VIII. VEIUFIKASI MODEL Madel M
i yang dirancang di dalam sistem penunjang keputusan ini
guna membantu pengguna dalam proses pengambilan keputusan perencanaan pengembangan agroindustri kelapa sawit dengan sistem kemitraan usaha agrindustri kelapa sawit. Ada empat pengguna yang berkepentingan dalam model
ini, yaitu: 1) investorlpengusaha pekebunan kelapa sawit yang akan mernbangun dan mengeloh perusahaan perkebunan sebelurn dialihkan ke koperasi pekebun, 2) Koperasi
Pekebun
yang
akan
melanjutkan
pengelolaan
usaha
dari
investorlpengusaha perkebunan, 3) Lembaga pembiayaan usaha sebagai
penyandang dana untuk membiayai pengembangan agroindustri kelapa sawit dan 4) Pemerintah daerah sebagai lembaga pembina dan pemberi izin dalam
pengembangan usaha perkebunan dan agroindustri ketapa sawit di daerahnya. Petunjuk instalasi dan pengoperasian Model Mitrawit disajikan pada Lampiran 27. 8.1. Sub Madel Pemilihan Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit (Moteknog)
Pengembangan agroindustri dalam brbagai penelitian terdahulu (Didu, 2000; Basdabella, 2001) menyatakan bahwa aspek teknologi terutama pengotahan
TBS mernegang peranan penting =lama perencanaan dan operasionalisasi. Oleh
karena itu aspek teknobgi dalam model Mitrawit menjadi tahap awal dari rencana keseluruhan pada pengembangan agroindustri kelapa sawit Model ini diramng untuk membantu pengarnbil keputusan dalam proses menentukan prioritas teknologi pengotahan kelapa sawit yang akan digunakan
dalam mengembangkan perkebunan rakyat dengan sistem kemitraan. Menurut Brown (1994) pemilihan teknologi pada hampir semua operasi pengdahan terdiri atas dua kategofi: pemilihan diantara jenisjenis petalatan dan mesinmesin yang krbeda yang mengerjakan proses yang sama, dan pemilihan diantara proses yang menghasilkan suatu produk akhir yang sama.
Pengolahan TBS untuk menjadi produk CPO terdiri atas beberapa tahapan
yaitu: perebusan TBS. prontokan dan pelumatan buah, pengadukan (digestion), pemerasan dan ekstraksi minyak sawit, pernumian dan penjernihan minyak sawit. Secara umum teknologi proses pengolahan TBS pada PKS skala keel tidak jauh berbeda dengan PKS skala besar (Poeloengan, 1999). Proses yang berbeda
terjadi pada tahapan proses perebusan (sterilizer) dalam ketel uap dan pelumatan dan ekstraksi minyak yang bertujuan untuk mengambil minyak dari masa adukan.
Pada teknologi pengolahan kelapa sawit super mini (PKS kapasitas 500 kg sampai 1 ton TBSljam) dan mini (5 ton TBSljam) ketel uap (boil86 menggunakan bahan bakar solar, teknologi pengolahan kelapa sawit besar (30 ton TBS/jam atau lebih) bahan bakarnya dengan mernanfaatkan fibre dan canghng kelapa sawit yang merupakan hasil samping pengotahan TBS. Oleh karena itu dari segi teknologi prosesnya teknologi pengolahan kelapa sawit besar lebih efisien dibanding dengan teknologi pengolahan kelapa sawit super mini dan ,mini. Teknologi pengolahan kelapa sawit mini, proses pelumatan dan ekstraksi minyak rnenggunakan teknologi Camusel Centrifuge Separator dengan prinsip sentrifugasi. Alat yang dipakai berupa tabung baja silindris yang beriubang-lubang pada bagian dindingnya. Buah yang telah lumat dimasukkan kedalam tabung, lalu I
diputar.
Dengan adanya gaya sentrifugasi maka minyak akan keluar melalui
lubang-lubang pada dinding tabung. Ekstraksi minyak dengan prinsip sentrifugasi mempunyai beberapa
kelebihan antara lain: (1) minyak yang dihasilkan mempunyai kadar kotoran dan padatan selain minyak (non oil solid) relatif lebih rendah dibandingkan dengan cara
screw press, (2) biji kelapa sawit tidak mengalami pecah karena tekanan krlebihan dari alat ekstraksi seperti proses ekstraksi dengan screw press dan (3) meringankan beban kerja dari peralatan klarifikasi dan pemurnian minyak.
Teknologi pengotahan kelapa sawit lainnya ekstraksi dengan cara screw
press adalah menekan bahan lumatan dabm tabung yang berlubang dengan alat
ulir yang brputar sehingga minyak akan keluar lewat lubang-lubang tabung. Kelemahan cara ini pada tekanan yang terlalu kuat akan menyebabkan banyak biji pecah.
Pada model ini. pengguna hanya memasukkan (input) altematif-alternatif teknologi pengolahan kelapa sawit dan kriteria-kriteria pemilihan teknologi pengolahan kelapa sawit tersebut. Jumlah alternatif teknologi dan kriteria pemilihan merupakan suatu input dari pengguna, bukan merupakan nilai yang tetap. Hal ini memungkinkan agar model ini lebih fleksibel sesuai dengan keinginan pengguna. Pemilihan teknologi pengolahan kelapa sawit menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Alternatif teknologi pengolahan kelapa sawit yang diseleksi terdiri atas: Teknologi pengolahan kelapa sawit supermini (Al),
teknologi pengolahan kelapa sawit mini (AZ), dan teknologi pengolahan kelapa
sawit besar (A3).
Faktor yang dijadikan kriteria pemilihan adalah ketersediaan
modal (Kl), ketersediaan bahan baku (K2), ketersediaan SDM (K3), biaya transportasi TBS (K4),biaya produksi CPO (K5) dan tingkat penyerapan teknologi
I
Pada penentuan teknologi pengotahan kelapa sawit terlebih dahulu menentukan bobot masing-masing kriteria pemilihan teknologi pengolahan kelapa
sawit, penentuan bobot masing-masing kriteria dan nitai skor masing-masing alternatif teknobgi pada setiap keriteria dilakukan oleh para pakar responden. Penentuan prioritas teknologi pengolahan (PKS) terpdih dengan mengurutkan total nilai yang terksar hingga yang terkecil dari alternatif-afternatif teknologi pengolahan yang ada. Hasil pemilihan teknologi pengolahan kelapa sawit disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Matriks keputusan manajemen tekndogi pengotahan kelapa sawit Alternatif "k"logi Pengolahan A1
Kriteria
'
K1
K2
K3
K4
K5
K6
Total Nil4
3,63 3,63 2,OO 2,88 442,40 4,OO 3,63 3,63 3,OO 3,17 455,88 3,OO 2,60 2,OO 3,63 2,29 165,11
Peringkat
3,30 4,OO
2
A2
3,17
1
A3
2,OO
Bobot
4
4
2
3
3
3
2
Hasil verifikasi model menunjukkan prioritas teknologi pengolahan kelapa sawit yang akan digunakan dalam manajemen usaha pada perkebunan rakyat adalah teknologi pengolahan kelapa sawit mini. secara rind disajikan pada Tabel 11.
Kapasitas suatu pabrik dirancang berdasarkan kondisi sumberdaya yang mendukungnya, baik sumberdaya manusia, sumberdaya alam (bahan baku, air),
sumberdaya teknologi dan biaya produksi. Perencanaan kapasitas pabrik sangat menentukan sejauh mana sebuah pabtik alran memperoleh laba dari kegiatan produksinya. Teknologi pengolahan kelapa sawit mini yang terpilih mempunyai
kapasitas 5 ton TBSIjam.
Keuntungan teknologi pengolahan kelapa sawit mini dilihat dan' segi manajemen usaha antara lain adalah: 1)
mengurangi biayatransportasi bahan bakuTBSmenjadisekitar Rp301kgTBS, dekatnya jarak PKS dengan sumbr bahan baku TBS mempermudah
pengang kutan TBS dari kebun ke PKS, sehingga mengurangi kesulin sarana prasarana jalan dan jembatan, 2)
penyerapan teknologi untuk tenaga kerja setempat lebih mudah, sesuai dengan kultur dan sosial di perkebunan rakyat,
3)
ketersediaan k h a n baku TBS dengan mutu dan jumlah serta kontinuitas yang tepat sesuai dengan keragaman jadwal panen,
4)
dapat menyerap praduksi TBS dari perkebunan rakyat yang tersebar lokasinya.
Berdasarkan manajemen teknologi pengolahan kelapa sawit mini tersebut dan hasil studi ke PT. Jasa Marga serta analisis kondisi Sumatera Selatan dan perkebunan rakyat, maka kemitraan usaha agroindustti kelapa sawit modifikasi
mekanisme pola BOT (Build-Operafe and Transfer) dinamakan kemitraan usaha pola Mini Agroindustri Kelapa Sawit (MAUS). Kemitraan usaha pola MAKS disesuaikan dengan SK Menteri Kehutanan
dan Perkebunan No. 1071Kpts-1111999. Kemitraan usaha pola MAKS yaitu investor (BUMN, BUMD, Perusahaan Swasta) merencanakan, merancang dan membangun pabrik kelapa sawit, kebun dan sarana prasarana pendukungnya, termasuk juga
memfasilitasi terbentuknya koperasi pekebun yang akan menerima dan melanjutkan pengelolaan usaha tersebut, Selama masa tertentu sesuai dengan kesepakatan
antara investor dan koperasi pekebun, usaha perkebunan kelapa sawit tersebut dikelola oleh investor guna mengambil manfaatnya, setelah itu dilakukan transfer kepada koperasi pekebun pada saat lembaga manajemen koperasi sudah siap dan
kondisi pabrik dan kebun masih menguntungkan secara teknis ekonomis. Berikut ini uraian dari faktor-faktor yang terkai dengan manajernen teknobgi
dalam pola MAKS. (1) Ketersediaan Modal (K1)
Hasil verifikasi model terhadap kriteria ketersediaan modal menunjukkan bahwa terknologi
pengolahan kelapa sawit
mini cukup diterirna untuk
pengembangan pada perkebunan rakyat (skor 3.17). Tabel I 1 menunjukkan skor nilai kriteria ketersediaan m d a l terhadap pemilihan teknologi pengolahan, semakin
besar kapasitas produksi PKS skor nilai kriteria semakin keal.
Kriteria ketersediaan modal merupakan keriteria yang harus diperhatikan di
dalam pemilihan teknologi, karena akan sangat mempengaruhi kemampuan perusahaan datarn membeli teknologi tersebut.
Investasi awal yang dimaksud
dibagi dalam dua bagian, yaitu modal tetap dan modal kerja. Modal tetap adalah
semua modal yang diperlukan dari tahap pra operasional sampai pabrik siap beroperasi atau berproduksi.
Modal tetap meliputi biaya pengadaan tanah,
bangunan dan pekerjaan sipil, mesin dan peralatan, peralatan kantor, kendaraan, biaya pra operasi dan biaya selama
masa konstruksi (IDC). Modal kerja dapat
dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Kebutuhan modal keja diperlukan oleh perusahaan untuk membiayai operasi perusahaan selama dua sampai tiga bulan pertama, dan setelah itu proyek diduga dapat berjalan dengan lancar.
Pemerintah sendiri saat ini sedang kekurangan dana untuk melaksanakan pembangunan dan skema KKPA telah dihentikan. Agar tetap dibangun agmindustri
kelapa sawit, maka menerapkan teknologi pengolahan kelapa sawit mini untuk perkebunan rakyat adalah langkah yang tepat. Teknologi pengolahan mini tersebut rnembutuhkan madal yang relatii lebih kecil. Semakin besar kapasitas pmduksi
suatu teknologi pengolahan (untuk produk sejenis), semakin besar modal yang dibutuhkan untuk mendirikannya. Total investasi untuk PKS 5 ton TBSIjarn sejumlah
Rp 123 milyar, PKS 15 ton TBSljam sejumlah Rp 24 milyar, PKS 30 ton TBSljam sejumlah Rp 35 milyar, PKS 45 ton TBSljam sejumlah Rp 50 milyar, PKS 60 ton TBSljam sejumlah Rp 80 milyar (Taib, 2000).
Dalam implementasinya kernitram usaha pola MAKS ini perlu adanya rekayasa pengadaan dana antara lain dengan skim kredit lunak dan akses ke bank syariah dengan sistem bagi hasil.
(2) Ketersediaan Bahan Baku (K2) Kriteria ketersediaan bahan baru merupakan kriteria yang harus diperhatikan dalam pemilihan teknologi pengolahan (PKS), karena akan mempengaruhi kelangsungan agroindustri yang akan dikembangkan.
Faktor ketersediaan dan
pasokan bahan baku dalam jumlah dan mutu yang tepat secara kontinyu dan tepat waktu merupskan faktor yang sangat dominan dalam menentukan teknologi pengolahan. Tanpa didukung oleh pasokan bahan baku secara kontinyu, rnaka suatu agroindustri akan suri untuk bertahan tents. Pada kenyataannya banyak perusahaan yang berhenti di tengah jalan karena masalah kurangnya bahan baku dan kontinyuitas yang tidak terjamin. Dari ketiga alternatif teknolagi pengolahan
kelapa sawit tersebut hasil suwey menunjukkan niiai teknologi mini dan super mini mempunyai nilai tinggi (skor 4). Salah satu karakteristik perkebunan kelapa sawit rakyat adalah tidak menyatunya areal perkebunan dalam satu areal perkebunan yang luas. Biasanya areal perkebunan rakyat hanya terdiri atas luasan 200 ha sampai 1000 ha, kemudian terpisah Lagi dengan areal perkebunan rakyat yang lain. Pada areal
perkebunan rakyat tersebut tidak cocok apabiia dikernbangkan PKS skala besar di atas 30 ton TBSijam. Oleh karena itu penerapan teknologi pengolahan mini pada
perkebunan rakyat merupakan langkah yang tepat. (3) Ketersedfan SDM (K3)
Ketersedian SDM diperlukan untuk mengelola operasional teknologi pengolahan (PKS) dan manajemen koperasi.
Pabrik kelapa sawit memerlukan
manajemen pengelola untuk melaksanakan tindakan-tindakan manajemen meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengontrolan, dan pengevaluasian. Manajemen organisasi pabrik yang solid dapat meningkatkan kineja dan produktivitas pabrik
secara keseluruhan yang mendorong tempainya efisiensi dan target-target perusahaan.
Status kepemilikan PKS adalah milik pekebun yang badan usahanya berbentuk koperasi. Bentuk badan usaha koperasi menurut penelitin Taib (2000) rnerupakan badan usaha yang ideal untuk kepernilikan PKS skala kecil (mini). Pengeblaan operasional PKS dilakukan oleh Manajemen Unit Usaha yang mempunyai keterampilan dan profesional di bidangnya. Manajemen Unit Usaha dapat berasal dari pekebun sendiri (anggota koperasi) danlatau mengangkat tenaga
profesional yang berpengalaman mengelola PKS. Semakin besar skala usaha suatu perusahaan, maka semakin mrnit tingkat manajemen yang akan diterapkan. Okh karena itu kiranya wkup tepat pada perkebunan kelapa sawit rakyat penggunaan PKS skala 5 ton TSSljam pada kondisi ketersediaan SDM koperasi yang ada sekarang ini. (4) Transportasl TBS (K4)
Dari hasil pendapat pakar (responden) atternatif teknologi pengolahan mini dan super mini rnernpunyai nilai rata-rata skor tinggi yaitu 3,63(cukup baik).
Faktor transportasi TBS rnerupakan faktor yang wkup penting, mengingat sifat TBS yang cepat membusuk, sehingga bila tiak diproses dalam waktu cepat maka akan tejadi ferrnentasi atau pembusukan. Pengangkutan TBS dari lokasi yang jauh, lama dan sarana jalan yang kurang bagus menyebabkan kualitas dan
penurunan rendemen minyak pada TBS. Mutu TBS akan menurun apabila tidak diolah dalam delapan jam setelah pemanenan. Semakin jauh jarak pengangkutan,
maka ongkos angkut juga akan semakin tinggi. Apabila
pabrik kelapa sawit
dengan kapasitas keal dibangun di lokasi perkebunangerkebunan rakyat maka penyehab kerugian tersebut akan dapat diatasi. Hal yang perlu dipertimbangkan
dalam pendirian pabrik kelapa sawit adalah letak pabrik hendaknya berada ditengah areai perkebunan sehingga jarak dari seluruh penjuru perkebunan relatif sama. Jarak anbra kebun plasma dengan PKS di Perkebunan PT Minanga Ogan
tempat studi kasus dilaksanakan yang terdekat adalah 28 km dengan biaya
transport Rp 551kg TBS. Jarak terjauh 51 km dengan biya transportasi Rp 65/kg TBS. Kebun inti jarak terjauh hanya 16 km dengan biaya transportasi Rp 4Okg TBS. Dengan dibangunnya PKS mini di areal perkebunan rakyat maka jaraknya
relatif dekat dengan biya transportasi
rata-rata Rp 25kg TBS, maka akan
meningkatkan pendapatan pekebun, karena menurunnya biaya transportasi TBS. (5) Biaya Produksi CPO (K5) Faktor biaya produksi CPO akan mempengaruhi efisiensi biaya. Kapasibs
mesin pabrik kelapa sawit mempengaruhi besarnya biaya produksi per satuan produk CPO. Semakin besar kapasitas mesin maka semakin kecil biaya produksi per kg CPO. Perbedaan biaya produksi tersebut wkup signifikan, yaitu Rp 135tkg
CPO untuk kapasitas mesin PKS 5 ton TBSi'jam, Rp 125/kg untuk PKS 15 ton TBSljam, Rp 120kg untuk PKS 30 ton TBSljam, Rp 1171kg untuk PKS 45 ton TSSljam, dan Rp 971kg untuk PKS 60 ton TBSljam (Taib, 2000).
Sejaian dengan uraian tersebut, skor untuk kriteria biaya produksi CPO yang dihasilkan obh PKS pada beberapa skala usaha menunjukkan semakin besar skala usaha, semakin besar juga skor nilainya. (6) Tingkat Penyerapan Teknologi (K6)
Tabel 11 menunjukkan hasil dari verifikasi model berdasarkan pendapat +
pakar untuk kriteria tingkat penyerapan teknologi, teknologi pengolahan kelapa sawit super mini dan mini cukup diterima untuk diterapkan pada perkebunan rakyat. Teknologi pengolahan kelapa sawit seknamya bukanlah merupakan
teknologi tinggi yang memerlukan keterarnpilan yang tinggi dan penerapannya
sudah cukup lama di Indonesia yaitu perkma kali berdiri tahun 1921 di Sungai Liput Aceh. Akan tetapi tekolagi pengolahan TBS tersebut sarnpai wkarang masih dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar.
Pekebun (koperasi
pekebun) sampai sekarang belum ada yang menerapkannya. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberap pekebun anggota koperasi, sebenamya
mereka berminat sekali untuk rnemiliki teknalogi pengolahan tersebut, akan tetapi karena keterbatasan modal, informasi cara mendapatkannya, maka hasrat tersebut rnereka pendam begitu saja. Menurut Mardikanto (1992) ada beberapa faktor yang mempengaruhi
penyerapan teknologi (adopsi) anbra lain: (1) keuntungan relatif; teknologi akan
cepat diadopsi jika memberikan keuntungan lebih (ada nitai tambahnya), (2) tingkat kernmitan; teknobgi akan cepat diadopsi jika tidak rumit dilakukan, (3) mudah dicaba, teknologi akan cepat diadopsi jika teknologi tersebut mudah dicoba pada
situasi yang ada pada pekebun, dan (4) dapat diamati, teknologi akan cepat diadopsi jika mudah dan cepat dilhat hasilnya.
Selanjutnya ditambahkan
(Sukartawi, 19881, kecepatan penyerapan teknologi oleh seseorang dipengaruhi oleh faktor internal cakn adopter antara lain: umur, tingkat pendidikan, status sosial ekonorni, keberanian rnengarnbil risiko, sikap terhadap perubahan, sumber informasi yang digunakan dan motivasi krkarya.
Dari uraian tersebut di atas, penyerapan teknologi pengolahan kelapa sawit mini untuk perkebunan rakyat oleh koperasi pekebun akan brjalan baik, akan tetapi untuk tenaga-tenaga teknisi pabrik perlu adanya pelatihan sebelurn mengoperasikannya.
Dalarn ha1 pelatihan tersebut biasanya sudah menjadi
tangguns jawab pabrikan (termasuk dalam kontrak jual bsli pabrik) untuk mendidik
para teknisi sampai pabrik broperasi sebagaimana mestinya.
Pelatihan para
teknisi tersebut dilakukan dengan sistem in house training yaitu dilakukan langsung di tempat (pabrik). 8.2. Sub Model Kelayakan Usaha Pabrik (Mopabrlk)
Verifikasi sub model Mopabrik dilakukan untuk mengkaji kelayakan usaha pendirian teknologi pengolahan kelapa sawit mini (PKS 5 ton TBSljam), keluaran dari sub model pemilihan teknologi.
Penentuan suatu kelayakan usaha
menggunakan evaluasi finansial yang terdiri atas: 1) NW (Net Present Value), yaitu suatu nilai yang menunjukkan bahwa hasil bersih (net benefit) yang diterima proyek selama umur ekonomis, jika diukur dengan nilai sekarang dengan faktor
diskonto sebesar 18%. NPV bernilai positif proyek tersebut menguntungkan, 2) tRR (Internal Rate of Return) adalah suatu nilai suku bunga yang membuat NPV
proyek sama
dengan no!, atau suatu tingkat bunga yang menunjukkan nilai
sekatang penerimaan bersih sama dengan jumlah seluruh biaya investasi. Nitai IRR lebih besar dari suku bunga pinjaman proyek lebih menguntungkan, 3) Net BIC (Net
Benefif Cost Ratio) merupakan perbandingan nilai sekarang keuntungan
bersih dengan nilai sekarang biaya bersih, 4) Pay Back Period (PBP) merupakan suatu nilai yang mengukur seberapa -pat
suatu investasi bisa kembali, semakin
pendek periode pengembalian semakin baik dan 5) Break
Event Point (BE?)
adalah analisis pulang pokok di mana penjualan akan impas menutup biaya tetap dan biaya variabel. Analisis risiko bertujuan untuk mengetahui seberapa besar risiko yang ditanggung dibanding keuntungan yang diperoleh.
Hubungan antara risiko dan
keuntungan diukur dengan koefisien variasi (CV) yang merupakan perbandingan anbra risiko yang harus ditanggung pengusaha dengan jumlah keuntungan yang
akan diperoleh sebagai hasil.
Semakin b s a r nilai CV maka risiko yang
ditanggung semakin besar. Asumsi nilai CV < 0,5 proyek berisiko rendah, nilai CV r 0,5 dan dan CV 5 0,8
proyek berisiko sedang, dan CV > 0,8 proyek berisiko
tinggi. Untuk mengetahui waktu transfer dari investor/pengusaha mitra dengan koperasi pekebun menggunakan kriteria IRR. waktu transfer adalah suatu nilai IRR
sama dengan suku bunga pinjaman dbmbah dengan indeks kesepakatan bagi investor.
keuntungan
Pada model Mitrawit besarnya indeks keuntungan
. kesepakatan
investor.
bagi investor berdasarkan kesepakatan antara koperasi dengan
Koperasi dalam ha1 ini rnenginginkan indeks keuntungan serendah
mungkin, investor menginginkan indeks keuntungan yang tinggi.
Untuk
mendapatkan indeks keuntungan kesepakatan yaitu pihak koperasi menentukan indeks keuntungan minimum yang bisa ditolerir. pihak investor menentukan indeks keuntungan maksimum yang bisa ditolerir. Model Mitrawit menyediakan fasiiitas paket program Generalized Reduced
Gradient (GRG2) non linear Optimization. Pengguna tinggal memasukkan berapa indeks keuntungan yang diinginkan koperasi dan investor. Keluaran dari program tersebut adalah suatu nilai indeks keuntungan kesepakatan, waktu transfer usaha dan NW bagi investor. Asumsi-asumsi yang digunakan disesuaikan dengan kondisi pada saat melakukan verIfikasi model, yaitu sebagai berikut: 1) 'harga beli bahan baku TBS Rp. 400/kg, harga jual produk CPO Rp.2 200/kg,
harga jual biji kering (nuts) Rp 1 650/kg,
2) kapasitas produksi PKS tahun pertama 60%bhun, tahun kedua meningkat 70%/tahun, tahun ketiga dan selanjutnya 80°hhun,
3) lamanya umur proyek diduga sama dengan umur ekonomis PKS, yaitu b
ditetapkan selama 10 tahun, 4) harga yang digunakan dalam perhitungan biaya merupakan harga konstan pada
tahun pertatma, 5) faktor diskonto didasarkan pada tingkat suku bunga pinjaman, yaitu sebesar
18%, 6) penyusutan dilakukan dengan menggunakan metode garis lurus dengan nilai sisa diasumsikan sama dengan nol.
Secara rind asumsi-asumsi yang digunakan disajikan pada lampiran 7. Masukan pada model Mopabrik melalui basis data adalah biaya investasi, biaya
tetap dan biaya tidak tetap, biaya modal keja, biiya penyusubn dan perawabn
secara rind disajikan pada Lampiran 8 sampai 11. Berdasarkan asumsi-asumsi dan masukan data seperti dijetaskan tersebut maka diperoleh hasil analisis model kelayakan usaha pabrik berupa proyeksi rugi-
laba dan proyeksi aliran kas (cash flow) dengan sumber dana bank konvensional disajikan pada Lampiran 12 dan 13. Proyeksi rugi-laba dan aliran kas dengan
sumber dana bank syariah disajikan pada tampiran 14 dan 15. Sampai dengan tahun ke-10 diperobh akumulasi laba sebesar Rp 29 281 310 800 sumber dana
bank konvensional dan Rp 28 771 281 800 sumber dana bank syariah. Hasil analisis kelayakan investasi pendirian PKS mini siala 5 ton TBSIjarn
berdasarkan sumber dana bank konvensional suku bunga 18% dan bank syariah bagi hasil 10% dari nilai penjualan dan tanpa menggunakan teknologi pengolahan
dan pemanfaatan limbah cair disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil analisis kelayakan investasi pabrik dengan sumber dana bank konvensional dan bank syariah
Kriieria Finansiat NPV (RP) Net B/C 1RR (016) PBP (th) BE? (kg) Waktu Transfer (th) Keuntungan l nvestor (Rp)
Bank Konvensional Suku Bunga 48% Tanpa TPPL Dengan TPPL 5824765555 1.28 311,66 4,86 3 685 874 5,91
I463 278 970
Bank Syariah Bagi Hasil 10%
4,90 3 685 874 598
Tanpa TPPL 5818460602 1,27 31,31 4,97 3 698 848 6,07
Dengan TPPL 5 580 B45 184 1,27 31,21 498 3 696 848 6,IO
1 477 375 373
1 485 505 533
1 474 439 125
5774264865 1,28 31,44
-
--
-
Ketmngan: TPPL adalah teknologi pengolahan dan pemanfaatan limbah cair
Hasil verifikasi model menunjukkan usaha PKS mini berdasarkan kriteria
finansial layak untuk diusahakan baik dengan sumber dana bank konvensional maupun bank syariah.
Skenario dengan menggunakan teknolagi pengotahan dan pemanfaatan limbah cair menunjukkan sediki penganrh terhadap kriteria finansial NW, IRR. PEP dan BEP (Tabel 12). Pengaruh tersebut dikarenakan adanya tambahan biaya untuk
membangun kolam-kolam pengolahan Iimbah cair, pornpa air, parit saluran irigasi. instalasi pipa dan biaya operasionaf. Tujuan penanganan limbah adalah untuk menghitangkan, memperkecif atau
rnengendalikan dampak negatif. Selain itu memperbesar dampak positif, karena pemanfaatan cairan ini disalurkan untuk proses pemupukan sistem irigasi ke areal
kebun kelapa sawit, sehingga menghemat pemakaian pupuk. Hasil penelitian PPKS Medan (2000) menunjukkan bahwa aplikasi limbah cair secara nyata meningkatkan rerata bobot tandan (RBT) dari 30,2 menjadi 32,2 kgltandan dan jumtah tandan dari 3,7 menjadi 4,4 tandan/pohonlsemester. Secara
umum tujuan pengelolaan limbah adalah:
1) Kepentingan dari segi yuridis, bebas dari sangsi pelanggaran terhadap pembangunan berwawasan lingkungan,
2) meng hindari dampak yang berbalik. Keresahan masyarakat akibat adanya dampak negatif yang tidak dikeloia dapat menjadi keresahan pihak perusahaan oleh masyarakat (adanya tindakan yang menjurus ke sabotase), 3) kepentingan aspek ekonami.
Dalam jangka pendek merupakan beban
tambahan dan biaya tambahan namun jangka panjang terdapat keuntungan dari aspek ekonomi.
Hasil analisis risiko menunjukkan bahwa usaha pabrik kelapa sawit skala 5
ton TBSljam adalah layak dan mempunyai risiko yang rendah. Waktu transfer (alih kelola) berdasarkan indeks keuntungan kesepakatan koperasi dengan investor sebesar 5,26%, untuk sumber dana bank syariah sedikit
lebih lama (6,07 tahun) dibanding sumber dana bank konvensional (5,91 tahun).
Kedua surnber dana tersebut secara finansial cukup menguntungkan, karena umur
ekonomis proyek selama 10 tahun artinya masih terdapat waktu pengelolaan usaha pabrik oleh koperasi sekitar 4 tahun baik untuk bank konvensional maupun bank
syariah. Berdasarkan analisis rugi laba didapatkan keuntungan rata-rata per tahun untuk sumber dana bank konvensional sebesar Rp 2 928 131 000. Jika usaha pabrik tersebut dimiliki oleh 500 orang anggota koperasi maka akan mendapatkan nilai
tambah sebesar Rp 5 856 200 per orang per tahun. Sumber dana bank
syariah mendapatkan nilai tambah sebesar Rp 5 774 200 per orang per tahun. Berdasarkan sumber dana menunjukkan bahwa secara finansial bank konvensional lebih menguntungkan pada suku bunga 18 % dibandingkan sumber dana bank syariah dengan bagi hasil 10% dari nilai penjualan. Sumber dana bank syariah dengan sistem murabahah merupakan alternatif yang cukup baik, karena
ada sistem pembagian risiko yang cukup baik dan terhindar dari unsur riba. Pada bank syariah sekiranya terjadi kegagalan usaha, maka si peminjam tidak
lagi
hams membayar pinjaman, berbeda dengan bank konvensional yaitu modal pinjaman rnerupakan hutang yang hams dilunasi walaupun usahanya gagal. Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui variabel yang lebih berpengaruh terhadap kriteria investasi b e b g a i kemungkinan yang terjadi seperti
gejolak fluktuasi harga, baik harga jual produk maupun harga beli bahan baku. Tabel 13 menyajikan hasil analisis sensitivitas terhadap perubahan harga beli
bahan baku TBS , harga jual produk CPO dan biaya pmduksi CPO. Tabel 13 menunjukkan kombinasi perubahan harga beli TBS naik 10% dan
perubahan harga jual 'CPO turun 10% dan kombinasi perubahan harga beli TBS naik
lo%, harga jual CPO turun 10% dan biaya produksi naik la%, usaha PKS Mini
tidak layak lagi untuk diusahakan baik dengan sumber dana bank konvensional maupun sumber dana bank syariah.
Tabel 13. Analisis sensitivitas berdasarkan perubahan harga beli TBS, harga Juat CPO dan biaya produksi CPO Kriteria lnvestasi
Pentbahan NetBK:
IRR(%)
PBP(th)
-Harga TBS Rp 4001kg & harga 5 824 765 555 CPO Rp 2200 (normal)
1,28
3 1,66
4,86
-Harga k l i TBS naik 10%
2979029328
1,18
25,f 9
653
-Harga jual CPO turun 10%
2409603442
1,18
23,86
6,95
-Harga beli TBS naik 10% dan harga jual CPO turun 10%
- 436 132 783
0,90
16,90
f4,49
1,20
28.32
505
0,80
14,83
26
-Harga TBS Rp 4Wkg & harga 5 618 460 802 CPO Rp 2200 (normal)
1,27
31,31
4,97
-Harga beli TBS naik 10%
2 801 134 985
1,20
24,84
6,69
-Harga jual CPO turun 10%
2346083832
1,18
23,78
7,01
-Harga beli TBS naik 10% dan harga jual CPO turun 10%
- 471 241 784
0,93
1679
14,64
-HargabeliTBSnaiklO%,harga 5618018234 jual CPO naik 10% dan biaya produksi naik 10% +
1,24
31 ,I9
484
-Harga beli TBS naik lo%, harga - 1 564 128 000 jual CPO turun 10% dan biaya produksi naik 10%
0,74
10,59
26
NPV (RP)
Bank Konvensional:
-HargabeliTBSnaiklO%,harga 4423566016 jual CPO naik 10% dan biaya produksi naik 10%
- Hacga beli TBS naik lo%, harga - 1 237 725 791 jual CPO turun 10% dan biaya produksi naik 10%
Bsnk Syariah:
Pada model Mopabrik berbagai skenario dapat dilakukan secara interaktif
dengan pengguna (used guna menghindarkan usaha dari kerugian yaitu sumber dana (bank konvensional dan bank syariah), perbandingan modal sendiri dengan pinjaman, jangka waktu pinjaman, harga jual CPO, harga beli TBS, suku bunga pinjaman, persentase bagi hasil dengan bank syariah.
Gambar I 5 menunjukkan nilai IRR dengan peningkatan suku bunga bank konvensional hingga 42 % memberikan nilai IRR sebesar 26,09% dan peningkatan persen bagi hasil dengan bank syariah hingga 34
Or6
memberikan nilai IRR sebesar
18,12 5%. Berbagai perubahan skenario tersebut masih layak ditakukan.
1
I I
1
I I
2
3
4 .
Skenar~o
IRR Bank Konvensional
5
6
7
IRR Bank S y r i a h ' -
I
Keterangan: Skenario I:Kondisi menurut asumsi {Aktual) Skenario 2: Suku bunga bank konvensional22% & bagi hasil bank syariah 14% S kenario 3: Suku bunga bank konvensional26% 8 bagi hasil bank syarfah 18% Skenario 4: Suku bunga bank konvensional30% & bagi hasil bank syariah 22% Skenario 5: Suku bunga bank konvensional34% & bagi hasil bank syariah 26% Skenario 6: Suku bunga bank konvensional38% & bagi hasiE bank syariah 30% Skenarp 7: Suku bunga bank konvensional42% & bagi hasil bank syariah 34%
Gambar 15. Nilai IRR dengan berbagai perubahan skenario suku bunga bank konvensional dan persen bagi hasil dengan bank syariah
8.3. Sub Model kelayakan Usaha Kebun (Mokebun) Verifikasi sub model Mokebun dilakukan dengan menggunakan beberapa
asumsi disesuaikan dengan kondisi pada saat verifikasi dilakukan dan tempat studi kasus dilakukan yaitu data di Propinsi Sumatera Selatan. Asumsi-asumsi yang digunakan meliputi:
1) sumber dana dari bank kbnvensional dengan bunga masa pembangunan 16% dan bunga masa produksi 18%. Sumber dana alternatif dari bank syariah dengan bagi hasil 10°h, faktor diskon 18%,
2) jangka waktu pelunasan kredit selama 10 tahun dengan tenggang waktu pelunasan kredit 4 tahun.
3) biaya investasi kebun terdiri atas pembukaan lahan, bibit, penanaman, cover crop, perneliharaan TBM1, pemeliharaanTBM2. pemelharaan TBM3, overhead
cost dan manajemen fee 5% dari investasi tanaman. Total investasi tanaman Rp 8 614 100, investasi non tanaman
Rp 503 800, biaya pra investasi
Rp 583 000. Total investasi tanaman dengan bunga masa pembangunan
sejumlah Rp 11 253 100, 4) biaya produksi terdiri atas biaya tetap Rp 2 583 800 per tahun dan biaya tidak
'tetap Rp 50kg TBS,
5 ) harga jual TBS Rp 400/kg, adalah data harga tata-rata tahun terakhir (tahun 2000),
6) produksi kebun potensial menggunakan data teoritis untuk lahan kelas II sesuai
dengan kondisi lahan kebanyakan yang ada di Sumatera Selatan. Produksi
aktual menggunakan data produksi petani kebun plasma PTP Minanga Ogan. Secara rinci asumsi-asumsi pada model Mokebun disajikan pada Lampiran 16. Bedasarkan asumsi-asumsi dan rnasukan tersebut, maka diperoleh hasil analisis
data seperti yang diuraikan
model kelayakan usaha kebun yaitu
proyeksi rugi laba dan proyeksi aliran kas (cash h w ) dengan sumber dana bank konvensional disajikan pada Lampiran 18 dan 19, proyeksi rugi laba dan aliran kas dengan sumber dana bank syariah disajikan pada Lampiran 20 dan 21. Hasil analisis kelayakan investasi pembangunan kebun kelapa sawit skala 1 Ha dengan sumber dana bank konvensional suku bunga 18% bank syariah bagi
hasil 10% dad nilai penjualan berdasarkan produksi kebun aktual dan potensial disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil analisis kelayakan investasi kebun Skala 1 ha dengan sumber dona bank konvensional dan bank syariah berdasarkan produksi kebun aktual dan potensial Bank Konvensional Suku bunga 18% Kriteria Finansial Produksi Produksi Potensial Aktual 2 316 366 13922827 NPV (RP) Net BIC 1,35 1,07 20,38 IRR (016) 3449 1554 PEP (th) 8,29 8 585 8 585 BEP (kg) Waktu Transfer (th) 17,64 9,77 Rata-rata 1 026 356 3 436 629 keuntunganhh (Rp)
Bank Syariah Bagi Hasil 10% Produksi Produksi AMual Potensial 3896873 15 282 298 1,47 1,13 22,89 41,72 12,73 6,91 9 693 9 693 14,25 820 1 224 876 3 117 751
n n
Tabel 14 menunjukkan usaha kebun kelapa sawit layak, baik untuk sumber
dana bank konvensional maupun bank syariah berdasarkan produksi kebun aktual maupun potensial.
Hasil analisis risiko usaha kebun skala 1 ha adalah layak
dengan risiko rendah.
Waktu transfer (alih kelola) dengan
menggunakan indeks keuntungan
kesepakatan antara investor dan koperasi sebesar 11,06 % yaitu pada waMu
proyek (kebun kelapa sawit) berumur 8,20 tahun untuk sumber dana bank syariah produksi potensial dan dan indeks keuntungan kesepakatan 2,02016 pada
waMu
proyek umur 14,25 tahun untuk produksi aMual. Sumber dana bank konvensional sedikit lebih lama yaitu indeks keuntungan kesepakatan 7,84% pada waktu kebun berumur 9,77 tahun produksi potensial dan indeks keuntungan kesepakatan 1,2% pada waktu proyek umur
17,64 tahun untuk produksi aktual. WaMu transfer
tersebut secara finansial layak karena masih terdapat waMu cukup lama untuk dikelola oteh pekebun guna memperoleh manfaat dimana umur ekonomis kebun kelapa sawit 25 tahun.
Hasil analisis mgi laba didapatkan rata-rata keuntungan per tahun kebun kelapa sawit per hektar sebesar Rp 4 731 800 dengan sumber dana bank konvensional produksi potensial dan Rp 2 732 400 produksi aktual, sumber dana bank syariah sebesar Rp 4 175 800 produksi potensial dan Rp 2 433 100 produksi aktual. Rendahnya produksi aktual kebun dibanding dengan produksi potensialnya kemungkinan disebabkan oleh berbagai faktor, anbra lain: pemeliharaan yang
kurang baik, tidak sesuai dengan standar teknis yang telah ditetapkan oleh Dirjenbun, serangan hama dan penyaki, bibi yang kurang baik, dan iklim.
Tabel 15. Analisis sensitivitas terhadap perubahan harga jual, biaya panen dan biaya angkut TBS Kriieria lnvestasi Perubahan NW(Rp)
NetWC
IRR(%)
PBP(th)
13 922 827
1,35
3449
8,29
-Harga jual TBS naik lo%, Maya panen 9 416 659 naik lo%, biaya angkut naik 50%
1,21
29,32
9,52
-Harga jual TBS turun 10°h, biaya 4 558 584 panen naik SO%, biaya angkut naik 50%
1,10
23,59
12,9?
-Harga jual TBS turun 209'0, biaya -299490 panen naik 50%, biaya angkut naik 50%
0,W
17,62
26
15 284 294
1,47
41,72
6,91
-Harga jual TBS naik lo%, biaya panen 12 071 053 naik lo%, biaya angkut naik 50%
1,33
32.37
7,85
-Harga jual TBS turun
lo%, biaya 7 575 825 panen naik SO%, biaya angkut naik 50%
1,17
25,13
10,89
-Harga jual TBS turun 20%, biaya 506 836 panen naik 50%, biaya angkut naik 50%
1,09
20,OZ
21,I5
Bank Konvensional:
- Harga jual TBS Rp 4001kg (normal)
Bank Syariah:
- Harga jual TBS Rp 4001kg (normal)
Tabel 15 menunjukkan analisis sensitwitas terhadap perubahan harga jual TBS, biaya panen dan biaya angkut TBS. Penurunan harga jual TBS hingga 20% dan peningkatan biaya panen dan biaya angkut TBS sebsar 50%, usaha kebun tidak layak lagi diusahakan dengan sumber dana bank konuensional. Sumber dana
bank syariah penurunan harga jual TBS hingga 20% dan peningkatan biaya panen dan biaya angkut TBS sebesar 50%. usaha kebun masih layak diusahakan.
Pada sub model Mokebun berbagai skenario perubahan dapat dilakukan guna menghindari usaha dari
kerugian.
Skenario perubahan
yang dapat
dilakukan adalah skala usaha kebun, rash pinjaman dengan modal sendiri, bunga pinjaman dengan bank konvensional, persentase bagi hasil dengan sumber dana bank syariah, harga jual TBS, biaya angkutan TBS, jangka waktu pinjaman dan tenggang waktu pelunasan. Gambar 16 menunjukkan bahwa dengan berbagai skenario kenaikan suku
bunga pinjaman dengan bank konvensional dari 18% per tahun sampai 46% per tahun memberikan nilai IRR sebesar 24.25 %. Kenaikan persentase bagi hasil dengan sumber dana bank syariah dari 10% menjadi 38% mendapatkan nilai IRR sebesar 1934%.
Karena nilai IRR masih di atas suku bunga pinjaman yang
ditetapkan yaitu 18Oh maka usaha tersebut masih layak diusahakan. t
8.4. Sub model Kelayakan Usaha lntegrasi Pabrik dan Kebun (Molntegrasi)
Verifikasi sub model Mointegrasi yaitu analisis kelayakan integrasi PKS kapasitas 5 ton TBSljam dengan kebun kelapa sawit luas lahan skala 1 000 ha. Luas lahan 1 000 ha untuk lahan kelas II sesuai dengan kapasitas PKS 5 ton
TBSljam, dengan asurnsi PKS beroperasi selarna 20 jam per hari dengan hari kej a selama 25 hari setiap bulannya.
Data dan asumsi yang digunakan pada sub model Mointegrasi merujuk pada data dan asumsi pada sub model Mokebun dan sub model Mopabrik, akan
kelapa sawit
tetapi kapasitas riil produksi PKS sesuai dengan produksi kebun seIuas 1000 ha yang digunakan sebagai bahan baku PKS.
I
S kenario 1 B I R R Bank Konvensional g IRR B a n k Syariah
I
I
I
I
I
.-
:
Keterangan: Skenario 1: Kondisi menurut asumsi (Aktual) Skenario 2: Suku bunga bank konvensional22% 8 bagi hasil bank syariah 14% Skenario 3: Suku bunga bank konvensional26% & bagi hasil bank syariah 18% Skenario 4: Suku bunga bank konvensional30% 8 bagi hasil bank syariah 22% Skenarjo 5: Suku bunga bank konvensional34% & bagi hasil bank syariah 26% Skenario 6: Suku bunga bank konvensional38% & bagi hasil bank syariah 30% Skenario 7: Suku bunga bank konvensional42% bagi hasil bank syariah 34% SkenarEo 8: Suku bunga bank konvensional46% & bagi hasil bank syariah 38%
Garnbar 16. Nilai IRR dengan berbagai perubaian skenario suku bunga bank konvensional dan persen bagi hasil dengan bank syariah
Berdasarkan asumsi-asurnsi dan
rnasukan data seperti yang diuraikan
tersebut, maka djperoleh hasil analisis model kelayakan usaha integmsi pabrik dan
kebun yaiiw proyeksi rugi laba dan proyeksi aliran kas (cash flow) dengan sumber dana bank konvensional disajikan pada Larnpiran 23 dan 24.
Proyeksi rugi laba
dan aliran kas sumber dana bank syariah disajikan pada Larnpiran 25 dan 26, Hasil anatisis kelayakan investasi pabrik
(PKS) skala 5 ton TBSfjam
terintegrasi dengan kebun kelapa sawit luas lahan skala I000 ha berdasarkan
sumber dana bank konvensional suku bunga 18 % dan sumber
dana bank
syariah bagi hasil 10 % dari nilai penjualan disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16. Hasil analisis kebyakan investasi PKS skala 5 ton TBSljam terintegrasi dsngan kebun luas lahan skala 1 000 ha dengan sumber dana bank konvensional dan bank syariah
Kriteria Finansial NPV (RP) Net BIC IRR (%) PBP (th) BEP (kg) Waktu Transfer (tahun) Keuntungan Investor (Rp)
Bank Konvensional Suku Bunga 18% 11 946 849 287 1,18 26,04 7,82 2 059 072 9,67 4 349 666 643
Bank Syariah Bagi Hasil 10% 13332346293 1.22
27,24 7,08 1 939 290 8,72 3912959168
Hasil verifikasi model menunjukkan bahwa usaha integrasi pabrik dan kebun baik dengan sumber dana bank konvensional maupun bank syariah layak untuk diusahakan, secara rinci disajikan pada Tabel 16.
Waktu transfer dengan menggunakan indeks keuntungan kesepakatan antara koperasi pekebun dan investor sebesar 4,2% yaitu pada waktu usaha berumur 8,72 tahun untuk sumber dana bank syariah, untuk sumber dana bank konvensional sedikit lebih lama yaitu pada waktu usaha berumur 9,67 tahun. Waktu transfer tersebut secara finansial layak karena masih terdapat waMu cukup lama
sekitar 13 tahun lagi untuk dikelola oleh koperasi guna rnemperoleh manfaat. Hasil analisis rugi laba didapatkan rata-rata keuntungan per tahun usaha integrasi pabrik dan kebun kelapa sawit skala 1 000 hektar sebesar Rp 6 033 700 200 dengan surnber dana bank konvensional dan Rp 6 116 691 000 untuk sumber
dana bank syariah. Rata-rata-keuntungan per hektar per tahun usaha integrasi pabrik dan
kebun dengan sumber dana bank konvensional sebesar Rp 6 033 700, usaha kebun kelapa sawit per hektar per tahun menghasilkan rata-rata keuntungan
sebesar Rp 4 731 800. Hal ini berarti dengan adanya usaha integrasi pekebun
akan mendapatkan nilai tambah (kenaikan pendapatan) sebesar Rp 1 301 900 per hektar per tahun.
S u m k r dana bank syariah pekebun akan mendapatkan
nilai tambah sebesar Rp 1 940 900 per hektar per tahun. Pada model Mointegrasi berbagai skenario perubahan dapat dilakukan
secara interaktif dengan pengguna guna menghindari usaha dari Skenario perubahan
kerugian.
yang dapat dilakukan adalah skala usaha kebun, sumber
dana, rasio pinjaman dengan modal sendiri, suku bunga pinjaman dengan bank konvensional, persentase bagi hasil dengan sumber dana bank syariah, harga jual CPO dan biaya angkutan TBS.
Hasil analisis risiko usaha menunjukkan bahwa usaha integrasi pabrik dan kebun adalah layak dengan risiko rendah.
8.5.
Sub model Anatisis Kelembagaan Kemitraan Usaha Penggunaan metode ISM bertujuan untuk menganalisis keterkaitan
kelembagaan yang terlibat dalam rekayasa kemitraan usaha pola MAKS. Elemen
yang dikaji dengan metode ISM ini dipilih elemenelemen yang lebih berperan terhadap keberhasilan pelaksanaan program kemitraan usaha dan juga mengacu
kepada hasil analisis kebutuhan prcgram dan formulasi pertnasalahan pada Bab V. Elemen4ernen
yang dipilih adalah elemen kebutuhan dari program, elemen
kendala utama, elemen tujuan dari program dan elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan pragram. Elemen-elemen tersebut diuraikan menjadi sejumlah
sub elemen, kemudian masing-masing sub elemen diinteraksikan bedasarkan pendapat pakar responden terpilih.
Hasil analisis dengan metode ISM untuk
masing-masing elemen tersebut secara rind diuraikan sebagai berikut :
(1) Elemen Kebutuhan dari Program
Berdasarkan hasil survey lapangan dan wawancara dengan pihak yang terkait diperokh untuk ekmen kebutuhan dad program dapat dibagi menjadi 16
sub-elemen, yaitu : 1)
Sumber dana modal usaha dengan tingkat bunga yang layak.
2)
Kelayakan usaha.
3)
Bimbingan dan pembinaan terhadap pekebun dan pengurus koperasi.
4)
Melakukan alih teknalogi budidaya, pengolahan dan managemen usaha.
5)
Kebijakan iklim usaha yang kondusif.
6)
Kelancaran pengernbalian kredit.
7)
SDM yang terampil.
8)
Dukungan pemerintah daerah.
9)
Tersedianya lahan yang sesuai dengan luasan yang cukup.
10) Stabilitas politik, keamanan dan moneter. 11) Regulasi (Rule of the game). 12) Adanya saling percaya dan mematuhi aturan main.
13) Adanya rasa kebersamaan setiap anggota koperasi.
14) Transparansi masalah keuangan. 15) Kekstarian lingkungan tetap terjaga. 16) Distribusi resiko dan keuntungan yang pmporsional.
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode ISM, maka elernen kebutuhan dari program yang terdiri atas 16 sublemen dapat digambarkan dalam bentuk hirarki dan dibagi ke dalam empat sektor yang masing-masing disajikan pada Gambar 17 dan 18. Hasil reachability matriks dan interpretasinya dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Hasil Reachability Matnks Final dan interpretasinya dari elemen kebutuhan dari program
D Level
1 i 1 1 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 2 15 15 15 15 3 15 15 3 4 3 15 15 15 15 16 15 2 2 2 2 4 2 2 4 3 4 2 2 2 2 1 2
Keterangan : DP = Driver Power;
D Dependence;
(
3
EK = Elemen Kunci
Tabel 17 menunjukkan bahwa sub-elemen kunci dari elemen kebutuhan program kemitraan usaha pola MAKS adalah sub-elemen yang mempunyai ranking tertinggi adalah subelemen kebijakan iklim usaha yang kondusif (S), dukungan u
pemerintah daerah (8) dan stabilitas politik, keamanan dan moneter (10). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menjalin kemitraan usaha agar berhasil
maka diperlukan sekali suatu kebijakan iklim usaha yang kondusif, dukungan pernerintah daerah dan stabifis politik, keamanan dan moneter untuk menarik investor menanamkan modalnya. Gambar 18 Mat&
Driver power-Dependence menunjukkan bahwa sub-
elemen kebijakan iklim usaha yang kondusif (5), dukungan pemerintah daerah (8), tersedianya lahan yang sesuai dengan luasan yang cukup (9) dan stabilitas politik, keamanan dan moneter (10) merupakan variabel-variabel kebutuhan program yang
)
termasuk ke dalam sektor IV yang menrpakan sektor independen yaitu rnernpunyai kekuatan penggerak yang besar terhadap keberhasilan program, tetapi punya sedikit ketergantungan terhadap program.
Sub-elemen sumber danalbantoan
modal usaha dengan tingkat bunga yang layak (I), kelayakan usaha (21,bimbingan dan pembinaan terhadap pekebun dan pengurus koperasi (31,melakukan alih teknologi
budidaya, pengolahan dan
manajemen usaha (4),
kelancaran
pengembalian kredit (6),SDM yang terampil (71, regulasi (I I), adanya saling percaya dan mematuhi aturan main (12), adanya rasa kebersamaan setiap anggota
koperasi (13), transparansi masalah keuangan (14) dan distribusi resiko dan keuntungan yang proporsional (16) termasuk kedalam sektor Lbkage (sektor Ill). Hat ini berarti bahwa semua sub-elemen dalam sektor ini harus dikaji secara hati-
hati, karena hubungan antar subelemen adalah tidak stabil. Setiap tindakan pada subelemen tersebut akan rnernberikan pengaruh terhadap berhasilnya program
dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar keberhasilan program kemitraan usaha pota MAKS. Sub-elemen kelestarian lingkungan tetap terjaga (15) termasuk
kedalam sektor dependent, artinya sektor kebutuhan program ini akan terpengaruh oleh adanya program kemitraan usaha sebagai akibat dari sektor-sektor kebutuhan program lainnya. Berdasarkan hasil temuan tersebut, agar proses kemitraan usaha pola
MAKS dapat berhasil dengan baik maka sub elemen kebutuhan program yang termasuk sektor independent dan sektor linkage tersebut harus diperhatikan secara menyeluruh.
Gambar 17. Diagram model struktural kebutuhan dari program (2) Elemen Kendala utama
Berdasarkan hasil survey lapangan dan wawancara dengan pihak yang terkait diperoleh bahwa untuk elemen kendala utama kernitman usaha pola MAKS terdiri atas sembilan sub-elemen, yaitu : I) Kesetaraan posisi. 2)
Kemampuan SDM pengunrs dan pengelola koperasi masih lemah.
3)
Sosial budayamasyarakatpekebun.
4)
Ketersedian dana modal usaha.
5)
Kurangnya pembinaan dari lembaga terkait.
6)
Kurangnya koordinasi dari lembaga terkait.
7)
Proses perizinan dan birokrasi yang rumit.
8)
Lemahnya komunikasi antara pengusaha dengan para pekebun (koperasi pekebun).
9)
Sikap rnasyarakat pekebun (rnotivasi).
Dependence
Keterangan :
1. Sumber danalbantuan modal usaha 2. Kelayakan usaha 3. Pembinaan terhadap pekebun dan pengums koperasi Alih teknologi budidaya, pengolahan dan manajemen usaha 5. Kebijakan iklim usaha yang kondusif 6. Kelancaran pengembalian kredit 7. SDM yang terampil 8. Dukungan Pemerintah Daerah 9. Tersedianya lahan yang sesuai dengan luasan yang cukup 10. Stablitas politik, keamanan dan moneter 1I.Regulasi 12. Adanya saling percaya dan mematuhi aturan main 13. Adanya rasa kebersamaan setiap anggota koperasi 94. Transparansi masalah keuangan 15. Kelestarian lingkungan tetap tejaga 16. Distribusi resiko dan keuntungan yang proporsional
4.
Gambar 18. MatriksDriver Power-Dependence elemen kebutuhan program Berdasarkan anatisis menggunakan metode ISM, maka elemen kendala
utama yang terdiri atas sembilan suhlernen dapat digambarkan dalarn bentuk hirarki dan dibagi kedalam empat sektor yang disajikan pada Gambar 19 dan 20. Hasil reachabiltiy mafriks dan interpretasinya disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Hasil Reachability Matriks Final dan intepretasinya dari elemen kendala utama u-men
ke :
Level Keterangan : DP = Driver Power; D = Dependence;
EK = Elemen Kunci
Gambar 19. Diagram model struktural dari kendala utama
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Dependence Keterangan : 1. Kesetaraan posisi 2. Kemampuan SDM pengurus dan pengelola koperasi 3. Sosial budaya masyarakat pekebun 4. Ketersedian danalbantuan modal usaha 5. Kurangnya pembinaan dari lembaga terkait 6. Kurangnya koordinasi lembaga terkait 7. Proses perizinan dan birokrasi yang rumit 8. Lemahnya komunikasi antara mitra dengan pekebun (koperasi) 9. Sikapmasyarakatpekebun(motivasi)
Gambar 20. Matriks Driver Power-Dependence elemen kendala utama Tabel 18. menunjukkan bahwa sub-elemen kunci dari elemen kendata
utama kemitraan usaha pola MAKS adalah subelemen kurangnya koordinasi lembaga terkait (6) dan proses perizinan dan birokrasi yang rumit (7). Hasil tersebut memberikan makna bahwa koordinasi dan proses perizinan pedu mendapat perhatian utama untuk mencapai keberhasilan dari kemitraan usaha.
Gambar 20. Matriks Driver power-Dependence menunjukkan bahwa subelemen kurangnya koordinasi lembaga terkait ($), proses perizinan yang rumit (7) dan kurangnya pembinaan dari lembaga terkait (5) adalah variabel-variabel yang terrnasuk sektor IV yang merupakan sektor independent yaitu mempunyai kekuatan penggerak yang besar terhadap keberhasilan program. Koordinasi baik dari segi pembinaan maupun dari segi perizinan akan sangat menunjang keberhasilan
program kemitraan usaha ini. Subelemen kesetaraan posisi (I), kemampuan SDM
pengurus dan pengelola koperasi masih lemah (21, sosiai budaya masyarakat pekebun (3), ketersedian danlbantuan modal (4), lemahnya komunikasi antara pengusaha dengan para pekebun (8) dan sikap masyaraht pekebunlmotivasi termasuk datam sektor linkage (sektor Ill). Hal ini brarti bahwa variabel-variabel dalam sektor linkage ini hams dikaji secara hati-hati, karena hubungan antar variabel tidak stabil.
Setiap tindakan pada variabel tersebut akan memberikan
pengaruh terhadap berhasilnya program dan umpan balik pengaruhnya memperbesar keberhasilan program kemitraan usaha pola MAKS, lemahnya perhatian terhadap kendala-kendala tersebut akan menyebabkan kegagalan
program. (3) Elernen Tujuan Program Berdasarkan hasit survey lapangan dan wawancara dengan pihak yang
terkait diperoleh bahwa elemen tujuan dari program dapat dibagi menjadi 13 subelemen, yaitu : I) Meningkatkan pendapatan pekebun. 2)
Memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha.
3)
Mengembangkan iklim usaha yang kondusif.
4)
Merekayasa pola kemitraan usaha agroindustri kelapa sawit.
5)
Meningkatkan keterampilan SDM pekebun dan pengurus koperasi.
6)
Meningkatkan pendapatan daerah.
7)
Mendorong pengembangan agroindustri.
8)
Meningkatkan pendapatan masyarakat sekitarnya.
9)
Meningkatkan nilai tambah dengan adanya usaha agroindustri.
10) Melakukan alih teknologi budidaya, pengolahan dan manajemen usaha.
11) Pembagian nilai tambah dan resiko berusaha. 12) Meningkatkan pendapatan negara.
13) Meningkatkan peran koperasi dalam berusaha.
Berdasarkan hasil analisis dengan rnenggunakan metode ISM, maka elemen kebutuhan dari program yang terdiri atas 16 subelemen dapat digambarkan
dalam bentuk hirarki dan dibagi kedalam empat sektor yang masing-masing disajikan pada Gambar 21 dan 22. Hasil machability matriks dan interpretasinya dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Hasil Reachability Mat& Finat dan inteptetasinya dari tujuan program
I
Subelemen :
I
Level
IT
elemen
Sub-elemen Tuiuan Proaram ke:
( 3 1 1 ( 5
Keterangan : DP = Driver P Tabel 19 menunjukkan bahwa sub-elemen kund dari elemen tujuan program
kemitraan usaha pola MAKS adalah sub-elemen mengembangkan iklim usaha yang kondusif (3). Hal ini memberikan arti bahwa usahausaha yang dilakukan untuk
menmpai tujuan-tujuan tersebut perlu mendapatkan prioritas utama untuk mencapai keberhasilan dalam kemitraan usaha pola M
S .
Gambar 22. Matriks Driver power-Dependence menunjukkan bahwa kedua subelemen yaitu mengernbangkan iklim usaha yang kondusif (3) dan merekayasa pola kemitraan usaha agroindustri kelapa sawit (4) merupakan variabel-variabel
tujuan program yang temasuk ke dalam sektor IV yang merupakan sektor
independent yaitu mempunyai kekuatan penggerak yang besar terhadap
kekrhasilan program, tetapi punya sedikit ketergantungan terhadap program. Subelemen meningkatkan pendapatan pekebun (I), meningkatkan keterampilan SUM pekebun dan pengurus koperasi (5), mendorong pengembangan agroindustri (71, meningkatkan nilai tambah (g), pembagian nilai tambah dan resiko usaha (11) dan meningkatkan peran koperasi dalam berusaha (13) termasuk dalam sektor linkage (sektor Ill). Hal ini berarti bahwa semua sub-elemen dalam sektor ini haws dikaji
secara hati-hati, karena hubungan antar sub-elemen bersifat tidak stabil.
Gambar 21. Diagram madel struktural tujuan dari program
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Meningkatkan pendapatan pekebun Memperluas lapangan kerja dan kesempatan brusaha Mengembangkan iklim usaha yang kondusif Merekayasa pola kernitraan usaha Meningkatkan keterampilan SDM pekebun dan pengurus koperasi Meningkatkan pendapatan daerah Mendorong pengembangan agroindustri Meningkatkan pendapatan masyarakat sekitarnya Meningkatkan nilai tambah dengan adanya usaha agroindustti Melakukan alih teknologi, budidaya, dan manajemen usaha 1 1. Pembagian nilai tamhah dan resiko berusaha 12. Meningkatkan pendapatan negara 13. Meningkatkan peran koperasi dalam berusaha
Gambar 22. Matrik Driver Power-Dependence elemen tujuan program
Setiap tindakan pada suklemen tersebut akan memberikan pengaruh terhadap
berhasilnya program dan
umpan balik
pengaruhnya bisa mernperbesar
kehrhasilan program kemitraan usaha pola M S . Sublemen memperluas Lapangan keja dan kesempatan berusaha (2), meningkatkan pendapatan daerah (6), meningkatkan pendapatan masyarakat sekitarnya (8) dan meningkatkan
pendapatan negara (12) termasuk ke dalam sektor dependent, yang berarti bahwa
sub-elemen tujuan-tujuan program tersebut akan termpai dalam program kemitraan
usaha pols MAKS sebagai akibat tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan program
lainnya yang juga disebut peubah terikat. (4) Elemen Lembaga yang Terlibat dalam Pelaksanaan Program
Berdasarkan hasil survey lapangan dan wawancara dengan pihak yang
terkait diperoleh bahwa untuk elemen lembaga yang telibat dalam pelaksanaan program kemitraan usaha pola MAKS terdiri atas 10 sub-elemen, yaitu : 1)
Keiompok .pekebun.
2)
Koperasi pekebun.
3)
Pengusaha mitra (investor).
4)
Masyarakat sekitar lokasi.
5)
Pemeilntah Daerah.
6)
Dinas Perkebunan.
7)
Dinas Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil.
8)
Dinas Perindustrian dan Perdagangan.
9)
Lembaga Pembiayaan Usaha.
10) Badan Pertanahan Nasional .
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode ISM, maka
elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program terdiri atas 10 subelemen dapat digambarkan dalam bentuk hirarki dan dibagi kedalam empat sektor yang masing-masing disajikan pada Gambar 23 dan 24. Hasil mchabilrty matriks dan interpretasinya dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 menunjukkan bahwa subelemen kunci dari elemen lernbaga yang
terlibat dalam pelaksanaan program kemitraan usaha pola MAKS adalah subelemen Pernerintah Daerah (5). Hasil tersebut memberi makna bahwa pernerintah daerah agar lebih berperan dalam kemitraan usaha pola MAKS. Hasil ini juga sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang memberikan wewenang penuh
kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurusi daerahnya bedasarkan Undang-Undang.
Tabel 20. Hasil Reachability Mafriks Final dan intepretasinya dad elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program Sub-elemen ke :
Keterangan : DP = Driver Power;
D = Dependence:
EK = Elernen Kunci
Gambar 24 Matriks Dtiver power-Dependence menunjukkan bahwa sub-
elemen Pemerintah Daerah (5) dan Badan Pertanahan Nasional (10) adalah
variabel-variabel yang termasuk sektor IV yang merupakan sektor independent yaitu mempunyai kekuatan penggeak yang besar terhadap keberhasilan program. tetapi punya sedikit ketergantungan terhadap program. Sub-elehen kelornpok pekebun (I), Koperasi pekebun (2), Pengusaha Mitra/lnvestor (3) dan Lembaga pembiayaan
usaha (9) termasuk ke dalam sektor linkage (sektor Ill). Hal ini betarti bahwa variabel-variabel dalam sektor linkage ini hams dikaji secara hati-hati, karena
hubungan antar variabel tidak stabil. Setiap tindakan pada variabel tersebut akan memberikan pengaruh terhadap pengaruhnya
umpan
balik
memperbesar keberhasilan kemitraan usaha pola MAKS.
Sub-
berhasilnya
program
dan
elemen masyarakat sekiir lokasi (41, Dinas Perkebunan (6), Dinas Koperasi dan
Pembinaan Pengusaha Kecil (7) dan Dinas Perindusttian dan Perdagangan (81,
termasub ke dalam sektor dependent (sektor 11) artinya suklemen tersebut adalah merupakan peubah terikat tehadap subelemen lembaga lainnya dalam
pelaksanaan kernitman usaha pola MAKS.
Gambar 23. Diagram model struktural lembaga yang terlibat dalam pelakanaan program
Dependence Keterangan : 1. Kelompok pekebun 2. Koperasi pekebun 3. Pengusaha Mitra 4. Masyarakat seltitar lokasi 5. Pemerintah Daerah
Gambar 24.
6. Dinas Perkebunan
7. Dinas Koperasi dan Pembinaan Pengusaha kedl 8. Dinas Perindustrian dan Perdagangan 9. Badan Pertanahan Nasional
Matriks Driver Power-Dependence elemen lembaga yang telibat dalam pelaksanaan program