WACANA POLITISI PEREMPUAN DALAM SURAT KABAR Oleh : Vickie Juliani Agnes Prastyo - AB Email :
[email protected] / 085655445570
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi wacana yang muncul pada pemberitaan politisi perempuan dalam surat kabar. Surat kabar yang dipilih adalah Kompas dan Jawa Pos. Topik ini menarik karena disinyalir adanya pemberitaan yang tidak berimbang antara politisi perempuan dan laki-laki. Hal tersebut tidak terlepas dari peranan media massa yaitu surat kabar dalam menciptakan konstruksi politisi perempuan. Metode yang digunakan adalah analisis wacana milik MAK Halliday dengan sasarannya adalah pemberitaan yang berkaitan dengan politisi perempuan yang menjabat sebagai DPR RI periode 2009 – 2014. Berdasarkan hasil dari analisis terhadap setiap teks berita diperoleh bahwa politisi perempuan masih menjadi sosok yang termajinalkan. Politisi perempuan diwacanakan sebagai konco wingking. Kata kunci: politisi perempuan, analisis wacana, surat kabar
PENDAHULUAN Penelitian ini adalah analisis teks mengenai pemberitaan politisi perempuan dalam media massa khususnya surat
kabar. Tujuannya adalah untuk
mengeksplorasi wacana politisi perempuan yang direpresentasikan dalam surat kabar. Topik ini dipilih karena peneliti menduga adanya pengkonstruksian makna sosial yang direpresentasikan melalui bahasa, yaitu teks media. Media massa secara tidak sadar menempatkan posisi perempuan sebagai pihak yang lemah, dan membuat konstruksi kebenaran yang diproduksi oleh laki-laki. Media massa juga mempunyai peran yang signifikan untuk menanamkan ideologi-ideologi di tengah masyarakat (Wulandari, 2010). Sehingga dalam mengkonstruksi pemberitaan pun tidak jauh-jauh dari pemikiran laki-laki. Pemberitaan yang disajikan oleh media terhadap politisi perempuan dan politisi laki-laki disinyalir tidak berimbang. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terhadap politisi perempuan dan laki-laki pun berbeda. Sehingga pendeskripsian berita poltisi perempuan lebih mengarah pada kata-kata yang menekankan peran tradisional perempuan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Bistroom dalam Lee
Kaid (2004) yang menyatakan bahwa pertanyaan para jurnalis kepada politisi perempuan lebih mengarah kepada penampilan serta perilaku mereka, yang mana pertanyaan tersebut tidak diajukan kepada politisi laki-laki. Hal tersebut tampak dari adanya pemberitaan mengenai politisi perempuan yang ada di Indonesia. Pembahasan terkait dengan perempuan menarik untuk diperbincangkan, terutama jika dikaitkan dengan politik. Dalam Jurnal Perempuan (2004) dijelaskan bahwa Politik merupakan ranah patriarkhi yang membutuhkan keberanian, kemandirian, kebebaan berpendapat dan tindakan agresif. Perempuan dalam arena politik masih dinomor-duakan. Hal ini dikarenakan perempuan dianggap lebih mementingkan perasaan daripada rasionalitasnya dan sering kali tidak mumpuni untuk terjun dalam arena politik. Perempuan sering dianggap tidak pantas berpolitik karena perempuan adalah “penghuni” dapur/domestik, kurang berani mengambil resiko yang semuanya itu sudah menjadi stereotipe perempuan (Tri, 2008). Akibatnya, baik laki-laki atau perempuan dan masyarakat secara umum sudah menarik kutub yang berbeda bahwa dunia publik milik laki-laki dan dunia domestik milik perempuan. Peran serta perempuan dalam ranah politik sebenarnya sangat penting untuk mendorong kebijakan yang berkeadilan sosial, khususnya yang berkaitan dengan kehidupan perempuan itu sendiri. Sedangkan dalam pandangan hukum, kebijakan tersebut juga dapat berlaku untuk melindungi kepentingan perempuan dari berbagai bentuk kekerasan yang menimpa baik dari segi domestik maupun ranah publik. Fakta yang ada dilapangan menunjukkan bahwa porsi keterwakilan perempuan ditingkat legislatif maupun eksekutif yang berada pada level pengambilan keputusan (decision maker) sangatlah kecil. Dalam penilaian terhadap partisipasi perempuan dalam politik dapat diukur dengan jumlah anggota perempuan di dalam parlemen. Baru-baru ini muncul kebijakan yang mulai memberi space kepada perempuan dalam ranah politik. Undang-Undang Pemilu No.12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1 menetapkan kuota minimal 30% bagi perempuan untuk duduk di parlemen. Sehingga pintu bagi perempuan untuk berpolitik dan membawa permasalahannya ke wadah yang lebih tinggi semakin terbuka. Dengan hadirnya
wakil-wakil perempuan dalam jumlah yang pantas (proporsional) dalam kepengurusan partai politik maupun lembaga legislatif akan memberi peluang kepada perempuan untuk ikut membuat kebijakan-kebijakan yang adil. Atas dasar itu, maka hanya dengan jumlah kursi mereka yang signifikan dalam lembaga politik formal, kaum perempuan dapat menciptakan perubahan yang berarti (Kusumaatmadja, 2007). Jumlah politisi perempuan ternyata tidak menjadi masalah utama, melainkan dipengaruhi dari kualitas politisi perempuan itu sendiri. Peran dan kedudukan perempuan dalam lembaga legislatif secara kuantitatif bertambah, namun secara kualitatif tidak banyak memberikan kontribusi
nyata terhadap
kondisi
ketertindasan dan posisi marginal perempuan yang diwakilinya. Politik dalam konteks peran perempuan dalam lembaga legislatif belum dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan politik. Hal ini dikarenakan perempuan belum memiliki kebebasan dalam berkomunikasi dengan orang lain dan masih belum ada kesetaraan. Konstruksi pemberitaan perempuan di media masih bias gender. May Lan (2002), menyebutkan bahwa perempuan dalam berbagai pemberitaan di surat kabar masih menunjukkan bahwa mereka belum mengalami kesetaraan. Perempuan masih digambarkan sebagai sosok yang terbelakang, tertindas, dan tidak memiliki otoritas terhaap dirinya, apalagi terhadap masyarakat. Selain itu, ferkuensi pemberitaan yang terkait isu perempuan tidak bersifat kontinyu dan masih sering menampilkan perempuan sebagai objek yang dieksploitasi. Walaupun pada dasarnya media massa senantiasa dituntut untuk objektif (fairness),
tidak
memihak
(balance)
dan
menghadirkan
fakta
tanpa
mencampuradukkan dengan opini, tapi dalam praktiknya jurnalis media tetaplah seorang manusia yang senantiasa menghadirkan sisi subjektifitasnya dalam menulis berita. Menurut Eriyanto (2001), berita adalah konstruksi realitas lewat media yang diproduksi oleh representasi dari kekuatan-kekuatan sosial dominan yang ada dalam masyarakat. Terkait dengan persoalan politik, maka “campur tangan” media dalam menyajikan berita politik melalui proses yang disebut konstruksi realitas. Liputan
politik (peristiwa politik) di media massa secara tertulis ataupun rekaman adalah konstruksi realitas, yaitu suatu upaya menyusun realitas dari satu atau sejumlah peristiwa yang semula terpenggal-penggal (acak) menjadi tersistematis hingga membentuk cerita atau wacana yang bermakna. Dalam komunikasi politik, konstruksi realitas oleh media massa tersebut menjadi sangat khas. Sebab cara sebuah media mengkonstruksikan suatu peristiwa politik akan memberi citra tertentu tentang peristiwa atau aktor politik tersebut. Media massa adalah sarana atau alat (berupa cetak, elektronik ataupun maya) untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan yang bersifat massa, khalayak, bebas dan netral. Dalam penelitian ini, lebih difokuskan pada media cetak yaitu surat kabar. Media cetak memberikan ulasan yang detail dan lengkap serta dapat didokumentasikan untuk dibaca disela-sela waktu. Surat kabar adalah jenis media massa yang jumlahnya sangat banyak baik itu dari surat kabar lokal maupun surat kabar nasional (Wandeskanea, 2010). Media merupakan salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Media yang memiliki karakteristik jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang efektif dalam menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat. Surat kabar yang digunakan adalah surat kabar tingkat nasional Kompas dan Jawa Pos. Kedua Surat Kabar ini dipilih karena Kompas dan Jawa Pos memiliki oplah terbesar dan jangkauan terluas. Disamping itu, menurut riset Nielsen Readership Study tahun 2009, kedua surat kabar ini menempati posisi tertinggi dalam kategori jumlah pembaca terbanyak. Dalam penelitian ini akan mengunakan analisis discourse dengan model MAK Halliday. Halliday sendiri adalah pakar dalam bidang linguistik, khususnya kutub linguistik yang memandang bahasa sebagai fenomena sosial (linguistik kritis). Linguistik kritis sendiri amat relevan digunakan untuk menganalisis fenomena komunikasi
yang penuh dengan kesenjangan,
yakni
adanya
ketidaksetaraan relasi antar partisipan, relasi antara atasan-bawahan, komunikasi dalam wacana media massa, serta relasi laki-laki dan perempuan dalam politik gender (Santoso, 2008). Inilah yang menjadi dasar untuk metode penelitian ini. Selain itu, juga sesuai dengan subjek penelitian yaitu surat kabar. Dimana
didalamnya terdapat teks. Teks adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi (Halliday & Hasan, 1992). Dalam penelitian ini menggunakan akar pandangan Halliday yaitu bahasa sebagai semiotika sosial.
PEMBAHASAN Politisi Perempuan sebagai Konco Wingking Topik – topik mengenai perempuan selalu menarik untuk diperbincangkan oleh media. Media pun juga turut andil dalam menciptakan simbol dan image mengenai perempuan. Kita secara tidak sadar menerima begitu saja konstruksi sosial mengenai perempuan yang dibuat oleh media. Littlejohn (1999) menyatakan bahwa media bukan hanya sekedar mekanisme sederhana dalam menyebarkan informasi tetapi juga sebuah organisasi yang kompleks dan institusi sosial yang penting di dalam masyarakat. Media merupakan pemain utama dalam pertarungan ideologi dan menjadi bagian dari industri budaya yang memiliki kesempatan untuk menciptakan simbol dan image yang dapat melakukan opresi terhadap kelompok marginal. Maka dari itu peneliti mengambil topik penelitian mengenai politisi perempuan dalam surat kabar. Trilogi konteks situasi menurut Halliday yang dilihat adalah medan wacana, pelibat wacana, dan mode wacana. Konteks situasi ini merupakan tempat teks tersebut beroperasi yang mana akan menentukan bentuk dan makna teks. Dimana bentuk dan makna teks tersebut akan menentukan wacana yang dimunculkan. Medan wacana sendiri mengacu pada tindakan sosial yang sedang terjadi ataupun dibicarakan yang terlihat didalam teks. Pelibat wacana adalah pihak-pihak yang terlibat pembicaraan dalam teks tersebut. Sedangkan mode wacana adalah penggunaan bahasa dan gaya bahasa yang digunakan oleh media teks. Jika dilihat dari segi Trilogi konteks situasinya pemberitaan Jawa Pos tanggal 2 Maret 2012 memberitakan mengenai Angelina Sondakh yang bungkam mengenai kasus yang menimpanya dan memilih untuk bercerita tentang anakanaknya. Pelibat wacana dalam berita ini adalah Angelina Sondakh sendiri. Medan wacananya adalah sosok Angelina yang masih identik dengan ranah domestiknya yaitu mengurus (merawat) anak-anaknya. Sedangkan mode wacana
yang ditunjukkan dalam pemeberitaan ini adalah naratif deskriptif karena meskipun berita ini cenderung menarasikan namun ada beberapa juga mendekripsikan suatu kegiatan. Tanggal 7 Mei 2012 pada surat kabar Jawa Pos dengan judul Parpol Sedang Berhalusinasi terdapat pemberitaan terkait dengan politisi Tetty Kadi Buwono yang menjadi anggota DPR Komisi IV. Dalam berita tersebut yang menjadi pelibat wacana tidak hanya Tetty, tetapi juga terdapat Melanie Leimena Suharli yang menjabat sebagai wakil ketua MPR dan M. Qodari selaku direktur eksekutif Indo Barometer. Yang menjadi medan wacana adalah mengenai parpol yang mencalonkan artis sebagai calon legislatornya. Mode wacana berita ini adalah naratif karena hanya sebatas menjelaskan saja. Kompas memberitakan Angie terkait dengan dakwaan yang ditujukan kepada dirinya. Yang menjadi pemberitaan dalam hal ini adalah lebih ke penasehat hukumnya yaitu Tengku. Medan wacana yang dimunculkan adalah terkait dengan gambar yang mendukung berita tersebut yaitu gambar antara Angelina dan Ayahnya, Lucky yang terlihat sedang membantu Angie mengenakan jas atau semacamnya. Mode wacana yang ditunjukkan adalah deskriptif yaitu dengan penggambaran dan diperkuat dengan adanya gambar pula. Inggrid Kansil juga tak luput dari pemberitaan media Jawa Pos. Tanggal 12 Agustus 2013, Inggrid beserta suaminya dan anggota partai Demokrat diberitakan sedang membersihkan wilayah Monas menjelang hari Kemerdekaan. Pelibat wacana yang digunakan hanya satu orang yaitu Syarief Hasan. Dengan mode yang digunakan adalah deskriptif yang memaparkan kegiatan yang berlangsung dan adanya gambar. Citra perempuan dibawah laki-laki tidak terlepas dari konteks budaya dan sosial masyarakat Jawa yang sangat paternalistik yaitu istri sebagai konco wingking. Handayani dan Novianto (2004) menggungkapkan bahwa asal mulanya wanita menjadi konco wingking tertera dalam kitab suci, Ketika Tuhan menciptakan manusia pertama dahulu adalah laki-laki, sesudah itu baru wanita yang diambil dari rusuk adam sebelah kiri. Sudahlah hanya iga (dari laki-laki), sebelah kiri lagi. Intinya, wanita derajatnya lebih rendah dari laki-laki. Seumpama
tangan mereka adalah tangan kiri. Seumpama tubuh maka mereka adalah bagian panta. Secara tidak langsung kita bisa menangkap bahwa konsepsi istri sebagai konco wingking diambil dari kitab suci agama baik Islam dan Kristen. Ini seperti menegaskan penjelasan Ester Boserup bahwa wanita melayu secara tradisional aktif, namun kedatangan Islam bersama pengaruh Inggris dan Belanda membantu menciptakan pola peran serta perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki. Dalam kultur Jawa memang terdapat beberapa adat kebiasaan yang bersifat samar-samar dan mengutamakan ikatan paternal. Pertama, aturan tentang pembagian harta perolehan bersama-sama (gono-gini) pada saat perceraian. Dalam pembagian gono-gini ini diatur bahwa suami mendapat dua bagian, sedangkan istri hanya mendapat satu bagian. Kedua aturan tentang pembagian harta warisan. Dengan konsep sepikul segendongan maka anak laki-laki masingmasing akan memperoleh dua bagian, sedangkan anak wanita mendapat satu bagian. Ketiga, adat yang dinamakan pancer wali tentang perwalian nominal atas anak wanita oleh saudara laki-laki dari pihak bapak (Handayani dan Novianto 2004). Penjelasan terkait perempuan sebagai konco wingking-pun juga terdapat dalam media cetak dan dunia perpolitikan. Dalam hal ini, Politisi perempuan ditampilkan dibawah bayang-bayang laki-laki disebabkan pencalonan dan keikutsertaan perempuan dalam politik lebih karena peran, kekuatan dan karisma laki-laki. Laki-laki disini bisa sosok ayah, ataupun anak. Perempuan sering kali juga dipanggil dengan embel-embel nama suami atau ayahnya. Inilah yang terlihat pada pemberitaan Jawa Pos edisi 12 Agustus 2013 yang menyangkut Inggrid Kansil. Banyak orang yang mengetahui bahwa sebelum menjadi politisi, Inggrid adalah seorang artis. Namun setelah dirinya menikah, dunia keartisannya seolah ditinggalkan. Inggrid diketahui mengikuti jejak suaminya, Syarief Hasan, yang notabene adalah kader partai Demokrat. Inggrid pun kini juga merupakan kader dari partai Demokrat. Inggrid kini duduk di kursi DPR RI komisi VIII periode 2009 – 2014 dari fraksi Partai Demokrat dengan Daerah Pemilihan Jawa Barat IV yang mewakili Kota Sukabumi dan Kabupaten Sukabumi. Seolah semakin
menguatkan suatu kondisi bahwa disampin menjadi pendamping suami dalam pekerjaannya, perempuan juga harus mampu dan dapat diajak berdiskusi tentang berita-berita aktual mengenai berbagai hal baik dalam negeri maupun luar negeri (Martadi 2001, p.141). Dalam pemberitaan Jawa Pos diperlihatkan dengan jelas kata-kata atau embel-embel suami saat menyebut Inggrid Kansil. Gambar Inggrid Kansil beserta Suami pun juga diperlihatkan jelas. Seolah mereka adalah keluarga yang saling mendukung. Ada penekanan saat menyebutkan Inggrid Kansil adalah istri dari Syarief Hasan yang menjabat sebagai Ketua Harian DPP Partai Demokrat dan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Tertera pada keterangan gambar sebagai berikut : BAKSOS: Syarief Hasan bersama istrinya, Inggrid Kansil, ikut membersihkan kawasan Monas kemarin. (Politisi Gantikan Petugas Kebersihan, Jawa Pos 12 Agustus 2013, tagline gambar).
Berdasar kalimat berita paragraf kedua juga tertulis narasi sebagai penekanan keterangan bahwa Inggrid Kansil adalah Istri dari Syarief Hasan, berikut adalah narasinya pada paragraf kedua di awal kalimat yaitu
“Acara
tersebut juga dihadiri Ketua Harian DPP Partai Demokrat Syarief Hasan. Didampingi istrinya”. Kalimat atau pemberitaan diatas menunjukkan bahwa politisi perempuan (dalam hal ini Inggrid Kansil) tidak pernah lepas dari bayang-bayang suaminya dalam dunia perpolitikkan. Apa yang dilakukan oleh Inggrid dan kesuksesan yang diraihnya tidak terlepas dari peran serta andil dari suaminya, Syarief Hasan. Ini sesuai dengan hasil penelitian mengenai alasan peremepuan yang terjun dalam politik, yang mana kasus dari Inggrid ini termasuk dalam kelompok pertama, yaitu perempuan yang memperoleh jabatan politik karena mereka memiliki hubungan dengan laki-laki tertentu (Mukarom, 2008). Inggrid Kansil bisa menjadi anggota DPR dan kader partai Demokrat karena reputasi suaminya dalam bidang social politik. Sebelumnya juga pernah Jawa Pos edisi edisi Jum’at 2 Maret 2012 di rubrik Politik memberitakan bahwa “Bungkam soal Kasus, Angie Malah Curhat tentang
Anak”. Dalam berita inipun, Angelina Sondakh juga dikaitkan dengan Almarhum suaminya yaitu Adji Masaid. Meskipun kita ketahui bahwa antara Angelina Sondakh dan Adji Masaid dulu bertemu saat mereka sama-sama duduk di kursi parlemen. Jawa Pos pada paragraf keenam dalam berita tersebut mengutip pernyataan Angelina Sondakh yaitu; “Saya meminta dengan segala kerendahan hati kepada semua pihak agar tidak melibatkan anak-anak saya dalam persoalan hukum saya,” tutur istri mendiang istri Adjie Massaid itu. (Jawa Pos 2 Maret 2012)
Berita diatas menunjukkan Angelina Sondakh sebagai politisi yang dibayangi oleh posisi suami. Meskipun sang suami sudah meninggal, sosok suaminya masih saja dilekatkan pada diri Angelina Sondakh. Kompas-pun juga demikian dalam memberitakan politisi perempuan yaitu pada edisi 14 September 2012 dengan judul “Angie Persoalkan Dakwaan” memuat isi berita yang seolah netral dari bias gender. Dalam berita tersebut, sosok Angelina Sondakh dikaitkan dengan sosok ayahnya yaitu Lucky Sondakh. Pemberitaan itu membahas mengenai sosok Angelina Sondakh yang ditemani ayahnya dalam sidang eksepsinya. Ini menunjukkan bahwa, perempuan selalu dibelakang laki-laki. Angelina Sondakh memang seorang politisi, sedangkan ayahnya adalah seorang pengacara. Namun meskipun memiliki profesi yang berbeda, Angelina tetap dikaitkan dengan peran seorang laki-laki dibelakangnya, yaitu ayahnya. Perempuan memang sering kali termaginalkan didalam dunia politik, karena sering diidentikkan dengan dunia laki-laki. Sehingga ketika ada perempuan yang mengalami kesuksesan dalam dunia politik, hal tersebut tidak disebut sebagai kesuksesan melainkan sebagai hal yang wajar. Berbeda dengan laki-laki yang akan dianggap hebat dan sukses apabila berhasil dalam dunia ini (Soetjipto, 1997). Keberhasilan ataupun kesuksesan laki-laki dalam dunia politik akan dipandang sebagai sesuatu yang patut dibanggakan karena itu merupakan sebuah prestasi. Kemampuan, karisma serta popularitas politisi perempuan dianggap sebagai pengaruh dari capaian suaminya ataupun ayahnya.
Penggambaran tersebut ada pada pemberitaan mengenai sosok Tetty Kadi Buwono yang menjadi anggota DPR Komisi IV pada surat kabar Jawa Pos tanggal 7 Mei 2012. Keberhasilan Tetty untuk duduk sebagai politisi tidak lain adalah karena peran serta sang ayah yaitu Buwono. Hal tersebut tertera pada paragraf keenam kalimat pertama yang menyebutkan “Tetty resmi bergabung di Partai Golkar pada 1971 atas dorongan Buwono yang tak lain adalah ayahnya”. Kata ‘atas dorongan’ yang kemudian ditekankan pada kata ‘tak lain adalah ayahnya’ menunjukkan bahwa sosok Tetty dapat bergabung dalam kancah politik adalah atas peran serta dan dorongan oleh ayahnya.
KESIMPULAN Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, politisi perempuan diwacanakan dalam surat kabar harian nasional yaitu Jawa Pos dan Kompas sebagai sosok perempuan yang termarginalkan. Dari data yang diperoleh yaitu surat kabar Kompas dan Jawa Pos diperoleh berbagai wacana mengenai politisi perempuan. Wacana yang dimunculkan dalam surat kabar tersebut tidak lepas dari konsep trilogi konteks situasi milik MAK Halliday. Dalam trilogi konteks situasi pelibat dari setiap pemberitaan hanya sedikit yang menggunakan politisi perempuan yang dijadikan narasumber dalam berita. Yang paling banyak adalah politisi laki-laki. Untuk medan wacana yang dimunculkan, kedua surat kabar menggambarkan berita-berita yang bersifat umum. Tetapi dalam pemberitaan sering kali tampilan gambar yang dimunculkan adalah politisi perempuan. Sedangkan mode wacana yang digunakan paling sering adalah naratif dan deskriptif. Wacana yang dimunculkan adalah politisi perempuan sebagai konco wingking yang artinya selalu ada bayang-bayang suami atau ayah dibelakangnya.. Kedua media cetak baik Kompas dan Jawa Pos sama-sama menampilkan sosok politisi perempuan yang berada dalam bayang-bayang suami atau ayah dibelakangnya. Inilah yang tampaknya membuat perempuan tidak bebas dalam melakukan tugasnya di ranah publik. Sehingga muncul suatu anggapan bahwa
perempuan yang menjadi politisi berkiprah karena adanya peran suami atau ayah dibelakangnya.
Daftar Isi Eriyanto 2001, Analisis wacana : Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, Yogyakarta. Halliday, MAK & Hasan,Ruqaiya 1994, Bahasa, Konteks, dan Teks, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Handayani, Christina dan Ardhian Novianto 2004, Kuasa Wanita Jawa, Lkis, Yogyakarta. Kusumaatmadja, Sarwono 2007, Politik dan Perempuan, KOEKOESAN, Depok. Lee Kaid, Linda 2004, Handbook of Political Communication Research, Lawrence Erlbaum associates, Mahwah New Jersey, London. Marhaeni,Tri 2008, ‘Citra Perempuan dalam Politik’, Jurnal Studi Gender dan Anak ,Vol.3, no.1 Jan-Jun. Martadi 2001, ‘Citra Perempuan dalam Iklan di majalah femina edisi tahun 1999’, Nirmana, vol 3 no 2, p.135-157. Mukarom, Zainal 2008, ‘perempuan dan Politik : studi komunikasi Politik tentang keterwakilan perempuan di Legislatif” .Mediator, Vol 9 no.2, p.257 – 270. Santoso, Anang 2008, ‘Jejak Halliday dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana Kritis’, Bahasa dan Seni, tahun 36 nomor 1. Soejtipto,Ani W 1997, Berbagai Hambatan Partisipasi Wanita dalam Politik” dalam Perempuan dan Pemberdayaan , Program Studi Kajian Wanita, Program Pasca Sarjana UI, Jakarta. Wulandari, Diah 2010, ‘Konstruksi Pemberitaan Politik berisu Gender’, Jurnal Interaksi. Wandeskanea. Analisis Perkembangan Bisnis Media Cetak Tahun 2010 di Indonesia. diakses 7 Juni 2013 dari http://wandeskanea.wordpress.com/2011/05/07/analisis-perkembanganbisnis-media-cetak-tahun-2010-di-indonesia/ 2004, ‘Politik dan Keterwakilan Perempuan’, Yayasan Jurnal Perempuan, no.34, Jakarta.