VISI HOLISTIK: GAIRAH BARU DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING Oleh: Ade Hidayat Universitas Mathla’ul Anwar Banten
ABSTRAK: Isu filosofis bimbingan dan konseling terutama dalam kajian epistemologis telah membawa pergeseran paradigmatik yang ditunjukkan dengan isu-isu tentang terapeutis-klinis ke arah komprehensif melalui pendekatan preventif-perkembangan. Hal ini tidak terlepas dari pergeseran secara luas, dimana pengaruh fisika kuantum telah menggeser paradigma fisika klasik Newtonian, kemudian pengaruh tersebut secara luas mengeser paradigma disiplin lain, termasuk bidang konseling dan psikoterapi. Melalui paradigma komprehensif, bimbingan dan konseling perlu mempersiapkan para ahli agar mampu mengembangkan kesadaran berpikir menyeluruh dan terpadu. Dalam pengertian lain perlu dikembangkan visi holistik dalam BK. Melalui visi holistik, semua segi kemampuan individu diperhatikan secara integral, seperti kemampuan intelektual, emosional, sosial, fisik, artistik, kreativitas, kecerdasan ekologi, dan spiritual. Kata Kunci: Visi Holistik, Bimbingan dan Konseling, Komprehensif.
ABSTRACT: The philosophical issues in Guidance and Counseling especially in epistemological discourse have made paradigmatic friction that pointed by some issues from therapeutic-clinical to comprehensive way with preventive development prespective approach. It was also caused by the wider friction where quantum physic has remove classic Newtonian one, then the influence has generally removed another disciplines, where Guidance and Counseling in one of them. Through the comprehensive paradigm, Guidance dan Counseling need to take prepare the expert in order to capable to develop integrated and comprehensive thinking awareness. It means the Guidance and Counseling holistic vision is urged. Through the holistic vision, all of the competency of student is noticed integrally, such as intellectual, emotional, social, physical, artistic, creativity, ecological awareness, and spiritual competencies. Keywords: Holictic Vision, Guidance and Counseling, Comprehensive.
1
PENDAHULUAN Perkembangan sains di era modern sangat pesat menyebabkan banyak ditemukan teori ilmiah (scientific truth) dan temuan alamiah (naturaled truth) dibuktikan banyak bermunculan teori pengetahuan dan teknologi. Dewasa ini, sains selalu terjadi improvisasi dari teori/konsep sederhana menuju teori/konsep yang lebih sempurna. Demikian halnya dengan bidang bimbingan dan konseling. Awal perkembangan konseling dan psikoterapi dipengaruhi oleh psikodinamik, secara berturut-turut pengaruh kognitif/behavioristik, humanistik dan perspektif sistem menjadi paradigma layanan bimbingan dan konseling (Sanyata, 2013: 1). Isu filosofis konseling terutama dalam kajian epistemologis telah membawa pergeseran paradigmatik yang ditunjukkan dengan isu-isu tentang terapeutis-klinis ke arah lebih komprehensif melalui pendekatan preventif-developmental. Perubahan gerak pemikiran Bimbingan dan Konseling (BK) sejalan dengan teori gerak sejarah yang bersifat dialektis. Cara pandang dialektis menyebutkan bahwa sejarah bergerak secara spiral bergerak terus ke atas menuju kesempurnaan. sejarah bukanlah bersifat linier, bahwa suatu peristiwa hanya berlaku sekali saja yang tidak akan terulang (einmalig), karena dalam sejarah akan ada perubahan, sejarah juga bukan bersifat siklis seperti roda, karena perubahan bukan berarti kembali ke titik awal, melainkan ke titik yang lebih tinggi dan lebih sempurna. Maka, laksana spiral, perubahan paradigma BK ke arah komprehensif seperti kembali kepada sejarah tradisi pemikiran lama (kuno) dengan sejumlah pembaharuan-pembaruan yang disesuaikan dengan kondisi kekinian untuk sebuah proses “kesempurnaan”. Paradigma tersebut merupakan hasil improvisasi sintesis dari pemikiran-pemikiran sebelumnya.Bahkan, jika melihat lintasan sejarah perkembangan paradigma keilmuan global (Barat), dimana pengaruh fisika kuantum telah menggeser paradigma fisika klasik Newtonian, kemudian pengaruh tersebut secara luas mengeser paradigma disiplin lain, termasuk bidang konseling dan psikoterapi, maka pendekatan komprehensif dalam bimbingan dan konseling yang berkembang dewasa ini dapat disebut juga dipengaruhi oleh pegeseran paradigma tersebut. Adanya pergeseran paradigma ini menurut Capra (1991) tidak terlepas dari pengaruh pemikiran tradisi kuno ketimuran, terutama Taoisme.
PENGARUH TIMUR Fritjof Capra dalam bukunya, The Tao of Physics dan buku The Turning Point, menjelaskan adanya perubahan paradigma pemikiran yang secara luas digunakan dalam ragam disiplin, didasari dari pemikiran fisika klasik Newtonian ke arah pemikiran fisika kuantum, hal ini karena pengaruh cara pandang manusia
2
yang berubah terhadap alam semesta dan kehidupannya. Lebih jauh Capra menjelaskan pergeseran paradigma ini dipengaruhi terutama oleh perubahan paradigma dalam ilmu pengetahuan (Barat) karena ada pengaruh dari pemikiran Timur, terutama Taoisme. Menurut fisika klasik, dasar semua benda adalah partikel, gaya antara partikel (gravitasi) dan gerak. Inilah yang mendasari alam semesta. Semua peristiwa fisika dapat direduksi pada gerak tersebut. Maka, segala sesuatu lebih dilihat secara mekanistik, dapat dideterminasikan dan diramalkan secara jelas, selalu ada hubungan sebab akibat yang jelas dari semua kejadian (Capra, 1991: 56). Gagasan ini mempengaruhi semua bidang ilmu pengetahuan, termasuk psikologi dengan adanya corak pemikiran deterministik, logis, matematis, dan semua serba terukur. Hal ini nampak pada pemikiran psikoanalisis dan behavioristik. Dalam psikoanalisis, proses pendekatannya menggunakan pengaruh masa lampau sebagai suatu hal yang menentukan sebagai hasil terbentuknya individu masa kini, yang dalam artian bahwa apa akar masalah atau krisis yang dialami oleh individu pada saat ini dapat diprediksi dengan melihat kejadian atau pengalaman masa lalunya. Pun halnya dengan behaviorisme yang dibentuk di atas asumsi bahwa perilaku manusia menjadi kunci pokok guna memahami manusia. Para pengusung behavioristik mau mensetarakan psikologi dengan fisika (klasik), baik dalam metodologi maupun validitas data yang dikaji. Watson adalah tokohnya yang menitikberatkan kajian pada aspek fisiologi, khususnya fisiologi otak. Skinner sebaliknya mengesampingkan fisiologi dari teori psikologinya dengan menegaskan kelakuan sebagai tindakan organisme ke atas alam lahiriah. Menurut Skinner, semua fenomena mental dapat dipahami dan diterangkan dengan cara menganalisis kelakukan yang tampak berdasarkan model stimulusrespons. Melalui penemuan fisika kuantum, maka orang mulai merubah cara berpikir dari yang serba tepat, terprediksi, kepada cara berpikir relatif dan probabilistik. Hal ini lebih lanjut menurut Capra (1991: 19) sesuai dengan cara pikir dunia Timur yang lebih bersifat mistik-transenden, menyeluruh, dan global. Cara berpikir berdasarkan fisika kuantum itu sesuai dengan cara berpikir Taoisme. Dalam Taoisme pemikirannya lebih mistis, intuitif, dan harmonis. Menurut Taoisme, semua kejadian merupakan gambaran esensial alam yin-yang, dua kutub dinamis yang terus berhubungan. Yang dengan sifat agresif, menuntut, mengembang sejauh berkaitan dengan perilaku manusia dikembangkan melalui integrasi dengan perilaku Yin yang responsif, kooperatif, intuitif, sadar lingkungan, dan harmonis (Capra, 2000: 38). Bagi Taoisme, sesuatu yang bertentangan dapat hidup berdampingan. Dalam gagasan Timur, orang berpikir
3
lebih menyeluruh, lebih global, lebih seimbang, dan menerima pertentangan di dalamnya. Seiring pergeseran paradigma berpikir dari fisika klasik kepada fisika kuantum, maka ini berpengaruh juga pada perkembangan bidang lainnya. Dalam dunia medis (kedokteran) dikenal model infomedik yang menggeser model biomedik yang deterministik, berkutat pada penyakit secara jasmani an sich. Model infomedik tampil berbeda dengan menawarkan pemahaman bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki keutuhan (holistik) tubuh-jiwa dalam suatu sistem-terbuka yang demikian kompleks, sehingga penanganan pasien tidak lagi parsial, tetapi lebih menyeluruh ditinjau baik aspek fisik, sosial, psikologis, maupun spiritual. Dalam dunia farmasi sekarang dikenal dengan adanya pendekatan patient oriented yang bukan berorientasi pada obat. Sehingga tampak bahwa pendekatan kepada orang sakit lebih manusiawi, menyeluruh, lebih terpadu, dan holistik. Nyata bahwa paradigma fisika kuantum digunakan luas dalam bidang ilmu lain termasuk dalam kerangka teori konseling dan psikoterapi. Pergeseran layanan BK dari yang berorientasi pada pendekatan krisis, bersifat klinis-terapeutis menuju layanan dengan pendekatan komprehensif yang berorientasi pada perspektif preventif-perkembangan dengan pendekatan sistem. Pendekatan preventif-perkembangan dan pendekatan sistem sebagai titik tekan dalam paradigma layanan BK komprehensif merupakan sintesis dalam dialektika pemikiran bidang Bimbingan dan Konseling. Rangkaian pergeseran teori konseling dan psikoterapi diawali dengan konsep Freudian, kemudian bertutut-turut lahir pendekatan behavioristik, humanistik dan paradigma sistem turut mewarnai perkembangan layanan bimbingan dan konseling. Sejak pertengahan abad ke-20 perkembangan konseling dan psikoterapi secara dominan dipengaruhi oleh humanistik walaupun pendekatan lain tetap memiliki kontribusi signifikan. Pergeseran paradigma bimbingan dan konseling merupakan sebuah gambaran akan kebutuhan dan tuntutan masyarakat terhadap pola layanan bimbingan dan konseling. Bimbingan dan konseling menjadi kebutuhan pokok untuk dikembangkan di sektor pendidikan dan memberikan rekomendasi bahwa setiap manusia diarahkan untuk berkembang dari kondisi what is ke arah what should be (Kartadinata, 2011: 9). Beberapa dekade terakhir pendekatan bimbingan dan konseling komprehensif telah digunakan secara luas, juga di tanah air. Paradigma komprehensif mengedepankan pada pendekatan sistem, di mana target intervensi tidak lagi terfokus pada individu, tetapi sistem lingkungan di mana konseli berada juga turut diintervensi untuk memberikan jaminan efektivitas pengembangan potensi konseli (Blocher, 2000).
4
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pembaharuan paradigma BK lebih kepada arah komprehensif sesungguhnya bukan sesuatu hal yang benar-benar baru. Hal ini merupakan semacam titik balik pendekatan yang telah digunakan psikologi modern untuk kembali pada “kearifan” pendekatan pada masa tradisional, khususnya pada kearifan Timur. Dalam perspektif Osman Bakar (Purwadianto, et al, 2004: 108), psikologi modern gagal mewujudkan disiplin yang bebas dan berwibawa karena terlalu bergantung pada fisika (klasik) dan fisiologi. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa psikologi modern berada dalam kekacauan. Hal ini tak urung disebabkan oleh kungkungan penjara materialisme mekanis. Psikologi modern mengalami krisis dan kebuntuan ketika memaknai manusia, karena hanya memfokuskan penelitiannya pada hal-hal yang empiris saja. Itu ditandai misalnya dengan pergeseran pengertian psikologi sebagai “ilmu jiwa” menjadi lebih kepada behavior (perilaku) yaitu hanya membahas tentang “gejala-gejala jiwa”. Padahal psikologi mestinya tidak hanya membahas tentang fakta-fakta realitas saja, tetapi juga mengkaji dan mengobservasi dimensi lain yang menjadi sumber terjadinya peristiwa-peristiwa mental tersebut (Gojali, 2012). Karena kehidupan perilaku manusia sangat multikomplek, tidak hanya didekati lewat penelitian-penelitian yang nampak saja, hanya dipengaruhi oleh faktor fisik-biologis, psiko-edukasi, maupun sosio-kultur, tetapi ada dimensi lain sebagai sumber kehidupan manusia, yaitu dimensi spiritual. Menurut Viktor E. Frankl (2004: 49) dalam teori logoterapi, dimensi spiritual disentuh pada istilah noetic sebagai padanan dari spirituality. Teori logoterapi ini meretas jalan munculnya satu aliran baru yang menjadi trend wacana psikologi di dunia Barat kini (khususnya Amerika), yaitu psikologi transpersonal. Banyak yang meyakini bahwa pendekatan ini diilhami oleh dunia Timur dengan Taoisme atau seperti sufisme yang berakar kuat dari sumber Islam.
ECOLITERACY DALAM BIMBINGAN DAN KONSELING KOMPREHENSIF Konsep ecoliteracy dipandang sebagai sumbangan khas Capra yang secara esensi bersumber dari tradisi pemikiran ketimuran dapat diartikan sebagai situasi kecerdasan atau pemahaman menyeluruh terhadap bekerjanya prinsip-prinsip ekologi dalam kehidupan bersama di planet bumi menuju kehidupan berkelanjutan (sustainability). Capra pada awalnya hanya menggunakan istilah umum yakni ecological awareness (kesadaran ekologis). Kemunculan konsep ecoliteracy dikaitkan dengan perspektif baru yang diperjuangkan Capra dan rekan-rekannya melalui lembaga Center of Ecoliteracy pada tahun 1995 untuk menggerakkan masyarakat luas agar memiliki pemahaman baru atas realitas kehidupan bersama
5
mereka di planet bumi dan melakukan pembaharuan-pembaharuan yang diperlukan. Kehidupan bersama di planet bumi harus dipandang bukan lagi secara mekanistik melainkan secara ekologis serta sistemik. Kehidupan bersama perlu dipandang sebagai rangkaian sistem-sistem kehidupan yang membentuk suatu jaringan luas. Dalam rangka mengokohkan kehidupan bersama, maka bimbingan dan konseling mesti hadir untuk merajut jaringan (sosial) luas itu. Pendidikan secara khusus dalam layanan bimbingan dan konseling dapat berperan untuk meramu dan menanamkan nilai-nilai, pengetahuan, dan keterampilanketerampilan sesuai perkembangan individu yang terkait dengan kepentingan pembentukan komunitas-komunitas berkelanjutan. Layanan bimbingan dan konseling dapat mempraktikkan sebuah pedagogi berbasis perkembangan individu yang berorientasi pada pembentukan pemahaman yang kokoh akan kehidupan. Dengan kata lain, pedagogi ecoliteracy hendaknya dikembangkan melalui jaringan-jaringan yang bisa dibangun secara luas, dan pengembangan jaringan tersebut mesti berbasis padasistem dan perkembangan individu. Pendekatan sistem dan perkembangan dalam layanan bimbingan dan konseling (developmental counseling) telah dirumuskan dalam pola layanan bimbingan dan konseling komprehensifyang diadopsi dari model nasional ASCA (Sanyata, 2013). Blocher (2000) memaparkan bahwa konseling perkembangan (developmental counseling) tidak hanya bertujuan untuk individu lebih mandiri tentang perasaan yang dihadapi tetapi juga bertujuan membangun kehidupan jaringan sosial secara tepat, baik dirinya maupun dengan orang lain agar dapat berkembang. Asumsi dasar dari tesis tersebut adalah bahwa kepribadian manusia dapat berkembang secara optimal jika interaksi antara invidu dengan lingkungan (eco-cultural) berjalan dengan baik. Nyata bahwa aspek ekologis (kultural dan sosial) memberi kekuatan dalam perkembangan individu. Proses memberikan bantuan dalam perspektif konseling perkembangan adalah model yang bertitik tekan pada dimensi kemanusiaan (human effectiveness model). Dimensi yang ditekankan dalam model ini adalah peran dan hubungan (roles and relationships), perilaku menyelesaikan masalah (coping behaviors), dan tugas perkembangan (developmental tasks). Dimensi pertama adalah peran dan hubungan individu yang diarahkan untuk membangun peran konseli sebagai individu dan bagaimana peran itu dapat memberikan kontribusi positif terhadap individu ketika berinteraksi dengan lingkungan (individu lain). Dimensi kedua adalah perilaku dalam strategi menghadapi masalah. Langkah coping behaviors merupakan instrumen spesifik yang harus dilakukan individu dalam transaksi dengan struktur lingkungannya. Coping tidak sama dengan proses menyesuaikan
6
diri dengan lingkungan tetapi coping dimaknai untuk menghindari lingkungan yang unreasonable, arbritary, capricious. Kepekaan dan kepedulian konseli terhadap lingkungan (ecological awareness) menjadi salah satu hal penting dalam pengembangan diri. Dimensi ketiga adalah tugas perkembangan, bagaimana seorang konselor mampu memfasilitasi tugas-tugas perkembangan individu. Paradigma yang dikembangkan Blocher berimplikasi pada model praktik profesional. Pada layanan profesional modern (masa perkembangan psikoanalisis) pendekatan konseling sering disebut sebagai model kesehatan mental masyarakat (community mental health model), suatu model konseling dan psikoterapi yang berorientasi pada tatap muka orang per orang dengan menggunakan satu atau beberapa instrumen atau intervensi yang tersedia dalam praktik profesional (Corey, 2009: 17), dalam seting pendidikan, model ini sering disebut sebagai outreach approach. Pada perkembangan berikutnya pekerja profesional dituntut untuk proaktif daripada reaktif, aktif mengkondisikan lingkungan atau potensi konseli sebagai salah satu upaya untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas lingkungan konseli. Maka pemahaman konselor terhadap berbagai budaya (multikultural) menjadi salah satu kompetensi bagi pekerja profesional. Dampak dari pergeseran paradigma konseling berpengaruh pada mekanisme proses konseling, dimana interaksi konseling tidak saja terjadi melalui wawancara konseling antara orang per orang tetapi konsep pemberdayaan (empowerment) dan pendampingan individu-sosial menjadi tren baru. Esensi bimbingan dan konseling komprehensif terletak pada proses memfasilitasi perkembangan individu di dalam lingkungannya. Perkembangan terjadi melalui interaksi secara sehat antara individu dengan lingkungan, dan karena itu upaya bimbingan dan konseling tertuju pula kepada upaya membangun lingkungan perkembangan manusia (ecology of human development) yang sehat (Kartadinata, 2011: 58). Kajian bimbingan dan konseling yang menekankan pada lingkungan konseli lebih dikenal dengan pendekatan ekologis. Fokus pendekatan ekologis adalah hubungan dan interaksi antara perkembangan manusia dengan lingkungan sosial, fisik dan psikologisnya. Bimbingan dan konseling memfasilitasi individu untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku jangka panjang melalui interaksi dan transaksi yang sehat antara individu dengan lingkungannya (Kartadinata, 2011: 61). Berdasarkan pemahaman ini, maka konselor penting memiliki visi atau paradigma ecoliteracy, agar konselor mampu menjalankan layanan pedagogi yang berpusatkan pada pemahaman akan kehidupan, sehingga konseli mampu mengatasi masalah keterasingannya terhadap alam dan mampu menghidupkan kembali kepekaan konseli tentang tata ruang.
7
Individu dengan lingkungan atau masyarakat (sosial) adalah sebagai kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Akan menimbulkan masalah antara identitas dan konformitas jika individu dianggap sebagai satu-satuan terkecil dari masyarakat yang tidak dapat diurai lagi seperti pandangan fisika klasik yang menganggap a-tomos adalah wujud terkecil yang tidak bisa diuraikan lagi. Individu sejatinya bukan sesuatu yang benar-benar tunggal, tetapi sebagai suatu uniqum yang memiliki keunikan antar individu lain, sehingga kebersamaan dalam ikatan sosial ini tidak dipandang sebagai gambaran yang serba membelenggu dan membatasi individualitas pribadi. Maka penting diletakkan hubungan individu dan masyarakat dalam suatu hubungan yang berpola mutualis, yakni kebersamaan dihayati oleh individu sebagai Kita (I-Thou). Di sini terlihat relevansi kearifan kuno dengan psikologi dan fisika kuantum mengenai kenyataan adanya “binary opposition” atau “contraria” yang saling melengkapi (sunt complementa). Dalam konteks bimbingan dan konseling, jika memaknai kearifan kuno ketimuran ini, maka bimbingan dan konseling tidak akan lagi tergagap memahami konsep multikultural dalam praktik dan layanannya. Sebagaimana konseling multikultural di Barat (Amerika) yang isu-isunya baru berkembang pada 1960-an yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecah-belah secara meningkat pula (Hansen, 1997: 41). Kegamangan konseling multikultural di Barat muncul seiring perdebatan yang ada dalam bidang konseling multikultural, sebagian pihak mendukung apa yang dikenal sebagai etic perspective, menyatakan bahwa ada kualitas universal dalam konseling yang dapat digeneralisasi pada semua kebudayaan. Sedangkan di sisi lain, ada emic perspective, mengasumsikan pendekatan konseling, haruslah didesain secara spesifik untuk masing-masing budaya. Perdebatan berkutat pada perspektif “aku/kami” dengan “kamu/kalian” atau “dia/mereka” yang belum berujung. Oleh karena itu, pada abad ke-21 ini, definisi dari konseling multikultural harus ditinjau kembali dengan menggunakan perspektif “Kita”. Pendekatan konseling multikultural dengan menggunakan perspektif “Kita” dapat kita gali dari tradisi kebahasaan (linguistik) ketimuran yang sudah akrab dengan penggunaan kosakata “Kita”, sehingga bisa dikatakan dalam pemahaman budaya, bangsa-bangsa di Timur lebih maju daripada Barat. Sudah semenjak abad ke-14 Pujangga Mpu Tantular mengumandangkan “Bhineka Tunggal Ika”, beranekaragam tetapi satu, yang kemudian oleh pendiri bangsa dijadikan lambang negara setelah melalui perjalanan panjang semenjak 1928 dengan Soempah Pemoeda yang menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan bukan bahasa Jawa atau Sunda jika dilihat dari banyak pengguna bahasa ibu. Yang unik dalam bahasa Indonesia adalah diperkenalkannya kosakata “Kita”, ini sejalan
8
dalam huruf kanji Cina yang memiliki kosakata “Kita”, yaitu Chan-men, disamping Wo-men (aku/kami), Nie-men (kamu/kalian), dan Ta-men (dia/mereka). Kosakata pengganti “Kita” tidak terdapat dalam bahasa dari Barat seperti Inggris yang hanya mengenal I, We (saya, kami); You (kamu, kalian); He/She, They (dia, mereka). Relasi “Kita” atau Aku-Kamu (I-Thou relationship) menurut Martin Buber (1970) adalah untuk menggambarkan relasi antar pribadi yang sungguh-sungguh atau sejati, yang kontras dengan satu bentuk relasi yang disebut I-it relationship. Di dalam relasi Aku-Kamu, individu sadar dan menghargai mitra relasinya sebagai subjek seperti dirinya, subjek dengan dunianya sendiri, subjek yang selalu berproses, dan subjek yang memiliki perasaan, pikiran, dan keinginannya sendiri. Sikap individu semacam ini memungkinkan individu tersebut memiliki kesediaan untuk memberikan empati kepada rekan (partner) relasinya, yang pada gilirannya menjadikan individu sanggup mencoba membayangkan apa dan bagaimana dunia yang nampak dan perspektif subjektif rekan relasinya itu. Berbeda dengan relasi Aku-kamu, dalam relasi yang disebut I-it relationship individu melihat relasinya bukan sebagai subjek, melainkan sebagai objek; suatu objek yang bisa diabaikan maupun digunakan untuk kepentingan pribadi si individu. Jadi, dalam relasi semacam ini tidak terdapat kesediaan untuk memberikan empati kepada rekan relasi dan, karenanya, tidak ada kesanggupan pada individu untuk memahami dunia dari rekan relasinya. Secara sangat sederhana dapat disimpulkan bahwa konseling multikultural dengan perspektif emic mengacu pada pandangan konselor terhadap budaya konseli, sedangkan etic mengacu pada pandangan konselor terhadap budaya secara keseluruhan dalam proses konseling. Konseling multikultural dengan perspektif “Kita” (I-Thou) adalah dengan mengkombinasikan pandang emic dan etic. Dalam melakukan proses hubungan konseling, maka pendekatan yang dilakukan adalah memahami konseli seutuhnya. Memahami konseli seutuhnya ini berarti yang mesti dilakukan adalah dapat memahami budaya konseli secara spesifik yang mempengaruhi konseli itu sendiri, memahami keunikan konseli dan memahami manusia secara umum atau universal yang sifatnya keseluruhan (etic). Namun dalam memahami budaya spesifik berarti harus mengerti dan memahami budaya yang dibawa oleh konseli sebagai hasil dari sosialisasi dan adaptasi konseli dari lingkungannya. Hal ini sangat penting karena setiap konseli akan membawa budayanya sendiri-sendiri (emic). Bimbingan dan konseling multikultural tidak berhenti pada keragaman atau perbedaan semata, namun lebih pada bagaimana konselor bersama konseli dapat mengenal, menerima, dan memahami perbedaan yang tidak dapat dilepaskan dalam layanan konseling. Jadi, terselenggaranya layanan konseling yang
9
melibatkan seorang konselor dengan seorang atau sejumlah konseli bukan hanya untuk menunjukkan adanya perbedaan dan keragaman, tetapi lebih jauh dapat berdamai dengan kenyataan itu, sehingga layanan konseling berlangsung sesuai rencana; konselor tidak mengintervensi konseli berdasarkan nilai dan keyakinannya, dan konseli terus dapat optimal mengembangkan nilai dan keyakinannya ke arah yang positif.
VISI HOLISTIK: ARAH BIMBINGAN DAN KONSELING KE DEPAN Berdasarkan gagasan Capra dan pemaparan mengenai hakikat prinsip komprehensif (comprehensive in scope) dalam bimbingan dan konseling di atas, bagaimana arah pengembangan ilmubimbingan dan konseling ke depan? Sikap dan pemikiran apa yang dapat digunakan untuk kemajuan keilmuan bimbingan dan konseling? Persoalan manusia, terkhusus konseli ini kompleks dan luas, sehingga tidak dapat dipecahkan secara parsial, maka perlu ada kerjasama, komunikasi, dan dukungan sistem antar pihak terkait. Bahkan komunikasi antar bidang profesi dan keilmuan penting dilakukan, untuk itu diperlukan keterbukaan semua stakeholder. Perlu adanya kerjasama sinergis dalam menghadapi persoalan konseli. Kerjasama sinergis membutuhkan bahwa perbedaan dan kekhasan diakui dan dihargai. Dalam kerjasama sinergis perlu dikembangkan kepercayaan antar bidang terkait, penting juga diletakkan kepercayaan kepada konseli, bahwa konseli mampu mengatasi dirinya sendiri. Paradigma bimbingan dan konseling dalam kacamata pemikiran model fisika kuantum dan Taoisme juga mengajarkan untuk lebih mengembangkan model berpikir yang seimbang, luas, menyeluruh. Kehidupan ini, terutama persoalan perilaku manusia, mempunyai banyak dimensi dan segi. Agar kita dapat mencari pemecahan persoalan manusia yang kompleks, diperlukan cara pendekatan dan cara berpikir yang lebih luas dan komprehensif. Maka sekecil apapun persoalan individu, penting untuk diketahui dengan mempertimbangkan setiap aspek. Layanan bimbingan dan konseling harus antisipatif (preventif) dan tidak terjebak pada penanganan instan dan parsial, sehingga persoalan tidak terselesaikan dengan baik. Dalam konteks ini, kiranya perlu mengembangkan sikap dan pemikiran yang seimbang dan selaras. Seimbang berarti semua segi diperhatikan, selaras dalam tindakan. Dalam keselarasan, tindakan yang menyebabkan kerusakan pasti akan dihindari. Pemikiran model fisika kuantum juga menyadarkan manusia akan keterbatasannya. Keterbatasan dari pemikiran sendiri yang ternyata tidak dapat memecahkan semua persoalan. Sadar bahwa setiap pemikiran ada
10
keterbatasannya. Kesadaran akan keterbatasan ini menjadi sangat penting, terutama bagi praktisi (konselor), peneliti, dan akademisi bidang bimbingan dan konseling untuk terus melakukan refleksi-introspeksi mengenai yang telah, sedang dan akan dilakukan dalam rangka memajukan kehidupan konseli dan umat manusia secara luas. Melalui paradigma komprehensif, bimbingan dan konseling perlu mempersiapkan ahli-ahli agar mampu mengembangkan kesadaran berpikir menyeluruh, secara sederhana perlu dikembangkan visi atau pandangan holistik dalam bimbingan dan konseling. Melalui visi holistik, semua segi kemampuan individu diperhatikan secara integral, seperti kemampuan intelektual, emosional, sosial, fisik, artistik, kreativitas, dan spiritual. Setiap pribadi disadari akan menemukan dan mengembangkan identitasnya, serta menemukan arti dan tujuan hidupnya melalui saling keterikatan dengan lingkungan, masyarakat, sesama, alam, serta Sang Pencipta. Keterikatan tersebut tidak boleh dilupakan pada kegiatan bimbingan dan konseling, maka setiap individu dilibatkan dalam proses bimbingan secara aktif dan ditingkatkan rasa tanggung jawab (responsibility) pribadi dan sosial. Karena sebagai upaya pedagogis, bimbingan dan konseling bertujuan membantu manusia mencapai realisasi diri, menemukan dirinya sendiri sebagai makhluk individual, sosial sekaligus spiritual (Kartadinata, 2011: 47). Pendekatan holistik berangkat dari pemahaman hakikat manusia yang mengarah menuju being (mengada). Mengada secara pribadi selalu berarti mengada bersama pribadi lain. Manusia yang tunggal dan menyendiri tanpa hubungan dengan manusia lain adalah tidak lengkap, bahkan meniadakan kenyataan. Maka keberadaan individu sebagaimana pemahaman ecoliteracy, selalu bertautan dengan dunia: lingkungan, kekeluargaan, dan kemasyarakatan. Singkatnya, hakikat keberadaan manusia ialah jika ada dalam suatu kebersamaan. Tetapi kebersamaan itu tidak digambarkan semata-mata sebagai belenggu untuk membatasi individualitas pribadi. Sebab, sebagai suatu uniqum, setiap pribadi hanya berkembang dan menghayati kebebasannya justru dalam kebersamaan. Dalam hubungan intersubjektif inilah penghayatan diri sebagai kebebasan bisa diperoleh dan sekali-kali bukan justru dengan menyendiri. Individu dengan individu lain bersama menjalin kebermaknaan sosial (social meaning) untuk menuju pada kehidupan yang ideal dan utuh. Manusia sosial bukan suatu kebetulan melainkan merupakan sesuatu yang sudah seharusnya ada, sebab kebersamaan adalah ciri yang essensial dari keberadaan manusia, dalam istilah Heidegger, Mensch-Sein ist Mit-Sein, keberadaan manusia adalah keberadaan bersama. Berpandangan holistik berarti melakukan pendekatan lebih interdisipliner, terintegrasi, mengedepankan unsur dialog, refleksi, kritis, fleksibilitas, dan kreatif.
11
Dengan demikian dalam melakukan layanan bimbingan dan konseling, konselor harus kompeten dalam hal memahami kompleksitas interaksi individu dalam ragam konteks sosial dan budaya (multikultural), menguasai ragam bentuk intervensi psikopedagogis, menguasai strategi asesmen lingkungan dalam kaitan dengan keberfungsian individu dalam lingkungan, dan memahami proses perkembangan manusia (Kartadinata, 2011: 64).
PENUTUP Perkembangan konsep layanan bimbingan dan konseling secara paradigmatik dipengaruhi oleh kerangka teori yang berkembang pada masa-masa perkembangan teori konseling dan psikoterapi. Konsep Freudian, behavioristik, humanistik dan pendekatan sistem turut mewarnai perkembangan layanan bimbingan dan konseling. Pola kecenderungan ke depan, bimbingan dan konseling sebagaimana tren yang sama terjadi pada disiplin ilmu lain bergerak pada pendekatan holistik. Melalui paradigma komprehensif yang berpikir secara holistik, bimbingan dan konseling perlu mempersiapkan para ahli agar mampu mengembangkan kesadaran berpikir menyeluruh, lebih manusiawi, terpadu dan bervisi holistik. Dengan visi holistik, semua segi kemampuan individu diperhatikan secara integral, seperti kemampuan intelektual, emosional, sosial, fisik, artistik, kreativitas, kecerdasan ekologi, dan spiritual. Praktisi maupun akademisi bimbingan dan konseling yang berpikir holistik mesti sadar akan keterbatasan diri, sehingga senantiasa akan mengatur dirinya menuju kesempurnaan yag lebih tinggi lagi. Dengan demikian bimbingan dan konseling dengan pendekatan holistik berkembang menjadi profesi mulia. Ciri profesi mulia dibandingkan dengan profesi biasa, yakni adanya semangat altruistik atau amar ma’ruf yang tanpa pamrih dan melakukan l’esprit de corpse mempertahankan keluhuran profesi tersebut atau nahi munkar terhadap gejala penyimpangan yang berpotensi mendegradasi profesi. Hanya dengan semangat demikian, kehidupan bersama bisa diselamatkan.***
12
REFERENSI: Blocher, D. H. (2000). The Evolution of Counseling Psychology. New York:Springer Publishing. Buber, M. (1970). I and Thou. New York: Scribners. Capra, F. (1991). The Tao of Physics: An Exploration of the Parallels Between Modern Physics and Eastern Mysticism (3rd edition). Boston: Shambala. Capra, F. (2000). Titik Balik Peradaban. Yogyakarta: Bentang. Corey, G. (2009). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (8th edition). Belmont, CA: Thomson Brooks/Cole. Gojali, M.(2012). Psikologi Islami (Sebuah Pendekatan Alternatif Terhadap Teori-teori Psikologi Barat) [online]. Tersedia: http://www.tasawufpsikoterapi.web.id/2012/05/psikologi-islamisebuah-pendekatan.html [21 September 2015]. Frankl, V. (2004).On the Theory and Therapy of Mental Disorders: An Introduction to Logotherapy and Existential Analysis. New York: BrunnerRoutledge. Hansen, L. S. (1997). Integrative Life Planning; Critical Tasks for Career Development and Changing Life Patterns. San Francisco: Jossey-Bass Publishers. Purwadianto, A. et al. (2004). Jalan Paradoks Visi Baru Fritjof Capra Tentang Kearifan dan Kehidupan Modern. Jakarta: Teraju. Kartadinata, S. (2011). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling Sebagai Upaya Pedagogis. Bandung: UPI Press. Sanyata, S. (2013). Paradigma Bimbingan dan Konseling; Pergeseran Orientasi dari Terapeutik-Klinis ke Preventif-Perkembangan. Jurnal Paradigma (ISSN: 1907-297X). 15(8). 1-9.
13