PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI BANTEN AWAL ABAD XX (Studi atas Mathla’ul Anwar)
KH. Ahmad Sadeli Karim, Lc (Ketua umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar)
Abstrak Banten memiliki keunikan tersendiri dibandingkan di tempat-tempat lain di Indonesia. Ia memiliki akar tradisi ketaatan kepada ajaran Islam yang sangat panjang itu, sejarah perjuangan dengan kolonialisme Belanda. Ketika angin pembaharuan menerpa hampir di seluruh daerah di nusantara pada awal-awal abad XX, Banten baru menerimanya pada tahun-tahun 1920-an. Artikel ini berusaha berhasil melacak sejarah pembaharuan pendidikan Islam di Banten. Kemudian, dengan metode komparatif, tulisan ini telah memberikan penjelasan yang lebih baik mengenai organisasi pendidikan Islam pertama di Banten yang menerapkan sistem pendidikan modern di dalam penyelenggaraan pendidikannya. Dalam konteks ini, penulis mengkaji institusi pendidikan yang eksis di Banten, yaitu Mathla’ul Anwar dengan mengemukakan aspek-aspek pembaharuan yang dilakukan. Lembaga pendidikan Islam ini merupakan pelopor pembaharu pendidikan Islam di daerah Banten yang berhasil mentransformasikan bentuk lembaga pendidikan Islam tradisional pesantren ke dalam bentuk madrasah, dan kemudian melahirkan para tokoh pendidikan Islam di seluruh wilayah Banten. Kajian terhadap lembaga ini menjadi relevan dan signifikan untuk memahami fenomena pendidikan Islam di Banten. Kata Kunci: pembaharuan Islam, pendidikan Islam, madrasah, sejarah Banten.
A. Pendahuluan Setidaknya hingga awal abad XX, penduduk Banten dikesankan oleh orang luar sebagai penganut pemahaman keagamaan yang ketat terhadap syariat, bahkan bisa dikatakan fanatik. Snouck Hurgronje misalnya, mengatakan bahwa dibandingkan dengan orang-orang Jawa lainnya, penduduk Banten lebih taat dalam melaksanakan kewajiban agama.1 Demikian pula penerus Snouck di Kantoor voor Inlandsche Zaken, G.F. Pijper, yang mengatakan bahwa hanya di Banten dan Cirebonlah ketaatan terhadap Islam terlihat secara nyata dibandingkan dengan umat muslim lain di seluruh Jawa.2 Dalam catatan sejarahnya terekam bahwa kontak penduduk Banten dengan Islam diduga telah terjadi pada masa-masa abad VII Masehi. Karena, sebagaimana para ahli sejarah mengatakan bahwa, letak Banten yang berada di dua jalur internasional, yaitu Selat Malaka dan Selat Sunda,3 ini menyebabkan ia menjadi tempat persinggahan para pedagang yang datang dari mancanegara4, salah satu di antaranya berasal dari Arab. Ketika Islam dibawa oleh para pedagang Arab itu ke Timur, barangkali Banten telah menjadi sasaran dakwah Islam.5 Islamisasi di Banten semakin intensif dengan kedatangan Syarif Hidayatullah dan putranya, Hasanuddin, yang berhasil menaklukkan penguasa sebelumnya yang berkedudukan di Banten Girang pada tahun 1525.6 Gelar yang dimiliki oleh ketiga penguasa Banten pertama, Hasanuddin, Yusuf dan Muhammad, bercorak keagamaan, yakni Maulana di depan nama mereka, menandakan bahwa mereka tidak hanya penguasa yang bersifat politis belaka, melainkan juga seorang yang memiliki otoritas dalam bidang agama. Begitu pun dengan para pengganti mereka. Untuk mengukuhkan dan melegitimasikan kekuasaan, mereka mengirim utusan khusus ke Mekkah untuk mendapatkan gelar dari Syarif Besar, selain untuk mencari ulama ahli fiqih untuk mengajar di Banten. Raja pertama yang mendapatkan gelar sultan adalah Abdul Qadir (1596-1651), dan selanjutnya gelar ini juga digunakan oleh raja-raja setelahnya.7 Sultan ini dikenal sebagai ulama yang shaleh dan banyak mengarang kitab ilmu agama yang kemudian disebarkan secara cuma-Cuma kepada rakyatnya. Konon, salah satu karangannya, Insan Kamil, dipegang oleh Snouck Hurgronje.8 1
Pada pertengahan abad XIX, seiring makin banyaknya orang-orang nusantara –dikenal dengan orang Jawi– yang pergi ke Mekkah, jamaah haji dari Banten menempati jumlah paling banyak.9 Orang-orang Banten yang bermukim di Mekkah juga merupakan kelompok yang paling terkemuka di antara orang-orang Asia Tenggara lainnya,10 di antara mereka yang paling menonjol adalah Syekh Nawawi al-Bantani.11 Kuatnya penduduk Banten terhadap ajaran Islam ini juga dikarenakan unsur-unsur yang membentuk kebudayaan mereka hampir tidak terdapat unsur peradaban Hindu.12 Dalam kenyataannya, pengaruh unsur Islam sangat menonjol,13 sehingga kadar sinkretisme Islam tidak kelihatan dibandingkan daerah-daerah yang telah begitu kuat pengaruh Hindu-Budha sebelumnya.14 Dapatlah dimaklumi bahwa agama Islam mempunyai pengaruh yang mendalam dalam kehidupan penduduk daerah tersebut. Terjadinya Revolusi Banten pada tahun 1888 dan 1926 juga tidak terlepas dari dorongan semangat keagamaan.15 Gerakan-gerakan tersebut banyak melibatkan para ulama yang merasa diganggu keberagamaannya oleh pemerintah kolonial. Tidak kurang dari 43 haji dan 90 guru agama yang terlibat dalam pemberontakan 1888 itu.16 Sementara pada 1926, sekitar 27 haji dan 11 guru agama dari 99 tahanan yang dibuang ke Boven Digul.17 Selain karena tradisi menjalin hubungan dengan pusat ajaran Islam yang telah giat dilakukan sejak masa-masa awal kesultanan Banten,18 kesadaran keagamaan yang kuat terhadap ajaran Islam ini juga tentu tidak terlepas dari proses pendidikan yang dilaksanakan oleh para penyebar Islam. Mereka secara intens menanamkan ajaran-ajaran Islam kepada penduduk Banten hingga melahirkan orang-orang Banten yang disebut oleh pemerintah kolonial sebagai fanatik, atau menurut lafal Bantennya, orang panatik.19 Pendidikan tersebut dilaksanakan di lembaga-lembaga seperti langgar, masjid, pesantren atau di rumah-rumah seorang tokoh agama. Sedangkan lembaga pendidikan yang disebut madrasah tidak dikenal hingga dekade pertama awal abad XX. Pada awal abad tersebut, pemerintah kolonial Belanda telah sepenuhnya menguasai seluruh daerah yang disebut Hindia Belanda.20 Administrasi birokrasi yang sebelumnya berada di tangan raja-raja lokal, kini telah terpusat pada pemerintahan Hindia Belanda. Pada saat inilah, kolonial Belanda meluncurkan Program Politik Etis-nya. Politik Etis ini kelak sangat menentukan kehidupan sosial keagamaan penduduk Banten, tidak terkecuali dalam bidang pendidikan Islamnya. Melalui Politik Etis ini pemerintah mengharapkan terjadinya masyarakat pribumi yang cepat dari pola statik, pola Asia, kepada suatu pola Barat di bawah pengayoman Belanda.21 Namun di sisi lain, selain sasaran transparan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di koloni, pada saat yang sama orang-orang Belanda menyembunyikan kepentingan terselubungnya. Meskipun kebijakan tersebut tidak secara terang-terangan dimaksudkan untuk mempromosikan cita-cita Kristiani, namun fakta menunjukkan bahwa korelasi keduanya sangat kuat. Berbagai subsidi terhadap sekolah dan lembaga misi, kini mulai diberikan secara terang-terangan.22 Pesantren yang menjadi basis pendidikan agama masyarakat muslim tidak mendapatkan perhatian sama sekali.23 Pemerintah berargumen bahwa hal itu dilakukan untuk menjaga netralitas terhadap agama apapun sebagaimana secara formal tertuang dalam konstitusi Belanda tahun 1855 dan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1871. Akan tetapi klaim tersebut tidak benar, karena pada saat yang sama pemerintah membantu pembangunan sekolah teologi Kristen.24 Di Banten, pendidikan dengan sistem modern yang didirikan oleh kolonial baru dibuka pada tahun 1910.25 Keterlambatan pendirian ini mengakibatkan jumlah anak-anak Banten yang masuk ke dalam sistem persekolahan ini adalah jumlah yang paling rendah di seluruh Jawa.26 Penyebab lainnya adalah rasa enggan yang mengidap di masyarakat Banten untuk memasukkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan tersebut. Dalam pandangannya, menyekolahkan anak-anaknya ke sekolahan yang didirikan oleh kaum kafir itu adalah haram, 2
atau setidaknya tidak dianjurkan dalam Islam.27 Lebih dari itu, rasa kebencian yang sangat mendalam karena banyak saudaranya yang dihukum gantung, dipenjara atau dibuang setelah peristiwa heroik pada tahun 1888 itu. Sehingga apapun yang berkaitan dengan kolonial, mereka menjadi sangat resisten terhadapnya. Kekhawatiran akan dimurtadkan apabila anakanaknya dimasukkan ke dalam persekolahan kolonial juga ikut mempertebal rasa enggan tersebut.28 Dengan demikian, lembaga pendidikan Islamlah yang menjadi pilihan utama orang tua dalam mendidik anak-anaknya pada saat itu. Namun di sisi lain, pendidikan Islam sudah saatnya untuk menawarkan pola pendidikan yang lebih maju, baik dalam hal kelembagaan, struktur materi, maupun metodenya, sehingga dapat mengimbangi sekolah-sekolah ala Belanda. Oleh karena itu, tulisan ini akan coba menelusuri perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam yang berkembang di masa awal abad XX. Pertanyaan yang akan dicari jawabannya dalam tulisan ini adalah, sejak kapan gerakan pembaharuan pendidikan Islam berlangsung di daerah Banten dan dengan cara bagaimana proses pembaharuan pendidikan Islam dilaksanakan? Pertanyaan-pertanyaan historis di atas tentu saja didasarkan pada sebuah fakta bahwa, sama seperti di daerah lainnya di Indonesia, Banten menjadi salah satu tempat terjadinya gerakan pembaharuan pendidikan Islam, hanya saja mungkin dengan cara yang agak berbeda dengan yang terjadi di tempat lain dan waktu dimulainya gerakan pembaharuan tersebut. B. Pendidikan Islam di Banten Sebelum Abad XX Dengan datangnya Islam di Banten, sudah barang tentu terjadi pula apa yang disebut dengan pendidikan Islam. Barangkali proses pendidikan yang dilakukan masih bersifat informal dan bersifat indivual, pada saat bertemu dengan para penyebar Islam dan penduduk Banten. Saat itulah proses pendidikan Islam terjadi,29 hanya saja tempat dan kapan hal itu dilaksanakan belumlah terjadwal dengan rapi, seperti pada saat sekarang ini. Namun, ketika komunitas umat muslim terbentuk, maka didirikanlah langgar atau masjid sebagai tempat ibadah shalat lima waktu dan tempat belajar-mengajar agama Islam. Hal itulah yang dilakukan oleh Syarif Hidayatullah dan Maulana Hasanuddin dengan membangun sebuah masjid di tepi Barat sungai Cibanten Barat, yang di kemudian hari dikenal dengan Masjid Pecinan Tinggi.30 Kemudian penggantinya, Maulana Yusuf, juga membangun Masjid Kasunyatan yang berfungsi selain tempat shalat juga sebagai tempat berkumpulnya para ulama bahkan dari mancanegara.31 Ulama yang sangat terkenal di antara mereka adalah Syekh Abdul Syukur dan Syekh Ahmad Madani, yang sengaja diundang ke Banten untuk mengajar agama Islam di Kasultanan Banten.32 Ketika orang-orang Belanda pertama kalinya datang ke Banten pada tahun 1596, mereka menyaksikan bahwa orang-orang Banten memiliki guru-guru yang berasal dari Mekkah, Tanah Arab, dan berlangsung di istana dan masjid-masjid penting di Banten.33 Lembaga pendidikan Islam yang dinamakan pesantren, menurut Martin van Bruinessen, agaknya baru muncul belakangan yaitu abad XVIII dan berkembang pesat sejak paruh kedua abad XIX.34 Namun dimungkinkan pula pesantren telah ada pada abad XVII, atau bahkan barangkali jauh lebih awal lagi. Karena berdasarkan hasil penelusuran penulis lain diketahui bahwa pusat pendidikan Islam di Indonesia yang merujuk ke pesantren telah ada pada tahun 1470.35 Oleh sebab itu, wajar saja Professor Drewes kemudian meyakini bahwa pesantren telah ada pada abad XVII. Hal itu, menurutnya, terbukti dari salah satu kitab awal berbahasa Jawa disusun oleh seorang kyai yang memimpin pesantren di daerah Gunung Karang, Banten. Dalam Serat Centhini memang disebutkan bahwa tokoh utama, Jayengresmi belajar di sana – pada akhir tahun 1630-an atau awal abad 1640-an – di bawah bimbingan seorang guru keturunan Arab Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar alias Ki Ageng Karang. 36 Terlepas dari perdebatan mengenai kapan muncul pertama kali pesantren di Banten, 3
namun agaknya orang sepakat bahwa Banten sebelum abad XX telah menjadi salah satu pusat pendidikan Islam terpenting di nusantara.37 Banyaknya para ulama yang singgah dan belajar di Banten membuktikan akan hal itu. Salah satu dari ulama terkenal yang pernah belajar di sana adalah Syaikh Yusuf al-Maqassari (1627-1699).38 Kemungkinan ulama ini belajar di salah satu pusat pendidikan Islam di Banten yang di antaranya terdapat – untuk sekedar menyebut lokasi – di Tanara, Tubuy, Muruy, Caringin, Cilegon, Bojonegara, Pontang dan sebagainya.39 Dugaan Drewes yang mengatakan bahwa pesantren telah ada pada abad XVII di Banten dapatlah dipahami mengingat semaraknya pendidikan Islam di Banten pada saat itu meniscayakan sebuah lembaga pendidikan yang representatif. Apabila lembaga tersebut masih berupa masjid yang sekaligus juga digunakan untuk shalat lima waktu, maka hal itu perlu diragukan. Sebagaimana sejarah pendidikan Islam di negeri Arab sendiri yang semula dari masjid kemudian ditransformasikan ke lembaga pendidikan yang berbentuk madrasah,40 maka demikian pula agaknya yang terjadi di Banten. Pesantren diperlukan untuk secara khusus sebagai tempat belajar-mengajar, sedangkan masjid dikembalikan fungsi utamanya sebagai tempat ibadah shalat lima waktu. Secara statistik, jumlah lembaga pendidikan Islam pesantren ini amat sulit diperoleh keterangan yang dapat dipercaya.Kolonial Belanda sering kali memberikan laporan yang sebenarnya mereka sendiri belum pernah mengunjungi lembaga pendidikan Islam tersebut. Di samping itu, bentuk pendidikan pesantren ini dianggap tidak begitu penting bagi Inspeksi Pendidikan, sehingga keadaan dan statistik pesantren selalu tidak lengkap.41 Kendati pun begitu, untuk tujuan penulisan ini gambaran mengenainya sedapat mungkin akan dipaparkan. Dalam tahun-tahun 1860-an, pesantren dilaporkan berjumlah sekitar 300 buah, dan di antaranya hanya beberapa saja yang menampung santri lebih dari 100 orang.42 Di Banten sendiri pada masa ini jaringan pesantren dilaporkan sebagai sangat padat dan menyebar di seluruh Banten, tempat di mana pendidikan Islam melaksanakan pendidikan dasar.43 Steenbrink mencatat lima macam guru yang mengajarkan agama pada abad ini, yaitu guru ngaji Al-Qur’an, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu gaib, dan guru yang tidak menetap pada suatu tempat.44 Ketika penguasa Hindia Belanda pada tahun 1819 melakukan survey pertama mengenai pendidikan pribumi yang sudah dilakukan di Jawa, dilaporkan bahwa hanya kota Serang dan Banten saja ada “pendeta” yang mengajarkan membaca dan menulis. Di Serang juga terdapat beberapa guru biasa. Sedangkan di tempat lain tidak ada pendidikan sama sekali, dan tingkat melek huruf sangat rendah.45 Pada tahun 1893, jumlah pesantren di Banten yang disebut “hoogeere priesterscholen” (sekolah tinggi agama) ini berjumlah 104.46 Banyaknya ulama Banten yang lahir pada masa-masa ini membawa kita kepada dugaan bahwa mungkin saja jumlah yang diberikan di atas tidak sesuai dengan data yang sebenarnya di lapangan. Ulama-ulama terkemuka – untuk mengajukan beberapa contoh – misalnya Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Abdul Karim, Syekh Asnawi Caringin, Syekh Marjuki, K.H. Wasyid dan lain-lain, sangat mungkin mereka lahir dari pesantren-pesantren lokal sebelum mereka meneruskan pendidikannya di Mekkah. Dan oleh karenanya, jumlah yang dilaporkan kolonial dapat pula bertambah. Pesatnya pendidikan Islam di akhir abad tersebut salah satunya disebabkan hubungan antara Banten dengan pusat ajaran Islam semakin intensif. Hal itu terjadi sejak dibukanya Terusan Suez dan telah digunakannya kapal bertenaga uap. Tradisi berziarah dan sekaligus menuntut ilmu agama ke Mekkah yang telah tertanam kuat sejak masa kesultanan, diteruskan orang-orang Banten di masa kemudian. Perjalanan yang berbahaya dan biaya yang sangat besar tidak menyurutkan semangat mereka. Beberapa kali pemerintah kolonial berupaya menghambat, malah semakin menambah kecurigaan mereka akan maksud pemerintah kolonial.47 Dalam catatan Sartono Kartodirdjo, jumlah secara pukul rata jamaah haji tiap tahunnya dari Banten ini sekitar 1600-an pada tahun 1850-an dan 1860-an. Lalu pada tahun 1870-an jumlahnya hampir mencapai 2600-an, sedangkan tahun-tahun 1880-an meningkat 4
lagi menjadi 4600-an.48 Jumlah yang semakin meningkat dari tahun ke tahun tersebut,49 seiring bertambahnya jumlah lembaga pendidikan Islam di Banten. Sebab di antara para guru yang mengajar di Banten itu adalah orang yang sudah berhaji.50 Para haji yang mendirikan lembaga pendidikan Islam itu dikarenakan ketika mereka berada di Mekkah bertemu dengan saudara-saudara mereka sesama muslim dari seluruh dunia. Hal itulah yang menyadarkan akan identitas keislaman mereka.51 Tambahan lagi, dalam perjalanan yang membutuhkan waktu yang lama mereka juga berkesempatan menyaksikan perkembangan dunia Islam lain. Pada saat yang sama di daerah mereka sendiri, ancaman kolonial Belanda dan penetrasi misi Kristen terlihat secara nyata.52 Faktor-faktor inilah di antaranya yang mendorong mereka mendirikan lembaga pendidikan Islam sekembalinya dari Mekkah. Demikianlah gambaran pendidikan Islam di Banten sebelum abad XX. Terlihat bahwa lembaga pendidikan Islam yang bernama madrasah belum dikenal. Lembaga ini di Indonesia merupakan fenomena baru yang baru dikenal pada awal abad XX. Kelahiran lembaga modern ini tidak terlepas dari adanya ide-ide pembaharuan pemikiran Islam yang menemukan momentumnya pada masa-masa itu. Pembahasan pendidian Islam awal abad XX dalam tulisan ini lebih difokuskan pada dua lembaga pendidikan Islam di Banten, yaitu Mathla’ul Anwar. Lembaga pendidikan Islam ini dapat dikatakan sebagai pelopor pembaharu pendidikan Islam di daerah Banten.53 Mathla’ul Anwar berhasil mentransformasikan bentuk lembaga pendidikan Islam tradisional pesantren ke dalam bentuk madrasah. Dari lembaga pendidikan Islam inilah kemudian lahir para tokoh pendidikan Islam di seluruh wilayah Banten. Oleh karena itu, kajian terhadap Mathla’ul Anwar menjadi relevan dan signifikan untuk memahami fenomena pendidikan Islam di Banten. C. Pelopor Pembaharuan Pendidikan Islam di Banten Latar belakang pembaharuan pendidikan Islam di Banten tidak jauh berbeda dengan di tempat-tempat lain di Indonesa.54 Kendati demikian, Banten memiliki keunikan tersendiri dibandingkan di tempat-tempat lain di Indonesia. Sebagaimana William katakan, Banten yang telah memiliki akar tradisi ketaatan kepada ajaran Islam yang sangat panjang itu, merasa kesulitan untuk menerima ide-ide modernisme. Karena menurut pandangannya, mendukung ide-ide tersebut sama dengan mengakomodasi Belanda yang sedang mereka benci. Ketika angin pembaharuan menerpa hampir di seluruh daerah di nusantara pada awal-awal abad itu, Banten baru menerimanya pada tahun-tahun 1920-an.55 Steenbrink menggambarkan bahwa awal abad XX, telah terjadi apa yang disebut sebagai kebangkitan, pembaharuan (renaissance) atau bahkan pencerahan.56 Bagi tokoh-tokoh pembaharu, pendidikan kiranya senantiasa sebagai aspek yang strategis untuk membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat. Dari pandangan seperti inilah terwujud lembaga pendidikan Islam baru yang dinamakan madrasah.57 Di samping itu, kenyataan makin merakyat sekolah-sekolah sekuler kolonial Belanda dan sikap diskriminatif dari pemerintah terhadap rakyat pribumi, juga ikut mendorong lahirnya lembaga pendidikan madrasah ini.58 Sebagaimana disinggung di awal tulisan ini, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan penting yang menentukan masa depan pendidikan di nusantara ini. Kebijakan tersebut adalah Politik Etis (Etische Politiek). Inti dari kebijakan ini adalah emansipasi bangsa Indonesia secara berangsur-angsur.59 Dari sinilah kemudian lembaga-lembaga pendidikan dengan sistem Barat diperkenalkan sampai ke lapisan golongan bawah, yang sebelumnya hanya dinikmati secara eksklusif dari kelompokkelompok terpilih menurut ukuran Belanda.60 Berdasarkan kenyataan ini umat Islam meresponnya dengan melakukan sintesa antara lembaga pendidikan pesantren dengan 5
persekolahan Belanda sehingga melahirkan bentuk lembaga pendidikan Islam madrasah.61 Tambahan pula, kelahiran madrasah tersebut dimaksudkan untuk menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen.62 Di mata umat Islam, pemerintah kolonial sering dipersepsikan sebagai pemerintahan Kristen. Sekolah-sekolah Kristen yang umumnya diberi subsidi oleh pemerintah kolonial, sering mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi muridmurid Islam. Sekolah negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda suatu aliran gereja.63 Semua ini ikut merangsang para pembaharu untuk menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen tersebut.64 Tercatat dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia, tokoh-tokoh dan organisasi yang telah berjasa mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia. Untuk mengajukan contoh misalnya Abdullah Ahmad. Dia disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali menerapkan sistem klasikal, menggunakan bangku, meja dan papan tulis dalam proses belajar mengajarnya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Adabiyah pada tahun 1907.65 Pembaharuan-pembaharuan pendidikan Islam banyak terlihat di daerah-daerah lain. Akan tetapi secara umum memiliki pola dan format yang tidak jauh berbeda baik di luar Jawa maupun di Jawa. Dalam konteks ini, Azyumardi Azra mengatakan bahwa pembaharuan pendidikan Islam tersebut telah memunculkan dua bentuk kelembagaan pendidikan modern Islam, yaitu: pertama, sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan pengajaran Islam; kedua, madrasah-madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda.66 Contoh dari bentuk pertama misalnya HIS Adabiyah dan sekolah-sekolah umum – tetapi met de Qur’an, sedangkan yang kedua adalah madrasah Mathla’ul Anwar. Madrasah Mathla’ul Anwar67 Mathla’ul Anwar didirikan pada tanggal 11 Syawal 1334/10 Juli 1916 di Menes, Pandeglang, Banten, oleh sejumlah tokoh agama seperti K.H. Entol M. Yasin. KH.Tb. Muhammad Sholeh, K.H. Mas Abdurrahman dan lain-lain.68 Ide pendirian Mathla’ul Anwar ini berawal dari K.H. E. Moh. Yasin sekembalinya dari sebuah rapat di Bogor yang digagas oleh H. Samanhudi, pendiri Syarikat Dagang Islam (SDI), pada 1908. Sebagai tindak lanjutnya, E. Yasin mendatangi rekan-rekannya yang berada di sekitar Menes, antara lain K.H. Tb. Moh. Sholeh dari kampong Kananga dan beberapa orang kyai lainnya. Dalam pertemuan itu dihasilkan kesepakatan bahwa, diperlukan sebuah perkumpulan untuk mengatasi keadaan yang sulit sebagai akibat kontrol yang berlebihan dari pemerintah kolonial terhadap para ulama, setelah terjadinya revolusi di Cilegon pada tahun 1888. Perkumpulan tersebut juga dimaksudkan untuk mengajak masyarakat kembali kepada Islam sebagai satusatunya kebenaran dan cara hidup. Setelah beberapa pertemuan berjalan, pada permulaan tahun 1916 diputuskanlah bahwa perlu didirikan lembaga pendidikan Islam.69 Namun pada saat akan mewujudkan gagasan tersebut ditemukan sejumlah kendala teknis, yang salah satunya adalah tidak adanya orang yang memiliki kecakapan untuk mengelola madrasah yang akan didirikan. Dalam pandangan para kyai tersebut, orang yang dimungkinkan mampu memimpinnya haruslah orang yang telah pernah tinggal di Mekkah dalam waktu yang cukup lama.70 Akhirnya mereka segera teringat pada sosok pemuda yang baru pulang dari Mekkah pada 1915, yaitu Mas Abdurrahman. Pada pertemuan yang diselenggarakan tanggal 10 Juli 1916, para kyai mengundangnya untuk membicarakan kesediannya memimpin madrasah yang akan didirikan. Gayung pun bersambut. Mas Abdurrahman menyanggupinya. Bahkan memberikan usulan nama bagi madrasah tersebut, yaitu Mathla’ul Anwar (Mat}la’ al-‘Anwa>r) yang berarti tempat lahir cahaya-cahaya. Para kyai menerima usulan itu, dan bersama-sama dengan masyarakat madrasah pun akhirnya berdiri. Berbeda dengan lembaga pendidikan Islam yang sudah diasuh para kyai pendiri itu, 6
madrasah ini menggunakan peralatan-peralatan modern seperti papan tulis, bangku dan meja. Sistem pembelajarannya pun telah menggunakan sistem klasikal yang terdiri atas kelas A, B, dan I. Pada 1920, jumlah kelas ditambah sehingga menjadiA, B, I, II, III, IV, dan V. Setelah putra K.H.E. Moh, Yasin kembali dari belajarnya di Universitas al-Azhar, Mathla’ul Anwar dirubah menjadi sembilan kelas: A, B, I sampai dengan VIII. Sistem ini terus berjalan hingga akhirnya pada tahun 1950 diganti dengan sistem baru yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada tahun 1925, Mathla’ul Anwar mendirikan madrasah khusus untuk perempuan. Sebagai pimpinan madrasah ini diangkatlah Hj. Siti Zainab, putri dari Entol Yasin dan juga menantu Tb. Sholeh. Nyi Kulsum dan Nyi Afiyah diangkat pula sebagai tenaga pengajar di madrasah khusus putri ini. Di bawah kepemimpinan mereka, madrasah berkembang dengan cepat. Ratusan anak yang sebagian besar berasal dari sekitar Menes berdatangan untuk menjadi murid di lembaga ini. Namun karena terjadinya perpecahan pada tahun 1939, Siti Zainab mengundurkan diri dari jabatannya. Akibatnya, aktivitas madrasah berangsur-angsur menurun dan kemudian akhirnya tutup pada tahun 1944.71 Didirikannya madrasah khusus perempuan ini mungkin meniru model pendidikan yang berada di Timur Tengah yang memang memisahkan secara tegas tempat belajar berdasarkan jenis kelaminnya masing-masing. Namun dalam konteks Indonesia, madrasah seperti ini telah pernah dipraktikkan pertama kali oleh Rahmah El-Yunusiyah dengan mendirikan Madrasah Diniyah Putri pada tahun 1923.72 Sedangkan dalam bentuk persekolahan malah muncul lebih awal lagi, yaitu Sekolah Gadis di Jepara tahun 1903 oleh R.A. Kartini, Sakola Istri tahun 1904 di Bandung oleh Rd. Dewi Sartika dan Kerajinan Amal Setia tahun 1905 di Bukittinggi oleh Rohana Kudus.73 Sementara itu, madrasah khusus putra yang dikelola oleh Mas Abdurrahman sebagian besar tenaga pengajarnya terdiri atas kyai-kyai muda yang berada di Menes. Namun pada akhir 1920-an, Mas Abdurrahman memutuskan untuk tidak lagi mengajar melainkan memfokuskan diri hanya sebagai mudir> . Dengan posisi dan otoritas penuh yang dimilikinya, dia mendesain kurikulum baru dan menentukan buku-buku pegangan sebagai bahan ajarnya. Kurikulum yang sebelumnya melulu diabdikan seratus persen untuk ilmu-ilmu agama, kemudian dirubah dengan memasukkan ilmu-ilmu umum di dalamnya seperti bahasa Indonesia, latihan menulis Latin, aritmatika, sejarah dunia, geografi dan ilmu-ilmu alam.74 Dengan demikian, walaupun sistem klasikal telah diterapkan sejak berdirinya madrasah tahun 1916, namun ternyata madrasah ini baru mengadopsi kurikulum umum di akhir-akhir tahun 1920-an. Tidak diperoleh keterangan yang meyakinkan bahwa sebelum itu Mathla’ul Anwar telah mengajarkan juga ilmu-ilmu umum. Pendapat Bruinessen yang mengatakan bahwa Mathla’ul Anwar adalah madrasah pertama di Banten yang telah memasukkan ilmuilmu umum di dalam kurikulumnya,75 patut dipertanyakan. Di samping dia tidak menyebutkan sumber apa pun dari mana informasi tersebut diperoleh, hal itu juga tidak sesuai dengan kenyataan sejarah bahwa pembaharuan pemikiran Islam di wilayah Banten baru dimulai sekitar 1920-an.76 Menarik apabila dikaji lebih jauh mengenai “keterlambatan” pengadopsian ilmu-ilmu umum ini. Padahal di tempat lain, lembaga pendidikan Islam yang berbentuk madrasah pada masa-masa ini biasanya sekaligus juga berarti memasukkan mata-mata pelajaran umum. Memang harus diakui bahwa, sistem klasikal yang diterapkan di Mathla’ul Anwar, sejauh kajian ini, adalah lembaga pendidikan Islam pertama di Banten yang memeloporinya. Kita akan lihat di bawah ketika mengkaji al-Khairiyah, bahwa Sembilan tahun setelah Mathla’ul Anwar berdiri, al-Khairiyah menggunakan sistem klasikal sekaligus juga ilmu-ilmu umum dalam mata-mata pelajaran yang diberikannya. Patut dipertimbangkan pendapat yang mengatakan bahwa sebagian para alumni pendidikan di Mekkah yang telah kembali ke Indonesia, ikut memperkuat atau bahkan memperbanyak system pendidikan Islam tradisional, sedangkan sebagian para alumni al7
Azhar yang kembali ke Indonesia membuka madrasah dengan memberikan mata pelajaran umum, di samping mata pelajaran agama.77 Mas Abdurrahman yang dipercayai memimpin madrasah Mathla’ul Anwar ini adalah salah seorang alumni pendidikan di Mekkah tersebut. Pada setiap akhir tahun ajaran (h}aul), para siswa madrasah Mathla’ul Anwar mengikuti ujian. Aturannya adalah, apabila siswa berhasil melewati ujian ini dengan baik maka dia berhak untuk melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi. Namun sebaliknya, apabila dia gagal dalam ujian, dia harus tetap “kerasan” untuk tinggal di kelas yang sama selama satu tahun berikutnya. Bagi siswa yang cerdas dan tekun, maka dia dapat meloncat ke kelas yang lebih tinggi satu atau dua tahun di atasnya. Peristiwa seperti ini pernah dialami oleh Sarnaka yang hanya menghabiskan waktu 4 tahun, dari yang umumnya ditempuh selama 9 tahun.78 Ujian akhir tahun ini langsung ditangani oleh Mas Abdurrahman bersama guru-guru yang lain. Biasanya ujian berlangsung antara bulan Safar dan bulan Rabi’ul Awal. Setelah ujian, diadakan perayaan kelulusan (ih{tifalan) di setiap tahunnya. Ih{tifalan ini berlangsung di bulan Rabi’ul Akhir. Pada saat inilah ijazah dibagikan kepada para siswa yang telah lulus. Bagi para pemegang ijazah, mereka diberi hak untuk mengajar di madrasah lain atau di madrasah yang didirikannya sendiri, yang umumnya juga berafiliasi ke madrasah Mathla’ul Anwar sebagai madrasah induk.79 Dari para alumninya itulah Mathla’ul Anwar kemudian memiliki cabang di mana-mana. Ketika Mathla’ul Anwar melaksanakan kongres untuk pertama kalinya tahun 1936, dilaporkan telah memiliki 40 cabang di tujuh wilayah yang berada di Jawa Barat dan Lampung. Melihat kenyataan demikian, kongres akhirnya memutuskan agar dilakukan klasifikasi madrasah ke dalam dua kategori. Pertama, madrasah yang berlokasi di Simanying Menes sebagai pusat pendidikan. Kedua, madrasah-madrasah cabang. Untuk menjaga kualitas para lulusan, maka madrasah cabang hanya boleh membuka kelas sampai kelas IV saja. Sedangkan bagi siswa yang ingin melanjutkan harus pergi ke pusat di mana Mas Abdurrahman yang langsung membimbingnya secara perseorangan. Pada tahun 1940, Mathla’ul Anwar mendirikan madrasah yang dinamakan dengan Madrasah Arabiyah yang dikepalai oleh Kyai Humaidi dari Salatiga. Untuk mengisi tenagatenaga pengajarnya, maka dikirimlah beberapa siswa terpilih ke madrasah yang didirikan Jami’at Khair di Jakarta. Jami’at Khair dipercaya sebagai tempat pendidikan bahasa Arab yang baik, karena para pendirinya adalah orang-orang Arab. Lembaga orang-orang Arab ini berdiri pada tanggal 17 Juli 1905, dan terbuka untuk anak-anak yang bukan keturunan orang Arab.80 Pendidikan yang diselenggarakannya sangat menekankan bahasa Arab sebagai alat untuk memahami sumber-sumber Islam. Mathla’ul Anwar dalam mendirikan Madrasah Arabiyyahnya dimungkinkan terinspirasi dari organisasi orang-orang Arab ini. Lebih jauh, untuk memperluas cakrawala pemikiran para guru Mathla’ul Anwar, dilaksanakan pula kursus ilmu falak yang dibimbing oleh Kyai Sabrawi dari Pekalongan yang terkenal sebagai ahli falak.81 Perkembangan yang pesat di madrasah pusat menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang berasal dari luar Pandeglang. Para orang tua yang berasal dari Bogor, Tangerang, Lampung dan lain-lain berduyun-duyun membawa anak-anaknya untuk dididik di lembaga pendidikan ini. Ketika terjadi pergolakan PKI pada tahun 1926,82 madrasah ini dilaporkan telah memiliki siswa sebanyak 300 orang.83 Madrasah ini semakin berkembang dengan cabang-cabangnya di berbagai daerah di Indonesia setelah pemerintahan Hindia Belanda berakhir. Madrasah Mathla’ul Anwar tidak hanya sebagai pelopor lembaga pendidikan Islam modern di Banten akan tetapi juga telah menjadi model bagi madrasah-madrasah Banten lain yang berdiri setelahnya.
8
D. Penutup Dari penelusuran terhadap dua pelopor pembaharu pendidikan Islam di Banten ini, tampak bahwa sistem pendidikan kolonial Belanda merupakan salah satu model yang dicontoh untuk diterapkan dalam sistem pendidikan Islam tradisional sehingga lahir lembaga pendidikan Islam baru yang bernama madrasah. Memang, dalam sejarahnya, madrasah ini telah lama dikenal di Timur Tengah setidaknya sejak abad V Hijriyah (XI Masehi), dan yang terkenal di antaranya adalah Madrasah Nizhamiyah. Namun di Indonesia, lembaga pendidikan dengan bentuk madrasah ini baru dikenal pada awal-awal abad XX. Kelahirannya di Indonesia ini tidak lain adalah sebagai respons terhadap kebijakan pendidikan kolonial yang dikriminatif dan adanya gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang terjadi di dalam umat Islam Indonesia. Namun, gerakan pembaharuan di Banten ini boleh dikatakan agak terlambat dibanding dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Gerakan modernisasi pendidikan Islam di Banten tersebut baru menyebar sekitar tahun-tahun 1920-an, sementara daerah lain bahkan sudah jauh lebih awal dari itu. Mathla’ul Anwar merupakan organisasi pendidikan Islam pertama di Banten yang memelopori diterapkannya sistem klasikal dalam proses belajar mengajarnya. Namun ternyata pengadopsian sistem klasikal tersebut tidak berarti juga sekaligus mengadopsi ilmuilmu umum ke dalam kurikulumnya. Desain kurikulum campuran antara ilmu-ilmu umum dengan ilmu-ilmu agama baru dilakukannya pada saat-saat mendekati tahun 1930-an. Pada masa-masa akhir kekuasaan kolonial Belanda, organisasi pendidikan itu telah memiliki cabang yang tersebar luas bahkan sampai luar wilayah Banten. Madrasah-madrasah lain yang muncul belakangan dapat dikatakan memiliki corak yang sama dengan sistem yang dipraktikkan di organisasi pendidikan tersebut. .
9
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qodir, Aceng, “Biografi K.H. Mas Abdurrahman Mengenai Didaktik Methodiknya dalam Pendidikan Agama Islam,”Skripsi, Cikaliung: Sekolah Tinggi Ahama Islam Mathla’ul Anwar, 1999. Abdullah, Taufik, dkk., Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: Majlis Ulama Indonesia, 1991. Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987 Alfian, Politik Kaum Modernis: Perlawanan Muhammadiyah Terhadap Kolonial Belanda, terj. Machnun Husein, Jakarta: al-Wasath Publishing House, 2010. Ali, Mufti, Misionarisme di Banten, Banten: IAIN Sultan Maulana Hasanudin Banten, 2009. Amin, Samsul Munir, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani, Yogyakarta: LKiS, 2009 Arief, Armai, Pembaharuan Pendidikan Islam di Minangkabau, Jakarta: Suara ADI, 2009. Asrahah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Atsushi, Ota, Changes of Regime and Social Dynamics in West Java: Society, State and the Outer World of Banten, Leiden: EJ Brill, 2006. Azra, Ayzumardi, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, terj. Iding Rosyidin Hasan, Bandung: Mizan, 2002 Azra, Ayzumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, cet. ke3, Bandung: Remaja Rosdakarya,2006 Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, cet. ke-3 Bandung: Mizan, 1995. Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999 Baydiyah, Zakiyatul, “Perkembangan dan Pertumbuhan Perguruan Islam al-Khairiyah Citangkil-Cilegon 1916-1945,” Skripsi, Serang: STAIN, 2002. Benda Harry J., dan Ruth T. McVey (Eds.), The Communist Uprisings of 1926-1927 in Indonesia: Key Documents, Ithaca: Cornell University, 1960. Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terj. Daniel Dhakidae, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1980 Berg, L.W.C. van den, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, terj. Rahayu Hidayat, (Jakarta: INIS, 1990. Buresh, Scott Allen, “Pesantren-Based Development: Islam, Education, and Economic Development in Indonesia” Dissertation, unpublished, USA: University of Virginia, 2002 Burhanudin, Jajat (ed.), Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002. Daulay, Haidar Putra, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacana Ilmu, 2001. Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007. 10
Daya, Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990 Departemen Agama, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2006 Dhofier, Zamahsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982. Djuwaeli, Irsyad, Membawa Mathla’ul Anwar ke Abad XXI, Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1997. Djuwaeli, Irsyad, Pembaharuan Pendidikan Islam, Jakarta: Karsa Utama Mandiri dan PB Mathla’ul Anwar, 1997 Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996.
11