Volume : 5 No. 1 MARET 2012
ISSN : 1412-7709
Jurnal RONA LINGKUNGAN HIDUP (Journal of Environment)
BAP EDAL
PEMERINTAH ACEH BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
BAPEDAL
Volume : 5 No. 1 MARET 2012
ISSN : 1412-7709
Jurnal RONA LINGKUNGAN HIDUP (Journal of Environment) Dalam rangka meningkatkan peran
Dewan Redaksi : Pengarah : Kepala BAPEDAL Aceh Penanggung jawab : Mountie Syurga, ST, MM (Kepala Bidang Program Informasi dan Tata Ruang Lingkungan) Sekretaris : Safrida Afriana, ST, MEM
serta masyarakat di dalam pengelolaan lingkungan hidup dan penyebarluasan informasi
lingkungan
Pengendalian
hidup,
Dampak
Badan
Lingkungan
(BAPEDAL) Aceh menerbitkan sebuah jurnal
sebagai
media
Ketua Redaksi : M. Daud, S.Hut, M.Si
pengembangan
Staf Redaksi : Badriah Hasballah, S.Hut Dewi Erawati Utami, SP Cut Intan Mutia, S.Kep Muhammad Yusuf, SE Elva Rahmi, MT Afrianti, S.Si Hery Yanto, S.Hut Yuli Hartati, A.Md TM. Fahrizal, SP Rr. Chandra T. Ratih, A.Md Dedi Satria, ST, M.Si Sri Hartini,SE Saifuddin, SP Rostina, SP Jusman, SE Syarifah Maulidya, SP Abdul Munir
informasi. Jurnal
Rona
Lingkungan
Hidup
merupakan salah satu media bagi peneliti dan pemerhati lingkungan hidup untuk penyebarluasan hasil penelitian atau ulasan kebijakan
yang
berhubungan
dengan
permasalahan lingkungan hidup. Jurnal
Rona
Lingkungan
Hidup
merupakan jurnal enam bulanan yang diterbitkan
setiap
bulan
Maret
dan
September.
Bendahara Alvan Ade Reza, ST
Redaksi
Staf Ahli Redaksi : Sekretaris/Kabid BAPEDAL ACEH Staf Ahli BAPEDAL ACEH Jurnal Rona Lingkungan Hidup ini diterbitkan enam bulan sekali Bagi yang ingin mengirimkan naskah Jurnal Lingkungan Hidup, dapat menghubungi bidang Program, Informasi dan Tata Ruang Lingkungan Bapedal Aceh. Untuk surat menyurat harap menghubungi Sdri Yuli pada Bidang Program, Informasi dan Tata Ruang Lingkungan dengan alamat seperti tercantum di bawah ini: BAPEDAL ACEH Jl. Tgk. Malem No.2 Banda Aceh 23121 Telp. (0651) 635722 Faks.: (0651) 32456 Website:www.bapedal.acehprov.go.id
i
Volume : 5 No. 1 MARET 2012
ISSN : 1412 - 7709
Jurnal
RONA LINGKUNGAN HIDUP (Journal of Environment) Daftar Isi Daftar Isi ………………………………………………………………………………
i
HIDROLISIS PATI SUKUN DENGAN KATALISATOR HCL UNTUK PEMBUATAN PEREKAT RAMAH LINGKUNGAN Mirna Rahmah Lubis1, Cut Meurah Rosnelly2 .....................................................
1
STUDI BIODIVERSITI BENTOS DI KRUENG DAROY KECAMATAN DARUL IMARAH KABUPATEN ACEH BESAR Jailani1, M. Nur2 ......................................................................................................
8
SCREENING OF WELL IN BANDA ACEH DISTRICTS AND ACEH BESAR DISTRICTS FOR CONTAMINATION WITH FAECAL COLIFORM BACTERIA Cut Yulvizar ...........................................................................................................
16
PERUBAHAN TUTUPAN KARANG DI MEDIA CORAL RUBBLE UNTUK TUJUAN REHABILITASI TERUMBU KARANG DI PULAU ACEH Edi Rudi 1, Sayyid Afdhal Elrahimi2 ....................................................................
25
KEANEKARAGAMAN JENIS KUPU-KUPU PIERIDAE DI KAWASAN WISATA SUNGAI SARAH ACEH BESAR PASCA TERJADINYA BENCANA TSUNAMI Suwarno1, Syibral Fuadi2, Abdul Hadi Mahmud3 .................................................
31
PERENCANAAN LANDSKAP KAWASAN WISATA SEJARAH PUSAT KOTA BANDA ACEH, PROVINSI ACEH Syarifah Maulidya, SP ……………………………...................................................
37
STUDI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER (TNGL). STUDI KASUS DESA AGUSAN KECAMATAN BLANGKEJEREN KABUPATEN GAYO LUES Tasliati Djafar ……………………………............................................................
49
i
ii
KAJIAN KUALITAS AIR PADA JARINGAN PERPIPAAN PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM (PDAM) TIRTA DAROY KOTA BANDA ACEH A. Muis ...................................................................................................................
55
PENGARUH KETEBALAN MULSA AMPAS SAGU (Metroxylon sp) TERHADAP PERTUMBUHAN GULMA DAN HASIL KEDELAI Gina Erida, M. Abduh Ulim, Jamaluddin ............................................................
63
HIDROLISIS PATI SUKUN DENGAN KATALISATOR HCL UNTUK PEMBUATAN PEREKAT RAMAH LINGKUNGAN Mirna Rahmah Lubis, Cut Meurah Rosnelly Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala Jl. Syech Abdurrauf No. 7, Darussalam, Banda Aceh, 23111 Email:
[email protected]
Abstract - Breadfruit starch is a unique resource which benefits for raw material of green adhesive making. This green adhesive is made from raw material which is organic, degradable and renewable. This adhesive is significant to be produced in order to replace inorganic and synthetic adhesive whose character is carcinogenic, vitiate respiration, and pollute environment because it is hard to be degraded. This study investigated hydrolysis method of breadfruit starch into dextrin with Hidrochloride Acid (HCl) catalysator. Dextrin hydrolysis is done in order to produce high dextrin percentage by subtracting the total glucose with free glucose. This study also evaluated composition change of breadfruit starch in various time and temperature. Optimum dextrin percentage was obtained at hydrolysis temperature of 120ºC, hydrolysis time 10 minutes, and 0.6 N HCl concentration, with dextrin percentage of 86.61%. Furthermore, dextrin obtained was added by casein, cold water, triethanolamine, and water in order to form adhesive. The research result showed that the shear strength of the dextrin glue is 15.38 kg/cm2 which is larger than that of glue of Fox brands sold in the market that is only 12.48 kg/cm2. Because there is previous study regarding starch hydrolysis from durian kernel by using chloride acid catalysator, then data in this research showed the influence of the dextrin usage as raw material of adhesive. Based on the comparison, it seems that for breadfruit starch hydrolyzed at 120oC for 10 minutes, dextrin produced is more. Keywords : adhesive, dextrin, hydrolysis, shear strength.
I. PENDAHULUAN Menurut Agra dkk. (1979), dekstrin merupakan senyawa glukosa yang dihasilkan dari hidrolisisis pati dan tergantung pada pemecahan rantai polisakarida. Pati sukun tersusun dari polimer rantai lurus dan tidak lurus. Kedua polimer ini sangat potensial untuk dibuat bahan perekat (starch gum) untuk kebutuhan industri kertas, keramik, kosmetik, cat, percetakan, dan plywood karena merupakan bahan organik yang bersifat ramah lingkungan (Holtzapple, 2009). Saat ini penggunan perekat sintetik anorganik mulai ditinggalkan karena mengakibatkan banyak dampak negatif seperti merusak pernafasan, mencemarkan lingkungan karena sulit didegradasi, bersifat karsinogenik, dan tidak ekonomis. Sebagai alternatif, para ahli mulai
memikirkan penggunaan perekat organik yang bersifat ramah lingkungan. Pembuatan perekat dari bahan baku buah sukun dianggap sangat prospektif untuk dikembangkan, selain dari sisi harga yang murah juga sangat mudah diperoleh di berbagai tempat di Aceh tanpa mengenal musim. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfatan buah sukun yang tidak hanya dapat digunakan sebagai bahan makanan, tetapi juga bisa digunakan untuk bahan baku pembuatan perekat dekstrin yang bermutu. Penelitian ini mengolah buah sukun menjadi tepung yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan perekat. Penelitian ini diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan buah sukun yang hanya digunakan sebagai makanan selingan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah rujukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan 1
teknologi produksi perekat yang lebih ekonomis dan berkualitas bagus dengan bahan dasar buah sukun. Perekat dekstrin yang dihasilkan bersifat ramah lingkungan karena terbuat dari bahan baku organik yang dapat terdegradasi dan dapat diperbaharui. Dengan demikian perekat ini mendukung penggantian perekat sintetik anorganik yang umumnya bersifat karsinogenik, merusak pernafasan, dan mencemarkan lingkungan. Secara umum, sukun memiliki dua kelompok yaitu sukun lokal dan sukun introduksi. Berdasarkan pengelompokan menurut Syah dan Nazaruddin (1994), sukun lokal termasuk dalam kelompok sukun kecil sedangkan sukun introduksi termasuk dalam kelompok medium. Perbedaan pada kedua kelompok sukun dapat dilihat melalui ukuran dan warna yang berbeda. Unsur-unsur kimia yang terkandung dalam buah sukun ditunjukkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Buah Sukun dalam 100 gram bahan. Zat gizi Keterangan Pati (%) 61,03 Amilosa (%) 24,89 Amilopektin (%) 36,14 Protein (%) 3,9 Kadar air (%) 16,6 Kadar abu (%) 3,22 Serat kasar (%) 4,22 Suhu gelatinisasi (ºC) 75,4 Retrogradasi Tidak terjadi Sumber : Koswara, 2006 Perekat yang terbuat dari tepung kebanyakan berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti jagung, kentang, singkong, sagu, gandum, beras, dan kedelai. Di luar negeri getah sukun (latek) digunakan sebagai bahan untuk menjerat burung, sedangkan di Ambon getah sukun (latek) digunakan sebagai bahan pembuat dempul (dicampur tepung sagu, gula merah dan putih telur bebek) untuk tong kayu atau perahu,
2
supaya kedap air. Kayu pohon sukun tahan terhadap serangan rayap, dan biasa digunakan untuk membuat perahu atau konstruksi rumah (Koswara, 2006). Hampir semua reaksi hidrolisis memerlukan katalisator untuk mempercepat jalannya reaksi. Katalisator yang dipakai dapat berupa enzim atau asam, untuk mempercepat terjadinya reaksi. Hidrolisis pada tekanan 1 atm memerlukan asam yang jauh lebih pekat (Agra dkk, 1973; Stout dan Rydberg, 1939). Pemanasan kering (tanpa air) seperti penyangraian dan pemanggangan akan menyebabkan dekstrin terpolimerasi membentuk senyawa coklat yang disebut piro-dekstrin (Gaman dan Sherington, 1981). II. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan dengan terlebih dahulu mengupas buah sukun. Kemudian dilakukan perajangan secara tipis agar irisan sukun mudah mongering. Selanjutnya dilakukan penjemuran di panas matahari selama 4 hari. Penggilingan dan pengayakan dilakukan dengan ayakan 150 mesh. Proses hidrolisis dilakukan pada 20 gram tepung sukun di dalam cawan porselin dengan menggunakan katalis asam khlorida dengan variasi konsentrasi, waktu hidrolisis, dan temperatur hidrolisis. Tiap sampel dianalisis untuk mengetahui kandungan glukosa bebas dan glukosa total untuk menentukan kandungan dekstrin yang terkandung dalam setiap sampel. Menurut Agra dkk. (1979) metode Lane Eynon menyatakan: Dekstrin = (B-A) / Berat Kering × 100 % Ket.: A = Kandungan glukosa bebas (g) B = Kandungan gukosa total (g) Dekstrin hasil hidrolisis yang telah divariasikan sebesar 5; 9; 12,5; 16; 20 gram ditambahkan dengan 2,56% air dingin, 15,79% kasein, 2,59%
trietanolamin, kemudian diaduk hingga membentuk pasta. Campuran tersebut ditambahkan kembali dengan 44,31% air dan dipanaskan pada suhu 60ºC kemudian diaduk hingga campuran homogen. Alat utama yang digunakan pada tahap ini adalah suatu bejana yang dimasukkan ke dalam bejana yang berukuran lebih besar. Kekuatan geser dianalisis dengan menggunakan shear stress testing machine setelah mengoleskan campuran tersebut pada kayu meranti dengan luas olesan sebesar 2,5 × 2,5 cm2. Kadar glukosa total dan glukosa bebas yang terdapat di dalam sampel yang telah dihidrolisis ditentukan sebagai berikut. Untuk glukosa bebas, sampel hasil hidrolisis sebanyak 2,5 gram dilarutkan dalam 50 ml aquades. Larutan diaduk kemudian disaring. Untuk glukosa total, sampel hasil hidrolisis sebanyak 2,5 gram dilarutkan dalam 100 ml asam khlorida dengan konsentrasi yang telah ditentukan kemudian dipanaskan dalam labu leher tiga yang dilengkapi dengan kondensor selama 1 jam. Larutan ini diencerkan kembali dengan aqudes sampai 500 ml. Masingmasing larutan tersebut kemudian ditambahkan 5 ml fehling A dan 5 ml fehling B selanjutnya dititrasi dengan glukosa standar dalam keadaan mendidih. Sebagai indikator ditambahkan metilen biru sebanyak 2 – 4 tetes. Titrasi dihentikan setelah terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah. Glukosa yang terbentuk dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: A = M × 50 / (m × 5) × (V1 – V2) × C B = M × 50 / (m × 5) × (V1 – V2) × C Keterangan: A = Glukosa bebas (gram) B = Glukosa total (gram) M = Berat hasil untuk setiap proses setelah di panaskan m = Berat hasil yang dianalisis
V1 = Volume larutan glukosa standar yang digunakan untuk menitrasi larutan fehling V2 = Volume larutan glukosa standar yang digunakan untuk menitrasi larutan fehling dan hasil C = Konsentrasi larutan glukosa standar = 2,5 / 500 Kadar air perekat juga ditentukan dengan persamaan sebagai berikut: % Air = (A – B) / A Keterangan: A = Berat sampel sebelum dipanaskan (g) B = Berat sampel setelah dipanaskan (g) III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Temperatur terhadap Kadar Dekstrin Berdasarkan hasil penelitian, kadar dekstrin optimum diperoleh sebesar 86,61% yaitu pada temperatur 120oC, waktu pemanasan 10 menit, dan konsentrasi asam khlorida (HCl) 0,6 N. Pengaruh temperatur pemanasan terhadap kadar dekstrin tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Kadar dekstrin akan meningkat seiring bertambahnya temperatur pemanasan. Hal ini sesuai dengan prinsip kinetika reaksi kimia, bahwa kecepatan reaksi akan meningkat dengan bertambahnya suhu reaksi, yaitu akibat bertambahnya energi kinetik yang dihasilkan dari molekul-molekul yang bereaksi. Molekul-molekul yang bereaksi menjadi lebih aktif mengadakan tabrakantabrakan. Memperbesar temperatur akan mengakibatkan reaksi berlangsung lebih cepat, namun pada batas tertentu dapat menyebabkan perekat dapat berkurang kekuatannya. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pernyataan Hartomo dkk. (1992), yang menyatakan bahwa batas wajar untuk kebanyakan perekat adalah sekitar 70oC. Ini menunjukkan bahwa temperatur pencampuran 60oC yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
3
faktor yang menentukan agar perekat efektif. Pada temperatur hidrolisis 140oC, hasil perolehan dekstrin menurun dibandingkan pada suhu 120oC, hal ini disebabkan oleh molekul-molekul pembentukan dekstrin mengalami degradasi dengan terputusnya ikatan rantai senyawa pembentuk dekstrin. Dekstrin yang dihasilkan pada temperatur hidrolisis 140oC berubah warna menjadi coklat tua dibandingkan dengan dekstrin yang dihasilkan pada kondisi optimum yang berwarna putih kekuningan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gaman dan Sherington (1981) yang mengemukakan bahwa dekstrin putih dihasilkan dengan pemanasan pada suhu sedang (79-121oC), menggunakan katalis asam seperti HCl atau asam asetat dengan karakteristik produk berwarna putih hingga krem. Hal ini berbeda dengan literatur Saifullah (1995) yang menyatakan bahwa proses hidrolisis pati mengunakan katalisator HCl menghasilkan warna hidrolisis yang bening, sedangkan dengan mengunakan asam sulfat (H2SO4) akan menghasilkan produk hidrolisis berwarna agak kecoklatan.
80 60 40
5 menit 10 menit
20 0 100
110
120
130
140
Temperatur (ºC)
Gambar 1. Hubungan temperatur hidrolisis dan kadar dekstrin dengan konsentrasi HCl 0,6N Menurut Kerr (1970) untuk memperoleh dekstrin dari pati dengan mengunakan katalis pada tekanan 1 atmosfer, suhu pemanasannya berkisar 4
Pengaruh Konsentrasi HCl terhadap Kadar Dekstrin Hasil yang diperoleh dari penelitian sebelumnya (Crueger, 1984) menunjukkan bahwa katalis asam klorida (HCl) menghasilkan dekstrin dengan sifat kelarutan dalam air yang lebih tinggi dibandingkan dengan dekstrin yang dihasilkan katalis asam sulfat (H2SO4). Penggunaan asam klorida (HCl) menghasilkan dekstrin yang mempunyai daya larut dalam air yang terbaik, dengan nilai derajat asam yang memenuhi persyaratan standar SNI. Maka untuk mengolah pati menjadi dekstrin disarankan menggunakan katalis asam klorida (HCl). Hubungan antara konsentrasi HCl terhadap kadar dekstrin dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar tersebut menunjukkan bahwa kadar dekstrin maksimum diperoleh pada konsentrasi HCl 0,6 dan waktu hidrolisis 10 menit. Pada konsentrasi HCl 0,7 N dengan waktu yang sama, kadar dekstrin kembali menurun. Hal ini dapat disebabkan adanya kerusakan atau degradasi pada senyawa dekstrin selama proses hidrolisis, sehingga perolehan tepung kering setelah dihidrolisis berkurang. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Dekstrin (%)
Dekstrin (%)
100
antara 70 – 130ºC dan waktu pemanasan antara 3 – 15 menit. Sedangkan untuk proses tanpa mengunakan katalis, suhu pemanasan disarankan 175 – 200oC.
5 menit 10 menit
0.4
0.5 0.6 0.7 0.8 Konsentrasi HCl (N)
Gambar 2. Grafik hubungan konsentrasi HCl dan kadar dekstrin pada 120ºC.
Menurut Agra dkk. (1987) konstanta kecepatan reaksi (k) akan terus meningkat seiring bertambahnya konsentrasi katalisator, tetapi pada keadaan tertentu perolehan hasil hidrolisis bisa kembali menurun hal ini mungkin disebabkan terjadinya degradasi pemutusan rantai pembentukan dekstrin. Menurut Arbianti (2008) persentase hasil hidrolisis akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya konsentrasi katalisator dan akan mencapai titik maksimum pada konsentrasi katalis yang optimum, semakin besarnya konsentrasi katalis maka, reaksi akan semakin cepat atau laju reaksi semakin besar, namun konsentrasi katalis yang terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya degradasi pemutusan rantai pembentukan dekstrin. Berdasarkan hasil penelitian, persentase dekstrin pada waktu hidrolisis 10 menit dengan temperatur 100ºC dan konsentrasi HCl 0,6 N yaitu 65,02% dan pada waktu yang sama persentase dekstrin untuk konsentrasi HCl 0,7 N yaitu 72,25%. Sedangkan pada temperatur hidrolisis 120ºC dengan waktu hidrolisis yang sama persentase dekstrin untuk konsentrasi HCl 0,6 N meningkat menjadi 86,61% dan pada konsentrasi 0,7 N persentase dekstrin menurun yaitu 53,70%. Hal ini disebabkan karena kecepatan pembentukan dekstrin pada konsentrasi HCl 0,7 N lebih kecil dari terputusnya molekul-molekul pembentukan dekstrin sehingga tingkat degradasinya lebih besar. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada biji durian (Lubis, 2004) kadar dekstrin maksimum juga diperoleh pada konsentrasi HCl 0,6 N. Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan persentase perolehan dekstrin semakin bervariasi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penelitian ini hanya menggunakan 5 (lima) variasi konsentrasi HCl yaitu 0,4 N, 0,5 N, 0,6 N, dan 0,7 N, dan 0,8 N karena persentase pembentukan dekstrin
optimum telah diperoleh pada lima variasi konsentrasi HCl tersebut. Penentuan Daya Rekat Lem Dektrin Penentuan daya rekat lem dekstrin terhadap kayu ditentukan dengan mengunakan kadar dekstrin maksimum 86,61% yang diperoleh pada kondisi optimum, dengan suhu pemanasan 120ºC, konsentrasi HCl 0,6 N, dan waktu pemanasan 10 menit. Hubungan jumlah dekstrin yang ditambahkan dengan kekuatan daya rekat ditunjukkan dalam Gambar 3. Sebagai perbandingan terhadap pengujian daya rekat dalam penelitian ini digunakan lem kayu yang dijual di pasar yaitu merek Fox. Gambar 3 menunjukkan bahwa kekuatan geser lem dekstrin tertinggi yaitu 15,38 kg/cm2 yang diperoleh pada massa dekstrin 20 gram, sedangkan untuk massa dekstrin 5 gram kekuatan gesernya 9,52 kg/cm2. Untuk massa dekstrin 12,5, kekuatan gesernya sebesar 13,28 kg/cm2. Daya rekat lem kayu biasa yang dijual dipasaran (merk Fox) yaitu 12,48 kg/cm2, ini menunjukkan bahwa daya rekat lem dekstrin lebih besar dibandingkan dengan lem kayu biasa, ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Tano (1997) bahwa kualitas bahan perekat yang dihasilkan tergantung pada kadar dekstrin yang dihasilkan. Daya rekat ini dapat ditingkatkan dengan pemberian filler (bahan pengisi atau aditif) lain, yaitu untuk menambah kekuatan pada gaya kohesi resin dan gaya adhesi antara resin dengan permukaan kayu, karton, dan sebagainya.
5
Kekuatan Geser (kg/cm2)
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 0
10
20
30
Massa Dekstrin (g)
Gambar 3. Hubungan antara jumlah dekstrin dengan kekuatan geser perekat dekstrin. Kadar Air Pengukuran terhadap kadar air menunjukkan bahwa persentase air menurun dengan bertambahnya temperatur hidrolisis. Hal ini dapat terjadi antara lain karena air lebih mudah menguap jika temperaturnya dinaikkan, sehingga air yang dikandung perekat menjadi lebih sedikit. Kadar air merupakan salah satu indikator dalam memilih perekat yang baik, karena air merupakan penghalang pada perekatan kayu. Bila kayu kurang kering, perekatannya tidak akan bagus. Sehubungan dengan perekat yang bersifat termoplastis, jika terlalu kering dapat dijadikan basah, dengan menggunakan pelarut, atau memanaskan sampai ke titik lelehnya. Spesimen perekat dapat terputus jika diberi stress mekanik apabila ada air atau zat pembasah lainnya. Oleh karena itu kadar air perlu diperhitungkan dalam pemakaian perekat. Bila dibandingkan dengan perekat Fox yang mempunyai persentase air sebesar 25%, maka perekat dekstrin yang dihidrolisis pada temperatur 120oC selama 5 dan 10 menit, kadar airnya masingmasing sebesar 28,5% dan 26,01%.
6
IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitiaan ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa selain digunakan sebagai sebagai bahan makanan, sukun juga sangat prospektif digunakan sebagai bahan baku pembuatan perekat sintetik ramah lingkungan. Kadar dekstrin optimum diperoleh sebesar 86,61% pada kondisi temperatur hidrolisis 120ºC, waktu hidrolisis 10 menit, dengan konsentrasi HCl 0,6 N. Kekuatan geser lem dekstrin tertinggi yaitu 15,38 kg/cm2 diperoleh pada massa dekstrin 20 gram, sedangkan kekuatan geser lem Fox 12,48 kg/cm2. Ini menunjukkan bahwa kemampuan daya rekat lem dekstrin dari tepung sukun lebih tinggi dari lem kayu biasa sehingga sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pembuatan perekat organik yang tidak membahayakan lingkungan. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis berterima kasih kepada rekan M. Fakri dan kepada Prof. Dr. Mark T. Holtzapple dari Texas A&M University atas diskusi yang sangat berharga mengenai penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Agra, I. B. Warnijati, S, dan Pujianto, B, 1973, Hidrolisa Pati Ketela Rambat pada Suhu Lebih dari 100oC, Forum Teknik, 3. Agra, I. B., Warnijati, S, dan R. S. Riyadi, 1979, Hydrolisis of Sweet Potato Starch at Atmosphere pressure”, Research Journal, 2 (3), 34. Agra, I. B., Warnijati, S., dan Indriyani, K., 1987, Hydrolysis of Dry Cassava Powder, CHEMECA 87, The 15th Australasian Chemical Engineering Conference, pp. 99. 1 – 96, Melbourne, Australia.
Arbianti, R., 2008, Reaksi Hidrolisis Singkong dengan Katalisator Asam Sulfat, Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik UI.
Tano, E., 1997, Pedoman Membuat Perekat Sintetis, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Crueger dkk., 1984, Hidrolisis dengan menggunakan Katalisator HCl dan H2SO4, www.wikipedia.com,/publikasi/wr142228.pdf, diakses tanggal 18 Oktober 2010 jam 17.00 WIB. Gaman dan Sherington, 1981, Plant Resources of South East Asia, Spices Backhuys Publishers, Leiden. Hartomo, A. J., Rusdihardjo, A., Hardjanto, D., 1992, Memahami Polimer dan Perekat, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta. Holtzapple, M. T., 2009, Green Engineering Approach for Producing Synthetic Adhesive, Texas A&M University, Texas. Kerr, R. W., 1970, Chemistry and Industry of Starch, 2nd ed., Academic Press Inc., New York. Koswara, S., 2006, Sukun sebagai Cadangan Pangan Alternatif. http://ebookpangan.com, di akses tanggal 18 Oktober 2010. Lubis, M. R. 2004, Pembuatan Perekat dari Biji Durian, Jurnal Reaksi, 28-34. Saifullah. 1995, Pemanfaatan Tanin dari Kulit Kayu Pinus Merkusii sebagai Bahan Perekat, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Stout dan Rydberg Jr, 1939, Tropical Forest and Their Crops, Cornell Univ, Ithaca. Syah dan Nazaruddin, 1994, Sukun dan Kluwih, Penerbit Swadaya, Jakarta.
7
STUDI BIODIVERSITI BENTOS DI KRUENG DAROY KECAMATAN DARUL IMARAH KABUPATEN ACEH BESAR Jailani1, M. Nur2 Staf Pengajar FKIP Universitas Serambi Mekkah
Abstract - The aims of this research was to understand the diversity of benthos in the Krueng Daroy Darul Imarah Aceh Besar. The research was conducted from October to November 2011. Sampling location consisted of four stations that were the station I (upstream) with low community activities, station II (used for public toilets). Stations III ( community rice fields) and station IV ( industrial sewage household). The result showed that a high similarity index values were found between stations I and II (72.72%), the station I and IV (51.80%), and station III to IV (63.68%), whereas a low index of similarity was found between the station I and III (48.72%), station II and III (49.89%), as well as station II and IV (47.83%). Bentos found in the Krueng Daroy, Aceh Besar was comprised four classes: Gastropoda, bivalves, Oligochaeta, and crustaceans. The most dominant benthos found at each station was Goniobasis virginica of the gastropod class, and the lowest was marmatus Turbo gastropods , found at station I. Keywords : Biodiversity, benthos
I. PENDAHULUAN Bentos adalah organisme yang selalu mendiami dan menetap di dasar perairan. Bentos mencakup biota yang menempel, merayap, atau meliang di dasar perairan. Bentos tidak dapat menghasilkan makanannya sendiri yang disebut biota heterotrof (heterotrofic) (Sriwijana, 2005:51). Komunitas bentos di dasar perairan lebih banyak diketahui karena hidup menetap atau melekat di suatu tempat atau merayap, sehingga dapat menghindar dari mangsa. Komposisi spesies bentos di suatu perairan bervariasi sesuai kedalaman air, perubahan jarak dari pantai dan komposisi bagian dasarnya (James, W, 1992:192). Bentos terutama makrozoobentos memegang peranan penting di perairan yang ditempatinya. Diantaranya dapat membantu mempercepat dekomposisi materi organik sebagai makanan alami bagi ikan-ikan pemakan di dasar dan dapat juga digunakan sebagai indikator kualitas air (Zulmahdi, 1995:5). Sifat bentos yang khas yaitu memiliki toleransi terhadap perubahan lingkungan dan hidupnya yang relatif menetap. Adanya pencemaran
8
perairan dapat dikenali dan dapat menurun kan keragaman spesies makarobenthos salah satunya di Krueng Daroy. Krueng Daroy adalah salah satu anak sungai yang ada di Kabupaten Aceh Besar dan juga Kota Banda Aceh yang memanjang ke arah utara kurang lebih 12 Km, yang berasal dari daerah hulu yaitu pemandian Mata Ie. Sebagian daerah aliran Krueng Daroy, berada di daerah pemukiman penduduk yang padat dan dimanfaatkan sebagai tempat mandi dan mencuci pakaian, di samping itu juga dijadikan tempat membuang kotoran (Anonimous, 2003). Krueng Daroy juga memiliki lebar yang berbeda-beda antara bagian hulu, tengah, dan hilir. Bagian hulu memiliki lebar 12,75 m, tengah lebarnya 14,25 m dan bagian hilir 15 m. Dewasa ini seiring dengan bertambahnya jumlah dan aktifitas penduduk di sekitar aliran krueng daroi, menyebabkan semakin tinggi tingkat pencemaran, yang berdampak pada keberadaan flora dan fauna di sungai krueng daroi. Dengan demikian indikator pencemaran air juga dapat dilihat dari menurunnya tingkat kehadiran bentos di suatu habitat. Berdasarkan pengamatan
penulis kenyataan tersebut dialami oleh lingkungan krueng daroi, sehingga penulis tertarik untuk meneliti secara khusus tentang “Studi Biodiversity Bentos di Krueng Daroy Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar” Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keragaman bentos yang terdapat di Krueng Daroy Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar. II. KAJIAN TEORITIS Komunitas Bentos Nama bentos diberikan pada semua organisme penghuni dasar perairan, istilah dasar ini mencakup substrat pada garis pantai, danau, demikian juga kedalaman tertentu dari setiap badan air (Michael, P. 1994:137). Keberadaan fauna bentos di suatu tempat tertentu terutama dikendalikan oleh sifat fisik dari substratnya. Substrat itu dapat dibagi atas dua rangkaian yang amat berbeda yaitu substrat batu karang keras dan substrat lunak seperti pasir dan lumpur. Berdasarkan ukurannya, bentos dibagi dalam tiga katagori yaitu mikrofauna, mesofauna, dan makrofauna. Mikrofauna adalah organisme bentos yang berukuran lebih kecil dari 0,1 mm, protozoa termasuk dalam golongan ini. Mesofauna merupakan organisme bentos yang berukuran antara 0,1 mm – 1,0 mm, yang termasuk golongan ini adalah Cnidana dan beberapa Crustaceae kecil. Makrofauna yaitu organisme bentos yang berukuran lebih besar dari 1,0 mm, termasuk golongan ini adalah Crustaceae, Annelida, Molusca dan lain-lain (Hutabarat, 1985:124). Berdasarkan cara makannya, hewan bentos dibagi menjadi dua, yaitu bentos penyaring (Filter feeders) contohnya kerang dan pemakan deposit (Deposite feeders) contohnya siput (Eguine P. 1996:373). Berdasarkan hubungan tempat hidup, hewan dasar (Bentic Animals)
terbagi atas epifauna dan infauna. Epifauna adalah organisme yang hidup pada permukaan dasar baik melekat maupun bergerak. Termasuk kelompok ini adalah tiram, ketam, keong, dan kepiting. Infauna merupakan organisme menggali ke dalam endapan dan hidup dalam liang. Kelompok ini meliputi ganggang, molusca, cacing, crustacae dan flagellata penghuni dasar perairan. Menurut batasan ekologis bentos dapat digolongkan ke dalam fitobentos dan zoobentos. Fitobentos merupakan bentos yang tergolong ke dalam tumbuhan, sedangkan yang termasuk hewan disebut zoobentos. Berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran karena bahan organik, bentos khususnya makrozoobentos dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu kelompok intoleran, fakultatif dan toleran. Organisme intoleran yaitu organisme yang tidak dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik. Organisme fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran. Organisme ini dapat bertahan hidup di perairan yang banyak bahan organik, namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan. Organisme toleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kondisi lingkungan yang luas yaitu organisme yang sering dijumpai di perairan yang berkualitas jelek. Pada umumnya organisme toleran tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah di perairan yang tercemar oleh bahan organik (Ardi, 2002:3). Faktor Fisik dan Kimia Lingkungan Perairan Kehidupan organisme air yang akan berlangsung terus jika air mengandung unsur yang dibutuhkan dalam kondisi
9
seimbang, seperti halnya kehidupan organisme lain, maka penyebaran dan kehidupan komunitas bentos juga dipengaruhi oleh kualitas lingkungannya. Kelarutan Oksigen kurang dari 1 (satu) ppm akan mengakibatkan kematian bagi organisme perairan. Konsentrasi Oksigen terlarut mencapai nilai terendah pada waktu subuh dan kemudian meningkat pada waktu siang, akhirnya mencapai nilai tertinggi pada waktu siang hari. Sebenarnya tiap spesies hewan itu harus ada di mana-mana, oleh karena faktor-faktor tertentu, maka keberadaan hewan di suatu daerah tidak memungkinkan. Faktor-faktor itu antara lain tidak adanya adaptasi, yaitu: karena iklim di suatu region menghambat adanya suatu spesies hewan di daerah itu. Namun demikian, mungkin saja di suatu habitat yang baik sekali, serasi dan cocok untuk hidup suatu spesies hewan, ternyata habitat itu tidak memungkinkan ia datang ke tempat tersebut, (Mukayat, 1989:277). Variasi suhu dalam air tidak sebesar di udara, hal ini merupakan faktor pembatas utama karena organisme akuatik sering kali mempunyai toleransi yang sempit. Perubahan suhu menyebabkan pola sirkulasi yang khas dan stratifikasi yang amat mempengaruhi kehidupan akuatik (Odum, P.1971:370). Kondisi air yang keruh juga kurang disukai oleh komunitas bentos. Kekeruhan air biasanya disebabkan oleh bahan tersuspensi dan koloid yang terdapat di dalam air, misalnya partikel-partikel, lumpur, bahan organik, plankton, dan mikroorganisme. Peranan Bentos Dalam Ekosistem Air Dalam komunitas perairan zoobentos memegang peranan penting di perairan yang ditempatinya yaitu dalam proses pendaurulang material organik, menduduki beberapa tingkatan tropik dalam rantai makanan serta dapat digunakan untuk memantau perubahan kualitas air sungai. 10
Peranan bentos dalam ekosistem perairan yaitu dapat menguraikan material organik yang jatuh ke dasar perairan, selain itu bentos dapat mentransper energi dari produsen primer ke tingkat tropik berikutnya. Bagi manusia manfaat bentos juga dapat diperoleh dengan memanfaatkan berbagai jenis bentos seperti tiram / lokan dan kerang mutiara yang mempunyai nilai ekonomis cukup penting. Zoobentos juga dapat dipakai sebagai indikator ekologi dari suatu perairan, hal ini disebabkan oleh habitatnya di dasar perairan serta pergerakannya yang relatif lambat. Bila ada berbagai perubahan lingkungan akuatik akibat masuknya substansi yang diangkut oleh aliran perairan maka secara terus menerus ia akan mendapat pengaruh dari perubahan tersebut. Salah satu jenis zoobentos yang digunakan sebagai indikator perairan yang terpolusi berat material organik dan mampu hidup pada perairan dengan pH di bawah 4,5 adalah larva Chironomus. Jenis kerang juga merupakan bioindikator yang paling tepat untuk pencemaran logam berat, contohnya kijing Taiwan (Anodonta trapesialis). Beberapa alasan yang mendukung kerang sebagai bioindikator tersebut adalah kemampuannya yang tinggi untuk mengakumulasi bahan tercemar tanpa mati terbunuh, terdapat dalam jumlah yang banyak, terikat pada suatu tempat yang keras, dan hidup pada jangka waktu lama. Selain itu, ada juga jenis molusca yang keberadaannya sangat merugikan seperti karang (Teredo.sp). Molusca ini dikenal sebagai pemakan kayu seperti tiang-tiang pelabuhan dan lunas perahu (Nontji, 1003:174. III. METODE PENELITIAN Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, pH meter, thermometer Hg, piringan secchi, hand refragtometer, pengeruk Echmand Grab, kantong plastik, karet pengikat, kertas lebel, foto digital. Bahan yang digunakan adalah formalin 10%. Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Lingkungan Pengukuran faktor fisik dan kimia perairan seperti suhu, kecerahan, salinitas dan derajat keasaman dilakukan in situ. a. Suhu, Pengukuran suhu dilakukan dengan mencelupkan thermometer ke dalam air. Pembacaan skala dilakukan sewaktu thermometer masih di dalam air. b. Kecerahan, Pengukuran dilakukan dengan cara memasukkan piringan secchi ke dalam perairan hingga tidak terlihat batas hitam putih, kemudian dicatat kedalamannya. Lalu ditenggelamkan lebih dalam dan dicatat kedalamannya. Nilai rata-rata kedua jeluk tadi diambil sebagai nilai kecerahan. c. Salinitas, Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan hand refragtometer yaitu dengan cara memasukkan satu atau dua tetes aquadest pada lubang ujung refragtometer setelah garis putih atau biru tepat pada titik nol, maka teteskan satu atau dua tetes air sample pada tempat yang sama dengan aquadest. d. Derajat keasaman, Pengukuran derajat keasaman dilakukan dengan menggunakan pH meter dengan mencelupkan bagian bawah atau bagian tertentu dari pH meter ke dalam aquadest selama 2-5 menit. setelah angka berada pada angka 7 maka masukkan bagian tertentu dari pH meter ke dalam air sampel.
Prosedur Kerja Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah dengan membuat 4 (empat) stasiun pengamatan yang masing-masing terletak: Stasiun I (satu) mewakili daerah hulu Krueng Daroy (daerah pemandian Mata Ie) karena daerah tersebut aktifitas masyarakat masih rendah, stasiun II (dua) di Desa Gendring karena aliran sungai di daerah ini sering dipakai masyarakat untuk MCK (mandi, cuci, kakus), stasiun III (tiga) di daerah persawahan di desa Gugajah karena aliran airnya lebih deras dan Stasiun IV (empat) dibelakang pasar Ketapang yang dipakai sebagai saluran pembuangan limbah industri rumah tangga. Dalam setiap stasiun tersebut terdapat 9 (sembilan) titik sampling yang terbagi antara lain 3 (tiga) titik di bagian ke dua tepi dan 3 (tiga) titik di bagian tengah. Jarak antara ke tiga titik tersebut adalah 10 m. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Pengambilan data dilakukan dengan cara mengambil bentos pada 36 titik sampling yang terbagi dalam 4 (empat) stasiun, kemudian masing-masing stasiun dijumlahkan dan diidentifikasi. Analisis Data a. Indeks Keragaman H’ = − ∑ pi ln pi H’ = Indeks Keragaman ni pi = N ni = Jumlah Individu Spesies ke-i N = Total Individu Populasi (Barbour et all,1987) b. Indeks Kemerataan Indeks kemerataan menunjukkan banyaknya jenis yang sama yang dijumpai pada setiap stasiun.
11
H log S Keterangan e = Indeks Kemerataan H = Indeks Keragaman S = jumlah spesies yang dijumpai
e=
c. Indeks Similaritas 2W IS = x 100 % A+ B Keterangan: IS = Indeks Similaritas (Kesamaan) A = Jumlah Spesies pada stasiun A B = Jumlah Spesies pada stasiun B W = Jumlah Spesies yang sama yang ditemukan pada kedua stasiun namun yang diambil ialah nilai yang terendah (Krebs,1978) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman dan Kelimpahan Bentos di Perairan Krueng Daroy Dari hasil pengamatan terhadap keragaman dan kelimpahan bentos di perairan Krueng Daroy, didapatkan empat kelas bentos pada bulan Oktober dan November 2010. Bentos yang ditemukan pada musim hujan yaitu bulan Oktober dan November tersebut adalah kelas Gastropoda, Bivalvia, Oligochaeta, dan Crustecea. Bentos yang ditemukan pada bulan Oktober dan November di keempat stasiun pengbambilan terdiri dari enam jenis Gastropoda, dua jenis Bivalvia, satu jenis Oligochaeta, dan satu jenis Crustacea. Jumlah jenis bentos terbanyak pada bulan oktober didapatkan di stasiun I yaitu Sembilan jenis, yang terdiri dari enam jenis dari kelas Gastropoda, dua jenis dari kelas Bivalvia, satu jenis dari kelas Oligochaeta, dan satu jenis Crustacea. Jumlah jenis terendah didapatkan pada stasiun II yaitu lima jenis, yang terdiri dari empat jenis dari kelas Gastropoda dan satu jenis dari kelas Oligochaeta. Pada bulan November jumlah jenis yang ditemukan di stasiun III
12
dan IV delapan jenis, stasiun I tujuh jenis dan stasiun II enam jenis (Tabel 2). Banyaknya jumlah jenis yang ditemukan di stasiun I diperkirakan karena didukung oleh kualitas air yang relatif baik untuk kehidupan bentos seperti suhu, pH, kecerahan dan salinitas. Parameter Fisik dan kimia Perairan Krueng Daroy Hasil pengukuran dan pencacatan kondisi fisik dan kimia perairan pada pengambilan sampel di semua stasiun ditunjukkan pada tabel 1. Tabel 1. Parameter Fisik dan kimia Perairan Krueng Daroy No Parameter Stasiun 1 Suhu I II III IV
Rata-rata 29,9 31,9 32,3 32,5
2
Salinitas
I II III IV
0,3 1,1 1,9 2,4
3
Ph
I II III IV
7.4 7,2 7,2 7,3
4
Kecerahan
I II III IV
0,50 0,97 0,93 0,65
Tabel di atas menunjukkan bahwa suhu air berkisar antara 29,90C sampai 32,50C dengan tingkat kecerahan antara 0,50 m sampai 0,97 m. pH air berkisar antara 7,2 sampai 7,4 dengan salinitas antara 0,3 permil sampai 2,4 permil. Kepadatan rata-rata Kepadatan rata-rata bentos masingmasing spesies di setiap stasiun tidak jauh berbeda, kepadatan rata-rata bentos
tertinggi pada bulan Oktober ditemukan di stasiun IV, sedangkan pada bulan November ditemukan di stasiun III. Kepadatan rata-rata masing-masing spesies bentos di setiap stasiun ditampilkan pada tabel 2. Tabel 2. Kepadatan rata-rata (individu/m2) bentos yang terdapat di perairan Krueng Daroy Oktober No
November
Taksa I
II
III
IV
I
II
III
IV
A. Gastropoda 1 Pomacea paludosa 2 Goniobasis virginica 3 Batilliria attramentaria 4 Trayoria cathrata 5 Helix pomata 6 Turbo marmathus B. Oligochaeta
500
275 1425 700
325
350 3325 4550 1375 700 2800 5375
525
600
725 3700 2050 2400 2550 1425
175
450
125
275
375
0
175
0
0
0
450
0
0
0
25
0
0
0
0
0
0
0
7 Lumbricus terrestris C. Bivalvia
375
50
250
75
50
375
300
425
8 Psidium dubium 9 Actinonatus carinata D. Cructacea
200
0
450
25
0
300 1125
50
50
0
100
25
0
225
550
125
0
0
125
250
200
0
275
500
9
5
8
8
7
6
8
8
10 Parathelposa sp Jumlah jenis/spesies Jumlah total
950
500 1125 625
1375 200
2350 1725 6525 9600 5450 4500 10100 8725
Keterangan: Stasiun I : Daerah pemandian Mata Ie Stasiun II : Desa Gendring Stasiun III : Persawahan di Desa Gugajah Stasiun IV : Belakang pasar Ketapang Kepadatan rata-rata bentos di setiap stasiun pada bulan Oktober dan November dapat dilihat pada tabel 1. Pada bulan Oktober kepadatan rata-rata tertinggi terdapat pada stasiun IV yaitu 9600 individu/m2 dan terendah pada stasiun II yaitu 1725 individu/m2. Untuk bulan November kepadatan rata-rata tertinggi terdapat pada stasiun III yaitu 10100
individu/m2 dan kepadatan rata-rata terendah terdapat pada stasiun II yaitu 450 individu/m2. Kepadatan rata-rata bentos yang relatif tinggi di stasiun III dan IV baik pada bulan oktober ataupun bulan November disebabkan oleh kelas Gastropoda yang mendominasi di stasiun ini. Jenis-jenis Gastropoda yang banyak dijumpai di stasiun ini adalah Pomacea paludosa, Goniobasis virginica, Batilliria attramentaria, Trayoria cathrata, Helix pomata, Turbo marmathus. Kepadatan Gastropoda yang ditemukan di stasiun III dan IV baik pada bulan Oktober ataupun bulan November disebabakan oleh kondisi lingkungan yang mendukung seperti tekstur substrat dan kandungan bahan organik yang relatif tinggi serta kemampuan adaptasi yang baik untuk hidup diberbagai tempat dibandingkan bentos kelas yang lain. Tingginya jumlah kepadatan bentos di stasiun IV diduga karena kondisi fisik dan kimia yang mendukung yaitu suhu 32,5oC, salinitas 2,4 permil, pH 7,3 dan kecerahan 0,65 m. Stasiun III juga memiliki suhu 32,3oC, salinitas 1,9 permil, pH 7,2 dan kecerahan 0,91 m. Dharma (1988) menyatakan bahwa molusca termasuk binatang yang sangat berhasil menyesuaikan diri untuk hidup di berbagai tempat dan cuaca pada berbagai kisaran suhu. Menurut Soetjipta (1993) menyatakan suhu yang dapat ditolerir oleh organisme pada suatu perairan berkisar antara 200C sampai dengan 300C (Soetirta, 1993:39). Hasil menunjukkan bentos yang sedikit ditemukan adalah kelas Oligochaeta, Bivalvia dan Crustacea, yaitu masing-masing satu spesies. Kelompok bentos yang terbesar yang hidup di Krueng Daroy adalah dari kelas Gastropoda yaitu Sembilan jenis. Menurut Sanitta Trisna (2001), Gastropoda merupakan organisme yang mempunyai kisaran penyebaran yang luas di substrat berbatu, berpasir, maupun berlumpur, tetapi organisme ini cenderung
13
menyukai substrat Trisna,2001:35).
berpasir
(Sanita
4 5 6
II dan III II dan IV III dan IV
49,89 47,83 63,68
Indeks Kemerataan (e) Indeks Kemerataan diperoleh dengan analisis pada lampiran 4, dan diperoleh data seperti pada tabel 4. Tabel 3. Indeks Kemerataan bentos yang terdapat di Krueng Daroy No Stasiun Indeks Keseragaman 1 I 0,774 2 II 1,793 3 III 0,835 4 IV 0,598 Indeks Kemerataan digunakan untuk mengetahui kemerataan masing-masing jenis dalam satu ekosistem. Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa indeks kemerataan bentos di empat stasiun penelitian berkisar antara 0,598 sampai 1,793, berarti nilainya cenderung mendekati satu. Menurut Krebs (1989) apabila nilai kemerataan nol atau mendekati nol artinya kemerataannya rendah. Kemerataan mendekati satu atau satu maka nilai kemerataannya tinggi dan jumlah individu tiap jenis merata atau seragam. Dari indeks kemerataan dapat diketahui bahwa bentos yang terdapat di Krueng Daroy memiliki jumlah individu tiap jenis merata atau seragam. Indeks Similaritas (IS) Indeks Similaritas diperoleh dengan pembagian jumlah spesies yang sering dijumpai dengan jumlah spesies yang sama pada kedua stasiun yang dibandingkan, dan diperoleh data seperti pada tabel 4. Tabel 4. Indeks Similaritas bentos yang terdapat di Krueng Daroy Stasiun Indeks Similaritas No (%) 1 I dan II 72,72 2 I dan III 48,72 3 I dan IV 51,80
14
Indeks Similaritas (kesamaan) digunakan untuk melihat kesamaan jenis antar stasiun. Indeks kesamaan yang tertinggi dijumpai pada stasiun I dan II yaitu 72,72 % dan yang terendah pada stasiun II dan III yaitu 47,83 %. Menurut Odum (1993) jika nilai indeks kesamaan lebih besar dari 50 % berarti adanya persamaan antara dua komunitas dan jika nilai indeks kesamaannya lebih kecil dari 50 % berarti adanya perbedaan antar dua komunitas. Tingginya kesamaan antara stasiun I dan II menunjukkan bahwa secara umum kondisi fisik dan kimia perairan relatif sama. Hal ini dapat dilihat dari nilai faktor fisik dan kimia perairan yang tidak jauh berbeda. V. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian tentang keragaman bentos di Krueng Daroy dapat disimpulkan bahwa: 1. Terdapat 10 jenis bentos yang dikelompokkan kedalam 4 kelas yaitu Gastropoda, Bivalvia, Oligochaeta, dan Crustacea. 2. Indeks keragaman bentos yang ditemukan berkisar antara 1,245 sampai 3,488, hal ini menunjukkan bahwa tingkat keragaman bentos antara satu stasiun dengan stasiun lain tinggi. 3. Indeks keseragaman berkisar antara 0,598 sampai 1,793 yang berarti bahwa jumlah individu tiap jenis merata atau seragam. 4. Indeks similaritas menunjukkan bahwa bentos di Krueng Daroy relatif sama dengan nilai antara 47,83 % sampai 72,72 %.
DAFTAR PUSTAKA Ardi. 2002. Pemanfaatan Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Perairan Pesisir. ITB: Bogor. Boyd dan Lichtkoppler dalam Yustina, Keanekaragaman Ikan di Krueng Daroy Kecamatan Darul Imarah Aceh Besar, NAD (Skripsi) (Banda Aceh Unsyiah, 2004), hal. 4. Brotowidjoyo dalam Yustiana, Keanekaragaman Ikan di Krueng Daroy Kecamatan Darul Imarah Aceh Besar, NAD (Skripsi) (Banda Aceh: Unsyiah,2004), hal.3. DPPW-DJSDA, Laporan Pendahuluan Penanggulangan Bankir Krueng Daroy, Krueng Neng dan Krueng Lung Panga (Tahap II) Kabupaten Aceh Besar ,(NAD: Wahana Adya Konsultan, 2001), hal.21. DPPW-DJSDA, Laporan Nota Penjelasan Penanggulangan Bankir Krueng Daroy, Krueng Neng dan Krueng Lung Panga (Tahap II) Kabupaten Aceh Besar, (NAD: Wahana Adya Konsultan, 2001), hal.1.
Hutabarat,S dan S.M Evans, 1993. Pengantar Oceonografi. Djambatan: Jakarta. James dalam Evi Ranggayani, Keragaman dan Kelimpahan Makrozoobentos di Perairan Laut Tawar Kabupaten Aceh Tengah (skripsi) (Banda Aceh: UNSYIAH, 2001), hal.5. McConnaugheu, B.H dan R.Zattoli, 1993 Pengantar biologi Laut, IKIP Semarang. Michael,P, 1994. Metode Ekologi Untuk Ladang dan Laboratorium. UI: Jakarta Mukayat Djarubito Brotowidjoyo. 1989. Zoologi Dasar. Erlangga: Jakarta. Nontji. 1993. Laut Nusantara, Djambatan: Jakarta. Suin dalam Herfiyusni,Studi Biodiversity Makrozoobentos di Vegetasi Mangrove Peukan Bada Aceh Besar, (Skripsi) (Banda Aceh: UNSYIAH, 2001), hal. 4.
DPPW-DJSDA, Laporan Pendahuluan Penanggulangan Bankir Krueng Daroy, Krueng Neng dan Krueng Lung Panga Kabupaten Aceh Besar, (NAD: Wahana Adya Konsultan, 2001), hal.1. Eugene.P.Odum dalam Huslidar. 2006. Keanekaragaman Ikan di Sungai Alue Tho Desa Alue Tho Nagan Raya Sebagai Media Praktikum Zoologi Vertebrata,NAD (Skripsi) (Banda Aceh: IAIN,2006), hal. 8. Eugene P. Odum. 1971. Dasar-dasar Ekologi Edisi ke 3. UGM. Yogyakarta.
15
Screening of Well in Banda Aceh Districts and Aceh Besar Districts for Contamination with Faecal Coliform Bacteria Cut Yulvizar Biology Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Syiah Kuala University, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak - Tsunami telah menghancurkan infrastruktur prasarana air termasuk sumur di masyarakat aceh. Faktor tsunami, penataan lahan(kota dan desa) dan pengunaan lahan dapat mempengaruhi kualitas air termasuk kontaminasi faekal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh rehabilitasi sumur setelah tiga tahun tsunami terhadap kualitas air. Parameter yang diukur adalah total jumlah bakteri faekal (koliform dan Escherichia coli). Sebanyak empat puluh delapan sampel air sumur diambil dan dianalisis dari bulan Agustus 2007 sampai Desember 2007. Interview dengan pemilik sumur juga dilakukan untuk mendapatkan informasi tambahan. Hasil penelitian menunjukan adanya kehadiran bakteri koliform melebihi batas yang ditetapkan (907/MENKES/SK/VII/2002). Kata Kunci: Tsunami, Kualitas Air, Bakteri Koliform
I. INTRODUCTION The earthquake and the following Tsunami devastated South Asia in December 2004 and especially Indonesia. It has caused remarkable problems such as social, economic and environmental aspects in some regions of Nanggroe Aceh Darussalam and Nias. Aceh Besar is one of the regions that have been impact hardest by Tsunami. One effect is the contamination of water that was caused by damaged sanitary infrastructure such as septic tanks, wells and water canals. The water that was contaminated by Tsunami contains chemical and infectious material that is dangerous for life. According to Agency for Reconstruction and Rehabilitation (BRR) progress report (2006) in 2005, many donors and non-governmental organizations (NGOs) have focused on the provision of housing with limited investment in associated infrastructure. NGOs were encouraged to invest in housing construction without provision of basic services such as water supply, sanitation and electricity power. In 2006, a number of water supply projects were
16
initiated, which are preparing and rehabilitating water supply that was damaged by Tsunami. The first priority has been to provide drinking water to reduce the need for water tanker and similar emergency water interventions. The second priority was to support the reconstruction of housing and third priority was to provide water to key strategic areas such as ports and industrial areas, to support economic rehabilitation. Water is very important for life. Water is used for drinking, irrigation, cleaning, bathing, and to generate electricity. Based on Csuros and Csuros (1999) well is the primary source of drinking water. Well is still used as a main source of clean water in rural and urban areas of Aceh. To reach drinking water, it is mostly used from the well. Before Tsunami, only 19% of the total population in urban area in Aceh Province had access to piped water supply. Self-provided water supply is based on wells and springs (Environment and Mineral Resource Sector, 2005). Generally, the surface conditions of wells are open and cause contaminate with Tsunami material.
Factors that are affecting the water quality of well are soil type, season, distance of septic tank to the on-site sanitation, construction of those facilities and water users` behavior. According to Kusnaedi (2000), there are three essential points for good drinking water. Firstly: physically; drinking water must be clear; secondly: chemically; it must not contain dangerous chemical materials such as heavy metals that originated most often from local source industry and agriculture; and thirdly: microbiologically; drinking water must not contain pathogenic bacteria. Buckle et al. (1987) and Staff of the Medical Faculty of Indonesia University (1994) reported that many microorganisms like coliform bacteria, Salmonella, Escherichia coli, and Pseudomonas may cause various diseases. According to Ministry of Health Regulation RI number: 907/MENKES/SK/VII/2002 E. coli in drinking water is 0 CFU/100ml. Although these microorganisms belong to the natural population of the water, some strains should be considered as opportunistic pathogens. The study of these is especially important if the well is analyzed. Based on previous research by Mardiatno and Junun (2006) who reported that some water samples from well have been contaminated by Tsunami; nevertheless, they partially still can be used for domestic purposes except for drinking water. Followed by Local Environmental Impact Management Agency (BAPELDALDA) and National Nuclear Energy Agency of Indonesia (BATAN) (2007) reported that a study of sites devastated by Tsunami showed water pollution in wells. It was caused by dangerous and poisonous material from Tsunami contamination that includes pathogenic microorganisms, as well as high contents of nitrate and heavy metals. The breach of water distribution pipelines and filling of wells with debris
and garbage occurred soon after the Tsunami. The well is one of the main domestic water sources in rural area. Based on Environment and Mineral Resource Sector (2005), it is estimated that quality of wells are influenced not only by Tsunami but also by activity of the community in those area such as agriculture activity. In addition, the wells can be contaminated with various hazardous wastes such as gasoline products, medicine, pesticides, etc. The research was conducted in the Aceh Besar and Banda Aceh districts from August 2007 until December 2007 and aimed to determining how Tsunami rehabilitation efforts affected the water quality of well by measuring count faecal coliforms in rural and urban areas. The study includes bacteriological assessment of water samples, interviews with the owners of the water facilities and sanitary inspection of well wells. The sample points of well were determined by simple random sampling method. II. MATERIALS AND METHOD Description of Experimental Site, Time and Location In this research, areas are referred to the Tsunami area and non-Tsunami area. Generally, all water bodies and water sources in the coastal areas and the other area were hit by the Tsunami and brought dangerous material and pollution, thus they did not function at all during some time after the disaster, both as water sources, water flow and city drainage as well as septic tanks was damaged. The research has been conducted in fixed places which are damaged differently by the Tsunami in Banda Aceh and Aceh Besar District, to show the difference between urban and rural areas and the difference between agriculture land and home gardens.
17
Banda Aceh is the provincial capital and largest city of Aceh, Indonesia. It is located on the island of Sumatra at 5°31′ N 95°25′ E. It is bordered on the north by the Straits of Malacca: on the south by Darul Imarah dan Ingin Jaya sub-districts; on the east by Barona Jaya and Darussalam subdistricts; and on the west by Peukan Bada sub-districts. Aceh Besar is located at the northern end of Sumatra Island from 5.2 to 5.8 degrees latitude North and 95 to 95.8 degrees longitude east. It is bordered on the north by the Straits of Malacca and the city of Banda Aceh; on the south by Aceh Jaya District; on the east by Pidie District; and on the west by the India Ocean. Aceh Besar has an area of 2.974 km2. The earthquake which affected by Tsunami include eight sub-districts from 22 subdistricts in Aceh Besar. The population becomes more dispersed farther away from the province capital Banda Aceh.
The research was done from last August 2007 to December 2007.The wells were selected randomly following many characteristics such as area, land use and land management. Twenty-four wells selected with repetition in dry season on August and rainy season on December. The selections of sample were done in the beginning of August, before the data collection was done. A total samples were 48 wells.The sample areas were selected by simple random sampling by taking three areas in each class according to the characteristics area needed. Then, for each area, the survey places were determinate by passing the main road of villages and numbering the place in a certain series. After that, three survey places were defined by randomly sampling. This research was conducted in two activities: firstly, samples were taken in the survey place and secondly, samples were analyzed in laboratory. Collection of Samples
Figure 1: The areas selected for this research are 4 sites from Banda Aceh and 4 sites from Aceh Besar. In Banda Aceh, the selected wells were Banda Raya, Jaya Baru, Baiturrahman and Ulee Kareng, while those in Aceh Besar were Darul Imarah, Lhoknga, Peukan Bada and Kutabaro. : Site in Banda aceh , : site in Aceh Besar.
18
Before the water samples were collected, the interviews were carried out with the well owners to get general information about well’s condition; characteristics of the household, the utilization of well, depth of wells, and number of users. This information was needed to provide additional data for the description of the area. Then, 500 ml shallow groundwater were collected and put in a sterile bottle as sample. The microbial population that presents at the surface is the best sampling by sterile bottle. The label of sample was written on the sterile bottle, addressed about the date and place of sample taking and the owner. The samples were kept and transported in ice cooled containers. All samples were analyzed immediately after collection In Microbiology Laboratory of Veterinary faculty; long holding time has been
avoided. The direct contact between the person and the sample was avoided (Alley, 2007). Preparation of medium Chromocult Coliform and detection coliform bacteria and Escherichia coli. Twenty-six point five g Chromocult Coliform was suspended in 1l boiling water. Supplement was added to cooled medium to 45 – 50 OC. Every plate was filled with 20 ml medium. The plates were yellowish. One ml pipette water was taken directly from a sample. Water samples were diluted with 1 in 8, pipetted with 1 ml water directly on the surface of the medium with pour plate technique. Then, the samples incubated at 37oC for 2x24 hours. Total coliforms produced salmon to red colonies, whereas presumptive E.coli formed dark blue to violet colonies. To Increase accuracy of the results, it was best to plate the sample in duplicate and determine the average account. ChromoCult coliform agar was a new medium allowing the simultaneous detection of coliforms and E. coli in the water with high bacterial. It had advantages to show characteristic colony colors for easy identification; clearly differentiated colony reduced mistakes and ensured accurate data, only 48 hours incubation time and only one medium for the simultaneous detection of coliform bacteria and E.coli. So it reduced time, materials, workload and laboratory equipment. Statistical Analysis The statistical analysis was used to examine the data. This statistical test showed the effects of some independent variables in the research; Tsunami and non tsunami area, urban and rural area, agriculture and home garden area. The data of the well contamination was analyzed by ANOVA (Factorial design with 4 factors level) followed by a
Tukey test to show the significant value by using SYSTAT version 5.0. All results from microbial determination were transferred to log CFU/100ml. Last, all recorded data were compared with the critical value of the regulation from Indonesian Ministry of Health. III.RESULTS AND DISCUSSION Contamination of Water Microorganism.
by
The occurrence of pathogens and indicator organisms in wells depends on a number of factors, including intrinsic physical and chemical characteristics of the area and the range of human activities and animal sources that release pathogens to the environment. This may occur through contaminated septic tank. The results were obtained from the microorganism analyzing especially in coliform, Escherichia coli. Figure 2 shows there were interactions among area, land use and land management in coliform bacteria. The interaction shows that in non-Tsunami area there were significant which based on land use and land management. However, in non-Tsunami urban agriculture areas found lower number of coliform bacteria than Tsunami rural agriculture. In contrast, in Tsunami areas were point out a significant, which based on land use and land management. It was analyzed by ANOVA and obtained significant difference (P= 0.017) in the total coliform bacteria interaction among area, land use and land management was significant value of α =5% and followed post hoc Tukey test.
19
coliform bacteria(CFU/100ml)
9
a
8 7
d cd
cd
UH NRA NUA NU
NRH
c
b
ab
b bd
bd
TTRA
TRH
6 5 4 3 2 1 0 TUA
TUH
Area$*LU$*LM M$
Figure 2: Innteraction am mong areas, laand use and land manageement in colifo form bacteria. NUA: NonTsunami Urbban Agricultu ure, NUH: Non-Tsunami N Urban Homee Garden, NR RA: Non-Tsunnami Rural Agriculture, NRH: Non--Tsunami Rural R Home A: Tsunami Urban U Agricuulture, TUH: Garden, TUA Tsunami Urrban Home Garden, TRA A: Tsunami Rural Agricculture, TRH: Tsunami Rural R Home Garden,. a, aab, bd, b, c and a cd – diffferent letters show statisccally significcant differennce between location(P<00.05).
The total colifo orm countss from the entire wateer as samplle exceededd 0 Colony Forming U Unit (CFU)//100 ml bassed on the critical vallue quoted by b Ministryy of Health Regulationn RI. The highest coliform bacteria coount was fo ound in nonn-Tsunami rural agricculture (8 CFU/100ml) C ) followed by 7 CFU U/100ml in Tsunami urrban home garden andd the lower total colifoorm counts was founnd in non-Tsunam n mi urban agriculturee area (5 CFU/100ml) C ). In nonTsunami rrural area, total t colifoorm counts were founnd significaant differennt between home gardden and agriculture activvity. In noon-Tsunamii rural agricuulture area had the hhighest cou unt of totall coliform bacteria. Itt is estimateed that the opportunity o of fecal contamination n. Sanitationn practices are knownn as weak in this areea because toilets are not availaable and livvestock is present. Thhe majority y of local innhabitant’s practices fa faeces open excretion inn the field. They still used faecees from livvestock to increase thhe crop grow wth becausee chemical fertilizer w was too expeensive, so thhe farmers still use ffaeces to ad dditional feertilizer in 20
crop. Agriculturre sector prrovide incom me to theirr families. They T also built b up liveestock to suupport incoome. They did not haave a goodd toilet whicch well kno own as nightt soil. Nighht soil was w referreed open field defeccation by human h faecces in the bush and plastic p bagss. In contrrast, the communityy in Tsunnami urbann agriculturre area didd not excreeted in opeen field. The T providinng of septiic tank caan caused decreasingg the numb mber of colifform bacteriia. It is indiicated that Tsunami agriculture areas a more good sanittation thaan non-T Tsunami rural agricculture areea. Anoth her factor that influuenced the present p of coliform c waas the livesstock. The limited areea for liveestock was one of thee factors in n decreasing the total coliform. Because th he animal faeces f can contain larrge numberrs of pathoogenic orgaanisms succh as baacteria, virruses, protoozoa and heelminth, it can c cause huuman diseaase (Personnne et al. 1998). 1 How wever, manyy species exxcreted by farm animaals do not cause c diseaase in humaans. Majoriity of pathoogens that affect hu uman healthh are derivved from human faaeces and bad sanittation. In general, th he pathogenns in wateer are the main m conceerning to public p healtth, which originate o fro om the faecces of hum mans and animals, a an nd indicatedd the faecaal contaminnation. Hiriiart et al. (22008) reported that inn urban area with grrazing anim mals could provide ev vidence of some species that are a not naative in naatural envirronment. The open or poorly covered shallow dug wells apppose the greatest g riskk for contaamination when inap ppropriate water w fillinng devices are a used. In n addition, faecal f contaamination from latrin nes, septic tanks and farm manuure are morre commonn than for borehole b weell (Viklund d and Welaander, 20077). It was estimated e th hat all conditions in the t characcteristic of the loccation indiccated similaar contamin nation with total colifform bacterria. Poorly built wellss can allow w the enttering of access harrmful
d on land use and laand differennces based manageement. coli counnts from the E Escherichia samplee based on mean amoong area, laand use and land man nagement were w exceedded (0 Colony Formin ng Unit (C CFU) /100 m ml) based on the crritical valuue quoted by Ministrry of Heallth Regulattion R.I. T The highestt E.coli cou unts were found f in noonTsunam mi rural agriculturre area (8 CFU/100ml). On the other haand, the low wer E.coli count wass found in non-Tsunaami urban area a (6 CFU U/100ml.). 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
E.coli(CFU/100ml)
coontaminantss to enter the well tthat can reeduce the water w qualitty. In these cases, faaecal colifo orm bacterria from ddamaged seeptic tanks have h infiltraated the welll. Coliforrm bacteria levels werre above thhe detection n limit andd very highh in all saamples baseed on mean areas, land use and laand manag gement (F Figure 2). These m microorganissms are associated witth feacal m material from m humans and otherr warmbllooded anim mals and their presence in w water is used d to indicatee potential ppresence off enteric pathogens p that couldd cause illlness in exposed persons. p C Coliform baacteria are a specific group of bacteria thhat are normal n inhhabitants’ of the gaastrointestin nal tract off animals aand men arre found in n the envirronment. C Coliform baacteria also o indicate the preseence of daangerous microorganis m sms. The prresent of cooliform in ndicates thhat the w water is coontaminated d with feacaal material (Csuros annd Csuross, 1999; Spelman, 1997). A Although thee coliform bacteria m may not caause diseasees, the pressence indiccates the poossible prresence of o gastroinntestinal paathogens su uch as Sallmonella, SShigella, annd Campylo obacter thatt are also passed in feeces. Thus coliform baacteria are referred ass indicatorr organism ms becausse their prresence often indicatees the pressence of faaeces from m humans and other warmbllooded anim mals and cooncurrent eexistence off serious patthogens (Annynomous, 1996). The ressults in Figuure 3 were aanalyzed byy ANOVA A and obbtained siggnificant diifferences (P= 0.045)) in E.colli count innteraction am mong area, land use aand land m management was significant value at α =55% and folllowed post hoc h Tukey. The in nteraction shhows that in nonTssunami area were signnificant diffferences baased on lan nd use and land manaagement. H However, non-Tsunam mi agricultuure area haas higher Escherichia Es coli counts in rural arrea than in n urban areea. In conttrast, in Tssunami areea there were w no siggnificant
a ab b
b
ab
ab
ab
ab
N NUA NUH NR RA NRH TUA A TUH TRA TRH Area$*LU$*LLM$
n among areaas, land use and Figure 3: Interaction E coli. NUA A: Non-Tsunnami land maanagement E. Urban Agriculture, NUH: Non--Tsunami Urrban RA: Non-Tssunami Ruural Home Garden, NR N i Rural Hoome Agricultture, NRH: Non-Tsunami Garden, TUA: Tsunaami Urban Agriculture, TU UH: Tsunamii Urban Home Garden, TRA: Tsunnami Rural Agriculture, A TRH: T Tsunam mi Rural Hoome Garden,. a, ab, and d b – differeent letters shhow significcant difference betw ween statiscallly location(P<0.05).
Inn non-Tsu unami urbaan agricultture areas (Ule ( Karen ng) have beeen found the lowest E.coli contaminattions. Urbban agricullture uses more offten chemiical fertilizeers and liv vestock prodduction is nnot presentt. Animal faeces conntain a large number of E.coli. Thereforre, agricultture activitiies frequenttly are the source s of w well contam mination (W WHO, 20006b). Anim mal faeces have been n used to enhance ssoil fertilityy because th he chemicall fertilizers are
21
more expensive; nevertheless, they still used chemical fertilizer (Kuta Baro). Human and animal faecal material is the most likely source of most water-borne pathogens. They should be excluded from catchments (Anonymous, 1996). Escherichia coli is naturally present in human and animal faeces. The provision of sanitation facilities is an important public health measure that together with hygiene education contributes significantly to the reduction of fecal contamination. Gordon (1990); Robertson and Edberg, (1997) concluded that the absence of water and sanitation facilities lead to high rates of infection diseases and infant mortality rates. Improvements in sanitation need to be integrated and properly planned; otherwise, an unanticipated outcome may be the contamination of drinking water by faeces matter derived from on site sanitation. On site sanitation systems, which include septic tanks and store faeces at the point of disposal. The fecal waste usually undergoes decomposition to some extent. Nevertheless, on site systems require emptying or construction of new facilities once they have been filled up. Escherichia coli is present in faeces of animal particularly cattle and sheep and lesser from goats, pigs and chickens. Previous studies carried out by Staff of Medical Faculty of Indonesia University (1994) showed that cattle are the main reservoir of E.coli 0157:H7 and able to survive longer in the environment than other E.coli strain. The presence of E. coli in water indicates recent faecal contamination. While it is not possible to know whether E. coli is of human origin, animals and birds can harbor human intestinal pathogens, and therefore the presence of E. coli indicates that there may be a health risk.World Health Organization (2006a) showed that sources of wells contamination were associated with human activities. They were widespread and include diffuse as well as point source
22
contaminants like land application of animal wastes and agrochemicals in agriculture; disposal practices of human excreta and wastes such as leaking sewers or sanitation systems, leakage of waste disposal sites, landfills, underground storage tanks and pipelines; and pollution due to both poor practices and accidental spills in mining, industry, traffic, health care facilities and military sites. Well water contamination by microorganism can occur in two ways: firstly, indirect localized pathway because of the poor design and construction, the second way through directly aquifer pathway, where the microorganism migrate from the septic tank to the well (Anonymous, 1996). It could be concluded that all microorganism contamination from the results especially faecal coliform and E.coli may occur naturally or from human activity. In this research, naturally terms referred to Tsunami areas, in contrast, human activity referred to land use (rural and urban activity) and land management (agriculture land and home garden). IV. CONCLUSION The interaction shows that in nonTsunami area there were significant based on land use and land management. However, in non-Tsunami urban agriculture area has lower coliform bacteria than Tsunami rural agriculture. In contrast, in Tsunami area there were significant differences based on land use and land management. The interaction shows that in nonTsunami area there were significant differences based on land use and land management. However, in non-Tsunami agriculture area has higher Escherichia coli counts in rural area than urban area. In contrast, in Tsunami area there were no significant differences based on land use and land management.
Many wells were vulnerable to the contamination of coliform, Escherichia coli and Pseudomonas spp. Coliform bacteria and Escherichia coli counts exceed the regulatory acceptable limit based on the critical value quoted by Ministry of Health Regulation R.I. ACKNOWLEDGEMENTS This research was part of a master project funded DAAD. I would like to express my great appreciation to my thesis supervisor, Dr. Ronald F. Kuehne and Prof. Dr. med. Uwe Gross for their excellent supports, concerns and guidance during my work. I would also endlessly thank to my colleague, Task NAD for their incredible advises, assistances, and supportive inputs as well as editing to this research. REFERENCES Alley, E.R., 2007, Water quality control handbook, Mc.Graw Hill, 2nd Edition,Virginia. Anonymous, 1996, Australian drinking water guidelines, Commonwealth of Australia, Canberra. Buckle, K.A, Edward, R.A, Fleet, M ,1987, Ilmu Pangan (Food science), Edisi Kedua, Universitas Indonesia, Jakarta. Csuros, M and Csuros, C. , 1999, Microbial examination of water and wastewater, CRC Press LLC, United Sates of America. Environment and Mineral Resource Sector, 2005, Master plan for the rehabilitation and reconstruction for the region and people of the provinces of Nanggroe Aceh Darussalam and Nias Islands, North Sumatra, Jakarta, Indonesia.
Gordon, A.M . , 1990, Drinking water microbiology, University of Wisconsin, New York. Hiriart, M.M., León, S.P., Vidal, Y. L., Macías, P. I., Fernández, R.I. and Falconi, F.Q., 2008, Microbiological implications of periurban agriculture and water reuse in Mexico City.Plos One. 3(5). e2305. Kusnaedi , 2000, Mengolah air gambut dan air kotor untuk air minum (Manage turf and waste water as drinking water), Penebar Swadaya, Jakarta. Local Environmental Impact Management Agency (BAPELDALDA) and National Nuclear Energy Agency of Indonesia (BATAN) , 2007,.Isu pencemaran air sumur di daerah Tsunami (Issue contamination well in land Tsunami). Serambi Indonesia. Nanggroe Aceh Darusalam. Indonesia. Mardiatno, D and Junun, S. , 2006, Tsunami impact on soil and well condition. Geophysical Research Abstracts, European Geosciences Unions. 8: 58- 60. Personne, J.C., Poty, F., Vaute, L and Droque, C. ,1998,Survival, ransport and dissemination of Escherichia coli and enterococci in Fissured Enviroment. Journal of Applied Microbiology. 84:431-438. Robertson, J and Edberg, S.C., 1997, Natural protection of spring and well drinking water against surface microbial contamination. Critical Reviews in Microbiology, 23(2): 143178.
23
Staff of the Medical Faculty of Indonesia University , 1994,Mikrobiologi kedokterran (Medicine microbiology). Bina Rupa Aksara, Jakarta. Spelman, F.R., 1997, Microbiology for water/wastewateroperators.Technomic Publishing Company, Inc. Lancaster, USA. Viklund, P and Welander, S., 2007, Tools for improved water quality monitoring, sanitation and safe use of human excreta in agriculture. Master thesis, Luleå University of Technology.Bolivia. World Health Organization, 2006a, Guidelines for drinking water quality, 3rd edition, World Health Organization Press, Switzerland. World Health Organization, 2006b, Protecting ground water for health: managing the quality of drinkingwater sources, World Health Organization, USA
24
PERUBAHAN TUTUPAN KARANG DI MEDIA CORAL RUBBLE UNTUK TUJUAN REHABILITASI TERUMBU KARANG DI PULAU ACEH Edi Rudi 1, Sayyid Afdhal Elrahmi2 1 2
Staf Pengajar Fakultas FMIPA Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, email:
[email protected] Staf Pengajar Koordinatorat Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala
Abstract - Pulau Aceh coral reef reefs, which are located in westernmost Indonesia, give important ecological services for local communities. The catastrophic tsunami in December 2004 caused degradation of marine resources around Pulau Aceh. Using coral rubble as a media for coral recruitment is an alternative strategy in order to rehabilitate degraded coral reefs. This research was conducted at three sites (Calog Semani, Pase Busuk and Luen Balee) in the coral reef ecosystem of Pulau Aceh, from May to October 2007. Changing of coral cover at rubble media was used to investigate the effectiveness of the media for rehabilitation purposes. Data were collected by using line intercept transects (LIT) at two levels of water depth. It was found that the mean of hard coral covers were variable among the site and tend to increase. The results suggested that coral rubble media can be used as a media for rehabilitation purpose. Keywords: rehabilitation, coral reef, coral rubble, recruitment, Pulau Aceh
I. PENDAHULUAN Ekosistem terumbu karang di wilayah utara Aceh adalah salah satu yang mengalami degradasi karena adanya perbuatan manusia yang tidak ramah lingkungan, seperti penangkapan ikan dengan metode yang merusak (destructive fishing) dan penangkapan ikan berlebih (over fishing) serta sedimentasi dari daratan. Adanya penangkapan ikan dengan metode yang merusak di wilayah ini diperoleh dari informasi langsung melalui masyarakat di lapangan dan terlihat juga dari bekas-bekas pengeboman. Hasil pengamatan Baird et al. (2005) dan Campbell et al. (2005) memperlihatkan bahwa terumbu karang Pulau Aceh khususnya berada dalam ancaman dengan kondisi penutupan karang keras <10% serta keragaman dan biomassa ikan karang yang rendah terutama bila dibandingkan dengan Pulau Weh. Namun demikian, Campbell et al. (2006) dan didukung hasil pengamatan Rudi et al. (2007) memperlihatkan bahwa potensi pulihnya ekosistem terumbu karang di Pulau Aceh cukup tinggi karena banyaknya
karang baru (rekrut) yang ditemukan pada perairan yang dangkal (1-3 m) akibat banyaknya substrat batu. Sebaliknya, pada perairan lebih dalam dari 6 m selain kondisi karang rusak parah, juga sedikit ditemukan rekrut karang yang hidup akibat substrat perairan dipenuhi oleh pecahanpecahan karang (rubble) atau substrat yang ada berupa hamparan pasir. Bila kondisi ini dibiarkan, maka pemulihan terumbu karang di Pulau Aceh sulit terjadi sebab menurut Fox (2004), coral rubble dapat menyebabkan kematian rekrut karang setelah terjadi penempelan (post settlement mortality), sehingga tidak akan terjadi pemulihan ekosistem walaupun dalam waktu yang lama. Untuk itu dikembangkan penelitian dengan tujuan untuk mengkaji penggunaan media pecahan karang (coral rubble) sebagai terumbu karang buatan dan melihat pengaruhnya terhadap perubahan persentase tutupan karang dan kelimpahan ikan-ikan karang. II. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di tiga stasiun pengamatan yang terletak di sisi
25
timur Pulau Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Stasiun 1 di Calog Semani dengan posisi 5040’083” LU dan 95008’521” BT, Stasiun 2 di Pase Busuk dengan posisi 5041’300” LU dan 95007’695” BT dan Stasiun 3 di Luen Balee dengan posisi 5044’098” LU dan 95004’017” BT (Gambar 1). Hasil yang diperoleh pada ketiga stasiun pengamatan dibandingkan dengan lokasi berdekatan dengan karakteristik yang mirip, namun tidak mendapatkan perlakukan. Identifikasi rekrut (juvenil) karang dilakukan dengan berpedoman pada Babcock et al. (2003).
ke media rubble di kedalaman 3-4 m dan lima buah untuk kedalaman 6-8 m setiap bulannya. Substrat diikatkan dengan menggunakan tali plastik tise melalui lubang yang dibuat di masing-masing sudut substrat. Pengambilan substrat dilakukan sekali dalam sebulan selama lima bulan, lalu dilakukan penggantian dengan substrat baru yang akan diambil satu bulan berikutnya. Semua substrat yang telah ditempatkan selama sebulan, kemudian dipindahkan ke media yang baru berupa kumpulan coral rubble yang telah ditempatkan di dalam jaring sehingga lebih kokoh dan stabil. Adapun ukuran kumpulan coral rubble adalah dengan panjang 20 m, dengan lebar 1 m serta tinggi 0,5 m di dua kedalaman perairan. Penilaian kondisi terumbu karang dilakukan berdasarkan metode transek garis (line intercept transect, LIT) terhadap bentuk pertumbuhan benthik. Pengamatan secara perlahan-lahan menyusuri transek sambil melakukan mencatat data untuk semua bentuk kategori pertumbuhan benthik sehingga diperoleh persentase tutupan masing-masing kategori (English et al., 1997; Hill dan Wilkinson, 2004). III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 1. Lokasi penelitian di Pulau Aceh: 1 Luen Balee-1, 2 Luen Balee 3 Leupung, 4 Pasee Busuk, 5 Calog Seumani dan 6 Deudap. Lokasi 1 – 6 untuk pengamatan LIT dan 2, 4, 5 untuk rekrutmen karang.
Penempatan kolektor rekrutmen karang. Penelitian rekrutmen karang dilakukan menggunakan substrat batu kapur (Rudi et al., 2005) berukuran 10x10x2 cm3 yang diikatkan pada suatu kerangka besi berbentuk persegi panjang yang ditanam secara kuat di dasar perairan dengan kedalaman 2-3 m. Jumlah substrat untuk masing-masing lokasi adalah 10 buah, yaitu lima buah untuk dipindahkan
26
Hasil pengamatan selama lima bulan (Juni-Oktober 2007) diperoleh tiga famili dengan tujuh genera spesies rekrut karang yang terdiri dari Acropora spp. dan Montipora digitata (Acroporidae), Pocillopora damicornis, Seriatopora hystrix, Stylophora pistillata (Pocilloporidae), Porites sp. dan Goniastrea sp. (Poritidae). Rerata kepadatan rekrut karang yang didapatkan pada substrat penempelan selama pengamatan adalah berkisar antara 1,8–6,9 koloni/substrat penempelan, dengan rerata tertinggi diperoleh di stasiun Luen Balee pada bulan Oktober, sedangkan terendah di Calog Semani pada bulan September (Gambar 2). Namun
Kelimpahan (koloni/substrat)
secara umum, bila dilihat perbandingan antar stasiun, maka nilai yang tertinggi adalah di stasiun Luen Balee, sedangkan yang terendah adalah di stasiun Pase Busuk. Hasil pengamatan secara umum mengambarkan rendahnya rekrutmen karang di wilayah yang kualitas airnya kurang bagus terutama rendahnya kecerahan perairan seperti yang terjadi di Pase Busuk. 8 7
Juni
6
Juli
5
Agustus
4
September
3
Oktober
2 1 0 Calog Semani
Pase Busuk
Luen Balee
Stasiun
Kepadatan (Jumlah Koloni/m 2)
Gambar 2. Kelimpahan rekrut karang di stasiun pengamatan. 12 10
Deudap Calog Semani
8
Pase Busuk
6
Leupung
4
Luen Balee Luen Balee-1
2 0 1 Waktu Pengamatan
Gambar 3. Kelimpahan rekrut karang di habitat alami sekitar stasiun pengamatan.
Kualitas air di stasiun Pase Busuk relatif kurang mendukung bagi kehidupan organisme karang yang antara lain kecerahan perairan yang rendah dan kandungan nitrat dan posfat yang lebih tinggi dibandingkan stasiun yang lainnya (data tidak dipublikasikan). Menurut Szmant (2003), rendahnya kecerahan perairan dapat membunuh karang dewasa dan juga menghalangi terjadinya rekrutmen karang baru di ekosistem terumbu karang. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa reproduksi karang secara umum di sekitar wilayah penelitian Pulau Aceh berlangsung
sepanjang tahun, walaupun memperlihatkan adanya fluktuasi nilai. Pemijahan sepanjang tahun ini merupakan tipikal organisme wilayah tropis secara umum. Fluktuasi terjadi karena adanya puncak-puncak pemijahan pada waktuwaktu tertentu, yaitu diperkirakan mirip dengan yang terjadi di wilayah yang berdekatan dan sudah dilakukan peneltian, misalnya untuk hewan karang yang ada di Singapura sebagaimana dilaporkan oleh Guest et al. (2005) bahwa waktu pemijahan massal karang di wilayah itu terjadi dua kali dalam setahun, yaitu dengan puncaknya pada bulan Maret-April dan diikuti dengan bulan OktoberNovember. Pengamatan terhadap rekrut karang yang ditemukan pada habitat alami, terutama pada substrat yang keras memperlihatkan perbedaan antar enam lokasi pengamatan. Nilai tertinggi diperoleh pada stasiun Deudap dengan kelimpahan 9,94 koloni/m2, sedangkan terendah di Luen Balee 1 dengan kelimpahan 5,25 koloni/m2 (Gambar 3). Tingginya kelimpahan rekrut karang di lokasi penelitian menunjukkan bahwa potensi rehabilitasi ekosistem terumbu karang di Pulau Aceh cukup tinggi bila ditinjau dari ketersediaan larva dan rekrut karang yang sukses atau ditemukan di habitat alami. Namun demikian, kebanyakan substrat yang ada di Pulau Aceh adalah dalam kondisi tidak stabil karena berupa pecahan-pecahan karang (coral rubble) sehingga apabila penempelan larva terjadi pada tempat ini, dipastikan sulit untuk tumbuh sampai dewasa, bahkan pada umumnya akan mengalami kematian pasca penempelan. Banyak coral rubble yang terdapat di perairan pulau Aceh tidak hanya akibat kejadian tsunami tahun 2004 silam, namun jauh sebelumnya perairan ini menjadi tempat praktik illegal fishing dan cenderung terjadinya over fishing, termasuk di dalamnya pemakaian bom dan
27
40
Aceh Island 30 20
Luen B alee 1
P as e B us uk
Lapeung
Deudap
0
Luen B alee
10
Calog S em ani
P ercent C over
50
Gambar 4. Persentase penutupan karang keras (± SE) di enam stasiun pengamatan Pulau Aceh
28
Persentase penutupan karang keras yang terdiri dari hard coral (Acropora) dan hard coral (non-Acropora) merupakan acuan dalam menentukan kondisi terumbu karang. Dari hasil yang didapatkan, maka terumbu karang di Pulau Aceh semuan termasuk dalam kategori jelek sesuai dengan Gomez dan Yap (1998). Rendahnya penutupan karang diharapkan mampu segera diatasi dengan adanya penambahan karang-karang baru ke dalam ekosistem sehingga terumbu karang akan didominasi kembali oleh karang keras. Hasil penelitian dengan memanfaatkan coral rubble sebagai media tumbuhnya karang memperlihatkan perubahan penutupan karangnya dengan semakin lamanya waktu pengamatan di kedalaman 3 meter, peningkatan yang paling tinggi terjadi di stasiun Calog Semani dan Luen Balee (Gambar 5). Hasil yang diperoleh mengindikasikan bahwa coral rubble yang dikumpulkan dan telah ditempeli oleh anakan (juvenile) karang mampu untuk tumbuh dan menambah ukuran koloninya dari waktu ke waktu. Pada akhir pengamatan tutupan karang keras di Calog Semani mencapai 15,7%, dan di Luen Balee adalah 16,8%, sedangkan di stasiun Pasee Busuk adalah 12,1%. Hasil yang diperoleh ini memperlihatkan bahwa penjaringan coral rubble dan membuat kondisi substrat yang kokoh menjadi media yang efektif untuk pertumbuhan karang-karang baru dan juga karang muda yang sudah tumbuh pada media coral rubble tersebut. Kedalaman 3 meter Persentase Karang Keras
sianida untuk penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Dengan kondisi Pulau Aceh yang merupakan perairan terbuka dan dapat diakses siapa saja (open access), maka kerusakan yang dialami oleh ekosistemnya terutama terumbu karang sangat luar biasa dan kondisinya termasuk jelek akibat penutupan karang kerasnya yang kurang dari 25% (Baird et al., 2005). Pemulihan dapat terjadi apabila penyebab kerusakan dapat dikurangi dan proses alamiah penempelan larva karang berlangsung dengan baik dan pada substrat yang tepat. Pengamatan terhadap kondisi terumbu karang di sekitar lokasi pengamatan dengan menggunakan metode LIT (Line Intercept Transect) di dua kedalaman perairan untuk mendata kondisi benthik dasar perairan dengan mengamati bentuk pertumbuhan dan bentuk hidupnya, maka hasilnya dapat dilihat pada Gambar 4. Secara umum terdapat perbedaan antar lokasi dalam hal penutupan karang keras (hard coral). Penutupan karang keras yang paling tinggi ditemukan pada stasiun Deudap yaitu sebesar 21,12%, sedangkan terendah adalah di Luen Balee dengan penutupan sebesar 3,55%.
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
Juni Agustus Oktober
Calog Semani
Pase Busuk Stasiun
Luen Balee
Persentase Karang Keras
Kedalaman 6 meter 16 14
Tinggi yang telah memberikan bantuan dana penelitian di tahun 2007.
12 10
DAFTAR PUSTAKA
Juni
8
Agustus
6
Oktober
4
Babcock,
2 0 Calog Semani
Pase Busuk
Luen Balee
Stasiun
Gambar 5. Perubahan penutupan karang keras pada media rubble di dua kedalaman perairan.
Peningkatan penutupan karang keras juga terjadi di kedalaman 6 meter, yang paling tinggi terjadi di stasiun Calog Semani dan Luen Balee, sedangkan di Pasee Busuk cenderung stabil terutama sampai pengamatan kedua. Pada akhir pengamatan tutupan karang keras di Calog Semani mencapai 14,7%, dan di Luen Balee adalah 14,3 %, sedangkan di Pasee Busuk adalah 11,1 %. Hasil yang diperoleh ini memperlihatkan bahwa penggunaan coral rubble menjadi media yang efektif untuk pertumbuhan karangkarang baru sehingga dapat dijadikan sebagai strategi alternatif dalam rehabilitasi terumbu karang di Pulau Aceh. IV. KESIMPULAN Proses rekrutmen karang di lokasi penelitian Pulau Aceh berlangsung sepanjang tahun dengan adanya fluktuasi bulanan dan perbedaan kelimpahan rekrut antar lokasi. Persentase penutupan karang di media rubble menunjukkan variasi antar lokasi dengan nilai yang semakin tinggi dengan semakin lama waktu pengamatan. Rekrutmen karang dengan cara memanfaatkan menjaring pecahan karang (rubble) dapat dijadikan salah satu strategi alternatif dalam rehabilitasi ekosistem terumbu karang Pulau Aceh. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada BRR NAD-Nias Satker Pendidikan
R.C., Baird, A.H., Piromvaragorn S., Thomson, D.P. and Willis, B.L. 2003. Identification of Scleractinian coral recruits from Indo-Pacific reefs. Zoological Studies 42: 211-226
Baird, A.H., Campbell, S.J., Anggoro, A.W., Ardiwijaya, R.L., Fadli, N., Herdiana, Y., Kartawijaya, T., Mahyiddin, D., Mukminin, A., Pardede, S.T., Pratchett, M.S., Rudi, E. and Siregar, A.M. 2005. Acehnese reefs in the wake of the Asian Tsunami. Current Biology 16: 1926-1930 Campbell, S.J., Pratchett, M.S., Anggoro, A.W., Ardiwijaya, R.L., Fadli, N., Herdiana, Y., Kartawijaya, T., Mahyiddin, D., Mukminin, A., Pardede, S.T., Rudi, E., Siregar, A.M. and Baird, A,H. 2005. Disturbance to coral reef in Aceh, Northern Sumatera. Atoll Research Bulletin 544: 55 – 78 Campbell, S.J., Ardiwijaya, R.L., Kartawijaya, T., Herdiana, Y. and Setiawan, F. 2006. Baseline survey, coral reef ecology at Weh and Aceh Island. WCS-Marine Program, Bogor. English, S., Wilkinson, C. and Baker, V. 1997. Survey manual for tropical marine resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Fox, H.E. 2004. Coral recruitment in blasted and unblasted sites in Indonesia: Assessing rehabilitation potential. Marine
29
Ecological Progress Series (269): 131-139 Gomez, E.D. and Yap, H.T. 1998. Monitoring coral reef condition. Di dalam: Kenchington, R.A. dan Hudson, B.E.T. (Eds). Coral reef management hand book. UNESCO, Jakarta. Guest, J.R., Baird, A.H., Goh, B.P.L. and Chou, L.M. 2005. Reproductive seasonality in an equatorial assemblage of scleractinian corals. Coral Reef (24): 112-116 Hill, J. and Wilkinson, C. 2004. Methods for ecological monitoring of coral reefs. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Richmond, R.H. and Hunter, C.L. 1990. Reproduction and recruitment in corals: comparisons among the Caribbean, the Tropical Pacific, and the Red Sea. Marine Ecological Progress Series (60): 185-203 Rudi, E., Soedharma, D., Sanusi, H. dan Pariwono, J.I. 2005. Affinitas penempelan larva karang (Skleraktinia) pada substrat keras. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia MSP IPB. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 12 (2): 129137 Rudi, E., Elrahimi, S.A., Irawan, S., Valentino, R.A., Surikawati, Yulizar, Munandar, Kartawijaya, T., Herdiana, Y., Setiawan, F., Rizal, S., Pardede, S.T. and Campbell, S.J. 2007. Post Tsunami status of Coral Reef and Fish in Northern Aceh. CORDIO Report, Banda Aceh. Szmant, A.M. 2002. Nutrient enrichment on coral reefs: is it a major cause
30
of coral reef decline? Estuaries (25): 743-766.
KEANEKARAGAMAN JENIS KUPU-KUPU PIERIDAE DI KAWASAN WISATA SUNGAI SARAH ACEH BESAR PASCA TERJADINYA BENCANA TSUNAMI Suwarno, Syibral Fuadi dan Abdul Hadi Mahmud Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Abstract - Research on the Pierid butterflies in the tourism area of Sarah River, Aceh Besar was carried out from May to June 2011. The aim of this study was to determine the relative frequency, relative abundance, and species diversity of Pierid butterflies in Sarah River, Aceh Besar. This research was conducted by using exploratory survey method. Butterflies were caught by using an insect net during exploration. In this research, seven genus and 15 species of Pierid butterflie were found. The species with the highest number of individual and relative frequency were Appias lyncida, followed by Catopsilia pomona and Eurema hecabe. The diversity index of Pierid butterflies in the Sarah river obtained was Ĥ = 1.864. Keywords : Pierid butterflies, Diversity, Sarah River
I. PENDAHULUAN Keragaman hayati Indonesia yang terhimpun dalam ekosistem hutan tropika jumlahnya mencapai 47 tipe ekosistem. Dengan berbagai keanekaragaman hayati yang berbeda dan latar belakang bervariasi, dunia menetapkan Indonesia sebagai salah satu dari 12 negara megabiodiversitas. Keragaman fauna Indonesia yang sangat berlimpah merupakan modal dasar bagi pembangunan nasional yang dapat dimanfaatkan bagi kemakmuran bangsa. Pemanfaatan keragaman fauna ini harus memperhatikan aspek kelestarian sehingga keanekaragaman tersebut tetap terjaga. Salah satu jenis keragaman fauna Indonesia adalah kupu-kupu. Kecantikan dan keindahan kupukupu menjadi daya tarik tersendiri bagi kolektor, seniman dan ilmuwan (Noerdjito dan Aswari, 2003; Corbert and Pendlebury, 1992). Banyak penelitian telah dilakukan oleh para ilmuwan tentang kupu-kupu dari aspek biologi, fisiologi, ekologi, taksonomi, dan penyebaran (Borror et al., 1996). Lebih dari 2.500 jenis kupu-kupu terdapat di Indonesia dan beberapa jenis
diantaranya dilindungi sebagai satwa langka (Noerdjito dan Aswari, 2003). Aini (2000) melaporkan terdapat tujuh famili kupu-kupu (Danaidae, Hesperidae, Lychaenidae, Nymphalidae, Papilionidae, Pieridae, dan Satyridae) di Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan, Aceh Besar. Familia Pieridae merupakan salah satu kelompok kupu-kupu yang umum dijumpai. Habitat kupu-kupu ini tersebar mulai dari kawasan padang rumput, semak belukar, hutan sekunder bahkan hutan primer (Corbert and Pendlebury, 1992). Tanaman inang dari kupu-kupu familia Pieridae ini sangat bervariasi. Larva dari kupu-kupu ini bisa memakan rumputrumputan, tumbuhan herba, semak bahkan sampai kelompok pohon di hutan (Otsuka, 2001). Informasi tentang Pieridae yang yang terdapat di Aceh, masih sangat terbatas. Oleh karena itu dilakukan penelitian tentang keragaman jenis kupukupu dari familia Pieridae di kawasan wisata Sungai Sarah, Aceh Besar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang kupu-kupu Pieridae yang terdapat di kawasan wisata Sungai Sarah dan upaya-upaya konservasi sehingga
31
dapat dijadikan sebagai objek dalam pengembangan ekoturisme kawasan wisata tersebut. II. METODE PENELITIAN Pengkoleksian Kupu-kupu Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei eksploratif. Pengkoleksian kupu-kupu dilakukan dengan metode transek (Pollard, 1975; Dahelmi et al., 2009; Salmah et al., 2002; Suwarno et al., 1997). Transek dibuat sepanjang 2 km di wisata Sungai Sarah. Kupu-kupu ditangkap menggunakan jaring serangga. Pengkoleksian kupu-kupu dilakukan mulai pukul 08.00 sampai 17.00 wib (Prayuda, 2010; Dahelmi et al., 2009; Salmah et al., 2002), setiap dua hari sekali dari bulan Mei sampai Juni 2011. Kupu-kupu yang tertangkap diambil dengan hati-hati dari jaring serangga dan bunuh dengan cara menekan pada bagian dadanya. Selanjutnya, sayap kupu-kupu dilipat ke atas dan dimasukkan ke dalam kertas segitiga. Kupu-kupu yang sudah dimasukkan ke dalam kertas segitiga dimasukkan ke dalam kotak koleksi supaya tidak rusak atau patah. Setelah itu sampel yang didapat dibawa ke laboratorium untuk dibuat spesimen keringnya untuk selanjutnya diidentifikasi. Pembuatan Spesimen Kupu-kupu Metode dalam pembuatan spesimen kupu-kupu ini merujuk pada metode yang digunakan oleh Dahelmi et al. (2009), Suwarno (2009) dan Salmah et al. (2002). Kupu-kupu yang terdapat dalam kertas segitiga dikeluarkan satu persatu dengan hati-hati. Setelah dikeluarkan, kemudian kupu-kupu ditusuk thoraknya dengan jarum serangga (insect pin) atau jarum pentul. Selanjutnya sayap kupu-kupu direntangkan diatas papan perentang. Sayap diatur sedemikian rupa sehingga sayap ini tidak patah dan menjadi indah. Kupu-kupu yang telah dipin pada papan perentang dikeringkan dalam oven dengan
32
suhu 50oC selama satu minggu. Setelah kering kupu-kupu diidentifikasi, disimpan dalam kotak koleksi dan diberi label. Dalam kotak koleksi diberi kapur barus sebagai pengawet dan mencegah serangan semut dan organisme perusak lainnya Identifikasi Sampel Kupu-kupu yang telah dijadikan spesimen kering selanjutnya diidentifikasi dengan melihat ciri-ciri utama pengidentifikasian seperti bentuk tubuh secara umum, warna, sebaran warna, bentuk dan venasi sayap serta ciri lainnya (Corbet and Pendlebury, 1992). Identifikasi dilakukan di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Unsyiah dengan menggunakan acuan Fleming (1975), Tsukada and Nishiyama (1982), Corbet and Pendlebury (1992), Borror et al. (1996), Otsuka (2001), dan Salmah et al. (2002). Parameter Penelitian Parameter yang akan diamati dalam penelitian ini adalah jumlah jenis dan jumlah individu masing-masing jenis kupu-kupu yang tertangkap. Sebagai parameter pendukung, dilakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara. Analisis Data Komposisi jenis kupu-kupu yang didapat akan dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabel dan gambar. Perhitungan terhadap nilai frekuensi relatif, kelimpahan relatif, dan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener kupukupu di kawasan wisata Sungai Sarah, dilakukan dengan rumus sebagai berikut: a. Frekuensi Relatif (Suin, 2002 dan Cox, 1976) Frekuensi suatu jenis × 100% FR = Frekuensi seluruh jenis b. Kelimpahan Relatif (Suin, 2002 dan Cox, 1976)
KR =
Jlh indiv. suatu jenis × 100% Jlh indiv. seluruh jenis
c. Indeks Keanekaragaman Untuk memperoleh Indeks Keanekaragaman kupu-kupu dihitung dengan menggunakan rumus ShannonWiener (Odum, 1993) yaitu: H = −∑ Pi ln Pi dimana : H = Indek keanekaragaman spesies Pi = ni/ N ni = Jumlah individu panda spesies ke-i N = Total jumlah individu seluruh spesies III. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Jenis Kupu-kupu Hasil pengkoleksian kupu-kupu familia Pieridae yang telah dilakukan di kawasan Wisata Sungai Sarah ditemukan sebanyak 14 jenis yang tergolong ke dalam tujuh genus. Terjadi peningkatan terhadap jumlah jenis dari familia ini dibandingkan pemantauan pada tahun 2007 dan 2009 yang dilakukan oleh Luthfi (2010) yang hanya menemukan masing-masing sebanyak 5 dan 11 jenis. Jumlah jenis dan individu yang tertangkap di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis-jenis kupu-kupu dari familia Pieridae yang ditemukan di Sungai Sarah No Jenis Jlh indiv. 1 2 Appias albina 2 3 Appias libythea 3 38 Appias lyncida 4 9 Catopsilia pomona 5 3 Catopsilia scylla 6 1 Delias hyparate 7 1 Eurema ada 8 1 Eurema andersonii 9 2 Eurema blanda 10 Eurema hecabe 7 11 Eurema lacteola 7 12 Gandaca harina 1 13 Hebomoia glaucippe 3 14 Leptosia nina 1
Peningkatan terhadap jumlah jenis dari Pieridae yang ditemukan diduga karena terjadinya suksesi tumbuhan inang dari berbagai jenis kupu-kupu yang tergolong ke dalam familia Pieridae ini pasca bencana tsunami. Beberapa tumbuhan yang menjadi tanaman inang dari Pieridae yang banyak tumbuh di kawasan ini adalah dari kelompok Caecalpinaceae, Leguminoceae, Lorantaceae dan Mimosaceae. Selain itu banyaknya tumbuhan berbunga yang menjadi makanan kupu-kupu dewasa juga menjadi salah satu faktor banyaknya jenis kupu-kupu dari familia Pieridae ini didapatkan. Menurut Noerdjito dan Amir (1991), bunga-bunga tumbuhan merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis kupukupu. Bunga yang paling sering dikunjungi oleh kupu-kupu biasanya berwarna cerah dan terang. Lokasi pengambilan sampel yang berupa semak belukar dan terbuka merupakan habitat yang sangat disenangi oleh kupu-kupu dari kelompok Pieridae ini. Kawasan semak belukar ini merupakan kawasan hutan yang sudah beralih fungsi menjadi perkebunan masyarakat, namun pada saat penelitian dilaksanakan kawasan ini tidak ditanami dan terbiar sehingga banyak tumbuh semak belukar. Adanya aliran sungai menjadikan kawasan ini menjadi lebih sejuk. Kondisi ini juga sangat disukai oleh banyak jenis kuipukupu. Menurut Whalley (1992), kupu-kupu lebih menyukai kawasan terbuka, seperti semak belukar, daerah hutan yang banyak celahnya dan tumbuhan yang sedang berbunga. Kingsolver (1985), melaporkan kupu-kupu umumnya memerlukan suhu tubuh 28-37˚C untuk melakukan aktifitas secara optimal, sedangkan kelembaban relatif udara 60-75%. Selanjutnya menurut Salmah et al. (2002), beberapa jenis kupukupu famili Papilionidae, Pieridae dan Nymphalidae sering terlihat dan terbang di sepanjang aliran sungai.
33
Jenis Appias lyncida merupakan jenis yang paling banyak didapatkan. Hal ini diduga karena tanaman inang dari familia ini tersebar merata di sepanjang lokasi penelitian, khususnya di kawasan semak belukar. Larva dari kupu-kupu A. lyncida ini memakan berbagai macam jenis tumbuhan herbaceus yang banyak terdapat di lokasi. Frekuensi dan Kelimpahan Relatif Frekuensi Relatif tertinggi jenis kupu-kupu yang tertangkap adalah Appias lyncida (100%), diikuti oleh Catopsilia pomona dan Eurema hecabe masingmasing sebesar 47%. Tingginya frekuensi relatif ketiga jenis kupu-kupu ini didukung oleh berbagai faktor, antara lain adalah tersedianya tumbuhan sebagai sumber pakan dan kondisi lingkungan, khususnya suhu dan kelembaban relatif udara yang sesuai. Leucaena glauca yang merupakan makanan larva bagi C. pomona tersebar merata di sepanjang Sungai Sarah, begitu juga dengan dan beberapa jenis tumbuhan Leguminoceae lainnya yang merupakan tanaman inang dari A. lyncida dan E. hecabe. Peggie dan Amir (2006) menyatakan, setiap jenis kupu-kupu memilih tumbuhan inang tertentu sebagai sumber pakan bagi larva. Selanjutnya Suwarno (2009) melaporkan bahwa kandungan nutrisi tanaman inang mempengaruhi pertumbuhan dan kelulushidupan dari larva. Nilai kelimpahan relatif tertinggi terdapat pada jenis A. lyncida (48.10%), diikuti oleh C. pomona (11.39%) dan E. hecabe (8.86%). Femomena yang sama juga didapatkan oleh Luthfi (2010). Tingginya kerapatan bunga Lantana camara, Stachytarpheta indica, dan Mimosa spp. merupakan salah satu faktor tingginya kelimpahan ketiga jenis kupukupu di atas. Selain ketersediaan makanan bagi ketiga jenis ini, perilaku berbagai jenis dari Pieridae yang suka melakukan pudling
34
behaviour juga menjadi fenomena yang menarik. Beberapa jenis yang selalu terlihat melakukan pudling diantaranya adalah A. lyncida, A. libythea, C. pomona, C. scylla, E. hecabe, dan E. lacteola. Indeks Keanekaragaman Jenis Analisis indeks keanekaragaman jenis (H’) menunjukkan nilai 1,864. Berdasarkan kisaran indeks keanekaragaman menurut Odum nilai indeks keragaman jenis kupu-kupu dari familia Pieridae ini tergolong rendah. Odum (1993) mengklasifikasikan indeks keragaman ini ke dalam tiga katagori yaitu rendah (H’ ≤ 2), sedang (2,0 < H’ > 3) dan tinggi (H’ ≥ 3). Rendahnya nilai indeks keanekaragaman ini diduga karena kelimpahan jenis A. lyncida jauh lebih tinggi dibanding 13 jenis lainnya. Komponen-komponen yang mempengaruhi besar kecilnya nilai indeks keanekaragaman adalah jumlah jenis, jumlah individu masing-masing jenis dan jumlah total individu. Dengan jumlah jenis hanya 13 dan adanya dominansi dari salah satu jenis mengakibatkan keanekaragaman menjadi rendah. Namun demikian, nilai indeks keragaman jenis ini akan dapat berubah seiring dengan perubahan komposisi jenis dan sebaran atau kelimpahan masing-masing jenis. Perubahan ini tentunya akan sangat tergantung pada perubahan kondisi habitat kupu-kupu tersebut. IV. KESIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1. Terjadi peningkatan jumlah jenis kupu-kupu dari familia Pieridae mulai dari tahun 2007, 2009 sampai 2011. 2. Kupu-kupu familia Pieridae yang tertangkap terdiri dari lima genus dan 14 spesies. 3. Jenis yang paling banyak dan paling sering ditemukan adalah Appias
4.
lyncida, diikuti oleh Catopsila pomona dan Eurema hecabe. Indeks keanekaragaman jenis kupukupu Pieridae yang tertangkap di kawasan Sungai Sarah tergolong rendah yaitu 1,864. DAFTAR PUSTAKA
Annual Review Entomology. 28: 407453. Kingslover, JG. 1985. Thermal ecology of Pieris butterflies (Lepidoptera: Pieridae) : a new mechanism of behavioral thermoregulation. Oecologia 66: 540-545.
L. 2000. Keanekaragaman Rhopalocera Diurnal di Taman Hutan Raya Cut Nyak Dhien Seulawah, Aceh Besar. Skripsi. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
Luthfi. 2010. Keanekaragaman Jenis Kupu-Kupu di Kawasan Wisata Sarah Kecamatan Leupung, Aceh Besar. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Yayasan Teungku Chik Pante Kulu.
Borror, D.J., Triphelon, C.A., and Johnson, N.F. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Terjemahan dari Introduction to The Studi of Insects, oleh S. Partosoedjono, Gajah Mada Press, Yogyakarta.
Noerdjito, WA., Amir, M. 1991. Kekayaan Kupu-kupu di Cagar Alam Bantimurung Sulawesi Selatan. Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor.
Aini,
Corbet, A.S., and Pendlebury, H.M. 1992. The Butterflies of The Malay Peninsula 2nd ed. British Museum. Tweeddale Court. Edinburgh, London. Cox, C.W. 1976. Laboratory Manual of General Ecology. WMC, Brown Corp Publisher, Iowa. Dahelmi., Salmah, S., dan Primaldavi, I. 2009. Kupu-kupu di Pulau Marak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Proc. Seminar dan Rapat Tahunan BKS-BTN Wilayah Barat ke-21. Padang. Fleming, WA. 1975. Butterflies of West Malaysia and Singapore. Volume Two. Second Edition. Longeman, Kuala Lumpur. Kevan, PG., Baker, HG. 1983. Insect As Flowers Visitors and Pollinators.
Noerdjito, WA., Aswari, P. 2003. Metode Survei dan Pemanfaatan Populasi Satwa. Seri keempat: Kupu-kupu Papilionidae. Puslitbang Biologi, CV. Putra Nusantara, Bogor. Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ketiga. Terjemahan dari Fundamental of Ecology Third Edition, oleh Tjahjono Samingan. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Otsuka, K. 2001. A fiel Guide to the Butterflies of Borneo and South East Asia. Hornbill books- adivision of iwase bookshop Sdn. Bhd, Malaysia. Pedigo, L.P. 2002. Entomology Pest Management. Fourth Edition. Pearson Education, New Delhi. Peggie dan Amir, M. 2006. Panduan Praktis Kupu-kupu di Kebun Raya Bogor. Bidang Zoologi, LIPI Cibinong.
35
Pollard, E. 1975. A Methods for Asessing Changes in the Abundance of Butterflies. Biological Conservation (12): 116-134.
Island. Vol. 1, Papilionidae. Translate into English by Morishita, K and Kaneko, M. Plapac co.ltd. Tokyo, Japan.
Prayuda, D. 2010. Jenis-jenis Kupu-kupu di Taman Nasioanal Kerinci Seblat Resort Bukit Reges Kecamatan Tapus Kabupaten Lebong, Bengkulu. Skripsi. FMIPA Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Whalley, P, 1992, Kupu-kupu dan Ngengat. Seri EyeWitness. (diterjemahkan oleh S. Syahdan, dari Butterflies and Moths ). PT. Bentara Antar Asia, Jakarta.
Salmah S., Abbas I., dan Dahelmi. 2002. Kupu-kupu Papilionidae di Taman Nasional Kerinci Seblat. Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta. Suin,
M.I. 2002. Metode ekologi. Universitas Andalas, Padang.
Suwarno. 2009. Studies on Some Biological and Ecologycal Aspects of Papilio polytes L. (Lepidoptera; Papilionidae) and Papilio demoleus L. (Lepidoptera: Papilionidae) on Rutaceous Hots Plants. Thesis. Universiti Sains Malaysia, Penang. Suwarno., A.H. Mahmud., D. Kurniasih., D. Oesman., Djufri (1997). Inventarisassi Kupu-kupu (Butterfly) di kota Madya Sabang Guna Upaya pengembangan dan Pelestariannya. Laporan Hasil Penelitian. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Suwarno, Che Salmah, M. R., Abu Hassan, A., and Norani, A. 2007. Effect Of Different Host Plants On The Life Cycle Of Papilio Polytes L. (Lepidoptera: Papilionidae) (Common Mormon Butterfly). Jurnal Biosains. 18(1): 35–44. Tsukada, E., and Nishiyama, Y. 1982. Butterflies of the South East Asian
36
PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA SEJARAH PUSAT KOTA BANDA ACEH, PROVINSI ACEH Syarifah Maulidya, SP Jurusan Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Kampus IPB Darmaga, Jl. Raya Darmaga, Bogor, Jawa Barat Email:
[email protected]
Abstract - This research was done in Banda Aceh City Centre, Aceh Province. Banda Aceh City is one of the historical place that comprises elements since the Kingdom of Aceh period. This place has many historical sites that can serve as historical attractions. However, the historical sites do not provides appropriate facility for visitors, especially for interpretation. The purpose of this research was to create landscape planning for historical tourism and to provide an appropriate landscape for interpretation and comfortness in Banda Aceh City Centre. This research used Gold method (1980) based on activity and historical tourism approach, and also used qualitative and quantitative analysis to define the strength and the weakness of the site. The proposed tourism planning concept was the historical tourism planning that help the activity of interpretation for visitor, and it introduced the values of historical and cultural in Banda Aceh City. This basic concept of the tourism planning was derived into space plan, circulation plan, tourism facilities plan, greenery plan, trip for touring plan and interpretation plan. The final result of this study was landscape plan. Keywords: Aceh Province, Historical Sites, The Centre of Banda Aceh City, Tourism Landscape Planning
I. PENDAHULUAN Kota Banda Aceh merupakan ibukota dari provinsi Aceh. Dahulu kota ini bernama Kutaraja yang kemudian pada tanggal 28 Desember 1962, kota ini berubah nama menjadi Banda Aceh. Saat ini, Kota Banda Aceh telah berumur 805 tahun (Arif, 2008). Pusat Kota Banda Aceh memiliki banyak situs sejarah pada masa sejarah tertentu. Hal tersebut mengharuskan pemerintah kota untuk dapat menjaga situs peninggalan sejarah yang ada pada kota tersebut. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan pada situssitus sejarah tersebut menjadi kawasan wisata sejarah Pusat Kota Banda Aceh. Saat ini, situs-situs sejarah tersebut merupakan objek wisata sejarah di Pusat Kota Banda Aceh yang sering dikunjungi. Akan tetapi, pengunjung baik wisatawan lokal maupun wisatawan asing mengunjungi situs-situs sejarah tersebut secara terpisah, sehingga pengunjung belum mendapatkan pengalaman dan
pengetahuan sejarah secara optimal, terutama alur sejarah Pusat Kota Banda Aceh. Oleh karena itu, perlu adanya perencanaan situs-situs sejarah ini menjadi suatu kawasan wisata sejarah yang berada di Pusat Kota Banda Aceh. Tujuan umum dari penelitian ini adalah menyusun perencanaan lanskap kawasan wisata sejarah di Pusat Kota Banda Aceh untuk memberikan interpretasi dan kenyamanan wisata sejarah secara optimal. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis unit lanskap sejarah sesuai karakter dan periode sejarah. 2. Mengidentifikasi dan menganalisis potensi daya tarik wisata sejarah. 3. Mengidentifikasi dan menganalisis pendukung wisata sejarah. 4. Menentukan konsep lanskap wisata dan merencanakan jalur interpretasi lanskap kawasan wisata sejarah di Pusat Kota Banda Aceh.
37
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Kota Banda Aceh beserta pihak yang terkait dalam mengembangkan lanskap kawasan wisata sejarah Pusat Kota Banda Aceh, serta sarana pendidikan dan menambah wawasan mengenai sejarah Pusat Kota Banda Aceh, baik bagi masyarakat Aceh maupun Bangsa Indonesia, serta bangsa-bangsa lainnya.
printer, scanner dan program komputer (AutoCAD 2006, CorelDraw X4, Adobe Photoshop CS3, Google SketchUp, Microsoft Word 2007 dan Microsoft Excel 2007).
Gambar 1. Kerangka pikir penelitian (Sumber: RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029)
II. METODE PENELITIAN Kegiatan penelitian ini dilakukan di Pusat Kota Banda Aceh, Kecamatan Baiturrahman, tepatnya mencakup tiga kampung, yaitu Kampung Baru, Peuniti dan Sukaramai. Tapak ini terletak di bagian tengah Kota Banda Aceh. Luas Kecamatan Baiturrahman adalah 453,9 Ha, sedangkan luas tapak penelitian adalah 73,5 Ha (Gambar 2). Penelitian ini dilakukan sejak pelaksanaan penelitian hingga penyusunan laporan akhir penelitian (skripsi) yang berlangsung dari bulan Februari 2011 hingga bulan Oktober 2011. Bahan dan alat yang digunakan dalam proses inventarisasi adalah peta dasar, alat tulis, alat gambar, kamera digital, laptop, printer, scanner, catatan dan studi pustaka. Bahan dan alat yang digunakan dalam proses pengolahan data adalah alat tulis, alat gambar, laptop, 38
Gambar 2. Lokasi penelitian Penelitian ini merupakan studi perencanaan lanskap kawasan wisata sejarah untuk mendukung berlangsungnya kegiatan wisata pada kawasan wisata sejarah Pusat Kota Banda Aceh. Produk penelitian ini merupakan bentuk perencanaan lanskap wisata berupa rencana lanskap beserta deskripsi dan rencana jalur interpretasi. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode Gold (1980) berdasarkan pendekatan aktivitas dan sumberdaya wisata sejarah, dengan tahapan penelitian: 1. Persiapan, pada tahap ini dilakukan penetapan tujuan, penyusunan usulan penelitian dan permohonan izin penelitian pada instansi pemerintahan daerah. 2. Inventarisasi, pada tahap ini dilakukan pengambilan data primer melalui survei
an objek sejarah E. Atraksi seni dan budaya
memiliki keutuhan kurang dari 30% Terdapat satu jenis atraksi seni dan budaya
keutuhan 3080%
keutuhan lebih dari 80%
Terdapat dua sampai lima jenis atraksi seni dan budaya
Terdapat lebih dari enam atraksi seni dan budaya
(Sumber: Nurisjah dan Pramukanto, 2001)
Tabel 2. Kriteria penilaian pendukung wisata sejarah. 3. Analisis dan Sintesis, analisis yang dilakukan meliputi: Analisis dengan metode skoring dilakukan untuk mendapatkan lokasi dengan nilai tertinggi yang potensial. Analisis ini mencakup analisis potensi daya tarik objek dan atraksi wisata sejarah dan analisis pendukung wisata sejarah, dengan kriteria penilaian dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Krite ria Penilai an F. Aksesi bilitas dan sirkula si menuju elemen lanskap sejarah
Akses jalan kurang mendukung (kondisi jalan yang sempit, beraspal, tetapi di beberapa tempat ada yang mengalami kerusakan dan tidak terdapat pedestrian), sehingga kurang mudah untuk menuju elemen lanskap sejarah
G. Inform asi dan promos i
Informasi dan promosi tentang elemen lanskap sejarah kurang jelas dan tidak mejadi program wisata
H. Aktivit as wisata
Terdapat satu jenis variasi aktivitas wisata sejarah
I. Kunjun gan wisata wan
Kunjungan wisatawan ke elemen lanskap sejarah sedikit
J. Fasilita s wisata untuk interpr etasi
Terdapat satu jenis fasilitas wisata untuk interpretasi
Tabel 1. Kriteria penilaian potensi daya tarik objek dan atraksi wisata sejarah. Krite ria Penilai an A. Nilai sejarah
B. Keunik an objek sejarah C. Keaslia n objek sejarah
D. Keutuh
1 (kurang sesuai untuk area wisata sejarah) Terdapat elemen lanskap sejarah yang mendukung objek sejarah dan terkait dengan peristiwa sejarah Terdapat objek sejarah dengan nilai keunikan lokal Terdapat objek sejarah yang memiliki keaslian kurang dari 30% Objek sejarah
Skor 2 (cukup sesuai untuk area wisata sejarah)
Terdapat elemen lanskap sejarah yang bukan BCB dengan nilai sejarah dalam skala lokal
Terdapat objek sejarah dengan keunikan nasional
3 (sesuai untuk area wisata sejarah) Terdapat elemen lanskap sejarah yang merupakan BCB dan objek wisata sejarah dengan nilai sejarah dalam skala nasional dan internasional Terdapat objek sejarah dengan keunikan internasional
Terdapat objek sejarah yang memiliki keaslian 3080%
Terdapat objek sejarah yang memiliki keaslian lebih dari 80%
Objek sejarah memiliki
Objek sejarah memiliki
1 (kurang sesuai untuk area wisata sejarah)
Skor 2 (cukup sesuai untuk area wisata sejarah) Akses jalan cukup mendukung (kondisi jalan yang lebar, beraspal, tidak rusak, tetapi tidak terdapat pedestrian) , sehingga cukup mudah untuk menuju elemen lanskap sejarah Informasi dan promosi tentang elemen lanskap sejarah cukup jelas, tetapi belum menjadi program wisata Terdapat dua sampai lima jenis aktivitas wisata sejarah Kunjungan wisatawan ke elemen lanskap sejarah sedang Terdapat dua sampai lima jenis fasilitas wisata untuk interpretasi
3 (sesuai untuk area wisata sejarah) Akses jalan sangat mendukung (jalan raya, kondisi jalan yang lebar, beraspal, tidak rusak, ada pedestrian), sehingga sangat mudah untuk menuju elemen lanskap sejarah
Informasi dan promosi tentang elemen lanskap sejarah sangat jelas dan sudah menjadi program wisata
Terdapat lebih dari enam jenis aktivitas wisata sejarah Kunjungan wisatawan ke elemen lanskap sejarah banyak Terdapat lebih dari enam jenis fasilitas wisata untuk interpretasi
39
K. Pelesta rian/ pengel olaan wisata
Tidak terdapat aktivitas pelestarian/ pengelolaan terhadap elemen lanskap sejarah
L. Kebija kan pemeri ntah
Kawasan yang kurang mendukung kawasan cagar budaya
Terdapat perencanaa n aktivitas pelestarian/ pengelolaan dengan perkemban gan lingkungan yang mendukung terhadap elemen lanskap sejarah Kawasan yang sangat mendukung kawasan cagar budaya dalam upaya pelestarian yang ditetapkan oleh kebijakan pemerintah
Terdapat aktivitas pelestarian/ pengelolaan dengan baik dan intensif terhadap elemen lanskap sejarah
Kawasan cagar budaya yang ditetapkan dan dipertahankan dengan adanya kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pelestarian dan pengembanga n wisata
(Sumber: Gunn, 1997)
• Analisis spasial merupakan analisis yang dilakukan dengan spasialisasi hasil skoring yang kemudian dioverlay terhadap peta-peta unit lanskap sejarah, sehingga mendapatkan tata ruang unit lanskap sejarah untuk pelestarian kawasan, serta tata ruang potensi daya tarik wisata sejarah dan pendukung wisata untuk kawasan wisata sejarah. • Analisis deskriptif merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui unit lanskap sejarah, potensi daya tarik objek dan atraksi wisata sejarah, serta pendukung wisata yang mencakup fasilitas pendukung, kebijakan atau dukungan pemerintah mengenai pelestarian dan pengembangan wisata, potensi pengunjung, persepsi masyarakat dengan membuat penjelasan secara deskriptif, dimana kondisi fasilitas pendukung yang ada pada tapak mencakup akomodasi, transportasi, toko dan restaurant, hotel dan tempat 40
penginapan, parkir kendaraan, serta fasilitas pendukung lainnya. Hasil analisis yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk peta dan deskriptif. Hasil ini kemudian akan dilanjutkan ke tahap sintesis. Pada tahap sintesis akan diperoleh pengembangan tapak yang akan digunakan untuk menentukan konsep dasar dan pengembangan konsep. Hasil dari pengembangan konsep tersebut berupa rencana blok (block plan). Penentuan konsep dasar dan pengembangan konsep ini akan dijadikan sebagai acuan dalam perencanaan kawasan Pusat Kota Banda Aceh ini. 4. Perencanaan, tahap ini merupakan tahapan yang mengacu pada rencana blok untuk menentukan pengembangan yang akan dilakukan dalam menata kawasan wisata sejarah Pusat Kota Banda Aceh. Pada tahap ini, akan menghasilkan suatu produk Arsitektur Lanskap berupa rencana lanskap tergambar (landscape plan) dan rencana tertulis pada kawasan wisata sejarah ini yang meliputi rencana ruang, sirkulasi, fasillitas, tata hijau, jalur interpretasi dan touring plan pada kawasan wisata sejarah Pusat Kota Banda Aceh. III. HASIL DAN PEMBAHASAN DATA TAPAK Aspek Kesejarahan Kawasan Sejarah Kota Banda Aceh Kota Banda Aceh banyak memiliki periode-periode sejarah, dimana terdapat empat periode sejarah yang paling menonjol karena periode tersebut merupakan periode yang menyebabkan terjadinya perubahan yang signifikan dalam sejarah arsitektur Kota Banda Aceh. Empat periode tersebut adalah masa Kerajaan Aceh, masa Kolonial Belanda, masa Pascakolonial/ Kemerdekaan RI, serta masa peristiwa dan pasca peristiwa gelombang tsunami. Kota Banda Aceh memiliki hari jadi yang ditetapkan jatuh
pada 22 April 1205, bertepatan dengan didirikannya istana Kerajaan Aceh pada tahun 1205. Salah satu raja Aceh yang sangat terkenal dengan pemerintahannya adalah Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa pemerintahannya, ia banyak mendirikan bangunan dan taman, seperti Taman Putroe Phang, Gunongan dan Mesjid Raya Baiturrahman yang dibangun pada tahun 1612. Ia sangat peduli pada masalah pelestarian alam dan lingkungan. Belanda masuk ke Banda Aceh pertama kali pada tanggal 5 April 1873 yang dipimpin oleh Jendral Kohler. Pada saat pertempuran tersebut, Belanda tidak dapat menembus pertahanan Kerajaan Aceh, sehingga Belanda membakar Mesjid Raya Baiturrahman. Sebagai upaya rekonsiliasi tekanan perlawanan rakyat Aceh, pada tahun 1877, Belanda merencanakan membangun kembali Mesjid Raya Baiturrahman. Desain mesjid baru dirancang oleh arsitek Belanda bernama De Bruins. L. P. Luycks. Pembangaunan mesjid baru ini dimulai pada tanggal 9 Oktober 1879 dan selesai pada tanggal 27 Desember 1881. Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, pemerintah daerah berperan dalam membangun Aceh dan berupaya mengembalikan citra warisan Kerajaan Aceh dengan memberi nama dan gelar yang diambil dari khazanah masa lalu kota ini. Pada tahun 1948, Bung Karno datang ke Banda Aceh meminta bantuan rakyat Aceh membeli pesawat terbang untuk misi diplomasi RI ke luar negeri, sehingga Bung Karno memberi gelar Aceh dengan “Aceh Daerah Modal”. Ada empat gubernur Aceh yang memiliki peran penting dalam pembangunan Kota Banda Aceh, yaitu Ali Hasjmy, Ibrahim Hasan, Syamsuddin Mahmud dan Abdullah Puteh. Pada masa kepemimpinan empat gubernur ini, dilaksanakannya pengembangan terhadap Mesjid Raya Baiturrahman, Menara Modal dan Monumen Pesawat RI 001 Seulawah, serta pengembangannya lebih menekankan
pada hubungan antar situs-situs yang ada, sehingga menjadi landmark Kota Banda Aceh (Arif, 2008). Peristiwa gempa bumi dan gelombang tsunami terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Salah satu kawasan yag ikut terkena gelombang tsunami adalah Kecamatan Baiturrahman. Setelah peristiwa tsunami, pada kawasan ini dilakukan perbaikan dan pengembangan terhadap bangunan yang mengalami kerusakan, terutama situs-situs sejarah. Selain itu, juga dilakukan pembangunan terhadap bangunan yang berhubungan dengan peristiwa tsunami, seperti Museum Tsunami Aceh. Elemen Lanskap Sejarah Elemen lanskap sejarah pada tapak merupakan peninggalan sejarah dari masa Kerajaan Aceh, masa Kolonial Belanda dan masa Kemerdekaan RI (Tabel 3). Beberapa elemen sejarah yang ada pada tapak merupakan kawasan cagar budaya yang dilindungi. Menurut Pasal 49 tahun 2009 Qanun Kota Banda Aceh, kawasan cagar budaya mencakup Mesjid Raya Baiturrahman, Museum Aceh, Gunongan, Taman Putroe Phang, Pendopo, Kerkhof Peutjoet, Pintoe Khop, Makam Sultan Iskandar Muda, Museum Tsunami Aceh dan Lapangan Blang Padang (Dinas Pekerjaan Umum Bidang Tata Kota Banda Aceh, 2009). Tabel 3. Elemen sejarah pada Pusat Kota Banda Aceh. Periode Peninggalan Sejarah Masa Kerajaan Aceh (tahun 1205-1873) Masa Kolonial Belanda (tahun 1873-1945) Masa Kemerdeka
Elemen Sejarah
Taman Putroe Phang Makam Sultan Iskandar Muda Mesjid Raya Baiturrahman Pasar Aceh Pendopo Museum Aceh Mesjid Raya Baiturrahman Pemakaman Belanda Kawasan Militer Mesjid Raya Baiturrahman Lapangan Blang Padang
41
an RI (tahun 1945sekarang)
Museum Tsunami Aceh Taman Sari Taman Budaya Kawasan Pemukiman Penduduk
Aspek Fisik Tapak Pusat Kota Banda Aceh berada Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh. Objek-objek peninggalan sejarah Pusat Kota Banda Aceh berada di Kecamatan Baiturrahman, tepatnya di tiga kampung, yaitu Kampung Baru, Peuniti dan Sukaramai. Dari segi penggunaan lahan, kawasan yang berada di tiga kampung ini merupakan kawasan budidaya yang mencakup kawasan cagar budaya, open space, perdagangan, kawasan penggunaan khusus, kawasan militer, serta kawasan permukiman. Kawasan ini memiliki aksesibilitas yang cukup baik dan mudah dicapai dengan sistem jaringan sirkulasi yang baik. Transportasi di kota ini memiliki jaringan pelayanan dalam dan luar kota. Akses menuju kawasan Pusat Kota Banda Aceh ini sangat mudah dan juga terdapat banyak jalan yang menuju kawasan ini. Hal ini dikarenakan kawasan ini berada di pusat kota. Akses jalan yang sering digunakan masyarakat dan pengunjung menuju kawasan ini, yaitu Jalan Teuku Umar, Jalan Teuku Chik Ditiro, Jalan Sultan Iskandar Muda dan Jalan Diponegoro, dengan kondisi jalan beraspal, lebar dan memiliki jalur pedestrian. Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat Kota Banda Aceh memiliki kehidupan sosial dan budaya yang relatif tinggi dan didasari oleh Agama Islam. Hal ini dapat dilihat dari adat istiadat, kesenian dan kehidupan masyarakatnya sehari-hari. Masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi nilai dan ajaran Agama Islam. Dari prinsip hidup masyarakat Aceh ini menjadi salah satu faktor penyebab istilah daerah Aceh sebagai Serambi Mekkah. Kesenian tradisional masyarakat Aceh memiliki identitas yang religius, komunal, 42
demokratik dan heroik. Kesusasteraan Aceh terdapat dalam Bahasa Aceh dan Melayu yang dipengaruhi oleh Bahasa Arab. Pakaian sehari-hari masyarakat Aceh disesuaikan dengan prinsip ajaran Islam, yaitu memakai pakaian yang menutup aurat. Tatakrama kehidupan masyarakat Aceh merupakan hal yang sangat penting yang harus diketahui oleh orang pendatang. Orang pendatang yang masuk ke sebuah perkampungan harus mematuhi peraturan yang berlaku dan melaporkan diri kepada Kepala Kampung untuk saling berkenalan. Atraksi seni dan budaya yang hingga saat ini masih dilakukan dan dilestarikan oleh masyarakat, mencakup makanan khas Aceh, alat musik khas Aceh, tarian tradisional, musik dan lagu tradisional, pakaian tradisional masyarakat Aceh, ritual perkawinan adat Aceh, kerajinan tangan khas Aceh, serta berbagai macam festival dan perayaan acara khusus di Kota Banda Aceh yang telah menjadi program wisata “Visit Banda Aceh 2011” yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh. Masyarakat asli di daerah ini sangat mengetahui sejarah yang pernah terjadi di Kota Banda Aceh, terutama elemen sejarah dan perkembangannya dari masa lalu sampai saat ini, sehingga masyarakat turut menjaga, melindungi dan melestariakn elemen sejarah dan atraksi budaya yang ada pada kawasan ini. Aspek Kepariwisataan Kawasan Pusat Kota Banda Aceh memiliki beberapa objek serta daya tarik yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan dalam kegiatan wisata. Daya tarik dan objek wisata tersebut memiliki nilai penting yang berkaitan dengan sejarah dan budaya Kota Banda Aceh. Objekobjek wisata sejarah tersebut terdapat pada enam kawasan unit lanskap sejarah, yaitu kawasan Taman Putroe Phang, kawasan Pendopo, kawasan Mesjid Raya
Baiturrahman, kawasan Blang Padang, kawasan Pemakaman Belanda dan kawasan Museum Tsunami. Adapun objek yang berada di sekitar kawasan Pusat Kota Banda Aceh, terdiri dari Taman Putroe Phang (Gunongan, Kandang dan Pintoe Khop), Pendopo, Makam Sultan Iskandar Muda, Museum Aceh (Rumah Tradisional Aceh, Cakra Donya dan Makam Sultan Aceh dari Dinasti Goa Bugis), Mesjid Raya Baiturrahman dan Menara Modal, Lapangan Blang Padang (Monumen Pesawat RI 001 Seulawah, Tugu Peringatan Tsunami dan Tugu Aceh Thanks The World), Pemakaman Belanda (Kerkhoff Peutjoet) dan Museum Tsunami Aceh. Salah satu objek wisata sejarah di kawasan ini yang sangat terkenal dan banyak dikunjungi oleh para wisatawan adalah Mesjid Raya Baiturrahman yang memiliki struktur bangunan yang artistik dan monumental dengan halaman yang luas (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh, 2011). Atraksi wisata yang ada pada tapak berupa atraksi seni dan budaya Aceh yang mencakup makanan khas Aceh, alat musik khas Aceh, tari tradisonal Aceh, musik dan lagu tradisional Aceh, pakaian tradisional masyarakat Aceh, ritual pernikahan dan perkawinan adat Aceh, kerajinan tangan atau souvenir khas Aceh, pemutaran film atau dokumentasi sejarah Kota Banda Aceh, serta festival dan perayaan suatu acara di Kota Banda Aceh. Atraksi seni dan budaya ini sering dilakukan sesuai dengan jadwal kalender acara Banda Aceh setiap tahunnya. Beberapa tempat wisata yang sering diadakan atraksi ini adalah Taman Budaya, Taman Putroe Phang, Taman Sari, Mesjid Raya Baiturrahman, Pasar Aceh, Lapangan Blang Padang dan Museum Tsunami Aceh. Selain itu, pada kawasan wisata ini juga diadakan festival atau suatu perayaan acara setiap bulannya dalam satu tahun yang juga diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh.
Aspek Pengelolaan Kawasan Wisata Kebijakan Pemerintah Kota Banda Aceh Berdasarkan Qanun Kota Banda Aceh, Bab IV tentang Rencana Pola Ruang Kota, Pasal 58 tahun 2009 tentang kawasan pariwisata menjelaskan bahwa salah satu pengembangan kawasan pariwisata meliputi wisata budaya dan sejarah, wisata tsunami, wisata kuliner, serta wisata konvensi. Pengembangan kawasan wisata sejarah diarahkan di kawasan Mesjid Raya Baiturrahman, Kompleks Museum Aceh, Gunongan, Taman Putore Phang, Pintoe Khop, Pendopo, Kerkhof Peutjoet, serta Makam Sultan Iskandar Muda. Pengembangan kawasan wisata budaya diarahkan untuk pengembangan kegiatan miniatur Aceh, pameran pembangunan, pasar seni, RTH, kawasan wisata budaya dan kawasan resapan air. Selain itu, Qanun Kota Banda Aceh, Pasal 69 tahun 2009 juga menjelaskan tentang salah satu kawasan strategis kota yang memiliki pengaruh penting dalam pengembangan sosial budaya masyarakat dan pelestarian cagar budaya adalah kawasan Mesjid Raya Baiturrahman dan sekitarnya. Analisis dan Sintesis Unit Lanskap Sejarah Analisis unit lanskap sejarah dilakukan secara spasial yang mencakup (a) area bersejarah; (b) tata guna lahan; (c) periode sejarah; (d) aksesibilitas dan sirkulasi. Analisis ini berhubungan dengan usaha pelestarian objek sejarah yang diterapkan pada tapak dan dikaitkan dengan aktivitas wisata pada pengembangan kawasan wisata sejarah.
43
A
Tabel 4. Analisis potensi daya tarik objek dan atraksi wisata sejarah dengan metode scoring. Elemen Lanskap Sejarah A 3
B
C
Kriteria Penilaian B C D 3 3 3
E Taman Putroe Phang 1 (Gunongan dan Kandang) Taman Putroe Phang (Pintoe 3 3 3 3 2 Khop) Pendopo, Makam Sultan 3 3 3 3 2 Iskandar Muda, Museum Aceh Mesjid Raya Baiturrahman 3 3 3 3 3 Lapangan Blang Padang 3 3 3 3 3 Pemakaman Belanda 3 3 3 3 1 Museum Tsunami Aceh 3 3 3 3 3 Kawasan Taman Budaya 1 1 2 2 3 Kawasan Pasar Aceh 2 2 2 2 3 Kawasan Taman Sari 2 2 2 2 3 Kawasan Militer 1 1 2 2 1 Kawasan Permukiman 1 1 1 1 1 Keterangan: A: nilai sejarah; B : keunikan objek sejarah; C : keaslian objek sejarah; D : keutuhan objek sejarah; E : atraksi seni dan budaya.
Pendukung Wisata Analisis ini dilakukan berdasarkan tata guna lahan. Analisis ini berhubungan dengan pengembangan wisata sejarah yang dapat diterapkan pada pengembangan konsep perencanaan tapak. Tabel 5. Analisis pendukung wisata dengan metode scoring.
D
Gambar 3. Analisis spasial unit lanskap sejarah Potensi Daya Tarik Objek dan Atraksi Wisata Sejarah Analisis ini dilakukan berdasarkan tata guna lahan. Analisis ini berhubungan dengan pengembangan wisata sejarah yang dapat diterapkan pada pengembangan konsep perencanaan tapak.
44
Elemen Lanskap Sejarah Taman Putroe Phang (Gunongan dan Kandang) Taman Putroe Phang (Pintoe Khop) Pendopo, Makam Sultan Iskandar Muda, Museum Aceh Mesjid Raya Baiturrahman Lapangan Blang Padang Pemakaman Belanda Museum Tsunami Aceh Kawasan Taman Budaya Kawasan Pasar Aceh Kawasan Taman Sari Kawasan Militer Kawasan Permukiman
Kriteria Penilaian H I J
F
G
K
L
3
3
2
3
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
3
2
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
3
3
3
3
2
2
3
3
3
3
3
2
2
2 1
2 1
1 1
2 1
1 1
2 2
2 2
Keterangan: A: aksesibilitas dan sirkulasi menuju elemen lanskap sejarah; B : informasi dan promosi; C : aktivitas wisata; D : kunjungan wisatawan; E : fasilitas wisata untuk interpretasi; F : pelestarian/ pengelolaan wisata; G : kebijakan pemerintah.
Berdasarkan analisis unit lanskap sejarah, analisis potensi daya tarik wisata sejarah dan analisis pendukung wisata, maka didapatkan sintesis tapak yang dapat dilihat pada Gambar 4 dengan penjelasannya pada Tabel 9, dimana kategori ruang rendah berkisar skor 12 sampai 19, kategori ruang sedang berkisar skor 20 sampai 27 dan kategori ruang tinggi berkisar skor 28 sampai 36. Tabel 6. Total skor dan kategori ruang dari analisis potensi daya tarik wisata sejarah dan pendukung wisata Elemen Lanskap Sejarah Taman Putroe Phang (Gunongan dan Kandang) Taman Putroe Phang (Pintoe Khop) Pendopo, Makam Sultan Iskandar Muda, Museum Aceh Mesjid Raya Baiturrahman Lapangan Blang Padang Pemakaman Belanda Museum Tsunami Aceh Kawasan Taman Budaya Kawasan Pasar Aceh Kawasan Taman Sari Kawasan Militer Kawasan Permukiman
Total Skor
Kategori Ruang
32
Tinggi
35
Tinggi
35
Tinggi
36
Tinggi
36 34 36 25 29 30 19 14
Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Rendah Rendah
sehingga keterkaitan antar elemen wisata tersebut dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 7. Rencana ruang, aktivitas dan fasilitas wisata Ruang Ruang Objek Wisata 188.591 m² 26%
Ruang Transisi 58.670 m² 8% Ruang Pelayana n 475.578 m² 64%
Ruang Penerim aan 11.738 m² 2%
Aktivitas Mengamati dan mempelajari nilai sejarah, interpretasi, meilhat objek sejarah, berfoto, merasakan suasana, beribadah dan berziarah Jalan-jalan, menikmati suasana dan pemandangan, beristirahat singkat Membeli cinderamata atau souvenir khas Aceh, menikmati suasana, beristirahat, duduk-duduk, makan dan minum, mencari informasi, menikmati atraksi berupa seni dan budaya, jalanjalan Memarkir kendaraan, membeli tiket dan registrasi, mencari informasi mengenai objek dan atraksi wisata, jalan-jalan dan menikmati suasana
Fasilitas Papan informasi, papan interpretasi, jalur interpretasi, rest area, name sign, tempat duduk, lampu dan tempat sampah
Shelter, tempat duduk, jalan (jalan kendaraan dan jalan pedestrian), papan informasi
Toko cinderamata dan souvenir, gezebo, shelter, tempat duduk, kafetaria, papan informasi, toilet, mushalla, fasilitas untuk atraksi wisata, seperti amphitheater atau tempat pertunjukan, kantor pengelola
Gerbang kawasan wisata sejarah, area parkir kendaraan, tempat registrasi dan penjualan tiket, papan informasi, pusat informasi
Rencana ruang, sirkulasi dan fasilitas pada tapak yang diterapkan pada rencana lanskap kawasan wisata sejarah Pusat Kota Banda Aceh dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 4. Kesesuaian sebagai ruang wisata sejarah Perencanaan Kawasan Wisata Sejarah Rencana Ruang, Sirkulasi dan Fasilitas Rencana ruang, aktivitas dan fasilitas wisata saling berkaitan satu sama lain,
Gambar 5. Rencana blok
45
Rencana Tata Hijau Tata hijau pada perencanaan kawasan wisata ini lebih ditekankan pada tata hijau yang memiliki fungsi sebagai penguat identitas dan karakter kawasan (tanaman lokal). Rencana tata hijau yang diterapkan pada perencanaan kawasan wisata sejarah ini akan disesuaikan dengan pemilihan jenis dan fungsi vegetasi dengan ruang wisata. Vegetasi yang digunakan adalah vegetasi yang memiliki fungsi penguat identitas (A), estetika (B), pembatas (C), peneduh (D) dan pengarah (E), dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 8. Rencana ruang, jenis vegetasi dan fungsi vegetasi Ruang Objek Wisata
Transisi
Jenis Vegetasi Ki Hujan Asam Kurma Beringin Saga Tanjung Lotus Glodokan Tiang Bawangbawangan Spider Lily
A √ √ √ √ √ √ √
√ √
Pangkas Kuning Cempaka Asam Spider Lily
√ √ √
√ √ √
√ √
√ √ √ √
Teh-tehan
√
Pangkas Kuning
√
√
Spider Lily
Pangkas Kuning Cempaka Asam Soka
√ √ √ √
√ √ √ √
Sumber: Lestari G, 2008 dan Soerotaroeno, 2009
Rencana Lanskap Wisata Sejarah Rencana lanskap merupakan produk akhir dari peneilitian ini. Produk akhir ini dihasilkan dari beberapa rencana yang
46
Rencana Jalur Interpretasi Rencana jalur interpretasi dikembangkan berdasarkan konsep interpretasi menurut periode waktu perkembangan sejarah Kota Banda Aceh, yaitu masa Kerajaan Aceh, masa Kolonial Belanda dan masa Kemerekaan RI. Jalur interpretasi pada kawasan ini terdapat pada ruang objek wisata dan ruang transisi, di mana jalur tersebut berupa jalan untuk kendaraan dan jalan untuk pejalan kaki. Jalur interpretasi dibagi menjadi empat alternatif. Keempat jalur alternatif tersebut dapat melalui akses masuk dan keluar dari Jalan Teuku Umar dan Jalan Teuku Chik Ditiro.
√
Soka
Penerim aan
√ √ √
Soka
Cempaka Asam Tanjung
E
√
Soka Pelayana n
Fungsi Vegetasi B C D √ √
telah dijelaskan sebelumnya, yaitu rencana ruang wisata, rencana sirkulasi, rencana fasilitas, rencana tata hijau, rencana perjalanan wisata dan rencana interpretasi wisata. Rencana lanskap wisata sejarah Pusat Kota Banda Aceh dapat dilihat pada Lampiran.
Gambar 6. Jalur interpretasi sejarah masa Kerajaan Aceh Keterangan: Objek Wisata Utama: 2= Taman Putroe Phang (Gunongan dan Kandang/Makam); 3= Taman Putroe Phang (Pintoe Khop); 4= Pendopo; 5= Kompleks Makam Sultan Iskandar Muda; 6= Museum Aceh; 7= Mejid Raya Baiturrahman;
Obek Wisata Pendukung: 1= Taman Budaya; 8= Pasar Aceh; 9= Taman Sari
Gambar 7. Jalur interpretasi sejarah masa Kolonial Belanda Keterangan: Objek Wisata Utama: 1= Pendopo; 2= Museum Aceh; 3= Mesjid Raya Baiturrahman; 5= Pemakaman Belanda Objek Wisata Pendukung: 4= Pasar Aceh; 6= Taman Sari
Gambar 8. Jalur interpretasi sejarah masa Kemerdekaan RI Keterangan: Objek Wisata Utama:
2= Mesjid Raya Baiturrahman; 4= Lapangan Blang Padang; 5= Museum Tsunami Aceh Objek Wisata Pendukung: 1= Taman Sari; 3= Pasar Aceh
Gambar 9. Jalur interpretasi sejarah Kota Banda Aceh secara keseluruhan Keterangan: Objek Wisata Utama: 2= Taman Putroe Phang (Gunongan dan Kandang/Makam); 3= Taman Putroe Phang (Pintoe Khop); 4= Pendopo; 5= Kompleks Makam Sultan Iskandar Muda; 6= Museum Aceh; 7= Msejid Raya Baiturrahman; 9= Pemakaman Belanda; 10= Lapangan Blang Padang; 11= Museum Tsunami Objek Wisata Pendukung: 1= Taman Budaya; 8= Pasar Aceh; 12= Taman Sari
IV. KESIMPULAN Kawasan Pusat Kota Banda Aceh layak dijadikan sebagai kawasan wisata sejarah karena banyak terdapat elemen sejarah dari masa Kerajaan Aceh sampai masa Kemerdekaan RI. Analisis yang dilakukan pada elemen sejarah tersebut mencakup analisis unit lanskap sejarah, potensi daya tarik wisata sejarah, serta pendukung wisata. Kawasan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai potensi untuk dijadikan suatu kawasan wisata sejarah dengan memperhatikan wilayah administrasi, tata guna lahan, aksesibilitas dan sirkulasi, serta unit lanskap sejarah.
47
Berdasarkan analisis potensi daya tarik wisata sejarah, dihasilkan tiga kategori ruang yang mencakup ruang tinggi, ruang sedang dan ruang rendah. Elemen lanskap sejarah yang termasuk ruang tinggi, yaitu Taman Putroe Phang, Pendopo, Makam Sultan Iskandar Muda, Museum Aceh, Mesjid Raya Baiturrahman, Lapangan Blang Padang, Pemakaman Belanda, Museum Tsunami Aceh. Elemen lanskap sejarah yang termasuk ruang sedang, yaitu Taman Budaya, Pasar Aceh dan Taman Sari. Sedangkan elemen lanskap sejarah yang termasuk ruang rendah, yaitu kawasan militer dan pemukiman. Berdasarkan analisis pendukung wisata, dihasilkan dua kategori ruang yang mencakup ruang tinggi dan ruang rendah. Elemen lanskap sejarah yang termasuk ruang tinggi, yaitu Taman Putroe Phang, Pendopo, Makam Sultan Iskandar Muda, Museum Aceh, Mesjid Raya Baiturrahman, Lapangan Blang Padang, Pemakaman Belanda, Museum Tsunami Aceh, Taman Budaya, Pasar Aceh dan Taman Sari. Sedangkan elemen lanskap sejarah yang termasuk ruang rendah, yaitu kawasan militer dan pemukiman. Dari hasil analisis unit lanskap sejarah, potensi daya tarik wisata sejarah, serta pendukung wisata, diperoleh kesesuaian ruang wisata secara deskriptif dan spasial yang dapat digunakan untuk menyusun tata ruang wisata sejarah pada pengembangan konsep. Konsep dasar perencanaan, yaitu menelusuri alur sejarah Kota Banda Aceh untuk mengenal nilai sejarah kota dan budaya masyarakat yang penuh perjuangan dalam mencapai kejayaan. Perencanaan jalur interpretasi dikembangkan menjadi jalur wisata sejarah yang sesuai dengan periode perkembangan sejarah. Rencana lanskap wisata sejarah Pusat Kota Banda Aceh ini menghubungkan ruang-ruang wisata dengan jalur dan fasilitas interpretasi secara efisien dan efektif, di mana fasilitas wisata untuk kenyamanan
48
wisata dan RTH sebagai identitas, kenyamanan dan keindahan pada kawasan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Arif K. A. 2008. Ragam Citra Kota Banda Aceh: Interpretasi sejarah, Memori Kolektif dan Arketipe Arsitekturnya. Pustaka Bustanussalatin. Aceh. Dinas Pekerjaan Umum Bidang Tata Kota Banda Aceh. 2009. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029. Aceh. Gold S. M. 1980. Recreation Planning and Design. The McGraw-Hill Companies, Inc. USA. Lestari G, Kencana IP. 2008. Galeri Tanaman Lanskap. Penebar Swadaya. Jakarta. Nurisjah S, Pramukanto Q. 2003. Daya Dukung dalam Perencanaan Tapak. Departemen Arsitektur Lanskap Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soerotaroeno I. H. 2009. Tanaman Hias Indonesia. Penebar Swadaya. Jakarta.
Studi Sosial Ekonomi Masyarakat Di Sekitar Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Studi Kasus Desa Agusan Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues Tasliati Djafar Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Iskandarmuda
Abstract -Communities surrounding The National Park of Lauser Mountain, especially Agusan Village is a community that meet their daily needs from agriculture and livestock sector by using conventional . management . It drives poverty and underdevelopment their lives. The result showed that Characteristics of the population was 50.61% of productive age, the average education level of primary school graduates, 6 (six) of dependents of family in average. Types of livelihoods in Agunan village was farmers and plantation estates around 97.44% with an average income of Rp. 4.5 million per year. Income and education levels are relatively lower than other areas leading to negative impact on the preservation of The National Park of Leuser Mountain, which exists around settlements. Keywords : The National Park of Lauser Mountain, Agusan Village ,
I. PENDAHULUAN Hutan sangat penting bagi kehidupan manusia baik untuk kelestarian sumber daya alam maupun untuk memenuhi kebutuhan perumahan dan lapangan kerja dan akan berguna bagi kehidupan generasi yang akan datang. Pembangunan dan peningkatan kelestarian sumber daya alam hutan dan kelangsungan fungsi serta mutu lingkungan hidup dan peningkatan fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan perlu terus diupayakan pelestarian. Taman Nasional dikembangkan sesuai dengan fungsi kawasan lindung pengelolaannya harus berdasarkan kepada asas-asas konservasi. Di samping itu karena Taman Nasional mengandung nilainilai yang dapat dikembangkan bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat maka taman nasional dikelola pula dengan pendekatan asas-asas pemanfaatan. Sebagai aturan umum, prioritas pertama harus mementingkan keperluan perlindungan sumber daya alam, dan kedua untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dari hasil sumberdaya alam yang dipungut (Anonyumus, 1995).
Masyarakat yang berada di sekitar area! hutan, khususnya yang di perbatasan areal hutan merupakan suatu komunitas yang secara tradisi mata pencahariannya pada umumnya hasil pertanian dan peternakan, namun anugerah dan nikmat Tuhan yang besar itu tidak dapat memenuhi hidup mereka. Masyarakat tersebut pada umumnya masih memerlukan perhatian serius, oleh karena pendidikan, pendapatan dan kesejahteraan yang rendah di tambah lagi keterbatasan sarana dan prasarana sehingga kemungkinan kemiskinan dan keterbelakangan selalu mewarnai kehidupan mereka ( Dwidjoseputro, 1990). Adanya kondisi tersebut di atas cenderung memotivasi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan untuk memanfaatkan areal kawasan hutan, dengan menjadikan Jalan pertanian yang dikelola menurut tingkat kemampuan secara tradisional untuk mendapatkan kepentingan hidup sehari-hari. Kegiatan tersebut terus berlangsung dan akan berhenti bila lahan usaha tani mereka sudah tidak produktif lagi sehingga mereka
49
mencari dan membuka lahan baru (Suprianto, 1995). Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) jika di tinjau dan sisi potensi sumber daya alam memang suatu kawasan yang menjanjikan berbagai peluang bagi keinginan untuk melakukan usaha eksploitasi alam yang memberikan keuntungan ekonomis, namun harus di sadari bahwa pemanfaatan sumber daya alam yang ada hanya terbatas (Anonyumus, 1995). Desa Agusan merupakan desa yang berada di sekitar Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), yang memiliki jumlah penduduk 120 KK terdiri 575 jiwa. Mata pencaharian penduduk pada umumnya adalah di sektor pertanian dan jenis kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat meliputi sawah, ladang/kebun di samping itu juga masyarakat menjual hasil hutan seperti, rotan, kayu bakar, rumput, tumbuhan obat, madu, rimbang dan lain-lain. Seperti umumnya Desa Agusan berada di pinggir hutan memiliki ketergantungan hidup pada sekitar kawasan hutan yang termasuk dalam kemukiman, interaksi masyarakat dengan hutan sudah berlangsung semenjak dari nenek moyang dulu, kebutuhan dan perkembangan masyarakat dapat mempengaruhi keberadaan lingkungan terutama pembukaan hutan untuk dijadikan sebagai ladang. Sarana ekonomi yang sangat mendukung di Desa Agusan produksi hasil pertanian dan perkebunan berupa padi, buah-buahan, kemiri kopi, coklat, nilam, sen wangi dan tanaman sayur-sayuran. Faktor-faktor yang mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat Desa Agusan adalah, pendapatan masyarakat, sarana dan prasarana yang tersedia, pendidikan, jumlah penduduk, sosial budaya. Berdasarkan masalah yang tersebut di atas maka penulis ingin meneliti kondisi sosial ekonomi masyarakat dan berpengaruh terhadap kawasan Taman
50
Nasional Gunung Leuser (TNGL). Penelitian ini dibatasi pada identifikasi sosial ekonomi masyarakat di Desa Agusan. II. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode Partisipasi, Observasi yang dilakukan dengan pengumpulan data primer dan data sekunder, dan dianalisa dalam tabel. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data yang di lakukan berupa Data Primer yaitu; diperoleh melalui wawancara, pengamatan langsung, mengedarkan daftar pertanyaan (Quesioner) yang telah di susun sebanyak 30 KK atau 25% dan 120 KK dan pengambilan sample secara acak. Dan selanjutnya juga peneliti menggunakan Data sekunder yaitu; Data dan laporanlaporan pemerintah, baik dari tingkat Desa, Kecamatan, serta beberapa hasil penelitian. Analisis Data Analisis data dilakukan melalui analisis deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi. Dalam mendukung keakuratan data penelitian ini penulis menggunakan persamaan matematis untuk membantu penjelasan hasil penelitian yang diperoleh. Adapun persamaan matematisnya adalah sebagai berikut: F P = x 100% N Di mana: P = Nilai atau persentase F = Frekuensi jawaban dari masingmasing pertanyaan N = Jumlah responden yang diteliti 100 % = Konstanta persentase Parameter yang di amati antara lain: a. Struktur penduduk, meliputi jumlah penduduk, pendapatan penduduk. b. Perekonomian lokal, meliputi mata pencaharian, hasil produksi.
c. Pola usaha tani, meliputi luas dan jenis lahan, penyebaran pertanian menetap dan perladangan berpindah. d. Pendidikan, meliputi tingkat pendidikan. e. Agama dan adat istiadat, meliputi nilainilai budaya, yang berlaku dan agama yang dianut. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Pendapatan Masyarakat dan Pengaruhnya Terhadap Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Pendapatan merupakan tujuan pokok dan motivasi bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan dalam melakukan kegiatan usaha taninya, baik usaha tani dari tanaman utama dan tanaman sampingan dalam waktu satu tahun yang dinyatakan dalam rupiah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pendapatan Petani Sampel di Desa Agusan Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues No Pendapat Jumlah Pendapata Persentase an / (orang) n/ Tahun % Tahun x Jumlah (Rp.) orang 42,66 57.600.000 16 1 3.600.000 2
7.800.000
5
36.000.000
26,67
3
4.800.000
5
24.000.000
17,78
4
9.600.000
1
9.600.000
7,11
5
5.400.000
1
5.400.000
4,00
6
1.200.000
2
2.400.000
1,78
30
135.000.000
100,00
Jumlah
Pendapatan Rata-rata/Tahun
: 4.500.000
Sumber Analisa Data Primer, 2006 (diolah) Dari Tabel 1, tampak bahwa pendapatan petani sampel di Desa Agusan Rata-rata Rp. 4.500.000,- per tahun. Dan basil pendapatan tersebut di atas, dapat di
artikan bahwa pendapatan petani sampel terlihat rendah apabila di bandingkan dengan upah minimal yang hams diterima oleh setiap kepala keluarga. Seperti yang di katakan oleh Soerjani (1987), keadaan sosial ekonomi masyarakat desa terutama yang tinggal pada umumnya masih sangat rendah. Hal ini disebabkan karena kurangnya lapangan kerja dan kesempatan berusaha. Kehidupan masyarakat masih bersifat tradisional, sulitnya komunikasi, minimnya tingkat ilmu pengetahuan atau sekil, dan penyuluhan akan arti hutan bagi masyarakat sehingga masyarakat di sekitar hutan kurang merasakan manfaat secara optimal. Kondisi Tingkat Pendidikan Masyarakat di Sekitar Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Pendidikan merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi laju perkembangan daerah, oleh sebab itu semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat akan mempercepat kelangsungan proses peningkatan teknologi. Begitu juga halnya dengan tingkat pendidikan masyarakat Desa Agusan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Keadaan Tingkat Pendidikan Petani Sampel di Desa Agusan Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues. No 1 2 3 4 5
Tingkat Pendidikan Tidak sekolah SD SLTP SMU Perguruan Tinggi Jumlah
Sumber (diolah)
Analisa
Jumlah (orang) 9 12 4 3 2
Persentase (%) 3 0,00 40,00 13,33 10,00 6,66
30
100,00
Data
Primer,
2006
Masyarakat Terhadap Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)
51
Pada umumnya masyarakat Desa Agusan mempunyai hutan khususnya Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dan dapat membawa dampak yang sangat besar bagi pengembangan desa dan peningkatan jumlah penduduk. Memahami tanggapan masyarakat desa Agusan pada dasarnya adalah bagaimana seseorang berbuat sesuatu yang dapat menimbulkan dari dalam jiwa seseorang dan lingkungan yang mempengaruhinya, diungkapkan melalui tindakan-tindakan perilaku (Taridala 2001). Adapun masyarakat sangat mempengaruhi dan berinteraksi lingkungan terutama dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Pola Pemanfaatan Lahan Desa Agusan memiliki luas ± 3014 ha. Terbagi atas sawah 119 ha. Dan bukan sawah 2895 ha. Mengingat daerah tersebut merupakan daerah pedesaan, maka areal pertanian masih relatif luas. Tingkat penggunaan lahan di Desa Agusan dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Tingkat Penggunaan Lahan Petani Sampel di Desa Agusan Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues. No Jenis Luas Persentase Penggunaan (hektar) (%) lahan 1. 2.
3.
Perumahan & Pekarangan Sawah: - Teknis - Sederhana Ladang/ Kebun - Garapan - Teknis Jumlah:
Sumber Analisa (diolah).
52
213
51,70
Dari tabel tersebut dapat dilihat Desa Agusan sebagian besar dimanfaatkan petani sampel untuk Pemukiman penduduk yang berupa perumahan dan pekarangan seluas 51,70 persen, selanjutnya untuk sawah teknis 1,45 persen, untuk sawah. Pemanfaatan Hasil Hutan oleh Masyarakat Desa Agusan Syahridan, 1996 Pemanfaatan yang intensif dan suatu kawasan lindung jika tidak dikendalikan secara baik hanya akan berakibat kepada ancaman kerusakan kawasan tersebut. Konotasi pemanfaatan kawasan lindung khususnya Kawasan Taman Nasional hams dipahami benarbenar dan tetap berdasarkan kepada adanya asas-asas konservasi. Untuk kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu dan non-kayu oleh masyarakat Desa Agusan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini : No.
Jenis Hasil Hutan yang Dipungut Kayu dan non Kayu Rotan 1. (Calamus pp) Kayu Bakar 2. Rumput 3. (Pallinia pp) Tumbuhan 4. Obat Rimbang 5. Rebung 7. Madu 8. Jumlah :
Jumlah (KK)
Persentase (%)
3
10
13 2
43,33 6,66
3
10
4 3 2 30
13,33 10 6,66 100,00
Sumber Analisis Data Primer, 2006 (diolah) 6 21
1,45 5,08
162 10 412
39,32 2,42 100,00
Data
Primer,
2006
Pengetahuan Masyarakat Tentang Hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Hutan sangat penting bagi kehidupan di muka bumi, terutama bagi kehidupan generasi yang akan datang dalam pengembangan dan pengelolaan hutan harus berdasarkan kriteria berwawasan lingkungan khususnya keberadaan
kawasan pelestarian alam atau Taman Nasional. Tingkat kesadaran masyarakat sekitar untuk mengelola sumberdaya alam yang ada harus didasari ilmu dan pengetahuan tentang pentingnya fungsi hutan. Tingkat pengetahuan masyarakat sampel Desa Agusan dapat dilihat dalam table 5 di bawah ini. Tabel 5. Pengetahuan masyarakat tentang hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Sampel Desa Agusan Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues. No. 1.
Tingkat Pengetahuan Tau
2.
Tidak tahu
10
33,33
3.
Ragu-ragu
2
06,66
30
100,00
Jumlah
Sumber Analisis (diolah)
Jumlah (orang) 18
Persentase (%) 60,00
Data
Primer,
2006
Dari pengamatan langsung terhadap kelompok responden ini dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat sampel Desa Agusan kurang memperhatikan terhadap keberadaan kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) atau dengan kata lain pendekatan dan penerangan terhadap keberadaan kawasan pelestarian alam tidak terfokus pada pembinaan masyarakat sekitar dalam penetapan pemanfaatan pola usaha tani bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Surjadi (1987), di mana program yang disusun secara top down atau dari atas dan dilaksanakan di bawah di tingkat desa, tidaklah atau kurang cocok dengan kepentingan masyarakat desa. Oleh karena itu perlu adanya upaya mensosialisasikan program pengembangan desa di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dari pihak-pihak yang terkait.
IV. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Jumlah penduduk Desa Agusan berjumlah 575 jiwa dengan 283 jiwa laki-laki atau (49,21%) dan 292 jiwa perempuan (50,78%). Penduduk ini terbagi dalam 120 kepala keluarga (KK). 2. Karakteristik penduduk dipandang dan segi umur berada pada dalam usia produktif (umur 15-54 tahun) sebesar 50,61% penduduk kelompok usia tua (umur 55 tahun ke atas) sekitar 4,61%, lamanya pendidikan rata-rata 7 tahun danjumlah tanggungan keluarga ratarata 6 jiwa. 3. Pola pemanfaatan lahan ± 3014 Ha. Terbagi atas pemukiman penduduk berupa perumahan dan pekarangan seluas 51,70%, sawah teknis 1,45% dan sederhana 5,08%, ladang/kebun garapan 39,32% dan teknis seluas 2,42%. Maka dapat di asumsikan bahwa pemanfaatan lahan di desa agusan semakin lama semakin luas karena disebabkan perkembangan penduduk semakin lama semakin banyak. 4. Jenis mata pencaharian Desa Agusan dominannya sebagai petani dan perkebunan 97,44 % dengan pendapatan rata-rata petani per tahun Rp.4.500.000,5. Tingkat pendapatan dan pendidikan yang relatif rendah masyarakat Desa Agusan Kecamatan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues, berdampak negatif terhadap kawasan Taman Nasional Gunung Leuser ( TNGL ), yang ada di sekitar pemukiman dan berpengaruh terhadap kawasan Taman Nasional Gunung Leuser ( TNGL). Saran 1. Mengupayakan peningkatan pendapatan masyarakat oleh intansi terkait dengan pembinaan lapangan kerja.
53
2. Adanya penyuluhan terhadap masyarakat akan pentingnya hutan terutama kawasan pelestarian alam, sehingga masyarakat tidak lagi membuka kawasan hutan dengan ladang berpindah dan pemukiman. 3. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang permasalahan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 1980. Pengantar Ilmu Kehutanan, Diklat Kuliah Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Banda Aceh. __________, 1990. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tentang Konservasi L Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dep. Kehutanan Jakarta. _________, 1995-2020, Rencana Pengolahan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Dep. Kehutanan. Dwidjoseputro, 1990. Ekologi Manusia Dengan Lingkungannya. Erlangga. Handoyo, 1985. Manusia dan Hutan Proses Perubahan Ekologi Lereng Gunung Merapi, Gajah Mada University Press Yogyakarta. Lubis,S. 1985. Konservasi di Indonesia. Mudjijono, 1996/1997. fungsi Keluarga dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. Dep. Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta. Suprianto, 1995. Propil Ladang Berpindah di Kecamatan Seulimeum Kabupaten Aceh Besar, Skripsi Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Banda Aceh. (tidak di publikasikan).
54
Soerjani. M. 1987. Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Universitas Indonesia. Jakarta.
Kajian Kualitas Air pada Jaringan Perpipaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Daroy Kota Banda Aceh A. Muis Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Abstract - This study aimed to determine physical quality of drinking water in the piping network PDAM Tirta Daroy Banda Aceh. The method used in this study was field observation, laboratory test and calculation value of pollution index (IP). Sampling was done at three sites: site I (Pipeline at Pagar Air), site II (Pipeline at Lueng Bata), and point III (Pipeline at Peuniti) and done triplet each sampling site. The result showed that an average value of TDS was 82.46 mg / I - 82.66 mg / I, the average temperature was 28.3 ° C 28.96 ° C, the average value of color was 14 TCU - TCU 4.93, the average turbidity was 0.57 NTU 1.66 NTU, and the average pH was 7.32 to 7.41. Pollution Index (IP) at each sampling site was 0.75 (site I), 0.81 (site II) and 0 ≤ 0.74 ≤ 1.0 (site III). It can be concluded that the average value of TDS, Temperature, Color, Turbidity and pH as well as Pollution Index meet the quality standard. Keywords : piping network, drinking water, PDAM Tirta Daroy.
I. PENDAHULUAN Air sangat penting bagi kehidupan seluruh makhluk hidup di bumi. Untuk manusia, air selain sebagai konsumsi makan dan minum juga diandalkan untuk keperluan pertanian, industri dan lain sebagainya (Totok Sutrisno, 2006). Kebutuhan air bagi manusia (khususnya air konsumsi) harus memenuhi persyaratan baku mutu tertentu. Mengacu pada Peraturan Kepmen No. 907/Menkes/SK/VII/2002 Tentang Persyaratan Kualitas Air Minum yaitu ada 4 syarat tinjauan kualitas air minum yaitu fisik, kimia, mikrobiologi dan radioaktivitas. Untuk memenuhi persyaratan tersebut maka diperlukan pengolahan air secara balk dan benar berdasarkan sumber air itu sendiri hingga sampai kepada pengguna. Menurut Djasio Sanropie (1994) dalam bukunya menjelaskan bahwa air adalah suatu zat yang merupakan senyawa kimia yang terdiri dari dua unsur yaitu Hydrogen (H) dan Oksigen (O2) yang membentuk H2O yang disebut dengan air. Namun dalam kenyataannya di dalam air tidak selalu murni sebagai H2O akan tetapi mengandung komponen lain baik berupa
zat organik maupun zat anorganik serta organisme lainnya sehingga air sering dikatakan sebagai H2O + X. Air memiliki sifat-sifat fisik sebagai berikut; (Sumber; Robin, dan kawankawan fisling/fluidaair/google). • Titik beku 0°C • Massa jenis es (0 °C) 0,92 g/cm2 • Massa jenis air (0°C) 1,00 grlcm2 • Panas lebur 80 kal/gram • Titik didih 100 °C • Panas penguapan 540 kal/gram • Temperatur kritis 347 °C • Tekanan kritis 217 atm • Konduktivitas listrik spesifik (25 °C) lx 10-17/ohm-cm • Konstanta dielektrikuin (25 °C) 78 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Daroy Kota Banda Aceh adalah perusahaan milik pemerintah Kota Banda Aceh yang berwenang untuk menyediakan air minum bagi masyarakatnya. Walaupun Proses pengolahan air di PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh merupakan pengolahan air yang mahir dan lengkap, di mana air yang sudah diolah dapat langsung diminum, namun dalam kenyataannya sebagian besar 55
tidak demikian halnya. Hal ini disebabkan karena adanya hambatan-hambatan dalam proses penyaluran air melalui jaringan perpipaan dan PDAM kepada masyarakat, sehingga air yang diperoleh masyarakat harus dimasak dahulu sebelum diminum. Permasalahan yang sangat sering terjadi adalah pada saat pemasangan jaringan pipa, di mana pada saat pengerjaan tersebut tanah atau kotoran lainnya masuk ke dalam pipa dan tidak dibersihkan yang mengakibatkan penyumbatan pada proses pendistribusian air kepada masyarakat. Permasalahan lainnya adalah kurang pemeliharaan seperti kualitas fisik pipa itu sendiri (cepat korosi), sehingga mengakibatkan pipa-pipa tersebut lebih cepat mengalami kebocoran. Keberadaan pipa yang melewati saluran air buangan (got, pant dll) juga menjadi salah satu faktor penyebab menurunnya kualitas air minum, di mana air di dalam saluran tersebut dengan mudah masuk ke dalam pipa, dengan demikian air yang seharusnya bersih telah menjadi kotor kembali. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas fisik air pada jaringan perpipaan PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh. Manfaat penelitian ini adalah : 1. Menambah pengetahuan bagi penulis dalam menganalisa kualitas fisik air minum pada jaringan perpipaan PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh serta memberikan gambaran ilmiah tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas air minum. 2. Memberikan masukan kepada PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh agar memperhatikan kondisi kualitas fisik air pada jaringan pipa distribusi meskipun air sudah memenuhi syarat kualitas air minum pada saat pengolahannya. 3. Memberikan pengertian kepada masyarakat tentang kualitas air minum pada PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh yang mereka gunakan setiap hari.
56
4. Bagi lembaga, sebagai informasi untuk peneliti yang ingin melanjutkan penelitian tentang kualitas air minum. II. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh meliputi jaringan pipa distribusi di Pagar Air, Lueng Bata, dan Peuniti. Untuk pengujian sampel dilakukan di lapangan langsung (pH dan Suhu) dan di Laboratorium Depkes NAD di Banda Aceh (TDS, Warna, clan Kekeruhan). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011. B. Metode Pengambilan Sampel Sampel diambil pada 3 titik jaringan pipa distribusi air dengan perbedaan radius masing-masing titik berjarak 2 Km. Titik pertama diambil pada jaringan 4 pipa distribusi air di Pagar Air, titik ke dua di Lueng Bata, dan titik ke tiga di Peuniti. C. Prosedur Penelitian 1. Persiapan Sampel Botol sampling terlebih dahulu dibersihkan, kemudian dibilas beberapa kali dengan aquades. Setelah benar-benar bersih lalu dimasukkan sampel yang akan diuji ke dalam botol sampling. 2. Uji Laboratorium Ada 3 parameter yang akan diuji pada laboratorium yaitu Kekeruhan dengan metode Turbidimetri, Warna, dan TDS (Total Dissolve Solid). 3. Uji Lapangan Ada 2 parameter yang akan diuji pada lapangan yaitu Suhu dan pH.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Untuk penelitian ini, maka diperlukan data-data berdasarkan hasil
pengujian sampling pada laboratorium di 19 Oktober 2009, hari Rabu tanggal 21 tiga titik masing-masing dilakukan Oktober 2009 dan hari Jum’at tanggal 23 sebanyak tiga kali, yaitu hari Senin tanggal Oktober 2009 seperti terlihat dalam Tabel 1, 2 dan 3 di bawah ini; Tabel 1. Hasil Uji Sampling pada hari Senin tanggal 19 Oktober 2009. Parameter Kualitas Fisik Air Zat Padat Terlarut
Kadar Maksimum yang diperbolehkan Kepmenkes Satuan No. 907/Menkes/SK/VII/2002 Mg/I
Hasil Uji Laboratorium Titik I Titik II Titik III
1000
83,5
86,1
83,5
C
Suhu Udara ± 3 oC
28,7
29,1
28,5
Warna
TCU
15
1,70
2,01
2,55
Kekeruhan/Turbidity
NTU
5
0,38
1,73
1,76
-
6,5 – 8,5
77,33
7,31
7,42
(TDS) Suhu
PH
o
Sumber: Hasil Penelitian Analisa Kualitas Air
Tabel 2. Hasil Uji Sampling pada hari Rabu tanggal 21 Oktober 2009. Parameter Kualitas Fisik Air Zat Padat Terlarut
Satuan Mg/I
Kadar Maksimum yang diperbolehkan Kepmenkes No. 907/Menkes/SK/VII/2002 1000
Hasil Uji Laboratorium Titik I Titik II Titik III 81,2
85,4
82,1
(TDS) o
C
Suhu Udara ± 3 oC
28,5
Warna
TCU
15
1,64
2,23
2,46
Kekeruhan/Turbidity
NTU
5
0,46
1,67
1,58
-
6,5 – 8,5
7,42
7,25
7,53
Suhu
PH
29,4
28,7
Sumber: Hasil Penelitian Analisa Kualitas Air
Tabel 3 Hasil Uji Sampling pada hari Jumat tanggal 23 Oktober 2009. Parameter Kualitas Fisik Air Zat Padat Terlarut
Satuan Mg/I
Kadar Maksimum yang diperbolehkan Kepmenkes No. 907/Menkes/SK/VII/2002 1000
Hasil Uji Laboratorium Titik Titik II Titik III I 82,7 85,2 82,4
(TDS) o
C
Suhu Udara ± 3 oC
29,1
28,4
27,7
Warna
TCU
15
1,59
2,18
2,23
Kekeruhan/Turbidity
NTU
5
0,87
1,56
1,64
-
6,5 – 8,5
7,35
7,42
7,28
Suhu
PH
57
Sumber: Haasil Penelitian Analisa Kuualitas Air Tabel 4. Nillai Rata-rata parameter Parameterr Kualitas Fisik k Air Zat Padat T Terlarut
Satuan Mg/I
Kadar M Maksimum yaang diperboleh hkan Kepmeenkes No. 907/Menk kes/SK/VII/22002 1000
Hasiil Uji Labora atorium Tittik I
Titik k II
Titik k III
822,46
85,56
82,666
(TDS) Suhu Warna Kekeruhann/Turbidity PH
o
C
Suhu U Udara ± 3 oC
28,776
TCU
15
4,933
2,1 14
2,441
NTU
5
0,577
1,6 65
1,666
-
6,5 – 8,5
7,366
7,3 32
7,441
Sumber: Haasil Penelitian Analisa Kuualitas Air
Setellah diperoleeh hasil nilaai rata-rata parameter seperti terliihat dalam Tabel 4 di nya perlu dilakukan atas, makka selanjutn analisa yanng bertujuaan untuk mengetahui m perbandinggan kualitass fisik air minum m pada jaringan pperpipaan PDAM P Tirrta Daroy Kota Banda Aceh terhadap t K Kepmenkes K/V11120022 tentang No. 907//Menkes/SK Persyaratann Kualitas Air A Minum..
28,96 6
28,3
2. S Suhu Berdasarkkan Kep pmenkes No. 9O7ffMenkesISK KIVIIJ2002 2 tenntang Persyyaratan Kuualitas Airr Minwn untuk u nilai Suhu dittetapkan nilai n maksiimum 3 °C. Deengan untuuk Suhu Udara ±3 demiikian dapatt disimpulk kan bahwa, nilai rata--rata Suhu pada jaring gan pipa PD DAM Tirtaa Daroy Koota Banda Aceh A pada tiitik I, titik II, dan titikk III memen nuhi standarr baku mutuu seperti terlihat dalaam grafik 2 di bawaah ini :
1. TDS No. Berddasarkan Kepmenkes 907/Menkees/SKJVII/2 2002 tentang Persyaratann Kualitas Air Minuum untuk nilai TDS ditetapkan n sebesar 1000 1 mg/l. Dengan demikian dapat diisimpulkan bahwa, nillai rata-rataa TDS padda jaringan pipa PDAM M Tirta Darroy Kota Baanda Aceh memenuhi standar baku muttu seperti terlihat dallam grafik 1 di bawah ini i : Grafik 1. P Perbandingaan nilai rataa-rata TDS terhadap baaku mutu 3. W Warna Berdasarkkan Kep pmenkes No. 9O7ffMenkes/SK KJVIIJ2002 2 tenntang Persyyaratan Kualitas Air M Minum ditettapkan nilai ksimum u untuk mak param meter Warnna sebesar 15 1 TCU. Deengan demiikian dapatt disimpulk kan bahwa, nilai rata--rata param meter Warnaa pada jaringan pipa PDAM Tirrta Daroy Kota K Banda Aceh
58
paada titik I, titik t II, dan titik III meemenuhi standar baku u mutu sepperti terlihaat dalam grrafik 3 di baawah ini :
DAM Tirtaa Daroy K Kota jaringaan pipa PD Banda Aceh padaa titik I, titiik II, dan tiitik III meemenuhi staandar baku mutu sepeerti terlihatt dalam graffik 5 di baw wah ini :
han 4.. Kekeruh Berdasarkan K Kepmenkes No. 9007/Menkes//SK/VIII20002 tentang Peersyaratan Kualitass Air Minum diitetapkan nilai m maksimum untuk K Kekeruhan sebesar 5 NTU. Dengan deemikian dap pat disimpuulkan bahw wa, nilai raata-rata paarameter Kekeruhann pada jaaringan pipa PDAM Tirta Darooy Kota Banda Aceh pada titik I, titik II, ddan titik fi memenuh hi standar baku mutuu seperti ifi teerlihat dalam m grafik 4 di d bawah ini :
Penenttuan Statuss Mutu Airr S Setelah diperoleh hasiil pengukuuran sampell (tabel 4.4) di atas, maaka selanjuutnya akan dilakukan analisa muutu air denngan meng ggunakan metode m Indeeks Pencem maran (IP) berdasarkaan Keputussan Menterri Lingkun ngan Hidupp Nomor 1115 tahun 2003 tentaang Pedom man Penentuuan Status Mutu Air. Rumuss (IP): PIj =
5.. pH No. Berdasarkan K Kepmenkes tentang 9O O7/Menkes/SK/VII/2002 Minum Peersyaratan Kualitass Air diitetapkan nilai n makssimum unttuk pH seebesar 6,5 - 8,5. Denggan demikiaan dapat diisimpulkan bahwa, nilaai rata-rata ppH pada
(Ci / Lij ) M 2 + (Ci / Lij ) R 2 2
S Sebelum mencari m nillai IP maaka terlebihh dahulu haarus ditentukkan nilai: • Ci = Hasil pengukurann sampel • Lix = Nilaii baku mutuu • Ci/Lix Hasil Peengukuran = Nilai baku mutu • Ci/Lix barru = 1 + 5 + log Ci/L Lix, jika nilai Ci/Lix > 1,0. 1 Jika nilai Lix Ci/Lix < 1,0 maka nilai Ci/L adalah nilaai Ci/Lix barru tertinggi. • •
(Ci/Lij)R = Nilai Ci/Lix baru tertinggi (Ci/Lij)M
59
Nilai rata − rata Ci / Lix baru Jumlah parameter Setelah nilai IP diperoleh maka akan dilakukan evaluasi status mutu air yaitu: 0 ≤ Pij ≤ 1,0 = memenuhi baku mutu (kondisi baik) 1,0 ≤ Pij ≤ 5,0 = cemar ringan 5,0 ≤ Pij ≤ 10 = cemar sedang Pij ≤ 10 = cemar berat Berikut adalah analisa mutu air dengan menghitung nilai Indeks Pencemaran (IP) setiap parameter pada titik I (Jaringan Pipa di Pagar Air), titik II (Jaringan Pipa di Lueng Bata) dan titik III (Jaringan Pipa di Peuniti) dengan menggunakan metode Indeks Pencemaran (IP).
=
1. Titik I (Jaringan Pipa di Pagar Air) Sebelum dilakukan perhitungan untuk mencari nilai IP, maka terlebih dulu ditentukan nilai Ci dan nilai Lix. Dapat dilihat dalam table 5 di bawah ini : Tabel 5. Nilai Ci, Lix, Ci/Lix dan Ci/Lix baru pada titik I No Parame Ci Lix ter 1 TDS 82,46 1000 2 Suhu 28,76 Suhu Udara ±3 oC 3 Warna 4,93 15 4 Kekeruh 0,57 5 an 5 PH 7,36 6,5 – 8,5
Ci/Lix baru 0,08246 0,08246 0,9586667 0,9586667
N o 1 2
Paramet Ci er TDS 85,56 Suhu 28,96
3 4
Warna Kekeruh an PH
5
0,8658824 0,8658824
Ci/Lix
Ci/Lix baru 0,08556 0,08556 0,96533 0,9653 3
1000 Suhu Udara ±3 oC 2,14 15 0,14266 0,14266 1,65 5 0,33 0,33 7,32
6,5 – 8,5
0,86117 0,86117
Titik III (Jaringan Pipa di Peuniti) Seperti halnya pada titik I dan titik II, maka pada titik III juga dilakukan perhitungan yang sama untuk menentukan nilai Indeks Pencemaran (IP). Sebelum nilai IP titik III ditentukan, maka terlebih dahulu ditentukan nilai Ci, Lix, Ci/Lix dan Ci/Lix baru (lihat tabel 4.7) di bawah ini : Tabel 7. Nilai Ci, Lix, Ci/Lix, dan Ci/Lix barn pada titik III. No 1 2 3 4 5
0,3286667 0,3286667 0,114 0,114
Lix
3.
Ci/Lix
2. Titik II (Jaringan Pipa di Lueng Bata) Seperti halnya pada titik I, maka pada titik II dilakukan perhitungan yang sama untuk menentukan nilai Indeks Pencemaran (IP). Sebelum nilai IP titik II ditentukan, maka terlebih dahulu ditentukan nilai Ci, Lix, Ci/Lix dan Ci/Lix baru lihat tabel 6 di bawah ini :
60
Tabel 6. Nilai Ci, Lix, Ci/Lix dan Ci/Lixbarn pada titik II
Parame ter TDS Suhu
Ci
Lix
Ci/Lix
Ci/Lix baru 0,08266 0,08266 0,9433 0,9433
82,66 1000 28,3 Suhu Udara ±3 oC Warna 2,41 15 0,16066 0,16066 Kekeruh 1,66 5 0,332 0,332 an PH 7,41 6,5 – 0,8717 0,8717 8,5
IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut; 1. Kualitas fisik air minum pada jaringan pipa PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh memenuhi standar baku mutu yang ditetapkan dalam Kepmenkes No. 9O7/Menkes/SK/VII/2002 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Hal ini berdasarkan hasil penelitian terhadap parameter fisik air ternyata; a) Parameter TDS berkisar antara 82,46 Mg/l - 85,56 Mg/l. Dan titik tertinggi TDS berada di titik II
sebesar 85,56 Mg/l (Lung Bata). Sedangkan menurut kadar maksimal yang diperbolehkan Kepmenkes No. 907/Menkes/SK/VII/2002 adalah 1000 Mg/l. b) Parameter Suhu berkisar antara 28,3 °C — 28,96 °C. Dan titik tertinggi Suhu berada di titik II sebesar 28,96 °C (Lung Bata). Sedangkan menurut kadar maksimal yang diperbolehkan Kepmenkes No. 9OlfMenkes/SK/V11J2002 adalah Suhu Udara ±3°C c) Parameter Warna berkisar antara 2,14 TCU - 4,93 TCU. Dan titik tertinggi Warna berada di titik I sebesar 4,93 TCU (Pagar Air). Sedangkan menurut kadar maksimal yang diperbolehkan Kepmenkes No. 907/Menkes/SK/VII/2002 adalah 15 TCU. d) Parameter Kekeruhan berkisar antara 0,57 NTU - 1,66 NTU. Dan titik tertinggi Kekeruhan berada di titik III sebesar 1,66 NTU (Peuniti). Sedangkan menurut kadar maksimal yang diperbolehkan Kepmenkes No. 9O7/Menkes/SK/VII/2002 adalah 5 NTU. e) Parameter pH berkisar antara 7,32 7,4 1. Dan titik tertinggi pH berada di titik III sebesar 7,41 (Peuniti). Sedangkan menurut kadar maksimal yang diperbolehkan Kepmenkes No. 907/Menkes/SK/VII/2002 adalah 6,5 - 8,5. Dengan demikian kelima titik sampling memenuhi baku mutu. 2. Penentuan status mutu air dengan metode IP berdasarkan Kep-115 /MENLH/VII/2003 menunjukkan bahwa nilai Indeks Pencemaran (IP) pada titik I sebesar 0,75, titik II sebesar
0,81, dan titik III sebesar 0,74 berada pada 0 ≤ PIj ≤ 1,0 berarti memenuhi baku mutu. 3. Faktor-faktor penyebab terjadinya penurunan nilai parameter fisik air pada jaringan disebabkan karena lambannya pengawasan petugas dalam proses pemasangan pipa-pipa. Pembangunan yang tidak stabil juga dapat memberikan pengaruh seperti pelebaran jalan dan sebagainya yang mengakibatkan kebocoran dan kotor pada pipa. Faktor lainnya adalah pemasangan pipa tidak sesuai aturan yang ditetapkan oleh PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh. Saran 1. Diharapkan kepada masyarakat di Kota Banda Aceh sebagai konsumen sebaiknya memasak terlebih dahulu air yang diambil dan jaringan pipa PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh sebelum diminum, karena dikhawatirkan dapat mempengaruhi kesehatan jika diminum sebelum di masak, meskipun kualitas air pada jaringan pipa PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh memenuhi baku mutu. 2. PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh diharapkan dapat meningkatkan pengawasan jaringan dalam proses pengolahan air minum serta proses pemasangan jaringan pipa. 3. PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh diharapkan dapat berkoordinasi dengan pihak-pihak yang berwenang dalam penyelenggaraan pembangunan Kota Banda Aceh apabila ditinjau dapat berpengaruh pada jaringan pipa-pipa PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh serta mengupayakan semaksimal mungkin usaha-usaha yang dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat konsumen terhadap pentingnya menjaga kualitas air dengan tidak
61
melakukan kecurangan-kecurangan yang dapat merusak kualitas air. 4. Kualitas air minum yang dihasilkan PDAM Tirta Daroy Kota Banda Aceh sekarang ini sudah cukup baik dan seyogyanya dapat dipertahankan. 5. Keberlanjutan dan kesinambungan kondisi air senantiasa berubah setiap saat akibat dari berbagai proses fisik sehingga output yang dihasilkan dalam penelitian ini akan tidak relevan lagi pada beberapa tahun mendatang. Untuk itu, penelitian lanjutan secara berkala perlu dilakukan. DAFTAR PUSTAKA C. Totok Sutrisno, dkk, 2006, Teknologi Penyediaan Air Bersih, Penerbit PT. Rinika Cipta, Jakarta. Robin, dick fisling/fluidaair/google), Sifatsifat Fisik Air. S. Purwanto, 1985 dalam C. Totok Sutrisno, dkk, 2006, Teknologi Penyediaan Air Bersih, Penerbit PT. Rinika Cipta, Jakarta.
62
PENGARUH KETEBALAN MULSA AMPAS SAGU (Metroxylon sp) TERHADAP PERTUMBUHAN GULMA DAN HASIL KEDELAI Gina Erida, M. Abduh Ulim, Jamaluddin Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh
Abstract - Sago dregs, beside its function as an organic matter, also potential as natural herbicide. The purpose of this research was to find out the effects of the thickness of sago dregs to the growth of weeds and soybeans. This research was conducted in Rumpet village, Krueng Barona jaya subdistrict, Aceh Besar from january until April 2011. This research used a non factorial completely randomized block design with 5 treatments and 4 replications. The result showed that the thickness of sago dregs influences on variable of height crop, dry weight of weed, number of productive pinnacles and the weight of soybeans dry seed. In thickness of sago dregs 2 cm showed good result in height crop, dry weight of weed, number of productive pinnacles and the weight of soybeans dry seed. In thickness of sago dregs more than 3 cm, the growth of soybeans been retarded. To decrease the growth of weed and increase the growth of soybeans, the sago dregs with thickness of 2 cm can be used. Keywords : Soybean, Thickness of sago dregs, Weed
I. PENDAHULUAN Rendahnya hasil kedelai disebabkan oleh banyak faktor, salah satu diantaranya adalah adanya persaingan gulma dengan tanaman. Penurunan hasil yang diakibatkan persaingan antara gulma dengan tanaman kedelai sangat bervariasi, antara 18-76% (Suprapto, 1989). Pengendalian gulma diperlukan untuk mengurangi kerugian akibat kehilangan hasil. Metode pengendalian yang umum dilakukan adalah secara preventif, mekanis, kultur teknis, kimiawi, hayati dan terpadu. Menurut Rahayu (2001), penggunaan herbisida sintetik masih menjadi primadona, karena penggunaan herbisida efektivitasnya segera terlihat. Di sisi lain, penggunaan herbisida sintetik cenderung menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan seperti terjadinya resisten gulma. Mengingat banyak laporan yang menyatakan bahwa pengendalian gulma secara kimia secara terus menerus tidak baik bagi lingkungan, sehingga perlu dicari alternatif pengendalian gulma yang ramah lingkungan. Salah satunya adalah pengendalian secara kultur teknis dengan
menggunakan mulsa organik yang berasal dari ampas sagu dimana orang Aceh mengenalnya dengan sebutan meuria. Selama ini pengolahan sagu hanya untuk menghasilkan pati sekitar 16-28% dari bobot total batang sagu yang dimanfaatkan sebagai sagu kering untuk berbagai jenis kue, sedangkan ampas dan kulit batangnya dibuang begitu saja sehingga dapat mencemari lingkungan. Menurut Wahid et. al. (2005), penggunaan bahan organik sebagai mulsa dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisik dan biologi tanah, menekan fluktuasi suhu dan kelembaban tanah serta menekan perkembangan gulma. Penggunaan mulsa juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas kedelai serta meningkatkan efesiensi penggunaan pupuk. Menurut Syakir et al. (2000), ampas tanaman yang memiliki potensi cukup besar sebagai mulsa adalah ampas tanaman sagu, karena didalam ampas sagu terdapat asam fenolat yang merupakan salah satu dari belasan alelokimia (senyawa penyebab alelopati yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman disekitarnya). Penggunaan mulsa ampas sagu pada ketebalan 2-3 cm dengan komposisi 100 %
63
ampas sagu dan pupuk kandang 50% per pelakuan yang diberikan sebelum benih ditanam, mempunyai kemampuan yang cukup tinggi dalam menekan pertumbuhan gulma mencapai 78,3 %. Hal ini disebabkan karena pengaruh penutupan secara fisik dan penguraian ampas sagu lebih cepat sehingga pengaruh asam-asam fenolat bisa cepat beraksi . Menurut Devi et al. (1997), alelokimia dari senyawa fenol ini bisa menghambat pertumbuhan tanaman melalui beberapa cara, antara lain dengan menghambat pembelahan dan pemanjangan sel, menghambat kerja hormon, mengubah pola kerja enzim, menghambat proses respirasi, menurunkan kemampuan fotosintesis, mengurangi pembukaan stomata, menghambat penyerapan air dan hara serta dapat menurunkan permeabilitas membran. Senyawa fenol dari ampas sagu ini banyak dimanfaatkan sebagai herbisida karena sangat tinggi toktisitasnya, bersifat selektif dan bekerja secara efektif sebagai herbisida organik yang bersifat kontak (Oudejans, 1991) Efektifitas penggunaan mulsa sangat ditentukan oleh ketebalan mulsa, pada ketebalan tertentu diperoleh hasil yang baik bagi pertumbuhan dan hasil tanaman serta mampu menghambat pertumbuhan gulma(Syakir et al.,2000).. Berdasarkan permasalahan di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh ketebalan mulsa ampas sagu terhadap pertumbuhan gulma dan hasil kedelai. II. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Desa Rumpet Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar sejak bulan Januari sampai April 2011. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : benih kedelai varitas singgalang dan ampas sagu. Untuk
64
penunjangan pelaksanaan penelitian dipergunakan alat-alat diantaranya: cangkul, gembor, meter , timbangan, pancang kayu dan alat-alat tulis. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 5 perlakuan dan empat kali ulangan. Sehingga jumlah plot percobaan seluruhnya adalah 4 x 5 = 20 plot. Ukuran masing-masing plot adalah 2 x 2 m. Adapun susunan pelakuan ketebalam mulsa ampas sagu sebagai berikut : T 0 =Ketebalan mulsa ampas sagu 0 cm T 1 = Ketebalan mulsa ampas sagu 1 cm T 2 = Ketebalan mulsa ampas sagu 2 cm T 3 = Ketebalan mulsa ampas sagu 3 cm T 4 = Ketebalan mulsa ampas sagu 4 cm Lahan dibajak dua kali dengan menggunakan traktor, kemudian tanah digaru dan dibersihkan dari sisa-sisa gulma, Selanjutnya dibuat plot percobaan dengan ukuran 2 x 2 meter sebanyak 20 plot dengan jarak antar plot 30 cm pada tiap perlakuan dan ulangan. Benih ditanam dalam larikan, lubang tanam dibuat dengan tugal sedalam 2 cm dengan jumlah 3 benih masing-masing per lubang. dengan jarak tanam adalah 40 x 15 cm. Pemberian mulsa ampas sagu dilakukan dengan cara mecampurkan dengan pupuk kandang dengan komposisi 2:1. Selanjutnya ditebarkan diatas pemukaan tanah (plot) dan diratakan dengan menggunakan papan untuk mendapatkan ketebalan sesuai perlakuan. Pada ketebalan ampas sagu 1 cm diproleh 7,5 kg ampas sagu dan 3,75 kg pupuk kandang per plot. Penyiraman dilakukan 2 kali sehari sedangkan pupuk yang digunakan adalah pupuk NPK dengan dosis 150 kg/ha 60 g per plot). Penyulaman dilakukan 10 hari setelah tanam dengan 2 tanaman per lubang tanam. Untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan apabila gejala serangan sudah mulai kelihatan.
Pengamatan meliputi tinggi tanaman, bobot kering gulma, jumlah cabang produktif, serta bobot biji keing kedelai per tanaman. Pengamatan ini dilakukan pada saat tanaman berumur 15, 30,dan 45 HST. Pada masing-masing petakan diamati 10 batang tanaman sampel yang ditentukan secara acak.Dua barisan tanaman pinggir tidak dijadikan sebagai tanaman sampel. Pengamatan terhadap bobot kering gulma dilakukan pada saat tanaman berumur 45 HST. Bobot kering gulma diperoleh dengan cara mencabut gulma pada petak sampel yang berukuran 50x50 cm. gulma tersebut dibersihkan dari tanah serta dikeringkan dengan menggunakan oven selama 48 jam dengan suhu 60 0C, dan ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik. Pengamatan jumlah cabang dilakukan pada saat memasuki panne yaitu pada saat tanaman berumur 75 HST. Bobot biji kering per tanaman pada kadar air 14 %. Data hasil pengamatan setiap peubah dianalisis dengan sidik ragam dan jika terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 0,05 (Gomez&Gomez, 1995). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada 15, 30 dan 45 HST. Rata-rata tinggi tanaman pada 15, 30 dan 45 HST akibat pengaruh ketebalan mulsa ampas sagu dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman kedelai pada 15, 30 dan 45 HST akibat perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu Umur Tanaman Perlakuan 15 30 45 (HST) (HST) (HST) To 6.35 a 40.95 a 67.63 a T1 6.45 a 42.88 b 74.25 b T2 7.35 c 46.18 c 78.98 c T3 6.93 b 43.10 b 77.83 c T4 6.73 ab 41.75 a 74.90 b BNT 0,39 0,91 2,98 (0,05) Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 persen (Uji BNT). Tabel 1 diatas terlihat bahwa pada setiap pengamatan rata-rata tinggi tanaman terendah dijumpai pada perlakuan kontrol (T0) dan tertinggi pada perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu 2 cm (T2) dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu 3 cm (T3). Hal ini diduga disebabkan pengaruh ketebalan mulsa ampas sagu yang baik dalam menekan pertumbuhan gulma. Dengan kata lain pada perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu 2-3 cm sudah dapat menekan pertumbuhan gulma dengan baik dan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai. Sedangkan pada perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu di atas 3 cm kendatipun mampu menekan pertumbuhan gulma, namun berdampak negatif terhadap pertumbuhan tanaman kedelai. Hal ini kemungkinan karena keberadan mulsa ampas sagu yang melebihi batas toleransi, karena kandungan asam fenolat yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan tanaman kedelai Menurut Devi et al. (1997), banyak turunan fenol yang berasal dari jaringan tanaman bersifat sebagai senyawa alelopati. Asam fenolat mempunyai pengaruh langsung terhadap proses
65
biokimia dan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Menurut Einhellig (1995), mekanisme penghambatan asam fenolat terhadap pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan melalui serangkaian proses yang kompleks. Alelokimia berinteraksi dengan hormon tertentu pada pertumbuhan sasaran dan mengakibatkan fungsi enzim tertentu terganggu. Hal ini mengakibatkan pembentukan protein dan pigmen terhambat, sehingga pembelahan dan pemanjangan sel terhambat. Rendahnya pertumbuhan pada perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu pada T4 akibat kandungan asam fenolat yang tinggi menyebabkan laju pertumbuhan kedelai tertekan. Sedangkan rendahnya pertumbuhan tinggi tanaman pada perlakuan kontrol (T0) dan pada perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu 1 cm (T1) disebabkan oleh adanya persaingan antara gulma dan tanaman terhadap hara, air, ruang dan cahaya matahari. Hal itu disebabkan ketebalan mulsa ampas sagu 1 cm masih belum mampu menghambat perkecambahan dan pertumbuhan biji gulma di sekitar tanaman kedelai. Ternyata dengan keterbalan 1 cm masih dimungkinkan terjadinya intersepsi cahaya mencapai pemukaan tanah sehingga dapat membantu pertumbuhan gulma. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ketebalan mulsa sagu berpengaruh sangat nyata terhadap bobot kering gulma. Rata-rata bobot kering gulma akibat perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.
66
Tabel 2. Rata-rata bobot kering gulma akibat perlakuan ketebalaan mulsa ampas sagu Bobot Kering Gulma Perlakuan (g) To 10.03 c T1 6.28 ab T2 4.53 a T3 4.78 a T4 4.22 a BNT (0,05) 2.79 Keterangan: Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yg sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 persen (Uji BNT) Tabel 2 di atas terlihat bahwa ratarata bobot kering gulma tertinggi dijumpai pada perlakuan kontrol (T0) dan terendah dijumpai pada perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu 4 cm (T4). Tinggi bobot kering gulma pada perlakuan kontrol (T0) disebabkan banyaknya pertumbuhan gulma. Hal ini disebabkan karena tingginya intersepsi sinar matahari yang dapat mencapai permukaan tanah tanpa dihalangi oleh mulsa sehingga memacu perkecambahan dan pertumbuhan biji gulma. Rendahnya bobot kering gulma pada perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu 4 cm disebabkan karena dihalangi oleh mulsa ampas sagu dan kandungan asam fenolat yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Syakir et al. (2000), yang menyatakan didalam ampas tanaman sagu terdapat asam fenolat yang merupakan salah satu dari belasan alelokimia senyawa penyebab alelopati yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman sekitarnya. Proses penghambatan menurut Devi et al. (1997), melalui beberapa cara, antara lain dengan menghambat pembelahan dan pemanjangan sel, menghambat kerja hormon, mengubah pola kerja enzim, menghambat proses respirasi, menurunkan kemampuan fotosintesis, mengurangi pembukaan stomata,
menghambat penyerapan air dan hara serta dapat menurunkan permeabilitas membran. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu memberikan pengaruh sangat nyata terhadap jumlah cabang produktif . Rata-rata jumlah cabang produktif pada perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 3.Rata-rata jumlah cabang produktif pada perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu Jumlah Cabang Perlakuan Produktif To 4.35 a T1 6.45 a T2 7.35 c T3 6.93 b T4 6.73 ab BNT (0,05) 0.93 Keterangan : Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 persen (uji BNT) Tabel 3 diatas terlihat bahwa ratarata jumlah cabang produktif terendah pada perlakuan kontrol (T0) dan tertinggi pada T2. Rendahnya jumlah cabang produktif pada tanaman yang tidak diberi mulsa bahan organik disebabkan karena terjadinya persaingan hara, air, ruang, dan cahaya. Tabel 3 di atas juga menunjukkan bahwa jumlah cabang produktif yang baik pada perlakuan T2 karena pada perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu pada 2 cm dapat menghambat pertumbuhan gulma dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Sedangkan pada perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu diatas 3 cm dapat menyebabkan keracunan yang disebabkan oleh asam fenolat yang tinggi dan ketebalan mulsa. Sedangkan pada perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu dibawah 2 cm menyebabkan pertumbuhan gulma yang banyak sehingga terjadinya persaingan faktor tumbuh antara tanaman
dan gulma. Hal ini menunjukkan ketebalan mulsa ampas sagu diatas 3 cm atau dibawah 2 cm kendatipun mampu meningkatkan pertumbuhan cabang, namun belum maksimal dalam pertumbuhan kedelai. Sesuai dengan pendapat Handayanto et at. (1994), sifat lepas dari senyawa fenolat mempunyai kemampuan yang sangat komplek dalam melakukan perombakan zat-zat yang terkandung, yang mengakibatkan pelepasan unsur dari ampas sagu menjadi terhambat. Hasil analisis ragam menunjukan perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu berpengaruh sangat nyata terhadap bobot biji kering kedelai per tanaman. Rata-rata jumlah bobot biji kering tanaman kedelai per tanaman akibat perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Rata-rata ketebalan mulsa ampas sagu terhadap bobot biji kering kedelai per tanaman Bobot kering biji Perlakuan kedelai(g) T0 11.50 a T1 21.25 b T2 37.75 d T3 35.00 d T4 28.00 c BNT 0,05 3.62 Keterangan : Angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 persen (uji BNT). Tabel 4 diatas dapat dilihat bobot biji kering kedelai tertinggi terdapat pada perlakuan 2 cm (T2) sebanyak 37,75 g per tanaman tidak berbeda nyata dengan T3. Hal ini disebabkan ketebalan mulsa ampas sagu 2-3 cm merupakan yang ideal dalam menekan pertumbuhan gulma dan meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai, sehingga bobot kering biji per tanaman yang tinggi. Menurut Wahid et al. (1999), mulsa ampas sagu berpengaruh positif terhadap 67
pertumbuhan tanaman yaitu dapat mengurangi fluktuasi suhu tanah harian sehingga kandungan air tanah dapat dipertahankan pada batas optimal. Hal ini diduga selain kemampuan mulsa ampas sagu menekan gulma, juga disebabkan kemampuan mulsa meningkatkan porositas tanah, permeabilitas dan bulk density tanah. Penekanan gulma hanya terjadi pada areal percobaan, hal ini disebabkan karena pengaruh penutupan secara fisik dan pengaruh asam-asam fenolat pada ampas sagu. Pengaruh alelopati ampas sagu mampu menekan gulma di awal percobaan. Seiring bertambahnya waktu, dekomposisi mulsa ampas sagu lebih berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan terhadap tanaman kedelai melalui penambahan unsur hara dalam tanah dan memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Menurut Stevenson (1994), pada kosentrasi tertentu asam fenolat dapat menimbulkan keracunan pada tanaman kedelai yang menyebabkan akar kurang berkembang, pendek, tidak memiliki akar rambut, warna coklat, ujung daun menjadi warna kuning, dan tanaman menjadi kerdil. IV. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Perlakuan ketebalan mulsa ampas sagu berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman kedelai, bobot kering gulma, jumlah cabang produktif dan bobot kering biji kedelai. 2. Pada ketebalan mulsa ampas sagu 2-3 cm menunjukkan hasil yang baik pada tinggi tanaman, bobot kering gulma, jumlah cabang produktif dan bobot kering biji kedelai. Sedangkan ketebalan ampas sagu melebihi 3 cm pertumbuhan tanaman pokok kedelai menjadi terhambat.
68
SARAN 1. Disarankan kepada setiap pengelola sagu agar tidak membuang limbah ampas sagu secara bebas karena dapat mencemari lingkungan, melainkan dapat dimanfaatkan sebagai mulsa pada tanaman kedelai. 2. Untuk menekan pertumbuhan gulma dan meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai dapat memberikan mulsa ampas sagu pada ketebalan 2-3 cm.
DAFTAR PUSTAKA Devi, S.R, Pellisier and Prasad. 1997. Allelochamical In: M.N.V. Prasad (Eds). 1997. Plant Ecophysiologi. John Willey and Sons. Inc. Toronto. Canada. 253303. Einhellig. F.A. 1995. Allelophati Current Status and Future Growth. American Cheminal Society. Washington. D.C.216p. Handayanto, E.G., Gadisch, and K.. Giller. 1994. N Reselase from legume hedgerow tree pruning in relation to their quality and incubation method. Plan and soil. 160: 238 M. Syakir et a,2000. Pengaruh ampas sagu dan kompos terhadap produktivitas lada perdu 173 Oudejans. J.H. 1991. Agro Pesticides: properties and Funtion In Intergrated Crop Protection United Nations. Bangkok. 329p. Stevenson, F.J. 1994. Humus Chemistry, Genesis, Composition and Reaction. A. Willey-Interscience Pub Singapore. 496p.
Suprapto, H.S. 1989. Bertanam Kedelai. P.T. Penebar Swadaya. Jakarta. Rahayu, E.S. 2001. Potensi Alelopati lama kultivar terhadap gulma dan persaingannya. Dalam Surato A Yunus, E.Purwanto dan Supyino. Wahid, P., M.H.B. DjoefrieE, dan M. Syakir. 1999. Manipulasi Agronomik dalam Upaya Meningkatkan Daya Saing dan Keunggulan Komparatif Lada Perdu. Laporan RUT. (Kantor Menteri Riset dan Teknologi Dewan Riset Nasional (tidak dipublikasikan).
69
PETUNJUK PENULISAN NASKAH JURNAL RONA LINGKUNGAN HIDUP Naskah yang akan dikirimkan ke redaksi merupakan hasil penelitian, review artikel atau kajian kebijakan, yang berhubungan dengan permasalahan lingkungan hidup dan dilaksanakan pada 5 tahun terakhir. Naskah tersebut belum pernah dipublikasikan maupun sedang dipertimbangkan penerbitannya di jurnal lain. Pengiriman Naskah, Naskah sebanyak 2 eksemplar disertai dengan copi plasdisk dikirim ke alamat berikut : Redaksi Jurnal Rona Lingkungan Hidup Bapedalda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jln. Tgk. Malem No. 2 Banda Aceh. Naskah yang layak dan telah dikoreksi oleh team editor akan dimuat dan diterbitkan dalam Jurnal Rona Lingkungan Hidup. Naskah yang ditolak akan dikembalikan ke pemiliknya, sedangkan naskah yang ditunda penerbitanya akan disimpan oleh redaksi dan akan diperioritaskan pada penerbitan berikutnya. Bahasa. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Format. Naskah terdiri dari Judul, Nama Penulis, Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terima Kasih (bila diperlukan), Notasi, dan Daftar Pustaka. Naskah diketik dengan Microsoft Word pada kertas A4 (215 mm x 297 mm) dalam bentuk ketikan 1 spasi dengan huruf Times New Roman 12 pitch. Margin kiri 3,5 cm, margin kanan 2 cm, margin atas 3 cm dan margin bawah 3 cm setiap halaman diberi nomor. Nama Penulis. Ditulis lengkap (tanpa gelar) disertai nama instansi tempat penulis bekerja serta alamat email. Abstrak. Untuk tulisan berbahasa Indonesia, abstraknya ditulis dalam bahasa Inggris sedangkan tulisan dalam bahasa Inggris abstraknya ditulis dalam bahasa Indonesia. Abstrak tidak melebihi 250 kata yang berisikan uraian singkat inti permasalahan, tujuan, metode dan keluaran utama penelitian. Abstrak diketik dengan huruf Times New Roman 10 pitch. Kata Kunci. Ditulis dalam bahasa Inggris, sebanyak-banyaknya 5 buah dan dicantumkan di bawah abstrak. Pendahuluan. Pendahuluan menjelaskan latar belakang penelitian, permasalahan, tinjauan pustaka
yang sangat penting serta tujuan penelitian. Metode penelitian memuat tentang waktu dan lokasi, bahan dan alat utama, rancangan penelitian, variabel yang diamati serta analisis statistika yang digunakan. Hasil dan Pembahasan. Hasil Pembahasan digabung menjadi satu kesatuan yang utuh. Data yang telah tertera dalam hasil penelitian, baik dalam bentuk tabel maupun gambar tidak perlu diuraikan, namun harus diinterprestasikan. Hasil penelitian yang diperoleh dapat dibandingkan dengan penelitian lain yang dipublikasikan. Setiap gambar dan tabel diberi judul dan keterangan singkat yang diletakkan di bawah untuk gambar dan di atas untuk tabel. Kesimpulan dan saran merupakan rangkuman/inti dari suatu hasil penelitian. Daftar Pustaka. Cara mengacu daftar acuan dilakukan dengan menuliskan nama penulis pertama dan tahun penerbitan di dalam kurung, misalnya (Afean dkk.,1991) untuk penulis lebih dari dua orang atau (Lu dan Wilkins. 1996) untuk penulis dua orang. Penulisan Daftar Pustaka harus memuat semua nama penulis. Morton dkk, tidak dibolehkan. Judul harus lengkap. Daftar pustaka disusun ke bawah menurut abjad nama akhir penulis pertama. Daftar pustaka dari suatu jurnal ilmiah ditulis ; Lu, Y. dan Wilkins, E., 1996, Heavy Metal Removal by Caustic-Treated Yeast Immobilized in Alginate, J. Hazardous Materials, 49 (1) 165179. Daftar pustaka dari suatu buku ditulis ; Eckenfelder, W.W.Jr., 1989, Industrial Water Pollution Control, McGraw-Hill, New York. Daftar pustaka dari suatu prosiding ditulis ; Berbner. S, dan Loffler. F., 1994, Pulse Jet Cleaning of Rigid Ceramic Filters Sepating Hard and Brown Coal Fly Ashes at High Temperature. Proceeding of The 11th International Piitsburgh Coal Conference, Pittsburgh, 12-16 September, 1357-1363. Daftar pustaka dari suatu paten ditulis ; Afeyan, N.B., Regnier, F., dan Dean, R, Jr., 1991, US Patent 5,019,270, May 28. Daftar pustaka dari suatu tesis/disertasi ditulis ; Kuriwan, T., 1997, Bioaccumulution of Arsenic, PhD Thesis, Kagoshima University, Japan.