VISI HOLISTIK: GAIRAH BARU DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING
Perkembangan sains di era modern sangat pesat menyebabkan banyak ditemukan teori ilmiah (scientific truth) dan temuan alamiah (naturaled truth) dibuktikan banyak bermunculan teori pengetahuan dan teknologi. Dewasa ini, sains selalu terjadi improvisasi dari teori/konsep sederhana menuju teori/konsep yang lebih sempurna. Demikian halnya dengan bidang bimbingan dan konseling. Awal perkembangan konseling dan psikoterapi dipengaruhi oleh psikodinamik, secara berturut-turut pengaruh kognitif/behavioristik, humanistik dan perspektif sistem menjadi paradigma layanan bimbingan dan konseling (Sanyata, 2013: 1). Isu filosofis konseling terutama dalam kajian epistemologis telah membawa pergeseran paradigmatik yang ditunjukkan dengan isu-isu tentang terapeutis-klinis ke arah lebih komprehensif melalui pendekatan preventif-developmental. Perubahan gerak pemikiran Bimbingan dan Konseling (BK) sejalan dengan teori gerak sejarah yang bersifat dialektis. Cara pandang dialektis menyebutkan bahwa sejarah bergerak secara spiral bergerak terus ke atas menuju kesempurnaan. sejarah bukanlah bersifat linier, bahwa suatu peristiwa hanya berlaku sekali saja yang tidak akan terulang (einmalig), karena dalam sejarah akan ada perubahan, sejarah juga bukan bersifat siklis seperti roda, karena perubahan bukan berarti kembali ke titik awal, melainkan ke titik yang lebih tinggi dan lebih sempurna. Maka, laksana spiral, perubahan paradigma BK ke arah komprehensif bukanlah benar-benar paradigma baru yang tercerabut dari akar sejarah awal (tradisi). Paradigma tersebut merupakan hasil improvisasi sintesis dari pemikiranpemikiran sebelumnya. Bahkan, jika melihat lintasan sejarah perkembangan paradigma keilmuan global (Barat), dimana pengaruh fisika kuantum telah menggeser paradigma fisika klasik Newtonian, kemudian pengaruh tersebut secara luas mengeser paradigma disiplin lain, termasuk bidang konseling dan psikoterapi, maka pendekatan komprehensif dalam bimbingan dan konseling dewasa ini dapat disebut juga dipengaruhi oleh pegeseran paradigma tersebut, yang menurut Capra
1
(1991) pergeseran itu banyak mendapat pengaruh dari pemikiran tradisi kuno ketimuran, terutama Taoisme. Pengaruh Timur Fritjof Capra dalam bukunya The Tao of Physics dan The Turning Point, menjelaskan adanya perubahan paradigma pemikiran yang secara luas digunakan dalam ragam disiplin, didasari dari pemikiran fisika klasik Newtonian ke arah pemikiran fisika kuantum, hal ini karena pengaruh cara pandang manusia yang berubah terhadap alam semesta dan kehidupannya. Lebih jauh Capra menjelaskan pergeseran paradigma ini dipengaruhi terutama oleh perubahan paradigma dalam ilmu pengetahuan (Barat) karena ada pengaruh dari pemikiran Timur, terutama Taoisme. Menurut fisika klasik, dasar semua benda adalah partikel, gaya antara partikel (gravitasi) dan gerak. Inilah yang mendasari alam semesta. Semua peristiwa fisika dapat direduksi pada gerak tersebut. Maka, segala sesuatu lebih dilihat secara mekanistik, dapat dideterminasikan dan diramalkan secara jelas, selalu ada hubungan sebab akibat yang jelas dari semua kejadian (Capra, 1991: 56). Gagasan ini mempengaruhi semua bidang ilmu pengetahuan, termasuk psikologi dengan adanya corak pemikiran deterministik, logis, matematis, dan semua serba terukur. Hal ini nampak pada pemikiran psikoanalisis dan behavioristik. Dalam psikoanalisis, proses pendekatannya menggunakan pengaruh masa lampau sebagai suatu hal yang menentukan sebagai hasil terbentuknya individu masa kini, yang dalam artian bahwa apa akar masalah atau krisis yang dialami oleh individu pada saat ini dapat diprediksi dengan melihat kejadian atau pengalaman masa lalunya. Pun halnya dengan behaviorisme yang dibentuk di atas asumsi bahwa perilaku manusia menjadi kunci pokok guna memahami manusia. Para pengusung behavioristik mau mensetarakan psikologi dengan fisika (klasik), baik dalam metodologi maupun validitas data yang dikaji. Watson adalah tokohnya yang menitikberatkan kajian pada aspek fisiologi, khususnya fisiologi otak. Skinner sebaliknya mengesampingkan fisiologi dari teori psikologinya dengan menegaskan kelakuan sebagai tindakan organisme ke atas alam lahiriah. Menurut Skinner,
2
semua fenomena mental dapat dipahami dan diterangkan dengan cara menganalisis kelakukan yang tampak berdasarkan model stimulus-respons. Melalui penemuan fisika kuantum, maka orang mulai merubah cara berpikir dari yang serba tepat, terprediksi, kepada cara berpikir relatif dan probabilistik. Hal ini lebih lanjut menurut Capra (1991: 19) sesuai dengan cara pikir dunia Timur yang lebih bersifat mistik-transenden, menyeluruh, dan global. Cara berpikir berdasarkan fisika kuantum itu sesuai dengan cara berpikir Taoisme. Dalam Taoisme pemikirannya lebih mistis, intuitif, dan harmonis. Menurut Taoisme, semua kejadian merupakan gambaran esensial alam yin-yang, dua kutub dinamis yang terus berhubungan. Yang dengan sifat agresif, menuntut, mengembang sejauh berkaitan dengan perilaku manusia dikembangkan melalui integrasi dengan perilaku yin dengan sikap responsif, kooperatif, intuitif, sadar lingkungan, dan harmonis (Capra, 2000: 38). Bagi Taoisme, sesuatu yang bertentangan dapat hidup berdampingan. Dalam gagasan Timur, orang berpikir lebih menyeluruh, lebih global, lebih seimbang, dan menerima pertentangan di dalamnya. Seiring pergeseran paradigma berpikir dari fisika klasik kepada fisika kuantum, maka ini berpengaruh juga pada perkembangan bidang lainnya. Visi fisika kuantum digunakan luas dalam bidang ilmu lain termasuk dalam kerangka teori konseling dan psikoterapi. Pergeseran layanan BK dari berorientasi pada pendekatan krisis yang bersifat klinis-terapeutis menuju layanan dengan pendekatan
komprehensif
yang
berorientasi
pada
perspektif
preventif-
perkembangan dengan pendekatan sistem. Pendekatan preventif-perkembangan dan pendekatan sistem sebagai titik tekan dalam paradigma layanan BK komprehensif merupakan sintesis dalam dialektika pemikiran bidang Bimbingan dan Konseling. Rangkaian pergeseran teori konseling dan psikoterapi diawali dengan konsep Freudian, kemudian bertutut-turut lahir pendekatan behavioristik, humanistik dan paradigma sistem turut mewarnai perkembangan layanan bimbingan dan konseling. Abad ke-20 perkembangan konseling dan psikoterapi secara dominan dipengaruhi oleh humanistik walaupun pendekatan lain tetap memiliki kontribusi signifikan. Pergeseran paradigma bimbingan dan konseling merupakan sebuah gambaran akan kebutuhan dan
3
tuntutan masyarakat terhadap pola layanan bimbingan dan konseling. Bimbingan dan konseling menjadi kebutuhan pokok untuk dikembangkan di sektor pendidikan dan memberikan rekomendasi bahwa setiap manusia diarahkan untuk berkembang dari kondisi what is ke arah what should be (Kartadinata, 2011: 9). Beberapa dekade terakhir pendekatan bimbingan dan konseling komprehensif telah digunakan secara luas. Paradigma komprehensif mengedepankan pada pendekatan sistem, di mana target intervensi tidak lagi terfokus pada individu tetapi sistem lingkungan di mana konseli berada turut diintervensi untuk memberikan jaminan efektivitas pengembangan potensi konseli (Blocher, 2000). Berdasarkan penjelasan di atas, maka “penyempurnaan” paradigma BK lebih kepada arah komprehensif sesungguhnya bukan sesuatu hal yang baru. Hal ini merupakan semacam titik balik pendekatan yang telah digunakan psikologi modern untuk kembali pada “kearifan” pendekatan pada masa tradisional, khususnya pada kearifan Timur. Dalam perspektif Osman Bakar (1981), psikologi modern gagal mewujudkan disiplin yang bebas dan berwibawa karena terlalu bergantung pada fisika (klasik) dan fisiologi. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa psikologi modern berada dalam keadaan kacau balau. Hal ini tak urung disebabkan oleh kungkungan penjara materialisme mekanis (Osman Bakar, 1981). Psikologi modern mengalami krisis dan kebuntuan ketika memaknai manusia, karena hanya memfokuskan penelitiannya pada hal-hal yang empiris saja. Itu ditandai misalnya dengan pergeseran pengertian psikologi sebagai “ilmu jiwa” menjadi lebih kepada behavior (perilaku) yaitu hanya membahas tentang “gejalagejala jiwa”. Padahal semestinya psikologi tidak hanya membahas tentang faktafakta realitas saja, tetapi juga mengkaji dan mengobservasi dimensi lain yang menjadi sumber terjadinya peristiwa-peristiwa mental tersebut (Gojali, 2012). Karena kehidupan perilaku manusia sangat multikomplek, tidak hanya didekati lewat penelitian-penelitian yang nampak saja, hanya dipengaruhi oleh faktor fisikbiologis, psiko-edukasi, maupun sosio-kultur, tetapi ada dimensi lain sebagai sumber kehidupan manusia, yaitu dimensi spiritual. Menurut Viktor E. Frankl (2004: 49) dalam teori logoterapi, dimensi spiritual disentuh pada istilah noetic sebagai padanan dari spirituality. Teori logoterapi ini meretas jalan berdirinya satu
4
aliran baru yang menjadi trend wacana psikologi di dunia Barat kini (khususnya Amerika), yaitu psikologi transpersonal. Banyak yang meyakini bahwa pendekatan ini diilhami oleh dunia Timur dengan Taoisme atau seperti sufisme yang berakar kuat dari sumber Islam. Visi Ecoliteracy dalam BK Komprehensif Konsep ecoliteracy dipandang sebagai sumbangan khas Capra yang bisa diartikan sebagai situasi kecerdasan atau pemahaman menyeluruh terhadap bekerjanya prinsip-prinsip ekologi dalam kehidupan bersama di planet bumi menuju kehidupan berkelanjutan (sustainability). Capra pada awalnya hanya menggunakan istilah umum yakni ecological awareness (kesadaran ekologis). Kemunculan konsep ecoliteracy dikaitkan dengan perspektif baru yang diperjuangkan Capra dan rekan-rekannya melalui lembaga Center of Ecoliteracy pada tahun 1995 untuk menggerakkan masyarakat luas agar memiliki pemahaman baru atas realitas kehidupan bersama mereka di planet bumi dan melakukan pembaharuan-pembaharuan yang diperlukan. Kehidupan bersama di planet bumi harus dipandang bukan lagi secara mekanistik melainkan secara ekologis serta sistemik. Kehidupan bersama perlu dipandang sebagai rangkaian sistem-sistem kehidupan yang membentuk suatu jaringan luas. Bimbingan dan konseling melalui prinsip komprehensif dengan pendekatan perkembangan (developmental counseling) dan berorientasi sistem dipandang mampu merajut jaringan luas agar lebih kokoh. Blocher
(2000)
memaparkan
bahwa
konseling
perkembangan
(developmental counseling) tidak hanya bertujuan untuk individu lebih mandiri tentang perasaan yang dihadapi tetapi juga bertujuan membangun kehidupan jaringan sosial secara tepat, baik dirinya maupun dengan orang lain agar dapat berkembang. Asumsi dasar dari tesis tersebut adalah bahwa kepribadian manusia dapat berkembang secara optimal jika interaksi antara invidu dengan lingkungan (eco-kultural) berjalan dengan baik. Nyata bahwa aspek ekologis (kultural dan sosial) memberi kekuatan dalam perkembangan individu. Proses memberikan bantuan dalam perspektif konseling perkembangan adalah model yang bertitik tekan pada dimensi kemanusiaan (human effectiveness
5
model). Dimensi yang ditekankan dalam model ini adalah peran dan hubungan (roles and relationships), perilaku menyelesaikan masalah (coping behaviors), dan tugas perkembangan (developmental tasks). Dimensi pertama adalah peran dan hubungan individu yang diarahkan untuk membangun peran konseli sebagai individu dan bagaimana peran itu dapat memberikan kontribusi positif terhadap individu ketika berinteraksi dengan lingkungan (individu lain). Dimensi kedua adalah perilaku dalam strategi menghadapi masalah. Langkah coping behaviors merupakan instrumen spesifik yang harus dilakukan individu dalam transaksi dengan struktur lingkungannya. Coping tidak sama dengan proses menyesuaikan diri dengan lingkungan tetapi coping dimaknai untuk menghindari lingkungan yang unreasonable, arbritary, capricious. Kepekaan dan kepedulian konseli terhadap lingkungan (ecological awareness) menjadi salah satu hal penting dalam pengembangan diri. Dimensi ketiga adalah tugas perkembangan, bagaimana seorang konselor mampu memfasilitasi tugas-tugas perkembangan individu. Paradigma yang dikembangkan Blocher berimplikasi pada model praktik profesional. Pada layanan profesional modern (masa perkembangan psikoanalisis) pendekatan konseling sering disebut sebagai model kesehatan mental masyarakat (community mental health model), suatu model konseling dan psikoterapi yang berorientasi pada tatap muka orang per orang dengan menggunakan satu atau beberapa instrumen atau intervensi yang tersedia dalam praktik profesional (Corey, 2009: 17), dalam seting pendidikan, model ini sering disebut sebagai outreach approach. Pada perkembangan berikutnya pekerja profesional dituntut untuk proaktif daripada reaktif, aktif mengkondisikan lingkungan atau potensi konseli sebagai salah satu upaya untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas lingkungan konseli. Maka pemahaman konselor terhadap berbagai budaya (multikultural) menjadi salah satu kompetensi bagi pekerja profesional. Dampak dari pergeseran paradigma konseling berpengaruh mekanisme proses konseling. Interaksi konseling tidak saja terjadi melalui wawancara konseling antara orang per orang tetapi konsep pemberdayaan (empowerment) dan pendampingan individusosial menjadi tren baru.
6
Esensi bimbingan dan konseling komprehensif terletak pada proses memfasilitasi perkembangan individu di dalam lingkungannya. Perkembangan terjadi melalui interaksi secara sehat antara individu dengan lingkungan, dan oleh karena itu upaya bimbingan dan konseling tertuju pula kepada upaya membangun lingkungan perkembangan manusia (ecology of human development) yang sehat. Kajian konseling yang menekankan pada lingkungan konseli lebih dikenal dengan pendekatan ekologis. Fokus pendekatan ekologis adalah hubungan dan interaksi antara perkembangan manusia dengan lingkungan sosial, fisik dan psikologisnya. Berdasarkan pemahaman ini, maka konselor penting memiliki visi dan sikap ecoliteracy, agar konselor mampu mempraktikkan sebuah pedagogi yang berpusatkan pada pemahaman akan kehidupan, sehingga konseli mampu mengatasi masalah keterasingannya terhadap alam dan mampu menghidupkan kembali kepekaan konseli terhadap tata ruang. Arah Bimbingan dan Konseling ke Depan Berdasarkan gagasan Capra di atas, bagaimana arah pengembangan ilmu bimbingan dan konseling ke depan? Sikap dan pemikiran apa yang dapat digunakan untuk kemajuan keilmuan bimbingan dan konseling? Persoalan manusia, terkhusus konseli ini kompleks dan luas, sehingga tidak dapat dipecahkan secara parsial, maka perlu ada kerjasama, komunikasi, dan dukungan sistem antar pihak terkait. Bahkan komunikasi antar bidang profesi dan keilmuan penting dilakukan, untuk itu diperlukan keterbukaan semua stakeholder. Perlu adanya kerjasama sinergis dalam menghadapi persoalan konseli. Kerjasama sinergis membutuhkan bahwa perbedaan dan kekhasan diakui dan dihargai. Dalam kerjasama sinergis perlu dikembangkan kepercayaan antar bidang terkait, penting juga diletakkan kepercayaan kepada konseli, bahwa konseli mampu mengatasi dirinya sendiri. Paradigma bimbingan dan konseling dalam kacamata pemikiran model fisika kuantum dan Taoisme juga mengajarkan untuk lebih mengembangkan model berpikir yang seimbang, luas, menyeluruh. Kehidupan ini, terutama persoalan perilaku manusia, mempunyai banyak dimensi dan segi. Agar kita dapat mencari pemecahan persoalan manusia yang kompleks, diperlukan cara pendekatan dan cara
7
berpikir yang lebih luas dan komprehensif. Maka sekecil apapun persoalan konseli, penting untuk mengetahui dan mempertimbangkan setiap aspek. Konselor harus antisipatif dan tidak terjebak pada penanganan instan dan parsial, sehingga persoalan tidak terselesaikan dengan baik. Dalam konteks ini, kiranya perlu mengembangkan sikap dan pemikiran yang seimbang dan selaras. Seimbang berarti semua segi diperhatikan, selaras dalam tindakan. Dalam keselarasan, tindakan yang menyebabkan kerusakan pasti akan dihindari. Konselor akan senantiasa menuju pribadi ideal, profesional, dan melakukan pekerjaannya secara bermartabat dengan selalu mencari keselarasan dengan alam, sesama, diri sendiri, dan Tuhan. Pemikiran model fisika kuantum juga menyadarkan manusia akan keterbatasannya. Keterbatasan dari pemikiran sendiri yang ternyata tidak dapat memecahkan semua persoalan. Sadar bahwa setiap pemikiran ada keterbatasannya. Kesadaran ini menjadi sangat penting, terutama bagi konselor maupun ilmuwan bidang bimbingan dan konseling, justru dalam rangka memajukan kehidupan konseli dan umat manusia secara luas. Melalui paradigma komprehensif di atas, bimbingan dan konseling perlu mempersiapkan ahli-ahli agar mampu mengembangkan kesadaran berpikir menyeluruh, secara sederhana perlu dikembangkan visi holistik dalam BK. Melalui visi holistik, semua segi kemampuan individu diperhatikan secara integral, seperti kemampuan intelektual, emosional, sosial, fisik, artistik, kreativitas, dan spiritual. Setiap pribadi disadari akan menemukan dan mengembangkan identitasnya, serta menemukan arti dan tujuan hidupnya melalui saling keterikatan dengan lingkungan, masyarakat, sesama, alam, serta Sang Pencipta. Keterikatan tersebut tidak boleh dilupakan pada kegiatan bimbingan dan konseling, maka konseli dilibatkan dalam proses bimbingan secara aktif dan ditingkatkan rasa tanggung jawab (responsibility) pribadi dan sosial. Maka sebagai upaya pedagogis, bimbingan dan konseling bertujuan untuk membantu manusia mencapai realisasi diri, menemukan dirinya sendiri sebagai makhluk individual, sosial dan makhluk Tuhan (Kartadinata, 2011: 47). Visi holistik pendekatannya lebih interdisipliner, terintegrasi, bukan perbagian saja. Lebih mengaitkan apa yang ada secara lokal dengan yang global.
8
Unsur dialog, refleksi, kritis, fleksibilitas, dan kreativitas konseli penting mendapat perhatian. Konseli dibiasakan berpikir menyeluruh, bukan hanya bagian-bagian terpisah, sehingga mampu mengembangkan perubahan paradigma berpikir, dari berpikir bagian menuju keseluruhan, dari objek-objek kepada keterkaitan, dari struktur ke proses, dari hirarki menjadi networking, dari rasional ke intuitif, dari analisis ke sintesis, dari linier ke kompleks. Karena perkembangan kepribadian manusia tidak dapat ditentukan secara linier dengan dipastikan semuanya, tetapi sangat kompleks dan sulit ditentukan sebelumnya secara pasti.***
REFERENSI: Blocher, D., H., (2000). The Evolution of Counseling Psychology. New York: Springer Publishing. Capra, F. (1991). The Tao of Physics: An Exploration of the Parallels Between Modern Physics and Eastern Mysticism (3rd edition). Boston: Shambala. Capra, F. (2000). Titik Balik Peradaban. Yogyakarta: Bentang. Corey, G. (2009). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (8th edition). Belmont, CA: Thomson Brooks/Cole. Gojali, M. (2012). Psikologi Islami (Sebuah Pendekatan Alternatif Terhadap Teoriteori Psikologi Barat) [online]. Tersedia: http://www.tasawufpsikoterapi.web.id/2012/05/psikologi-islamisebuah-pendekatan.html [21 September 2015]. Frankl, V. (2004). On the Theory and Therapy of Mental Disorders: An Introduction to Logotherapy and Existential Analysis. New York: BrunnerRoutledge. Kartadinata, S. (2011). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling Sebagai Upaya Pedagogis. Bandung: UPI Press. Sanyata, S. (2013). Paradigma Bimbingan dan Konseling; Pergeseran Orientasi dari Terapeutik-Klinis ke Preventif-Perkembangan. Jurnal Paradigma (ISSN: 1907-297X). 15(8). 1-9.
9