VIII. PENGARUH KEBIJAKAN FISKAL TERHADAP KINERJA AGROINDUSTRI
8.1. Hubungan Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Agroindustri Analisis pada bagian ini untuk mencapai tujuan penelitian ke dua, mengkaji hubungan antara kebijakan fiskal dengan kinerja agroindustri di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan pada bagian 7.1 bahwa untuk mendapatkan pemaknaan sesuai dengan teori ekonomi pada sistem persamaan VECM dari VAR(4), maka hubungan kointegrasi diantara variabel-variabel dalam sistem dibangun dengan melakukan restriksi perilaku jangka panjang dari variabel-variabel endogen berdasarkan metode estimasi ML (maximum likelihood). Restriksi menghasilkan delapan persamaan kointegrasi meliputi: sistem persamaan yang menjelaskan kinerja sektor pertanian terdiri dari lima persamaan (telah diuraikan pada bagian 7.1) dan tiga sistem persamaan yang menjelaskan kinerja agroindustri (nilai tambah input [NTI], nilai tambah output [NTO], dan daya saing agroindustri [DSA]). Hasil Estimasi parameter disajikan pada Tabel 42, selengkapnya pada Lampiran 8. Persamaan regresi kointegrasi (8.1) hingga (8.3) dapat menjelaskan hubungan struktural ekonomi antara variabel-variabel kebijakan fiskal dengan kinerja agroindustri sebagai berikut: NTIt = 0.099 + 0.052PPHt + 0.003PPNt – 0.129EAt + 0.029SPt – 0.447RDAt + 0.645IAt – 0.146DFt – 0.676It – 0.424KONSt
(8.1)
NTOt = 0.134 + 0.792PPHt – 0.377PPNt – 0.272EAt + 0.024SPt – 1.025RDAt + 1.376IAt – 0.486DFt – 1.412It – 0.607KONSt
(8.2)
DSAt = – 0.049 + 0.464PPHt + 0.875PPNt – 0.239EAt – 0.091SPt + 0.013RDAt + 0.003IAt + 0.653DFt – 0.136It – 0.067KONSt
(8.3)
257 Tabel 42. Hubungan Jangka Panjang Kebijakan Fiskal dengan Kinerja Agroindustri Cointegrating Eq:
D(LOG(NTI(1)))
D(LOG(NTO(1)))
D(DSA(1))
D(LOG(PPH(1)))
-0.05159 (0.13046) [-0.39541]
D(LOG(PPN(1)))
-0.00252 (0.26924) [-0.00936]
-0.79198 (0.28296) [-2.79892] ** 0.376801 (0.58396) [ 0.64525]
D(LOG(EA(1)))
0.128969 (0.08628) [ 1.49473]
0.271555 (0.18714) [ 1.45108]
-0.46378 (0.25356) [-1.82909] * -0.87462 (0.52329) [-1.67138] * 0.238747 (0.16770) [ 1.42368]
D(LOG(SP_(1)))
-0.02892 (0.05377) [-0.53791]
-0.02354 (0.11662) [-0.20185]
0.09147 (0.10451) [ 0.87526]
D(LOG(RDA(1)))
0.446856 (0.10227) [ 4.36917] *** -0.64544 (0.12054) [-5.35465] *** 0.146103 (0.05774) [ 2.53020] *** 0.676184 (0.09125) [ 7.41008] *** 0.423624 (0.13813) [ 3.06685] *** -0.0987
1.024785 (0.22183) [ 4.61978] *** -1.37601 (0.26144) [-5.26328] *** 0.485768 (0.12524) [ 3.87867] *** 1.412009 (0.19792) [ 7.13431] *** 0.607332 (0.29959) [ 2.02719] *** -0.13384
-0.01286 (0.19878) [-0.06467]
D(LOG(IA(1)))
D(LOG(DF(1)))
D(LOG(I(1)))
D(LOG(KONS(1)))
C
-0.00255 (0.23427) [-0.01088] -0.65288 (0.11223) [-5.81738] *** 0.136127 (0.17736) [ 0.76754] 0.067447 (0.26847) [ 0.25123] 0.048632
Keterangan: Baris pertama nilai koefisien, kedua standard error, dan ketiga/[ ] nilai t-statistik. ***=nyata pada tingkat signifikansi (α:1%), **=nyata pada tingkat signifikansi (α:5%), dan *=nyata pada tingkat signifikansi (α:10%). Nilai t-tabel: t(α:1%)= 2.167, t(α:5%)= 1.980, dan t(α:10%)= 1.658. Secara umum, dari persamaan (8.1) hingga (8.3) menunjukkan arah yang sesuai dengan teori dan logika ekonomi. Masing-masing karakteristik struktur hubungan
258 tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Pajak Penghasilan Peningkatan penerimaan pemerintah dari pajak penghasilan (PPh) sebesar 10% dalam jangka panjang secara nyata berhubungan dengan peningkatan nilai tambah output (NTO) sebesar 7.92%, dan daya saing agroindustri (DSA) sebesar 4.64 satuan indeks. Disamping PPh dalam jangka panjang mendorong kinerja sektor pertanian, hal yang sama terjadi untuk kinerja agroindustri. Artinya pajak penghasilan cukup potensial untuk mendorong output primer pertanian (lihat bagian 7.1) maupun industri pertanian sebagaimana hasil studi Pandiangan (2005); meskipun masih ditemukan hambatan (tata laksana) dalam industri pertanian oleh PPh, namun PPh berpotensi memberikan insentif pada pengembangan industri pertanian. Terhadap nilai tambah input (NTI) tidak berhubungan nyata. 2. Pajak Pertambahan Nilai Peningkatan penerimaan pemerintah dari pajak pertambahan nilai (PPn) sebesar 10% dalam jangka panjang secara nyata berhubungan dengan peningkatan daya saing agroindustri (DSA) cukup besar (8.75 satuan indeks). Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan penerimaan dari PPn dapat mendorong daya saing produk industri pertanian di pasar dunia. Hal ini selaras dengan temuan studi Herjanto (2003) dan Joewono (2008) bahwa daya saing produk industri pertanian tradable sensitif terhadap shock pajak pertambahan nilai. Terhadap nilai tambah input (NTI) dan nilai tambah output (NTO) tidak berhubungan nyata. 3. Anggaran untuk Sektor Pertanian Peningkatan anggaran untuk Sektor Pertanian (EA) tidak secara nyata berhubungan dengan nilai tambah input (NTI), nilai tambah output (NTO), dan
259 daya saing agroindustri (DSA). Artinya, anggaran sektor pertanian dalam jangka panjang tidak secara langsung mendorong kinerja agroindustri. Fenomena ini diperkirakan menjadi penyebab langsung lambannya bahkan tidak tumbuhnya agroindustri di Indonesia, seperti hasil studi Arifin (2004) dan Joewono (2008) bahwa dari sisi ekonomi politik, belum ada arah yang jelas mengenai pengembangan agroindustri Indonesia dimasa mendatang. 4. Subsidi Pertanian Peningkatan subsidi pertanian (SP) dalam jangka panjang tidak secara nyata berhubungan dengan nilai tambah input (NTI), nilai tambah output (NTO), dan daya saing agroindustri (DSA). Intervensi belanja langsung pemerintah melalui anggaran sektor pertanian dan subsidi pertanian ternyata tidak bisa mendorong langsung pada kinerja agroindustri. Pada kenyataanya subsidi pertanian lebih banyak menyentuh produk primer pertanian (sarana produksi dan harga produksi primer pertanian). Perlakuan pengembangan industri pertanian lebih banyak disamakan dengan industri secara keseluruhan (Sastrosoenarto, 2006) sehingga relatif tidak tersentuh subsidi pertanian. 5. Anggaran Penelitian dan Pengambangan Pertanian Peningkatan alokasi anggaran untuk penelitian dan pengambangan pertanian (RDA) sebesar 10% dalam jangka panjang secara nyata berhubungan dengan penurunan nilai tambah input (NTI) sebesar 4.47%, dan nilai tambah output (NTO) sebesar 10.25%. Terhadap daya saing agroindustri (DSA) tidak berhubungan nyata. Hal tersebut indikasinya adalah, penelitian pertanian dari sisi hulu untuk mendorong produk primer ralatif maju (walau terjebak hanya pada tanaman pangan itupun sudah mengalami kejenuhan dan kemudian berkembang penelitian inklusif untuk
260 pengembagan produk industri besar pertanian yang tidak menyentuh pertanian rakyat). Pada sisi hilir kurang mengembangkan potensi produk industri pertanian (Fuglie, 2004). Keadaan inilah yang mengakibatkan anggaran penelitian dan pengembangan pertanian relatif tidak mendorong kinerja agroindustri. 6. Anggaran untuk Infrastruktur Pertanian Peningkatan alokasi anggaran untuk infrastruktur pertanian (IA) sebesar 10% dalam jangka panjang secara nyata berhubungan dengan peningkatan nilai tambah input (NTI) sebesar 6.45%, dan nilai tambah output (NTO) sebesar 13.76%. Hubungan ini mengindikasikan betapa pentingnya perbaikan infrastruktur pertanian untuk dapat mendorong tidak saja produk primer pertanian, namun juga dibutuhkan untuk mengembangkan agroindustri di Indonesia. Namun studi Yudhoyono (2004) menemukan bahwa pembangunan infrastruktur tidak pro pertanian. Dalam infrastruktur sektor pertanian sendiri masih terkonsentrasi pada pertanian primer (sebagaimana hasil studi Zhang and Fan, 2004 di India). Padahal menurut hasil studi Nauges and Tzouvelekas (2006) di Yunani menyimpulkan bahwa infrastruktur pertanian penting bagi pengembagan industri pertanian. Hal itu belum kondusif bagi agroindustri di Indonesia, misal pasar produk pertanian yang tidak memadai bahkan pasar/terminal agroindustri masih merupakan hal yang asing. Terhadap daya saing agroindustri (DSA) tidak berhubungan nyata. 7. Desentralisasi Fiskal Peningkatan alokasi anggaran desentralisasi fiskal (DF) sebesar 10% dalam jangka panjang secara nyata berhubungan dengan penurunan nilai tambah input (NTI) sebesar 1.46%, dan nilai tambah output (NTO) sebesar 4.86%. Namun meningkatkan daya saing agroindustri (DSA) sebesar 6.53 satuan indeks. Hal ini
261 bermakna bahwa desentralisasi fiskal berpotensi mendorong pengembangan industri pertanian terutama pada komoditi tradable (khususnya perkebunan, dan perikanan). Hal ini selaras dengan hasil studi Sa’id dan Dewi (2006). Namun demikian masih disinsentif terhadap penciptaan nilai tambah input maupun output agroindustri. Hal ini diperkirakan bahwa pengembangan agroindustri di daerah-daerah selama ini tidak maksimal memanfaatkan bahan lokal dan belum mencapai fase industri lanjut, sebagaimana hasil studi Sa’id dan Febriyanti (2005). 8. Investasi Variabel pembobot ekonomi makro memiliki karakter arah hubungan pengaruh sebagai berikut, peningkatan investasi (I) sebesar 10% dalam jangka panjang secara nyata berhubungan dengan penurunan nilai tambah input (NTI) sebesar 6.76%, dan nilai tambah output (NTO) sebesar 14.12%. Terhadap daya saing agroindustri (DSA) tidak berhubungan nyata. Sebagaimana diuraikan di depan, bahwa porsi investasi pertanian dari total investasi relatif kecil. Disamping itu investasi untuk agroindustri hanya dilakukan oleh pemodal basar bahkan perusahaan multinasional yang indikasinya bersifat inklusif. Sehingga tidak dapat mendorong industri pengolahan pertanian secara agregat. Hal tersebut selaras dengan studi Herjanto (2003), Astuti (2005), dan Joewono (2008) bahwa investasi tidak jelas polanya dalam peran dorongan industri pertanian di Indonesia. 9. Konsumsi Paningkatan konsumsi (KONS) sebesar 10% dalam jangka panjang secara nyata berhubungan dengan penurunan nilai tambah input (NTI) sebesar 4.24%, dan nilai tambah output (NTO) sebesar 6.07%. Terhadap daya saing agroindustri (DSA) tidak berhubungan nyata. Artinya peningkatan konsumsi masyarakat yang
262 merupakan faktor penarik pertumbuhan di negara berkembang (Alexadrates, 1995) tidak dapat menggairahkan kegiatan industri pengolahan pertanian di Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh semakin derasnya produk-produk impor olahan pertanian yang membanjiri pasar
domestik (Sawit, 2007) dan ini merupakan ancaman bagi
keberlangsungan industri pengolahan domestik.
8.2. Respon Dinamik Kinerja Agroindustri atas Guncangan Kebijakan Fiskal Sebagaimana pada Bagian 7.2. respon dinamik karena adanya guncangan (shock) dari variabel kebijakan fiskal terhadap kinerja agroindustri juga dianalisis dengan respon impulse secara simultan berdasarkan metode dekomposisi Cholesky dengan penyesuaian derajad bebas (Cholesky-degree of fredom adjusted). Guncangan (shock) sebesar satu standar deviasi dan lama periode analisis sampai triwulan ke 60 dengan memperhatikan, sampai pada periode tersebut telah mampu menggambarkan respon pergerakan yang telah mencapai fase konvergen secara konsisten. Pergerakan/impulse respon dari variabel kinerja agroindustri disajikan pada Gambar 48-56. Sedangkan numerik dari impulse respon disajikan pada Lampiran 9. 1. Respon atas perubahan Pajak Penghasilan Awal guncangan pajak penghasilan (PPh) sebagaimana disajikan pada Gambar 48 dan Lampiran 9(B.9.10), pada triwulan ke 2 terjadi penurunan nilai tambah input (NTI) berkisar 0.64% yang meningkat kembali pada triwulan 5 secara fluktuatif akhirnya menurun secara konsisten. Terjadi penurunan nilai tambah output (NTO) berkisar 0.16% dan kenaikan daya saing agroindustri (DSA) berkisar 1.39%.
263 Dalam jangka panjang, guncangan PPh mengakibatkan penurunan nilai tambah input (NTI) berkisar 0.36% konvergen mulai triwulan ke 15. Menurunkan nilai tambah output berkisar 0.18% konvergen mulai triwulan ke 27, dan meningkatkan daya saing agroindustri (DSA) berkisar 1.28% konvergen mulai triwulan ke 30. Bagi output industri pertanian, PPh menunjukkan dorongan positif untuk daya saing, namun secara keseluruhan masih memberatkan kinerja agroindustri (selaras dengan studi Gemmella, et.al., 2003 di Inggris). Hal senada juga terjadi pada sektor pertanian primer yang relatif disinsentif ( fenomena tersebut juga ditemukan dalam studi Irawan, 2005). Response to Cholesky One S.D. Innovations of PPh b. Respon Terhadap NTO
a. Respon Terhadap NTI
.004 .002 .000 -.002 -.004 -.006
.001
.000
-.001
-.002
-.003
-.004
-.008 10
20
30
40
50
10
60
20
30
40
50
60
c. Respon Terhadap DSA
.025
.020
.015
.010
.005
.000 10
20
30
40
50
60
Keterangan : Skala absis adalah triwulan Gambar 48. Respon shocks pada Pajak Penghasilan terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA).
264 2. Respon atas perubahan Pajak Pertambahan Nilai Pada awal guncangan pajak pertambahan nilai (PPn) sebagaimana disajikan pada Gambar 49 dan Lampiran 9(B.9.11), pada triwulan ke 2 terjadi kenaikan nilai tambah input (NTI) berkisar 0.87% dan nilai tambah output (NTO) berkisar 0.27%. Daya saing agroindustri (DSA) juga meningkat berkisar 0.15%, namun kemudian menurun secara konsisten.
Response to Cholesky One S.D. Innovations of PPn b. Respon Terhadap NTO
a. Respon Terhadap NTI
.016
.012
.008
.004
.000
.016
.012
.008
.004
.000
-.004
-.004 10
20
30
40
50
10
60
20
30
40
50
60
c. Respon Terhadap DSA
.005 .000 -.005 -.010 -.015 -.020 -.025 -.030 10
20
30
40
50
60
Keterangan : Skala absis adalah triwulan Gambar 49. Respon shocks pada Pajak Pertambahan Nilai terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA) Dalam jangka panjang, guncangan pajak pertambahan nilai (PPn) mengakibatkan peningkatan nilai tambah input (NTI) berkisar 0.75% konvergen
265 mulai triwulan ke 28, nilai tambah output berkisar 0.62% konvergen mulai triwulan ke 26, dan penurunan daya saing agroindustri (DSA) berkisar 1.19% konvergen mulai triwulan ke 31. Sebagaimana arah respon pada sektor pertanian; PPn juga kondusif
untuk mendorong
kegiatan industri pertanian (meskipun belum
meningkatkan daya saing) maupun produk primer pertanian. Hal ini selaras dengan hasil studi Gemmella, et.al. (2003) di Inggris dan studi Irawan (2005). 3. Respon atas Perubahan Anggaran Sektor Pertanian Awal guncangan pada anggaran sektor pertanian sebagaimana disajikan pada Gambar 50 dan Lampiran 9(B.9.12), pada triwulan ke 2 terjadi penurunan nilai
Response to Cholesky One S.D. Innovations of EA .002
b. Respon Terhadap NTO
a. Respon Terhadap NTI
.004 .002 .000 -.002 -.004 -.006 -.008 -.010 10
20
30
40
50
.001 .000 -.001 -.002 -.003 -.004 -.005 -.006 -.007 10
60
20
30
40
50
60
c. Respon Terhadap DSA
.000
-.004
-.008
-.012
-.016
-.020 10
20
30
40
50
60
Keterangan: Skala absis adalah triwulan Gambar 50. Respon shocks pada Anggaran Sektor Pertanian terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
266 tambah input (NTI) berkisar 0.91%, dan nilai tambah output (NTO) berkisar 0.63%. Daya saing agroindustri (DSA) juga menurun berkisar 0.71%. Dalam jangka panjang, guncangan pada anggaran pertanian menurunkan nilai tambah input (NTI) berkisar 0.32% konvergen mulai triwulan ke 27, nilai tambah output (NTO) berkisar 0.29% konvergen mulai triwulan ke 27, dan daya saing agroindustri (DSA) berkisar 0.91% konvergen mulai triwulan ke 30. Berarti, anggaran sektor pertanian selama ini masih terkonsentrasi pada sektor pertanian primer (lihat respon kinerja sektor pertanian yang meningkat baik jangka pendek maupun jangka panjang pada Bagian 7.2) dan indikasinya kurang mendorong penciptaan nilai tambah produk pertanian. Hal itu selaras dengan studi Sastrosoenarto, (2006) bahwa dorongan penciptaan nilai tambah produk pertanian dari pemerintah masih sangat rendah. 4. Respon atas Perubahan Subsidi Pertanian Pada saat guncangan subsidi pertanian sebagaimana disajikan pada Gambar 51 dan Lampiran 9(B.9.13), pada triwulan ke 2 terjadi peningkatan nilai tambah input (NTI) berkisar 0.61% meskipun menurun pada triwulan ke 4 dan 11, selanjutnya meningkat konsisten. Nilai tambah output meningkat berkisar 0.16%, namun mulai triwulan ke 3 dan seterusnya menurun konsisten. Daya saing agroindustri (DSA) menurun berkisar 2.31% pada awal guncangan dan seterusnya secara konsisten. Dalam jangka panjang guncangan subsidi pertanian hanya meningkatkan nilai tambah input (NTI) berkisar 0.26% konvergen mulai triwulan ke 28. Nilai tambah output (NTO) menurun berkisar 0.04% konvergen mulai triwulan ke 36 dan daya saing agroindustri (DSA) juga menurun berkisar 0.86% konvergen mulai
267 triwulan ke 32. Berarti, subsidi pertanian cepat menaikkan nilai tambah input, namun menurunkan NTO dan DSA. Pada uraian sebelumnya disamping indikasinya subsidi pertanian bias konsumen dan berdampak positif dalam jangka pendek dan hanya meningkatkan penyerapan tenaga kerja pertanian (Bagian 7.2) (sebagaimana juga hasil studi Ilham, 2006; dan data Murniningtyas, 2008 [Bagian 5.4.1]) dalam jangka panjang juga disinsentif terhadap kegiatan produksi agroindustri (sesuai peringatan Stiglitz, 2000 mengenai kehati-hatian dalam subsidi pertanian terhadap industri pertanian agar tidak kontra produktif karena sulitnya pemilahan antara agroindustri dengan industri lainnya).
Response to Cholesky O ne S.D. Innovations of SP .004
b. Respon Terhadap NTO
a. Respon Terhadap NTI
.010 .008 .006 .004 .002 .000 -.002 10
20
30
40
50
60
10
20
.003 .002 .001 .000 -.001 -.002 -.003 -.004 10
20
30
40
50
60
c. Respon Terhadap DSA
.010 .005 .000 -.005 -.010 -.015 -.020 -.025 30
40
50
60
Keterangan: Skala absis adalah triwulan Gambar 51. Respon shocks pada Subsidi Pertanian (SP) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
268 5. Respon atas Perubahan Anggaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian Awal guncangan anggaran
penelitian dan pengembangan pertanian
sebagaimana disajikan pada Gambar 52 dan Lampiran 9(B.9.14), pada triwulan ke 2 terjadi penurunan nilai tambah input (NTI) berkisar 0.84% fluktuatif sampai triwulan ke 28. Periode selanjutnya terjadi peningkatan konsisten.
Response to Cholesky One S.D. Innovations of RDA .006
b. Respon Terhadap NTO
a. Respon Terhadap NTI
.006 .004 .002 .000 -.002 -.004 -.006 -.008 -.010 10
20
30
40
50
60
10
20
.004 .002 .000 -.002 -.004 -.006 10
20
50
60
30
40
50
60
c. ResponTerhadap DSA
.010 .005 .000 -.005 -.010 -.015 -.020 -.025 -.030 30
40
Keterangan: Skala absis adalah triwulan Gambar 52. Respon shocks pada Anggaran Penelitian dan Pengembangan Pertanian (RDA) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA) Hal itu juga terjadi pada nilai tambah output (NTO) yang menurun berkisar 0.56%, kemudian fluktuatif sampai dengan triwulan ke 28 dan selanjutnya meningkat
269 konsisten. Sedangkan daya saing agroindustri (DSA) mengalami penurunan berkisar 2.45% secara konsisten. Dalam jangka panjang, guncangan anggaran penelitian dan pengembangan pertanian mengakibatkan kenaikan pada nilai tambah input (NTI) berkisar 0.03% konvergen mulai triwulan ke 31, dan nilai tambah output (NTO) berkisar 0.04% konvergen mulai triwulan ke 33. Namun terjadi penurunan pada daya saing agroindustri (DSA) berkisar 0.49% konvergen mulai triwulan ke 29. Berarti, peningkatan anggaran untuk penelitian dan pengembangan pertanian dapat meningkatkan nilai tambah input maupun output agroindustri, namun masih belum mampu meningkatkan daya saingnya. Hal itu selaras dengan hasil studi Fan, et. al. (1999) dan Simatupang, et. al. (2004) bahwa dorongan penelitian dan pengembangan pertanian dibutuhkan untuk mendorong industri pertanian. 6. Respon atas Perubahan Anggaran Infrastruktur Pertanian Awal guncangan anggaran infrastruktur pertanian (IA) sebagaimana disajikan pada Gambar 53 dan Lampiran 9(B.9.15), pada triwulan ke 2 terjadi peningkatan nilai tambah input (NTI) berkisar 0.43% dan nilai tambah output berkisar 0.21%. Peningkatan keduanya fluktuatif sampai triwulan ke 9, selanjutnya terjadi kenaikkan konsisten. Sedangkan daya saing agroindustri menurun berkisar 0.79%. Dalam jangka panjang, guncangan anggaran infrastruktur pertanian menyebabkan kenaikan pada nilai tambah input, nilai tambah output, masingmasing berkisar 0.51% dan 0.33%, mencapai keseimbangan masing-masing mulai triwulan ke 31 dan 35. Daya saing agroindustri menurun berkisar 0.47% dan konvergen mulai triwulan ke 34. Berarti anggaran infrastruktur pertanian penting
270 dalam meningkatkan nilai tambah input dan nilai tambah output. Hal itu sesuai dengan hasil studi Koundouri, et.al. (2006) bahwa infrastruktur sebagai syarat keberhasilan dalam industri pertanian di Yunani. Meskipun dalam kasus Indonesia belum bisa mendorong daya saing agroindustri.
Response to Cholesky One S.D. Innovations of IA .016
b. Respon Terhadap NTO
a. Respon Terhadap NTI
.016
.012
.008
.004
.000
-.004 10
20
30
40
50
60
10
20
.012
.008
.004
.000
-.004 10
20
30
40
50
60
c. Respon Terhadap DSA
.04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 -.04 30
40
50
60
Keterangan: Skala absis adalah triwulan Gambar 53. Respon shocks pada Anggaran Infrastruktur Pertanian terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
7. Respon atas Perubahan Anggaran Desentralisasi Fiskal Saat terjadi guncangan desentralisasi fiskal (DF) sebagaimana disajikan pada Gambar 54 dan Lampiran 9(B.9.16), pada triwulan ke 2 nilai tambah input (NTI) menurun berkisar 1.26%. Penurunan juga terjadi pada nilai tambah output
271 (NTO) berkisar 0.85%. Daya saing agroindustri (DSA) menurun berkisar 2.05% namun pada triwulan ke 5 dan selanjutnya meningkat konsisten
Response to Cholesky One S.D. Innovations of DF .002
b. Respon Terhadap NTO
a. Respon Terhadap NTI
.005
.000
-.005
-.010
-.015 10
20
30
40
50
.000 -.002 -.004 -.006 -.008 -.010 10
60
20
30
40
50
60
c. Respon Terhadap DSA
.08 .06 .04 .02 .00 -.02 -.04 10
20
30
40
50
60
Keterangan: Skala absis adalah triwulan Gambar 54. Respon shocks pada Desentralisasi Fiskal (DF) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA) Dalam jangka panjang, guncangan desentralisasi fiskal menurunkan nilai tambah input (NTI) berkisar 0.38% konvergen mulai triwulan ke 35 dan nilai tambah output berkisar 0.41% konvergen mulai triwulan ke 30. Daya saing agroindustri meningkat berkisar 1.17% konvergen lebih cepat mulai triwulan ke 21. Berarti, desentralisasi fiskal bisa mendorong daya saing agroindustri. Hal itu akan lebih kondusif jika daerah otonom mempunyai relasi dan kelincahan dalam
272 perdagangan langsung ke luar negeri secara baik untuk mempromosikan produk pertanian dan agroindustri lokal (Saragih, 2003). Namun pengembangan agroindustri di daerah senantiasa harus memperhatikan pemanfaatan sumberdaya lokal secara optimal.
8. Respon atas Perubahan Investasi Awal guncangan investasi sebagaimana disajikan pada Gambar 55 dan Lampiran 9(B.9.17), pada triwulan ke 2 terjadi penurunan nilai tambah input (NTI)
Response to Cholesky One S.D. Innovations of I .002
b. Respon Terhadap NTO
a. Respon Terhadap NTI
.000
-.004
-.008
-.012
-.016
-.020 10
20
30
40
50
60
10
20
.000 -.002 -.004 -.006 -.008 -.010 -.012 10
20
50
60
30
40
50
60
c. Respon Terhadap DSA
.04
.03
.02
.01
.00 30
40
Keterangan: Skala absis adalah triwulan Gambar 55. Respon shocks pada Investasi (I) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
273 berkisar 1.67% dan konsisten dalam jangka panjang, juga menurunkan nilai tambah output berkisar 1.13%. Daya saing agroindustri meningkat berkisar 0.47%. Dalam jangka panjang, guncangan investasi menurunkan nilai tambah input berkisar 0.95% konvergen mulai triwulan ke 26, nilai tambah output juga menurun berkisar 0.47% konvergen mulai triwulan ke 25. Daya siang agroindustri meningkat berkisar 2.16% konvergen mulai triwulan ke 25.
Berarti, guncangan investasi
bersifat disinsentif terhadap NTI dan NTO meskipun demikian mampu mendorong daya saing agroindustri. Seperti diuraikan sebelumnya pada Bagian 7.2 (juga dalam studi Herjanto, 2003) bahwa investasi disamping mendorong produk pertanian primer, juga dapat mendorong produk pertanian sekunder dan sekaligus mampu mempromosikan produk industri pertanian di pasar dunia. 9. Respon atas Perubahan Konsumsi Pada awal guncangan konsumsi sebagaimana disajikan pada Gambar 56 dan Lampiran 9(B.9.18), pada triwulan ke 2 nilai tambah input meningkat sebesar 0.12% kemudian menurun konsisten. Begitu pula daya saing agroindustri meningkat berkisar 3.01% selanjutnya menurun konsisten. Nilai tambah output menurun berkisar 0.20%, mulai triwulan ke 15 meningkat konsisten. Dalam jangka panjang, guncangan konsumsi diikuti penurunan nilai tambah input berkisar 0.06% konvergen mulai triwulan ke 29. Daya saing agroindustri menurun berkisar 0.72% konvergen mulai triwulan 30. Nilai tambah output meningkat berkisar 0.02% konvergen mulai triwulan ke 30. Berarti perubahan konsumsi masih lebih banyak mendorong peningkatan produk pertanian primer, belum mampu meningkatkan produk lanjutan dan daya saing agroindustri. Hal ini konsisten dengan uraian pada bagian 7.1 bahwa peningkatan konsumsi mendorong
274 secara kuat pada peningkatan impor produk pertanian, dan sesuai dengan fenomena gempuran produk impor olahan pertanian yang dikemukakan oleh Sawit (2008).
Response to Cholesky One S.D. Innovations of KONS .004
b. Respon Terhadap NTO
a. Respon Terhadap NTI
.003 .002 .001 .000 -.001 -.002 -.003 -.004 -.005 -.006 10
20
30
40
50
.002 .000 -.002 -.004 -.006 -.008 10
60
20
30
40
50
60
c. Respon Terhadap DSA
.04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 10
20
30
40
50
60
Keterangan: Skala absis adalah triwulan Gambar 56. Respon shocks pada Konsumsi (KONS) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA) Dari uraian di atas sebagaimana disajikan pada Tabel 43, respon kinerja agroindustri atas guncangan instrumen kebijakan fiskal mencapai keseimbangan rata-rata pada triwulan ke 28.9 atau 7 tahun, lebih cepat dibandingkan dengan kinerja sektor pertanian. Instrumen kebijakan fiskal yang cenderung meningkatkan kinerja agroindustri
dalam jangka panjang adalah: pajak pertambahan nilai,
anggaran penelitian dan pengembagan pertanian, dan anggaran infrastruktur pertanian.
275 Tabel 43. Respon Dinamik Kinerja Agroindustri atas Guncangan Kebijakan Fiskal Guncangan Respon dari Kinerja Agroindustri (%) Perubahan Kecenderungan Respon NTI NTO DSA Kebijakan Fiskal Dinamik PPh: Jangka Pendek (0.64) (0.16) 1.39 Turun Jangka Panjang (0.36) (0.18) 1.29 Turun Konvergen 15 27 30 24 PPn: Jangka Pendek 0.87 0.27 0.15 Naik Jangka Panjang 0.75 0.62 (1.19) Naik Konvergen 28 26 31 28.3 EA : Jangka Pendek (0.91) (0.63) (0.71) Turun Jangka Panjang (0.32) (0.29) (0.91) Turun Konvergen 27 27 30 28 SP : Jangka Pendek 0.61 0.16 (2.31) Naik Jangka Panjang 0.26 (0.04) (0.86) Turun Konvergen 28 36 32 32 RDA: Jangka Pendek (0.84) (0.56) (2.45) Turun Jangka Panjang 0.03 0.04 (0.49) Naik Konvergen 31 33 29 31 IA : Jangka Pendek 0.43 0.21 (0.79) Naik Jangka Panjang 0.51 0.33 (0.47) Naik Konvergen 31 35 34 33.3 DF : Jangka Pendek (1.26) (0.85) (2.05) Turun Jangka Panjang (0.38) (0.41) 1.17 Turun Konvergen 35 30 21 28.67 Variabel Makroekonomi I : Jangka Pendek (1.67) (1.13) 0.49 Turun Jangka Panjang (0.95) (0.47) 2.16 Turun Konvergen 26 25 25 25.3 KONS: Jangka Pendek 0.12 (0.20) 3.01 Naik Jangka Panjang (0.06) 0.02 (0.72) Turun Konvergen 29 30 30 29.7 Keterangan: Satuan konvergensi adalah triwulan. Angka dalam kurung negatif, menunjukkan respon menurun. Kecenderungan turun dan naik berdasarkan frekuensi respon (turun atau naik) yang paling banyak.
Secara keseluruhan magnitude dari respon dinamik dalam satuan persen relatif kecil bermakna bahwa guncangan kebijakan fiskal sebagai bentuk intervensi fiskal direspon kecil, atau kurang kuat dalam mendorong kinerja agroindustri. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa kebijakan fiskal juga kurang efektif dalam mendorong kinerja agroindustri.
276 8.3. Instrumen Kebijakan Fiskal yang Efektif Mempengaruhi Kinerja Agroindustri Tujuan penelitian ke tiga, mengetahui instrumen kebijakan fiskal yang efektif mempengaruhi kinerja agroindustri di analisis dengan mengetahui besar peran setiap guncangan (shocks) dalam menjelaskan variabilitas variabel kinerja agroindustri dengan menggunakan dekomposisi ragam kesalahan peramalan yang diorthogonalisasi (orthogonalized forecast error variance decomposition atau FEVD). Hasil analisis disajikan pada Tabel 44, selengkapnya pada Lampiran 10. Variabilitas nilai tambah input agroindustri dalam jangka pendek (triwulan 1) dijelaskan oleh guncangan sendiri (84.01%) dan tidak dapat dijelaskan secara baik oleh guncangan kebijakan fiskal. Dalam jangka panjang (triwulan ke 60) variabilitas nilai tambah input dijelaskan oleh guncangan sendiri sebesar 34.07% dan kebijakan fiskal, yang paling besar dari pajak pertambahan nilai sebesar 2.89%, kemudian anggaran infrastruktur pertanian sebesar 1.52%, dan desentralisasi fiskal sebesar 0.93%. Guncangan kebijakan fiskal lainnya berkontribusi dalam menjelaskan variabilitas nilai tambah input relatif kecil berkisar (0.1-0.7)%. Guncangan investasi juga memberikan kontribusi cukup besar (4.59%). Berarti, variabilitas nilai tambah input dijelaskan oleh guncangan kebijakan fiskal yang paling besar dari pajak pertambahan nilai, anggaran infrastruktur dan desentralisasi fiskal disamping itu juga dari investasi. Variabilitas nilai tambah output agroindustri dalam jangka pendek (triwulan 1) dijelaskan oleh guncangan sendiri (7.24%), nilai tambah input cukup besar (71.08%) dan tidak dapat dijelaskan secara baik oleh guncangan kebijakan fiskal. Dalam jangka panjang (triwulan ke 60) variabilitas nilai tambah output dijelaskan oleh guncangan sendiri sebesar 1.91% dan kebijakan fiskal, yang paling
277 besar dari pajak pertambahan nilai sebesar 3.93%, kemudian desentralisasi fiskal sebesar 1.92%, dan anggaran infrastruktur pertanian sebesar 1.47%. Tabel 44. Peran Guncangan Kebijakan Fiskal terhadap Variabilitas Kinerja Agroindustri NTI Periode 1 5 10 20 30 40 50 60
Guncangan (%) S.E.
NTI
NTO
DSA
PPh
PPn
EA
SP
RDA
IA
DF
I
KON
0.1057 0.1441 0.1769 0.2244 0.2618 0.2945 0.3239 0.3507
84.01 58.64 49.92 41.72 38.19 36.24 34.97 34.07
0.00 0.19 0.59 0.67 0.65 0.64 0.64 0.64
0.00 0.48 0.81 1.03 1.11 1.13 1.14 1.15
0.00 0.60 0.66 0.69 0.69 0.70 0.71 0.71
0.00 2.01 2.11 2.59 2.74 2.80 2.85 2.89
0.00 0.83 0.71 0.66 0.64 0.63 0.62 0.62
0.00 0.59 0.51 0.49 0.46 0.44 0.43 0.42
0.00 0.51 0.50 0.39 0.30 0.24 0.20 0.17
0.00 1.33 1.42 1.56 1.58 1.56 1.54 1.52
0.00 1.36 1.14 1.15 1.04 0.98 0.95 0.93
0.00 3.30 3.47 4.10 4.30 4.44 4.53 4.59
0.00 0.18 0.14 0.12 0.09 0.08 0.07 0.06
RDA 0.00 0.51 0.62 0.52 0.41 0.33 0.28 0.24
IA 0.00 1.61 1.67 1.65 1.63 1.56 1.51 1.47
DF 0.00 1.52 1.62 1.92 1.90 1.90 1.91 1.92
I 0.00 2.58 2.38 2.56 2.53 2.53 2.53 2.53
KON 0.00 0.45 0.40 0.31 0.24 0.19 0.16 0.14
RDA 0.00 1.21 1.10 0.86 0.72 0.63 0.57 0.53
IA 0.00 1.91 1.93 1.39 1.11 0.93 0.82 0.74
DF 0.00 5.53 4.70 3.58 3.07 2.74 2.53 2.38
I 0.00 1.92 3.28 3.99 4.26 4.44 4.57 4.66
KON 0.00 1.73 1.31 1.12 0.99 0.91 0.85 0.81
NTO Periode 1 5 10 20 30 40 50 60
Guncangan (%) S.E. 0.0774 0.1068 0.1300 0.1621 0.1870 0.2092 0.2292 0.2475
NTI 71.08 48.89 43.21 37.05 34.40 32.93 31.94 31.24
NTO 7.24 4.25 3.45 2.75 2.37 2.16 2.02 1.91
DSA 0.00 0.50 0.68 0.75 0.59 0.48 0.40 0.35
PPh 0.00 0.22 0.27 0.31 0.32 0.33 0.33 0.34
DSA Periode 1 5 10 20 30 40 50 60
PPn 0.00 2.31 2.75 3.39 3.65 3.77 3.86 3.93
EA 0.00 0.81 0.86 0.88 0.91 0.93 0.94 0.95
SP 0.00 0.24 0.29 0.27 0.21 0.17 0.15 0.13
Guncangan (%) S.E. 0.2351 0.3421 0.4142 0.5175 0.5985 0.6697 0.7340 0.7931
NTI 0.54 5.95 8.49 8.85 9.12 9.29 9.42 9.51
NTO 0.06 0.80 1.08 1.46 1.56 1.62 1.66 1.69
DSA 83.34 49.83 44.57 40.93 39.60 38.88 38.39 38.02
PPh 0.00 0.81 1.13 1.36 1.48 1.54 1.59 1.62
Keterangan: Periode = triwulan, S.E. = Standard Error, NTI = Nilai Tambah Input, NTO = Nilai Tambah Output, DSA = Daya Saing Agroindustri, PPh = Pajak Penghasilan, PPn = Pajak Pertambahan Nilai, EA = Anggaran Sektor Pertanian,
PPn 0.00 0.55 1.16 1.26 1.35 1.39 1.41 1.43
EA 0.00 0.87 0.81 0.81 0.86 0.87 0.88 0.88
SP 0.00 0.91 0.93 0.91 0.89 0.87 0.86 0.85
SP = Subsidi Pertanian, RDA = Penelitian dan Pengembangan Pertanian, IA = Infrastruktur Pertanian, DF = Desentralisasi Fiskal, I = Investasi, dan KON = Konsumsi.
278 Guncangan kebijakan fiskal lainnya berkontribusi dalam menjelaskan variabilitas nilai tambah output relatif kecil berkisar (0.1-0.9)%. Guncangan investasi juga memberikan kontribusi cukup besar (2.53% ). Berarti, variabilitas nilai tambah output dijelaskan oleh guncangan kebijakan fiskal yang paling besar dari pajak pertambahan nilai, desentralisasi fiskal dan anggaran infrastruktur. Variabilitas daya saing agroindustri dalam jangka pendek (triwulan ke 1) dijelaskan oleh guncangan sendiri (83.34%). Variabilitas juga dijelaskan oleh NTI (0.54%) dan NTO (0.06%). Tidak dapat dijelaskan secara baik oleh guncangan kebijakan fiskal. Dalam jangka panjang (triwulan ke 60) variabilitas daya saing agroindustri
dijelaskan oleh guncangan sendiri sebesar 38.02%. Sedangkan
kebijakan fiskal, yang paling besar dari desentralisasi fiskal sebesar 2.38%, kemudian pajak penghasilan sebesar 1.62%, pajak pertambahan nilai sebesar 1.43%, dan
anggaran infrastruktur pertanian sebesar 0.74%. Peran guncangan
kebijakan fiskal lainnya dalam menjelaskan variabilitas daya saing agroindustri relatif kecil berkisar (0.53-0.88)%. Guncangan investasi juga memberikan kontribusi cukup besar (4.66%). Berarti, variabilitas daya saing agroindustri dijelaskan oleh guncangan kebijakan fiskal yang paling besar dari desentralisasi fiskal, pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan anggaran infrastruktur disamping juga dari investasi. Dari uraian di atas sebagaimana disajikan pada Tabel 45, variabel kebijakan fiskal yang efektif/berperan besar dalam mempengaruhi variabilitas kinerja agroindustri di Indonesia adalah: anggaran infrastruktur pertanian dan desentralisasi fiskal kemudian disusul pajak pertambahan nilai. Kebijakan infrastruktur yang bias
279 urban (Yudhoyono, 2004) dalam hal ini menjadi kendala dan perlu diperhatikan untuk pengembangan agroindustri. Desentralisasi fiskal yang kondusif bagi kegiatan produksi alamiah lokal (Saragih, 2003) merupakan kesempatan dalam pengembangan industri pertanian di daerah. Pajak pertambahan nilai medorong produktivitas pertanian (Herjanto, 2003) dalam hal ini juga berpotensi dalam pengembangan industri pertanian. Disamping besaran respon dinamik pada kinerja agroindustri atas guncangan kebijakan fiskal yang kecil; peran efektifitas guncangan kebijakan fiskal juga kecil dalam mempengaruhi variabilitas kinerja agroindustri. Sehingga dapat dikatakan intervensi kebijakan fiskal selama rentang analisis tidak efektif dalam mendorong kinerja agroindustri.
Tabel 45. Rangkuman Peran Guncangan Kebijakan Fiskal yang Efektif terhadap Variabilitas Kinerja Agroindustri dalam Jangka Panjang Variabilitas Kinerja Agroindustri
Sumber Guncangan dari Kebijakan Fiskal (%) PPh
PPn EA SP RDA IA DF 0.62 0.42 0.17 0.71 0.93 NTI 2.89 1.52 (5) (6) (7) (4) (3) (1) (2) 0.34 0.95 0.13 0.24 NTO 3.93 1.47 1.92 (5) (4) (7) (6) (1) (3) (2) 0.88 0.85 0.53 0.74 DSA 2.38 1.62 1.43 (5) (6) (7) (4) (1) (2) (3) Kesimpulan Efektif Efektif Efektif Keterangan: Peran guncangan besar berdasarkan nilai FEVD jangka panjang atau nilai rata-rata di atas 1% dan atau lebih besar jika diperbandingkan dengan variabel lainnya. Angka dalam kurung menunjukkan ranking besar peran guncangan. Efektif ditentukan berdasarkan frekuensi peran guncangan yang besar, semakin banyak frekuensinya maka variabel kebijakan fiskal tersebut efektif. Sumber: Analisis Tabel 44
280 8.4. Hubungan Keterkaitan Kinerja Sektor Pertanian dengan Kinerja Agroindustri Sektor pertanian wajib terintegrasi dengan agroindustri, bahkan pada tataran kebijakan makro ekonomi dalam moneter dan fiskal yang mengkait dengan pembangunan pertanian (Arifin, 2008). Analisis bagian ini untuk mencapai tujuan penelitian ke empat, mengkaji keterkaitan antara kinerja sektor pertanian dengan kinerja agroindustri pada kondisi fiskal di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mendalami
fenomena
decoupling
(ketidakterkaitan)
antara
pertanian
dan
agroindustri dari temuan-temuan penelitian sebelumnya. Analisis untuk mengetahui respon dinamik dari kinerja agroindustri atas guncangan (shocks) variabel kinerja sektor pertanian dengan impulse response function (IRF) (selengkapnya pada Lampiran 9). Disamping itu dianalisis besar peran setiap variabel kinerja sektor pertanian dalam menjelaskan variabilitas variabel kinerja agroindustri dengan menggunakan dekomposisi ragam kesalahan peramalan yang diorthogonalisasi (orthogonalized forecast error variance decomposition atau FEVD) selengkapnya pada Lampiran 10.
8.4.1. Respon Dinamik Kinerja Agroindustri atas Guncangan Kinerja Sektor Pertanian 1. Respon atas Perubahan PDB Pertanian Awal guncangan PDB pertanian sebagaimana disajikan pada Gambar 57 dan Lampiran 9(C.9.19), terjadi penurunan nilai tambah input (NTI) berkisar 3.28% dan nilai tambah output (NTO) berkisar 1.96%. Sedangkan daya saing agroindustri (DSA) meningkat berkisar 8.17%.
281 Dalam jangka panjang, guncangan PDB pertanian mengakibatkan penurunan nilai tambah input berkisar 1.70% konvergen mulai triwulan ke 29. Nilai tambah output juga menurun berkisar 0.88% konvergen mulai triwulan ke 25. Daya saing agroindustri meningkat berkisar 2.03% konvergen mulai triwulan ke 21. Berarti perubahan PDB pertanian lebih cepat mengimbas pada nilai tambah output dan daya saing agroindustri.
Response to Cholesky One S.D. Innovations of GDPA b. Respons Terhadap NTO
a. Respon Terhadap NTI
-.005 -.010 -.015 -.020 -.025 -.030 -.035 10
20
30
40
50
.000
-.004
-.008
-.012
-.016
-.020 10
60
20
30
40
50
60
c. Respon Terhadap DSA
.10 .08 .06 .04 .02 .00 -.02 10
20
30
40
50
60
Keterangan: Skala absis adalah triwulan Gambar 57. Respon shocks pada PDB Pertanian (GDPA) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
2. Respon atas Perubahan Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian Awal guncangan penyerapan tenaga keja pertanian sebagaimana disajikan pada Gambar 58 dan Lampiran 9(C.9.20), terjadi penurunan nilai tambah input dan
282 output masing-masing berkisar 0.58% dan 0.34% serta daya saing agroindustri berkisar 0.17%.
Response to Cholesky One S.D. Innovations of TKA .001
b. Respon Terhadap NTO
a. Respon Terhadap NTI
.000 -.002 -.004 -.006 -.008 -.010 -.012 10
20
30
40
50
.000 -.001 -.002 -.003 -.004 -.005 -.006 -.007
60
10
20
30
40
50
60
c. Respon Terhadap DSA
.02
.01
.00
-.01
-.02
-.03 10
20
30
40
50
60
Keterangan: Skala absis adalah triwulan Gambar 58. Respon shocks pada Tenaga Kerja Pertanian (TKA) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA) Dalam jangka panjang, guncangan pada penyerapan tenaga pertanian, menurunkan nilai tambah input, output dan daya saing agroindustri masing-masing berkisar 0.55%, 0.31%, dan 0.81%. Masing-masing konvergen mulai triwulan ke 34, 38 dan 34. Guncangan pada penyerapan tenaga kerja sektor pertanian berpengaruh negatif dalam meningkatkan kinerja agroindustri. Sehingga kapasitas sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja secara konsisten diperlukan untuk
283 mendorong kinerja agroindustri. Fenomena angkatan kerja pedesaan yang semakin besar meninggalkan sektor pertanian (hasil studi Kasryno, 2006) dalam hal ini juga sangat merugikan kinerja agroindustri. 3. Respon atas Perubahan Ekspor Produk Pertanian Awal guncangan ekspor produk pertanian sebagaimana disajikan pada Gambar 59 dan Lampiran 9(C.9.21), terjadi kenaikan nilai tambah input, nilai tambah output dan daya saing agroindustri masing-masing berkisar 1.62%, 1.97% dan 4.15%. Response to Cholesky One S.D. Innovations of XA .024
b. Respon Terhadap NTO
a. Respon Terhadap NTI
.022
.020
.018
.016
.014
.012 10
20
30
40
50
.020
.016
.012
.008
.004 10
60
20
30
40
50
60
c. Respon Terhadap DSA
.09 .08 .07 .06 .05 .04 .03 .02 .01 10
20
30
40
50
60
Keterangan: Skala absis adalah triwulan Gambar 59. Respon shocks pada Ekspor Produk Pertanian (XA) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
284 Dalam jangka panjang, guncangan ekspor produk pertanian menaikkan nilai tambah input, nilai tambah output dan daya saing agroindustri masing-masing berkisar 1.66%, 1.41%, dan 4.74% konvergen mulai triwulan ke 36, 30 dan 27. Berarti, perubahan ekspor produk pertanian direspon kenaikan dalam seluruh aspek kinerja agroindustri. Hal ini terjadi karena selama ini ekspor produk pertanian lebih dominan pada produk pertanian primer 6 sehingga perubahan struktur ekspor (dari ekspor primer menjadi produk sekunder) akan cepat menarik/meningkatkan kinerja agroindustri. 4. Respon atas Perubahan Impor Produk Pertanian Awal guncangan impor produk pertanian sebagaimana disajikan pada Gambar 60 dan Lampiran 9(C.9.22), terjadi penurunan nilai tambah input, nilai tambah output dan daya saing agroindustri masing-masing berkisar 1.00%, 0.97% dan 2.19%. Dalam jangka panjang, guncangan impor produk pertanian menurunkan nilai tambah input, nilai tambah output dan daya saing agroindustri masing-masing berkisar 1.34%, 1.07%, dan 2.90% masing-masing konvergen mulai triwulan ke 20, 30, dan 28. Berarti respon impor produk pertanian berkebalikan dengan ekspor produk pertanian. Impor produk pertanian sebagian besar merupakan olahan atau produk sekunder pertanian6, bukan barang modal untuk peningkatan aktivitas pengolahan/industri pertanian. Inilah bukti semakin nyata dari pernyataan Sawit (2008) bahwa pertanian/produk olahan industri pertanian mendapat serbuan dari impor produk pertanian, sehingga menurunkan kinerja agroindustri. 6
Diskusi Pakar dengan Dr. Noer Sutrisno, MA; Prof.Dr.Ir. Rudi Wibowo, MS; Dr.Husain Sawit, M.Sc; Dr.Ir. Djafar Hafsah; dan Dr.Ir. Bayu Krisna Murti, MS; Dr. Ir. Iwantono, tanggal 26 Juli 2007 di Jakarta.
285 Response to Cholesky One S.D. Innovations of IMA -.002
b. Respon Terhadap NTO
a. Respon Terhadap NTI
-.004 -.006 -.008 -.010 -.012 -.014 -.016 -.018 -.020 10
20
30
40
50
-.004 -.006 -.008 -.010 -.012 -.014 -.016
60
10
20
30
40
50
60
c. Respon Terhadap DSA
-.008 -.012 -.016 -.020 -.024 -.028 -.032 -.036 -.040 -.044 10
20
30
40
50
60
Keterangan: Skala absis adalah triwulan Gambar 60. Respon shocks pada Impor Produk Pertanian (IMA) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA)
5. Respon atas Perubahan Kesejahteraan Petani Awal guncangan kesejahteraan petani sebagaimana disajikan pada Gambar 61 dan Lampiran 9(C.9.23), terjadi peningkatan nilai tambah input berkisar 1.76%. Nilai tambah output dan daya saing agroindustri juga meningkat masing-masing berkisar 2.05% dan 0.25%. Dalam jangka panjang, guncangan kesejahteraan petani meningkatkan nilai tambah input, dan nilai tambah output masing-masing berkisar 1.62%, dan 1.10% konvergen mulai triwulan ke 24 dan 27. Sedangkan daya saing agroindustri menurun berkisar 0.49% konvergen mulai triwulan ke 31. Kesejahteraan petani berkaitan dengan kemampuan akumulasi modal untuk meningkatkan
aktivitas
286 pengolahan produk pertanian, meskipun belum bisa meningkatkan daya saing agroindustri. Hal itu sejalan dengan hasil analisis data pada Bab VI bahwa daya saing agroindustri menurun terutama setelah krisis moneter tahun 1997 pada situasi kesejahteraan petani meningkat hampir 2 (dua) kali dari keseimbangan sebelumnya. Hasil studi Rozelle and Swinnen (2004) juga menemukan bahwa akumulasi modal petani (cermin kesejahteraan) menumbuhkan industri pertanian.
Response to Cholesky One S.D. Innovations of W P .024
b. Respon Terhadap NTO
a. Respon Terhadap NTI
.032 .028 .024 .020 .016 .012 .008 .004 10
20
30
40
50
.020
.016
.012
.008
.004 10
60
20
30
40
50
60
c. Respon Terhadap DSA
.02
.01
.00
-.01
-.02
-.03 10
20
30
40
50
60
Keterangan: Skala absis adalah triwulan Gambar 61. Respon shocks pada Kesejahteraan Petani (WP) terhadap Nilai Tambah Input (NTI), Nilai Tambah Output (NTO) dan Daya Saing Agroindustri (DSA) Dari uraian di atas sebagaimana disajikan pada Tabel 46, respon kinerja agroindustri atas guncangan kinerja sektor pertanian mencapai keseimbangan ratarata pada triwulan ke 28.92 atau 7 tahun. Kinerja sektor pertanian yang cenderung
287 meningkatkan kinerja agroindustri dalam jangka panjang adalah: ekspor produk pertanian dan kesejahteraan petani. Dapat dikatakan bahwa, ekspor produk pertanian akan menarik (pull) kinerja agroindustri terutama jika struktur ekspor semakin dominan pada produk olahan pertanian. Sedangkan kesejahteraan petani sebagai faktor pendorong (push) peningkatan kinerja agroindustri. Semakin meningkat kesejahteraan petani akan meningkatkan kemampuan akumulasi kapital petani yang akan mendorong kegiatan industri pertanian, sebagaimana ditemukan dalam studi Rozelle and Swinnen (2004). Besaran respon (dalam persen) secara keseluruhan relatif kecil; berarti bahwa respon kinerja agrondustri atas guncangan kinerja sektor pertanian relatif lemah (kurang responsif).
Tabel 46. Respon Dinamik Kinerja Agroindustri atas Guncangan Kinerja Sektor Pertanian Guncangan Perubahan Kinerja Pertanian GDPA: Jangka Pendek Jangka Panjang Konvergen TKA: Jangka Pendek Jangka Panjang Konvergen XA : Jangka Pendek Jangka Panjang Konvergen IMA: Jangka Pendek Jangka Panjang Konvergen WP: Jangka Pendek Jangka Panjang Konvergen
NTI (3.28) (1.70) 29 (0.58) (0.55) 34 1.62 1.66 36 (1.00) (1.34) 20 1.76 1.62 24
Respon dari Kinerja Agroindustri (%) NTO DSA Kecenderungan Respon Dinamik (1.96) 8.17 Turun (0.88) 2.03 Turun 25 21 25 (0.34) (0.17) Turun (0.31) (0.81) Turun 38 34 35.3 1.97 4.15 Naik 1.41 4.74 Naik 30 27 31 (0.97) (2.19) Turun (1.07) (2.90) Turun 30 28 26 2.05 0.25 Naik 1.10 (0.49) Naik 27 31 27.3
Keterangan: Satuan konvergensi adalah triwulan. Angka dalam kurung negatif, menunjukkan respon penurunan. Kecenderungan turun dan naik berdasarkan frekuensi respon (turun atau naik) yang paling banyak.
288 8.4.2. Kinerja Sektor Pertanian yang Efektif Mempengaruhi Kinerja Agroindustri Sebagaimana disajikan pada Tabel 47, variabilitas nilai tambah input agroindustri dalam jangka pendek (triwulan ke 1) dijelaskan oleh guncangan PDB pertanian sebesar 9.66%, ekspor pertanian sebesar 2.36% dan kesejahteraan petani sebesar 2.78%. Dalam jangka panjang (triwulan ke 60) variabilitas nilai tambah input dijelaskan oleh guncangan kinerja sektor pertanian, yang paling besar dari PDB pertanian sebesar sebesar 14.67%, kemudian ekspor pertanian sebesar 13.72%, kesejahteraan petani sebesar 13.44%, impor produk pertanian sebesar 8.81%, dan tenaga kerja pertanian sebesar 1.59%. Berarti, variabilitas nilai tambah input dalam jangka panjang dijelaskan oleh guncangan semua variabel kinerja sektor pertanian. Variabilitas nilai tambah output agroindustri dalam jangka pendek (triwulan ke 1) dijelaskan oleh guncangan
kesejahteraan petani sebesar 7.02%, ekspor
pertanian sebesar 6.50%, PDB pertanian sebesar 6.39%, dan impor pertanian sebesar 1.58%. Dalam jangka panjang (triwulan ke 60) variabilitas nilai tambah output dijelaskan oleh guncangan kinerja sektor pertanian, yang paling besar dari ekspor pertanian sebesar 20.91%, kesejahteraan petani sebesar 13.14%, impor pertanian sebesar 11.52%, PDB pertanian sebesar 8.26% dan penyerapan tenaga kerja pertanian sebesar 1.02%. Berarti, variabilitas nilai tambah output dalam jangka panjang dijelaskan oleh guncangan semua variabel kinerja sektor pertanian. Variabilitas daya saing agroindustri dalam jangka pendek (triwulan ke 1) dijelaskan oleh guncangan PDB pertanian sebesar 12.07%, dan ekspor pertanian sebesar 3.11%. Dalam jangka panjang (triwulan ke 60) variabilitas daya saing agroindustri dijelaskan oleh guncangan kinerja sektor pertanian, yang paling besar dari ekspor produk pertanian sebesar 21.46%, impor produk pertanian sebesar
289 Tabel 47. Hubungan Keterkaitan Kinerja Sektor Pertanian dengan Kinerja Agroindustri NTI Periode S.E. 1 5 10 20 30 40 50 60 NTO Periode 1 5 10 20 30 40 50 60 DSA Periode
0.1057 0.1441 0.1769 0.2244 0.2618 0.2945 0.3239 0.3507 S.E. 0.0774 0.1068 0.1300 0.1621 0.1870 0.2092 0.2292 0.2475 S.E.
Guncangan (%) GDPA TKA XA IMA WP 9.66 8.27 11.71 12.74 13.70 14.16 14.46 14.67
2.36 0.89 2.78 7.61 3.71 9.94 8.87 5.25 10.82 11.50 7.16 12.03 12.45 7.94 12.57 13.05 8.34 13.00 13.44 8.62 13.26 13.72 8.81 13.44 Guncangan (%) GDPA TKA XA IMA WP 6.39 4.90 6.95 7.35 7.83 8.03 8.16 8.26
0.30 0.45 1.36 1.42 1.55 1.56 1.58 1.59
0.19 0.14 0.78 0.85 0.97 1.00 1.01 1.02
6.50 1.58 7.02 14.93 5.41 10.71 15.13 7.27 11.66 18.04 9.27 12.15 19.25 10.30 12.51 20.02 10.86 12.82 20.54 11.24 13.01 20.91 11.52 13.14 Guncangan (%) GDPA TKA XA IMA WP
1 0.2351 12.07 0.01 5 0.3421 14.58 0.21 10 0.4142 10.50 0.60 20 0.5175 8.60 0.78 30 0.5985 7.61 0.82 40 0.6697 7.02 0.80 50 0.7340 6.61 0.79 60 0.7931 6.32 0.78 Keterangan: Periode = triwulan, S.E. = Standard Error, NTI = Nilai Tambah Input, NTO = Nilai Tambah Output, DSA = Daya Saing Agroindustri, GDPA = PDB Pertanian,
3.11 10.81 13.54 17.42 19.20 20.24 20.95 21.46 TKA XA IMA WP
0.86 1.50 4.00 5.79 6.64 7.16 7.52 7.77
0.01 0.88 0.87 0.88 0.75 0.65 0.59 0.54
NTI 84.01 58.64 49.92 41.72 38.19 36.24 34.97 34.07 NTI 71.08 48.89 43.21 37.05 34.40 32.93 31.94 31.24 NTI 0.54 5.95 8.49 8.85 9.12 9.29 9.42 9.51
NTO DSA 0.00 0.19 0.59 0.67 0.65 0.64 0.64 0.64
0.00 0.48 0.81 1.03 1.11 1.13 1.14 1.15
NTO DSA 7.24 4.25 3.45 2.75 2.37 2.16 2.02 1.91
0.00 0.50 0.68 0.75 0.59 0.48 0.40 0.35
NTO DSA 0.06 0.80 1.08 1.46 1.56 1.62 1.66 1.69
83.34 49.83 44.57 40.93 39.60 38.88 38.39 38.02
= Tenaga Kerja Pertanian, = Ekspor Produk Pertanian, = Impor Produk Pertanian, dan = Kesejahteraan Petani.
290 7.77%, dan PDB pertanian sebesar 6.32%. Berarti, variabilitas daya saing dalam jangka panjang dijelaskan oleh guncangan variabel kinerja sektor pertanian yaitu: ekspor, impor produk pertanian, dan PDB petanian. Dari uraian di atas sebagaimana disajikan pada Tabel 48, variabel kinerja sektor pertanian
yang efektif/berperan besar dalam mempengaruhi variabilitas
kinerja agroindustri di Indonesia adalah: PDB pertanian, ekspor produk pertanian, dan impor produk pertanian.
Tabel 48. Rangkuman Peran Guncangan Kinerja Sektor Pertanian terhadap Variabilitas Kinerja Agroindustri dalam Jangka Panjang Variabilitas Kinerja Agroindustri
Sumber Guncangan dari Kinerja Sektor Pertanian (%) GDPA TKA XA IMA WP NTI 1.59 13.44 14.67 13.72 8.81 (5) (3) (1) (2) (4) NTO 1.02 13.14 8.26 20.91 11.52 (5) (2) (4) (1) (3) 0.78 0.54 DSA 21.46 7.77 6.32 (4) (5) (1) (2) (3) Kesimpulan Efektif Efektif Efektif Keterangan: Peran guncangan besar berdasarkan nilai FEVD jangka panjang atau nilai rata-rata di atas 1% dan atau lebih besar jika diperbandingkan dengan variabel lainnya. Angka dalam kurung menunjukkan ranking besar peran guncangan. Efektif ditentukan berdasarkan frekuensi peran guncangan yang besar, semakin banyak frekuensinya maka variabel kebijakan fiskal tersebut efektif. Sumber: Analisis Tabel 47 Peningkatan PDB pertanian berarti meningkatkan kesejahteraan petani. Kondisi tersebut akan memampukan petani dalam akumulasi kapital sehingga dapat menggerakkan industri pertanian sebagaimana hasil studi Martin and Warr (1992, 1993) untuk negara berkembang dan Rozelle and Swinnen (2004).
291 Ekspor dan impor menentukan neraca perdagangan. Semakin membaiknya neraca perdagangan (surplus) berarti memberi multiplier pada kegiatan sekunder (industri pertanian) sebagaimana hasil studi ADB, SEAMEO SEARCA, Crescent, CASER and Ministry of Agriculture RI (2005). Dalam kasus Indonesia, hal itu terjadi jika didorong perubahan pola ekspor dari produksi primer menjadi produk olahan pertanian, perubahan impor pertanian dari impor olahan hasil pertanian menjadi impor barang modal untuk produksi sekunder/industri pertanian. Disamping itu dengan semaksimal mungkin menghindarkan pengembangan industri pertanian yang mempunyai ketergantung bahan dasar dari impor. Besaran (dalam persen)
peran guncangan dari kinerja sektor pertanian
dalam mempengaruhi variabilitas kinerja agroindustri relatif besar. Maknanya adalah terdapat keterkaitan yang kuat/erat terutama unsur kinerja sektor pertanian yang efektif dalam mempengaruhi/mendorong kinerja agroindustri meskipun dorongan tersebut direspon lemah (sebagaimana temuan pada Bagian 8.4.1. di Tabel 46).