Wajah
Perkembagan
Ruang
di
Kota
Jakarta:
Penggusuran
Versus
Hak
Atas
Kota
Perkembangan
ruang
di
kota
tak
pelak
lagi
terkait
dengan
hak
warganya
untuk
memiliki
tempat
tinggal
dan
berpartisipasi
dalam
pembangunan
kota.
Jakarta
adalah
kota
yang
terus
berkembang,
baik
dalam
ruang
maupun
dalam
jumlah
warganya
(atau
mereka
yang
bergantung
hidup
pada
Jakarta).Kota
ini
kini
adalah
Ibukota
negara
Republik
Indonesia
yang
juga
berfungsi
sebagai
pusat
administrasi
pemerintahan,
lokasi
konsentrasi
modal
dan
perputaran
uang
terbesar
di
Indonesia.
Tak
kurang
dari
50%
dari
total
jumlah
dana
nasabah
perbankan
di
Indonesia
yang
berjumlan
Rp
1973
triliun
terkonsentrasi
di
Jakarta.1
Sekitar
70‐80%
uang
berputar
yang
dimiliki
negeri
ini
pun
adanya
di
Jakarta.
Konsentrasi
alias
kepadatan
dan
perputaran
alias
pergerakan
bukan
cuma
dalam
hal
kapital
saja.
Jakarta
adalah
kota
dengan
penduduk
paling
banyak
dan
paling
padat
di
Indonesia.
Perubahan
politik
terjadi
segera
setelah
krisis
ekonomi
di
penghujung
90‐an
dan
telah
membuka
peluang
bagi
proses
desentralisasi
kuasa
ke
tingkat
local.
Desentralisasi
telah
memberikan
kekuasaan
lebih
besar
bagi
pemerintah
local
untuk
membuat
rencana
pembangunannya
sendiri.
Ironisnya
di
Jakarta
kekuasaan
yang
lebih
besar
ini
digunakan
untuk
menangani
kaum
miskin
kota
dengan
paradigma
penegakan
peraturan
lokal
yang
disebut:
Ketertiban
Umuma
(Perda
No.11/1988).
Perda
ini
menjadi
landasan
dari
banyak
sekali
penggusuran
dan
penghancuran
ruang
yang
terkait
dangan
kaum
miskin
kota.
Pemerintah
kota
lebih
memilih
penggusuran
dan
penghancuran
ruang
sebagai
solusi
pragmatis
ketimbang
memberi
ruang
bagi
demokratisasi
di
kota.
Gagasan
ketertiban
kota
didasari
pada
hak
legal
di
kota
–
yang
dalam
banyak
kasus
terbukti
kabur
dan
controversial.
Kita
menyaksikan
absennya
perdebatan
tentang
hak
lain
yang
penting
bagi
demokratisasi
di
kota
–
itu
adalah
wacana
Hak
Atas
Kota
di
Jakarta.
Sejak
tahun
2000,
tak
kurang
dari
2
juta
orang
di
Jakarta
diperkirakan
terkena
dampak
langsung
mau
pun
tidak
langsung
dari
penggusuran
(UPC:2004)
Penggusuran
paksa
tidak
hanya
dilakukan
terhadap
pemukiman
kumuh
(slum
dwellers)
dan
yang
dianggap
liar
(squatters),
tapi
kita
menyaksikan
dalam
satu
dekade
terakhir
ini
serangan
penggusuran
juga
ditujukan
pada
aktivitas
ekonomi
kaum
miskin
kota,
baik
itu
penertiban
pedagang
kaki
lima
mau
pun
juga
pasar‐pasar
yang
dianggap
tidak
memenuhi
aturan
kota.
Ada
beberapa
cerita
tentang
penggusuran
pasar
yang
sempat
menjadi
berita
besar
dan
menghasilkan
protes
perlawanan
terhadap
usaha
penertiban
1
http://bisnis.vivanews.com/news/read/134920-rp_1000_triliun_duit_berputar_di_jakarta
[Type
text]
Page
1
pemerintah
kota,
misalnya
pasar
burung
dan
ikan
Barito
di
Jakarta
Selatan
yang
digusur
untuk
revitalisasi
ruang
terbuka
hijau.
Taman
Bersih
Manusiawi
Wibawa
(BMW)
di
sekitar
Danau
Sunter,
atau
pasar
keramik
di
Rawasari
Jakarta
Pusat
yang
digusur
karena
dianggap
mengganggu
estetika
dan
keteraturan.
Diantara
berbagai
kisah
penggusuran
pasar
,
dalam
tulisan
singkat
ini
akan
ditampilkan
hasil
observasi
atas
penggusuran
akhir
tahun
2009
atas
pasar
Permai
di
Koja,
Jakarta
Utara.
Kisah
Pasar
Permai
Pasar
permai
secara
spatialnya
adalah
sebuah
jalan
besar
dan
dinamakan
jalan
lorong
104.
Selain
itu
pasar
ini
berseblahan
dengan
pasar
modern
Ramayana,
berhadapan
dengan
pasar
ular
(tradisional)
dan
dibelakang
pasar
terdapat
banyak
usaha‐usaha
kecil
yang
tidak
terorganisasi.
Pasar
permai
ini
memiliki
banyak
versi
mengenai
sejarah
perkembangannya.
Sebagian
warga
dan
pedagang
mengingat
keberadaan
pasar
ini
sudah
ada
sejak
sejak
enam
tahun
setelah
Indonesia
merdeka.2
Informan
lain
mengetahui
bahwa
pasar
ini
telah
difasilitasi
oleh
pemerintah
kota
pada
masa
gubernur
Cokropranolo
(1980‐an)
dengan
didirikannya
tenda
besar
disepanjang
jalan
tersebut.
Pada
masa
gubernur
Sutiyoso
dan
gubernur
ini
mencanangkan
pasar
permai
sebagai
proyek
pasar
percontohan.3
Mulanya
jumlah
pedagang
di
Pasar
Permai
masih
cukup
sedikit,
tetapi
seiring
krisis
ekonomi
menimpa
sejak
tahun
1997,
jumlah
pedagang
menjadi
meningkat
secara
tajam.
Jalan
lorong
104
tidak
lagi
dapat
berfungsi
sebagai
jalan
karena
nyaris
sepenuhnya
dipadati
pedagang
pasar
Permai.Pasar
Permai
ini
bukan
unit
resmi
dibawah
pengelolaan
pemerintah
kota
sehingga
dia
tidak
dibawah
koordinasi
PD
Pasar
Jaya
melainkan
dibina
oleh
Dinas
UKM,
Walikota
Jakarta
Utara.
Pemerintah
berencana
untuk
memindahkan
pedagang
pasar
ini
ini
ke
sejumlah
daerah
di
sekitar
Jakarta
yang
dikelola
oleh
PD
Pasar
Jaya
dengan
berdalih
bahwa
daerah
pasar
ini
akan
diaktifkan
kembali
sebagai
jalan
lorong
104
dengan
berlandaskan
Peraturan
GubernurNo.80
tahun
2009.
Pemerintah
kota
berargumen
tindakan
relokasi
ini
untuk
merespon
laporan
warga‐warga
yang
terganggu
karena
aktivitas
pasar
ini
dan
juga
pencemaran
lingkungan
oleh
para
pedagang.
Pemerintah
berkehendak
menjadikan
areal
ini
agar
mendukung
tata
ruang
lingkungan
hijau,
2 3
Laporan observasi Rizki Febari, mahasiswa FISIP UI dalam mata kuliah Politik Perkotaan semester ganjil 2009. http://stoppenindasan.blogspot.com/2009/08/alasan-penggusuran-pkl-pasar-permai.html
[Type
text]
Page
2
termasuk
ambisi
pemerintah
Walikota
Jakarta
Utara
untuk
menunjukkan
prestasi
menciptakan
keteraturan
lingkungan
dalam
ambisi
mereka
untuk
memenangkan
penghargaan
Adipura
sebagai
lomba
bagi
kebersihan
antar
kota.
Para
pedagang
menolak
kebijakan
ini
karena
lokasi
yang
ditujukan
bagi
pedagang
oleh
pemerintah
kota
Jakarta
dinilai
kurang
menarik
para
pembeli.
Rencananya
mereka
dipindahkan
ke
beberapa
lokasi,
tetapi
kebanyakan
akan
dipindahkan
ke
lokasi
pasar
sindang
yang
berada
di
sekitar
belakang
pasar
permai
ini.
Pedagang
tidak
menyukai
relokasi
karena
menganggap
pasar
Sindang
itu
sudah
lama
‘mati’,
karena
pembelinya
hanya
sedikit
yang
datang
di
daerah
tersebut.
Para
pedagang
tidak
menginginkan
pasar
dengan
gedung
yang
besar
dan
berlantai‐lantai,
tetapi
hanya
mengaharapkan
orang‐orang
banyak
yang
datang
membeli.4
Seperti
terjadi
dalam
hampir
setiap
kasus
perlawanan
terhadap
penggusuran
paksa,
terdapat
perbedaan
pendapat
mengenai
proses
yang
layak
dan
transparan
menuju
tindakan
puncak
berupa
penggusuran
paksa.
Birokrasi
berselisih
pendapat
dengan
pedagang
perilhal
ada
tidaknya
sosialisasi
yang
memadai
mengenai
pengosongan
area.5
Pedagang
merasa
hanya
diberitahu
secara
tiba‐tiba
tentang
kebijakan
relokasi
dan
mempersoalkan
tanggung
jawab
pembinaan
atas
mereka
dan
janji‐janji
sebelumnya
untuk
merenovasi
infrastruktur
pasar.
Pedagang
secar
rutin
membayar
retribusi
termasuk
yang
berfungsi
untuk
kebersihan
dan
pengelolaan
ruang/area
pasar,
sehingga
mereka
mempersoalkan
kembali
tanggung
jawab
mencegah
keluhan
warga
atas
dampak
pasar.
Relasi
antara
pasar
dan
warga
pun
tidak
sesederhana
argument
penggusuran,
karena
para
pedagan
berpendapat
bahwa
keberadaan
pasar
sangat
menentukan
keberadaan
ruang
hidup
warga
saat
ini.
Para
pedagang
merunut
kembali
bagaimana
pasar
ini
ada,
pada
masa
itu
lingkungan
pasar
ini
masihlah
berupa
rawa‐rawa
pada
awalnya,
hanya
baru
sekitar
tahun
1980‐an,
pasar
ini
melakukan
pengaspalan
jalan
di
lokasi
ini.
Sehingga
tentu
sebenarnya
sudah
ada
pasar
terlebih
dahulu
dibandingkan
jalannya.
Para
pedagang
pun
mengeluhkan
bahwa
mereka
tidak
bisa
bertemu
dengan
walikota
Jakarta
Utara.
Pada
tanggal
18
agustus
2009,
mereka
sempat
melakukan
unjuk
rasa
di
depan
kantor
walikota,
tetapi
tidak
mendapat
tanggapan
apapun
dari
pejabat
setempat.
Sesungguhnya
relokasi
pasar
telah
pernah
dilakukan,
yaitu
pada
saat
pasar
modern
Ramayana
4 5
Laporan observasi Rizki Febari,Op.cit.. Informasi lebih lanjut pernyataan ini dapat dilihat di http://www.poskota.co.id/beritaterkini/2009/07/16/pedagang-lorong-104-permai-bakal-pindah/
[Type
text]
Page
3
diresmikan
tepat
disebelah
pasar
permai
ini
pada
sekitar
awal
tahun
2000.
Para
pedagang
pasar
Permai
diinstruksikan
oleh
pemerintah
kota
untuk
pindah
ke
daerah
belakang
pasar
yang
berjauhan
dari
lokasi
semula.
Instruksi
tersebut
adalah
wujud
dari
Peraturan
Daerah
DKI
Jakarta
No
2/2002
tentang
Perpasaran
Swasta
yang
mengatur
bahwa
jarak
pasar
swasta
harus
minimal
dalam
rentang
2,5
km
dari
Pasar
tradisonal.
Ironismya
justru
pasar
tradisional
yang
telah
eksis
lebih
dahulu
harus
mengalah
pada
pasar
modern.
Hanya
butuh
waktu
3
bulan
bagi
para
pedagang
pun
menduduki
kembali
lokasi
jalan
lorong
104,
alasannya
karena
relokasi
mengakibatkan
mereka
sepi
dari
pembeli.
Para
pedagang
sempat
menggalang
upaya
perlawanan
sehingga
dapat
membatalkan
satu
kali
rencana
ekseskusi
oleh
Satpol
PP,
juga
menggalang
sentiment
primordial
diantara
kebanyakan
pedangan
yang
berlatar
etnis
Minang
untuk
menggunakan
jaringan
dukungan
elit
yang
mereka
harap
dapat
membantu.
Singkat
cerita
perlawanan
para
pedagang,
seperti
dalam
berbagai
gerakan
protes
anti
penggusuran,
tidak
bertahan
lama.
Berhadapan
dengan
organisasi
dan
struktur
kuasa
yang
lebih
kuat,
maka
para
pedagang
harus
menerima
kenyataan
penggusuran
akhirnya
tetap
dilakukan.
Dengan
gerak
cepat
dan
melibatkan
aparat
kekerasan
terlatih
yang
dengan
segera
dapat
mengosongkan
areal
pasar
permai
lorong
104
pada
11
November
2009
sekitar
jam
2
dini
hari,
pihak
pemerintah
beserta
jajaran
dengan
bantuan
koordinasi
dari
brimob,
marinir
dan
brigade
infantri
melakukan
penggusuran
dan
penghancuran
tenda‐ tenda
pedagang.6
Dimanakah
Hak
Atas
Kota?
Tulisan
ini
tidak
bertujuan
untuk
membahas
secara
mendalam
soal
penggusuran
di
Jakarta
sehingga
analisanya
pun
tidak
akan
berusaha
mencari
solusinya
yang
komprehensif
.
Tapi
menggunakan
contoh
penggusuran
pasar
Permai
yang
memiliki
banyak
sekali
kesamaan
dengan
penggusuran
berbagai
pasar
lain
selama
5‐6
tahun
terakhir
ini
maka
kita
dapat
menggarisbawahi
satu
hal
yang
mendesak
untuk
dilanjutkan
dalam
advokasi
maupun
studi
lebih
lanjut
–
yaitu
persoalan
hak
atas
kota.
Kita
menyaksikan
argument
hak
digunakan
oleh
administrasi
kota
untuk
melakukan
penataan
atas
ruang
di
kota
yang
mereka
sebut
sebagai
“Penertiban”.
Stereotype
yang
berkembang
dari
6
http://nasional.kompas.com/read/2009/11/12/07035338/Lorong.104.Dibongkar
[Type
text]
Page
4
argument
ini
bahwa
ada
gejala
ketidaktertiban
yang
dilakukan
oleh
warga
kota
yang
mengganggu
fungsi‐fungsi
ketertiban
kota.
Hal
yang
tidak
pernah
dibicarakan
secara
serius
dan
tuntas
adalah
bagaimana
perkembangan
ruang
oleh
warga
yang
dianggap
mengganggu
ketertiban
itu
dapat
terjadi
menyesuaikan
diri
dengan
fakta‐fakta
sosial
dan
realitas
ekonomi
politik
di
Jakarta.
Kisah
pasar
permai
dan
berbagai
lokasi
penggusuran
lain
menyisakan
fakta
bahwa
penyesuaian
oleh
penduduk
kota
yang
dianggap
mengganggu
ketertiban
kota
itu
terjadi
dalam
konjuntur
dengan
realitas
ekonomi
politik
yang
menimpa
semua
orang
secara
struktrural
–
perkembangan
kota
dan
krisis
ekonomi
yang
menyertainya
secara
teratur.
Bukan
pekerjaan
yang
mudah
untuk
membangun
ruang
yang
berfungsi
sebagai
lokasi
transaksi
ekonomi
warga
seperti
pasar
permai
di
kisah
di
atas.
Nyatanya
ketika
dikembangkan
ruang
lain
yang
disebut
pasar
Sindang
sebagai
lokasi
relokasi
ternyata
tidak
otomatis
dapat
berfungsi
sebagai
ruang
transaksi
ekonomi
warga
secara
ideal
–
yang
terjadi
adalah
sepinya
pembeli,
suatu
bencana
bagi
pasar.
Ramai
dan
sepinya
transaksi
ekonomi
warga
melalui
media
pasar
adalah
hal
yang
sangat
penting
bagi
Jakarta
–
bahkan
Indonesia
–
paska
krisis
ekonomi
1998
kerena
pertumbuhan
ekonomi
paska
krisis
ditopang
sangat
vital
oleh
sektor
konosumsi.
7Fakta
pertumbuhan
ekonomi
Jakarta
menunjukkan
ia
ditopang
oleh
beberapa
sektor
utama:
sektor
pengangkutan
&
komunikasi,
sektor
perdagangan,
hotel,
dan
restoran,
dan
sektor
bangunan,
keuangan‐real
estate‐ jasa
perusahaan,
serta
sektor
industri
pengolahan.
Persoalannya
arah
pertumbuhan
ekonomi
dan
ruang
dalam
situasi
ekonomi
yang
sangat
bergantung
pada
mekanisme
pasar
ini
tidak
dapat
dianggap
sebagai
buah
perencanaan
dan
negoisasi
aktor‐aktor
politik
representatif.
.Penjelasan
ekonomi
politik
perkotaan
mengenai
perrtumbuhan
kota
dapat
kita
rujuk
pada
teori
“mesin
pertumbuhan”
(growth
machine)
yang
‐‐
walau
pun
sudah
lawas
(Logan
dan
Molotch,
1987)
‐‐
masih
relevan
untuk
menjelaskan
fenomena
Jakarta.
Teori
ini
berpendapat
bahwa
pembaharuan
kota
(urban
renewal)
digunakan
sebagai
kendaraan
untuk
mesin
pertumbuhan
kota.
Mesin
pertumbuhan
kota
berisikan
elit‐elit
lokal
yang
terdiri
dari:
para
pengembang,
modal
asing
yang
berinvestasi,
dan
juga
pemerintah
kota
yang
berorientasi
pada
pertumbuhan
ekonomi
melalui
kontrol
atas
lahan.
Seluruh
unsur
mesin
pertumbuhan
dianggap
berhasil
bila
mereka
berhasil
mengundang
korporasi
untuk
membangun
bangunan
dan
perkantoran,
mengembangkan
bisnis
ritel
dan
aktivitas
komersial
lain,
yang
7
Bisnis Indonesia, “Konsumsi Topang Laju PDB Tahun Ini” lihat dalam http://bataviase.co.id/detailberita10486753.html
[Type
text]
Page
5
mengakumulasi
modal.
Kita
melihat
dalam
beberapa
tahun
terakhir
pembangunan
sektor
properti
terus
berkembang,
bahkan
setelah
negara‐negara
barat
dihantam
krisis
sektor
properti.
Dalam
kasus
penggusuran
pasar
Permai
dan
pasar
Barito
kita
melihat
argument
penyediaan
ruang
terbuka
hijau,
suatu
argument
yang
telah
dikooptasi
oleh
kepentingan
pertumbuhan
sektor
properti
yang
telah
memakan
lebih
banyak
ruang
kota
tanpa
kendali.
Mesin
pertumbuhan
ini
yang
mengubah
seluruh
interpretasi
tentang
hak
legal
yang
digunakan
sebagai
dasar
berbagai
kebijakan
penggusuran.
Sejarah
atas
suatu
ruang
menjadi
hilang
dari
pembahasan
karena
yang
utama
adalah
memastikan
fungsi
kota
untuk
bergerak
sebagai
mesin
pertumbuhan
yang
bergerak
cepat.
Kemungkinan
untuk
mendorong
demokratisasi
atas
ruang
di
kota
menjadi
suatu
dilema
besar,
karena
telah
dikalahkan
oleh
tujuan
utama
yang
paling
jumawa:
pertumbuhan
ekonomi
kota.
Di
sini
kita
menemukan
kelemahan
gerakan‐gerakan
protes
terhadap
penggusuran
karena
hampir
semua
tidak
dapat
menghadang
identitas
yang
didorong
mesin
pertumbuhan
dengan
cara
melampaui
kasusnya
dan
identitas
mereka
sendiri.
Dalan
kasus
Pasar
Permai
identitas
pedangang
dan
etnisitasnya
menjadi
tumpuan.
Tak
lama
berselang
pada
tahun
ini
kita
melihat
insiden
di
lokasi
yang
juga
dalam
wilayah
Koja
juga
menggunakan
alasan
dan
identitas
yang
sangat
eksklusif:
etnisitas
dan
hak
waris
privat
atas
makam
yang
hendak
direlokasi.
Hal
yang
sama
terjadi
pada
hampir
semua
kasus
perlawanan
penggusuran.
Sudah
tiba
saatnya
kiranya
mengembangkan
suatu
posisi
yang
lebih
strategis
untuk
menghadapi
perkembangan
ruang
yang
tidak
selalu
dapat
dikontrol
secara
demokratis.
Gagasan
tentang
hak
yang
sekarang
berkembang
harus
ditantang
oleh
suatu
gagasan
tentang
“Hak
Atas
Kota”
yang
lebih
punya
orientasi
demokratisasi
di
perkotaan.
Meminjam
gagasan
Henri
Lefebvre
(dalam
McCann:2002),
yang
aslinya
bicara
dalam
konteks
kota
di
Eropa,
kita
dapat
mendefinisikan
hak
atas
kota
sebagai
“hak
untuk
mengklaim
keberadaan
di
kota,
menolak
penggunaan
kota
dengan
mengistimewakan
kepentingan
penguasa,
dan
mendemokratiskan
ruang
di
kota
(the
right
to
claim
presence
in
the
city,
to
wrest
the
use
of
the
city
from
the
privileged
new
masters,
and
democratize
its
spaces).
Gagasan
hak
atas
kota
ini
harus
didorong
sebagai
fondasi
utama
yang
mendahului
semua
norma
tentang
hak‐hak
yang
diterapkan
di
kota.
Dengan
begitu
kita
dapat
menolak
penyalahgunaan
konsep
hak
legal
yang
mengatur
kebijakan
ruang
di
kota
tapi
sesungguhnya
justru
menyingkirkan
proses
demokratis
dari
kehidupan
dan
perkembangan
ruang
di
kota
–
termasuk
Jakarta.
[Type
text]
Page
6
Daftar
Rujukan
Logan,
John
dan
H.
Molotch,
(1987)
Urban
Fortunes:
The
Political
Economy
of
Place,
University
of
California
Press.
McCann,
Eugene,
“Space,
Citizenship,
and
The
Right
To
The
City”
,
GeoJurnal:2002;58.
UPC
(2004)
Maklumat
Kemenangan,
Jakarta
Laporan
Observasi
Rizki
Febari,
Mata
Kuliah
Politik
Perkotaan
2009,
documen
tidak
diterbitkan
http://bataviase.co.id/detailberita‐10486753.html
http://nasional.kompas.com/read/2009/11/12/07035338/Lorong.104.Dibongkar
http://www.poskota.co.id/berita‐terkini/2009/07/16/pedagang‐lorong‐104‐permai‐bakal‐pindah/
[Type
text]
Page
7