g
ISSN 0216-2393
G R A D IE N
Vol. 2 No. 1 Januari 2006
JURNAL MIPA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BENGKULU Gradien
Vol. 2
No. 1
Hal. 105-151
Bengkulu, Januari 2006
ISSN 0216-2393
g
ISSN 0216-2393
G R A D IE N
Vol. 2 No. 1 Januari 2006
JURNAL MIPA DAFTAR ISI
Fisika 1. Pencitraan Konduktivitas Bawah Permukaan dan Aplikasinya untuk Identifikasi Penyebaran Limbah Cair Dengan Menggunakan Metode Geolistrik Tahanan Jenis 2D (Suhendra) 105-108 2. Analisis Citra Digital Dengan Menggunakan Teknik Penajaman Citra (Arif Ismul Hadi) 109-112 113-115 3. Uji Kualitas Akustik Auditorium (V. Sozi Karnefi) Kimia 4. Penentuan Adanya Senyawa Triterpenoid Dan Uji Aktivitas Biologis Pada Beberapa Spesies Tanaman Obat Tradisional Masyarakat Pedesaan Bengkulu (Eni Widiyati). 5. Studi Kandungan Etanol Dalam Tapai Hasil Fermentasi Beras Ketan Hitam Dan Putih (Teja Dwi Susanto) 6. Efek Perendaman Larutan Alkali Terhadap Prilaku Film Kertas Dari Nata De Coco Yang Dimodifikasi (Irfan Gustian) 7. Efek Kenaikan pH Pada Mekanisme Ekstraksi Cair-Cair Terhadap Asam Asam Karboksilat (Agus Martono)
116-122 123-125 126-129 130-133
Matematika 8. Karakterisasi Matrik Leslie Ordo Tiga (Mudin Simanihuruk) 134-137 138-143 9. Bentuk Umum Perluasan Teorema Phythagoras (Mulia Astuti) 10. Metode Diagonally Implicit Runge_Kutta Dalam penyelesaian Model Matematika Sistem Cardiovascular (Fanani) 144-151
Jurnal Gradien Vol.2 No.1 Januari 2006 : 105-108
Pencitraan Konduktivitas Bawah Permukaan dan Aplikasinya untuk Identifikasi Penyebaran Limbah Cair Dengan Menggunakan Metode Geolistrik Tahanan Jenis 2 D Suhendra Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 5 Desember 2005; disetujui 20 Desember 2005
Abstrak - Telah dilakukan penelitian mengenai pemodelan fisis aplikasi metode geolistrik tahanan jenis 2-D untuk pemantauan masalah lingkungan yaitu pencemaran limbah cair dengan menggunakan metoda geolistrik tahanan jenis memakai konfigurasi elektroda Wenner-Schlumberger. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi penyebaran polutan cair (oli bekas) dengan menggunakan metode geolistrik tahanan jenis 2D dan menentukan batas daerah yang terkontaminasi. Pengolahan data diolah dengan menggunakan software RES2Dinv ver 3.3 dan diperoleh nilai tahanan jenis medium yang terkontaminasi oleh limbah cair dari data geolistrik tahanan jenis adalah 2.09 – 4.36 Ωm serta dari penampang (pseudosection) geolistrik terlihat batas atau daerah yang terkontaminasi oleh limbah cair. Kata kunci : Tahanan Jenis; Pencemaran limbah; pemodelan fisis
1. Pendahuluan Metoda geolistrik dapat dimanfaatkan untuk studi masalah lingkungan, yaitu untuk mendeteksi kontras resistivitas medium akibat penyebaran kontaminan (rembesan limbah) di bawah permukaan yang sering diasosiasikan sebagai fluida konduktif [3]. Beberapa studi telah dilakukan diantaranya untuk identifikasi intrusi air laut, kebocoran limbah hasil industri [4] sehingga metoda geolistrik dapat digunakan secara efektif untuk mengidentifikasi distribusi polutan baik secara spasial maupun temporal. Namun untuk keperluan tersebut diperlukan perangkat dan teknik pengukuran yang dapat menghasilkan citra konduktivitas (atau resistivitas) bawah permukaan dengan resolusi tinggi secara tepat dan cepat. Di bawah permukaan sulit untuk mengamati secara langsung rembesan limbah, sejauh mana limbah tersebut akan mengalir dan berapa cepat dia mengalir sehingga perlu dilakukan studi awal untuk penyelidikan masalah lingkungan ini sehingga nantinya akan mudah untuk mencari metode dan cara penangulangan rembesan limbah cair yang akhirnya dapat mengangu keberadaan air tanah yang dikonsumsi secara langsung oleh masyarakat.
Pencemaran limbah dapat dilakukan dengan metoda geolistrik, ini dilakukan dengan menggunakan arus listrik searah yang diinjeksikan melalui dua buah elektroda arus ke dalam bumi, lalu mengamati potensial yang terbentuk melalui dua buah elektroda potensial yang berada di tempat lain. Perbedaan potensial yang terukur merefleksikan keadaan di bawah permukaan bumi. Pada dasarnya metoda ini didekati dengan menggunakan konsep perambatan arus listrik di dalam medium homogen isotropis, dimana arus listrik bergerak kesegala arah dengan nilai yang sama besar. Berdasarkan asumsi tersebut, maka bila terdapat anomali yang membedakan jumlah rapat arus yang mengalir diasumsikan diakibatkan oleh adanya perbedaan akibat anomali tahanan jenis. Anomali ini nantinya digunakan untuk merekonstruksi keadaan geologi di bawah permukaan. Perbedaan konfigurasi elektroda, variasi tahanan jenis spesifik yang diselidiki, prosedur memperoleh data sangat menentukan dalam pemakaian metoda ini.
Suhendra / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 105-108
106
Metoda tahanan jenis mempunyai dua macam pendekatan, yaitu pendekatan horisontal dan pendekatan vertikal, kedua pendekatan ini mempunyai prosedur kerja dan interpretasi yang berbeda antara satu sama lainnya. Metoda tahanan jenis pendekatan horisontal dimaksudkan sebagai eksplorasi metoda tahanan jenis untuk mendeteksi lapisan atau formasi batuan yang mempunyai kedudukan stratigrafi bidang lapisan yang membentang secara horisontal. Sedang eksplorasi dilakukan untuk mempelajari urutan stratigrafi batas lapisan secara vertikal dari atas sampai bawah. 2. Metode Penelitian Lokasi Penelitian
Akuisisi data resistivitas dilakukan dengan menggunakan konfigurasi elektroda Wenner-Schlumberger dengan jarak spasi elektroda 5 cm dengan lintasan pengukuran sebanyak satu lintasan yaitu lintasan U-S. Dengan pertimbangan akuisisi ini dapat mengambarkan pola arah aliran secara Vertikal dan horisontal dalam bentuk 2D. secara tepat dan akurat. Alat Ukur Geolistrik Tahanan Jenis Alat yang digunakan untuk penelitian bawah permukaan yaitu Resismeter tipe Naniura Nrd22r beserta kelengkapanya yang terdiri dari accumulator (aki) sebagai sumber arus DC, kabel penghubung, elektroda arus dan potensial serta kelengkapan pendukung seperti meteran.
Penelitian ini merupakan penelitian model fisis yang dilakukan di Laboratorium Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Bengkulu, untuk mengamati rembesan limbah di bawah permukaan medium berdasarkan anomali nilai resistivitas medium. Tempat pengambilan data merupakan model fisis berupa bak kaca berukuran 2 m x 1m x 1 m.
Pengolahan Data
Teknik Pengambilan Data
Sebelum data diolah dengan pemodelan numerik metoda Finite elemen terlebih dahulu datum nilai beda potensial dan arus yang terukur di lapangan diolah terlebih dahulu
Data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data tahanan jenis medium berupa tanah lempung (clay sand) dan tahanan jenis medium setelah diinjeksikan dengan limbah cair (Oli bekas), pengukuran di lapangan sebelum dan sesudah diinjeksi dengan limbah untuk mensimulasikan penyebaran polutan cair pada suatu model fisis [2][4] analisis kualitatif dan kuantitatif data lapangan untuk memperoleh penampang tahanan jenis semu melalui pemodelan inversi dengan menggunakan metode yang dikemukan oleh Loke dan Barker [1], untuk mengamati rembesan limbah yang diperoleh malalui pengukuran arus dan potensial listrik dengan menggunakan peralatan resistivitimeter. Dengan adanya data resistivitas dari medium pasir dan medium pasir yang telah diinjeksi kita dapat membandingkan antara medium yang belum terkontaminasi dengan medium yang telah terkontaminasi oleh limbah polutan cair.
Pemantauan variasi terhadap waktu sangat diperlukan dalam penelitian ini karena data tersebut akan menunjukan pola dan arah aliran polutan, pengambaran pola dan arah aliran polutan bawah permukaan dilakukan dengan pemodelan numerik Metoda Finite Elemen.
untuk memperoleh nilai tahanan jenis semu (ρa) untuk setiap titik pengukuran dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: ρa = K ∆V / I
(1)
ρa = Tahanan jenis semu (Ohm. m), K = Koefesien geometri untuk konfigurasi elektroda WennerSchlumberger, ∆V = Beda potensial (volt) dan I = Arus listrik (Ampere) 3. Hasil Dan Pembahasan Penelitian ini menggunakan konfigurasi elektroda Wenner-Schlumberger sehingga dapat menjelaskan penyebaran limbah secara lateral dan vertikal sehingga dianalogikan.penyebaran limbah dalam bentuk 2-D. Perhitungan data dengan persamaan 2, diperoleh nilai apparent resistivity pada masing-masing titik ukur. Selanjutnya dilakukan inversi dengan menggunakan
Suhendra / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 105-108
program RES2DINV ver 3.3 untuk melihat penampang tahanan jenis dari pasir serta anomaly yang mengidentifikasikan terdapatnya rembesan polutan di bawah permukaan.
107
diukur sejauh mana oli tersebut akan menyebar pada medium yang telah disiapkan.
Berdasarkan hasil inversi dengan menggunakan program RES2DINV ver 3.3 dari konfigurasi elektroda WennerSchlumberger dengan jarak spasi elektroda potensial 5 cm, serta panjang lintasan 2 m diperoleh penampang tahanan jeni seperti terlihat pada Gambar 1 berikut ini.
Gambar 2 Penampang hasil inversi 2-D dari pasir yang terkontaminasi
Gambar 1. Penampang hasil inversi 2-D dari Tanah lempung (clay sand)
Tahanan jenis pasir yang diinjeksikan polutan cair Nilai tahanan jenis tanah lempung tanpa limbah yang merupakan pembanding antara medium yang terkontaminasi dengan yang belum terkontaminasi yang merupakan hasil pengukuran arus dan potensial listrik dapat terlihat pada gambar 1. Dari hasil penampang geolistrik pasir tanpa limbah terdapat nilai tahanan jenis berkisar antara 28.6 – 46 Ωm yang diinterpretasikan berupa air, ini dapat diyakini karena bagian tengah-tengah bak kaca pasir terlihat masih basah. Tahanan jenis pasir yang diinjeksikan polutan cair. Nilai tahanan jenis pasir yang diinjeksikan polutan cair yang merupakan hasil pengukuran arus dan potensial listrik dapat dilihat pada Gambar 2. Polutan cair (oli) yang diinjeksikan sebanyak 1000 mL yang ditumpahkan ditengah-tengah bak kaca lalu dibiarkan selama kurang lebih 30 menit untuk membiarkan penyebaran oli benar-benar sudah berhenti sehingga dapat
Dari hasil pengolahan data melalui inversi terlihat bahwa daerah yang sudah terkontaminasi dengan limbah oli yang memiliki nilai resistivitas berkisar dari 2.09 Ω.m sampai dengan 4.36 Ωm, dimana terlihat dari Gambar .2 bahwa limbah terdapat pada kedalaman 5 cm – 20 cm dari permukaan tanah (ground surface). Dari hasil pengolahan data terdapat nilai tahanan jenis yang cukup tinggi yaitu 172 – 359 Ωm ini di interpretasikan merupakan pasir besi yang terdapat pada medium tanah lempung (clay sand) yang digunakan. 4. Kesimpulan Berdasarkan penampang geolistrik tahanan jenis 2-D terlihat adanya polutan limbah cair yang ditunjukkan dengan nilai tahanan jenis yang rendah ini dikarenakan oli bekas bersifat konduktif. Hasil pengamatan menunjukan bahwa nilai resistansi oli memiliki nilai yang cukup rendah yaitu berkisar dari 2.09 Ωm sampai dengan 4.36 Ωm.Aplikasi metode geolistrik dapat dipakai sebagai alat monitoring rembesan limbah, namun untuk kondisi lapangan yang sebenarnya harus masih perlu pengkajian yang lebih mendalam lagi. Serta mutlak harus ditunjang dengan data-data skunder.
108
Suhendra / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 105-108
Daftar Pustaka [1] Loke, M.H., R.D. Barker, Least-square dekonvolusi of apparent resistivity pseudosection, 1995, Geophysics, Vol 60 pp 1682-1690. [2] Park, S.K., Fluid migrasi in the vadose zone from 3D inversion of resistivity monitoring data, 1998, Geophysics, 60, 1682-1690. [3] Telford,W.M., L.P. Geldart and R.E. Sheriff, Applied Geophysic : Second Edition, 1990, Cambrige University Press, USA, 522-538. [4] Van, G.P., Park, S.K., Hamilton, P., Monitoring leaks from stroge ponds using resistivity methods, 1991, Geophysics, 56, 1267-1270.
Jurnal Gradien Vol.2 No.1 Januari 2006 : 109-112
Analisis Citra Digital Dengan Menggunakan Teknik Penajaman Citra Arif Ismul Hadi Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 8 September 2005; disetujui 15 Desember 2005
Abstrak - Analisis citra digital telah dilakukan dengan menggunakan teknik penajaman citra. Proses pengolahan data menggunakan software ILWIS (Integrated Land and Water Information System) versi 1.4 yang merupakan paket program yang memadukan sistem pengolahan citra dengan sistem informasi geografi. Hasil yang diperoleh menunjukkan citra komposit dengan kombinasi FCC 432 adalah yang paling mudah dibedakan. Kata kunci : citra digital; landsat; citra komposit.
1. Pendahuluan Suatu teknik pengumpulan informasi tentang objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik (penginderaan jauh) dapat menghasilkan beberapa bentuk citra untuk selanjutnya diproses dan diinterpretasi, sehingga menghasilkan data yang bermanfaat untuk aplikasi dibidang pertanian, kehutanan, geografi, geologi, dan bidang-bidang lainnya (Lo, C.P., 1986 dalam [5]). Informasi tentang objek disampaikan ke pengamat melalui gelombang elektromagnet. Pada penginderaan jauh, sensor merekam tenaga yang dipantulkan atau dipancarkan oleh objek di permukaan bumi. Objek yang terekam pada citra dikenali berdasarkan ciri-cirinya. Menurut Lillesand dan Kiefer (1983) dalam [2] ciri pengenalan objek ini disebut unsur interpretasi citra (element of image interpretation). Ciri pengenalan benda meliputi ciri spektral, ciri spasial, dan ciri temporal. Di antara tiga ciri ini, maka ciri spektral merupakan ciri utama. Ciri spasial seperti bentuk, ukuran, bayangan, tekstur, pola, situs, dan asosiasi baru tampak kemudian berdasarkan ciri spektralnya. Data penginderaan jauh yang berupa data digital atau data numerik dapat dianalisis dengan menggunakan komputer, sedangkan untuk data visual pada umumnya dianalisis secara manual [3]. Kecerahan rona objek pada citra bergantung atas besarnya tenaga pantulan yang datang dari objek. Berdasarkan
warna yang digunakan, foto berwarna dapat dibedakan atas [3]: foto berwarna semu (false color) atau foto infra merah berwarna dan foto warna asli (true color). Pada foto berwarna semu, warna objek tidak sama dengan warna foto. Objek seperti vegetasi yang berwarna hijau dan banyak memantulkan spektrum infra merah, akan tampak merah (reddish) pada foto, air akan tampak biru (blueish), dan tanah akan tampak hijau (greenish). Sedangkan untuk foto warna asli hasilnya akan tampak sesuai dengan aslinya. Keunggulan foto berwarna semu justru terletak pada warnanya yang tidak serupa dengan warna aslinya. Dengan warna semu ini banyak objek yang pengenalannya akan menjadi lebih mudah. Karena vegetasi yang lebat memantulkan saluran infra merah dekat jauh lebih besar bila dibandingkan dengan pantulannya pada saluran hijau [4], maka ia akan tampak dengan pelbagai tingkat kemerahan pada foto infra merah berwarna dan jika vegetasinya telah mati, maka pada foto infra merah berwarna tidak akan tampak merah. Cara paling umum untuk menonjolkan masing-masing keunggulan secara serentak adalah dengan membuat citra komposit warna [1]. Citra ini menghasilkan paduan saluran 1, 2, dan 3, sehingga menghasilkan informasi seperti pada foto udara infra merah warna semu. Prinsipnya, masing-masing saluran (yang aslinya hanya tersaji dalam rona hitam-putih) diberi warna dasar. Pada
110
Arif Ismul Hadi / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 :109-112
umumnya, saluran 3 (infra merah dekat) diberi warna merah, saluran 2 (merah) diberi warna hijau, dan saluran 1 (hijau) diberi warna biru. Kombinasi warna ketiga saluran ini menghasilkan citra berwarna semu, seperti halnya foto udara infra merah berwarna. Cara interpretasi visual untuk komposit ini pun sama dengan cara interpretasi untuk foto udara infra merah berwarna. Di samping teknik penyusunan citra komposit, dikenal pula teknik penajaman citra, yang menghasilkan citra masing-masing saluran dengan kenampakan yang lebih tajam untuk aspek-aspek tertentu. Teknik-teknik ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu penajaman kontras (contras enhancement) dan pemfilteran (filtering). Penajaman kontras merupakan teknik manipulasi citra yang mengubah nilai spektral asli menjadi nilai baru, sehingga kekontrasan antar objek menjadi lebih jelas. Pemfilteran merupakan teknik penonjolan (dan sekaligus penghilangan) variasi spektral tertentu, sehingga menghasilkan citra baru yang lebih ekspresif dalam menonjolkan pola-pola tertentu, misalnya kelurusan, jaringan sungai, ataupun jaringan jalan [1]. Dengan penajaman warna ini maka objek pada citra hitam-putih yang semula belum dapat dikenali, kemudian dapat dikenali karena diujudkan dengan warna yang bedanya terhadap objek lain dipertajam. Hasil akhirnya berupa citra paduan warna.
3. Hasil Dan Pembahasan Pengenalan objek merupakan bagian vital dalam interpretasi citra. Tanpa dikenali identitas dan jenis objek yang tergambar pada citra, tidak mungkin dilakukan analisis untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Prinsip pengenalan objek pada citra mendasarkan atas penyelidikan karakteristiknya atau atributnya pada citra. Karakteristik objek yang tergambar pada citra dan digunakan untuk mengenali objek disebut interpretasi citra [3].
FCC 432
FCC 532
2. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode eksperimen dan visual yaitu dengan teknik penajaman citra. Citra ini merupakan paduan saluran 1, 2, dan 3, sehingga menghasilkan informasi seperti pada foto udara inframerah warna semu. Prinsipnya adalah masingmasing saluran (yang aslinya hanya tersaji dalam rona hitam-putih) di “beri” warna dasar.
FCC 732
TCC 342
Pada umumnya, saluran 3 (inframerah dekat) diberi warna merah, saluran 2 (merah) diberi warna hijau. Dan saluran 1 (hijau) diberi warna biru. Kombinasi warna ketiga saluran ini menghasilkan citra berwarna semu.Vegerasi berwarna merah, air berwarna biru gelap-biru kehijauan, dan lahan terbuka berwarna biru kehijauan-putih cerah [1].
TCC 372
Arif Ismul Hadi / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 :109-112
Untuk objek vegetasi, citra komposit FCC 432 dan FCC 532 tampak sangat jelas dengan rona merah dan masih tampak antara kerapatan vegetasinya (rona merah muda dan merah tua), untuk citra komposit FCC 732 agak kurang tampak, karena warnanya hampir sama dengan warna tanah yaitu warna coklat tua dan coklat muda. Sedangkan vegetasi pada TCC 342 dan TCC 352 tampak sangat jelas dengan rona hijau dan pada TCC 372 tampak kurang jelas, karena rona tanah juga tampak hijau muda.
TCC 352 Tabel 1. Interpetasi
Komposit Objek
Citra Landsat FCC
FCC
FCC
TCC
TCC
TCC
432
532
732
342
352
372
Air
***
***
***
*
*
*
Tanah
***
**
**
*
*
*
Vegetasi
***
***
**
***
***
**
Sungai
***
***
***
***
***
***
Tambak
***
***
***
***
***
***
***
**
*
***
**
*
***
**
*
***
***
***
*
*
Tanaman pantai Kerapatan vegetasi
Tk. Kekeringan *** ** * * tanah Keterangan : *** Sangat jelas (mudah dibedakan) ** Sedang * Tidak jelas (sulit dibedakan)
111
Dari tabel 1 di atas dapat dijelaskan bahwa untuk objek air akan tampak sangat jelas atau mudah dibedakan pada citra komposit FCC (False Color Composite) 432, FCC 532, dan FCC 732 yaitu berwarna biru. Sedangkan pada TCC (True Color Composite) 342, TCC 352, dan TCC 372 tidak jelas atau sulit dibedakan. Hal ini terjadi karena antara rona air dan rona tanah hampir mempunyai warna yang sama (pink gelap dan pink terang). Untuk objek tanah, citra komposit FCC 432 tampak sangat jelas/mudah dibedakan yaitu berwarna hijau yang tampak jelas. Pada FCC 532 dan FCC 732 tanah tampak sedang/kurang jelas walaupun masih tampak hijau sedikit. Sedangkan tanah pada TCC 342, TCC, 352, dan TCC 372 sulit dibedakan, karena warnanya hampir sama dengan warna air yaitu warna pink.
Untuk objek sungai pada semua citra komposit yang ada tampak sangat jelas/mudah dibedakan. Hal ini terjadi karena aliran sungai tampak memanjang munuju ke arah laut. Untuk objek tambak juga tampak sangat jelas/mudah dibedakan pada semua citra komposit yang ada seperti tampak pada sebelah kanan atas (pinggir laut) dari gambar-gambar tersebut. Untuk objek tanaman pantai, citra komposit FCC 432 dan TCC 342 tampak sangat jelas/mudah dibedakan dengan rona merah pada FCC 432 dan hijau pada TCC 342 di pinggir laut/pantai. Pada FCC 532 dan TCC 352 tampak kurang jelas, walaupun masih tampak ada rona merah pada FCC 532 dan hijau untuk TCC 352 di pantai. Dan untuk FCC 732 dan TCC 372 sulit dibedakan. Untuk kerapatan vegetasi tampak jelas pada citra komposit FCC 432, TCC 342, TCC 352, dan TCC 372. Hal ini karena masing-masing citra komposit tersebut masih terlihat rona merah tua dan mudanya untuk FCC 432, dan rona hijau tua dan muda untuk semua citra komposit TCC. Sedangkan untuk FCC 532 tampak kurang jelas, walaupun masih sedikit terlihat perbedaan antara rona merah tua dan muda, sedangkan untuk FCC 732 sulit dibedakan. Untuk tingkat kekeringan tanah, pada FCC 432 tampak sangat jelas dengan rona hijau muda. Untuk FCC 532 tampak kurang jelas perbedaan warna hijaunya, walaupun masih tampak sedikit, sedangkan untuk FCC 732, TCC 342, TCC 352, dan TCC 372 sulit dibedakan.
112
Arif Ismul Hadi / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 :109-112
4. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan : 1. Pada citra komposit FCC (False Color Composite) objek vegetasi akan berwarna merah, objek air akan berwarna biru dan objek tanah akan berwarna hijau. 2. Dari semua citra komposit yang telah ditampilkan, maka citra komposit dengan kombinasi FCC 432 adalah yang paling mudah untuk diinterpretasi. Karena rona yang ditampilkan mudah dibedakan (seperti terlihat pada tabel interpretasi). Ucapan Terima Kasih Pada kesempatan ini penulis ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Drs. Heru, M.Sc atas diskusinya dalam pengolahan citra digital di Lab. Penginderaan Jauh, UGM. Daftar Pustaka [1] Danoedoro, Petunjuk Praktikum Pengolahan Citra Digital dengan ILWIS versi 1.4, 2001, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta. [2] Sutanto, Penginderaan Jauh Dasar, 1995, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta. [3] Sutanto, Penginderaan Jauh Jilid 1, 1986, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. [4] Sutanto, Penginderaan Jauh Jilid 2, 1987, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. [5] Purbowaseso, B., Penginderaan Jauh Terapan, 1996, UIPress. Jakarta.
Jurnal Gradien Vol.2 No.1 Januari 2006 : 113-115
Uji Kualitas Akustik Auditorium V. Sozi Karnefi Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 3 Desember 2005; disetujui 15 Desember 2005
Abstrak. - Pentingnya ilmu akustik dalam disain arsitektur masa kini merupakan suatu yang tidak dapat diingkari lagi. Rancang bangun arsitektur terasa kurang sempurna tanpa memperhatikan pentingnya keberadaan ilmu akustik, dalam menciptakan keadaan mendengar yang ideal. Oleh karena itu pengendalian bunyi secara arsitektural dibagi dalam dua sasaran utama yaitu akustik ruang dan pengendalian bising. Dengan demikian keberadaan akustik ruang dan pengendalian bising akan memungkinkan terciptanya kesempurnaan rancang bangun, baik secara akustik maupun arsitektural. Kata kunci : Waktu Reverbrasi; Akustik Ruang.
penerimaan bunyi dalam ruang yang digunakan untuk berbagai tujuan mendengar seperti auditorium.
1. Pendahuluan Pengembangan arsitektur masa kini berfungsi lebih dari sekedar menyediakan ruang yang memerlukan aspek keindahan, fungsional teknik, maupun ekonomi tetapi juga sebagai perlindungan bagi penghuninya terhadap pengaruh termal, cahaya dan bunyi yang berasal dari lingkungan untuk mengharapkan kenyamanan, keamanan, lingkungan yang menyenangkan, penerangan yang cukup, pemandangan yang mengesankan serta bunyi yang laik didengar disamping kualitas acara itu sendiri [4]. Hal-hal yang menentukan kondisi mendengar dalam suatu ruang – dan merupakan pertimbangan arsitektur murni – seperti bentuk ruang, dimensi dan volume, letak batas-batas permukaan, pengaturan tempat duduk, lapisan permukaan dan bahan-bahan untuk dekorasi interior, sedikit banyak akan menentukan penampilan akustik ruang tersebut. Oleh karena itu pengendalian bunyi secara arsitektural mempunyai dua sasaran yaitu 1. Akustik Ruang Akustik ruang bertujuan menyediakan keadaan yang paling diinginkan untuk menghasilkan perambatan dan
2.
Pengendalian Bising Ruang lingkup pengendalian menyangkut peniadaan atau pengurangan bising dalam jumlah yang memadai.
Suatu ruang dengan waktu reverbrasi yang tidak memenuhi tuntutan kualitas akustik akan merusak kondisi akustik ruang, padahal waktu reverbrasi merupakan parameter akustik ruang yang sangat sering digunakan dalam mendisain raung tertutup, disamping pentingnya menghilangkan cacatcacat akustik yang terjadi dalam ruang dengan jalan menciptakan penyebaran bunyi. Persamaan Waktu Reverbrasi Sabine Pentingnya pengedalian dengung dalam rancangan akustik auditorium telah mengharuskan masuknya besaran standar yang relevan yaitu waktu reverbrasi T, yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk bunyi meluruh 60 dB. Sabine adalah orang pertama yang membentuk hubungan kuantitatif antara waktu reverbrasi, volume ruang dan jumlah penyerapan total ruang.
V. Sozi Karnefi / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 113-115
114
Persamaan Sabine menyediakan pendekatan yang beralasan untuk perhitungan waktu reverbrasi yang memungkinkan arsitek melakukan pengendalian dengan mudah dan cepat untuk rancangan akustik suatu auditorium.
Dengan T adalah waktu reverbrasi, α adalah koefisien penyerapan, V adalah volume ruang dan S adalah luas permukaan 2. Metode Penelitian
Waktu reverbrasi akan berubah dengan perubahan frekuensi, dikarenakan penyerapan bermacam-macam bahan dan lapisan penutup yang digunakan dalam rancangan auditorium kadang-kadang berubah cukup banyak dengan perubahan frekuensi, maka sangat penting untuk menyatakan atau menghitung waktu reverbrasi untuk sejumlah frekuensi wakil pada jangkauan frekuensi audio misalnya frekuensi 125, 250, 500, 1000, 2000, dan 4000. Jumlah frekuensi wakil ini tergantung pada pentingnya hal-hal yang berkaitan. Bila suatu waktu reverbrasi disebutkan tanpa menyertakan suatu frekuensi tertentu, maka reverbrasinya adalah untuk frekuensi tengah 500 Hz.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Secara matematis persamaan yang memberikan peluruhan bunyi difuse uniform diperoleh dengan mengambil harga π =0. Jika sumber dimatikan pada saat t = 0, tekanan bunyi kemudian menjadi [5], Pr2
=
Pr2 (0) e -t /τ E
Sehingga perubahan tingkat tekanan bunyi – sound preassure level yang disingkat SPL – menjadi,
9. 10. 11.
∆SPL = 4,35 t/ τ E
Sedangkan waktu reverbrasi didefenisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan tingkat tekanan bunyi 60 dB, maka didaptkan harga T, T = 13,8 τ E =
55,2 V Ac
Diketahui suhu rata-rata untuk daerah Pekanbaru adalah 30oC maka kecepatan bunyi untuk daerah Pekanbaru dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan konversi berikut, c = 331,6 + 0,6 T Dengan c adalah keepatan bunyi dan T adalah suhu dalam o C. Maka didapat harga kecepatan bunyi untuk daerah Pekanbaru adalah c = 349,6 m/dt, sehingga rumus waktu reverbrasi untuk daerah Pekanbaru menjadi, T=
0,158 V Sα
12. 13.
14.
Atur dan susunlah peralatan. Setelah generator attenuator pada – 40 dB. Putarlah counter clockwise pada posisi maksimum [2]. Setelah power menjadi on yang akan ditunjukan dengan menyalakan lampu CAL 10 detik kemudian. Biarkan posisi recorder push off (jika ingin menggunakan recorder tekan push on) tombol 16. Tekanlah saklar SYNC pada INT untuk pengaturan peralatan, nomor tombil 14. Tekanlah tombol MIC untuk penggunaan input jack nomor tombol 12 Aturlah saklar SCALE pada posisi 50 dB. Jika menggunakan recorder setelah kertas grafik dengan meletakan IC pen pada titik awal. Bila REC MODE diset pada GRAPH ujung pen harus diletakan pada tanda ∆ (45 Hz). Aturlah saklar frekuensi pada posisi 500 Hz tombol 21. Warble swing diset pada lebar 1 oktaf. Tombol 26. FS selector switch diset pada posisi 1 sec, untuk pembacaan skala bagian atas pada reverbrasi meter, tombol 30. FUNCTION diset pada REV, tombol 31. REC MODE diset pada switch yang lain, lalu waktu reverbrasi dapat dibaca pada meter reverbrasi tombol 34. Aturlah control level (tombol 8) pada INDIKATOR LEVEL dan KONTROL LEVEL (tombol 24) pada SIGNAL GENERATOR sehingga METER REVERBRASI menunjukan titik CAL, setelah itu LEVEL SIGNAL GENERATOR menjadi minimum. Jika pada saat itu, METER REVERBRASI gagal menunjukan daerah noise, maka putarlah SWITCH LEVEL pada LEVEL INDIKATOR COUNTER CLOCKWISE untuk CAL pada keadaan yang cocok (tingkat noise di luar daerah noise yang akan diukur akibatnya akan terjadi salah pengukuran).
V. Sozi Karnefi / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 113-115
15. Periksa kembali apakah lampu CAL telah hidup, maka tekan tombol START, signal akan keluar yang ditunjukan dengan hidupnya lampu MEASURE, bila signal telah keluar sebanyak lima kali maka lampu MEASURE akan mati, METER REVERBRASI menunjukan periode yang telah ditentukan oleh HOLD time, kemudian lampu REV akan hidup bila pengukuran tidak sesuai dengan noise ruang. 16. Jika lampu CAL hidup kembali, setelah frekuensi menjadi 125 Hz maka lakukan lagi langkah ke 15. putarlah frekuensi yang dibutuhkan yaitu 500 Hz 3. Hasil dan Pembahasan
Sedangkan penyimpangan harga waktu reverbrasi teoritis terhadap harga ideal untuk PKM 20%, untuk Mesjid Akramunas 309%, untuk ruang kuliah 100% dan untuk ruang studio 340%. Diperoleh juga penyimpangan harga waktu reverbrasi pengukuran terhadap harga ideal untuk PKM 12%, untuk ruang kuliah 50% dan untuk ruang stuio 310%. Dapat dilihat penyimpangan harga waktu reverbrasi ruangruang diatas sangat besar dikarenakan kesalahan desain ruang hal ini menunjukan bahwa disain arsitekturnya tidak memperhatiakn pentingnya keberadaan akustik.
Hasil yang diperoleh untuk beberapa macam auditorium disajikan pada tabel 1 di bawah ini:
4. Kesimpulan 1.
Tabel 1. Data auditorium yang diamati
No
Auditorium
1. 2. 3. 4.
Ruang Pertemuan PKM Mesjid Ruang Kuliah
Teoritis (detik) 1,73 2,87 1,00 0,44
Waktu Reverbrasi Pengukuran Ideal (detik) (detik) 1,43 1,6 0,9 2,9 0,6 0,95 0,1 0,41
Dari hasil pengukuran pertimbangan arsitektur murni dan manipulasi matematis diperoleh bahwa waktu reverbrasi untuk ruang PKM adalah 1,72 detik untuk Mesjid Akramunas 2,87 detik untuk ruang kuliah 1 detik dan untuk studio 0,44 detik.
2.
3.
[1] [2]
[4] [5]
Dari hasil pengukuran diperoleh juga harga waktu reverbrasi ruang kuliah 0,95 detik, untuk studio 0,41 detik dan untuk PKM 1,6 detik, * maka didapat kesalahan antara harga waktu reverbrasi teoritis terhadap pengukuran untuk PKM 7,5%, untuk ruang kuliah 7,3% dan untuk studio 5,3%, sehingga harga waktu reverbrasi yang dihitung dapat dipercaya.
Satu parameter yang penting dalam desain ruang adalah waktu reverbrasi. Akustik ruang bertujuan menyediakan keadaan yang paling diinginkan untuk menghasilkan rambatan dan penerimaan bunyi dalam ruang yang digunakan untuk berbagai tujaun mendengar. Ruang lingkup pengendalian bising menyangkut peniadaan atau pengurangan bising. Daftar Pustaka
[3]
Sedangkan waktu reverbrasi ideal untuk ruang PKM adalah 1,43 detik untuk Mesjid Akramunas 0,9 detik, untuk ruang kuliah 0,6 detik dan untuk studio 0,1 detik.
115
[6] [7]
Anonim, Acoustic Measurement, 1962, John Wiley & Sons, Inc, new York,. Anonim, Instruction Manual, Sound and Acoustic Meansurement, Equipment, SE 3000, Trio Ken Wood. Baranek Leo.L, Noise and Reduction, 1960, McGraw-Hill Book Company, Inc, New York. Doelle.L, Environmental Acoustic, Terjemahan Lirik Prasetio, 1972, McGraw-Hill, Inc. Kinsler.L.E., Fundamental of acoustic, 1982, John Welley and Sons, Third edition. M.Morse.P, Vibration and Sound, Second edition, 1948, McGraw-Hill Book Company, Inc, Tokyo. Thomson.W.T, Theory of Vibration With applicatons, Second edition, 1981, Prenctice-Hall, Inc.
Jurnal Gradien Vol.2 No.1 Januari 2006 : 116-122
Penentuan Adanya Senyawa Triterpenoid Dan Uji Aktivitas Biologis Pada Beberapa Spesies Tanaman Obat Tradisional Masyarakat Pedesaan Bengkulu Eni Widiyati Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 6 Desember 2005; disetujui 25 Desember 2005
Abstrak - Telah dilakukan penelitian tentang penentuan adanya senyawa Triterpenoid dan uji aktivitas biologis pada beberapa spesies tanaman obat tradisional masyarakat pedesaan Bengkulu. Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap satu penentuan adanya senyawa Triterpenoid pada bagian tanaman dengan menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard dan tahap dua, uji aktivitas biologis (bioassay) dengan uji Brine Shrimp menggunakan hewan uji Arthemia salina Leach terhadap ekstrak bagian tanaman yang mengandung banyak dan sangat banyak senyawa Triterpenoid. Dari penelitian yang dilakukan telah diketahui sebanyak 34 spesies tanaman obat tradisional masyarakat pedesaan Bengkulu mengandung senyawa Triterpenoid dan tidak semua bagian tanaman mengandung senyawa Triterpenoid. Hasil uji aktifitas biologis menunjukkan bahwa dari 8 ekstrak bagian tanaman yang diuji, diketahui semuanya mempunyai harga LC 50 < 1000 ppm, berarti ekstrak kasar yang mengandung Triterpenoid tersebut mempunyai aktivitas biologis. Kata kunci: Triterpenoid; Liebermann-Burchard; bioassy
1. Pendahuluan Saat ini dunia farmasi dan kedokteran telah berkembang pesat, sehingga sudah banyak dibuat dan dipakai berbagai jenis obat-obatan yang diproduksi oleh pabrikpabrik farmasi. Oleh karena sebagian besar bahan baku untuk pembuatan obat-obatan tersebut masih diimport dari luar negeri, maka mengakibatkan harganya menjadi mahal dan kadang-kadang tidak terjangkau oleh sebagian masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Adanya krisis moneter dan krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia akhir-akhir ini membuat harga obat-obatan produksi pabrik menjadi semakin mahal dan semakin tidak terjangkau lagi oleh masyarakat kecil. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka perlu digalakkan penggunaan obat-obatan tradisional, khususnya yang dibuat dari ramuan tanaman. Tanaman, khususnya tanaman obat tradisional mudah diperoleh karena dapat ditanam sendiri di pekarangan rumah, selain itu tanaman (tumbuhan) merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui sehingga tidak akan mengalami kepunahan apabila dilestarikan.
Tanaman dikenal banyak mengandung senyawa-senyawa kimia khususnya senyawa metabolit sekunder. Salah satu senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam tanaman adalah senyawa Triterpenoid. Senyawa tersebut dapat dijumpai pada bagian akar, batang, daun, buah maupun biji tanaman. Triterpenoid adalah senyawa metabolid sekunder yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan diturunkan dari hidrokarbon C 30 asiklik , yaitu skualena. Senyawa ini berbentuk siklik atau asiklik dan sering memiliki gugus alkohol, aldehida, atau asam karboksilat [1]. Sebagian besar senyawa Triterpenoid mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol sehingga dalam kehidupan sehari-hari banyak dipergunakan sebagai obat seperti untuk pengobatan penyakit diabetes, gangguan menstuasi, patukan ular, gangguan kulit, kerusakan hati dan malaria. Sedang bagi tumbuhan yang mengandung senyawa Triterpenoid terdapat nilai ekologi karena senyawa ini bekerja sebagai anti fungus, insektisida, anti pemangsa, anti bakteri dan anti virus [2]. Uji kimia yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya senyawa
Eni Widiyati / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 :116-122
Triterpenoid dalam bagian tumbuhan adalah dengan menggunakan pereaksi Liebermann- Burchard [1], sedangkan untuk mengetahui adanya keaktifan biologis dari ekstrak bagian tanaman yang mengandung senyawa Triterpenoid dapat dilakukan dengan uji Brine Shrimp menggunakan hewan uji Arthemia Salina Leach [3]. Sejak dahulu, masyarakat pedesaan Propinsi Bengkulu sudah menggunakan obat-obatan tradisional untuk mengatasi berbagai penyakit. Meskipun perkembangan sistem dan cara pengobatan moderen telah maju pesat, namun pengobatan tradisional masih tetap mendapat tempat di dalam masyarakat pedesaan. Obat-obatan tradisional sebagai sarana penyembuhan berbagai penyakit, telah diwarisi secara turun-temurun dan telah menunjukkan bukti keampuhannya yang dapat diakui keberadaan dan kebenarannya sampai sekarang [4]. Sampai saat ini, belum banyak informasi tentang adanya kandungan senyawa metabolit sekunder khususnya Triterpenoid pada tanaman yang dipergunakan sebagai ramuan obat tradisional masyarakat pedesaan Bengkulu. Oleh karena itu perlu ditingkatkan penelitian-penelitian di bidang kimia, khususnya kimia organik bahan alam, sehingga akan memperkaya informasi di bidang tersebut. Informasi tentang adanya tanaman yang mengandung senyawa Triterpenoid serta adanya keaktifan biologis dari beberapa tanaman obat tradisional masyarakat pedesaan Bengkulu dapat memberikan sumbangan yang positif di bidang dunia kesehatan. Selain itu informasi tersebut dapat memberikan data dasar bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk melakukan penelitian di bidang senyawa Triterpenoid. Berdasarkan pada latar belakang di atas maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya senyawa Triterpenoid dan menentukan adanya aktivitas biologis beberapa tanaman yang mengandung banyak senyawa Triterpenoid pada beberapa spesies tanaman obat tradisional masyarakat pedesaan Propinsi Bengkulu. 3. Metode Penelitian Dalam penelitian ini digunakan alat dan bahan sebagai berikut:
117
1. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi pisau potong, lumpang porselin dan penumbuk, pipet tetes, pelat tetes, tabung reaksi, gelas ukur, tempat penetasan Arthemia salina, seperangkat alat ekstraksi sokhlet dan labu takar. 2. Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi sampel tanaman obat, kloroform, asam sulfat pekat, asam asetat anhidrat, Brine shrimp egg, DMSO, metanol, akuades, dan garam. Sedangkan metode penelitian meliputi: a. Penentuan Adanya Senyawa Triterpenoid Pada Bagian Tanaman Obat Tradisional. Pada penelitian ini dikumpulkan beberapa spesies tanaman obat tradisional yang biasa dipergunakan oleh masyarakat pedesaan Propinsi Bengkulu. Bagian yang diambil meliputi akar, batang , daun, bunga dan buah. Masing-masing spesies dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berbeda, kemudian dilakukan identifikasi adanya senyawa Triterpenoid sebagai berikut : Sebanyak 4 gram sampel segar (bagian tanaman dapat berupa akar, daun, kulit batang, bunga atau buah) digerus dalam lumpang porselin dan dilarutkan dengan kloroform sebanyak 10 ml. Filtrat yang dihasilkan dipindahkan ke dalam pelat tetes dan dibiarkan sampai menguap pelarutnya. Kemudian ke dalamnya ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard (1 tetes asam sulfat pekat dan 3 tetes asam asetat anhidrat). Uji positif jika timbul warna merah, merah jambu atau ungu. Untuk mengetahui banyak sedikitnya kandungan Triterpenoid dalam bagian tanaman, digunakan biji mahoni sebagai pembanding yang telah diketahui banyak mengandung senyawa riterpenoid (+++). Apabila sampel menunjukkan warna yang lebih pekat dari pembanding diberi tanda (++++), bila intensitas warnanya lebih kecil dari pembanding diberi tanda (++) atau (+) dan sampel yang tidak menunjukkan adanya Triterpenoid diberi tanda (-) [5]. b. Uji Aktivitas biologis (bioassy) dengan uji Brine Shrimp Untuk keperluan bioassay, maka bagian tanaman yang banyak mengandung Triterpenoid diekstrak dengan pelarut metanol. Ekstrak yang diperoleh diuapkan
118
Eni Widiyati / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 :116-122
pelarutnya sehingga diperoleh ekstrak kental yang siap untuk bioassay. Adapun pelaksanaan bioassay adalah sebagai berikut : sebanyak 500 ml larutan garam dimasukkan ke dalam wadah sebagai tempat penetasan yang dibuat terdiri dari dua bagian yaitu separo bagian tertutup dan separo bagian lain dibiarkan terbuka. Dimasukkan ke dalamnya Brine shrimp eggs secukupnya, kemudian ditempatkan di bawah sinar lampu yang diberi airasi. Setelah telur menetas, larva akan bergerak bebas. Ditunggu selama 2 hari sampai tumbuh menjadi larva dewasa. Kemudian disiapkan larutan sampel yaitu larutan ekstrak bagian tanaman yang mengandung Triterpenoid, dengan konsentrasi 10 ppm, 100 ppm, dan 1000 ppm. Ke dalam 3 buah tabung reaksi masing-masing dimasukkan larutan sampel dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 10 ppm, 100 ppm dan 1000 ppm serta satu tabung (tabung ke empat) diisi larutan blanko sebagai kontrol. Pada setiap tabung yang telah diisi larutan sampel dan larutan blanko di atas dimasukkan sebanyak 10 individu larva shrimp. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam untuk mengetahui adanya larva shrimp yang mati. Percobaan tersebut diulangi sebanyak tiga kali. Data yang diperoleh kemudian dihitung harga LC50 nya dengan menggunakan program Finney’s Probit Analysis [6] atau analisis probit dan persamaan regresi linier [7] . Apabila harga LC 50 ≤ 1000 ppm, berarti ekstrak sampel yang dianalisis mempunyai aktivitas biologis [2]. 4. Hasil Dan Pembahasan 1. Penentuan Adanya Senyawa Triterpenoid Pada beberapa Spesies Tanaman Obat Tradisional Masyarakat Pedesaan Bengkulu Untuk mengetahui adanya senyawa Triterpenoid pada tanaman dapat dilakukan dengan menambahkan pereaksi Lieberman-Burchard yang terdiri dari asam sulfat pekat dan asam asetat anhidrat. Jika pada bagian tanaman yang dianalisis mengandung senyawa Triterpenoid, maka ekstrak bagian tanaman yang diuji menunjukkan terjadi perubahan warna yaitu warna merah, merah jambu atau ungu. Untuk mengetahui seberapa banyak kandungan Triterpenoid yang terdapat pada bagian tanaman, maka intensitas warna yang ditimbulkan pada penambahan
pereaksi Liebermann-Burchard dibandingkan dengan intensitas warna yang terjadi pada ekstrak biji mahoni yang ditambah pereaksi Liebermann-Burchard. Digunakan biji mahoni sebagai pembanding karena di dalamnya terkandung banyak senyawa Triterpenoid yang diberi tanda (+++). Hasil penelitian menunjukkan, intensitas warna yang dihasilkan oleh beberapa bagian tanaman berbeda-beda, hal ini berarti kandungan Triterpenoid dalam bagian tanaman juga bervariasi, mulai dari (+) berarti sedikit, (++) berarti cukup banyak, (+++) berarti banyak dan (++++) sangat banyak mengandung senyawa Triterpenoid. Dari hasil penelitian tersebut juga dapat diketahui ada beberapa bagian tanaman yang memberikan hasil negatif, yang berarti tidak semua bagian tanaman mengandung senyawa Triterpenoid. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa senyawa metabolit sekunder, salah satunya adalah senyawa Triterpenoid tidak disebarkan secara universal ke seluruh bagian tanaman [1]. Sampai saat ini telah dilakukan analisis untuk menentukan adanya senyawa Triterpenoid terhadap beberapa spesies tanaman obat tradisional masyarakat pedesaan Bengkulu. Hasil penelitian menunjukkan 34 spesies tanaman positif mengandung senyawa Triterpenoid. Daftar beberapa spesies tanaman yang mengandung senyawa Triterpenoid terdapat di tabel 1. Dari tabel 1 terlihat sebagian besar bagian tanaman yang biasa digunakan oleh masyarakat pedesaan Bengkulu untuk mengobati jenis penyakit tertentu ternyata Kandungan mengandung senyawa Triterpenoid. Triterpenoid yang terdapat pada bagian tanaman obat tradisional yang digunakan juga bervariasi yaitu ada yang sedikit (+), cukup banyak (++), banyak (+++) dan sangat banyak (++++). Namun ada juga bagian tanaman yang tidak mengandung senyawa Triterpenoid tetapi sering digunakan oleh masyarakat untuk pengobatan tradisional. Kemungkinan, bagian tanaman tersebut mengandung senyawa metabolit sekunder selain Triterpenoid seperti alkaloid, steroid atau flavonoid. Ada juga bagian tanaman yang banyak mengandung senyawa Triterpenoid namun belum dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional. Data tabel 1 tersebut dapat berubah dengan bertambahnya penelitian-penelitian tentang penentuan adanya senyawa
Eni Widiyati / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 :116-122
Triterpenoid pada tanaman obat tradisional masyarakat pedesaan Bengkulu. 2. Uji Aktivitas Biologis Terhadap Ekstrak Bagian Tanaman Yang Mengandung Banyak Senyawa Triterpenoid Pada penelitian ini, bioassay (uji aktivitas biologis) dilakukan pada bagian tanaman yang mengandung kadar Triterpenoid banyak (+++) dan sangat banyak (++++). Alasan pemilihan bagian tanaman yang mengandung Triterpenoid banyak dan sangat banyak untuk bioassay adalah agar setelah bagian tanaman tersebut diekstrak, maka diharapkan kandungan terbesar dari ekstrak kasar tersebut adalah Triterpenoid, sehingga pada saat bioassy, diharapkan senyawa yang mempunyai aktivitas biologis adalah senyawa Triterpenoid tersebut. Namun dugaan tersebut masih harus dibuktikan dengan jalan mengisolasi Triterpenoid yang terdapat pada ekstrak bagian tanaman tersebut kemudian dilakukan bioassay terhadap Triterpenoid murni yang dihasilkan. Bagian tanaman yang mengandung banyak dan sangat banyak senyawa Triterpenoid tersebut diekstrak dengan alat ekstraksi sokhlet menggunakan pelarut metanol. Dipilihnya alat ekstraksi sokhlet karena alat tersebut mempunyai beberapa keuntungan antara lain dapat mengekstrak sampel dalam jumlah banyak (skala gram), penyarian dapat dilakukan berulang-ulang sehingga semua ekstrak dapat terambil, dan pelarut yang digunakan dapat digunakan kembali karena tidak menguap. Pada penelitian ini untuk mengetahui adanya aktivitas biologis dari ekstrak tanaman yang mengandung Triterpenoid digunakan uji Brine Shrimp. Metode ini dipilih karena dapat digunakan untuk mengetahui adanya efek sitotoksik dan juga untuk memperoleh hewan uji lebih mudah, harganya murah, telurnya dapat tahan beberapa tahun bila disimpan ditempat kering, mengerjakannya sederhana dan lebih cepat. Disamping itu metode ini telah diuji dan mempunyai korelasi positif dengan metode yang telah biasa digunakan untuk penapisan senyawa anti kanker. Jika ekstrak bagian tanaman yang diuji mempunyai harga LC50 < 1000 ppm maka ekstrak tersebut dinyatakan mempunyai aktivitas biologis yaitu mengandung senyawa yang bersifat sitotoksik [2]. Hasil bioassay pada penelitian ini terdapat di tabel 2.
119
Data tabel 2 menunjukkan bahwa dari 8 sampel yang mengandung banyak dan sangat banyak Triterpenoid yang dianalisis semua mempunyai harga LC 50 < 1000. Berarti pada konsentrasi tersebut terdapat 50 % individu Artemia salina Leach ( Brine shrimp) yang mati. Hal ini berarti ke 8 ekstrak bagian tanaman tersebut mempunyai aktivitas biologis terhadap Arthemia salina Leach atau mengandung senyawa yang bersifat sitotoksik. Namun untuk mengetahui apakah senyawa yang mempunyai aktivitas tersebut adalah Triterpenoid, perlu dilakukan penelitian lanjutan, yaitu dengan mengisolasi Triterpenoid yang terdapat pada ekstrak tersebut. Setelah dihasilkan Triterpenoid murni maka diuji kembali dengan uji Brine shrimp. Perlu juga dilakukan ekstraksi menggunakan pelarut selain metanol seperti kloroform atau karbon tetra klorida untuk mengetahui kemungkinan adanya senyawa Triterpenoid yang larut dalam pelarut yang non polar atau kurang polar. Dengan diketahui adanya aktivitas biologis pada bagian tanaman yang mengandung banyak senyawa Triterpenoid maka penggunakan bagian tanaman tersebut sebagai obat tradisional perlu lebih digalakkan. 4. Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a. Dari beberapa spesies tanaman obat tradisional yang dianalisis diperoleh 34 spesies tanaman mengandung senyawa Triterpenoid dan tidak semua bagian tanaman yang dianalisis mengandung Triterpenoid. b. Dari 8 ekstrak bagian tanaman yang mengandung banyak dan sangat banyak senyawa Triterpenoid diketahui semuanya mempunyai aktivitas terhadap Brine shrimp berarti ekstrak kasar ke 8 bagian tanaman tersebut mempunyai aktivitas biologis. Mengingat masih banyak tanaman obat tradisional yang belum dianalisis maka perlu dilakukan penelitian tentang identifikasi adanya Triterpenoid dan bioassay dengan sampel atau spesies tanaman obat tradisional masyarakat pedesaan Bengkulu yang berbeda sehingga akan menambah jumlah data yang telah ada. Juga perlu dilakukan identifikasi adanya senyawa metabolit sekunder
120
Eni Widiyati / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 :116-122
yang lain selain Triterpenoid seperti alkaloid, steroid dan flavanoid. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk memastikan apakah senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak bagian tumbuhan pada penelitian ini adalah benar-benar senyawa Triterpenoid yaitu dengan mengisolasi senyawa tersebut. Daftar Pustaka [1] Harborne, J.B., Metode Fitokimia Tumbuh-tumbuhan, (Penterjemah Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro), 1987, terbitan kedua, Penerbit ITB, Bandung. [2] Robinson, T., Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, (Penterjemah : Prof. Dr. Kosasih Padmawinata), Edisi keenam, Institut Teknologi Bandung, Bandung [3] Mayer B. N., Ferrigni N. R., Putnam J. E., Jacabsen l. B., Nichols D.E., Mc Laughin J.L., A Convenient General Bioassay for Active Plant Constituent, 1982, Journal of Medicines Plant Research, Vol. 452 [4] DepDikBud, Pengobatan Tradisional Pada Masyarakat Pedesaan Daerah Bengkulu, 1995, Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah Bengkulu, Bengkulu. [5] Majang, Yunazar, Isolasi Karakterisasi Senyawa Terpenoid dan Steroid, 2002, Proyek Peningkatan Sumber Daya Manusia, Universitas Andalas, Padang. [6] Abdi, D., Uji Bioaktivitas Metabolit Sekunder, 2001, Universitas Andalas, Padang [7] Zulkhaidir, Uji kandungan senyawa steroid dan Bioassay pada beberapa spesies tanaman obat tradisional di desa Kelilik Kabupaten Kepahiang, 2005, skripsi, Universitas Bengkulu, Bengkulu. [8] Sari, L. N., Uji Pendahuluan Penentuan Adanya Senyawa Triterpenoid dan Bioassay Pada Beberapa Spesies Tanaman Obat Tradisional di Taman Hutan Raya (Tahura) Rajo Lelo Propinsi Bengkulu, 2002, skripsi, Universitas Bengkulu, Bengkulu. [9] Loisyana, Identifikasi, Inventarisasi Senyawa Triterpenoid dan Uji Brine Shrimp pada Beberapa Tanaman Obat 2005, skripsi, Tradisional Masyarakat Bengkulu, Universiats Bengkulu, Bengkulu. [10] Yanti, M., Studi Senyawa Terpenoid Pada Beberapa Spesies Tanaman Obat Tradisional di Taman Hutan Raya Rajo Lelo Bengkulu, 2001, Skripsi, Universitas Bengkulu, Bengkulu
Eni Widiyati / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 :116-122
Tabel 1. Daftar beberapa spesies tanaman obat tradisional masyarakat pedesaan Bengkulu yang mengandung senyawa Triterpenoid
No 1
Nama daearah/Latin/famili
Bagian yang mengandung Triterpenoid / kadar Kulit batang (+), bunga (+)
Bagian yang digunakan sebagai obat /khasiatnya Getah untuk bengkak
Daun (+++), kulit batang (+)
Daun untuk obat bengkak
Akar (+++), daun (+), batang ( +), bunga (+++), akar (+++) Daun (++++), kulit batang (+++) , buah (++++)
Daun untuk bengkak, campak Daun untuk mencret Buah untuk amandel, cacingan Daun untuk bisul, Rimpang untuk kurang darah Akar untuk wasir Daun untuk asma Daun untuk bisul, hidung berdarah, Batang untuk batuk Batang untuk batuk Daun untuk batuk Daun untuk batuk, encok
3
Kamboja / Plumeria acuminata /apocynaceae Kapuk/randu / Caiba petrandra /bombaceae Selasih / ocinum bacilicum
4
Mengkudu/ Morinda citrifolis /
5
Kunyit/ Curcuma domestica / zingiberaceae
Daun ( +) , umbi (+++)
6 7 8
Kangkung/ Ipomea reptans Sirsak / Anona muricata / annonaceae Sirih / piper betle / piperaceae
Akar (++), daun (+), batang (+) Kulit buah,(+), buah (++) Daun (+), akar (++)
9 10 11
Serai / Andropogon nardus / gramineae Jeruk nipis/ Citrus aurantifolia/ rutaceae Kemuning / Murraya paniculata
12 13 14
Jarak pagar/ Jatropa curcar Melati/ Jasminum sambac/ Oleaceae Daun anjuang/ Cordyline terminalis/
Daun (+), akar (++) Daun ( +), buah (+) Daun (++), kulit batang (+++), buah (+++) Daun (+), kulit batang (+) Bunga (++) Daun (+++), kulit batang (+)
15 16 17 18 19
Jagung/ Zea mais, Linn/ graminae Jambu biji/ Psidium guajava, Linn / Kecubung/ Datura metel / solanaceae Singkong/ Manihot utilissima, Pohl/ Kumis kucing / Orthosiphon stamineus/
20 21
Kemiri / Aleurites moluccana, Willd/ Keji beling / Strobilanthes crispus/ acanthaceae Temu lawak / curcuma xanthorrhiza, Roxb /
2
22 23
Kulit batang (++), rambut (+) Daun (+), buah (+) Bunga (++) Daun (+++), kulit batang (+) Daun (+), batang (++), bunga (+++) Daun (+), kulit batang (+++) Kulit batang (+)
Rambut untuk darah tinggi Daun untuk desentri Daun untuk encok Daun untuk encok Daun untuk kencing batu
Daun (+), rimpang (+++)
Rimpang untuk kencing batu Akar untuk obat kencing manis Rimpang untuk panu
Daun (+)
25
Alang-alang / Imperata cylindrica, beav / gramineae Lengkuas / Alpiniaofficinarum hance / zingiberaceae Alpokat / Parsea americana, Mill/ lauraceae
26
Dadap / Erythrina orientalis /
Daun (++), kulit batang (+)
27
Lamtoro / Leucaena glauca / leguminosae
28
Jahe / Zingiber officinale / zingiberaceae
Daun (+), kulit batang (+), bunga (+), buah (++), kulit buah (+) Daun (+), umbi (+++), akar (+)
29 30 31
Jeruk purut / Citrus hystrix, D.C. / rutaceae Kencur / Kaemphera galanga, L / Pule (pelawi)/ Alstonia scholaris/ apocynaceae
Daun (+++) Daun (+) Kulit batang (++++), daun (++++), getah (+++)
24
Daun untuk mencret Daun, bunga untuk campak Daun untuk campak
Daun (+), batang (+) , rimpang (++) Kulit batang (+)
Untuk kudis, borok, terkilir Untuk kencing batu
Daun untuk sakit buah pinggang, darah tinggi Daun untuk sakit buah pinggang Untuk cacingan Rimpang untuk masuk angin Untuk haid tidak teratur Untuk kencing manis Kulit batang untuk kencing manis
121
Eni Widiyati / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 :116-122
122
32
Pepaya / Carica papaya / caricaceae
33
Jarak (ginje)/ thevetio peruviana / apocynaceae
34
Asam jawa / tamarindus indica , L, / Keterangan : (+) = sedikit Triterpenoid (++) = cukup banyak Triterpenoid (+++) = mengandung banyak Triterpenoid (++++) = mengandung sangat banyak Sumber : [4], [8], [9] dan [10].
Daun (+), batang (+), akar (+), buah (+) bunga (++) Daun (+), kulit batang (+++), bunga (+++), kulit buah (+++), biji (++++) Kulit batang (+)
Daun untuk malaria, Getah untuk kulit Daun untuk penurun panas Penambah nafsu makan,
Tabel 2. Hasil Uji Aktivitas Biologis terhadap ekstrak bagian tanaman obat tradisional yang banyak dan sangat banyak mengandung senyawa Triterpenoid
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Tumbuhan (daerah/latin), bagian yang diekstrak. Anjuang /Cordyline terminalis / daun Pule / Alstonia Scholaris /daun Serai / Andropogon nardus / daun Jeruk purut / Citrus hystrix, D.C. / daun Sirih / Piper betle / daun Jambu biji / Psidium guajava, Linn / daun Kemiri /Aleurites moluccana, Willd / kulit batang Kapok randu/ daun LC-50 = Lethal Concentrasion 50 Sumber : [8 ], [9 ], dan [10 ]
Prosentasi kematian Arthemia salina (%) 10 ppm 100 ppm 1000 ppm 0 30 100 3,33 50 100 100 100 100 50 100 100 0 23,33 100 16,66 26,66 50 76,66 96,66 96,66 23,33 20 83,33
LC -50 442,70 356,22 <10 < 10 429,74 988,69 < 10 490,50
Jurnal Gradien Vol.2 No.1 Januari 2006 : 123-125
Studi Kandungan Etanol Dalam Tapai Hasil Fermentasi Beras Ketan Hitam Dan Putih Teja Dwi Sutanto, Agus Martono Hp Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 3 Desember 2005; disetujui 25 Desember 2005
Abstrak - Etanol merupakan senyawa alkohol yang yang dihasilkan dalam fermentasi bahan makanan yang mengandung karbohidrat termasuk beras ketan. Karena adanya kandungan etanol inilah sehingga bahan makanan hasil fermentasi menjadi lebih enak rasanya. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kandungan etanol yang terdapat dalam tapai hasil fermentasi beras ketan hitam dan putih yang difermentasi dengan menggunakan 3 macam pembungkus yang berbeda yaitu daun, plastik dan kaca. Pada penelitian ini beras ketan difermentasi dengan menggunakan ragi atau yeast selama 7 hari dengan menggunakan 3 macam pembungkus yang berbeda setelah lebih dahulu dimasak dengan cara dikukus, sehingga seluruh etanol hasil fermentasi sudah diubah menjadi asam asetat. Selanjutnya kandungan etanol dalam tapai ditentukan sebagai asam asetat dengan metode titrasi alkalimetri menggunakan larutan standar NaOH 0,1 N. Berdasar hasil pengukuran menunjukkan bahwa kandungan etanol dalam hasil fermentasi ketan putih dengan pembungkus daun, kaca dan plastik berturut-turut adalah 0,0751 %; 0,0599 % dan 0,0338 % sedangkan kandungan etanol dalam hasil fermentasi beras ketan hitam dengan pembungkus daun, kaca dan plastik berturut-turut adalah 0,0407 %; 0,0403 % dan 0,0388 %. Kata Kunci : Etanol; Fermentasi; Beras Ketan
1. Pendahuluan Tapai merupakan hasil dari proses fermentasi dari bahanbahan yang mengandung karbohidrat seperti beras ketan dan ubi kayu. Dalam proses fermentasi yang melibatkan aktifitas mikroorganisme ini terjadi proses pengubahan karbohidrat menjadi etanol, sehingga bahan makanan hasil fermentasi menjadi lebih enak rasanya. Pada proses pembuatan tapai, masyarakat biasanya menggunakan daun pisang sebagai pembungkusnya. Dengan semakin sulitnya mendapatkan daun terutama di daerah perkotaan maka masyarakat beralih ke pembungkus atau wadah alternatif yang lebih mudah diperoleh untuk proses pembuatan tapai seperti plastik, gelas dan wadah yang lain. Namun demikian belum diketahui apakah wadah fermentasi dalam pembuatan tapai ini berpengaruh terhadap kandungan etanol dalam tapai yang dihasilkan. Diantara bahan dasar pembuatan tapai yang sering digunakan adalah beras ketan baik yang hitam maupun yang putih. Tapai dari beras ketan inilah yang paling
banyak dijumpai di toko-toko makanan maupun di Super Market. Namun demikian juga belum diketahui apakah ada perbedaan kandungan etanol dalam tapai yang dihasilkan pada pembuatan dengan kedua macam beras ketan tersebut, sehingga dalam penelitian ini akan dipelajari perbedaan kandungan etanol dalam tapai yang dihasilkan dari bahan dasar beras ketan hitam dan putih dan dengan menggunakan beberapa macam pembungkus yang berbeda yaitu dengan daun, plastik dan gelas. 2. Metode Penelitian Sampel beras ketan hitam dan putih diambil secara acak dari 3 pasar yang ada di kotamadya Bengkulu yaitu Pasar Barukoto, Pasar Minggu dan Pasar Panorama. Tidak ada perlakuan khusus terhadap sampel beras ketan sebelum difermentasi menjadi tapai. Sampel beras ketan dibersihkan kemudian ditimbang sebanyak 500 gram, selanjutnya dimasak dengan cara dikukus menggunakan dandang dengan air sebanyak 300 ml. Setelah masak kemudian didinginkan diatas nampan,
Teja Dwi Sutanto / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 :123-125
kemudian diberi sedikit larutan gula sebagai starter, selanjutnya dberi serbuk ragi atau yeast sebagai fermentatornya sebanyak 25 gram dan diaduk sampai rata. Langkah selanjutnya dimasukkan kedalam 3 macam wadah yaitu dari daun pisang, plastik dan gelas, ditutup rapat dan dibiarkan terjadi fermentasi selama 7 hari sehingga semua karbohidrat dalam beras ketan yang mulamula diubah menjadi alkohol sudah berubah semuanya menjadi asam asetat [1]. Setelah fermentasi selama 7 hari selanjutnya kadar etanol dalam tapai yang dihasilkan ditentukan sebagai asam asetat dengan titrasi alkalimetri menggunakan larutan standard NaOH 0,1 N yang sudah distandardisasi lebih dahulu dengan asam oksalat [3]. 3. Hasil Dan Pembahasan Variasi Wadah Fermentasi Terhadap Kadar Etanol dalam Tapai Ketan Putih
Kadar Etanol (%)
Dari hasil penentuan kadar etanol dalam tapai ketan putih dengan fermentasi menggunakan 3 macam pembungkus yang berbeda ternyata terdapat perbedaan kadar etanol yang cukup signifikan. Hasil penentuan kadar etanol dalam setiap 500 gram beras ketan putih adalah seperti terlihat pada gambar berikut.
0.08
0.0751 0.0599
0.06 0.0339
0.04 0.02 0 Daun
Gelas
Plastik
Wadah Fermentasi
Gambar 1. Variasi Wadah Fermentasi Terhadap Kadar Etanol dalam Beras Ketan Putih
Dari gambar tersebut terlihat bahwa kadar etanol yang paling tinggi diperoleh pada penggunaan daun pisang sebagai wadah fermentasi, kemudian diikuti penggunaan gelas dan yang yang paling kecil adalah pada penggunaan wadah dari plastik, hal ini disebabkan karena pembungkus atau wadah dari daun pisang akan memberikan suasana yang lebih cocok bagi mikrobia fermentator untuk berperan aktif dalam proses fermentasi karbohidrat menjadi etanol. Disamping itu dengan pembungkus daun
pisang yang relatif tidak begitu rapat dibanding pembungkus plastik dan gelas lebih memungkinkan bagi mikrobia azeto bacter yang merupakan mikrobia aerob untuk berperan maksimal dalam proses pengubahan etanol menjadi asam asetat. Variasi Wadah Fermentasi Terhadap Kadar Etanol dalam Tapai Ketan Hitam Hasil penentuan kadar etanol dalam tapai hasil fermentasi 500 gram beras ketan hitam dengan menggunakan tiga macam pembungkus yang berbeda yaitu daun pisang, plastik dan gelas dapat dilihat pada gambar berikut. 0.08
Kadar Etanol (%)
124
0.06
0.0407
0.0403
0.0388
0.04 0.02 0
Daun
Gelas
Plastik
Wadah Fermentasi
Gambar 2. Variasi Wadah Fermentasi Terhadap Kadar Etanol dalam Beras Ketan Hitam
Dari gambar tersebut terlihat bahwa kadar etanol yang paling tinggi sebagaimana pada beras ketan putih, diperoleh pada penggunaan pembungkus daun pisang kemudian diikuti dengan penggunaan gelas dan plastik. Namun demikian perbedaannya tidak terlalu besar sebagaimana pada tapai ketan putih Dari kedua gambar tersebut juga terlihat bahwa dengan wadah yang sama ternyata kadar etanol dalam tapai dari beras ketan putih lebih banyak jika dibandingkan dengan kadar etanol dalam tapai dari beras ketan hitam. Hal ini disebabkan karena struktur amilosa dari beras ketan putih lebih mudah dicerna oleh mikrobia fermentator dibanding ketan hitam, sehingga enzim amilase lebih mudah melakukan pemecahan karbohidrat menjadi etanol dan akibatnya dengan waktu fermentasi yang sama, kadar etanol dalam tapai dari beras ketan putih lebih besar dibanding dari ketan hitam. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil percobaan yang diperoleh dalam penelitian ini maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :
Teja Dwi Sutanto / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 :123-125
1. Kandungan etanol dalam tapai dari beras ketan putih lebih besar dibanding dengan tapai dari beras ketan hitam. 2. Wadah atau pembungkus dari daun pisang lebih baik jika dibandingkan dengan wadah atau pembungkus dari gelas dan plastik untuk fermentasi pembuatan tapai ketan. 3. Kandungan etanol dalam hasil fermentasi beras ketan putih dengan pembungkus daun, kaca dan plastik berturut-turut adalah 0,0751 %, 0,0599 % dan 0,0339 % sedangkan kandungan etanol dalam hasil fermentasi ketan hitam dengan pembungkus daun, kaca dan plastik berturut-turut adalah 0,0407 %, 0,0403 % dan 0,0388 % Daftar Pustaka [1] Brewster, R.Q. and Ewen, W.M., Organic Chemistry, 1961, New Jersey, Prentice Hall Inc. [2] Fessenden, R.J. and Fessenden, J.S., Kimia Organik, Jilid I, 1989, Jakarta, Erlangga [3] Mudjiran, Analisa Anorganik Kuantitatif, 1982, Yogyakarta, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada. [4] Fox, B.A.ameron, A.G., Food Science, 1987, London, Hodder and Stoughton [5] Vogel, A.I., Quantitative Inorganic Analysis Theory and Practice, 1958, London, Longmans Green and Co. [6] Winarno, F.G., Kimia Pangan dan Gizi, 1988, Jakarta, PT. Gramedia
125
Jurnal Gradien Vol.2 No.1 Januari 2006 : 126-129
Efek Perendaman Larutan Alkali Terhadap Prilaku Film Kertas Dari Nata de coco Yang Dimodifikasi Irfan Gustian, Teja Dwi Sutanto, Morina Adfa Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 26 Nopember 2005; disetujui 15 Desember 2005
Abstrak - Telah dibuat film kertas dari nata de coco yang di modifikasi dengan memanfaatkan air kelapa sebagai bahan dasar yang difermentasi. Penelitian ini bertujuan untuk membuat selulosa bakteri dari air kelapa dengan bantuan bakteri Acetobacter xylinum, memodifikasi selulosa bakteri yang dihasilkan menjadi lembaran kertas, menguji sifat fisik serta melihat morphologi kertas yang dihasilkan. Gel nata de coco yang dihasilkan dilakukan dua variasi perlakuan. Variasi yang pertama direndam dalam larutan NaOH 2% pada temperatur 80 – 90 oC selama 2 jam. Variasi yang kedua hasil dari peralakuan pertama direndam lagi dalam larutan NaOH 5% pada temperatur 80 – 90 oC selama 2 jam. Masing-masing variasi di hot press pada tekanan 100 Kgf/cm2 pada suhu 120 oC selama 3 - 5 menit. Hasil pengujian di dapat kerapatan kertas variasi 1 berkisar antara 1,0570 – 1,3330 g/cm2 dan lebih besar dibandingkan dengan kertas variasi 2 yaitu berkisar antara 0,7813 – 1,1666 g/cm2. Sifat penggembungan kertas atau derajat swelling kertas oleh air, variasi 1 memiliki derajat swelling berkisar antara 61,1842 – 91,2162% lebih kecil dibandingkan dengan derajat swelling kertas nata de coco variasi 2 berkisar 77,1428 – 109,4595%. Hasil SEM terlihat permukaan cukup rapat dengan serat yang panjang dengan arah yang tidak beraturan. Kata Kunci: Nata de coco; Acetobacter xylinum; swelling.
1. Pendahuluan Potensi air kelapa sebagai bahan yang memberikan nilai ekonomis sudah cukup lama diketahui orang. Potensipotensi tersebut antara lain dapat difermentasi menjadi asam asetat sebagai bahan pembuat cuka, sebagai minuman kesehatan anti diare, minuman olahraga (new sport drink) dan sebagai bahan makanan yaitu nata de coco. Potensi-potensi ini berkaitan dengan kandungan yang ada dalam air kelapa. Kandungan utama air kelapa adalah karbohidrat, termasuk didalamnya gula sederhana, glukosa, fruktosa dan sukrosa maupun gula alkohol utamanya sorbitol (glucitol). Mengingat banyaknya potensi air kelapa sebagai bahan yang bernilai ekonomis, studi pemanfaatannya perlu terus dikembangkan. Salah satu dari beberapa potensi air kelapa yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah nata de coco. Nata de coco adalah hasil proses fermentasi air kelapa menggunakan Acetobacter xylinum. Kandungan utama nata de coco adalah selulosa. Selulosa bakterial mempunyai beberapa keunggulan antara lain kemurnian
tinggi, derajat kristalinitas tinggi, mempunyai kerapatan antara 300 dan 900 kg/m3, kekuatan tarik tinggi, dan elastis.. Penelitian yang mengarah pada pengembangan selulosa bakterial sebagai material yang bernilai tambah sudah banyak dilakukan. Beberapa diantaranya adalah penggunaan selulosa bakterial sebagai bahan diafragma tranduser [3], bahan pencampur dalam industri kertas, karakterisasi sifat listrik dan magnetnya, sebagai support untuk sensor glukosa dan sebagai membran dialisis [5]. Pada tulisan ini telah mencoba memanfaatkan nata de coco sebagai material untuk pembuatan film kertas. Telah disadari bahwa selama ini kertas yang digunakan berasal dari cotton linters dan pulp wood hal ini menunjukkan adanya suatu ketergantungan yang sangat tinggi terhadap bahan hayati yang tidak dapat diperbaharui. Untuk mengurangi hal tersebut maka perlu dilakukannya suatu penelitian yang memanfaatkan bahan lain yang banyak terdapat di negara kita. Penelitian-penelitian ke arah mencari bahan baku alternatif lain untuk pembuatan kertas
Irfan Gustian / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 :126-129
yang berasal dari bahan alam hayati hingga saat ini sudah banyak yang melaporkannya Sedangkan untuk nata de coco masih sedikit peneliti yang melaporkan, antara lain [5], yang mempelajari kinerjanya sebagai membran dialisis dalam sistem larutan encer. Kemudian [4], mencoba mempelajari sifat fisis dan mekanis. Untuk itu maka perlu dilakukannya penelitian untuk mencari sumber bahan alternatif lainnya yang dapat dibuat sebagai kertas.
127
Nata de coco yang telah dimurnikan dengan 2 variasi tersebut dan diukur ketebalannya, kemudian dibuat kertas untuk kromatografi dengan meletekkan nata de coco pada antara dua plat baja yang dilapisi dengan kasa stainles stell dan kain non woven selanjutnya ditekan dengan tekanan 100 kgf/cm2 pada suhu 120oC selama 3-5 menit. kertas yang dihasilkan di simpan dalam dalam plastik untuk proses selanjutnya. Uji Sifat Fisik
2. Metode Penelitian Uji Kerapatan kertas untuk kromatografi Pembuatan nata de coco Satu liter air kelapa yang telah disaring dididihkan. Setelah mendidih ditambahkan 6,7 gram gula pasir, 5 gram Ammonium Sulfat dan 1 mL Asam asetat Glasial. Dalam keadaan panas kemudian dipindahkan ke wadah plastik/baki berukuran 15 x 20 cm dan ditutup dengan kertas. Setelah dingin/ suhu kamar di inokulasi dengan starter bakteri Acetobacter xylinum (10% dari volume media fermentasi) dengan membuka penutup kertas dan ditutup kembali dan difermentasikan/diinkubasi pada suhu kamar selama 3-5 hari. Proses Pemurnian nata de coco Gel nata de coco hasil fermentasi selanjutnya di rendam dengan air mengalir selama 24 jam, kemudian direndam dalam air panas pada suhu 80-90oC selama 2 jam, seteleh itu dicuci dengan NaOH 2% pada suhu 80-90oC selama 2 jam dan direndam lagi dalam air panas pada 80-90oC selama 2 jam. Hasil pemurnian ini di buat 2 variasi, variasi I direndam dengan air mengalir selama 24 jam sebelum dibuat film membran. Variasi II, nata de aren hasil pemurnian di rendam dalam NaOH 5% pada suhu 80-90oC selama 2 jam setelah itu direndam dengan air mengalir selama 24 jam selanjutnya dibuat lembaran kertas. Pengukuran ketebalan gel dan kertas nata de coco Tebal gel nata de coco dan lembaran kertasnya diukur dengan menggunakan thickener pada berbagai bagian gel dan lembaran kertas dan dihitung ketebalan rata-ratanya. Pembuatan kertas untuk kromatografi dari nata de coco
Pengujian kerapatan kertas dilakukan dengan menimbang kertas kering nata de coco , kemudian hasilnya dibagi dengan volume kering. Penentuan volume dilakukan dengan perkalian luas alas x tebal.film. Uji Derajat Swelling kertas Lembaran kertas dari nata de coco dipotong dengan ukuran 2 x 2 cm dan diukur ketebalannya. Lembaran tersebut ditimbang berat awalnya dan direndam dalm aquades selama 7 hari ditimbang setiap selang 24 jam hingga didapat berat kesetimbangan. Setiap kali akan menimbang terlebih dahulu menyeka kedua permukaan film kertas dengan menggunakan tisue. 3. Hasil Dan Pembahasan Pembuatan nata de coco Pembuatan film nata de coco diawali dengan mencampurkan air kelapa dan gula kemudian ditambahkan starter (bakteri Acetobacter xylinum dalam medium cair) setelah melalui pendinginan pada suhu kamar. Setelah masa fermentasi selama 7 hari akan terbentuk gel pada permukaan media cairnya. Gel yang terbentuk ini disebut pellicle. Proses terbentuknya pellicle merupakan rangkaian aktifitas bakteri acetobacter xylinum dengan nutrien yang ada pada media cair. Karena Acetobacter xylinum adalah bakteri yang memproduksi selulosa, maka nutrien yang berperan adalah nutrien yang mengandung glukosa. Dalam penelitian ini nutrien yang mengandung glukosa adalah air
Irfan Gustian / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 :126-129
128
kelapa dan gula pasir. Pada gula pasir, glukosa terbentuk melalui reaksi hidrolisis sukrosa dengan air. Reaksi yang terjadi : CH2OH CH2OHO
O OH OH
OH
CH2OH
OH
CH2OHO OH OH
OH
OH
O OH
CH2OH O
H2O
OH
CH2OH OH
OH
Sukrosa
glukosa
fruktosa
Gambar 1. Reaksi hidrolisis sukrosa
Glukosa yang berperan dalam pembentukan selulosa adalah glukosa dalam bentuk β sehingga semua glukosa yang ada dalam bentuk α akan diubah dalam bentuk β melalui enzim isomerase yang berada pada bakteri Acetobacter xylinum. Perubahan pada bentuk β terjadi pada gugus OH pada atom C-1 ( ). Reaksinya adalah CH 2 OH
CH 2 OH O
O
isomerase
OH
OH
OH OH
OH
OH
α-Glukosa
OH
OH
β-Glukosa
Gambar 2. Reaksi Isomerase α-Glukosa menjadi β-Glukosa
Tahap berikutnya glukosa berikatan dengan glukosa yang lain melalui ikatan 1,4 β-glikosida. Ikatan ini terjadi antara gugus OH pada atom C-1
) dari satu glukosa β
(
) dari glukosa β
dengan gugus OH pada atom C-4 ( yang lain. CH2OH O
CH2OH O
OH
CH2OH O OH
OH
OH
H2O
OH
OH
O
OH
OH
OH
OH
OH
OH
CH2OH O
OH
Tahap terakhir adalah tahap polimerisasi yaitu pembentukan selulosa . Polimerisasi ini terjadi melalui enzim polimerisasi yang ada pada bakteri acetobacter xylinum. Secara fisik pembentukan selulosa adalah terbentuknya pellicle. Reaksi polimerisasinya: CH2OH O OH
CH2OH O OH CH2OH O O
OH OH
Polimerisasi CH2OH O O
OH OH OH
fruktosa
Sifat Fisik kertas dari nata de coco Uji Kerapatan Pada penentuan kerapatan kertas yang dihasilkan, kertas dipotong dengan ukuran 2x2 cm dan mengalikannya dengan tebal kertas untuk mendapatkan volumenya, kemudian ditimbang beratnya. Tabel 4.1 menunjukan kerapatan kertas nata de coco dari 2 variasi perlakuan, dari hasil pengujian dimana kerapatan kertas yang hanya dicuci dan direndam dengan NaOH 2% (b/v) kerapatannya berkisar antara 1,0570 – 1,3330 g/cm2 dan lebih besar dibandingkan dengan kertas hasil pencucian dengan NaOH 2% (b/v) dan direndam lagi dalam NaOH 5% (b/v) yaitu berkisar antara 0,7813 – 1,1666 g/cm2. Tabel 1. Kerapatan kertasa
Variasi Tebal kertas perendaman (mm) Variasi I 0,03 Variasi II 0,03 Ukuran kertas 2x2 cm
Kerapatan (g/cm2) 1.0570 –1,3330 0,7813 – 1,1666
OH
Gambar 3. Reaksi anatara glukosa dengan glukosa
CH2OH O O
Gel nata yang dihasilkan ini kemudian di cuci dengan air mengalir selama 24 jam, kemudian dipanaskan dalam air 80 – 90 oC selama 2 jam. Gel nata yang dihasilkan mempunyai ketebalan 3,5 – 4 mm berwarna putih kekuning. Sedangkan tebal kertas yang dihasilkan dari dua variasi perlakuan dan ditekan panas pada tekanan 100 kgf/cm2 dengan suhu 120 oC selama 3 sampai 5 menit berkisar antara 0,03 – 0,035 mm.
OH
OH OH
Gambar 4. Reaksi Polimerisasi
OH
OH OH
Disini terlihat bahwa kertas dari hasil perendaman NaOH 5% (b/v) lebih kecil dibandingkan dengan kertas yang hanya dicuci dan direndam dalam NaOH 2% (b/v). Perbedaan kerapatan ini mungkin disebabkan karena konsentrasi larutan alkali, pada perendaman dengan NaOH 5% (b/v) dapat menyebabkan pengerutan pada gel nata de coco ini terlihat dari bentuk fisiknya sehingga dapat mendegradasi fibril selulosa. Hal ini dapat menyebabkan putusnya hubungan antar fibril selulosa dan mengakibatkan tidak terbentuknya mikrofibril-mikrofibril selulosa, dengan demikian akan mengakibatkan berkurangnya kerapatan membran [1].
Irfan Gustian / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 :126-129
Uji Derajat Swelling kertas Sama dengan pengujian kerapatan kertas, pada pengujian swelling kertas nata de coco dipotong dengan ukuran 2 x 2 cm. Berat awal kertas sebelum direndam kedalam air demineral ditentukan terlebih dahulu, sedangkan pertambahan berat kertas setelah direndam ditimbang setiap selang 24 jam selam 7 hari hingga didapat berat kesetimbangan. Tabel 2 menunjukkan derajat swelling kertas oleh air, dimana penyerapan air oleh kertas nata de coco yang hanya dicuci dengan NaOH 2% (b/v) memiliki derajat swelling berkisar antara 61,1842 – 91,2162% lebih kecil dibandingkan dengan derajat swelling kertas nata de coco yang dihasilkan yang direndam lagi dalam NaOH 5% (b/v) berkisar 77,1428 – 109,4595%. Hal ini terjadi disebabkan karena perbedaan perlakuan perendaman kepada kedua kertas. Pada perlakuan perendaman NaOH 5% (b/v) derajat swellingnya lebih besar ini dapat menyebabkan terjadinya pengerutan dan dapat mendegradasi fibril selulosa dan mikrifibril dari selulosa tidak terbentuk hubungan satu sama lainnya dan ketika dilakukannya perendaman dalam air. Kertas yang ini akan menyerap air lebih banyak dimana air akan masuk pada daerah mikrofibril yang tidak berhubungan ini, dibandingkan dengan kertas yang hanya dicuci dan direndam dalam NaOH 2% (b/v). Penyerapan air oleh kertas pada saat kesetimbangan sudah menunjukan derajat swelling yang konstan, ini berarti bahwa swelling air oleh kertas terjadi penngembungan terbatas. Dimana penggembungan ini terjadi, air masuk kedalam daerah-daerah mikrofibril yang susunannya tidak teratur (amorf), penggembungan jenis ini dikenal sebgai penggembungan interfibril [1]. Tabel 2. Derajat swelling kertas nata de coco
Variasi perendaman Variasi I Variasi II
Derajat swelling (%) 61,1842 –91,2162 77,1428 –109,4528
• Ukran kertas 2 x 2 cm • Penimbangan tiap selang 24 jam selama 7 hari Penggembungan jenis ini disebabkan karena ikatan hidrogen pada daerah amorf lebih lemah dibandingkan dengan daerah kristalin. Derajat swelling ini bila dilihat
129
dari kerapatannya, kerapatan dari kertas nata de coco yang lebih ringan memungkinkan adanya daerah-daerah mikrofibril yang tidak berhubungan untuk dapat dimasuki oleh air sehingga terjadi swelling yang lebih besar. Hasil Foto SEM dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
.
Gambar. Hasil foto SEM bagian permukaan kertas
4. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Kertas yang dihasilkan dari nata de coco yang di modifikasi dengan memanfaatkan aktifitas mikroorganisme dapat dibuat dengan bahan dasar air kelapa. 2. Prilaku fisik yang dihasilkan akibat perendaman larutan alkali menunjukkan adanya perbedaan. 3. Dari foto SEM menunjukkan bahwa arah serat-serat selulosa dari kertas yang dihasilkan tidak satu orientasi/tidak beraturan dan panjang-panjang/ menyatu sehingga dapat mempengaruhi sifat kapileritas. Daftar Pustaka [1]. Adisesa, HT, Beberapa perubahan struktur dalam selulosa pada pengeringan, 1993, Tesis , ITB. [2]. Brandrup, et al., Polymer handbook, ed 4th, 1999, Jhon Wiley & sons, Inc, New York. [3]. Iguchi, M., et al., Review bacterial cellulose A Masterpiece of Nature’s arts, 2000, J. Material Sciences, 35 [4]. Indarti. L, dan Yudianti. R, Pengaruh Alkali pada sifat fisis dan mekanis dari lapisan tipis bioselulosa, 1995, Proseding simposium nasional himpunan polimer Indonesia. [5]. Shibazaki. H, S.Kuga, F. Onabe and M.Usuda, Bacterial cellulose membrane as separation medium, 1993, Journal of applied Polymer sciences, 50, 965-969.
Jurnal Gradien Vol.2 No.1 Januari 2006 : 130-133
Efek Kenaikan pH Pada Mekanisme Ekstraksi Cair-Cair Terhadap Asam Asam Karboksilat Agus Martono HP Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 5 Desember 2005; disetujui 27 Desember 2005
Abstraks - Kesadaran manusia akan bersih lingkungan semakin hari kian meningkat, terbukti dengan terbentuknya beberapa organisasi yang bergerak dalam bidang penanggulangan pencemaran lingkungan. Kondisi ini muncul akibat dari kemajuan teknologi industri yang kadang melupakan faktor kesehatan lingkungan. Demikian halnya dengan kemajuan dibidang agroindustri yang sedikit banyak ikut andil dalam mencemari lingkungan khususnya perairan. Hal ini terjadi karena limbah cair dari agroindustri biasanya langsung dibuang ke sungai atau danau. Padahal dalam limbah cair tersebut masih mengandung beberapa asam-asam organik yang apabila dibuang begitu saja jelas akan mencemari lingkungan perairan, namun dengan teknologi ekstraksi cair-cair maka asam-asam organiknya dapat dipisahkan dari limbah cairnya bahkan dapat dimurnikan dan dijual kembali. Sehingga dapat mengimbangi beaya pengolahan limbahnya. Telah dilakukan penelitian dalam ekstraksi terhadap limbah cair agroindustri yang mengandung asam-asam organik dengan sistem ekstraksi cair-cair. Dalam penelitian ini telah ditemukan pengaruh pH inisial larutan terhadap mekanisme ekstrkasi terhadap asam-asam organik yang terdapat dalam limbah cair agroindustri. Adapun asam-asam tersebut adalah asam malat dan asam sitrat dengan konsentarsi sama dengan konsentrasi nyata dalam limbah cair agroindustri yaitu, 5 gram/l dan 10 gram/l larutan. Kisaran pH larutan inisial yang dipergunakan dalam penelitian ini antara 1 sampai 5. Sedangkan pelarut organik yang dipergunakan terdiri dari 70% vol Tributyl phosphate dan 30% vol Dodekan dan perbandingan koefisien antara pelarut organik dengan fasa cairnya mulai dari 1 sampai dengan 5. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada pH larutan inisial antara 1 – 2 dapat mengekstraksi 86%-90% asam sitart dan 73% - 85% asam malat dari dua macam konsetrasi tersebut diatas. Kata Kunci : Ekstraksi cair-cair; Asam-asam Karboksilat.
1. Pendahuluan Sesuai dengan konsep dasar Produksi Bersih salah satu langkah untuk mengurangi resiko terhadap kesehatan manusia dan pencemaran terhadap lingkungan adalah dengan cara meminimalisasi limbah yang dikeluarkan oleh industri [10]. Usaha untuk meminimalisasi limbah dapat dikelompokkan dalam dua langkah, yaitu mereduksi sumbernya dan pemanfaatan limbahnya. Disamping itu, keuntungan suatu industri antara lain diperoleh dengan adanya efisiensi pada proses produksi, baik dibidang pengolahan maupun pada sektor daur ulang bahan yang dipergunakan pada proses produksinya. Perkembangan teknologi dibidang agroindustri telah mengalami kemajuan yang sangat berarti, namun sisi negatif dari kemajuan tersebut telah menghasilkan limbah industri yang semakin sulit untuk dapat diatasi. Limbah cair agroindustri seperti industri gula tebu
misalnya, merupakan hasil buangan industri yang biasanya langsung dibuang ke sungai. Hal ini akan dapat mengganggu biota yang hidup di sungai, bahkan dapat mengganggu kesehatan manusia, apabila air sungai tersebut dikonsumsi langsung oleh penduduk di sekitarnya. Limbah cair dari industri gula tebu biasanya mengandung asam-asam karboksilat yang larut dalam air, sehingga perlu teknologi khusus untuk memisahkannya [9]. Hingga kini telah dikenal beberapa cara pemisahan asam-asam karboksilat yang terdapat didalam limbah cair dari industri gula tebu, seperti dengan cara pengendapan, destilasi, pengomplekskan, fermentasi dan ekstraksi [8]. Dari beberapa metoda tersebut, ekstraksi merupakan cara yang paling tepat, karena cara ini kecuali lebih hemat energi, sangat mudah dilakukan dan asam-asam dari hasil ekstraksi ini dapat dijual kembali karena memiliki kemurnian yang tinggi [4]. Ada berbagai macam ekstraksi, namun untuk pemisahan asam-asam karboksilat dari limbah cair, dipergunakan ekstraksi cair-cair dengan
Agus Martono HP / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 130-133
131
campuran pelarut organik baik sebagai ekstraktan maupun diluent-nya [5][6]. Untuk asam-asam organik yang volatile (mudah menguap) seperti asam asetat misalnya, alternatif penyelesaian yang dapat dipergunakan antara lain dengan cara distilasi dan azeotrop atau distilasi ekstraksi menggunakan pelarut dapat juga sistem adsorpsi [6][7].
dimasukkan ke dalam corong pemisah, dikocok selama 3 jam, kemudian diamkan agar terjadi pemisahan antara fasa cair dan fasa organik selama kurang lebih 2 jam. Setelah kedua fasa terpisah sempurna, tempatkan fasa cair ke dalam gelas piala dan fasa organik ke dalam gelas piala yang lain.
Namun untuk asam-asam karboksilat yang sukar menguap, cara-cara diatas tidak efektif dikarenakan disamping prosesnya mahal, hasilnya tidak dapat optimal. Untuk pemisahan asam sitrat atau malat dari proses fermentasinya dapat dipergunakan dengan penambahan kalsium hidroksida agar terbentuk garam kalsiumnya, kemudian ditambahkan dengan asam sulfat pada pemurnian asam-asam karboksilatnya. Namun, proses ini akan mengkonsumsi bahan kimia dalam jumlah besar dan menimbulkan pencemaran baru. Ekstraksi dengan pelarut lebih efektif untuk asam-asam karboksilat yang sukar menguap dari limbah cairnya. Pelarut yang dapat dipergunakan antara lain, yang memiliki daya ekstraksi besar dan bersifat basa seperti amina tersier atau phosphine oksida [2].
-
2. Metode Penelitian Tributylphosphat (TBP), Dodecane, asam malat, asam sitrat, NaOH, H2SO4 dan indikator dibeli dari Aldrich Chemical Company. Air dimineralisasi diperoleh dari Millipore Mille–Q. Analisis dilakukan dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) model Spectra Seri P 100, integrator Chromjet SP 4400 dan detektor UV spectra-Physics 100 UV-VIS, serta kolom analisa AMINEX HPX-87P pada suhu 35°C. Berdasarkan hasil analisa limbah cair industri gula tebu [9], ternyata mengandung asam-asam karboksilat seperti; asam malat, asam sitrat dan lain-lain dengan kisaran konsentrasi 0,5 g/l sampai dengan 8 g/l, dalam penelitian ini digunakan dua jenis konsentrasi 5 g/l dari batas bawah dan 10 g/l sebagai batas atas konsentrasi untuk kedua jenis asam tersebut. Sebagai campuran pelarut organik dipergunakan TBP untuk ekstraktan dengan variasi persentasi volume 70 % vol TBP dan 30% vol Dodekan. 50 mililiter fasa organik (ekstraktan + diluent) dan 50 mililiter fasa cair yang berisi larutan asam malat atau sitrat
-
-
Timbang 10 gram fasa cair sebanyak tiga buah, titrasi masing dengan larutan NaOH 0,01 N, 0,1N atau 1 N sertakan Phenolfptalin (pp) sebagai indikatornya. Timbang 10 gram fasa organik sebanyak tiga buah, titrasi dengan larutan NaOH 0,01 N, 0,1 N atau 1 N. Untuk mempermudah jalannya titrasi tambahkan alkohol secukupnya dan sertakan Phenolfptalin (pp) sebagai indikatornya. Ulangi hal ini untuk masing-masing komposisi pelarut, terhadap fasa cairnya untuk setiap jenis asam tersebut diatas.
Verifikasi hasil titrasi ini dengan hasil analisa dari HPLC, agar mendapatkan besarnya persentasi asam yang terkestraksi dengan pasti. Analisa dan titrasi sebaiknya dilakukan pada hari yang sama dengan proses ekstraksi agar terhindar dari proses oksidasi dan biodegradasi sampel. 3. Hasil dan Pembahasan Kandungan gugus Phosphoryl yang merupakan ikatan antara Oksigen dan Phosphor dalam TBP, berfungsi sebagai basa Lewis, adalah merupakan ekstraktan yang lebih kuat daripada ekstraktan yang mengandung gugus karbonil, sehingga dapat mengikat asam-asam karboksilat dalam limbah cair. Dalam hal ini hanya asam-asam karboksilat yang tidak terdesosiasi saja yang dapat diikat oleh TBP. Namun karena karakteristiknya secara kimiafisik maka untuk mempermudah proses ekstraksi diperlukan pelarut pendamping seperti DIPE, MIBK dan Dodecane sebagai diluent [1][11]. Sebagai diluent, DIPE dan MIBK adalah merupakan diluent yang baik dikarenakan kedua pelarut pendamping ini memiliki harga viskositas dan massa jenis rendah serta bersifat polar, sehingga akan dapat meningkatkan transfer asam-asam organik dari fasa cair ke fasa organik, terbukti dengan harga koefisien partisi yang tinggi. Namun karena kedua diluent ini larut dalam air, maka hal ini akan sangat
Agus Martono HP / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 130-133
132
merugikan, karena proses produksinya menjadi tidak ekonomis. Sehingga diluent yang baik untuk proses ini adalah Dodecane, karena diluent ini merupakan hidrokarbon alifatik yang inert dan tidak larut dalam air [2]. Distribusi asam-asam karboksilat dari fasa cair ke fasa organik sangat dipengaruhi oleh kekuatan asamnya, untuk asam-asam poli karboksilat besarnya prosentase asam terekstraksi sangat tergantung dari harga derajad desosiasi pertamanya. Untuk pH inisial larutan antara 2 –2,4 dimana lebih kecil dari pKA asamnya, maka asam ini akan lebih mudah ditarik oleh pelarutnya, sehingga menghasilkan persentase ekstraksi lebih besar [5]. Penambahan NaOH pada fasa cair untuk menaikkan besarnya pH, akan mempengaruhi keberadaan asam-asam organiknya. Karena asam sitrat lebih kuat daripada asam malat, maka asam sitart akan lebih banyak bereaksi dengan NaOH dan mengakibatkan pengurangan jumlah asam sitrat dalam bentuk molekul. Sehingga, pelarut organik akan lebih banyak mengekstraksi asam malat yang tidak banyak mengalami ionisasi. Semakin tinggi harga pH larutan awal, akan menurunkan secara drastis kemampuan ekstraksinya. Fenomena ini juga disebabkan adanya netralisasi asam oleh NaOH tersebut, yang mengakibatkan sistem pengomplekskan antara pelarut organik dengan asam-asam karboksilat menjadi tidak sempurna. Tabel 1 : Pengaruh Kenaikan pH inisial pada Persentase Ekstraksi Asam
Kondisi operasional Asam sitrat Acide malat Perbandingan Fasa Pelarut Campuran Pelarut pH Larutan Awal 1 2 3 4 5
% Ekstraksi Asam Sitrat 46,15 53,47 34,53 29,13 23,52
: : : :
5 g/l 5 g/l 1 (70% vol) T.B.P. + (30%vol) Dodékan % % Ekstraksi Kemurnian Asam Malat Asam Sitrat 25,30 64,80 39,00 57,70 28,27 54,40 31,95 47,62 26,64 46,10
Tabel 2 : Pengaruh Kenaikan pH inisial pada Persentase Ekstraksi Asam
Kondisi operasional Asam sitrat Acide malat
: 10 g/l : 10 g/l
Perbandingan Fasa Pelarut Campuran Pelarut pH Larutan % Ekstraksi Awal Asam Sitrat 1 42,87 2 52,93 3 26,77 4 14,77 5 13,15
: 1 : (70% vol) T.B.P. + (30% vol) Dodékan % Ekstraksi % Kemurnian Asam Malat Asam Sitrat 35,17 54,60 46,60 50,46 24,52 51,69 15,68 52,21 14,07 47,25
Tabel 3 : Pengaruh Kenaikan pH inisial pada Persentase Ekstraksi Asam
Kondisi operasional Asam sitrat Acide malat Perbandingan Fasa Pelarut Campuran Pelarut pH Larutan Awal 1 2 3 4 5
: : : :
% Ekstraksi Asam Sitrat 74,20 78,43 47,17 28,63 22,62
5 g/l 5 g/l 3 (70% vol) T.B.P. + (30% vol) Dodékan % % Ekstraksi Kemurnian Asam Malat Asam Sitrat 60,70 55,24 67,30 53,70 46,40 49,82 32,00 47,15 23,97 47,75
Tabel 4 : Pengaruh Kenaikan pH inisial pada Persentase Ekstraksi Asam Kondisi operasional Asam sitrat : 10 g/l Acide malat : 10 g/l Perbandingan Fasa Pelarut : 3 Campuran Pelarut : (70% vol) T.B.P. + (30% vol) Dodékan pH % % Ekstraksi % Ekstraksi Larutan Kemurnian Asam Sitrat Asam Malat Awal Asam Sitrat 1 73,53 55,51 56,98 2 77,02 70,84 52,09 3 39,76 39,61 50,10 4 19,45 23,24 45,56 5 10,86 11,63 48,29 Tabel 5 : Pengaruh Kenaikan pH inisial pada Persentase Ekstraksi Asam
Kondisi operasional Asam sitrat Acide malat Perbandingan Fasa Pelarut Campuran Pelarut
: : : :
5 g/l 5 g/l 5 (70% vol) T.B.P. + (30% vol) Dodékan
Agus Martono HP / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 130-133
pH Larutan Awal 1 2 3 4 5
% Ekstraksi Asam Sitrat
% Ekstraksi Asam Malat
% Kemurnian Asam Sitrat
85,82 89,97 50,58 28,28 15,08
72,94 77,50 52,25 34,24 18,76
54,30 52,17 48,59 45,16 43,77
Tabel 6 : Pengaruh Kenaikan pH inisial pada Persentase Ekstraksi Asam Kondisi operasional Asam sitrat : 10 g/l Acide malat : 10 g/l Perbandingan Fasa Pelarut : 5 Campuran Pelarut : (70% vol) T.B.P. + (30% vol) Dodékan pH Larutan % Ekstraksi Awal Asam Sitrat 1 83,00 2 85,20 3 41,92 4 10,20 5 2,40
% Ekstraksi Asam Malat 72,60 79,20 46,12 14,75 3,50
% Kemurnian Asam Sitrat 53,34 51,82 47,61 40,88 40,68
Dari hasil analisa (Tabel 1 – 6), nampak bahwa semakin tinggi pH larutan awal akan menurunkan harga/ persantase ekstraksinya. Untuk berbagai jenis perbandingan komposisi pelarut (ekstraktan + diluent) dengan fasa cairnya terhadap berbagai jenis asam yang diekstrak, akan dapat menaikkan persentase ekstraksi untuk kedua jenis asamnya. Hal ini logis, dikarenakan semakin besar konsentrasi ekstrkatan akan menaikkan daya ekstraksinya. Daftar Pustaka [1] Achour J., Malmary G., Putranto A., Nezzal G., Mourgues J,F., Molinier J., Liquid-liquid Equilibrium of Lactic Acid between Water and Tris (6-methylheptyl) amine and Trybutylphosphate in Various Diluents., 1994, J. Chem. Eng. Data., 39., 711 – 713., [2] Baniel, A.M; Blumberg, R; Hajdu, K, Recovery of Acids from Aqueous Solutions, 1981, U.S. Patent, 4, 275, 234. [3] Busche, R.M., The Business of Biomass., 1985, Biotechnol.Prog, 1, 165 – 180. [4] Juang, R.S. ; Huang, R.H., -, 1997, Chem Eng J., 65, 47– 53.
133
[5] Kertes A.S., King C.J., - , 1986, Biotechnol. Bioeng., 28, 277. [6] King C.J., Advances in Separation techniques : Recovery of Polar Organic from aqueous solution, 1993, Proceedings of 11th International Congress of Chemical Engineering. Chisa, Praha. [7] Kuo, Y., Munson, C.L., Rixey, W.G., Garcia, A.A., Frierman, M., Use of Adsorbents for Recovery of Acetic Acid from aqueous Solutions., I – Factors Governing Capacity., 1987, Sep. Purif. Methods, 16, 31 –64. [8] Lockwood, L.B., Production of Organic Acids by Fermentation. In Microbial Technology; Peppler, 1979, H.J., Perlman, D., Eds Academics, New York, pp 356 –387. [9] Myrtil – Celestine D., Parfait A., 1988, Int. Sugar J., 90, 28–32. [10] Pujiastuti, L., Produksi Bersih., 1999, DirJen DIKTI. [11] Putranto A., Malmary G., Albet J., Molinier J., Separation of Organic Acids from Simulated Aqueous Effluents of Agroindustries through Solvent Extraction, 2000, Proceedings of 5th Indonesian Studetnt’s Scientific Meeting : 224 – 227. [12] Yang S,T., White S, A., Tsiung Hsu S., -, 1991, Ind. Eng. Chem. Res., 30, 1335–1342.
Jurnal Gradien Vol.2 No.1 Januari 2006 : 134-138
Karakterisasi Matrik Leslie Ordo Tiga Mudin Simanihuruk, Hartanto Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 1 Desember 2005; disetujui 15 Desember 2005
Abstrak - Misalkan L = [ lij ] adalah matrix bujursangkar berorder n sedemikian hingga l1j ≥ 0 untuk j = 1,2,...,n ; 0 < li(i-1) ≤ 1 untuk i = 2,3,...,n dan lij = 0 untuk i = 2,3,...,n ; dan j = 1,2,...,n tetapi j ≠ i - 1. Matrix L disebut matrix Leslie. Perhatikanlah bahwa setiap pemangkatan dari matrix Leslie L = 0 1
2 0
6 0 1 3 0 0 0
adalah I, L atau L2. Pada makalah ini,
akan diberikan karakterisasi matrix Leslie L berorder tiga sedemikian hingga setiap pemangkatan dari L adalah I, L atau L2 . Kata Kunci : matrix Leslie ; demografi.
Apabila Lk = I, maka
1. Pendahuluan Salah satu model pertumbuhan populasi yang sering digunakan para ahli demografi adalah Model Leslie. Para perempuan didistribusikan kedalam kelompok berdasarkan usia. Apabila banyaknya kelompok sama (k )
dengan n dan X i
adalah banyaknya perempuan
pada Kelompok i pada pengamatan tk maka dapat ditunjukkan bahwa X ( k ) = a1 ( k −1) + a2 X ( k −1) + 1
....+ an
X
( k −1) n
X1
2
, ai ≥ 0, i = 1,2,...,n dan
(k )
X i +1
=
bi X ( k −1) , 0 < bi ≤ 1, i = 1,2,..,n-1. Dua persamaan i
yang terakhir dapat ditulis dalam bentuk matrik ( k −1) , k = 1,2,... di mana (k ) = L
X
X
= X 1( k ) dan L = (k )
X
(k )
X2 ( k ) X3 . . . X ( k ) n
a1 a2 a3 b 0 0 1 0 b2 0 . . . . . . . . . 0 0 0
. . . an−1 an . . . 0 0 . . . . 0 0 . . . 0 0 . . . . . . . . . . . . . bn−1 0
Matrik L disebut matrik Leslie. Dari persamaan yang ( k ) = Lk (0) . terakhir dapat ditunjukkan bahwa
X
X
X
(k )
=
(0) X . Jadi pada saat tk
jumlah populasi kembali sama dengan jumlah populasi awal. Pada makalah ini akan diberikan syarat perlu dan cukup bagi matrik Leslie L ordo tiga agar Lk = I. Apabila Lk = I, maka setiap pemangkatan Lr akan menghasilkan L atau L2,..., atau Lk-1. 2. Pertumbuhan populasi model Leslie Misalkan L adalah usia maksimum yang dapat dicapai oleh perempuan pada suatu populasi. Apabila para perempuan itu dibagi bagi kedalam n kelompok berdasarkan usia, maka jarak interval masing-masing kelompok adalah L/n. Dengan demikian Kelompok 1, adalah mereka yang berusia [0,L/2), Kelompok 2 adalah mereka yang berusia [L/n,2L/n),..., Kelompok n adalah mereka yang berusia [(n-1)/L,L]. Setiap saat, komposisi jumlah perempuan dalam kelompok dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor kelahiran, kematian dan pertambahan usia. Misalkan ti adalah waktu pengamatan, i = 0,1,..., k,.. . Pada Model Leslie jarak pengamatan ti-1 ke ti sama
Mudin Simanihuruk / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006: 134-138
dengan jarak interval kelompok. Jadi ti = iL/n, untuk i = 0,1,2,.... Misalkan ai adalah rata-rata banyaknya anak perempuan yang lahir dari setiap Kelompok i dan bi adalah perbandingan antara banyaknya perempuan yang bertahan hidup sehingga mampu masuk kedalam Kelompok i+1, dengan banyaknya perempuan dalam Kelompok i. Perhatikanlah bahwa ai ≥ 0, i=1,2,3,...,n dan 0 < bi ≤ 1. Perhatikan juga paling sedikit satu ai > 0, karena kalau tidak berarti proses kelahiran tidak terjadi dan bi > 0, karena kalau tidak, maka tidak ada perempuan yang bertahan masuk kedalam Kelompok i+1. Misalkan
(k )
Xi
X
X
(k )
X
= X 1( k ) dan X ( k ) 2( k ) X3 . . . X ( k ) n
a3 0 0 . . . 0
. . . . . . .
. . . . . . .
. a n −1 a n . 0 0 . . 0 0 . 0 0 . . . . . . . bn−1 0
Matrik L disebut matrik Leslie. Dari persamaan rekursif (3) dapat ditunjukkan bahwa k k (0) . Apabila L = I, maka (0) . (k ) = L (k ) =
X
X
X
X
Berarti pada saat tk jumlah populasi kembali sama denga jumlah populasi awal. Matriks L =
adalah banyaknya perempuan pada
Kelompok i pada pengamatan tk untuk i = 1,2,...,n. Pada saat pengamatan tk banyaknya perempuan pada Kelompok 1 sama dengan banyaknya anak perempuan yang lahir di Kelompok 1 dari waktu tk-1 ke tk + banyaknya anak perempuan yang lahir di Kelompok 2 dari waktu tk-1 ke tk + ... + banyaknya anak perempuan yang lahir di Kelompok n dari waktu tk-1 ke tk . Jadi ( k −1) ( k −1) ( k ) = a1 (1) X 1 + a2 X 2 + ....+ an X (nk −1) X1 Karena jarak interval setiap kelompok sama dengan jarak dua pengamatan yang berurutan, maka semua perempuan yang berada pada Kelompok i+1 pada saat pengamatan tk+1 berada pada Kelompok i pada saat pengamatan tk. Oleh karena itu banyaknya perempuan pada Kelompok i+1, i = 1,2,...,n-1, pada saat pengamatan tk sama dengan banyaknya perempuan yang masih hidup pada Kelompok i pada waktu tk-1 ke tk . Jadi ( k −1) , i = 1,2,..,n-1 (2) (k ) = b X i +1 i X i Persamaan (1) dan (2) dapat ditulis dalam bentuk matrik (k ) = L ( k −1) , k = 1,2,... (3) di mana
a 1 a 2 0 0 b2 . . . . . . 0 0
L = b1
135
0 1 2 0
6 0 1 3 0 0
adalah matrik Leslie yang
0
mempunyai sifat-sifat yang menarik. Bernadelli (1941) dalam [2] menunjukkan bahwa setiap pemangkatan dari L akan menghasilkan matrik identitas I, L atau L2. Dapat ditunjukkan bahwa nilai eigen dari matrik Leslie
1 1 L di atas adalah 1, − 1 + 1 i 3 , dan − − i 3 2
2
2
2
dan L tidak mempunyai nilai eigen yang dominan di mana nilai eigen dominan adalah nilai eigen positip
λ 1 sedemikian hingga
λ 1 ≥ λ k . Apakah setiap
matrik Leslie L ordo tiga yang nilai eigennya tidak dominan merupakan syarat cukup agar Lt = I untuk suatu bilangan bulat t ? Ternyata hal ini tidak benar karena matrik Leslie L = 01 0 48 mempunyai nilai 2 0 0 13
0 0
-1+ i 3 , -1 - i 3 dan di antaranya tidak ada nilai eigen yang dominan, akan tetapi dengan
eigen 2,
mudah dapat ditunjukkan bahwa L3 ≠ I. Jadi nilai eigen yang dominan dari matrik Leslie L tidak dapat kita harapkan memberikan karakteristik bagi matrik Lt = I untuk suatu bilangan bulat t. Pada makalah ini kita tunjukkan syarat perlu dan cukup agar matrik Leslie L memiliki sifat Lt = I untuk suatu bilangan bulat positip t ≥ 2. Karakteritik lain dari matrik Leslie dapat dibaca pada Linear Algebra [1]. Notasi dan definisi lain yang digunakan dalam makalah ini mengikuti [1]. Yang dimaksud dengan
136
Mudin Simanihuruk / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006: 134-138
matrik diagonal adalah matrik bujursangkar yang entrinya diluar diagonal utama sama dengan nol. Matrik diagonal D ordo n dinyatakan dengan D = diag(d1, d2,...,dn). Apabila setiap di > 0 maka matrik diagonal D disebut matrik diagonal positip. Selanjutnya notasi (A)ij menunjukkan entri dari matrik A pada baris ke i dan kolom ke j. 3. Syarat perlu dan cukup Dua Lemma berikut akan menunjukkan bahwa entri dari matrik Leslie L ordo tiga adalah bilangan positip. Lemma 1: Misalkan A adalah matrik ordo tiga. Jika semua entri dari A pada kolom ketiga sama dengan nol, maka semua entri dari At pada kolom ketiga sama dengan nol. b11
b12
b31
b32
Bukti: Misalkan At-1 = b 21 b22
b13 , t ≥ 2. Akan b23 b33
ditunjukkan bahwa semua entri dari At pada kolom ketiga semuanya sama dengan nol. Perhatikanlah bahwa At = At-1A dan (At)13 = b11 a13 + b12a23 + b13a33, (At)23 = b21a13 + b22a23 + b23a33, (At)33 = b31 a13 + b32a23 + b33a33 . Karena a13 = a23 =a33 = 0 maka (At)13 = (At)23 = (At)33 = 0. Dengan demikian Lemma terbukti. a b c
Lemma 2: Misalkan L = , a ≥ 0, b ≥ 0, c ≥ x 0 0 0 y 0
0, 0 < x ≤ 1 dan 0 < y ≤ 1. Jika Lt, t ≥ 2, adalah matrik diagonal positip maka c>0. Bukti: Misalkan c = 0. Aplikasikan Lemma 1 terhadap Lt diperoleh (Lt)13 = (Lt)23 = (Lt)33 = 0. Karena (Lt)33 = 0, maka Lt bukan matrik diagonal positip, kontradiksi dengan hipothesis dari Lemma. Oleh karena itu c > 0.
Basis Induksi: Perhatikanlah bahwa baris pertama dari L2 yang dinyatakan dengan B12 sama dengan a b c = [a2 + bx B12 = [a b c] x 0 0
ab + cy
ac].
0 y 0
Perhatikanlah bahwa cy > 0. Jika a > 0 maka ac > 0. Jadi ada dua entri positip dari L2 pada baris pertama yaitu cy + ab dan ac. Demikian pula apabila b > 0, maka ada dua entri positip dari L2 pada baris pertama yaitu cy + ab > 0 dan a2 + bx > 0. Hipothesa Induksi: Misalkan ada dua entri positip pada baris pertama dari Lt-1. Langkah Induksi: Akan ditunjukkan ada dua entri positip pada baris pertama dari Lt. Misalkan B1t −1 = [p q r], adalah baris pertama Lt-1. Berdasarkan induksi hipothesa diperoleh: (i). p > 0 dan q> 0, (ii) p > 0 dan r > 0, atasu (iii) q > 0 dan r > 0. t
Perhatikanlah bahwa B1 dari Lt adalah a b c B1t = [p q r] = [ap + qx x 0 0
pb + yr pc].
0 y 0
Jika p > 0 dan q > 0 maka ap + qx > 0 dan pc > 0, jadi ada dua entri positip pada baris pertama dari Lt. Jika p > 0 dan r > 0, maka pb + yr > 0 dan pc > 0, jadi ada dua entri positip pada baris pertama Lt. Jika q > 0 dan r > 0, maka ap + qx > 0 dan pb +yr > 0, jadi ada dua entri positip pada baris pertama Lt. Dengan demikian Lemma terbukti. a b c
Lemma 4: Misalkan L = adalah matrik x 0 0 0 y 0
Leslie di mana a ≥ 0, b ≥ 0, c ≥ 0, 0 < x ≤ 1 dan 0 < y Lemma 3: Misalkan L = a b c , a ≥ 0, b ≥ 0, c > 0, x 0 0 0 y 0
0 < x ≤ 1 dan 0 < y ≤ 1. Jika a > 0 atau b > 0 maka ada dua entri positip pada baris pertama dari Lt, t ≥ 2. Bukti: Lemma akan dibuktikan dengan induksi pada t.
≤ 1. Jika Lt adalah matrik diagonal positip maka a = 0 dan b = 0. Bukti: Karena Lt adalah matrik diagonal positip maka Lt memenuhi kondisi Lemma 2. Oleh karena itu kita simpulkan c > 0. Selanjutnya misalkan a > 0 atau b >0. Kita akan menunjukkan bahwa pemisalan ini akan
Mudin Simanihuruk / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006: 134-138
menimbulkan kontradiksi seperti berikut. Karena a > 0 atau b > 0, maka dengan menggunakan Lemma 3 kita peroleh bahwa Lt mempunyai dua entri positip pada baris pertama. Berarti Lt bukan matrik diagonal yang dengan sendirinya bukan matrik diagonal positip, kontradiksi dengan hipothesis dari Lemma. Oleh karena itu pemisalan a > 0 atau b > 0 adalah salah. Jadi a = 0 dan b = 0. Dengan demikian Lemma terbukti. Selanjutnya akan kita buktikan bahwa syarat perlu dan cukup agar matrik Leslie L ordo tiga memiliki sifat L3k = I, untuk bilangan bulat k ≥1. Teorema berikut menunjukkan bahwa L3k = diag((cxy)k, (cxy)k, (cxy)k) bila L adalah matrik ordo tiga di mana entri bada baris pertama kolom pertama dan kolom kedua sama dengan nol. a b
c
Teorema 1: Misalkan L = , c > 0, 0 < x ≤ 1 x 0 0 0
y 0
dan 0 < y ≤ 1. Jika a = 0 dan b = 0 maka L3k = diag((cxy)k, (cxy)k, (cxy)k) untuk k ≥ 1.
=
0 cy 0 0 0 cx xy 0 0
dan
L3
=
L2.L
0 0 (cxy ) k −1 c 0 0 c L = (cxy ) k −1 x 0 0 . x 0 0 0 (cxy ) k −1 y 0 0 y 0
0 (cxy)k −1 cy 0 k −1 = 0 0 (cxy) cx (cxy)k −1 xy (cxy)k −1 y 0 3(k-1) + 3 3(k-1)+2 =L . dan L 0 (cxy)k−1cy 0 0 0 c k −1 . L= 0 0 ( cxy ) cx x 0 0 (cxy)k−1 xy (cxy)k−1 y 0 0 y 0 = diag((cxy)k-1, (cxy)k-1, (cxy)k-1). Dengan demikian teorema di atas terbukti. Selanjutnya teorema berikut menjelaskan syarat perlu dan cukup bagi matrik Lesli L agar L3k adalah matrik diagonal positip. a b c
Hipothesa Induksi: Misalkan teorema di atas benar untuk k-1 yaitu L3(k-1) = diag ((cxy)k-1, (cxy)k-1, (cxy)k1 ). Langkah induksi : Akan ditunjukkan L3k = diag ((cxy)k, (cxy)k, (cxy)k). Perhatikanlah bahwa L3(k-1)+1 = L3(k-1).
bahwa
0 c 0 0 y 0
0 0 (cxy ) k −1 c , = (cxy ) k −1 x 0 0 k −1 0 ( cxy ) y 0
0 y 0
Leslie di mana a ≥ 0, b ≥ 0, c ≥ 0, 0 < x ≤ 1 dan 0 < y ≤ 1. Matrik L3k adalah matrik diagonal positip jika dan hanya jika a = b = 0 dan c > 0.
=
diag(cxy,cxy,cxy). Jadi Teorma di atas benar untuk k= 1.
(cxy)k−1 0 0 0 − k 1 L= (cxy) 0 . x 0 0 0 (cxy)k−1 0
L3(k-1) + 2 = L3(k-1)+1 .
Teorema 2: Misalkan L = adalah matrik x 0 0
Bukti: Lemma akan dibuktikan dengan induksi pada k. Basis Induksi: Dengan mudah dapat ditunjukkan bahwa L2
137
Bukti: Misalkan L3k adalah matrik diagonal positip. Dengan menggunakan Lemma 2 terhadap L3k diperoleh c > 0. Selanjutnya aplikasikan Lemma 4 terhadap L3k diperoleh a = b = 0. Sebaliknya misalkan a = b = 0 dan c > 0. Dengan menggunakan Teorema 1 kita peroleh L3k = diag((cxy)k, (cxy)k, (cxy)k). Karena c > 0 maka cxy > 0. Oleh karena itu L3k adalah matrik diagonal positip. dengan demikian teorema terbukti. Akhirnya kita sampai pada karakterisasi dari matrik L sehingga L3k = I sebagaimana dinyatakan oleh teorema berikut. a b c Teorema 3: Misalkan L = x 0 0 adalah matrik 0 y 0
Leslie di mana a ≥ 0, b ≥ 0, c ≥ 0, 0 < x ≤ 1 dan 0 < y
138
Mudin Simanihuruk / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006: 134-138
≤ 1. Matrik L3k = I jika dan hanya a = b = 0 dan cxy = 1. Bukti: Misalkan L3k = I. Karena semua entri pada diagonal utama sama dengan 1, maka jelas L3k adalah matrik diagonal positip. Berdasarkan Lemma 4, kita peroleh a = b = 0. Selanjutnya berdasrkan Teorema 1 kita peroleh L3k = diag((cxy)k, (cxy)k, (cxy)k). Karena L3k = I, maka (cxy)k = 1. Akibatnya cxy = 1.
sebarang matrik Leslie L berordo n. Kami sarankan agar peneliti lain meneliti lebih lanjut tentang kebenaran conjecture di atas.
Daftar Pustaka [1]
Sebaliknya misalkan a = b = 0 dan cxy = 1. Karena cxy = 1 maka jelas c > 0. Perhatikanlah kondisi Teorema 2 yaitu a = b = 0 dan c > 0 terpenuhi. Oleh karena itu berdasarkan Teorema 2 kita peroleh bahwa L3k adalah matrik diagonal positip. Dengan menggunakan Teorema 1 kita peroleh L3k = diag((cxy)k, (cxy)k, (cxy)k). Karena cxy = 1 maka L3k = I. Dengan demikian teorema terbukti. Dari Teorema 3 kita lihat apabila a = b = 0 dan cxy = 1 maka L3k = I, L3k+ 1 = L dan L3k+2 = L2 dan L3k+3 = I untuk k ≥ 1. 4. Simpulan dan saran Penelitian ini telah berhasil mengkarakterisasi matriksLeslie L berordo tiga sebagaimana dinyatakan dalam Teorema 3. Karakterisasi tersebut adalah a b c
sebagai berikut: Misalkan L = adalah x 0 0 0 y 0
matrik Leslie di mana a ≥ 0, b ≥ 0, c ≥ 0, 0 < x ≤ 1 dan 0 < y ≤ 1. Matrik L3k = I jika dan hanya jika a = b = 0 dan cxy = 1. Tekhnik-tekhnik pembuktian yang digunakan pada penelitian ini belum dapat digeneralisasi untuk mengkarakterisasi matrik Leslie berordo n, untuk nilai n yang cukup besar. Karakterisasi matrik Leslie L berordo tiga di atas menunjukkan suatu dugaan (conjecture) berikut: Apabila a1, a2,..., an adalah entri pada baris pertama dari matrik Leslie L berordo n dan b1, b2,..., bn-1 di mana bi adalah entri pada baris ke i+1 dan pada kolom ke i, maka L3k = I jika dan hanya jika a1 = a2 = ...= an-1 = 0, b1b2...bn-1an = 1. Salah satu kesukaran yang ditemui untuk membuktikan Conjecture ini terletak pada kesulitan untuk mengeneralisasi Teorema 1 untuk
[2]
Anton,H. and Rorres,C., Elementary Linear Algebra (7th ed.), 1994, John Wiley & Sons,Inc. New York. Tarumingkeng,R., Dinamika Populasi, 1994, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Jurnal Gradien Vol.2 No.1 Januari 2006 : 139-143
Bentuk Umum Perluasan Teorema Pythagoras Mulia Astuti, Buyung Keraman, Ulfasari Rafflesia Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 1 September 2005; disetujui 20 Desember 2005
Abstrak - Penelitian ini membahas perluasan teorema Pythagoras melalui pendekatan hubungan kesetaraan pada luas daerah. Secara matematis luas daerah diukur berdasarkan variabel-variabel yang terkait dan kesetaraan pada luas daerah dikembalikan pada kesetaraan fungsi-fungsi yang mengacu pada variabel tersebut. Perluasan teorema Pythagoras di R2 dengan pendekatan hubungan kesetaraan pada luas daerah dapat menjelaskan hubungan luas daerah yang berkaitan dengan panjang sisi-sisi segitiga siku-siku. Fokus dari penelitian ini adalah membahas perluasan teorema Pythagoras di R n . Kata Kunci : Hubungan Kesetaraan; Teorema Pythagoras.
1. Pendahuluan
2.
Makalah ini akan membahas bentuk umum perluasan teorema Pythagoras yaitu di R n , dengan menggunakan hubungan kesetaraan pada luas daerah, pada persamaan dengan bentuk umum : x12 = x2 2 + x3 2 + ... + xn 2 + g ( x1 , x2 ,..., xn )
(1)
atau pada persamaan dengan bentuk umum 2
2
f ( x1 , x 2 ,..., x n ) = x1 + x 2 + ... + x n Dalam hal ini (a1 , a 2 ,..., a n ) ,
2
(2)
ai > 0, 1 ≤ i ≤ n
3.
Dalam mendefinisikan hubungan kesetaraan, diperlukan notasi-notasi berikut: 1. Notasi f a ( x ), g a ( x ), Fa ( x ), Ga ( x ), φ a ( x ), γ a ( x ) menyatakan fungsi kontinu untuk suatu konstanta a > 0, a ∈ R dan x ∈ [0 , a ]
Notasi R( fa (x), ga (x)) menyatakan daerah di bidang kartesian yang dibatasi oleh: (i) Fungsi f a (x) dan fungsi
g a ( x ) ≤ f a (x) ∀ x ∈ [0 , a ]
4.
g a (x ) dengan
(ii) Garis vertikal x = 0 dan x = a . Notasi A( f a ( x ), g a ( x )) menyatakan luas daerah R( f a (x ), g a (x )) .
Definisi 2.1 (Hubungan kesetaraan pada selang) [3] Dua selang dikatakan setara jika kedua selang tersebut mempunyai panjang yang sama. Misalnya : 1. Selang setara dengan selang 0 ≤ t ≤ x1
x 0 ≤ 2 t ≤ x2 , untuk x1 ≠ 0 x1
merupakan solusi persamaan (1) atau persamaan (2). 2. Hubungan Kesetaraan [4]
f −a ( x), g−a ( x), F−a (x), G−a (x),φ −a (x),γ −a (x)
menyatakan fungsi kontinu untuk suatu konstanta a > 0, a ∈ R dan x ∈ [− a , 0 ]
Ausri [3] telah menyelidiki perluasan teorema Pythagoras di R2 dengan menggunakan hubungan kesetaraan pada luas daerah yang berkaitan dengan sisi segitiga siku-siku. Hasil yang diperoleh adalah penjumlahan luas daerah yang berkaitan dengan sisi siku-siku sama dengan luas daerah yang berkaitan dengan sisi miringnya.
Notasi
2.
Selang 0 ≤ t ≤ 4 setara dengan selang 6 ≤ t ≤ 10 .
Definisi 2.2 (Hubungan kesetaraan pada fungsi) [3] (i) Fungsi
f a (x ) dikatakan setara dengan Fb (x ) ,
ditulis f a (x ) π Fb (x ) , jika: Fb (x ) =
b a f a x ∀x ∈ [0, b ] a b
Mulia Astuti / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 139-143
140
(ii) Fungsi
f −a (x )
dikatakan
setara
dengan
F−b (x ) ditulis f −a (x ) π F−b (x ) , jika: F−b (x ) =
a 2 sin θθ sin ββ b 2 sin θθ sin ββ + = 2 sin αα 2 sin αα
b a f −a x ∀x ∈ [− b, 0] . a b
Misalnya : Fungsi f a (x) = a 2 − x 2 0 ≤ x ≤ a setara dengan fungsi Fb (x) = b2 − x 2 0 ≤ x ≤ b .
Definisi 2.3 (Hubungan kesetaraan pada luas daerah) [3]
(i) Daerah R( f a (x ), g a (x ))
setara
dengan
R(Fb (x ), Gb (x )) ,
ditulis jika
f a (x ) π Fb (x ) dan g a (x ) π Gb (x ) Luas
R( f a (x ), g a (x ))
daerah
A( f a (x ), g a ( x) )
A( f a (x), g a ( x)) =
dihitung
c 2 sin θθ sin ββ 2 sin αα
Jika pada masing-masing sisi segitiga siku-siku terdapat daerah yang tidak beraturan, maka teorema 3.1 memperlihatkan hubungan antara luas daerah yang terdapat pada masing-masing sisi segitiga siku-siku.
daerah
R( f a (x ), g a (x )) π R(Fb (x ), Gb (x ))
(ii)
Misalkan segitiga itu membentuk sudut-sudut α,β dan θ. Hubungan luas ketiga segitiga setara di atas adalah:
namakan dengan:
Teorema 3.1 [4] Misalkan a dan b adalah panjang sisi siku-siku dan c adalah sisi miring segitiga siku-siku. Misalkan daerah R( f a (x), g a (x)), R(Fb (x ), Gb (x )) dan R(φ c (x ), γ c (x )) setara maka: A( f a (x), g a (x)) + A(Fb (x), Gb (x)) = A(φc (x), γ c (x))
a
Akibat 3.2 [4] Misalkan a ,b dan c masing-masing adalah panjang sisi
0
segitiga sebarang, dengan sisi c berlawanan dengan sudut
∫ ( f a (x) − ga (x)) dx .
Definisi 2.4 [2] Misalkan n adalah bilangan bulat positif, n-tupel terurut didefinisikan sebagai urutan n bilangan riil
(a1 , a 2 ,…, a n ) . Himpunan semua n-tupel terurut dinamakan Ruang-n Euclidis dan dinotasikan dengan R n 3. Contoh Perluasan Teorema Pythagoras di R 2 Perluasan teorema Pythagoras di R 2 menggunakan hubungan kesetaraan pada luas daerah yang berkaitan dengan sisi-sisi segitiga siku-siku. Berikut contoh perluasan teorema Pythagoras di R 2 . 1. Pada masing-masing sisi segitiga siku-siku terdapat daerah beraturan yang berbentuk bujur sangkar. Hubungan luas bujur sangkar tersebut adalah a2 + b2 = c2. 2. Pada masing-masing sisi segitiga siku-siku terdapat daerah yang beraturan berbentuk setengah lingkaran dengan diameter sama dengan sisi segitiga siku-siku. Hubungan antara luas setengah lingkaran π π π tersebut adalah: a 2 + b 2 = c 2 8 8 8 3. Pada masing-masing sisi segitiga siku-siku terdapat daerah yang beraturan berbentuk segitiga yang setara.
θ . Misalkan daerah R( f a (x ), g a (x )) , R(Fb (x ), Gb (x ))
dan R(φ c (x ), γ c (x )) setara. Maka:
A(φ c (x ), γ c (x )) = A( f a (x ), g a (x )) + A(Fb (x ), Gb (x )) −
2 ab cos θ c2
A(φ c (x ), γ c (x ))
4. Bentuk Umum Perluasan Teorema Pythagoras Bentuk umum perluasan teorema Pythagoras, yaitu di ruang-n Euclidis, dilakukan dengan memperluas pasangan terurut (a, b) a > 0, b > 0 di R 2 yang merupakan solusi persamaan lingkaran f ( x, y ) = x 2 + y 2 = c 2 , menjadi n-tupel terurut ( a1 , a 2 ,..., a n ) , ai > 0, 1 ≤ i ≤ n di R n yang merupakan solusi persamaan (1) atau merupakan solusi persamaan (2). Sehingga bentuk umum perluasan teorema Pythagoras ini, diperoleh dengan memperluas Teorema 3.1 menjadi teorema 4.2 dan Akibat 3.2 menjadi teorema 4.1 yaitu sebagai berikut :
Mulia Astuti / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 139-143
a1
=
Teorema 4.1 Persamaan
(1).
Misalkan
R ( f a1 , g a1 ), R ( f a2 , g a2 ),..., R ( f an , g an )
setara,
0
maka berlaku:
=
∫ ( fa2 ( x) − ga2 ( x))dx + ... +
Sehingga Persamaan (5) dapat dituliskan sebagai: (3)
A( f a2 , g a2 ) + ... + A( f an , g an ) = a12 − g ( a1,a2 ,...,an ) a12
∫ ( fan ( x) − gan ( x))dx....... 0
karena daerah R( f a1 , g a1 ), R ( f a2 , g a2 ),..., R ( f an , g an )
=
setara,
berdasarkan Definisi 2.2 dan Definisi 2.3 (i), maka Persamaan (3) ditulis sebagai:
a a a2 fa ( 1 x) − ga ( 1 x)dx+ ...+ 1 1 a1 a2 a2
A( f a1 , g a1 )
= A( f a1 , g a1 ) −
g ( a1,a2 ,...,an ) a12
+
Persamaan
ui =
perubahan
variabel
yaitu:
a1 x, i = 1,..., n − 1 maka Persamaan (4) dapat ai +1
pula ditulis sebagai: A( f a2 , g a2 ) + ... + A( f an , g an ) = a1
∫ (
0 a1
∫ ( 0
)
a2 a f a (u1) − g a1 (u1 ) 2 du1 + ... + a1 1 a1
)
an a f a (un −1 ) − g a1 (un −1 ) n dun −1....... a1 1 a1
A( f a1 , g a1 )
g (a1 , a 2 ,..., a n ) a1 2
A( f a1 , g a1 )
Misalkan ( a1 , a 2 ,..., a n ) , ai > 0, 1 ≤ i ≤ n adalah solusi
0
melakukan
0
Teorema 4.2
∫ a1n fa1(a1n x) − ga1(a1n x)dx.......
Dengan
∫ ( f a1 ( x) − g a1 ( x))dx
a12 − g ( a1, a2 ,..., an ) a12
(4)
a
a1
Dengan demikian diperoleh persamaan: A( f a1 , g a1 ) = A( f a2 , g a2 ) + ... + A( f an , g an )
A( fa2 , ga2 ) + ...+ A( fan , gan ) =
a
(5)
0
a 2 2 + a3 2 + ... + a n 2 = a12 − g (a1 , a 2 ,..., a n ).
0 an
a
∫ ( f a1 ( x) − g a1 ( x))dx
a12 = a 2 2 + a3 2 + ... + a n 2 + g (a1 , a 2 ,..., a n )
a2
0 an
a1 2
a1
maka diperoleh:
A( f a2 , ga2 ) + ... + A( f an , gan ) =
∫
a 2 2 + a 3 2 + ... + a n 2
Karena ( a1 , a 2 ,..., a n ) adalah solusi Persamaan (1),
Bukti: Berdasarkan Definisi 2.3 (ii) diperoleh:
a2
an 2
∫ a12 ( fa1 ( x) − ga1 ( x))dx.......
daerah
A( f a1 , g a1 ) = A( f a2 , g a2 ) + ... + A( f an , g an ) g (a1 , a 2 ,..., a n ) + A( f a1 , g a1 ) a1 2
a 2
∫ a122 ( fa1 ( x) − ga1 ( x))dx + ... +
0 a1
Misalkan ( a1 , a 2 ,..., a n ) , ai > 0, 1 ≤ i ≤ n adalah solusi
141
(2).
Misalkan
daerah
R ( f a1 , g a1 ), R ( f a2 , g a2 ),..., R ( f an , g an )
maka : n
∑ A( f a j , g a j ) = j =1
f ( a1, a2 ,..., an ) A( f a i ai 2
, g ai ).
Jika A( f ai , g ai ) ≠ 0 maka a2
f ( a1 , a 2 ,..., a n ) = A( f i , g ) ai ai
n
∑ A( f a j , g a j ). j =1
Bukti: Berdasarkan Definisi 2.3 (ii) diperoleh:
setara,
Mulia Astuti / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 139-143
142
n
a2
∑ A( f a j , g a j ) =A( f a1 , g a1 ) + ... +
f (a1 , a 2 ,..., a n ) = A( f i , g ) ai ai
j =1
n
∑ A( f a j , g a j ). j =1
a1
A( f an , g an ) =
∫ ( f a1 ( x) − g a1 ( x))dx + ... +
(6)
0
an
∫ ( f an ( x) − g an ( x))dx....... 0
karena daerah setara,
R( f a1 , g a1 ), R( f a2 , g a2 ),..., R ( f an , g an )
berdasarkan Definisi 2.2 dan Definisi 2.3 (i), maka Persamaan (4.6) ditulis sebagai: a1
n
∑ j =1
∫
A( fa j , ga j ) =
0 an
+ ... +
∫ 0
Dengan uj =
a1 a a fa ( i x) − ga ( i x) dx i a ai i a1 1
perubahan
Misalkan (a1 , a 2 ,..., a n ) , ai > 0, 1 ≤ i ≤ n adalah solusi Persamaan
(4.2).
Misalkan
daerah
R( f ak , g ak ) 1 ≤ k ≤ n semuanya setara. Luas daerah R ( f ak , g ak ) yaitu A( f ak , g ak ) = 0 jika dan hanya n
jika
∑ A( f a j , g a j ) =0 . j =1
Bukti: A( f ak , g ak ) = 0 .
(⇒) Misalkan n
(7)
Teorema 4.2,
an a a fa ( i x) − ga ( i x) dx i i an an ai
melakukan
Akibat 4.3
variabel
∑ A( f j =1
aj
Maka
menurut
dan
andaikan
, g a j ) =0 .
n
yaitu:
ai x, j = 1,..., n − 1 maka Persamaan (7) dapat aj
(⇐) Misalkan
j =1
A( f ak , g ak ) ≠ 0 untuk suatu k dengan 1 ≤ k ≤ n .
Maka
pula ditulis sebagai:
∑ A( f a j , g a j ) =0
menurut
Teorema
4.2
haruslah
f (a1 , a2 ,..., an ) = 0 hal ini bertentangan dengan n
ai
j =1
0 ai
Persamaan
∑ A( fa j , ga j ) = ∫ a1i ( fai (u1) − gai (u1)) a1i du1 + ... +
a
a
=
ai
a12
an2
∫ ai2 ( fai (x) − gai (x))dx + ... + ∫ ai2 ( fai (x) − gai (x))dx 0
0
=
2
a1 + ... + a n ai 2
karena
itu
haruslah
a
0
ai
Oleh
A( f ak , g ak ) = 0 .
∫ ani ( f ai (un ) − gai (un )) ani dun a
(2).
2 ai
∫ ( f ai ( x) − g ai ( x))dx
(8)
0
Karena ( a1 , a 2 ,..., a n ) adalah solusi Persamaan (2), maka: f (a1 , a 2 ,..., a n ) = a12 + a 2 2 + ... + a n 2 . Dengan demikian Persamaan (4.8) dapat dituliskan sebagai: n
f ( a ,a ,...,a ) A( f a j , g a j ) = 1 22 n A( f ai , g ai ). ai j =1
∑
Jelas bahwa, bila A( f ai , g ai ) ≠ 0 maka:
Akibat 4.4 Misalkan (a1 , a 2 ,..., a n ) , a i > 0, 1 ≤ i ≤ n adalah solusi Persamaan (2). Misalkan daerah R( f a j , g a j ) 1 ≤ j ≤ n semuanya
setara.
A( f ai , g ai ) ≠ 0 untuk
A( f ak , g ak ) ≠ 0
Jika
sebarang a2
i,k
dan dengan
a 2
(1 ≤ i ≤ n,1 ≤ k ≤ n maka A( f i , g ) = A( f k , g ) ai ai ak ak
Bukti: Misalkan A( f ak , g ak ) ≠ 0 untuk 1 ≤ k ≤ n dan daerah R ( f a j , g a j ) semuanya setara untuk 1 ≤ j ≤ n maka
menurut Teorema 4.2 berlaku:
Mulia Astuti / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 139-143
a 2
f ( a1 , a 2 ,..., a n ) = A( f k , g ) ak ak
n
j =1
=
(9)
f (a1 , a 2 ,..., a n ) =
ai 2 A( f a , g a ) i i
ak 2 A( f ai , g ai ) A( f a , g a ) k k ak 2 A( Fai , Gai ) A( Fa ,Ga ) k k
ai 2 =
∑ A( f a j , g a j ).
dengan cara yang sama berlaku pula:
143
Dengan demikian diperoleh:
n
∑ A( f a j , g a j ). (10)
A( f a , g a ) i i A( Fa ,Ga ) i i
j =1
A( f a , g a )
= A( F k , G k ) . a k ak
Dari Persamaan (9) dan (10) diperoleh: 5. Kesimpulan ai 2 A( f ai , g ai )
n
∑ A( fa j , ga j ) =
1.
Telah diperoleh hasil perluasan teorema Pythagoras
2.
di R 2 dengan menggunakan hubungan kesetaraan pada luas daerah. Hasil yang diperoleh dari penggunaan hubungan kesetaraan tersebut adalah : Jika pada setiap sisi segitiga siku-siku terdapat daerah yang beraturan maupun yang tidak beraturan dan setara, maka terdapat hubungan diantara luas daerah tersebut dengan persamaan teorema pythagoras, yaitu:luas daerah yang terkait dengan sisi miring segitiga siku-siku, namakan sisi c merupakan penjumlahan dari luas daerah yang terkait dengan panjang sisi siku-siku, namakan sisi a dan sisi b. Dari hasil perluasan teorema Pythagoras di
j =1
ak 2 A( f a , g a ) k k
n
∑ A( fa j , ga j ) j =1
Dengan demikian diperoleh: ai 2 A( f a , g a ) i i
a 2
= A( f k , g ) ak ak
Akibat 4.5 Misalkan (a1 , a 2 ,..., a n ) , ai > 0, 1 ≤ i ≤ n adalah solusi Persamaan (4.2). Misalkan daerah R ( f a j , g a j ) dan daerah R( Fa j , G a j ) setara untuk 1 ≤ j ≤ n . Jika A( f ak , g ak ) ≠ 0 dan A( f a , g a ) i i A( Fa ,Ga ) i i
A( Fak , G ak ) ≠ 0 maka
R 2 diperoleh bentuk perumusan umum perluasan
teorema Pythagoras, yaitu di R n seperti dijelaskan dalam teorema 4.1 dan teorema 4.2.
A( f a , g a )
= A( F k ,G k ) untuk sebarang i,k dengan ak ak
Daftar pustaka
(1 ≤ i ≤ n,1 ≤ k ≤ n .
Bukti: Misalkan A( f ak , g ak ) ≠ 0 untuk 1 ≤ k ≤ n dan daerah
R( f a j , g a j )
setara untuk 1 ≤ j ≤ n maka menurut
Akibat 4.4 diperoleh: ai 2 A( f a i , g a i )
=
ak 2 A( f a k , g a k )
(11)
Misalkan A( Fak , G ak ) ≠ 0 untuk 1 ≤ k ≤ n dan daerah
R( Fa j , G a j )
setara untuk 1 ≤ j ≤ n maka menurut
Akibat 4.4 diperoleh: ai 2 A( Fa ,Ga ) i i
a 2
= A( F k , G ) ak ak
Dari Persamaan (11) dan Persamaan (12) diperoleh:
(12)
[1] Anton, H., Calculus with Analytic Geometry, 1988, John Wiley. New York [2] Anton, H., Aljabar Linier Elementer, Edisi kelima, 1994, Erlangga, Jakarta [3] Ausri, A., Pengembangan Sifat Pythagoras dengan Menggunakan Hubungan Kesetaraan, 1997, Jumpa 6 : 83-90 [4] Clay, James R and Yuen Fong, Generalization of Pythagorean Theorem, 1995, Sea Bull. Math. 19:19-26 [5] Herstein, I.N., 1975. Topics In Algebra. 2thed. 1975, John Wiley. New York
Jurnal Gradien Vol.2 No.1 Januari 2006 : 144-151
Metode Diagonally Implicit Runge-Kutta Dalam Penyelesaian Model Matematika Sistem Cardiovascular Fanani Haryo Widodo dan Awal Isgiyanto Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Bengkulu, Indonesia Diterima 3 Desember 2005; disetujui 26 Desember 2005
Abstrak - Pokok pembahasan paper ini adalah tentang penentuan metode penyelesaian model matematika untuk sistem cardiovascular. Model tersebut disajikan sebagai ssistem non-linier persamaan diferensial biasa. Karateristik sistem tersebut adalah sangat “kaku” sebagaimana ditunjukkan oleh nilai eigennya yang riil negatif. Dalam pemilihan metode yang tepat untuk menyelesaikan model tersebut, tingkat akurasi dan efisiensi menjadi ukuran yang penting. Dalam hal ini, telah dijelajahi klas metode implisit Runge-Kutta. Fakta menunjukkan bahwa klas metode tersebut sangat “mahal” karena klas metode tersebut pada umumnya melibatkan persamaan aljabar yang ketat dan rumit. Dalam studi yang telah dilakukan, ditemukan bahwa metode Diagonally Implicit Runge-Kutta (DIRK) adalah tepat untuk menjawab model tersebut. Dalam hal ini digunakan Butcher array yang dihasilkan oleh penelitian Kevin Burrage. Yang menarik dari studi ini adalah bahwa matrik Jacobian memiliki struktur blok diagonal yang terklasifikasi dalam tiga blok sedemikian sehingga metode penyelesaian yang didapat memiliki potensi bagi penyelesaian dengan menggunakan algoritma paralel. Kata Kunci : DIRK; model matematika sistem cardiovascular; Butcher array Kevin Burrage; matrik berstruktur blok diagonal.
1. Pendahuluan Sistem kontrol memainkan peranan yang sangat penting dalam perkembangan teknologi dan kemajuan peradaban modern. Hal ini banyak dijumpai di semua sektor industri seperti sistem transportasi, pengendalian kualitas produk suatu pabrik, sistem pembangkit energi dll. Demikian juga problem-problem di dalam pengendalian sistem sosial dan ekonomi dalam kehidupan kita dan pengendalian sistem sirkulasi darah dalam sistem cardiovascular manusia atau hewan dapat dikaji melalui pendekatan teori kontrol. Didukung oleh kemajuan dan meluasnya penggunaan teknologi komputer, peranan sistem kontrol telah secara dramatis mengalami kemajuan khususnya dalam analisis dan desain. Sistem cardiovascular pada tubuh manusia telah menjadi suatu studi yang intensif di dalam sistem kontrol khususnya dalam suatu kerangka yang terkait dengan problem Mayer wave, suatu osilasi dengan periode yang panjang dalam tekanan darah arteri. Serangan Mayer wave sering muncul ketika seseorang berada pada kondisi abnormal seperti kekurangan darah, akibat pendarahan
yang berlebihan, atau karena perubahan yang mendadak dalam suplai darah ke bagian-bagian tubuh [3]. Dalam suatu masyarakat yang berpenduduk padat dengan lingkungan yang tercemar, masalah Mayer wave mungkin cukup potensial sebagai penyakit masyarakat dikarenakan oleh seringnya ditemukan kondisi-kondisi abnormal seperti kemacetan lalu lintas, dan situasi penuh sesak oleh kerumunan manusia dengan udara yang tercemar. Pada kondisi tubuh yang kritis serangan Mayer wave dapat menyebabkan implikasi psiologis yang serius seperti pingsan [1]. Karenanya studi khusus tentang masalah ini akan memberikan kontribusi pada upaya penyelesaian penyakit masyarakat. Dari banyak eksperimen yang difokuskan pada Mayer wave banyak ditemukan fitur yang menjelaskan gejala sekitar Mayer wave. Meskipun begitu sebab timbulnya Mayer wave tetap merupakan problem tak terselesaikan [13]. Lebih jauh problem pengembangan metode penyelesaian untuk model matematika dari sistem cardiovascular memperoleh perhatian pada beberapa tahun terakhir ini. Abbiw-Jackson melakukan studi tentang secara sisem cardiovascular yang dimodelkan
Fanani / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 144-151
matematika dalam bentuk suatu sistem tiga persamaan diferensial biasa nonlinier [1]. Mereka menganalisa model tersebut menggunakan metode stabilitas Liapunov dan teori Hoft bifurcation dengan kesimpulan bahwa kenaikan di dalam gain dari baroreflex feedback loop memungkinkan timbulnya serangan osilasi, sedangkan perubahan dalam parameter-parameter model tidak mempengaruhi kestabilan dari titik keseimbangan.
145
(ventriculus dextrum), kemudian melalui arteri paru-paru (pulmonalis) masuk ke jalinan kapiler paru-paru kemudian mengalir kembali melalui vena paru-paru masuk ke bilik kiri (atrium sinistrum). Dari sistem sirkulasi di atas terlihat bahwa ada empat volume darah yang memungkinkan dipilih sebagai variabel model sistem cardiovascular, yaitu volume darah pada arteri sistemik (systemic arteries) v SA , volume
Penelitian ini mencoba mencari penyelesaian problem matematika dari sistem cardiovascular sebagaimana diberikan oleh [1] melalui pendekatan komputasi numerik. Basaruddin dalam penelitiannya mengajukan suatu metode untuk menjawab model demikian yang didasarkan pada kelas BDF [9]. Namun sebegitu jauh banyak penemuan menunjukkan bahwa metode BDF hanya tepat untuk sistem yang tidak begitu kaku, sementara model dari sistem cardiovascular mempunyai indikasi cukup stiff sebagaimana hasil yang diperoleh dari penelitian AbbiwJackson yang mengatakan bahwa perubahan-perubahan parameter tidak mempengaruhi kestabilan titik kesetimbangan [1]. Karenanya untuk menyelesaiakan model tersebut diperlukan daerah kestabilan yang luas. Sifat yang demikian dimiliki oleh sifat metode Diagonally Implicit Runge-Kutta. Pada sisi lain kelemahan pada metode Implicit Runge-Kutta adalah perhitungannya menggunakan persamaan aljabar yang rumit dan komplek. Dengan kata lain metode ini cukup mahal atau kurang efisien. Peneliti berusaha mengembangkan metode DIRK untuk menjelesaikan problem tersebut. 2. Sistem Cardiovascular dan Mayer Wave Sistem cardiovascular adalah sistem sirkulasi darah. Pada manusia dan mamalia tingkat tinggi sistem tersebut dibagi menjadi dua, yaitu sistem siskulasi besar (sistemik) yang mensuplai darah dari jantung keseluruh organ tubuh kemudian kembali ke jantung, dan sistem sirkulai kecil (pulmonary) yang membawa darah dari jantung ke paruparu untuk pertukaran gas kemudian kembali ke jantung. Perjalanan darah pada sirkulasi sistemik, darah mengalir dari bilik kiri (atrium sinistrum) masuk ke serambi kiri (ventriculus sinistrum), kemudian melalui arteri utama (aorta) masuk ke jalinan kapiler organ tubuh. Sedangkan perjalanan darah pada sirkulasi kecil, darah mengalir dari bilik kanan (atrium dextrum) masuk ke serambi kanan
darah di dalam vena sistemik (systemic veins) v SV , volume darah di dalam vena paru-paru (pulmonary veins) vPV , dan volume darah di dalam arteri paru-paru
(pulmonary arteries) v PA . Akan tetapi penelitian yang dilakukan oleh Abbiw-Jackson menunjukkan bahwa variabel volume darah di dalam arteri paru-paru merupakan volume terkecil. Kecuali itu jika dilihat dari fungsinya, darah yang berada di dalam arteri paru-paru hanya berfungsi sebagai transport pembuangan gas, sehingga ditetapkan untuk diabaikan. Jadi variabel pada penelitian ini v SA , v SV dan vPV . 3. Model Matematika Sistem Cardiovascular Model matematika sistem cardiovascular meliputi sistem tiga persamaan diferensial biasa sebagai berikut [1]: dv SA v SA v SV FC L v PV VD =− + + − dt R S C SA R S C SV C PV R S C SC dv SV v SA FC R 1 = − + dt R S C SA R S C SV C SV
(v SV − V D )
dv PV V0 − v SA − v SV − v PV FC L 1 = − + dt R P C PA R P C PV C PV dimana CSA = Compliance in systemic arteries, CPA = Compliance in pulmonary arteries, CPV = Compliance in pulmonary veins, CSV = Systemic venous compliance, RS = Systemic capillary resistance, RP = Pulmonary resistance, CR = Compliance in right heart, CL = Compliance in left heart, F = Heart rate, VD = Systemic venous unstressed volume, volume of vessel at pSV = 0, pSV = Systemic vein pressure, VSA = volume of blood in systemic arteries, VSV = volume of blood in systemic veins, VPV = volume of blood in pulmonary veins.
Dengan mensubstitusi persamaan F, RS, CSV, dan VD yang menyatakan model sistem Baroreflex control, yaitu:
Fanani / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 144-151
146
F1 (Vc )n
F = F1 (1 − B n ) + F2 =
•
(Vc )n + (v SA )n
+ F2
dimana F1 dan F2 konstan, dan F2 adalah nilai F untuk Bn = 1. •
systemic resistance Rs dimodelkan sebagai : RS = R1(1 − Bn ) + R2 =
•
R1(VC )n
(VC )n + (vSA )n
+ R2
systemic venous compliance CSV dimodelkan sebagai: CSV = C1Bn + C2 =
•
C1(vSA )n
(VC )n + (vSA )n
+ C2
systemic venous unstressed volume VD dimodelkan sebagai : VD = D
VD = D1Bn + D2 =
D1(vSA )n
(VC )n + (vSA )n
+ C2
maka didapat model nonlinier dari sistem cardiovascular sebagai berikut: 1.
+
+
2.
n +1 dVSA VSA + VCnVSA =− n dt R2 C SAVSA + (R1 + R2 )VCn C SA n F2VSA + (F1 + F2 )VCn C L C PV n C PV VSA
2n n (C1 +C2)R2VSA +{((R1 + R2)(C1 +C2) + R2C2)VCn}VSA + (R1 + R2)C2VC2n
+
{(
−
{F V
+
{F V
3.
)
}(
n 2 SA
(
(
)
)
)(
)
(
)
+ (F1 + F2 )VCn C RVSV
)
n C1 + C 2 VSA
n 2 SA
}
}{(
+ C 2VCn
}{
n + (F1 + F2 )VCn (D1 + D2 )VSA + D2VCn
n VSA
+ VCn
){(
)
n C1 + C 2 VSA
dVPV V0 − VSA − VSV − VPV = dt RP C PA
{
+ C 2VCn
}
)
R1 R2 D1 D2 C1 C2 VC VD
Masalah nilai awal disajikan sebagai : y ′ = f (t , y ), t > t 0 y (t 0 ) = y 0
Rm dan
}
}
ini juga dapat dinyatakan dalam bentuk : y ′ = f ( y ), t > t 0
y (t 0 ) = y 0 Menyelesaikan model ini adalah lebih mudah jika digunakan metode Runge-Kutta, karena tidak diperlukan peubah waktu secara khusus. Ini dilakukan dengan menampilkan peubah waktu sebagai satu komponen dalam sistem [9].
Masalah nilai awal tersebut dikatakan kaku jika terdapat
}
1 F V n + (F1 + F2 )VCn C L − + 2 SA VPV n + VCn C PV VSA RP C PV
(
F
Nilai 0,01 lt/mmHG 0,00667 lt/mmHG 0,08 lt/mmHG 1,79 mmHG 0,035 lt/mmHG 0,014 lt/mmHG F1 = 80 beats/min F1 = 40 beats/min 20 lt/min 7,5 lt/min 3,0 lt 0,5 lt 1,0 lt/mmHG 0,25 lt/mmHG 1,0 lt 2,0 lt
f : R m → R m adalah suatu fungsi nonlinier. Persamaan
n n n D1 + D2 VSA + D2VCn VSA + VCn − VSA + VCn VSV n n R2VSA + R1 + R2 VCn C1 + C 2 VSA + VCn C 2
{
Simbol CSA CPA CPV RP CR CL
dimana y adalah suatu vektor di dalam
n +1 VSA + VCnVSA n R2C SAVSA + R1 + R2 VCn C SA
(
Tabel 1. Nilai parameter yang digunakan dalam penelitian.
4. Masalah Nilai Awal
+ VCn C PV
n n VSVVSA +VCnVSV −(D1 + D2)VSA − D2VCn
dVSV = dt
Sedangkan parameter yang relevan terhadap Mayer wave ada 16 buah sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1 di bawah [1][12][15][17].
perbedaan yang besar antara nilai-nilai eigen λ dari matrik Jacobian permasalahan tersebut. Masalah syarat awal y ′ = f ( y ), y (x0 ) = y 0 , y vektor berdimensi m, dengan x f merupakan titik ujung dari integrasi. Ada masalah
syarat awal yang solusi eksaknya dapat ditentukan dengan
Fanani / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 144-151
mudah, akan tetapi banyak juga masalah syarat awal yang solusi eksaknya tidak mungkin ditemukan [9]. Sedangkan Alhadi [2] menyatakan bahwa y ′(x ) = f ( y (x )), y (x 0 ) = y 0 , f : R m → R m dikatakan
kaku
s
Yi = y n−1 + h
Atau jika nilai eigen dari matrik Jacobiannya negatif dan terdapat perbedaan yang besar antara nilai-nilai eigennya.
1≤ i ≤ s
s
y n = y n −1 + h
∑ bi f (t n−1 + ci h, Yi ) i =1
Metode tersebut dapat dinyatakan juga dalam notasi : c1 a11 a12 … a1s c2 a21 a22 … a2s
Jika pada suatu kasus grafiknya turun, maka akan terjadi
… cs
penurunan dengan laju sebesar λ i . Semakin besar λ i
… as1 b1
berarti semakin besar penurunannya sebagai akibat perbedaan yang besar antara nilai λi , sehingga terjadi perubahan yang besar dan penurunan yang cepat pada suatu interval tertentu. Pada interval dengan penurunan yang cepat diperlukan strategi pengambilan ukuran langkah (step size) yang kecil, sedangkan pada selang yang solusinya berjalan lambat, maka digunakan ukuran langkah yang lebih besar.
∑ aij f (t n−1 + c j h, Y j ), j =1
bila
(x f − x0 )L >> 1 dimana L adalah Konstanta Lipschitz.
147
… as2 b2
… … …
… ass as
s
∑ aij,i=1,...,s
sehingga dapat ditulis c i =
i = 1,..., s [8].
j =1
Sedangkan metode Diagonally Implicit Runge-Kutta (DIRK) 4-tahap sebagai ODE-solver adalah : 4
1. Vi = v n + h
∑ aij f (V j )
; i = 1,2,3,4
j =1
4
Tidak mudah untuk mengetahui nilai L awal pada sebagian besar kasus, sehingga sulit untuk menentukan kapan nilai (x f − x0 )L termasuk kategori besar [14]. Pendekatan lain menyatakan bahwa kekakuan dapat dideduksi dari sifat sistem yang dimodelkan. Hainer dan Wanner menyatakan bahwa masalah nilai awal yang kaku memiliki solusi numerik dimana gerakan lambat yang mulus akan diganggu oleh solusi-solusi yang bergerak cepat didekatnya [11].
2. v n +1 = v n + h
i =1
Kelas dari metode ini diklasifikasikan sesuai integrator yang dinyatakan sebagai Butchers array : c A bT Dimana c dan b adalah vektor yang panjangnya s dan A adalah suatu matrik berordo s x s. Basaruddin telah menunjukkan penggunaan Butchers array diatas dengan rumus Runge-Kutta [9]. s
Untuk menyelesaikan problem yang kaku dapat digunakan metode Implisit Runge-Kutta (IRK), dengan berbagai variasinya. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode Diagonally Implicit Runge-Kutta (DIRK). 5. Metode Runge-Kutta Umum Solusi menggunakan pendekatan numerik dapat dilakukan dengan metode Implisit Runge-Kutta (IRK). Ada beberapa metode Implisit Runge-Kutta yang dapat digunakan, metode IRK Labatto [9], metode IRK Radau [9] atau metode Diagonally Implicit Runge-Kutta (DIRK). Secara umum, metode IRK pada tahap-s untuk persamaan diferensial biasa y ′ = f (t , y ) , dapat ditulis dalam bentuk:
∑ bi f (Vi )
Yi = y n + h
∑ aij f (Y j ), i = 1...s j =1
s
y n +1 = y n + h
Ambil
(
∑ bi f (Yi ) i =1
(
) ∈R dan pilih ,..., f (Y ) ) , maka jika metode Runge-
Y = YiT ,..., YsT
F (Y ) = f (Yi )T
s
T
sm
T T
Kutta dituliskan dalam notasi tensor, dinyatakan sebagai : Y = e ⊗ y n + h( A ⊗ I m )F (Y )
(
)
y n +1 = y n + h b T ⊗ I m F (Y )
Pada notasi ini tampak jelas bahwa sistem persamaan di atas memerlukan penyelesaian di setiap tahap. Dalam kasus f adalah suatu fungsi nonlinier, persamaan tersebut
Fanani / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 144-151
148
menunjukkan munculnya sistem persamaan nonlinier. Dalam kasus ini, metode iterasi seperti metode Newton boleh digunakan untuk menentukan Yi. Jika pada akhir suatu iterasi Yi diganti oleh Yi + di iterasi Newton akan memerlukan vektor di yang baru agar memenuhi :
(I s ⊗ I m − hI )d = Ψ
dimana J adalah blok matrik orde sm, dengan elemen (i,j) adalah aijf(Yj), i,j =1, … ,s dan
(
d = d 1T ,..., d sT
)
T
(
, Ψ = Ψ1T ,..., Ψ sT
)
T
s
Ψ i = −Y i + y n + h
∑ a ij f (Y j ); i = 1,..., s
5. 6. 7.
Solve for d the n x n system J(x*)d = - f(x*) ; x = x* + d Set x* = x Repeat from step 2
Perhitungan ki untuk persamaan U = AU + d(t) dapat diturunkan menjadi : i
k i = A(U + h
AU + d (t + hc1 ) AU + d (t + hc ) 2 N k = rk = AU + d (t + hc3 ) AU + d (t + hc 4 )
Bentuk persamaan ini juga mudah digunakan dengan
( )
f Yj
menggunakan
f ( y n ) , yang telah dihitung pada tahap n.
yang merupakan vektor berukuran 4nx1 dengan N adalah
6. Algoritma DIRK Untuk Model Matematika Sistem Cardiovascular Metode Diagonally Implicit Runge-Kutta (DIRK) 4-tahap adalah : 4
1. .Vi = v n + h
∑ aij f (V j ) ; j = 1,2,3 and 4
(1)
j =1
4
2. v n +1 = v n + h
∑ bi f (Vi ) ; i = 1,2,3 and 4
( 2)
i
dengan Vi, vn dan f adalah vektor tiga demensi. Pengertian 4 tahap menunjuk pada proses untuk mendapatkan nilai vn melalui 4 tahap, yaitu V1, V2, V3 dan V4. Karenanya Persamaan (1) merupakan sistem persamaan yang terdiri dari 12 persamaan nonlinier. Untuk menentukan nilai V1...V4 yang memenuhi sistem persamaan tersebut dipakai iterasi Newton [18]. Untuk menerapkan metode Newton pada (1) maka Persamaan (1) tersebut ditulis sebagai: Fi (V1,V2 ,V3 ,V4 ) = −Vi + vn + h
j =1
dengan i = 1,2,3,4. untuk selanjutnya didapat
j =1
aproksimasi matriks Jacobian
∑ aij k j ) + d (t + ci h),
4
∑ aij f (V j ) ; i = 1,2,3 and 4 j =1
0 0 0 I − a(1,1)hA − a(2,1)hA I − a(2,2)hA 0 0 N = − a(3,1)hA − a(3,2)hA I − a(3,3)hA 0 0 I − a(4,4)hA − a(4,1)hA − a(4,2)hA
yang merupakan matrik berukuran 4nx4n, sedangkan I dan 0 adalah matrik identitas dan matrik nol yang berukuran n x n, dan k adalah vektor berukuran 4nx1. Algoritma DIRK 4-tahap tersebut adalah [16]: Hitung rk = [rk1 rk2 rk3 rk4], dengan rkI = Langkah 1. AU + d(t+h*ci) adalah vektor berukuran nx1, i = 1,2,3 dan 4. Hitung Nij dengan Nii =I - aii*h*A, Nij = Langkah 2. aij*h*A, i = 1,2,3 dan 4, j = 1, 2, i – 1. Selesaikan Nk = rk untuk mencari k = [k1 Langkah 3. k2 k3 k4]T, dengan k1, k2, k3, k4 masingmasing berukuran nx1. 4
Langkah 4.
Hitung solusi Um+1 = Um + h
∑ k i bi , i =1
dengan Um+1 dan Um berukuran nx1.
masing-masing
7. Solusi Model
(3) Algoritma Newton tersebut adalah sebagai berikut: 1. Choose a starting point Vi* 2. Calculate Fi(x*) 3. Stop if all components are sufficiently small 4. Calculate J(x*)
Untuk menyelesaikan model tersebut, ODE-solver yang digunakan adalah rumus Diagonally Implicit Runge-Kutta. Dalam perhitungannya ditunjukkan, bahwa modelnya melibatkan sejumlah parameter yang nilainya merupakan hasil kajian literature sebagaimana disajikan di atas.
Fanani / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 144-151
149
Matriks Jacobian J(f) yang sesuai dengan tiga peubah
1 2 1 7 2. Vn+1 = vn + h f (V1 ) + f (V2 ) − f (V3 ) + f (V4 ) 18 3 9 2
( v S . A = volume darah di dalam systemic arteries, v SV =
Substitusi f ke rumus RK menghasilkan
volume darah di dalam systemic veins dan v PV = volume
v SA V SA 1). V SV = v SV v V PV 1 PV n
darah di dalam pulmonary veins) disajikan sbb: VSA Ambil vektor v = VSV V PV
dVSA dt dV v ′ = SV dt dV PV dt
. Maka
v ′ = f (v ) dan
f1 (v ) ; f (v ) = f 2 (v ) f 3 (v )
∂f1 ∂VSA ∂f J( f ) = 2 ∂V SA ∂f 3 ∂VSA
∂f1 ∂VSV ∂f 2 ∂VSV ∂f 3 ∂VSV
∂f1 ∂V PV ∂f 2 ∂V PV ∂f 3 ∂V PV
vSA VSA V = v + h 1 f (V , V ,V ) + 1 f (V ,V , V ) SA SV PV 1 SA SV PV 2 SV 2 SV 2 vPV VPV 2 n vSA VSA V = v + h 5 f (V , V , V ) + 3 f (V , V , V ) SA SV PV 1 SA SV PV 2 8 SV SV 8 v VPV 3 PV n
+
1 f (V SA , V SV , V PV )3 ] 2
VSA vSA V = v + h 7 f (V ,V ,V ) + 1 f (V ,V ,V ) 18 SA SV PV 1 3 SA SV PV 2 SV SV VPV vPV 4 n
−
2 1 f (VSA , VSV ,VPV )3 + f (VSA , VSV ,VPV )4 ] 9 2
2)
Metode implicit Runge-Kutta sangat layak untuk menyelesaikan masalah tersebut, karena metode ini akan mempunyai daerah stabilitas yang luas ('large stability region'). Alhadi [2] dalam penelitiannya menunjukkan bahwa integrator mempunyai sifat-sifat seperti yang disampaikan oleh Burrage, K. [10] 0 1 3/2 1
0 1/2 5/8 7/18 7/18
1/2 3/8 1/3 1/3
1/2 -2/9 -2/9
1/2 1/2
Penerapan Butcher array pada rumus DIRK menghasilkan model : 1. V1 = v n 1 1 V 2 = v n + h f (V1 ) + f (V 2 ) 2 2
3 1 5 V3 = v n + h f (V1 ) + f (V 2 ) + f (V3 ) 8 2 8 1 2 1 7 V4 = v n + h f (V1 ) + f (V2 ) − f (V3 ) + f (V4 ) 3 9 2 18
VSA V SV VPV
n+1
vSA 1 7 = vSV + h f (VSA,VSV ,VPV )1 + f (VSA,VSV ,VPV )2 18 3 vPV n
1 2 − f (VSA , V SV , V PV )3 + f (V SA , VSV , V PV )4 ] 2 9 dV SA dt dV dimana : f (V SA , VSV , V PV ) = SV dt dV PV dt
Analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa model yang didapatkan adalah kaku, hal ini terlihat dari hasil nilai ciri (eigen values) dari matriks Jacobian :
2 76.9999931 − 773.5092704 .0761904695 J( f ) = 303.2159440 − 7.767618368 0 616.2429676 −83.75699967 −167.740235 pada sistem persamaan diferensial biasa, yaitu : λ1 = −846.841602
λ 2 = −51.08783187 + 21.202184461 λ 3 = −51.08783187 − 21.202184461 Hasilnya menunjukkan bahwa sebaran nilai cirinya negatif dan nilai mutlaknya berbeda cukup lebar antara nilai ciri yang satu dengan yang lain. Ini menunjukkan bahwa
150
Fanani / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 144-151
modelnya adalah kaku (stiff). Hasil lain adalah bahwa matriks Jacobian ordo 12 x 12 J(FF) menunjukkan suatu bentuk block diagonal seperti di bawah ini:
Meskipun titik konvergensi dari vektor volume darah bisa dicapai dengan algoritma yang dikembangkan namun akurasi konvergensi tersebut masih perlu diuji dengan mengembangkan estimasi kesalahan dalam algoritmanya. Matrik Jacobian yang diturunkan dari DIRK 4-tahap berstruktur blok diagonal. Karenanya problem tersebut dapat diselesaikan dengan metode paralel. Daftar Pustaka [1]
Dalam hal ini penggunaan parameter dan nilai awal sesuai dengan literatur [1][12][15][17]. Algoritma yang dibangun melalui DIRK-4 tersebut telah menghasilkan nilai konvergensi untuk vektor volume darah (VSA, VSV, VPV) sebagai berikut:
8. Kesimpulan Dari kajian di atas dapat dirumuskan beberapa poin kesimpulan sebagai berikut: Untuk parameter-parameter yang diperoleh dari hasil survey literatur, model matematika dari sistem cardiovascular merupakan problem yang stiff seperti ditunjukkan oleh eigenvalue bernilai riil dari matrik Jacobiannya yang selalu negatif.
Abbiw-Jackson, S.M and William F. Langford, Gaininduced Oscillations in Blood Pressure, 1998, Journal of Mathematical Biology, 37, 203-234 [2] Alhadi, B., Analisis Kinerja Integrator Singly Diagonally Implicit Runge-Kutta Method (SDIRK) dalam Menyelesaikan Sistem ODE yang Kaku, 2000, Jurnal Penelitian UI. (submitting). [3] Anderson, B.A., R.A. Kenney, and E. Neil, The role of the Chemoceptors of the Carotid and Aortic Regions in the Productions of the Mayer Waves, 1950, Acta. Physiol. Scand., 20, 203-220 [4] Anonim, An Adaptive Method of Lines for Non-Linear System of Convection-Diffusion-Reaction Equations Arising from Contaminant Transport in Groundwater Pollution, 1998, Jakarta, Faculty of Computer Science University of Indonesia. [5] Anonim, Parallel Hepscotch Methods for Shallow Water Equations, 1999, Makara, Depok: No.6 Seri B. 2 Januari 1999. p. 60-68 [6] Anonim, Prekondisi Otomatis Metode Conjugate Gradient untuk Penyelesaian Persoalan Optimisasi, 2000, Makara, no. 7 seri B Mei, hal. 49-55. [7] Anonim, Stiff Differential Equations Solved by Radau Methods, 1998, Switzerland : Dept. de Mathematiques, Universite de Geneve [8] Ascher, U. M. and L. R. Petzold, Computer Methods for Ordinary Differential Equations and Differential-Algebraic Equations, 1998, Philadelphia : Siam. [9] Basaruddin, T., Parallel Methods for Ordinary Differential Equations, Parallel Simulation Environment and Its Application Groundwater Flow, 2000a, (Monitoring and Self Evaluation Report Graduate Team Research Grant BATCH IV), Jakarta: Faculty of Computer ScienceUniversity of Indonesia. [10] Burrage, K. et. al., A-Four Stage Index 2 Diagonally Implicit Runge-Kutta Method, 1999, Laporan riset dari CAPEC (Computer Aided Process Engineering Centre), Brisbane : University of Quensland.
Fanani / Jurnal Gradien Vol. 2 No. 1 Januari 2006 : 144-151
[11] Hairer, E and G Wanner, Solving Ordinary Differential Equations II. Stiff and Differential-Algebraic Problems. Springer Seriea in Computational Mathematics, 1990, Springer Verlag. [12] Hoppensteadt, F.C. and C.S. Peskin, Mathematics in Medicine and the Life Sciences, 1992, New York : Springer-Verlag.
[13] Penaz, J., Mayer Wave: History and Methodology, 1978, Automedica, 2, 135-141. [14] Sandys, D. Y. dan T. Basaruddin, Evaluasi Kinerja Radau IIA Dalam Menyelesaikan Persamaan Diferensial Kaku, Parallel Simulation Environment and Its Application Groundwater Flow, 1999, (Monitoring and Self Evaluation Report Graduate Team Research Grant BATCH IV), Jakarta: Faculty of Computer Science-University of Indonesia. [15] Schnittinger, I. et. al., Standardized intracardiac measurements of two-dimensional echocardiography, 1983, J Am Coll Cardiol. 5: 934. [16] Suhartono, Efek Diskritisasi Spatial Methode Galerkin Semi Deskrit dan Metode Beda Hingga Terhadap Kinerja Metode Runge-Kutta Implisit Diagonal, 1999, Thesis, Depok : Fasilkom Universitas Indonesia.
151