VISUALITAS GEMPA YOGYA 27 MEI 2006 1 P.M. Laksono 2
1. Pendahuluan Pagi-pagi setahun yang lalu, 27 Mei 2006, Yogya nyaris seperti biasanya. Langit cerah dan udara pun sangat segar bagi para penikmat pagi. Para petani sudah menggarap sawah. Sebagian besar ibu muda sedang sibuk menyiapkan anaknya berangkat ke sekolah. Bahkan sementara anak-anak yang tinggal jauh dari kota sudah berangkat sekolah di kota. Begitu pula sebagian pegawai sudah berangkat kerja. Pendek kata pasar sudah gemrengeng sibuk padat penjual dan pembeli. Jalanan sudah beranjak bising. Mendadak sontak bumi gonjang-ganjing seakan tidak mau lagi dipijak manusia. Bersamaan dengan itu bunyi gemuruh selama hampir semenit mengatasi segala macam bunyi merasuk hingga rongga perut kita. Serta merta Yogya jadi luar biasa. Nyaris separuh rumah di Yogya hilang dari pandangan mata. Sejenak orang bengong, tidak tahu apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan sebelum dapat menjerit-jerit panik. Apalagi listrik padam, telpon putus, sementara suara radio dan tv pun menghilang. Orang Yogya saat itu “terduduk,” nyaris sendirian saja. Mereka seperti Tita (4 th.) anak saya, yang tidak paham kejadian apa sedang menimpanya. 3 Ia melihat wajah gelisah para tetangga dewasa yang berkerumun di sekitarnya. Di situ ia hanya dapat diam membisu sambil pasang mata dan telinga. Ia tidak mau turun dari gendongan bapak-ibunya. Wajahnya tegang menandakan kegelisahan hati yang aneh tidak terperikan. Para tetangga itu kiranya juga punya posisi sama dengan Tita. Bedanya, mereka itu dapat berlompatan dan lari sendiri cari selamat masing- masing. Setelah merasa selamat, barulah mereka menengok kiri kanan cari sanak keluarganya. Mengapa begitu? Seperti Tita, mereka butuh nyangkut kembali dalam rantai komunikasi dengan sanak keluarga dan 1
Setengah dari versi lain naskah ini pernah diterbitkan sebagai pengantar untuk arsip visual Rumah Sinema (2007) dan versi lainnya dalam seri Working Paper no. 070507 dari Pusat Studi Asia Pasifik, Universitas Gadjah Mada. Kami mengucapkan terimakasih pada para peserta diskusi di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM tanggal 28 Mei 2007 yang telah memberikan kritik berharga untuk merubah versi working paper itu menjadi artikel yang sekarang ada di hadapan pembaca. 2 Dibantu oleh Bahruddin, Ekoningtyas Ruth Wardani, Ons Untoro, Mujiono, Primanto, Rahmat Widada, Salim, dan Zulfa. 3 Pengalaman serupa dialami anak-anak seorang wartawan, Sri Wahyuni, yang bahkan tidak mau pulang ke rumanya dan memilih tinggal di rumah nenek mereka sampai sepuluh tahun lagi (Jakarta Post, June 16, 2006).
1
para tetangganya. Untuk itu mereka ingin saling bicara dan menyatakan diri. Dengan kata lain, mereka itu kemudian mencari-cari kata dan menyusun cerita agar pengalaman baru dan aneh, yang nyaris menyumbat seluruh aliran darah, itu dapat terkatakan dan keluar tuntas dari rongga mulut. Di luar rumah orang-orang pun heboh. Orang-orang di Yogya ketika itu memerlukan media (bahasa) dari luar dirinya (dari masyarakat) untuk mengkomunikasikan pengalamannya yang unik. Tidak ada lagi orang Yogya berani masuk rumah. Malam hari semua orang tidur di luar atau diteras-teras rumah sambil terus mengikuti berita dari media massa, terutama radio dan tv. Inilah kira-kira saat atau momen yang dialami banyak orang Yogya ketika merasakan bagaimana kesaksian langsung (pandangan mata) mereka atas gempa bumi berubah menjadi kata, bahasa, berita, cerita/mitos dan selanjutnya jadi visualitas dan wacana baru tentang Yogya (tentang diri mereka). Minggu 28 Mei 2006, sehari setelah gempa, tampilan koran-koran minggu berubah total. Kali ini koran-koran minggu, yang biasanya kurang bermuatan berita dan sudah siap cetak di hari Kamis sebelumnya, tampil penuh berita layaknya hari biasa. Para redaktur koran minggu menanggalkan isi koran yang sudah ada dan menggantinya dengan berita/foto liputan gempa Yogya sehari sebelumnya. Wartawan yang biasanya berlibur dipekerjakan secara darurat meliput (langsung) gempa bumi Yogya. Industri media berlomba-lomba segera memediasikan peristiwa gempa itu secara bertubi- tubi, berhari-hari dan berminggu- minggu, baik secara visual maupun verbal. Melalui proses mediasi industrial inilah peristiwa gempa bumi besar di Yogya disebarkan ke seluruh dunia dan dikenang-kenangkan dalam ingatan orang, secara besar-besaran pula. Mediasi industrial semacam itu sungguh-sungguh historis bagi orang Yogya, Indonesia dan dunia. Belum pernah gempa bumi di Yogya dimediasikan dan dikomunikasikan nyaris dalam tempo yang sama dengan saat kejadiannya dan dalam intensitas yang begitu dahsyat. Gambar- gambar dan laporan-laporan kerusakan Yogya akibat gempa muncul di mana- mana. Koran-koran lokal maupun nasional rata-rata 15 (KR: 28; Bernas: 13; Kompas: 10; Suara Merdeka:9) judul berita khusus tentang gempa Yogya. Bayangkan saja akibatnya. Presiden RI langsung memindahkan kantor kerjanya dari Jakarta ke Yogyakarta. Di mana- mana kita menyaksikan tentara nasional Indonesia (TNI) dan Polisi ikut mengevakuasi korban, membersihkan puing-puing dan melayani para korban sepanjang masa tanggap darurat. Solidaritas terhadap korban baik dari daerah-
2
daerah sekitar Yogyakarta/Jawa Tengah dan internasional pun segera berkembang. Posko (pos komando) pengumpulan dan distribusi bantuan korban gempa dengan cepat tumbuh bagai jamur di musim hujan. Semua orang berpikir keras bagaimana caranya dapat membantu korban gempa. Relasi-relasi sosial dengan Yogya menjadi sangat aktif, dari sekedar untuk sambung rasa tanya keselamatan orang hingga untuk penggalangan aksi konkrit mengorganisasi pertolongan. Rasanya semua orang di dunia tiba-tiba merasakan solidaritas dalam derita bencana, kita semua merasa menjadi bagian dari satu komunitas kemanusiaan tanpa batas-batas rekaan (struktural) kita. Batas-batas kampung, desa, kota, kabupaten, propinsi, negara bahkan keyakinan agama seakan lenyap. Memang gempa bumi sering terjadi di Yogya, namun tidak seorang pun yang saya kenal dapat mengingat dan menceritakan peristiwa seperti ini di masa lalu. Bagi orang Yogya, gempa-gempa di masa lalu seakan-akan, seperti peristiwa ritual sehari-hari, berlalu tanpa pernah meninggalkan jejak-jejak sejarah. Mereka berlalu seolah-olah tanpa pernah menjadi fakta sosial yang berarti. Pendek kata gempa- gempa di masa lalu tidak pernah melahirkan solidaritas dan komunitas (baru) sejagad seperti yang terjadi pasca gempa 27 Mei 2006 itu. Kiranya faktor yang sangat membedakan di sini adalah peranan industri media massa. Oleh karena itu para peneliti di Pusat Studi Asia Pasifik Universitas gadjah Mada telah mencoba mengkaji saturasi aneka warna tampilan gempa bumi Yogya selama enam minggu pertama (40 hari Jawa) pasca gempa. Saya ingin melacak mediasi/visualisasi “pelepasan dukacita” atas sekitar 6000 korban meninggal hinga hari ke-40. Secara khusus para peneliti mempertanyakan: • Sampai seberapa jauh pengalaman perorangan yang dahsyat, mengerikan, bahkan traumatik itu termediasi jadi tontonan/bacaan di media massa baik elektronik (maya) maupun cetak? Apa saja kiranya yang berhasil dan gagal termediasikan? • Karena insersi waktu dan batas cakupan gerak mata kamera dan mata biologis wartawan/kameraman, media massa (visual) itu menghasilkan banyak sekali penggalan (serpihan) tontonan, lepas satu sama lain. Kalau demikian, bagaimana partialitas substantif media (visual) ini dapat kita lacak hingga impak diferensialnya bagi identitas orang lain dapat kita refleksi?
3
2. Metodologi Visualitas adalah fakta sosial yang berupa sistem jaringan pemaknaan pada pandangan (mata) kita. Di dalam visualitas ini terjadi wacana visual yang mengendapkan segala sesuatu sebelum dan sesudah kita lihat (dengan mata kepala), sehingga ia akan terus bertahan bahkan setelah kita tidak melihatnya lagi. Dengan kata lain visualitas adalah pandangan yang termediasi dalam berbagai citra yang memuat makna dan bukan hanya pandangan kosong. 4 Karena memuat makna tertentu, visualitas itu memiliki konteks sosial. Jadi visualitas itu merupakan produk dari proses-proses di dalam wilayah liminal/ambang (dalam komunitas tertentu), di mana gerakan sosial, demokrasi populer, kesamaan, totalitas, kuasa rakyat dan segala macam perlawanan terlekat. Untuk menjelaskan apa yang saya maksud dengan komunitas, saya mengacu pada “antropologi” Victor Turner (2002: 360), yang secara khusus melihat liminalitas atau komunitas dalam suatu ritual daur hidup. Katanya ada dua model
saling keterkaitan
manusia yang berdekatan dan silih berganti, yaitu masyarakat dan komunitas. Kalau masyarakat itu merupakan suatu sistem posisi-posisi politik-legal- ekonomi yang terstruktur, terbeda-bedakan dan seringkali hirarkis, memilah manusia secara “lebih” atau “kurang;” maka komunitas itu tampak dalam masa liminal sebagai suatu sommitatus yang tidak terstruktur atau terstruktur secara sangat sederhana dan secara relatif tidak terbedabedakan, atau sebagai komunion para pribadi yang setara yang secara bersama-sama pasrah pada otoritas umum para tetua ritual. Di luar soal daur hidup, konsep ini dapat dikembangkan lebih jauh untuk memahami berbagai transformasi sosial, terutama ketika kita menerima fakta bahwa komunitas itu berisi para individu (di luar struktur) yang berjuang dan seringka li melawan otoritas umum masyarakat (terstruktur). Apabila visualitas itu merupakan produk komunitas yang memuat gerakan sosial, maka ini artinya kita sedang memahami gerakan sosial dari perspektif pengalamanpengalaman subyektif perorangan dalam pertemuannya dengan masyarakat. Dengan demikian gerakan sosial, yang secara sederhana sering dipahami sebagai aksi kolektif (yang teroraganisir) untuk mendorong lahirnya masyarakat yang lebih baik, adil dan sejahtera itu, sebenarnya adalah persoalan menghadirkan subyek dalam suatu rantai
4
Mengenai pengertian visualitas secara sederhana silakan lihat antara lain John A. Walker & Sarah Chaplin (1997).
4
komunikasi (sosial-politik). Dalam hal ini saya menerima Alain Touraine yang melihat subyek itu sebagai gerakan sosial dan bukan sebagai cerminan atas diri dan pengalamanpengalaman hidup. Katanya:”subyek hadir hanya dalam bentuk suatu gerakan sosial, dari suatu tantangan pada logika keteraturan, tidak soal apakah ia mengambil bentuk utilitarian atau sekedar sebuah permintaan akan integrasi sosial” (Touraine 1995: 235). Sementara itu di sisi lain, ia melihat masyarakat melakukan suatu rasionalisasi untuk memperkuat logika integrasi sosial, sehingga “mengembangkan cengkeraman kuasa yang tercerahkan atas warga masyarakat, yang pada dasarnya adalah para subyek dari para pangeran baru atau kekuatan-kekuatan memerintah yang baru” (Touraine idem.) Dengan demikian gerakan sosial itu melekat dalam para diri aktor masyarakat yang “mempertahankan” identitasidentitas kultural dan sosial guna menuntut perbaikan keadilan sosial. Di sini saya setuju dengan acuan Touraine pada Michel Foucault (2002:170-171), yang melihat bahwa orang yang teralienasi dan selalu jadi target bagi para aparat kekuasaan itu termasuk dalam suatu kelas, suatu kelompok, atau para pribadi dalam masyarakat, yang dalam beberapa hal berusaha melepaskan diri dari relasi-relasi kekuasaan tetapi seringkali malah memotivasi perkembangan-perkembangan baru jaringan kekuasaan. Pada rentang tarik ulur proses pelepasan diri seperti inilah secara metodologis saya tempatkan para korban gempa Yogyakarta. Selanjutnya dari perspektif teoretik yang secara ringkas mempertautkan pengertian visualitas dengan konsep komunitas, gerakan sosial serta proses-proses yang ada di dalamnya itu, saya
menyarankan pentingnya refleksi berkelanjutan, agar proses
pelembagaan (mediasi) pengalaman dapat berlangsung terorganisir, partisipatoris dan apresiatif terhadap identitas yang berbeda-beda. Rakyat Yogya itu warga masyarakat yang kritis, kaya keragaman dan bersejarah ikut dalam perjuangan revolusi menegakkan bangsa dan negara Republik Indonesia. Dari perspektif sejarah bangsa Indonesia pengertian rakyat itu revolusioner bermuatan perlawanan terhadap penjajahan dan penindasan. Pengertian rakyat itu erat berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan, jadi juga dengan pembaharuan. Ironinya, gerakan pembangunan yang didorong negara dengan dukungan industri media dan jaringan modal global dari waktu ke waktu telah mengubah pengertian rakyat sekedar menjadi massa. Sebagai massa, rakyat telah berubah menjadi sekedar himpunan/gelora nafsu amuk, asal dari kekerasan luar biasa yang dapat dibayangkan aparat penegak hukum
5
(Siegel 1998). Seorang polisi ketika menerima laporan pencurian misalnya berucap jengkel: “Pokoknya kalau (maling ) ketangkap, biar dimassa (disiksa massa) atau dibolong (ditembak lututnya) saja.” Dalam angan-angan polisi ini kita temukan betapa massa dan polisi menyatu sebagai sumber kekerasan di luar jangkauan hukum. Selain itu, massa biasanya dipahami tidak lebih sebagai konstruk demografi atau himpunan statistik, yang kata Habermas jejaknya ada dalam survey-survey sosial dan jajak pendapat yang menggambarkan simulasi (tiruan) kenyataan. Dalam realitas (politik) tiruan itulah publik berpartisipasi dan bukan dalam demokrasi perwakilan yang sungguh-sungguh (Luke, 1991 via Sohng 1995: 1-2). Saya ingin rakyat Yogya, setelah “diluluh- lantakan” gempa, dapat bangkit memperbaharui diri mengatasi kendala-kendala strukturalnya secara adil dari kekuatan yang ada dalam dirinya sendiri. Untuk itu saya menganalisis berita-berita gempa terutama dari koran-koran lokal maupun nasional sepanjang 40 hari sesudah 27 Mei 2006. Delapan orang asisten peneliti, yang masing- masing (secara subyektif) mengalami bencana, saya libatkan untuk secara kritis mencermati informasi apa saja yang berkaitan dengan gempa dalam media massa yang mereka baca sepanjang 40 hari itu. Secara kritis di sini saya artikan sebagai secara berjarak, yaitu dengan secara ketat mencari selisih antara apa yang mereka rasakan, alami dan bicarakan sehari- hari dengan apa yang tertera dalam media massa. Catatan kritis mereka itulah yang kemudian saya olah bersama dalam diskusidiskusi intensif sepanjang proses penelitian dan hasilnya menjadi dasar penulisan artikel ini. Jadi ada dua pengalaman yang saya pertemukan dalam kajian ini, yaitu pengalaman para pribadi peneliti yang secara berbeda-beda mengalami gempa dengan pengalaman (industri) media massa yang meliputnya. Secara khusus saya menaruh perhatian pada visualisasi dari bencana gempa di media massa sebagai bahan potensial untuk beretnografi, basis profesi yang saya tekuni. Ketidakterbatasan media visual dalam merepresentasikan peristiwa-peritiwa, yang tidak tampak pada mata biologis kita yang selektif, menyajikan sumber yang sangat kaya bagi peniliti sosial humaniora untuk menemukan argumentasi yang mendasar. Di sini saya akan melihat media visual bukan hanya sebagai catatan peristiwa yang kita peroleh dengan mata kita di masa lalu, tetapi juga sebagai citra tanpa kode (Barthes 1981: 88), yang menghadirkan tambahan pemaknaan dari detilnya yang tidak terbatas. Selanjutnya seperti yang tersaji
6
pada bagian ketiga tulisan ini, saya akan memaparkan bagaimana derita/agoni dari dalam situasi serba darurat ketika sudah jadi berita (bergambar). Pada bagian keempat, saya akan mencoba memeriksa residu dari berita (visual) di media, yaitu apa saja yang gagal termediasikan dalam berita koran. Akhirnya saya akan menarik kesimpulan dari selisih antara berita (visual) di media dan residunya sehingga saya dapat menimbang kemungkinan kelebihan makna yang muncul dari wacana dalam masyarakat kita. Semoga dari sana orang dapat merancang kemungkinan jalan keluar (model) untuk mengakomodir kelebihan makna dari gempa bumi itu.
3. Hari-hari Darurat: Derita jadi Berita (bergambar) Minggu (Lima Hari) Pertama. Gempa bumi yang terjadi di Jogjakarta dan Jawa Tengah menjadi pusat liputan media massa lokal/daerah maupun nasional. Minggu 28 Mei 2006, satu hari setelah gempa, seluruh media massa menempatkan peristiwa gempa sabagai headline. Bahkan cara penulisannya pun dengan menggunakan ukuran huruf yang lebih besar dari headline pada hari- hari sebelumnya, misalnya “Yogya Berduka” (Kedaulatan Rakyat), “Bantul Luluh- Lantak” (Bernas), “Bantul-Klaten Luluh-Lantak” (Suara Merdeka), “Jogja Luluh-Lantak” (Jawa Pos), “Gempa Yogya Tewaskan 3.098 Orang” (Kompas) , “Lebih dari 3000 Tewas” (Seputar Indonesia), “57 Detik Mematikan” (Koran Tempo), “Indonesia Berduka” (Republika). Radar Jogja (Jawa Pos). Selain menjadi headline, berita tentang gempa juga mengisi hampir seluruh kolom dalam surat kabar. Pendek kata, tidak ada berita yang lepas dari peristiwa gempa. Hampir seluruh berita tentang gempa di hari itu meliput suasana saat gempa terjadi dan akibat yang ditimbulkannya. Liputannya secara luas mencakup paniknya masyarakat saat gempa terjadi; proses runtuhnya bangunan-bangunan; kegentingan dalam proses penyelamatan korban; penanganan korban dalam situasi darurat; rumah sakit yang kewalahan; tenaga medis dan obat-obatan kurang, keadaan para korban yang tewas maupun luka-luka; momen-momen dramatik yang menyedihka n yang dialami korban; hancurnya rumah-ruma h penduduk; rusaknya berbagai fasilitas umum; hancurnya situs bersejarah; kekacuan akibat isu tsunami dan juga penjelasan-penjelasan ilmiah (geologis) seputar gempa bumi. Nyaris apa saja yang berkaitan dengan damp ak gempa tercakup di dalam media- media, meskipun sajiannya terbatas dalam bentuk straight news.
7
Dalam kondisi serba darurat itu, industri media rupanya juga kurang persediaan informasi aktual maupun historis mengenai bagaimana gempa di Yogya itu terjadi. Pilihan paling cepat, murah dan tanpa perlu investigasi sendiri bagi mereka rupanya adalah memobilisir para pemegang otoritas akademik (pakar) di bidang kegempaan untuk secepatnya bicara. Sejak hari kedua nyaris apa saja yang keluar dari mulut para pakar it u dapat disulap jadi berita. Para pakar gempa itu mengurai gempa dalam berbagai aspek, baik menya ngkut penyebab gempa, letak episentrum, kerusakannya dan juga catatan sejarahnya . Dalam berita yang berjudul “Gempa Karena 2 Lempeng Bertemu Kedaulatan Rakyat tanggal 28 Mei 2006, dijelaskan bahwa gempa ini merupakan pertemuan lempengan dunia . Lempeng Australia dari selatan bertemu dengan lempeng Eurasia dari utara. Kompas Yogya pada tanggal 28 Mei 2006 pada judul berita “Gempa Terendam Gumuk” menampilkan “Direktur Pusat Studi Rekayasa Kegempaan, Efek Dinamika dan Kehancuran (CEEDEDS) UII, Yogya Ir. H.Sarwidi MSCE Phd . Ia mengatakan, bahwa perbedaan struktur tanah di sepanjang pantai selatan dengan daerah Bantul bagian tengah dan utara mempengaruhi tingkat kerusakan. Tiga hari kemudian KR (31 Mei 2006) memuat berita “Gempa ada di Sesar Opak”. Di situ tertulis: “Gempa tektonik yang mengguncang Yogyakarta Sabtu lalu berada di dekat pantai tepat di ujung sesar opak aktif sepanjang 12 kilometer, mengarah ke timur laut”. Selain itu, KR juga memberitakan sejarah gempa besar yang pernah terjadi di Jogjakarta. Katanya: “Dari data historis kegempaan Pulau Jawa, jelas Suharjono, Yogyakarta telah diguncang empat gempa berkisar 6 skala richter, yaitu tahun 1867, 1937, 1943 dan 1981. Korban tewas terbesar 213 orang pada tahun 1943.” Sangat mudah dibayangkan, betapa kalut para pengelola industri media memobilisasi para wartawannya untuk meliput kedalaman “makna” peristiwa gempa bumi yang begitu dahsyat. Apalagi banyak wartawan ya ng berdomisili di Yogya juga menjadi korban. Paling tidak, saya menemukan ada 66 wartawan Yogya yang menjadi korban karena rumah mereka rusak/roboh. Para wartawan pembuat berita itu ternyata sama dengan korban lain, mereka sama-sama layak menjadi berita itu sendiri. Lebih dari itu, bahkan kemudian aksi tanggap korban yang dilakukan para pemilik/pengelola mediapun jadi berita. Foto 1 dari Kedaulatan Rakyat memberitakan (Sumadi Wonohito) direktur utamanya sedang menyerahkan bantuan untuk korban gempa dan kemudian dari Media Indonesia 4 Juni 2006 saya juga menemukan “pemilik”- nya (Surya Paloh) terpampang dalam korannya
8
sendiri. Ini mengisyaratkan pada kita betapa mudahnya media terjebak untuk memberitakan kepentingannya sendiri ketika sedang bermurah hati solider dengan korban. Di mata pembaca, pemberitaan “diri sendiri” semacam ini bahkan dapat eksesif seakan menutupi berita lainnya. Seluruh tampilan koran hari itu kemudian seperti tertelan hanya oleh foto itu sendiri. Tampilan foto-foto semacam ini di dalam koran seperti mencuat keluar, tajam menusuk mata hingga membekas di benak pembaca korannya, bagaikan apa yang oleh Roland barthes disebut punctum .5 Akibatnya fungsi koran untuk memediasikan pengalaman empirik publik dari tengah wilayah bencana ikut tersaput di dalamnya juga. Dari posisi “menyatu” dengan korban, yang mendambakan bantuan dari luar, maka persebaran berita pun kemudian memiliki nilai berita. Mengetahui siapa saja yang sudah atau belum menerima kabar duka itu biasa dianggap penting bagi pihak yang sedang mengalami kedukaan.. Pertama karena mereka ingin menyambung tali silaturahmi, meletakkan diri mereka dalam rantai komunikasi menyapa kerabat dan handai taulan. Kedua, mereka ingin mengundang kerabat dan handai taulan dalam ritual pelepasan duka. Melalui proses ini orang menampilkan solidaritasnya dalam ujud tolong menolong dan pemberian sumbangan. Bagi media massa lingkaran komunikasi seperti ini sudah sangat biasa karena mereka biasa sekali memuat iklan layanan dukacita dan balasan terimakasihnya. Namun demikian, bahwa koran Suara Merdeka (1 Juni ’06) merasa perlu memberitakan bahwa berita duka itu sudah sampai ke Arab Saudi menjadi menarik untuk disimak. Katanya: “Kabar menyedihkan itu akhirnya sampai ke Presiden Uni Emirat Arab, Sheik Khalifah bin Zayed bin Sultan Al Nahayan. Mengetahui, sahabatnya menderita, dia segera memerintahkan sebuah tim SAR beranggotakan 50 orang untuk terbang ke Indonesia. Di antara mereka ada dua dokter dan dua pesawat.” Pelan tetapi pasti, berita Yogya sedang berduka telah sampai tidak hanya ke seluruh pelosok negeri tetapi juga ke seluruh dunia. Sementara orang-orang Yogya masih shocked, sibuk kewalahan dengan dirinya sendiri. Mereka mencari sanak keluarga yang hilang, mengurus yang terluka, cari tempat berteduh/pasang tenda, menggelar tikar menaruh badan, mengurus perabotan, buka dapur umum, menutup jalan-jalan kampong dan buka posko bantuan. Pendek kata Yogya gonjang ganjing. Jalan bukan lagi tempat orang
5
Punctum adalah gambar sebagian atau detil kecil dari sebuah foto yang tajam menusuk (mata penontonnya) (Barthes 1981), sehingga seluruh foto hanya tampak sebagai detil itu saja.
9
berjalan, tetapi berubah jadi tempat tidur dan tinggal. Yogya di hari kedua dan hari-hari berikutnya berubah menjadi seperti tempat pelayatan massal. Para “pelayat” berdatangan dari segala penjuru dunia. Ini mirip seperti kalau ada pelayatan di kampung. Para ibu keliling mengumpulkan beras dari tiap rumah untuk disumb angkan kepada keluarga yang berduka. Kemudian para tetangga mengalir berdatangan memastikan kemalangan sungguhsungguh terjadi, menyalami keluarga yang berduka sambil menyatakan kesertaannya dalam duka dan terkadang ada yang sekaligus menyampaikan amplop uang sumbangannya. Dalam waktu singkat rumah duka menjadi sangat sibuk. Para lelaki menata ruang, meja kursi digeseri biar ada tempat meletakkan jenazah dan tikar untuk para pelayat. Sementara lainnya khusus menyucikan jenazah. Kemudian di dapur para wanita berkumpul siap meracik bunga-bunga dan membuka dapur darurat guna menyiapkan minum dan makanan buat orang banyak. Heboh luar biasa menyiapkan kelengkapan pelayatan. Dengan cepat perhatian beralih tidak lagi tertuju pada jenazah. Orang pun dengan segera berilaturahmi dan bercanda ria di sekitar jenazah. Hanya beberapa orang spesialis yang terus merawat jenazah, sebelum jenazah ditinggalkan sendirian, biasanya di “pojok” atau terpisah dari kerumunan orang. James T Siegel (1986) dengan sangat jeli melihat di Solo betapa rasa duka itu untuk orang Jawa tidak berlangsung lama. Citra kematian yang ada dalam mayat (bau, pucat, bengkak dsb.) dengan sangat cepat teralihkan. Orang menutup bau mayat yang menyengat dengan media bau yang lebih kuat dari kopi, kemenyan dan bunga-bungaan. Kemudian orang menempatkan foto wajah almarhum sebelum mati yang sudah diperbesar. Media bebauan dan foto wajah membantu orang untuk menyatakan bahwa orang yang sudah mati itu sudah ada di “sana,” di tempatnya sendiri yang tidak akan mengganggu atau mrimpeni (masuk dalam mimpi) mereka yang masih hidup. Di situ orang memindahkan ingatannya pada orang yang telah meninggal ke lokasi lain dan bersama seluruh ritual yang mengiringinya menghadirkan momen kultural yang produktif untuk menghasilkan nilainilai dan norma-norma sosial baru (Subagya 2004). Tetapi kali ini, ketika seluruh Yogya secara serentak menandang kedukaan, ritual pelayatan Jawa yang begitu mantap dan produktif secara sosial-kultural itu mangkir. Ketika itu tidak ada bunga setaman, tidak ada semerbak kemenyan dan tidak ada foto ribuan wajah korban gempa terpajang di langit Yogya. Tidak ada pidato sambutan
10
pelepasan jenazah. Bahkan banyak orang menguburkan sendiri jenazah kerabatnya tanpa pelayatan samasekali. Pengalihan ingatan pada yang meninggal tidak terjadi seperti lazimnya, bahkan mungkin mangkir juga. Orang dari daerah-daerah yang aman berduyunduyun memang datang memastikan kedukaan itu sungguh terjadi. Bantuan spontan mereka dalam segala macam bentuk banyak, tetapi praktis tidak terdata dan tidak akan pernah ternilai dengan tepat. Sementara orang-orang itu sendiri ingin menyaksikan/menonton (dengan mata kepala sendiri), bahwa kedukaan itu sungguh-sungguh terjadi. Ini berbeda dengan saat pelayatan biasa. Kali ini “tuan rumah” yang berduka tidak mampu mengalihkan perhatian para penyaksi dan penolong kemalangan ini. Semua orang Yogya rasanya lumpuh tidak berdaya. Puing-puing seperti dibiarkan teronggok. Semua rumahsakit luber, tidak dapat lagi menampung tambahan orang sakit. Mayat, orang sakit dan orang sedih tergolek di mana- mana seolah berbaur dalam satu ruang raksasa (Yogya). Ketika itu seolah-olah tidak ada media penyekat atau tabir pemisah di antara mereka. Seluruh Yogya memang secara massal sedang berduka. Akibatnya, dukacita seperti berlama- lama menggelayut, siapa pun yang masuk Yogya akan menonton/menyaksikan. Semakin lama mereka di Yogya dan semakin banyak wilayah yang ditontonnya, maka kedukaan itu akan terus menggelayut dipelupuk matanya. Saat memejamkan mata pun gambar reruntuhan rumah, tenda, wajah-wajah letih-lesu orang Yogya, luka menganga, mayat yang kaku, posko-posko bantuan dan kekacauan lain, akan tampak (lihat sejenis foto 3). Ini mungkin terjadi karena kecil sekali kemungkinan bagi para penyaksi (gempa) ketika itu untuk mengalihkan sasaran perhatiannya pada hal- hal lain selain pada kedukaan. Dalam “pelayatan massal” ini duka cita tidak teralihkan dan tidak terselesaikan secara cepat, malahan orang-orang yang sungguh-sungguh malang itu kemudian jadi tontonan. Dalam “pelayatan massal” di Yogya itu, para korban bukan hanya jadi tontonan tetapi mereka menjadi massa itu sendiri. Mereka berubah semata- mata menjadi himpunan hasrat saja. Ini terjadi karena me reka saat itu berada di luar lembaga layatan lumrah di kampung seperti biasanya. Semua struktur organisasi kemasyarakatan mangkir. Bahkan pelayanan pemerintah daerah pun sempat macet. Jadi saat itu tidak ada mekanisme sosial kultural apa pun yang mengendalikan penderitaan mereka. Seakan-akan semua orang serentak menjerit kesakitan dan masing masing saling memperebutkan bantuan dan uluran tali asih dari luar (foto 4 ). Apa lagi bantuan datang seakan tanpa kewajiban moral untuk mengembalikannya
11
seperti biasanya pada saat tetulung layat di kampung-kampung. Mereka rayahan bantuan, bukan hanya karena bantuan kurang tetapi lebih- lebih karena mereka (diperlakukan) terlepas dari pranata organisasi kemasyarakatan apa pun. Minggu (Lima Hari) Kedua. Sektor pendidikan cukup menarik banyak minat media pada minggu kedua bulan Juni, saat ujian sekolah. Kompas 7 Juni memberitakan, bahwa suasana ujian SD (Sekolah Dasar) hari Senin (5/6) – Selasa (6/6) kemarin sungguh jauh dari ketenangan. Suara ribut setiap kali ada orang mendekat karena harus menginjak puingpuing reruntuhan bangunan sepanjang halaman sekolah. Pada ujian ini, para siswa gerah, stress, dan resah dengan keadaan. Ririn dan Anang, misalnya mengaku terkendala baik untuk berkonsentrasi maupun mengingat kembali pelajaran ya ng pernah mereka ikuti selama enam tahun. Suasana tak mendukung dan pikiran mereka pun masih kacau. Para guru dan kepala sekolah yang masih stres dan trauma dengan gempa pun ikut khawatir dengan hasil ujian. Selain persoalan Pendidikan, bidang Kesehatan juga mulai mendapat sorotan. Sebagian pengungsi terpaksa mengkonsumsi makanan basi, hingga sakit perut (foto 7). Karena itu, patut diwaspadai bahaya keracunan pangan di tengah pengungsi. Ancamannya datang dari bantuan nasi bungkus dan makanan kemasan seperti ikan kaleng, susu kaleng, mi instan yang sudah kadaluwarsa, makanan katering dan yang disiapkan sendiri oleh relawan. Sekitar 80 persen dari kasus keracunan pangan di masyarakat adalah akibat rendahnya tingkat kebersihan saat pengolahan makanan. Buruknya sanitasi menjadi pendorong perkembangan mikrobia pato gen (foodborne pathogen) yang pada gilirannya menyebabkan keracunan. Mikrobia patogen menempati posisi teratas penyebab keracunan pangan dengan jumlah kasus 80 – 90 persen (Kompas, 8 Juni 2006). Bahkan tanggal 10 Juni 2006 Kompas masih menurunkan opini dari Posman Sibuea (ahli teknologi pangan dari Medan) di rubrik kesehatan berjudul “Waspadai Keracunan Pangan Pengungsi,” yang mengingatkan bahaya gangguan bakteri patogen. Sebab katanya, “makanan bagi pengungsi biasanya disiapkan di dapur umum dalam jumlah banyak dengan keterbatasan peralatan dan sumber air bersih.” Masih di bidang kesehatan, kalau koran nasional seperti Kompas menyoroti isu ini dari soal yang lebih umum seperti makanan (bantuan), keracunan dan sanitasi, maka KR jesteru mengangkat isu yang lebih spesifik, yaitu kemungkinan merebaknya penyakit
12
tetanus jika suveilance- nya tidak mendapatkan perhatian serius. Katanya tiga dari sebagian warga yang menderita tetanus telah meninggal (KR, 10 Juni 2006). Sayangnya pemerintah tidak mampu memberikan penjelasan pentingnya imunisasi tetanus bagi warga yang menolak imunisasi. Selain tetanus, diare, muntaber, flu juga menga ncam balita korban bencana. Kondisi sanitasi di tenda darurat yang kurang memadai dan dinginnya malam semakin mempengaruhi kesehatan warga , khususnya balita. Persoalan kesehatan kejiwaan korban gempa juga tidak luput dari sorotan para kuli tinta KR. Sebagian korban yang mengalami gangguan kejiwaan terpaksa menjadi pasien RS Grhasia akibat gangguan jiwa. Dalam bidang rehabilitasi dan rekonstruksi, KR meliput berbagai permasalahan program dari pemerintah. Bantuan rekonstruksi dan rehabilitasi yang dijanjikan pemerintah pusat masih terganjal beberapa prosedur birokrasi yang berbelit-belit, padahal Wapres telah melontarkan janji itu ke publik melalui media masa. Persoalan prosedur dalam pengucuran mendapat perhatian dari wakil rakyat. Wakil Ketua DPR RI, Soetarjo Soerjogoeritno meminta kepada pemerintah untuk segera mengucurkan dana bantuan untuk bencana dan tidak mempermainkan rakyat. Tidak ada alasan untuk menunda-nunda bantuan. Namun di sisi lain, Badan Koordinasi Penanganaan Bencana Nasional (Bakornas) membantah belum kucurkan uang (KR, 11 Juni 2006). Begitu melihat persoalan gempa Yogya secara sektoral, maka media massa nyatanyata mengalihkan posisi paradigmatiknya. Mereka seakan-akan mulai berada dalam satu posisi dengan negara. Mereka melihat permasalahan gempa Yogya secara sangat konvesional, bagaikan negara melihatnya, yaitu dengan penyederhanaan dan regimentasi.
6
Kerumitan persoalan yang begitu heterogen dari orang per orang, tempat ke tempat dan konteks ke konteks, disederhankan dalam deretan angka statistik dan gambar grafik . Mereka ikut-ikutan meregimentasikan persoalan ke dalam tampilan statistik dan grafis yang sangat sederhana Dala m liputan khususnya mengenai Gempa Yogya, majalah Tempo (edisi 5-11 Juni, 2006) malahan menurunkan wawancara eksklusif dengan Bupati Bantul, Muhamad Idham Samawi. Contoh cara pandang seperti ini dapat kita saksikan pada foto 4. Melihat secara konvesional itu artinya juga melihat secara terlembagakan. Pelan tetapi pasti, visualitas/penglihatan kita yang dipenuhi kedukaan massal di minggu pertama mulai terurai. Media massa mulai melihat peristiwa di lapangan secara konvesional tertata. 6
Mengenai bagaimana melihat seperti Negara lihat James C. Scott (1998).
13
Tiga foto (5, 6 dan 7) menggambarkan satu peristiwa sembahyang Jumatan di satu tempat yang sama. Ketiga foto ini dibuat oleh pemotret yang sama dan berbeda hanya karena sudut pengambilannya berlainan. Ketiga foto itu dibeli oleh tiga koran yang secara serentak, seperti terorkest rasi, menerbitkannya secara serentak pula. Apa keistimewaan foto-foto ini, hingga mendorong tiga koran menerbitkannya serentak? Keistimewaannya ada pada posisinya sebagai saksi mata bahwa lembaga agama tetap tegak walau bangunan masjid bikinan manusia tela h runtuh rata tanah. 7 Cara menunjukkan keistimewa seperti ini hanya mungkin terlahir dari visualitas kameraman dan koran yang sama-sama telah melembaga. Minggu (Lima Hari) Ketiga-Kedelapan. Sejak minggu ketiga media mulai melaporkan soal pengucuran dana bantuan hidup (living cost), gerakan Jogja bangkit, dan jaminan pembayaran biaya kesehatan. Karena tidak ada kebijakan yang jelas dari pemerintah pusat, pada waktu itu dari 70 M dana bantuan living cost baru dikucurkan 12,42 persen atau sebesar 8,7 M. Untuk menghindari gejolak akibat belum meratanya bantuan, pemerintaha daerah menyerahkan sistem pembagian pada masyarakat. Beberapa desa telah membagi dana bantuan secara merata, namun strategi ini mendapat reaksi negatif dari pemerintah pusat. Wapres berpendapa t bahwa, memotong biaya hidup atas dasar kesepakatan bersama antar warga, menyalahi kebijakan (KR, 13 Juni 2006). Isu lainnya yang juga diangkat KR di minggu ketiga pasca gempa adalah gerakan Jogja bangkit. Program-program rehabilitasi dan rekonstruksi dari pemerintah pusat memicu berbagai persoalan dalam tataran implementasi. Maka dari itu, untuk menghidari persoalan yang berlarut-larut, Sultan mengajak korban gempa untuk bangkit dan tidak mengharapkan bantuan dari pihak manapun, termasuk pemerintah pusat. Ajakan tersebut dilontarkan langsung oleh sultan dalam acara musyarawarah rakyat Bantul. Sultan mengkampanyekan Jogja bangkit melalui slogan manunggaling kalbu kawulo lan Gusti bersatu dan bangkit (KR,14 Juni 2006). Dalam hal mekanisme pembayaan korban gempa, Sultan memberi jaminan untuk mengganti seluruh biaya perawatan korban bencana di rumah sakit negeri maupun swasta. Namun, mekanisme penggantian biaya rumah sakit yang belum jelas sempat memunculkan kekhawatiran rumah sakit dalam memberikan pelayanan. Pertanggungjawaban keuangan
7
Dalam bahasa majalah Tempo, Liputan Khusus Gempa Yogya, edisi 5-11 Juni 2006, masalah ini diungkapkan dalam tampilan wajah sampul mukanya: Ampun, Gusti…
14
rumah sakit sebagai institusi bisnis menjadi salah satu pertimbangan kekhawatiran tesebut. Humas PKU Muhamadiyah Yogya, Yahya Firsad, mempertanyakan mekanisme kebijakan pemerintah terkait pembebasan biaya perawatan pasien korban gempa. Selain rumah sakit swasta, rumah sakit pemerintah pun masih mempertanyakan mekanisme kebijakan penggantian biaya perawatan korban gempa. Direktur RSUD Wirosaban menyatakan, ia belum berani mencairkan karena prosesnya belum jelas (KR, 15 Juni 2006). Isu Jogya Bangkit yang mulai muncul di minggu ketiga itu muncul bertepatan dengan saat munculnya tarik ulur (politikisasi) soal pelaksanaan pengucuran dana bantuan biaya hidup. Kebijakan pemerintah memberikan bantuan biaya hidup yang sudah jadi buah bib ir itu belum terujud secara konsisten dalam praktek hingga minggu ketiga. Sejarah belum bergerak karena tidak ada kebaruan dalam praktek sosial politik untuk mengatasi dampak gempa. Ajakan bangkit dari dalam yang diprakarsai Sultan seolah membuka peluang bagi siapa saja untuk menorehkan “tinta emas” dalam sejarah. Peluang seperti ini kiranya memberi legitimasi bagi para pelaku politik dan pengusaha untuk membangun citranya sebagai tokoh dalam sejarah (bangsa) kebangkitan Yogya. Satu per satu tokoh politik, partai politik, usahawan yang sudah muncul sejak hari pertama paska gempa dapat kita deretkan dalam kerangka semacam ini. Satu di antara mereka yang secara kontroversial justeru berhasil menjadi tokoh idola bagi pub lik adalah mbah Marijan (foto 9). Ia seorang rakyat biasa dari kaki G. Merapi, abdi dalem sultan, juru kunci (penjaga Gunung Merapi) yang karena kesetiaannya pada kesultanan justeru berani bersikap kritis menolak panggilan gubernur/pemerintah (meskipun dijabat Sultan Hamengkubuwono X) Daerah Istimewa Yogyakarta untuk turun gunung (mengungsi) dalam merespon ancaman bahaya letusan Gunung Merapi. Ia menolak panggilan itu karena ia hanya mau menuruti perintah orang yang memberinya mandat (Sultan Hamengkubuwono IX), maka ia pun menjadi ikon “kelurusan berpikir,” yang nyaris tak tertandingi oleh politisi lain di Indonesia. Ia menjadi sasaran pemberitaan hampir semua media dunia dan bahkan lahir menjadi bintang iklan jamu kuat. Berlarut- larutnya masalah bantuan hidup (living cost) masih tetap disorot oleh KR sampai minggu keempat hingga keenam pasca gempa. Sultan, sebagai ketua pelaksana program rehabilitasi dan rekonstruksi kecewa dengan kebijakan pemerintah pusat. Sultan mengungkapkan “kalau data tersebut (jumlah rumah yang rusak) dianggap terlalu tinggi, ya
15
pemerintah pusat terjun sendiri saja (menghitung) . Kalau dikira terlalu besar, ya dihitung sendiri saja. Kalau diduga ada mark up, mark upnya dimana?” (KR, 21 Juni 2006). Kekecewaan terhadap pemerintah pusat juga diungkapkan oleh pamong desa. Para pamong desa merasa kesulitan menjelaskan kepada masyarakat terkait dengan tidak sejala nnya pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan dan berubah-ubahnya kebijakan. Maka dari itu, mereka (para pamong desa) meminta kepada para pengambil keputusan di Jakarta aga r tidak
mengeluarkan
pernyataan
yang
justru
semakin
meresahkan
masyarakat,
mengumumkan kebijakan yang berubah-ubah sehingga membingungkan aparat di level bawah yang langsung berhadapan dengan masyarakat (KR, 22 Juni 2006). Minggu kelima dan selanjutnya banyak berita melaporkan keresahan-keresahan masyarakat. Soal suara “glung” di bawah tanah misalnya meresahkan warga yang takut buminya ambles, sehingga koran perlu memberitakan pernyataan ketua Jurusan Teknik Geologi UGM bahwa Yogja-Bantul tidak akan ambles (KR, 23 Juni 2006). Para pedagang beras di Bantul juga diberitakan resah karena stok gabah dan berasnya belum terjual ( KR, 23 Juni 2006), sementara bantuan beras mengalir dari luar. Kemudian para petani padi ikut resah karena sarana irigasi rusak dan mereka kesulitan mengairi padinya. Keterlambatan penyaluran dana bantuan hidup juga dilaporkan menjadi isu yang meresahkan. Selain keresahan-keresahan semacam ini, sebenarnya pelayanan pemerintahan mulai dilakukan walaupun masih masih di tenda darurat (KR, 24 Juni 2006). Dari sisi sebab-sebab yang meresahkan, Kompas tampaknya lebih menyoroti berbagai persoalan proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Di antara soal-soal itu adalah harga batu bata; perbaikan saluran irigasi; penerimaan siswa baru di gedung sekolah rusak dan di tenda-tenda; hingga soal komitmen perbakan dalam pemulihan ekonomi. Setelah minggu keenam, meskipun para warga masyarakat korban gempa masih khawatir dengan gempa-gempa susulan seperti pada tanggal 6 Juli 2006, kelihatannya mereka sudah dapat beradaptasi dengan gempa itu sendiri. Koran-koran pun nampaknya sudah mengalihkan perhatiannya pada visualitas banjir lumpur panas Lapindo di porong Sidoarjo. Namun demikian, walau dominasi visualitas gempa Yogya seperti mingguminggu sebelumnya praktis sudah berlalu, persoalan kesejarahannya pastilah masih berlanjut paling tidak secara laten. Kemapanan visualitas kita tentang Yogya sepertinya pulih dan mapan kembali seperti pada saat sebelum gempa terjadi.
16
4. Visualitas di Luar Berita (Bergambar) Banyak orang tetap mengenang visualitas yang pernah mereka koleksi dalam ingatannya. Salah satu contoh adalah arsip visual Rumah Sinema yang berisi koleksi ratusan foto dua keluarga di Bantul menghadapi Gempa Bumi 27 Mei 2006. Dalam arsip terhimpun presentasi visualitas para kameraman Rumah Sinema yang secara terus menerus dari ke hari secara khusus mengikuti perkembangan keluarga Darmo (pedagang angkringan) dan keluarga Jono (pemilik warung klontong). Foto-foto koleksi ini belum ada yang terbit di media massa. Karena kedalamannya (dari lokasi yang terbatas tetapi dalam kerangka waktu yang panjang tidak terputus), foto-foto itu justeru mengandung pantulan dari begitu banyak visualitas yang berserakan di banyak media massa. Di dalam file seperti inilah, visualitas gempa Yogya itu antara lain dapat terendap dan terabadikan. Di dalam koleksi visual yang terkumpul secara detil dalam kurun waktu yang panjang dari kegiatan sehari- hari dua keluarga korban gempa ini kita sangat mungkin menemukan sisi-sisi kemanusiaan yang tidak pernah jadi berita tetapi inspiratif. Ambil saja contoh ini (foto 10). Anak-anak dalam foto ini mampu membangkitkan senyum para ibu (orang dewasa) yang sedang mengalami kemalangan dan sakit jadi korban gempa. Daya dari dalam yang dimiliki anak-anak ini memang lembut tidak perkasa seperti milik orang dewasa, tetapi ternyata mampu merubah derita atau agoni menjadi senyuman. Perayaan ulang tahun anak-anak seperti ini jadi bersejarah, ia membawa sesuatu yang baru dalam keluarga yang sedang dalam kemalangan ini. Senyum di tengah kemalangan seperti pada foto 9 itu, mengingatkan kita pada keterbatasan media (visual) untuk mencakup totalitas pengalaman nyata. Senyum anakanak dan para ibu itu adalah detil (punctum) yang menyerap seluruh pandangan mata kita. Selanjutnya seluruh gambar seolah-olah hanya berisi senyum mereka, padahal gambar itu juga memuat citra-citra lain, seperti ibu yang sakit sedang tiduran beralaskan tikar di atas tanah dan beratapkan tenda. Semua saja dalam foto 9 yang tertutup senyum itu merupakan kelebihan makna yang mungkin masih ada di benak para korban dan kita yang menonton foto ini. Dengan kata lain foto itu memiliki kelebihan makna yang seakan-akan lenyap dari tampilan (media massa), karena dia menjadi laten mengendap. Kini terpulang pada kemauan kita belajar pada sejarah untuk sesekali membuka kembali visualitas yang kita miliki. Dokumentasi yang disajikan dalam file Rumah sinema
17
dan koleksi foto lain dapat sangat membantu kita membuka visualitas kita masing-masing pada gempa 27 Mei 2006 di Yogya. Koleksi seperti ini dapat mengingat-ingatkan kita pada derita yang tidak ingin kita lalui kembali. Namun perlu dicatat bahwa pelupaan pada visualitas semacam ini hanya dapat kita lalui bila kita dapat menyalurkan kelebihan makna (resistensi) dari dalam diri untuk asyik membangun cerita/sejarah kita sendiri. Untuk itu kita perlu memutus hubungan visual kita dengan media yang mendominasi dan mengambil media lain untuk mulai merakit cerita (tentang gempa). Caranya dapat ditiru dari apa yang dilakukan ibu ini (foto 10). Dalam foto yang diambil dari koleksi Rumah Sinema ini terlihat ibu itu memutuskan relasinya dengan tayangan dominan tv dan asyik sendiri membaca (menulis) koran. Ketika membaca inilah dia mengeluarkan visualitasnya dan menulis/mengeluarkan sejarah(sosial)nya. Kita paham bahwa seberapa pun banyaknya foto, baik dalam koleksi pribadi maupun dalam media massa, tidak akan mencakup semua visualitas yang kita miliki. Berikut ini adalah contoh-contoh visualitas Gempa Bumi Yogya 27 Mei ya ng belum/tidak terekam dalam media perekam visual. Salah seorang rekan peneliti, Ons Oetoro, pernah menuturkan visualitasnya atas gempa Yogya yang sangat khas. Apa yang dilihatnya pada saat gempa terjadi tidak/belum pernah termediasikan dalam berita (bergambar) media massa kita karena terlalu spesifik dan belum ada media (bahasa maupun gambar) yang siap untuk memediasikannya. Bersamaan dengan berjalannya waktu, penglihatan/visi (khas) yang diperolehnya itu mulai berubah. Sedikit demi sedikit ia mulai dapat menyadari apa yang ia lihat dan dengar saat gempa terjadi. Kemudian ia mulai dapat mengatakan serta menceritakannya kepada kawankawan bicaranya. Pertama ia dapat menyadari apa yang sedang dialaminya sebagai lindu. Ia bangun dan mencari anggota keluarganya; mendengar panggilan anak; melihat isteri menggendong anak; mendengar thek-thek; melihat pintu terkancing; keluar rumah; melihat rumahnya
runtuh;
mengintip
mbah
buyutnya
kethap-kethip;
dan
banyak
lagi
pengalamannya (boks 1). Rekan ini mula- mula tidak dapat mengatakan citra yang dikumpulkan sebagian besar lewat mata (visi) dan telinga (audio) itu. Baru sesaat kemudian setelah
sadar,
artinya
mampu
berkata-kata/berbudi
bahasa
lagi,
ia
dapat
menceritakan/memediasikan pengalaman yang begitu membekas dalam ingatannya itu. Ia misalnya dapat mengatakan bunyi thek-thek itu adalah suara genteng jatuh. Ia pun akhirnya
18
dapat menghubungkan reruntuhan rumah dan para tetangga di sepanjang jalan yang tiap hari dilaluinya dengan kesan bahwa semua dalam penderitaan, sehingga ia merasa sungkan lalu lalang dengan mobilnya. Box. 1. “ Sabtu 27 Mei 2006, pagi hari, saat gempa bumi terjadi, saya masih tidur. Terasa ada guncangan pada tubuh saya dan terdengar suara “tek-tek” berulang- ulang. Secara reflek saya terbangun dan menyada ri adanya lindu, saya lari keluar kamar untuk menuju kamar tidur istri dan 2 anak saya yang berumur 6 tahun dan 2,5 tahun Saya melihat anak pertama saya menangis sambil memanggil: “papi, papi ”. Di dekatnya kipas angin merek regency yang ditaruh diatas meja sudah jatuh di tempat tidur, persis di dekat anak pertama saya yang terus menangis. Istri saya menggendong anak kedua saya yang berusaha membuka pintu tapi tidak kunjung bisa. Pintu bisa terbuka setelah saya tarik dengan paksa dan saya bersama anak dan istri langsung meloncat ke luar kamar menuju halaman. Setelah berada di luar, saya baru tahu suara “tek-tek” berulang-ulang adalah suara genteng rumah tinggal saya berjatuhan. Di luar saya tertegun melihat rumah belakang saya rata tanah sambil terdengar suara jerit memilukan: “Simbok -simbok …..” Suara jerit terdengar tidak hanya dari belakang rumah saya tinggal di Rt 01, dusun Bergan, Desa Wijirejo, Pandak, Bantul, tetapi juga disamping kanan saya dan depan rumah saya tinggal terlihat rata dengan tanah . Saya baru sadar ketika melihat bagian dapur rumah saya tinggal ternyata juga rata tanah dan menimbun simbah buyut yang sudah lumpuh yang berusia 80 tahun lebih. Namun saya melihat ruruntuhan tidak menimpa langsung tubuh simbah buyut saya, karena reruntuhan dis angga tempat piring (paga/befeat) yang berada di samping tempat tidur simbah saya. Dari lubang dinding yang hancur, saya mengintip simbah buyut, dalam bahasa Jawa, masih terlihat kethap -kethip sambil terbaring di ranjang. Saat berdiri di halaman depan rumah bersama keluarga, saya melihat dua orang tetangga mengendarai sepeda motor sambil menggendong seorang anak kecil berlumuran darah. Hati saya miris. Sekejap kemudian, seorang laki laki muda tetangga rumah minta tolong, ibunya masih tertimbun reruntuhan dan belum bisa diambil. Dalam situasi panik seperti itu, simbah buyut saya belum sempat ditolong, dia masih terbaring dibawah reruntuhan. Belum hilang rasa panik... istri saya teriak panik karena mendengar informasi adanya tsunami dan airnya sudah sampai palpabang, yang jaraknya dengan rumah tinggal saya hanya beberapa kilometer. Saya lari ... di tengah jalan tetangga pada membuka pintu mobil untuk ikut... semua orang ingin mencari selamat ke tempat yang lebih tinggi . Mobil tidak bisa jalan kemana-mana. Maju tidak bisa. Mundur juga tidak bisa. Saya bersama keluarga berhenti di tepi bukit dengan harapan kalau air laut datang saya bersama 2 anak saya bisa lari keatas. ... Tsunami ternyata hanyalah issue. Tetapi panik kolektif masyarakat telah membuat suasana menjadi tidak menentu. Terasa sekali, orang-orang saling menyelamatkan sendiri-sendiri. ...a keadaan menjadi sangat mencekam. Beberapa hari setelah gempa, ... berulangkali saya pulang ke rumah dengan mengendarai mobil selalu saja dibalut perasaan tidak enak...dua rumah ... tanda jalan menuju rumah saya sudah tidak ada lagi. Jalan menjadi luas. Selalu saja saya mendapati wajah -wajah letih. Dari balik kaca mobil, wajah-wajah letih itu seperti mudah sekali tersinggung....saya harus mengangguk dan tidak lagi menggunakan klakson untuk menyapa. Setidaknya itu berlangsung selama hampir satu bulan.”
Tidak terhitung banyaknya pengalaman visual dan audio yang dimiliki orang-orang Yogya seperti yang dialami oleh rekan Ons Untoro itu. Seorang rekan lain Rh. Widada juga memiliki pengalaman visual dan audio yang sangat mengesankan. Saya mencantumkan pengalamannya dalam boks 2. Dari pengalamannya itu kita dapat pelajaran berharga bahwa visualitas gempa Yogya itu tidak hanya memproduksi kesan penderitaan saja. Ternyata ada korban mampu mengubah dengan cepat penglihatan, yang bagi orang lain hanya berisi derita itu, menjadi lelucon. Widada menuturkan betapa para kerabat dan tetangganya yang sungguh-sungguh jadi korban mati, luka, dan rumah roboh itu toh dengan begitu seru dan gembira mampu menuturkan kembali visualitas yang mereka miliki berkenaan dengan gempa, hanya beberapa hari setelah bencana berlalu. Mereka misalnya mengolok-olok simbahnya, yang disangka mayat hidup itu, sebagai penyebab gempa.
19
Sebab sebelum gempa terjadi, dari kejauhan tetangga itu melihat “penampakan” hantu, yakni simbah dalam mukena (pakaian sholat) warna putih. Boks 2.
Rh. Widada: Gowok, Yogyakarta, 27 Mei 2006, kurang lebih pukul 05.50—10.00 WIB Aku sedang bersih-bersih ruang tamu ketika itu ... Mendadak aku mendengar suara gemuruh serta berderak derak entah dari mana dan juga merasakan lantai kamar tamu berguncang. Sontak aku berlari menuju keluar sambil berseru, “Gempa, gempa, keluar, keluar!” Untungnya pintu kamar tamu sudah terbuka. Selama berlari keluar melintasi teras, beberapa kali aku terhuyung-huyung hendak jatuh. Gempa itu rupanya begitu kuatnya. Belum pernah aku mengalami gempa sebesar itu. ... Berikutnya aku menelepon sepupuku yang tinggal di Tambalan (masih di Pleret), tempat asal keluarga besar kami. Di sana tinggallah Simbah (Mbah Pawiro) dan kelluarga kedua adik bapakku (Bu Lik Dalin, Pak Lik Jono). Kudengar sepupuku menangis di telepon sambil mengabarkan bahwa rumah ambruk sementara Simbah, Bu Lik dan keponakan kami yang baru berumur dua tahun, Haikal, masih di dalam rumah induk. ... “Semua, semuanya ambruk Mas!” Hubungan telepon kemudian putus... ... kemudian ketika penyiar (radio) melaporkan... nama-nama korban di rumah sakit Dr. Sarjito. “Nomer sekian (aku lupa). Haikal, alamat Tambalan Pleret, umur dua tahun.” Aku bergumam, “Itu keponakanku!” ... Aku memutuskan untuk menengok Pleret..., sekitar 10.00-10.30 ... Di Demangan, dusun yang bersebelahan dengan Tambalan, rumah-rumah yang roboh itu sudah tak mampu kuhitung lagi. Selain banyak sekali, aku merasa tercekat, lebih-lebih ketika aku mulai memasuki jalan di sisi dusun kelahiranku. Dusunku itu jadi aneh karena tampak begitu lapang. Pemandangannya tidak terhalang oleh tembok -tembok dan atap rumah. Aku seperti berada dalam mimpi. ...Hari itu kurasakan teramat “seru”. Mungkin istilah “seru” itu kurang tepat dan kedengarannya kurang berempati pada korban pada umumnya. Tetapi, ini adalah cerita aku dan keluargaku. Aku tak cukup merasa berdosa untuk memaknai hari itu sebagai hari yang “seru” bersama mereka. Lebih-lebih setelah beberapa hari sesudah bencana, ketika sanak kerabatku itu mulai sembuh dan berjarak dari bencana itu, mereka pun suka bercerita tentang “seru”nya hari itu. Misalnya tentang simbah yang disangka mayat hidup penyebab gempa oleh tetanggaku karena sebelum gempa dari kejauhan dia melihat “penampakan” hantu, yakni simbah dalam mukena (pakaian sholat) warna putih. Mereka umumnya suka dan bersemangat sekali ketika menceritakan kejadian hari itu yang snagat dahsyat, seru, dan sering kali disertai kelucuan-kelucuan.
Tentu gurauan seperti itu bukan soal sepele dan dapat kita perlakukan hanya sebagai kekecualian dalam penderitaan massal akibat gempa saja. Sebab saya mendengar masih banyak lagi cerita serupa bagaimana tra gedi itu ternyata dapat diceritakan dengan sendau gurau, bahkan oleh yang mengalaminya sendiri. Misalnya cerita dari Widi. Seorang neneknenek (95 th.) sedang berada di dapur sendirian. Ia sedang memasak air ketika gempa terjadi. Ia tidak mampu dan juga tidak sempat lari meloncat ke luar. Dapurnya mendadak roboh. Ia selamat karena tepat berada di tengah dapur yang menyisakan ruang segitiga gunung-gunung atapnya. Ia kemudian keluar tergopoh-gopoh dengan meliuk- liukkan tubuhnya di antara sela-sela lobang reng genteng dapurnya. Tentu saja wajah dan tubuhnya penuh “bedak” abu. Katanya sendiri sambil bergurau pada para kenalannya ia ke luar dari reruntuhan bagaikan cacing. Masih banyak lagi sendau gurau dan tawa ria bisa kita saksikan, termasuk yang dikatakan seorang dokter relawan dari Amerika pada wartawan
20
KR. Dokter itu kabarnya begitu kagum melihat betapa para korban yang penuh luka (lumrahnya penandang nyeri dan sakit) itu toh ada yang tetap tersenyum. Di sini kita melihat bagaimana tragedi dapat berubah dengan sangat cepat menjadi komedi karena orang-orang itu mampu mengalihkan pandangan mata yang semula tertuju pada diri mereka pindah kepada “tontonan” gerak (cacing, mayat hidup, hantu pakai mukeno, dan tentu saja senyuman) yang ada di luar kontrol (referensial) bahasa. Rupanya di luar bahasa yang terstruktur, jadi di luar struktur masyarakat itu sendiri orang dapat menemukan ruang yang bebas termasuk untuk berkelakar dan berolok-olok. Di situ mereka menemukan diri mereka ada dalam komunitas yang total bulat sempurna tidak saling membeda-bedakan. 8 Namun apa yang terjadi ketika mereka masuk dalam struktur masyarakatnya kembali? Di sana mereka akan mengalami “Gempa Sosial.” Pada bagian akhir tuturan kisah Widada (boks 3) betapa keluarganya mengalami masalah ketika mereka pulang ke “rumah” mereka yang sudah rata tanah. Mereka harus berhadapan dengan pejabat RT dan pejabat pemerintah yang korup bantuan (lewat saluran resmi). Mereka harus berhadapan dengan berlapis- lapis tatanan sosial (hak dan kewajiban) dari tingkat yang paling primordial (hubungan kakak beradik) hingga yang paling tinggi (negara) bahkan dengan Tuhan. Masalah yang nyata-nyata dihadapi para korban itu dalam pandangan (visualitas) saya tidak ubahnya seperti kalau orang mau “memulai hidup baru,” ketika orang harus berpisah dari naungan kehangatan keluarga orang tua dan membangun rumahtangga dan relasi-relasi sosialnya sendiri. Dalam bahasa Jawa momen seperti ini disebut sebagai saat omah-omah. Sejak seseorang omah-omah ia akan mendapat status baru dalam masyarakat. Masyarakat untuk selanjutnya memandangnya sebagai sesama orang tua. Warga masyarakat termasuk dirinya sendiri kemudian memiliki visualitas (pandangan) baru atas dirinya. Berdasar itu ia kemudian antara lain memiliki Kartu Keluarga (C1) sendiri, akan diundang untuk kenduri, ikut rembug-rumbug desa dan wajib membayar iuran desa/kampung sendiri. Omah-omah itu kata lain dari pembangunan manusia dalam arti seutuh-utuhnya agar komunitas warga terbarui terus- menerus.
8
Mengenai komunitas yang anti struktur saya mengacu pada konsep klasik Victor Turner (2002: 360).
21
Boks 3 (lanjutanboks2) Bagi korban gempa, pulang adalah masalah besar sebab rata-rata rumah memang sudah tidak ada atau tidak aman untuk ditempati. ... Siang hari saat mereka pulang (berada) di Tambalan itulah yang menjadi masalah. Mereka tidak mendapat jatah nasi bungkus atau bantuan lain dari posko setempat padahal warung makan tidak ada yang buka. Saat menanyakan jatah makan ke posko setempat, mereka mendapat jawaban dari Pengurus RT (Pak Man) bahwa Bu Lik dan anak serta menantunya itu tidak memperoleh jatah bantuan dari posko setempat. Pengurus RT itu bilang bahwa seharusnya mereka minta jatah ke Dusun Keputren, tempat Bu Lik dan kerabatku yang lain menginap. Jawaban itu membuat aku tak habis pikir, apa yang ada di benak Pak RT itu? Status korban yang mereka sandang bersama, yang punya nasib sama-sama susah dan laparnya itu rupanya tidak mampu menimbulkan empati. Lagi pula bukankah permintaan makan dari orang yang benar-benar lapar itu, tanpa harus menunggu situasi darurat bencana, harusnya sudah menggerakkan kita untuk mengulurkan tangan?... Ini masalah bagi-bagi bantuan lagi... jatah rumah. Warga Dusun Tambalan merasa sangat beruntung karena dusunnya dijadikan sasaran program karitatif Bangkit Yogya... oleh antara lain Pertamina, PT. Semen Gresik, dan pengusaha Bob Hasan. Salah satu ketentuan ... setiap rumah roboh mendapatkan ganti rumah tipe 36 yang harus dibangun di atas lokasi rumah lama. Ketentuan ini bermasalah karena banyak rumah penduduk yang ditempati secara bersama oleh lebih dari satu keluarga dari sebuah keluarga besar... menjadi pemicu konflik keluarga. ... Rumah kami yang roboh sebenarnya sudah menjadi hak bapakku (kakak Dalin dan Jono). Dan hal itu sudah disepakati secara sukarela oleh seluruh keluarga besar kami. Namun selama ini rumah warisan tersebut ditempati oleh Bu Lik Dalin dan Simbah. Sedangkan bapak memilih tinggal di tempat usaha jahitnya, yakni di Kios Pasar Pleret yang kini juga runtuh sebagian atapnya. Jika mau tegel-tegelan, tentu bapakku bisa mengklaim dan menempati rumah tipe 36 itu nanti sebagai miliknya. Namun apakah mungkin mengusir saudara kandung? ...Bapak tidak menyesali bahwa ia tak memiliki rumah bantuan itu, melainkan ternyata aturan...itu tidak konsisten dijalankan. Di bekas rumah Ketua RW (Pak Joko) ternyata kini berdiri dua rumah bantuan, padahal rumah itu dulunya adalah satu. Pak Joko bilang bahwa rumah yang satunya itu adalah rumah jatah bantuan adiknya yang tinggal di Lampung, karena rumah besar yang dulu ia tempati sesungguhnya hak kepemilikannya adalah untuk dia dan adiknya. Demikian pun kasusnya dengan rumah warisan keluarga besar Pak RT, rumah warisan yang satu itu kini menjadi dua rumah bantuan tipe 36. Dan masih ada dua kasus lagi serupa itu. Yang pertama adalah keluarga tokoh dusun sedangkan yang satunya lagi hanyalah keluarga preman dusun (rupanya mereka berhasil menekan atau mempengaruhi para pengambil keputusan di dusun). ... untuk menghibur diri, aku sering bilang pada Bapak, juga pada diri sendiri, bahwa mungkin pada pagi 27 Mei 2006 itu Tuhan sedang mengayak manusia Indonesia dengan kekuatan 5,9 SR. Tuhan seperti Ibu yang mengayak beras di atas penampi untuk memisahkan mana beras, mana yang kerikil. Yang beras diambil-Nya, yang kerikil dicampakkan-Nya.”
Catatan: Nama-nama pelaku disamarkan kecuali Bob Hasan dan nama-nama perusahaan pemberi dana program bantuan rumah.
5. Menimba Inspirasi Gempa Bumi Yogya 27 Mei itu telah meluluh lantakkan bukan hanya bangunan (rumah, pasar, kantor dan tempat usaha) tetapi juga memperparah kerusakan pranatapranata sosial kita yang sudah terlanjur korup. Selepas tanggap darurat, selepas “pelayatan massal” itu, orang Yogya pertama-tama perlu lepas dari masa lalu (agar dapat mengalihkan derita jadi senyum dan kelakar). Mereka bukan hanya memerlukan rekonstruksi bangunanbangunan fisik tetapi mereka perlu tatanan relasi-relasi sosial baru. Bencana (gempa bumi)
22
adalah bagian dari proses reproduksi sosial budaya, sehingga memiliki konteks dan nilainilai kesejarahan. 9 Mereka, para korban, itu mungkin lebih tepat dipandang seperti orang yang mulai omah-omah. Di sini saya sepakat dengan Revrianto Budi Santosa (2000), bahwa rumah/omah Jawa itu bertumpu pada kesatuan ruang (sosial) domestik dan publik, yaitu perkawinan ruang/daya perempuan dan ruang/martabat laki-laki. Kesatuan itu secara konkrit dihadirkan lewat persetubuhan suami isteri di ruang/senthong tengah dan secara simbolik tradisional dipancarkan lewat kehadiran loro blonyo. 10 Jadi basis dari rumah Jawa secara sosial kultural bersenyawa dengan proses reproduksi biologi yaitu dalam perkawinan/omah-omah. Secara tradisional perempuan Jawa dari ranah domestik mengontrol harta dan keluarga serta menjamin praja laki- laki. Sementara laki- laki dari ranah publik mencari martabat.. Daya perempuan berasal dari dalam sedang daya laki- laki dari luar. Orang di desa-desa Jawa membangun rumahnya dengan memadukan dua daya ini. Namun demikian, apa boleh buat, dari pengalaman saya mengamati perencanaan rekonstruksi tampak sekali berbagai upaya pemulihan dan rekonstruksi masih berasal dari kekuatan-kekuatan luar (daya laki- laki) dan belum cukup mengapresiasi daya dari dalam (para perempuan) yang justeru paling banyak jadi korban. Rekonstruksi Yogya akan komprehensif, struktural dan bervisi besar justeru jika berangkat dari titik kecil relasi sosial paling dalam dari rumah, yaitu dari senthong tengahnya. Saya menyaksikan banyak pihak telah menghimpun dan menyalurkan bantuan masyarakat baik lokal, nasional maupun international untuk membantu korban gempa. Sejak hari- hari pertama jalanan di sekitar Yogya dipenuhi ke ndaraan lalu lalang mengantar bantuan. Ada banyak pemandangan yang sulit sekali kita lupakan menyangkut aliran bantuan itu. Media misalnya ada yang memotret rombongan tukang ojek dari lereng G. Merbabu mengantar sayuran untuk korban gempa yang tidak mereka kenal. Bertruk -truk relawan, dari kejauhan hingga Kediri dan mungkin Surabaya, setiap hari selama berminggu- minggu datang membantu pembersihan puing-puing. Truk-truk militer dan polisi serta truk sewaan badan-badan internasional dikerahkan untuk ikut membersihkan puing. Mobil- mobil baru dengan logo-logo donor internasional ikut memadati jalanan 9
Lihat Irwan Adullah (2006). Loro Blonyo adalah sepasang patung tradisional Jawa berpakaian kemben/basahan yang melambangkan pasangan suami-isteri yang lebur menyatu saling terurapi, basah oleh persetubuhan. 10
23
Yogya. Bersamaan dengan itu saya juga melihat iringan club-club mobil merk tertentu ke luar masuk kampung mengantar bantuan. Pastilah secara keseluruhan bantuan mereka semua itu amat sangat besar jumlahnya. Sayang sekali catatan angkanya belum dapat kita temukan, kecuali dalam perkiraan beberapa para aktivis. 11 Kini, lebih dari setahun sesudah gempa tampakan seperti ini nyaris sudah menghilang, tetapi grand design perubahan terorganisir (struktural) kelola alam dan sosial di bekas reruntuhan gempa itu belum tampak. Gagasan Yogya Bangkit sudah jamak sebagai wacana. Akankah Yogya Bangkit berhenti di tingkat retorika saja bila tidak memiliki grand design? Salah satu dic tum pembangunan mengatakan bahwa semua pembangunan tidak dapat menghindar dari keharusan melakukan penggusuran (Apell 1988: 272). Bukankah untuk mendirikan rumah sekecil apa pun orang harus menggusur tanah untuk pondasi, bukankah untuk mengubur mayat pun orang harus gali tutup lobang? Ya memang begitu. Nah sekarang Yogya-Klaten sudah tergusur Gempa, bukankah ini kesempatan emas mengawali pembangunan yang terencana seperti jamaknya orang omah-omah? Tentunya begitu, kecuali jika “omahomahnya darurat karena “tertangkap hansip” atau karena calon pengantin sudah berbadan dua.” Gempa memang telah menimbulkan keadaan darurat di daerah, bukan di seantero Republik Indonesia. Jadi Yogya sebagai bagian dari republik tidak perlu diperlakukan seperti “calon pasangan pengantin darurat.” Negara sudah semestinya meletakkan Yogya Bangkit dalam kerangka pembangunan sistematik yang terencana. Kalau Jerman dan Jepang pernah luluh lantak oleh Perang Dunia Kedua, kemudian bangkit jadi raksasa peradaban, mimpikah kita membangkitka n Yogya sepuluh persennya saja dari Jerman atau Jepang? Pertanyaan-pertanyaan saya itu mungkin terlalu utopis. Apa sebabnya? Para relawan baik perorangan maupun yang terorganisir dalam lembaga- lembaga swadaya masyarakat atau organisasi non pemerintah memang telah bekerja luar biasa kerasnya. Begitu juga tim SAR (Search and Rescue) dari berbagai propinsi dan negara sahabat semua. Sumbangan mereka harus kita syukuri. Namun karena keterbatasan sumber yang mereka miliki,
11
Dalam dua minggu pertama Insist memperkirakan 5,4 milyar rupiah atau setengah juta US telah disumbangkan oleh warga bagi proses rekonstruksi wilayah yang terkena bencana gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Sumbangan itu baru untuk kegiatan pembangunan rumah sementara dan tidak termasuk sumbangan spontanitas lain. (http://insist.or.id/index.php?lang=en&page=article&artid=27)
24
umumnya usaha mereka harus terbatas pada sebuah satu-dua RT, RW, dusun atau desa tertentu saja. Jadi nyaris tidak mungkin mengharapkan lahir sebuah grand design Yogya bangkit dari prakarsa seperti itu. Lalu bagaimana dengan negara? Apakah yang tampak telah dilakukan negara? Presiden langsung memindahkan kantornya ke Yogya di hari pertama Gempa. Ia bahkan mengocok ulang (reshuffle) kabinetnya dari Yogya. Sementara Wakil Presiden (penangungjawab Bakornas penanggulangan bencana) dalam waktu yang hampir bersamaan dari Jakarta berjanji menyantuni Rp .30 juta untuk para korban rumah roboh. Pengobatan untuk korban luka pun menjadi tanggungan pemerintah. Para pejabat di semua sektor pemerintahan pun sibuk hilir mudik ke Yogya membuka program penanggulangan bencana gempa di Yogya. Partai-partai politik dan wakil- wakil rakyat tidak ketinggalan, malahan ada yang membawa bendera partainya segala waktu membantu korban. Dengan cepat sekali peristiwa gempa bumi bergulir menjadi urusan politik nasional. Kehebatan orang Yogya bersama pemerintahnya tampil percaya diri menolak gempa bumi 27 Mei itu dinyatakan sebagai bencana nasional. Janji-janji yang terlontar dari mulut para pejabat dengan cepat diperbincangkan sebagai bencana sosial politik. Nama kabupaten Bantul pun misalnya diplesetkan dalam grafiti menjadi Bantuan Terlalu Lama! Gimana pak Presiden? (foto 12). Di tempat-tempat lain kita juga menyaksikan spanduk di mana -mana yang mempertontonkan protes/jeritan ketidak puasan warga Yogya berkenaan dengan berbagai bantuan baik terutama yang disalurkan lewat pemerintah. Lebih dari itu, demo-demo mengusung perlawanan warga terhadap cara-cara pengucuran bantuan pun kemudian marak. Isunya mengerucut pada kesenjangan antara konsep Badil (bagi adil, proporsional menurut besar derita/kerusakan) dengan Bagita (bagi rata). Urusan gempa-bencana-derita telah bergeser menjadi isu keadilan sosial yang memang di seantero negeri masih jadi persoalan dasar. Bahkan gempa-gempa yang telah meluluh- lantakan Yogya pun belum juga mengingatkan kita pentingnya mengembangkan konsep komprehensif pembangunan kembali bukan hanya Yogya-Klaten dan daerah-daerah, yang sebelumnya juga dihancurkan gempa seperti Aceh dan Nias, tetapi seluruh negeri kita dari perspektif keadilan sosial.
25
6. Kesimpulan Dari
mengikuti
begitu
banyak
berita
tentang
gempa dan bencana yang
ditimbulkannya dalam koran-koran, saya menyadari betapa isu keadilan sosial selalu mencuat sedemikian nyata dan rumit justeru dari balik paparan massanisasi yang tampil di media. Saya telah menggambarkan, bahwa selama minggu pertama sejak hari kedua setelah Gempa, nyaris apa saja yang berhubungan dengan dampak gempa dapat kita temukan dalam bentuk straight news di media massa. Koran-koran memang ketika itu kekurangan sumberdaya untuk segera menampilkan sebanyak mungkin features yang mengandung human interest. Industri media pastilah kesulitan memobilisasi wartawannya karena gempa terjadi pada hari Sabtu saat para wartawan umumnya “sudah libur” dan koran Minggu sudah siap naik cetak. Kesulitan mobilisasi wartawan rupanya juga karena banyak wartawan Yogya yang menjadi korban, sehingga nasib para wartawan itu sendiri sepertinya layak jadi berita. Lebih dari itu, rupanya korban dan wartawan kemudian seolah menyatu sama-sama sebagai korban yang layak dibantu. Dalam keadaan seperti itu saya menemukan bahwa persebaran berita (derita dan duka) pun kemudian menjadi penting dipantau seperti kalau orang sedang menandang kemalangan dan kedukaan. Intensitas dan luas persebaran berita pada hari- hari pertama pasca gempa dengan segera mengundang solidaritas dunia dan menghadirkan “pelayatan massal.” Di dalam pelayatan massal itu seluruh Yogya memang berduka, siapapun masuk Yogya ketika itu akan menyaksikan sesak kedukaan yang terus menggelayut berlama- lama seakan tidak mau cepat berlalu seperti biasanya kedukaan dalam masyarakat Jawa. Saya mengerti
bahwa dalam “pelayatan massal” itu orang yang masih hidup tidak mudah
mengalihkan focus kedukaannya. Karena mereka sendirilah yang menjadi (mayat hidup) tontonan kedukaan. Lebih dari sekedar menjadi tontonan ked ukaan, ketika itu orang-orang Yogya bahkan telah berubah menjadi massa di luar lembaga pelayatan umumnya di kampung-kampung. Dalam iklan- iklan dukacita di koran ketika itu bahkan, dengan mudah kita temukan betapa hubungan antara pihak yang kedukaan dan mereka yang ikut berduka seakan terputus (foto 12). Para pemasang iklan tidak menyebut identitas/nama kepada siapa mereka turut berduka, paling-paling mereka sebut “warga Daerah istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah” ( Bernas, 28 Mei: 2-3). Dengan kata lain mereka menujukan empatinya kepada sosok pribadi anonim, kecuali menyebut kepada orang Yogya korban gempa bumi.
26
Sementara itu alamat pemasang iklan itu biasanya jelas-jelas mewakili suatu lembaga sosial tertentu apakah sebuah universitas, perusahaan atau partai politik tertentu. Di sini kita menyaksikan kedukaan itu nyaris spontan bergulir menjadi obyek komunikasi politik dari pihak tertentu kepada (massa) korban gempa. Kemudian sebagai massa anonim pula kiranya sebagian korban serentak menjerit dan memperebutk an bantuan dari luar yang datang secara politis tanpa ikatan- ikatan sosial yang berarti itu. Berita-berita di media massa sejak minggu kedua setelah gempa kemudian memuat kebijakan publik dari pemerintah, sehingga visualitas Yogya yang terkoyak gempa mulai laten. Di luar apa yang sudah diberitakan oleh media massa, orang tetap mengenang visualitas yang pernah mereka himpun sendiri dalam ingatannya dan dalam koleksi-koleksi pribadi. Di sana detail visualitas gempa terendap dan terabadikan. Dengan menampilkan sisi-sisi pengalaman keseharian selama gempa yang gagal atau belum termediasikan dalam berita, saya berharap dapat menimba inspirasi yang sangat manusiawi dan kaya dengan keanekaragaman. Kita melihat misalnya daya anak-anak untuk menutupi suasana serba darurat dan sedih dengan senyum kegembiraan ulangtahunnya. Pelupaan atas dukacita yang tidak ingin kita lalui (lagi) hanya dapat kita lakukan dengan menyalurkan kelebihan makna dalam pikiran kita dengan melakukan resistensi dan memutus hubungan (visual) kita dengan media massa yang hegemonik, dominan dan partial. Di luar media massa, masih terlalu banyak pengalaman merasakan kedahsyatan gempa yang belum termediasikan. Pengalaman (visual) yang tidak/belum termediasikan itu, meskipun mengandung peristiwa yang sangat unik/spesifik, toh fakta sosial yang sangat berarti. Di situ antara lain kita dapat belajar bagaimana para korban gempa itu mampu dengan cepat merubah deritanya menjadi lelucon dan olok-olok asal saja mereka mampu mengalihkan pandangan mata mereka kepada “tontonan” yang ada di luar kontrol (struktural) bahasa. Di luar struktur masyarakat itu sendiri mereka dapat menemukan komunitasnya, yaitu ruang yang bebas, bulat tidak saling membedakan. Mereka justeru mengalami masalah ketika mereka pulang ke ruma h, masuk dalam tatanan (struktur) sosial yang berlapis-lapis. Pengalaman (ritualistik) para korban dengan visualitasnya sendiri itu mengingatkan kita pada peristiwa saat seseorang di Jawa meninggalkan orangtua dan mulai membangun rumahtangga dan lingkaran sosial dengan kekuatan dari dalam dirinya sendiri, yaitu saat orang omah-omah. Dari sinilah penelitian ini menunjukkan tantangan ke depan
27
bagi siapa pun yang berprakarsa untuk membangun kembali Yogya agar ke luar dari kecenderungan yang partialistik dan mulai memikirkan suatu grand design masa depan Yogya dari perspektif komunitas korban.
7. Referensi Abdullah, Irwan 2006 Dialektika Natur, Kultur dan Struktur: Analisis Konteks, Proses, dan Ranah dalam Konstruksi Bencana. Pidato Pengukuhan Guru Besar Antropologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Apell, George N 1988 “Costing Social Change,” in Michael R. Dove, The Real and Imagined Role of Culture in Development: Case Studies from Indonesia, Honolulu: University of Hawaii Press. Barthes, Roland, 1981 Camera Lucida: Reflection on Photography. New York: Hill and Wang. Foucault, Michel 2002 Power/Knowledge Wacana Kuasa/Pengetahuan: Wawancara Pilihan dan Tulisantulisan Lain 1972-1977. Terjemahan Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, The Harvester Press, Sussex. Jogyakarta: Penerbit Bentang Budaya. Rumah Sinema 2007 Hidup Bersama Gempa: Arsip Visual 2 Keluarga di Bantul Menghadapi Dampak Gempa Bumi 27 Mei 2006. Yogyakarta: Rumah Sinema dan Hivos. Santosa, Revrianto Budi 2000 Omah: Membaca Makna Rumah Jawa. Yogyakarta: Bentang. Scott, James C. 1998 Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. New Haven and London: Yale University Press. Siegel, James T. 1986 Solo in the new Order. Princeton: Princeton University Press 1998 “Counter-Revolution Today: Neither the Story nor Stories –Words and Photographs,” in A New Criminal Typepe in Jakarta. Durham and London: Duke University Press, chapter 5: 120-135. Sohng, Sung Sil Lee 1995 Participatory Research and Community Organizing, a working paper presented at The New Social Movement and Community Organizing Conference, University of Washington, Seatle, WA. November 1-3., 1995 (http://www.interwebtech.com/nsmnet/docs/sohng.htm )
28
Subagya, Y. Tri 2005 Menemui Ajal: Etnografi Jawa Tentang Kematian. Yogyakarta: Penerbit Kepel. Sumijati AS et al. 2007 Potret Penanganan Bencana: Belajar dari Pengalaman DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Yogyakarta: Klaster Sosio Humaniora dan Posko UGM Peduli Gempa Universitas Gadjah Mada. Touraine, Alain 1995 Critique of Modernity , translated by David Macey, Oxford UK& Cambridge USA: Blackwell.
Turner, Victor 2002 ”Liminality and Communitas,” in Michael Lambek ed., A Reader in Anthropology of Religion, Blackwell Publishing, pp. 358-374. Walker, John A & Chaplin, Sarah 1997 Visual Culture: an Introduction. Manchester and New York: Manchester University Press. Koran: Bernas. Yogyakarta, 28 Mei 2006 – 6 Juli 2006. Bisnis Indonesia . Jakarta, 28 Mei 2006 – 6 Juli 2006. Jawa Pos: Radar Yogya. Yogyakarta: 28 Mei 2006 – 6 Juli 2006. Kedaulatan Rakyat (KR), Yogyakarta, 28 Mei 2006 – 6 Juli 2006. Kompas. Jakarta, 28 Mei 2006 – 6 Juli 2006. Media Indonesia. Jakarta, 28 Mei 2006 – 6 Juli 2006. Solo Pos. Surakarta, 28 Mei 2006 – 6 Juli 2006. Suara Merdeka (SM). Jakarta, 28 Mei 2006 – 6 Juli 2006. Majalah: Tempo. Majalah Berita Mingguan. Liputan Khusus Gempa Yogya, edis i 5-11 Juni 2006.
29
8. Lampiran Foto
Foto 2. Sumber: Bernas 30 Mei 2006 Foto 1. Sumadi Wonohito (bertopi). Sumber: Kedaulatan Rakyat, 29 Mei 2006.
Foto 3 Berebut Bantuan. (Solopos 2 Juni, 2006)
Foto 4. Sisa Amukan Gempa di Klaten dan Bantul. Sumber: Kompas 29 Mei 2006
Foto 5. (Bernas 3 Juni 2006: 5)
Foto 6. (Suara Merdeka 3 Juni 2006: 16)
30
Foto 7. (Bisnis Indonesia, 3 Juni 2006: 1) Foto 8. Mbah Marijan. (Jawa Pos, Radar Jogya, 4 Juni 2006)
Mengundang Resistensi (visual) Asyikan baca daripada nonton TV Hubungan visual tayangan TV dan penonton terputus
Foto 9. (Rumah Sinema 2007: 29) Juru foto: Eko Suprapti.
Foto 10. (Rumah Sinema 2007: 18) Juru Foto: Eko Suprapti.
Foto 11. (Rumah Sinema 2007: 46) Juru Foto: Eko Suprapti.
Foto 12
31