UNIVERSITAS INDONESIA
SATUAN LINGUAL –E DALAM TEKS CANTAKAPARWA
SKRIPSI
DEWA NGAKAN GEDE ANOM 0606085902
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI SASTRA DAERAH UNTUK SASTRA JAWA DEPOK JULI, 2012
Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
SATUAN LINGUAL –E DALAM TEKS CANTAKAPARWA
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora
DEWA NGAKAN GEDE ANOM 0606085902
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI SASTRA DAERAH UNTUK SASTRA JAWA DEPOK JULI, 2012
Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
ST'RAT PER}IYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenamya menyatakan bahwa skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari temyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenrftrnya dan menenma sarksi yang dilatutrlcan oleh Universitas Indonesia kepada saya.
Jakarta, 25}u.li20l2
Dewa Ngakan Gede Anom
Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
IIALAMAN PER}IYATAAIY ORISINALITAS
Skripsi ini adalah karya sendiri dan semua sumber baikyang dikutip maupun
dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
DewaNgakan Gede Anom
NPM
0606085902
Tanda Tangan
Tanggal
@\so 25 Jruth}Al2
ilt
Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
HALAMAI\ PENGESAHAN Skripsi ini telah diajukan oleh, Nama
DewaNgakan Gede Anom
NPM
0606085902
Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa Judul Skripsi
Satuan Lingual
-E dalam Teks Cantqkaparwa
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagran yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
DEWAI{ PENGUJI Pembimbing
Dwi Puspitorini, M.Hum
Penguji VKetua
Ratnawati Rachmat,
Penguji
II
(
Novika Stri Wrihatni, M.Hum (
Mumi Widyastuti. M.Hum
Panitera
Ditetapkan
M.Hum
tr
di
Tanggal
: Depok
:25 Juli20l2
Dekan X'akultas llmu Pengetahuan Budaya
Dr,:Banbang Wibawarta NIP. 131 88226s iv
Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
lr -rLt- -
W
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Humaniora Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada: 1. Pembimbing skripsi saya, Ibu Dwi Puspitorini, M. Hum. yang sudah sangat sabar juga rela menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan membimbing saya dengan sepenuh hati dari awal pengerjaan hingga skripsi ini selesai. 2. Para penguji saya, Ibu Ratnawati Rachmat, Ibu Novika Stri Wrihatni, M.Hum, dan Ibu Murni Widyastuti. M.Hum, terima kasih atas perhatian, motivasi, dan sarannya kepada saya. 3. Bapak Karsono H. Saputra, M. Hum selaku pembimbing akademis saya dan Ibu Dwi Woro Retno Mastuti, M. Hum. yang telah memperbolehkan saya meminjam Teks Cantakaparwa ini untuk diteliti, juga tidak lupa seluruh dosen Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa khususnya dan FIB UI pada umumnya yang telah memberikan saya ilmu dan membimbing saya selama 6 tahun masa kuliah saya. 4. Kedua orangtua saya yang selalu mendukung saya baik secara moril dan materil. Terima kasih juga untuk kedua adik saya yang telah menjaga keheningan dalam pengetikan skripsi ini. 5. Keluarga besar Dewa Ngakan di Puri Babakan Manukaya Anyar yang selalu memberikan doa dan motivasi kepada saya. 6. Seluruh sahabat saya di Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa angkatan 2006: Ade, Daim, Sandi, Dedy, Dhimas, Mog, Kumis, v Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
Tommy, Krisna, Kakong, Rizki, Fajar, Diky, Aloy, Budi, Heru, Dalil, Komarudin, Ucu, Hendra, Solid, Fitri, Niska, Dhila, Ita, Fiah, Rindu, Tiwi, Dara, Nawang, Ageng, Poppy, Tusani, Dewi, Laras, Renny yang telah bersama-sama saya dalam suka dan duka selama 4-6 tahun ini belajar di FIB UI. Terima kasih karena telah menyemarakkan dan menggairahkan perkuliahan saya sehingga menjadi sebuah memori yang tak terlupakan kelak. 7. Adik-adik spesial angkatan 2007 & 2008: Siti Noerlia Sri Farista, Irfan Merch, Satrianto Utomo, Ahmad Ar Rummy, Ibnu Fadl Lapan, Herenda Dwipan Putra. Terima kasih atas dukungan, motivasi, doa, dan gangguan-gangguannya. 8. Teman-teman dan Pimpinan di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI : Pak Teguh, Pak Djumado, Bang Raimond, Ragang, Siwi, Hasyim, Dira, Indri, Seno, Faly, Mas Aan, Mas Kiki, Mbak Nini, Mbak Trisna, Mbak Arin. Terima kasih sudah meyakinkan dan memotivasi saya dalam mengerjakan skripsi ini. 9. Semua pihak-pihak yang sudah membantu secara langsung maupun tidak langsung.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Depok, 25 Juli 2012
Penulis
vi Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
HALAMAN PER}I-YATAAII PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKIIIR T]NTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesi4 saya yang bertanda tangan di bawah
ini:
Nama
DewaNgakan Gede Anom
NPM
0606085902
Program Studi
Sastra Daerah untuk Sastra Jawa
Departemen
Linguistik
Fakultas
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Jenis karya
Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : "Satuan Lingual -E dalarrr Teks Cantakaparwa" beserta perangkat yang ada (ika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif Universitas Indonesia berhak menyimpan" mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
ini
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenamya. Dibuat
di
: Depok
Padatanggal :25 Juli2012
Yang menyatakan,
DewaNgakan Gede Anom
vil
Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
ABSTRAK
Nama
: Dewa Ngakan Gede Anom
Program Studi
: Sastra Daerah untuk Sastra Jawa
Judul
: Satuan Lingual –E dalam Teks Cantakaparwa
Penelitian ini membahas tentang satuan lingual –e yang terdapat pada teks Cantakaparwa. Satuan lingual –e tersebut dibagi menurut varian, kategori, dan peranannya. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian adalah metode deskriptif analisis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apa saja varian, kategori, dan peranan satuan lingual –e yang terdapat pada teks Cantakaparwa. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat beberapa bentuk varian, kategori dan peranan satuan lingual –e. Kata Kunci: Satuan lingual –e, teks Cantakaparwa, varian, kategori, peranan
viii Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
ABSTRACT
Name
: Dewa Ngakan Gede Anom
Study Program
: Javanese
Judul
: Lingual Unit of –e in Cantakaparwa Manuscript
This research discuss about lingual unit of –e in the Cantakaparwa manuscript. lingual unit of –e are divided according to variants, categories, and roles. The research method used in research is descriptive method of analysis. This research aims to see what variants, categories, and the role of lingual unit of –e in the Cantakaparwa manuscript. The results show that there are several variant forms, categories and the role of lingual unit of –e Keywords: Lingual unit of –e, Cantakaparwa manuscript, variants, categories, and roles .
ix Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME......................................... ii PERNYATAAN ORISINALITAS.................................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ iv KATA PENGANTAR........................................................................................ v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.......................... vii ABSTRAK......................................................................................................... viii DAFTAR ISI...................................................................................................... x
BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah................................................................................... 5 1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................... 5 1.4. Batasan Masalah..................................................................................... 5 1.5. Manfaat Penelitian................................................................................. 6 1.6. Sumber Data Penelitian.......................................................................... 6 1.7. Metode dan Teknik Penelitian............................................................... 6 1.8. Sistematika Penyajian............................................................................. 9
BAB 2 Penelitian Terdahulu dan Landasan Teori 2.1. Penelitian Terdahulu............................................................................... 10 2.2. Landasan Teori........................................................................................13 2.2.1. Proses Pembentukan Kata........................................................14 2.2.2. Kaidah Alomorfemis............................................................... 15 2.2.3. Struktur.................................................................................... 16 2.2.4. Kategori....................................................................................16 2.2.5. Fungsi.......................................................................................18 2.2.6. Peranan.....................................................................................20
BAB 3 Analisis Satuan Lingual –e dalam Teks Cantakaparwa 3.1. Pengantar............................................................................................... 21 3.2. Varian Satuan Lingual –e ..................................................................... 22 3.3. Kategori Satuan Lingual –e .................................................................. 24 x Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
3.4. Peranan Satuan Lingual –e .................................................................... 26 3.4.1. Peranan Satuan Lingual –e sebagai Pemilik........................... 27 3.4.2. Peranan Satuan Lingual –e sebagai Penentu.......................... 30 3.4.3. Peranan Satuan Lingual –e sebagai Ligatur atau Pemerlekat....................................................................... 34
BAB 4 Penutup 4.1. Kesimpulan............................................................................................. 36
Daftar Pustaka................................................................................................ 38 Lampiran Data................................................................................................40
xi Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Bahasa Jawa seperti kita ketahui menjadi salah satu dari beratus-ratus
bahasa yang ada di kawasan Nusantara. Menjadi bahasa yang mempunyai perkembangan sejarah panjang dan luas penyebarannya di seluruh Nusantara. Menurut Pigeaud (1980:1) dalam Literature of Java , Bahasa Jawa sudah mulai berkembang dan menjadi media yang penting dalam peradaban Jawa sejak abad ke-9. Saat itulah karya sastra Jawa juga sudah mulai berkembang. Bahasa Jawa diakronis1 berkembang dari Bahasa Jawa Kuno. Bahasa Jawa Kuno berkembang dari Bahasa Jawa Kuno Purba. Bahasa Jawa atau disebut Bahasa Jawa Modern/Baru dipakai oleh masyarakat Jawa sejak abad 16 sampai sekarang. Berkembangnya Bahasa Jawa Baru bersamaan dengan beralihnya kebudayaan Hindu-Budha-Jawa ke kebudayaan Islam-Jawa (Wedhawati dkk, 2006:1). Bahasa dan Kesusastraan Jawa Kuno lahir karena percampuran kebudayaan Hindu dengan kebudayaan Indonesia. Bahasa Jawa Kuno dipakai oleh masyarakat Jawa sejak abad pertama Masehi sampai dengan abad ke-15 (Wedhawati dkk, 2006:2). Secara umum, perkembangan karya sastra Jawa menurut Saputra (2001: 37-43) dibagi ke dalam tiga periode berdasarkan bahasa yang digunakan yaitu karya sastra pada masa Jawa Kuna, Jawa Tengahan, dan Jawa Baru (Modern). Dalam bukunya, Pigeaud (1980:1) juga membagi perkembangan sastra Jawa ke dalam empat era berdasarkan sejarah perkembangan kebudayaan yang terjadi di Jawa yaitu era Pra-Islam atau dapat disebut juga era Jawa Kuna (tahun 900-1500 M), era literatur Jawa-Bali (sekitar abad ke-15), era 1
Bahasa Jawa Diakronis adalah bahasa Jawa mempunyai sifat yang historis; berkenaan dengan pendekatan terhadap bahasa dengan melihat perkembangannya sepanjang waktu. (Kridalaksana. Kamus Linguistik. 2008:48)
1 Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
2
literatur Jawa Pesisir (abad ke-15 hingga abad ke-18) , dan era literatur Jawa Klasik Renaissance (abad ke-18 dan abad ke-19). Karya sastra pada masa Jawa Kuna terdiri dari beberapa jenis yaitu kakawin, parwa, dan kidung.2 Kidung3 sudah menggunakan metrum asli Jawa dan bahasa Jawa pertengahan, sedangkan kakawin dan parwa masih mendapat pengaruh yang sangat kuat dari India baik dari segi bentuk (prosa dan puisi), metrum, bahasa, maupun isinya. Kata kakawin sendiri sudah mengungkapkan asal-usulnya, yaitu dari kata Sanskerta kawi ,4 tetapi kedua afiks Jawa ka- dan –n memberinya suatu warna blasteran (Zoetmulder, 1983: 119). Karya sastra yang paling awal disadur dalam Bahasa Jawa Kuno dengan huruf Jawa Kuno pada abad ke-19 ialah Ramayana dan Mahabharata, berasal dari India (Wedhawati dkk, 2006:2). Dalam perkembangan penelitian tentang Bahasa Jawa Kuno, banyak ditemukan morfem5 dan kosakata yang sama dengan Bahasa Jawa Baru (Wedhawati, dkk. 2006). Namun, sejauh ini, usaha untuk menggali pengetahuan kebahasaan dari teks Jawa Kuno belum banyak dilakukan, padahal pengetahuan itu memudahkan pemahaman terhadap teks berbahasa Jawa Kuno. Oleh karena itu, penelitian terhadap karya sastra berbahasa Jawa Kuno dengan fokus pada analisis gramatikalnya sangat diperlukan (Puspitorini dan Mastuti. 2002:7). Hal
2
Poerbatjaraka membagi karya sastra Jawa Kuna ke dalam tiga golongan yaitu: kitab Jawa kuna golongan tua (parwa), kitab-kitab Jawa Kuna yang bertembang (kakawin), dan kitab Jawa Kuna yang tergolong baru (juga berbentuk kakawin). (Poerbatjaraka, 1952) 3 Metrum kidung berbeda dengan metrum kakawin. Metrum kidung tidak berasal dari India, melainkan dari Jawa. Metrum kidung disebut metrum těngahan dan prinsip dasarnya sama dengan metrum dalam puisi Jawa modern yang dinamakan metrum macapat. (Zoetmulder, 1983: 142) 4 Kawi semula berarti ‘seorang yang mempunyai pengertian yang luar biasa, seorang yang bisa melihat hari depan, seorang yang bijak’, tetapi kemudian dalam sastra Sanskerta klasik istilah ini memperoleh arti yang khas, yaitu seorang ‘penyair’. Kemudian kata kawi mengalami perubahan morfologis menjadi kawya yang pada periode klasik diketahui artinya sebagai ‘buah hasil dari puisi kraton’, sebuah syair yang pada pokoknya bersifat epis, yang coraknya agak dibuat-buat (artifisial). (Zoetmulder, 1983: 119, 120) 5 Morfem adalah satuan bahasa terkecil yang maknanya relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil. (Kridalaksana, 2008:158)
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
3
itu yang melatarbelakangi dipilihnya penelitian mengenai unsur gramatikal yang ada pada teks berbahasa Jawa Kuno. Salah
satu
teks
berbahasa
Jawa
Kuno
adalah
Cantakaparwa.
Cantakaparwa merupakan sebuah ensiklopedia sastra Jawa Kuno yang berisikan cerita-cerita narasi mite dan epik (Mastuti, 2007:1). Kata parwa sudah menunjukkan bahwa karya sastra ini termasuk genre prosa, sedangkan kata Cantaka (Bahasa Sanskerta) berarti burung. Dalam teks Cantakaparwa dapat ditemukan
cerita-cerita
Bhanwatmajaparwa,
Candakirana,
Wiwudaparwa,
Pralapitaparwa, Sutasoma, Caya Birama, Suprasena, dan Kapiparwa.6 Kolofon7nya menyebutkan bahwa naskah ini selesai ditulis pada hari Buda (Rabu) Pahing, Wayang, sasih Kedasa (bulan 10) sekitar bulan April, tanggal 8, dan tanpa angka tahun. Berikut bunyi kolofon Cantakaparwa.21 (hlm.246b baris 4):
“… Iti Cantakaparwa.
Duk amimiti, puput sinurat, ring dina
paing, budha, sasih 10, rah 1, tenggek windhu,…”
Teks Cantakaparwa dipilih karena merupakan naskah yang cukup populer, karena banyak ditemukan versi naskahnya di Kirtya - Singaraja, Fakultas Sastra Universitas Udayana (Denpasar), Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (Depok), Perpustakaan Naskah RI (Jakarta), dan Perpustakaan Universitas Leiden (Belanda). Ada beberapa judul yang diberikan terhadap naskah ini, yaitu Tjatakaparwa, Tjantakaparwa, Cetakaparwa, dan Ketakaparwa. Selain itu, teks Cantakaparwa dalam katalog naskah Fakultas Sastra Universitas Indonesia disebutkan berbahasa Jawa Kuno, namun di dalamnya ditemukan juga kata dan kalimat dari Bahasa Jawa Baru. Diperkirakan adanya percampuran 6
Mastuti. Cantakaparwa: CP21. 2007: 3 Kolofon adalah petunjuk-petunjuk yang diberikan penulis dalam naskah berupa nama, tempat, atau waktu penulisan; biasanya terdapat pada penutup naskah. (Kridalaksana, 2008:127) 7
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
4
struktur Bahasa Jawa Kuno dengan Bahasa Jawa Baru. Van der Tuuk (1967) mengatakan, bahwa Bahasa dalam teks Cantakaparwa berasal dari masa yang sangat muda. Salah satu percampuran tersebut terlihat pada banyak ditemukannya satuan lingual –e pada kata maupun kalimat dalam teks Cantakaparwa. Satuan lingual –e merupakan ciri dari Bahasa Jawa Baru tingkat tutur ngoko8 dan biasanya mempunyai dua bentuk yaitu –e dan –ne. Satuan lingual –e dalam Bahasa Jawa Baru berfungsi sebagai afiks penunjuk kepemilikan atau sebagai pronomina persona ketiga, sedangkan menurut Puspitorini (2008) dalam Bahan Ajar Tata Bahasa Jawa Kuna 1, Bahasa Jawa Kuno telah memiliki satuan lingual sendiri yang merupakan bentuk dari pronomina persona ketiga, yaitu –ira atau –nira. Di bawah ini merupakan contoh kalimat yang ada dalam teks Cantakaparwa: (1). Ai maharaja Yadu, putunira iku anake sang Dursanta (hlm. 91, baris 14) ‘Hai maharaja Yadu, cucumu itu anaknya Sang Dursanta’ Kata yang bercetak tebal dan digarisbawahi pada kalimat (1) di atas merupakan satuan lingual –e Bahasa Jawa Baru.
Satuan lingual –e tersebut
digunakan pada ragam informal dan termasuk dalam tingkat tutur ngoko dalam Bahasa Jawa Baru. Oleh sebab itu, apabila satuan lingual –e tersebut muncul dalam teks Cantakaparwa, hal itu menunjukkan bukti adanya percampuran tersebut dan tentunya akan sangat menarik untuk diteliti. Berdasarkan penjelasan tentang adanya percampuran struktur Bahasa Jawa Kuno dengan Bahasa Jawa Baru inilah, peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam unsur gramatikal teks Cantakaparwa khususnya satuan lingual –e. Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Satuan Lingual –E dalam Teks Cantakaparwa ” .
8
Ngoko merupakan tingkat tutur dalam bahasa Jawa digunakan untuk komunikasi dengan orang yang sudah dekat atau akrab dan status sosialnya sederajat. (Wedhawati, 2006:10)
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
5
1.2.
Rumusan Masalah Percampuran Bahasa Jawa Kuno dengan Bahasa Jawa Baru pada teks
Cantakaparwa terlihat dengan munculnya satuan lingual –e. Adanya satuan lingual –e tersebut menimbulkan rumusan masalah bagi penulis. Bertitik tolak dari alasan tersebut, selazimnya dalam suatu penelitian ilmiah, maka penelitian ini dilakukan untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan. Rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi: a. Bagaimana varian satuan lingual –e dalam teks Cantakaparwa? b. Bagaimana kategori satuan lingual –e dalam teks Cantakaparwa? c. Bagaimana peranan satuan lingual –e dalam teks Cantakaparwa?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan pada perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah
untuk: a. Mendeskripsikan varian satuan lingual –e yang terdapat dalam teks Cantakaparwa. b. Mendeskripsikan kategori satuan lingual –e yang terdapat dalam teks Cantakaparwa. c. Mendeskripsikan peranan satuan lingual –e yang terdapat dalam teks Cantakaparwa.
1.4.
Batasan Masalah Untuk memfokuskan penelitian ini, peneliti membatasi masalah penelitian
hanya pada varian, kategori, dan peranan satuan lingual –e dalam teks Cantakaparwa . Satuan lingual –e yang dimaksud di sini adalah yang bergabung dengan kata, frasa, klausa dan kalimat.
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
6
1.5.
Manfaat Penelitian Secara sederhana manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan
informasi bagi pembaca tentang Bahasa Jawa Kuno. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat tambahan dalam pengenalan dan menambah khazanah pemahaman tentang teks berbahasa Jawa Kuno. Bagi peneliti linguistik lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi awal dalam penelitian lain khususnya bidang linguistik dan dapat membantu dalam memahami karya-karya sastra Jawa Kuno dengan lebih baik, sebab bahasa, yang menjadi objek penelitian linguistik itu merupakan wadah kelahiran karya sastra. Tidak mungkin kita dapat memahami sebuah karya sastra tanpa mempunyai pengetahuan mengenai kosakata maupun struktur bahasa dengan baik. Namun, secara khusus, penelitian lebih lanjut diharapkan dapat menghasilkan sebuah deskripsi yang lebih mendalam tentang Bahasa Jawa Kuno yang terkandung dalam teks Cantakaparwa.
1.6.
Sumber Data Penelitian Sumber data dalam penelitian ini adalah laporan hasil penelitian Mastuti
pada tahun 2007 yang berjudul Cantakaparwa: CP 21 . Dalam laporan hasil penelitian tersebut, terdapat teks Cantakaparwa koleksi ruang naskah FIB UI bernomor CP. 21 dan telah ditransliterasi atau dialihaksarakan sendiri oleh Mastuti dari aksara Jawa Kuno ke aksara Latin. Bentuk alihaksara tersebutlah yang menjadi sumber data utama dalam penelitian ini.
1.7.
Metode dan Teknik Penelitian Metode adalah cara kerja untuk memahami suatu objek yang
bersangkutan. Teknik adalah jabaran dari metode tersebut sesuai dengan alat dan sifat alat yang dipakai. Tahapan atau urutan penggunaan teknik disebut prosedur (Sudaryanto, 1993:11). Metode dan teknik penelitian merupakan alat yang dipilih
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
7
dalam melaksanakan penelitian. Metode yang dipilih harus berhubungan erat dengan alat serta teknik penelitian yang digunakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Menurut Sudaryanto (1988:620) deskriptif adalah penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan fakta yang ada dan sifatnya seperti potret paparan apa adanya, lalu fakta tersebut dianalisis dan ditarik kesimpulan. Metode ini dipandang sesuai dengan tujuan penelitian karena bermaksud melihat bahasa yang hidup dalam kesatuan kurun waktu tertentu. Penelitian tentang satuan lingual –e dalam teks Cantakaparwa meliputi tahapan sebagai berikut: (1). Tahap Pengumpulan Data Pada tahap ini peneliti melakukan pengumpulan data dengan metode simak. Metode ini dilakukan dengan cara membaca dan memahami teks, serta dilanjutkan dengan teknik catat yaitu dengan mencatat data yang berupa kata atau kalimat yang ada pada sumber data. Langkah-langkah yang digunakan peneliti pada tahap pengumpulan data adalah sebagai berikut: Langkah pertama adalah mengumpulkan data yang berupa kata dan kalimat yang mengandung satuan lingual –e, lalu setelah semua data terkumpul kemudian data yang ada tersebut diperiksa dengan cara membaca dan memahami teks secara berulang-ulang. Data yang terkumpul dari langkah pertama ini berjumlah 75 buah. Langkah kedua adalah seleksi data, semua data berupa kata dan kalimat yang mengandung satuan lingual –e yang sudah diperiksa, kemudian peneliti mengidentifikasikan berdasarkan peranan yang terdapat pada objek data serta menandai kata atau kalimat yang mengandung bentuk-bentuk –e, dilanjutkan dengan mencatat serta memberi nomor pada kata atau kalimat yang sudah ditandai tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan penulis dalam mencari dan mengelompokkan data. Data ini
juga diharapkan sebagai data yang bersifat
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
8
representatif artinya data tersebut benar-benar data yang dapat mewakili populasi data yang ada pada teks Cantakaparwa.
Langkah ketiga yaitu pengelompokkan data. Data yang sudah diseleksi kemudian dikelompokkan menjadi tiga. Pengelompokan data didasarkan pada bentuk peranan satuan lingual –e sebagai pemilik, peranan satuan lingual –e sebagai penentu, dan peranan satuan lingual –e sebagai ligatur. (2). Tahap Analisis Data Data yang sudah terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode padan. Metode padan digunakan dalam analisis data penelitian ini, sebab bahasa yang diteliti memiliki hubungan dengan hal-hal di luar bahasa yang bersangkutan. Metode ini dijabarkan dalam satu teknik dasar, yaitu teknik dasar pilah unsur penentu (PUP) dengan menggunakan daya pilah translational. Daya pilah translasional merupakan daya pilah yang digunakan dalam analisis bahasa dengan alat penentunya adalah bahasa lain. Alat pilah yang digunakan sebagai pedoman translit Bahasa Jawa Kuno adalah kamus Jawa Kuno-Indonesia (Zoetmulder, 2004) dan kamus Jawa-Indonesia (Prawiroatmojo, 1981). (3). Tahap Penyajian Data Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode informal. Penyajian informal yaitu berupa rumusan dengan menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:144-159). Alasan digunakannya metode informal dalam penyajian hasil analisis karena penelitian ini bersifat deskriptif, pendeskripsian dari gejala atau keadaan yang terjadi pada objek data penelitian. Data diungkapkan secara apa adanya berdasarkan pada teks, sehingga hasil perian ini benar-benar merupakan suatu fenomena bahasa yang sesungguhnya. Data yang sudah dianalisis kemudian diberi penjelasan di bawahnya mengenai varian, kategori, dan peranan.
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
9
1.8. Sistematika Penyajian Sistematika penyajian penelitian ini terdiri dari empat bab dan masingmasing bab terdiri dari subbab, dimana bab yang satu mempunyai hubungan yang erat dengan bab-bab lainnya. Bab I Pendahuluan, bab ini merupakan sebuah langkah awal dalam sebuah penelitian yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, sumber data penelitian, metode dan teknik penelitian, serta sistematika penyajian. Bab II Penelitian Terdahulu dan Landasan Teori, pada bab ini dijelaskan hasil studi kepustakaan yang terkait dengan teori-teori yang berhubungan dengan penelitian ini dan hasil penelitian terdahulu yang telah dilakukan peneliti lain. Bab III Pembahasan, bab ini menyajikan penjelasan dan mempresentasikan bahasan tentang temuan penelitian. Bab IV Kesimpulan, bab ini mengemukakan kesimpulan hasil analisis.
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
10
BAB II PENELITIAN TERDAHULU DAN LANDASAN TEORI
2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian tentang struktur Bahasa Jawa Kuno sangat penting, tapi masih sedikit dilakukan. Begitu pula, penelitian mendalam tentang satuan lingual –e Bahasa Jawa masih sedikit dilakukan, hanya sedikit saja yang menjelaskan secara mendetail dan terperinci tentang satuan lingual –e. Penelitian terdahulu terkait dengan satuan lingual –e yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebagai berikut: a. Sudaryanto (1978) Penelitian Sudaryanto menghasilkan sebuah laporan penelitian khusus yang berjudul Peranan Satuan Lingual –E dalam Dimensi Sintaktik Bahasa Jawa. Berisi tentang varian dan distribusi satuan lingual –e, serta kategori kata dalam Bahasa Jawa. Selain itu, terdapat juga deskripsi peranan satuan lingual –e Bahasa Jawa yang dibagi menjadi beberapa bagian yaitu pada taraf klausa9, subklausa, dan postklausa. Pada taraf klausa, ia membagi menjadi empat yaitu, pertama peranan satuan lingual –e sebagai pemilik atau posesor, kedua peranan satuan lingual –e sebagai penentu atau determinator, ketiga satuan lingual –e baik sebagai pemilik maupun sebagai penentu, dan keempat peranan –e yang lain dalam taraf sintaktik. Pada taraf subklausa juga dibagi menjadi enam bagian, yaitu tempat unsur formal –e, satuan lingual –e yang terdapat di dalam frasa yang bentuk dasar termiliknya berupa superkategori verbal, 9
Klausa adalah satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat. (Kridalaksana, 2008:124)
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
11
satuan lingual –e yang terdapat di dalam yang bentuk dasar termiliknya berupa prakategori, satuan lingual –e yang terdapat di dalam yang bentuk dasar termiliknya berupakata benda abstrak, satuan lingual –e yang terdapat di dalam frasa yang bentuk dasar termiliknya berupa kategori kata bilangan, dan satuan lingual –e yang terdapat di dalam frasa yang bentuk dasar termiliknya berupa kategori kata adjektif. Terakhir, ia juga mendeskripsikan peranan satuan lingual -e pada taraf postklausa. b. Sudaryanto (1991) Sudaryanto dalam bukunya yang berjudul Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa ia menjelaskan secara lengkap tentang tata Bahasa Jawa. Di antaranya mencakup tentang satuan lingual –e yang hadir dalam frasa pemilikan sebagai pemerlekat atau ligatur antara konstituen termilik dengan pemilik. Menurut Sudaryanto, pronomina persona ketiga memiliki imbangan bentuk yang tidak khas yaitu afiks di- dan klitik10 –e. Dikatakan tidak khas, karena –e justru hadir dalam frasa pemilikan sebagai ligatur atau pemerlekat antara konstituen termilik dengan pemilik (Sudaryanto, 1991:94). c. P.J. Zoetmulder (1994) Zoetmulder menghasilkan sebuah buku berjudul Kalangwan. Pada buku tersebut, ia membahas tentang sastra Jawa terutama sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Pertengahan. Secara khusus ia juga sedikit membahas tentang sifat-sifat bahasa Jawa Kuno. d. Puspitorini dan Mastuti (2002) Penelitian mereka berjudul analisis gramatikal teks Cantakaparwa yang ditulis pada Jurnal Makara UI. Temuan kedua peneliti tersebut tentang teks Cantakaparwa menunjukkan bahwa bahasa yang terkandung 10
Bentuk terikat yang secara fonologis tidak mempunyai tekanan sendiri dan tidak dapat dianggap morfem terikat karena dapat mengisi tingkat frasa atau klausa. (Kridalaksana, 2008:126)
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
12
dalam teks Cantakaparwa adalah bahasa campuran antara Bahasa Jawa Kuno dan Bahasa Jawa. Terbukti dengan ditemukan bentuk kata polimorfemis berkategori verba yang memiliki kemiripan antara Bahasa Jawa Kuno dengan Bahasa Jawa serta diketahui juga bahwa afiks-afiks ( N-, -um-, aN- i, -in- an ) yang ada baik di dalam Bahasa Jawa dan Bahasa Jawa Kuno merupakan afiks yang dalam Bahasa Jawa, namun tidak produktif lagi dan bersifat arkais11. Afiks-afiks tersebut banyak dijumpai dalam teks Cantakaparwa. Selain itu, terdapat juga struktur kalimat yang ditemukan dalam teks Cantakaparwa memperlihatkan kemiripan baik dengan Bahasa Jawa Kuno maupun Bahasa Jawa. e. Wedhawati dkk. (2006) Sama halnya seperti Sudaryanto, Wedhawati juga menghasilkan sebuah buku tentang tata Bahasa Jawa yang berjudul Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Berisi penjelasan lengkap tentang tata Bahasa Jawa dengan ejaan baru yang sudah disempurnakan. Di dalamnya disinggung pula penjelasan tentang satuan lingual –e. Satuan lingual –e menurut Wedhawati merupakan bentuk pronomina persona ketiga dan digunakan pada tingkat tutur ngoko.
f. Mastuti (2007) Pada penelitian kali ini, Mastuti menghasilkan sebuah laporan hasil penelitian yang berjudul Cantakaparwa: CP-21. Penelitian tersebut berisi deskripsi tentang lima versi koleksi teks Cantakaparwa di antaranya teks Cantakaparwa CP.21. koleksi ruang naskah FIB UI, KBG 1098 koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Br.99 (PNRI), KBG 387 (PNRI), dan 56 L 859 (PNRI) . Selain itu, terdapat ringkasan cerita Sutasoma yang sangat populer, serta terdapat juga alihaksara teks Cantakaparwa koleksi ruang naskah FIB UI nomor CP.21.
11
Arkais merupakan unsur bahasa yang tidak lazim, tetapi kadang-kadang muncul dalam bahasa kini.(Kridalaksana, 2008:19)
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
13
Berdasarkan pada uraian peneliti terdahulu di atas, Sudaryanto, dan Wedhawati, dkk secara umum mencakup tentang tata Bahasa Jawa dan tentu saja secara khusus dibahas pula tentang satuan lingual –e Bahasa Jawa. Kedua peneliti tersebut sama-sama berpendapat bahwa satuan lingual –e merupakan pronomina persona atau kata ganti orang ketiga. Namun, Sudaryanto (1978) melihat satuan lingual –e secara lebih mendalam, karena selain sebagai pronomina persona ketiga, ia mendeskripsikan satuan lingual –e sebagai ligatur dan juga membagi satuan lingual –e ke dalam beberapa peranan. Lain halnya dengan Puspitorini dan Mastuti (2002) yang menitikberatkan fokus penelitiannya pada analisis gramatikal. Struktur bahasa yang terkandung di dalam teks Cantakaparwa dan juga bentuk polimorfemis berkategori verba yang memiliki kemiripan antara Bahasa Jawa Kuno dengan Bahasa Jawa. Penelitian mereka merupakan awal dari fakta adanya percampuran bahasa dalam teks Cantakaparwa. Namun, penelitian tersebut masih dilakukan dalam tahap linguistik umum saja. Pada penelitian selanjutnya, teks Cantakaparwa menjadi lebih mudah untuk diteliti ketika Mastuti (2007) telah mengalihaksarakannya dari aksara Jawa ke aksara Latin, tetapi sangat disayangkan teks alihaksara tersebut tidak dilengkapi tanda diakritik. 12
2.2. Landasan Teori Pada subbab ini diuraikan tentang teori-teori yang menjadi dasar pembahasan masalah yang ada dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan morfologi dan sintaksis karena objek penelitiannya berupa morfem, kata, dan juga kalimat yang ada pada teks Cantakaparwa . Hal tersebut memungkinkan karena morfologi dan sintaksis merupakan ilmu yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan satuan gramatikal yang berupa morfem, kata, dan kalimat (Verhaar, 2010:1). 12
Tanda diakritik adalah tanda tambahan pada huruf yang sedikit banyak mengubah nilai fonetis huruf tersebut. (Kridalaksana, 2008: 48)
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
14
Penelitian yang berkaitan dengan satuan lingual –e dan Bahasa Jawa Kuno sudah dilakukan oleh beberapa ahli bahasa, seperti yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya. Konsep dasar bagi landasan berpikir peneliti mencakup, kaidah alomorfemis, sistem dan struktur, serta kategori dan peranan.
2.2.1. Proses Pembentukan Kata Proses pembentukan kata adalah proses terjadinya kata dari bentuk dasar menjadi bentuk turunan atau proses terjadinya kata melalui perubahan morfemis (Wedhawati, dkk. 2006:40). Menurut Sudaryanto (1991:18), proses pembentukan kata atau proses morfologis dapat ditentukan dengan pengubahan bentuk dasar tertentu yang berstatus morfem bermakna leksikal dengan alat pembentuk yang juga berstatus morfem tetapi dengan kecendrungan bermakna gramtikal yang bersifat terikat. Dalam Bahasa Jawa alat pembentuk yang dimaksud ada tiga macam, yaitu morfem afiks, morfem ulang, dan morfem pemajemukan. Pada teks Cantakaparwa proses morfologis yang muncul adalah proses morfologis dengan pengimbuhan (afiks) atau kata berafiks. Kata berafiks adalah kata dasar yang dibubuhi morfem afiks dan morfem afiks tersebut merupakan bentuk terikat (Sudaryanto, 1991). Afiks tersebut dapat berupa prefiks (awalan), sufiks (akhiran), infiks (sisipan), dan konfiks (awalan dan akhiran). Satuan lingual –e merupakan salah satu bentuk sufiks. Sufiks tersebut muncul di sebelah kanan kata dasar berbahasa Jawa Kuno, misalnya (alas ‘hutan + -e ) menjadi alase ‘hutannya’, (arep ‘depan’ + -e ) menjadi arepe ‘depannya’. Terdapat juga beberapa bentuk konfiksasi dalam teks Cantakaparwa misalnya ( aN- + alap ‘ambil’ + -e ) menjadi angalape ‘mengambilnya’, aN- + usung ‘angkat’ + -e ) menjadi angusunge ‘mengangkatnya’. Teori ini yang akan digunakan untuk menganalisis varian, kategori, dan peranan satuan lingual –e pada teks Cantakaparwa.
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
15
2.2.2. Kaidah Alomorfemis Kaidah Alomorfemis adalah prinsip dasar yang mengatur alternasi alomorfemis. Yang dimaksud alternasi alomorfemis adalah realisasi konkret suatu morfem menjadi sejumlah varian berdasarkan lingkungan fonetis, fonemis, gramatikal, semantis, dan syarat yang berkaitan dengan tingkat tutur, ragam tutur, maupun artikulasi. Perwujudan konkret sebuah morfem itu disebut morf sedangkan variannya disebut alomorf.13 Kaidah alomorfemis itu ada dua macam.14 Pertama, kaidah alomorfemis berdasarkan keselarasan fonemis dan kedua, kaidah alomorfemis yang tidak berdasarkan keselarasan fonemis. Pada teks Cantakaparwa hanya ditemukan kaidah yang kedua yaitu kaidah alomorfemis yang tidak berdasarkan keselarasan fonemis. Pertama, berdasarkan syarat yang berkaitan dengan artikulasi. Misalnya, satuan lingual –e, jika dilekatkan pada bentuk dasar yang berfonem akhir vokal, muncul sebagai –ne seperti di dalam wadwane ‘tentaranya’, sedangkan jika dilekatkan pada bentuk dasar yang berfonem akhir konsonan, muncul sebagai –e contohnya anake ‘anaknya’. Kedua, berdasarkan syarat yang berkaitan dengan tingkat tutur. Misalnya, satuan lingual –e dalam wadwane ‘tentaranya’ pada tingkat tutur krama menjadi wadwanipun ‘bukunya’. Ketiga, berdasarkan syarat semantis atau makna bentuk turunannya. Misalnya bentuk dasar sepi ‘sepi’, jika dirangkaikan dengan afiks N- dapat menjadi nyepi dengan makna ‘menyepi’ atau nepi dengan makna ‘bertapa’. Keempat, berdasarkan syarat yang berkaitan dengan ragam tutur. Misalnya, prefiks pa- di dalam panyuwun ‘permintaan’ pada ragam tutur informal menjadi penyuwun. Hanya konsep pertama dan kedua tentang kaidah alomorfemis inilah yang akan digunakan untuk menganalisis varian satuan lingual –e pada teks Cantakaparwa, karena dianggap tepat dengan data-data yang ditemukan.
13 14
Wedhawati dkk. 2006: 43 Ibid. 2006: 43
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
16
2.2.3. Struktur Bahasa Jawa sebagaimana Bahasa pada umumnya memiliki struktur. Bahasa Jawa tidak terdiri dari sejumlah satuan lingual yang tersebar secara tidak beraturan, tetapi terdiri dari sejumlah satuan lingual yang tertata. Ketertataan sejumlah satuan lingual itu terjadi karena antarsatuan itu saling berhubungan, baik secara asosiatif maupun secara linear (Wedhawati, dkk. 2006:44). Sifat yang meruntun atau tertata itu disebut linear; dan sifat itulah yang memungkinkan adanya satuan-satuan lingual; yang selanjutnya karena satuan lingual yang satu berhubungan dengan satuan lingual yang lain sebagai unsur pembentuk tuturan maka terbentuklah struktur dengan pola struktural (Sudaryanto. 1991:9). Secara sederhana dapat dikatakan, jika satuan lingual dapat mengisi posisi tertentu atau dapat saling menggantikan di dalam struktur tertentu maka bersifat paradigmatis. Semua hubungan yang bersifat asosiatif atau paradigmatis itu disebut sistem, sedangkan struktur adalah hubungan antar satuan lingual secara linear atau dalam garis waktu itu disebut sintagmatis (Wedhawati, dkk. 2006:45). Pembahasan mengenai prefiks, infiks, sufiks, dan konfiks di dalam kata polimorfemis ialah pembahasan tentang unsur kata di dalam hubungan sintagmatis. Berbicara tentang struktur bahasa berarti berbicara tentang semua hubungan sintagmatis antarsatuan lingual pada semua tataran bahasa.
2.2.4. Kategori Kata dan frasa secara gramatikal dapat dianalisis berdasarkan kategorinya. Kategori berarti kelompok kata. Kata adalah satuan bahasa terkecil di dalam tata kalimat. Kata dapat berubah bentuknya karena diubah oleh penutur-penuturnya15. Kata disusun oleh satu atau beberapa morfem. Morfem adalah satuan Bahasa
15
Sudaryanto, Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta, 1991. Hal:15
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
17
minimal yang bermakna. Frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif atau disebut juga gabungan kata yang mengisi satu fungsi di dalam kalimat. Proses pembentukan kata atau disebut proses morfologis. Proses morfologis adalah proses terjadinya kata dari bentuk dasar menjadi bentuk turunan atau proses terjadinya kata melalui perubahan morfemis16. Ada delapan kategori kata dalam Bahasa Jawa yang termasuk kategori umum ada empat, yaitu verba (kata kerja), adjektiva (kata sifat), nomina (kata benda), dan adverbia (keterangan) yang termasuk dalam kategori khusus juga ada empat, yaitu pronomina (kata ganti), numeralia (kata bilangan), kata tugas, dan interjeksi (kata seru). Pengkategoriannya berdasarkan sifat sintaksis dan wujud morfemisnya. Dalam hal ini, wujud morfemis khusus berkaitan dengan kata polimorfemis atau kata bermorfem ganda. Kategori kata tertentu memiliki tempat dan kedudukan tertentu dalam kalimat dan pada umumnya bermorfem tertentu. Selain itu kategori tersebut dapat diketahui lewat tiga cara, yaitu secara morfologis, secara sintaksis, dan kata secara semantis. Menurut Sudaryanto (1991:77) kategori kata mempunyai beberapa ciri pokok yaitu, pertama ciri kategori kata verba yaitu (1) terdiri dari berbagai macam gabungan morfem misalnya, morfem afiks plus morfem dasar, morfem reduplikasi dan morfem dasar. (2) Verba berfungsi sebagai predikat dan selalu didampingi oleh subyek (yang berasal dari kategori lainnya misalnya, nomina). Adjektiva mempunyai ciri, secara sintaktis memiliki fungsi verba sebagai predikat atau kata yang berfungsi memodifikatori atau menyifati nomina. Nomina mempunyai ciri dapat berangkai dengan adjektiva, nomina, verba, pronomina, dan cenderung mengisi subjek, objek, dan pelengkap. Kategori adverbia Secara sintaksis mempunyai ciri dapat berangkai dengan adjektiva, nomina, verba, pronomina, dan cenderung mengisi subjek, objek, dan pelengkap.
16
Wedhawati dkk, Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta, 2006. Hal:38
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
18
2.2.5. Fungsi Fungsi sintaksis adalah aspek tempat bagi kategori. Fungsi dapat pula dikatakan sebagai aspek ruang sintaksis suatu kalimat tunggal. Dalam bahasa Jawa dapat dijumpai lima jenis fungsi sintaksis, yaitu predikat (P), subyek (S), objek (O), pelengkap (Pl), dan keterangan (K). Fungsi P dipandang memiliki peranan yang lebih besar jika dibandingkan dengan fungsi yang lain atau Fungsi P dapat dikatakan sebagai pusatnya. Kalimat tunggal yang terdiri atas dua konstituen, jika dilihat dari aspek fungsi sintaksisnya, selalu berupa P dan S. Ciri fungsi sintaksis itu sebagai berikut. Ciri subjek oleh Wedhawati, dkk (2006:49-51) dibagi menjadi enam. Pertama, subjek adalah jawaban atas pertanyaan. Konstituen kalimat yang memberikan jawaban atas pertanyaan sapa atau apa merupakan S. Kedua, S bersifat takrif atau tertentu. Untuk menyatakan ketakrifan dapat digunakan kata seperti, iku ‘itu’. Ketiga, S dapat diberi keterangan pewatas sing ‘yang’. Keempat, S dapat diisi oleh berbagai kategori kata. S dapat diisi oleh nomina atau frasa nominal, verba atau frasa, dan adjektiva atau frasa adjektival. Kelima, S tidak didahului preposisi. S tidak didahului oleh preposisi, misalnya ing ‘di’ atau marang ‘kepada’. Keenam, dapat didahului kata menawa ‘bahkan’. Berdasarkan keterangan di atas ciri utama S adalah menempati sebelah kiri konstituen pusatnya, yaitu P Menurut Wedhawati, dkk (2006:49-51) ada lima ciri predikat. Pertama, merupakan
jawaban
atas
pertanyaan
seperti ngapa
‘mengapa’,
kepiye
‘bagaimana’. Kedua, dapat didahului dengan kata yaiku ‘yaitu’. Konstituen kalimat yang dapat didahului kata yaiku ialah predikat. Predikat jenis ini ialah predikat yang berupa nomina atau frasa nominal. Ketiga, predikat dapat diingkarkan dengan kata ora ‘tidak’, dudu ‘bukan’, atau aja ‘jangan’. Kata-kata tersebut di atas adalah bentuk negasi dalam bahasa Jawa dan berfungsi sebagai predikat. Keempat, predikat dapat disertai aspek dan modalitas. Predikat verbal dapat disertai aspek seperti arep ‘akan’, durung ‘belum’, dan lagi ‘sedang’.
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
19
Distribusi aspek berada di sebelah kiri verba. Selain itu, predikat verbal juga dapat disertai modalitas, seperti kata gelem ‘mau’. Kelima, predikat mempunyai konstituen pengisinya, yaitu (1) verba, nomina, adjektiva, dan numeralia, (2) frasa nominal, frasa adjektival, frasa numeralia, dan frasa preposisional. Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa predikat berada pada sebalah kanan subjek. Objek secara semantis adalah konstituen yang dikenai perbuatan yang dinyatakan oleh predikat . Kehadiran objek berfungsi melengkapi predikat. Ciriciri objek secara umum oleh Wedhawati, dkk (2006:49-51) dibagi empat. Pertama, langsung mengikuti predikat. Kedua, objek menjadi subjek dalam konstruksi pasif. Walaupun berubah menjadi subjek , dari segi makna, peran objek tetap, yaitu sebagai penderita. Ketiga, objek tidak didahului preposisi. Adanya preposisi akan mengubah fungsi objek menjadi keterangan. Keempat, konstituen pengisi objek dapat berupa nomina atau frasa nominal. Menurut Wedhawati, dkk (2006:49-51) ciri pelengkap dibagi menjadi tiga, pertama, dapat langsung mengikuti predikat. Posisi pelengkap bersifat tegar, yaitu langsung mengikuti P atau kadang-kadang mengikuti O di dalam konstruksi kalimat. Kedua, tidak dapat menjadi subjek dalam kalimat pasif.
Ketiga,
konstituen pengisi pelengkap dapat berupa nomina atau frasa nominal, adjektiva atau frasa adjektival, numeralia atau frasa numeralia, dan frasa preposisional. Keterangan adalah konstituen kalimat yang memberikan informasi lebih lanjut, misalnya tempat, waktu, cara. Ciri keterangan menurut Wedhawati, dkk (2006:49-51) sebagai berikut. Pertama, keterangan bukan konstituen utama. Berbeda dengan subjek, predikat, atau objek, keterangan lazimnya merupakan konstituen tambahan yang kehadirannya tidak bersifat wajib. Kedua, keterangan memiliki kebebasan posisi. Dengan kata lain, keterangan dapat berposisi pada akhir kalimat, atau menyisip di antara subjek dan predikat. Ketiga, konstituen pengisi keterangan dapat berupa frasa preposisional, adverbia, atau frasa adverbial. Keempat, keterangan dapat dibedakan berdasarkan maknanya menjadi
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
20
sembilan, yaitu keterangan waktu, keterangan tempat, keterangan cara, keterangan alat, keterangan penyerta, keterangan peruntukan, keterangan sebab, keterangan pembandingan, dan keterangan keraguan.
2.2.6. Peranan Menurut Sudaryanto (1978), peranan satuan lingual –e dalam taraf klausa Bahasa Jawa terdiri dari empat macam. Pertama, satuan lingual –e sebagai pemilik atau posesor. Satuan lingual -e sebagai pemilik atau posesor, dapat disubstitusikan atau berdistribusi paralel dengan bentuk –ku dan bentuk –mu yang masing-masing menyatakan orang pertama dan kedua. Dalam hal ini, –e
menyatakan orang
ketiga. Kedua, satuan lingual –e sebagai penentu atau determinator. Sebagai penentu atau determinator, -e itu tidak dapat disubstitusikan atau berdistribusi paralel dengan bentuk –ku dan bentuk –mu. Dalam hal tertentu satuan lingual –e sebagai penentu atau determinator, bila dihilangkan, kalimat tersebut tidak gramatikal lagi. Ketiga, satuan lingual –e baik sebagai pemilik maupun sebagai penentu. Peranan rangkap semacam itu terjadi apabila, satuan lingual –e memperlihatkan sifat koreferensial, baik ke arah kiri (regresif) maupun ke arah kanan (progresif). Peranan rangkap tersebut juga dimungkinkan karena adanya pementingan bagian kalimat. Keempat peranan –e yang lain dalam taraf sintaktik. Pada penelitian kali ini konsep peranan yang dipakai hanya dua yaitu sebagai pemilik atau posesor dan sebagai penentu atau determinator. Selain dua konsep tersebut, menurut Sudaryanto (1991) satuan lingual –e juga bisa berperan sebagai ligatur atau pemerlekat. Ligatur adalah unsur pemerlekat antara unsur termilik dengan pemilik. Dalam teks Cantakaparwa bentuk ligatur di sini bukan merupakan satuan lingual –e melainkan bentuk –ning, karena secara paradigmatis bentuk –ning pada teks Cantakaparwa mempunyai makna yang sama dengan bentuk –e, namun secara nyata dalam teks Cantakaparwa berwujud –ning.
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
21
BAB III ANALISIS SATUAN LINGUAL –E DALAM TEKS CANTAKAPARWA
3.1. Pengantar Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis, sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut polimorfemis. Penggolongan kata menjadi jenis monomorfemis dan polimorfemis adalah penggolongan berdasarkan jumlah morfem yang menyusun kata (Kushartanti dkk, 2005:151). Kata polimorfemis dapat diketahui lewat suatu proses pembentukan kata atau proses morfologis. Proses morfologis adalah proses terjadinya kata dari bentuk dasar menjadi bentuk turunan atau proses terjadinya kata melalui perubahan morfemis. Sebagai
satuan
lingual,
–e
mempunyai
peranan penting
dalam
pembentukan sebuah kata. Satuan lingual –e termasuk satuan lingual morfem. Morfem adalah satuan gramatikal yang terkecil (Kushartanti, dkk, 2005:145). Dikatakan morfem karena satuan lingual –e tidak dapat secara bebas berdiri sendiri melambangkan situasi melainkan harus bergabung dengan morfem lain agar membentuk sebuah makna. Satuan lingual –e hanya menjadi ciri atau tanda terhadap kata atau kalimat sebagai lambang dari situasi tertentu (Sudaryanto, 1978:1). Satuan lingual –e merupakan salah satu bentuk akhiran dalam Bahasa Jawa Baru. Dalam Bahasa Jawa Baru akhiran ini dipakai dalam tingkat tutur ngoko. Secara sintaktis satuan lingual –e dapat berhubungan dengan pementingan atau penonjolan pada sebuah kata (Sudaryanto, 1978:1). Satuan lingual –e ini juga banyak ditemukan dalam teks Cantakaparwa, sedangkan Bahasa Jawa Kuno tidak mempunyai satuan lingual –e. Bentuk akhiran dalam Bahasa Jawa Kuno berbentuk –ira dan –nira. Satuan lingual –e sebagai ligatur diisi oleh partikel ni atau ning. Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
22
Berdasarkan penjelasan singkat di atas pokok Bahasan yang akan dibicarakan secara mendalam ada tiga, antara lain: 1. varian satuan lingual –e; 2. kategori satuan lingual –e; dan 3. peranan satuan lingual –e.
3.2. Varian Satuan Lingual –e yang terdapat pada Teks Cantakaparwa Varian adalah nilai tertentu dari suatu variabel (Kridalaksana, 2004: 253). Dengan kata lain varian bisa disederhanakan bentuk lain yang dapat dipakai sebagai alternatif. Karena terjadi proses morfologis, satuan lingual –e memiliki bermacam-macam bentuk. Kaidah alomorfemis mengatakan bila satuan lingual –e bergabung dengan morfem berakhiran vokal, maka alomorf yang akan muncul adalah –ne, seperti tampak pada contoh kalimat (2) dan (3) di bawah ini: (2). “Wimanacika tan harep adana, anama bala nora, den itung duwene wadwane, hana duwene wadwane abecik den alap.” (hlm. 128, baris 24) “Wimanacika tidak ingin memberikan dana, tidak ada (yang) bernama tentara, dihitung tentaranya, ada tentaranya (yang) baik ditangkap.”
(3). Sighra datang sang Dasabahu, jenger aningali wwang apekik, hemane awadwa danawa. (hlm. 91 baris 13) ‘Segera datang sang Dasabahu, terdiam melihat orang yang gagah, sayangnya berwujud seorang raksasa.’ Pada penelusuran selanjutnya pada teks Cantakaparwa secara khusus ditemukan varian lain yang bukan –ne yaitu, pada penggabungan –e dengan bentuk dasar berakhir bunyi vokal, sebagaimana tampak pada contoh di bawah ini : (4). Tan meweh lwirning yasa de sang Karaneng rat, watue senjang sala wiharasrama bodhi. (hlm. 68 baris 5) ‘Tidak menghilang wujud kemuliaan sang Kara di dunia, batunya menjadi sumber pengetahuan di rumah tempat para biara’
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
23
Bentuk (4) di atas memperlihatkan bahwa alomorf yang muncul bukan –ne, melainkan –e itu sendiri. Contoh (4) hanya memperlihatkan bahwa dalam teks Cantakaparwa terdapat varian lain pada kasus di atas selain –ne, yaitu –e yang bergabung dengan morfem yang berakhiran vokal. Selain mempunyai varian –ne , ternyata terdapat varian lain satuan lingual –e dalam teks Cantakaparwa, yaitu bentuk –ipun atau –nipun. Contoh bentuk – ipun atau –nipun yang terdapat di teks Cantakaparwa seperti tampak pada contoh kalimat (5) dan (6) di bawah ini : (5). sumahur sang Dewabrata:“Pukulun saturanipun Murcajati ring karsa lebu talapakanira...” (hlm. 83 Baris 22) sang Dewabrata menjawab: “Tuanku Murcajati, penderitaannya seperti debu di telapak kakinya”
(6). Sedengnymrat aningali pujanira Maharaja Janamejaya, aparek lawan uti, ya ta pinukul, dening atunggu banten wetengipun, malayu mulih karuron, majar ring Sang Suloma, yen pinukul tan padosa. (hlm. 111 Baris 12) ‘waktu yang tepat melihat pemujaan (yang) dihuni Maharaja Janamejaya, mendekat, lalu ia dipukul perutnya oleh penunggu kurban itu, lalu berlari pulang, melapor ia ke Sang Suloma, kalau ia dipukul tanpa berdosa.’ Bentuk –ipun muncul jika satuan lingual –e dipergunakan dalam tingkat tutur krama dan bentuk dasar yang dilekatinya berfonem akhir konsonan. Sedangkan bentuk –nipun muncul jika satuan lingual –e dipergunakan dalam tingkat tutur krama dan bentuk dasar yang dilekatinya berfonem akhir vokal.
Dalam varian satuan lingual –e ini juga terdapat varian bentuk –ira atau – nira. Contoh bentuk –ira atau –nira dapat dilihat pada kalimat (7) dan (8) di bawah ini:
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
24
(7). sang Nata matangkis panah tikel, kumetug molih twasira terus, pejah kalenggak ing rata Maharaja Pranita. (hlm. 99 Baris 2) ‘sang Pangeran menangkis panah (sampai) patah, menyambut dan tembus mengenai hatinya, lalu mati jatuh terlentang di kereta Maharaja Pranita’
(8). mareki sang Kotama: “Pukulun menawi wenten jajamahan pakanira ameteng, manira amalampah, rabi pamigara” (hlm. 67 Baris 27) ‘berbicara sang Kotama: “Tuanku kalau ada selirmu yang hamil, aku (akan) memperistrinya” Bentuk –ira merupakan bentuk lain dari satuan lingual –e pada Bahasa Jawa Kuno. Bentuk –ira muncul jika satuan lingual –e bentuk dasar yang dilekatinya berfonem akhir konsonan. Begitu pula bentuk –nira, muncul jika satuan lingual –e bentuk dasar yang dilekatinya berfonem akhir vokal.
3.3. Kategori Satuan Lingual –e yang terdapat pada Teks Cantakaparwa
Berdasarkan keanggotaannya kategori sintaksis dibedakan menjadi beberapa kategori. Yang tergolong kategori utama ada empat yaitu (i) verba, (ii) adjektiva, (iii) nomina, dan (iv) adverbia. Berikut di bawah ini data yang ditemukan dalam teks Cantakaparwa yang bergabung dengan –e. (i).
(i)
Kategori kata verba, Contoh :
(9). ngong angalape anak kaponakane. (hlm. 81 Baris 18) ‘aku membawa anak keponakannya.’
(10).
“ya ta anusunge ingaran lwah sarayu.” (hlm. 85 Baris 23)
‘ialah yang mengangkatnya (ke tempat) bernama sungai Sarayu.’
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
25
Pada dua contoh kata (9) dan (10) bentuk dasar di atas secara morfologis mendapat prefiks nasal aN- yang merupakan salah satu ciri dari kata berkategori verba. Ciri lainnya secara sintaksis terlihat pada kalimat di bawahnya, bahwa yang menempati fungsi predikat pada kalimat tersebut adalah kata angalape dan anusunge. Secara semantis kata angalape dan anusunge mempunyai makna aksi berturut-turut, yaitu membawanya dan mengangkatnya. Maka dapat dinyatakan kedua kata tersebut berkategori verba yang dapat bergabung dengan satuan lingual –e. (ii) Kategori kata adjektiva, Contoh : (11).
ya ta inuwakaken lepinya, malayu mareng desa sunyane. (hlm.147,
baris 32) ‘Dihilangkan kelelahnya, lalu berlari menuju desanya yang sepi. ‘ Pada contoh (11) kata sunya ‘sepi’ di atas secara sintaksis merupakan kategori adjektiva karena berfungsi menyifati nomina pada frasa desa sunya ‘desa sepi’. Secara semantis kata sunya berkategori adjektiva karena mempunyai makna sifat yaitu sunya ‘sepi’. Maka dari contoh di atas dapat dinyatakan kata sunya pada contoh di atas berkategori adjektiva dan pada teks Cantakaparwa ditemukan bergabung dengan satuan lingual –e. (iii) Kategori kata nomina, contoh : (12).
yen rusak wadwanira, sapa rumaksa, ring singa rusak alase, akeh
wani. (hlm.127, baris 16) ‘kalau rusak tentaranya, siapa yang melindungi, siapa saja yang merusak hutannya, banyak yang berani’
(13).
amateni lakine, hana dyah amalaku ingidhep, hana janma alpa
ring yayah renane. (hlm. 118 Baris 20) ‘membunuh lelakinya, ada perempuan yang dipikirkan, ada orang lupa akan ayah ibunya
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
26
Contoh (12) dan (13) di atas merupakan kategori nomina. Misalnya pada contoh (12) secara sintaksis kata alase menempati posisi sebagai objek dalam kalimat tersebut. Kata tersebut secara semantis memiliki makna kebendaan yang bersifat konkret yaitu hutan. Begitupula pada contoh (13) kata lakine ‘lelakinya’ juga menempati fungsi sebagai objek yang membuktikan bahwa kata tersebut berkategori nomina. Maka kata alase dan lakine pada contoh di atas dapat dinyatakan berkategori nomina yang bergabung dengan satuan lingual –e. (iv) Kategori kata adverbia, contoh: (14).
Lingira Bagawan Druwa: “Yen mangkana padha undangen sakehe
widadari amrat iku.” (hlm. 97 Baris 7) Berkata Bagawan Druwa: “Kalau begitu undanglah para bidadari sebanyak-banyaknya dari dunia itu.” Contoh (14) di atas merupakan kategori adverbia. Adverbia sakehe memberi keterangan pada verba undangen yang berfungsi sebagai predikat. Kata di atas termasuk dalam bentuk adverbia deverbal. Adverbia deverbal adalah adverbia yang diturunkan dari bentuk dasar verba dengan proses afiksasi tertentu. Maka kata sakehe pada contoh di atas dapat disimpulkan berkategori adverbia yang bergabung dengan satuan lingual –e.
3.4. Peranan Satuan Lingual –e dalam Teks Cantakaparwa Dalam taraf klausa satuan lingual –e dapat dibagi menjadi empat. Pertama sebagai posesor atau pemilik, kedua sebagai ligatur atau pemerlekat, ketiga sebagai penentu atau determinator, dan keempat sebagai penominal.
3.4.1. Peranan Satuan Lingual –e sebagai Pemilik Atau Posesor Sebagai pemilik, satuan lingual –e mempunyai ciri dapat disubstitusi atau mempunyai bentuk yang sama dengan bentuk –ku atau –mu yang masing-masing Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
27
menyatakan orang pertama dan kedua. Selain itu akhiran –e memiliki anteseden orang ketiga. Anteseden adalah kata ganti yang dapat menggantikan kategori lain yakni nomina, adjektiva, adverbial, dan numeralia yang menyatakan orang ketiga17, contoh : (15).
“hana rabi mantri mati lakinipun, mangkin ta rangda, anging
kendel ta saba dalem, aranipun ni Singapandarat, umahe kiduling kori sapisis.” (hlm. 81 Baris 20) ‘ada istri mantri, suaminya mati (sudah) lama menjanda, berdiamlah dalam ruang pertemuan, namanya Singapandarat, rumahnya di (sebelah) selatan pintu.’
(16).
“E, sang Mong, temen sira ahidep ing ujare sang Sutasoma?”
(hlm. 148, baris 12) ‘Hei, sang Harimau, benar kau patuh pada perkataannya sang Sutasoma?’ Kedua contoh di atas terdapat satuan lingual –e menyatakan pemilik. Pada contoh kalimat (15), terdapat satuan lingual –e pada umahe ‘rumahnya’. Kata umahe tersebut menunjuk kembali pada kata ganti orang ketiga
yaitu
Singapandarat. Selain itu, jika melihat cirinya kata umahe di atas juga dapat disubtitusikan dengan bentuk –ku dan –mu sehingga menjadi umahku dan umahmu. Dapat dilihat pula pada contoh kalimat (16), terdapat satuan lingual –e pada kata ujare ‘perkataannya’. Kata ujare di atas juga menunjuk pada kata ganti orang ketiga yaitu sang Sutasoma. Demikian juga kata ujare dalam contoh kalimat (16) dapat diganti dengan –ku dan –mu menjadi ujarku ‘perkataanku’ dan ujarmu. Dalam teks Cantakaparwa juga dapat ditemukan varian-varian satuan lingual –e yang menyatakan pemilik. Sebagai contoh –e yang bervarian dengan – ne, kaidah alomorfemis mengatakan bila satuan lingual –e bergabung dengan 17
Sudaryanto. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta. 1991. Hal: 90
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
28
morfem berakhiran vokal, maka alomorf yang akan muncul adalah –ne, sebagai berikut: (17).
“Sang Hyang Jina, bawis lumampah sang Paremeswara lawan
sang Gori, ya ta amanggih arune.” (hlm. 95 Baris 6) ‘sang Hyang Jina kemudian berjalan ke sang Parameswara dan sang Gori, ia melihat belanganya.’ Contoh kalimat (17) di atas merupakan varian satuan lingual –e yang berupa –ne. Varian –ne tersebut terdapat pada kata arune yang berarti ‘belanganya’. Kata arune tersebut menunjuk kembali pada kata ganti orang ketiga yaitu sang Gori. Bentuk arune dapat disubtitusikan ke dalam bentuk –ku dan –mu menjadi aruku dan arumu. Selain –ne, satuan lingual –e dalam teks Cantakaparwa juga bervarian dalam bentuk –ipun dan –nipun. Bentuk –ipun dan –nipun biasanya digunakan dalam Bahasa Jawa Baru ragam krama, namun muncul pada teks Cantakaparwa di bawah ini : (18).
Mangke tengah
wengi
dhateng
sanghara,
kahula punika
padamicara, wengi salah karsa, kajangipun angambil-ingambil, enjing padha marek ring sang Prabu. (hlm. 119 baris 14) ‘Nanti tengah malam akan datang pasukan musuh, orang-orang itu tengah berbicara, malam waktu yang tidak tepat, kemahnya pun diambil, pagi harinya menghadap ke sang Prabu. ‘
(19).
Mangka kinanti Sang Bima de Sang Kresna mareng dalem kuta,
mangke ta pakenak lampah sang apatibrata, sing kapanggih priyanipun padha acurik. (hlm. 83, baris 11) ‘Begitu dinanti Sang Bima dan Sang Kresna menghadap ke dalam kota, sekarang sang pertapa berjalan untuk bertemu sahabatnya yang bunuh diri.’
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
29
Contoh kalimat (18) merupakan varian –e dalam bentuk –ipun. Bentuk – ipun di atas terdapat pada kata kajangipun yang berarti ’kemahnya’. –ipun dalam kata kajangipun di atas mewakili kata ganti orang ketiga pada kata kahula yang berarti ‘orang-orang’. Bentuk kajangipun di atas dapat pula disubstitusikan dalam bentuk –ku dan –mu menjadi kajangku ‘kemahku’ dan kajangmu ‘kemahmu’. Begitu pula pada contoh kalimat (19) yang merupakan varian –e dalam bentuk – nipun. Bentuk –nipun di atas terdapat pada kata priyanipun yang berarti ’kekasihnya’. Varian –e dalam bentuk –nipun pada kata priyanipun di atas adalah kata ganti orang ketiga dari kata Sang Bima de Sang Kresna. Kata priyanipun tersebut juga dapat digantikan dengan –ku dan –mu menjadi priyaku ‘kekasihku’ dan priyamu ‘kekasihmu’. Terdapat juga varian lain satuan lingual –e menyatakan pemilik dalam teks Cantakaparwa selain bentuk –ipun dan –nipun yaitu –ira dan –nira. Bentuk –ira dan –nira biasanya digunakan dalam Bahasa Jawa Kuno, muncul pada teks Cantakaparwa di bawah ini : (20).
Mangkwa Sang Yudhistira, Sang Kresna maguwug ambiseka
parahanten twasira anglampahi dukha nastapa. (hlm. 130 Baris 24) ‘Begitu Sang Yudhistira, Sang Kresna berkumpul (bersama) menobatkan para adik laki-lakinya hatinya merasa sedih dan berduka.’
(21).
Ling Sang Resi Kotama: “Kaki Prabu, wruhanira, hana
pasanakanira ngaran Anggaraprana, paratra ring patapanira Bagawan Jamadageni. (hlm. 93 Baris 8) ‘Berkata Sang Resi Kotama: “Baginda Prabu, sepengetahuan hamba, ada sanak saudara hamba bernama Anggaraprana, mati di pertapaannya Bagawan Jamadageni.’ Contoh kalimat (20) merupakan varian –e dalam bentuk –ira. Bentuk –ira tersebut terdapat pada kata twasira yang berarti ’hatinya’. –ira dalam kata twasira di atas merupakan kata ganti orang ketiga pada kata Sang Yudhistira, Sang
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
30
Kresna. Bentuk twasira di atas dapat pula disubstitusikan dalam bentuk –ku dan – mu
menjadi twasku ‘hatiku’ dan twasmu ‘hatimu’. Begitu pula pada contoh
kalimat (21) yang merupakan varian –e dalam bentuk –nira. Bentuk –nira di atas terdapat pada kata patapanira yang berarti ’pertapaannya’. Varian –e dalam bentuk –nira pada kata patapanira di atas adalah kata ganti orang ketiga dari kata Bagawan Jamadageni. Kata patapanira tersebut juga dapat digantikan dengan – ku dan –mu menjadi patapanku ‘pertapaanku’ dan patapanmu ‘pertapaanmu’. Dari beberapa contoh di atas, maka dapat dideskripsikan bahwa terdapat satuan lingual –e menyatakan pemilik dalam teks Cantakaparwa. Satuan lingual – e sebagai pemilik tersebut tersebar menjadi beberapa varian seperti –ne, –ipun, – nipun, –ira, dan –nira.
3.4.2. Peranan Satuan Lingual –e sebagai Penentu atau Determinator Sebagai penentu, satuan lingual –e mempunyai ciri tidak dapat disubtitusi dengan bentuk –ku dan –mu. Ciri lainnya satuan lingual –e sebagai penentu tidak dapat dihilangkan, jika dihilangkan maka kalimat tersebut tidak gramatikal lagi. Beberapa contohnya dalam kalimat berikut: (22).
Yen tan suwangen tampake, analuluhi, tan yogya, pakena denira
sang Nata, wenang pinaten anaretidesa. (hlm. 53 Baris 24) ‘Kalau tidak sampai ke jejaknya, pertanda buruk, tak pantas ditugasi sang Raja, berwenang untuk dibunuh penjaga desa.
(23).
Mregabrata, yen sira aningali duwene kakasih wadwa nira, den
kadi badahan tumingaling ring wana, tegese den rumaksa ring wadwa. (hlm. 101 Baris 20) ‘Mregabarata, kalau kamu melihat kekasihmu di antara tentara mereka, seperti sedang melihat di antara hutan, itu artinya dilindungi tentara.’
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
31
Kedua contoh di atas terdapat satuan lingual –e sebagai penentu atau determinator. Pada contoh kalimat (22) dan (23), masing-masing terdapat satuan lingual –e pada tampake, ‘mengangkatnya’ dan tegese ‘artinya’. Kata tampake dan tegese tersebut merupakan penentu bagi unsur yang ditempeli. Selain itu, jika melihat cirinya kata tampake dan tegese di atas juga tidak dapat disubtitusikan dengan bentuk –ku dan –mu. Ini menunjukan bahwa –e pada contoh kalimat (22) dan (23) bukan posesor. Sebagai penentu, -e tersebut dipakai secara wajib. Sama seperti sebagai pemilik, satuan lingual –e sebagai penentu, juga mempunyai varian lain yaitu –ne yang terdapat dalam teks Cantakaparwa. Varian –ne muncul bila satuan lingual –e bergabung dengan morfem berakhiran vokal, Contoh: (24).
Sangkane pinukul, manawa amangan uti, kalingane ta gane sira
anak-anak sambada, lawas uluh tan weruh yen sira anak-anak weruh. (hlm. 125 Baris 12) ‘sebabnya dipukul, kalau memakan kurban, artinya ia akan menjadi anakanak yang handal, lama waktu tumbuh saya tak mengerti kalau anakanaknya mengerti.
(25).
Alarang, tutukon tan enak rasane. (hlm. 81 Baris 13) ‘Bersembunyi di lubang tidak enak rasanya.’
Contoh kalimat (24) dan (25) di atas merupakan varian satuan lingual –e yang berupa –ne sebagai penentu. Varian –ne tersebut terdapat pada kata Sangkane ‘sebabnya’ dan rasane ‘. Kata Sangkane dan rasane tersebut tidak dapat disubtitusikan ke dalam bentuk –ku dan –mu. Dilihat dari cirinya, bentuk –ne pada dua contoh kalimat (24) dan (25) di atas tidak bisa dihilangkan, jika dihilangkan maka kalimat tersebut tidak gramtikal lagi, seperti contoh: (26).
Sangka//pinukul, manawa amangan uti, kalingane ta gane sira
anak-anak sambada, lawas uluh tan weruh yen sira anak-anak weruh**.
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
32
‘sebabnya dipukul, kalau memakan kurban, artinya ia sangat mirip dengan anak-anak handal, lama tumbuh waktu saya tak mengerti kalau anakanaknya mengerti.
(27).
Alarang, tutukon tan enak//rasa **18.
‘Bersembunyi di lubang tidak enak rasanya.’ Bentuk –ne sebagai penentu juga mempunyai variasi bentuk yang lain yaitu –ipun dan –nipun. Bentuk tersebut biasanya digunakan dalam Bahasa Jawa Baru pada tingkat tutur krama. Berikut contoh kalimat yang ditemukan pada teks Cantakaparwa,contoh: (28).
Tegesipun kaki Prabu, darsanam ngaraning guru, pahulunan
ngaraning kaponakan, sopanam ngaraning jalan. (hlm. 99 Baris 4) ‘Artinya kakek Prabu Darsanam, pandangan namanya guru, Pahulunan namanya keponakan, Sopanam namanya jalan.
(29).
Mangkwa ling sang Kuntiboja ring sang Resi: “Pukulun, punapi
purnamanipun?” Ling sang Dwisan: “Aum aum sang Nata.” (hlm.124 baris 4) ‘begini kata sang Kuntiboja kepada sang Resi: “Tuanku, bagaimana purnamanya?” Berkata sang Dwisan: “ Aum aum sang Raja.”
Contoh kalimat (28) merupakan varian –e dalam bentuk –ipun. Bentuk – ipun
di atas terdapat pada kata Tegesipun yang berarti ’artinya’. Bentuk
Tegesipun di atas tidak dapat disubstitusikan dalam bentuk –ku dan –mu. Sebagai penentu, -e tersebut dipakai secara wajib. Begitu pula pada contoh kalimat (29) yang merupakan varian –e dalam bentuk –nipun. Bentuk –nipun di atas terdapat pada kata purnamanipun yang berarti ’purnamanya’. Bentuk purnamanipun di
18
** Tidak gramatikal
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
33
atas tidak dapat disubstitusikan dalam bentuk –ku dan –mu. Sebagai penentu, -e tersebut dipakai secara wajib. Terdapat juga varian lain satuan lingual –e sebagai penentu atau determinator dalam teks Cantakaparwa selain bentuk –ipun dan –nipun yaitu –ira dan –nira. Bentuk –ira dan –nira biasanya digunakan dalam Bahasa Jawa Kuno, muncul pada teks Cantakaparwa di bawah ini : (30).
Wenten ajinira Maharaja Santanu antukira aguguru, aji pangrat
urip, pamangsul Sanghyang Pramana.(hlm.78 baris 20) ‘Ada kitabnya Maharaja Santanu yang didapatkannya (dari) berguru, kitab (tentang) kehidupan duniawi, jawaban dari Sanghyang Pramana.’
(31).
Mankwa sang Kunti anggrahita yen sang Widata amanggih bade,
mangka sang Patah asmu luh lumawad I sang Widura, tinutur mulanira sang Karna, awas yen antuking amanggih ing Narmada. (hlm.82 baris 16) ‘begitu sang Kunti memahami kalau sang Widata mendapatkan peti mayat, maka sang Patah mengusap air mata menghibur sang Widura, dikatakan awalnya sang Karna, berhati-hati kalau kedapatan bertemu di Narmada.’ Contoh kalimat (30) merupakan varian –e dalam bentuk –ira. Bentuk –ira di atas terdapat pada kata antukira yang berarti ’mendapatkannya’. –ira dalam kata antukira di atas tidak dapat disubstitusikan dalam bentuk –ku dan –mu. Ciri lainnya Bentuk –ira sebagai penentu tidak dapat dihilangkan, jika dihilangkan maka kalimat tersebut tidak gramatikal lagi. Begitu pula pada contoh kalimat (31) yang merupakan varian –e dalam bentuk –nira. Bentuk –nira di atas terdapat pada kata mulanira yang berarti ’awalnya’. Varian –e dalam bentuk –nira di atas tidak dapat disubstitusikan dalam bentuk –ku dan –mu. Ciri lainnya Bentuk –ira sebagai penentu tidak dapat dihilangkan, jika dihilangkan maka kalimat tersebut tidak gramatikal lagi. Dari beberapa contoh di atas, maka dapat dideskripsikan bahwa selain satuan lingual –e sebagai pemilik terdapat juga satuan lingual –e sebagai penentu
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
34
dalam teks Cantakaparwa. Satuan lingual –e sebagai penentu tersebut pun tersebar menjadi beberapa varian seperti –ne, –ipun, –nipun, –ira, dan –nira. 3.4.3. Peranan Satuan Lingual –e sebagai Ligatur atau Pemerlekat Pada kalimat Bahasa Jawa Kuno satuan lingual –e bervariasi dalam bentuk lain yaitu bentuk ––ning yang berperan sebagai ligatur. Ligatur adalah unsur pemerlekat antara unsur termilik dengan pemilik19. Bentuk –ning selalu diapit oleh dua buah kategori kata yang sama ataupun tidak. Seperti contoh dibawah ini:
(i). nomina –ning nomina : (32).
Susrawa len wadwa ning ratu pipinangan.(hlm.93 baris 9)
‘Susrawa dan tentaranya mengundang raja.’
(33).
aja sira anglarani hati ning wong.(hlm.76 baris 5)
‘jangan kamu menyakiti hatinya manusia’ Pada contoh kalimat (32) bentuk ––ning pada wadwa ning ‘tentaranya’ dan ratu ‘raja’ berkategori sebagai nomina-nomina. Dikatakan nomina karena secara sintaksis kedua kata tersebut masing-masing menempati fungsi sebagai subjek dan objek pada kalimat di atas dan secara semantis mengandung makna benda, yaitu ‘tentara’ dan ‘raja’. Bentuk ––ning tersebut tidak dapat diganti dengan bentuk lain karena ––ning merupakan unsur pemelekat antara konstituen termilik dan pemilik. Sama halnya pada contoh kalimat (33) bentuk –ning pada hati ning ‘hatinya’ dan wong ‘manusia’ juga berkategori nomina-nomina, karena kedua kata tersebut masing-masing menempati fungsi subjek dan objek.
(ii). verba –ning nomina :
19
Sudaryanto. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta. 1991. Hal: 94
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
35
(34).
ling ning para Nata kalih mwang sang Cayadijaya. (hlm. 78 Baris
10)
‘berkatalah dua orang pangeran itu kepada sang Cayadijaya’
(35).
hana rabining Mantri mati lakinipun. (hlm. 67 Baris 2)
‘ada perkawinannya seorang mantri lelakinya mati’ Pada contoh kalimat (34) bentuk ––ning pada ling ning ‘berkata’ dan para Nata ‘Nata (pangeran)’ melekat pada kata berkategori verba-nomina. Kata ling dikatakan verba karena secara sintaksis mengisi fungsi predikat dan secara semantis mengandung makna perbuatan atau aksi yaitu ‘berbicara’, sedangkan kata para Nata dikatakan nomina karena secara sintaksis mengisi fungsi objek pada kalimat tersebut dan secara semantis mengandung makna benda yaitu ‘para pangeran. Bentuk –ning di atas hadir sebagai pemelekat kedua kata tersebut dan bentuk –ning di atas tidak dapat diganti dengan bentuk lain. Demikian pula pada contoh kalimat (35) bentuk ––ning pada rabining ‘perkawinannya’ dan mantri ‘mantri’ melekat pada kata berkategori verba-nomina. Kata rabi dikategorikan verba karena secara sintaksis mengisi fungsi predikat dan secara semantis mempunyai makna perbuatan atau aksi, yaitu ‘perkawinan’, sedangkan kata mantri dikategorikan sebagai nomina karena secara sintaksis mengisi fungsi objek dan secara semantis mengandung makna benda, yaitu ‘mantri’.
(3). adjektiva –ning nomina : (36).
asura tinahen saktining sang Gunatama.(hlm.117 baris 2)
‘raksasa itu dilawan kesaktiannya (oleh) sang Gunatama’ Pada contoh kalimat (36) di atas bentuk –ning pada saktining ‘kesaktiannya’ dan sang Gunatama ‘sang Gunatama’ melekat pada kata berkategori adjektiva-nomina. Kata sakti dikategorikan sebagai verba karena
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
36
sintaksis mengisi fungsi predikat, selain itu kata sakti di atas juga berfungsi menyifati nomina di sebelah kirinya dan secara semantis mengandung makna sifat yaitu ‘sakti’, sedangkan kata sang Gunatama dikategorikan sebagai nomina karena dilihat dari kalimat di atas kata tersebut mengisi fungsi objek. Selain itu jika dilihat secara semantis kata tersebut mempunyai makna kebendaan yaitu ‘sang Gunatama’ atau nama orang.
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
37
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan Sebagaimana yang disebutkan dalam katalog naskah Fakultas Sastra Universitas Indonesia bahasa yang digunakan teks Cantakaparwa adalah Bahasa Jawa Kuno. Namun terdapat percampuran, tidak hanya struktur saja tapi banyak juga kosakata-kosakata Bahasa Jawa dalam teks Cantakaparwa. Penelitian pendahuluan
ini menemukan baik aspek gramatikal Bahasa Jawa Kuno dan
Bahasa Jawa di dalamnya. Berdasarkan tiga pokok Bahasan yang dianalisis di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Teks Cantakaparwa tidak murni berbahasa Jawa Kuno seutuhnya karena banyak terdapat satuan lingual –e. 2. Varian satuan lingual –e yang muncul pada teks Cantakaparwa cukup banyak. Varian tersebut muncul mengikuti kaidah alomorfemis Bahasa Jawa yang seharusnya. Tidak semua kategori kata yang dapat bergabung dengan satuan lingual –e muncul pada teks Cantakaparwa. 3. Hanya beberapa kategori kata saja yang ditemukan bergabung dengan satuan lingual –e seperti kategori verba, nomina, adjektiva, dan adverbia. 4. Peranan satuan lingual –e sebagai pemilik ataupun penentu sangat banyak muncul pada teks Cantakaparwa. Tidak hanya berbentuk –e, tetapi bervariasi menjadi beberapa varian yaitu, -ne, -ipun, -nipun, -ira, dan – nira. Selain itu muncul juga varian –ning yang berperan sebagai ligatur atau pemerlekat.
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
38
DAFTAR PUSTAKA
Buku Adelaar, Alexander K. 2005. The
Austronesian
Languages
of
Asia
and
Madagascar. London: Routledge. Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta. Rineka Cipta. Keraf, Gorys. 1989. Komposisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. __________. 1994. Diksi dan Gaya Bahasa. Flores: Nusa Indah. Kurniati, Endang. 2008. Sintaksis Bahasa Jawa. Semarang: Griya Jawi Kushartanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mastuti, Dwi Woro Retno. 2007. Cantakaparwa: CP-21, Laporan hasil Penelitian. Depok Pigeaud, Theodore. 1980. Literature of Java. Netherland: The Hague. Poerbatjaraka. 1952. Kepustakaan Djawa. Jakarta: Djambatan. Puspitorini, Dwi dan Mastuti, Dwi Woro Retno. 2002. Analisis Gramatikal Teks Cantakaparwa, Makara, Sosial Humaniora vol.6. Depok: UI ___________. 2008. Bahan Ajar Tata Bahasa Jawa Kuna I. Depok Saputra, Karsono H. 2001. Percik Dua Bahasa & Sastra Jawa. Depok: KMSJFIB UI
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
39
Sudaryanto, dkk. 1993. Metode Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sudaryanto. 1978.
Peranan Satuan Lingual –E Dalam Dimensi Sintaktik
Bahasa Jawa (Sebuah Penelitian Pendahuluan). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. __________. 1988. Metode Linguistik Bagian Pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press __________ . 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Verhaar, J.WM. 2010. Asas-asas Linguistik Umum, cet. 10. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wedhawati, dkk. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: Kanisius Zoetmulder. P. J. 1983. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
Kamus Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. J.B Wolters Urtgevers Maatschappis Groningen, Batavia.
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
40
Prawiroatmojo, S. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia, ed. 3, cet. 2. Jakarta: Balai Pustaka. Zoetmulder. P. J. 2004. Kamus Jawa Kuna - Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
41
Lampiran Data Teks Cantakaparwa
1. Ai maharaja Yadu, putunira iku anake sang Dursanta 2. Apa rupane wong amet gelar iku? 3. Kewran manahira, ya ta anusunge ingaran lwah sarayu, sungapani jaladi wenten durgasancara 4. Yen nora den pakarmaken Sikandi, ingong lebur awake tekeng balane 5. Ika kramane anakira iku 6. Ngong angalape anak kaponakane 7. Endi rupane kang angarani wadon? 8. Wadone Sikandi parakena ri sang mintuna? 9. Ring endi ta desane, paran rupane? 10. Yen mangkana padha undangen sakehe widadari amrat iku 11. Ai, sakwehing Apsari, padha mareka ring bagawan Druwa, padha ngigela ring arepe! 12. Tan meweh lwirning yasa de sang Karaneng rat, watue senjang sala wiharasrama bodhi 13. Mregabrata, yen sira aningali duwene kakasih wadwa nira, den kadi badagan tumingaling ring wana, tegese den rumaksa ring wadwa 14. Ring singa yen rusak alase, akeh wani 15. Den itung duwene wadwane, hana duwene wadwane abecik den alap
Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
42
16. Amateni ring anake, amateni lakine, hana dyah amalaku ingidhep, hana janma alpa ring yayah renane, hana arabi angalap anake, hana angalap uwa bibine 17. Tangeh yan wilangen pararabining sang Pandawa, kari astinira, mangkwa tinut ing sesane, kumusuh kadi sinapwan kang lebu, suksma mulih ing smaralaya 18. Mur sang Hyang Jina, bawis lumampah sang Paremeswara lawan sang Gori, ya ta amanggih arune, sawega ingabiwada de sang Rudra Uma ika neher mur sang Srengga 19. Sangkane pinukul, manawa amangan uti, kalingane ta gane sira anakanak sambada, lawas uluh tan weruh yen sira anak-anak peruh 20. Ai Suwanda, bagna wikalpanta iku, kalinganta sunyane, dene alpane, kahetang panangtange, dene angina ring kami 21. Didine dak larane atine 22. Ling sang Ardanareswari: Gagamane pujane samadine, sote panedane ring hyang iku 23. Susrawa len wadwa ning ratu pipinangan 24. Kaki Prabhu, aja katungkul, duk teka, endi sangkane? lungha, endi parane? tekane, aja sukha, lunghane, aja dukha 25. “E, sang Mong, temen sira ahidep ing ujare sang Sutasoma? 26. Sighra datang sang Dasabahu, jenger aningali wwang apekik, hemane awadwa danawa 27. Saparane para natha haturaken iku? ing endi sangkane?
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
43
28. Sakehe wong aprang iki kabeh mati mene 29. Mangka sira dadi apurohita ning hulun 30. Aja sira anglarani hati ning wong, ajamidanda tan sabenere, aja malat duwe ning wadwanira 31. Gumanti ta manirareda huripane sang Natheng singhala sesantana balaturanggane 32. Ling ning para nata kalih mwang sang Cayadijaya 33. Sapa ta panujune? ling sang Sudarsana 34. Hana rabining Mantri mati lakinipun, mangkin ta rangda, anging kendel ta saba dalem, aranipun ni singapandarat, umahe kiduling kori sapisis 35. Tiningalan salere, kadi kanaka pinahat, tumungkul, sang Dewi, semu marang tan weruh wikalpanira, keteg-keteg sumamburat. 36. Telasning smaratura tekaning asmaratantra, kenken lukar segi katitihan atulak jaja kapesan, wekasan anggremus tangan. 37. Sampun anata tingkahing bala, mangkwa autusan mantuk sang Nrepatmaja matur ing sang Prabu, yen sang Rajaputri sampun kapundut, aguyubar ring Ranupatya tepining walahar kacangcang ing yudha. 38. Magunem sang Andasuksma, sang Nayantaka, Gopasarana, lingira sang Andakusuma: “ Nayantaka, Gopasarana gelare musuhira kaya mega sinrang ing rawi. 39. Mangka anguwuh gumrit sang Andasuksma, gumrit ratanira, tumulunga kabeh wong Nawarsana: “iki rupane prajurite wong byuhanada?”
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
44
40. Sang Sudarsana mundur ratanira, rakta karudiran, sinungsung de sang Ranangga, Pranita maguwug hebning puspataru. 41. Mon ko karo wimba, mangko kita dinerek padanta duli, aba rasane kita, hana ta dwirada kuda amanganing atur-aturan dene wadwangku tekeng anak maranta. 42. Tan sinangsaya de sang Gunatama, dinuk ing konta Sang Nata matangkis panah tikel, kumetug molih twasira terus, pejah kalenggak ing rata Maharaja Pranita, awreg alayu sesaning pejah, padha alayu angidak ingomah-omah de sang Wibawaputra. 43. “Dik ah ko manusa, cumantaka amapag ingulun, aku panguluning jagatraya iki, apan aku wisesa ring jagat kabeh.” 44. Sang Sudarsana weruh ring sipta, tunanggul laganira sang Gunatawa, salwiring kadiraning asura tinahen , saktining sang Gunatama kabanda de sang Wiramantri. 45. Aneda patine pun Gunatama, denipun tan pejah dening sanjata, ling sang Resi. 46. “Wimanacika tan harep adana, anama bala nora, den itung duwene wadwane, hana duwene wadwane abecik den alap.” 47. Sighra datang sang Dasabahu, jenger aningali wwang apekik, hemane awadwa danawa. 48. Tan meweh lwirning yasa de sang Karaneng rat, watue senjang sala wiharasrama bodhi.
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
45
49. sumahur sang Dewabrata:“Pukulun saturanipun Murcajati ring karsa lebu talapakanira...” 50. Sedengnymrat aningali pujanira Maharaja Janamejaya, aparek lawan uti, ya ta pinukul, dening atunggu banten wetengipun, malayu mulih karuron, majar ring Sang Suloma, yen pinukul tan padosa. 51. sang Nata matangkis panah tikel, kumetug molih twasira terus, pejah kalenggak ing rata Maharaja Pranita. 52. mareki sang Kotama: “Pukulun menawi wenten jajamahan pakanira ameteng, manira amalampah, rabi pamigara.” 53. ngong angalape anak kaponakane. 54. “ya ta anusunge ingaran lwah sarayu.” 55. ya ta inuwakaken leponya, malayu mareng desa sunyane. (hlm.147, baris 32) 56. yen rusak wadwanira, sapa rumaksa, ring singa rusak alase, akeh wani. (hlm.127, baris 16) 57. amateni lakine, hana dyah amalaku ingidhep, hana janma alpa ring yayah renane. 58. Lingira Bagawan Druwa: “Yen mangkana padha undangen sakehe widadari amrat iku.” 59. “hana rabi mantri mati lakinipun, mangkin ta rangda, anging kendel ta saba dalem, aranipun ni Singapandarat, umahe kiduling kori sapisis.” 60. “Sang Hyang Jina, bawis lumampah sang Paremeswara lawan sang Gori, ya ta amanggih arune.”
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
46
61. Mangke tengah wengi dhateng sanghara, kahula punika padamicara, wengi salah karsa, kajangipun angambil-ingambil, enjing padha marek ring sang Prabu. 62. Mangka kinanti Sang Bima de Sang Kresna mareng dalem kuta, mangke ta pakenak lampah sang apatibrata, sing kapanggih priyanipun padha acurik. 63. Mangkwa Sang Yudhistira, Sang Kresna maguwug ambiseka parahanten twasira anglampahi dukha nastapa. 64. Ling Sang Resi Kotama: “Kaki Prabu, wruhanira, hana pasanakanira ngaran Anggaraprana, paratra ring patapanira Bagawan Jamadageni. 65. Yen tan suwangen tampake, analuluhi, tan yogya, pakena denira sang Nata, wenang pinaten anaretidesa. 66. Alarang, tutukon tan enak rasane. 67. Tegesipun kaki Prabu, darsanam ngaraning guru, pahulunan ngaraning kaponakan, sopanam ngaraning jalan. 68. Mangkwa ling sang Kuntiboja ring sang Resi: “Pukulun, punapi purnamanipun?” Ling sang Dwisan: “Aum aum sang Nata.” 69. Wenten ajinira Maharaja Santanu antukira aguguru, aji pangrat urip, pamangsul Sanghyang Pramana. 70. Mankwa sang Kunti anggrahita yen sang Widata amanggih bade, mangka sang Patah asmu luh lumawad I sang Widura, tinutur mulanira sang Karna, awas yen antuking amanggih ing Narmada. 71. Susrawa len wadwa ning ratu pipinangan.
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012
47
72. aja sira anglarani hati ning wong. 73. ling ning para Nata kalih mwang sang Cayadijaya. 74. hana rabining Mantri mati lakinipun. 75. asura tinahen saktining sang Gunatama.
Universitas Indonesia Satuan lingual..., Dewa Ngakan Gede Anom, FIB UI, 2012