I
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Seperti halnya negara-negara dunia ketiga lainnya, Filipina dan Indonesia mengalami persoalan dalam penyediaan lapangan kerja dan upah layak. Pengangguran di Filipina pada 2011 misalnya, mencapai 7 persen dari keseluruhan populasinya atau lebih dari tujuh juta jiwa. Sedangkan Indonesia di tahun yang sama penganggurannya 6.6 persen atau sekitar 17 juta jiwa. Selain itu kedua negara ini juga mempunyai angkatan kerja yang melimpah. Filipina 40.73 juta angkatan kerja, terbesar ke-15 di dunia. Sedang Indonesia memiliki 119.5 juta angkatan kerja, terbesar ke-5 di dunia. Namun di sisi lain lapangan kerja di kedua negara ini belum mampu menyediakan upah yang layak. Pendapatan per kapita Filipina hanya US$ 4.300 per tahun dan Indonesia hanya US$ 5.000 per tahun. Banyaknya kesamaan konteks ekonomi antara Filipina dan Indonesia membuat kedua negara ini sama-sama mengandalkan migrasi buruh ke luar negeri sebagai solusi ekonomi yang strategis. Baik Filipina dan Indonesia kemudian tercatat sebagai negara pengirim buruh migran terbanyak di dunia. 1 Kebijakan untuk mendorong arus migrasi buruh migran ke luar negeri mulai dicanangkan secara resmi oleh pemerintah Filipina sejak 1974, dengan dikeluarkannya Keputusan Presidensial No. 442, yang memuat tentang pemajuan dan perlindungan buruh migran. Awalnya pemerintah Filipina menyebut para buruh migran Overseas Contract Workers, namun belakang berganti menjadi Overseas Filipino Workers (OFW). Migrasi buruh migran dianggap sebagai jalan sementara atau temporer untuk mengatasi pengangguran di dalam negeri. 2 Namun secara de facto, migrasi buruh Filipina merupakan salah satu strategi ekonomi nasional. Remitansi buruh migran Filipina pada 1999 saja mencapai US$ 6.79 miliar, meningkat 38 persen dari tahun 1
Beritasatu.com, “Indonesia Golkan Resolusi PBB Lindungi Buruh Migran Perempuan”, 24 November 2011. Diakses pada 27 Februari 2013 pada 10.40 pm. http://www.beritasatu.com/nasional/18648-indonesia-golkan-resolusi-pbblindungi-buruh-migran-perempuan.html 2 Maria Angela Mayan C Villalba, Good Pranctice for the Protection of Filipino Women Migrant Workers, 2002, Geneva: ILO. http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_emp/documents/publication/wcms_117953.pdf
3
sebelumnya. Jumlah remitansi tersebut nilainya 45.5 kali lebih besar dari jumlah investasi modal asing yang masuk Filipina dalam tiga bulan pertama 1999. 3 Hingga kini jumlah OFW yang berangkat ke luar negeri setiap tahunnya terus meningkat. Pada 1975 hanya terdapat 36.035 OFW yang berangkat ke luar negeri, sedang pada 2006 jumlahnya lebih dari satu juta orang. Pada 2010 buruh migran Filipina yang berangkat ke luar negeri diperkirakan berjumlah 1.47 juta orang. Pada 2011, jumlahnya meningkat 15.4 persen dari tahun sebelumnya. Diperkirakan 9.5 hingga 12.5 juta warga Filipina bekerja atau tinggal di luar negeri, jumlah ini setara dengan 11 persen populasi Filipina pada 2010. Pada enam bulan pertama 2012, remitansi yang dikirim para OFW berjumlah US$ 11.3 miliar. Pada paruh akhir 2012 jumlahnya naik menjadi US$ 19.4 miliar. Remitansi paling banyak berasal dari AS. Menyusul di belakang AS adalah Kanada, Arab Saudi, Inggris, Jepang, Uni Emirat Arab (UEA), dan Singapura. 4 Dalam periode ini, tambahan remitansi tersebut sanggup mendongkrak devisa Filipina ke posisi US$ 79 miliar.5 Peran ekonomi OFW ini membuat masyarakat Filipina menyebut mereka sebagai bagong bayani yang berarti “pahlawan baru”. Jika Filipina punya bagong bayani, Indonesia punya pahlawan devisa, yaitu para buruh migran Indonesia. Pemerintah dan media massa menyebut para buruh migran ini Tenaga Kerja Indonesia (TKI), namun dalam skripsi ini akan digunakan istilah Buruh Migran Indonesia (BMI). 6 Menurut data Kementrian Luar Negeri, pada 2009 saja sudah terdapat 3.147.211 BMI. Sedang pada 2012, jumlah buruh migran Indonesia yang bekerja di luar negeri telah mencapai 3.998.592 orang. 7 Tiga negara utama tujuan para BMI adalah Arab Saudi (1.427.928 orang), Malaysia (1.049.325 orang), dan Taiwan (381.588 orang). Ini adalah data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
3
Eko Prasetyohadi (Ed), Atase Tenaga Kerja dan Perlindungan TKI, Antara Indonesia-Singapura-Malaysia, 2010, Jakarta: TIFA Foundation. 302 4 Kompas.com, “Pekerja Filipina Makin Getol Kirim Duit”, 15 Januari 2013, diakses 27 Februari 2013 pada 10.42 pm.http://internasional.kompas.com/read/2013/01/15/17402770/Pekerja.Migran.Filipina.Makin.Getol.Kirim.Duit 5 Kompas.com, “Remitansi Ke Filipina Naik”, 15 Agustus 2012, diakses 27 Februari pada 10.43 pm. http://internasional.kompas.com/read/2012/08/15/18455461/Remitansi.ke.Filipina.Naik 6 Sikap ini diambil penulis lantaran istilah teknis TKI berarti hanya memandang seorang pekerja hanya dari tenaga kerja yang bermanfaat bagi majikannya saja. Menggunakan istilah buruh migran dalam skripsi ini merupakan inkhtiar penulis untuk memandang pekerja migran secara lebih utuh sebagai entitas yang politis. 7 Tempo.co, “Hari Buruh Migran, Pemerintah Diminta Lindungi TKI”, 18 Desember 2012, diakses 27 Februari 2013 pada 10.47 pm. http://www.tempo.co/read/news/2012/12/18/214448875/Hari-Buruh-Migran-PemerintahDiminta-Lindungi-TKI
4
(BNP2TKI) yang tentu saja tidak mencakup mereka yang bekerja di luar negeri tanpa melalui jalur resmi alias tak berdokumen. Versi Migrant Care, Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus pada advokasi buruh migran, terdapat lebih dari enam juta BMI. Mayoritas BMI bekerja di sektor informal. Hasil studi yang dilakukan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2007 menunjukkan, sekitar 48,8 persen BMI bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). Temuan ini nampaknya bersesuaian dengan fakta bahwa sekitar 76 persen BMI adalah perempuan. Seperti OFW, BMI disematkan gelar pahlawan karena peran ekonominya. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat perolehan devisa sumbangan buruh migran 2012 sampai dengan Mei Rp 40 triliun. Perolehan devisa tersebut, datang dari BMI yang bekerja di negara-negara di kawasan Amerika, Timur Tengah, Afrika, Eropa, dan Australia sebesar US$ 2,8 miliar atau mencapai Rp 28 triliun dengan asumsi Rp10 ribu per dolar AS. Kemudian ditambah dengan devisa BMI yang bekerja di negara-negara Asia sebesar US$ 1,2 miliar atau Rp 12 triliun. 8 Pada 2011 devisa yang disumbang buruh migran tercatat US$ 6,735 miliar, pada 2010 mencapai US$ 6,734 miliar, dan tahun 2009 sebesar US$ 6,617 miliar. BMI di Hong Kong merupakan penyumbang devisa paling besar yakni US$ 400 juta padahal BMI yang dikirim ke sana sekitar 130.000 orang. Bandingkan BMI ke Arab Saudi dengan jumlah sekitar 1,2 juta orang tetapi devisanya hanya US$ 1,7 juta dan Malaysia dengan BMI terbesar 2,3 juta orang remitansi devisanya tidak sampai US$ 2 juta. Provinsi pengiriman BMI terbesar dari Jawa Barat (145.012 orang). Lalu berturut-turut 10 besar yakni Jawa Tengah (122.814 orang), Jawa Timur (110.497 orang), Nusa Tenggara Barat (72.846 orang), Banten (27.963 orang), DKI Jakarta (18.204 orang), Lampung (17.790 orang), Bali (15.056 orang), Sulawesi Selatan (13.911 orang), dan Sumatera Utara (12.398 orang). 9 Dalam jumlah resmi, BMI lebih banyak dari OFW. Berdasarkan data Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) jumlah BMI sampai dengan akhir 2011 tercatat sebanyak 2.601.590, sedang OFW di tahun yang sama berjumlah 2.2 juta jiwa. Namun sumbangan remitansi yang diterima Filipina jauh melampaui remitansi Indonesia. Pada 2011, 8
BNP2TKI, “Sampai Mei 2012 TKI Sumbang Devisa Rp 40 Triliun”, 17 Juli 2012 diakses 27 Februari 2013 pada 11.10 pm. http://www.bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/7001-sampai-mei-2012-tki-sumbang-devisa-rp-40triliun.html 9 Ibid
5
Bank Dunia mencata Filipina sebagai salah satu dari lima negara yang jumlah penerimaan remitansinya tersbesar di dunia. Jumlah penerimaan remitansi Filipina mencapai US$ 23 milyar, hampir seperempat dari remitansi yang masuk ke Asia Timur dan Pasifik, sedangkan penerimaan remitansi Indonesia hanya US$ 5.6 miliyar. OFW memang relatif memperoleh perlakuan dan gaji yang lebih baik dari BMI. Sebagai perbandingan, untuk gaji PRT di Malaysia, gaji PRT Indonesia berkisar antara US$ 125-175, sedangkan PRT Filipina berkisar antara US$ 200-450. Proporsi BMI yang bekerja sebagai PRT adalah 48.8 persen dari keseluruhannya, sedangkan OFW yang bekerja sebagai PRT hanya 6 persennya saja. 10 Lantaran menyandang status marjinal yang berganda, yaitu sebagai buruh dan sebagai migran, baik OFW maupun BMI rentan menjadi korban eksploitasi. Masalah yang kerap menimpa buruh migran antara lain gaji yang tidak dibayar, kekerasan fisik, pelecehan seksual, majikan tidak sesuai kesepakatan, jam kerja tidak sesuai kesepakatan, tak betah, berselesih paham, dan sakit. Bahkan tak jarang buruh migran juga harus mempertaruhkan nyawanya di negeri penempatan. The Philippines Department of Foreign Affairs (DFA) saat ini harus berurusan dengan 29 kasus OFW yang terancam hukuman mati, 11 di Malaysia, sembilan di Arab Saudi, tiga di Kuwait, dan satu masing-masing di Brunei dan Amerika Serikat. 11 Versi angka OFW yang terancam hukuman mati dari International Migrante, LSM Filipina yang hirau pada persoalan buruh migran, lebih besar lagi dari versi pemerintah, yaitu 122 kasus. Jumlah kasus hukuman mati yang harus dihadapi Filipina jauh lebih sedikit dibanding kasus hukuman mati BMI yang mencapai 420 kasus. 12 Perbedaan kesejahteraan dan resiko yang diterima OFW dan BMI merupakan hasil dari kebijakan kedua negara dalam penempatan dan perlidungan buruh migrannya. Sejak awal migrasi buruh mengalir keluar dari kedua negara, pemerintah di kedua negara langsung mengintervensi penempatan dan perlindungan buruh migran. Intervensi Filipina dapat dilihat dari terbitnya Keputusan Presiden No. 442. Pada perkembangannya, pemerintah Filipina juga
10
Tribunnews.com, “Soal TKI, Mari Belajar ke Filipina”, 19 November 2011, diakses 27 Februari 2013 pada 11.14 pm. http://m.tribunnews.com/2011/11/19/soal-tki-mari-belajar-ke-filipina 11 Sophia Ann Torres, Philippines Faces Migrant Worker Dilemma, Institute for War and Peace Reporting, 26 Agustus 2008, diakses 27 Februari 2013 pada 11.17 pm. http://iwpr.net/report-news/philippines-faces-migrantworker-dilemma 12 Tempo.co, “420 TKI Terancam Hukuman Mati” 18 Desember 2012, diakses 27 Februari 2013 pada 11.19 pm. http://www.tempo.co/read/news/2012/12/18/173448879/420-TKI-Terancam-Hukuman-Mati
6
mengesahkan Republic Act 8042 atau dikenal dengan The Migrant Workers and Overseas Filipino Act pada 1995. Secara kelembagaan Filipina membentuk Philippine Overseas Employment Administration (POEA), Overseas Workers Welfare Administration (OWWA), dan Office of the Legal Assistant for Migrant Workers Affairs (OLAMWA) untuk menjalankan pengelolaan penempatan dan perlindungan buruh migrannya. Sedangkan kerangka hukum yang digunakan untuk mengintervensi penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia adalah UU 39/2004 yang secara khusus mengatur penempatan dan perlindungan buruh migran. Sebelum UU 39/2004
terbit, intervensi penempatan dan perlindungan buruh migran hanya
berpedomankan Keputusan Menteri (Kepmen), yaitu Kepmen 204/1999 dan Kepmen 104A/2002. Secara kelembagaan Indonesia membentuk BNP2TKI untuk melaksanakan pengelolaan penempatan dan pelindungan buruh migran. Selain badan nasional yang dibentuk khusus, pemerintah juga mengandalkan peran Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang perannya terbentang luas dari pelatihan kerja, mengurus perubahan perjanjian kerja, sampai mencari sebab kematian buruh migran yang meninggal. 13 Baik BNP2TKI maupun PPTKIS merupakan produk dari UU 39/2004 yang melanggengkan dan mengatur peran keduanya. Dalam skripsi ini akan dijelaskan mekanisme intervensi negara dalam penempatan dan perlindungan buruh migran Filipina dan Indonesia beserta motif dan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanannya.
2. Manfaat Penelitian Manfaat dari penyusunan penelitian ini yaitu: (1) untuk meramaikan dinamika perdebatan teori negara dalam ilmu sosial dan politik, khususnya HI. (2) untuk menunjukkan bentuk solidaritas intelektual terhadap kaum buruh migran yang tertindas. (3) untuk turut memberikan kritik dan saran terkait perumusan kebijakan HI Indonesia. (4) untuk memenuhi syarat kelulusan akademik dari Universitas Gadjah Mada.
13
Eko Prasetyohadi (Ed), Op Cit. 402
7
3. Rumusan Masalah •
Mengapa pengelolaan penempatan dan perlindungan buruh migran di Filipina lebih optimal dalam melindungi dan menyejahterakan buruh migrannya?
4. Landasan Teoritis Entitas penting yang hendak diangkat kiprahnya dalam skripsi ini adalah buruh migran. Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) mendefinisikan buruh migran sebagai orang yang terlibat dalam kegiatan berupah dalam suatu negara yang dia sendiri bukan warga negara di negara tempat ia bekerja. Sedangkan Kementrian Sosial mendefinisikan buruh migran sebagai orang yang berpindah tempat untuk sementara waktu, atau menetap dari suatu tempat ke tempat lain, dengan tujuan mencari pekerjaan yang lebih baik. Sedang menurut tempat tujuannya dibedakan menjadi migran domestik dan migran lintas negara. 14 Dalam skripsi ini, istilah buruh migran langsung merujuk pada buruh migran lintas negara. Buruh migran juga akan diposisikan sebagai bagian dari kelas buruh yang harus memperjuangkan nasibnya sendiri, baik secara individual maupun sebagai bagian dari kelas. Filipina dan Indonesia sebagai negara yang paling banyak mengirim buruh migran hendak diperbandingkan dalam skripsi ini. Pilihan kebijakan kedua negara dalam mengintervensi penempatan dan perlindungan buruh migran akan dipandang sebagai sesuatu yang contingent dengan perjuangan kelas buruh itu sendiri. Penempatan dan perlindungan buruh migran dari kedua negara akan dipandang sebagai kebijakan HI yang merupakan bagian konteks antagonisme antar kelas. Dalam penempatan dan perlindungan buruh migran, berlaku pula konflik-konflik dan akomodasi-akomodasi yang merugikan salah satu kelas sosial dan menguntungkan kelas sosial lainnya. Penulis hendak mengerangkai bahwa intervensi penempatan dan perlindungan buruh migran bukanlah manifestasi dari persetujuan individuindividu atau penyelenggaraan akal yang absolut. Dalam intervensinya, negara sebetulnya sedang melakoni fungsi sebagai instrumen kelas borjuis. Namun posisi negara ini berkelindan
14
Gunanto Surjono et. al, Pengkajian Kebutuhan Model Pelayanan Sosial Pekerja Migran, 2009, Yogyakarta: B2P3KS Press.
8
secara dialektis dengan perjuangan kelas buruh dalam upaya untuk membebaskan diri dari kekangan sistem yang menindas mereka. Berikut ini akan dijelaskan definisi, proses terbetuk, antagonisme, dan perjuangan kelas yang berlangsung dalam masyarakat kapitalistik. Dinamika-dinamika ini pada akhirnya menyeret buruh migran untuk terlibat sebagai bagian dari kelas buruh yang dieksplotasi dalam masyarakat kapitalis. 4.1 Definisi Kelas Inti dari pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels adalah “pandangan bahwa sebagian besar masyarakat terbagi dalam kelas-kelas sosial dengan kepentingan yang bertentangan”. 15 Pokok pikiran inilah yang melandasi Marx dan Engels ketika memulai The Communist Manifesto dengan kalimat, “sejarah seluruh umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas”. Tetapi, meskipun menjadikan eksistensi kelas sebagai inti pemikirannya, Marx dan Engels tak pernah mendefinisikan kelas secara gamblang. 16 Dalam suratnya untuk Joseph Weydenmeyer yang tinggal di New York, Marx mengakui bahwa “jauh sebelum aku, sejarahwan borjuis telah mendeskripsikan sejarah perkembangan perjuangan di antara kelas-kelas”.17 Jadi, dapat dibilang bahwa konsep “kelas sosial” dan “perjuangan kelas” bukan konsep yang secara orisinil dibuat oleh Marx atau Engels. Sambil menjelaskan posisi historis dan dielaktis kelas sosial, Marx sedikit banyak berpegangan pada definisi kelas yang sudah dibentuk oleh pemikir-pemikir sebelumnya. Istilah “kelas” baru masuk dalam ilmu sosial pada pertangahan abad ke-18, sebelum itu istilah “kelas” hanya digunakan untuk menandai pembagian kelompok dalam sekolah atau universitas. 18 Di era modern, istilah kelas pertama kali digunakan oleh Defoe pada 1728 untuk mendefinisikan posisi suatu golongan dalam masyarakat berdasarkan pekerjaan dan 15
Phil Gasper (ed.), “The Communist Manifesto A Road Map to History’s Most Important Political Document,” 2005, Haymarket Books. 39. Dalam Coen Husain Pontoh, Kelas dan Perjuangan dalam Manifesto Komunis, IndoProgress, 18 Juni 2011, diakses 1 Agustus 2013 pada jam 00.57 am. http://indoprogress.com/kelasdan-perjuangan-kelas-dalam-manifesto-komunis/ 16 Sarayuth Konsupap, Teori Kelas: Pertentangan Kelas dan Perubahan Sosial, Jurnal Filsafat Driyakara Th. XXXII no. 2/2011. 6 17 Karl Marx, Marx to Joseph Weydemeyer in Newyork, 5 Maret 1852. Diakses 1 Agustus 2013 pada jam 1.02 am. http://www.marxists.org/archive/marx/works/1852/letters/52_03_05.htm 18 Philip P. Wienner, Dictionary of the History of Ideas Studies of Selected Pivotal Ideas, New York: Charles Scribner’s Sons Publishers. 441. Dalam Coen Husain Pontoh, Op Cit.
9
pendapatannya. 19 Pada paruh awal abad ke-19 istilah kelas mulai digunakan untuk menjelaskan pertikaian antara bangsawan dan borjuis yang mengubah wajah Eropa. John Wade, sejarahwan Inggris, juga mulai menggunakan konsep perjuangan kelas sejak 1850. Pada awalnya, kelas dalam pengertian sosial masih merujuk pada acuan ekonomi suatu golongan masyarakat. Di abad ke16 misalnya, kelas merujuk pada kaum pekerja, pekerja miskin, dan kaum miskin. Seabad kemudian acuan ekonomi masih dirujuk dalam pengartian kelas sosial, yaitu untuk membedakan golongan yang sudah tak bisa bekerja, golongan yang sangat miskin atau pengemis, dengan golongan yang bisa bekerja atau buruh. Baru pada awal abad ke-19, dalam karya Robert Malthus dan David Ricardo, kelas bukan lagi merujuk pada hubungan ekonomi yang luas dan abstrak melainkan pada posisi sosial dalam hirarki kepemilikan. 20 Acuan yang terakhir inilah yang dipegang oleh Marx dalam menjelaskan kelas sosial. Bagi Marx dan Engels, kelas bermakna hubungan sosial antara pekerja atau kaum buruh dengan pemilik alat-alat produksi atau borjuis yang merampok nilai lebih dari kerja buruh.21 Para pemikir marxis di kemudian hari turut menegaskan arti kelas sosial secara eksplisit. Vladimir Ilyich Lenin misalnya, mendefinisikan kelas sosial sebagai golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi. 22 Ellen Meiksins Wood juga mendefinisikan kelas secara lebih ajeg dengan mengacu pada hubungan dan prosesnya. Woods menentang definisi kelas yang mengacu pada pendapatan dan gaya hidup. Jika pendapatan dan gaya hidup yang dijadikan acuan, maka seorang individu bisa saja turun atau naik kelas dalam semalam karena tertimpa musibah atau mendapat rezeki. Menurut Woods, relasi kelas melekat pada hubungan produksi tertentu: misalnya pada hubungan budak dengan tuannya dalam hubungan produksi perbudakan dan buruh dengan majikannya dalam hubungan produksi kapitalis. Tapi, Woods melanjutkan, hubungan kelas tak bisa direduksi pada hubungan produksi semata. Esensi dari makna kelas justru terletak pada hubungan kekuasaan, yaitu kekuasaan kaum pemodal atau borjuis yang menguasai alat produksi sebagai basis ekonomi serta
19
J. Foster, ‘Class’ dalam John Eatwell, Murray Milgate & Peter Newman (ed.), Marxian Economics ,1990, W.W. Norton & Company. 79. Dalam Coen Husain Pontoh, Op Cit. 20 Coen Husain Pontoh, Kelas dan Perjuangan dalam Manifesto Komunis, IndoProgress, 18 Juni 2011, diakses 1 Agustus 2013 pada jam 00.57 am. http://indoprogress.com/kelas-dan-perjuangan-kelas-dalam-manifestokomunis/ 21 Ibid. 22 Pipat Muepae, Pemikiran Karl Marx: Teori Kelas, Jurnal Filsafat Driyakara Th. XXXII no. 2/2011. 16
10
kekuasaan politik, sosial, dan budaya terhadap kaum pekerja atau buruh.23 Selain kondisi objektif dimana kelas merupakan golongan sosial dengan posisi dan kepentingannya sendiri, suatu kelas juga harus secara subjektif menyadari diri sebagai golongan khusus dalam masyarakat yang mempunyai kepentingan-kepentingan khas dan mau memperjuangkannya. 4.2 Terbentuknya Kelas-kelas dan Antagonismenya Terbentuknya kelas-kelas sosial yang kepentingannya saling bertentangan dalam masyarakat kapitalis, yaitu kelas buruh dengan kelas borjuis, merupakan konsekuensi dari hubungan produksi yang berlangsung. Seperti dijelaskan oleh Charles Bettleheim, penelitianpenelitian ekonomi yang dilakukan Marx “memandang bahwa pembagian sebuah masyarakat menjadi beberapa kelas sepenuhnya terjadi akibat dari hubungan produksi”.24 Jadi, faktor yang menentukan apakah seorang individu masuk dalam suatu kelas bukanlah faktor pilihan atau kerelaannya melainkan determinasi dari hubungan produksi yang berlaku. Hubungan produksi dalam perekonomian kapitalis membentuk kesamaan kepentingan antara beberapa golongan orang tertentu. Awalnya kepentingan tersebut hanya dirasakan secara individual, tetapi dalam prosesnya kepentingan individu ini berubah menjadi kepentingan kelas. Perubahan ini sudah terkandung secara implisit dalam kepentingan tiap-tiap individu dan merupakan mata rantai penghubung antara ekonomi dengan politik. 25 James A. Caporaso dan David P. Levine meringkas proses pembentukan kelas dalam pemikirian Marx sebagai berikut:26 (1) Awalnya kepentingan muncul karena adanya struktur dari produksi. Setiap individu memiliki kepentingan ekonomi atau kepentingan material untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Dalam masyarakat, posisi individu dalam pembagian kerja akan menentukan kebutuhannya dan selanjutnya akan mendefinisikan kepentingannya juga. (2) Kepentingan pribadi dari individu dalam dilihat dari kelas dimana individu itu tergabung. Ini artinya, kepentingan-kepentingan yang muncul dalam masyarakat selalu merupakan kepentingan kelas tertentu, biarpun secara implisit saja. (3) Kepentingan kelas yang satu akan bertentangan dengan kepentingan kelas yang lain. Sejauh mana kelas tertentu berhasil mengamankan kepentingannya akan sekaligus menentukan sejauh mana kelas lain gagal dalam mengamankan 23
Coen Husain Pontoh, Op Cit. James A. Caporaso & David P. Levine, Teori-Teori Ekonomi Politik, 2008, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 130 25 Ibid. 128. 26 Ibid. 129. 24
11
kepentingannya. (4) Kepentingan kelas yang terbentuk dalam sistem produksi akan menjadi kepentingan politik, yaitu pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan negara. Adapun pertentangan antara kelas buruh dan kelas borjuis bukan lantaran individuindividu dalam masing-masing kelas saling tak menyukai individu-individu di kelas lainnya, melainkan juga hasil determinasi hubungan produksinya. Dalam tulisan-tulisannya, Marx kerap kali menyebutkan bahwa dua kelas yang saling bertentangan ini adalah kelas buruh dan kelas borjuis. Dikotomi dua kelas ini merupakan dikotomi yang khas dari masyarakat kapitalis. Menurut Adam Smith, kelas-kelas yang eksis pada zaman feodal adalah pendeta, aristokrat atau ksatria, dan masyarakat umum. Sedangkan setelah revolusi industri yang mengantarkan Eropa memasuki zaman kapitalis, pendeta, arsitokrat, dan masyarakat umum berganti menjadi tuan tanah, borjuis, dan buruh. Para tuan tanah hidup dari menyewakan tanahnya, kaum borjuis hidup dari laba, sementara kaum buruh hidup dari upah. Marx dan Engels kemudian menyepakati pembagian kelas Adam Smith ini. Dalam The Communist Manifesto, Marx dan Engels menyebutkan bahwa Pada jaman Romawi kuno kita temukan kelas bangsawan (patricians), ksatria (knights), rakyat jelata (plebeians), dan budak (slaves); pada abad pertengahan, kelas-kelas yang muncul adalah tuan feodal (feudal lords), petani hamba (vassal), pedagang (guild-master), buruh pengrajin harian (journeyman), buruh magang (apprentices), dan pelayan (serfs). Sementara pada masyarakat borjuasi modern, antagonisme kelas-kelas itu tidak lenyap tapi makin mengerucut pada dua kelas besar yang berhadap-hadapan secara langsung: buruh dan borjuis. 27 Sedangkan kaum tuan tanah pada perkembangan kapitalisme akan masuk juga dalam kelas borjuis yang menguasai tanah sebagai alat produksi. Antagonisme kelas antara kaum buruh dan kaum borjuis kemudian tak terhindarkan lantaran kepentingan keduanya saling bertentangan secara objektif. Kaum buruh bukan menentang kaum borjuis lantaran iri hati sedangkan kaum borjuis menindas kaum buruh bukan lantaran keserakahannya. Antagonisme kelas ini merupakan konsekuensi dari institusi pasar dalam kapitalisme. Berbeda dengan para ilmuwan sosial borjuis, yang menganggap pasar sebagai ruang atau mekanisme harmonis dimana setiap individu dapat kesempatan sama untuk 27
Karl Marx & Friedrich Engels, The Communist Manifesto, 1848. Diakses 1 Agustus 2013 pada jam 1.32 am. http://www.marxists.org/archive/marx/works/1848/communist-manifesto/ch01.htm#007
12
memaksimalkan kesejahteraan, Marx menganggap pasar sebagai sarana borjuis untuk mengakumulasi kapital melalui perampasan nilai lebih.28 Dalam The Poverty of Philophy Marx menulis, “pada prinsipnya, tidak ada pertukaran produk melainkan pertukaran buruh yang bekerjasama dalam produksi. Corak pertukaran produk tergantung pada corak pertukaran produktif. Secara umum, bentuk pertukaran produk berkaitan dengan bentuk pertukaran produksi. Ubah yang terakhir maka konsekuensinya, bentuk pertukaran pun akan berubah. Jadi, dalam sejarah masyarakat kita lihat, corak pertukaran produksi diatur oleh corak yang memproduksinya. Pertukaran individual berkaitan juga dengan corak produksi tertentu yang pada dirinya sendiri berhubungan juga dengan antagonisme kelas. Bisa dikatakan, tak ada pertukaran individual tanpa antagonisme kelas”.29 Proses eksploitasi terhadap pekerja dapat dilihat dari proses komodifikasi yang merupakan ciri dari masyarakat kapitalis. Kekayaan, dalam masyarakat dimana mode produksi kapitalis berlaku, menampakkan diri sebagai timbunan komoditi. 30 Lantaran penimbunannya menjadi ukuran kekayaan inilah hampir seluruh kegiatan produksi dalam masyarakat kapitalis masuk dalam proses komodifikasi. Namun tak semua barang dalam masyarakat kapitalis dapat dikategorikan sebagai komoditi. Barang yang masuk dalam kategori komoditi harus mengandung tiga kondisi: pertama, barang tersebut harus memiliki nilai guna. Suatu barang memiliki nilai guna jika barang tersebut dapat memuaskan kebutuhan atau keinginan manusia. Kebutuhan atau keinginan tersebut dapat muncul baik dari kepentingan biologis atau kemewahan. 31 Kedua, barang tersebut harus memiliki nilai tukar. Dari mana nilai tukar hadir? Menurut Marx, nilai tukar dari suatu komoditi diciptakan, diukur, dan disetel oleh kuantitas kerja yang tertanam di dalamnya. Artinya, adanya suatu kuantitas curahan kerja manusia terhadap suatu subtansi, yang kemudian mengintervensi nasib substansi tersebut baik dalam kandungan maupun bentuknya, secara otomatis akan memberi nilai tukar pada suatu subtansi. Nilai tukar juga mensyaratkan adanya tertium comparationis untuk mengukurnya secara tepat, yaitu waktu kerja yang diperlukan secara sosial yang terkandung di dalamnya 32 (berikutnya akan disebut kerja sosial). Misalnya dalam masyarakat berburu dibutuhkan waktu seharian untuk mendapatkan seekor rusa 28
James A. Caporaso & David P. Levine, Op Cit. 131 Karl Marx, The Poverty of Philosophy, New York: Promotheous Books. 84. Dalam Coen Husain Pontoh, Ibid. 30 Frederick Engels, Tentang Kapital Marx, 2006, Jakarta: Ultimus dan Yayasan AKATIGA. 60 31 Peter C. Dooley, The Labour Theory of Value, 2005, New York: Routledge. 167 32 Frederick Engels, Op Cit. 60 29
13
dan hanya setengah hari untuk mendapatkan seekor kelinci. Maka, nilai tukar seekor rusa hasil buruan sama dengan dua ekor kelinci. Pada permisalan ini tampak bahwa kuantitas kerja yang tercurah menentukan nilai tukar suatu komoditi. Ketiga, barang tersebut harus dipertukarkan.33 Semua yang tidak diproduksi dalam sistem pertukaran kapitalis bukanlah sebuah komoditi. Udara misalnya, sudah ada secara alami dan gratis. Udara mempunyai nilai guna tapi tak tertanam di dalamnya suatu curahan kerja manusia sehingga tak bisa dikategorikan sebagai komoditas. Ada juga barang-barang yang punya nilai guna dan nilai tukar, tetapi tidak dipertukarkan di pasar, yaitu barang yang dibuat dan dikonsumsi dalam rumah tangga. Misalnya seorang ibu yang membuatkan syal untuk anaknya, syal tersebut bukanlah komoditi karena tidak dipertukarkan di pasar. Masuk dan dipertukarkannya komoditi di pasar dijelaskan Marx dalam dua sirkuit: C1-MC2 dan M1-C-M2. 34 Sirkuit yang pertama adalah laku menjual untuk membeli. Motifnya kebutuhan konsumen pada C2 yang nilai gunanya secara subyektif melampaui C1. Pola seperti ini telah berlaku di pasar-pasar sebelum masyarakat kapitalis dan terus berlaku di pasar kapitalis. Dalam sirkuit yang kedua adalah laku membeli untuk menjual. Motifnya adalah akumulasi uang. Dalam sirkuit ini, M2 > M1. Persoalannya adalah: bagaimana membuat tumpukan uang yang akhir lebih banyak dari tumpukan uang yang sebelumnya? Menurut Marx, tambahan tersebut datang dari curahan kerja yang menciptakan modal variabel dan nilai tambah. Jika M1 hanya memantulkan nilai modal konstan, maka M2 memantulkan nilai modal konstan + modal variabel + nilai surplus. 35 Untuk memperbesar nilai lebih yang akan diambil sebagai laba oleh para borjuis (1) menaikkan nilai dari output dalam perbandingannya terhadap nilai dari upah subsisten atau (2) mengurangi nilai dari upah subsisten dalam perbandingannya dengan kebutuhan materi dari pekerja dan nilai dari output yang dihasilkan. Cara yang pertama ini menghasilkan surplus
33
Peter C. Dooley, Op Cit. 167 C = Commodity dan M = Money. Dalam Capital, disebutkan oleh Marx, “The circuit starts C-M-C with one commodity, and finishes with another, wich falls out of circulation and into consumption. Consumption, the satisfaction of wants, in one word, use-value, is its end and aim. The circuit M-C-M, on the contrary, commences with money and ends with money. Its leading motive, and the goal that attracts it, is therefore mere exchange value.” Karl Marx, Capital, 1962, trans. by S. Moore dan E. Aveling, Moscow: Foreign Language. Dalam Peter C. Dooley, Op Cit. 170 35 Peter C. Dooley, Op Cit. 172 34
14
yang disebut Marx sebagai “nilai surplus absolut” sedangkan yang kedua menghasilkan “nilai surplus relatif”. 36 Kaum buruh yang tak memiliki modal harus memenuhi kebutuhannya melalui pasar dengan menjual tenaga kerjanya. Hasil dari penjualan tenaga kerja ini adalah upah. Di sisi lain, kaum borjuis yang memenuhi kebutuhannya dengan laba, berkepentingan untuk (1) merampas nilai lebih yang diciptakan kaum buruh melalui curahan kerja dan (2) menekan upah subsisten untuk memperbesar nilai surplus relatif. Pada titik inilah hubungan buruh dan borjuis berlangsung eksploitatif, konfliktual, dan tak terdamaikan lantaran kepentingannya bertolakbelakang satu sama lain. Dalam pengertian ini, seorang buruh tetap merupakan bagian dari kelas buruh meskipun ia tak menyadari posisinya itu. Karenanya, pembentukan kelas sebagai dua golongan yang secara objektif saling bertentangan ini tak langsung membawa dampak apa-apa secara politis. Untuk menjelaskan kelas yang aktif secara politis dan melakukan perjuangan kelas, perlu adanya kesadaran kelas atau pembentukan kelas secara subjektif. 4.3 Kesadaran Kelas Ralph Miliband membagi kesadaran kelas dalam empat lapisan. Pertama, kesadaran kelas yang secara akurat dipersepsikan oleh anggota kelas tersebut. Misalnya seorang buruh yang merasa dirinya berbeda dengan majikan borjuisnya bisa disebut telah memiliki kesadaran kelas tahap awal. Kedua, kesadaran kelas merujuk pada kepentingan mendesak dari anggota kelas tersebut. Menurut Miliband, kesadaran kelas lapisan pertama dengan lapisan kedua belum tentu saling berinteraksi. Seorang buruh bisa jadi sadar akan kepentingan mendesaknya sebagai kelas tanpa menyadari apa sebenarnya yang menjadi kepentingan mendesak itu. Bahkan jika lapisan kesadaran pertama dan kedua ini berinteraksi, belum tentu secara otomatis mengantarkan pada lapisan yang ketiga, yaitu kehendak untuk memajukan kepentingan kelasnya. Seorang buruh sangat mungkin memiliki persepsi yang utuh akan kelasnya dan kepentingan kelasnya tetapi tak berkeinginan untuk memajukan kepentingan kelasnya itu. Kesadaran lapisan keempat adalah tahap dimana perjuangan kelas yang sejati baru mungkin dilakukan. Berbeda dengan kesadaran di lapisan-lapisan sebelumnya yang mungkin saling tak berinteraksi, pada kesadaran kelas tahap akhir ini semua tahap kesadaran yang sebelumnya berinteraksi sebagai penopangnya. Miliband
36
James A. Caporaso & David P. Levine, Op Cit. 138
15
menjelaskan, pada lapisan kesadaran keempat ini kaum buruh tak hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri saja, melainkan juga kepentingan umum yang lebih global. Menurut Miliband, kaum buruh hanya sebatas mencapai kesadaran palsu ketika “mereka gagal memahami kepentingannya yang dibutuhkan untuk menghancurkan kapitalisme; dimana penghancuran itu sendiri bukan hanya syarat bagi pembebasan kelasnya, tetapi juga masyarakat sebagai keseluruhan”.37 Marx sendiri membahasakan tahap kesadaran kelas ini dengan mencomot istilah hegelian, yaitu class in itself dan class for itself. Class in itslef merujuk pada kelas buruh yang teratomisasi. Hal ini tak berbeda dengan kesadaran lapisan pertama yang dijelaskan Miliband, yaitu ketika seorang buruh menyadari perbedaannya dengan majikannya dan tak lebih dari itu. Sementara class for itself tak berbeda dengan kesadaran lapisan keempat yang dijelaskan Miliband, yaitu ketika kelompok buruh menyadari bahwa keberadaan sosialnya melekat dalam kebutuhan struktur masyarakat kapitalis yang antagonistik, sehingga jika ia ingin kelasnya bebas maka ia harus menghancurkan kapitalisme. Harus disadari pula bahwa penghancuran itu bukan hanya prasyarat dari kebebasan kelasnya, melainkan juga pembebasan masyarakat secara keseluruhan.38 Jika kelas secara objektif sudah otomatis terbentuk dari hubungan produksi kapitalis, kelas secara subjektif membutuhkan proses penyadaran yang panjang. Agen politik untuk menjelaskan kesadaran yang sudah terimplikasikan kepada para anggota kelas mutlak dibutuhkan dalam proses ini. Agen politik ini kemudian bertugas untuk menerjemahkan dan mentransformasi fakta-fakta kondisi material menjadi sebuah agenda politik. 39 4.4 Perjuangan Kelas dan Kebijakan Negara “Kelas buruh,” tulis Marx yang dikutip Etienne Balibar dalam Anti Filsafat, “merupakan representasi dari sedang berlangsungnya masyarakat borjuis”. Balibar kemudian menjelaskan kalimat ini dalam tiga poin. Pertama, kondisi-kondisi eksistensi dari kaum buruh berkontradiksi dengan semua prinsip yang berlaku dalam masyarakat borjuis. Kedua, kaum buruh menjalani hidup berdasarkan nilai-nilai yang berbeda dengan nilai-nilai hak milik pribadi, laba, patriotisme, 37
Ralph Miliband, Barnave: a case of bourgeois class conciousness, Dalam Istvan Meszaros (ed),“Aspects of History and Class Conciousness, 1971, London: Routledge & Keegal Paul. 22-23. 38 Henry M. Christman, ‘Essential Works of LENIN “What Is to Be Done? And Other Writings, 1987, New York: Dover Publications. 73-74. Dalam Coen Husain Pontoh, Op Cit. 39 James A. Caporaso & David P. Levine, Op Cit. 148.
16
dan individualisme borjuis. Ketiga, penentangan yang semakin kuat terhadap negara dan kelas yang dominan merupakan konsekuensi yang niscaya dari struktur sosial modern, yang tak lama lagi akan memberikan dampak menghancurkan bagi struktur tersebut.40 Tiga poin dari Balibar inilah yang kemudian menempatkan kaum buruh, yang disebut Balibar sebagai rakyatnya rakyat (le peuple du peuple), sebagai kelas yang mempunyai tanggung jawab sejarah untuk mengantarkan umat manusia ke era masyarakat tanpa kelas melalui perjuangan kelas. Marx sendiri sebelumnya sudah menjelaskan dalam suratnya pada Weydenmeyer bahwa yang baru dari kelas dan perjuangan kelas yang ia gagas adalah “(1) eksistensi dari kelas tersebut melekat pada fase-fase sejarah tertentu perkembangan produksi; (2) perjuangan kelas itu pada akhirnya membawa pada kediktatoran proletariat; (3) dan kediktatoran proletariat ini hanyalah transisi menuju penghapusan seluruh kelas dan selanjutnya menjadi masyarakat tanpa kelas”. 41 Paparan Marx ini menyiratkan paradoks perjuangan kelas kaum buruh. Para buruh yang dengan susah payah disatukan dengan kesadaran kelas pada akhirnya bertugas untuk membubarkan diri bersamaan dengan terciptanya masyarakat tanpa kelas. Dalam kondisi perimbangan kelas, semakin besar kekuatan kelas buruh maka semakin mampu kelas buruh menahan perkembangan kapital dan selanjutnya mengalahkan kelas borjuis di semua lini perjuangan, demikian juga sebaliknya. Itu sebabnya, inti dari seluruh kebijakan kapitalis adalah bagaimana mengalahkan kekuatan kelas buruh sehingga para borjuis bisa semakin leluasa memperluas dan mengakumulasi kapital. Maka itu, pemahaman atas kelas dan perjuangan kelas merupakan esensi dari marxisme.42 Marx yang belajar dari kegagalan Konspirasi Kaum Setara di Prancis yang dipimpin Gracchus Babeuf pada 1797 menyadari pentingnya gerakan berbasis massa dalam perjuangan kelas. Pada akhir 1830-an, perjuangan kelas berbasis massa ini mulai menemukan bentuk konkretnya pada partai Chartist yang pendiriannya ditandai dengan aksi 150.000 buruh di Glasgow, Skotlandia. 43 Sayangnya Partai Chartist ini masih diliputi berbagai keterbatasan sehingga terombang-ambing dalam ketergantungan berkoalisi dengan kaum borjuis yang 40
Etienne Balibar, Anti Filsafat: Metode Pemikiran Marx, 2013, Yogyakarta: Resist Book. 41 Karl Marx, Op Cit, 1852. 42 Coen Husein Pontoh, Op Cit. 43 Mohamad Zaki Husein, Konteks Sosial-Historis Pemikiran Marx dan Engels, IndoProgress, 11 Februari 2013. Diakses pada 1 Agustus 2013 pada jam 2.45 am. http://indoprogress.com/konteks-sosial-historis-pemikiran-marxdan-engels/ 41
17
diwakili Partai Liberal. Hal ini menyebabkan Partai Chartist, seperti gerakan-gerakan buruh pada umumnya, lebih fokus pada tuntutan-tuntutan ekonomi jangka pendek dan menengah tetapi gagap ketika merumuskan strategi transformasi masyarakat. 44 Untuk mengatasi kegagapan inilah Marx dan Engels memperkenalkan perjuangan kelas revolusioner dalam tulisan-tulisannya. Konsekuensi dari gerakan berbasis massa adalah keterbukaan perjuangan di tengahtengah masyarakat. Norberto Bobbio, filsuf marxis Italia, menulis dengan tegas bahwa masyarakat merupakan “tempat asal yang sebenarnya, wilayah menjadi panggung sejarah”. Sedangkan negara dalam teori marxis dipandang tidak memiliki peran aktif dalam pembentukan masyarakat dan tak menentukan struktur sosial yang menentukan kepentingan pribadi, tetapi negara dianggap sebagai proses yang dapat membuat aspek universal dari kepentingan pribadi menjadi eksplisit. Kebijakan-kebijakan negara dipandang sebagai hasil dari dorongan kekuatan di luar negara, yaitu kelas-kelas sosial. Marx dan Engels tidak melihat negara sebagai lembaga yang independen dan memiliki kedaulatan politik, melainkan sebagai lembaga penindasan dan administrasi yang bisa digunakan untuk berbagai tujuan oleh kelas-kelas sosial yang mengontrolnya. 45 Dalam penjelasannya, Marx dan Engels kerap langsung mengidentikkan kelas sosial yang berkuasa ini sebagai kaum borjuis. Dalam The German Ideology misalnya, Marx dan Engels menjelaskan bahwa negara tercipta ketika “…kaum borjuis dipaksa untuk mengorganisir diri tak lagi hanya di tataran lokal namun juga di tataran nasional untuk memberi bentuk umum dari kepentingan-kepentingannya”. 46 Selanjutnya dalam karya yang sama keduanya juga menyebut negara sebagai “tak lebih dari bentuk lembaga yang diadopsi kaum borjuis baik untuk tujuan internal dan eksternalnya, demi saling menjamin kepentingan dan kepemilikannya”. 47 Lebih jauh lagi dalam the Communist Manifesto Marx dan Engels menyebut negara “hanyalah panitia yang bertugas mengelola urusan-urusan bersama kaum borjuis”. 48 Kebanyakan penjelasan Marx dan Engels terhadap negara dalam perspektif intrumentalis ini seolah-olah tak memberikan kemungkinan kelas lain di luar kelas borjuis untuk menjadikan
44
Ibid. Eric Hiariej, Teori Negara Marxis, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 7 No. 2, 2 November 2003. 274 46 Ibid. 275 47 Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto Partai Komunis, 1959, Jakarta: Yayasan Pembaruan. Dalam Anto Sangaji, “Manifesto dan Teori Negara”, 2011, Indoprogress. http://indoprogress.com/manifesto-komunis-danteori-negara/ 48 Ibid. 45
18
negara sebagai instrumen kepentingannya. Namun ternyata Marx dan Engels juga sempat menyebutkan bahwa negara mungkin saja menjadi alat dari kelas proletar atau buruh. “Negara adalah kelas proletariat yang memerintah” jelas keduanya dalam the Communist Manifesto. Namun penyebutkan kelas proletariat sebagai kelas berkuasa yang mengontrol negara porsinya tak sebanyak penyebutan kelas borjuis sebagai kelas berkuasa. Lagipula, negaranya kaum proletar ini penyebutannya tak bisa dilepaskan dari konteks transisi sosialis dalam peralihan corak produksi kapitalis ke corak produksi komunis. Seperti ditulis Marx dalam the Critique of the Gotha Programme, “antara masyarakat kapitalis dan masyarkat komunis terdapat periode perubahan revolusioner. Ini juga meliputi periode transisi politik, di mana negara merupakan kediktatoran proletariat yang revolusioner”. 49 Namun perlu diperhatikan juga bahwa manifestasi dari perjuangan kelas buruh ini tak sebatas pada pembubaran masyarakat kapitalis saja, meskipun menurut Marx hal ini merupakan tujuan utamanya. Menurut Albert Einstein “dalam hal tertentu, patut pula diperhatikan bahwa kaum buruh, melalui perjuangan politik yang panjang dan pahit, telah sukses dalam mengamankan apa yang disebut perbaikan bentuk atas ‘kontrak kerja bebas’ bagi kategori pekerja tertentu. Tetapi secara keseluruhan, saat ini ekonomi tidak ada bedanya dengan kapitalis ‘murni’”.50 Menafikkan kemenangan-kemenangan kecil ini berarti menafikkan proses perjuangan kelas itu sendiri. Kebijakan negara kemudian dapat dilihat sebagai cermin perimbangan kelas yang contigent dengan perjuangan kelas di suatu negara, karena rezim yang berkuasa tak mungkin memberikan sesuatu pada satu pihak tanpa mengambil dari pihak lainnya. Dalam posisinya di antara buruh dan pasar tenaga kerja misalnya, negara dapat mengatur perlindungan-perlindungan bagi buruh atau memberi kebebasan bagi swasta untuk mengambil keuntungan dari permintaan dan penawaran tenaga kerja. Kebebasan ini mengandaikan pasar yang bebas dari intervensi-intervensi atau dalam istilah Polanyi, “pasar swatata”. Tak boleh ada yang mengahalangi terbentuknya formasi pasar swatata, pemasukan-pemasukan individu yang diizinkan hanya pemasukan melalui laku menjual. Intervensi penyesuaian harga untuk mengubah
49
Karl Marx dan Friedrich Engels, Selected Works Volume II, 1962, Moscow: Foreign Language Publishing. Dalam Anto Sangaji, “Manifesto dan Teori Negara”, 2011, IndoProgress. http://indoprogress.com/manifesto-komunisdan-teori-negara/ 50 Albert Einstein, Why Socialism, Monthly Review, 2009, Volume 61 Issue 1. Diakses 1 Agustus 2013 pada 2.51 am. http://monthlyreview.org/2009/05/01/why-socialism
19
kondisi pasar juga tak diperbolehkan dalam hukum pasar swatata.51 Semuanya diserahkan pada penawaran dan permintaan, termasuk juga tenaga kerja. Pengaturan untuk melindungi buruh dari kontrak kerja yang eksploitatif atau membebaskan pihak swasta untuk mengatur kontrak kerja ini dibuat secara dialektis dengan konteks perimbangan kelas antara buruh dan borjuis.
5. Gagasan Utama Sejak awal mula maraknya migrasi buruh migran di Filipina dan Indonesia pada dekade 1970-an, kedua negara terlibat dalam mengintervensi prosesnya sejak penempatan hingga kepulangan buruh migrannya. Intervensi kedua negara terhadap buruh migrannya sama-sama dilandasi motif ekonomi lantaran para buruh migran mendatangkan devisa yang besar. Tetapi pada perkembangannya, kebijakan penempatan dan perlindungan masing-masing negara dipengaruhi oleh posisi tawar buruh migrannya. Buruh
migran
Filipina
yang
cenderung
lebih
terjamin
kesejahteraan
dan
keterlindungannya merupakan cerminan dari kekuatan posisi tawarnya. Begitu juga dengan di Indonesia yang kesejahteraan dan keterlindungan buruh migrannya kurang terjamin merupakan cerminan atas lemahnya posisi tawar buruh migran Indonesia di hadapan negara dan swasta. Ukuran kekuatan posisi tawar kaum buruh migran dari kedua negara ini dapat dilihat dari (1) posisi kaum buruh migran dalam kebijakan pemerintah (2) dan respon buruh migran dari kedua negara dalam menghadapi persoalan-persoalannya sebagai buruh. Sedangkan kuat atau lemahnya posisi tawar buruh migran dari kedua negara dapat dijelaskan melalui perjuangan kelas buruh secara keseluruhan di masing-masing negara. Konteks-konteks yang turut membangun dan menghubungkan perjuangan kelas dengan posisi tawar buruh migran antara lain adalah (1) faktor historis, (2) tingkat kesadaran kaum buruh, (3) serta strategi gerakan buruh dalam memasukkan agenda-agenda migrasi buruh.
51
Karl Polanyi, Transformasi Besar: Asal-usul Ekonomi dan Politik Zaman Sekarang, 2003, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 94
20
6. Metode Penelitian Penulisan skripsi ini menggunakan metode kualitatif melalui kajian pustaka dan wawancara. Selain dari buku-buku yang relevan untuk menjelaskan swastanisasi penempatan dan perlindungan buruh migran, penulis juga menggunakan data-data sekunder seperti jurnal, tabloid, publikasi-publikasi organisasi yang relevan dengan isu buruh migran, serta artikel-artikel di surat kabar maupun internet. Penulis juga melakukan wawancara dengan pihak pemerintah, pengamat buruh migran, dan buruh migran. Wawancara dilakukan baik untuk penggalian data primer maupun untuk sekedar memperluas wawasan penulis dalam membangun argumen. Beberapa wawancara diantara lain dengan Rohmah Abidarin (mantan buruh migran asal Ponorogo) pada 21 Mei 2013, Umi Sayekti (mantan buruh migran asal Trenggalek) pada 11 Desember 2012, Yohannes B Wibowo (Direktur Institute for Immigrant Workers) pada 2010, dan Nurharsono (staf Migrant Care) pada 2010. Selain itu, penulis juga menghadiri forum-forum yang membahas persoalan buruh migran untuk memperdalam pemahamannya. Salah satu forum yang dihadiri penulis adalah pembahasan RUU PPILN yang digelar Biro Hukum Sekertaris Jenderal Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Bogor pada 10-11 Desember 2012.
7. Kerangka Penulisan Penulisan skripsi ini akan dibagi dalam lima bab. Bab pertama, memuat latar belakang, manfaat penelitian, rumusan masalah, landasan konseptual, gagasan utama, metode penelitian, dan susunan penulisan. Bab kedua menguraikan kondisi buruh migran, baik buruh migran Filipina dan Indonesia serta kebijakan masing-masing negara dalam penempatan dan perlindungan buruh migrannya. Bab ketiga akan menguraikan perbandingan posisi tawar buruh migran Filipina dan Indonesia. Bab keempat akan menguraikan analisis perjuangan kelas untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi posisi tawar dan kesejahteraan buruh migran Filipina dan Indonesia. Bab kelima adalah penutup yang berisi kesimpulan penulis.
21