77
VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI
Produksi garam memberikan peluang usaha yang cocok sebagai usaha subsisten pada petambak di Kabupaten Indramayu. Usaha yang sudah turun temurun warisan dari petambak dulu yang mengadopsi usaha di wilayah Madura. Metode penguapan atau madurase merupakan teknologi dalam sistem usaha garam dari dulu sampai saat ini. Dengan memanfaatkan sinar matahari setiap hari dan mengalirkan air laut ke area tambak, petambak sudah bisa melakukan produksi dan dapat mengumpulkan garam Kristal.
Sehingga bisa dikatakan
produksi garam sangatlah sederhana. Faktor yang lain adalah tenaga kerja yang intensif dalam memantau intensitas panas matahari, kecepatan angin dan memantau aliran air dengan memakai pompa atau secara manual, sehingga bisa dikatakan pula usaha garam termasuk yang padat karya.
Empat faktor itulah
yang menjadi ukuran hasil produksi dan produktifitas dalam usaha garam. 7.1. Penggunaan Faktor Produksi Usaha Garam Rakyat Model fungsi produksi stochastic frontier yang digunakan di dalam analisis ini merupakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang terdiri dari 4 variabel penjelas, yaitu: luas lahan, jumlah hari produksi, jumlah tenaga kerja, dan jumlah air laut yang digunakan sebagai bahan baku garam. Ringkasan data dapat dilihat pada Tabel 15 di bawah yang dibagi menjadi 3 kelompok petambak. Luas lahan rata-rata yang dikelola dari 3 (tiga) jenis kelompok petambak dengan luasan yang berbeda-beda. Untuk petambak sewa (cash rent) rata-rata mengelola luasan lahan 1.4 hektar yang digarap oleh orang lain atau petambak sendiri. Hal ini tergantung modal awal yang tersedia. Kelompok petambak bagi hasil (sharerent) mengelola lahan rata-rata 1.9 hektar. Untuk petambak milik-garap (owner) rata-rata mengolah lahan sebesar 0.5 hektar (Tabel 15). Perbedaan dalam luasan pengolahan lahan ini tergantung dari kesediaan petambak dalam mengusahakan garam dan memprediksi musim yang akan berlangsung serta memprediksi ketersediaan modal minimal untuk menggarap tanah pada tahap awal. Variable jumlah hari produksi rata-rata antara tiga kelompok petambak hampr sama sekitar 90 hari. Selama tiga bulan penuh pada tahun 2011 petambak gunakan untuk proses penguapan dan pengambilan garam. Ada pun petambak yang kurang dari 90 hari, petambak yang terlambat dalam
78
penggarapan awal lahan dan ketersediaan lahan setelah sebelumnya dilakukan usaha tambak ikan. Menurut petambak pada tahun 2011 jumlah kemarau sesuai dengan kondisi musim untuk zona III wilayah Kabupaten Indramayu yaitu sebanyak 4 bulan masa kemarau. Penggunaan tenaga kerja pada kelompok petambak berbeda-beda. Hal ini berhubungan dengan ukuran lahan yang dikelola oleh petambak. Jumlah tenaga kerja yang dikeluarkan sangat banyak ketika awal pengolahan lahan. Pada
petambak
sewa
(cash-rent)
mengeluarkan
tenaga
kerja
penuh.
Karakteristik padat karya pada kelompok ini sangat terlihat pada tahap awal. Luasan 3 hektar lahan membutuhkan jumlah tenaga kerja sebanyak 21 orang untuk proses penggalian atau pembalilkan tanah dan pengerasan lahan untuk meja garam. Untuk petambak bagi hasil (share rent) umumnya mengelola lahan sendiri dan akan mengeluarkan tenaga kerja tambahan jika dibutuhkan dan diseimbangkan dengan ketersediaan dana untuk upah tenaga kerja.
Jumlah
tenaga kerja yang diikutsertakan pada petambak pemilik-garap (owner) dalam usaha rata-rata menggunakan 3 orang, dimana komposisinya terdiri dari kepala rumah tangga (penggarap garam) sendiri dan melibatkan anggota keluarga sendiri dan tenaga kerja yang digunakan dari luar keluarga jika sangat dibutuhkan untuk kebutuhan tambahan tambahan seperti mengeruk garam ketika hari petambak bisa memprediksikan hari sangat baik dan kondisi meja garam sudah siap untuk dikeruk.
Tabel 15. Ringkasan Data Produksi Variable Sewa (Cash Rent) Luas lahan Jumlah hari produksi Tenaga kerja Air laut Bagi Hasil (Share rent) Luas lahan Jumlah hari produksi Tenaga kerja Air laut Pemilik-Garap (Owner) Luas lahan Jumlah hari produksi Tenaga kerja Air laut
Satuan
Rata-rata
S-Dev
Maksimum
Minimum
Hektar Hari Orang Ribu liter
1.4 90 6 3,6
0.960 2.665 4 9.000
6 100 21 4,4
1.1 21 3 2.2
Hektar Hari Orang Ribu liter
1.9 88 4 2,4
2.052 4.704 7 9
10 98 4 3.9
1.1 40 3 2.2
Hektar Hari Orang Ribu liter
0.5 89 3 2,3
0.091 3.082 3.709 601
0.57 98 4 3.0
0.3 80 2 2.1
Jumlah air laut atau air payau yang disediakan tergantung dari luasan lahan dan kecepatan proses pengauapan garam. Rata-rata jumlah air laut yang
79
salurkan ke area lahan untuk kelompok petambak sewa mencapai 3.6 ribu liter per hektar dalam satu kali proses siklus penguapan garam. Kelompok petambak bagi hasil menggunakan sekitar 2.4 ribu liter per hektar, tidak jauh beda dengan petambak pemilik-garap yang menggunakan sejumlah air laut 2.3 ribu liter per hektar. Berubah-rubahnya jumlah air laut yang dialirkan ke area peminihan tergantung dari petambak bisa mengira kondisi musim dan kualitas terik matahari untuk proses evaporasi.
7.2. Analisis Fungsi Produksi Usaha Garam Rakyat Fungsi produksi pada penelitian ini menggunakan model stochastic frontier dengan metode pendugaan Maximum Likelihood (MLE) yang dilakukan melalui proses dua tahap. Tahap pertama menggunakan metode OLS untuk menduga parameter teknologi dan input-input produksi rata-rata, dan tahap kedua menggunakan metode MLE untuk menduga keseluruhan parameter faktor produksi, intersep dan varians dari kedua komponen kesalahan vi dan ui. Dari analisis ini akan diketahui efisiensi tenis, alokatif dan ekonomis dari 3 group petambak garam, serta faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis.
7.2.1. Analisis Stochastic Frontier Produksi Garam 7.2.1.1. Pendugaan Fungsi Produksi Metode OLS antar Kelompok Petambak Pendugaan parameter fungsi produksi Cobb-Douglas dengan metode Ordinary Least Square (OLS) memberikan gambaran kinerja rata-rata dari proses produksi petambak garam pada tingkat teknologi yang ada. Pada Tabel 16 disajikan parameter dugaan fungsi produksi rata-rata, dan pada tabel tersebt juga menunjukkan bahwa tanda dan besaran dari parameter yang diestimasi dari fungsi produksi stokastik frontier dengan model translog sesuai yang diharapkan. Nilai koefisien estimasi dari semua variabel adalah positif. Tanda positif menunjukkan adanya hubungan yang positif antara faktor-faktor produksi teknis tersebut dengan jumlah produksi garam di daerah penelitian. Peningkatan penggunaan faktor-faktor produksi tersebut akan meningkatkan produksi garam di zona wilayah Kabupaten Indramayu. Hal ini juga ketentuan yang diharuskan dalam penggunaan fungsi cobb douglas yang mengasumsikan setiap parameter dari variable produksi harus positif dan dengan Return to Scale berada dalam increasing return to scale (Coelli, et al., 2005).
80
Hasil pemodelan fungsi produksi usaha garam pada masing-masing kelompok petambak sejumlah 4 variabel. Faktor tersebut terdiri dari luas lahan ( ), jumlah hari produksi ( ), jumlah tenaga kerja ( ), jumlah air laut ( ). Di bawah ini pemaparan dari hasil pendugaan parameter fungsi produksi dari masing-masing kelompok petambak.
1.
Petambak Sewa Pada Tabel 16 di bawah dapat dilihat dari analisis regresi fungsi cobb-
douglas dengan pendekatan ordinary least square (OLS) pada petambak sewa sebesar 0.547, jumlah hari produksi
dapat dilihat nilai parameter dari lahan 1.538, jumlah tenaga kerja
0.578 dan jumlah air laut
0.008.
Dikuatkan dengan hasil pengujian statistik pada taraf nyata α 0.01, faktor lahan , dan jumlah tenaga kerja
, signifikan berpengaruh dimana t-hit>t-tab.
Pengujian terhadap jumlah hari produksi
dihasilkan signifikan berpengaruh
dimana t-hit>t-tab pada taraf nyata α 0.05, sedangakan jumlah air laut yang digunakan tidak signifikan pada taraf α 0.01 ataupun pada taraf α 0.05. Daerah produksi garam pada petambak sewa berada dalam kondisi increasing return to scale dengan jumlah nilai parameter sebesar 2.670. Pengujian statistik F menghasilkan F-hit> F-tabel sehingga Ho ditolak artinya bahwa jumlah parameter tersebut signifikan mempengaruhi terhadap produksi. Begitupun dengan nilai korelasi R2 dengan nilai 0.978, dimana nilai tersebut besar dan dapat dikatakan bahwa faktor produksi berkorelasi positif sebesar 97.8 persen. Nilai parameter dari jumlah hari produksi tertinggi, selanjutnya jumlah tenaga kerja, ukuran lahan dan paling kecil nilai parameter atau elastisitasnya adalah penggunaan jumlah air laut. Jadi jika terjadi peningkatan jumlah hari 10 persen dari rata-rata yang sudah dimanfaatkan oleh petambak sewa maka ia akan meningkat produksinya 15.38 persen, sedangkan jika ukuran lahan ditingkatkan 10 persen hanya bisa meningkatkan sebesar 5.47 persen dan jika ada peningkatan tenaga kerja 10 persen maka produksi akan meningkat 5.78 persen. Jadi berdasarkan simulasi tersebut faktor jumlah hari sangat elastis dibandingkan faktor produksi yang lain, sedangkan penggunaan jumlah air laut tidak elastis dalam peningkatan produksi garam. Luas lahan (x ). Kondisi dilapangan untuk beberapa petambak sewa 1
mereka sudah optimal dalam penggunaan lahan mulai dari pembenahan lahan
81
pada tahap awal sampai pada penggunaan lahan dan pemilahan lahan untuk proses penguapan garam. Hal ini dengan adanya ketersediaan modal dana awal yang bisa mereka pergunakan. Kekuatan dari petambak sewa adalah mereka mampu menyediakan faktor produksi yag berupa fisik seperti lahan yang dikelola secara cukup luas sekitar 3-5 hektar. Berdasarkan Gambar 10 tentang pengelompokan petambak berdasarkan pengelolaan luasan lahan tambak terhadap produksi, 45 persen petambak mengolah 1-2 hektar dengan rata-rata produksi mencapai 70 ton, sedangkan petambak yang mengolah dengan luasan 3 hektar produksi bisa mencapai 230 ton dan petambak yang mengolah 5-8 hektar bisa mnecapai 500 ton per satu kali musim. Jika dihitung rata-rata produksi bisa mencapai 75 ton per hektar.
500
Produksi (ton)
400
300
200
100
0 1
2
3 4 Luas lahan (ha)
5
6
Gambar 10. Sebaran kelompok luasan lahan terhadap tingkat produksi petambak sewa
Jumlah hari produksi (x2). Harapan petambak sewa adalah panjangnya jumlah hari kemarau yang bisa dioptimalkan untuk terus produksi garam. Pengalaman tahun sebelumnya 2010, produksi di sentra garam terjadi gagal panen. Jumlah kemarau yang terjadi tidak cukup untuk panen garam optimal. Stock garam hanya bisa mencapai 30.000 ton. Pada tahun 2011 bisa dikatakan jumlah kemarau mencapai 4 bulan sehingga mereka menggunakan 90 hari untuk proses produksi garam. Dengan jumlah hari kemarau 90 hari, produksi petambak paling rendah 60 ton per hektar sampai dengan 100 ton per hektar. Dalam 10 hari dengan luasan satu hektar petambak bisa mengerjakan 3 kali siklus proses
82
garam. 1 blok pertama biasanya digunakan untuk mengalirkan proses peminihan, 1 blok digunakan untuk pengkristalan dan blok terakhir sudah siap panen. Hal tersebut berlangsung dalam siklus per hari. Jika hari tidak mendukung, proses peminihan dan pengkristalan lebih lama lagi. Tabel 16. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Sewa dengan Metode OLS Variabel input
Parameter
Intersep
β
Luas lahan
β
Jumlah hari produksi
β
Jumlah tenaga kerja
β
Jumlah air laut
β
Sigma Squared Log Likelihood R-Square Return to-Scale F-hitung
LR 2 R ∑i
Koefisien
0 1 2 3 4
st-error
t-rasio
3.461
2.442
1.417
0.547
0.112
4.880
***
1.538
0.536
2.867
**
0.578
0.112
5.174
***
0.008
0.027
0.310
0.007 39.862 0.978 2.670 202.43
*) Nyata taraf α 10%, **) Nyata taraf α, 5% dan ***) Nyata taraf α, 1% Jumlah tenaga kerja (x3). Petambak sewa bisa mengerahkan tenaga kerja bersifat padat karya pada masa awal pengolahan lahan yang mampu mencapai 20 orang tenaga kerja. Mereka memahami bahwa semakin banyak tenaga kerja dalam proses penguatan (pengerasan) lahan tambak akan mampu meningkatkan kualitas evaporasi dan bisa menghasilkan jumlah produksi yang banyak. Berbeda ketika lahan peminihan dan bahkan meja garam masih lembek kualitas tanahnya. Hal ini akan berpengaruh terhadap tidak baiknya jumlah tingkat produksi dan kualitas garam. Seperti sudah dijelaskan pada paparan sebelumnya, semua tenaga kerja yang dipakai pada petambak sewa dibayar. Pada tahap awal musim kemarau intensitas pekerja optimal. Terkadang terjadi kesulitan dalam mencari tenaga kerja. Terkadang tenaga kerja harus bergilir. Tenaga kerja biasanya memilih petambak sewa yang menyuruh untuk bekerja. Perbedaan fasilitas dan harga upah yang menjadi patokan mereka untuk memutuskan bahwa ia akan bekerja. Terkadang petambak sewa sering menjadi trend setter harga upah tenaga kerja. Selain diberikan upah juga biasanya petambak sewa menyediakan fasilitas lain untuk meningkatkan kinerja tenaga kerja seperti diberikan rokok dan makanan. Jumlah tenaga kerja yang diupayakan dalam proses peminihan dan pemanen hanya 2 sampai 5 orang. Hal ini berhubungan dengan jumlah luasan lahan yang dikelola. Lahan dengan 5 hektar mereka gunakan 3-5 orang tenaga kerja atau bisa dirata-ratakan 1 hektar ditangani oleh 1 tenaga kerja. Seperti
83
halnya pada petambak sewa di Losarang yang bisa dibilang petambak sewa yang memiliki kelas sosial tinggi, mereka lebih memberikan layanan fasilitas lebih untuk tenaga kerjanya. Jumlah air laut (x4). peralatan cukup tersedia dengan kondisi pada awal musim sudah diperbaiki mulai dari kincir angin, guludan dan alat pengerik garam, serta Sedangkan faktor produksi yang bersifat disediakan oleh alam menjadi batasan.
2.
Petambak Bagi-hasil Pada Tabel 17 di bawah dapat dilihat dari analisis regresi fungsi cobb-
douglas dengan pendekatan ordinary least square (OLS) pada petambak sewa dapat dilihat Nilai parameter untuk lahan 0.116, jumlah tenaga kerja
1.159, jumlah hari produksi
0.036 dan jumlah air laut
0.039. Dikuatkan
dengan hasil pengujian statistik pada taraf nyata α 0.01, faktor lahan
,
signifikan berpengaruh dimana t-hit>t-tab. Sedangakan jumlah hari produksi , jumlah tenaga kerja
jumlah air laut
yang digunakan tidak
signifikan pada taraf α 0.01 ataupun pada taraf α 0.05. Nilai RTS produksi garam pada petambak
bagi hasil senilai 1.350 dimana nilai tersebut menunjukan
berada dalam kondisi increasing return to scale samal halnya dengan petambak sewa.
Pengujian statistik F menghasilkan F-hit> F-tabel sehingga Ho ditolak
artinya bahwa jumlah parameter tersebut signifikan mempengaruhi terhadap produksi. Begitupun dengan nilai korelasi R2 yang besar yaitu 0.964 dapat dikatakan bahwa faktor produksi berkorelasi positif sebesar 96.4 persen. Nilai parameter ukuran lahan tertinggi dibandingkan faktor produksi lainnya, selanjutnya jumlah tenaga kerja, penggunaan hari produksi dan penggunaan air laut yang bernilai parameter paling kecil. Jadi jika terjadi peningkatan jumlah hari 10 persen dari luasan ukuran lahan oleh petambak bagihasil maka ia akan meningkat produksinya 11.59 persen, sedangkan jika ukuran lahan ditingkatkan 10 persen hanya bisa meningkatkan sebesar 1.16 persen dan jika ada peningkatan tenaga kerja 10 persen maka produksi akan meningkat 0.38 persen. Jadi berdasarkan simulasi tersebut faktor ukuran luasan lahan sangat elastis dibandingkan faktor produksi yang lain, sedangkan penggunaan jumlah air laut, tingkat tenaga kerja dan hari produksi kurang elastis dalam peningkatan produksi garam.
84
Luas lahan (x1). Petambak bagi-hasil yang menyebar di 3 kecamatan menggunakan lahan dengan mempertimbangkan kekuatan ketersediaan lahan yang bisa dijadikan kerjasam dengan cara bagi-hasil. Walaupun secara ril mereka tidak mengeluarkan biaya sewa tetapi tetap biaya tersebut mereka bayar dengan sistem bagi hasil. Tingkat ketergantungan yang paling kuat antara pemilik lahan dan penggarap dalam sistem bagi hasilnya terdapat di Kecamatan Kandang Haur. Ikatan yang kuat dicerminkan dari tidak bisa lepasnya penggarap secara turun temurun. Jika dibandingkan dengan Kecamatan Losarang, pola pemindahan penggarapan lahan lebih mudah. Ikatan antara penggarap dan pemilik lahan tidak terlalu kuat. Perbedaan yang lain yang yaitu si pemilik lahan di Kecamatan Kandang Haur per orang bisa mencapai 10 hektar. Untuk menguatkan hubungan tersebut keinginan dari pemilik lahan, lahan tersebut digarap hanya oleh beberapa orang saja. Sedangkan di Kecamatan Losarang kepemilikan akan lahan oleh juragan tanah yang bisa digarap oleh petambak bagi hasil maksimal mencapai 3 hektar, sehingga petambak bisa melakukan bagi-hasil
dengan
1
atau
lebih
juragan
tanah.
Perbedaan-perbedaan
keterbatasan mendapatkan lahan garapan menjadi penyebab dari belum optimalnya produksi garam. Semakin banyak juragan lahan dan garapannya semakin mereka sulit mengelola usaha garam, tetapi semakin kompetitif dalam mengatur bagi-hasil. Perbedaan pemberlakuan dalam bagi-hasil selalu menjadi patokan mereka dalam alas an melakukan ketergantungan terus terhadap pemilik lahan tertentu. Jika salah satu pemilik lahan menerapkan bagi-hasil lebih besar yang didadapatkan penggarap mereka lebih merasa ada hubungan lebih dekat lagi kepada pemilik lahan tersebut. Dengan terkotak-kotaknya lahan garapan menjadi keterbatasan mereka dalam mengoptimalkan produksi. Beberapa petambak yang tidak mendapatkan bagi-hasil dengan juragan lahan, mereka gunakan area lahan swaka mangrove yang berada di kawasan Kecamatan Kandang Haur dan Losarang. Mereka mendapatkan izin dari balai konservasi dengan kewajiban membayar bagi hasil seperti yang diterapkan dengan juraga lahan, tetapi hal tersebut masih jarang diterapkan dengan alasan kaulitas dan ketersediaan infrastruktur di lahan swaka tidak terlalu baik hasilnya. Jumlah hari produksi (x2). Petambak bagi-hasil memanfaatkan hari produksi sama dengan petambak sewa, rata-rata menggunakan hari produksi pada tahun 2011 ini sebanyak 90 hari (3 bulan). Dengan jumlah hari kemarau 4 bulan digunakan 1 bulan untuk persiapan lahan dan 3 bulan digunakan untuk
85
produksi. Berawal dari bulan junli, sehingga juli-agustus-september bisa panen raya. Jika masih ada hari kemarau pada bulan oktober mereka gunakan kembali tetapi biasanya tidak optimal karena sudah masuk pada musim penghujan. Dengan 90 hari berproduksi menghasilkan rata-rata produktifitas 62 ton per hektar dengan rata-rata luasan lahan 2 hektar. Jumlah tenaga kerja
(x3). Petambak bagi-hasil dalam menggunakan
tenaga kerja cenderung intensif dengan melibatkan dirinya sendiri dalam semua proses produksi garam. Sekaligus sebagai pengelola usaha garam. Dengan ratarata tenaga kerja luar 2 orang mereka gunakan untuk membantu proses yang cukup berat dan perlu bantuan orang lain seperti dalam persiapan lahan dan pengerasan tanggul serta pengerasan meja garam. Dalam proses pasca panen juga menggunakan tenaga kerja untuk pengangkutan. Keterlibatan anggota keluarga juga sering mereka gunakan. Keterlibatan istri dan anaknya dalam proses pemanenan garam dan pergiliran air laut. Jumlah air laut (x4).
Petambak bagi-hasil menggunakan air laut
tergantung kondisi dan tempat lahan. Umumnya kondisi lahan yang dekat irigasi mereka gunakan pompa dalam proses pengadaan air laut. Tetapi bagi lahan yang cukup jauh, pengadaan air laut tumpahan dari lahan petambak lain atau dari bosem yang disediakan oleh juragan lahan. Bagi lahan yang dekat dengan irigasi terkadang mereka kelebihan air laut dan sebaliknya bagi lahan yang jauh, mereka memanfaatkan pemindahan air secara tradisional dengan dilakukan pengangkutan air laut. Jadi pengadaan air luat ini sering dikeluhkan oleh para petambak yang jauh lahannya dari irigasi. Harapan petambak mereka inginkan saluran irigasi tersier bisa sampai ke area mereka. Saat penelitian berlangsung pemerintah hanya baru memperbaharui irigasi teknis di beberapa pintu air utama di Kecamatan Losarang, alasan pemerintah bahwa area tersebut sudah memenuhi syarat hamparan garam yang lebih dari 100 hektar. sedangkan jika dilihat di Kecamatan Kandang Haur area tambak sebetulnya sudah luas menurut pendamping yang menangani PUGAR sudah tersedia sekitar 100 hektar tapi masalahnya masih dibatasi oleh sekatan lahan yang tidak digunakan untuk usaha garam dan ada sekitar 20 persen lahan tambak garam menggunakan area swaka mangrove sehingga pemerintah sulit sekali memperbaiki area irigasi kearah swaka tersebut. Alternativenya petambak yang berada pada area tersebut mereka menggunakan pompa dengan pipa yang cukup panjang.
86
Tabel 17. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Bagi-hasil dengan Metode OLS Variabel input
Parameter
Intersep
β
Luas lahan
β
Jumlah hari produksi
β
Jumlah tenaga kerja
β
Jumlah air laut
β
Sigma Squared Log Likelihood R-Square Return to-Scale F-hitung
LR 2 R ∑i
Koefisien
0
st-error
t-rasio
10.433
1.688
6.181
1.159
0.069
16.859
0.116
0.389
0.298
0.036
0.066
0.544
0.039
0.035
1.120
1 2 3 4
***
0.015 20.182 0.964 1.350 326.29
*) Nyata taraf α 10%, **) Nyata taraf α 5%, dan ***) Nyata taraf α 1% 3.
Petambak Pemilik-garap Unuk nilai parameter produksi petambak pemilik-garap selanjutnya dapat
dilihat pada Tabel 18. Nilai parameter lahan
0.699, jumlah hari produksi
0.179, jumlah tenaga kerja
0.113 dan jumlah air laut
0.161. Jika terjadi
penambahan pada lahan
sebesar 10 persen dan lainnya cateris paribus
maka akan terjadi kenaikan produksi 6.99 persen, jika ditingkatkan pada jumlah tenaga kerja
akan terjadi kenaikan produksi 0.36 persen dan jika terjadi
peningkatan pada jumlah hari produksi
maka produksi garam akan
meningkat sebesar 1.13 persen. Dari simulasi peningkatan faktor produksi tersebut maka yang paling besar berpengaruh terhadap peningkatan produksi untuk petambak bagi hasil
adalah jumlah lahan tambak
pengujian statistik pada taraf nyata α 0.01, faktor lahan berpengaruh dimana t-hit>t-tab. Sedangakan jumlah hari produksi tenaga kerja
jumlah air laut
hasil
, signifikan , jumlah
yang digunakan tidak signifikan pada
taraf α 0.01 ataupun pada taraf α 0.05. petambak
. Dari
Nilai RTS produksi garam pada
bagi hasil senilai 1.350 dimana nilai tersebut menunjukan berada
dalam kondisi increasing return to scale samal halnya dengan petambak sewa. Pengujian statistik F menghasilkan F-hit> F-tabel sehingga Ho ditolak artinya bahwa jumlah parameter tersebut signifikan mempengaruhi terhadap produksi. Begitupun dengan nilai korelasi R2 yang besar yaitu 0.955 dapat dikatakan bahwa faktor produksi berkorelasi positif sebesar 95.5 persen. Dari hasil analisis nilai parameter dari fungsi produksi pada masingmasing petambak dapat dibandingkan pula nilai parameter antar kelompo petambak. Faktor yang sangat mempengaruhi produksi garam bagi petambak
87
bagi-hasil dan pemilik-garap adalah luas lahan
. Keinginan untuk mengolah
lahan lebih besar menjadi ketertarikan bagi petambak pemilik-garap, tetapi ketersediaan lahan yang masih luas belum sepenuhnya bisa diakses oleh petambak pemilik-garap. Secara karakteristik social dalam kepemilikan lahan. Petambak ini bisa dikatakan petambak dengan lahan kecil dengan hanya ratarata mengolah di bawah 0.5 hektar. Keterbatasan untuk mendapatkan lahan baru disebabkan ketidakmampuan membeli lahan. Petambak ini rata-rata ditemukan petambak yang sudah tua, dimana ia memiliki lahan dari warisan keluarga. Dengan hanya menggarap lahan garam kurang atau sama dengan 0.5 hektar mereka belum mampu mencapai titik produksi maksimum. Luas lahan (x1). Petambak pemilik-garap rata-rata mereka menggarap dengan ukuran lahan 0.5 hektar. Lahan yang didapatkan dari hasil warisan menjadi sumber utama untuk digunakan usaha tambak ikan dan tambak garam. Penggunaan lahan kondisi lahan yang jauh dari irigasi dan infrastruktur jalan menyebabkan mereka merasa tidak terlalu optimal baik dalam pengadaan air laut atau pengangkutan garam. Lahan yang tidak terlalu baik posisinya dan pengelolaan yang sekedarnya menjadi menjadi faktor penentu produksi. Ratarata dengan hasil garam sekitar 40 ton per hektar jauh dibawah petambak garam sewa dan bagi-hasil. Jumlah hari produksi (x2). Petambak pemilik-garap menggunakan hari produksi sama dengan petambak lainnya dimana rata-rata pada Tahun 2011 bisa mencapai 90 hari produksi tetapi yang membedakan mereka tidak terlalu mengamati proses produksi garam baik pengaliran air ke peminihan atau ke tempat meja garam. petambak garam pemilik-garap biasanya mereka melakukan 2 atau lebih mata pencaharian pada saat musim garam. Alternatif lain mengolah lahan pertanian atau menjadi buruh bangunan atau tani pada lahan orang lain. Jadi dengan 90 hari yang ada pada tahun 2011 intensif mereka optimal 50 hari. Hal ini berpengaruh terhadap produksi, disisi lain lahan mereka kecil dan jumlah hari yang digunakan tidak terlalu optimal maka hasilnya pun jauh dibawah petambak sewa dan petambak bagi-hasil. Pengalaman kegagalan pada tahun 2010 yang tidak bisa menghasilkan produksi garam menjadi beban mereka juga usaha garam. rasa ketakutan gagal panen masih menjadi alasan untuk tidak terlalu intensive dalam usaha garam.
88
Jumlah
tenaga
kerja
(x3).
Petambak
pemilik-garap
intensif
menggunakan tenaga kerja sendiri dan anggota keluarga. Hanya pada tahap awal jika diperlukan mereka gunakan tenaga kerja luar. Oleh karena itu jika dibandingkan dengan faktor produksi lain resepon tenaga kerja paling kecil berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Jumlah air laut (x4). Pengadaan air laut pada area tambak umumnya menggunakan bosem
yang ada pada area lahan sewa atau bagi-hasil.
Bergabungnya dalam pemanfaatan air menjadi kemudahan mereka dan rendahnya kebutuhan biaya pengadaan bahan bakar. Air laut yang dialirkan hanya setengah dari kebutuhan petambak sewa dan bagi-hasil sekitar 9 ribu liter per hari untuk memenuhi kebutuhan 0.5 hektar.
Tabel 18. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Pemilik-garap dengan Metode OLS Variabel input
Parameter
Intersep
β
Luas lahan
β
Jumlah hari produksi
β
Jumlah tenaga kerja
β
Jumlah air laut
β
Sigma Squared Log Likelihood R-Square Return to-Scale F-hitung
LR 2 R ∑i
0 1 2 3 4
Koefisien
st-error
t-rasio
11.384
3.574
3.185
0.699
0.117
6.003
0.179
0.869
0.206
0.113
0.104
1.091
0.161
0.148
1.090
***
0.018 20.182 0.955 1.153 9.17
*) Nyata taraf α 10%, **) Nyata taraf α 5% dan ***) Nyata taraf α 1%
7.2.1.2. Pendugaan Fungsi Produksi Metode MLE antar Kelompok Petambak Tabel 19 memperlihatkan hasil pendugaan stochastic frontier dengan menggunakan empat variabel penjelas. Fungsi produksi stochastic frontier ini akan digunakan sebagai dasar untuk mengukur efisiensi alokatif dan ekonomis yang diturunkan menjadi fungsi biaya dual. Pendugaan dilakukan dengan metode Maximum Likelihood (MLE) sesuai yang disarankan oleh Coelli, et al., (2005). Tabel 19, Tabel 20 dan Tabel 21 di bawah memperlihatkan hasil pendugaan stochastic frontier dengan menggunakan 4 variabel penjelas. Hasil pendugaan dapat menggambarkan kinerja terbaik dari petambak dengan teknologi yang ada.
89
Pemaparan masing-masing dari fungsi produksi petambak dengan penedekatan MLE dipaparkan di berikut ini.
1.
Petambak Sewa Parameter dugaan pada fungsi produksi stochastic frontier menunjukan
nilai elastisitas produksi frontier dari input-input yang digunakan koefisien dalam fungsi produksi. Nilai ini juga sebagai pangkat fungsi cobb-douglas dari masingmasing input yang digunakan. Parameter dugaan dari petambak sewa terdiri dari 0.867, jumlah hari produksi
lahan
0.241 dan jumlah air laut
1.771, jumlah tenaga kerja
0.020. Dari 4 variabel faktor produksi ini luas
lahan dan jumlah hari produksi signifikan nyata pada taraf α 0.01. Berbeda dengan pendekatan OLS dimana 3 variabel produksi signifikan secara statistik dimana tenaga kerja masih signifikan terhadap produksi. Jika salah satu input produksi ditingkat 10 persen dan input lain tetap, maka akan terjadi peningkatan 8.67 persen jika lahan ditingkatkan, 17.71 persen jika hari produksi ditingkatkan, meningkat 2.41 persen jika tenaga kerja ditambahkan, dan 0.20 persen jika air laut ditambah. Nilai RTS dari pendekatan MLE sebesar 2.899 hal ini nilai RTS MLE lebih besar dibandingkan dengan OLS (2.670) sebagai fungsi rata-rata artinya petambak sudah lebih dari batas frontier rata-rata produksi dimana hal tersebut dipengaruhi oleh efek in-efisiensi dan noise gangguan dari luar yang sama-sama memberikan keuntungan maksimal dalam produksi garam. Pada tahun 2011 menurut petambak sewa mereka sudah melakukan produksi secara maksimal. Begitupun dengan kondisi kualitas musim kemarau jumlah hari maksimal sebanyak 4 bulan dengan tingkat curah hujan dan kualitas terik matahari sangat menguntungkan untuk melakukan proses evaporasi produksi garam.
Table 19. Pendugaan Fungsi Produksi Petambak Sewa dengan Metode MLE Variabel input
Parameter
Intersep
β
Luas lahan
β
Jumlah hari produksi
β
Jumlah tenaga kerja
β
Jumlah air laut
β
Return to-Scale Log Likelihood
∑i
Koefisien
st-error
t-rasio
0
2.884
0.965
2.990
1
0.867
0.188
4.619
***
2
1.771
0.221
7.997
***
3
0.241
0.175
1.377
0.020 2.899 39.862
0.028
0.688
4
*) Nyata taraf α 10%, **) Nyata taraf α, 5% dan ***) Nyata taraf α, 1%
90
2.
Petambak Bagi-hasil Hasil pendugaan faktor produksi untuk petambak bagi-hasil dari variable
yang diduga relevan, dari 4 variabel penduga, parameter luas lahan yang signifikan terhadap produksi. Dengan nilai parameter 1.116, paling besar dibandingkan dengan lainnya dimana jumlah hari produksi sebesar 0.270, jumlah tenaga kerja 0.035 dan jumlah air laut yang digunakan 0.051. Jika input produksi masing-masing ini ditingkatkan 10 persen dan lainnya tetap maka kontribusi dari peningkatan lahan akan meningkatkan produksi sebesar 11.6 persen,
jika
jumlah hari produksi ditingkatkan maka akan menambah produksi 2.7 persen dan lainnya berkontribusi dibawah 1 persen. Nilai Return to scale RTS pada petambak bagi-hasil sebesar 1.472 hampir mendekati dengan nilai RTS OLS (1.350). Petambak bagi-hasil sudah bisa mencapai produksi frontier-nya dimana hal ini dipengaruhi oleh variable lahan.
Table 20. Pendugaan Fungsi Produksi Bagi-hasil dengan Metode MLE Variabel input
Parameter
Intersep
β
Luas lahan
β
Jumlah hari produksi
β
Jumlah tenaga kerja
β
Jumlah air laut
β
Return to-Scale Log Likelihood
∑Ei
Koefisien
st-error
t-rasio
0
10.043
0.960
10.461
1
1.116
0.060
18.593
2
0.270
0.232
1.162
3
0.035
0.059
0.593
0.051 1.472 26.440
0.039
1.286
4
***
*) Nyata taraf α 10%, **) Nyata taraf α 5% dan ***) Nyata taraf α 1% Petambak bagi-hasil bisa mengoptimalkan hampir sampai batasa frontier dipengaruhi oleh faktor in-efisiensi dan faktor luat yang sama-sama memberikan keuntungan terhadap produksi. Dengan asumsi kondisi faktor luar yang sama berpengaruh terhadap produksi rata-rata, perbedaan nilai RTS disebabkan oleh efek in-efisiensi yang sedikit memberikan keuntungan produksi dibandingkan dengan petambak sewa.
3.
Petambak Pemilik-garap Hasil pendugaan faktor produksi untuk petambak pemilik-garap dari
variable yang diduga relevan, ternyata tidak ada yang signifikan terhadap faktor produksi garam. Berbeda dengan pendekatan OLS dimana luasan lahan signifikan terhadap produksi walapun pada taraf α 0.05. Dari 4 variabel tersebut, 3 bernilai positif dan 1 negatif yaitu jumlah hari produksi.
91
Nilai Return to scale RTS pada petambak pemilik-garap sebesar 0.928 dibawah nilai RTS OLS sebesar 1.153. Nilai ini berhubungan dengan optimalisasi penggunaan input produksi yang dipengaruhi oleh efek in-efisiensi yang cenderung
tidak
menguntungkan
terhadap
produksi,
sedangkan
tingkat
gangguan luar sama-sama menguntungkan pada musim produksi tahun 2011 baik pada petambak sewa dan bagi-hasil. Petambak pemilik-garap belum bisa mencapai produksi frontiernya dimana hal ini dipengaruhi oleh variable lahan dan penggunaan hari produksi yang masih dibawah fungsi frontiernya.
Table 21. Pendugaan Fungsi Produksi Pemilik-garap dengan Metode MLE Variabel input
Parameter
Intersep
β
Luas lahan
β
Jumlah hari produksi
β
Jumlah tenaga kerja
β
Jumlah air laut
β
Return to-Scale Log Likelihood
∑Ei
Koefisien
st-error
t-rasio
0
11.425
1.151
9.927
1
0.577
0.461
1.250
2
-0.138
1.879
-0.073
3
0.149
0.125
1.194
0.340 0.928 20.182
1.094
0.311
4
*) Nyata taraf α 10%, **) Nyata taraf α 5% dan ***) Nyata taraf α 1% Petambak bagi hasil sudah bisa mengerahkan tenaga kerja baik dirinya sendiri atau anggota keluargnya tetapi karena keterbatasan lahan sehingga berdampak pada penggunaan hari produksi yang tidak sebandingkan dengan hasil produksi yang optimal para batas frontiernya. Dengan nilai RTS mendekati satu yaitu constant return to scale, hal ini artinya walaupun input produksi ditingkatkan tidak berdampak pada peningkatan produksi garam. Fakta empirik dapat diamati bahwa petambak pemilik-garap tidak terlalu mengejar keoptimalan dalam usaha garam. Petambak ini hanya memanfaatkan musim kemarau dialihkan ke usaha garam dengan memanfaatkan inputan yang seadanya. Ketika kecenderungan tidak menguntungkan, petambak tidak melanjutkan usahanya dan beralih ke usaha lain yang cenderung memanfaatkan lahan darat. Dengan lahan yang sedikit biasanya mereka mengalihkan kepada petambak lain yang statusnya petambak sewa untuk meneruskan usaha garam di lahannya.
92
7.2.2. Respon antar Faktor Produksi terhadap Produksi Garam 1. Respon Ukuran Lahan (Farm Size) terhadap Produksi Garam antar Kelompok Petambak Gambar 11 menunjukkan respon ukuran lahan terhadap output produksi dimana variable lain tetap tingkat produksi akan mengalami peningkatan konstan (tetap) ketika lahan terus ditingkatkan. Sedangkan nilai dari produk marjinal (Marjinal Production of Land/MPLn) dan produk rata-rata lahan (Average procution of land/APLn) (Gambar 12 dan Gambar 13) terus menurun. Kondisi sekarang petambak dalam tingkat increasing return to scale, semua petambak masih bisa meningkatkan luasan lahan untuk meningkatkan produksi sampai pada tingkat produk rata-rata maksimum antara 4 sampai 5 hektar. Perberdaan ini salahsatunya adalah karakteristik dan luasan dari lahan yang dikelola oleh petambak terutama serta hasil pengolahan (pengerasan lahan) pada waktu awal persiapan lahan. Pada Gambar 11 salah satu yang menjadi pembeda adalah nilai konstanta atau intesep dan nilai elastisitas dari lahan pada masing-masing fungsi produksi petambak. Nilai intersep ini juga mencerminkan kekuatan teknologi yang ada pada masing-masing petambak.
350
Sewa Bagi-hasil Milik -garap
300
Output (ton)
250 200 150 100 50 0 0
5
10 Luas lahan (ha)
15
20
Gambar 11. Respon Respon Lahan Terhadap Produksi Garam
93
50
Sewa Bagi-hasil Milik -garap
Produksi (ton)
40
30
20
10
0 0
5
10 Luas lahan (ha)
15
20
Gambar 12. Respon lahan terhadap produksi rata-rata (Average Production of Land) Sewa Bagi-hasil Milik -garap
60
Produksi (ton)
50 40 30 20 10 0 0
5
10 Luas lahan (ha)
15
20
Gambar 13. Respon lahan terhadap produksi marjinal (Marjinal Production of Land) 2. Respon Tenaga Kerja (Labour) terhadap Produksi Garam antar Kelompok Petambak Hasil tenaga
analisis pada Gambar 14. menunjukkan kerja
bahwa
variabel
mersepon terhadap tingkat produksi pada masing-masing
petambak dimana semakin mengarah kepada tingkat produksi yang konstan. Gambar 15 dan Gambar 16 pula menunjukkan respon tenaga kerja terhadap marjinal produk tenaga kerja dan rata-rata produk tenaga kerja dimana nilai marjinal produk dan rata-rata terus menurun. Perbedaan tingkat elastisitas dari tenaga kerja pada kelompok petambak menjadikan tingkat produksi yang berbeda-beda. Adanya kesenjangan nilai ini menunjukkan bahwa petani pada kelompok petambak bagi-hasil dan pemilik-garap tidak mencapai tingkat output optimal. Dengan jumlah alokasi yang sama menghasilkan tingkat produksi yang
94
berbeda. Indikasi lain bahwa teknologi pada kelompok petambak sewa paling padat karya. Kondisi kinerja dicirikan dengan tingkat produksi konstant, MPL dan APL yang semakin menurun sesuai persepsi dari kajian Ellis (1993) dimana skala produksi pertanian di negara yang belum maju cenderung konstan. Implikasi dari hasil ini adalah bahwa petani akan kehilangan efisiensi produksi jika mereka meningkatkan skala produksi.
200
Sewa Bagi Hasil Milik -Garap
Produksi (ton)
150
100
50
0 0
2
4
6
8 10 Tenaga Kerja
12
14
16
Gambar 14. Respon Tenaga Kerja terhadap produksi Sewa Bagi-hasil Pemilik -garap
16 14
Produksi (ton)
12 10 8 6 4 2 0 0
2
4
6
8 10 Tenaga Kerja
12
14
16
Gambar 15. Respon Tenaga kerja terhadap produksi rata-rata (Average Production of Labour)
95
90
Sewa Bagi-hasil Pemilik -garap
80
Produksi (ton)
70 60 50 40 30 20 10 0 0
2
4
6
8 10 Tenaga Kerja
12
14
16
Gambar 16. Respon tenaga kerja terhadap produksi marjinal (Marjinal Production of Labour)
Peningkatan skala produksi yang paling mungkin dengan meningkatkan penguasan lahan dan tenaga kerja. Tiga pendekatan antara OLS dan MLE menghasilkan hampir sama dalam skala pengembalin (RTS). Elastisitas produksi ukuran lahan dan tenaga kerja yang diperoleh dari OLS hampir sama dengan yang diperoleh dari OLS. Fungsi Cobb-Douglas tampaknya menjadi konsisten dan fungsi yang sesuai untuk menilai teknologi produksi pada kelompok petambak
yang
berbeda-beda.
Karakteristik
yang
membedakan
dalam
pemakaian tenaga harus dilakukan optimalisasi padat karya pada tahap awal untuk mengolah lahan yang siap dan sesuai untuk proses percepatan kristalisasi garam.