PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI BANTEN AWAL ABAD XX: (Studi atas Mathla’ul Anwar dan Al-Khairiyah)∗ Maftuh PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[email protected] Abstract Banten is unique compared to other places in Indonesia. It has a long tradition of obedience to Islam, and history of struggle against the Dutch colonialism. When the spirit wind of reform hits almost all regions of the archipelago in early twentieth century, Banten came through it in the 1920’s. This article attempts to trace the history of Islamic education reform in Banten. Then, by the use of comparative method, this paper has provided a better explanation of the first Islamic educational organization in Banten to apply modern educational system in the organization of education. In this context, the author examines two educational institutions that existed in Banten, namely Mathla’ul Anwar and Al-Khairiyyah with the focus on aspects of reforms they suggested to do. These two institutions of Islamic education are pioneers of Islamic education reform which succeeded in transforming the traditional Islamic educational institutions of pesantren into the form of madrasah schools, and later contribute to the birth of some leaders of Islamic education in all regions of Banten. Study of these two institutions is inevitably relevant and significant to understanding the phenomenon of Islamic education in Banten. Abstrak Banten memiliki keunikan tersendiri dibandingkan di tempattempat lain di Indonesia. Ia memiliki akar tradisi ketaatan kepada ajaran Islam yang sangat panjang itu, sejarah perjuangan dengan *Terima kasih kepada Prof. Drs. H. Akh. Minhaji, M.A. Ph.D. yang telah membaca draf awal tulisan ini sehingga kesalahan-kesalahan serius dapat dihindarkan. Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
273
Maftuh
kolonialisme Belanda. Ketika angin pembaharuan menerpa hampir di seluruh daerah di nusantara pada awal-awal abad XX, Banten baru menerimanya pada tahun-tahun 1920-an. Artikel ini berusaha berhasil melacak sejarah pembaharuan pendidikan Islam di Banten. Kemudian, dengan metode komparatif, tulisan ini telah memberikan penjelasan yang lebih baik mengenai organisasi pendidikan Islam pertama di Banten yang menerapkan sistem pendidikan modern di dalam penyelenggaraan pendidikannya. Dalam konteks ini, penulis mengkaji dua institusi pendidikan yang eksis di Banten, yaitu Mathla’ul Anwar dan Al-Khairiyyah dengan mengemukakan aspek-aspek pembaharuan yang mereka lakukan. Dua lembaga pendidikan Islam ini merupakan pelopor pembaharu pendidikan Islam di daerah Banten yang berhasil mentransformasikan bentuk lembaga pendidikan Islam tradisional pesantren ke dalam bentuk madrasah, dan kemudian melahirkan para tokoh pendidikan Islam di seluruh wilayah Banten. Kajian terhadap kedua lembaga ini menjadi relevan dan signifikan untuk memahami fenomena pendidikan Islam di Banten. Kata Kunci: pembaharuan Islam, pendidikan Islam, madrasah, sejarah Banten.
A. Pendahuluan Setidaknya hingga awal abad XX, penduduk Banten dikesankan oleh orang luar sebagai penganut pemahaman keagamaan yang ketat terhadap syariat, bahkan bisa dikatakan fanatik. Snouck Hurgronje misalnya, mengatakan bahwa dibandingkan dengan orang-orang Jawa lainnya, penduduk Banten lebih taat dalam melaksanakan kewajiban agama.1 Demikian pula penerus Snouck di Kantoor voor Inlandsche Zaken, G.F. Pijper, yang mengatakan bahwa hanya di Banten dan Cirebonlah ketaatan terhadap Islam terlihat secara nyata dibandingkan dengan umat muslim lain di seluruh Jawa.2 Sartono Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: Its Condition, Course and Sequel (‘S Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1966), h. 310. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan, Peristiwa dan Kelanjutannya, terj. Hasan Basari (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1984), h. 428; Ota Atsushi, Changes of Regime and Social Dynamics in West Java: Society, State and the Outer World of Banten (Leiden: Brill, 2006), h. 34; Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), h. 246. 2 G.F. Pijper, Fragmenta Islamica: Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX, terj. Tudjimah (Jakarta: UI-Press, 1987), h. 80. 1
274
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
Dalam catatan sejarahnya terekam bahwa kontak penduduk Banten dengan Islam diduga telah terjadi pada masa-masa abad VII Masehi. Karena, sebagaimana para ahli sejarah mengatakan bahwa, letak Banten yang berada di dua jalur internasional, yaitu Selat Malaka dan Selat Sunda,3 ini menyebabkan ia menjadi tempat persinggahan para pedagang yang datang dari mancanegara4, salah satu di antaranya berasal dari Arab. Ketika Islam dibawa oleh para pedagang Arab itu ke Timur, barangkali Banten telah menjadi sasaran dakwah Islam.5 Islamisasi di Banten semakin intensif dengan kedatangan Syarif Hidayatullah dan putranya, Hasanuddin, yang berhasil menaklukkan penguasa sebelumnya yang berkedudukan di Banten Girang pada tahun 1525.6 Claude Guillot, Banten: Sejarah dan Peradaban (Abad X-XVII), terj. Hendra Setiawan dkk. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), h. 65. 4 J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society: Essays in Asian and Economic History (USA: Foris Publications Holland, 1983), h. 3-4; Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jaringan Perdagangan Global, Jilid 2, terj. R.Z. Leirissa dan P. Soemitro (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), h. 111; Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Kajian Sejarah Terpadu Bagian II: Jaringan Asia, terj. Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat dan Nini Hidayati Yusuf, cet. ke-3 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 55-56; Heriyanti Ongkodharma Untoro, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684: Kajian Arkeologi Ekonomi (Jakarta: FIB UI, 2007), h. 8-11; Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), h. 116; H.J. De Graaf dan Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, cet. ke-5 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003), hal.134. 5 Nina H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 26; Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Proses Islamisasi di Banten: Cuplikan Buku Catatan Masa Lalu Banten, Ovi Hanif Triana (Ed.) (Banten: t.t.t., 2003), h. 65; Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, cet. ke-4 (Bandung: Mizan, 1998), h. 97. 6 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten (Jakarta: Djambatan, 1983), h. 126. Sedangkan menurut sumber Portugis, yang dikutip oleh Claude Guillot, dikatakan bahwa Banten Girang jatuh ke tangan kaum muslim pada akhir tahun 1526 atau awal tahun 1527. Lihat, Claude Guillot, Lukman Nurhakim dan SonnyWibisono, Banten Sebelum Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten Girang 932?-1526, terj. Winarsih Partaningrat Arifin dan Henri Chambert-Loir (Jakarta: Bentang, 1996), h. 31; Claude Guillot, Banten, h. 29, 60, 245 dan 270. Namun sebagian besar sejarawan sepakat dengan tahun yang dikemukakan oleh Hoesein Djajadiningrat itu, yakni 1525. Lihat, H.J. De Graaf dan Th. Pigeaud, Kerajaan Islam, h. 134; 27; Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt, 3
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
275
Maftuh
Gelar yang dimiliki oleh ketiga penguasa Banten pertama, Hasanuddin, Yusuf dan Muhammad, bercorak keagamaan, yakni Maulana di depan nama mereka, menandakan bahwa mereka tidak hanya penguasa yang bersifat politis belaka, melainkan juga seorang yang memiliki otoritas dalam bidang agama. Begitu pun dengan para pengganti mereka. Untuk mengukuhkan dan melegitimasikan kekuasaan, mereka mengirim utusan khusus ke Mekkah untuk mendapatkan gelar dari Syarif Besar, selain untuk mencari ulama ahli fiqih untuk mengajar di Banten. Raja pertama yang mendapatkan gelar sultan adalah Abdul Qadir (1596-1651), dan selanjutnya gelar ini juga digunakan oleh raja-raja setelahnya.7 Sultan ini dikenal sebagai ulama yang shaleh dan banyak mengarang kitab ilmu agama yang kemudian disebarkan secara cuma-cuma kepada rakyatnya. Konon, salah satu karangannya, Insan Kamil, dipegang oleh Snouck Hurgronje.8 Pada pertengahan abad XIX, seiring makin banyaknya orang-orang nusantara –dikenal dengan orang Jawi– yang pergi ke Mekkah, jamaah haji dari Banten menempati jumlah paling banyak.9 Orang-orang Banten yang bermukim di Mekkah juga h. 29, catatan kaki no. 5; edisi bahasa Indonesianya, h. 53; idem, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium Jilid I, cet. ke-4 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 33; Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Proses Islamisasi, h. 17; Taufik Abdullah, dkk., Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: Majlis Ulama Indonesia, 1991), h. 80; Lubis, Banten dalam Pergumulan, h. 27. Penulis mengikuti pendapat sebagian besar para sejarawan ini. Hal ini berdasarkan pendapat bahwa, adalah keliru apabila peneliti hanya menggunakan sumber-sumber tertulis asing, seperti dokumen Portugis, Inggris, dan Belanda sebagai bahan kajiannya. Padahal, sumbersumber lokal, seperti Sajarah Banten, dapat juga dimanfaatkan sebagai sumber sejarah, walaupun memang diperlukan pula ketelitian dan kecermatan dalam membacanya. Lihat, Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan: Suratsurat Sultan Banten (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 3-4. 7 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis, h. 53-54, 196-197, 208; Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, cet. ke-3 (Bandung: Mizan, 1995), h. 55-56; Bruinessen, Kitab Kuning, h. 249; Lubis, Banten dalam Pergumulan, h. 43; Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Proses Islamisasi, h. 82; Taufik Abdullah, dkk., Sejarah Umat Islam, h. 84. 8 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Proses Islamisasi, h. 82. 9 Menurut angka statistik 1887, di Banten terdapat 4073 haji, 0,72 dari jumlah penduduk yakni 561.003. Ini merupakan persentase tertinggi untuk
276
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
merupakan kelompok yang paling terkemuka di antara orang-orang Asia Tenggara lainnya,10 di antara mereka yang paling menonjol adalah Syekh Nawawi al-Bantani.11 Kuatnya penduduk Banten terhadap ajaran Islam ini juga dikarenakan unsur-unsur yang membentuk kebudayaan mereka hampir tidak terdapat unsur peradaban Hindu.12 Dalam seluruh Jawa. Lihat, Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt, h. 152, edisi bahasa Indonesia, h. 247; Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds (New York: Routledge Curzon, 2003), h. 64; Lihat juga, Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad XIX (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 117. Lihat juga perkembangan jumlah jemaah haji asal Banten yang kian tahun kian bertambah sejak 1890-an. Williams, Communism, h. 91. 10 Christiaan Snouck Hurgronje, “Ulama Jawa yang Ada di Mekah pada Akhir Abad XIX” dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique dan Yasmin Hussain, Islam Asia Tenggara, terj. A. Setiawan Abadi (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 150, Ulama-ulama Banten yang terdapat di Mekkah pada akhir abad XIX, terdapat pada h. 156-160; Laffan, Islamic Nationhood, h. 63-64; dan Alex Soesilo Wijoyo, “Syaikh Nawawi of Banten: Texts, Authority, and the Gloss” Disertasi, Unpublished (New York: Columbia University, 1997), h. 13. 11 Kajian yang mendalam terhadap ulama yang sangat terkenal ini dan karya-karya yang dihasilkan selama hidupnya, lihat Wijoyo, Syaikh Nawawi of Banten; Samsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi alBantani (Yogyakarta: LKiS, 2009); dan Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 117-127. 12 Kenyataan ini sekaligus juga membantah tesis Geertz yang mengatakan bahwa kerajaan Hindu-Budha di Jawa telah menanamkan akar yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan, bila dibandingkan dengan Islam di India, Islam di Indonesia menurut Geertz, demikian lemah, tak berakar dan bersifat sementara, sinkretis dan berwajah majemuk. Lihat, Clifford Geertz, Islam yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan Indonesia, terj. Hasan Basari (Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1982), h. 1619. Kesalahpahaman tentang perkembangan Islam di Indonesia ini juga terdapat dalam karya magnum opus-nya yaitu, The Religion of Java (Chicago: University of Chicago Press, 1976), h. 5-6. Kesalahpahaman Geertz ini, menurut banyak pengamat, terjadi karena ia telah terpengaruh oleh bias-bias kolonial, dan tidak mengetahui Islam kecuali dari sudut pandang kaum modernis Muslim. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa hampir semua ekspresi keagamaan dalam masyarakat Jawa memperoleh legitimasi dan pembenaran yang akarnya berujung pada sumber-sumber resmi Islam: Al-Qur’a>n, Hadis\ dan karya ulama yang menjelaskan makna operasional dari ayat al-Qur’a>n dan Hadis\ nabi. Bahkan, menurut salah satu penulis, Islam di Jawa hanya bisa dipahami secara baik dan memuaskan melalui penelusuran jalur tradisi Islam, terutama Islam tradisional, ketimbah jalur lain seperti Hinduisme, Budhisme dan animisme praIslam. Lihat, Muhaimin AG., Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, cet. ke-2 (Jakarta: Logos, 2002), h. x. Lihat juga, Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia” dalam Mark R. Woodward (Ed.), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
277
Maftuh
kenyataannya, pengaruh unsur Islam sangat menonjol,13 sehingga kadar sinkretisme Islam tidak kelihatan dibandingkan daerahdaerah yang telah begitu kuat pengaruh Hindu-Budha sebelumnya.14 Dapatlah dimaklumi bahwa agama Islam mempunyai pengaruh yang mendalam dalam kehidupan penduduk daerah tersebut. Terjadinya Revolusi Banten pada tahun 1888 dan 1926 juga tidak terlepas dari dorongan semangat keagamaan.15 Gerakan-gerakan tersebut banyak melibatkan para ulama yang merasa diganggu keberagamaannya oleh pemerintah kolonial. Tidak kurang dari 43 haji dan 90 guru agama yang terlibat dalam pemberontakan 1888 itu.16 Sementara pada 1926, sekitar 27 haji dan 11 guru agama dari 99 tahanan yang dibuang ke Boven Digul.17 Selain karena tradisi menjalin hubungan dengan pusat ajaran Islam yang telah giat dilakukan sejak masa-masa awal kesultanan Banten,18 kesadaran keagamaan yang kuat terhadap ajaran Islam ini juga tentu tidak terlepas dari proses pendidikan Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali-Fauzi (Bandung: Mizan, 1998), h. 94-96; idem, “Islam in Indonesia: A Move from the Periphery to the Center” Kultur: the Indonesian Journal for Muslim Culture, Vol. 1, No. 1, 2000, h. 10; Zamahsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 5-6; Zaini Muhtarom, Santri dan Abangan di Jawa, Jilid II (Jakarta: INIS, 1988), h. 10; Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, terj. Hairus Salim HS (Yogyakarta: LKiS, 1999), h. 89; Marshal Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. 3 (Chicago: University of Chicago Press, 1974), h. 551. 13 Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt, h. 30, edisi bahasa Indonesia, h. 54. 14 Williams, Communism, h. 51; Mohammad Iskandar, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950 (Yogyakarta: MATABANGSA, 2001), h. 49. 15 Pembahasan yang komprehensif tentang revolusi Banten tahun 1888 dilakukan oleh Sartono Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt of Banten. Lihat juga, Steenbrink, Beberapa Aspek, di bawah judul “Jihad di Cilegon (9-30 Juli 1888)” h. 52-64; Sedangkan revolusi yang terjadi pada tahun 1926 dilakukan oleh Michael Charles Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten (Ohio: Ohio University Center for International Studies, 1990). 16 Lihat daftar para pemberontak yang dihukum buang oleh pemerintah kolonial, Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt, h. 344-347, edisi bahasa Indonesia, h. 478-480. 17 Menurut Williams, jumlah tawanan yang sudah haji dari Banten ini menempati proporsi yang tinggi, mengingat dari 1000 orang yang ditahan di Boven Digul, jumlah haji yang berasal dari seluruh Indonesia sebanyak 59 orang. Lihat, Williams, Communism, h. 253. 18 Atsushi, Changes of Regime, h. 34.
278
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
yang dilaksanakan oleh para penyebar Islam. Mereka secara intens menanamkan ajaran-ajaran Islam kepada penduduk Banten hingga melahirkan orang-orang Banten yang disebut oleh pemerintah kolonial sebagai fanatik, atau menurut lafal Bantennya, orang panatik.19 Pendidikan tersebut dilaksanakan di lembaga-lembaga seperti langgar, masjid, pesantren atau di rumah-rumah seorang tokoh agama. Sedangkan lembaga pendidikan yang disebut madrasah tidak dikenal hingga dekade pertama awal abad XX. Pada awal abad tersebut, pemerintah kolonial Belanda telah sepenuhnya menguasai seluruh daerah yang disebut Hindia Belanda.20 Administrasi birokrasi yang sebelumnya berada di tangan raja-raja lokal, kini telah terpusat pada pemerintahan Hindia Belanda. Pada saat inilah, kolonial Belanda meluncurkan Program Politik Etis-nya. Politik Etis ini kelak sangat menentukan kehidupan sosial keagamaan penduduk Banten, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan Islamnya. Melalui Politik Etis ini pemerintah mengharapkan terjadinya masyarakat pribumi yang cepat dari pola statik, pola Asia, kepada suatu pola Barat di bawah pengayoman Belanda.21 Namun di sisi lain, selain sasaran transparan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di koloni, pada saat yang sama orang-orang Belanda menyembunyikan kepentingan terselubungnya. Meskipun kebijakan tersebut tidak secara terang-terangan dimaksudkan untuk mempromosikan citacita Kristiani, namun fakta menunjukkan bahwa korelasi keduanya Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt, h. 310-312, edisi bahasa Indonesia, h. 428-430; Williams, Communism, h. 84. 20 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1980), h. 53; Ricklefs, Sejarah Indonesia, h. 314; Taufik Abdullah, dkk., Sejarah Umat Islam, h. 190; Mestika Zed, “Pendidikan Kolonial dan Masalah Distribusi Ilmu Pengetahuan: Suatu Perspektif Sejarah” Sejarah: Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi, Vol.1, (Jakarta: MSI bekerja sama dengan PT Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 18; Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, cet. ke-3 (Jakarta: Gramedia, 1993), h. 37. 21 Ibid., h. 56; Harry J. Benda, “Christiaan Snouck Hurgronje dan Landasan Kebijakan Belanda terhadap Islam di Indonesia” dalam Ahmad Ibrahim, dkk, Islam Asia Tenggara, h. 137. 19
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
279
Maftuh
sangat kuat. Berbagai subsidi terhadap sekolah dan lembaga misi, kini mulai diberikan secara terang-terangan.22 Pesantren yang menjadi basis pendidikan agama masyarakat muslim tidak mendapatkan perhatian sama sekali.23 Pemerintah berargumen bahwa hal itu dilakukan untuk menjaga netralitas terhadap agama apapun sebagaimana secara formal tertuang dalam konstitusi Belanda tahun 1855 dan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1871. Akan tetapi klaim tersebut tidak benar, karena pada saat yang sama pemerintah membantu pembangunan sekolah teologi Kristen.24 Di Banten, pendidikan dengan sistem modern yang didirikan oleh kolonial baru dibuka pada tahun 1910.25 Keterlambatan pendirian ini mengakibatkan jumlah anak-anak Banten yang masuk ke dalam sistem persekolahan ini adalah jumlah yang paling rendah di seluruh Jawa.26 Penyebab lainnya adalah rasa enggan yang mengidap di masyarakat Banten untuk memasukkan anakanaknya ke lembaga pendidikan tersebut. Dalam pandangannya, Suminto, Politik Islam, h. 33; Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), h. 43-44; Robert van Niel, The Emergence of the Modern Indonesian Elite (Leiden: Foris Publications Holland, 1984), h. 32; Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1929-1987 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), h. 28. 23 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, cet. ke-2 (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 8-9; idem, Kawan dalam Pertikaian,hal. 119-120; Anton Timur Jaelani, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama (Jakarta: CV Darmaga, 1980), h. 18 dan 28. 24 Soemarsono Mestoko, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 80-81; Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian, h. 130; Ismatu Ropi, “Muslim Responses to Christianity in Modern Indonesia” Tesis, Belum Diterbitkan (Canada: Institut of Islamic Studies McGill University Montreal, 1998), h. 34. 25 Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt, h. 311, sedangkan edisi bahasa Indonesia, h. 429. 26 Pada tahun 1916, empat HIS di Banten masing-masing memiliki murid sebagai berikut: Serang, 189 laki-laki dan 46 perempuan; Cilegon, 91 laki-laki dan 29 perempuan; Pandeglang, 147 laki-laki dan 23 perempuan; dan Rangkasbitung, 136 laki-laki dan 40 perempuan. Lihat, Williams, Communism, h. 106, catatan kaki no. 3. Sebagai bahan perbandingan, di seluruh Hindia Belanda jumlah siswa HIS ini mencapai 22.734 siswa pada tahun 1915. Lihat, Wardiman Djojonegoro, Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia (Jakarta: Depdikbud, 1996), h. 64. 22
280
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
menyekolahkan anak-anaknya ke sekolahan yang didirikan oleh kaum kafir itu adalah haram, atau setidaknya tidak dianjurkan dalam Islam.27 Lebih dari itu, rasa kebencian yang sangat mendalam karena banyak saudaranya yang dihukum gantung, dipenjara atau dibuang setelah peristiwa heroik pada tahun 1888 itu. Sehingga apapun yang berkaitan dengan kolonial, mereka menjadi sangat resisten terhadapnya. Kekhawatiran akan dimurtadkan apabila anak-anaknya dimasukkan ke dalam persekolahan kolonial juga ikut mempertebal rasa enggan tersebut.28 Dengan demikian, lembaga pendidikan Islamlah yang menjadi pilihan utama orang tua dalam mendidik anak-anaknya pada saat itu. Namun di sisi lain, pendidikan Islam sudah saatnya untuk menawarkan pola pendidikan yang lebih maju, baik dalam hal kelembagaan, struktur materi, maupun metodenya, sehingga dapat mengimbangi sekolah-sekolah ala Belanda. Oleh karena itu, tulisan ini akan coba menelusuri perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam yang berkembang di masa awal abad XX. Pertanyaan yang akan dicari jawabannya dalam tulisan ini adalah, sejak kapan gerakan pembaharuan pendidikan Islam berlangsung di daerah Banten dan dengan cara bagaimana proses pembaharuan pendidikan Islam dilaksanakan? Pertanyaan-pertanyaan historis di atas tentu saja didasarkan pada sebuah fakta bahwa, sama seperti di daerah lainnya di Indonesia, Banten menjadi salah satu tempat terjadinya gerakan pembaharuan pendidikan Islam, hanya saja mungkin dengan cara yang agak berbeda dengan yang terjadi di tempat lain dan waktu dimulainya gerakan pembaharuan tersebut. B. Pendidikan Islam di Banten Sebelum Abad XX Dengan datangnya Islam di Banten, sudah barang tentu terjadi pula apa yang disebut dengan pendidikan Islam. Barangkali 27 Rahayu Permana, “Kyai Haji Syam’un (1883-1949): Gagasan dan Perjuangannya” Tesis (Depok: PPs Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, 2004), h. 29. Pandangan masyarakat Banten seperti ini juga dimiliki oleh orangorang Islam di daerah-daerah lain. Lihat, Nurcholish Madjid, Islam in Indonesia, h. 11; Iskandar, Para Pengemban Amanah, h. 129 dan 154. 28 Didin Nurul Rosidin, Mathla’ul Anwar from Kampung to Kota: A Study of Transformation of Mathla’ul Anwar (Leiden: INIS/Leiden University, 2007), h. 8-9; Williams, Communism, h. 77; Djuwaeli, Membawa Mathla’ul, h. 17.
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
281
Maftuh
proses pendidikan yang dilakukan masih bersifat informal dan bersifat indivual, pada saat bertemu dengan para penyebar Islam dan penduduk Banten. Saat itulah proses pendidikan Islam terjadi,29 hanya saja tempat dan kapan hal itu dilaksanakan belumlah terjadwal dengan rapi, seperti pada saat sekarang ini. Namun, ketika komunitas umat muslim terbentuk, maka didirikanlah langgar atau masjid sebagai tempat ibadah shalat lima waktu dan tempat belajar-mengajar agama Islam. Hal itulah yang dilakukan oleh Syarif Hidayatullah dan Maulana Hasanuddin dengan membangun sebuah masjid di tepi Barat sungai Cibanten Barat, yang di kemudian hari dikenal dengan Masjid Pecinan Tinggi.30 Kemudian penggantinya, Maulana Yusuf, juga membangun Masjid Kasunyatan yang berfungsi selain tempat shalat juga sebagai tempat berkumpulnya para ulama bahkan dari mancanegara.31 Ulama yang sangat terkenal di antara mereka adalah Syekh Abdul Syukur dan Syekh Ahmad Madani, yang sengaja diundang ke Banten untuk mengajar agama Islam di Kasultanan Banten.32 Ketika orang-orang Belanda pertama 29 Permulaan pendidikan Islam di suatu daerah berarti bersamaan pula dengan kedatangan masuknya agama Islam ke suatu daerah tersebut. Lihat, Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), h. 6; Jaelani, Peningkatan Mutu, h. 16; Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. vii; Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, cet. ke-3 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), h. 2. 30 Hasan Muarif Ambary, “Tinjauan tentang Penelitian Perkotaan Banten Lama” dalam Setyawati Sulaiman, dkk., Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan, 21-25 Februari 1977 (Jakarta: Proyek Penelitian dan Penggalian Purbakala Departemen P&K, 1977), h. 448; Juliadi, Masjid Agung Banten: Nafas Sejarah dan Budaya (Yogyakarta: Ombak, 2007), h. 23. Menurut Snouck, masjid di Indonesia, kalau dibandingkan dengan masjid di negara Islam lainnya, merupakan pusat pengaruh agama Islam yang lebih besar terhadap kehidupan penduduk secara keseluruhan. Lihat, G.F. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, terj. Tudjimah dan Yessy Augusdin (Jakarta: UIPress, 1985), h. 14. 31 Hasan Muarif Ambary, “Islam dan Tradisi Budaya Banten,” dalam Aswan Mahasin (Ed.), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Aneka Budaya di Jawa, Jil. 2 (Jakarta: Yayasan Festifal Istiqlal, 1996), h. 121; Halwany Michrob, “Fase, Dampak dan Perwujudan Interaksi Islam dalam Budaya Banten,” dalam ibid., h. 147; Atsushi, Changes of Regime, h. 33-34. 32 Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis, h. 163; Juliadi, Masjid Agung, h. 16-17.
282
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
kalinya datang ke Banten pada tahun 1596, mereka menyaksikan bahwa orang-orang Banten memiliki guru-guru yang berasal dari Mekkah, Tanah Arab, dan berlangsung di istana dan masjid-masjid penting di Banten.33 Lembaga pendidikan Islam yang dinamakan pesantren, menurut Martin van Bruinessen, agaknya baru muncul belakangan yaitu abad XVIII dan berkembang pesat sejak paruh kedua abad XIX.34 Namun dimungkinkan pula pesantren telah ada pada abad XVII, atau bahkan barangkali jauh lebih awal lagi. Karena berdasarkan hasil penelusuran penulis lain diketahui bahwa pusat pendidikan Islam di Indonesia yang merujuk ke pesantren telah ada pada tahun 1470.35 Oleh sebab itu, wajar saja Professor Drewes kemudian meyakini bahwa pesantren telah ada pada abad XVII. Hal itu, menurutnya, terbukti dari salah satu kitab awal berbahasa Jawa disusun oleh seorang kyai yang memimpin pesantren di daerah Gunung Karang, Banten. Dalam Serat Centhini memang disebutkan bahwa tokoh utama, Jayengresmi belajar di sana – pada akhir tahun 1630-an atau awal abad 1640-an – di bawah bimbingan seorang guru keturunan Arab Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar alias Ki Ageng Karang. 36 Terlepas dari perdebatan mengenai kapan muncul pertama kali pesantren di Banten, namun agaknya orang sepakat bahwa Banten sebelum abad XX telah menjadi salah satu pusat pendidikan Islam terpenting di nusantara.37 Banyaknya para Bruinessen, Kitab Kuning, h. 259. Ibid., h. 258. 35 Scott Allen Buresh, “Pesantren-Based Development: Islam, Education, and Economic Development in Indonesia” Dissertation, unpublished (USA: University of Virginia, 2002), h. 59; Konon, pesantren pertama adalah pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau terkenal dengan sebutan Syekh Maulana Maghribi (wafat 12 Rabiul Awwal 822 H/8 April 1419 di Gresik. Lihat, Yunus, Sejarah Pendidikan, h. 231. Lihat juga, Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 5, seperti dikutip Ahmad Syafi’i Noer, “Pesantren: Asal Usul dan Pertumbuhan Kelembagaan” dalam Abudin Nata (Ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembagalembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 93. 36 G.W.J. Drewes, The Admonitions of Seh Bari (The Hague: Martinus Nijhoff, 1969), h. 11. 37 Azra, Jaringan Ulama, h. 214; Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam, h. 117. 33 34
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
283
Maftuh
ulama yang singgah dan belajar di Banten membuktikan akan hal itu. Salah satu dari ulama terkenal yang pernah belajar di sana adalah Syaikh Yusuf al-Maqassari (1627-1699).38 Kemungkinan ulama ini belajar di salah satu pusat pendidikan Islam di Banten yang di antaranya terdapat – untuk sekedar menyebut lokasi – di Tanara, Tubuy, Muruy, Caringin, Cilegon, Bojonegara, Pontang dan sebagainya.39 Dugaan Drewes yang mengatakan bahwa pesantren telah ada pada abad XVII di Banten dapatlah dipahami mengingat semaraknya pendidikan Islam di Banten pada saat itu meniscayakan sebuah lembaga pendidikan yang representatif. Apabila lembaga tersebut masih berupa masjid yang sekaligus juga digunakan untuk shalat lima waktu, maka hal itu perlu diragukan. Sebagaimana sejarah pendidikan Islam di negeri Arab sendiri yang semula dari masjid kemudian ditransformasikan ke lembaga pendidikan yang berbentuk madrasah,40 maka demikian pula agaknya yang terjadi di Banten. Pesantren diperlukan untuk secara khusus sebagai tempat belajar-mengajar, sedangkan masjid dikembalikan fungsi utamanya sebagai tempat ibadah shalat lima waktu. Azra, Jaringan, h. 211-239. Tentang ulama pengembara ini dapat ditemukan di beberapa karya Azra yang lain di samping karya monumentalnya ini. Lihat, idem, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, terj. Iding Rosyidin Hasan (Bandung: Mizan, 2002), h. 102; idem, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, cet. ke-3 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 131; Ricklefs, Sejarah Indonesia, h. 182; Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 133-134; Lihat juga, Abu Hamid, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang, (Jakarta: Yayasan Obor, 2005), h. 90, terutama catatan kaki no. 27. 39 Ambary, Islam dan Tradisi, h. 119. 40 Bayard Dodge, Muslim Education in Medieval Times (Washington D.C.: The Middle East Institute, 1962), h. 19; Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S. Kahar dan Supriyanto Abdullah (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 52; Maksum Mukhtar, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, cet. ke-3 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 55; Hasbullah, Sejarah Pendidikan, h. 101; Transformasi institusi pendidikan Islam dari masjid ke madrasah ini, menurut George Makdisi, terjadi secara tidak langsung melalui tiga tahap: pertama, tahap masjdi, kedua, tahap masjid-khan, dan ketiga, tahap madrasah. Lihat, M. Habib Husnial Pardi, “Eksistensi Madrasah Awal (pada Abad IX-XI M)” dalam Suwito dan Fauzan (Ed.), Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 214. 38
284
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
Secara statistik, jumlah lembaga pendidikan Islam pesantren ini amat sulit diperoleh keterangan yang dapat dipercaya. Kolonial Belanda sering kali memberikan laporan yang sebenarnya mereka sendiri belum pernah mengunjungi lembaga pendidikan Islam tersebut. Di samping itu, bentuk pendidikan pesantren ini dianggap tidak begitu penting bagi Inspeksi Pendidikan, sehingga keadaan dan statistik pesantren selalu tidak lengkap.41 Kendati pun begitu, untuk tujuan penulisan ini gambaran mengenainya sedapat mungkin akan dipaparkan. Dalam tahun-tahun 1860-an, pesantren dilaporkan berjumlah sekitar 300 buah, dan di antaranya hanya beberapa saja yang menampung santri lebih dari 100 orang.42 Di Banten sendiri pada masa ini jaringan pesantren dilaporkan sebagai sangat padat dan menyebar di seluruh Banten, tempat di mana pendidikan Islam melaksanakan pendidikan dasar.43 Steenbrink mencatat lima macam guru yang mengajarkan agama pada abad ini, yaitu guru ngaji Al-Qur’an, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu gaib, dan guru yang tidak menetap pada suatu tempat.44 Ketika penguasa Hindia Belanda pada tahun 1819 melakukan survey pertama mengenai pendidikan pribumi yang sudah dilakukan di Jawa, dilaporkan bahwa hanya kota Serang dan Banten saja ada “pendeta” yang mengajarkan membaca dan menulis. Di Serang juga terdapat beberapa guru biasa. Sedangkan di tempat lain tidak ada pendidikan sama sekali, dan tingkat melek huruf sangat rendah.45 Pada tahun 1893, jumlah pesantren di Banten yang disebut “hoogeere priesterscholen” (sekolah tinggi agama) ini berjumlah 104.46 Lihat Steenbrink, Pesantren, h. 8-9. Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt, h. 155; edisi bahasa Indonesia, h. 222; lihat juga, Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 36. 43 Bruinessen. Kitab Kuning, h. 257. 44 Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 152-154. 45 Bruinessen. Kitab Kuning, h. 261; Williams, Communism, h. 77. 46 Alfian, Muhammadiyah: The Political Bahavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), h. 85; Buku ini telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Politik Kaum Modernis: Perlawanan Muhammadiyah Terhadap Kolonial Belanda, terj. Machnun Husein (Jakarta: al-Wasath Publishing House, 2010), h. 91. 41 42
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
285
Maftuh
Banyaknya ulama Banten yang lahir pada masa-masa ini membawa kita kepada dugaan bahwa mungkin saja jumlah yang diberikan di atas tidak sesuai dengan data yang sebenarnya di lapangan. Ulama-ulama terkemuka – untuk mengajukan beberapa contoh – misalnya Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Abdul Karim, Syekh Asnawi Caringin, Syekh Marjuki, K.H. Wasyid dan lain-lain, sangat mungkin mereka lahir dari pesantren-pesantren lokal sebelum mereka meneruskan pendidikannya di Mekkah. Dan oleh karenanya, jumlah yang dilaporkan kolonial dapat pula bertambah. Pesatnya pendidikan Islam di akhir abad tersebut salah satunya disebabkan hubungan antara Banten dengan pusat ajaran Islam semakin intensif. Hal itu terjadi sejak dibukanya Terusan Suez dan telah digunakannya kapal bertenaga uap. Tradisi berziarah dan sekaligus menuntut ilmu agama ke Mekkah yang telah tertanam kuat sejak masa kesultanan, diteruskan orangorang Banten di masa kemudian. Perjalanan yang berbahaya dan biaya yang sangat besar tidak menyurutkan semangat mereka. Beberapa kali pemerintah kolonial berupaya menghambat, malah semakin menambah kecurigaan mereka akan maksud pemerintah kolonial.47 Dalam catatan Sartono Kartodirdjo, jumlah secara pukul rata jamaah haji tiap tahunnya dari Banten ini sekitar 1600an pada tahun 1850-an dan 1860-an. Lalu pada tahun 1870-an jumlahnya hampir mencapai 2600-an, sedangkan tahun-tahun 1880-an meningkat lagi menjadi 4600-an.48 Jumlah yang semakin meningkat dari tahun ke tahun tersebut,49 seiring bertambahnya jumlah lembaga pendidikan Islam di Banten. Sebab di antara 47 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cet. ke-8 (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 32; Benda, Bulan Sabit, h. 36; Robert van Niel, The Emergence, h. 21. 48 Kartodirdjo, The Peasants’ Revolt, h. 151-152; edisi bahasa Indonesia, h. 219. Tulisan yang secara khsusus membahas mengenai sejarah haji di nusantara dari abad ke-15 sampai dengan pertengahan pertama abad ke-20. Lihat, M. Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2007). 49 Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 37; William R. Roff, “South-East Asian Islam in the Nineteeth Century” dalam P.M. Holt, Ann K.S. Lambton dan Bernard Lewis (Ed.), The Cambridge History of Islam: The Indian SubContinent, South-East Asia, Africa and the Muslim West, Vol. 2A (New York: Cambridge University Press, 1970), h. 172.
286
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
para guru yang mengajar di Banten itu adalah orang yang sudah berhaji.50 Para haji yang mendirikan lembaga pendidikan Islam itu dikarenakan ketika mereka berada di Mekkah bertemu dengan saudara-saudara mereka sesama muslim dari seluruh dunia. Hal itulah yang menyadarkan akan identitas keislaman mereka.51 Tambahan lagi, dalam perjalanan yang membutuhkan waktu yang lama mereka juga berkesempatan menyaksikan perkembangan dunia Islam lain. Pada saat yang sama di daerah mereka sendiri, ancaman kolonial Belanda dan penetrasi misi Kristen terlihat secara nyata.52 Faktor-faktor inilah di antaranya yang mendorong mereka mendirikan lembaga pendidikan Islam sekembalinya dari Mekkah. Demikianlah gambaran pendidikan Islam di Banten sebelum abad XX. Terlihat bahwa lembaga pendidikan Islam yang bernama madrasah belum dikenal. Lembaga ini di Indonesia merupakan fenomena baru yang baru dikenal pada awal abad XX. Kelahiran lembaga modern ini tidak terlepas dari adanya ide-ide pembaharuan pemikiran Islam yang menemukan momentumnya pada masa-masa itu. Pembahasan pendidian Islam awal abad XX dalam tulisan ini lebih difokuskan pada dua lembaga pendidikan Islam di Banten, yaitu Mathla’ul Anwar dan Al-Khairiyah. Dua lembaga pendidikan Islam ini dapat dikatakan sebagai pelopor pembaharu pendidikan Islam di daerah Banten.53 Mereka berhasil mentransformasikan bentuk lembaga pendidikan Islam tradisional pesantren ke dalam bentuk madrasah. Dari kedua lembaga pendidikan Islam inilah kemudian lahir para tokoh pendidikan Islam di seluruh wilayah Banten. Oleh karena itu, kajian terhadap keduanya menjadi 50 Williams, Communism, h. 51; Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 36; Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 239; Putuhena, Historiografi Haji, h. 130. 51 Laffan, Islamic Nationhood, h. 36. 52 Noer, Gerakan Modern, h. 25. 53 Lothrop Stoddard mengatakan bahwa dua lembaga pendidikan Islam ini memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan kemajuan umat Islam Banten di kemudian hari. Keduanya dikatakan sebagai gerakan salaf yang membakar kekolotan-kekolotan zaman pada saat itu. Lihat, Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam (The New World of Islam) (Jakarta: t.t.p., 1966), h. 317.
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
287
Maftuh
relevan dan signifikan untuk memahami fenomena pendidikan Islam di Banten. C. Pelopor Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten: Mathla’ul Anwar dan Al-Khairiyah Latar belakang pembaharuan pendidikan Islam di Banten tidak jauh berbeda dengan di tempat-tempat lain di Indonesa.54 Kendati demikian, Banten memiliki keunikan tersendiri dibandingkan di tempat-tempat lain di Indonesia. Sebagaimana William katakan, Banten yang telah memiliki akar tradisi ketaatan kepada ajaran Islam yang sangat panjang itu, merasa kesulitan untuk menerima ide-ide modernisme. Karena menurut pandangannya, mendukung ide-ide tersebut sama dengan mengakomodasi Belanda yang sedang mereka benci. Ketika angin pembaharuan menerpa hampir di seluruh daerah di nusantara pada awal-awal abad itu, Banten baru menerimanya pada tahun-tahun 1920-an.55 Steenbrink menggambarkan bahwa awal abad XX, telah terjadi apa yang disebut sebagai kebangkitan, pembaharuan (renaissance) atau bahkan pencerahan.56 Bagi tokoh-tokoh pembaharu, pendidikan kiranya senantiasa sebagai aspek yang strategis untuk membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat. Dari pandangan seperti inilah terwujud lembaga pendidikan Islam baru yang dinamakan madrasah.57 54 Pada permulaan abad kedua puluh, gerakan pembaharuan Islam menyebar dengan pesat di hampir seluruh nusantara. Lihat, Harry J. Benda, “South-East Asia Islam in the Twentieth Century” dalam P.M. Holt, dkk, The Cambridge History of Islam, h. 188; Robert van Niel, The Emergence¸hal.22. 55 Williams, Communism, h. xxviii. 56 Steenbrink, Pesantren, Madrasah, h. 26. 57 Istilah “madrasah” berasal dari bahasa Arab yang artinya tempat belajar. Lihat, Ibrahim Anis dkk., Al-Mu’jam al-Wasi>t} (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972), h. 280. Sebenarnya, padanan kata madrasah ini dalam bahasa Indonesia adalah sekolah, atau lebih khusus lagi sekolah-sekolah Islam. Dalam Shorter Encyclopaedia of Islam, madrasah diartikan: Name of an institution where the Islamic sciences are studied (Nama sebuah lembaga di mana ilmu-ilmu keislaman dipelajari). Lihat, H.A.R. Gibb dan H. Kraemers, Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1981), h. 300. Dalam konteks Indonesia, istilah madrasah ditujukan untuk sekolah-sekolah yang mata pelajaran dasarnya adalah mata pelajaran agama Islam. Padahal di daerah asalnya yakni Timur
288
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
Di samping itu, kenyataan makin merakyat sekolah-sekolah sekuler kolonial Belanda dan sikap diskriminatif dari pemerintah terhadap rakyat pribumi, juga ikut mendorong lahirnya lembaga pendidikan madrasah ini.58 Sebagaimana disinggung di awal tulisan ini, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan penting yang menentukan masa depan pendidikan di nusantara ini. Kebijakan tersebut adalah Politik Etis (Etische Politiek). Inti dari kebijakan ini adalah emansipasi bangsa Indonesia secara berangsur-angsur.59 Dari sinilah kemudian lembagalembaga pendidikan dengan sistem Barat diperkenalkan sampai ke lapisan golongan bawah, yang sebelumnya hanya dinikmati secara eksklusif dari kelompok-kelompok terpilih menurut ukuran Belanda.60 Berdasarkan kenyataan ini umat Islam meresponnya dengan melakukan sintesa antara lembaga pendidikan pesantren dengan persekolahan Belanda sehingga melahirkan bentuk lembaga pendidikan Islam madrasah.61 Tambahan pula, kelahiran madrasah tersebut dimaksudkan untuk menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen.62 Di mata umat Islam, pemerintah kolonial sering dipersepsikan sebagai pemerintahan Kristen. Sekolah-sekolah Kristen yang umumnya diberi subsidi oleh pemerintah kolonial, sering mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi murid-murid Islam. Sekolah negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan Tengah, perkataan madrasah ini ditujukan untuk semua sekolah secara umum. Lihat, Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah (Yogyakarta: Tiara Wacana Ilmu, 2001), h. 59. 58 Mukhtar, Madrasah,hal. 85. 59 S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, cet. ke-3 (Bandung: Jemmars, 1987), h. 16. 60 Steenbrink, Pesantren, Madrasah, h. 2. 61 Azra, Pendidikan Islam, h. 37-38; Hasbullah, Sejarah Pendidikan, h. 103; Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1999), h. 46; Jalaluddin, Kapita Selekta Pendidikan: Suatu Telaah tentang Konsep Pembaharuan Pendidikan di Zaman Kolonial Belanda (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hal.17; Departemen Agama, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2006), h. 101; Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), h. 36. 62 Azra, Pendidikan Islam, h. 99. Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
289
Maftuh
propaganda suatu aliran gereja.63 Semua ini ikut merangsang para pembaharu untuk menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen tersebut.64 Tercatat dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia, tokoh-tokoh dan organisasi yang telah berjasa mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia. Untuk mengajukan contoh misalnya Abdullah Ahmad. Dia disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali menerapkan sistem klasikal, menggunakan bangku, meja dan papan tulis dalam proses belajar mengajarnya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Adabiyah pada tahun 1907.65 Pembaharuan-pembaharuan pendidikan Islam banyak terlihat di daerah-daerah lain. Akan tetapi secara umum memiliki pola dan format yang tidak jauh berbeda baik di luar Jawa maupun di Jawa. Dalam konteks ini, Azyumardi Azra mengatakan bahwa pembaharuan pendidikan Islam tersebut telah memunculkan dua bentuk kelembagaan pendidikan modern Islam, yaitu: pertama, sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam; kedua, madrasah-madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda.66 Contoh dari bentuk pertama misalnya HIS Adabiyah dan sekolah-sekolah umum – tetapi met de Qur’an, sedangkan yang kedua adalah madrasah Mathla’ul Anwar dan Al-Khairiyah. 63 Suminto, Politik Islam, h. 51; Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian, h. 130-131. 64 Mengenai Kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris Belanda di wilayah Banten telah berhasil diungkapkan oleh Mufti Ali yang mengatakan bahwa salah satu metode penyebaran agama Kristen di Banten adalah dengan cara mendirikan sekolah-sekolah. Lihat, Mufti Ali, Misionarisme di Banten (Banten: IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, 2009), h. 54. 65 Yunus, Sejarah Pendidikan, h. 63. Namun menurut Idham Khalid dan Hanun Asrahah bahwa Jami’at Khairlah yang pertama menerapkan sistem modern tersebut yang berdiri pada tahun 1905. Lihat, Idham Khalid, Gerakan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Awal Abad XX (Bandarlampung: IAIN Raden Intan, 1997), h. 17; Hanun Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 194. Bandingkan, Noer, Gerakan Modern, h. 68-71, dan Steenbrink, Beberapa Aspek, h. 60; Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), h. 82-83; Armai Arief, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau (Jakarta: Suara ADI, 2009), h. 78-79. 66 Azra, Pendidikan Islam, h. 99.
290
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
1. Madrasah Mathla’ul Anwar67 Mathla’ul Anwar didirikan pada tanggal 11 Syawal 1334/10 Juli 1916 di Menes, Pandeglang, Banten, oleh sejumlah tokoh agama seperti K.H. Entol M. Yasin. KH.Tb. Muhammad Sholeh, K.H. Mas Abdurrahman dan lain-lain.68 Ide pendirian Mathla’ul Anwar ini berawal dari K.H. E. Moh. Yasin sekembalinya dari sebuah rapat di Bogor yang digagas oleh H. Samanhudi, pendiri Syarikat Dagang Islam (SDI), pada 1908. Sebagai tindak lanjutnya, E. Yasin mendatangi rekan-rekannya yang berada di sekitar Menes, antara lain K.H. Tb. Moh. Sholeh dari kampung Kananga dan beberapa orang kyai lainnya. Dalam pertemuan itu dihasilkan kesepakatan bahwa, diperlukan sebuah perkumpulan untuk mengatasi keadaan yang sulit sebagai akibat kontrol yang berlebihan dari pemerintah kolonial terhadap para ulama, setelah terjadinya revolusi di Cilegon pada tahun 1888. Perkumpulan tersebut juga dimaksudkan untuk mengajak masyarakat kembali kepada Islam sebagai satu-satunya kebenaran dan cara hidup. Setelah beberapa pertemuan berjalan, pada permulaan tahun 1916 diputuskanlah bahwa perlu didirikan lembaga pendidikan Islam.69 Namun pada saat akan mewujudkan gagasan tersebut ditemukan sejumlah kendala teknis, yang salah satunya 67 Karya-karya tulis yang membicarakan tentang Mathla’ul Anwar ini di antaranya adalah Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996); Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Pendidikan Islam (Jakarta: Karsa Utama Mandiri dan PB Mathla’ul Anwar, 1997); idem, Membawa Mathla’ul Anwar ke Abad XXI (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1997); Didin Nurul Rosidin, Mathla’ul Anwar from Kampung to Kota: A Study of Transformation of Mathla’ul Anwar (Leiden: INIS/Leiden University, 2007); dan Syibli Syarjaya dan Jihaduddin, Dirasah Islamiyah I: Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Banten: Universitas Mathla’ul Anwar, 2009). Tulisan ini banyak mendasarkan diri pada karya-karya tersebut sepanjang relevan dengan masalah yang diangkat di dalam tulisan ini. Berbeda dengan semua karya-karya itu, pemaparan dalam tulisan untuk bagian ini lebih dititik-beratkan pada upaya pembaharuan yang telah dilakukannya, bukan pada aspek-aspek yang lainnya. 68 Lihat, Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, Sejarah, h. 10; Syarjaya dan Jihaduddin, Dirasah Islamiyah, h. 8; Rosidin, Mathla’ul Anwar, h. 24-25; Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, cet. ke-4, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997), III/204-207. Bandingkan, Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Kesatuan Negara Republik Indonesia, cet. ke-3 (Bandung: Salamadani, 2010), h. 451. 69 Djuwaeli, Pembaharuan, h. 13; idem, Membawa, h. 18.
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
291
Maftuh
adalah tidak adanya orang yang memiliki kecakapan untuk mengelola madrasah yang akan didirikan. Dalam pandangan para kyai tersebut, orang yang dimungkinkan mampu memimpinnya haruslah orang yang telah pernah tinggal di Mekkah dalam waktu yang cukup lama.70 Akhirnya mereka segera teringat pada sosok pemuda yang baru pulang dari Mekkah pada 1915, yaitu Mas Abdurrahman. Pada pertemuan yang diselenggarakan tanggal 10 Juli 1916, para kyai mengundangnya untuk membicarakan kesediannya memimpin madrasah yang akan didirikan. Gayung pun bersambut. Mas Abdurrahman menyanggupinya. Bahkan memberikan usulan nama bagi madrasah tersebut, yaitu Mathla’ul Anwar (Mat}la’ al-‘Anwa>r) yang berarti tempat lahir cahayacahaya. Para kyai menerima usulan itu, dan bersama-sama dengan masyarakat madrasah pun akhirnya berdiri. Berbeda dengan lembaga pendidikan Islam yang sudah diasuh para kyai pendiri itu, madrasah ini menggunakan peralatanperalatan modern seperti papan tulis, bangku dan meja. Sistem pembelajarannya pun telah menggunakan sistem klasikal yang terdiri atas kelas A, B, dan I. Pada 1920, jumlah kelas ditambah sehingga menjadi A, B, I, II, III, IV, dan V. Setelah putra K.H.E. Moh, Yasin kembali dari belajarnya di Universitas al-Azhar, Mathla’ul Anwar dirubah menjadi sembilan kelas: A, B, I sampai dengan VIII. Sistem ini terus berjalan hingga akhirnya pada tahun 1950 diganti dengan sistem baru yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada tahun 1925, Mathla’ul Anwar mendirikan madrasah khusus untuk perempuan. Sebagai pimpinan madrasah ini diangkatlah Hj. Siti Zainab, putri dari Entol Yasin dan juga menantu Tb. Sholeh. Nyi Kulsum dan Nyi Afiyah diangkat pula sebagai tenaga pengajar di madrasah khusus putri ini. Di bawah kepemimpinan mereka, madrasah berkembang dengan cepat. Ratusan anak yang sebagian besar berasal dari sekitar Menes berdatangan untuk menjadi murid di lembaga ini. Namun karena terjadinya perpecahan pada tahun 1939, Siti Zainab mengundurkan diri dari jabatannya. Akibatnya, aktivitas madrasah berangsurangsur menurun dan kemudian akhirnya tutup pada tahun 1944.71 70 71
292
Rosidin, Mathla’ul Anwar, h. 35. Ibid., h. 42 Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
Didirikannya madrasah khusus perempuan ini mungkin meniru model pendidikan yang berada di Timur Tengah yang memang memisahkan secara tegas tempat belajar berdasarkan jenis kelaminnya masing-masing. Namun dalam konteks Indonesia, madrasah seperti ini telah pernah dipraktikkan pertama kali oleh Rahmah El-Yunusiyah dengan mendirikan Madrasah Diniyah Putri pada tahun 1923.72 Sedangkan dalam bentuk persekolahan malah muncul lebih awal lagi, yaitu Sekolah Gadis di Jepara tahun 1903 oleh R.A. Kartini, Sakola Istri tahun 1904 di Bandung oleh Rd. Dewi Sartika dan Kerajinan Amal Setia tahun 1905 di Bukittinggi oleh Rohana Kudus.73 Sementara itu, madrasah khusus putra yang dikelola oleh Mas Abdurrahman sebagian besar tenaga pengajarnya terdiri atas kyai-kyai muda yang berada di Menes. Namun pada akhir 1920an, Mas Abdurrahman memutuskan untuk tidak lagi mengajar melainkan memfokuskan diri hanya sebagai mudi>r. Dengan posisi dan otoritas penuh yang dimilikinya, dia mendesain kurikulum baru dan menentukan buku-buku pegangan sebagai bahan ajarnya. Kurikulum yang sebelumnya melulu diabdikan seratus persen untuk ilmu-ilmu agama, kemudian dirubah dengan memasukkan ilmuilmu umum di dalamnya seperti bahasa Indonesia, latihan menulis Latin, aritmatika, sejarah dunia, geografi dan ilmu-ilmu alam.74 Dengan demikian, walaupun sistem klasikal telah diterapkan sejak berdirinya madrasah tahun 1916, namun ternyata madrasah ini baru mengadopsi kurikulum umum di akhir-akhir tahun 1920-an. Tidak diperoleh keterangan yang meyakinkan bahwa sebelum itu Mathla’ul Anwar telah mengajarkan juga ilmu-ilmu umum. Pendapat Bruinessen yang mengatakan bahwa Lucy A. Whalley, “Meletakkan Islam ke dalam Praktik: Perkembangan Islam dalam Perspektif Gender di Minangkabau,” dalam Mark R. Woodward (Ed.), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi (Bandung: Mizan, 1998), h. 207-236; Junaidatul Munawaroh, “Rahmah el-Yunusiyah: Pelopor Pendidikan Perempuan,” dalam Jajat Burhanudin (Ed.), Ulama Perempuan Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 1-38. 73 I. Djumhur dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan (Bandung: CV Ilmu, 1976), h. 157. 74 Syarjaya dan Jihaduddin, Dirasah Islamiyah, h. 10; Rosidin, Mathla’ul Anwar, h. 45. 72
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
293
Maftuh
Mathla’ul Anwar adalah madrasah pertama di Banten yang telah memasukkan ilmu-ilmu umum di dalam kurikulumnya,75 patut dipertanyakan. Di samping dia tidak menyebutkan sumber apa pun dari mana informasi tersebut diperoleh, hal itu juga tidak sesuai dengan kenyataan sejarah bahwa pembaharuan pemikiran Islam di wilayah Banten baru dimulai sekitar 1920-an.76 Menarik apabila dikaji lebih jauh mengenai “keterlambatan” pengadopsian ilmu-ilmu umum ini. Padahal di tempat lain, lembaga pendidikan Islam yang berbentuk madrasah pada masamasa ini biasanya sekaligus juga berarti memasukkan mata-mata pelajaran umum. Memang harus diakui bahwa, sistem klasikal yang diterapkan di Mathla’ul Anwar, sejauh kajian ini, adalah lembaga pendidikan Islam pertama di Banten yang memeloporinya. Kita akan lihat di bawah ketika mengkaji al-Khairiyah, bahwa sembilan tahun setelah Mathla’ul Anwar berdiri, al-Khairiyah menggunakan sistem klasikal sekaligus juga ilmu-ilmu umum dalam mata-mata pelajaran yang diberikannya. Patut dipertimbangkan pendapat yang mengatakan bahwa sebagian para alumni pendidikan di Mekkah yang telah kembali ke Indonesia, ikut memperkuat atau bahkan memperbanyak sistem pendidikan Islam tradisional, sedangkan sebagian para alumni al-Azhar yang kembali ke Indonesia membuka madrasah dengan memberikan mata pelajaran umum, di samping mata pelajaran agama.77 Mas Abdurrahman yang dipercayai memimpin madrasah Mathla’ul Anwar ini adalah salah seorang alumni pendidikan di Mekkah tersebut. Pada setiap akhir tahun ajaran (h}aul), para siswa madrasah Mathla’ul Anwar mengikuti ujian. Aturannya adalah, apabila siswa berhasil melewati ujian ini dengan baik maka dia berhak Bruinessen, Kitab Kuning, h. 283. Williams, Communism, h. xxviii-xxix; Menurut Pijper, kehidupan keagamaan di Indonesia sampai tahun-tahun permulaan di abad kedua puluh, bagaikan sebuah kolam yang tenang permukaannya hanya sekali-kali beriak. Namun sekitar tahun 1920-an, ketenangan itu berubah dengan munculnya gerakan reformasi Islam sehingga kolam itu tidak tenang lagi, bahkan sudah menjadi aliran sungai yang sewaktu-waktu meluap. Lihat, Pijper, Beberapa Studi, h. 105. 77 Putuhena, Historiografi Haji, h. 365. 75 76
294
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
untuk melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi. Namun sebaliknya, apabila dia gagal dalam ujian, dia harus tetap “kerasan” untuk tinggal di kelas yang sama selama satu tahun berikutnya. Bagi siswa yang cerdas dan tekun, maka dia dapat meloncat ke kelas yang lebih tinggi satu atau dua tahun di atasnya. Peristiwa seperti ini pernah dialami oleh Sarnaka yang hanya menghabiskan waktu 4 tahun, dari yang umumnya ditempuh selama 9 tahun.78 Ujian akhir tahun ini langsung ditangani oleh Mas Abdurrahman bersama guru-guru yang lain. Biasanya ujian berlangsung antara bulan Safar dan bulan Rabi’ul Awal. Setelah ujian, diadakan perayaan kelulusan (ih{tifalan) di setiap tahunnya. Ih{tifalan ini berlangsung di bulan Rabi’ul Akhir. Pada saat inilah ijazah dibagikan kepada para siswa yang telah lulus. Bagi para pemegang ijazah, mereka diberi hak untuk mengajar di madrasah lain atau di madrasah yang didirikannya sendiri, yang umumnya juga berafiliasi ke madrasah Mathla’ul Anwar sebagai madrasah induk.79 Dari para alumninya itulah Mathla’ul Anwar kemudian memiliki cabang di mana-mana. Ketika Mathla’ul Anwar melaksanakan kongres untuk pertama kalinya tahun 1936, dilaporkan telah memiliki 40 cabang di tujuh wilayah yang berada di Jawa Barat dan Lampung. Melihat kenyataan demikian, kongres akhirnya memutuskan agar dilakukan klasifikasi madrasah ke dalam dua kategori. Pertama, madrasah yang berlokasi di Simanying Menes sebagai pusat pendidikan. Kedua, madrasahmadrasah cabang. Untuk menjaga kualitas para lulusan, maka madrasah cabang hanya boleh membuka kelas sampai kelas IV saja. Sedangkan bagi siswa yang ingin melanjutkan harus pergi ke pusat di mana Mas Abdurrahman yang langsung membimbingnya secara perseorangan. Pada tahun 1940, Mathla’ul Anwar mendirikan madrasah 78 Aceng Abdul Qodir, “Biografi K.H. Mas Abdurrahman Mengenai Didaktik Methodiknya dalam Pendidikan Agama Islam,” Skripsi (Cikaliung: Sekolah Tinggi Ahama Islam Mathla’ul Anwar, 1999), h. 65, sebagaimana dikutip Rosidin, Mathla’ul Anwar, h. 46. 79 Rosidin, Mathla’ul Anwar, h. 46; Anonim, “Constructing Mathla’ul Anwar’s Identity: A Study of K.H. Mas Abdurrahman’s Al-Jawa>iz Fi> Ah{ka>m alJana>’iz” dalam Syibli Syarjaya dan Jihaduddin, Dirasah Islamiyah I: Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Banten: Universitas Mathla’ul Anwar, 2009), h. 5.
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
295
Maftuh
yang dinamakan dengan Madrasah Arabiyah yang dikepalai oleh Kyai Humaidi dari Salatiga. Untuk mengisi tenaga-tenaga pengajarnya, maka dikirimlah beberapa siswa terpilih ke madrasah yang didirikan Jami’at Khair di Jakarta. Jami’at Khair dipercaya sebagai tempat pendidikan bahasa Arab yang baik, karena para pendirinya adalah orang-orang Arab. Lembaga orang-orang Arab ini berdiri pada tanggal 17 Juli 1905, dan terbuka untuk anakanak yang bukan keturunan orang Arab.80 Pendidikan yang diselenggarakannya sangat menekankan bahasa Arab sebagai alat untuk memahami sumber-sumber Islam. Mathla’ul Anwar dalam mendirikan Madrasah Arabiyyahnya dimungkinkan terinspirasi dari organisasi orang-orang Arab ini. Lebih jauh, untuk memperluas cakrawala pemikiran para guru Mathla’ul Anwar, dilaksanakan pula kursus ilmu falak yang dibimbing oleh Kyai Sabrawi dari Pekalongan yang terkenal sebagai ahli falak.81 Perkembangan yang pesat di madrasah pusat menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang berasal dari luar Pandeglang. Para orang tua yang berasal dari Bogor, Tangerang, Lampung dan lainlain berduyun-duyun membawa anak-anaknya untuk dididik di lembaga pendidikan ini. Ketika terjadi pergolakan PKI pada tahun 1926,82 madrasah ini dilaporkan telah memiliki siswa sebanyak 80 Para pendiri organisasi ini adalah Sayid Muhammad al-Fachir bin Abdurrahman al-Masyhur, Sayid Muhammad bin Abdullah bin Syihab, Sayid Idrus bin Ahmad bin Syihab dan Sayid Syehan bin Syihab. Lihat, Noer, Gerakan Modern, h. 66-80; Kajian mendalam mengenai asal-usul orang-orang dan kiprah mereka di nusantara ini, lihat L.W.C. van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat (Jakarta: INIS, 1990); Informasi kiprah orang Hadrami di wilayah Sulawesi Tengah, Azyumardi Azra, “Hadrami as Educators: Al-Habi<>b Sayyid Idru>s ibn Sali>m al-Jufri> (1889-1969) and al-Khaira>t” Kultur: the Indonesian Journal for Muslim Culture, Vol. 1, No. 1, 2000, h. 91-104; Idem, Islam Nusantara,pada Bab III di bawah judul “Ulama Hadrami dalam Diaspora” hal.135-179; Norma Dg. Siame, “Kepemimpinan Sayid Idrus Salim Aldjufri dan Perubahan Masyarakat Islam di Palu Sulawesi Tengah Tahun 1930-1969” Disertasi, Belum Diterbitkan (Yogyakarta: PPs UIN Sunan Kalijga, 2011). 81 Syarjaya dan Jihaduddin, Dirasah Islamiyah, h. 10 82 Pemberontakan ini banyak melibatkan para kyai dari Mathla’ul Anwar. Kyai Abdul Hadi Bangko dan Khosen Cisaat misalnya diduga terlibat dan akhirnya di buang ke Boven Digul, Tanah Merah, Irian. Lihat, Ibid., h. 11; Djuwaeli, Membawa Mathla’ul, h. 20-21; Williams, Communism, h. 237-260.
296
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
300 orang.83 Madrasah ini semakin berkembang dengan cabangcabangnya di berbagai daerah di Indonesia setelah pemerintahan Hindia Belanda berakhir. Madrasah Mathla’ul Anwar tidak hanya sebagai pelopor lembaga pendidikan Islam modern di Banten akan tetapi juga telah menjadi model bagi madrasah-madrasah Banten lain yang berdiri setelahnya. 2. Madrasah Al-Khairiyah84 Madrasah al-Khairiyah merupakan hasil transformasi dari lembaga pendidikan Islam tradisional pesantren yang diasuh oleh K.H. Syam’un, seorang cucu dari salah seorang pemimpin Revolusi Cilegon 1888, K.H. Wasyid. Segera setelah kepulangannya dari menuntut ilmu di Mekkah dan Mesir tahun 191585, Syam’un mendirikan pesantren pada tahun 1916 di kampung halamannya Citangkil, Cilegon. Santri-santrinya berdatangan dari daerahdaerah sekitar Banten, seperti Serang, Pandeglang dan Rangkasbitung, hingga semuanya berjumlah 25 orang.86 Setelah merampungkan studinya, mereka dibaiat untuk mengembangkan pendidikan Islam di daerah tempat tinggalnya masing-masing.87 E. Gobee, Sumitro dan Ranneft, “The Bantam Report,” dalam Harry J. Benda dan Ruth T. McVey (Eds.), The Communist Uprisings of 1926-1927 in Indonesia: Key Documents (Ithaca: Cornell University, 1960), h. 22, seperti dikutip Rosidin, Mathla’ul Anwar, h. 50. 84 Informasi mengenai al-Khairiyah ini terdapat dalam karya-karya di antaranya berikut ini: Rahmatullah Syam’un, Sejarah al-Khaeriyah (Serang: Perguruan Islam al-Khaeriyah, t.t.); Pengurus Besar Perguruan Islam alKhairiyah, Perguruan Islam al-Khairiyah dari Masa ke Masa (Serang: PB al-Khairiyah, 1984); M.A.Tihami, “Realitas al-Khairiyah di Tengah-tengah Transformasi Masyarakat Indonesia,” Makalah disampaikan pada Simposium dan Kongres I Pemuda Pelajar al-Khairiyah Se-Indonesia, tanggal 29-31 Desember 1992 di Cilegon, Banten; Zakiyatul Baydiyah, “Perkembangan dan Pertumbuhan Perguruan Islam al-Khairiyah Citangkil-Cilegon 1916-1945,” Skripsi (Serang: STAIN, 2002); dan Rahayu Permana, Kyai Haji Syam’un, (1883-1949): Gagasan dan Perjuangannya” Tesis (Depok: PPs Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, 2004). Karya-karya tersebut dimanfaatkan sejauh untuk melengkapi data yang diharapkan dapat menjawab permasalahan yang menjadi perhatian utama tulisan ini. 85 Permana, Kyai Haji Syam’un, h. 28. 86 Ibid., h. 32; Pengurus Besar Perguruan Islam al-Khairiyah, Perguruan Islam, h. 2-3. 87 Ibid., h. 3. 83
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
297
Maftuh
Sebagaimana umumnya pesantren pada saat itu, jadwal pelajaran belum diatur dan direncanakan secara sistematis dan tertulis. Cara belajarnya pun masih menggunakan sistem h}alaqah.88 Mata-mata pelajaran yang diberikan masih seratus persen ilmu-ilmu agama yang mengkaji kitab-kitab fikih yang bermazhab Syafi’i dan tasawuf; di samping mengenai gramatika bahasa Arab (ilmu alat seperti kitab Juru>miyyah, ‘Alfiyyah, dan al-Qawa>’id al-Luga>wiyyah). Sedangkan kitab tafsir yang dikajinya yaitu Tafsi>r al-Jala>lain. Diberikan pula kitab-kitab dari disiplin ilmu hadis, ushul fikih dan akidah akhlak.89 Pada tahun 1924, Syam’un melaksanakan haji dan pesantrennya pun ditutup sementara.90 Setahun kemudian, Syam’un pulang ke tanah air dan mengundang para santri yang telah kembali ke kampung halamannya masing-masing. Pada tanggal 5 Mei 1925, Syam’un bersama murid-muridnya mendirikan lembaga pendidikan Islam yang diberi nama Madrasah al-Khairiyah.91 Madrasah ini menerapkan sistem klasikal dan telah menggunakan papan tulis, bangku dan meja. Dikatakan bahwa, model yang dicontoh dalam membangun lembaga pendidikan Islam ini adalah Universitas al-Azhar, Mesir.92 Namun penyataan ini patut diragukan, karena pada masa itu Universitas al-Azhar sendiri masih bersifat tradisional, dan oleh kalangan para pembaharu pendidikan Islam di Indonesia, Universitas ini bukan merupakan teladan.93 Kurikulum di madrasah al-Khairiyah ini tidak hanya berisi matamata pelajaran agama belaka, melainkan telah ditambahkan juga di dalamnya ilmu-ilmu umum, seperti ilmu al-jabar (menghitung), ilmu alam, ilmu hayat, ilmu bumi, ilmu kosmografi dan ilmu sejarah.94 88 Halaqah adalah para santri duduk melingkar dan belajar dari seorang kyai yang menerjemahkan teks berbahasa Arab atau kitab kuning. 89 Daftar kitab-kitab yang dikaji di dalam pesantren ini, lihat Permana, Kyai Haji Syam’un, h. 33. 90 PB. al-Khairiyah, Perguruan Islam, h. 4; Permana, Kyai Haji Syam’un, h. 38. 91 Nama al-Khairiyah ini diilhami oleh sebuah bendungan anak sungai Nil, al-Qana>t}ir al-Khairiyyah yang berada di Provinsi Qalyubiyah, Mesir. Bendungan ini dapat mengairi sekian luas lahan pertanian sehingga meningkatkan taraf hidup masyarakat yang ada di sekitarnya. Madrasah al-Khairiyah juga diharapkan seperti bendungan tersebut, yakni banyak menebarkan kemanfaatan bagi masyarakat di sekitarnya. M.A.Tihami, Realitas al-Khairiyah, h. 4. 92 PB. al-Khairiyah, Perguruan Islam, h. 4. 93 Noer, Gerakan Modern, h. 326. 94 Permana, Kyai Haji Syam’un, h. 44.
298
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
Dari data tersebut terlihat bahwa, madrasah al-Khairiyah telah mendesain kurikulumnya dengan mencampurkan mata pelajaran umum. Tidak hanya sistem klasikal dan peralatan modern yang diadopsinya, melainkan juga isi pelajaran telah berubah sama sekali dari lembaga pendidikan Islam sebelumnya yang hanya berkutat pada ilmu-ilmu agama. Bahkan al-Khairiyah juga mendirikan sekolah umum (HIS) yang berbasiskan matamata pelajaran umum, namun juga diisi dengan mata-mata pelajaran agama. Dengan demikian, untuk di daerah Banten, al-Khairiyah adalah madrasah pendidikan Islam pertama yang berani bereksperimen mencampurkan ilmu-ilmu umum ke dalam madrasah; dan organisasi pendidikan yang pertama pula yang mendirikan sekolah-sekolah umum dengan penekanan yang besar pada ilmu-ilmu umum. Jenjang pendidikan di madrasah al-Khairiyah dimulai dari kelas nol (awwaliyah), kelas setengah (tah{d{i>riyah), kelas I, II, III, IV, V, VI dan VII, yang masing-masing kelasnya menghabiskan waktu selama satu tahun. Jadi, siswa diharuskan menempuh waktu 9 tahun untuk menyelesaikan studinya. Hal itu terjadi karena siswa diwajibkan harus menempuh kelas persiapan selama dua tahun pertama (kelas awwaliyah dan tah{d{i>riyah), sebelum mengikuti kelas ibtidaiyah yang berlangsung selama 7 tahun. Di dalam kelas persiapan, siswa diberikan pengajaran bahasa Arab secara intensif sebagai dasar untuk mempelajari kitab-kitab yang lebih tinggi pada tingkat selanjutnya. Bagi siswa yang telah menempuh semua program madrasah ini diberi hak untuk mengajar di tingkat ibtidaiyah.95 Anak-anak yang akan memasuki madrasah al-Khairiyah ini telah ditentukan umurnya, yakni berusia 7 tahun. Sehingga diharapkan pada usia sekitar 16 tahun dia telah merampungkan belajarnya. Lebih jauh, siswa yang diterima pun tidak hanya berjenis kelamin laki-laki, melainkan juga dari mereka yang berjenis kelamin perempuan.96 Rahmatullah Syam’un, Sejarah al-Khairiyah, h. 12. Permana, Kyai Haji Syam’un, h. 45; PB. al-Khairiyah, Perguruan Islam, h. 4-5. Dibukanya kesempatan bagi murid-murid yang berjenis kelamin perempuan di madrasah ini, merupakan langkah yang sangat berani. Karena 95 96
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
299
Maftuh
Karena jumlah murid yang semakin banyak dan sebagiannya berasal dari tempat-tempat yang jauh, maka didirikanlah pondok untuk menampung mereka. Di pondok ini, di luar jam pelajaran madrasah, mereka diberikan pelajaran kitab-kitab kuning dengan sistem wetonan atau bandongan dan sorogan.97 Kitab-kitab itu diklasifikasikan berdasarkan tingkatan-tingkatan. Ada tingkat awal, menengah dan atas. Seorang santri pemula terlebih dahulu mempelajari kitab-kitab awal, barulah kemudian diperkenankan mempelajari kitab-kitab pada tingkat berikutnya, dan demikianlah seterusnya.98 Selain itu, para siswa di Madrasah al-Khairiyah juga diberikan kegiatan ekstrakurikuler seperti kepanduan, kesenian (musik rakyat) dan olah raga (pencak silat). Kegiatan-kegiatan ini diadakan untuk melatih siswa agar kelak dia tidak canggung lagi ketika kembali di masyarakat. Untuk menopang dana yang dibutuhkan, pada tahun 1927 Madrasah al-Khairiyah mendirikan sebuah koperasi yang diberinama Koperasi Bumi Putera yang diketuai oleh K.H. Abdul Aziz. Pada tanggal 20 Juni 1928, koperasi ini mendapatkan pengesahan secara badan hukum dari pemerintah kolonial Belanda. Koperasi ini didirikan dengan ketentuan dasar “persamaan, persaudaraan, perserikatan dan berusaha dalam daerah agama Islam.”99 Setelah empat tahun al-Khairiyah berjalan, mulailah didirikan cabang-cabangnya di berbagai tempat, baik di sekitar Banten maupun di luar Banten. Untuk mengelolanya secara lebih baik, maka pada tanggal 21 Juni 1931, didirikanlah pada umumnya orang Banten pada waktu itu masih keberatan apabila seorang guru laki-laki memberi pelajaran kepada wanita secara tatap muka. Apabila terdapat murid perempuan, maka proses belajar-mengajar biasanya dilaksanakan pada malam hari dalam keadaan gelap sehingga tidak dapat melihat satu sama lainnya. Lihat, Pijper, Fragmenta Islamica, h. 21. 97 Wetonan atau bandongan adalah metode kuliah di mana para santri mengkuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai. Kyai membacakan kitab yang dipelajari saat itu, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan. Sedangkan sorogan adalah metode kuliah dengan santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajari. Lihat, Daulay, Sejarah Pertumbuhan, h. 69; Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 28-29. 98 Permana, Kyai Haji Syam’un, h. 46. 99 Rahmatullah Syam’un, Sejarah al-Khaeriyah, h. 24.
300
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
organisasi dengan nama Jam’iyyah Nahd}atul Syubbanil Muslimi>n (Perkumpulan Kebangkitan Pemuda Islam) yang berpusat di Citangkil, Cilegon, tempat yang sama dengan madrasah induk.100 Pada tahun 1934, al-Khairiyah melakukan pembaharuan terhadap jenjang madrasah dari yang sebelumnya hanya waktu 9 tahun, menjadi 11 tahun. Jenjang madrasah itu terdiri atas: Madrasah Ibtidaiyah (sekolah dasar) dengan masa belajar 6 tahun, Madrasah Tsanawiyah (SLTP) 3 tahun, dan Madrasah Mu’allimin 2 tahun.101 Al-Khairiyah melangkah lebih maju. Tahun 1936 ia mendirikan Hollansch Inlandsche School (HIS) dengan masa tempuh studi 6 tahun. Di lembaga pendidikan ini, bahasa Belanda diajarkan dan ilmu-ilmu umum menjadi titik tekannya. Akan tetapi, beberapa mata pelajaran agama juga diajarkan seperti ilmu al-Qur’an, tafsir dan hadis. Berdirinya lembaga persekolahan ini dilatarbelakangi oleh rasa keprihatinan K.H. Syam’un terhadap situasi pendidikan Islam yang masih tradisional yang menyebabkannya tidak mampu bersaing dengan sekolah-sekolah modern.102 Sementara di sisi lain, sekolah-sekolah yang berkualitas baik yang didirikan oleh pemerintah kolonial hanya mampu diakses hanya oleh golongan atas.103 Sistem persekolahan HIS ini pertama kali diperkenalkan oleh kolonial Belanda pada tahun 1914. Sekolah ini sebenarnya adalah hasil transformasi dari Sekolah Kelas Satu (De Eerste School) yang berdiri pada tahun 1893 yang dimaksudkan untuk anak-anak bumiputera dari golongan atas. Sekolah ini biasanya didirikan di ibukota karesidenan, kabupaten, kawedanan atau yang sederajat, dan di kota-kota yang menjadi pusat perdagangan dan kerajinan, atau tempat-tempat strategis lainnya. Tujuan didirikan 100 Permana, Kyai Haji Syam’un, h. 47; PB. al-Khairiyah, Perguruan Islam, h. 6-7. 101 PB. al-Khairiyah, Perguruan Islam, h. 8; Baydiyah, Perkembangan, h. 52. 102 Permana, Kyai Haji Syam’un, h. 51. 103 Williams, Communism, h. 107; Mestika Zed, Pendidikan Kolonial, h. 25-26; Sartono Kartodirdjo, Modern Indonesia: Tradition and Transformation: A Socio-Historical Perspective, cet. ke-3 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), h. 109.
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
301
Maftuh
Sekolah Kelas Satu ini adalah untuk memenuhi kebutuhan administrasi, perdagangan dan perusahaan.104 Pengubahan sekolah ini menjadi HIS dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan golongan atas agar memperoleh pendidikan Barat, khususnya agar mampu menguasai bahasa Belanda, sebab pada saat itu bahasa Belanda merupakan kunci untuk pendidikan yang lebih tinggi dan syarat untuk memperoleh pekerjaan.105 Perkembangan sistem persekolahan di lingkungan alKhairiyah ini memang kurang berkembang dibanding system madrasah yang terus tersebar ke mana-mana. Namun al-Khairiyah telah mencatatkan sejarahnya sebagai organisasi pertama yang menggabungkan sistem persekolahan dengan nuansa keagamaan di wilayah Banten. Di tempat lain, model seperti ini telah lebih dulu dilakukan oleh organisasi besar, yaitu Muhammadiyah. Organisasi ini telah berhasil mengembangkan dua jenis lembaga pendidikan. Pertama, sekolah-sekolah umum berbasis mata pelajaran umum dengan menambah mata pelajaran agama (met de Qur’an) sebagai ciri khas yang wajib diberikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Sekolah yang masuk ke dalam jenis ini misalnya: Taman Kanakkanak (Bustanul Athfal), Vervolgschool 2 tahun, Schakelschool 4 tahun, HIS 7 tahun, MULO 3 tahun, AMS 3 tahun dan HIK 3 tahun. Kedua, sekolah-sekolah agama yang berbasis ilmuilmu keagamaan yang kemudian digolongkan dalam kelompok madrasah. Bentuk jenis kedua ini yaitu: Madrasah Ibtidaiyah 3 tahun, S|anawiyah 3 tahun, Mu’allimi>n/Mu’allima>t 5 tahun dan Kulliyatul Muballighi>n 5 tahun.106 Pada masa akhir kekuasaan kolonial Belanda, organisasi al-Khairiyah telah memiliki 37 cabang yang tersebar tidak hanya di sekitar wilayah Banten tetapi juga bahkan sampai di Sumatera Selatan.107 Djojonegoro, Lima Puluh Tahun, h. 18-19. Nasution, Sejarah Pendidikan, h. 115; Kartodirdjo, Modern Indonesia, h. 116; Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme, h. 23; Robert van Niel, The Emergence, h. 29; Mestika Zed, Pendidikan Kolonial, h. 25. 106 Noer, Gerakan Modern, h. 95; Hasbullah, Sejarah Pendidikan, h. 101; Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), h. 176. 107 Rahmatullah Syam’un, Sejarah al-Khaeriyah, h. 4. 104 105
302
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
Dari uraian tersebut di atas teranglah bahwa, al-Khairiyah telah berjasa dalam mengembangkan dunia pendidikan Islam melalui upayanya mentransformasikan sistem pendidikan tradisional pesantren ke bentuk madrasah. Walaupun demikian, sistem lama tidak dihilangkan sama sekali. Terbukti masih dilaksanakannya pendidikan pesantren di lingkungan madrasah tersebut, adalah sebagai pengakuan bahwa ada elemen-elemen pesantren yang masih tetap berguna untuk digunakan. Metode sorogan misalnya, diakui oleh banyak ahli pendidikan sebagai satu metode orisinal pesantren yang terbukti efektif dalam proses belajar mengajar. Dengan metode ini, siswa dibimbing secara langsung oleh kyai secara individual sehingga diketahui di mana kelemahan dan kelebihannya, untuk kemudian diberikan bimbingan lebih lanjut. D. Penutup Dari penelusuran terhadap dua pelopor pembaharu pendidikan Islam di Banten ini, tampak bahwa sistem pendidikan kolonial Belanda merupakan salah satu model yang dicontoh untuk diterapkan dalam sistem pendidikan Islam tradisional sehingga lahir lembaga pendidikan Islam baru yang bernama madrasah. Memang, dalam sejarahnya, madrasah ini telah lama dikenal di Timur Tengah setidaknya sejak abad V Hijriyah (XI Masehi), dan yang terkenal di antaranya adalah Madrasah Nizhamiyah. Namun di Indonesia, lembaga pendidikan dengan bentuk madrasah ini baru dikenal pada awal-awal abad XX. Kelahirannya di Indonesia ini tidak lain adalah sebagai respons terhadap kebijakan pendidikan kolonial yang dikriminatif dan adanya gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang terjadi di dalam umat Islam Indonesia. Namun, gerakan pembaharuan di Banten ini boleh dikatakan agak terlambat dibanding dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Gerakan modernisasi pendidikan Islam di Banten tersebut baru menyebar sekitar tahun-tahun 1920-an, sementara daerah lain bahkan sudah jauh lebih awal dari itu. Mathla’ul Anwar merupakan organisasi pendidikan Islam pertama di Banten yang memelopori diterapkannya sistem klasikal dalam proses belajar mengajarnya. Namun ternyata pengadopsian Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
303
Maftuh
sistem klasikal tersebut tidak berarti juga sekaligus mengadopsi ilmu-ilmu umum ke dalam kurikulumnya. Desain kurikulum campuran antara ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu agama baru dilakukannya pada saat-saat mendekati tahun 1930-an. Sedangkan di tempat lain, al-Khairiyah juga dapat dianggap sebagai pionir pembaharu pendidikan Islam di Banten yang telah berani memasukkan ilmu-ilmu umum ke dalam kurikulumnya, dan menerima murid-murid berjenis kelamin perempuan yang diperlakukan sama dengan murid-murid laki-laki. Pada masamasa tersebut, langkah ini merupakan terobosan yang sangat berani karena umumnya masyarakat masih berpandangan bahwa perempuan sebagai makhluk yang diperlakukan berbeda dengan laki-laki. Bahkan lebih jauh lagi, al-Khairiyah mendirikan HIS yang basisnya adalah ilmu-ilmu umum. Pada masa-masa akhir kekuasaan kolonial Belanda, kedua organisasi pendidikan itu telah memiliki cabang yang tersebar luas bahkan sampai luar wilayah Banten. Madrasah-madrasah lain yang muncul belakangan dapat dikatakan memiliki corak yang sama dengan sistem yang dipraktikkan di kedua organisasi pendidikan tersebut. .
304
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qodir, Aceng, “Biografi K.H. Mas Abdurrahman Mengenai Didaktik Methodiknya dalam Pendidikan Agama Islam,” Skripsi, Cikaliung: Sekolah Tinggi Ahama Islam Mathla’ul Anwar, 1999. Abdullah, Taufik, dkk., Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: Majlis Ulama Indonesia, 1991. Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987 Alfian, Politik Kaum Modernis: Perlawanan Muhammadiyah Terhadap Kolonial Belanda, terj. Machnun Husein, Jakarta: al-Wasath Publishing House, 2010. Ali, Mufti, Misionarisme di Banten, Banten: IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, 2009. Amin, Samsul Munir, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani, Yogyakarta: LKiS, 2009 Arief, Armai, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, Jakarta: Suara ADI, 2009. Asrahah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Atsushi, Ota, Changes of Regime and Social Dynamics in West Java: Society, State and the Outer World of Banten, Leiden: EJ Brill, 2006. Azra, Ayzumardi, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, terj. Iding Rosyidin Hasan, Bandung: Mizan, 2002 Azra, Ayzumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, cet. ke-3, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006 Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
305
Maftuh
Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, cet. ke-3, Bandung: Mizan, 1995. Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999 Baydiyah, Zakiyatul, “Perkembangan dan Pertumbuhan Perguruan Islam al-Khairiyah Citangkil-Cilegon 1916-1945,” Skripsi, Serang: STAIN, 2002. Benda Harry J., dan Ruth T. McVey (Eds.), The Communist Uprisings of 1926-1927 in Indonesia: Key Documents, Ithaca: Cornell University, 1960. Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terj. Daniel Dhakidae, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1980 Berg, L.W.C. van den, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat, (Jakarta: INIS, 1990. Buresh, Scott Allen, “Pesantren-Based Development: Islam, Education, and Economic Development in Indonesia” Dissertation, unpublished, USA: University of Virginia, 2002 Burhanudin, Jajat (ed.), Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002. Daulay, Haidar Putra, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacana Ilmu, 2001. Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007. Daya, Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990 Departemen Agama, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2006 Dhofier, Zamahsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982. 306
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
Djajadiningrat, Hoesein, Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten, Jakarta: Djambatan, 1983 Djojonegoro, Wardiman, Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1996. Djumhur, I., dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan, Bandung: CV Ilmu, 1976. Djuwaeli, Irsyad, Membawa Mathla’ul Anwar ke Abad XXI, Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1997. Djuwaeli, Irsyad, Pembaharuan Pendidikan Islam, Jakarta: Karsa Utama Mandiri dan PB Mathla’ul Anwar, 1997 Drewes, G.W.J., The Admonitions of Seh Bari, The Hague: Martinus Nijhoff, 1969. Geertz, Clifford, Islam yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan Indonesia, terj. Hasan Basari, Jakarta: Yayasan Ilmuilmu Sosial, 1982 Gibb, H.A.R. dan H. Kraemers, Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden: E.J. Brill, 1981 Graaf, H.J. De dan Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, cet. ke-5, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003 Guillot, Claude, Banten: Sejarah dan Peradaban (Abad X-XVII), terj. Hendra Setiawan dkk., Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008. Guillot, Claude, Lukman Nurhakim dan SonnyWibisono, Banten Sebelum Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten Girang 932?-1526, terj. Winarsih Partaningrat Arifin dan Henri Chambert-Loir, Jakarta: Bentang, 1996 Hamid, Abu, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang, Jakarta: Yayasan Obor, 2005 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, cet. ke-3, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999. Hodgson, Marshal, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. 3, Chicago: University of Chicago Press, 1974. Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
307
Maftuh
Holt, P.M.; Ann K.S. Lambton dan Bernard Lewis (ed.), The Cambridge History of Islam: The Indian Sub-Continent, South-East Asia, Africa and the Muslim West, Vol. 2A, New York: Cambridge University Press, 1970. Ibrahim, Ahmad, Sharon Siddique dan Yasmin Hussain, Islam Asia Tenggara, terj. A. Setiawan Abadi, Jakarta: LP3ES, 1989. Iskandar, Mohammad, Para Pengemban Amanah: Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950, Yogyakarta: MATABANGSA, 2001. Jaelani, Anton Timur, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama, Jakarta: CV Darmaga, 1980. Jalaluddin, Kapita Selekta Pendidikan: Suatu Telaah tentang Konsep Pembaharuan Pendidikan di Zaman Kolonial Belanda, Jakarta: Kalam Mulia, 1990 Juliadi, Masjid Agung Banten: Nafas Sejarah dan Budaya, Yogyakarta: Ombak, 2007. Kartodirdjo, Sartono, Modern Indonesia: Tradition and Transformation: A Socio-Historical Perspective, cet. ke-3, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991. Kartodirdjo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan, Peristiwa dan Kelanjutannya, terj. Hasan Basari, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1984 Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, cet. ke-3, Jakarta: Gramedia, 1993. Khalid, Idham, Gerakan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Awal Abad XX, Bandarlampung: IAIN Raden Intan, 1997 Laffan, Michael Francis, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds, New York: Routledge Curzon, 2003 Leur, J.C. van, Indonesian Trade and Society: Essays in Asian and Economic History, USA: Foris Publications Holland, 1983 308
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
Lombard, Denys, Nusa Jawa Silang Budaya: Kajian Sejarah Terpadu Bagian II: Jaringan Asia, terj. Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat dan Nini Hidayati Yusuf, cet. ke-3, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005 Lubis, Nina H., Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara, Jakarta: LP3ES, 2003 Mahasin, Aswan, (Ed.), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Aneka Budaya di Jawa, Jil. 2, Jakarta: Yayasan Festifal Istiqlal, 1996 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995. Mestoko, Soemarsono, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, Jakarta: Balai Pustaka, 1985 Michrob, Halwany dan Mudjahid Chudari, Proses Islamisasi di Banten: Cuplikan Buku Catatan Masa Lalu Banten, Ovi Hanif Triana (ed.), Banten: t.n.p, 2003 Muhaimin AG., Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, cet. ke-2, Jakarta: Logos, 2002 Muhtarom, Zaini, Santri dan Abangan di Jawa, Jilid II, Jakarta: INIS, 1988 Nagazumi, Akira, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1929-1987, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989. Nata, Abudin (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001. Niel, Robert van, The Emergence of the Modern Indonesian Elite, Leiden: Foris Publications Holland, 1984. Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cet. ke-8, Jakarta: LP3ES, 1999. Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996. Pengurus Besar Perguruan Islam al-Khairiyah, Perguruan Islam al-Khairiyah dari Masa ke Masa, Serang: PB al-Khairiyah, 1984. Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
309
Maftuh
Permana, Rahayu, “Kyai Haji Syam’un (1883-1949): Gagasan dan Perjuangannya” Tesis Depok: PPs Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, 2004. Pijper, G.F., Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, terj. Tudjimah dan Yessy Augusdin, Jakarta: UI-Press, 1985. Pijper, G.F., Fragmenta Islamica: Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam di Indonesia Awal Abad XX, terj. Tudjimah, Jakarta: UI-Press, 1987. Pudjiastuti, Titik, Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. Putuhena, M. Shaleh, Historiografi Haji Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2007. Reid, Anthony, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jaringan Perdagangan Global, Jilid 2, terj. R.Z. Leirissa dan P. Soemitro, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011 Ropi, Ismatu, “Muslim Responses to Christianity in Modern Indonesia” Tesis, Belum Diterbitkan, Canada: Institut of Islamic Studies McGill University Montreal, 1998. Rosidin, Didin Nurul, Mathla’ul Anwar from Kampung to Kota: A Study of Transformation of Mathla’ul Anwar, Leiden: INIS/Leiden University, 2007. Shihab,Alwi, MembendungArus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998. Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, cet. ke-2, Jakarta: LP3ES, 1994 Stoddard, Lothrop, Dunia Baru Islam (The New World of Islam), Jakarta: t.t.p., 1966. Sukamto, Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1999 310
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Awal Abad XX
Sulaiman, Setyawati, dkk., Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan, 21-25 Februari 1977, Jakarta: Proyek Penelitian dan Penggalian Purbakala Departemen P&K, 1977 Suryanegara, Ahmad Mansur, Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Kesatuan Negara Republik Indonesia, cet. ke-3, Bandung: Salamadani, 2010. Suryanegara, Ahmad Mansur, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, cet. ke-4, Bandung: Mizan, 1998. Suwito dan Fauzan (ed.), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005. Syam’un, Rahmatullah, Sejarah al-Khaeriyah, Serang: Perguruan Islam al-Khaeriyah, t.t. Syarjaya, Syibli, dan Jihaduddin, Dirasah Islamiyah I: Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, Banten: Universitas Mathla’ul Anwar, 2009. Tihami, M.A., “Realitas al-Khairiyah di Tengah-tengah Transformasi Masyarakat Indonesia,” Makalah disampaikan pada Simposium dan Kongres I Pemuda Pelajar alKhairiyah Se-Indonesia, tanggal 29-31 Desember 1992 di Cilegon, Banten Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, cet. ke-4, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1997. Tjandrasasmita, Uka, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009 Untoro, Heriyanti Ongkodharma, Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684: Kajian Arkeologi Ekonomi, Jakarta: FIB UI, 2007 Wijoyo, Alex Soesilo, “Syaikh Nawawi of Banten: Texts, Authority, and the Gloss” Disertasi, Unpublished, New York: Columbia University, 1997. Woodward, Mark R. (ed.), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan AliFauzi, Bandung: Mizan, 1998 Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011
311
Maftuh
Woodward, Mark R., Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan, terj. Hairus Salim HS, Yogyakarta: LKiS, 1999. Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995. Zed, Mestika, “Pendidikan Kolonial dan Masalah Distribusi Ilmu Pengetahuan: Suatu Perspektif Sejarah” Sejarah: Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi, Vol.1, Jakarta: MSI bekerja sama dengan PT Gramedia Pustaka Utama, 1991 Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986.
312
Analisis, Volume XI, Nomor 2, Desember 2011