BAB VII UJI FUNGSI HATI
PENDAHULUAN Topik kuliah Uji Fungsi Hati ini membahas tentang beherapa uji yang digunakan untuk membantu meneguhkan diagnosis penyakit hati, meliputi pembahasan secara umum fungsi hati, evaluasi fungsi hati, kaitan uji biokimiawi dalam menentukan penyakit hati. Pokok bahasan kuliah ini secara umum dapat digunakan untuk membantu mahasiswa dalam memahami tentang teknik uji fungsi hati. Hati diketahui mempunyai peranan yang sangat luas sehingga banyak faktor yang mempengaruhi dalam evaluasi gangguan organ ini. Beberapa uji yang meliputi pengukuran substansi yang terdapat dalam hati maupun substansi yang terlibat dalam fungsi hati akan dapat digunakan untuk membantu mahasiswa dalam mengetahui penyakit hati yang tersembunyi, mengetahui status penyakit hati, dan dapat membantu menentukan diagnosis pada hewan yang secara klinis menunjukkan gejala penyakit hati. Topik kuliah ini secara keseluruhan dapat diselesaikan dalam waktu empat kali tatap muka (kurang lebih 4 jam).. Setelah mengikuti pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa dapat memahami fungsi hati, perubahan patologis hati, efeknya pada darah dan urin sehingga mahasiswa dapat menginterpretasikan hasil pemeriksaan yang ditemukan pada darah maupun urin.
Universitas Gadjah Mada
1
PENYAJIAN
Fungsi Hati Hati merupakan organ yang mempunyai berbagai macam aktivitas metabolisme. Banyak uji fungsi hati yang telah diperkenalkan tetapi hanya beberapa saja yang bernilai praktis untuk bidang veteriner. Hasil uji fungsi hati tergantung dais sejumlah aktivitas enzimatik yang berada dalam sel hati. Reaksi enzimatik dipengaruhi oleh suplai oksigen, energi, aktivitas organ-organ lain, dan ada atau tidaknyainhibitor/aselerator. Oleh karena banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi fungi hati, maka sulit untuk mengetahui dan menetapkan besarnya jaringan hati yang sal. it, apakalt proses gangguan dalam hati difus atau lokal sulit untuk ditentukan. Sebagai contoh, suatu perubahan yang difus meskipun kecil, akan menycbabkan depresi fungsi hati yang nyata dibanding dengan nekrosis yang fokal (focal necrosis). Jadi, dapat ditekankan bahwa, meskipun ada proses patologis dalam hati, tetapi mungkin saja tidak ditemukan adanya perubahan dari basil uji fungsi hati. Konsep Dasar Penyakit Hati 1. Manifestasi penyakit hati Hati dapat dipengaruhi oleh berbagai macam kondisi penyakit. antara lain adalah : 1. Gangguan metabolik yang berakibat sekunder penyakit hati a. diabetes mellitus b. hiperadrenokortismus c. sindrom nefrotik d. toksemia e. puasa atau anoreksia yang berkepanjangan f. sindrom malabsorbsi g. ketosis h. sindrom hati melemak pada sapi 2. Gangguan sirkulasi yang berakibat sekunder penyakit hati a. insufisiensi jantung b. anemia berat c. syok 3. Gangguan saluran empedu a. cholangitis b. cholangiohepatitis c. obstruksi Universitas Gadjah Mada
2
d. faseiolasis 4. Infeksi dan penyakit parasiter a. infectious canine hepatitis b. leptospirosis c. hemoglobinuria basiler d. abses hepatik e. penyakit infeksi granuloma f. migrasi askaridia g. equine infectious anemia h. feline infectious peritonitis 5. Penyakit hati toksik a. equine serum hepatitis b. keracunan alkaloid pirolisidin 6. Gangguan neoplastik hati a. linfosarkoma b. hemangiosarkoma c. fibrosarkoma d. karsinoma duktus biliverus e. penyakit mieloproliferatif pada kucing Adanya penyakit hati dapat diperkirakan apabila hewan menunjukkan gejalagejala sebagai berikut: 1. sakit perut 2. asites atau anasarka 3. muntah secara terns menerus atau diare 4. bilirubinuria 5. ikterus 6. pemeriksaan dengan radiografi terlihat hati membesar atau mengecil II. Pertimbangan anatomi Hari mempunyai 4 unit anatomi, yaitu: 1. sel hati 2. sistem empedu 3. sistem vaskuler 4. sel-sel Kupffer Masing-masing unit kemungkinan dapat sebagai target utama penyakit, tetapi satu atau lebih unit yang lain dapat secara sekunder terimbas oleh penyakit. Oleh karena itu: 1. pola hasil uji biokimia tergantung dari masing-masing unit anatomi hati yang terganggu 2. kadang-kadang pola hasil uji tergantung dari lokasi lesi dalam unit hati tertentu Universitas Gadjah Mada
3
III. Pertimbangan fungsi hati Kurang lebih 70-80% kapasitas fungsi hati dapat hiking sebclum timbul gejalagejala klinik atau laboratorik yang mengindikasikan adanya abnormalitas hati. Ilati mempunyai kemampuan tinggi untuk regenarasi dan mengembalikan fungsinya kearah semula, maka gangguan fungsi hati baru akan timbul bila terjadi kerusakan hati yang hcbat. Uji biokimia serum yang digunakan untuk deicksi penyakit hati lebih sering disebut dengan `uji fungsi hati', akan tetapi sebenarnya yang diukur hanya sebuah fungsi hati yang spesifik. Uji fungsi hati tidak dapat menggambarkan keadaan seluruh organ, karena banyaknya fungsi hati dan uji fungsi hati sangat dipengaruhi oleh berbagai macam keadaan patologis dari luar hati. Oleh karena kemampuan regenerasi hati sangat besar, maka interpretasi hasil uji fungi hati harms dilakukan dalam interval waktu yang pendek. Evaluasi Laboratorik Penyakit Hati I. Uji biokimia dan penyakit hati Tujuan umum uji biokimia adalah: 1. untuk mengetahui penyakit hati yang tersembunyi 2. untuk mengevaluasi hewan yang secara klinikmenunjukkan gejala-gejala yang mengarah ke penyakit hati 3. merupakan petunjuk yang cukup akurat untuk mengetahui status penyakit hati selama ber-langsungnya penyakit dan selama pengobatan Tujuan khusus uji biokimia adalah: 1. mengetahui hubungan antara nilai uji yang abnormal danpencarian lesi di hati 2. lesi di hati dan uji biokimia yang ditemukan kemungkinan dapat dikategorikan kedalam tiga akibat: a. keluarnya substansi dari sel hati ke cairan ekstraseluler (bocor) b. cholestasis dengan atau tanpa ikterus c. berkurangnya fungsi jaringan hati Penyakit hati akibat kebocoran sel Kerusakan sel-sel hati dapat dideteksi dengan cara mengukur substansisubstansi yang ada dalam serum yang berasal dari sitoplasma set hati (enzim dalatp sitoplasma) dan selama substansi bocor kedalam caftan ekstraseluler. 1. Substansi dalam serum yang diukur biasanya adalah: a. Glutamic-pyruvic transaminase (SGPT) atau alanine aminotransferase (AST)
Enzim ini spesifik untuk deteksi penyakit hati pada anjing dan kucing, tetapi tidak mempunyai nilai spesifik untuk kuda dan sapi
Universitas Gadjah Mada
4
Enzim ini secara normal terdapat dalam sitoplasma set hati, akan tetapi enzim akan keluar ke sairan ekstraseluler bila ada gangguan permeabilitas membran. Kebocoran membran terjadi karena adanya gradien konsentrasi yang tinggi antara lingkungan intraseluler dan ekstraseluier. b. Sorbitol dehydrogenasc (SDH)
Enzim ini spesifik untuk deteksi penyakit hati (liver spesifik) pada hewan piaraan pada umumnya, akan tetapi biasanya dipakai untuk deteksi penyakit hati pada kuda dan sapi.
SDH akan keluar jika ada peningkatan permeabilitas sel membran, seperti halnya pada SGPT. c. Glutamic-oxaloacetic transaminase (SGOT) atau aspartate aminotransferase (AST)
SGOT bukan merupakan enzim liver spesifik, karena enzim ini bisa berasal dari hati dan otot
SGOT hati biasanya secara normal terdapat dalam sitosol clan ada beberapa yang berasal dari mitokondria, oleh karena itu nilai SGOT biasanya lebih rendah dari SGPT atau SDH (perbandingan secara reknit), karena isi mitokondria biasanya tidak keluar meskipun permeabilitas inembran plasma meningkat (lebih sulit keluar).
2. Substansi-substansi lain yang dapat digunakan untuk deteksi penyakit hati a. Isocitrate dehydrogenase b. Glutamate dehydrogenase c. Ornithine carbamyl transferase d. Lactic dehydrogenase (hati dan otot) e. Arginase Sebab-sebab terjadinya kebocoran SGPT, SGOT dan SDH 1. Perubahan-perubahan permeabilitas membran plasma sel hati hanya merupakan predisposisi terjadinya kebocoran. a. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan permeabilitas membran sel adalah: -
Adanya penurunan suplai 02 ke hati, terutama berakibat pada sel-sel yang dekat vena sentralis, karena merupakan sel-sel yang paling akhir menerima oksigen dan darah melalui lobules hati.
-
Efek langsung dari toxin bakteri, obat, bahan kinua pada sel-sel hati, terutama berakibat pada sel-sel yang dekat dengan vena sentralis. Sel-sel tersebut
Universitas Gadjah Mada
5
menerima nutrisi yang paling sedikit dari darah oleh karena itu knifing resisten terhadap hepatotoksin. -
Radang jaringan hati, hasil-hasil keradangan akan mempengaruhi secara langsung permeabilitas membran sel hati
-
Berbagai macam gangguan metabolik dapat menyebabkan perubahan-perubahan lemak sel-sel hati dan mengakibatkan kebengkakan sel b. Perubahan-perubahan pada jaringan hati yang berhubungan dengan permebilitas sel hati dan kebocoran, termasuk:
-
Adanya mikrolesi yang tidak terlihat secara makroskopik, biasanya bersifat reversibel, jika penyebabnya dihilangkan akan kembali normal
-
Degenerasi hidropobik atau granuler dan perubahan lemak hati. Penibahan ini bisa bersifat reversibel jika penycbabnya dihilangkan, tapi dapat pula bersifat ireversibel bila melanjut menjadi nekrosis.
-
Nekrosis sel-sel hati. Keadaan ini bersifat ireversibel, apabila penyebabnya dihilangkan dan hewan mengalami kesembuhan biasanya terjadi fibrosis.
-
Kombinasi dari semua yang disebutkan diatas.
2. Gangguan-gangguan bocornya SGPT, SGOT dan SDH dapat juga disebabkan karena beberapa kondisi penyakit metabolik dan sirkulasi yang menyebabkan penyakit sekunder pada hati dan beberapa kondisi penyakit lain seperti yang telah diuraikan diatas. Logika interpretasi spesifik menggunakan nilai SGPT, SGOT, atau SDII: 1. Peningkatan bocornya enzim dalam serum merupakan tanda adanya penyakit sel-sel hati a. Tingkat kenaikan enzim berbanding langsung dengan jumlah sel yang terkena b. Tingkat kenaikan enzim tidak ada hubungannya dengan reversibelitas lesi/ penyakit. Reversibelitas lesi atau degenerasi sel-sel hepar tidak dapat dibedakan dengan ireversibelitas degenerasi sel-sel hepar atau nekrosis dengan dasar adanya peningkatan nilai enzim dalam serum, sebagai contoh: -
Aktivitas enzim yang meningkat sangat tinggi bisa karetia adanya hipoksia sel hati yang bersifat difus akibat syok, jika syok lulang, sel-sel akan mengalami kesembuhan, sehingga nilai enzim kembali normal
-
Sebaliknya pada fokal nekrosis hati, kenaikan enzim hanya sedikit tapi sifatnya ireversibel
2. Lamanya kenaikan enzim dalam serum tergantung dari lamanya kebocoran dan kecepatan lenyapnya/menghilangnya enzim dari plasma (sirkulasi) Universitas Gadjah Mada
6
a. SGPT, SGOT, dan SDH tidak diekskresi dari plasma oleh ginjal, karena berat molekulnya relatif besar sehingga terhambat oleh filtrasi glomerulus ginjal. Enzim ini akan menghilang dengan cara mengalami denaturasi secara steriokimia, sehingga akan kehilangan kemampuan katalitiknya, dan tidak dapat dideteksi dan diukur aktivitasnya. b. T1/2 dari enzim-enzim tersebut kira-kira 2 - 4 hart, artinya jika terjadi kebocoran, 2-4 hari kemudian nilain enzim dalam serum menjadi setengah dari nilai pada hari ke-0. T1/2 SDH lebih pendek dari SGPT atau SGOT.
Informasi ini dapat digunakan untuk membantu memantau perkembangan penyakit hati, misalnya untuk prognosis penyakit
Jika nilai enzim turun sampai 50% setiap 2 - 4 hati, maka prognosisnya balk Jika nilai enzim gagal turun sampai 50% setiap 2 - 4 hari, menandakan penyakit hati masih berlangsung 3. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa SGPT dan SDH merupakan enzim liver spesifik, tapi SGOT bukan enzim liver spesifik karena selain dapat ditemukan pada gangguan hati dapat pula ditemukan pada gangguan otot (misalnya pada kasus musele disease, myoglobinuric nephrosis). Oleh karena itu dalam inter pretasi harus dipikirkan kemungkinan-kemungkinan gangguan jaringan lain selain hati.
Universitas Gadjah Mada
7
Penyakit Hati Akibat Cholestasis
Deteksi dan evaluasi cholestasis dapat ditentukan berdasar uji biokimiawi sebagai berikut: 1. Berdasar pengukuran nilai serum alkaline phosphatase (SAP) 2. Pengukuran konsentrasi bilirubin (unconjugated bilirubin dan conjugated bilirubin) a. Konsentrasi total bilirubin dalam serum adalah meliputi unconjunated bilirubin (yang disebut juga dengan indirect bilirubin, terikat oleh protein,' tidak larut air, larut lemak, atau bilirubin bebas) dan conjugated bilirubin (disebut juga dengan direct bilirubin, larut air, tidak larut lemak) b. Uji Van den Bergh: dapat digunakan untuk membedakan antara unconjugated dan conjugated
bilirubin.
Caranya
adalah
dcngan
mengukur
secara
kolometrik
konsentrasi conjugated bilirubin dan total bilirubin, - Prinsip bilirubin serum (misalnya dalam kondisi ohstruksi empedu) akan bereaksi segera dengan reagen Ehrlich diazo (asam diazo sulfanilat) membentuk senyawa berwarna merah muda. Bila senyawa merah muda terbentuk dalam waktu 40 detik disebut direct bilirubin atau conjugated bilirubin. Bila senyawa merah muda terbentuk setelah penambahan alkohol, disebut indirect bilirubin atau unconjugated bilirubin. - Nilai total bilirubin dikurangi dengan conjugated bilirubin sama dengan nilai unconjugated bilirubin - Uji Van den Bergh hanya hisa digunakan apabila nilai total konsentrasi bilirubin serum tinggi, karena apabila konsentrasinya rcndah tidak cukup sensitif untuk membedakan antara conjugated dan unconjugated bilirubin. 3. Uji urine bilirubin dapat digunakan untuk mengukur conjugated bilirubin 4. Uji urine urobilinogen, dapat pula untuk mendeteksi cholestasis. Reaksi silang antara bilirubin urin dan urobilinogen tidak terjadi.
Sebab-sebab terjadinya cholestasis, antara lain adalah: 1. Kebengkakan sel hati a. Kebengkakan dapat terjadi akibat perubahan-perubahan lemak, degenerasi, atau nekrosis b. Efek cholestatik lebih nyata jika kebengkakan sel-sel hepar terjadi pada bagian periportal atau midzonal dibanding pada bagian sentrolobuler, karena aliran empedu dari daerah sentrolobuler kebagian trigonum.
Universitas Gadjah Mada
8
2. Radang atau fibrosis didacrah trigonum dapat menyebabkan obstruksi partial saluran empedu akibat macetnya duktus biliverus. 3. Exudat keradangan, parasit, tumor atau batu empedu dapat menyebabkan obstruksi partial atau obstruksi total saluran empedu. 4. Radang atau tumor pada jaringan disekitar duktus biliverus ekstrahepatik atau adanya obstruksi intestinal dapat menyebabkan obstruksi partial atau total. 5. Gangguan-gangguan yang mempunyai potensi menyebabkan cholestasis adalah beberapa kondisi penyakit yang telah diuraikan diatas.
Pengaruh cholestasis terhadap serum alkaline phosphatase (SAP) 1. Produksi SAP dari sel hati meningkat sebagai akibat adanya induksi oleh peningkatan tekanan intrakanalikuler a. Peningkatan SAP dapat pada daerah hati yang sakit maupun normal. b. SAP yang herasal dari hati merupakan enzim yang berikatan dengan membran mikrosomal sehingga selama ada gangguan permeabilitas sel enzim ini tidak keluar. Peningkatan aktivitas enzim ini paralel dengan peningkatan selama terjadi cholestasis, tetapi mekanisme pelepasannya Mum diketahui. 2. Selama terjadi cholestasis peningkatan aktivitas SAP dapat bervariasi antara 2.5 - 30 kali dari normal. a. SAP merupakan indikator yang sensitif terhadap adanya cholestasis, sebelum terdetcksi adanya hiperbilirubinemia dan bilirubinuria. Kejadian cholestasis apabila tidak terlalu berat tidak menyebabkan bilirubinuria atau hiperbilirubinemia sebelum nilai SAP nya meningkat. b.Hiperbilinthinemiadan bilirubinuria sebagaiakibat cholcstasis selalu diikuti dengan kenaikan SAP (peningkatan SAP paralel dengan lama cholestasis). Sebagai contoh pada kasus chronic cholangiohepatitis.
Peningkatan nilai SAP dapat disebabkan oleh beberapa kasus sclain cholestasis, penyebab-penyebab tersebut antara lain adalah: 1. SAP dari hati dapat meningkat sebagai akibat induksi hormon kortikosteroid misalnya iatrogenik, hiperadrenokortismus. 2. Peningkatan aktivitas osteoblastik dalam tulang, misalnya akibat hiperparatiroidismus, canine panosteitis. 3. Neoplasia dapat juga meningkatkan SAP, tetapi sumber SAP dari mann tidak diketahui dengan jelas, misalnya pada tumor mamae, sarkoma, karsinama.
Universitas Gadjah Mada
9
Ciri-ciri peningkatan aktivitas SAP sebagai akibat kasus-kasus noncholestasis (selain cholestasis): 1.
Isoenzim SAP dapat dihasilkan pula dari tulang, plasenta, usus, akibat tumor-tumor tertentu, dan dapat pula dihasilkan dari jaringan-jaringan lain. Tulang dan jaringan neoplasms diketahui mempunyai kontribusi dalam peningkatan SAP, sedangkan jaringan-jaringan lain mungkin kurang berperan.
2.
Peningkatan SAP yang disebabkan oleh cholestasis biasanya disertai dengan pcningkatan SGPT, SDH, SGOT. Olch karena itu jika pcningkatan SAP tanpa diikuti dengan kenaikan SGPT, SGOT, SDH, kemungkinannya adalah cholestasis yang disebabkan oleh kasu-kasus diluar hati (non cholestasis). Misalnya pada penyakit ginjal stadium akhir, hiperadreno-kortismus.
3.
Peningkatan aktivitas SAP pada penyakit tulang biasanya antara 1.5-3.5 kali dari nilai normal.
4.
Peningkatan aktivitas SAP pada tumor diketahui sangat tinggi, tetapi .kenaikan tidak tetap/tidak konsisten. Pengaruh cholestasis terhadap metabolisme bilirubin:
1. Bilirubinuria merupakan indikasi awal cholestasis: a. Bilirubinuria dapat dideteksi dengan reagen-strip atau metode tablet b. Pada cholestasis bilirubinuria bisa tanpa hiperbilirubinemia, tapi pasti disertai adanya peningkatan SAP, misalnya pada kasus cholangiohepatitis kronik. - Conjugated bilirubin pada keadaan hati sakit bisa dilepas ke darah atau dari duktus kanalikulus ke interstitium dan limfatik - conjugated bilirubin merupakan bilirubin larut air dan tidak terikat protein oleh karena itu akan difiltrasi oleh ginjal, terjadi akumulasi dalam urin, sehingga pada uji urin bilirubin, meskipun konsentrasi bilirubin dalam serum masih dalam Batas normal. c. Bilirubinuria pada hewan dapat terdeteksi pada penyakit hemolitik, tetapi mekanismenya belum jelas diketahui. Keadaan ini dapat dibedakan dengan penyebab cholestasis dengan cara menemukan penyebab-penyebab pasti kejadian penyakit hemolitik.
2. Hiperbilirubinemia merupakan tanda-tanda adanya cholestasis yang berat:
a. Hiperbilirubinemia pada kasus ini ditandai dengan 50% dari total serum bilirubin menjadi conjugated bilirubin (contoh pada kasus cholangiohepatitis kronis). - Adanya obstruksi total cenderung untuk meningkatkan nilai conjugatedUilirubin lebih tinggi, dengan proporsi lebih banyak bila dibanding denganobstruksi partial. Pada kondisi ini juga terjadi peningkatan Universitas Gadjah Mada
10
- Mekanisme terjadinya pcningkatan unconjugated bilirubin dalam serumselama chole-stasis disebabkan karena dekonjugasi dalam hati dan berkurangnya uptake hepar. Konsentrasi unconjugated bilirubin dalam serum biasanya kurang dari 50% total serum bilirubin
b. Hiperbilirubinemia akibat penyakit hemolitik sangat jelas berbecla dengan hiperbiliru-binenria akibat cholestasis. Biasanya pada penyakit hemolitik ditandai dengan lebih dari 50% total serum bilirubin adalah unconjugated
c. Pada kuda, hiperbilirubinemia baik pada cholestasis maupun hetnolitik kejadian ditandai dengan lebih dari 50% total serum bilirubin adalah unconjugated bilirubin (misal pada kasus anemia hemolitik intravaskuler atau toksisitas fenotiasin), mekanisme kejadian tersebut belum diketahui dengan jelas. Akan tetapi sebagai patokan apabila lebih dari 25% total serum bilirubin adalah konjugated maka dapat diperkirakan penyebabnya adalah cholestasis.
d. Pada sapi kejadian hiperbilirubinemia lebih sering karena hemolisis. 3. Urin urobilinogen digunakan untuk membedakan antara obstruksi total dengan obstruksi parsial, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Uji win urobilinogen positif, menunjukkan adanya obstruksi duktus biliverus parsial. b. Uji urin urobilinogen negatif, menunjukkan adanya obstruksi duktus biliverus total. 4. Perbedaan hasil pemeriksaan laboratorik antara hiperbilirubincmia akibat cholestasis dan hemolisis dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbedaan antara hiperbilirubinemia akibat cholestasis dan hemolisis
Universitas Gadjah Mada
11
Tabel 4. Tanda-tanda ikterus/penyakit hati
Gambar 1. Sirkulasi normal bilirubin
Urin pada hewan normal mengandung bilirubin (pigmen empedu) yang disebut urobilinogen, berwarna kekuning-kuningan. Secara normal di dal am fesesnya mengandung sterkobilinogen yang juga berwarna kekuning-kuningan. Didalam darah secara normaldapat ditemukan unconjugated biliruhin dan conjugated bilirubin.
Universitas Gadjah Mada
12
Gambar 2. Ikterus prehepatik atau ikterus hemolitik.
Akibat adanya proses hemolisis terjadi peningkatan nconjugated bilirubin peningkatan sterkobilin dalam feses (warna menjadi gelap), dan peningkatan urobilinogen. Peningkatan urin urobilinogen sebagai akibat sekunder kerusakan hati (urobilinogen yang diekskresikan lewat kandung empedu menurun tapi banyak yang dialirkan lewat darah kemudian keluar melalui urin sehingga terjadi peningkatan urohilinogcn dalam urin). Jika kerusakan hati semakin hebat, misalnya akibat hetnosiderosis atau over produksi bilirubin, maka conjugated bilirubin akan dilepaskan oleh sel-sel hati kedalam darah kembali (mengalami regurgitasi) dan akan lepas kedalam urin sehingga konsentrasinya akan meningkat dalam urin (tidak terlihat pada gambar).
Universitas Gadjah Mada
13
Gambar 3. Ikterus intrahepatik (ikterus hepatika).
Terjadi peningkatan jumlah conjugated bilirubin dalam serum clan sedikit peningkatan unconjugated bilirubin. Didalam urin juga dapat dilihat adanya conjugated bilirubin dan peningkatan kadar urobilinogen. Peningkatan kadar urobilinogen dalam urin disebabkan karena sel-sel hepar yang banyak mengalatni kerusakan ticlak dapat mengekskresikan urobilinogen kedalam kantong empedu.
Universitas Gadjah Mada
14
Gambar 4. Ikterus posthepatik (obstruksi posthepatik).
Tidak ada proses regurgutasi, semua conjugated bilirubin dikembalikan he hati dari duktus bilivcrus yang mengalami obstruksi (akibat tumor, batu empedu, pankreatitis yang berat, dan sumbatan olch parasit-parasit), schingga dalam a in tampak adanya conjugated bilirubin. Didalam urin tidak ditemukan urobilinogen dan didalam loses tidak mengandung sterkobilin, schingga warna feses seperti tanah liat.
Universitas Gadjah Mada
15
Penyakit Hati Akibat Berkurangnya Fungsi Jaringan Hati
Berkurangnya fungsi jaringan hati biasanya terjadi pada kondisi penyakit hati kronis,atau
stadium
akhir
penyakit
hati.
Uji
laboratorium
untuk
mendetcksi
berkurangnya fungsi hati dapat dilakukan dengan uji sebagai berikut: A. Uji bromsulphalein (BSP, Sulfobromophthalein) excretion B. Konsentrasi amonium dalam darah C. Konsentrasi serum protein khususnya konsentrasi albumin
A. Uji BSP 1. Uji BSP excretion Prinsip dan prosedur : a. Zat wama bromsulphalein setelah disuntikkan secara i.v. akan terikat oleh albumin plasma segera dibawa keluar dari darah melalui sinusoid (sinusoid permeabel terhadap protein) dan dikonjugasi oleh sel-sel hati dan diekskresikan lewat empedu. Kecepatan ekskresi ini yang digunakan sebagai indeks fungsi jaringan hati. b. Ada dua prosedur yang digunakan: 1). Pada anjing dan kucing jumlah BSP retensi dalam darah ditentukan 30 inenit setelah injeksi dengan dosis tunggal 5 mg BSP/kg berat badan. 2). Pada sapi dan kuda digunakan BSP clearence, menghilangnya zat warna yang dari darah per unit waktu merupakan nilai T1/2 BSP elearenec. Sampcl plasma dikoleksi pada 3 menit, 6 menit dan 9 menit setelah injeksi dosis tunggal 1,0 gram BSP.
Cara kerja : 1. BSP Retensi (untuk hewan kecil) - Dosis BSI' = 5-20 mg/kg berat badan (biasanya digunakan mg/kg bb) - Hewan ditimbang Rumus: berat badan dalam pound - dosis dalam ml 22 = 50 mg BSP/ml disuntikkan untuk memperoleh dosis 5 mgikg bb
Universitas Gadjah Mada
16
- Suntikkan BSP i.v. (v. cephalica) pelan-pelan ± 1 menit, jangan sampai kcluar dari dari vena (bisa terjadi nekrosis). - Setclah 30 menit, ambil 4-5 ml darah (dengan heparin) dari v. scfalika nisi yang lain. - Sediakan 2 tabung: Tabung 1: sampel
Tabung2: blangko
diisi
diisi
1 ml serum/plasma
1 ml serum/plasma
+ 4 ml 0,1 N NaOH
+ 4 ml 0,1 N HCT,
Baca dengan spektrofotometer 575 nm merah violet
tak berw•ama
- % BSP retensi (yang ditahan) = kadar DSP dalam 30 menit (mg/ml) x 10
Intrepretasi: Normal:
Anjing: ± 5% BSP retensi pada 30 menit Sapi : T1/2 ± 3 menit Kuda: T1/2 ± 3,5 menit Domba T1/2 ± 2 menit
BSP retensi naik/lebih lama, pada: a. parenkim Kati - degenerasi melemak - sirosis - nekrosis b. saluran empedu obstruksi c. ckstra hepatik -gagal jantung kongesti - syok - demam d. neoplasma metastatik - penyakit-penyakit granuloma
Universitas Gadjah Mada
17
2. BSP Clearence (untuk hewan besar) - Suntik hewan dengan 1 g BSP (untuk setiap hewan dengan berat badan 182 555 kg) - Tunggu selama 5 menit, kemudian ambit 2 sampel darah dengan heparin sebelum 12 menit dengan interval 4 menit misalnya: 5 dan 9 menit atau 6 clan 10 menit atau 7 dan 11 menit - Catat waktu ini dengan tepat - Periksa BSP dalam plasma dengan spektrofotometer - Buat kurva dan kadar BSP di plot pada kertas semilogaritmik ordinat - Hitung T1/2 BSP yaitu waktu yang diperlukan kadar BSP untuk tinggal atau menjadi setengahnya Contoh menghitung T1/2 BSP Clearence: - Ambil 2 sampel darah, misalnya pada 5 clan 9 mcnit sesuclah suntikan 1 mg BSP 1.v. - Hitung kadar BSP masing 2 sampel darah, misalnya 4,7 dan 1,8 mg% - Plot titik 4,7 dan 1,8 mg% pada kertas logaritmik dan tarik garis lurus melalui 2 titik tersebut - T1/2 dapat dilihat, misalnya dati titik 6 mg% dan 3 mg%, maka akin tercatat T1/2 = 3 menit
Interpretasi BSP retensi atau penunman kliren 1. Kira-kira 55% fungsi masa hati hilang sebelum terjadi BSP retensi atau penurunan kliren. Penyebab dari keadaan ini adalah atrofi clan fibrosis hati. 2. Faktor lain yang mempengaruhi nilai BSP adalah: a. Tidak cukupnya aliran darah yang melalui hati menycbabkan kurangnya pengambilan warns BSP oleh sel-sel hati (misal pada kasus dirofilariasis). b. Selama kondisi hiperbilirubinemia nilai BSP bisa terjadi kesalahan karena:
Universitas Gadjah Mada
18
Universitas Gadjah Mada
19
Terjadi kompetisi pengambilan bilirubin bebas dan BSP oleh sel-sel hati, sehingga terjadi proses kejenuhan. Akibatnya dikira BSP retensi terjadi selama hiperbilirubinemia.
Selama cholestasis conjugated BSP kembali masuk kedalam darah melalui jalan yang sama dengan bilirubin. c. BSP dalam plasma dibawa oleh albumin yang mengatur pengambilan warna oleh sel-sel hati. Pengambilan BSP lebih efisien selama tedadi hipoalbuminemia. Albuminemia merupakan ciri khan adanya penyakit hati yang kronis, oleh karena itu nilai BSP pada kondisi ini bisa dikelirukan dengan gangguan-gannguan hati yang berat. Pada kondisi hipoalbuminemia, hanya scdikit albumin yang mengikat BSP maka BSP tidak terikat dan diekskresikan lewat utin clan sistem vaskuler ke intestinum sehingga klirens menjadi cepat. 3. Anasarka, asites, obesitas: Volume cairan untuk distribusi BSP meningkat, akibat cairan ekstrascluler berlebihan, konsentrasi albumin meningkat maka klirens BSP cepat dan retensi rendah (mencerminkan kondisi disfungsi hati). Nilai normal T1/2 Kuda = 2,8 ± 0,5 menit T1/2 Sapi = 3,3 ± 0,5 menit
BSP retensi lebih lama dijumpai pada penyakit-penyakit hati sebagai berikut: lipidosis hati dengan nekrosis sentrolobuler
fibrosis periportal hepatitis fokalis keracunan Cc14 dan talium infectious canine hepatitis leptospirosis intoksikasi xylidine diabetes mellitus dengan lipidosis hati dan degenerasi leukemia dengan metastasis hati fibrosis hati difus degenerasi hati sekunder yang berhubungan dengan asites. duodenalis ulseratif,gastroenteritis, enteritis hemoragika akibat koksidiosis
gangguan sirkulasi hati, misalnya dekompensasi jantung, dehidrasi berat, clan syok
Universitas Gadjah Mada
20
BSP klirens meningkat pada: - hemosiderosis hati - lipidosis berat - keracunan Cc14
BSP klirens turun pada: - hepatitis supurativ - fasiolasis berat dengan fibrosis hati - abses hati (Sperophorus necrophorus)
Keuntungan metode BSP klirens 1. Pengambilan sampel darah dapat diselesaikan dalam 12 menit setelah penyuntikan. 2. Darah dapat diambil setiap saat antara 5-12 menit setelah penyuntikan. 3. Fungsi hati secara kuantitatif dapat diperkirakan berdasar hilangnya BSP dari plasma.
Kelemahan metode BSP retensi 1. Hewan hams ditimbang 2. Harus disuntikkan BSP/zat warna lain dengan dosis yang tepat. 3. Darah harus diambil pada satu waktu yang tepat.
Zat warna lain yang dapat digunakan untuk uji fungsi hati: 1. Indocyanin green: bail: digunakan untuk anjing, tapi kelemahannya diperlukan spektrofoto-meter dengan panjang gelombang infra merah. 2. Rose bengal: mempunyai kelemahan karena bisa mengakibatkan fotosensitivitas. 3. Phenoltetra chlorophthaleine: hasilnya kurang memuaskan.
B. Blood amonium (uji amonium toleran) 1. Prinsip dan cara kerja: - Ammonium diabsorbsi dari traktus intestinal bagian bawah, dilepas dari sistemdarah portal dan diubah menjadi urea dalam hati. Besamya pelepasanamonium dari darah tergantung dari besarnya fitngsi masa hati clan kekuatanaliran darah portal. - Uji amonium toleran pada anjing - hewan dipuasakan - diberi 0,1 gram NH4Cl/kg bb peroral - sampel darah diambil pada 30 dan 45 menit setelah pemberian - nilai amonium darah dibandingkan dengan kontrol Universitas Gadjah Mada
21
2. Interpretasi hiperamonemia: - Jika terjadi penurunan berat fungsi masa hati sehingga aliran darah tidak bisa mengimbanginya maka akan terjadi peningkatan konsentrasi amonium dalam darah. - Perubahan-perubahan tcrsebut paling string terjadi pada hewan yang mengalami atropi hati misalnya pada kasus gangguan versa cava portalis pada anjing. Pada penyakit-penyakit hati yang yang mengakibatkan penurunan hebat fungsi masa hati dapat pula terjadi hiperamonemia.
C. Protein serum Komponen protein serum berikut ini dapat digunakan untuk mengetahui gangguan fungsi masa hati: 1. Total protein plasma (TPP) diukur dengan refraktometer atau kolorimetri. 2. Konsentrasi albumin serum dapat diukur dengan kolorimetri atau elektroforesis. 3. Konsentrasi globulin serum diukur dengan kolorimetri, elektroforesis atau dengan cara mengurangi jumlah total protein dengan albumin. 4. Konsentrasi masing-masing ,β,-globulin ditentukan dengan elektroforesis (lihat Gambar 5).
Sumber dan penghilangan protein: 1. Hati mensintesa hampir semua protein plasma (kecuali Ig disintesa di jaringan limfoid) 2. Plasma protein secara rutin dikatabolisme dan ditempatkan kembali di hati. Katabolisme terutama didalam hati, tapi dapat sedikit melebar ke traktus intestinal dan ginjal. 3. Masing-masing protein plasma mempunyai turnover rate, albumin mempunyai hallife sekitar 7-10 hari.
Fungsi protein plasma: 1. Protein yang paling utama berfungsi menjaga keseimbangna osmotik. Pada ascitcs diperkirakan konsentrasi albumin kurang dari 1.0 g/dl, demikian juga anasarka ditandai dengan penurunan albumin (hipoalbuminemia). 2. Secara kolektif protein plasma berperan sebagai anion yang berperan dalam keseimbangan asam-basa tubuh 3. Protein juga berperan sebagai faktor koagulan. 4. Protein bertugas sebagai pembawa lemak, vitamin, hormon, free hemoglobin, unconjugated bilirubin, Fe, dan lain-lain kation maupun anion.
Universitas Gadjah Mada
22
Hipoproteinemia, penyebab dan tanda-tandanya : 1. Hipoproteinemia disebabkan karena penurunan protein secara berlebihan atau adanya aktivitas katabolisme yang berlebihan dan sedikitnya produksi. 2. Hipoproteinemia lebih sexing akibat hipoalbuminemia (misalnya pada kasus amiloidosis ginjal), dan hanya kadang-kadang raja akibat rendahnya konsentrasi globulin (pada kasus malabsorbsi intestinal). Defisiensi imun jarang menyebabkan penurunan TPP. 3. Hipoalbuminemia terjadi pada penyakit hati stadium akhir. - Pada kondisi ini kurang lebih 80% fungi hati telah berkurang sebelum terdeteksi adanya hipoalbuminemia. - Katabolisme albumin dihati menurun dan half-life albumin menjadi diperpanjang, meng-akibatkan tertundanya kejadian hipoalbuminemia. 4. Selama terjadi hipoalbuminemia terjadi kompensasi pcningkatan konsentrasi globulin. Pada keadaan ini dapat mengaburkan kejadian hipoproteinernia jika hanya total protein plasma yang diukur. 5. Apabila secara bersamaan terjadi dehidrasi, kejadian hipoproteinemia bisa tidak terdeteksi Gangguan-gangguan yang dapat menyebabkan hipoproteinemia: 1. Berkurangnya produksi: a. Hipoalbuminemia - malabsorbsi intestinal primer atau sekunder - insufisiensi pankreatik eksokrin - malnutrisi, diet, parasit - penyakit hati, atrofi matt fibrosis hati b. Hipoglobulinemia
penyakit defisiensi imun 2. Meningkatnya kehllangan protein: a. Hipoalbuminemia
penyakit ginjal, protethuria dalam waktu lama hipoadrenokortismus penyakit eksudat kulit yang parah b. Hipoalbuminemia dan hipoglobulinemia - hemoragi eksternal - protein-losing enteropathy - Johne's disease
Hiperproteinemia, penyebab clan tanda-tandanya : Universitas Gadjah Mada
23
1.
Dehidrasi
dapat
menyebabkan
peningkatan
nilai
protein
sehingga
terjadi
hiperproteinemia relatif (misal pada kasus panleukopenia infeksiosa akut dan salmonellosis akut. Bila selama dehidrasi ada hipoproteinemia, maka nilai TPP bisa normal. 2.
Peningkatan konsentrasi imunoglobulin dapat menyebabkan peningkatan TPP, sehingga terjadi hiperproteinemia secara absolut
3.
Pada masa laktasi, sapi cenderung mempunyai nilai TPP yang tinggio yaitu 8-8,5 g/dl.
4.
Hiperfibrinogenemia selama penyakit radang akan terjadi peningkatan TYR
Gamopati, penyebab dan tanda-tandanya: 1.
Gamopati merupakan puncak yang tidak normal dari zona β globulin yang tampak pada elektroforetogram (lihat Gambar 5). Petubahan-perubahan secara kualitatif gobulin (abnormal elekroforetogram) dapat berhubungan atau tidak berhubungan dengan nilai total protein plasma.
2.
Gamopati monoklonal ditandai dengan puncak dasar tunggal yang sempit yang dapat terjadi pada masing-masing zona. Klon tunggal dari sel biasanya pada plasma sel mieloma, over produksi tipe tunggal imunoglobulin atau fragmen imunoglobulin.
3.
Gamopati poliklonal merupakan puncak dasar yang melebar yang disebabkan oleh mening-katnya produksi dari beberapa tipe imunoglobulin. - Kejadian ini sering terjadi pada kondisi yang ditandai dengan stimulasi antigenik dalam waktu lama, misalnya pada penyakit infeksius kronis (abses ginjal, feline infectious peritonitis), dan sering terjadi pada limfosarkoma dan lain-lain neoplasma. - Pada anjing puncak dasar yang melebar dari imunoglobulin terutama pada zona β tapi kadang-kadang menumpuk pada zona - Pada kucing, sapi dan kuda, gamopati poliklonal terutama pada zona .
4.
Puncak a globulin biasanya jugs merupakan suatu abnormalitas. - Abnormalitas a globulin harus dibedakan dengan gamopati monoklonal karena keduanya tampak sating berdekatan. - Puncak globulin terjadi karena pelepasan depolimerasi substansi dasar jaringan ikat selama terjadi demam, trauma, keradangan, dan perkembangan tumor. - Puncak globulin merupakan tanda yang khas dari neoplasia sel mast pada anjing.
Universitas Gadjah Mada
24
5.
Gambaran datar atau tidakadanya puncak globulin merupakan tanda-tanda pengurangan
globulin
secara
berlebihan,
akibat
kegagalan
transfer
pasif
imunoglobulin dari induk semasa neonatal, dan akibat imunodefisiensi.
Universitas Gadjah Mada
25
Universitas Gadjah Mada
26
PENUTUP
Topik mata kuliah Uji Fungsi Hati dapat diserap intisarinya dengan cara mahasiswa mengerjakan pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
1. Sebutkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi penyakit hati 2. Jelaskan tujuan uji biokimiawi dalam evaluasi penyakit hati 3. Sebutkan 3 macam gangguan hati yang menentukan dasar interpretasi pcnyakit hati 4. Sebutkan enzim yang perlu diperiksa untuk menentukan penyakit hati pada sapi dan anjing 5. Sebutkan penyebab terjadinya kebocoran sel-sel hati 6. Jelaskan mengapa SGPT dan SDH disebut enzim liver spesifik 7. Jelaskan perbedaan bilirubin conjugated dan bilirubin unconjugated 8. Jelaskan sebab-sebab terjadinya cholestasis 9. Jelaskan mekanisme dan tanda-tanda terjadinya a. ikterus prehepatik b. ikterus hepatik c. ikterus posthepatik 10. Teknik apa raja yang dapat dilakukan untuk menentukan berkurangnya fungsi hati 11. Jelaskan prinsip uji BSP ekskresi 12. Apa perbedaan uji BSP retensi dan BSP klirens 13. Jelaskan gambaran protein plasma pada anjing yang mengalami dirofilariasis yang dibarengi dengan dehidrasi
Universitas Gadjah Mada
27
DAFTAR PUSTAKA Benjamin, M.M. (1979). Outline of Veterinary Clinical Hematology. Third edition. The Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA:
Duncan, LB. and K. W. Prasse (1977). Veterinary Laboratory Medicine. Clinical Pathology. First edition. The Iowa State University Press, Ames Iowa, USA.
Jain, N.C. (1986). Schalm's Veterinary Hematology. Fourth edition. Lea and Febiger, Philadelphia.
Kaneko, 1J. (1989). Clinical Biochemistry of Domestic Animals. Fourth edition. Academic Press, Inc., San Diego, California.
Meyer, D. J. dan J. W. Harvey (1998). Veterinary Laboratory Medicine. Interpretation and Diagnosis. Second edition. W. B. Saunders Company, Philadelphia.
Universitas Gadjah Mada
28
Universitas Gadjah Mada
29
Universitas Gadjah Mada
30