen, dilanjutkan
memberikan latihan tentang menyusun
kalimat efektif dan kalimat majemuk Mahasiswa mempraktikkan latihan tentang menyusun kalimat efektif dan majemuk di dalam kelompok. Evaluasi: Mahasiswa mengoreksi dan memberikan penilaian atas tugas yang telah dibuat mahasiswa dalam satu kelompok. Pokok Bahasan 6: Paragraf ( 2 sks / 100 menit) Hari Jumat, 7 April 2017, Pk. 10.00 – Pk.11.40 Peserta : 35 mahasiswaTempat : Ruang B.216 Sub Pokok Bahasan : 1) Pengertian Paragraf 2) Syarat-Syarat Paragraf yang Baik 3) Pengembangan Paragraf 4) Struktur Kalimat dan Paragraf dalam Karya Ilmiah Kegiatan Pembelajaran Konteks:
Dosen mengajak mahasiswa memahami arti dan syarat-syarat paragraf yang baik, cara pengembangan paragraf dan struktur kalimat dan paragraf dalam
374
karya ilmiah, dan mahasiswa menanggapi materi yang disampaikan oleh dosen dengan memberikan penegasan arti dan syarat paragraf yang baik. Pengalaman:
Dosen memberikan deskripsi tentang syarat paragraf yang baik dan cara menyusunnya..Mahasiswa
mendiskusikan
dan
berlatih
bersama
cara
pengembangan sebuah paragraf dalam kelompok didampingi oleh dosen dilanjutkan dengan latihan menyusun paragraf yang baik dengan menggunakan pengembangan
yang
berbeda.Mahasiswa
mempraktikan
latihan
tentang
pembuatan paragrak yang baik di dalam kelompok. Evaluasi: Mahasiswa mengoreksi dan memberikan penilaian atas tugas yang telah dibuat mahasiswa dalam satu kelompok. Dosen melihat kembali hasil koreksi dan penilaian dari mahasiswa Pokok Bahasan 7: Ujian Sisipan I ( 2 sks / 100 menit) Hari Jumat, 28 April 2011, Pk. 10.00 – Pk.11.40 Peserta : 36 mahasiswaTempat : Ruang B.216 Selain uji kompetensi, pada ujian sisipan I ini, mahasiswa juga diminta untuk mengisi lembar postest bagian A, bagian B, menilai keterlibatan setiap anggota kelompok serta menuliskan nilai-nilai yang diperoleh dari perkuliahan pengolahan data statistik.
Capaian Kompetensi dan Indikator Sesuai dengan tujuan kegiatan dari penerapan model pembelajaran pada mata kuliah pengolahan data statistik ini adalah meningkatnya kompetensi mahasiswa dalam pengolahan data statistik. Hal ini dapat dilihat dari nilai atau
375
Gambar 3. Distribusi Nilai Prestasi Bahasa Indonesia Catatan: 1 mahasiswa mendapatkan nilai E dikarenakan tidak mengikuti ujian sisipan 1 dan Ujian Akhir.
SIMPULAN
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Student Teams-Achievement Division (STAD)Berbasis Kesantunan Bahasa pada Mata Kuliah Bahasa Indonesia mampu meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam memahami dan menggunakan bahasa Indonesia baik secara tulis maupun lisan.Hasil pengukuran terhadap Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Student Teams-Achievement Division (STAD) Berbasis Kesantunan Bahasa pada Mata Kuliah Bahasa Indonesia mampu meningkatkan Tim Work dari aspek :tangguh, tanggung jawab, jujur, terbuka, toleransi, disiplin, terlibat aktif dalam kelompok, peduli. DAFTAR PUSTAKA Balitbang Dikbud. 1997. Pedoman Pembelajaran Budi Pekerti, Jakarta: Pusbangkurrandik. Gayatri, Yuni. 2011. “Mengembangkan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Biologi Berbasis Karya Ilmiah”. Dalam Seminar Nasional Soft Skill and Charakter Building. Universitas Muhammadiyah Surabaya Januari 2011 Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 26 Januari 2017 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2011. Jakarta: Balai Pustaka Lakoff, R. 1973, The Logic of Politeness: Minding Your P's and Q's Slavin, Robert E.,2005., Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik., Bandung, Penerbit Nusa Media.
376
IMPLEMENTASI STRATEGI SQ3R MEMBACA KRITIS SASTRA SISWA MI KELAS LANJUT Dwi Masdi Widada [email protected] UIN Maliki Malang ABSTRAK
Membaca pemahaman (kritis) merupakan salah satu tingkatan membaca yang memiliki strategi dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Madrasah Ibtidaiyah adalah sekolah berbasis islam yang memiiki peluang untuk memelajari berbagai macam ilmu pengetahuan. Pemahaman membaca perlu ditekankan pada anak sedini mungkin. Siswa MI kelas lanjut sudah dapat membaca lancar, sehingga pemahaman membaca kritis terkait dengan bacaan khususnya sastra menjadi pintu utama untuk memelajari ilmu pengetahuan. Strategi SQ3R merupakan strategi pembelajarn membaca yang bertujuan untuk membantu pembaca agar dapat memahami secara utuh dan rinci tentang isi suatu teks. Siswa MI kelas lanjut memiliki kebebasan menganalisis dan mengapresiasikan beberapa karya seperti cerpen, puisi, dan drama dalam sudut pandang mereka. Membaca kritis memerlukan pemahamn subyektif yang harus dibina agar dapat memunculkan ide-ide kreativitas di kalangan siswa. Siswa Madrasah Ibtidaiyah memiliki keragaman tersendiri dalam berpikir sesuai dengan konteks nilai-nilai keislaman yang dimiliki. Gambaran konkret mengenai penerapan strategi SQ3R ini akan disajikan contoh-contoh panduan analisis kebutuhan pembelajaran dengan mengacu pada penerapan strategi SQ3R. Contoh penerapan tersebut akan disajikan pada tahap sebelum pelaksanaan pembelajaran dan saat pelaksanaan pembelajaran. Pembelajaran membaca SQ3R di kelas lanjut memberikan dampak pada siswa. Siswa dapat memahami isi wacana secara garis besar dan memberikan tanggapan dalam berbagai bentuk. Siswa mampu mengungkapkan sendiri sesuatu yang dibaca dan didengar. Siswa mampu mendapatkan informasi dari berbagai bahan tertulis atau lisan (pengetahuan, gagasan, pendapat, permasalahan, pesan, ungkapan perasaan, pengalaman, dan peristiwa). Siswa mampu memberikan tanggapan dalam berbagai bentuk. Siswa mampu mendapatkan data maupun fakta dari buku-buku dan memanfaatkannya untuk keperluan. Penerapan membaca ini juga akan berpengaruh pada berbagai mata pelajaran lain yang nantinya dapat digunakan dalam belajar Kata Kunci: Membaca Kritis, Strategi SQ3R, Madrasah Ibtidiyah PENDAHULUAN Fungssi pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah termasuk Madrasah Ibtidaiyah, selanjutnya disingkat MI, adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi. Komunikasi berbahasa Indonesia baik lisan maupun tulisan dapat menajamkan kemampuan di dalam mendapatkan wawasan atau informasi. Dengan kemampuan tersebut, siswa diharapkan mampu memahami informasi yang disampaikan. Adapun di dalam kurikulum 1994 SD dinyatakan bahwa fungsi pembelajaran bahasa
377
Indonesia adalah sebagai sarana peningkatan pengetahuann dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya, sebagai sarana peningkatan dan keterampilan untuk untuk meraih dan mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, sebagai sarana penyebarluasan pemakaian bahasa dan sastra Indonesia. Berbagai kemampuan yang diharapkan tersebut dapat dilatih pada siswa melalui empat aspek keterampilan berbahasa yaitu membaca, menyimak, berbicara, dan menulis. Membaca merupakan salah satu aspek keterampilan berbahasa yang memiliki kedudukan penting dan strategis. Dikatakan demikian karena membaca merupakan bagian dari hidup manusia. Setiap aspek kehidupan ini keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari respon berupa kegiatan membaca (Burns, 1996: 5). Semua yang ada di sekitar manusia (khususnya yang berbentuk tulisan) hanya dapat dipahami karena adanya proses membaca. Oleh karena itu, cukup beralasan apabila keterampilan membaca tidak hanya dibutuhkan oleh masyarakat akademis, tetapi juga diperlukan oleh siapa saja yang membutuhkan informasi. Sudah sewajarnya apabila membaca telah menjadi kebutuhan dan bagian dari gaya hidup masyarakat. Membaca merupakan sebuatu bentuk keterampilan. Dalam konteks pembelajaran, siswa dikatakan terampil membaca apabila siswa dapat memahami makna yang terdapat di dalam bacaan. Untuk memenuhi hal tersebut, siswa harus dilatih membaca terus-menerus. Tentunya pelatihan membaca menggunakan strategi yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Oleh karena itu, dalam pembelajarannya, guru harus mampu mengarahkan siswa agar dapat memilih dan menggunakan strategi membaca yang efektif dalam rangka memdapatkan pemahaman isi bacaan yang sedang dibaca. Pembelajaran membaca di sekolah memiliki peran penting dalam membantu siswa agar terampil membaca. Terampil membaca bukan hanya sekadar membaca kata-kata, tetapi juga dapat membuat siswa menjadi mahir wacana (kemahirwacanaan), yakni mahir secara tekstual maupun kontekstual (Tompskin dan Hoskisson, 1991: 18). Siswa dikatakkan mahir membaca apabila mampu mencari, menyerap, dan menyeleksi informasi yang relevan secara tepat, mampu memanfaatkan kompetensi yang dimiliki tersebut dalam mendukung pandangan, merespon beragam teks dan menggunakannya untuk membuat intervensi dan deduksi. Sehubungan dengan pembelajaran membaca kritis, guru harus mampu menerapkan strategi mengajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa. Oleh karena itu, sebelum menentukan strategi pembelajara membaca, terlebih dahulu guru harus memahami tingkatan-tingkatan membaca pemahaman atau tipe-tipe pemahaman teks bacaan. Tipe-tipe pamahan tersebut antara lain: pemahaman literal, pemahaman interpretatif, pemahaman
378
kritis, dan pemahaman kreatif. Keempat tipe tersebut saling berkaitan. Membaca kritis merupakan salah satu tingkatan membaca yang memiliki kedudukan strategis dalam pembelajarn bahasa Indonesia (termasuk juga MI). membaca kritis perlu diajarkan kepada siswa karena pada prinsipnya siswa tidak hanya ingin mengetahui apa yang dibaca, melainkan ingin mengetahui kebenaran suatu informasi yang ada pada teks bacaan. Membca kritis merupakan kegiatan mengevaluasi materi tertulis yakni membandingkan gagasan yang tercakup dalam materi dengan standar yang diketahui dan menyimpulkan tentang keakuratan atau kesesuian (Burns, 1996: 278). Pembaca kritis harus
dapat
menjadi
pembaca
yang
aktif
bertanya,
meneliti
fakta-fakta,
mempertimbangkan semua isi materi. Membaca kritis merupakan kegiatan yang dimulai dari kegiatan analisis, sintesis, dan evaluasi. Membaca kritis dapat dikatakan sebagai membaca analisis dan evaluasi. Oleh karena itu, seorang pembaca kritis harus mampu memiliki pikiran yang tajam sehingga mampu bersikap kritis terhadap teks yang dibaca. Sampai saat ini kondisi objektif pembelajaran membaca sastra di lembaga pendidikan formal masih belum optimal. Dikatakan demikian karena pembelajaran membaca cerpen padaumumnya masih terbatas pada analisis struktur cerpen dengan menekankan pada kognitif sastra semata. Dalam hal ini, kegiatan yang dilakukan biasanya dimulai dengan kegiatan membaca dan diakhiri dengan menganalisis unsur intrinsik. Padahal kegiatan tersebut sebenarnya dapat diarahkan pada upaya melatih siswa untuk memberikan penilaian kritis dengan melibatkan berbagai kemampuan, kepekaan, dan emosi. Dengan perkataan lain, analisis struktur sastra yang selama ini diberlakukan dalam membaca sastrakurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dan mengakrabkan diri pada sastra, baik cerpen, puisi, mapun drama. Pembelajaran membaca krisis sastra sanpai saat ini tampaknya belum optimal, baik ditinjau dari segi tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap evalusi pembelajaran. Pada tahap perencanaan, guru tampak masih mengalami kesulitan dalam menentukan materi yang menarik dan kesesuaian dengan tingkat kemampuan siswa. Guru umumnya mengambil materi pelajaran cerpen dari buku paket. Pada tahap pelaksanaan, guru seringkali menggunakan strategi pembelajaran membaca yang kurang tepat dan kurang bervariasi. Dalam hal ini, kegiatan guru biasanya sebatas pada memilih bahan cerpen dan menyuruh siswa untuk membacanya. Setelah membaca siswa disuruh menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan cerpen tersebut. Ironisnya lagi, guru tidak membantu atau membimbing siswa dalam membaca saat kegiatan pembelajaran membaca berlangsung. Guru lebih sibuk dengan dirinya sendiri. Pada tahap evaluasi, guru hanya mengambil nilai dari hasil menjawab pertanyaan tanpa melihat proses membaca yang
379
dilakukan siswa. Apabila kondisi tersebut terus berlanjut, maka siswa kurang terlatih untuk berpikir kritis karena kegiatan belajar-mengajar siswa hanya berkutat pada unsur-unsur literal. Kondisi seperti ini tentu memprihatinkan. Tidak ada nilai simpati dan empati. Bertumpu pada berbagai hal yang telah diuraikan di atas, sebaikny upaya untuk mengoptimalkan pembelajaran membaca kritis sastra, udah sepatutnya apabila praktik pembelajaran dilakukan dengan memanfaatkan berbagai strategi, tentunya strategi pembelajaran yang memungkinkan tercapainya tujuan pembelajaran yang diharapkan. Strategi yang dimaksud antara lain adalah strategi SQ3R. Agar diperoleh gambaran yang meyeluruh tentang permasalahan tentang permasalahan yang diajukan, maka dalam tulisan ini akan disajikan secara berturut-turut konsep-konsep tentang hakikat pembaca kristis, pembelajaran membaca pemahaman di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah, dan penerapan strategi SQ3R di MI kelas lanjut. Hakikat Membaca Kritis Sastra Aspek-aspek ketarampilan berbahasa di dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dapat dilaksanakan secara terpadu. Pembelajaran keterampilan berbahasa membaca dapat dipadukan dengan keterampilan menyimak, berbicara, dan menulis. Dengan perkataan lain, di dalam setiap pembelajaran kbahasaan secara tidak langsung akan tercermin
semua
aspek
ketarampilan
berbahasa
yang
meliputinya,
meskipun
pelajarannyahanya difokuskan pada salah satu aspek. Selain itu, kterpaduan yang dimaksud bukan berarti bahwa semua komponen yang terdapat dalam setiap aspek keterampilan berbahasa tersebut harus ditonjolkan, tetapi salah satu komponen saja yang harus ditonjolkan. Salah satu kegiatan pembelajaran yang terkait dengan komponen pemahaman adalah pembelajaran membaca. Membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang bersifat aktif-reseptif, yakni proses penyerapan informasi yang dilakukan secara aktif. Dikatakan aktif karena selain mengandalkan mata sebagai sarana utama dalam menerjemahkan lambang-lambang huruf (tulisan). Proses membaca juga melibatkan berbagai piranti lainnya yang terdapat di dalam diri seseorang (seperti pengetahuan seseorang yang berhubungan dengan topik). Selain itu, pembca akan berupaya agar lambang-lambang yang dilihatnya itu menjadi lambang-lambang yang bermakna baginya. Membaca pada prinsipnya merupakan proses berpikir kontruktif yang mencakup pemahaman terhadap makna eksplisit dan implisit. Menurut Strauffer dn Walker, proses membaca di dalamnya melibatkan aplikasi, analisis, evaluasi, dan imajinasi (Pamfrey, 1977: 2). Berdasarkan pendapat tersebut, tampak bahwa membaca merupakan proses berpikir untuk mendapatkan pesan yang disampaikan penulis melalui tulisannya. Adapun
380
untuk mendapatkan pesan dari bahan bacaan, seseorang diharapkan mampu membaca dengan baik sehingga pesan atau informasi yang disampaikan penulisnya dapat dipahami dengan baik pula. Keterampilan membaca bukan hanya merupakan salah satu ketrampilan dasar untuk menunjang keberhasilan dalam mengikuti pendidikan dan pengajaran di sekolah, melainkan juga merupakan ketarampilan yang sangat penting bagi setiap orang dalam kehidupan di masyarakat. Kenyataan yang sering ditemukan dalam konteks pembelajaran membaca (diantaranya di MI kelas lanjut), biasanya siswa ditugasi untuk menjawab sebuah teks beberapa menit, selanjutnya siswa diminta untuk menjawab berbagai pertanyaan yang berhubungan dengan bacaan tersebut. Jadi, dalam hal ini kegiatan membaca tidak diawali dengan tahap prabaca atau tahap menggali skemata siswa, hanya mengutamakan kegiatan pascabaca yang diarahkan pada penilaian akhir pembelajaran. Kondisi seperti ini tentunya berimplikasi pada rendahnya tingkat kemampuan siswa dalam memahami isi bacaan. Sehubungan dengan hal ini, salah satu cara yang dapat ditempuh agar siswa dapat dengan mudah dalam memahami isi bacaan adalah dengan cara membangkitkan kembali pengalaman siswa yang berhubungan dengan topik bacaan. Pengalaman siswa yang berkaitan dengan isi bacaan dapat menentukan tingkat atau level pemahaman dalam membaca. Semakin banyak pengalaman siswa yang berkaitan dengan isi bacaan, maka akan semakin tinggi pula tingkat pemahaman dalam membacanya. Sehubungan dengan tingkat pemahamaan dalam membaca, Burns mnyatakan bahwa terdapat dua tipe pemahaman dalam membaca, yakni pemahaman tingkat dasar (literal comprehention) dan pemahaman tingkat tinggi (higher order comprehention). Membaca tingkat tinggi meliputi membaca interpretatif (interpretative reading), membaca kritis (critical reading), dan membaca kreatif (creative reading). Keberadaan kedua tipe membaca pemahaman tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Karena kedua tipe tersebut merupakan dasar di dalam melaksanakan pembelajaran membaca pemahaman, maka guru harus memahaminya. Pemahaman literal menjadi dasar untuk pemaham yang lebih tinggi, begitu juga sebaliknya (Burns, 1996: 255). Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dipahami pula bahwa membaa pemahaman merupakan sebuah proses. Oleh karena itu, sebelum menentukan langkah-langkah proses pembelajaran membaca, guru seharusnya mengetahui dan memahami kondisi siswa (misalnya tingkat kecerdasan, kreatifitas, kondisi fisik, kebutuhan, dan perkembangan kognitif). Untuk mendorong siswa dalam membaca kritis, hendaknya para guru memerhatikan faktor-faktor yang berkaitan erat dengan kebutuhan siswa sehingga siswa akan melakukan proses membaca kritis dengan penuh kesungguhan.
381
Stern menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembahan manusia dapat diklasifikasikan atas aspek kognitif, psikologis, dan fiik. Adapun pertumbuhan dan perkembangan manusia tersebut berhubungan dengan perubahan struktur dan fungsi karakteristik manusia itu sendiri. Perubahan-perubahan tersebut terjadi dalam kemajuan yang mantap dan merupakan suatu proses kematangan. Perubahan tersebut tidak bersifat umum, melainkan merupakan hasil interaksi antar potensi bawahan dengan potensi lingkungan. Guru juga harus memahami kondisi tersebut (Mulyasa, 2004: 125). Tantangan bagi pendidikan adalah mengupayakan bagaimana menemukan atau menciptakan metode pendidikan dan lingkungan-lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan setiap siswa yang unik tersebut. Secara khusus apabila dikaitkan dengan konteks pembelajaran membaca kritis, penyebab timbulnya permasalahan yang dialami siswa dalam memahami isi bacaan tersebut diduga sebagai akibat dari pelaksanaan pembelajaran yang konvesional. Di dalam pembelajaran konvensional, guru kurang membangkitkan skemata siswa sebelum membaca. Dikatakan demikian karena ketika disajikan suatu bahan bacaan, siswa tidak melakukan dan tidak dapat memahami dengan baik kegiatan prabaca (berkait dengan curah pendapat tentang topik yang akan dibaca). Oleh karena itu, siswa tidak memiliki pengetahuan awal yang dapat membantu memahami isi bacaan tersebut. Pembelajaran Membaca Kritis di Madrasah Ibtidaiyah Pembelajaran membaca kritis di tingkat sekolah dasar / Madrasah Ibtidaiyah seharusnya diberikan pada kelas lanjut. Dikatakan demikian karena siswa MI kelas lanjut di dalam dirinya sudah memungkinkan untuk berbagai tahapan operasional yang mengarah pada kegiatan berpikir normal dan abstrak. Pada tingkat MI kelas lanjut, siswa sudah mampu menganalisi dan memahami ide-ide, mampu berpikir logis tentang data-data ang abstrak., mampu menyusun hipotesis, dan mampu membangun konsep-konsep sederhana mengenai berbagai hal yang dipelajarinya. Sehubunga dengan hal tersebut, perlu dipahami bahwa tahap pelaksanaan pembelajaran membaca kritis harus diawali dengan kegiatan pengelompokan dan klasifikasi tentang kondisi siswa yang pada kenyataannya berbeda sesuai dengan potensi dasar yang dimilikinya. Di dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dinyatakan bahwa perbedaan individu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yakni normal, sedang, dan tinggi. Tujuan diversifikasi tentang pengembangan siswa pada masing-masing kelompok di dalm kurikulum tersebut adalah (1) untuk kelompok normal; meengembangkan pemahaman tentang prinsip dan praktik aplikasi serta mengembangkan kemampuan praktik akademis yang berhubungan dengan kemampuan kerja, (2) untuk kelompok sedang: mengembangkan berbagai kemahiran (kemahiran berkomunikasi,
382
kemahiran potensi diri, aplikasi praktik, kemahiran akademik, dan kemahiran praktik yang berhubungan dengan tuntutan dunia kerja ataupun demi kelanjutan program pendidikan profesional, dan (3) untuk kelompok tinggi; mengembangkan pemahaman tentang prinsip, teori, aplikasi, dan mengembangkan kemampuan akademik untuk memasuki pendidikan tinggi. Penerapan Strategi SQ3R dalam Pembelajaran Membca Kritis Sastra di Madrasah Ibtidaiyah Kelas Lanjut Bertumpu pada berbagai uraian di atas, tampak bahwa pemberian motivasi terhadap siswa dalam pembelajaran membaca kritis di kalangan siswa MI kelas lanjut merupakan sebuah tantangan tersebdiri bagi kalangan dunia pendidikan, khususnya guru. Oleh karena itu, sudah sewajarnya apabila para guru diharapkan mampu menemukan format dan pola pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang lebih baru, manarik, dan menyenangkan agar pembelajaran dapat berlangsung kondusif. Apabila kondisi tersebut dapat terwujud, maka tidak mustahil para siswa akan semakin cinta dan bangga terhadap bahasa Indonesia.
Sebagai salah satu upaya untuk mnemukan model pembelajaran Bahasa dan sastra Indonesia yang terkait dengan kompetensi belajar membaca, maka penulis tertarik mengaji ulang tentang penerapan strategi SQ3R untuk meningkatkan kemampuan membaca kritis siswa sastra yang difokuskan pada siswa MI kelas lanjut. Strategi SQ3R merupakan strategi pembelajaran membaca yang bertujuan untuk membantu pembaca agar dapat memahami secara utuh dan rinci tentang isi suatu teks. Dengan strategi SQ3R, pembaca akan lebih cepat menemukan gagasan-gagasan pokok yang terdapat di dalam teks. Langkah-langkah yang terdapat di dalam strategi SQ3R meliputi: survey, question, read, recite, and review. Langkah-langkah tersebut harus diterapkan secara berurutan agar tujuan yang ingin dicapai dalam membaca dapat tercapai (Eanes, 1997: 5-82). Masing-masing tahapan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Tahap Pengamatan (survey) Pada tahap ini, siswa dituntut dapat menafsirkan makna judul cerpen, mengetahui biografi penulis, mengidentifikasi kata apayang dipakai untuk membahasakan diri penulis dalam cerpen, mengidentifikasi sudut pandang tokoh dalam penceritaan, menyebutkan tokoh-tokoh yag terlibat, dan menemukan peristiwa (awal, tengah, dan akhir) dari cerpen sekilas, Tahap Menyusun Pertanyaan (question) Pada tahap ini, siswa diminta membuat pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan
383
dengan menggunakan konsep pertanyaan 5W+1H. Tahap Membaca (read) Pada tahap ini, kegiatan siswa adalah membaca dalam hati secara keseluruhan dan menandai bagian-bagian cerpen yang menjadi jawaban atas pertanyaan yang telah dibuat. Sebagi tambahan, pada tahap ini sebenarnya terjadi tahap record, yakni siswa dituntut dapat mengidentifikasi penokohan, latar, alur, tema, nilai-nilai intrinsik cerpen. Tahap Menceritakan Kembali (recite) Pada tahap ini, siswa menceritakan kembali isi cerpen secara keseluruhan dengan menggunakan kata-kata sendiri. Tahap Meninjau Ulang (review) Pada tahap ini, siswa diminta untuk memeriksa dan meninjau kembali benar tidaknya catatan-catatan penting terkait dengan isi cerpen yang telah dibuatnya. Jika belum, maka siswa harus mencatat kembali kemudian mengaji kembali pekerjaan itu secara benar. Kegitan di atas bersifat menyeluuh. Dikatakan demikian karena di dalam pembelajaran membaca kritis sastra dengan strategi SQ3R, siswa diharapkan mampu memngingat kembali isi cerpen yang telah dibacanyasecara keseluruhan. Apabila siswa tidak mampu melaksanakannya, maka siswa harus membaca kembali denga teliti catatncatatan yang dibuatnya tentang isi cerpen tersebut. Hal ini dilaksanakan agarsiswa mampu mengomentari cerpen yang telah dibacanya. Berdasarkan sedikit ilustrasi tersebut, tampak bahwa strategi SQ3R dalam pembelajaran membaca kritis sastra memang diperlukan. Dengan strategi SQ3R, siswa memiliki kebebasan dalam menganalisis cerpen. Siswa terangsang untuk mampu berpikir kritis terhadap permasalahan di sekitarnya. Staregi SQ3R melatih siswa untuk belajar secara kolaboratif dan kemampuan siswa dapat diukur berdasarkan hasil karya dan unjuk kerja. Sebagai tambahan, perlu dipahami bahwa pembelajaran membaca di sekolah dasar meripakan salah satu pmbelajaran yang esensial. Sebagai contoh, di dalam GBPP 1994, dinyatakan bahwa tujuan pelajaran membaca untukkelas enam (kelas lanjut) adalah (1) siswa memahami isi wacana secara garis besar dan memberikan tanggapan yang dibaca dan didengar; (2) siswa mampu mendapatkan informasi dari berbagai bahan tertulis atau lisan (pengetahuan, gagasan, pendapat, permasalahan, pesan, ungkapan perasaan, pengalaman dan peristiwa); (3) siswa mampu mendapatkan data maupun fakta dari bukubuku dan memanfaatkannya untuk berbagai keperluan (Depdikbud, 1993: 4). Sebagai upaya untuk mencapai tujuan tersebut, sebelumya guru dituntut mampu memahami prinip=prinsip membaca dan cara mengajarkannya kepada siswa.
384
Fakta-fakta tentang rendahnya kemampuan siswa di dalam memahami isi bacaan (cerpen) antara lain diduga disebabkan oleh kurang tepatnya strategi pembelajaran yang dipilih dan diterapkan oleh guru, dalam hal ini khususnya strategi pembelajaran membaca kristis sastra. Dengan perkataan lain, guru kurang memiliki kemampuan untuk melakukan inovasi dalam pembelajaran. Sebab utamanya adalah guru kurang memiliki pengetahuan dan kurangnya pemahaman tentang berbagai strategi pembelajaran (diantaranya strategi pembelajaran membaca kritis). Sehubungan dengan hal itu, strategi SQ3R merupakan salah satu strategi dalam membaca yang bertujuan untuk membantu pembaca memahami ecara utuh dan rinci tentang isi suatu teks. Dengan strategi SQ3R, pembaca akan lebih cepaat menemukan gagasan-gagasan pokok yang ada dalam teks (Eanes, 1997: 5-82).
Analisis Pelaksanaan Pembelajaran dengan Strategi SQ3R dari Aspek Guru tahap pembelajaran
aspek guru membuka pelajaran
Survey
guru membangkitkan skemata siswa terkait dengan bahan bacaan
guru memprediksi isi bacaan
Question
read & record
385
guru membimbing siswa membuat pertanyaan tentang apa yang ingin diketahu dari cerpen
guru mengarahkan siswa membaca dalam hati dan mengerjakan tugas
langkah-langkah menyampaikan tujuan pembelajaran menjelaskan tugas-tugas belajar membagi tugas dalam kelompok curah pendapat untuk membangkitkan skemata siswa menampilan gambar dan topik cerpen dan meminta siswa untuk menuliskan pengetahuan yang dimiliki yang berhubungan dengan gambar dan topik meminta siswa utuk mengidentifikasi sudut pandang tokoh dalam cerita memprediksi isi cerpen berdasarkan gambar yang ditampilkan guru membimbing siswa untuk memprediksi isi cerpen dalam bentuk kalimat tanya meminta siswa untuk menuliskan infomasi yang diketahui pda kolom record membagikan teks bacaan dan LKS meminta siswa membaca dalam hati memberi bimbingan pada siswa dalam mengerjakan tugas dan menjawab pertanyaan yang ditulis dalam kolom record
guru membimbing siswa untuk menuliskan halhal penting tetang isi cerpen
Recite
guru meminta siswa menceritakan kembali isi cerpen dengan katakata sendiri guru memantapkan pemahaman terhadap cerpen
Review
membimbing siswa untuk menuliskan informasi yang telah diperolehnya dari membaca membimbing siswa untuk memetakan informasi yang telah diperolehnya meminta siswa untuk memeriksa kembali pertanyaan yang ditulis di kolom record meminta siswa membuat kesimpulan meminta siswa untuk mempresentasikan hasil kerja meminta siswa untuk menanggapi hasil presentasi mengadakan refleksi untuk memantapkan pemahaman siswa terhadap materi yang telah dipeajari
Analisis Pelaksanaan Pembelajaran dengan Strategi SQ3R dari Aspek Siswa
tahap pembelajaran
survey
aspek
langkah-langkah
siswa memperhatikan penjelasan guru
memperhatikan penjelasan guru tentang tugas dan proses pembelajaran membentuk kelompok
siswa mengingat kembali pengatahuan yang dimilikinya berhubungan dengan gambar dan topik
mengamati dan menafsirkan makna gambar dan judul cerpen yang ditampilkan guru menuliskan informasi yang berhubungan dengan gambar dan topik mengidentifikassi sudut pandang tokoh
memprediksi isi cerpen
question
membuat kalimat tanya tentang cerpen berdasarkan prediksi yang dibuat membaca dalam hati
read & record
386
menuliskan hal-hal yang penting untuk membuat kesimpulan tentang isi
memprediksi isi bacaan berdasrkan gambar dan topik cerpen membuat kalimat tanya tentang isi cerpen berdasarkan prediksi menulis informasi yang ingin diketahui dalam bentuk kalimat tanya pada lembaar kerja menerima teks bacaan dan LKS membaca dalam hati memahami isi cerpen dan menandai hal-hal yang penting dari isi cerpen menuliskan informsi yang telah diperolehnya setelah membaca pada lembar kerja
cerpen
Recite
review
meminta siswa menceritakan kembali isi cerpen dengan katakata sendiri memantapkan pemahaman terhadap cerpen
memetakan informasi yang telah diperolehnyake dalam kategori menjawab pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya membuat kesimpulan tentang isi cerpen mempresentasikan hasil kerja menanggapi dari beberapa petanyaan refleksi untuk memantapkan pemahaman terhadap materi yang tlah dipelajarinya mengerjakan evaluasi yang diberikan guru pembimbing
SIMPULAN Berdasarkan uraian tentang penerapan strategi SQ3R dalam membaca kritis sastra dapat disimpulkan bahwa sebagai upaya untuk mencapai tujuan dari proses pembelajaran membaca kritis, guru perlu membuat perencanaan proses pembelajaran. Hal tersebut perlu dilakukan agar pelaksanaan pembelajaran membaca kritis sastra dapat berjalan lebih terarah. Dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca kritis sastra, guru perlu menjelaskan terlebih dahulu tentang tujuan pembelajaran, membangkitkan skemata siswa yan terkait dengan topik, membimbing siswa dalam prose menemukan pokok pikiran, dan memantapkan pemahaman siswa terhadap bahan bacaandan mengadakan evaluasi. Penerapan strategi pembelajaran yang dilandasi dengan pengajian secara ilmiah akan dapat membangkitkan skemata pemikiran siswa sehingga dapat menunjang ketercapaian tujuan dan ketuntasan belajar. SQ3R merupakan strategi belajar yang efektif, namun ini tidak berlaku bagi semua siswa. Pengenalan terhadap beragam variasi strategi merupakan hal penting bagi siswa yakni pengenalan berbagai strategi yang dapat mengembangkan kesadaran metakognitif mereka.
387
DAFTAR PUSTAKA Burns, Paul C. Betty D. Roe Elinor P. Ross. 1996. Teaching Reading in Today’s Elementery Schools. Boston: Houghton Mifflin Company. De Porter, Bobbi & Mike Hernacki. 1992. Quantum learning: Unleshing The Genius In You. New York. Dell Publishing. Depdikbud. 1993. Kurikulum: Garis-garis Besar Program Pengajaran Bahasa Indonesia SLTP. Jakarta: Depdikbud. Depdiknas. 1992. Membaca Bahan Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikdasmen. Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian. Jakarta: Depdiknas. Eanes, Robin. 1997. Content Are Literary: Teaching fot Today and Tomorrow. Albany, NY: Delmar Publisher. Harris, Larry & Smith Carl B. 1986. Reading Intruction, Diacnostic Teaching in the Class Room. New York. MacMillan Publisher Company. Sidi, Idra Djati. 2001. Menuju Masyarakat Belajar. Jakarta: Paramadina. Syafi’ie. 1993. Terampil Berbahasa Indonesia I. Jakarta: Depdiknas.
388
PENGAJARAN ANAK USIA DINI MELALUI BUKU FLANEL TERINTEGRASI DALAM BAHASA INGGRIS AlfitrianiS.Pd.,M.Ed1*, Ratna Sari Dewi, S.S.,M.A2* dan Rita Harisma, S.Pd.,M.Hum3* 1 [email protected], [email protected] dan 3 [email protected] Universitas negeri Surabaya PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) adalah proses bimbingan yang sangat menentukan corak pertumbuhan dan perkembangan anak (3-6 tahun) yang sangat penting di masyarakat. Konsep pengajaran diimplementasikan dalam penataan kelas, metode pembelajaran dan kesehatan gizi anak pada tiap sekolah PAUD. Gurunya mengajarkan berbahasa Inggris dengan cara bermain dan bernyanyi tanpa alat peraga. Dan tuntutan para orang tua berlomba-lomba memasukkan anak mereka ke sekolah yang bertaraf internasional ataupun nasional plus dimana media bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris. Tujuan tulisan ini untuk menguasai pembelajaran bahasa Inggris per kata secara lisan dalam perkembangan Bahasa dengan menggunakan Produk Buku Flanel dalam Bahasa Inggris Edukatif yang akan memudahkan mereka untuk mengajar anak-anak usia dini. Adapun solusi tersebut: memberikan pelatihan dalam metode pengajaran bahasa Inggris Edukatif per kata dalam perkembangan bahasa anak, mengeluarkan produk Buku Flanel dalam bahasa Inggris Edukatif per kata, dan memberika pelatihan bahasa Inggris Edukatif kepada guru-guru. Beberapa metode pelaksanaan kegiatan ini adalah (1) Persiapan untuk mengikuti kegiatan pelatihan, (2) Pelaksanaan (tindakan) dalam ketrampilan menjahit dan menggunting pola yang akan membuat suatu produk dari bahan flannel menjadi alat peraga (bantu) mengajar, (3) Observasi tindakan dengan mengerjakan ketrampilan menjahit dan menggunting pola yang dibuat menjadi “buku flannel”, (4) Evaluasi kesiapan guru-guru menggunakan produk sangat baik, (5) Dan refleksi sangat antusias dengan kegiatan pelatihan dapat membuat kreasi yang lain dengan bahan flannel, karena bahan flannel ini lembut, tidak berbau, tidak tajam, berwarna- warni, dan aman untuk anak-anak. Kata kunci: AUD, Perkembangan Bahasa, Bahan Flannel PENDAHULUAN Pendidikan merupakan aset penting bagi kemajuan sebuah bangsa, oleh karena itu setiap warga Negara Indonesia harus mengikuti jenjang pendidikan, ini ditertulis pada Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan di Indonesia dilakukan secara terstruktur maupun tidak terstruktur. Salah satu pendidikan formal/informal untuk anak usia dini pada umur 3-6 tahun adalah TK (Taman KanakKanak), RA (Raudhatul Athfal), PAUD (Pendidikan Anak Usia dini). Menurut peraturan pemerintah RI no 27 tahun 1990 tentang pendidikan prasekolah bahwa program kegiatan belajar anak usia dini meliputi aspek-aspek sebagai berikut; moral, agama, disiplin, kemampuan berbahasa, daya piker, daya cipta, emosi, kemampuan bermasyarakat, sosial, ketrampilan, jasmani. Dalam bidang pendidikan anak memerlukan pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan dan mengenai karakteristik anak sesuai pertumbuhan dan perkembangan anak
389
sesuai proses belajar anak. Menurut Dian Noviayanti (2014) karena ketika anak beranjak dewasa, mereka bukan hanya belajar berjalan, namun juga berlari dan melompat. Mereka tidak hanya pandai berbicara, namun juga mampu berdebat dan berdalih. Mereka tidak saja lepas dari dekapan ibu, namun sudah menjadi sosok yang berbeda. Anak-anak mulai berubah sesuai perkembangan dan pertumbuhan ketika beranjak dewasa, mereka lebih membutuhkan perhatian penuh dari sosok orangtua dalam melaksanakan pendidikan mereka. Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini dikalangan masyarakan: tujuan utama untuk membentuk anak berkualitas, bahwa anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal didalam memasuki Pendidikan Dasar serta mengarungi kehidupan dimasa dewasa. Kemudian tujuan yang lain untuk penyerta bahwa membantu menyiapkan anak dalam mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah. Pendidikan semakin menjadi keperluan mendasar dalam kehidupan anak. Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) kini dipandang sebagai salah satu pendidikan anak usia dini (3-6 tahun) yang sangat penting di masyarakat. Terbukti dengan semakin banyaknya penyelenggara PAUD seperti Tempat Penitipan Anak (TPA), Play Group dan Taman Kanak Kanak (TK) telah didirikan baik di pusat-pusat kota, dan desa-desa terpencil. Menurut Agung Triharsono (2013) didalam bukunya bahwa Jean Piaget, mempunyai tahapan intelektual anak terbagi dalam kelompok-kelompoknya: 1. Usia anak 0-2 tahun, disebut masa sensorimotor
Kemampuan berpikir ditunjukkan melalui gerakan atau perbuatan.
Anak pada tahap sensori motor memiliki keinginan sangat besar untuk menyentuh atau memegang.
Pada masa ini anak dengan panca indranya mempunyai peran yang sangat besar.
Anak pada tahapan perkembangan intelektual sensori motor belum mengerti motivasi dan senjata mereka adalah dengan tangisan.
Untuk mengajar anak pada tahap sensori motor maka dapat dilakukan dengan gambar atau sesuatu yang bergerak. 2. Usia 2-7 tahun, disebut masa pra operasional
Kemampuan skema kognitif anak pada tahapan perkembangan intelektual pra operasional sangat terbatas.
Yang menarik dari mereka pada tahap pra operasional adalah kesukaan mereka dalam meniru perilaku orang lain.
390
Perkembangan dari segi kebahasaan menunjukkan mereka pada tahap pra operasional telah mampu menggunakan kata-kata dan kalimat pendek dengan benar.
Anak-anak yang duduk di Kelompok Bermain, PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) atau TK (Taman Kanak-Kanak) berada pada tahap pra operasional. 3. Usia 7-11 tahun, disebut operasional konkret
Anak-anak yang duduk di bangku Taman Kanak-Kanak akhir (TK) dan SD (Sekolah Dasar) sedang berada pada tahap operasional konkret.
Pada dasarnya mereka yang sedang berada pada tahap perkembangan intelektual operasional konkret mulai dapat memahami aspek-aspek kumulatif materi.
Mereka dengan tahap intelektual operasional konkret sudah dapat berpikir sistematis tentang beragam benda dan peristiwa yang bersifat konkret.
Anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya.
Mereka dapat memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. 4. Usia 11- 14 tahun, disebut masa formal operasional
Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa dan menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial.
Anak dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai.
PeMereka dengan tahapan perkembangan intelektual operasional formal mempunyai kemampuan dalam mengkoordinasi 2 jenis kemampuan kognitif.
Contoh dari kemampuan mengkoordinasi 2 jenis kemampuan kognitif ini misalnya kapasitas dalam membuat rumusan hipotetik dan penggunaan prinsip-prinsip yang bersifat abstrak. Namun hanya dua tahapan yang dimiliki anak usia dini pada tahapan pertama dan
kedua. Tahapan jenjang pendidikan mereka dengan cara bermain, atau belajar sambil bermain. Permainan- permainan yang kreatif dan edukatif sangat diperlukan untuk perkembangan kecerdasan anak usia dini. Peran pengajar dapat memilah milih permainan sesuai kebutuhan anak. Pengajar yang mengajar di sekolah yang berstandart internasional harus mampu mengajar dengan menggunakan Bahasa Inggris atau Bilingual Language (dua Bahasa). Pengajar-pengajar dilemma adanya tuntutan orangtua yang sekolahnya hanya standart nasional, bahwa praktek mengajar mereka hanya menggunakan Bahasa Nasional atau
391
Bahasa Indonesia. Ada beberapa teknik pengajaran yang dilakukan oleh guru-guru PAUD yang kurang sesuai dengan usia anak- anak. Misalnya, masih banyak guru yang mengajarkan bahasa Inggris pada level ”form” dari pada ”content”. Ada pula yang menekankan pembelajaran vocabulary atau kosakata dengan metode penerjemahan kata per kata yang oleh sebagian besar ahli pengajaran bahasa Inggris untuk anak-anak dianggap kurang strategis dan tidak natural. Seharusnya, pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing diharapkan meniru, walaupun tak mungkin sama, proses pemerolehan bahasa ibu dimana aspek otentisitas bahasa dan naturalitas konteks harus menjadi 2 pijakan penting. Pendidikan ini hanya mementingkan aspek kognitif dan Bahasa dan mengabaikan faktor emosi. Pengajar dapat mengajarkan Bahasa Inggris dengan menggunakan permainan dengan memilah-milah jenis kegiatan bermain dan waktu yang tepat sesuai tahap perkembangan anak. Banyak sentra-sentra PAUD yang mengajarkan bahasa Inggris sebagai muatan tambahan lebih awal. Menurut Syarifuddin (2011) menyatakan bahwa pertumbuhan anak-anak sangat dinamis, mereka seakan-akan tidak berhenti bergerak, merangkak, berjalan, berlari dan meraih apa saja yang menarik perhatiannya. Bahkan diberikan Alat Peraga Edukatif seperti benda-benda, mereka memperhatikan, diremasremas, dilempar, diambil lagi dan sebagainya. Contoh permainan anak yang kecil dari bahan kain flannel sebagai Alat Peraga Edukatif. Terdapat di salah satu PAUD di kecamatan Medan Kota guru-guru mengajar anakanak tanpa gambar. Ada pula yang menggunakan gambar yang berbahan cepat rusak dan tidak tahan lama. Anak-anak sangat antusias pada gambar yang telah dibuatnya dalam karyanya sendiri, namun mereka hanya mengetahui itu adalah gambar dengan kertas berwarna-warni. Menurut Agung (2013) menjelaskan bahwa anak dapat memilah permainannya sesuai dengan perkembangan emosi dan sosial anak, perkembangan motorik, dan perkembangan bahasa. Mereka membuat untuk melatih perkembangan motorik halus dengan latihan tugas yang diberikan guru seperti: menggunting, melipat, dan melengketkan kertas. Namun, kegiatan tersebut tidak melatih perkembangan Bahasa, untuk dapat melatih perkembangan Bahasa dan perkembangan motorik anak dapat diaplikasikan dengan menggunakan Flannel Book yang terintegrasi dalam Bahasa Inggris.
Maka
kegiatan ini bertujuan untuk memberikan metode pengajaran per kata pada perkembangan bahasa anak melalui Flannel Book dalam Bahasa Inggris kepada guru-guru PAUD di kota Medan, Sumatera Utara. Pada alur proses penyusunan kegiatan tersebut:
392
LUARAN Memberikan pelatihan kepada guru-guru dalam mengajar untuk Perkembangan Bahasa Anak
Produk Buku Flanel dalam Bahasa Inggris adalah Alat Peraga Edukatif
Bersama-sama Mitra akan meningkatkan keterampilan guru-guru mengajar bahasa Inggris per kata dalam Perkembangan Bahasa Anak
AKSI
DAMPAK
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI Anak Usia dini dapat belajar sesuai tahap perkembangannya dengan adanya stimulasi yang dibutuhkan masing-masing anak. Pendidikan Anak Usia dini (PAUD) diberikan kepada anak usia 3-6 tahun. PAUD memiliki fungsi utama mengembangkan semua aspek perkembangan anak, meliputi perkembangan kognitif, bahasa, fisik (motorik kasar dan halus), sosial dan emosional. Perkembangan anak di dunia pendidikannya dapat menstimulasi dengan beberapa motivasi; 1. Mengenalkan dunia sekolah Pengalaman belajar di sekolah akan membantu anak untuk lebih siap dalam menerima pelajaran formal di bangku pendidikan selanjutnya. Hal ini yang menjadi salah satu alasan UNESCO merekomendasikan setiap anak mendapatkan pendidikan anak usia dini pada usia pra sekolah. Lingkungan belajar di sekolah tentu berbeda dengan lingkungan di rumah. Pendidikan Anak Usia Dini dapat menjembatani perbedaan suasana di kedua tempat tersebut. Anak akan belajar berinteraksi dengan teman sebayanya dan belajar beradaptasi dengan rutinitas. Anak yang sebelumnya mendapatkan pendidikan di PAUD sering kali memiliki kemampuan yang lebih baik dalam berkomunikasi pada saat sekolah. Hal ini dikarenakan ia sudah terbiasa untuk bermain, belajar, hingga makan bersama dengan teman
393
yang memiliki usia sebaya. 2. Membiasakan anak dengan kegiatan terstruktur Kegiatan anak di sekolah membiasakan mereka untuk melakukan dengan disiplin. Walaupun dengan kegiatan disiplin anak harus disesuaikan dengan kegiatan yang diadakan di RA, TK, dan PAUD, dirancang khusus agar sesuai dengan fungsi pendidikan anak usia dini. Salah satu tujuannya adalah melatih anak agar terbiasa terhadap rutinitas dan kegiatankegiatan terstruktur. Misalnya, anak akan belajar berolahraga, berbaris, menyusun puzzle, dan sebagainya. 3. Mengajari untuk disiplin Kegiatan dirumah akan terbiasa ketika anak bermain di Sekolah, dan tentunya terbiasa bermain sesuka hati. Mereka juga mungkin sudah terbiasa mengikuti “aturan” yang telah ditetapkan, yang biasanya tergolong lentur dibandingkan “aturan” yang terdapat di luar rumah. Pada saat usia pra sekolah adalah saat yang tepat baginya untuk belajar mengikuti pola kegiatan maupun aturan lain di luar rumah. Mengikuti kegiatan pendidikan anak usia dini akan melatihnya beradaptasi dengan lingkungan baru dan peraturan baru. Mereka juga akan belajar berbagi, mengantri, menunggu, dan memahami bahwa ternyata tidak semua hal yang anak inginkan bisa anak akan dapatkan. Dengan begitu, mereka tidak akan kaget atau stres saat masuk dijenjang pendidikan dasar dan harus belajar dalam situasi yang sangat terstruktur dan menuntut kedisiplinan. 4. Memberikan belajar yang kreatif Proses pembelajaran anak usia dini berbeda dengan pendidikan selanjutnya. Anak tidak membutuhkan proses yang sistematis ataupun konkret, mereka hanya melakukan kegiatan belajar sambil bermain, mencermati garis, warna bentuk dan tekstur melalui kegiatan seni yang edukatif dan membutuhkan kreatifitas dan ketrampilan pengajar. Pengajar harus memberikan cara belajar kreatif, sehingga anak dapat betah belajar di sekolahnya. Misalnya memberikan pelajaran membaca bukan hanya mengenalkan mereka pada “kosa kata” namun menyediakan media dengan kreatif dan edukatif pada anak. Sehingga mereka tidak jenuh pada tulisan-tulisan yang akan dibaca. 5. Pembelajaran Aktif dan menarik Proses pembelajaran yang aktif akan memungkinkan anak melihat langsung, mengonsolidasi dan menginternalisasi informasi yang datang lebih menarik buat anak. Seperti, anak ketika kunjungan ke kebun binatang, mereka diajarkan untuk mencari tau informasi bentuk binatang, panjang ekor, lebar telinga, tajam kuku dan gigi taring binatang tersebut. Mereka diberi pertanyaan atau tanyakan pada mereka 6. Menumbuhkan nilai-nilai karakter
394
Kegiatan yang diadakan di sekolah pendidikan anak usia dini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai positif kepada anak, seperti kejujuran, toleransi, berbagi, dan sebagainya. Pada usia pra sekolah, anak belajar dengan cara bermain. Maka dari itu, kegiatan yang dilakukan di sekolah dirancang layaknya permainan, meski sebenarnya menyimpan maksud pembelajaran tertentu. Melalui berbagai permainan tersebut, anak akan belajar tentang sopan santun, menghormati orang lain, berbagi dengan orang lain, pentingnya bersikap jujur, dan lain-lain. 7. Sarana-prasarana aman, nyaman Tempat pendidikan anak usia dini seperti TK, RA dan PAUD adalah suasana belajar yang memenuhi kebutuhan dalam perkembangn dan pertumbuhan anak. Adanya permainan di luar ruangan (out door) disesuaikan untuk seusia mereka, tidak terlalu tinggi, tidak licin atau tidak tajam dan berbahaya. Sedangkan permainan didalam ruangan (indoor) membutuhkan banyak kegiatan motorik halus anak, permainan didalam ruangan tidak berbau kimia atau tidak berbahan organik yang dapat dipegang anak. Sehingga mereka dapat bermain out door dan in door yang aman dan nyaman. PERKEMBANGAN BAHASA Menurut Jeans Aitchison (2012) bahwa “Language is patterned system of arbitrary sound signals, characterized by structure dependence, creativity, displacement, duality, and cultural transmission”, artinya bahasa adalah sistem yang terbentuk dari isyarat suara yang telah disepakati, yang ditandai dengan struktur yang saling tergantung, kreatifitas, penempatan, dualitas dan penyebaran budaya. Maka sebagai contoh bahasa bayi ialah mempunyai bunyi-bunyi isyarat tersendiri. Pengertian bahasa adalah lambang dan tanda (Barber, 1972), struktur dan makna yang bebas dari penggunanya (Harun, Mansyur & Suratno, 2009), sering sukar dibedakan dengan kata suara yang biasa kita dengar sehari-hari (Kridalaksana, 1983), digunakan oleh semua orang atau anggota masyarakat
untuk bekerjasama,
berinteraksi,
dan
mengidentifikasi diri dalam bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik (Hasan Alwi, 2002). Dari beberapa pendapat disimpulkan bahasa adalah bunyi, tanda, dan makna yang digunakan berkomunikasi setiap hari. Dan ini dijelaskan dalam kajian linguistik dibagi menjadi:
Fonologi adalah sistem bunyi bahasa, mencakup bunyi-bunyi yang digunakan dan bagaimana bunyi-bunyi tersebut dikombinasikan (Menn dan Stoel-Gammon, 2005). Contohnya, bahasa Inggris memiliki bunyi “sp”, “ba”, dan “ar”, tetapi rangkaian bunyi “zx” dan “qp” tidak ada. Sebuah fenom adalah unit dasar dari suara suara dalam suatu bahasa; fonem adalah unit terkecil dari suara yang mempengaruhi makna. Contoh yang
395
baik dari fonem bahasa Inggris adalah /k/, yakni suara yang direpresentasikan oleh huruf “k” di dalam kata “ski” dan huruf c dalam kata “cat”. Bunyi /k/ hanya berbeda sedikit dalam kedua kata tersebut, dan dalam beberapa bahasa seperti bahasa Arab, dua bunyi tersebut merupakan fonem-fonem yang berbeda. Akan tetapi, variasi ini tidak dibedakan dalam bahasa Inggris, dan bunyi /k/ adalah sebuah fenom tunggal.
Morfologi adalah sistem dari unit-unit bermakna yang membentuk formasi kata. Sebuah morfem adalah unit terkecil yang masih memiliki makna; yang berupa kata (atau bagian kata) yang tidak dapat dipecah lagi menjadi bagian bermakna yang lebih kecil. Setiap kata dalam bahasa Inggris terdiri dari satu morfem atau lebih. Beberapa kata terdiri atas sebuah morfem tunggal (contohnya kata “help”), sedangkan kata-kata yang lain dapat terdiri dari lebih dari satu morfem (contohnya, “helper”, yang terdiri dari dua morfem, yaitu “help”+”er”, dengan morfem “-er” berarti “seseorang yang” dalam bahasa Inggris“helper” berarti “one who helps” (seseorang yang menolong)). Jadi, tidak semua morfem adalah kata-kata yang berdiri sendiri; contohnya “-pre”, “tion”, dan “-ing” (dalam bahasa Inggris ) juga merupakan morfem. Sebagaimana aturan yang menentukan fonologi mendeskripsikan rangkaian suara yang dapat terjadi dalam suatu bahasa, aturan morfologi mendeskripsikan bagaimana unitunit yang bermakna (morfem-morfem) dapat dikombinasikan dalam kata-kata (TagerFlusberg, 2005). Morfem-morfem memiliki banyak tugas dalam tata bahasa, seperti menandai “tense” (keterangan waktu dalam bahasa Inggris), (contohnya, “she walks”dengan “she walked”) dan “jumlah” (contohnya, “she walks” dan “they walk”).
Sintaksis adalah cara mengkombinasikan kata-kata agar membentuk frasa-frasa dan kalimat-kalimat yang dapat diterima. Jika seseorang berkata kepada kita, “Bob slugged Tom” (Bob meninju Tom) atau “Bob was slugged by Tom” (Bob ditinju oleh Tom). Kita mengerti siapa yang meninju dan siapa yang ditinju dalam tiap kasus tersebut karena kita memiliki suatu pemahaman sintaksis dari tata bahasa kalimat-kalimat tersebut. Kita juga memahami bahwa kalimat, “You didn’t stay, did you?” (Kamu tidak tinggal, kan?) merupakan kalimat yang dapat diterima secara tata bahasa tetapi kalimat “You didn’t stay, did you?” adalah kalimat yang tidak dapat diterima secara tata bahasa serta ambigu.
Semantik adalah sistem yang melibatkan makna dari suatu kata atau kalimat. Setiap kata memiliki sekumpulan makna semantik atau atribut-atribut penting terkait makna kata. Girl (anak perempuan) dan women (wanita), contohnya, memiliki kesamaan ciri semantik tetapi berbeda secara semantik dalam hal usia. Kata-kata memiliki keterbatasan semantik dalam cara mereka digunakan dalam kalimat
396
(Pan, 2005). Kalimat “the bicycle talked the boy into buying a candy bar” (sepeda membujuk anak laki-laki membeli sekaleng permen) secara sintaksis benar tetapi secara semantik tidak benar. Kalimat tersebut melanggar pengetahuan semantik kita bahwa sepeda tidak dapat berbicara.
Pragmatik yaitu penggunaan bahasa yang tepat dalam konteks-konteks yang berbeda. Pragmatik meliputi banyak wilayah artinya harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi, seperti ketika berbicara dengan seorang guru atau menceritakan suatu cerita yang menarik, lelucon yang lucu dan kebohongan yang memperdayakan. Dalam tiaptiap kasus tersebut, kita mendemonstrasikan bahwa kita memahami aturan-aturan budaya dalam menyesuaikan bahasa dengan konteksnya.
KETERAMPILAN BERBAHAN FLANNEL Flanel atau felt (flannel) adalah jenis kain yang dibuat dari serat wol tanpa ditenun, dibuat dengan proses pemanasan dan penguapan sehingga menghasilkan kain dengan beragam tekstur dan jenis. Flannel Book merupakan suatu alat permainan edukatif (APE) untuk anak usia dini dirancang sesuai dengan pemikiran yang mendalam dan disesuaikan dengan rentang usia. Menurut pendapat Santoso (2002) mengenai APE yaitu: Segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai sarana/media untuk bermain yang mengandung nilai pendidikan (edukatif) dan dapat mengembangkan seluruh kemampuan anak. Pada usia anak 2-7 tahun anak umumnya dapat mengingat konsep sederhana sehingga anak suka kegiatan menyimpan & mengeluarkan benda, mencari benda yang disembunyikan, menirukan suara yang menarik dan melihat gambar. Bahan Flanel yang dibuat sebagai Alat Peraga Edukatif menjadi produk Buku Flanel dalam bahasa Inggris, memudahkan anak-anak dengan mengajarkan mereka di mulai per kata. Flanel atau felt adalah jenis kain yang dibuat dari serat wol tanpa ditenun, dibuat dengan proses pemanasan dan penguapan sehingga menghasilkan kain dengan beragam tekstur dan jenis (tergantung bahan pembuatnya). Pelatihan Alat Peraga Edukatif dari Buku Flanel dalam Bahasa Inggris membantu guru-guru PAUD memudahkan pengajaran kepada anak-anak. Peran guru akan semankin tertantang untuk mengembangkan pertumbuhan kognitif bahasa anak per kata. Selain bahasa Inggris yang akan diberikan pada anak, mereka lebih suka bermain dengan permainan seperti Alat Permainan Edukatif. Syarifuddin (2011) berpendapat bahwa mainan memberikan prilaku kognitif (kecerdasan) dan menstimulus kreativitas anak. Mainan juga mengembangkan kemampuan fisik dan mental untuk kemudian hari. Ada 5 tahap metode kegiatan yang telah dilaksanakan yaitu; (1) Persiapan untuk mengikuti kegiatan pelatihan, (2) Pelaksanaan (tindakan) dalam ketrampilan menjahit dan
397
menggunting pola yang akan membuat suatu produk dari bahan flannel menjadi alat peraga (bantu) mengajar, (3) Observasi tindakan dengan mengerjakan ketrampilan menjahit dan menggunting pola yang dibuat menjadi “buku flannel”, (4) Evaluasi kesiapan guru-guru menggunakan produk sangat baik, sehingga mereka dapat memperagakan cara mengajar melalui produk “buku flannel” yang terintegrasi dalam Bahasa Inggris , (5) Dan refleksi sangat antusias dengan kegiatan pelatihan dapat membuat kreasi yang lain dengan bahan flannel, karena bahan flannel ini lembut, tidak berbau, tidak tajam, berwarna- warni, dan aman untuk anak-anak. Adapun produk buku flannel tersebut, seperti gambar 1.1
Gambar 1.1: Buku Flannel
METODE PENGAJARAN YANG TERINTEGRASI DALAM BAHASA INGGRIS Kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia merupakan bahasa asing pertama (the first foreign language). Kedudukan tersebut berbeda dengan bahasa kedua. Mustafa (2007) menyatakan bahwa bahasa kedua adalah bahasa yang dipelajari anak setelah bahasa ibunya dengan ciri bahasa tersebut digunakan dalam lingkungan masyarakat sekitar. Sedangkan bahasa asing adalah bahasa negara lain yang tidak digunakan secara umum dalam interaksi sosial. Merujuk kepada langkah-langkah pemerolehan bahasa asing/kedua bagi anak usia dini, Haynes (2010) mengatakan bahwa paling tidak ada lima tahapan umum dan utama dalam proses pemerolehan bahasa kedua. Tahapan tersebut memiliki karakeristik dan tujuan serta esensi yang berbeda dalam konteks kuantitas dan kualitas pemerolehan bahasa tersebut. Tahap pertama (Pre-production) yaitu tahap di mana anak kurang lebih memiliki 500 kata yang sudah diterimanya tetapi mereka belum mampu berbicara. Kadang-kadang mereka masih mengulang-ulang apa yang sudah ada tetapi pada prinsipnya mereka belum
398
berbicara melainkan seperti membeo (parroting). Pada tahapan ini anak akan mendengar dengan penuh perhatian dan mereka sudah mampu menyalin apa yang ditulis guru. Dalam hal ini, guru harus lebih memfokuskan pada kemampuan menyimak dan penerimaan kosa kata. Di samping itu, mereka juga sudah mengerti dan mampu meniru gerak tubuh untuk menujukkan pemahaman mereka. Tahap kedua (early production) pada tahap ini anak sudah belajar hingga lebih dari enam bulan. Anak mampu mengembangkan kosa kata reseptif dan aktif hingga mencapai hingga 1000 kata. Selama proses ini, anak-anak bisa berbicara dengan satu atau dua kelompok kata/frase. Mereka kadang-kadang sudah mampu menggunakan bahasa yang terpotong yang pendek yang telah dihafalnya, tetapi umumnya penggunaan tersebut kurang benar. Berikut adalah contoh aktivitas yang dapat dilakukan dalam tahap ini seperti menggunakan pertanyaan yes/no question, memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpatisipasi dalam kelas, menggunakan realita dan gambar, mengembangkan kosa kata melalui gambar, dan sebagainya. Sejalan dengan metode/strategi yang layak dan relevan digunakan dalam proses pembelajaran bahasa asing bagi anak usia dini, menciptakan suasana kreatif, aktif, dan menyenangkan bagi anak usia dini dalam belajar bahasa asing adalah menggunakan gestures of body dan flashcards, bermain game, bermain menggunakan musik, lagu, and chants, bermain menggunakan tarian dan gerakan tubuh, bercerita peran dengan berdialog bersama, drama peran, memberikan cerita dengan memunculkan objek, kreatifitas membuat barang bekas, aktivitas sehari-hari menggunakan makna bilingual, menggunakan tehnologi media didalam kelas. Pendidikan bahasa Inggris akan diberikan materi sesuai perkembangan umur anak usia dini dalam materi bahasa Inggris. Berikut dijelaskan sesuai dengan table 1.1 Tabel.1: Materi Bahasa Inggris Pendidikan Anak Usia Dini Materi Labeling
Kegiatan pembelajaran Anak-anak memberikan nama bahan-bahan yang ada di kelas
Matching
Anak-anak mencocokkan gambar dengan objeknya
yang
ada
di
dalam
kelas
menyebutkan namanya Describing Each Other
Minta anak berdiri berhadapan. masingmasing mengatakan sesuatu (parts of body)
Introduce Vegetables
Tunjukkan
pada
anak-anak
beberapa
sayuran. Bisa dalam bentuk gambar, plastic
399
atau sayuran asli. Making a Family Album
Anak membawa foto anggota keluarga. lalu guru menyebutkan “Father” menjukkan gambar ayah , “Mother” menjukkan gambar ibu, “sister”
menjukkan
gambar
saudara
perempuan, “brother” menjukkan gambar saudara lakilaki Song to Teach
Anak diajarkan menyanyi lagu bahasa inggris
Job Profile
Anak-anak menunjukkan pakaian profil pekerjaan
Responding to Questions
Menanyakan anak-anak “what is your name?, lalu membantu anakanak untuk menjawan “my name…..”
Following Directions
Minta anak melakukan satu atau dua perintah dengan bergaya. contoh: “up” sambil berdiri “down” sambil berdiri lalu jongkok “shake” sambil bergoyang-goyang pinggul “round” sambil putar-putar badan bergerak “jump” sambil lompat-lompat
Language Experience Story
Cerita pendek dengan gambar yang besar dan jelas
Shopping by Memory
Membawa
karya
wisata
dengan
binatang
sambil
menunjukkan benda What’s a Pet?
Menirukan
suara
menyebutkan nama binatang contoh “auuuum” guru menyebutkan “lion” “meong…meong” guru menyebutkan “cat”
KESIMPULAN Pengajaran Bahasa Inggris dengan menggunakan media melalui buku flannel bagi
400
anak usia dini merangsang mereka untuk pertumbuhan kognitif dan bahasa pada anak usia 3-6 tahun di Pendidikan Anak Usia Dini. Dengan suasana belajar sambil bermain, pembelajaran akan lebih menyenangkan. Peningkatan guru-guru dalam kegiatan ini memberikan pengajaran melalui alat permainan edukatif yang dapat mengembangkan motorik halus anak, anak dapat memegang produk buku flannel dan memainkan dengan teman-temannya. Guru dapat lebih kreatif mengembangkan ketrampilan membuat produk lain dari bahan flannel. Guru-guru dapat meningkatkan perkembangan Bahasa anak yang akan di integrasikan dalam Bahasa Inggris melalui “buku flannel” APE dengan cara bermain, bernyanyi dan bercerita atau telling story. Luaran yang didapat para guru-guru PAUD adalah produk yang dibuat Flannel Book dalam Bahasa Inggris dapat memudahkan mereka mengajar anak belajar melalui bermain (learning through play). Maka pengaruh yang terjadi kepada guru akan semankin tertantang untuk meningkatkan ketrampilan mereka dan mengembangkan pertumbuhan kognitif bahasa anak per kata. Dan sesungguhnya anak bisa menjadi kebanggaan orang tua bilamana anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan harapan orang tua dan selaras dengan harapan Allah SWT. DAFTAR PUSTAKA Aitchison, Jeans. 2012. Language Change: Progress or Decay? 4th Edition. University Press: New York Alfitriani. 2015. Perspektif Islam: Pengajaran Bahasa Inggris Pada Anak Usia Dini Proceedings International Workshop on Islamic Development 8th . UMSU Press. Medan ISBN: 978-602-719-958-3 Badru, Asep & Eliyawati. 2008. Materi pokok media dan sumber belajar TK. Jakarta: Universitas Terbuka Berko, Jean. 2005. The Development of Language 6th edition. Boston: Pearson. Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. ISBN: 978-979-518-587-1 Chaer, Abdul. 2007. Psikolinguistik: kajian teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. ISBN: 978979-518-884-1 Dimiyati, Johni. 2013. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Aplikasi pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Kencana: Jakarta. ISBN: 978-602-9413-95-3 Gredler, Margaret E. 2011. Learning and Instruction: Teori and Aplikasi. Jakarta: Kencana. ISBN 978-602-8730-56-3 Johni. 2013. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Aplikasinya pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Jakarta: Kencana. ISBN 978-602-9413-95-3 Noviyanti, Dian. 2014. Anak-anak kita Pengukir Peradaban.Gramedia: Jakarta ISBN: 978602-02-4674-1 Ottenheimer, H.J. (2006). The Anthropology of Language: An Introduction to Linguistic Anthropology. Canada: Thomas Wadsworth. Rahmat, Aceng. 2010. Journal Kajian Linguistik dan Sastra: Implementasi Kurikulum Bahasa Asing Di Taman Kanak-kanak (TK) DKI Jakarta. Vol.22, No.1. Santoso, Soegeng. 2002. Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Citra Pendidikan Siraj, Saedah. 2008. Kurikulum Masa Depan. University Malaya: Kuala Lumpur. Sonawat, Reeta & Jasmine. 2007. Language Development for School. Mumbai: Multi-tech Publishing. Syafaruddin, dkk. 2011. Pendidikan Sekolah: Perspektif Pendidikan Islam dan Umum.
401
Perdana Publising: Medan. ISBN 978-602-8935-15-9 Triharso, Agung. 2013. Permainan Kreatif dan edukatif untuk Anak Usia Dini. ANDI OFFSET. Yogyakarta. ISBN 978-979-29-3386-4 Yamin, Martinis & Jamilah. 2010. Panduan Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Gaung Persada Press. ISBN: 978-602-8807-24-1
402