VII. HASIL PENDUGAAN MODEL EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI USAHA TERNAK SAPI-TANAMAN Untuk menjawab tujuan penelitian ini telah dilakukan analisis perilaku rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara dengan menggunakan program SAS 9.0. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dalam bab ini akan dibahas hasil estimasi model ekonomi rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara. Perilaku ekonomi rumahtangga dipelajari berdasarkan usaha ternak sapi – jagung dan usaha ternak sapi – tanaman kelapa. Usaha ternak sapi-jagung spesifik untuk Minahasa dan usaha ternak sapi - kelapa spesifik untuk Bolaang Mongondow. Pembahasan bab ini mencakup (1) perilaku produksi (sapi, jagung, kelapa); (2) perilaku penggunaan input produksi; (3) perilaku penggunaan tenaga kerja; (4) perilaku biaya transaksi, dan (5) perilaku pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi. Data yang digunakan adalah data cross section, dengan analisis pertama dilakukan adalah analisis estimasi parameter. Model ekonomi rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Sulawesi Utara yang dibangun merupakan model persamaan simultan. Hasil estimasi parameter diperoleh berdasarkan hasil respesifikasi yang berulang-ulang sehingga tanda-tanda parameter dari setiap variabel sesuai dengan yang diharapkan. Dalam hal ini model yang dibangun merupakan model yang bermakna sesuai kriteria ekonomi. Kriteria ekonomi dimaksud yaitu dengan memperhatikan arah (sign) dan besaran (size) dari parameter yang diduga (Koutsoyiannis, 1977). Model yang dibangun merupakan model yang bermakna sesuai kriteria ekonomi, walaupun belum memuaskan menurut kriteria statistik. Kriteria statistik
209
dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2) dan uji t statistik. Nilai R2 persamaan perilaku di Kabupaten Minahasa lebih besar 0.50 hanya sebanyak 52.63 persen dari jumlah persamaan perilaku dan sisanya 47.37 persen nilai R2 lebih kecil 0.50. Sedangkan untuk Kabupaten Bolaang Mongondow, nilai R2 lebih besar 0.50 hanya sebanyak 46.67 persen dan sisanya 53.33 persen nilai R2 lebih kecil 0.50. Hal ini menunjukkan bahwa peubah-peubah penjelas pada sebagian besar persamaan struktural hanya mampu menjelaskan variasi peubah endogennya dalam proporsi yang lebih kecil. Kenyataan ini disebabkan karena data yang digunakan merupakan data cross section yaitu data yang diambil pada saat yang bersamaan (data satu titik waktu) menyebabkan variasi datanya kecil. Hasil ini terjadi juga untuk penelitian yang dilakukan oleh Kusnadi (2005), Asmarantaka (2007) dan Priyanti (2007). Menurut Kusnadi (2005), hasil estimasi parameter dengan menggunakan data cross section sulit memperoleh R2 yang tinggi. Dalam hal ini tanda parameter hasil estimasi yang dipentingkan dan telah sesuai harapan. Berdasarkan nilai uji t statistik yang telah dilakukan baik untuk model ekonomi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa maupun Bolaang Mongondow menunjukkan sebagian besar peubah penjelas dalam setiap persamaan struktural berpengaruh terhadap peubah endogennya pada taraf nyata 15 persen. Selanjutnya, nilai uji F sesuai hasil estimasi menunjukkan bahwa sebagian besar model regresi secara statistik nyata pada taraf nyata <.0001. Beberapa penelitian yang telah dikaji menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga dalam beternak masih merupakan keputusan rumahtangga sebagai produsen. Penelitian ini, baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow mempelajari keputusan rumahtangga sebagai produsen sekaligus konsumen dan
210
penyedia tenaga kerja. Model pemecahan yang dilakukan karena tidak berlakunya salah satu asumsi separable yaitu adanya biaya transaksi. Adanya biaya transaksi pada aktivitas rumahtangga dapat dinyatakan sebagai suatu kegagalan pasar (market failure). Biaya transaksi dinyatakan sebagai penentu harga. Hal ini sejalan dengan penelitian Dutilly-Diane, et al., (2003). Biaya transaksi yang tinggi sangat mempengaruhi pasar input dan pasar output (Matungul, et al., 2006). Lofgren and Robinson (1999) membahas pengembangan model rumahtangga usahatani nonseparable dengan biaya transaksi dan regim pasar apakah rumahtangga surplus, self sufficient atau defisit untuk produksi dan konsumsi. Selanjutnya, penelitian Kusnadi (2005) memasukkan harga input dan harga output sebagai peubah endogen. Dalam penelitian Kusnadi harga output maupun harga input adalah harga bayangan. Harga bayangan diukur dari nilai produktivitas marjinal input yang diturunkan dari fungsi produksi usahatani. [
Dalam penelitian ini, data yang digunakan merupakan data cross section
sehingga harga output dan harga input maupun upah tenaga kerja tidak bervariasi. Dengan biaya transaksi menyebabkan harga output dan upah tenaga kerja bervariasi. Harga output dan upah tenaga kerja dalam penelitian ini adalah peubah endogen yang dinyatakan sebagai harga dan upah bayangan. Komponen biaya transaksi penjualan sapi yaitu biaya perantara penjualan sapi maupun biaya transpor penjualan jagung dan biaya transpor penjualan kelapa juga dinyatakan sebagai peubah endogen. Model yang dibangun menunjukkan biaya transaksi mempengaruhi keputusan produksi, pengalokasian tenaga kerja serta pengeluaran konsumsi. Adanya biaya transaksi tersebut melanggar asumsi separable (Sadaulet and de
211
Janvry, 1995). Dalam keputusan produksi, biaya transaksi mempengaruhi harga output yang dinyatakan sebagai harga bayangan. Kemudian harga bayangan mempengaruhi produksi. Biaya transaksi mempengaruhi keputusan rumahtangga untuk penggunaan input produksi. Dalam pengalokasian tenaga kerja, biaya transaksi mempengaruhi upah tenaga kerja dinyatakan sebagai upah bayangan. Selanjutnya, upah bayangan mempengaruhi keputusan rumahtangga dalam penawaran dan permintaan tenaga kerja. Secara teori, biaya transaksi mempengaruhi pasar tenaga kerja. Biaya transaksi mempengaruhi keputusan konsumsi yang dinyatakan sebagai total pendapatan rumahtangga. Untuk menjawab tujuan kedua telah dibangun model ekonomi rumahtangga petani peternak sapi di Sulawesi Utara. Model ekonomi rumahtangga di Minahasa dalam penelitian ini terdiri dari 19 persamaan struktural dan 24 persamaan identitas. Sedangkan model ekonomi rumahtangga di Bolaang Mongondow terdiri dari 15 persamaan struktural dan 20 persamaan identitas. Untuk menjawab tujuan ketiga telah dianalisis estimasi perilaku masingmasing peubah endogen. Peubah endogen untuk Minahasa yaitu : produksi sapi, penjualan sapi, produkivitas jagung, luas lahan garapan jagung, jumlah permintaan rumput, permintaan benih jagung, permintaan pupuk urea dan TSP, penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi dan jagung, permintaan tenaga kerja sewa dan tenaga kerja ternak sapi untuk jagung, curahan tenaga kerja untuk buruh tani, biaya perantara penjualan sapi, biaya transpor penjualan jagung, konsumsi pangan dan non pangan, investasi pendidikan dan konsumsi jagung. Peubah endogen dalam model rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow yaitu : produksi sapi, penjualan sapi, produktivitas kelapa,
212
jumlah permintaan rumput, penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi dan penawaran tenaga kerja untuk usaha kelapa, permintaan tenaga kerja sewa, tenaga kerja ternak sapi untuk usaha kelapa, curahan tenaga kerja sebagai buruh tani, biaya perantara penjualan sapi, biaya transpor penjualan kopra, konsumsi pangan, konsumsi non pangan, investasi pendidikan dan surplus produksi kelapa. Perilaku ekonomi rumahtangga di Minahasa dan Bolaang Mongondow dengan mempelajari biaya transaksi dan faktor lain yang mempengaruhi peubah endogen dan respon masing-masing peubah endogen.
7.1. Perilaku Produksi Perilaku produksi yang dianalisis untuk rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa adalah produksi sapi dan produksi jagung. Produksi sapi terdiri dari dua persamaan perilaku dan satu persamaan identitas. Persamaan perilaku terdiri dari persamaan produksi ternak sapi (PROS) dan penjualan sapi (PROSJ). Kemudian produksi jagung terdiri dari dua persamaan perilaku yaitu persamaan perilaku produktivitas jagung (PRODJ), persamaan luas lahan garapan jagung (LHNJ) dan persamaan identitas untuk produksi jagung (PROJ). Perilaku produksi rumahtangga di Bolaang Mongondow adalah produksi sapi dan produksi kelapa. Produksi sapi terdiri dari dua persamaan perilaku dan satu persamaan identitas. Persamaan perilaku terdiri dari persamaan produksi sapi (PROS) dan penjualan sapi (PROSJ). Untuk usaha kelapa terdapat satu persamaan perilaku yaitu produktivitas kelapa (PRODK) dan satu persamaan identitas untuk produksi buah kelapa (PROB) (Tabel 37). Berdasarkan data hasil estimasi pada Tabel 37, selanjutnya dibahas respon masing-masing peubah endogen perilaku produksi.
213
Tabel 37. Hasil Parameter Estimasi, Elastisitas Produksi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow
Minahasa Variabel
Kode
Parameter Estimasi
Produksi Sapi PROS Intersep Harga Bay Sapi HTSB 0.00717* Kons Rumput JRUM 0.00416* Kons Jagung KONJ 0.00729 Lama Beternak LBS 2.39987* TK Kel utk Sapi TKDS Penjualan Sapi PROSJ Intersep -24.028 Harga Bay Sapi HTSB 0.00009 Produksi Sapi PROS 0.71466* Total Biaya TB Produktivits Jagung PRODJ Intersep -31020.3 Harga Bay Jagung HJGB 20.8556 TK Luar utk Jagung TKLJ 47.2051* TK Sapi utk Jagung TKSJ 190.736* Penerimaan Penj Sapi RUTSJ 4.125E-6 Pendapatn Luar UT PLUT 0.00013* Produktivita Kelapa PRODK Intersep Harga Bay Kopra HKOB Jumlah Pohon Kelapa JPK Pupuk Urea JPUK TK Luar utk Kelapa TKLK TK Sapi utk Kelapa TKSK Luas Lahan Jagung LHNJ Intersep -0.3042 TK Kel utk Jagung TKDJ 0.00037* TK Luar utk Jagung TKLJ 0.00136* Benih Jagung JBJ 0.00366* Pupuk Urea JPUJ 0.00099* Pupuk TSP JPTJ 0.00264* Penerimaan Penj Sapi RUTSJ 8.0E-09* Keterangan : * = P<0.15 - = Tidak ada aktivitas
Bolaang Mongondow
Elastisitas
Parameter Estimasi
Elastisitas
0.62256 0.21088 0.01496 0.14605 -
-89.799 0.00238 0.03697* 0.03604
0.1433 1.0003 0.0332
0.00261 1.96163 -
-48.698 0.00094 0.12766* 4.36E-6*
0.3324 0.7471 0.4818
0.52305 0.58039 2.28325 0.01150 0.29769
-
-
-
-32437.3 2.52877* 347.096* 26.9665* 11.3689* 221.573
0.0665 3.1216 0.1564 0.3136 0.3713
0.16210 0.08325 0.04970 0.97086 0.55465 0.11231
-
-
214
7.1.1. Produksi Sapi Produksi sapi (PROS) di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan sapi (HTSB), jumlah konsumsi rumput (JRUM), konsumsi jagung (KONJ) dan pengalaman beternak sapi (LBS). Sedangkan produksi sapi (PROS) di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan sapi (HTSB), jumlah konsumsi rumput (JRUM) dan penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha ternak sapi (TKDS). Sebelumnya telah dijelaskan bahwa harga bayangan diperoleh dari selisih antara harga ternak sapi hidup dan biaya transaksi. Peubah harga bayangan dinyatakan apabila kondisi rumahtangga surplus (Minot, 1999). Dalam penelitian ini rumahtangga petani peternak menjual ternak sapi untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga dinyatakan rumahtangga surplus. Berbeda dengan penelitian Priyanti (2007), produksi sapi selain dipengaruhi harga ternak sapi hidup, juga dipengaruhi oleh jumlah jerami segar, jumlah bakalan, jumlah konsentrat dan jumlah obat sapi. Hal ini disebabkan usaha ternak sapi di Sulawesi Utara merupakan usaha ternak rakyat yang dipelihara secara tradisional. Dalam hal ini ternak sapi dibiarkan merumput sendiri sehingga konsumsi rumput adalah rumput yang tumbuh liar ataupun limbah pertanian ditambah dengan konsumsi jagung (untuk Minahasa). Pada penelitian ini jumlah rumput di proxy dari jumlah rumput yang dikonsumsi apabila petani peternak membeli rumput. Selain itu, perilaku beternak sapi sebagai usaha turun temurun sehingga jumlah bakalan tidak bisa diperhitungkan dalam penelitian ini. Hasil estimasi pada Tabel 37 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen produksi sapi (PROS) di Minahasa telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masing-
215
masing peubah harga bayangan ternak sapi (HTSB), jumlah rumput (JRUM), konsumsi jagung (KONJ) dan pengalaman beternak sapi (LBS) menyebabkan terjadinya peningkatan produksi ternak sapi sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi pada Tabel 37 juga menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen produksi sapi (PROS) di Bolaang Mongondow telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masing-masing peubah harga bayangan sapi (HTSB), jumlah rumput (JRUM) dan penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi (TKDS) menyebabkan terjadinya peningkatan produksi sapi sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi menunjukkan peubah harga bayangan ternak sapi, jumlah permintaan rumput dan pengalaman beternak sapi di Minahasa masing-masing berpengaruh nyata terhadap produksi sapi pada taraf nyata 15 persen. Sedangkan peubah harga bayangan ternak sapi dan penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha ternak sapi di Bolaang Mongondow masing-masing berpengaruh tidak nyata terhadap produksi sapi pada taraf nyata 15 persen. Peubah jumlah konsumsi rumput berpengaruh nyata terhadap produksi sapi pada taraf nyata 15 persen. Biaya transaksi dalam penelitian ini mempengaruhi harga bayangan. Peningkatan biaya transaksi menyebabkan harga bayangan semakin kecil, akibatnya ada kecenderungan menurunnya produksi sapi. Hal ini disebabkan usaha sapi merupakan usaha sambilan sehingga biaya transaksi yang semakin tinggi menyebabkan harga yang diterima rumahtangga semakin kecil. Kondisi tersebut mengakibatkan kemauan berusaha semakin menurun, rumahtangga tidak berusaha meningkatkan jumlah ternak yang dipelihara. Secara teoritis, biaya transaksi mempengaruhi perilaku rumahtangga dalam keputusan produksi.
216
Hasil analisis menunjukkan kenaikan harga bayangan ternak sapi baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow masih bisa mendorong rumahtangga meningkatkan produksi ternaknya. Perbedaannya, harga bayangan ternak sapi memberikan pengaruh sangat besar terhadap produksi sapi di Minahasa sedangkan di Bolaang Mongondow pengaruhnya kecil. Jumlah permintaan rumput berdampak cukup besar terhadap produksi ternak sapi baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow. Semakin banyak permintaan rumput untuk konsumsi maka produksi sapi diharapkan semakin meningkat. Dalam hal ini pakan utama ternak sapi adalah rumput. Peubah konsumsi jagung di Minahasa berpengaruh tidak nyata terhadap produksi ternak sapi. Dalam hal ini, jumlah konsumsi jagung pengaruhnya kecil terhadap produksi ternak sapi. Hal ini disebabkan karena ternak sapi dibiarkan merumput sendiri atau diberikan rumput liar dan limbah pertanian. Jagung dikonsumsi ternak pada saat musim tanam dan dalam setahun dua sampai tiga kali tanam. Sebaliknya di Bolaang Mongondow ternak sapi tidak mengkonsumsi jagung kecuali limbah jagung. Seperti telah dijelaskan di Minahasa rumahtangga petani peternak sapi menanam jagung khusus untuk diberikan ke ternak. Demikian pula pengalaman dalam beternak sapi di Minahasa mendorong rumahtangga meningkatkan produksi sapi dan pengaruhnya cukup besar. Sedangkan di Bolaang Mongondow pengalaman berusaha dianggap tidak mempengaruhi peningkatan produksi ternak sapi. Penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha ternak sapi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi sapi. Ketersediaan tenaga kerja keluarga pada usaha ternak sapi yang semakin tinggi di Bolaang Mongondow akan
217
mendorong rumahtangga meningkatkan produksi sapi. Walaupun ketersediaan tenaga kerja keluarga tersebut pengaruhnya kecil dalam peningkatan produksi. Sedangkan di Minahasa penawaran tenaga kerja keluarga di anggap tidak mempengaruhi produksi sapi. Hal ini disebabkan tenaga kerja sudah tertentu dengan jumlah ternak sapi lebih besar dibanding di Bolaang Mongondow. Besarnya nilai elastisitas produksi sapi terhadap peubah harga bayangan sapi, jumlah konsumsi rumput, konsumsi jagung dan pengalaman beternak sapi di Minahasa masing-masing lebih kecil satu. Hasil ini menunjukkan produksi sapi tidak responsif terhadap harga bayangan sapi. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa walaupun usaha sapi merupakan usaha sambilan namun pemeliharaan sapi dilakukan rumahtangga secara turun temurun. Disini peningkatan biaya transaksi tidak langsung direspon rumahtangga dengan penurunan produksi. Sejalan dengan penelitian Priyanti (2007), produksi sapi tidak responsif terhadap peubah harga sapi hidup dan jumlah jerami segar. Demikian pula produksi sapi tidak responsif terhadap konsumsi rumput. Kenyataan di Minahasa menunjukkan bahwa rumput yang dikonsumsi merupakan rumput liar atau limbah pertanian, sehingga peningkatan konsumsi rumput kurang direspon dengan peningkatan produksi sapi. Secara teori, kualitas rumput liar ataupun limbah pertanian belum bisa menjamin apakah sudah memenuhi standar nilai nutrisi hijauan. Rumahtangga berusaha menambah jagung muda sebagai konsumsi ternak sapi. Namun, penanaman jagung dalam setahun sangat terbatas. Hal inilah yang menyebabkan produksi sapi juga tidak responsif terhadap konsumsi jagung. Selanjutnya, hasil analisis juga menunjukkan bahwa produksi sapi tidak responsif terhadap pengalaman beternak sapi. Kondisi ini disebabkan dalam meningkatkan produksi dipengaruhi oleh
218
penggunaan input. Selain penggunaan input dan kondisi sosial, peningkatan produksi sapi juga dipengaruhi oleh ketersediaan dana. Permintaan rumput sebagai salah satu input yang mempengaruhi peningkatan produksi sapi di Bolaang Mongondow. Jumlah permintaan rumput berdampak cukup besar terhadap produksi sapi. Semakin banyak permintaan rumput untuk konsumsi maka produksi sapi diharapkan semakin meningkat. Kenyataan menunjukkan produksi sapi sangat responsif terhadap permintaan rumput. Hal ini disebabkan pakan utama bagi ternak sapi adalah rumput, sehingga respon permintaan rumput sangat tinggi bagi produksi sapi. Kondisi ini berbeda dengan penelitian Priyanti (2007), bahwa produksi sapi tidak responsif terhadap peubah harga sapi hidup dan jumlah jerami segar. Di Bolaang Mongondow, rumput yang dikonsumsi sapi sebagian besar rumput liar dan limbah pertanian. Berbeda dengan di Minahasa yang menanam jagung sebagai pakan sapi.
7.1.2. Penjualan Ternak Sapi Penjualan Sapi (PROSJ) di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan sapi (HTSB) dan produksi sapi (PROS). Sedangkan penjualan Sapi (PROSJ) di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan sapi (HTSB), produksi sapi (PROS) dan total biaya (TB). Rumahtangga di Minahasa dan Bolaang Mongondow menjual ternaknya apabila ada kebutuhan yang mendesak apakah karena kebutuhan pendidikan, konsumsi, kesehatan ataupun untuk kebutuhan proses produksi usahatani (pembelian bibit atau upah tenaga kerja) dan sebagainya. Apalagi bila ada peningkatan harga ternak akan mendorong rumahtangga menjual ternaknya. Namun bila terjadi peningkatan
219
biaya transaksi mengakibatkan rumahtangga mengurangi jumlah penjualan ternak sapi. Hal ini disebabkan dengan biaya transaksi yang semakin tinggi maka harga yang diterima semakin kecil, akibatnya penerimaan rumahtangga makin kecil. Hasil estimasi pada Tabel 37 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen penjualan sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masing-masing peubah harga bayangan sapi dan produksi sapi di Minahasa menyebabkan terjadinya peningkatan penjualan ternak sapi sebesar nilai estimasi parameternya. Demikian pula peubah harga bayangan ternak, produksi sapi dan total biaya di Bolaang Mongondow menyebabkan naiknya penjualan ternak sapi sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi juga menunjukkan peubah harga bayangan sapi di Minahasa berpengaruh tidak nyata terhadap penjualan sapi pada taraf nyata 15 persen. Hal ini disebabkan rumahtangga menjual ternak apabila ada kebutuhan mendesak. Kenaikan biaya transaksi pengaruhnya kecil terhadap penurunan penjualan sapi. Atau sebaliknya peningkatan harga memotivasi rumahtangga untuk meningkatkan penjualan ternak sapi. Sedangkan produksi sapi di Minahasa berpengaruh nyata terhadap penjualan sapi pada taraf nyata 15 persen. Produksi sapi berdampak cukup besar terhadap penjualan sapi. Rumahtangga berusaha memaksimumkan utilitasnya dengan cara meningkatkan pengeluaran konsumsi terutama untuk kebutuhan pokok. Pengeluaran konsumsi tergantung pada pendapatan yang diterima rumahtangga. Kondisi ini menunjang rumahtangga untuk meningkatkan penjualan apabila produksi sapi terus meningkat. Kenyataan ini menunjukkan perubahan produksi sapi sangat berpengaruh terhadap penjualan sapi.
220
Peubah harga bayangan sapi di Bolaang Mongondow juga berpengaruh tidak nyata terhadap penjualan sapi pada taraf nyata 15 persen. Hal ini disebabkan rumahtangga menjual ternak apabila ada kebutuhan mendesak. Rumahtangga didatangi perantara kemudian perantara menawarkan untuk membeli ternak sapi mereka. Pada saat tertentu rumahtangga mencari pembeli tetapi melalui perantara, namun hal tersebut jarang terjadi. Apalagi bila ada peningkatan harga akan mendorong rumahtangga menjual ternaknya. Peningkatan biaya transaksi mengakibatkan rumahtangga mengurangi jumlah penjualan ternak sapi. Hal ini disebabkan dengan biaya transaksi yang semakin tinggi maka harga yang diterima semakin kecil dan penerimaan rumahtangga semakin kecil. Matungul, et al., (2006) mengemukakan tingkat pendapatan penjualan produk usahatani termasuk usaha ternak, salah satunya dipengaruhi biaya transaksi. Sebaliknya peningkatan harga memotivasi rumahtangga untuk meningkatkan penjualan sapi. Produksi sapi dan total biaya masing-masing berpengaruh nyata terhadap penjualan ternak sapi pada taraf nyata 15 persen. Seperti di Minahasa, rumahtangga berusaha memaksimumkan utilitasnya dengan cara meningkatkan pengeluaran konsumsi terutama untuk kebutuhan pokok. Pengeluaran konsumsi baik konsumsi kebutuhan pokok maupun non pokok tergantung pada pendapatan yang diterima rumahtangga. Kondisi ini menunjang rumahtangga untuk meningkatkan penjualan apabila produksi sapi terus meningkat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa perubahan produksi sapi sangat berpengaruh terhadap penjualan sapi. Faktor lain yang menentukan penjualan sapi adalah total biaya usaha kelapa dan usaha sapi. Selain pengeluaran konsumsi kebutuhan pokoknya, rumahtangga juga membutuhkan budget untuk melakukan proses produksi. Pada
221
kondisi ini total biaya yang dikeluarkan rumahtangga untuk proses produksi usahataninya sangat berpengaruh terhadap penjualan sapi. Besarnya nilai elastisitas penjualan sapi di Minahasa terhadap masingmasing peubah harga bayangan sapi dan produksi sapi lebih kecil satu. Penjualan sapi tidak responsif terhadap harga bayangan sapi. Artinya peningkatan biaya transaksi tidak langsung direspon rumahtangga dengan menurunkan penjualan sapi. Seperti telah dijelaskan di atas, kondisi ini disebabkan rumahtangga di Minahasa menjual sapi apabila ada kebutuhan apakah untuk pendidikan, kesehatan, atau untuk proses produksi. Penjualan sapi juga tidak responsif terhadap produksi sapi. Walaupun produksi sapi mempunyai pengaruh sangat besar terhadap penjualan sapi namun perubahannya agak lambat. Hal ini disebabkan penjualan sapi tergantung kebutuhan rumahtangga. Penjualan sapi di Bolaang Mongondow tidak respons terhadap peningkatan biaya transaksi. Usaha sapi merupakan usaha sambilan namun ternak sapi dapat dijual sewaktu-waktu bila rumahtangga membutuhkan uang dan dapat dijual dengan cepat. Sehingga walaupun biaya transaksi cukup tinggi tidak mempengaruhi rumahtangga untuk tidak menjual ternaknya. Demikian pula penjualan sapi di Bolaang Mongondow tidak responsif terhadap produksi sapi. Hal ini disebabkan penjualan sapi untuk sebagian besar rumahtangga di Bolaang Mongondow tergantung kebutuhan rumahtangga. Selanjutnya penjualan sapi juga tidak responsif terhadap total biaya yang dikeluarkan rumahtangga. Dalam hal ini, rumahtangga di Bolaang Mongondow seperti di Minahasa lebih mengutamakan untuk memenuhi kebutuhan pokok. Untuk biaya produksi bersumber dari pendapatan usahatani yang lain.
222
7.1.3. Produktivitas Jagung Produksi jagung khusus dipelajari di Minahasa. Produktivitas jagung (PRODJ) secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan jagung (HJGB), tenaga kerja luar keluarga untuk usaha jagung (TKLJ), tenaga kerja ternak sapi untuk lahan jagung (TKSJ), penerimaan penjualan sapi (RUTSJ) dan pendapatan luar usahatani (PLUT). Harga bayangan seperti telah dijelaskan sebelumnya merupakan selisih antara harga jagung dengan biaya transaksi untuk usaha jagung. Dalam melakukan proses produksi rumahtangga memerlukan budget yang diperoleh dari penerimaan rumahtangga apakah bersumber dari usaha jagung, usahatani lain, usaha ternak, maupun penerimaan lainnya. Dalam penelitian ini produksi jagung dibangun sebagai persamaan identitas. Berbeda dengan penelitian Priyanti (2007) yang membangun persamaan produksi padi sebagai persamaan struktural. Asmarantaka (2007) membangun model produktivitas padi sebagai fungsi harga urea, tenaga kerja keluarga dan dummy pendidikan. Hasil estimasi pada Tabel 37 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen produktivitas jagung telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masing-masing peubah harga bayangan jagung, tenaga kerja luar keluarga (sewa) untuk usaha jagung, tenaga kerja ternak sapi untuk lahan jagung, penerimaan penjualan ternak sapi serta pendapatan luar usahatani menyebabkan terjadinya peningkatan produktivitas jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Semakin tinggi biaya transaksi menyebabkan harga jagung yang diterima rumahtangga semakin kecil. Hal ini mengakibatkan ada kecenderungan penurunan produktivitas jagung.
223
Hasil estimasi juga menunjukkan peubah harga bayangan jagung dan penerimaan penjualan sapi masing-masing berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas jagung pada taraf nyata 15 persen. Fenomena ini menunjukkan peningkatan biaya transaksi jagung pengaruhnya kecil terhadap penurunan produktivitas jagung. Hal ini disebabkan sebagian produksi jagung yaitu sekitar 20 - 25 persen (dalam bentuk jagung muda) diberikan kepada sapi sebagai pakan. Selain itu, rumahtangga membutuhkan budget untuk dialokasikan sebagai pengeluaran konsumsi mereka. Kondisi ini menyebabkan biaya transaksi pengaruhnya kecil terhadap produktivitas jagung. Dalam hal ini walaupun biaya transaksi untuk usaha jagung meningkat, rumahtangga tetap menanam jagung. Rumahtangga memerlukan budget untuk meningkatkan produktivitas jagung. Namun pendapatan yang diperoleh rumahtangga bersumber dari berbagai kegiatan yang menghasilkan uang, sehingga penerimaan penjualan ternak sapi pengaruhnya kecil terhadap produktivitas jagung. Penggunaan tenaga kerja sewa, tenaga kerja ternak sapi dan pendapatan luar usahatani masing-masing berpengaruh nyata terhadap produkivitas jagung pada taraf nyata 15 persen. Dalam pengelolaan usaha jagung, rumahtangga menyewa tenaga kerja luar. Beberapa kegiatan dalam usaha jagung membutuhkan banyak tenaga luar diantaranya penyiangan dan panen jagung. Pengaruh tenaga kerja sewa ini sangat besar terhadap produktivitas jagung. Kondisi ini disebabkan ketersediaan tenaga kerja rumahtangga terbatas dan jam kerja keluarga juga dialokasikan untuk kegiatan usahatani lain. Tenaga kerja ternak sapi digunakan untuk membajak lahan usaha jagung. Pengaruhnya sangat besar terhadap produktivitas jagung. Untuk pengolahan lahan
224
membutuhkan biaya tenaga kerja yang cukup besar, sehingga karena keterbatasan budget maka rumahtangga memanfaatkan tenaga kerja ternak sapi. Pendapatan rumahtangga bersumber dari berbagai usahatani yang dikelola, luar usahatani, usaha lain dan sebagainya. Pendapatan yang diperoleh rumahtangga selain dialokasikan untuk kebutuhan pokok rumahtangga, juga dialokasikan untuk proses produksi usahatani. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam pengelolaan usaha jagung membutuhkan budget. Salah satu sumber budget adalah pendapatan luar usahatani. Dalam penelitian ini pendapatan luar usahatani cukup berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas jagung. Produktivitas jagung sangat responsif terhadap perubahan jam kerja ternak sapi. Rumahtangga di Minahasa berusaha meminimumkan biaya produksi dengan memanfaatkan tenaga ternak sapi. Penggunaan tenaga ternak sapi berdampak sangat besar terhadap produkivitas jagung. Selanjutnya nilai elastisitas produktivitas jagung terhadap peubah harga bayangan jagung, tenaga kerja keluarga untuk usaha jagung, penerimaan penjualan sapi dan pendapatan luar usahatani lebih kecil satu. Produktivitas jagung tidak responsif terhadap harga bayangan jagung. Hal ini disebabkan sebagian jagung dikonsumsi ternak sehingga naiknya biaya transaksi tidak langsung direspon rumahtangga dengan menurunkan produktivitas. Priyanti (2007) melaporkan bahwa produksi padi tidak responsif terhadap harga padi. Sedangkan Asmarantaka (2007) tidak menganalisis pengaruh harga padi terhadap produktivitas padi. Produktivitas jagung tidak responsif terhadap tenaga kerja luar keluarga untuk usaha jagung, penerimaan penjualan ternak sapi dan pendapatan luar usahatani. Penggunaan tenaga kerja sewa sangat berpengaruh terhadap
225
produktivitas jagung. Namun karena keterbatasan budget, produktivitas jagung tidak responsif terhadap perubahan permintaan tenaga kerja sewa. Pendapatan yang diperoleh rumahtangga sebagian juga dialokasikan untuk kebutuhan pokok rumahtangga. Kondisi inilah yang menyebabkan produktivitas jagung tidak responsif terhadap pendapatan dari penjualan ternak sapi. Semua pendapatan yang diperoleh rumahtangga termasuk pendapatan luar usahatani dialokasikan untuk kebutuhan pokok. Pendapatan luar usahatani cukup berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas jagung. Walaupun demikian produktivitas jagung tidak responsif terhadap pendapatan luar usahatani. Hal ini disebabkan semua pendapatan yang diperoleh rumahtangga dialokasikan juga untuk usaha jagung.
7.1.4. Produktivitas Kelapa Dalam penelitian ini produksi kelapa dipelajari dari perilaku produktivitas kelapa di Bolaang Mongondow. Perilaku penggunaan lahan untuk kelapa tidak dipelajari karena dalam jangka waktu pendek dianggap rumahtangga tidak melakukan ekspansi lahan kelapa. Dalam melakukan ekspansi memerlukan modal besar. Berbeda dengan penelitian Bakir (2007) yang mempelajari perilaku produktivitas kelapa sawit dan luas arealnya. Produktivitas kelapa (PRODK) secara bersama-sama dipengaruhi harga bayangan kopra (HKOB), jumlah pohon kelapa (JPK), jumlah pupuk urea untuk kelapa (JPUK), tenaga kerja sewa (TKLK) dan tenaga kerja ternak sapi untuk usaha kelapa (TKSK). Harga bayangan kopra merupakan selisih antara harga kopra dengan biaya transaksi penjualan kopra. Hasil estimasi pada Tabel 37 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen produktivitas kelapa telah sesuai
226
kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masing-masing peubah harga bayangan kopra, jumlah pohon kelapa, jumlah pupuk urea untuk kelapa, tenaga kerja sewa dan tenaga kerja ternak sapi untuk usaha kelapa menyebabkan terjadinya peningkatan produktivitas kelapa sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi juga menunjukkan harga bayangan kopra, jumlah pohon kelapa, jumlah urea untuk kelapa dan tenaga kerja sewa untuk kelapa masingmasing berpengaruh nyata terhadap produktivitas kelapa pada taraf nyata 15 persen. Sedangkan tenaga kerja ternak sapi untuk kelapa berpengaruh tidak nyata. Semakin tinggi biaya transaksi menyebabkan harga yang diterima rumahtangga semakin kecil akibatnya ada kecenderungan penurunan produktivitas kelapa. Biaya transaksi dihitung berdasarkan biaya transpor penjualan kopra yang ditanggung rumahtangga dan biaya penyimpanan kopra. Biaya-biaya tersebut ditentukan oleh pedagang. Brithal et al. (2006) mengkuantitatifkan biaya transaksi pada tingkat produsen termasuk biaya penyimpanan dan penurunan kualitas suatu produk. Peningkatan biaya transaksi tersebut pengaruhnya cukup besar terhadap penurunan produktivitas kelapa. Disisi lain rumahtangga membutuhkan penerimaan yang lebih tinggi untuk menanggulangi kebutuhan mendesak. Rumahtangga menyewakan pohon kelapanya ke pedagang untuk mengatasi kebutuhan yang mendesak tersebut. Walaupun produktivitas kelapa tidak responsif terhadap biaya transaksi. Pendapatan rumahtangga bersumber dari berbagai kegiatan yang menghasilkan uang, sehingga produktivitas kelapa tidak responsif terhadap naiknya biaya transaksi. Jumlah pohon kelapa berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas kelapa. Semakin banyak pohon kelapa yang dimiliki atau yang dikelola
227
rumahtangga maka produksi kelapa yang dipanen semakin banyak. Berbeda dengan penelitian Bakir (2007), yang menunjukkan jumlah pohon kelapa sawit pengaruhnya
kecil
terhadap
produktivitas
kelapa
sawit.
Hasil
analisis
menunjukkan produktivitas kelapa di Bolaang Mongondow responsif terhadap jumlah pohon kelapa. Kenyataan di lapangan menunjukkan produktivitas kelapa semakin menurun yang disebabkan lahan di bawah kelapa merupakan lahan marjinal dengan tingkat kesuburan yang rendah. Selain itu umur pohon kelapa yang ada berkisar 8-90 tahun sehingga produksinya masih sedikit ataupun buah kelapanya kecil-kecil untuk umur kelapa lebih tua. Dalam usaha peningkatan produktivitas kelapa, rumahtangga dapat melakukan integrasi usaha ternak sapi dengan usaha kelapa. Integrasi ini dapat bermanfaat bagi kesuburan lahan kelapa. Kotoran ternak dapat dijadikan sebagai pupuk, disisi lain lahan di bawah pohon kelapa dapat ditanami hijauan (rumput atau leguminosa) yang berfungsi sebagai pakan sekaligus dapat menyuburkan lahan. Dalam hal ini produktivitas kelapa responsif terhadap jumlah pohon kelapa. Penggunaan pupuk urea berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas kelapa. Kenyataan di lapangan menunjukkan sebagian besar lahan di bawah pohon kelapa di Bolaang Mongondow merupakan lahan marjinal, namun sebagian besar rumahtangga tidak melakukan upaya untuk meningkatkan kesuburan lahannya. Kondisi tersebut berdampak terhadap produktivitas buah kelapa. Sebagian rumahtangga menggunakan pupuk urea sebagai upaya meningkatkan produktivitas kelapa. Semakin banyak pupuk urea yang digunakan maka produktivitas kelapa semakin meningkat. Perlakuan tersebut menunjukkan produktivitas kelapa tidak responsif terhadap peningkatan permintaan pupuk urea.
228
Permintaan tenaga sewa dapat mempengaruhi peningkatan produktivitas kelapa. Dalam proses produksi usaha kelapa sangat dibutuhkan tenaga terampil, terutama untuk panjat kelapa. Untuk pekerjaan panjat kelapa, rumahtangga menggunakan tenaga kerja sewa. Hal ini disebabkan panjat kelapa merupakan pekerjaan yang mempunyai risiko tinggi. Selain itu, panen buah kelapa sebaiknya dilakukan tepat pada waktunya yaitu tiap tiga bulan sekali panen. Walaupun produktivitas kelapa tidak responsif terhadap permintaan tenaga kerja sewa. Penawaran tenaga kerja ternak sapi sangat menentukan dalam usaha kelapa. Sebagian lokasi kebun kelapa di Bolaang Mongondow agak jauh dari perkampungan yaitu sekitar 1 - 15 km. Kondisi tersebut sangat membutuhkan tenaga ternak sapi sebagai pengangkut. Walaupun produktivitas kelapa tidak responsif terhadap penawaran ternak sapi tersebut. Hal ini disebabkan tenaga ternak sapi dimanfaatkan sebagai tenaga sewa oleh rumahtangga lain untuk mengangkut output pertanian, angkut material bangunan (batu, krikil), angkut kayu dan bajak lahan.
7.1.5. Luas Lahan Garapan Jagung Luas lahan garapan jagung (LHNJ) secara bersama-sama dipengaruhi penggunaan input baik input tenaga kerja maupun input produksi dan penerimaan penjualan ternak sapi (RUTSJ). Input tenaga kerja terdiri dari tenaga kerja keluarga (TKDJ) dan tenaga kerja sewa (TKLJ) untuk usaha jagung. Sedangkan input produksi terdiri dari jumlah penggunaan benih jagung (JBJ), jumlah penggunaan pupuk urea (JPUJ) dan pupuk TSP untuk usaha jagung (JPTJ). Hal ini sejalan dengan penelitian Priyanti (2007) bahwa luas areal panen padi
229
diantaranya dipengaruhi jumlah benih padi, jumlah pupuk urea, jumlah obat dan jumlah tenaga kerja keluarga untuk padi. Luas areal padi dalam Asmarantaka (2007) dipengaruhi harga padi, harga urea, traktor dan total pendapatan. Hasil estimasi pada Tabel 37 menunjukkan semua tanda estimasi peubahpeubah yang mempengaruhi peubah endogen luas lahan garapan jagung (LHNJ) telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda positif menunjukkan peningkatan masingmasing peubah tenaga kerja keluarga (TKDJ) dan tenaga kerja sewa untuk usaha jagung (TKLJ), jumlah benih jagung (JBJ), jumlah pupuk urea (JPUJ), pupuk TSP (JPTJ) dan penerimaan penjualan ternak sapi (RUTSJ) menyebabkan terjadinya peningkatan luas lahan garapan sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi juga menunjukkan peubah tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja sewa untuk jagung, jumlah benih jagung, jumlah pupuk urea, jumlah pupuk TSP dan penerimaan penjualan sapi masing-masing berpengaruh nyata terhadap luas lahan garapan jagung pada taraf nyata 15 persen. Hal ini disebabkan sebagian produksi jagung (dalam bentuk jagung muda) diberikan kepada sapi sebagai pakan. Kenyataan ini menunjukkan perubahan penawaran tenaga kerja keluarga berdampak cukup besar bagi rumahtangga untuk memperluas lahan jagung atau menambah periode tanam jagung. Permintaan tenaga kerja mempunyai pengaruh cukup besar terhadap luas lahan garapan jagung. Seperti telah dijelaskan sebelumnya jagung ditanam untuk kebutuhan pakan sapi. Dalam hal ini rumahtangga berusaha untuk menambah jam kerja sewa walaupun harus mengeluarkan dana untuk pembayaran upah. Kemampuan untuk menambah benih jagung mendorong rumahtangga memperluas lahan garapan jagung. Semakin luas lahan jagung diharapkan
230
produksi jagung meningkat, sehingga rumahtangga tidak kesulitan memperoleh pakan sapi. Kemampuan dalam membeli benih berpengaruh sangat besar bagi pengembangan usaha jagung. Kemampuan rumahtangga dalam membeli pupuk juga dapat mendorong rumahtangga memperluas lahan garapan jagung. Pengaruhnya cukup besar yang disebabkan kebutuhan pakan bagi sapi. Input pupuk TSP berpengaruh sangat besar bagi rumahtangga untuk melakukan ekspansi usaha jagung. Ekspansi tersebut membutuhkan budget cukup besar. Salah satu sumber budget adalah pendapatan penjualan sapi. Pendapatan ini cukup berpengaruh terhadap perluasan lahan jagung. Nilai elastisitas luas lahan garapan jagung terhadap peubah tenaga kerja keluarga, tenaga kerja sewa untuk usaha jagung, jumlah benih jagung, jumlah pupuk urea dan pupuk TSP masing-masing lebih kecil satu. Perluasan lahan garapan jagung dipengaruhi tenaga kerja keluarga. Namun rumahtangga mengalokasikan tenaganya untuk berbagai kegiatan menyebabkan penambahan lahan jagung ini tidak responsif terhadap penggunaan tenaga kerja keluarga. Permintaan tenaga kerja sewa cukup berpengaruh terhadap perluasan lahan jagung. Rumahtangga petani peternak sapi mempunyai keterbatasan budget untuk membayar upah sehingga perluasan lahan garapan jagung tidak responsif terhadap permintaan tenaga kerja sewa. Tersedianya budget menyebabkan rumahtangga mempunyai kemampuan untuk membeli input produksi, termasuk kemampuan membeli benih jagung dan pengaruhnya cukup besar terhadap perluasan usaha jagung. Namun penambahan lahan jagung ini tidak responsif terhadap penambahan benih jagung. Pupuk urea juga sebagai salah satu input yang mempengaruhi peningkatan produksi jagung. Kemampuan rumahtangga dalam
231
membeli input ini cukup mempengaruhi rumahtangga untuk melakukan ekspansi. Namun penambahan lahan tidak responsif terhadap permintaan pupuk urea. Sebagai upaya memaksimalkan pendapatan usaha jagung, rumahtangga menyediakan budget untuk membeli input pupuk TSP. Rumahtangga berusaha menambah jumlah pupuk TSP. Penggunaan pupuk TSP tersebut pengaruhnya cukup besar bagi rumahtangga untuk melakukan ekspansi. Walaupun penambahan lahan garapan jagung tidak responsif terhadap penambahan permintaan pupuk TSP ini. Budget yang disediakan rumahtangga berasal dari berbagai sumber pendapatan, diantaranya pendapatan penjualan sapi. Pendapatan ini cukup berpengaruh terhadap perluasan lahan jagung. Hasil analisis menunjukkan luas lahan garapan jagung juga tidak responsif terhadap pendapatan penjualan sapi. Kenyataan di atas sejalan dengan penelitian Priyanti (2007) yang menunjukkan luas areal lahan padi tidak responsif terhadap jumlah benih padi, jumlah urea, jumlah pestisida dan tenaga kerja keluarga. Selanjutnya Asmarantaka (2007) menyatakan areal padi tidak responsif terhadap harga padi dan pendapatan total, namun responsif terhadap harga urea dan traktor.
7.2. Perilaku Penggunaan Input Produksi Perilaku penggunaan input produksi yang dianalisis untuk Minahasa adalah penggunaan input produksi sapi dan produksi jagung. Penggunaan input produksi sapi hanya satu persamaan struktural yaitu jumlah konsumsi rumput (JRUM). Berbeda dengan penelitian Priyanti (2007) yang menganalisis blok penggunaan input produksi sapi terdiri dari bakalan ternak sapi, jumlah jerami segar, jumlah konsentrat dan jumlah obat sapi. Dalam penelitian ini jumlah
232
bakalan tidak dianalisis, rumput yang diberikan rumput segar (rumput liar, limbah pertanian dan jagung muda), rumahtangga tidak memberikan konsentrat dan bila ternak sakit diberikan obat-obat tradisional ataupun disuntik apabila ternak sudah parah menurut petani peternak. Penggunaan input produksi jagung terdiri dari tiga persamaan struktural yaitu persamaan jumlah benih jagung (JBJ), jumlah pupuk urea (JPUJ) dan jumlah pupuk TSP (JPTJ). Sedangkan perilaku penggunaan input produksi yang dianalisis untuk Bolaang Mongondow adalah penggunaan input produksi sapi yaitu permintaan rumput. Hasil estimasi perilaku penggunaan input dapat dilihat pada Tabel 38. Berdasarkan data hasil estimasi pada Tabel 38, selanjutnya akan dibahas respon masing-masing peubah endogen.
7.2.1. Permintaan Rumput Jumlah permintaan rumput (JRUM) oleh rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi harga rumput (HRUM), produksi sapi (PROS) dan harga jagung (HJG). Sedangkan jumlah permintaan rumput (JRUM) di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi harga rumput (HRUM), produksi sapi (PROS), penerimaan usaha sapi (RUTS) dan penerimaan kelapa (RUK). Seperti dijelaskan sebelumnya, konsumsi rumput diproxy dari jumlah rumput yang dikonsumsi apabila rumahtangga membeli rumput. Harga rumput baik di Minahasa maupun di Bolaang Mongondow diproxy dengan harga rumput di lokasi penelitian yaitu Rp 400 - Rp 500 per kg untuk Minahasa dan Rp 450 - Rp 500 per kg untuk Bolaang Mongondow. Berdasarkan teori produksi, penggunaan input dipengaruhi harga output, harga input produksi tersebut dan harga input lain.
233
Tabel 38. Hasil Parameter Estimasi, Elastisitas Penggunaan Input Produksi Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow Minahasa Variabel
Kode
Parameter Estimasi
Jumlah Rumput JRUM Intersep 6331.25 Harga Rumput HRUM -20.865 Produksi Sapi PROS 7.34073* Harga Jagung HJG 14.9526 Penerimaan UT Sapi RUTS Penerimaan Kelapa RUK Jumlah Benih Jagung JBJ Intersep 36.1388 Harga Benih Jagung HBJ -0.0015* Luas Lahan Jagung LHNJ 38.0107* Biaya Transaksi Jagung BTRJ -0.5089* Jumlah Urea Jagung JPUJ Intersep -4294.4 Harga Pupuk Urea HPUJ -4.6084* Harga Pupuk TSP HPTJ 5.68684* Luas Lahan Jagung LHNJ 148.363* Penerimaan UT Jagung RUTS 3.064E-7 Biaya Transaksi Jagung BTRJ -2.4953* Jumlah TSP Jagung JPTJ Intersep -1545.6 Rasio Harga TSP & RHPTJ -520.83* Harga Jagung Harga Pupuk Urea HPUJ 2.13351 Harga Pupuk KCl HPKJ 0.02106* Luas Lahan Jagung LHNJ 143.953* Total Pengeluaran TP -1.25E-6 Keterangan : * = P<0.15 - = Tidak ada aktivitas
Elastisitas
Bolaang Mongondow Parameter Estimasi
Elastisitas
-0.49512 0.144143 0.975773 -
1752.0 -0.811 15.753* 0.0002* 0.0001*
-0.027 0.5823 0.2674 0.0515
-0.07285 0.77986 -1.18633
-
-
-23.3719 43.9188 0.55520 0.02156 -1.07546
-
-
-4.55889
-
-
0.35439 0.33516 0.67314 -0.09385
-
-
Hasil estimasi untuk rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa seperti pada Tabel 38 menunjukkan semua tanda peubah yang mempengaruhi permintaan rumput telah sesuai kriteria ekonomi. Peubah harga rumput bertanda negatif artinya naiknya harga rumput menurunkan permintaan
234
rumput sebesar nilai estimasi parameternya. Tanda positif untuk produksi sapi dan harga jagung berarti naiknya produksi sapi dan harga jagung masing-masing menyebabkan permintaan rumput naik sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi juga menunjukkan harga rumput dan harga jagung masingmasing berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah permintaan rumput pada taraf nyata 15 persen. Peubah produksi sapi berpengaruh nyata terhadap permintaan rumput. Usaha ternak sapi di Minahasa merupakan usaha sambilan disebabkan rumahtangga tidak memiliki modal yang cukup untuk pembelian input termasuk pembelian rumput. Sehingga naiknya harga rumput menyebabkan rumahtangga berusaha menurunkan permintaan rumput. Walaupun pengaruh harga rumput terhadap permintaan rumput tidak nyata. Rumput yang dikonsumsi berasal dari lokasi kebun, pembelian rumput dilakukan pada waktu tertentu yaitu bila terjadi musim kemarau yang panjang. Selain itu, ternak dipelihara secara tradisional, salah satu ciri adalah ternak sapi dibiarkan merumput dilahan-lahan pertanian. Rumput yang dikonsumsi merupakan rumput yang tumbuh liar ataupun limbah pertanian yang dianggap cukup sebagai konsumsi ternak, namun kualitasnya tidak memenuhi sandar gizi bagi ternak sapi. Biaya transaksi tidak mempengaruhi permintaan rumput. Hal ini disebabkan rumput dibeli dan dibawa oleh penjual rumput, sehingga rumahtangga tidak mengeluarkan biaya transaksi. Apabila harga jagung
meningkat rumahtangga
memilih
menjual
jagungnya. Pendapatan yang diperoleh dialokasikan sebagai pengeluaran kebutuhan pokok. Namun karena sudah menjadi tradisi, sebagian jagung yang ditanam untuk konsumsi ternak, peningkatan harga jagung pengaruhnya sangat kecil bagi permintaan rumput.
235
Semakin tinggi produksi sapi kebutuhan terhadap pakan semakin tinggi. Peningkatan produksi sapi cukup berpengaruh terhadap permintaan rumput. Walaupun ternak dibiarkan merumput sendiri, namun dengan bertambahnya produksi maka ketersediaan rumput semakin tidak mencukupi. Untuk mengatasi hal ini rumahtangga terpaksa meningkatkan permintaan rumput dengan cara beli atau mencari lokasi pertanian yang lebih jauh sebagai tempat merumput sapi. Nilai elastisitas permintaan rumput terhadap peubah harga rumput, produksi sapi dan harga jagung masing-masing lebih kecil satu. Artinya permintaan rumput tidak responsif terhadap harga rumput. Hal ini disebabkan ketersediaan rumput dilahan-lahan pertanian semakin berkurang, apalagi dengan terjadinya musim kemarau yang panjang menyebabkan rumahtangga harus membeli rumput. Sesuai dengan hasil penelitian Priyanti (2007) bahwa jumlah permintaan jerami segar tidak responsif terhadap harga jerami. Semakin banyak produksi sapi kebutuhan rumput semakin meningkat. Namun perubahan permintaan rumput ini tidak responsif terhadap produksi sapi. Di Minahasa konsumsi ternak berasal dari jagung dan limbahnya sehingga pada saat musim tanam rumahtangga belum membeli rumput. Selain itu kebutuhan konsumsi rumput belum menjadi perhatian bagi rumahtangga. Konsumsi rumput seharusnya sekitar 10 persen dari berat badan ternak sapi. Rumahtangga menanam jagung selain sebagai sumber pendapatan juga untuk kebutuhan konsumsi ternak. Kenaikan harga mendorong rumahtangga menjual jagungnya. Namun harga jagung pengaruhnya sangat kecil terhadap permintaan rumput. Permintaan rumput tidak responsif terhadap harga jagung. Rumahtangga masih dapat memanfaatkan rumput liar dan limbah pertanian lain sebagai pakan.
236
Hasil estimasi sesuai Tabel 38 juga menunjukkan semua tanda untuk peubah yang mempengaruhi peubah jumlah permintaan rumput oleh rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow telah sesuai kiteria ekonomi. Harga rumput berpengaruh tidak nyata terhadap permintaan rumput pada taraf nyata 15 persen. Sedangkan produksi sapi, penerimaan usaha sapi dan penerimaan usaha kelapa masing-masing berpengaruh nyata terhadap jumlah permintaan rumput. Seperti di Minahasa, usaha sapi di Bolaang Mongondow merupakan usaha sambilan dan turun temurun. Rumahtangga tidak memiliki modal yang cukup untuk pembelian input termasuk pembelian rumput. Naiknya harga rumput menyebabkan rumahtangga berusaha menurunkan permintaan rumput. Rumput yang dikonsumsi berasal dari lokasi kebun, sehingga pembelian rumput dilakukan pada waktu tertentu yaitu bila terjadi musim kemarau yang panjang. Selain itu, ternak sapi dipelihara secara tradisional, salah satu ciri adalah ternak sapi dibiarkan merumput dilahan pertanian. Rumput yang dikonsumsi merupakan rumput liar atau limbah pertanian yang dianggap cukup sebagai konsumsi ternak namun kualitasnya tidak memenuhi sandar gizi bagi ternak sapi. Jumlah permintaan rumput tersebut tidak responsif terhadap harga rumput. Seperti di Minahasa, biaya transaksi dianggap tidak mempengaruhi permintaan rumput. Semakin tinggi produksi sapi kebutuhan terhadap pakan semakin tinggi. Naiknya produksi sapi berpengaruh terhadap permintaan rumput. Ternak dibiarkan merumput sendiri, namun bertambahnya produksi menyebabkan ketersediaan
rumput
semakin
tidak
mencukupi.
Rumahtangga
berusaha
meningkatkan permintaan rumput dengan cara beli atau mencari lokasi pertanian yang lebih jauh sebagai tempat merumput sapi. Namun seperti di Minahasa,
237
permintaan rumput tidak responsif terhadap produksi sapi. Hal ini disebabkan kebutuhan konsumsi rumput belum menjadi perhatian bagi rumahtangga. Penerimaan usaha ternak sapi di Bolaang Mongondow sangat menentukan permintaan rumput untuk konsumsi ternak. Dalam melakukan proses produksi, rumahtangga membutuhkan budget. Semakin tinggi penerimaan usaha sapi mendorong rumahtangga menaikkan permintaan input termasuk permintaan rumput. Namun permintaan rumput tersebut tidak responsif terhadap penerimaan usaha sapi. Hal ini disebabkan rumput merupakan makanan utama bagi ternak dan dapat dipenuhi dari rumput-rumput yang tumbuh liar dan limbah pertanian. Penerimaan usaha kelapa merupakan sumber penerimaan utama bagi rumahtangga di Bolaang Mongondow. Penerimaan tersebut dialokasikan selain untuk kebutuhan pokok juga untuk kebutuhan proses produksi usaha sapi. Semakin tinggi penerimaan usaha kelapa, pengaruhnya cukup besar bagi peningkatan permintaan rumput. Namun permintaan rumput tidak responsif terhadap penerimaan usaha kelapa. Fenomena tersebut menunjukkan rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow tetap berusaha memenuhi kebutuhan pakan sapi walaupun tidak ada peningkatan pendapatan. Pemenuhan kebutuhan pakan tersebut dilakukan dengan cara ternak sapi dilepas di kebun yang agak jauh.
7.2.2. Permintaan Benih Jagung Jumlah permintaan benih (JBJ) secara bersama-sama dipengaruhi harga benih jagung (HBJ), luas lahan garapan jagung (LHNJ) dan biaya transaksi pada usaha jagung (BTRJ). Priyanti (2007) membangun model permintaan benih padi dipengaruhi pendapatan usahatani, jumlah kredit dan tenaga kerja usahatani padi.
238
Dalam penelitian ini, permintaan input produksi juga dipengaruhi biaya transaksi. Biaya transaksi merupakan biaya yang ditanggung rumahtangga pada saat membeli input dan menjual output. Secara teoritis, biaya transaksi mempengaruhi keputusan rumahtangga dalam berproduksi termasuk keputusan dalam permintaan input. Biaya transaksi mempengaruhi harga yang diterima mengakibatkan penurunan penerimaan sehingga dapat mengurangi budget dalam berproduksi. Hasil estimasi pada Tabel 38 menunjukkan semua tanda peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen permintaan benih telah sesuai kiteria ekonomi. Peubah harga benih jagung dan biaya transaksi pada usaha jagung masing-masing bernilai negatif artinya peningkatan harga benih jagung dan biaya transaksi jagung masing-masing menyebabkan penurunan permintaan benih sebesar nilai estimasi parameternya. Sedangkan peubah luas lahan garapan jagung bernilai positif artinya perluasan lahan garapan jagung menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan benih jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi di Minahasa juga menunjukkan baik peubah harga benih jagung (HBJ), luas lahan jagung (LHNJ) maupun biaya transaksi jagung (BTRJ) masing-masing berpengaruh nyata terhadap permintaan benih jagung pada taraf nyata 15 persen. Sesuai teori ekonomi, naiknya harga input menyebabkan penurunan permintaan input tersebut. Dalam melakukan proses produksi jagung rumahtangga membutuhkan budget, namun rumahtangga mempunyai keterbatasan budget untuk usaha jagung disebabkan pendapatan dialokasikan juga untuk kebutuhan pokok. Apabila terjadi peningkatan harga benih jagung menyebabkan rumahtangga berusaha mengurangi permintaan input tersebut. Sebagian jagung ditanam untuk kebutuhan konsumsi ternak. Rumahtangga berusaha memperluas
239
lahan garapan jagung ataupun menambah periode tanam. Perluasan lahan tersebut berdampak sangat besar terhadap permintaan benih jagung. Peningkatan permintaan benih jagung dibatasi oleh budget yang dimiliki rumahtangga. Tersedianya budget dipengaruhi biaya-biaya yang dikeluarkan mulai dari pembelian input sampai pada proses produksi usaha jagung. Biaya transaksi pembelian input produksi untuk usaha jagung mempengaruhi budget yang tersedia. Semakin tinggi biaya transaksi penjualan jagung maupun biaya transaksi pembelian benih dan pembelian pupuk menyebabkan harga jagung yang diterima rumahtangga semakin kecil sehingga pendapatan semakin kecil. Selanjutnya kenyataan tersebut berdampak cukup besar bagi penurunan permintaan benih jagung. Hal ini disebabkan biaya transaksi mengurangi budget yang tersedia bagi rumahtangga. Nilai elastisitas jumlah permintaan benih jagung terhadap biaya transaksi jagung adalah lebih besar satu, artinya jumlah permintaan benih jagung responsif terhadap biaya transaksi penjualan jagung. Fenomena ini menunjukkan biaya transaksi yang ditanggung rumahtangga sangat mempengaruhi permintaan benih jagung. Peningkatan biaya transaksi langsung direspon rumahtangga untuk menurunkan permintaan benih. Rumahtangga mempunyai keterbatasan budget usahatani sehingga peningkatan biaya transaksi mengurangi budget yang ada. Besarnya nilai elastisitas permintaan benih jagung terhadap peubah harga benihnya maupun luas lahan garapan jagung masing-masing lebih kecil satu. Peubah permintaan benih jagung tidak responsif terhadap peubah harganya. Harga benih berpengaruh tidak nyata terhadap penurunan pembelian benih jagung dan perubahan harga benih tidak langsung direspon rumahtangga di Minahasa untuk
240
menurunkan permintaan benih. Budget yang tersedia terbatas sehingga semakin mahal benih jagung rumahtangga cenderung mengurangi pembeliannya. Sejalan dengan teori ekonomi, harga input berhubungan negatif dengan permintaan input. Di Minahasa jagung ditanam selain sebagai konsumsi ternak juga sebagai sumber pendapatan namun permintaan benih tergantung harganya. Luas garapan jagung sangat berpengaruh terhadap permintaan benih. Fenomena tersebut didorong karena kebutuhan rumahtangga di Minahasa maupun kebutuhan ternak untuk konsumsi rumput. Namun perluasan lahan tidak langsung direspon oleh rumahtangga dengan meningkatkan permintaan benih jagung. Hal ini disebabkan karena keterbatasan budget rumahtangga seperti dijelaskan di atas.
7.2.3. Permintaan Pupuk Urea Jumlah permintaan pupuk urea (JPUJ) di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi harga pupuk urea (HPUJ), harga pupuk TSP (HPTJ), luas lahan garapan jagung (LHNJ), penerimaan usaha sapi (RUTS) dan biaya transaksi jagung (BTRJ). Seperti Bakir (2007) dan Asmarantaka (2007) memasukkan peubah harga urea dan luas lahan dalam model persamaan permintaan urea. Dalam membangun model, Priyanti (2007) tidak memasukkan variabel harga urea untuk padi. Penerimaan usaha sapi mempengaruhi permintaan pupuk urea untuk jagung. Hal ini sejalan dengan penelitian Bakir (2007), Asmarantaka (2007 dan Priyanti (2007) yang memasukkan pendapatan dalam model permintaan input. Penelitian ini memasukkan biaya transaksi dalam usaha jagung dengan anggapan, biaya transaksi dapat mengurangi budget rumahtangga sehingga secara langsung dapat mempengaruhi permintaan pupuk urea.
241
Hasil estimasi pada Tabel 38 menunjukkan semua tanda peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen permintaan pupuk urea telah sesuai dengan kriteria ekonomi. Harga pupuk urea dan biaya transaksi usaha jagung bernilai negatif. Artinya naiknya harga pupuk urea dan biaya transaksi usaha jagung masing-masing dapat menurunkan permintaan input pupuk urea untuk jagung. Hasil ini sesuai dengan teori produksi, semakin tinggi harga input ada kecenderungan rumahtangga menurunkan permintaan input tersebut. Selanjutnya, biaya transaksi mempengaruhi keputusan rumahtangga dalam berproduksi. Sedangkan harga pupuk TSP, luas lahan jagung dan penerimaan usaha sapi bernilai positif. Artinya peningkatan peubah harga pupuk TSP, luas lahan garapan jagung dan penerimaan usaha sapi masing-masing menyebabkan peningkatan permintaan pupuk urea untuk jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi juga menunjukkan peubah harga pupuk urea, harga pupuk TSP, luas lahan garapan jagung dan biaya transaksi penjualan jagung masingmasing berpengaruh nyata terhadap permintaan pupuk urea pada taraf nyata 15 persen. Semakin tinggi harga urea berpengaruh cukup besar bagi rumahtangga untuk mengurangi permintaan urea. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dana yang ada. Secara teori ekonomi produksi, permintaan input juga dipengaruhi harga input lain. Harga pupuk TSP cukup berpengaruh bagi permintaan pupuk urea. Pupuk TSP dapat mensubstitusi penggunaan pupuk urea, walaupun secara teori kedua pupuk tersebut tidak saling substitusi karena masing-masing mempunyai manfaat yang berbeda. Ekspansi lahan garapan jagung sangat mempengaruhi permintaan pupuk urea. Bila rumahtangga siap melakukan ekspansi konsekuensinya rumahtangga
242
juga harus menaikkan permintaan pupuk untuk peningkatan produksi jagung. Biaya
transaksi
sangat
mempengaruhi
rumahtangga
untuk
menurunkan
permintaan urea. Fenomena yang sama dengan perilaku permintaan input lain, biaya transaksi menyebabkan harga yang diterima semakin kecil akibatnya penerimaan semakin kecil sehingga budget semakin kecil. Dalam menghadapi biaya transaksi yang semakin tinggi rumahtangga cenderung mengurangi permintaan pupuk urea. Peubah penerimaan usaha sapi di Minahasa berpengaruh tidak nyata terhadap permintaan pupuk urea. Dalam proses produksi usaha jagung penggunaan pupuk urea sudah tertentu untuk luas lahan tertentu. Peningkatan pendapatan usaha sapi pengaruhnya kecil terhadap permintaan pupuk urea. Besarnya nilai elastisitas peubah jumlah permintaan pupuk urea terhadap peubah harga pupuk urea, harga pupuk TSP dan biaya transaksi penjualan jagung masing-masing lebih besar satu. Artinya, peubah jumlah permintaan pupuk responsif terhadap masing-masing harga pupuk urea, harga pupuk TSP dan biaya transaksi penjualan jagung. Peningkatan biaya transaksi langsung direspon rumahtangga dengan mengurangi permintaan pupuk urea pada usaha jagung. Harga urea berpengaruh terhadap permintaan urea untuk usaha jagung. Hal ini ditunjang dengan hasil analisis yang menunjukkan bahwa peningkatan harga urea langsung direspon rumahtangga petani peternak sapi dengan penurunan permintaan urea pada usaha jagung. Berbeda dengan penelitian Asmarantaka (2007) yang melaporkan permintaan urea tidak responsif terhadap harganya. Kenyataan di lapangan menunjukkan pola usaha jagung selain bergilir juga tumpangsari dengan tanaman kacang-kacangan. Tanaman kacang-kacangan
243
tersebut diantaranya kacang merah, kacang tanah dan kacang hijau. Tanaman kacang-kacangan memproduksi unsur hara N di dalam tanah sehingga dapat mensubstitusi penggunaan pupuk urea. Nilai elastisitas peubah jumlah permintaan pupuk terhadap luas lahan jagung dan penerimaan yang bersumber dari usaha sapi besarnya masing-masing lebih kecil satu. Artinya, jumlah permintaan pupuk tidak responsif terhadap luas lahan garapan jagung dan penerimaan usaha sapi. Hasil ini sejalan dengan penelitian Bakir (2007) dan Priyanti (2007) yang menyatakan permintaan pupuk urea untuk usahatani padi tidak responsif terhadap pendapatan usahatani. Berbeda dengan hasil penelitian Asmarantaka (2007), bahwa permintaan urea responsif terhadap luas lahan padi.
7.2.4. Permintaan Pupuk TSP Permintaan pupuk TSP (JPTJ) dalam penelitian ini secara bersama-sama dipengaruhi rasio harga pupuk TSP dan harga jagung (RHPTJ), harga pupuk urea (HPUJ), harga pupuk KCl (HPKJ), luas lahan jagung (LHNJ) dan total pengeluaran (TP). Harga pupuk TSP sebagai variabel yang mempengaruhi jumlah permintaan input di Minahasa, dalam penelitian ini di proxy dengan rasio harga pupuk TSP dan harga penjualan jagung. Asmarantaka (2007) dalam penelitiannya menyatakan permintaan pupuk TSP untuk padi dipengaruhi harga TSP, areal padi, nilai input lain dan investasi alat-alat pertanian. Hasil estimasi Tabel 38 menunjukkan semua tanda untuk peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen jumlah TSP telah sesuai kriteria ekonomi. Perubahan rasio harga pupuk TSP dan harga jagung maupun total pengeluaran
244
rumahtangga bernilai negatif. Artinya peningkatan rasio harga dan total pengeluaran rumahtangga masing-masing dapat menyebabkan penurunan permintaan TSP sebesar nilai estimasi parameternya. Sedangkan tiga peubah lain harga urea, harga KCl dan luas lahan jagung yang mempengaruhi permintaan TSP bernilai positif. Artinya peningkatan harga urea, harga KCl dan luas lahan garapan jagung masing-masing dapat menyebabkan peningkatan permintaan TSP sebesar nilai estimasi parameternya. Hasil estimasi juga menunjukkan rasio harga TSP dan harga jagung, harga KCl dan luas lahan jagung masing-masing berpengaruh nyata terhadap permintaan TSP pada taraf nyata 15 persen. Harga urea dan total pengeluaran masing-masing berpengaruh tidak nyata terhadap permintaan TSP. Seperti telah dijelaskan di atas, secara teori harga input mempengaruhi permintaan input tersebut. Kenyataan di lapang menunjukkan rasio harga TSP dan harga jagung berdampak terhadap penurunan permintaan TSP. Rumahtangga mempunyai keterbatasan budget, dengan budget tertentu rumahtangga cenderung menurunkan permintaan input bila harga input tersebut naik. Harga KCL berdampak sangat besar terhadap permintaan TSP. Walaupun secara biologi hal ini tidak rasional, namun kenyataan di lapang rumahtangga cenderung meningkatkan permintaan TSP apabila harga KCl meningkat. Hal ini disebabkan keterbatasan budget bagi rumahtangga. Sejalan dengan teori ekonomi produksi, peningkatan harga suatu input cenderung mengakibatkan peningkatan permintaan input yang lain. Luas lahan garapan jagung sangat mempengaruhi permintaan pupuk TSP. Rumahtangga akan menyediakan budget yang cukup untuk perluasan lahan usaha
245
jagung atau penambahan periode tanam, dengan demikian permintaan input produksi akan terpenuhi. Rumahtangga cenderung meningkatkan permintaan pupuk TSP sebagai input apabila lahan yang digunakan untuk proses produksi usaha jagung semakin besar. Selanjutnya harga input urea mempengaruhi permintaan pupuk TSP. Semakin tinggi harga pupuk urea menyebabkan rumahtangga
cenderung
meningkatkan
permintaan
pupuk
TSP.
Namun
pengaruhnya cukup kecil. Bila ditinjau berdasarkan teori biologi hal ini tidak bisa terjadi karena pupuk P tidak bisa disubstitusi dengan pupuk N. Namun kenyataan di lapang menunjukkan sebagian besar rumahtangga petani peternak sapi memberikan pupuk dengan tujuan meningkatkan produksi tetapi tidak memperhitungkan berapa standar kebutuhan masing-masing pupuk untuk sekian hektar lahan. Pada kondisi budget yang tersedia sangat terbatas, naiknya total pengeluaran rumahtangga menyebabkan terjadinya penurunan permintaan pupuk TSP, namun pengaruhnya cukup kecil. Besarnya nilai elastisitas permintaan TSP terhadap peubah harga permintaan urea, permintaan KCl, luas lahan jagung dan total pengeluaran masing-masing lebih kecil satu. Artinya permintaan TSP tidak responsif terhadap masing-masing peubah harga urea, harga KCl, luas lahan garapan jagung maupun total pengeluaran. Sedangkan nilai elastisitas permintaan TSP terhadap peubah rasio harga TSP dan harga jagung bernilai lebih besar satu. Hal ini menunjukkan permintaan TSP responsif terhadap peubah rasio harga TSP dan harga jagung. Sejalan dengan penelitian Asmarantaka (2007) yang menyatakan permintaan TSP untuk padi responsif terhadap harga pupuk tersebut. Namun menurut Bakir (2007) dan Priyanti (2007), permintaan pupuk P (TSP) tidak responsif terhadap harganya.
246
Permintaan TSP sangat responsif terhadap rasio harga pupuk dan harga jagung. Hal ini disebabkan keterbatasan budget yang ada sehingga naiknya rasio harga TSP dan harga jagung langsung direspon rumahtangga dengan menurunkan pemakaian TSP. Rumahtangga tidak memperhatikan standar kebutuhan pemakaian TSP dalam satu lahan tertentu. Sejalan dengan teori ekonomi produksi, permintaan input berhubungan negatif dengan harga input tersebut. Budget yang dimiliki rumahtangga sangat mempengaruhi permintaan input. Keterbatasan budget menyebabkan naiknya harga urea tidak langsung direspon rumahtangga dengan menaikkan TSP. Secara biologi hal ini rasional karena masing-masing jenis pupuk berbeda standar kebutuhannya untuk lahan tertentu. Selain itu urea tidak bisa disubstitusi dengan TSP. Permintaan TSP juga tidak responsif terhadap harga KCl, hal ini disebabkan sebagian besar rumahtangga tidak memperhatikan penggunaan KCl, penggunaan TSP sudah tertentu. Artinya walaupun harga KCl berdampak sangat besar terhadap naiknya permintaan TSP, namun kenaikan harga KCl tidak langsung direspon rumahtangga dengan meningkatkan permintaan TSP. Permintaan TSP tidak responsif terhadap luas lahan garapan jagung. Walaupun perluasan lahan berdampak sangat besar terhadap permintaan TSP, namun perluasan lahan tersebut tidak langsung direspon rumahtangga dengan meningkatkan permintaan TSP. Kenyataan ini dapat dilihat bahwa sebagian rumahtangga tidak menggunakan TSP dalam usaha jagung. Permintaan pupuk TSP tidak responsif terhadap pengeluaran rumahtangga. Hal ini disebabkan permintaan pupuk sudah tertentu, sehingga peningkatan pengeluaran rumahtangga tidak langsung direspon rumahtangga dengan menurunkan permintaan pupuk.
247
7.3. Perilaku Penggunaan Input Tenaga Kerja Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penggunaan tenaga kerja dalam penelitian ini baik bagi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa maupun Bolaang Mongondow, dibagi ke dalam penawaran tenaga kerja dan permintaan tenaga kerja. Penawaran dan permintaan tenaga kerja dihitung berdasarkan jam kerja per hari selama satu tahun. Sejalan dengan Kusnadi (2005), Asmarantaka (2007) dan Priyanti (2007), namun berbeda dengan penelitian Muhammad (2002) dan Bakir (2007), yang menggunakan hari orang kerja (HOK per tahun). Perilaku penggunaan tenaga kerja rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dianalisis untuk penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha sapi, usaha jagung, usahatani orang lain (buruh tani) dan tenaga ternak sapi di lahan usaha jagung. Juga analisis permintaan tenaga kerja pada usaha jagung. Tenaga kerja keluarga pada usaha sapi hanya terdapat satu persamaan struktural yaitu tenaga kerja keluarga (TKDS). Hal ini disebabkan usaha sapi hanya merupakan usaha sambilan sehingga rumahtangga tidak menggunakan tenaga kerja sewa. Seperti penelitian Priyanti (2007), rumahtangga di Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur tidak menggunakan tenaga kerja sewa dalam usaha ternaknya. Perilaku penggunaan tenaga kerja di Bolaang Mongondow dianalisis untuk penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha sapi, usaha kelapa, usahatani orang lain (buruh tani) dan tenaga ternak sapi pada usaha kelapa. Juga analisis permintaan tenaga kerja sewa pada usaha kelapa. Tenaga kerja keluarga pada usaha sapi di Bolaang Mongondow juga hanya terdapat satu persamaan struktural yaitu tenaga kerja keluarga usaha sapi (TKDS).
248
Tenaga kerja dalam usaha jagung di Minahasa terdiri dari tiga persamaan struktural yaitu persamaan tenaga keluarga (TKDJ), tenaga kerja sewa (TKLJ) dan tenaga ternak sapi untuk lahan jagung (TKSJ). Terdapat satu persamaan struktural untuk curahan kerja keluarga sebagai buruh tani (CTDUO). Demikian pula di Bolaang Mongondow tenaga kerja dalam usaha kelapa terdiri dari tiga persamaan struktural yaitu persamaan tenaga kerja keluarga (TKDK), tenaga kerja sewa (TKLK) dan tenaga ternak sapi untuk lahan kelapa (TKSK). Terdapat satu persamaan struktural untuk curahan kerja keluarga sebagai buruh tani (CTDUO). Hasil estimasi perilaku penggunaan input produksi dan input tenaga kerja dapat dilihat pada Tabel 39. Berdasarkan data hasil estimasi pada Tabel 39, selanjutnya akan dibahas respon masing-masing variabel endogen.
7.3.1. Penawaran Tenaga Kerja Keluarga Untuk Sapi Penawaran tenaga keluarga pada usaha ternak (TKDS) di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja (UTKB), curahan kerja keluarga sebagai buruh tani (CTDUO) dan biaya sarana produksi sapi (BSPS). Model yang dibangun Priyanti (2007) menunjukkan tenaga kerja keluarga pada usaha ternak sapi dipengaruhi oleh tenaga kerja keluarga pada usahatani padi, curahan kerja keluarga, umur, upah tenaga kerja dan pengeluaran rumahtangga. Hasil estimasi menunjukkan semua tanda estimasi peubah yang mempengaruhi peubah endogen tenaga kerja keluarga usaha sapi di Minahasa telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda estimasi peubah upah bayangan tenaga kerja adalah positif. Artinya naiknya upah bayangan menyebabkan penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi naik sebesar nilai estimasi parameternya.
249
Tabel 39. Hasil Parameter Estimasi, Elastisitas Penggunaan Input Tenaga Kerja Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow Minahasa Variabel
Kode
Parameter Estimasi
TK Kel utk UT Sapi TKDS Intersep 415.571 Upah Bayangan TK UTKB 0.00031 Curahan Kerja Kel CTDUO -0.0171* Biaya Sarana Prod Sapi BSPS 0.00002* TK Kel utk Kelapa TKDK Produksi Sapi PROS TK Kel utk Jagung/ TKDJ Kelapa Intersep -1064.6 Upah Bayangan TK UTKB 0.38250* TK Kel utk UT Sapi TKDS -0.0174 TK Luar utk Jagung TKLJ -2.6932* Produksi Jagung PROJ 0.00007 Biaya Sarana Prod Jag BSPJ 0.00011* TK Luar utk Kelapa TKLK Produksi Kopra PROK TK Luar utk Jagung/ TKLJ Kelapa Intersep 217.038 Upah Bayagan TK UTKB -0.0353 TK Kel utuk Jagung TKDJ -0.1257* Pengeluaran utk Kons TP1 -6.55E-7 Pangan & Invest SDM Penerimaan Penj Sapi RUTSJ 1.65E-6* Surplus Pasar Jagung SPJ 0.00017* Produksi Kelapa PROB Jumlah Angkatan Kerja JAKK Curahan Kerja Kel CTDUO TK Sapi utk Jagung/ TKSJ Kelapa Intersep -946.32 Upah Bay Sewa Sapi USSB 0.16673* TK Luar utk Jagung TKLJ -0.0386 TK Kel utk UT Jagung TKDJ 0.06581* Luas Lahan Jagung LHNJ 32.1804* Surplus Pasar Kelapa SPK Keterangan : * = P<0.15 - = Tidak ada aktivitas
Elastisitas
Bolaang Mongondow Parameter Estimasi
Elastisitas
0.0058 -0.0340 0.2745 -
-6437.8 2.1697* -0.670* 0.1067*
14.809 -0.1557 0.1159
2.7279 -0.0376 -0.3739 0.0020 0.2576 -
-6.2339 0.0282* -0.1986* -0.0985* 0.0111*
2.0052 -0.8541 -0.3107 0.2166
-0.8620 -0.4567 -0.0620
6729.34 -2.0071* -
-19.812 -
0.1816 0.0155 -
0.0003* -6.8181 0.00901
0.0003 -0.0108 0.0062
0.8965 -0.0161 0.0501 0.0021 -
16.3798 0.00036 0.0001*
0.9138 0.0795
250
Fenomena ini sesuai dengan teori ekonomi yang menunjukkan naiknya upah tenaga kerja menyebabkan produsen (dalam penelitian ini rumahtangga) cenderung menaikkan penawaran tenaga kerja. Apabila biaya transaksi naik, upah bayangan naik mengakibatkan rumahtangga cenderung menaikkan jam kerja keluarga untuk usaha sapi. Dalam hal ini biaya transaksi mempengaruhi penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi. Sejalan dengan teori, biaya transaksi dapat mempengaruhi pasar tenaga kerja. Lanzona and Everson (1997) mengukur pengaruh biaya transaksi penjualan beras terhadap partisipasi pasar tenaga kerja dan upah yang diperoleh. Pasar tenaga kerja menurut Evenson et al., (2000) adalah tergantung pada biaya transaksi. Selanjutnya Jaleta and Gardebroek (2007) menjelaskan keputusan alokasi tenaga kerja dengan memperhitungkan ketidaksempurnaan pasar yang disebabkan adanya biaya transaksi. Biaya transaksi dapat mempengaruhi upah tenaga kerja yang berlaku, dengan biaya transaksi semakin tinggi berarti upah yang dibayarkan rumahtangga akan meningkat. Upah bayar rumahtangga dalam penelitian ini dinyatakan sebagai upah bayangan. Apabila biaya transaksi meningkat maka upah bayangan naik mengakibatkan rumahtangga cenderung meningkatkan
jam
kerja
keluarga
untuk
usaha
sapi.
Biaya
transaksi
mempengaruhi penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha ternak sapi. Berdasarkan hasil penelitian, rumahtangga dalam melakukan proses produksi sapi tidak menggunakan tenaga kerja sewa. Hal ini disebabkan karena ternak sapi dipelihara secara tradisional dan hanya sebagai usaha sambilan. Ratarata pemilikan ternak sapi sebesar 6 ekor untuk setiap rumahtangga, dengan demikian jam kerja pemeliharaan ternak sapi sudah tertentu dan cenderung
251
memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Kenyataan di atas sebagai penunjang bagi rumahtangga menambah jam kerja keluarga untuk usaha ternak sapi bila terjadi peningkatan biaya transaksi. Tanda peubah biaya sarana produksi juga positif. Artinya peningkatan biaya sarana produksi menyebabkan peningkatan penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi sebesar nilai estimasi parameternya. Tersedianya budget tertentu menyebabkan peningkatan biaya sarana produksi akan menjadi kendala bagi rumahtangga. Kenyataan ini menunjukkan, apabila biaya sarana produksi meningkat, rumahtangga cenderung menambah jam kerja keluarga. Peubah curahan kerja keluarga sebagai buruh tani bernilai negatif. Artinya naiknya curahan kerja keluarga sebagai buruh tani menyebabkan penurunan penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi sebesar nilai estimasi parameternya. Rumahtangga dalam rangka memaksimumkan utilitasnya berusaha meningkatkan pendapatan. Pendapatan tersebut diantaranya bersumber dari pekerjaan buruh tani. Rumahtangga akan menambah jam kerja sebagai buruh tani untuk memperoleh pendapatan yang lebih banyak. Fenomena ini menyebabkan rumahtangga cenderung mengurangi jam kerja untuk usaha sapi. Sejalan dengan Priyanti (2007) yang menyatakan penambahan jam kerja sebagai buruh tani menyebabkan rumahtangga cenderung menurunkan jam kerja untuk usaha sapi. Hasil estimasi juga menunjukkan peubah upah bayangan tenaga kerja berpengaruh tidak nyata terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi di Minahasa. Seperti dijelaskan di atas, usaha ternak sapi merupakan usaha sambilan yang dicirikan diantaranya dikelola oleh rumahtangga dan setiap rumahtangga hanya memelihara beberapa ekor sehingga dinyatakan sebagai usaha
252
ternak sapi rakyat. Bila terjadi peningkatan biaya transaksi pengaruhnya kecil terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi. Hal ini disebabkan jam kerja yang dialokasikan untuk usaha sapi sudah tertentu. Peubah curahan tenaga kerja sebagai buruh tani berpengaruh nyata terhadap penawaran tenaga kerja untuk sapi. Rumahtangga membutuhkan budget untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut rumahtangga berusaha mengalokasikan tenaga kerja sebagai buruh tani. Semakin tinggi kebutuhan rumahtangga maka jam kerja sebagai buruh tani cenderung meningkat. Apabila jam kerja sebagai buruh tani meningkat pengaruhnya besar terhadap penawaran tenaga kerja pada usaha sapi. Rumahtangga menurunkan jam kerja pada usaha ternak sapi dengan cara mencari lokasi yang lebih dekat untuk mengikat ternak sapi dan ternak dibiarkan merumput sendiri di lahan pertanian. Peubah biaya sarana produksi juga berpengaruh nyata terhadap penawaran tenaga kerja. Apabila terjadi kenaikan biaya produksi akan menyebabkan jam kerja untuk proses produksi usaha sapi meningkat. Hal ini dilakukan rumahtangga untuk menghindari peningkatan biaya produksi karena keterbatasan budget. Fenomena tersebut pengaruhnya sangat besar bagi rumahtangga untuk menambah jam kerja pada usaha sapi. Alokasi kerja rumahtangga dalam usaha sapi diantaranya untuk mencari rumput sebagai pakan. Naiknya harga rumput dapat meningkatkan biaya sarana produksi sapi. Untuk menghindari hal ini, rumahtangga menambah jam kerja mencari rumput di lokasi yang lebih jauh. Nilai elastisitas penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi terhadap semua peubah yang mempengaruhinya yaitu upah bayangan tenaga kerja, curahan tenaga kerja keluarga untuk usahatani orang lain dan biaya sarana
253
produksi sapi masing-masing lebih kecil satu. Fenomena ini menunjukkan penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi tidak responsif terhadap masingmasing upah bayangan tenaga kerja, curahan kerja sebagai buruh tani maupun biaya sarana produksi. Sejalan dengan analisis Priyanti (2007), bahwa penggunaan tenaga kerja keluarga untuk sapi diantaranya tidak responsif terhadap upah tenaga kerja. Usaha ternak sapi sebagai usaha sambilan sehingga jam kerjanya sudah tertentu. Naiknya biaya transaksi tidak langsung direspon rumahtangga dengan menambah jam kerja keluarga untuk usaha sapi, dengan kata lain dampak peningkatan biaya transaksi terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi sangat kecil. Penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi tidak responsif terhadap curahan kerja keluarga sebagai buruh tani. Walaupun rumahtangga membutuhkan pendapatan untuk memaksimumkan utilitasnya namun rumahtangga tidak cepat merespon dengan menurunkan jam kerja pada usaha sapi. Hal ini disebabkan alokasi jam kerja keluarga untuk usaha sapi sudah tertentu diantaranya untuk memindahkan ternak dari satu lokasi ke lokasi lainnya, mencari rumput maupun memandikan ternak. Hasil analisis Priyanti (2007) menunjukkan penggunaan tenaga kerja keluarga untuk sapi diantaranya tidak responsif terhadap curahan kerja keluarga. Penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi tidak responsif terhadap biaya sarana produksi sapi. Seperti telah dijelaskan di atas, rumahtangga mempunyai budget tertentu untuk digunakan dalam usaha sapi. Budget tersebut dialokasikan untuk biaya rumput, biaya obat, biaya pejantan dan biaya jagung. Walaupun kenaikan biaya-biaya tersebut dampaknya cukup besar terhadap penawaran tenaga
254
kerja keluarga pada usaha sapi namun rumahtangga tidak langsung merespon dengan menaikkan jam kerja untuk usaha sapi. Hal ini disebabkan jam kerja pada usaha sapi sudah tertentu. Apabila faktor-faktor lain tetap, kegiatan dalam usaha sapi tidak langsung berubah dengan berubahnya biaya sarana produksi. Penawaran tenaga kerja untuk usaha ternak sapi (TKDS) di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi upah bayangan (UTKB), tenaga kerja keluarga untuk usaha kelapa (TKDK) dan produksi sapi (PROS). Hasil estimasi pada Tabel 39 menunjukkan semua tanda estimasi peubah yang mempengaruhi peubah endogen tenaga kerja keluarga untuk sapi telah sesuai kriteria ekonomi. Berdasarkan hasil penelitian di Bolaang Mongondow, rumahtangga dalam melakukan proses produksi sapi juga tidak menggunakan tenaga kerja sewa. Hal ini disebabkan karena sapi dipelihara secara tradisional dan hanya sebagai usaha sambilan. Rata-rata pemilikan sapi hanya sebesar 3.93 ekor untuk masing-masing rumahtangga. Jam kerja pemeliharaan sapi sudah tertentu dan cenderung memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Kenyataan di atas sebagai penunjang bagi rumahtangga petani menambah jam kerja keluarga untuk usaha sapi bila terjadi peningkatan biaya transaksi. Penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi sangat responsif terhadap upah bayangan tenaga kerja. Biaya transaksi yang tinggi dapat mengurangi budget rumahtangga. Untuk itu rumahtangga petani peternak berusaha meningkatkan penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha sapi. Faktor lain yang sangat mempengaruhi penawaran tenaga kerja keluarga usaha sapi di Bolaang Mongondow adalah penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha kelapa. Semakin tinggi penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha kelapa
255
menyebabkan semakin berkurang penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha sapi. Fenomena tersebut sesuai dengan teori ekonomi, bahwa penawaran tenaga kerja keluarga suatu usahatani tertentu saling bersubstitusi dengan tenaga kerja keluarga usahatani lain. Hal ini disebabkan biaya produksi pada usaha kelapa sangat tinggi sehingga rumahtangga berusaha meningkatkan tenaga kerja keluarga dalam usaha kelapa dengan cara mengurangi penawaran tenaga kerja dalam usaha sapi. Walaupun penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi tidak responsif terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha kelapa. Hal ini disebabkan alokasi tenaga kerja keluarga untuk setiap usahatani sudah tertentu. Produksi sapi berpengaruh nyata terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi. Artinya produksi sapi semakin banyak mengakibatkan kebutuhan jam kerja keluarga untuk ternak sapi semakin meningkat. Walaupun penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi tidak responsif terhadap produksi sapi tersebut. Hal ini disebabkan tenaga kerja keluarga sudah tertentu.
7.3.2. Penawaran Tenaga Kerja Keluarga Untuk Jagung Penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha jagung (TKDJ) di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja (UTKB), tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi (TKDS), tenaga kerja luar keluarga untuk usaha jagung (TKLJ), produksi jagung (PROJ) dan biaya sarana produksi jagung (BSPJ). Model yang dibangun peneliti lain untuk tanaman pangan padi berbeda dengan model penelitian ini. Asmarantaka (2007) menganalisis pengaruh luas lahan padi, pendapatan dan jumlah keluarga terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk padi. Sedangkan Priyanti (2007) menganalisis pengaruh upah,
256
tenaga kerja keluarga untuk sapi, curahan kerja sebagai buruh tani dan pengeluaran rumahtangga terhadap penggunaan tenaga kerja keluarga untuk padi. Hasil estimasi pada Tabel 39 menunjukkan semua tanda estimasi peubah yang mempengaruhi peubah endogen tenaga kerja keluarga pada usaha jagung telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda estimasi peubah upah bayangan tenaga kerja adalah positif. Artinya naiknya upah bayangan tenaga kerja menyebabkan naiknya penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Fenomena ini sesuai teori ekonomi yang menunjukkan peningkatan upah tenaga kerja menyebabkan produsen (dalam penelitian ini rumahtangga) cenderung meningkatkan penawaran tenaga kerja. Peningkatan upah bayangan tersebut disebabkan adanya peningkatan biaya transaksi. Naiknya biaya transaksi menyebabkan rumahtangga cenderung meningkatkan jam kerja pada usaha jagung. Kenyataan ini disebabkan rumahtangga mempunyai keterbatasan budget. Naiknya biaya transaksi menyebabkan rumahtangga cenderung meningkatkan jam kerja keluarga untuk meminimumkan biaya tenaga kerja. Peubah penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi mempunyai tanda negatif. Artinya naiknya tenaga kerja keluarga untuk sapi menyebabkan terjadinya penurunan penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha jagung. Fenomena ini sesuai dengan teori ekonomi, penawaran tenaga kerja keluarga pada usahatani tertentu bersubstitusi dengan tenaga kerja keluarga untuk usahatani lain. Sejalan dengan hasil analisis Priyanti (2007), bahwa peningkatan tenaga kerja keluarga pada usaha sapi menyebabkan turunnya tenaga kerja keluarga untuk usaha padi. Peubah permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung mempunyai tanda negatif. Artinya naiknya tenaga kerja luar keluarga menyebabkan terjadinya
257
penurunan penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Seperti peubah tenaga kerja keluarga untuk sapi, fenomena ini sesuai dengan teori ekonomi, permintaan tenaga kerja luar keluarga pada usaha jagung bersubstitusi dengan tenaga kerja keluarga untuk usahatani tersebut. Tanda peubah produksi jagung adalah positif. Artinya setiap peningkatan produksi jagung menyebabkan naiknya penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Kegiatan tenaga kerja keluarga untuk usaha jagung seperti pengolahan lahan, tanam, penyiangan dan penjemuran. Anggota rumahtangga dapat menambah jam kerjanya untuk penjemuran apabila produksi jagung meningkat. Berdasarkan hasil analisis tanda peubah biaya sarana produksi jagung adalah positif. Artinya penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung meningkat dengan
meningkatnya
biaya
sarana
produksi
jagung.
Sebagai
upaya
memininumkan biaya produksi usaha jagung, anggota rumahtangga akan menambah jam kerjanya agar tidak menyewa tenaga kerja luar bila terjadi peningkatan biaya sarana produksi. Hasil estimasi juga menunjukkan upah bayangan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung pada taraf nyata 15 persen. Fenomena ini menunjukkan biaya transaksi mempunyai dampak yang besar terhadap peningkatan jam kerja keluarga. Semakin tinggi biaya transaksi maka upah bayangan semakin tinggi menyebabkan alokasi tenaga kerja keluarga untuk usaha jagung semakin tinggi. Kenyataan tersebut terjadi dalam rangka rumahtangga memininumkan biaya produksi.
258
Tenaga kerja luar keluarga untuk jagung berpengaruh nyata terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung pada taraf nyata 15 persen. Ternyata peningkatan tenaga kerja sewa sangat berpengaruh bagi rumahtangga untuk menurunkan jam kerja keluarga pada usaha jagung. Fenomena ini disebabkan beberapa hal diantaranya rumahtangga mempunyai budget yang cukup untuk membayar upah. Selain itu, panen jagung dilakukan secara gotong royong sesama petani dan diberikan upah. Tenaga kerja sewa kebanyakan untuk kegiatan penyiangan dan panen jagung. Peubah biaya sarana produksi jagung berpengaruh nyata terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung pada taraf nyata 15 persen. Adanya keterbatasan budget menyebabkan rumahtangga berusaha menambah jam kerjanya dan dampaknya cukup besar. Rumahtangga petani peternak sapi dalam melakukan proses produksi berusaha meminimumkan biaya sarana produksi. Penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi berpengaruh tidak nyata terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung. Hal ini disebabkan jam kerja pada usaha jagung sudah tertentu sehingga peningkatan tenaga kerja keluarga untuk sapi pengaruhnya cukup kecil terhadap penurunan jam kerja keluarga pada usaha jagung. Sesuai hasil analisis produksi jagung berpengaruh tidak nyata terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung. Hal ini disebabkan peningkatan produksi jagung cukup kecil karena lahan yang ada sudah tertentu sehingga dampaknya juga kecil terhadap peningkatan jam kerja keluarga untuk jagung. Besarnya nilai elastisitas peubah penawaran tenaga kerja keluarga terhadap peubah upah bayangan lebih besar satu. Artinya penawaran tenaga kerja
259
keluarga responsif terhadap peubah biaya transaksi. Hal ini disebabkan keterbatasan budget sehingga rumahtangga berusaha meminimumkan biaya produksi untuk sewa tenaga kerja. Naiknya upah tenaga kerja yang disebabkan peningkatan biaya transaksi langsung direspon rumahtangga untuk meningkatkan jam kerja keluarga pada usaha jagung. Secara teori, biaya transaksi mempengaruhi pasar tenaga kerja (Lanzona and Everson, 1997). Semakin tinggi biaya transaksi, upah semakin tinggi menyebabkan penawaran tenaga kerja semakin bertambah. Berbeda dengan analisis Priyanti (2007) yang menyatakan bahwa penggunaan tenaga kerja keluarga untuk padi tidak responsif terhadap upah tenaga kerja. Nilai elastisitas penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung terhadap empat peubah lain yang mempengaruhinya yaitu tenaga kerja keluarga untuk sapi, permintaan tenaga kerja sewa untuk jagung, produksi jagung dan biaya sarana produksi jagung masing-masing lebih kecil satu. Penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung tidak responsif terhadap penawaran tenaga kerja untuk sapi. Hal ini disebabkan penambahan jam kerja keluarga untuk sapi cukup kecil sehingga tidak langsung direspon rumahtangga untuk menurunkan jam kerja keluarga pada usaha jagung. Selain itu jam kerja keluarga pada usaha jagung sudah tertentu. Penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung tidak responsif terhadap penawaran tenaga kerja sewa untuk jagung. Hal ini disebabkan rumahtangga masih dapat menyediakan tenaga kerja keluarga dan jam kerjanya sudah tertentu, sehingga peningkatan tenaga kerja sewa tidak langsung direspon dengan penurunan jam kerja keluarga untuk jagung. Sesuai analisis, penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung tidak responsif terhadap produksi jagung. Artinya produksi jagung mempunyai dampak
260
yang kecil terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung. Hal ini disebabkan tenaga kerja keluarga dialokasikan untuk berbagai kegiatan usahatani maupun luar usahatani sehingga jam kerja untuk usaha jagung sudah tertentu. Fenomena tersebut menyebabkan peningkatan produksi jagung tidak langsung direspon rumahtangga dengan menaikkan jam kerja keluarganya. Penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung tidak responsif terhadap biaya sarana produksi jagung. Artinya peningkatan biaya sarana produksi tidak langsung direspon rumahtangga dengan meningkatkan tenaga kerja keluarga. Seperti dijelaskan di atas, tenaga kerja keluarga dialokasikan untuk berbagai kegiatan dan jam kerja sudah tertentu.
7.3.3. Penawaran Tenaga Kerja Keluarga Untuk Kelapa Penawaran tenaga kerja keluarga dalam usaha kelapa (TKDK) di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja (UTKB), tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi (TKDS), tenaga kerja luar keluarga untuk usaha kelapa (TKLK) dan produksi kopra (PROK). Hasil estimasi pada Tabel 39 menunjukkan semua tanda estimasi peubahpeubah yang mempengaruhi peubah endogen tenaga kerja keluarga pada usaha jagung telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda estimasi peubah upah bayangan tenaga kerja adalah positif. Artinya apabila biaya transaksi meningkat maka rumahtangga cenderung meningkatkan jam kerja untuk usaha kelapa. Kegiatan rumahtangga dalam usaha kelapa diantaranya kumpul kelapa, kupas, pembuatan kopra dan angkut kelapa. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, biaya transaksi yang terjadi pada usaha kelapa yaitu biaya transpor penjualan
261
kopra dan biaya penyimpanan kopra. Biaya transaksi ini dapat mempengaruhi upah yang dibayar rumahtangga. Disisi lain rumahtangga mempunyai keterbatasan budget. Naiknya biaya transaksi menyebabkan rumahtangga cenderung meningkatkan jam kerja keluarga untuk meminimumkan biaya produksi. Ternyata, penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha kelapa sangat responsif terhadap upah bayangan tenaga kerja yang disebabkan karena biaya transaksi. Semakin tinggi biaya transaksi, upah bayangan semakin tinggi menyebabkan alokasi tenaga kerja keluarga untuk usaha kelapa semakin tinggi. Peubah penawaran tenaga kerja untuk sapi mempunyai tanda negatif. Artinya peningkatan tenaga kerja keluarga untuk sapi menyebabkan terjadinya penurunan penawaran tenaga kerja pada usaha kelapa dan pengaruhnya sangat besar. Fenomena ini sesuai dengan teori ekonomi bahwa penawaran tenaga kerja pada usahatani tertentu bersubstitusi dengan tenaga kerja keluarga untuk usahatani lain. Sejalan dengan hasil analisis Priyanti (2007), bahwa peningkatan tenaga kerja keluarga pada usaha sapi menyebabkan penurunan tenaga kerja keluarga untuk usahatani padi. Namun penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha kelapa tidak responsif terhadap penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha sapi. Hal ini disebabkan jam kerja pada usaha kelapa sudah tertentu. Rumahtangga menyewa tenaga kerja untuk panjat kelapa, kumpul, kupas, pembuatan kopra dan angkut. Peubah permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk kelapa mempunyai tanda negatif. Artinya peningkatan tenaga kerja sewa menyebabkan terjadinya penurunan penawaran tenaga kerja pada usaha kelapa sebesar nilai estimasi parameternya. Fenomena ini sesuai dengan teori ekonomi bahwa permintaan tenaga kerja sewa pada suatu usahatani bersubstitusi dengan
262
tenaga kerja keluarga untuk usahatani tersebut. Penawaran tenaga kerja tidak responsif terhadap permintaan tenaga kerja sewa pada usaha kelapa. Hal ini disebabkan tenaga kerja sewa sudah tertentu terutama untuk panjat kelapa. Tanda peubah produksi kopra adalah positif. Artinya naiknya produksi kopra menyebabkan penawaran tenaga kerja untuk usaha kelapa naik sebesar nilai estimasi parameternya. Sewa pembuatan kopra cukup mahal akibatnya jam kerja keluarga untuk pembuatan kopra semakin meningkat, walaupun tidak semua rumahtangga dapat melakukan proses produksi kopra. Penawaran tenaga kerja tersebut juga tidak responsif terhadap produksi kopra.
7.3.4. Permintaan Tenaga Kerja Luar Keluarga Untuk Jagung Rumahtangga di Minahasa menggunakan tenaga kerja sewa dalam proses produksi usaha jagung apabila budget yang ada mencukupi. Kegiatan tenaga kerja sewa dalam usaha jagung seperti pengolahan lahan, pemupukan, penyiangan dan panen. Permintaan tenaga sewa untuk jagung (TKLJ) secara bersama-sama dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja (UTKB), tenaga kerja keluarga untuk jagung (TKDJ), pengeluaran konsumsi pangan dan investasi sumberdaya manusia (TP1), penerimaan penjualan sapi (RUTSJ) dan surplus produksi jagung (SPJ). Priyanti (2007) membangun model permintaan tenaga kerja luar keluarga dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah tenaga kerja keluarga pada sapi, curahan kerja keluarga, upah tenaga kerja dan penerimaan usahatani. Hasil estimasi pada Tabel 39 menunjukkan semua tanda estimasi peubahpeubah yang mempengaruhi peubah endogen tenaga kerja luar keluarga pada usaha jagung telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda estimasi peubah upah bayangan
263
tenaga kerja adalah negatif. Artinya peningkatan upah bayangan menyebabkan turunnya permintaan tenaga sewa untuk usaha jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Berdasarkan teori ekonomi, peningkatan upah tenaga kerja menyebabkan rumahtangga cenderung menurunkan permintaan tenaga kerja. Apabila upah yang berlaku meningkat disebabkan peningkatan biaya transaksi maka rumahtangga cenderung menurunkan jam kerja tenaga sewa untuk usaha jagung. Hal ini disebabkan rumahtangga mempunyai keterbatasan budget, dengan demikian rumahtangga berusaha mengurangi tenaga kerja sewa pada usaha jagung dalam rangka meminimumkan biaya produksi. Sejalan dengan penelitian Priyanti (2007) yang menyatakan upah berhubungan negatif dengan penggunaan tenaga kerja sewa untuk usaha padi. Peubah penawaran tenaga kerja untuk jagung mempunyai tanda negatif. Artinya peningkatan tenaga kerja keluarga menyebabkan terjadinya penurunan permintaan tenaga kerja pada jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Fenomena ini sesuai dengan teori ekonomi, penawaran tenaga kerja pada usahatani tertentu bersubstitusi dengan tenaga kerja sewa untuk usahatani tersebut. Berdasarkan hasil analisis, peubah pengeluaran konsumsi dan investasi sumberdaya manusia mempunyai tanda negatif. Artinya peningkatan pengeluaran konsumsi dan investasi sumberdaya manusia menyebabkan terjadinya penurunan permintaan tenaga kerja pada usaha jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Kenyataan tersebut disebabkan keterbatasan budget sehingga rumahtangga cenderung menurunkan permintaan tenaga kerja sewa apabila terjadi peningkatan pengeluaran konsumsi dan investasi sumberdaya manusia.
264
Tanda peubah penerimaan penjualan sapi adalah positif. Artinya setiap peningkatan penerimaan penjualan sapi ada kecenderungan rumahtangga menaikkan permintaan tenaga kerja sewa untuk jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Penerimaan penjualan sapi dimanfaatkan sebagai budget untuk membayar upah tenaga kerja. Selanjutnya, hasil analisis menunjukkan tanda peubah surplus produksi jagung adalah positif. Artinya semakin tinggi surplus jagung menyebabkan semakin meningkatnya permintaan tenaga kerja sewa untuk usaha jagung. Kenyataan ini menunjukkan semakin tinggi penjualan jagung maka rumahtangga mempunyai budget membayar tenaga kerja yang lebih banyak. Hasil estimasi juga menunjukkan upah bayangan tenaga kerja berpengaruh tidak nyata terhadap permintaan tenaga kerja sewa untuk jagung pada taraf nyata 15 persen. Berdasarkan teori, biaya transaksi dapat mempengaruhi pasar tenaga kerja. Semakin tinggi biaya transaksi, upah tenaga kerja yang berlaku semakin tinggi menyebabkan permintaan tenaga kerja sewa semakin berkurang. Namun rumahtangga menggunakan tenaga kerja sewa untuk kegiatan-kegiatan tertentu sehingga kenaikan upah yang disebabkan biaya transaksi pengaruhnya kecil terhadap penurunan jam tenaga kerja sewa. Terutama untuk kegiatan panen jagung dilakukan secara gotong royong dan sudah menjadi trandisi. Peubah pengeluaran konsumsi pangan dan investasi sumberdaya manusia berpengaruh tidak nyata terhadap permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung. Hal ini disebabkan karena tenaga kerja sewa untuk usaha jagung sudah tertentu kegiatannya sehingga peningkatan pengeluaran konsumsi pangan dan investasi sumberdaya manusia berdampak kecil terhadap penurunan permintaan jam kerja tenaga luar keluarga (sewa).
265
Berdasarkan hasil analisis, peubah penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung berpengaruh nyata terhadap permintaan tenaga kerja sewa untuk jagung pada taraf nyata 15 persen. Artinya naiknya penawaran tenaga kerja keluarga berdampak cukup besar terhadap penurunan jam kerja sewa pada jagung. Hal ini disebabkan rumahtangga berusaha meminimumkan biaya tenaga kerja dengan mengurangi jam kerja tenaga sewa. Berkurangnya jam kerja tenaga sewa menyebabkan budget yang dialokasikan untuk upah tenaga kerja makin kecil. Peubah penerimaan penjualan ternak sapi berpengaruh nyata terhadap permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung. Rumahtangga memerlukan budget untuk membayar sewa tenaga kerja. Kondisi ini menunjukkan semakin tinggi penerimaan penjualan ternak sapi pengaruhnya besar terhadap peningkatan jam tenaga kerja yang disewa. Keadaan tersebut menyebabkan rumahtangga mempunyai budget yang cukup untuk membayar upah sewa. Surplus pasar jagung berpengaruh nyata terhadap permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung. Semakin banyak jagung yang bisa dijual maka rumahtangga mempunyai kemampuan untuk membayar upah tenaga sewa. Dalam hal ini rumahtangga memperoleh pendapatan dari penjualan jagung yang dapat dimanfaatkan sebagai budget untuk usaha jagung. Besarnya nilai elastisitas peubah permintaan tenaga kerja luar keluarga terhadap peubah upah bayangan lebih kecil satu. Artinya permintaan tenaga kerja sewa pada usaha jagung tidak responsif terhadap upah yang disebabkan biaya transaksi. Rumahtangga berusaha meminimumkan biaya produksi untuk sewa tenaga kerja, namun tenaga kerja sewa sudah tertentu sehingga naiknya upah karena biaya transaksi tidak langsung direspon rumahtangga dengan mengurangi
266
jam kerja sewa. Sejalan dengan hasil analisis Priyanti (2007) yang menyatakan bahwa penggunaan tenaga kerja sewa tidak responsif terhadap upah tenaga kerja. Nilai elastisitas permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung terhadap pengeluaran konsumsi dan investasi sumberdaya manusia lebih kecil satu. Artinya permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung tidak responsif terhadap pengeluaran konsumsi dan investasi sumberdaya manusia. Hal ini disebabkan pendapatan yang diterima dialokasikan untuk berbagai pengeluaran dan sudah tertentu dengan tenaga kerja sewa tertentu. Semakin tinggi pengeluaran konsumsi
dan
investasi
sumberdaya
manusia
tidak
langsung
direspon
rumahtangga dengan menurunkan tenaga kerja sewa. Nilai elastisitas permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung terhadap peubah penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung, penerimaan penjualan sapi dan surplus produksi jagung masing-masing lebih kecil satu. Permintaan tenaga luar keluarga untuk jagung tidak responsif terhadap penawaran tenaga keluarga untuk jagung. Kegiatan dalam usaha jagung berbeda-beda, diantara kegiatan tersebut ada yang tidak mampu dikerjakan anggota rumahtangga. Berdasarkan kenyataan ini, peningkatan penawaran tenaga kerja keluarga tidak langsung direspon rumahtangga dengan menurunkan jam kerja tenaga sewa. Permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung tidak responsif terhadap penerimaan penjualan sapi. Artinya walaupun penerimaan penjualan sapi merupakan budget bagi rumahtangga namun naiknya penerimaan tersebut tidak langsung direspon dengan peningkatan jam kerja tenaga sewa. Rumahtangga juga membutuhkan budget untuk kebutuhan pokok mereka.
267
Peubah permintaan tenaga kerja luar keluarga untuk jagung tidak responsif terhadap surplus produksi jagung. Artinya walaupun surplus produksi jagung sangat berpengaruh terhadap peningkatan permintaan tenaga kerja sewa, namun peningkatan surplus tersebut tidak langsung direspon oleh rumahtangga dengan menaikkan jam kerja tenaga sewa. Hal ini disebabkan jam kerja sewa sudah tertentu untuk kegiatan tertentu dalam usaha jagung.
7.3.5. Permintaan Tenaga Kerja Luar Keluarga Untuk Kelapa Di Bolaang Mongondow, rumahtangga menggunakan tenaga kerja sewa dalam proses produksi kelapa apabila budget yang ada mencukupi. Kegiatan tenaga sewa dalam usaha kelapa diantaranya panjat, kumpul kelapa, kupas kelapa dan panggang kopra (fufu) serta angkut. Upah panjat kelapa sebesar Rp 1000 - Rp 1250 per pohon. Kumpul kelapa Rp 25 000 per hari, kupas Rp 20 sampai Rp 25 per biji, pembuatan kopra Rp 25 000 per 100 kg kopra, tetapi ada juga bagi hasil. Upah tersebut tergantung upah yang berlaku di masing-masing daerah. Permintaan tenaga kerja luar untuk kelapa (TKLK) secara bersama-sama dipengaruhi oleh upah bayangan tenaga kerja (UTKB), produksi kelapa (PROB), jumlah angkatan kerja (JAKK) dan curahan kerja keluarga sebagai buruh tani (CTDUO). Hasil estimasi pada Tabel 39 menunjukkan semua tanda estimasi peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen tenaga kerja luar keluarga pada usaha kelapa telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda estimasi peubah upah bayangan tenaga kerja adalah negatif. Artinya biaya transaksi naik maka upah bayangan naik menyebabkan penurunan permintaan tenaga sewa untuk usaha kelapa sebesar nilai estimasi parameternya
268
dan pengaruhnya cukup besar. Hal ini disebabkan rumahtangga mempunyai keterbatasan budget. Rumahtangga berusaha mengurangi tenaga sewa dalam rangka meminimumkan biaya produksi. Permintaan tenaga kerja sewa untuk kelapa sangat responsif terhadap biaya transaksi. Tenaga sewa yang dapat dikurangi yaitu kegiatan untuk kumpul, kupas kelapa dan proses produksi kopra. Faktor lain yang mempengaruhi permintaan tenaga kerja sewa untuk usaha kelapa adalah produksi kelapa. Semakin tinggi produksi kelapa maka permintaan tenaga kerja sewa semakin tinggi dan pengaruhnya sangat besar. Pekerjaan yang membutuhkan tenaga sewa untuk usaha kelapa diantaranya panjat, kumpul dan kupas kelapa serta pembuatan kopra. Produksi kelapa semakin banyak berarti membutuhkan tenaga sewa lebih besar. Walaupun permintaan tenaga kerja sewa tidak responsif terhadap produksi kelapa. Peubah jumlah angkatan kerja dalam rumahtangga mempunyai tanda negatif. Artinya semakin besar jumlah angkatan kerja dalam rumahtangga menyebabkan terjadinya penurunan permintaan tenaga kerja sewa sebesar nilai estimasi parameternya. Fenomena ini disebabkan kegiatan-kegiatan seperti kumpul kelapa, kupas, pembuatan kopra dapat ditangani oleh anggota rumahtangga yang sudah dikategorikan sebagai angkatan kerja. Walaupun jumlah angkatan kerja tersebut pengaruhnya kecil terhadap penurunan tenaga kerja sewa pada usaha kelapa. Hal ini ditunjang dengan hasil penelitian bahwa permintaan tenaga kerja sewa tidak responsif terhadap jumlah angkatan kerja dalam keluarga. Jumlah tenaga kerja sewa sudah tertentu dengan kegiatan tertentu. Tanda peubah curahan kerja keluarga sebagai buruh tani adalah positif. Artinya curahan kerja keluarga sebagai buruh tani menyebabkan peningkatan
269
permintaan tenaga kerja sewa pada usaha kelapa. Sebagian besar rumahtangga bekerja sebagai buruh tani. Pekerjaan tersebut dilakukan mengingat panen kelapa dilakukan setiap tiga bulan sekali (kwartalan). Demikian pula untuk usahatani lain tergantung musim tanam. Rumahtangga membutuhkan budget untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Kenyataan tersebut menyebabkan rumahtangga meningkatkan jam kerjanya sebagai buruh tani. Peningkatan curahan kerja keluarga sebagai buruh tani menyebabkan rumahtangga meningkatkan permintaan tenaga sewa, walaupun pengaruhnya kecil. Selain itu, permintaan tenaga kerja sewa pada kelapa tidak responsif terhadap curahan kerja keluarga sebagai buruh tani.
7.3.6. Penawaran Tenaga Kerja Ternak Sapi Untuk Jagung Tenaga kerja sapi dimaksud adalah tenaga sapi yang digunakan rumahtangga untuk mengolah lahan usaha jagung. Penawaran tenaga kerja sapi (TKSJ) secara bersama-sama dipengaruhi upah sewa sapi bayangan (USSB), tenaga kerja sewa untuk usaha jagung (TKLJ), tenaga kerja keluarga untuk usaha jagung (TKDJ) dan luas lahan jagung (LHNJ). Penelitian Priyanti (2007) tidak menggunakan tenaga kerja sapi. Sedangkan dalam penelitian Asmarantaka (2007) menunjukkan rumahtangga menggunakan tenaga kerja traktor untuk mengolah lahan usaha padi. Hasil estimasi pada Tabel 39 menunjukkan semua tanda estimasi peubah yang mempengaruhi peubah endogen tenaga kerja sapi pada usaha jagung telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda estimasi upah bayangan tenaga kerja sapi adalah positif. Artinya naiknya upah bayangan tenaga kerja sapi meningkatkan penawaran tenaga kerja sapi untuk usaha jagung sebesar nilai estimasi
270
parameternya. Biaya transaksi semakin tinggi menyebabkan upah sewa sapi semakin tinggi. Kenyataan tersebut menunjukkan peningkatan biaya transaksi menyebabkan rumahtangga cenderung menaikkan tenaga kerja ternak sapi. Tanda peubah luas lahan garapan jagung adalah positif. Artinya perluasan lahan jagung menyebabkan peningkatan penawaran tenaga kerja sapi. Kenyataan di lapangan, tenaga kerja sapi digunakan untuk mengolah (membajak) lahan. Semakin luas lahan untuk jagung maka jam kerja ternak sapi semakin tinggi. Berdasarkan estimasi, tanda peubah tenaga kerja keluarga untuk usaha jagung adalah positif. Artinya semakin tinggi tenaga kerja keluarga dalam usaha jagung maka penggunaan tenaga kerja sapi semakin meningkat. Tenaga kerja sapi digunakan sebagai tenaga kerja untuk membajak lahan dan tenaga kerja keluarga sebagai komplemen bagi tenaga kerja sapi untuk usaha jagung. Peubah tenaga kerja luar keluarga untuk jagung mempunyai tanda negatif. Artinya peningkatan tenaga kerja sewa untuk jagung menyebabkan terjadinya penurunan penawaran tenaga kerja sapi. Untuk pekerjaan pengolahan lahan dapat dilakukan oleh tenaga kerja sewa. Sehingga tenaga kerja luar keluarga dapat bersubstitusi dengan tenaga kerja ternak sapi. Hasil estimasi juga menunjukkan upah bayangan sewa sapi berpengaruh nyata terhadap penawaran tenaga kerja sapi untuk jagung pada taraf nyata 15 persen. Rumahtangga menggunakan tenaga kerja sapi untuk pengolahan lahan dan sudah tertentu. Kenaikan upah tenaga kerja yang disebabkan biaya transaksi dampaknya kecil terhadap penambahan jam kerja sapi. Peubah tenaga kerja keluarga dalam usaha jagung berpengaruh sangat nyata terhadap penawaran tenaga kerja sapi pada taraf nyata 15 persen. Hal ini
271
disebabkan karena tenaga kerja sapi saling melengkapi dengan tenaga kerja keluarga dalam usaha jagung dan pengaruhnya sangat besar terhadap peningkatan jam kerja ternak sapi untuk pengolahan lahan usaha jagung. Berdasarkan estimasi, peubah tenaga kerja sewa untuk jagung berpengaruh tidak nyata terhadap penawaran tenaga kerja sapi untuk jagung pada taraf nyata 15 persen. Artinya peningkatan permintaan tenaga kerja sewa pengaruhnya kecil terhadap turunnya jam kerja ternak sapi pada usaha jagung. Hal ini disebabkan sapi adalah milik sendiri sehingga rumahtangga tidak membutuhkan budget yang besar untuk bayar upah. Selain itu, dengan menggunakan tenaga ternak sapi, waktu untuk olah lahan lebih kecil. Disini tenaga kerja sapi tidak responsif terhadap tenaga kerja sewa untuk usaha jagung. Peubah luas lahan garapan berpengaruh sangat nyata terhadap penawaran tenaga kerja sapi untuk jagung. Rumahtangga memanfaatkan tenaga kerja sapi untuk mengolah lahan usaha jagung. Perluasan lahan mempunyai pengaruh sangat besar terhadap peningkatan tenaga kerja sapi. Besarnya nilai elastisitas peubah penawaran tenaga kerja sapi untuk jagung terhadap upah bayangan sewa sapi lebih kecil satu. Artinya penawaran tenaga kerja sapi untuk jagung tidak responsif terhadap upah sewa sapi bayangan. Peningkatan upah sewa sapi karena biaya transaksi pengaruhnya kecil terhadap penawaran tenaga kerja sapi dan naiknya upah karena biaya transaksi tidak langsung direspon rumahtangga dengan meningkatkan tenaga kerja sapi. Biaya transaksi berpengaruh terhadap penawaran tenaga kerja dan berlaku juga bagi tenaga kerja sapi. Sehingga makin tinggi biaya transaksi maka upah semakin tinggi menyebabkan penawaran tenaga kerja sapi semakin tinggi.
272
Nilai elastisitas tenaga kerja sapi untuk jagung terhadap luas lahan jagung lebih kecil satu. Artinya tenaga kerja sapi untuk jagung tidak responsif terhadap luas lahan garapan jagung. Walaupun luas lahan jagung sangat berpengaruh terhadap penawaran tenaga kerja sapi, namun perluasan lahan usaha jagung tidak langsung direspon rumahtangga dengan meningkatkan jam kerja ternak sapi. Tenak sapi juga disewa oleh rumahtangga lain untuk mengolah lahan maupun pengangkut output pertanian dan material. Nilai elastisitas penawaran tenaga kerja sapi untuk jagung terhadap tenaga kerja keluarga untuk jagung lebih kecil satu. Artinya penawaran tenaga kerja sapi tidak responsif terhadap tenaga kerja keluarga dalam jagung. Dalam hal ini tenaga kerja keluarga dapat digantikan dengan tenaga sewa dalam usaha jagung.
7.3.7. Penawaran Tenaga Kerja Ternak Sapi Untuk Kelapa Di Bolaang Mongondow, tenaga kerja ternak sapi digunakan rumahtangga dalam usaha kelapa adalah untuk angkut buah kelapa dan angkut kopra. Sewa angkut kelapa Rp 25 000 per hari, angkut kopra Rp 4 000 sampai Rp 5 000 per koli. Dalam satu ret bisa capai 7-8 koli kopra. Penawaran tenaga kerja ternak sapi (TKSK) secara bersama-sama dipengaruhi oleh upah bayangan sewa sapi (USSB) dan surplus pasar kelapa (SPK). Hasil estimasi pada Tabel 39 menunjukkan semua tanda estimasi peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen tenaga kerja ternak sapi pada usaha kelapa telah sesuai kriteria ekonomi. Tanda estimasi peubah upah tenaga kerja sapi bayangan adalah positif. Artinya biaya transaksi meningkat maka upah bayangan tenaga kerja sapi naik. Kondisi ini menyebabkan peningkatan penawaran tenaga kerja sapi untuk usaha
273
kelapa sebesar nilai estimasi parameternya. Biaya transaksi dapat mempengaruhi upah sewa sapi. Seperti pada upah sewa tenaga kerja manusia, upah bayangan sewa sapi merupakan upah sewa sapi ditambah biaya transaksi. Walaupun pengaruh biaya transaksi terhadap penawaran tenaga kerja ternak sapi sangat kecil. Hal ini disebabkan penawaran tenaga kerja sudah tertentu baik kegiatan maupun jam kerja ternak sapi. Namun keterbatasan budget menyebabkan rumahtangga berupaya meningkatkan jam kerja ternak sapi milik sendiri, sebagai upaya meminimalkan biaya produksi. Penawaran tenaga kerja sapi tidak responsif terhadap biaya transaksi pada usaha kelapa tersebut. Faktor surplus pasar kelapa merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penawaran tenaga kerja ternak sapi dan pengaruhnya sangat nyata. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, alokasi tenaga kerja sapi adalah sebagai pengangkut kelapa dan kopra. Semakin banyak surplus pasar kelapa, jam kerja ternak sapi meningkat, walaupun penggunaan tenaga kerja sapi tidak responsif terhadap surplus pasar kelapa. Pengangkutan kopra untuk sebagian besar dilakukan oleh pedagang.
7.3.8. Curahan Kerja Keluarga Curahan kerja keluarga sebagai buruh tani dilakukan rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman dalam rangka peningkatan pendapatan untuk memaksimumkan utilitas mereka. Curahan kerja sebagai buruh tani (CTDUO) di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja (UTKB), tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi (TKDS), tenaga kerja keluarga untuk usahatani lain (TKDUL), jumlah anggota keluarga (ANG), pendidikan kepala
274
keluarga (PFO) dan penerimaan penjualan sapi (RUTSJ). Sedangkan di Bolaang Mongondow curahan kerja keluarga sebagai buruh tani (CTDUO) secara bersamasama dipengaruhi upah bayangan tenaga kerja (UTKB), jumlah anggota keluarga (ANG), total pengeluaran (TP) dan produksi sapi (PROS). Hasil estimasi perilaku curahan kerja sebagai buruh tani di Minahasa dan Bolaang Mongondow dapat dilihat pada Tabel 40. Hasil analisis pada Tabel 40 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen curahan kerja keluarga (CTDUO) di Minahasa dan Bolaang Mongondow telah sesuai kriteria ekonomi. Estimasi peubah upah bayangan tenaga kerja (UTKB) dan jumlah anggota keluarga (ANG) di Minahasa masing-masing bernilai positif. Tanda positif peubah upah bayangan tenaga kerja artinya semakin tinggi biaya transaksi menyebabkan upah bayangan semakin tinggi. Tabel 40. Hasil Parameter Estimasi, Elastisitas Penggunaan Input Tenaga Kerja Sebagai Buruh Tani Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow Minahasa Variabel
Kode
Parameter Estimasi
Curahan Kerja CTDUO Keluarga Intersep -1859.0 Upah Bayangan TK UTKB 0.81140 TK Kel utk UT Sapi TKDS -0.4743* TK Kel utk UT Lain TKDUL -0.5081* Jumlah Anggota Kel ANG 374.74* Pendidikn Kepala Kel PFO -102.51* Penerimaan Penj Sapi RUTSJ -0.0003* Total Pengeluaran TP Produksi Sapi PROS Keterangan : * = P<0.15 - = Tidak ada aktivitas
Elastisitas
0.5138 -0.2403 -0.1698 1.2363 -0.7685 -0.3295 -
Bolaang Mongondow Parameter Estimasi
0.13216* 289.739* 7.611E-6
-0.2735
Elastisitas
6.6561 1.3483 0.0208 -0.1202
275
Kondisi tersebut mengakibatkan rumahtangga cenderung meningkatkan curahan kerja keluarga sebagai buruh tani sebesar nilai estimasi parameternya. Hal ini disebabkan semakin tingginya kebutuhan rumahtangga baik untuk kebutuhan pokok maupun kebutuhan non pokok. Namun upah bayangan tenaga kerja berpengaruh tidak nyata terhadap peubah endogen curahan kerja keluarga sebagai buruh tani pada taraf nyata 15 persen. Peningkatan upah karena biaya transaksi pengaruhnya kecil terhadap peningkatan jam kerja sebagai buruh tani. Kenyataan di lapang menunjukkan jam kerja sebagai buruh tani sudah tertentu. Curahan kerja keluarga sebagai buruh tani tidak responsif terhadap upah karena biaya transaksi. Semakin tinggi jumlah anggota keluarga, semakin tinggi curahan kerja keluarga sebagai buruh tani sebesar nilai estimasi parameternya. Jumlah anggota keluarga sangat berpengaruh terhadap curahan kerja keluarga sebagai buruh tani. Jumlah anggota keluarga berkaitan dengan struktur demografi rumahtangga, sehingga semakin tinggi rasio konsumsi dan pekerja (C/W) maka semakin tinggi kebutuhan rumahtangga untuk konsumsi. Rumahtangga berusaha memperoleh pendapatan dengan mengalokasikan tenaganya untuk pekerjaan apapun. Semakin banyak anggota keluarga kemungkinan besar dapat meningkatkan curahan kerja sebagai buruh tani. Besarnya nilai elastisitas menunjukkan curahan kerja keluarga sebagai buruh tani responsif terhadap jumlah anggota keluarga. Rumahtangga membutuhkan
penerimaan
untuk
memaksimumkan
utilitasnya,
sehingga
rumahtangga berusaha mengalokasikan tenaga kerjanya untuk bekerja dan mendapatkan uang. Pekerjaan buruh tani merupakan salah satu sumber pendapatan
rumahtangga.
Bertambahnya
anggota
rumahtangga
sangat
berpengaruh terhadap peningkatan curahan kerja keluarga dan sangat respon.
276
Tanda peubah penawaran tenaga kerja keluarga untuk usaha sapi adalah negatif. Artinya semakin tinggi penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi menyebabkan semakin berkurangnya alokasi tenaga kerja untuk buruh tani sebesar nilai estimasi parameternya. Pada musim kemarau, rumahtangga akan kesulitan mendapatkan lahan yang memenuhi syarat untuk ternak sapi merumput. Berdasarkan keadaan ini maka rumahtangga berusaha menambah jam kerja mencari rumput atau mencari lokasi yang lebih jauh untuk ternak sapi merumput. Pada kondisi ini jam kerja yang dialokasikan sebagai buruh tani harus dikurangi. Sesuai dengan teori ekonomi, penawaran tenaga kerja pada usahatani tertentu saling bersubstitusi dengan tenaga kerja pada usahatani lainnya. Peubah penawaran tenaga kerja keluarga untuk sapi berpengaruh nyata terhadap peubah endogen curahan kerja keluarga sebagai buruh tani pada taraf nyata 15 persen. Usaha ternak sapi di Minahasa walaupun merupakan usaha sambilan namun telah dilakukan secara turun temurun dan merupakan sumber pendapatan juga sebagai sumber tenaga kerja. Besarnya nilai elastisitas menunjukkan curahan kerja keluarga sebagai buruh tani tidak responsif terhadap penawaran tenaga kerja keluarga pada usaha sapi. Rumahtangga membutuhkan budget untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan untuk proses usahatani. Berdasarkan kenyataan ini, peningkatan jam kerja dalam usaha sapi tidak langsung direspon rumahtangga dengan menurunkan jam kerja sebagai buruh tani. Tanda peubah penawaran tenaga kerja keluarga untuk usahatani lain adalah negatif. Artinya penambahan jam kerja keluarga untuk usahatani lain menyebabkan pengurangan jam kerja keluarga untuk buruh tani sebesar nilai estimasi parameternya. Peubah penawaran tenaga kerja keluarga untuk usahatani
277
lain berpengaruh nyata terhadap peubah endogen curahan kerja keluarga sebagai buruh tani pada taraf nyata 15 persen. Tujuan usahatani lain adalah untuk peningkatan pendapatan juga sebagai penunjang usaha sapi. Sehingga pada saatsaat tertentu penawaran tenaga kerja pada usahatani lain bisa berubah. Perubahan ini berpengaruh terhadap curahan kerja sebagai buruh tani. Besarnya nilai elastisitas peubah curahan kerja keluarga sebagai buruh tani terhadap penawaran tenaga kerja keluarga dalam usahatani lain lebih kecil satu. Artinya curahan kerja keluarga sebagai buruh tani tidak responsif terhadap penawaran tenaga kerja keluarga untuk usahatani lain. Walaupun penawaran tenaga kerja untuk usahatani lain cukup berpengaruh terhadap curahan kerja keluarga namun peningkatan jam kerja keluarga tersebut tidak langsung direspon rumahtangga dengan mengurangi jam kerja sebagai buruh tani. Hal ini disebabkan rumahtangga berusaha mengalokasikan tenaganya untuk memperoleh pendapatan. Salah satu sumber pendapatan adalah bekerja sebagai buruh tani. Tanda peubah pendidikan kepala keluarga adalah negatif. Artinya semakin tinggi pendidikan kepala keluarga menyebabkan alokasi jam kerja sebagai buruh tani semakin berkurang. Kenyataan di lapang menunjukkan kepala keluarga yang menyandang tingkat pendidikan lebih tinggi mempunyai pekerjaan yang lebih baik dari buruh tani. Pekerjaan sebagai buruh tani merupakan pekerjaan kasar yang lebih mengandalkan tenaga fisik. Peubah pendidikan kepala keluarga berpengaruh nyata terhadap peubah endogen curahan kerja keluarga sebagai buruh tani pada taraf nyata 15 persen. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga maka rumahtangga cenderung mengalokasikan tenaganya untuk pekerjaan yang tidak mengandalkan tenaga kasar dengan kata lain beralih dari
278
tenaga kerja buruh tani ke pekerjaan yang lebih baik. Besarnya nilai elastisitas menunjukkan peubah curahan kerja keluarga sebagai buruh tani terhadap pendidikan kepala keluarga tidak responsif terhadap pendidikan kepala keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan tidak langsung direspon rumahtangga dengan mengurangi jam kerjanya sebagai buruh tani. Hal ini disebabkan pekerjaan sebagai buruh tani lebih mudah diperoleh dibanding pekerjaan yang membutuhkan tingkat pendidikan lebih tinggi. Tanda peubah penerimaan penjualan sapi adalah negatif. Artinya setiap peningkatan penerimaan penjualan sapi akan menyebabkan penurunan jam kerja sebagai buruh tani. Kenyataannya bila penerimaan yang diperoleh lebih tinggi, rumahtangga tidak akan mengalokasikan tenaganya sebagai buruh tani. Seperti telah dijelaskan, pekerjaan buruh tani mengandalkan tenaga fisik, sehingga bila rumahtangga memperoleh pendapatan usaha lain yang lebih besar maka pekerjaan buruh tani akan ditinggalkan. Peubah penerimaan penjualan sapi berpengaruh nyata terhadap peubah endogen curahan kerja keluarga sebagai buruh tani pada taraf nyata 15 persen. Rumahtangga mengalokasikan tenaga kerjanya untuk kegiatan-kegiatan usahatani maupun non usahatani agar memperoleh pendapatan. Pendapatan yang diperoleh dialokasikan untuk kebutuhan rumahtangga apakah kebutuhan pokok atau kebutuhan non pokok. Semakin tinggi penerimaan yang bersumber dari penjualan sapi mengakibatkan rumahtangga akan mengurangi alokasi kerjanya sebagai buruh tani. Nilai elastisitas menunjukkan curahan kerja keluarga sebagai buruh tani tidak responsif terhadap penerimaan penjualan sapi disebabkan jam kerja sebagai buruh tani sudah tertentu. Selain itu, rumahtangga
279
berusaha memperoleh pendapatan melalui pekerjaan yang lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan mereka. Biaya transaksi juga dapat mempengaruhi penawaran tenaga kerja sebagai buruh tani di Bolaang Mongondow. Peubah upah bayangan tenaga kerja mempunyai tanda positif. Artinya semakin tinggi biaya transaksi, upah bayangan semakin tinggi akibatnya rumahtangga cenderung meningkatkan curahan kerja keluarga sebagai buruh tani sebesar nilai estimasi parameternya. Semakin tinggi biaya transaksi mendorong rumahtangga menaikkan jam kerja sebagai buruh tani dan pengaruhnya cukup nyata. Hal ini disebabkan semakin tingginya kebutuhan pokok dan non pokok rumahtangga. Curahan kerja keluarga tersebut sangat responsif terhadap biaya transaksi. Pekerjaan sebagai buruh tani merupakan salah satu sumber pendapatan bagi rumahtangga. Nilai estimasi jumlah anggota keluarga adalah positif artinya semakin tinggi jumlah anggota keluarga, semakin tinggi curahan kerja keluarga sebagai buruh tani sebesar nilai estimasi parameternya. Seperti di Minahasa, jumlah anggota keluarga di Bolaang Mongondow berkaitan dengan struktur demografi rumahtangga, dengan demikian semakin tinggi rasio konsumsi dan pekerja (C/W) maka semakin tinggi kebutuhan rumahtangga untuk konsumsi. Disini rumahtangga berusaha memperoleh pendapatan dengan mengalokasikan tenaganya untuk pekerjaan apapun. Pengaruh jumlah anggota rumahtangga sangat nyata terhadap curahan kerja sebagai buruh tani. Curahan kerja keluarga sebagai buruh tani responsif terhadap jumlah anggota keluarga. Rumahtangga membutuhkan penerimaan untuk memaksimumkan utilitasnya, dengan demikian rumahtangga berusaha mengalokasikan tenaga kerjanya untuk bekerja dan
280
mendapatkan uang. Berdasarkan fenomena tersebut, semakin meningkatnya anggota rumahtangga sangat berpengaruh terhadap peningkatan curahan kerja keluarga, dengan kata lain, semakin bertambahnya anggota keluarga langsung direspon rumahtangga dengan meningkatkan jam kerja sebagai buruh tani. Faktor peubah total pengeluaran mempengaruhi curahan tenaga kerja sebagai buruh tani, walaupun pengaruhnya kecil. Rumahtangga membutuhkan penerimaan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan non pokok dan kebutuhan untuk proses usahatani. Semakin tinggi kebutuhan tersebut menyebabkan rumahtangga berusaha meningkatkan jam kerja sebagai buruh tani. Curahan kerja keluarga sebagai buruh tani tidak responsif terhadap total pengeluaran rumahtangga. Produksi sapi yang semakin banyak menyebabkan rumahtangga harus mengurangi curahan kerjanya sebagai buruh tani. Rumahtangga berusaha mengalokasikan tenaganya lebih banyak untuk usaha sapi, walaupun pengaruhnya kecil. Selanjutnya, curahan tenaga kerja keluarga sebagai buruh tani tidak responsif terhadap produksi sapi. Rumahtangga berusaha mengikat/melepas ternaknya di lokasi kebun yang lebih dekat sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk pindah ternak. 7.4. Perilaku Biaya Sarana Produksi dan Biaya Tenaga Kerja Perilaku biaya sarana produksi dan biaya tenaga kerja merupakan biaya yang dianalisis untuk usaha sapi dan jagung di Minahasa. Biaya tersebut terdiri dari tiga persamaan identitas yaitu biaya sarana produksi sapi (BSPS), biaya sarana produksi jagung (BSPJ) dan biaya tenaga kerja untuk jagung (BTKJ).
281
Biaya sarana produksi sapi merupakan penjumlahan biaya pembelian rumput, biaya obat-obatan, biaya sewa pejantan dan biaya pembelian jagung. Rumahtangga di Minahasa menyewa pejantan untuk dikawinkan dengan ternak sapi betina mereka. Berbeda dengan penelitian Priyanti (2007), yang menyatakan bahwa rumahtangga memelihara ternak sapi dengan membeli bakalan, sehingga tidak ada sewa pejantan. Konsumsi jagung dihitung berdasarkan jumlah jagung yang dikonsumsi ternak di Minahasa selama setahun dikali harga jagung. Biaya sarana produksi jagung (BSPJ) merupakan penjumlahan dari biaya pembelian benih (JBJ*HBJ), pupuk urea (JPUJ*HPUJ), TSP (JPTJ*HPTJ) dan KCl (JPKJ*HPKJ). Pada usahatani lain seperti penelitian Asmarantaka (2007) (usahatani padi, ubikayu dan kopi) dan Priyanti (2007) (usahatani padi), persamaan sarana produksi juga dianalisis sebagai persamaan identitas. Biaya tenaga kerja pada usaha jagung (BTKJ) merupakan penjumlahan biaya tenaga kerja keluarga (BTKDJ) dan biaya tenaga kerja sewa (BTKLJ). Biaya tenaga kerja keluarga adalah biaya tenaga kerja yang diperhitungkan. Demikian pula tenaga kerja keluarga dalam usaha sapi dianalisis sebagai biaya tenaga kerja yang diperhitungkan (BTKDS), namun dalam penelitian ini tidak dipelajari perilakunya. Biaya sarana produksi dan biaya tenaga kerja mempengaruhi peubah endogen lainnya yaitu peubah produksi sapi jual (PROSJ), penawaran tenaga kerja dalam keluarga untuk usaha sapi (TKDS), penawaran tenaga kerja keluarga untuk jagung (TKDJ) dan pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi pangan, konsumsi non pangan dan investasi sumberdaya manusia (KP, KNP, ISM) yang diproxy dengan total pendapatan rumahtangga (TPRT).
282
Perilaku biaya sarana produksi dan biaya tenaga kerja rumahtangga di Bolaang Mongondow dianalisis untuk usaha sapi dan kelapa. Biaya tersebut terdiri dari tiga persamaan identitas yaitu biaya sarana produksi sapi (BSPS), biaya sarana produksi kelapa (BSPK) dan biaya tenaga kerja untuk usaha kelapa (BTKK). Biaya sarana produksi sapi di Bolaang Mongondow berbeda dengan di Minahasa yaitu merupakan penjumlahan biaya pembelian rumput dan biaya obatobatan. Biaya sarana produksi kelapa (BSPK) merupakan penjumlahan dari biaya pembelian pupuk urea (JPUK*HPUK) dan biaya garam dapur (JGAR*HGAR). Biaya sarana produksi kelapa sawit sesuai hasil penelitian Bakir (2007) terdiri dari biaya pembelian pupuk urea, pupuk TSP, pupuk KCl dan pestisida. Biaya tenaga kerja pada usaha kelapa (BTKK) merupakan penjumlahan biaya tenaga kerja keluarga (BTKDK) dan biaya tenaga kerja sewa pada kelapa (BTKLK). Biaya tenaga kerja keluarga merupakan biaya tenaga kerja yang diperhitungkan. Tenaga kerja keluarga dalam usaha sapi juga dianalisis sebagai biaya tenaga kerja yang diperhitungkan (BTKDS), namun dalam penelitian ini tidak dipelajari perilakunya, hanya dimasukkan sebagai biaya yang mempengaruhi penerimaan usaha ternak sapi.
7.5. Perilaku Biaya Transaksi Perilaku biaya transaksi di Minahasa dianalisis baik untuk usaha sapi maupun jagung. Persamaan biaya transaksi terdiri dari dua persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Persamaan struktural adalah biaya perantara penjualan ternak sapi (BPER) dan biaya transpor penjualan jagung (BTPJ).
283
Biaya perantara penjualan sapi (BPER) dan biaya transpor penjualan jagung (BTPJ) merupakan salah satu komponen dalam biaya transaksi usaha sapi dan biaya transaksi usaha jagung. Sedangkan persamaan identitas adalah biaya transaksi penjualan sapi (BTRS), biaya transaksi pada usaha jagung (BTRJ) serta total biaya transaksi pada usaha sapi dan usaha jagung (BTR). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, biaya transaksi penjualan sapi terdiri dari biaya transpor (BTRA), biaya perantara (BPER), biaya administrasi (BADM) dan biaya retribusi (BRET). Selanjutnya, biaya transaksi pada usaha jagung terdiri dari komponen biaya transpor penjualan jagung (BTPJ), biaya pembelian benih jagung (BTPB) dan biaya pembelian pupuk (BTPP). Biaya perantara penjualan sapi (BPER) di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi harga sapi (HTS) dan penjualan sapi (PROSJ). Biaya perantara penjualan sapi (BPER) adalah upah sewa perantara saat penjualan sapi. Biaya ini merupakan komponen biaya terbesar dalam biaya transaksi pada usaha sapi. Biaya transpor penjualan jagung (BTPJ) secara bersama-sama dipengaruhi harga jual jagung dan konsumsi jagung. Konsumsi jagung dianalisis dalam penelitian ini karena sebagian jagung ditanam untuk konsumsi ternak sapi dalam bentuk jagung muda. semakin tinggi konsumsi jagung maka jumlah jagung yang dijual rumahtangga semakin kecil sehingga mempengaruhi biaya transaksi. Perilaku biaya transaksi rumahtangga di Bolaang Mongondow dianalisis untuk usaha sapi maupun kelapa. Persamaan biaya transaksi terdiri dari dua persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Persamaan struktural adalah biaya perantara penjualan sapi (BPER) dan biaya transpor penjualan kopra (BTPK).
284
Biaya perantara penjualan sapi (BPER) dan biaya transpor penjualan kopra (BTPK) merupakan salah satu komponen dalam biaya transaksi usaha sapi dan biaya transaksi usaha kelapa. Sedangkan persamaan identitas adalah biaya transaksi penjualan sapi (BTRS), biaya transaksi pada usaha kelapa (BTRK) serta total biaya transaksi pada usaha sapi dan usaha kelapa (BTR). Seperti di Minahasa, biaya transaksi penjualan sapi di Bolaang Mongondow terdiri dari biaya transportasi (BTRA), biaya perantara (BPER), biaya administrasi (BADM) dan biaya retribusi (BRET). Selanjutnya, biaya transaksi pada usaha kelapa terdiri dari komponen biaya transpor penjualan kopra (BTPK) dan biaya penyimpanan kopra (BSIM). Biaya perantara penjualan sapi (BPER) di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi harga jual sapi (HTS), penjualan sapi (PROSJ) dan jarak pasar (JARP). Biaya transpor penjualan kopra (BTPK) secara bersama-sama dipengaruhi harga kopra dan tenaga kerja ternak sapi. Tenaga kerja sapi di analisis dalam penelitian ini karena sebagian rumahtangga dalam menjual kopra menggunakan gerobak untuk angkutan kopra ke pedagang. Biaya perantara merupakan upah yang dikeluarkan rumahtangga petani peternak sapi sebagai jasa dalam penjualan sapi. Biaya ini merupakan komponen biaya terbesar dalam biaya transaksi pada usaha sapi di Minahasa dan Bolaang Mongondow. Biaya transpor merupakan biaya yang dikeluarkan apabila ternak sapi dijual dirumah petani, di pasar blantik maupun luar wilayah peternakan. Sebagian besar petani peternak di Minahasa menjual di pasar blantik. Tenaga kerja yang menggiring ternak ke pasar diberi upah yaitu dinyatakan sebagai biaya transpor. Di Bolaang Mongondow sebagian besar rumahtangga didatangi
285
pedagang, hanya sebagian kecil rumahtangga yang menjual di pasar blantik. Biaya retribusi adalah biaya yang dikeluarkan pada saat menjual sapi di pasar blantik. Sebagian rumahtangga petani peternak sapi membayar retribusi di kantor desa yang juga dinyatakan biaya retribusi. Biaya administrasi merupakan biaya yang dikeluarkan apabila ternak sapi dijual di pasar blantik, diantarprovinsikan dan diantarpulaukan. Biaya administrasi dinyatakan sebagai biaya surat jalan sapi. Sebagian rumahtangga di Bolaang Mongondow membayar biaya administrasi di kantor desa. Biaya transaksi dalam penelitian ini dipelajari berdasarkan penjualan sapi melalui pedagang pengumpul, tukang potong dan petani lain. Pedagang pengumpul baik berasal dari daerah lain di Sulawesi Utara maupun luar daerah (Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Balikpapan). Berbeda dengan penelitian Collison, et al., (2005) yang menganalisis biaya transaksi sepanjang saluran pemasaran dari tingkat usahatani. Hasil estimasi perilaku biaya transaksi baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow dapat dilihat pada Tabel 41. Berdasarkan data hasil estimasi pada Tabel 41, selanjutnya akan dibahas respon masing-masing peubah endogen.
7.5.1. Biaya Perantara Penjualan Sapi Hasil estimasi pada Tabel 41 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen biaya perantara penjualan sapi (BPER) baik di Minahasa maupun Bolaang Mongondow telah sesuai kriteria ekonomi. Estimasi peubah harga sapi bernilai positif. Artinya semakin tinggi harga, ada kecenderungan biaya perantara penjualan sapi semakin tinggi. Biaya perantara ditentukan perantara berdasarkan harga sapi yang terjual.
286
Tabel 41. Hasil Parameter Estimasi, Elastisitas Biaya Perantara Penjualan Sapi, Biaya Transpor Penjualan Jagung/Kopra Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow Bolaang Minahasa Mongondow Variabel Kode Parameter Estimasi
Biaya Perantara BPER Penjualan Sapi Harga Ternak Sapi HTS 0.144718* Penjualan Sapi PROSJ 0.482728 Jarak Pasar JARP Biaya Transpor BTPJ Penjualan Jagung Intersep -1.93930 Harga Penj Jagung HJG 0.011966 Konsumsi Jagung KONJ -0.00366* Biaya Transpor BTPK Penjualan Kopra Intersep Harga Kopra HKO TK Ternak Sapi TKSK Keterangan : * = P<0.15 - = Tidak ada aktivitas
Elastisitas
Parameter Estimasi
Elastisitas
0.9758 0.0112 -
0.1213* 2.7887* -4.019*
0.9908 0.3305 -0.049
0.7029 -0.1346
-
-
-
4.5867 0.0205* -0.180
1.7154 -0.142
Harga sapi berpengaruh sangat nyata terhadap peubah endogen biaya perantara penjualan sapi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa pada taraf nyata 15 persen. Artinya naiknya harga sapi sangat berpengaruh terhadap peningkatan biaya perantara penjualan sapi. Hal ini disebabkan upah perantara ditentukan berdasarkan harga jual. Semakin tinggi harga jual berarti upah yang ditentukan perantara karena jasanya dalam melakukan transaksi semakin besar. Besarnya nilai elastisitas menunjukkan peubah biaya perantara penjualan sapi tidak responsif terhadap peningkatan harga jual sapi. Seperti telah dijelaskan diatas, transaksi jual beli sapi oleh rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa dilakukan perantara. Besarnya upah perantara tergantung berapa harga sapi yang terjual, walaupun responnya kecil.
287
Estimasi peubah penjualan sapi (PROSJ) bernilai positif. Artinya peningkatan penjualan sapi menyebabkan terjadinya peningkatan biaya perantara penjualan sapi. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa menjual sapi di pasar blantik. Transaksi penjualan sapi yang terjadi bukan antara pemilik sapi dengan pembeli tetapi melalui perantara. Perantara mendapat upah sebagai balas jasa baik dari pemilik, berarti semakin banyak sapi yang dijual maka biaya perantara sebagai upah semakin besar. Penjualan sapi oleh rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa berpengaruh tidak nyata terhadap biaya perantara penjualan sapi pada taraf nyata 15 persen. Artinya naiknya penjualan sapi pengaruhnya kecil terhadap peningkatan biaya perantara. Selanjutnya besarnya nilai elastisitas menunjukkan peubah biaya perantara penjualan sapi terhadap produksi sapi jual tidak responsif terhadap peningkatan penjualan sapi. Penjualan sapi di Minahasa dilakukan pada waktu-waktu tertentu misalnya pada saat hari raya, atau tahun ajaran baru. Sebagian besar rumahtangga menjual sapi beberapa ekor sekaligus dalam setahun. Selain itu biaya perantara penjualan sapi sudah tertentu, tinggi rendahnya biaya perantara bukan ditentukan rumahtangga tetapi tergantung perantara walaupun masih ada negosiasi. Kenyataan ini menunjukkan peningkatan penjualan sapi tidak bisa langsung direspon rumahtangga dengan menaikkan biaya transaksi. Estimasi peubah harga sapi di Bolaang Mongondow bernilai positif. Artinya setiap peningkatan harga jual sapi, ada kecenderungan kenaikan biaya perantara. Peningkatan harga jual sapi pengaruhnya sangat nyata terhadap biaya perantara. Penjualan sapi di Bolaang Mongondow menggunakan jasa perantara dan sebagai balas jasa rumahtangga memberikan upah. Upah tersebut ditentukan
288
oleh perantara tergantung harga sapi yang terjual. Semakin tinggi harga sapi yang diterima rumahtangga maka biaya perantara semakin tinggi. Walaupun biaya perantara penjualan sapi tidak responsif terhadap harga jual sapi. Salah satu faktor yang mempengaruhi biaya perantara adalah penjualan sapi. Faktor penjualan sapi berpengaruh nyata terhadap biaya perantara dan hubungannya positif. Semakin banyak jumlah sapi yang dijual maka biaya perantara semakin besar. Berbeda dengan di Minahasa, di Bolaang Mongondow sebagian besar rumahtangga menjual sapi di lokasi peternakan. Rumahtangga dikunjungi pedagang apakah pedagang pengumpul ataupun tukang potong dengan menggunakan jasa perantara. Kenyataannya biaya perantara di Bolaang Mongondow lebih besar dibanding di Minahasa. Walaupun biaya perantara tersebut tidak responsif terhadap penjualan sapi. Sebagian rumahtangga menjual sapi di Kecamatan Boroko untuk diantarprovinsikan ataupun diantarpulaukan. Faktor lain yang mempengaruhi biaya perantara penjualan sapi di Bolaang Mongondow adalah jarak pasar dengan lokasi peternakan dan pengaruhnya nyata. Seperti dijelaskan di atas, perilaku penjualan sapi di Bolaang Mongondow bukan di pasar blantik seperti di Minahasa. Pedagang mengunjungi rumahtangga melalui perantara, sehingga biaya transpor pedagang tersebut dikurangi dari pembelian sapi tanpa diketahui rumahtangga. Pada kondisi ini, harga yang diterima dalam seekor ternak lebih murah dibanding di Minahasa, walaupun pedagang membeli ternak dengan harga Rp 35 000 per kg berat hidup. Namun, harga tergantung berat badan sapi yang tidak diketahui rumahtangga. Negosiasi antara rumahtangga dan perantara terjadi setelah adanya tawar menawar berat badan sapi. Biaya transpor pedagang ditanggung rumahtangga. Sebagian rumahtangga petani di Bolaang
289
Mongondow menjual sapi di Boroko. Untuk sampai di Boroko, rumahtangga mengeluarkan biaya perantara lebih rendah. Keadaan ini menunjukkan semakin jauh jarak pasar maka biaya perantara semakin kecil. Tetapi biaya perantara penjualan sapi tersebut tidak responsif terhadap jarak pasar. Fenomena ini menunjukkan penerimaan rumahtangga lebih kecil karena selain memberikan upah ke perantara, rumahtangga juga menanggung biaya transpor dari pedagang yang tidak diketahui berapa besar biaya transpor tersebut.
7.5.2. Biaya Transpor Penjualan Jagung Hasil estimasi di Minahasa sesuai pada Tabel 41 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen biaya transpor penjualan jagung (BTPJ) telah sesuai kriteria ekonomi. Estimasi harga jagung (HJG) bernilai positif. Artinya semakin tinggi harga jual jagung menyebabkan biaya transpor penjualan jagung semakin tinggi. Hasil penelitian menunjukkan rumahtangga menjual jagung di pasar kecamatan. Kendaraan yang digunakan untuk mengangkut jagung adalah milik salah satu penduduk di desa tersebut. Setiap kenaikan harga jual jagung maka rumahtangga dikenakan biaya transpor yang lebih tinggi. Pembayaran transpor dilakukan pada saat jagung telah terjual. Estimasi peubah jumlah konsumsi jagung oleh ternak sapi bernilai negatif. Artinya semakin banyak jagung dikonsumsi maka ada kecenderungan penurunan biaya transpor penjualan jagung. Hal ini disebabkan bahwa bila jagung dikonsumsi oleh ternak semakin meningkat maka surplus jagung untuk dijual makin kecil sehingga biaya transpor yang ditanggung rumahtangga juga semakin kecil. Sebagian besar rumahtangga di lokasi penelitian (di Minahasa) menanam
290
jagung dengan tujuan untuk dijual. Namun sebelum dijual sebagian jagung dimanfaatkan sebagai makanan ternak sapi, sehingga konsumsi ternak sapi tersebut dianggap dapat mengurangi biaya transpor penjualan jagung. Hasil analisis estimasi menunjukkan harga jagung berpengaruh tidak nyata terhadap peubah endogen biaya transpor penjualan jagung pada taraf nyata 15 persen. Artinya, naiknya harga jagung di Minahasa pengaruhnya kecil terhadap peningkatan biaya transpor penjualan jagung. Rumahtangga bisa menggunakan angkutan lain yang lebih murah. Selanjutnya, peubah konsumsi jagung oleh ternak berpengaruh nyata terhadap peubah endogen biaya transpor penjualan jagung pada taraf nyata 15 persen. Artinya, peningkatan konsumsi jagung oleh ternak sangat berpengaruh terhadap pengurangan biaya transpor penjualan jagung disebabkan semakin banyak jagung dikonsumsi oleh ternak maka jumlah jagung yang dijual semakin sedikit. Rumahangga tidak menanggung biaya transpor lebih besar. Dampaknya biaya transaki yang dikeluarkan rumahtangga juga semakin kecil. Nilai elastisitas peubah biaya transpor penjualan jagung terhadap harga jual jagung dan konsumsi jagung masing-masing lebih kecil satu. Artinya, biaya transpor penjualan jagung di Minahasa tidak responsif terhadap peningkatan harga jual jagung. Makin tinggi harga jagung langsung direspon rumahtangga dengan menaikkan biaya transpor. Hal ini disebabkan dengan harga lebih tinggi, penerimaan dari penjualan jagung lebih tinggi, namun responnya kecil. Nilai elastisitas peubah biaya transpor penjualan jagung terhadap konsumsi jagung lebih kecil satu. Artinya biaya transpor penjualan jagung tidak responsif terhadap konsumsi jagung. Konsumsi jagung pengaruhnya kecil terhadap penurunan biaya transpor penjualan jagung. Biaya transpor dihitung
291
berdasarkan banyaknya ret pengangkutan ke tempat tujuan. Biaya transpor penjualan jagung tergantung jumlah yang dijual dan harga yang berlaku.
7.5.3. Biaya Transpor Penjualan Kopra Hasil analisis pada Tabel 41 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen biaya transpor penjualan kopra (BTPK) di Bolaang Mongondow telah sesuai kriteria ekonomi. Estimasi harga kopra bernilai positif. Artinya naiknya harga jual kopra menyebabkan biaya transpor penjualan kopra naik. Sebagian besar rumahtangga petani peternak menjual kopra dijemput oleh pedagang menyebabkan harga yang dibayar ke rumahtangga semakin kecil karena sudah dikurangi biaya transpor. Fenomena ini menunjukkan semakin tinggi harga penjualan kopra maka biaya transpor penjualan kopra yang ditanggung rumahtangga semakin besar. Biaya transpor penjualan kopra tersebut responsif terhadap harga kopra. Penjualan kopra di lokasi penelitan lebih murah dibanding dijual di pabrik-pabrik minyak goreng di Sulawesi Utara. Bila menjual di pabrik biaya transpor yang ditanggung rumahtangga lebih besar. Faktor lain yang mempengaruhi biaya transpor penjualan kopra adalah tenaga kerja sapi. Semakin tinggi jam kerja sapi, biaya transpor penjualan kopra semakin kecil. Hal ini disebabkan sebagian besar penjualan kopra dijemput oleh pedagang.
Apabila
rumahtangga
mengangkut
sendiri
kopranya
dengan
menggunakan gerobak maka biaya transpor penjualan kopra lebih murah. Pedagang yang membeli kopra menggunakan kendaraan pick up sebagai pengangkut kopra di lokasi perkebunan kelapa. Biaya transpor yang ditanggung
292
dihitung sebagai upah apabila ternak disewa rumahtangga lain. Semakin banyak penggunaan tenaga kerja sapi maka biaya transpor semakin berkurang. Walaupun biaya transpor penjualan kopra tidak responsif terhadap tenaga kerja sapi.
7.6. Perilaku Penerimaan dan Pendapatan Perilaku penerimaan dan pendapatan di Minahasa dianalisis untuk usaha sapi, jagung, usahatani lain, buruh tani, luar usahatani dan usahalain. Penerimaan dan pendapatan terdiri dari lima persamaan identitas yaitu penerimaan usaha sapi (RUTS), pendapatan usaha sapi (PUTS), pendapatan usaha jagung (PUJ), total pendapatan rumahtangga (TPRT) dan pendapatan siap dibelanjakan (PSD). Penerimaan
usaha
sapi
merupakan
penjumlahan
penjualan
sapi,
pendapatan sewa ternak sapi sebagai tenaga kerja baik perhitungan maupun dibayar. Pendapatan usaha sapi merupakan selisih penerimaan dengan total biaya. Penerimaan usaha sapi dalam penelitian ini mempengaruhi produktivitas jagung yang diproxy dengan komponen penerimaan penjualan sapi (RUTSJ) sebagai budget dalam usaha jagung. Penerimaan usaha sapi juga mempengaruhi perluasan lahan garapan jagung, pembelian pupuk urea, penyewaan tenaga kerja luar untuk usaha jagung, curahan kerja sebagai buruh tani, konsumsi jagung untuk sapi, pengeluaran rumahtangga yang diproxy dengan total pendapatan rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa. Pendapatan usaha jagung merupakan selisih antara penerimaan dan total biaya usaha jagung. Penerimaan usaha jagung sebagai budget rumahtangga mempengaruhi pengeluaran konsumsi pangan dan non pangan, investasi sumberdaya manusia yang di proxy dengan total penerimaan rumahtangga.
293
Total penerimaan rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa merupakan penjumlahan semua pendapatan rumahtangga yang bersumber dari usaha sapi, usaha jagung, usahatani lain, buruh tani, luar usahatani dan usahatani lain dikurangi biaya sarana produksi, biaya tenaga kerja dan biaya transaksi. Sedangkan pendapatan siap belanja merupakan selisih antara total penerimaan rumahtangga dengan pajak. Perilaku penerimaan dan pendapatan di Bolaang Mongondow dianalisis untuk usaha sapi, usaha kelapa, usaha jagung dan usahatani lain, buruh tani, luar usahatani dan usahalain. Penerimaan dan pendapatan terdiri dari lima persamaan identitas yaitu penerimaan usaha sapi (RUTS), pendapatan usaha sapi (PUTS), pendapatan usaha kelapa (PUK), total pendapatan rumahtangga (TPRT) dan pendapatan siap dibelanjakan (PSD). Seperti di Minahasa, penerimaan usaha sapi di Bolaang Mongondow merupakan penjumlahan penjualan sapi dengan pendapatan sewa ternak sapi perhitungan dan sewa sapi dibayar. Pendapatan usaha sapi merupakan selisih penerimaan dengan total biaya. Pendapatan usaha kelapa merupakan selisih antara penerimaan kelapa dengan total biaya usaha kelapa. Penerimaan usaha kelapa sebagai budget rumahtangga yang di proxy dengan total penerimaan rumahtangga mempengaruhi pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi pangan, konsumsi non pangan, investasi sumberdaya manusia. Total
penerimaan
rumahtangga
merupakan
penjumlahan
semua
pendapatan rumahtangga yang bersumber dari usaha sapi, usaha kelapa, total usahatani lain dengan usaha jagung, buruh tani, luar usahatani dan usahatani lain dikurangi biaya sarana produksi, biaya tenaga kerja dan biaya transaksi.
294
Sedangkan pendapatan siap belanja merupakan selisih antara total penerimaan rumahtangga dengan pajak.
7.7. Perilaku Pengeluaran Rumahtangga Perilaku pengeluaran rumahtangga dan surplus dalam penelitian ini terdiri dari empat persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Persamaan struktural terdiri dari konsumsi pangan (KP), konsumsi non pangan (KNP), investasi pendidikan (IPD) dan konsumsi jagung (KONJ). Sedangkan persamaan identitas terdiri dari total konsumsi (KT), total pegeluaran (TP), investasi sumberdaya manusia (ISM) dan surplus jagung (SPJ). Perilaku pengeluaran rumahtangga dan surplus di Bolaang Mongondow terdiri dari empat persamaan struktural dan tiga persamaan identitas. Persamaan struktural terdiri dari konsumsi pangan (KP), konsumsi non pangan (KNP), investasi pendidikan (IPD) dan surplus pasar kelapa (SPK). Sedangkan persamaan identitas terdiri dari total konsumsi (KT), total pegeluaran (TP) dan investasi sumberdaya manusia (ISM). Hasil estimasi perilaku pengeluaran rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 42. Berdasarkan data hasil estimasi pada Tabel 42, selanjutnya akan dibahas respon masing-masing peubah endogen.
7.7.1. Konsumsi Pangan Konsumsi pangan (KP) secara bersama-sama dipengaruhi jumlah anggota keluarga (ANG), pendidikan formal kepala keluarga (PFO) dan total pendapatan rumahtangga (TPRT). Konsumsi pangan merupakan pengeluaran kebutuhan pokok rumahtangga. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Muhammad (2002), Kusnadi (2005), Asmarantaka (2007), Bakir (2007) dan Priyanti (2007).
295
Hasil analisis pada Tabel 42 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah-peubah yang mempengaruhi konsumsi pangan telah sesuai kriteria ekonomi. Estimasi peubah jumlah anggota keluarga bernilai positif. Artinya naiknya jumlah anggota keluarga menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi pangan sebesar nilai estimasi parameternya. Estimasi peubah tingkat pendidikan kepala keluarga bernilai positif. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga, konsumsi pangan naik sebesar nilai estimasi parameternya. Tanda peubah total pendapatan rumahtangga adalah positif. Artinya semakin tinggi total pendapatan rumahtangga maka konsumsi pangan semakin meningkat sebesar nilai estimasi parameternya. Apabila tingkat pendapatan rumahtangga
semakin
tinggi,
mereka
dapat
mengalokasikannya
untuk
pengeluaran konsumsi pangan dalam rangka memaksimumkan utilitasnya. Hasil estimasi juga menunjukkan jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga dan total pendapatan rumahtangga masing-masing berpengaruh sangat nyata terhadap peubah endogen konsumsi pangan pada taraf nyata 15 persen. Penambahan anggota keluarga pengaruhnya sangat besar terhadap
peningkatan
konsumsi
pangan.
Konsumsi
pangan
tergantung
karakteristik rumahtangga diantaranya struktur demografi rumahtangga dapat dilihat dari ketergantungan rasio C/W. Rumahtangga dengan C/W tinggi berarti jumlah anggota rumahtangga yang mengkonsumsi lebih besar dari pekerja dengan demikian konsumsi pangan lebih tinggi. Bertambahnya anggota keluarga maka kebutuhan beras dan lauk pauk makin meningkat menyebabkan pengeluaran semakin meningkat.
296
Tabel 42. Hasil Parameter Estimasi, Elastisitas Pengeluaran Rumahtangga Petani Usaha Ternak Sapi-Tanaman di Minahasa dan Bolaang Mongondow Bolaang Mongondow
Minahasa Variabel
Kode
Parameter Estimasi
Konsumsi Pangan KP 3123100 Intersep Jumlah Anggota Kel ANG 1083476* 121564.3* Pendidikn Kepala Kel PFO Total Pendapatan RT TPRT 0.00390* Konsmsi Non Pangan KNP 2596139 Intersep 123988.1* Pendidikan Kepala Kel PFO Jumlah Angkatan Kerja JAKK 471818.6* Total Pendapatan Kel TPRT 0.002304 Jumlah Anggota Kel ANG Investasi Pendidikan IPD -118982 Intersep 150394.6* Pendidikan Kepala Kel PFO -0.05553 Tabungan TAB Total Pendapatan RT TPRT 0.002335* Jumlah Anak Sekolah JAS Konsumsi Jagung KONJ 496.0788 Intersep Biaya Rumput BRUM 0.000011 Penerimaan Penj Sapi RUTSJ 4.699E-6 Produksi Jagung PROJ 0.006414* Surplus Pasar Kelapa SPK Intersep Harga Buah Kelapa HBK Produksi Kelapa PROB Total Pengeluaran TP Biaya Transaksi kopra BTRK Keterangan : * = P<0.15 - = Tidak ada aktivitas
Elastisitas
Parameter Estimasi
Elastisitas
0.47406 0.12080 0.01427
3181763 834881* 137392* 0.06114*
0.24460 0.08810 0.01674 -
-1274999 139355* 0.06728* 627293*
0.2824 0.5024
1.08311 -0.0393 0.0620 -
0.02204* 1293502*
0.4885 1.0547
0.10812 0.07940 0.09094
-
-
-
6050.961 4.42578* 0.00956* 0.00020* 9.37203*
0.1624 0.0097 0.2462 0.0204
0.3144 0.1262 0.2070
0.5211
Bila faktor-faktor lain tetap, semakin tinggi pendidikan pengaruhnya cukup besar terhadap peningkatan konsumsi pangan. Tingkat pendidikan berperan penting terhadap alokasi pengeluaran untuk konsumsi pangan terutama menyangkut pola konsumsi rumahtangga. Naiknya pendapatan rumahtangga
297
berdampak terhadap peningkatan konsumsi rumahtangga. Semakin tinggi pendapatan, daya beli rumahtangga terhadap komoditas pangan semakin tinggi. Nilai elastisitas peubah konsumsi pangan terhadap jumlah anggota keluarga lebih kecil satu. Artinya konsumsi pangan tidak responsif terhadap jumlah anggota keluarga. Walaupun jumlah anggota keluarga berpengaruh cukup besar terhadap konsumsi pangan namun bertambahnya anggota keluarga tidak langsung direspon rumahtangga dengan meningkatkan konsumsi pangan. Kenyataan ini menunjukkan rumahtangga di Minahasa sudah rasional dalam mengalokasikan pengeluaran untuk konsumsi pangan. Hasil analisis nilai elastisitas peubah konsumsi pangan terhadap pendidikan kepala keluarga lebih kecil satu. Artinya konsumsi pangan tidak responsif terhadap tingkat pendidikan kepala keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan,
rumahtangga
semakin
rasional
mengalokasikan
pengeluaran
konsumsi pangan. Rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa mulai menerapkan pola hidup sederhana, konsumsi pangan bukan berdasarkan kuantitasnya tapi lebih memperhatikan kualitas. Hasil analisis menunjukkan nilai elastisitas peubah konsumsi pangan terhadap total pendapatan rumahtangga lebih kecil satu. Artinya konsumsi pangan tidak responsif terhadap total pendapatan rumahtangga. Walaupun pendapatan total yang diperoleh rumahtangga berdampak cukup besar terhadap konsumsi pangan. Hal ini disebabkan karena pendapatan yang diperoleh rumahtangga akan dialokasikan bukan hanya untuk kebutuhan pokok tetapi juga untuk kebutuhan non pokok seperti kebutuhan non pangan, pendidikan, kesehatan dan usahatani.
298
Konsumsi pangan (KP) oleh rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi jumlah anggota keluarga (ANG), pendidikan formal kepala keluarga (PFO) dan total pendapatan rumahtangga (TPRT). Konsumsi pangan merupakan pengeluaran untuk kebutuhan pokok rumahtangga yang harus dipenuhi karena menyangkut kebutuhan sehari-hari. Konsumsi pangan terutama berkaitan dengan struktur demografi rumahtangga. Hasil estimasi pada Tabel 42 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubahpeubah yang mempengaruhi konsumsi pangan telah sesuai kriteria ekonomi. Jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga dan total pendapatan rumahtangga masing-masing berpengaruh sangat nyata terhadap peubah endogen konsumsi pangan pada taraf nyata 15 persen. Jumlah anggota keluarga bernilai positif. Artinya naiknya jumlah anggota keluarga, maka konsumsi pangan naik sebesar nilai estimasi parameternya. Jumlah anggota keluarga merupakan karakteristik rumahtangga yang dapat mempengaruhi pengeluaran konsumsi dan pengaruhnya sangat nyata. Naiknya anggota keluarga maka kebutuhan beras dan lauk pauk meningkat akibatnya pengeluaran juga meningkat. Walaupun respon perubahannya tidak elastis, karena anggota keluarga tidak berubah dalam jangka pendek dan rumahtangga juga sudah rasional dalam mengalokasikan pengeluaran konsumsi pangan. Faktor karakteristik rumahtangga lain yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah tingkat pendidikan kepala keluarga. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi pangan sebesar nilai estimasi parameternya. Konsumsi pangan merupakan konsumsi bahan-bahan pokok yang harus dipenuhi oleh setiap rumahtangga.
299
Seperti di Minahasa, kepala keluarga yang menyandang tingkat pendidikan lebih tinggi akan berusaha meningkatkan pengeluaran untuk konsumsi pangan anggota keluarganya. Tingkat pendidikan berperan penting terhadap alokasi pengeluaran untuk konsumsi pangan terutama menyangkut pola konsumsi rumahtangga petani peternak sapi. Pengaruh tingkat pendidikan sangat nyata terhadap konsumsi pangan, walaupun responnya sangat kecil yang disebabkan konsumsi pangan sudah tertentu. Semakin tinggi tingkat pendidikan, rumahtangga juga semakin rasional dalam mengalokasikan pengeluaran konsumsi pangan. Rumahtangga mulai menerapkan pola hidup sederhana dengan konsumsi pangan bukan berdasarkan kuantitasnya tapi lebih memperhatikan kualitas. Pendapatan yang diperoleh rumahtangga merupakan faktor penentu besar kecilnya pengeluaran konsumsi pangan. Tanda peubah total pendapatan rumahtangga adalah positif. Artinya semakin tinggi total pendapatan rumahtangga [[
maka konsumsi pangan rumahtangga semakin meningkat sebesar nilai estimasi parameternya. Apabila tingkat pendapatan rumahtangga semakin tinggi, mereka dapat mengalokasikannya untuk pengeluaran konsumsi pangan dalam rangka memaksimumkan utilitasnya. Semakin tinggi pendapatan rumahtangga maka daya beli rumahtangga terhadap komoditas pangan semakin tinggi. Pengaruh pendapatan sangat nyata terhadap konsumsi pangan, walaupun respon perubahannya sangat kecil. Hal ini disebabkan konsumsi pangan sudah tertentu dan rumahtangga berpikir rasional untuk mengalokasikan pendapatannya. Sehingga pendapatan yang diperoleh rumahtangga akan dialokasikan bukan hanya untuk kebutuhan pokok tetapi juga untuk kebutuhan non pokok seperti kebutuhan non pangan, pendidikan, kesehatan dan usahatani.
300
7.7.2. Konsumsi Non Pangan Konsumsi non pangan (KNP) diantaranya konsumsi minyak tanah/kayu bakar, listrik/air, kesehatan, pakaian/sepatu/sabun, kebutuhan sosial/rekreasi dan sebagainya. Konsumsi non pangan (KNP) secara bersama-sama dipengaruhi pendidikan kepala keluarga, jumlah angkatan kerja dan total pendapatan rumahtangga. Hasil analisis pada Tabel 42 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen konsumsi non pangan telah sesuai kriteria ekonomi. Estimasi peubah tingkat pendidikan kepala keluarga bernilai positif. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga maka konsumsi non pangan naik sebesar nilai estimasi parameternya. Tanda peubah jumlah angkatan kerja bernilai positif. Artinya naiknya jumlah angkatan kerja keluarga menyebabkan naiknya konsumsi non pangan sebesar nilai estimasi parameternya. Tanda peubah total pendapatan rumahtangga adalah positif. Artinya semakin tinggi total pendapatan rumahtangga, konsumsi non pangan semakin meningkat sebesar nilai estimasi parameternya. Tingkat pendapatan rumahtangga semakin tinggi, mereka dapat mengalokasikannya untuk pengeluaran konsumsi non pangan dengan lebih tinggi. Peubah pendidikan kepala keluarga dan jumlah angkatan kerja keluarga masing-masing berpengaruh nyata terhadap konsumsi non pangan pada taraf nyata 15 persen. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan berdampak cukup besar terhadap naiknya konsumsi non pangan. Kepala keluarga yang menyandang tingkat pendidikan lebih tinggi sudah memperhatikan konsumsi non pangan.
301
Semakin tinggi jumlah angkatan kerja juga berpengaruh terhadap peningkatan konsumsi non pangan. Hal ini berkaitan dengan rasio konsumsi dan pekerja dalam rumahtangga. Semakin rendah rasio C/W maka pengeluaran konsumsi non pangan makin tinggi. Keadaan ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah angkatan kerja keluarga pengaruhnya cukup besar terhadap peningkatan konsumsi non pangan di lokasi penelitian. Peubah total pendapatan rumahtangga berpengaruh tidak nyata terhadap konsumsi non pangan pada taraf nyata 15 persen. Artinya peningkatan pendapatan rumahtangga pengaruhnya kecil terhadap peningkatan konsumsi non pangan rumahtangga. Hal ini disebabkan pendapatan yang diperoleh dialokasikan untuk berbagai kebutuhan baik kebutuhan pokok, kebutuhan non pokok termasuk kebutuhan proses produksi usahatani. Nilai elastisitas peubah konsumsi non pangan terhadap pendidikan kepala keluarga lebih kecil satu. Artinya konsumsi non pangan tidak responsif terhadap pendidikan kepala keluarga. Walaupun pendidikan kepala keluarga berdampak cukup besar terhadap peningkatan konsumsi non pangan. Kenyataan ini menunjukkan rumahtangga sudah mulai rasional dalam mengalokasikan pengeluaran dengan tidak mengutamakan konsumsi non pangan. Besarnya nilai elastisitas peubah konsumsi non pangan terhadap jumlah angkatan kerja keluarga lebih kecil satu. Artinya konsumsi non pangan tidak responsif terhadap jumlah angkatan kerja keluarga. Walaupun jumlah angkatan kerja keluarga berdampak cukup besar terhadap peningkatan konsumsi non pangan. Struktur demografi rumahtangga petani peternak sapi di Minahasa mempengaruhi pengeluaran konsumsi non pangan. Dampak struktur demografi
302
dapat dilihat dari rasio konsumsi dan pekerja (C/W). Semakin tinggi pekerja, rasionya makin kecil sehingga konsumsi non pangan makin tinggi. Nilai elastisitas peubah konsumsi non pangan terhadap total pendapatan rumahtangga lebih kecil satu. Artinya konsumsi non pangan tidak responsif terhadap total pendapatan rumahtangga. Walaupun peningkatan pendapatan rumahtangga berdampak cukup besar terhadap peningkatan konsumsi non pangan. Dalam hal ini rumahtangga tidak mengutamakan konsumsi non pangan. Konsumsi non pangan di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi jumlah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga dan total pendapatan rumahtangga. Hasil analisis pada Tabel 42 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi peubah endogen konsumsi non pangan telah sesuai kriteria ekonomi. Peubah jumlah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga dan total pendapatan rumahtangga masing-masing berpengaruh nyata terhadap konsumsi non pangan pada taraf nyata 15 persen. Peubah jumlah anggota keluarga bernilai positif. Artinya semakin banyak anggota keluarga maka konsumsi non pangan semakin meningkat. Pengeluaran kebutuhan non pangan diantaranya pengeluaran minyak tanah, kayu bakar, pakaian/sepatu, sabun, kesehatan dan sosial. Semakin banyak anggota rumahtangga maka kebutuhan untuk konsumsi non pangan tersebut makin meningkat, sehingga pengeluaran untuk kebutuhan tersebut juga meningkat. Pengaruh jumlah anggota keluarga sangat nyata terhadap konsumsi non pangan, walaupun tidak responsif. Estimasi peubah tingkat pendidikan kepala keluarga bernilai positif. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga menyebabkan naiknya
303
konsumsi non pangan sebesar nilai estimasi parameternya. Peningkatan tingkat pendidikan tersebut pengaruhnya nyata terhadap pengeluaran konsumsi non pangan. Kepala keluarga yang menyandang tingkat pendidikan lebih tinggi sudah memperhatikan pengeluaran konsumsi non pangan bagi keluarganya. Konsumsi non pangan tidak responsif terhadap pendidikan kepala keluarga. Kenyataan ini menunjukkan rumahtangga sudah mulai rasional dalam mengalokasikan pengeluaran dengan tidak mengutamakan konsumsi non pangan. Tanda peubah total pendapatan rumahtangga adalah positif. Artinya semakin tinggi total pendapatan rumahtangga petani peternak sapi di Bolaang Mongondow maka konsumsi non pangan semakin meningkat sebesar nilai estimasi parameternya. Apabila tingkat pendapatan rumahtangga semakin tinggi, mereka dapat mengalokasikannya untuk pengeluaran konsumsi non pangan. Peningkatan pendapatan rumahtangga tersebut pengaruhnya sangat besar terhadap peningkatan konsumsi non pangan rumahtangga. Hal ini disebabkan pendapatan yang diperoleh dialokasikan untuk berbagai kebutuhan baik kebutuhan pokok, kebutuhan non pokok termasuk kebutuhan proses produksi usahatani. Namun konsumsi non pangan tidak responsif terhadap total pendapatan rumahtangga. Dalam hal ini rumahtangga tidak mengutamakan konsumsi non pangan.
7.7.3. Investasi Pendidikan Investasi pendidikan rumahtangga petani usaha ternak sapi-tanaman di Minahasa secara bersama-sama dipengaruhi oleh pendidikan kepala keluarga, tabungan dan total pendapatan rumahtangga (TPRT).
304
Estimasi peubah tingkat pendidikan kepala keluarga bernilai positif. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga menyebabkan pengeluaran untuk pendidikan semakin tinggi sebesar nilai estimasi parameternya. Tanda peubah tabungan bernilai negatif. Artinya peningkatan tabungan dapat menyebabkan terjadinya penurunan pengeluaran untuk investasi pendidikan sebesar nilai estimasi parameternya. Total pendapatan rumahtangga petani peternak sapi bernilai positif. Artinya
semakin
tinggi
total
pendapatan
rumahtangga
maka
semakin
meningkatkan pengeluaran untuk pendidikan sebesar nilai estimasi parameternya. Apabila tingkat pendapatan semakin tinggi maka rumahtangga petani peternak sapi dapat mengalokasikannya untuk pengeluaran investasi pendidikan dengan proporsi lebih besar. Rumahtangga di Minahasa lebih memperhatikan peningkatan kualitas sumberdaya manusianya. Hasil estimasi menunjukkan peubah pendidikan kepala keluarga berpengaruh nyata terhadap peubah endogen investasi pendidikan pada taraf nyata 15 persen. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga berdampak cukup besar terhadap peningkatan investasi pendidikan. Kepala keluarga yang menyandang tingkat pendidikan lebih tinggi sudah memperhatikan tingkat pendidikan anggota keluarganya. Estimasi peubah tabungan berpengaruh tidak nyata terhadap peubah investasi pendidikan pada taraf nyata 15 persen. Hal ini dapat dinyatakan bahwa penambahan jumlah tabungan keluarga pengaruhnya cukup kecil terhadap peningkatan investasi pendidikan. Pendidikan merupakan investasi jangka panjang dalam hal ini sangat diperlukan budget dalam rangka peningkatan
305
sumberdaya manusia. Tabungan dapat diandalkan sebagai penanggulangan apabila ada kebutuhan mendesak di masa yang akan datang atau pada akhir tahun. Namun kenyataan di lapangan, rumahtangga menabung dalam bentuk arisan untuk digunakan sebagai pengeluaran konsumsi pada hari natal dan tahun baru. Berdasarkan fenomena tersebut, peningkatan tabungan berdampak kecil terhadap penurunan investasi pendidikan. Dalam hal ini pendidikan dianggap mempunyai peranan penting bagi anggota keluarga. Peubah total pendapatan rumahtangga petani peternak sapi berpengaruh tidak nyata terhadap investasi pendidikan pada taraf nyata 15 persen. Artinya naiknya pendapatan rumahtangga pengaruhnya kecil terhadap naiknya investasi pendidikan. Biaya pendidikan sudah tertentu, sehingga peningkatan total pendapatan
rumahtangga
pengaruhnya
kecil
terhadap
naiknya
investasi
pendidikan. Pendidikan bagi anggota keluarga di Minahasa sangat berperan penting dan diutamakan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Namun pendapatan yang diperoleh dialokasikan juga untuk pengeluaran lain. Nilai elastisitas peubah investasi pendidikan terhadap pendidikan kepala keluarga lebih besar satu. Artinya investasi pendidikan responsif terhadap pendidikan kepala keluarga. Tingkat pendidikan kepala keluarga berdampak cukup besar terhadap investasi pendidikan anggota keluarganya. Kenyataan ini menunjukkan pendidikan berperan penting bagi rumahtangga. Investasi pendidikan merupakan pengeluaran yang dialokasikan untuk menunjang peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Untuk mencapai kualitas sumberdaya manusia yang layak sangat ditunjang dengan tingkat pendidikan kepala keluarga.
306
Besarnya nilai elastisitas peubah investasi pendidikan terhadap tabungan lebih kecil satu. Artinya investasi pendidikan tidak responsif terhadap tabungan. Peningkatan
tabungan
pengaruhnya
kecil
terhadap
penurunan
investasi
pendidikan. Tabungan bersaing dengan pengeluaran untuk investasi pendidikan. Seperti telah dijelaskan di atas, rumahtangga menabung dengan harapan di hari tua atau diakhir tahun ada budget yang dapat dialokasikan untuk kebutuhan pangan maupun non pangan. Namun demikian, peningkatan tabungan tidak langsung direspon rumahtangga dengan menurunkan investasi pendidikan. Nilai elastisitas peubah investasi pendidikan terhadap total pendapatan rumahtangga lebih kecil satu. Artinya investasi pendidikan tidak responsif terhadap total pendapatan rumahtangga. Walaupun peningkatan pendapatan rumahtangga mempunyai pengaruh cukup besar terhadap investasi pendidikan. Dalam hal ini pengeluaran untuk investasi pendidikan sudah tertentu. Investasi pendidikan di Bolaang Mongondow secara bersama-sama dipengaruhi jumlah anak sekolah dan total pendapatan rumahtangga. Hasil analisis pada Tabel 42 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah yang mempengaruhi investasi pendidikan telah sesuai kriteria ekonomi. Estimasi peubah jumlah anak sekolah bernilai positif. Artinya semakin tinggi jumlah anak sekolah dalam rumahtangga menyebabkan pengeluaran untuk pendidikan semakin tinggi sebesar nilai estimasi parameternya. Pengaruh jumlah anak sekolah tersebut nyata terhadap investasi pendidikan. Pengeluaran investasi pendidikan sangat responsif terhadap jumlah anak bersekolah dalam keluarga. Hal ini dilakukan rumahtangga untuk meningkatkan sumberdaya manusianya.
307
Pendapatan yang diterima rumahtangga juga dialokasikan untuk pengeluaran pendidikan. Peubah total pendapatan rumahtangga bernilai positif. Artinya semakin tinggi total pendapatan rumahtangga maka makin tinggi pengeluaran pendidikan sebesar nilai estimasi parameternya. Apabila tingkat pendapatan rumahtangga semakin tinggi, mereka dapat mengalokasikannya untuk investasi pendidikan dengan proporsi yang lebih besar. Pengaruh pendapatan tersebut sangat nyata terhadap investasi pendidikan, walaupun responnya kecil disebabkan sebagian anak tersebut masih dalam usia sekolah selain itu biaya pendidikan sudah tertentu.
7.7.4. Konsumsi Jagung Di Minahasa sebagian jagung yang ditanam dimanfaatkan sebagai konsumsi sapi. Konsumsi jagung secara bersama-sama dipengaruhi biaya pembelian rumput, penerimaan penjualan sapi dan produksi jagung. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, konsumsi jagung merupakan perhitungan konsumsi jagung oleh ternak sapi. Hasil estimasi pada Tabel 42 menunjukkan semua tanda estimasi untuk peubah-peubah yang mempengaruhi peubah endogen konsumsi jagung telah sesuai kriteria ekonomi. Rumahtangga mempunyai keterbatasan budget sehingga rumahtangga berusaha meminimumkan biaya sarana produksi. Meningkatnya pembelian rumput menyebabkan rumahtangga akan beralih menambah jagung sebagai konsumsi ternak sapi. Estimasi peubah biaya pembelian rumput bernilai positif. Artinya semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk pembelian rumput menyebabkan konsumsi jagung oleh ternak makin meningkat sebesar nilai estimasi parameternya. Hal ini
308
dilakukan rumahtangga sebagai upaya meminimumkan biaya sarana produksi sekaligus meningkatkan kualitas pakan. Tanda peubah penerimaan penjualan sapi bernilai positif. Artinya bertambahnya penerimaan dari penjualan sapi menyebabkan peningkatan konsumsi jagung sebesar nilai estimasi parameternya. Kenyataan di lapang menunjukkan rumahtangga berusaha meningkatkan kualitas pakan dengan mengurangi jagung yang dijual. Bertambahnya penerimaan penjualan sapi menyebabkan
konsumsi
jagung
meningkat.
Rumahtangga
tidak
perlu
meningkatkan penjualan jagung sebagai sumber penerimaan. Untuk menutupi biaya yang dikeluarkan digunakan penerimaan dari penjualan sapi. Peubah produksi jagung bernilai positif. Artinya naiknya produksi jagung, meningkatkan konsumsi jagung oleh ternak sebesar nilai estimasi parameternya. Kenyataan di lapang, sebagian produksi jagung diberikan ke ternak dalam bentuk jagung muda beserta limbahnya. Fenomena ini sebagai upaya peningkatan kualitas pakan dan untuk mengatasi kekurangan rumput. Hasil estimasi menunjukkan peubah biaya pembelian rumput dan penerimaan penjualan sapi masing-masing berpengaruh tidak nyata terhadap peubah endogen konsumsi jagung oleh ternak pada taraf nyata 15 persen. Artinya semakin tinggi biaya rumput dampaknya kecil terhadap peningkatan konsumsi jagung. Hal ini disebabkan jagung yang ditanam sebagai konsumsi ternak sapi, namum ketersediaannya tergantung musim tanam. Setiap tahun musim tanam jagung 2 sampai 3 kali malahan ada yang hanya sekali tanam. Bila faktor lain tetap, peningkatan penerimaan penjualan sapi pengaruhnya kecil terhadap